makalah seminar udem paru
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Edema paru adalah suatu kondisi medis yang ditandai dengan peningkatan abnormal dari
air di kantung udara (alveoli) di dalam paru-paru. Alveoli adalah struktur-struktur pada
ujung dari saluran pernafasan di paru-paru yang merupakan tempat terjadinya pertukaran
gas-gas antara udara di dalam paru-paru dan aliran darah. Pada edema paru, jumlah
cairan yang berlebihan di alveoli mengganggu difusi normal dari oksigen ke dalam aliran
darah melalui dinding alveoli. Kondisi akan mengurangi kemampuan paru-paru untuk
mengoksigenasi darah, menyebabkan gejala, seperti pernafasan yang pendek, kesulitan
bernafas, batuk dan kecemasan. Pada kasus yang berat, penderita dapat merasakan lemas
hebat yang disebabkan oleh kekurangan oksigen. Ada dua tipe edema paru tergantung
dari penyebabnya, yaitu edema paru kardiogenik dan edema paru non-kardiogenik.
Edema paru kardiogenik disebabkan oleh tingginya tekanan di dalam pembuluh darah
paru yang disebabkan oleh buruknya fungsi jantung pada keadaan, seperti gagal jantung
kongestif, serangan jantung dan fungsi katup jantung yang abnormal. Edema paru non-
kardiogenik disebabkan oleh faktor-faktor lain, seperti gagal ginjal, latihan fisik di
ketinggian dan trauma dada.
Menurut penelitian pada tahun 1994, secara keseluruhan terdapat 74,4 juta penderita
edema paru di dunia. Di Inggris sekitar 2,1 juta penderita edema paru yang perlu
pengobatan dan pengawasan secara komprehensif. Di Amerika serikat diperkirakan 5,5
juta penduduk menderita Edema. Di Jerman 6 juta penduduk. Ini merupakan angka yang
cukup besar yang perlu mendapat perhatian dari perawat di dalam merawat klien edema
paru secara komprehensif bio psiko sosial dan spiritual.
Penyakit Edema paru pertama kali di Indonesia ditemukan pada tahun 1971. Sejak itu
penyakit tersebut menyebar ke berbagai daerah, sehingga sampai tahun 1980 seluruh
propinsi di Indonesia. Sejak pertama kali ditemukan, jumlah kasus menunjukkan
kecenderungan meningkat baik dalam jumlah maupun luas wilayah. Di Indonesia insiden
terbesar terjadi pada 1998, dengan Incidence Rate (IR) = 35,19 per 100.000 penduduk
dan CFR = 2%. Pada tahun 1999 IR menurun tajam sebesar 10,17%, namun tahun-tahun
berikutnya IR cenderung meningkat yaitu 15,99 (tahun 2000); 21,66 (tahun 2001); 19,24
(tahun 2002); dan 23,87 (tahun 2003).
Sangat penting untuk diingat bahwa edema paru adalah salah satu kondisi kegawatan
yang tersering dan sangat mengancam jiwa yang memerlukan perawatan medis yang
secepatnya karena kondisi ini dapat menurunkan kadar oksigen dalam darah,
menyebabkan kegagalan organ-organ vital seperti jantung dan otak. Penatalaksanaan
yang agresif harus segera dilakukan setelah dicurigai diagnosis edema paru. Tanda dan
gejala yang tampak adalah representasi perpindahan cairan dari kompartemen
intravaskular ke dalam jaringan interstisial dan selanjutnya ke dalam alveoli. Kelainan
kardiak dan nonkardiak dapat menyebabkan edema paru sehingga kita harus mengetahui
kondisi dasar yang mencetuskan edema paru agar penatalaksanaan yang dilakukan tepat
dan berhasil. Kadang masalahnya kompleks karena pada pasien selain terdapat problem
kardiak sekaligus terdapat juga problem nonkardiak.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi
Edema paru adalah akumulasi cairan di paru-paru secara tiba-tiba akibat peningkatan
tekanan intravaskular. Edema paru terjadi oleh karena adanya aliran cairan dari darah ke
ruang intersisial paru yang selanjutnya ke alveoli paru, melebihi aliran cairan kembali ke
darah atau melalui saluran limfatik.
Edema paru dibedakan oleh karena sebab Kardiogenik dan NonKardiogenik. Hal ini
penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda. Edema Paru Kardiogenik
disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya. Edema Paru Kardiogenik
yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut. Tetapi dengan adanya faktor
presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung Kiri Khronik.
B. Etiologi
1. Ketidak-seimbangan Starling Forces
a. Peningkatan tekanan kapiler paru
1) Peningkatan tekanan vena paru tanpa adanya gangguan fungsi ventrikel kiri
(stenosis mitral).
2) Peningkatan tekanan vena paru sekunder oleh karena gangguan fungsi
ventrikel kiri.
3) Peningkatan tekanan kapiler paru sekunder oleh karena peningkatan tekanan
arteria pulmonalis (over perfusion pulmonary edema).
b. Penurunan tekanan onkotik plasma
1)Hipoalbuminemia sekunder oleh karena penyakit ginjal, hati, protein-losing
enteropaday, penyakit dermatologi atau penyakit nutrisi.
c. Peningkatan tekanan negatif intersisial
1) Pengambilan terlalu cepat pneumotorak atau efusi pleura (unilateral).
2) Tekanan pleura yang sangat negatif oleh karena obstruksi saluran napas akut
bersamaan dengan peningkatan end-expiratory volume (asma).
d. Peningkatan tekanan onkotik intersisial
Sampai sekarang belum ada contoh secara percobaan maupun klinik.
2. Perubahan permeabilitas membran alveolar-kapiler (Adult Respiratory Distress
Syndrome)
a. Pneumonia (bakteri, virus, parasit).
b. Bahan toksik inhalan (phosgene, ozone, chlorine, asap Teflon®, NO2, dsb).
c. Bahan asing dalam sirkulasi (bisa ular, endotoksin bakteri, alloxan, alpha-
naphthyl thiourea).
d. Aspirasi asam lambung.
e. Pneumonitis radiasi akut.
f. Bahan vasoaktif endogen (histamin, kinin).
g. Disseminated Intravascular Coagulation.
h. Imunologi: pneumonitis hipersensitif, obat nitrofurantoin, leukoagglutinin.
i. Shock Lung oleh karena trauma di luar toraks.
j. Pankreatitis Perdarahan Akut.
3. Insufisiensi Limfatik
a. Post Lung Transplant.
b. Lymphangitic Carcinomatosis.
c. Fibrosing Lymphangitis (silicosis).
4. Tak diketahui/tak jelas
a. High Altitude Pulmonary Edema
b. Neurogenic Pulmonary Edema
c. Narcotic overdose
d. Pulmonary embolism
e. Eclampsia
f. Post Cardioversion
g. G. Post Anesthesia
h. H. Post Cardiopulmonary Bypass
C. Klasifikasi
Berdasarkan penyebabnya, edema paru terbagi menjadi 2, kardiogenik dan non-
kardiogenik. Hal ini penting diketahui oleh karena pengobatannya sangat berbeda.
Edema Paru Kardiogenik disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri apapun sebabnya.
Edema Paru Kardiogenik yang akut disebabkan oleh adanya Payah Jantung Kiri Akut.
Tetapi dengan adanya faktor presipitasi, dapat terjadi pula pada penderita Payah Jantung
Kiri Khronik.
1. Cardiogenic Pulmonary Edema
Edema paru kardiogenik ialah edema yang disebabkan oleh adanya kelainan pada
organ jantung. Misalnya, jantung tidak bekerja semestinya seperti jantung memompa
tidak bagus atau jantung tidak kuat lagi memompa.
Cardiogenic pulmonary edema berakibat dari tekanan yang tinggi dalam pembuluh-
pembuluh darah dari paru yang disebabkan oleh fungsi jantung yang buruk. Gagal
jantung kongestif yang disebabkan oleh fungsi pompa jantung yang buruk (datang
dari beragam sebab-sebab seperti arrhythmias dan penyakit-penyakit atau kelemahan
dari otot jantung), serangan-serangan jantung, atau klep-klep jantung yang abnormal
dapat menjurus pada akumulasi dari lebih dari jumlah darah yang biasa dalam
pembuluh-pembuluh darah dari paru-paru. Ini dapat, pada gilirannya, menyebabkan
cairan dari pembuluh-pembuluh darah didorong keluar ke alveoli ketika tekanan
membesar.
2. Non-Cardiogenic Pulmonary Edema
Non-cardiogenic pulmonary edema ialah edema yang umumnya disebabkan oleh hal
berikut:
a. Acute Respiratory Distress Syndrome (ARDS)
Pada ARDS, integritas dari alveoli menjadi terkompromi sebagai akibat dari
respon peradangan yang mendasarinya, dan ini menurus pada alveoli yang bocor
yang dapat dipenuhi dengan cairan dari pembuluh-pembuluh darah.
b. Kondisi yang berpotensi serius yang disebabkan oleh infeksi-infeksi yang parah,
trauma, luka paru, penghirupan racun-racun, infeksi-infeksi paru, merokok
kokain, atau radiasi pada paru-paru.
c. Gagal ginjal dan ketidakmampuan untuk mengeluarkan cairan dari tubuh dapat
menyebabkan penumpukan cairan dalam pembuluh-pembuluh darah, berakibat
pada pulmonary edema. Pada orang-orang dengan gagal ginjal yang telah lanjut,
dialysis mungkin perlu untuk mengeluarkan kelebihan cairan tubuh.
d. High altitude pulmonary edema, yang dapat terjadi disebabkan oleh kenaikan
yang cepat ke ketinggian yang tinggi lebih dari 10,000 feet.
e. Trauma otak, perdarahan dalam otak (intracranial hemorrhage), seizure-seizure
yang parah, atau operasi otak dapat adakalanya berakibat pada akumulasi cairan
di paru-paru, menyebabkan neurogenic pulmonary edema.
f. Paru yang mengembang secara cepat dapat adakalanya menyebabkan re-
expansion pulmonary edema. Ini mungkin terjadi pada kasus-kasus ketika paru
mengempis (pneumothorax) atau jumlah yang besar dari cairan sekeliling paru
(pleural effusion) dikeluarkan, berakibat pada ekspansi yang cepat dari paru. Ini
dapat berakibat pada pulmonary edema hanya pada sisi yang terpengaruh
(unilateral pulmonary edema).
g. Jarang, overdosis pada heroin atau methadone dapat menjurus pada pulmonary
edema. Overdosis aspirin atau penggunaan dosis aspirin tinggi yang kronis dapat
menjurus pada aspirin intoxication, terutama pada kaum tua, yang mungkin
menyebabkan pulmonary edema.
h. Penyebab-penyebab lain yang lebih jarang dari non-cardiogenic pulmonary
edema mungkin termasuk pulmonary embolism (gumpalan darah yang telah
berjalan ke paru-paru), luka paru akut yang berhubungan dengan transfusi atau
transfusion-related acute lung injury (TRALI), beberapa infeksi-infeksi virus,
atau eclampsia pada wanita-wanita hamil.
D. Manifestasi Klinik
Gejala yang paling umum dari pulmonary edema adalah sesak napas. Ini mungkin
adalah penimbulan yang berangsur-angsur jika prosesnya berkembang secara
perlahan, atau ia dapat mempunyai penimbulan yang tiba-tiba pada kasus dari
pulmonary edema akut. Gejala-gejala umum lain mungkin termasuk mudah lelah,
lebih cepat mengembangkan sesak napas daripada normal dengan aktivitas yang biasa
(dyspnea on exertion), napas yang cepat (tachypnea), kepeningan, atau kelemahan.
Tingkat oksigen darah yang rendah (hypoxia) mungkin terdeteksi pada pasien-pasien
dengan pulmonary edema. Lebih jauh, atas pemeriksaan paru-paru dengan
stethoscope, dokter mungkin mendengar suara-suara paru yang abnormal, sepeti rales
atau crackles (suara-suara mendidih pendek yang terputus-putus yang berkoresponden
pada muncratan cairan dalam alveoli selama bernapas). Manifestasi klinis Edema
Paru secara spesifik juga dibagi dalam 3 stadium:
1. Stadium 1
Adanya distensi dan pembuluh darah kecil paru yang prominen akan memperbaiki
pertukaran gas di paru dan sedikit meningkatkan kapasitas difusi gas CO. Keluhan
pada stadium ini mungkin hanya berupa adanya sesak napas saat bekerja.
Pemeriksaan fisik juga tak jelas menemukan kelainan, kecuali mungkin adanya
ronkhi pada saat inspirasi karena terbukanya saluran napas yang tertutup pada saat
inspirasi.
2. Stadium 2
Pada stadium ini terjadi edema paru intersisial. Batas pembuluh darah paru
menjadi kabur, demikian pula hilus juga menjadi kabur dan septa interlobularis
menebal (garis Kerley B). Adanya penumpukan cairan di jaringan kendor inter-
sisial, akan lebih memperkecil saluran napas kecil, terutama di daerah basal oleh
karena pengaruh gravitasi. Mungkin pula terjadi refleks bronkhokonstriksi. Sering
terdapat takhipnea. Meskipun hal ini merupakan tanda gangguan fungsi ventrikel
kiri, tetapi takhipnea juga membantu memompa aliran limfe sehingga
penumpukan cairan intersisial diperlambat. Pada pemeriksaan spirometri hanya
terdapat sedikit perubahan saja.
3. Stadium 3
Pada stadium ini terjadi edema alveolar. Pertukaran gas sangat terganggu, terjadi
hipoksemia dan hipokapnia. Penderita nampak sesak sekali dengan batuk berbuih
kemerahan. Kapasitas vital dan volume paru yang lain turun dengan nyata. Terjadi
right-to-left intrapulmonary shunt. Penderita biasanya menderita hipokapnia,
tetapi pada kasus yang berat dapat terjadi hiperkapnia dan acute respiratory
acidemia. Pada keadaan ini morphin hams digunakan dengan hati-hati (Ingram
and Braunwald, 1988).
Edema Paru yang terjadi setelah Infark Miokard Akut biasanya akibat hipertensi
kapiler paru. Namun percobaan pada anjing yang dilakukan ligasi
arteriakoronaria, terjadi edema paru walaupun tekanan kapiler paru normal, yang
dapat dicegah de-ngan pemberian indomethacin sebelumnya. Diperkirakan bahwa
dengan menghambat cyclooxygenase atau cyclic nucleotide phosphodiesterase
akan mengurangi edema’ paru sekunder akibat peningkatan permeabilitas
alveolar-kapiler; pada ma-nusia masih memerlukan penelitian lebih lanjut.
Kadang kadang penderita dengan Infark Miokard Akut dan edema paru, tekanan
kapiler pasak parunya normal; hal ini mungkin disebabkan lambatnya
pembersihan cairan edema secara radiografi meskipun tekanan kapiler paru sudah
turun atau kemungkinan lain pada beberapa penderita terjadi peningkatan
permeabilitas alveolar-kapiler paru sekunder oleh karena adanya isi sekuncup
yang rendah seperti pada cardiogenic shock lung.
E. Patofisiologi
Pemahaman mengenai mekanisme ini memerlukan tinjauan mengenai pembentukkan dan
reabsorbsi cairan paru serta struktur ultra paru. Ruang alveolar dipisahkan dari
interstisium paru terutama oleh sel epitel alveoli Tipe I, yang dalam kondisi normal
membentuk suatu barier relatif nonpermiabel terhadap aliran cairan dari interstitium ke
rongga – rongga udara (spaces). Faktor penentu yang paling penting dalam
pembentukkan cairan ekstravaskuler adalah perbedaan tekanan hidrostatik dan onkotik
dalam lumen kapiler dan ruang interstitial, serta permeabilitas sel endotelium terhadap
air, zat terlarut (solut) dan molekul besar seperti protein plasma. (Aryanto,1994).
Ciri perubahan dini pada edema paru adalah terjadinya peningkatan aliran limfatik.
Perubahan ini terjadi karena saluran limfatik terjalin dalam jaringan ikat longgar yang
mengelilingi arteriola paru dan saluran pernafasan yang kecil pembekaan saluran limfatik
ini akan berdampak pada struktur sekitarnya dan mengakibatkan terjadinya prubahan
hubungan tekanan pada struktur tersebut. Salah satu akibatnya adalah adanya obstruksi
pada saluran kecil yang telah dibuktikan sebagai perubahan fisiologis dini pada klien
dengan gagal jantung kiri mengingat lesi ini tidak merata disaluran paru, maka timbul
perubahan dalam distribusi, ventilasi, dan perfusi yang kemidian menyebabkan
terjadinya hipoksemia ringan terkenanya arteriola kecil juga menyebabkan gambaran
radiologis dini pada gagal jantung kiri, yaitu suatu redistribusi aliran darah dari basis ke
apek paru pada klien dengan posisi tegak.
Jika terbentuknya cairan intersisial melebihi kapasitas sistem limfatik, maka terjadi
edema dinding alveolar. Pada fase ini komplan paru berkurang hal ini menyebabkan
terjadinya takipneu yang mungkin tanda klinis awal pada klien dengan edema paru.
Ketidakseimbangan antara ventilasi dan aliran darah menyebabkan hipoksenia
memburuk. Meskipun demikian, ekskresi karbondioksida tidak terganggu dan klien akan
menunjukkan keadaan hiperventilasi dengan alkalosis respiratorik.
Selain hal yang telah disebutkan diatas gangguan difusi juga berperan, dan pada fase ini
mungkin terjadi peningkatan pintas kanan ke kiri melalui alveoli yang tidak mengalami
ventilasi. Pada fase alveolar penuh dengan cairan, semua gambaran menjadi lebih berat
dan komplain akan menurun dengan nyata ( Nowak, 2004). Alveoli terisi cairan dan pada
saat yang sama aliran darah kedaerah tersebut tetap berlangsung, maka pintas kanan ke
kiri aliran darah akan menjadi lebih berat dan menyebabkan hipoksia yang rentan
terhadap peningkatan konsentrasi oksigen yang diinspirasi. Kecuali pada keadaan yang
amat berat, hiperventilasi dan alkalosis respiratorik akan tetap berlangsung.
Secara radiologis akan tampak gambaran infiltrat alveolar yang tersebar diseluruh paru,
terutama daerah parahilar dan basal. Ketika klien dalam keadaan sadar dia akan tampak
mengalami sesak nafas hebat dan ditandai dengan takipnea, takikardi, serta sianosis bila
pernafasannya tidak dibantu. Keadaan ini disebut sebagai adult respiratory sindrom
(ARDS).
Edema paru menyebabkan hipoksemia dengan cara menganggu keseimbangan ventilasi
perfusi. Perfusi yang tetap mengalir pada alveoli yang dipenuhi cairan dan atelektasis
akan menyebabkan gangguan keseimbangan ventilasi perfusi pada bagian paru tersebut
sehingga menimbulkan intrapulmonary shunt. Pada orang normal, shunt intrapulmonal
merupakan sebagian kecil curah jantung namun pada edema paru shunt bisa mencapai 25
– 50% curah jantung. Karena aliran darah di daerah shunt tidak bertemu dengan udara
alveolus maka suplementasi oksigen nilainya kecil.
Kerja pernapasan meningkat pada edema paru dan efeknya akan berlipat ganda bila juga
disertai dengan takipneu. Kerja pernapasan pada subjek normal hanya mengambil
sebagian kecil konsumsi oksigen tubuh, namun pada edema paru berat (tanpa dukungan
ventilasi mekanik) akan menghabiskan 25-50% konsumsi oksigen total tubuh. Untuk
memenuhi kebutuhan energy yang diperlukan pada tingkat kerja tersebut, penigkatan
curah jantung harus dibagi selain kepada sistem organ vital juga pada otot pernapasan.
Untuk alasan tersebut, salah satu keuntungan dukungan ventilasi mekanik selama edema
paru berat untuk mengutrangi kerja pernapasan pasien sehingga aliran darah bisa
dipindahkan menuju organ vital lainnya.
F. Pemeriksaan Penunjang
1. Tes Diagnostik
a. Foto Thoraks
Gambaran berkabut atau kesuraman yang merata dari sentral dan meluas seperti
kupu-kupu (butterflay pattern) disertai garis Kerley A, B dan C. Gambaran
radoilogi seperti ini terlihat pada kedua tipe edema paru. Pada edema paru
nonkardiogenik, gambaran radiologi kadang-kadang tampak normal.
b. Elektrokardiografi (EKG)
Elektrokardiografi (EKG) : Bisa sinus takikardia dengan hipertrofi atrium kiri
atau fibrilasi atrium, tergantung penyebab gagal jantung. Gambaran infark,
hipertrofi ventrikel kiri atau aritmia bisa ditemukan.
2. Tes Laboratorium
a. Analisa gas darah pO2 rendah (hipoksemia), pCO2 mula-mula rendah dan
kemudian hiperkapnea.
b. Enzim kardiospesifik meningkat jika penyebabnya infark miokard.
c. Darah rutin, ureum, kreatinin, elektrolit, urinalisis, foto thoraks, EKG, enzim
jantung (CK-MB, Troponin T), angiografi koroner.
G. Diagnosis
Pemeriksaan Kardiogenik Non-KardiogenikAnamnesisAcute cardiac event
Sering Jarang
Pemeriksaan Fisik : - Perifer- S3 gallop/ kardiomegali- JVP- Ronki
DinginPositifMeningkatBasah
Hangat, nadi kuatNegativeTak meningkatKering
Pemeriksaan Penunjang :- EKG- Foto toraks- Enzim kardiak- Pulmonary capillary
wedge pressure- Shunt intrapulmonal - Rasio protein edema dan
plasma
Iskemik/infarkKardiomegali Bisa meningkat> 18 mmHg Sedikit< 0,5
Biasanya normal, aritmiaInfiltrat difus bilateralBiasanya normal< 18 mmHg
Hebat> 0,7
H. Penatalaksanaan Medis
Tujuan penatalaksanaan medis pada pasien dengan Edema Paru akut adalah mengurangi
volume sirkulasi total untuk memperbaiki pertukaran gas pernapasan. Tujuan ini dapat
dicapai dengan kombinasi terapi oksigen dan terapi medis.
1. Oksigenasi
Oksigen diberikan dengan konsetrasi yang adekuat untuk mengurangi hipoksia dan
dispnea. Bila tanda-tanda hipoksia menetap, oksigen harus diberikan dengan tekanan
positif intermiten atau kontinu. Bila terjadi gagal napas, meskipun penatalaksanaan
telah optimal, perlu diberikan intubasi endotrakea dan ventilasi mekanis. Penggunaan
tekanan positif akhir ekspirasi sangat efektif mengurangi aliran balik vena,
menurunkan tekanan kapiler paru, dan memeperbaiki oksigenasi. Oksigenasi
dipantau melalui pulse oksimetri dan pengukuran AGD.
2. Farmakologi
Dilakukan pemberian Morfin secara intravena dalam dosis kecil untuk mengurangi
kecemasan dan dispnea serta menurunkan tekanan perifer sehingga darah dapat
didistribusikan dari paru ke bagaian tubuh lain. Hal tersebut akan menurunkan
tekanan dalam kapiler paru dan mengurangi perembesan cairan ke jaringan paru.
Morfin juga bermanfaan dalam menurunkan kecepatan napas.
1) Morfin tidak boleh diberikan bila edema paru disebapkan oleh cedera vaskuer
otak, penyakit paru kronis, atau syok kardiogenik. Pasien harus diawasi bila
terjadi depresi pernapasan berat.
2) Diuretik. Furosemide diberikan secara intravena untuk memberi efek diuretik
yang cepat. Furosemide juga mengakibatkan vasodilatasi dan penimbunan darah
di pembuluh darah perifer yang pada gilirannya mengurangi jumlah darah yang
kembali ke jantung, bahkan sebelum terjadi efek diuretik.
3) Digitalis. Diberikan untuk meningkatkan kontrakitilitas jantung dan curah
ventrikel kiri. Perbaikan kotrakitilitas jantung akan meningkatakan curah jantung,
memeperbaiki diuresis dan menurunkan tekanan diastole. Jadi tekanan kapiler
paru dan trasnudasi atau perembesan cairan ke alveoli akan berkuarang.
4) Aminofilin. Bila pasien mengalami wheezing dan terjadi bronkospasme yang
berarti, maka perlu diberikan aminofilin untuk merelaksasi bronkospasme.
Aminofilin diberikan melalui intravena secara terus menerus dengan dosis sesuai
berat badan.
3. Posisi Penderita
Penderita di usahakan posisi duduk dengan kaki berjuntai sepanjang sisi tempat tidur
sehingga mengurangi “venous return” ke jantung.
1) Edema Paru Non Kardiogenik
Dalam penatalaksanaan yang penting ialah :
a. Memperbaiki ventilasi, dengan:
Pemberian oksigen sehingga oksigen dalam udara inspirasi mencapai 50-
100%
Intubasi endotrakeal.
Kalau perlu menggunakan alat bantu pernafasan (ventilator).
b. Pertahankan sirkulasi, dengan :
Memperbaiki dehidrasi atau mengurangi cairan bila terjadi over hidrasi.
c. Diperlukan terapi spesifik untuk hal-hal khusus :
Tempat tinggi, dengan oksigen dan transportasi ke daerah yang lebih rendah.
Bila obat atau racun sebagai penyebab, dengan obat antagonis.
Uremia paru, dengan dialisis.
Bila ada sepsis, berikan antimikroba.
I. Komplikasi
Kebanyakan komplikasi-komplikasi dari pulmonary edema mungkin timbul dari
komplikasi-komplikasi yang berhubungan dengan penyebab yang mendasarinya. Lebih
spesifik, pulmonary edema dapat menyebabkan pengoksigenan darah yang dikompromikan
secara parah oleh paru-paru. Pengoksigenan yang buruk (hypoxia) dapat secara potensial
menjurus pada pengantaran oksigen yang berkurang ke organ-organ tubuh yang berbeda,
seperti otak.
J. Asuhan Keperawatan
1. Pengkajian
a. Data Umum
1) Identitas
Umur : Klien dewasa dan bayi cenderung mengalami dibandingkan
remaja/dewasa muda.
2) Riwayat Masuk
Klien biasanya dibawa ke rumah sakit setelah sesak nafas, cyanosis atau batuk-
batuk disertai dengan demam tinggi/tidak. Kesadaran kadang sudah menurun dan
dapat terjadi dengan tiba-tiba pada trauma. Berbagai etiologi yang mendasar
dengan masing-masik tanda klinik mungkin menyertai klien.
3) Riwayat Penyakit Dahulu
Predileksi penyakit sistemik atau berdampak sistemik seperti sepsis, pancreatitis,
Penyakit paru, jantung serta kelainan organ vital bawaan serta penyakit ginjal
mungkin ditemui pada klien.
b. Survey Primer
A (Penilaian Jalan Nafas) : Tidak ada sumbatan jalan nafas.
B (Penilaian Pernafasan) : Napas spontan, tampak sesak, pergerakan dada simetris
saat inspirasi dan ekspirasi, bunyi napas tambahan (-), otot bantu napas m.
Intercostae (+) dan m. Supraklavikula (+).
C (Penilaian Sirkulasi) : Sianosis (-), ikterik (-), pucat (+), akral hangat, capillary
refill time < 2 detik, pulsasi regular dan kuat.
D (Penilaian Disability) : GCS 15 (E4M6V5)
E (Penilaian Exposure) : -
c. Survey Sekunder
1. Pemeriksaan Fisik :
1) Sistem Integumen
Subyektif : -
Obyektif : kulit pucat, cyanosis, turgor menurun (akibat dehidrasi sekunder),
banyak keringat, suhu kulit meningkat, kemerahan.
2) Sistem Pulmonal
Subyektif : sesak nafas, dada tertekan, cengeng.
Obyektif : Pernafasan cuping hidung, hiperventilasi, batuk
(produktif/nonproduktif), sputum banyak, penggunaan otot bantu pernafasan,
pernafasan diafragma dan perut meningkat, Laju pernafasan meningkat,
terdengar stridor, ronchii pada lapang paru.
3) Sistem Cardiovaskuler
Subyektif : sakit kepala.
Obyektif : Denyut nadi meningkat, pembuluh darah vasokontriksi, kualitas
darah menurun, Denyut jantung tidak teratur, suara jantung tambahan.
4) Sistem Neurosensori
Subyektif : gelisah, penurunan kesadaran, kejang.
Obyektif : GCS menurun, refleks menurun/normal, letargi.
5) Sistem Musculoskeletal
Subyektif : lemah, cepat lelah.
Obyektif : tonus otot menurun, nyeri otot/normal, retraksi paru dan
penggunaan otot aksesoris pernafasan.
6) Sistem Genitourinaria
Subyektif : -
Obyektif : produksi urine menurun/normal.
7) Sistem Digestif
Subyektif : mual, kadang muntah.
Obyektif : konsistensi feses normal/diare.
2. Pemeriksaan Laboratorium
1) Hb : menurun/normal.
2) Analisa Gas Darah : acidosis respiratorik, penurunan kadar oksigen darah,
kadar karbon darah meningkat/normal.
3) Elektrolit : Natrium/kalsium menurun/normal.
2. Diagnosa Keperawatan
1) Gangguan pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru,
pengambilan Oksigen tidak adekuat.
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler alveolar
sekunder terhadap akumulasi cairan alveoli.
3) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai oksigen sistemik.
4) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan sekuncup jantung.
5) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan lemah
sekunder terhadap penurunan curah jantung, disfungsi ginjal.
3. Rencana Keperawatan
1) Gangguan pola napas tidak efektif berhubungan dengan penurunan ekspansi paru,
pengambilan Oksigen tidak adekuat.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .. × 24 jam Pola nafas
kembali efektif.
Kriteria Hasil : - Tidak terjadi hipoksia atau hipoksemia
- Tidak sesak
- RR normal (16-20 × / menit)
- Tidak terdapat kontraksi otot bantu nafas
- Tidak terdapat sianosis
Intervensi :
1. Atur posisi semi fowler
Rasional : Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi
dapat berjalan dengan lancar.
2. Observasi tanda dan gejala sianosis
Rasional : Sianosis merupakan salah satu tanda manifestasi ketidakadekuatan
suply O2 pada jaringan tubuh perifer .
3. Berikan terapi oksigenasi
Rasional : Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan
cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia.
4. Observasi tanda-tanda vital
Rasional : Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai
dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time
yang memanjang/lama.
5. Observasi timbulnya gagal nafas
Rasional : Ketidakmampuan tubuh dalam proses respirasi diperlukan intervensi
yang kritis dengan menggunakan alat bantu pernafasan (mekanical ventilation).
6. Kolaborasi dengan tim medis dalam memberikan pengobatan
Rasional : Pengobatan yang diberikan berdasar indikasi sangat membantu dalam
proses terapi keperawatan
2) Gangguan pertukaran gas berhubungan dengan perubahan membran kapiler alveolar
sekunder terhadap akumulasi cairan alveoli.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .. × 24 jam Fungsi
pertukaran gas dapat maksimal.
Kriteria Hasil : - Tidak terjadi sianosis
- Tidak sesak
- RR normal (16-20 × / menit)
- AGD normal:
Partial pressure of oxygen (PaO2): 75-100 mm Hg
Partial pressure of carbon dioxide (PaCO2): 35-45 mm Hg
Oxygen content (O2CT): 15-23%
Oxygen saturation (SaO2): 94-100%
Bicarbonate (HCO3): 22-26 mEq/liter
pH: 7.35-7.45
Intervensi :
1. Atur posisi pasien semi fowler
Rasional : Jalan nafas yang longgar dan tidak ada sumbatan proses respirasi
dapat berjalan dengan lancer
2. Berikan terapi oksigen
Rasional : Pemberian oksigen secara adequat dapat mensuplai dan memberikan
cadangan oksigen, sehingga mencegah terjadinya hipoksia
3. Observasi tanda – tanda vital
Rasional : Dyspneu, sianosis merupakan tanda terjadinya gangguan nafas disertai
dengan kerja jantung yang menurun timbul takikardia dan capilary refill time
yang memanjang/lama.
4. Kolaborasi dengan tim medis dalam memberikan pengobatan
Rasional : Pengobatan yang diberikan berdasar indikasi sangat membantu dalam
proses terapi keperawatan.
3) Gangguan perfusi jaringan berhubungan dengan penurunan suplai oksigen sistemik.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .. × 24 jam diharapkan
perfusi jaringan pasien adekuat.
Kriteria Hasil : - Nadi normal
- Kesadaran compos mentis
- Tidak sianosis dan pucat
- Akral hangat
- TTV dalam batas normal
Intervensi :
1. Monitor tanda vital, bunyi jantung, edema, dan tingkat kesadaran
Rasional : Data dasar untuk mengetahui perkembangan pasien dan mengetahui
status awal kesehatan pasien.
2. Pantau terhadap indikator penurunan perfusi serebral
Rasional : Menghindari kerusakan otak.
3. Hindari terjadinya valsava manuver seperti mengedan, menahan napas, dan
batuk
Rasional : Mempertahankan pasokan oksigen
4. Monitor denyut jantung dan irama
Rasional : Mengetahui kelainan jantung
5. Berikan oksigen sesuai kebutuhan
Rasional : Meningkatkan perfusi
6. Kolaborasi dengan dokter dalam pemeriksaan AGD, elektrolit, dan darah
lengkap
Rasional : Mengetahui keadaan umum pasien
4) Penurunan curah jantung berhubungan dengan perubahan sekuncup jantung.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .. × 24 jam diharapkan
tidak terjadi penurunan curah jantung.
Kriteria Hasil : - Tidak terjadi peningkatan tekanan vena jugularis
- EKG normal
- Tekanan darah normal
- Akral hangat
- Tidak sianosis
- TTV dalam batas normal
Intervensi :
1. Monitor Tanda-tanda vital
Rasional : Indikator keadaan umum pasien.
2. Auskultasi bunyi jantung, kaji frekuensi dan irama jantung
Rasional : Perubahan suara, frekuensi dan irama jantung mengindikasikan
penurunan curah jantung.
3. Palpasi nadi perifer
Rasional : Penurunan curah jantung mempengaruhi kuat dan lemahnya nadi
perifer.
4. Kaji adanya distensi vena jugularis
Rasional : Akumulasi cairan menghambat aliran balik vena sehingga terjadi
distensi vena jugularis.
5. Kaji akral dan adanya sianosis atau pucat
Rasional : Penurunan curah jantung menyebapkan aliran darah ke perifer
menurun.
6. Berikan oksigen sesuai indikasi
Rasional : Mencegah hipoksia.
7. Berikan cairan Intra Vena sesuai indikasi.
Rasional : Mencegah terjadinya kekuarangan cairan
5) Kelebihan volume cairan berhubungan dengan mekanisme pengaturan lemah
sekunder terhadap penurunan curah jantung, disfungsi ginjal.
Tujuan : Setelah dilakukan tindakan keperawatan selama .. × 24 jam diharapkan
kelebihan cairan dapat dikurangi yang dibuktikan dengan keseimbangan
cairan, keseimbangan elektrolit dan asam basa, dan indikator hidrasi yang
adekuat.
Kriteria Hasil: - Menyatakan pemahaman tentang pembatasan cairan dan dietnya
secara verbal.
- Mempertahankan tanda vital dalam batas normal.
- Tidak mengalami pernafasan dangkal.
- Hematokrit dalam batas normal.
Intervensi
1. Ukur dan monitor : Intake dan output cairan, BB, tensi, CVP distensi vena,
jugularis dan bunyi paru.
Rasional: Dasar pengkajian kardiovaskuler dan respon terhadap penyakit.
2. Monitor rongtgen paru.
Rasional: Mengetahui adanya edema paru.
3. Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian cairan, obat dan efek pengobatan.
Rasional: Kerjasama disiplin ilmu dalam perawatan.
4. Hati – hati dalam pembarian cairan.
Rasional: Mengurangi kelebihan cairan.
5. Pada pasien yang bedrest: Ubah posisi setiap 2 jam, Latihan pasif dan aktif.
Rasional: Mengurangi edeme.
6. Pada kluit yang edeme, berikan losion, hindari penekanan yang teruis – menerus.
Rasional: Mencegah kerusakan kulit.
7. Berikan pengetahuan kesehatan tentang :
Intake dan output cairan
Edema, Berat badan
Pengobatan
Rasional: Pasien dan keluarga mengetahui dan kooperatif.
BAB III
HASIL PENGKAJIAN
I. Identitas Klien
Nama : Ny. S Umur : 64 Tahun
No MR : 00.80.86.65 Jenis Kelamin : Perempuan
Tanggal : 20 Mei 2014 Hari rawat ke : 1
Agama : Islam Status : Menikah
Alergi : Tidak Ada BB/TB : 65 Kg
Alamat rumah : Jl. Sunter Jaya No. 30 Rt 13/07 Kel. Sunter Jaya Kec. Tanjung Priuk
Diagnosa medis : CKD + Udem Paru
II. Alasan di rawat di ICCU/ICU (termasuk riwayat sakit)
Keluarga mengatakan klien mengalami sesak nafas ketika berada dirumah pada tanggal
19-5-2014 jam 23.00. Kemudian oleh keluarga klien di bawa ke UGD RSIJ Cempaka
Putih jam 1.24 dengan keluhan masuk sesak nafas saat klien sedang duduk, riwayat DM
sejak 4 tahun, Hipertensi, CKD dan CHF.
III. Pengkajian fisik dan pengkajian umum
Pernapasan Jalan nafas paten tidak ada sumbatan
Nafas spontan, dispnea (+), vesikuler +/+, ronchi +/+, wheezing +/+,
RR 28x/mnt, irama ireguler, kedalaman dangkal, pergerakan dada
simetris saat inspirasi dan ekspirasi, bunyi nafas tambahan (-),
terpasang Oksigen Rebreathing Mask 6 L/mnt.
Kardiovaskuler TD 190/100 mmhg, Nadi 128x/mnt, irama reguler, pulsasi kuat, Suhu
37ºc, akral hangat, CRT ≤ 2 detik, sianosis (-), ikterik (-), pucat (+),
saturasi oksigen 99%, gambaran EKG sinus takikardia.
Gastrointestinal Mual (+), muntah (+), bising usus 12x/mnt, diit bubur ½ porsi (200 cc),
distensi abdomen (-).
Pre Hospital
Tgl : 19-5-2014 Jam : 23.00
UGD
Tgl : 20-5-2014 Jam : 01.24
HCU
Tgl : 20-5-2014 Jam : 01.24
Neurologi Kesadaran Composmentis, GCS E4M6V5, Reflek cahaya +/+.
Genitourinari Urine 1970 cc/24 jam.
Endokrin GDS 184 mg/dL.
Muskuloskeletal Kekuatan otot baik (+).
Integumen Suhu 37°C, Akral teraba hangat, Kulit lembab.
Nutrisi Diit Bubur DD II RG 3 1700 kal, LP Cincang.
Cairan Intake : Infus RL 42 tpm (1000 cc/hr), Minum 600 ml.
Output : Urine 1970 cc/hr.
Istirahat-tidur Pasien Bedrest di tempat tidur.
Psikososial Pasien merasa cemas karena penyakitnya sudah komplikasi. Selain itu
dalam menghadapi penyakitnya pasien pasrah.
Spiritual Pasien berdoa namun tidak melaksanakan ibadah seperti biasanya.
Hasil
lab/diagnostik
Hasil Lab Tgl 20-5-2014 Jam 1.30
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI
NORMAL
KIMIA KLINIK
ANALISA GAS
DARAH
Temperatur 37,0
pH 7,30
PCO2 H 50 mmHg 33-44
PO2 L 65 mmHg 71-104
O2 Saturation L 69,30 % 94-98
HCO3 L 11,1 mmol/L 21-28
Base Excess (CEF) L -14,30 mmol/L -2,00-+3,00
Base Excess (B) L -12,2 mmol/L -24-+2,3
O2 Total L 11,6 mmol/L 23-27
Hasil Lab Tgl 20-5-2014 Jam 02.00
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN NILAI
NORMAL
HEMATOLOGI
Hemoglobin L 8,7 g/dL 11,7-15,5
Leukosit 8,87 ribu/UL 3,6-11
Hematokrit L 26 % 35-47
Trombosit 202 ribu/UL 150-440
Eritrosit L 3,02 106/UL 3,8-5,2
MCV/VER 85 fL 80-100
MCH/HER 29 pg 26-34
MCHC/KHER 34 g/dL 32-36
Glukosa Sewaktu
Gula Darah Sewaktu 184 mg/dL 70-200
SGOT (AST) 13 U/L 10-31
SGPT (ALT) 10 U/L 9-36
Ureum Darah H 60 mg/dL 10-50
Kreatinin Darah H 4,0 mg/dL < 1,4
ELEKTROLIT
Natrium Darah 140 mEq/L 135-147
Kalium Darah H 5,8 mEq/L 3,5-5
Klorida Darah H 116 mEq/L 94-111
Hasil Elektrokardiograf :
Irama sinus, QRS rate 130 kali/menit, aksis normal, gelombang P
normal, PR interval 0,16 detik, QRS duration 0,08 detik, blok (-), LVH
(+), RVH (-), poor R (-), LBBB (-).
Menunjukkan bahwa adanya hipertrofi ventrikel kiri.
Pemeriksaan radiologi foto polos toraks menunjukkan hasil
kardiomegali dengan CTR > 50%, gambaran hilus paru menebal dan
gambaran kongestif yang sesuai dengan gambaran edema paru.
Program Terapi 1. Lasix 2x1 amp (09-21)
2. Amlodipin 1x10 mg (18)
3. Glikodec 1x80 mg (18)
4. Bicnat Tab 3x1 (06-12-18)
5. Kalitake 3x1 (06-12-18)
6. Canderin 1x8 mg (06)
IV. Analisa Data
Tgl Data Fokus Problem Etiologi
V. Daftar Diagnosa Keperawatan
VI. Diagnosa dan Perencanaan (3 dx prioritas)
Tgl Diagnosa
Keperawatan
Tujuan/KH Intervensi Rasional
Mandiri dan
kolaboratif
VII.Implementasi dan evaluasi
Dx Tgl/
jam
Implementasi dan respon Paraf Evaluasi (SOAP) Paraf
BAB IV
PEMBAHASAN
Pasien perempuan usia 64 tahun datang dengan keluhan sesak napas yang semakin memberat
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Pada primary survey, tidak didapatkan masalah pada
airway. Pada pernapasan, pasien tampak sesak, menggunakan otot bantu napas, dan bernapas
cepat. Dari penilaian sirkulasi ditemukan pucat pada wajah pasien, tapi pulsasi, suhu dan
CRT masih baik. Tidak ditemukan masalah pada disabilitas dan eksposur pasien. Masalah
yang ditemukan pada pasien dari penilaian primer adalah dispnea, takipnea, dan pucat. Oleh
karena itu, sebagai tata laksana awal, pasien diposisikan setengah duduk, diberikan oksigen
sebanyak 6 L/menit dengan sungkup sederhana, dan dipasang IV line untuk memberikan
cairan RLsebanyak 500 mL.
Berdasarkan anamnesis, ditemukan bahwa pasien sudah mulai merasakan sesaknya sejak 1
minggu sebelum masuk rumah sakit. Namun sesak hanya sesekali muncul. Pasien juga
merasa tubuhnya semakin lemas. Pasien juga didiagnosis mengalami gagal ginjal, tapi
menolak untuk melakukan hemodialisis. Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, sesak yang
dirasakan semakin memberat. Pasien semakin sulit beraktivitas, terbangun di malam hari, dan
tidak mampu tidur telentang karena sesaknya. Sesak yang dirasakan oleh pasien mengarah ke
masalah respirasi dan kardiogenik, bukan metabolisme. Hal itu bisa dilihat dari jenis
pernapasan yang dimiliki, sesak akibat metabolik identik dengan pernapasan kussmaul, yaitu
dalam dan cepat. Sedangkan pada pasien, pernapasan cepat namun dangkal. Sesak akibat
masalah jantung bisa dibuktikan dari anamnesis yang ditemukan dyspnea on effort (DOA),
ortopnea, dan paroxysmal nocturnal dyspnea (PND). Ketiga gejala tersebut khas ditemukan
pada pasien dengan masalah jantung kiri. Ketidakmampuan jantung kiri untuk memompa
darah menyebabkan cairan terakumulasi di vena pulmonalis. Akibatnya tekanan hidrostatik
pada kapiler-kapiler paru meningkat, dan cairan pun berpindah ke alveoli paru. Inilah yang
menyebabkan edema paru akut. Dugaan edema paru semakin diperkuat dengan adanya
riwayat batuk dan suara ronki kasar pada kedua lapang paru. Hasil foto toraks menunjukkan
adanya penebalan dan kongesti hilus paru, semakin memperkuat diagnosis edema paru akut.
Penyebab edema paru akut ada dua, yaitu kardiogenik dan non-kardiogenik. Diagnosis
banding edema paru akut non-kardiogenik dapat disingkirkan karena tidak ditemukan adanya
penyakit paru sebelumnya. Tidak ada asma dan demam pada pasien, sehingga etiologi infeksi
paru dapat disingkirkan. Edema paru akut kardiogenik disebabkan oleh masalah jantung
pasien yaitu CHF. Hal tersebut dibuktikan dari hasil foto toraks (kardiomegali) dan EKG.
CHF yang dialami oleh pasien sudah sampai grade functional class IV sesuai dengan
klasifikasi NYHA karena pasien saat istirahat pun masih merasa sesak.
Edema paru akut akibat overload cairan yang disebabkan oleh masalah ginjal masih
memungkinkan, berhubung pasien pernah didiagnosis gagal ginjal sebelumnya, tapi menolak
untuk dilakukan hemodialisis. Hasil laboratorium menunjukkan kadar ureum (60 mg/dL) dan
kreatinin (4,0 mg/dL) yang tinggi. Anemia (kadar Hb rendah 8,7 g/dL) juga diduga dapat
berasal dari disfungsi ginjal yang sudah tidak mampu menghasilkan hormon eritropoietin,
sehingga produksi sel darah merah juga tidak adekuat. Akibat gangguan ventilasi dan anemia
yang dialami, pasien mengalami asidosis respiratorik. Penyebab gagal ginjal (CKD) cukup
banyak, diantaranya nefropati diabetikum, nefrosklerosis hipertensi, glomerulonefritis,
penyakit ginjal polikistik, dan penyakit renovaskular. Pada pasien ini, hipertensi yang
dimiliki oleh pasien adalah etiologi yang paling memungkinkan terjadinya gagal ginjal.
Ditambah lagi dengan pasien yang mempunyai riwayat diabetes melitus sejak 4 tahun lalu.
Terapi farmakologi yang diberikan adalah lasix IV dan drip sebagai diuretik untuk
mengurangi volume cairan tubuh, amlodipin 10 mg sebagai ACEI untuk mencegah retensi
natrium dan cairan. Perlu dipasang folley catheter untuk memantau volume cairan yang
keluar tubuh. Nitrogliserin (NTG) intravena diberikan sebagai vasodilator sistemik dan
mengurangi preload, dan menurunkan tekanan darah, sehingga beban jantung serta ginjal
berkurang. Pemberian natrium bikarbonat (Bicnat) bertujuan untuk mengatasi asidosis (Ph <
7,1) dan hiperkalemia yang dialami oleh pasien.
Sebagai tatalaksana lebih lanjut, perlu dilakukan monitoring terhadap kadar gula darah dan
tekanan darah pasien. Selain itu, pasien dan keluarganya juga perlu diberikan edukasi
mengenai pentingnya melakukan hemodialisis sebagai terapi CKD.
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pasien wanita berusia 64 tahun, datang dengan keluhan sesak yang semakin memberat
sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit. Dari penilaian primer, ditemukan masalah
breathing, yaitu napas sesak dan cepat, serta sirkulasi berupa wajah pucat. Sebagai
tatalaksana awal, pasien diposisikan setengah duduk, diberikan oksigen 6 L/menit
menggunakan sungkup, dan dipasang infus RL 500 mL.
Berdasarkan anamnesis, ditemukan gejala sesak dan lemas mulai timbul 1 minggu
sebelum masuk rumah sakit. Saat itu pasien didiagnosis mengalami gagal ginjal, tapi
tidak bersedia menjalani hemodialisis. Sejak 1 hari sebelum masuk rumah sakit, gejala
sesak semakin memberat. Ortopnea (+), DOE (+), dan PND (+). Demam (-), mual (+),
hipertensi (+) tidak terkontrol, BAK sedikit. Dari pemeriksaan fisik, ditemukan
konjungtiva anemis, ronki kasar pada auskultasi paru, S3 gallop. Hasil pemeriksaan
laboratorium memperlihatkan penurunan kadar hemoglobin, hematokrit, peningkatan
ureum, kreatinin, kalium darah, gula darah sewaktu, dan hiponatrium. Analisis gas darah
menunjukkan pasien mengalami asidosis metabolik. Pemeriksaan EKG menunjukkan
adanya kardiomegali, akibat hipertrofi ventrikel kiri. Pemeriksaan foto toraks
mendukung dugaan kardiomegali dan ditemukan penebalan serta kongesti pada hilus
paru. Berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang, didapatkan
kesimpulan bahwa pasien memiliki masalah berupa edema paru akut akibat gagal ginjal
(CKD), gagal jantung kongestif (CHF), hiponatremia, dan hiperkalemia.
Sebagai terapi, diberikan lasix intravena, amlodipin 10 mg, NTG intavena dan natrium
bikarbonat. Pasien perlu dipantau kadar gula darah dan tekanan darahnya, serta cairan
keluar dengan folley catheter. Selanjutnya, pasien disarankan untuk melakukan
hemodialisis.