makalah psikiatri
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Siklotimik berasal dari 2 kata Yunani, yaitu kyklos yang berarti lingkaran dan
thymos yang berarti tenaga. Gangguan siklotimik adalah bentuk gejala ringan
gangguan bipolar II yang ditandai dengan episode hipomania dan depresi ringan.
Pada DSM-IV, disebutkan bahwa prevalensi gangguan distimik seumur hidup
adalah sekitar 0,4-1%. Sekitar 5-10% penderita diduga tidak terdiagnosis karena
keluhan gangguan siklotimik biasanya samar-samar dan tidak disadari penderita
sebagai sesuatu yang patologis.
Etiologi dan patofisiologi pasien dengan gangguan siklotimik berkaitan
dengan faktor biologis dan faktor psikososial yang belum dapat ditentukan secara
pasti karena gejala gangguan siklotimik yang berubah-ubah dari episode
hipomanik ke depresi yang seharusnya memiliki patosfisiologi yang berbeda.
Gejala pasien ganguan siklotimik meliputi instabilitas bifasik antara gejala
hipomanik dan depresi. Biasanya, episode depresi akan lebih mendominasi
dibandingkan hipomania pada gangguan siklotimik. Instabilitas ini biasanya
berkembang cepat pada kehidupan dewasa dan menjadi kronik walaupun dalam
beberapa waktu mood seseorang dapat kembali normal dan stabil.
Diagnosis gangguan siklotimik berdasarkan DSM-IV dapat ditentukan
degngan adanya sejumlah periode dengan gejala hipomanik dan sejumlah gejala
periode depresif yang tidak memenuhi kriteria gejala episode depresif berat
sekurang-kurangnya dalam waktu 2 tahun atau 1 tahun pada anak-anak atau
remaja, disabilitas minimal pada area fungsi kehidupan, dan tidak berkaitan
dengan gangguan zat maupun kondisi medis umum.
Penatalaksanaan gangguan distmik meliputi terapi medikamentosa dan
psikoterapi. Terapi medikamentosa meliputi terapi untuk episode hipomanik dan
terapi untuk episode depresif. Psikoterapi penting untuk mekanisme koping mood
swing karena pasien gangguan siklotimik membutuhkan terapi seumur hidup.
1
Pemahaman tentang gangguan siklotimik penting untuk diketahui
mengingat gangguan ini samar-samar dan jarang disadari oleh pasien. Selain itu,
patofisiologi dan penatalaksanaan gangguan siklotimik juga belum banyak
dipahami. Oleh karena itu, penulisan makalah ini bertujuan untuk menjelaskan
lebih dalam tentang gangguan siklotimik agar dapat diterapkan dalm praktisi
klinis sehari-hari.
1.2. Tujuan
1.2.1. Tujuan Umum
Tujuan umum dari penulisan makalah ini adalah untuk lebih mengerti dan
memahami tentang gangguan siklotimik dan untuk memenuhi persyaratan
dalam mengikuti kegiatan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Departemen
Ilmu Kedokteran Jiwa, Fakultas Kedokteran, Universitas Sumatera Utara.
1.2.2. Tujuan Khusus
Tujuan khusus dalam penulisan makalah ini adalah:
1. Mengetahui dan memahami definisi gangguan siklotimik
2. Mengetahui dan memahami epidemiologi gangguan siklotimik
3. Mengetahui dan memahami etiologi dan patofisiologi gangguan siklotimik
4. Mengetahui dan memahami gejala klinis gangguan siklotimik
5. Mengetahui dan memahami penegakan diagnosis gangguan siklotimik
6. Mengetahui dan memahami diagnosis banding gangguan siklotimik
7. Mengetahui dan memahami penatalaksanaan gangguan siklotimik
8. Mengetahui dan memahami prognosis gangguan siklotimik
1.3. Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada penulis dan pembaca
khususnya yang terlibat dalam bidang medis dan masyarakat secara umumnya
agar dapat lebih mengetahui dan memahami lebih dalam mengenai gangguan
siklotimik.
2
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Definisi Gangguan Siklotimik
Siklotimik berasal dari 2 kata Yunani, yaitu kyklos yang berarti lingkaran dan
thymos yang berarti tenaga.1 Gangguan siklotimik adalah bentuk gejala ringan
gangguan bipolar II yang ditandai dengan episode hipomania dan depresi ringan.2
Kraepelin mendeskripsikan siklotimik sebagai salah satu substrat konstitusi dari
penyakit manik-depresi. Krestchmer menegaskan bahwa konstitusi ini mewakili
karakteristik inti dari penyakit di mana sebagian berosilasi pada episode manik
dan sebagian pada episode depresif. Schneider berdependapat lain dengan
mengelompokkan siklotimik sebagai suatu psikopat labil yang memiliki mood
yang berubah-ubah secara konstan dan biasanya menyimpang ke mood disforik.3
2.2. Epidemiologi Gangguan Siklotimik
Pada DSM-IV, disebutkan bahwa prevalensi gangguan distimik seumur hidup
adalah sekitar 0,4-1%.4 Penelitian Merikangas, et al. (2007) pada 9282
penduduk di Amerika Serikat yang tinjau selama 1 tahun menunjukkan 2.4%
prevalensi gangguan siklotimik.5 Sekitar 5-10% penderita diduga tidak
terdiagnosis karena keluhan gangguan siklotimik biasanya samar-samar dan
tidak disadari penderita sebagai sesuatu yang patologis. Mayoritas yaitu 50-
70% penderita memiliki onset pada usia 15-25 tahun dengan proporsi
wanita:pria=3:2.6
Gangguan siklotimik banyak timbul pada pasien dengan gangguan
kepribadian ambang. Sekitar 10% pasien rawat jalan dan 20% pasien rawat
inap dengan gangguan kepribadian ambang juga memiliki diagnosis gangguan
siklotimik. Keluarga orang-orang dengan gangguan siklotimik sering memiliki
anggota keluarga dengan gangguan terkait zat.2
3
2.3. Etiologi dan Patofisiologi Gangguan Siklotimik
1. Faktor biologis
a. Faktor genetik
Sekitar 30% pasien dengan ganguan siklotimik memiliki riwayat keluarga dengan
gangguan bipolar.2 Faktor genetik ditemukan berkaitan dengan kromosom 4p16-
p13, 4q21-q35, 6q16-q24, 8q24, 12q21-q24, 13q12-q14, 16p13-p12, dan18q21-
q23.7,8
b. Faktor neuroendokrin
- Gangguan neurotransmitter
Peran sinyal monoamin, serotonin, norepinefrin, dopamin, dan
neuroransmiter lain belum dapat disimpulkan secara pasti karena masih dalam
perdebatan. Pada penelitian ditemukan peningkatan aktivitas protein Gstimulatori,
cAMP, dan fosfatidil-inositol-2 pada lobus frontalis, temporalis, dan oksipitalis.9,10
- Gangguan pada struktur anatomi otak
Pada tahun 1880-1990, emosi diyakini berasal dari bagian subkorteks yang
berada di bawah kontrol korteks. Pada tahun 1928, Bard menemukan hipotalamus,
suatu struktur anatomi pada subkorteks secara spesifik. Stimulus eksternal akan
diterima oleh talamus ke korteks primer dan asosiasi kemudian sinyal diteruskan
ke jalur mediodorsal yaitu bagian hipokampus. Sinyal dari hipokampus dan
korteks sebagian diproses di amigdala dan terbentuklah mood. Ekspresi emosi
kemudian diungkapkan keluar oleh integrasi impuls sinyal dari sistem limbik,
amygdala, dan hipotalamus.11 Lesi yang menginduksi mania biasanya terdapat
pada lobus fronto-temporalis, nukleus kaudatus, dan talamus. Lesi yang
menginduksi depresi biasanya terdapat pada lobus frontalis kiri.12
Pada penelitian Adler, et al. (2004), ditemukan bahwa lesi hiperdens yang
terdapat pada penderita gangguan bipolar tersebar terutama pada lobus
frontotemporalis. Pada perhitungan radiologis, terdapat anisotropi fraksional yang
menandakan oligodendrosit kehilangan mielinnya. Hal ini berarti terjadi
neurodegenerasi dan lesi pada interneuron pada struktur anatomi otak yang
berperan dalam timbulnya dan ekspresi emosi.13 Pada beberapa penelitian,
penderita bipolar ditemukan memiliki ventrikel yang lebih besar dibandingkan
4
kontrol yang menandakan adanya proses neurodegenerasi atau gangguan pada
perkembangan sirkuit neural.10 Pada penelitian Houenou, et al. (2011), secara jelas
ditemukan aliran darah ke regio limbik ventral otak lebih besar pada penderita
gangguan perubahan mood yang menandakan aktivasi daerah otak yang mengatur
emosi.14
- Gangguan Hypothalamic Pituitary Axis (HPA)
Pada beberapa teori dan studi dijelaskan bahwa pada pasien depresi terjadi
hipersekresi corticotrophin releasing hormone (CRH) yang akan meningkatkan
ACTH kemudian kortisol dari adrenal. Keadaan hipomania atau mania kemudian
timbul saat terjadi mekanisme negative feedback dari regulasi hormon tersebut.15
c. Faktor irama sirkardian
Faktor irama sirkardian terdapat pada teori social zeitgeber yang
menghipotesiskan bahwa keadaan hipomania-depresi timbul karena gangguan
ritme sosial, lingkungan, atau irregularitas ritme sirkardian. Terjadinya sedikit saja
perubahan misalnya pada hubungan sosial, jam tidur, keadaan lingkungan, kondisi
gangguan siklotimik dapat terjadi.16
2. Faktor psikososial
a. Teori psikodinamik
Sebagian teori psikodinamik menghipotesiskan bahwa timbulnya gangguan
siklotimik terletak pada trauma dan fiksasi selama fase oral perkembangan
bayi. Freud menghipotesiskan bahwa keadaaan siklotimik adalah upaya ego
dalam menghadapi superego yang kasar dan bersifat menghukum. Tema dalam
teori psikodinamik berupa introjeksi akibat kehilangan interpersonal yang
mendalam sehingga menimbulkan dominasi superego rasa bersalah yang
mencetuskan episode depresi. Hal ini terjadi karena kegagalan personal untuk
melakukan koping terhadap terminasi hubungan interpesonal.2,17
Setelah beberapa waktu, ego memantul menjadi episode hipomanik
sebagai mekanisme defensif utama berupa penyangkalan setiap agresi akibat
masalah eksternal dan perasaan depresi internal. Eksplorasi psikoanalitik
menurut Klein mengungkap bahwa pasien tersebut mempertahankan diri
mereka melawan tema depresif yang mendasari dengan periode euforik atau
5
hipomanik. Hipomania dijelaskan secara psikodinamik sebagai kurangnya
kritisisme diri dan tidak adanya inhibisi yang terjadi ketika seseorang dengan
depresi membuang beban dari supergo yang terlalu kasar. Hipomania juga
dapat disertai dengan khalayan di alam bawah sadar bahwa objek yang hilang
telah dikembalikan. Penyangkalan ini umumnya hanya bertahan sebentar dan
pasien segera melanjutkan preokupasi dengan ciri penderitaan dan
kesengsaraan gangguan distimik.1,17,18
b. Teori humanistik
Teori humanistik, hampir sama dengan teori psikodinamik, di mana teori ini lebih
menekankan pada kegagalan seseorang untuk menerima ketidaksuksesan dalam
pendidikan, karir, maupun hubungan sosial.18
c. Teori belajar
Pada teori belajar, dihipotesiskan adanya ketidakmampuan seseorang untuk
melakukan suatu usaha positif agar ia keluar dari masalah yang ia hadapi. Selain
itu, teori ini juga menghipotesiskan adanya interaksi sosial resiprokal yang tidak
mendukung seseorang atau malah menyalahkannya atas hal yang terjadi.18
2.4. Gejala Klinis Gangguan Siklotimik
Gejala pasien ganguan siklotimik meliputi instabilitas bifasik antara gejala
hipomanik dan depresi. Biasanya, episode depresi akan lebih mendominasi
dibandingkan hipomania pada gangguan siklotimik.3 Instabilitas ini biasanya
berkembang cepat pada kehidupan dewasa dan menjadi kronik walaupun dalam
beberapa waktu mood seseorang dapat kembali normal dan stabil. Diagnosisnya
sulit untuk ditegakkan tanpa periode observasi yang panjang dan bila tidak
mengetahui kebiasan pasien sebelumnya.19 Berikut adalah karakteristik bifasik
gangguan siklotimik menurut Akiskal, et al.18
6
Episode hipomanik ditandai dengan tiga atau lebih gejala seperti harga diri
yang membumbung, berkurangnya kebutuhan tidur, lebih banyak berbicara, flight
of ideas, perhatian mudah teralih, meningkatnya intensitas, dan potensi aktivitas.
Episode ini berlangung setidaknya 4 hari, menyebabkan gangguan fungsi yang
tidak khas dan tidak seberat episode mania. Episode depresif pada gangguan
siklotimik tidak memenuhi semua kriteria episode depresif berat. Episode depresif
berat ditandai dengan lima atau lebih gejala rasa sedih, menurunnya minat atau
kesenangan yang nyata, penurunan berat badan yang bermakna, gangguan tidur,
agitasi atau retardasi psikomotor, mudah lelah atau hilangnya energi, sulit
berkonsentrasi, dan pikiran ingin bunuh diri. Episode depresif berat terjadi
minimal 2 minggu dan menyebabkan gangguan hendaya fungsi sosial, pekerjaan,
atau are fungsi lainnya.2,4
Pasien gangguan siklotimik cenderung memiliki mood yang labil atau
irritabel sehingga mereka sering merasa diujung tanduk, mudah lelah, dan tak
tentu arah. Hubungan interpersonal yang kurang baik sehingga penderita biasanya
berganti-ganti pasangan. Pada lingkungan pekerjaan, pasien dengan gangguan
siklotimik cenderung sulit berkonsentrasi sehingga kurang berhasil dalam
profesinya. Perasaan yang tidak menyenangkan membuat pasien cenderung
terjerumus ke dalam penyalahgunaan zat yang malah akan menjadi komorbiditas
untuk gangguan mood.3
2.5. Diagnosis Gangguan Siklotimik
Diagnosis gangguan siklotimik dapat ditegakkan melalui kriteria yang telah
disepakati dalam DSM-IV (2000), DSM-V (2011-sekarang), ICD-10, maupun
PPDGJ III. Menurut DSM-IV, kriteria diagnostik untuk gangguan siklotimik
harus memenuhi poin-poin berikut:4
A. Terdapat sejumlah periode dengan gejala hipomanik dan sejumlah gejala
periode depresif yang tidak memenuhi kriteria gejala episode depresif
berat sekurang-kurangnya dalam waktu 2 tahun.
Catatan: Pada anak dan remaja, lamanya harus paling sedikit dalam waktu
1 tahun.
7
B. Dalam kurun waktu 2 tahun tersebut (1 tahun pada anak dan remaja),
pasien tidak pernah bebas atau tanpa gejala dalam Kriteria A selama lebih
dari 2 bulan.
C. Tidak ada episode depresif berat, episode manik, atau episode campuran
selama 2 tahun gangguan.
Catatan: Setelah dua tahun pertama (1 tahun pada anak dan remaja)
gangguan siklotimik, mungkin terdapat episode manik atau episode
campuran yang tumpang tindih pada gangguan siklotimik sehingga pada
kasus tersebut baik gangguan bipolar I maupun gangguan siklotimik dapat
didiagnosis. Hal yang sama terjadi bila terdapat episode depresif mayor
yang tumpang tindih dengan gangguan siklotimik, baik gangguan
siklotimik maupun gangguan bipolar II dapat didiagnosis.
D. Gejala pada Kriteria A sebaiknya tidak dimasukkan ke dalam gangguan
skizoafektif dan tidak tumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan
skizofreniform, gangguan waham, atau gangguan psikotik yang tidak
tergolongkan.
E. Gejala tidak disebabkan oleh pengaruh fisiologis langsung zat (misalnya
penyalahgunaan obat, pengobatan) atau kondisi medis umum (misalnya
hipertiroid).
F. Gejala menyebabkan penderitaan yang secara klinis bermakna atau
hendaya fungsi sosial, pekerjaan, atau area fungsi lainnya. Pasien akan
menjadi tempramental, moody, tidak dapat ditebak, tidak konsisten, dan
tidak reliabel.
Pada bulan Januari 2011, American Psychiatric Association menerbitkan
rencana revisi DSM pada website DSM-V. Kriteria diagnosis gangguan siklotimik
antara DSM-IV dan DSM-V tetap sama, hanya terjadi sedikit perbedaan
perbendaharaan kata-kata dengan makna yang tetap sama. Pada Kriteria C pada
DSM-IV masih terdapat diagnosis “episode campuran” sedangkan diagnosis ini
telah direncanakan dieliminasi pada DSM-V.20
Perbedaan yang mendasar terdapat pada klasifikasi dan kode diagnosis.
Pada DSM-IV, gangguan siklotimik dimasukkan ke dalam canbang langsung dari
8
klasifikasi gangguan mood (317) dengan kode diagnosis 301.13. Pada rencana
revisi DSM-V, tidak ada lagi klasifikasi gangguan mood karena komponen dalam
klasifikasi gangguan mood telah dipecah menjadi suatu klasifikasi besar yaitu
gangguan bipolar dan gangguan terkait serta gangguan depresif. Gangguan
siklotimik dimasukkan dalam klasifikasi gangguan bipolar dan gangguan terkait
dengan kode diagnosis C 02. Pada rencana revisi DSM-V, harus ditentukan arah
spesifikasi gangguan siklotimik, apakah dengan gambaran campuran, siklus cepat,
ansietas ringan sampai berat, keparahan risiko bunuh diri, pola musiman, atau
onset postpartum.4,19
Menurut ICD-10, gangguan siklotimik termasuk pada klasifikasi F30-39
gangguan mood (afektif) dengan cabang F34 gangguan mood (afektif) persisten
tepatnya pada kode diagnosis F34.0 siklotimik. Syarat diagnosis ICD-10 dan
PPDGJ-III adalah sebagai berikut:
- Ciri esensial adalah ketidakstabilan menetap dari afek (suasana perasaan),
meliputi banyak periode depresi ringan dan hipomania ringan, diantaranya
tidak ada yang cukup parah atau cukup lama untuk memenuhi kriteria
gangguan afektif bipolar atau gangguan depresif berulang.
- Setiap episode alunan afektif (mood swing) tidak memenuhi kriteria untuk
kategori manapun yang disebut dalam episode manik atau episode
depresif.
2.6. Diagnosis Banding Gangguan Siklotimik2
1. Gangguan bipolar II
Siklotimia harus dibedakan dari gangguan bipolar II atas gejalanya yang lebih
ringan. Selain itu, gangguan fungsi pada gangguan siklotimik tidak seberat yang
diderita penderita gangguan bipolar II.
2. Gangguan mood akibat kondisi medis umum atau terkait zat
Diagnosis dari gangguan siklotimik haruslah tidak disebabkan oleh kondisi medis
umum maupun penggunaan zat.
3. Gangguan kepribadian ambang, antisosial, dan narsistik
9
2.7. Penatalaksanaan Gangguan Siklotimik
Penatalaksanaan gangguan siklotimik meliputi terapi medikamentosa dan
psikoterapi. Terapi medikamentosa gangguan siklotimik sesuai dengan terapi
yang diberikan pada gangguan bipolar II. Terapi ditujukan saat bangkitan episode
hipomanik dan depresi. Terapi medikamentosa untuk hipomania berupa:22
1. Terapi lini 1: lithium, divalproate, dan antipsikosis atipikal seperti
risperidon, olanzapine, quetiapine (dapat dikombinasikan baik dengan
litium maupun divalproat).
2. Terapi lini 2: carbamazepin, lithium+divalproate, dan ECT.
3. Terapi lini 3: haloperidol, chlorpromazine, clozapine, dan
lithium+carbamazepine.
Pengaturan dosis dimulai dari dosis anjuran, dinaikkan setiap 3-5 hari sampai
mencapai dosis optimal, kemudian dosis dipertahankan 2-3 minggu, diturunkan
1/8 kali setiap 2-4 minggu sampai mencapai dosis maintenance minimal, dan
pertahankan sampai 4-8 minggu sebelum ditappering-off.
Terapi medikamentosa episode depresif dapat dilakukan dengan:
1. Terapi lini 1: quetiapine
2. Terapi lini 2: lithium, lamotrigin, divalproate, lithium atau
divalproate+antidepresan, lithium+divalproate, antipsikotika
atipik+antidepresan.
3. Terapi lini 3: monoterapi antidepresan
Prinsip terapi yaitu penggantian obat lini 2 bila obat lini 1 tidak berespon dan
obat lini 3 bila obat lini 2 tidak berespon. Pengaturan dosis dimulai dari dosis
anjuran, dinaikkan setiap 2-3 hari sampai mencapai dosis optimal, kemudian
dosis dipertahankan 2-3 bulan, diturunkan perlahan selama 3-6 bulan sampai
mencapai dosis maintenance minimal, dan kemudian ditappering-off dalam kurun
waktu 1 bulan.
Psikoterapi untuk gangguan siklotimik dapat berupa:2
1. Terapi kognitif (Cognitive Behavioral Therapy) dengan megembangkan
cara berpikir alternatid, fleksibel, dan positif serta melatih kembali
respon kognitif dan pikiran yang baru.
10
2. Terapi interpersonal dengan pasien belajar berfungsi di dunia dengan
cara tertentu di mana mereka mendapat dorongan positif dari
lingkungan untuk mengatasi perilaku maladaptif.
3. Terapi berorientasi psikoanalitik.
4. Terapi keluarga.
2.1. Algoritma Terapi Gangguan Siklotimik dan Gangguan Bipolar menurut
PDSKJI
2.8. Prognosis Gangguan Siklotimik
Sekitar 3-5% pasien rawat jalan dengan keluhan bermakna mengenai gangguan
dalam fungsi sosial.2 Pasien dengan mood swing membutuhkan terapi seumur
hidup. Mayoritas, yaitu sekitar 15-50% pasien dengan gangguan siklotimik akan
berkembang menjadi gangguan bipolar I maupun II. Penyalangunaan zat sering
menjadi pelampiasan pasien dengan gangguan siklotimik dengan tujuan
mengobati mood.2,24
11
BAB 3
METODE PENULISAN
3.1. Sumber dan Jenis Data
Data-data yang dipergunakan dalam makalah ini bersumber dari berbagai
referensi atau literatur yang relevan dengan topik permasalahan yang dibahas.
Jenis data yang diperoleh berupa data sekunder yang bersifat kualitatif maupun
kuantitatif.
3.2. Pengumpulan Data
Penulisan makalah ini menggunakan metode studi pustaka yang dilakukan dengan
mengumpulkan data-data dari berbagai sumber seperti buku ilmiah, tesis, jurnal
ilmiah, majalah dan artikel ilmiah, serta data dari internet. Data-data tersebut
dikaji dan dipilih berdasarkan teknik critical apraisal yakni validitas, hasil, dan
relevansinya dengan kajian tulisan serta mendukung uraian atau analisis
pembahasan.
3.3. Analisis Data
Data-data yang telah dikumpulkan kemudian diolah secara sistematis, mulai dari
latar belakang hingga analisis dan sintesis. Teknik analisa data yang dipilih adalah
analisis deskriptif argumentatif dengan tulisan yang bersifat deskriptif,
menggambarkan tentang gangguan siklotimik.
3.4. Penarikan Simpulan
Setelah proses analisis data, dilakukan proses sintesis dengan menghimpun dan
menghubungkan rumusan masalah, tujuan penelitian, landasan teori yang relevan
serta pembahasannya. Selanjutnya ditarik kesimpulan yang bersifat umum
kemudian direkomendasikan beberapa hal sebagai upaya transfer gagasan.
12
BAB 4
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1. Kesimpulan
1. Gangguan siklotimik adalah bentuk gejala ringan gangguan bipolar II yang
ditandai dengan episode hipomania dan depresi ringan.
2. Prevalensi gangguan distimik seumur hidup adalah sekitar 0,4-1%. Sekitar
5-10% penderita diduga tidak terdiagnosis karena keluhan gangguan
siklotimik biasanya samar-samar dan tidak disadari penderita sebagai
sesuatu yang patologis. Mayoritas yaitu 50-70% penderita memiliki onset
pada usia 15-25 tahun dengan proporsi wanita:pria=3:2.
3. Etiologi dan patofisiologi pasien dengan gangguan siklotimik berkaitan
dengan faktor biologis dan faktor psikososial. Faktor biologis meliputi
faktor genetik, faktor neuroendokrin, dan faktor irama sirkardian. Faktor
psikososial meliputi teori psikodinamik, teori humanistik, dan teori
belajar.
4. Gejala pasien ganguan siklotimik meliputi instabilitas bifasik antara gejala
hipomanik dan depresi. Biasanya, episode depresi akan lebih mendominasi
dibandingkan hipomania pada gangguan siklotimik.3 Instabilitas ini
biasanya berkembang cepat pada kehidupan dewasa dan menjadi kronik
walaupun dalam beberapa waktu mood seseorang dapat kembali normal
dan stabil.
5. Diagnosis gangguan siklotimik berdasarkan DSM-IV dapat ditentukan
degngan adanya sejumlah periode dengan gejala hipomanik dan sejumlah
gejala periode depresif yang tidak memenuhi kriteria gejala episode
depresif berat sekurang-kurangnya dalam waktu 2 tahun atau 1 tahun pada
anak-anak atau remaja, disabilitas minimal pada area fungsi kehidupan,
dan tidak berkaitan dengan gangguan zat maupun kondisi medis umum.
6. Diagnosis banding gangguan siklotimik yaitu gangguan bipolar II,
gangguan mood akibat kondisi medis umum atau terkait zat, dan gangguan
kepribadian ambang, antisosial, dan narsistik.
13
7. Penatalaksanaan gangguan distmik meliputi terapi medikamentosa dan
psikoterapi. Terapi medikamentosa meliputi terapi untuk episode
hipomanik dan terapi untuk episode depresif. Psikoterapi meliputi terapi
kognitif, terapi interpersonal, terapi berorientasi psikoanalitik, dan terapi
keluarga.
8. Prognosis gangguan siklotimik tidak terlalu baik karena butuh pengobatan
seumur hidup. Mayoritas, yaitu sekitar 15-50% pasien dengan gangguan
siklotimik akan berkembang menjadi gangguan bipolar I maupun II.
Sekitar 3-5% pasien rawat jalan dengan keluhan bermakna mengenai
gangguan dalam fungsi sosial
4.2. Saran
Perlu diadakan penelitian lebih lanjut terutama mengenai gangguan siklotimik
khususnya mengenai patogenesis, patofisiologi gangguan siklotimik agar dapat
ditemukan suatu terapi eradikator untuk gangguan siklotimik. Minimnya
penelitian yang mengkaji tentang gangguan siklotimik membiarkan penyakit ini
tetap menjadi suatu penyakit menyiksa yang harus dialami penderitanya seumur
hidup. Hendaknya para peneliti dan kalangan akademis lebih menaruh perhatian
pada gangguan siklotimik agar morbiditas penyakit ini dapat teratasi.
14
DAFTAR PUSTAKA
1. Understanding
2. Kaplan
3. Oxford
4. Dsm-iv
5. merikangas
6. Current psychiatry (2004
7. Thesis genetic of bipolar disorder
8. The medical basis of psychiatry
9. signalling
10. Neuropathological and neurochemical abnormalities in bipolar disorder Benício
Noronha Frey,a,b Manoela M Rodrigues da Fonseca,a,c rodrigo Machado-Vieira,a,d
Jair C Soarese and Flávio Kapczinskia,c,f
11. dopamine
12. neurolobiology
13. adler. Adler CM, Holland SK, Schmithorst V, Wilke M, Weiss KL, Pan H, et al.
Abnormal frontal white matter tracts in bipolar disorder: a diffusion tensor imaging
study. Bipolar Disord. Jun 2004;6(3):197-203.[Medline].
14. Houenou J, Frommberger J, Carde S, et al. Neuroimaging-based markers of
bipolar disorder: Evidence from two meta-analyses. J Affect Disord. Aug
2011;132(3):344-55. [Medline].
15. essential of psychiatry
16. life cycle
17. understanding
18. dysthimia and cyclothymia
19. icd-10
20. dsm-v
21. ppdgj-iii
22. http://www.pdskji.org/wp-content/uploads/file/2010%20Pedoman
%20Tatalaksana%20GB%20PDSKJI.pdf
23. rusli maslim
15
23. Shen, Alloy, Abramson, & Grandin, 2008). Bipolar illness in primary
care: an overview. Lippincotts Prim Care Pract. 2000 Mar-Apr;4(2):163-73.
16