makalah ppok print

Upload: edward-elric

Post on 19-Oct-2015

19 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

read

TRANSCRIPT

PENYAKIT PARU OBSTRUKTIF KRONIK1. Definisi PPOKPenyakit Paru Obstruktif Kronik (PPOK) adalah penyakit paru kronik yang ditandai oleh hambatan aliran udara di saluran napas yang bersifat progressif nonreversibel atau reversibel parsial. (PDPI, 2003). Global Initiative for Chronic Obstructive Lung Disease (GOLD) dalam Global Strategy for the Diagnosis, Management, and Prevention of Chronic Obstructive Pulmonary Disease (2010) mendefinisikan PPOK sebagai penyakit yang dapat dicegah dan diobati dengan beberapa efek ekstra pulmonal yang memberi kontribusi pada keparahan penyakit. Komponen paru ditandai oleh hambatan aliran udara yang tidak reversibel sepenuhnya. Hambatan aliran udara biasanya progresif dan berhubungan dengan respon inflamasi abnormal paru terhadap berbagai partikel noksius atau gas. Karakteristik hambatan aliran udara dari PPOK disebabkan oleh gabungan penyakit saluran napas kecil (bronkhiolitis obstruktif) dan kerusakan parenkim paru (emfisema). PPOK adalah penyakit progresif yang tiap individu memiliki manifestasi yang berbeda bergantung pada beratnya gejala, efek sistemik, dan faktor komorbid pasien (GOLD 2010).2. Epidemiologi PPOKPPOK merupakan masalah kesehatan dunia. Diperkirakan sekitar 600 juta penduduk dunia menderita penyakit ini. PPOK merupakan penyebab kematian nomor empat, tetapi diperkirakan akan menjadi nomor tiga pada tahun 2020. Prevalensi PPOK lebih tinggi di negara berkembang (Putri et.al 2010).The Asia Pacific CPOD Roundtable Group memperkirakan jumlah penderita PPOK sedang hingga berat di negara-negara Asia Pasifik mencapai 56,6 juta penderita dengan angka prevalensi 6,3 persen. Angka prevalensi bagi masing-masing negara berkisar 3,5-6,7%, antara lain China dengan angka kasus mencapai 38,160 juta jiwa, Jepang (5,014 juta orang), dan Vietnam (2,068 penderita). Prevalensi terendah sebesar 3,5% diduduki Hongkong dan Singapura sedangkan prevalensi terbesar diduduki Vietnam (GOLD 2010). Sementara itu, di Indonesia diperkirakan terdapat 4,8 juta penderita dengan prevalensi 5,6 persen. Kejadian meningkat dengan makin banyaknya jumlah perokok, 90% penderita COPD adalah perokok atau bekas perokok.3. Faktor Risiko PPOKFaktor risiko pada kejadian PPOK diantaranya adalah genetik, paparan partikel (asap rokok, occupational dust, polusi udara indoor dan outdoor), pertumbuhan dan perkembangan paru, stress oksidatif, jenis kelamin, usia, infeksi saluran napas, infeksi TB sebelumnya, status sosioekonomi, nutrisi, dan komorbid (GOLD 2010). Menurut Mansjoer pada tahun 1999 pada buku Kapita Selekta Kedokteran, faktor risiko PPOK, antara lain: 1. Kebiasaan merokokMenurut buku Report Of The WHO Expert Comitte On Smoking Control, rokok adalah penyebab utama timbulnya COPD. Faktor risiko ini banyak dijumpai di Indonesia dan faktor terpenting adalah paparan partikel terutama asap rokok. Penderita dengan kebiasaan merokok memiliki morbiiditas dan mortalitas yang lebih besar dibandingkan ppenderita yang bukan perokok (GOLD 2010). Secara pisiologis rokok berhubungan langsung dengan hiperflasia kelenjar mukous bronkus dan metaplasia skuamulus epitel saluran pernapasan. Juga dapat menyebabkan bronkokonstriksi akut. Menurut Crofton & Doouglas merokok menimbulkan pula inhibisi aktivitas sel rambut getar, makrofage alveolar dan surfaktan.Dalam pencatatan riwayat merokok perlu diperhatikan bagaimana riwayat merokok penderita, sebagai perokok aktif, perokok pasif, ataukah bekas perokok. Derajat berat merokok dapat dinilai dengan Indeks Brinkman (IB), yaitu perkalian jumlah rata-rata batang rokok yang dihisap sehari dikalikan lama merokok dalam tahun. Derajat ringan bila IB 0-200, sedang IB 200-600, dan berat IB > 600 (PDPI 2003).2. Polusi udaraPolusi zat-zat kimia yang dapat juga menyebabkan brokhitis adalah zat pereduksi seperti O2, zat-zat pengoksidasi seperti N2O, hydrocarbon, aldehid dan ozon.a. Polusi di dalam ruangan : - asap rokok

- asap kompor

b. Polusi di luar ruangan :- Gas buang kendaranan bermotor

- Debu jalanan

c. Polusi tempat kerja ( bahan kimia, zat iritasi, gas beracun)

3. Riwayat infeksi saluran nafas.Faktor ini umumnya berulang. Infeksi saluran pernapasan bagian atas pada seorang penderita bronchitis koronis hampir selalu menyebabkan infeksi paru bagian bawah, serta menyebabkan kerusakan paru bertambah. Ekserbasi bronchitis koronis disangka paling sering diawali dengan infeksi virus, yang kemudaian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.4. Bersifat genetik yaitu defisiensi antitripsin alfa-1.Faktor genetik yang berperan yaitu defisiensi antitripsin alfa-1 (PDPI 2003, GOLD 2010). Defisiensi antitripsin alfa-1 banyak dijumpai di daerah Eropa Utara. Di Indonesia faktor ini jarang dijumpai. 4. Klasifikasi PPOKKlasifikasi dari PPOK didasarkan pada pemeriksaan gold standard PPOK yaitu faal respirasi dengan spirometri. Stadium I (PPOK ringan) dengan FEV1/FVC < 0,7, FEV1 > 80% prediksi dapat disertai gejala batuk kronis dan produksi sputum. Pada stadium ini, penderita biasanya tidak merasa jika fungsi parunya abnormal.

Stadium II (PPOK sedang) dengan FEV1/FVC < 0,7, 50 % < FEV1 < 80% prediksi dapat disertai sesak, batuk, dan produksi sputum. Pada stadium ini penderita akan mulai mencari sarana kesehatan.

Stadium III (PPOK berat) dengan FEV1/FVC < 0,7, 30 % < FEV1 < 50% prediksi dappat disertai sesak yang memberat, menurunnya kapasitas aktivitas fisik, lelah, dan eksaserbasi berulang yang hampir selalu berdampak pada kualitas hidup penderita.

Sadium IV (PPOK sangat berat) dengan FEV1/FVC < 0,7, FEV1 < 30% prediksi atau FEV1 < 50% prediksi dengan gagal napas kronik. Gagal napas kronik ialah jika PaO2 < 60 dengan atau tanpa PaCO2 > 50 atau didapatkan sindroma corpulmonal. Pada stadium ini eksaserbasi dapat mengancam jiwa (GOLD 2006, Maranatha 2010).

5. Patologi, Patogenesis, dan PatofisiologiPerubahan-perubahan patologi yang khas untuk PPOK dijumpai di saluran napas proksimal, saluran napas perifer, parenkim paru, dan vaskuler paru. Perubahan tersebut berupa inflamasi kronik dan perubahan struktural akibat injuri berulang dan perbaikannya (GOLD 2010, Maranatha 2010).

Saluran napas proksimal yang terdiri dari trakhea dan bronkhus dengan diameter internal > 2 mm menunjukkan sel-sel radang yang meningkat yaitu makrofag, limfosit T CD8+, serta sedikit neutrofil atau eosinofil. Perubahan struktural yang ditemukan adalah peningkatan sel goblet, pembesaran kelenjar submukosa, serta metaplasi epitel skuamus.

Pada saluran napas perifer (bronkhioli dengan diameter internal < 2 mm) menunjukkan sel radang berupa makrofag yang meningkat, limfosit T CD8+ > CD4+, limfosit B meningkat, fibroblas meningkat, serta sedikit meutrofil atau eosinofil. Perubahan struktural yang terjadi adalah penebalan dinding saluran napas, fibrosis peribronkhial, inflamasi eksudat pada lumen saluran napas, dan penyempitan saluran napas.Patologi pada parenkim paru (bronkhioli respirasi dan alveoli) ialah sel radang yang meningkat berupa makrofag dan limfosit T CD8+. Perubahan struktural yang terjadi adalah destruksi dinding alveoli serta apoptosis dari sel epitel dan endotel. Pada emfisema sentrilobuler dilatasi dan destruksi bronkhioli respirasi banyak dijumpai pada perokok. Sedangkan emfisema panasiner menunjukkan destruksi sakus alveoli serta bronkhioli respirasi. Jenis ini sering dijumpai pada defisiensi antitripsin alfa-1.

Pada vaskular paru, sel radang yang dijumpai adalah peningkatan makrofag dan limfosit T. Perubahan struktural yang terjadi adalah penebalan tunika intima, disfungsi sel endotel, dan meningkatnya otot polos yang menyebabkan hipertensi pulmonal (GOLD 2010, Maranatha 2010).

Patogenesis PPOK melibatkan respon inflamasi dari inhalasi kronik zat iritan seperti asap rokok. Faktor yang berpengaruh dalam respon inflamasi tersebut adalah sel radang, mediator inflamasi, stress oksidatif, serta ketidakseimbangan protease-antiprotease (GOLD 2010).

Gambar 1. Konsep Patogenesis PPOK (PDPI 2003)Patofisiologi pada PPOK yaitu hambatan aliran udara dan air trapping, pertukaran gas yang abnormal, hipersekresi mukus, hipertensi pulmonum, dan kondisi sistemik lain seperti penurunan massa otot, osteopororsis, depresi, anemia normokromik-normositik, dan peningkatan risiko penyakit kardiovaskular (GOLD 2010).6. DiagnosisGejala dan tanda PPOK sangat bervariasi, mulai dari tanpa gejala, gejala ringan hingga berat. Pada pemeriksaan fisik tidak ditemukan kelainan jelas. Diagnosis PPOK ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang. Gold standard diagnosis PPOK adalah menggunakan tes faal respirasi dengan spirometri.a. AnamnesisPada anamnesis penderita PPOK ditemukan beberapa gejala yang dikeluhkan diantaranya sesak, batuk kronis, produksi sputum, serta perlu digali adanya faktor risiko yang berkaitan dengan PPOK terutama paparan asap rokok (PDPI 2003, GOLD 2010).

b. Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan fisik PPOK dini umumnya tidak ditemukan kelainan. Pada inspeksi didapatkan pursed-lips breathing, sianosis sentral, barrel chest, peningkatan frekuensi napas, penggunaan otot bantu napas, hipertropi otot bantu napas, pelebaran sela iga, diafragma mendatar, dan bila telah terjadi gagal jantung kanan terlihat denyut vena jugularis di leher dan edema tungkai (PDPI 2003 GOLD 2010).

Pursed-lips breathing adalah sikap seseorang yang bernapas dengan mulut mencucu dan ekspirasi yang memanjang. Sikap ini terjadi sebagai mekanisme tubuh untuk mengeluarkan retensi CO2 yang terjadi pada gagal napas kronik. Barrel chest adalah di mana diameter antero-posterior dan transversal dari dada sebanding. Pada palpasi PPOK didapatkan fremitus vokal melemah dan sela iga melebar. Perkusi PPOK dapat hipersonor dengan batas jantung mengecil, letak diafragma rendah, dan hepar terdorong ke bawah (PDPI 2003).Pada auskultasi ditemukan suara napas vesikuler normal atau melemah serta didapatkan suara napas tambahan ronkhi dan atau wheezing pada waktu bernapas biasa atau pada ekspirasi paksa. Ekspirasi memanjang dan bunyi jantung terdengar jauh (PDPI 2003).c. Pemeriksaan Penunjang

i. Pemeriksaan Faal ParuPemeriksaan penunjang yang merupakan gold standard pada PPOK adalah pemeriksaan faal paru dengan menggunakan spirometri. Pemeriksaan yang menjadi parameter obstruksi ialah nilai Forced Expiratory Volume dalam 1 detik (FEV1) dibanding Forced Vital Capacity (FVC) yaitu < 0,7. VEP1 sendiri merupakan parameter yang paling umum dipakai untuk menilai beratnya PPOK dan memantau perjalanan penyakit (PDPI 2003).Uji bronkhodilator dapat juga dilakukan dengan menggunakan spirometri. Setelah pemberian bronkhodilator dilakukan inhalasi sebanyak delapan hisapan, 15-20 menit kemudian dilihat perubahan nilai FEV1 atau FVC, perubahan FEV1 < 20% dari nilai awal dan < 200 ml didapatkan pada PPOK. Uji bronkhodilator dilakukan pada PPOK stabil (PDPI 2003).ii. Pemeriksaan Darah Rutin

Pemeriksaan darah rutin yang dikerjakan untuk menunjang diagnosis PPOK adalah pemeriksaan hemoglobin, hematokrit, dan hitung leukosit (PDPI 2003).iii. Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologi yang menunjang ialah foto toraks PA dan lateral. Kedua foto thoraks ini berguna untuk menyingkirkan penyakit paru lain.Pada foto thorax terlihat gambaran hiperinflasi, hiperlusen, ruang retrosternal melebar, dan diafragma mendatar, kadang juga didapatkan corakan bronkovaskuler (PDPI 2003, Putri et.al 2010).iv. Uji Provokasi Bronkhus

Pemeriksaan uji provokasi bronkhus digunakan untuk menilai derajat hipereaktivitas bronkhus (PDPI 2003). Pada sebagian kecil PPOK terdapat hipereaktivitas bronkhus derajat ringan.v. Uji Coba Kortikosteroid

Pemeriksaan ini menilai perbaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid oral (prednison atau metilprednisolon) sebanyak 30-50 mg per hari selama dua minggu. Pada keadaan normal ditemukan peningkatan FEV1 pascabronkodilator > 20 % dan minimal 250 ml. Pada PPOK umumnya tidak terdapat kenaikan faal paru setelah pemberian kortikosteroid (PDPI 2003).vi. Analisa Gasa Darah

Analisa gas darah dilakukan terutama untuk menilai adanya gagal napas kronik stabil atau gagal napas akut pada gagal napas kronik (PDPI 2003).

vii. Elektrokardiografi (EKG) dan Ekhokardiografi

EKG dilakukan untuk mengetahui komplikasi pada jantung yang ditandai oleh hipertensi pulmonal dan hipertrofi ventrikel kanan. Ekhokardiografi dikerjakan untuk menilai fungsi jantung kanan (PDPI 2003).

viii. BakteriologiPemerikasaan bakteriologi sputum pewarnaan Gram dan kultur resistensi diperlukan untuk mengetahui pola kuman dan untuk memilih antibiotik yang tepat. Infeksi saluran napas berulng merupakan penyebab utama eksaserbasi akut pada penderita PPOK di Indonesia (PDPI 2003).ix. Kadar alfa-1 antitripsinKadar antitripsin alfa-1 rendah pada emfisema herediter (emfisema pada usia muda), defisiensi antitripsin alfa-1 jarang ditemukan di Indonesia (PDPI 2003).

7. Diagnosis Banding

Diagnosis banding dari PPOK adalah asma, Sindroma Obstruksi Pascatuberculososis (SOPT), pneumotoraks, gagal jantung kronik, serta penyakit paru dengan obstruksi saluran napas lain misal, bronkiektasis (PDPI 2003). SOPT adalah penyakit obstruksi saluran napas yang ditemukan pada penderita pascatuberculosis dengan lesi paru yang minimal.

Asma dan PPOK adalah penyakit obstruksi saluran napas yang sering ditemukan di Indonesia, karena itu diagnosis yang tepat harus ditegakkan karena terapi dan prognosisnya berbeda.Tabel 1. Perbedaan Asma, PPOK, dan SOPT

Gejala dan TandaAsmaPPOKSOPT

Timbul padda usia muda++-+

Sakit mendadak++--

Riwayat merokok+/-+++-

Riwayat atopi+++-

Sesak dan mengi berulang+++++

Batuk kronik berdahak ++++

Hipereaktivitas bronkhus+++++/-

Reversibilitas bronkhus++--

Variabilitas harian+++-

Eosinofil sputum+-?

Neutrofil sputum-+?

Makrofag sputum-+?

Gambar 2. Perbedaan Asma dan PPOK8. PenatalaksanaanTujuan penatalaksanaan PPOK adalah mengurangi gejala, mencegah progresi penyakit, memperbaiki toleransi exercise, memperbaiki status kesehatan, mencegah dan mengobati penyulit, mencegah dan mengobati eksaserbasi, serta menurunkan mortalitas. Untuk mencapai tujuan tersebut diimplementasikan empat komponen penatalaksanaan, yaitu menilai dan memonitor perjalanan penyakit, mengurangi faktor risiko, penetalaksanaan PPOK stabil, dan penatalaksanaan eksaserbasi (GOLD 2010, Maranatha 2010).a. Menilai dan Memonitor Perjalanan PenyakitKomponen pertama ini merupakan diagnosis yang tepat gabungan antara klinis yang dikonfirmasi dengan pemeriksaan spirometri. Selain itu, faktor komorbid juga perlu untuk diedentifikasi.PPOK merupakan penyakit progresif di mana hambatan aliran udara harus selalu dimonitor untuk menentukan kapan terapi dimodifikasi dan untuk mengidentifikasi penyulit bila ada. Hal lain yang perlu dimonitor adalah efektivitas obat dan efek samping obat (Maranatha 2010).

b. Mengurangi Faktor RisikoFaktor risiko terjadinya PPOK yang harus dihindari adalah asap rokok, paparan okupasional, polusi udara indoor dan outdoor. Bagi perokok aktif hendaknya berhenti merokok dan mengurangi pajanan asap rokok dari perokok lain. Cara ini adalah cara paling efektif untuk menurunkan risiko timbulnya PPOK dan memperlambat progresinya (GOLD 2010, Maranatha 2010).

c. Penatalaksanaan PPOK StabilPenatalaksanaan PPOK stabil meliputi edukasi, obat-obatan, terapi oksigen, ventilasi mekanik, nutrisi, rehabilitasi, serta pembedahan.

8.3.1. Edukasi

Edukasi merupakan hal penting dalam pengelolaan jangka panjang pada PPOK stabil. Edukasi pada PPOK berbeda dengan edukasi pada asma. Karena PPOK adalah penyakit kronik yang ireversibel dan progresif. Inti dari edukasi adalah menyesuaikan keterbatasan aktivitas dan mencegah kecepatan perburukan fungsi paru. Berbeda dengan asma yang masih bersifat reversibel, menghindari pencetus dan memperbaiki derajat adalah inti dari edukasi atau tujuan pengobatan dari asma.

Tujuan edukasi pada pasien PPOK adalah mengenal perjalanan penyakit dan pengobatan, melaksanakan pengobatan yang maksimal, mencapai aktivitas optimal, serta meningkatkan kualitas hidup (PDPI 2003).Edukasi PPOK diberikan sejak ditentukan diagnosis dan berlanjut secara berulang pada setiap kunjungan, baik bagi penderita sendiri maupun bagi keluarganya. Edukasi diberikan dengan bahasa yang sederhana dan mudah diterima, langsung ke pokok permasalahan yang ditemukan pada waktu itu. Pemberian edukasi sebaiknya diberikan berulang dengan bahan edukasi yang tidak terlalu banyak pada setiap kali pertemuan.Topik edukasi pada semua stadium adalah menginformasikan dan menghimbau penderita untuk mengurangi faktor risiko. Topik bagi stadium I hingga III ialah informasi tentang perjalanan penyakit PPOK, penggunaan obat, mengenali dan menanggulangi eksaserbasi, serta strategi untuk mengurangi sesak. Topik bagi stadium IV ditambahkan informasi tentang komplikasi, terapi oksigen, serta prognosis penyakit (GOLD 2010). 8.3.2. Obat - obatan

a. Bronkhodilator

Brokhodilator diberikan secara tunggal atau kombinasi dari ketiga jenis bronkohdilator dan disesuaikan dengan klasifikasi derajat berat penyakit. Pemilihan bentuk obat diutamakan inhalasi.Macam-macam bronkhodilator adalah golongan antikolinergik, agonis beta 2, dan xantin. Antikolinergik digunakan pada derajat ringan sampai berat, disamping sebagai bronkhodilator juga mengurangi sekresi lendir. Antikolonergik maksimal empat kali perhari. Agonis beta 2 bentuk inhaler digunakan untuk mengatasi sesak. Peningkatan jumlah penggunaan inhaler agonis beta 2 dapat sebagai monitor timbulnya eksaserbasi. Sebagai obat pemeliharaan sebaiknya digunakan bentuk tablet yang berefek panjang. Kombinasi antikolinergik dan agonis beta 2 digunakan untuk memperkuat efek bronkhodilatasi, karena keduanya mempunyai tempat kerja yang berbeda. Disamping itu penggunaan obat kombinasi lebih sederhana dan mempermudah penderita. Golongan terakhir adalah xantin. Xantin berbentuk lepas lambat sebagai pengobatan pemeliharaan jangka panjang terutama pada derajat sedang dan berat. Bentuk tablet biasa atau puyer untuk mengatasi sesak. Penggunaan jangka panjang diperlukan pemeriksaan kadar aminofilin darah.b. Antiinflamasi

Antiinflamasi digunakan dalam bentuk oral berfungsi menekan inflamasi yang terjadi, dipilih golongan metilprednisolon atau prednison. Bentuk inhalasi sebagai terapi jangka panjang diberikan bila terbukti uji kortikosteroid positif yaitu terdapat perbaikan FEV1 pascabronkhodilator meningkat > 20% dan minimal 250 ml.c. Antibiotika

Antibiotika hanya diberikan bila terdapat infeksi. Antibiotik yang digunakan diantaranya lini I amoksisilin dan makrolid, lini II amoksisilin dan asam klavulanat, sefalosporin, kuinolon, dan makrolid baru.Pada perawatan di rumah sakit dapat dipilih amoksilin dan klavulanat, sefalosporin generasi II & III injeksi, kuinolon per oral. Dapat ditambah dengan antipseudomonas yaitu aminoglikose per injeksi, kuinolon per injeksi, dan sefalosporin generasi IV per injeksi.

d. Antioksidan

Antioksidan dapat mengurangi eksaserbasi dan memperbaiki kualitas hidup. Antioksidan yang digunakan adalah N-asetilsistein. Dapat diberikan pada PPOK dengan eksaserbasi yang sering, tidak dianjurkan sebagai pemberian yang rutin.

e. Mukolitik

Bermanfaat bagi pasien dengan sputum kental, namun secara keseluruhan manfaatnya kecil.f. AntitusifAntitusif dapat diberikan dengan hati-hati.

8.3.3. Terapi Oksigen

Pada PPOK terjadi hipoksemia progresif dan berkepanjangan yang menyebabkan kerusakan sel dan jaringan. Pemberian terapi oksigen merupakan hal yang sangat penting untuk mempertahankan oksigenasi seluler dan mencegah kerusakan sel baik di otot maupun organ-organ lainnya. Manfaat oksigen diantaranya mengurangi sesak, memperbaiki aktivitas, mengurangi hipertensi pulmonal, mengurangi vasokonstriksi, mengurangi hematokrit, memperbaiki fungsi neuropsikiatri, serta meningkatkan kualitas hidup.Indikasi diberikan terapi oksigen ialah PaO2 < 55 mmHg atau SaO2 < 88%, PaO2 diantara 55 - 59 mmHg atau SaO2 > 89% disertai Corpulmonal, perubahan tekanan pulmonal, Hct >55% dan tanda - tanda gagal jantung kanan, sleep apnea, dan penyakit paru lain (PDPI 2003, Maranatha 2010).8.3.4. Ventilasi Mekanik

Sampai saat ini belum ada yang membuktikan bahwa ventilator punya peranan dalam penatalaksanaan PPOK stabil (Maranatha 2010).8.3.5. Nutrisi

Malnutrisi sering terjadi pada PPOK, kemungkinan karena bertambahnya kebutuhan energi akibat kerja muskulus respirasi yang meningkat karena hipoksemia kronik dan hiperkapnea yang menyebabkan terjadi hipermetabolisme. Kondisi malnutrisi akan menambah mortalitas PPOK karena berkolerasi dengan derajat penurunan fungsi paru dan perubahan analisis gas darah.Malnutrisi dapat dievaluasi dengan penurunan berat badan, kadar albumin darah, antropometri, pengukuran kekuatan otot, hasil metabolisme (hiperkapnea dan hipoksia).Mengatasi malnutrisi dengan pemberian makanan yang agresis tidak akan mengatasi masalah karena gangguan ventilasi pada PPOK tidak dapat mengeluarkan CO2 yang terjadi akibat metabolisme karbohidrat. Diperlukan keseimbangan antara kalori yang masuk denagn kalori yang dibutuhkan.Komposisi nutrisi yang seimbang dapat berupa tinggi lemak rendah karbohidrat. Kebutuhan protein seperti pada umumnya, protein dapat meningkatkan ventilasi semenit oxigen comsumption dan respons ventilasi terhadap hipoksia dan hiperkapnea. Tetapi pada PPOK dengan gagal napas kelebihan pemasukan protein dapat menyebabkan kelelahan.

Gangguan keseimbangan elektrolit sering terjadi pada PPOK karena berkurangnya fungsi muskulus respirasi sebagai akibat sekunder dari gangguan ventilasi. Gangguan elektrolit yang terjadi adalah hipofosfatemi, hiperkalemi, hipokalsemi, serta hipomagnesemi. Gangguan ini dapat mengurangi fungsi diafragma. Dianjurkan pemberian nutrisi dengan komposisi seimbang, yakni porsi kecil dengan waktu pemberian yang lebih sering.

8.3.6. Rehabilitasi PPOK

Tujuan program rehabilitasi untuk meningkatkan toleransi latihan dan memperbaiki kualiti hidup penderita PPOK. Penderita yang dimasukkan ke dalam program rehabilitasi adalah mereka yang telah mendapatkan pengobatan optimal yang disertai gejala pernapasan berat, beberapa kali masuk ruang gawat darurat, dan kualitas hidup yang menurun.Program dilaksanakan di dalam maupun diluar rumah sakit oleh suatu tim multidisiplin yang terdiri dari dokter, ahli gizi, respiratori terapis, dan psikolog.

Program rehabilitiasi terdiri dari tiga komponen yaitu latihan fisik, psikososial, dan latihan pernapasan.

8.3.7. PembedahanTerapi pembedahan bertujuan untuk memperbaiki fungsi paru, memperbaiki mekanik paru, meningkatkan toleransi terhadap eksaserbasi, dan memperbaiki kualitas hidup. Operasi paru yang dapat dilakukan yaitu bulektomi, bedah reduksi volume paru (BRVP) / lung volume reduction surgey (LVRS), dan transplantasi paru (PDPI 2003).9. PPOK Eksaserbasi Akut dan PenatalaksanaannyaEksaserbasi akut pada PPOK berarti timbulnya perburukan dibandingkan dengan kondisi sebelumnya (PDPI 2003). Eksaserbasi dapat disebabkan infeksi atau faktor lainnya seperti polusi udara, kelelahan, atau timbulnya komplikasi.

Gejala eksaserbasi ialah sesak bertambah, produksi sputum meningkat, serta perubahan warna sputum. Eksaserbasi akut dibagi menjadi tiga yaitu tipe I (eksaserbasi berat) yang memiliki tiga gejala di atas, tipe II (eksaserbasi sedang) yang memiliki dua gejala di atas, dan tipe III (eksaserbasi ringan) yang memiliki satu gejala di atas ditambah infeksi saluran napas atas lebih dari lima hari, demam tanpa sebab lain, peningkatan batuk, peningkatan mengi atau peningkatan frekuensi pernapasan > 20% baseline, atau frekuensi nadi > 20% baseline.Penyebab eksaserbasi akut primer ialah infeksi trakeobronkial (biasanya karena virus). Penyebab sekunder ialah pnemonia, gagal jantung kanan, atau kiri, atau aritmia, emboli paru, pneumotoraks spontan, penggunaan oksigen yang tidak tepat, penggunaan obat-obatan (obat penenang, diuretik) yang tidak tepat, penyakit metabolik (DM, gangguan elektrolit), nutrisi buruk, lingkunagn memburuk/polusi udara, aspirasi berulang, serta stadium akhir penyakit respirasi (kelelahan otot respirasi).Penanganan eksaserbasi akut dapat dilaksanakan di rumah (untuk eksaserbasi yang ringan) atau di rumah sakit (untuk eksaserbasi sedang dan berat). Penatalaksanaan eksaserbasi akut ringan dilakukan di rumah oleh penderita yang telah diedukasi dengan cara menambahkan dosis bronkhodilator atau dengan mengubah bentuk bronkhodilator yang digunakan dari bentuk inhaler dan oral dengan bentuk nebuliser, menggunakan oksigen bila aktivitas dan selama tidur, menambahkan mukolitik, serta menambahkan ekspektoran. Bila dalam dua hari tidak ada perbaikan penderita harus segera ke dokter.

Penatalaksanaan eksaserbasi akut di rumah sakit dapat dilakukan secara rawat jalan atau rawat inap dan dilakukan di poliklinik rawat jalan, unit gawat darurat, ruang rawat, dan ruang ICU.Indikasi penatalaksanaan di poliklinik rawat jalan adalah eksaserbasi ringan sampai sedang, gagal napas kronik, serta tidak ada gagal napas akut pada gagal napas kronik. Evaluasi rutin meliputi pemberian obat-obatan yang optimal, evaluasi progresivitas penyakit, serta edukasi.Indikasi penatalaksanaan rawat inap adalah eksaserbasi sedang dan berat, terdapat komplikasi, infeksi saluran napas berat, gagal napas akut pada gagal napas kronik, dan gagal jantung kanan

Selama perawatan di rumah sakit harus diperhatikan untuk menghindari intubasi dan penggunaan mesin bantu napas dengan cara evaluasi klinis yang tepat dan terapi adekuat, terapi oksigen dengan cara yang tepat, obat-obatan maksimal, diberikan dengan drip, intravena, dan nebuliser, perhatikan keseimbangan asam basa, nutrisi enteral atau parenteral yang seimbang, rehabilitasi awal, serta edukasi untuk pasca rawat.

Penanganan di gawat darurat ditentukan masalah yang menonjol, misalnya infeksi saluran napas, gangguan keseimbangan asam basa, serta gawat napas. Penanganan di ruang rawat untuk eksaserbasi sedang dan berat (belum memerlukan ventilasi mekanik) ialah obat-obatan adekuat diberikan secara intravena dan nebuliser, terapi oksigen dengan dosis yang tepat, gunakan ventury mask, evaluasi ketat tanda-tanda gagal napas, segera pindah ke ICU bila ada indikasi penggunaan ventilasi mekanik. Indikasi perawatan ICU adalah sesak berat setelah penangan adekuat di ruang gawat darurat atau ruang rawat, kesadaran menurun, lethargi, atau kelemahan otot-otot respirasi, setelah pemberian oksigen tetap terjadi hipoksemia atau perburukan, memerlukan ventilasi mekanik (invasif atau noninvasif). Tujuan perawatan ICU pengawasan dan terapi intensif, hindari intubasi, bila diperlukan intubasi gunakan pola ventilasi mekanik yang tepat, mencegah kematian

Prinsip penatalaksanaan PPOK pada eksaserbasi akut adalah mengatasi segera eksaserbasi yang terjadi dan mencegah terjadinya gagal napas. Bila telah menjadi gagal napas segera atasi untuk mencegah kematian. Beberapa hal yang harus diperhatikan meliputi diagnosis beratnya eksaserbasi (derajat sesak, frekuensi napas, pernapasan paradoksal, kesadaran, tanda vital, analisis gas darah, pneomonia), terapi oksigen adekuat, pemberian obat-obatan yang maksimal, nutrisi, serta ventilasi mekanik. Obat yang diperlukan pada eksaserbasi akut adalah antibiotik sesuai jelis kuman, bronkhodilator, dan kortikosteroid (PDPI 2003).10. KomplikasiKomplikasi dari PPOK ialah gagal napas baik gagal napas kronik maupun gagal napas akut pada gagal napas kronik, infeksi berulang, dan corpulmonal (PDPI 2003).Gagal napas kronik ditandai dengan hasil analisis gas darah PO2 < 60 mmHg dan PCO2> 60 mmHg, dan pH normal. Penatalaksanaannya ialah jaga keseimbangan PO2 dan PCO2, bronkhodilator adekuat, terapi oksigen yang adekuat terutama waktu latihan atau waktu tidur, antioksidan, dan latihan pernapasan dengan pursed lips breathing.Gagal napas akut pada gagal napas kronik ditandai oleh sesak napas dengan atau tanpa sianosis, sputum bertambah dan purulen, demam, serta kesadaran menurun.Infeksi berulang pada pasien PPOK terjadi karena produksi sputum yang berlebihan menyebabkan terbentuk koloni kuman. Pada kondisi kronik ini imunitas menjadi lebih rendah ditandai dengan menurunnya kadar limfosit darah.

Corpulmonal ditandai oleh P pulmonal pada EKG, hematokrit > 50 %, dapat disertai gagal jantung kanan.11. Prognosis

Indeks prognostik PPOK yang multidimensi adalah BODE index yang terdiri dari body mass index, obstructive ventilatory defect severity, dyspneu sevverity, dan exercise capacity (Maranatha 2010).Prognosis PPOK dapat buruk apabila:

Umur lanjut

Terus merokok

FEV1 awal