makalah neuralgia trigeminal
DESCRIPTION
Terdapat 12 saraf kranial dimana ada : Olfaktorius, Optikus, Okulomotor, Troklearis, Trigeminus, Abdusen, Fasialis, Vestibulokoklearis, Glosofaringeal, Vagus, Aksesorius, Hipoglossus. Dimana saraf – saraf ini memiliki peran tersendiri.Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan. Nyeri di bagi menjadi dua : Nyeri Akut dan nyeri kronik. Dimana nyeri akut nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan. Nyeri akut ini dapat dialami segera setelah pembedahan sampai tujuh hari. Sedangkan nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak 1 – 6 bulan.Dari skenario ini dimana didapatkan bahwa pasien mengalami neuralgia trigeminal yaitu merupakan suatu keadaan dengan serangan sakit paroksismal yang singkat dan hebat serta unilateral yang dipicu oleh rangsang sensoris lokal. nyeri yang timbul karena terangsangnya suatu “trigger zone” di sekitar mulut.TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Nyeri merupakan bagian dari pengalaman hidup sehari-hari. Nyeri mempunyai
sifat yang unik, karena di satu sisi nyeri menimbulkan derita bagi yang bersangkutan,
tetapi disisi lain nyeri juga menunjukkan suatu manfaat. Nyeri bukan hanya
merupakan modalitas sensori tetapi juga merupakan suatu pengalaman. Menurut The
International Association for the Study of Pain (IASP), nyeri didefinisikan sebagai
suatu pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan yang
berhubungan dengan adanya atau potensi rusaknya jaringan atau keadaan yang
menggambarkan kerusakan jaringan tersebut. Berdasarkan definisi tersebut nyeri
merupakan suatu gabungan dari komponen objektif (aspek fisiologi sensorik nyeri)
dan komponen subjektif (aspek emosional dan psikologis).
Nyeri akut merupakan sensibel nyeri yang mempunyai manfaat. adapun yang
menjadi manfaatnya antara lain : manfaat berupa mekanisme proteksi, mekanisme
defensif, dan membantu menegakkan diagnosis suatu penyakit. Di lain pihak, nyeri
tetaplah merupakan derita belaka bagi siapapun, dan semestinya ditanggulangi oleh
karena menimbulkan perubahan biokimia, metabolisme dan fungsi sistem organ. Bila
tidak teratasi dengan baik nyeri dapat mempengaruhi aspek psikologis dan aspek fisik
dari penderita. Aspek psikologis meliputi kecemasan, takut, perubahan kepribadian
dan perilaku, gangguan tidur dan gangguan kehidupan sosial. Sedangkan dari aspek
fisik, nyeri mempengaruhi peningkatan angka morbiditas dan mortalitas.
Nyeri sering dilukiskan sebagai suatu yang berbahaya (noksius, protofatik) atau
yang tidak berbahaya (nonnoksius, epikritik) misalnya sentuhan ringan, kehangatan,
tekanan ringan. Nyeri dapat dirasakan/terjadi secara akut, dapat pula dirasakan secara
kronik oleh penderita. Nyeri akut akan disertai heperaktifitas saraf otonum dan
umumnya mereda dan hilang sesuai dengan laju proses penyembuhan. Pemahaman
tentang patofisiologi terjadinya nyeri sangatlah penting sebagai landasan
menanggulangi nyeri yang diderita oleh penderita. Bila pengelolaan nyeri dan
penyebab nyeri akut tidak dilaksanakan dengan baik, nyeri itu dapat berkembang
menjadi nyeri kronik.
Lidah Kaku Page 1
Nyeri sampai saat ini merupakan masalah dalam dunia kedokteran. Nyeri bukan
hanya berkaitan dengan kerusakan struktural dari sistem saraf dan jaringan saja, tetapi
juga menyangkut kelainan transmiter yang berfungsi dalam proses penghantaran
impuls saraf. Di lain pihak, nyeri juga sangat mempengaruhi morbiditas, mortilitas,
dan mutu kehidupan.
B. TUJUAN MASALAH
1. Mahasiswa mampu menjelaskan Anatomi Fisiologi Dua Belas Saraf Cranial.
2. Mahasiswa mampu menjelaskan Definisi Nyeri.
3. Mahasiswa mampu menjelaskan Mekanisme Nyeri.
4. Mahasiswa mampu menjelaskan Klasifikasi Nyeri.
5. Mahasiswa mampu menjelaskan Patofisiologi Nyeri.
6. Mahasiswa mampu menjelaskan Penatalaksanaan Nyeri.
7. Mahasiswa mampu menjelaskan Neuralgia Trigeminal.
Lidah Kaku Page 2
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 SKENARIO
“ LIDAH KAKU “
Seorang wanita berusia 28 tahun datang berobat ke dokter praktek dengan
keluhan nyeri pada pipi dan lidah sebelah kiri. Serangan nyeri ini mulai dirasakan
sejak seminggu yang lalu. Pasien mengaku dulunya ia juga sering merasakan nyeri
didaerah wajah tapi nyerinya tidak khas seperti nyeri yang sekarang dialaminya.
Serangan nyeri yang dirasakan mendadak seperti tertusuk-tusuk yang bertahan selama
beberapa detik sampai 2 menit, kumat-kumatan dan selalu muncul di tempat yang
sama. Kadang nyeri muncul tanpa provokasi tapi lebih sering muncul jika pasien
sedang mengunyah makanan. Dokter menanyakan kemungkinan adanya gejala lain
yang muncul bersamaan dengan keluhan ini seperti mata berair, kebas didaerah wajah,
lidah kaku, mulut mencong atau sulit menelan, namun pasien menyangkal adanya
gejala-gejala tersebut.
1.2 TERMINOLOGI
Nyeri :
adalah pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan terkait
dengan kerusakan jaringan baik aktual maupun potensial atau yang
digambarkan dalam kerusakan tersebut.
1.3 PERMASALAHAN
1. Jelaskan Anatomi dan Fisiologi Dua Belas Saraf Cranial.
2. Bagaimana Definisi Nyeri.
3. Bagaimana Mekanisme Nyeri.
4. Jelaskan Klasifikasi Nyeri.
5. Bagaimana Patofisiologi Nyeri.
6. Jelaskan Neuralgia Trigeminal.
7. Diagnosis Banding.
8. Pemeriksaan Nervus Trigeminal.
Lidah Kaku Page 3
2.1 PEMBAHASAN
1. Anatomi dan Fisiologi 12 Saraf Cranial.
Ada 12 saraf kranial yang meninggalkan otak melalui foramina dan fissura di
tengkorak. Semua saraf ini didistribusikan ke kepala dan leher kecuali saraf kranial
kesepuluh, yang mempersarafi struktur-struktur yang berada di toraks dan abdomen.
Saraf-saraf otak tersebut diberi nama sebagai berikut : olfactorius (N.I), opticus (N.II),
oculomotorius (N.III), trochlearis (N.IV), trigeminus (N.V), abducens (N.VI), facialis
(N.VII), vestibulocochlearis (N.VIII), glossopharyngeus (N.IX), vagus (N.X),
accessorius (N.XI), dan hypoglossus (N.XII).
Nervus olfactorius, nervus opticus, dan nervus vestibulocochlearis merupakan saraf
sensorik murni. Nervus oculomotorius, nervus trochlearis, nervus abducens, nervus
accessorius, dan hypoglossus adalah saraf motorik murni. Nervus trigeminus, nervus
facialis, nervus glossopharyngeus, dan nervus vagus merupakan saraf campuran
motorik dan sensorik.
Nervus kranialis memiliki nuklei motorik dan/ atau sensorik di dalam otak dan
serabut-serabut saraf perifer keluar dari otak serta meninggalkan tengkorak menuju
Lidah Kaku Page 4
organ sensorik atau efektor. Adapun serabut-serabut saraf kranial dikelompokkan
menjadi beberapa jenis :
1. Serabut aferen somatik, yang menghantarkan impuls rasa nyeri, suhu, raba,
tekanan, dan sensasi propioseptif melalui reseptor-reseptornya di kulit, sendi,
otot, dan sebagainya.
2. Serabut aferen otonom (viseral), yang menghantarkan impuls (nyeri) dari organ
visera.
3. Serabut aferen khusus (SAK), yang terdiri atas SAK somatik yang
menghantarkan impuls dari reseptor khusus (mata, telinga) dan SAK viseral
yang menghantarkan impuls kecap dan bau.
4. Serabut eferen somatik umum, yang mempersarafi otot-otot rangka (III, IV, VI,
XII).
5. Serabut eferen viseral, yang mempersarafi otot polos, otot jantung, dan kelenjar
(parasimpatis/ simpatis).
6. Serabut eferen brankhio-metrik khusus yang mempersarafi otot-otot derivat
arkus brankhialis (N. V untuk arkus 1, N. VII untuk arkus 2, N. IX untuk arkus
3, N. X dan N. XI untuk arkus selanjutnya).
Berbagai komponen saraf otak, fungsi, serta celah di cranium yang dilewati oleh saraf-
saraf tersebut untuk meninggalkan cavum crania diringkas sebagai berikut :
1. Nervus Olfactorius (Saraf Otak I)
Nervus olfactorius muncul dari sel-sel reseptor saraf di dalam membran
mukosa olfaktori yang terletak di rongga hidung bagian atas di cranial conchae
superior. Sel reseptor olfaktori tersebar di antara sel penyokong. Setiap sel
reseptor terdiri dari sel-sel saraf bipolar kecil dengan processus perifer yang
kasar yang berjalan ke permukaan membran dan sebuah processus sentral yang
halus. Dari processus perifer yang kasar timbul cilia-cilia pendek, rambut
olfactorius yang menembus ke dalam mucus yang menutupi permukaan
membran mukosa. Tonjolan serabut-serabut ini bereaksi terhadap bau di udara
dan menstimulasi sel-sel olfactorius.
Processus sentralis yang halus membentuk serabut saraf olfactorius.
Berkas serabut-serabut saraf ini masuk ke bulbus olfactorius melalui lubang-
lubang di lamina cribrosa os ethmoidale. Serabut-serabut nervus olfactorius
tidak bermielin dan diliputi oleh sel Schwann.
Lidah Kaku Page 5
2. Nervus Opticus (Saraf Otak II)
Serabut- serabut N. II adalah akson-akson sel di lapisan ganglionik
retina. Serabut tersebut berkonvergensi pada discus opticus dan keluar dari mata,
pusatnya sekitar 3 atau 4 mm dari sisi nasal sebagai N. II. Serabut-serabut N. II
bermielin, namun selubungnya dibentuk oleh sel oligodendrosit bukan sel
Schwann. Oleh karena itu, N. II disamakan dengan traktus saraf di susunan saraf
pusat. Saraf otak II meninggalkan rongga orbita melalui canalis opticus dan
bergabung dengan nervus opticus sisi kontralateral untuk membentuk chiasma.
3. Nervus Oculomotorius (Saraf Otak III)
Nervus oculomotorius mempunyai dua nuklei motorik, yaitu nukleus
motorik utama dan nukleus parasimpatis asesorius (nukleus Edinger-Westphal).
Nervus oculomotorius muncul dari permukaan anterior mesencephalon. Nervus
ini melintas kedepan di antara arteria cerebri posterior dan arteria cerebella
superior. Selanjutnya, nervus ini berjalan ke dalam fossa crania media di dinding
lateral sinus cavernosus. Disini nervus oculomotorius terbagi menjadi ramus
superior dan inferior yang memasuki rongga orbita melalui fisura orbitalis
superior.
N.oculomotorius mempersarafi otot-otot ekstrinsik mata berikut: m.
levator palbebrae superioris, m. rectus medialis, m. rectus inferior, dan m.
obliquus inferior. Melalui cabang ke ganglion ciliare dan serabut parasimpatis
nervi ciliares breves, nervus ini juga mempersarafi otot-otot intrinsik mata
berikut: m. constrictor papillae iris dan m. Ciliaris.
Dengan demikian, nervus oculomotorius bersifat motorik murni dan berfungsi
mengangkat kelopak mata atas; menggerakkan bola mata ke atas, bawah, dan
medial; konstriksi pupil; serta akomodasi mata.
4. Nervus Trochlearis (Saraf Otak IV)
Nervus trochlearis merupakan satu-satunya saraf kranial yang keluar
melalui dorsal batang otak. Nervus trochlearis muncul dari mesencephalon dan
segera menyilang saraf senama sisi yang berlawanan. Nervus trochlearis berjalan
ke depan melalui fossa crania media pada dinding lateral sinus cavernosus dan
masuk rongga orbita melalui fisura orbitalis superior. Saraf ini mempersarafi m.
Lidah Kaku Page 6
obliquus superior (untuk menggerakkan mata ke arah bawah- dalam dan abduksi
sedikit. Paralisa otot ini akan menampilkan deviasi mata ke atas dan sedikit ke
dalam yang tampak jelas bila mata melirik ke bawah dan ke dalam.
5. Nervus Trigeminus (Saraf Otak V)
Nervus trigeminus adalah saraf otak motorik dan sensorik. Serabut
motoriknya mempersarafi muskulus maseter, temporalis, pterigoideus internus et
eksternus, tensor timpani, omohioideus dan bagian anterior muskulus
digastrikus.
Inti motoriknya terletak di pons. Serabut-serabut motoriknya bergabung
dengan serabut-serabut sensorik nervus trigeminus yang berasal dari ganglion
Gasseri. Serabut-serabut sensoriknya menghantarkan impuls nyeri, suhu, raba
dan perasaan proprioseptif. Kawasannya ialah wajah dan mukosa lidah dan
rongga mulut serta lidah, dan rongga hidung. Impuls proprioseptif, terutama
berasal dari otot-otot yang dipersarafi oleh cabang mandibular sampai ke
ganglion Gasseri.
Cabang pertama N.V. ialah cabang oftalmikus. Ia menghantarkan impuls
protopatik dari bola mata serta rung orbita, kulit dahi sampai vertex. Impuls
sekretomotorik dihantarkan ke glandula lakrimalis. Serabut-serabut dari dahi
menyusun nervus frontalis. Ia masuk melalui ruang orbita melalui foramen
supraorbitale. Serabut-serabut dari bola mata dan rongga hidung bergabung
menjadi seberkas saraf yang dikenal sebagai nervus nasosiliaris. Berkas saraf
yang menuju ke glandula lakrimalis dikenal sebagai nervus lakrimalis. Ketiga
berkas saraf, yakni nervus frontali, nervus nasosiliaris dan nervus lakrimalis
saling mendekat pada fisura orbitalis superior dan di belakang fisura tersebut
bergabung menjadi cabang I N.V. (nervus oftalmikus). Cabang tersebut
menembus duramater dan melanjutkan perjalanan di dalam dinding sinus
kavernosus. Pada samping prosesus klinoideus posterior ia keluar dari dinding
tersebut dan berakhir di ganglion Gasseri. Di dekatnya terdapat arteri facialis.
Cabang kedua ialah cabang maksilaris yang hanya tersusun oleh serabut-
serabut somatosensorik yang menghantarkan impuls protopatik dari pipi,
kelopak mata bagian bawah, bibir atas, hidung dan sebagian rongga hidung,
geligi rahang atas, ruang nasofarings, sinus maksilaris, palatum molle dan atap
rongga mulut. Serabut-serabut sensorik masuk ke dalam os. maksilaris melalui
Lidah Kaku Page 7
foramen infraorbitalis. Berkas saraf ini dinamakan nervus infraorbialis. Saraf-
saraf dari mukosa cavum nasi dan rahang atas serta geligi atas juga bergabung
dalam saraf ini dan setelahnya disebut nervus maksilaris, cabang II N.V. Ia
masuk ke dalam rongga tengkorak melalui foramen rotundum kemudian
menembus duramater untuk berjalan di dalanm dinding sinus kavernosus dan
berakhir di ganglion Gasseri. Cabang maksilar nervus V juga menerima serabut-
serabut sensorik yang berasal dari dura fossa crania media dan fossa
pterigopalatinum.
Cabang mandibularis (cabang III N.V. tersusun oleh serabut somatomotorik dan
sensorik serta sekretomotorik (parasimpatetik). Serabut-serabut somatomotorik
muncul dari daerah lateral pons menggabungkan diri dengan berkas serabut
sensorik yang dinamakan cabang mandibular ganglion gasseri. Secara eferen,
cabang mandibular keluar dari ruang intracranial melalui foramen ovale dan
tiba di fossa infratemporalis. Di situ nervus meningea media (sensorik) yang
mempersarafi meninges menggabungkan diri pada pangkal cabang madibular.
Di bagian depan fossa infratemporalis, cabang III N.V. bercabang dua.
Yang satu terletak lebih belakang dari yang lain. Cabang belakang merupakan
pangkal dari saraf aferen dari kulit daun telinga (nervus aurikulotemporalis),
kulit yang menutupi rahang bawah, mukosa bibir bawah, dua pertiga bagian
depan lidah (nervus lingualis), glandula parotis dan gusi rahang bawah ( nervus
dentalis inferior) dan serabut eferen yang mempersarafi otot-otot omohioideus
dan bagian anterior muskulus digastrikus Cabang anterior dari cabang madibular
terdiri dari serabut aferen yang menghantarkan impuls dari kulit dan mukosa
pipi bagian bawah dan serabut eferen yang mempersyarafi otot-otot temporalis,
masseter, pterigoideus dan tensor timpani. Serabut-serabut aferen sel-sel
ganglion gasseri bersinaps di sepanjang wilayah inti nukleus sensibilis
prinsipalis (untuk raba dan tekan) serta nukleus spinalis nervi trigemini (untuk
rasa nyeri) dan dikenal sebagai tractus spinalis nervi trigemini. dan didekatnya
terdapat arteri a. Alveolaris inferior.
6. Nervus Abducens (Saraf Otak VI)
Nervus abducens adalah saraf motorik kecil yang mempersarafi
musculus rectus lateralis bola mata. Serabut- serabut nervus abducens melintas
ke anterior melalui pons serta muncul di alur antara tepi bawah pons dan
Lidah Kaku Page 8
medulla oblongata. Nervus ini akan berjalan ke depan melalui sinus cavernosus
serta terletak di bawah dan lateral a. carotis interna. Selanjutnya, saraf ini masuk
ke orbita melalui fisura orbitalis superior. Nervus abducens berfungsi motorik
murni dan mempersarafi musculus rectus lateralis.
7. Nervus Facialis dan Intermedius (Saraf Otak VII)
Nervus facialis mempunyai dua subdivisi, yaitu saraf yang mengandung
komponen motorik dan menginervasi otot-otot ekspresi wajah, dan n.
intermedius yang mengandung aferen otonom, somatik, dan eferennya.
Nukleus motorik n. facialis di bagian ventrolateral tegmentum pons dekat
medulla oblongata. Pada mulanya, akson neuron pertamanya berjalan menuju
dasar ventrikel IV dekat garis tengah, dan kemudian melingkari nucleus N. VI
terus ke arah sudut serebelopontomedularis tepat di depan N. VIII. Lutut N. VII
akan membentuk kolikulus fasialis pada dasar ventrikel IV tepat di atas stria
medularis horizontalis. N. intermedius keluar di antara N. VII dan N. VIII.
Ketiganya akan berlanjut masuk ke dalam kanalis akustikus internus, dan di
dalamnya, N.VII dan intermedius akan memisahkan diri ke lateral dalam kanalis
fasialis sampai ganglion genikulatum. N. facialis akan meninggalkan tengkorak
melalui foramen stilomastoideus dan kemudian dari sini serabut-serabut
motoriknya akan tersebar di otot-otot wajah (m. orbicularis oculi, buccinators,
digastricus posterior, dan platisma). Gangguan pada nervus fasialis terdiri atas
paralisa perifer, paralisa nuklear, dan paralisa supranuklear.
Nervus intermedius mengandung beberapa komponen aferen dan eferen.
Serabut aferennya menghantarkan impuls dari reseptor kecap dua pertiga depan
lidah. Serabut ini berjalan bersama dengan n. lingualis (cabang n. mandibularis),
khorda timpani, menuju ke ganglion genikulatum serta berakhir pada nukleus
traktus solitarius (di mana serabut kecap n. IX juga berakhir). N. intermedius
juga mengandung serabut eferen parasimpatis yang berasal dari nukleus
salivatorius superior (sebelah bawah medial nucleus n. VII) dan menuju ke
kelenjar lakrimalis, kelenjar-kelenjar di mukosa hidung. Ada sebagian serabut
yang lewat ganglion mandibularis menuju kelenjar sublingual dan
submandibular.
Lidah Kaku Page 9
8. Nervus Vestibulocochlearis (Saraf Otak VIII)
Saraf ini terdiri dari dua bagian yang berbeda, yaitu nervus vestibularis
(keseimbangan, posisi, dan gerakan kepala) dan nervus cochlearis (auditorius),
yang berperan untuk transmisi informasi aferen dari telinga dalam menuju
susunan saraf pusat.
Nervus vestibularis mengatur tiga sistem, yaitu keseimbangan sistem
vestibuler, sistem propioseptif dari otot dan sendi serta sistem optik. Sistem
keseimbangan terdiri dari labirin (yang mencakup utrikulus, sakulus, dan kanalis
semisirkularis), n, vestibularis, dan jaras vestibuler sentral. Organ reseptor
keseimbangan adalah macula statika (yang berada di dalam labirin untuk
mengirimkan impuls-impuls statik dan informasi tentang posisi kepala) dan
Krista ampularis (terletak di dalam ampula kanalis semisirkularis sebagai
reseptor kinetic). Impuls yang diterima oleh reseptor ini akan dihantarkan oleh
akson perifer neuron bipolar dari ganglion vestibularis (Scarpa) yang terletak di
meatus akustikus internus, dan kemudian akan menuju ke sentral sebagai n.
vestibularis. Saraf ini berjalan bersama dengan nervus cochlearis melalui
meatikus akustikus internus, ke sudut serebelo-pontin, dan masuk ke batang otak
mencapai nukleus vestibularis yang terletak di dasar ventrikel IV. Kompleks
nucleus vestibularis terdiri dari nucleus vestibularis superior (Bechterew),
nucleus vestibularis lateralis (Deiter), nucleus vestibularis medialis (Schwalbe)
dan nucleus vestibularis inferior (Roller).
9. Nervus Glossopharyngeus (Saraf Otak IX)
Nervus glossopharyngeus memiliki tiga nukleus yakni nukleus motorik
utama, nukleus parasimpatis dan nukleus sensorik. Nervus glossopharyngeus
bersama dengan N. X, dan N. XI meninggalkan cranium melalui foramen
jugularis, yang pada foramen tersebut terdapat dua ganglion yaitu : ganglion
superior intrakranial dan ganglion inferior ekstrakranial. Setelah keluar melalui
foramen ini, N. IX akan berjalan di antara a. carotis interna dan v. jugularis
interna, malalui m. stilomastoideus menuju ke bawah lidah, dan mempersarafi
mukosa farings, tonsil, dan sepertiga posterior lidah.
Saraf ini mempunyai cabang, yakni timpanikus, cabang stilofaringeus,
cabang faringeus, cabang sinus karotikus, dan linguaris.
Lidah Kaku Page 10
10. Nervus Vagus (Saraf Otak X)
Saraf vagus mempunyai dua buah ganglia yaitu : ganglion superior
(jugularis) dan ganglion inferior (nodosum). Dari ganglion nodosum (inferior),
saraf ini berjalan ke kaudal sepanjang a. carotis interna dan carotis communis
dan mencapai mediastinum melalui aperture toraks superior. N. X kanan akan
melangkahi a. subklavia, sedangkan yang kiri akan menyilang arkus aorta.
Selanjutnya, keduanya akan menempel di esofagus (kanan di aspek posterior dan
kiri di aspek anterior) membentuk pleksus esofagus. Cabang terminalnya akan
masuk ke kavitas abdomen melalui hiatus esofagus diafragmatika. Dalam
perjalanannya, n. X mempunyai cabang-cabang yang terdiri atas cabang dura,
cabang aurikuler, cabang faringeus, cabang laringeus superior, cabang laringeus
rekuren, cabang kardiak-servikalis superior dan kardiak torasis, cabang
bronkhialis, dan cabang gastrikus (anterior dan posterior).
11. Nervus Accessorius (Saraf Otak XI)
Saraf ini mempunyai dua cabang yaitu cabang kranial dan cabang spinal.
Cabang kranialnya adalah akson-akson neuron nukleus ambigus (yang
sebenarnya merupakan milik N. X) yang mempersarafi otot-otot intrinsik laring.
Cabang spinal merupakan serabut motorik dari bagian lateral kornu anterior
segmen servikal (1-5/6) untuk membantu pernafasan otot trapezius dan
sternokleidomastoideus. Cabang ini menghantarkan impuls volunter melalui
traktus kortiko-spinalis, impuls postural melalui traktus ekstrapiramidalis,
refleks melalui traktus vestibule-spinalis dan traktus tekto-spinalis serta arkus
inter-intra- segmental.
12. Nervus Hypoglossus (Saraf Otak XII)
Nukleus saraf otak XII terletak di medulla oblongata di masing-masing
sisi garis tengah dekat dasar ventrikel IV (trigonum hipoglosi). Masing-masing
nukleus tersusun dari beberapa kelompok motorneuron dan masing-masing
kelompok akan mempersarafi bagian-bagian otot lidah. N. hipoglosus
merupakan saraf eferen somatik di mana aksonnya berjalan ke arah ventral
sulkus lateralis anterior di antara piramis dan oliva inferior dan keluar dari
tengkorak melalui kanalis hipoglosi (yang terletak di tepi lateral foramen
magnum). Di dalam leher nervus berjalan di antara a. karotis interna dan vena
Lidah Kaku Page 11
jugularis interna, diiringi oleh serabut-serabut dari tiga servikal atas (ansa
hipoglosi). N. XII mempersarafi otot-otot tulang hyoid (tirohioid, sternohioid,
dan omohioid) dan otot-otot lidah (stiloglosus, hioglosus, dan genioglosus).
Nukleus N. XII menerima impuls bilateral namun sebagian besar dari
traktus kortikonuklearis kontralateral dan ada serabut-serabut (berasal dari
formasio retikularis, nukleus traktus solitaries, otak tengah, nukleus trigeminus)
yang merupakan komponen dari lengkung reflek untuk mengunyah, menelan,
dan mengisap.
2. Definisi Nyeri
Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak
menyenangkan berkaitan dengan kerusakan jaringan, baik aktual maupun
potensial, atau yang digambarkan dalam bentuk kerusakan tersebut. The
International Association for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan ini
menghindari pengkorelasi nyeri dengan suatu rangsangan (stimulus), definisi ini
juga menekankan bahwa nyeri bersifat subjektif dan merupakan suatu masalah
yang membingungkan.
Nyeri digolongkan sebagai gangguan sensorik positif. Pada hakikatnya
nyeri tidak dapat ditafsirkan dan tidak dapat diukur, namun tidak dapat
dipungkiri bahwa nyeri merupakan perasaan yang tidak menyenangkan bahkan
menyakitkan. Nyeri adalah suatu sensasi yang unik. Keunikannya karena
derajat berat dan ringan nyeri yang dirasakan tidak ditentukan hanya oleh
intensitas stimulus tetapi juga oleh perasaan dan emosi pada saat itu.
Pada dasarnya nyeri adalah reaksi fisiologis karena reaksi protektif untuk
menghindari stimulus yang membahayakan tubuh. Tetapi bila nyeri tetap
berlangsung walaupun stimulus penyebab sudah tidak ada, berarti telah terjadi
perubahan patofisiologis yang justru merugikan tubuh. Sebagai contoh,
nyeri karena pembedahan, masih tetap dirasakan pada masa pasca bedah
ketika pembedahan sudah selesai. Nyeri semacam ini tidak saja menimbulkan
perasaan tidak nyaman, tetapi juga reaksi stres, yaitu rangkaian reaksi fisik
maupun biologis yang dapat menghambat proses penyembuhan. Nyeri
patologis atau nyeri klinik inilah yang membutuhkan terapi.
Lidah Kaku Page 12
Derajat nyeri dapat diukur dengan berbagai cara, misalnya tingkah laku pasien
skala verbal dasar / Verbal Rating Scales (VRS), dan yang umum adalah skala
analog visual / Visual Analogue Scales (VAS).
Secara sederhana, nyeri odontektomi pada pasien sadar dapat langsung
ditanyakan pada pasien yang bersangkutan dan VAS biasanya dikategorikan
sebagai :
0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Nyeri ringan nyeri sedang nyeri berat
Penilaian verbal dan numerik dikonfirmasi dengan ekspresi wajah yang
tampak pada saat yang sama.
Gambar 1. Visual Analog Scale (VAS)
Lidah Kaku Page 13
3. Mekanisme Nyeri
Nyeri merupakan bentuk peringatan akan adanya bahaya kerusakan jaringan.
Pengalaman sensorik pada nyeri akut disebabkan oleh stimulus noksius yang
diperantarai oleh sistem sensorik nosiseptik. Sistem ini berjalan mulai dari perifer
melalui medula spinalis, batang otak, thalamus dan korteks serebri. Apabila terjadi
kerusakan jaringan, maka sistem nosiseptik akan bergeser fungsinya dari fungsi
protektif menjadi fungsi yang membantu perbaikan jaringan yang rusak.
4. Klasifikasi Nyeri
Subjektifitas nyeri membuat sulitnya mengkatagorikan nyeri dan mengerti
mekanisme nyeri itu sendiri. Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan untuk
mengklasifikasikan nyeri adalah berdasarkan durasi (akut, kronik).
a. Nyeri Akut
Nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan dan durasi yang
terbatas setelah nosiseptor kembali ke ambang batas resting stimulus
istirahat. Nyeri akut ini dapat dialami segera setelah pembedahan sampai
tujuh hari.
b. Nyeri Kronik
Nyeri kronik bisa dikategorikan sebagai malignan atau nonmalignan yang
dialami pasien paling tidak 1 – 6 bulan. Nyeri kronik malignan biasanya
disertai kelainan patologis dan indikasi sebagai penyakit yang life – limiting
disease seperti kangker, end – stage organ dysfunction, atau infeksi HIV.
Nyeri kronik kemungkinan mempunyai elemen nosiseptif dan neuropatik.
Nyeri normalignan (nyeri punggung, migran, artritis, diabetik neuropatik)
sering tidak disertai kelainan patologis yang terdeteksi dan perubahan
neuroplastik yang terjadi pada lokasi sekitar (dorsal hom pada spinal cord)
akan membuat pengobatan menjadi sulit.
Adapula klasifikasi berdasarkan sumber nyeri, maka nyeri dibagi menjadi :
a. Nyeri somatik luar
Lidah Kaku Page 14
Nyeri yang stimulusnya berasal dari kulit, jaringan subkutan dan
membran mukosa. Nyeri biasanya dirasakan seperti terbakar, jatam dan
terlokalisasi.
b. Nyeri somatik dalam
Nyeri tumpul (dullness) dan tidak terlokalisasi dengan baik akibat
rangsangan pada otot rangka, tulang, sendi, jaringan ikat.
c. Nyeri viseral
Nyeri karena perangsangan organ viseral atau membran yang
menutupinya (pleura parietalis, perikardium, peritoneum. Nyeri tipe ini
dibagi lagi menjadi nyeri fiseral terlokalisasi, nyeri parietal terlokalisasi,
nyeri alih viseral dan nyeri alih parietal.
5. Patofisiologi Nyeri
Proses rangsangan yang menimbulkan nyeri bersifat destruktif terhadap
jaringan yang dilengkapi dengan serabut saraf penghantar impuls nyeri. Serabut
saraf ini disebut juga serabut nyeri, sedangkan jaringan tersebut disebut
jaringan peka- nyeri. Bagaimana seseorang menghayati nyeri tergantung pada
jenis jaringan yang dirangsang, jenis serta sifat rangsangan, serta pada kondisi
mental dan fisiknya.
Reseptor untuk stimulus nyeri disebut nosiseptor. Nosiseptor adalah
ujung saraf tidak bermielin A delta dan ujung saraf C bermielin. Distribusi
nosiseptor bervariasi di seluruh tubuh dengan jumlah terbesar terdapat di
kulit. Nosiseptor terletak di jaringan subkutis, otot rangka, dan sendi. Nosiseptor
yang terangsang oleh stimulus yang potensial dapat menimbulkan kerusakan
jaringan. Stimulus ini disebut sebagai stimulus noksius. Selanjutnya stimulus
noksius ditransmisikan ke sistem syaraf pusat, yang kemudian menimbulkan
emosi dan perasaan tidak menyenanggan sehingga timbul rasa nyeri dan reaksi
menghindar.
Antara stimulus cedera jaringan dan pengalaman subjektif terdapat empat proses
tersendiri : transduksi, transmisi, modulasi, dan persepsi.
a. Proses transduksi
Transduksi nyeri adalah rangsang nyeri (noksius) diubah menjadi
depolarisasi membran reseptor yang kemudian menjadi impuls saraf
Lidah Kaku Page 15
reseptor nyeri. Rangsangan ini dapat berupa rangsang fisik (tekanan),
suhu (panas), atau kimia. Adanya rangsang noksius ini menyebabkan
pelepasan asam amino eksitasi glutamat pada saraf afferent nosisepsi
terminal menempati reseptor AMPA (alpha-amino-3-hydroxy-5-
methyl-D-aspartate), akibat penempatan pada reseptor menyebabkan
ion Mg2+ pada saluran Ca2+ terlepas masuk ke dalam sel, demikian
juga ion Ca2+, K+, dan H+. Terjadi aktivasi protein kinase c dan
menghasilkan NO yang akan memicu pelepasan substansi p dan terjadi
hipersensitisasi pada membran kornu dorsalis.
Kerusakan jaringan karena trauma, dalam hal ini odontektomi,
menyebabkan dikeluarkannya berbagai senyawa biokimiawi antara
lain : ion H, K, prostalglandin dari sel yang rusak, bradikinin dari
plasma, histamin dari sel mast, serotonin dari trombosit dan substansi P
dari ujung saraf. Senyawa biokimiawi ini berfungsi sebagai mediator
yang menyebabkan perubahan potensial nosiseptor sehingga terjadi
arus elektrobiokimiawi sepanjang akson.
Kemudian terjadi perubahan patofisiologis karena mediator-
mediator ini mempengaruhi juga nosiseptor di luar daerah trauma
sehingga lingkaran nyeri meluas. Selanjutnya terjadi proses sensitisasi
perifer yaitu menurunnya nilai ambang rangsang nosiseptor karena
pengaruh mediator-mediator tersebut di atas dan penurunan pH
jaringan. Akibatnya nyeri dapat timbul karena rangsang yang
sebelumnya tidak menimbulkan nyeri misalnya rabaan. Sensitisasi
perifer ini mengakibatkan pula terjadinya sensitisasi sentral yaitu
hipereksitabilitas neuron pada korda spinalis, terpengaruhnya neuron
simpatis, dan perubahan intraselular yang menyebabkan nyeri
dirasakan lebih lama.
b. Proses Transmisi
Transmisi adalah proses penerusan impuls nyeri dari nosiseptor saraf
perifer melewati kornu dorsalis menuju korteks serebri. Saraf sensoris
perifer yang melanjutkan rangsang ke terminal di medula spinalis
disebut neuron aferen primer. Jaringan saraf yang naik dari medula
spinalis ke batang otak dan talamus disebut neuron penerima kedua.
Lidah Kaku Page 16
Neuron yang menghubungkan dari talamus ke korteks serebri disebut
neuron penerima ketiga.
c. Proses Modulasi
Proses modulasi adalah proses dimana terjadi interaksi antara sistem
analgesi endogen yang dihasilkan oleh tubuh dengan impuls nyeri yang
masuk ke kornu posterior medula spinalis. Sistem analgesi endogen ini
meliputi enkefalin, endorfin, serotonin, dan noradrenalin memiliki
efek yang dapat menekan inpuls nyeri pada kornu posterior medula
spinaslis. Proses modulasi ini dapat dihambat oleh golongan opioid.
d. Proses Persepsi
Proses persepsi merupakan hasil akhir proses interaksi yang
kompleks dan unik yang dimulai dari proses transduksi, transmisi,
dan modulasi yang pada gilirannya menghasilkan suatu perasaan
yang subjektif yang dikenal sebagai persepsi nyeri.
6. Definisi Neuralgia Trigeminal
Neuralgia trigeminal merupakan suatu keadaan dengan serangan sakit
paroksismal yang singkat dan hebat serta unilateral yang dipicu oleh rangsang
sensoris lokal.
Neuralgia trigeminal juga merupakan suatu bangkitan nyeri (nyeri paroksismal)
sepanjang salah satu cabang N.V (biasanya ramus II atau III) yang timbul karena
terangsangnya suatu “trigger zone” di sekitar mulut. Sewaktu bangkitan, wajah
penderita di sisi neuralgia berada dalam keadaan kejang sehingga dinamai pula Tic
Douloereux. Biasanya terjadi pada sisi ipsilateral dan sangat jarang terjadi pada sisi
bilateral. Ada dua jenis Trigeminal Neuralgia, yaitu klasik/tipikal dan
simptomatik/atipikal. Neuralgia trigeminal klasik ditandai dengan periode singkat
nyeri tertusuk yang berhubungan dengan area pencetus yang sempit dan mereda
dalam kurun waktu tertentu. Pada jenis atipikal, periode nyeri terbakar terasa lebih
lama, dengan rasa ketidaknyamanan yang konstan antara serangan dan gangguan
sensorik.
A. Epidemiologi
Lidah Kaku Page 17
Tidak ada studi sistematik mengenai prevalensi dari neuralgia
trigeminal, namun suatu kutipan yang diperkirakan diterbitkan pada tahun
1968 mengatakan bahwa prevalensi dari neuralgia trigeminal mendekati 15,5
per 100.000 orang di Amerika Serikat. Sumber lain mengatakan bahwa
insiden tahunannya adalah 4-5 per 100.000 orang, dimana menandakan
tingginya prevalensi. Di beberapa tempat, penyakit ini jarang ditemukan.
Onsetnya usia diatas 40 tahun pada 90% penderita. Neuralgia trigeminal
sedikit lebih umum terjadi pada perempuan dibandingkan dengan laki-laki.
Penyakit ini lebih sering terjadi pada perempuan dan biasanya timbul setelah
umur 50 tahun, jarang setelah umur 70 tahun. Insiden familial sedikit lebih
tinggi (2%) dibanding insiden sporadik. Faktor resiko epidemiologis (umur,
ras, kebiasaan merokok dan minum alkohol) diperkirakan penting dalam
hubungannya dengan apakah wajah atas atau wajah bawah yang terkena.
Perbandingan frekuensi antara laki-laki dan perempuan adalah 2 : 3,
sedangkan perkembagan dari neuralgia trigeminal pada usia muda
dihubungkan dengan kemungkinan dari multiple sklerosis. Neuralgia
trigeminal yang idiopatik khas terjadi pada dekade kelima kehidupan, tapi
dapat pula terjadi pada semua umur, sedangkan simptomatik atau neuralgia
trigeminal sekunder cenderung terjadi pada pasien yang lebih muda.
B. Etiologi
Kebanyakan kasus neuralgia trigeminal penyebabnya idiopatik,
meskipun tidak sedikit yang berhubungan dengan kompresi pada saraf
trigeminal. Penyebab-penyebab dari terjadinya neuralgia trigeminal adalah
penekanan mekanik oleh pembuluh darah, malformasi arteri vena
disekitarnya, penekanan oleh lesi atau tumor, sklerosis multipel, kerusakan
secara fisik dari nervus trigeminus oleh karena pembedahan atau infeksi, dan
yang paling sering adalah faktor yang tidak diketahui. Penekanan mekanik
pembuluh darah pada akar nervus ketika masuk ke batang otak yang paling
sering terjadi, sedangkan di atas bagian nervus trigeminus atau portio minor
jarang terjadi.
C. Patofisiologi
Lidah Kaku Page 18
Patofisiologi terjadinya suatu neuralgia trigeminal sesuai dengan
penyebab terjadinya penyakit tersebut. Penyebab-penyebab dari terjadinya
neuralgia trigeminal adalah penekanan mekanik oleh pembuluh darah,
malformasi arteri vena disekitarnya, penekanan oleh lesi atau tumor,
sklerosis multiple, kerusakan secara fisik dari nervus trigeminus oleh karena
pembedahan atau infeksi, dan yang paling sering adalah faktor yang tidak
diketahui.
Penekanan mekanik pembuluh darah pada akar nervus ketika masuk
ke brain stem yang paling sering terjadi, sedangkan diatas bagian nervus
trigeminus/portio minor jarang terjadi. Pada orang normal pembuluh darah
tidak bersinggungan dengan nervus trigeminus. Penekanan ini dapat
disebabkan oleh arteri atau vena baik besar maupun kecil yang mungkin
hanya menyentuh atau tertekuk pada nervus trigeminus. Arteri yang sering
menekan akar nervus ini adalah arteri cerebelar superior. Penekanan yang
berulang menyebabkan iritasi dan akan mengakibatkan hilangnya lapisan
mielin (demielinisasi) pada serabut saraf. Sebagai hasilnya terjadi
peningkatan aktivitas aferen serabut saraf dan penghantaran sinyal abnormal
ke nukleus nervus trigeminus dan menimbulkan gejala trigeminal neuralgia.
Teori ini sama dengan patofisiologi terjadinya neuralgia trigeminal oleh
karena suatu lesi atau tumor yang menekan atau menyimpang ke nervus
trigeminus.
Pada kasus sklerosis multiple yaitu penyakit otak dan korda spinalis
yang ditandai dengan hilangnya lapisan mielin yang membungkus saraf, jika
sudah melibatkan sistem nervus trigeminus maka akan menimbulkan gejala
neuralgia trigeminal. Pada tipe ini sering terjadi secara bilateral dan
cenderung terjadi pada usia muda sesuai dengan kecenderungan terjadinya
sclerosis multiple.
Adanya perubahan pada mielin dan akson diperkirakan akan
menimbulkan potensial aksi ektopik berupa letupan spontan pada saraf.
Aktivitas ekstopik ini terutama disebabkan karena terjadinya perubahan
ekspresi dan distribusi saluran ion natrium sehingga menurunnya nilai
ambang membran. Kemungkinan lain adalah adanya hubungan ephaptic
antar neuron, sehingga serabut saraf dengan nilai ambang rendah dapat
Lidah Kaku Page 19
mengaktivasi serabut saraf yang lainnya dan timbul pula cross after
discharge.
Selain itu aktivitas aferen menyebabkan dikeluarkannya asam amino
eksitatori glutamat. Glutamat akan bertemu dengan reseptor glutamat alfa-
amino-3-hidroxy-5-methyl-4-isaxole propionic acid (AMPA) di post sinap
sehingga timbul depolarisasi dan potensial aksi. Aktivitas yang meningkat
akan disusul dengan aktifnya reseptor glutamat lain N-Methyl-D-Aspartate
(NMDA) setelah ion magnesium yang menyumbat saluran di reseptor
tersebut tidak ada. Keadaan ini akan menyebabkan saluran ion kalsium
teraktivasi dan terjadi peningkatan kalsium intra seluler. Mekanisme inilah
yang menerangkan terjadinya sensitisasi sentral.
D. Klasifikasi
Neuralgia trigeminal menurut International Headache Society, dibagi atas 2
yaitu idiopatik dan simptomatik.
1. Neuralgia trigeminal klasik : jika dalam pemeriksaan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan neurologis serta pemeriksaan penunjang tidak
ditemukan penyebab dari nyeri wajah.
2. Neuralgia trigeminal simptomatik : penyebab nyeri wajahnya dapat
diketahui dari pemeriksaan penunjang.
Perlu dibedakan antara nyeri pada orofasial lainnya dengan trigeminal
neuralgia. Berikut tabel yang menunjukan klasifikasi nyeri orofasial :
Tabel 1. Klasifikasi Nyeri Orofasial
Lidah Kaku Page 20
E. Gejala Klinis
Gejala klinis neuralgia trigeminal adalah nyeri yang sangat hebat, yang
digambarkan oleh sebagian besar penderita sebagai nyeri yang paling buruk
dari semua nyeri yang pernah mereka rasakan, dan pada kasus yang lebih
berat, risiko bunuh diri pada penderita ini meningkat. Nyeri pada neuralgia
trigeminal bersifat paroksismal. Di antara episode nyeri, penderita tidak
merasakan gejala apapun, kecuali perasaan takut akan serangan nyeri yang
berikutnya. Sensasi nyeri yang dirasakan seperti terbakar, seperti petir yang
tiba-tiba menyambar. Serangan nyeri yang bersifat paroksismal ini dapat
berlangsung selama 15 menit atau lebih. Frekuensi serangan bervariasi dari
beberapa kali dalam sehari sampai beberapa kali dalam sebulan. Ketika rasa
sakit menyerang, penderita tidak dapat berbicara, bahkan penderita seringkali
menggosok atau mencubit wajahnya untuk menghilangkan sensasi nyeri
tersebut. Gerakan wajah dan rahang juga dapat menimbulkan rasa nyeri.
Kadang-kadang, terdapat lakrimasi ipsilateral yang prominen. Tidak ada
penurunan sensorik yang ditemukan setelah serangan paroksismal tersebut
terjadi, tetapi penderita bisa saja mengeluhkan suatu hiperestesia fasial.
F. Diagnosis
Pada saat ini belum ada tes yang dapat diandalkan dalam mendiagnosa
neuralgia trigeminal. Diagnosis neuralgia trigeminal dapat ditegakkan dengan
anamnesis lengkap, pemeriksaan fisik umum dan neurologis, serta
pemeriksaan penunjang.
1. Anamnesis
Dari anamnesis, informasi yang yang dapat diperoleh pada penderita
neuralgia trigeminal adalah nyeri wajah unilateral yang bersifat
menyayat dan dipicu oleh gerakan mengunyah atau aktivitas yang serupa
atau dengan menyentuh area wajah yang terkena. Neuralgia
trigeminalmengenai bagian kanan wajah lima kali lebih sering
dibandingkan dengan bagian kiri wajah. Beberapa penderita dapat
mengalami sindrom pre-neuralgia trigeminal beberapa minggu sampai
beberapa tahun sebelumnya sebelum benar-benar mengalami neuralgia
trigeminal. Mereka mengeluhkan nyeri pada sinus yang tak kunjung
sembuh atau sakit gigi yang berjam-jam, yang dipicu oleh gerakan
Lidah Kaku Page 21
memindahkan rahang atau ketika sedang minum. Sayangnya, penderita
seringkali berkunjung ke dokter gigi untuk pertama kali. Dan beberapa di
antara mereka membaik dengan pengobatan carbamazepin.
Karakteristik gejala neuralgia trigeminaladalah adanya ‘zona
pemicu’, yang mana jika terstimulasi, akan menimbulkan nyeri tipikal
yang paroksismal. Zona-zona ini meliputi area pipi, bibir, atau hidung
yang dapat distimulus oleh gerakan wajah, mengunyah, menerapkan
make up, bercukur atau, rangsangan sentuh. Penderita neuralgia
trigeminal tidak akan melakukan gerakan ekspresi wajah selama
percakapan, tidak makan selama berhari-hari, atau bahkan menghindari
tiupan angin untuk mencegah terjadinya serangan.
Kriteria diagnosis neuralgia trigeminal klasik (menurut IHS) :
a. Serangan nyeri paroksismal yang berlangsung dari hitungan
detik sampai 2 menit, mempengaruhi satu atau lebih divisi dari
nervus trigeminus dan memenuhi kriteria B dan C.
b. Nyeri memiliki setidaknya satu dari karakteristik berikut:
Intens, tajam, superfisial atau menusuk-nusuk.
Diawali dari daerah pemicu atau faktor pemicu.
c. Serangan yang stereotip pada individu pasien.
d. Tidak ada bukti defisit neurologis secara klinis.
e. Tidak berkaitkan dengan penyakit lain.
Kriteria diagnosis neuralgia trigeminal simptomatik (menurut IHS) :
a. Serangan nyeri paroksismal yang berlangsung dari hitungan
detik sampai 2 menit, dengan atau tanpa denyi yang menetap di
antara serangan, mempengaruhi satu atau lebih divisi dari
nervus trigeminus dan memenuhi kriteria B dan C.
b. Nyeri memiliki setidaknya satu dari karakteristik berikut :
Intens, tajam, superfisial atau menusuk-nusuk.
Diawali dari daerah pemicu atau faktor pemicu.
c. Serangan yang stereotip pada individu pasien.
d. Akibat lesi kausatif, selain kompresi vaskular, telah dilakukan
pemeriksaan penunjang dan atau pada eksplorasi fossa
posterior.
2. Pemeriksaan Neurologis
Lidah Kaku Page 22
Sensorik dari N.V
Pemeriksaan sensibilitas pada daerah dermatom N.V, yakni daerah V1
oftalmikus, V2 maksilaris, dan V3 mandibularis.
Motorik dari N.V
Ada beberapa permeriksaan, yaitu:
Merapatkan gigi : raba m. masseter dan m. temporalis, bandingkan
kiri dan kanan.
Buka mulut : melihat adanya deviasi rahang dan jika ada trismus.
Menggerakan rahang ke kiri-kanan melawan tahanan pemeriksa
dan menonjolkan rahang : untuk mengetahui sisi yang paresis.
Menggigit tongue spatula dengan geraham: membandingkan
kedalaman bekas gigitan kiri-kanan.
Reflek
Reflek masseter : letakkan satu jari di dagu pasien dan diketuk
dengan palu reflek. Positif bila mulut tertutup akibat kontraksi
m. masseter dan m. temporalis.
Reflek kornea : ada 2, reflek kornea langsung dan konsensuil.
Pasien melirik ke lateral, dengan kapas pemeriksa mengusapkan
ujung kapas pada limbus. Positif atau normalnya pasien
berkedip.
Reflek menetek : bila bibir penderita disentuh dengan pensil,
ada kecenderungan penderita menyedot pensil tersebut.
Reflek bersin : penggelitikan mukosa hidung, positif bila
responnya bersin.
Nyeri Tekan
Perhatikan bila ada nyeri tekan pada daerah keluarnya cabang nervus
trigeminus, yaitu pada foramen supraorbitale, foramen infraorbitale,
dan foramen mentale.
3. Pemeriksaan Penunjang
Pemeriksaan penunjang lebih bertujuan untuk membedakan neuralgia
trigeminal yang idiopatik atau simptomatik. Pemeriksaan darah lengkap
dapat dilakukan untuk mengetahui adanya infeksi. CT Scan kepala
digunakan untuk melihat keberadaan tumor. Sklerosis multiple dapat
terlihat dengan Magnetic Resonance Imaging (MRI). MRI ini sering
Lidah Kaku Page 23
digunakan sebelum tindakan pembedahan untuk melihat kelainan pembuluh
darah. Indikasi pemeriksaan MRI pada pasien neuralgia trigeminal adalah
mereka yang berusia di bawah 60 tahun, terutama untuk meniadakan tumor
sebagai diagnosis banding. Teknologi CT Scan dan MRI sering digunakan
untuk melihat adanya tumor atau abnormalitas lain yang menyebabkan sakit
tersebut. Pemeriksaan MRTA (high-definition MRI angiography) pada
nervus trigeminal dan batang otak dapat menunjukkan daerah nervus yang
tertekan oleh vena atau arteri. Sebagai tambahan, dilakukan pemeriksaan
fisik untuk menentukan stimulus pemicu, dan lokasi pasti dari sakitnya.
Pemeriksaan termasuk inspeksi komea, gusi, lidah dan pipi diperlukan
untuk melihat bagaimana daerah tersebut merespon sentuhan dan perubahan
suhu (panas dan dingin).
G. Penatalaksanaan
1) Medikamentosa
Seperti diketahui terapi dari neuralgia trigeminal ada 2 macam yaitu
terapi medikamentosa dan terapi pembedahan. Penanganan lini pertama
untuk neuralgia trigeminal adalah terapi medikamentosa. Tindakan bedah
hanya dipertimbangkan apabila terapi medikamentosa mengalami
kegagalan.
Sebagai suatu penyakit yang memiliki progresivitas dan rasa sakit
yang makin menjadi berat dan lebih sering, penambahan dosis dan
kombinasi obat-obatan sangatlah dibutuhkan dimana akan menimbulkan
suatu efek samping atau kontrol rasa sakit yang tidak edekuat. Setiap
pasien memiliki toleransi yang berbeda terhadap obat-obatan dan rasa
sakitnya. Untuk itu banyak faktor-faktor yang harus diperhatikan dalam
pemberian obat anti konvulsi untuk pengobatan trigeminal neuralgia.
Pemberian obat diberikan secara bertahap, diawali dengan dosis minimal,
jika terjadi peningkatan progresivitas rasa sakit maka dosis dinaikkan
sampai dosis maksimal yang dapat ditoleransi tubuh. Pada penggunaan
dosis diatas minimal, dalam pengurangan dosis, juga harus dilakukan
secara bertahap. Pemberian obat umumnya dimulai dengan pemberian 1
jenis. Dosisnya ditambah sesuai dengan kebutuhan dan toleransinya. Jika 1
Lidah Kaku Page 24
jenis obat tidak menunjukan efektifitasnya, obat-obatan alternatif lain
dapat dicoba secara tunggal atau kombinasi.
Saat ini obat-obatan yang digunakan untuk terapi adalah obat-obatan
anti konvulsi seperti carbamazepine (tegretol), phenitoin (dilantin),
Oxcarbazepine (trileptal), dan gabapentin (neurontin). Tidak seperti sakit
neuropatik lainnya, neuralgia trigeminal hanya merespon anti konvulsan
dan tidak merespon anti depresan atau opioid. Obat anti konvulsan dapat
mengurangi serangan neuralgia trigeminal dengan menurunkan
hiperaktifitas nukleus nervus trigeminus di dalam brain stem.
Perlu diingatkan bahwa sebagian besar obat yang digunakan pada
penyakit ini mempunyai cukup banyak efek samping. Penyakit ini
terutama menyerang mereka yang sudah lanjut usia. Oleh karena itu,
pemilihan dan pemakaian obat harus diperhatikan secara cermat
kemungkinan timbulnya efek samping. Dasar penggunaan obat pada terapi
neuralgia trigeminal dan neuralgia saraf lain adalah kemampuan obat
untuk menghentikan hantaran impulse afferent yang menimbulkan
serangan nyeri.
1. Carbamazepine
Carbamazepine memperlihatkan efek analgesik yang selektif
misalnya pada tabes dorsalis dan neuropati lainnya yang sukar diatasi
dengan analgesik biasa. Awalnya obat ini hanya dipergunakan untuk
pengobatan trigeminal neuralgia, kemudian ternyata obat ini efektif juga
terhadap bangkitan parsial kompleks dan bangkitan tonik-klonik seperti
epilepsi. Atas pertimbangan untung rugi penggunaan carbamazepine maka
tidak dianjurkan untuk mengatasi nyeri ringan yang dapat diatasi dengan
analgesik biasa. Sebagian besar penderita neuralgia trigeminal mengalami
penurunan sakit yang berarti dengan menggunakan obat ini.
Karena potensi untuk menimbulkan efek samping sangat luas, khususnya
gangguan darah seperti leukopeni, anemia aplastik dan agranulositosis
maka pasien yang akan diterapi dengan obat ini dianjurkan untuk
melakukan pemeriksaan nilai basal dari darah dan melakukan pemeriksaan
ulang selama pengobatan.
Efek samping yang timbul dalam dosis yang besar yaitu drowsiness,
mental confusion, dizziness, nystagmus, ataxia, diplopia, nausea, dan
Lidah Kaku Page 25
anorexia. Terdapat juga reaksi serius yang tidak berhubungan dengan dosis
yaitu allergic skin rash, gangguan darah seperti leukopenia atau
agranulocytosis, atau aplastic anemia, keracunan hati, congestive heart
failure, halusinasi dan gangguan fungsi seksual. Pemberian carbamazepine
dihentikan jika jumlah lekosit abnormal (rendah). Jika efek samping yang
timbul parah, dosis carbamazepine perhari dapat dikurangi 1-3 per hari,
sebelum mencoba menambah dosis per harinya lagi.
Carbamazepine diberikan dengan dosis berkisar 200 – 1600 mg,
dimana hampir 70% memperlihatkan perbaikan gejala. Meta analisa tegretol
yang berisi carbamazepine mempunyai number needed to treat (NNT) 2,6
(2,2 – 3,3). Dosis dimulai dengan dosis minimal 1-2 pil perhari, yang secara
bertahap dapat ditambah hingga rasa sakit hilang atau mulai timbul efek
samping. Selama periode remisi dosis dapat dikurangi secara bertahap.
2. Oxcarbazepine
Oxcarbazepine merupakan ketoderivat karbamasepine dimana
mempunyai efek samping lebih rendah dibanding dengan karbamasepine dan
dapat meredakan nyeri dengan baik. Trileptal atau oxcarbazepine merupakan
suatu bentuk dari trigretol yang efektif untuk beberapa pasien trigeminal
neuralgia.
Dosis umumnya dimulai dengan 2 x 300 mg yang secara bertahap
ditingkatkan untuk mengkontrol rasa sakitnya. Dosis maksimumnya 1200 mg
per hari. Efek samping yang paling sering adalah mual, dizziness, fatique dan
tremor. Efek samping yang jarang timbul yaitu rash, infeksi saluran
pernafasan, pandangan ganda dan perubahan elektrolit darah. Seperti obat
anti-seizure lainnya, penambahan dan pengurangan obat harus secara
bertahap.
3. Phenytoin
Phenitoin merupakan golongan hidantoin dimana gugus fenil atau
aromatik lainnya pada atom C5 penting untuk pengendalian bangkitan tonik-
klonik. Phenitoin berefek anti konvulsi tanpa menyebabkan depresi umum
SSP. Sifat anti konvulsi obat ini berdasarkan pada penghambatan penjalaran
rangsang dari fokus ke bagian lain di otak. Efek stabilisasi membran sel oleh
phenitoin juga terlihat pada syaraf tepi dan membran sel lainnya yang juga
mudah terpacu misalnya sel sistem konduksi di jantung. Phenitoin juga
Lidah Kaku Page 26
mempengaruhi perpindahan ion melintasi membran sel, dalam hal ini
khususnya dengan lebih mengaktifkan pompa Na+ neuron. Bangkitan tonik-
klonik dan beberapa bangkitan parsial dapat pulih secara sempurna.
Phenitoin harus hati-hati dalam mengkombinasikan dengan carbamazepine
karena dapat menurunkan dan kadang-kadang menaikkan kadar phenitoin
dalam plasma, sebaiknya dikuti dengan pengukuran kadar obat dalam plasma.
Phenitoin dengan kadar dalam serum 15-25 g/mL pada 25% pasien neuralgia
trigeminal dapat meredakan nyeri. Kadar obat tersebut di atas dipertahankan
selama 3 minggu, jika nyeri tidak berkurang sebaiknya obat dihentikan
karena dosis yang lebih tinggi akan menyebabkan toksisitas.
Phenytoin dapat mengobati lebih dari setengah penderita neuralgia
trigeminal dengan dosis 200-300 mg dibagi dalam 3 dosis perhari. Phenytoin
dapat juga diberikan secara intra vena untuk mengobati kelainan ini dengan
eksaserbasi yang berat. Dosis maksimum tergantung keparahan efek samping
yang ditimbulkannya. Efek samping yang dapat ditimbulkannya adalah
nystagmus, dysarthria, ophthalmoplegia dan juga mengantuk serta
kebingungan. Efek lainnya adalah hiperplasia gingival dan hypertrichosis.
Komplikasi serius tapi jarang terjadi adalah allergic skin rashes, kerusakan
liver dan gangguan darah.
4. Baclofen
Baclofen tidaklah seefektif carbamazepine atau phenytoin, tetapi
dapat dikombinasi dengan obat-obat tersebut. Obat ini berguna pada pasien
yang baru terdiagnosa dengan rasa nyeri relatif ringan, tidak dapat
mentoleransi carbamazepin, dan pada penderita multiple sclerosis. Dosis
awalnya 2 sampai 3 x 5 mg dalam sehari, dan secara bertahap ditingkatkan.
Dosis untuk menghilangkan rasa sakit secara komplit 50-80 mg per hari.
Baclofen memiliki durasi yang pendek sehingga penderita neuralgia
trigeminal yang berat membutuhkan dosis setiap 2-4 jam. Efek samping yang
paling sering timbul karena pemakaian Baclofen adalah mengantuk, pusing,
nausea dan kelemahan kaki. Baclofen tidak boleh dihentikan secara tiba-tiba
setelah pemakaian lama karena dapat terjadi halusinasi atau serangan
jantung.
5. Gabapentin
Lidah Kaku Page 27
Gabapentin dengan struktur seperti neurotransmiter inhibitor gamma-
aminobutyric acid (GABA). Obat ini kemungkinan bekerja dengan
memodulasi saluran kalsium pada alfa-2 delta subunit dari voltage-dependent
calcium channel. Dosis yang dianjurkan 1800-3600 mg/hari. Obat ini hampir
sama efektifnya dengan carbamazepine tetapi efek sampingnya lebih sedikit.
Dosis awal biasanya 3 x 300 mg per hari dan ditambah hingga dosis
maksimal. Reaksi merugikan paling sering adalah somnolen, ataksia, fatique
dan nystagmus. Seperti semua obat, penghentian secara cepat harus dihindari.
2) Non Medikamentosa
Secara umum, bedah saraf dapat membantu penderita neuralgia
trigeminal yang memiliki nyeri yang paroksismal dan pada penderita
neuralgia trigeminalyang mengenai satu cabang atau lebih, bukan neuralgia
trigeminalyang bersifat difus. Tindakan bedah biasanya kurang efektif pada
penderita neuralgia trigeminal yang disebabkan oleh multipel sklerosis.
Indikasi operasi pada penderita neuralgia trigeminal adalah penderita
neuralgia trigeminalyang tidak dapat ditangani lagi dengan medikamentosa,
dan pada mereka yang telah melakukan prosedur operasi sebelumnya
namun gagal.
Tabel 4. Terapi Pembedahan Pada Neuralgia Trigeminal
Lidah Kaku Page 28
Terdapat beberapa teknik operasi pada penderita neuralgia trigeminaldewasa ini.
Ablasi lokal nervus preifer dan eksisi luas dari radiks sensorik sudah tidak
diperbolehkan untuk dilakukan lagi. Beberapa teknik operasi yang
direkomendasikan kini adalah sebagai berikut :
a. Prosedur perkutaneus (Percutaneous procedures)
Tiga prosedur perkutaneus untuk neuralgia trigeminal adalah percutaneous
radiofrequency trigeminal gangliolysis (PRTG), percutaneous retrogasserian
glycerol rhizotomy (PRGR), dan percutaneous balloon microcompression
(PBM). Pada setiap prosedur, ahli bedah memasukkan trocar atau jarum ke
bagian lateral sudut mulut, dan dengan tuntunan fluoroskopik, menuju ke
foramen ipsilateral. Ganglion Gasserian segaris dengan lokasi tersebut.
Gambar 3 . Selama prosedur PRTG memberikan aliran panas yangdigunakan untuk menghancurkan rasa sakit yang disebabkan serat saraf.
1) Percutaneous radiofrequency trigeminal gangliolysis (PRTG)
PRTG merupakan suatu prosedur yang dilakukan dengan menempatkan
jarum pada ganglion Gasserian, kemudian mengalirinya dengan arus listrik
yang akan memanasi probe, dan membuat suatu lesi termal pada ganglion.
Melalui prosedur ini, kejadian nyeri yang rekuren dilaporkan sangat
rendah. PRTG, sama halnya dengan PBM, merupakan tindakan yang
relatif tidak mahal dan menggunakan teknik yang mudah diakses, dan
Lidah Kaku Page 29
merupakan tindakan minimal invasif, dengan rasio rekurensi nyeri sangat
rendah, meskipun ada literatur yang menyebutkan bahwa tindakan ini
memiliki rekurensi yang tinggi. Selain itu, tindakan ini dapat membuat
wajah penderita menjadi mati rasa pasca dilakukannya tindakan. Saat
melakukan tindakan PRTG, pasien dapat dalam keadaan sadar, cepat
pulih, dan dapat pulang ke rumah sehari setelah operasi dilaksanakan.
Hasil akhirnya sangat tergantung pada keahlian ahli bedah.
2) Percutaneous balloon microcompression (PBM)
Dengan menggunakan teknik PBM, operator akan memasukkan sebuah
balon kateter melalui foramen ovale ke dalam ganglion kemudian
mengembangkannya selama 1-10 menit. Beberapa ahli bedah melaporkan
hasil akhir yang baik sehubungan dengan penggunaan teknk PMB, dan
dapat dibandingkan dengan PRTG.
3) Percutaneous retrogasserian glycerol rhizotomy (PRGR)
Injeksi gliserol ke dalam ganglion Gasserian untuk merusak serabut saraf
yang menghantar nyeri telah digunakan sejak lama. Teknik ini mudah
dilakukan dan memiliki efisiensi yang tinggi, serta memiliki angka
rekurensi yang rendah. Pada teknik PRGR, seperti pada prosedur
perkutaneus lainnya, jarum spinal dimasukkan menembus wajah, masuk
ke cisterna trigeminal, di mana suatu cistenogram diperoleh dengan
menggunakan larutan kontras. Setelah menghilangkan larutan kontras, ahli
bedah akan menginjeksi gliserol anhidrat, kemudian meminta pasien untuk
duduk sekitar 2 jam sampai saraf tersebut terablasi.
b. Gamma Knife Surgery (GKS)
Stereotatic Gamma Knife Surgery (GKS) adalah salah satu teknik terbaru
dalam menangani neuralgia trigeminus. Teknik ini merupakan tindakan yang
minimal invasif dibandingkan semua teknik operasi, dan tidak terlalu
bergantung pada keahlian ahli bedah. Teknik ini lebih efektif dibandingkan
dengan prosedur perkutaneus, tetapi teknik ini membutuhkan waktu
berminggu-minggu sampai berbulan-bulan untuk memperoleh kesembuhan
dan biaya yang dibutuhkan juga lebih besar. GKS terdiri dari beberapa sinar
foton (> 200) yang terkonsenttasi tinggi disertai dengan akurasi yang tinggi
untuk memberikan dosis 70-90 Gy pada target, yaitu radiks nervus trigeminus.
Teknik ini merusak komponen spesifik dari nervus sehingga nervus ini
Lidah Kaku Page 30
berhenti mengirim sinyal nyeri ke otak. GKS dapat diindikasikan pada
penderita neuralgia trigeminalyang tidak berhasil dengan pengobatan dan
prosedur yang telah disebutkan di atas.
Gambar 4. Radiasi merusak nervus trigeminus (area yang berwarna) agar nervus tersebut berhenti mengirim sinyal nyeri 14
Dari semua penderita neuralgia trigeminalyang ditangani dengan GKS, 60%
penderita segera terbebas dari nyeri, dan lebih dari 75% penderita terbebas dari
nyeri sekitar 1,5 tahun kemudian. Rekurensi terjadi pada 25% penderita dalam
rentang waktu 1-3 tahun. Angka rekurensi rendah pada penderita yang telah
sembuh sempurna.
c. Dekompresi mikrovaskular
Dekompresi mikrovaskular adalah prosedur bedah yang klasik pada
neuralgia trigeminus, dan merupakan tindakan yang paling efektif. Tindakan
ini berdasarkan hipotesis bahwa kompresi vaskular di sekitar nervus
trigeminus akan mengakibatkan abnormalitas dari fungsi nervus tersebut.
Dekompresi mikrovaskular diindikasikan pada penderita neuralgia trigeminal
yang usianya lebih muda, terutama pada penderita neuralgia trigeminal yang
nyerinya terisolasi pada area oftalmika atau pada seluruh cabang nervus
trigeminus dan pada penderita dengan neuralgia trigeminal sekunder. Kini,
dekompresi mikrovaskular merupakan tindakan bedah yang paling sering
digunakan untuk neuralgia trigeminus. Pada dekompresi mikrovaskular, kulit
di belakang telinga diinsisi dan dibuat kraniotomi sebesar 3 cm. Buka
duramater agar nervus trigeminus terlihat, dan indentifikasi pembuluh darah
Lidah Kaku Page 31
yang menekan nervus saat pembuluh darah masuk ke pons. Teflon felt
digunakan untuk mengalasi nervus agar nervus tersebut menjauhi arteri dan
vena.
Gambar 5. Ilustrasi tindakan dekompresi mikrovaskular
Gambar 6. Dekompresi mikrovaskular (Jannetta procedure) yang digunakan untuk menangani neuralgia trigeminus. Arteri cerebellar anteroinferior berkontak dengan nervus
trigeminus
Pasca operasi, penderita harus dirawat di ruang intensif, dan nyeri bekas
sayatan operasi dapat ditangani dengan analgetik. Hanya ada 2 kematian yang
dilaporkan oleh Peter Jannetta pasca operasi ini. Selain nyeri kepala pasca
operasi, mati rasa pada daerah wajah, dan gangguan pendengaran juga dapat
terjadi.
Lidah Kaku Page 32
d. Sensory Rhizotomy
Sensory Rhizotomy adalah pemotongan irreversibel dari cabang
nervus trigeminus yang memberikan koneksi pada batang otak. Tekniknya
dengan membuat lubang kecil di belakang tengkorak. Stimulasi probe
digunakan untuk mengidentifikasi cabang saraf motorik. Cabang saraf
motorik dimana berfungsi mengontrol otot pengunyah harus dipertahankan.
Cabang saraf sensorik dimana berfungsi yang mengirimkan sinyal nyeri dari
otak di potong. Pemotongan saraf akan menyebabkan mati rasa pada bagian
wajah secara permanen sehingga harus dipertimbangkan karena adanya nyeri
kambuhan yang tidak berespon dengan pengobatan lain.
Gambar 7. Selama prosedur sensory rhizotomy, cabang saraf sensory dipotong dan cabang saraf motorik tetap dipertahankan. 17
H. Prognosis
Neuralgia trigeminal bukan merupakan suatu ancaman. Tetapi
cenderung menjadi lebih parah semakin hari. Banyak pasien yang berhasil
sembuh dengan tindakan pembedahan. Bahkan beberapa dokter lebih
memilih melakukan tindakan pembedahan pada stadium awal dekompresi
mikrovaskular untuk mencegah kerusakan demyelinisasi. Walaupun hal ini
Lidah Kaku Page 33
masih menjadi suatu kontroversi dan penyebab dari neuralgia trigeminal
masih belum jelas.
7. Diagnosis Banding.
Definisi Bell’s Palsy
Bell’s palsy merupakan kelemahan wajah dengan tipe lower motor neuron
yang disebabkan oleh keterlibatan saraf fasialis idiopatik di luar sistem saraf pusat,
tanpa adanya penyakit neurologik lainnya. Sindrom ini pertama sekali
dideskripsikan pada tahun 1821 oleh seorang anatomis dan dokter bedah bernama
Sir Charles Bell.
Insidens sindrom ini sekitar 23 kasus per 100 000 orang setiap tahun.
Manifestasi klinisnya terkadang dianggap sebagai suatu serangan stroke atau
gambaran tu- mor yang menyebabkan separuh tubuh lumpuh atau tampilan distorsi
wajah yang akan bersifat permanen. Oleh karena itu, perlu diketahui mengenai
Bell’s palsy oleh dokter pelayanan primer agar tata laksana yang tepat dapat
diberikan tanpa melupakan diagnosis banding yang mungkin didapatkan.
Etiologi dan Patofisiologi.
Terdapat lima teori yang kemungkinan menyebabkan terjadinya Bell’s palsy,
yaitu iskemik vaskular, virus, bakteri, herediter, dan imunologi. Teori virus lebih
banyak dibahas sebagai etiologi penyakit ini. Burgess et al mengidentifikasi
genom virus herpes simpleks (HSV) di ganglion genikulatum seorang pria usia
lanjut yang meninggal enam minggu setelah mengalami Bell’s palsy.
Manifestasi Klinis
Berdasarkan letak lesi, manifestasi klinis Bell’s palsy dapat berbeda. Bila lesi
di foramen stylomastoid, dapat terjadi gangguan komplit yang menyebabkan
paralisis semua otot ekspresi wajah. Saat menutup kelopak mata, kedua mata
melakukan rotasi ke atas (Bell’s phenomenon). Selain itu, mata dapat terasa berair
karena aliran air mata ke sakus lakrimalis yang dibantu muskulus orbikularis okuli
terganggu. Manifestasi komplit lainnya ditunjukkan dengan makanan yang
tersimpan antara gigi dan pipi akibat gangguan gerakan wajah dan air liur keluar
dari sudut mulut.
Lidah Kaku Page 34
Lesi di kanalis fasialis (di atas persimpangan dengan korda timpani tetapi di
bawah ganglion genikulatum) akan menunjuk semua gejala seperti lesi di foramen
stylomastoid ditambah pengecapan menghilang pada dua per tiga ante- rior lidah
pada sisi yang sama.
Bila lesi terdapat di saraf yang menuju ke muskulus stapedius dapat terjadi
hiperakusis (sensitivitas nyeri ter- hadap suara keras). Selain itu, lesi pada ganglion
genikulatum akan menimbulkan lakrimasi dan berkurangnya salivasi serta dapat
melibatkan saraf kedelapan.
Pemeriksaan Fisik
Paralisis fasialis mudah didiagnosis dengan pemeriksaan fisik yang lengkap
untuk menyingkirkan kelainan sepanjang perjalanan saraf dan kemungkinan
penyebab lain. Adapun pemeriksaan yang dilakukan adalah pemeriksaan gerakan
dan ekspresi wajah. Pemeriksaan ini akan mene- mukan kelemahan pada seluruh
wajah sisi yang terkena. Kemudian, pasien diminta menutup mata dan mata pasien
pada sisi yang terkena memutar ke atas.
Bila terdapat hiperakusis, saat stetoskop diletakkan pada telinga pasien maka suara
akan terdengar lebih jelas pada sisi cabang muskulus stapedius yang paralisis.
Tanda klinis yang membedakan Bell’s palsy dengan stroke atau kelainan yang
bersifat sentral lainnya adalah tidak terdapatnya kelainan pemeriksaan saraf
kranialis lain, motorik dan sensorik ekstremitas dalam batas normal, dan pasien
tidak mampu mengangkat alis dan dahi pada sisi yang lumpuh.
8. Pemeriksaan Nervus Trigemil
Nerves trigiminus merupakan nervus cranialis v berfungsi menginervasi
bagian muka dan kepala.nervus ini mempunyai 3 cabang yaitu cabang yang
menginervasi dahi dan mata ( ophaehalmic V1 ), pipi ( maxillary V2 ), dan muka
bagian bawah dan dagu ( mandibular V3 ). Ketiga cabang nervus V ini bertemu pada
satu area yang disebut ganglion gaseri, yang selanjutnya menuju batang otak melalui
pons menuju badan – badan sel nukleus nervi trigemini.
Dari sini informasi yang diterima diolah untuk selanjutnya dikirim ke korteks
serebri untuk menimbulkan kesadaran akan sensasi pasial. Nervus trigeminus
bertanggung jawab terhadap sensasi raba, nyeri dan temperatur pada muka. Selain
Lidah Kaku Page 35
nervus ini mengontrol gerakan otot yang berperan dalam mengunyah makanan. Perlu
diingat bahwa kasus ini tidak berperan dalam pengaturan gerakan wajah yang diatur
oleh nervus VII.
Pemeriksaan nervus V meliputi pemeriksaan motorik dan sensorik. Adapun prosedur
pemeriksaannya adalah sebagai berikut :
1. Pemeriksaan fungsi motorik :
Meminta penderita untuk menrapatkan gigi sekuat – kuat.
Pemeriksa mengamati muskulus masseter dan muskulus temporalis.
Meminta penderita untuk membuka mulut.
Pemeriksa mengamati apakah dagu tampak simetris dengan acuan gigi seri
atas dan bawah ( apabila ada kelumpuhan, dagu akan terdorong ke arah
lesi ).
Lidah Kaku Page 36
2. Pemeriksaan fungsi sensorik :
Melakukan pemeriksaan sensasi nyeri dengan jarum pada daerah dahi,
pipi dan rahang bawah.
Melakukan pemeriksaan sensasi suhu dengan kapas yang dibasahi air
hangat pada daerah dahi, pipi dan rahang bawah.
3. Melakukan pemeriksaan refleks kornea :
Menyentuh kornea dengan ujung kapas ( normal penderita akan menutup
mata / berkedip ).
Menanyakan apakah penderita dapat merasakan sentuhan tersebut.
4. Melakukan pemeriksaan refleks masseter :
Meminta penderita untuk sedikit membuka mulutnya.
Meletakan jari telunjuk kiri pemeriksa di garis tengah dagu penderita.
Mengetok jari telunjuk kiri pemeriksa dengan jari tengah tangan kanan
pemeriksa atau dengan palu refleks.
Mengamati respon yang muncul : kontraksi muskulus masseter dan mulut
akan menutup.
Lidah Kaku Page 37
Lidah Kaku Page 38
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Terdapat 12 saraf kranial dimana ada : Olfaktorius, Optikus,
Okulomotor, Troklearis, Trigeminus, Abdusen, Fasialis, Vestibulokoklearis,
Glosofaringeal, Vagus, Aksesorius, Hipoglossus. Dimana saraf – saraf ini memiliki
peran tersendiri.
Nyeri merupakan pengalaman sensorik dan emosional yang tidak menyenangkan
berkaitan dengan kerusakan jaringan, baik aktual maupun potensial, atau yang
digambarkan dalam bentuk kerusakan.
Nyeri di bagi menjadi dua : Nyeri Akut dan nyeri kronik. Dimana nyeri akut
nyeri akut dihubungkan dengan kerusakan jaringan. Nyeri akut ini dapat dialami
segera setelah pembedahan sampai tujuh hari. Sedangkan nyeri kronik bisa
dikategorikan sebagai malignan atau nonmalignan yang dialami pasien paling tidak
1 – 6 bulan.
Dari skenario ini dimana didapatkan bahwa pasien mengalami neuralgia trigeminal
yaitu merupakan suatu keadaan dengan serangan sakit paroksismal yang singkat dan
hebat serta unilateral yang dipicu oleh rangsang sensoris lokal. nyeri yang timbul
karena terangsangnya suatu “trigger zone” di sekitar mulut.
Lidah Kaku Page 39
DAFTAR PUSTAKA
1. Sloane ethel, 2004, Anatomi dan fisiologi untuk pemula, penerbit buku :
kedokteran EGC, Jakarta.
2. Price, Sylvia A. Wilson, Lorraine M. 2005. Patofisiologi: Konsep Klinis
Proses-Proses Penyakit Edisi 6 Volume 1 dan 2. Jakarta: EGC
3. Prof. Dr. I Gusti Ng. Gd. Ngoerah. Nervi Kranialis. Dalam : Dasar-Dasar
Ilmu Penyakit Saraf. Penerbit Universitas Airlangga. Surabaya. 1990: 52-53;
351.
4. Krafft RM. Trigeminal Neuralgia. American Family Physician. 2008. Volume
77( 9) : 1291-6.
5. Sabirin J. Bell’s Palsy. Dalam : Hadinoto dkk. Gangguan Gerak. Cetakan I.
Semarang : Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro, 1990 : 171-81 2.
6. Sidharta P. Tata Pemeriksaan Klinis dalam Neurologi. Edisi ke-2.Jakarta :
Dian Rakyat, 1985 : 311-17.
Lidah Kaku Page 40