makalah morphine

Upload: bayyinah-ardian

Post on 10-Jul-2015

2.160 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

MORFIN1. Sumber Morfin Seratus tahun yang lalu belum ada obat obat antibiotik, obat hormonal, atau antipsikotik. Sesungguhnya belum ada obat obat yang betul bermanfaat, namun beberapa jenis morfin secara efektif telah menghilangkan nyeri yang hebat. Obat obat ini juga dapat mengontrol diare, batuk, ansietas, dan insomnia,. Dengan alasan ini Sir William Osler menamakan morfin sebagai obat dewa (Gods own medicine). Morfin pertama kali diisolasi pada 1804 oleh ahli farmasi Jerman Friedrich Wilhelm Adam Sertrner. Morfin digunakan untuk mengurangi nyeri dan sebagai cara penyembuhan dari ketagihan alkohol dan opium. Sumber opium, zat zat dari opium yang belum diolah, dan morfin bersumber dari bunga opium Papaver somniferum. Tanaman ini telah digunakan selama lebih dari 6000 tahun, dan penggunaanya terdapat dalam dokumen dokumen kuno Mesir, Yunani, dan Romawi. Yang menarik pada opium ialah bahwa sampai pada abad ke 18 belum ada perhatiaan akan kecenderungan adiksi opium. Morfin berasal dari perkataan Morpheus yaitu dewa mimpi dalammitologi Yunani. Morfin adalah sejenis bahan yang terdapat di dalam cecair candu dan digunakan oleh dokter untuk meringankan rasa sakit. Morfin juga dikenali sebagai M, White Stuff, White Powder, Monkey, Dreamer, Morpho, Tab, Morb, Cubes, Emsel dan Melter. Morfin adalah komponen utama dari opium/candu yang diperoleh tumbuhan Papaver Somniferum. Morfin diperdagangkan secara bebas dalam bentuk: a) Bubuk atau serbuk berwarna putih dan mudah larut dalam air. Dapat disalahgunakan dengan jalan menyuntikkan, merokok atau mencampur dalam minuman, adakalanya ditaburkan begitu saja pada luka-luka bekas disilet sendiri oleh para korban. b) Cairan berwarna putih disimpan dalam ampul atau botol, pemakaiannya hanya dilakukan dengan jalan menyuntik. c) Balokan dibuat dalam bentuk balok-balok kecil dengan ukuran dan warna yang berbeda-beda. d) Tablet Dibuat dalam bentuk tablet kecil putih.

Morfin

1

Struktur Morphin

Morfin (morfin), alkaloid yang paling penting dari opium, berbentuk kristal berkilau putih, prisma, jarum, atau bubuk berbau kristal rasa pahit yang meleleh pada sekitar 230 0C. Morfin digunakan sebagai, narkotika, hipnotik, sedatif, dan analgesik. Terdapat beberapa jenis morfin, antara lain : Morfin Mentah / Kasar Morfin mentah atau morfin kasar ini didapati dalam bentuk blok atau serbuk. Warna blok berbeda-beda dari putih ke cokelat gelap dan kebanyakkannya mempunyai tanda 999. Blok-blok ini biasanya mengandungi 70 % hingga 90 % morfin hidroklorid. Bes Morfin Bes morfin adalah sejenis alkaloid yang diperolehi secara langsung dari candu. Bahan ini kadangkala mempunyai bau seperti opium dan berupa seperti serbuk kopi halus. Kandungan morfin yang terdapat di dalamnya adalah antara 60 % hingga 70 %. Pil Morfin Pil-pil morfin ini mengandungi morfin sulfat atau morfin hidroklorid yang dikeluarkan secara sah atau legal, namun seringkali disalahgunakan ke pasaran gelap. pil-pil ini berukuran kecil dan berwarna putih atau cokelat pucat. Meskipun morfin dapat dibuat secara sintetik, tetapi secara komersial lebih mudah dan menguntungkan, yang dibuat dari bahan getah Papaver somniferum. Morfin paling mudah larut dalam air dibandingkan golongan opioid lain dan kerja analgesinya cukup panjang (long acting). Efek kerja dari morfin (dan juga opioid pada umumnya) relatife selektif, yakni tidak begitu mempengaharui unsur sensoris lain, yaitu rasa raba, rasa getar (vibrasi), penglihatan dan pendengaran, bahkan persepsi nyeripun tidak selalu hilang setelah pemberian morfin dosis terapi.

Morfin

2

RESEPTOR OPIOID Reseptor opioid yang terdapat didalam susunan saraf pusat sama baiknya dengan yang ada disepanjang jaringan periper. Reseptor reseptor ini normalnya distimulasi oleh peptida endogen (endorphins, enkephalins, dan dynorphins) diproduksi untuk merespon rangsangan yang berbahaya. Dalam dokumen dokumen yunani nama nama dari reseptor opioid berdasarkan atas bentuk dasar agonistnya:

Mu () (agonis morphine) reseptor reseptor Mu terutama ditemukan di batang otak, dan thalamus medial. Reseptor reseptor Mu bertanggung jawab pada analgesia supraspinal, depresi pernapasan, euphoria, sedasi, mengurangi motilitas gastrointestinal, ketergantungan fisik. Yang termasuk bgiannya ialah Mu1 dan Mu2, yang mana Mu1 berhubungan dengan analgesia, euphoria, dan penenang, Mu2 berhubungan dengan depresi pernapasan, preritus, pelepasan prolaktin, ketergantungan, anoreksia, dan sedasi. Ini juga disebut sebagai OP3 atau MOR (morphine opioid receptors). Kappa () (agonis ketocyklazocine) reseptor reseptor Kappa dijumpai didaerah limbik, area diensephalon, batang otak, dan spinal cord, dan bertanggung jawab pada analgesia spinal, sedasi, dyspnea, ketergantungan, dysphoria, dan depresi pernapasan. Ini juga dikenal dengan nama OP2 atau KOR (kappa opioid receptors). Delta () (agonis delta-alanine-delta-leucine-enkephalin) reseptor reseptor Delta lokasinya luas di otak dan efek efeknya belum deketahui dengan baik. Mungkin bertanggung jawab pada psykomimetik dan efek dysphoria. Ini juga dikenal dengan nama OP1 dan DOR (delta opioid receptors). Sigma () (agonis N-allylnormetazocine) reseptor reseptor Sigma bertanggung jawab pada efek efek psykomimetik, dysphoria, dan stres-hingga depresi.

Gambar 1 : struktur reseptor opioid.

Morfin

3

2. Mekanisme Morfin Secara umum, opioid berbagi kemampuan untuk merangsang nomor reseptor opiat yang spesifik di SSP, menyebabkan sedasi dan depresi pernafasan. Kematian hasil dari kegagalan pernapasan, biasanya sebagai akibat dari apnea atau paru aspirasi isi lambung. Selain itu paru, noncardiogenic akut. Edema dapat terjadi dengan mekanisme yang tidak diketahui. Efek analgesi morfin timbul berdasarkan 3 mekanisme :

1. Morfin meninggikan ambang rangsang nyeri 2. Morfin dapat mempengaharui emosi, artinya morfin dapat mengubah reaksi yang timbul dikorteks serebri pada waktu persepsi nyeri diterima oleh korteks serebri dari thalamus 3. Morfin memudahkan tidur dan pada waktu tidur ambang rangsang nyeri meningkat. Mekanisme aksi, metabolisme dan farmakokinetik obat opioid bertindak dengan mengikat reseptor tertentu dalam otak yang mengarah ke tindakan spesifik berdasarkan jenis reseptor yang terlibat. Ada empat jenis reseptor opioid, termasuk mu, kappa, delta dan nociceptin orphanin FQ. Reseptor opioid situs mengikat untuk peptida endogen yang memainkan peran penting dalam modulasi respon terhadap rasa sakit, pengaturan suhu tubuh, respirasi, aktivitas endokrin dan gastrointestinal, suasana hati, motivasi dan opiat eksogen lainnya dapat bertindak sebagai functions.8 agonis, agonis parsial atau antagonis reseptor ini. Sebagian besar dengan ketergantungan opioid potensial agonis pada reseptor mu. Obat ini mengaktifkan sistem dopamin mesocorticolimbic melalui kepemilikan mereka agonis mu menyebabkan euforia, penguatan positif dan perilaku mencari obat. Ketika reseptor opioid diaktifkan oleh agonis (endogen atau eksogen), kaskade perubahan intraseluler melibatkan sistem messenger kedua dan ketiga diatur dalam gerak. Perubahan ini tidak hanya menghasilkan perubahan langsung dalam respon neuron opioid receptorbearing tetapi juga menyebabkan perubahan adaptif dalam sistem lain, neuron berinteraksi dengan mereka. Beberapa dari perubahan ini terkait dengan pengembangan intraseluler toleransi (reaktivitas konsentrasi menurun bahkan pada reseptor opioid) dan rangsangan diubah (withdrawal) ketika agonis akan dihapus setelah periode hunian reseptor. Morfin merupakan agonis reseptor opioid, dengan efek utama mengikat dan mengaktivasi reseptor -opioid pada sistem saraf pusat. Aktivasi reseptor ini terkait denganMorfin 4

analgesia, sedasi, euforia, physical dependence danrespiratory depression. Morfin juga bertindak sebagai agonis reseptor -opioid yang terkait dengan analgesia spinal dan miosis. Interaksi antara lingkungan dan individu dapat memainkan peran penting dalam perilaku mencari obat dan menciptakan pemicu untuk penggunaan narkoba. Dengan kata lain, mekanisme neurobiologis aksi opioid dapat mewakili interaksi antara lingkungan sebagai pemicu untuk penggunaan obat-obatan terlarang dan individu sebagai subjek yang akan melihat kebutuhan yang mendesak obat dalam menanggapi indeks lingkungan.

3. Farmakodinamika Efek morfin terjadi pada susunan syaraf pusat dan organ yang mengandung otot polos. Efek morfin pada system syaraf pusat mempunyai dua sifat yaitu depresi dan stimulasi. Digolongkan depresi yaitu analgesia, sedasi, perubahan emosi, hipoventilasi alveolar. Stimulasi termasuk stimulasi parasimpatis, miosis, mual muntah, hiper aktif reflek spinal, konvulsi dan sekresi hormone anti diuretika (ADH). Morfin tidak dapat menembus kulit utuh, tetapi dapat menembus kulit yang luka. Morfin juga dapat mmenembus mukosa. Morfin dapat diabsorsi usus, tetapi efek analgesik setelah pemberian oral jauh lebih rendah daripada efek analgesik yang timbul setelah pemberian parenteral dengan dosis yang sama. Morfin dapat melewati sawar uri dan mempengaharui janin. Ekresi morfin terutama melalui ginjal. Sebagian kecil morfin bebas ditemukan dalam tinja dan keringat. Morfin dapat diabsorpsi oleh usus, tetapi efek analgetik yang tinggi diperoleh melalui parentral. Dari satu dosis morfin, sebanyak 10 % tidak diketahui nasibnya, sebagian mengalami konjugasi dengan asam glukoronat di hepar dan sebagian dikeluarkan dalam bentuk bebas. Ekskresi morfin terutama melalui ginjal. Urine mengandung bentuk bebas dan bentuk konjugasi. Berdasarkan hal ini, dapat dilakukan identifikasi morfin dalam urine dari penderita yang diduga keracunan morfin. Di dalam tubuh, morfin terutama dimetabolisme menjadi morphine-3-

glucuronide dan morphine-6-glucuronide (M6G). Pada hewan pengerat, M6G tampak memiliki efek analgesia lebih potensial ketimbang morfin sendiri. Sedang pada manusia M6G juga tampak sebagai analgesia. Perihal signifikansi pembentukan M6G terhadap efek yang diamati dari suatu dosis morfin, masih jadi perdebatan diantara ahli farmakologi.Morfin 5

4. Farmakokinetik Biasanya, efek puncak terjadi dalam waktu 2-3 jam, namun penyerapan mungkin akan diperlambat oleh efek farmakologis mereka pada motilitas gastrointestinal. Kebanyakan obat memiliki volume distribusi yang besar (3-5 L / kg). Tingkat eliminasi sangat bervariasi, dari 1-2 jam untuk turunan fentanyl lawan 15-30 jam untuk metadon.

5. Indikasi Indikasi morfin dan opioid lain terutama diidentifikasikan untuk meredakan atau menghilangkan nyeri hebat yang tidak dapat diobati dengan analgesik non-opioid. Lebih hebat nyerinya makin besar dosis yang diperlukan. Morfin sering diperlukan untuk nyeri yang menyertai : a) Infark miokard b) Neoplasma c) Kolik renal atau kolik empedu d) Oklusi akut pembuluh darah perifer, pulmonal atau koroner e) Perikarditis akut, pleuritis dan pneumotorak spontan f) Nyeri akibat trauma misalnya luka bakar, fraktur dan nyeri pasca bedah. g) Rasa sakit hebat yang terkait dengan laba-laba janda hitam envenomation, ular berbisa envenomation, atau gigitan atau sengatan lainnya. h) Sakit yang disebabkan oleh cedera korosif pada mata, kulit, atau saluran pencernaan. i) Edema paru akibat gagal jantung kongestif. Kimia-diinduksi edema paru noncardiogenic bukan merupakan indikasi untuk terapi morfin.

6. Kontraindikasi A. Diketahui hipersensitif terhadap morfin. B. Pernapasan atau depresi sistem saraf pusat dengan kegagalan pernapasan yang akan datang, kecuali pasien diintubasi atau peralatan dan personil terlatih berdiri untuk intervensi jika diperlukan. C. Dugaan cedera kepala. Morfin dapat mengaburkan atau menyebabkan depresi sistem saraf pusat berlebihan. 7. Dosis

Morfin

6

Dosis toksik sangat bervariasi tergantung pada senyawa spesifik rute dan tingkat administrasi, dan toleransi terhadap efek obat sebagai akibat dari penggunaan kronis. Beberapa turunan fentanil lebih baru memiliki potensi sampai dengan 2000 kali dari morfin. Dosis dan sediaan Morfin tersedia dalam tablet, injeksi, supositoria. Morfin oral dalam bentuk larutan diberikan teratur dalam tiap 4 jam. Dosis awal 5-10 mg biasa adalah 10-15 mg IV atau SC atau IM, dengan pemeliharaan dosis analgesik 5-20 mg setiap 4 jam Dosis anjuran untuk menghilangkan atau mengguranggi nyeri sedang atau untuk dosis pediatrik adalah 0,1-0,2 mg/kgBB setiap 4 jam. Untuk nyeri hebat pada dewasa 1-2 mg intravena dan dapat diulang sesuai yamg diperlukan. Morfin diabsorbsi dengan baik setelah pemberian subkutan (dibawah kulit), intra muskuler, intravena, tetapi tidak diabsorbsi dengan baik di saluran pencernaan. Oleh sebab itu morfin tidak pernah tersedia dalam bentuk obat minum. Rute oral dan rektal menghasilkan penyerapan tidak menentu dan tidak direkomendasikan untuk digunakan pada pasien akut. Morfin diberikan secara parenteral dengan injeksi subkutan, intravena, maupun epidural. Saat diinjeksikan, terutama intravena, morfin menimbulkan suatu sensasi kontraksi yang intensif pada otot. Oleh karena itu bisa menimbulkan semangat luar biasa. Tak heran bila dikalangan militer terkadang menggunakan autoinjector untuk memperoleh manfaat tersebut. Pemberian secara oral, biasa dalam sediaan eliksir, solusio, serbuk, atau tablet. Morfin jarang disuplai dalam bentuk suppositoria. Potensi pemberian oral hanya seperenam hingga sepertiga dari parenteral. Hal ini dikarenakan bioavailabitasnya yang kurang baik. Saat ini morfin juga tersedia dalam bentuk kapsul extended-release untuk pemberian kronik dan juga formulasi immediate-release.

6. Efek Samping Kontak morfin dengan kulit orang yang sensitif dapat menyebabkan eritema, urtikaria, gatal-gatal dan dermatitis. Kerentanan efek terapi dan toksisitas bervariasi terhadap orang yang berbeda, anak-anak yang lebih rentan daripada orang dewasa, seperti juga orang yang menderita myxedema dan hipotiroidisme. Morfin bekerja langsung pada sistem saraf pusat untuk menghilangkan sakit. Efek samping morfin antara lain adalah penurunan kesadaran, euforia, rasa kantuk, lesu, danMorfin 7

penglihatan kabur. Morfin juga mengurangi rasa lapar, merangsang batuk, dan meyebabkan konstipasi. Morfin menimbulkan ketergantungan tinggi dibandingkan zat-zat lainnya. Efek subyektif yang dialami oleh individu pengguna morfin antara lain merasa gembira, santai, mengantuk, dan kadang diakhiri dengan mimpi yang menyenangkan. Penggunaan morfin umumnya terlihat apatis, daya konsentrasinya menurun, dan pikirannya sering terganggu pada saat tidak menggunakan morfin. Efek tersebut yang selanjutnya menyebabkan penggunanya merasa ketagihan. Disamping memberi manfaat klinis, morfin dapat memberikan resiko efek samping yang cukup beragam, antara lain efek terhadap sistema pernafasan, saluran pencernaan, dan sistema urinarius. Efek pada sistema pernafasan berupa depresi pernafasan, yang sering fatal dan menyebabkan kematian. Efek ini umumnya terjadi beberapa saat setelah pemberian intravenosa atau sekitar satu jam setelah disuntikkan intramuskuler. Efek ini meningkat pada penderita asma, karena morfin juga menyebabakan terjadinya penyempitan saluran pernafasan. Efek pada sistema saluran pencernaan umumnya berupa konstipasi, yang terjadi karena morfin mampu meningkatkan tonus otot saluran pencernaan dan menurunkan motilitas usus. Pada sistema urinarius, morfin dapat menyebabkan kesulitan kencing. Efek ini timbul karena morfin mampu menurunkan persepsi terhadap rangsang kencing serta menyebabkan kontraksi ureter dan otot- otot kandung kencing. Tanda- tanda pemakaian obat bervariasi menurut jenis obat, jumlah yang dipakai, dan kepribadian sipemakai serta harapannya.

7. Gejala Klinis a. Dengan overdosis ringan atau sedang, kelesuan umum. Pupil biasanya kecil, sering "menentukan" ukuran. Tekanan darah dan denyut nadi yang menurun, gerakan usus berkurang, dan otot-otot biasanya lembek. b. Dengan dosis yang lebih tinggi, koma disertai oleh depresi pernafasan, dan apnea sering mengakibatkan kematian mendadak. Edema paru Noncardiogenic dapat terjadi, sering setelah resusitasi dan administrasi nalokson antagonis opiat. c. Kejang tidak umum setelah overdosis opioid tetapi kadang-kadang terjadi dengan senyawa tertentu (misalnya, dekstrometorfan, meperidin, propoxyphene, dan tramadol). Kejang dapat terjadi pada pasien dengan kompromi ginjal yang

Morfin

8

menerima

berulang

dosis

meperidin,

karena

akumulasi

dari

metabolit

normeperidine. d. Sama dengan yang terlihat dengan antidepresan trisiklik cardiotoxicity dan quinidine dapat terjadi pada pasien dengan intoksikasi propoxyphene parah.

8. Obat atau interaksi laboratorium A. Efek depresan Aditif dengan agonis opioid lain, etanol dan lain-hipnotis penenang agen, obat penenang, dan antidepresan. B. Secara fisik tidak sesuai dengan solusi yang mengandung berbagai obat, termasuk aminofilin, fenitoin, fenobarbital, dan natrium bikarbonat. 9. Keracunan Morfin Perjalanan dari keracunan akut bervariasi dengan dosis yang lebih besar karena setelah gejala awal dapat diikuti oleh aksi depresan pada sistem saraf pusat. Mengonsumsi dosis kecil mungkin diikuti dengan wajah berkeringat, dan perasaan menjadi tenang dan nyamanan. Dengan dosis yang lebih besar pasien mengalami kekeringan pada mulut dan merasa haus, warna kulit berubah pucat, denyut nadi dan pernapasan menjadi lambat, pupil kostriksi dan mungkin ada mual, muntah, sembelit. Setelah dosis besar,timbul diare, tinnitus, mata berkedip-kedip, dan stranguria mungkin terjadi. Pasien tertidur sampai mabuk, dan akhirnya koma. Gejala kelebihan dosis : Pupil mata sangat kecil (pinpoint), pernafasan satu- satu dan coma (tiga gejala klasik). Bila sangat hebat, dapat terjadi dilatasi (pelebaran pupil). Sering disertai juga nausea (mual). Kadang-kadang timbul edema paru (paru-paru basah). Gejalagejala lepas obat : Agitasi, nyeri otot dan tulang, insomnia, nyeri kepala. Bila pemakaian sangat banyak (dosis sangat tinggi) dapat terjadi konvulsi(kejang) dan koma, keluar airmata (lakrimasi), keluar air dari hidung(rhinorhea), berkeringat banyak, cold turkey, pupil dilatasi, tekanan darah meninggi, nadi bertambah cepat, hiperpirexia (suhu tubuh sangat meninggi), gelisah dan cemas, tremor, kadang-kadang psikosis toksik. Keracunan morfin dapat terjadi secara akut dan secara kronis. Keracunan akut biasanya terjadi akibat percobaan bunuh diri atau dosis yang berlebihan. Keracunan kronis terjadi akibat pemakaian berulang-ulang dan inilah yang sering terjadi. Adiksi (kecanduan)Morfin 9

atau morfinisme tidak lain dari pada suatu keadaan keracunan kronis. Adiksi morfin ditandai dengan adanya habituasi, ketergantungan fisik dan toleransi. Gejalanya antara lain merasa sakit, iratabilitas, tremor, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin-bersin, anoreksia, midriasis, deman, pernafasan cepat, muntah-muntah, kolik, diare dan pada akhirnya penderita mengalami dehidrasi, ketosis, asidosis, kolaps kardiovackuler yang bisa berakhir dengan kematian. Pada beberapa orang, terutama pasien perempuan, depresi sistem saraf pusat dapat diawali oleh rasa gembira. Pada tahap awal keracunan pasien mungkin sebagian dan sementara terangsang ke rasa kebingungan. Kemudian refleks menghilang dan otot menjadi lembek. Jarang pada orang dewasa lebih sering pada anak-anak mungkin ada kejang, trismus, dan opisthostonos. Respirasi lambat, tidak teratur, stridulous, dan kadang-kadang mempunyai karakter Cheynestokes atau Kussmaul. Kemungkinan ditandai dengan sianosis, dan denyut nadi menjadi lemah, lambat, dan sering tidak teratur, kulit dingin dan lembap, dan menurunkan suhu tubuh. Pupil yang berkonstriksi maksimal dan hanya selama tahap terminal mereka melebar atau berdilatasi. Penglihatan menjadi kabur, dan hemiopia, pembatasan bidang visual, dan amaurosis dapat berkembang. Dalam kematian, keracunan akut morfin terjadi setelah tujuh sampai dua belas jam dari kelumpuhan pernapasan, jika pasien bertahan dua belas jam, prognosis biasanya baik. Setelah pemulihan dari keracunan akut, sakit kepala sembelit , muntah, gatal, dan gangguan kemih kadang-kadang akan tetap ada. Dalam kasus pneumonia dan edema paru kemungkinan dapat berkembang dan dalam kasus ini mungkin jarang remisi, mungkin karena reabsorpsi dari saluran pencernaan. Penggunaan terus morphine menyebabkan toleransi, sehingga dosis harus ditingkatkan untuk menghasilkan efek yang diinginkan dan akhirnya mengarah pada kecanduan dan keracunan kronis. Pada keracunan morfin kronis kulit biasanya menunjukkan stigmata dari pecandu, ditandai dengan bekas luka dari suntikan dan kadang-kadang dengan abses. Gatal, jerawat rosacea, urtikaria, dan eritematosa dan vesikular pecah mungkin juga terjadi. Pasien menderita gangguan umum yang dikarakterisasi oleh gangguan rasa dan kehilangan nafsu makan dan berat badan yang dapat menyebabkan cachexia. Beberapa pasien menderita kekeringan pada mulut dan merasa haus, dan beberapa dari mereka merasa kelaparan. Kulit pucat dan mungkin ada kehilangan rambut dan deformasi dari kuku. Kadang-kadang pasien berkeringat di malam hari, menggigil dan demam, sakit kepala,Morfin 10

dan sesak di dada. Dia mungkin menderita sakit lambung, kolik, tenesmus, diare berdarah, atau sembelit dan disuria. Pada orang lain mungkin berkembang menjadi nefritis dengan albuminuria, oliguria, anuria dan yang mungkin mengakibatkan uremia. Pada pasien lakilaki, awalnya libido akan meningkat dan kemudian menurun. Pada pasien wanita, dismenore dan gangguan menstruasi lainnya dapat diamati. Kadang-kadang pasien menderita coryza. Pupil biasanya konstriksi, jarang melebar atau tidak teratur dan mungkin ada konjungtivitis, lakrimasi, amblyopia dan amaurosis. Fungsi psikis adalah yang pertama terangsang, kemudian menjadi depresi. Pasien menjadi murung dan apatis, memori dan penilaiannya terganggu, dan secara mental dan moral ia menjadi buruk. Dia mungkin menjadi gelisah dan menderita insomnia dan kecemasan. Beberapa pasien psikosis biasanya berkembang menjadi depresi, halusinasi dan kadang-kadang paranoid. Keluhan lainnya tentang gangguan sensori seperti gatal-gatal, formication, dan nyeri neuritik. Refleks superfisial kadang-kadang meningkat dan mungkin ada tremor, inkoordinasi dan gangguan berbicara. Adiksi (kecanduan) atau morfinisme tidak lain dari pada suatu keadaan keracunan kronis. Adiksi morfin ditandai dengan adanya habituasi, ketergantungan fisik dan toleransi. Gejalanya antara lain merasa sakit, iratabilitas, tremor, lakrimasi, berkeringat, menguap, bersin-bersin, anoreksia, midriasis, deman, pernafasan cepat, muntah-muntah, kolik, diare dan pada akhirnya penderita mengalami dehidrasi, ketosis, asidosis, kolaps kardiovackuler yang bisa berakhir dengan kematian.

10. Diagnosa Ketergantungan Diagnosis ketergantungan penderita opiat ditegakkan dengan pemeriksaan klinis (medik psikiatrik) dan ditunjang dengan pemeriksaan urine. Pada penyalahgunaan narkotika jenis opiat, seringkali dijumpai komplikasi medis, misalnya kelainan pada organ paru-paru dan lever, depresi pernafasan dan SSP. Tanda penyalahgunaan obat intravena (misalnya, jarum) diketahui dan pasien cepat terbangun setelah pemberian nalokson. Untuk mengetahui adanya komplikasi, dilakukan pemeriksaan fisik pada penderita oleh dokter ahli penyakit dalam, ditunjang oleh pemeriksaan X-ray thorax foto dan laboratorium untuk mengetahui fungsi lever (SGOT dan SGPT). Pemeriksaan laboratorium yang lain yang berguna termasuk elektrolit, glukosa, dll. Banks A. dan Waller T. (1983) menyatakan bahwa edema paru akut merupakan komplikasi serius, terutama pada pecandu narkotika dosis tinggi (over dosis). Selanjutnya,Morfin 11

komplikasi lainnya adalah hepatitis (4%). Komplikasi medis ini erat kaitannya dengan cara penggunaan narkotika tersebut, yaitu dengan dihirup (chasing dragon) melalui mulut atau hidung, heroin yang dipanasi di atas kertas alumunium foil, atau suntikan intravena. Khasiatnya terutama adalah analgetik (menghilangkan rasa nyeri) dan euforia (gembira). Pemakaian yang berulangkali dapat menimbulkan toleransi dan ketergantungan. Penyalahgunaan narkotika merupakan suatu pola penggunaan zat yang bersifat patologik paling sedikit satu bulan lamanya. Opioida termasuk salah satu yang sering disalahgunakan manusia. Menurut ICD 10 (International Classification Diseases), berbagai gangguan mental dan perilaku akibat penggunaan zat dikelompokkan dalam berbagai keadaan klinis, seperti intoksikasi akut, sindroma ketergantungan, sindroma putus zat, dan gangguan mental serta perilaku lainnya. Sindroma putus obat adalah sekumpulan gejala klinis yang terjadi sebagai akibat menghentikan zat atau mengurangi dosis obat yang persisten digunakan sebelumnya. Keadaan putus heroin tidak begitu membahayakan. Di kalangan remaja disebut sakau dan untuk mengatasinya pecandu berusaha mendapatkan heroin walaupun dengan cara merugikan orang lain seperti melakukan tindakan kriminal. Gejala objektif sindroma putus opioid, yaitu mual/muntah, nyeri otot, lakrimasi, rinorea, dilatasi pupil, diare, menguap/sneezing, demam, dan insomnia. Untuk mengatasinya, diberikan simptomatik. Misalnya, untuk mengurangi rasa sakit dapat diberi analgetik, untuk menghilangkan muntah diberi antiemetik, dan sebagainya. Pengobatan sindroma putus opioid harus diikuti dengan program terapi detoksifikasi dan terapi rumatan. Kematian akibat overdosis disebabkan komplikasi medis berupa gangguan pernapasan, yaitu oedema paru akut (Banks dan Waller). Sementara, Mc Donald (1984) dalam penelitiannya menyatakan bahwa penyalahgunaan narkotika mempunyai kaitan erat dengan kematian dan disabilitas yang diakibatkan oleh kecelakaan, bunuh diri, dan pembunuhan. Penyalahgunaan obat- obatan sangat beragam, tetapi yang paling banyak digunakan adalah obat yang memiliki tempat aksi utama di susunan saraf pusat dan dapat menimbulkan gangguan- gangguan persepsi, perasaan, pikiran, dan tingkah laku serta pergerakan otot- otot orang ynag menggunakannya. Tujuan penyalahgunaan pada umumnya adalah untuk mendapatkan perubahan mental sesaat yang menyenangkan. Efek menenangkan sering dipergunakan untuk mengatasi kegelisahan, kekecewaan, kecemasan, dorongan dorongan yang terlalu berlebihan oleh orang yang lemah mentalnya atau belumMorfin 12

matang kepribadiannya. Sedangkan efek merangsang sering dipakai untuk melancarkan pergaulan, atau untuk suatu tugas, menambah gairah sex, meningkatkan daya tahan jasmani. Penyalahgunaan obat dapat diketahui dari hal-hal sebagai berikut : a) tanda- tanda pemakai obat b) keadaan lepas obat c) kelebihan dosis akut d) komplikasi medik ( penyulit kedoktearn ) e) komplikasi lainnya (sosial, legal, dsb).

11. Gambaran Forensik Pemeriksaan Barang Bukti Hidup Pada Kasus Pemakai Morfin Kasus keracunan merupakan kasus yang cukup pelik, karena gejala pada umumnya sangat tersamar, sedangkan keterangan dari penyidik umumnya sangat minim. Hal ini, tentu saja akan menyulitkan dokternya, apalagi untuk racun- racun yang sifat kerjanya mempengaruhi sistemik korban. Akibatnya pihak dokter/ laboratorium akan terpaksa melakukan pendeteksian yang sifatnya meraba- raba, sehingga harus melakukan banyak sekali percobaan yang mana akan menambah biaya pemeriksaan. Untuk memudahkan pemeriksaan, dilakukan pembagian kasus keracunan sebagai berikut: Anamnesa dan Pemeriksaan fisik Gejala klinis : a) Pada umumnya sama dengan gejala klinis keracunan barbiturate; antara lain nausea, vomiting, nyeri kepala, otot lemah, ataxia, suka berbicara, suhu menurun, pupil menyempit, tensi menurun dan sianosis. b) Pada keracunan akut : miosis, koma, dan respirasi lumpuh. c) Gejala keracunan morfin lebih cepat nampak daripada keracunan opium. d) Gejala ini muncul 30 menit setelah masuknya racun, kalau parenteral, timbulnya hanya beberapa menit sesudah masuknya morfin.

Kesan-kesan Penggunaan Morfin a) Mata hitam mengecil b) Tekanan darah turun c) Peredaran darah lambatMorfin 13

d) Kurang selera makan e) Sentiasa khayal f) Pertuturan tidak nyata

Pemeriksaan Toksikologi Sebagai barang bukti : 1. Urin, cairan empedu dan jaringan tempat suntikan. 2. Darah dan isi lambung, diperiksa bila diperkirakan keracunannya peroral. 3. Nasal swab, kalau diperkirakan melalui cara menghirup. 4. Barang bukti lainnya.

Metode yang digunakan : Dengan Thin Layer Chromatography atau dengan Gas Chromatography (Gas Liquid Chromatography) Pada metode TLC, terutama pada keracunan peroral: barang bukti dihidroliser terlebih dahulu sebab dengan pemakaian secara oral,morfin akan

dikonjugasikan terlebih dahulu oleh glukuronida dalam sel mukosa usus dan dalam hati. Kalau tanpa hidrolisa terlebih dahulu, maka morfin yang terukur hanya berasal dari morfin bebas, yang mana untuk mencari beberapa morfin yang telah digunakan, hasil pemeriksaan ini kurang pasti. Nalorfine Test. Penafsiran hasil test : Kadar morfin dalam urin, bila sama dengan 5 mg%, berarti korban minum heroin atau morfin dalam jumlah sangat banyak. Bila kadar morfin atau heroin dalam urin 5-20 mg%, atau kadar morfin/heroin dalam darah 0,1-0,5 mg%, berarti pemakaiannya lebih besar dosis lethalis. Permasalahan timbul bila korban memakai morfin bersama dengan heroin atau bersama kodein. Sebab hasil metabolic kodein, juga ada yang berbentuk morfin, sehingga morfin hasil metabolic narkotika tadi berasal dari morfinnya sendiri dan dari kodein. Sebagai patokan dapat ditentukan, kalau hasil metabolit morfinnya tinggi, sedang mensuplai morfin hanya sedikit, dapat dipastikan korban telah mensuplai juga kodein cukup banyak. Sebuah review dilakukan oleh Wiffen PJ dkk tentang penggunaan morfin oral untuk nyeri kanker. Review yang dilaporkan dalam The Cochrane Database of Systematic Reviews 2006 Issue 3 ini mengikutkan 55 studi (3061 subjek) yang memenuhi kriteria. Empat belas studi membandingkan preparat oral sustained release morphine (MSR)

dengan immediate release morphine(MIR). Delapan studi membandingkan MSR denganMorfin 14

kekuatan yang berbeda. Sembilan studi membandingkan MSR oral dengan MSR rectal. Satu studi masing-masing membandingkan: MSR tablet dengan MSR suspensi; MSR dengan frekuensi dosis yang berbeda; MSR dengan non-opioid; MIR dengan non opioid; morfin oral dengan morfin epidural; dan MIR dengan rute pemberian yang berbeda. Hasil review memperlihatkan, morfin merupakan analgesik efektif untuk mengatasi nyeri kanker. Pengurangan nyeri tidak berbeda untuk sediaan MSR dan MIR. MSR efektif untuk dosis 12 atau 24 jam tergantung pada formulasinya. Efek samping umum dijumpai, namun hanya 4% pasien yang menghentikan pengobatan karena tidak bisa menolerir.

12. Pengobatan A. Darurat dan langkah-langkah dukungan 1. Mempertahankan jalan napas terbuka dan membantu ventilasi jika perlu. Administer oksigen tambahan. 2. Perlakukan koma, kejang, hipotensi, dan noncardiogenic edema paru jika mereka terjadi.

B. Spesifik obat dan penangkalnya. 1. Nalokson adalah antagonis opioid tertentu dengan tidak ada sifat agonis sendiri; dosis besar dapat diberikan dengan aman. ). Ini adalah antagonis reseptor bertindak pendek. 6-alfa-naloxol memiliki setengah-hidup lebih lama daripada naloxone. Biasanya diberikan secara intravena (IV), subkutan (SC) atau intramuskular (IM). Beberapa laporan menunjukkan bahwa pemberian IM dapat memperpanjang efek dari naloxone. Biasanya diberikan oleh paramedis sebelum untuk pasien darurat. Ada bukti bahwa efek depresan antagonizes pernapasan morfin hingga enam hours. Dosis awal 0,4 mg biasanya IV / SC / IM. Hal ini dapat diulang sampai pasien merespon. Beberapa studi telah mengindikasikan kisaran dosis total antara 2-6 mg tergantung pada waktu paruh dari opioid termasuk dalam overdose. a. Mengadministrasikan nalokson, 0,4-2 mg IV. Sebagai sedikit sebagai 0,2-0,4 mg biasanya efektif overdosis heroin. Ulangi dosis setiap 2-3 menit jika ada tidak ada respon, sampai dosis total 10-20 mg jika overdosis opioid diduga kuat.

Morfin

15

b. Perhatian: Durasi efek dari nalokson (1-2 jam) lebih pendek dari bahwa opioid banyak. Oleh karena itu, tidak melepaskan pasien yang telah terbangun setelah perawatan nalokson sampai setidaknya 3-4 jam telah berlalu sejak dosis terakhir nalokson. Secara umum, jika diperlukan nalokson untuk membalikkan opioid-koma, lebih aman untuk mengakui pasien setidaknya 6-12 jam pengamatan. 2. Nalmefene (p 384) merupakan antagonis opioid dengan durasi yang lebih lama efek (3-5 jam). a. Nalmefene dapat diberikan dalam dosis 0,1-2 mg IV, dengan dosis berulang sampai dengan 10-20 mg jika overdosis opioid diduga kuat. b. Perhatian: Meskipun durasi nalmefene dari efek yang lebih lama daripada nalokson, masih jauh lebih pendek dari durasi efek dari metadon. Jika overdosis metadon dicurigai, pasien harus diamati selama setidaknya 8-12 jam setelah dosis terakhir nalmefene. 3. Natrium bikarbonat (p 345) mungkin efektif untuk perpanjangan Interval QRS atau hipotensi yang terkait dengan keracunan propoxyphene. C. Dekontaminasi Racun Dan Obat Khusus: Pemeriksaan Dan Perawatan 243 a. Pra-rumah sakit. Mengadministrasikan arang aktif jika tersedia. Jangan menginduksi muntah, karena potensi untuk mengembangkan lesu dan koma. b. Rumah sakit. Administer arang aktif. Pengosongan lambung tidak perlu jika arang aktif dapat diberikan segera. D. Peningkatan eliminasi. Karena volume yang sangat besar distribusi opioid dan ketersediaan pengobatan yang efektif cegah, tidak ada peran untuk prosedur penghapusan ditingkatkan.

Morfin

16

Pengobatan keracunan akut morfin dari konsumsi obat terdiri dari lavage lambung prompt dengan larutan kalium permanganat (0,05 persen) dan kemudian dengan air dan cairan untuk meningkatkan ekskresi urin. Pasien harus tetap nyaman. Saat terjadi analeptik dan respirasi terganggu, pernapasan buatan dengan pemberian oksigen diperlukan . Hal ini penting untuk mengosongkan kandung kemih jika pasien tidak berkemih secara spontan. Pemberian subkutan atau intramuskular nalorphin hidroklorida dalam dosis dari 5 sampai 10 mg mungkin bisa membantu dan harus diulang setiap sepuluh hingga lima belas menit. Dalam keracunan berat dosis setinggi 40 mg mungkin diperlukan.Morfin 17

Pengobatan keracunan morfin kronis yaitu dengan penghentian obat. Hal ini menghasilkan serangkaian gejala yang mencapai klimaks pada hari kedua dan ketiga dan kemudian secara bertahap menjadi kurang ditandai sampai mereka absen setelah delapan hari. Jika penghentian terjadi pada tahap awal, kelelahan, lemah dan suasana hati yang depresif mungkin satu-satunya gejala. Dalam kecanduan berkepanjangan mereka biasanya jauh lebih serius. Pasien menjadi mudah marah, coryza, menguap dan bersin, dan suara serak. Dia menjadi gelisah, mungkin menderita kepanasan dan menggigil, gangguan pencernaan fungsional (seperti penolakan makanan dan muntah-muntah dan diare yang dapat menyebabkan dehidrasi serta keram di betis) dan nyeri otot, terutama di kaki, tapi kadang-kadang juga di lengan dan perut. Dia mungkin menderita sakit kepala, neuralgia, kelemahan ekstrim, tremor dan delirium yang dapat masuk ke dalam serangan manik akut. Sesekali dia mungkin sangat mengkhawatirkan, tetapi dengan injeksi subkutan 10 mg Morphin ia akan segera tenang.

Morfin

18

DAFTAR PUSTAKA A. Farres, et, al. 2011. Illicit Opioid Intoxication: Diagnosis and Treatment. USA: Libertas Academica, Substance Abuse: Research and Treatment. Web : http://www.la-press.com. Kent R. Olson, MD, FACEP, FACMT, FAACT. 2004. Poisoning & Drug Overdose fourth edition. The McGraw-Hill Companies. United States of America Halim Mubin A. : Panduan praktis Ilmu penyakit Dalam: Diagnosa dan Terapi, EGC, Jakarta 2001 : 98-115 Panitia Pelantikan Dokter FK-UGM : Penatalaksanaan Medik, Senat Mahasiswa Fak.Kedokteran UGM, Yogyakarta 1987 :18 22 Purnawan J., Atiek S.S, Husna A. : Kapita Seekta Kedokteran, Media Aesculapius, Jakarta 1982: 185-198 Budavari, Susan. The Merck Index, 12th edition. Merck. 1996 Clark E.C.G. : Isolation and Identification of Drug, General Medical Counsil, London, 1969. Drs. Y.P. Jokosuyuno, 1980, Masalah Narkotika dan Bahan Sejenisnya, Penerbitan Yayasan Kanisius. James Scorzelli, 1987, Drug Abuse- Preventions and Rehabilitations In Malaysia, Universiti Kebangsaan Malaysia. LeCouteur P. and Burreson J. Napoleons Buttons: How 17 Molecules Changed History. Penguin Putnam. 2003 Sudjono D, 1977, Narkotika dan Remaja, Penerbitan Alumni Bandung Website: http://books.google.co.id/books?id=QE1iRZmTD1cC&pg=PA230&lpg=PA230&dq=me kanisme+keracunan+morfin&source=bl&ots=wRNbUZn6pE&sig=UxPlJFZIyWuVBAJMKM2DJQ15xU&hl=id&ei=xsyyTqTWMYKzrAeEyNzPAw&sa=X&oi=book _result&ct=result&resnum=5&ved=0CC8Q6AEwBDgK#v=onepage&q=mekanisme%2 0keracunan%20morfin&f=false

Morfin

19