makalah lemhannas _07-04-10

11
1 KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA HUBUNGAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF DALAM MENDUKUNG KINERJA PEMERINTAHAN DAERAH Ceramah Disampaikan pada Forum Konsolidasi Pimpinan Pemerintah Daerah Bupati, Walikota, dan Ketua DPRD kabupaten/Kota Angkatan III 2010 di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas-RI). Jakarta, 24 Maret 2010 Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh, Salam Sejahtera Untuk kita Semua, Puji dan syukur kita persembahkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua, sehingga kita bisa berkumpul dalam forum yang berbahagia ini. Yaitu, Forum Konsolidasi Pimpinan Pemerintahan Daerah Bupati, Walikota, dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota Angkatan III Tahun 2010, yang mengambil tema ”Kinerja Pimpinan Daerah dalam Rangka Wawasan Nusantara”. Adalah suatu kehormatan bagi saya diundang dalam forum yang berbahagia ini untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran tentang ”Hubungan Legislatif dan Eksekutif Dalam Mendukung Kinerja Pimpinan Daerah”. Tema hubungan legislatif dan eksekutif adalah tema yang senantiasa penting untuk dibicarakan, terutama pada era demokrasi saat ini, baik untuk level nasional maupun tingkat lokal. Hubungan legislatif dan eksekutif juga menjadi bahan penelitian dan perdebatan akademis yang tidak pernah selesai, terutama dalam sistem pemerintahan yang kita anut, yaitu sistem pemerintahan presidensial.

Upload: redaksi-marzuki-alie

Post on 18-Jun-2015

923 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: MAKALAH LEMHANNAS _07-04-10

1

KETUA DEWAN PERWAKILAN RAKYAT

REPUBLIK INDONESIA

HUBUNGAN LEGISLATIF DAN EKSEKUTIF

DALAM MENDUKUNG KINERJA PEMERINTAHAN DAERAH

Ceramah Disampaikan pada Forum Konsolidasi Pimpinan Pemerintah Daerah Bupati, Walikota, dan Ketua DPRD kabupaten/Kota Angkatan III 2010

di Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhannas-RI). Jakarta, 24 Maret 2010

Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,

Salam Sejahtera Untuk kita Semua,

Puji dan syukur kita persembahkan ke hadirat Allah SWT yang telah

memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua, sehingga kita bisa

berkumpul dalam forum yang berbahagia ini. Yaitu, Forum Konsolidasi Pimpinan

Pemerintahan Daerah Bupati, Walikota, dan Ketua DPRD Kabupaten/Kota

Angkatan III Tahun 2010, yang mengambil tema ”Kinerja Pimpinan Daerah

dalam Rangka Wawasan Nusantara”.

Adalah suatu kehormatan bagi saya diundang dalam forum yang

berbahagia ini untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran tentang ”Hubungan

Legislatif dan Eksekutif Dalam Mendukung Kinerja Pimpinan Daerah”.

Tema hubungan legislatif dan eksekutif adalah tema yang senantiasa penting

untuk dibicarakan, terutama pada era demokrasi saat ini, baik untuk level

nasional maupun tingkat lokal. Hubungan legislatif dan eksekutif juga menjadi

bahan penelitian dan perdebatan akademis yang tidak pernah selesai, terutama

dalam sistem pemerintahan yang kita anut, yaitu sistem pemerintahan

presidensial.

Page 2: MAKALAH LEMHANNAS _07-04-10

2

Sebelum melakukan pemaparan lebih lanjut, izinkanlah saya sedikit

mengoreksi tema yang diberikan. Saya ingin mengganti frase ”pimpinan daerah”

menjadi ”pemerintahan daerah”. Jadi lengkapnya, ”Hubungan Legislatif dan

Eksekutif dalam Mendukung Kinerja Pemerintahan Daerah”.

Dalam perspektif konstitusi, pemerintahan daerah itulah yang merupakan

pimpinan di daerah yang memiliki kewenangan untuk menjalankan otonomi

seluas-luasnya, baik di level provinsi maupun kabupaten/kota. Pemerintahan

daerah terdiri dari pemerintah daerah dan DPRD. Pemerintah daerah dipimpin

oleh seorang kepala daerah, sedangkan DPRD oleh pimpinan DPRD. Perbedaan

karakterisik kepala daerah dengan pimpinan DPRD terletak pada sifat

kelembagaan yang dipimpin. Kelembagaan pemerintah daerah bersifat tunggal,

sedangkan DPRD bersifat majemuk. Seorang kepala daerah setiap saat dapat

membuat keputusan eksekutif tanpa harus meminta persetujuan pejabat lain di

jajaran eksekutif. Sedangkan pimpinan DPRD tidak bisa demikian karena

keputusan tertinggi ada pada forum rapat paripurna di mana seluruh anggota

memiliki kedudukan yang sama.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Hubungan antara Pemerintah Dearah dan DPRD merupakan hubungan

mitra sejajar yang sama-sama melakukan tugas sebagai penyelenggara

pemerintahan daerah. Dengan demikian antara kedua lembaga tersebut harus

membangun hubungan yang saling mendukung.

Kedua lembaga harus memelihara dan membangun hubungan kerja yang

harmonis dan satu sama lain harus saling mendukung, bukan sebagai lawan

atau pesaing. Kedua lembaga perlu mengembangkan hubungan dan

mekanisme checks and balances, meningkatkan kualitas, produktifitas, dan

kinerja demi terwujudnya keadilan dan kesejahteraan masyarakat.

Masing-masing lembaga dalam pelaksanaan fungsinya bisa saling

memahami terhadap tugas yang melekat pada masing-masing lembaga tersebut

secara proporsional, dengan tanpa saling mencurigai, membawahi, lebih

menonjolkan atau mendominasi, meninggalkan yang lain, dan sebagainya.

Page 3: MAKALAH LEMHANNAS _07-04-10

3

Terwujudnya pemerintahan daerah yang baik tidak lepas dari optimalisasi

peran DPRD dalam menjalankan tugasnya. Akuntabilitas tugas yang merupakan

amanat rakyat sangat ditentukan oleh tingkat kapabilitas yang dimiliki oleh setiap

anggota DPRD. Bagaimana mungkin suatu kebijakan pemerintahan memiliki nilai

yang aspiratif bagi masyarakat, bila tidak ada keseimbangan

kemampuan/kapabilitas dalam perencanaan dan implementasi program antara

eksekutif dan legislatif.

Diakui atau tidak, dinamika yang berkembang saat ini bahwa inisiatif

dalam menelurkan berbagai program kebijakan masih didominasi oleh eksekutif.

Kini sudah saatnya ada kesetaraan dalam kesetimbangan inisiatif dalam

penyusunan kebijakan antara DPRD dan Pemerintah Daerah.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Izinkanlah saya memulai kupasan tentang hubungan legislatif dan

eksekutif ini dengan mengangkat fenomena politik yang baru saja terjadi, yaitu

kasus Bank Century. Apa yang Saudara-saudara saksikan di DPR baru-baru ini

mengenai hiruk-pikuk kasus Century juga menggambarkan suatu hubungan

legislatif dan eksekutif. Dari kasus tersebut dapat kita pelajari bahwa tidak

selamanya pandangan pemerintah sejalan dengan pendapat mayoritas DPR.

Dalam kasus Century, dengan suara mayoritas, DPR menyimpulkan bahwa bail

out Bank Century telah melanggar hukum. Sedangkan pemerintah sejak awal

menyatakan hal tersebut merupakan suatu kebijakan yang memang harus

diambil untuk menghindari krisis lebih lanjut, yang diperkirakan berdampak

sistemik. Bahkan, satu hari setelah diterimanya opsi C dalam Rapat Paripurna

DPR tanggal 3 Maret 2010, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono menyampaikan

pidato yang intinya tetap pada keyakinan semula bahwa tidak ada pelanggaran

hukum dalam kebijakan bail out Bank Century.

Contoh kasus di atas mengindikasikan bahwa perbedaan pandangan

antara legislatif dan eksekutif adalah hal yang lumrah dalam demokrasi, dan

tidak bisa disimpulkan sebagai suatu perpecahan dalam jalannya pemerintahan.

Perlu dipahami, lembaga legislatif semacam DPR, termasuk DPRD di tingkat

lokal, memang diadakan untuk mengawasi jalannya pemerintahan. Legislatif

Page 4: MAKALAH LEMHANNAS _07-04-10

4

harus memastikan bahwa eksekutif bekerja dalam koridor peraturan-peraturan

yang telah disepakati dalam rangka mengemban tugas konstitusional, yaitu

mewujudkan tujuan nasional yang termaktub dalam Pembukaan UUD 1945. Oleh

karena itu, perbedaan di antara legislatif dan eksekutif tidak semata-mata

demi perbedaan itu sendiri, tetapi (seharusnya) didedikasikan bagi tujuan

mulia untuk melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah, memajukan

kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, dan ikut serta

melaksanakan ketertiban dunia.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Izinkanlah saya mengupas mengenai hubungan legislatif dan eksekutif di

level lokal, sebagaimana yang menjadi tema ceramah ini. Seperti yang sudah

saya katakan sebelumnya, hubungan legislatif-eksekutif menjadi penting dibahas

terutama ketika Indonesia keluar dari kungkungan rezim otoriter dan masuk

dalam fase demokratis sejak kejatuhan pemerintahan Orde Baru pada tanggal 21

Mei 1998.

Di era Orde Baru, hubungan legislatif-eksekutif tidak terlalu bermasalah

karena sesungguhnya politik dikendalikan oleh satu arus. Di tingkat pusat, DPR

hanyalah menjadi ”stempel eksekutif” (rubber stamp). Sementara di tingkat

lokal, baik legislatif maupun eksekutif hanyalah kepanjangan tangan dari

pemerintah pusat. Politik saat itu sangat tersentralisasi sehingga bisa dipastikan

bahwa daerah hanyalah menjalankan kebijakan yang telah didesain dari atas.

Bila tampak tidak banyak permasalahan dalam hubungan legislatif dan eksekutif,

hal itu lebih pada munculnya kekuatan otoriter yang menekan perbedaan

sehingga tidak dapat muncul ke permukaan.

Segera setelah berakhirnya era Orde Baru, telah disahkan UU Nomor 22

Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah pada tanggal 7 Mei 1999 sebagai

basis otonomi daerah di Indonesia. Undang-undang ini menggantikan UU Nomor

5 Tahun 1974 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan di Daerah yang lahir pada

awal era Orde Baru. Di bawah rezim UU Nomor 22/1999, DPRD dan kepala

daerah dipisahkan secara tegas. DPRD menjadi Badan Legislatif Daerah dan

Page 5: MAKALAH LEMHANNAS _07-04-10

5

Pemerintah Daerah menjadi Badan Eksekutif Daerah.1 Sebagai Badan Legislatif

Daerah, DPRD diberikan kewenangan untuk memilih kepala daerah2 dan berhak

meminta pertanggungjawaban kepala daerah.3 Ditegaskan pula bahwa DPRD

sebagai Badan Legislatif Daerah berkedudukan sejajar dan menjadi mitra dari

Pemerintah Daerah.4

Kendati hal ini lebih sesuai dengan prinsip demokrasi, yaitu prinsip checks

and balances, prinsip saling kontrol dan saling mengimbangi, di lapangan hal

tersebut tidak berjalan mulus sesuai dengan koridor perundang-undangan yang

ada. Hal tersebut disebabkan masih rendahnya peradaban politik di Indonesia.

Ajang pemilihan kepala daerah oleh DPRD bisa saja terdapat permainan

politik uang, yang biasa disebut “money politics”. Selain money politics di dalam

pemilihan kepala daerah, ada pula money politics lima tahunan. Yaitu, laporan

pertanggungjawaban (LPJ) yang harus disampaikan oleh kepala daerah di

akhir periode masa jabatannya.

Tak ada kepala daerah yang mau LPJ-nya ditolak, terutama yang ingin

mencalonkan diri kembali untuk periode kedua. Penolakan LPJ berarti sinyal

buruk bagi pencalonan kembali. Sementara bagi yang tidak ingin ikut pemilihan

lagi, entah karena sudah menjabat dua periode atau memang tidak mau

mencalonkan lagi, penolakan berarti prestasi buruk selama menjabat. Artinya,

sang kepala daerah telah gagal mengemban amanat yang dipercayakan

kepadanya sebagai kepala pemerintahan di daerah. Keadaan ini menyebabkan

kepala daerah akan dengan mudah mengikuti kemauan para wakil-wakil rakyat

di daerah untuk melakukan transaksi politik. Penolakan LPJ berarti ancaman

pemakzulan terhadap kepala daerah yang bersangkutan.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Kondisi yang tidak sehat itulah yang mendorong para legislator di Senayan

melahirkan undang-undang baru, yaitu UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah untuk menggantikan UU 22/1999. Perubahan yang

1 Lihat Pasal 14 ayat (1) UU 22/1999. 2 Pasal 18 ayat (1) huruf a UU 22/1999. 3 Pasal 19 ayat (1) jo Pasal 31 ayat (3) jo Pasal 32 ayat (3) huruf a UU 22/1999. 4 Lihat Pasal 16 ayat (2) UU 22/1999.

Page 6: MAKALAH LEMHANNAS _07-04-10

6

mencolok dari undang-undang ini adalah respons terhadap maraknya praktik

money politics baik dalam pemilihan kepala daerah oleh DPRD maupun saat

penyampaian LPJ.

Dua instrumen tersebut ditiadakan dalam undang-undang yang baru.

Untuk pemilihan kepala daerah, ketentuan pemilihan oleh DPRD diganti menjadi

pemilihan kepala daerah secara langsung (pilkada langsung).5 Selain dinilai lebih

demokratis dalam era keterbukaan saat ini, pilkada langsung juga secara

otomatis akan menghilangkan praktik money politics kepada anggota DPRD yang

sangat melukai hati nurani masyarakat.

Instrumen LPJ juga ditiadakan dan sebagai gantinya diintroduksilah

Laporan Keterangan Pertanggungjawaban (LKPJ).6 Tidak seperti LPJ, LKPJ

tidak untuk dinilai: diterima atau ditolak oleh DPRD. LKPJ hanyalah informasi

yang disampaikan kepada DPRD.

Di bawah pengaturan yang baru ini bukan tidak ada masalah. Yang sering

mengemuka adalah mahalnya ongkos pilkada langsung, baik dari sisi

penyelenggara maupun peserta. Dari sisi penyelenggara jelas pilkada langsung

tidak bisa dibandingkan dengan pemilihan oleh DPRD. Selain mahalnya biaya,

ongkos lain yang harus ditanggung adalah instabilitas politik di daerah. Sering

pilkada langsung menyebabkan perpecahan di masyarakat, bahkan antara

keluarga sendiri, karena kandidat yang didukung berbeda, terjadilah konflik

horizontal yang sangat tidak kita kehendaki.

Dari sisi kandidat, praktik money politics yang coba dikikis tidak juga

berkurang. Pertama-tama, kandidat harus mendapatkan parpol yang akan

menjagokannya. UU 32/2004 menentukan bahwa kandidat harus didukung oleh

15% kursi atau 15% suara.7 Pengamat sering menyebutnya dengan istilah “sewa

perahu”. Seperti ungkapan bahasa Inggris, no free lunch (tidak ada makan siang

yang gratis), begitulah setiap partai berlomba-lomba untuk menyewakan perahu

kepada kandidat yang mampu membayar. Biaya kandidat semakin bertambah

besar karena umumnya merekalah yang membiayai kampanye.

5 Lihat Bagian Kedelapan Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah, Pasal 56 s.d. Pasal 119 UU 32/2004, berikut Perubahan Pertama (UU Nomor 3 Tahun 2005) dan Perubahan Kedua (UU Nomor 13 Tahun 2008). 6 PAsal 42 ayat (1) huruf h UU 32/2004. 7 Pasal 59 ayat (2) UU 32/2004.

Page 7: MAKALAH LEMHANNAS _07-04-10

7

Fenomena ”sewa-menyewa perahu” tersebut memunculkan reaksi dari

masyarakat. Salah satunya adalah pengajuan judicial review ke Mahkamah

Konstitusi (MK) agar calon independen (perseorangan) diperbolehkan ikut dalam

kontes pilkada. Adalah Lalu Ranggalawe, salah seorang anggota DPRD Lombok

Tengah dari Partai Bintang Reformasi (PBR), yang mengajukan perkara tersebut

ke MK. Pada putusan tanggal 23 Juli 2007, MK mengabulkan permohonan

tersebut.8 Melalui UU Nomor 12 Tahun 2008 tentang Perubahan Kedua UU

Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah yang disahkan pada

tanggal 28 April 2008, calon perseorangan pun resmi berkompetisi dalam

pilkada.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Pilkada langsung juga tidak jarang memunculkan persoalan dalam

kaitannya dengan hubungan legislatif-eksekutif. Kepala daerah terpilih yang

berasal dari minoritas di DPRD sering mengalami kesulitan karena pemboikotan

oleh DPRD. Fenomena ini misalnya terjadi di Kabupaten Banyuwangi karena

bupati terpilih didukung oleh parpol-parpol yang tidak memiliki kursi di DPRD.

Semula, UU 32/2004 menentukan bahwa hanya parpol yang memiliki kursi

di DPRD yang dapat mengajukan calon kepala daerah. Namun, karena putusan

MK tanggal 22 Maret 2005 terhadap judicial review yang diajukan oleh Ferry

Tinggogoy, salah seorang kandidat dalam Pemilihan Gubernur Sulawesi Utara

tahun 2005, parpol-parol yang tidak memiliki kursi di DPRD pun dapat

mengajukan calon kepala daerah.9 Bahkan, seperti yang sudah disinggung

terdahulu, MK juga telah membuka pintu bagi calon yang tidak diajukan oleh

parpol melalui jalur perseorangan.

Tidak harmonisnya hubungan antara legislatif dan eksekutif sudah tentu

memiliki pengaruh negatif terhadap upaya pembangunan di daerah. Beberapa

daerah yang mengalami ketegangan antara legislatif dan eksekutifnya

mengalami keterlambatan bahkan kesulitan dalam penetapan anggaran

pendapatan dan belanja daerah (APBD). Padahal, tanpa penetapan APBD,

program-program pembangunan di daerah tidak dapat dilaksanakan.

8 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 5/PUU-V/2007 tanggal 23 Juli 2007. 9 Lihat Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 005/PUU-III/2005 tanggal 22 Maret 2005.

Page 8: MAKALAH LEMHANNAS _07-04-10

8

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Mahalnya ongkos pilkada langsung dan ekses yang ditimbulkannya

memunculkan ide agar pemilihan kepala daerah dikembalikan lagi ke DPRD

meskipun baru terbatas pada pemilihan gubernur. Sepanjang yang bisa saya

catat, usul ini misalnya pernah disampaikan Lemhanas beberapa waktu lalu.

Beberapa bulan terakhir, Departemen Dalam Negeri melalui Menteri Dalam

Negeri Gamawan Fauzi juga sempat melontarkan ide ini, bahkan telah dimuat

pula dalam draf RUU Pilkada yang disiapkan Depdagri.

Usul gubernur dipilih DPRD memunculkan pro dan kontra di masyarakat.

Yang pro umumnya mencemaskan besarnya biaya pilkada gubernur yang harus

dikeluarkan baik oleh penyelenggara maupun kandidat, yang pada gilirannya

akan menggerus keuangan daerah. Bagi kepala daerah yang terpilih, biaya yang

telah dikeluarkan harus bisa kembali. Kondisi ini menyebabkan satu-dua kepala

daerah terjerembab pada praktik korupsi. Satu-dua kepala daerah sudah menjadi

tersangka, terdakwa, bahkan terpidana korupsi. Hal ini sudah tentu

memunculkan keprihatinan yang mendalam.

Namun, bagi mereka yang kontra, pemilihan gubernur oleh DPRD

merupakan suatu kemunduran demokrasi di tingkat lokal. Bagi mereka,

demokrasi memang membutuhkan biaya. Ekses negatif dari pilkada langsung

harus sedapat mungkin diatasi, tetapi tidak dengan menghilangkan instrumen

pilkada langsung tersebut.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Secara teoritis, sebagai konsekuensi diakomodasinya pemilihan kepala

daerah (Pilkada) langsung, maka masyarakat diharapkan dapat melakukan

kontrol atas kinerja kepala daerah. Namun, dalam prakteknya hal ini tidak terjadi

di Indonesia, karena masyarakat kita tidak memiliki kesadaran, pengetahuan,

kompetensi, dan jaringan yang kuat untuk melakukan kontrol atas pekerjaan

serta kinerja kepala daerah. Di tengah masyarakat yang seperti ini, maka DPRD-

lah yang bertindak mewakili rakyat melakukan kontrol terhadap kepala daerah.

Page 9: MAKALAH LEMHANNAS _07-04-10

9

Bagaimanapun, hal-hal tersebut diatas merupakan bagian dari ekses

pemberlakuan UU terkait pemerintahan daerah yang merupakan produk bersama

Pemerintah dan DPR yang harus kita terima. Dengan harapan revisi UU No. 32

Tahun 2004 yang dalam Prolegnas menjadi prioritas tahun 2010 ini bisa

membuat rumusan pengaturan yang lebih baik sehingga relasi lembaga

eksekutif-legislatif di daerah menjadi lebih baik pula.

Hal yang perlu diingat adalah bahwa revisi terhadap setiap UU

pemerintahan daerah harus merupakan upaya untuk melakukan koreksi kembali

atas implementasi UU tersebut. Pada prinsipnya nilai dasar yang dijadikan

sebagai landasan untuk melakukan setiap koreksi atas dampak sebuah

implementasi UU harus dijiwai oleh semangat untuk memberikan ruang gerak

yang lebih besar bagi seluruh pemangku kepentingan di daerah dalam kerangka

otonomi daerah. Pada saat yang bersamaan juga harus memungkinkan

tercapainya tujuan-tujuan nasional seperti stabilitas ekonomi, politik, dan

pertahanan keamanan.

Dengan demikian, nilai dasar ini terikat oleh dua kontinum, yaitu

penguatan demokrasi lokal pada satu sisi, dan efisiensi serta efektivitas

penyelenggaraan pemerintahan secara nasional pada sisi yang lain.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Dari uraian-uraian sebagaimana tersebut di atas, maka saya menganggap

penting, kinerja pimpinan daerah dalam menyelenggarakan pemerintahan

daerah harus berbasis kepada prinsip-prinsip keteladanan. Keteladanan para

pimpinan daerah sanantiasa dibutuhkan dalam penyelenggaraan pemerintahan di

daerah. Pola kepemimpinan para pimpinan daerah tidak bermakna, apabila

faktor keteladanan diabaikan. Kepemimpinan pada dasarnya adalah “memandu

jalan dan membawa orang lain ke tujuan bersama” atau mengajak orang

lain agar secara bersama-sama dapat berbuat sesuai yang dikehendaki oleh

pemimpin.

Di zaman yang makin mengglobal ini, kepemimpinan daerah merupakan

bagian dari elemen bangsa yang bernilai strategis. Oleh karena itu, perlu

didukung dengan sikap kenegarawanan dan profesionalisme yang tinggi, bebas

Page 10: MAKALAH LEMHANNAS _07-04-10

10

dari bias-bias diskriminasi dan dikotomi parsial demi terwujudnya cita-cita dan

tujuan nasional.

Bagi seorang pemimpin, modal kecerdasan, pengendalian emosional,

sampai spiritual, dan modal secara finansial saja tidaklah cukup. Pemimpin

memerlukan modal sosial antara lain kepercayaan masyarakat kepada

pemimpinnya, dan kejujuran pemimpin kepada masyarakatnya.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Sebagai penutup, dari uraian-uraian sebagaimana saya kemukakan, dapat

saya katakan bahwa pilihan apa pun yang kita ambil selalu saja ada risikonya,

ada ekses negatifnya. Namun, tidak berarti hal tersebut menyurutkan langkah

kita untuk terus membangun demokrasi kita karena demokrasi adalah sistem

yang telah kita sepakati. Dan terlepas dari segala hiruk-pikuk yang kita alami

saat ini, Indonesia dapat dengan bangga menyatakan bahwa kita adalah negara

demokrasi terbesar ketiga di dunia (the third largest democratic country in the

world) setelah India dan Amerika Serikat. Bahkan, dilihat dari sudut agama

mayoritas kita, yaitu agama Islam, kita adalah negara Islam terbesar yang

menerapkan demokrasi.

Oleh karena itu, agar demokrasi yang kita pilih mampu membawa kita

pada tujuan untuk mensejahterakan rakyat, sudah sepatutnya kita berusaha

keras untuk mengatasi ekses-ekses negatif dari pilihan atas demokrasi.

Demokrasi yang kita kembangkan haruslah demokrasi yang sehat, yaitu

demokrasi yang dilandasi pada kebenaran dan keadilan, tidak sekadar

kepentingan semata, apalagi kepentingan yang sangat personal sifatnya. Dengan

demokrasi yang sehat itu pula kita dapat menata hubungan kelembagaan yang

sehat di negara ini, terutama hubungan antara legislatif dan eksekutif, baik di

pusat maupun di daerah.

Kita yang berada di lembaga legislatif dan eksekutif harus menyadari

bahwa kita ada karena rakyat yang memilih kita. Oleh karena itu, sepak terjang

kita harus didasarkan pada niat untuk memperjuangkan kepentingan rakyat yang

memilih kita, bukan semata-mata memperjuangkan kepentingan pribadi kita.

Perbedaan pandangan di antara legislatif dan eksekutif harus dipahami sebagai

Page 11: MAKALAH LEMHANNAS _07-04-10

11

cara untuk mencari jalan terbaik bagi mewujudkan tujuan bernegara. Jadi,

perbedaan tidak untuk perbedaan itu sendiri, tetapi perbedaan untuk mencari

kebenaran. Setelah kebenaran didapat, semua pihak harus berkomitmen untuk

melaksanakannya.

Saudara-saudara sekalian yang saya hormati,

Demikianlah beberapa hal yang saya sampaikan dalam forum ini. Semoga

apa yang saya sampaikan dapat dicerna dengan baik dan dapat bermanfaat

dalam perjalanan kita membangun masyarakat, bangsa, dan negara yang

bermartabat.

Wallahul Muwafiq Illa Aqwamiththariq,

Wassalamu’alaikmum Warohmatullahi Wabarokatuh

Jakarta, 24 Maret 2010

KETUA

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

H. MARZUKI ALIE