makalah legal etik
DESCRIPTION
makalah legal etik kelompok 1 UU perawat sebagai payung hukum.docxTRANSCRIPT
UNDANG-UNDANG KEPERAWATAN SEBAGAI PAYUNG HUKUM PROFESI KEPERAWATAN DI INDONESIA
Dosen: Ns. M. Fathoni, S.Kep., MNS
Disusun Oleh:
Kelompok 1
Abdurahman Wahid NIM. 116070300111009
Bintari Ratih K.. NIM. 116070300111013
Elfi Quyumi R. NIM. 116070300111022
Filia Icha S. NIM. 116070300111021
Latifiyan N. Aminoto NIM. 116070300111024
Marsaid NIM. 116070300111001
Mizam Ari K. NIM. 116070300111030
Novita Ana A. NIM. 116070300111007
Nurma Afiani NIM. 116070300111029
Peni Perdani J. NIM. 116070300111011
Sulastyawati NIM. 116070300111006
Sri Haryuni NIM. 116070300111017
PROGRAM MAGISTER ILMU KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN UNIV. BRAWIJAYA
MALANG2011
KATA PENGANTAR
Alhamdullillah puji syukur kehadirat Allah SWT, tugas etika dan hukum
keperawatan yang diberikan kepada kelompok kami dapat diselesaikan dengan baik. Makalah
yang kami sajikan ini memuat mengenai pentingnya undang-undang keperawatan sebagai
payung hukum profesi keperawatan di Indonesia.
Pengesahan RUU keperawatan menjadi penting karena tujuan dibentuknya undang-
undang keperawatan adalah untuk memberikan landasan hukum terhadap praktik
keperawatan untuk melindungi baik masyarakat maupun perawat.
Dalam makalah ini kelompok kami akan membahas urgensi disahkannya undang-
undang keperawatan di Indonesia beserta beberapa kasus yang diakibatkan oleh tidak adanya
payung hukum bagi profesi keperawatan di Indonesia. Semoga makalah yang kami sajikan
dapat memberi informasi mengenai undang-undang keperawatan sebagai payung hukum
profesi keperawatan di Indonesia.
Malang, Desember 2011
Penulis
DAFTAR ISI
J
udul
i
K
ata
peng
anta
r
ii
D
aftar
isi
iii
1
1
B
ab 1.
Pend
ahul
uan
1
.1
Latar
Bela
kang
1
.2
Rum
usan
Masa
lah
1
.3
Tuju
an
B
ab
II.
Tinj
auan
Pust
aka
2
.1
Profe
si
Kepe
rawat
an
2
.2
Perta
4
5
6
6
7
9
10
13
23
28
33
35
nggu
ngja
waba
n
Huku
m
Pera
wat
2
.3
Penti
ngny
a
Unda
ng-
Unda
ng
Kepe
rawat
an
2
.4
Tuju
an
Dibe
ntuk
nya
UU
Kepe
rawat
an
B
ab
III.
Kasu
s
dan
Pem
baha
san
3
.1
Kasu
s 1
3
.2
Kasu
s 2
3
.3
Kasu
s 3
B
ab
IV.
Penu
tup
D
aftar
Pust
aka
1
2
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Sebagaimana diatur dalam Undang-undang Kesehatan Republik Indonesia Nomor 36
tahun 2009 disebutkan bahwa perawat merupakan aspek penting dalam pembangunan
kesehatan di Indonesia. Dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan, tenaga perawat
merupakan jenis tenaga kesehatan terbesar dan merupakan salah satu profesi yang selalu
berhubungan dan berinteraksi langsung dengan klien, baik itu klien sebagai individu,
keluarga, maupun masyarakat. Sehingga dalam memberikan asuhan keperawatan, perawat
dituntut untuk memahami dan berperilaku sesuai dengan etik keperawatan. Agar seorang
perawat dapat bertanggungjawab dan bertanggung gugat maka seorang perawat harus
memegang teguh nilai-nilai yang mendasari praktik keperawatan itu sendiri, yaitu : perawat
membantu klien untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimum, perawat membantu
meningkatkan autonomi klien dalam mengekspresikan kebutuhanya, perawat mendukung
martabat kemanusiaan dan berlaku sebagai advokat bagi klienya, perawat menjaga
kerahasiaan klien, berorientasi pada akuntabilitas perawat dan perawat bekerja dalam
lingkungan yang kompeten, etik dan aman (Harif Fadillah, 2011).
Namun, di dalam menjalankan tugasnya tak jarang perawat bersinggungan dengan
masalah hukum. Sehingga untuk menjalankan tugas dan fungsinya perawat membutuhkan
perangkat hukum untuk memberikan kepastian dan perlindungan agar dikemudian hari tidak
menimbulkan kerugian bagi perawat. Hal ini membuat RUU Keperawatan Indonesia perlu
untuk segera disahkan. Rancangan Undang-Undang (RUU) Keperawatan sebetulnya telah
diusulkan sejak tahun 1989. Pada tahun 1989, PPNI sebagai organisasi profesi perawat di
Indonesia mulai memperjuangkan terbetuknya UU Keperawatan. Berbagai peristiwa penting
terjadi dalam usaha mensukseskan UU Keperawatan ini. Pada tahun 1992 disahkanlah UU
Kesehatan yang di dalamnya mengakui bahwa keperawatan merupakan profesi (UU
Kesehatan No.23, 1992). Peristiwa ini penting artinya, karena sebelumnya pengakuan bahwa
keperawatan merupakan profesi hanya tertuang dalam Peraturan Pemerintah (PP No.32,
1966). Dan usulan UU Keperawatan baru disahkan menjadi Rancangan Undang-uandang
( RUU) Keperawatan pada tahun 2004. Namun hingga kini, belum ada kejelasan tentang
pengesahan undang-undang ini (Harif fadillah, 2011).
Perawat memiliki rasa tanggung jawab dalam memberikan pelayanan kesehatan bagi
masyarakat, di lain pihak rasa tanggung jawab ini tidak didukung oleh peraturan yang ada.
RUU tidak hanya digunakan sebagai landasan hukum namun juga dapat melindungi perawat
terutama yang berada di puskesmas daerah terpencil. Menurut Depkes 2005 menyatakan hasil
evaluasi peran dan fungsi perawat puskesmas di daerah terpencil terkait dengan tindakan
medik meliputi: menetapkan diagnosis penyakit (92,6%), membuat resep obat (93,1%),
melakukan tindakan pengobatan di dalam maupun di luar gedung puskesmas (97,1%),
melakukan pemeriksaan kehamilan (70,1%) dan melakukan pertolongan persalinan (57,7%)
(Depkes, 2005). Jika dibandingkan dengan negara lain di ASEAN, maka hanya Indonesia dan
Myanmar aja yang belum memiliki Undang-undang Keperawatan (Harif Fadillah, 2011).
Pelayanan gawat darurat baik di Rumah Sakit, puskesmas maupun klinik-klinik di
Indonesia menempatkan perawat sebagai ujung tombak pemberi layanan kesehatan.
Puskesmas yang saat ini memberikan pelayanan unit gawat darurat selama 24 jam juga
menempatkan perawat sebagai ujung tombak pelayanan kesehatan, terkadang bahkan tanpa
adanya dokter jaga. Padahal kasus emergensi di puskesmas tidak semuanya boleh ditangani
oleh seorang perawat secara mandiri. Salah satunya adalah kasus Misran, seorang perawat di
Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur yang dipidana 3 bulan karena dianggap
telah melanggar UU No.36 tahun 2009 tentang kesehatan, oleh karena memberikan obat
daftar G (obat keras) pada pasien gawat. Kejadian tersebut sangat merugikan perawat,
sehingga di Indonesia penting sekali untuk segera disahkannya undang-undang. Menurut
Fadillah (2011) bahwa UU Keperawatan dapat menjamin kepastian dan jaminan hukum bagi
tenaga perawat dalam melaksanakan pelayanan keperawatan, serta dapat menjamin kepastian
dan jaminan hukum bagi masyarakat yang akan memanfaatkan pelayanan keperawatan.
Dengan adanya UU Keperawatan juga diharapkan dapat meningkatkan aksesibilitas,
keterjangkauan, dan mutu pelayanan keperawatan, serta mempercepat keberhasilan upaya
peningkatan derajat kesehatan masyarakat (harif Fadillah, 2011).
Perawat dituntut untuk bertanggungjawab dalam setiap tindakannya selama
melaksanakan tugas baik di rumah sakit, puskesmas, klinik, panti atau masyarakat. Peran
penting perawat adalah memberikan pelayanan perawatan (care) atau memberikan perawatan
(caring) bukan untuk mengobati (cure). Namun, masalah yang dihadapi di Indonesia adalah
terbatasnya tenaga kesehatan dokter atau farmasi terutama didaerah terpencil. Terbatasnya
tenaga kesehatan menyebabkan terbatasnya pelayanan kesehatan terhadap masyarakat, di sisi
lain peran perawat untuk menjamin kesehatan masyarakat harus dilaksanakan secara optimal.
Adanya undang-undang akan memberikan batasan jelas pada hak dan kewajiban profesi
perawat, sekaligus dapat meningkatkan profesionalisme para perawat karena akan mengatur
pula urusan mengenai keseragaman kompetensi dan sertifikasi. Undang-Undang juga dapat
digunakan sebagai pedoman hukum bagi dunia keperawatan dalam memberikan dan
menjalankan tugas perawat diberbagai pelosok di negeri ini sehingga kasus yang menimpa
perawat Misran tidak terjadi lagi kepada perawat-perawat lain (Harif Fadillah, 2011).
Sering kali kita mendengar perawat masih diperlakukan kurang adil di mata hukum
Indonesia baik di daerah-daerah terpencil ataupun di kota-kota besar. Perawat masih
dipandang sebelah mata saja, hal ini terjadi karena di Indonesia belum mempunyai Undang-
Undang Praktek keperawatan. Dengan latar belakang diatas maka kami ingin membahas
pentingnya undang-undang keperawatan di Indonesia dalam melindungi tugas-tugas perawat.
1.2. Rumusan Masalah
Bagaimana Undang-undang keperawatan sebagai payung hukum profesi
keperawatan?
1.3. Tujuan
a. Mengetahui aspek legal hukum profesi keperawatan di Indonesia
b. Mengetahui tentang legal hukum profesi perawat gawat darurat
c. Mengetahui rancangan undang-undang keperawatan
d. Mengetahui pentingnya undang-undang keperawatan
e. Menganalisis pentingnya undang-undang dalam praktek professional keperawatan
baik di DN dan LN
f. Tujuan di segera bentuknya Undang-Undang Praktek Keperawatan
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Profesi Keperawatan
Keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan professional yang merupakan bagian
integral dari pelayanan kesehatan. Didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan
kepada individu, keluarga, kelompok, dan masyarakat baik sehat maupun sakit yang
mencakup seluruh proses kehidupan manusia.(Kozier, 2009). Praktek keperawatan adalah
tindakan mandiri perawat melalui kolaborasi dengan system klien dan tenaga kesehatan lain
dalam memberikan asuhan keperawatan sesuai lingkup wewenang dan tanggung jawabnya
pada berbagai tatanan pelayanan, termasuk praktik keperawatan individual dan berkelompok.
(Kozier, 2009)
Emergency Nursing (Perawat Gawat Darurat) adalah sebuah area khusus/ spesial dari
keperawatan profesional yang melibatkan integrasi dari praktek, penelitian dan pendidikan
profesional. Perawat gawat darurat mempunyai fokus untuk memberikan pelayanan secara
episodik kepada pasien-pasien yang mencari terapi baik yang mengancam kehidupan, non
critical illness atau cedera (Putra, 2010).
Pada Keperawatan Gawat Darurat diperlukan asuhan keperawatan yang merupakan
suatu proses atau rangkaian kegiatan pada praktek keperawatan yang langsung diberikan
kepada pasien pada berbagai tatanan pelayanan kesehatan. Asuhan keperawatan dilaksanakan
menggunakan metodologi pemecahan masalah melalui pendekatan proses keperawatan,
berpedoman pada standar keperawatan, dilandasi etik dan etika keperawatan dalam lingkup
wewenang serta tanggung jawabnya. Dalam hal ini aspek legal etik sangat diperlukan dalam
penerapan praktek keperawatan dimana tindakan mandiri perawat professional melalui
kerjasama dengan pasien baik individu, keluarga, kelompok atau komunitas dan
berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya dalam memberikan asuhan keperawatan
sesuai lingkup dan tanggung jawabnya (Putra, 2010; Harif Fadillah, 2011).
2.2 Pertanggungjawaban Hukum Perawat
Tanggung jawab perawat harus dilihat dari peran perawat. Dalam peran perawatan dan
koordinatif, perawat mempunyai tanggung jawab yang mandiri. Dalam peran terapeutik maka
berlaku verlengle arm van de arts/prolonge arm/extended role doctrine (doktrin perpanjangan
tangan dokter). Tanpa delegasi atau pelimpahan, perawat tidak diperbolehkan mengambil
inisiatif sendiri. Akantetapi dalam lingkup modern dan pandangan baru itu, selain adanya
perubahan status yuridis dari “perpanjangan tangan” menjadi “kemitraan” atau
“kemandirian”, seorang perawat juga telah dianggap bertanggung jawab hukum untuk
malpraktik keperawatan yang dilakukannya, berdasarkan standar profesi yang berlaku. Dalam
hal ini dibedakan tanggung jawab untuk masing-masing kesalahan atau kelalaian, yakni
dalam bentuk malpraktik medik (yang dilakukan oleh dokter) dan malpraktik keperawatan
(Budhiartie, 2011).
Wewenang dalam melaksanakan praktik keperawatan diatur dalam Permenkes No.148
Tahun 2010 tentang Izin dan Penyelenggaraan Praktik Keperawatan dan Undang-Undang
kesehatan nomor 39 tahun 2009 tentang praktik kesehatan. Praktik keperawatan dilaksanakan
melalui kegiatan pelaksanaan asuhan keperawatan, pelaksanaan upaya promotif, preventif,
pemulihan dan pemberdayaan masyarakat, dan pelaksanaan tindakan keperawatan
komplementer. Pertanggungjawaban perawat dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan
dapat dilihat berdasarkan tiga bentuk pembidangan hukum yakni pertanggungjawaban secara
hukum keperdataan, hukum pidana dan hukum administrasi (Budhiartie, 2011).
Gugatan keperdataan terhadap perawat bersumber pada dua bentuk yakni perbuatan
melanggar hukum (onrechtmatigedaad) sesuai dengan ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata
dan perbuatan wanprestasi (contractual liability) sesuai dengan ketentuan Pasal 1239
KUHPerdata. Dan Pertanggungjawaban perawat bila dilihat dari ketentuan dalam
KUHPerdata maka dapat dikatagorikan ke dalam 4 (empat) prinsip sebagai berkut: (a).
Pertanggungjawaban langsung dan mandiri (personal liability) berdasarkan Pasal 1365 BW
dan Pasal 1366 BW. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut maka seorang perawat yang
melakukan kesalahan dalam menjalankan fungsi independennya yang mengakibatkan
kerugian pada pasien maka ia wajib memikul tanggungjawabnya secara mandiri.(b).
Pertanggungjawaban dengan asas respondeat superior atau vicarious liability atau let's the
master answer maupun khusus di ruang bedah dengan asas the captain of ship melalui Pasal
1367 BW. Bila dikaitkan dengan pelaksanaan fungsi perawat maka kesalahan yang terjadi
dalam menjalankan fungsi interdependen perawat akan melahirkan bentuk
pertanggungjawaban di atas. Sebagai bagian dari tim maupun orang yang bekerja di bawah
perintah dokter/rumah sakit, maka perawat akan bersama-sama bertanggung gugat kepada
kerugian yang menimpa pasien. (c). Pertanggungjawaban dengan asas zaakwarneming
berdasarkan Pasal 1354 BW. Dalam hal ini konsep pertanggungjawaban terjadi seketika bagi
seorang perawat yang berada dalam kondisi tertentu harus melakukan pertolongan darurat
dimana tidak ada orang lain yang berkompeten untuk itu. Perlindungan hukum dalam
tindakan zaarwarneming perawat tersebut tertuang dalam Pasal 10 Permenkes No. 148 Tahun
2010 (Budhiartie, 2011).
2.3. Pentingnya Undang-Undang Keperawatan
Pertama, alasan filosofi. Perawat telah memberikan konstribusi besar dalam
peningkatan derajat kesehatan. Perawat berperan dalam memberikan pelayanan kesehatan
mulai dari pelayanan pemerintah dan swasta, dari perkotaan hingga pelosok desa terpencil
dan perbatasan. Tetapi pengabdian tersebut pada kenyataannya belum diimbangi dengan
pemberian perlindungan hukum, bahkan cenderung menjadi objek hukum. Perawat juga
memiliki kompetensi keilmuan, sikap rasional, etis dan profesional, semangat pengabdian
yang tinggi, berdisiplin, kreatif, terampil, berbudi luhur dan dapat memegang teguh etika
profesi. Disamping itu, Undang-Undang ini memiliki tujuan, lingkup profesi yang jelas,
kemutlakan profesi, kepentingan bersama berbagai pihak (masyarakat, profesi, pemerintah
dan pihak terkait lainnya), keterwakilan yang seimbang, optimalisasi profesi, fleksibilitas,
efisiensi dan keselarasan, universal, keadilan, serta kesetaraan dan kesesuaian
interprofesional (WHO, 2002; ICN, 2010).
Kedua, alasan yuridis. UUD 1945, pasal 5, menyebutkan bahwa Presiden memegang
kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
Demikian Juga UU Nomor 36 tahun 2009, Pasal 63, ayat 3 secara eksplisit menyebutkan
bahwa pengendalian, pengobatan, dan atau perawatan dapat dilakukan berdasarkan ilmu
kedokteran dan ilmu keperawatan atau cara lain yang dapat dipertanggung jawabkan
kemanfaatannya dan keamanannya. Sedang pasal 63 ayat 4, menyebutkan bahwa pelaksanaan
pengobatan dan atau perawatan berdasarkan ilmu kedokteran atau keperawatan hanya dapat
dilakukan oleh tenaga kesehatan yang mempunyai keahlian dan kewenangan untuk itu. Disisi
lain secara teknis telah berlaku Keputusan Menteri Kesehatan
Nomor1239/Menkes/SK/XI/2001 tentang Registrasi dan Praktik Perawat serta Undang-
Undang Kesehatan nomor 36 tahun 2009.
Ketiga, alasan sosiologis. Kebutuhan masyarakat akan pelayanan kesehatan
khususnya pelayanan keperawatan semakin meningkat. Hal ini karena adanya pergeseran
paradigma dalam pemberian pelayanan kesehatan, dari model medikal yang menitikberatkan
pelayanan pada diagnosis penyakit dan pengobatan, ke paradigma sehat yang lebih holistik
yang melihat penyakit dan gejala sebagai informasi dan bukan sebagai fokus pelayanan
(Cohen, 1996). Disamping itu, masyarakat membutuhkan pelayanan keperawatan yang
mudah dijangkau, pelayanan keperawatan yang bermutu sebagai bagian integral dari
pelayanan kesehatan, dan memperoleh kepastian hukum kepada pemberian dan
penyelenggaraan pelayanan keperawatan (Fadillah, 2011).
2.4. Tujuan Dibentuknya Undang-Undang Keperawatan
Tujuan utama
Memberikan landasan hukum terhadap praktik keperawatan untuk melindungi baik
masyarakat maupun perawat (Kozier, 2009).
Tujuan Khusus
Mempertahankan dan meningkatkan mutu pelayanan keperawatan dan kesehatan yang
diberikan oleh perawat.
Melindungi masyarakat atas tindakan yang dilakukan perawat.
Menetapkan standar pelayanan keperawatan
Menapis ilmu pengetahuan dan teknologi keperawatan
Menilai boleh tidaknya perawat untuk menjalankan praktik keperawatan
Menilai ada tidaknya kesalahan dan atau kelalaian yang dilakukan perawat dalam
memberi pelayanan.
Dilihat dari sudut Hukum, rancangan UU keperawatan dapat menjadi payung hukum
perawat Indonesia dalam menjalankan praktik profesinya. Namun sampai sejauh ini,
rancangan UU keperawatan tersebut belum menjadi agenda yang harus disahkan oleh
Anggota DPR RI. RUU tentang Praktik Perawat telah menjadi Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) Rancangan Undang-Undang Prioritas Tahun 2005-2009. Hal ini berdasarkan
Keputusan DPR-RI No. 01/DPR-RI/III/2004-2005 tentang Persetujuan Penetapan Program
Legislasi Nasional Tahun 2005-2009. Dalam Prolegnas 2005-2009 tersebut, telah ditetapkan
284 (duaratus delapan puluh empat) prioritas RUU untuk digarap selama lima tahun.
Masuknya RUU Praktik Perawat dalam Prolegnas 2005-2009 melalui proses yang amat
panjang. Proses penyusunan Prolegnas diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 61 Tahun
2005 tentang Tata Cara Penyusunan dan Pengelolaan Program Legislasi Nasional
(Pakiringan, 2009).
Perawat Indonesia (lebih dari 500.000) merupakan 60 % dari total tenaga Kesehatan
telah memberikan yang terbaik untuk bangsa Indonesia dengan memberi pelayanan di daerah
terpencil, perbatasan, desa-desa tertinggal, pulau-pulau terluar dan seluruh tatanan pelayanan
kesehatan yang ada di Indonesia. Masyarakat perlu mendapatkan pelayanan kesehatan yang
memadai oleh tenaga perawat yang berkualitas dengan dasar regulasi yang memadai.
Disamping itu bagi perawat juga terlindungi dari berbagai resiko kerja dan tuntutan hukum
(Pakiringan, 2009).
Selain dihadapkan pada masalah di atas dengan telah di tanda tanganinya Mutual
Recognition Agreement (MRA) di 10 negara ASEAN terutama bidang keperawatan yang
akan di berlakukan tahun 2010. Dimana diantara 10 negara Asean tersebut hanya 3 negara
yang belum memiliki Undang-Undang Keperawatan yaitu; Indonesia, Laos dan Vietnam.
Maka dapat dibayangkan bahwa masyarakat Indonesia akan menjadi sasaran empuk tenaga-
tenaga kesehatan asing, tenaga perawat dalam negeri terpinggirkan, pengakuan rendah dan
gaji yang tidak memadai (Pakiringan, 2009).
BAB III
KASUS DAN PEMBAHASAN
3.1. KASUS 1
Rabu, 18 Maret 2009 , 09:58:00 (www. kaltimpos.co.id )
Misran, Korban Penerapan Undang-Undang Kesehatan, Ingin Bantu Warga, Malah
Diciduk Polisi
Misran (40) tak pernah menyangka, kalau niat untuk membantu masyarakat justru
harus berakhir perih. Betapa tidak, dia harus mendekam di balik jeruji besi karena terbukti
membuka praktik pengobatan yang melanggar pasal 82 ayat (1) Undang Undang Republik
Indonesia (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang kesehatan dan pasal 78 UU Nomor 29 tahun
2004 tentang praktik kedokteran.
Pria kelahiran Balikpapan 28 Oktober 1969 ini tak kuasa menahan airmata ketika
menceritakan kasus yang menimpanya di hadapan ribuan peserta seminar ilmiah kesehatan
yang dirangkai dengan peluncuran buku Andi Sofyan Hasdam berjudul “Etika Kedokteran
dan Hukum Kesehatan”, di Swiss-belhotel Borneo, Samarinda, Sabtu (14/3) lalu.
“Maaf saya tidak bercerita, tapi saya sedang mengungkapkan isi hati dan penderitaan
saya akibat penerapan undang-undang kesehatan,” ucapnya, lirih. Memasuki sesi kedua pada
seminar kemarin, panitia sengaja mengundang perwakilan dari Kapolda Kaltim untuk
membahas materi tentang “Proses Hukum Malapraktik Terhadap Tenaga Kesehatan”.
Kesempatan itu pun dimanfaatkan Misran untuk bertanya tentang kasus yang menimpahnya.
Awalnya, sempat ragu untuk bertanya, masalahnya, dia khawatir bila ia bertanya justru
kasusnya akan semaikin dipersulit. Apalagi, lanjutnya, ia sering mendengar bahwa Kapolda
itu “seram”. “Saya betul-betul tidak mengerti tentang undang-undang. Saya jelas-jelas
membantu orang, malah saya ditangkap. Sementara saat itu, jika tidak membantu masyarakat
bisa-bisa dihakimi orang sekampung,” tutur ayah 3 anak ini. Sebenarnya, penangkapan
dirinya tidak terlalu menyedihkan baginya. Maklum, ia ditangkap karena memang melanggar
penyalagunaan wewenang. Meski, berkali-kali ia mencoba meyakinkan aparat kepolisian
bahwa apa yang dilakukan murni untuk membantu masyarakat karena di Samboja, Kutai
Kartanegara belum ada praktik kedokteran dan apotek. “Kalau ditangkap saya bisa terima,
tapi cara polisi memperlakukan saya sangat tidak rasional. Seumur hidup saya tidak bisa
terima. Apalagi, saya bukan preman, pencuri atau pengedar narkotika,” ketusnya.
Di hadapan ribuan peserta, dia menceritakan kronologi kejadian yang menimpanya.
Dia mengakui Selasa (4/3) lalu sudah memberikan obat daftar G kepada seorang pasien. Sore
harinya, datang seorang polisi yang menyamar sebagai pembeli dan menanyakan obat
“amoksilin”. Setelah tidak mendapatkan obat amoksilin, datang 4 lelaki memperkenalkan diri
sebagau polisi yang ditugaskan untuk memeriksa dan menahannya. ”Saya ini kepala
puskesmas pemabantu. Karena masyarakat memerlukan, maka saya buka praktik. Kami juga
sudah ada izin dari Dinas Kesehatan tingkat 1 (Kaltim, Red.). Di sini juga tidak ada praktik
dokter dan apotek. Apa yang kami lakukan karena tuntutan masyarakat,” ujarnya menirukan
kalimat yang disampaikan kepada petugas polisi yang menangkapnya, yakni Kompol I Made
Subadi, AIPTU Mikael Hasugian, Bripka Deni Wahyudi, dan Brigpal I Made Patika.
Seluruh alasan dan penjelasannya tak digubris polisi. “Maaf pak Misran, kami hanya
menjalankan tugas. Untuk itu, pak Misran harus nurut untuk kami geledah dan kami tahan,”
tuturnya meniru perkataan polisi. Pukul 18.00 Wita, dia dan obat-obatan yang ia jual ikut
diangkut untuk dijadikan barang bukti. Juga nota pembelian dri apotek dan obat kaplingan
bidan seperti depo, amoksilin dan obat label hijau (astasid dan flucadek sirup/obat flu).
Begitu sampai di Polda Kaltim Balikpapan, ia pun harus menunggu, karena sedang mati
lampu, jadi pemeriksaan ditunda. Akhirnya, lampu menyala pukul 01.00 Wita. Saat itu, saya
mulai diperiksa hingga pukul 04.30 subuh. Di antara rasa kantuk, capek dan lelah ia terus
mendapat tekanan yang sangat menyulitkan dan sulit untuk membela diri. ”Saya harus
mengakui kesalahan bahwa perawat tidak berwenang dalam melakukan pemeriksaan dan
memberikan obat kepada pasien,” ujarnya, sembari menahan isak tangisnya.
Apapun alasannya, Misran sudah melakukan pelanggaran ketentuan undang-undang.
Misran yang sudah tidak bisa berbuat apa-apa, akhirnya pasrah menerima hukuman dan siap
untuk dipenjara. Saat di penjara, Misran lagi-lagi harus merasakan kepahitan. Maklum, ia di
penjara bersama 24 tahanan narkotika. Ukuran sel kurang lebih 4x6 meter persegi. “Ya Allah,
ini bukan penjara. Masa saya di penjara dan di tempatkan bersama dengan tahanan
narkotika,” katanya lagi. Misran menjabat sebagai pimpinan Puskesma Pembantu Kuala
Samboja sejak 3 November 1994. Sebelumnya, ia hanya perawat sejak 1991 dan saat itu di
Puskesmas Induk Handil Baru. Karena diminta untuk menjadi kepala Puskesmas Pembantu di
Kuala, ia segera berpikir bagaimana memaksimalkan pelayanan kepada masyarakat. Apalagi
hampir setiap hari ia selalu didatangi warga untuk meminta bantuan pengobatan. Sementara
ia hanya perawat yang tak punya kewenangan dalam melakukan pemeriksaan dan
memberikan obat kepada pasien.
“Coba Anda bayangkan, Anda diposisi saya pak Polisi. Anda bantu, anda harus
berhadap dengan risiko hukum. Tapi kalau tidak membantu justru Anda akan kena sanksi
sosial dari masyarakat, karena dianggap tidak mau menolong. Ini dilema bagi kami. Untuk
itu, melalui forum ini saya ingin sampaikan ke teman-teman, agar tidak ada ‘Misran’ yang
lainnya,” bebernya disambut aplaus disertai teriakan, “perawat juga manusia”.
TRAUMA
Setelah diperiksa, beberapa hari kemudian, polisi datang kepada Misran yang
sebelumnya minta jadi tahanan luar. Petugas pun berkata kepadanya, pak Misran Anda bisa
menjadi tahanan luar, tapi harus ada yang menjamin dan administrasinya. Karena sudah tidak
tahan dalam sel, ia pun menuruti semua keinginan polisi asal dirinya segera keluar dari
tahanan.
“Saya terus berusaha untuk melakukan pembelaan dan mencoba menjelaskan kepada
polisi bahwa apa yang saya lakukan sesuai prosedur dan mendapat izin. Namun, bagi polisi
hukum tetap harus dijalankan,” ujarnya lagi. Hingga kini, dia tetap tidak membuka praktik
dan tak mau melayani masyarakat. Akibatnya, masyarakat harus berobat di Puskesmas Induk
yang jaraknya kira-kira 10 kilometer. “Saya trauma masuk penjara. Apalagi saya sempat sakit
di sel karena penjaranya yang begitu kotor dan tidak disesuaikan dengan standar kesehatan,”
tandasnya.
Seperti diketahui, Misran diciduk karena diketahui tak memiliki izin praktik, namun
nekat menerima pasien dan memberikan obat daftar G kepada pasien. “Ini pelanggaran UU
Kesehatan dan UU Praktik dokter. Tugasnya tidak boleh melakukan penanganan medis
kecuali ada perintah dan disampingi dokter,” kata Dir Reskoba Polda Kaltim Kombes Pol
Usman HP saat dikonfirmasi, Minggu (15/3) kemarin. Wewenang mantri, lanjutnya sebatas
memberikan obat bertanda lingkaran biru. Sedangkan untuk tindakan medis, wajib harus
dengan perintah dokter. “Namun semua dilakukan dan membuka praktik di rumahnya. Ia
melanggar UU Kesehatan nomor 23 tahun 1992 dan UU Praktek kedokteran nomor 29 tahun
2004. Dokter saja tidak boleh memberikan obat langsung, melainkan ditebus di apotek,
kecuali dalam keadaan mendesak,” bebernya. Imbasnya, pasien atau masyarakat yang berobat
pada Misran atau mantri mungkin belum dapat terlihat. Apakah dapat mengakibatkan cacat,
luka atau sampai meninggal dunia. “Kini Misran sedang menjalani proses hukum dan
ancaman pidana maksimal 5 tahun penjara. Pemerintah daerah diharapkan lebih
memerhatikan perizinan mantri serta minimnya dokter di wilayah kabupaten,” tandanya.
Untuk menunjang proses penyelidikan, penyidik turut pula meminta keterangan
sejumlah saksi dari dokter, pasien, pihak kantor dinas kesehatan setempat dan balai
pengawasan obat dan makanan (POM).
PENDEKATAN
Kini, Misran masih berstatus tahanan luar Polda Kaltim hingga 24 Maret mendatang.
Selain menjadi korban penerapan Undang-Undang Kesehatan, Misran juga merasa diperlukan
tidak wajar oleh pihak polisi. Namun, sekarang ia mulai bersemangat karena Andi Sofyan
Hasdam dan Dinas Kesehatan Kaltim akan melakukan pendekatan kepada Polda Kaltim.
“Saya berharap segera ada keputusan untuk membantu saya. Kalau pun saya harus
menerima hukuman dan harus tinggal dipenjara, saya mohon kapasitas dan penempatan saya
bukan bersama tahanan narkotika,” imbuhnya. Sementara itu, Sofyan Hasdam menjelaskan,
polisi pasti tidak akan salah. Karena kalau salah, polisi juga akan kena sanksi. Untuk itu,
pihaknya akan melakukan pendekatan dan mencoba menyelesaikan kasus ini. “Semuanya
tidak akan selesai dengan sistem kekerasan. Tapi, kalau pendekatan dan mencoba
menjelaskan dengan argumen yang rasional, maka masalah ini pasti akan selesai,” tegas pria
berdarah Bugis ini. (http://www.kaltimpost.co.id/?mib=berita.detail&id=18348)
Analisa Kasus:
Kasus ini merupakan contoh tidak amannya praktik keperawatan dari tuntutan hukum.
Kasus Misran sebenarnya merupakan sebuah realita yang sangat sering dihadapi oleh Perawat
di daerah terpencil. Sering kita temukan Perawat berpraktik seperti layaknya seorang dokter;
meresepkan obat, memberi suntikan, dll. Tindakan – tindakan medis dasar seperti diatas
sangat sering dilakukan oleh Perawat yang bertugas di Puskesmas Pembantu (Pustu) dimana
sebagian besar Pustu yang ada di luar jawa tidak mempunyai dokter. Menurut perhimpunan
dokter umum Indonesia pada tahun 2011 terdapat 70.000 dokter umum namun
penyebarannya tidak merata dan lebih dari 30% puskesmas tidak memiliki dokter terutama di
puskesmas dan puskesmas pembantu di daerah Indonesia timur, daerah terpencil dan daerah
perbatasan (Republika, 2011).
Puskesmas adalah Unit Pelaksana Teknis Daerah kes ehatan kab/kota yang
bertanggung jawab menyelenggarakan pembangunan kesehatan di suatu wilayah kerja
(Kepmenkes RI No. 128/Menkes/SK/II/2004). Menurut Depkes RI 1991 puskesmas adalah
organisasi kesehatan fungsional yang merupakan pusat pengembangan kesehatan
masyarakat yang juga membina peran serta masyarakat & memberikan pelayanan secara
menyeluruh & terpadu kepada masyarakat di wilayah kerjanya dalam bentuk kegiatan pokok.
Jaringan pelayanan puskesmas meliputi puskesmas itu sendiri, puskesmas pembantu,
polindes (pondok bersalin desa), dan posyandu (pos pelayanan terpadu).
Puskesmas Pembantu (Pustu) adalah unit pelayanan kesehatan yang sederhana dan
berfungsi menunjang dan membantu memperluas jangkauan Puskesmas dengan
melaksanakan kegiatan-kegiatan yang dilakukan Puskesmas dalam ruang lingkup wilayah
yang lebih kecil serta jenis dan kompetensi pelayanan yang disesuaikan dengan kemampuan
tenaga dan sarana yang tersedia (depkes RI, 2007). Cakupan puseksmas pembantu meliputi 2-
3 desa dengan sasaran 2500 jiwa (di luar jawa) dan 10.000 jiwa (jawa, bali). Pelayanannya
meliputi pelayanan medis sederhana oleh perawat atau bidan disertai jadwal kunjungan
dokter. (Puskelinfo, 2009).
Walaupun keberadaan Pustu lebih ditujukan kepada pelayanan dasar kesehatan,
namun dalam praktiknya Pustu dituntut untuk mampu melakukan pelayanan kegawat –
daruratan. Lokasi pustu yang jauh dari pusat layanan kesehatan menjadikan harapan
masyarakat sekitar begitu tinggi akan pelayanannya. Masyarakat tidak lagi memandang
bahwa seorang Perawat memiliki keterbatasan dalam melakukan layanan khususnya terkait
dengan layanan pemberian obat – obatan. Adakalanya, perawat harus melakukan prosedur
menjahit luka yang mengharuskan Perawat juga memberikan anestesi dan melakukan
tindakan bedah minor. Sering juga kita temui Perawat melakukan resusitasi cairan pada
pasien dehidrasi (misal akibat diare dan DHF) tanpa ada pelimpahan wewenang dari dokter.
Padahal, tindakan – tindakan tersebut diatas masuk dalam kategori tindakan medis.
Peraturan Menteri Kesehatan no 148 tahun 2010 membolehkan seorang Perawat
untuk memberikan obat dari jenis obat bebas (logo hijau) dan obat bebas terbatas (logo biru).
Namun pada praktiknya, dinas kesehatan tetap mendistribusikan obat – obatan jenis obat
keras kepada puskesmas pembantu. Permenkes no 148 tahun 2010 juga memberikan payung
hukum bagi Perawat yang berada pada situasi gawat darurat untuk melakukan tindakan diluar
kompetensinya.
Sekilas Permenkes ini memberikan jaminan pada layanan kegawat – daruratan oleh
Perawat. Namun tertnyata Permenkes ini belum mampu memberikan jaminan seutuhnya bagi
praktik keperawatan gawat darurat terutama di daerah terpencil. Permenkes ini hanya
memberikan jaminan pada ruang lingkup layanan gawat darurat pada kondisi yang
mengancam nyawa dan membutuhkan pelayanan segera (gawat darurat) dan tidak ada
jaminan bahwa Perawat diizinkan untuk bertindak diluar kewenangannya pada kondisi gawat
saja atau darurat saja (klasifikasi P2 dan P3 pada triage). Ancaman pidana semakin nyata
ketika tidak adanya kesamaan persepsi antara Perawat dengan pihak yudikatif (Polisi, Jaksa,
dan Hakim) dalam menilai kondisi yang masuk kategori gawat darurat mengancam nyawa.
Perawatan kegawat – daruratan selalu membutuhkan obat – obatan farmasi.
Wewenang Perawat yang hanya sampai memberikan obat bebas dan obat bebas terbatas
(sebagaimana diatur dalam Permenkes) ternyata bertentangan dengan PP no 52 tahun 2009
tentang kefarmasian, yang menyebutkan bahwa penyimpanan dan distribusi obat hanya boleh
dilakukan oleh tenaga farmasi. Ketentuan ini membuat Perawat jadi serba salah. Disatu sisi
ingin menolong masyarakat, namun disisi lain dia terancam karena melakukan sesuatu yang
bukan kompetensinya. Ketidakjelasan ini bisa diatasi jika ada peraturan setingkat UU yang
melindungi pekerjaan Perawat. Dengan adanya UU, Perawat akan lebih mudah menentukan
standar kompetensi Perawat sesuai dengan bidang dan pendidikannya.
PENTINGNYA UNDANG-UNDANG KEPERAWATAN
Pengesahan RUU keperawatan menjadi penting karena tujuan dibentuknya undang-
undang keperawatan adalah untuk memberikan landasan hukum terhadap praktik
keperawatan untuk melindungi baik masyarakat maupun perawat. Pada keadaan darurat
fenomena “grey area” pada berbagai jenis dan jenjang keperawatan yang ada maupun
dengan profesi kesehatan lainnya masih sulit dihindari. Sehingga perawat yang tugasnya
berada disamping klien selama 24 jam sering mengalami kedaruratan klien sedangkan tidak
ada dokter yang bertugas. Hal ini membuat perawat terpaksa melakukan tindakan medis yang
bukan merupakan wewenangnya demi keselamatan klien.Tindakan yang dilakukan tanpa ada
delegasi dan petunjuk dari dokter, terutama di puskesmas yang hanya memiliki satu dokter
yang berfungsi sebagai pengelola puskesmas, sering menimbulkan situasi yang
mengharuskan perawat melakukan tindakan pengobatan. Fenomena ini tentunya sudah sering
kita jumpai di berbagai puskesmas terutama di daerah-daerah tepencil. Dengan pengalihan
fungsi ini, maka dapat dipastikan fungsi perawat akan terbengkalai. Dan tentu saja ini tidak
mendapat perlindungan hukum karena tidak dipertanggungjawabkan secara profesional
(Republika, 2011).
Kemudian fenomena melemahkan kepercayaan masyarakat dan maraknya tuntunan
hukum terhadap praktik tenaga kesehatan termasuk keperawatan, sering diidentikkan dengan
kegagalan upaya pelayanan kesehatan. Saat ini desakan dari seluruh elemen keperawatan
akan perlunya UU Keperawatan semakin tinggi. Uraian diatas cukup menggambarkan betapa
pentingnya UU Keperawatan tidak hanya bagi perawat sendiri, melainkan juga bagi
masyarakat selaku penerima asuhan keperawatan. Sejak dilaksanakan Lokakarya Nasional
Keperawatan tahun 1983 yang menetapkan bahwa keperawatan merupakan profesi dan
pendidikan keperawatan berada pada pendidikan tinggi, berbagai cara telah dilakukan dalam
memajukan profesi keperawatan (Budhiartie, 2011).
Tentunya pengetahuan masyarakat akan pentingnya UU Keperawatan mutlak
diperlukan. Hal ini terkait status DPR yang merupakan Lembaga Perwakilan Rakyat,
sehingga pembahasan-pembahasan yang dilakukan merupakan masalah yang sedang terjadi
di masyarakat. Oleh karena itu, pencerdasan kepada masyarakat akan pentingnya UU
Keperawatan pun masuk dalam agenda DPR RI. (Dikutip dari pernyataan Harif Fadillah,
2011).
3.2 KASUS 2
Selasa, 21 September 2010
MujilahJadiKorbanMalpraktek RSUD Banyumas (www.krjogja.com)
PURWOKERTO (KRjogja.com) -Mujilah (34), Warga RT 01 / RW 01, Desa Karangendep,
Kecamatatan Patikraja diduga menjadi korban malpraktek karena kedua matanya buta setelah
menjalani proses persalinan anak keduanya tahun 1999. Mujilah mengaku pada tahun 1999
melahirkan normal di RSUD Banyumas. Namun, sebelumnya diberi obat untuk
melancarkan persalinan oleh perawat dan sudah disetujui dokter. Setelah itu, wajah dan
tubuhnya membengkak.Bahkan, kulitnya mengelupas seperti terkena cacar. "Wajah dan mata
bengkak. Kemudian dikelupas oleh perawat tanpa dibius. Karena itu, tetangga di kamar
pingsan melihat perlakuan itu. Selain itu, semua kuku juga ikut mengelupas," kata Mujilah
saat dikunjungi anggota DPRD Banyumas dari Komisi D, Yoga Sugama, Selasa (21/9).
Kendati demikian, Mujilah bertahan di RSUD selama dua pecan hingga lukanya
mengering. Sedangkan anaknya bernama Aris Pamungkas hidup normal. Namun, 10 bulan
kemudian meninggal dunia dan matanya sudah tidak normal. Bahkan, sempat berobat
kedokter lain dan menyarankan menuntut RSUD Banyumas karena mendapat penanganan
medis yang salah (malpraktek)."Pihak keluarga tidak berani melapor. Apalagi orang tua
sudah sangat tua sehingga tidak mungkin mendatangi rumah sakit. Bahkan, suami pergi entah
kemana sampai sekarang," tandasnya.
Sementara itu Yoga Sugama akan meminta pertanggungjawaban dokter dan perawat
karena malpraktek ini. Apalagi, rekam medis penanganan masih tersimpan di RSUD yang
memudahkan penelusuran para pihak itu."Kasus seperti ini harus ditangani tegas.Jika tidak
ditindaklanjuti, orang desa sepertiMujilah yang dianggap bodoh, akan terus mendapatkan
perlakukan yang sama," pungkasnya.
(http://www.krjogja.com/krjogja/news/detail/50851/
Mujilah.Jadi.Korban.Malpraktek.RSUD.Banyumas.html)
PEMBAHASAN
PROLONGED arm, "Extended role" doctrine. Istilah-istilah ini begitu dikenal selama
beberapa decade lalu di negara-negara Anglo Saxon. Sementara itu, di Benua Eropamuncul
pula Verlengde arm theorie. Apakah maksudnya? Tak lain dari julukan bagi seorang perawat
yang diterjemahkan menjadi "perpanjangantangan dokter". Perawat yang berada di rumah
sakit selama 24 jam diharuskan menggantikan dokter dalam merawat pasiennya, selama
dokter itu tidak bertugas. Meskibegitu, perawat hanya diberi wewenang yang sangat kecil
untuk itu. Sebagai perawat, ia tidak boleh secara langsung memberikan pengobatan, kecuali
sebelumnya sudah mendapat instruksi tertulis pada rekam medik. (MSA Lubis, 2011)
Dalam lingkup modern, selain adanya perubahan status yuridis dari
"perpanjangantangan" menjadi "kemitraan" atau "kemandirian", seorang perawat juga telah
dianggap bertanggungjawab hokum untuk malpraktik keperawatan yang dilakukannya,
berdasarkan standar profesi yang berlaku. Dalam hal ini dibedakan tanggungjawab untuk
masing-masing kesalahan atau kelalaian, yaitu malpraktik medic atau keperawatan. Kasus-
kasus yang terjadi berkaitan dengan malpraktik memang bias menimbulkan berbagai
konsekuensi hukum yang harus ditanggung perawat dengan adanya perubahan status mereka.
Dari aspek pidana ini bisa-bisa mereka terkena hukuman badan atau kurungan.Dan, dari sisi
perdata, pasien bias menuntut ganti rugi; dari segi profesi, mungkin terkena sanksi dari
Majelis Disiplin Tenaga Kesehatan atau Keperawatan menyangkut etik dan disiplin. Dan, dari
rumah sakit, perawat bisa di-PHK-kan kalau sampai terjadi sesuatu yang merugikan
majikannya.(MSA Lubis, 2011)
Dari kasus diatas perawat melakukan pengobatan pada pasien yang tidak sesuai
dengan wewenangnya dimana prosedur pemberian obat secara invasive seharusnya dilakukan
oleh dokter dan bukan perawat, selain itu perawat tersebut melanggar ketentuan Peraturan
Menteri Kesehatan no 148 tahun 2010 yang mengatur kewenangan perawat untuk
memberikan obat dari jenis obat bebas (logo hijau) dan obat bebas terbatas (logo biru) dan
hanya memperbolehkan untuk memberikan tindakan diluar kompetensinya hanya pada situasi
gawatdarurat (Permenkes no 148 tahun 2010).
Kasus diatas terjadi disebabkan belum ada pembagian tugas yang jelas antara perawat
dan tenaga medis yang terkadang masih sering tumpang tindih.Wewenang tugas perawat
tersebut seharusnya diatur oleh undang-undang yang jelas didalam undang-
undangkeperawatan.
Dari kedua kasus diatas dapat diambil suatu pemahaman bahwa didalam melakukan
pelayanan kesehatan pada pasien hendaklah memperhatikan aspek legal yang menjadi dasar
perawat dalam melakukan tugasnya yaitu meliputi:
1. UU no 39 tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia
1.1. Pasal (1): Hak asasi manusia adalah seperangkat hak yang melekat
pada hakikat keberadaan manusia sebagai makhluk Tuhan yang Maha Kuasa dan
merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati, dijunjung tinggi dan dilindungi Negara,
Hukum Pemerintah, dan setiap orang demi kehormatan serta perlindungan harkat dan
martabat manusia
1.2. Pasal 9
1. Setiap orang berhakuntukhidup,
mempertahankanhidupdanmeningkatkantaraf hidupnya
2. Setiap orang berhakhiduptentram, aman, damaibukanlahirdanbatin
3. Setiap orang berhakataslingkunganhidup yang baikdansehat
2. UU no 36 tahun 2009
2.1. Pasal 32
2.1.1. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta, wajib memberikan pelayanan kesehatan bagi
penyelamatan nyawa pasien dan pencegahan kecacatan terlebih dahulu.
2.1.2. Dalam keadaan darurat, fasilitas pelayanan kesehatan, baik pemerintah
maupun swasta dilarang menolak pasien dan/atau meminta uang muka.
2.2. Pasal 58
2.2.1.Setiap orang berhak menuntut ganti rugi terhadap seseorang, tenaga
kesehatan, dan/atau penyelenggara kesehatan yang menimbulkan kerugian akibat
kesalahan atau kelalaian dalam pelayanan kesehatan yang diterimanya.
2.2.2.Tuntutan ganti rugi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku
bagi tenaga kesehatan yang melakukan tindakan penyelamatan nyawa atau
pencegahan kecacatan seseorang dalam keadaan darurat.
3. Permenkesnomor HK 02.02/Menkes/148/I/2010 tentang Izin dan
Penyelenggaraan Praktik Perawat
3.1. Pasal 2
3.1.1. Perawat dapat menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan
kesehatan
3.1.2. Fasilitas pelayanan kesehatan sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) meliputi fasilitas pelayanan kesehatan diluar praktik mandiri dan / atau praktik
mandiri
3.1.3. Perawat yang menjalankan praktik mandiri sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) berpendidikan minimal diploma III (D3) Keperawatan
3.2. Pasal 3
3.2.1. Setiap Perawat yang menjalankan praktik wajib memiliki SIPP
3.2.2. Kewajiban memiliki SIPP dikecualikan bagi Perawat yang
menjalankan praktik pada fasilitas pelayanan kesehatan di luar praktik mandiri
3.3. Pasal 4
3.3.1. SIPP sebagaimana dimaksud dalam pasal 3 ayat (1) dikeluarkan
oleh pemerintah kabupaten / kota
3.3.2. SIPP berlakuselama STR masih berlaku
3.4. Pasal 10
3.4.1. Dalam keadaan darurat untuk penyelamatan nyawa seseorag /
pasien dan tidak ada dokter di tempat kejadian, Perawat dapat melakukan
pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
3.4.2. Bagi Perawat yang menjalankan praktik di daerah yang tidak
memiliki dokter dalam rangka melaksanakan tugas pemerintah , dapat melakukan
pelayanan kesehatan diluar kewenangan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8
3.4.3. Dalam melaksanakan pelayanan kesehatan sebagaimana
dimaksud ayat (2) harus mempertimbangkan kompetensi, tingkat kedaruratan dan
kemungkinan untuk dirujuk.
3.4.4. Daerah yang tidak memiliki dokter sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) adalah kecamatan dan kelurahan / desa yang ditetapkan oleh kepala dinas
kesehatan kabupaten / kota
3.3. KASUS 3
Kasus yang pernah terjadi pada perawat yaitu dimana pada tahun 2011 pemerintah
Kuwait tidak mengakui kasus ijazah keperawatan perawat Indonesia. Mereka terancam
kehilangan pekerjaan dan hak-hak normatif karena persoalan akreditasi ijazah. Persoalan
yang menimpa 54 perawat ini muncul sejak pemerintah Kuwait menerima surat Kementerian
Kesehatan melalui nota diplomatik Kementerian Luar Negeri RI soal pengakuan ijazah.
Penanganan yang berlarut-larut berdampak buruk bagi Indonesia karena Kuwait terus
merekrut perawat Filipina dan India. Beberapa perawat Indonesia sudah dilarang bekerja
karena tidak ada penyetaraan dari pihak-pihak terkait. Legalitas ijazah perawat Indonesia di
Kuwait sungguh menyedihkan. Pemerintah Kuwait menilai mereka ilegal
(www.nasional.kompas.com). Selain di Kuwait, di Jepang ada sekitar 5.000 perawat yang
bekerja disana, namun hanya 2 yang diakui sebagai perawat (berjuang mendapat sertifikasi
RN di Jepang, bukan dari Indonesia) dan sisanya dianggap sebagai TKI atau buruh biasa. Hal
tersebut dikarenakan perawat yang bekerja diluar negeri hanya mendapatkan SIP dari Dinas
Kesehatan Kabupaten atau Kota. Mereka belum tersertifikasi sesuai dengan standar
kompetensi yang dibutuhkan di tingkat internasional. Muhammad, 2005 mengatakan bahwa
kemampuan bersaing perawat Indonesia bila di bandingkan dengan negara-negara lain seperti
Philipines dan India masih kalah . Pemicu yang paling nyata adalah karena dalam system
pendidikan keperawatan kita masih menggunakan “Bahasa Indonesia”sebagai pengantar
dalam proses pendidikan. Hal tersebut yang membuat Perawat kita kalah bersaing di tingkat
global. Salah satu tolak ukur kualitas dari Perawat di percaturan internasional adalah
kemampuan untuk bias lulus dalam Uji Kompetensi keperawatan seperti ujian NCLEX-RN
dan EILTS sebagai syarat mutlak bagi seorang perawat untuk dapat bekerja di USA.
Banyak di antara perawat Indonesia di Kuwait yang sudah dinonaktifkan sebagai
perawat karena ijazah mereka dinilai tak berlaku karena dikeluarkan Akademi atau Perguruan
Tinggi yang tak tercatat di Pusat Diknakes Kemenkes Republik Indonesia. Saat ini banyak
perawat Indonesia yang dinonaktifkan, tidak digaji serta tidak bisa kembali ke Indonesia.
Kemungkinan besar para perawat tersebut juga terancam pidana karena dianggap
memalsukan ijasah. Perawat Indonesia di luar negeri tidak diakui kompetensinya karena tak
memiliki standar kompetensi. Secara sederhana mereka tidak diakui kemampuannya,
sehingga mereka hanya dianggap sebagai asiten perawat. Para perawat tersebut tak diakui
kemampuannya karena tak memiliki bukti legalitas hitam diatas putih. Dengan adanya
Undang-Undang Keperawatan maka dapat melindungi perawat Indonesia agar mendapat
pengakuan di pasar kerja internasional dan kompensasi yang layak.
Keluarnya Undang-Undang (UU) Nomor 23 Tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No
2/1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional serta Surat Keputusan Menteri Kesehatan No
1239/Menkes/SK/2001 tentang registrasi dan praktik keperawatan lebih mengukuhkan
keperawatan sebagai suatu profesi di Indonesia. Adanya Undang-undang No. 8 tahun 1999
tetang Perlindungan Konsumen semakin menuntut perawat untuk melaksanakan praktik
keperawatan secara profesional menjadi suatu keharusan dan kewajiban yang sudah tidak
dapat ditawar-tawar lagi. Penguasaan Ilmu dan keterampilan, pemahaman tetang standar
praktik, standar asuhan dan pemahaman hak-hak pasien menjadi suatu hal yang penting bagi
setiap insan pelaku praktik keperawatan di Indonesia (Yanto, 2001). Konsekuensi dari
perkembangan itu harus ada jenjang karier dan pengembangan staf yang tertata baik, imbalan
jasa, insentif serta sistem penghargaan yang sesuai dan memadai. Rendahnya imbalan jasa
bagi perawat selama ini mempengaruhi kinerja perawat. Banyak perawat bergaji di bawah
upah minimum regional (UMR). Sebagai gambaran, gaji perawat pemerintah di Indonesia
antara Rp 300.000-Rp 1 juta per bulan tergantung golongan. Sementara perawat di Filipina
tak kurang dari Rp 3,5 juta (Kompas, 2001)
Keperawatan merupakan profesi, yang didalamnya terdapat akreditasi yang berlaku
secara internasional, meskipun didalamnya diakui perawat praktek atau vokasional yang
berasal dari DIII. Perawat DIII ini bisa mendapatkan akreditasi dengan nama LVN (Licensed
Vocational Nurse) atau perawat praktek yang telah terakreditasi yang diatur dalam SIPP2,
sedang perawat S1 diakreditasi dalam RN (Registered Nurse) yaitu dalam SIPP1. Perawat S1
yang tidak terakreditasi sebagai RN dapat pula mengambil tes untuk memperoleh predikat
LVN, namun tidak berlaku sebaliknya pada DIII.
Semua hal tersebut diatas bisa terwujud ketika ada badan independen yang terdiri dari
berbagai elemen masyarakat, bukan hanya penyedia layanan/ profesi tetapi juga masyarakat
sebagai pengguna dan pemerintah, yang mempunyai fungsi pengaturan, pengesahan,
pembinaan serta penetapan kompetensi perawat yang menjalankan praktik keperawatan
dalam rangka meningkatkan mutu pelayanan dan praktik keperawatan. Dalam RUU
Keperawatan, lembaga tersebut dikenal dangan Konsil. Uraian tugas Konsil seperti yang
tercantum dalam RUU Keperawatan cukup konkrit untuk mengatasi carut-marut situasi
praktek keperawatan dan pendidikan keperawatan yang ada di Indonesia yang salah satu
dampaknya adalah kasus yang terjadi di Kuwait tersebut.
Permasalahannya, konsil hanya bisa terbentuk jika RUU Keperawatan sudah disahkan
menjadi Undang-Undang Keperawatan. Tanpa itu, maka lembaga independen yang kita
harapkan bisa mengatasi permasalahan yang ada tidak akan terbentuk, dan kondisi
keperawatan di Indonesia akan semakin tertinggal. Dari 10 negara ASEAN, ada 3 negara
yang belum memiliki UU Keperawatan dan Indonesia salah satunya, selain Laos dan
Vietnam. Padahal Mutual Recognition Agreement (MRA) di 10 negara ASEAN terutama
bidang keperawatan mulai diberlakukan pada tahun 2010. Maka dapat dibayangkan bahwa
masyarakat Indonesia akan menjadi sasaran empuk tenaga-tenaga kesehatan asing, tenaga
perawat dalam negeri terpinggirkan, pengakuan rendah dan gaji yang tidak memadai, karena
tidak ada payung hukum yang jelas. Demikianlah harga mati dimana RUU Keperawatan
harus disahkan, karena regulasinya memang mengharuskan berjalannya sistem yang telah
ditentukan oleh UUD 1945.
BAB 4
PENUTUP
4.1. KESIMPULAN
Dalam menjalankan tugas dan fungsinya perawat membutuhkan perangkat hukum
untuk memberikan kepastian dan perlindungan agar dikemudian hari tidak menimbulkan
kerugian bagi perawat. Dengan adanya UU Keperawatan juga diharapkan dapat
meningkatkan aksesibilitas, keterjangkauan, dan mutu pelayanan keperawatan, serta
mempercepat keberhasilan upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Namun sayang
hingga kini, belum ada kejelasan tentang pengesahan undang-undang keperawatan di
Indonesia.
4.2. SARAN
Sebagai bagian dari profesi keperawatan, seluruh perawat di Indonesia baik
mahasiswa keperawatan, perawat di pelayanan kesehatan maupun perawat yang berprofesi di
bidang pendidikan harus bersatu mendukung disahkannya RUU keperawatan sebagai payung
hukum profesi keperawatan di Indonesia. Tenaga keperawatan dengan kuantitas massa dan
intelektualitasnya yang besar dapat menjadi salah satu kekuatan utama dalam
memperjuangkan disahkannya undang-undang keperawatan. Berbagai aksi yang bisa
dilakukan antara lain: membuat seminar/ lokakarya bersama komisi IX DPR RI, aksi nasional
untuk menyuarakan aspirasi perawat Indonesia, dll. Aksi ini merupakan awal perjuangan baru
dalam mensukseskan UU Keperawatan, peranan sebagai social control mutlak diperlukan
terutama setelah pelaksanaan aksi dalam menjaga kontinuitas usaha PPNI dalam
memperjuangkan terciptanya UU Keperawatan.
Diantara berbagai upaya diatas, ada satu hal terpenting yang harus kita pikirkan
dibenak masing-masing yakni “Jangankan ikut memperjuangankan pengesahan RUU
Keperawatan ke gedung DPR, jangan-jangan masih ada di antara kita yang belum pernah
membaca isi RUU tersebut dan tidak mengetahui kenapa RUU itu harus segera disahkan”.
DAFTAR PUSTAKA
Bastian, Indra dan Suryono. (2011). Penyelesaian Sengketa Kesehatan. Salemba Medika:
Jakarta
Budhiartie, arrie. (2011). Pertanggungjawaban hukum perawat. Diambil dari
http://www.unja.ac.id//, tanggal 6 November 2011, pukul 09.00WIB
DEPKES RI (2007) PEDOMAN PENDATAAN DATA DASAR PUSKESMAS
htt
p://www.depkes.go.id/downloads/progr/Pedoman_Updating_Data_Dasar_Puskesma
s.doc+PEDOMAN+PENDATAAN+DATA+DASAR+PUSKESMAS&hl=id&g
Harif Fadillah, http://www.unpad.ac.id/archives/41388, , “Perlu Adanya Regulasi yang Kuat
dalam UU Keperawatan” tahun 2011, di unduh pada tanggal 26 november 2011, jam
18.00
Helm, Ann. (2006). Malpraktek Keperawatan. EGC: Jakarta
Kozier, B., & Erb, G. (2009).Buku Ajar Praktik Keperawatan Klinis. Jakarta: EGC.
Pakiringan, Junda. (2009). Undang-Undang Keperawatan: Hak Perawat Indonesia Untuk
Mendapatkan Legislasi Profesi. Diakses 25 November 2011.
http://jundapakiringan.blogspot.com/2011/07/undang-undang-keperawatan-hak-
perawat.html
Putra, R. H. (2010). Keperawatan Gawat Darurat (Kegawat daruratan & Kekritisan).
Retrieved 7 November, 2011, from
http://nursingforuniverse.com/2010/01/keperawatan-gawat-darurat-kegawat.html
Republika (2011). Ironis, Lebih dari 2000 Puskesmas di Indonesia tak Punya Dokter
http://www.republika.co.id/berita/nasional/umum/11/03/25/lilflv-ironis-lebih-dari-
2000-puskesmas-di-indonesia-tak-punya-dokter-umum
Puskelinfo (2009). JEJARING DASAR 5 PENDUKUNG
PELAYANAN PUSKESMAS.http://puskelinfo.wordpress.com/2009/09/24/jejaring-
dasar-5-pendukung-pelayanan-puskesmas/
http://www.krjogja.com/krjogja/news/detail/50851/
Mujilah.Jadi.Korban.Malpraktek.RSUD.Banyumas.html. Di browsing jam 10.00
tanggal 30 November 2011
http://kantorpengacara-msa-lubis.com/details_artikel_hukum.php?id=2 browsing jam 10.30
tanggal 30 november 2011