makalah konstruksi hukum

33
MAKALAH KONSTRUKSI HUKUM DOSEN PEMBIMBING Bruce Anzward S.H,M.H DISUSUN OLEH KELOMPOK 2 UNIVERSITAS BALIKPAPAN FAKULTAS ILMU HUKUM

Upload: francisca-putri-b

Post on 14-Jul-2016

545 views

Category:

Documents


96 download

DESCRIPTION

makalah

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Konstruksi Hukum

MAKALAH KONSTRUKSI HUKUM

DOSEN PEMBIMBING

Bruce Anzward S.H,M.H

DISUSUN OLEH

KELOMPOK 2

UNIVERSITAS BALIKPAPAN

FAKULTAS ILMU HUKUM

2015/2016

Page 2: Makalah Konstruksi Hukum

Anggota Kelompok :

- Sandy Prayoga- Teguh Wiwit Wibowo- Nur Rezawati (power point)- Agatha Kartika Eka Paksi (finishing makalah)- Muhammad Bachrul Ilmi (group kerja kelompok)- Monalisa Sin (makalah)- Muhammad Akhyar (group kerja kelompok)- Fendy Dwi Aji Kurniawan- Muhammad Wahyu Irwanda- Octalinda Prabawati Wahyuningtyas- Denny Irawan- Lissa kusuma Wardani- Febri Nur Ayu Pratiwi- Dina Purnama- Ludin Situmorang- Ahmad Risky Adha- Ashara Syafira Putri

Page 3: Makalah Konstruksi Hukum

Kata Pengantar

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas rahmat-Nya kami

dapat menyelesaikan makalah ini. Makalah ini disusun untuk pemenuhan tugas mata kuliah

Pengantar Ilmu Hukum. Selain itu tujuan dari penyusunan makalah ini juga untuk menambah

wawasan tentang penafsiran hukum di Indonesia.

Kami juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Bruce Anzward S.H M.H selaku dosen

Pengantar Ilmu Hukum kami yang telah membimbing kami agar dapat menyelesaikan makalah

ini.

Akhirnya kami menyadari bahwa makalah ini sangat jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu,

dengan segala kerendahan hati, kami menerima kritik dan saran agar penyusunan makalah

selanjutnya menjadi lebih baik. Untuk itu kami mengucapkan banyak terima kasih dan semoga

karya tulis ini bermanfaat bagi para pembaca.

Balikpapan, 22 Desember 2015

Penyusun

Page 4: Makalah Konstruksi Hukum
Page 5: Makalah Konstruksi Hukum

DAFTAR ISI

BAB I . PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II. PEMBAHASAN

A. Interpretasi Hukum

B. Konstruksi Hukum

C. Perbedaan Interpretasi Hukum & Konstruksi Hukum

BAB III. PENUTUP

A. Kata Penutup

B. Kesimpulan

C. Saran

DAFTAR PUSTAKA

Page 6: Makalah Konstruksi Hukum

BAB 1

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Manusia berkepentingan untuk merasa bahwa ia aman. Aman berarti bahwa kepentingan-

kepentingannya tidak diganggu. Oleh karena itu manusia selalu berharap bahwa kepentingan-

kepentingannya dilindungi dari konflik, gangguan-gangguan dan bahaya yang mengancam serta

menyerang kepentingan dirinya dan kehidupan bersama. Gangguan dan konflik harus dicegah

dan tidak dibiarkan berlangsung terus menerus, karena akan merusak keseimbangan tatanan

masyarakat. Jadi manusia di dalam masyarakat memerlukan perlindungan kepentingan.

Perlindungan kepentingan itu akan tercapai jika tercipta pedoman atau peraturan yang

menentukan manusia seharusnya hidup dalam masyarakat agar tidak merugikan dirinya sendiri

dan orang lain. Pedoman, patokan atau ukuran untuk bertingkah laku atau bersikap dalam

kehidupan bersama itu disebut dengan norma atau kaidah social. Kaidah sosial pada hakekatnya

merupakan perumusan suatu pandangan mengenai perilaku atau sikap yang seharusnya

dilakukan atau tidak dilakukan, yang dilarang dijalankan atau yang dianjurkan untuk dijalankan.

Hukum berfungsi sebagai perlindungan kepentingan manusia. Jadi agar kepentingan

manusia terlindungi, hukum harus dilaksanakan. Pelaksanaan hukum dapat berlangsung secara

normal dan damai tapi dapat terjadi juga pelanggaran hukum. Dalam kasus pelanggaran hukum

inilah maka hukum harus ditegakkan. Melalui penegakkan hukum inilah, hukum itu menjadi

kenyataan. Dalam menegakkan hukum, terdapat tiga unsur yang harus diperhatikan, yaitu:

kepastian hukum, kemanfaatan dan keadilan.

Pembahasan tentang hukum cenderung dikaitkan dengan perundang-undangan. Undang-

undang sendiri tidak sempurna, tidak mungkin undang-undang mengatur seluruh kegiatan

manusia secara tuntas. Adakalanya undang-undang tidak jelas dan adakalanya tidak lengkap.

Meskipun tidak lengkap dan tidak jelas, undang-undang tersebut tetap harus dilaksanakan.

Hakim tidak dapat dan tidak boleh menangguhkan atau menolak menjatuhkan putusan dengan

alasan karena hukumannya tidak lengkap dan tidak jelas. Ia dilarang menolak menjatuhkan

putusan dengan dalil tidak sempurnanya undang-undang atau tidak adanya hukum. Jika dalam

Page 7: Makalah Konstruksi Hukum

perkara tertentu tidak lengkap atau tidak jelas dalam undang-undang maka hakim harus mencari

hukumnya atau menemukan hukumnya. Ia harus melakukan penemuan hukum. Penegakkan dan

pelaksanaan hukum sering melupakan penemuan hukum dan tidak sekedar penerapan hukum.

Karena itu usaha penemuan hukum ini merupakan salah satu kegiatan yang harus dilakukan

hakim dalam memutuskan perkara.

Penemuan hukum ini menjadi pokok bahasan yang lebih menarik karena dinamikanya

dalam merujuk pada undang-undang dan kasus-kasus serupa yang pernah diputuskan perkaranya.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut rumusan masalah sebagai berikut:

1. Apa pengertian penemuan hukum?

2. Bagaimana bentuk metode penemuan hukum?

Page 8: Makalah Konstruksi Hukum

BAB 2

PEMBAHASAN

Kapan dan Bagaimana hakim melakukan Penemuan Hukum?

Apakah demi keadilan, hakim mempunyai diskresi untuk membentuk suatu hukum?

Kalau ya, kapan dan bagaimana caranya?

Disebutkan bahwa hakim juga bisa membentuk hukum apabila ia melakukan penemuan

kaidah hukum. Penemuan hukum ini lazimnya diartikan sebagai pembentukan hukum oleh

hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi tugas melaksanakan hukum terhadap

peristiwa-peristiwa hukum yang konkrit. Bahwasanya penemuan hukum dimana terdapat

peristiwa dan tidak ditemukan aturan secara tertulis dalam suatu perundang–undangan maka

diberikan kewenangan kepada hakim dalam meberikan penafsiran.  Latar belakang perlunya

seorang hakim melakukan penemuan hukum adalah karena hakim tidak boleh menangguhkan

atau menolak menjatuhkan putusan dengan alasan karena hukumannya tidak lengkap atau tidak

jelas. Ketika undang-undang tidak lengkap atau tidak jelas untuk memutus suatu perkara, saat

itulah hakim harus mencari dan menemukan hukumnya(rechtsviding).

Larangan bagi hakim menolak perkara ini diatur juga dalam Pasal 10 ayat (1)   UU No. 48

Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Lalu, hasil temuan itu akan menjadi hukum apabila

diikuti oleh hakim berikutnya atau dengan kata lain menjadi yurisprudensi.

Penemuan hukum ini dapat dilakukan dengan cara menggali nilai-nilai hukum yang berkembang

dalam masyarakat 

Cara penemuan hukum disebutkan dapat dilakukan dengan dua metode yakni  Interpretasi  &

Konstruksi.

Page 9: Makalah Konstruksi Hukum

Interpretasi Hukum

A. Penafsiran Hukum (Interpretasi Hukum)

1. Definisi Penafsiran Hukum

Penafsiran atau interpretasi hukum peraturan undang-undang ialah mencari dan

menetapkan pengertian asas dalil-dalil yang tercantum dalam undang – undang sesuai

dengan yang dikehendaki serta yang dimaksud oleh pembuat undang-undang (Soeroso,

2006:97).

Menurut Ridwan Halim (2005:81) penafsiran hukum ialah suatu upaya yang pada

dasarnya menerangkan, menjelaskan, dan menegaskan, baik dalam arti memperluas maupun

membatasi atau mempersempit pengertian hukum yang ada, dalam rangka penggunaannya

untuk memecahkan masalah atau persoalan yang sedang dihadapi.

Berdasarkan pendapat para ahli tersebut, penafsiran hukum sangat penting mengingat isi

undang-undang yang kadang tidak jelas susunan katanya, dan tidak jarang mempunyai lebih

dari satu arti. Oleh karena itu, penafsiran hukum terhadap undang-undang merupakan suatu

hal yang perlu dilakukan.

2. Metode – Metode Penafsiran Hukum

Penafsiran hukum terbagi dalam beberapa bentuk yaitu :

1. Penafsiran Undang-Undang Secara Tata Bahasa (Gramatikal)

Penafsiran undang-undang secara tata bahasa (grammatical), yaitu suatu cara penafsiran undang-

undang menurut arti perkataan (istilah) yang terdapat dalam undang-undang yang bertitik tolak

pada arti perkataan-perkataan dalam hubungannya satu sama lain dalam kalimat-kalimat yang

dipakai dalam undang-undang. Dalam hal ini hakim mencari arti kata yang lazim dipakai dalam

bahasa sehari-hari yang umum. Oleh karena itu dipergunakan kamus bahasa atau meminta

bantuan dari para ahli bahasa.

Page 10: Makalah Konstruksi Hukum

Contoh:

- Dalam pasal 1 penetapan presiden (PENPRES) no. 2 tahun 1964 tentang tata cara pelaksanaan

hukuman mati di Indonesia, di tegaskan bahwa hukuman mati dengan jalan di tembak.

Penafsiran kata “di tembak” di sini secara gramatikal adalah penembakan pada bagian yang bisa

menyebabkan kematian si terhukum, jadi bukan asal sembarang tembak.

2. Penafsiran Undang-Undang Secara Sistematis (Dogmatis)

Penafsiran ini memperhatikan susunan yang berhubungan dengan bunyi pasal-pasal lainnya baik

dalam undang-undang itu maupun undang –undang lainnya. Dengan penafsiran itu orang dapat

memperoleh gambaran atau pandangan yang luas dan jelas tentang arti suatu perkataan dalam

undang-undang seluruhnya. Jadi, penafsiran sistematis menitikberatkan pada kenyataan bahwa

undang-undang tidak terlepas, tetapi akan selalu ada hubungannya antara yang satu dengan

lainnya sehingga seluruh perundang-undangan itu merupakan kesatuan tertutup, yang rapi dan

teratur.

Contoh:

-Pengertian tentang “makar” (tindakan yang membahayakan keamanan/keselamatan Negara)

yang diatur dalam pasal 87 KUHP dapat di jadikan sebagai dasar bagi pasal-pasal lain dalam

KUHP yang mengatur tentang makar.

-Dalam kalimat “…sebagaimana diatur dalam pasal…” atau “tata cara….diatur dengan undang-

undang”. Terdapat hubungan atau sangkut paut pasal satu dengan yang lainnya.

-Selain itu dalam UU kepabeanan yakni UU no 17 tahun 2006 pasal 1 :

“Kepabeanan adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pengawasan atas lalu lintas

barang yang masuk atau keluar daerah pabean serta pemungutan bea masuk dan bea keluar ”.

Pasal selanjutnya menjelaskan tentang pengertian daerah pabean, yakni pasal 2 daerah pabean

adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi wilayah darat, perairan, dan ruang udara di

atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di

dalamnya berlaku Undang-Undang ini.

Page 11: Makalah Konstruksi Hukum

3. Penafsiran Undang-Undang Secara Sejarah (Historis)

Penafsiran undang-undang secara historis adalah menafsirkan undang-undang dengan cara

melihat sejarah terjadinya suatu undang-undang itu dibuat. Tiap ketentuan perundang-undangan

mempunyai sejarah sendiri dan dengan sejarah pembentukan undang-undang itu, hakim dapat

meneliti dan mempelajari maksud dari pembuatan undang-undang. Hakim juga dapat

mempelajari segala pembicaraan dan perdebatan di dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat

ketika undang-undang itu dalam proses pembuatan.

Penafsiran secara historis ada dua macam, yaitu sebagai berikut:

a. Penafsiran menurut sejarah hukum (rechtshistorische interpretatie)

Penafsiran menurut sejarah hukum merupakan suatu cara penafsiran hukum dengan jalan

menyelidiki dan mempelajari sejarah perkembangan segala sesuatu yang berhubungan dengan

hukum seluruhnya. Penafsiran tersebut adalah penafsiran yang luas yang meliputi penafsiran

menurut sejarah penetapan perundang-undangan

b. Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-undangan (wetshistorische

interpretatie)

Penafsiran menurut sejarah penetapan ketentuan perundang-undangan merupakan penafsiran

yang sempit, yaitu dengan cara melakukan penafsiran undang-undang dengan menyelidiki

perkembangannya sejak dibuat dan untuk mengetahui apa maksud ditetapkannya peraturan itu.

Maksud tersebut dapat diketahui dengan jalan melihat laporan-laporan perdebatan dalam sidang

Dewan Perwakilan Rakyat dari surat-menyurat antara menteri-menteri yang bersangkutan dan

komisi DPR yang bersangkutan dan sebagainya.

Penafsiran undang-undang menurut sejarah hukum dapat dilakukan oleh hakim dengan jalan

menyelidiki asal usul peraturan perundang-undangan yang bersangkutan. Caranya ialah dengan

melihat dari suatu system hukum yang dahulu pernah berlaku yang sekarang tidak berlaku lagi.

Atau dengan melihat asal peraturan itu, apakah dari suatu system hukum lain yang sekarang

masih berlaku di negara lain. Misalnya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata)

yang dikodifiksikan di Indonesia pada tahun 1848, menurut sejarahnya berasal dari kodofikasi

Page 12: Makalah Konstruksi Hukum

Burgerlijk wetboek di negeri Belanda pada tahun 1838 yang sejarahnya berasal dari Code Civil

Prancis atau disebut juga Code napoleon.

Penafsiran undang-undang menurut sejarah penetapan suatu ketentuan perundang-undangan

dapat dilakukan oleh hakim dengan jalan menyelidiki sejarah peraturan yang bersangkutan yaitu

melihat asas-asas hukum yang terkandung dalam peraturan tersebut sebelum penetapannya

dalam undang-undang yang berlaku sekarang. Misalnya apabila hakim hendak mengetahui arti

dari beberapa pasal KUH Perdata tertentu maka hakim harus mencari sistem apa yang

dekehendaki oleh pembuat undang-undang dengan melihat perbandingan antara beberapa

ketentuan perundang-undangan yang diduga mengandung kesamaan. Kesamaan yang

dikehendaki oleh undang-undang itulah yang merupakan asas hukum yang menjadi dasar

peraturan perundang-undangan yang bersangkutan.

4. Penafsiran Sosiologis (Teologikal)

yaitu penafsiran yang didasarkan atas situasi dan kondisi yang ada di masyarakat.

Contoh:

-Orang yang melakukan penimbunan barang-barang kebutuhan pokok masyarakat dapat di

tafsirkan sebagai pelaku tindak pidana ekonomi (kejahatan untuk menghacurkan perekonomian

masyarakat), meskipun tujuan orang itu melakukan penimbunan hanyalah untuk mencari laba

yang sebesar besarnya bagi dirinya.

5. Penafsiran Undang-Undang Secara Autentik

Penafsiran undang-undang secara autentik merupakan suatu penafsiran resmi yang diberikan

oleh pembuat undang-undang. Misalnya dalam Bab 9 buku 1 KUH Pidana disebutkan bahwa

pembuat undang-undang telah memberikan penejelasan secara resmi atau autentik arti dari

beberapa sebutan dalam KUH Pidana. Beberapa contoh diantaranya adalah yang berikut ini.

a. Pasal 97 KUHP : yang disebut hari adalah waktu selama dua puluh empat jam; yang

disebut bulan adalah waktu tigaa puluh hari.

Page 13: Makalah Konstruksi Hukum

b. Pasal 98 KUHP : yang disebut waktu malam yaitu waktu antara matahari silam dan

matahari.

c. Pasal 99 KUHP : yang disebut memanjat termasuk juga masuk melalui lubang yang

memang sudah ada tetapi bukan untuk masuk; atau masuk melalui lubang di dalam tanah

yang dengan sengaja digali; begitu juga menyeberangi selokan atau parit yang digunakan

sebagai batas penutup.

d. Pasal 100 KUHP : yang disebut anak kunci palsu termasuk juga segala perkakas yang

tidak dimaksud untuk membuka kunci.

e. Pasal 101 KUHP : yang disebut ternak yaitu semua binatang yang berkuku satu, binatang

memamah biak, dan babi.

6. Penafsiran Restriktif dan Ekstensif

Penafsiran Restriktif ialah penafsiran yang bersifat membatasi, arti membatasi disini adalah

dengan melakukan penyempitan pengertian.

Contoh:

-kerugian hanya terbatas kepada kerugian materiil saja sedangkan kerugian imateril, termasuk di

dalamnya

Penafsiran Ekstensif ialah suatu penafsiran yang dilakukan dengan cara memperluas arti kata-

kata yang terdapat dalam peraturan undang-undang.

Contoh:

-hakim menyamakan pencurian listrik sama dengan pencurian benda (hal ini dilakukan karena

pada jaman dahulu belum ada listrik, jadi tidak ada UU yang mengatur tentang listrik.

7. Penafsiran Undang-Undang Secara Analogis

Penafsiran undang-undang secara analogis ialah suatu penafsiran undang-undang yang dilakukan

dengan cara memberikan kias atau ibarat pada kata-kata yang terdapat dalam undang-undang

sesuai dengan asas hukumnya. Dengan demikan suatu peristiwa yang sebenarnya tidak dapat

dimasukkan, lalu dianggap atau diibaratkan sesuai dengan bunyi peraturan tersebut

Page 14: Makalah Konstruksi Hukum

Contoh:

- Aliran listrik yang sebenarnya bukan barang di anggap sama dengan barang yang dapat di ilhat

dan di pegang, sehingga pencurian aliran listrik tetap dapat di hukum meskipun dalam undang-

undang masalah puncurian aliran listrik ini tidak diatur, alasanya karena alasanya untuk

mendapatkan aliran listrik tetap di perlukan sejumlah uang atau harus di bayar dengan sejumlah

uang.

8. Penafsiran Undang-Undang Secara A Contratio

Penafsiran undang-undang secara a contrario adalah suatu penafsiran undang-undang yang

dilakukan dengan cara memberikan perlawanan pengertian antara peristiwa konkret yang

dihadapi dan peristiwa yang diatur dalam undang-undang. Maka dengan berdasarkan perlawanan

pengertian itu dapat ditarik kesimpulan bahwa peristiwa yang dihadapi itu tidak diliputi oleh

undang-undang yang dimaksud atau berada di luar ketentuan undang-undang tersebut.

Contoh:

-Pada pasal 4 ayat 3g bahwa “wanita tidak boleh menikah lagi sebelum waktu 300 hari”. Jika

menggunakan argumen a contraro, maka dapat diambil kesimpulan bahwa laki-laki dibolehkan

untuk menikah lagi dalam waktu kurang dari 300 hari.

9. Penafsiran Nasional

Penafsiran nasional adalah penafsiran yang menilik sesuai yidaknya dengan sistem hukum yang

berlaku, misalnya: hak milik Pasal 570 KUHS sekarang harus ditafsirkan menurut hak milik

sistem hukum Indonesia.

10. Penafsiran Multidisipliner

Dalam penafsiran multidisipliner seorang hakim harus mempelajari suatu atau beberapa disiplin

ilmu lainnya diluar ilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim membutuhkan verivikasi dan

bantuan dari lain-lain disiplin ilmu. Hakim dalam menyikapi suatu permasalahan yang berkaitan

dengan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang sebenarnya tidak ada hubungannya dengan ilmu

Page 15: Makalah Konstruksi Hukum

hukum, tetapi karena suatu perkara yang diperiksa, hakim memerlukan kejelasaan akan suatu

makna dalam peraturan perundang-undangan atau suatu makna perbuatan terdakwa, maka hakim

memerlukan bantuan ahli dari disiplin ilmu yang relevan untuk membantunya mencari

penjelasan tersebut, dan biasanya keterangan tersebut diberikan di depan persidangan dalam

bentuk keterangan ahli, yang merupakan salah satu alat bukti dalam perkara pidana.

11. Penafsiran Komparatif

Interpretasi komparatif ini dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan

membandingkan antara sistem hukum. Terutama bagi hukum yang timbul dari perjanjian

internasional, ini penting, karena dengan pelaksanaan yang berimbang/seragam direalisir

kesatuan hukum yang melahirkan perjanjian internasional itu sebagai hukum objektif atau

sebagai kaidah hukum umum untuk beberapa negara.

12. Penafsiran Futuristik

Interpretasi futuristik atau metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi adalah penjelasan

ketentuan undang-undang dengan berpedoman pada undang-undang yang belum mempunyai

kekuatan hukum. Misalnya suatu rancangan undang-undang yang masih dalam proses

pembahasan di DPR, tetapi hakim yakin bahwa RUU itu akan diundangkan (dugaan politis).

13. Penafsiran Interdisipliner

Interpretasi jenis ini biasa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai

disiplin ilmu hukum. Di sini digunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.

Sebagai contoh, interpretasi atas pasal yang menyangkut kejahatan “korupsi”, hakim dapat

menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang, yaitu hukum pidana, administrasi

negara, dan perdata. Kasus yang akhir-akhir ini jadi pemberitaan di media cetak dan elektronik,

pernikahan Syeikh Puji dengan Lutviana Ulfa misalnya, bisa dilihat dengan melihat interpretasi

hukumnya pada KUH Perdata tentang status pernikahan dini, dan juga dalam UU Perlindungan

Anak yang berkaitan dengan masalah pidananya.

Page 16: Makalah Konstruksi Hukum

3. Cara Menerapkan Metode Penafsiran

Dalam melaksanakan penafsiran peraturan perundang-undangan pertama-tama harus selalu

dilakukan penafsiran grammatikal, karena pada hakikatnya untuk memahami teks peraturan

perundang-undangan harus dimengerti lebih dahulu arti katanya. Apabila perlu dilanjutkan

dengan penafsiran otentik atau penafsiran resmi yang ditafsirkan oleh pembuat undang-undang

itu sendiri. Kemudian dilanjutkan dengan penafsiran historis, penafsiran sistematis, penafsiran

nasional, penafsiran teleologis atau sosiologis, penafsiran ekstensif, penafsiran restriktif,

penafsiran analogis dan penafsiran a contrario.

Page 17: Makalah Konstruksi Hukum

Konstruksi Hukum

B. Konstruksi Hukum

Konstruksi Hukum Berdasarkan Sejarah Filsafat Hukum Sejak Zaman Klasik Hingga Abad 20

Pengetahuan adalah sesuatu yang berawal dari amat besarnya hasrat keingintahuan manusia, baik

terhadap alam semesta maupun tentang dirinya sendiri. Hasrat tersebut membawa manusia pada

perenungan-perenungan mendalam hingga sampai pada hakikat tentang sesuatu yang

direnungkan. Pengetahuan yang lahir dari perenungan ini ada yang bersifat metodik, sistemik,

dan antara kenyataan satu dan lainnya saling berhubungan hingga kemudian menjadi petunjuk

bagi arah kegiatan manusia dalam kehidupannya. Proses yang demikian dikenal sebagai kegiatan

berfilsafat.

Makna filsafat diakui berasal dari bahasa Yunani “Philosophia” atau cinta kebijaksanaan.

Dibangun dari dua kata “Philos” artinya cinta dan “shopia” berarti kebijaksanaan. Tetapi kata

filsafat sendiri sesungguhnya berasal dari bahasa Arab “Falsafah”, yang secara etimologi

memiliki arti gagasan dan sikap batin paling dasar yang dimiliki seseorang atau sekelompok

masyarakat.

Dari kedua definisi tersebut dapat dikenali tiga sifat pokok yang menjadi ciri filsafat adalah;

1) menyeluruh

2) mendasar

3) spekulatif

Dari ketiga sifat pokok ini mengandung arti bahwa daam berfilsafat tidak boleh berpikir sempit,

melainkan harus melihat setiap sisi yang ada dan berisikan pertanyaan-pertanyaan diluar dari

jangkauan ilmu biasa, serta dalam melangkah tidak sembarangan, tetapi harus memiliki dasar-

dasar yang dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah.

Hampir dalam setiap ilmu pengetahuan memiliki filsafat, dan cenderung bertambah seiring

bertambahnya ilmu-ilmu pengetahuan baru. Seorang ilmuwan filsafat Louis S. Kattsoff (1987)

membagi filsafat dalam tiga belas bidang, yaitu :

1) Logika, mempelajari tentang tata cara penarikan kesimpulan yang benar,

Page 18: Makalah Konstruksi Hukum

2) Metodologi, mempelajari tentang teknik-teknik penelitian,

3) Metafisika, mempelajari tentang hakikat segala sesuatu yang ada dan yang mungkin ada,

4) Ontologi, mempelajari tentang asas-asas rasional dari kenyataan,

5) Kosmologi, mempelajari tentang keadaan sesuatu hal sehingga muncul asas-asas rasional dari

kenyataan,

6) Epistemologi, mempelajari tentang asal mula, susunan, metode-metode dan sahnya

pengetahuan,

7) Biologi, mempelajari tentang hakikat jasad hidup,

8) Psikologi, mempelajari tentang jiwa,

9) Antropologi, mempelajari tentang hakikat manusia,

10) Sosiologi kemanusiaan, mempelajari tentang hakikat masyarakat dan negara,

11) Etika, mempelajari tentang hal-hal baik dan buruk dari perilaku manusia,

12) Estetika, mempelajari tentang keindahan; dan

13) Filsafat agama, yang mempelajari tentang hakikat keagamaan.

1. Pengertian Konstruksi Hukum

Konstruksi hukum dapat dilakukan apabila suatu perkara yang diajukan kapada hakim,

namun tidak ada ketentuan yang mengatur perkara tersebut meskipun telah dilakukan

penafsiran hukum, sekalipun telah ditafsirkan menurut bahasa, sejarah, sistematis dan

sosiologis. Begitu juga apabila perkara tersebut tidak terselesaikan oleh hukum kebiasaan

atau hukum adat. Dalam hal itu, hakim harus memeriksa kembali sistem hukum yang

menjadi dasar lembaga hukum tersebut, apabila dalam beberapa ketentuan mengandung

kesamaan, maka hakim membuat suatu pengertian hukum (rechtsbegrip) yang mengandung

persamaan.

Membuat pengertian hukum adalah suatu perbuatan yang bersifat mencari asas hukum

yang menjadi dasar peraturan hukum yang bersangkutan, adalah konstruksi hukum.

Konstruksi hukum tidak dapat diadakan secara sewenang-wenang, harus didasarkan atas

pengertian hukum yang ada dan dalam undang-undang yang bersangkutan. Konstruksi

hukum tidak boleh didasarkan atas analisir-analisir (elemen-elemen) yang diluar sistem

materi positif (Scholten, dalam Soeroso, 2006:111). Dalam kostruksi hukum terdapat tiga

Page 19: Makalah Konstruksi Hukum

bentuk yang meliputi analogi, penghalusan hukum dan argumentum a contrario. Konstruksi

hukum, dapat digunakan hakim sebagai metode penemuan hukum apabila dalam mengadili

perkara tidak ada peraturan yang mengatur secara secara khusus mengenai peristiwa yang

terjadi.

2. Jenis – Jenis Konstruksi Hukum

1. Penafsiran analogis

Penafsiran analogis adalah penafsiran daripada suatu peraturan hukum dengan memberi

ibarat (kias) pada kata-kata sesuai dengan asas hukum, sehingga suatu peristiwa yang sebenarnya

tidak dapat dimasukkan, lalu dianggap sesuai dengan bunyi peraturan tersebut, misalnya “

menyambung aliran listrik” dianggap sama dengan “mengambil aliran listrik”.

Memakai UU secara analogi maksudnya memperluas berlakunya pengertian hukum atau

perundang-undangan. Adanya analogi, akibat dibutuhkan perluasan hukum dengan menyesuaikan

tempat, waktu dan situasi. Menganalogi merupakan penciptaan konstruksi baru, mempunyai

kesaam permasalahan dengan anasir yang berlainan. Pada prinsipnya analogi berlaku untuk

masalah-masalah hukum perdata (privat), terutama sekali dalam hukum perikatan

(verbintenissenrecht). Sedangkan untuk hukum publik yang sifatnya memaksa (dwingend recht)

tidak boleh dilakukan analogi karena terikat pada pasal 1 KUH Pidana yang menegaskan bahwa

seseorang tidak dapat dihukum, selai atas kekuatan ketentuan pidana dalam UU.

Contoh :

UU Pasal 1576 KUH Perdata hanya mengatur bahwa jual beli tidak memutuskan hubungan sewa

menyewa.

2. Penghalusan hukum (rechtsverfijning)

Penghalusan hukum adalah memperlakukan hukum sedemikian rupa (secara halus) sehingga

seolah-olah tidak ada pihak yang disalahkan. Penghalusan hukum dengan cara mempersempit

berlakunya suatu pasal merupakan kebalikan daripada analogi hukum. Penghalusan hukum

bemaksud mengisi kekosongan dalam sistem UU.

Page 20: Makalah Konstruksi Hukum

Dalam sistem UU terdapat ruang kosong apabila sistem UU (sistem formal hukum) tidak

dapat menyelesaikan masalah secara adil atau sesuai dengan kenyataan sosial (social

werkelijkheid). Penghalusan hukum merupakan penyempurnaan sistem hukum oleh hakim.

Sifat daripada Penghalusan hukum adalah tidak mencari kesalahan daripada pihak dan apabila

satu pihak disalahkan maka akan timbul ketegangan. Perbuatan menghaluskan hukum ketika

hakim terpaksa mengeluarkan perkara yang bersangkutan dari lingkungan ketentuan dan

selanjutnya diselesaikan menurut peraturan tersendiri.

Contoh :

Masalah perbuatan melanggar hukum pasal 1365 Perdata, adalah pihak yang salah wajib

memberi ganti rugi kepada yang menderita kerugian. Cthnya: Disuatu jalan terjadi tabrakan

antara A dan B. Kedua kendaraan sama-sama berkecepatan tinggi dan sama-sama rusak. Apabila

A menuntut ganti rugi terhadap B, maka B juga dapat menuntut ganti rugi terhadap A. Dengan

demikian kedua-duanya salah, sama-sama saling memberi ganti rugi sehingga terjadi suatu

kompensasi.

      

3. Pengungkapan secara berlawanan (Argumentum a contrario)

Menggunakan penalaran bahwa jika undang-undang menetapkan hal-hal tertentu untuk

peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu itu dan bagi peristiwa

diluarnya berlaku kebalikannya.

Contoh :

Pada pasal 53 UU No.10 Thaun 2004 menjelaskan “masyarakat berhak memberikan masukan

secara lisan atau tertulis dalam rangka penetapan maupun pembahasan rancangan UU dan

rancangan peraturan daerah”. Penjelasan partisipasi tersebut ketika diatur dalam tatib legislative

artinya keterlibatan bukan menjadi suatu kemutlakan kecuali diizinkan dalam tata tertib

legislatif.

Page 21: Makalah Konstruksi Hukum

Perbedaan antara Interpretasi Hukum dan Konstruksi Hukum

3. Perbedaan antara interpretasi hukum dengan konstruksi hukum.

1. Dilihat dari definisinya penafsiran hukum merupakan sebuah bentuk penemuan hukum,

jadi sebenarnya hukum itu sudah ada hanya saja perlu digali lagi, mencari sumber lain yang

dipakai dasar untuk memutus sebuah kasus, sumber lainnya adalah dari masyarakat berupa nilai

– nilai kehidupan ataupun norma dan kebiasaan hal inilah yang disebut dengan penafsiran. Siapa

yang menggali ialah hakim yang memiliki kewenangan dan hak untuk memutuskan dan

menyelesaikan sebuah perkara. Alasan kenapa proses penafsiran hukum tersebut dilakukan

karena didalam undang – undang/peraturan perundang - undangan tersebut terkandung makna

yang ambigu, multi tafsir, samar – samar kurang jelas, tidak ada dalam yuris prudensi maupun

doktrin (pendapat para ahli), Adanya kewajiban bagi hakim untuk memutus suatu perkara yang

diajukan, dan Hakim tidak boleh menolah suatu perkara (UU/48/2009 pasal 10) karena hakim

dianggap tahu walaupun sebenarnya tidak tahu. Sedangkan konstruksi hukum adalah sebuah

proses atau langkah penemuan atau penciptaan hukum, hukum itu tidah ada/ada kekosongan

hukum yang disebut dengan wet vacuum.. Lembaga yang memiliki kewenangan dalam hal ini

adalah Hakim, Pembentuk hukum seperti DPR dengan Presiden dan Peneliti.

Perbedaan yang kedua adalah Konstruksi hukum itu diambil apabila di dalam proses

penafsiran hukum tidak diperoleh jalan keluar/hasil yang dapat menyelesaikan sebuah kasus.

Dalam pengambilan keputusannnya penafsiran hukum lebih menekankan bahwa hakim harus

memutuskan sebuah kasus berdasarkan nilai – nilai/ norma/ kebiasaan yang ada didalam

masyarakat. Sedangkan di konstruksi hukum hakim diperkenankan memutuskan sebuah kasus

berdasarkan hati nurani individunya sendiri.

2. Penafsiran hukum bisa berubah menjadi konstruksi hukum, hal ini dikarenakan :

Seperti yang dijelaskan pada jawaban sebelumnya apabila didalam proses penafsiran

hukum tidak ditemukan atau diperoleh jalan keluar atau hasil untuk mengambil keputusan akhir

atau menyelesaikan sebuah perkara maka tindakan yang diambil adalah melakukan konstruksi

hukum. Jadi penafsiran hukum terlebih dahulu dilakukan dan apabila setelah digali dengan

melihat hukum adat, kebiasaan, hukum agama atau yang lainnya juga tidak menemukan aturan

Page 22: Makalah Konstruksi Hukum

atau hukum yang mengatur perkara tersebut kemudian baru dilakukan konstriksi hukum yang

dikeluarkan oleh hakim sesuai nuraninya sendiri asal tidak melanggar HAM, UU, dan UUD

1945.

Penafsiran hukum dapat berubah menjadi rekonstruksi hukum dilakukan oleh hakim

dengan metode argumentum peranalogian (suatu peristiwa yang belum diatur hukumnya dengan

mencari persamaan peritiwa yang sejenis namun telah memiliki ketentuan pereturan atau

hukum). Metode argumentuma contrario, yaitu menetapkan ketentuan bagi suatu peristiwa

tentunya yang tidak diatur oleh hukum, dengan mendasarkan perbedaan peristiwa tersebut

dengan peristiwa lainnya.

Apabila peraturan perundang – undangan tidak jelas atau tidak lengkap. Hakim berhak

melakukan penafsiran hukum melalui penemuan hukum yang digali dari hukum adat, kebiasaan,

hukum agama, dsb. Oleh karena itu harus diketemukan hukum dengan jelas, penafsiran atau

melengkapi perundang – undangan. Kapasitas hakim tidak hanya bercermin pada civil law

system yang berdasarkan pada peraturan perundang – undangan. Akan tetapi karena ketentuan

UU tidak memuat, jadi hukum dengan mengakomodis common law system melalui kreativitas

hakim dalam merekonstruksi hukum. Jadi berdasarkan ketentuan pokok kekuasaan kehakiman

manjelaskan bahwa pengadilan tidak boleh menolak sebuah perkara yang diajukan untuk

memeriksa dan mengadili dengan dalih bahwa hukum tidak/kurang jelas, melainkan wajib untuk

memeriksa atau mengadilinya. Ketentuan pasal ini mengisyaratkan kepada hakim bahwa apabila

terjadi suatu peraturan perundang – undangan belum jelas atau belum mengaturnya, hakim harus

bertindak berdasarkan inisyatifnya sendiri untuk menyelesaikan perkara. Dalam hal ini hakim

harus berperan untuk menentukan apa yang merupakan hukum. Sekalipun peraturan perundang –

undangan tidak dapt membantunya, tindakan hakim inilah yang dinamakan dengan penemuan

hukum. Undang – undang tentang kekuasaan kehakiman (UU 48/2009) pada pasal 14 ayat 1

menjelaskan bahwa hakim sebagai organisasi pengadilan dianggap memahami hukum. Apabila

terjadi konflik antar peraturan sehingga tumpang tindih, conflict of norm hakim juga wajib

melakukan penafsiran gramatikal, teleologis/sosiologis, sistematis, hirtoris, futuristic,

komparatif, restriktif dan ekstensif dengan merekonstruksi hukum yang baru melalui

penambahan/pengurangan atau pergantian ketentuan hukum tersebut menyesuaikan dengan

tingkat keberterimaan masyarakat.

Page 23: Makalah Konstruksi Hukum

KATA PENUTUP

Demikian yang dapat kami paparkan mengenai materi yang menjadi pokok bahasan dalam

makalah ini, tentunya masih banyak kekurangan dan kelemahannya, kerena terbatasnya

pengetahuan dan kurangnya rujukan atau referensi yang ada hubungannya dengan judul makalah

ini.

Kami banyak berharap para pembaca dapat memberikan kritik dan saran yang

membangun kepada kami demi sempurnanya makalah ini dan dan penulisan makalah di

kesempatan-kesempatan berikutnya. Semoga makalah ini berguna bagi penyusun pada khususnya

juga para pembaca yang budiman pada umumnya.