makalah kewarganegaraan
DESCRIPTION
saTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Negara bagaikan suatu organisme. Ia tidak bisa hidup sendiri.
Keberlangsungan hidupnya ikut dipengaruhi juga oleh negara-negara lain,
terutama negara-negara tetangganya atau negara yang berada dalam satu
kawasan dengannya. Untuk itulah diperlukan satu sistem perpolitikan yang
mengatur hubungan antar negara-negara yang letaknya berdekatan di atas
permukaan planet Bumi ini. Sistem politik tersebut dinamakan ‘Geopolitik’,
yang mutlak dimiliki dan diterapkan oleh setiap negara dalam melakukan
interaksi dengan sesama negara di sekitarnya.
Tak terkecuali Indonesia. Indonesia pun harus memiliki sistem
geopolitik yang cocok diterapkan dengan kondisi kepulauannya yang unik
dan letak geografis negara Indonesia di atas permukaan planet Bumi ini.
Geopolitik Indonesia tiada lain adalah Wawasan Nusantara. Wawasan
Nusantara tidak mengandung unsur-unsur ekspansionisme maupun kekerasan.
Cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya berdasarkan
ide nasionalnya yang dilandasi Pancasila dan UUD 1945, yang merupakan
aspirasi bangsa Indonesia yang merdeka, berdaulat dan bermartabat serta
menjiwai tata hidup dan tindak kebijaksanaannya dalam mencapai tujuan
nasional. Wawasan nusantara juga sering dimaknai sebagai cara pandang, cara
memahami, cara menghayati, cara bertindak, berfikir dan bertingkah laku bagi
bangsa Indonesia sebagai hasil interaksi proses psikologis, sosiokultural
dengan aspek-aspek Astagatra
Wawasan nusantara berlandaskan geopolitik. Wawasan nusantara adalah
pemanfaatan konstelasi geografi Indonesia, dimana diperlukan wawasan
benua sebagai pengejawantahan segala dorongan-dorongan dan rangsangan-
rangsangan dalam usaha mencapai aspirasi bangsa, dan tujuan Indonesia
1
(Doktrin Hamkamnas dan Doktrin Perjuangan ABRI). Wawasan Nusantara
merupakan geopolitik Indonesia, wajahnya meliputi:
1. Wajah Wawasan Nusantara sebagai wawasan nasional yang melandasi
konsepsi ketahanan nasional.
2. Wajah Wawasan Nusantara sebagai wawasan pembangunan nasional
3. Wajah Wawasan Nusantara sebagai wawasan pertahanan dan
keamanan
4. Wajah Wawasan Nusantara sebagai wawasan kewilayahan.
Dalam hal ini kasus Pulau Ambalat termasuk kedalam wawasan nusantara
pertahanan wilayah. Dimana Malaysia seringkali mengklaim bahwa Pulau
Ambalat masuk dalam kawasan Malaysia. Berbagai upaya telah dilakkan oleh
pemerintah Indonesia untuk menyelesaikan masalah tersebut, namun hingga
kini nampaknya belum ada kejelasan mengenai penyelesaian kasus ini. Meski
berbagai pertemuan serta perundingan sering dilakukan oleh kedua negara.
Dalam makalah ini kami mencoba mengkaji kasus tersebut dan mengaitkan
solusi untuk masalah tersebut dengan memperhatikan tujuh solusi perdamaian
yang di ungkapkan oleh Glenn Stassen.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian Geopolitik?
2. Mengapa kasus Ambalat dapat terjadi?
3. Upaya apa yang dilakukan oleh pemerintah Indonesia dalam
menyelesaikan masalah?
4. Bangaimana tanggapan dari kelompok kami mengenai masalah Ambalat?
1.3 Tujuan
1. Agar kita dapat mengetahui mengenai geopolitik Indonesia.
2 Agar kita dapat mengetahui contoh masalah geopolitik di Indonesia.
3 Agar kita dapat mengetahui hasil penyeleaian Ambalat.
2
BAB II
PEMBAHASAN
SENGKETA AMBALAT MALAYSIA VS INDONESIA DALAM RANAH
GEOPOLITIK
2.1 Definisi Geopolitik
1. Geopolitik
Geopolitik berasal dari dua kata, yaitu “geo” dan “politik”. Maka,
Membicarakan pengertian geopolitik, tidak terlepas dari pembahasan mengenai
masalah geografi dan politik. “Geo” artinya Bumi/Planet Bumi. Menurut Preston
E. James, geografi mempersoalkan tata ruang, yaitu sistem dalam hal menempati
suatu ruang di permukaan Bumi. Dengan demikian geografi bersangkut-paut
dengan interrelasi antara manusia dengan lingkungan tempat hidupnya.
Sedangkan politik, selalu berhubungan dengan kekuasaan atau pemerintahan.
Geopolitik adalah suatu studi yang mengkaji masalah-masalah geografi, sejarah
dan ilmu sosial, dengan merujuk kepada politik internasional. Geopolitik
mengkaji makna strategis dan politis suatu wilayah geografi, yang mencakup
lokasi, luas serta sumber daya alam wilayah tersebut. Geopolitik mempunyai 4
unsur yang pembangun, yaitu keadaan geografis, politik dan strategi, hubungan
timbal balik antara geografi dan politik, serta unsur kebijaksanaan.
Geopolitik indonesia
Ajaran/ aliran geopolitik indonesia
Bangsa Indonesia yang berfalsafah dan berideologi Pancasila
menganut paham tentang perang dan damai berdasarkan : “Bangsa
Indonesia cinta damai, akan tetapi lebih cinta kemerdekaan”. Dengan
demikian wawasan nasional bangsa Indonesia tidak mengembangkan ajaran
3
kekuasaan dan adu kekuatan karena hal tersebut mengandung persengketaan
dan ekspansionisme.
Pemikiran berdasarkan falsafah Pancasila
Manusia Indonesia adalah makhluk ciptaan Tuhan yang
mempunyai naluri, akhlak dan daya pikir, sadar akan keberadaannya yang
serba terhubung dengan sesama, lingkungan, alam semesta dan dengan
Penciptanya. Kesadaran ini menumbuhkan cipta, karsa dan karya untuk
mempertahankan eksistensi dan kelangsungan hidupnya dari generasi ke
generasi. Adanya kesadaran yang dipengaruhi oleh lingkungannya,
manusia Indonesia memiliki motivasi demi terciptanya suasana damai dan
tentram menuju kebahagiaan serta demi terselenggaranya keteraturan
dalam membina hubungan antar sesamanya.
Dengan demikian nilai-nilai Pancasila sesungguhnya telah
bersemayam dan berkembang dalam hati sanubari dan kesadaran bangsa
Indonesia, termasuk didalam menggali dan mengembangkan Wawasan
Nasional.
Sebagai Negara kepulauan, dengan masyarakat yang berbhinneka,
Negara Indonesia memiliki unsur-unsur kekuatan sekaligus kelemahan.
Kekuatannya terletak pada posisi dan keadaan geografi yang strategis dan
kaya sumber daya alam. Sementara kelemahannya terletak pada wujud
kepulauan dan keanekaragaman masyarakat yang harus disatukan dalam
satu bangsa dan satu tanah air, sebagaimana telah diperjuangkan oleh para
pendiri Negara ini. Dorongan kuat untuk mewujudkan persatuan dan
kesatuan Indonesia tercermin pada momentum sumpah pemuda tahun
1928 dan kemudian dilanjutkan dengan perjuangan kemerdekaan yang
puncaknya terjadi pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia 17
Agustus 1945.
Penyelenggaraan Negara kesatuan Republik Indonesia sebagai
system kehidupan nasional bersumber dari dan bermuara pada landasan
ideal pandangan hidup dan konstitusi Undang-Undang Dasar 1945. dalam
pelaksanaannya bangsa Indonesia tidak bebas dari pengaruh interaksi dan
4
interelasi dengan lingkungan sekitarnya, baik lingkungan regional maupun
internasional. Dalam hal ini bangsa Indonesia perlu memiliki prinsip-
prinsip dasar sebagai pedoman agar tidak terombang-ambing dalam
memperjuangkan kepentingan nasional untuk mencapai cita-cita dan
tujuan nasionalnya. Salah satu pedoman bangsa Indonesia adalah wawasan
nasional yang berpijak pada wujud wilayah nusantara sehingga disebut
dengan wawasan nusantara. Kepentingan nasional yang mendasar bagi
bangsa Indonesia adalah upaya menjamin persatuan dan kesatuan wilayah,
bangsa, dan segenap aspek kehidupan nasionalnya. Karena hanya dengan
upaya inilah bangsa dan Negara Indonesia dapat tetap eksis dan dapat
melanjutkan perjuangan menuju masyarakat yang dicita-citakan.
Oleh karena itu, wawasan nusantara adalah geopolitik Indonesia.
Hal ini dipahami berdasarkan pengertian bahwa dalam wawasan nusantara
terkandung konsepsi geopolitik Indonesia, yaitu unsur ruang, yang kini
berkembang tidak saja secara fisik geografis, melainkan dalam pengertian
secara keseluruhan (Suradinata; Sumiarno: 2005).
Wawasan Nasional merupakan pancaran dari Pancasila oleh karena
itu menghendaki terciptanya persatuan dan kesatuan dengan tidak
menghilangkan ciri, sifat dan karakter dari kebhinekaan unsur-unsur
pembentuk bangsa (suku bangsa, etnis dan golongan).
Pemikiran berdasarkan Aspek Sosial Budaya
Budaya/kebudayaan secara etimologis adalah segala sesuatu yang
dihasilkan oleh kekuatan budi manusia. Kebudayaan diungkapkan sebagai
cita, rasa dan karsa (budi, perasaan, dan kehendak).
Sosial budaya adalah faktor dinamik masyarakat yang terbentuk
oleh keseluruhan pola tingkah laku lahir batin yang memungkinkan
hubungan sosial diantara anggota-anggotanya.
Secara universal kebudayaan masyarakat yang heterogen
mempunyai unsur-unsur yang sama :
- sistem religi dan upacara keagamaan
- sistem masyarakat dan organisasi kemasyarakatan
5
-sistem pengetahuanbahasa
- keserasian
- sistem mata pencaharian
-sistem teknologi dan peralatan
2. Wawasan Nusantara
Istilah wawasan berasal dari kata ‘wawas’ yang berarti pandangan,
tinjauan, atau penglihatan indrawi. Akar kata ini membentuk kata ‘mawas’
yang berarti memandang, meninjau, atau melihat, atau cara melihat.sedangkan
istilah nusantara berasal dari kata ‘nusa’ yang berarti diapit diantara dua hal.
Istilah nusantara dipakai untuk menggambarkan kesatuan wilayah perairan dan
gugusan pulau-pulau Indonesia yang terletak diantara samudra Pasifik dan
samudra Indonesia, serta diantara benua Asia dan benua Australia.
Secara umum wawasan nasional berarti cara pandang suatu bangsa
tentang diri dan lingkungannya yang dijabarkan dari dasar falsafah dan sejarah
bangsa itu sesuai dengan posisi dan kondisi geografi negaranya untuk
mencapai tujuan atau cita-cita nasionalnya. Sedangkan wawasan nusantara
memiliki arti cara pandang bangsa Indonesia tentang diri dan lingkungannya
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 serta sesuai dengan
geografi wilayah nusantara yang menjiwai kehidupan bangsa dalam mencapai
tujuan dan cita-cita nasionalnya.
3. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Wawasan Nusantara
a. Wilayah (Geografi)
1) Asas Kepulauan (Archipelagic Principle)
Kata ‘Archipelago’ dan ‘Archipelagic’ berasal dari kata Italia
Archipelagos’. Akar katanya adalah ‘archi’ yang berarti terpenting,
terutama, dan ‘pelagos’ berarti laut atau wilayah lautan. Jadi, ‘Archipelago’
berarti lautan terpenting.
Istilah ‘Archipelago’ adalah wilayah lautan dengan pulau-pulau di
dalamnya. Arti ini kemudian menjadi pulau-pulau saja tanpa menyebut
unsur lautnya sebagai akibat penyerapan bahasa barat, sehingga Archipelago
selalu diartikan kepulauan atau kumpulan pulau.
6
Lahirnya asas Archipelago mengandung pengertian bahwa pulau-
pulau tersebut selalu dalam kesatuan utuh, sementara tempat unsure perairan
atau lautan antara pulau-pulau berfungsi sebagai unsur penghubung dan
bukan unsur pemisah. Asas dan wawasan kepulauan ini dijumpai dalam
pengertian the Indian Archipelago. Kata Archipelago pertama kali dipakai
oleh Johan Crawford dalam bukunya the history of Indian Archipelago
(1820). Kata Indian Archipelago diterjemahkan kedalam bahasa Belanda
Indische Archipel yang semula ditafsirkan sebagai wilayah Kepulauan
Andaman sampai Marshanai.
2) Kepulauan Indonesia
Bagian wilayah Indische Archipel yang dikuasai Belanda
dinamakan Nederlandsch oostindishe Archipelago. Itulah wilayah jajahan
Belanda yang kemudian menjadi wilayah Negara Republik Indonesia.
Sebagai sebutan untuk kepulauan ini sudah banyak nama yang dipakai, yaitu
‘Hindia Timur’, ‘Insulinde’ oleh Multatuli, ‘nusantara’. ‘indonesia’ dan
‘Hindia Belanda’ (Nederlandsch-Indie) pada masa penjajahan Belanda.
Bangsa Indonesia sangat mencintai nama ‘Indonesia’ meskipun bukan dari
bahasanya sendiri, tetapi ciptaan orang barat. Nama Indonesia mengandung
arti yang tepat, yaitu kepulauan Indonesia. Dalam bahasa Yunani, ‘Indo’
berarti India dan ‘nesos’ berarti pulau. Indonesia mengandung makna
spiritual yang didalamnya terasa ada jiwa perjuangan menuju cita-cita luhur,
Negara kesatuan, kemerdekaan dan kebebasan.
2.2 Penyebab Kasus Ambalat
AMBALAT kembali mencuri perhatian. Kapal perang Malaysia berkali- kali
melanggar teritori Indonesia dan diusir armada angkatan laut kita. Mencuat pada
2005, mengapa krisis Ambalat kembali terjadi? Apa solusi terbaiknya? Ambalat
adalah sebuah gugus pulau di sekitar 118.2558 Bujur Timur (BT)-118.254167 BT
dan 2.56861 Lintang Utara (LU)- 3.79722 LU yang terletak di perairan Laut
Sulawesi, sebelah timur Pulau Kalimantan Timur.
7
Sengketa Ambalat Indonesia-Malaysia menyeruak karena klaim kepemilikan.
Pada 2005, krisis Ambalat ditandai dengan show of force kedua angkatan
bersenjata, penembakan kapal nelayan kita oleh Malaysia, dan aneka aksi
demonstrasi mengecam Malaysia.
Ambalat disebut sebagai wilayah Republik Indonesia (RI) sesuai Undang-
undang No 4 Tahun 1960 tentang Perairan RI yang telah sesuai dengan konsep
hukum Negara Kepulauan (Archipelagic State). Undang-undang ini telah diakui
dalam Konvensi PBB tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the
Law of the Sea/UNCLOS) ditetapkan dalam Konferensi III PBB di Montego Boy,
Jamaika, 10 Desember 1982. Konvensi ini kemudian diratifikasi oleh Indonesia
dengan Undang-undang No 17 Tahun 1985 tentang pengesahan UNCLOS.
Malaysia mengklaim Ambalat sebagai wilayah kedaulatannya sesuai dengan
peta wilayah yang dibuat Malaysia pada 1979. Peta itu didasarkan pada The
Convention on The Territorial Sea and the Contiguous zone 1958 dan The
Continental Self Convention 1958.
Peta Laut 1979 tersebut juga telah memasukkan Pulau Sipadan dan Ligitan ke
dalam wilayah Malaysia. Malaysia memberi Ambalat (wilayah XYZ) kepada
Shell atas dasar perjanjian bagi hasil (Production Sharing Contract ) pada 16
Februari 2005.
Masalah Ambalat menjadi penting bagi Indonesia karena setidak-tidaknya ia
mencakup tiga dari empat variabel kepentingan nasional. Pertama, dari sisi
keamanan nasional, ada masalah penjagaan integritas wilayah nasional yang
cukup sensitif.
Bagi kaum realisme politik internasional, masalah- masalah keamanan
nasional semacam ini justru menjadi fokus utama kebijakan negara. Pengamat
militer, Andi Wijayanto dalam wawancara TVOne (27/5/09) menyatakan, langkah
Malaysia sejatinya bisa dimaknai sebagai upaya ingin menguji kedaulatan efektif
kita atas Ambalat.
8
Kedua, ada persoalan citra dan harga diri bangsa karena perasaan terlecehkan
sebagai negara berdaulat dengan manuver angkatan laut Malaysia. Ini
berakumulasi dengan memori kehilangan kita atas Sipadan dan Ligitan, aneka
kasus kekerasan pada TKI, klaim Malaysia atas Lagu ”Rasa Sayange”, reog dan
batik misalnya. Artinya para patriot dan nasionalis menginginkan bahwa harga
diri kita harus tegak sebagai bangsa berdaulat.
Ketiga ada ancaman bagi kesejahteraan ekonomi karena potensi ekonomi dari
minyak Ambalat ditakutkan jatuh ke pihak luar. Pakar ekonomi minyak Dr
Kurtubi pada 2005 menyatakan secara kasar Ambalat memiliki cadangan migas
seharga 40 miliar dolar AS. Tentu, nilai ini cukup signifikan jika bisa masuk ke
kas negara kita
Dengan ketiga kepentingan nasional tersebut, maka pilihan instrumen politik
luar negeri yang tersedia adalah diplomasi atau konfrontasi. Namun diplomasi
memiliki beberapa kelebihan. Pertama, pada tataran praktik, secara nyata telah ada
upaya diplomasi sejak 2005 yang dijalankan kedua negara untuk menyelesaikan
Ambalat. Menteri Pertahanan Juwono Sudarsono (20/5/09) juga menyatakan
perundingan Ambalat masih berlangsung. Artinya pilihan penyelesaian diplomatik
adalah yang paling rasional meski harus dikawal.
Ada beberapa faktor yang menjadi sumber masalah berkaitan dengan
persoalan Ambalat akhir-akhir ini:
1. Faktor psikologis. Keberhasilan Malaysia dalam membangun negaranya,
termasuk ekonominya, menimbulkan rasa percaya diri yang berlebihan
sampai dapat dikategorikan sikap arrogant. Akibatnya adalah
menyepelekan pihak lain yang dianggapnya kurang berhasil dan sedang
menghadapi banyak persoalan, seperti Indonesia. Hal ini dapat dilihat
ketika Malaysia tidak pernah membicarakan masalah ini secara serieus
kepada Indonesia, padahal dua-duanya anggota ASEAN. Juga pembuatan
9
peta tentang wilayah perbatasan secara unilateral adalah bukti arrogansi
itu.
2. Faktor ekonomi. Perusahaan minyak Shell berkepentingan mendapatkan
konsesi di Ambalat yang dapat mempengaruhi perusahaan Petronas
bertindak sepihak. Ini juga kepentingan Malaysia untuk peningkatan
ekonominya.
3. Faktor militer. Malaysia mengira bahwa kekuatan militernya, khususnya
kekuatan angkatan laut dan angkatan udara, memadai untuk mendukung
memaksakan fait accompli seperti yang telah dilakukan dulu dengan
Sipadan dan Ligitan. Perkiraan ini timbul karena pengaruh faktor psikologi
(arrogansi) dalam menilai kemampuan militer Indonesia.
4. Faktor politik. Malaysia melihat bahwa Indonesia sedang sibuk
menghadapi berbagai masalah politik, ekonomi dan keamanan dalam
negeri, sehingga dinilai tidak cukup kemampuan menghadapi masalah ini
secara sungguh-sungguh. Itu dapat dilihat pada sikap dan ucapan Menlu
Malaysia bahwa buat Malaysia tidak ada masalah negosiasi dan ia datang
ke Jakarta hanya untuk menyampaikan pendapat Malaysia.
2.3 Penyelesaian Kasus Ambalat
Komunikasi Diplomatik
Penyelesaian diplomatik dimulai dengan pembukaan komunikasi
diplomatik Indonesia dengan Malaysia (keterangan pers Departemen Luar Negeri,
Jumat 4 Maret 2005). Malaysia menjawab pada 25 Februari 2005 dengan
menyampaikan pandangan mereka bahwa wilayah itu adalah wilayahnya.
Presiden SBY kemudian berkomunikasi dengan Perdana Menteri Malaysia
Abdullah Ahmad Badawi melalui telepon Senin 8 Maret 2005 sebelum meninjau
Ambalat. Pembicaraan berlangsung konstruktif untuk menyelesaikan masalah
dengan baik dan Badawi pun akan mengirimkan Menteri Luar Negeri Malaysia
untuk mengunjungi Indonesia.
10
Diplomasi memasuki babak baru setelah Menlu Malaysia Syed Hamid
Albar bertemu dengan Menlu RI Hasan Wirajuda di Jakarta (9/3/2005) bahkan
diterima oleh Presiden SBY. Dalam pertemuan antarmenlu telah disepakati bahwa
kedua belah pihak akan membentuk tim teknis yang akan melakukan perundingan
ke arah penyelesaian Blok Ambalat.
Pertemuan ”penyelesaian diplomasi” pertama dilakukan pada 22 dan 23
Maret 2005. Pertemuan tim teknis Indonesia-Malaysia dilanjutkan di Langkawi
pada 25-26 Mei, di Yogyakarta 25-26 Juli, di Johor Baru pada 27-28 September
2005 dan Desember 2005.
Namun hingga 2006 masalah sengketa Blok Ambalat antara Malaysia dan
Indonesia masih dalam proses perundingan oleh kedua negara dan belum ada
penyelesaian yang dapat diterima oleh kedua negara. Dalam pertemuan bilateral
antara PM Abdullah Ahmad Badawi dengan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono di Gedung Negara Tri Arga, Bukittinggi, Sumatera Barat, pada 12-13
Januari 2006 telah disepakati bahwa, sengketa Blok Ambalat akan terus
diselesaikan secara perundingan.
Kedua, secara moral penyelesaian diplomasi lebih dipilih karena diplomasi
merupakan instrumen politik luar negeri yang beradab, murah, dan terukur.
Konfrontasi dan perang semakin banyak dicibir karena tidak hanya mahal tetapi
juga karena efek rusaknya yang sulit terkontrol.
Yang menyedihkan adalah analisa bahwa dari sisi Alutsista kita akan
kalah. Perintah untuk tidak mengeluarkan tembakan dari kapal perang kita da
cukup mengusir kapal Malaysia cukup bijaksana. Alasan lain, Indonesia dan
Malaysia adalah tetangga serumpun yang ada dalam kerangka ”the ASEAN Way”
dalam penyelesaian aneka sengketa yang ada.
Fase Diplomasi
11
Alur penyelesaian diplomatik yang telah disepakati sendiri mencakup dua
fase. Fase pertama adalah pembicaraan untuk mengeksplorasi dan mengetahui
posisi masing-masing negara atas klaimnya di Blok Ambalat. Fase kedua adalah
bagaimana kedua negara bisa menyepakati jalan keluar dari klaim tumpang tindih
atas Blok Ambalat. Jalan keluar ini ada tiga alternatif.
Satu, negara yang bersengketa tidak menyepakati solusi dan membiarkan
permasalahan ini tidak terselesaikan (baca: mengambang) dengan catatan negara
yang bersengketa menyepakati suatu status quo.
Dua, negara yang bersengketa tidak menyepakati batas, tetapi bersepakat
untuk melakukan pengelolaan bersama.
Tiga, negara yang bersengketa sepakat untuk membawa sengketa mereka
ke forum penyelesaian sengketa.
Jika diplomasi gagal maka krisis bisa kembali terjadi kapan saja.
Konfrontasi akan sangat kontra produktif bagi hubungan bilateral, maupun
stabilitas regional ASEAN ke depan. Krisis dan konfrontasi juga akan berakibat
perluasan spektrum politik luar negeri tidak lagi semata menjadi pembahasan para
elite decision makers tetapi meluas merambah ke wilayah keterlibatan publik.
Ini tentu saja positif dalam konteks demokratisasi politik luar negeri agar
kebijakan yang diambil accountable terhadap rakyat. Tetapi sayang, mencermati
krisis terdahulu, keterlibatan publik lebih cenderung mengarah kepada ekspresi
emosi, kemarahan, sweeping, ajakan berperang, penggalangan relawan dan
sebagainya. Padahal eloknya keterlibatan itu lebih terarah kepada pernyataan
sikap, artikulasi kepentingan, maupaun aksi yang rasional dan terukur.
Penyelesaian Ambalat membutuhkan tidak hanya tekad dan upaya
diplomasi bilateral berkelanjutan tetapi juga sikap saling respek untuk tidak
melakukan provokasi. Selagi diplomasi masih bergulir, provokasi dan
pelanggaran teritori tentu berbahaya.
12
Bagi Indonesia, diplomasi juga harus dikawal dengan menunjukkan
kewibawaan, kekuatan dan ketegasan. Kaum realis mengatakan, ‘’Jika ingin
damai bersiaplah untuk berperang’’ (if you want peace, prepare for war).
Tanggapan dan Beberapa Solusi Mengenai Kasus Ambalat
Malaysia dan Indonesia adalah dua negara tetangga yang sangat dekat,
bukan hanya dari segi letak geografis tetapi dari segi budaya dan asal-usul
bangsanya. Akan tetapi, walau serumpun dengan bahasa yang mirip, hubungan
kedua negara tidak bisa dikatakan selalu rukun dan manis.
Sejarah kedua bangsa pernah dihiasi tinta hitam peperangan, yang dikenal
dengan Konfrontasi Malaysia Indonesia pada tahun 1962-1965. Beberapa kasus
sengketa perbatasan wilayah pun pernah terjadi antara keduanya.
Kasus yang paling baru, dan yang menjadi pembicaraan hangat beberapa
waktu belakangan ini adalah sengketa kedua negara mengenai blok migas di
perairan Ambalat di wilayah Sulawesi. Sengketa ini menjadi berita hangat yang
menghiasi media massa, di Indonesia khususnya.
Melalui makalah ini kami ingin mencoba melihat bagaimana sengketa ini
diselesaikan jika memakai pemikiran Donald W. Shriver dalam bukunya An
Ethics for Enemis: Forgiveness in Politics, dan tujuh langkah menciptakan
perdamaian menurut Glenn Stassen dalam bukunya Just Peacemaking:
transforming initiatives for Justice and Peace.
Pokok Masalah : Perairan Ambalat di Laut Sulawesi. Masalah antara
Indonesia dan Malaysia seputar blok Ambalat mengemuka ketika terbetik kabar
bahwa pemerintah Malaysia melalui perusahaan minyak nasionalnya, Petronas,
memberikan konsesi minyak (production sharing contract) kepada perusahaan
minyak Shell, atas cadangan minyak yang terletak di Laut Sulawesi (perairan
sebelah timur Kalimantan). Pemerintah Indonesia mengajukan protes atas hal ini
karena merasa bahwa wilayah itu berada dalam kedaulatan negara Indonesia.
13
Sebenarnya klaim Malaysia terhadap cadangan minyak di wilayah itu
sudah diprotes Indonesia sejak tahun 1980, menyusul diterbitkannya peta wilayah
Malaysia pada tahun 1979. Peta tersebut mengklaim wilayah di Laut Sulawesi
sebagai milik Malaysia dengan didasarkan pada kepemilikan negara itu atas pulau
Sipadan dan Ligitan. Malaysia beranggapan bahwa dengan dimasukkannya
Sipadan dan Ligitan sebagai wilayah kedaulatan Malaysia, secara otomatis
perairan di Laut Sulawesi tersebut masuk dalam garis wilayahnya. Indonesia
menolak klaim demikian dengan alasan bahwa klaim tersebut bertentangan
dengan hukum internasional.
Untuk memperjelas pokok permasalahan mengenai sengketa wilayah ini,
kutipan dari tulisan Melda Kamil Ariadno, Pengajar Hukum Laut Fakultas Hukum
UI, Ketua Lembaga Pengkajian Hukum Internasional (LPHI) FHUI, yang dimuat
di Kompas, 8 Maret 2005, dapat membantu.
Aksi dan Reaksi Yang Ditimbulkan Walaupun pemerintah Indonesia dan
Malaysia berulang kali menegaskan bahwa penyelesaian dengan cara kekerasan
bukanlah pilihan yang mau diambil, dan kedua pihak akan mengedepankan dialog
melalui jalur-jalur diplomasi, masalah ini berkembang menjadi perdebatan seru
karena kedua pihak sama-sama kukuh pada pendiriannya.
Malaysia melalui Perdana Menteri Abdullah Badawi dan Menlu Syeh Hamid
Albar menegaskan bahwa pihaknya tidak salah dalam melakukan uniteralisasi
peta 1979, dan bahwa konsesi yang diberikan Petronas kepada Shell di perairan
Laut Sulawesi berada di wilayah teritorial Malaysia.
Sementara pemerintah Indonesia melalui pernyataan-pernyataan yang
dikeluarkan Deplu, TNI, maupun presiden Susilo Bambang Yudhoyono,
menegaskan bahwa Indonesia tidak akan melepaskan wilayah itu karena wilayah
itu merupakan kedaulatan penuh Indonesia. Tentang hal itu jurubicara TNI AL,
Laksamana Pertama Abdul Malik Yusuf mengatakan kepada Asia Times, “We
will not let an inch of our land or a drop of our ocean fall into the hands of
foreigners.”
14
Di Indonesia masalah ini kemudian menjadi santapan media massa dan
memancing reaksi keras dari berbagai kalangan masyarakat. Sentimen anti-
Malaysia dengan slogan “Ganyang Malaysia” pun lalu berkumandang. Kedutaan
Besar dan Konsulat-konsulat Malaysia tiba-tiba disibukkan dengan aksi unjuk
rasa berbagai elemen masyarakat yang mengecam sikap Malaysia itu.
Di beberapa daerah aksi tersebut diwarnai dengan pembakaran bendera
Malaysia dan penggalangan sukarelawan “Front Ganyang Malaysia.” Pihak DPR-
RI pun bersuara keras meminta pemerintah bertindak tegas atas pelanggaran
terhadap wilayah kedaulatan RI di Laut Sulawesi.
Di wilayah yang dipersengketakan pun ketegangan-ketegangan terjadi
antara tentara Malaysia dengan TNI. TNI menggelar pasukan dan kapal-kapal
perangnya di wilayah tersebut, yang dikatakan untuk mengimbangi kapal-kapal
perang Malaysia yang sudah lebih dulu ada di sana. Bahkan di Pulau Sebatik,
yang berbatasan darat dengan Malaysia, TNI dan Tentara Diraja Malaysia saling
mengarahkan moncong senjatanya, dan konon saling ejek pun kerap terjadi.
Kapal-kapal perang Malaysia diberitakan mengganggu pembangunan
mercusuar di atol Karang Unarang, bahkan sempat menangkap dan menyiksa
seorang pekerjanya. Saling intimidasi antara kapal-kapal perang Malaysia dan
kapal-kapal TNI AL terjadi tiap hari.
Yang paling parah terjadi pada tanggal 8 April 2005, ketika KRI Tedong
Naga saling serempet dengan KD Rencong di dekat Karang Unarang. Insiden
serempetan dua kapal perang itu kembali menghangatkan suasana, padahal
sebelumnya pada tanggal 22-23 Maret 2005, telah diadakan pertemuan teknis
antara perwakilan kedua negara untuk mencari solusi yang damai.
Menlu Malaysia pun telah diterima presiden, dan beberapa anggota DPR
RI pun telah menemui PM Malaysia, untuk membicarakan langkah-langkah
diplomasi. Kedua pemerintahan juga sudah sepakat melanjutkan dialog berkala
setiap dua bulan.
15
Analisis Masalah : “Forgiveness” dan “Just Peacemaking”
Untuk mencari alternatif jalan keluar bagi masalah ini, kami akan memulai
dengan melihat bagaimana reaksi sangat keras muncul dari masyarakat Indonesia
terhadap isu ini. Padahal di Malaysia, menurut Menlu Malaysia dalam
wawancaranya dengan Gatra, masyarakatnya tenang-tenang saja dan
menyerahkan persoalan sepenuhnya di tangan pemerintah.
Memakai pemikiran Shriver dalam bukunya An Ethics for Enemis:
Forgivenessin Politics , reaksi keras semacam ini bisa dikatakan sebagai akibat
memori kolektif sejarah ‘kekalahan’ Indonesia terhadap Malaysia. Memori masa
konfrontasi dengan Malaysia di zaman Sukarno, dan kemudian kekalahan
Indonesia dari Malaysia dalam kasus Sipadan-Ligitan di Mahkamah Internasional,
serta merta membangkitkan kemarahan kolektif juga ketika Malaysia diberitakan
‘berulah’ lagi.
Hal ini bisa dilihat dari porsi demikian besar yang diberikan media
terhadap masalah ini. Selain itu terlihat juga melalui komentar-komentar yang
dilontarkan, bukan hanya oleh masyarakat biasa, tetapi juga oleh para politisi.
Banyak yang mendorong pemerintah untuk bersikap keras, bahkan Zaenal
Ma’arif, seorang politisi dari Partai Bintang Reformasi (PBR) meminta
pemerintah untuk segera menyatakan perang melawan Malaysia.
Bila ditarik lebih jauh lagi, memori kolektif ‘kekalahan’ terhadap Malaysia
ini bisa dikaitkan juga dengan kenyataan bahwa jutaan orang Indonesia mengadu
nasib sebagai pekerja kelas rendahan di Malaysia. Rasa rendah diri sebagai bangsa
bisa jadi tanda disadari telah tertanam dalam memori kolektif bangsa, sehingga
ketika ada gejolak sedikit saja, rasa ‘terinjak-injak’ itu begitu kuat.
Namun demikian, kami menyadari juga bahwa untuk menelusuri memori
kolektif ini, diperlukan penelitian lanjut yang lebih mendalam. Akan tetapi,
dengan memperhatikan gejala-gejala yang ada, yaitu dalam reaksi keras
masyarakat Indonesia, setiap kali terjadi ‘persinggungan’ dengan Malaysia , kami
16
berpendapat bahwa langkah awal untuk menyelesaikan masalah dengan Malaysia
untuk jangka panjang adalah dengan menelusuri dan mengungkapkan memori
kolektif itu. Tanpa itu dilakukan, hubungan kedua bangsa yang bertetangga dan
bersaudara serumpun ini, akan terus mengalami gejolak seperti yang terjadi
belakangan ini.
Selain mencermati reaksi keras masyarakat Indonesia, langkah berikutnya
adalah mencermati tindakan Malaysia melakukan klaim atas blok Ambalat ini.
Memang informasi yang dapat dikumpulkan tentang hal ini tidak begitu banyak,
karena pemerintah Malaysia maupun media Malaysia kelihatannya tidak terlalu
membicarakan hal ini dengan terbuka.
Akan tetapi, kami tertarik melihat sikap Malaysia yang terlihat begitu
enteng dalam melakukan klaim, dan juga begitu yakin akan posisinya.
PM Malaysia ketika ditanya tentang protes Indonesia terhadap klaim
Malaysia dengan enteng menyampaikan bahwa konsesi yang diberikan Petronas
kepada Shell di perairan Laut Sulawesi berada di wilayah teritorial Malaysia.
“Petronas pasti mengerti bahwa wilayah itu adalah wilayah Malaysia karena jika
itu wilayah orang lain, untuk apa Petronas sampai ke sana.”
Malaysia juga begitu yakin dengan pendiriannya menarik batas wilayah
dengan memakai asas titik pulau terluar, yang berlaku bagi negara kepulauan,
padahal Malaysia bukan termasuk Negara kepulauan. Bila memakai prinsip ini,
maka terlihat bahwa klaim Malaysia tidak hanya akan mencakup perairan
Ambalat saja, tetapi bisa jauh masuk ke dalam wilayah perairan antara Kalimatan
bagian Timur dan Sulawesi Utara bagian Barat.
Sikap enteng Malaysia ini oleh beberapa pihak diduga karena Malaysia
menganggap masalah ini hanya masalah sumber daya alam. Sementara bagi
Indonesia sengketa Ambalat bukanlah sekadar sengketa untuk mendapatkan
sumber daya alam. Blok Ambalat merupakan wujud dari wilayah kedaulatan
Indonesia.
17
Kehilangan blok Ambalat berarti kehilangan sebagian wilayah kedaulatan.
Bahkan blok Ambalat bisa menjadi taruhan bagaimana Indonesia
mempertahankan kedaulatannya di wilayah yang dipersengketakan oleh negara
lain. Rakyat di Indonesia melihat sengketa blok Ambalat lebih sebagai masalah
kedaulatan dan harga diri bangsa ketimbang sekadar perebutan potensi sumber
daya alam.
Dengan mengadopsi tujuh langkah penciptaan perdamaiannya Glenn
Stassen, apa yang dilakukan Malaysia ini jelas-jelas bukan langkah untuk
menciptakan perdamaian. Karena itu adalah tidak ada artinya sama sekali ketika
Menlu Malaysia mengatakan bahwa pihaknya siap berunding dengan pihak-pihak
yang merasa dirugikan oleh klaimnya.
Langkah pertama dalam penciptaan perdamaian menurut Stassen adalah
menetapkan keamanan bersama (affirm common security), dengan membangun
tatanan yang damai dan adil bagi semua pihak. Penetapan batas wilayah dengan
membuat peta secara sepihak, dengan memakai pertimbangan menurut pengertian
sepihak, seperti yang dilakukan oleh Malaysia, adalah tindakan yang bisa
dianggap kebalikan dari langkah ini.
Penetapan batas wilayah seperti itu justru menggoyahkan keamanan
bersama, bahkan menciptakan ancaman bagi pihak yang lain. Ketika ancaman
sudah terjadi, dialog yang mau diadakan pun akan menjadi lebih sulit untuk
dijalankan dengan baik.
Ini terlihat dalam pertemuan teknis Malaysia-Indonesia membahas
masalah Ambalat yang diadakan di Bali tanggal 22-23 Maret lalu. Pertemuan itu
berakhir tanpa hasil apa-apa, karena kedua pihak tetap pada pendirian masing-
masing.
Karena dalam kasus ini ancaman sudah terjadi, dan tatanan yang damai
dan adil digoyahkan, langkah kedua yang dianjurkan Stassen perlu diperhatikan
18
baik-baik. Itu adalah mengambil inisiatif lebih dulu untuk perdamaian (take
independent initiatives).
Dalam kasus ini, pihak yang manakah yang mengambil inisiatif lebih dulu
untuk menyelesaikan masalah? Pemerintah Indonesia menyatakan bahwa telah
mengupayakan dialog atas klaim Malaysia ini sejak lama, yaitu sejak tahun 1980,
tetapi tidak mendapat tanggapan berarti, sampai kasusnya menjadi besar karena
diberikannya konsesi kepada Shell oleh Petronas Malaysia.
Pemerintah Malaysia melalui Menlunya mengatakan bahwa justru
Indonesialah yang melakukan inisiatif provokatif, dengan membangun mercusuar
di atol Karang Unarang yang diklaim Malaysia sebagai wilayahnya, sedangkan
Malaysia selalu siap untuk berunding. Hanya pertanyaan yang diajukan pihak
Indonesia adalah berunding dengan kondisi seperti apa? Apakah dengan kondisi
melakukan pengakuan implisit akan klaim Malaysia lebih dulu (dengan tidak
memasuki lagi wilayah yang sudah diklaim Malaysia)?
Pemerintah Indonesia bersikukuh dialog dilakukan dengan tetap
membangun mercusuar itu, karena itu termasuk wilayahnya. Jalan tengah yang
bisa ditawarkan adalah dengan membiarkan wilayah itu menjadi wilayah tak
bertuan untuk sementara, sampai ditemukan titik temu melalui dialog.
Namun, melihat perkembangan yang ada sekarang. Kelihatannya pilihan
status quo itu juga enggan untuk diterima. Akan tetapi, ada langkah ketiga
menurut Stassen, yaitu Talk to your enemy. Bicaralah, lakukan
negosiasi/perundingan, cari jalan keluar dengan memakai metode-metode
penyelesaian konflik Tentang hal ini, sudah dilakukan satu kali dan belum
berhasil. Namun dijanjikan untuk bertemu kembali bulan Mei, dan kita harus
menunggu.
Sambil menunggu, langkah keempat mungkin bisa dilakukan. Itu adalah
mengutamakan hak asasi manusia dan keadilan. Penyelesaian konflik yang sudah
terjadi harus mengingat hal ini. Kampanye-kampanye anti Malaysia dengan
19
semangat berperang seperti membentuk Front Ganyang Malaysia, merekrut
sukarelawan yang siap membela tanah air melawan Malaysia, harus ditinggalkan.
Perang hanya akan meninggalkan kesengsaraan. Pengalaman konfrontasi
berdarah di masa Soekarno seharusnya menjadi pelajaran. Banyak jiwa yang
melayang dan perekonomian negara pun morat marit karenanya. Yang harus
dikampanyekan adalah bagaimana menyembuhkan luka-luka bersama akibat
memori kolektif tadi itu.
Selain itu, satu hal lain yang harus diperhatikan pemerintah Indonesia
adalah meningkatkan perhatiannya terhadap wilayah-wilayah terluar Indonesia.
Sudah lama wilayah-wilayah perbatasan seperti di ujung Barat Sumatera, ujung
Utara Sulawesi, ujung Selatan Timor, dan ujung Timur Papua, menjadi ‘anak
terlantar’. Perhatian melalui pembangunan fasilitas sosial bagi masyarakat di
wilayah-wilayah ini sangat penting. Sipadan dan Ligitan ditetapkan sebagai
wilayah Malaysia oleh Mahkamah Internasional di tahun 1998 juga karena kedua
wilayah itu tidak pernah ‘disentuh’ oleh Indonesia, namun dibangun dan dikelola
oleh Malaysia.
Langkah kelima dan keenam, yang menurut kami masih berkaitan erat
adalah Memutus lingkaran setan kekerasan, turut serta dalam penciptaan
perdamaian dan Mengakhiri propaganda saling menyalahkan, termasuk
memberikan kompensasi/ganti rugi kepada yang dirugikan.
Langkah-langkah ini sangat penting, dan dalam kasus Malaysia dan
Indonesia, menurut saya kedua bangsa harus menoleh bersama ke belakang,
sejarah konflik yang pernah terjadi antara kedua bangsa harus diungkapkan, dan
kemudian mencari jalan untuk mengakhiri semua kecurigaan satu dengan yang
lain. Kedua langkah ini terkait erat dengan teori Shriver, “mengungkapkan untuk
mengingat kejahatan yang sudah dilakukan, dan kemudian mengampuni.”
Kemudian langkah yang terakhir adalah bekerja bersama-sama untuk
menyelesaikan konflik ini dengan transparan dan terbuka. Semua upaya untuk
20
pengungkapan masalah dilakukan dengan jujur dan terbuka untuk kedua bangsa.
Kami tidak setuju dengan pendapat Menlu Malaysia yang mengatakan bahwa
masalah ini hanya masalah teknis sehingga masyarakat Malaysia tidak perlu tahu.
Ini hanya urusan dua pemerintahan. Proses negosiasi, kemajuan-kemajuan dan
hambatan-hambatannya harus dibuat terbuka kepada publik, sehingga publik bisa
turut berpartisipasi dengan menyumbangkan opininya.
Dengan menerapkan tujuh langkah ini dalam proses perundingan, serta
dengan menjalankan juga pengungkapan luka dalam memori kolektif kedua
bangsa, masalah sengketa Ambalat ini menurut kami akan bisa diselesaikan
dengan lebih menyeluruh. Bukan hanya sekedar menyelesaikan satu kasus yang
sekarang saja, tetapi juga meletakkan dasar bersama untuk menghadapi masalah-
masalah serupa di masa mendatang. Namun demikian, kami menyadari bahwa
berteori selalu lebih mudah daripada menerapkan dalam kenyataan. Memakai cara
Shriver dan Stassen untuk menyelesaikan sengketa Ambalat juga masih perlu
dibuktikan.
Akan tetapi, Glenn Stassen menunjukkan keberhasilan teorinya dalam
menyingkirkan rudal-rudal balistik di Eropa, karena itu kami bisa optimis juga,
kalau cara ini juga bisa saja berhasil di sini.
21
BAB III
PENUTUP
Geopolitik diartikan sebagai sistem politik atau peraturan-peraturan dalam
wujud kebijaksanaan dan strategi nasional yang didorong oleh aspirasi nasional
geografik (kepentingan yang titik beratnya terletak pada pertimbangan geografi,
wilayah atau territorial dalam arti luas) suatu Negara, yang apabila dilaksanakan
dan berhasil akan berdampak langsung kepada system politik suatu Negara.
Sebaliknya, politik Negara itu secara langsung akan berdampak pada
geografi Negara yang bersangkutan. Geopolitik bertumpu pada geografi sosial
(hukum geografis), mengenai situasi, kondisi, atau konstelasi geografi dan segala
sesuatu yang dianggap relevan dengan karakteristik geografi suatu Negara.
Indonesia dan Malaysia adalah dua negara yang saling berdekatan dan
menjalin hubungan bilateral yang sudah berlangsung sejak lama. Meski demikian,
antara kedua negara ini sering terjadi perselisihan, khususnya mengenai
permasalah batas wilayah. Fakta memperlihatkan beberapa pulau yang telah
diambil oleh pihak Malaysia dari Indonesia, contohnya seperti Pulau Sipadan dan
Ligitan.
Dan hingga kini yang menjadi permasalahan terbaru, kedua pihak tersebut
sedang memperebutkan satu wilayah yang kaya akan sumber daya minyak.
Malaysia mengklaim daerah Ambalat, yang terletak di sebelah timur Pulau
Kalimantan Timur tersebut termasuk kedalam kepemilikan wilayahnya. Indonesia
yang memiliki bukti kuat atas kepemilikannya, tidak begitu saja menerima
pernyataan mentah tersebut.
Sehingga hal ini membuat sautu hubungan yang kurang baik di antara dua
pihak melalui konflik yang ditimbulkan. Dan parahnya, sampai sekarang belum
didapatkan jalan keluar yang dapat menguntungkan kedua belah pihak.
22
Dari kesimpulan yang dapat kami kemukakan di atas. Kami
mengaharapkan agar pemerintah Indonesia dapat lebih tegas dalam menyegerakan
permasalahan Ambalat tersebut. Karena hal ini dapat menunjukkan Sistem
Geopolitik Indonesia yang kuat kepada seluruh dunia. Supaya mereka tidak
dengan mudah meremehkan martabat bangsa Indonesia. Indonesia telah merdeka,
maka sepatutnya kita menghapuskan segala praktek yang bertautan dengan asas
kemerdekaan yang telah direnggut bangsa Indonesia. Selain bertindak tegas atas
kasus Ambalat pembangunan di daerah-daerah perbatasan juga perlu di
tingkatkan, tidak hanya wacana yang di gembar-gemborkan tetapi bukti real
dilapangan yang sampai saat ini daerah perbatasan selalu menjadi punggung
Indonesia yang tak tersentuh.
Bagi masyarakat Indonesia sendiri, jangan mudah terpengaruh untuk
melakukan aksi kekerasan dan tak beretika demi mengungkapkan aspirasinya
terhadap permasalahan yang dimaksud. Kita harus tetap berkepala dingin dalam
menyelesaikan berbagai permasalahan, bukankah itu adalah hal yang paling baik
untuk tidak menebar kebencian dan kerusakan di muka bumi ini. Untuk itu
selesaikanlah kasus ini dengan cara damai mencapai jalan keluar yang saling
menguntungkan Indonesia dengan negara serumpunnya, Negeri Jiran Malaysia.
23
DAFTAR PUSTAKA
Sundawa, Dadang. 2010. Konsep Dasar Pendidikan Kewarganegaraan. Lab PKn
UPI: Bandung.
http://belanegarari.wordpress.com
http://www.kompasiana.com/
http://news.okezone.com/
http://sensenblog.wordpress.com/
http://www.gudangmateri.com/2010/07/kondisi-geopolitik-indonesia.html
http://bumnwatch.com/kri-tangkap-nelayan-malaysia-yang-curi-ikan/
http://politikana.com/
http://www.sariyanta.com/
http://mimerss.blogspot.com
http://www.blogger.com
24