makalah kelompok 6 - pkp - kebijakan pajak untuk mendukung ketahanan energi di indonesia
DESCRIPTION
Pajak, PBB MigasTRANSCRIPT
UNIVERSITAS INDONESIAFAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
DEPARTEMEN ILMU ADMINISTRASIPROGRAM SARJANA EKSTENSI
MAKALAH KELOMPOK PENGANTAR KEBIJAKAN PAJAK
Kebijakan Pajak untuk Mendukung Ketahanan Energi di Indonesia
(Implementasi Pengenaan PBB pada Tahap Eksplorasi Migas)
Oleh :
KELOMPOK 6
Affansyah Wirandra (1406646295)
Fanisa Yunanda (1406646396)
P Renato Simanjuntak (1406646553)
Rere Karlina Wigati (1406646635)
untuk dipresentasikan pada hari Selasa tanggal 21 April 2015
Depok
2014
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN
Kami yang bertanda tangan di bawah ini dengan sebenarnya menyatakan bahwa
penulisan ini kami susun untuk memenuhi mata kuliah Pengantar Kebijakan
Pajak ini tanpa tindakan plagiarisme sesuai dengan peraturan yang berlaku di
Universitas Indonesia. Tulisan ini adalah hasil karya kami dengan mengutip dari
berbagai sumber yang telah kami cantumkan dengan benar. Jika di kemudian
hari ternyata kami melakukan tindakan Plagiarisme, kami akan bertanggung
jawab sepenuhnya dan menerima sanksi yang dijatuhkan oleh Universitas
Indonesia kepada kami.
Mata Kuliah : Pengantar Kebijakan Pajak
Judul Makalah : Keijakan Pajak untuk Mendukung Ketahanan Energi di
Indonesia
Tanggal : 21 April 2015
Dosen : Prof. Dr. Haula Rosdiana, M.Si dan tim.
Kelompok 6:
Affansyah Wirandra (1406646295)
Fanisa Yunanda (1406646396)
P Renato Simanjuntak (1406646553)
Rere Karlina Wigati (1406646635)
1 Universitas Indonesia
DAFTAR ISI
halaman
LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN…………………………………. 1
DAFTAR ISI…….…………………………………..……………………. 2
BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang ………............................................ 3
BAB II KERANGKA TEORI
2.1. Ketahanan Energi…..…........................................... 6
2.3. Pajak Bumi dan Bangunan…………………………… 7
BAB III PEMBAHASAN
3.1 . Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi……………....….
10
3.2. Implementasi PBB untuk Eksplorasi Migas….……… 14
3.3. GAP Analysis: Undang-Undang PBB vs Industri MIgas 18
3.4. Cara Perhitungan PBB untuk Tahap Eksplorasi Migas 19
BAB IV PENUTUP
5.1. Kesimpulan……………………………………………… 25
5.2. Saran…………………………………………………….. 26
DAFTAR PUSTAKA…………………………..…………………….......... 27
2 Universitas Indonesia
BAB I
PENDAHULUAN
Energi merupakan salah satu sumber kehidupan yang dibutuhkan oleh
manusia, setelah udara dan air. Dahulu kala, mungkin manusia masih dapat
bertahan hidup hanya dengan udara dan air, sedangkan energi yang bisa
didapatkan dari sumber aslinya belum diolah sedemikian rupa, seperti energi
matahari, menggunakan api yang berasal dari gesekan batu untuk memasak,
ataupun menggunakan tenaga hewan untuk alat berkendara.
Kemudian, seiring dengan semakin banyaknya kebutuhan manusia dan
diikuti perkembangan industri yang semakin pesat, kebutuhan akan energi
semakin kompleks dan tidak terbatas. Sumber-sumber energi yang ada
kemudian diolah menjadi sesuatu yang baru, misalnya dalam bentuk bahan
bakar untuk kendaraan. Untuk itu, ketahanan energi suatu negara sangat
diperlukan agar suatu negara dapat memenuhi kebutuhannya namun tetap
menjaga agar sumber daya energi yang ada tidak lantas habis tak tersisa,
dengan demikian sumber-sumber energi sudah merupakan suatu keharusan dan
selalu dicari keberadaannya. Ketahanan energi, paling sederhananya,
berhubungan dengan mengamankan energi masa depan suatu bangsa dengan
cara mendapatkan sumber daya energi yang stabil dan berkecukupan dengan
harga terjangkau1.
Sumber energi minyak dan gas bumi memiliki beberapa keunggulan
sebagai sumber energi. Keunggulan ini terutama ditinjau dari segi teknik maupun
ekonomi. pertama-tama karena cairan itu mudah sekali untuk ditransportasikan.
Cairan mudah disimpan dalam berbagai macam bentuk tempat ataupun tanki,
dapat menyesuaikan diri dengan bentuk alat transport; dapat ditransport dengan
memompakannya melalui pipa sehingga mengalir sendiri. Juga dari segi
pemindahan, cairan sangat mudah dialirkan dengan menggunakan pipa dan
1 http://www.pertamina.com/news-room/pidato-dan-artikel/indonesia-dan-ketahanan-energi/, diakses pada 15 April 2015
3 Universitas Indonesia
sebagainya. Misalnya saja bensin, suatu hasil pengilangan minyak bumi, mudah
ditempatkan dalam tanki motor yang bentuknya bisa disesuaikan dengan selera
kita. Dapatlah dibayangkan bahwa dengan adanya sumber energi yang
berbentuk cair atau gas ini penyimpanan dan transportasi sangat dipermudah.
Selain itu juga minyak dan gas bumi, terutama minyak mentah,
menghasilkan berbagai macam fraksi distilasi yang merupakan bahan bakar
untuk keperluan berbagai macam mesin. Misalnya, bensin untuk mesin motor,
kerosin untuk mesin jet, solar untuk mesin diesel. Hal ini sangat menguntungkan
dalam perancangan berbagai macam mesin untuk keperluan tertentu, sehingga
kebutuhan bahan bakarnya dapat sesuai dengan masing-masing jenis mesin
tersebut. Lalu, dapat juga minyak bumi menjadi bahan untuk membuat berbagai
macam pelumas sehingga memungkinkan pembuatan berbagai jenis mesin,
mulai dari 2-tak, diesel, pesawat jet, berbagai mesin perseneling dan sebagainya.
Dari data Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak
dan Gas Bumi (SKK Migas), saat ini jumlah cadangan minyak bumi Indonesia
sebesar 3,6 miliar barel atau hanya 0,2 persen dari total cadangan minyak di
dunia. Sementara cadangan gas Indonesia sebesar 104,25 triliun kaki kubik
hanya sekitar 1,7% dari total cadangan gas dunia. Menurut Kepala SKK Migas,
Rubi Rubiandini, untuk dapat menambah jumlah cadangan minyak dan gas di
Indonesia dibutuhkan eksplorasi dan untuk eksplorasi dibutuhkan investasi dalam
jumlah besar. Karena itu Rudi menekankan agar kebijakan tata kelola migas hulu
migas harus mempertimbangkan 3 aspek utama yaitu lifting migas, penambahan
cadangan migas dan peningkatan kapasitas nasional. Mengingat kebutuhan
tersebut, ketersediaan sumber energi ini sudah sewajarnya mendapat perhatian
khusus dari pemerintah, misalnya pengelolaan sistem kontrak bagi hasil dengan
perusahaan asing bertujuan untuk membawa dana, teknologi dan keahlian
sumber daya manusia untuk mendukung lifting dan meningkatkan cadangan,
bersamaan dengan hal tersebut meningkatkan kapabilitas pekerja nasional yang
berada di Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS)2 tersebut, dan pemberian
insentif dalam bentuk penerapan kebijakan insentif pajak bagi investor yang ingin
2 pihak yang memiliki Kontrak Kerja Sama dengan Pemerintah RI (SKK Migas), merupakan Badan Usaha Tetap atau Perusahaan Pemegang Hak Pengelolaan dalam suatu Blok atau Wilayah Kerja yang memiliki hak untuk melakukan kegiatan eksplorasi, eksploitasi minyak dan gas bumi di Indonesia.
4 Universitas Indonesia
berkontribusi dalam eksplorasi atau pencarian sumber energi, mengingat
pemerintah tidak lantas dapat bekerja sendiri dalam prosesnya3.
Karena keutamaan minyak dan gas bumi sebagai komponen energi yang
dibutuhkan, maka di dalam makalah ini kelompok kami akan membahas lebih
fokus ke dalam masalah kebijakan implementasi pengenaan PBB pada tahap
eksplorasi minyak dan gas bumi terhadap Kontraktor Kerjasama Migas yang
mulai diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010
(PP 79 Tahun 2010) yang kemudian terdapat peraturan mengenai insentif PBB
yang muncul setelahnya. Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk
mengetahui bagaimana perkembangan penerapan PBB untuk tahap eksplorasi
migas dan bagaimana cara perhitungan PBB nya.
3 http://www.tribunnews.com/bisnis/2013/02/28/cadangan-minyak-bumi-tinggal-36-miliar-barel
5 Universitas Indonesia
BAB II
KERANGKA TEORI
2.1 Ketahanan Energi
International Energy Agency (IEA) mendefinisikan ketahanan energi
sebagai ketersediaan sumber energi yang tidak terputus dengan harga yang
terjangkau. Lebih lanjut, ukuran yang dipakai untuk menilai suatu negara
dikatakan memiliki ketahanan energi apabila memiliki pasokan energi untuk 90
hari kebutuhan impor setara minyak. Ketahanan energi dianggap penting karena
energi merupakan komponen penting dalam produksi barang dan jasa. Segala
bentuk gangguan yang dapat menghambat ketersediaan pasokan energi dalam
bentuk bahan bakar primer (BBM, gas dan batubara) maupun kelistrikan dapat
menurunkan produktivitas ekonomi suatu wilayah dan jika magnitude gangguan
sampai pada tingkat nasional dapat membuat target pertumbuhan ekonomi
meleset dari yang ditetapkan.
Menurut Yergin (2006) ketahanan energi mulai menjadi isu global ketika
Arab Saudi menghentikan ekspor minyak mentahnya ke negara-negara industri
pada awal dekade 70-an. Pada era tersebut, minyak merupakan sumber energi
yang paling vital bagi negara-negara Eropa Barat dan Amerika Serikat,
sedangkan Arab Saudi merupakan eksportir utama. Tindakan sepihak Arab
Saudi tersebut praktis mengganggu aktivitas perekonomian negara-negara
importir minyak tersebut; yang waktu itu hanya bergantung pada minyak Saudi
Arabia. Dunia internasional kemudian menjadi sadar terhadap pentingnya
menjaga pasokan agar tidak bergantung pada satu jenis sumber energi dan satu
produsen energi.
Mengacu kepada konsep ketahanan energi yang didefinisikan oleh IEA di
atas dan merujuk kepada teori dasar mikroekonomi, menurut penulis ada tiga
komponen dasar dalam menjaga keberlangsungan pasokan energi, yaitu: (1)
estimasi permintaan energi yang presisi sebagai dasar perencanaan penyediaan
6 Universitas Indonesia
pasokan energi, (2) kehandalan (reliability) pasokan energi yang diusahakan oleh
badan usaha, dan (3) harga energi yang menjadi sinyal bagi badan usaha untuk
masuk dalam penyediaan energi. Harga energi menjadi begitu penting karena
akan digunakan oleh pihak produsen dalam menghitung estimasi imbal hasil atas
investasi yang dikeluarkan dalam penyediaan energi. Oleh karena itu, dalam
kasus Pemerintah memberlakukan batasan atas harga energi pada level
tertentu, tidak jarang investasi dalam pembangunan pembangkit listrik, kilang
minyak, tambang batubara akan berkurang dan supply bahan bakar menghilang
dari pasaran. Kebijakan Pemerintah diperlukan agar ketiga komponen tersebut
direspon dengan baik oleh pelaku ekonomi (konsumen dan produsen) sehingga
ketersediaan energi berada pada tingkat keseimbangan sesuai dengan
kebutuhan konsumsi di dalam perekoonomian.
Dari sisi manajemen risiko, kajian ketahanan energi biasanya berfokus
pada risiko operasional kehandalan infrastruktur atau sarana penyediaan energi
sebagaimana yang dijabarkan oleh Chester (2010) dan dikutip dalam Singh
(2012). Manajemen risiko terhadap keseluruhan operasional menjadi begitu
krusial agar terputusnya pasokan energi tidak terjadi. Namun demikian,
ketahanan energi juga mencakup upaya diversifikasi energi dalam mengurangi
ketergantungan pasokan energi pada salah satu jenis bahan bakar. Diversifikasi
juga dilakukan dalam memperbaiki bauran energi dengan memperhatikan
potensi cadangan sumber energi yang dimiliki (Chester, 2010)4.
2.2 Pajak Bumi dan Bangunan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah Pajak Negara yang dikenakan
terhadap bumi dan atau bangunan berdasarkan Undang-undang nomor 12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah
dengan UndangUndang nomor 12 Tahun 1994. PBB adalah pajak yang bersifat
kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek
yaitu bumi/tanah dan atau bangunan. Keadaan subjek (siapa yang membayar)
tidak ikut menentukan besarnya pajak.Objek pajak bumi dan bnagunan adalah
bumi dan/atau bangunan. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang
4 http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Energy%20Security.pdf, diakses pada 15 April 2015
7 Universitas Indonesia
ada di dalamnya. Permukaan bumi meliputi tanah dan perairan pedalaman serta
laut wilayah Indonesia. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
dilekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan untuk tempat tinggal,
tempat usaha, dan tempat yang diusahakan.
Termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
1. Jalan lingkungan dalam satu kesatuan dengan kelompk bangunan
2. Jalan tol
3. Kolam renang
4. Pagar mewah
5. Tempat olahraga
6. Galangan kapal, dermaga
7. Taman mewah
8. Tempat penampungan kilang minyak, air, gas, dan pipa minyak
9. Fasilitas lain yang memberikan manfaat.
Dalam menentukan nilai jual bumi dan bangunan dibuat klasifikasi
dengan memperhatikan faktor – faktor berikut :
a. Letak
b. Peruntukan
c. Pemanfaatan
d. Kondisi lingkungan dan lain – lain.
Dalam menentukan klasifikasi bangunan diperhatikan faktor – faktor
sebagai berikut :
a. Badan yang digunakan
b. Rekayasa
c. Letak
d. Kondisi lingkungan dan lain – lain
Subjek pajak adalah orang atau badan yang secara langsung nyata
mempunyai suatu hak atas bumi dan atau memperoleh manfaat atas bumi dan
atau memiliki, menguasasi, dan atau memperoleh manfaat bangunan.
Dasar pengenaan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak. Besarnya nilai jual
objek pajak ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk
untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan
daerahnya.
8 Universitas Indonesia
Dasar penghitungan pajak adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) yang
ditetapkan serendah – rendahnya 20% dan setinggi – tingginya 40% dari Nilai
Jual Objek Pajak (NJOP).
Berdasarkan peraturan pemerintah Nomor 25 Tahun 2002, besarnya
NJKP ditetapkan sebagai berikut :
a. Objek Pajak perkebunan, kehutanan dan pertambangan sebesar
40% dari Nilai Jual Objek Pajak.
b. Objek Pajak lainnya :
1) Sebesar 40% dari Nilai Jual Objek Pajak aoabila Nilai Jual
Objek Pajaknya Rp. 1.000.000.000 atau lebih
2) Sebesar 20% dari Nilai Jual Objek Pajak apabila Nilai Jual
Objek Pajak kurang dari Rp. 1.000.000.000 .
NJKP ditentukan sebesar NJOP Bumi + NJOP Bangunana – NJOPTKP.
Berdasarkan Peraturan Meneteri keuangan Nomor 23 Tahun 2014,
besarnya NJOPTPK yang sebelumnya sebesar Rp. 12.000.000 diubah menjadi
Pada awalnya, PBB merupakan Pajak Pusat yang kemudian
penerimaannya dialokasikan ke daerah-daerah dengan proporsi tertentu. Namun
dalam perkembangannya, di dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjutnya disebut dengan UU
PDRD) mengatur PBB khususnya untuk sektor perkotaan dan pedesaan menjadi
kewenangan daerah sepenuhnya. Di dalam Pasal 1 angka 37 yang dimaksud
Pajak Bumi dan Bangunan adalah Perdesaan dan Perkotaan adalah pajak atas
bumi dan/atau bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh
orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan
usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan. Dengan kata lain, PBB
adalah pajak tak bergerak yang terdiri atas tanah dan bangunan (property tax)
yang ditujukan kepada Subjek Pajak, dalam hal ini adalah orang pribadi atau
badan yang memanfaatkan atau memiliki obyek pajak berupa tanah atau
bangunan tersebut (pemilik atau penyewa).
9 Universitas Indonesia
BAB III
PEMBAHASAN
3.1 Industri Hulu Minyak dan Gas Bumi di Indonesia
Di Indonesia, energi migas masih menjadi andalan utama perekonomian
Indonesia, baik sebagai penghasil devisa maupun pemasok kebutuhan energi
dalam negeri. Pembangunan prasarana dan industri yang sedang giat-giatnya
dilakukan di Indonesia, membuat pertumbuhan konsumsi energi meningkat.
Indonesian Petroleum Association (IPA) memprediksi selisih angka produksi dan
konsumsi minyak Indonesia pada 2025 masih mencapai 2,5 juta barel per hari
(BPH). Hal ini berarti mengindikasikan bahwa produksi minyak di Indonesia tidak
bisa mencukupi jumlah konsumsinya. Angka ini disebabkan oleh peningkatan
konsumsi bahan bakar minyak (BBM) ditengah turunnya jumlah produksi minyak
Indonesia. Saat ini, angka konsumsi BBM Nasional diketahui mencapai 1,5 juta
BPH dengan rata-rata pertumbuhan sekitar 5 persen sampai 8 persen.
Sementara jumlah produksi minyak yang dihasilkan kontraktor kontrak kerjasama
(K3S) di Indonesia baru mencapai sekitar 800 ribu BPH atau terdapat defisit 50
persen yang selama ini dipenuhi dari impor per 20145.
Peningkatan pertumbuhan konsumsi energi yang sangat tinggi, melebihi
rata-rata kebutuhan energi global, mengharuskan Indonesia untuk segera
menemukan cadangan migas baru, baik di Indonesia maupun ekspansi ke luar
negeri. Cadangan minyak bumi Indonesia dalam kondisi depleting, sebaliknya
gas bumi cenderung meningkat. Hal ini mengakibatkan perkembangan produksi
minyak Indonesia dari tahun ke tahun mengalami penurunan, sehingga perlu
upaya luar biasa untuk menemukan cadangan-cadangan baru dan peningkatan
produksi. Hal ini dapat terlihat di dalam tabel yang ada di bawah ini. Untuk
5 http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141211121132-85-17471/2025-selisih-produksi-dan-konsumsi-minyak-25-juta-barel/, diakses pada 16 April 2015
10 Universitas Indonesia
produksi minyak bumi dari tahun ke tahun yang digambarkan pada bar warna
biru, terlihat telah terjadi penurunan produksi dari tahun 2009 yaitu sebesar 938
MBPD, lalu menurun menjadi 925 MBPD di tahun 2010, dan semakin menurun di
tahun 2011 dan 2012 menjadi 900 dan 875 MBPD.
Tabel 2.2
Produksi Minyak dan Gas Bumi di Indonesia Tahun 2009 – 20126
Secara singkat, terdapat dua tahap penting yang berhubungan dengan
pengelolaan industri hulu minyak dan gas bumi, yaitu tahap eksplorasi dan tahap
eksploitasi. Tahap eksplorasi mengacu pada penjelajahan atau pencarian, yaitu
tindakan mencari atau melakukan perjalanan dengan tujuan menemukan
sesuatu. Dalam dunia perminyakan, eksplorasi atau pencarian minyak bumi
merupakan suatu kajian panjang yang melibatkan beberapa bidang kajian
kebumian dan ilmu eksak. Untuk kajian dasar, riset dilakukan oleh para geologis,
yaitu orang-orang yang menguasai ilmu kebumian. Mereka adalah orang yang
bertanggung jawab atas pengindikasian adanya potensi hidrokarbon. Secara
ilmu geologi, untuk menentukan suatu daerah mempunyai potensi akan minyak
bumi, maka ada beberapa kondisi yang harus ada di daerah tersebut dalam
6 http://statistik.migas.esdm.go.id/index.php?r=rekapProduksiMigasIndonesia/index, diakses pada 16 April 2015
11 Universitas Indonesia
eksplorasi minyak bumi hal ini disebut kajian geologi yang merupakan kajian
regional. Lalu kajian selanjutnya adalah kajian geofisika yang menentukan
apakah pencarian minyak bumi tersebut cukup ekonomis atau tidak, di dalam
tahap ini juga akan memastikan apakah potensi hidrokarbon benar-benar ada
dan kemungkinannya untuk dapat dieksploitasi. Sebagai tambahan semua
prospek yang telah dipilih serta dinilai dalam suatu sistem penilaian, kemudian
dipih untuk dilakukan pengeboran eksplorasi terhadapnya dengan dipasang ring.
Maka semua prospek ini haruslah diberi prognosis, yaitu rencana pengeboran
secara terperinci serta ramalan-ramalan mengenai apa yang akan ditemui waktu
pengeboran dan pada kedalaman berapa. Dalam pembuatan prognosis ini, ahli
geologi harus bekerja sama dengan bagian eksploitasi dan bagian pengeboran7.
Sedangkan tahap selanjutnya yaitu tahap eksploitasi adalah suatu
kegiatan pengeboran pengembangan apabila pada saat pengeboran eksplorasi
menemukan migas, kemudian dilakukan pengeboran deliniasi dan pemboran
pengembangan. Tujuan pengeboran ini, untuk mengetahui penyebaran dan
jumlah migas yang terakumulasi dalam batuan reservoar di suatu daerah
(lapangan), juga sifat dan karakteristik batuan reservoar itu sendiri, agar dapat
ditentukan jumlah produksi migas per hari, yang selanjutnya dilanjutkan proses
menyiapkan sarana produksi yang kelengkapan sumur produksi pipa dan tanki
timbun minyak sementara untuk dialirkan ke kilang pengolahan atau langsung
dijual8.
Kegiatan yang berhubungan dengan eksplorasi dan eksploitasi migas
dilakukan oleh pemerintah dengan pihak swasta. Sepanjang sejarah, Indonesia
telah menggunakan beberapa model kerjasama pengelolaan migas, seperti
konsesi, kontrak karya, dan kontrak bagi hasil. Kini, pemerintah menerapkan
kontrak bagi hasil, atau lazim disebut Profit Sharing Contract (PSC). Kepala Biro
Hukum dan Hubungan Masyarakat, Kementerian Energi dan Sumber Daya
Mineral (ESDM), Susyanto, menjelaskan model PSC lebih memberikan jaminan.
Industri minyak dan gas (migas) padat resiko, padat modal, dan padat teknologi.
Resiko yang dihadapi pengusaha sangat besar, termasuk resiko kegagalan
eksplorasi dan eksploitasi. Menurutnya, ada perbedaan yang mencolok antara
7 Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IAT Migas), Eksplorasi Minyak Bumi, diakses pada 16 Aptil 20158 http://www.museumindonesia.com/museum/80/1/Museum_Migas_Jakarta, diakses pada 16 April 2015
12 Universitas Indonesia
kontrak bagi hasil dan konsesi dalam pengelolaan sektor migas. Konsesi hanya
mempunyai implikasi berupa pemberian keuntungan kegiatan produksi migas
kepada negara berdasarkan kesepakatan royalti. Jadi, keuntungan yang
diperoleh negara adalah sebatas uang saja, bukan berupa hasil pertambangan.
Dengan sistem kontrak bagi hasil, negara akan lebih banyak diuntungkan
karena memberikan pemasukan tidak hanya dari sisi penjualan semata, namun
juga jumlah kuota migas yang diproduksi oleh investor. Komposisi pembagian
keuntungannya ditetapkan sebesar 85 persen untuk pemerintah dan sisanya
kepada investor.
Dengan model PSC ini pemerintah juga menetapkan ketentuan bagi
investor untuk memasarkan 25 persen hasil produksi migas bagi Indonesia.
Negara di Timur Tengah seperti Arab Saudi malah sudah menerapkan contract
services system (CSS) atau sistem kontrak pelayanan. Dengan model ini, uang
negara digunakan untuk menyewa jasa produksi migas kepada investor.
Pemerintah di sana cukup mengeluarkan uang untuk membayar jasa produksi
migas kepada investor tanpa kehilangan sedikitpun sumber daya migas bagi
negara9.
Model PSC ini juga diharapkan akan meningkatkan produksi migas di
Indonesia mengingat potensi sumber daya minyak dan gas bumi Indonesia
masih cukup besar untuk dikembangkan terutama di daerah-daerah terpencil,
laut dalam, sumur-sumur tua dan kawasan Indonesia Timur yang relatif belum
dieksplorasi secara intensif. Sumber-sumber minyak dan gas bumi dengan
tingkat kesulitan eksplorasi terendah praktis kini telah habis dieksploitasi dan
menyisakan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Sangat jelas bahwa mengelola
ladang minyak sendiri menjanjikan keuntungan yang luar biasa signifikan. Akan
tetapi untuk dapat mengetahui potensi tersebut diperlukan teknologi yang mahal,
modal yang besar, faktor waktu yang memadai dan memerlukan efisiensi yang
maksimal serta expertise dari sumberdaya manusia terbaik.
Peraturan Pemerintah yang mengatur usaha minyak dan gas bumi di
Hulu dan Hilir belum dapat menjamin investasi di sektor minyak dan gas bumi
akan masuk, karena masih banyak masalah lain yang menjadi hambatan bagi
terealisasinya investasi. Masalah tersebut antara lain peraturan perpajakan
9 http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51076aad6703a/alasan-pemerintah-memilih-kontrak-bagi-hasil, diakses pada 16 April 2015
13 Universitas Indonesia
Misalnya saja, salah satu peraturan perpajakan yang cukup memberatkan bagi
investor adalah mengenai pengenaan PBB yang sudah berlaku pada tahap awal
yaitu tahap eksplorasi migas, serta lingkungan hidup dan otonomi daerah yang
menyulitkan bagi perusahaan minyak asing beroperasi karena berhadapan
dengan raja-raja kecil di daerah10.
3.2 Implementasi Pajak Bumi dan Bangunan untuk Eksplorasi Migas
Kewajiban perpajakan bagi Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap
dalam kegiatan usaha minyak dan gas bumi salah satunya adalah Pajak Bumi
dan Bangunan (PBB) yang merupakan salah satu bentuk property tax. Meskipun
kepemilikan lahan yang menjadi tempat kegiatan usaha adalah tetap menjadi
milik Pemerintah Indonesia, namun penguasaan dilakukan oleh Badan Usaha
atau Bentuk Usaha Tetap. Sehingga pembebanan Pajak Bumi dan Bangunan
(PBB) ditanggung oleh badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap. Pemungutan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) ini merupakan salah satu upaya untuk
memenuhi penerimaan negara. Namun, apabila penerapannya tidak dilakukan
dengan memerhatikan kondisi Wajib Pajak yang diseimbangkan dengan ekonomi
negara dapat berakibat justru kekosongan atau kehilangan potensi penerimaan
kas negara dari sektor tersebut. Pemerintah dalam menerapkan pajak
seharusnya tidak hanya fokus pada penerimaan pajak yang sebesar-besarnya
namun juga kondisi Wajib Pajak. Jika fokus Penerimaan pajak yang sebesar-
besarnya tersebut justru akan menyusahkan Wajib Pajak yang ingin melakukan
kegiatan eksplorasi akan menyebabkan konsekuensi yang justru berlawanan
dengan tujuan pemungutan pajak yaitu hilangnya penerimaan dari sektor pajak
tersebut karena Wajib Pajaknya keberatan dengan beban pajak yang ada.
Pada awalnya diberlakukannya, PBB atas kegiatan eksplorasi yang
dilakukan oleh Wajib Pajak Kontraktor Kontrak Kerjasama Migas (K3S) memakai
sistem assume and discharge, perusahaan migas tidak membayar PPB migas
tetapi dibayar oleh pemerintah melalui bagian sharing produksi migas hak
pemerintah atau dengan kata lain PBB Migas merupakan beban yang
ditanggung oleh pemerintah. Selanjutnya, diatur dasar hukum sebagai acuan di
bidang usaha hulu minyak dan gas bumi terutama mengenai cost recovery11,
10 http://www.lmfeui.com/data/Analisis%20Industri%20Minyak.pdf, diakses pada 16 April 201511 Biaya-biaya yang dikembalikan kepada pihak kontraktor
14 Universitas Indonesia
pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010
Tentang Biaya Operasi Yang Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak
Penghasilan Di Bidang Usaha Hulu Minyak Gas Dan Bumi (Selanjutnya
disebut dengan PP 79 Tahun 2010). Namun, sejak dikeluarkannya PP tersebut,
secara bersamaan diatur pula bahwa kontraktor diwajibkan terlebih dahulu
membayar PBB yang terutang. Pada hakikatnya, pembayaran PBB Migas
menjadi beban bersama pemerintah dan perusahaan migas sebagimana
dituangkan dalam Paragraf I huruf c PP 79 tahun 2010. Maksud menjadi beban
bersama pemerintah dengan perusahaan kontraktor migas adalah bahwa
perusahaan migas membayar secara langsung atau membayar sendiri kewajiban
PBB migasnya ke rekening kas umum negara melalui bank persepsi yang
ditunjuk Menteri Keuangan, kemudian memasukan besarnya PBB migas yang
dibayar dalam komponen biaya yang akan menjadi komponen cost recovery
yang akan dibayarkan pemerintah. Artinya secara tidak langsung PBB Migas
akan menjadi beban pemerintah. Sehingga akibat di keluarkannya PP 79/2010
ini, biaya yang dikeluarkan investor jadi berlipat ganda, padahal pajak itu
diterapkan di suatu daerah yang belum menghasilkan apapun. Kebijakan ini oleh
banyak pihak dianggap kontraproduktif dengan keinginan upaya pemerintah
untuk menciptakan iklim investasi yang kondusif dan juga meningkatkan produksi
migas nasional.
Berkat adanya peraturan tersebut, Direktorat Jenderal Pajak
mengeluarkan tagihan PBB sejumlah Rp 2,6 triliun kepada 15 perusahaan hulu
migas yang mengoperasikan 20 blok migas lepas pantai untuk tahun buku 2012
dan 2013. Besaran PBB yang dikenakan pada tiap blok mencapai Rp 30 hingga
Rp 190 miliar12. Untuk itu lah Indonesia Petroleum Association (IPA) juga secara
tegas meminta pemerintah meninjau kembali kebijakan fiskal dalam pengenaan
PBB tersebut. Pasalnya, Investor bersedia membayar PBB hanya untuk blok
yang telah berproduksi karena sudah pasti memberikan keuntungan bagi
investor. Mengingat kegiatan eksplorasi adalah kegiatan awal dalam rangkaian
kegiatan produksi migas yang sangat panjang. Kegiatan eksplorasi saja
setidaknya membutuhkan waktu minimal tiga tahun. Resiko yang dihadapi
investor dalam melakukan eksplorasi juga sangat tinggi, apalagi pemerintah tidak
12 http://www.beritasatu.com/ekonomi/140653-ipa-minta-pemerintah-kaji-ulang-pbb-ekplorasi-migas.html, diakses pada 16 April 2015
15 Universitas Indonesia
akan mengganti seluruh biaya yang dikeluarkan jika memang blok tersebut tidak
dapat diproduksikan secara komersial.
Akibat adanya protes dari berbagai pihak, khususnya IPA, pemerintah
kembali mengeluarkan Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER -
45/PJ/2013 tentang Tata Cara Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor
Pertambangan untuk Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas
Bumi (selanjutnya disebut dengan PER-45/2013), berlaku mulai 1 Januari 2014.
Di dalam peraturan tersebut, konsep objek PBB yang sebelumnya seluas wilayah
kerja lepas pantai menurut PP 79/2010, menjadi seluas kawasan yang benar-
benar dimanfaatkan untuk eksplorasi saja. Sehingga dengan demikian, luas
objek PBB nya menjadi berkurang dengan adanya peraturan ini.
Namun demikian, tetap saja peraturan tersebut belum dapat memberikan
insentif yang cukup menggiurkan bagi para investor yang berniat untuk
melakukan kegiatan eksplorasi di Indonesia, pasalnya mereka masih tetap harus
membayar PBB ketika mereka belum mampu memproduksi minyak secara
nyata. Hal ini lah kemudian yang mendorong pemerintah untuk mengeluarkan
suatu insentif yang lebih maksimal yang diharapkan akan membuat investor akan
tertarik berinvestasi, yaitu melalui penerbitan Peraturan Menteri Keuangan
Nomor PMK 267/PMK.01/2014 Tentang Pengurangan Pajak Bumi dan
Bangunan Sektor Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi Pada Tahap
Eksplorasi (selanjutnya disebut dengan PMK 267/2014). Di dalam pasal 3
disebutkan bahwa pengurangan PBB untuk Wajib Pajak migas pada tahap
eksplorasi diberikan pengurangan sebesar 100% atas tubuh bumi, yaitu bagian
bumi yang berada pada bagian bawah permukaan bumi. Pengurangan PBB
tersebut dapat diberikan setiap tahun untuk jangka waktu paling lama 6 (enam)
tahun terhitung sejak tanggal ditandatanganinya kontrak kerjasama migas.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh K3S diantaranya Wajib Pajak
terlebih dahulu menyampaikan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) serta
surat rekomendasi dari menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di
bidang migas yang menyatakan bahwa objek PBB migas masih di dalam tahap
eksplorasi. Setelah itu, KPP menerbitkan SPPT dengan mencantumkan besanya
pengurangan PBB sebagai bukti bahwa telah dilakukannya pengurangan PBB.
Insentif ini mulai berlaku sejak 1 Januari 2015.
16 Universitas Indonesia
Pemberian insentif pengurangan PBB sebesar 100% ini, menurut analisis
kami, memiliki strength (kelebihan), weakness (kelemahan), opportunity
(kesempatan), dan threat (ancaman), yaitu sebagai berikut:
(+) Strength
Pemberian insentif ini dalam jangka panjang akan meningkatkan gairah
investasi di dalam kegiatan eksplorasi minyak dan gas bumi, sehingga
produksi minyak dan gas bumi juga berpotensi meningkat. Selain itu, dari
sisi keadilan, pemberian ini juga terbilang adil karena sudah semestinya
K3S yang masih dalam tahap eksplorasi, yang mana berarti belum
melakukan pemanfaatan langsung terhadap minyak atau gas bumi, tidak
dibebani oleh PBB. Sementara untuk tahap eksplorasi yang belum tentu
menghasilkan saja sudah memakan waktu dan biaya yang besar bagi
pengusaha K3S.
(-) Weakness:
Kelemahan dari insentif ini yakni insentif ini hanya diberlakukan kepada
kegiatan eksplorasi yang dimulai per tanggal 1 Januari 2015 saja dan
tidak berlaku mundur. Sehingga PBB yang telah terutang sebelum 1
januari 2015 tidak diberikan insentif pengurangan ini yang menyebabkan
kebanyakan K3S masih memiliki banyak tanggungan PBB di tahun-tahun
sebelumnya.
(+) Opportunity
Pemberian insentif ini juga akan meminimalisir adanya pengajuan
keberatan yang dilakukan oleh beberapa pengusaha K3S, seperti yang
telah diajukan oleh British Petroleum pada tahun 2012 dan 2013 yang
pada akhirnya mereka sepakat untuk menghentikan tahap eksplorasi
minyak yang sedang berjalan13.
(-) Threat
Pemerintah akan kehilangan potensi penerimaan pajak yang cukup besar
dari PBB atas migas. Diakui oleh Dirjen Pajak yang menjabat periode
13 http://katadata.co.id/berita/2015/03/26/keberatan-pbb-migas-BP-hentikan-eksplorasi, diakses pada 16 April 2015
17 Universitas Indonesia
sebelumnya, Fuad Rahmany, perubahan kebijakan itu membuat pihaknya
kehilangan potensi penerimaan pajak sebesar Rp 4 triliun. Meskipun
begitu, pihaknya tidak begitu mempermasalahkannya sepanjang
perubahan kebijakan tersebut bisa membawa keadilan bagi pembayar
pajak14.
Dengan demikian, pemberian insentif tersebut dirasa merupakan suatu
insentif yang tepat untuk diterapkan dalam kegiatan tahap eksplorasi migas
karena pada tahap ini, perusahaan masih belum menghasilkan, justru sebaliknya
membutuhkan biaya yang besar pada tahap eksplorasi ini. Sudah seharusnya
pemerintah berperan dalam membantu pada tahap eksplorasi ini, karena pada
akhirnya ketika sudah menghasilkan, pemerintah juga dapat menikmati hasil
minyak dan gas bumi yang dihasilkan.
3.3 Gap Analysis: Undang-Undang PBB dan Tahap Eksplorasi Migas
Selain perkembangan implementasi PBB atas kegiatan eksplorasi migas,
kami juga mencatat hal-hal lain terkait dengan adanya gap/perbedaan antara
konsep-konsep yang dijelaskan di dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun
1994 mengenai Pajak Bumi dan Bangunan (selanjutnya disebut dengan UU
PBB) dengan penerapannya di dalam industri minyak dan gas bumi.
Hal yang pertama yaitu mengacu pada UU PDRD mengenai subjek pajak
PBB. Di dalam pasal 78 ayat (1) UU PDRD dan UU PBB pasal 4 ayat (1)
disebutkan bahwa yang menjadi subjek pajak PBB adalah orang pribadi atau
badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas Bumi dan/atau memperoleh
manfaat atas Bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh
manfaat atas Bangunan.. Sedangkan jika dikaitkan dengan pelaksanaan dalam
tahap eksplorasi migas, pengusaha K3S tidak mempunyai hak untuk memiliki
wilayah yang dieksplorasi dan juga pada tahap eksplorasi tersebut pengusaha
K3S belum memperoleh manfaat apa-apa dari kegiatannya, melainkan baru
berupa upaya pencarian saja. Hal tersebut tentunya tidak sesuai dengan prinsip
subjek PBB sebagaimana tercantum dalam pasal tersebut.
Yang kedua, adalah terkait dengan masalah valuation yang dijelaskan di
dalam Pasal (1) angka 3, yang menyatakan bahwa Nilai Jual Objek Pajak
14 http://www.merdeka.com/uang/dirjen-pajak-pbb-migas-hanya-untuk-wilayah-eksplorasi.html, diakses pada 16 April 2015
18 Universitas Indonesia
(NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi
secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, Nilai Jual Objek
Pajak ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis,
atau nilai peroleh baru, atau Nilai Jual Objek Pajak pengganti. Perbandingan
harga dengan objek lain yang sejenis adalah pendekatan di mana penentuan
NJOP dilakukan dengan cara membandingkannya dengan objek pajak yang
sejenis yang letaknya berdekatan dan fungsinya sama dan telah diketahui harga
jualnya (market approach). Sedangkan nilai perolehan baru merupakan
pendekatan yang menentukan NJOP berdasarkan biaya yang dikeluarkan untuk
memperoleh objek pajak tersebut, dikurangi dengan biaya penyusutan yang ada
(cost approach). Sedangkan nilai jual pengganti merupakan pendekatan
penentuan NJOP berdasarkan pada hasil produksi objek pajak tersebut (income
approach). Jadi, pasal tersebut menjelaskan bahwa NJOP ditentukan
berdasarkan pada mana jumlah yang lebih besar di antara ketiganya.
Ketiga pendekatan penentuan NJOP tersebut nampaknya tidak ada yang
sesuai dengan prinsip penentuan NJOP untuk kegiatan eksplorasi migas. Sebab,
yang dijadikan dasar untuk NJOP PBB wilayah eksplorasi adalah berdasarkan
pada harga tertentu (fixed price) yang ditetapkan pada saat kontrak, bukan
berdasarkan market approach, cost approach, maupun income approach.
Sehingga berdasarkan kedua persoalan tersebut, menurut kami peraturan
di dalam Undang-Undang PBB terutama menyangkut subjek pajak dan cara
penentuan NJOP-nya tidak sesuai jika diterapkan ke dalam pelaksanaan
eksplorasi migas di lapangan, kecuali jika Undang-undang PBB lebih memperinci
pasal-pasal yang berkenaan dengan industri tersebut. Kami berpendapat bahwa
seharusnya wilayah lepas pantai yang dipakai untuk kegiatan pada tahap
eksplorasi ini pada hakikatnya bukan merupakan objek PBB.
3.3 Cara Perhitungan PBB untuk Sektor Minyak dan Gas Bumi
Pengenaan PBB sektor pertambangan migas diatur di dalam Peraturan
Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 45/2013 dan Surat Edaran Direktur Jenderal
Pajak Nomor SE-21/PJ/2012 tanggal 20 April 2012. Sebelum dikeluarkannya
PER-45/PJ/2013, ketentuan yang mengatur adalah PER - 11/PJ/2012. Di sana
diatur bahwa PBB sektor Migas adalah Pajak Bumi dan Bangunan atas bumi
19 Universitas Indonesia
dan/atau bangunan yang berada di dalam Wilayah Kerja atau sejenisnya terkait
dengan pertambangan Migas yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh
Kontraktor Kontrak Kerja Sama (KKKS). KKKS ini merupakan badan usaha atau
bentuk usaha tetap yang ditetapkan untuk melakukan Eksplorasi dan Eksploitasi
pada suatu Wilayah Kerja berdasarkan kontrak kerja sama. Semenjak keluarnya
PER-45/2013, konsep wilayah kerja yang ada diubah menjadi konsep Kawasan
yang benar-benar dimanfaatkan digunakan untuk kegiatan usaha pertambangan
Minyak Bumi dan Gas Bumi.
Objek Pajak Bumi dan Bangunan sektor pertambangan meliputi bumi dan
bangunan. Objek pajak bumi dapat dibagi 2(dua) yaitu pertama, permukaan bumi
yang meliputi tanah dan/atau perairan pedalaman (onshore) dan/atau perairan
lepas pantai (offshore) dan kedua adalah tubuh bumi yang berada di bawah
permukaan bumi. Sedangkan objek bangunan adalah konstruksi teknik yang
ditanam atau dilekatkan secara tetap pada areal onshore dan/atau areal
offshore. Permukaan bumi untuk areal onshore meliputi: areal produktif, areal
belum produktif, areal tidak produktif, areal emplasemen. Tubuh bumi yang
berada di bawah permukaan bumi terdiri dari tubuh bumi untuk kegiatan
eksplorasi dan tubuh bumi untuk kegiatan eksploitasi.
Dasar pengenaan dari PBB sektor Migas adalah NJOP yang merupakan
penjumlahan dari NJOP bumi dan NJOP bangunan. NJOP bumi areal onshore
atau areal offshore merupakan hasil perkalian antara total luas areal yang
dikenakan dengan NJOP bumi per meter persegi, sedangkan NJOP tubuh bumi
baik yang eksplorasi atau yang eksploitasi merupakan hasil perkalian antara luas
Wilayah Kerja dengan NJOP bumi per meter persegi. NJOP bumi per meter
persegi tersebut merupakan hasil konversi nilai bumi per meter persegi ke dalam
klasifikasi NJOP bumi yang tercantum di dalam Peraturan Menteri Keuangan
tentang klasifikasi NJOP Bumi. NJOP bangunan merupakan hasil perkalian
antara total luas bangunan dengan NJOP bangunan per meter persegi, dimana
NJOP bangunan per meter persegi merupakan hasil konversi nilai bangunan per
meter persegi ke dalam klasifikasi NJOP bangunan yang tercantum di dalam
Peraturan Menteri Keuangan tentang klasifikasi NJOP Bangunan.
Nilai bumi per meter persegi masing-masing areal ditentukan sebagai
berikut:
20 Universitas Indonesia
1. Areal onshore merupakan hasil pembagian antara total nilai bumi dengan
total luas areal onshore. Total nilai bumi merupakan jumlah dari perkalian
luas masing-masing areal dengan nilai bumi per meter persegi masing-
masing areal, dimana nilai bumi per meter persegi untuk areal belum
produktif dan areal emplasemen ditentukan melalui perbandingan harga
tanah sejenis, dan areal produktif, tidak produktif, ditentukan melalui
penyesuaian terhadap nilai bumi per meter persegi untuk areal belum
produktif.
2. Tubuh bumi eksploitasi merupakan hasil pembagian antara nilai bumi
untuk tubuh bumi eksploitasi dengan luas Wilayah Kerja. Nilai bumi untuk
tubuh bumi eksploitasi merupakan perkalian Angka Kapitalisasi dengan
hasil penjualan Migas dalam satu tahun sebelum Tahun Pajak dimana
Angka Kapitalisasi ditetapkan dengan Keputusan Direktur Jenderal Pajak.
3. Areal offshore dan tubuh bumi eksplorasi ditetapkan dengan Keputusan
Direktur Jenderal Pajak. Nilai bumi per meter persegi untuk areal offshore
ditentukan dengan mempertimbangkan rata-rata nilai bumi untuk areal
daratan terdekat dengan areal offshore di wilayah Indonesia15.
Saat ini, Peraturan Menteri Keuangan yang berlaku untuk penentuan harga
permeter wilayah offshore dan tubuh bumi eksplorasi di atur di dalam Keputusan
Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP - 17/PJ/2015 Tentang Penetapan Nilai Bumi
Per Meter Persegi untuk Permukaan Bumi Offshore, Nilai Bumi Per Meter
Persegi untuk Tubuh Bumi Eksplorasi, Angka Kapitalisasi, Harga Uap, dan Harga
Listrik, untuk Penentuan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Pajak Bumi dan
Bangunan Sektor Pertambangan Tahun Pajak 2015 (selanjutnya disebut dengan
KEP-17/2015) yang berlaku untuk tahun pajak 2015.
Contoh Soal
PT. Subur melakukan Kontrak K3S pertambangan minyak di pedalaman
Sulawesi dengan pemerintah yang di mulai pada bulan Januari 2014. Tahap
yang dilakukan adalah masih pada tahap eksplorasi, dengan rincian sebagai
berikut:
A. Bumi (Tanah):
15 http://www.bppk.depkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12497-pengenaan-pbb-pertambangan-minyak-dan-gas-bumi-migas, diakses pada 17 April 2015
21 Universitas Indonesia
a. Areal onshore:
- Areal Produktif : 200 Ha; Nilai = Rp300,-/M2
- Areal Belum Produktif : 300 Ha; Nilai = Rp200,-/M2
- Areal tidak produktif : 100 Ha; Nilai = Rp150,-/M2
- Areal Emplasemen :
1.Pabrik : 20 Ha; Nilai = Rp900,-/M2
2.Gudang : 2 Ha; Nilai = Rp900,-/M2
3.Kantor : 1 Ha; Nilai = Rp1.000,-/M2
4.Perumahan : 5 Ha; Nilai = Rp1.100,-/M2
b. Tubuh Bumi Eksplorasi: 300 km2; Nilai =
Rp 140,-/M2 (KEP - 33/PJ/2014)
Rp 140,-/M2 (KEP - 17/PJ/2015)
B. Bangunan:
- Pabrik : 50.000 M2; Nilai = Rp365.000,-/M2
- Gudang : 5.000 M2; Nilai = Rp429.000,-/M2
- Kantor : 2.000 M2; Nilai = Rp505.000,-/M2
- Perumahan : 10.000 M2; Nilai = Rp595.000,-/M2
Tentukanlah besarnya PBB yang terutang untuk tahun 2014 dan 2015 dengan
rincian yang sama.
Jawaban
1. BUMI
a. Tubuh Bumi Eksplorasi = 300 km2 x 1000000 x 140 = Rp 42.000.000.000,-
b. Areal Produktif = 200 x 10.000 x 300,- = Rp 600.000.000,-
c. Areal Belum Produktif = 300 x 10.000 x 200 = Rp 600.000.000,-
d. Areal Tidak Produktif: 100 x 10.000 x 150 = Rp 150.000.000,-
e. Areal Emplasemen:
22 Universitas Indonesia
- Pabrik: 20 x 10.000 x 900 = Rp 180.000.000,-
- Gudang: 2 x 10.000 x 900 = Rp 18.000.000,-
- Kantor: 10.000 x 1.000 = Rp 10.000.000,-
- Perumahan: 5 x 10.000 x 1.100 = Rp 55.000.000,-
Jumlah Nilai Bumi: = Rp 43,613,000,000,-
Nilai Bumi/M2 = 43,613,000,000/306,280,000 = Rp 142,4
Hasil konversi: Klas 200 = Rp140,-/M2
NJOP Bumi seluruhnya = 306,280,000 x Rp140 = Rp42,879,200,000
2. Bangunan
1. Pabrik: 50.000 x 365.000 = Rp 18.250.000.000,-
2. Gudang: 5.000 x 429.000 = Rp 2.145.000.000,-
3. Kantor: 2.000 x 505.000 = Rp 1.010.000.000,-
4. Perumahan: 10.000 x 595.000 = Rp 5.950.000.000,-
Jumlah Nilai Bangunan: = Rp 27.355.000.000,-
Nilai Bangunan/M2 = 27.355.000.000/67.000 = Rp408.283,58
Hasil konversi: Klas 082 = Rp408.000,-/M2
NJOP Bangunan seluruhnya = 67.000 x Rp408.000,- = Rp27,360,000,000,-
Jumlah total NJOP Bumi dan Bangunan: = Rp 70.239.200.000,-
NJOPTKP: = Rp 12.000.000,-
NJOP untuk perhitungan PBB: = Rp 70.227.200.000,-
23 Universitas Indonesia
PBB= 0,5% x 40% x 70.227.200.000 = Rp140.454.400,-
Jadi, total PBB yang harus dibayar oleh PT. Subur pada tahun 2014 adalah
sebesar Rp 140.454.400,00
Sementara itu, PBB yang harus dibayarkan oleh PT. Subur pada tahun 2015,
untuk rincian obyek PBB yang sama juga senilai Rp 140.454.400, namun
demikian, karena adanya 267/PMK.011/2014 yang berlaku mulai 1 Januari 2015,
maka PBB yang terutang dapat diberikan pengurangan sebesar 100% untuk
bagian objek PBB tubuh bumi yang dieksplorasi dengan syarat-syarat yang diatur
di dalam peraturan tersebut.
Dengan demikian, jumlah pengurangannya adalah sebagai berikut:
Tubuh Bumi Eksplorasi = 300 km2 x 1000000 x 140 = Rp 42.000.000.000,-
NJOPTKP: = Rp 12.000.000,-
Rp 41.988.000.000,-
PBB Tubuh Bumi Eksplorasi = 0,5% x 40% x 41.988.000.000 = Rp 83.976.000,-
Jadi, PBB pengurangan 100% yang didapatkan oleh PT Subur adalah sebesar
RP 41.988.000.000.
BAB IV
PENUTUP
24 Universitas Indonesia
4.1 Kesimpulan
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) untuk sektor pertambangan minyak dan
gas bumi pada tahap eksplorasi pada awalnya ditanggung oleh pemerintah,
namun sejak keluarnya PP 79/2010, sistemnya diubah menjadi sistem cost
recovery, di mana semua biaya yang berkaitan dengan pengeluaran untuk tahap
eksplorasi migas ditanggung seluruhnya oleh kontraktor migas dan ketika sudah
berproduksi atau menghasilkan maka pemerintah akan mengganti biaya yang
telah dikeluarkan oleh kotraktor sesuai dengan pembagian yang telah ditentukan,
yang di dalamnya termasuk biaya pembayaran PBB yang terutang kepada
kontraktor migas yang telah dibayarkan di tahap eksplorasi. Namun demikian,
sistem cost recovery ini tidak meng-cover kerugian yang dialami oleh kontraktor
migas jika setelah dilakukan tahap eksplorasi ternyata tidak berhasil menemukan
cadangan minyak atau gas bumi. Sehingga dapat dikatakan bahwa risiko yang
ditanggung oleh kontraktor cukup tinggi terutama jika mereka mengalami
kegagalan berproduksi.
Risiko yang cukup tinggi tersebut tentunya akan semakin berat jika
ditambahkan dengan kewajiban PBB yang juga tidak sedikit jumlahnya.
Kebijakan kewajiban PBB di tahap eksplorasi ini dianggap berlawanan dengan
usaha pemerintah untuk menarik investor yang ingin menanamkan investasinya
dalam pencarian sumber-sumber cadangan minyak atau gas bumi di Indonesia.
Banyak pengusaha kontraktor merasa keberatan dengan adanya kewajiban PBB
yang sudah harus dibayarkan padahal mereka belum menghasilkan apa-apa dari
hasil eksplorasi minyak dan gas bumi yang dilakukannya dan menghendaki agar
pemerintah dapat meninjau kembali peraturan yang ada.
Karenanya, pemerintah mengeluarkan PER 45/2013 yang mengatur
batasan objek yang dikenakan PBB. Semula, besarnya objek yang dikenakan
PBB adalah seluas wilayah kerja yang digunakan untuk tahap eksplorasi, namun
semenjak adanya ketentuan ini, maka konsep wilayah kerja berupa menjadi
konsep kawasan, jadi hanya kawasan yang benar-benar dimanfaatkan untuk
tahap eksplorasi saja yang menjadi objek PBB pada tahap eksplorasi. Dan pada
25 Universitas Indonesia
perkembangan selanjutnya, pemerintah kembali mengeluarkan PMK 267/2014
yang berlaku mulai 1 Januari 2015 untuk memberikan insentif berupa
pengurangan 100% khusus untuk bagian tubuh bumi yang dimanfaatkan pada
tahap eksplorasi. Peraturan ini berlaku untuk kontrak kerjasama migas yang
berlaku sejak keluarnya PP 79/2010, namun hanya untuk bagian tahun 2015 dan
seterusnya.
Selain masalah implementasi pengenaan PBB, kelompok kami juga
mencatat hal yang terkait dengan masalah subjek PBB yang diatur di dalam UU
PBB dan UU PDRD. Di dalam pasal 4 ayat (1) UU PBB dan Pasal 78 ayat (1) UU
PDRD dikatakan bahwa yang menjadi subjek PBB adalah orang/badan yang
memiliki hak/memanfaatkan objek pajak. namun, untuk tahap eksplorasi,
kontraktor migas tidak mempunyai hak kepemilikan atas wilayah yang
dieksplorasi ataupun belum mendapatkan manfaat apa-apa melainkan hanya
sebatas melakukan pencarian saja di dalam wilayah objek PBB tersebut. selain
itu, di dalam pasal 1 angka 3 juga mengatur cara penentuan perhitungan NJOP
untuk PBB dengan tiga cara yaitu market approach, income approach, dan juga
cost approach. Ketiga cara tersebut tidak ada yang sesuai dengan penetapan
NJOP untuk tubuh bumi eksplorasi karena penetapan NJOP untuk hal tersebut
sudah ditentukan fixed price pada saat kontrak. Sehingga kami berpendapat
bahwa undang-undang PBB secara subjek dan valuation tidak cocok untuk
diterapkan untuk tahap eksplorasi migas.
4.2 Saran
Pemerintah seharusnya memperbaharui ketentuan-ketentuan yang ada di
dalam Undang-undang PBB agar semakin mengikuti perkembangan kondisi yang
ada. Seperti yang telah kita ketahui, UU PBB disahkan pada tahun 1985 dan
1994 yang berarti sudah lebih dari 20 tahun yang lalu. Terutama mengenai apa
saja yang menjadi subjek dan objek pbb, dan masalah cara penilaian NJOP nya
yang seharusnya lebih diperluas lagi.
DAFTAR PUSTAKA
26 Universitas Indonesia
Undang-Undang:
Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 mengenai Pajak Bumi dan Bangunan
Undang Undang Nomor 28 Tahun 2009 Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
daerah
Peraturan Pemerintah Nomor 79 Tahun 2010 Tentang Biaya Operasi Yang
Dapat Dikembalikan Dan Perlakuan Pajak Penghasilan Di Bidang Usaha
Hulu Minyak Gas Dan Bumi
Peraturan Menteri Keuangan Nomor PMK 267/PMK.01/2014 Tentang
Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan Minyak
Bumi dan Gas Bumi Pada Tahap Eksplorasi
Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor PER - 45/PJ/2013 tentang Tata Cara
Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Pertambangan untuk
Pertambangan Minyak Bumi, Gas Bumi, dan Panas Bumi
Referensi:
http://ekonomi.kompasiana.com/moneter/2014/03/13/hengkangnya-investor-
migas-di-mata-pajak-641212.html, diakses pada 17 April 2015
http://www.kemenkeu.go.id/sites/default/files/Energy%20Security.pdf, diakses pada 15 April 2015
http://www.cnnindonesia.com/ekonomi/20141211121132-85-17471/2025-selisih-produksi-dan-konsumsi-minyak-25-juta-barel/, diakses pada 16 April 2015
http://statistik.migas.esdm.go.id/index.php?r=rekapProduksiMigasIndonesia/index, diakses pada 16 April 2015
Ikatan Ahli Teknik Perminyakan Indonesia (IAT Migas), Eksplorasi Minyak Bumi, diakses pada 16 Aptil 2015
http://www.museumindonesia.com/museum/80/1/Museum_Migas_Jakarta, diakses pada 16 April 2015
http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt51076aad6703a/alasan-pemerintah-memilih-kontrak-bagi-hasil, diakses pada 16 April 2015
http://www.lmfeui.com/data/Analisis%20Industri%20Minyak.pdf, diakses pada 16 April 2015
27 Universitas Indonesia
Biaya-biaya yang dikembalikan kepada pihak kontraktor
http://www.beritasatu.com/ekonomi/140653-ipa-minta-pemerintah-kaji-ulang-pbb-ekplorasi-migas.html, diakses pada 16 April 2015
http://katadata.co.id/berita/2015/03/26/keberatan-pbb-migas-BP-hentikan-eksplorasi, diakses pada 16 April 2015
http://www.merdeka.com/uang/dirjen-pajak-pbb-migas-hanya-untuk-wilayah-eksplorasi.html, diakses pada 16 April 2015
http://www.bppk.depkeu.go.id/publikasi/artikel/167-artikel-pajak/12497-
pengenaan-pbb-pertambangan-minyak-dan-gas-bumi-migas, diakses pada 17
April 2015
28 Universitas Indonesia