makalah fisika lingkungan.docx
TRANSCRIPT
MAKALAH FISIKA LINGKUNGAN
“HUJAN BUATAN”
DISUSUN OLEH :
NAMA :Nazri Afandi NIM :RRAIC309010
DOSEN PENGAMPU : Drs. M Hidayat, M.Pd
FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN
JURUSAN MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
PROGRAM STUDI FISIKA
UNIVERSITAS JAMBI
2011
PENDAHULUAN
Hujan adalah sebuah presipitasi berwujud cairan, berbeda dengan presipitasi non-cair
seperti salju, batu es dan slit. Hujan memerlukan keberadaan lapisan atmosfer tebal agar
dapat menemui suhu di atas titik leleh es di dekat dan di atas permukaan Bumi. Di Bumi,
hujan adalah proses kondensasi uap air di atmosfer menjadi butir air yang cukup berat untuk
jatuh dan biasanya tiba di daratan. Dua proses yang mungkin terjadi bersamaan dapat
mendorong udara semakin jenuh menjelang hujan, yaitu pendinginan udara atau penambahan
uap air ke udara. Virga adalah presipitasi yang jatuh ke Bumi namun menguap sebelum
mencapai daratan; inilah satu cara penjenuhan udara. Presipitasi terbentuk melalui tabrakan
antara butir air atau kristal es dengan awan. Butir hujan memilik ukuran yang beragam mulai
dari pepat, mirip panekuk (butir besar), hingga bola kecil (butir kecil).
Kelembapan yang bergerak di sepanjang zona perbedaan suhu dan kelembapan tiga
dimensi yang disebut front cuaca adalah metode utama dalam pembuatan hujan. Jika pada
saat itu ada kelembapan dan gerakan ke atas yang cukup, hujan akan jatuh dari awan
konvektif (awan dengan gerakan kuat ke atas) seperti kumulonimbus (badai petir) yang dapat
terkumpul menjadi ikatan hujan sempit. Di kawasan pegunungan, hujan deras bisa terjadi jika
aliran atas lembah meningkat di sisi atas angin permukaan pada ketinggian yang memaksa
udara lembap mengembun dan jatuh sebagai hujan di sepanjang sisi pegunungan. Di sisi
bawah angin pegunungan, iklim gurun dapat terjadi karena udara kering yang diakibatkan
aliran bawah lembah yang mengakibatkan pemanasan dan pengeringan massa udara.
Pergerakan truf monsun, atau zona konvergensi intertropis, membawa musim hujan ke iklim
sabana. Hujan adalah sumber utama air tawar di sebagian besar daerah di dunia, menyediakan
kondisi cocok untuk keragaman ekosistem, juga air untuk pembangkit listrik hidroelektrik
dan irigasi ladang. Curah hujan dihitung menggunakan pengukur hujan. Jumlah curah hujan
dihitung secara aktif oleh radar cuaca dan secara pasif oleh satelit cuaca.
Corong hujan di bawah badai petir.
Musim hujan adalah masa dalam suatu tahun yang terjadi selama satu atau beberapa
bulan ketika sebagian besar hujan rata-rata tahunan suatu daerah jatuh di tempat tersebut.
Istilah musim hijau juga kadang digunakan sebagai eufemisme oleh pihak pariwisata.
Wilayah dengan musim hujan tersebar di beberapa kawasan tropis dan subtropis. Iklim dan
wilayah sabana dengan cuaca monsun memiliki musim panas hujan dan musim dingin
kemarau Oleh karena di Negara kita sering mengalami kemarau yang cukup panjang maka
dari itu muncullah ide untuk melakukan hujan buatan demi menanggulangi kekeringan akibat
iklim panas tersebut.
Sejarah Modifikasi Cuaca di Dunia
Sejarah modifikasi cuaca di dunia diawali pada tahun 1946 ketika Vincent Schaefer
dan Irving Langmuir mendapatkan fenomena terbentuknya kristal es dalam lemari pendingin,
saat schaever secara tidak sengaja melihat hujan yang berasal dari nafasnya waktu membuka
lemari es. Kemudian pada tahun 1947, Bernard Vonnegut mendapatkan terjadinya deposit es
pada kristal perak iodida (Agl) yang bertindak sebagai inti es. Vonnegut tanpa disengaja
suatu hari melihat titik air di udara ketika sebuah pesawat tebang dalam rangka reklame Pepsi
Cola, membuat tulisan asap nama minuman itu. Kedua penemuan penting ini adalah
merupakan tonggak dimulainya perkembangan modifikasi cuaca di dunia untuk selanjutnya
Sejarah Modifikasi Cuaca di Indonesia
Kegiatan modifikasi cuaca di Indonesia atau yang lebih dikenal dengan istilah hujan
buatan dikaji dan diuji pertama kali pada tahun 1977 atas gagasan Presiden Soeharto
(Presiden RI saat itu) yang difasilitasi oleh Prof.Dr.Ing. BJ Habibie melalui Advance
Teknologi sebagai embrio Badan pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), dibawah
asistensi Prof. Devakul dari Royal Rainmaking Thailand.
Pada Tahun 1985 dibentuk satu unit di BPPt yang bernama Unit Pelayanan Teknis
Hujan Buatan (UPT-HB) berdasarkan Surat Keputusan Menteri Negara Riset dan Teknologi /
Kepala Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi No: SK/342/KA/BPPT/XII/1985
fungsinya adalah memberikan pelayanan dalam hal meningkatkan intensitas (menambah)
curah hujan sebagai upaya Pemerintah dalam menjaga ketersediaan air pada waduk yang
berfungsi sebagai sumber air untuk irigasi dan PLTA.
Pengertian Hujan BuatanPernah mendengar istilah hujan buatan? Kebanyakan orang mengartikan istilah hujan
buatan adalah hujan yang sengaja dibuat oleh manusia. Sebenarnya istilah hujan buatan tidak
dapat diartikan secara harfiah sebagai pekerjaan membuat atau menciptakan hujan, karena
teknologi ini hanya berupaya untuk meningkatkan dan mempercepat jatuhnya hujan, yakni
dengan cara melakukan penyemaian awan (cloud seeding) menggunakan bahan-bahan yang
bersifat higroskopik (menyerap air) sehingga proses pertumbuhan butir-butir hujan dalam
awan akan meningkat dan selanjutnya akan mempercepat terjadinya hujan.
Istilah yang lebih tepat untuk mendefinisikan aktivitas hujan buatan adalah Teknologi
Modifikasi Cuaca (TMC), karena pada dasarnya hujan buatan merupakan aplikasi dari suatu
teknologi. TMC merupakan usaha manusia untuk meningkatkan curah hujan yang turun
secara alami dengan mengubah proses fisika yang terjadi di dalam awan. Proses fisika yang
diubah (diberi perlakuan) di dalam awan dapat berupa proses tumbukan dan penggabungan
(collision and coalescense) atau proses pembentukan es (ice nucleation). Saat ini TMC
menjadi salah satu solusi teknis yang dapat dimanfaatkan untuk menanggulangi bencana yang
ditimbulkan oleh karena adanya penyimpangan iklim/cuaca. TMC bukanlah hal baru di
dunia, karena teknologi ini sudah dipakai oleh lebih dari 60 negara untuk berbagai
kepentingan.
Hujan buatan adalah hujan yang dibuat oleh campur tangan manusia dengan membuat
hujan dari bibit-bibit awan yang memiliki kandungan air yang cukup, memiliki kecepatan
angin rendah yaitu sekitar di bawah 20 knot, serta syarat lainnya. Ujan buatan dibuat dengan
menaburkan banyak garam khusus yang halus dan dicampur bibit / seeding ke awan agar
mempercepat terbentuknya awan jenuh. Untuk menyemai / membentuk hujan deras, biasanya
dibutuhkan garam sebanyak 3 ton yang disemai ke awan potensial selama 30 hari. Hujan
buatan saja bisa gagal dibuat atau jatuh di tempat yang salah serta memakan biaya yang besar
dalam pembuatannya.
Hujan buatan umumnya diciptakan dengan tujuan untuk membantu daerah yang
sangat kering akibat sudah lama tidak turun hujan sehingga dapat mengganggu kehidupan di
darat mulai dari sawah kering, gagal panen, sumur kering, sungai / danau kering, tanah retak-
retak, kesulitan air bersih, hewan dan tumbuhan pada mati dan lain sebagainya. Dengan
adanya hujan buatan diharapkan mampu menyuplai kebutuhan air makhluk hidup di
bawahnya dan membuat masyarakat hidup bahagia dan sejahtera.
Cara membuat hujan buatan:
Hujan buatan bukan berarti manusia mampu menciptakan hujan, tetapi metode
mempercepat terjadinya hujan. Cara membuat hujan buatan dengan menyemai awan dengan
menggunakan bahan yang bersifat higroskopik (menyerap air) sehingga partikel-partikel air
lebih cepat terbentuk.
Awan yang dijadikan sasaran dalam kegiatan hujan buatan adalah jenis awan
Cumulus (Cu) yang aktif, dicirikan dengan bentuknya yang seperti bunga kol. Awan
Cumulus terjadi karena proses konveksi.
Awan Cumulus terbagi dalam 3 jenis, yaitu: Strato Cumulus (Sc) yaitu awan Cumulus
yang baru tumbuh ; Cumulus, dan Cumulonimbus (Cb) yaitu awan Cumulus yang sangat
besar dan mungkin terdiri beberapa awan Cumulus yang bergabung menjadi satu.
Jenis awan Cumulus (Cu) yang bentuknya seperti bunga kol, merupakan jenis awan yang
dijadikan sebagai sasaran penyemaian dalam kegiatan hujan buatan.
Gambar awan yang bisa digunakan dalam proses pembuatan hujan buatan
Sifat awan yang menyebabkan hujan oleh manusia digunakan untuk membuat hujan
buatan. Dalam mempercepat hujan, orang memberi zat higroskopis sebagai inti kondensasi
(perak dioksida, kristal es, es kering atau CO2 padat). Zat-zat tersebut ditaburkan ke udara
dengan menggunakan pesawat terbang. Pembuatan hujan buatan disebut sebagai suatu proses
pemodifikasian awan dengan menggunakan bahan-bahan kimia, terutama NaCl (garam
dapur).
Kemarau panjang seperti yang kita alami sekarang memerlukan usaha untuk
menghadapi tantangan iklim. Kemarau panjang menyebabkan tanah kering, air sulit
diperoleh, sungai mengering sedangkan angin menerbangkan debu-debuan. Tantangan iklim
berupa kelangkaan hujan akibat kemarau panjang dapat dilakukan dengan teknologi tinggi
berupa hujan buatan. Cara ini tak bisa terus dilakukan sembarangan karena biayanya terlalu
mahal. Hujan buatan hanya ditempuh bila keadaan memang keadaan demikian kritis. Apalagi
usaha untuk melakukan hujan buatan ini terkadang hasilnya tepat dan terkadang tidak sesuai
dengan yang di harapkan.
Ada beberapa metode untuk menyemai bahan semai kedalam awan . Yang paling
sering dan biasa dilakukan adalah menggunakan pesawat terbang. Selain menggunakan
pesawat terbang, modifikasi pesawat terbang juga dapat dilakukan dari darat dengan
menggunakan sistem statis melalui wahana Ground Base Generator (GBG) pada daerah
pegunungan untuk memodifikasi awan-awan orografik dan juga menggunakan wahana roket
yang diluncurkan ke dalam awan.
Dalam proses pembuatan bahan-bahan kimia yang diperlukan Untuk mempercepat
turunnya hujan buatan dengan memberi zat higroskopis sebagai inti kondensasi. Garam-
garaman seperti NaCl dan CaCl2 dalam bentuk bubuk dengan diameter 10-50 mikron,
ternyata cukup higroskopis jika disebarkan di udara. Garam-garam itu di udara akan berperan
sebagai titik pangkal pembentukan uap-uap air pada awan. Pembentukan butir-butir air juga
dapat dilakukan dengan penyebaran garam-garaman tersebut.
Tindakan selanjutnya dapat digunakan bubuk urea. Penyebaran bubuk urea dilakukan
beberapa jam setelah penyebaran garam-garaman tadi atau setelah tumbuh awan-awan kecil
secara berkelompok pada beberapa beberapa tempat. Bubuk urea selain dapat membentuk
awan lebih lanjut, juga bersifat endotermi (menyerap panas) yang sangat baik bila bereaksi
dengan air atau uap air. Penyebaran bubuk urea di siang hari dapat mendinginkan lingkungan
sekitarnya sehingga kelompok-kelompok kecil awan segera bergabung menjadi kelompok-
kelompok besar.
Kelompok awan besar biasanya segera terlihat agak kehitam-hitaman artinya awan
hujan telah terbentuk. Tindakan berikutnya adalah penyebaran larutan yang berkomposisi air,
urea serta amonium nitrat dengan perbandingan 4 : 3 : 1 ke dalam kelompok-kelompok besar
awan yang tampaknya hitam. Besarnya larutan yang disebarkan antara 50 u - 100 u dengan
menggunakan peralatan mikron air yang dipasang di pesawat. Larutan ini cukup dingin yaitu
sekitar 4° C, yang akan mengikat awan dan mudah meresap ke dalam awan, sehingga dapat
mendorong pembentukan butir-butir air yang lebih besar karena berat butir-butir air tersebut
akan turun dan menimbulkan hujan.
Garam-garaman yang telah disebarkan di udara punya sifat-sifat fisis tertentu, seperti
NaCl dan CaCl2 bila bereaksi dengan air dapat mengeluarkan panas, sedangkan urea dapat
menyerap panas. Karena itu waktu disebar di udara akan timbul reaksi sebagai berikut:
NaCl + H2O ----> ion-ion + 910 K Cal (eksoterm)
CaCl2 + H2O ---> ion-ion + 915 K Cal (eksoterm)
Urea + H2O ----> ion-ion - 425 K Cal (endoterm)
Sifat garam-garam tersebut dapat dikemukakan sebagai berikut:
Sifat NaCl (garam dapur): berbentuk kristal, mudah larut dalam air (36 g/100 ml air daripada
20°C), dalam bentuk bubuk bersifat higroskopis, banyak terdapat di udara (dari air laut),
campuran NaCl dengan es cair mencapai -20°C. Sedangkan CaCl2 adalah berbentuk kristal.
Garam dapur yang dimaksud bukanlah garam meja, tetapi adalah garam yang
mempunyai sifat higroskopis yang jauh lebih besar daripada garam meja, sehingga garam
meja tak dapat digunakan.
Perhitungan waktu yang tepat
Sebelum menyebarkan garam-garaman faktor-faktor klimatologi di daerah itu harus
diperhitungkan. Penyebaran dilakukan pada ketinggian 4000-7000 kaki, dengan perhitungan
faktor arah angin dan kecepatannya yang akan membawa awan ke daerah sasaran.
Penyebaran NaCl dan CaCl2 hendaknya dilakukan pada pagi hari sekitar 07.30, dengan
perhitungan karena pembentukan awan berlangsung pada pagi hari (dengan memperhatikan
terjadinya penguapan).
Penyebaran bubuk urea biasanya dilakukan sekitar pukul 12.00, dengan perhitungan
awan dalam kelompok-kelompok kecil telah terbentuk, sehingga memungkinkan
penggabungan awan dalam kelompok besar. Kelompok awan besar yang dimaksud yang
dasarnya tampak kehitam-hitaman.
Saat awan besar dengan dasar yang kehitam-hitaman terbentuk, sekitar pukul 15.00
dilakukan penyebaran larutan campuran yang telah dikemukakan di atas. Perhitungannya
pada jam-jam tersebut awan telah terbentuk.
Perhitungan lainnya yang harus diperhatikan adalah faktor cuaca yang memenuhi
persyaratan, yaitu yang mengandung uap air dengan kelembapan minimal 70%. Kelembapan
harus memadai sehingga waktu inti kondensasi (NaCl dan CaCl2) disebarkan akan segera
terjadi kondensasi. Kecepatan angin juga di daerah itu sekitar 10 knots dan tak terdapat
lapisan inversi di udara.
Jadi kesimpulannya untuk mempercepat turunnya hujan buatan dengan memberi zat
higroskopis sebagai inti kondensasi (garam-garaman NaCl dan CaCl2) pada waktu yang tepat.
Gambar proses pembutan hujan buatan dengan menggunakan roket
Penerapan hujan buatan
Penerapan Hujan buatan oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) serta
Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) mengguyur sebagian kawasan di
Sumatera Selatan dengan hujan buatan. Langkah ini diharapkan sanggup memadamkan
kebakaran lahan dan hutan di provinsi ini.
“Dua pesawat terbang CASA 212-200 dikerahkan untuk operasi tersebut. Pada pukul
13.55-15.30 satu sorti penerbangan telah dilakukan dengan membawa bahan semai NaCl
hampir 1 ton,” ujar Kepala Pusat Data Informasi dan Humas BNPB Sutopo Purwo Nugroho,
Senin (12/9/2011), di Jakarta.
Menurut Sutopo, kondisi pertumbuhan awan cukup baik, yakni berada di selatan,
barat daya, barat, dan barat laut Palembang. Terdapat inversi di atmosfer sehingga
pertumbuhan awan vertikal kurang kuat. Kondisi awan sedang, dengan puncak awan 9.000-
11.000 kaki. Terdapat juga dua sel awan dengan puncak awan mencapai 14.000 kaki.
“Artinya awan-awan tersebut berpotensi untuk disemai menjadi hujan. Bahkan, saat
penyemaian terjadi presipitasi di kaca cockpit pesawat. Rencana besok penyemaian akan
dilanjutkan dengan menambah sorti penerbangan,” tuturnya.
Asap mulai menutupi atmosfer hingga ketinggian 4.000-7.000 kaki. Pada hari ini titik
api (hotspot) lebih banyak dibandingkan dengan kemarin. Jumlah hotspot terbanyak di
Sumatera Selatan (135 hotspot).
Upaya Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menghasilkan hujan buatan
di Kalimantan Barat belum tercapai, sehingga kabut asap masih menyelimuti Kota Pontianak
dan sekitarnya(http://www.news.id.finroll.com/news/31 Agustus 2009). Demikian pula yang
terjadi di Kalimantan Tengah terkendala karena masalah kerusakan pesawat Cassa 212-200
yang akan digunakan Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) untuk
menyemaikan atau menaburkan garam di awan (Banjarmasin Post, 28 Agustus 2009).
Selanjutnya berturut-turut, Kalimantan Barat (96), Jambi (30), dan Kalimantan Selatan (10).
Selama bulan September 2011, Provinsi Sumatera Selatan memiliki jumlah hotspot
terbanyak, yaitu 1.241. Kalimantan Barat 363, Jambi 353, Kalimantan Tengah 288, dan Riau
292.
KESIMPULAN
Hujan adalah sebuah presipitasi berwujud cairan, berbeda dengan presipitasi non-cair
seperti salju, batu es dan slit. Hujan buatan adalah hujan yang dibuat oleh campur tangan
manusia dengan membuat hujan dari bibit-bibit awan yang memiliki kandungan air yang
cukup, memiliki kecepatan angin rendah yaitu sekitar di bawah 20 knot, serta syarat lainnya.
Hujan buatan diciptakan dengan tujuan untuk membantu daerah yang sangat kering akibat
sudah lama tidak turun hujan sehingga dapat mengganggu kehidupan di darat mulai dari
sawah kering, gagal panen, sumur kering, sungai / danau kering, tanah retak-retak, kesulitan
air bersih, hewan dan tumbuhan pada mati dan lain sebagainya.
Ada beberapa metode untuk membuat hujan buatan dengan menyemai bahan semai
yang berupa garam kedalam awan. Yang paling sering dan biasa dilakukan adalah
menggunakan pesawat terbang. Selain menggunakan pesawat terbang, modifikasi pesawat
terbang juga dapat dilakukan dari darat dengan menggunakan sistem statis melalui wahana
Ground Base Generator (GBG) pada daerah pegunungan untuk memodifikasi awan-awan
orografik dan juga menggunakan wahana roket yang diluncurkan ke dalam awan.