makalah difteri blok 18 (helga)
TRANSCRIPT
Penyakit Difteri pada anak-anak
Helga Valentine Kapissa
102012376
Mahasiswa Fakultas Kedokteran Universitas Kristen Krida Wacana, Jakarta
Jalan Arjuna Utara No.6, Jakarta Barat 11510
Pendahuluan
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat,
melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk
dan bersin penderita.
Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun. Dilaporkan 10 % kasus
difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian. Selama permulaan pertama
dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian bayi dan anak - anak
muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan tingkat sanitasi rendah.
Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena berperan dalam menunjang
kesehatan kita.
Pembahasan
Difteri adalah suatu penyakit infeksi akut yang terjadi secara lokal pada mukosa
saluran pernapasan atau kulit, yang disebabkan oleh basil gram positif Corynebacterium
diphtheriae, ditandai, ditandai oleh terbentuknya eksudat yang berbentuk membran pada
tempat infeksi,dan diikuti oleh gejala-gejala umum yang ditimbulkan oleh eksotoksin yang
diproduksi oleh basil ini.
Anamnesis
1. Identitas pasien
a. Umur: Biasanya terjadi pada anak-anak umur 2-10 tahun dan jarang ditemukan
pada bayi berumur dibawah 6 bulan dari pada orang dewasa diatas 15 tahun.
b. Suku bangsa: Dapat terjadi diseluruh dunia terutama di negara-negara miskin.
c. Tempat tinggal: Biasanya terjadi pada penduduk di tempat-tempat pemukiman
yang rapat-rapat, higine dan sanitasi jelek dan fasilitas kesehatan yang kurang
2. Keluhan Utama
Paien merasakan demam yang tidak terlalau tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia, lemah.
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien mengalami demam yang tidak terlalu tinggi, lesu, pucat, sakit kepala,
anoreksia
4. Riwayat Penyakit Dahulu
Pasien mengalami peradangan kronis pada tonsil, sinus, faring, laring, dan saluran
nafas atas dan mengalami pilek dengan sekret bercampur darah
5. Riwayat Penyakit Keluarga
Adanya keluarga pasien yang mengalami difteri
6. Riwayat Pribadi Kesehatan
a. Pola nutrisi dan metabolisme
Jumlah asupan nutrisi kurang disebabkan oleh anoraksia
b. Pola aktivitas
Pasien mengalami gangguan aktivitas karena malaise dan demam
c. Pola istirahat dan tidur
Pasien mengalami sesak nafas sehingga mengganggu istirahat dan tidur
Pemeriksaan fisik
Pada diptheria tonsil - faring
a. Malaise
b. Suhu tubuh < 38,9 º c
c. Pseudomembran ( putih kelabu ) melekat dan menutup tonsil dan
d. dinding faring
e. Bulneck
Diptheriae laring
a. Stridor
b. Suara serak
c. Batuk kering
d. Pada obstruksi laring yang berat terdpt retraksi suprasternal, sub costal dan
supraclavicular
Diptheriae hidung
a. Pilek ringan
b. Sekret hidung serosanguinus à mukopurulen
c. Lecet pada nares dan bibir atas
d. Membran putih pada septum nasi.
Pemeriksaan Penunjang
Genus Corynebacterium diphteriae merupakan positif Gram, pleomorfik, tidak
bergerak, tidak berspora, mempunyai granula metakhromatik satu, dua atau lebih dalam satu
badan kuman. Memiliki 3 spesies yaitu Corynebacterium diphteriae adalah patogen karena
membentik eksotoksin, Corynebacterium pseudodiphtericum yang apotegen, dan
Corynebacterium xerosis yang apotegen.1
Corynebacterium diphteriae adalah penyebab difteri yaitu infeksi akut terutama pada
saluran nafas bagian atas. Pemeriksaan mikroskopik dari bahan pemeriksaan dengan
pewarnaan Neisser dapat membantu diagnosis sementara infeksi difteri, untuk diagnosis pasti
harus dilakukan kultur kuman. Untuk mengasingkan Corynebacterium diphteriae dari bahan
pemeriksaan dapat dibiak pada perbenihan khusus: 1
1. Agar darah telurit. Pada agar darah telurit koloni berwarna hitam karena adanya
reduksi garam natrium telurium.
Gambar 1 . Agar darah telurit1
2. Serum Loffler. Pada serum Loffler koloni berwarna putih. 1
Identifikasi selanjutnya dengan uji biokimia dengan menggunakan gula glukosa, maltosa dan
sakharosa, reduksi nitrat dan gerak. 1
Tabel hasil uji biokimia corynebacterium. 1
Glukosa Maltosa Sakharosa Red. Nitrat Gerak
Corynebacterium
diphteriae + + - + -
Corynebacterium
pseudodiphtericum- - - + -
Corynebacterium
xerosis+ + + + -
Gambar 2. Uji Biokimia Corynebacterium1
Tes virulensi dapat dilakukan dengan cara: 1
1. In vivo, dengan menyuntikan kuman difteri yang diasingkan dari penderita pada binatang
percobaan(marmot). Bila kuman difteri yang disuntikan adalah toksigenik maka marmot akan
mati dalam 2-3 hari.
2. In vitro, tes Elek-Ouchterlony:
Kertas saring steril(ukuran1×5 cm) dibasahi dengan antitoksin difteri kemudian diletakan
pada lempeng petri, keatasnya dituang agar. Kuman yang akan diperiksa ditanam menyilang
dengan kertas saring tadi. Inkubasi 2-3 hari, lihat adanya garis presipitasi.
Gambar 2. Hasil Uji Elek-Ouchterlony
Diagnosis Kerja
Diagnosis dini difteri sangat penting karena keterlambatan pemberian antitoksin
sangat mempengaruhi prognosa penderita. Diagnosis harus ditegakkan berdasarkan gejala-
gejala klinik tanpa menunggu hasil mikrobiologi. Karena preparat smear kurang dapat
dipercaya, sedangkan untuk biakan membutuhkan waktu beberapa hari. Cara yang lebih
akurat adalah dengan identifikasi secara Flourescent antibody technique, namun untuk ini
diperlukan seorang ahli. Diagnosis pasti dengan isolasi C diphtheriae dengan pembiakan pada
media loeffler dilanjutkan dengan tes toksinogenitas secara in-vivo(marmot) dan in-vitro (tes
Elek).2
Adanya membran tenggorok sebenarnya tidak terlalu spesifik untuk difteri, karena
beberapa penyakit lain juga dapat ditemui adanya membran. Tetapi membran pada difteri
agak berbeda dengan membran penyakit lain, warna membran pada difteri lebih gelap dan
lebih keabu-abuan disertai dengan lebih banyak fibrin dan melekat dengan mukosa di
bawahnya. Bila diangkat terjadi perdarahan.Biasanya dimulai dari tonsil dan menyebar ke
uvula. 2,3
Diagnosis Banding
Abses Retropharyngeal
Definisi
Abses Retrofaringeal adalah suatu penimbunan nanah pada kelenjar getah bening di
bagian belakang tenggorokan.4
Penyebab
Abses biasanya disebabkan oleh infeksi bakteri yang berasal dari amandel, tenggorokan,
sinus, adenoid, hidung atau telinga tengah. Kadang cedera pada tenggorokan bagian
belakang akibat tertusuk duri ikan juga bisa menyebabkan abses retrofaringeal. Meskipun
jarang, abses retrofaringel juga bisa disebabkan oleh bakteri tuberkulosis. 4-5
Karena kelenjar getah bening pada bagian belakang tenggorokan menghilang setelah
masa kanak-kanak, maka abses retrofaringeal lebih sering terjadi pada anak-anak
dibandingkan pada orang dewasa. Infeksi ini bisa terjadi selama atau segera setelah infeksi
tenggorokan oleh bakteri. 4-5
Gejala Klinis
Gejala-gejala yang bisa terjadi berupa: 4-5
- Riwayat nyeri tenggorokan, infeksi hidung atau abses gigi
- Demam tinggi
- Kesulitan dan nyeri saat menelan
- Pembesaran kelenjar getah bening di leher
- Suara tidak jelas
- Ngiler
- Leher kaku
- Anak bisa tampak memiringkan kepalanya
- Retraksi interkostal (penarikan otot sela iga ketika penderita berusaha keras untuk bernafas
- Abses bisa menyumbat jalan nafas, sehingga anak menjadi sulit bernafas dan berbunyi
terutama saat menarik nafas (stridor-suara pernafasan yang kasar)
Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi antara lain : 4-5
- Perdarahan di sekitar abses
- Pecahnya abses ke jalan nafas (yang dapat menyumbat jalan nafas)
pneumonia
- Terbentuknya bekuan darah di vena jugularis leher penyebaran infeksi
ke dada
- Infeksi masuk ke aliran darah dan bisa menyebabkan malfungsi
organ-organ tubuh (syok septik)
Pengobatan
Untuk mengatasi infeksi, perlu dilakukan pembedahan untuk membuang nanah
(drainase) dan diberikan antibiotik dosis tinggi melalui infus4-5.
Pencegahan
Diagnosis dan pengobatan yang tepat pada faringitis dan infeksi nasofaringeal biasanya
bisa mencegah terjadinya abses retrofaringeal. 4-5
Abses Peritonsiler
Abses Peritonsiler, atau disebut juga Quinsy, adalah penimbunan nanah di daerah
belakang mulut, di sekitar tonsil (amandel). 6
Penyebab
Abses peritonsiler paling sering disebabkan oleh bakteri streptokokus, tetapi terkadang
bisa juga disebabkan oleh bakteri lainnya. Abses peritonsil biasanya terjadi sebagai
komplikasi dari tonsilitis. Namun dewasa ini, abses peritonsiler jarang terjadi karena adanya
penggunaan antibiotik untuk mengobati tonsilitis. 6-7
Ada beberapa faktor yang meningkatkan kemungkinan terbentuknya abses peritonsil : 6-7
- infeksi gigi dan gusi
- tonsilitis kronis
- infeksi mononukleosis
- merokok
- leukemia limfositik kronik
- endapan kalsium atau batu pada tonsil
Gejala klinis
Biasanya tanda awal abses peritonsil adalah sakit tenggorokan. Beberapa gejala yang bisa
terjadi adalah : 6-7
- tonsil (amandel) yang membengkak dan merah
- kelenjar getah bening leher pada sisi yang terkena membengkak dan
terasa nyeri
- nyeri tenggorokan yang hebat
- nyeri dan kesulitan dalam menelan atau membuka mulut adanya
demam dan menggigil
- sakit kepala
- sakit pada telinga
- air ludah mengalir keluar atau tidak mampu menelan air ludah
- suara seperti bergumam (hot potato voice) atau serak
- bau mulut yang tidak enak
Abses peritonsil yang tidak diobati untuk waktu yang lama bisa menyebabkan
komplikasi serius, misalnya penyebaran infeksi ke daerah rahang bawah, leher, atau dada,
bahkan terkadang sampai ke paru-paru dan menyebabkan terjadinya pneumonia. 6-7
Jaringan yang membengkak bisa menyebabkan sumbatan pada jalan nafas. Keadaan ini
bersifat mengancam nyawa dan merupakan suatu kedaruratian medis. 6-7
Pengobatan
Penanganan yang biasanya dilakukan untuk abses peritonsil adalah mengeluarkan nanah
di dalamnya. Nanah bisa dikeluarkan dengan menggunakan jarum suntik (aspirasi) atau
membuat sayatan kecil pada abses. 6-7
Jika cara ini tidak berhasil, maka mungkin perlu dilakukan pengangkatan tonsil
(amandel) melalui pembedahan, yang disebut tonsilektomi. Tindakan ini sebaiknya
dilakukan pada orang-orang yang sering mengalami tonsilitis atau pernah mengalami abses
peritonsil sebelumnya. 6-7
Jika penderita mengalami kesulitan untuk minum atau makan, maka perlu dilakukan
pemasangan infus untuk menjaga hidrasi tubuh. Obat-obat untuk mengatasi rasa nyeri dan
antibiotik juga diberikan. 6-7
Pencegahan
Ada beberapa cara yang dapat dilakukan untuk mengurangi risiko terbentuknya abses
peritonsil, antara lain dengan cara menjaga kebersihan gigi dan mulut, serta tidak merokok.
6-7
Jika terjadi tonsilitis, terutama tonsilitis bakteri, maka infeksi perlu segera diobati
sampai tuntas untuk mencegah terjadinya abses. 6-7
Etiologi
Gambar 4. Corynebacterium diphteriae.8
Spesies Corynebacterium diphteriae adalah kuman batang gram-positif (basil aerob),
tidak bergerak, pleomorfik, tidak berkapsul, tidak membentuk spora, mati pada pemanasan
60ºC, tahan dalam keadaan beku dan kering.Dengan pewarnaan, kuman ini bisa terlihat
dalam susunan palisade, bentuk L atu V, atau merupakan formasi mirip huruf cina. Kuman
tidak bersifat selektif dalam pertumbuhannya, isolasinya dipermudah dengan media tertentu
(yaitu sistin telurit agar darah) yang menghambat pertumbuhan organisme yang menyaingi,
dan bila direduksi oleh Corynebacterium diphteriae akan membuat koloni menjadi abu-abu
hitam, atau dapat pula dengan menggunakan media loeffler yaitu medium yang mengandung
serum yang sudah dikoagulasikan dengan fosfat konsentrasi tinggi maka terjadi granul yang
berwarna metakromatik dengan metilen blue, pada medium ini koloni akan berwarna krem.
Pada membran mukosa manusia Corynebacterium diphteriae dapat hidup bersama-sama
dengan kuman diphtheroid saprofit yang mempunyai morfologi serupa, sehingga untuk
membedakan kadang-kadang diperlukan pemeriksaan khusus dengan cara fermentasi
glikogen, kanji, glukosa, maltosa atau sukrosa.2-3
Menurut bentuk, besar, dan warna koloni yang terbentuk, Corynebacterium diphteriae
yang dapat memproduksi eksoroksin dapat dibedakan atas 3 jenis, yaitu: 2-3
a. Gravis: koloninya besar, kasar, ireguler, berwarna abu-abu dan tidak dapat
menimbulkan hemolisis eritrosit.
b. Mitis: koloninya kecil, halus, warna hitam, koveks dan dapat menimbulkan
hemolisis eritrosit.
c. Intermediate: koloninya kecil, halus, mempunyai bintik hitam ditengahnya, dan
dapat menimbulkan hemolisis eritrosit.
Jenis gravis dan intermediate lebih virulen dibandingkan jenis mitis.
Karakteristik jenis gravis adalah dapat memfermentasikan tepung kanji dan glikogen,
sedangkan dua jenis lainnya tidak. Semua jenis basil ini dapat memproduksi eksotoksin, akan
tetapi virulensinya berbeda. Jenis yang banyak tidka virulen adalah grup mitis, kadang-
kadang ada bentuk gravis atau intemediate yang tidal virule terhadapt manusia. Strain
toksigenik ini mungkin berubah menjadi non-toksigenik, setelah melakukan subkultur yang
berulang-ulang di laboratorium. 2-3
Epidemologi
Tidak seperti difteri lain(bakteri korineform), yang berada dimana-mana dalam alam
Corynebacterium diphteriae adalah penghuni tersendiri membrana mukosa dan kulit
manusia. Penyebaran terutama melalui udara bersama tetes-tetes pernapasan atau kontak
langsung dengan sekresi pernapasan individu bergejala atau eksudat dari lesi kulit yang
terinfeksi. Pengidap(carrier) pernapasan tidak bergejala penting dalam penularan. Dimana
difteri endemik, 3-5% individu sehat dapat mengandung organisme bertoksin, tetapi pengidap
sangat jarang jika difteri jarang. infeksi kulit dan pengidap kulit merupakan resevoir difteri
diam-diam. Ketahanan hidup dalam debu dan pada benda berpori sampai 6 bulan kurang
berarti secara epidemologis. Penularan melalui sus yang terkontaminasi dan pengurus makan
yang terkontaminasi telah terbukti atau dicurigai. 2
Pada tahun 1920, lebih dari 125.000 kasus dan 10.000 kematian karena difteri
dilaporkan setiap tahun di Amerika Serikat, dengan angka kematian tertinggi pada penderita
yang amat muda dan lebih tua. Dari tahun 1921-1924, difteri merupakan penyebab utama
kemtian pada anak-anak. Di Kanada umur 2-14 tahun. Insidennya mulai turun, dan dengan
penggunaan toksoid difteri di Amerika Serikat sesudah perang dunia II, insiden ini menurun
secara signifikan dengan penguranga dramatis pada akhir tahun 1970. Sejaka saat tersebut
hanya ada kasus 0-5 pertahun dan tidak ada epidemik saluran pernapasan. Penurunan yang
serupa ditemukan di Eropa. Walaupun insiden penyakit turun diseluruh dunia, difteri tetpa
endemik di banyak negara berkembang. Insiden difteri yang bertahan rendah dan tingkat
vaksinasi anak tinggi menyebabkan para pakar menetapkan tujuan sasaran penyelapan difteri
pada orang-orang berumur 25 tahun atau sebelumnya di Amerika Serikata pada tahun 2000.
Bila difteri merupakan endemik, terutama mengenai anak <15 tahun, tetapi
epidemologi sekarang telah bergeser ke dewasa yang kurang terpajan secara alamiah terhadap
Corynebacterium diphteriae bertoksin pada jaman vaksin dan mempunyai angka injeksi
booster rendah. Pada 27 kasus difteri saluran pernapasan sporadik yang dilaporakan di
Amerika Serikat pada tahun 1980, 70% terjadi pada orang-orang yang berumu lebih tua dari
25 tahun. Wabah terbesar difteri di negara maju sejak tahun 1960 terjadi dari tahun 1990-
1995 di seluruh Negara Bagian Bebas di Uni Soviet yang dahulu, dimana lebih dari 47.000
kasus dan 1.700 kematian terjadi pada tahun 1994 saja. 2
Survei kadar antitoksin di Swedia sangat berharga, karena angka imunisasi masa
anaka melebihi 95%, tetapi 19% orang muda yang berumur 20 tahun dan 81% wanita serta
56% laki-laki yang berumur lebih tua dari 60 tahun kekurang antibodi protektif. Serosurvei
luas lain lebih mengenai subkelompok besar individu yang kurang terimunisasi di Amerika
Serikat dan dimana-mana, dimana imunisasi adalah “menyeluruh” yang akan menjadi
beresiko membahayakan jika organisme dimasukan. Hanya 40-60% anak misin dikota dan
desa umur 2 tahun terimunisasi dengan tepat. 20% dari 396 anak yang berumur sebelum 5
tahun di Dade County, Florida, serosurvei menunjukan kekurangan imunitas protektif
terhadap difteri(kadar antitoksin > 0,01 IU/mL). Hukum negara bagian yang mempersyratkan
vaksianasi untuk memastikn imunitas proteitif untuk >70% anak umur 5-14 tahun. Pada
serosurvei di AS dan negaara berkembang lainnya dengna imunisasi hampir menyeluruh
selama masa anak, seperti Swedi, Italia, dan denmark, 25% - >60% orang dewasa kekurangan
antitoksin protektif, dengan kadar terutama rendah yang ditemukan pada orang tua. 3
Manifestasi Klinik
Tergantung pada berbagai faktor, maka manifestasi penyakit ini bias bervariasi dari
tanpa gejala sampai suatu keadaan / penyakit yang hipertoksik serta fatal. Sebagai factor
primer adalah imunitas pejamu terhadap toksin difteria, virulensi serta toksigenitas
Corynebacterium diphteriae ( kemampuan kuman membentuk toksin), dan lokasi penyakit
secara anatomis. Faktor lain termasuk umur, penyakit sistemik penyerta dan penyakit pada
daerah nasofaring yang sudah sebelumnya. Difteria mempunyai masa tunas 2 hari.Pasien
pada umumnya dating untuk berobat setelah beberapa hari menderita keluhan sistemik.
Demam jarang melebihi 38,9ºC dan keluhan serta gejala lain tergantung pada lokalisasi
penyakit difteria.3,9,10
2.3.1. Difteri Saluran Pernapasan
Pada uraian klasik 1400 kasus difteri dari California yang dipublikasikan pada tahun 1954,
focus infeksi primer adalah tonsil atau faring pada 94%, dengan hidung dan laring dua tempat
berikutnya yang paling lazim. Sesudah sekitar masa inkubasi 2-4 hari, terjadi tanda-tanda dan
gejala-gejala radang lokal.Demam jarang lebih tinggi dari 39ºC. 3,9,10
2.3.1.1. Difteri Hidung
Difteria hidung pada awalnya meneyerupai common cold, dengan gejala pilek ringan tanpa
atau disertai gejala sistemik ringan.Infeksi nares anterior (lebih sering pada bayi)
menyebabkan rhinitis erosif, purulen, serosanguinis dengan pembentukan membrane.Ulserasi
dangkal nares luar dan bibir sebelah dalam adalah khas.Pada pemeriksaan tampak membrane
putih pada daerah septum nasi.Absorbsi toksin sangat lambat dan gejala sistemik yang timbul
tidak nyata sehingga diagnosis lambat dibuat. 3,9,10
Difteri Tonsil Faring
Pada difteri tonsil dan faring, nyeri tenggorok merupakan gejala awal yang umum,
tetapi hanya setengah penderita menderita disfagia, serak, malaise atau nyeri kepala. Dalam
1-2 hari kemudian timbul membrane yang melekat berwarna putih kelabu, injeksi faring
ringan disertai dengan pembentukan membrane tonsil unilateral atau bilateral, yang meluas
secara berbeda-beda mengenai uvula, palatum molle, orofaring posterior, hipofaring dan
daerah glottis. Edema jaringan lunak dibawahnya dan pembesaran limfonodi dapat
menyebabkan gambaran “bull neck”. Selanjutnya gejala tergantung dari derajat peneterasi
toksin dan luas membrane.Pada kasus berat, dapat terjadi kegagalan pernafasan atau
sirkulasi.Dapat terjadi paralisis palatum molle baik uni maupun bilateral, disertai kesukaran
menelan dan regurgitasi. Stupor, koma, kematian bias terjadi dalam 1 minggu sampai 10 hari.
Pada kasus sedang penyembuhan terjadi secara berangsur-angsur dan bias disertai penyulit
miokarditis atau neuritis. Pada kasus ringan membrane akan terlepas dalam 7-10 hari dan
biasanya terjadi penyembuhan sempurna. 3,9,10
2.3.1.3. Difteri Laring
Difteri laring biasanya merupakan perluasan difteri faring. Penderita dengan difteri
laring sangat cenderung tercekik karena edema jaringan lunak dan penyumbatan lepasan
epitel pernapasan tebal dan bekuan nekrotik.Pada difteria faring primer gejala toksik kurang
nyata, oleh karena mukosa laring mempunyai daya serap toksin yang rendah dibandingkan
mukosa faring sehingga gejala obstruksi saluran nafas atas lebih mencolok. Gejala klinis
difteri laring sukar dibedakan dari tipe infectious croups yang lain, seperti nafas berbunyi,
stridor yang progresif, suara parau dan batuk kering. Pada Obstruksi laring yang berat
terdapat retraksi suprasternal, interkostal dan supraklavikular.Bila terjadi pelepasan
membrane yang menutup jalan nafas biasa terjadi kematian mendadak.Pada kasus berat,
membrane dapat meluas ke percabangan trakeobronkial.Apabila difteria laring terjadi sebagai
perluasan dari difteria faring, maka gejala yang tampak merupakan campuran gejala obstruksi
dan toksemia. 3,9,10
2.3.2. Difteri Kulit
Difteri kulit berupa tukak dikulit, tepi jelas dan terdapat membrane pada dasarnya,
kelainan cenderung menahun.Difteri kulit klasik adalah infeksi nonprogresif lamban yang
ditandai dengan ulkus yang tidak menyembuh, superficial, ektimik dengan membrane coklat
keabu-abuan.Infeksi difteri kulit tidak selalu dapat dibedakan dari impetigo streptokokus atau
stafilokokus, dan mereka biasanya bersama.Pada kebanyakan kasus, dermatosis yang
mendasari, luka goresan, luka bakar atau impetigo yang telah terkontaminasi
sekunder.Tungkai lebih sering terkena dari pada badan atau kepala.Nyeri, sakit, eritema, dan
eksudat khas.Hiperestesi lokal atau hipestesia tidak lazim.Kolonisasi saluran pernapasan atau
infeksi bergejala dan komplikasi toksik terjadi pada sebagian kecil penderita dengan difteri
kulit. 3,9,10
2.3.3. Difteri Vulvovaginal, Konjungtiva, dan Telinga
Corynebacterium diphteriae kadang-kadang menimbulkan infeksi mukokutan pada
tempat-tempat lain, seperti telinga (otitis eksterna), mata (konjungtivitis purulenta dan
ulseratif), dan saluran genital (vulvovginitis purulenta dan ulseratif). Wujud klinis, ulserasi,
pembentukan membrane dan perdarahan submukosa membantu membedakan difteri dari
penyebab bakteri dan virus lain. 3,9,10
Patofisiologi
Kuman C. diphtheriae masuk melalui mukosa/kulit, melekat serta berkembang biak
pada permukaan mukosa saluran nafas bagian atas dan mulai memproduksi toksin yang
merembes ke sekeliling serta selanjutnya menyebar ke seluruh tubuh melalui pembuluh limfe
dan pembuluh darah. Efek toksin pada jaringan tubu]h manusia adalah hambatan
pembentukan protein dalam sel. Pembentukan protein dalam sel dimulai dari penggabungan 2
asam amino yang telah diikat 2 transfer RNA yang mendapati kedudukan P dan A dari
ribosom. Bila rangkaian asam amino ini akan ditambah dengan asam amino lain untuk
membentuk polipeptida sesuai dengan cetakan biru RNA, diperlukan proses translokasi.
Translokasi ini merupakan pindahnya gabungan transfer RNA + dipeptida dari kedudukan A
ke kedudukan P. Proses translokasi ini memerlukan enzim traslokase (elongation factor-2)
yang aktif. 3,9,10
Toksin difteria mula-mula menempel pada membran sel dengan bantuan fragmen B
dan selanjutnya fragmen A akan masuk dan mengakibatkan inaktivitasi enzim translokase
melalui proses NAD+EF2 (aktif) toksin ADP-ribosil-EF2 (inaktif) + H2 + Nikotinamid ADP-
ribosil-EF2 yang inaktif ini menyebabkan proses traslokasi tidak berjalan sehingga tidak
terbentuk rangkaian polipeptida yang diperlukan, dengan akibat sel akan mati. Nekrosis
tampak jelas di daerah kolonisasi kuman.Sebagai respons terjadi inflamasi local, bersama-
sama dengan jaringan nekrotik membentuk bercak eksudat yang semula mudah
dilepas.Produksi toksin semakin banyak, daerah infeksi semakin lebar dan terbentuklah
eksudat fibrin.Terbentuklah suatu membran yang melekat erat berwarna kelabu kehitaman,
tergantung dari jumlah darah yang terkandung.Selain fibrin, membran juga terdiri dari sel
radang, eritrosit dan epitel. Bila dipaksa melepaskan membran akan terjadi perdarahan.
Selanjutnya akan terlepas sendiri pada masa penyembuhan. 3,9,10
Pada pseudomembran kadang-kadang dapat terjadi infeksi sekunder dengan bakteri
(misalnya Streptococcus pyogenes).Membran dan jaringan edematous dapat menyumbat
jalan nafas. Gangguan pernafasan / sufokasi bias terjadi dengan perluasan penyakit kedalam
laring atau cabang trakeo-bronkus. Toksin yang diedarkan dalam tubuh bias mengakibatkan
kerusakan pada setiap organ, terutama jantung, saraf dan ginjal. Antitoksin difteria hanya
berpengaruh pada toksin yang bebas atau yang terabsorbsi pada sel, tetapi tidak menetralisasi
apabila toksin telah melakukan penetrasi kedalam sel. Setelah toksin terfiksasi dalam sel,
terdapat masa laten yang bervariasi sebelum timbulnya manifestasi klinis. Miokarditis
biasanya terjadi dalam 10-14 hari, manifestasi saraf pada umumnya terjadi setelah 3-7
minggu.Kelainan patologik yang mencolok adalah nekrosis toksis dan degenerasi hialin pada
bermacam-macam organ dan jaringan. Pada jantung tampak edema, kongesti, infiltrasi sel
mononuclear pada serat otot dan system konduksi,.Apabila pasien tetap hidup terjadi
regenerasi otot dan fibrosis interstisial.Pada saraf tampak neuritis toksik dengan degenerasi
lemak pada selaput myelin.Nekrosis hati biasa disertai gejala hipoglikemia, kadang-kadang
tampak perdarahan adrenal dan nekrosis tubular akut pada ginjal. 3,9,10
Penatalaksanaan
Pengobatan umum dengan perawatan yang baik, isolasi dan pengawasan EKG yang
dilakukan pada permulan dirawat satu minggu kemudian dan minggu berikutnya sampai
keadaan EKG 2 kali berturut-turut normal dan pengobatan spesifik. 3,9,10
Pengobatan spesifik untuk difteri :
1. ADS (Antidifteri serum), 20.000 U/hari selama 2 hari berturut-turut dengan sebelumnya
harus dilakukan uji kulit dan mata.
a. TEST ADS
ADS 0,05 CC murni dioplos dengan aquades 1 CC. Diberikan 0,05 CC à intracutan
Tunggu 15 menit à indurasi dengan garis tengah 1 cm à (+)
b. CARA PEMBERIAN
- Test Positif à BESREDKA
- Test Negatif à secara DRIP/IV
c. Drip/IV
200 CC cairan D5% 0,225 salin. Ditambah ADS sesuai kebutuhan. Diberikan selama |
4 sampai 6 jam à observasi gejala cardinal.
2. Antibiotik, diberikan penisillin prokain 5000U/kgBB/hari sampai 3 hari bebas demam.
Pada pasien yang dilakukan trakeostomi ditambahkan kloramfenikol 75mg/kgBB/hari
dibagi 4 dosis. 3,9,10
3. Kortikosteroid, untuk mencegah timbulnya komplikasi miokarditis yang sangat
membahayakan, dengan memberikan predison 2mg/kgBB/hari selama 3-4 minggu. Bila
terjadi sumbatan jalan nafas yang berat dipertimbangkan untuk tindakan trakeostomi. Bila
pada pasien difteri terjadi komplikasi paralisis atau paresis otot, dapat diberikan strikin ¼ mg
dan vitamin B1 100 mg tiap hari selama 10 hari. 3,9,10
Komplikasi
Racun difteri bisa menyebabkan kerusakan pada jantung, sistem saraf, ginjal ataupun organ
lainnya: 9,10
1. Miokarditis bisa menyebabkan gagal jantung
2. Kelumpuhan saraf atau neuritis perifer menyebabkan gerakan menjadi tidak terkoordinasi
dan gejala lainnya (timbul dalam waktu 3-7 minggu)
3. Kerusakan saraf yang berat bisa menyebabkan kelumpuhan
4. Kerusakan ginjal (nefritis).
Prognosis
Umumnya tergantung dari umur, virulensi kuman, lokasi dan penyebaran membran, status imunisasi, kecepatan pengobatan, ketepatan diagnosis, dan perawatan umum. 9,10
Prognosis difteria setelah ditemukan ADS dan antibiotik, lebih baik daripada sebelumnya, keadaan demikian telah terjadi di negara-negara lain. Kematian tersering pada anak kurang dari 4 tahun akibat membran difteri. Menurut Krugman, kematian mendadak pada kasus difteria dapat disebabkan oleh karena: 9,10
(1) Obstruksi jalan nafas mendadak diakibatkan oleh terlepasnya difteria,
2) Adanya miokarditis dan gagal jantung,
(3) Paralisis difragma sebagai akibat neuritis nervus nefrikus.
Anak yang pernah menderita miokarditis atau neuritis sebagai penyulit difteria, pada umumnya akan sembuh sempurna tanpa gejala sisa; walaupun demikian pernah dilaporkan kelainan jantung yang menetap. Penyebab strain gravis prognosisnya buruk. Adanya trombositopenia amegakariositik dan leukositosis > 25.000/ prognosisnya buruk.
Mortalitas tertinggi pada difteri faring-laring (56,8%) menyusul tipe nasofaring (48,4%) dan faring (10,5%) . 9,10
Pencegahan
Pencegahan secara umum dengan menjaga kebersihan dan memberikan pengetahuan tentang bahaya difteria bagi anak.Pada umumnya setelah seseorang anak menderita difteria, kekebalan terhadap penyakit ini sangat rendah sehingga perlu imunisasi DPT dan pengobatan karier.Seorang anak yang telah mendapat imunisasi difteria lengkap, mempunyai antibodi terhadap toksin difteria tetapi tidak mempunyai antibody terhadap organismenya.Keadaan demikian memungkinkan seseorang menjadi pengidap difteria dalam nasofaringnya (karier) atau menderita difteri ringan. 9,10
Toksoid difteri dipersiapkan dengan pengobatan formaldehid toksin, kekuatannya dibakukan, dan diserap pada garam alumunium, yang memperbesar imunogenitas.Dua preparat toksoid difteri dirumuskan sesuai dengan kandungan batas flokulasi (Bf) suatu pengukuran kuantitas toksoid. Preparat pediatric (yaitu DPT,DT,DTaP) mengandung 6,7-12,5 Bf unit toksoid difteri per dosis 0,5mL; preparat dewasa (yaitu Td) mengandung tidak lebih dari 2 Bf unit toksoid per 0,5 mL dosis. Formulasi toksoid potensi yang lebih tinggi (yaitu D) digunakan untuk dosis seri primer dan booster untuk anak umur 6 tahun karena imunogenitasnya superior dan reaktogenisitasnya minimal. Untuk individu umur 7 tahun dan yang lebih tua, Td dianjurkan untuk seri primer dan dosis booster, karena kadar toksoid difteri yang lebih rendah cukup imunogenik dank arena semakin kadar toksoid difteri makin tinggi reaktogenitas pada umur yang semakin tinggi. 9,10
Rencana (Jadwal) : 9,10
- Untuk anak umur 6 minggu sampai 7 tahun , beri 0,5 mL dosis vaksin mengandung-difteri (D). seri pertama adalah dosis pada sekitar 2,4, dan 6 bulan. Dosis ke empat adalah bagian intergral seri pertama dan diberikan sekitar 6-12 bulan sesudah dosis ke tiga.Dosis booster siberikan umur 4-6 tahun (kecuali kalau dosis primer ke empat diberikan pada umur 4 tahun).
- Untuk anak-anak yang berumur 7 tahun atau lebih, gunakan tiga dosis 0,5 mL yang mengandung vaksin (D). Seri primer meliputi dua dosis yang berjarak 4-8 minggu dan dosis ketiga 6-12 bulan sesudah dosis kedua.
- Untuk anak yang imunisasi pertusisnya terindikasi digunakan DT atau Td.
Mereka yang mulai dengan DTP atau DT pada sebelum usia 1 tahun harus mengalamilima dosis vaksin yang mengandung difteri (D) 0,5 mL pada usia 6 tahun. Untuk mereka yang mulai pada atau sesudah umur 1 tahun, seri pertama adalah tiga dosis 0,5 mL vaksin mengandung difteri, dengan booster yang diberikan pada usia 4-6 tahun, kecuali kalau dosis ketiga diberikan sesudah umur 4 tahun. 9,10
Penutup
Kesimpulan
Difteri merupakan salah satu penyakit yang sangat menular (contagious disease).
Penyakit ini disebabkan oleh infeksi bakteri Corynebacterium diphtheriae, yaitu kuman yang
menginfeksi saluran pernafasan, terutama bagian tonsil, nasofaring (bagian antara hidung dan
faring/ tenggorokan) dan laring. Penularan difteri dapat melalui kontak hubungan dekat,
melalui udara yang tercemar oleh karier atau penderita yang akan sembuh, juga melalui batuk
dan bersin penderita. Penderita difteri umumnya anak-anak, usia di bawah 15 tahun.
Dilaporkan 10 % kasus difteri dapat berakibat fatal, yaitu sampai menimbulkan kematian.
Selama permulaan pertama dari abad ke-20, difteri merupakan penyebab umum dari kematian
bayi dan anak - anak muda. Penyakit ini juga dijumpai pada daerah padat penduduk dengan
tingkat sanitasi rendah. Oleh karena itu, menjaga kebersihan sangatlah penting, karena
berperan dalam menunjang kesehatan kita.
DAFTAR PUSTAKA
1.Materi Kuliah Praktikum Mikrobiologi.Jakarta:2014. Hal.68.
2.Stephen S. tetanus edited by.Behrman, dkk. Dalam Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15-
Jakarta : EGC, 2000. Hal.1004-07.
2.Merdjani, A., dkk.. Buku Ajar Infeksi dan Pediatri Tropis.Badan Penerbit IDAI, Jakarta.
2003.
3.Dr. Rusepno Hasan, dkk. Buku Kuliah Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia. Jilid II. Cetakan kesebelas Jakarta: 2005.hal 568-72.
4. W, Geoffery A. Retropharyngeal Abscess. Merck Manual Home Health Handbook. 2006.
5. S, Seth. Retropharyngeal Abscess. Medline Plus. 2012.
6. B, Elana P. Peritonsillar Abscess. KidsHealth. 2012.
7. S, Clarence T. Peritonsillar Abscess and Cellulitis. The Merck Manual. 2012.
8..https://www.google.co.id/search?
q=Corynebacterium+diphtheriae&newwindow=1&client=firefox-a&hs=mcE&rls=org.mozilla:en-
US:official&channel=sb&tbm=isch&imgil=d4IuPJQ50W8d6M%253A%253Bhttps%253A%252F
%252Fencrypted-tbn2.gstatic.com%252Fimages%253Fq%253Dtbn
%253AANd9GcSZ8Z0GG2zIjipMtoKR7VrmGvyeXdl4zjZCPUIaWyMkTuN05zAb
%253B432%253B332%253BEzcqIWXXWL0FfM%253Bhttp%25253A%25252F
%25252Ftextbookofbacteriology.net%25252Fdiphtheria.html diunduh pada tanggal 9 juili 2014
9. T.H.Rampengan, I.R. Laurentz.. Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak, Difteri, 1992. hal. 1- 18.
10. Garna Herry, dkk.. Difteri. Pedoman Diagnosis dan Terapi Ilmu Kesehatan Anak.Edisi kedua.Bagian/SMF Ilmu Kesehatan Anak FKUP/RSHS.. 2000. Hal. 173-176.