makalah case.doc

24
RSU Dr. PIRNGADI MEDAN KATA PENGANTAR Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya penulis selesai menyusun laporan kasus ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan Klinik Senior di bagian Anak RSU dr. Pirngadi Medan dengan judul “DEMAM TIFOID”. Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dr.Masyitah Sp.A. yang telah memberikan bimbinngan dan arahan dalam menyelesaikan penulisan laporan kasus ini. Dan semua staff pengajar di SMF anak RSU dr. Pirngadi Medan.serta teman- teman di kepaniteraan klinik. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini memiliki banyak kekurangan baik dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, karena itu kami mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan laporan kasus ini. Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat member manfaat bagi kita semua Medan, Maret 2011 1 KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

Upload: fadli-yulias

Post on 25-Oct-2015

18 views

Category:

Documents


5 download

DESCRIPTION

fg

TRANSCRIPT

Page 1: Makalah Case.doc

RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

KATA PENGANTAR

Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, akhirnya

penulis selesai menyusun laporan kasus ini guna memenuhi persyaratan Kepaniteraan

Klinik Senior di bagian Anak RSU dr. Pirngadi Medan dengan judul “DEMAM

TIFOID”.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan terimakasih kepada dr.Masyitah Sp.A.

yang telah memberikan bimbinngan dan arahan dalam menyelesaikan penulisan laporan

kasus ini. Dan semua staff pengajar di SMF anak RSU dr. Pirngadi Medan.serta teman-

teman di kepaniteraan klinik.

Penulis menyadari sepenuhnya bahwa laporan kasus ini memiliki banyak

kekurangan baik dari kelengkapan teori maupun penuturan bahasa, karena itu kami

mengharapkan kritik dan saran yang membangun untuk kesempurnaan laporan kasus ini.

Harapan penulis semoga laporan kasus ini dapat member manfaat bagi kita semua

Medan, Maret 2011

Penulis

1

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

Page 2: Makalah Case.doc

RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

DAFTAR ISI

Kata pengantar………………………………………………………………….................1

Daftar

isi……………………………………………………………………………………….....2

Pendahuluan………………………………………………………………………….…...3

Definisi…………………………………………………………………………………....3

Etiologi................................................................................................................................3

Cara penularan………………………………………………………………………….....4

Epidemiologi dan distribusi penyakit..................................................................................4

Patogenesis………………………………………………………………..………….....4-5

Manifestasiklinis………………………………….…………………………..………...5-6

Pemeriksaanpenunjang………………………………………….…………………......6-10

Diagnosis……………………………………………………………………………..10-11

Diagnosis banding…………………………………………………………………...…..11

Komplikasi........................................................................................................................11

Tatalaksana…………………………………………………………………………........12

Pencegahan...................................................................................................................12-13

Prognosis………………………………………………………………………………...13

Daftar

Rujukan……………………………………………………………………………….…14

2

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

Page 3: Makalah Case.doc

RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

DEMAM TIFOID

I. PENDAHULUAN

Demam tifoid merupakan penyakit infeksi sistemik yang bersifat akut

yang disebabkan oleh salmonella thyphi yang berada diusus halus.Demam tifoid

masih merupakan penyakit endemik di indonesia .penyakit ini termasuk penyakit

menular yang tercantum dalam undang-undang no 6 tahun1962 tentang

wabah ,sampai saat ini demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan, hal ini

disebabkan oleh sanitasi kesehatan lingkungan yang kurang memadai,penyediaan

air minum yang tidak memenuhi syarat mis lingkungan yang kumuh ,dan serta

tingkat sosial ekonomi dan tingkat pendidikan masyarakat yang kurang.walaupun

pengobatan demam tifoid tidak terlalu menjadi masalah,namun diagnosis

kadang-kadang menjadi masalah,terutama ditempat yang tidak dapat dilakukan

pemeriksaan kuman maupun pemeriksaan laboratorium penunjang.mengingat hal

tersebut diatas,pengenalan gejala klinis menjadi sangat penting untuk membantu

diagnosis.(¹)

II. DEFENISI

Demam Tifoid adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran

pencernaan dengan gejala demam lebih dari satu minggu,gangguan pada saluran

pencernaan dan gangguan kesadaran.(²)

III. ETIOLOGI

Salmonella Thiposa

Adalah bakteri gram negatif, yang bergerak dengan rambut getar dan tidak

berspora.Mempunyai sekurang-kurangnya 3macam anti gen yaitu anti gen

O(somatik),antigen H(flagela) dan antigen Vi(kapsul).(¹,³)

3

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

Page 4: Makalah Case.doc

RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

IV. CARA PENULARAN

Kuman ini ditularkan melalui makanan dan minuman yang tercemar oleh

kotoran / tinja dari seorang pengidap atau penderita demam tifoid. Kuman ini

masuk melalui mulut ke saluran pencernan. Penderita tifoid carier akan menjadi

sumber penularan bagi subyek manusia yang lain. Oleh karena hal ini, maka

penting untuk menjaga penderita, karier/pengidap kuman serta higiene sanitasi

perseorangan dan lingkungan.

V. EPIDEMIOLOGI DAN DISRIBUSI PENYAKIT

Demam tifoid saat ini dijumpai kosmopolit,saat ini terutama dijumpai di

negara berkembang dengan kepadatan penduduk tinggi,serta kesehatan

lingkungan tidak memenuhi syarat.Diperkirakan insidensi demam tifoid pada

tahun 1985 di indonesia sebagai berikut:

Umur 0-4 tahun : 25,32%

Umur 5-9 tahun :35,59%

Umur 10-15 tahun:39,09%

Surveilans Departemen Kesehatan RI frekuensi kejadian demam tifoid di

indonesia pada tahun 1990 sebesar 9,2 dan pada tahun 1994 terjadi peningkatan

frekuensi menjadi 15,4 per 10000 penduduk

Survei kesehatan rumah tangga 1995/1986 menunjukan demam tifoid (klinis)

1200/105 penduduk/tahun.Umur penderita yang terkena di indonesia (daerah

endemis) di laporkan antara 3-19 tahun mencapai 91% kasus.

Angka kejadian penyakit ini tidak berbeda antara anak laki-laki dan

perempuan. Pengaruh cuacap terutama meningkat pada musim hujan,sedangkan

dari kepustakaan berat barat dilaporkan terutama pada musim panas.(¹)

Case fatality rate(CFR) demam tifoid ditahun 1996 sebesar 1,08% dari seluruh

kematian di Indonesia

4

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

Page 5: Makalah Case.doc

RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

Insidens demam tifoid bervariasi di tiap daerah dan biasanya terkait dengan

sanitasi lingkungan misal: perbedaan insidens diperkotaan berhubungan erat

dengan dengan penyediaan air bersih yang belum memadai serta sanitasi

lingkungan dengan pembuangan sampah yg kurang memenuhi syarat kesehatan

lingkungan ,jadi disetiap kota yg bersih tentu angka morbiditas dan angka

mortilitas lebih kecil di banding kan dengan daerah yg sanitasi lingkungan nya

buruk

VI. PATOGENESIS

Masuknya kuman salmonella typhi(s.typi) dan salmonela

paratyphy(s.paratyphi)kedalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang

terkontaminasi .Sebagian kuman yang masuk dimusnahkan oleh

lambung,sebahagian lolos masuk masuk kedalam usus dan selanjutnya

berkembang biak.bila respon imunitas humoral mukosa(igA) usus kurang baik

maka kuman akan menembus sel-sel epitalial(terutama sel m)dan selanjutnya ke

lamina propria.Dilamina propria kuman berkembang biak dan di fagosit oleh sel-

sel fagosit terutama oleh makrofag.Kuman dapat hidup dan berkembang biak di

dalam makrofag dan selanjut nya di bawa ke plaque Pyeri ileum distal dan

kemudian ke kelenjar getah bening mesentrika .Selanjutnya melalui duktus

torasikus kuman yg terdapat dalam makrofag ini masuk kedalam sirkulasi

darah(mengakibatkan bakteremia pertama yg asimptomatik)dan meyebar ke

seluruh organ retikuloendotelial sytem terutama organ hati dan limpa.Diorgan-

organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian berkembang biak

diluar selatau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk kedalam sirkulasi darah lagi

mengakibatkan baktremia yang kedua kalinya dengan disertai tanda-tandadan

gejala penyakit infeksi sistemik.

Didalam hati,kuman masuk ke dalam kandung empedu,berkembang

biak,dan bersama cairan empedu diekresikan secara”intermittent”ke dalam lumen

usus.Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi kedalam

sirkulasi setelah menembus usus.Proses yang terulang lagi,berhubung makrofak

5

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

Page 6: Makalah Case.doc

RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

ter aktivasidan hiperaktif maka saat fagositosis kuman salmonella terjadi

pelepasan beberapa mediator inflamasi yang selanjutnya akan menimbulkan

gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam,malaise,sakit kepala,sakit

perut,instabilitas vaskuler,gangguan mental dan koagulasi.

Di dalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi hiper plasia

jaringan (S.typhi intra makrofag menginduksi reaksihipersensitivitas tipe

lambat,hiperplasia jaringan dan nekrosis organ).

Pendarahan saluran cerna dapat terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque

peyeri yang sedang mengalami nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-

selmononuklear di dinding usus.proses patologis jaringan limfoid ini dapat

berkembang hingga ke lapisan otot,serosa usus dan mengakibatkan perforasi.

Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat

timbulnyatimbulnya komplikasi seperti gangguan neuro psikiatrik,kardio vaskular

penafasan dan gangguan organ lain nya (2,3,5)

VI MANIFESTASI KLINIS

Manifestasi klinis demam tifoid pada anak biasanya lebih ringan jika

dibandingkan dengan dengan penderita dewasa.Masa tunas rata-rata 10-20

hari.Yang tersering adalah 4 hari jika infeksi terjadi melalui makanan,sedangkan

yang terlama sampai 30 hari jika infeksi melalui minuman.Selama masa inkubasi

mungkin ditemukan gejala prodromal,yaitu prasaan tidak enak badan,lesu,nyeri

kepala pusing dan tidak bersemangat.

Kemudian menyusul gejala klinis yang ditemukan,yaitu:

1.Demam

Pada kasus-kasus yang khas,demam berlangsung 3minggu.Bersifat febris

remiten dan suhu tidak terlalu tinggi.Selaama minggu pertama,suhu tubuh

berangsur-angsur meningkat setiap hari.Biasanya menurun pada pagi hari dan

meningkat pada sore dan malam hari.dalam minggu kedua gejala-gejala menjadi

6

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

Page 7: Makalah Case.doc

RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

lebih jelas berupa demamdengan bradikardi relatif(bradikardi relatif adalah

peningkatan 1oC tidak diikuti peningkatan denyut nadi 8 kali per menit) ,

keadaan demam.dalam minggu ketiga suhu badan berangsur-angsur turun dan

normal kembali pada akhir minggu ketiga.

2.Gangguan Pada Saluran Pencernaan

Pada mulut terdapat nafas tidak sedap,bibir kering dan lidah pecah-pecah

(ragaden).Lidah ditutupi selaput putih kotor(coated tongue),ujung dan

tepinya ,jarang kemerahan jarang disertai tremor,Pada abdomen mungkin

ditemukan keadaan perut kembung (meteorismus).Hati dan limfa membesar

disertai nyeri pada perabaan.

Biasanya didapat konstipasi,akan tetapi mungkin pula normal bahkan dapat

terjadi diare.

3.Gangguan Kesadaran

Umumnya kesadaran penderita menurun walau tidak terlalu dalam,yaitu

apatis sampai somnolen.Jarang terjadi koma,sopor atau gelisah.Selain gejala-

gejala yang biasanya ditemukan tersebut, mungkin pula ditemukan gejala lain

seperti Rose spot yaitu suatu makulopapular yang berwarna kemerahan dengan

ukuran1-5mm, biasanya terdapat pada abdomen,torak, punggung dan anggota

gerak gejala ini biasanya ditemukan pada anak kulit putih,tidak pernah

dilaporkan ditemukan pada anak indonesia.Biasanya ditemukan pada hari ke 7-10

dan bertahan 2-3 hari.Kadang-kadang juga ditemukan Bradikardia pada anak

besar dan mungkin pula ditemukan epistaksis.(1,2,3,5,6)

VII. PEMERIKSAAN PENUNJANG

1. Pemeriksaan Darah Tepi

Pada pemeriksaan darah tepi sering ditemukan eritosit normositik

normokrom,leukopenia,trombositopenia ringan anesofilia sehingga gambarannya

dapat shift to the left.

7

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

Page 8: Makalah Case.doc

RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

2. Pemeriksaan Darah Rutin

Hb:menurun

LED:meningkat

3. Pemeriksaan sumsum tulang.

Terdapat gambaran sumsum tulang berupa hiper aktivasi RES dengan

adanya sel makrofag,sedangkan sistem eritropoisi,granulopoesis dan

trombopoisis berkurang.

4. Biakan empedu

Basil salmonella typhosa dapat ditemukan dalam darah penderita biasanya

dalam minggu pertama sakit. Selanjutnya lebih sering ditemukan dalam urin

dan feses dan mungkin akan tetap positif untuk waktu yang lama. Oleh karena

itu pemeriksaan yang positif dari contoh darah digunakan untuk menegakkan

diagnosis, sedangkan pemeriksaan negatif dari contoh urin dan feses 2 kali

berturut – turut digunakan untuk menentukan bahwa penderita benar – benar

sembuh dan tidak menjadi pembawa kuman (karier)

5 Pemeriksaan Widal

Dasar pemeriksaan ialah reaksi aglutinasi yang terjadi bila serum

penderita dicampur dengan suspensi antigen salmonella typhosa.pemeriksaan

yang positif adalah bila terjadi reaksi aglutinasi.untuk membuat diagnosis

yang diperlukan adalah titer zat anti terhadap titer O.titer yang bernilai 1/160

atau lebih dan atau menunjukan kenaikan yang progresif digunakan untuk

membuat diagnosis.

6. Tes TubexR

Uji tubex merupakan uji semi-kuantitatif kolometrik yang cepat (beberapa

menit) dan mudah untuk dikerjakan. Uji ini mendeteksi antibodi anti-S.typhi O9

pada serum pasien, dengan cara menghambat ikatn antara IgM anti O9 yang

terkonjugasi pada partikel latex yang berwarna dengan lipopolisakarida S.typhi 8

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

Page 9: Makalah Case.doc

RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

yang terkonjugasi pada partikel magnetik latex. Hasil positif uji tubex ini

menunjukkan terdapat infeksi salmonella serogroup D walau tidak secara

spesifik menunjukkan pada S.typhi. infeksi oleh S.paratyphi akan memberikan

hasil negatif.

Secara imunologi, antigen O9 bersifat immunodominan sehingga dapat

merangsang respon imun secara independen terhadap timus dan merangsang

mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. karena sifat-sifat tersebut, respon terhadap

anti-gen O9 berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti-gen O9 dapat

dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3

untuk infeksi sekunder. Perlu diketahui bahwa uji tubex hanya dapat mendeteksi

IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai

modalitas untuk mendeteksi lampau.

Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen, meliputi :

1. Tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitifitas.

2. Reagen A, yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi dengan antigen

S.typhi O9.

3. Reagen B, yang mengandung partikel latex berwarna biru yang diselubungi

dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O9. Untuk melakukan

prosedur pemeriksaan ini, satu tetes serum (25 µL) dicampur ke dalam tabung

dengan satu tetes (25 µL) reagen A. setelah itu dua tetes reagen B (50 µL)

ditambahkan kedalam tabung. Hal tersebut dilakukan pada kelima tabung lainnya.

Tabung-tabung tersebut kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung

magnet dan diputar selama 2 menit dengan kecepatan 2 rpm . interpretasi hasil

dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari

kemerahan sampai kebiruan. Berdasarkan warna inilah ditentukan skor, yang

interpretasinya dapat dilihat pada table berikut:

9

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

Page 10: Makalah Case.doc

RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

Table interpretasi hasil uji tabex:

skor Interpretasi

<2 Negatif Tidak menunjukkan infeksi tifoid aktif

3 Borderline Pengukuran tidak dapat disimpulkan. Ulangi

pengujian, apabila masih meragukan lakukan

pengulangan beberapa hari kemudian.

4-5 Positif Menunjukkan infeksi tifoid aktif

>6 Positif Indikasi kuat infeksi tifoid

Konsep pemeriksaan ini dapat diterangkan sebagai berikut:

Jika serum tidak mengandung antibodi terhadap O9, reagen B bereaksi dengan

reagen A. ketika diletakkan pada daerah mengandung medan magnet (magnet

rak), komponen magnet yang dikandung reagen A akan tertarik pada magnet rak,

dengan membawa serta pewarna yang dikandung oleh reagen B. sebagai

akibatnya, terlihat warna merah pada tabung yang sesungguhnya merupakan

gambaran serum yang lisis. Sebaliknya, bila serum mengandung antibodi terhadp

O9, antibodi pasien akan berikatan dengan reagen A dan menyebabkan reagen B

tidak tertarik pada magnet rak dan memberikan warna biru pada larutan.

7. Elisa Test

Elisa dipakai untuk melacak antibiotik IgG, IgM dan IgA terhadap antigen

LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d(Hd) dan antibodi terhadap

antigen Vi S. Typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya

antigen S.typhi dalam spesies klinis adalah double antibody sandwich ELISA.

Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95 % pada

sampel darah 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang.

Pada penderita yang didapatkan S.typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel

urien didapatkan sensitivitas65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada

pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 penelitian oleh Fedeel dkk(2004)

10

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

Page 11: Makalah Case.doc

RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

terhadap sampel urien penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini

sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing – masing 44% pada deteksi

antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih

memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan,

terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga

perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis.

8. Pemeriksaan Dipstik

Uji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda

dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S.typhi

sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM antihuman immobilized sebagai

reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah

distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan ditempat

yang tidak mempunyai asilitas laboratotium yang lengkap.

9. Polymerase Chain Reaction (PCR)

Metode ini untuk identifikasi bakteri S.typhi yang akurat adalah

mendeteksi DNA ( asam nukleat ) gen flagellin bakteri S.typhi dalam darah

dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara

Polymerase Chain Reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik

untuk S.typhi.

10. Biakan Feces dan urine

Biakan ini positif biasanya pada minggu ke dua dan ketiga.(2,4)

11. DIAGNOSIS

Menegakkan diagnosis demam tifoid pada anak dengan didasarkan

Anamnesa, Menifestasi klinis,Pemeriksaan fisik,Pemeriksaan penunjang.

ANAMNESA(allo anamnesa):

Riwatyat demam

Riwayat adanya gangguan saluran pencernaan.

11

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

Page 12: Makalah Case.doc

RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

Adanya gangguan kesadaran.

MANIFESTASI KLINIS

Demam lebih dari 1 minggu / 7 hari,turun pada pagi hari dan

kembali naik pada sore dan malam hari nya.

Bibir kering dan pecah – pecah, lidah ditutupi selaput putih kotor

( coated tongue), ujung dan tepinya kemerahan dan tremor pada

perut ditemukan meteorismus ( kembung ) hati dan limpah

membesar.

Kesadaran menurun dari apatis sampai somnolen

PEMERIKSAAN FISIK

Mulut :ditemukan lidah selaput putih kotor,tepi kemerahan,dan

biasanya tremor.

Ektremitas:Ditemukan Rose spot

Abdomen :Pada palpasi teraba hati dan limfa membesar.

PEMERIKSAAN PENUNJANG

Darah tepi

Sumsum tulang

Biakan empedu

Widal test

Tubek tes

Diptik test

ELISA

PCR

Feses dan urien (1,2,4,6)

12. DIAGNOSIS BANDING

Demam paratifoid A,B,C

TBC

12

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

Page 13: Makalah Case.doc

RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

Malaria

Meningitis(1,2)

13. KOMPLIKASI

Komplikasi pada usus halus :

1. Pendarahan

2. Perforasi

3. Peritonitis

Komplikasi diluar usus halus :

1. Bronkitis

2. Bronkopneumonia

3. Kolesistitis

4. Meningitis

5. Miokarditis.(1)

14. PENATA LAKSANAAN

Tirah baring

IVFD sesuai umur

First Line (Obat pilihan pertama) Kloramfenikol 50-100mg/ kgBB/4

dosis/i.v sampai 10-14 hari atau 5-7 hari bebas demam.

Tiamfenikol 50-100 mg/kgBB/hari, selama 10-14 hari.

Kotrimoksasol 30-40 mg/kgBB/hari.

Ampisilin dan Amoksisilin100 – 200 mg/kgBB/4 dosis.

Seftriakson 50-100 mg/kgBB/2 dosis

Sefotaksim 150-200 mg/kgBB/hari dibagi dalam 3-4 dosis

Siprofloksasin 2 * 200-400 mg oral pada anak berumur lebih dari 10 tahun

Antipiretik Paracentamol 10-15 mg/kgBB/x beri

Tranfusi darah bila terdapat pendarahan

Pemberian cukup cairan, kalori, dan tinggi protein, tidak boleh

mengandung banyak serat, tidak merangsang maupun menimbulkan

banyak gas.(1,2,3)

13

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

Page 14: Makalah Case.doc

RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

15. PENCEGAHAN

Meningkatkan higienis dengan cara memperhatikan kualitas makanan dan

minuman banyak dikonsumsi.

Untuk makanan, pemanasan sampai suhu 57oC beberapa menit juga dapat

mematikan kuman salmonella typhi.

Penurunan endemitas suatu negara / daerah tergantung pada baik

buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah

Vaksinasi:

Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid,

yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman hidup dan komponen Vi

dari Salmonella typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi ,S.

Paratyphi A, S. Paratyphi B yang dimatikan (TAB vaccine) telah puluhan

tahun digunakan dengan cara pemberian suntikan subkutan; namun vaksin

ini hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping efek

samping lokal pada tempat suntikan yang sering. Vaksin Ty-21a diberikan

pada anak berumur diatas 2 tahun. Pada penelitian di lapangan didapat

hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi

penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella Typhi

diberikan secara suntikan intramuskular memberikan perlindungan 60 - 70

% selama 3 tahun.(2,3)

16. PROGNOSIS

Prognosis tergantung pada umur, keadaan umum, gizi, derajat kekebalan

penderita, cepat dan tepatnya pengobatan serta komplikasi yanng ada.(1)

14

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK

Page 15: Makalah Case.doc

RSU Dr. PIRNGADI MEDAN

DAFTAR RUJUKAN

1.Rampengan,T.H.”DEMAM TIFOID” Penyakit Infeksi Tropik Pada Anak,

Buku Kedokteran EGC,jakarta:2007 hal.46-62

2.Hassan.R, Alatas.H . “TIFUS ABDOMINALIS”, Ilmu Kesehatan Anak II,

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran UI, Jakarta : 1985, hal.593-598.

3.Poorwo Soedarmo,Soemarmo S dkk.”Demam Tifoid”Buku ajar Infeksi&Pediatrik

Tropis,Ikatan Dokter Indonesia edisi II,jakarta:2010,hal.338-345.

4.Prasetio,Riski Vitria,Ismodoedijanto.”Metode Diagnosa Demam Tifoid Pada

Anak”Devisi tropik dan penyakit infeksi FK UNAIR/RSU Dr.Soetomo surabaya

5.Mansjoer.A,dkk . “Tifus Abdominalis”, Kapita Selekta Kedokteran”, Edisi Ketiga, Jilid

II, Penerbit Media Aesculapius Fakultas Kedokteran UI, Jakarta : 2000, hal.432-433

6.Nelson,Waldo E.”infeksi salmonella”ILMU KESEHATAAN ANAK,kedokteran EGC,

Jakarta:2000, hal 965-973.

7bradley D.jones.SALMONELLOSIS:Host imuno responses and bacterial virulence

Determinants .Annu.Rev.immunol.1996

15

KEPANITERAAN KLINIK SENIOR ILMU KESEHATAN ANAK