makalah banjir di jakarta
TRANSCRIPT
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia terletak di daerah tropis yang memiliki curah hujan yang
tinggi. Hal ini dapat menjadi berkah, tapi di sisi lain dapat pula menjadi
musibah jika tidak dikelola dengan baik. Terbukti dengan banyaknya
terjadi fenomena banjir di Indonesia ini. Salah satunya adalah banjir yang
acap kali terjadi di Ibukota Jakarta.
Ketika kita perhatikan, masalah banjir ini bermula dari adanya
kerusakan hutan. Selama ini, banyak orang yang membicarakan kerusakan
hutan di Sumatra, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Jarang sekali mereka
membicarakan kerusakan hutan di Jawa, terutama Jawa Barat, Mereka
berfikir hutan di Jawa sudah habis dan tak perlu dibicarakan lagi. Jadi
lebih baik mempersoalkan kerusakan hutan di luar Jawa. Mereka lupa
bahwa di Jawa juga masih ada sedikit hutan, di mana yang sedikit itu
kondisinya terus memburuk.
Masalah ini hingga kini belum juga mampu teratasi dengan baik.
Padahal Ibukota Jakarta merupakan kota penting yang menjadi pusat
pemerintahan dan perdagangan. Sedangkan banjir yang terjadi di wilayah
ini cukup intensif sehingga menimbulkan kerugian yang teramat banyak.
Inilah masalah kita bersama dan sepatutnya kita fikirkan bersama. Oleh
karena itu sangat penting bagi kita untuk memahami dan secara bersama-
sama mencari solusinya.
B. Batasan Masalah
Dalam penulisan materi ini, saya membatasi ruang lingkup
permasalahan yaitu meliputi :
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 1
1. Pengertian banjir
2. Faktor-faktor penyebab banjir
3. Peristiwa banjir di Jakarta
4. Kondisi daerah Jakarta
5. Kondisi curah hujan di daerah Jakarta
6. Solusi yang dapat direkomendasikan untuk menanggulangi masalah
banjir di Jakarta
C. Rumusan Masalah
Peristiwa banjir yang sering terjadi di DKI Jakarta ini
menimbulkan berbagai pertanyaan sebagai berikut :
1. Apa yang dimaksud dengan banjir ?
2. Apa faktor-faktor yang mengakibatkan banjir ?
3. Bagaimana peristiwa banjir di Jakarta ?
4. Bagaimana kondisi di daerah Jakarta ?
5. Bagaimana kondisi curah hujan di Jakarta ?
6. Bagaimana solusi yang dapat kita rekomendasikan ?
D. Tujuan
Tujuan penulisan makalah ini yaitu agar dalam mata kuliah
Hidrologi mahasiswa mengenal dan memahami mengenai banjir dan
mampu menganalisa fenomena-fenomena banjir di Indonesia pada
umumnya dan Jakarta pada khususnya. Kemudian mampu
mendiskusikannya.
E. Metode Penulisan
Dalam menyusun makalah ini, saya menggunakan metode
Kepustakaan/Literatur, yaitu memperoleh materi pembahasan dari
buku dan media elektronik (internet)
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 2
PEMBAHASAN
A. Pengertian Banjir
Ada tiga pengertian mengenai banjir, yaitu :
1. Banjir adalah aliran air sungai yang tingginya melebihi muka air normal
sehingga melimpas dari palung sungai menyebabkan adanya genangan
pada lahan rendah disisi sungai. Aliran air limpasan tersebut yang
semakin meninggi, mengalir dan melimpas muka tanah yang biasanya
tidak dilewati aliran air
2. Banjir adalah gelombang banjir berjalan kearah hilir sistem sungai yang
berinteraksi dengan kenaikan muka air dimuara akibat badai.
3. Menurut SK SNI M-18-1989-F (1989) dalam (Suparta (2004), banjir
adalah aliran yang relatif tinggi, dan tidak tertampung oleh alur sungai
atau saluran.
Namun secara sederhana banjir dapat didefinisikan sebagainya hadirnya
air di suatu kawasan luas sehingga menutupi permukaan bumi kawasan tersebut.
B. Faktor-Faktor Penyebab Banjir
Secara garis besar, faktor-faktor yang mengakibatkan banjir dapat dibagi
menjadi dua, yaitu :
1. Faktor Alami
Dalam siklus hidrologi kita dapat melihat bahwa volume air yang
mengalir di permukaan bumi dominan ditentukan oleh tingkat curah
hujan, dan tingkat peresapan air ke dalam tanah.
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 3
Aliran Permukaan = Curah Hujan – Resapan ke dalam tanah
Secara sederhana, segmen aliran sungai itu dapat kita bedakan
menjadi :
Daerah hulu : Terdapat di daerah pegunungan, gunung atau perbukitan.
Lembah sungai sempit dan potongan melintangnya berbentuk huruf
“V”. Di dalam alur sungai banyak batu yang berukuran besar
(bongkah) dari runtuhan tebing, dan aliran air sungai mengalir di sela-
sela batu-batu tersebut. Air sungai relatif sedikit. Tebing sungai sangat
tinggi. Terjadi erosi pada arah vertikal yang dominan oleh aliran air
sungai.
Daerah tengah : Umumnya merupakan daerah kaki pegunungan, kaki
gunung atau kaki bukit. Alur sungai melebar dan potongan
melintangnya berbentuk huruf “U”. Tebing sungai tinggi. Terjadi erosi
pada arah horizontal, mengerosi batuan induk. Dasar alur sungai
melebar, dan di dasar alur sungai terdapat endapan sungai yang
berukuran butir kasar. Bila debit air meningkat, aliran air dapat naik
dan menutupi endapan sungai yang di dalam alur, tetapi air sungai
tidak melewati tebing sungai dan keluar dari alur sungai.
Daerah hilir : Umumnya merupakan daerah dataran. Alur sungai lebar
dan bisa sangat lebar dengan tebing sungai yang relatif sangat rendah
dibandingkan lebar alur. Alur sungai dapat berkelok-kelok seperti
huruf “S” yang dikenal sebagai “meander”. Di kiri dan kanan alur
terdapat dataran yang secara teratur akan tergenang oleh air sungai
yang meluap, sehingga dikenal sebagai “dataran banjir”. Di segmen ini
terjadi pengendapan di kiri dan kanan alur sungai pada saat banjir yang
menghasilkan dataran banjir. Terjadi erosi horizontal yang mengerosi
endapan sungai itu sendiri yang diendapkan sebelumnya.
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 4
Dari karakter segmen-segmen aliran sungai itu, maka dapat
dikatakan bahwa banjir merupakan bagian proses alami dalam
pembentukan daratan oleh aliran sungai. Dengan banjir, sedimen
diendapkan di atas daratan. Bila muatan sedimen sangat banyak, maka
pembentukan daratan juga terjadi di laut di depan muara sungai yang
dikenal sebagai “delta sungai.”
Banjir yang meluas hanya terjadi di daerah hilir dari suatu aliran
dan melanda dataran di kiri dan kanan aliran sungai. Di daerah tengah,
banjir hanya terjadi di dalam alur sungai.
Untuk banjir yang secara langsung berkaitan dengan aliran sungai,
secara sederhana dapat kita katakan bahwa manusia dapat terkena banjir
karena tinggal di dataran banjir. Secara alamiah, dataran banjir memang
tidak setiap saat dilanda banjir. Ada banjir tahunan, 5 tahunan, 10
tahunan, 25 tahunan, 50 tahunan atau bahkan 100 tahunan. Interval
tersebut tidak mesti sama untuk setiap sungai, dan hanya dapat diketahui
bila dilakukan pengamatan jangka panjang. Hal ini yang kadang tidak
disadari oleh manusia ketika memilih lokasi pemukiman. Apalagi bila
pendatang yang tidak mengenal karakter suatu daerah di sekitar aliran
sungai tertentu.
2. Faktor Tidak Alami
Perubahan Lingkungan
Perubahan lingkungan? Tidak bisa kita pungkiri, dengan
semakin meningkatnya populasi manusia telah menyebabkan
semakin terdesaknya kondisi lingkungan. Saat ini yang paling
hangat dibicarakan akibat dari perubahan lingkungan adalah
terjadinya pemanasan global, selain itu kita juga telah merubah
penggunaan lahan (yang juga perubahan lingkungan) yang
berakibat pada berkurangnya tutupan lahan. Semakin lama jumlah
vegetasi semakin berkurang, khususnya di daerah perkotaan.
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 5
Akibat pemanasan global menyebabkan terjadinya
perubahan pada pola iklim yang akhirnya merubah pola curah
hujan, makanya jangan heran kalau sewaktu-waktu hujan bisa
sangat tinggi intensitasnya dan kadang sangat rendah. Berdasarkan
analisis statistik data curah hujan dari tahun 1900 sampai tahun
1989 terhadap variasi hujan dengan menggunakan uji F dihasilkan
bahwa telah terjadi perubahan intensitas hujan untuk lokasi
Ambon, Branti, Kotaraja, Padang, Maros, Kupang, Palembang, dan
Pontianak (Slamet dan Berliana, 2006). Berdasarkan kajian
LAPAN (2006), banjir yang terjadi di Jakarta Januari tahun 2002,
Juni 2004 dan Februari 2007 bertepatan dengan fenomena La Nina
dan MJO (Madden-Julian oscillation), kedua fenomena ini
menyebabkan terjadinya peningkatan curah hujan diatas normal.
Memang, berdasarkan kesimpulan penelitian tersebut bukan hanya
faktor iklim yang menyebabkan terjadinya banjir, tapi juga di
sebabkan oleh perubahan penggunaan lahan dan penyempitan
saluran drainase (sungai).
Perubahan penggunaan lahan dan otomatis juga terjadi
perubahan tutupan lahan (penggunaan lahan itu ada pemukiman,
sawah, tegalan, ladang dll. Sedangkan tutupan lahan itu vegetasi
yang tumbuh di atas permukaan bumi) menyebabkan semakin
tingginya aliran permukaan. Aliran permukaan terjadi apabila
curah hujan telah melampaui laju infiltrasi tanah. Menurut Castro
(1959) tingkat aliran permukaan pada hutan adalah 2.5%, tanaman
kopi 3%, rumput 18% sedangkan tanah kosong sekitar 60%.
Sedangkan berdasarkan penelitian Onrizal (2005) di DAS Ciwulan,
penebangan hutan menyebabkan terjadinya kenaikan aliran
permukaan sebesar 624 mm/th. Itu baru perhitungan yang di
lakukan pada daerah hutan yang ditebang di mana masih ada tanah
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 6
yang bisa meresapkan air, lantas jika seandainya tanah-tanah sudah
tertutup beton pasti aliran permukaannya semakin bertambah.
Kembali lagi kita ke hutan yang digunakan sebagai sampel
apabila tidak ada vegetasi dan pengaruhnya terhadap aliran
permukaan dan debit sungai. Onrizal (2005) juga mengungkapkan
bahwa penebangan hutan menyebabkan berkurangnya air tanah
rata-rata sebesar 53.2 mm/bln. Sedangkan kemampuan peresapan
air pada DAS berhutan lebih besar 34.9 mm/bln di bandingkan
dengan DAS tidak berhutan. Selain itu hasil penelitiannya juga
menunjukkan bahwa apabila tanaman di bawah pohon hutan
(tanaman yang kecil-kecil) itu hilang akan menyebabkan
peningkatan aliran permukaan yang mencapai 6.7 m3/ha/blan.
Hasil penelitian Bruijnzeel (1982) dalam Onrizal (2005) yang di
lakukan pada areal DAS Kali Mondoh pada tanaman hutan
memperlihatkan bahwa debit sungai pada bulan Mei, Juli, Agustus
dan September lebih tinggi dari curah hujan yang terjadi pada saat
bulan-bulan tersebut, ini membuktikan bahwa vegetasi sebagai
pengatur tata air dimana pada saat hujan tanaman membatu proses
infiltrasi sehinggaa air disimpan sebagai air bawah tanah dan
dikeluarkan saat musim kemarau. Menurut Suroso dan Santoso
(2006) dalam WWF-Indonesia (2007) perubahan penggunaan
lahan sangat berpengaruh terhadap peningkatan debit sungai. Hasil
penelitian Fakhrudin (2003) dalam Yuwono (2005) menunjukkan
bahwa perubahan penggunaan lahan di DAS Ciliwung tahun 1990-
1996 akan meningkatkan debit puncak dari 280 m3/det menjadi 383
m3/det, dan juga meningkatkan persentase hujan menjadi direct
run-off dari 53 % menjadi 63 %. Yuwono (2005) juga
mengungkapkan pengurangan luas hutan dari 36% menjadi 25%,
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 7
15% dan 0% akan menaikkan puncak banjir berturut-turut 12,7%,
58,7% dan 90,4%.
Sekarang kita coba hubungkan dengan erosi dan
sedimentasi. Saat terjadi perubahan penggunaan lahan dari hutan
menjadi tegalan, maka kemungkinan erosi akan semakin tinggi.
menurut Yuwono (2005) pengurangan luas hutan dari 36% menjadi
25%, 15%, dan 0% akan meningkatkan laju erosi sebesar 10%,
60% dan 90%. Akibat dari erosi ini tanah menjadi padat, proses
infiltrasi terganggu, banyak lapisan atas tanah yang hilang dan
terangkut ke tempat-tempat yang lebih rendah, tanah yang hilang
dan terangkut inilah yang menjadi sedimentasi yang dapat
mendangkalkan waduk-waduk, bendungan-bendungan dan sungai-
sungai. Setelah terjadi seperti itu, kapasitas daya tampung dari
saluran irigasi tersebut menjadi lebih kecil yang akhirnya dapat
menyebabkan banjir walaupun dalam kondisi curah hujan normal.
Menurut Priatna (2001) kerusakan tanah akibat terjadinya erosi
dapat menyebabkan bahaya banjir pada musim hujan,
pendangkalan sungai atau waduk-waduk serta makin meluasnya
lahan-lahan kritis.
Perubahan Masyarakat
Perubahan masyarakat di sini maksudnya adanya pertambahan
populasi penduduk yang terkadang memunculkan daerah-daerah
slump dan perubahan gaya hidup berupa tempat tinggal dengan
berlomba-lomba membangun tempat tinggal yang mewah, tapi
tanpa memperhatikan ekologi, sehingga mengakibatkan semakin
sempitnya lahan peresapan dari air hujan.
Adanya perubahan dari masyarakat petani menuju masyarakat
industri juga mempengaruhi keberadaan banjir. Dengan adanya
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 8
perubahan ini menjadikan areal pertanian semakin sempit karena
banyak digunakan untuk mendirikan perusahaan-perusahaan
industri. Ini pun juga mempersempit daerah peresapan. Bahkan
keberadaan industri ini terkadang menghasilkan limbah buangan
berupa asap hasil pembakaran yang semakin memicu global
warming.
C. Fenomena Banjir di Jakarta
Jakarta serasa tak henti-hentinya dengan berita banjir yang
melanda kota tersebut. Setiap tahun ritual banjir di Jakarta nyaris tak
berubah. Daeraah yang tenggelam pun nyaris tak berubah.
Melihat ritual banjir di Jakarta yang nyaris tak berubah dari tahun
ke tahun, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tampaknya kesal.
Presiden mempertanyakan kenapa ruang terbuka hijau (RTH) yang
berfungsi sebagai resapan air di Jakarta terus menyusut. SBY tersadar
bahwa rupanya apa yang dilakukan Pemerintah Daerah (Pemda) DKI
untuk mengantisipasi banjir hanya berjalan di tempat.
Ini bukan berarti Pemda DKI tidak bekerja serius untuk mengatasi
banjir. Kerjanya serius sekali, tapi sayang geraknya kalah cepat dengan
gerak para pendatang yang merusak program-program antisipasi banjir.
Kasusnya hampir sama dengan problem jumlah penduduk DKI Jakarta.
Yang datang ke Jakarta jauh lebih banyak ketimbang yang keluar dari
Jakarta sehingga hasilnya penduduk Jakarta bertambah terus.
Lantas mengapa banjir dapat melanda Jakarta setiap tahunnya dan
belum didapati solusi hingga saat ini ? Hal inilah yang akan saya kupas
lebih lanjut.
1. Kondisi Daerah di Jakarta
Jakarta berlokasi di halaman utara pulau Jawa, di muara sungai
Ciliwung, Teluk Jakarta. Jakarta terletak di dataran rendah pada
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 9
ketinggian rata-rata 8 meter d.p.l. Hal ini mengakibatkan Jakarta sering
dilanda banjir. Selatan Jakarta merupakan dataran tinggi yang dikenal
dengan daerah Puncak. Jakarta dialiri oleh 13 sungai yang kesemuanya
bermuara ke Teluk Jakarta. Sungai yang terpenting ialah Ciliwung,
yang membelah kota menjadi dua. Sebelah timur dan selatan Jakarta
berbatasan dengan provinsi Jawa Barat dan disebelah barat berbatasan
dengan provinsi Banten.
Kepulauan Seribu, sebuah kabupaten administratif, terletak di
Teluk Jakarta. Sekitar 105 pulau terletak sejauh 45 km (28 mil) sebelah
utara kota.
2. Kondisi Curah Hujan di Daerah Jakarta
Jakarta memiliki suhu udara yang panas dan kering atau beriklim
tropis. Terletak di bagian barat Indonesia, Jakarta mengalami puncak
musim penghujan pada bulan Januari dan Februari dengan rata-rata
curah hujan 350 milimeter (14 inchi) dengan suhu rata-rata 27 °C.
Curah hujan antara bulan Januari dan awal Februari sangat ekstrim,
pada saat itulah Jakarta dilanda banjir setiap tahunnya, dan puncak
musim kemarau pada bulan Agustus dengan rata-rata curah hujan 60
milimeter (2,4 inchi). Bulan September dan awal oktober adalah hari-
hari yang sangat panas di Jakata, suhu udara dapat mencapai 40 °C.
Suhu rata-rata tahunan berkisar antara 25°-38 °C (77°-100 °F)
Hal tersebut di atas menunjukkan adanya potensi banjir akibat
curah hujan tinggi di Jakarta. Tentunya saya tidak ingin
mengenyampingkan tentang faktor manusia dengan aktifitas
pembangunan yang jauh lebih cepat berubah sehingga alam dalam hal
ini curah hujan tinggi hanya berperan stimulus (mempercepat)
perubahan kondisi lingkungan tersebut, hingga menyebabkan
terjadinya banjir di Jakarta.
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 10
Untuk memprediksi apakah benar Jakarta berpotensi banjir, maka
beberapa instansi terkait, yaitu Badan Meteorologi, Klimatologi dan
Geofisika (BMKG) dan Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN), telah memberikan hasil analisisnya. Termasuk Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT) juga telah mengeluarkan
prediksinya dalam media ini beberapa waktu yang lalu, tentang potensi
banjir Jakarta.
Berdasarkan data curah hujan Jakarta Februari 2009, BMKG
mengidentifikasi Jakarta berpotensi mengalami curah hujan tinggi
dengan intensitas 300-400 mm/bulan. Intensitas hujan sebesar itu
dinilai cukup tinggi dan berpeluang untuk terjadinya genangan atau
banjir di Jakarta.
LAPAN juga tidak kalah tepatnya memberikan analisisnya.
LAPAN mengidentifikasi curah hujan di sekitar Indonesia, khususnya
di wilayah Jawa mengalami intensitas curah hujan sekitar 300-350
mm/bulan. Begitu juga dengan Jakarta, diperkirakan mengalami curah
hujan yang kurang lebih sama pada kisaran intensitas tersebut.
Kedua data curah hujan ini memberikan suatu wacana bagi kita,
bahwa Jakarta berpotensi mengalami curah hujan yang cukup tinggi.
Pegangan kita tentang informasi cuaca dari BMKG dan analisis cuaca
dari LAPAN dan BPPT menjadi tumpuan kita bersama.
Selanjutnya, Institut Teknologi Bandung (ITB), sebagai universitas
riset, juga telah banyak memproduksi berbagai model prediksi cuaca di
Indonesia sebagai model eksperimental, baik dengan model dinamis
yang lebih komplek ataupun melalui pendekatan model statis tetapi
ketepatan yang lebih baik yaitu dengan Model Proyeksi Curah Hujan
Resolusi Tinggi seperti terlihat pada gambar ini. Model tersebut
dikembangkan dengan model matematis khusus yang merupakan
gabungan antara model canggih Fast Fouries Transform (FFT) dan
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 11
model simpangan datanya. Penemuan 4 nilai frekuensi dalam
persamaan khusus tersebut sangat menentukan ketepatan hasil model
dengan data, sehingga model matematis khusus tersebut dapat
digunakan untuk proyeksi mendatang. Model ini dikembangkan oleh
berbagai ahli dengan berbagai latar belakang keahlian yang berbeda,
kerjasama ahli informatika, matematika, penginderaan jauh dan ahli
tentunya ahli meteorologi telah merampung model eksperimental
curah hujan untuk wilayah Jakarta.
(a) (b)
Gambar 3. (a) Proyeksi curah hujan Jakarta bulan Februari 2008, (b)
Proyeksi curah hujan Jakarta bulan Februari 2009
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 12
Peta curah hujan yang beresolusi lebih tinggi ini memperlihatkan
bahwa wilayah Jakarta mengalami curah hujan cukup tinggi pada
bulan Februari, terutama wilayah Jakarta bagian Utara, Jakarta Pusat,
Jakarta bagian Selatan, dan Jakarta bagian Timur. Sementara di bagian
Selatan Jakarta curah hujan tinggi dimulai dari wilayah Bogor,
sedangkan di wilayah lainnya sekitar Jakarta, seperti Tangerang, curah
hujan cenderung lebih rendah (lihat Gambar 3.b).
Terlihat juga bahwa, jika kita bandingkan proyeksi curah hujan
tahun 2008 (Gambar 3.a) dengan proyeksi curah hujan tahun 2009
(Gambar 3.b), maka terlihat bahwa curah hujan ini mengalami
distribusi curah hujan hujan lebih tinggi akan tetapi cakupan luas
wilayahnya lebih sempit di banding wilayah cakupan curah hujan
tahun lalu. Hasil model tersebut memberikan gambaran bahwa Jakarta
berpotensi banjir dengan intensitas hujan yang sangat tinggi pada
beberapa wilayah.
Sebenarnya kejadian genangan atau banjir di Jakarta dapat disebabkan
oleh tiga kejadian, yaitu :
a. Kenaikan suhu bumi (global warming) yang mengakibatkan pencairan es
abadi di kutub. Ini pun menimbulkan peningkatan permukaan air
laut.Wilayah Jakarta yang berada di dataran rendah mudah sekali
terpengaruh oleh naiknya permukaan air laut. Dalam kasus banjir
belakangan ini Jakarta dihantam air bah, baik yang berasal dari
pegunungan di Bopunjur maupun yang berasal dari pantai utara (rob).
Kejadian banjir pasang (rob) oleh gelombang pasang laut sebagai akibat
curah hujan yang tinggi di laut atau kejadian rob juga bisa diakibatkan
oleh pasang laut karena gerhana bulan. Biasanya kejadian banjir pasang
(rob) akibat gerhana bulan tersebut terjadi dalam hitungan waktu 12
sampai 24 jam sedangkan rob akibat curah hujan tinggi relatif lebih
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 13
singkat waktunya. Daerah genangan biasanya terpusat di wilayah rendah
di wilayah utara Jakarta.
b. Genangan atau banjir bisa terjadi akibat limpahan air hujan dari wilayah
Bogor ke daerah aliran sungai di wilayah Jakarta. Selanjutnya masyarakat
sering mengidentifikasikan banjir ini sebagai ”banjir kiriman”. Daerah
aliran sungai (DAS) yang dilalui oleh “banjir kiriman” tersebut akan
terkena genangan, terutama daerah yang yang rendah di wilayah Jakarta
dan banjir akan berlangsung 1-2 hari, tergantung lamanya dan intensitas
hujan di wilayah Bogor. Hal ini, karena perubahan peruntukan lahan yang
semula untuk Ruang Terbuka Hijau (RTH) kini menjadi ruang yang
tertutup bangunan (RTB). Dampaknya, alih-alih tumbuh hutan kota untuk
resapan air,yang muncul hutan beton yang menahan air. Sejak 2000,
misalnya, RTH Jakarta sudah di bawah 10%. Idealnya, minimum 27,5%.
Di pihak lain, daerah-daerah hulu sungai yang mengalir di Jakarta,yaitu
daerah sekitar Bopunjur (Bogor, Puncak, Cianjur) juga mengalami
konversi lahan dari kawasan RTH menjadi kawasan RTB yang sangat
mengkhawatirkan. Akibatnya, air hujan yang jatuh di Bopunjur tak bisa
terserap dan membanjiri Jakarta.
c. Banjir atau genangan di Jakarta akan bisa terjadi akibat pergeseran pola
curah hujan dari bagian selatan (wilayah Bogor) ke arah Utara, memasuki
wilayah Jakarta, artinya terjadi perubahan pola curah hujan yang bergerak
dari Selatan menuju Utara dari wilayah Bogor ke wilayah Jakarta.
Adanya wilayah hujan yang baru dengan perubahan pola ini disinyalir
akan menyebabkan munculnya daerah genangan baru yang mungkin
belum pernah ada sebelumnya di wilayah Jakarta dan sekitarnya.
Biasanya curah hujan yang menyebabkan genangan akan terjadi dalam
waktu 1-3 hari.
Masing-masing kejadian tersebut berpotensi menyebabkan banjir di
Jakarta. Tetapi, kejadian banjir yang jauh lebih besar akan mungkin terjadi dan
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 14
menyebabkan banjir apalagi ketiga kejadian tersebut terjadi pada saat yang
bersamaan atau dalam selang waktu yang kurang dari 6-12 jam. Lebih kurang
kejadian seperti itulah yang terjadi di Jakarta pada awal Februari 2 tahun yang lalu
(tahun 2007).
Selain ketiga hal utama tersebut, banjir di Jakarta juga disebabkan oleh :
a. Berkurangnya situ atau rawa di Jabodetabek. Di kawasan Depok saja, dari
60 situ yang ada kini tinggal enam buah. Menurut Pusat Penelitian
Limnologi Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, di Jabodetabek dulu,
tahun 1960-an, ada 218 situ. Kini tinggal 50-an saja.Kawasan situ yang
sangat penting fungsinya untuk menampung limpahan air hujan, baik di
daerah hilir maupun hulu Jakarta, kini telah berubah menjadi perumahan,
pertokoan, dan lain-lain.
b. Sempadan tiga belas sungai yang ada di Jakarta makin menyempit.
Sempadan sungai yang seharusnya steril dari bangunan, banyak yang
berubah jadi perumahan. Sampai 2005 saja, misalnya, 60% sempadan
sungai-sungai di Jakarta telah berubah menjadi bangunan perumahan dan
pertokoan penduduk. Kondisinya sekarang pasti lebih parah. Banjir di
sepanjang daerah aliran sungai (DAS) Ciliwung adalah akibat
menyempitnya lahan sempadan tersebut.
c. Morfologi tanah wilayah Jakarta relatif rendah, rata-rata, hanya 10 meter
di atas permukaan air laut. Bahkan belakangan kondisinya lebih rendah
lagi karena penyedotan air tanah yang berlebihan. Di sebagian wilayah
Jakarta Pusat dan Jakarta Selatan, contohnya, permukaan tanahnya sudah
lebih rendah dari permukaan laut.
d. Sampah rumah tangga yang tidak terurus. Setiap hari, di Jakarta ada
tambahan 10.000-an ton sampah, yang ironisnya 30% di antaranya
dibuang ke sungai dan got-got yang ada di Jakarta.Tumpukan sampah
inilah yang sering memacetkan aliran air drainase di perkotaan yang
mengakibatkan banjir.
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 15
e. Hilangnya lahan basah seperti hutan kota dan hutan mangrove yang
berfungsi sebagai resapan dan reservoir air.Lahan hutan kota dan hutan
mangrove telah banyak berubah menjadi lahan real estat dan pertokoan.
D. Solusi Yang Dapat DirekomendasikanSelama ini pemerintah memang telah melakukan upaya untuk
menanggulangi masalah banjir ini. Salah satunya dengan banjir kanal. Banjir
Kanal Jakarta adalah kanal yang dibuat agar aliran sungai Ciliwung melintas di
luar Batavia, tidak di tengah kota Batavia. Banjir kanal ini merupakan gagasan
Prof H van Breen dari Burgelijke Openbare Werken atau disingkat BOW, cikal
bakal Departemen PU, yang dirilis tahun 1920. Studi ini dilakukan setelah banjir
besar melanda Jakarta dua tahun sebelumnya. Inti konsep ini adalah pengendalian
aliran air dari hulu sungai dan mengatur volume air yang masuk ke kota Jakarta.
Termasuk juga disarankan adalah penimbunan daerah-daerah rendah.
Antara tahun 1919 dan 1920, gagasan pembuatan Banjir Kanal dari
Manggarai di kawasan selatan Batavia sampai ke Muara Angke di pantai utara
sudah dilaksanakan. Sebagai pengatur aliran air, dibangun pula Pintu Air
Manggarai dan Pintu Air Karet.
Dengan bantuan Netherlands Engineering Consultants, tersusunlah "Master Plan
for Drainage and Flood Control of Jakarta" pada Desember 1973. Berdasarkan
rencana induk ini, seperti yang ditulis Soehoed dalam Membenahi Tata Air
Jabotabek, pengendalian banjir di Jakarta akan bertumpu pada dua terusan yang
melingkari sebagian besar wilayah kota.
Terusan itu akan menampung semua arus air dari selatan dan dibuang ke
laut melalui bagian- bagian hilir kota. Kelak, terusan itu akan dikenal dengan
nama Banjir Kanal Barat dan Banjir Kanal Timur. Ini adalah salah satu upaya
pengendalian banjir Jakarta di samping pembuatan waduk dan penempatan pompa
pada daerah-daerah yang lebih rendah dari permukaan air laut.
Di dalam rencana induk itu dirancang sistem pengendalian dengan
membuat kanal yang memotong aliran sungai atau saluran di wilayah Jakarta
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 16
Barat. Kanal ini adalah perluasan terusan banjir peninggalan Van Breen, yang
kemudian beken disebut sebagai Banjir Kanal Barat (BKB). Tetapi, karena
sebagian besar alur kanal ini melintasi daerah permukiman padat, untuk
pembebasan tanahnya dibutuhkan persiapan dan pelaksanaan yang panjang.
Akibatnya, pembuatan perluasan BKB tersebut pun tertunda.
Setelah terjadi banjir di wilayah Jakarta Barat pada Januari 1979,
pemerintah pusat bersama Pemerintah Daerah DKI Jakarta mencari jalan
pemecahan untuk mengurangi potensi terjadinya genangan pada masa yang akan
datang. Rencana perluasan BKB pun diganti dengan pembuatan jaringan
pengendali banjir lainnya, yakni jaringan kanal dan drainase yang dinamakan
Sistem Drainase Cengkareng. Saluran banjir Cengkareng selesai dibuat pada
tahun 1983.
Memang cukup bagus telah adanya upaya tersebut. Namun hal tersebut
menjadi kurang berarti jika belum juga selesai direalisasikan karena kendala dari
masalah pembebasan tanah. Oleh karena itu, saya merekomendasikan beberapa
solusi untuk masalah banjir di Jakarta, yaitu :
1. Pemda DKI Jakarta perlu juga memikirkan bagaimana menghidupkan
kembali situ-stu yang rusak atau mati. Bila perlu, Pemda DKI
membuat situ-situ baru di wilayah tertentu seperti dilakukan Pemda
Kota Metropolitan Bangkok, Thailand, yang telah berhasil
menghidupkan kembali situ-situ di sana.
2. Pemda DKI Jakarta juga bisa mengubah secara radikal RTH yang ada
untuk mengatasi banjir. Misalnya dengan membuat hutan mangrove di
sepanjang pantai utara. Hutan mangrove yang ada di Jakarta sekarang
ini jumlahnya masih terlalu sedikit dibanding problem daerah serapan
air hujan, penampungan air, dan penangkalan ombak atau rob air laut.
Jangan sampai hutan mangrove yang ada tersebut malah diserobot
peruntukannya menjadi perumahan.
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 17
3. Sebetulnya Pemda DKI Jakarta juga sudah memiliki peraturan daerah
yang amat bagus untuk mengatasi banjir, yaitu peraturan daerah
tentang keharusan membuat sumur resapan untuk satu satuan luas
tertentu bangunan gedung atau rumah. Sayangnya peraturan tersebut
tidak dilaksanakan secara serius dan banyak pihak yang melanggarnya.
Padahal, sumur resapan ini sangat besar manfaatnya untuk resapan air
dan menjaga stabilitas volume air tanah Jakarta yang terus berkurang.
Jika masalah sumur resapan diprioritaskan dan ditegakkan hukumnya,
niscaya banjir besar di wilayah-wilayah seperti Cawang, Gatot
Soebroto, dan Kota, bisa dikurangi. Oleh karena itu perlunya realisasi
ketat mengenai peraturan ini.
4. Perlu adanya perlindungan hutan, kebun, dan konservasi lahan secara
intensif.
5. Kinerja bersama untuk rehabilitasi DAS dan lahan kritis.
6. Pengendalian terhadap pemanfaatan ruang yang mengganggu fungsi
hidrologi serta kelestarian fungsi lingkungan hidup.
7. Adanya subsidi silang hulu-hilir
PENUTUP
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 18
Banjir sebenarnya merupakan suatu proses alami dari pembentukan
dataran. Namun banjir ini akan menjadi masalah jika manusia tidak dapat
menempatkan diri dalam membangun pemukiman serta intensitas banjir tersebut
terlalu sering dan besar. Masalah banjir ini jika kita turut-turut, manusialah
tentunya yang akan menjadi tersangka sebagai biang keladi timbulnya banjir.
Bagaimanapun upaya yang kita usahakan akan sulit terwujud tanpa adanya
kontribusi positif dari berbagai pihak untuk menanganinya. Tentunya hal tersebut
bermula dari kesadaraan kita masing-masing. Oleh karena itu, perlu adanya
tidakan penanganan secara komprehensif dari berbagai kalangan dan secara
berkelanjutan.
DAFTAR PUSTAKA
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 19
Ali Kodra, Hadi S., Syaukani. Bumi Makin Panas, Banjir Makin Luas. 2004.
Bandung :Yayasan Nuansa Cendekia
Asy Syakur (20 Februari 2007). Apa sih Banjir ? Diambil pada tanggal 27 Maret
2010 dari http://asy-syakur.wordpress.com
Asy Syakur (20 Februari 2007). Faktor Penyebab Banjir (1). Diambil pada tanggal
27 Maret 2010 dari http://asy-syakur.wordpress.com
Asy Syakur (20 Februari 2007). Faktor Penyebab Banjir (2). Diambil pada tanggal
27 Maret 2010 dari http://asy-syakur.wordpress.com
Banjir. Diambil pada tanggal 27 Maret 2010 dari http://www.wikipedia.com
Banjir Kanal. Diambil pada tanggal 27 Maret 2010 dari
http://www.wikipedia.com
Daerah Khusus Ibukota Jakarta. Diambil pada tanggal 27 Maret 2010 dari
http://www.wikipedia.com
FENOMENA BANJIR DI JAKARTA 20