makalah bandung final
TRANSCRIPT
1
KETUA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
KELEMBAGAAN NEGARA DI INDONESIA
ANTARA HARAPAN DAN KENYATAAN DALAM MEWUJUDKAN
PEMERINTAHAN YANG EFEKTIF
Disampaikan pada Kuliah Perdana Semester Genap tahun 2009-2010
Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik,
Universitas Padjajaran, Bandung.
Bandung, 18 Februari 2010
Assalamu’alaikum Warohmatullahi Wabarokatuh,
Salam Sejahtera Untuk kita Semua,
Puji dan syukur kita persembahkan ke hadirat Allah SWT, Tuhan
YME, yang telah memberikan rahmat dan hidayahnya kepada kita semua
sehingga kita bisa berkumpul dalam forum Kuliah Perdana Semester
Genap Jurusan Ilmu Pemerintahan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
(FISIP) Universitas Padjajaran.
Tema yang dimintakan kepada saya, adalah Kelembagaan Negara
di Indonesia, antara Harapan dan Kenyataan dalam Mewujudkan
Pemerintahan Yang Efektif. Tema ini adalah tema yang penting dan
selalu up to date untuk dibicarakan, khususnya bagi mahasiswa Ilmu
Pemerintahan.
2
Saudara-Saudara sekalian yang saya hormati, saya akan menguraikan
peran kelembagaan negara di Indonesia dalam mewujudkan
pemerintahan yang efektif,
Sistem politik yang demokratis, di mana kedaulatan berada di
tangan rakyat, dewasa ini telah menjadi sistem yang diterima oleh banyak
negara. Kedaulatan adalah “kekuasaan tertinggi”. Dalam kehidupan
bernegara, rakyat menyerahkan kedaulatannya kepada negara.
Kedaulatan rakyat yang diserahkan kepada negara itu tercermin pada tiga
cabang kekuasaan yang dikenal dengan konsep trias politika, yaitu ajaran
pembagian kekuasaan dalam negara yang dikenalkan oleh oleh ilmuwan
Perancis, Montesquieu, dalam bukunya ”the Spirit of Laws“. Montesquieu
membagi kekuasaan negara dalam tiga cabang kekuasaan, yaitu legilslatif,
eksekutif, dan yudikatif. Ajaran pemisahan kekuasaan ini sebelumnya
dikenalkan oleh ilmuwan Inggris, John Locke, dalam bukunya “Two
Treatises of Government“. John Locke membagi kekuasaan negara
menjadi tiga cabang kekuasaan, yaitu legislatif, ekekutif, dan federatif.
Konsep dasar trias politika adalah kekuasaan di suatu negara tidak
boleh dilimpahkan hanya pada satu struktur kekuasaan politik, melainkan
harus terpisah di lembaga-lembaga negara yang berbeda. Kekuasaan
yang menumpuk di satu cabang kekuasaan akan memunculkan kekuasaan
3
yang korup, seperti yang dikatakan Lord Action, “Power tends to corrupt.
Absolute power, corrupt absolutely“.
Doktrin trias politika banyak mempengaruhi the founding fathers
Amerika Serikat pada saat perumusan konstitusi mereka. Trias politika
pada waktu itu diartikan sebagai separation of powers. Akan tetapi,
sekalipun ketiga kekuasaan sudah dipisah, penyusun konstitusi Amerika
menganggap perlu untuk menjamin bahwa masing-masing kekuasaan
tidak melampaui batas kekuasaannya. Maka dari itu, mereka mencoba
membendung kecenderungan ini dengan membangun sistem “checks and
balances”, pengawasan dan keseimbangan, di mana setiap cabang
kekuasaan dapat mengawasi dan mengimbangi cabang kekuasaan
lainnya.
Dalam konteks Indonesia, sebelum adanya Perubahan Pertama
UUD 1945 (1999), kita tidak menganut ajaran pemisahan kekuasaan
(separation of powers) sebagaimana diperkenalkan oleh John Locke dan
Montesquieu, melainkan pembagian kekuasaan (division of
powers/distribution of powers). Hal ini antara lain terlihat dari kekuasaan
Presiden yang tidak hanya memegang kekuasaan eksekutif, tetapi juga
kekuasaan legislatif.1 Setelah Perubahan Pertama UUD 1945 yang
materinya antara lain menggeser kekuasaan legislatif dari Presiden ke
DPR,2 kita menjadi negara yang juga menerapkan ajaran pemisahan
1 Lihat Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 sebelum perubahan.
2 Lihat Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Perubahan Pertama UUD 1945.
4
kekuasaan (separation of powers).3 Kendati demikian, dalam sistem
ketatanegaraan Indonesia, kekuasaan tidak hanya dibagi ke dalam tiga
cabang kekuasaan saja. Selain DPR, Presiden, dan MA yang masing-
masing menjalankan kekuasaan legislatif, eksekutif, dan yudikatif, ada
juga lembaga-lembaga lain yang menjalankan kekuasaan negara, seperti
MPR dan BPK. Bahkan, setelah perubahan UUD 1945, ada lembaga-
lembaga baru yang dihadirkan, antara lain DPD dan MK. Meski dalam
fungsinya yang sangat terbatas, DPD ikut serta dalam menjalankan
kekuasaan legislatif, terutama terkait dengan inisiasi, pembahasan, dan
pertimbangan undang-undang yang terkait dengan otonomi daerah,
termasuk pengawasan atas pelaksanaan undang-undang tersebut.4
Adapun MK menjadi pelaku kekuasaan kehakiman yang sejajar dengan
MA.5
Selain membagi kekuasaan negara kepada lembaga-lembaga
negara utama, UUD 1945 juga memberikan kewenangan kepada
lembaga-lembaga tertentu. Lembaga-lembaga tersebut dikenal dengan
istilah state auxilliary agencies atau state independent bodies, misalnya
komisi pemilihan umum (KPU)6 dan Komisi Yudisial (KY).
7
3 Jimly Asshiddiqie, “Pergeseran Kekuasaan Legislatif-Eksekutif dan Peningkatan Peran DPR di
Masa Depan”, makalah pada Seminar Nasional tentang Peningkatan Peran DPR-RI, Jakarta, 6
September 2000. 4 Lihat Pasal 22D Perubahan Ketiga UUD 1945.
5 Lihat Pasal 24 ayat (2) Perubahan Ketiga UUD 1945.
6 Lihat Pasal 22E ayat (5) Perubahan Ketiga UUD 1945.
7 Lihat Pasal 24B Perubahan Ketiga UUD 1945.
5
Meski kita sekarang menganut pula ajaran pemisahan kekuasaan,
tetapi yang diterapkan tidaklah ajaran pemisahan kekuasaan klasik yang
hanya membagi kekuasaan negara atas tiga cabang kekuasaan.
Tumbuhnya banyak lembaga negara tidak terhindarkan seiring dengan
semakin kompleksnya urusan kenegaraan. Lagipula, meski diakui penting,
sejak lama ajaran tentang pemisahan kekuasaan tersebut banya dikritisi,
misalnya yang tampak dari pernyataan G.W. Paton berikut ini: ”Although
in political theory much has been made of the vital importance of the
separation of powers, it is extraordinary difficult to define precisely each
particular power…The political usefulness of a separation of powers is
clearly recognized today, but the major juristic difficulty is to discover any
clear definitions of the legislative, administrative, and judicial process
which can be related to the functioning of actual states”.8
Saudara-Saudara sekalian yang saya hormati,
UUD 1945 telah menempatkan lembaga-lembaga negara pada
proporsinya. UUD 1945 telah menyebarkan kekuasaan ke lembaga-
lembaga negara yang ada. Pada era Orde Baru, DPR dianggap hanya
sebagai “stempel” dari lembaga eksekutif. Maka pada era pasca Orde
Baru lembaga ini diberdayakan, dan memiliki posisi yang sejajar dengan
lembaga-lembaga negara lainnya. Peta kekuasaan yang terpusat di
8 G. W. Paton, A Text-Book of Jurisprudence, second edition (Oxford: The Clarendon Press,
1951), hlm. 262.
6
tangan eksekutif menyebar ke arah yang lebih seimbang. Dengan
demikian, harapan baru tercipta pada lembaga-lembaga negara yang ada
bila berperan secara optimal dan proporsional.
Amandemen UUD 1945 telah mengubah susunan dan struktur
kelembagaan negara. Yang paling terlihat adalah tidak lagi dikenal
sebutan “lembaga tinggi dan tertinggi negara” dalam struktur
kelembagaan negara di Indonesia. Semua “lembaga tinggi dan tertinggi
negara” itu menjadi “lembaga negara” sebagaimana diatur dalam UUD
1945. Selain itu, dalam cabang kekuasaan legislatif, telah diperkenalkan
format baru lembaga perwakilan Indonesia. Sebelumnya kita hanya
memiliki DPR dan MPR, yang keanggotaannya terdiri dari para anggota
DPR ditambah utusan daerah dan utusan golongan serta yang dianggap
sebagai penjelmaan kedaulatan rakyat. Kini hadir lembaga perwakilan
baru sebagai bentuk penguatan terhadap utusan daerah, yaitu Dewan
Perwakilan Daerah (DPD), yang seluruh anggotanya dipilih melalui
pemilihan umum. Para anggota kedua lembaga perwakilan tersebut (DPR
dan DPD) kemudian menjadi anggota MPR. Kondisi tersebut tidak serta
merta dapat dinyatakan sebagai sistem keparlemenan bikameral atau dua
kamar.
Hal itu selain tidak secara eksplisit dinyatakan dalam UUD 1945
juga karena filosofi pembentukannya tidak mengarahkan untuk menjadi
sebuah sistem keparlemenan bikameral. Kehadiran DPD dalam sistem
keparlemenan di Indonesia adalah dalam kerangka menguatkan peran
7
daerah di tingkat pusat, khususnya dalam upaya memberikan pengaruh
atau bahkan ikut merumuskan kebijakan yang berkaitan dengan daerah
sebagaimana terlihat dalam ketentuan Pasal 22D Perubahan Ketiga UUD
1945.
Kekuasaan membentuk undang-undang tetap berada di tangan
DPR sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 20 ayat (1) Perubahan
Pertama UUD 1945. Untuk ke depannya, tetap terbuka upaya
peningkatan peran DPD dalam proses legislasi, pengawasan, dan
anggaran melalui perubahan UUD 1945 sesuai ketentuan Pasal 37
Perubahan Keempat UUD 1945, dengan tetap dalam kerangka Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Yang terpenting adalah bagaimana DPD
menunjukkan kinerjanya sesuai amanat UUD 1945 yang ada sekarang.
Anggapan bahwa setelah perubahan UUD 1945 sistem politik kita
beralih ke arah penguatan DPR sehingga tercipta legislative heavy, tidak
sepenuhnya benar. Misalnya, dari aras kekuasaan legislatif. Meskipun
terjadi pergeseran kekuasaan membentuk undang-undang dari Presiden
kepada DPR melalui perubahan Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD
1945, tidak serta merta DPR memegang sepenuhnya kekuasaan tersebut.
Sebab, semua rancangan undang-undang dibahas bersama dengan
Presiden untuk mendapatkan persetujuan bersama.9 Jika rancangan
undang-undang tersebut tidak mendapatkan persetujuan bersama,
rancangan undang-undangan tersebut tidak dapat dimajukan lagi dalam
9 Lihat Pasal 20 ayat (2) Perubahan Pertama UUD 1945.
8
persidangan DPR masa itu.10
Dari ketentuan ini, dapat saya katakan
bahwa sesungguhnya Presiden dalam sistem ketatanegaraan Indonesia
pascapeubahan UUD 1945 memegang 50 persen kekuasaan legislatif.
Presiden dapat memveto setiap rancangan undang-undang yang tidak ia
setujui. Hanya, memang, veto tersebut tidak berada di ujung setelah
suatu rancangan undang-undang disetujui oleh lembaga legislatif
sebagaimana halnya di Amerika Serikat, melainkan pada saat
dilakukannya pembahasan antara pemerintah dan DPR. Tidak
mengherankan bila ada yang menyatakan bahwa pergeseran fungsi
legislasi setelah perubahan UUD 1945 justru makin menguatkan model
legislasi parlementer dalam sistem presidensial Indonesia.11
Ini
menunjukkan bahwa dari segi desain konstitusional, tidak sepenuhnya
benar klaim legislative heavy.
Contoh lain, dalam kaitan dengan pemakzulan (impeachment)
terhadap pesiden dan/atau wakil presiden. DPR tidak begitu saja dapat
menjatuhkan presiden dan/atau wakil presiden hanya dengan suara
mayoritas di lembaga legislatif. Aturan impeachment menurut UUD 1945
pascaamandemen berbeda dengan pengaturan sebelumnya. DPR tidak
bisa langsung mengundang MPR untuk menyelenggarakan sidang
paripurna dalam rangka pemakzulan terhadap presiden dan/atau wakil
presiden, namun harus melalui proses di MK untuk selanjutnya
10
Lihat Pasal 20 ayat (3) Perubahan Pertama UUD 1945. 11
Saldi Isra, Pergeseran Fungsi Legislasi: Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem
Presidensial Indonesia, Cetakan I, Jakarta, Rajawali Press, 2010.
9
diserahkan kembali ke DPR. Jika memang MK memutuskan bahwa
presiden dan/atau wakil presiden melakukan pelangaran hukum berupa
pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat
lainnya, dan perbuatan tercela, atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai
presiden dan/atau wakil presiden, maka proses selanjutnya berada di
tagan MPR untuk memutuskannya secara politik.
Amandemen UUD 1945 memposisikan lembaga legislatif dan
eksekutif dalam posisi yang sejajar. Apabila pada era Orde Baru
kekuasaan eksekutif sangat eksesif, maka kini tidak ada gerak langkah
eksekutif yang lepas dari kontrol DPR. Kekuasaan membuat undang-
undang kini bergeser ke lembaga legislatif, begitu juga dalam hak budget,
dan penentuan pejabat-pejabat publik seperti hakim agung, Gubernur
Bank Indonesia, personalia komisi-komisi negara, sampai penerimaan
duta-duta besar negara asing di Indonesia, harus melalui pertimbangan
DPR. Keterlibatan DPR khususnya dalam proses pengangkatan pejabat
publik tersebut sebagai refleksi bahwa DPR adalah representasi rakyat,
sehingga setiap pejabat publik harus memperoleh konfirmasi atau bahkan
persetujuan dari rakyat. Akan tetapi proses seleksi administrasi dan
kemampuan terhadap para calon pejabat publik tersebut sesungguhnya
telah dilakukan oleh tim seleksi dari lembaga-lembaga yang terkait,
bahkan oleh tim-tim seleksi independen.
10
Saudara-Saudara sekalian yang saya hormati,
Sebagai lembaga yang mewakili rakyat, Dewan mempunyai tiga
fungsi, yaitu legislasi, budgeting, dan controlling. Fungsi legislasi
merupakan fungsi yang paling dasar dari sebuah lembaga legislatif. Fungsi
ini bertujuan agar DPR dapat membentuk peraturan perundang-
undangan yang baik, karena kegiatan legislasi selalu identik dengan
proses pembentukan sebuah undang-undang. Melalui DPR, aspirasi
masyarakat ditampung, kemudian diimplementasikan dalam undang-
undang yang dianggap sebagai representasi kehendak rakyat.
Pada fungsi anggaran (budgeting), DPR bersama presiden
menyusun anggaran dalam RAPBN yang nantinya dijadikan Undang-
undang tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara. DPR juga
membahas RUU atau Pelaksanaan APBN pada satu tahun anggaran
sebelumnya. Dalam susunan alat-alat kelengkapan DPR, ada Badan
Anggaran sebagai divisi khusus yang berkaitan dengan anggaran negara.
Selain itu, sesuai dengan amanat UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR,
DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3), telah terbentuk Badan Akuntabilitas
Keuangan Negara (BAKN) sebagai alat kelengkapan DPR yang secara
khusus menangani urusan keuangan negara supaya lebih akuntabel dan
transparan, khususnya melakukan penelaahan terhadap temuan hasil
pemeriksaan BPK yang disampaikan ke DPR.
Pada fungsi pengawasan (controlling), DPR bertugas mengawasi
jalannya pemerintahan yang dilaksanakan oleh eksekutif, yaitu
11
pengawasan atas pelaksanaan undang-undang, pelaksanaan keuangan
negara, dan kebijakan pemerintah. Karena, sebuah lembaga negara yang
tidak mendapatkan pengawasan memungkinkan munculnya
penyalahgunaan wewenang. Dalam hal melakukan pengawasan terhadap
eksekutif, DPR mempunyai beberapa hak, baik secara kelembagaan
maupun individu setiap anggota. Hak yang terkait dengan kelembagaan
dalam konteks pelaksanaan fungsi pengawasan adalah hak angket atau
hak untuk mengadakan penyelidikan, hak interpelasi atau hak untuk
meminta keterangan, dan hak menyatakan pendapat.
Selain itu, terdapat hak yang melekat di setiap anggota DPR dalam
konteks pengawasan, yaitu hak bertanya, yang dilakukan baik dalam
setiap rapat kerja dengan pemerintah maupun dalam pelaksanaan hak-
hak kelembagaan tersebut.
Dari perspektif keparlemenan, pemerintahan yang efektif berarti
pemerintahan yang berpihak pada kepentingan publik. Tantangan yang
dihadapi DPR adalah mengelola kemampuan untuk menjadi partner
politik bagi pemerintah (eksekutif) yang bersifat kritis-konstruktif
terhadap setiap kebijakan pemerintah. Dalam menjalankan perannya
sebagai wakil rakyat, para anggota DPR tidak sekadar secara prosedural
semata-mata menjalankan tugasnya dengan selalu mengkritisi kebijakan
tanpa dasar, tetapi juga secara substansial memiliki bobot melalui
penguasaan materi dan permasalahan yang sedang dibahas.
12
Dengan kata lain, keterwakilan secara substansial menuntut para
anggota Dewan tidak hanya bekerja semata-mata secara prosedural,
tetapi harus lebih substansial, dengan memastikan bahwa segenap
prosedur tersebut berpihak pada kepentingan rakyat.
Dalam menjalankan fungsi pengawasan, para anggota Dewan tidak
boleh terjebak “politicking”, dimana aktivitas dan dinamika politik
diwarnai dengan semengat untuk saling menjegal dan menjatuhkan,
tetapi harus mengedepankan etika dan moralitas politik. Sikap kritis dan
korektif para anggota Dewan tidak dibelokkan untuk kepentingan tawar-
menawar politik yang bersifat pragmatis, demi kepentingan pribadi dan
kelompoknya. Apabila, tidak demikian, maka cepat atau lambat wibawa
lembaga DPR akan tersandera oleh perilaku elite-elite politik internalnya.
Apabila implementasi ketiga fungsi DPR (legislasi, anggaran, dan
pengawasan), didasarkan pada komitmen moral untuk kepentingan
rakyat, maka kontribusi Dewan sangatlah menentukan dalam
mewujudkan pemerintahan yang efektif. Di sisi lain, kewibawaan dan
integritas lembaga DPR di mata rakyat akan meningkat, mengingat rakyat
memiliki rasa percaya (trust) yang tinggi dan tidak serta-merta bersikap
apriori kepada lembaga DPR.
Saudara-Saudara sekalian yang saya hormati, saya akan menguraikan
pelaksanaan fungsi-fungsi DPR, antara harapan dan kenyataan,
13
Pada era reformasi ini, dengan adanya semangat yang tinggi di
dalam mengimplementasikan demokrasi secara konsisten, yang ditandai
dengan dilakukannya amandemen UUD 1945 serta praktik politik yang
demokratis, terbuka dan partisipatif, DPR dituntut untuk senantiasa
menunjukkan kinerja yang lebih baik.
Di bidang legislasi, merujuk pengalaman kinerja DPR sebelum
periode 2009-2014, sebagaimana dicatat oleh Tim Kajian Peningkatan
Kinerja DPR masih terdapat dua permasalahan pokok, antara lain; target
jumlah penyelesaian RUU yang telah ditetapkan dalam prioritas tahunan
di dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas), belum dapat
sepenuhnya dipenuhi; dan proses pembahasan RUU kurang transparan,
sehingga sulit diakses oleh publik.
Di sisi lain, dicatat juga bahwa banyak produk perundang-
undangan yang dihasilkan DPR selama ini yang dipertanyakan kualitasnya,
mengingat banyaknya tuntutan judicial review masyarakat yang
dikabulkan oleh pihak Mahkamah Konstitusi (MK). Tentu saja, catatan
tersebut merupakan pekerjaan rumah bagi kami, segenap pimpinan dan
anggota DPR periode 2004-2009, agar kekurangan tersebut dapat diatasi
dengan sebaik-baiknya. Bahwa di dalam proses legislasi, kami akan
seoptimal mungkin bekerja secara sungguh-sungguh, tidak saja
berorientasi pada target jumlah RUU yang disepakati dan disahkan, tetapi
jauh daripada itu adalah kualitasnya. Produk perundang-undangan yang
14
dihasilkan oleh DPR, bagaimanapun harus dapat dipertanggungjawabkan
kepada publik/rakyat, serta benar-benar dapat diandalkan.
Sementara itu, pada pelaksanaan fungsi anggaran, Dewan telah
melakukan berbagai langkah untuk meningkatkan kemampuan anggota
seperti membangun kerjasama dengan beberapa pusat data, membentuk
Badan Akuntabilitas Keuangan Negara (BAKN) disamping Badan
Anggaran. Semua itu dimaksudkan agar fungsi anggaran dilakukan secara
optimal, dengan mengedepankan asas keadilan, proporsionalitas,
akuntabilitas dan transparansi yang selaras dengan ketentuan konstitusi
dan perundang-undangan terkait. Dan satu hal yang harus dicatat jangan
sampai fungsi anggaran ini disalahgunakan dengan menjadikannya ajang
bagi para anggota Dewan untuk melakukan tawar-menawar dengan
berbagai pihak, khususnya pemerintah, demi kepentingan jangka pendek
individu maupun kelompok.
Sementara itu di dalam pelaksanaan konteks pengawasan, fungsi
tersebut dilakukan melalui berbagai bentuk aktivitas seperti rapat kerja
komisi dengan mitra kerja masing-masing, mengadakan kunjungan kerja
ke berbagai daerah, serta membentuk berbagai kepanitiaan seperti
Panitia Khusus (Pansus) untuk merespons berbagai masalah penting,
strategis dan krusial. Optimalisasi pelaksanaan fungsi pengawasan akan
dapat berjalan secara optimal, apabila baik pihak Dewan maupun
pemerintah sama-sama proaktif, terbuka dan obyektif. Dan harus dicatat,
sebagaimana diuraikan di atas konteks optimalisasi fungsi pengawasan
15
DPR tidak dimaksudkan untuk menjatuhkan pemerintah/Presiden,
mengingat di dalam sistem ketatanegaraan kita DPR tidak dapat
menjatuhkan Presiden, demikian pula sebaliknya Presiden tidak dapat
membubarkan DPR.
Dalam konteks pengawasan ini, Tim Peningkatan Kinerja DPR-RI
mengidentifikasi adanya tiga permasalahan yakni: [1] efektivitas
pengawasan melalui rapat-rapat masih rendah; [2] aspirasi masyarakat
(konstituen) pada saat anggota DPR melakukan pengawasan ke daerah,
seringkali tidak ditindaklanjuti sebagaimana mestinya; dan [3] DPR-RI
belum efektif menjalankan tugas dan fungsi checks and balances. Guna
mengatasi ketiga masalah tersebut Dewan telah menyempurnakan Tata
tertib DPR-RI, disesuaikan dengan UU No. 27 tahun 2009 tentang MD3.
Dengan adanya mekanisme yang lebih baik, maka diharapkan kendala-
kendala yang ada dapat diminimalisasi, sehingga sebagai rumah rakyat,
lembaga DPR senantiasa terbuka bagi aspirasi masyarakat, dan di sisi lain
tetap kritis-obyektif terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah.
Realitas yang dihadapi DPR selain dari masalah tiga fungsi
tersebut, Dewan masih terus bekerja untuk memperbaiki citra agar
kedepan, DPR lebih baik. Gambaran di atas menunjukkan bahwa upaya
untuk meningkatkan kualitas demokrasi khususnya dari sisi DPR tidaklah
mudah. Demokrasi adalah sebuah proses yang tanpa henti. Demokrasi
juga adalah sebuah alat untuk mencapai tujuan berbangsa dan bernegara
yaitu mensejahterakan rakyat. Tetapi demokrasi juga bukan tanpa
16
kelemahan dan cela. Kelebihan demokrasi adalah rakyat memiliki ruang
untuk ikut terlibat dalam seluruh proses berbangsa dan bernegera baik
melalui pemilu, melalui penyampaian pendapat yang relatif bebas, serta
melalui para wakilnya di lembaga perwakilan.
Kelemahan utama demokrasi adalah inefisien dan inefektif,
mengingat demokrasi lebih mengedepankan proses, bukan semata-mata
hasil akhir. Demokrasi bukanlah sesuatu yang instan, tetapi
membutuhkan suatu upaya nyata, bahkan pengorbanan, untuk mencapai
suatu kualitas yang diharapkan. Apabila demokrasi salah kelola, maka
akan berakibat fatal: stabilitas politik terganggu, dan tentu saja hal ini
akan berpengaruh kepada proses pembangunan ekonomi dan bidang-
bidang lain. Instabilitas politik akibat kegagalan demokrasi, sungguh
merupakan sesuatu yang tidak diharapkan. Oleh sebab itu, kewajiban kita
semua adalah mengupayakan proses demokrasi, agar berjalan dengan
baik, dan tidak terjebak pada instabilitas politik.
Walaupun mengandung kelemahan, tetapi hingga saat ini belum
ada satu sistem lain yang mampu memberikan ruang bagi adanya
kebebasan untuk rakyat. Sebagaimana dikatakan oleh Winston Churchill,
demokrasi memang bukan sistem politik yang terbaik, tetapi belum ada
sistem lain yang lebih baik lagi. Karena itulah prasyarat bagi berjalannya
demokrasi dengan baik adalah, bekerjaanya dengan baik konsep Trias
Politika, sebagaimana diuraikan terdahulu; partisipasi publik yang efektif;
serta kedewasaan politik semua pihak. Bagaimanapun, demokrasi harus
dikelola secara arif dan benar. Dalam konteks ini peran para pemimpin,
17
terutama para elite dan pemimpin politik sangat penting di dalam
memberikan contoh yang baik kepada rakyatnya, serta memberikan
pengabdian total bagi kesejahteraan rakyat dalam menjalankan tugas-
tugas konstitusionalnya.
Demokrasi yang kita pilih harus tetap bersandar kepada nilai-nilai
luhur bangsa yang sangat menghargai etika dan sopan santun. Oleh
karena itu saya mengajak kepada para mahasiswa dan berbagai elemen
masyarakat untuk meningkatkan kualitas di dalam berdemokrasi dan
mengimplementasikannya secara baik di lapangan. Saya sangat
menghargai segenap daya kritis mahasiswa dan masyarakat di dalam
memberikan kritik dan masukan kepada DPR, Pemerintah, maupun
lembaga-lembaga negara lainnya. Tetapi masukan dan kritik tersebut,
tetap harus dilakukan di dalam koridor konstitusi dan demokrasi yang
beretika. Mahasiswa adalah kaum terpelajar, dan oleh sebab itulah
tidaklah pantas apabila mahasiswa menyampaikan masukan dan kritik,
justru dengan cara-cara yang tidak mencerminkan sebagai pelajar yang
melekat pada dirinya ketinggian budi pekerti dan moral-etikanya.
Mahasiswa adalah harapan masa depan bangsa, dan para calon
pemimpin bangsa. Dalam kaitan inilah saya mendoakan mudah-mudahan
seluruh mahasiswa yang hadir di dalam acara ini, dan menyimak dengan
baik apa yang saya sampaikan, kelak akan menjadi pemimpin bangsa,
dengan bekal ilmu yang memadai dan membawa bangsa dan negara
Indonesia menjadi lebih maju dan berjaya. Amin.
18
Hadirin sekalian yang saya hormati,
Sebagai kata akhir, saya mengucapkan selamat atas dimulainya
kuliah pertama Jurusan Ilmu Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik, Universitas Padjajaran. Semoga kegiatan ini membawa manfaat
bagi kita semua dalam ikut mewujudkan pemerintahan yang bersih dan
berwibawa di masa sekarang dan di masa depan.
Wallahul Muwafiq Illa Aqwamiththariq,
Wassalamu’alaikmum Warohmatullahi Wabarokatuh
Jakarta, 18 Februari 2010
KETUA
DEWAN PERWAKILAN RAKYAT
REPUBLIK INDONESIA
H. MARZUKI ALIE