makalah anj
DESCRIPTION
,,,TRANSCRIPT
KATA PENGANTAR
Syukur Alhamdulillah penyusun panjatkan ke hadirat Allah S.W.T karena
dengan rahmat-Nya jualah penyusun dapat menyelesaikan makalah yang berjudul
“Angiofibroma Nasofaring Juvenile” (ANJ).
Makalah ini ditulis sebagai salah satu tugas makalah sistem sensori dalam
bidang Ilmu Penyakit Telinga-Hidung-Tenggorok STIKES Surabaya.
Kritik dan saran terhadap makalah ini diharapkan dapat memberi masukan
untuk perbaikan di kemudian hari. Semoga makalah ini dapat bermanfaat dalam
menambah khasanah pengetahuan di bidang keperawatan terutama dalam bidang
THT bagi para pembacanya.
Surabaya, 01 April 2014
2
DAFTAR ISI
Halaman Judul...............................................................................................................1
Kata pengantar............................................................................................................
2
Daftar Isi......................................................................................................................
3
BAB I PENDAHULUAN.........................................................................................
4
BAB II PEMBAHASAN...........................................................................................
6
II.I Anatomi .........................................................................................................
6
II.II Definisi...........................................................................................................
7
II.III Epidemiologi .................................................................................................
7
II.IV Etiologi...........................................................................................................
7
II.V Patogenesis.....................................................................................................
8
II.VI Patofisiologi...................................................................................................
II.VII Manifestasi Klinis...........................................................................................
9
II.VIII Komplikasi.....................................................................................................
10
II.IX Pemeriksaan Diagnostik.................................................................................
11
II.X Diagnosis........................................................................................................
12
3
II.XI Prognosis........................................................................................................
15
II.XII Histopatologi..................................................................................................
15
II.XIII Penatalaksanaan Medis...................................................................................
16
II.XIV Kesimpulan Pembahasan...............................................................................
18
BAB III MANAJEMEN KEPERAWATAN..........................................................
20
III.I Pengkajian .....................................................................................................
20
III.II Diagnosa Keperawatan...................................................................................
21
III.III Intervensi.........................................................................................................
22
III.IV Implementasi...................................................................................................
24
III.V Evaluasi..........................................................................................................
25
BAB IV LAPORAN KASUS....................................................................................
26
Daftar Pustaka............................................................................................................
29
BAB I
PENDAHULUAN
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak pembuluh darah di
daerah nasofaring yang secara histologik jinak, namun secara klinis bersifat
4
seperti tumor ganas karena mempunyai kemampuan mendekstruksi tulang dan
meluas ke jaringan sekitarnya. Tumor ini dapat meluas ke daerah sinus paranasal,
pipi, mata, dan tengkorak, serta sangat mudah menimbulkan perdarahan dan susah
untuk dihentikan. Tumor yang kaya pembuluh darah ini memperoleh aliran darah
dari arteri faringealis asenden atau arteri maksilaris interna. Angiofibroma kaya
dengan jaringan fibrosa yang timbul dari atap nasofaring atau bagian dalam dari
fossa pterigoid. Setelah mengisi nasofaring, tumor ini meluas ke dalam sinus
paranasal, rahang atas, pipi dan orbita serta dapat meluas ke intra kranial setelah
mengerosi dasar tengkorak.1,2
Angiofibroma nasofaring paling sering ditemukan pada anak lak-laki
prepubertas dan remaja, yang umumnya terdapat pada rentang usia 7 sampai 21
tahun dengan insidens terbanyak antara usia 14-18 tahun. Angiofibroma
nasofaring jarang terjadi pada usia diatas 25 tahun sehingga tumor ini disebut juga
Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Istilah juvenile tidak sepenuhnya tepat,
karena neoplasma ini kadang ditemukan juga pada pasien yang lebih tua. Juvenile
Nasopharyngeal Angiofibroma jarang ditemukan dan diperkirakan hanya 0,05%
dari seluruh tumor kepala dan leher. Insiden angiofirboma nasofaring diperkirakan
antara 1 : 5.000-60.000 pada pasien THT.1,2
Gejala klinik yang dapat ditemukan pada juvenile angiofibroma nasofaring
dapat berupa hidung tersumbat (80-90%), merupakan gejala yang paling sering,
diikuti epistaksis (45-60%) yang kebanyakan unilateral dan rekuren, nyeri kepala
(25%) khususnya bila sudah meluas ke sinus paranasal, pembengkakan wajah (10-
18%). Gejala lain seperti anosmia, rhinolalia, deafness, pembengkakan palatum
serta deformitas pipi juga dapat ditemukan pada penderita angiofibroma
nasofaring. Angiofibroma nasofaring sangat sulit untuk di palpasi, palpasi harus
sangat hati-hati karena sentuhan jari pada permukaan tumor dapat menimbulkan
perdarahan yang ekstensif. Diagnosis angiofibroma nasofaring ditegakkan
berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan radiologis. Trias
gejala dan tanda klinis dari tumor ini adalah epistaksis masif berulang, sumbatan
hidung dan massa di nasofaring sangat mendukung kecurigaan adanya
angiofibroma nasofaring. 2,3
5
BAB II
PEMBAHASAN
II.I Anatomi
Ruang nasofaring yang relatif kecil mempunyai hubungan yang erat
dengan beberapa struktur yang secara klinis mempunyai arti penting. Nasofaring
berhubungan dengan rongga hidung di anterior melalui koana, dan orofaring di
bagian inferior melalui bagian terbawah dari palatum molle. Sedangkan
di bagian superior dan posterior, nasofaring berhubungan dengan korpus vertebra.
Tuba eustachius memasuki nasofaring di sebelah lateralnya, dan bagian superior
dan posterior muara tuba ini ditutupi oleh kartilago, yang disebut sebagai torus
tubarius. Fossa Rosenmuller (lateral dari resesus nasofaring) terletak di bagian
superior dan posterior torus tubarius dan merupakan predileksi dari karsinoma
nasofaring. Banyak terdapat foramen kranial yang membawa struktur syaraf dan
pembuluh darah penting yang terletak di dekat nasofaring. Nasofaring diliputi
oleh mukosa yang terdiri atas epitel squamous kompleks atau epitel kolumner
pseudokompleks.4
Gambar 1. Anatomi nasofaring
6
II.II Definisi
Angiofibroma nasofaring adalah suatu tumor jinak nasofaring yang secara
histologik jinak, secara klinis bersifat ganas, karena mempunyai kemampuan
mendestruksi tulang dan meluas ke jaringan sekitarnya, seperti ke sinus paranasal,
pipi, mata dan tengkorak, serta sangat mudah berdarah yang sulit dihentikan.1,5
Sebutan lain untuk angiofibroma di dalam literatur antara lain: juvenile
angiofibroma, juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA), nasal cavity tumor,
nasal tumor, benign nasal tumor, tumor hidung (nose tumor), nasopharyngeal
tumor, atau angiofibroma nasofaring belia.6
II.III Epidemiologi
Juvenile nasopharyngeal angiofibroma (JNA) banyak dialami terutama
remaja putra berusia 14-18 tahun. Jika remaja putri didiagnosis JNA, maka
sebaiknya menjalani pemeriksaan kromosom atau diagnosis JNA akan terus
dipertanyakan. Umumnya JNA terjadi pada dekade kedua kehidupan, tepatnya
pada rentang usia 7-19 tahun. JNA jarang terjadi setelah usia 25 tahun.
Insiden JNA adalah 1 dari 5000-60.000 kasus THT dan dilaporkan 0,5% dari
semua tumor kepala dan leher. Dilaporkan insiden JNA banyak terjadi di Mesir
dan India.
Insiden dari angiofibroma tinggi dibeberapa bagian dari belahan dunia,
seperti pada Timur Tengah dan Amerika. Martin, Ehrlich dan Abels (1948)
melaporkan rata-rata setiap tahunnya dari satu atau dua pasien untuk 2000 pasien
yang diobati pada Head and Neck Service of The Memorial Hospital, New York.
Di London, Harrison (1976) mencatat status dari satu per 15000 pasien pada
Royal National Throat, Nose and Ear Hospital dimana satu kesimpulan bahwa
lebih sedikit angiofibroma di London dibanding di New York.
II.IV Etiologi
Etiologi JNA masih belum jelas. Berbagai teori banyak diajukan, salah
satunya adalah teori jaringan asal, yaitu pendapat bahwa tempat perlekatan
spesifik angiofibroma adalah di dinding posterolateral atap rongga hidung. Faktor
ketidak seimbangan hormonal juga banyak dikemukakan sebagai penyebab dari
7
tumor ini, bahwa JNA berasal dari sex steroid-stimulated hamartomatous tissue
yang terletak di turbinate cartilage. Pengaruh hormonal yang dikemukakan ini
dapat menjelaskan mengapa beberapa JNA jarang terjadi (ber-involute) setelah
masa remaja (puberty). 1,4,6,8
II.V Patogenesis
Permukaan tumor dilapisi oleh mukosa yang dibawahnya terdapat
anyaman pembuluh darah. Massa tumor terdiri dari jaringan ikat padat dan
gumpalan sel serta terisi pembuluh vena lebar yang menumpuk di bagian pinggir.
Tumor ini tidak bermetastasis tetapi dapat tumbuh mendesak, dapat menginvasi
orbita, sinus paranasal, fossa pterigoid dan temporal atau ke ruang intrakranial.
Tumor pertama kali tumbuh di bawah mukosa di tepi sebelah posterior dan lateral
koana di atap nasofaring. Tumor akan tumbuh besar dan meluas dibawah mukosa
sepanjang atap nasofaring, mencapai tepi posterior septum dan meluas ke arah
bawah membentuk tonjolan massa diatap rongga hidung posterior. Perluasan ke
arah anterior akan mengisi rongga hidung, mendorong septum ke sisi kontralateral
dan memipihkan konka. Pada perluasan kearah lateral, tumor melebar kearah
foramen sfenopalatina, masuk ke fisura pterigomaksila dan akan mendesak
dinding posterior sinus maksila. Bila meluas terus, akan masuk ke fossa
intratemporal yang akan menimbulkan benjolan di pipi, dan “rasa penuh” di
wajah. Apabila tumor mendorong salah satu atau kedua bola mata maka akan
tampak gejala yang khas pada wajah, yang akan disebut “muka kodok”.1,8
Perluasan ke intrakranial dapat terjadi melalui fossa infratemporal dan
pterigomaksila masuk ke fossa serebri media. Dari sinus ethmoid masuk ke fossa
serebri anterior atau dari sinus sfenoid ke sinus kavernosus dan fossa hipofise.1
Gambar 2. Angifibroma nasofaring yang sudah dioperasi
II.VI Patofisiologi
8
Penyebab terjadinya angiofibroma nasofaring juvenilis (ANJ) masih
belum jelas, diduga terbentuknya berkaitan dengan ketidakseimbangan
hormonal. Pada awalnya tumor tumbuh pada mukosa bagian postero lateral
nasofaring; bila perluasan ke arah depan membentuk tonjolan ke rongga
hidung; perluasan ke arah lateral menuju ke fossa spenopalatina masuk
ke fisura pterigomaksilaris dan akan mendesak dinding belakang sinus
maksila, bila berkembang akan memasuki fossa intra temporalis sehingga
terjadi benjolan di pipi. Perluasan ke intrakranial biasa terjadi
melalui intra temporalis atau fissura pterigomaksila menuju ke fosa
media, sedangkan bila melalui sinus ethmoid menuju fosa anterior.
Secara makroskopis ANJ berupa tumor berbentuk oval / bulat, padat
kenyal, berwarna merah ke abu-abuan atau merah keunguan. Gambaran
mikroskopis terbentuk dari pembuluh darah dan jaringan ikat fibrous,
dimana pembuluh darah tersebut berdinding tipis tanpa lapisan otot.
II.VII Manifestasi klinis
Sign
1) Tampak massa merah keabu-abuan yang terlihat jelas di faring nasal
posterior; nonencapsulated dan seringkali berlobus (lobulated); dapat tidak
bertangkai (sessile) atau bertangkai (pedunculated). Angka kejadian massa di
hidung (nasal mass) ini mencapai 80%.
2) Mata menonjol (proptosis), langit-langit mulut yang membengkak (a
bulging palate), terdapat massa mukosa pipi intraoral (an intraoral buccal mucosa
mass), massa di pipi (cheek mass), atau pembengkakan zygoma (umumnya
disertai dengan perluasan setempat). Angka kejadian massa di rongga mata
(orbital mass) ini sekitar 15%, sedangkan angka kejadian untuk mata menonjol
(proptosis) sekitar 10-15%.
3) Tanda lainnya termasuk: otitis serosa karena terhalangnya tuba eustachius,
pembengkakan zygomaticus, dan trismus (kejang otot rahang) yang merupakan
tanda bahwa tumor telah menyebar ke fossa infratemporal. Juga terdapat
9
penurunan penglihatan yang dikarenakan optic nerve tenting, namun hal ini jarang
terjadi.
Symptom
1) Obstruksi nasal (80-90%) dan ingus (rhinorrhea). Ini merupakan gejala yang
paling sering, terutama pada permulaan penyakit.
2) Sering mimisen (epistaksis) atau keluar cairan dari hidung yang berwarna
darah (blood-tinged nasal discharge). Mimisen, yang berkisar 45-60% ini,
biasanya satu sisi (unilateral) dan berulang (recurrent).
3) Sakit kepala (25%), khususnya jika sinus paranasal terhalang.
4) Pembengkakan di wajah (facial swelling), kejadiannya sekitar 10-18%.
5) Tuli konduktif (conductive hearing loss) dari obstruksi tuba eustachius.
6) Melihat dobel (diplopia), yang terjadi sekunder terhadap erosi menuju ke
rongga kranial dan tekanan pada kiasma optik.
7) Gejala lainnya yang bisa juga terjadi misalnya: keluar ingus satu sisi
(unilateral rhinorrhea), tidak dapat membau (anosmia), berkurangnya sensitivitas
terhadap bau (hyposmia), recurrent otitis media, nyeri mata (eye pain), tuli
(deafness), nyeri telinga (otalgia), pembengkakan langit-langit mulut (swelling of
the palate), kelainan bentuk pipi (deformity of the cheek), dan rhinolalia.
Gejala yang sering ditemukan seperti sumbatan hidung yang progresif dan
epistaksis berulang yang masif. Timbul rinorea kronik diikuti gangguan
penciuman, rinolalia, dan anosmia. Tuli atau otalgia akibat okulasi pada tuba
eustachius, dan dapat terjadi otitis media. Sefalgia hebat terjadi bila tumor sudah
meluas ke intrakranial. Dapat pula menyebabkan deformitas pada muka, disfagi,
proptosis dan gangguan visus. Gejala-gejala dini adalah kongesti dari sumbatan
hidung dengan disertai perdarahan. Perdarahan ini kadang-kadang merupakan
komplikasi berat. Suara menjadi datar atau “mati”, pernafasan dan proses menelan
terhalang jika proses berlanjut. Pada stadium lanjut timbul rasa nyeri dan sekret
muko purulen. Jika pertumbuhan tumor mencapai besar tertentu, maka wajah
seperti “muka kodok” jelas terlihat, tulang maksila merenggang dan tampak
eksopthalmus yang menonjol. Sering disertai “aprosexsia” dan rasa ngantuk.5,7
10
Gejala lanjut meningkat lebih berat sesuai dengan makin besarnya tumor,
sampai penyerapan jaringan tulang meningkat, kecuali jika tumor meluas ke luar
rongga hidung atau faring, seperti misalnya ke rongga intrakranial. Pada keadaan
ini nekrosis akibat penekanan tulang tidak terlalu besar.7
II.VIIIKomplikasi
Komplikasi tidak dapat dipisahkan dengan perluasan intrakranial (penyakit
stadium IV), perdarahan yang tak terkontrol dan kematian, iatrogenic injury
terhadap struktur vital, dan transfusi perioperative.
Komplikasi lainnya meliputi: perdarahan yang banyak (excessive
bleeding). Transformasi keganasan (malignant transformation). Kebutaan
sementara (transient blindness) sebagai hasil embolisasi, namun ini jarang terjadi.
Osteoradionecrosis dan atau kebutaan karena kerusakan saraf mata dapat terjadi
dengan radioterapi. Mati rasa di pipi (anesthesia of the cheek) sering terjadi
dengan insisi Weber-Ferguson.
II.IX Pemeriksaan Diagnostik
1. Penemuan Histologis
Pada pemeriksaan histologis, ditemukan jaringan serabut yang telah
dewasa/matang (mature fibrous tissue) yang mengandung bermacam-macam
pembuluh darah yang berdinding tipis. Pembuluh-pembuluh darah ini dilapisi
dengan endothelium, namun mereka kekurangan elemen-elemen otot yang dapat
berkontraksi secara normal. Inilah yang dapat menjelaskan tentang kecenderungan
terjadi perdarahan.
2. Laboratorium
Anemia yang kronis merupakan keadaan yang sering ditemukan pada
keadaan ini.
11
3. Biopsi
Kebanyakan kasus dari angiofibroma nasofaring juvenile tidak dianjurkan untuk
biopsi sebelum reseksi defenitif. Walaupun didapatkan gambaran radiologis yang
klasik, bagaimanapun, tidak ada tanda absolut dari angiofibroma. Jika tumor
atipikal atau jika gambaran klinik tidak biasa, seharusnya dipertimbangkan untuk
biopsi sebelum tumor direseksi. Bila diperlukan, biopsi dari kasus yang dicurigai
angiofibroma dapat dilakukan di ruang operasi.
4. Pemeriksaan Radiologis
a. Foto Sinar-X
Pada foto sinar-X tumor nampak sebagai massa jaringan lunak dalam
nasofaring. Holman dan Miller menggambarkan karakteristik dari tumor ini pada
foto lateral, yang tergantung pada lokasi tipikal dalam alur pterygomaksillaris. Ini
dikenal sebagai “tanda antral” dan terdiri dari tulang Memperlihatkan perluasan
ke sinus sfenoid, erosi dari sayap sfenoid yang besar, atau invasif dari
pterygomaksillaris dan fossa infratemporal biasanya terlihat.
b. MRI (Magnetic Resonance Imaging)
Diindikasikan untuk menggambarkan dan menjelaskan batas dari tumor, terutama
pada kasus-kasus dari keterlibatan intrakranial.
c. Angiografi
Dengan angiografi terlihat gambaran vaskuler yang banyak (ramai). Pada
Angiografi ini terlihat lesi vaskuler yang terutama disuplai oleh cabang dari arteri
maxillaris interna. Angiografi terutama dilakukan pada kasus dengan kecurigaan
adanya penyebaran intrakranial atau pada pasien dimana pada penanganan
sebelumnya gagal.
II.X Diagnosis
Diagnosis ditegakkan dengan anamnesis, pemeriksaan fisik dan penunjang
seperti x-foto polos, CT scan, angiografi atau MRI. Gejala yang paling sering
12
ditemukan (>80%) ialah hidung tersumbat yang progresif dan epistaksis yang
berulang dan masif, infeksi sekunder dapat terjadi pada ruangan di belakang
hidung akibat berkurangnya drainase di tempat tersebut.2 Gejala-gejala lain
muncul tergantung dari luasnya tumor dan arah pembesarannya.1,2
Gambar 2. Penampang koronal CT scan yang memperlihatkan adanya lesi
angiofibroma yang mengisi cavum nasal kiri dan sinus ethmoid, memenuhi sinus
maksilaris dan menyebabkan deviasi septum nasi ke kanan
Pada pemeriksaan fisik secara rinoskopi posterior akan terlihat massa
tumor yang konsistensinya kenyal, warnanya bervariasi dari abu-abu sampai
merah muda. Bagian tumor yang terlihat di nasofaring biasanya diliputi oleh
selaput lendir berwarna keunguan, sedangkan bagian yang meluas ke luar
nasofaring berwarna putih atau abu-abu. Pada usia muda warnanya merah muda,
pada usia yang lebih tua warnanya kebiruan, karena lebih banyak komponen
fibromanya. Mukosanya mengalami hipervaskularisasi dan tidak jarang
ditemukan adanya ulserasi.1
Karena tumor sangat mudah berdarah, sebagai pemeriksaan penunjang
diagnosis dilakukan pemeriksaan radiologik konvensional CT scan serta
pemeriksaan arteriografi. Pada pemeriksaan radiologik konvensional (foto kepala
potongan antero-posterior, lateral dan posisi waters) akan terlihat gambaran klasik
yang disebut sebagai tanda “Holman Miller” yaitu pendorongan prosesus
pterigoideus ke belakang, sehingga fisura pterigopalatina melebar. Akan terlihat
juga adanya massa jaringan lunak di daerah nasofaring yang dapat mengerosi
dinding orbita, arkus zigoma dan tulang disekitar nasofaring. Pada pemeriksaan
13
CT scan dengan zat kontras akan tampak secara tepat perluasan massa tumor serta
destruksi tulang ke jaringan sekitarnya.1,4
Pada pemeriksaan arteriografi arteri karotis interna, akan memperlihatkan
vaskularisasi tumor yang biasanya berasal dari cabang a. maksila interna
homolateral. Kadang-kadang juga sekaligus dilakukan embolisasi agar terjadi
trombosis intravaskular, sehingga vaskularisasi berkurang dan akan
mempermudah pengangkatan tumor.1
Pemeriksaan patologi anatomik tidak dapat dilakukan, karena biopsi
merupakan kontraindikasi, sebab akan mengakibatkan perdarahan yang masif.2
Gambar 3. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma
sebelum embolisasi
Gambar 4. Gambaran angiogram yang memperlihatkan adanya angifibroma
setelah embolisasi
Untuk menentukan perluasan tumor, dibuat sistem staging. Ada 2 sistem
yang paling sering digunakan yaitu Sessions dan Fisch.1,3
14
Klasifikasi menurut Sessions sebagai berikut :
- Stage IA :Tumor terbatas pada nares posterior dan/atau nasofaring
- Stage IB :Tumor melibatkan nares posterior dan/atau nasofaring
dengan perluasan ke satu sinus paranasal.
- Stage IIA : Perluasan lateral minimal ke dalam fossa pterygomaksila.
- Stage IIB : Mengisi seluruh fossa pterygomaksila dengan atau tanpa
erosi ke tulang orbita.
- Stage IIIA :Mengerosi dasar tengkorak; perluasan intrakranial yang
minimal.
- Stage IIIB : Perluasan ke intrakranial dengan atau tanpa perluasan ke
dalam sinus kavernosus.
Klasifikasi menurut Fisch :
- Stage I : Tumor terbatas pada kavum nasi, nasofaring tanpa
destruksi tulang.
- Stage II : Tumor menginvasi fossa pterygomaksila, sinus paranasal
dengan destruksi tulang.
- Stage III : Tumor menginvasi fossa infra temporal, orbita dan/atau
daerah parasellar sampai sinus kavernosus.
- Stage IV : Tumor menginvasi sinus kavernosus, chiasma optikum
dan/atau fossa pituitary.
II.XI Prognosis
Prognosis lebih baik jika cepat diketahui dan segera di ekstirpasi juga
lebih menguntungkan jika umur diatas 25 tahun. Dengan kata lain, fibroma kecil
yang tidak memenuhi rongga nasofaring lebih muda diangkat daripada yang telah
memenuhi rongga tersebut sesudah umur 25 tahun pertumbuhan cenderung
berkurang.6
Pada kasus-kasus di mana pertumbuhan tumor dapat diatasi dengan pambedahan
dapat dikatakan memiliki prognosis yang baik. Biasanya ini terjadi pada pasien
dengan usia yang lebih tua. Pada kasus yang lain, terutama pada pasien berusia
15
lebih muda, tumor jenis ini dapat berkembang menjadi degenerasi yang ganas dan
memiliki prognosis yang buruk.1
II.XII Histopatologi
Pada pemeriksaan histopatologi angiofibroma nasofaring, ditemukan
jaringan fibrous yang matur yang terdiri dari berbagai ukuran pembuluh darah
dengan dinding yang tipis. Pembuluh darah tersebut dibatasi endotelium tetapi
pada dinding pembuluh darahnya sedikit mengandung elemen kontraktil otot yang
normal. Hal inilah yang menyebabkan angiofibroma nasofaring mudah berdarah.
Gambar 5. Gambaran histopatologi angiofibroma nasofaring
II.XIIIPenatalaksanaan Medis
1. Terapi Medis
a. Hormonal
Penghambat reseptor testosteron flutamide dilaporkan mengurangi tumor stadium
I dan II sampai 44%. Walaupun mereduksi tumor dengan hormon, jalan ini tidak
digunakan secara rutin.
· Flutamide hormonal, suatu nonsteroidal androgen blocker atau testosterone
receptor blocker, efektif untuk mengurangi ukuran tumor pada stadium I dan II
hingga 44%.
· Terapi hormonal dengan diethylstilbestrol (5 mg PO tid untuk 6 minggu)
sebelum eksisi dapat mengurangi vascularity JNA namun terkait dengan efek
samping memiliki sifat kewanitaan (feminizing side effects).
16
· Doxorubicin dan dacarbazine disiapkan jika JNA berulang atau kambuh.
· Schuon, et.al. melaporkan analisis immunohistochemical dari mekanisme
pertumbuhan JNA. Mereka berkesimpulan bahwa pertumbuhan dan vaskularisasi
JNA dikendalikan oleh faktor-faktor yang dibebaskan dari stromal fibroblasts.
Oleh karena itu, dihambatnya faktor-faktor ini dapat bermanfaat untuk terapi JNA
yang tidak dapat dioperasi (inoperable).
b. Radioterapi
Beberapa pusat melaporkan rata-rata menyembuhkan 80% dengan terapi
radiasi. Bagaimanapun, menganggap hubungan efek potensial dari radiasi
membuat terapi radiasi modalitas yang tidak berguna dalam banyak kasus.
Radioterapi stereotaktik (seperti sinar Gamma) mengirim sedikit dosis dari radiasi
ke jaringan sekitarnya. Bagaimanapun, kebanyakan penulis menyiapkan
radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus rekuren.
· Beberapa center telah melaporkan rata-rata kesembuhan 80% dengan terapi
radiasi.
· Radioterapi stereotactic (yakni: pisau Gamma) mengirimkan dosis radiasi
yang lebih rendah ke jaringan di sekitarnya. Para ahli telah menyediakan
radioterapi untuk penyakit intrakranial atau kasus yang berulang.
· Radioterapi three-dimensional conformal untuk JNA yang luas (extensive)
atau penyebaran hingga intrakranial memberikan suatu alternatif yang baik untuk
radioterapi konvensional berkaitan dengan pengendalian penyakit dan morbiditas
akibat radiasi (radiation morbidity).
· External beam irradiation, paling sering digunakan untuk penyakit
intrakranial yang tidak dapat dibedah (unresectable), atau kambuhan (recurrent).
Digunakan dosis yang bervariasi dari 30-46 Gy. Sisa tumor seringkali muncul dua
tahun setelah terapi. Perhatian utama termasuk kulit sekunder, tulang, jaringan
lunak, keganasan tiroid, dan hambatan perkembangan tulang wajah.
c. Embolisasi
Embolisasi pada pembuluh darah tumor mengakibatkan tumor menjadi
jaringan parut dan menghentikan perdarahan. Embolisasi dilakukan dengan
17
memasukkan suatu zat dalam pembuluh darah untuk membendung aliran darah.
Dengan embolisasi saja cukup untuk menghentikan perdarahan hidung, atau dapat
diikuti dengan pembedahan untuk mengangkat tumor.
2. Terapi Pembedahan
a. Beberapa pendekatan yang digunakan tergantung dari lokasi dan
perluasan JNA.
b. Rute rinotomi lateral, transpalatal, transmaksila, atau sphenoethmoidal
digunakan untuk tumor-tumor yang kecil (Klasifikasi Fisch stadium I atau II).
c. Pendekatan fossa infratemporal digunakan ketika tumor telah meluas ke
lateral.
d. Pendekatan midfacial degloving, dengan atau tanpa osteotomi LeFort,
memperbaiki akses posterior terhadap tumor.
e. Pendekatan translokasi wajah dikombinasikan dengan insisi Weber-
Ferguson dan perluasan koronal untuk kraniotomi frontotemporal dengan midface
osteotomies untuk jalan masuk.
f. Pendekatan extended anterior subcranial memudahkan pemotongan
tumor sekaligus (en bloc), dekompresi saraf mata, dan pembukaan sinus
kavernosus.
g. Intranasal endoscopic surgery dipersiapkan untuk tumor yang terbatas pada
rongga hidung dan sinus paranasal.
18
BAB III
MANAJEMEN KEPARAWATAN
III.I Pengkajian
Pengkajian keperawatan adalah proses sistematis dari pengumpulan, verifikasi,
dan komunikasi data tentang klien. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 144)
1. Faktor herediter atau riwayat kanker pada keluarga misal ibu atau nenek
dengan riwayat kanker payudara.
2. Lingkungan yang berpengaruh seperti iritasi bahan kimia, asap sejenis kayu
tertentu.
3. Kebiasaan memasak dengan bahan atau bumbu masak tertentu dan
kebiasaan makan makanan yang terlalu panas serta makanan yang diawetkan
(daging dan ikan).
4. Golongan sosial ekonomi yang rendah juga akan menyangkut keadaan
lingkungan dan kebiasaan hidup. (Efiaty & Nurbaiti, 2001 hal 146)
Pada pengkajian Angiofibroma Nasofaring Juvenilis ditemukan tanda dan
gejalanya yaitu :
1. Aktivitas
Kelemahan atau keletihan. Perubahan pada pola istirahat; adanya faktor-faktor
yang mempengaruhi tidur seperti nyeri, ansietas.
2. Sirkulasi
Akibat metastase tumor terdapat palpitasi, nyeri dada, penurunan tekanan darah,
epistaksis/perdarahan hidaung.
3. Integritas Ego
Faktor stres, masalah tentang perubahan penampilan, menyangkal diagnosis,
perasaan tidak berdaya, kehilangan kontrol, depresi, menarik diri, marah.
4. Eliminasi
Perubahan pola defekasi konstipasi atau diare, perubahan eliminasi urin,
perubahan bising usus, distensi abdomen.
19
5. Makanan/cairan
Kebiasaan diit buruk ( rendah serat, aditif, bahanpengawet), anoreksia,
mual/muntah, mulut rasa kering, intoleransi makanan,perubahan berat badan,
kakeksia, perubahan kelembaban/turgor kulit.
6. Neurosensori
Sakit kepala, tinitus, tuli, diplopia, juling, eksoftalmus
7. Nyeri/kenyamanan
Rasa tidak nyaman di telinga sampai rasa nyeri telinga (otalgia), rasa kaku di
daerah leher karena fibrosis jaringan
8. Pernapasan
Merokok (tembakau, mariyuana, hidup dengan seseorang yang merokok)
9. Keamanan
Pemajanan pada kimia toksik, karsinogen, pemajanan matahari lama / berlebihan,
demam, ruam kulit.
10. Interaksisosial
Ketidakadekuatan/kelemahan sistem pendukung
III.II Diagnosa Keperawatan
Diagnosa keperawatan adalah pernyataan yang menguraikan respons
actual atau potensial klien terhadap masalah kesehatan yang perawat mempunyai
izin dan berkompeten untuk mengatasinya. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 166)
Diagnosa Keperawatannya adalah :
1. Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi jaringan saraf
2. Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan status organ
sekunder
3. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan anoreksia, mual
muntah sekunder
4. Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan pertahanan sekunder
imunosupresi
5. Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan sistem
hematopoetik
20
III.III Intervensi
· Diagnosa I : Nyeri berhubungan dengan kompresi/destruksi jaringan saraf.
Tujuan : rasa nyeri teratasi atau terkontrol
Kriteria hasil : mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri.
Intervensi Keperawatan :
1. Tentukan riwayat nyeri misalnya lokasi, frekuensi, durasi
2. Berikan tindakan kenyamanan dasar (reposisi, gosok punggung) dan
aktivitas hiburan.
3. Dorong penggunaan ketrampilan manajemen nyeri (teknik relaksasi,
visualisasi, bimbingan imajinasi) musik, sentuhan terapeutik.
4. Evaluasi penghilangan nyeri atau kontrol
5. Kolaborasi : berikan analgesik sesuai indikasi misalnya Morfin, metadon atau
campuran narkotik.
· Diagnosa 2 : Gangguan sensori persepsi berubungan dengan gangguan
status organ sekunder.
Tujuan : mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi
Kriteria hasil : mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan
Intervensi Keperawatan :
1. Tentukan ketajaman penglihatan, apakah satu atau dua mata terlibat.
2. Orientasikan pasien terhadap lingkungan
3. Observasi tanda-tanda dan gejala disorientasi
4. Perhatikan tentang suram atau penglihatan kabur
5. Bicara dengan gerak mulut yang jelas
6. Bicara pada sisi telinga yang sehat
· Diagnosa 3 : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan
anoreksia, mual muntah sekunder
21
Tujuan : kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi.
Kriteria hasil :
1. Melaporkan penurunan mual dan insidens muntah
2. Mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat
3. Menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab
4. Melaporkan tidak adanya penurunan berat badan tambahan
Intervensi Keperawatan :
1. Sesuaikan diet sebelum dan sesudah pemberian obat sesuai dengan kesukaan
dan toleransi pasien
2. Berikan dorongan higiene oral yang sering
3. Berikan antiemetik, sedatif dan kortikosteroid yang diresepkan
4. Pastikan hidrasi cairan yang adekuat sebelum, selama dan setelah pemberian
obat, kaji masukan dan haluaran.
5. Pantau masukan makanan tiap hari
6. Ukur TB, BB dan ketebalan kulit trisep (pengukuran antropometri)
7. Dorong pasien untuk makan diet tinggi kalori, kaya nutrien dengan masukan
cairan adekuat.
8. Kontrol faktor lingkungan (bau dan panadangan yang tidak sedap dan
kebisingan)
· Diagnosa 4 : Resiko infeksi berhubungan dengan ketidakadekuatan
pertahanan sekunder imunosupresi.
Tujuan : tidak terjadi infeksi
Kriteria hasil :
1. Menunjukkan suhu normal dan tanda-tanda vital normal
2. Tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi : edema setempat, eritema, nyeri.
3. Menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan nafas dalam untuk menegah
disfungsi dan infeksi respiratori
22
Intervensi Keperawatan :
1. Kaji pasienterhadap bukti adanya infeksi
2. Periksa tanda vital, pantau jumlah SDP, tempat masuknya patogen, demam,
menggigil, perubahan respiratori atau status mental, frekuensi berkemih atau rasa
perih saat berkemih
3. Tingkatkan prosedur cuci tangan yang baik pada staf dan pengunjung, batasi
pengunjung yang mengalami infeksi.
4. Tekankan higiene personal
5. Pantau suhu
6. Kaji semua sistem (pernafasan, kulit, genitourinaria)
· Diagnosa 5 : Resiko terhadap perdarahan berhubungan dengan gangguan
sistem hematopoetik
Tujuan : perdarahan dapat teratasi
Kriteria hasil :
1. Tanda dan gejala perdarahan teridentifikasi
2. Tidak menunjukkan adanya epistaksis
Intervensi Keperawatan
1. Kaji terhadap potensial perdarahan : pantau jumlah trombosit
2. Kaji terhadap perdarahan : epsitaksis
3. Instruksikan cara-cara meminimalkan perdarahan : minimalkan penekanan/
gesekan pada hidung.
III.IV Implementasi
Implementasi merupakan komponen dari proses keperawatan, adalah
kategori dari perilaku keperawatan dimana tindakan yang digunakan untuk
mencapai tujuan dan hasil yang diperkirakan dari asuhan keperawatan dilakukan
dan diselesaikan. (Potter, Patricia A. 2005. Hal 203)
23
III.V Evaluasi
Evaluasi menentukan respons klien terhadap tindakan keperawatan dan
seberapa jauh tujuan perawatan telah terpenuhi. (Potter, Patricia A. 2005. Hal
229)
Evaluasi juga merupakan tahap terakhir dari proses keperawatan, hasil yang
diharapkan merupakan standar penilaian bagi perawat untuk melihat apakah
tujuan telah terpenuhi, dengan pelayanan telah berhasil ((Potter, Patricia A. 2009.
Hal 460)
1) Diagnosa 1
Rasa nyeri pasien teratasi atau terkontrol dengan kriteria hasil dapat
mendemonstrasikan penggunaan ketrampilan relaksasi nyeri.
2) Diagnosa 2
Pasien mampu beradaptasi terhadap perubahan sensori pesepsi dengan kriteria
hasil dapat mengenal gangguan dan berkompensasi terhadap perubahan.
3) Diagnosa 3
Kebutuhan nutrisi pasien terpenuhi dengan kriteria hasil adanya penurunan mual
dan insidens muntah, pasien mengkonsumsi makanan dan cairan yang adekuat,
pasien menunjukkan turgor kulit normal dan membran mukosa yang lembab dan
tidak adanya penurunan berat badan tambahan.
4) Diagnosa 4
Tidak terjadi infeksi pada pasien dengan kriteria hasil pasien menunjukkan suhu
normal dan tanda-tanda vital normal, tidak menunjukkan tanda-tanda inflamasi :
edema setempat, eritema, nyeri dan menunjukkan bunyi nafas normal, melakukan
nafas dalam untuk menegah disfungsi dan infeksi respiratori.
5) Diagnosa 5
Perdarahan pada pasien dapat teratasi dengan kriteria hasil tanda dan gejala
perdarahan teridentifikasi dan tidak menunjukkan adanya epistaksis.
24
BAB IV
LAPORAN KASUS
Seorang remaja laki-laki, berusia 15 tahun dengan nomor rekam medik
645335 datang ke sub-bagian tumor THT RSUP pada tanggal 10 Juni 2009
dengan keluhan keluar darah dari lobang hidung kanan sejak 1 minggu yang
lalu, kira-kira 3 sendok makan dengan frekwensi 2-3 kali sehari. Sejak 2
hari yang lalu perdarahan dari hidung kanan makin banyak, kira-kira setengah
gelas dengan frekwensi 2 kali sehari. Awalnya 1 minggu yang lalu pasien
mengeluh hidung tersumbat dan merasa ada ingus, kemudian pasien berusaha
membuang ingus dengan keras tetapi malah keluar darah. Riwayat ingus
kental, keluhan telinga berdengung dan penciuman berkurang tidak ada.
Keluhan penglihatan ganda, sakit kepala, mual, muntah tidak ada. Pasien
dirawat di RSUD Solok selama 4 hari dan dirujuk ke RSUP M.Djamil tanggal 9
Juni 2009 ke IGD M.Djamil dengan diagnosis epistaksis. Pada pemeriksaan
didapatkan perdarahan sudah berhenti dan dari rinoskopi posterior terlihat
masa warna putih kemerahan di atap nasofaring dengan hasil laboratorium
Hb 12,1g%, leukosit 6.900/mm, haematokrit 35%, trombosit 206.000/mm3,
PT 13,0, APTT 38,1. Pasien dipulangkan dengan diagnosis kerja suspect
angiofibroma nasofarimg dengan anjuran kontrol poliklinik THT besok
harinya (10 Juni 2009) dan diberikan terapi tranexamic acid 3x500mg, vit K
1x10mg, vit C 1x200mg. Di poliklinik THT dilakukan pemeriksaan, dan
didapatkan keadaan umum baik, kompos mentis, tanda vital dalam batas
normal. Pada pemeriksaan THT, telinga dalam batas normal. Pada
pemeriksaan hidung dengan pemeriksaan rinoskopi anterior, kavum nasi dextra
sempit, tampak massa dengan permukaan licin warna keputihan di bagian
posterior kavum nasi. Pada pemeriksaan tenggorok arkus faring simetris,
uvula di tengah, palatum durum simetris, palatum mole tidak terdorong ke
bawah, tidak tampak massa di orofaring, pada pemeriksaan rinoskopi posterior,
terlihat massa di nasofaring berwarna putih kecoklatan. Dilanjutkan dengan
nasoendoskopi dan terlihat massa berwarna putih pucat dengan
25
hipervaskularisasi yang telah menutupi koana dextra, muara tuba tertutup.
Pasien direncanakan untuk dilakukan pemeriksaan CT-Scan (jadwal tanggal
18 Juni 2009). Pada tanggal 15 Juni 2009 pasien kembali masuk ke IGD
RSUP M.Djamil dengan keluhan keluar darah dari hidung kanan kira-kira
setengah gelas, dengan frekuensi 2 kali sehari sejak 2 hari yang lalu. Dari
pemeriksaan laboratorium didapatkan Hb 11,8g%, leukosit 11.700/mm,
trombosit 170.000/mm3. Dilakukan pemasangan tampon anterior pada kavum
nasi dextra. Kemudian diberi terapi Amoksisilin 3x500mg, tranexamic acid
3x500mg, vitamin K 2x10mg. Dua hari kemudian tampon diangkat dan
tidak terdapat perdarahan mengalir pada hidung dan tenggorok. Pada tanggal 18
Juni 2009 dilakukan CT-Scan nasofaring dengan hasil: Tampak massa
menonjol ke rongga nasofaring dari dinding atap nasofaring sisi kiri, batas
tegas, tepi regular, meluas ke rongga kavum nasi, ukuran ± 2x3,5 cm. Tak tampak
pembesaran KGB. Sinus paranasal bersih. Tampak penebalan mukosa kavum
nasi. Osteomeatal komplek terbuka. Kesan: angiofibroma nasofaring.
Ditegakkan diagnosis angiofibroma nasofaring
stadium I. Pasien direncanakan untuk dilakukan tindakan pembedahan dalam
anastesi umum dengan teknik hipotensi. Untuk itu dilakukan pemeriksaan
darah rutin, persetujuan operasi, cukur bulu hidung, persiapan darah whole
blood 2000 cc, adona drip 1 ampul dalam dextrose 5% dan konsul anastesi.
Dari hasil laboratorium didapatkan hasil Hb 12,2 g% dan hasil lainnya
dalam batas normal. Dari jawaban konsul dari anastesi adalah: Sedia darah
sesuai TS, post operasi persiapan ICU. Pada tanggal 29 Juni 2009 dilakukan
operasi ekstirpasi angiofibroma melalui pendekatan transpalatal dalam anastesi
umum anestesi umum dengan teknik hipotensi. Laporan operasi: o Pasien
telentang di meja operasi dalam narkosis. o Dilakukan septik dan aseptik
pada lapangan operasi. o Kavum nasi dievalusi dengan nasoendoskopi dan
terlihat massa tumor menutupi koana kanan dan belum memasuki kavum nasi o
Dilakukan insisi pada palatum mole dan palatum durum, terlihat massa tumor.
o Setelah itu dilakukan pengangkatan tumor pada daerah nasofaring dextra.
Massa tumor berhasil diangkat seluruhnya dan dikirim ke bagian Patologi
26
Anatomi RSUP Dr.M Djamil. o Di pasang tampon belloq. o Dilanjutkan dengan
pemasangan tampon anterior pada kedua kavum nasi, perdarahan berhenti. o
Palatum mole dijahit lapis demi lapis. o Perdarahan ± 300 cc. o Operasi selesai.
Pada follow up hari pertama: tidak terdapat perdarahan dan luka operasi
baik. Pasien di terapi dengan ceftazidin 2x1gr (IV) dan diet makanan cair.
Hasil laboratorium post operasi adalah : Hb 11,4g%, leukosit 6900/mm3.
Rencana buka tampon 2 hari lagi. Pada tanggal 3 Juli 2009, dilakukan
pengangkatan tampon anterior tetapi terjadi perdarahan, sehingga diputuskan
untuk memasang kembali tampon anterior dan menunda pembukaan tampon
posterior. Penyembuhan luka tempat insisi palatum baik dan pemeriksaan
otoskopi dalam batas normal.
Pada tanggal 6 Juli 2009 dilakukan pengangkatan tampon anterior dan
belloq tampon di kamar operasi dengan anastesi umum. Tidak terjadi
perdarahan, nasofaring dievaluasi dan tidak terlihat sisa tumor. Tanggal 7
Juli 2009 pasien dipulangkan dengan anjuran kontrol poliklinik THT 1
minggu lagi untuk evaluasi. Hasil dari bagian Patologi Anatomi nomor PJ-
996-09 tanggal 7 Juli 2009 adalah: Makroskopis: Sepotong jaringan 3 x 0,5 x
1 cm penampang putih kecoklatan. Mikroskopis: Dalam sedian terdiri atas
jaringan ikat longgar yang mengandung banyak kapiler-kapiler sebagian
melebar di permukaan tampak jaringan ikat tipis. Kesimpulan: Sesuai untuk
angiofibroma. Tanggal 13 Juli 2009 pasien kontrol ke poliklinik THT.
Keluhan tidak ada, dilakukan evaluasi dengan nasoendoskopi dan tidak
terlihat perdarahan, fossa rosenmuller nasofaring tidak terlihat sisa rumor, muara
tuba terbuka dan defek pada palatum tidak ada. Pasien dianjurkan untuk kontrol
3-4 bulan lagi.
27
DAFTAR PUSTAKA
1. Roezin A. Dharmabaktio S. Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Soepardi
AIN, editors: Buku Ajar Ilmu Kesehatan Telinga Hidung Tenggorok Kepala
Leher. Edisi keenam. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta.
2007:188-190.
2. Asroel HA, Angiofibroma Nasofaring Belia, http://library.usu.ac.id, diakses
tanggal 20 April 2007.
3. Mansfield E. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. June 26, 2006.
Available from : http:/www.emedicine.com/med/topic 2758.htm.
4. Adam G. Penyakit Nasofaring dan Orofaring. Dalam : EffendiH, Santoso
K, editors Boeis. Buku Ajar Penyakit THT, Jakarta: EGC,1991:322-346
5. Mansjoer A, Triyanti K,Savitri R, Wardhani IW, Setiowulan W.
Angiofibroma Nasofaring Belia. Dalam: Kapita Selekta Kedokteran, Jilid 1.
Jakarta.1999.111
6. Pradhana D. 2009. Juvenile Nasopharyngeal Angiofibroma. Referat
Kepaniteraan Klinik Ilmu Penyakit THT Fakultas Kedokteran Universitas
Trisakti. Jakarta.
7. Ballengger JJ.Penyakit Telinga, Hidung, Tenggorok, Kepala Dan leher, jilid
1. Edisi 13. Jakarta: Binarupa Aksara, 1994.
8. Anonymous, Juvenile Angifibroma Nasopharynx ,
http://www.brownmed.com,
9. Diakses tanggal 29 Maret 2014
28