majalah percik edisi khusus stbm 2012
DESCRIPTION
Majalah Percik edisi khusus STBM tahun 2012. www.STBM-Indonesoa.org .TRANSCRIPT
Media Informasi Air Minum dan Sanitasi
Edisi Bahasa Indonesiaedisi 01 tahun ke 10Agustus 2012
04
22
28
37
Hari Cuci Tangan Pakai Sabun, 2012
01Majalah PercikAgustus 2012
Sidang pembaca yang budiman, kembali majalah
kesayangan anda ini hadir di tengah anda. Kali ini,
kami mengusung edisi khusus bertajuk Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat (STBM).
Sejak diluncurkan melalui Keputusan Menteri
Kesehatan RI sebagai strategi nasional, STBM telah
berhasil menjadi platform pembangunan sanitasi
berbasis masyarakat untuk mendorong perubahan
perilaku hidup bersih dan sehat.
STBM mendorong perubahan tanpa subsidi.
Masyarakat dijadikan guru sekaligus subyek perubahan
perilaku kesehatan. Perubahan perilaku yang dimaksud
meliputi tidak buang air sembarangan, mencuci tangan
pakai sabun, mengelola air minum dan makanan
yang aman, mengelola sampah dengan benardan
mengelola limbah air rumah tangga dengan aman.
Seluruh perilaku ini secara nyata berkontribusi
terhadap pencapaian nasional target Pembangunan
Milenium (MDGs) dan target pembangunan nasional
sektor AMPL yaitu terwujudnya kondisi stop buang air
besar sembarangan hingga akhir tahun 2014.
Pada Percik edisi khusus STBM kali ini, para pembaca
dapat memetik pelajaran dan menggali inspirasi dari
berbagai tokoh, champion, pelaku utama STBM. Setiap
rubrik berupaya mengupas STBM dari tiga elemen
pentingnya yaitu peningkatan demand, perbaikan
supply dan lingkungan yang mendukung (enabling
environment). Wawancara dengan Gubernur Jawa
Timur dan Bupati Bima mengisahkan upaya-upaya
merumuskan dan melaksanakan kebijakan dan
lingkungan yang mendukung demi kesinambungan
pembangunan sanitasi.
Sementara itu kisah pejuang-pejuang STBM dari Soe,
Probolinggo, Lumajang serta peranan mitra dan swasta
dan inovasi-inovasi dalam meningkatkan permintaan
serta memperbaikan suplai di tingkat masyarakat
juga diharapkan mengilhami seluruh pelaku STBM di
berbagai lapisan masyarakat.
Kisah-kisah ini menjadi bukti nyata bahwa perubahan
perilaku kesehatan yang didorong STBM bukan hanya
angin yang ditiupkan oleh proyek-proyek semata
tapi telah berhasil menjadi daya ungkit, wabah,
menularkan semangat bagi tumbuhnya kesadaran di
tingkat masyarakat untuk berkontribusi lebih baik bagi
lingkungannya.
Pepatah menyatakan banyak jalan menuju Roma.
Begitu pun dengan STBM, banyak jalan untuk
menyukseskan program STBM ini. Kuncinya adalah
jeli untuk mengamati setiap peluang yang ada dan
berusaha cepat untuk mengambilnya. Dengan
demikian, bukan tidak mungkin target-target yang
menjadi tantangan bagi Negara Indonesia ini dapat
tercapai.
Selamat membaca!
Pemimpin Redaksi
Maraita Listyasari
Memotret Semangat STBM
Dari Editor
02 Majalah Percik Agustus 2012
Diterbitkan oleh : Kelompok Kerja Air Minum dan Penyehatan Lingkungan (Pokja AMPL) Nasional Penanggung Jawab : Direktur Permukiman dan Perumahan, Bappenas, Direktur Penyehatan Lingkungan, Kementerian Kesehatan, Direktur Pengembangan Air Minum, Kementerian Pekerjaan Umum, Direktur Bina Sumber Daya Alam dan Teknologi Tepat Guna, Kementerian Dalam Negeri, Direktur Fasilitasi Penataan Ruang dan Lingkungan Hidup, Kementerian Dalam Negeri, Direktur Penataan Perkotaan, Kementerian Dalam Negeri PembinaNugroho Tri Utomo Pemimpin Redaksi : Maraita Listyasari Redaktur : Eko Wiji Purwanto Editor : Aldy Mardikanto, Nur Aisyah Nasution Tim Penyusun : Nissa Cita Adinia, Lisa Imrani, Kelly Ramadhanti , Indriany, Yusmaidy, Hendra Murtidjaja, Eko Budi Harsono Disain : E. Sunandar Sirkulasi / Sekretariat : Agus Syuhada, Nur Aini
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan Lingkungan
DAFTAR ISI
GELIAT STBM dalam SANITASI INDONESIASTBM Membawa perubahan pola berpikir dalam pelaksanaan program sanitasi. Selain mengedepankan pemberdayaan masyarakat, yang menjadi sasaran adalah perubahan perilaku higiene masyarakat dengan meninggalkan ketergantungan pada subsidi.
04
28
Media Informasi Air Minum dan Sanitasi
03Majalah PercikAgustus 2012
Cover : E. SunandarFoto Cover : Nury Sybli (Arisan Jamban / Bangka)
Alamat Redaksi Majalah Percik : Jl. RP Soeroso 50 Jakarta Pusat, Telp/Fax : 021- 31904113, Situs Web : http//www.ampl.or.id, Email: [email protected], [email protected]
Redaksi menerima kiriman tulisan/ artikel dari luar. Isi berkaitan dengan air minum dan sanitasi
5 Pilar STBMAplikasi dan Tantangannya
Menengok Pelaksanaan CLTS dari Negeri Tetangga
Albertus Fay,Dari kesenian Bonet sampai instruksi camat.
Pilihan strategi mengubah perilaku masyarakat
Wawancara Dirjen PP & PL Kementerian Kesehatan
Milestone STBM
Apa kata mereka tentang STBM
Kehadiran STBM dengan 5 pilarnya telah mampu memberikan daya ungkit yang cukup signifikan dalam perubahan perilaku.
Sebagai sebuah pendekatan partisipatif, CLTS juga diaplikasikan di beberapa negara tetangga kita. Simak kisah-kisah dari Pakistan, Laos dan Vietnam
Albertus Fay, tokoh dibalik kesuksesan kecamatan Polen kabupaten Timor Tengah Selatan. Albertus menuturkan langkah-langkah yang ditempuhnya dalam mengaplikasikan STBM
33
40
30
19
54
58
Media Informasi Air Minum dan Penyehatan LingkunganMedia Informasi Air Minum dan Sanitasi
Majalah Percik Agustus 2012Fokus Utama04
05Majalah PercikAgustus 2012
“Demi kelestarian anak cucu kita di masa mendatang, dan meningkatnya kesejahteraan penduduk Maradesa Induk,
disaksikan oleh alam pada malam ini, kita harus melakukan perubahan perilaku menuju sehat.
Tidak lagi buang air besar di sembarang tempat, cuci tangan dengan baik, mengolah air minum yang sehat, mengolah
sampah rumah supaya tidak berceceran dimana-mana, dan limbah di rumah...”
GELIAT STBM
SANITASI INDONESIAdalam
Dok Foto Plan Indonesia
06 Majalah Percik Agustus 2012
Gerak aktif masyarakat
K utipan di atas adalah sekelumit kalimat
dari sumpah adat yang disampaikan
tetua-tetua adat di Desa Maradesa Induk,
Sumba Tengah, NTB, pada Desember 2011 lalu. Demi
mendorong perubahan perilaku higiene warganya,
para tokoh adat lokal berinisiatif menggelar sumpah
adat disaksikan segenap masyarakatnya, bahkan juga
Camat setempat. Upaya seserius sumpah adat ini
dilakukan karena mereka telah sadar dan berkomitmen
untuk melakukan perubahan perilaku higiene.
Kondisi “terpicu” ini biasa muncul ketika masyarakat
telah melalui satu proses yang dinamakan proses
pemicuan. Pemicuan adalah sebuah metode yang
dikenal bertujuan untuk mengubah perilaku higiene
dan sanitasi melalui pemberdayaan masyarakat.
Masyarakat dikatakan “terpicu” ketika mereka sadar dan
berkomitmen mengubah perilakunya, sehingga segera
melakukan tindak lanjut yang diperlukan.
Di Indonesia, proses pemicuan telah dilakukan di
banyak lokasi bahkan sampai ke pelosok-pelosok
daerah. Sebagian masyarakat yang terpicu akan
terdorong untuk ikut memicu warga lainnya. Mereka
inilah yang dikenal dengan istilah “champion”. Seorang
champion bisa jadi adalah seorang warga biasa, anak-
anak, tokoh masyarakat setempat, petugas pemerintah,
dan lain-lain. Champion bergerak aktif mengupayakan
perubahan perilaku masyarakat sekitarnya dengan cara
mereka sendiri.
Salah satu champion di Dompu, NTT, Salahudin (13
tahun) bersama Sanggar Anak Tahira membentuk
Polisi Tai Desa Adu. Bersama kader desa, anak-
anak ini dengan aktif memicu warga di desanya
untuk tidak buang air besar (BAB) sembarangan
lagi. Mereka melakukan pengawasan rutin untuk
memantau kebiasaan BAB warga masyarakat. Ketika
ditemukan ada yang melakukan buang air besar
(BAB) sembarangan, mereka meneriaki si pelaku,
meniup peluit agar banyak warga tahu perilakunya
membuatnya malu.
Lain lagi di Jawa Timur, champion lain bernama
Hastatik, seorang petugas sanitasi di Sampang,
“memprovokasi” warganya dengan pesan bahwa
melakukan BAB sembarangan sama dengan melakukan
maksiat dan membuat derita bagi sesama. Bagi orang
Madura, maksiat dan mengakibatkan orang lain
menderita adalah suatu tabu dan sangat memalukan.
Tak ayal, para warga disekitarnya terpicu dan
berkomitmen mengubah perilakunya menjadi BAB di
jamban. Komitmen tersebut dibuktikan dengan jumlah
Deklarasi dan pencanangan 7 desa
ODF di Kabupaten Serang.
Dok
Fot
o Se
kt. S
TBM
07Majalah PercikAgustus 2012
investasi warga Kecamatan Sampang Kabupaten
Sampang yang mencapai angka Rp 4.7 miliar untuk
membangun jamban tanpa subsidi dari pihak luar.
“Semua gerak aktif masyarakat ini adalah hasil suatu
proses pemberdayaan masyarakat. Suatu program
dikatakan melakukan pemberdayaan masyarakat ketika
masyarakat berperan sebagai subyek aktif dan juga
sebagai pengambil keputusan dalam semua tahapan
program,” ungkap Oswar Mungkasa, mantan Ketua
Pokja AMPL dalam beberapa kesempatan.
Mengubah pola pikir
Selama berpuluh tahun Indonesia memiliki program-
program sanitasi yang berorientasikan pembangunan
sarana fisik. Namun selama berpuluh tahun pula
cakupan sanitasi kita belum menunjukkan perubahan
berarti. Berbagai program datang ke masyarakat
dengan dana besar, memberikan bermacam
tipe sarana sanitasi. Makin banyak sarana sanitasi
terbangun, tidak menambah cakupan, sebaliknya
malah menambahkan jumlah bangunan tak terpakai.
Kondisi ini memperlihatkan perlunya pembenahan
terhadap pola pikir kita.
Beberapa tahun terakhir, perubahan pola pikir ini
mulai tampak dalam program-program sanitasi terkini.
Masyarakat mulai dilibatkan dalam prosesnya, dengan
level pelibatan mulai dari sekedar peserta dalam acara
sosialisasi sampai dengan pelibatan penuh.
“Banyaknya sarana sanitasi terbangun yang
tidak digunakan, maupun yang rusak karena
ketidakmampuan masyarakat memeliharanya,
membuat pemerintah mulai memikirkan pentingnya
keberlanjutan suatu program,” ujar Imbang
Muryanto dari Dinas PU Makassar saat memaparkan
pembelajaran program sanitasi Makassar di Workshop
STBM Nasional tanggal 7-9 Agustus di Bogor, Jawa
Barat. “Karena sanitasi tanpa pemberdayaan masyarakat
tidak akan berhasil,” tambahnya.
Tidak berhenti pada upaya memberdayakan
masyarakat saja, yang juga dituju adalah perubahan
perilaku higiene masyarakat. “Salah satu penunjang
utama keberlanjutan program sanitasi adalah
perubahan perilaku higiene masyarakat,” ungkap Zainal
Nampira, Kasubdit Penyehatan Air dan Sanitasi Dasar,
Kementerian Kesehatan.
Perubahan pola pikir dan perilaku higiene
masyarakat yang dituju.
Dok
Fot
o IU
WAS
H
08 Majalah Percik Agustus 2012
“Komitmen perubahan perilaku mampu mendorong
masyarakat membangun sarana sanitasi sendiri.
Masyarakat paling miskin pun akan jadi mampu. Ketika
terpicu, ternyata mereka mampu membangun sarana
sanitasi mereka sendiri,” jelas Zainal.
Pernyataaan Zainal didukung oleh sejumlah fakta tak
terbantahkan. Masyarakat yang terpicu, berkomitmen
pada perubahan perilaku pada akhirnya akan mampu
membangun sarana sanitasinya sendiri. Program
sanitasi berkelanjutan tidak hanya membutuhkan
pemberdayaan masyarakat, yang terpenting adalah
munculnya perubahan perilaku masyarakat. Tanpa itu,
pembangunan sanitasi kecil kemungkinannya untuk
bisa bertahan lama.
Membangun sanitasi tanpa subsidi
Munculnya kesadaran masyarakat untuk perubahan
perilaku mengakibatkan banyaknya komunitas yang
kemudian menyatakan dirinya telah Stop Buang air
besar Sembarangan (SBS) – biasa dikenal dengan istilah
Stop BABS atau ODF (open defecation free). Kondisi
ODF dicapai ketika 100% penduduk di satu komunitas/
dusun/desa telah berhenti BAB sembarangan dan
membiasakan BAB di jamban sehat.
Pemicuan demi pemicuan yang dilakukan di berbagai
tempat telah memperlihatkan hasilnya ketika banyak
desa ODF yang dideklarasikan. Kecamatan-kecamatan
ODF pun mulai bermunculan di seantero negeri seiring
banyaknya kabupaten yang mencanangkan tujuan
untuk mencapai status Kabupaten ODF. Status ODF kini
menjadi gengsi yang dikejar banyak pemimpin daerah.
Di lain sisi, masih banyak pihak bertahan pada pola pikir
lama bahwa perubahan perilaku higiene masyarakat
membutuhkan proses dengan waktu lama, biaya besar
dan tidak bisa dipaksakan. Padahal Indonesia sejak
2005 telah menerapkan satu pendekatan tanpa subsidi
yang membuat perubahan besar pada capaian sanitasi
kita.
Lalu apakah yang dimaksud dengan pendekatan
tanpa subsidi ini?
Pendekatan ini dikenal dengan sebutan Community-
Led Total Sanitation (CLTS). Dipelopori oleh Dr. Kamal
Kar dari Bangladesh, CLTS memiliki metode inovasi
yang memobilisasi masyarakat untuk sepenuhnya
menghilangkan perilaku buang air besar di sembarang
tempat. CLTS mengakui bahwa menyediakan sarana
jamban bagi masyarakat tidak bisa menjamin
penggunaannya, tidak juga menyebabkan perubahan
perilaku higiene ataupun peningkatan akses sanitasi.
Dengan demikian, jika sasarannya adalah perubahan
“Masyarakat paling miskin pun akan jadi mampu. Ketika terpicu, ternyata mereka mampu membangun sarana sanitasi mereka sendiri.”
09Majalah PercikAgustus 2012
perilaku dan akses sanitasi, maka penyediaan sarana
jamban perlu menjadi tanggungjawab masyarakat
sendiri.
Dimulai dari meniru negara lain
CLTS menyebar cepat di Bangladesh dengan kerjasama
antara Pemerintah Bangladesh dan Lembaga Swadaya
Masyarakat internasional yang ada. WSP (Water and
Sanitation Program) dari Bank Dunia memainkan peran
penting dalam penyebaran pendekatan ini ke India,
Indonesia dan sebagian Afrika.
Bermula dari suksesnya CLTS di Bangladesh dan
India, perwakilan dari beberapa kementerian yang
tergabung dalam Kelompok Kerja Air Minum dan
Sanitasi (Pokja AMPL) dan beberapa pelaku sanitasi
Indonesia berangkat ke kedua negara tersebut untuk
mempelajari CLTS lebih dalam. Kunjungan tersebut
dilanjutkan dengan mengundang Kamal Kar ke
Indonesia, untuk melakukan penilaian apakah metode
CLTS dapat diterapkan di Indonesia.
Pemerintah menindaklanjuti kunjungan tersebut
dengan melakukan uji coba penerapan CLTS di enam
kabupaten di enam provinsi yang berbeda yaitu:
Lumajang, Jawa Timur; Sumbawa, NTB; Sambas,
Kalimantan Barat; Muara Enim, Sumatera Selatan;
Muaro Jambi, Jambi; dan Bogor, Jawa Barat. Tak
tanggung-tanggung, Kamal Kar langsung didaulat
melatihkan metode ini di orientasi CLTS tingkat
Nasional yang pertama pada awal Mei 2005 di
Lumajang, Jawa Timur.
Evaluasi yang dilakukan sekitar 6 bulan kemudian, pada
akhir Nopember 2005, menyatakan bahwa hasil uji
coba penerapan CLTS dinilai sangat baik. “Masyarakat
Indonesia bisa melakukan pemicuan dengan
begitu cepat, karena 8 bulan lalu saya datang ke
Indonesia belum ada yang tahu tentang CLTS. Setelah
diperkenalkan dalam waktu 6 bulan CLTS, dapat
berkembang dengan bagus di Indonesia,” komentar
Kamal Kar saat itu.
Berkembang di negeri sendiri
Setelah uji coba tersebut, metode CLTS terus diterapkan
di berbagai daerah oleh berbagai pelaku sanitasi baik
pemerintah maupun nonpemerintah. Berawal dari
keberhasilan uji coba itu, dilakukan pula perumusan
sebuah konsep strategi nasional untuk perluasan
peningkatan akses sanitasi pedesaan yang disesuaikan
dengan misi dan karakter bangsa Indonesia.
Percobaan di 6 kabupaten tersebut berhasil
membuktikan bahwa CLTS dapat diterapkan di
Indonesia. Pembelajaran yang didapatkan dari
percobaan tersebut didokumentasikan dalam bentuk
video yang menjadi alat bantu komunikasi dalam
melakukan advokasi ke berbagai pihak. Berbagai
lembaga baik pemerintah dan nonpemerintah tertarik
Metode CLTS terus diterapkan
diberbagai daerah oleh berbagai
pelaku sanitasi.
Dok
Fot
o IU
WAS
H
10 Majalah Percik Agustus 2012
mereplikasikan pendekatan ini melalui berbagai
program diantaranya WSLIC2 (Water and Sanitation for
Low Income Communities), TSSM dan program yang
dijalankan oleh Plan Indonesia.
WSLIC2 mulai gencar melaksanakan pemicuan di
berbagai wilayah sasaran proyeknya di Indonesia.
TSSM (Total Sanitation – Sanitation Marketing) di Jawa
Timur menambahkan 3 komponen sanitasi total dalam
pelaksanaannya, yaitu:
• peningkatan kebutuhan sanitasi (demand creation),
• peningkatan penyediaan sanitasi (supply
improvement), dan
• penciptaan lingkungan yang kondusif (enabling
environment).
Tiga komponen tersebut menjadi inovasi
pengembangan dalam replikasi CLTS karena CLTS
hanya berfokus di demand creation. Plan Indonesia
walau belum sepenuhnya menerapkan CLTS, mulai
mengadopsi metode pemicuan di 9 kabupaten
binaannya di tahun 2007, dan sejak tahun 2009 telah
mengadopsi penuh pendekatan CLTS.
Replikasi oleh berbagai pihak ini menghasilkan
perubahan luar biasa sehingga pada tahun 2006
sebanyak 160 desa telah mencapai ODF dan tahun
2007 bertambah menjadi 500 desa. Bahkan Pemerintah
Kabupaten Pandeglang sempat meraih penghargaan
MURI (Museum Rekor Indonesia) pada 2007 ketika
organisasi masyarakat PCI (Project Concern International)
berhasil melakukan pemicuan dan mendorong
pebangunan 1.719 buah jamban atas inisiatif masyarakat
tanpa subsidi.
“Sejak CLTS diluncurkan, luar biasa semangat yang
muncul dari berbagai program dan proyek. Daya
ungkit di tingkat masyarakat juga tinggi,” kata Zainal.
Penerapan CLTS Tidaklah Cukup
Di tahun 2007, dunia sanitasi Indonesia mendapatkan
informasi berharga hasil studi dari WHO (World Health
Organization) dan Bank Dunia. Studi dari Bank Dunia
menyatakan bahwa buruknya kondisi sanitasi di
Berbagai kampung dan desa bangga mendeklarasikan dirinya bebas dari
buang air besar sembarangan.
Dok
Fot
o Se
kt. S
TBM
Diagram Komponen Sanitasi Total
11Majalah PercikAgustus 2012
Indonesia menimbulkan kerugian ekonomi sebesar
2,3% dari Produk Domestik Bruto atau sebesar Rp 58
triliun per tahunnya.
Buruknya kondisi sanitasi dan perilaku higiene
masyarakat yang tidak aman menimbulkan kejadian
luar biasa diare di banyak provinsi. Penurunan kejadian
diare dianggap penting karena penyakit ini masih
menjadi penyebab utama kematian bayi dan balita di
Indonesia. WHO menyatakan bahwa ada 3 kondisi yang
dapat menurunkan kejadian diare, yaitu:
1. Peningkatan akses masyarakat pada sanitasi dasar,
dapat menurunkan kejadian diare sebesar 32%;
2. Perilaku cuci tangan pakai sabun, menurunkan
sebesar 45%; dan
3. Perilaku pengelolaan air minum yang aman di
rumah tangga, menurunkan sebesar 39%.
Masing-masing kondisi tersebut jika diterapkan berdiri
sendiri, maka besar penurunan yang dihasilkan tidak
sampai setengahnya. Namun apabila ketiga kondisi
tersebut diintegrasikan, maka kejadian diare dapat
diturunkan sebanyak 94%.
Bersandar pada hasil studi Bank Dunia dan WHO,
pemerintah Indonesia melihat bahwa penerapan CLTS
saja tidaklah cukup. Diperlukan program besar yang
mengintegrasikan ketiga kondisi di atas jika memang
kita serius untuk memperbaiki kondisi sanitasi dan
menurunkan angka kejadian diare.
Keberhasilan uji coba CLTS, replikasi dan
pengembangan CLTS paska uji coba, serta hasil studi
WHO dan Bank Dunia, mendorong pemerintah
Indonesia menyusun satu program yang menyasar
pada penurunan kejadian diare melalui perubahan
perilaku masyarakat. Hasil upaya tersebut adalah
ditetapkannya Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor
852/Menkes/SK/IX/2008 tentang Strategi Nasional
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat.
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM) mengadopsi
pendekatan CLTS untuk mengubah perilaku
masyarakat. Hasil studi WHO tercermin disini sebagai
5 pilar perubahan perilaku, yang kini dikenal sebagai 5
pilar STBM, yaitu:
1. Stop Buang Air Besar Sembarangan (Stop BABS)
Cuci tangan pakai sabun, terbukti
menurunkan kasus diare hingga 45
persen.
Dok
Fot
o Pl
an In
done
sia
12 Majalah Percik Agustus 2012
2. Cuci Tangan Pakai Sabun (CTPS)
3. Pengelolaan Air Minum dan makanan Rumah
Tangga (PAM RT)
4. Pengelolaan Sampah Rumah Tangga (PS RT)
5. Pengelolaan Limbah Cair Rumah Tangga (PLC RT)
Pencapaian 5 kondisi di atas dalam satu komunitas
disebut sebagai kondisi sanitasi total.
Munculnya Kepmenkes tentang strategi nasional
STBM selain menjadi pegangan untuk advokasi
juga menjadi pemicu bagi lebih banyak pihak untuk
menerapkan CLTS dan mengembangkannya menjadi
STBM. Diragukan pada awalnya, seperti halnya saat
pertama penerapan CLTS, perlahan tapi pasti STBM
meraih dukungan-dukungan menjadi program
sanitasi berbasis masyarakat terbesar tanpa subsidi di
Indonesia.
Di bawah koordinasi Kementerian Kesehatan dan
didukung oleh lembaga interkementerian, Pokja
AMPL Nasional, para pemangku kepentingan STBM
dari pemerintah dan non pemerintah memulai upaya
advokasi dan pelaksanaan STBM di berbagai tingkatan,
mulai dari pusat sampai ke daerah. Keberhasilan mulai
terlihat, bahkan di wilayah-wilayah yang dianggap
sangat tidak mungkin untuk diterapkan program ini.
Serangkaian perubahan dan kemajuan mengiringi
pelaksanaan STBM. “Banyak pihak sudah mulai
menerapkan pemicuan bukan hanya untuk Stop BABS
saja. Jadi, memang sudah muncul desa-desa yang
mencapai kondisi sanitasi total di 5 pilar STBM,” ungkap
Zainal.
Lebih lanjut, STBM yang dari awalnya identik
dengan program sanitasi di perdesaan, kini juga
mulai diujicobakan di perkotaan. WVI (World Vision
International) dan USAID (United States Agency for
International Development) adalah dua lembaga yang
menginisiasi uji coba pelaksanaan STBM di masyarakat
kota.
“Yang membanggakan, muncul juga asosiasi
pengusaha sanitasi di tingkat masyarakat. Semua pihak
berkolaborasi, lagi-lagi menambah daya ungkit positif
program ini,” tambah Zainal.
Pendapat senada diungkapkan Nugroho Tri Utomo,
Direktur Permukiman dan Perumahan Bappenas.
13Majalah PercikAgustus 2012
Menurut Nugroho, STBM telah berevolusi menjadi
lebih kompleks dan luar biasa, “STBM ini merupakan
satu-satunya program atau pendekatan yang
intervensinya langsung ke tingkat
rumah tangga yang memang
merupakan penentu utama
keberhasilan program sanitasi.”
Dampaknya, Indonesia mulai menjadi tempat
belajar bagi negara tetangga untuk program sanitasi
perdesaan. Dalam Lokakarya Regional CLTS se-Asia
Tenggara dan Pasifik tahun 2009, Indonesia ternyata
merupakan negara dengan pengalaman penerapan
CLTS yang sangat komprehensif, bahkan dibandingkan
dengan India.
Dikatakan komprehensif karena pelaksanaan CLTS di
Indonesia sudah mencapai pengembangan konsep
menjadi STBM. Selain itu, tidak hanya pada penerapan
5 pilar, kegiatan monitoring STBM yang berbasis sms
dan website juga sudah dimulai diterapkan. Pelaku
STBM-pun semakin beragam, mulai dari pemerintah
Peta Persebaran CLTS di antara Negara-Negara Asia 2004-2010
14 Majalah Percik Agustus 2012
daerah, LSM lokal atau internasional, lembaga donor,
hingga pihak swasta melalui program-program
Corporate Social Responsibility (CSR).
Banyak faktor di Indonesia yang mendukung
perkembangan AMPL yaitu keberadaan regulasi,
komitmen pemerintah dalam RPJMN, keberadaan Pokja
AMPL / Sanitasi di tingkat kabupaten, kota dan provinsi,
kemitraan dengan para pemangku kepentingan serta
keberadaan para champion di masyarakat sendiri.
Tantangan Berat
Di semua negara yang menerapkan CLTS, peralihan
pendekatan pembangunan sanitasi dari berbasis
subsidi ke non subsidi dirasakan merupakan tantangan
yang paling berat, baik di tingkat pemerintah maupun
di masyarakat. Laos dan Vietnam adalah contoh negara
yang mengirimkan tim-nya ke Indonesia demi bertukar
pengetahuan mengenai CLTS dan STBM.
Pada Lokakarya Regional Exchange Visits on Scalling
Up Sanitation di Solo (September 2011), Pemerintah
Indonesia dianggap cukup berhasil bekerja sama
dengan lembaga donor dan rekan kerjanya untuk
mengembangkan sanitasi perdesaan dengan
penguatan tiga komponen sanitasi totalnya. Kegiatan
ini dihadiri lembaga-lembaga donor dan negara-
negara Asia Tenggara dan Papua New Guinea.
Antusiasme dalam setiap kegiatan deklarasi ODF di
berbagai wilayah.
Dok
Fot
o Pl
an In
done
sia
15Majalah PercikAgustus 2012
Peningkatan kebutuhan sanitasi (demand creation):
Peningkatan penyediaan sanitasi (supply improvement):
Penciptaan lingkungan yang kondusif (enabling environment):
1. Pemicuan STBM pada tingkat komunitas
2. Penelitian formatif mengenai perilaku dan motivasi higiene masyarakat sebagai konsumen.
3. Kampanye media komunikasi berdasarkan penelitian formatif, dengan menggunakan motivasi yang ada untuk mengubah perilaku.
4. Menawarkan opsi-opsi bagi konsumen ketika mereka berkomitmen untuk mengubah perilaku higiene-nya.
1. Penilaian pasar sanitasi di provinsi untuk membandingkan opsi-opsi sanitasi yang ada, dibandingkan dengan keinginan dan kesediaan membayar konsumen.
2. Mengembangkan kisaran opsi sanitasi yang diinginkan dan terjangkau konsumen.
3. Pengembangan catalog pilihan sanitasi layak, untuk menolong konsumen memilih.
4. Pembinaan pengusaha lokal dan pelatihan tukang bangunan untuk menyampaikan pilihan teknologi dengan jaminan kualitas.
1. Menerapkan kebijakan lokal untuk melaksanakan STBM di kabupaten melalui sinergi semua sumber dana program/proyek sanitasi perdesaan.
2. Mengembangkan kerangka pendanaan khusus dalam anggaran pemerintah.
3. Menyediakan dana pembangunan dan peningkatan kapasitas lokal (untuk demand, supply, pengelolaan pengetahuan, pemantauan dan hasil program sanitasi).
4. Membuat analisa tentang efektifitas pembiayaan (input, output, hasil) program sanitasi dalam laporan kemajuan program kabupaten.
5. Memformulasi Rencana Strategis untuk pelaksanaan STBM di kabupaten.
Dengan berbagai capaian dan pembelajaran, masih
begitu banyak tantangan STBM ke depan. Komitmen
Pemerintah Indonesia Stop BABS pada 2014 telah
akankah itu tercapai? Bagaimana menanggulangi
berbagai program/proyek di daerah yang masih
melakukan subsidi? Pencapaian MDGs untuk sanitasi
di Indonesia banyak mengandalkan STBM karena
program ini efektif untuk meningkatkan akses sanitasi
di perdesaan. Dengan kondisi otonomi daerah,
bagaimana membuat pimpinan daerah mengadopsi
program ini?
Seperti dikatakan oleh Nugroho Tri Utomo pada
Workshop STBM Nasional (7/9),” Sudah diketahui
bagaimana potensi STBM di lapangan. Keberhasilannya
sudah cukup teruji. Tantangannya bukan lagi
Tabe
l hal
-hal
yan
g da
pat d
ilaku
kan
dala
m m
elak
sana
kan
STBM
16 Majalah Percik Agustus 2012
mengadvokasi rumah tangga tetapi mengadvokasi
pemerintah daerah agar lebih mendukung kegiatan ini.
Tantangannya adalah pada komitmen pemda untuk
mengalokasikan dana ke STBM.”
Menuju Pencapaian Target STBM
STBM beranjak dari satu pembelajaran sederhana, dan
makin lama makin berkembang seiring penemuan
pembelajaran demi pembelajaran lainnya dari banyak
pihak. Di triwulan pertama tahun 2012, sebanyak 6.457
desa telah melaksanakan STBM. Hingga akhir tahun
2014 ditargetkan 20.000 desa dapat menerapkan STBM.
Akankah kita menggunakan semua pembelajaran yang
ditemukan sebagai pijakan menuju target yang ingin
dicapai?
Soal kreatifitas mencapai target, pelaku STBM dari Jawa
Timur mungkin juaranya. Jawa Timur menggunakan
strategi “1 puskesmas 1 desa ODF”. Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur memberikan target pada tiap
puskesmas untuk meng-ODF-kan minimal 1 desa
di wilayahnya tiap tahun. “Tiap kecamatan biasanya
memiliki 1 puskesmas, beberapa ada yang lebih dari
1. Dengan strategi “1 puskesmas 1 desa ODF”, target
ini termasuk ringan bagi puskesmas,” kata Edy Basuki,
Kepala Seksi Penyehatan Lingkungan Dinas Kesehatan
Provinsi Jawa Timur.
Strategi ini bukan mustahil dilakukan, jika dalam
sebulan sanitarian melakukan 1 kali pemicuan dan
monitoring tiap bulannya, minimal 1 desa ODF bisa
dicapai dalam 1 tahun. Jika dilihat dari pendanaan
“Tiap kecamatan biasanya memiliki 1 puskesmas. Dengan strategi “1 puskesmas 1 desa ODF”, target ini termasuk ringan.”
17Majalah PercikAgustus 2012
yang sudah tersedia, strategi “1 puskesmas 1
desa ODF” merupakan strategi mumpuni yang
selayaknya dapat diterapkan di wilayah-wilayah lain.
Wilfried H Purba, Direktur Penyehatan Lingkungan,
Kementerian Kesehatan, menambahkan potensi lain.
Menurut Wilfried, saat ini puskesmas mendapatkan
dana BOK (Bantuan Operasional Kesehatan) dari pusat
dengan rata-rata Rp 100 juta per puskesmas. “Di sini,
menu kesehatan lingkungannya bisa digunakan untuk
STBM. Sekarang bagaimana teman-teman daerah kita
dorong agar tidak melupakan kesehatan lingkungan
(kesling) ini, dengan menggunakan program STBM,”
tandasnya.
Perihal terobosan pencapaian target STBM ini Nugroho
menambahkan bahwa STBM muncul dari begitu
banyak pembelajaran, hasil-hasil studi, kerja kreatif para
champion dan dukungan banyak pihak. “STBM juga
akan hidup dan berkembang dari gairah-gairah seperti
ini. Dan jangan lupa, STBM bisa kita kembangkan betul,
ketika dia terintegrasi dengan program-program
lain, seperti PPSP (Percepatan Pembangunan
Sanitasi Permukiman), RPA (Rencana Pengamanan
Air), atau Sanitasi Sekolah,” ujar Nugroho.
Bersinergi dengan program lain dan melakukan
terobosan strategi pelaksanaan STBM di wilayah
masing-masing. Bayangkan ketika seluruh kecamatan
di Indonesia, melakukan strategi tersebut. Tidak
mustahil target 20.000 desa yang melaksanakan STBM
di 2014 akan tercapai, bahkan terlampaui. Mari kita
mulai dari sekarang.
Indriany, Nissa CitaD
ok F
oto
Plan
Indo
nesi
a
Bersinergi bersama berbagai pihak
melakukan promosi STBM demi mencapai
target.
19Majalah PercikAgustus 2012 Wawancara
P rogram Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat (STBM) telah
empat tahun bergulir. STBM jelas
merupakan salah satu program
Nasional di bidang sanitasi yang
bersifat lintas sektoral. Program
ini telah dicanangkan pada
bulan Agustus 2008 oleh Menteri
Kesehatan RI. STBM merupakan
pendekatan untuk mengubah
perilaku higiene dan sanitasi
melalui pemberdayaan masyarakat
dengan metode pemicuan.
Dalam Rencana Strategis (Renstra)
Kementerian Kesehatan 2010 –
2014 ditetapkan Delapan fokus
prioritas pembangunan kesehatan.
Salah satunya adalah program
pengendalian penyakit dan
penyehatan lingkungan menular;
dengan salah satu indikator
utama pencapaian sasaran pada
tahun 2014 adalah jumlah desa
yang melaksanakan Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat (STBM)
sebanyak 20.000 desa.
Berikut adalah petikan wawancara
wartawan majalah Percik,
Eko B Harsono dengan Dirjen
Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan, Prof Dr
Chandara Yoga di ruangannya di
Jakarta, belum lama ini.
Sesungguhnya apa persoalan
mendasar dalam melaksanakan
STBM?
Sejumlah program sanitasi
masyarakat memang telah lama
dilakukan. Persoalannya ada
sejumlah masalah terkait hal ini
yang harus diperhatikan pertama
yaitu Perilaku hidup bersih dan
sehat (PHBS) belum menjadi
kebutuhan bagi sebagian besar
masyarakat. Masyarakat secara
umum memiliki pengetahuan
mengenai pentingnya perilaku
hidup bersih dan sehat serta
Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama SpP(K)Wawancara Dirjen PP & PL Kementerian Kesehatan
STBM Mendorong Perubahan Tanpa Subsidi
20 Majalah Percik Agustus 2012
kondisi sanitasi terhadap tingkat
kesehatan. Namun demikian,
prioritas masyarakat masih
belum menempatkan sanitasi
pada prioritas utama. Oleh
karena itu, seringkali ditemui
ketidakkonsistenan praktik hidup
bersih masyarakat.
Kedua, kurangnya komitmen
pemerintah daerah mengenai
pentingnya pembangunan
sanitasi. Fokus pembangunan
di daerah masih berkisar pada
sarana infrastruktur lain seperti
jembatan atau jalan, sementara
pembangunan sanitasi belum
menjadi prioritas. Selain itu,
fakta bahwa pembangunan
sanitasi belum terintegrasikan
secara maksimal dan menjadi
tanggungjawab bersama.
Ketiga, belum tersedianya
pendekatan pembangunan sanitasi
yang terpadu dan sinergis. Salah
satu kendala yang cukup mendasar
adalah belum adanya cetak biru
maupun pendekatan untuk
menanganani pembangunan
sanitasi. Pemerintah saat ini telah
mencanangkan program STBM
sebagai program nasional dan
menjadikan program tersebut
sebagai acuan bagi pelaksana
berbagai program/proyek sanitasi
yang ada. Namun demikian,
program STBM masih perlu
dikembangkan.
Mengapa STBM berprinsip non
subsidi?
Sebelumnya kita menerapkan
pendekatan tradisional
untuk program sanitasi,
seperti: membangun MCK,
mendistribusikan jamban
keluarga secara cuma-cuma atau
Dok
Fot
o Se
kt. S
TBM
Salah satu upaya kampanye cuci
tangan pakai sabun yang digiatkan
oleh Kementerian Kesehatan.
21Majalah PercikAgustus 2012
dalam bentuk paket material
stimulan untuk konstruksi, serta
mendistribusikan uang pada
masyarakat dalam bentuk jamban
bergulir.
Ketiga kegiatan tersebut
menggunakan pendekatan fisik
dimana fokus dan tolok ukur sukses
selalu pada pendekatan fisik.
Dengan pendekatan fisik tersebut
tidak memberi daya ungkit yang
berarti terhadap akses sanitasi
karena tidak berkesinambungan
(masyarakat selalu bergantung
pada subsidi).
Dengan tidak adanya
subsidi, seperti apakah peran
pemerintah?
Peran pemerintah adalah
memfasilitasi dalam bentuk
penyusunan norma, standar,
pedoman, advokasi dan sosialisasi,
kampanye, monitoring, evaluasi,
serta pembelajaran. Berkaitan
peran Pemerintah tersebut,
instansi lintas sektor serta
pemangku kepentingan terkait
telah menyusun Strategi Nasional
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
(STBM) dan telah ditetapkan
dengan Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor: 852/Menkes/SK/
IX/2008 tanggal 8 September 2008
Bisakah STBM dikatakan
berhasil? Atau sebaliknya?
Kami belum berani menyatakan
sebagai suatu keberhasilan tetapi
kemajuannya menunjukkan
hal yang menggembirakan.
Pendekatan ini terus kita evaluasi
dan kita lakukan akselerasi dengan
tetap mempertahankan kualitas
proses dan hasil. Selain itu juga
mulai dikembangkan pilar-pilar lain
dari STBM seperti kampanye Cuci
Tangan Pakai Sabun (CTPS) dan
Pengelolaan Air Minum Rumah
Tangga (PAM RT), pengelolaan
limbah dan sampah rumah tangga.
Kendala apa yang dihadapi
dalam pelaksanaan STBM?
Kendala utama yang dihadapi
adalah belum semua pemangku
kepentingan memahami dan
mengadopsi pendekatan STBM
ini dalam pembangunan sanitasi
dan masih berorientasi pada
pedekatan fisik, bukan pada
pendekatan perubahan perilaku.
Untuk mengatasi hal ini, langkah
kita adalah terus melakukan
roadshow dalam rangka advokasi
dan sosialisasi kepada para
pengambil keputusan serta para
pemangku kepentingan. Selain itu
juga dilakukan kampanye media
dan pembelajaran dari keberhasilan
daerah dalam implementasi STBM.
Bagaimana keterlibatan pihak di
luar Pemerintah dalam program
STBM?
Program ini memerlukan
keterlibatan dan sinergi dari
berbagai pihak (Pemerintah, swasta,
LSM, donor dan masyarakat).
Sinergi yang kita lakukan
dalam bentuk kemitraan dan
pengembangan jejaring, seperti
melalui Jejaring AMPL, Kemitraan
Pemerintah-Swasta untuk Cuci
Tangan Pakai Sabun, sinergi
dengan lembaga-lembaga donor
dan NGO (Unicef, ESP, Plan) dalam
mengadopsi pendekatan STBM
untuk pembangunan sanitasi.
Majalah Percik Agustus 2012Wawancara22
Bagaimana awal mula mengenal
program STBM? Kesan seperti
apa yang muncul ketika STBM
mulai dikenalkan di Jawa Timur
STBM dikenal sejak tahun
2006, yang diujicobakan
di Kabupaten Lumajang. Pada
awalnya dikenalkan metode
Community Led Total Sanitation
(CLTS) sebuah metode
pemberdayaan masyarakat dengan
fokus terhadap upaya perubahan
perilaku dari Buang Air Besar
Sembarangan (BABS) menjadi
BAB di jamban sehat. Pada tahun
2007 pendekatan Total Sanitation
and Sanitation Marketing (TSSM)
diperkenalkan oleh WSP World
Bank dengan mengkombinasikan
antara peningkatan demand
(masyarakat yang sudah terpicu)
dan perbaikan supply dan jejaring
bisnis yang melibatkan swasta.
Tahun 2008 mulai dianggarkan
untuk kegiatan STBM (Sanitasi Total
Berbasis Masyarakat), demikian juga
dana operasional disediakan oleh
Pemerintah Kabupaten (Pemkab)
melalui APBD Kabupaten.
Kesan pertama tentang STBM,
ini merupakan kegiatan
pemberdayaan dengan
pendekatan baru. Pendekatan
ini terbukti cukup efektif dalam
meningkatkan akses jamban
dengan cepat.
Kendala apa saja yang mucul
dalam pelaksanaan STBM
hingga saat ini dan upaya apa
yang telah dilakukan untuk
mengatasinya?
Belum semua Pemkab/Kota
memahami pendekatan ini,
sanitasi masih belum menjadi
prioritas dalam kebijakan
pembangunan dan alokasi APBD
untuk sanitasi masih terbatas.
Untuk mengembangkan program,
Pemprov mendorong untuk
dapat melakukan akses terhadap
sumber daya seperti CSR, dana BOK
(Bantuan Operasional Kesehatan),
PNPM atau proyek nasional
lainnya. Selain itu, memberikan
penghargaan terhadap kabupaten
SoekarwoGubernur Jawa Timur
Menyebar Pembelajaran Dari Jawa Timur
23Majalah PercikAgustus 2012
yang berhasil juga dapat memicu
kabupaten yang lain, misalnya
melalui JPIP Otonomi Awards.
Upaya lain juga diperlihatkan
dalam bentuk pameran nasional
dalam rangka Hari Kesatuan Gerak
PKK dan Bulan Bakti Gotong
Royong, dimana STBM mampu
menggerakkan partisipasi dan
gotong royong masyarakat untuk
membangun jamban dalam skala
luas.
Bagaimana peran berbagai
pihak (pemerintah, swasta/CSR/
media, masyarakat, perguruan
tinggi, donor/NGO/LSM, dll)
dalam pelaksanaan STBM?
Pemerintah daerah minimal
memberikan dukungan kebijakan
serta kerja sama dengan lembaga-
lembaga lain. Lembaga tersebut
antara lain seperti swasta melalui
CSR (contoh Bank Jatim), Media
(Jawa Pos-Otonomi Award), NGO
(WSP- World Bank, USAID), PKK
(Lomba Lingkungan Bersih dan
Sehat), proyek nasional ( PNPM,
Sanimas, PAMSIMAS). Upaya
mensinergikan lintas program juga
sudah dilakukan seperti dengan
program Kota Sehat, Desa Siaga,
Promosi Kesehatan, UKS dan lain-
lain.
Apa yang dianggap sebagai
manfaat STBM bagi masyarakat?
Masyarakat dapat menikmati
kondisi lingkungan yang lebih
bersih dan sehat serta menurunkan
resiko penyakit akibat kondisi
lingkungan. Masyarakat yang sejak
awal sudah memiliki jamban akan
merasa nyaman karena masyarakat
di sekitarnya yang awalnya BAB
sembarangan sudah memiliki
jamban.
Seperti apa kondisi daerah
sebelum dan sesudah program
STBM mulai dilaksanakan?
Pendekatan program sanitasi
sebelumnya dengan memberikan
subsidi untuk konstruksi jamban
ternyata sangat terbatas
cakupannya, membutuhkan
biaya yang relatif cukup besar
karena masyarakat mengharapkan
bantuan dari Pemerintah.
Tambahan akses jamban di
masyarakat berjalan sangat
lambat. Dengan STBM, program
sanitasi lebih mengutamakan
Anak-anak di SD Tunjung Sekar Malang
menikmati fasilitas cuci tangan.
Dok
Fot
o Se
kt. A
MPL
24 Majalah Percik Agustus 2012
perubahan perilaku melalui
metode pemicuan dan kontrol
sosial sehingga mekanisme
yang terjadi di masyarakat dapat
berkesinambungan, tambahan
akses jamban bertambah lebih
cepat dan cakupannya lebih luas
serta merata di semua lapisan.
Menurut anda, apa faktor sukses
yang mendorong keberhasilan
STBM di Jawa Timur ini?
Adanya dukungan kebijakan
Pemprov di bidang sanitasi,
terbangunnya sinergi kerjasama
stakeholder yang kondusif dan
menyebarluaskan informasi melalui
berbagai media ke semua pihak
yang terkait. Dalam hal pertukaran
pengetahuan, Jawa Timur telah
menyebarluaskan pembelajaran ke
berbagai pihak melalui kunjungan
lapangan, mengundang daerah
sukses sebagai narasumber,
ataupun menjadi narasumber di
daerah atau Provinsi lain.
Tantangan apa sajakah yang
masih harus dihadapi dalam
pelaksanaan STBM di Jawa
Timur?
Sejogianya STBM berjalan secepat
di Bojonegoro, Jombang, Pacitan,
Lumajang, Magetan, Ngawi, dan
Nganjuk. Untuk itu, Pemprov akan
terus memberikan motivasi dan
advokasi terhadap seluruh Kab/
Kota dengan memaksimalkan tiga
komponen penting STBM yaitu:
1. Terus menciptakan demand
dengan pemicuan; 2. Memberikan
solusi terhadap masyarakat
yang sudah terpicu dengan
memberikan opsi jamban sehat,
dengan mempermudah akses
atau mendekatkan pasar sanitasi
(mendekatkan supply); 3. Pihak
pemerintah beserta stakeholder
menciptakan lingkungan
yang mendukung (enabling
environment), minimal dengan
memberikan dukungan kebijakan.
Tenggat waktu MDGs saat
ini sudah semakin dekat,
bagaimana prospek STBM dalam
menjawab tantangan MDGs
tersebut?
Apabila STBM dilaksanakan oleh
semua pihak dengan maksimal
dan tentunya didukung oleh
semua Bupati/Walikota, maka tidak
menutup kemungkinan target
MDGs goal 7 bisa tercapai. Jadi kata
kuncinya adalah dukungan dan
komitmen yang kuat, khususnya
oleh Bupati/Walikota.
Apakah harapan, masukan
maupun evaluasi bagi
peningkatan/percepatan
program STBM di tingkat
nasional?
Harus ada dukungan, kesepakatan
dan komitmen yang kuat oleh
semua pihak, mulai dari tingkat atas
sampai ke bawah, itu adalah kunci
keberhasilan STBM untuk tingkat
nasional.
”Dalam hal pertukaran pengetahuan, Jawa Timur telah menyebarluaskan pembelajaran ke berbagai pihak melalui kunjungan lapangan, mengundang daerah sukses sebagai narasumber, ataupun menjadi narasumber di daerah atau Provinsi lain”
25Majalah PercikAgustus 2012 Wawancara
Bagaimana awal mula mengenai
program Sanitasi Total Berbasis
Masyarakat (STBM)? Kesan
seperti apa yang muncul ketika
STBM mulai dikenalkan di Bima?
STBM pertama kali dikenalkan
pada tahap akhir program
WSLIC 2 (Second Water and
Sanitation for Low Income
Communities) tahun 2005 dengan
nama CLTS (Community Lead
Total Sanitation), kemudian secara
gencar diadopsi oleh program-
program lain antara lain WES Unicef,
Program Desa Siaga, BBGRM (Bulan
Bhakti Gotong Royong Masyarakat)
dll.
Kesan yang muncul ketika STBM
mulai dikenalkan di Bima adalah
kita telah berpengalaman sejak
Pelita Pertama membangun
sanitasi dengan berbagai program
mulai program inpres SAMIJAGA,
Unicef , RWSS, P3DT, P2DT dll
dengan investasi yang sangat
besar. Investasi tersebut belum
mampu meningkatkan cakupan
maupun perubahan perilaku yang
menunjang pada meningkatnya
derajat kesehatan masyarakat.
Kehadiran STBM dengan lima
pilarnya telah mampu memberikan
daya ungkit yang cukup signifikan
dalam perubahan perilaku dan
peningkatan cakupan AMPL.
Yang menarik dari program ini
adalah meningkatnya kesadaran
masyarakat lewat strategi
pemicuan. Hasilnya, awal tahun
2012 ada 25 desa dan 1 kecamatan
telah mendeklarasikan diri sebagai
desa dan kecamatan ODF (Open
Defecation Free) atau bebas dari
buang air besar sembarangan.
Dan tahun 2015, Kabupaten
Bima merencanakan untuk
mendeklarasikan Kabupaten ODF.
Kendala apa saja yang muncul
dalam pelaksanaan STBM
hingga saat ini, dan upaya apa
yang telah dilakukan untuk
mengatasinya?
Beberapa yang masih menjadi
kendala antara lain pandangan
masyarakat yang masih
menganggap pembangunan
sanitasi adalah tanggungjawab
“Tahun 2015, Bima akan Jadi Kabupaten ODF”
Ferry ZulkarnaenBupati Bima
26 Majalah Percik Agustus 2012
pemerintah dan berorientasi
subsidi. Selain itu, masih adanya
kebijakan pemerintah pusat
tentang pembangunan sanitasi
yang tidak selaras dengan
Keputusan Menteri Kesehatan
RI No.852/MENKES/SK IX/2008
tentang Strategi Nasional Sanitasi
Total Berbasis Masyarakat. Kendala
lainnya adalah belum meratanya
kapasitas dan pemahaman SKPD
terkait STBM.
Upaya yang sudah dilakukan
Pemerintah Daerah antara
lain mengeluarkan beberapa
kebijakan seperti :
Selain mengeluarkan beberapa
peraturan tersebut, Pemkab Bima
memberikan peran yang besar
kepada Pokja AMPL – BM untuk
mengkoordinir pelaksanaan
pembangunan AMPL. Langkah lain
yang juga dilakukan adalah dengan
memfasilitasi dan melakukan
pembinaan yang berkelanjutan
untuk masyarakat. Selain itu
juga menetapkan pada Rencana
Pembangunan Jangka Menengah
Daerah (RPJMD) sektor AMPL
sebagai prioritas pembangunan.
Pemerintah daerah juga
mengupayakan ada peningkatan
alokasi anggaran dari APBD
Kabupaten untuk STBM setiap
tahunnya. Sementara itu upaya
lain yang juga dilakukan adalah
dengan meningkatkan peran
tokoh informal di masyarakat
untuk bersama-sama dengan
aparat teknis di lapangan dalam
melakukan pemicuan CLTS
(Community Led Total Sanitation).
Bagaimana peran berbagai
pihak (pemerintah, swasta CSR,
media, masyarakat, perguruan
tinggi, donor, INGO, LSM, dll)
dalam pelaksanaan STBM ?
Pemerintah daerah menempatkan
Bersama dalam aktivitas promosi kesehatan untuk
anak-anak sekolah dasar.
27Majalah PercikAgustus 2012
NGO, media, perguruan tinggi,
dan lainnya sebagai mitra di
mana pemerintah memberikan
seluas-luasnya kesempatan untuk
berkontribusi sesuai peraturan
perundang-undangan yang ada.
Misalnya dalam hal promosi dan
sosialisasi STBM, peran media
massa (khususnya media lokal)
dioptimalkan. Beberapa NGO
memberi dukungan pembiayaan
dalam perencanaan dan
pelaksanaan program pemerintah.
Demikian juga kalangan akademisi
(Perguruan Tinggi) aktif sebagai
mitra pemerintah dalam melakukan
pengkajian dan advokasi program.
Apa faktor sukses yang
mendorong keberhasilan STBM
di Bima ini ? Apa yang telah
dilakukan dalam mendukung
pertukaran pengetahuan pada
daerah-daerah lain yang ingin
belajar ke Bima?
Faktor sukses yang mendorong
keberhasilan STBM di Bima seperti
Kepemimpinan daerah yang
baik, dimana terjadi kerjasama
dan komunikasi yang harmonis,
terutama antara eksekutif dan
legislatif dalam merumuskan
kebijakan-kebijakan yang
mendukung STBM. Selain itu,
Kepemimpinan Bupati Bima
yang senantiasa memperhatikan
aspirasi masyarakat (terutama
masyarakat desa) melalui berbagai
kegiatan seperti momen Bulan
Bakti Gotong Royong Masyarakat
(BBGRM) di setiap desa, kegiatan
safari ramadhan, kunjungan
silaturahmi langsung ke tengah-
tengah masyarakat dll, juga turut
mendorong keberhasilan STBM.
Dalam rangka pertukaran
pengetahuan pada daerah lain,
beberapa yang telah dilakukan
seperti memberi fasilitas/sharing
pengalaman pada pokja AMPL
Kabupaten Dompu dan Kota
Bima tentang Pengelolaan AMPL
yang berkelanjutan dan berbasis
masyarakat.
Menurut anda, tantangan apa
sajakah yang masih harus
dihadapi dalam pelaksanaan
STBM di Bima?
Tantangan yang masih harus
dihadapi adalah terkait dengan
terbatasnya kemampuan
pendanaan yang bersumber APBD
kabupaten. Selain itu, masih perlu
ditingkatkan sinergisitas peran
berbagai sektor/stakeholder dalam
program STBM. Tantangan lain
yang juga harus dihadapi adalah
topografi wilayah kabupaten Bima
relatif memerlukan dukungan
sarana dan tenaga yang lebih
besar dalam melakukan fasilitasi/
pembinaan langsung ke
masyarakat.
Apakah harapan, masukan
maupun evaluasi bagi
peningkatan percepatan
Program STBM di tingkat
nasional?
Perlu peningkatan dukungan
pemerintah pusat, baik alokasi
dana maupun program-program
dalam rangka STBM yang berbasis
masyarakat. Dari tingkatan
kebijakan, perlu ditingkatkan
sinergisitas kebijakan peningkatan
STBM di tingkat nasional, dalam
rangka keterpaduan di daerah.
” Beberapa NGO memberi dukungan pembiayaan dalam perencanaan dan pelaksanaan program pemerintah.”
Majalah Percik Agustus 2012Wacana28
P ada saat Indonesia mulai menerapkan variasi
dari CLTS (Community Total Led Sanitation),
yaitu STBM (Sanitasi Total Berbasis Masyarakat), situasi
sanitasi masih lemah di mana kesadaran masyarakat
tentang pentingnya sanitasi masih sangat kurang.
STBM sendiri merupakan suatu strategi dengan 5 pilar
yang dikembangkan dan meliputi lima aspek penting
yaitu: (1). Terbebas dari buang air besar sembarangan,
(2). Cuci tangan pakai sabun, (3). Pengelolaan air
minum dan makanan rumah tangga, (4). Pengelolaan
sampah rumah tangga, dan (5). Pengelolaan limbah
rumah tangga. Secara khusus, strategi STBM bukan
dibuat untuk menyebarluaskan informasi semata,
tetapi dengan dorongan dan dukungan terus menerus,
sehingga tercipta kesadaran terhadap sanitasi baik
secara sikap maupun gaya hidup. Dengan kata lain,
pengaruh yang diharapkan adalah perubahan gaya
hidup dari “laisse faire” (membiarkan saja) ke “care and
take care” (peduli dan mengurus).
Program Sanitation Higiene and Water atau biasa
disingkat SHAW, adalah salah satu program konsorsium
yang dikoordinir oleh LSM asal Belanda, yaitu SIMAVI,
dalam memperkenalkan kelima pilar STBM. Lima
pilar STBM tersebut coba diupayakan bersama dalam
kolaborasi lima LSM lokal yaitu PLAN Indonesia
(Kabupaten TTS danTTU di NTT), Yayasan Dian Desa
(Kabupaten Sikka dan Flotim di NTT), Yayasan Rumsram
(Kabupaten Biak Numfor dan Supiori di Papua), CD
Aplikasi dan Tantangannya5 Pilar STBM, D
ok F
oto
Plan
Indo
nesi
a
29Majalah PercikAgustus 2012
Bethesda (Kabupaten Sumba
Tengah dan SBD di Sumba)
dan Yayasan Masyarakat Peduli
(Kabupaten Lombok Timur di NTB).
Kunci untuk STBM adalah
perubahan, bukan jumlah sarana
maupun jumlah aktivitas. Dan
sebagaimana pengalaman di
lapangan, pelaksanaan lima pilar
STBM terbagi dalam 4 tahapan,
yaitu persiapan, pemicuan, tindak
lanjut dukungan, serta pemantauan
dan stimulasi perhatian yang
dilakukan setelah deklarasi. Dari
segi dinamika, semua mitra Simavi
memulai dengan mempersiapkan
diri maupun masyarakat agar pada
saat pemicuan, dapat menjadi
puncak perhatian dan titik awal
perubahan. Sering pemicuan
tidak bisa dilaksanakan di tingkat
desa karena terlalu banyak orang,
sehingga pemicuan dilakukan di
tingkat dusun maupun skala yang
lebih kecil lagi.
Yang bisa dicatat sejak 2010,
penting adanya mengikutsertakan
berbagai kalangan sejak awal. Tak
hanya staf pemerintah daerah,
namun juga sanitarian, bidan
desa, staf dinkes, anggota pokja,
kepala desa, kepala dusun, camat,
dan tokoh masyarakat. Pihak
pemerintah sebagai pemangku
kepentingan bukan sebagai
pelaksana proyek, tetapi sebagai
pendukung organisasi dan
masyarakat, serta memberikan
penghargaan untuk desa dan
orang yang berhasil.
Terkait dengan 5 pilar, sampai
sekarang masih banyak pihak
yang ingin konsentrasi untuk
Pilar 1 (Stop BABS) saja, karena
lebih mudah dan kelihatan secara
fisik. Kenyataannya, pada saat
roadshow oleh para mitra SHAW,
ada kecamatan maupun desa
yang sudah mengerti kepentingan
dari keseluruhan 5 pilar, sehingga
mereka tidak mau hanya untuk Pilar
1 saja. Kebanggaan bisa mencapai
5 pilar adalah hal yang penting bagi
suatu desa, karena 5 pilar dianggap
merupakan satu paket yang bisa
mendorong perubahan perilaku.
Aplikasi 5 pilar STBM tentu bukan
hal yang mudah atau tanpa
tantangan sama sekali. Selalu
terdapat resiko untuk kembali pada
perilaku semula. Dinamika di desa
serta dukungan dari semua pihak
baik di dalam maupun di luar desa
berperan sangat penting. Inisiatif
dan upaya bersama akan berhasil
apabila semua orang mau ikut
dan peduli terhadap kondisi yang
dialami.
Pengetahuan tentang tahapan
untuk mencapai STBM lima pilar
serta alternatif-alternatif untuk bisa
mencapai status tersebut adalah
hal yang penting untuk didorong
dalam pilihan-pilihan informasi.
Pilihan-pilihan yang ada pun masih
perlu dikembangkan lebih lanjut
oleh sektor swasta agar mempunyai
nilai ekonomi.
Pam Minnigh, Yusmaidy - Simavi
Inisiatif dan upaya bersama akan berhasil apabila semua orang mau ikut dan peduli terhadap kondisi yang dialami.
Majalah Percik Agustus 2012Wacana30
S ejak tahun 2008, STBM telah menjadi strategi
nasional untuk percepatan pencapaian MDGs,
untuk sektor air minum dan sanitasi. Awalnya, STBM
lebih banyak diterapkan di wilayah pedesaan karena
umumnya warga desa belum memiliki akses yang
memadai untuk air dan sanitasi. Pada kenyataannya,
di perkotaan pun yang dipandang sudah mempunyai
sistem air dan sanitasi, masih banyak warganya yang
tidak memiliki akses yang layak dan tidak mempraktekkan
perilaku higiene dan sanitasi yang aman.
Menilik kondisi tersebut pada April 2011, USAID
bekerjasama dengan Yayasan Cipta Cara Padu
Indonesia menggulirkan program High Five untuk
menerapkan STBM di wilayah perkotaan sebagai
upaya peningkatan praktek sanitasi dan higiene.
Memahami bahwa pendekatan yang dilakukan
haruslah dapat menyediakan ruang bagi partisipasi
masyarakat, sekaligus juga mengakomodir karakteristik
masyarakat perkotaan yang unik dengan kepadatan
penduduk dan variasi matapencahariannya, High
Five mengembangkan strategi pendekatan holistik.
Strategi pendekatan ini terdiri dari 3 elemen yang
saling berkaitan, yaitu menumbuhkan rasa kebutuhan
dan rasa kepemilikan terhadap STBM; dialog dan aksi
partisipasi masyrakat untuk keberlanjutan program;
dan kemitraan untuk peningkatan akses dan perilaku
sanitasi dan higiene.
Mekanisme pelaksanaan program High FiveHigh Five telah melaksanakan programnya di Kota
Medan, Surabaya dan Makassar dengan menggunakan
strategi 3 elemen tersebut. Bagaimana mekanisme
yang dikembangkan dan dimodifikasi High Five untuk
implementasi hal ini? Pertama, High Five melakukan
formative research dan baseline survey, untuk
mendapatkan gambaran umum kondisi masing-
masing kota dan gambaran kondisi daerah yang
menjadi mitra.
Kedua, High Five melakukan kolaborasi, sinergi
dengan pemerintah daerah. Berbagai kemitraan dijalin
Pilihan Strategi Mengubah Perilaku Masyarakat
1. Menumbuhkan rasa kebutuhan dan rasa kepemilikan terhadap STBM
2. Mekanisme dialog dan aksi partisipasi masyarakat untuk keberlanjutan program
3. Kemitraan untuk peningkatan akses dan perilaku sanitasi dan higiene
31Majalah PercikAgustus 2012
untuk membangun pemahaman
tentang konsep program High
Five dan implementasinya.
Salah satunya dengan Pokja
AMPL/Sanitasi di daerah. Ketiga,
pemrograman partisipatif dan
kemitraan masyarakat digiatkan.
Maksudnya, berbagai pemetaan
kondisi dan situasi difasilitasi High
Five (FGD, transect, pemetaan
sosial), kapasitas masyarakat
juga ditingkatkan. Keempat,
kemitraan dengan para pemangku
kepentingan. Masih perlu dikuatkan
berbagai kemitraan dengan
pemangku kepentingan lain seperti
swasta, akademisi, media, LSM dan
organisasi kemasyarakatan lainnya.
Peluang dan tantanganTantangan yang dihadapi
dalam melaksanakan STBM di
perkotaan sangat kompleks, mulai
dari keberagaman daerah asal
masyarakat, matapencaharian
yang variatif, kepadatan penduduk,
kesibukan masyarakat, tidak adanya
lahan sampai sikap materialistis dan
egosentris yang menitikberatkan
pada keuntungan pribadi. Di sisi
pemerintahan, masih banyak
individu yang menduduki posisi
kunci belum memahami STBM
dan dengan sendirinya tidak
memahami kebutuhan STBM bagi
institusinya.
Alih-alih berkutat dengan
tantangan yang harus dihadapi,
High Five memandang situasi dari
sudut pandang yang berbeda
dan membaliknya menjadi
peluang untuk menerapkan
program. Keberagaman latar
belakang masyarakat melahirkan
inovasi pendekatan yang unik
dan kurangnya pemahaman
pemerintah kota mendorong
pengembangan metode
pendekatan dan kolaborasi yang
berbeda.
Pembelajaran tersebut disarikan
dalam beberapa point berikut :
Pertama, participatory assessment/
pengkajian partisipatif merupakan
alat untuk membangun kesadaran
tentang STBM sekaligus pemicuan
STBM. Di sini, pengenalan
pilar-pilar dan pemicuannya
dilakukan pada saat yang sama.
Dari pengalaman High Five,
masyarakat diajak melihat secara
komprehensif kondisi sanitasi
lingkungannya dan mendiskusikan
pilar STBM yang mana yang
dipandang paling krusial dan
akan dijadikan jalan masuk (entry
point) untuk penerapan STBM.
Sejauh pengalaman yang dimiliki
High Five, di daerah perkotaan
(khususnya Medan, Surabaya dan
Makassar), masyarakat melihat
sampah (STBM pilar 4) sebagai
persoalan yang krusial dan menjadi
jalan masuk untuk melaksanakan
STBM.
Kedua, pendekatan dengan
menggunakan perspektif positif
lebih efektif untuk memicu
masyarakat melakukan aksi nyata.
High Five menggunakan VIC action
tool (dimodifikasi dari VIC tool yang
dikembangkan oleh JHU-CCP)
untuk memicu masyarakat agar
bergerak dan melaksanakan aksi
bersama.
Tantangan yang dihadapi dalam melaksanakan STBM di perkotaan sangat kompleks.
32 Majalah Percik Agustus 2012
Ketiga, memicu masyarakat untuk
merubah perilakunya agar sesuai
dengan STBM harus dibarengi
dengan memicu pemerintah kota,
khususnya SKPD terkait sanitasi
dan higiene untuk melaksanakan
STBM. Pemerintah kota juga
didorong untuk menghubungkan
sistem kota dengan kegiatan
masyarakat. Pengalaman High Five
menunjukkan bahwa pendekatan
tersebut berhasil mensinergikan
program/sistem pemerintah
dengan kegiatan masyarakat.
Sebagai contoh, di Kota Medan,
Surabaya dan Makassar Dinas
Kebersihan Kota terlibat aktif dalam
kegiatan gotong royong warga
dengan mengalokasikan truk
pengangkut sampah.
Keempat, melibatkan media dalam
kegiatan dan bukan hanya sebagai
peliput berita. Dalam kegiatannya
High Five menempatkan media/
journalist sebagai partisipan yang
aktif dalam diskusi dan pelaksanaan
kegiatan. Ini efektif untuk
menimbulkan keingintahuan dan
mendorong untuk terlibat lebih
jauh dalam berbagai kegiatan yang
dilakukan.
Menilik pembelajaran dari
implementasi program High
Five selama satu tahun berjalan
menunjukkan bahwa inovasi
pendekatan dan strategi
implementasi untuk
pelaksanaan STBM sangat
dibutuhkan. Variasi inovasi
sangat tergantung pada
keunikan masing-masing daerah.
Hal ini tidak hanya berlaku untuk
implementasi STBM di daerah
perkotaan namun juga di daerah
pedesaan. Mari lebih jeli melihat
peluang dan mengembangankan
inovasi untuk mendukung
pelaksanaan STBM.
Ika Fransisca, High Five
Dari pengalaman High Five, masyarakat diajak melihat secara komprehensif kondisi sanitasi lingkungannya dan mendiskusikan pilar STBM.
Suciati Lasiman dari Kelurahan Petemonan
Surabaya penggiat bank sampah
setempat. Masyarakat dapat mencicil utang
dengan sampah.
Dok
Fot
o H
i-gh
Five
33Majalah PercikAgustus 2012 Wacana
Memulai CLTS di Vietnam
P enyakit yang diakibatkan oleh kondisi air
dan sanitasi yang buruk merupakan masalah
kesehatan yang utama di Vietnam. Menurut Survey
yang dilakukan secara nasional atau MICS (Multiple
Indicator Cluster Survey), di Vietnam hampir satu orang
dari setiap 4 orang anak balita (22.7%) kekurangan gizi.
Kekurangan gizi juga berkaitan erat dengan kondisi
sanitasi dan kesehatan yang buruk.
Di sisi lain, promosi dan penggunaan kakus sehat
belum mencapai hasil yang memuaskan jika
dibandingkan dengan hasil yang dicapai oleh sektor
penyediaan air minum dalam rentang waktu 2000 –
2010. Kesenjangan besar diantara dua sektor tersebut
juga terjadi. Menurut hasil MICS 2010-2011, 73.8%
rumah tangga di Vietnam menggunakan kakus sehat,
tetapi diantara etnis minoritas hanya 44.2% rumah
tangga saja yang mempunyai akses terhadap sarana
sanitasi yang baik. Sebanyak 27,7% etnis minoritas juga
masih melakukan buang air besar sembarangan.
Melalui implementasi CLTS di Program WASH PLAN VN
selama 2011 – 2012, didapat beberapa faktor penting
untuk mencapai tujuan utama dari CLTS – terbebas dari
perilaku buang air besar sembarangan, di antaranya
adalah : keterlibatan pemerintah lokal sejak dari awal,
keterlibatan otoritas kesehatan dari pemerintah secara
vertikal, keterlibatan individu maupun organisasi
masyarakat, peningkatan kapasitas dari mitra lokal,
tindak lanjut dari implementasi dan pelaporan.
Pendekatan Sanitasi Total Di Pakistan
Kebijakan Nasional Pakistan tentang Sanitasi Tahun
Menengok Pembelajaran CLTS dari Negeri Tetangga Sebagai sebuah pendekatan partisipatif tanpa subsidi, Community Led Total Sanitation (CLTS) juga diaplikasikan di beberapa negara tetangga kita. Plan International adalah satu dari sekian pendukung implementasi CLTS di sejumlah negara Asia.
Sum
ber:
ww
w.p
lan-
inte
rnat
iona
l.org
34 Majalah Percik Agustus 2012
2006 menekankan pergerakan
sosial sebagai komponen utama
dalam menangani masalah
sanitasi di tingkat rumah tangga
terutama di pedesaan. Kebijakan
Nasional ini memiliki visi untuk
menciptakan lingkungan
yang terbebas dari buang air
sembarangan, pembuangan
limbah cair dan sampah padat yang
aman serta promosi kesehatan
dan perilaku higienis. Tujuan
dari kebijakan ini adalah untuk
mempromosikan pendekatan CLTS
dan menformalisasikan “Model
Sanitasi Total”. Di bulan Maret
2011 Pemerintah Pakistan telah
menyetujui dokumen panduan
yang bertemakan “Pendekatan
Pakistan Dalam Sanitasi Total (PATS)”.
Selama bulan Maret 2011,
Pemerintah Pakistan melalui
Kementerian Lingkungan
Hidupnya telah menyetujui proses
pendahuluan CLTS untuk Pakistan.
Sedikit berbeda dengan CLTS,
pendekatan PATS menekankan
pada pentingnya martabat,
harga diri dan rasa bangga. Ini
juga terlihat pada intervensi dari
sisi suplai melalui penciptaan
pemasaran sanitasi.
Pengembangan sanitasi perdesaan
di wilayah yang terkena banjir
dilaksanakan melalui Community
Resource Persons (CRP) atau
penggiat komunitas. Total telah
dilatih sebanyak 2.659 orang
CRPs di 4 provinsi dan beberapa
wilayah di Pakistan. Selama sesi
pelatihan, ditekankan bahwa
CRPs harus mengetahui kegiatan
proyek, pembuatan rencana aksi
dan implementasi dari strategi
proyek. Pelatihan ini juga dilakukan
kepada guru. Sebanyak 10,000
guru sekolah mengikuti 2 hari
pelatihan terkait kesehatan. Mereka
diberi paparan tentang tujuan
program, metodologi dan peran
yang dapat mereka mainkan dalam
mempertahankan dampak positif
program dengan menanamkan
pesan promosi kesehatan kepada
anak didiknya. Hasilnya, sebanyak
3.279 sekolah telah dipicu di daerah
target dan 6.950 upaya promosi
kesehatan juga telah dilakukan di
sekolah yang sama.
Strategi pemasaran sanitasi juga
telah dirancang dan kerangka kerja
yang kuat telah dikembangkan
dengan seksama melalui penelitian
lapangan yang serius. Sebuah
panduan yang komprehensif
juga telah dikembangkan untuk
menfasilitasi pelatihan untuk
para Pengusaha Sanitasi baik di
perkotaan maupun pedesaan.
Sampai saat ini, sudah 2.110 desa
telah disertifikasi terbebas dari
BABS oleh pemerintah, lebih dari
1.000 desa telah mencapai status
terbebas dari BABS dan sedang
dalam proses sertifikasi.
Aktivitas pemicuan CLTS di Vietnam.
Dok
Fot
o Pl
an V
ietn
am
35Majalah PercikAgustus 2012
Merayakan Gaya Hidup Sehat
di Laos
Ditemukan fakta bahwa masih
banyak orang melakukan BABS di
desa-desa terpencil di Laos. Kondisi
perilaku sanitasi yang buruk ini
menimbulkan banyak kejadian
penyakit dan kematian prematur.
Namun demikian ini tidak terjadi
dengan anak-anak dan warga di
Provinsi Bokeo, Laos. Mereka tidak
lagi pergi ke semak-semak, tidak
lagi mengejar babi, tidak ada lagi
banyak gigitan nyamuk, dan mudah-
mudahan tidak ada lagi penyakit
diare karena buruknya kondisi
sanitasi.
Dalam sebulan terakhir, lebih dari
2.000 warga etnis Leu, Hmong,
Khamu, and Lamed di 8 desa di
Kabupaten Paktha, Phaoudom and
Meung merayakan capaian mereka
yaitu cakupan 100% toilet di desa
mereka. Ini berarti, tak perlu lagi
ada yang pergi ke semak-semak
untuk buang air besar (BAB).
Delapan Sekolah Dasar (SD) dan
1.400 siswanya di 3 kabupaten
juga merayakan sekolah mereka
terbebas dari BABS. Lebih dari 20
desa yang lain dan sekolah telah
membuat kemajuan yang signifikan
dalam pencapaian terbebas dari
BABS dan mereka berharap mereka
akan membuat perayaan juga
secepatnya.
Baru satu tahun terakhir punya
toilet, warga desa Houay Maisang
masih menyimpan kerugian yang
amat disayangkan yaitu telah
kehilangan anak-anak mereka
yang meninggal prematur. Tidak
hanya menyebabkan masalah
kesehatan, menurut studi Bank
Dunia, beban biaya dari penyakit
yang disebabkan oleh kondisi air
dan sanitasi yang buruk di Laos
diperkirakan sebesar 5.6% dari
Produk Domestik Bruto (PDB) atau
sebesar 193 juta USD per tahun.
Untuk meningkatkan dampak
dari terbebas dari BABS, tim WASH
pemerintah kabupaten juga
mempromosikan cuci tangan pakai
sabun, minum air yang direbus dan
menyimpannya di wadah yang
tertutup dan menjaga lingkungan
desa bebas dari sampah dan
genangan air.
Di sekolah, dimana para warga
tidak mampu membangun fasilitas
toilet dengan baik, PLAN Laos
menyediakan material konstruksi
untuk fasilitas cuci tangan dan
material konstruksi toilet di
sekolah-sekolah utama. Penduduk
desa berkontribusi pasir, kayu
dan tenaga kerja. Inisiatif bersama
antara PLAN dan para warga ini
telah menciptakan rasa kepemilikan
bagi penduduk desa dan murid-
murid sekolah sehingga ini akhirnya
menciptakan keberlanjutan dan
pemeliharaan untuk fasilitas ini.
Program WASH di Bokeo akan
terus bekerja sama dengan
pemerintah setempat, sekolah
dan desa dengan dukungan dari
pihak seperti Water and Sanitation
Program (WSP) – Bank Dunia, SNV
dari Belanda dan berbagai mitra
lain di Laos.
Ditulis ulang: Yusmaidy
Hand washing with soap, yang juga
dikampanyekan di sekolah-sekolah di
Vietnam.
Dok
Fot
o Pl
an V
ietn
am
37Majalah PercikAgustus 2012 Pembelajaran
U rusan mengembangkan program STBM, boleh
jadi Lumajang adalah juaranya. Saat ini saja sudah
hampir 7 Kecamatan yang mencapai ODF, diantaranya
adalah : Kecamatan Gucialit, Senduro, Padang,
Kedungjajang, Pasrujambe, Pronojiwo, dan
menyusul Kecamatan Klakah.
Berbagai upaya yang cukup
intensif untuk mencapai ODF
serta mengembangkan program
STBM ini, di antaranya dengan
cara berikut :
Pertama, memberdayakan CSR dalam
skala kecil. Istilahnya, “kecil-kecil tetapi
efektif membantu percepatan capaian target”. Upaya
ini dilakukan melalui supervisi Dinkes Kabupaten,
Camat dan Kepala Desa yang secara intensif
mengajukan proposal bantuan kepada toko-toko besar,
POM bensin, pabrik dan pengusaha setempat. Dana
yang diperoleh akan digunakan untuk membeli bahan
material jamban, terutama jamban komunal, sementara
kekurangan tenaga akan diupayakan melalui kerja
bakti.
Kedua, pemanfaatan Dana Bantuan Operasional
Kesehatan (BOK) untuk menyatukan berbagai program
yang ada di Puskesmas. Di tahun 2012 ini Puskesmas
Gucialit telah mendapat bantuan dana BOK sebesar
81 juta dengan pemanfaatan 70% untuk kegiatan
promosi kesehatan atau promkes (termasuk di
dalamnya untuk STBM), 20% untuk kegiatan
Kesehatan Lingkungan dan sisanya
dialokasikan untuk kegiatan kesehatan
ibu dan anak.
Yang menarik dalam pemanfaatan dana
BOK yang cukup besar, Puskemas Gucialit
menginisiasi Program Promotif dan Preventif.
Program ini memfasilitasi dan mengintegrasikan
seluruh kegiatan dan program yang ada di bawah
Puskesmas. Beragam program yang dilibatkan dalam
hal ini mencakup program Kesehatan Ibu dan Anak,
Gizi, Kesehatan Lingkungan, Keluarga Berencana dan
Desa Siaga. Seluruh kegiatan yang juga tergabung
dalam Posyandu Gerbang Mas (Gerakan Membangun
Masyarakat Sehat).
Salah satu bentuk dari kegiatan promotif-preventif
sekaligus inovatif lainnya adalah pelatihan “Suami
Ketika Program “Cuci Tangan” Bergandengan dengan “Suami Siaga”
Belajar STBM dari Lumajang
38 Majalah Percik Agustus 2012
Siaga”. Disebut inovatif karena
pelatihan Suami Siaga berhasil
“dikawinkan” dengan sejumlah fitur
CTPS yang dikampanyekan dalam
STBM.
Bersinergi dengan Suami Siaga
Program Suami Siaga mulai
dilakukan di awal tahun 2012 di
Lumajang. Gucialit, adalah salah
satu kecamatan yang tahun ini
mencanangkan Pelatihan Suami
Siaga diaplikasikan di seluruh
desanya. Data menunjukkan
terdapat sekitar 500 ibu hamil
dalam satu tahun di Kecamatan
Gucialit yang perlu penanganan
intensif selama masa kehamilan
dan persalinannya.
Tujuan Pelatihan Suami Siaga
tak lain untuk mempersiapkan
suami selama masa kehamilan,
persalinan sampai kepada masa
pengasuhan bayi pada awal 2
tahun usia tumbuh kembangnya.
Hal ini meliputi kesadaran untuk
bertanggung jawab dalam
mendampingi istri, termasuk juga
memenuhi sarana/fasilitas gizi,
sanitasi dan higienis keluarga
secara berkelanjutan.
Setiap tiga bulan dibuka
kesempatan untuk 10 pasangan
muda mendapatkan pelatihan dan
pengetahuan seputar kehamilan
dan kelahiran bayi. Peserta melebihi
target karena minat yang tinggi dari
para pasangan muda.
Pelatihannya menggunakan
metode partisipatif, peran aktif
baik suami dan istri akan digiring
agar mendapatkan pemahaman
yang lebih komprehensif serta
mampu mempraktekkan dalam aksi
nyata sehari-hari. Diawali dengan
identifikasi pengetahuan suami-
istri tentang resiko kehamilan, dan
persalinan, manfaat gizi ibu hamil
dan menyusui, manfaat KB dan
lingkungan sehat bagi ibu hamil
dan menyusui, para pasangan
dituntun oleh kader dan bidan
yang telah mempersiapkan check-
list. Check list menjadi alat bantu
yang menjadi pegangan kader
untuk memantau suami istri sampai
paska melahirkan. Pemahaman
Salah satu alat bantu dalam kegiatan Suami
Siaga. Kegiatan ini juga mempromosikan upaya-upaya STBM, seperti kegiatan cuci tangan pakai sabun.
39Majalah PercikAgustus 2012
suami sebelum dan sesudah
pelatihan juga dilihat dan diukur
secara reguler.
Pentingnya sarana CTPS di
Tahap Monitoring - Paska
Melahirkan
Melalui bantuan dana BOK, setiap
Pelatihan Suami Siaga per desa
memerlukan biaya sebesar rata-rata
IDR 750.000 yang digunakan untuk
: uang saku/ transport peserta
pelatihan masing-masing IDR
15.000, snack dan makan siang
serta kegiatan monitoring paska
pelatihan.
Dalam proses monitoring, dilihat
apakah jamban cemplung
pasangan mudah sudah menjadi
kloset, di sini dilihat juga apakah
sudah disediakan sarana CTPS
baik di ruang makan atau di dekat
kandang hewan peliharaan.
Sudah menjadi kebiasaan bahwa
seorang Ibu yang baru melahirkan
akan dikunjungi oleh orang banyak.
Sebelum menengok bayi, setiap
pengunjung wajib memanaskan
kaki dan tangannya di atas tungku
dengan perkiraan kumannya mati
karena panas dan asap. Hal yang
tidak dapat dibenarkan secara
medis. Kebiasaan ini diubah
menjadi wajib cuci tangan pakai
sabun sebelum menengok bayi
agar kumannya mati. Itulah
mengapa, disebutkan dalam check-
list dan dikampanyekan, penting
menyediakan sarana CTPS pada
saat Ibu melahirkan.
Perilaku CTPS penting yang juga
diobservasi, adalah jika tidak
terbiasa cuci tangan pakai sabun,
kuku anak akan terlihat hitam.
Diakui, kegiatan CTPS merupakan
perilaku yang masih sulit dilakukan
dalam keseharian warga, namun
warga sudah paham kebiasaan
ini harus dilakukan. Pada akhirnya
setiap kader berperan untuk
memonitor dan melakukan survey
dengan cara mengunjungi rumah
warga tiap bulan. Alat monitoring
dapat diunduh dari internet berupa
kartu rumah yang kemudian dibuat
dalam bentuk stiker dan di tempel
di setiap rumah untuk menjadi alat
kontrol para kader.
Wendy Sarasdyani/WSP
Hariyanto, promotor PHBS dan pengusaha
sanitasi dari Kecamatan Gucialit,
Kabupaten Lumajang
Majalah Percik Agustus 2012Pembelajaran40
Kalu het aomin so tanaoba lais nono nim in
Lasi no nima ni, fun sin fani on ni ainaf/
Fani on ni ainaf, an bi monit lais aomina/
Kalu hit aomin fun hit aoke namep/
Hit aoke namep, fun hip mepu naomat,
fun hit mepu naomat, fun hit nekak an malin/
Hit neken malin, fun hit pules usi neno.
Kalau mau hidup sehat harus laksanakan 5 hal
(STBM)/
Ke-lima hal tersebut adalah tiang induk/
Tiang induk dalam hal kesehatan/
Kalau kita sehat, fisik jadi kuat,
produktifitas kerja meningkat, hati bersuka cita/
Jika hati bersuka cita, kita dapat memuliakan
Tuhan.
DARI KESENIAN BONET SAMPAI INSTRUKSI CAMAT
Catatan dari Project STBM (SHAW Program) Kerjasama Plan Indonesia - SIMAVI
ALBERTUS FAY
Dok
Fot
o Pl
an In
done
sia
41Majalah PercikAgustus 2012
Penggalan kalimat di atas adalah potongan SYAIR
BONET STBM – demikian judul yang diberikan
oleh penciptanya –, berisi pesan-pesan pengingat
kepada masyarakat agar melaksanakan 5 pilar STBM
dalam kehidupan sehari-hari. BONET adalah kesenian
khas masyarakat Kabupaten Timor Tengah Selatan
(TTS), laksana pantun yang syarat dengan nasihat,
disampaikan dengan cara bernyanyi dan menari dalam
lingkaran besar sambil berpegangan tangan. Kesenian
BONET masih terpelihara dan sangat digemari oleh
masyarakat di Kabupaten TTS, dianggap media yang
efektif untuk menyampaikan pesan-pesan penting
kepada khalayak. Festival/ lomba BONET merupakan
agenda rutin Pemkab TTS setiap tahun.
Adalah Albertus Fay, orang dibalik kreativitas membuat
syair BONET STBM di atas. Laki-laki energik paruh
baya usia 54 tahun ini adalah camat pada salah
satu kecamatan di Kabupaten TTS, yaitu Kecamatan
Polen. Pak Camat – demikian orang menyapanya –
merupakan salah satu tokoh dibalik sukses Kecamatan
Polen sebagai kecamatan yang sudah melaksanakan
5 pilar STBM. Bupati Paulus Mella, M.Si memberikan
sertifikat penghargaan atas sukses ini pada deklarasi
kecamatan STBM tgl 13 Juli 2011 lalu.
Sejak awal, saat ROAD SHOW Project STBM
dilaksanakan di Kecamatan Polen 2 Februari 2011, Pak
Camat sudah bertekad untuk mempromosikan STBM
kepada pemerintah dan masyarakat pada 10 desa di
wilayah kerjanya. Menurut beliau kesehatan adalah
kebutuhan dasar, “Kami menyambut baik program ini,
percuma bicara tentang peningkatan pendapatan,
pendidikan yang tinggi, jika orang sakit-sakitan”
demikian disampaikan si Pak Camat yang mengaku
sangat tertarik dengan pendekatan dalam program
STBM, yaitu perubahan perilaku tanpa ada subsidi.
Langkah pertama yang dilakukannya adalah
“merapatkan barisan” di tingkat kecamatan, dengan
membentuk Tim STBM Kecamatan. Terdapat 16 orang
yang masuk dalam Tim STBM Kecamatan, termasuk
dirinya sebagai penanggungjawab Program STBM
Kecamatan, sementara Kepala Puskesmas diposisikan
sebagai koordinator Program STBM. Selain itu, SK ini
juga memuat penanggungjawab setiap desa yang
disebut dengan SATGAS STBM DESA. “Kami memberi
tugas khusus pada 10 staf kecamatan untuk terlibat
dalam pemicuan dan melaksanakan monitoring
pelaksanaan Program STBM pada 10 desa, satu staf satu
desa” demikian dijelaskan Albertus Fay, yang juga turut
melakukan monitoring langsung pada beberapa desa.
Albertus juga menjelaskan berbagai perbaikan
kepemilikan jamban yang terjadi di masyarakat
semenjak program STBM mulai dilaksanakan pada
Maret 2011 di Kecamatan Polen. “Total keluarga yang
membangun baru dan merehab jambannya tanpa
Kami menyambut baik program ini,
percuma bicara tentang peningkatan
pendapatan, pendidikan yang tinggi, jika orang
sakit-sakitan
42 Majalah Percik Agustus 2012
subsidi sama sekali ada 1.749 unit.
Sebanyak 736 unit merupakan
rehab, sisanya bangun baru. Dari
angka total tersebut, 224 unit
adalah type leher angsa, 893 unit
type plengsengan dan 632 type
cemplung,” ungkap Albertus.
“Jika setiap jamban dinilaikan rata-
rata Rp. 150.000, maka masyarakat
sudah berinvestasi untuk
“kehidupan lebih baik” sebesar Rp.
262,4 juta,” tambahnya.
Tantangan nyata menurut Albertus
adalah paska deklarasi, “Bagaimana
mempertahankan perubahan
perilaku yang sudah baik ini
adalah tantangan besar, jika tidak
ada formula yang tepat, bahaya
akan kembali lagi ke kebiasaan
lama”. “Salah satu caranya adalah
melakukan monitoring terus
menerus dan itu tanggungjawab
pemerintah desa, saya instruksikan
itu terus menerus kepada kepala
desa” lanjutnya.
Instruksi Pak Camat tidak bertepuk
sebelah tangan, terbukti saat ini
sudah ada 3 desa (Desa Laob,
Desa Loli, Desa Mnesatbubuk)
dari 10 desa di Kecamatan Polen
yang sudah mengalokasikan
ADD (Alokasi Dana Desa) untuk
tim monitoring rutin di desanya
masing-masing, meskipun tidak
besar tetapi cukup untuk langkah
awal. “Tahun depan diharapkan
semua desa mengalokasikan dana
atau melaksanakan monitoring
rutin setiap bulan”
Terobosan penting yang juga
dilakukan oleh Pak Camat adalah
memberikan instruksi kepala
desa untuk mengalokasikan dana
sebagai modal awal kelompok
usaha pemasaran sanitasi masing-
masing Rp. 3 juta per desa. “Bank
atau Koperasi mana yang mau kasih
modal kelompok usaha pemasaran
sanitasi? Mereka belum paham
tentang pemasaran sanitasi, masih
aneh bagi mereka, karena itulah
sebagai modal awal diupayakan
dari ADD. Saya optimis upaya ini
bisa berkembang dengan baik
seiring dengan pemahaman yang
baik tentang sanitasi,” pungkasnya.
Upaya yang dilakukan Albertus
Fay tergolong tidak biasa,
namun berdampak positif untuk
masyarakat sekitarnya. Mengambil
ungkapan dari bahasa setempat Hit
neken malin, fun hit pules usi nemo,
melakukan dengan hati suka cita
untuk memuliakan Tuhan.
Sabaruddin / Plan Indonesia Project Manager STBM Soe Kefa
Albertus dalam kegiatan deklarasi ODF di Soe Kefa.
Dok
Fot
o Pl
an In
done
sia
43Majalah PercikAgustus 2012 Pejuang Sanitasi
“CLTS itu unik…..!” pernyataan ini disampaikan Anton
saat berbincang dengan Tim IUWASH di sela-sela
kesibukannya. “Kenapa begitu?” tanya Tim IUWASH.
“Lha iya …… wong pendekatan dengan cara main—
main tapi sangat mengena dan membangkitkan
kesadaran masyarakarat untuk membangun toilet” .
Itulah sepenggal dialog dengan Anton setelah kami
berkeling-keliling ke 7 rumah yang sudah membangun
jamban yang berada di RW 2 Kelurahan Kedung
Galeng, Kota Probolinggo.
Kesimpulan dari percakapan di atas menunjukkan
bahwa pendekatan yang diterapkan cukup efektif
dalam merubah perilaku masyarakat yang selama
ini buang air besar (BAB) sembarangan. Perilaku ini
dilakukan tanpa menyadari akan bahayanya. Namun
masyarakat masih terbiasa dengan pendekatan
penyuluhan yang terkesan menyampaikan doktrin-
doktrin normatif yang masuk telinga kiri dan keluar ke
telinga kanan. Pendekatan lama cenderung membuat
hal-hal yang disampaikan tidak melekat di benak
masyarakat sehingga sulit mendukung munculnya
perubahan perilaku masyarakat.
Sulistyo Triantono Putro, SKM, atau akrab dipanggil
Pak Anton, adalah salah satu fasilitator yang
cukup potensial yang dimiliki Dinas Kesehatan
Kota Probolinggo. Tak tanggung-tanggung, Anton
menyebut dirinya Motivator Kesehatan Lingkungan.
Anton mendapat pelatihan fasilitasi CLTS/STBM pada
akhir November 2011 bersama dengan 20 sanitarian
dan petugas kesehatan lainnya. Pada medio Februari
lalu, Anton bersama dengan sanitarian lain dan
tokoh masyarakat telah difasilitasi oleh IUWASH Jawa
Timur untuk melakukan studi banding ke Kabupaten
Jombang yang terlebih dahulu telah melaksanakan
STBM sejak 2006.
Kisah Pak Anton Pembelajaran dari Probolinggo
44 Majalah Percik Agustus 2012
Anton sudah melakukan pemicuan
di 4 lokasi di wilayah kerjanya,
yaitu Puskesmas Wonoasih.
Pengalaman paling mengesankan
ketika melakukan pemicuan di RW
2 Kedung Galeng, pada saat itu
masyarakat diajak berjalan hingga
500 meter ke sebuah sungai, lokasi
mereka biasa BAB sembarangan.
Di situ mereka dipicu mulai dari
rasa jijik, rasa malu, sampai sampai
ada sebagian masyarakat sampai
muntah-muntah saking jijiknya.
Saat itulah mereka terhenyak dan
sadar bahwa perilaku mereka
sangat tidak sehat dan merugikan
orang lain. Belum lagi betapa
susahnya saat musim hujan dan
saat malam hari, kondisi ini sudah
bertahun-tahun mereka jalani
sepanjang hidup mereka, dan
kesempatan inilah yang dimanfaat
Anton untuk menawarkan sebuah
perubahan meskipun awalnya sulit
untuk meyakinkan masyarakat
untuk berubah.
Dalam menjalankan kegiatan
pemicuan, Anton mendapatkan
dukungan dari Kyai Fauzan, yang
kemudian menjadi natural leader
STBM yang ikut menentukan
keberhasilan Program STBM di Kota
Probolinggo. Orang di sekitarnya
menyebut dengan sebutan
“Bindereh Fauzan”, sebuah sebutan
terhormat di kalangan komunitas
Madura.
Meskipun Kedung Galeng masuk
wilayah kota, tetapi kondisi
geografisnya tidak terlampau padat
dan masih terkesan seperti wilayah
pedesaan. Setelah pemicuan
awal yang dilakukan oleh Anton
dengan bantuan tokoh masyarakat,
Kyai Fauzan segera bergerak
mengumpulkan ibu-ibu di setiap
pertemuan-pertemuan terkait
STBM.
Dengan proses pertemuan yang
cukup panjang masyarakat RW 2
bersepakat untuk mengadakan
kredit jamban. Sistem kredit akan
dikelola oleh Kyai Fauzan. Masyakat
akan membayar uang muka
kredit jamban sebesar antara Rp
100.000 – Rp 200.000 dan sisanya
akan dicicil Rp 20.000/minggu
hingga lunas. Total pinjaman
untuk pembangunan jambannya
adalah sebesar Rp. 750.000.
Dalam program ini, Anton dan
tim teknis (tukang) berkewajiban
membangun jamban dengan paket
yang terdiri dari kloset, septic tank
dan sumur resapan.
Saat ini sudah ada 17 Kepala
Keluarga yang sudah berkomitmen
untuk turut serta dalam kredit
jamban tersebut. Tujuh jamban
yang sudah terbangun berhasil
dimanfaatkan untuk 31 jiwa
dan 1 jamban dalam proses
penggalian. Ketika ditanyakan
mengapa masyarakat memutuskan
sistem kredit jamban bukan
arisan jamban? Alasannya cukup
masuk akal, karena dengan kredit
masyarakat tidak khawatir akan
macet. Hal ini berbeda dengan
arisan masih dimungkinkan ada
masyarakat yang curang untuk
membayar.
Kyai Fauzan, pengelola sistem kredit jamban
di Kedung Galeng. Siapapun bisa mencicil hanya dengan 20 ribu rupiah setiap minggu.
Dok
Fot
o Pl
an In
done
sia
45Majalah PercikAgustus 2012
Bu A’yun, salah satu warga
yang rumahnya sudah mulai
membangun jamban, menguatkan
hal ini. “Saya memiliki bibi yang
buta, sehingga ketika BAB saya
membuang kotorannya di belakang
rumah, karena rumah saya terletak
jauh dari sungai. Selain itu saya
harus mengantar bibi saya untuk
melakukan BAB. Kegiatan ini sangat
merepotkan“ demikian Bu A’yun
memaparkan alasannya untuk ikut
menjadi peserta kredit jamban .
Mungkinkah Kredit Mikro untuk
Jamban?
Virus positif tentang kredit jamban
sudah mulai mewabah di wilayah
kecamatan Wonoasih, banyak
wilayah yang sudah mendengar
dan menginginkan sistem ini juga
bisa diterapkan di wilayah mereka,
terutama wilayah-wilayah yang
sudah dilakukan pemicuan.
Potensi ini jelas luar biasa,
di sisi lain terdapat isu segi
permodalan. Anton harus
memiliki modal cukup untuk
memenuhi keinginan masyarakat
memiliki jamban sendiri. Apabila
hanya mengharapkan dari hasil
perputaran uang cicilan maka
percepatan pembangunan
jamban akan lambat. Niatan untuk
berkonsultasi dengan BRI setempat
dia urungkan begitu mengetahui
bunga yang akan dikenakan
terlampau besar dan memberatkan.
Seperti harapan para pejuang
sanitasi lain di berbagai wilayah,
Anton juga berharap bisa
mendapatkan bantuan dari
lembaga keuangan untuk
membantu upaya menggiatkan
pembangunan jamban. Agaknya
upaya ini harus dilihat sebagai
tantangan ke depan upaya,
dimana kredit mikro dapat
disalurkan kepada masyarakat
untuk pendanaan pembangunan
jamban dengan bunga yang tidak
memberatkan dan persyaratan
yang mudah.
Eko Purnomo, Alifah Sri Lestari / IUWASH
Pak Anton dalam aktivitas pemicuan dan pembangunan
jamban warga
Dok
Fot
o Pl
an In
done
sia
Majalah Percik Agustus 2012Peran Swasta46
Selain perencanaan dan implementasi, tahap
terpenting dari upaya pembangunan air minum
dan sanitasi adalah keberlanjutan program. Tanpa
merencanakan keberlanjutan, semua upaya yang
dilakukan akan sia-sia. Demikian ungkap Nugroho Tri
Utomo, Ketua Pokja AMPL Nasional dalam Pertemuan
Koordinasi CSR dalam Pembangunan Air Minum dan
Sanitasi pada bulan Mei 2012 silam.
Keberlanjutan meliputi pemanfaatan sarana,
operasional dan perawatan, serta perluasan program
hingga peningkatan cakupan layanan serta
peningkatan ekonomi masyarakat. Keberlanjutan ini
menjadi sejumlah isu utama program-program yang
digagas pemerintah, termasuk juga STBM. Padahal
sejumlah target RPJMN dan MDGs telah menunggu di
depan mata.
Satu Dua Tiga, Ayo Ajak
Swasta
47Majalah PercikAgustus 2012
Menyadari hal ini, Pokja
AMPL Nasional selaku wadah
inter-kementerian yang
mengkoordinasikan pembangunan
air minum dan sanitasi giat
menginisiasi pertemuan-
pertemuan koordinasi program
lintas kementerian dengan pihak
swasta melalui corporate social
responsibility (CSR)nya.
“Untuk memenuhi target,
pemerintah tidak memiliki
anggaran yang cukup dan
pelaksanaan kegiatan dibatasi
oleh tahun anggaran. Namun
pemerintah dapat masuk ke
seluruh wilayah dengan lebih
mudah. Sementara itu, swasta tidak
memiliki masalah pada multiyears
financing, namun bermasalah
dengan lokasi pemilihan lokasi CSR,”
kata Nugroho di hadapan sejumlah
perwakilan CSR.
Keberlanjutan meliputi pemanfaatan sarana, operasional dan perawatan, serta perluasan program hingga peningkatan cakupan layanan serta peningkatan ekonomi masyarakat.
Dok
Fot
o YA
BN
48 Majalah Percik Agustus 2012
“Itulah pentingnya sinergi dengan
berbagai pihak, termasuk dengan
pihak swasta,” tambah Nugroho.
Harapan untuk bersinergi tak
bertepuk sebelah tangan. Dalam
pertemuan tersebut, sejumlah
CSR dari perusahaan tambang,
consumer goods, bank, dan asosiasi
CSR mengemukakan upaya-
upaya yang telah dilakukan dalam
mendukung pembangunan air
minum dan sanitasi. Banyak bahkan
yang telah mencari bentuk-bentuk
baru dalam mendorong kebiasaan
stop BABS atau cuci tangan pakai
sabun.
“CSR tidak boleh dipandang
sebagai alternatif pendanaan saja.
Namun suatu bentuk partisipasi
swasta untuk pengembangan
keberlanjutan program. Pemerintah
dan swasta punya common goals,
jadi sinergi ini pasti bisa dilakukan,”
tandas Nugroho.
Merangkul Sekolah dengan
STBMS
Sanitasi Total Berbasis Masyarakat
dan Sekolah (STBMS) merupakan
salah satu proyek yang melengkapi
program air bersih dan sanitasi
yang digawangi oleh PT Tirta
Investama – Aqua. Program
Penyediaan Air Bersih dan Sanitasi
sendiri sudah dibesut tim Corporate
Social Responsibility (CSR) Aqua
sejak 2003. Program ini menggarap
masyarakat di Desa Babakan Pari;
Desa Mekarsari dan Desa Caringin
Kabupaten Sukabumi.
Program STBMS mempunyai
tujuan akhir untuk menurunkan
angka kejadian penyakit yang
berhubungan dengan air serta
perilaku higiene dan sanitasi yang
buruk, terutama pada anak balita
dan anak usia sekolah, di lokasi
proyek di Kabupaten Sukabumi,
Jawa Barat. Tujuan ini diyakini
akan tercapai apabila 1). akses
masyarakat dan komunitas sekolah
”CSR tidak boleh dipandang sebagai alternatif pendanaan saja. Namun suatu bentuk partisipasi swasta untuk pengembangan keberlanjutan program.”
Dok
Fot
o Y
ABN
Anak-anak SD diberikan pemahaman
pentingnya CTPS.
49Majalah PercikAgustus 2012
di wilayah kerja proyek terhadap
air bersih dan fasilitas sanitasi yang
berkelanjutan terus meningkat, dan
2). perilaku higiene dan sanitasi
yang sehat di lingkungan keluarga,
masyarakat dan sekolah terus
diterapkan.
Wilayah kerja program STBMS
mencakup 3 desa, 10 RW dan
24 RT. Berdasarkan data terakhir
yang digunakan dalam kegiatan
Baseline Survey, penduduk
ketiga desa program berjumlah
6.254 jiwa. Sasaran STBMS juga
mencakup masyarakat sekolah di
dalam wilayah binaan program,
yang terdiri dari 6 Sekolah Dasar,
2 Madrasah Ibtidaiyah, dan 3 Pos
Pendidikan Anak Usia Dini (PAUD).
YPCII atau Yayasan Pembangunan
Citra Insan Indonesia dipercaya
sebagai partner Tim CSR Aqua
mengambil peran dalam
peningkatan kapasitas masyarakat
untuk menjamin keberlangsungan
Sistem Penyediaan Air Minum
(SPAM) serta meningkatkan
kesadaran dan mendorong
masyarakat untuk menerapkan
praktek higiene dan sanitasi yang
benar.
YPCII melakukan berbagai
kegiatan STBM dari pelatihan kader
(posyandu, tim penggerak PKK
desa, karang taruna), identifikasi
masalah sesuai kelima pilar STBM,
pelatihan STBM hingga aktivitas
pemicuan masyarakat. Pelatihan
pembuatan kloset, pengelolaan
sampah berbasis masyarakat,
pembuatan biosand filter,
pendampingan pembuatan SPAL,
hingga pertemuan-pertemuan
tingkat masyarakat untuk
penyusunan rencana tindak lanjut
juga dilakukan secara bertahap.
Sementara itu pelatihan
pendidikan higiene dan sanitasi
di sekolah untuk para murid juga
dilaksanakan. Lebih dari 120 siswa-
siswi Sekolah Dasar dilatih secara
bertahap tentang sekolah sehat,
alur penyebaran penyakit, serta
Dok
Fot
o YP
CII
Pendampingan pembuatan SPAL di
masyarakat.
50 Majalah Percik Agustus 2012
lima pilar STBM. Pertemuan antara
guru, komite sekolah, tokoh agama
dan masyarakat juga digiatkan.
Para pihak disadarkan pentingnya
penyediaan sambungan air bersih,
tempat cuci tangan dan jamban
di sekolah. Terakhir, distribusi
tempat cuci tangan sederhana
juga dilakukan di beberapa lokasi
sekolah dan posyandu
Menggarap Masyarakat
Tambang
Yayasan Adaro Bangun Negeri
(YABN) adalah sebuah lembaga
nirlaba yang bertujuan
menciptakan dan melaksanakan
program CSR untuk masyarakat
yang berada di wilayah operasional
PT Adaro Indonesia.
Sejak 2011, melalui program
kesehatannya, YABN mendorong
masyarakat di tiga desa di wilayah
Kabupaten Hulu Sungai Utara dan
Tabalong untuk tidak buang air besar
di sungai. Untuk mensukseskan
upaya ini, YABN tak ragu dalam
mengubah strategi lamanya dan
menerapkan strategi STBM.
YABN gencar melakukan promosi
cuci tangan pakai sabun kepada
masyarakat. Melalui program
UKS, YABN memberikan sejumlah
bantuan seperti rak dan tempat
air untuk cuci tangan di 15
sekolah target. Promosi ini juga
dilaksanakan di posyandu-
posyandu di wilayah dampingan
bekerja sama dengan kader
setempat.
Sejumlah kegiatan yang diterapkan
YABN seperti : pelatihan CTPS untuk
kader kesehatan di masyarakat dan
di sekolah target. Sekitar 40 kader
kesehatan dan guru pendamping
UKS turut mengikuti pelatihan CTPS
yang diinisiasi YABN. Promosi CTPS
untuk murid-murid sekolah dasar
juga didorong. Selain berkomitmen
untuk melaksanakan ketiga pilar
STBM lain, YABN juga berinisiatif
mendorong partisipasi masyarakat
dalam mencapai kondisi sanitasi
yang baik.
Ditulis ulang oleh: Nissa Cita
YABN tak ragu dalam mengubah strategi lamanya dan menerapkan strategi STBM.
Dok
Fot
o YA
BN
Praktek pembuatanWC sehat oleh Karang Taruna binaan YABN.
Sekretariat STBM Indonesia
Alamat Sekretariat STBM IndonesiaDirektorat Jenderal PP & PL Kementerian KesehatanGedung D Lantai 1, Jalan Percetakan Negara No. 29 Jakarta 10560Phone: 021 4247608 ext 182 Fax: 021 42886822www. stbm-indonesia.orgemail: [email protected]
Tim Sekretariat STBMZainal Nampira, Kristin Darundiyah, Yulita Suprihatin,
Trisno Soebarkah, Efran Arieza, Paramita Dau, Rani Rahmafuri, Catur Adi Nugroho, Rahma.
Majalah Percik Agustus 2012Terkini52
Melalui SMS Gateway dan Website STBM
Memonitor Perkemb angan Akses Sanitasi
Semenjak diluncurkannya situs STBM oleh Menteri
Kesehatan Republik Indonesia pada tanggal 13 Oktober
2011 yang lalu, Kementerian Kesehatan melalui
sekretariat STBM akan memulai melaksanakan sistem
monitoring berbasis SMS (Short Message Service)
sebagai alat monitoring via situs STBM. Untuk tahap
awal di tahun 2012 ini, monitoring berbasis SMS
akan dilaksanakan di 500 Puskesmas yang tersebar di
berbagai wilayah Indonesia.
Alat bantu monitoring ini menggunakan teknologi SMS
yang dikirim oleh sanitarian/bidan/kader atau seorang
yang ditunjuk oleh Puskesmas untuk melakukan
pemantauan perkembangan akses jamban di wilayah
kerja Kecamatan/Puskesmas lalu mengirimkan
perkembangannya ke SMS server di sekretariat STBM.
Sistem ini sebetulnya sudah dimulai sejak pelaksanaan
program TSSM (Total Sanitation - Sanitation Marketing)
di Jawa Timur. Saat itu dirasakan terjadinya gap data
yang dikumpulkan dan dikirim oleh sanitarian ke Dinas
Kesehatan setempat. Hal itu terjadi karena beberapa
sebab, di antaranya:
• Pengumpulandatayangdilakukanolehsanitarian
tidak rutin dan tidak seragam;
• Lamanyawaktumelakukankonfirmasi/verifikasi
data;
• StafdiDinasKesehatanlebihbanyakmelakukan
entry data dan klarifikasi data setiap bulannya
dan tidak memiliki waktu untuk me-review,
perencanaan yang berbasis perkembangan data.
Pengiriman data menggunakan SMS dirasakan begitu
efektif saat itu, dan tidak terlalu memberatkan para
sanitarian, karena terkadang selama ini pelaporan oleh
sanitarian juga dilakukan melalui telepon/handphone
atau SMS. Sejak saat itu TSSM mulai mengembangkan
53Majalah PercikAgustus 2012
sistem
monitoring
berbasis SMS
ini, dilakukan uji
coba dan kajian
secara terus menerus
di beberapa wilayah
sasaran di Jawa Timur.
Sayangnya saat itu pengembangan
sistem ini dilakukan di tahun-tahun
terakhir pendampingan TSSM di
Jawa Timur, namun manfaat yang
diperoleh Dinas Kesehatan ternyata
sistem ini cukup membantu. Seperti
di Jombang misalnya, saat ini setiap
pertemuan sanitarian mereka
menganalisa data perkembangan
akses walaupun masih dengan
cara sederhana. Namun demikian
cara ini sudah lebih maju, karena
sebelumnya setiap pertemuan
sanitarian selalu dilakukan
konsolidasi dan klarifikasi data.
Di Pacitan, sistem monitoring
berbasis SMS ini sudah mulai pula
dilaksanakan dengan memberikan
contoh pelaksanaannya di tiga
kecamatan ODF (open defecation
free). Bahkan pada Rakornas
STBM pertama Oktober 2011
lalu Kabupaten Pacitan menjadi
narasumber dalam video
conference dengan Menteri
Kesehatan untuk
pelaporan
perkembangan
akses sanitasi di
wilayahnya.
Walaupun belum semua
kabupaten di Jawa Timur dapat
melaksanakan sistem ini, namun
sistem ini cukup efektif dalam
proses pengiriman data yang
cepat, tepat dan mudah melakukan
verifikasi. Namun komitmen untuk
melakukan monitoring tetap
menjadi tumpuan berhasil atau
tidaknya sistem monitoring ini.
Karena sistem SMS monitoring ini
hanyalah merupakan salah satu
alat manajemen untuk mendukung
mekanisme pelaksanaan
monitoring di wilayah sasaran.
Saat ini sistem monitoring berbasis
SMS sedang disiapkan untuk
dilaksanakan di tingkat pusat,
dengan dukungan SMS gateway
server berikut aplikasinya. Hal ini
untuk mendukung sekretariat STBM
dalam melakukan pemantauan
perkembangan akses sanitasi di
Indonesia. Menjadi keuntungan
pula bagi kabupaten yang
melaksanakannya, karena saat ini
kabupaten tidak perlu menyiapkan
aplikasi SMS gateway di kantor
Dinas Kesehatan, karena server
yang ada di Sekretariat STBM
memang disediakan untuk
menampung data SMS yang masuk
dari seluruh wilayah di Indonesia.
Data hasil monitoring ini akan
menjadi satu bagian dalam sistem
website STBM, sehingga semua
pihak akan dapat memantau
perkembangan akses sanitasi di
Indonesia.
Sistem ini juga ke depan akan
mendukung data untuk keperluan
website Kementerian Kesehatan
serta mendukung informasi
bagi Unit Kerja Presiden bidang
Pengawasan dan Pengendalian
Pembangunan (UKP4). Dalam
rangka pengembangan Sistem
Monitoring Nasional juga sudah
mulai dipersiapkan gateway
sistem dan pertemuan kordinasi
untuk mendukung integrasi
dengan sistem pemantauan
lainnya seperti NAWASIS di Pokja
AMPL dan Pamsimas. Kolaborasi
dengan berbagai pihak dalam
rangka menciptakan integrasi
sistem monitoring Nasional sangat
diperlukan.
Amin Robianto, Efentrif / WSP-World
Bank
Memonitor Perkemb angan Akses Sanitasi
SMS
Tim lintas kementerian yang tergabung dalam Pokja AMPL bersama WSP menginisiasi peluncuran CLTS di 6 Kabupaten (Bogor, Muaro Jambi, Sambas, Lombok Barat, Lumajang, Muara Enim) dengan fokus utama masyarakat pedesaan. Kabupaten Lumajang adalah kabupaten yang pertama kali mendeklarasikan Open Defecation Free (ODF).
Pada Konvensi PAM RT, diluncurkan pelaksanaan STBM untuk 10.000 desa/kelurahan. Pada tahun ini lahir Keputusan Menteri Kesehatan tentang Strategi Nasional Sanitasi Total Berbasis Masyarakat (STBM). Dari keputusan ini dinyatakan, Stop Buang Air Sembarangan, Cuci Tangan Pakai Sabun, Pengelolaan Sampah Rumah Tangga, Pengelolaan Air Minum Ruman Tangga, dan Pengelolaan Air Limbah Rumah Tangga merupakan lima pilar utama STBM. Dalam keputusan menteri ini juga mulai dikembangkan konsep supply improvement dan enabling environment, sebagai dua komponen tak terpisahkan dari CLTS yang berfokus pada Demand Creation.
Majalah Percik Agustus 2012Galeri STBM54
Milestone STBM
Tim koordinasi lintas kementerian melakukan studi banding CLTS di Bangladesh dan India. Kunjungan ini mencetuskan komitmen untuk pelaksanaan proyek pilot CLTS di Indonesia.
Keinginan untuk mereplikasi kesuksesan pilot CLTS semakin besar. Selain diaplikasikan dalam pelaksanaan WSSLIC 2, proyek Total Sanitation and Sanitation Marketing (TSSM) mulai diinisiasi WSP Worldbank di 10 Kabupaten di Jawa Timur, dan Plan Indonesia mereplikasi ke 9 kabupaten/kota.
2004 2007 20082005-2006
55Majalah PercikAgustus 2012
RPJMN 2010-2014 menetapkan sasaran utama pembangunan sanitasi yaitu Indonesia Stop Buang Air Besar Sembarangan di 2014. Pada tahun ini disusun panduan STBM dan ditetapkan sampai 2014 sebanyak 20.000 desa harus dapat melaksanakan STBM.
Dibentuk Sekretariat STBM di Kementerian Kesehatan untuk menguatkan koordinasi dan memberi arahan konsepsional dan strategis pelaksanaan STBM di daerah, sekaligus dikembangkan sistem monitoring nasional berbasis web dan sms serta penguatan pengelolaan pengetahuan.
STBM digiatkan. Semakin banyak materi-materi komunikasi bisa diakses seperti Buku Pembelajaran dari Para Penggiat CLTS dari Waspola Facility
Pedoman Pelaksanaan STBM diluncurkan oleh (Alm) Menteri Kesehatan, Endang Rahayu Sedyaningsih. Komitmen untuk mensukseskan STBM terus dikumandangkan. Salah satunya melalui perayaan Hari Cuci Tangan Pakai Sabun Sedunia. Pada tahun ini proyek-proyek dengan pendekatan STBM untuk daerah perkotaan mulai dibesut oleh High Five, IUWASH dan World Vision Indonesia.
2009 2010 2011 2012
Sejumlah milestone penting yang
menandai lahir dan berkembangnya
STBM di Indonesia
56 Majalah Percik Agustus 2012Majalah Percik Agustus 2012Resensi56
Pulau Ende dulu menyandang
julukan “jamban terpanjang
di dunia” karena setiap subuh
warga berjejer di pantai untuk
buang air besar. Insiden diare di
pulau ini adalah yang tertinggi di
kabupaten Ende. Disana, air tawar
sangatlah sulit didapat.
Untuk menuju pulau Ende,
diperlukan perjalanan dengan
perahu bermotor selama sekitar
satu jam dari pulau Flores. Dengan
jarak tersebut, masyarakat harus
mengeluarkan energi, waktu dan
biaya yang cukup besar untuk
bisa mengumpulkan material
demi membangun jamban sehat.
Sekilas dilihat, perbaikan kondisi
higiene dan sanitasi merupakan
hal yang mustahil dicapai.
Namun sekarang, pulau cantik di
Kabupaten Ende Provinsi Nusa
Tenggara Timur (NTT) ini adalah
pulau pertama di Indonesia yang
mendeklarasikan dirinya mencapai
kondisi ODF (open defecation
free) atau Stop Buang air besar
Sembarangan (SBS) pada 2011.
Masyarakat mencapai kondisi
ini dengan upaya sendiri dan
pendampingan dari pemerintah
daerah dibantu Unicef.
Bagaimana hal itu bisa terjadi?
Buku “Era Baru di Pulau Ende”
menceritakan berbagai
pengalaman seputar upaya
menuju kondisi SBS. Buku
pembelajaran ini disusun dengan
maksud agar keberhasilan
perubahan perilaku higiene
masyarakat pulau Ende dapat
menjadi contoh dan direplikasi di
pulau-pulau lain.
Buku ini juga menjabarkan upaya
pemerintah daerah bekerjasama
dengan tokoh masyarakat
setempat yang berhasil
memicu penghuni pulau Ende
untuk menghentikan perilaku
buang air besar sembarangan.
Peran berbagai pihak, mulai
dari pemerintah kabupaten,
pemerintah kecamatan,
pemerintah desa, pendamping
masyarakat, tokoh masyarakat
serta perempuan dan anak
dijabarkan satu persatu untuk
memberikan gambaran proses
program ini.
Beberapa pembelajaran
yang muncul dalam buku ini
diantaranya adalah pemuka
agama diikutsertakan untuk
menanamkan pesan-pesan
higiene untuk memicu warga
mengubah perilakunya. Di tiap
desa sampai ada tim “buser” yang
bertugas melakukan pengawasan
dan penangkapan terhadap
warga yang masih buang air besar
sembarangan. Anggota tim ini
harus merupakan orang yang
rajin dan disegani warga. Tidak
berhenti sampai disitu, warga
diajak membawa air yang biasa
mereka gunakan untuk diperiksa
di laboratorium Dinas Kesehatan
untuk meyakinkan mereka bahwa
air mereka memang sudah
tercemar tinja.
Tak lupa buku ini menyertakan
langkah-langkah yang
direkomendasikan bagi daerah
lain yang tertarik mereplikasi.
Buku ini diterbitkan oleh
Unicef dan dilengkapi dengan
berbagai kisah menarik seputar
pelaksanaan STBM di Ende.
Tujuannya agar berbagai
hikmah dan pembelajaran dapat
dipetik dan menginspirasi para
pembacanya.
Indriany
Era Baru di Pulau Ende
57Majalah PercikAgustus 2012
Di tahun 2007, WSP World Bank
mempublikasikan studi dampak
ekonomi pembangunan sanitasi.
Tak tanggung-tanggung studi
ini menyimpulkan Indonesia
merugi hingga 6,3 juta Dollar
alias Rp. 58 triliun karena abaikan
pembangunan sanitasi.
Lima tahun berlalu dari studi
dampak ekonomi tahap pertama,
akhir tahun 2011 kemarin, WSP
Worldbank kembali menerbitkan
hasil studi terbarunya seputar
keuntungan perbaikan sanitasi
dalam buku terbaru berjudul “The
Economic Returns of Sanitation
Interventions in Indonesia”
The Economics of Sanitation
Initiative (ESI) adalah sebuah
studi multinegara yang
diluncurkan tahun 2007 sebagai
upaya Water and Sanitation
Program, Bank Dunia, untuk
mengisi kekosongan temuan
ilmiah tentang aspek ekonomi
dari sanitasi di negara-negara
berkembang. Buku setebal
170 halaman ini berupaya
memaparkan sejumlah bukti dan
temuan, hasil analisis manfaat
intervensi berbagai opsi sanitasi
dalam berbagai konteks di
sejumlah negara yaitu Kamboja,
Cina, Indonesia, Laos, Filipina dan
Vietnam. Tujuan utamanya adalah
untuk meningkatkan kepekaan
para pengambil keputusan
terhadap manfaat intervensi
sanitasi serta mendorong
keputusan tepat di sektor sanitasi.
Di Indonesia, studi dilakukan
di lima lokasi yaitu Kabupaten
Malang dan Tangerang yang
mewakili sampel pedesaan serta
Kota Payakumbuh, Malang dan
Banjarmasin yang mewakili
perkotaan. Sejumlah opsi sanitasi
secara gamblang dibandingkan
untuk mengetahui tingkat
manfaatnya.
Temuan menyatakan pada
daerah pedesaan, dari sejumlah
opsi sanitasi yang ada jamban
cemplung terbukti memberikan
manfaat ekonomi paling
signifikan. Manfaat yang
dihasilkan mencapai 7 kali lebih
tinggi dari biaya yang dikeluarkan.
Sementara di perkotaan, investasi
pada pengolahan limbah
terpusat terbukti memberikan
keuntungan ekonomi paling
tinggi yaitu hampir dua kali dari
biaya yang dikeluarkan untuk
membangunnya.
Dikatakan tujuh kali lebih tinggi
karena keuntungan ekonomi
setiap tahun lebih dari 100 persen,
sehingga butuh kurang dari
setahun untuk mengembalikan
nilai ekonomi dari investasi
awal yang ditanam. Temuan ini
menunjukkan bahwa teknologi
sederhana seperti jamban
cemplung bisa sangat ekonomis:
menghasilkan manfaat besar
dengan biaya per unit yang
rendah, hanya sekitar Rp270,000
(US$30) per rumah tangga per
tahun (mencakup) biaya investasi,
operasional serta pemeliharaan).
Secara umum, buku ini berhasil
menyajikan keuntungan di depan
mata sejumlah intervensi sanitasi
yang selama ini dilakukan.
Sebagai buku ilmiah yang sarat
akan data, angka dan informasi,
selayaknya buku ini dapat ditulis
ulang dalam versi yang lebih
populer. Tentu harapannya agar
semakin banyak pihak yang
bisa mengambil manfaat dari
studi penting ini. Bukan hanya
bagi para pengambil kebijakan,
namun akademisi, para pengelola
program pembangunan air
minum dan sanitasi, pihak swasta
maupun media. Nissa Cita A
Mengukur UntungDari IntervensiSanitasi
Situs STBM Indonesia
Situs STBM telah dirintis oleh Sekretariat Pokja AMPL
sejak awal tahun 2010. Pada Oktober 2011, ketika
Sekretariat STBM Nasional mulai dibentuk, situs ini
diserahkan dan diluncurkan oleh Menteri Kesehatan
pada Rapat Koordinasi Nasional STBM di Bekasi.
Situs yang beralamatkan di http://stbm-indonesia.
org ini memuat berbagai artikel yang ditulis
oleh pemerintah daerah dan mitra pelaku
yang melaksanakan STBM di lapangan. Selain
artikel, kumpulan pustaka terkait STBM juga bisa
didapatkan, dan tiap bulannya ratusan dokumen
di-download oleh pengunjung situs.
Beberapa informasi yang bisa didapatkan di situs
STBM, di antaranya adalah informasi dasar mengenai
program STBM, berbagai artikel tentang STBM baik
kegiatan STBM di pusat, daerah, refleksi perilaku
dan kliping terkait, pustaka, e-newsletter, dan data
monitoring masing-masing provinsi yang di-update
oleh pemerintah daerah.
Banyak mitra pelaku STBM yang mendedikasikan diri
kepada knowledge sharing (berbagi pengetahuan)
dengan secara rutin mengirimkan artikelnya kepada
tim situs STBM. Mereka diantaranya adalah WSP-
TSSM, WSP-Waspola Facility, WASH Unicef, Plan
Indonesia, WVI, High Five-USAID, Iuwash-USAID,
SHAW Simavi, dll.
Tanpa knowledge sharing tidak akan terjadi
peningkatan kualitas dan percepatan program STBM
secara nasional. Untuk itu situs STBM terbuka untuk
segala kalangan yang berminat memasukkan artikel
mengenai pembelajaran dan kegiatan STBM yang
ada, artikel bisa dikirimkan ke sekretariat@stbm-
indonesia.org dengan panjang minimal 300 karakter
disertai foto beresolusi minimal 640x480.
Majalah Percik Agustus 201258 Materi-Materi STBM
Majalah Percik Agustus 2012Apa Kata Mereka60
Yulita Suprihatin (Koordinator Sekretariat STBM Nasional)
“STBM mendongkrak sanitasi hasilnya luar biasa... Perlu motivasi bagi petugas bahwa masyarakat mampu tanpa subsidi”.
Trisno Soebarkah (Direktorat PL, Kemkes)
“STBM perlu dikembangkan dan dilestarikan demi tercapainya lingkungan yang lebih bersih dan lebih sehat.”.
Ika Francisca (High Five)
“STBM complicated but fun, memicu untuk terus belajar dan mencari tahu.”.
Djoko Wartono (WSP Worldbank)
“STBM merupakan paradigma perilaku sehat yang direfleksikan dengan perubahan secara kolektif pada kelompok masyarakat.”.
Eddy Darma (Dinkes Kota Bogor)
“STBM suatu program dalam upaya merubah dan membentuk perilaku masyarakat Indonesia agar bisa menjaga diri dan lingkungannya agar tidak saling merugikan sehingga dapat tercipta keharmonisan antara manusia dan lingkungan tempat hidupnya.”.
Ansye Sopacua (WASH Unicef)
“STBM program bagus dan komprehensif untuk perubahan perilaku. Kalau semua stakeholder bekerjasama mendorong kesuksesan STBM, Indonesia akan menjadi negara yang sehat dan sejahtera.”.
Nur Apriatman (Waspola Facility)
“STBM harus menjadi gerakan nasional menuju lebih bersih dan lebih sehat”.
Oflin Dethan (PLAN Indonesia)
“STBM itu hal-hal saniter dan higiene yang kita lakukan sehari-hari di rumah”.
Kata Mereka tentang STBM?
Dapatkan Majalah Percik Yunior
Terbaru
Alamat Redaksi Majalah Percik : Jl. RP Soeroso 50 Jakarta Pusat - Indonesia, Telp/Fax : +6221- 31904113Website: http//www.ampl.or.id, Email: [email protected]