lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/dewa-agung-g-a_artikel.docx · web view“menyama braya”...

24
1 “MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) AS A HARMONIOUS SOCIAL INTERACTIONBETWEEN HINDUS AND MUSLIMS IN BANGLI REGENCY, BANGLI ABSTRACT Basically, all religions sunch as Islam, Christianity, Hinduism, Buddhism and Konghuchu never teach their followers to maltreat the followers of the other religion. Unfortunately, however, the fact that the majority, which teaches peace is frequently used to legitemate the attempts its folloers make to disturb and even eleminate tehe folloers of the religions, which are usually the minorities; its is frequently used to show hostile attitude to the followers of the religion. That can be understood as Indonesia as is a multi cultural country where every religion has its followers. Therefore, solutions be sould be sought for to antipate what was described above. In Bangli Regency, there is a Muslim community which exists next to the Hindu communities. Qualitativly, there are not many Muslim; however, althoug they live nex to the Hindu communities, they live peascfully. Every zctivity, including art activity, can be properly ferformed and without anxiety, as implied by the philosophy of Tri Hita Karana. Qualitative approuch was employed in the presen study with a case studi design. It was expected that the present stydy would lead to theory which might be generally and widely applied to the case of harmonious relation among the folloers of diffrent religions, especiallly the Hindus and Muslims. In this present study, an obsevational case study and multi site design was used, meaning that the researcher was present at the residences whre Muslims live and which are located at several villages in Bangli Regency to observe more closely what they did to be tolerant of the Hindus as the mayority. Such a method design was used to analyze a phenomenon of religious tolerance at different places. The data were collected several times and were analyzed to form a temporary therory. Keywords: Harmoniuos Social Interaction, Manyama Braya, Tri Hita Karana, Hindus-Muslims, State Integrity PENDAHULUAN Salah satu problem besar yang dihadapi bangsa Indonesia belakangan ini adalah munculnya pelbagai masalah yang menjurus kepada disintegrasi bangsa,

Upload: trinhdien

Post on 30-Mar-2019

215 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

1

“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD)AS A HARMONIOUS SOCIAL INTERACTIONBETWEEN HINDUS AND

MUSLIMS IN BANGLI REGENCY, BANGLI

ABSTRACTBasically, all religions sunch as Islam, Christianity, Hinduism, Buddhism and Konghuchu

never teach their followers to maltreat the followers of the other religion. Unfortunately, however, the fact that the majority, which teaches peace is frequently used to legitemate the attempts its folloers make to disturb and even eleminate tehe folloers of the religions, which are usually the minorities; its is frequently used to show hostile attitude to the followers of the religion. That can be understood as Indonesia as is a multi cultural country where every religion has its followers. Therefore, solutions be sould be sought for to antipate what was described above. In Bangli Regency, there is a Muslim community which exists next to the Hindu communities. Qualitativly, there are not many Muslim; however, althoug they live nex to the Hindu communities, they live peascfully. Every zctivity, including art activity, can be properly ferformed and without anxiety, as implied by the philosophy of Tri Hita Karana.

Qualitative approuch was employed in the presen study with a case studi design. It was expected that the present stydy would lead to theory which might be generally and widely applied to the case of harmonious relation among the folloers of diffrent religions, especiallly the Hindus and Muslims. In this present study, an obsevational case study and multi site design was used, meaning that the researcher was present at the residences whre Muslims live and which are located at several villages in Bangli Regency to observe more closely what they did to be tolerant of the Hindus as the mayority. Such a method design was used to analyze a phenomenon of religious tolerance at different places. The data were collected several times and were analyzed to form a temporary therory.

Keywords: Harmoniuos Social Interaction, Manyama Braya, Tri Hita Karana, Hindus-Muslims, State Integrity

PENDAHULUAN

Salah satu problem besar yang dihadapi

bangsa Indonesia belakangan ini adalah

munculnya pelbagai masalah yang menjurus

kepada disintegrasi bangsa, dimana salah satu

faktor pemicunya adalah konflik yang

bernuansa agama. Setiap agama, baik Islam,

Kristen, Hindu, Budha dan Kongfuchu pada

dasarnya tidak pernah mengajarkan

umatnya berbuat aniaya terhadap umat lain.

Tetapi sayangnya, agama yang mengajarkan

perdamaian tak jarang dijadikan legitimasi

untuk mengganggu, memusuhi bahkan

memusnahkan umat lain.

Dalam konteks Indonesia, konflik antar

umat beragama apakah antara umat Islam

dengan Kristen (Ambon dan Poso), antar umat

Islam (kasus Sampang dan Jember) adalah

salah satu bukti nyata bahwa ajaran agama

dijadikan sebagai alat pembenar bagi

pemeluknya untuk melakukan tindakan

permusuhan dan pembunuhan terhadap

pemeluk agama atau aliran agama lain.

Kenyataan ini jelas sangat bertentangan

dengan esensi ajaran agama itu sendiri yang

selalu mengajarkan cinta kasih dan

perdamaian. Contoh konflik bernuansa agama

antara Islam dan Kristen misalnya yang terjadi

di Ambon dan Poso, tidak menutup

Page 2: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

2

kemungkinan bisa terjadi pada agama-agama

yang lain, misalnya antara Islam dan Hindu,

Islam dan Budha, serta Kristen dengan Hindu

atau Kristen dengan Budha. Hal ini bisa

difahami mengingat masyarakat Indonesia

adalah bersifat majemuk dengan pemeluk

agama yang beragam. Belum lagi perbedaan

suku dan ras, bisa jadi faktor ini juga

berpotensi memperkeruh suasana konflik

agama. Namun demikian, kemungkinan diatas

bisa jadi tidak terwujud apabila masyarakat

dan bangsa Indonesia mampu menumbuhkan

sikap toleransi diantara umat beragama.

Jika dilihat dari potensi konflik, menurut

McGuire (2009) sebenarnya konflik agama di

Indonesia tidak hanya antara Islam dan

Kristen, dalam masyarakat Hindu menyimpan

potensi konflik yang tidak kecil. Pasca ledakan

bom Bali tahun 2002 yang menghancurkan

ekonomi Bali, terdapat perkembangan yang

mengkhawatirkan kehidupan beragama, yakni

tumbuhnya kelompok milisi yang disebut

dengan Pecalang. Kelompok ini pada

awalnya adalah polisi tradisional yang

menjaga keamanan upacara adat/agama,

namun dalam perkembangannya mereka juga

melakukan ”sweeping” terhadap orang-

orang pendatang yang tidak mempunyai Kartu

Tanda Penduduk (KTP) atau Kartu Identitas

Pendududuk Musiman (KIPEM) yang sah.

Sementara itu, para pendatang yang rata-rata

berasal dari Jawa (luar Bali), mereka

adalah pemeluk agama Islam. Kondisi

inilah yang berpotensi menciptakan konflik

agama antara Islam dan Hindu di Bali, bukan

hanya dengan masyarakat Islam yang

pendatang tetapi juga dengan masyarakat Islam

asli Bali.

Page 3: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

3

Dalam kurun beberapa tahun belakangan

kekerasan atas nama agama sering mewarnai

kehidupan bangsa Indonesia. Apakah itu

muncul sebagai akibat hubungan antar umat

beragama yang tidak dibarengi sikap toleran,

atau sengaja diciptakan untuk mendukung

kepentingan kelompok tertentu. Jika ditelaah

lebih dalam, sesungguuhnya konflik antar

agama lebih banyak disebabkan faktor

ekonomi dan faktor politik, di samping juga

adanya usaha sengaja dari kelompok yang

ingin mempertahankan atau meraih status

sosial yang lebih baik. Dalam rangka

untuk mengantisipasi berkembangnya konflik

yang lahir dari perbedaan agama ataupun

konflik yang sengaja diciptakan atas nama

Tuhan, salah satu cara yang sangat efektif

adalah menciptakan hubungan yang harmonis

antar umat beragama dengan mengembangkan

sikap toleran di antara mereka. Dan apabila

konflik agama tidak diberikan perhatian serius

dari semua pihak, maka bangsa Indonesia akan

menghadapi persoalan besar, yakni

disintegrasi bangsa dan carut marutnya NKRI.

Di Kabupaten Bangli, Bali terdapat

kantong-kantong komunitas muslim yang

minoritas diantara umat Hindu yang

mayoritas. Mereka sudah lama tinggal di

daerah tersebut tetapi sampai saat ini dapat

hidup rukun dan saling menghargai yaitu di

Desa Sidembunut dan Bebalang, Kecamatan

Bangli, Desa Sudihati dan Dusun Angan

Sari, Desa Kutuh di Kecamatan Kintamani.

Kabupaten Bangli adalah daerah

pegunungan, tidak seperti delapan

kabupaten/kota yang ada di Propinsi Bali

lainnya (Kabupeten Samarapura,

Ampalapura,

Page 4: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

4

Singaraja, Badung, Gianyar, Jembrana,

Tabanan dan Kota Denpasar). Kedelapan

kabupaten/kota tersebut secara geografis lebih

terbuka sehingga perkembangannya lebih maju

disegala bidang yang berdampak munculnya

keberagaman komunitas. Kabupeten Bangli

jaraknya lebih kurang 50 km dari Denpasar

namun demikian sudah terdapat komunitas

muslim yang minoritas yang dapat hidup

rukun dengan mayoritas Hindu. Inilah

keunikan dari penelitian ini sehingga bisa

dikatakan lepas dari pengamatan para peneliti,

sepengetahuan peneliti sampai saat ini belum

pernah ada yang meneliti keunikan ini. Model

keharmonisan biasanya dibuat dari masyarakat

yang konflik untuk menemukan solusi

mengakhiri konflik, tetapi dalam penelitian ini

mencoba memotret interaksi sosial

harmonis yang sudah dilakukan dalam waktu

lama yang kemudian dibuatlah model

keharmonisan. Dengan demikian model yang

dihasilkan merupakan rekonstruksi kehidupan

harmonis antara umat Muslim yang minoritas

dengan Hindu yang mayoritas. Dan inilah

yang menarik untuk diteliti sehingga dapat

dipakai sebagai rujukan dalam

mempertahankan integritas bangsa.

METODE

Penelitian ini menggunakan

pendekatan kualitatif dengan rancangan studi

kasus. Rancangan studi kasus dapat digunakan

untuk pengembangan teori yang diangkat dari

sebuah latar penelitian (Bogdan & Biklen,

1998). Rancangan ini diharapkan dapat

menghasilkan teori dengan generalisasi lebih

luas dan lebih umum penerapannya untuk

kasus harmonisasi hubungan antar umat

beragama, khususnya umat Islam dan Hindu.

Dalam penelitian studi kasus ini

digunakan rancangan studi kasus

observasional dan multi situs, dimana peneliti

akan hadir di daerah kantong-kantong

masyarakat Hindhu yang terdapat di

Kabupaten Bangli untuk melihat lebih dekat

bagaimana mereka membangun toleransi

beragama dengan masyarakat lain. Rancangan

metode tersebut digunakan untuk menelaah

sebuah fenomena toleransi beragama di

berbagai tempat yang berbeda. Dalam

pelaksanaannya dilakukan beberapa kali

pengumpulan data dan hasilnya dianalisis

sehingga tersusun teori sementara.

HASIL

Dari hasil pengataman di lapangan dan

hasil wawancara kepada informan, ternyata

terdapat bentuk-bentuk kegiatan yang

dilakukan secara bersama-sama yang

menyebabkan terbangunnya perilaku harmoni

antara umat Muslim dan Hindu di Kabupaten

Bangli. Ini sebagai bentuk kesadaran, niat, dan

komitmen untuk bersatu merupakan kunci

untuk hidup berdampingan antar penganut

agama yang berbeda, sehingga memunculkan

rasa kebangsaan yang sejati (Soekarno,

1965:3-4).

Interaksi yang harmomis tersebut

didasarkan kearifat lokal yaitu Tri Hitakarana

yang meliputi 1) kegiatan parahyangan, 2)

kegiatan pawongan, dan 3) kegiatan

pelemahan. Karena itu di bawah ini secara

Page 5: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

5

berturut-turut akan dipaparkan ketiga kegiatan

tersebut yang menyebabkan mereka bisa hidup

harmonis yaitu;

1. Kegiatan Parahyangan

Di Kabupaten Bangli kegiatan

parahyangan yang paling nampak adalah

terdapat masjid yang cukup besar dan megah

yang berada di tengah-tengah kota,

bernama Masjid Agung Bangli. Masjid ini

sebagai tempat beribadah Umat Muslim yang

ada di Kabupaten Bangli, baik peribadatan

saat hari- hari besar bagi Umat Muslim dan

bersifat rutin sehari-hari. Begitu juga di

tempat yang lain seperti Di Desa

Sidembunut, Desa Bebalang, Kecamatan

Bangli dan Desa Sudihati dan Desa Kutuh

di Kecamatan Kintamani terdapat peribadan

dalam bentuk langgar atau mushola. Uniknya

terdapat Mushola yang menggunakan ornamen

atau ukiran khas Bali, seperti yang terdapat di

Desa Sidembunut.

Mushola di Desa Sidembunut (Dokomen

Pribadi, 2013)

Bukti lain yang menunjukkan adanya

sentuhan parahyangan antara Umat Muslim

dan Hindu adalah keberadaan Pura Langgar

atau dikenal juga denga Pura Jawa yang

terdapat di Desa Bunutin. Seperti

yang

Page 6: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

6

dikatakan oleh pengampu Pura Jawa atau Pura

langgar di Desa Bunutin. Pura ini dipercaya

sebagai tempat peribadatan bukan saja oleh

umat Hindu, tetapi juga oleh umat Muslim.

Hal ini dibuktikan pada waktu-waktu tertentu

dikunjungi oleh umat Muslim bukan saja yang

berasal dari Bali, tetapi juga dari luar Bali.

Menurut informan setempat mengatakan;

“umat Islam yang datang, mereka disini sembahyang/sholat dan bagi saya tidak apa-apa karena itu bagian dari sifat saling menghargai. Kamisediakan tempat untuk sembahyang,meskipun ada perbedaan arah. Mereka (umat Islam) sembayangnya menghadap ke barat (baca: kiblat) sehingga harus membelakaingi pura. Kalau kami sembahyangnya menghadap ke timur. Bahkan pernah terdapat orang Islam yang datang membawa sesaji dan berpakaian adat layaknya orang Bali. Bagi saya tidak apa-apa yang saling menghargai dan menghormati”.

Berdasarkan kunjungan peneleliti di

pura ini, disediakan tempat sholat bagi umat

Muslim yang datang dan tempat wudlu sebagai

wujud toleransi dan keberterimaan umat Hindu

terhadap umat Muslim di pura ini. Hal

semacam ini sudah terjadi jauh sebelumnya

yaitu sekitar abad ke-11 seperti yang terdapat

pada Lontar Usana Bali. Disebutkan

didirikannya Khayangan Tiga oleh

Mpu Kuturan sebagai upaya untuk

menyatukan berbagai sekte yang ada, sehingga

dengan cara ini merupakan upaya sosiologis

dan religius untuk mengikat masyarakat Bali.

Kedatangan beliau dengan kebijaksanaan

dapat memberikan kebahagian orang Bali

hubungan antar sekte sangat rukun (Soebandi,

1983:99-100). Inilah yang menyebabkan setiap

Page 7: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

7

orang Bali patuh terhadap ajaran Mpu Kuturan

tersebut, sehingga secara organisatoris sangat

mengikat terhadap setiap orang Bali yang

beraga Hindhu dalam segala sendi

kehidupannya (Geertz, 1980:33). Sesuai

dengan namanya “Pura Langgar” pasti akan

mengingatkan pada dua kata sebagai

representasi dari tempat peribadatan untuk

masyarakat Hindu (Pura) dan Islam (Langgar).

Karenanya tempat ini terlihat adanya

perpaduan seni arsitektur Bali dan Islam.

Pura Dalem Langgar (Dokumen Pribadi,

2013)

Di Desa Kutuh, kecamatan Kintamani

terdapat kegiatan parahyangan yang mereka

lakukan bersama-sama seperi upacara

selamatan, upacara minta hujan di musim

kering. Bagi wanita Hindu yang kawin dengan

laki-laki Islam mereka melakukan prosesi

ritual tertentu. Diawali dengan upacara di

sanggah/mrajan sebagai bentuk

mepamit/mohon ijin pamit kepada leluhur

bahwa mereka akan ikut suami karena harus

beragama Islam. Begitu juga sebaliknya

wanita Islam yang kawin dengan laki-laki

Hindu saat Idul Fitri mereka membawa

sesajen/banten ke Masjid, hanya saja bedanya

adalah tidak terdapat canang (rangkaian janur

yang berisi bunga). Bila ada upacara di pura,

mereka ikut berpartisipasi seperti mamasak

bersama (mebat), memainkan gambelan

(megambel) dan ngaturang atos. Ini

dilakukan karena mereka punya prinsip

“tujuan agama adalah sama, hanya caranya

yang berbeda”.

Secara umum hubungan antara umat

Muslim dan Hindu di Bali dapat dikatakan

sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari

pemberian ruang yang cukup longgar bagi

umat Islam untuk menjalankan rangkaian

ibadahnya. Misalnya dalam rangkaian shalat

jama’ah di masjid, umat Islam diberi

kelonggaran untuk mengumandangkan suara

adzan dengan pengeras suara luar. Tidak

hanya itu masyarakat muslim juga bisa

menyuarakan khutbah jumat dengan pengeras

luar. Bahkan sampai saat ini jumlah majlis

ta’lim di wilayah Bangli berjumlah 23

lembaga dan semuanya aktif tidak hanya

papan nama. Dapat dipastikan untuk wilayah

Bangli kalau ada seorang anak yang beragama

Islam yang berumur lebih dari 15 tahun

mereka tergabung dalam majlis ta’lim. Sejauh

pengamatan peneliti majlis taklim di Bangli

banyak diikuti oleh kalangan muda, ini sangat

berbeda dengan daerah lain yang banyak

diikuti oleh kalangan tua.

Saat hari-hari besar Islam peranan

pecalang besar dalam menjaga kemanan.

Apalagi Hari Raya Nyepi jatuh pada hari

Jumat dan bersamaan dengan Hari Raya Idul

Fitri. Dalam hal ini para pecalang berperan

penting mengantarkan umat Muslim pergi ke

mesjid saat sholat id yang bersamaan saat itu

umat Hindu tidak boleh keluar rumah untuk

melaksanakan Catur Bhrata Panyepian (amati

Page 8: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

8

geni, amati lelungan, amati karya dan amati

lelanguan). Saat Hari Raya Nyepi umat

muslim juga tidak keluar rumah, seperti umat

Hindu lainnya. Bila terdapat kegiatan di pura,

Umat Muslim ikut meramaikan dengan

berjualan, ikut bazar dan memberikan

sumbangan moril maupun materiil

semampunya. Saat Hari Korban/Idul Adha

umat Hindu ikut berpartisipasi berupa

pemberian sumbangan kambing atau sapi

(peneliti lihat saat hari Korban memang ada

seekor sapi sumbangan dari umat Hindu).

Bahkan salah satu tokoh Muslim mengatakan

hari korban identik dengan upara mecaru di

Bali (upara korban untuk bersih desa dan

persembahan untuk buta menurut umat Hindu

untuk menjaga keseimbangan antara bhuwana

agung dan ali/makro kosmos dan mikro

kosmos).

2. Kegiatan Pawongan

Kegiatan pawomgan yang dimaksud

adalah segala kegiatan yang berhubungan

langsung maupun tidak langsung yang bersifat

horizontal sebagai manusia yang tidak bisa

hidup tanpa bantuan orang lain, terkait dengan

pelaksanaan nilai-nilai gotong royong. Hal ini

dilakukan oleh Umat Muslim di Kabupaten

Bangli sebagai wujud dari sikap menyame

braya.

Spanduk Ucapan Hari Raya Idul Fitri oleh PHDI Bali di Depan Masjid Agung

Bangli (Dokumen Pribadi, 2013)

Sesuai dengan pandangan Widnya

(1981:13), sifat gotong royong dilandasi oleh

filsafat segilik, seguluk dan sebayan taka,

artinya sebagai warga masyarakat harus

bersatu, mempunyai tujuuan yang sama dan

suka maupun duka dirasakan bersama.

Petugas keamanan memberikan ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri

(Dokumen Pribadi, 2013)

Dan cita-cita tolong menolong,

merupakan dasar kebersamaan (kolektivitas)

dan dasar perekonomian berkoperasi. Adanya

suatu corak kerakyatan yang berciri

kekeluargaan dalam masyarakat desa adat,

merupakan suatu realita adanya. Dalam desa

adat, setiap anggota mempunyai kemerdekaan

(liberty), persamaa (equality) dan persauda-

raan atau kekeluargaan (fraternity). Dan ini

merupakan dasar pokok pada kehidupan

persekutuan dalam masyarakat desa adat di

Bali, khususnya di Kabupaten Bangli. Desa

Adat bagaikan tubuh manusia, satu bagian

tidak melaksanakan fungsinya dengan baik

maka akan beakibat pula bagi fungsi-fungsi

lainnya, sehingga akan menjadi manusia tidak

normal (Putra, 1981:105-1060.

Page 9: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

9

Saling memberikan ucapan Selamat diHari Raya Idul Adha

(Dokumen Pribadi, 2013)

Berdasarkan hasil wawancara dari

beberapa informan, hubungan antara umat

Muslim dan Hindu di Kabupaten Bangli

sampai sekarang sangat baik, saling

menghormati sebatas kegiatan-kegiaatan

kemanusiaan, seperti kegiatan

kematian/ngaben. Mereka datang mejenukuan

(datang ke tetangga dalam keadaan senang

atau susah dengan membawa beras, gula atau

kebutuhan lainnya), begitu juga kalau ada

yang meninggal yang Hindu ikut datang

mengucapkan berduka cita. Bentuk saling

menghargai terlihat juga saat mereka

sholat, mereka tidak menggunakan pengeras

suara/dikecilkan bila masyarakat Hindu ada

upacara di pura, sebagai bentuk saling

pengertian dan menjaga perasaan. Pernah

terjadi bersamaan antara Hari Raya Nyepi dan

Idul Fitri, umat Muslim tidak menggunakan

pengeras suara sehingga tidak mengganggu

kekusukan umat Hindu menjalanan Catur

Bhrata Panyepian. Saling mengucapkan

selamat hari raya selalu dilakukan, bahkan

saling antar mengantar makanan /ngejot bila

hari raya baik saat Idul Fitri maupun Hari

Raya Nyepi. Kebersamaan terlihat juga saat

kegiatan desa adat Kintamani

melakukan

Dasa Wisma, lomba-lomba, menyambut

bupati, bahkan mereka diberikan kesempatan

pertama menampilan kesenian Islam

/terbangan baru diikuti oleh kesenian

Bali/gong.

Kawin campur sebagai bentuk

hubungan antar umat Muslim dan Hindu sudah

lama dilakukan, terutama di Kecamatan

Kintamani. Walaupun pada awalnya

mengalami kendala, namun senyampang

dengan perjalanan waktu mereka saling

mengerti dan saling dapat menerima. Sehingga

dalam satu keluarga bisa terdapat ada yang

beragama Hindu dan Islam. Nampaknya

mereka sudah mulai memahami akan makna

pluralisme bahwa pluralisme harus dipahami

sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam

ikatan-ikatan keadaban (genuine angagement

of diversities within th bond of civility)

(Rahman, 2001:31).

Pemberian ucapan selamat hari raya

sudah biasa mereka lakukan. Begitu juga

dengan peringatan hari-hari besar nasional dan

hari-hari besar Islam. Mereka selalu

berpatisipasi membaur dengan masyarakat

setempat sejak mempersiapkan sampai dengan

pelaksanaannya seperti memperingati HUT

RI, saat dilaksanakan lomba MTQ. Di

Kabupaten Bangli peran serta masyarakat dan

pecalang sangat besar untuk mensukseskan

acara tersebut terutama di sektor keamanan

bersama-sama dengan aparat kepolisian. Ini

artinya sudah saling menerima akan

perbedaan, ini sesuai dengan pandangan Arifin

(2007:223) ada dua hal yang ditekankan dalam

pluralisme agama. Pertama, pengakuan

Page 10: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

1

sekaligus penerimaan terhadap

keragaman

Page 11: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

1

termasuk dalam agama. Hal ini juga sudah

dicontohkan oleh Rasul dengan segala sikap

toleransinya bersama dengan sahabat

Muhajirin dan Anshar serta tokoh-tokoh Non

Muslim saat itu menelorkan butir-butir

kerjasama dan kesepakatan dalam Piagam

Madinah yang terdiri dari 46 butir. Sebagai

tokoh sentral, Muhammad berupaya

merangkul seluruh kekuatan tanpa melihat

latar belakang ras dan agama mereka untuk

membangun city-state yang baru (Bulac,

1998:203). Manusia dihadapan-Nya adalah

sama yang membedakan adalah amal dan

perbuatannya. Dalam Yayur Weda XL.6 juga

mengatakan “dia yang melihat seluruh

makhluk dalam dirinya sendiri dan

menemukan refleksi dari dirinya sendiri dalam

semua makhluk tidak pernah memandang

rendah siapapun”.

Terdapat harapan dari beberapa

informan yang dapat peneliti tangkap yaitu

perlu ada FKAUB di tingkat kelurahan tidak di

tingkat kota saja dalam rangka mengatasi

masalah toleransi antar umat beragama. Di

Tingkat kelurahan merupakan tingakt akar

rumput, karena mereka yang di tingkat inilah

yang tahu perisis tentang interaksi di berbagai

hal. Ini berarti membantu pemerintah kota

dalam mengatasi masalah-masalah yang tidak

diinginkan yang menyangkut SARA.

Perkawinan umat Muslim melalui KUA, tetapi

sosial kemasyarakatan mereka berkordinasi

dengan tokoh adat setempat (Hindu) sebagai

permakluman. Hidup di dalam negara yang

plural diberbagai hal sangat dihindari adanya

diskriminasi, berbagai aturan yang dibuat oleh

pemerintah hendaknya menjadi pedoman

bersama. Kalau ada hal-hal yang mengarah

pada SARA para pemuka masyarakat, agama

yang terhinpun dalam FKUB segera

melakukan kordinasi bahkan harus memanggil

oknum yang bermasalah. Ini sebagai antisipasi

supaya tidak menjadi masalah besar, walaupun

awalnya masalah oknum tetapi nantinya akan

menjadi SARA. Tafsir teks dalam konteks

zaman ini, para pemuka agama akan mampu

keluar dari kaca mata eksklusif dan berubah

menjadi inklusif. Pemahaman yang lebih

inklusif inilah yang seharusnya dimiliki oleh

para pemuka agama di negara kita. Dengan

pemahaman seperti ini maka dialog agama

akan lebih berkembang menjadi dialog

kehidupan.

Saling menyadari sebagai pihak

mayoritas dan minoritas, sehingga seharusnya

diketahui apa yang boleh dan tidak boleh

dilakukan. Sebagai minoritas tidak selalu

berpikir diskriminatif tetapi apa seharusnya

dilakukan sebagai warga minoritas, dimana

bumi dipijak, disitulah langit dijunjung. Secara

umum dalam kegiatan pawongan mereka

saling membaur. Kalau ada kegiatan-kegiatan

desa mereka juga dimintak berpartsisipasi spt;

sumbangan dana, ikut dalam seka taruna,

membuat ogoh-ogoh. Semua kegiatan ini

bersifat sentral untuk menyatukan semua

perbedaan sehingga masyarakat bisa bersatu.

Terdapat upaya para tokoh masyarakat dalam

menghindari adanya konflik di sektor akar

rumput yaitu selalu melakukan

kunjungan/silahtutrahmi ke umat Muslim

terutama ke dalam kegiatan masjid-masjid

sebagai bentuk menerima keberadaan mereka

yang minoritas yang berada dalam mayoritas.

Page 12: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

1

3. Kegiatan Palemahan

Menurut Warta Hindhu Dharma

(1980:15), nampaknya desa adat merupakan

perkembangan dari desa perdikan atau sima,

merupakan desa khusus, bersifat otonomi

berdasarkan pada Agama Hindhu. Desa adat

yang berarti tempat kejujuran (desa= tempat,

adat= kejujuran) dalam rangka mencapai

keselamatan lahir dan bathin. Untuk

mewujudkan semua ini, perlu adanya

keseimbangan dalam hidup salah satunya

adalah keseimbangan dengan palemahan.

Maksudnya manusia dimanapun mereka

berada tidak bisa lepas dari unsur tanah yang

dipijaknya.

Masjid bersebelahan dengan tempat peribadatan Umat Hindu di Desa Kintamani

(Dokumen Pribadi, 2013)

Menjaga keseimbangan bhuawana

agung dan bhuwana alit sangat dipegang oleh

masyarakat Bali untuk mencapai

keharmonisan hidup. Begitu juga dengan umat

Muslim yang tinggal di Kabupaten Bangli

bersama-sama dengan umat Hindu

melaksanakan prinsip-prinsip ini dalam

rangka mencapai keharmonisan hidup.

Umat Muslim yang tinggal di

Kabupaten Bangli pada umumnya adalah

pendatang, hanya saja waktu kedatangannya

berbeda. Seperti yang terdapat di Kampung

Page 13: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

1

Sudihati diperkirakan datang tahun 1950-an,

Dusun Angan Sari tidak diketahui secara pasti,

karena itu mereka sudah menyatu dengan Bali

dengan kebudayannya. Di kedua daerah inilah

mata pencaharian mereka banyak sebagai

petani atau berkebun dan sebagai pedagang.

Di Desa Sidembunut dan Di Desa Bebalang

kedatangan jauh lebih belakang sehingga mata

pencaharian mereka pada umumnya sebagai

pedagang dan pegawai negeri.

Berdasarkan ceritra masyarakat

di Kintamani yang sempat peneliti rekam

bahwa kedatangan orang muslim

diperkirakan di tahun 1950-an. Mereka

terlantar dan sebatang kara, karena kondisi

tersebut terdapat sesepuh setempat/Kintamani

yang merasa terpanggil untuk membantu

secara iklas. Mereka dibantu dan diberilah

sebidang tanah untuk ditempati. Tanah

tersebut masih mereka tempati sampai

sekarang secara turun temurun dan sekarang

berstatus sebagai tanah adat. Tanah yang

mereka tempati mereka fungsikan sebagai

tempat tinggal, tempat usaha termasuk untuk

tempat ibadah/mesjid dan tempat ini juga

didirikan lembaga pendidikan Islam. Karena

tanah tersebut adalah tanah adat maka sampai

sekarang tidak dapat disertifikatkan sebagai

hak milik. Sebagai kompensasi akan hal

tersebut mereka mempunyai beberapa

kewajiban sebagai tanda ikatan menyame

braye yaitu membantu masyarakat yang

beragama Hindu setempat baik moril maupun

materill yang tidak memberatkan

dalam waktu-waktu tertentu. Diantaranya,

mereka membayar sejumlah uang setiap tahun

sekali dengan jumlah tertentu yang tidak

memeratkan kepada desa adat setempat.

Page 14: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

1

Makam Umat Muslim berdampingan dengan Umat Hindu di Desa Bebalang

(Dokumen Pribadi: 2013)

Ini sebagai bentuk kebersamaan

diantara mereka sudah terpatrun, seperti yang

dikatakan oleh Sarwono Kusumaatmaja

(1996:50-52) diperlukan penciptaan situsi

interaksiyang harmonis sebagai berikut:

1. Strategi kemitraan kerja antara

birokrasi dan aparatur dengan

masyarakat luas khususnya

menyangkut operasionalisasi

sektor-sektor negara kearah

integrasi nasional.

2. Bentuk-bentuk keterkaitan antar

berbagaiunsur keragaman

masyarakat harus dihindarkan dari

pragmatisme ekonomi, terutama

pragmatisme politik.

3. Warga birokrasi dan aparatur

selaku pemegang mandat

konstitusi harus menyelenggarakan

administrasi pemerintahan negara

memberikan yang wajar terhadap

setiap prakasra kemajuan

masyarakat.

4. Pengakuan terhadap keragaman

latar belakang sosio-kultural dan

tidak perlu diikutin oleh

pandangan dikotomis yang

berlebihan.

5. Lapisan-lapisan strategis dan elite

masyarakat harus lebih giat

melakukan komunikasi politik,

baik antara mereka dengan

pemerintah, maupun diantara

mereka sendiri.

6. Rintisan kebersamaan atau

persaudaraan baru diantara

segenap sumber daya nasional

perlu ditingkatkan pada yang lebih

masif dalam bidang yang lebih

strategis.

7. Perlu ada kesadaran bahwa

masalah pengembangan wawasan

kebangsaan dalam kerangka

integrasi nasional bukanlah

monopoli birokrasi dan aparatus

negara. Semua pihak atau semua

unsur keragaman masyarakat

mempunyai kesempatan dan

peluang yang sama untuk

mengkonkretkan komitmen

nasional dengan cara dan lewat

pengabdian mereka masing-

masing.

Berdasarkan pengamatan sementara

peneliti, mereka juga melakukan proses

pengolahan tanah sampai panen mengikuti

langkah-langkah seperti Umat Hindu yang ada

disekitarnya yaitu menggunakan waktu-waktu

yang tepat berdasarkan sistem penanggalan

Bali. Ini dilakukan sebagai upaya menciptakan

keseimbangan antara makrokosmos (alam

sekitar) dengan mikrikosmos (manusia).

Page 15: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

1

Dengan demikian akan tercipta kehidupan

yang seimbang sehingga tercipta

keharmonisan hidup dan keselamatan lahir

dan batin.

Penentuan lokasi untuk pembangunan

tempat ibadah sebagai tempat suci baik bagi

Umat Muslim maupun Hindu pasti

berdasarkan pertimbangan tertentu. Bukan

saja karena letak yang strategis, tetapi juga

faktor keseimbangan antara makrokosmos dan

mikrokosmos dengan harapan tempat itu

mendatangkan ketenangan dan keseimbanga

lahir dan batin. Karena pertimbangan itu,

tidaklah menjadi masalah walaupun tempat

ibadah Umat Muslim (Masjid Agung) dan

Pura sebagai tempat ibadah Umat Hindu

berdampingan. Hal ini terjadi di Banjar

Blungbang dan Desa Kintamani terdapat

Masjid dan Pura/Mrajan yang berdekatan,

bahkan hanya dibatasi oleh tembok saja.

Mereka dapat hidup dan beribadah dengan

kusuk dalam rangka mencapai keselamatan

lahir dan bathin. Hal ini tidak mungkin terjadi

tanpa dilandasi oleh rasa menyame braye yang

dilandasi oleh rasa ikhlas lahir dan batin.

Kegiatan palemahan nampak juga

dengan adanya tempat pemakaman untuk

Umat Muslim seperti di Desa Bebalang.

Tempat pemakaman Umat Muslim

berdampingan dengan pemakam umat Hindu

dengan menggunakan tanah wakaf. Secara

umum jenis keharmonisan mereka dalam

ketiga bentuk kegiatan tersebut dapat

dilihat dalam bagan di bawah ini.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dapat

disimpulkan sebagai berikut:

1. Umat Islam dan Hindu di Kabupaten

Bangli dapat hidup secara berdampingan,

rukun dan sampai saat ini saling

pengertian yang dilandasi oleh nilai-nilai

menyame braye. Penganut agama Islam di

Kabupaten Bali adalah minoritas, tetapi

ini tidak berarti termajinalisaikan atau

terintimidasi oleh mayoritas dalam hal ini

umat Hindu. Kehidupan menyame braye

ini sudah terpatrun cukup lama karena

adanya pemahaman yang baik terhadap

ajaran agama yang dianut dan kearifan

nilai-nilai lokal yang ada.

2. Bentuk hidup yang harmonis terlihat

diberbagai segi kehidupan termasuk di

bidang seni, arsitektur, hal ini terlihat dari

rumah-rumah tempat tinggal dan

peribadan seperti pada Mushola di Desa

Sidembunut dan Pura Dalem Langgar di

Desa Bunutin Kabupaten Bangli.

3. Kiat para tokoh Muslim dan Hindhu di

Kabupaten Bangli, Bali dalam

membangun kehidupan ”menyama

braya” sangat baik yang dilandasi oleh

pemahaman akan makna dari folosofi

desa pekraman, desa dinas. Lembaga

inilah difungsikan dengan baik dalam

segala aktivitasnya baik yang menyangkut

aktivitas keagamaan, interaksi sosial

maupun dalam pemanfaatan tanah sebagai

tempat tinggal, peribadatan maupun

tempat pemakaman.

4. Filsafat Tri Hitakarana menjadi dasar

mereka untuk bisa hidup”menyama

braya” antara masyarakat Hindu dan

Page 16: lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/DEWA-AGUNG-G-A_artikel.docx · Web view“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD) A S A H A R M O N I O U S S O C IAL IN T E R A C T I O N B E T W E

1

Muslim dalam membangun toleransi

beragama. Terdapat tiga bentuk kegiatan

yang dilakukan Umat Hindu dan Muslim

untuk bisa hidup harmonis yang dilandasi

oleh sikap ”menyama braya yaitu

kegiatan parahyangan, pawongan dan

palemahan.

DAFTAR PUSTAKA

Arifin, Syamsul. “Konstruksi Wacana

Pluralisme Agama di Indonesia”

dalam Jurnal … vol …, hal. 223.

Bogdan, R. C. dan Biklen, S. K. 1998.

Qualitative Research In Education:

An Introduction to Theory and

Methods. Boston: Allyn and Bacon.

Bulac, Ali. The Medina Document, dalam

Charles Kurzman Liberal Islam.

New York: Oxford University.

1998.

-------------. 2011. Metode Penelitian

Kualitatif. Surabaya:Jenggala

Pustaka Utama

Fatchan, A. 2013. Metode Penelitian

Kualitatif. UM Press

Gatra. 2013. Merajut Kerukunan Nusantara.

Agustus 2013.

Kusumaatmaja, S. Dimensi Birokrasi Dari

Integrasi Nasional: Tinjauan

Empiris. Dalam Integrasi Nasional,

Teori Masalah dan Srategi. Jakarta:

Ghalia Indonesia.

Putera,. 1981. Cudamai: Kumpulan Kuliah

Adat Agama Hindhu. Denpasar:

UD. Seraya.

Rahman, Budhy Munawar. 2001. Islam

Pluralis. Jakarta: Paramadina..

Soekarno, 1965. Di Bawah Bendera Revolusi

Djilid Pertama. Djakarta: Panitya

Di Bawah Bendera Revolusi.

Soebandi, K.T. 1983. Sejarah Pembangunan

Pura-Pura di Bali. Denpasar: CV.

Kayumas

Spreadly, James P. 1980. Participant

Observation. New York:

HoldRinehart and Winston.

Widya. 1981. Corak Kerakyatan Masyarakat

Desa Adat. Denpasar: Warta Hindu

Dharma, Nomor 163

-------------, 1979. Kitab Weda. Jakarta.

Departemen Agama Republik

Indonesia.