lp2m.um.ac.idlp2m.um.ac.id/.../2014/10/dewa-agung-g-a_artikel.docx · web view“menyama braya”...
TRANSCRIPT
1
“MENYAMA BRAYA” (BROTHERHOOD)AS A HARMONIOUS SOCIAL INTERACTIONBETWEEN HINDUS AND
MUSLIMS IN BANGLI REGENCY, BANGLI
ABSTRACTBasically, all religions sunch as Islam, Christianity, Hinduism, Buddhism and Konghuchu
never teach their followers to maltreat the followers of the other religion. Unfortunately, however, the fact that the majority, which teaches peace is frequently used to legitemate the attempts its folloers make to disturb and even eleminate tehe folloers of the religions, which are usually the minorities; its is frequently used to show hostile attitude to the followers of the religion. That can be understood as Indonesia as is a multi cultural country where every religion has its followers. Therefore, solutions be sould be sought for to antipate what was described above. In Bangli Regency, there is a Muslim community which exists next to the Hindu communities. Qualitativly, there are not many Muslim; however, althoug they live nex to the Hindu communities, they live peascfully. Every zctivity, including art activity, can be properly ferformed and without anxiety, as implied by the philosophy of Tri Hita Karana.
Qualitative approuch was employed in the presen study with a case studi design. It was expected that the present stydy would lead to theory which might be generally and widely applied to the case of harmonious relation among the folloers of diffrent religions, especiallly the Hindus and Muslims. In this present study, an obsevational case study and multi site design was used, meaning that the researcher was present at the residences whre Muslims live and which are located at several villages in Bangli Regency to observe more closely what they did to be tolerant of the Hindus as the mayority. Such a method design was used to analyze a phenomenon of religious tolerance at different places. The data were collected several times and were analyzed to form a temporary therory.
Keywords: Harmoniuos Social Interaction, Manyama Braya, Tri Hita Karana, Hindus-Muslims, State Integrity
PENDAHULUAN
Salah satu problem besar yang dihadapi
bangsa Indonesia belakangan ini adalah
munculnya pelbagai masalah yang menjurus
kepada disintegrasi bangsa, dimana salah satu
faktor pemicunya adalah konflik yang
bernuansa agama. Setiap agama, baik Islam,
Kristen, Hindu, Budha dan Kongfuchu pada
dasarnya tidak pernah mengajarkan
umatnya berbuat aniaya terhadap umat lain.
Tetapi sayangnya, agama yang mengajarkan
perdamaian tak jarang dijadikan legitimasi
untuk mengganggu, memusuhi bahkan
memusnahkan umat lain.
Dalam konteks Indonesia, konflik antar
umat beragama apakah antara umat Islam
dengan Kristen (Ambon dan Poso), antar umat
Islam (kasus Sampang dan Jember) adalah
salah satu bukti nyata bahwa ajaran agama
dijadikan sebagai alat pembenar bagi
pemeluknya untuk melakukan tindakan
permusuhan dan pembunuhan terhadap
pemeluk agama atau aliran agama lain.
Kenyataan ini jelas sangat bertentangan
dengan esensi ajaran agama itu sendiri yang
selalu mengajarkan cinta kasih dan
perdamaian. Contoh konflik bernuansa agama
antara Islam dan Kristen misalnya yang terjadi
di Ambon dan Poso, tidak menutup
2
kemungkinan bisa terjadi pada agama-agama
yang lain, misalnya antara Islam dan Hindu,
Islam dan Budha, serta Kristen dengan Hindu
atau Kristen dengan Budha. Hal ini bisa
difahami mengingat masyarakat Indonesia
adalah bersifat majemuk dengan pemeluk
agama yang beragam. Belum lagi perbedaan
suku dan ras, bisa jadi faktor ini juga
berpotensi memperkeruh suasana konflik
agama. Namun demikian, kemungkinan diatas
bisa jadi tidak terwujud apabila masyarakat
dan bangsa Indonesia mampu menumbuhkan
sikap toleransi diantara umat beragama.
Jika dilihat dari potensi konflik, menurut
McGuire (2009) sebenarnya konflik agama di
Indonesia tidak hanya antara Islam dan
Kristen, dalam masyarakat Hindu menyimpan
potensi konflik yang tidak kecil. Pasca ledakan
bom Bali tahun 2002 yang menghancurkan
ekonomi Bali, terdapat perkembangan yang
mengkhawatirkan kehidupan beragama, yakni
tumbuhnya kelompok milisi yang disebut
dengan Pecalang. Kelompok ini pada
awalnya adalah polisi tradisional yang
menjaga keamanan upacara adat/agama,
namun dalam perkembangannya mereka juga
melakukan ”sweeping” terhadap orang-
orang pendatang yang tidak mempunyai Kartu
Tanda Penduduk (KTP) atau Kartu Identitas
Pendududuk Musiman (KIPEM) yang sah.
Sementara itu, para pendatang yang rata-rata
berasal dari Jawa (luar Bali), mereka
adalah pemeluk agama Islam. Kondisi
inilah yang berpotensi menciptakan konflik
agama antara Islam dan Hindu di Bali, bukan
hanya dengan masyarakat Islam yang
pendatang tetapi juga dengan masyarakat Islam
asli Bali.
3
Dalam kurun beberapa tahun belakangan
kekerasan atas nama agama sering mewarnai
kehidupan bangsa Indonesia. Apakah itu
muncul sebagai akibat hubungan antar umat
beragama yang tidak dibarengi sikap toleran,
atau sengaja diciptakan untuk mendukung
kepentingan kelompok tertentu. Jika ditelaah
lebih dalam, sesungguuhnya konflik antar
agama lebih banyak disebabkan faktor
ekonomi dan faktor politik, di samping juga
adanya usaha sengaja dari kelompok yang
ingin mempertahankan atau meraih status
sosial yang lebih baik. Dalam rangka
untuk mengantisipasi berkembangnya konflik
yang lahir dari perbedaan agama ataupun
konflik yang sengaja diciptakan atas nama
Tuhan, salah satu cara yang sangat efektif
adalah menciptakan hubungan yang harmonis
antar umat beragama dengan mengembangkan
sikap toleran di antara mereka. Dan apabila
konflik agama tidak diberikan perhatian serius
dari semua pihak, maka bangsa Indonesia akan
menghadapi persoalan besar, yakni
disintegrasi bangsa dan carut marutnya NKRI.
Di Kabupaten Bangli, Bali terdapat
kantong-kantong komunitas muslim yang
minoritas diantara umat Hindu yang
mayoritas. Mereka sudah lama tinggal di
daerah tersebut tetapi sampai saat ini dapat
hidup rukun dan saling menghargai yaitu di
Desa Sidembunut dan Bebalang, Kecamatan
Bangli, Desa Sudihati dan Dusun Angan
Sari, Desa Kutuh di Kecamatan Kintamani.
Kabupaten Bangli adalah daerah
pegunungan, tidak seperti delapan
kabupaten/kota yang ada di Propinsi Bali
lainnya (Kabupeten Samarapura,
Ampalapura,
4
Singaraja, Badung, Gianyar, Jembrana,
Tabanan dan Kota Denpasar). Kedelapan
kabupaten/kota tersebut secara geografis lebih
terbuka sehingga perkembangannya lebih maju
disegala bidang yang berdampak munculnya
keberagaman komunitas. Kabupeten Bangli
jaraknya lebih kurang 50 km dari Denpasar
namun demikian sudah terdapat komunitas
muslim yang minoritas yang dapat hidup
rukun dengan mayoritas Hindu. Inilah
keunikan dari penelitian ini sehingga bisa
dikatakan lepas dari pengamatan para peneliti,
sepengetahuan peneliti sampai saat ini belum
pernah ada yang meneliti keunikan ini. Model
keharmonisan biasanya dibuat dari masyarakat
yang konflik untuk menemukan solusi
mengakhiri konflik, tetapi dalam penelitian ini
mencoba memotret interaksi sosial
harmonis yang sudah dilakukan dalam waktu
lama yang kemudian dibuatlah model
keharmonisan. Dengan demikian model yang
dihasilkan merupakan rekonstruksi kehidupan
harmonis antara umat Muslim yang minoritas
dengan Hindu yang mayoritas. Dan inilah
yang menarik untuk diteliti sehingga dapat
dipakai sebagai rujukan dalam
mempertahankan integritas bangsa.
METODE
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif dengan rancangan studi
kasus. Rancangan studi kasus dapat digunakan
untuk pengembangan teori yang diangkat dari
sebuah latar penelitian (Bogdan & Biklen,
1998). Rancangan ini diharapkan dapat
menghasilkan teori dengan generalisasi lebih
luas dan lebih umum penerapannya untuk
kasus harmonisasi hubungan antar umat
beragama, khususnya umat Islam dan Hindu.
Dalam penelitian studi kasus ini
digunakan rancangan studi kasus
observasional dan multi situs, dimana peneliti
akan hadir di daerah kantong-kantong
masyarakat Hindhu yang terdapat di
Kabupaten Bangli untuk melihat lebih dekat
bagaimana mereka membangun toleransi
beragama dengan masyarakat lain. Rancangan
metode tersebut digunakan untuk menelaah
sebuah fenomena toleransi beragama di
berbagai tempat yang berbeda. Dalam
pelaksanaannya dilakukan beberapa kali
pengumpulan data dan hasilnya dianalisis
sehingga tersusun teori sementara.
HASIL
Dari hasil pengataman di lapangan dan
hasil wawancara kepada informan, ternyata
terdapat bentuk-bentuk kegiatan yang
dilakukan secara bersama-sama yang
menyebabkan terbangunnya perilaku harmoni
antara umat Muslim dan Hindu di Kabupaten
Bangli. Ini sebagai bentuk kesadaran, niat, dan
komitmen untuk bersatu merupakan kunci
untuk hidup berdampingan antar penganut
agama yang berbeda, sehingga memunculkan
rasa kebangsaan yang sejati (Soekarno,
1965:3-4).
Interaksi yang harmomis tersebut
didasarkan kearifat lokal yaitu Tri Hitakarana
yang meliputi 1) kegiatan parahyangan, 2)
kegiatan pawongan, dan 3) kegiatan
pelemahan. Karena itu di bawah ini secara
5
berturut-turut akan dipaparkan ketiga kegiatan
tersebut yang menyebabkan mereka bisa hidup
harmonis yaitu;
1. Kegiatan Parahyangan
Di Kabupaten Bangli kegiatan
parahyangan yang paling nampak adalah
terdapat masjid yang cukup besar dan megah
yang berada di tengah-tengah kota,
bernama Masjid Agung Bangli. Masjid ini
sebagai tempat beribadah Umat Muslim yang
ada di Kabupaten Bangli, baik peribadatan
saat hari- hari besar bagi Umat Muslim dan
bersifat rutin sehari-hari. Begitu juga di
tempat yang lain seperti Di Desa
Sidembunut, Desa Bebalang, Kecamatan
Bangli dan Desa Sudihati dan Desa Kutuh
di Kecamatan Kintamani terdapat peribadan
dalam bentuk langgar atau mushola. Uniknya
terdapat Mushola yang menggunakan ornamen
atau ukiran khas Bali, seperti yang terdapat di
Desa Sidembunut.
Mushola di Desa Sidembunut (Dokomen
Pribadi, 2013)
Bukti lain yang menunjukkan adanya
sentuhan parahyangan antara Umat Muslim
dan Hindu adalah keberadaan Pura Langgar
atau dikenal juga denga Pura Jawa yang
terdapat di Desa Bunutin. Seperti
yang
6
dikatakan oleh pengampu Pura Jawa atau Pura
langgar di Desa Bunutin. Pura ini dipercaya
sebagai tempat peribadatan bukan saja oleh
umat Hindu, tetapi juga oleh umat Muslim.
Hal ini dibuktikan pada waktu-waktu tertentu
dikunjungi oleh umat Muslim bukan saja yang
berasal dari Bali, tetapi juga dari luar Bali.
Menurut informan setempat mengatakan;
“umat Islam yang datang, mereka disini sembahyang/sholat dan bagi saya tidak apa-apa karena itu bagian dari sifat saling menghargai. Kamisediakan tempat untuk sembahyang,meskipun ada perbedaan arah. Mereka (umat Islam) sembayangnya menghadap ke barat (baca: kiblat) sehingga harus membelakaingi pura. Kalau kami sembahyangnya menghadap ke timur. Bahkan pernah terdapat orang Islam yang datang membawa sesaji dan berpakaian adat layaknya orang Bali. Bagi saya tidak apa-apa yang saling menghargai dan menghormati”.
Berdasarkan kunjungan peneleliti di
pura ini, disediakan tempat sholat bagi umat
Muslim yang datang dan tempat wudlu sebagai
wujud toleransi dan keberterimaan umat Hindu
terhadap umat Muslim di pura ini. Hal
semacam ini sudah terjadi jauh sebelumnya
yaitu sekitar abad ke-11 seperti yang terdapat
pada Lontar Usana Bali. Disebutkan
didirikannya Khayangan Tiga oleh
Mpu Kuturan sebagai upaya untuk
menyatukan berbagai sekte yang ada, sehingga
dengan cara ini merupakan upaya sosiologis
dan religius untuk mengikat masyarakat Bali.
Kedatangan beliau dengan kebijaksanaan
dapat memberikan kebahagian orang Bali
hubungan antar sekte sangat rukun (Soebandi,
1983:99-100). Inilah yang menyebabkan setiap
7
orang Bali patuh terhadap ajaran Mpu Kuturan
tersebut, sehingga secara organisatoris sangat
mengikat terhadap setiap orang Bali yang
beraga Hindhu dalam segala sendi
kehidupannya (Geertz, 1980:33). Sesuai
dengan namanya “Pura Langgar” pasti akan
mengingatkan pada dua kata sebagai
representasi dari tempat peribadatan untuk
masyarakat Hindu (Pura) dan Islam (Langgar).
Karenanya tempat ini terlihat adanya
perpaduan seni arsitektur Bali dan Islam.
Pura Dalem Langgar (Dokumen Pribadi,
2013)
Di Desa Kutuh, kecamatan Kintamani
terdapat kegiatan parahyangan yang mereka
lakukan bersama-sama seperi upacara
selamatan, upacara minta hujan di musim
kering. Bagi wanita Hindu yang kawin dengan
laki-laki Islam mereka melakukan prosesi
ritual tertentu. Diawali dengan upacara di
sanggah/mrajan sebagai bentuk
mepamit/mohon ijin pamit kepada leluhur
bahwa mereka akan ikut suami karena harus
beragama Islam. Begitu juga sebaliknya
wanita Islam yang kawin dengan laki-laki
Hindu saat Idul Fitri mereka membawa
sesajen/banten ke Masjid, hanya saja bedanya
adalah tidak terdapat canang (rangkaian janur
yang berisi bunga). Bila ada upacara di pura,
mereka ikut berpartisipasi seperti mamasak
bersama (mebat), memainkan gambelan
(megambel) dan ngaturang atos. Ini
dilakukan karena mereka punya prinsip
“tujuan agama adalah sama, hanya caranya
yang berbeda”.
Secara umum hubungan antara umat
Muslim dan Hindu di Bali dapat dikatakan
sangat baik. Hal ini dapat dilihat dari
pemberian ruang yang cukup longgar bagi
umat Islam untuk menjalankan rangkaian
ibadahnya. Misalnya dalam rangkaian shalat
jama’ah di masjid, umat Islam diberi
kelonggaran untuk mengumandangkan suara
adzan dengan pengeras suara luar. Tidak
hanya itu masyarakat muslim juga bisa
menyuarakan khutbah jumat dengan pengeras
luar. Bahkan sampai saat ini jumlah majlis
ta’lim di wilayah Bangli berjumlah 23
lembaga dan semuanya aktif tidak hanya
papan nama. Dapat dipastikan untuk wilayah
Bangli kalau ada seorang anak yang beragama
Islam yang berumur lebih dari 15 tahun
mereka tergabung dalam majlis ta’lim. Sejauh
pengamatan peneliti majlis taklim di Bangli
banyak diikuti oleh kalangan muda, ini sangat
berbeda dengan daerah lain yang banyak
diikuti oleh kalangan tua.
Saat hari-hari besar Islam peranan
pecalang besar dalam menjaga kemanan.
Apalagi Hari Raya Nyepi jatuh pada hari
Jumat dan bersamaan dengan Hari Raya Idul
Fitri. Dalam hal ini para pecalang berperan
penting mengantarkan umat Muslim pergi ke
mesjid saat sholat id yang bersamaan saat itu
umat Hindu tidak boleh keluar rumah untuk
melaksanakan Catur Bhrata Panyepian (amati
8
geni, amati lelungan, amati karya dan amati
lelanguan). Saat Hari Raya Nyepi umat
muslim juga tidak keluar rumah, seperti umat
Hindu lainnya. Bila terdapat kegiatan di pura,
Umat Muslim ikut meramaikan dengan
berjualan, ikut bazar dan memberikan
sumbangan moril maupun materiil
semampunya. Saat Hari Korban/Idul Adha
umat Hindu ikut berpartisipasi berupa
pemberian sumbangan kambing atau sapi
(peneliti lihat saat hari Korban memang ada
seekor sapi sumbangan dari umat Hindu).
Bahkan salah satu tokoh Muslim mengatakan
hari korban identik dengan upara mecaru di
Bali (upara korban untuk bersih desa dan
persembahan untuk buta menurut umat Hindu
untuk menjaga keseimbangan antara bhuwana
agung dan ali/makro kosmos dan mikro
kosmos).
2. Kegiatan Pawongan
Kegiatan pawomgan yang dimaksud
adalah segala kegiatan yang berhubungan
langsung maupun tidak langsung yang bersifat
horizontal sebagai manusia yang tidak bisa
hidup tanpa bantuan orang lain, terkait dengan
pelaksanaan nilai-nilai gotong royong. Hal ini
dilakukan oleh Umat Muslim di Kabupaten
Bangli sebagai wujud dari sikap menyame
braya.
Spanduk Ucapan Hari Raya Idul Fitri oleh PHDI Bali di Depan Masjid Agung
Bangli (Dokumen Pribadi, 2013)
Sesuai dengan pandangan Widnya
(1981:13), sifat gotong royong dilandasi oleh
filsafat segilik, seguluk dan sebayan taka,
artinya sebagai warga masyarakat harus
bersatu, mempunyai tujuuan yang sama dan
suka maupun duka dirasakan bersama.
Petugas keamanan memberikan ucapan Selamat Hari Raya Idul Fitri
(Dokumen Pribadi, 2013)
Dan cita-cita tolong menolong,
merupakan dasar kebersamaan (kolektivitas)
dan dasar perekonomian berkoperasi. Adanya
suatu corak kerakyatan yang berciri
kekeluargaan dalam masyarakat desa adat,
merupakan suatu realita adanya. Dalam desa
adat, setiap anggota mempunyai kemerdekaan
(liberty), persamaa (equality) dan persauda-
raan atau kekeluargaan (fraternity). Dan ini
merupakan dasar pokok pada kehidupan
persekutuan dalam masyarakat desa adat di
Bali, khususnya di Kabupaten Bangli. Desa
Adat bagaikan tubuh manusia, satu bagian
tidak melaksanakan fungsinya dengan baik
maka akan beakibat pula bagi fungsi-fungsi
lainnya, sehingga akan menjadi manusia tidak
normal (Putra, 1981:105-1060.
9
Saling memberikan ucapan Selamat diHari Raya Idul Adha
(Dokumen Pribadi, 2013)
Berdasarkan hasil wawancara dari
beberapa informan, hubungan antara umat
Muslim dan Hindu di Kabupaten Bangli
sampai sekarang sangat baik, saling
menghormati sebatas kegiatan-kegiaatan
kemanusiaan, seperti kegiatan
kematian/ngaben. Mereka datang mejenukuan
(datang ke tetangga dalam keadaan senang
atau susah dengan membawa beras, gula atau
kebutuhan lainnya), begitu juga kalau ada
yang meninggal yang Hindu ikut datang
mengucapkan berduka cita. Bentuk saling
menghargai terlihat juga saat mereka
sholat, mereka tidak menggunakan pengeras
suara/dikecilkan bila masyarakat Hindu ada
upacara di pura, sebagai bentuk saling
pengertian dan menjaga perasaan. Pernah
terjadi bersamaan antara Hari Raya Nyepi dan
Idul Fitri, umat Muslim tidak menggunakan
pengeras suara sehingga tidak mengganggu
kekusukan umat Hindu menjalanan Catur
Bhrata Panyepian. Saling mengucapkan
selamat hari raya selalu dilakukan, bahkan
saling antar mengantar makanan /ngejot bila
hari raya baik saat Idul Fitri maupun Hari
Raya Nyepi. Kebersamaan terlihat juga saat
kegiatan desa adat Kintamani
melakukan
Dasa Wisma, lomba-lomba, menyambut
bupati, bahkan mereka diberikan kesempatan
pertama menampilan kesenian Islam
/terbangan baru diikuti oleh kesenian
Bali/gong.
Kawin campur sebagai bentuk
hubungan antar umat Muslim dan Hindu sudah
lama dilakukan, terutama di Kecamatan
Kintamani. Walaupun pada awalnya
mengalami kendala, namun senyampang
dengan perjalanan waktu mereka saling
mengerti dan saling dapat menerima. Sehingga
dalam satu keluarga bisa terdapat ada yang
beragama Hindu dan Islam. Nampaknya
mereka sudah mulai memahami akan makna
pluralisme bahwa pluralisme harus dipahami
sebagai pertalian sejati kebhinekaan dalam
ikatan-ikatan keadaban (genuine angagement
of diversities within th bond of civility)
(Rahman, 2001:31).
Pemberian ucapan selamat hari raya
sudah biasa mereka lakukan. Begitu juga
dengan peringatan hari-hari besar nasional dan
hari-hari besar Islam. Mereka selalu
berpatisipasi membaur dengan masyarakat
setempat sejak mempersiapkan sampai dengan
pelaksanaannya seperti memperingati HUT
RI, saat dilaksanakan lomba MTQ. Di
Kabupaten Bangli peran serta masyarakat dan
pecalang sangat besar untuk mensukseskan
acara tersebut terutama di sektor keamanan
bersama-sama dengan aparat kepolisian. Ini
artinya sudah saling menerima akan
perbedaan, ini sesuai dengan pandangan Arifin
(2007:223) ada dua hal yang ditekankan dalam
pluralisme agama. Pertama, pengakuan
1
sekaligus penerimaan terhadap
keragaman
1
termasuk dalam agama. Hal ini juga sudah
dicontohkan oleh Rasul dengan segala sikap
toleransinya bersama dengan sahabat
Muhajirin dan Anshar serta tokoh-tokoh Non
Muslim saat itu menelorkan butir-butir
kerjasama dan kesepakatan dalam Piagam
Madinah yang terdiri dari 46 butir. Sebagai
tokoh sentral, Muhammad berupaya
merangkul seluruh kekuatan tanpa melihat
latar belakang ras dan agama mereka untuk
membangun city-state yang baru (Bulac,
1998:203). Manusia dihadapan-Nya adalah
sama yang membedakan adalah amal dan
perbuatannya. Dalam Yayur Weda XL.6 juga
mengatakan “dia yang melihat seluruh
makhluk dalam dirinya sendiri dan
menemukan refleksi dari dirinya sendiri dalam
semua makhluk tidak pernah memandang
rendah siapapun”.
Terdapat harapan dari beberapa
informan yang dapat peneliti tangkap yaitu
perlu ada FKAUB di tingkat kelurahan tidak di
tingkat kota saja dalam rangka mengatasi
masalah toleransi antar umat beragama. Di
Tingkat kelurahan merupakan tingakt akar
rumput, karena mereka yang di tingkat inilah
yang tahu perisis tentang interaksi di berbagai
hal. Ini berarti membantu pemerintah kota
dalam mengatasi masalah-masalah yang tidak
diinginkan yang menyangkut SARA.
Perkawinan umat Muslim melalui KUA, tetapi
sosial kemasyarakatan mereka berkordinasi
dengan tokoh adat setempat (Hindu) sebagai
permakluman. Hidup di dalam negara yang
plural diberbagai hal sangat dihindari adanya
diskriminasi, berbagai aturan yang dibuat oleh
pemerintah hendaknya menjadi pedoman
bersama. Kalau ada hal-hal yang mengarah
pada SARA para pemuka masyarakat, agama
yang terhinpun dalam FKUB segera
melakukan kordinasi bahkan harus memanggil
oknum yang bermasalah. Ini sebagai antisipasi
supaya tidak menjadi masalah besar, walaupun
awalnya masalah oknum tetapi nantinya akan
menjadi SARA. Tafsir teks dalam konteks
zaman ini, para pemuka agama akan mampu
keluar dari kaca mata eksklusif dan berubah
menjadi inklusif. Pemahaman yang lebih
inklusif inilah yang seharusnya dimiliki oleh
para pemuka agama di negara kita. Dengan
pemahaman seperti ini maka dialog agama
akan lebih berkembang menjadi dialog
kehidupan.
Saling menyadari sebagai pihak
mayoritas dan minoritas, sehingga seharusnya
diketahui apa yang boleh dan tidak boleh
dilakukan. Sebagai minoritas tidak selalu
berpikir diskriminatif tetapi apa seharusnya
dilakukan sebagai warga minoritas, dimana
bumi dipijak, disitulah langit dijunjung. Secara
umum dalam kegiatan pawongan mereka
saling membaur. Kalau ada kegiatan-kegiatan
desa mereka juga dimintak berpartsisipasi spt;
sumbangan dana, ikut dalam seka taruna,
membuat ogoh-ogoh. Semua kegiatan ini
bersifat sentral untuk menyatukan semua
perbedaan sehingga masyarakat bisa bersatu.
Terdapat upaya para tokoh masyarakat dalam
menghindari adanya konflik di sektor akar
rumput yaitu selalu melakukan
kunjungan/silahtutrahmi ke umat Muslim
terutama ke dalam kegiatan masjid-masjid
sebagai bentuk menerima keberadaan mereka
yang minoritas yang berada dalam mayoritas.
1
3. Kegiatan Palemahan
Menurut Warta Hindhu Dharma
(1980:15), nampaknya desa adat merupakan
perkembangan dari desa perdikan atau sima,
merupakan desa khusus, bersifat otonomi
berdasarkan pada Agama Hindhu. Desa adat
yang berarti tempat kejujuran (desa= tempat,
adat= kejujuran) dalam rangka mencapai
keselamatan lahir dan bathin. Untuk
mewujudkan semua ini, perlu adanya
keseimbangan dalam hidup salah satunya
adalah keseimbangan dengan palemahan.
Maksudnya manusia dimanapun mereka
berada tidak bisa lepas dari unsur tanah yang
dipijaknya.
Masjid bersebelahan dengan tempat peribadatan Umat Hindu di Desa Kintamani
(Dokumen Pribadi, 2013)
Menjaga keseimbangan bhuawana
agung dan bhuwana alit sangat dipegang oleh
masyarakat Bali untuk mencapai
keharmonisan hidup. Begitu juga dengan umat
Muslim yang tinggal di Kabupaten Bangli
bersama-sama dengan umat Hindu
melaksanakan prinsip-prinsip ini dalam
rangka mencapai keharmonisan hidup.
Umat Muslim yang tinggal di
Kabupaten Bangli pada umumnya adalah
pendatang, hanya saja waktu kedatangannya
berbeda. Seperti yang terdapat di Kampung
1
Sudihati diperkirakan datang tahun 1950-an,
Dusun Angan Sari tidak diketahui secara pasti,
karena itu mereka sudah menyatu dengan Bali
dengan kebudayannya. Di kedua daerah inilah
mata pencaharian mereka banyak sebagai
petani atau berkebun dan sebagai pedagang.
Di Desa Sidembunut dan Di Desa Bebalang
kedatangan jauh lebih belakang sehingga mata
pencaharian mereka pada umumnya sebagai
pedagang dan pegawai negeri.
Berdasarkan ceritra masyarakat
di Kintamani yang sempat peneliti rekam
bahwa kedatangan orang muslim
diperkirakan di tahun 1950-an. Mereka
terlantar dan sebatang kara, karena kondisi
tersebut terdapat sesepuh setempat/Kintamani
yang merasa terpanggil untuk membantu
secara iklas. Mereka dibantu dan diberilah
sebidang tanah untuk ditempati. Tanah
tersebut masih mereka tempati sampai
sekarang secara turun temurun dan sekarang
berstatus sebagai tanah adat. Tanah yang
mereka tempati mereka fungsikan sebagai
tempat tinggal, tempat usaha termasuk untuk
tempat ibadah/mesjid dan tempat ini juga
didirikan lembaga pendidikan Islam. Karena
tanah tersebut adalah tanah adat maka sampai
sekarang tidak dapat disertifikatkan sebagai
hak milik. Sebagai kompensasi akan hal
tersebut mereka mempunyai beberapa
kewajiban sebagai tanda ikatan menyame
braye yaitu membantu masyarakat yang
beragama Hindu setempat baik moril maupun
materill yang tidak memberatkan
dalam waktu-waktu tertentu. Diantaranya,
mereka membayar sejumlah uang setiap tahun
sekali dengan jumlah tertentu yang tidak
memeratkan kepada desa adat setempat.
1
Makam Umat Muslim berdampingan dengan Umat Hindu di Desa Bebalang
(Dokumen Pribadi: 2013)
Ini sebagai bentuk kebersamaan
diantara mereka sudah terpatrun, seperti yang
dikatakan oleh Sarwono Kusumaatmaja
(1996:50-52) diperlukan penciptaan situsi
interaksiyang harmonis sebagai berikut:
1. Strategi kemitraan kerja antara
birokrasi dan aparatur dengan
masyarakat luas khususnya
menyangkut operasionalisasi
sektor-sektor negara kearah
integrasi nasional.
2. Bentuk-bentuk keterkaitan antar
berbagaiunsur keragaman
masyarakat harus dihindarkan dari
pragmatisme ekonomi, terutama
pragmatisme politik.
3. Warga birokrasi dan aparatur
selaku pemegang mandat
konstitusi harus menyelenggarakan
administrasi pemerintahan negara
memberikan yang wajar terhadap
setiap prakasra kemajuan
masyarakat.
4. Pengakuan terhadap keragaman
latar belakang sosio-kultural dan
tidak perlu diikutin oleh
pandangan dikotomis yang
berlebihan.
5. Lapisan-lapisan strategis dan elite
masyarakat harus lebih giat
melakukan komunikasi politik,
baik antara mereka dengan
pemerintah, maupun diantara
mereka sendiri.
6. Rintisan kebersamaan atau
persaudaraan baru diantara
segenap sumber daya nasional
perlu ditingkatkan pada yang lebih
masif dalam bidang yang lebih
strategis.
7. Perlu ada kesadaran bahwa
masalah pengembangan wawasan
kebangsaan dalam kerangka
integrasi nasional bukanlah
monopoli birokrasi dan aparatus
negara. Semua pihak atau semua
unsur keragaman masyarakat
mempunyai kesempatan dan
peluang yang sama untuk
mengkonkretkan komitmen
nasional dengan cara dan lewat
pengabdian mereka masing-
masing.
Berdasarkan pengamatan sementara
peneliti, mereka juga melakukan proses
pengolahan tanah sampai panen mengikuti
langkah-langkah seperti Umat Hindu yang ada
disekitarnya yaitu menggunakan waktu-waktu
yang tepat berdasarkan sistem penanggalan
Bali. Ini dilakukan sebagai upaya menciptakan
keseimbangan antara makrokosmos (alam
sekitar) dengan mikrikosmos (manusia).
1
Dengan demikian akan tercipta kehidupan
yang seimbang sehingga tercipta
keharmonisan hidup dan keselamatan lahir
dan batin.
Penentuan lokasi untuk pembangunan
tempat ibadah sebagai tempat suci baik bagi
Umat Muslim maupun Hindu pasti
berdasarkan pertimbangan tertentu. Bukan
saja karena letak yang strategis, tetapi juga
faktor keseimbangan antara makrokosmos dan
mikrokosmos dengan harapan tempat itu
mendatangkan ketenangan dan keseimbanga
lahir dan batin. Karena pertimbangan itu,
tidaklah menjadi masalah walaupun tempat
ibadah Umat Muslim (Masjid Agung) dan
Pura sebagai tempat ibadah Umat Hindu
berdampingan. Hal ini terjadi di Banjar
Blungbang dan Desa Kintamani terdapat
Masjid dan Pura/Mrajan yang berdekatan,
bahkan hanya dibatasi oleh tembok saja.
Mereka dapat hidup dan beribadah dengan
kusuk dalam rangka mencapai keselamatan
lahir dan bathin. Hal ini tidak mungkin terjadi
tanpa dilandasi oleh rasa menyame braye yang
dilandasi oleh rasa ikhlas lahir dan batin.
Kegiatan palemahan nampak juga
dengan adanya tempat pemakaman untuk
Umat Muslim seperti di Desa Bebalang.
Tempat pemakaman Umat Muslim
berdampingan dengan pemakam umat Hindu
dengan menggunakan tanah wakaf. Secara
umum jenis keharmonisan mereka dalam
ketiga bentuk kegiatan tersebut dapat
dilihat dalam bagan di bawah ini.
KESIMPULAN
Berdasarkan hasil penelitian dapat
disimpulkan sebagai berikut:
1. Umat Islam dan Hindu di Kabupaten
Bangli dapat hidup secara berdampingan,
rukun dan sampai saat ini saling
pengertian yang dilandasi oleh nilai-nilai
menyame braye. Penganut agama Islam di
Kabupaten Bali adalah minoritas, tetapi
ini tidak berarti termajinalisaikan atau
terintimidasi oleh mayoritas dalam hal ini
umat Hindu. Kehidupan menyame braye
ini sudah terpatrun cukup lama karena
adanya pemahaman yang baik terhadap
ajaran agama yang dianut dan kearifan
nilai-nilai lokal yang ada.
2. Bentuk hidup yang harmonis terlihat
diberbagai segi kehidupan termasuk di
bidang seni, arsitektur, hal ini terlihat dari
rumah-rumah tempat tinggal dan
peribadan seperti pada Mushola di Desa
Sidembunut dan Pura Dalem Langgar di
Desa Bunutin Kabupaten Bangli.
3. Kiat para tokoh Muslim dan Hindhu di
Kabupaten Bangli, Bali dalam
membangun kehidupan ”menyama
braya” sangat baik yang dilandasi oleh
pemahaman akan makna dari folosofi
desa pekraman, desa dinas. Lembaga
inilah difungsikan dengan baik dalam
segala aktivitasnya baik yang menyangkut
aktivitas keagamaan, interaksi sosial
maupun dalam pemanfaatan tanah sebagai
tempat tinggal, peribadatan maupun
tempat pemakaman.
4. Filsafat Tri Hitakarana menjadi dasar
mereka untuk bisa hidup”menyama
braya” antara masyarakat Hindu dan
1
Muslim dalam membangun toleransi
beragama. Terdapat tiga bentuk kegiatan
yang dilakukan Umat Hindu dan Muslim
untuk bisa hidup harmonis yang dilandasi
oleh sikap ”menyama braya yaitu
kegiatan parahyangan, pawongan dan
palemahan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Syamsul. “Konstruksi Wacana
Pluralisme Agama di Indonesia”
dalam Jurnal … vol …, hal. 223.
Bogdan, R. C. dan Biklen, S. K. 1998.
Qualitative Research In Education:
An Introduction to Theory and
Methods. Boston: Allyn and Bacon.
Bulac, Ali. The Medina Document, dalam
Charles Kurzman Liberal Islam.
New York: Oxford University.
1998.
-------------. 2011. Metode Penelitian
Kualitatif. Surabaya:Jenggala
Pustaka Utama
Fatchan, A. 2013. Metode Penelitian
Kualitatif. UM Press
Gatra. 2013. Merajut Kerukunan Nusantara.
Agustus 2013.
Kusumaatmaja, S. Dimensi Birokrasi Dari
Integrasi Nasional: Tinjauan
Empiris. Dalam Integrasi Nasional,
Teori Masalah dan Srategi. Jakarta:
Ghalia Indonesia.
Putera,. 1981. Cudamai: Kumpulan Kuliah
Adat Agama Hindhu. Denpasar:
UD. Seraya.
Rahman, Budhy Munawar. 2001. Islam
Pluralis. Jakarta: Paramadina..
Soekarno, 1965. Di Bawah Bendera Revolusi
Djilid Pertama. Djakarta: Panitya
Di Bawah Bendera Revolusi.
Soebandi, K.T. 1983. Sejarah Pembangunan
Pura-Pura di Bali. Denpasar: CV.
Kayumas
Spreadly, James P. 1980. Participant
Observation. New York:
HoldRinehart and Winston.
Widya. 1981. Corak Kerakyatan Masyarakat
Desa Adat. Denpasar: Warta Hindu
Dharma, Nomor 163
-------------, 1979. Kitab Weda. Jakarta.
Departemen Agama Republik
Indonesia.