laptut kelompok 2
DESCRIPTION
gyuTRANSCRIPT
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
memberikan limpahan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga kami dapat
menyelesaikan laporan tutorial berdasarkan hasil diskusi kami ini dengan tepat
waktu.
Di dalam laporan ini, kami membahas skenario dengan judul “Individu
dan Kebersamaan” yang berisikan mengenai prinsip dasar sistem limbik
meliputi anatomi dan fisiologi, selain itu skenario ini juga berisikan mengenai
sistem saraf otonom yang meliputi fungsi, penjalarannya, dan organ-organ yang
mengaturnya.
Demikian laporan ini kami susun dengan harapan semoga dapat
bermanfaat bagi mahasiswa kedokteran untuk memotivasi diri. Terimakasih
kepada semua pihak yang telah membantu untuk menyelesaikan laporan ini,
masukan dan kritikan sangat diharapkan untuk menyempurnakan laporan ini.
Mataram, 16 November 2012
(Kelompok Tutorial II)
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 1
DAFTAR ISI
Kata Pengantar............................................................................................... 1
Daftar Isi.......................................................................................................... 2
I. Pendahuluan
1.1 Skenario 24Blok 8................................................................................ 3
1.2 Mind Map............................................................................................. 4
1.3 Learning Objective............................................................................... 4
II. Pembahasan
2.1 Proses belajar sosial yang menimbulkan sifat agresifitas…………….. 5
2.2 Bagaimana individu dapat mempengaruhi ribuan orang…………….. 7
2.3 Faktor-faktor dari individu yang dapat mempengaruhi massa……….. 8
2.4 Faktor-faktor yang menyebabkan individu masuk kedalam massa….. 12
2.5 Peranan individu dalam massa……………………………………….. 20
2.6 Cara mengendalikan suatu massa……………………………………. 20
2.7 Faktor-faktor eksternal agresifitas…………………………………… 21
2.8 Proses psikologis individu dalam massa…………………………….. 27
2.9 Konflik dalam massa…………………………………………………. 28
Daftar Pustaka................................................................................................ 35
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 2
PENDAHULUAN
1.1 Skenario 4 Blok 8
” Individu dan Kebersamaan”
Apa yang dapat Saudara petik dari cuplikan kedua video tersebut?
Ilustrasi dari kedua cuplikan video diatas menggambarkan bagaimana satu
individu dapat mempengaruhi beberapa orang bahkan ribuan orang untuk
mengikutinya. Hal ini dapat terjadi karena proses dinamika gerakan massa,
yaitu penciptaan rasa kebersamaan. Tapi mengapa hal itu bisa terjadi? Apa
latar belakang yang mempengaruhi?
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 3
1.2 Mind Map
1.3 Learning Objective
1. Proses belajar sosial yang menimbulkan sifat agresifitas
2. Bagaimana individu dapat mempengaruhi ribuan orang
3. Faktor-faktor dari individu yang dapat mempengaruhi massa
4. Faktor-faktor yang menyebabkan individu masuk kedalam massa
5. Peranan individu dalam massa
6. Cara mengendalikan suatu massa
7. Faktor-faktor eksternal agresifitas
8. Proses psikologis individu dalam massa
9. Konflik dalam massa
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 4
I. Proses Belajar Sosial Yang Menimbulkan Sifat Agresifitas
Teori lain tentang agresi dalam lingkungan adalah teori belajar sosial.
Berbeda dari teori bawaan dan teori frustasi-agresi yang menekankan faktor-
faktor dorongan dari dalam, teori belajar sosial lebih memperhatikan faktor
tarikan dari luar. Teori belajar social mengungkapkan bahwa perilaku agresif
dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam lingkungan
kebudayaan setempat atau melalui media massa. Petterson, Littman & Bricker
(1967) menemukan bahwa pada anak-anak kecil, agresivitas yang
membuahkan hasil yang berupa peningkatan frekuensi perilaku agresif itu
sendiri. Rubin (1986) mengemukakan bahwa aksi terorisme yang tidak
mendapat tanggapan dari media massa tidak akan berlanjut. Jadi, ganjaran
yang diperoleh dari perilaku agresi tersebut. Demikian pula White &
Humphrey (1994) mendapatkan bahwa wanita-wanita yang agresif telah
mengalami sendiri perlakuan agresif terhadap dirinya, baik yang diperolehnya
dari orang tuanya, teman prianya, maupun pacarnya.
Ganjaran atau hukuman terhadap perilakuan agresif tidak perlu dialami
sendiri oleh pelaku. Seperti sudah dikemukakan dalam percobaan dengan
boneka Bo-bo telah membuktikan bahwa hanya dengan melihat rekaman
video anak bisa menjadi agresif atau tidak agresif, tergantung pada jenis film
yang dilihatnya dalam rekaman video tersebut (Bandura, Ross & Ross, 1961).
Bandura (1979) juga mengatakan bahwa dalam kehidupan sehari-hari pun
perilaku agresif dipelajari dari model yang dilihat dalam keluarga, dalam
lingkungan kebudayaan setempat atau melalui media massa. Penelitian-
penelitian di Indonesia juga membuktikan bahwa kenakalan remaja sangat
terkait dengan hubungan yang tidak baik antara orang tua dan anak (Ilahude,
1983) atau apa yang dilihatnya di rumah, sekolah, dan di kalangan teman
(Retnowati,1983; Sarifuddin, 1982). Walaupun demikian, tidak berarti bahwa
tidak ada penelitian yang memandang sebagai sesuatu yang tidak negative.
McCloskey, Figuerendo & Koss (1995) adalah pakar-pakar yang menemukan
bahwa tidak ada kaitan antara pengalaman agresi dan disfungsi keluarga pada
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 5
masa kanak-kanak dengan perkembangan agresivitas dan kesehatan mental
orang yang bersangkutan pada masa dewasanya. Jadi, kalaupun terjadi agresi,
menurut mereka hal tersebut bukan disebabkan oleh pengalaman masa lalu
atau kondisi kesehatan mental mereka yang kurang baik. Dengan demikian,
agresi dianggap hanya merupakan reaksi sesaat saja.
Proses-proses belajar sosial yang dapat menimbulkan perilaku
agresif:
1. Classical conditioning. Perilaku agresif terjadi karena adanya proses
mengasosiasikan suatu stimulus dengan stimulus lainnya. Contoh: pelajar
STM X yang sering tawuran dengan pelajar STM Y akan mengasosiasikan
pelajar STM Y sebagai musuh/ancaman sehingga mereka akan berperilaku
agresif (ingin memukul/berkelahi) ketika melihat pelajar STM Y atau orang
yang memakai seragam STM Y.
2. Operant Conditioning. Perilaku agresif terjadi akibat adanya reward yang
diperoleh setelah melakukan perilaku agresif tersebut. Reward tersebut
bersifat tangible (memperoleh sesuatu yang dia mau), sosial
(dikagumi/disegani oleh kelompoknya), dan internal (meningkatkan self-
esteem orang tersebut). Contoh: A sering berkelahi dan menganggu
temannya karena ia merasa disegani oleh teman-temannya dengan
melakukan tindakan agresif tersebut.
3. Modelling (meniru) . Perilaku agresif terjadi karena seseorang meniru
seseorang yang ia kagumi. Contoh: seorang anak kecil yang mengagumi
seorang petinju terkenal akan cenderung meniru tingkah laku petinju
favoritnya tersebut, misalnya menonjok temannya.
4. Observational Learning. Perilaku agresif terjadi karena seseorang
mengobservasi individu lain melakukannya baik secara langsung maaupun
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 6
tidak langsung. Contoh: seorang anak kecil memiting tangan temannya
setelah menonton acara Smack Down.
5. Social Comparison. Perilaku agresif terjadi karena seseorang
membandingkan dirinya dengan kelompok atau orang lain yang disukai.
Contoh: seorang anak yang bergaul dengan kelompok berandalan jadi ikut-
ikutan suka berkelahi atau berkata-kata kasar karena ia merasa harus
bertingkah laku seperti itu agar dapat diterima oleh kelompoknya.
6. Learning by Experience. Perilaku agresif terjadi karena pengalaman masa
lalu yang dimiliki oleh orang tersebut. Contoh: anak yang sejak kecil sering
mengalami perilaku agresif (berkelahi/dipukuli) cenderung akan menjadi
anak yang agresif (suka berkelahi).
II. Bagaimana Individu Dapat Mempengaruhi Ribuan Orang
.
Le Bon menyatakan bagaimanapun individu-individu yang berada
dalam massa, apapun pekerjaannya, karakteristiknya, inteligensinya, mereka
akan bereaksi mengikuti pemikiran kelompok dan menghasilkan perilaku
yang berbeda dengan perilaku saat mereka terpisah dari kelompok. Menurut
Le Bon adanya efek contagion yang menyebarkan emosi dan perilaku dari
satu kepala ke lainnya, sehingga menyebabkan individu-individu dalam
massa bereaksi dengan cara yang sama. Orang yang tergabung dalam suatu
massa akan berbuat sesuatu, yang perbuatan tersebut tidak akan diperbuat
bila individu itu tidak tergabung dalam suatu massa. Sehingga massa itu
seakan-akan mempunyai daya melarutkan individu dalam suatu massa,
melarutkan individu dalam jiwa massa. Seperti yang dikemukakan oleh
Durkheim bahwa adanya individual mind dan collective mind, yang berbeda
satu dengan yang lain. Menurut Gustave Le Bon dalam massa itu terdapat
apa yang dinamakan hukum mental unity atau law mental unity, yaitu
bahwa massa adalah kesatuan mind, kesatuan jiwa. Menurut Allport,
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 7
sekalipun kurang dapat menyetujui tentang collective mind tetapi dapat
memahami tentang pemikiran adanya kesamaan (conformity), tidak hanya
dalam hal berpikir dan kepercayaan, tetapi juga dalam hal perasaan (feeling)
dan dalam perbuatan yang tampak (overt behaviour).
Menurut teori dari Durkhum (mengenai teori subjektifisme) dan
Gustav Le Bon (mengenai teori objektivisme), yaitu sebagai berikut:
1. Subjektifisme teori ini menyatakan bahwa individulah yang
membentuk masyarakat dalam tingkah lakunya.
2. Objektifisme menyatakan bahwa masyarakatlah yang
menentukan tingkah laku dari suatu individu.
III. Faktor-Faktor Dari Individu Yang Dapat Mempengaruhi Massa
a. Memiliki Kharisma
Menjadi pemimpin itu tidak mudah. Tidak semudah yang
dibayangkan orang. Ia harus siap secara intelektual dan moral.
Karena ia akan menjadi figur yang diharapkan banyak orang /
bawahan. Perilakunya harus menjadi teladan / patut diteladani.
Seorang pemimpin adalah seseorang yang mempunyai kemampuan
diatas kemampuan rata-rata bawahannya. Singkatnya: seorang
pemimipin harus mempunyai karisma. Karakteristik pemimpin yang
punya karisma adalah:
1. Perilakunya terpuji
2. Jujur dan dapat dipercaya
3. Memegang komitmen
4. Konsisten dengan ucapan
5. Memiliki moral agama yang cukup.
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 8
b. Memiliki Keberanian
Tidak lucu bila seorang pemimpin tidak memiliki keberanian.
Minimal keberanian berbicara, mengemukakan pendapat, beradu
argumentasi dan berani membela kebenaran. Secara lebih khusus
keberanian itu ditunjukkan dalam komitmen berani membela yang
benar, memegang tegug pada pendirian yang benar, tidak takut
gagal, berani ambil resiko, dan berani bertanggungjawab.
c. Memiliki kemampuan mempengaruhi orang lain
Salah satu ciri bahwa seseorang memiliki jiwa kepemimpinan adalah
kemampuannya mempengaruhi seseorang untuk mencapai suatu
tujuan tertentu. Dengan kemampuannya berkomunikasi, ia dapat
mempengaruhi orang lain. Adapun cara-cara untuk mempengaruhi
orang lain antara lain:
1. Membuat orang lain merasa penting
2. Membantu kesulitan orang lain
3. Mengemukakan wawasan dengan cara pandang yang positif
4. Tidak merendahkan orang lain
5. Memiliki kelebihan atau keahlian.
d. Mampu Membuat Strategi
Seorang pemimpin semestinya identik dengan seorang ahli strategi.
Maju-mundurnya perusahaan, gagal-berhasilnya suatu organisasi,
banyak ditentukan oleh strategi yang dirancang oleh pimpinan
perusahaan atau pimpinan organisasi. Adapun kriteria seorang
pemimpin yang mampu menyusun strategi:
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 9
1. Menguasai medan
2. Memiliki wawasan luas
3. Berpikir cerdas
4. Kreatif dan inovatif
5. Mampu melihat masalah secara komprehensif
6. Mampu menyusun skala prioritas
7. Mampu memprediksi masa depan.
e. Memiliki Moral yang Tinggi
Banyak orang berpendapat bahwa moralitas merupakan ukuran
berkualitas atau tidaknya hidup seseorang. Apalagi seorang pemimpin
yang akan menjadi panutan. Seorang pemimpin adalah seorang
panutan yang secara moral dapat dipertanggungjawabkan. Tanda-
tanda seorang pemimpin yang bermoral tinggi:
1. Tidak menyakiti orang lain
2. Menghargai siapa saja
3. Bersikap santun
3. Tidak suka konflik
4. Tidak gegabah
5. Tidak mau memiliki yang bukan haknya
6. Perkataannya terkendali dan penuh perhitungan
7. Perilakunya mampu dijadikan contoh.
f. Mampu menjadi Mediator
Seorang pemimpin yang bijak mampu bertindak adil dan berpikir
obyektif. Dua hal tersebut akan menunjang tugas pimpinan untuk
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 10
menjadi seorang mediator. Syarat seorang mediator meliputi beberapa
kriteria:
1. Berpikir positif
2. Setiap ada masalah selalu berada di tengah
3. Memiliki kemampuan melobi
4. Mampu mendudukkan masalah secara proporsional
5. Mampu membedakan kepentingan pribadi dan kepentingan umum.
g. Mampu menjadi Motivator
Hubungan seorang pemimpin dengan motivasi yaitu seorang
pemimpin adalah sekaligus seorang motivator. Demikianlah memang
seharusnya. Pimpinan adalah titik sentral dan titik awal sebuah
langkah akan dimulai. Motivasi akan lahir jika pimpinan menyadari
fungsinya sebagai motivator. Tanda-tanda seorang pemimpin
menyadari fungsinya sebagai motivator:
1. Memiliki kepedulian kepada orang lain
2. Mampu menjadi pendengar yang baik
3. Mengajak kepada kebaikan
4. Mampu meyakinkan orang lain
5. Berusaha mengerti keinginan orang lain.
h. Memiliki Rasa Humor
Akan lebih mudah seorang pemimpin melaksanakan tugas
kepemimpinannya - jika didukang sifat humoris pimpinan - memiliki
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 11
humor yang tinggi. Kata orang humor lebih penting dari kenaikan
gaji. Termasuk kategori pemimpin yang memiliki rasa humor adalah
sebagai berikut:
1. Murah senyum
2. Mampu memecahkan kebekuan suasana
3. Mampu menciptakan kalimat yang menyegarkan
4. Kaya akan cerita dan kisah-kisah lucu
5. Mampu menempatkan humor pada situasi yang tepat.
IV. Faktor-Faktor Yang Menyebabkan Individu Masuk Kedalam Massa
Massa merupakan sekumpulan banyak orang atau sekelompok
orang yang berkumpul dalam suatu kegiatan yang bersifat sementara.
Dimana dalam hal ini terdapat individu yang memasuki suatu massa.
Adapun faktor-faktor yang menyebabkan individu masuk dalam massa
menurut Shaw antara lain :
1. Ketertarikan Interpersonal
Manusia sebagai makhluk social secara alami akan mengadakan
hubungan atau interaksi dengan orang lain. Namun, dalam
perkembangannya interaksi merupakan hal yang dipelajari dalam
kehidupan selanjutnya, interaksi merupakan suatu proses. Oleh karena
itu, ada yang baik dalam interaksi seseorang, tetapi ada pula yang
kurang baik. Hal demikian menunjukan bahwa interaksi merupakan
suatu kemampuan yang dipelajari. Interaksi merupakan suatu
keterampilan, sesuatu sebagai hasilnya.
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 12
Dalam kehidupan sehari-hari kontak sosial dapat dilakukan dengan
cara :
Kontak Sosial yang dilakukan menurut cara pihak – pihak yang
berkomunikasi . Cara kontak sosial itu ada 2 macam yaitu :
Kontak Langsung : Pihak komunikator menyampaikan
pesannya secara langsung kepada pihak komunikan .
Kontak Tidak Langsung : Pihak komunikator menyampaikan
pesannya kepada pihak komunikan melalui perantara pihak
ketiga
Kontak Sosial yang dilakukan menurut terjadinya proses komunikasi .
Ada 2 macam kontak sosial .
Kontak Primer
Kontak Sekunder
Bentuk – Bentuk interaksi yang mendorong terjadinya lembaga ,
kelompok dan organisasi sosial .
Bentuk Interaksi sosial menurut jumlah pelakunya .
Interaksi antara individu dan individu
Individu yang satu memberikan pengaruh ,
rangsangan \ Stimulus kepada individu lainnya . Wujud
interaksi bisa dalam dalam bentuk berjabat tangan ,
saling menegur , bercakap – cakap \ mungkin
bertengkar.
Interaksi antara individu dan kelompok
Bentuk interaksi antara individu dengan kelompok :
Misalnya : Seorang ustadz sedang berpidato didepan
orang banyak . Bentuk semacam ini menunjukkan
bahwa kepentingan individu berhadapan dengan
kepentingan kelompok .
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 13
Interaksi antara Kelompok dan Kelompok
Bentuk interaksi seperti ini berhubungan dengan
kepentingan individu dalam kelompok lain . Contoh :
Satu Kesebelasan Sepak Bola bertanding melawan
kesebelasan lain
2. Aktifitas Kelompok
Apabila kelompok telah terbentuk, maka persoalan yang segera
timbul adalah masalah struktur atau organisasi kelompok. Struktur
kelompok merpakan pola interelasi anggota kelompok. Oleh karena itu,
kelompok sosial merupakan kelompok yang berstruktur, yaitu kelompok
yang mempunyai organisasi tertentu. Kelompok sosial dibedakandengan
kelompok yang tidak berstruktur, yaitu agreat, maupun massa (Sherif dan
Sherif, 1957). Struktur atau organisasi kelompok adalah pembagian tugas
masing-masing anggota kelompok, sehingga ada hirearki yang jelas dalam
kelompok bersangkutan. Kelompok tentu dapat diorganisasikan dengan
berbagai macam cara. Namun demikian, ada beberapa hal yang perlu
diperhatikan dan dapat mempengaruhi putusan kelompok, yaitu bagaimana
kelompok diorganisasikan secara efisien, mengingat lingkungan fisik dan
sosial kelompok, bagaimana kemampuan, sikap, kebutuhan-kebutuhan dan
motivasi para anggota kelompok. Ketiganya dapat mempengaruhi
ketentuan struktur suaru kelompok lingkungan sosial dan fisik,
kemampuan para anggota, serta sikap dan kebutuhan yang berbeda antara
kelompok satu dengan kelompok lain akan membawa perbedaan dalam
struktur yang ada dalam kelompok bersangkutan. Struktur dapat dibentuk
secara formal maupun informal.
Dengan terbentuknya struktur kelompok, maka kelompok akan
memiliki pembagian tugas masing-masing anggota, masing-masing akan
mempunyai status dan peran (role) sendiri-sendiri. Semuanya tentu
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 14
mengacu pada tujuan yang dicapai. Karena status yang bermacam-macam
dan peran yang bermacam-macam pula, maka seseorang mengalami
konflik peran. Konflik peran akan dapat terjadi apabila seseorang tidak
dapat membedakan status dan perannya pada sesuatu waktu.
Manusia mempunyai dorongan untuk mengadakan hubungan
dengan manusia lain, sehingga akhirnya membentuk kelompok-kelompok
tertentu dengan norma-norma tertentu pula. Karena dasar pembentukan
kelompok yang satu mingkin berbeda dengan kelompok lain, normanya
mungkin berbeda pula. Kelompok dimana individu secara riil menjadi
anggota disebut membership group dari individu bersangkutan. Sebaiknya
para anggota yang tergabung dalam suatu kelompok menaati norma
kelompok bersangutan.
3. Tujuan Kelompok
Tujuan mempunyai pengertian motivating power. Artinya, tujuan
akan mendorong orang untuk mencapai tujuannya, demikian pula dalam
kelompok. Ada hubungan yang positif antara motif dengan tujuan.
Semakin jelas tujuan, semakin kuat motif yang ada, demikian sebaliknya.
Prinsip dasar mengungkapkan bahwa seseorang masuk dalam suatu
kelompok dengan harapan akan memperoleh sesuatu yang sulit atau
kurang mungkin diperoleh secara pribadi. Namun, meskipun seseorang
masuk dalam suatu kelompok, tujuan individu pada umumnya tidak akan
dilepas.
Selain person oriented yang dikaitkan dengan tujuan individu dan
group oriented yang dkaitkan dengan tujuan kelompok, ada tujuan formal
dan informal serta tujuan operasional dan non operasional. Tujuan formal
adalah tujuan yang secara formal dipasang atau menjadi sasaran dalam
suatu kegiatan kelompok, sedangkan tujuan informal adalah tujuan yang
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 15
dicapai disamping tujuan formal yang ditentukan. Tujuan operasional
adalah tujuan yang jelas dan spesifik. Kemudian, langkah-langkah untuk
mencapai tujuan yang jelas pula. Operasional dalam rangka pencapaian
tujuan telah jelas. Sebaliknya, tujuan non operasional adalah tujuan yang
abstrak dan cara pencapaian tujuan tidak jelas atau masih kabur. Pada
umumnya, tujuan nonoperasional begitu luas dan kurang jelas, masih
samar samar. Tujuan operasioanal nersifat spesifik, jelas targetnya, action
plan-nya jelas.
4. Keanggotaan Kelompok. Teori Johnson dan Johnson (2000)
Defining and structuring procedure
Apabila kelompok mulai, umumnya para anggota mulai
memusatkan perhatiannya pada hal yang menyangkut dirinya
mengenai hal hal apakah yang diharapkan pada mereka dan mengenai
tujuan kelompok.
Conforming to procedures and getting acquainted
Para anggota kelompok menyesuaikan dengan prosedur yang telah
ditentukan, menyesuaikan dengan tugas, menyesuaikan dengan tugas,
serta mengenal satu dengan yang lain agar menjadi familier dengan
prosedur yang ada dan dapat mengikutinya dengan mudah
Recognizing mutually and building trust
Anggota kelompok menyadari mengenai saling bergantung satu
dengan yang lain dan membentuk kepercayaan satu dengan yang lain.
Rebelling and differentiating
Tahapan ditandai anggota kelompok yang menentang pimpinan
dan prosedur yang telah ditentukan.
Commiting to the groups’s goals and procedures
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 16
Dalam tahapan ini, ketergantungan pada pimpinan dan konformitas
pada prosedur beralih pada ketergantungan pada anggota lain dan
komitmen personal terhadap kolaboratif dari pengalaman.
Functioning maturely and produvtivity
Dalam tahapan ini, kelompok telah menjadi dewasa, otonomi dan
produktif, sehingga terbentuklah identitas kelompok.
Terminating
Dengan berakhirnya kelompok, para anggota pergi meninggalkan
kelompok sesuai dengan apa yang dikehendakinya.
5. Efek instrumental dari keanggotaan kelompok
Individu menjadi anggota dari kategori sosial tertentu dengan
menyadari adanya sesuatu yang sama diantara mereka yang sesuatu
tersebut mempengaruhi perilakunya, seperti laki-laki, perempuan, negro,
dan anggota sejenis kelas sosial.
Kelompok sosial mirip dengan kategori sosial, yaitu ada kesadaran
dari anggota kelompok akan adanya kesamaan diantara mereka, namun
kelompok memiliki kriteria lain yaitu adanya interaksi diantara anggota-
anggotanya; contoh dari kelompok sosial ini adalah kelompok pertemanan
dan keluarga batih. Organisasi formal mirip dengan kategori sosial dan
kelompok sosial, namun organisasi formal ini muncul ketika kelompok
tersebut secara sengaja dibangun menjadi sebuah unit sosial untuk
mencapai tujuan tertentu; contoh organisasi formal adalah perusahaan,
instansi pemerintah, lembaga pendidikan, dan lembaga kemasyarakatan.
Biasanya dalam organisasi akan disertai dengan birokrasi yang dibuat
untuk lebih menjamin adanya pencapaian tujuan.
Pembahasan tentang kelompok dalam masyarakat biasanya akan
lebih merujuk kepada dua jenis kelompok terakhir, yaitu kelompok sosial
dan organisasi formal; bahkan fokus pembahasan seringkali lebih terfokus
pada kelompok sosial. Atas dasar itu pula dikatakan bahwa tidak semua
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 17
kelompok merupakan kelompok sosial, karena ada suatu jenis kelompok
lain yang hampir sama dengan kelompok sosial, yang oleh Soerjono
Soekanto (1987) disebut dengan kelompok tak teratur, seperti kelompok
kerumunan dan antrian karcis. Kelompok tak teratur memiliki kesadaran
dan hubungan antar anggota, namun tidak sekuat pada kelompok sosial.
Bila memperhatikan sifat manusia yang memiliki keterbatasan
sampai tingkat tertentu, maka tidak semua kebutuhan manusia dapat
dipenuhi sendiri. Oleh karena itu, untuk menanggulangi kelemahan dan
kekuranganmampuannya, seorang individu akan menggabungkan diri
dengan individu lain. Proses pembentukan ini akan mengikutsertakan
berbagai komponen yang biasanya mengarah kepada adanya atribut yang
sama dan kesamaan lain diantara individu-individu tersebut.
Berkaitan dengan proses pembentukan kelompok ini, Bierens den
Haan (dalam Astrid S.Susanto, 1983) bahwa “kelompok tidak terdiri dari
jumlah anggota-anggotanya saja, melainkan akan suatu kenyataan yang
ditentukan oleh datang-perginya anggota-anggotanya… Kenyataan
kelompok ditentukan oleh nilai-nilai yang dihayati bersama, oleh fungsi
kelompok sebagaimana disadari anggota.” Dengan kata lain, den Haan
ingin menegaskan bahwa suatu kelompok memperoleh bentuknya dari
kesadaran akan keterikatan pada anggota-anggotanya; jadi suatu kelompok
memiliki suatu ikatan psikologis diantara anggota-anggotanya. Hal ini
sejalan dengan Anderson dan Parker (1964) yang menekankan bahwa
“kelompok merupakan kesatuan dari dua atau lebih individu yang
mengalami interaksi psikologis satu sama lain.” Hal ini berarti bahwa
kelompok terbentuk karena manusia menyadari tidak dapat menyelesaikan
atau mencapai tujuannya sendiri, ternyata terlalu rasional. Ada alasan lain
yang lebih mendasar, yaitu suatu kebutuhan manusia untuk mempunyai
dan digolongkan pada suatu kelompok, tempat dia berlindung dan merasa
aman.
Individu yang mengidentifikasikan dirinya dalam suatu kelompok
akan memiliki kertikatan yang kuat untuk mengikuti semua aturan yang
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 18
berlaku dalam kelompok tersebut. Norma-norma yang dikembangkan
dalam kelompok menjadi pedoman yang penting baginya dan
mempertegas dirinya sebagai bagian dari in-groupnya. Sikap in-group dan
out-group dapat menjadi dasar bagi munculnya antagonisme dan antipati,
bahkan lebih jauh lagi dapat menimbulkan adanya sikap etnosentrisme.
Dengan kata lain, pengembangan sikap in-group dan out-group ini dapat
dipacu pula oleh pandangan streotif dari dalam kelompok terhadap
kelompok lainnya.
Seiring dengan perkembangan masyarakat, maka seorang individu
tidak selalu hanya menjadi anggota dari satu kelompok saja, namun
cenderung untuk menjadi anggota beberapa kelompok sekaligus. Di lain
fihak, tidak selalu individu dapat menjadi anggota suatu kelompok secara
formal. Yang lebih sering terjadi adalah individu mengembangkan
kepribadian dan perilakunya berdasarkan kepada kelompok yang
diacunya. Kelompok demikian dikenal dengan istilah kelompok acuan
(reference group). Individu yang mengacu akan berprilaku seperti yang
dilakukan oleh individu-individu anggota kelompok acuannya. Proses
interaksi antara anggota kelompok acuan dengan individu tersebut tidak
dilakukan secara langsung, namun pengaruh kelompok tersebut dirasakan
juga oleh orang-orang yang tidak menjadi anggota. Pengaruh kelompok
terhadap perubahan perilaku individu ini sangat besar, dan memiliki
dampak yang sangat luas.
Faktor-faktor yang menyebabkan individu masuk dalam massa menurut
Vaughan dan Hogg (2005) antara lain :
1. Proksimitas, Individu cenderung bergabung dengan individu lain yang
berdekatan.
2. Kesamaan minat, sikap, dan keyakinan. Individu-individu yang punya
minat atau keyakinan yang sama cenderung berkelompok.
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 19
3. Saling tergantung untuk mencapai suatu tujuan tertentu. Adanya tujuan
bersama menyebabkan beberapa individu bergabung dalam satu
kelompok.
4. Dukungan timbal balik yang positif dan kenikmatan berafiliasi. Kelompok
bias memberikan dukungan yang positif kepada individu serta membuat
individu merasa memiliki afiliasi. Hal ini dapat menghindarkan individu
dalam kesepian.
5. Dukungan emosional, kelompok juga bisa memberikan dukungan
emosional untuk para anggotanya.
6. Identitas kelompok, keanggotaan individu di dalam kelompok membuat
individu memiliki identitas.
V. Peranan Individu Dalam Massa
Menurut Drs. H. Dedi Herdiana, berikut ini adalah jenis – jenis peranan
individu dalam massa :
1. Penggalak : memuji, menyetujui, menerima, menunjukan kehangatan
dan kesetiakawanan
2. Wasit : melerai pertikaian antar anggota
3. Kompromis : menawarkan kompromi
4. Pengamat : menyimpan catatan berbagai aspek proses massa
5. Pengikut : mengikuti kegiatan / aktivitas massa ; pasif
6. Penjaga gawang : mambuka saluran komunikasi dengan mendorong
partisipasi yang lain
7. Agresor ; merendahkan status yang lain
8. Penghambat : bersikap negatif, selalu menolak dan membantah
9. Pencari muka : sering membual
10. Pengungkap diri : pengungkap perasaan
11. Dominator : menguasai orang lain
12. Help seeker : berusaha menarik simpati
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 20
VI. Cara Mengendalikan Suatu Massa
Pengendalian massa pada dasarnya terbagi dalam dua tingkatan,
tingkat awal dan tingkat lanjutan. Pengendalian massa tingkat awal
dilakukan tanpa menggunakan peralatan khusus. Sedangkan tingkat
lanjutan dilakukan dengan menggunakan peralatan khusus seperti helm,
tameng, rompi, mobil water canon dan sebagainya.
Pembagian kategori massa dapat digolongkan menjadi dua, yaitu
golongan massa yang bersifat tertib/teratur, dan golongan massa tidak
tertib/tidak teratur. Proses pengendalian massa yang bersifat tertib/teratur
termasuk tingkat awal dan lebih diutamakan dalam hal negosiasi dan
pengendalian emosi dari tindakan-tindakan yang bersifat provokasi.
Sedangkan pengendalian massa yang tidak tertib/tidak teratur termasuk
dalam tingkat lanjutan.
Langkah-langkah dalam menyikapi suatu prilaku massa atau pengendalian
prilaku massa antara lain :
1. Memahami bentuk perilaku kolektif : apakah massa itu tergolong
dalam crowd, mob
2. Memahami motif perilaku kolektif : apakah massa melakukan itu
gara-gara politik, kepentingan pribadi, atau kepentingan bersama.
3. Setelah mengetahui motif dan bentuk perilaku massa tersebut
barulah dibuat perencanaan penyelesaian yang matang
4. Petugas yang akan digunakan dalam menyikapi atau mengendalikan
prilaku massa tersebut harus memiliki kesiapan mental
5. Mengendalikan diri agar tidak terpengaruh dengan prilaku massa
tersebut
6. Keberanian dalam bersikap dan mengambil keputusan dalam
pengendalian atau menyikapi suatu prilaku massa
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 21
VII. Faktor-Faktor Eksternal Agresifitas
Perilaku agresif banyak dipengaruhi oleh beberapa faktor yang
menstimulus kejadiannya, antara lain:
1. Faktor Predisposisi
a) Faktor Neurobiologi
Teori dorongan insting merupakan dua faktor utama yang
dikemukakan oleh Sigmund Freud dan Konrad Lorenz melalui
hipotesis yang menyatakan bahwa manusia berevolusi dari kendali
insting agresif. Freud manyatakan bahwa manusia berada di bawah
pengaruh dua kendali tersebut, yang pertama adalah insting untuk
hidup yang dinyatakan melalui seksualitas, yang kedua adalah
insting kematian yang diungkapkan melalui agresi (Stuart &
Sundeen, 1991).
Peran neurotransmiter dalam studi tentang agresif telah dipelajari
pada hewan dan manusia, tetapi tidak ada satu pun penyebab yang
ditemukan. Hasil temuan menyatakan bahwa serotonin berperan
sebagai inhibitor utama pada perilaku agresif. Dengan demikian,
kadar serotonin yang rendah dapat menyebabkan peningkatan
perilaku agresif. Hal ini dapat berhubungan dengan serangan marah
yang terlihat pada beberapa klien depresi. Selain itu peningkatan
aktivitas dopamin dan norepinefrin diotak dikaitkan dengan
peningkatan perilaku kekerasan yang impulsif (Kavoussi et al.,
1997). Selanjutnya; kerusakan struktur pada sistem limbik (untuk
emosi dan perilaku) dan lobus frontal (untuk pemikiran rasional)
serta lobus temporal otak (untuk interpretasi indera penciuman dan
memori) dapat mengubah kemampuan individu untuk memodulasi
agresif sehingga menyebabkan perilaku agresif (Videbeck, 2008 &
Yosep, 2007).
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 22
Neurotransmitter yang sering dikaitkan dengan perilaku agresif:
serotonin, dopamin, norepinephrine, acetilkolin, dan asam amino
GABA. Faktor-faktor lain yang mendukung antara lain; masa
kanak- kanak yang tidak menyenangkan, sering mengalami
kegagalan, kehidupan yang penuh tindakan agresif, dan lingkungan
yang tidak kondusif (Yosep, 2007; Stuart & Sundeen, 1991).
b) Faktor Psikologis
Teori ini mendukung bahwa perilaku agresif merupakan akibat dari
instinctual drives. Freud berpendapat bahwa perilaku manusia
dipengaruhi oleh dua insting. Kesatu insting hidup yang
diekspresikan dengan seksualitas; dan kedua, insting kematian yang
diekspresikan dengan agresifitas (Yosep, 2007).
Frustation-aggresion theory; teori yang dikembangkan oleh
pengikut Freud yang berawal dari asumsi, bahwa bila usaha
seseorang untuk mencapai suatu tujuan mengalami hambatan maka
akan timbul dorongan agresif yang pada gilirannya akan memotivasi
perilaku yang dirancang untuk melukai orang atau objek yang
menyebabkan frustasi. Jadi hampir semua orang yang melakukan
tindakan agresif mempunyai riwayat perilaku agresif (Yosep, 2007;
Stuart & Sundeen, 1991).
Pentingnya peran dari perkembangan predisposisi atau pengalaman
hidup, misalnya rejeksi yang berlebihan pada masa kanak- kanak,
yang mungkin telah merusak hubungan saling percaya (trust) dan
harga diri. Terpapar kekerasan selama perkembangan, termasuk
child abuse atau mengobservasi kekerasan dalam keluarga, sehingga
membentuk pola pertahanan atau koping (Yosep, 2007).
Kegagalan untuk mengembangkan kualitas kemampuan untuk
menunda terpenuhinya keinginan dan perilaku yang tepat secara
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 23
sosial dapat menyebabkan individu yang impulsif, mudah frustasi,
dan rentan terhadap perilaku agresif (Videbeck, 2008).
c) Faktor Sosial Budaya
Social-LearningTheory; teori yang dikembangkan oleh Bandura
(1977) mengemukakan bahwa agresif tidak berbeda dengan respon-
respon yang lain. Agresif dapat dipelajari melalui observasi atau
imitasi, dan semakin sering mendapatkan penguatan maka semakin
besar kemungkinan untuk terjadi. Jadi seseorang akan berespon
terhadap keterbangkitan emosionalnya secara agresif sesuai dengan
respon yang dipelajarinya. Pembelajaran ini bisa internal atau
eksternal. Contoh internal: orang yang mengalami keterbangkitan
seksual karena menonton film erotis menjadi lebih agresif
dibandingkan mereka yang tidak menonton film tersebut; seorang
anak yang marah karena tidak boleh beli es kemudian ibunya
memberinya es agar si anak berhenti marah. Anak tersebut akan
belajar bahwa bila ia marah maka ia akan mendapatkan apa yang ia
inginkan. Contoh ekternal: seorang anak menunjukkan perilaku
agresif setelah melihat seorang dewasa mengekspresikan berbagai
bentuk perilaku agresif terhadap sebuah boneka (Yosep, 2007)
Kultural dapat pula mempengaruhi perilaku kekerasan. Adanya
norma dapat membantu mendefinisikan ekspresi agresif mana yang
dapat diterima atau tidak dapat diterima. Sehingga dapat membantu
individu untuk mengekpresikan marah dengan cara yang asertif.
Ekspresi kemarahan sangat dipengaruhi oleh apa yang diterima
dalam suatu budaya (Videbeck, 2008; Yosep, 2007; Stuart &
Sundeen, 1991).
d) Faktor Situasional
Dosis kecil alkohol menghambat agresif dan dosis besar
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 24
mempermudah agresif, barbiturat mempunyai efek yang mirip
dengan efek alkohol, aerosal dan zat pelarut komersial mempunyai
efek yang mirip dengan alkohol (Sadock, 1997). 50 persen orang
yang melakukan pembunuhan kriminal dan melakukan tindakan
penyerangan dilaporkan telah meminum sejumlah bermakna alkohol
segera sebelum tindakan agresif (Kaplan & Sadock, 1997).
e) Faktor Spiritual (Kesadaran Beragama)
Kepercayaan, nilai, dan moral mempengaruhi ungkapan marah
seseorang. Aspek ini mampengaruhi hubungan individu dengan
lingkungan. Hal ini bertentangan dengan norma yang dimiliki dapat
menimbulkan kemarahan yang dimanifestasikan dengan amoral dan
rasa tidak berdosa. Individu yang percaya kepada Tuhan Yang
Maha Esa, selalu meminta kebutuhan dan bimbingan kepada-Nya
(Yosep, 2007).
Dalam kenyataan sehari-hari menunjukkan, bahwa anak-anak
remaja yang melakukan kejahatan sebagian besar kurang
memahami norma-norma agama bahkan mungkin lalai menunaikan
perintah- perintah agama antara lain mengikuti acara kebaktian,
acara missa, puasa dan shalat (Sudarsono, 2008).
2. Faktor Presipitasi
Secara umum, kemarahan terjadi sebagai respon terhadap ancaman
yang dirasakan. Hal ini mungkin merupakan ancaman fisik terhadap
ancaman yang dirasakan seperti ancaman cedera fisik, ancaman
terhadap konsep diri. Suatu ancaman dapat eksternal atau internal
(Stuart & Sundeen, 1991).Faktor yang mencetuskan terjadinya
perilaku agresif terbagi dua, yakni:
a. Klien : kelemahan fisik, keputusasaan, ketidakberdayaan, kurang
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 25
percaya diri (internal).
b. Lingkungan : ribut, kehilangan orang/objek yang berharga,
konflik interaksi sosial (Yosep, 2007). Dimana lingkungan
tersebut terdiri dari lingkungan keluarga, masyarakat, sekolah,
dan teman sebaya (eksternal).
Keluarga merupakan tempat pertama anak mendapatkan
pendidikan. Orang tua pada umumnya memberikan pelayanan
kepada putri dan putranya sesuai dengan kebutuhan mereka. Ada
kalanya orang tua sangat memanjakan, ada pula yang bertindak
keras (Rumini & Sundari, 2004). Keluarga menurut Clemen dan
Buchaman (1982) seperti yang dikutip oleh Yosep (2007)
merupakan suatu konteks dimana individu memulai hubungan
interpersonal. Keluarga mempengaruhi nilai, kepercayaan, sikap,
dan perilaku seseorang. Sedangkan Spradey (1985) mengemukakan
bahwa keluarga mempunyai fungsi dasar seperti memberi kasih
sayang, rasa aman, rasa dimiliki, dan menyiapkan peran dewasa
individu di masyarakat (Yosep, 2007). Pola hubungan keluarga
yang memudahkan seseorang berperilaku menyimpang, kurangnya
perhatian, penghargaan dan pendidikan keluarga; serta pola asuh
orang tua yang terlalu overprotektif merupakan beberapa contoh
yang dapat menyebabkan seseorang berperilaku agresif.
Masyarakat, setiap orang sangat akrab dengan lingkungan
masyarakat dimana ia bertempat tinggal. Anak remaja sebagai
anggota masyarakat selalu mendapat pengaruh masyarakat dan
lingkungannya baik secara langsung maupun tidak langsung.
Pengaruh yang dominan adalah perubahan sosial kehidupan
masyarakat yang ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang sering
menimbulkan ketegangan, seperti persaingan, perekonomian, terjadi
diskriminasi, mass media (misal pornografi, pornoaksi), fasilitas
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 26
rekreasi (seperti play station), dan penyelenggaraan klub-klub
malam, seperti diskotik (Sudarsono, 2008) kondisi-kondisi ini
menjadi faktor pendorong munculnya perilaku destruktif (negatif)
remaja.
Sekolah merupakan masyarakat yang lebih besar dari keluarga.
Sekolah bukan hanya sekedar memberikan pelajaran, tetapi juga
berusaha memberikan pendidikan yang sesuai dengan
perkembangan, berusaha agar anak didik mengembangkan
potensinya secara puas dan senang serta mempunyai pribadi yang
integral (Rumini & Sundari, 2004). Sekolah merupakan salah satu
faktor pendukung perkembangan remaja. Di sekolah remaja
menerima pendidikan secara formal, sebagian besar aktifitas lebih
ditekankan kepada pembinaan intelektual. Dalam proses belajar
tidak jarang terjadinya konflik antar peserta didik dengan pendidik.
Misalnya dalam proses belajar mengajar, seringkali terjadi sikap
peserta didik yang tidak berkenan di hati pendidik menjadikan
pendidik memberi respon yang kurang simpati. Terkadang ada
kalanya sikap pendidik yang kurang menarik simpatik bagi peserta
didik, sehingga peserta didik kurang memberi respon yang kurang
simpatik terhadapnya (Krahe, 2005).
Teman sebaya, sebaya adalah orang dengan tingkat umur dan
kedewasaan yang kira-kira sama. Sebaya memegang peran yang
unik dalam perkembangan anak. Salah satu fungsi terpenting sebaya
adalah memberikan sumber informasi dan perbandingan tentang
dunia di luar keluarga. Anak-anak menerima umpan balik
kemampuan mereka dari grup sebaya mereka. Mereka mengevaluasi
apa yang mereka lakukan dengan ukuran apakah lebih baik, sama
baiknya, atau lebih buruk daripada apa yang dilakukan anak lain.
Hubungan sebaya bisa negatif maupun positif. Beberapa teoritisi
menjelaskan bahwa budaya sebaya anak sebagai pengaruh buruk
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 27
yang melemahkan nilai dan kontrol orang tua. Sebaya dapat
memperkenalkan remaja kepada alkohol, obat- obatan, kenakalan
dan bentuk lain dari perilaku yang maladaptif (Santrock, 2007).
Hubungan dengan teman sebaya merupakan sumber pengaruh sosial
yang sangat relevan dengan agresif. Kandel (1983) mengemukakan
bahwa ada kesamaan dalam menggunakan obat-obat terlarang,
merokok dan minuman keras mempunyai pengaruh yang kuat dalam
pemilihan teman (Syamsu, 2004). Sebuah grup sebaya remaja
mungkin merujuk kepada orang-orang lingkungan tetangga, tim
olahraga, kelompok sahabat, dan teman. Pengaruh sebaya atau grup
sebaya bergantung pada latar dan konteks spesifiknya (Santrock,
2007). Dalam hal ini hubungan dengan teman sebaya merupakan
sumber pengaruh bagi seseorang untuk melakukan atau mendukung
tindakan-tindakan agresifnya.
VIII. Proses Psikologis Individu Dalam Massa
Menurut Gustave Le Bon, massa itu mempunyai sifat-sifat
psikologis tersendiri. Orang yang tergabung dalam suatu massa akan
berbuat sesuatu, yang perbuatan tersebut tidak akan diperbuat bila individu
itu tidak tergabung dalam suatu massa. Sehingga massa itu seakan-akan
mempunyai daya melarutkan individu dalam suatu massa, melarutkan
individu dalam jiwa massa.
Seperti yang dikemukakan oleh Durkheim bahwa adnaya individual
mind dan collective mind, yang berbeda satu dengan yang lain. Menurut
Gustave Le Bon dalam massa itu terdapat apa yang dinamakan hukum
mental unity atau law mental unity, yaitu bahwa massa adalah kesatuan
mind, kesatuan jiwa.
Menurut Allport, kurang dapat menyetujui tentang collective mind
tetapi dapat memahami tentang pemikiran adanya kesamaan (conformity),
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 28
tidak hanya dalam hal berpikir dan kepercayaan, tetapi juga dalam hal
perasaan (feeling) dan dalam perbuatan yang tampak (overt behavior).
Individu Dalam Massa
• Kehilangan kepribadian yang sadar dan rasional, tindakan kasar dan
irasional, menurut Secar membabi buta pada pemimpin.
• Melakukan hal-hal yang berlawanan dengan kebiasaan yang akan berubah
menjadi agresi.
IX. Konflik Dalam Massa
Munculnya disagreement, pertengkaran, dan friksi diantara kelompok yang
melibatkan kata-kata, emosi, dan tindakan.
Tahap-tahap perkembangan konflik:
1. Disagreement
Perlu segera diidentifikasi disagreementnya:
Apakah benar-benar ada atau sekedar kesalahpahaman
Apakah perlu segera ditangani atau terselesaikan sendiri
Jika benar-benar ada dan menyangkut beberapa factor situasional
minor
2. Confrontation
Dua orang atau lebih saling bertentangan (verbal attack)
Di akhir tahap ini, tingkat koalisi (sub kelompok dalam kelompok)
dimana anggota kelompok menjadi terpolarisasi (membentuk blok-
blok)
3. Escalation
Pada tahap ini, anggota kelompok menjadi semakin kasar, suka
memaksa, mengancam, sampai pada kekerasan fisik kemudian
timbul mosi tidak percaya (distrust), frustasi, dan negative
reciprocity
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 29
4. De-escalation
Berkurangnya atau menurunnya konflik anggota mulai sadar waktu
dan energy yang terbuang sia-sia dengan berdebat.
Mekanisme pengolahan konflik:
a. Negosiasi
Secara interpersonal dengan asumsi bahwa tiap orang akan
mendapatkan keuntungan dengan adanya situasi
o Distributive issue : negosiasi berhasil, satu pihak puas, pihak
yang lain mengikuti karena pihak yang lain itu memiliki power
o Integrative issue : negosiasi berhasil, kedua pihak merasa puas
(win win solution)
b. Membangun kepercayaan
Dengan mengkomunikasikan keinginan individu secara hati-hati dan
harus konsisten antara apa yang diomongkan dengan perilaku
aktualnya
5. Conflict Resolution
Tiap konflik sampai pada tahap ini, meskipin tidak semua pihak puas
akan hasilnya
Penyebab konflik:
1. Interdependence
Tidak semua interdependence menyebabkan konflik, jika:
o Ada kerjasama antar anggota dalam interdependence sehingga
konflik menurun
o Ada kompetisi antar anggota dalam interdependence sehingga
konflik meningkat
2. Influence strategies
Strategi-strategi untuk mempengaruhi orang lain, ancaman, hukuman,
dan negative reinforcement sehingga akan meningkatkan konflik
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 30
Manajemen Konflik
Konflik organisasi adalah perbedaan pendapat antara dua atau lebih
anggota organisasi atau kelompok, karena harus membagi sumber daya yang
langka, atau aktivitas kerja dan atau karena mereka mempunyai status, tujuan,
penilaian atau pandangan yang berbeda. Perbedaan antara konflik dengan
persaingan (kompetisi) terletak pada apakah salah satu pihak dapat mencegah
pihak lain dalam pencapaian tujuan. Kompetisi terjadi apabila tujuan kedua pihak
tidak sesuai, akan tetapi kedua belah pihak tidak dapat saling menggangu. Sebagai
contoh dua bagian pemasaran komputer yang saling bersaing dalam satu
organisasi, dimana kedua bagian tersebut siapakah yang pertama-tama mencapai
atau memenuhi kuota penjualan yang paling banyak. Jika dalam hal ini tidak ada
kemungkinan untuk mencampuri usaha pihak lain dalam mencapai tujuannya,
maka terjadilah kompetisi, akan tetapi apabila ada kemungkinan untuk
mencampuri itu dan memang dilakukan, terjadilah konflik.
Jenis-Jenis Konflik
1. Konflik di dalam individu
Konflik ini timbul apabila individu merasa bimbang terhadap pekerjaan mana
yang harus dilakukannya, bila berbagai permintaan pekerjaan saling bertentangan
atau bila individu diharapkan untuk melakukan lebih dari kemampuannya
2. Konflik antar individu dalam organisasi yang sama.
Konflik ini timbul akibat tekanan yang berhubungan dengan kedudukan atau
perbedaan perbedaan kepribadian.
3. Konflik antar individu dan kelompok.
Konflik ini berhubungan dengan cara individu menanggapi tekanan untuk
keseragaman yang dipaksakan oleh kelompok kerja mereka, contohnya seseorang
yang dihukum karena melanggar norma-norma kelompok
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 31
4. Konflik antar kelompok dalam organisasi yang sama
Adanya pertentangan kepentingan antar kelompok
5. Konflik antar organisasi
Metode-Metode pengelolaan konflik
1. Metode stimulasi konflik
Metode ini digunakan untuk menimbulkan rangsangan karyawan, karena
karyawan pasif yang disebabkan oleh situasi dimana konflik terlalu
rendah.rintangan semacam itu harus diatasi oleh
manajer untuk merangsang konflik yang produktif.
Metode stimulasi konflik meliputi :
Pemasukan atau penempatan orang luar ke dalam kelompok
Penyusunan kembali organisasi
Penawaran bonus,pembayaran insentif dan penghargaan untuk mendorong
persaingan Pemilihan manajer-manajer yang tepat dan
Perlakuan yang berbeda dengan kebiasaan.
2. Metode pengurangan konflik
Metode ini mengurangi permusuhan (antagonis) yang ditimbulkan oleh
konflik, dengan mengelola tingkat konflik melalui “pendinginan suasana”, akan
tetapi tidak berurusan dengan masalah yang pada awalnya menimbulkan konflik
itu. Metode pertama adalah mengganti tujuan yang menimbulkan persaingan
dengan tujuan yang lebih bias diterima, kedua kelompok, metode kedua
mempersatukan kelompok tersebut untuk menghadapi “ancaman” atau “musuh”
yang sama.
3. Metode penyelesaian konflik
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 32
Metode ini dipusatkan pada tindakan para manajer yang dapat secara
langsung mempengaruhi pihak-pihak yang bertentangan.
Ada 3 metode yang sering digunakan yaitu:
1. Dominasi dan penekanan:
Metode ini dapat terjadi melalui cara-cara :
1. Kekerasan (forcing) yang bersifat penekanan otokratik
2. Penenangan (smoolling) yaitu cara yang lebih diplomatis
3. Penghindaran (avoidance) dimana manajer menghindar untuk mengambil posisi
yang tegas
4. Penentuan melalui suara terbanyak (majority rule) mencoba untuk
menyelesaikan konflik antar kelompok dengan melakukan pemungutan suara
(voting) melalui prosedur yang adil.
2. Kompromi (Compromise)
Manajer mencari jalan keluar yang dapat diterima oleh pihak pihak yang saling
berselisih untuk menyelesaikan masalah yang terjadi. Keputusan dicapai melalui
kompromi bukannya membiarkan pihak-pihak yang berkonflik merasa tenggelam
dalam frustasi dan bermusuhan, akan tetapi kompromi merupakan metode yang
lemah untuk menyelesaikan konflik, karena biasanya tidak menghasilkan
penyelesaian yang dapat membantu untuk tercapainya tujuan organisasi.
Bentuk- bentuk kompromi meliputi :
pemisahan (separation), dimana pihak-pihak yang sedang bertentangan dipisahkan
sampai mereka menyetujui; arbitrasi (perwasitan), dimana pihak-pihak yang
berkonflik tunduk kepada pihak ketiga; kembali keperaturan yang berlaku,
penyelesaian berpedoman kepada peraturan (resort to rules) dimana kemacetan
dikembalikan pada ketentuan yang tertulis yang berlaku dan
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 33
membiarkan peraturan memutuskan penyelesaian konflik; penyuapan (bribing),
dimana salah satu pihak menerima beberapa konpensasi sebagai imbalan untuk
mengakhiri konflik.
Metode Penyelesaian Konflik Secara Menyeluruh
Terdapat tiga metode untuk menyelesaikan konflik, yaitu :
1. Konsensus, dimana pihak-pihak mengadakan pertemuan untuk mencari
pemecahan-pemecahan masalah yang terbaik, bukan mencari kemenangan bagi
masing-masing pihak.
2. Metode Konfrontasi, dimana pihak-pihak yang saling berhadapan menyatakan
pandangannya secara langsung satu sama lain, dengan kepemimpinan yang
terampil dan kesediaan semua pihak untuk mendahulukan kepentingan bersama,
kerap kali dapat ditemukan penyelesaiaan yang rasional.
3. Penggunaan tujuan-tujuan yang lebih tinggi,dapat juga menjadi metode
penyelesaian konflik bila tujuan tersebut disetujui bersama.
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 34
Daftar Pustaka
Guyton & Hall. (2007). Buku Ajar Fisiologi edisi 11. Jakarta: EGC.
Maramis, WF dan Maramis, AA. (2009). Catatan Ilmu Kedokteran Jiwa. Edisi 2.
Surabaya : Airlangga University Press.
Stuart and sundeen, 1991. Principles and Practice of Psychiatric Nursing ed 4. St
louis : The CV Mosby year book.
Coccaro EF, Kavoussi RJ, Cooper TB, et al. Central serotonin activity and
aggression: Inverse relationship with prolactin re- sponse to d-fenfluramine, but
not CSF 5-HIAA concentration, in human subject. Am J Psychiatry 1997;154:10
Videbeck, Sheila L. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa ( Psychiatric Mental
Health Nursing) . Jakarta : EGC.
Yosep, Iyus. 2007. Keperawatan Jiwa. Reflika Aditama.
Kaplan & Sadock. (1997). Sinopsis Psikiatri. Jilid 2. Binarupa Aksara : Jakarta.
Sudarsono. (2008). Kenakalan Remaja. Jakarta : Rineka Cipta.
Rumini S, Sundari S. Perkembangan Anak dan Remaja: Buku Pegangan Kuliah.
Jakarta: Rineka Cipta. 2004.
Santrock, J.W. (2007). Remaja. Edisi 11. Jilid 1. Jakarta: Erlangga
Krahe, B. 2005. The Social Psychology of Aggresion. Perilaku Agresif. Alih
bahasa: Helly Prajitno Soetjipto dan Sri Mulyantini Soetjipto. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar Offset
Yusuf, Syamsu. 2004. Mental Hygiene Perkembangan Kesehatan Mental dalam
Kajian Psikologi dan Agama. Bandung: Bani Quraisyi.
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 35
Skenario 4 ”Individu dan Kebersamaan” 36