laporan tutorial skenario c blok 6
TRANSCRIPT
LAPORANTUTORIAL BLOK 6
SKENARIO C
DISUSUN OLEH : KELOMPOK B 9Tutor : dr. Tia Sabrina
Moderator : Muhammad Kokoh SaputraSekretaris meja : Ezi Septyandra
Sekretaris papan : Muhammad Ihsan
Rido Mulawarman 04011281320010Kevin Arjun 04011281320012Frischa Trirosalia 04011381320006Bianca Theodeanna 04011381320066Siti Farahhiyah Dwi Mubarani 04011281320046Indah Permata Sari 04011181320046Yeni Intan Cahyati 04011181320112Ezi Septyandra 04011181320032Sinta Nida Fadillah 04011281320028Umi Salamah 04011181320110Muhammad Ihsan 04011381320068M. Kokoh Saputra 04011381320024
FAKULTAS KEDOKTERANPENDIDIKAN DOKTER UMUM
UNIVERSITAS SRIWIJAYA2013
1
Kata Pengantar
Puji syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan Laporan Tutorial Blok 6 Skenario C ini.
Laporan ini disusun dengan tujuan untuk memenuhi tugas tutorial yang merupakan bagian dari sistem pembelajaran KBK di Fakultas Kedokteran Universitas Sriwijaya.
Penyusun mengucapkan terima kasih kepada tutor serta semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan laporan tugas tutorial ini.
Kami menyadari bahwa laporan ini masih belum sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran dari pembaca akan kami terima dengan tangan terbuka guna perbaikan di masa yang akan datang.
Penyusun
2
Daftar Isi
Kata Pengantar………………………………………………………………….. 2
Daftar Isi………………………………………………………………………… 3
Skenario…………………………………………………………………………. 4
I. Klarifikasi Isitlah……………………………………………………………. 5
II. Identifikasi Masalah…………………………………………………………. 5
III. Analisis Masalah…………………………………………………………….. 6
IV. Keterkaitan antar masalah…………………………………………………… 38
V. Kerangka Konsep……………………………………………………………….. 39
VI. Sintesis Masalah…………………………………………………………….. 40
Kesimpulan……………………………………………………………………… 71
Daftar Pustaka…………………………………………………………………... 72
3
SKENARIO
Latina, a 35-year old woman complain of excruiciating pain of the right cheek and
chin. These pain episodes often triggered by rushing teeth and lat for a few seconds and are
very intense. She had been diagnosed with multiple sclerosis 2 years previously. She is not
taking any medications currently, although she previously received intravenous corticosteroid
therapy. On examination it’s found that there is no sign of opthalmoplegia and no
abnormality of her sight, hearing, smell and taste system. The face appears to be symmetrical
and she can protrude her tongue without difficulty. Her physician says that she sufer from tic
douloureux.
4
I. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Excruciating pain : sakit yang menyiksa
2. Multiple sclerosis : bercak demyelinisasi di seluruh substansi alba siste syaraf pusat
yang kadang kadang menyebar ke substansia grisea, gejala lesi substansia alba adalah
kelemahan, inkoordinasi, parastesia, gangguan bicara, dan keluhan visual.
3. Intravenous corticosteroid therapy : terapi dengan memberikan hormone sintetik
yang setara dengan setiap steroid yang dikeluarkan oleh kortex adrenal (tidak
termasuk hormone sex kedalam satu vena / beberapa vena.
4. Opthalmoplegia : paralisis otot mata
5. Symmetrical face : wajah yang simetris.
6. Protrude her tongue : penjuluran lidah
7. Tic douloureux : gerakan atau vokalisasi stereotipik berulang, cepat, kompulsif,
dan involunter, yang dirasakan tidak dapat ditahan meskipun dapat ditekan untuk
beberapa waktu pada trigeminal neuralgia.
II. IDENTIFIKASI MASALAH
1. Latina, a 35-year old woman complain of excruiciating pain of the rightcheek and
chin. *****
2. These pain episodes often triggered by brushing teeth and last for a few seconds and
are very intense and She had been diagnosed with multiple sclerosis 2 years
previously.***
3. She is not taking any medications currently, although she previously received
intravenous corticosteroid therapy.**
4. On examination it’s found that there is no sign of opthalmoplegia and no abnormality
of her sight, hearing, smell and taste system, and The face appears to be symmetrical
and she can protrude her tongue without difficulty.*
5. Her physician says that she sufer from tic douloureux. ****
Main Problem : Latina, a 35-year old woman complain of excruiciating pain of the
right cheek and chin
5
III. ANALISIS MASALAH
1. Latina, a 35-year old woman complain of excruiciating pain of the rightcheek
and chin. *****
a. Bagaimana anatomi wajah ?
Saya menjelaskan sesuai skenario, langsung anatomi inervasi pada wajah
2.
6
Saraf trigeminal atau saraf kranial ke 5 terutama memberi persarafan pada kulit muka,
konjungtiva dan kornea, mukosa dari hidung , sinus-sinus dan bagian frontal dari
rongga mulut , juga sebagian besar dari duramater. Saraf ini keluar dari bagian lateral
pons berupa akar saraf motoris dan saraf sensoris. Akar saraf yang lebih kecil, yang
disebut juga portio minor nervi trigemini, merupakan akar saraf motoris. Berasal dari
nukleus motoris dari saraf trigeminal dibatang otak terdiri dari serabut-serabut
motoris, terutama mensarafi otot-otot pengunyah.
Dalam perjalanannya akar saraf ini melalui ganglion disebelah medial dari akar
sensoris yang jauh lebih besar, sebelum bergabung dengan saraf mandibularis pada
saat melalui foramen ovale dari os. Sphenoid. Akar sensoris saraf trigeminal yang
lebih besar disebut dengan portio major nervi trigemini yang memberi penyebaran
serupa dengan akar-akar saraf dorsalis dari saraf spinal. Akar-akar saraf sensoris ini
akan melalui ganglion trigeminal ( ganglion gasseri ) dan dari sini keluar tiga cabang
saraf tepi yaitu cabang optalmikus, cabang maksilaris dan cabang mandibularis.
Cabang pertama yaitu saraf optalmikus berjalan melewati fissura orbitalis superior
dan memberi persarafan sensorik pada kulit kepala mulai dari fissura palpebralis
sampai bregma ( terutama dari saraf frontalis ) dan suatu cabang yang lebih kecil ke
bagian atas dan medial dari dorsum nasi. Konjungtiva, kornea dan iris, mukosa dari
7
sinus frontalis dan sebagian dari hidung, juga sebagian dari duramater dan pia-
arakhnoid juga disarafi oleh serabut, saraf sensoris dari saraf ophtalmikus. Cabang
kedua, yaitu saraf maksilaris memasuki fossa pterygopalatina melalui foramen
maksilaris superior memberikan cabang saraf zygomatikus yang menuju ke orbita
melewati fissura orbitalis inferior. Batang utamanya yaitu saraf infra orbitalis menuju
ke dasar orbita melewati fissura yang sama. Sewaktu keluar dari foramen infra
orbitalis, saraf ini terbagi menjadi beberapa cabang yang menyebar di permukaan
maksila bagian atas dari wajah bagian lateral dari hidung dan bibir sebelah atas.
Sebelum keluar dari foramen infra orbitalis, didapat beberapa cabang yang mensarafi
sinus maksilaris dan gigi-gigi molar dari rahang atas, ginggiva dan mukosa mulut
yang bersebelahan. Cabang yang ketiga, merupakan cabang yang terbesar yaitu saraf
mandibularis. Saraf ini keluar dari rongga kepala melalui foramen ovale dari os
sphenoid, selain terdiri dari akar-akar saraf motoris dari saraf trigeminal, juga
membawa serabut-serabut sensoris untuk daerah buccal, ke rahang bawah dan bagian
depan dari lidah, gigi mandibularis, ginggiva. Cabang aurikulo temporalis yang
memisahkan diri sejak awal, mensarafi daearah didepan dan diatas daun telinga
maupun meatus akustikus eksternus dan membrana tympani. Serabut - serabut
sensoris untuk duramater yang merupakan cabang - cabang dari ketiga bagian saraf
trigeminal berperan dalam proyeksi rasa nyeri yang berasal dari intracranial.
Terdapat hubungan yang erat dari saraf trigeminal dengan saraf otonomik/simpatis,
dimana ganglia siliaris berhubungan dengan saraf ophtalmikus , ganglion
pterygopalatina dengan saraf maksilaris sedangkan ganglion otikus dan submaksilaris
berhubungan dengan cabang mandibularis.
ANATOMI NERVUS TRIGEMINUS
Nervus Trigeminus merupakan nervus cranialis yang terbesar dan melayani arcus
branchialis pertama. Nervus ini mengandung serat-serat branchiomotorik dan aferen
somatik umum (yang terdiri atas komponen ekteroseptif dan komponen proprioseptif),
dengan nuclei sebagai berikut :
a. Nucleus Motorius Nervi Trigemini
Dari Nucleus ini keluar serat-serat branchiomotorik yang berjalan langsung ke arah
8
ventrolateral menyilang serat-serat pedunculus cerebellaris medius (fibrae
pontocerebellares) dan pada akhirnya akan melayani m. Masticatores melalui rami
motori nervi mandibularis dan m. Tensor Veli Palatini serta m. Mylohyoideus.
b. Nucleus Pontius, Nervi Trigemini dan Nucleus Spinalis Nervi Trigemini
Kedua Nucleus ini menerima impuls-impuls eksteroseptif dari daerah muka dan
daerah calvaria bagian ventral sampai vertex.
Di antara kedua nucleus di atas terdapat perbedaan fungsional yang penting : di dalam
nucleus Pontius berakhir serat-serat aferan N. V yang relatif kasar, yang
mengantarkan impuls-impuls rasa raba, sedangkan nucleus spinalis N. V terdiri atas
sel-sel neuron kecil dan menerima serat-serat N. V yang halus yang mengantarkan
impuls-impuls eksteroseptif nyeri dan suhu
b. Bagaimana etiologi nyeri pada pipi kanan dan dagu?
Etiologi nyeri di pipi kanan dan dagu biasanya disebabkan oleh terganggunya
saraf trigemal. Neuralgia trigeminal adalah suatu kondisi nyeri kronis yang
mempengaruhi saraf trigeminal, yang menimbulkan sensasi nyeri dari wajah ke
otak. Jika Anda memiliki neuralgia trigeminal, stimulasi ringan seperti menyikat
gigi atau memakai makeup dapat memicu sentakan sakit yang luar biasa.
Penyakit ini lebih sering mempengaruhi perempuan daripada laki-laki, dan
lebih mungkin terjadi pada orang yang lebih tua dari 50 tahun.
Penyebab
Neuralgia trigeminal disebabkan oleh penuaan atau karena multiple sclerosis
atau gangguan serupa yang merusak selubung myelin pelindung saraf tertentu.
Penyakit ini juga dapat disebabkan karena tumor yang menekan saraf trigeminal,
tetapi hal ini kurang umum terjadi. Beberapa orang mungkin mengalami neuralgia
trigeminal karena lesi otak atau kelainan lainnya. Beberapa faktor lain yang belum
diketahui juga dapat menyebabkan Neuralgia trigeminal. Hal-hal di bawah ini
dapat memicu rasa nyeri pada penderita Neuralgia trigeminal:
1. Mencukur
2. Membelai wajah
3. Makanan
9
4. Minum
5. Menyikat gigi
6. Pembicaraan
7. Merias wajah
8. Tersenyum
9. Mencuci wajah
Gejala
Gejala neuralgia trigeminal dapat berupa:
1. Sesekali kedutan yang menyebabkan nyeri ringan
2. Nyeri yang menusuk-nusuk seperti sengatan listrik
3. Serangan nyeri yang dipicu oleh hal-hal seperti menyentuh wajah, mengunyah,
berbicara dan menyikat gigi
4. Nyeri selama beberapa hari, minggu, bulan atau lebih lama
5. Nyeri pada pipi, rahang, gigi, gusi, bibir, atau kurang sering mata dan dahi
6. Sakit di satu sisi wajah
7. Nyeri terfokus di satu tempat atau menyebar dalam pola yang lebih luas
c. Bagaimana patofisiologi nyeri pada pipi kanan dan dagu?
Neuralgia Trigeminal dapat terjadi akibat berbagai kondisi yang
melibatkan sistem persarafan trigeminus ipsilateral. Pada kebanyakan kasus,
tampaknya yang menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh salah satu
arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring dengan perjalanan
usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang otak. Lima
sampai delapan persen kasus disebabkan oleh adanya tumor benigna pada
sudut serebelo-pontin seperti meningioma, tumor epidermoid, atau neurinoma
akustik. Kira-kira 2-3% kasus karena sklerosis multipel. Ada sebagian kasus
yang tidak diketahui sebabnya. Menurut Fromm, neuralgia Trigeminal bisa
mempunyai penyebab perifer maupun sentral.
Sebagai contoh dikemukakan bahwa adanya iritasi kronis pada saraf
ini, apapun penyebabnya, bisa menimbulkan kegagalan pada inhibisi
segmental pada nukleus/ inti saraf ini yang menimbulkan produksi ectopic
action potential pada saraf Trigeminal. Keadaan ini, yaitu discharge neuronal
yang berlebihan dan pengurangan inhibisi, mengakibatkan jalur sensorik yang
10
hiperaktif. Bila tidak terbendung akhirnya akan menimbulkan serangan nyeri.
Aksi potensial antidromik ini dirasakan oleh pasien sebagai serangan nyeri
trigerminal yang paroksismal. Stimulus yang sederhana pada daerah pencetus
mengakibatkan terjadinya serangan nyeri.
Efek terapeutik yang efektif dari obat yang diketahui bekerja secara
sentral membuktikan adanya mekanisme sentral dari neuralgi. Tentang
bagaimana multipel sklerosis bisa disertai nyeri Trigeminal diingatkan akan
adanya demyelinating plaques pada tempat masuknya saraf, atau pada nukleus
sensorik utama nervus trigeminus.
Pada nyeri Trigeminal pasca infeksi virus, misalnya pasca herpes,
dianggap bahwa lesi pada saraf akan mengaktifkan nociceptors yang berakibat
terjadinya nyeri. Tentang mengapa nyeri pasca herpes masih bertahan sampai
waktu cukup lama dikatakan karena setelah sembuh dan selama masa
regenerasi masih tetap terbentuk zat pembawa nyeri hingga kurun waktu yang
berbeda. Pada orang usia muda, waktu ini relatif singkat. Akan tetapi, pada
usia lanjut nyeri bisa berlangsung sangat lama. Pemberian antiviral yang cepat
dan dalam dosis yang adekuat akan sangat mempersingkat lamanya nyeri ini.
Peter Janetta menggolongkan neuralgia glossopharyngeal dan
hemifacial spasm dalam kelompok "Syndromes of Cranial Nerve
Hyperactivity". Menurut dia, semua saraf yang digolongkan pada sindroma ini
mempunyai satu kesamaan: mereka semuanya terletak pada pons atau medulla
oblongata serta dikelilingi oleh banyak arteri dan vena. Pada genesis dari
sindroma hiperaktif ini, terdapat dua proses yang sebenarnya merupakan
proses penuaan yang wajar:
1. Memanjang serta melingkarnya arteri pada dasar otak.
2. Dengan peningkatan usia, karena terjadinya atrofi, maka otak akan
bergeser atau jatuh ke arah caudal di dalam fossa posterior dengan
akibat makin besarnya kontak neurovaskuler yang tentunya akan
memperbesar kemungkinan terjadinya penekanan pada saraf yang
terkait.
Ada kemungkinan terjadi kompresi vaskuler sebagai dasar penyebab
umum dari sindroma saraf kranial ini. Kompresi pembuluh darah yang
berdenyut, baik dari arteri maupun vena, adalah penyebab utamanya. Letak
kompresi berhubungan dengan gejala klinis yang timbul. Misalnya, kompresi
11
pada bagian rostral dari nervus trigeminus akan mengakibatkan neuralgia
pada cabang oftalmicus dari nervus trigeminus, dan seterusnya. Menurut
Calvin, sekitar 90% dari neuralgia Trigeminal penyebabnya adalah adanya
arteri "salah tempat" yang melingkari serabut saraf ini pada usia lanjut.
Mengapa terjadi perpanjangan dan pembelokan pembuluh darah, dikatakan
bahwa mungkin sebabnya terletak pada predisposisi genetik yang ditambah
dengan beberapa faktor pola hidup, yaitu merokok, pola diet, dan sebagainya.
Pembuluh darah yang menekan tidak harus berdiameter besar. Walaupun
hanya kecil, misalnya dengan diameter 50-100 um saja, sudah bisa
menimbulkan neuralgia, hemifacial spasm, tinnitus, ataupun vertigo. Bila
dilakukan microvascular decompression secara benar, keluhan akan hilang.
2. These pain episodes often triggered by brushing teeth and last for a few seconds
and are very intense and She had been diagnosed with multiple sclerosis 2 years
previously.***
a. Bagaimana anatomi columna vertebrae?
ANATOMI COLLUMNA VERTEBRAE
1.1 Collumna vertebralis
Menurut Snell, Richard S. (2006), collumna vertebralis terdiri atas 33
vertebra yaitu :
- 7 vertebra cervicalis
- 12 vertebra thoracalis
- 5 vertebra lumbalis
- 5 vertebra sacralis
- 4 vertebra coccyges
12
Dari 33 vertebra tersebut, hanya 24 vertebra, yaitu 7 vertebra cervicalis, 12
vertebra thoracicus, dan 5 vertebra lumbalis yang dapat digerakkan pada
orang dewasa. Pada orang dewasa kelima vertebra sacralis melebur untuk
membentuk os sacrum dan keempat vertebra coccyges melebur untuk
membentuk os coccyges (Moore, Keith L., 2002)
Fungsi collumna vertebralis :
- Menyangga berat kepala dan batang tubuh
- Memungkinkan pergerakkan kepala dan batang tubuh
- Melindungi medulla spinalis
- Memungkinkan keluarnya nervus spinalis dari canalis spinalis
- Tempat untuk perlekatan otot-otot
VERTEBRA CERVICALIS ATIPIKAL
13
osatlas(vc1) :
- Tidak memiliki corpus vertebra, hanya arcus anterior dan arcus
posterior
- Tidak memiliki processus spinosus tetapi tuberculum posterius
- Di kanan dan kirinya terdapat massa lateralis, facies superior bersendi
dengan condyles occipitalis dan facies inferior bersendi dengan vc 2
atau os axis
- Foramen vertebra besar dan bentuknya segi-5
os axis (vc2)
- Memiliki dens pada corpus vertebraenya
- Foramen vertebralis bentuk segitiga
- Processus spinosus bipida
VC 7(PROMINENS)
14
- Jika dibandingkan dengan vertebra cervicalis yang tipikal corpus pada
vertebra cervicalis 7 terdapat epifisis anularisny
- Processus spinosus lurus kebelakang, menonjol dan dapat diraba
- Processus articularis superior untuk bersendi dengan processus
articularis inferior vertebrae cervicalis 6
VERTERBRA CERVICALES TIPIKAL (VC 3-4-5-6)
( Lihat gambar perbandingan vc 7 dan vc 5 diatas)
- Corpus berbentuk persegi panjang
- Foramen vertebralis berbentuk segitiga dan lebih besar
- Processus transversus akan membentuk foramen transversarium
( tempat keluarnya arteri dan vena vertebralis)
- Processus spinosus akan bercabang dua
- Memiliki processus articularis yang facies superior bersendi dengan
facies inferior corpus diatasnya. Dan facies inferior bersendi dengan
facies superior vertebrae dibawahnya.
1.2 SUSUNAN SARAF SPINALIS
Di sepanjang medulla spinalis melekat 31 pasang nervus spinalis
melalui radix anterior atau motorik dan radix posterior atau sensorik.
Masing -Masing radix melekat pada medulla spinalis melalui sederetan
radix kecil yang terdapat disepanjang segmen medulla spinalis yang
sesuai. Setiap radix mempunyai sebuah ganglion radix posterior, yang
15
axon sel-selnya memberikan serabut-serabut saraf perifer dan pusat
(Snell, Richard S., 200
31 pasang saraf spinalis terdiri atas 8 pasang cervical, 12 pasang
thoracal, 5 pasang lumbal, 5 pasang sacral, dan 1 pasang coccygeal.
b. Bagaimana innervasi yang memicu timbulnya nyeri pada daerah gigi?
Daerah gigi di inervasi oleh Nervus maxillaris [V/2] untuk daerah gigi bagian
atas, Nervus Alveolaris Inferior untuk daerah gigi bagian bawah dan Nervus
Buccalis menginervasi daerah pipi yang menutupi sisi lateral daerah gigi. Semua
Nervus tersebut merupakan cabang dari Nervus Trigeminus [V] yang merupakan
saraf campuran motorik dan sensorik. Nyeri yang timbul dalam kasus ini ketika
menyikat gigi kemungkinan di sebabkan oleh N. Buccalis yang tertekan atau
tersenggol ketika menggosok gigi. Kemungkinan ini muncul dikarena N.
Maxillaris dan N. Alveolaris Inferior menjalar dibawah Os Maxilla, Os
Mandibulla dan gigi sehingga kecil kemungkinan untuk tertekan atau tersenggol
kecuali terdapat kelainan pada tulang dan lubang pada gigi.
16
c. Bagaimana etiologi multiple sclerosis?
Penyebab MS adalah suatu autoimmun yang menyerang myelin dan
myelin forming sel pada otak dan medula spinalis, akan tetapi pada MS sebenarnya
bukan suatu autoimmun murni oleh karena tidak adanya antigen respon immun yang
abnormal.MS juga merupakan gangguan autoimun yang dapat dipicu oleh inveksi
virus (mungkin morbili)pada individu yang genetic rentan,yang masih menunggu
untuk dibuktikan lebih lanjut.Kausa MS terdiri dari:
a. Virus : infeksi retrovirus akan menyebabkan kerusakan
oligodendroglia
b. Genetika : penurunan control respon imun
c. Mekanisme lain : stress, toksin , endokrin
d. Bakteri : reaksi silang sebagai respon perangsangan head shock protein
sehingga menyebabkan pelepasan sitokin
e. Diet : berhubungan dengan komposisi membrane, fungsi makrofag,
sintesa prostaglandin
f. Defek pada oligodendroglia
d. Bagaimana patofisiologi multiple sclerosis?
17
Multiple sclerosis mengenai substansia alba otak dan medulla spinalis, serta
nervus opticus. Ditemukan sel inflamasi kronik dan kerusakan myelin dengan
akson yang relatif masih baik. Pada substansia alba terdapat area yang relatif
tampak normal yang berselang-seling dengan fokus inflamasi dan demielinisasi
yang disebut plak, yang seringkali terletak dekat venula. Demielinisasi inflamasi
jalur sistem saraf pusat menyebabkan penurunan dan gangguan kecepatan hantar
saraf dan akhirnya hilangnya penghantaran informasi oleh jaras tertentu.
Plak inflamasi akan mengalami evolusi seiing berjalannya waktu. Pada tahap
awal terjadi perombakan lokal sawar darah-otak, diikuti inflamasi dengan edema,
hilangnya mielin,dan akhirnya terbentuk jaringan parut sistem saraf pusat yaitu
gliosis. Hasil akhir akan menyebabkan area sklerosis yang mengkerut, yang
berkaitan dengan defisit klinis minimal dibandingkan saat plak masih aktif. Hal ini
disebabkan oleh remielinisasi yang merupakan potensi system saraf pusat, dan
juga memperjelas kembalinya fungsi dengan resolusi inflamasi dan edema.
Keadaan patologis ini berhubungan dengan polla klinis relaps sklerosis multiple,
yaitu terjadi gejala untuk suatu periode tertentu yang selanjutnya membaik secara
parsial atau total. Lesi inflamasi lebih lanjut yang terletak dekat lokasi kerusakan
yang sudah ada sebelumnya akan menyebabkan akumulasi defisit neurologis.
18
e. Bagaimana patologi anatomi dari sclerosis?
Penyakit ini terutama mengenai substansia alba otak dan medula spinalis, serta
nervus optikus. Ditemukan sel inflamasi kronik dan kerusakan mielin dengan
akson yang relatif masih baik. Pada substansia alba terdapat area yang relatif
tampak normal yang berselang – seling dengan fokus inflamasi dan demielinisasi
yang disebut juga plak, yang sering kali terletak dekat venula. Demielinisasi
inflamasi jalur SSP menyebabkan penurunan dan gangguan kecepatan hantar saraf
dan akhirnya hilangnya penghantaran informasi oleh jaras tertentu. 3 Plak
inflamasi akan mengalami evolusi seiring dengan waktu. Pada tahap awal terjadi
perombakan lokal sawar darah otak, diikuti inflamasi dengan edema, hilangnya
mielin, dan akhirnya jaringan parut SSP yaitu gliosis. Hasil akhir akan
menyebabkan daerah sklerosis yang mengerut, yang berkaitan dengan defisit
klinis minimal dibandingkan saat plak masih aktif. Hal ini sebagian disebabkan
oleh remielinisasi yang merupakan potensi SSP, dan juga memperjelas
kembalinya fungsi dengan resolusi inflamasi dan edema. Keadaan patologis ini
berhubungan dengan pola klinis relaps multipel multipel, yaitu terjadi gejala untuk
suatu periode tertentuyang selanjutnya membaik secara parsial atau total. Lesi
inflamasi lebih lanjut yang terletak dekat lokasi kerusakan yang sudah ada
sebelumnya akan menyebabkan akumulasi defisit neurologis. Plak tidak harus
berhubungan dengan kejadian klinis spesifik, misalnya jika plak hanya kecil saja
dan terletak pada area SSP yang relatif tenang.3MS ditandai oleh fokus
demielinisasi ( plak ) dan berikutnya, pengrusakan dari badan sel akson dan
neuronal. Perubahan ini bisa tampak dimanapun dalam sistem saraf pusat tetapi
19
mempunyai tempat predileksi di daerah periaquaduktus, dasar ventrikel keempat,
dan area subpial saraf tulang belakang.Neuron dalam substansi abu-abu sering
terlihat utuh dan astrosit sedikit meningkat jumlahnya. Plak di substansi alba
berwarna abu-abu dan keras, ditandai dengan proliferasi glial, fibrillary gliosis,
dan peningkatan kepadatan serat retikulin. Multipel dan fokus sklerotik inilahyang
memberikan nama pada penyakit ini.
f. Bagaimana hubungan sikat gigi dengan nyeri yang timbul pada pipi
kanan dan dagu?
Seperti diketahui N. V merupakan satu-satunya serabut saraf yang
kemungkinan selalu dihadapkan dengan keadaan sepsis sepanjang hidup. Keadaan
sepsis tersebut dapat berupa karies gigi, abses, sinusitis, pencabutan gigi oleh
berbagai sebab, infeksi periodontal, yang kesemuanya diperkirakan dapat menjadi
penyebab NT. Akan tetapi bukti lain menunjukkan banyak juga penderita dengan
infeksi disekitar mulut, cabut gigi yang tidak menderita Neuralgia Trigeminal.
Disisi lain, tidak jarang pula penderita Neuralgia Trigeminal yang ditemukan
tanpa menderita infeksi seperti tersebut diatas.
Dahulu diketahui bahwa Neural Trigeminal berawal dari dikeluhkannya
rasa nyeri area mulut pasca suatu prosedur dental sehingga berakibat munculnya
diagnosis sebagai dry socket pasca ekstraksi gigi. Oleh karena seringnya keluhan
nyeri dirasakan pada gigi geligi atas atau bawah disatu sisi, maka penderita
terdorong mencari pengobatan ke bagian gigi dengan asumsi nyeri tersebut berasal
dari gigi.
Setelah dilakukan ekstraksi gigi timbul nyeri setelah 24-48 jam kemudian
dan biasanya disebabkan adanya osteitis superfisial pada tulang alveolar. Pada
pemeriksaan tidak menunjukkan adanya pembekuan darah setelah dilakukan
ekstraksi maupun tidak ada nyeri lokal pada waktu dilakukan palpasi.
Pada satu penelitian kasus dari 48 penderita dengan NT , 31 penderita
yang diobati sebelumnya telah mengalami 83 tindakan prosedur ”dental”
diantaranya ekstraksi tunggal, ekstraksi multipel, prosedur endodontik, ” complete
denture”, ” periapical surgery ” dsbnya. Kesimpulan hasil penelitian didapatkan
adanya korelasi yang bermakna antara sejumlah pasien yang mendapat tindakan
terapi ”dental” dengan durasi terjadinya neuralgia trigeminal.
20
g. Bagaimana komplikasi dari multiple sclerosis jika dibiarkan terus
menerus?
Multiple sclerosis adalah penyakit yang system saraf yang mempengaruhi otak
dan sum-sum tulang yang diduga penyebabnya adalah autoimun. Myelin sangat
penting karena fungsinya dalam proses penghantar sinyal saraf. Apabila sclerosis
ini dibiarkan terus menerus bisa menyebabkan komplikasi awal sering kabur ,
kebutaan dalam satu mata, kelemahan otot dalam ekstremitas dan kesulitan
dengan koordinasi dan keseimbangan. Dan jika dibiarkan akan menimbulkan
kelumpuhan , fasa abnormal indra perasaan , mkerusakan kognitif seperti
kesulittan konsentrasi, perhatan, memori dan penilaian buruk, gangguan
penglihatan ( penglihatan kabur, penglihatan membayang, neuritis optikal,
pergerakan ata yang tidak terkontrol, kebutaan), gangguan kemampuan bicara
(perlambatan cara berbicara , berbicara seperti menggumam, perubaan ritme
berbicara, sulit menelan), gangguan kandung (sering buang air kecil, tidak dapat
buang air kecil secara tuntas atau tidak bisa menahan air kecil), gangguan usus
(konstipasi/sembelit, dan kadang-kadang diare).
3. She is not taking any medications currently, although she previously received
intravenous corticosteroid therapy.**
a. Apa yang dimaksud dengan intravenous corticosteroid therapy?
Terapi farmakologi dengan pemberian bentuk sediaan larutan injeksi
kortikosteroid (mis. Metilprednisolon) melalui rute intravena.
Intravena merupakan rute pemberian yang memasukkan cairan tertentu langsung
kedalam pembuluh darah. Pemberian rute intravena merupakan rute yang paling cepat
dalam menghantarkan obat ke seluruh tubuh. Akan tetapi, di satu sisi pemberian
intravena juga merupakan rute yang berbahaya karena obat atau cairan yang
dimasukkan akan sangat sulit untuk dikeluarkan apabila terjadi kesalahan.
Kortikosteroid (atau lebih sering disingkat sebagai steroid) pertama kali
diperkenalkan sebagai terapi pada tahun 1950. Sejak saat itu, kortikosteroid dikenal
sebagai anti inflamasi yang cepat dan sangat kuat. Kebanyakan pasien mengalami
perbaikan gejala dalam beberapa hari sejak penggunaan kortikosteroid. Efek samping
khas dan umum dari kortikosteroid adalah efek imunosupresan. Artinya kortikosteroid
21
menurunkan aktivitas sistem imun. Sebagai akibatnya, pada beberapa individu,
kemungkinan terjadinya infeksi lebih tinggi.
Secara umum, kortikosteroid diberikan pada penggunaan durasi singkat pada
serangan akut. Sangat jarang kortikosteroid digunakan untuk serangan kronik atau
maintenance. Selain itu penggunaan kortikosteroid jangka panjang juga memberikan
komplikasi dan efek samping yang berat. Beberapa efek samping kortikosteroid
diantaranya adalah
- Tekanan darah yang tinggi
- Gemuk air (moon face)
- Peningkatan risiko infeksi
- Peningkatan bobot badan
- Jerawat
- Fluktuasi mood
- Psikosis dan simptom psikiatrik lainnya
- Pertumbuhan rambut di wajah
- Karatak
- Keriput
- Peningkatan kadar gula darah
- Osteoporosis
- Insomnia
- Peptic ulcer
22
b. Bagaimana cara melakukan intravenous corticosteroid therapy?
c. bagaimana cara kerja intravenous corticosteroid therapy di dalam tubuh?
d. Apa manfaat dari intravenous corticosteroid therapy?
b. Bagaimana cara melakukan intravenous corticosteroid therapy?
pra : pemeriksaan hematologi rutin, kadar ion kalium dan natrium untuk
monitor obat. Kemudian perawat akan memeriksa tekanan darah sebelum dan
sesudah pemberian injeksi.
Hematologi rutin berfungsi dalam pemantauan efek imunosupresi. Sementara
kalium dan natrium darah dipantau dalam rangka memastikan keseimbangan
kedua elektrolit tersebut. Tingginya kadar glukokortikoid dalam darah (dalam
hal ini kortikosteroid) memberikan efek retensi cairan yang mengarahkan pada
ketidak seimbangan elektrolit. Ketidakseimbangan ini dipicu dengan
tertahannya natrium dalam cairan tubuh, sementara kalium dikeluarkan
melalui urin (hipokalemia).
Penumpukan natrium dalam darah salah satunya dapat memicu
terjadinya hipertensi. Sementara terbuangnya kalium yang berfungsi dalam
mekanisme aktivasi insulin selular akan mengakibatkan reseptor insulin sel
tubuh berkurang kepekaannya. Hal ini menyebabkan peningkatkan kadar
glukosa darah, terutama pada orang – orang DM atau yang mempunyai risiko
23
DM. Tekanan darah merupakan prosedur standar yang umumnya dipantau
untuk menangani terjadinya reaksi hipersensitivitas tipe I dengan cepat (syok
anafilaktik).
Injeksi intravena umumnya diberikan melalui IV drip selama 30 – 45
menit (encerkan hingga 1 mg/mL dan diberikan selama 20 – 30 menit) atau IV
bolus (encerkan hingga 50 mg/mL dan berikan selama 30 detik atau lebih dari
10 menit jika dosis > 500 mg)
Terapi kortikosteroid IV umumnya diberikan dalam bentuk
metilprednisolon yang bervariasi dari 500 – 1000 mg/hari, diberikan tanpa
atau bersamaan dengan prednison oral pada dosis 60-80 mg/hari. Pemberian
kortikosteroid secara per oral dapat memicu komplikasi saluran cerna,
terutama pada pasien yang berisiko tinggi.
Post : kembalilah beraktivitas secara normal
Pemberian IV kortikosteroid umumnya 1 – 5 hari. Selama pemberian
beberapa peresepan yang umumnya diberikan : prednison tablet per oral dan
inhibitor pompa proton (jika terdapat faktor risiko stomach ulcer).
c. Bagaimana cara kerja intravenous corticosteroid therapy di dalam tubuh?
24
Mekanisme kerja kortikosteroid belum diketahui secara jelas. Diduga steroid
meningkatkan proses pemulihan pada kasus MS dengan mengurangi edema
pada daerah demyelinasi. Metilprednisolon IV terbukti menurunkan durasi
acute excerbations dan dapat menunda serangan ulang hingga 2 tahun sejak
neuritis optik.
Mekanisme selular yang terjadi adalah menurunkan inflamasi dengan
supresi migrasi leukosit polimorfonuklear dan menurunkan permeabilitas
kapiler. Selain itu kortikosteroid juga dapat menekan mediator inflamasi dan
menekan respon imun.
Pada kasus serangan akut multiple sclerosis, reaksi sel imun yang
berlebih dapat ditekan dengan cepat apabila diberikan kortikosteroid dalam
bentuk injeksi intra vena.
Interaksi obat yang perlu diperhatikan pada pemberian kortikosteroid
adalah penggunaan bersamaan dengan antimikroba umumnya
dikontraindikasikan terutama pada antimikroba golongan inhibitor sintesis
protein. Hal ini disebabkan pada proses penyembuhan infeksi dengan
25
antimikroba tersebut, sistem imun berperan penting, sehingga penggunaan
bersamaan dengan kortikosteroid akan mensupresi sistem imun dan
memperlambat proses penyembuhan. Penggunaan bersamaan dengan
barbiturat, carbamazepin, fenitoin, primidon, atau rifampisin dapat
menurunkan efek kortikosteroid karena obat-obatan tersebut menginduksi
enzim di hati, sehingga eliminasi kortikosteroid lebih cepat. Berkebalikan
dengan kondisi sebelumnya, kontrasepsi oral atau ritonavir dapat
meningkatkan kadar kortikosteroid sistemik. Penggunaan bersamaan dengan
diuretik boros kalium dapat menyebabkan hipokalemia serius yang
membahayakan jiwa.
d. Apa manfaat dari intravenous corticosteroid therapy?
Pada kasus multiple sclerosis, IV kortikosteroid digunakan untuk serangan
akut eksaserbasi. Dalam durasi singkat, IV kortikosteroid mencegah keparahan
dan memperpendek durasi serangan akut. Pada umumnya manifestasi pertama
multiple sclerosis adalah neuritis optik akut, kortikosteroid dapat diberikan
untuk menunda munculnya gejala lain hingga maksimal 2 tahun.
Kortikosteroid pada kasus multiple sclerosis mengurangi durasi
kambuh dan mempercepat pemulihan. Metilprednisolon merupakan pilihan
pertama dalam serangan akut eksaserbasi multiple sclerosis. Meskipun dapat
mencegah kekambuhan, hingga saat ini belum ditemukan evidence based
untuk mengatasi multiple sclerosis dengan kortikosteroid. Pemberian
kortikosteroid secara berkala (pulse steroid) misalnya sebulan sekali secara
intravena terbukti memberikan manfaat penurunan kekambuhan pasien
multiple sclerosis. Hingga saat ini, belum tersedia cukup bukti penggunaan
kortikosteroid jangka panjang dapat memperbaiki simptom dengan signifikan.
Sementara efek samping penggunaan jangka panjang lebih dominan dan telah
terbukti.
26
4. On examination it’s found that there is no sign of opthalmoplegia and no
abnormality of her sight, hearing, smell and taste system, and The face appears
to be symmetrical and she can protrude her tongue without difficulty.*
a. Bagaimana etiologi opthalmoplegia?
Opthalmoplegia yang artinya otot mata yang mengalami kelumpuhan
(paralisis) / hilangnya fungsi motorik. Kelumpuhan ini terjadi di Syaraf
Kranial yang mengontrol Pergerakan Mata (syaraf ke-3, ke-4, ke-6),
mengganggu kemampuan untuk menggerakkan mata. gerakan mata
dipengaruhi tergantung pada syaraf mana yang terkena. Mata digerakkan oleh
tiga pasang otot, dikendalikan oleh syaraf cranial ke-3, ke-4, dan ke-6. otot-
otot ini menggerakkan mata ke atas dan ke bawah, ke kanan dan ke kiri, dan
secara diagonal. Orang bisa mengalami penglihatan ganda ketika mereka
melihat pada arah tertentu. Selain itu hal hal yang dapat merusak syaraf cranial
antara lain :
Luka kepala
Tumor
Multiple sclerosis
Aneurysms
Infeksi otak, seperti meningitis, bisul otak atau infeksi parasit
Komplikasi pada telinga atau infeksi mata
Penyumbatan pada arteri yang mensuplai syaraf, bisa disebabkan dari
diabetes, stroke, serangan ischemic transient, atau vasculitis.
Infeksi pernafasan (pada anak)
b. Bagaimana patofisiologi Opthalmoplegia?
Penyebab dari cedera atau lesi yang tersering adalah cedera traumatik.
pada trauma kepala tumpul, yang menyebabkan cedera kepala tertutup, ke semua
dari tiga saraf okulomotor dapat terkena baik secara perifer maupun sentral,
primer maupun sekunder akibat edema dan herniasi.
Deviasi pada mata biasanya terlihat pada tahap awal dari cedera otak, meskipun
biasanya sementara. Insidensinya dilaporkan mencapai 3% sampai 7% dari
keseluruhan cedera kepala. Trauma cerebri sering mempengaruhi N III, terutama
pada anak-anak. Muskulus rektus superior sepertiya yang paling parah terlibat
27
pada trauma tumpul. Trauma tumpul dapat juga merusak spichter pupil secara
langsung atau melalui iskhemia, menyebabkan midriasis, respon terhadap cahaya
yang buruk, dan gangguan akomodasi. N IV agak jarang terkena namun bisa
terkena pada cedera kepala sedang. N VI memiliki jalur intrakranial terpanjang
dari seluruh saraf kranialiss; oleh karenanya cukup rentan terhadap cedera. Lesi
Bilateral terjadi dalam banyak kasus; seringkali, cederanya diakrenakan
peregangan saraf setelah benturan frontal.
Ophthalmoplegia sebagai akibat sekunder dari fraktur orbita, yang
menyerang terutama CN II, III, IV, dan VI; fraktur dapat juga menyebabkan
gangguan sensoris dengan rusaknya divisi ophthalmic dari N V. Ophthalmoplegia
sebagai akibat sejunder dari fraktur basis kranii yang melibatkan sinus cavernous
dapat menyerang semua saraf okulomotor.
Lesi saraf okulomotor harus dibedakan dengan pergeseran orbita yang
terjadi pada cedera fraktur hantaman pada orbita. Terperangkapnya muskulus
rektus inferior dapat menyebabkan restriksi dalam memandang ke atas. Trauma
yang sudah lama atau ophthalmoplegia kronik progresif juga membatasi
jangkauan gerak bola mata akibat pemendekan atau fibrosis otot-otot okuler.
Penyebab spesifik ini dapat diketahui atau disingkirkan dengan pemeriksaan
“forced duction”, yang menggerakkan bola mata secara mekanis dan, oleh
karenanya, mengevaluasi jangkauan pergerakan secara pasif.
Luka tembak tembus dapat mengenai saraf-saraf okulomotor sebagaimana hal nya
denan N II. Cedera pada spinal servikal bagian atas dapat melibatkan N VI, dan
juga N IX, X, XI, dan terutamaXII.
Lesi nontrumatik termasuk penyakit peradangan sinus cavernous (Tolosa-Hunt
syndrome), yang dapat melibatkan semua saraf kranialis oklomotor dan cabang 1
dan 2 dari N V (Figure 7-17). Penyebab lesi yang lain adalah septic thrombosis
pada sinus cavernous. Pada iskemik nuropati diabetika, N III dan VI adalah yang
paling sering terkena. Seringkali hanya satu saraf yang tidak terkena.
Pada hipertensi, fasikulus N VI dapat mengalami infark dan timbul sebaai suatu
lesi tunggal saraf kranialis. Peradangan dan fibrosis terlihat lebih sering pada
thyroid ophthalmopathy, menyebabkan vertical diplopia karena keterlibatan
asimetris otot-otot dengan predileksi muskilus rektus inferior atau superior. Suatu
myositis pada m. obliq inferior sering terjadi. Ophthalmoplegia progresif kronis
28
yang dikenal dengan Graefe disease. Pada myasthenia gravis, keterlibatan awal
terlihat pada rektus medial dan levator palpebrae, monocular ataupun binocular.
Penyebab lain yang agak jarang dari ophthalmoplegia adalah Wernike’s
encephalopathy, aneurisma atau thrombosis karotis interna, Paget’s disease orbita,
dan Guillain-Barré syndrome. Telah dilaporkan bahwa selama anestesi gigi
terkadang terjadi paralysis otot-otot okuler pada injeksi anestesi kedalam arteri
gigi superior maupun inferior. Obat anestesi dibawa melalui arteri maxillaris,
arteri meningea media, arteri lakrimalis, dan akhirnya menuju arteri ophthalmicus.
Sebagai komplikasi paska operasi setelah operasi ataupun radioterapi,
neuromyotonia okuler dapat terjadi. Insidensinya diperkirakan 0.25% setelah
anestesi spinal.
Obat-obatan atau racun seperti phenytoin atau Phenobarbital dapat
menyebabkan gangguan konvergensi dan reflek akomodasi. Timbal dapat
menyebabkan paralysis muskulus rektus lateralis, yang berkembangn dengan
cepat; ophthalmoplegia internal dapat terjadi. Keracunan Metil chlorida dan
sodium fluoride dapat menyerupai botulismus.
Sindroma yang melibatkan N IV
Berikut adalah sindroma yang melibatkan saraf IV
o Millard-Gubler syndrome: kelemahan wajah Ipsilateral dan hemiplegia
kontralateral, dalam banyak kasus juga melibatkan N VI, menyebabkan suatu
strabismus internal. Lesinya terletak di pons.
o Wernicke’s syndrome: kelumpuhan Ocularmotor karena keterlibatan
nukleus saraf kranial III atau IV. Ptosis dan perubahan pupil sering ditemukan,
karena keterlibatan nucleus red. Neuritis optik, perdarahan retina, ataxic gait,
dan kelemahan otot dapat juga terjadi.
o Möbius’ syndrome: Ocular palsy sebagai tambahan dari facial palsy.
N.troklearis dan n.abdusens merupakan saraf somatomotorik,
n.okulomotorius mengandung juga serabut-serabut viseromotorik yang berasal
dari inti Edinger Westphal, yang mengurus konstriksi pupil. Serabut
n.okulomotorius juga mempersyarafi otot levator palpebral. Maka
n.okulomotorius yang mengalami gangguan (terputus) oleh sebab tertentu
dapat menimbulkan kelumpuhan otot okular, levator palpebral dan otot sfinger
29
pupil. Ketiga gejala ini menyusun sindrom ptosis, strabismus, divergens,
ipsilateral dan midriasis (pupil lebar).
Kelumpuhan otot okular meliputi :
1. N.oculomotor (III) : paralisis m.rektus medialis, m.rektus superior,
m.rektus inferior, m. oblikus inferior.
2. N. Troklearis (IV) : paralisis m.oblikus superior
3. N. Abdusens (VI) : paralisis m.rektus lateralis
Jika lebih dari satu otot okular yang lumpuh, maka disebutlah opthalmoplegia
(paralisis saraf 3, 4, 6). Pada umunya opthalmoplegia muncul akibat proses
patologik intrakranial, seperti proses desak ruang intrakranial yang
30
berkedudukan di sekitar fisura orbitalis superior, proses di dinding lateral
sinus kavernosus ataupun proses di dalam batang otak dan otak. Macam-
macam opthalmoplegia :
Gangguan pada bagian tepi, nuklear atau supranuklear n.okulomotorius
Gangguan gerakan bola mata akibat lesi di korteks cerebri
Gangguan gerakan bola mata akibat lesi di cerebellum
Gangguan gerakan bola mata akibat lesi di batang otak
Lesi supranuklear di mesensefalon
Lesi supranuklear di pons
Lesi supranuklear di medula oblongata
Lesi internuklear
Lesi nuklear
Lesi radikular
c. Bagaimana hubungan hasil pemeriksaan fisik ( pandangan, pendengaran,
penciuman, dan perasa) wajah simetris dengan multiple sclerosis?
MS adalah salah satu penyakit sistem syaraf pusat (otak dan jaringan
syaraf sum-sum tulang belakang) akibat kerusakan myelin. Myelin adalah materi
yang melindungi syaraf, berfungsi seperti lapisan pelindung pada kabel listrik dan
memudahkan syaraf untuk mengirim impulsnya dengan cepat. Kecepatan dan
efisiensi pengiriman impuls inilah yang memungkinkan sebuah gerakan tubuh
yang halus, cepat,dan terkoordinasi dilakukan hanya dengan sedikit upaya. Pada
MS, kerusakan myelin (demyelinasi) menyebabkan gangguan kemampuan serabut
syaraf untuk menghantarkan ‘pesan’ ke dan dari otak. Lokasi terjadinya kerusakan
myelin (plak atau lesi) tampak seperti area (parut/luka) yang mengeras: pada MS,
parut-parut/luka-luka ini tampak pada otak dan tulang belakang. Plak
menyebabkan myelin akhirnya menghilang. Sebagai konsekwensinya, impuls-
impuls listrik yang berjalan sepanjang syaraf-syaraf memperlambat, menjadi lebih
perlahan. syaraf-syaraf sendiri menjadi rusak. Ketika semakin banyak syaraf-
syaraf yang terpengaruh, seorang pasien mengalami suatu gangguan yang
progresif pada fungsi-fungsi yang dikontrol oleh sistim syaraf seperti penglihatan,
kemampuan berbicara, berjalan, menulis, dan ingatan.
31
5. Her physician says that she sufer from tic douloureux. ****
a. Bagaimana etiologi tic douloureux?
Ada beberapa penyebab Trigeminal Neuralgia (tic douloureux), yang
paling sering adalah akibat penekanan oleh pembuluh darah di sekitar saraf
trigeminal (sekitar 90 %). Penyebab lainnya adalah tumor dan penyakit multiple
sclerosis.
Penekanan saraf trigeminal pada pembuluh darah
Penyebab kondisi ini adalah iritasi syaraf cranial kelima (syaraf
Trigeminal) yang bertanggung jawab untuk memberikan sensasi wajah. Iritasi ini
kadangkala disebabkan oleh tumor jinak atau sklerosis multiple, atau yang
biasanya dapat dideteksi dengan MRI otak kualitas tinggi.
32
b. Bagaimana patofisiologi tic douloureux?
Neuralgia Trigeminal (tic douloureux) dapat terjadi karena akibat
berbagai kondisi yang melibatkan sistem persarafan trigeminus ipsilateral. Pada
kebanyakan kasus, tampaknya yang menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh
salah satu arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring dengan
perjalanan usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang otak.
Lima sampai delapan persen kasus disebabkan oleh adanya tumor benigna pada
sudut serebelo-pontin seperti meningioma, tumor epidermoid, atau neurinoma
akustik. Kira-kira 2-3% kasus karena sklerosis multipel. Ada sebagian kasus yang
tidak diketahui sebabnya. Menurut Fromm, neuralgia Trigeminal bisa mempunyai
penyebab perifer maupun sentral.
Sebagai contoh dikemukakan bahwa adanya iritasi kronis pada saraf ini,
apapun penyebabnya, bisa menimbulkan kegagalan pada inhibisi segmental pada
nukleus atau inti saraf ini yang menimbulkan produksi ectopic action potential
pada saraf Trigeminal. Keadaan ini, yaitu discharge neuronal yang berlebihan dan
pengurangan inhibisi, mengakibatkan jalur sensorik yang hiperaktif. Bila tidak
terbendung akhirnya akan menimbulkan serangan nyeri. Aksi potensial
antidromik ini dirasakan oleh pasien sebagai serangan nyeri trigerminal yang
paroksismal. Stimulus yang sederhana pada daerah pencetus mengakibatkan
terjadinya serangan nyeri. Efek terapeutik yang efektif dari obat yang diketahui
bekerja secara sentral membuktikan adanya mekanisme sentral dari neuralgi.
Tentang bagaimana multipel sklerosis bisa disertai nyeri Trigeminal diingatkan
akan adanya demyelinating plaques pada tempat masuknya saraf, atau pada
nukleus sensorik utama nervus trigeminus.
Pada nyeri Trigeminal pasca infeksi virus, misalnya pasca herpes,
dianggap bahwa lesi pada saraf akan mengaktifkan nociceptors yang berakibat
terjadinya nyeri. Tentang mengapa nyeri pasca herpes masih bertahan sampai
waktu cukup lama dikatakan karena setelah sembuh dan selama masa regenerasi
masih tetap terbentuk zat pembawa nyeri hingga kurun waktu yang berbeda. Pada
orang usia muda, waktu ini relatif singkat. Akan tetapi, pada usia lanjut nyeri bisa
berlangsung sangat lama. Pemberian antiviral yang cepat dan dalam dosis yang
adekuat akan sangat mempersingkat lamanya nyeri ini.
Peter Janetta menggolongkan neuralgia glossopharyngeal dan hemifacial
spasm dalam kelompok "Syndromes of Cranial Nerve Hyperactivity". Menurut
33
dia, semua saraf yang digolongkan pada sindroma ini mempunyai satu kesamaan:
mereka semuanya terletak pada pons atau medulla oblongata serta dikelilingi oleh
banyak arteri dan vena. Pada genesis dari sindroma hiperaktif ini, terdapat dua
proses yang sebenarnya merupakan proses penuaan yang wajar:
1. Memanjang serta melingkarnya arteri pada dasar otak.
2. Dengan peningkatan usia, karena terjadinya atrofi, maka otak akan bergeser
atau jatuh ke arah caudal di dalam fossa posterior dengan akibat makin
besarnya kontak neurovaskuler yang tentunya akan memperbesar
kemungkinan terjadinya penekanan pada saraf yang terkait.
3. Ada kemungkinan terjadi kompresi vaskuler sebagai dasar penyebab umum
dari sindroma saraf kranial ini. Kompresi pembuluh darah yang berdenyut,
baik dari arteri maupun vena, adalah penyebab utamanya. Letak kompresi
berhubungan dengan gejala klinis yang timbul. Misalnya, kompresi pada
bagian rostral dari nervus trigeminus akan mengakibatkan neuralgia pada
cabang oftalmicus dari nervus trigeminus, dan seterusnya.
Menurut Calvin, sekitar 90% dari neuralgia Trigeminal penyebabnya
adalah adanya arteri "salah tempat" yang melingkari serabut saraf ini pada usia
lanjut. Mengapa terjadi perpanjangan dan pembelokan pembuluh darah, dikatakan
bahwa mungkin sebabnya terletak pada predisposisi genetik yang ditambah
dengan beberapa faktor pola hidup, yaitu merokok, pola diet, dan sebagainya.
Pembuluh darah yang menekan tidak harus berdiameter besar. Walaupun hanya
kecil,misalnya dengan diameter 50-100 um saja, sudah bisa menimbulkan
neuralgia,hemifacial spasm,tinnitus,ataupun vertigo.Bila dilakukan microvascular
decompression secara benar, keluhan akan hilang.
c. Bagaimana hubungan tic douloureux dengan multiple sclerosis?
Pada kasus sklerosis multipel yaitu penyakit otak dan korda spinalis yang
ditandai dengan hilangnya lapisan mielin yang membungkus saraf, jika sudah
melibatkan sistem nervus trigeminus maka akan menimbulkan gejala neuralgia
trigeminal atau tic douloureux. Pada tipe ini sering terjadi secara bilateral dan
cenderung terjadi pada usia muda sesuai dengan kecenderungan terjadinya
sklerosis multipel. (Olessen, 1988 ;Kaufmann, 2001 ; Passon, 2001)
34
d. Bagaimana gejala tic douloureux?
1. Sesekali kedutan yang menyebabkan nyeri ringan
2. Nyeri yang menusuk-nusuk seperti sengatan listrik
3. Serangan nyeri yang dipicu oleh hal-hal seperti menyentuh wajah,
mengunyah, berbicara dan menyikat gigi
4. Nyeri selama beberapa hari, minggu, bulan atau lebih lama
5. Nyeri pada pipi, rahang, gigi, gusi, bibir, atau kurang sering mata dan dahi
6. Sakit di satu sisi wajah
7. Nyeri terfokus di satu tempat atau menyebar dalam pola yang lebih luas
e. Apa saja innervasi dari trigerminal neuralgia?
N. opthalmicus (N. V1)
Bersifat sensorik murni. Saraf ini berjalan ke depan pada dinding
lateral sinus cavernosus didalam fossa cranii media dan bercabang 3,
n.lacrimalis, n. frontalis, n. nasociliaris, yang masuk kedalam rongga
orbita melalui fissure orbitalis superior. Saraf-saraf ini didistribusikan ke
cornea, kulit dahi dan kepala, kelopak mata, mucosa sinus paranasales, dan
cavitas nasi. Saraf ini juga mempersarafi hidung sampai ke puncak hidung
N. maxillaris (N. V2)
Bersifat sensorik murni. Saraf ini meninggalkan tengkorak melaui
foramen rotundum kemudian didistribusikan kekulit wajah didaerah
maxilla, gigi rahang atas, mucosa hidung, sinus maxillaris, dan palatum
N. mandibullaris (N. V3)
Bersifat motoric dan sensorik. Radix sensorik meninggalkan
trigeminus dan keluar dari tengkorak melalui foramen ovale. Radix
motoric n. trigeminus juga keluar dari tengkorak melalui foramen yang
sama dan bergabung dengan radix sensorik untuk membentuk truncus n.
mandibullaris.
Serabut sensorik n. mandibullaris mempersarafi kulit pipi, kulit diatas
mandibulla, bibir bawah dan sisi kepala. Saraf ini mempersarafi juga
articulatio temporomandibullaris dan gigi-geligi rahang bawah, mucosa
pipi, dasar mulut, dan bagian depan lidah.
Serabut motoric n. mandibullaris mempersarafi otot-otot pengunyah;
m. mylohyoideus dengan membentuk dasar mulut; venter anterior m.
35
digastricus; m. tensor veli palatine palatum molle; dan m. tensor tympani
telinga tengah
36
37
IV. KETERKAITAN ANTAR MASALAH
38
Multiple Sclerosis
Latina 35 Tahun
Diobati dengan intravenous
corticosteroid therapyTic douloureux
N. Trigeminal rusakMenyikat Gigi
Sakit yang parah pada pipi kanan dan dagu
V. KERANGKA KONSEP
39
Mrs. Latina
Tic douloureux
Demyelinisasi di substansi alba
Terapi
Faktor Resiko
(genetic, toksin, infeksi)
Nyeri menyakitkan yang ditimbulkan saat menyikat gigi dan lama-kelamaan timbul sakit yang hebat
No abnormality
Ke n. buchalis (percabangan n.trigeminalis) mandibularis
Menghambat gejala-gejala dr latina sampai 2 tahun
Multiple sclerosis
Lesi ganglion/akar saraf
S. myelin hilang
Muncul jar. Parut di SSP
2 tahun kemudian inflamasi leukosit (sel T dipons)
Menjadi plak
VI. SINTESIS MASALAH
1. ANATOMI, PATHOFISIOLOGY & DIFFERENTIAL DIAGNOSIS OF
FACIAL PAIN
Anatomi facial pain
Gambar 1. Anatomi dari nervus trigeminus
Nervus trigeminus merupakan saraf cranial terbesar. Saraf ini
meninggalkan aspek anterior pons sebagai radix motoria dan radix sensoria
yang besar, berjalan ke depan, keluar dari fossa cranii posterior, untuk
mencapai apex pars petrosa ossis temporalis di dalam fossa cranii media. Di
sini, radix sensoria membesar membentuk ganglion trigeminale. Ganglion
trigeminale terletak di dalam sebuah kantong duramater disebut cavum
trigeminale. Radix motoria nervus trigeminus terletak di bawah ganglion
sensorik dan terpisah darinya. Nervus opthalmicus (N.V1), nervus maxillaris
(N.V2), dan nervus mandibularis (N.V3) bersala dari pinggir anterior
ganglion. adalah saraf otak motorik dan sensorik.
Serabut-serabut sensoriknya menghantarkan impuls nyeri, suhu, raba
dan perasaan proprioseptif. Kawasannya ialah wajah dan mukosa lidah dan
rongga mulut serta lidah, dan rongga hidung. Impuls proprioseptif, terutama
berasal dari otot-otot yang dipersarafi oleh cabang mandibular sampai ke
ganglion Gasseri.
40
Cabang pertama N.V. ialah cabang ophtalmikus. Ia menghantarkan
impuls protopatik dari bola mata serta rung orbita, kulit dahi sampai vertex.
Impuls sekretomotorik dihantarkan ke glandula lakrimalis. Serabut-serabut
dari dahi menyusun nervus frontalis. Ia masuk melalui ruang orbita melalui
foramen supraorbitale. Serabut-serabut dari bola mata dan rongga hidung
bergabung menjadi seberkas saraf yang dikenal sebagai nervus nasosiliaris.
Berkas saraf yang menuju ke glandula lakrimalis dikenal sebagai nervus
lakrimalis. Ketiga berkas saraf, yakni nervus frontali, nervus nasosiliaris dan
nervus lakrimalis saling mendekat pada fisura orbitalis superior dan di
belakang fisura tersebut bergabung menjadi cabang I N.V. (nervus
opthalmikus). Cabang tersebut menembus duramater dan melanjutkan
perjalanan di dalam dinding sinus kavernosus. Pada samping prosesus
klinoideus posterior ia keluar dari dinding tersebut dan berakhir di ganglion
Gasseri. Di dekatnya terdapat arteri facialis.
Cabang kedua ialah cabang maxillaris yang hanya tersusun oleh
serabut-serabut somatosensorik yang menghantarkan impuls protopatik dari
pipi, kelopak mata bagian bawah, bibir atas, hidung dan sebagian rongga
hidung, geligi rahang atas, ruang nasofarings, sinus maxillaris, palatum molle
41
dan atap rongga mulut. Serabut-serabut sensorik masuk ke dalam os.
maksilaris melalui foramen infraorbitalis. Berkas saraf ini dinamakan nervus
infraorbialis. Saraf-saraf dari mukosa cavum nasi dan rahang atas serta geligi
atas juga bergabung dalam saraf ini dan setelahnya disebut nervus maksilaris,
cabang II N.V. Ia masuk ke dalam rongga tengkorak melalui foramen
rotundum kemudian menembus duramater untuk berjalan di dalanm dinding
sinus kavernosus dan berakhir di ganglion Gasseri. Cabang maksilar nervus V
juga menerima serabut-serabut sensorik yang berasal dari dura fossa crania
media dan fossa pterigopalatinum.
Cabang mandibularis (cabang III N.V. tersusun oleh serabut
somatomotorik dan sensorik serta sekretomotorik (parasimpatetik). Serabut-
serabut somatomotorik muncul dari daerah lateral pons menggabungkan diri
dengan berkas serabut sensorik yang dinamakan cabang mandibular ganglion
gasseri. Secara eferen, cabang mandibular keluar dari ruang intracranial
melalui foramen ovale dan tiba di fossa infratemporalis. Di situ nervus
meningea media (sensorik) yang mempersarafi meninges menggabungkan diri
pada pangkal cabang madibular. Di bagian depan fossa infratemporalis,
cabang III N.V. bercabang dua.
Yang satu terletak lebih belakang dari yang lain. Cabang belakang
merupakan pangkal dari saraf aferen dari kulit daun telinga (nervus
aurikulotemporalis), kulit yang menutupi rahang bawah, mukosa bibir bawah,
dua pertiga bagian depan lidah (nervus lingualis), glandula parotis dan gusi
rahang bawah ( nervus dentalis inferior) dan serabut eferen yang mempersarafi
otot-otot omohioideus dan bagian anterior muskulus digastrikus Cabang
anterior dari cabang madibular terdiri dari serabut aferen yang menghantarkan
impuls dari kulit dan mukosa pipi bagian bawah dan serabut eferen yang
mempersyarafi otot-otot temporalis, masseter, pterigoideus dan tensor timpani.
Serabut-serabut aferen sel-sel ganglion gasseri bersinaps di sepanjang wilayah
inti nukleus sensibilis prinsipalis (untuk raba dan tekan)serta nukleus spinalis
nervi trigemini (untuk rasa nyeri) dan dikenal sebagai tractus spinalis nervi
trigemini. dan didekatnya terdapat arteri a. Alveolaris inferior
Patofisiologi Facial Pain
42
Ada beberapa hipotesis dari para ahli terhadap bagaimana patofisiologi
neuralgia trigeminal ini. Diduga bahwa neuralgia trigeminal disebabkan oleh
demielinisasi saraf yang mengakibatkan hantaran saraf cenderung meloncat ke
serabut-serabut saraf di dekatnya. Hal ini mengakibatkan sentuhan yang ringan
saja dapat dirasakan sebagai nyeri, akibat hantaran yang berlebihan itu.
Aneurisma, tumor, peradangan meningeal kronis, atau lesi lainnya
dapat mengiritasi akar saraf trigeminal sepanjang pons bisa juga menyebabkan
gejala neuralgia trigeminal. Vaskular yang abnormal dari arteri serebelum
superior sering disebut sebagai penyebabnya. Lesi dari zona masuknya akar
trigeminal dalam pons dapat menyebabkan sindrom nyeri yang sama.
Serangan nyerinya tidak dapat diperkirakan; karena nyeri dapat
dicetuskan oleh aktivitas sehari-hari yang biasanya tidak menimbulkan nyeri
(seperti menyisir rambut, mengunyah makanan, menggosok gigi, atau bahkan
saat terkena hembusan angin). Dikenal pula istilah trigger zone, yaitu daerah
yang sering menjadi awal bermulanya neuralgia; yang terletak di sekitar
daerah sekitar hidung dan mulut.
Differential Diagnosis
Menurut Asosiasi Internasional untuk penelitian rasa nyeri
(International Association for Study of Pain = IASP), rasa nyeri fasial kronik
menyebabkan terjadinya gejala paling sedikit 6 bulan sekali. Diagnosa
atypical merupakan diagnosa akhir setelah diagnose lain dipertimbangkan.
Atypical facial pain mempunyai tanda khas yaitu kronik, rasa sakit yang
konstan tanpa adanya penyebab yang terlihat pada wajah dan otak. Banyak
sumber informasi menyatakan bahwa semua rasa sakit wajah yang tidak jelas
sumbernya disebut Atypical facial pain.1 Atypical odontalgia, atau phantom
tooth pain, adalah variasi dari atypical facial pain yang mana rasa sakit yang
intensif berpusat di sekitar satu atau beberapa gigi tanpa adanya penyakit gigi
atau mulut yang terlibat. Selain atypical odontalgia, terdapat berbagai nyeri
yang terjadi pada regio orofasial, diantaranya sekitar 10-50% dapat terjadi
pada populasi.1-9
Penyakit yang kurang sering terjadi yang dapat dikacaukan dengan
atypical odontalgia adalah trigeminal neuralgia. Trigeminal neuralgia
43
memiliki nyeri yang tajam dengan beberapa tanda patologi dan nyeri terlokasi
pada gigi.
Klasifikasi facial pain, beberapa hal pokok menunjukkan beberapa
diagnosis yang berbeda dan strategi pemgobatan mayor dari facial pain secara
neurologis, masing – masing sakit non-neurogical memiliki penyebab
pengobatan yang memiliki subspesialisasi yang beragam. Neurological facial
pains banyak dari neural cranial termasuk trigeminal neuralgia dan yang
terbaru adalah “trigeminal dysesthesias”.
Post-lesional neuropathic pains dikarakteristikkan dari sakit yang
berkelanjutan dan ada hyperalgesia dan allodynia. “atypical facial pain” jarang
didiagnosis dengan reflek dengan kehadiran dari eriologi yang teridentifikasi.
Dari sindrom sakit, ada riwayat pasien yang memiliki bagian esensial
dari ternosis. Bersama dengan penjelasan klinis, ini menunjukkan diagnose
dari sakit kepala primer atau facial pain dari kebanyakan kasus. Jika riwayat
dari kelainan sakit primer ini diamsumsikan sebagai atypical featutes yang ada
dan secara particular jika sakit kepala sekunder atau facial pain ada,
investigasi paraklinis akan dibutuhkan. Kunci diagnosis dari facial pain bisa
digabungdari lokasi sakit, karakteristik sakit, temporal profile, gejala yang
sering dialami dan factor – factor lain. Respon pengobatan kelainan primer
bisa membantu menunjukkan diagnosis. Karena rasa sakit tersebut
menunjukkan area dan menajdi petunjuk generalisasi jalannya sakit itu sendiri.
Walaupun begitu, sakit membawahi orbit atau tempat tipikal dari
migraine atau arteritis temporal, dimana tempat sakit menuju sakit kepala yang
mengikat, glaucoma, atau sindrom Tolosa-Hunt. Sakit bisa terasa di pipi dan
bisa ditemukan di bagian sinus maksila atau masalah gigi, tetapi juga dengan
trigeminal neuralgia atau dysesthesias. Divisi kedua dari saraf trigeminal
menjadi tempat paling sering terdeteksi. Rasa sakit di mandibula bisa
diindikasi dari patologi dengan tekanan saraf submental. Sindrom eagle atau
temporomandibular disfungsi. Lidah bisa terluka karena sindrom neck-tongue,
dimana ketika menggerakkan kepala bisa merasakan sakit dan parasthesias
karena spine bagian servikal atas dan anastomosis diantara plexus cervival dan
saraf hypoglossus.
44
Untuk menegakkan diagnosis neuralgia trigeminal, IHS (International
Headache Society) menetapkan kriteria diagnostik untuk neuralgia trigeminal
sebagai berikut:
1. Serangan nyeri paroksismal yang bertahan selama beberapa detik sampai 2
menit, mengenai satu atau lebih daerah persarafan cabang saraf trigeminal.
2. Nyeri harus memenuhi satu dari dua kriteria berikut:
1. Intensitas tinggi, tajam, terasa di permukaan, atau seperti ditusuk-tusuk.
2. Berawal dari trigger zone atau karena sentuhan pemicu.
3. Pola serangan sama terus.
4. Tidak ada defisit neurologis.
5. Tidak ada penyakit terkait lain yang dapat ditemukan.
Neuralgia trigeminal hendaknya memenuhi seluruh kriteria tersebut;
minimal kriteria 1, 2, dan 3
2. MULTIPLE SCLEROSIS
Multiple sclerosis (MS) pertama kali ditemukan pada tahun 1882 oleh Sir
Agustus D’este dari Inggris, akan tetapi Cruveilhier & Charcot member gambaran
lebih terperinci tentang adanya plak dan sclerosis pada susunan saraf pusat.
Multiple sclerosis merupakan suatu kondisi patofisiologis yang ditandai dengan
terjadinya dimielinisasi serat-serat saraf di berbagai lokasi diseluruh system saraf.
Multiple sclerosis merupakan penyakit autoimmune, yakni system pertahanan
tubuh keliru menyerang selubung myelin yang membungkus serat-serat bermielin.
Hilangnya myelin memperlambat transmisi impuls pada neuron yang terkena.
Pembentukan jaringan parut berkaitan dengan kerusakan myelin juga dapat
merusak akson dibawahnya yang semakin mengganggu perambatan potensial
aksi. Sebagian besar MS terjadi pada umur diantara 20-40 tahun.
Etiologi
Penyebab Multiple Sclerosis (MS) tidak diketahui, tetapi tampak terdapat
kecendrungan genetic pada perkembangan penyakit ini dan penyakit autoimmune
lainnya. Beberapa bukti menunjukkan bahwa infeksi virus pada masa kanak-
kanak, mungkin campak atau jenis infeksi herpes, dapat mencetuskan respons
imun. Diperkirakan rusaknya sawar darah-otak selama infeksi virus
45
memungkinkan limfosit B, yang dibentuk untuk melawan virus, masuk dan
berkolonisasi di otak. Klon IgG sering ditemukan pada cairan sub cerebral
individu yg mengalami MS. Jumlah klon ini semakin meningkat sejalan dengan
peningkatan eksaserbasi penyakit. Teori lain menduga bahwa factor genetic
tertentu menyebabkan beberapa orang lebih peka terhadap invasi Sistem Saraf
Pusat dengan berbagai virus dengan masa inkubasi lama dan hanya berkembang
dengan keadaan defisiensi atau imun yang abnormal. Bukti terbaik baru-baru ini
mendukung mekanisme etiologi MS berikut ini: toksin-toksin langsung (termasuk
agen-agen biologis); mekanisme imun yang diperantarai humoral dan diperantarai
sel; serta oligodendrogliopati primer yang mengakibatkan demielinisasi dan cidera
akson.
Patofisiologi
Multiple sclerosis mengenai substansia alba otak dan medulla spinalis, serta
nervus opticus. Ditemukan sel inflamasi kronik dan kerusakan myelin dengan
akson yang relatif masih baik. Pada substansia alba terdapat area yang relatif
tampak normal yang berselang-seling dengan fokus inflamasi dan demielinisasi
yang disebut plak, yang seringkali terletak dekat venula. Demielinisasi inflamasi
jalur sistem saraf pusat menyebabkan penurunan dan gangguan kecepatan hantar
saraf dan akhirnya hilangnya penghantaran informasi oleh jaras tertentu.
Plak inflamasi akan mengalami evolusi seiing berjalannya waktu. Pada tahap
awalterjadi perombakan lokal sawar darah-otak, diikuti inflamasi dengan edema,
hilangnya mielin,dan akhirnya terbentuk jaringan parut sistem saraf pusat yaitu
gliosis. Hasil akhir akan menyebabkan area sklerosis yang mengkerut, yang
berkaitan dengan defisit klinis minimal dibandingkan saat plak masih aktif. Hal ini
disebabkan oleh remielinisasi yang merupakan potensi system saraf pusat, dan
juga memperjelas kembalinya fungsi dengan resolusi inflamasi dan edema.
Keadaan patologis ini berhubungan dengan polla klinis relaps sklerosis multiple,
yaitu terjadi gejala untuk suatu periode tertentu yang selanjutnya membaik secara
parsial atau total. Lesi inflamasi lebih lanjut yang terletak dekat lokasi kerusakan
yang sudah ada sebelumnya akan menyebabkan akumulasi defisit neurologis.
46
Manifestasi klinik
MS merupakan penyakit demyelinating yang mengenal serebelum, saraf optikus
dan medula spinalis (terutama mengenai traktus kortikospinalis dan kolumna
posterior), secara patologi memberi gambaran plak multipel di susunan saraf pusat
khususnya periventrikuler subtansia alba.
Gejala Klinik MS
1. Kelemahan umum : biasanya muncul setelah aktivitas minimal, kelemahan
bertambah berat dengan adanya peningkatan suhu tubuh dan kelembapan tinggi,
yang disebut sebagai Uht holff fenomena (pada akson yang mengalami
demylisasi). Kelemahan seperti ini dapat dosertai kekakuan pada ekstermitas
sampai foot drop.
2. Gangguan sensoris : baal, kesemutan, perasaan seperti diikat, ditusuk jarum,
dingin pada tungkai dan tangan, pada pemeriksaan fisik dengan test lhermitte
biasa (+) (30%) hal ini akibat adanya plek pada kolumna servikal posterior yang
kemudian meiritasi dan menekan medula spinalis.
3. Nyeri : pada kebanyakan pasien MS akan mengalami nyeri (Clifford &Troter),
nyeri bersifat menahun. Nyeri pada MS berbentuk:
a. Nyeri kepala relatif sering didapatkan (27%)
b. Nyeri neurolgia trigeminal: pada orang muda dan bilateral relatif jarang (5%)
c. Nyeri akibat peradangan nervus optikus akibat penekanan dura sekitar nervus
optikus
d. Nyeri visceral berupa spasme kandung kemih, konstipasi.
4. Gangguan Blader : pada 2/3 kasus MS akan mengalami gangguan hoperreflek
blader oleh karena gangguan spincter, pada fase awal areflek dan 1/3 hiporelek
dengan gejala impoten.
47
5. Gangguan serebelum : 50% kasus memberi gejala intension tremor, ataksia,
titubasi kepala, disestesia, dan dikenal sebagai trias dari Charcott: nistagmus,
gangguan bicara, intension tremor.
6. Gangguan batang otak : lesi pada batang otak akan mengganggu saraf intra
aksonal, nukleus, internuklear, otonom dan motorik, sensorik sepanjang traktus-
traktus.
a. Lesi N III-IV menyebabkan diplopia, parese otot rektus medial yang
menyebabkan internuklear ophtalmoplegi (INO) patognomonis untuk MS.
b. Lesi N V menyebabkan tic douloureux
c. Lesi N VII menyebabkan Bell palsy.
d. Lesi N VIII menyebabkan vertigor (sering), hearing loss (jarang).
7. Gangguan N Optikus (Neuritis optika) : terutama pada pasien muda
sebanyak 31%, gejala berupa, penurunan ketajaman penglihatan, skotoma sentral,
gangguan persepsi warna, nyeri pada belakang bola mata, visus akan membaik
setelah 2 minggu onset neuritis optika kemudian sembuh dalam beberapa bulan.
Penambahan suhu tubuh akan memperbesar gejala (uht holff).
8. Gangguan fungsi luhur : fungsi luhur umunya masih dalam batas normal,
akan tetapi pada pemeriksaan neuropsikologi didapatkan perlambatan fungsi
kognisi sampai sedang atau kesulitan menemukan kata.
3. INTRAVENOUS CORTICOSTEROID THERAPY
Mekanisme Kerja Kortikosteroid sebagai Anti-inflamasi
Kortikosteroid merupakan anti-inflamasi yang identik dengan kortisol, hormon
steroid alami pada manusia yang disintesis dan disekresi oleh korteks adrenal.1
Efek anti- inflamasi kortikosteroid mempengaruhi berbagai sel imuno- kompeten
seperti sel T, makrofag, sel dendritik, eosinofil, neutrofil, dan sel mast, yaitu
dengan menghambat respons inflamasi dan menyebabkan apoptosis berbagai sel
tersebut.5 Kerja kortikosteroid menekan reaksi inflamasi pada tingkat molekuler
terjadi melalui mekanisme genomik dan non- genomik. Glukokortikoid (GK)
berdifusi pasif dan berikatan dengan reseptor glukokortikoid (RG) di sitosol.
Ikatan GK- RG mengakibatkan translokasi kompleks tersebut ke inti sel untuk
berikatan dengan sekuens DNA spesifik, yaitu gluco- corticoid response elements
(GRE). Ikatan GK-RG dengan DNA mengakibatkan aktivasi atau supresi proses
48
transkripsi. Mekanisme non-genomik GK terjadi melalui aktivasi endot- helial
nitric oxide synthetase (eNOS) yang menyebabkan lebih banyak pelepasan nitric
oxide (NO), suatu mediator anti-inflamasi.
Resistensi dan Efek Samping pada Penggunaan Korti- kosteroid Jangka
Panjang
Meskipun efektif dalam mengatasi peradangan akut, efek kortikosteroid seringkali
tidak bertahan lama bahkan menyebabkan resistensi atau rekurensi dalam
perjalanan terapi jangka panjang. Selain itu, efek samping kortikosteroid baik
topikal maupun sistemik membatasi penggunaan jangka panjang. Salah satu teori
menyatakan bahwa resistensi terhadap kortikosteroid disebabkan oleh limfosit
yang mengekspresikan reseptor IL-2 (CD25). IL-2 menyebabkan penurunan
afinitas kortikosteroid terhadap reseptor. IL-2 menghambat trans- lokasi
kortikosteroid ke inti sel melalui signal transducer and activator of transcription 5
(STAT-5). Selain itu, IL-2 juga menghambat kemampuan kortikosteroid dalam
inhibisi proliferasi sel T.4,18 Studi yang mendukung hal tersebut dilakukan Leung
et al19 yang menyatakan bahwa ekspresi mRNA IL-2 pada sampel
bronchoalveolar lavage pasien asma yang resisten terhadap steroid lebih tinggi
secara bermakna dibandingkan pada sampel dari pasien asma yang sensitif
terhadap steroid. Peningkatan kadar RGβ, salah satu isoform RG, merupakan
penyebab lain timbulnya resistensi terhadap kortikosteroid. Ekspresi RGβ
diinduksi oleh sitokin proinfla- masi dan bersifat sebagai dominant-negative
inhibitor bagi kompleks GK-RG untuk berikatan dengan GRE. Studi terhadap
pengaruh peningkatan kadar RGβ terhadap timbulnya resistensi kortikosteroid
menunjukkan hasil yang bervariasi dan memerlukan penelitian lebih lanjut.4
Histone deacetylase-2 (HDAC-2) diperlukan dalam proses inaktivasi gen
inflamasi oleh kortikosteroid. Penurunan aktivitas dan ekspresi HDAC-2
menurunkan respons pasien terhadap pemberian kortikosteroid. Kadar HDAC-2
ditemukan sangat rendah pada makrofag alveolar, saluran napas dan jaringan
perifer paru penderita asma yang resisten terhadap kortikosteroid.4 IL-10
merupakan sitokin anti-inflamasi dan imuno-regu- lator penting yang dihasilkan
oleh sel T regulator (Treg). Kegagalan sel Treg untuk mensekresi IL-10
ditemukan pada penderita asma yang resisten terhadap kortikosteroid.4 Efek
samping kortikosteroid amat banyak dan dapat terjadi pada setiap cara
pemberian.6,20 Oleh sebab itu, korti- kosteroid hanya diberikan apabila manfaat
49
terapi melebihi risiko efek samping yang akan terjadi (risk-benefit ratio). Dosis
dan lama terapi dengan kortikosteroid bersifat indi- vidual. Pemberian
kortikosteroid dianjurkan untuk dimulai dari dosis tinggi kemudian diturunkan
secara perlahan menurut tanda klinis inflamasi. Apabila kortikosteroid digunakan
selama lebih dari 2-3 minggu, penghentiannya harus dilakukan secara bertahap
(tapering off).20
Glaukoma sebagai Komplikasi Penggunaan Steroid Pada beberapa pasien,
kortikosteroid topikal menye- babkan peningkatan tekanan intraokuler (TIO) yang
disebut sebagai corticosteroid-induced ocular hypertension. Apabila peningkatan
TIO tersebut menetap dan menye- babkan gangguan lapang pandang serta
kerusakan saraf penglihatan, maka terjadi corticosteroid-induced glaucoma.
Corticosteroid-induced ocular hypertension terjadi dalam waktu beberapa minggu
setelah pemberian kortikosteroid potensi kuat atau beberapa bulan setelah
pemberian korti- kosteroid potensi lemah. Potensi dan konsentrasi sediaan
kortikosteroid topikal berbanding lurus dengan “kemam- puan” mencetuskan
corticosteroid-induced ocular hyper- tension dan corticosteroid-induced
glaucoma.15,17 Kortikosteroid menyebabkan perubahan morfologi dan biokimia
di jaringan trabekular. Kortikosteroid mempengaruhi proliferasi, fagositosis serta
bentuk dan ukuran sel pada jaringan trabekular. Selain itu, kortikosteroid
menyebabkan penumpukan materi ekstraseluler melalui induksi proliferasi
apparatus Golgi, peningkatan jumlah retikulum endoplasma, dan peningkatan
jumlah vesikel sekretorik. Kortikosteroid juga meningkatkan sintesis fibronektin,
laminin, kolagen, dan elastin. Struktur aktin sitoskeleton jaringan trabekular
mengalami reorganisasi menjadi cross-linked actin networks (CLANs). Seluruh
perubahan morfologi dan biokimia pada jaringan trabekular menyebabkan
gangguan aliran cairan aqueous. Gangguan tersebut mengakibatkan peningkatan
TIO pada corticosteroid-induced glaucoma.12
Katarak sebagai Komplikasi Penggunaan Steroid Corticosteroid-induced
subcapsular cataract adalah efek samping lain yang sering ditemukan pada
penggunaan kortikosteroid topikal jangka panjang. Penyebab timbulnya katarak
adalah ikatan kovalen antara steroid dan protein lensa yang menyebabkan oksidasi
protein struktural. Risiko terjadinya katarak berbanding lurus dengan lama peng-
gunaan kortikosteroid topikal.15,17 Patofisiologi posterior subcapsular cataract
(PSC) akibat kortikosteroid antara lain melalui pembentukan ikatan kovalen
50
antara kortikosteroid dengan residu lisin pada lensa dan penurunan kadar anti-
oksidan asam askorbat dalam cairan aqueous.13,21,22 Ikatan kovalen tersebut
mengakibatkan terjadinya kekeruhan lensa pada katarak. Selain itu, korti-
kosteroid menghambat pompa Na-K pada lensa sehingga terjadi akumulasi cairan
dan koagulasi protein lensa yang menyebabkan kekeruhan lensa.23
Efek Samping Kortikosteroid Sistemik
Trias efek samping, yaitu hiperglikemia, osteoporosis, dan hipertensi, membatasi
penggunaan kortikosteroid sistemik jangka panjang.15 Kortikosteroid
menyebabkan hiperglikemia melalui peningkatan glukoneogenesis hati dan
penurunan ambilan glukosa oleh jaringan perifer. Korti- kosteroid juga
meningkatkan resistensi insulin melalui penurunan kemampuan adiposa dan
hepatosit untuk berikatan dengan insulin. Hiperglikemia terkait pemberian
kortikosteroid bersifat reversibel, gula darah akan kembali normal setelah
penghentian kortikosteroid.23,24 Pasien yang menerima kortikosteroid oral
memiliki risiko 2,23 lebih besar untuk mengalami hiperglikemia. Selain itu, suatu
meta-analisis menunjukkan bahwa diabetes ditemukan empat kali lebih sering
pada kelompok yang menerima kortikosteroid di bandingkan plasebo.24
Kortikosteroid menyebabkan penurunan kadar kalsium darah melalui
penghambatan absorbsi kalsium oleh usus halus dan peningkatan ekskresi kalsium
di urin. Kadar kalsium darah yang rendah menstimulasi sekresi hormon paratiroid
sehingga terjadi peningkatan aktivitas osteoklas dan absorbsi tulang. Hal itu
ditujukan untuk memperbaiki keseimbangan kalsium serum, namun menyebabkan
penurunan densitas tulang.23 Kecepatan penurunan densitas tulang lebih tinggi
pada enam bulan pertama terapi (sebesar 10%) dan menurun setelahnya (2-5% per
tahun).24 Kortikosteroid juga meng- hambat aktivitas osteoblas dan menginduksi
apoptosis osteoblas serta osteosit sehingga terjadi osteoporosis.23 Os- teoporosis
terutama terjadi pada pasien yang menerima kortikosteroid dengan dosis yang
setara denagn prednison >5 mg/hari. Oleh sebab itu, pengukuran densitas tulang
dianjurkan untuk pasien yang akan menerima kortikosteroid dengan dosis
ekuivalen prednison > 7,5 mg/hari selama lebih dari 1-3 bulan.24 Selain
osteoporosis, efek samping lain yang sering ditemukan adalah nekrosis avaskular,
terutama pada kaput tulang femur. Nekrosis avaskular disebabkan oleh pem-
bentukan emboli pembuluh darah, hiperviskositas darah dan pelepasan faktor
sitotoksik yang mengganggu perfusi tulang dan menyebabkan terjadinya
51
osteonekrosis.23 Studi oleh Wong et al.25 mendapatkan osteonekrosis pada 4 dari
1 352 pasien (0,03%) yang menerima prednison dengan dosis kumulatif 673 mg
selama 20 hari. Peningkatan volume plasma terjadi melalui ikatan antara
kortikosteroid dengan reseptor pada sel epitel renal distal tubular. Ikatan tersebut
menyebabkan peningkatan re- absorbsi natrium dan retensi cairan sehingga
volume plasma bertambah dan meningkatkan tekanan darah. Hipertensi akibat
pemberian kortikosteroid bergantung pada dosis dan lama pemberian.23
Hipertensi umumnya ditemukan pada pasien yang menerima kortikosteroid
dengan dosis ekuivalen prednison >20 mg/hari.
Tempat insersi jarum infus Secara umum ada beberapa tempat untuk insersi
jarum infus pada pemasangan infus yaitu :
a. Venapunctur perifer
1. vena mediana kubiti
2. vena sefalika
3. vena basilika
4. vena dorsalis pedis
b. Venapunctur central
1. vena femoralis
2. vena jugularis internal
3. vena subklavia.
Tipe - tipe pemberian terapi intravena:
A. IV push IV push (IV bolus), adalah memberikan obat dari jarum sunfik secara
langsung ke dalam saluran /jalan infus.
Indikasi
1. Pada keadaan emergency resusitasi jantung paru, memungkinkan
pemberian obat langsung ke dalam intravena.
2. Untuk mendapat respon yang cepat terhadap pemberian obat ( furosemid,
digoksin).
3. Untuk memasukkan dosis obat dalam jumlah besar secara terus menerus
melalui infus (lidocain, xylocain).
52
4. Untuk menurunkan ketidaknyamanan pasien dengan mengurangi
kebutuhan akan injeksi intramuskuler.
5. Untuk mencegah masalah yang mungkin timbul apabila beberapa obat
dicampur dalam satu botol.
6. Untuk memasukkan obat yang tidak dapat diberikan secara oral ( misal:
pada pasien koma) atau intramuskuler ( misal: pasien dengan gangguan
koagulasi).
B. Continous Infusion (infus berlanjut) menggunakan alat kontrol.
Continous Infusion dapat diberikan secara tradisional melalui cairan yang
digantung, dengan atau tanpa pengatur kecepatan aliran. Infus melalui intravena,
intra arteri, dan intra thecal (spinal) dapat dilengkapi dengan menggunakan pompa
khusus yang ditanam maupun yang ekstemal.
Hal-hal yang perlu dipertimbangkan :
A. Keuntungan
1. Mampu untuk menginfus cairan dalam jumlah besar dan kecil dengan akurat.
2. Adanya alarm menandakan adanya masalah seperti adanya udara di selang infus
atau adanya penyubatan.
3. Mengurangi waktu perawatan untuk memastikan kecepatan aliran infus.
B. Kerugian
1. Memerlukan selang khusus.
2. Biaya lebih mahal.
3. Pompa infus akan dilanjutkan untuk menginfus kecuali ada infiltrasi.
4. ANATOMY & PATHOPHISIOLOGY OF THE TRIGEMINAL NERVE
1.1 ANATOMI NERVUS TRIGEMINUS
Nervus trigeminus atau saraf otak kelima atau saraf otak trifasial
merupakan saraf otak terbesar diantara 12 saraf otak, bersifat campuran
karena terdiri dari komponen sensorik yang mempunyai daerah
persarafan yang luas yang disebut portio mayor dan komponen motorik
yang persarafannya sempit disebut portio minor. Komponen-
53
komponen ini keluar dari permukaan anterolateral bagian tengah pons
dan berjalan ke anterior pada dasar fossa kranialis posterior melintasi
bagian petrosa tulang pelipis ke fossa kranialis media. Komponen
sensorik dan motorik bergabung didalam ganglion trigeminus atau
ganglion gaseri, kemudian berjalan bersama-sama sebagai saraf otak
kelima (Sharav, 2002 ; Brice, 2004) Nervus trigeminal mempersarafi
wajah dan kepala. Terdapat 3 divisi yang menginervasi daerah dahi
dan mata (V1 optalmikus), pipi (V2 maksilaris) serta wajah bagian
bawah dan rahang (V3 mandibularis). Fungsi nervus trigeminus adalah
sensasi sentuhan wajah, sakit dan suhu, dan juga kontrol otot
pengunyahan. Fungsi nervus trigeminus harus dibedakan dengan
nervus fasialis (nervus cranialis ke VII) yang mengontrol semua
gerakan wajah. (Kaufman, 2001) Tiga divisi nervus trigeminal muncul
bersama-sama pada daerah yang disebut ganglion gaseri. Dari sana,
akar nervus trigeminal berjalan kebelakang kearah sisi brain stem dan
masuk ke pons. Dalam brain stem, sinyal akan berjalan terus mencapai
kelompok neuron khusus yang disebut nukleus nervus trigeminal.
Informasi dibawa
ke brain stem oleh nervus trigeminus kemudian diproses sebelum
dikirim ke otak dan korteks serebral, dimana persepsi sensasi wajah
akan diturunkan. (Kaufman AM,2001)
54
1.2. PATOFISIOLOGIS
Patofisiologis terjadinya suatu trigeminal neuralgia sesuai dengan
penyebab terjadinya penyakit tersebut. Penyebab-penyebab dari
terjadinya trigeminal neuralgia adalah penekanan mekanik oleh
pembuluh darah, malformasi arteri vena disekitarnya, penekanan oleh
lesi atau tumor, sklerosis multipel, kerusakan secara fisik dari nervus
trigeminus oleh karena pembedahan atau infeksi, dan yang paling
sering adalah faktor yang tidak diketahui. (Sharav, 2002 ; Brice, 2004)
Penekanan mekanik pembuluh darah pada akar nervus ketika masuk ke
brain stem yang paling sering terjadi, sedangkan diatas bagian nervus
trigeminus/portio minor jarang terjadi. Pada orang normal pembuluh
darah tidak bersinggungan dengan nervus trigeminus. Penekanan ini
dapat disebabkan oleh arteri atau vena baik besar maupun kecil yang
mungkin hanya menyentuh atau tertekuk pada nervus trigeminus.
Arteri yang sering menekan akar nervus ini adalah arteri cerebelar
55
superior. Penekanan yang berulang menyebabkan iritasi dan akan
mengakibatkan hilangnya lapisan mielin (demielinisasi) pada serabut
saraf. Sebagai hasilnya terjadi peningkatan aktifitas aferen serabut
saraf dan penghantaran sinyal abnormal ke nukleus nervus trigeminus
dan menimbulkan gejala trigeminal neuralgia. Teori ini sama dengan
patofisiologi terjadinya trigeminal neuralgia oleh karena suatu lesi atau
tumor yang menekan atau menyimpang ke nervus trigeminus.
(Kaufmann, 2001 ; Bryce, 2004)
Pada kasus sklerosis multipel yaitu penyakit otak dan korda spinalis
yang
ditandai dengan hilangnya lapisan mielin yang membungkus saraf, jika
sudah melibatkan sistem nervus trigeminus maka akan menimbulkan
gejala neuralgia trigeminal. Pada tipe ini sering terjadi secara bilateral
dan cenderung terjadi pada usia muda sesuai dengan kecenderungan
terjadinya sklerosis multipel. (Olessen, 1988 ;Kaufmann, 2001 ;
Passon, 2001)
Adanya perubahan pada mielin dan akson diperkirakan akan
menimbulkan
potensial aksi ektopik berupa letupan spontan pada saraf. Aktivitas
ektopik ini terutama disebabkan karena terjadinya perubahan ekspresi
dan distribusi saluran ion natrium sehingga menurunnya nilai ambang
membran. Kemungkinan lain adalah adanya hubungan ephaptic antar
neuron, sehingga serabut saraf dengan nilai ambang rendah dapat
mengaktivasi serabut saraf yang lainnya dan timbul pula cross after
discharge. (Sharav, 2002 ; Bryce, 2004) selain itu aktivitas aferen
menyebabkan dikeluarkannya asam amino eksitatori glutamat.
Glutamat akan bertemu dengan reseptor glutamat alfa-amino-3-
hidroxy-5-methyl-4-isaxole propionic acid (AMPA) di post sinap
sehingga timbul depolarisasi dan potensial aksi. Aktivitas yang
meningkat akan disusul dengan aktifnya reseptor glutamat lain N-
Methyl-D-Aspartate (NMDA) setelah ion magnesium yang
menyumbat saluran di reseptor tersebut tidak ada. Keadaan ini akan
menyebabkan saluran ion kalsium teraktivasi dan terjadi peningkatan
56
kalsium intra seluler.Mekanisme inilah yang menerangkan terjadinya
sensitisasi sentral. (Rose, 1997 ; Loeser;2001)
5. TRIGEMINAL NEURALGIA
Trigeminal neuralgia adalah suatu jenis kelainan dimana ditandai dengan
adanya nyeri wajah di satu sisi, nyeri tajam dan hilang timbul kadang sampai
menggangu aktifitas. Karena lokasi nyeri sering di sekitar mulut dan pipi,
kelainan in banyak dikaitkan dengan masalah di gigi maupun di sinus. Padahal
sebenarnya nyeri berasal dari saraf yang teriritasi atau tertekan.
Saraf trigeminal atau saraf ke V adalah saraf yang berhubungan dengan
kelainan ini. Secara normal saraf trigeminal ini mensarafi area wajah, gusi,
mulut maupun hidung. Sehingga bila saraf ini mengalami iritasi maka area
diatas yang terkena efeknya berupa rasa tebal sampai nyeri berat. Gejala khas
lainnya biasanya nyeri timbul setelah diprovokasi, misalnya setelah wajah
disentuh, saat sikat gigi, mengunyah, terkena angin bahkan saat memakai
make up di wajah.
Saraf trigeminal ini mempunyai 3 cabang di wajah :
1. Cabang ophtalmik ( area wajah)
2. Cabang maksilaris ( area rahang atas)
3. Cabang mandibularis (area rahang bawah)
Tergantung cabang yang terkena maka tempat nyeri juga sesuai dengan
area wajah tertentu.
Trigeminal Neuralgia bisa terjadi pada semua umur, tetapi yang tersering
pada usia diatas 50 tahun. Nyeri akibat trigeminal neuralgia ini biasanya
semakin lama semakin memberat, walaupun sudah meminum obat secara
teratur dan dosis sudah maksimal. Hal ini yang sering menggangu penderita,
bahkan kadang obat yang diminum sudah menimbulkan efek samping.
57
Ada beberapa penyebab Trigeminal Neuralgia, yang paling sering adalah
akibat penekanan oleh pembuluh darah di sekitar saraf trigeminal (sekitar 90
%). Penyebab lainnya adalah tumor dan penyakit multiple sclerosis.
Penanganan awal kasus trigeminal neuralgia adalah dengan obat-obat
penghilang nyeri, pada sebagian besar kasus cukup efektif menghilanhkan
gejala. Tetapi penggunaan obat-obatan ini harus dimonitor, karena
penggunaan secara lama dan dosis yang tinggi dapat mengganggu fungsi hati
dan ginjal.
Penanganan lainnya adalah dengan tindakan operasi Microvascular
Decompression, suatu prosedur operasi untuk menghilangkan tekanan
pembuluh darah pada saraf trigeminal. Prosedur ini cukup efektif dan angka
keberhasilannya cukup tinggi ( diatas 95%). Penanganan operatif kasus
trigeminal neuralgia diindikasikan pada kasus dengan nyeri berat yang tidak
membaik dengan obat-obatan. Selain itu juga bila pemakaian obat sudah
menimbulkan efek samping yang bisa membahayakan kesehatan secara
umum.
Pemilihan jenis penanganan sangat individual dan berbeda dari kasus satu
dengan yang lainnya. Sebelum menjalani terapi sebaiknya berkonsultasi
dengan spesialis saraf dan spesialis bedah saraf yang terkait. Trigeminal
Neuralgia bisa disembuhkan dengan terapi yang tepat dan aman.
58
Penekanan saraf trigeminal oleh pembuluh darah
1. ANATOMI NERVUS TRIGEMINUS
Nervus trigeminus atau saraf otak kelima atau saraf otak trifasial
merupakan saraf otak terbesar diantara 12 saraf otak, bersifat campuran karena
terdiri dari komponen sensorik yang mempunyai daerah persarafan yang luas
yang disebut portio mayor dan komponen motorik yang persarafannya sempit
disebut portio minor. Komponen-komponen ini keluar dari permukaan
anterolateral bagian tengah pons dan berjalan ke anterior pada dasar fossa
kranialis posterior melintasi bagian petrosa tulang pelipis ke fossa kranialis
media. Komponen sensorik dan motorik bergabung didalam ganglion
trigeminus atau ganglion gaseri, kemudian berjalan bersama-sama sebagai
saraf otak kelima (Sharav, 2002 ; Brice, 2004) Nervus trigeminal
mempersarafi wajah dan kepala. Terdapat 3 divisi yang menginervasi daerah
dahi dan mata (V1 optalmikus), pipi (V2 maksilaris) serta wajah bagian bawah
dan rahang (V3 mandibularis). Fungsi nervus trigeminus adalah sensasi
sentuhan wajah, sakit dan suhu, dan juga kontrol otot pengunyahan. Fungsi
nervus trigeminus harus dibedakan dengan nervus fasialis (nervus cranialis ke
VII) yang mengontrol semua gerakan wajah. (Kaufman, 2001) Tiga divisi
nervus trigeminal muncul bersama-sama pada daerah yang disebut ganglion
gaseri. Dari sana, akar nervus trigeminal berjalan kebelakang kearah sisi brain
stem dan masuk ke pons. Dalam brain stem, sinyal akan berjalan terus
mencapai kelompok neuron khusus yang disebut nukleus nervus trigeminal.
Informasi dibawa ke brain stem oleh nervus trigeminus kemudian diproses
sebelum dikirim ke otak dan korteks serebral, dimana persepsi sensasi wajah
akan diturunkan. (Kaufman AM, 2001). Nervus ini mengandung serat-serat
branchiomotorik dan aferen somatik umum (yang terdiri atas komponen
ekteroseptif dan komponen proprioseptif), dengan nuclei sebagai berikut :
a. Nucleus Motorius Nervi Trigemin
59
Dari Nucleus ini keluar serat-serat branchiomotorik yang berjalan
langsung ke arah ventrolateral menyilang serat-serat pedunculus cerebellaris
medius (fibrae pontocerebellares) dan pada akhirnya akan melayani m.
Masticatores melalui rami motori nervi mandibularis dan m. Tensor Veli
Palatini serta m. Mylohyoideus.
b. Nucleus Pontius, Nervi Trigemini dan Nucleus Spinalis Nervi
Trigemini
Kedua Nucleus ini menerima impuls-impuls eksteroseptif dari daerah
muka dan daerah calvaria bagian ventral sampai vertex.
Di antara kedua nucleus di atas terdapat perbedaan fungsional yang penting :
di dalam nucleus Pontius berakhir serat-serat aferan N. V yang relatif kasar,
yang mengantarkan impuls-impuls rasa raba, sedangkan nucleus spinalis N. V
terdiri atas sel-sel neuron kecil dan menerima serat-serat N. V yang halus yang
mengantarkan impuls-impuls eksteroseptif nyeri dan suhu.
60
61
2. FISIOLOGI NERVUS TRIGEMINUS
Fungsi nervus Trigeminus dapat dinilai melalui pemeriksaan rasa suhu,
nyeri dan raba pada daerah inervasi N. V (daerah muka dan bagian ventral
calvaria), pemeriksaan refleks kornea, dan pemeriksaan fungsi otot-otot
pengunyah. Fungsi otot pengunyah dapat diperiksa, misalnya dengan
menyuruh penderita menutup kedua rahangnya dengan rapat, sehingga gigi-
gigi pada rahang bawah menekan pada gigi-gigi rahang atas, sementara m.
Masseter dan m. Temporalis dapat dipalpasi dengan mudah.
Pada kerusakan unilateral neuron motor atas, mm. Masticatores tidak
mngelami gangguan fungsi, oleh karena nucleus motorius N. V menerima
fibrae corticonucleares dari kedua belah cortex cerebri.
Sebagai tambahan terhadap fungsi cutaneus, cabang maxillaris dan
mandibularis penting pada kedokteran gigi. Nervus maxillaris memberikan
inervasi sensorik ke gigi maxillaris, palatum, dan gingiva. Cabang
mandibularis memberikan persarafan sensorik ke gigi mandibularis, lidah, dan
gingiva. Variasi nervus yang memberikan persarafan ke gigi diteruskan ke
alveolaris, ke soket di mana gigi tersebut berasal nervus alveolaris superior ke
gigi maxillaris berasal dari cabang maxillaris nervus trigeminus. Nervus
alveolaris inferior ke gigi mandibularis berasal dari cabang mandibularis
nervus trigeminus.
3. PATOFISIOLOGI
Neuralgia Trigeminal dapat terjadi akibat berbagai kondisi yang
melibatkan sistem persarafan trigeminus ipsilateral. Pada kebanyakan kasus,
tampaknya yang menjadi etiologi adalah adanya kompresi oleh salah satu
arteri di dekatnya yang mengalami pemanjangan seiring dengan perjalanan
usia, tepat pada pangkal tempat keluarnya saraf ini dari batang otak. Lima
sampai delapan persen kasus disebabkan oleh adanya tumor benigna pada
sudut serebelo-pontin seperti meningioma, tumor epidermoid, atau neurinoma
akustik. Kira-kira 2-3% kasus karena sklerosis multipel. Ada sebagian kasus
yang tidak diketahui sebabnya. Menurut Fromm, neuralgia Trigeminal bisa
mempunyai penyebab perifer maupun sentral.
62
Sebagai contoh dikemukakan bahwa adanya iritasi kronis pada saraf
ini, apapun penyebabnya, bisa menimbulkan kegagalan pada inhibisi
segmental pada nukleus/ inti saraf ini yang menimbulkan produksi ectopic
action potential pada saraf Trigeminal. Keadaan ini, yaitu discharge neuronal
yang berlebihan dan pengurangan inhibisi, mengakibatkan jalur sensorik yang
hiperaktif. Bila tidak terbendung akhirnya akan menimbulkan serangan nyeri.
Aksi potensial antidromik ini dirasakan oleh pasien sebagai serangan nyeri
trigerminal yang paroksismal. Stimulus yang sederhana pada daerah pencetus
mengakibatkan terjadinya serangan nyeri.
Efek terapeutik yang efektif dari obat yang diketahui bekerja secara
sentral membuktikan adanya mekanisme sentral dari neuralgi. Tentang
bagaimana multipel sklerosis bisa disertai nyeri Trigeminal diingatkan akan
adanya demyelinating plaques pada tempat masuknya saraf, atau pada nukleus
sensorik utama nervus trigeminus.
Pada nyeri Trigeminal pasca infeksi virus, misalnya pasca herpes,
dianggap bahwa lesi pada saraf akan mengaktifkan nociceptors yang berakibat
terjadinya nyeri. Tentang mengapa nyeri pasca herpes masih bertahan sampai
waktu cukup lama dikatakan karena setelah sembuh dan selama masa
regenerasi masih tetap terbentuk zat pembawa nyeri hingga kurun waktu yang
berbeda. Pada orang usia muda, waktu ini relatif singkat. Akan tetapi, pada
usia lanjut nyeri bisa berlangsung sangat lama. Pemberian antiviral yang cepat
dan dalam dosis yang adekuat akan sangat mempersingkat lamanya nyeri ini.
Peter Janetta menggolongkan neuralgia glossopharyngeal dan
hemifacial spasm dalam kelompok “Syndromes of Cranial Nerve
Hyperactivity“. Menurut dia, semua saraf yang digolongkan pada sindroma ini
mempunyai satu kesamaan: mereka semuanya terletak pada pons atau medulla
oblongata serta dikelilingi oleh banyak arteri dan vena. Pada genesis dari
sindroma hiperaktif ini, terdapat dua proses yang sebenarnya merupakan
proses penuaan yang wajar:
1. Memanjang serta melingkarnya arteri pada dasar otak.
2. Dengan peningkatan usia, karena terjadinya atrofi, maka otak akan bergeser
63
atau jatuh ke arah caudal di dalam fossa posterior dengan akibat makin
besarnya kontak neurovaskuler yang tentunya akan memperbesar
kemungkinan terjadinya penekanan pada saraf yang terkait.
Ada kemungkinan terjadi kompresi vaskuler sebagai dasar penyebab
umum dari sindroma saraf kranial ini. Kompresi pembuluh darah yang
berdenyut, baik dari arteri maupun vena, adalah penyebab utamanya. Letak
kompresi berhubungan dengan gejala klinis yang timbul. Misalnya, kompresi
pada bagian rostral dari nervus trigeminus akan mengakibatkan neuralgia pada
cabang oftalmicus dari nervus trigeminus, dan seterusnya. Menurut Calvin,
sekitar 90% dari neuralgia Trigeminal penyebabnya adalah adanya arteri
“salah tempat” yang melingkari serabut saraf ini pada usia lanjut. Mengapa
terjadi perpanjangan dan pembelokan pembuluh darah, dikatakan bahwa
mungkin sebabnya terletak pada predisposisi genetik yang ditambah dengan
beberapa faktor pola hidup, yaitu merokok, pola diet, dan sebagainya.
Pembuluh darah yang menekan tidak harus berdiameter besar. Walaupun
hanya kecil, misalnya dengan diameter 50-100 um saja, sudah bisa
menimbulkan neuralgia, hemifacial spasm, tinnitus, ataupun vertigo. Bila
dilakukan microvascular decompression secara benar, keluhan akan hilang.
4. KLASIFIKASI
Menurut klasifikasi IHS ( International Headache Society ) membedakan
NT klasik dan NT simptomatik. Termasuk NT klasik adalah semua kasus yang
etiologinya belum diketahui ( idiopatik ) Sedangkan NT simptomatik dapat akibat
tumor, multipel sklerosis atau kelainan di basis kranii. Sebagai indikator NT
simptomatik adalah defisit sensorik n. Trigeminus, terlibatnya nervus trigeminus
bilateral atau kelainan refleks trigeminus. Tidak dijumpai hubungan antara NT
simptomatik dengan terlibatnya nervus trigeminus cabang pertama, usia muda
atau kegagaralan terapi farmakologik.
Perbedaan neuralgia trigeminus idiopatik dan simptomatik
Neuralgia Trigeminus Idiopatik.
64
1. Nyeri bersifat paroxysmal dan terasa diwilayah sensorik cabang
maksilaris, sensorik cabang maksilaris dan atau mandibularis.
2. Timbulnya serangan bisa berlangsung 30 menit yang berikutnya menyusul
antara beberapa detik sampai menit.
3. Nyeri merupakan gejala tunggal dan utama.
4. Penderita berusia lebih dari 45 tahun , wanita lebih sering mengidap
dibanding laki-laki.
Neuralgia Trigeminus simptomatik.
1. Nyeri berlangsung terus menerus dan terasa dikawasan cabang optalmikus
atau nervus infra orbitalis.
2. Nyeri timbul terus menerus dengan puncak nyeri lalu hilang timbul
kembali.
3. Disamping nyeri terdapat juga anethesia/hipestesia atau kelumpuhan saraf
kranial, berupa gangguan autonom ( Horner syndrom ).
4. Tidak memperlihatkan kecendrungan pada wanita atau pria dan tidak
terbatas pada golongan usia.
5. ETIOLOGI
Ada beberapa penyebab Trigeminal Neuralgia (tic douloureux), yang
paling sering adalah akibat penekanan oleh pembuluh darah di sekitar saraf
trigeminal (sekitar 90 %). Penyebab lainnya adalah tumor dan penyakit
multiple sclerosis.
Penyebab kondisi ini adalah iritasi syaraf cranial kelima (syaraf
Trigeminal) yang bertanggung jawab untuk memberikan sensasi wajah.
Iritasi ini kadangkala disebabkan oleh tumor jinak atau sklerosis multiple,
atau yang biasanya dapat dideteksi dengan MRI otak kualitas tinggi.
Mengenai etiologi sampai sekarang juga masih belum jelas, seperti
yang disebutkan diatas tadi tetapi ada beberapa penyebab yang berhubungan
dengan gigi, dari berbagai kepustakaan disebut sebagai berikut. Seperti
diketahui N. V merupakan satu-satunya serabut saraf yang kemungkinan
selalu dihadapkan dengan keadaan sepsis sepanjang hidup. Keadaan sepsis
65
tersebut dapat berupa karies gigi, abses, sinusitis, pencabutan gigi oleh
berbagai sebab, infeksi periodontal, yang kesemuanya diperkirakan dapat
menjadi penyebab NT. Akan tetapi bukti lain menunjukkan banyak juga
penderita dengan infeksi disekitar mulut, cabut gigi yang tidak menderita NT.
Disisi lain, tidak jarang pula penderita NT yang ditemukan tanpa menderita
infeksi seperti tersebut diatas.
Dahulu diketahui bahwa NT berawal dari dikeluhkannya rasa nyeri
area mulut pasca suatu prosedur dental sehingga berakibat munculnya
diagnosis sebagai dry socket pasca ekstraksi gigi. Oleh karena seringnya
keluhan nyeri dirasakan pada gigi geligi atas atau bawah disatu sisi, maka
penderita terdorong mencari pengobatan ke bagian gigi dengan asumsi nyeri
tersebut berasal dari gigi.
Setelah dilakukan ekstraksi gigi timbul nyeri setelah 24-48 jam
kemudian dan biasanya disebabkan adanya osteitis superfisial pada tulang
alveolar. Pada pemeriksaan tidak menunjukkan adanya pembekuan darah
setelah dilakukan ekstraksi maupun tidak ada nyeri lokal pada waktu
dilakukan palpasi
Satu laporan kasus disebutkan kurang lebih sekitar 2 bulan setelah
dilakukan ” endodontic treatment ” timbul nyeri paroxysmal yang tajam, dan
makin bertambah frekwensinya, dan nyeri timbul bila ada ” trigger ” sentuhan
ringan pada pipi kiri dan setiap serangan berlangsung 1-2 detik dan kadang
sampai 5-10 serangan berulang, kemudian akhirnya didiagnosa sebagai
Neuralgia Trigeminal
Pada satu penelitian kasus dari 48 penderita dengan NT , 31 penderita
yang diobati sebelumnya telah mengalami 83 tindakan prosedur ”dental”
diantaranya ekstraksi tunggal, ekstraksi multipel, prosedur endodontik, ”
complete denture”, ” periapical surgery ” dsbnya. Kesimpulan hasil penelitian
didapatkan adanya korelasi yang bermakna antara sejumlah pasien yang
mendapat tindakan terapi ”dental” dengan durasi terjadinya neuralgia
trigeminal
6. DIAGNOSA
66
Pada saat ini belum ada tes yang dapat diandalkan dalam mendiagnosa
neuralgia trigeminal. Diagnosa neuralgia trigeminal dibuat berdasarkan
anamnesa pasien secara teliti dan pemeriksaan fisik yang cermat. Pada
anamnesa yang perlu diperhatikan adalah lokalisasi nyeri , kapan dimulainya
nyeri , menentukan interval bebas nyeri, menentukan lamanya , efek samping,
dosis, dan respons terhadap pengobatan, menanyakan riwayat penyakit lain
seperti ada penyakit herpes atau tidak, dsb. Pada pemeriksaan fisik neurologi
dapat ditemukan sewaktu terjadi serangan, penderita tampak menderita
sedangkan diluar serangan tampak normal. Reflek kornea dan test sensibilitas
untuk menilai sensasi pada ketiga cabang nervus trigeminus
bilateral.Membuka mulut dan deviasi dagu untuk menilai fungsi otot masseter
(otot pengunyah) dan fungsi otot pterygoideus. Pemeriksaan penunjang yang
diperlukan seperti CT scan kepala atau MRI kepala. CT scan kepala dari fossa
posterior bermanfaat untuk mendeteksi tumor yang tidak terlalu kecil dan
aneurisma. MRI sangat bermanfaat karena dengan alat ini dapat dilihat
hubungan antara saraf dan pembuluh darah juga dapat mendeteksi tumor yang
masih kecil, MRI juga diindikasikan pada penderita dengan nyeri yang tidak
khas distribusinya atau waktunya maupun yang tidak mempan pengobatan.
Indikasi lain misalnya pada penderita yang onsetnya masih muda, terutama
bila jarang – jarang ada saat – saat remisi dan terdapat gangguan sensisibilitas
yang obyektif. Selain itu harus diingat, bahwa neuralgia trigeminal yang klasik
dengan hanya sedikit atau tanpa tanda-tanda abnormal ternyata bisa
merupakan gejala – gejala dari tumor fossa posterior.
Diagnosa Banding.
1. Post herpetic neuralgia
2. Cluster headache
3. Glossopharingeal neuralgia
4. Kelainan temporomandibuler.
5. Sinusitis
6. Migrain
7. Giant cell arteritis
8. Atypical facial pain
67
7. PENGOBATAN
Terapi Farmakologik.
Peneliti-peneliti dalam bidang nyeri neuropatik telah mengembangkan
beberapa pedoman terapi farmakologik. Dalam guidline EFNS ( European
Federation of Neurological
Society ) disarankan terapai neuralgia trigeminal dengan carbamazepin ( 200-
1200mg sehari ) dan oxcarbazepin ( 600-1800mg sehari ) sebagai terapi lini
pertama. Sedangkan terapai lini kedua adalah baclofen dan lamotrigin.
Neuralgia trigeminal sering mengalami remisi sehingga pasien dinasehatkan
untuk mengatur dosis obat sesuai dengan frekwensi serangannya. Dalam
pedoman AAN-EFNS ( American Academy of Neurology- European
Federation of Neurological Society ) telah disimpulkan bahwa: carbamazepin
efektif dalam pengendalian nyeri , oxcarbazepin juga efektif, baclofen dan
lamotrigin mungkin juga efektif. Studi open label telah melaporkan manfaat
terapi obat-obatan anti epilepsi yang lain seperti clonazepam, gabapentin,
phenytoin dan valproat. Dalam publikasi mutakhir dari ” The Neurologist”
dinyatakan carbamazepine merupakan terapi lini pertama , sedangkan terapi
lini kedua adalah Oxcarbazepine, gabapentin, phenytoin. Terapi lini ketiga
adalah lamotrigin dan baclofen. Pregabalin yang telah terbukti efektif dalam
terapi nyeri neuropatik mungkin juga bermanfaat pada terapi neuralgia
trigeminal.
Terapi non Farmakologik.
Terapi farmakologik umumnya efektif akan tetapi ada juga pasien yang tidak
bereaksi atau timbul efek samping yang tidak diinginkan maka diperlukan
terapi pembedahan.
Tindakan operatif yang dapat dilakukan adalah prosedur ganglion
gasseri, terapi gamma knife dan dekompresi mikrovaskuler. Pada prosedur
perifer dilakukan blok pada nervus trigeminus bagian disatal ganglion gasseri
yaitu dengan suntikan streptomisin, lidokain, alkohol . Prosedur pada ganglion
gasseri ialah rhizotomi melalui foramen ovale dengan radiofrekwensi
68
termoregulasi, suntikan gliserol atau kompresi dengan balon ke dalam kavum
Meckel. Terapi gamma knife merupakan terapi radiasi yang difokuskan pada
radiks nervus trigeminus di fossa posterior. Dekompresi mikrovaskuler adalah
kraniotomi sampai nervus trigeminus difossa posterior dengan tujuan
memisahkan pembuluh darah yang menekan nervus trigeminus.
6. ANATOMY & FUNCTION OF OTHER CRANIAL NERVES
Terdapat 12 pasang Nervus cranial yaitu :a.
1. Nervus olfactorius adalah saraf sensorik, fungsi : penciuman,
Sensori Menerima rangsang dari hidung dan menghantarkannya ke
otak untuk diproses sebagai sensasi bau. Berkas serabut ini keluar
dari lamina cribrosa os ethmoidales dan berakhir pada bulbus
olfactorius.
2. Nervus opticus adalah saraf sensorik, fungsi : Penglihatan, Sensori
Menerima rangsang dari mata dan menghantarkannya ke otak
untuk diproses sebagai persepsi visual . Saraf ini berjalan melalui
canalis opticus.
3. Nervus occulamotorius adalah saraf motoric, fungsi : Pergerakan
bola mata elevasi alis, konstriksi pupil dan memfokuskan lensa,
Saraf ini mengontrol sebagian besar gerakan mata, konstriksi pupil,
dan mempertahankan terbukanya kelopak mata (saraf kranial IV
dan VI juga membantu pengontrolan gerakan mata .) Saraf ini
keluar dari aspek anterior mesensephalon.
4. Nervus trochlearis adalah saraf motoric, fungsi: Pergerakan bola
mata ke bawah
5. Nervus trigeminus adalah saraf campuran(sensorik dan motoric),
V1(Syaraf optalmik) adalah saraf sensorik
fungsi : input dari kornea, rongga hidung bagian atas, kulit kepala
bagian frontal, dahi, bagian atas alis, konjungtiva kelenjar air mata
V2(Syaraf maksilari) adalah saraf sensorik
69
fungsi : input dari dagu, bibir atas, gigi atas, mukosa rongga
hidung, palatum, faring
V3 (Syaraf Mandibular) adalah saraf sensorik dan motorik
Fungsi sensorik : input dari lidah (bukan pengecapan), gigi bawah,
kulit di bawah dagu
Fungsi motorik : mengunyah
6. Nervus abducens adalah saraf motoric, fungsi : Pergerakan mata
ke lateral
7. Nervus facialis adalah saraf campuran,
Fungsi :
a) Sensorik: Menerima rangsang dari bagian anterior lidah
untuk diproses di otak sebagai sensasi rasa
b) Motorik: Mengendalikan otot wajah untuk menciptakan
ekspresi wajah
8. Nervus vestibulocochlearis adalah syaraf sensorik, fungsi :
Vestibular untuk keseimbangan, cochlearis untuk pendengaran
9. Nervus glossofaringeus adalah saraf campuran,
Fungsi :
a) Motoris : membantu menelan
b) Sensoris : Menerima rangsang dari bagian posterior lidah untuk
diproses di otak sebagai sensasi rasa
10. Nervus vagus adalah saraf campuran,
Fungsi :
Sensori: Menerima rangsang dari organ dalam
Motorik: Mengendalikan organ-organ dalam
11. Nervus accesorius adalah saraf motorik, Saraf aksesoris adalah
saraf motorik yang mempersarafi otot sternokleidomastoideus dan
bagian atas otot trapezius
70
12. Nervus hypoglossus adalah saraf motorik, fungsi : Pergerakan
lidah saat bicara, mengunyah.
71
VII. KESIMPULAN
Latina menderita tic douloureux dikarenakan mengalami demyelinisasi pada substansi
alba pons (Multiple sclerosis) yang membuat lesi n. trigeminal serta diakibatkan efek dari
intravenous cortico steroid theraphy habis
72
VIII. DAFTAR PUSTAKA
hendra-santoso125.blogspot.com/2011/12/neuralgia-trigeminal.html
http://doktersehat.com/neuralgia-trigeminal-menyebabkan-sering-nyeri-di
wajah/#ixzz2tfVeQPjC
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/31956/4/Chapter%20II.pdf
Snell, Richard. Anatomi Klinis Berdasarkan Sistem. Jakarta:EGC,2011
http://www.mitrakeluarga.com/surabaya/trigeminal-neuralgia-and-
hemifacial-spasm-care-center/
http://m.kompasiana.com/post/read/190519/3/apa-itu-neuralgia-trigeminal
http://doktersehat.com/neuralgia-trigeminal-menyebabkan-sering-nyeri-di-
wajah/#ixzz2tfVeQPjC
GRAFF-RADFORD S. B. Facial pain. Current Opinion in Neurology,
2000, 13 : 291-296.
HEADACHE CLASSIFICATION COMMITTEE OF THE
INTERNATIONAL HEADACHE SOCIETY. Classification and
diagnostic criteria for headache disorders, cranial neuralgias, and facial
pain. Cephalalgia, 1988, 8 : 1-96.
Paulsen, F. Waschke, J. 2012. Atlas Anatomi Sobotta: Kepala, Leher dan
Neuroanatomi. Jakarta: EGC.
Corwin, Elizabeth J. 2011. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta: EGC.
Sherwood, Lauralee. 2011. Fisiologi Manusia: dari Sel ke Sistem. Jakarta:
EGC
Japardi, Iskandar. Multiple Sclerosis.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/.../1974/1/bedah-iskandar
%20japardi24.pdf.
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/1974/1/bedah-iskandar
%20japardi24.pdf
http://www.slideshare.net/Lailiahameeda/makalah-multiple-sklerosis#
73
F.Paulsen & J.Waschke. Sobotta Atlas Anatomi Manusia Jilid 1. Penerbit
EGC Edisi 23 2012
Kamus saku kedokteran Dorland Edisi 25
Richard S. Snell. Anatomi Klinik Bagian 1. Penerbit EGC Edisi 3 2009
Adams. Diagnosis Fisik Alih Bahasa : Dr. Henny Lukmanto Penerbit Buku
Kedokteran EGC. Jakarta. 1990
Brodal, A. Neurological Anatomy in relation to clinical Medicine Oxford
Press. Toronto. 1969
Prof. DR. Mahar Mardjono, Neurologi Klinis DasarDian Rakyat.
Jakarta.2006
http://www.mitrabrainspinecenter.com/functional-neurosurgery-center/
trigeminal-neuralgia/ (Diakses pada tanggal 18 februari 2014)
http://kamuskesehatan.com (Diakses pada tanggal 18 februari 2014)
http://www.totalkesehatananda.com/ms1.html (Diakses pada tanggal 18
februari 2014)
Andri, A., dan Bajamal, A.H., 2002, Penatalaksanaan Neuralgia
Trigeminal Masa Kini, www.tempointeraktif.com/medika/arsip/ ,
Susanto, Abdi, 2007, Trigeminal Neuralgia, Wajah Seperti Tersetrum,
http://www.gayahidupsehatonline.com/ ,
Anonim, 2008, Trigeminal Neuralgia,
www.diagnose-me.com/cond/C535067.html ,
Sukardi, Elias, 1984, Neuroanatomica Medica, Penerbit Universitas
Indonesia : Jakarta, hal. 176-179
Collins, Peter., 1999, Electronic Dictionary of Medicine, Peter Collins
Publishing : Teddington – UK.
Suhardi, D., 2007, Trigeminal Neuralgia, Rasa Nyeri di Wajah,
http://www.harian-global.com/
Kaufmann, A.M., dan Patel, M., 2001, Characteristics and Causes of
Trigeminal Neuralgia, http://www.umanitoba.ca/ ,
Saanin, Syaiful, Tanpa Tahun, Neuralgia Trigeminal,
www.angelfire.com/nc/neurosurgery/trigemilan.html ,
http://kesehatan.kompasiana.com/medis/2010/07/10/apa-itu-neuralgia-
trigeminal-190519.html
74
http://doktersehat.com/neuralgia-trigeminal-menyebabkan-sering-nyeri-di-
wajah/
http://kadaverboy.wordpress.com/2009/11/22/multiple-sklerosis/ , diunduh
pada tanggal 18 februari 2014
repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/28869/4/Chapter%20II.pdf,
diunduh pada tanggal 18 februari 2014
http://nurrahmiar.blogspot.com/2012/05/31-nervus-spinalis.html diunduh
pada tanggal 18 februari 2014
Fred G. Barker, et al, 2005 , Trigeminal Neuralgia and Hemifacial Spasm
Center, file://G:\Trigeminal Neuralgia-Hemifacial Spasm Homepage at
MGH-Harvard.htm
Anatomi klinik snell edisi 6
Olesen J, 1988, Classification & Diagnostic Criteria for Headache
Disorders, Cranial neuralgias & Pacial Pain
75