laporan tutorial skenario b blok 14 tahun 2013
DESCRIPTION
laporanTRANSCRIPT
SKENARIO B BLOK 14 TAHUN 2013
Tn. A, 67 tahun, dibawa ke ruang gawat darurat RSMH oleh keluarganya karena
koma sejak 3 jam yang lalu. Pasien mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun yang lalu dan setiap
hari mengonsumsi obat glibenklamid 5 mg. Menurut keluarganya, sebelum koma, pasien
merasa dingin, berkeringat, palpitasi, badan lemas dan merasa cemas, setelah minum obat
sebelum makan pagi.
Pemeriksaan fisik
Kesadaran: koma, TD 90/40 mmHg, nadi 120x/menit, suhu 36oC.
Tidak ditemukan kelainan lain pada pemeriksaan fisik.
Kadar glukosa darah sewaktu (GDS) dengan alat glukometer: 40 mg/dl.
Jelaskan mengenai kasus ini secara rinci!
I. KLARIFIKASI ISTILAH
1. Koma = suatu keadaan tidak sadarkan diri yang dalam hingga penderita tak
dapat dibangunkan, bahkan dalam rangsangan yang kuat.
2. DM tipe 2 = salah satu diantara 2 jenis DM dengan konsep puncak 50-60
tahun ditandai dengan konsep bertahap dan gejala metabolik (glikosuria dan
konsekuensi), disertai atau tanpa disertai obat hiperglikemi oral, tetapi tidak
dperlukan pemberian insulin eksogen.
3. Glibenklamid = obat anti diabetes, hipoglikemik oral derivat sulfonylurea
yang bekerja aktif menurunkan kadar gula darah, bekerja dengan merangsang
sekresi insulin dari pankreas.
4. Palpitasi = perasaan berdebar-debar atau denyut jantung tidak teratur yang
sifatnya subjektif.
5. Glukosa darah sewaktu = pemeriksaan gula darah pada sembarang waktu,
tidak melihat pasien sudah makan atau belum.
6. Glukometer = alat yang digunakan dalam menentukan proporsi glukosa dalam
darah.
II. IDENTIKASI MASALAH
1. Tn. A, 67 tahun, koma sejak 3 jam yang lalu.
1
2. Tn. A mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun yang lalu dan setiap hari
mengonsumsi obat glibenklamid 5 mg.
3. Sebelum koma, Tn. A merasa dingin, berkeringat, palpitasi, badan lemas, dan
merasa cemas, setelah minum obat sebelum makan pagi.
4. Pemeriksaan fisik.
III. ANALISIS MASALAH
1. Tn. A mengidap DM tipe 2 sejak 5 tahun yang lalu dan setiap hari
mengonsumsi obat glibenklamid 5 mg.
a. Bagaimana etiologi DM tipe 2?
Diabetes ini sering disebut Non Insulin Dependent Diabetes Melitus
(NIDDM), dimana penyakit dikarakteristikkan oleh adanya resistensi
insulin atau kurangnya sekresi insulin. Kurangnya sekresi insulin
postprandial disebabkan gangguan fungsi sel β pankreas dan kurangnya
rangsangan untuk mensekresi insulin dari hormon usus (Dipiro., et al,
2008).
Faktor etiologi yang berperan meliputi:
- Faktor genetik (hereditas)
Pada anggota keluarga dekat pasien diabetes tipe 2 (dan pada kembar
non identik), risiko menderita penyakit ini 5 hingga 10 kali lebih besar
daripada subjek (dengan usia dan berat yang sama) yang tidak
memiliki riwayat penyakit dalam keluarganya. Tidak seperti diabetes
tipe 1, penyakit ini tidak berkaitan dengan gen HLA. Penelitian
epidemiologi menunjukkan bahwa diabetes tipe 2 tampaknya terjadi
akibat sejumlah defek genetif, masing-masing memberi kontribusi
pada risiko dan masing-masing juga dipengaruhi oleh lingkungan.
(Robbins, 2007, hlm. 67).
- Keturunan ras Hispanik, Afrika dan Asia memiliki kecenderungan
lebih tinggi untuk menderita diabetes tipe 2.
- Usia
Umumnya manusia mengalami penurunan fisiologis yang secara
dramatis menurun dengan cepat pada usia setelah 40 tahun. Penurunan
ini yang akan beresiko pada penurunan fungsi endokrin pankreas untuk
memproduksi insulin. (Sujono & Sukarmin, 2008, hlm. 73).
2
- Obesitas
Obesitas mengakibatkan sel-sel beta pankreas mengalami hipertropi
yang akan berpengaruh terhadap penurunan produksi insulin.
Hipertropi pankreas disebabkan karena peningkatan beban
metabolisme glukosa pada penderita obesitas untuk mencukupi energi
sel yang terlalu banyak. (Sujono & Sukarmin, 2008, hlm.73).
- Gaya hidup (Stress)
Stress kronis cenderung membuat seseorang mencari makanan yang
cepat saji yang kaya pengawet, lemak, dan gula. Makanan ini
berpengaruh besar terhadap kerja pankreas. Stress juga akan
meningkatkan kerja metabolisme dan meningkatkan kebutuhan akan
sumber energi yang berakibat pada kenaikan kerja pankreas. Beban
yang tinggi membuat pankreas mudah rusak hingga berdampak pada
penurunan insulin. ( Smeltzer and Bare,1996, hlm. 610).
- Kurangnya aktivitas fisik
- Penurunan sel islet sensitivitas terhadap glukosa
- Pelambatan sekresi insulin karena disfungsi sel beta
- Peningkatan tahanan pada insulin karena penurunan densitas insulin
reseptor ( Guthrie, 1991)
b. Bagaimana prevalensi DM tipe 2?
Berdasarkan karakteristik subjek penelitian diketahui bahwa kasus DM
tipe 2 lebih banyak terjadi pada laki-laki (64,6%) dibanding perempuan
(35,4%). Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian di India di mana
kecenderungan prevalensi DM tipe 2 daerah kota dan desa menunjukkan
peningkatan pada laki-laki lebih tinggi dibandingkan perempuan
Menurut umur diperoleh proporsi kelompok umur yang paling banyak
menderita DM tipe 2 adalah 45-52 tahun (47,5%). Hasil penelitian di
negara maju menunjukkan bahwa orang dewasa yang berisiko terkena DM
tipe 2 adalah umur 65 tahun ke atas. Sedangkan di negara berkembang
orang dewasa yang berisiko terkena DM tipe 2 adalah umur 46-64 tahun.
DM tipe 2 pada umumnya terjadi pada usia di atas 40 tahun karena pada
usia tersebut mulai terjadi peningkatan intoleransi glukosa. Adanya proses
3
penuaan mengakibatnya berkurangnya kemampuan sel beta pankreas
dalam memproduksi insulin.
Dalam Perkeni 2006 menyebutkan bahwa World Heatlh Organization
(WHO) juga memprediksi kenaikan jumlah pasien di Indonesia dari 8.4
juta pada tahun 2000 menjadi 21.3 juta pada tahun 2030. Hal tersebut
mengakibatkan Indonesia berada di peringkat keempat jumlah penyandang
DM di dunia setelah Amerika Serikat, India, dan Cina menurut
Reputrawati dalam Hans (2008).
Hasil riset kesehatan dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan bahwa
secara nasional, prevalensi DM berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan
dan gejala adalah 1,1%. Sedangkan prevalensi nasional DM berdasarkan
hasil pengukuran gula darah pada penduduk umur >15 tahun yang
bertempat tinggal di perkotaan adalah 5,7%. Riset ini juga menghasilkan
angka Toleransi Glukosa Terganggu (TGT) secara nasional berdasarkan
hasil pengukuran gula darah yaitu pada penduduk berumur>15 tahun yang
bertempat tinggal di perkotaan sebesar 10,2%.
(Departemen Kesehatan RI. Laporan Nasional Riskesdas 2007. Jakarta :
Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan.
2008)
c. Bagaimana patofisiologi DM tipe 2?
Gangguan metabolisme karbohidrat pada lansia meliputi 3 hal, yaitu:
resistensi insulin, hilangnya pelepasan insulin fase pertama, sehingga
lonjakan awal insulin post prandial tidak terjadi pada lansia dengan DM,
dan peningkatan kadar glukosa post prandial dengan kadar glukosa puasa
normal (Jurnal IDI, DM Tipe pada usia lanjut, 12 Desember 2010).
Awalnya tampak terdapat resistensi dari sel-sel sasaran terhadap kerja
insulin. 4 faktor timbulnya resistensi insulin pada lansia adalah:
- Perubahan komposisi tubuh, yaitu massa otot lebih sedikit dan jaringan
lemak lebih banyak. Banyaknya jaringan lemak akan menyebabkan
resistensi insulin dengan cara:
Faktor inflamasi: Aktivitas jaringan pada obesitas akan meningkatkan
produksi berbagai macam sitokin seperti TNF-α, IL-6, resistin, leptin,
adiponektin, MCP-1, PAI-1. Pengikatan molekul sitokin ini pada
4
reseptor spesifik akan mengaktifkan jalur JNK (Janus Kinase) dan
IKKβ, yang selanjutnya akan mengaktifkan faktor transkripsi Nuclear
factor (NF-kβ). Translokasi NF-kβ ke dalam nucleus akan
menginduksi transkripsi berbagai macam mediator inflamatorik yang
dapat mengarah pada keadaan resistensi insulin.
Akumulasi asam lemak dan metabolitnya di dalam sel: Akumulasi
ini akan menyebabkan aktivasi jalur serin/threonin kinase. Aktivasi
jalur ini menyebabkan fosforilasi pada gugus serin dari kompleks IRS,
sehingga fosforilasi dari gugus tironin, seperti pada mekanisme kerja
insulin yang normal akan terhambat. Hambatan pada fosforilasi gugus
tironin kompleks IRS ini menyebabkan tidak teraktivasi jalur PI3
kinase dan menyebabkan glukosa tetap berada di ekstrasel. (Buku
Robbins dan Cotran’s 2009)
- Pengaruh aktivitas fisik yang berkurang pada lansia terhadap utilisasi
glukosa. Aktivitas fisik yang berkurang, secara langsung dapat
mengganggu proses translokasi GLUT-4 dengan beberapa mekanisme,
yaitu:
Pada metabolisme, otot sedikit menggunakan glukosa darah
sebagai sumber energi utama dan menyebabka kurangnya
sensitivitas reseptor insulin. Akibatnya aktivasi PI-3K dan
MAP kinase juga terganggu, selanjutnya akan mengganggu
proses translokasi GLUT-4 dari dalam sel.
Kontraksi otot yang kurang, menyebabkan terhambatnya
rangsangan Ca, sehinngga PKC serine yang dapat menstimulasi
GLUT-4 berkurang, dan proses translokasi GLUT-4 pun
terganggu.
Aktivitas fisik yang kurang menyebabkan terhambatnya
pembentukan ATP, sehingga tidak dapat merangsang AMP
kinase yang dapat mengganggu proses translokasi GLUT-4 dari
dalam sel (Jurnal Mandala of health volume 4, nomor 2, Mei
2010)
- Perubahan pola makan lebih banyak makan karbohidrat akibat
berkurangnya jumlah gigi.
5
- Terjadi perubahan hormonal (terutama IGF-1 dan
dehidroepiandrosteron (DHEAS) plasma), sehingga ambilan glukosa
menurun akibat sensitivitas reseptor insulin dan aksi insulin menurun.
Awalnya sel β pankreas akan melakukan kompensasi untuk merespon
keadaan hiperglikemi dengan memproduksi banyak insulin sehingga
terjadi hiperinsulinemia. Peningkatan kadar glukosa menginduksi “fase
pertama” dalam glucose-mediated insulin secretion yakni dengan
pelepasan insulin yang baru saja disintesa dan penyimpanan dalam granula
sekretorik sel β. Glukosa tidak memerlukan insulin untuk masuk ke dalam
sel β (juga fruktosa, manosa atau galaktosa). Masuknya glukosa ke dalam
sel β dideteksi oleh glukokinase, sehingga glukosa tadi difosforilasi
menjadi glukosa-6-fosfat (G6P). Proses ini membutuhkan ATP. Penutupan
kanal K+-ATP-dependent mengakibatkan depolarisasi membrane plasma
dan aktivasi kanal kalsium yang voltage-dependent yang menyebabkan
peningkatan konsentrasi kalsium intraseluler. Peningkatan kadar kalsium
inilah yang menyebabkan sekresi insulin. Mediator lain yang berperan
dalam pelepasan insulin adalah aktivasi fosfolipase dan protein kinase C
(sebagai contoh oleh asetilkolin) serta rangsangan dari aktivitas adenilil-
siklase dan protein kinase-A sel β. Mekanisme induksi sekresi insulin juga
melibatkan aktivitas hormone, seperti vasoactive intestinal peptide (VIP),
PACAP, GLP-1, dan GIP. Factor-faktor ini memegang peranan penting
dalam “fase kedua” sekresi insulin, yakni pelepasan insulin baik yang baru
saja disintesa maupun yang disimpan dalam granula sekretorik. Kegagalan
sel β dalam meespon kadar glukosa darah yang tinggi, akan menyebabkan
abnormalitas jalur transduksi sinyal insulin pada sel β pankreas dan terjadi
resistensi insulin. Resistensi insulin ini menyebabkan aktivasi jalu caspase
dan peningkatan kadar ceramide yang menginduksi apoptosis sel β. Fase
ini akan diikuti oleh berkurangnya massa sel β di pankreas. Pengurangan
massa sel β pankreas ini akan menyebabkan sintesis insulin berkurang dan
menyebabkan DM tipe 2.
d. Bagaimana ciri-ciri penderita DM tipe 2?
6
- Sering buang air kecil (poliuria)
Buang air kecil akan menjadi sering jika terlalu banyak glukosa dalam
darah. Jika insulin tidak ada atau sedikit maka ginjal tidak bisa
menyaring glukosa untuk kembali ke darah. Lalu ginjal akan menarik
tambahan air dari darah untuk menghancurkan glukosa. Hal ini
membuat kandung kemih penuh dan orang jadi sering pipis.
- Sering merasa haus (polidipsi)
Karena sering buang air kecil, Anda akan menjadi lebih sering haus,
karena proses penghancuran glukosa yang sulit maka air di dalam
darah tersedot untuk menghancurkannya. Sehingga seseorang perlu
minum lebih banyak untuk menggantikan air yang hilang.
- Sering merasa lapar (poliphagia)
- Merasa lemah dan gampang kelelahan
Karena produksi glukosa terhambat sehingga sel-sel makanan dari
glukosa yang harusnya didistribusikan ke semua sel tubuh untuk
membuat energi jadi tidak berjalan. Karena sel energi tidak mendapat
asupan sehingga orang akan merasa cepat lelah.
- Sering kesemutan di kaki dan tangan
7
Gejala ini disebut neuropati. Terjadi secara bertahap karena glukosa
dalam darah tinggi dan merusak sistem saraf. Orang-orang sering tidak
menyadari bahwa itu salah satu pertanda. Kondisi gula darah tinggi
kemungkinan telah terjadi beberapa tahun sebelum diagnosa.
Kerusakan saraf dapat menyebar tanpa diketahui.
- Gejala lain
Selain itu ada pula gejala lain yang bisa muncul seperti penglihatan
kabur, kulit kering atau gatal, sering infeksi atau luka dan memar, yang
membutuhkan penyembuhan dalam waktu lama merupakan tanda-
tanda lain dari diabetes.
e. Bagaimana komplikasi DM tipe 2?
Komplikasi DM dapat dibagi menjadi 2 kategori mayor, yaitu komplikasi
metabolik (akut) dan komplikasi vaskular jangka panjang (kronis).
Komplikasi metabolik diabetes disebabkan oleh perubahan yang relative
akut dari konsentrasi glukosa plasma. Pada DM tipe 2, komplikasi
metabolic yang sering terjadi adalah:
- Hipoglikemia, yaitu keadaan yang terjadi apabila kadar gula darah
terlalu rendah, yaitu lebih rendah dari 70 mg/dl. Akibatnya, tubuh dan
otak tidak memiliki cukup energi untuk berfungsi dengan baik.
Hipoglikemia dapat terjadi karena ketidakseimbangan antara makanan
yang dimakan, aktivitas fisik yang berlebih, dan obat atau insulin yang
digunakan. Pasien diabetes dependen insulin mungkin suatu saat
menerima insulin yang jumlahnya lebih banyak daripada yang
dibutuhkannya untuk mempertahankan kadar glukosa normal yang
mengakibatkan terjadi hipoglikemia. Gejala hipoglikemia disebabkan
oleh pelepasan epineprin (berkeringat, gemetar, sakit kepala, dan
palpitasi), juga akibat kekurangan glukosa dalam otak (tingkah laku
yang aneh, sensorium yang tumpul, dan koma). Harus ditekankan
bahwa serangan hipoglikemia adalah berbahaya, bila sering terjadi
dalam waktu yang lama dapat menyebabkan kerusakan otak yang
permanen atau bahkan kematian.
- Ketoasidosis, kondisi serius yang dapat mengakibatkan koma bahkan
kematian. Komplikasi ini dapat terjadi pada semua diabetes meskipun
8
terjadi lebih jarang di para penderita diabetes tipe 2. Ketoasidosis
biasanya berlangsung lambat, tetapi ketika pasien mulai muntah,
kondisi yang mengancam jiwa ini dapat terjadi dalam beberapa jam.
Gejala awalnya dapat berupa rasa haus atau mulut yang sangat kering,
sering buang air kecil, kadar gula darah yang tinggi dan kadar keton di
urin yang tinggi (>80 mg/dL). Gejala lain yang muncul setelahnya
dapat berupa terus menerus merasa lelah, kulit kering, mual, muntah
atau perut sakit, sulit bernafas, bau mulut seperti buah, dan sulit
berkonsentrasi.
Komplikasi kronis adalah komplikasi yang muncul dalam jangka
waktu yang lebih panjang pada penderita diabetes jika diabetesi tidak
dikontrol. Inilah beberapa hal yang seringkali terjadi:
- Penyakit jantung & stroke, orang dengan diabetes tipe 2 memiliki
risiko 2,5 kali lebih besar mengalami serangan jantung & stroke
dibandingkan orang normal, karena diabetes meningkatkan
kecenderungan mereka untuk mengalami hipertensi dan pembentukan
plak, gumpalan yang menyumbat di pembuluh darah.
- Masalah sirkulasi, satu dari tiga orang berusia di atas 50 tahun yang
menderita diabetes tipe 2 mengalami masalah ini. Beberapa gejala
yang mungkin dialami adalah sakit di kaki ketika berjalan kaki atau
berolahraga yang hilang dengan istirahat, mati rasa atau kesemutan di
bagian bawah kaki, luka atau infeksi di kaki yang sulit sembuh, dan
tidak merasakan sakit sehingga terjadi luka atau infeksi yang lebih
besar karena kerusakan saraf. Inilah yang merupakan penyebab utama
amputasi.
- Masalah kulit, ketika kadar gula darah Anda tinggi, tubuh Anda
kehilangan air, sehingga kulit menjadi kering. Kerusakan saraf yang
disebabkan oleh diabetes dapat menghambat proses berkeringat
(keringat membantu kulit tetap lembut dan lembap). Saat Anda
menggaruk kulit yang kering dan gatal sehingga luka, luka ini dapat
menjadi jalan masuk kuman dan menyebabkan infeksi.
- Kerusakan mata, tiga masalah mata yang berhubungan dengan
diabetes adalah retinopati diabetic, glaucoma, dan katarak.
9
- Penyakit ginjal atau nefropati diabetic, 10-20% orang dengan
diabetes mengalami penyakit ginjal. Penyakit ginjal, seperti layaknya
komplikasi lainnya, dapat dicegah dengan menjaga kadar gula darah
Anda.
- Penyakit gigi dan mulut, diabetes berisiko menderita penyakit mulut
yang parah karena umumnya lebih rentan terhadap infeksi bakteri dan
memiliki penurunan kemampuan untuk melawan bakteri yang
menyerang gusi.
- Kesehatan mental, orang yang menderita diabetes memiliki risiko
lebih besar mengalami depresi.
f. Bagaimana cara kerja obat glibenklamid pada pasien DM tipe 2?
Golongan obat ini bekerja dengan merangsang sel beta pankreas untuk
melepaskan insulin yang tersimpan, sehingga hanya bermanfaat pada
pasien yang masih mampu mensekresi insulin. Golongan ini tidak dapat
dipakai pada diabetes melitus tipe 1. Efek hipoglikemia sulfonilurea adalah
dengan merangsang channel K yang tergantung pada ATP dari sel beta
pankreas. Bila sulfonilurea terikat pada reseptor (SUR) channel tersebut
maka akan terjadi penutupan. Keadaan ini akan menyebabkan terjadinya
penurunan permeabilitas K pada membran sel beta, terjadi depolarisasi
membran dan membuka channel Ca tergantung voltase, dan menyebabkan
peningkatan Ca intrasel. Ion Ca akan terikat pada Calmodulin, dan
menyebabkan eksokitosis granul yang mengandung insulin. Sulfonilurea
juga selanjutnya dapat meningkatkan kadar insulin dengan cara
mengurangi bersihan hormon dihati. Pada bulan awal pengobatan
sulfonilurea, kadar insulin plasma saat puasa dan respon insulin terhadap
glukosa oral meningkat. Pada pemberian kronis, kadar insulin dalam
sirkulasi menurun dibandingkan sebelum pengobatan, tetapi meskipun
kadar insulin ini berkurang kadar glukosa plasma tetap dapat
dipertahankan. Harus dicatat bahwa tidak ada efek penstimulasian akut
sulfonilurea yang terukur pada sekresi insulin selama pengobatan klinis.
Hal ini diduga karena berkurangnya afinitas reseptor sulfonilurea di
permukaan sel pada sel beta pankreas. Jika terapi sulfonilurea kronis
dihentikan, keresponsifan sel beta pankreas terhadap pemberian obat akut
10
akan kembali lagi. sulfonilurea juga dapat menstimulasi pelepasan
somatostatin, dan senyawa ini dapat menghambat sekresi glukagon.
g. Jelaskan mengenai penggunaan glibenklamid:
- Dosis dan cara pemberian
Dosis glibenklamid awal 2,5 mg / hari (1 - 2 kali sehari), rata-rata dosis
pemeliharaan adalah 5-10 mg/hari, dapat diberikan sebagai dosis
tunggal. Tidak dianjurkan memberikan dosis pemeliharaan lebih dari
20mg/hari. Pemberian dilakukan setengah jam sebelum makan.
- Efek samping
Efek yang terjadi berupa reaksi hipoglikemik, termasuk koma. Efek
samping lainnya dari sulfonilurea termasuk penyakit kuning, mual dan
muntah, kolestasis, agranulositosis, anemia aplastik dan hemolitik,
reaksi hipersensitivitas umum, dan reaksi dermatologis (Goodman and
Gilman, 2006) gangguan GI, berkeringat, kulit lembab, cemas,
takikardi, hipertensi, palpitasi, angina pectoris, aritmia jantung;
gangguan daya penglihatan sementara, reaksi hipersensitivitas. Jarang:
diskrasia darah
(MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi Edisi 11-2011/2012)
- Indikasi
Diabetes meliitus tipe 2 ringan atau sedang "maturity onset", tanpa
komplikasi yang tidak responsif dengan diet saja (tidak bergantung
pada insulin)
- Kontra indikasi
Pasien dengan penyakit hepar
Pasien dengan payah ginjal
Hipersensitif terhadap glibenklamid atau senyawa OHO
golongan sulfonilurea lainnya
Pasien dengan Porfiria
Ketoasidosis diabetik dengan atau tanpa koma
11
Penggunaan obat ini harus hati-hati karena banyak
menimbulkan hipoglikemi pada usia lanjut obat ini sebaiknya
tidak digunakan pada pasien yang berusia 70 tahun.
- Efek jangka panjang
Hipoglikemia, bahkan sampai koma tentu dapat timbul. Reaksi ini
lebih sering terjadi pada pasien usia lanjut dengan gangguan fungsi
hepar atau ginjal serta mekanisme kompensasi berkurang dan asupan
makanan yang cenderung kurang. Selain itu, hipoglikemia tidak mudah
dikenali pada orang tua karena timbul perlahan tanpa tanda akut
( akibat tidak ada refleks simpatis) dan dapat menimbulkan disfungsi
otak sampai koma. Efek samping lain, reaksi alergi jarang sekali
terjadi, mual, muntah, diare, gejala hematologik, susunan saraf pusat,
mata dan sebagainya. Gejala susunan saraf pusat berupa fertigo,
bingung, ataksia dan sebagainya. Gejala hematologikal. Leukopenia
dan agranulositosis. Efek samping lain gejala hipotiroidisme, ikterus
obstruktuf, yang bersifat sementara dan lebih sering timbul akibat
klorpropamid (0.4%).
2. Sebelum koma, Tn. A merasa dingin, berkeringat, palpitasi, badan lemas, dan
merasa cemas, setelah minum obat sebelum makan pagi.
a. Bagaimana mekanisme dari: (sesuai skenario)
- Merasa dingin
Pada keadaan normal glukosa yang cukup dapat menghasilkan energi
dan juga kalor, namun karena Tn.A mengalami hipoglikemia maka
kalor yang dihasilkan juga akan berkurang. Keadaan kurang glukosa
dalam darah => saraf simpatis => hipotalamus posterior => epinefrin.
Sehingga Tn.A merasa dingin akibat kalor yang dihasilkan sedikit,
sedangkan epinefrin tetap bekerja.
- Berkeringat
respon pertama pada saat kadar glukosa darah turun dibawah normal
adalah peningkatan akut sekresi hormon glukagon dan epinefrin; batas
12
kadar glukosa tersebut adalah 65 - 68 mg%. Bila glukosa darah tetap
turun sampai 57 mg% gejala aktivasi otonomik mulai tampak. Pada
keadaan glukosa arteri turun, terjadi peningkatan aliran
sympatoadrenal di otak, yang menyebabkan stimulasi neuron
postganglion simpatetis sehingga pelepasan asetilkolin lebih banyak
dan menyebabkan pengeluaran keringat lebih banyak.
- Palpitasi
Palpitasi adalah perasaan (sensasi) yang tidak menyenangkan yang
disebabkan oleh denyut jantung yang tidak teratur. Mekanisme yang
terjadi adalah suatu kondisi dimana hemoglobin dalam darah penderita
tidak sempurna dalam membawa oksigen ke seluruh sistem saraf di
tubuh, karena tubuh kekurangan zat besi pada darah. Maka keadaan itu
menyebabkan irama jantung menjadi abnormal atau jantung berdebar-
debar. Mekanisme respon hipoglikemia, pada awalnya, bagian
ventromedial hipothalamus merupakan organ utama yang berperan
dalam respons kontra regulasi. Hormon kontra regulasi terbagi dalam 2
kelompok, yaitu: hormon kerja cepat yaitu katekolamin dan glucagon
dan hormon kerja lambat yaitu growth hormone dan kortisol. Secara
otomatis terjadilah respon terhadap rendahnya kadar gula darah dengan
merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan epinefrin (adrenalin)
dari kelenjar adrenal dan beberapa ujung saraf. Epinefrin akan
merangsang pelepasan gula dari cadangan tubuh tetapi juga
menyebabkan gejala yang menyerupai serangan kecemasan, dengan
cara menyebabkan beberapa pembuluh darah berkontraksi dan
pembuluh lain berelaksasi, dengan pengaruh keseluruhan yang akan
diperoleh berupa pengurangan aliran darah menuju kulit, saluran
pencernaan, dan ginjal,sementara meningkatkan aliran darah ke
jantung,otak dan otot. Meningkatnya aliran darah ke jantung inilah
yang kemudian menyebabkan palpitasi pada Tn.A.
- Badan lemas
13
Tanda-tanda dan gejala-gejala hipoglikemi dibagi dalam 2 kategori,
yaitu otonomik dan neuroglikopenik. Badan lemas merupakan salah
satu gejala neuroglikopenik. Peningkatan insulin akibat stimulasi
eksogen (pemberian OAD) tanpa peningkatan kadar gula darah
glukosa yang masuk ke dalam sel akan berkurang Pembentukan
ATP berkurang akibat pasokan glukosa ke sel menurun
menurunnya pembentukan energy badan lemas.
- Merasa cemas
Tanda-tanda dan gejala-gejala hipoglikemi dibagi dalam 2 kategori,
yaitu otonomik dan neuroglikopenik. Tanda-tanda dan gejala-gejala
otonomik terjadi akibat aktivasi sistem syaraf otonom melalui
pelepasan epinefrin dari medulla adrenal kedalam sirkulasi dan
norepinefrin dari ujung2 syaraf simfatis postganglionik kedalam
jaringan2 target. Dalam keadaan normal, ambang glikemik bagi
pelepasan katekolamin lebih tinggi daripada ambangnya bagi induksi
gejala-gejala neuroglikopenik. Sehingga gejala-gejala otonomik
mengawali timbulnya gejala-gejala neuroglikopenik. Pada keadaan
hipoglikemi yang berat susunan saraf pusat menjadi overaktif, pasien
akan mengalami mental confusion, berkeringat dengan nadi yang
cepat. Hipoglikemi akan menyebabkan kerusakan neuron-neuron otak
jika energi utama yang dibutuhkan oleh otak tidak terpenuhi.
Kerusakan neuron mengganggu aktivitas neurotransmitter di otak.
Stuart&Laraia mengatakan pengaturan anxietas berhubungan dengan
aktivitas dari neurotransmmiter Gamma Aminobutyric Acid (GABA),
yang mengontrol aktifitas neuron di bagian otak yang berfungsi untuk
pengeluaran ansietas. Mekanisme kerja terjadinya ansietas diawali
dengan penghambatan neurotransmmiter di otak oleh GABA. Ketika
bersilangan di sinaps dan mencapai atau mengikat ke reseptor GABA di
membran postsinaps, maka saluran reseptor terbuka, diikuti oleh
pertukaran ion-ion. Akibatnya terjadi penghambatan atau reduksi sel
yang dirangsang dan kemudian sel beraktifitas dengan lamban (dalam
Agustarika,2009). Mekanisme biologis ini menunjukkan bahwa
14
ansietas terjadi karena adanya masalah terhadap efisiensi proses
neurotransmitter. Neurotransmitter sendiri adalah utusan kimia
khusus yang membantu informasi bergerak dari sel saraf ke sel saraf.
Jika neurotransmitter keluar dari keseimbangan, pesan tidak bisa
melalui otak dengan benar. Hal ini dapat mengubah cara otak bereaksi
dalam situasi tertentu, yang menyebabkan kecemasan.
b. Bagaimana hubungan keluhan dan mengonsumsi obat glibenklamid
sebelum makan pagi?
Glibenklamid menurunkan kadar glukosa darah puasa lebih besar daripada
glukosa sesudah makan (Sudoyo, Ari W. Dkk. Ilmu Penyakit Dalam.
2009. Hal.1887). Sehingga efek hipoglikemik dari glibenklamid akan lebih
besar. Padahal keluhan hipoglikemik pada usia lanjut sering tidak
diketahui dan dianggap sebagai keluhan pusing biasa atau serangan
iskemia sementara (Sudoyo, Ari W. Dkk. Ilmu Penyakit Dalam. 2009.
Hal.1904). Hal ini tentu berbahaya karena tidak cepat disadari sehingga
dapat berujung pada koma. Apalagi pada lansia fungsi kognitif
kebanyakan sudah menurun, sehingga kemunginan untuk lupa
mengkonsumsi makanan semakin besar. Juga karena glibenklamid
dikonsumsi dalam jangka panjang, sehingga efek hipoglikemi juga
semakin meningkat ditambah lagi asupannya kurang.
Pengonsumsian jangka panjang menyebabkan peningkatan jumlah insulin
dan menyebabkan hipoglikemia. Sebagai mekanisme awal ketika otak
kekurangan glukosa maka otak akan mengirim sinyal untuk meningkatkan
hormon efineprin yang meningkatkan glukoneogenesis, lipolisis, dan
menghambat sekresi insulin. Efek ini juga dapat menyebabkan takikardi
untuk penyebaran nutrisi dan O2 sehingga palpitasi dan merasa cemas.
juga meningkatan metabolisme tubuh hingga apabila energi telah habis
maka akan lemas. Selanjutnya akan terjadi pelepasan asetilkolin untuk
mengeluarkan panas dari metabolisme sel sehingga merangsang k.keringat
dan menyebabkan tubuh menjadi dingin. Stadium parasimpatik meliputi
lapar, mual, tekanan darah turun, takikardi, lemas dan cemas. Stadium
simpatik meliputi keringat dingin pada muka ,bibir atau tangan gemetar.
15
3. Tn. A, 67 tahun, koma sejak 3 jam yang lalu.
a. Bagaimana mekanisme koma yang dialami Tn. A?
Glibenklamid => meningkatkan sekresi insulin => dosis berlebihan =>
kadar glukosa darah turun mjd sangat rendah => koma hipoglikemik.
Hipoglikemia tidak mudah dikenali pada orang tua karena timbul perlahan
tanpa tanda akut dan dapat menimbulkan disfungsi otak sampai koma.
Pada penelitian survey yang dilakukan oleh Department of Neurology and
Neurological Sciences, and Program in Neurosciences, Stanford
University School of Medicine,terdapat setidaknya 93,2% penyebab
masuknya seseorang dengan gejala koma hipoglikemik adalah mereka
yang menderita diabetes mellitus dan telah menjalani terapi pemberian
insulin pada rentang waktu sekitar 1,5 tahunan.
Dalam otak manusia, dikenal serabut-serabut assosiasi primer dan
sekunder yang menghubungkan pusat-pusat dalam otak yang mengalirkan
berbagai fungsi luhur secara terkoordinasi dengan sangat baik. Bangunan
tersebut terletak di bagian tengah batang otak dan memanjang ke
hipotalamus dan talamus. Bangunan itu kemudian disebut dengan ARAS
(’Ascending Retikular Activating System’) atau lazim disebut Formatio
16
Reticularis atau Midbrain Reticular Formation = MRF. Dua pusat anatomi
yang mengatur kesadaran adalah korteks serebri dan batang otak. Batang
otak atau ARAS mengatur “tinggi-rendah” kesadaran (on-off
quality) sedang korteks serebri mengatur “isi” (content) dari kesadaran.
Secara fisiologik, keadaan bagian dari otak ini saling isi mengisi dan saling
mengaktivasi (reciprocal activation and stimulation) yang mengatur
secara optimal fungsi masing-masing. Jadi kesadaran ditentukan oleh
kondisi pusat kesadaran yang berada di kedua hemisfer
serebri dan ARAS pada batang otak. Dimana terdapat neurotransmiter
yang berperan pada ARAS antara lain kolinergik, monoaminergik dan
GABA. Apabila terjadi gangguan total maupun parsial dari mekanisme
pengontolan ini, maka akan menyebabkan terjadinya gangguan kesadaran
(sistem motorik dan sensorik).
Otak hanya memakai glukosa untuk sumber energinya yaitu sekitar 5
mg/100mg/menit. Cadangan glukosa di otak memberikan energi selama
kurang lebih 2 menit dan kesadaran akan hilang dalam waktu 8-10 detik.
Pada kebanyakan kasus, penurunan mental seseorang telah dapat dilihat
ketika gula darahnya menurun hingga di bawah 65 mg/dl (3.6 mM). Saat
kadar glukosa darah menurun hingga di bawah 10 mg/dl (0.55 mM),
sebagian besar neuron menjadi tidak berfungsi sehingga dapat
menghasilkan koma.
4. Pemeriksaan fisik.
a. Bagaimana interpretasi dan mekanisme abnormal dari pemeriksaan fisik
Tn. A?
- Koma
Klasifikasi GCS (Glasgow Coma Scale):
ComposMentis (conscious), yaitu kesadaran normal, sadar
sepenuhnya, dapat menjawab semua pertanyaan tentang keadaan
sekelilingnya.
Apatis, yaitu keadaan kesadaran yang segan untuk berhubungan
dengan sekitarnya, sikapnya acuh tak acuh.
17
Delirium, yaitu gelisah, disorientasi (orang, tempat, waktu),
memberontak, berteriak-teriak, berhalusinasi, kadang berhayal.
Somnolen (Obtundasi, Letargi), yaitu kesadaran menurun, respon
psikomotor yang lambat, mudah tertidur, namun kesadaran dapat pulih
bila dirangsang (mudah dibangunkan) tetapi jatuh tertidur lagi, mampu
memberi jawaban verbal.
Stupor (soporo koma), yaitu keadaan seperti tertidur lelap, tetapi ada
respon terhadap nyeri.
Coma (comatose), yaitu tidak bisa dibangunkan, tidak ada respon
terhadap rangsangan apapun (tidak ada respon kornea maupun reflek
muntah, mungkin juga tidak ada respon pupil terhadap cahaya).
Koma dapat terjadi karena asupan glukosa untuk otak menurun akibat
hipoglikemi. Sehingga dalam beberapa menit saja apabila otak
kekurangan asupan, akan menyebabkan koma.
Ada satu kemungkinan lagi, meskipun lebih jarang terjadi. Pada
hipoglikemia ini untuk mencukupi kadar gula darah agar kembali ke
normal, yaitu sekitar 70 - 100 mg/dl, maka apabila glukosa tidak
mencukupi, tubuh akan merubah glikogen menjadi glukosa. Proses ini
disebut glukoneogenesis (Pembentukan gkukosa dari bahan bukan
karbohidrat). Setelah itu, apabila simpanan glikogen otot habis, maka
tubuh akan menggunakan membongkar lemak. Proses ini terjadi di
hati. Apabila pembongkaran ini terjadi dengan proses anaerob, asam
laktat akan terbentuk secara otomatis. Penumpukan asam laktat yang
berlebihan, maka akan menyebabkan tubuh menjadi asam, hal ini bisa
menyebabkan terjadinya ketoasidosis. Ketoasidosis yang berkelanjutan
maka akan berakhir dengan syok, dan akhirnya koma, lalu terjadilah
kematian. Setelah semua lemak terbongkar, dan itu tidak cukup untuk
menyediakan glukosa bagi tubuh, maka yang selanjutnya terjadi adalah
pembongkaran protein.
- TD 90/40 mmHg
TD rendah. Hal ini terjadi karena tidak ada nutrisi di jaringan otak saat
koma. Ada 3 kompensasi: iskemik jaringan, penurunan nutrisi vaskuler
18
(meningkatkan permeabilitas kapiler sehingga volume darah menurun),
penurunan vasometer (menyebabkan dilatasi vaskuler)
- Nadi 120x/menit
Nadi 120x per menit menyatakan denyut nadi cepat (takikardi), karena
denyut nadi normal yaitu 60-100x per menit. Hali ini disebabkan oleh
pelepasan katekolamin sebagai kontraregulatory hormon yang
disebabkan oleh keadaan hipoglikemi. Katekolamin (epinefrin dan
norepinefrin) bekerja menghambat sekresi insulin dan secara langsung
merangsang proses glukoneogenesis di hepar dan ginjal, menghambat
utilisasi glukosa di jaringan perifer dan merangsang proses lipolisis.
Selanjutnya proses lipolisis akan menghasilkan substrat2 yang
diperlukan untuk glikoneogenesis (yaitu gliserol) dan sumber energi
alternatif bagi otot (yaitu asam lemak dan benda2 keton). Salah satu
reseptor katekolamin yaitu β2 yang berada pada otot polos bronkus,
otot polos pembuluh darah otot rangka, usus, uterus, dan kelenjar.
Aktivasi reseptor β2 oleh pelepasan katekolamin akan menyebabkan
vasokonstriksi, sehingga denyut nadi menjadi lebih cepat.
- Suhu
Suhu Tn. A adalah 36oC = hipotermia
o Hipotermi, bila suhu tubuh kurang dari 36°C
o Normal, bila suhu tubuh berkisar antara 37,5°C
o Febris / pireksia, bila suhu tubuh antara 37,5 - 40°C
o Hipertermi, bila suhu tubuh lebih dari 40°C
- Kadar GDS
Kadar GDS rendah. Normalnya, kadar gula dalam darah adalah 100
mg/dl (gula darah puasa) dan 140 mg/dl (gula darah sewaktu). Namun,
pada penderita DM, kadar gula darah puasanya lebih dari 126 mg/dl
dan gula darah sewaktu lebih dari 200 mg/dl.
Hipoglikemia adalah suatu keadaan dimana kadar gula darah hingga
dibawah 60 mg/dl. Dalam keadaan normal, tubuh mempertahankan
19
kadar gula darah antara 70-110 mg/dL, kadar gula darah normal adalah
80-120 mg/dl pada kondisi puasa, atau 100-180 mg/dl pada kondisi
setelah makan. Hal ini sangat membahayakan bagi tubuh, terutama
otak dan sistem syaraf, yang membutuhkan glukosa dalam darah yang
berasal dari makanan berkarbohidrat dalam kadar yang cukup.
Kadar gula darah yang rendah menyebabkan berbagai sistem organ
tubuh mengalami kelainan fungsi. Otak sebagai organ yang sangat
peka terhadap kadar gula darah yang rendah, akan memberikan respon
melalui sistem saraf, merangsang kelenjar adrenal untuk melepaskan
epinefrin (adrenalin). Hal ini akan selanjutnya merangsang hati untuk
melepaskan gula agar kadarnya dalam darah tetap terjaga.
Mekanisme respon hipoglikemia, pada awalnya, tubuh secara otomatis
memberikan respon terhadap rendahnya kadar gula darah dengan
melepaskan epinefrin (adrenalin) dari kelenjar adrenal dan beberapa
ujung saraf. Epinefrin akan merangsang pelepasan gula dari cadangan
tubuh tetapi juga menyebabkan gejala yang menyerupai serangan
kecemasan (berkeringat, kegelisahan, gemetaran, pingsan, jantung
berdebar-debar dan kadang rasa lapar). Hipoglikemia yang lebih berat
menyebabkan berkurangnya glukosa ke otak dan menyebabkan pusing,
bingung, lelah, lemah, sakit kepala, perilaku yang tidak biasa, tidak
mampu berkonsentrasi, gangguan penglihatan, kejang dan koma.
Hipoglikemia yang berlangsung lama bisa menyebabkan kerusakan
otak yang permanen.
b. Bagaimana mekanisme hipoglikemia pada skenario ini?
Secara umum, hipoglikemia dapat dikategorikan sebagai yang
berhubungan dengan obat dan yang tidak berhubungan dengan obat.
Sebagian besar kasus hipoglikemia terjadi pada penderita diabetes dan
berhubungan dengan obat seperti pada kasus ini. Penderita diabetes berat
menahun sangat peka terhadap hipoglikemia berat. Hal ini terjadi karena
sel-sel pulau pankreasnya tidak membentuk glukagon secara normal dan
kelanjar adrenalnya tidak menghasilkan epinefrin secara normal. Padahal
kedua hal tersebut merupakan mekanisme utama tubuh untuk mengatasi
kadar gula darah yang rendah. Seperti sebagian besar jaringan lainnya,
20
metabolisme otak terutama bergantung pada glukosa untuk digunakan
sebagai bahan bakar. Saat jumlah glukosa terbatas, otak dapat memperoleh
glukosa dari penyimpanan glikogen di astrosit, namun itu dipakai dalam
beberapa menit saja. Untuk melakukan kerja yang begitu banyak, otak
sangat tergantung pada suplai glukosa secara terus menerus dari darah ke
dalam jaringan interstitial dalam system saraf pusat dan saraf-saraf di
dalam system saraf tersebut. Oleh karena itu, jika jumlah glukosa yang di
suplai oleh darah menurun, maka akan mempengaruhi juga kerja otak.
Konsumsi OAD golongan sulfonylurea terjadi peningkatan pelepasan
insulin dari pancreas karena sulfonylurea berikatan dengan reseptor
sulfonylurea menghambat efluks ion kalium melalui kanal tersebut dan
menimbulkan depolarisasi depolarisasi membuka suatu kanal kalsium
bergerbang-tegangan dan menimbulkan influks kalsium dan pelepasan
insulin belum ada pasokan makanan (karena obat diberikan sebelum
makan) hiperinsulinemia peningkatan pengambilan glukosa oleh sel
dan penurunan pengeluaran glukosa oleh hati hipoglikemia
Kontraregulator : peningkatan insulin eksogen menyebabkan penekanan
sekresi glucagon sehingga tidak dapat meningkatkan pengeluaran glukosa
oleh hati hipoglikemia
c. Bagaimana cara pemeriksaan GDS dengan menggunakan glukometer?
Tes ini dapat dilakukan sendiri di rumah bila memiliki alatnya. Pertama,
bersihkan ujung jari yang akan ditusuk dengan kasa atau kapas beralkohol
untuk menghindari infeksi. Tusukkan jarum pada jari (gunakan jari
telunjuk, tengah dan kelingking, jangan menggunakan jari jempol dan jari
kelingking) untuk mengambil sampel darah. Tempelkan kasa atau kapas
beralkohol ke ujung jari yang tertusuk untuk menghentikan perdarahan.
Kemudian sampel darah diletakkan ke dalam celah. yang tersedia pada
mesin glukometer. Pastikan bahwa test strip yang Anda gunakan belum
kedaluwarsa. Setiap strip memiliki tanggal kedaluwarsa sendiri yang bila
terlewati akan membuat hasil pengukuran tidak akurat.
Hasilnya tidak terlalu akurat, tetapi dapat digunakan untuk memantau
glukosa bagi penderita agar apabila ada indikasi gula tinggi dapat segera.
melakukan pengecekan di laboratorium dan menghubungi dokter. Alat
21
glukometer terkini sudah dirancang begitu mudah digunakan dan tidak
menimbulkan rasa sakit saat mengambil sampel darah.
d. Perlukah dilakukan pemeriksaan penunjang lain untuk pasien ini?
Dilakukan pemeriksaan kadar glukosa kembali setelah dilakukan
penatalaksanaan.
5. a. Bagaimana:
- Prognosis
Prognosis pasien tergantung dari penyebab utama penyakit dibanding
dari dalamnya suatu koma. Koma yang disebabkan karena metabolik
dan intoksikasi obat lebih baik prognosisnya dibanding koma yang
disebabkan oleh kelainan struktur intrakranial. Karena pada koma
karena gangguan metabolik dapat segera dipulihkan dengan
menghilangkan gangguan tersebut. Untuk skenario ini pada
hipoglikemia dapat dilaksanakan pemberian glukosa cair ke dalam
tubuh untuk meningkatkan kadar glukosa darahnya. Semakin cepat
penanganan koma Tn.A maka kemungkinan kerusakan otak dapat
dihindari, apabila semakin lambat maka prognosis akan semakin buruk
dikarenakan cedera SSP semakin parah. Dengan penanganan kadar
gula darah (KGD) dan tekanan darah (TD) yang baik, kebanyakan
komplikasi diabetes mellitus dapat dicegah. Studi menunjukkan
bahawa kontrol KGD, TD dan kolesterol dapat mengurangkan risiko
penyakit ginjal, penyakit mata, penyakit pada sistem saraf, serangan
jantung dan stroke (Eckman, 2010).
- Penatalaksanaan dari yang dialami oleh Tn. A
o Menentukan kadar glukosa darah
Pengukuran kadar glukosa darah kapiler dengan menggunakan
glukometer dapat dipakai sebagai pedoman untuk memastikan
diagnosis serta untuk menyingkirkan kecurigaan hipoglikemi
sebagai penyebab timbulnya gejala-gejala klinis.
o Perlu dilakukan anamnesis yang teliti mengenai beberapa hal,
antara lain pekerjaan pasien, riwayat keluarga yang menderita
22
diabetes, riwayat pemakaian obat-obat golongan sulfonylurea
atau insulin, riwayat konsumsi alcohol, riwayat penyakit yang
menjadi faktor predisposisi, dan obat-obat lain yang digunakan
pasien.
o Juga perlu ditanyakan tentang frekuensi dan lamanya episode
gejala, ada tidaknya gejala-gejala otonomik dan atau
neuroglikopenik, apakah gejala berkurang dengan minum
larutan gula, kapan gejala2 tersebut terjadi (pada saat puasa
atau sesudah makan)
o Penilaian terhadap keadaan umum dan status gizi pasien perlu
dilakukan agar dapat ditentukan apakah pasien masih bisa
diberikan terapi oral atau sudah memerlukan terapi parenteral.
Setelah kejadian hipoglikemi teratasi, harus segera dicari faktor
penyebabnya serta dilakukan penyesuaian dosis OHO atau
insulin, atau bila perlu diganti dengan obat-obat yang lebih
aman dalam mengendalikan kadar glukosa darah.
o Edukasi terhadap keluarga memegang peranan yang sangat
penting.
o Pemberian insulin analog yang bersifat lebih fisiologik dalam
mengendalikan kadar glukosa darah.
o Apabila penderita tidak sadar, injeksi glukosa 40% Intra vena
25 ml (encerkan 2x dengan aqua injeksi) juga infus glukosa
10% atau Dekstrose 10%. Bila belum sadar dapat diulang 25 cc
glukosa 40% setiap 30 menit. Dapat diulang sampai 6x sampai
penderita sadar. Kemudian periksa gula darah sewaktu 30
menit setelah Intra vena terakhir. Jika tidak ada kontra indikasi
jantung pada jantung, dapat dilakukan injeksi efedrin 25-50 mg
atau glukagon 1 mg Intra muskuler.
o Pada stadium lanjut (koma hipoglikemia atau tidak sadar dan
curiga hipoglikemia), diberikan larutan dekstrosa40% sebanyak
2 flakon (=50 ml) bolus intravena dan diberikan cairan
dekstrosa 10% per infus sebanyak 6 jam per kolf. Glukosa
darah sewaktu diperiksa. Jika GDS < 50 mg/dl, ditambahkan
23
bolus dekstrosa 40% 50 mlsecara intravena. Pada pasien, perlu
dilakukan pengawasan kadar glukosa darah sampai obat
glibenklamiddiekskresi sepenuhnya oleh tubuh, karena
sulfonilurea yang memiliki kerja panjang sehingga
dapatmenyebabkan episode hipoglikemia berulang.
o Gejala hipoglikemia akan menghilang dalam beberapa menit
setelah penderita mengkonsumsi gula (dalam bentuk permen
atau tablet glukosa) maupun minum jus buah, air gula atau
segelas susu. Seseorang yang sering mengalami hipoglikemia
(terutama penderita diabetes), hendaknya selalu membawa
tablet glukosa karena efeknya cepat timbul dan memberikan
sejumlah gula yang konsisten. Baik penderita diabetes maupun
bukan, sebaiknya sesudah makan gula diikuti dengan makanan
yang mengandung karbohidrat yang bertahan lama (misalnya
roti atau biskuit). Jika hipoglikemianya berat dan berlangsung
lama serta tidak mungkin untuk memasukkan gula melalui
mulut penderita, maka diberikan glukosa intravena untuk
mencegah kerusakan otak yang serius. Seseorang yang
memiliki resiko mengalami episode hipoglikemia berat
sebaiknya selalu membawa glukagon. Glukagon adalah hormon
yang dihasilkan oleh sel pulau pankreas, yang merangsang
pembentukan sejumlah besar glukosa dari cadangan
karbohidrat di dalam hati. Glukagon tersedia dalam bentuk
suntikan dan biasanya mengembalikan gula darah dalam waktu
5-15 menit.
- Pencegahan hipoglikemia pada DM tipe 2
o Pemantauan kadar glukosa darah yang ketat perlu dilakukan
untuk menentukan penatalaksanaan yang efisien dan efektif.
o Penilaian terhadap keadaan umum dan status gizi pasien perlu
dilakukan agar dapat ditentukan apakah pasien masih bisa
diberikan terapi oral atau sudah memerlukan terapi parenteral.
24
o Setelah kejadian hipoglikemi teratasi, harus segera dicari faktor
penyebabnya serta dilakukan penyesuaian dosis OHO atau
insulin, atau bila perlu diganti dengan obat-obat yang lebih
aman dalam mengendalikan kadar glukosa darah.
o Pasien dan keluarganya diberikan edukasi tentang cara-cara
pengenalan dan penanggulangan hipoglikemi, pengaturan
makan dan dosis OHO atau insulin.
o Cara yang paling efektif untuk mencegah episode lebih lanjut
dari hipoglikemia tergantung pada penyebabnya. Risiko
episode lebih lanjut dari hipoglikemia diabetes sering dapat
(tetapi tidak selalu) akan berkurang dengan menurunkan dosis
insulin atau obat lain, atau dengan perhatian yang cermat lebih
untuk menyeimbangkan gula darah pada jam yang tidak biasa,
tingkat yang lebih tinggi dari latihan, atau asupan alkohol.
o Beberapa perawatan yang digunakan untuk hipoglikemia
hyperinsulinemic, tergantung pada bentuk yang tepat dan
tingkat keparahan. Beberapa bentuk hiperinsulinisme bawaan
menanggapi diazoxide atau octreotide. Operasi pengangkatan
bagian terlalu aktif pankreas adalah kuratif dengan resiko
minimal ketika hiperinsulinisme adalah fokal atau karena tumor
jinak memproduksi insulin pankreas. Ketika hiperinsulinisme
bawaan adalah difus dan refrakter terhadap obat,
pancreatectomy nyaris total mungkin pengobatan terakhir,
namun dalam kondisi ini kurang konsisten efektif dan penuh
dengan komplikasi lebih.
o Hipoglikemia karena kekurangan hormon seperti
hypopituitarism atau kekurangan adrenal biasanya berhenti
ketika hormon yang tepat diganti.
o Hipoglikemia karena sindrom dumping dan pasca-bedah
kondisi yang terbaik ditangani dengan mengubah diet.
Termasuk lemak dan protein dengan karbohidrat dapat
memperlambat pencernaan dan mengurangi sekresi insulin
25
awal. Beberapa bentuk ini menanggapi pengobatan dengan
inhibitor glukosidase, yang memperlambat pencernaan pati.
o Hipoglikemia reaktif dengan kadar glukosa yang rendah
terbukti paling sering mengganggu diprediksi yang dapat
dihindari dengan mengkonsumsi lemak dan protein dengan
karbohidrat, dengan menambahkan camilan pagi atau sore hari,
dan mengurangi asupan alkohol.
o Sindrom idiopatik postprandial tanpa terbukti kadar glukosa
yang rendah pada saat gejala dapat lebih dari sebuah tantangan
manajemen. Banyak orang menemukan perbaikan dengan
mengubah pola makan (makanan kecil, menghindari gula
berlebihan, makanan daripada karbohidrat dicampur dengan
sendirinya), mengurangi asupan stimulan seperti kafein, atau
dengan membuat perubahan gaya hidup untuk mengurangi
stres. Lihat bagian berikut dari artikel ini.
o Sulfonilurea dengan masa kerja panjang seperti glibenklamid
tidak dianjurkan pada penderita DM lanjut usia karena dapat
meningkatkan resiko hipoglikemia. Sebagai alternative pilihan
adalah sulfonylurea dengan masa kerja pendek seperti
gliclazide dan tolbutamide.
IV. HIPOTESIS
Tn. A mengalami DM tipe 2 dengan komplikasi hipogllikemia karena cara
pengonsumsian obat anti diabetik.
V. LEARNING ISSUE
1. DM tipe 2
Diabetes Mellitus adalah suatu penyakit dimana kadar glukosa (gula
sederhana) di dalam darah tinggi karena tubuh tidak dapat melepaskan atau
menggunakan insulin secara adekuat.
Kadar gula darah sepanjang hari bervariasi, meningkat setelah makan dan
kembali normal dalam waktu 2 jam. Kadar gula darah yang normal pada pagi
hari setelah malam sebelumnya berpuasa adalah 70-110 mg/dL darah. Kadar
26
gula darah biasanya kurang dari 120-140 mg/dL pada 2 jam setelah makan
atau minum cairan yang mengandung gula maupun karbohidrat lainnya. Kadar
gula darah yang normal cenderung meningkat secara ringan tetapi progresif
setelah usia 50 tahun, terutama pada orang-orang yang tidak aktif.
Insulin adalah hormon yang dilepaskan oleh pankreas, merupakan zat utama
yang bertanggungjawab dalam mempertahankan kadar gula darah yang tepat.
Insulin menyebabkan gula berpindah ke dalam sel sehingga bisa menghasilkan
energi atau disimpan sebagai cadangan energi.
Peningkatan kadar gula darah setelah makan atau minum merangsang
pankreas untuk menghasilkan insulin sehingga mencegah kenaikan kadar gula
darah yang lebih lanjut dan menyebabkan kadar gula darah menurun secara
perlahan. Pada saat melakukan aktivitas fisik kadar gula darah juga bisa
menurun karena otot menggunakan glukosa untuk energi.
PENYEBAB:
Diabetes terjadi jika tubuh tidak menghasilkan insulin yang cukup untuk
mempertahankan kadar gula darah yang normal atau jika sel tidak memberikan
respon yang tepat terhadap insulin.
Penderita diabetes mellitus tipe I (diabetes yang tergantung kepada insulin)
menghasilkan sedikit insulin atau sama sekali tidak menghasilkan insulin.
Sebagian besar diabetes mellitus tipe I terjadi sebelum usia 30 tahun.
Para ilmuwan percaya bahwa faktor lingkungan (mungkin berupa infeksi virus
atau faktor gizi pada masa kanak-kanak atau dewasa awal) menyebabkan
sistem kekebalan menghancurkan sel penghasil insulin di pankreas. Untuk
terjadinya hal ini diperlukan kecenderungan genetik. Pada diabetes tipe I, 90%
sel penghasil insulin (sel beta) mengalami kerusakan permanen. Terjadi
kekurangan insulin yang berat dan penderita harus mendapatkan suntikan
insulin secara teratur.
Pada diabetes mellitus tipe II (diabetes yang tidak tergantung kepada insulin,
NIDDM), pankreas tetap menghasilkan insulin, terkadang kadarnya lebih
tinggi dari normal. Tetapi tubuh membentuk kekebalan terhadap efeknya,
sehingga terjadi kekurangan insulin relatif. Diabetes tipe II bisa terjadi pada
27
anak-anak dan dewasa, tetapi biasanya terjadi setelah usia 30 tahun. Faktor
resiko untuk diabetes tipe II adalah obesitas,, 80-90% penderita mengalami
obesitas. Diabetes tipe II juga cenderung diturunkan.
Penyebab diabetes lainnya adalah:
- Kadar kortikosteroid yang tinggi
- Kehamilan (diabetes gestasional)
- Obat-obatan, dan
- Racun yang mempengaruhi pembentukan atau efek dari insulin.
PREVALENSI:
Menurut CDC, sekitar 23.613.000 orang di Amerika Serikat, atau 8% dari
populasi, menderita diabetes. Prevalensi diabetes total meningkat 13,5% dari
2005-2007. Diperkirakan bahwa hanya 24% dari diabetes sekarang tidak
terdiagnosis, turun dari 30% diperkirakan pada tahun 2005 dan dari 50% yang
sebelumnya diperkirakan pada ca 1995. Sekitar 90-95% dari semua kasus
Amerika Utara diabetes tipe 2, dan sekitar 20% dari populasi di atas usia 65
memiliki diabetes mellitus tipe 2. Fraksi penderita diabetes tipe 2 di bagian
lain dunia bervariasi secara substansial, hampir pasti untuk lingkungan dan
alasan gaya hidup, meskipun ini tidak diketahui secara rinci. Diabetes
mempengaruhi lebih dari 150 juta orang di seluruh dunia dan jumlah ini
diharapkan dua kali lipat pada tahun 2025 .. Sekitar 55 persen tipe 2 adalah
obesitas-kronis obesitas menyebabkan resistensi insulin meningkat yang dapat
berkembang menjadi diabetes, kemungkinan besar karena jaringan adiposa
(terutama di perut sekitar organ internal) merupakan sumber (baru ini
diidentifikasi) dari sinyal kimia beberapa lainnya jaringan (hormon dan
sitokin). Penelitian lain menunjukkan bahwa diabetes tipe 2 menyebabkan
obesitas sebagai akibat dari perubahan dalam metabolisme dan sel perilaku
petugas lain gila pada resistensi insulin. Namun, genetika memainkan peran
yang relatif kecil dalam terjadinya luas diabetes tipe 2. Hal ini dapat secara
logis disimpulkan dari peningkatan besar dalam terjadinya diabetes tipe 2 yang
memiliki berkorelasi dengan perubahan signifikan dalam gaya hidup barat.
28
GEJALA:
Gejala awalnya berhubungan dengan efek langsung dari kadar gula darah yang
tinggi. Jika kadar gula darah sampai di atas 160-180 mg/dL, maka glukosa
akan sampai ke air kemih. Jika kadarnya lebih tinggi lagi, ginjal akan
membuang air tambahan untuk mengencerkan sejumlah besar glukosa yang
hilang. Karena ginjal menghasilkan air kemih dalam jumlah yang berlebihan,
maka penderita sering berkemih dalam jumlah yang banyak (poliuri).
Akibat poliuri maka penderita merasakan haus yang berlebihan sehingga
banyak minum (polidipsi). Sejumlah besar kalori hilang ke dalam air kemih,
penderita mengalami penurunan berat badan. Untuk mengkompensasikan hal
ini penderita seringkali merasakan lapar yang luar biasa sehingga banyak
makan (polifagi). Gejala lainnya adalah pandangan kabur, pusing, mual, dan
berkurangnya ketahanan selama melakukan olahraga. Penderita diabetes yang
kurang terkontrol lebih peka terhadap infeksi.
Karena kekurangan insulin yang berat, maka sebelum menjalani pengobatan
penderita diabetes tipe I hampir selalu mengalami penurunan berat badan.
Sebagian besar penderita diabetes tipe II tidak mengalami penurunan berat
badan. Pada penderita diabetes tipe I, gejalanya timbul secara tiba-tiba dan
bisa berkembang dengan cepat ke dalam suatu keadaan yang disebut dengan
ketoasidosis diabetikum.
Kadar gula di dalam darah adalah tinggi tetapi karena sebagian besar sel tidak
dapat menggunakan gula tanpa insulin, maka sel-sel ini mengambil energi dari
sumber yang lain. Sel lemak dipecah dan menghasilkan keton, yang
merupakan senyawa kimia beracun yang bisa menyebabkan darah menjadi
asam (ketoasidosis).
Gejala awal dari ketoasidosis diabetikum adalah rasa haus dan berkemih yang
berlebihan, mual, muntah, lelah, dan nyeri perut (terutama pada anak-anak).
Pernapasan menjadi dalam dan cepat karena tubuh berusaha untuk
memperbaiki keasaman darah. Bau napas penderita tercium seperti bau aseton.
Tanpa pengobatan, ketoasidosis diabetikum bisa berkembang menjadi koma,
29
kadang dalam waktu hanya beberapa jam.
Bahkan setelah mulai menjalani terapi insulin, penderita diabetes tipe I bisa
mengalami ketoasidosis jika mereka melewatkan satu kali penyuntikan insulin
atau mengalami stres akibat infeksi, kecelakann atau penyakit yang serius.
Penderita diabetes tipe II bisa tidak menunjukkan gejala-gejala semala
beberapa tahun. Jika kekurangan insulin semakin parah, maka timbullah gejala
yang berupa sering berkemih dan sering merasa haus. Jarang terjadi
ketoasidosis. Jika kadar gula darah sangat tinggi (sampai lebih dari 1.000
mg/dL, biasanya terjadi akibat stres, misalnya infeksi atau obat-obatan), maka
penderita akan mengalami dehidrasi berat, yang bisa menyebabkan
kebingungan mental, pusing, kejang, dan suatu keadaan yang disebut koma
hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik.
KOMPLIKASI
Lama-lama peningkatan kadar gula darah bisa merusak pembuluh darah, saraf
dan struktur internal lainnya. Terbentuk zat kompleks yang terdiri dari gula di
dalam dinding pembuluh darah, sehingga pembuluh darah menebal dan
mengalami kebocoran. Akibat penebalan ini maka aliran darah akan
berkurang, terutama yang menuju ke kulit dan saraf.
Kadar gula darah yang tidak terkontrol juga cenderung menyebabkan kadar zat
berlemak dalam darah meningkat, sehingga mempercepat terjadinya
aterosklerosis (penimbunan plak di dalam pembuluh darah). Aterosklerosis ini
2-6 kali lebih sering terjadi pada penderita diabetes. Sirkulasi yang jelek
melalui pembuluh darah besar dan kecil bisa melukai jantung, otak, tungkai,
mata, ginjal, saraf, dan kulit, dan memperlambat penyembuhan luka.
Karena hal tersebut di atas, maka penderita diabetes bisa mengalami berbagai
komplikasi jangka panjang yang serius, yang lebih sering terjadi adalah
serangan jantung dan stroke. Kerusakan pembuluh darah mata bisa
menyebabkan gangguan penglihatan (retinopati diabetikum. Kelainan fungsi
ginjal menyebabkan gagal ginjal sehingga penderita harus menjalani dialisa.
30
Gangguan pada saraf dapat bermanifestasi dalam beberapa bentuk. Jika satu
saraf mengalami kelainan fungsi (mononeuropati), maka sebuah lengan atau
tungkai biasa secara tiba-tiba menjadi lemah. Jika saraf yang menuju ke
tangan, tungkai, dan kaki, mengalami kerusakan (polineuropati diabetikum),
maka pada lengan dan tungkai bisa dirasakan kesemutan atau nyeri seperti
terbakar dan kelemahan.
Kerusakan pada saraf menyebabkan kulit lebih sering mengalami cedera
karena penderita tidak dapat meradakan perubahan tekanan maupun suhu.
Berkurangnya aliran darah ke kulit juga bisa menyebabkan ulkus (borok) dan
semua penyembuhan luka berjalan lambat. Ulkus di kaki bisa sangat dalam
dan mengalami infeksi serta masa penyembuhannya lama sehingga sebagian
tungkai harus diamputasi.
Penelitian terakhir menunjukkan bahwa komplikasi diabetes dapat dicegah,
ditunda, atau diperlambat, dengan mengontrol kadar gula darah.
DIAGNOSA:
Diagnosis diabetes ditegakkan berdasarkan gejala-gejalanya (polidipsi,
polifagi, poliuri) dan hasil pemeriksaan darah yang menunjukkan kadar gula
darah yang tinggi.
Untuk mengukur kadar gula darah, contoh darah biasanya diambil setelah
penderita berpuasa selama 8 jam atau bisa juga diambil setelah makan. Pada
usia di atas 65 tahun, paling baik jika pemeriksaan dilakukan setelah berpuasa
karena setelah makan, usia lanjut memiliki peningkatan gula darah yang lebih
tinggi.
Pemeriksaan darah lainnya yang bisa dilakukan adalah tes toleransi glukosa.
Tes ini dilakukan pada keadaan tertentu, misalnya pada wanita hamil.
Penderita berpuasa dan contoh darahnya diambil untuk mengukur kadar gula
darah puasa. Lalu penderita meminum larutan khusus yang mengandung
sejumlah glukosa dan 2-3 jam kemudian contoh darah diambil lagi untuk
31
diperiksa.
PENGOBATAN:
Tujuan utama dari pengobatan diabetes adalah untuk mempertahankan kadar
gula darah dalam kisaran yang normal. Kadar gula darah yang benar-benar
normal sulit untuk dipertahankan, tetapi semakin mendekati kisaran yang
normal, maka kemungkinan terjadinya komplikasi sementara maupun jangka
panjang adalah semakin berkurang.
Pengobatan diabetes meliputi pengendalian berat badan, olahraga, dan diet.
Seseorang yang obesitas yang menderita diabetes tipe II tidak akan
memerlukan pengobatan jika mereka menurunkan berat badannya dan
berolahraga secara teratur. Tetapi kebanyakan penderita merasa kesulitan
menurunkan berat badan dan melakukan olahraga yang teratur. Karena itu
biasanya diberikan terapi sulih insulin atau obat hipoglikemik per-oral.
Pengaturan diet sangat penting. Biasanya penderita tidak boleh terlalu banyak
makan makanan manis dan harus makan dalam jadwal yang teratur. Penderita
diabetes cenderung memiliki kadar kolesterol yang tinggi, karena itu
dianjurkan untuk membatasi jumlah lemak jenuh dalam makanannya. Tetapi
cara terbaik untuk menurunkan kadar kolesterol adalah mengontrol kadar gula
darah dan berat badan.
Semua penderita hendaknya memahami bagaimana menjalani diet dan
olahraga untuk mengontrol penyakitnya. Mereka harus memahami bagaimana
cara menghindari terjadinya komplikasi. Mereka juga harus memberikan
perhatian khusus terhadap infeksi kaki dan kukunya harus dipotong secara
teratur. Penting untuk memeriksakan matanya supaya bisa diketahui
perubahan yang terjadi pada pembuluh darah di mata.
Terapi sulih insulin:
Pada diabetes tipe I, pankreas tidak dapat menghasilkan insulin sehingga harus
diberikan insulin pengganti. Pemberian insulin hanya dapat dilakukan melalui
suntikan, insulin dihancurkan di dalam lambung sehingga tidak dapat
32
diberikan per-oral (ditelan). Bentuk insulin yang baru (semprot hidung) sedang
dalam penelitian. Pada saat ini, bentuk insulin yang baru ini belum dapat
bekerja dengan baik karena laju penyerapannya yang berbeda menimbulkan
masalah dalam penentuan dosisnya.
Insulin disuntikkan di bawah kulit ke dalam lapisan lemak, biasanya di lengan,
paha atau dinding perut. Digunakan jarum yang sangat kecil agar tidak terasa
terlalu nyeri.
Insulin terdapat dalam 3 bentuk dasar, masing-masing memiliki kecepatan dan
lama kerja yang berbeda:
Insulin kerja cepat.
Contohnya adalah insulin reguler yang bekerja paling cepat dan paling
sebentar. Insulin ini seringkali mulai menurunkan kadar gula dalam waktu 20
menit, mencapai puncaknya dalam waktu 2-4 jam dan bekerja selama 6-8 jam.
Insulin kerja cepat seringkali digunakan oleh penderita yang menjalani
beberapa kali suntikan setiap harinya dan disutikkan 15-20 menit sebelum
makan.
Insulin kerja sedang.
Contohnya adalah insulin suspensi seng atau suspensi insulin isofan. Mulai
bekerja dalam waktu 1-3 jam, mencapai puncak maksimun dalam waktu 6-10
jam dan bekerja selama 18-26 jam. Insulin ini bisa disuntikkan pada pagi hari
untuk memenuhi kebutuhan selama sehari dan dapat disuntikkan pada malam
hari untuk memenuhi kebutuhan sepanjang malam.
Insulin kerja lama.
Contohnya adalah insulin suspensi seng yang telah dikembangkan. Efeknya
baru timbul setelah 6 jam dan bekerja selama 28-36 jam.
Sediaan insulin stabil dalam suhu ruangan selama berbulan-bulan sehingga
bisa dibawa kemana-mana.
Pemilihan insulin yang akan digunakan tergantung kepada:
- Keinginan penderita untuk mengontrol diabetesnya
- Keinginan penderita untuk memantau kadar gula darah dan
menyesuaikan dosisnya
- Aktivitas harian penderita
33
- Kecekatan penderita dalam mempelajari dan memahami penyakitnya
- Kestabilan kadar gula darah sepanjang hari dan dari hari ke hari.
Sediaan yang paling mudah digunakan adalah suntikan sehari sekali dari
insulin kerja sedang. Tetapi sediaan ini memberikan kontrol gula darah yang
paling minimal. Kontrol yang lebih ketat bisa diperoleh dengan
menggabungkan 2 jenis insulin, yaitu insulin kerja cepat dan insulin kerja
sedang. Suntikan kedua diberikan pada saat makan malam atau ketika hendak
tidur malam.
Kontrol yang paling ketat diperoleh dengan menyuntikkan insulin kerja cepat
dan insulin kerja sedang pada pagi dan malam hari disertai suntikan insulin
kerja cepat tambahan pada siang hari.
Beberapa penderita usia lanjut memerlukan sejumlah insulin yang sama setiap
harinya; penderita lainnya perlu menyesuaikan dosis insulinnya tergantung
kepada makanan, olahraga, dan pola kadar gula darahnya. Kebutuhan akan
insulin bervariasi sesuai dengan perubahan dalam makanan dan olah raga.
Beberapa penderita mengalami resistensi terhadap insulin. Insulin tidak
sepenuhnya sama dengan insulin yang dihasilkan oleh tubuh, karena itu tubuh
bisa membentuk antibodi terhadap insulin pengganti. Antibodi ini
mempengaruhi aktivitas insulin sehingga penderita dengan resistansi terhadap
insulin harus meningkatkan dosisnya.
Penyuntikan insulin dapat mempengaruhi kulit dan jaringan di bawahnya pada
tempat suntikan. Kadang terjadi reaksi alergi yang menyebabkan nyeri dan
rasa terbakar, diikuti kemerahan, gatal, dan pembengkakan, di sekitar tempat
penyuntikan selama beberapa jam. Suntikan sering menyebabkan terbentuknya
endapan lemak (sehingga kulit tampak berbenjol-benjol) atau merusak lemak
(sehingga kulit berlekuk-lekuk). Komplikasi tersebut bisa dicegah dengan cara
mengganti tempat penyuntikan dan mengganti jenis insulin. Pada pemakaian
insulin manusia sintetis jarang terjadi resistensi dan alergi.
Obat-obat hipoglikemik per-oral
Golongan sulfonilurea seringkali dapat menurunkan kadar gula darah secara
adekuat pada penderita diabetes tipe II, tetapi tidak efektif pada diabetes tipe I.
Contohnya adalah; glipizid, gliburid, tolbutamid, dan klorpropamid. Obat ini
34
menurunkan kadar gula darah dengan cara merangsang pelepasan insulin oleh
pankreas dan meningkatkan efektivitasnya.
Obat lainnya, yaitu metformin, tidak mempengaruhi pelepasan insulin tetapi
meningkatkan respon tubuh terhadap insulinnya sendiri. Akarbos bekerja
dengan cara menunda penyerapan glukosa di dalam usus.
Obat hipoglikemik per-oral biasanya diberikan pada penderita diabetes tipe II
jika diet dan olahraga gagal menurunkan kadar gula darah secara adekuat.
Obat ini kadang bisa diberikan hanya satu kali (pagi hari), meskipun beberapa
penderita memerlukan 2-3 kali pemberian. Jika obat hipoglikemik per-oral
tidak dapat mengontrol kadar gula darah dengan baik, mungkin perlu
diberikan suntikan insulin.
Pemantauan pengobatan
Pemantauan kadar gula darah merupakan bagian yang penting dari pengobatan
diabetes. Adanya glukosa bisa diketahui dari air kemih; tetap pemerisaan air
kemih bukan merupakan cara yang baik untuk memantau pengobatan atau
menyesuaikan dosis pengobatan. Saat ini kadar gula darah dapat diukur sendiri
dengan mudah oleh penderita di rumah.
Penderita diabetes harus mencatat kadar gula darah mereka dan
melaporkannya kepada dokter agar dosis insulin atau obat hipoglikemiknya
dapat disesuaikan.
2. Komplikasi DM tipe 2
Komplikasi-komplikasi diabetes mellitus dapat dibagi menjadi dua kategori
mayor: (1) komplikasi metabolik akut dan (2) komplikasi-komplikasi vascular
jangka panjang.
- Komplikasi Metabolik Akut
Disebabkan oleh perubahan yang relative akut dari konsentrasi glukosa
plasma. Pada dua keadaan ini kadar glukosa darah sangat tinggi (pada
KAD 300-600 mg/dL, pada SHH 600-1200 mg/dL), dan pasien
biasanya tidak sadarkan diri. Karena angka kematiannya tinggi, pasien
harus segera dibawa ke rumah sakit untuk penanganan yang memadai.
Komplikasi paling sering pada DM tipe 2 adalah hiperglikemia,
35
hiperosmolar dan koma nonketotik (HHNK). Bukan karena defisiensi
insulin absolut tetapi relatif hiperglikemia muncul tanpa ketosis.
Hiperglikemia menyebabkan hiperosmolalitas, diuresis osmotik dan
dehidrasi berat. Komplikasi metabolik lain adalah hipoglikemia (reaksi
insulin, syok insulin) terutama komplikasi terapi insulin. Terjadi
penurunan kadar glukosa darah sampai < 60 mg/dL. Pasien dependen
insulin mungkin suatu saat menerima insulin dalam jumlah yang lebih
banyak dari yang dibutuhkan untuk mempertahankan kadar glukosa
normal. Gejala-gejala hipoglikemi disebabkan oleh pelepasan epinefrin
(berkeringat, gemetar, sakit kepala dan palpitasi), juga akibat
kekurangan glukosa dalam otak. Penatalaksanaan hipoglikemi adalah
perlu diberikan karbohidrat baik oral maupun intravena. Kadang-
kadang diberikan glucagon, suatu hormone glikogenolisis secara
intramuscular untuk meningkatan kadar glukosa darah. Hipoglikemia
akibat pemberian insulin pada pasien DM dapat memicu pelepasan
hormone kontra-regulator (glucagon, epinefrin, kortisol, GH) yang
sering kali meningkatkan glukosa dalam kisaran hiperglikemia.
Mencegah hipoglikemia adalah dengan menurunkan dosis insulin dan
dengan demikian menurunkan hiperglikemia.
- Komplikasi Kronik Jangka Panjang
Komplikasi vaskular jangka panjang dari DM melibatkan
mikroangiopati yang merupakan lesi spesifik diabetes yang menyerang
kapiler dan arteriol retina (retinopati diabetik), glomerulus ginjal
(nefropati diabetik) dan saraf-saraf perifer (neuropati diabetik), otot
serta kulit. Manifestasi dini retinopati berupa mikroaneurisma dari
arteriola retina. Akibatnya, perdarahanm neovaskularisasi dan jaringan
parut retina dapat mengakibatkan kebutaan. Manifestasi dini dari
nefropati berupa proteinuria dan hipertensi. Jika hilangnya fungsi
nefron terus berlanjut, pasien akan menderita insufisiensi ginjal dan
uremia. Neuropati dan katarak disebabkan oleh gangguan polior
(glukosa sorbitol fruktosa) akibat kekurangan insulin. Terdapat
penimbunan sorbitol dalam lensa sehingga mengakibatkan
pembentukan katarak dan kebutaan. Pada jaringan saraf terdapat
36
penimbunan sorbitor dan fruktosa serta penurunan kada mioinositol
yang menimbulkan neuropati. Perubahan biokimia dalam jaringan
saraf akan mengganggu kegiatan metabolic sel-sel schwan dan
menyebabkan hilangnya akson. Kecepatan konduksi motorik akan
berkurang pada tahap dini perjalanan neuropati. Selanjutnya timbul
nyeri, parastesia, berkurangnya sensasi getar dan proprioseptik dan
gangguan motorik yang disertai hilangnya reflex tendon dalam,
kelemahan otot dan atrofi. Makroangiopati diabetic mempunyai
gambaran histopatologis berupa aterosklerosis. Gangguan ini berupa
(1) penimbunan sorbitol dalam intima vascular, (2)
hiperlipoprotenemia dan (3) kelainan pembekuan darah. Selanjutnya,
makroangiopati ini akan mengakibatkan penyumbatan vascular. Jika
mengenai arteri-arteri perifer maka akan terjadi insufisiensi vascular
perifer yang disertai klaudikasio intermiten dan gangrene pada
ekstrimitas serta insufisiensi serebral dan stroke.
Saraf yang paling sering rusak adalah saraf perifer, yang menyebabkan
perasaan kebas atau baal pada ujung-ujung jari. Karena rasa kebas,
terutama pada kakinya, maka pasien DM sering kali tidak menyadari
adanya luka pada kaki, sehingga meningkatkan risiko menjadi luka
yang lebih dalam (ulkus kaki) dan perlunya melakukan tindakan
amputasi. Selain kebas, pasien mungkin juga mengalami kaki terasa
terbakar dan bergetar sendiri, lebih terasa sakit di malam hari serta
kelemahan pada tangan dan kaki. Pada pasien yang mengalami
kerusakan saraf perifer, maka harus diajarkan mengenai perawatan
kaki yang memadai sehingga mengurangi risiko luka dan amputasi.
Organ/jaringan
yang terkenaYang terjadi Komplikasi
Pembuluh darah Plak aterosklerotik terbentuk dan
menyumbat arteri berukuran besar
atau sedang di jantung, otak,
tungkai, dan penis.
Sirkulasi yang buruk menyebabkan
penyembuhan luka yang jelek dan bisa
menyebabkan penyakit jantung, stroke,
gangren kaki dan tangan, impoten dan
37
Dinding pembuluh darah kecil
mengalami kerusakan sehingga
pembuluh tidak dapat mentransfer
oksigen secara normal dan
mengalami kebocoran
infeksi
MataTerjadi kerusakan pada pembuluh
darah kecil retina
Gangguan penglihatan dan pada
akhirnya bisa terjadi kebutaan
Ginjal
Penebalan pembuluh darah
ginjal
Protein bocor ke dalam air
kemih
Darah tidak disaring
secara normal
Fungsi ginjal yang buruk
Gagal ginjal
Saraf
Kerusakan saraf karena glukosa
tidak dimetabolisir secara normal
dan karena aliran darah berkurang
Kelemahan tungkai yang terjadi
secara tiba-tiba atau secara
perlahan
Berkurangnya rasa, kesemutan
dan nyeri di tangan dan kaki
Kerusakan saraf menahun
Sistem saraf
otonom
Kerusakan pada saraf yang
mengendalikan tekanan darah dan
saluran pencernaan
Tekanan darah yang naik-turun
Kesulitan menelan dan
perubahan fungsi pencernaan
disertai serangan diare
Kulit
Berkurangnya aliran darah ke
kulit dan hilangnya rasa yang
menyebabkan cedera berulang
Luka, infeksi dalam (ulkus
diabetikum)
Penyembuhan luka yang buruk
Darah Gangguan fungsi sel darah putih Mudah terkena infeksi, terutama
38
infeksi saluran kemih dan kulit
Jaringan ikat
Gluka tidak dimetabolisir secara
normal sehingga jaringan menebal
atau berkontraksi
Sindroma terowongan karpal
Kontraktur Dupuytren
HIPOGLIKEMIA PADA DIABETES MELITUS
Hipoglikemia adalah suatu simptom kompleks yang diawalidengan turunnya kadar glukose
darah sampai tidak mencukupinyakebutuhan metabolik yang diperlukan oleh sistim saraf
sehingga menimbulkan berbagai keluhan dan gejala yang karakteristik (1,4,7). Hipoglikemia
post prandial dikemukakan pertama kali pada tahun
1924, pada waktu itu belum diketahui secara jelas mengenai gejalagejala dan tidak
diperkirakan adanya hipoglikemia. Sejak digunakan obat insulin dan sulfonilurea untuk
diabetes melitus (DM), banyak dilaporkan mengenai hipoglikemia akibat obat-obat tersebut.
Timbulnya keadaan tersebut karena kurang penerangan kepada penderita akan pengaruh obat
atau dosis yang diberikan terlalu tinggi atau tidak menurut aturan. Kemajuan dalam
pengobatan diabetes mellitus dalam beberapa tahun terakhir ini serta tingkat pendidikan
masyarakat yang semakin maju maka akhir-akhir ini adanya hipoglikemia akibat pemberian
obat-obat
hipoglikemia semakin berkurang. Namun demikian perlu diketahui secara dini untuk
mencegah perlangsungan selanjutnya karena hal ini dapat membahayakan hidup penderita. Di
Indonesia frekuensi hipoglikemia pada penderita diabetes mellitus sampai saat ini masih
belum pernah dilaporkan dalam skala besar. Utojo Sukaton melaporkan pada tahun l980 2l
penderita hipoglikemia yang dirawat di Rumah Sakit Dr Cipto Mangunkusumo (9).
Disimpulkan bahwa frekuensi hipoglikemia yang sangat sedikit ini disebabkan banyak nya
kasus yang tidak dilaporkan (9).
ETIOLOGI
Hipoglikemia pada (DM) dapat ditemukan pada penderita yang mendapat pengobatan insulin
atau penderita yang mendapat obat hipoglikemia oral (tablet). Pada umumnya lebih sering
ditemukan pada penderita DM yang mendapat insulin. Terjadinya hipoglikemia pada
39
penderita ini adalah akibat pemberian dosis obat yang melebihi dari yang semestinya dengan
kata lain dosis yang diberikan terlalu besar, atau penderita melakukan kegiatan dan aktifitas
fisik yang berlebihan, atau penderita kurang makan sedang pemberian dosis obat yang
diberikan tidak diturunkan (1,3,6). Pada umumnya timbulnya hipoglikemia sering ditemukan
pada saat
sebelum makan siang dan malam hari. Hal ini disebabkan karena penderita terlambat makan
siang (karbohidrat yang dimakan tidak mencukupi). Aktifitas fisik yang berlebihan, dosis
insulin yang berlebihan,
perubahan jenis suntikan insulin dari insulin babi/sapi ke insulin murni tanpa menurunkan
dosis insulin, semuanya dapat mempercepat timbulnya hipoglikemia. Beberapa keadaan
tersebut di bawah ini dapat mempermudah penderita DM masuk ke dalam hipoglikemia:
1. Kerja insulin akan lebih lama bila pada penderita yang mendapat
insulin juga mendapat obat-obat seperti, propranolol,
oxytetracycline, ethylene diamino tetra acetic acid (EDTA).
2. Penderita dengan insufisiensi ginjal atau gagal ginjal mempunyai kecenderungan
untuk mengalami hipoglikemia akibat gangguan inaktifasi insulin oleh ginjal.
3. Adanya hipoglikemia sering juga ditemukan pada penderita DM usia lanjut yang
mendapat tablet golongan sulfonilurea yang kerjanya lama seperti, chlorpropamide
(Diabinese) atau acetohexamide oleh karena kerjanya yang lama merangsang sel beta,
sehingga sekresi insulin dapat berlangsung lama. Pada orang tua sering disertai
dengan gangguan faal ginjal, sehingga walaupun obat hipoglikemia oral sudah
dihentikan masih dapat timbul ulangan hipoglikemia karena kerja obat ini yang lama.
Pada penderita usia lanjut mungkin produksi glukosa oleh hati berkurang sehingga
timbul suatu keadaan hipoglikemia
Mengatasi komplikasi:
Insulin maupun obat hipoglikemik per-oral bisa terlalu banyak menurunkan kadar gula darah
sehingga terjadi hipoglikemia. Hipoglikemia juga bisa terjadi jika penderita kurang makan
atau tidak makan pada waktunya atau melakukan olah raga yang terlalu berat tanpa makan.
Jika kadar gula darah terlalu rendah, organ pertama yang terkena pengaruhnya adalah otak.
Untuk melindungi otak, tubuh segera mulai membuat glukosa dari glikogen yang tersimpan
di hati. Proses ini melibatkan pelepasan epinefrin (adrenalin), yang cenderung menyebabkan
rasa lapar, kecemasan, meningkatnya kesiagaan, dan gemetaran. Berkurangnya kadar glukosa
darah ke otak bisa menyebabkan sakit kepala.
40
Hipoglikemia harus segera diatasi karena dalam beberapa menit bisa menjadi berat,
menyebabkan koma dan kadang cedera otak menetap. Jika terdapat tanda hipoglikemia,
penderita harus segera makan gula. Karena itu penderita diabetes harus selalu membawa
permen, gula, atau tablet glukosa, untuk menghadapi serangan hipoglikemia. Atau penderita
segera minum segelas susu, air gula atau jus buah, sepotong kue, buah-buahan, atau makanan
manis lainnya.
Penderita diabetes tipe I harus selalu membawa glukagon, yang bisa disuntikkan jika mereka
tidak dapat memakan makanan yang mengandung gula.
Gejala-gejala dari kadar gula darah rendah:
Rasa lapar yang timbul secara tiba-tiba
Sakit kepala
Kecemasan yang timbul secara tiba-tiba
Badan gemetaran
Berkeringat
Bingung
Penurunan kesadaran, koma.
Ketoasidosis diabetikum merupakan suatu keadaan darurat. Tanpa pengobatan yang tepat
dan cepat, bisa terjadi koma dan kematian.
Penderita harus dirawat di unit perawatan intensif. Diberikan sejumlah besar cairan intravena
dan elektrolit (natrium, kalium, klorida, fosfat) untuk menggantikan yang hilang melalui air
kemih yang berlebihan.
Insulin diberikan melalui intravena sehingga bisa bekerja dengan segera dan dosisnya
disesuaikan. Kadar glukosa, keton, dan elektrolit darah, diukur setiap beberapa jam, sehingga
pengobatan yang diberikan bisa disesuaikan. Contoh darah arteri diambil untuk mengetahui
keasamannya. Pengendalian kadar gula darah dan penggantian elektrolit biasanya bisa
mengembalikan keseimbangan asam basa, tetapi kadang perlu diberikan pengobatan
tambahan untuk mengoreksi keasaman darah.
Pengobatan untuk koma hiperglikemik-hiperosmolar non-ketotik sama dengan
pengobatan untuk ketoasidosis diabetikum. Diberikan cairan dan elektrolit pengganti. Kadar
gula darah harus dikembalikan secara bertahap untuk mencegah perpindahan cairan ke dalam
otak. Kadar gula darah cenderung lebih mudah dikontrol dan keasaman darahnya tidak terlalu
berat.
41
Jika kadar gula darah tidak terkontrol, sebagian besar komplikasi jangka panjang berkembang
secara progresif. Retinopati diabetik dapat diobati secara langsung dengan pembedahan
laser untuk menyumbat kebocoran pembuluh darah mata sehingga bisa mencegah kerusakan
retina yang menetap. Terapi laser dini bisa membantu mencegah atau memperlambat
hilangnya penglihatan.
Menurut Tjokroprawiro (2007) dalam bukunya yang bertajuk ‘Hidup Sehat Dan Bahagia
Bersama Diabetes’, komplikasi DM dapat muncul secara akut dan kronik yaitu muncul
beberapa bulan atau beberapa tahun sesudah mengidap DM.
Dua komplikasi akut yang paling sering adalah:
A. Reaksi hipoglikemi
Reaksi hipoglikemi adalah gejala yang timbul akibat tubuh kekurangan
glukosa yang harus ditanngani dengan segera. Gejala tersebut ditandai
dengan dengan tanda- tanda seperti rasa lapar, gementar, keringat dingin,
pusing dan sebagainya. Dalam keadaan hipoglikemi ini, bila penderita
masih sadar, harus segera diberi roti atau pisang karena jika tidak segera
diobati,penderita akan tidak sadarkan diri. Keadaan ini terjadi disebabkan
oleh kekurangan glukosa dalam darah dan koma ini disebut koma
hipoglikemik.
Penderita koma hipoglikemik ini harus segera di bawa ke rumah sakit
karena perlu mendapat suntikan glukosa 40% dan infus glukosa. Penderita
yang mengalami reaksi hipoglikemi(masih sadar) atau koma hipoglikemik
ini biasanya disebabkan oleh obat antidiabetes yang diminum dengan dosis
terlalu tinggi atau penderita terlambat makan bahkan bisa juga disebabkan
oleh latihan fisik yang berlebihan.
B. Koma diabetes
Berlawanan dengan koma hipoglikemik, koma diabetes ini muncul karena
kadar gula dalam darah yang terlalu tinggi dan biasanya melebihi 600
mg/dL. Antara gejala koma diabetes ini adalah:
Nafsu makan menurun
Minum banyak dan kencing banyak
Disusuli dengan rasa mual, muntah, nafas penderita menjadi cepat dan
dalam serta berbau aseton
Sering disertai panas badan karena biasanya ada infeksi
42
Komplikasi kronik DM pula terjadi apabila penderita lengah dan ia bisa
menyerang keseluruhan alat tubuh mulai hujung rambut sampai hujung kaki
termasuk semua alat di dalamnya. Sebaliknya, komplikasi tersebut tidak akan
muncul jika perawatan DM dilaksanakan dengan tertib dan teratur.
3. Glibenklamid
Dikenal 2 generasi sulfonilurea , generasi 1 terdiri dari tolbutamid, tolazamid,
asethoheksimid dan kloropropamid. Generasi 2 yang potensi hipoglikemik
lebihbesar antara lain gliburid (glibenklamid), glipizid, gliklazid dan
glimepirid. Gliburid (glibenklamid) potensinya 200x lebih kuat dari
talbutamid, masa paruhnya sekitar 4 jam, metabolismenya di hepar, pada
pemberian dosis tunggal hanya 25% metabolismenya diekskresi melalui urin,
sisanya melalui empedu. Mekanisme kerja golongan obat ini sering disebut
insulin secretagogues, kerjanya merangsang sekresi insulin dari granul sel-sel
ß langehans pankreas (Suherman, 2009). Dosis Glibenklamid 5 mg, dosis total
15 mg/hari, dosistunggal maksimal 10 mg (Ikatan Apoteker Indonesia (IAI),
2010). Waktu mencapai konsentrasi maksimal dalam darah (T max)
glibenklamid adalah 3 jam (Prashanth dkk, 2011)
Indikasi:
Diabetes militus pada orang dewasa, tanpa komplikasi yang tidak responsif
dengan diet saja.
Kontra Indikasi:
Glibenklamida tidak boleh diberikan pada diabetes militus juvenil, prekoma
dan koma diabetes, gangguan fungsi ginjal berat dan wanita hamil.
Gangguan fungsi hati, gangguan berat fungsi tiroid atau adrenal.
Ibu menyusui, diabetes militus dan komplikasi (demam, trauma, gangren) dan
pasien yang sedang operasi.
43
Komposisi:
Tiap kaptab mengandung glibenklamida 5 mg.
Cara Kerja Obat:
Glibenklamida adalah hipoglikemik oral derivat sulfonil urea yang bekerja
aktif menurunkan kadar gula darah. Glibenklamida bekerja dengan
merangsang sekresi insulin dari pankreas. Oleh karena itu glibenklamida
hanya bermanfaat pada penderita diabetes dewasa yang pankreasnya masih
mampu memproduksi insulin. Pada penggunaan per oral glibenklamida
diabsorpsi sebagian secara cepat dan tersebar ke seluruh cairan ekstrasel,
sebagian besar terikat dengan protein plasma. Pemberian glibenklamida dosis
tunggal akan menurunkan kadar gula darah dalam 3 jam dan kadar ini dapat
bertahan selama 15 jam. Glibenklamida diekskresikan bersama feses dan
sebagai metabolit bersama urin.
Pola ADME ( Absorbsi, Distribusi, Metabolisme dan Ekskresi)
Pemberian glibenklamid secara oral akan diabsorbsi melalui saluran cerna
dengan cukup efektif. Makanan dan keadaan hiperglikemia dapat mengurangi
absorbsi. Kadar optimal dapat dicapai walau tidak harus diminum 30 menit
sebelum makan. Hal ini disebabkan masa paruh glibenklamid yang panjang,
dengan alasan dalam plasma sekitar 90%-99% terikat dengan protein plasma
terutama albumin.
Penggunaannya dengan single dose pagi hari yang dapat menstimulir sekresi
insulin pada semua glukosa sewaktu makan. Dengan demikian tercapai
regulasi gula darah optimal yang mirip pola normal selama 24 jam. Dalam
hepar zat ini dirombak menjadi metabolit kurang aktif yang akan diekskresi
lewat kemih 25% dan sisanya lewat empedu. Oleh karena glibenklamid
dimetabolisme dan diekskresi melalui ginjal, sediaan ini tidak boleh diberikan
pada pasien gangguan fungsi hepar atau ginjal berat. Pada penggunaannya
dapat terjadi kegagalan primer dan sekunder, dengan seluruh kegagalan kira-
kira 21% selama 1,5 tahun
Farmakologi:
Farmakodinamik: Memiliki efek hipoglikemik yang poten (200 kali lebih kuat
44
daripada Tolbutamida) sehingga pasien perlu diingatkan untuk melakukan
jadwal makan yang ketat. Glibenklamid efektif dengan pemberian dosis
tunggal.
Farmakokinetik: Absorpsi OHO sulfonilurea melalui usus baik sehingga dapat
diberikan per oral. ;Setelah diabsorbsi, obat ini tersebar ke seluruh cairan
ekstra sel. Dalam plasma sebagian besar pada protein plasma terutama
albumin (70-99%).pada protein plasma terutama albumin (70-99%).;Studi
menggunakan glibenklamid yang dilabel radioaktif menunjukkan bahwa,
glibenklamid diserap sangat baik (84 ± 9%).libenklamid diserap sangat baik
(84 ± 9%).;Mula kerja (onset) glibenklamid: kadar insulin serum mulai
meningkat 15-60 menit setelah pemberian dosis tunggal. Kadar puncak dalam
darah tercapai setelah 2-4 jam. Setelah itu kadar mulai menurun, 24 jam
setelah pemberian kadar ;dalam plasma hanya tinggal sekitar 5%. ;Masa kerja
sekitar 15 = 24 jam;Metabolisme glibenklamid sebagian besar berlangsung
dengan jalan hidroksilasi gugus sikloheksil pada glibenklamid, menghasilkan
satu metabolit dengan aktivitas sedang dan beberapa metabolit
inaktif.;Metabolit utama (M1) merupakan hasil hidroksilasi pada posisi 4-
trans, metabolit kedua (M2) merupakan hasil hidroksilasi 3-cis, sedangkan
metabolit lainnya belum teridentifikasi. Semua metabolit tidak ada yang
diakumulasi.;Hanya 25-50 % metabolit diekskresi melalui ginjal, sebagian
besar diekskresi melalui empedu dan dikeluarkan bersama tinja.;Waktu paruh
eliminasi sekitar 15-16 jam, dapat bertambah panjang apabila terdapat
kerusakan hati atau ginjal. ;Bila pemberian dihentikan, obat akan bersih keluar
dari serum setelah 36 jam.;Glibenklamid tidak diakumulasi di dalam tubuh,
walaupun dalam pemberian berulang.
Absorbsi, perjalanan, dan eksresi:
Diabsorbsi melalui GI tract secara efektif. Makanan dan hiperglikemia dapan
mengurangi absorbsi sulfonilurea (hiperglikemia menghambat motilitas
lambung dan usus ). Semua senyawa sulfonilurea dimetabolisme dihati dan
metabolitnya disekresikan melalui urin. Oleh karena itu sulfonil urea harus
diberikan secara hati - hati pada pasien dengan insufisiensi ginjal dan hati.
Efek akut obat golongan sulfonilurea berbeda dengan efek pada efek pada
45
pemakaian kronis. Pada glibenklamid mempunyai masa paruh 4 jam pada
pemakaian akut, tetapi pada pemakaian jangka lama > 12 minggu, masa
paruhnya memanjang sampai 12 jam ( bahkan sampai > 20 jam pada
pemakaian kronis dengan dosis maksimal ). Karena itu dianjurkan untuk
pemakaian sehari sekali.
Penggunaan dalam Klinik
Glibenklamid menurunkan glukosa darah puasa lebih besar daripada glukosa
sesudah makan masihg - masing 36% dan 21%. Bila diperlukan, dosis terbagi
dapat diberikan dengan dosis sore yang lebih rendah. Pemberuan sulfonilurea
dosis tunggal dapat menurunkan Hba1c sebesar 1,5 - 2 .
Pemakaian sulfonilurea umumnya selalu dimulai dengan dosis rendah untuk
menghindari hipoglikemia. Pada keadaan hiperglikemik dapat diberikan
dengan dosis yang lebih besar dengan perhatian khusus bahwa dalam beberapa
hari sudah dapat diperoleh efek klinis yang jelas dan dalam 1 minggu sudah
terjadi penurunan kadar glukosa darah yang bermakna.
Kombinasi sulfonilurea dan insulin ternyata lebih baik daripada insulin
sendiri, dosis insulin yang dibutuhkan pun lebih rendah dan cara kombinasi ini
dapat diterima pasien daripada menggunakan insulin multi injeksi.
Dosis:
Dosis awal 1 kaptab sehari sesudah makan pagi, setiap 7 hari ditingkatkan
dengan 1/2 - 1 kaptab sehari sampai kontrol metabolit optimal tercapai.
Dosis awal untuk orang tua 2.5 mg/hari.
Dosis tertinggi 3 kaptab sehari dalam dosis terbagi.
Peringatan dan Perhatian:
Pada keadaan stress, terapi dilakukan harus dengan insulin.
Hati-hati bila diberikan pada orang yang lanjut usia.
Efek Samping:
Efek samping OHO golongan sulfonilurea umumnya ringan dan frekuensinya
rendah, antara lain gangguan saluran cerna dan gangguan susunan syaraf
pusat. ;Gangguan saluran cerna berupa mual, diare, sakit perut, dan
hipersekresi asam lambung ;Gangguan susunan syaraf pusat berupa sakit
46
kepala, vertigo, bingung, ataksia dan lain sebagainya;Gejala hematologik
termasuk leukopenia, trombositopenia, agranulositosis dan anemia aplastik
dapat terjadi walau jarang sekali ;Hipoglikemia dapat terjadi apabila dosis
tidak tepat atau diet terlalu ketat, juga pada gangguan fungsi hati atau ginjal
atau pada lansia. Hipogikemia sering diakibatkan oleh obat-obat antidiabetik
oral dengan masa kerja panjang;Golongan sulfonilurea cenderung
meningkatkan berat badan
Interaksi Obat:
Efek hipoglikemia ditingkatkan oleh alkohol, siklofosfamid, antikoagulan
kumarina, inhibitor MAO, fenilbutazon, penghambat beta adrenergik,
sulfonamida.
Efek hipoglikemia diturunkan oleh adrenalin, kortikosteroid, tiazida.
Obat yang dapat meningkatkan hipoglikemia sewaktu penggunaan
glibenklamid adalah insulin, alkohol, sulfonamid, salisilat dosis besar,
anabolic steroid.
Propanolol dan penghambat adrenoseptor β lainnya menghambat reaksi
takikardia, berkeringat dan tremor pada hipoglikemia oleh berbagai sebab
termasuk ADO, sehingga keadaan hipoglikemi menjadi lebih hebat tanpa
diketahui. Alkohol: dapat menambah efek hipoglikemik;Analgetika
(azapropazon, fenilbutazon, dan lain-lain): meningkatkan efek
sulfonilurea;Antagonis kalsium: misalnya nifedipin kadang-kadang
mengganggu toleransi glukosa;Antagonis Hormon: aminoglutetimid dapat
mempercepat metabolisme OHO; oktreotid dapat menurunkan kebutuhan
insulin dan OHO;Antihipertensi diazoksid: melawan efek
hipoglikemik;Antibakteri (kloramfenikol, kotrimoksasol, 4-kuinolon,
sulfonamida dan trimetoprim): meningkatkan efek sulfonilurea;Antibakteri
rifampisin: menurunkan efek sulfonilurea (mempercepat
metabolisme);Antidepresan (inhibitor MAO): meningkatkan efek
hipoglikemik;Antijamur: flukonazol dan mikonazol menaikkan kadar plasma
sulfonilurea;Anti ulkus: simetidin meningkatkan efek hipoglikemik
sulfonilurea;Hormon steroid: estrogen dan progesterone (kontrasepsi oral)
antagonis efek hipoglikemia ;Klofibrat: dapat memperbaiki toleransi glukosa
47
dan mempunyai efek aditif terhadap OHO;Penyekat adrenoreseptor beta :
meningkatkan efek hipoglikemik dan menutupi gejala peringatan, misalnya
tremor;Penghambat ACE: dapat menambah efek hipoglikemik;Urikosurik:
sulfinpirazona meningkatkan efek sulfonilurea
Cara Penyimpanan:
Simpan pada suhu kamar (di bawah 30 derajat Celcius) dan tempat kering.
Kemasan:
Glibenklamida 5 mg kaptab, botol 100 kaptab.
Glibenklamida 5 mg kaptab, kotak 10 strip @ 10 kaptab.
Glibenklamida 5 mg kaptab, kotak 10 blister @ 10 kaptab.
HARUS DENGAN RESEP DOKTER
Jenis: Kaplet
Produsen: PT Indofarma
Sediaan yang beredar di pasaran :
Glibenclamide (Generik); Abenon; Clamega; Condiabet; Daonil; Diacella;
Euglucon; Fimediab; Glidanil; Glimel; Gluconic; Glimel; Gliseta; Glyamid;
Glynase Pres Tab; Harmida; Hisacha; Latibet; Libronil; Merzanil; Prodiabet;
Prodiamel; Renabetic; Samclamide; Semi Euglucon; Semi Gliceta; Tiabet.
4. Hipoglikemia
Hipoglikemia adalah suatu keadaan klinis yang terjadi akibat penurunan kadar
glukosa darah dibawah rentang batas normal. Hipoglikemia dapat disebabkan
oleh berbagai kelainan dan berat ringannya ditentukan pula oleh lamanya
terjadi penurunan kadar glukosa darah serta berat ringan gejala yang timbul.
Pada pasien DM, hipoglikemia terutama terjadi akibat pemberian obat-obat
golongan sulfonilurea dan pemakaian insulin. Pengaruh buruk hipoglikemia
terutama akan menyebabkan gangguan fungsi syaraf otak yang bila
berlangsung lama akan meningkatkan morbiditas dan mortalitas. Kekawatiran
akan terjadinya hipoglikemia dalam penatalaksanaan DM, terutama pada
pasien usia lanjut menimbulkan permasalahan dalam kendali glukosa darah
48
yang akan meningkatkan risiko komplikasi makro dan mikrovaskular akibat
hiperglikemia.
Tinjauan pustaka ini akan membahas patofisiologi dan penatalaksanaan
hipoglikemia pada pemakaian insulin terutama pada pasien DM usia lanjut.
Regulasi kadar glukosa darah (Homeostasis Glukosa)
Sistem syaraf pusat sangat tergantung dengan oksidasi glukosa sebagai sumber
energi utamanya. Gangguan suplai glukosa akan mengakibatkan gangguan
fungsi otak (neuroglikopenia), dan bila berlangsung lama akan menyebabkan
kerusakan syaraf otak yang irreversibel dan kematian. Pada orang dewasa
sehat dengan BB 70 kg, kebutuhan glukosa otak diperkirakan sebanyak 1
mg/kg/menit) atau sebanyak 100 g/hari. Ambilan glukosa otak difasilitasi oleh
2 transporter glukosa yaitu GLUT 1 dan GLUT3 yang tidak tergantung dengan
insulin. Dalam keadaan hipoglikemia, sistem transportasi glukosa ini
mengalami gangguan. Sedangkan pada hipoglikemia kronik akan terjadi up
regulasi transporter glukosa, suatu fenomena penting yang berperan dalam
terjadinya hypoglycemia unawareness.
Dalam keadaan puasa, otak dapat menggunakan benda2 keton (β-hydroksi-
butirat dan aseto asetat) sebagai sumber energi alternatif. Ambilan benda2
keton oleh otak proporsional dengan kadarnya didalam darah. Oksidasi benda2
keton dapat menjadi sumber energi hanya bila kadarnya didalam sirkulasi
mengalami peningkatan, seperti terjadi dalam keadaan puasa yang lama.
Jadi bila kadar glukosa darah rendah, sedangkan kadar keton sangat tinggi,
maka otak sebagian terlindung dari efek buruk hipoglikemia. Namun bila
kadar glukosa dan keton rendah, seperti terjadi pada hipoglikemi akibat
pemberian insulin dan gangguan oksidasi asam lemak, otak akan sangat rentan
terhadap gangguan metabolik. Kadar glukosa didalam sirkulasi ditentukan
oleh keseimbangan antara asupan glukosa (absorpsi + produksi) dan utilisasi/
penggunaannya oleh berbagai jaringan. Dalam keadaan puasa, produksi
glukosa tergantung pada ketersediaan substrat2 yang diperlukan bagi proses
glikogenolisis dan glukoneogenesis. Sementara utilisasi glukosa ditentukan
oleh ambilan glukosa dan ketersediaan sumber energi alternatif terutama bagi
jaringan otot. Mekanisme utama yang berperan dalam pencegahan
hipoglikemia ditunjukkan dalam gambar dibawah ini. Dalam keadaan puasa
(post absorptive state), kadar insulin menurun, sehingga menurunkan ambilan
49
glukosa oleh hepar, otot dan lemak. Glikogenolisis didalam hati merupakan
proses paling penting untuk memenuhi kebutuhan glukosa dalam keadaan
puasa selama 12 sampai 24 jam. Bila puasa berlangsung lebih lama, setelah
simpanan glikogen hati berkurang, akan terjadi lipolisis dan pemecahan
protein untuk mempertahankan kadar asam lemak, gliserol dan asam amino
didalam aliran darah. Asam lemak akan digunakan oleh otot sebagai sumber
energi dan oleh hati untuk memproduksi benda2 keton yang akan digunakan
sebagai sumber energi alternatif bagi jaringan2 tubuh lain. Gliserol dan asam
amino akan diambil oleh hati dan ginjal yang akan digunakan sebagai bahan
utama bagi proses glukoneogenesis. Penelitian terbaru menunjukkan bahwa
produksi glukosa pada laki-laki sehat sekitar 1,8 mg/kg/menit selama dalam
keadaan puasa sampai 40 jam. Kontribusi proses glukoneogenesis terhadap
produksi glukosa basal meningkat dari 41% setelah 12 jam sampai 92%
setelah 40 jam puasa. Dalam keadaan puasa yang lama, ginjal memproduksi
25% atau lebih dari total kebutuhan akan glukosa, terutama melalui proses
glukoneogenesis dari glutamine, laktat dan gliserol. Pada insufisiensi ginjal
kronik yang berat akan terjadi gangguan produksi glukosa renal sehingga akan
menimbulkan hipoglikemi puasa. Bila kadar glukosa plasma berada dibawah
nilai ambang hipoglikemi, akan terjadi pelepasan hormon2 kontra regulasi,
sebagai usaha untuk meningkatkan produksi glukosa. Nilai ambang ini
diperkirakan pada kadar 67 mg/dl. Bagian ventromedial hipothalamus
merupakan organ utama yang berperan dalam respons kontra regulasi.
Hormon kontra regulasi terbagi dalam 2 kelompok, yaitu hormon kerja cepat
yaitu katekolamin dan glukagon dan hormon kerja lambat yaitu growth
hormone dan kortisol.
Katekolamin (epinefrin dan norepinefrin) bekerja menghambat sekresi insulin
dan secara langsung merangsang proses glukoneogenesis di hepar dan ginjal,
menghambat utilisasi glukosa di jaringan perifer dan merangsang proses
lipolisis. Selanjutnya proses lipolisis akan menghasilkan substrat2 yang
diperlukan untuk glikoneogenesis (yaitu gliserol) dan sumber energi alternatif
bagi otot (yaitu asam lemak dan benda2 keton). Glukagon terutama bekerja
merangsang produksi glukosa hati, namun sangat sedikit atau bahkan tidak
mempunyai efek terhadap utilisasi glukosa perifer atau stimulasi produksi
50
glukosa ginjal. Walaupun glukagon merangsang lipolisis dan ketogenesis,
namun hanya mempunyai efek minimal terhadap mobilisasi prekursor
glukoneogenesis dari lemak. Efek kontra regulasi dari kortisol dan growth
hormone terjadi beberapa jam setelah hipoglikemi. Jadi kedua hormon ini
hanya berperan minimal dalam pencegahan hipoglikemi akut, namun penting
dalam pencegahan hipoglikemi akibat puasa yang lama. Kortisol merangsang
glukoneogenesis hati dan lipolisis, sehingga meningkatkan kadar asam lemak
bebas dan gliserol. Growth hormone juga mempunyai efek yang sama
terhadap lipolisis dan glukoneogenesis, serta secara bersamaan menekan
utilisasi glukosa di jaringan perifer. Kedua hormon diatas dapat meningkatkan
lipolisis untuk menghasilkan substrat penting bagi proses glukoneogenesis,
serta asam lemak bebas dan benda2 keton yang akan digunakan sebagai
sumber energi alternatif.
Definisi Hipoglikemi
Diagnosis hipoglikemi ditegakkan berdasarkan trias Whipple, yaitu: adanya
gejala2 dan tanda2 hipoglikemi, kadar glukosa plasma yang rendah, dan
terjadi pemulihan gejala setelah kadar glukosa plasma kembali normal melalui
pemberian glukosa eksogen.
Namun, nilai cutoff dari kadar glukosa plasma untuk menetapkan hipoglikemi
masih simpang siur. Berbagai kepustakaan menggunakan rentang nilai antara
45 sampai 75 mg/dl (2,5 – 4,2 mmol/l). Dalam praktek sehari-hari, definisi
hipoglikemi disesuaikan dengan keadaan klinis. Walaupun tidak ada ketentuan
pasti tentang seberapa rendah kadar glukosa darah sebagai patokan
mendefinisi-kan hipoglikemi, namun terdapat kesepakatan bahwa kadar
glukosa plasma vena antara 45 sampai 60 mg/dl (2,5 – 3,3 mmol/l) jelas
mendukung diagnosis hipoglikemi, dan bila dibawah 45 mg/dl (2,5 mmol/l)
biasanya sudah menimbulkan gejala klinis yang berat. Bila kadar glukosa
darah yang rendah disertai dengan gejala2 neurologik, kecurigaan terhadap
hipoglikemi lebih tinggi dan perlu segera dicari faktor penyebabnya. Pada
pasien diabetes yang diterapi dengan insulin, kadar glukosa darah hendaklah
51
dipertahankan diatas 75 mg/dl (4,2 mmol/l) untuk mencegah kemungkinan
terjadinya hipoglikemi simtomatis dan hypoglycemia unawareness.
Tanda-tanda dan gejala-gejala hipoglikemi:
Tanda-tanda dan gejala-gejala hipoglikemi dibagi dalam 2 kategori, yaitu
otonomik dan neuroglikopenik. Tanda-tanda dan gejala-gejala otonomik
terjadi akibat aktivasi sistem syaraf otonom melalui pelepasan epinefrin dari
medulla adrenal kedalam sirkulasi dan norepinefrin dari ujung2 syaraf simfatis
postganglionik kedalam jaringan2 target. Dalam keadaan normal, ambang
glikemik bagi pelepasan katekolamin lebih tinggi daripada ambangnya bagi
induksi gejala-gejala neuroglikopenik. Sehingga gejala-gejala otonomik
mengawali timbulnya gejala-gejala neuroglikopenik. Gejala-gejala dan tanda-
tanda yang berhubungan dengan pelepasan katekolamin dapat berupa tremor,
muka pucat, palpitasi, takhikardia, tekanan nadi yang melebar dan rasa cemas
(ansietas). Berkeringat, rasa lapar dan parestesia juga umum ditemukan, yang
biasanya dimediasi oleh adanya pelepasan asetilkholin. Pada orang dewasa,
pengeluaran keringat lebih mencolok, hal ini diduga akibat stimulasi oleh
syaraf2 simfatis kolinergik post ganglionik. Gejala2 neuroglikopenik terjadi
akibat kekurangan glukosa didalam otak. Karena glukosa merupakan sumber
energi utama untuk metabolisme jaringan otak, maka penurunan kadar glukosa
darah tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan energi bagi otak. Gejala-gejala
neuroglikopenik tidak dapat dibedakan dengan gejala2 akibat terjadinya
hipoksia jaringan otak. Gejala2 tersebut antara lain berupa rasa lemas,
kelelahan, pusing, sakit kepala, perubahan perilaku dan bingung. Pasien dapat
mengalami letargi, mudah tersinggung dan bahkan dapat bersikap agresif.
Dapat pula terjadi gangguan fungsi kognitif, gangguan berfikir dan
berkonsentrasi, aphasia dan bicara kacau. Disamping itu, hipoglikemia dapat
menyebabkan pandangan kabur, kebutaan, paresthesia, hemiplegi, hipotermi,
dan bahkan koma, kejang dan berakhir dengan kematian. Episode hipoglikemi
yang lama dan berat dapat menimbulkan kematian sel syaraf, sehingga
menyebabkan gangguan fungsi otak yang permanen. Dengan bertambahnya
usia, gejala2 hipoglikemi menjadi berkurang dan profil gejalapun mengalami
perubahan.
52
Dalam suatu studi di Inggeris yang membandingkan respons terhadap
hipoglikemi pada 7 orang dewasa (5 orang laki-laki) non diabetes yang
berumur 65 sampai 80 tahun dengan 6 orang (3 orang laki-laki) usia 24 sampai
49 tahun, menunjukkan bahwa skor gejala berkurang secara bermakna pada
kelompok usia yang lebih tua. Pada pasien DM, faktor predisposisi terjadinya
hypoglycemia antara lain faktor usia, gangguan fungsi jantung, ginjal dan hati
serta adanya sepsis dan gizi buruk. Disamping itu, beberapa jenis obat dapat
pula mengadakan interaksi dengan golongan sulfonilurea dan insulin, sehingga
memperkuat efek hipoglikemik kedua jenis obat ini. Obat-obatan dapat
menyebabkan hipoglikemi melalui beberapa mekanisme, yaitu melalui:
- Peningkatan sekresi insulin: Disopyramide, Quinine, Pentamidine,
Ritodrine, Isoniazide, Chloroquine.
- Peningkatan ambilan dan utilisasi glukosa dijaringan perifer: Beta
adrenergic blocker, ACE inhibitor, Biguanid, PPAR γ agonist.
- Penurunan produksi glukosa di hati: alkohol, mekanisme otoimun:
hidralazine, Procainamide, Interferon.
- Obat2 yang mengandung gugus sulfhydryl (methimazole,
penicillamine, captopril.
- Tidak jelas mekanismenya (diduga menurunkan klirens insulin) :
Sulfonamide, Salisilat, Antikoagulan (dicumarol, warfarin), Analgetik,
antiinflamasi (indomethazine, colchicin, parasetamol, fenilbutazon),
Anti psikotik (haloperidol, chlorpromazine), Ketoconazole, Anti
Parkinson (Selegiline), Octreotide, Phenytoin.
Secara klinis hipoglikemi dibagi dalam 3 kategori, yaitu :
Hipoglikemi ringan, yaitu bila gejala2 dan tanda2 hipoglikemi ringan dan
dapat diobati sendiri oleh pasien.
Hipoglikemi sedang, yaitu bila gejala2 dan tanda2 hipoglikemi disertai dengan
gangguan kognitif ringan, namun pasien masih bisa menanggulanginya
sendiri.
53
Hipoglikemi berat, bila disertai dengan gangguan kognitif berat, bahkan
sampai terjadi koma dan kejang sehingga pasien tidak dapat
menanggulanginya sendiri.
Penatalaksanaan Hipoglikemia
Gejala-gejala dan tanda-tanda hipoglikemi bersifat non spesifik, sehingga
langkah awal dalam mengevaluasi pasien yang diduga mengalami
hipoglikemia adalah dengan menentukan kadar glukosa darah.
Pada kebanyakan pasien, pengukuran kadar glukosa darah saat terjadinya
gejala-gejala klinis sulit dilakukan karena gejala yang timbul terlalu singkat
dan pasien jauh dari pusat pelayanan kesehatan.
Pengukuran kadar glukosa darah kapiler dengan menggunakan glukometer
dapat dipakai sebagai pedoman untuk memastikan diagnosis serta untuk
menyingkirkan kecurigaan hipoglikemi sebagai penyebab timbulnya gejala-
gejala klinis. Namun interpretasi hasilnya hendaklah dilakukan secara hati2
karena pengukuran kadar glukosa darah secara teknis bisa salah bila dilakukan
oleh pasien sendiri yang mungkin belum pernah mengalami gejala-gejala
otonomik dan neurogligopenik.
Perlu dilakukan anamnesis yang teliti mengenai beberapa hal, antara lain:
pekerjaan pasien, riwayat keluarga yang menderita diabetes, riwayat
pemakaian obat-obat golongan sulfonylurea atau insulin, riwayat konsumsi
alcohol, riwayat penyakit yang menjadi faktor predisposisi dan obat-obat lain
yang digunakan pasien. Juga perlu ditanyakan tentang frekuensi dan lamanya
episode gejala, ada tidaknya gejala-gejala otonomik dan atau neuroglikopenik,
apakah gejala berkurang dengan minum larutan gula, dan kapan gejala2
tersebut terjadi (pada saat puasa atau sesudah makan)
Pasien yang mengalami hipoglikemi hanya pada periode postprandial mungkin
menderita idiopathic reactive hypoglycemia. Namun, penyebab hipoglikemi
lain seperti insulinoma dapat pula menimbulkan hipoglikemi postprandial.
Kelompok usia lanjut perlu mendapat perhatian khusus, karena mereka sering
tidak mengalami gejala-gejala dini hipoglikemi akibat gangguan fungsi syaraf
54
otonom (hypoglycemia unawareness), sehingga glukosa darah dapat turun
mencapai kadar yang sangat rendah (< 40 mg/dl) yang dapat menimbulkan
kerusakan syaraf otak yang irreversible.Penatalaksanaan hipoglikemi di rumah
sakit sebaiknya melibatkan kerjasama tim. Pemantauan kadar glukosa darah
yang ketat perlu dilakukan untuk menentukan penatalaksanaan yang efisien
dan efektif. Penilaian terhadap keadaan umum dan status gizi pasien perlu
dilakukan agar dapat ditentukan apakah pasien masih bisa diberikan terapi oral
atau sudah memerlukan terapi parenteral. Setelah kejadian hipoglikemi
teratasi, harus segera dicari faktor penyebabnya serta dilakukan penyesuaian
dosis OHO atau insulin, atau bila perlu diganti dengan obat-obat yang lebih
aman dalam mengendalikan kadar glukosa darah. Insulin basal yang
dikombinasi dengan OHO aman digunakan pada pasien2 DM tipe2. Dalam
suatu review dari beberapa studi klinis acak terkendali, yang membandingkan
pemberian insulin monoterapi dan kombinasi dengan OHO, 13 dari 14
diantaranya tidak menunjukkan perbedaan bermakna dari angka kejadian
hipoglikemi. Penggunaan insulin analog terbukti mengurangi angka kejadian
hipoglikemi. Dalam beberapa studi menunjukkan bahwa angka kejadian
hipoglikemi lebih rendah pada pemakaian insulin glargine dan insulin detemir,
dibandingkan dengan insulin NPH. Sebelum dipulangkan, pasien dan
keluarganya diberikan edukasi tentang cara-cara pengenalan dan
penanggulangan hipoglikemi, pengaturan makan dan dosis OHO atau insulin.
Simpulan :
Hipoglikemia adalah suatu keadaan klinis yang terjadi akibat penurunan kadar
glukosa darah dibawah rentang batas normal. Bila kadar glukosa darah turun
sampai dibawah 40 mg/dl, akan memberikan gejala-gejala neurologik yang
berat dan irreversibel. Pada pasien DM, hipoglikemia terutama terjadi akibat
pemberian obat-obat golongan sulfonilurea dan pemakaian insulin.
Kekawatiran akan terjadinya hipoglikemia dalam penatalaksanaan DM,
terutama pada pasien usia lanjut menimbulkan permasalahan dalam kendali
glukosa darah yang akan meningkatkan risiko komplikasi makro dan
mikrovaskular akibat hiperglikemia. Pada kelompok usia lanjut, manifestasi
gejala dan tanda2 hipoglikemia seringkali tidak jelas dikarenakan adanya
neuropati otonom (hypoglycemia unawareness) , sehingga terkadang pasien
55
datang ke rumah sakit sudah dalam keadaan hipoglikemia yang berat.
Hipoglikemia dapat memprovokasi terjadinya gangguan hemodinamik
sehingga dapat meningkatkan angka kejadian stroke, infark miokard, dan
aritmia ventrikel serta sudden death.
Hipoglikemia dapat pula menimbulkan penurunan kesadaran dan kejang, yang
pada usia lanjut akan meningkatkan risiko jatuh dan fraktur karena adanya
komorbiditas seperti osteoporosis. Dalam pencegahan dan penatalaksanaan
hipoglikemia pada pasien DM tipe 2 usia lanjut, edukasi terhadap keluarga
memegang peranan yang sangat penting. Pemberian insulin analog yang
bersifat lebih fisiologik dalam mengendalikan kadar glukosa darah, dapat
mengurangi frekuensi kejadian hipoglikemia.
VI. KERANGKA KONSEP
56
Tn. A, 67 tahun, mengidap DM tipe 2
Konsumsi glibenklamid jangka panjang
Sekresi insulin
Glukoneogenesis dan glikogenolisis Glikogenesis
Hipoglikemia
Utilisasi glukosa
oleh sel
Merasa dingin
Badan lemas
Berkeringat
Peningkatan kerja epinefrin
Palpitasi
Peningkatan kerja simpatis
Koma hipoglikemik
Denyut nadi meningkat
TD turunMerasa cemas
VII. KESIMPULAN
Tn. A, 67 tahun, mengidap DM tipe 2, mengalami hipoglikemia karena konsumsi
glibenklamid jangka panjang yang berakibat peningkatan sekresi insulin, sehingga
terjadi peningkatan glikogenesis, utilisasi glukosa dalam sel dan penurunan
glukoneogenesis serta glikogenolisis. Hal ini ditandai dengan gejala berkeringat,
merasa dingin, palpitasi, merasa cemas, TD turun dan denyut nadi yang
meningkat.
VIII. DAFTAR PUSTAKA
Sudoyo, Ari.W. dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. InternaPublishing:
Jakarta.
United Kingdom Prospective Diabetes Study Group: Intensive blood-glucose
control with sulphonylureas or insulin compared with conventional treatment and
risk of complications in patients with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet 1998;
352:837–852.
Cryer PE: Hypoglycaemia: the limiting factor in the glycaemic management of
type I and type II diabetes.Diabetologia 2002; 45:937–948.
Tomky D. Detection, Prevention, and Treatment of Hypoglycemia in the Hospital.
Diab Spectr. 2005;18(1):42
57
Denyut nadi meningkat
Merasa cemas
Zammit NN, Frier BM. Hypoglycemia in type 2 diabetes. Diab Care
2005;28(12):2948-2957.
Fowler MJ. Hypoglycemia. Clinical Diabetes 2008; 26,(4):170-173
Kaukonen KM,Rantala M, Pettila.V, Hynninen M. Severe hypoglycemia during
intensive insulin therapy. Acta Anaesthesiol Scand 2009; 53: 61–65.
Buku ajar Ilmu penyakit dalam Jilid 3 edisi V editor Aru W. Sudoyo, Bambang
setyhadi Jakarta Interna publishing 2009
Goodman & Gilman's the Pharmacological Basis of Therapeutics 11th edition Mc
graw Hill 2006
jfi.iregway.com/index.php/jurnal/article/.../89/87
http://jurnal.unpad.ac.id/mku/article/view/1487
Price, Sylvia Anderson dan Lorraine McCarty Wilson. 2005. Patofisiologi:
Konsep Klinis Proses-proses Penyakit. Jakarta: EGC
Staf Pengajar Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas
Sriwijaya. 2008. Kumpulan Kuliah Farmakologi Edisi 2. Jakarta:EGC
Gizi kesehatan masyarakat.alih bahasa : dr. Andry hartono . editor edisis bahasa
indonesi:palupi widyastuti,SKM & Erita Agustin Hardyanti, SKM. Penerbit:
buku kedokteran EGC.
Jurnal: Mekanisme Seluler dan Molekular Resistensi Insulin
Oleh: dr. RISMA KARLINA PRABAWATI
DOUBLE DEGREE NEUROLOGI
Pembimbing: Prof. drh. Aulani’am
DI PROGRAM DOUBLE DOLGREE NEUROLOGI FAKULTAS
KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA MALANG2012
58
Clinical diabetes melitus: a problem oriented approach. Davidson,john K.
Lecture notes on Clinical Medicine. Edisi 6. David rubenstein, david wayne, john
bradley. Penerbit: erlangga 2007
59