laporan praktikum blansing

25
Matilda Christina Tri Tresnawati 240210140041 Kelompok 6A IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN Praktikum yang telah dilakukan yaitu praktikum pengaruh pemanasan terhadap aktivitas enzim dan sifat organoleptik produk. Produk yang diamati dalam praktikum ini adalah tomat A, tomat B, buncis, dan kubis. Masing-masing produk dipotong kecil-kecil (kecuali tomat), dicuci dan ditiriskan. Bahan yang perlu disiapkan yaitu air dan es batu dimasukkan dalam baskom serta air untuk pengukusan dan perebusan dimasukkan dalam panci dan dididihkan. Masing-masing produk diberikan beberapa perlakuan sehingga dapat dilakukan perbandingan satu dengan yang lain. Perlakuan-perlakuan tersebut antara lain tanpa perlakuan (kontrol), blansing kukus, dan blansing rebus dengan rentang waktu yang berbeda-beda. Menurut Tjahjadi dan Marta (2014), blansing adalah perlakuan panas yang pendek dengan air panas/uap panas sebelum pengalengan, pembekuan, pengeringan. Blansing dapat dilakukan dengan dua cara yaitu 1) dalam air mendidih, selama 1,5 menit – 12 menit, pada suhu 88 o – 99 o C dan 2) dalam stim pada tekanan 1 atm dan suhu 100 o C. Tujuan dari blansing adalah a) menonaktifkan enzim terutama polifenoloksidase (penyebab pencoklatan enzimatis), lipoksigenase (penyebab ketengikan), ascorbic acid oxidase (penyebab penguraian vitamin C), serta katalase dan peroksidase (keduanya dipakai sebagai indikator

Upload: matilda-chriztine

Post on 28-Jan-2016

778 views

Category:

Documents


36 download

DESCRIPTION

Laporan Praktikum Biokimia Pangan Blansing

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

IV. HASIL PENGAMATAN DAN PEMBAHASAN

Praktikum yang telah dilakukan yaitu praktikum pengaruh pemanasan

terhadap aktivitas enzim dan sifat organoleptik produk. Produk yang diamati

dalam praktikum ini adalah tomat A, tomat B, buncis, dan kubis. Masing-masing

produk dipotong kecil-kecil (kecuali tomat), dicuci dan ditiriskan. Bahan yang

perlu disiapkan yaitu air dan es batu dimasukkan dalam baskom serta air untuk

pengukusan dan perebusan dimasukkan dalam panci dan dididihkan.

Masing-masing produk diberikan beberapa perlakuan sehingga dapat

dilakukan perbandingan satu dengan yang lain. Perlakuan-perlakuan tersebut

antara lain tanpa perlakuan (kontrol), blansing kukus, dan blansing rebus dengan

rentang waktu yang berbeda-beda. Menurut Tjahjadi dan Marta (2014), blansing

adalah perlakuan panas yang pendek dengan air panas/uap panas sebelum

pengalengan, pembekuan, pengeringan. Blansing dapat dilakukan dengan dua cara

yaitu 1) dalam air mendidih, selama 1,5 menit – 12 menit, pada suhu 88o – 99oC

dan 2) dalam stim pada tekanan 1 atm dan suhu 100oC. Tujuan dari blansing

adalah a) menonaktifkan enzim terutama polifenoloksidase (penyebab

pencoklatan enzimatis), lipoksigenase (penyebab ketengikan), ascorbic acid

oxidase (penyebab penguraian vitamin C), serta katalase dan peroksidase

(keduanya dipakai sebagai indikator kecukupan blansing); b) menghilangkan

kotoran yang melekat; c) mengurangi jumlah mikroorganisme; d) melenturkan

jaringan hingga mudah memasukkannya ke dalam kemasan; dan e) mengeluarkan

udara dari jaringan untuk mencegah reaksi oksidasi, mencegah agar tekanan

dalam kemasan sewaktu sterilisasi jangan terlalu tinggi, memudahkan sortasi

berdasarkan berat jenis serta membuat jaringan yang hijau tampak lebih cerah.

Enzim adalah satu atau beberapa gugus polipeptida (protein) yang

berfungsi sebagai katalis (senyawa yang mempercepat proses reaksi tanpa habis

bereaksi) dalam suatu reaksi kimia. Enzim bekerja dengan cara menempel pada

permukaan molekul zat-zat yang bereaksi dan dengan demikian mempercepat

proses reaksi. Percepatan terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan

yang dengan sendirinya akan mempermudah terjadinya reaksi. Sebagian besar

enzim bekerja secara khas, yang artinya setiap jenis enzim hanya dapat bekerja

Page 2: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

pada satu macam senyawa atau reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan

struktur kimia tiap enzim yang bersifat tetap. Sebagai contoh, enzim α-amilase

hanya dapat digunakan pada proses perombakan pati menjadi glukosa.

(Tranggono,1990)

Kerja enzim dipengaruhi oleh beberapa faktor, terutama adalah substrat,

suhu, keasaman, kofaktor dan inhibitor. Tiap enzim memerlukan suhu dan pH

(tingkat keasaman) optimum yang berbeda-beda karena enzim adalah protein,

yang dapat mengalami perubahan bentuk jika suhu dan keasaman berubah. Di luar

suhu atau pH yang sesuai, enzim tidak dapat bekerja secara optimal atau

strukturnya akan mengalami kerusakan. Hal ini akan menyebabkan enzim

kehilangan fungsinya sama sekali. Kerja enzim juga dipengaruhi oleh kofaktor

dan inhibitor.Enzim bekerja dengan cara menempel pada permukaan molekul zat-

zat yang bereaksi dan dengan demikian mempercepat proses reaksi. Percepatan

terjadi karena enzim menurunkan energi pengaktifan yang dengan sendirinya akan

mempermudah terjadinya reaksi. Sebagian besar enzim bekerja secara khas, yang

artinya setiap jenis enzim hanya dapat bekerja pada satu macam senyawa atau

reaksi kimia. Hal ini disebabkan perbedaan struktur kimia tiap enzim yang bersifat

tetap. Sebagai contoh, enzim α-amilase hanya dapat digunakan pada proses

perombakan pati menjadi glukosa.(Winarno, 1992)

Prosedur untuk melakukan blansing kukus dan blansing rebus berbeda

pada peletakan produknya saja yaitu produk pada blansing kukus diletakkan di

atas wadah yang ditempatkan dalam panci sehingga tidak bersentuhan secara

langsung dengan air sedangkan produk pada blansing rebus dimasukkan dalam air

mendidih sehingga bersentuhan secara langsung dengan air. Prosedur yang

dilakukan pertama kali yaitu air yang dipanaskan dalam panci diukur terlebih

dahulu suhunya. Apabila telah mencapai suhu minimum, produk yang telah

dipotong kecil-kecil dan telah dimasukkan dalam kertas saring dimasukkan dalam

panci sesuai letak dan lamanya blansing. Selanjutnya, produk yang telah

diblansing dicelupkan dalam air es selama 3 menit dan ditiriskan. Menurut

Tjahjadi (2008), setelah blansing harus segera dilakukan pendinginan.

Pendinginan dapat dilakukan dengan cara perendaman dalam 1) air dingin; yang

selain mendinginkan bahan juga turut membasuh produk sehingga dapat

Page 3: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

mencegah kekeruhan cairan dalam kaleng pada produk-produk yang banyak

mengandung pati seperti kacang polong dan 2) penghembusan dengan udara

dingin. Hasil pengamatan masing-masing produk disajikan dalam tabel di bawah

ini.

Tabel 1. Hasil Pengamatan Pengaruh Pemanasan Terhadap Aktivitas Enzim dan Sifat Organoleptik Buncis

Kel PerlakuanOrganoleptik Peroksida

(+/-), warnaWarna Tekstur AromaA1 Blanko - - - (-) Bening

1Tanpa

blansingHijau muda Keras

Buncis segar

(+) Coklat

2 Direbus (1’)Hijau tua cerah+

Lunak+Buncis segar+

(+) Coklat kehijauan

3 Direbus (3’)Hijau tua cerah+

Lunak+Buncis matang

(-) Bening +

4 Direbus (9’) Hijau tua cerah Lunak++Buncis

matang+(-) Bening +

+

5Dikukus

(3’)Hijau tua cerah++

Lunak+Bau

buncis+(-) Bening +

(Sumber: Dokumentasi Pribadi, 2015)

Tabel 2. Hasil Pengamatan Pengaruh Pemanasan Terhadap Aktivitas Enzim dan Sifat Organoleptik Tomat A

Kel PerlakuanOrganoleptik Peroksida (+/-),

warnaWarna Tekstur AromaA2 Blanko Tidak ada Tidak ada Tidak ada (-) bening

6Tanpa

blansingHijau segar Keras Tomat

(+) warna coklat bening

7 Direbus (1’) Hijau pucatAgak

empukTomat rebus (-) bening keruh

8 Direbus (2’) Hijau pucat Lembek Tomat rebus (-) bening keruh9 Direbus (6’) Kuning pucat Lembek Tomat rebus (-) bening keruh

10 Dikukus (2’) Hijau pucat EmpukTomat kukus

(+) bening keruh

(Sumber : Dokumentasi pribadi, 2015)

Tabel 3. Hasil Pengamatan Pengaruh Pemanasan Terhadap Aktivitas Enzim dan Sifat Organoleptik Kubis

Kel PerlakuanOrganoleptik Peroksida (+/-),

warnaWarna Tekstur Aroma

11Blansing rebus 5’

Putih pucat LunakKubis

(+ + + +)5

(Transparan)

12Blansing rebus 1,5’

Putih kekuningan

Keras(+)

Kubis(+ +)

2(Oren kecoklatan + +)

Page 4: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

13Blansing rebus 0,5’

PutihKeras

(+ + +)Kubis(+ + +)

1(Oren kecoklatan + +

+)

14Tanpa

perlakuanPutih

kekuninganKeras

(+ + + +)Kubis(+ + +)

4(Oren berbayang)

15Blansing

kukus 1,5’Putih pucat

Keras(+ + +)

Kubis(+ + +)

3(Oren kecoklatan

berbayang) (Sumber : Dokumentasi pribadi, 2015)

Tabel 4. Hasil Pengamatan Pengaruh Pemanasan Terhadap Aktivitas Enzim dan Sifat Organoleptik Tomat B

Kel PerlakuanOrganoleptik Peroksida (+/-),

warnaWarna Tekstur Aroma

16Blansing

kukus 1,5’Hijau muda,

guratan hijau tuaKeras(+ +)

Tomat segar(+ +)

3(Kuning

berbayang)

17Tanpa

perlakuanHijau muda,

hijau tua diujungKeras

(+ + +)

Tomat segar

(+ + +)

1(Oren berbayang

+ + +)

18Blansing rebus 0,5’

Hijau mudaKeras

(+ + +)Tomat segar

2(Oren berbayang

+ +)

19Blansing rebus 1,5’

Hijau mudaKeras(+ +)

Tomat segar

(+ + +)

5(Transparan)

20Blansing rebus 5’

Hijau mudaKeras(+ +)

Tomat segar

4(Keruh

transparan) (Sumber : Dokumentasi pribadi, 2015)

4.1 Tomat

Tomat A berdasarkan hasil pengamatan, memiliki warna hijau segar

dengan aroma khas tomat segar dan tekstur yang masih keras pada saat tidak

diberi perlakuan blansing. Tomat yang diberi perlakuan blansing kukus dan

blansing rebus juga menghasilkan sifat organoleptik yang berbeda. Tomat yang

diblansing secara pengukusan selama 2 menit memiliki warna hijau pucat dengan

aroma khas tomat kukus dan tekstur yang berubah menjadi empuk. Sedangkan,

tomat yang diblansing selama 1 menit, 2 menit, dan 6 menit secara perebusan

memiliki warna hijau pucat dengan aroma khas tomat rebus dan tekstur yang

bertambah lunak juga.

Page 5: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

Tomat B berdasarkan hasil pengamatan, tomat yang tidak diberi perlakuan

blansing memiliki warna hijau muda dan hijau tua di bagian ujung tomat,

memiliki aroma tomat segar dan bertekstur keras. Tomat yang diblansing dengan

cara dikukus selama 1,5 menit memiliki warna hijau muda dengan guratan hijau

tua, beraroma tomat segar namun tidak sekuat aroma tomat segar tanpa perlakuan

blansing, dan bertekstur agak keras. Sedangkan tomat B yang diblansing dengan

cara direbus selama 0,5 menit, 1,5 menit, dan 5 menit memiliki warna hijau muda,

bertekstur keras dan beraroma tomat segar. Semakin lama waktu yang digunakan

untuk proses perebusan dan pengukusan, warna hijau pada tomat akan semakin

memudar, aroma tomat juga akan semakin menyengat dan teksturnya akan

semakin melunak.

Perubahan-perubahan yang terjadi pada tomat ini memengaruhi zat-zat

dalam tomat akibat proses blansing. Menurut Apandi (1984), perubahan warna

merupakan perubahan yang paling menonjol pada waktu pemasakan. Terjadilah

sintesa dari pigmen tertentu, seperti karotinoid dan flavonoid di samping

terjadinya perombakan khlorofil. Oleh karena perombakan/degradasi dari

khlorofil, maka karotenoid yang sudah ada namun tidak nyata, menjadi nyata dan

buah berubah menjadi warna kuning. Pada tomat terjadi sintesa dari likopene yang

berwarna merah dan degradasi khlorofil. Tsang (2005) menjelaskan bahwa

likopen terikat dengan struktur sel tomat dan perubahan suhu dalam proses

pengolahan dapat melepaskan likopen dari struktur sel tomat. Berdasarkan

literatur tersebut, hasil pengamatan menunjukkan kesesuaian dengan isi literatur.

Warna hijau tomat menjadi semakin memudar karena terjadi sintesa likopene dan

degradasi khlorofil.

Perubahan aroma sayuran secara umum karena zat-zat penyebab bau

(aroma) antara lain adalah ester-ester, alkohol, asam, aldehid, keton, diasetil,

asetilkarbinol, geraniol. Pemasakan dari sayur-sayuran menyebabkan timbulnya

persenyawaan-persenyawaan terbang (volatile) yang tadinya tidak ada pada sayur-

sayuran segar. Misalnya asam amino metilsisteine-sulfoxida pada kubis

menghasilkan di-sulfida pada waktu pemanasan dan menyebabkan bau yang

berbeda dari semula (Apandi, 1984). Berdasarkan literatur tersebut, perubahan

aroma pada tomat terjadi karena adanya senyawa-senyawa volatil penyebab bau.

Page 6: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

Menurut Buttery dan Ling (1993), senyawa volatil terpenting yang menentukan

aroma tomat yaitu hexanal, cis-3-hexenal, trans-2-hexenal, hexanol, cis-3-

hexenol, 2-isobutylthiazole, 6-methyl-5-hepten-2-one, β-ionone, geranylacetone,

1-penten-3-one, 3-methylbutanal, 3-methylbutanol, phenylethanol, 2-pentenal,

acetone, ethanol, and methanol.

Perubahan yang nyata pula pada pemasakan buah-buahan dan

penyimpanan sayuran adalah menjadi lunaknya buah-buahan dan jaringan

sayuran. Hal ini disebabkan terutama oleh perubahan yang terjadi pada dinding sel

dan lain-lain substansi pektin, yaitu oleh larutnya dan depolimerisasi substansi

pektin secara progresif. Yang termasuk dalam substansi pektin adalah:

protopektin, pektin, asam pektinat, asam pektat. Struktur utama (basis) dari bahan-

bahan pektin ini adalah rantai panjang dari asam poligalakturonat. Pektin yang

tidak larut, dikenal dengan nama protopektin, terdapat di dalam buah-buahan yang

mentah, kemudian diubah dengan pertolongan berbagai enzim menjadi pektin

yang larut pada waktu terjadi pemasakan buah-buahan. Pektin yang larut ini

kemudian didepolimerisasi lagi menjadi unit-unit yang lebih kecil dan mungkin

akhirnya menjadi asam galakturonat (Apandi, 1984). Berdasarkan literatur

tersebut, tomat mengalami pelunakan tekstur karena larutnya dan depolimerisasi

substansi pektin. Menurut Kartasapoetra (1994), aktifnya enzim-enzim

pektinmetilesterase dan poligalakturonase yaitu pada hasil tanaman terutama

buah-buahan yang berada pada proses pemasakan ternyata telah melangsungkan

pemecahan atau kerusakan pektin menjadi senyawa-senyawa lain. Pemecahan

atau kerusakan tersebut menyebabkan berubahnya tekstur buah, di mana biasanya

buah yang tadinya keras akan menjadi lebih lunak.

4.2 Buncis

Buncis memiliki warna hijau muda dengan aroma buncis segar dan tekstur

yang masih keras pada saat tidak diberi perlakuan blansing. Buncis yang diberi

perlakuan blansing kukus dan blansing rebus juga menghasilkan sifat organoleptik

yang berbeda. Buncis yang diblansing secara pengukusan selama 3 menit

memiliki warna hijau tua yang lebih cerah dibandingkan dengan buncis yang

diblansing secara perebusan. Buncis yang diblansing secara perebusan selama

Page 7: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

selama 1 menit, 3 menit, dan 9 menit menghasilkan warna hijau tua cerah.

Semakin lama waktu perebusannya, maka warna buncis menjadi semakin tidak

cerah lagi. Aroma pada buncis yang diblansing secara pengukusan adalah tercium

aroma buncis kemudian aroma pada buncis yang diblansing secara perebusan

semakin lama waktu perebusannya semakin tercium bau buncis matang. Aroma

buncis berasal dari senyawa-senyawa volatil yang didapati pada buncis seperti

menurut Apandi (1984), perubahan aroma sayuran secara umum karena zat-zat

penyebab bau (aroma) antara lain adalah ester-ester, alkohol, asam, aldehid, keton,

diasetil, asetilkarbinol, geraniol.

Tekstur pada buncis yang diblansing secara pengukusan menjadi lunak

dan tekstur semakin lunak pada buncis yang diblansing secara perebusan. Tekstur

lunak bertambah sejalan dengan bertambahnya waktu blansing rebus. Menurut

Desroiser (1988), cara blansing dengan uap panas (Steam Blanching) lebih sedikit

kehilangan air untuk bahan yang mudah larut dalam air. Dengan demikian, sudah

jelas bahwa blansing dengan cara perebusan akan melunakan tekstur buncis

karena buncis yang bersentuhan langsung dengan air akan menyerap air sehingga

teksturnya menjadi lunak.

Perubahan warna pada buncis karena pada perlakuan blansing terjadi

peningkatan enzim klorofilase akibat panas yang digunakan. Klorofilase adalah

enzim mengkatalisis esterifikasi senyawa fitol sehingga terbentuk klorofil a, hal

ini yang menyebabkan warna hijau pada buncis dan kukus yang diberi pelakuan

blansing menjadi lebih cerah. Warna sayuran mengalami perubahan saat setelah

blansing. Pada umumnya, pengurangan warna yang nampak pada sayuran akan

terlihat melalui hubungan nilai tristimulus warna (L, a, dan b) atau kombinasi,

chroma, hue, dan perbedaan keseluruhan warna. Perubahan warna merupakan

metode dari penyederhanaan dua reaksi yang berurutan yaitu pembentukan warna

dan pengurangan warna. Pembentukan dan pengurangan warna yang nampak pada

sayuran diatur oleh senyawa yang membawa pigmen warna (seperti klorofil).

Rasio warna (a/b) digunakan sebagai parameter yang menentukan kualitas sayuran

selama blansing. Perubahan warna dikaitkan dengan perubahan warna hijau

menjadi kuning yang merupakan konversi dari klorofil menjadi pheophytin dan

kemudian menjadi pyropheophytin (Sun, 2006).

Page 8: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

4.3 Kubis

Kubis berdasarkan hasil pengamatan memiliki warna putih kekuningan

dengan aroma khas kubis yang sangat menyengat dan tekstur yang masih keras

pada saat tidak diberi perlakuan blansing. Kubis yang diberi perlakuan blansing

kukus dan blansing rebus juga menghasilkan sifat organoleptik yang berbeda.

Kubis yang diblansing secara pengukusan selama 1,5 menit memiliki warna putih

pucat sedangkan kubis yang diblansing secara perebusan selama 0,5 menit, 1,5

menit, dan 5 menit secara berturut-turut memiliki warna putih, putih pucat, dan

putih kekuningan. Aroma khas kubis pada kubis yang diblansing secara

pengukusan masih beraroma kubis yang agak kuat sedangkan aroma khas kubis

pada kubis yang diblansing secara perebusan masih terasa menyengat tetapi

semakin berkurang dengan bertambahnya waktu blansing. Aroma buncis berasal

dari senyawa-senyawa volatil yang didapati pada buncis seperti menurut Apandi

(1984), perubahan aroma sayuran secara umum karena zat-zat penyebab bau

(aroma) antara lain adalah ester-ester, alkohol, asam, aldehid, keton, diasetil,

asetilkarbinol, geraniol. Tekstur pada kubis yang diblansing secara pengukusan

menjadi lunak dan tekstur semakin lunak pada buncis yang diblansing secara

perebusan berdasarkan bertambahnya waktu perebusan. Tekstur lunak bertambah

sejalan dengan bertambahnya waktu blansing rebus. Menurut Effendi (2009),

beberapa pengaruh proses blansing terhadap bahan pangan yaitu pada bahan

pangan yang diblansing, terjadi penyusutan yang sangat besar sehingga

menyebabkan kehilangan berat bahan yang cukup tinggi. Kehilangan berat ini

dapat mencapai 19% yang diakibatkan oleh kondisi suhu 50-55oC sehingga

membran sitoplasma yang melindungi bagian dalam sel menjadi rusak dan

menyebabkan kehilangan tekanan turgor. Keadaan ini menyebabkan terjadi

kehilangan cairan dari bagian dalam sel. Secara simultan, kerusakan membran

menyebabkan difusi solut dari bagian dalam sel. Difusi yang terjadi terus menerus

selama proses blansing menyebabkan penyusutan berat. Selain itu, blansing juga

berpengaruh terhadap komponen gizi. Sesuai dengan literatur, hasil pengamatan

menunjukkan tekstur melunak yang diduga disebabkan oleh kerusakan membran

dinding sel sehingga kubis yang direbus akan mengalami pelunakan.

Page 9: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

Proses Hot Water Blanching akan lebih melunakan bahan jika

dibandingkan dengan Steam Blanching. Hal ini dikarenakan sebagaian besar air

masuk kedalam bahan yang akan menyebabkan ikatan-ikatan antar partikel-

partikel bahan menjadi semakin renggang sehingga daya tarik antar partikel akan

lemah dan mengakibatkan tekstur menjadi lunak. Sekian lama pemanasan maka

bahan semakin lunak sehingga terjadi over cooking maka dapat menyebabkan

kerusakan pada tekstur. Oleh karena itu dalam melakukan proses blanching

diperlukan pengukuran waktu yang digunakan. Lamanya proses blancing dapat

ditentukan dari ukuran dan bentuk bahan, tekstur, konduktivitas panas

(Praptiningsih, 1999).

Blansing dapat menyebabkan perubahan fisik dan kimia yang

mengakibatkan perubahan tekstur dan struktur bahan. Perubahan tersebut

tergantung pada suhu dan lama blansing, serta jenis dan kondisi bahan yang

diblansing (Estiasih, 2009). Efektifitas blansing tergantung pada kondisi sayuran,

bentuk sayuran, waktu, kualitas air, kondisi pertukaran panas, dan indikator

aktivitas enzim. Proporsi dari ketahanan dan kestabilan isoenzim dan pergerakan

parameter merupakan faktor penting dalam memprediksi dan mengoptimalkan

proses blansing. Lamanya proses blansing dipengaruhi jenis sayuran dan bentuk

sayuran tersebut. Kualitas air yang digunakan dalam proses blansing sayuran

mungkin memengaruhi tekstur sayuran, sebagai contoh, air panas dapat

menguatkan tekstur keras dari kacang hijau sehingga perlu pengecekan kualitas

air yang akan digunakan saat blansing (Sun, 2006).

Peroksidase merupakan anggota enzim reduktase yang dianggap memiliki

hubungan nyata dengan penyebab perubahan pada rasa, warna, tekstur dan

kandungan gizi buah-buahan dan sayur-sayuran yang belum diolah. Peroksidase

pada tanaman merupakan isozim yang berperan dalam pertumbuhan, diferensiasi

dan pertahanan (Gaspar, et. al., 1980). Aktivitas isozim peroksidase mudah

dideteksi karena aktivitasnya yang luar biasa pada jaringan (Touti, 1988).

Enzim peroksidase merupakan salah satu dari enzim yang termasuk ke

dalam jenis enzim fenol oksidase yang berpengaruh pada pencoklatan sayur atau

buah. Sedangkan enzim katalase merupakan enzim yang dapat menyebabkan

perubahan yang tidak dikehendaki selama proses penyimpanan. Parameter dalam

Page 10: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

melakukan blansing adalah enzim katalase dan enzim peroksidase. Kedua enzim

tersebut yang dijadikan sebagai parameter karena kedua enzim tersebut adalah

enzim yang paling tahan panas (heat resistance), sehingga, jika kedua enzim itu

sudah menjadi tidak aktif, maka otomatis, enzim lain pun tidak akan aktif pula.

Kecukupan blansing ditentukan oleh hilangnya aktivitas katalase dan peroksidase,

karena enzim-enzim secara universal terdapat dalam sayuran dan bersifat tahan

panas. Peroksidase mempunyai kemampuan untuk reaktivasi setelah blansing

(nyata setelah 24 jam), karena itu sebaiknya blansing dilakukan pada suhu yang

lebih tinggi atau waktu yang lebih lama dari hasil penetapan inaktivasi katalase

dan peroksidase. Dampak blansing terhadap sifat-sifat inderawi sayuran adalah

tekstur menjadi lebih lunak dan warna menjadi kebih mantap dan cerah (Asgar, A.

dan D. Musaddad, 2006). Sampel yang telah diblansing sebelumnya, diambil

sebanyak 10 gram sampel, dihaluskan, dan ditambahkan akuades sebanyak 30 ml,

lalu disaring untuk diperoleh filtratnya. Filtrat yang didapat dimasukkan ke dalam

tabung reaksi ditambahkan 10 ml akuades, 0,5 ml gualikol 0,5%, dan 0,5 ml

larutan H2O2 0,08%. Fungsi penambahan gualikol adalah sebagai donor proton

untuk reaksi peroksidase. Sedangkan penambahan H2O2 berfungsi sebagai

pereaksi supaya terjadi perubahan warna menjadi cokelat ketika terjadi penguraian

H2O2. Campuran diaduk supaya homogen dan didiamkan selama 3.5 menit untuk

diamati perubahan warna yang terjadi. Semakin coklat warna yang diperoleh

menunjukkan bahwa enzim yang aktif dalam sampel masih banyak.

Berdasarkan hasil pengamatan, hasil uji peroksidase pada blanko secara

keseluruhan menghasilkan warna bening karena blanko tidak menggunakan

sampel buah atau sayuran yang memiliki enzim peroksidase. Enzim peroksidase

ditemui dalam masing-masing sampel ditandai dengan adanya warna coklat pada

larutan gualikol dan H2O2 yang ditambahkan sampel.

Sampel tomat A dengan perlakuan tanpa blansing menghasilkan

perubahan warna larutan menjadi coklat bening yang berarti sampel tomat A

mengandung peroksida. Sedangkan sampel tomat A dengan perlakuan negukusan

dan perebusan perubahan warna larutan hanya menjadi bening keruh. Sehingga

tidak terdapat enzim peroksida pada sampel tomat A dengan perlakuan

pengukusan dan perebusan. Sampel tomat B dengan perlakuan tanpa blansing,

Page 11: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

pengukusan dan perebusan tidak terbentuk larutan berwarna coklat sehingga dapat

disimpulkan bahwa pada sampel tomat B tidak mengandung enzim peroksida.

Sampel buncis yang tidak diberi perlakuan blansing tidak menunjukkan

adanya enzim peroksidase ditandai dengan larutan yang berwarna bening. Sampel

buncis yang diberi perlakuan blansing kukus dan blansing rebus 9 menit juga

menunjukkan tidak terbentuknya enzim peroksida ditandai dengan warna larutan

bening. Sampel buncis yang direbus selama 1 menit dan 3 menit menunjukan

terbentuknya enzim peroksida ditandai dengan perubahan warna larutan menjadi

coklat namun terjadi penurunan warna coklat dari sampel yang direbus selama 1

menit ke sampel yang direbus selama 3 menit. Penurunan warna coklat ini berarti

jumlah enzim peroksidase sudah berkurang karena dinonaktifkan oleh proses

pemanasan.

Sampel kubis yang tidak diberi perlakuan blansing tidak menunjukkan

adanya warna coklat tetapi sampel kubis yang diberi perlakuan blansing kukus

dan blansing rebus selama 0,5 menit dan 1,5 menit didapati warna coklat. Hal ini

menunjukan bahwa sampel kubis yang dikukus dan direbus selama 0,5 menit dan

1,5 menit mengandung enzim peroksida. Sedangkan pada sampel kubis yang

direbus selama 5 menit tidak terbentuk enzim peroksida karena larutan yang

terbentuk transparan.

Peroksidase (PO) dianggap sebagai enzim yang tidak stabil terhadap panas

sehingga digunakan sebagai indikator efektivitas blansing. Inaktivasi PO

tergantung pada sifat, ketebalan, bentuk sayuran, serta kombinasi antara suhu dan

waktu. Ada bukti yang menerangkan bahwa kualitas sayuran setelah proses

blansing menjadi lebih unggul jika hanya beberapa PO yang tertinggal di akhir

proses blansing. PO yang telah terinaktivasi secara keseluruhan menunjukkan

proses blansing yang berlebihan. Inaktivasi PO yang masih tersisa menjadi

blansing yang berlebihan dapat menyebabkan penurunan kualitas dalam makanan

beku serta kerugian ekonomi (Sun, 2006).

Menurut Tranggono (1990), reaksi yang dikatalisa adalah sbb :

AH2 + H2O2 A + H2O + ROH

Page 12: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

Keterangan A = donor hidrogen, seperti gualikol, benzidin, flavonoid dll. Reaksi

ini dikatalis oleh enzim peroksidase. Peroksida diduga besar peranannya dalam

menimbulkan kerusakan oksidatif selama penyimpanan sayuran.

Page 13: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

V. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan praktikum pengaruh pemanasan terhadap aktivitas enzim dan

sifat organoleptik produk, dapat disimpulkan bahwa.

Blansing memengaruhi sifat organoleptik pada sampel tomat, buncis, dan

kubis seperti warna, tekstur, dan aroma.

Semakin lama proses perebusan, warna hijau pada tomat akan memudar,

warna hijau pada kacang buncis akan semakin cerah, dan warna kubis

akan semakin menguning.

Semakin lama proses perebusan, tekstur dari sampel akan semakin lunak

karena adanya pemecahan atau kerusakan pektin menjadi senyawa-

senyawa lain

Pemasakan dari sayur-sayuran menyebabkan timbulnya persenyawaan-

persenyawaan terbang (volatile) yang tadinya tidak ada pada sayur-

sayuran segar. Perubahan aroma pada sayuran dan buah terjadi karena

adanya senyawa-senyawa volatil penyebab bau.

Setiap sampel memiliki enzim peroksidase dilihat dari terbentuknya warna

coklat pada larutan gualikol dan H2O2 pada uji peroksidase.

Blansing dapat menonaktifkan enzim peroksidase dibuktikan dengan

penurunan warna coklat pada setiap sampel.

Pada sampel tomat, enzim peroksida tidak aktif setelah dilakukan

pengukusan dan perebusan, sampel buncis setelah dikukus selama 3 menit

dan direbus selama 9 menit, dan sampel kubis setelah dilakukan perebusan

selama 5 menit.

5.2 Saran

Saran yang dapat diberikan dari praktikum pengaruh pemanasan terhadap

aktivitas enzim dan sifat organoleptik produk yang telah dilakukan adalah :

Air yang digunakan untuk proses blansing diusahakan harus sudah dalam

keadaan mendidih

Penimbangan sampel harus dilakukan dengan akurat

Penghalusan sampel harus dilakukan sampai sangat halus untuk

mempermudah proses penyaringan

Page 14: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

DAFTAR PUSTAKA

Asgar, A. dan D. Musaddad. 2006. Optimalisasi Cara, Suhu, dan Lama Blansing Sebelum Pengeringan Kubis. Balai Penelitian Tanaman Sayuran, Bandung.

Apandi, M. 1984. Teknologi Buah dan Sayur. Penerbit Alumni, Bandung.

Buttery, R.G., and Ling, L.C. 1993. Volatile components of tomato fruit and plant parts: relationship and biogenesis. In: Bioactive Volatile Compounds From Plants. (Eds.: R. Teranishi, R.G. Buttery, and H. Sugisawa), ACS, Washington, D.C., pp. 22-33.

Desrosier, N. 1988. Teknologi Pengawetan Pangan. UI Pers, Jakarta.

Effendi, S. 2009. Teknologi Pengolahan dan Pengawetan Pangan. Alfabeta, Bandung.

Estiasih, Teti dan Ahmadi. 2009. Teknologi Pengolahan Pangan. PT Bumi

Aksara, Jakarta.

Gaspar, T., C. Penel, T. Thorpe and H. Greeppin. 1980. Peroxidases A Survey of Their Biochemical and Physiology Roles in Higer Plant. University of Geneva. Page. 210-225

Kartasapoetra, A.G., 1994. Teknologi Penanganan Pasca Panen. Rineka Cipta, Jakarta.

Nijssen, L. M. et. al. 1999. Volatile Compounds in Food. Qualitative and quantitative data. 7th Edition and Supplements 1 and 2. TNO Nutrition and Food Research Institute, Zeist, The Netherlands.

Sun, Da-Wen. 2006. Thermal Food Processing. CRC Press. New York.

Tjahjadi, C dan H. Marta. 2014. Pengantar Teknologi Pangan. Universitas Padjadjaran. Jatinangor.

Tjahjadi, C. 2008. Teknologi Buah dan Sayur Vol I. Widya Padjadjaran. Jatinangor.

Touti, D. 1988. Molecular Genetic of SOD Free Radical. Biol Med (5). Page. 393-405

Tranggono, S. 1990. Biokimia dan Teknologi Pasca Panen. Yogyakarta : Pusat Antar Universitas- Pangan dan Gizi, Universitas Gadjah Mada.

Tsang, G. 2005 Lycopene in Tomatoes and Prostate Cancer. Avaiable at: http://www.healthcastle.com (diakses pada tanggal 15 November 2015)

Page 15: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

Winarno, F. G., et. al. 1980. Pengantar Teknologi Pangan. Penerbit PT Gramedia, Jakarta.

Page 16: Laporan Praktikum Blansing

Matilda Christina Tri Tresnawati240210140041Kelompok 6A

JAWABAN PERTANYAAN

1. Apa sebabnya inaktivasi enzim penting dalam proses pengolahan sayuran

dan buah-buahan?

Pada buah dan sayuran, memiliki enzim yang aktif dan apabila dibiarkan

akan dapat merusak citarasa sayur dan buah tersebut, sehingga yang kita

perlukan adalah menginaktivasikan enzim pada sayuran dan buah tersebut.

Oleh karena itu digunakanlah proses blansing yang fungsinya untuk

menonaktifkan enzim pada buah dan sayuran. Blanshing juga dapat

mengurangi jumlah mikroorganisme yang berada dalam bahan pangan. tetapi

tidak seefektif pasteurisasi dalam hal mengurangi jumlah mikroorgnaisme.

2. Untuk apa perlu dilakukan uji peroksidase untuk kecukupan blanshing?

Faktor apa saja yang mempengaruhi lama blanshing?

Peroksida diduga besar peranannya pada kerusakan oksidatif selama

penyimpanan sayuran. Peroksida adalah enzim yang stabil terhadap panas, oleh

sebab itu sering digunakan sebagai indeks efektifitas blanshing. Jika

peroksidase dihancurkan, maka enzim lainnya yang menyebabkan kerusakan

juga akan terinaktivasikan. Karena pada sayuran yang mengandung enzim

peroksidase dapat mengalami perubahan bau atau rasa. Perubahan ini dapat

dicegah dengan proses regenerasi. Regenerasi dapat dilakukan dengan cara

pemanasan. Pada percobaan ini, pemanasan yang dilakukan berupa blansing.

Waktu dan suhu pemblansingan sangat dipengaruhi oleh komposisi kimia

dan karakteristik tekstur bahan. Hal ini menyebabkan waktu dan suhu blansing

untuk setiap jenis buah berbeda-beda. Suhu blanshing yang terlalu kecil

menyebabkan ketidakefektifan terhadap pengolahan tersebut, lama blansing

yang berlebihan menyebabkan kerusakan jaringan dan membebaskan enzim

tetapi tidak mengaktifkannya, dan mempercepat kerusakan zat pencampuran

enzim dengan substrat.