laporan perekonomian indonesia tahun 2001
TRANSCRIPT
Sampul Depan :
Gedung Bank Indonesia - Jakarta, Kota
Sampul Belakang :
Gedung Bank Indonesia - Jakarta, Jl. MH.Thamrin
Pembatas Bab :
Komplek Perkantoran Bank Indonesia - Jakarta, Kota & Jl. MH. Thamrin
Alamat Kantor Pusat :
Jl. MH. Thamrin No. 2, Jakarta 10110 - Indonesia
http://www.bi.go.id
i
Laporan ini merupakan penjelasan lengkap dari informasi mengenai
“Evaluasi Pelaksanaan Kebijakan Moneter 2001 dan Arah Kebijakan Moneter 2002”
yang telah disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat dan
masyarakat melalui media massa pada tanggal 15 Januari 2002 sebagai
pelaksanaan amanat pasal 58 UU No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
iii
Visi Bank Indonesia :
“Menjadi lembaga Bank Sentral yang dapat dipercaya secara nasional
maupun internasional melalui penguatan nilai-nilai yang dimiliki serta
pencapaian inflasi yang rendah dan stabil”
Misi Bank Indonesia :
“Mencapai dan memelihara kestabilan nilai rupiah melalui pemeliharaan
kestabilan moneter dan pengembangan stabilitas sistem keuangan untuk
pembangunan jangka panjang negara Indonesia yang berkesinambungan”
Nilai-nilai Strategis Organisasi Bank Indonesia :
“Nilai-nilai yang menjadi dasar organisasi, manajemen dan pegawai untuk
bertindak atau berperilaku yaitu kompetensi, integritas, transparansi,
akuntabilitas dan kebersamaan”
iv
Keterangan Tanda-tanda, Periode Laporan, dan Sumber Data
Angka diperbaiki r
Angka sementara *
Angka sangat sementara **
Angka belum tersedia . . .
Angka tidak ada –
Angka sebelum dan sesudah tanda ini tidak dapat diperbandingkan satu sama lain x
Nol atau lebih kecil daripada digit terakhir – –
Dolar Amerika Serikat $ (dolar)
Periode laporan adalah 1 Januari 2001 sampai dengan 31 Desember 2001.
Sumber data adalah Bank Indonesia, kecuali jika dinyatakan lain.
xix
DEWAN GUBERNUR BANK INDONESIAPer Tanggal 31 Desember 2001
Berdiri dari kiri ke kanan :
Aulia PohanDeputi Gubernur
Miranda S. GoeltomDeputi Gubernur
Achjar IljasDeputi Gubernur
Duduk dari kiri ke kanan :
Syahril SabirinGubernur
Anwar NasutionDeputi Gubernur Senior
vi
Kata Pengantar
Dengan mengucapkan Bismillahirrahmaanirrahiim perkenankan saya mengantarkan Laporan
Tahunan Bank Indonesia 2001 ke hadapan para pembaca yang terhormat. Laporan ini adalah salah satu
wujud akuntabilitas Bank Indonesia sebagaimana diatur di dalam pasal 58 Undang-Undang No. 23 tahun 1999 tentang
Bank Indonesia. Laporan ini menyajikan langkah-langkah kebijakan yang telah diambil dan hasil-hasil yang telah
dicapai oleh Bank Indonesia di bidang moneter, perbankan, dan sistem pembayaran selama tahun 2001 serta arah
kebijakan Bank Indonesia tahun 2002. Laporan ini juga menguraikan perkembangan dan permasalahan yang terjadi
pada perekonomian Indonesia dan internasional selama tahun laporan serta prospeknya di tahun 2002.
Tahun 2001 masih merupakan tahun yang sulit bagi perekonomian Indonesia. Beberapa variabel
ekonomi makro penting yang kami gunakan sebagai asumsi dasar dalam menetapkan sasaran inflasi dan arah
kebijakan Bank Indonesia di awal tahun 2001 ternyata berkembang tidak sesuai dengan perkiraan semula.
Pertumbuhan ekonomi yang kami perkirakan dapat mencapai 4,5% - 5,5% ternyata hanya mencapai 3,3%. Angka
pertumbuhan tersebut memang lebih tinggi daripada yang berhasil dicapai oleh negara-negara tetangga kita tetapi
belum cukup untuk menyerap tenaga kerja di dalam negeri yang terus bertambah. Kegiatan investasi dan ekspor yang
pada awalnya diharapkan menjadi motor penggerak pemulihan ekonomi justru mencatat pertumbuhan yang jauh
lebih rendah daripada tahun 2000. Sementara itu, nilai tukar rupiah mengalami depresiasi yang cukup tajam dan
bergerak lebih fluktuatif dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Depresiasi rupiah ini memberikan kontribusi besar
terhadap kenaikan tekanan inflasi sehingga laju inflasi IHK mencapai 12,55%, melebihi perkiraan kami semula sebesar
6,0% - 8,5%.
Kesulitan yang dialami oleh perekonomian Indonesia dalam tahun 2001 terutama disebabkan
oleh belum terpecahkannya berbagai permasalahan mendasar di dalam negeri yang kemudian
diperberat oleh dampak melambatnya pertumbuhan ekonomi global terhadap penurunan kinerja ekspor
Indonesia. Masalah-masalah internal tersebut antara lain adalah tingkat risiko berusaha yang masih tinggi, fungsi
vii
intermediasi perbankan yang belum berjalan normal, serta kondisi permintaan dan penawaran di pasar valuta asing
dalam negeri yang belum stabil dan sangat rentan terhadap perubahan sentimen. Upaya penyelesaian berbagai
permasalahan ini sebenarnya telah berlangsung dalam beberapa tahun terakhir tetapi sampai dengan tahun laporan
belum dapat diselesaikan secara tuntas.
Masalah-masalah ini memang sangat rumit karena mengandung banyak dimensi yang saling
terkait. Untuk mengatasinya dibutuhkan keberanian dalam mengambil langkah-langkah terobosan, kesediaan untuk
berkorban, dan koordinasi yang erat di antara berbagai komponen bangsa. Namun, itu semua belum sepenuhnya
dapat diwujudkan. Kehidupan berdemokrasi yang belum matang dan krisis kepemimpinan di berbagai lapisan
masyarakat telah menghambat proses pengambilan dan pelaksanaan keputusan-keputusan penting di berbagai bidang.
Sebagai akibatnya, langkah-langkah kebijakan yang sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai masalah mendasar
di atas, yang sebelumnya telah disepakati bersama untuk dilaksanakan pada tahun laporan —terutama kebijakan
yang berkaitan dengan program restrukturisasi perbankan, privatisasi BUMN, masalah hutang, dan perbaikan sistem
dan perangkat hukum— dalam perkembangannya ternyata berjalan lambat, bahkan sebagian belum terlaksana sama
sekali.
Berbagai permasalahan di atas telah mempersempit ruang gerak Bank Indonesia dalam
mengendalikan laju inflasi. Fungsi intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya pulih telah menghambat proses
transmisi moneter sehingga mengurangi efektivitas kebijakan moneter dalam meredam tekanan inflasi dan depresiasi
nilai tukar rupiah. Tingkat risiko berusaha yang masih tinggi telah mengurangi minat investasi sehingga penambahan
sarana produksi dan distribusi —yang seharusnya dapat membantu meredam tekanan inflasi— menjadi sangat
terbatas, serta arus masuk modal asing —yang seharusnya dapat meredam tekanan depresiasi rupiah— menjadi
berkurang. Kecilnya arus masuk modal asing dan rendahnya kepercayaan kepada perbankan nasional telah
membatasi jumlah penawaran devisa. Sementara itu, besarnya kewajiban pembayaran hutang luar negeri, terutama
akibat penyelesaian restrukturisasi hutang sektor swasta yang belum optimal, dan kekhawatiran akan ketidakstabilan
ekonomi, sosial, politik, dan keamanan di dalam negeri merupakan faktor-faktor yang membuat permintaan devisa
masih tinggi. Di sini terlihat bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran dan permintaan devisa berikut
dampaknya terhadap ketidakstabilan nilai tukar rupiah selama tahun 2001 merupakan faktor-faktor yang sebagian
besar berada di luar kendali kebijakan moneter.
Upaya pengendalian inflasi menjadi semakin sulit karena sumber tekanan inflasi selama tahun
laporan lebih banyak berasal dari sisi penawaran dalam bentuk kenaikan biaya produksi (cost-push
inflation). Sebagaimana diketahui, kebijakan moneter memiliki keterbatasan dalam mengendalikan tekanan inflasi
yang bersumber dari sisi penawaran karena kebijakan moneter hanya dapat mempengaruhi kegiatan ekonomi dari
sisi permintaan. Penerapan kebijakan moneter ketat untuk mengendalikan laju inflasi yang bersumber dari sisi
viii
penawaran dapat menimbulkan dampak negatif yang besar kepada kegiatan ekonomi sementara hasilnya belum
tentu sesuai dengan harapan karena efektivitas kebijakan moneter selama tahun laporan masih terganggu oleh belum
pulihnya fungsi intermediasi perbankan. Dapat dikemukakan bahwa kenaikan biaya produksi yang telah memicu
kenaikan laju inflasi selama tahun 2001 terutama bersumber dari dampak depresiasi rupiah terhadap kenaikan
harga bahan baku impor dan dampak kebijakan Pemerintah menaikkan bea masuk, harga BBM, tarif listrik, dan
upah minimum. Dampak kebijakan Pemerintah tersebut terhadap kenaikan laju inflasi ternyata lebih besar daripada
perkiraan kami semula. Tekanan inflasi dari sisi penawaran ini semakin bertambah akibat turunnya produksi bahan
makanan.
Kendati menghadapi situasi yang sangat sulit, Bank Indonesia tetap berusaha keras menahan
kenaikan laju inflasi lebih lanjut melalui penerapan kebijakan moneter yang cenderung ketat. Upaya ini
dilakukan atas dasar keyakinan bahwa laju inflasi yang terkendali adalah prasyarat bagi pembangunan ekonomi
yang berkesinambungan. Untuk itu, tindakan maksimal yang dapat dan telah kami lakukan adalah berupaya
mengurangi kelebihan likuiditas di dalam perekonomian agar tidak menimbulkan tekanan tambahan terhadap nilai
tukar dan laju inflasi. Secara operasional, kebijakan ini dilakukan dengan berupaya mengendalikan jumlah uang
primer sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan. Dengan mempertimbangkan situasi yang sulit di atas, upaya
pengendalian uang primer tersebut kami lakukan dalam batas-batas yang tidak sampai menimbulkan tekanan
kenaikan suku bunga yang berlebihan.
Di tengah berbagai kesulitan tersebut terdapat beberapa perkembangan positif yang patut dicatat
karena dapat menjadi batu pijakan bagi kita untuk melangkah ke arah pemulihan ekonomi yang lebih
berkesinambungan di tahun-tahun mendatang. Salah satu perkembangan positif adalah terbentuknya
pemerintahan baru melalui proses yang demokratis yang telah memberikan kontribusi terhadap membaiknya kondisi
sosial politik akhir-akhir ini. Di sektor perbankan, sekalipun kondisi perbankan secara keseluruhan masih belum
sepenuhnya pulih, sebagian besar bank telah berhasil memperbaiki kondisi permodalannya sehingga mencapai Capital
Adequacy Ratio (CAR) minimum 8% yang ditetapkan oleh Bank Indonesia dan kualitas aktiva produktif bank-bank
tersebut juga menunjukkan perbaikan sebagaimana tercermin pada rasio Non-Performing Loans (NPL) yang menurun.
Bank Indonesia juga telah meletakkan dasar-dasar bagi peningkatan ketahanan sistem perbankan melalui
pengembangan dan penyempurnaan infrastruktur dan sistem pengawasan bank. Dari sisi eksternal, pemerintahan di
negara-negara industri maju secara cepat telah mengeluarkan kebijakan stimulus fiskal dan moneter guna
menghindarkan ekonomi mereka dari resesi, suatu langkah yang telah memberikan harapan besar bagi pemulihan
kondisi ekonomi global.
Perekonomian Indonesia di tahun 2002 diperkirakan masih akan menghadapi tantangan yang
cukup berat. Namun, berlandaskan pada beberapa perkembangan positif yang saya sebutkan di atas serta didukung
ix
oleh komitmen Pemerintah untuk melanjutkan langkah-langkah reformasi struktural, Bank Indonesia memperkirakan
perekonomian Indonesia tahun 2002 masih mampu tumbuh positif pada kisaran 3,5% - 4,0%. Nilai tukar rupiah memiliki
potensi untuk menguat sepanjang Pemerintah konsisten dalam melaksanakan program-programnya. Sementara itu,
tekanan inflasi diperkirakan masih akan tinggi sebagai dampak dari rencana Pemerintah menaikkan harga BBM, tarif
listrik, dan tarif cukai, serta tingginya ekspektasi inflasi.
Bank Indonesia, sesuai dengan tugas dan kewenangan yang dimilikinya, akan membantu
menciptakan kondisi yang kondusif bagi pemulihan ekonomi yang berkesinambungan dengan berupaya
menjaga kestabilan moneter dan mengendalikan laju inflasi. Untuk itu, berdasarkan gambaran prospek
ekonomi dalam negeri dan luar negeri di atas, Bank Indonesia menetapkan sasaran laju inflasi IHK tahun 2002 pada
kisaran 9% - 10%. Selanjutnya, dalam lima tahun ke depan Bank Indonesia memiliki komitmen untuk secara bertahap
menurunkan laju inflasi menjadi sekitar 6% - 7%. Perlu saya jelaskan bahwa sejak tahun ini Bank Indonesia
menggunakan laju inflasi IHK sebagai indikator sasaran inflasi. Sebagaimana diketahui, pada tahun 2000 dan 2001
kami menggunakan angka inflasi IHK di luar dampak kebijakan Pemerintah di bidang harga dan pendapatan sebagai
indikator sasaran inflasi. Perubahan ini kami lakukan atas dasar pertimbangan bahwa inflasi IHK lebih dapat diterima
dan lebih transparan bagi masyarakat dibandingkan indikator sasaran inflasi yang kami gunakan sebelumnya
sehingga dengan demikian diharapkan dapat meningkatkan kemampuan Bank Indonesia dalam mempengaruhi
ekspektasi inflasi masyarakat.
Untuk mendukung pencapaian sasaran inflasi ini, Bank Indonesia akan berupaya secara
konsisten menempuh kebijakan-kebijakan yang diperlukan, baik di bidang moneter, perbankan, maupun
sistem pembayaran. Di samping itu, dengan menyadari bahwa masih terdapat beberapa kelemahan internal yang
perlu diperbaiki, kami sudah melancarkan suatu program yang kami namakan Program Transformasi Bank
Indonesia. Setelah melalui proses persiapan dan perumusan yang matang, sebagian dari program ini diharapkan sudah
mulai diterapkan dalam tahun 2002. Kami juga mengharapkan dukungan dari berbagai pihak agar pelaksanaan tugas
Bank Indonesia dapat berjalan lebih baik. Untuk ini, berbagai saran dan kritik yang konstruktif akan kami terima
dengan senang hati dan dengan ucapan terima kasih.
Sebelum mengakhiri kata pengantar ini, saya ingin mengajak para pembaca untuk mengkaji kembali
apa yang telah kita alami dan lakukan sejak terjadinya krisis multidimensi di tanah air yang kiranya dapat
saya sarikan ke dalam beberapa butir, yaitu:
• Krisis ekonomi dan moneter ini pada hakekatnya merupakan krisis kepercayaan, yaitu kepercayaan mengenai
masa depan ekonomi Indonesia, kepercayaan mengenai kestabilan nilai tukar, kepercayaan mengenai kepastian
hukum, dan lain sebagainya;
x
• Langkah-langkah yang diambil untuk penanganan krisis ini sudah merupakan langkah yang tepat dan serupa
dengan langkah-langkah yang telah diambil oleh negara-negara lain yang telah berhasil keluar dari krisis, seperti
Thailand dan Korea;
• Pada mulanya terdapat konsensus nasional yang menyepakati langkah-langkah tersebut sehingga langkah-
langkah tersebut telah berhasil membawa laju inflasi ke tingkat yang sangat rendah dan nilai tukar rupiah ke
tingkat yang wajar. Namun gonjang-ganjing politik serta kebijakan yang tidak jelas arahnya serta sikap saling
menyalahkan yang terjadi selama beberapa waktu telah menyebabkan langkah-langkah itu menjadi tersendat.
Dalam beberapa hal terdapat keengganan atau ketidakberanian untuk mengambil keputusan-keputusan politik
yang sulit, sehingga ibaratnya perekonomian Indonesia diberi obat setengah dosis yang tentu saja tidak dapat
menyembuhkan penyakit.
• Dengan terbentuknya pemerintahan baru, kembali timbul harapan akan perbaikan dan kelanjutan upaya
penanggulangan krisis. Berbagai langkah awal yang diambil oleh Pemerintahan baru telah meningkatkan
kepercayaan terhadap masa depan ekonomi Indonesia secara berarti. Namun, masih banyak keputusan politik
yang sulit yang harus diambil oleh Pemerintah di minggu-minggu dan bulan-bulan mendatang. Untuk itu
diperlukan kesamaan pengertian, kebulatan tekad, dan kesepakatan atau konsensus nasional dalam menghadapi
tantangan-tantangan masa depan yang amat berat.
Akhir kata, saya atas nama Dewan Gubernur Bank Indonesia mengucapkan terima kasih kepada seluruh
Pimpinan dan Karyawan Bank Indonesia yang selama tahun 2001 yang lalu telah bekerja keras secara profesional
dalam mengemban amanat Undang-Undang No. 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia. Ucapan terima kasih juga
saya sampaikan kepada berbagai pihak di luar Bank Indonesia yang selama ini telah memberikan bantuan dan kerja
sama yang tulus kepada Bank Indonesia. Kepada para pembaca saya mengharapkan kiranya laporan ini dapat
menjadi referensi yang berguna.
Semoga Tuhan Yang Maha Pemurah selalu melimpahkan ridha-Nya dan memberikan kemudahan kepada
kita semua dalam melangkah menuju ke masa depan yang lebih baik.
Jakarta, Februari 2002
BANK INDONESIA
GUBERNUR
Syahril Sabirin
Tinjauan Umum
2
b a b 1
TINJAUAN UMUM
Pada awal 2001, Bank Indonesia memperkirakan
bahwa momentum menguatnya proses pemu-
lihan ekonomi yang terjadi di tahun sebelumnya akan
semakin mantap di tahun 2001. Optimisme ini di-
dasarkan pada asumsi bahwa proses restrukturisasi
ekonomi di berbagai bidang akan mencapai kemajuan
yang berarti, khususnya restrukturisasi utang peru-
sahaan dan semakin pulihnya intermediasi per-
bankan. Menguatnya proses pemulihan ekonomi ini
juga didukung oleh harapan bahwa kondisi sosial,
politik, dan keamanan di dalam negeri akan semakin
membaik. Selain itu, pertumbuhan ekonomi dunia
diperkirakan juga masih tetap tinggi meskipun lebih
lambat dari tahun sebelumnya.
Dengan nuansa optimisme di awal 2001
tersebut, pada waktu itu Bank Indonesia
memperkirakan pertumbuhan produk domestik bruto
(PDB) 2001 akan dapat mencapai 4,5%–5,5%. Selain
konsumsi, pertumbuhan ini akan dapat dicapai dengan
motor penggerak utama bersumber dari investasi dan
ekspor. Selain itu, Bank Indonesia menetapkan sasaran
inflasi di luar dampak kebijakan pemerintah di bidang
harga dan pendapatan sebesar 4,0%–6,0%. Semen-
tara itu, tambahan inflasi yang merupakan dampak
kebijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan
diperkirakan sekitar 2,0%–2,5% Dengan demikian,
inflasi indeks harga konsumen (IHK) diperkirakan akan
mencapai sekitar 6,0%–8,5%. Sejalan dengan sasaran
inflasi tersebut, sasaran pertumbuhan uang primer
untuk akhir 2001 ditetapkan sebesar 11,0%–12,0%.
Dalam perkembangannya, selama tahun
2001 berbagai asumsi dan perkiraan tersebut di atas
ternyata tidak berjalan sesuai dengan yang diharap-
kan. Berbagai permasalahan mendasar yang di-
hadapi perekonomian nasional masih terus berlang-
sung dan beberapa diantaranya menunjukkan kecen-
derungan yang memburuk (Bagan 1.1). Perekono-
mian dunia menunjukkan pertumbuhan yang terus
melambat dan bahkan telah mengalami resesi sejak
akhir triwulan pertama 2001. Sementara di dalam
negeri, kondisi sosial, politik, dan keamanan masih
belum stabil, yang selama paro pertama 2001 sangat
diwarnai oleh tingginya gejolak politik yang berujung
pada pergantian pemerintahan di pertengahan 2001.
Meskipun terdapat kemajuan, penanganan program-
program restrukturisasi ekonomi masih menghadapi
sejumlah kendala sehingga berbagai permasalahan
struktural di dalam negeri masih terus berlanjut
sementara risiko dan ketidakpastian usaha masih
tetap tinggi.
Berbagai permasalahan tersebut telah ber-
dampak negatif terhadap perkembangan ekonomi
dan moneter selama 2001. Di sektor riil, kegiatan
investasi dan produksi menjadi sangat terbatas ter-
utama karena masih tingginya risiko dan ketidak-
pastian usaha, lambatnya proses restrukturisasi
utang perusahaan, serta masih berlangsungnya
konsolidasi internal perbankan dan perusahaan.
Ekspor juga melambat terutama karena resesi yang
terjadi pada perekonomian dunia. Di sektor per-
Tinjauan Umum
3
bankan, meskipun secara umum kondisi perbankan
telah banyak mengalami kemajuan, fungsi inter-
mediasi perbankan belum sepenuhnya pulih. Penya-
luran kredit perbankan dan penyerapannya oleh
sektor riil belum dapat berlangsung cepat baik karena
berbagai permasalahan yang dihadapi di sektor riil
maupun karena masih berlangsungnya konsolidasi
internal di perbankan. Dengan kondisi di sektor riil
dan perbankan seperti di atas, dana lebih banyak
berputar di sektor keuangan dan belum dapat
dimanfaatkan secara maksimal sebagai sumber
pembiayaan investasi dan produksi untuk mendukung
proses pemulihan ekonomi. Selain itu, belum pulihnya
fungsi intermediasi perbankan juga menjadi salah satu
faktor yang menimbulkan tekanan pada nilai tukar dan
inflasi serta mengurangi efektivitas transmisi kebijakan
Bagan 1.1Permasalahan Ekonomi dan Moneter Pada 2001
Suku Bunga SBInaik
Efektivitaskebijakanmonetermenurun
Tekanan padafiskal
Stimulus monetermenjadi terbatas
Kelebihan likuiditas disektor perbankan
Intermediasi perbankanyang belum pulih
Investasi danproduksi terbatas
Konsolidasi internalperbankan dan
perusahaan
Restrukturisasi kreditdan korporasi lambat
Ketidakpastian sosialpolitik keamanan,
ketidakpastian hukum,kurang konsistennya
kebijakan
Perekonomian duniamelambat
Restrukturisasiutang luar negeri
lambat
Pertumbuhanekonomi terganggu
Tekananinflasi
Kebijakanpemerintah di bidang
harga danpendapatan
Ekspormelambat
Depresiasi danvolatilitas nilai tukar
Arus modalmasuk terbatas
CountryRisk
Kelebihan permintaanvaluta asing
SEKTOR KEUANGAN SEKTOR RIIL
Tinjauan Umum
4
moneter dalam mempengaruhi inflasi dan kegiatan
ekonomi.
Dengan sejumlah permasalahan tersebut,
selama 2001 kondisi ekonomi dan moneter secara
umum menunjukkan kecenderungan yang memburuk.
Memburuknya kondisi ekonomi dan moneter antara
lain ditunjukkan oleh melambatnya pertumbuhan
ekonomi, melemahnya nilai tukar, dan tingginya
tekanan inflasi. Selama 2001, ekonomi Indonesia
hanya tumbuh sebesar 3,3%, nilai tukar mengalami
tekanan depresiasi sebesar 17,7% sehingga mencapai
rata-rata Rp10.255 per dolar, dan inflasi IHK mencapai
12,55%. Sementara itu, dampak kebijakan pemerintah
terhadap inflasi tercatat sebesar 3,83%, lebih besar
dibandingkan dengan yang diperkirakan di awal tahun
sebesar 2,0%–2,5%.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh Bank
Indonesia dalam mencapai sasaran-sasaran yang
telah ditetapkan, baik dengan menggunakan instru-
men-instrumen moneter yang tersedia maupun dengan
penyempurnaan peraturan dan ketentuan perbankan.
Namun demikian, adanya berbagai permasalahan
yang dihadapi di atas menyebabkan upaya pengen-
dalian uang primer dan pencapaian sasaran inflasi oleh
Bank Indonesia menjadi lebih sulit dilakukan. Selain
karena dampak kebijakan pemerintah di bidang harga
dan pendapatan, tingginya inflasi juga didorong oleh
depresiasi nilai tukar rupiah dan meningkatnya
ekspektasi inflasi di masyarakat. Sementara itu,
tingginya uang primer terutama diakibatkan oleh
permintaan uang kartal yang meningkat, baik untuk
kebutuhan transaksi maupun untuk motif berjaga-jaga.
Dalam kondisi demikian, pengetatan moneter yang
berlebihan akan mendorong tingginya kenaikan suku
bunga dan dikhawatirkan dapat memperburuk risiko
bagi langkah-langkah restrukturisasi perbankan dan
upaya pemulihan ekonomi.
Ke depan, apabila dapat dicapai kemajuan
dalam penanganan sejumlah permasalahan struktural
di dalam negeri serta penurunan risiko dan ketidak-
pastian usaha, Bank Indonesia memperkirakan bahwa
pemulihan ekonomi Indonesia pada 2002 masih dapat
dipertahankan. Pertumbuhan ekonomi tahun 2002
diperkirakan dapat mencapai 3,5%–4,0% dengan
sumber pertumbuhan yang sangat tergantung dari
kinerja perekonomian domestik, khususnya konsumsi
masyarakat, sementara investasi dan ekspor diper-
kirakan akan menunjukkan perkembangan yang
membaik terutama apabila skenario pemulihan eko-
nomi dunia pada paro kedua 2002 dapat menjadi
kenyataan.
Dengan memperhatikan prospek ekonomi
makro dan masih tingginya risiko dan ketidakpastian,
tingginya tekanan inflasi yang bersumber dari dampak
kebijakan pemerintah di bidang harga serta masih
tingginya ekspektasi inflasi, Bank Indonesia me-
netapkan sasaran inflasi IHK yang dipandang cukup
realistis yang sesuai dengan kondisi perekonomian
pada 2002 yaitu sebesar 9,0%–10,0%. Namun
demikian, dalam jangka waktu 5 tahun ke depan Bank
Indonesia memiliki komitmen untuk secara bertahap
menurunkan inflasi sehingga dapat mencapai kisaran
6,0%–7,0%.
Untuk mencapai sasaran inflasi tersebut,
kebijakan moneter Bank Indonesia diarahkan pada
upaya pengendalian uang primer dengan fokus pada
penyerapan kelebihan likuiditas agar tetap sesuai
dengan kebutuhan riil perekonomian. Langkah ini akan
dilakukan secara berhati-hati dan terukur agar kesta-
bilan harga tetap dapat terpelihara sehingga mampu
Tinjauan Umum
5
mendukung proses pemulihan ekonomi yang sedang
berlangsung, dan berkelanjutan dalam jangka
menengah-panjang. Secara operasional,
pengendalian moneter akan dilakukan dengan
mengoptimalkan instrumen-instrumen moneter yang
tersedia khususnya melalui operasi pasar terbuka dan
sterilisasi valuta asing untuk mengurangi tekanan
terhadap nilai tukar dan inflasi. Di bidang perbankan,
kebijakan Bank Indonesia akan diarahkan pada upaya
memperkuat ketahanan sistem perbankan serta
langkah mempercepat pemulihan fungsi intermediasi
perbankan. Sementara itu, kebijakan di bidang sistem
pembayaran akan diarahkan pada pengurangan risiko
pembayaran antarbank yang dapat mengganggu
kestabilan keuangan, menunjang pelaksanaan
kebijakan moneter, peningkatan kualitas dan
kapasitas layanan sistem pembayaran, penyem-
purnaan ketentuan-ketentuan, serta pengaturan
terhadap pengawasan sistem pembayaran.
Secara terinci evaluasi perekonomian
Indonesia 2001 dan prospek serta arah kebijakan
Bank Indonesia di tahun 2002 diuraikan sebagai
berikut.
EVALUASI PEREKONOMIAN INDONESIA 2001
Kondisi Ekonomi Makro
Secara umum, selama 2001 kinerja pere-
konomian Indonesia menunjukkan pertumbuhan yang
melambat. Di samping akibat memburuknya pere-
konomian dunia, melambatnya pertumbuhan tersebut
tidak terlepas dari masih tingginya risiko dan
ketidakpastian dan berlanjutnya berbagai perma-
salahan dalam negeri yang terkait dengan restruk-
turisasi utang dan sektor korporasi, belum selesainya
konsolidasi internal perbankan, serta relatif
terbatasnya stimulus fiskal bagi pertumbuhan eko-
nomi. Perkembangan ini menyebabkan menurunnya
kepercayaan dunia usaha untuk melakukan kegiatan
produksi dan investasi, yang pada akhirnya meng-
hambat ekspansi ekonomi lebih lanjut. Pada 2001
pertumbuhan PDB mencapai 3,3%, lebih rendah
dibandingkan tahun 2000 sebesar 4,9% (Tabel 1.1).
Meskipun relatif lebih baik dari negara-negara
tetangga, tingkat pertumbuhan tersebut masih belum
cukup untuk menyerap tenaga kerja yang ada. Kecen-
derungan terus bertambahnya jumlah angkatan kerja
baru yang pada 2001 diperkirakan meningkat 2,5%,
Tabel 1.1
Beberapa Indikator Makroekonomi
Produk Domestik Bruto (a.d. tahun 0,8 4,9* 3,3** dasar 1993, pertumbuhan %)
Menurut PengeluaranKonsumsi 4,3 3,9 6,2Pembentukan modal tetap
domestik bruto –18,2 21,9 4,0Ekspor barang dan jasa –31,8 26,5 1,9Impor barang dan jasa –40,7 21,1 8,1
Menurut Lapangan UsahaPertanian 2,2 1,7 0,6Industri pengolahan 3,9 6,1 4,3Bangunan –1,9 5,5 4,0Perdagangan, hotel, dan restoran –0,1 5,6 5,1Keuangan, persewaan, dan
perusahaan jasa –7,2 4,3 3,0Jasa-jasa 1,9 2,2 2,0
Moneter (pertumbuhan, %)M2 11,9 15,6 13,0M1 23,2 30,1 9,6Uang Kuasi 9,5 12,1 13,9Suku Bunga (%)SBI (1 bulan) 12,15 14,5 17,62PUAB (overnight) 12,1 11,4 15,7Deposito (1 bulan) 12,2 12,0 16,1Kredit modal kerja 20,7 17,7 19,2Kredit investasi 17,8 16,9 17,9
Inflasi (%) 2,01 9,35 12,55
Neraca PembayaranTransaksi berjalan/PDB 4,1 5,3 3,4*DSR 56,8 41,1 39,4Cadangan devisa setara impor
nonmigas dan pembayaran utang luar negeri pemerintah (bulan) 6,7 6,0 6,1
Nilai Tukar (Rp/$) rata-rata 7.850 8.438 10.255
Sumber : – Badan Pusat Statistik– Bank Indonesia
Rincian 1999 2000 2001
Tinjauan Umum
6
belum dapat diimbangi sepenuhnya oleh penyediaan
lapangan kerja secara memadai. Kondisi ini menye-
babkan meningkatnya angka pengangguran 2001
yang diperkirakan mencapai 6,7%–7,0%, lebih tinggi
dari tahun sebelumnya sebesar 6,1%.
Di sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi
lebih banyak didorong oleh konsumsi rumah tangga.
Pengeluaran konsumsi dalam tahun 2001 tumbuh
sebesar 6,2%, jauh lebih tinggi dibandingkan dengan
tahun sebelumnya yang tumbuh sebesar 3,9%.
Meningkatnya konsumsi terutama didorong oleh
meningkatnya kepercayaan konsumen (consumer
confidence) yang ditunjang oleh meningkatnya gaji
dan pendapatan serta meningkatnya pembiayaan
untuk konsumsi, baik yang bersumber dari perbankan
maupun dari perusahaan pembiayaan seperti kartu
kredit dan pembiayaan konsumen.
Sementara itu, investasi1 dan ekspor yang
semula diharapkan tetap menjadi motor pertumbuhan
pada 2001 mengalami pertumbuhan yang tidak terlalu
menggembirakan, yaitu hanya tumbuh masing-masing
sebesar 4,0% dan 1,9% atau melambat dibandingkan
dengan pertumbuhannya di tahun 2000 yang masing-
masing tumbuh sebesar 21,9% dan 26,5%.
Melemahnya investasi tercermin dari sangat ren-
dahnya realisasi investasi baru baik yang dilakukan
asing (PMA) maupun domestik (PMDN) dan me-
nurunnya impor bahan baku dan barang modal yang
masing-masing mengalami penurunan sebesar 8,5%
dan 10,2% dibandingkan dengan tahun sebelumnya.
Rendahnya investasi ini tidak terlepas dari tingginya
risiko investasi akibat masih adanya gangguan
keamanan, ketidakpastian penegakan hukum, dan
perselisihan perburuhan. Di samping itu, faktor keter-
batasan pembiayaan investasi akibat belum pulihnya
fungsi intermediasi perbankan dan adanya peraturan-
peraturan baru yang terkait dengan penerapan otonomi
daerah juga turut membatasi kegiatan investasi.
Sementara itu, menurunnya kinerja ekspor disebabkan
oleh melemahnya perekonomian dunia dan
menurunnya harga beberapa komoditas utama ekspor
Indonesia. Selain itu, depresiasi nilai tukar rupiah telah
berdampak pada naiknya biaya faktor produksi
sehingga mengurangi daya saing produk ekspor
Indonesia, yang sebagian besar memiliki kandungan
impor yang tinggi. Dengan perkembangan tersebut,
sumbangan konsumsi, investasi, dan ekspor terhadap
laju pertumbuhan PDB dalam tahun laporan masing-
masing mencapai 4,8%, 0,9%, dan 0,6%.
Di sisi penawaran, hampir seluruh sektor
mencatat pertumbuhan yang positif walaupun dengan
laju yang lebih lambat dibandingkan dengan tahun
2000, kecuali sektor pertambangan dan penggalian
yang mencatat kontraksi. Beberapa sektor yang
mencatat pertumbuhan cukup berarti adalah sektor
industri pengolahan, sektor perdagangan, hotel dan
restoran, sektor pengangkutan dan komunikasi, dan
sektor listrik, air, dan gas. Namun demikian, kontri-
busi sektor industri pengolahan dan sektor perda-
gangan yang pada awal tahun diharapkan menjadi
motor pertumbuhan ekonomi ternyata tidak mampu
mendorong perekonomian untuk tumbuh lebih tinggi.
Permasalahan utama yang membatasi pertumbuhan
sektor ini adalah terbatasnya pembiayaan kegiatan
usaha dan meningkatnya biaya produksi sehubungan
dengan berbagai kebijakan pemerintah di bidang
harga. Di samping itu, dalam merespon perkemba-
ngan nilai tukar rupiah yang melemah, produsen tidak1 Investasi disini adalah pembentukan modal tetap domestik bruto
Tinjauan Umum
7
hanya menaikkan harga jual namun juga mengurangi
volume produksi sehingga secara keseluruhan
menurunkan produksi industri pengolahan. Semen-
tara itu, kapasitas produksi industri juga menunjukkan
penurunan akibat terus melemahnya investasi, walau-
pun kapasitas produksi tersebut secara agregat
masih lebih tinggi dibandingkan dengan permintaan
agregat.
Dari sisi eksternal, kinerja neraca pemba-
yaran pada 2001 diperkirakan masih menunjukkan
perkembangan yang kurang menggembirakan.
Sejalan dengan melemahnya kinerja ekspor, perkem-
bangan transaksi berjalan sepanjang tahun laporan
menunjukkan kinerja yang memburuk, tercermin dari
menurunnya surplus dari $8,0 miliar (5,3% dari PDB)
pada tahun 2000 menjadi sebesar $5,0 miliar (3,4%
dari PDB) pada tahun laporan. Di sisi lalu lintas modal,
defisit lalu lintas modal pemerintah dan belum
pulihnya arus modal swasta asing menyebabkan
defisit neraca modal mengalami peningkatan, yaitu
dari defisit sebesar $6,8 miliar pada tahun sebelum-
nya menjadi sebesar $8,9 miliar yang terdiri dari defisit
lalu lintas modal swasta sebesar $8,6 miliar dan defisit
lalu lintas modal pemerintah sebesar $0,3 miliar.
Dengan perkembangan tersebut di atas, secara
keseluruhan neraca pembayaran Indonesia menga-
lami defisit sebesar $1,4 miliar dan cadangan devisa
pada akhir 2001 tercatat sebesar $28,0 miliar, atau
setara dengan 6,1 bulan nilai impor dan pembayaran
cicilan pinjaman pemerintah.
Di sisi fiskal, berbagai kendala yang dihadapi
oleh pemerintah menyebabkan peran stimulus fiskal
masih tetap terbatas. Realisasi defisit keuangan
pemerintah selama 2001 berdasarkan angka
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN)
Perubahan 2001 diperkirakan mencapai sekitar 3,7%
dari PDB, relatif sama dengan rencana semula.
Realisasi penerimaan dan pengeluaran melampaui
rencana anggaran dengan pelampauan yang hampir
sama yaitu sekitar 4,8% dan 4,2% di atas target ang-
garan. Dari sisi penerimaan, realisasi penerimaan
yang melampaui target adalah penerimaan bukan
pajak, terutama penerimaan migas karena faktor
melemahnya nilai tukar rupiah dan adanya peneri-
maan minyak bumi pada 2000 yang baru disetorkan
pada 2001. Di samping itu, realisasi penerimaan yang
bersumber dari pajak juga telah mencapai target
anggaran, sebagai hasil dari beberapa kebijakan
intensifikasi dan ekstensifikasi pajak yang dilakukan
oleh Pemerintah. Dari sisi pengeluaran, lebih
tingginya realisasi pengeluaran dibanding target
anggaran diakibatkan oleh lebih tingginya penge-
luaran rutin untuk pembayaran subsidi dan beban
bunga obligasi rekapitalisasi perbankan dari yang
telah dianggarkan. Tingginya alokasi dana untuk
pembayaran subsidi ini disebabkan oleh tingginya
volume konsumsi bahan bakar minyak (BBM) dalam
negeri dan depresiasi rupiah, di samping adanya
koreksi kekurangan pembayaran subsidi tahun 2000
yang mencapai Rp5,6 triliun. Sedangkan meningkat-
nya beban pembayaran bunga obligasi berkaitan
dengan peningkatan suku bunga Sertifikat Bank
Indonesia (SBI). Sementara itu, realisasi pengeluaran
pembangunan hanya mencapai 91,4% dari rencana
anggaran yang antara lain sebagai dampak dari
penundaan beberapa pinjaman program dan sempit-
nya kurun waktu yang tersedia untuk implementasi
proyek pasca dilakukannya revisi APBN.
Dalam hal pembiayaan, defisit anggaran
tersebut sebagian besar ditutup dari pembiayaan
Tinjauan Umum
8
dalam negeri khususnya penjualan aset di Badan
Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN), sedangkan
sumber pembiayaan lainnya seperti privatisasi dan
pembiayaan dari luar negeri relatif terbatas. Dalam
kaitannya dengan permintaan agregat, kontribusi sek-
tor pemerintah terhadap permintaan agregat diper-
kirakan meningkat dibandingkan tahun lalu, yaitu dari
10,8% menjadi 11,9% dari PDB. Faktor utama yang
mempengaruhi peningkatan ini adalah karena adanya
alokasi untuk dana bagi hasil (DBH) mulai tahun
2001.
Nilai Tukar dan Inflasi
Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya,
memburuknya kondisi perekonomian Indonesia di
tahun 2001 tidak terlepas dari masih terdapatnya
berbagai permasalahan struktural dalam pereko-
nomian dan tingginya risiko dan ketidakpastian di
dalam negeri. Di sektor riil, kondisi tersebut telah
sangat membatasi kegiatan produksi dan investasi.
Sementara di sektor keuangan, berbagai perma-
salahan tersebut telah menyebabkan tidak tersalur-
kannya likuiditas dalam bentuk penyaluran kredit
dalam rangka membiayai kegiatan produktif. Selan-
jutnya, lemahnya hubungan kedua sektor ini bukan
hanya menyebabkan keterbatasan sumber pem-
biayaan investasi dan produksi yang kemudian
menghambat proses pemulihan ekonomi, namun juga
telah menyebabkan terjadinya kelebihan likuiditas
perbankan yang dapat memberikan tekanan baru
terhadap nilai tukar dan inflasi.
Perkembangan nilai tukar rupiah selama
2001 masih mengalami tekanan depresiasi yang
tinggi disertai dengan volatilitas yang meningkat
walaupun sempat menguat pada pertengahan tahun.
Secara keseluruhan nilai tukar rupiah mengalami
depresiasi sekitar 17,7% dari tahun 2000, yaitu dari
rata-rata Rp8.438 per dolar menjadi Rp10.255 per
dolar. Angka ini lebih tinggi dari asumsi yang diper-
gunakan dalam menetapkan sasaran inflasi yakni
sebesar Rp8.000 per dolar, atau terdepresiasi sekitar
22%. Dalam tahun laporan, perkembangan nilai tukar
rupiah juga diwarnai dengan volatilitas yang tinggi.
Pada awal 2001 sampai dengan April 2001 nilai tukar
menunjukkan kecenderungan melemah hingga men-
capai nilai terendah Rp12.090. Selanjutnya, nilai tukar
bergerak stabil pada kisaran Rp11.200 hingga Juli
2001. Pasca Sidang Istimewa MPR rupiah menguat
tajam hingga mencapai level tertinggi Rp8.485 per
dolar dan selanjutnya melemah lagi hingga mencapai
Rp10.400 per dolar pada akhir 2001.
Secara umum melemahnya nilai tukar
disebabkan oleh adanya permasalahan yang bersifat
makro-fundamental dan mikro-struktural di pasar
valuta asing yang bermuara pada ketidakseimbangan
pasokan dan permintaan valuta asing. Kesenjangan
ini kemudian diperburuk oleh meningkatnya premi
risiko yang terkait dengan meningkatnya country risk.
Dari aspek makro-fundamental, meningkatnya risiko
dan ketidakpastian selama 2001 telah mengurangi
kepercayaan investor asing dalam menanamkan
dananya di dalam negeri sehingga menghambat arus
modal masuk. Di sisi lain, memburuknya kinerja
perekonomian dunia secara umum berdampak negatif
pada kinerja ekspor Indonesia. Kedua faktor di atas
telah menyebabkan terbatasnya pasokan valuta asing
di dalam negeri, sementara pada saat yang sama
terdapat peningkatan permintaan valuta asing
terutama oleh sektor korporasi untuk pembayaran
utang luar negeri dan kebutuhan impor.
Tinjauan Umum
9
Dari aspek mikro-struktural, adanya seg-
mentasi di pasar valuta asing dan terbatasnya penem-
patan valuta asing di dalam negeri dalam bentuk kredit
valuta asing maupun pada instrumen pasar uang,
menyebabkan kelompok bank yang mempunyai
kelebihan likuiditas valuta asing menempatkan
dananya di luar negeri. Perkembangan ini selain
mengurangi likuiditas valuta asing di pasar uang
antarbank (PUAB) valuta asing di dalam negeri juga
semakin membatasi ketersediaan pasokan valuta
asing. Lemahnya struktur mikro di pasar valuta asing
juga terjadi akibat kurang berkembangnya pasar
lindung nilai (hedging), khususnya untuk jangka
menengah-panjang, sehingga korporasi cenderung
untuk memenuhi kebutuhan valuta asing untuk masa
depan dengan membeli lebih dini di pasar spot.
Kesenjangan antara permintaan dan pena-
waran valuta asing baik yang bersumber dari faktor
makro maupun mikro tersebut telah menyebabkan
nilai tukar seringkali bergejolak. Situasi ini diperburuk
oleh sentimen negatif para pelaku pasar terhadap
ketidakpastian situasi politik menjelang pergantian
kepemimpinan nasional dan ketidakjelasan pe-
nyelesaian permasalahan-permasalahan struktural
seperti restrukturisasi, divestasi, dan privatisasi, serta
perkembangan hubungan dengan IMF. Faktor-faktor
ini pada gilirannya meningkatkan country risk yang
berdampak pada meningkatnya premi risiko dan
semakin memperburuk perkembangan nilai tukar
rupiah.
Melemahnya nilai tukar rupiah tersebut turut
memberikan tekanan terhadap tingginya inflasi di
tahun 2001. Nilai tukar rupiah yang melemah telah
memberikan dampak pass-through pada inflasi baik
secara langsung melalui inflasi barang jadi, barang
setengah jadi, dan bahan baku impor, maupun secara
tidak langsung melalui perubahan permintaan
agregat. Tingginya kandungan impor pada berbagai
barang produksi di dalam negeri mengakibatkan
tingginya dampak depresiasi terhadap biaya produksi.
Kuatnya pengaruh depresiasi nilai tukar rupiah ter-
cermin dari perkembangan inflasi yang bergerak
seiring dengan melemahnya nilai tukar.
Tingginya tekanan inflasi selama 2001 juga
bersumber dari adanya dampak kebijakan pemerintah
di bidang harga dan pendapatan. Berbagai kebijakan
pemerintah tersebut seperti kenaikan harga BBM dan
tarif angkutan, tarif dasar listrik (TDL), harga jual
minimum (HJE) rokok, serta kenaikan upah minimum
provinsi (UMP) dan gaji pegawai negeri telah
memberikan dampak langsung pada kenaikan IHK
sebesar 3,83%. Dampak kebijakan pemerintah ini
lebih besar dibandingkan yang diperkirakan di awal
tahun sebesar 2,0%–2,5%. Hal ini disebabkan oleh
realisasi kenaikan pada beberapa kebijakan lebih
besar dari yang diperkirakan awal tahun maupun
akibat adanya dampak penundaan dalam penerapan
kebijakan. Terlebih lagi, kenaikan harga khususnya
BBM dan TDL yang menjadi faktor produksi telah
meningkatkan biaya di hampir seluruh sektor produksi
berbagai barang sehingga menyebabkan tingginya
inflasi akibat meningkatnya biaya produksi (cost-push
inflation).
Di samping melemahnya nilai tukar dan
dampak kebijakan pemerintah tersebut, tingginya
inflasi pada tahun laporan juga dipengaruhi oleh
tingginya ekspektasi inflasi oleh masyarakat. Eks-
pektasi inflasi tersebut pada umumnya bersifat adaptif
sehingga pembentukan ekspektasi inflasi lebih
banyak ditentukan oleh perkembangan inflasi pada
Tinjauan Umum
10
periode sebelumnya. Di samping itu, tingginya eks-
pektasi inflasi tersebut juga diakselerasi oleh mele-
mahnya nilai tukar dan implementasi kebijakan
pemerintah di bidang harga dan pendapatan. Semen-
tara itu tekanan inflasi karena pengaruh kondisi per-
mintaan masih relatif rendah sejalan dengan pertum-
buhan ekonomi yang melambat dan masih relatif
berlebihnya kapasitas produksi di sektor industri
pengolahan. Meskipun demikian, kondisi permintaan
yang masih lemah tersebut kurang diimbangi oleh
kapasitas di sektor pertanian karena terjadinya
penurunan produksi tanaman bahan makanan.
Dengan berbagai perkembangan tersebut di
atas, secara keseluruhan dalam tahun laporan inflasi
IHK mengalami peningkatan hingga mencapai
12,55%, lebih tinggi dibandingkan inflasi 2000 sebesar
9,35%. Selanjutnya, dengan memperhitungkan
realisasi dampak kebijakan pemerintah, inflasi di luar
pengaruh kebijakan harga dan pendapatan pada
2001 mencapai 8,72%. Angka inflasi ini lebih tinggi
dari sasaran inflasi Bank Indonesia 2001 yang
ditetapkan sebesar 4,0%–6,0%. Sebagaimana
dikemukakan di atas, tingginya angka laju inflasi ini
dipengaruhi oleh melemahnya nilai tukar rupiah serta
tingginya ekspektasi inflasi di masyarakat.
Kebijakan dan Perkembangan Moneter
Menghadapi tekanan inflasi dan nilai tukar
yang dirasakan semakin kuat, Bank Indonesia telah
berupaya secara maksimal untuk meredam tekanan
inflasi dan nilai tukar dengan menempuh kebijakan
di bidang moneter dan nilai tukar. Di bidang moneter,
Bank Indonesia menempuh kebijakan moneter yang
cenderung ketat dengan mengendalikan uang primer
sesuai dengan sasaran yang telah ditetapkan. Hal ini
dimaksudkan untuk mengurangi kelebihan likuiditas
perbankan yang berpotensi mendorong melemahnya
nilai tukar dan tekanan inflasi.
Dalam rangka mencapai sasaran uang primer
secara konsisten, kebijakan pengendalian uang
primer tersebut terutama dilakukan melalui Operasi
Pasar Terbuka (OPT), khususnya melalui mekanisme
lelang SBI baik yang berjangka waktu 1 bulan maupun
3 bulan. Upaya ini juga didukung oleh penyerapan
kelebihan likuiditas melalui intervensi rupiah yang
dilakukan oleh Bank Indonesia untuk menjaga agar
uang primer tetap berada dalam sasaran yang telah
ditetapkan dan kestabilan suku bunga pasar uang
tetap terpelihara. Dengan relatif besarnya kelebihan
likuiditas sejalan dengan belum pulihnya fungsi
intermediasi perbankan, upaya pengendalian moneter
melalui instrumen moneter ini membawa implikasi
pada terjadinya kenaikan suku bunga SBI dan suku
bunga perbankan. Oleh sebab itu, untuk menjaga
agar penyerapan likuiditas tersebut tidak memberikan
dampak pada kenaikan suku bunga yang berlebihan,
pengendalian uang primer juga dilengkapi dengan
upaya penambahan pasokan valuta asing di pasar
melalui kebijakan sterilisasi valuta asing. Hal ini
terutama dilakukan untuk menyerap ekspansi uang
primer yang berasal dari pengeluaran pemerintah
dalam rupiah yang dibiayai dari penerimaan dalam
valuta asing.
Penambahan pasokan valuta asing melalui
sterilisasi valuta asing, selain digunakan untuk
menyerap uang primer, juga dimaksudkan untuk
mengurangi tekanan depresiasi dan volatilitas nilai
tukar. Namun demikian, dalam pasar valuta asing
yang masih diwarnai oleh kesenjangan antara jumlah
pasokan dan permintaan valuta asing, upaya penam-
Tinjauan Umum
11
bahan pasokan valuta asing melalui kebijakan
sterilisasi ini kurang memadai, jika tidak didukung oleh
kebijakan lain yang dapat membatasi kemampuan
para pelaku pasar untuk melakukan kegiatan
spekulatif. Oleh sebab itu, pada tahun laporan upaya
stabilisasi nilai tukar rupiah juga didukung dengan
kebijakan pembatasan transaksi rupiah oleh bukan
penduduk2 dan pengawasan langsung (on-site super-
vision) terhadap sejumlah bank yang menguasai
pangsa terbesar di pasar valuta asing. Kebijakan
pembatasan transaksi rupiah tersebut dilatar-
belakangi oleh perilaku bukan penduduk yang
cenderung menggunakan rupiah sebagai alat
spekulasi sehingga sering menimbulkan gejolak nilai
tukar rupiah. Upaya ini telah cukup efektif meredam
tekanan depresiasi yang berasal dari aksi spekulatif
pelaku pasar valuta asing bukan penduduk yang
terlihat dari perkembangan mutasi rekening rupiah
bukan penduduk di perbankan dalam negeri (vostro
account) yang menurun drastis.
Dalam perkembangannya, upaya pengen-
dalian uang primer tersebut tidak dapat dilakukan
secara efektif karena adanya berbagai faktor di luar
kendali Bank Indonesia, khususnya yang terkait
dengan perilaku masyarakat dalam memegang uang
kartal dan kurang efektifnya transmisi kebijakan
moneter yang terkait dengan kondisi intermediasi
perbankan yang belum sepenuhnya pulih. Pertum-
buhan uang primer selama 2001 mencapai rata-rata
sekitar 18,2% atau 15,4% pada akhir 2001 sehingga
lebih tinggi dari sasaran sebesar 11,0%–12,0% yang
ditetapkan pada awal tahun. Dilihat dari kompo-
nennya, tingginya kenaikan posisi uang primer
tersebut terutama didorong oleh tingginya pertum-
buhan permintaan uang kartal di masyarakat yang
mencapai rata-rata 20,1% pada 2001.
Peningkatan permintaan akan uang kartal di
masyarakat tersebut antara lain disebabkan oleh
terjadinya pergeseran yang cukup signifikan dari struktur
perekonomian Indonesia, seperti tercermin pada
meningkatnya peranan usaha kecil menengah (UKM)
dan sektor informal dalam perekonomian Indonesia. Hal
tersebut karena sektor ini lebih banyak menggunakan
pembiayaan sendiri dibandingkan dengan pembiayaan
dari sektor perbankan. Di samping itu, masih tingginya
ketidakpastian kondisi sosial politik pada 2001 telah
mendorong permintaan uang kartal oleh masyarakat
untuk berjaga-jaga (precautionary motive).
Tingginya permintaan uang kartal ditambah
dengan beberapa permasalahan yang masih dihadapi
dalam operasional kebijakan moneter, seperti kurang
efektifnya transmisi kebijakan moneter akibat masih
belum pulihnya intermediasi perbankan, menyebab-
kan penyerapan uang primer menjadi sulit dilakukan
secara optimal. Meskipun berbagai langkah penye-
rapan likuiditas telah dilakukan, baik melalui OPT,
sterilisasi valuta asing, maupun kenaikan suku bunga
intervensi rupiah, perkembangan uang primer sering-
kali berada di luar sasaran yang telah ditetapkan. Da-
lam kondisi demikian, upaya kenaikan suku bunga
SBI untuk menyerap uang primer dinilai tidak ter-
lampau efektif. Menyikapi kondisi yang demikian,
dalam perkembangannya terutama sejak akhir tri-
wulan ketiga 2001, Bank Indonesia cenderung ber-
usaha menyerap kelebihan likuiditas perbankan tanpa
menimbulkan peningkatan suku bunga yang
berlebihan.
2 Peraturan Bank Indonesia No.3/3/2001 tanggal 12 Januari 2001
tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta
Asing oleh Bank.
Tinjauan Umum
12
Selama 2001, suku bunga SBI tenor 1 bulan
meningkat secara bertahap sebesar 309 bp (basis
point) menjadi 17,62% dan SBI tenor 3 bulan
meningkat 332 bp menjadi 17,63% pada akhir
Desember 2001. Peningkatan suku bunga SBI
selama 2001 masih belum secara langsung ber-
pengaruh pada peningkatan suku bunga deposito
secara signifikan, terutama akibat masih tingginya
likuiditas perbankan sebagai akibat masih tingginya
ketergantungan perbankan pada SBI sebagai
alternatif penempatan utama, dengan memanfaatkan
selisih antara suku bunga SBI dan deposito di tengah
kondisi fungsi intermediasi perbankan yang belum
sepenuhnya pulih. Dalam pada itu, pergerakan suku
bunga deposito 1 bulan yang meningkat sebesar 411
bp menjadi 16,07% lebih banyak dipengaruhi oleh
perubahan marjin suku bunga maksimum penjaminan
yang selama tahun laporan telah diubah selama dua
kali. Hal ini terlihat dari arah pergerakan suku bunga
deposito sepanjang tahun laporan yang lebih dekat
dengan suku bunga penjaminan. Sejalan dengan
meningkatnya suku bunga deposito nominal itu, suku
bunga riil deposito mengalami peningkatan sebesar
91 bp menjadi sebesar 3,52%. Tingkat suku bunga
riil ini masih jauh di bawah tingkatnya pada masa
sebelum krisis, terlebih jika mempertimbangkan relatif
lebih tingginya premi risiko pada saat ini.
Walaupun tingkat suku bunga riil deposito
tersebut masih relatif rendah, kenaikan suku bunga
riil ini cukup mampu menggeser portofolio dana
masyarakat dari aset-aset untuk tujuan bertransaksi
(transaction purposes) menjadi aset-aset untuk tujuan
menabung (saving purposes). Hal ini tercermin dari
peningkatan deposito yang lebih tinggi dari
peningkatan aset-aset yang lebih likuid seperti tabu-
ngan dan simpanan giro. Kondisi ini sangat berbeda
dengan perkembangannya di tahun 2000, dimana
yang terjadi adalah sebaliknya, yakni terjadinya
pergeseran ke arah aset-aset yang lebih likuid.
Sejalan dengan terjadinya peningkatan deposito
tersebut, pada akhir tahun pertumbuhan uang beredar
dalam arti luas (M2) mengalami kenaikan sebesar
13,0% (y-o-y) yang melebihi pertumbuhan uang ber-
edar dalam arti sempit (M1) sebesar 9,6% (y-o-y),
walaupun secara rata-rata pertumbuhan M2 lebih
rendah dari pertumbuhan M1.
Kebijakan dan Perkembangan Perbankan
Sebagai kelanjutan dari kebijakan perbankan
yang ditempuh Pemerintah dan Bank Indonesia pada
tahun sebelumnya, strategi restrukturisasi perbankan
pada 2001 mencakup dua bagian besar yaitu : (i)
program penyehatan perbankan yang meliputi
penjaminan pemerintah bagi bank umum dan bank
perkreditan rakyat (BPR), program rekapitalisasi bank
umum, dan restrukturisasi kredit perbankan; (ii)
pemantapan ketahanan sistem perbankan yang meli-
puti pengembangan infrastruktur dan peningkatan
good governance, serta penyempurnaan pengaturan
dan pemantapan sistem pengawasan bank.
Secara khusus, pada 2001 dalam program
penyehatan perbankan, Bank Indonesia lebih
menitikberatkan pada target pencapaian Capital
Adequacy Ratio (CAR) minimum 8% yang harus
dipenuhi oleh bank-bank pada akhir 2001 dan target
indikatif Non Performing Loans (NPLs) maksimal 5%.
Seiring dengan upaya tersebut, Bank Indonesia juga
sedang menyempurnakan pola pengawasan bank
sebagaimana telah ditetapkan dalam master plan
mengenai peningkatan efektivitas pengawasan bank,
Tinjauan Umum
13
diantaranya dengan menerapkan sistem pengawasan
bank yang berbasis pada risiko (risk based super-
vision) dan berorientasi ke depan (forward looking)
sebagai penyempurnaan dari sistem pengawasan
yang didasarkan atas kepatuhan (compliance audit).
Penyempurnaan sistem pengawasan tersebut
mengacu pada 25 Basel Core Principles for Effective
Banking Supervision, yang telah berlaku secara
internasional. Sementara itu, program pemantapan
ketahanan sistem perbankan diarahkan untuk
membangun sistem perbankan yang tangguh dan
tahan terhadap guncangan. Sebagai bagian yang
tidak terpisahkan dalam sistem perbankan nasional,
dalam tahun 2001 juga dilakukan pengembangan
perbankan syariah dan BPR.
Dalam rangka mendorong pengembangan
usaha kecil dan menengah, Bank Indonesia telah
melakukan berbagai upaya untuk pemberdayaan
usaha kecil dan menengah melalui bantuan teknis
Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro (PUKM).
Bantuan teknis ini dilaksanakan antara lain melalui:
(i) pelatihan kepada kepada BPR dan bank umum
dalam pembiayaan usaha kecil dan mikro, (ii)
melakukan penelitian mengenai usaha skala mikro
yang potensial dibiayai oleh bank, dan (iii) penyediaan
informasi terpadu pengembangan usaha kecil yang
dapat diakses melalui internet yang antara lain
meliputi informasi potensi wilayah, pola pembiayaan,
dan industri kecil yang berbasis ekspor. Informasi ini
diharapkan dapat dimanfaatkan baik bagi pengusaha
kecil maupun oleh perbankan dalam pengembangan
usaha kecil dan mikro.
Sebagai hasil dari berbagai kebijakan yang
ditempuh di atas, kinerja sektor perbankan selama
2001 telah menunjukkan kemajuan. Beberapa
indikator kinerja, khususnya pemenuhan CAR
minimum 8% dan NPLs 5% menunjukkan perbaikan.
Hal ini sesuai dengan sasaran strategis program
restrukturisasi perbankan pada 2001 yang lebih
menitikberatkan pada pencapaian persyaratan CAR
dan NPLs tersebut. Dalam kaitan ini, secara umum
struktur permodalan bank mengalami perbaikan yang
tercermin dari meningkatnya jumlah bank yang
mencapai pemenuhan CAR 8%. Sampai dengan akhir
20013, sebanyak 138 dari 145 bank telah memenuhi
persyaratan CAR minimum 8%. NPLs juga telah
mengalami perbaikan yang cukup signifikan mencapai
12,1% membaik dari 18,8% pada 2000 terutama
karena adanya penghapusbukuan kredit macet,
restrukturisasi dan penyelesaian kredit, pengalihan
kredit ke BPPN, serta penyaluran kredit baru.
Membaiknya kinerja perbankan juga tercermin dari
meningkatnya profitabilitas perbankan. Net Interest
Margin (NIM) perbankan meningkat dari rata-rata
Rp1,9 triliun pada 2000 menjadi Rp3,2 triliun tahun
2001. Namun demikian peningkatan ini terutama
berasal dari spread positif karena naiknya suku bunga
SBI dan besarnya penerimaan obligasi pemerintah
yang mencapai sekitar 45,3% dari total pendapatan
bunga. Sementara itu, pendapatan bunga yang
berasal dari kredit perbankan hanya sebesar 32,2%.
Masih tingginya ketergantungan perbankan terhadap
penerimaan bunga obligasi mengindikasikan proses
restrukturisasi perbankan yang telah dilakukan masih
belum mampu meningkatkan fungsi intermediasi
perbankan secara keseluruhan.
Meskipun indikator kinerja perbankan telah
menunjukkan kemajuan yang berarti, sektor ini masih
3 Posisi November 2001.
Tinjauan Umum
14
menghadapi tantangan terutama fungsi intermediasi
perbankan yang belum sepenuhnya pulih walaupun
telah mencapai kemajuan dibanding tahun sebe-
lumnya. Hal ini tercermin dari belum optimalnya
penyerapan kredit baru oleh sektor riil yang sampai
akhir 2001 baru mencapai Rp56,8 triliun dari
komitmen kredit baru yang telah disediakan oleh
perbankan sebesar Rp127,3 triliun atau realisasinya
hanya sebesar 44,6%. Rendahnya daya serap sektor
riil terhadap kredit perbankan sejalan dengan
menurunnya kepercayaan dunia usaha (business
confidence) untuk melakukan realisasi investasi dan
produksi akibat meningkatnya risiko dan ketidak-
pastian yang terjadi selama tahun laporan. Fungsi
intermediasi perbankan yang belum sepenuhnya pulih
juga tidak terlepas dari masih berlangsungnya proses
konsolidasi internal perbankan dalam memenuhi
ketentuan prudensial bank.
Sementara itu, perkembangan restrukturisasi
kredit dan korporasi yang masih belum memper-
lihatkan hasil yang menggembirakan juga turut
mempengaruhi lambatnya pemulihan intermediasi
perbankan. Sampai dengan Desember 2001, kredit
yang telah direstrukturisasi (telah dibayar penuh) oleh
BPPN baru mencapai Rp11,6 triliun atau 3,7% dari
total kredit bermasalah sebesar Rp310,7 triliun,
sementara yang masih dalam tahap implementasi
proposal restrukturisasi dan penandatangani MoU
masing-masing mencapai Rp19,7 triliun dan Rp 60,9
triliun. Restrukturisasi kredit yang difasilitasi oleh
Satgas Restrukturisasi Kredit Bank Indonesia secara
akumulatif telah mencapai Rp 91,8 triliun. Dalam pada
itu, penyelesaian restrukturisasi utang luar negeri
swasta yang dilaporkan ke Bank Indonesia baru
sebanyak 68 perusahaan dengan total nilai sekitar
$4,1 miliar atau masih 13,7% dari posisi utang luar
negeri perusahaan yang bermasalah sekitar $30
miliar. Lambatnya restrukturisasi utang luar negeri
swasta ini disebabkan oleh ketidaksesuaian terms
and conditions antara debitur dan kreditur, penurunan
nilai agunan kredit, meningkatnya country risk yang
menyebabkan biaya bunga lebih mahal dan meng-
hambat investor asing untuk mengambil alih utang
luar negeri perusahaan, volatilitas nilai tukar, dan
adanya ketidakpastian hukum.
Kebijakan dan Perkembangan Sistem Pembayaran
Sepanjang 2001 Bank Indonesia terus
melakukan berbagai upaya penyempurnaan untuk
menciptakan sistem pembayaran nasional yang
efisien, cepat, aman, dan handal guna mendukung
efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter serta
mendorong upaya penciptaan sistem perbankan yang
sehat. Secara garis besar, kebijakan sistem pemba-
yaran terdiri dari kebijakan pengedaran uang dan
peningkatan pelayanan jasa Bank Indonesia di bidang
lalu lintas pembayaran.
Di bidang pengedaran uang, dalam lingkup
pembayaran tunai Bank Indonesia berusaha mencu-
kupi kebutuhan masyarakat terhadap uang kertas
dan uang logam untuk keperluan pembayaran serta
menjaga agar uang yang diedarkan berada dalam
kondisi layak edar. Pada 2001, Bank Indonesia
meningkatkan penyediaan uang untuk memenuhi
kenaikan kebutuhan masyarakat akan uang kartal
seiring dengan perkembangan berbagai indikator
ekonomi nasional maupun dalam rangka meng-
hadapi bulan Ramadhan, Hari Raya Idul Fitri, Hari
Natal, dan Tahun Baru 2002 yang waktunya saling
berdekatan.
Tinjauan Umum
15
Posisi UYD (Uang kartal Yang Diedarkan)
sepanjang 2001 cenderung meningkat. Posisi UYD
akhir Desember 2001 mencapai Rp 91,3 triliun atau
meningkat 1,8% dibandingkan dengan posisi UYD
akhir Desember 2000 yang hanya sebesar Rp 89,7
triliun. Kenaikan UYD terutama disebabkan adanya
penarikan yang cukup besar dari masyarakat dalam
rangka merayakan hari-hari besar keagamaan dan
tahun baru.
Dilihat dari jenis uangnya, perbandingan
antara uang kertas dan uang logam sepanjang 2001
tidak banyak mengalami perubahan, dengan pangsa
masing-masing jenis uang sebesar 98% untuk uang
kertas dan 2% untuk uang logam. Sementara itu, bila
dilihat dari pecahannya, posisi UYD tersebut
didominasi oleh pecahan Rp 100.000 dan Rp 50.000
yang rata-rata pangsanya masing-masing mencapai
41,4% dan 28,9% dari total UYD. Selain menyediakan
uang dalam jumlah yang cukup, Bank Indonesia juga
senantiasa menjaga agar kualitas uang yang
dipegang masyarakat terjaga kualitasnya dengan cara
melakukan “clean money policy” yaitu menarik dan
memusnahkan uang yang tidak layak edar atau
Pemberian Tanda Tidak Berharga (PTTB) serta
mengganti uang yang dimusnahkan tersebut.
Sementara itu, meskipun jumlah uang palsu
yang ditemukan pada 2001 menurun dibandingkan
tahun 2000, Bank Indonesia tetap meningkatkan
kerjasama dengan instansi terkait dalam upaya
memberantas peredaran uang palsu tersebut antara
lain dengan Badan Koordinasi Pemberantasan Uang
Palsu (Botasupal), mengedarkan poster dan stiker
mengenai cara mudah mengenali uang rupiah,
mempersiapkan pembuatan iklan layanan masya-
rakat di media televisi, serta melakukan kegiatan
sosialisasi pengenalan keaslian uang rupiah. Selain
upaya yang bersifat preventif tersebut, Bank Indo-
nesia menerapkan upaya represif dengan melakukan
koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait
dalam melakukan penangkapan dan pemrosesan ke
pengadilan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
pemalsuan uang rupiah.
Di bidang lalu lintas pembayaran nontunai,
dalam rangka meningkatkan stabilitas sistem ke-
uangan dan memperlancar efektivitas kebijakan mo-
neter, Bank Indonesia telah meningkatkan kinerja lalu
lintas pembayaran nontunai melalui penyempurnaan
implementasi dan ketentuan-ketentuan di bidang
pengawasan sistem pembayaran terutama mengenai
keamanan, prosedur dan produknya, yang antara lain
meliputi : (i) Pengembangan sistem Real Time Gross
Setlement (BI-RTGS) sebagai mekanisme setelmen
pembayaran antarbank untuk transaksi nilai besar
dan/atau penting (urgent) yang dalam tahun 2001
telah diimplementasikan di 12 Kantor Bank Indonesia
(KBI); (ii) Pengembangan Sistem Informasi Kliring
Jarak Jauh (SIKJJ) untuk meningkatkan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan kliring secara elektronik
dan otomasi; (iii) Pengaturan kembali hubungan
rekening giro antara Bank Indonesia dengan pihak
ekstern yang dilakukan untuk memperluas peman-
faatan giro di Bank Indonesia oleh pihak ekstern guna
mendukung kelancaran pencapaian tujuan meme-
lihara kestabilan nilai rupiah;4 dan (iv) Pengaturan
mengenai penyelenggaraan jasa sistem pembayaran
dengan menggunakan alat pembayaran nontunai dan
jasa pendukungnya, dengan tujuan untuk mene-
4 Penerbitan PBI No.3/11/PBI/2001 sebagai perubahan atas PBI No.2/
24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening Giro Antara Bank
Indonesia Dengan Pihak Ekstern.
Tinjauan Umum
16
gaskan batas-batas kewenangan antar lembaga da-
lam pengaturan jasa-jasa sistem pembayaran.
PROSPEK EKONOMI DAN ARAH KEBIJAKAN 2002
Tantangan Ke Depan
Evaluasi kinerja ekonomi 2001 menunjukkan
bahwa penanganan terhadap berbagai permasalahan
mendasar dan risiko tidak secepat yang diperkirakan
dan bahkan dalam beberapa hal cenderung
memburuk. Kondisi ini telah menyebabkan proses
pemulihan ekonomi Indonesia tidak secepat yang
diharapkan dan semakin besarnya tantangan yang
dihadapi dalam pengendalian moneter. Upaya
mengatasi berbagai risiko dan ketidakpastian tersebut
akan menjadi kunci keberhasilan untuk menjamin
prospek pemulihan ekonomi yang lebih baik pada
tahun-tahun mendatang. Berbagai faktor risiko dan
ketidakpastian tersebut mencakup :
• Pertama, masih lambannya proses restruk-
turisasi utang perusahaan. Kondisi ini menye-
babkan peningkatan kegiatan ekonomi dan
penyaluran kredit perbankan tidak dapat berjalan
lebih cepat, karena sebagian besar perusahaan
yang masih dalam proses restrukturisasi tersebut
merupakan komponen terbesar dari pereko-
nomian nasional.
• Kedua, masih belum pulihnya intermediasi
perbankan. Kondisi ini menyebabkan terbatasnya
pembiayaan kegiatan produksi dan investasi,
adanya kelebihan likuiditas di perbankan yang
berpotensi memberi tekanan pada nilai tukar
rupiah dan inflasi, serta menurunnya efektifitas
kebijakan moneter.
• Ketiga, masih beratnya beban keuangan peme-
rintah, terutama akibat masih tingginya penge-
luaran subsidi dan utang pemerintah yang masih
besar. Sementara kemajuan dalam asset reco-
very BPPN maupun privatisasi Badan Usaha
Milik Negara (BUMN) diperkirakan belum dapat
menutupi beban keuangan pemerintah. Dengan
kondisi demikian, stimulus dari sisi fiskal untuk
percepatan pemulihan ekonomi menjadi sangat
terbatas.
• Keempat, masih tingginya ketidakpastian
hukum dan kendala-kendala dalam pelaksanaan
kebijakan di berbagai bidang ekonomi. Kondisi
ini dapat membawa dampak yang kurang
menguntungkan pada keberhasilan beberapa
program restrukturisasi ekonomi sehingga
menyulitkan upaya perbaikan country risk
Indonesia dan percepatan pemulihan ekonomi
nasional.
• Kelima, munculnya berbagai permasalahan yang
terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah
sehingga menyebabkan kurang kondusifnya iklim
investasi di daerah. Di samping itu, pemanfaatan
Dana Alokasi Umum (DAU) secara tidak efisien
dapat menyebabkan stimulus ekonomi dari sektor
pemerintah menjadi semakin terbatas.
• Keenam, di sisi eksternal, meskipun diperkirakan
akan mulai membaik pada semester kedua,
secara keseluruhan perekonomian dunia masih
akan mengalami resesi pada tahun 2002. Kondisi
ini akan sangat berpengaruh terhadap kinerja
sektor eksternal ekonomi Indonesia. Di samping
itu, pemberlakuan Asean Free Trade Area (AFTA)
sejak awal tahun 2002, di satu sisi dapat mem-
buka peluang ekspor, namun disisi lain akan men-
dorong masuknya pesaing luar negeri yang dapat
mengancam kinerja produsen dalam negeri.
Tinjauan Umum
17
Prospek Ekonomi Makro
Prospek ekonomi makro Indonesia di tahun
2002 tidak terlepas dari pengaruh perkembangan
ekonomi global yang masih ditandai oleh melemahnya
perekonomian di negara-negara industri besar seperti
Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Meskipun
demikian, stimulus kebijakan moneter dan fiskal yang
sangat agresif di negara-negara tersebut diprakirakan
akan mendorong bangkitnya kembali perekonomian
negara-negara itu pada semester kedua 2002. Di
tengah-tengah masih lemahnya perekonomian dunia
tersebut, prospek ekonomi dan moneter Indonesia pada
2002 akan sangat tergantung pada kuatnya peningkatan
kegiatan ekonomi domestik. Apabila kemajuan dalam
penanganan sejumlah permasalahan struktural di dalam
negeri dan penurunan risiko dan ketidakpastian dapat
dicapai, Bank Indonesia memperkirakan bahwa
pemulihan ekonomi Indonesia pada 2002 masih dapat
dipertahankan. Apabila ekspor dan investasi dapat
ditingkatkan serta program restrukturisasi ekonomi dan
perbankan berjalan sesuai dengan harapan, Bank
Indonesia memprakirakan bahwa pertumbuhan
ekonomi 2002 dapat mencapai 3,5%–4,0%.
Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi
2002 diprakirakan masih akan berasal dari
pertumbuhan konsumsi yang diprakirakan akan dido-
rong oleh meningkatnya gaji dan pendapatan serta
meningkatnya pembiayaan untuk konsumsi, baik
yang bersumber dari perbankan maupun dari perusa-
haan pembiayaan seperti kartu kredit dan pembia-
yaan konsumen. Namun demikian, perlu disadari
bahwa pertumbuhan konsumsi diprakirakan akan
mengarah kepada perkembangan yang melambat.
Sementara itu, investasi dan ekspor diprakirakan akan
mengalami pertumbuhan yang lebih tinggi dari tahun
2001. Walaupun demikian, kedua sektor ini belum
dapat di harapkan menjadi motor penggerak utama
pertumbuhan ekonomi di tahun 2002. Keterbatasan
kinerja investasi sebagai motor penggerak utama
tersebut disebabkan oleh masih berlangsungnya
berbagai permasalahan mendasar di sektor riil, masih
tingginya risiko dan ketidakpastian dalam pereko-
nomian, serta terbatasnya pembiayaan investasi
akibat belum pulihnya intermediasi perbankan.
Sementara terbatasnya kinerja ekspor terutama
disebabkan oleh melemahnya perekonomian dunia.
Walaupun kinerja ekspor masih terbatas,
pertumbuhan impor diperkirakan masih meningkat
sejalan dengan naiknya permintaan konsumsi dan
investasi.
Dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi
yang moderat di tahun 2002 diprakirakan disumbang
oleh hampir seluruh sektor. Sejalan dengan masih
dominannya peran konsumsi sebagai mesin utama
pertumbuhan, maka sumbangan terbesar diprakira-
kan akan berasal dari sektor industri pengolahan dan
sektor perdagangan. Sektor industri pengolahan yang
diprakirakan meningkat tajam adalah industri
makanan dan minuman dan kendaraan bermotor,
sedangkan industri unggulan ekspor seperti tekstil,
persepatuan dan kayu diprakirakan mengalami penu-
runan. Sementara itu, meningkatnya sektor perdaga-
ngan, terutama perdagangan ritel, diperkirakan
meningkat cukup tinggi terkait dengan masih tumbuh
positifnya permintaan konsumsi masyarakat yang
diperkirakan menjadi motor penggerak perekonomian
domestik. Sektor pertambangan diperkirakan tumbuh
positif namun masih relatif rendah terutama akibat
masih tingginya ketidakpastian hukum dan faktor
keamanan pada sektor ini selain masih lemahnya
Tinjauan Umum
18
permintaan luar negeri terhadap beberapa komoditas
tambang. Sektor lainnya seperti sektor bangunan
diperkirakan akan bangkit sejalan dengan akan direali-
sasikannya beberapa proyek besar seperti Jakarta
Outer Ring Road dan mulai maraknya penyediaan
perumahan seiring dengan meningkatnya kredit
konsumsi untuk perumahan. Satu-satunya sektor yang
diperkirakan belum membaik adalah sektor pertanian,
sebagai akibat kemungkinan datangnya badai El-Nino
serta masih belum tuntasnya permasalahan produksi
dan distribusi pupuk. Di samping itu, komoditas
perkebunan yang berorientasi ekspor diperkirakan ju-
ga menurun seiring dengan menurunnya permintaan
dunia.
Sementara itu, kinerja neraca pembayaran
Indonesia pada 2002 diprakirakan akan relatif
membaik dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini
antara lain tercermin dari meningkatnya cadangan
devisa yang terutama disebabkan oleh membaiknya
lalu lintas modal. Sementara itu, transaksi berjalan
diprakirakan tetap mencatat surplus walaupun lebih
rendah dibandingkan dengan tahun 2001. Prakiraan
menurunnya surplus transaksi berjalan didasarkan
pada relatif tingginya impor dibanding ekspor.
Transaksi berjalan diperkirakan masih dapat mencatat
surplus sebesar $3,1 miliar. Sementara itu, defisit lalu
lintas modal secara keseluruhan diprakirakan akan
cenderung menurun akibat menurunnya defisit lalu
lintas modal swasta dan membaiknya surplus lalu
lintas modal pemerintah. Membaiknya lalu lintas
modal pemerintah tersebut bersumber dari penarikan
pinjaman yang berasal dari negara-negara donor
setelah sempat tertunda di tahun 2001 dan pen-
jadwalan kembali utang pokok luar negeri pemerintah
terkait dengan Paris Club.
Prospek Nilai Tukar dan Inflasi
Prospek nilai tukar rupiah selama 2002 akan
dipengaruhi oleh kondisi fundamental di pasar valuta
asing seperti masih terbatasnya pasokan dan
tingginya permintaan valuta asing, serta faktor sen-
timen pasar. Nilai tukar rupiah pada 2002 dipra-
kirakan memiliki potensi untuk menguat dimana
tekanan depresiasi rupiah cenderung berkurang di-
bandingkan dengan tahun lalu mengingat ketidak-
pastian situasi politik diprakirakan relatif membaik
pada 2002. Penguatan nilai rupiah secara signifikan
diharapkan terjadi mulai pertengahan tahun sejalan
dengan harapan terus membaiknya risiko politik,
keuangan, dan ekonomi. Prakiraan ini akan lebih
optimis apabila dalam waktu dekat terdapat
kemajuan dalam pelaksanaan program-program
ekonomi pemerintah sehingga dapat memperbaiki
persepsi pelaku pasar, termasuk adanya kemajuan
yang signifikan dalam penjualan aset oleh BPPN dan
privatisasi BUMN. Namun demikian, apabila
berbagai risiko tersebut justru menunjukkan
perkembangan yang terus memburuk, maka rupiah
diperkirakan sedikit melemah. Berdasarkan pertim-
bangan tersebut nilai tukar rupiah rata-rata pada
2002 diprakirakan akan mencapai sekitar Rp9.500–
Rp10.500 per dolar.
Sementara itu, prospek inflasi pada 2002
akan dipengaruhi terutama oleh dampak kebijakan
pemerintah di bidang harga serta tingginya ekspektasi
inflasi. Seperti tahun-tahun sebelumnya, dampak
penerapan kebijakan pemerintah terhadap penam-
bahan inflasi diperkirakan masih cukup tinggi.
Rencana pemerintah untuk menaikkan harga BBM,
TDL, dan cukai rokok diprakirakan akan tetap
memberikan dampak pada inflasi di tahun 2002.
Tinjauan Umum
19
Tingginya ekspektasi inflasi selain dipengaruhi oleh
inflasi yang tinggi pada 2001 juga sangat dipengaruhi
ekpektasi meningkatnya biaya produksi dan
transportasi sebagai akibat dari rencana kebijakan
pemerintah di bidang harga dan pendapatan.
Di samping itu, tekanan inflasi dari sisi per-
mintaan dan penawaran diprakirakan dapat meningkat
sebagai akibat dari peningkatan konsumsi masyarakat
yang kurang diimbangi sisi penawaran. Tekanan inflasi
diprakirakan semakin tinggi apabila faktor gangguan
pasokan pangan akibat adanya El-Nino yang terjadi
pada 2002 mengganggu produksi sektor pertanian.
Sasaran Inflasi Tahun 2002 dan Jangka Menengah
Dengan memperhatikan berbagai perkem-
bangan dan prospek makroekonomi serta memper-
timbangkan perkembangan tekanan inflasi ke depan,
Bank Indonesia menetapkan sasaran inflasi IHK 2002
pada kisaran 9,0%–10,0%. Namun demikian, dalam
lima tahun ke depan Bank Indonesia memiliki
komitmen untuk secara bertahap menurunkan inflasi
menjadi sekitar 6,0%–7,0%.
Dalam hal ini perlu dijelaskan bahwa berbeda
dengan tahun-tahun sebelumnya, sejak tahun ini Bank
Indonesia mengubah jenis inflasi yang digunakan
sebagai sasaran inflasi, yaitu dari inflasi IHK di luar
dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan menjadi inflasi IHK. Adapun pertimbangan
perubahan jenis sasaran inflasi ini adalah (i) inflasi IHK
merupakan perubahan harga yang secara langsung
dirasakan oleh masyarakat sehingga penggunaan
sasaran inflasi jenis ini lebih dapat diterima oleh
masyarakat, (ii) penggunaan inflasi IHK lebih trans-
paran bagi masyarakat dibandingkan inflasi IHK di luar
dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan, yang memerlukan pemahaman yang lebih
mendalam mengenai metode perhitungannya, dan (iii)
dengan menggunakan sasaran inflasi yang lebih
akseptabel dan transparan, ekspektasi masyarakat
terhadap inflasi akan lebih mudah dipengaruhi oleh
sasaran inflasi yang ditetapkan oleh Bank Indonesia.
Di samping perubahan jenis inflasi yang di-
gunakan sebagai sasaran, sejak tahun ini Bank
Indonesia mengumumkan inflasi jangka menengah.
Sasaran inflasi jangka menengah ini diharapkan dapat
dipergunakan oleh masyarakat dan pelaku usaha
sebagai acuan dalam perencanaan jangka menengah
dan panjang. Dengan demikian, ekspektasi inflasi
dalam jangka menengah dapat diarahkan pada
tingkat inflasi yang lebih rendah tanpa mengorbankan
kelangsungan pemulihan ekonomi (Boks : Penetapan
Sasaran Inflasi Bank Indonesia).
Arah Kebijakan
Dengan memperhatikan prospek ekonomi
dan sasaran inflasi yang ditetapkan serta berbagai
tantangan yang dihadapi di tahun 2002, Bank Indo-
nesia akan berupaya untuk secara konsisten menem-
puh kebijakan-kebijakan di bidang moneter, perban-
kan dan sistem pembayaran.
Di bidang moneter, dalam rangka mencapai
sasaran inflasi yang telah ditetapkan, kebijakan
moneter akan diarahkan pada upaya pengendalian
uang primer agar tetap sesuai dengan kebutuhan riil
perekonomian. Upaya pengendalian moneter tersebut
akan dilakukan dengan pertimbangan suku bunga riil
yang positif pada kisaran yang memadai sekitar 4,0%-
5,0%. Secara operasional, pengendalian moneter
dilakukan dengan mengoptimalkan instrumen-
instrumen moneter terutama melalui operasi pasar
Tinjauan Umum
20
terbuka dengan lelang SBI. Selain itu, upaya tersebut
juga akan didukung dengan melakukan sterilisasi valas.
Disamping sebagai upaya penyerapan kelebihan
likuiditas, sterilisasi valas juga dimaksudkan untuk
mengurangi tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Kesemua langkah di bidang moneter tersebut akan
dilakukan secara berhati-hati dan terukur agar
kestabilan harga tetap terpelihara sehingga mampu
mendukung proses pemulihan ekonomi yang sedang
berlangsung dan pertumbuhan ekonomi yang
berkelanjutan dalam jangka menengah-panjang.
Di bidang perbankan, prioritas utama ke-
bijakan diarahkan untuk memperkuat ketahanan
sistem perbankan. Untuk mencapai hal tersebut, Bank
Indonesia akan terus menerus memaksimalkan upaya
penerapan 25 Basel Core Principles for Effective
Banking Supervision yang penjabarannya dituangkan
dalam Master Plan Peningkatan Efektivitas Penga-
wasan Bank. Upaya untuk memelihara CAR bank-
bank yang telah mencapai 8% terus dilakukan
khususnya terhadap bank-bank yang struktur per-
modalannya masih rentan terhadap pengaruh kenai-
kan suku bunga dan melemahnya nilai tukar serta
penurunan kualitas kredit. Bagi bank-bank besar yang
memiliki risiko usaha yang cukup tinggi dan bero-
perasi secara internasional akan didorong untuk
meningkatkan rasio kecukupan modalnya di atas 8%.
Di samping itu, dalam rangka meningkatkan stabilitas
sistem keuangan, pada saat ini Bank Indonesia
sedang melakukan pengkajian mengenai landscape
perbankan Indonesia yang terintegrasi dengan
pengembangan lembaga finansial lainnya.
Sementara itu, untuk memulihkan fungsi
intermediasi perbankan, Bank Indonesia akan mendo-
rong perbankan untuk lebih banyak lagi menyalurkan
kredit kepada sektor-sektor yang dianggap telah siap
dan memiliki risiko yang relatif rendah seperti kredit
ekspor dan kredit bagi UKM dengan tetap memper-
hatikan prinsip-prinsip perkreditan yang sehat. Bank
Indonesia juga melakukan penyempurnaan terhadap
beberapa ketentuan untuk mempercepat intermediasi
perbankan. Selain itu, usaha untuk meningkatkan
kesehatan bank juga didukung oleh upaya-upaya
yang terus menerus untuk menekan angka NPLs
perbankan nasional dengan mewajibkan bank-bank
untuk mencapai target NPLs sebesar 5% pada akhir
2002. Sementara itu upaya yang perlu dilakukan untuk
memperkuat infrastruktur perbankan nasional dapat
dilakukan dengan terus mendorong pengembangan
bank syariah dan keberadaan BPR serta bersama-
sama dengan Pemerintah mempersiapkan pem-
bentukan Lembaga Penjamin Simpanan dan lembaga
pengawas jasa keuangan.
Untuk mendukung tercapainya kestabilan
sistem keuangan dan efektivitas kebijakan moneter,
kebijakan di bidang sistem pembayaran akan diarah-
kan untuk mempercepat pengembangan dan pelak-
sanaan sistem pembayaran nasional yang efisien,
akurat, aman, dan handal melalui peningkatan mutu
pelayanan sistem pembayaran. Di bidang penge-
daran uang Bank Indonesia akan mengutamakan
penggunaan unsur pengaman yang kasat mata dan
kasat raba terhadap uang baru yang diterbitkan. Di
samping itu, Bank Indonesia akan melakukan
penataan kembali jalur distribusi uang dalam rangka
lebih menjamin ketersediaan uang di seluruh Kantor
Bank Indonesia (KBI) dan peningkatan pelayanan
penarikan uang tunai kepada masyarakat.
Sementara dari sisi pembayaran nontunai,
kebijakan tetap diarahkan pada pengurangan risiko
Tinjauan Umum
21
pembayaran, peningkatan kualitas dan kapasitas
layanan sistem pembayaran serta pengaturan
pengawasan sistem pembayaran yang cepat, aman,
dan efisien. Selain itu, Bank Indonesia juga terus
melakukan upaya pengaturan mengenai penyeleng-
garaan jasa sistem pembayaran dengan menggu-
nakan alat pembayaran nontunai dan jasa pendu-
kungnya serta melakukan pengaturan yang terkait
dengan upaya mengatasi kegagalan peserta kliring
dalam penyelesaian kewajiban setelmennya.
Penutup
Sebagai penutup, rangkaian kebijakan Bank
Indonesia di tahun 2002 yang akan ditempuh Bank
Indonesia pada hakikatnya merupakan bagian dari
kerangka kebijakan ekonomi makro secara kese-
luruhan. Dalam konteks ini, kebijakan Bank Indonesia
berfungsi untuk menunjang terciptanya iklim yang
kondusif bagi upaya pemulihan ekonomi. Di sisi lain,
keberhasilan kebijakan yang akan ditempuh Bank
Indonesia sangat tergantung pada kebijakan-kebija-
kan di bidang lain dan perkembangan berbagai faktor
risiko dan ketidakpastian. Dengan demikian,
koordinasi kebijakan menjadi faktor yang sangat
penting dalam menunjang keberhasilan pemulihan
ekonomi. Koordinasi kebijakan seperti ini diharapkan
dapat menghasilkan paket kebijakan ekonomi yang
kredibel sehingga akan menumbuhkan kembali
kepercayaan para pelaku ekonomi terhadap proses
pemulihan ekonomi.
Dari sisi internal, Bank Indonesia telah
menempuh berbagai langkah pembenahan mana-
jemen intern melalui Program Transformasi Bank
Indonesia. Program yang mulai diterapkan tahun 2002
ini mencakup perubahan secara substansial misi dan
visi Bank Indonesia dalam era yang sedang berubah
yang menuntut kemampuan Bank Indonesia mela-
kukan antisipasi dan menyesuaikan diri dengan
perubahan-perubahan yang terjadi baik dalam skala
nasional maupun skala global. Perubahan-perubahan
ini mendorong Bank Indonesia untuk lebih secara
sistematis dan terpadu melakukan perubahan dalam
rangka meningkatkan transparansi, akuntabilitas,
integritas, dan kompetensi. Dalam operasionalnya,
program transformasi ini akan membawa konsekuensi
pada perubahan kerangka kebijakan moneter,
perangkat organisasi, manajemen sumberdaya
manusia, sistem teknologi informasi serta hubungan
dengan stakeholders (Boks : Program Transformasi
Bank Indonesia).
Tinjauan Umum
Tinjauan Umum
22
Sesuai dengan pasal 7 Undang-Undang
No.23/1999 tentang Bank Indonesia disebutkan
bahwa tugas pokok Bank Indonesia adalah mencapai
dan memelihara kestabilan nilai rupiah. Selanjutnya
dalam pasal 10, untuk menjalankan tugas ini Bank
Indonesia diwajibkan untuk mengumumkan sasaran
inflasi dan sasaran-sasaran moneter untuk mencapai
sasaran inflasi tersebut.
Salah satu upaya Bank Indonesia dalam
rangka menjalankan tugas pokok tersebut adalah
menetapkan sasaran inflasi dengan cara yang tepat
dengan mempertimbangkan kondisi makroekonomi.
Dengan melihat perkembangan kondisi perekono-
mian saat ini dan tahun-tahun mendatang, penetapan
sasaran inflasi saat ini bertujuan untuk mendukung
upaya pencapaian sasaran inflasi melalui pemben-
tukan ekspektasi masyarakat dengan penerapan
kebijakan moneter yang tetap mendukung proses
pemulihan ekonomi. Untuk itu berbagai aspek penting
yang perlu dikaji dalam penetapan sasaran inflasi ini
adalah: penentuan jenis sasaran inflasi, penentuan
jangka waktu pencapaian sasaran inflasi dan level
dari sasaran inflasi yang akan dicapai.
JENIS SASARAN INFLASI
Secara umum inflasi di definisikan sebagai
“...a situation in which there is a persistent upward
movement in the general price level...”.1 Dalam
pengertian ini terdapat dua hal penting yakni menyang-
kut definisi kenaikan harga yang terjadi secara terus-
menerus (a persistent upward movement) dan
b o k s
Penetapan Sasaran Inflasi Bank Indonesia
kenaikan harga terjadi pada seluruh kelompok barang
dan jasa (the general price level movement). Sebagai
indikator yang mencerminkan perubahan harga-harga,
Inflasi berdasarkan Indeks Harga Konsumen (IHK)
merupakan indikator inflasi yang paling umum
digunakan baik di Indonesia maupun disejumlah ne-
gara lainnya. Hal ini berkaitan dengan kontinuitas
penyediaan data yang dapat disediakan dengan
segera dan perannya yang lebih dapat mencerminkan
kenaikan biaya hidup masyarakat (cost of living).
Namun demikian, dengan tingginya variabilitas
pergerakan harga relatif di antara komponen barang
yang tercakup dalam perhitungan IHK (relative price
movement) serta tingginya pengaruh nonfundamental
seperti pengaruh musiman dan dampak penerapan ke-
bijakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan
dalam perkembangan inflasi di Indonesia, seringkali per-
gerakan inflasi IHK tidak mencerminkan perkembangan
laju inflasi seperti yang dimaksudkan dalam definisi
inflasi di atas (general movement dan persistent). Hal
ini dapat berimplikasi terhadap kekurangtepatan arah
kebijakan moneter yang akan ditetapkan oleh Bank
Indonesia dalam upaya pengendalian laju inflasi, yang
mengacu pada perkembangan harga-harga.
Menghadapi hal ini, Bank Indonesia telah me-
lakukan berbagai penelitian2 dalam rangka menda-
1 A.J. Hagger (1977), Inflation: Theory and Policy, The Macmillan
Press Ltd.
2 W. Santoso, R. Anglingkusumo, Underlying Inflation Sebagai
Indikator Harga Yang Relevan Dengan Kebijakan Moneter: Sebuah
Tinjauan Untuk Indonesia, BEMP No.1 Vol.1, Juli 1998 dan A.R.
Hutabarat, F. Majardi, R. Anglingkusumo, E.D.Tjahjono, E. Haryono,
B. Pramono, H. Alamsyah, Perhitungan Inflasi Inti di Indonesia,
BEMP Vol.2 No.4, Maret 2000.
Tinjauan Umum
22
Tinjauan Umum
23
patkan indikator perubahan harga yang lebih dapat
mencerminkan perubahan harga-harga fundamental.3
Indikator tersebut akan digunakan oleh Bank Indo-
nesia sebagai penunjuk arah bagi penetapan kebi-
jakan moneter, dan sekaligus dapat dijadikan alternatif
sasaran inflasi yang akan dicapai. Penelitian ini meng-
hasilkan beberapa jenis inflasi inti (core inflation) yang
diperoleh dari berbagai metode, dimana masing-
masing metode dibedakan oleh cara mengeluarkan
gangguan-gangguan (shocks) yang ada dalam inflasi
IHK.
Metode yang pertama yang digunakan dalam
perhitungan inflasi inti adalah dengan pendekatan
trimmed mean. Secara statistik, pendekatan ini meru-
pakan perhitungan inflasi inti yang paling baik (robust)
karena benar-benar dapat mencerminkan laju peru-
bahan harga yang persisten. Namun, pendekatan ini
relatif sulit untuk dipahami oleh masyarakat berkaitan
dengan faktor teknis dalam perhitungannya. Kedua,
dengan menggunakan metode exclusion, yaitu me-
ngeluarkan beberapa jenis komoditi yang pergerakan
harganya sangat fluktuatif (volatile) dan/atau komoditi-
komoditi yang penetapan harganya diatur oleh
pemerintah, dari perhitungan inflasi. Beberapa komo-
ditas tersebut dikeluarkan secara permanen dari
keranjang IHK sehingga terbentuk keranjang baru
yang berisikan komoditas-komoditas yang lebih dapat
mencerminkan perkembangan harga fundamental.
Ketiga adalah metode specific adjustment, yaitu
dengan menghilangkan pengaruh khusus pada harga
agregat melalui penyesuaian pada waktu-waktu
tertentu di saat terjadinya gangguan (shocks). Dalam
metode specific adjustment ini secara khusus hanya
dikeluarkan dampak kebijakan pemerintah yang pada
akhirnya dikenal dengan nama inflasi di luar dampak
kebijakan pemerintah di bidang harga dan penda-
patan. Jenis inflasi inilah yang dijadikan sasaran inflasi
Bank Indonesia dalam 2 tahun terakhir.
Dengan adanya berbagai indikator inflasi
tersebut maka berbagai kajian secara mendalam
terus dilakukan untuk dapat menentukan jenis sasa-
ran inflasi yang lebih tepat. Dari berbagai kriteria yang
perlu dipertimbangkan dalam menentukan jenis
sasaran inflasi, yaitu tingkat prediktabilitas, kontrola-
bilitas, dan akseptabilitas, pada 2002 Bank Indonesia
lebih mengutamakan kriteria akseptabilitas dalam arti
memilih jenis inflasi yang lebih dapat diterima
masyarakat dibandingkan kriteria lainnya. Dengan
demikian masyarakat diharapkan menggunakan
sasaran inflasi sebagai patokan (anchor) dalam
kegiatan ekonomi mereka sehingga ekspektasi ma-
syarakat terhadap inflasi akan lebih mudah dipe-
ngaruhi oleh sasaran inflasi yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia.
Jenis inflasi yang paling memenuhi kriteria
akseptabilitas tersebut adalah inflasi IHK, karena
inflasi ini lebih umum dikenal oleh masyarakat sebagai
indikator inflasi di Indonesia. Sementara itu, jenis
sasaran inflasi Bank Indonesia di tahun 2000 dan
2001 yaitu inflasi di luar dampak kebijakan peme-
rintah, menjadi sulit untuk dipertahankan sebagai jenis
sasaran inflasi Bank Indonesia karena selain tingkat
akseptabilitasnya yang diperkirakan lebih rendah,
jenis inflasi ini memiliki tingkat kesulitan yang cukup
tinggi dalam teknis perhitungannya sehingga sulit
untuk diverifikasi. Dengan demikian, jenis inflasi yang
dijadikan sasaran inflasi pada 2002 ini adalah inflasi
IHK, walaupun Bank Indonesia harus menanggung3 Perubahan harga-harga yang disebabkan oleh kondisi
perekonomian secara agregat.
Tinjauan Umum
23
Tinjauan Umum
24
konsekuensi rendahnya tingkat prediktabilitas dan
kontrolabilitas jenis inflasi ini mengingat banyaknya
faktor gangguan (shocks) yang terdapat di dalamnya.
Sementara itu, berbagai indikator inflasi inti yang
memiliki tingkat prediktabilitas dan kontrolabilitas yang
lebih tinggi dapat digunakan sebagai penunjuk arah
(guidance) bagi Bank Indonesia dalam perumusan
kebijakan moneternya.
Level Sasaran Inflasi dan Jangka Waktu Penca-
paiannya
Untuk menentukan level inflasi dan jangka
waktu pencapaian yang optimal diperlukan kajian
yang komprehensif. Dalam penentuannya perlu di-
pertimbangkan berbagai hal yang diantaranya adalah
masalah karakteristik inflasi, efektifitas dan variabilitas
kebijakan moneter, dampaknya terhadap proses
pemulihan ekonomi, dan perkiraan mengenai sumber-
sumber tekanan inflasi yang berada diluar pengaruh
kebijakan moneter.
Kajian mengenai karakteristik inflasi IHK
memperlihatkan bahwa pergerakan inflasi di
Indonesia banyak disebabkan oleh gejolak harga be-
berapa barang tertentu dalam keranjang IHK (relative
price changes). Dengan angka rata-rata kurtosis peru-
bahan harga barang-barang dalam keranjang IHK
yang sangat tinggi, inflasi yang terjadi tidak mencer-
minkan perubahan harga barang-barang secara
umum. Selain itu, dengan kemencengan distribusi
yang sangat condong ke kanan (chronic right skew-
nes), inflasi yang terjadi memiliki kecenderungan yang
tinggi. Hal ini banyak disebabkan oleh masalah distri-
busi barang dan faktor musiman yang terjadi di Indo-
nesia. Implikasi dari karakteristik ini adalah sulitnya
menurunkan tingkat inflasi pada level yang rendah.
Kajian mengenai efektifitas kebijakan mo-
neter dalam mempengaruhi inflasi menunjukkan
bahwa kebijakan moneter memiliki efek tunda yang
cukup panjang dalam mempengaruhi laju inflasi
secara optimal. Kajian ini mempertimbangkan adanya
trade off antara inflasi dan pertumbuhan ekonomi
dalam upaya pengendalian inflasi.4 Implikasi dari
panjangnya efek tunda optimal dari kebijakan moneter
ini adalah adanya keterbatasan dalam ruang gerak
kebijakan moneter dalam melakukan proses disinflasi
dalam jangka pendek.
Dalam periode jangka pendek, proses dis-
inflasi membutuhkan penerapan kebijakan moneter
yang ekstra ketat yang akan berakibat buruk pada
upaya pemulihan ekonomi. Untuk itu, sasaran inflasi
jangka pendek (1 tahun) hanya dapat ditetapkan pada
kisaran prakiraan inflasi yang diprakirakan akan terjadi
pada periode tersebut. Namun demikian proses
disinflasi dapat dilakukan dengan menurunkan inflasi
secara bertahap sehingga sasaran inflasi yang cukup
rendah bisa ditetapkan dalam jangka menengah, yaitu
sekitar 5 tahun. Dengan penetapan sasaran inflasi
seperti ini, kebijakan moneter diharapkan mempunyai
ruang gerak yang memadai untuk memberikan iklim
yang kondusif bagi proses pemulihan ekonomi,
namun ekspektasi inflasi masyarakat secara bertahap
akan terbentuk sesuai dengan sasaran inflasi jangka
menengah.
Sementara itu, kajian lainnya yang didasar-
kan pada berbagai model ekonomi yang dimiliki oleh
4 A.R. Hutabarat, R. Anglingkusumo, F. Majardi, R.E. Wimanda,
Penelitian Tentang Optimal Policy Rules Untuk Pengendalian Inflasi
Secara Forward Looking, BEMP Vol.2 No.3, Desember 2000 dan
R. Anglingkusumo, C. Ligaya, Pengukuran Target Inflasi Dalam
Rangka Melaksanakan Kebijakan Moneter Secara Forward Looking,
BEMP Vol.2 No.4, Maret 2000.
Tinjauan Umum
24
Tinjauan Umum
25
Bank Indonesia5 menunjukkan bahwa dengan
menerapkan kebijakan moneter yang berhati-hati,
proses disinflasi menuju tingkat inflasi yang cukup
rendah dapat dilakukan oleh Bank Indonesia dalam
jangka menengah tanpa mengakibatkan terham-
batnya proses pemulihan ekonomi. Proses disinflasi
tersebut dilandasi atas beberapa asumsi utama yang
bersifat optimis yaitu:
• Kebijakan pemerintah menaikkan harga barang
administered telah berkurang dalam jangka
menengah, terutama karena telah dihapuskannya
subsidi BBM dan berakhirnya kenaikan tarif dasar
listrik (TDL) sehingga harga BBM dan TDL sesuai
dengan harga dan tarif internasional.
• Pergerakan nilai tukar rupiah yang lebih stabil,
sejalan dengan berkurangnya tekanan per-
mintaan murni valuta asing, membaiknya struktur
pasar keuangan, serta pulihnya kondisi dan fungsi
intermediasi perbankan dan berkurangnya risiko
dari faktor nonekonomi. Kondisi tersebut diharap-
kan akan mengurangi efek pass-through nilai
tukar ke inflasi.
• Fungsi intermediasi perbankan telah kembali
normal sehingga transmisi dan efektivitas kebi-
jakan moneter dapat berlangsung baik.
• Permasalahan-permasalahan di sektor riil telah
dapat diatasi dan realisasi investasi telah mem-
baik sehingga kendala peningkatan penawaran
aggregat dalam mengimbangi pertumbuhan
permintaan agregat tidak menimbulkan tekanan
yang besar terhadap inflasi.
• Kredibilitas Bank Indonesia yang telah terbentuk
melalui pelaksanaan kebijakan moneter secara
konsisten dan penetapan sasaran inflasi yang
realistis, sehingga dapat mengarahkan dan
membentuk ekspektasi inflasi yang rendah.
Berdasarkan pertimbangan- pertimbangan di
atas dan dengan melihat kondisi ekonomi makro dan
faktor-faktor yang mempengaruhi laju inflasi, sasaran
inflasi IHK yang optimum untuk dicapai dalam jangka
pendek (tahun 2002) adalah pada kisaran 9%–10%.
Sementara sasaran inflasi IHK jangka menengah yang
dapat diupayakan oleh Bank Indonesia tanpa meng-
hambat proses pemulihan ekonomi adalah 6%–7%.
5 Model Bank Indonesia (MODBI), General Equilibrium Model Bank
Indonesia (GEMBI), dan Small Scale Macroeconomic Model
(SSMM).
Tinjauan Umum
25
Tinjauan Umum
26
Dengan diberlakukannya Undang-Undang No.
23/1999, Bank Indonesia dituntut melakukan
perubahan mendasar sesuai dengan semangat yang
terkandung dalam UU tersebut, yaitu independensi,
transparansi dan akuntabilitas. Pada saat yang sama,
tuntutan perubahan yang terjadi baik dalam skala
nasional maupun global juga mengharuskan Bank
Indonesia melakukan sejumlah perubahan funda-
mental. Dalam skala nasional, proses reformasi dalam
pelaksanaan kebijakan publik menuntut Bank Indo-
nesia sebagai institusi publik untuk memperbaiki good
governance yang berimplikasi pada perlunya pening-
katan transparansi dan akuntabilitas dalam proses
pengambilan kebijakan. Disamping itu, krisis ke-
uangan dan moneter yang terjadi sejak 1997
mengharuskan Bank Indonesia sebagai bank sentral
meningkatkan citra dan membangun kembali
kredibilitasnya untuk meraih kepercayaan publik yang
sangat diperlukan dalam menjamin efektifitas
kebijakan moneter. Dalam skala yang lebih luas,
kredibilitas dari bank sentral suatu negara sangat ber-
pengaruh dalam meningkatkan kepercayaan inter-
nasional.
Pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas,
telah mendorong Bank Indonesia sejak 2000
melakukan evaluasi menyeluruh terhadap visi dan
misi, organisasi, pola kerja, dan pengembangan
sumberdaya manusia. Secara formal, sejak Februari
2001 berbagai langkah perubahan yang akan
dilakukan oleh Bank Indonesia kemudian secara
sistematis, menyeluruh, dan terintegrasi dicanangkan
dalam program Transformasi Bank Indonesia.
Program perubahan strategis (strategic change) ini
dilakukan untuk mempercepat terbentuknya Bank
b o k s
Program Transformasi Bank Indonesia
1. Sistem Perumusan Kebijakan Moneter2. Sistem Pelaksanaan Kebijakan Moneter3. Sistem Pengawasan Bank4. Sistem Pengedaran Uang5. Sistem Perencanaan, Anggaran dan Penilaian Kinerja BI6. Sistem Manajemen Informasi7. Sistem Teknologi Informasi8. Sistem Manajemen SDM9. Sistem Manajemen Logistik10. Sistem Jaringan Kantor
Citra Membaik
Kinerja Meningkat
Kepuasan KerjaMeningkat
ProsesKerja Baru
KompetensiKerja Baru
Performance-basedculture
SASARAN PERUBAHANPERUBAHAN STRATEGIS
Bagan 1.
Perubahan Strategis dalam Program Transformasi
Tinjauan Umum
26
Tinjauan Umum
27
Indonesia baru yang lebih mampu mengantisipasi dan
menyesuaikan diri dengan perubahan yang ada serta
memenuhi harapan para stakeholders. Sasaran ini
dicapai melalui perumusan kembali visi dan misi, nilai-
nilai strategis, dan tujuan strategis Bank Indonesia.
Secara operasional, terdapat sepuluh perubahan
strategis yang meliputi bidang kebijakan moneter,
perbankan, sistem pembayaran, dan manajemen
internal yang harus dikelola secara terintegrasi untuk
mencapai sasaran-sasaran perubahan, yaitu proses
kerja baru, kompetensi kerja baru, dan budaya kerja
baru yang berbasis kinerja (performance-based
culture) sehingga kinerja dan citra Bank Indonesia
dapat ditingkatkan (Bagan 1).
Di bidang moneter, transformasi ditujukan
pada peningkatan kualitas perumusan kebijakan
moneter dan riset ekonomi serta kualitas pelak-
sanaan kebijakan moneter dengan fokus pada pen-
capaian tujuan kestabilan moneter. Tujuan ini dicapai
dengan memperjelas tujuan strategis, memperbaiki
proses, dan peningkatan sumberdaya manusia, serta
organisasi sektor moneter. Di bidang perbankan,
sasaran program transformasi adalah mewujudkan
perbankan yang sesuai dengan standar internasional
termasuk semua persiapan yang diperlukan dalam
rangka pengalihan fungsi pengawasan bank ke
lembaga pengawas jasa keuangan. Secara teknis,
hal ini dilakukan melalui perancangan early warning
system yang mendukung pelaksanaan risk-based
supervision dan pelaksanaan fungsi financial stability.
Disamping itu, program transformasi di sektor
perbankan juga melakukan perancangan program
pelatihan dan program sertifikasi pengawas dan
pemeriksa bank dalam rangka pelaksanaan risk-
based supervision. Terkait dengan pemisahan fungsi
pengawasan bank, program transformasi diarahkan
pada perancangan contingency plan pengalihan
fungsi pengawasan ke lembaga baru dan pe-
rancangan konsep organisasi Bank Indonesia dalam
mewujudkan perannya dalam menjaga kestabilan
sistem keuangan di Indonesia. Di bidang manajemen
internal, program transformasi dilakukan dalam
rangka meningkatkan good governance Bank
Indonesia melalui pembenahan di bidang peren-
canaan, anggaran, dan manajemen kinerja, mana-
jemen sumberdaya manusia, manajemen teknologi
informasi, manajemen informasi, serta manajemen
logistik.
Tinjauan Umum
27
Kondisi Ekonomi Makro
29
b a b 2
KONDISI EKONOMI MAKRO
Pertumbuhan perekonomian Indonesia dalam ta-
hun 2001 mengalami perlambatan meskipun
masih relatif lebih baik dari pertumbuhan yang dialami
oleh negara-negara di kawasan ASEAN. Produk
Domestik Bruto (PDB) 2001 tumbuh sebesar 3,3%,
lebih rendah dibandingkan tahun lalu yang mencapai
4,9% (Tabel 2.1). Angka pertumbuhan ini juga di
bawah proyeksi awal tahun Bank Indonesia sebesar
4,5%–5,5%.
Perlambatan kegiatan perekonomian ter-
sebut tidak terlepas dari perkembangan kondisi di
dalam dan luar negeri yang kurang menguntungkan.
Dari dalam negeri, perlambatan ini terutama disebab-
kan oleh lambatnya restrukturisasi utang dan sektor
korporasi, masih berlangsungnya konsolidasi internal
perbankan, serta beratnya beban keuangan
pemerintah. Sementara itu, masih tingginya risiko dan
ketidakpastian sehubungan dengan meningkatnya
ketegangan sosial dan politik, serta lemahnya
penegakan hukum menyebabkan menurunnya
kepercayaan dunia usaha untuk melakukan kegiatan
produksi dan investasi yang pada akhirnya
menghambat ekspansi ekonomi lebih lanjut. Dari luar
negeri, perkembangan perekonomian dunia yang
cenderung melambat sejak triwulan I-2001 dan
kemudian menjadi lebih buruk pasca tragedi World
Trade Centre (WTC) pada 11 September 2001 telah
menyebabkan perekonomian negara-negara maju
terganggu, diantaranya adalah negara-negara yang
menjadi investor dan mitra dagang penting bagi In-
donesia.
Hal ini menyebabkan sumber pertumbuhan
ekonomi dari sisi permintaan yang semula diharapkan
akan berasal dari kegiatan investasi dan ekspor,
dalam perkembangannya tidak sesuai dengan yang
diharapkan. Pertumbuhan ekonomi pada tahun
laporan sangat bertumpu pada pengeluaran kon-
sumsi, baik untuk sektor rumah tangga maupun
pemerintah. Sementara itu, dari sisi penawaran,
hampir seluruh sektor ekonomi mencatat pertum-
buhan yang positif meskipun dengan laju yang
melambat, kecuali sektor pertambangan yang
mencatat kontraksi. Sektor industri pengolahan dan
sektor perdagangan, hotel, dan restoran yang
diharapkan menjadi pendorong utama pertumbuhan
Tabel 2.1
Produk Domestik Bruto
Produk Domestik Bruto (riil) 0,8 0,8 4,9 4,9 3,3 3,3
Menurut Pengeluaran
Konsumsi 4,3 3,3 3,9 3,1 6,2 4,8 Konsumsi Rumah Tangga 4,6 3,2 3,6 2,6 5,9 4,2 Konsumsi Pemerintah 0,7 0,1 6,5 0,5 8,2 0,6Investasi1) -18,2 -4,5 21,9 4,4 4,0 0,9Ekspor Barang dan Jasa -31,8 -11,4 26,5 6,4 1,9 0,6Impor Barang dan Jasa -40,7 -14,3 21,1 4,4 8,1 1,9
Menurut Lapangan Usaha
Pertanian 2,2 0,4 1,7 0,3 0,6 0,1Pertambangan -1,6 -0,2 5,1 0,5 -0,6 -0,1
Industri Pengolahan 3,9 1,0 6,1 1,6 4,3 1,1Listik, Gas & Air Bersih 8,3 0,1 8,8 0,1 8,4 0,1
Bangunan -1,9 -0,1 5,5 0,3 4,0 0,2Perdagangan, Hotel & Restoran -0,1 0,0 5,6 0,9 5,1 0,8Pengangkutan & Telekomunikasi -0,8 -0,1 9,4 0,7 7,5 0,6Keuangan, Perusahaan Jasa -7,2 -0,5 4,3 0,3 3,0 0,2Jasa-jasa 1,9 0,2 2,2 0,2 2,0 0,2
1 9 9 9 2 0 0 0* 2 0 0 1**
J e n i sPertum-
buhan
Kontri-
busi
Pertum-
buhan
Kontri-
busi
Pertum-
buhan
Kontri-
busi
1) Investasi disini adalah pembentukan modal tetap domestik bruto
Sumber : BPS
Kondisi Ekonomi Makro
30
ekonomi, tidak mampu mendorong perekonomian
untuk tumbuh lebih tinggi terutama berkaitan dengan
berbagai kendala yang membatasi peningkatan
utilisasi di kedua sektor tersebut.
Kegiatan ekonomi yang melambat tersebut
pada gilirannya memberikan dampak yang kurang
menguntungkan bagi kondisi ketenagakerjaan.
Pertumbuhan angkatan kerja yang tinggi tidak dapat
diimbangi oleh penyediaan lapangan kerja secara
memadai. Memburuknya kondisi ketenagakerjaan
tersebut antara lain tercermin dari meningkatnya
angka pengangguran, maraknya aksi pemogokan dan
perselisihan buruh serta pemutusan hubungan kerja
(PHK).
PERMINTAAN AGREGAT
Pada awal 2001 perekonomian Indonesia
diperkirakan mengalami pertumbuhan yang cukup
tinggi yakni mencapai 4,5%–5,5%. Pertumbuhan
yang tinggi tersebut terutama diperkirakan akan
didukung oleh membaiknya kinerja ekspor, kegiatan
investasi, serta masih kuatnya pengeluaran konsumsi.
Perkiraan yang cukup optimis tersebut didasarkan
pada harapan bahwa beberapa permasalahan
penting di sisi internal, seperti restrukturisasi utang
dan perbankan akan mencatat perkembangan yang
membaik. Sementara itu, perkembangan di sisi
eksternal yang dicerminkan oleh kondisi pereko-
nomian global diperkirakan masih kondusif bagi
kegiatan sektor eksternal Indonesia.
Dalam perkembangannya, perkiraan yang
dilakukan di awal tahun tersebut tidak semuanya
sesuai dengan yang terjadi. Sejumlah persoalan
penting di dalam negeri seperti restrukturisasi kredit
dan sektor korporasi serta fungsi intermediasi
perbankan belum menunjukkan kemajuan yang
berarti. Kondisi ini diperberat oleh perkembangan per-
ekonomian dunia yang justru mengalami
perlambatan terutama sejak akhir triwulan I-2001 dan
diperparah oleh tragedi WTC 11 September 2001
yang memberikan dampak kurang menguntungkan
bagi perkembangan sektor eksternal perekonomian
Indonesia.
Sepanjang tahun laporan, pertumbuhan
ekonomi terutama bersumber dari kegiatan di dalam
negeri (domestic demand) yang dalam hal ini
didorong oleh meningkatnya pengeluaran konsumsi
yang cukup tinggi sebesar 6,2%, jauh lebih tinggi
dibandingkan tahun sebelumnya yang hanya tumbuh
sebesar 3,9%. Sementara itu, kinerja investasi dan
ekspor mencatat perlambatan yakni masing-masing
hanya tumbuh sebesar 4,0% dan 1,9%. Adanya
peningkatan permintaan terutama untuk pengeluaran
konsumsi yang tidak diimbangi oleh penambahan
investasi dan produksi secara memadai mengaki-
batkan memburuknya pembentukan stock perekono-
mian.
Pada 2001 konsumsi memberikan kontri-
busi terhadap laju pertumbuhan PDB sebesar 4,8%
jauh lebih tinggi dibandingkan tahun sebelumnya
sebesar 3,1%. Peningkatan kontribusi konsumsi ini
berkaitan dengan pertumbuhannya yang sangat
tinggi dan masih tingginya porsi konsumsi dalam
pembentukan PDB. Berdasarkan komponennya,
tingginya pengeluaran konsumsi terjadi baik di sektor
rumah tangga maupun sektor pemerintah, masing-
masing tumbuh sebesar 5,9% dan 8,2% dengan
kontribusi terhadap laju pertumbuhan PDB masing-
masing sebesar 4,2% dan 0,6% (Grafik 2.1).
Meskipun demikian, pertumbuhan pengeluaran
Kondisi Ekonomi Makro
31
konsumsi yang cukup tinggi tersebut masih berada
di bawah rata-rata pertumbuhan tahunannya yang
pada periode sebelum krisis sempat tumbuh di atas
7%. Peningkatan konsumsi rumah tangga bersumber
dari peningkatan pendapatan masyarakat dan
peningkatan fasilitas pembiayaan konsumen baik
yang bersumber dari perbankan maupun dari
lembaga pembiayaan lainnya. Peningkatan pen-
dapatan masyarakat berasal dari kenaikan upah
minimum dan pembayaran rapel kenaikan gaji PNS,
TNI, dan POLRI. Sementara itu, peningkatan fasilitas
pembiayaan konsumen tercermin dari masih tinggi-
nya pertumbuhan kredit konsumsi yang disalurkan
oleh sektor perbankan dan penggunaan kartu kredit
oleh konsumen.
Peningkatan pengeluaran konsumsi rumah
tangga tercermin dari berbagai indikator dan hasil
survei baik yang dilakukan oleh Bank Indonesia mau-
pun lembaga lain. Beberapa hasil survei yang ada
antara lain : Survei Penjualan Eceran, Survei Kon-
sumen, dan indikator penjualan kendaraan bermotor.
Survei Penjualan Eceran yang dilakukan Bank Indo-
nesia menunjukkan bahwa secara total, penjualan
masih meningkat dibandingkan tahun 2000 dengan
pertumbuhan tahunan rata-rata sebesar 25,8%
(Grafik 2.2). Berdasarkan survei ini, kenaikan pen-
jualan eceran terjadi di hampir seluruh kelompok
barang yang disurvei, kecuali untuk penjualan eceran
kelompok bahan bakar yang mencatat penurunan.
Peningkatan penjualan terutama disumbang oleh
peningkatan penjualan kelompok kerajinan seni dan
mainan, kelompok makanan, minuman, dan tem-
bakau, dan kelompok perlengkapan rumah tangga.
Hal ini sesuai dengan kecenderungan pengeluaran
konsumsi rumah tangga yang sebagian besar masih
disumbang oleh pengeluaran konsumsi bukan ma-
kanan. Peningkatan pengeluaran konsumsi bukan
makanan ini antara lain digunakan untuk membeli
barang tahan lama seperti sepeda motor yang dalam
tahun laporan juga menunjukkan penjualan yang
searah dengan peningkatan konsumsi tersebut. Da-
lam periode yang sama, sumbangan pengeluaran
konsumsi yang dialokasikan untuk makanan menca-
tat peningkatan yang cukup tajam dibandingkan
tahun lalu, walaupun sumbangannya masih di bawah
pengeluaran konsumsi bukan makanan (Grafik 2.3).
Grafik 2.2
Survei Penjualan Eceran
Grafik 2.1
Pertumbuhan Konsumsi Tahunan
Sumber : BPS
-16
-12
-8
-4
0
4
8
12
Konsumsi Total
Konsumsi Pemerintah
Konsumsi Rumah Tangga
Persen
1994 1995 1996 1997 1998 1999 2000* 2001**-100
-50
0
50
100
150
200Bahan konstruksi
Kendaraan & suku cadang
Makanan dan tembakauPakaian dan perlengkapannya
Indeks Total
Sep. Okt. Nov. Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov.
2 0 0 0 2 0 0 1
Indeks
Kondisi Ekonomi Makro
32
Dibandingkan perkembangan penjualan
sepeda motor tahun 2000 yang menunjukkan
perlambatan yang cukup tajam, penjualan kendaraan
bermotor khususnya pada sembilan bulan pertama
tahun laporan mulai menunjukkan kecenderungan
yang meningkat. Peningkatan penjualan sepeda
motor ini didorong oleh masuknya sepeda motor
buatan Cina dengan harga yang relatif murah dan
disertai oleh kemudahan dari segi fasilitas pembia-
yaannya (Grafik 2.4). Sementara itu, penjualan sedan
dan van dalam tahun 2001 masih tetap tinggi,
meskipun jumlah unit kendaraan yang terjual secara
total lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya
(Grafik 2.5).
Sejumlah hasil survei yang dilakukan oleh
lembaga lain berkaitan dengan indikator pengeluaran
konsumsi seperti Survei Tendensi Konsumen (STK)
yang dilakukan Badan Pusat Statistik (BPS) dan
Survei Consumer Confidence Index (CCI) yang
dilakukan oleh Danareksa Research Institute (DRI)
juga mengindikasikan adanya peningkatan konsumsi.
Hasil STK mengindikasikan adanya peningkatan
optimisme konsumen terhadap kondisi perekonomian
yang pada gilirannya memberikan dorongan pada
pengeluaran konsumsi masyarakat. Sejalan dengan
hal itu, hasil CCI juga mengindikasikan terjadinya
peningkatan kepercayaan konsumen terutama pada
paro kedua 2001 yang didorong oleh harapan akan
adanya perbaikan kondisi perekonomian pada era
pemerintahan yang baru.
Peningkatan pengeluaran konsumsi rumah
tangga juga tercermin dari peningkatan pembiayaan
Grafik 2.5
Grafik Penjualan Sedan dan Van
Grafik 2.3
Sumbangan Pengeluaran Konsumsi
Menurut Kelompok
Grafik 2.4
Penjualan Sepeda Motor
Sumber : BPS Sumber : GAIKINDO
Sumber : GAIKINDO
U n i t Persen
-
50.000
100.000
150.000
200.000
250.000
300.000
350.000
400.000
450.000
500.000
2 0 0 0 2 0 0 1
0
20
40
60
80
100
120Penjualan Sepeda Motor
Pertumbuhan Penjualan Sepeda Motor (y-o-y)
I II III IV I II III IV
IV
2 0 0 0 2 0 0 1
0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
80.000
90.000
I II III IV I II III-100
0
100
200
300
400
500
600Penjualan Sedan & Van Pertumbuhan Penjualan Sedan & Van (y-o-y)
U n i t Persen
Sumbangan Pertumbuhan Bukan Makanan
0,0
1,0
2,0
3,0
4,0
5,0
6,0
7,0
8,0
0
20
40
60
80
100
120
I II III IV I II III IV
Sumbangan Pertumbuhan Makanan
Pertumbuhan Penjualan Motor (aksis kanan)
2 0 0 0* 2 0 0 1**
Persen Persen
Kondisi Ekonomi Makro
33
J e n i s 1998 1999 2000 2001
untuk pengeluaran yang bersifat konsumtif, baik yang
bersumber dari sektor perbankan seperti penyaluran
kredit konsumsi, maupun dari perusahaan pem-
biayaan seperti kartu kredit dan pembiayaan kon-
sumen. Dalam tahun 2001, pertumbuhan tahunan
kredit konsumsi mencapai 45,7% dan menunjukkan
kecenderungan yang meningkat terutama pada
semester I-2001 (Grafik 2.6). Sementara itu,
pemakaian kartu kredit sebagai sarana transaksi oleh
masyarakat semakin meluas sebagaimana tercermin
dari jumlah pemegang kartu kredit dalam tahun 2001
yang meningkat sebesar 31,8% dan volume transaksi
kartu kredit yang tumbuh sebesar 41,4%. Pemakaian
kartu debit sebagai sarana transaksi juga
menunjukkan kecenderungan yang meningkat
meskipun tidak setinggi pertumbuhan penggunaan
kartu kredit. Jumlah pemegang kartu debit meningkat
sebesar 3,7% dengan volume transaksi yang
meningkat sebesar 42,2% (Tabel 2.2). Indikator
kegiatan konsumsi lainnya seperti pembiayaan
konsumen juga tumbuh sangat tinggi terutama pada
awal tahun dan pada November 2001 mencatat
pertumbuhan tahunan sebesar 58,0%. Meskipun
demikian, sejalan dengan perkembangan suku bunga
yang cenderung meningkat, perkembangan pem-
biayaan untuk kegiatan konsumsi tersebut menun-
jukkan kecenderungan melambat terutama sejak awal
triwulan II–2001 (Grafik 2.7).
Sementara itu, indikator konsumsi lainnya
seperti hasil Survei Konsumen oleh Bank Indonesia
juga menunjukkan adanya indikasi peningkatan
pengeluaran konsumsi rumah tangga seiring dengan
membaiknya keyakinan konsumen. Hal ini terutama
didorong oleh membaiknya ekspektasi konsumen
pada saat pergantian kepemimpinan nasional. Selain
itu, peningkatan keyakinan konsumen tersebut juga
Tabel 2.2
Perkembangan Alat Pembayaran Berbasis Kartu
1. Kartu KreditJumlah Pemegang (ribu orang) 2.028,4 2.043,8 2.622,6 3.457,2Volume Transaksi (triliun Rp) 4,9 10,4 13,6 19,2
2. Kartu DebitJumlah Pemegang (ribu orang) 5.374,4 12.111,0 13.103,7 13.587,5Volume Transaksi (triliun Rp) 2,6 3,2 4,7 6,7
Grafik 2.7
Perkembangan Pembiayaan Konsumen
0
2
4
6
8
10
12
14
2000
-20
0
20
40
60
80
100
Persen
Pembiayaan Konsumen
Pertumbuhan Tahunan
Triliun rupiah
Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.
2001
Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.
120
Grafik 2.6
Perkembangan Kredit Konsumsi
0
10
20
30
40
50
60
70
Triliun rupiah
-40
-20
0
20
40
60
80Kredit Konsumsi
Pertumbuhan Tahunan
Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.
2 0 0 0 2 0 0 1
Persen
Kondisi Ekonomi Makro
34
didasari oleh membaiknya kondisi keuangan res-
ponden saat itu dibandingkan periode sebelumnya.
Tingginya konsumsi ini juga dipengaruhi oleh tetap
optimisnya para responden Survei Konsumen akan
adanya peningkatan penghasilan, baik penghasilan-
nya saat ini maupun untuk 6-12 bulan yang akan
datang. Secara keseluruhan, optimisme konsumen
tercermin dari perkembangan indeks keyakinan kon-
sumen yang meningkat sejak awal tahun dan men-
capai indeks tertinggi pada Agustus sejalan dengan
optimisme akan membaiknya kondisi perekonomian
pada era pemerintahan yang baru, namun optimisme
konsumen tersebut tidak bertahan lama dan terus
menurun sampai akhir tahun meski sempat sedikit
membaik pada akhir tahun (Grafik 2.8).
Selain itu, masih kuatnya kegiatan konsumsi
tersebut juga tercermin dari perkembangan uang
kartal di masyarakat yang terus mengalami pening-
katan. Masih tingginya permintaan uang kartal oleh
masyarakat antara lain mengindikasikan masih ting-
ginya kebutuhan uang untuk kegiatan transaksi di-
mana sebagian diantaranya adalah untuk membiayai
pengeluaran konsumsi.
Apabila ditinjau dari asal barangnya, pening-
katan konsumsi tersebut tidak saja dipenuhi dari
produksi barang di dalam negeri, namun juga dari
impor. Hal ini dicerminkan oleh perkembangan impor
barang konsumsi dalam tahun laporan yang masih
mencatat peningkatan dibandingkan tahun lalu. Impor
barang konsumsi mengalami peningkatan yang pesat
pada paro pertama 2001 walaupun pada akhir periode
laporan cenderung mengalami perlambatan. Pening-
katan konsumsi barang impor pada awal tahun di-
tengarai antara lain oleh motif berjaga-jaga terhadap
kemungkinan terus terdepresiasinya nilai rupiah
sehubungan dengan meningkatnya ketidakpastian
menjelang pergantian kepemimpinan nasional. Jika
dilihat dari jenis barang yang diimpor, peningkatan
tertinggi terjadi pada jenis barang konsumsi tidak
tahan lama yang tumbuh sebesar 21,9%. Sementara
itu, impor barang konsumsi bahan makanan dan
minuman, dan barang konsumsi makanan, dan minu-
man (rumah tangga) masing-masing tumbuh sebesar
3,4% dan 0,2% (Grafik 2.9).
Perkembangan berbagai indikator pengeluar-
an konsumsi tersebut di atas mencerminkan bahwa
Grafik 2.8
Survei Konsumen
Grafik 2.9
Perkembangan Impor Barang Konsumsi
40
60
80
100
120
140
Indeks
2 0 0 1
Indeks Kondisi Ekonomi Saat Ini
Indeks Ekspektasi Konsumen
Indeks Keyakinan Konsumen
Apr. Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. DesMei0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
I II III IV I II III IV I II III IV1999 2000* 2001**
0
100
200
300
400
500
600
700
800Barang konsumsiBahan makanan & minumanMakanan & minuman (rumah tangga)Barang konsumsi tidak tahan lama
Juta USD Juta USD
Kondisi Ekonomi Makro
35
kegiatan konsumsi yang meningkat cukup tinggi pada
tahun laporan terutama terjadi pada periode awal
tahun yang kemudian cenderung melambat pada
paro kedua 2001. Perkembangan ini dicerminkan oleh
pola pertumbuhan tahunan kredit konsumsi dan
pembiayaan konsumen yang tinggi pada awal tahun
dan kemudian melambat pada akhir tahun.
Seperti halnya pengeluaran konsumsi rumah
tangga yang meningkat pesat, pengeluaran kon-
sumsi pemerintah dalam PDB pada tahun laporan
juga meningkat, yaitu sebesar 8,2% dibandingkan
tahun sebelumnya sebesar 6,5%. Peningkatan kon-
sumsi pemerintah ini ditengarai terkait dengan pelak-
sanaan otonomi daerah dimana sebagian besar
pengeluaran pemerintah daerah dialokasikan untuk
belanja pegawai dan belanja barang. Peningkatan
pengeluaran konsumsi pemerintah daerah lebih
besar daripada penurunan konsumsi pemerintah pu-
sat sehingga secara keseluruhan konsumsi peme-
rintah pada tahun laporan masih mengalami pe-
ningkatan.
Investasi merupakan penyumbang kedua
terhadap pertumbuhan ekonomi 2001.1 Pertumbuhan
investasi pada tahun laporan mencapai 4,0% dengan
sumbangan terhadap laju pertumbuhan PDB sebesar
0,9%, jauh lebih rendah apabila dibandingkan pertum-
buhannya pada tahun lalu yang mencapai 21,9%.
Rendahnya kegiatan investasi dalam tahun laporan
terutama disebabkan oleh sejumlah faktor seperti
meningkatnya faktor ketidakpastian, gangguan
keamanan, dan ketidakpastian penegakan hukum.
Selain itu, rendahnya kegiatan investasi juga di-
pengaruhi oleh fungsi intermediasi perbankan yang
belum sepenuhnya pulih, adanya peraturan daerah
yang kurang kondusif bagi kegiatan investasi berkaitan
dengan pelaksanaan otonomi daerah, sentimen negatif
berkaitan dengan sempat tertundanya pencairan
pinjaman International Monetary Fund (IMF), relatif
tingginya suku bunga di dalam negeri, dan lambatnya
restrukturisasi utang luar negeri. Sebagai akibatnya,
perusahaan cenderung untuk lebih memfokuskan diri
pada pembenahan internal, sehingga realisasi
investasi baru maupun perluasan kapasitas produksi
pada investasi yang telah ada menjadi sangat rendah.
(Boks : Penghitungan Stok Kapital dengan Metode Per-
petual Inventory).
Secara umum, melambatnya kegiatan inves-
tasi ini tercermin dari rendahnya realisasi investasi
baru —baik yang dilakukan asing maupun domestik—
dan menurunnya impor terutama yang terkait dengan
kebutuhan dunia usaha seperti bahan baku dan
barang modal. Dalam periode Januari-Oktober 2001,
nilai impor bahan baku dan barang modal mengalami
penurunan masing-masing sebesar 8,4% dan 10,3%
dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.
Sementara itu, selama tahun laporan, realisasi inves-
tasi dalam bentuk Penanaman Modal Asing (PMA)
baru mencapai 0,6% dari total nilai persetujuannya.
Seperti halnya PMA, realisasi investasi Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) juga sangat rendah
yakni hanya mencapai 0,2% dari total persetujuan
investasi (Tabel 2.3) . Apabila dilihat dari persetujuan
investasi, nilai investasi pada subsektor industri kimia
merupakan yang terbesar baik untuk PMA maupun
PMDN. Berdasarkan persetujuan lokasinya, nilai
investasi PMA terbesar berlokasi di Jawa Timur dan
Riau, sedangkan untuk PMDN berlokasi di Riau dan
Sulawesi Selatan.1 Investasi disini adalah Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto
dalam PDB
Kondisi Ekonomi Makro
36
Grafik 2.11
Penjualan Truk
Tabel 2.3
Rasio Realisasi terhadap
Persetujuan PMA dan PMDN
1999 2000 2001
Penanaman Modal Dalam Negeri
1. Rencana Investasi yang disetujui– Jumlah Proyek 228 355 249– Nilai (dalam miliar Rupiah) 53.168 92.410 58.673
2. Realisasi Investasi– Jumlah Proyek 29 22 5– Nilai (dalam miliar Rupiah) 1.741 1.031 95
3. Rasio Realisasi terhadap Rencana (%)– Jumlah Proyek 12,7 6,2 2,0– Nilai 3,3 1,1 0,2
Penanaman Modal Asing
1. Rencana Investasi yang disetujui– Jumlah Proyek 1.174 1.521 1,317– Nilai (dalam miliar Rupiah) 10.892 15.420 9.028
2. Realisasi Investasi– Jumlah Proyek 214 96 15– Nilai (dalam miliar Rupiah) 1.285 897 53
3. Rasio Realisasi terhadap Rencana (%)– Jumlah Proyek 18,2 6,3 1,1– Nilai 11,8 5,8 0,6
Sumber : BKPM
Sumber : GAIKINDO
Indikator kegiatan investasi lainnya juga
memberikan indikasi pertumbuhan investasi yang
rendah seperti ditunjukkan oleh hasil Survei Kegiatan
Dunia Usaha (SKDU) yang dilakukan oleh Bank In-
donesia maupun Survei Tendensi Bisnis (STB) yang
dilakukan BPS. Hasil SKDU menunjukkan bahwa
jumlah responden yang melakukan investasi cende-
rung mengalami penurunan walaupun sempat sedikit
meningkat pada akhir tahun laporan (Grafik 2.10).
Sejalan dengan hasil SKDU, hasil STB menunjukkan
bahwa optimisme pengusaha terhadap kondisi
perusahaan dan bisnis semakin menurun.
Selain berdasarkan hasil survei, perlambatan
kegiatan investasi juga diindikasikan oleh sejumlah
indikator dini (prompt indicator) investasi seperti
penjualan truk dan produksi semen. Penjualan truk
maupun produksi semen meskipun masih tumbuh
positif, tetapi perkembangannya menunjukkan kecen-
derungan yang melambat menjelang akhir tahun
(Grafik 2.11 dan Grafik 2.12). Pertumbuhan penjualan
truk pada dasarnya telah mengalami perlambatan
pertumbuhan yang cukup tajam sejak pertengahan
2000 dan terus berlanjut di tahun laporan sehingga
pada akhir Triwulan IV-2001 mencatat penurunan
sebesar 8,1%. Sementara itu, pertumbuhan produksi
semen mulai melambat sejak triwulan II-2001 dan
secara kumulatif pada 11 bulan tumbuh sebesar 12%,
Grafik 2.10
Investasi dalam Survei Kegiatan Dunia Usaha
1999 2000
2001
I II III IV I II III IV I II III IV
10
15
20
25
30
35
Realisasi Investasi Perkiraan Investasi 1 Triwulan ke Depan
% Jumlah Responden
1
2000
2 0 0 0 2 0 0 1
-50
0
50
100
150
200
250
U n i t
I II III IV I II III IV0
2000
4000
6000
8000
10000
12000
14000
Persen
Penjualan Truk
Pertumbuhan Penjualan Truk (y-o-y)
Kondisi Ekonomi Makro
37
Triliun rupiah Triliun rupiah
Investasi Modal kerja Konsumsi (aksis kanan)
–
50
100
150
200
250
300
350
–
10
20
30
40
50
60
70
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1
lebih rendah dibandingkan pertumbuhan pada
periode yang sama tahun lalu sebesar 17%. Perkem-
bangan produksi semen tersebut sejalan dengan
perkembangan investasi bangunan yang dalam tahun
laporan mengalami penurunan yang cukup besar
dibandingkan tahun sebelumnya (Grafik 2.13).
Rendahnya pertumbuhan investasi tersebut
antara lain disebabkan oleh fungsi intermediasi per-
bankan yang belum pulih sepenuhnya sehingga
alokasi dana untuk kegiatan investasi terutama yang
bersumber dari dalam negeri masih terbatas (Grafik
2.14). Hal ini tercermin dari masih dominannya porto-
folio surat-surat berharga seperti obligasi dan SBI da-
lam aset perbankan. Pembiayaan investasi dalam
tahun laporan terutama masih bersumber dari dana
sendiri yang menunjukkan peningkatan meskipun
dalam jumlah yang terbatas. Berdasarkan survei yang
dilakukan oleh Bank Indonesia ditengarai terjadi
peningkatan penggunaan dana sendiri oleh
perusahaan dari sekitar 40% menjadi 60% dari total
pembiayaan usahanya.2
Kondisi tersebut di atas menyebabkan
potensi sumber pembiayaan dari dalam negeri tidak
dapat disalurkan ke dalam bentuk investasi di sektor
riil. Hal ini tercermin dari masih besarnya surplus
kesenjangan tabungan-investasi walaupun sedikit
menurun dibandingkan tahun lalu. Nisbah surplus
kesenjangan tabungan-investasi terhadap PDB
dalam tahun laporan mencapai 3,4%, lebih rendah
dibandingkan tahun lalu yang mencapai 5,2% (Tabel
2.4). Penurunan surplus ini terutama disebabkan
2 Penelitian Credit Crunch, Bagian Studi Pengembangan Pasar
Keuangan, Bank Indonesia, 2001.
Grafik 2.12
Perkembangan Produksi Semen
Sumber : Asosiasi Semen Indonesia
1 3 5 7 9 111 3 5 7 9 11
Ribu ton
1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1
0
500
1.000
1.500
2.000
2.500
3.000
3.500
-30
0
30
60
90Tingkat Produksi Semen
Pertumbuhan Produksi Semen
Persen
1 3 5 7 9 11
Grafik 2.13
Pertumbuhan Investasi Berdasarkan Jenis
Sumber : BPS
I II III IV I II III IV I II III IV-200
-150
-100
-50
0
50
100
150
200
1999 2000* 2001**
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
Investasi (aksis kanan)
Mesin & Perlengkapan
Alat Angkutan
Bangunan (aksis kanan)
Persen Persen
Grafik 2.14
Kredit Perbankan Menurut Penggunaan
Kondisi Ekonomi Makro
38
I II III IVI II III IVI II III IV-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
1 9 9 9
Persen
2 0 0 0 * 2 0 0 1 * *
PemerintahTabungan 48,0 62,9 36,1 6,6Investasi 49,8 74,2 64,4 61,3Defisit/Surplus –1,8 –11,2 –28,3 –54,7
SwastaTabungan 236,4 222,9 344,9 406,9Investasi 193,3 166,1 249,5 300,9Defisit/Surplus 43,1 56,8 95,4 106,0
TotalTabungan 284,4 285,9 381,0 413,5Investasi 243,0 240,3 313,9 362,2Defisit/Surplus 41,4 45,5 67,1 51,3
Rasio Terhadap PDB
PemerintahTabungan 5,0 5,7 2,8 0,4Investasi 5,2 6,7 5,0 4,2Defisit/Surplus –0,2 –1,0 –2,2 –3,7
SwastaTabungan 24,7 20,1 26,7 27,6Investasi 20,2 15,0 19,3 20,4Defisit/Surplus 4,5 5,1 7,4 7,2
TotalTabungan 29,8 25,8 29,5 28,0Investasi 25,4 21,7 24,3 24,6Defisit/Surplus 4,3 4,1 5,3 3,4
Produk Domestik Bruto (triliun Rp) 955,8 1.110,0 1.282,0 1.476,21)
Transaksi Berjalan (miliar $) 4,1 5,8 8,0 5,0Nilai Tukar (Rp/$) 1.008,8 7.850 8.438 10.255
1) PDB harga berlaku menggunakan asumsi yang digunakan dalam APBNP 2001
1998 1999 2000 2001
Harga Berlaku
Tabel 2.4
Kesenjangan Tabungan - Investasi
oleh peningkatan defisit di sektor pemerintah. Defisit
di sektor pemerintah tersebut terutama disebabkan
oleh menurunnya tabungan pemerintah akibat
peningkatan yang tajam pada alokasi pengeluaran
rutin khususnya untuk subsidi dan pembayaran
bunga.
Penyumbang terkecil dalam pembentukan
PDB dalam tahun laporan adalah ekspor barang dan
jasa yang mencatat pertumbuhan sebesar 1,9%,
dengan sumbangan terhadap laju pertumbuhan PDB
sebesar 0,6%. Meskipun demikian, angka pertum-
buhan ini jauh lebih rendah dibandingkan dengan
tahun lalu yang mencapai 26,1% (Grafik 2.15).
Melambatnya kinerja ekspor disebabkan oleh bebe-
rapa faktor baik yang disebabkan oleh hambatan di
sisi produksi barang ekspor maupun gangguan
permintaan terhadap barang ekspor oleh pihak luar
negeri. Dari dalam negeri, melambatnya kegiatan
ekspor terutama disebabkan oleh meningkatnya faktor
ketidakpastian dan gangguan keamanan yang pada
gilirannya mengganggu kegiatan produksi barang
ekspor. Hal ini antara lain terjadi pada kasus Exxon
Mobil Oil di Arun dan kasus pertambangan Caltex di
Pekanbaru. Meningkatnya ketidakpastian dan gang-
guan keamanan tersebut antara lain terkait dengan
memanasnya kondisi sosial politik terutama menjelang
pergantian kepemimpinan nasional, kerusuhan antar
etnis dan kerusuhan yang terkait dengan isu pemi-
sahan wilayah. Selain itu, maraknya aksi demonstrasi
dan kasus pemogokan buruh yang terjadi pada
beberapa industri barang ekspor penting seperti tekstil
dan alas kaki ikut memperburuk kinerja ekspor.
Dari luar negeri, memburuknya kinerja ekspor
terutama dipengaruhi oleh pertumbuhan ekonomi dunia
Grafik 2.15
Pertumbuhan Ekspor Barang
dan Jasa Dalam PDB
Sumber : BPS
Kondisi Ekonomi Makro
39
PDB
Jasa-jasa
Bank & LbgKeuangan
Pengangkutan
Perdagangan
Bangunan
Listik, Gas & AirBersih
Industri Pengolahan
Pertambangan
Pertanian
0,0 0,2 0,4 0,6 0,8 0,10
2000*2001**
-2,0
yang melambat termasuk di negara-negara yang
merupakan mitra dagang utama Indonesia seperti
Amerika Serikat dan Jepang. Pada awal 2001, pereko-
nomian Amerika Serikat dan Jepang diperkirakan
tumbuh masing-masing sebesar 4,1% dan 2,2%.
Dalam perkembangannya, Amerika Serikat justru
mengalami pertumbuhan yang melambat bahkan sejak
akhir triwulan III-2001 telah memasuki resesi.3 Semen-
tara itu, perekonomian Jepang masih mengalami
kontraksi. Perkembangan ekonomi yang memburuk di
dua negara tersebut selanjutnya menyebabkan
melambatnya perekonomian dunia. Kondisi pereko-
nomian global yang memburuk tersebut diikuti oleh
perkembangan harga barang-barang di pasar inter-
nasional yang secara umum mengalami penurunan.
Kombinasi kedua hal tersebut pada gilirannya telah
berdampak kurang menguntungkan bagi pertumbuhan
ekspor Indonesia.
Sejalan dengan melambatnya kegiatan
ekspor, kegiatan impor juga mencatat perlambatan
yang cukup tajam, walaupun sempat meningkat pada
awal tahun laporan. Impor barang dan jasa mencatat
pertumbuhan 8,1%, jauh lebih rendah apabila diban-
dingkan dengan pertumbuhan tahun lalu sebesar
21,1%. Melambatnya kegiatan impor tersebut
ditengarai sejalan dengan melambatnya kegiatan
investasi dan terganggunya proses restrukturisasi dan
revitalisasi industri di dalam negeri. Impor bahan baku
dan barang modal yang umumnya digunakan untuk
mendukung kegiatan investasi dan produksi menga-
lami penurunan yang cukup besar yakni masing-
masing sebesar 8,5%dan 10,2%. Selain itu, lebih
rendahnya pertumbuhan impor tersebut antara lain
juga dipengaruhi oleh perkembangan nilai tukar rupiah
yang terdepresiasi dan berfluktuasi cukup tajam
dalam tahun 2001.4 Perkembangan nilai tukar yang
demikian menyebabkan harga barang impor menjadi
relatif lebih mahal dalam satuan rupiah. Kondisi ini
diperberat pula oleh belum normalnya fungsi
intermediasi perbankan yang mengakibatkan
pembiayaan dunia usaha sangat terbatas termasuk
pembiayaan dalam rangka pembelian impor barang
yang digunakan dalam kegiatan usaha.
PENAWARAN AGREGAT
Di lihat dari sisi produksi, perekonomian
Indonesia memperlihatkan perlambatan pertumbuhan
pada hampir seluruh sektor perekonomian, kecuali
sektor pertambangan dan penggalian yang me-
ngalami kontraksi (Grafik 2.16). Lambatnya kegiatan
di sisi produksi tidak terlepas dari sejumlah per-
masalahan yang masih membebani perekonomian
seperti masih tingginya ketidakpastian di bidang
sosial, politik, keamanan, dan hukum; lambatnya
3 The National Bureau for Economic Research (NBER) mem-
perkirakan bahwa perekonomian Amerika Serikat telah memasuki
masa resesi sejak Maret 2001.
4 Secara keseluruhan depresiasi nilai tukar rupiah terhadap dolar AS
tahun 2001 mencapai 17,7%.
Grafik 2.16
Pertumbuhan PDB dari Sisi Penawaran
Sumber : BPS
Kondisi Ekonomi Makro
40
85
90
95
100
105
110
115
PDB Aktual
PDB Potensial
Triliun rupiah
1996 1997 1998 1999 2000 2001
I III I III I III I III I III I III
40
60
80
100
120
140
160
180
200
Triliun rupiah
- -
5
10
15
20
25
30
35
40
45Perindustrian
Perdagangan
Jasa-jasa
Pertanian (aksis kanan)
Pertambangan (aksis kanan)
Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt. Jan. Apr. Jul. Okt.
20
1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1
Penawaran Jangka Pendek
Dari sisi penawaran, perlambatan pertum-
buhan terjadi pada hampir semua sektor ekonomi.
Meski melambat, seluruh sektor tersebut masih tetap
mencatat pertumbuhan yang positif. Seperti halnya
dengan tahun lalu, sektor industri pengolahan, sektor
perdagangan, dan sektor pengangkutan yang mem-
punyai pangsa sekitar 50% dari total PDB masih
merupakan penyumbang terbesar pada pertumbuhan
PDB. Sementara itu, sektor pertanian dan perkebunan
yang mempunyai pangsa terbesar kedua setelah
sektor industri pengolahan dan sempat menjadi
primadona pada awal krisis hanya mengalami pertum-
buhan kurang dari 1%. Pertumbuhan sektor pertanian
ini merupakan pertumbuhan terendah yang pernah
terjadi sejak periode krisis 1998 yang lalu.
Sebagaimana telah diutarakan pada bagian
sebelumnya, masih besarnya permasalahan yang
dihadapi perekonomian Indonesia menyebabkan upaya
untuk meningkatkan kapasitas perkonomian secara
keseluruhan menjadi terhambat. Momentum peralihan
proses restrukturisasi utang luar negeri, kredit, dan
perusahaan; kondisi perekonomian dunia yang
kurang menguntungkan; serta relatif rendahnya
realisasi kredit yang berasal dari sektor perbankan
(Grafik 2.17).
Meski melambat, hampir seluruh sektor
dalam perhitungan PDB memberikan pertumbuhan
nilai tambah yang positif. Sektor industri diikuti oleh
sektor perdagangan dan sektor pengangkutan masih
merupakan sektor yang memberikan sumbangan
terbesar. Sementara itu, sektor pertanian mencatat
angka pertumbuhan terendah sejak 1998.
Perlambatan pertumbuhan ekonomi yang
dibarengi oleh rendahnya pertumbuhan investasi baik
yang berasal dari investasi baru maupun ekspansi
kegiatan usaha yang ada, mengakibatkan pening-
katan output potensial perekonomian menjadi ter-
batas. Sementara itu, perkembangan output aktual
yang cenderung lebih pesat pada dua tahun terakhir
menyebabkan kesenjangan output (output gap)
semakin menyempit (narrowing gap) yang pada
gilirannya memberikan tekanan terhadap perkem-
bangan harga-harga (Grafik 2.18).55 Kesenjangan output merupakan selisih antara output aktual dan
output potensial. Output potensial diukur dengan metode HP filter.
Grafik 2.17
Kredit Perbankan Menurut Sektor Ekonomi
Grafik 2.18
Kesenjangan Output Agregat
Kondisi Ekonomi Makro
41
kepemimpinan nasional pada semester kedua tahun
laporan yang sempat menimbulkan optimisme positif
akan membaiknya kondisi perekonomian belum dapat
dimanfaatkan dengan baik. Selain itu, pelaksanaan
otonomi daerah juga menimbulkan sejumlah permasa-
lahan baru antara lain berupa ekonomi biaya tinggi yang
menghambat iklim berusaha. Permasalahan penting
lainnya yang terkait dengan otonomi daerah adalah
memburuknya koordinasi kebijakan, khususnya yang
terkait dengan bidang ekonomi antara pemerintah pusat
dengan pemerintah daerah maupun antar pemerintah
daerah sendiri. Berbagai permasalahan tersebut pada
akhirnya menyebabkan banyak investor menunda
realisasi investasinya.
Dari sisi eksternal, perkembangan ekonomi
di luar negeri juga tidak banyak memberikan sum-
bangan positif bagi perkembangan kegiatan ekonomi
di dalam negeri. Perlambatan perekonomian dunia
yang telah terjadi pada awal tahun laporan semakin
diperparah oleh tragedi WTC. Selain itu, dampak
lanjutan pasca tragedi tersebut menyebabkan menu-
runnya bisnis sektor pariwisata dunia yang pada gili-
rannya mempengaruhi kegiatan usaha di sektor
perdagangan, hotel dan restoran. Bersamaan dengan
itu, perkembangan harga-harga secara umum di
pasar dunia yang cenderung menurun —termasuk
untuk komoditas pertanian dan pertambangan—
memberikan dampak yang kurang menguntungkan
bagi perkembangan sektor pertanian dan sektor
pertambangan.
Berbagai permasalahan tersebut di atas,
menyebabkan rendahnya aliran masuk modal asing
ke Indonesia, sementara alternatif pembiayaan dari
dalam negeri belum dapat diharapkan. Pada giliran-
nya, kondisi ini menyebabkan ekspansi kapasitas
perekonomian menjadi sangat terbatas, bahkan
terdapat indikasi beberapa sektor ekonomi mengalami
kemunduran.
Dalam tiga tahun terakhir, sektor industri
pengolahan selalu menjadi penyumbang terbesar
pada pertumbuhan ekonomi. Pada 2001, pertum-
buhan nilai tambah sektor ini tercatat sebesar 4,3%,
dengan sumbangan terhadap laju pertumbuhan PDB
sebesar 1,1%. Pertumbuhan pada sektor industri ini
terutama masih didorong oleh peningkatan yang
cukup tinggi pada nilai tambah industri nonmigas.
Kegiatan yang memberikan kontribusi terhadap
pertumbuhan nilai tambah sektor industri tanpa
migas ini adalah subsektor makanan, minuman, dan
tembakau, subsektor alat angkutan mesin dan
peralatannya, dan subsektor kimia dan barang dari
karet. Namun demikian, dalam tahun laporan ter-
dapat sejumlah permasalahan yang menyebabkan
lebih rendahnya pertumbuhan kegiatan usaha di
sektor ini dibandingkan tahun lalu. Permasalahan
utama bagi perkembangan sektor industri pengo-
lahan ini adalah terbatasnya pembiayaan kegiatan
usaha. Hal ini antara lain tercermin dari relatif kecil-
nya peningkatan kredit investasi. Dalam kondisi
dimana ketidakpastian iklim usaha masih tinggi,
aliran investasi asing masih sulit diharapkan. Kondisi
ini diperburuk oleh adanya sejumlah investor yang
mengalihkan usahanya ke negara lain yang lebih
menjanjikan seperti Cina dan Vietnam.
Selain masalah terbatasnya pembiayaan
kegiatan usaha, permasalahan di sektor industri di-
perberat oleh dampak kebijakan pemerintah menye-
suaikan harga dan tarif. Kebijakan tersebut menye-
babkan biaya produksi menjadi semakin tinggi yang
menyulitkan bagi para pengusaha untuk mengem-
Kondisi Ekonomi Makro
42
bangkan usahanya. Dari sisi biaya produksi, kenaikan
biaya produksi terutama berasal dari penyesuaian
harga bahan bakar minyak (BBM) dan tarif dasar listrik
(TDL) yang mengharuskan sektor ini melakukan
penyesuaian yang cukup besar dengan dijadikannya
harga BBM di pasar internasional sebagai dasar pene-
tapan harga BBM industri dalam negeri. Selain itu,
kelesuan yang dialami perekonomian dunia sangat
memukul sektor industri yang berorientasi ekspor.
Masalah peraturan perdagangan juga turut memper-
sulit ruang gerak bagi produk ekspor Indonesia,
terutama penerapan trade barrier, seperti peraturan
anti dumping dan masalah hak asasi manusia (HAM)
yang diberlakukan oleh negara mitra dagang.
Berbagai hal tersebut di atas, pada gilirannya
ikut melemahkan daya saing produk ekspor Indone-
sia sehingga produksi barang yang terjadi pada tahun
laporan menjadi lebih difokuskan ke pasar dalam
negeri. Hal lain yang turut menghambat perdagangan
ekspor Indonesia adalah peraturan pemerintah se-
perti larangan impor kulit mentah. Di satu sisi, lara-
ngan impor kulit ini dimaksudkan untuk mencegah
penularan wabah penyakit mulut dan kuku masuk ke
Indonesia. Namun di sisi lain, larangan impor ini
kurang mendukung kegiatan industri perajin kulit.
Guna mengatasi berbagai kendala dan
perkembangan yang kurang menguntungkan tersebut
di atas, pemerintah melakukan berbagai upaya yang
diarahkan untuk memacu pertumbuhan sektor industri
pengolahan. Upaya yang telah dilakukan antara lain
dengan membebaskan impor alat berat dan kom-
puter bekas untuk memenuhi kebutuhan barang
modal yang murah bagi kegiatan industri di dalam
negeri. Langkah lain adalah mencabut larangan impor
barang cetak dalam huruf/aksara Cina dalam rangka
menarik investor dari Cina Taiwan, Hong Kong dan
Singapura. Pemerintah juga menerapkan bea masuk
anti dumping (BMAD) terhadap produk terigu impor
sebesar 15%-30% untuk menjaga daya saing industri
dalam negeri. Selain itu, dalam rangka mendorong
pengembangan industri mesin dalam negeri, peme-
rintah juga memberikan keringanan bea masuk atas
impor bahan baku/penolong dan komponen untuk
perakitan mesin dan motor berputar. Namun demi-
kian, berbagai upaya tersebut belum berhasil sepe-
nuhnya mengatasi perlambatan pertumbuhan sektor
industri pengolahan.
Sektor perdagangan, hotel, dan restoran
tetap menjadi salah satu ujung tombak pertumbuhan
ekonomi. Pertumbuhan sektor ini meningkat cukup
signifikan sebesar 5,1% sejalan dengan terus
meningkatnya permintaan konsumsi, khususnya
untuk bahan makanan dan barang-barang ritel. Relatif
tingginya pertumbuhan sektor ini terutama berasal
dari perdagangan domestik yang tercermin dari ting-
ginya ekspansi kegiatan perdagangan di sektor ritel
dan maraknya pembukaan gerai pusat perdagangan
ritel di sejumlah kota besar di Indonesia. Tumbuhnya
subsektor perdagangan juga terjadi seiring dengan
meningkatnya fasilitas pembiayaan konsumen seperti
kredit konsumsi yang dapat dimanfaatkan oleh sektor
rumah tangga. Selain itu, meningkatnya subsektor ini
juga tercermin dari hasil survei properti yang menun-
jukkan adanya peningkatan jumlah hunian di pusat
perdagangan, khususnya untuk usaha ritel.
Sementara itu, perkembangan di subsektor
hotel menunjukkan penurunan yang cukup tajam
terutama pada pasca tragedi WTC. Hal ini tercermin
dari hasil survei properti yang mengindikasikan ta-
jamnya penurunan tingkat hunian hotel (occupancy
Kondisi Ekonomi Makro
43
rate) walaupun pada periode yang sama tarif hotel
relatif tidak mengalami peningkatan yang berarti
(Grafik 2.19).
Sektor pengangkutan dan komunikasi
mencatat pertumbuhan yang tinggi yakni mencapai
7,5% dan menjadi penyumbang terbesar ketiga ter-
hadap laju pertumbuhan PDB. Subsektor angkutan
jalan raya masih menjadi motor utama bagi pertum-
buhan subsektor pengangkutan. Sementara itu,
pertumbuhan subsektor komunikasi antara lain
masih bersumber dari meningkatnya permintaan
sambungan telepon baru serta meningkatnya
kegiatan usaha perusahaan penyelenggara telpon
selular.
Dalam tahun laporan sektor keuangan,
persewaan, dan perusahaan jasa mengalami
pertumbuhan sebesar 3,0%, lebih rendah dari
pertumbuhan yang dicapai tahun lalu sebesar 4,3%.
Pertumbuhan sektor ini terutama masih disumbang
oleh subsektor Bank. Meskipun dalam kenyataannya
sebagian bank telah mulai menyalurkan kredit,
subsektor ini tumbuh melambat sehubungan dengan
fungsi intermediasi perbankan yang belum sepenuh-
nya pulih. Hal ini tercermin dari jenis portofolio aset
perbankan yang masih didominasi oleh SBI dan
obligasi. Selain itu, melambatnya pertumbuhan
subsektor ini juga tercermin pada posisi kredit
perbankan yang hanya tumbuh sebesar 11,5%, lebih
lambat dibandingkan dengan pertumbuhan tahun
sebelumnya sebesar 15,5%.
Sektor pertanian yang sempat menjadi
andalan pada awal krisis, pada 2001 mengalami
pertumbuhan yang sangat rendah yaitu hanya
sebesar 0,6%. Tingkat pertumbuhan ini merupakan
yang terendah yang pernah terjadi setelah 1998.
Sejumlah permasalahan yang menyebabkan ren-
dahnya pertumbuhan sektor ini antara lain mahalnya
harga pupuk dan pestisida, rendahnya kualitas bibit/
benih yang digunakan, dan adanya gangguan pro-
duksi akibat bencana alam, serangan hama dan
organisme pengganggu tanaman. Berbagai per-
masalahan tersebut menyebabkan produktivitas hasil
pertanian menurun. Selain itu, hal lain yang diperki-
rakan turut menyebabkan rendahnya pertumbuhan
nilai tambah sektor ini terkait dengan fluktuasi harga,
khususnya harga dasar gabah yang seringkali kurang
memberikan insentif bagi petani. Akibat permasa-
lahan tersebut di atas, realisasi produksi sejumlah
komoditas pertanian penting seperti padi, jagung, dan
kedelai mengalami penurunan.6 Produksi padi hanya
mencapai 49,6 juta ton gabah kering giling pada tahun
laporan atau menurun 4,5% jika dibandingkan
produksi padi tahun lalu. Sementara itu, produksi
jagung dan kedelai masing-masing mencapai 9,2 juta
ton pipilan kering dan 0,8 juta ton bijih kering atau
6 Angka sementara BPS
Grafik 2.19
Tingkat Hunian Hotel
30
40
50
60
2 0 0 0
350
400
450
500
Tingkat Hunian Hotel
Harga Sewa Hotel
Persen
Jan Mar Mei Jul Sep Nov Jan Mar Mei Jul Sep Nov
2 0 0 1
Kondisi Ekonomi Makro
44
2 0 0 1
20
25
30
35
40
45
50
55
60
65
70
75
Persen
To t a lMakanan, Minuman & TembakauTekstil, Pakaian Jadi & Kulit
Kertas, Percetakan & PenerbitanBarang dari logam
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov.
kapasitas terpakai di sektor industri pengolahan masih
rendah, terdapat sejumlah subsektor yang mengalami
laju peningkatan utilisasi yang cukup tinggi seperti
industri makanan, minuman, dan tembakau, dan in-
dustri barang galian bukan logam. Sementara itu,
subsektor industri barang galian dan plastik, industri
tekstil, pakaian jadi, dan kulit, dan industri kertas,
percetakan, dan penerbitan mencatat peningkatan
rata-rata sebesar 65% dari kapasitas terpasangnya.
Sedangkan untuk industri barang dari logam dan
industri logam dasar tingkat utilisasinya mengalami
penurunan (Grafik 2.20). Masih relatif rendahnya
tingkat utilisasi di sektor industri pengolahan tersebut
mengindikasikan bahwa sektor industri masih
menghadapi permasalahan internal sehingga mem-
batasi pemanfaatan utilisasi yang tersedia. Selain itu,
masih tingginya ketidakpastian dan risiko usaha
menyebabkan dunia usaha belum meningkatkan
kapasitas terpasangnya.
Kondisi tersebut di atas memberikan gam-
baran bahwa peningkatan potential output pada tahun
laporan masih sangat rendah. Sementara itu, perkem-
bangan output aktual sebagaimana dijelaskan di atas
Grafik 2.20
Kapasitas Terpakai
mengalami penurunan sebesar 5,3% dan 19,7% di-
bandingkan produksinya tahun lalu.
Penawaran Jangka Panjang
Berbagai permasalahan yang terjadi di sektor
riil sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, me-
nyebabkan upaya meningkatkan kapasitas pere-
konomian (potential output) menjadi sangat terbatas.
Keterbatasan dalam meningkatkan kapasitas pere-
konomian ini antara lain tercermin dari rendahnya
pertumbuhan investasi, baik dalam bentuk investasi
baru maupun dalam bentuk ekspansi dari kegiatan
usaha yang ada. Sementara itu, keterbatasan dalam
meningkatkan kapasitas perekonomian juga di-
pengaruhi oleh pesatnya pertumbuhan angkatan kerja
yang masih didominasi oleh tenaga kerja dengan
kualitas yang masih rendah.
Rendahnya peningkatan kapasitas pere-
konomian yang bersumber dari investasi baru
ditunjukkan oleh hasil SKDU yang memperlihatkan
adanya penurunan realisasi investasi pada triwulan
ketiga serta minat investasi pada triwulan terakhir
tahun laporan (Grafik 2.10). Selain itu, rendahnya
investasi baru juga dapat dilihat dari hampir tidak
adanya realisasi investasi baik yang dilakukan oleh
asing (PMA) maupun domestik (PMDN), serta
rendahnya pertumbuhan realisasi kredit investasi.
Sementara itu, rendahnya peningkatan kapa-
sitas perekonomian yang bersumber dari ekspansi
kegiatan usaha yang ada tercermin dari masih ren-
dahnya tingkat utilisasi sektor industri seperti yang
ditunjukkan oleh hasil survei sektor industri pengo-
lahan yang dilakukan oleh Bank Indonesia. Berdasar-
kan hasil survei tersebut sampai dengan November
2001, memberikan gambaran meskipun secara total
Kondisi Ekonomi Makro
45
0
10
20
30
40
50
60
70
80
1990-1991 1992-1993 1994-1995 1996-1997 1998-1999 2000-2001
Persenuraikan sebelumnya menyebabkan tingkat efisiensi
perekonomian belum membaik seperti masa sebelum
krisis. Untuk mengukur efisiensi suatu perekonomian
dari satu periode ke periode yang lain, pendekatan
yang seringkali digunakan adalah Incremental Capi-
tal Output Ratio (ICOR).7 Dalam perkembangannya,
ICOR pada periode 2000-2001 menunjukkan adanya
perbaikan dibanding dengan ICOR pada periode
1998-1999 (Grafik 2.21). Namun demikian, ICOR
pada periode laporan masih lebih tinggi dibanding
dengan ICOR pada masa sebelum krisis. Hal ini
menunjukkan bahwa perekonomian pada periode
laporan masih belum seeffisien dibandingkan dengan
masa sebelum krisis.
KETENAGAKERJAAN
Perkembangan perekonomian yang melambat pada
tahun laporan sebagaimana telah diuraikan se-
belumnya memberikan dampak yang kurang mengun-
tungkan bagi kondisi ketenagakerjaan. Hal ini ter-
cermin dari menurunnya rasio jumlah penduduk yang
bekerja di sektor formal terhadap jumlah angkatan
kerja akibat meningkatnya jumlah angkatan kerja
yang tidak dapat diimbangi oleh penyediaan lapangan
kerja secara memadai. Namun demikian, jumlah
penganggur dan setengah penganggur tidak menga-
lami peningkatan yang berarti karena sebagian
angkatan kerja yang tidak tertampung di sektor for-
mal dapat menemukan pekerjaan di sektor informal.
Sementara itu, kesejahteraan pekerja yang diukur
masih menunjukkan peningkatan yang lebih pesat
dibandingkan dengan output potentialnya. Perkem-
bangan ini menyebabkan kesenjangan output (output
gap) yang merupakan perbedaan antara output
potensial dan output aktual menjadi semakin me-
nyempit (narrowing gap).
Kecenderungan semakin menyempitnya
kesenjangan output yang terutama disebabkan oleh
lebih rendahnya peningkatan output potensial
dibandingkan peningkatan output aktual perlu segera
diantisipasi. Apabila upaya untuk meningkatkan ouput
potensial ini tidak segera dilakukan, maka tekanan
terhadap harga akan mulai meningkat. Terlebih lagi
bila melihat bahwa peningkatan utilisasi yang pesat
terjadi pada kelompok industri yang memproduksi
barang-barang yang termasuk dalam keranjang IHK.
Apabila berbagai permasalahan yang membatasi
investasi baru dan ekspansi usaha yang ada tidak
segera diatasi, maka kenaikan ouput aktual akan
menjadi ancaman yang serius pada peningkatan
inflasi IHK pada periode mendatang.
Berbagai permasalahan yang dihadapi
perekonomian Indonesia sebagaimana telah di-
Grafik 2.21
I C O R
Sumber : BPS (diolah)
7 ICOR dihitung dengan rumus :
ICORt1–t2
=
P M T D Bt
Σt2-1
t = t1-1
PDB - PDBt2 t1
Kondisi Ekonomi Makro
46
Grafik 2.22
Upah Minimum Propinsi (rata-rata)
Dalam Rupiah per Hari
dengan upah minimum propinsi (UMP) secara rata-
rata mengalami peningkatan walaupun masih berada
di bawah tingkat kebutuhan hidup minimum (KHM).
Kasus perburuhan masih mewarnai tahun laporan
yang tercermin dari masih tingginya kasus pemo-
gokan dan pemutusan hubungan kerja (PHK).
Jumlah angkatan kerja pada 2001 diper-
kirakan mencapai 98 juta orang atau mengalami
peningkatan hampir 2,5% dibandingkan tahun sebe-
lumnya. Namun, peningkatan jumlah angkatan kerja
tersebut masih belum diikuti oleh peningkatan kualitas
yang tercermin dari masih besarnya proporsi angka-
tan kerja yang berpendidikan Sekolah Dasar yaitu
mencapai 63,5% atau sekitar 62 juta orang. Survei
dari United Nation Development Program (UNDP)
menunjukan bahwa Human Development Index (HDI)
Indonesia masih berada pada peringkat 109 dari 147
negara.8 Berdasarkan sensus penduduk 2000, jum-
lah penduduk yang berusia kerja (15 tahun ke atas)
sebanyak 141,2 juta orang dimana 67,8% dari jumlah
tersebut atau 95,7 juta orang diklasifikasikan dalam
angkatan kerja. Angka tersebut diperkirakan mening-
kat mencapai 98 juta orang pada 2001. Dari jumlah
angkatan kerja tersebut, sekitar 93% diantaranya
termasuk bekerja dan 7% termasuk penganggur
terbuka. Namun demikian, sekitar 36% atau 35 juta
dari penduduk yang bekerja hanya bekerja kurang
dari 35 jam seminggu. Berdasarkan lapangan usaha,
sebagian besar penduduk yang bekerja tersebut
(45,3%) berusaha di sektor pertanian. Meskipun
jumlah penduduk yang bekerja mencatat peningkatan,
jumlah penduduk yang bekerja dengan status formal
mengalami penurunan, sedangkan jumlah penduduk
yang bekerja dengan status informal mencatat
peningkatan.
Melambatnya kegiatan ekonomi 2001 seba-
gai dampak dari rendahnya investasi serta masih
rendahnya tingkat pendidikan angkatan kerja menga-
kibatkan angka pengangguran diperkirakan me-
ningkat dari 6,1% pada 2000 menjadi 6,7%-7,0%
pada 2001.9 Berdasarkan daerah, jumlah penganggur
di kota lebih besar dibandingkan di desa. Berdasarkan
jenis kelamin, proporsi penganggur perempuan lebih
banyak dibandingkan penganggur laki-laki.
Kondisi ketenagakerjaan yang ditandai oleh
masih tingginya jumlah pengangguran terbuka an-
tara lain menyebabkan melemahnya posisi tawar
(bargaining power) pekerja dalam negosiasi upah.
Hal ini tercermin dari relatif kecilnya kenaikan UMP
yang ditetapkan. Pada 2001 UMP secara rata-rata
mengalami kenaikan sebesar 33,7% dan mencapai
Rp295.981/bulan (Grafik 2.22), sedangkan KHM
sebagai dasar perhitungan UMP pada periode yang
sama rata-rata meningkat sebesar 21,7% menjadi
9 Suara Pembaharuan tanggal 13 Juli 20018 Suara Pembaharuan tanggal 13 Juli 2001
0
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
9.000
10.000
Rupiah/Hari
3.7084.101
4.830
5.575
6.962
9.750
1996 1997 1998 1999 2000 2001
Kondisi Ekonomi Makro
47
Rp323.798/bulan. Dengan demikian, UMP yang
ditetapkan pemerintah tersebut baru dapat me-
menuhi rata-rata 91,4% kebutuhan hidup minimum
pekerja. Walaupun UMP tersebut belum memenuhi
seluruh KHM pekerja, saat ini ada 10 propinsi yang
telah dapat memenuhi KHM-nya, yakni Sumatera
Utara, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Kali-
mantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Sela-
tan, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Utara, dan Nusa
Tenggara Timur.
Masih banyaknya pengusaha yang belum
memenuhi ketentuan UMP dan tuntutan lainnya se-
perti keikutsertaan dalam Jamsostek dan peme-
nuhan tunjangan hari raya keagamaan telah memicu
terjadinya kasus pemogokan buruh dalam tahun
laporan. Sampai dengan September 200110, pemo-
11 Data Asosiasi Pertekstilan Indonesia sebagaimana dimuat di Suara
Pembaharuan tanggal 23 Oktober 200110 Sumber Depnakertrans, 2001
gokan yang terjadi sebanyak 164 kasus dengan
melibatkan 107.523 pekerja dan mengakibatkan
1.148.778 jam kerja hilang. Sementara itu, pekerja
yang kehilangan pekerjaan akibat PHK pada 2001
sedikit lebih rendah dibandingkan tahun lalu yakni
mencapai 58.006 tenaga kerja. Masih tingginya
angka PHK tersebut antara lain disebabkan oleh
memburuknya situasi dunia usaha terutama yang
berorientasi ekspor. Industri tekstil dan produk tekstil
yang merupakan industri padat karya merupakan
industri yang paling mengalami kerugian mengingat
besarnya porsi produknya yang ditujukan untuk
ekspor. Industri tekstil dan produk tekstil yang saat
ini menyerap sekitar 1,2 juta orang tenaga kerja
diperkirakan akan melakukan PHK antara 10%–20%
bila kondisi perekonomian tidak membaik.11
Kondisi Ekonomi Makro
48
Dalam text book ekonomi, penawaran agre-
gat menjelaskan hubungan antara tingkat harga dan
jumlah barang yang dihasilkan oleh perusahaan
dalam suatu perekonomian.1 Analisa ekonomi makro
seringkali membedakan antara penawaran jangka
pendek (short run aggregate supply) dan penawaran
jangka panjang (long run aggregate supply). Dalam
jangka pendek, penawaran agregat dapat berubah
antara lain apabila terjadi perubahan pada input
produksi yang digunakan dengan kapasitas produksi
yang tersedia. Dalam jangka panjang, perubahan
penawaran agregat —atau sering disebut dengan
ouput potensial— hanya dapat terjadi apabila kapa-
sitas perekonomian juga mengalami perubahan.
Secara empiris, untuk menghitung penawaran agre-
gat dalam jangka panjang (output potensial) dapat
dilakukan dengan beberapa pendekatan mulai dari
yang sederhana yakni dengan metode pemulusan
(smoothing) data PDB, sampai metode yang lebih
rumit yakni dengan menaksir suatu persamaan fungsi
produksi perekonomian.
Mengingat pentingnya informasi mengenai
ouput potensial bagi Bank Indonesia dalam hal
melakukan analisa dan penyusunan proyeksi tekanan
inflasi, saat ini Bank Indonesia sedang mengem-
bangkan penghitungan output potensial dengan
pendekatan fungsi produksi, dimana salah satu
variabel utamanya adalah data stok kapital.
Secara umum, stok kapital didefinisikan
sebagai persediaan berbagai jenis barang modal
seperti bangunan, mesin-mesin, alat transportasi, ter-
nak, dan barang modal lainnya2 , yang memberikan
kontribusi terhadap kelangsungan suatu proses
produksi. Dalam prakteknya, data stok kapital tersebut
menggambarkan posisi barang modal yang terbentuk
dari suatu proses akumulasi investasi dalam jangka
waktu tertentu. Dalam terminologi SNA 1968, investasi
tersebut dikenal sebagai Gross Fixed Capital
Formation (GFCF) atau Pembentukan Modal Tetap
Bruto (PMTB). Sampai saat ini data PMTB telah
dihitung dan dipublikasikan secara periodik oleh BPS.
Data stok kapital secara umum digunakan
untuk : (1) memperoleh gambaran mengenai produk
neto (nilai tambah neto) dari hasil suatu proses
produksi, yaitu seluruh nilai produksi dikurangi dengan
besarnya penyusutan (consumption of fixed capital),
(2) menghitung nilai kekayaan (wealth capital stock)
yang diperoleh dari hasil pembangunan dalam suatu
periode tertentu, dan (3) menghitung produktifitas dan
efisiensi suatu perokonomian (economic efficiency
dan economic productivity).
Pada dasarnya, terdapat dua pendekatan
untuk menyusun data stok kapital yaitu metode lang-
sung dan metode tidak langsung. Metode langsung
terdiri dari Direct Observation of Capital (DOC), Fixed
Asset Accounting Simulation Model (FAASM), dan
Penghitungan Stok Kapital dengan Metode
Perpetual Inventory
b o k s
2 Sesuai dengan konsep Statistics of National Account (SNA) tahun
1968, barang modal tersebut belum termasuk intangible assets.
1 N.Gregory Mankiw, Macroeconomics, 3rd edition, Worth Publishers,
1997, hal. 503
Kondisi Ekonomi Makro
48
Kondisi Ekonomi Makro
49
Anchored FAASM. Penghitungan secara langsung
dilakukan dengan cara mengumpulkan data stok
kapital secara langsung dari laporan keuangan
perusahaan dan administrasi pemerintahan. Metode
DOC merupakan metode langsung yang paling sering
digunakan karena memiliki tingkat akurasi data
investasi dan pengukuran umur aset (asset life) serta
usia pakai (discard pattern) yang lebih baik. Namun
dalam implementasinya, metode secara langsung
memerlukan biaya yang sangat besar dan sumber
daya manusia yang memadai, baik dari segi kualitas
maupun kuantitasnya.
Sementara itu, metode penghitungan stok
kapital secara tidak langsung lebih memfokuskan
pada pemanfaatan data sekunder. Metode tidak
langsung yang banyak digunakan adalah Perpetual
Inventory Method (PIM), yaitu penghitungan stok
kapital yang dilakukan dengan cara memanfaatkan
data sekunder yang tersedia, yaitu data PMTB. Dua
syarat yang harus dipenuhi agar metode PIM meng-
hasilkan angka yang reliable adalah tersedianya data
PMTB yang akurat, rinci dengan cakupan data yang
luas, dan asumsi yang digunakan seperti umur aset,
pola distribusi, dan metode depresiasinya. Secara
garis besar, penghitungan stok kapital dengan me-
tode PIM dilakukan dengan cara mengakumulasikan
investasi barang modal (PMTB) dalam periode
tertentu dengan mempertimbangkan barang modal
yang telah usai pakai (retired) dan yang mengalami
penyusutan selama periode tersebut.
Beberapa negara seperti Belanda, Inggris,
Jerman, Australia, dan Kanada telah memiliki data
stok kapital sejak lama, meskipun dengan metode
penghitungan yang berbeda-beda. Sementara di
Indonesia, ketersediaan informasi mengenai stok
kapital (PMTB) masih terbatas pada pemanfaatannya
sebagai proxy variable perkembangan kegiatan
investasi. Beberapa penelitian mengenai stok kapital
yang pernah dilakukan di Indonesia antara lain oleh
Keuning (1988 dan 1991), Badan Pusat Statistik
(1995), dan Timmer (1999).
Mengingat pentingnya informasi mengenai
stok kapital tersebut, pada 2000 Bank Indonesia telah
melakukan kajian awal mengenai kemungkinan
pengumpulan data stok kapital sektor industri
pengolahan. Dari sejumlah alternatif penghitungan
stok kapital yang ada, hasil kajian tersebut menyim-
pulkan bahwa metode PIM merupakan metode yang
lebih tepat digunakan untuk menghitung stok kapital
di seluruh sektor perekonomian. Hal utama yang
mendasari pemilihan metode PIM tersebut antara lain
faktor efisiensi biaya dan ketersediaan sumber daya
manusia. Sebagai kelanjutan dari penelitian se-
belumnya, pada 2001 Bank Indonesia bekerjasama
dengan Badan Pusat Statistik (BPS) melakukan
penghitungan stok kapital berdasarkan konsep
‘wealth’ dengan menggunakan metode PIM.
Hasil penghitungan stok kapital berdasarkan
konsep wealth dengan menggunakan harga konstan
1993 disajikan dalam 2 (dua) konsep, yaitu stok kapital
bruto (Gross Capital Stock/GCS) dan stok kapital neto
(Net Capital Stock/NCS). Angka GCS diperoleh
setelah memperhitungkan sejumlah barang modal
yang retired dalam suatu periode namun belum ter-
masuk nilai penyusutannya. Sedangkan angka NCS
adalah jumlah barang modal setelah dikurangi
penyusutan.
Secara matematis, hubungan antara NCS,
GCS, dan besarnya GFCF dapat diformulasikan seba-
gai berikut:
Kondisi Ekonomi Makro
49
Kondisi Ekonomi Makro
50
Hasil simulasi penghitungan stok kapital yang
telah dilakukan menunjukkan bahwa stok kapital baik
GCS maupun NCS senantisa mengalami pertum-
buhan positif. Indeks GCS tumbuh dari 103,3 pada
1980 menjadi 201,9 pada 2000 (Grafik 1). Dalam
periode yang sama, indeks NCS tumbuh dari 105,1
menjadi 200,5 (Grafik 2). Sementara itu, pertumbuhan
rata-rata per tahun (yearly average) stok kapital
Grafik 1
Perkembangan Indeks GCS Indonesia
Grafik 2
Perkembangan Indeks NCS Indonesia
0
50
100
150
200
250
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000
Indeks
0
50
100
150
200
250
1980 1982 1984 1986 1988 1990 1992 1994 1996 1998 2000
Indeks
NCS = Net Capital Stock
GFCF = Gross Fixed Capital Formation
AdjD = Adjusted Depreciation
ret = Retirement
i = periode/tahun ke – i
n = akhir periode stok kapital
hampir sama antara GCS maupun NCS yakni
sebesar 3,4%. Krisis ekonomi yang berkepanjangan
sejak pertengahan 1997 tercermin pada turunnya
stok kapital, yang ditandai dengan melambatnya
pertumbuhan NCS pada 1998 menjadi sebesar 0,8%
dan bahkan sempat mengalami kontraksi pada 1999
sebesar 1,2%.
Berdasarkan pangsa dari masing-masing
jenis barang modal, stok kapital Indonesia selama ku-
run waktu 20 tahun terakhir didominasi oleh 3 kelom-
pok besar yaitu kelompok bangunan, kelompok
mesin, dan kelompok transportasi. Pangsa kelompok
bangunan sebesar 60,0% (1980) dan terus mening-
kat menjadi 75,7% (2000), sementara pangsa kelom-
pok transportasi mengalami penurunan dari 23,2%
(1980) menjadi hanya 4,0% (2000). Di sisi lain,
pangsa kelompok mesin relatif tetap yakni rata-rata
sebesar 15,9%.
Kondisi Ekonomi Makro
50
iiii AdjDGFCFNCSNCS −+= −1
1−+−= iiii GCSretGFCFGCS
==+= n
in
n
iretGCSGFCF11Σ Σ
Nilai Tukar
52
b a b 3
NILAI TUKAR
Dalam tahun 2001, nilai tukar rupiah mengalami
tekanan depresiasi yang sangat besar, mes-
kipun sempat terapresiasi tajam pada pertengahan
tahun. Secara keseluruhan, nilai tukar rupiah terde-
presiasi sekitar 17,7%, yaitu dari rata-rata Rp8.438
dalam tahun 2000 menjadi rata-rata Rp10.255 per
dolar dalam tahun 2001. Besarnya tekanan depre-
siasi tersebut tidak terlepas dari meningkatnya
country risk sejalan dengan memburuknya ketidak-
pastian kondisi sosial politik di dalam negeri yang
terjadi dalam tahun laporan. Di pihak lain, meskipun
terdapat kemajuan, kondisi fundamental ekonomi
makro dan mikro masih menghadapi sejumlah
permasalahan (Bagan 3.1). Sebagai akibat dari
besarnya tekanan depresiasi tersebut, nilai tukar ru-
piah secara riil menjadi semakin undervalued dan
menimbulkan tekanan yang cukup besar terhadap
laju inflasi. Dalam menyikapi perkembangan
tersebut, Bank Indonesia telah menempuh berbagai
upaya yang diperlukan, yakni dengan mengop-
timalkan seluruh instrumen kebijakan yang tersedia.
Selain itu, implementasi beberapa program restruk-
turisasi perekonomian masih terus dilanjutkan
meskipun belum sepenuhnya memenuhi harapan
semua pihak. Ke depan, berbagai upaya tersebut
akan terus dilanjutkan dan lebih dioptimalkan dengan
harapan dapat memperbaiki kondisi fundamental
ekonomi, yang pada gilirannya dapat mengurangi
kesenjangan permintaan dan penawaran valuta
asing, sekaligus dapat memperbaiki kepercayaan
pasar. Kendati demikian, berbagai upaya tersebut
perlu dibarengi dengan terciptanya kondisi sosial
politik yang kondusif sebagai bagian yang tidak
terpisahkan dalam membangun kepercayaan publik
terhadap proses pemulihan ekonomi.
Berbagai faktor risiko (ketidakpastian) yang
semula diperkirakan akan mulai membaik pada perte-
ngahan tahun laporan, dalam kenyataannya justru me-
ngalami perkembangan yang memburuk. Sampai per-
tengahan 2001, ketidakpastian situasi sosial politik di
dalam negeri semakin memburuk, yang ditandai
dengan terjadinya gejolak politik, serta beberapa
kerusuhan sosial dan ancaman disintegrasi di bebe-
rapa daerah. Perkembangan tersebut pada gilirannya
mengakibatkan kepercayaan pasar semakin merosot
dan secara persisten menimbulkan sentimen negatif
terhadap rupiah. Selanjutnya, pasca pengalihan kepe-
mimpinan nasional pada pertengahan tahun, situasi
politik di dalam negeri memperlihatkan kecenderungan
yang membaik, bahkan menebarkan optimisme yang
tinggi bagi berlanjutnya proses pemulihan ekonomi. Hal
ini tercermin dari pulihnya kepercayaan pasar yang
ditandai dengan apresiasi nilai tukar rupiah yang sangat
tajam. Namun, apresiasi nilai tukar rupiah tersebut tidak
berlangsung lama karena kepercayaan pasar kembali
menurun, terutama dipengaruhi oleh kondisi funda-
mental ekonomi makro dan mikro yang dalam kenyata-
anya masih menghadapi sejumlah permasalahan.
Dari sisi makro-fundamental, meskipun ter-
catat adanya beberapa kemajuan, penangangan
Nilai Tukar
53
beberapa program restrukturisasi ekonomi secara
umum dinilai pelaku pasar masih berjalan lamban.
Hal ini terutama terlihat pada restrukturisasi utang dan
korporasi, privatisasi dan divestasi, serta upaya revi-
talisasi sektor perbankan dan korporasi. Lambannya
perbaikan kondisi makro-fundamental tersebut, selain
sebagai akibat dari kompleksitas permasalahan
ekonomi yang semakin berat, juga karena lemahnya
dukungan sistim kelembagaan, jaminan kepastian hu-
kum, dan keamanan berusaha. Di sampingitu, kondisi
ekonomi dunia memperlihatkan perkembangan yang
kurang menguntungkan sehingga kurang kondusif
bagi kinerja sektor eksternal.
Kondisi tersebut di atas mengakibatkan
masih tetap terbatasnya aliran devisa masuk ke dalam
negeri sehingga di pasar masih terjadi kelangkaan
pasokan valuta asing. Di pihak lain, permintaan valuta
asing masih tetap tinggi, baik untuk kebutuhan impor
maupun pelunasan utang luar negeri swasta. Muncul-
nya permintaan valuta asing semakin dipermudah
dalam kondisi di mana terjadi kelebihan likuiditas
rupiah di sektor keuangan, terutama sebagai akibat
Bagan 3.1
Permasalahan Nilai Tukar 2001
PENAWARAN
VALUTA ASING
PERMINTAAN
VALUTA ASING
EKSPOR
NILAI
TUKAR
INVESTASI
ASING
LANGSUNG (FDI)
INVESTASI
PORTOFOLIO
STERILISASI
BANK SENTRAL
IMPOR
PELUNASAN
UTANG LN
PENYELAMATANASET (FLIGHT TO
SAFETY)
SPEKULASI
KEPERCAYAAN
PUBLIK
EKONOMI DUNIA
STRUKTURAL
RISIKO
POLITIK
RISIKO
KEUANGAN
RISIKO
EKONOMI
CAD. DEVISA &
KONDISI PASAR
DAYA SAING
RETRUKTURISASI
STRUKTUR
MIKRO
PASAR
SEGMENTASI
PASAR
KESEHATAN
BANK
KELEBIHAN LIKUIDITAS RUPIAH
DI SEKTOR KEUANGAN
INTERMEDIASI
PERBANKAN BELUM
SEPENUHYA PULIH
Nilai Tukar
54
dari proses intermediasi perbankan yang belum
sepenuhnya pulih.
Dari sisi mikro-fundamental, berbagai kele-
mahan mendasar yang melekat pada struktur mikro
pasar keuangan di dalam negeri masih mewarnai
ekonomi Indonesia. Hal ini tercermin dari struktur
pasar keuangan yang masih tersegmentasi dan
kurang berkembangnya pasar lindung nilai (hedging).
Terjadinya segmentasi pasar mengakibatkan meka-
nisme pembentukan harga menjadi kurang berfungsi
secara baik (well-functioning market).1 Dalam kondisi
tersebut, harga yang terbentuk di pasar valuta asing
tidak mewakili kekuatan pelaku pasar secara ke-
seluruhan, tetapi merupakan cerminan dari kekuatan
beberapa pelaku yang menguasai sebagian besar
pangsa pasar.
FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI
Perkembangan nilai tukar rupiah sepanjang
tahun laporan tidak terlepas dari berbagai ketidak-
pastian (risiko), baik ketidakpastian di bidang sosial
politik, maupun ketidakpastian di bidang ekonomi dan
keuangan. Sejak krisis ekonomi berlangsung,
fluktuasi nilai tukar rupiah secara persisten telah di-
warnai oleh ketidakpastian situasi sosial politik, yang
pada gilirannya menjadi sumber utama terjadinya
lingkaran permasalahan ekonomi (vicious circle) sela-
ma ini. Keterkaitan yang sangat erat antara ketidak-
pastian situasi sosial politik dan fluktuasi nilai tukar
rupiah tersebut tercermin dari pergerakan searah (co-
movement) antara premi risiko2 dan nilai tukar ru-
piah dalam beberapa tahun terakhir (Grafik 3.1).
Pengaruh ketidakpastian sosial politik ter-
hadap fluktuasi nilai tukar rupiah dapat terjadi baik
secara langsung maupun tidak langsung. Secara
langsung, pengaruh tersebut terutama tercermin
dari reaksi yang bersifat segera yang diwujudkan
dalam bentuk aksi beli (atau jual) valuta asing
karena terjadinya perubahan sentimen pelaku
pasar sebagai respon terhadap beberapa
peristiwa sosial politik. Secara tidak langsung,
ketidakpastian sosial polit ik mempengaruhi
f luktuasi n i la i tukar melalui perubahan
kepercayaan publik baik domestik maupun inter-
nasional yang mempengaruhi arus lalu lintas
modal, yang pada gilirannya berdampak terhadap
permintaan atau penawaran valuta asing.
Sepanjang tahun laporan, sentimen pasar
sangat dipengaruhi oleh ketidakpastian situasi sosial
politik di dalam negeri yang secara umum me-
nunjukkan peningkatan meskipun cenderung
membaik sejak pertengahan tahun laporan (Grafik
3.2). Sepanjang paro pertama 2001, kepercayaan
Grafik 3.1
Arah Perkembangan Nilai Tukar Rupiah
dan Premi Risiko
7000
7500
8000
8500
9000
9500
10000
10500
11000
11500
12000
12500
Premi Risiko (bp) Kurs Rp/$
400
450
500
550
600
650
700
750
800
850
Premi Risiko
Nilai Tukar Rupiah
2 0 0 0 2 0 0 1
3/1 17/4 1/8 15/11 2/2 11/05 24/08 07/12
1 Mekanisme pembentukan harga pasar yang baik terjadi dalam
kondisi di mana harga mencerminkan kekuatan pelaku pasar secara
keseluruhan, tidak hanya mewakili beberapa pelaku pasar.
2 Premi risiko di proksi dengan menggunakan perbedaan yield antara
Yankee Bond Indonesia dengan Benchmark US Treasury Note yang
sama-sama berjangka waktu 10 tahun dan akan jatuh tempo tahun
2006.
Nilai Tukar
55
pasar terus merosot terutama disebabkan oleh
meningkatnya konflik politik, serta beberapa
kerusuhan sosial dan ancaman disintegrasi di
beberapa daerah. Sejalan dengan perkembangan
tersebut nilai tukar rupiah secara persisten
mengalami tekanan depresiasi yang sangat besar.
Selanjutnya, pasca pengalihan kepemimpinan
nasional Juli 2001, kepercayaan pasar cenderung
membaik yang dipicu oleh harapan bahwa
berakhirnya krisis politik dapat menjadi tumpuan bagi
bangkitnya perekonomian Indonesia dari krisis yang
berkepanjangan. Membaiknya kepercayaan pasar
tersebut ditandai dengan terjadinya apresiasi nilai
rupiah yang cukup tajam. Namun menjelang akhir
tahun laporan, kepercayaan pasar kembali
memburuk dan nilai tukar rupiah turut tertekan
menyusul tragedi World Trade Center (WTC) 11
September 2001. Tragedi tersebut telah mening-
katkan suhu politik internasional yang pada
gilirannya berimbas ke dalam negeri antara lain
berupa reaksi-reaksi yang menimbulkan rasa tidak
aman bagi investor asing. Selain itu, tragedi tersebut
juga membuat kalangan investor internasional
menjadi lebih bersikap hati-hati (risk averse) karena
meningkatkan risiko global, sehingga turut memberi
tekanan terhadap sebagian besar nilai tukar mata
uang regional, termasuk rupiah.
Selain ketidakpastian situasi sosial politik,
fluktuasi nilai tukar rupiah sepanjang tahun laporan
dipengaruhi oleh masih rendahnya kepercayaan
publik terhadap kondisi fundamental ekonomi baik
dalam skala makro maupun mikro. Rendahnya
kepercayaan publik tersebut terutama sebagai akibat
dari penanganan beberapa program restrukturisasi
Grafik 3.2
Perkembangan Nilai Tukar Rupiah dan Faktor Sentimen
8000
8500
9000
9500
10000
10500
11000
11500
12000
12500Panic buying menjelang Memorandum II
DPR kepada Presiden
Penundaan pencairanbantuan IMF
Situasi aman pascaMemo II dan aksi profit
taking pelaku pasar
Presiden menolakmenjawab Memo II
Desakan percepatanSI MPR
Kerusuhan di Sampit danmemburuknya hubungan
dengan IMF
Koreksi outlook rating olehMoody's dan S&P
Debt repayment dankerusuhan di Aceh
Percepatan SI MPR
Dekrit Presiden tidakmendapat dukungan
luas dan SI MPRberjalan lancar
Megawati terpilih sebagaiPresiden RI
Wakil Presiden terpilih
Pengumuman kabinet baru
Perbaikan outlook
oleh S&P menjadi"stable"
Dukungan internasional kepadaIndonesia menguat
Tragedi WTC 11 September 2001
Menguatnya sentimen anti-ASdisertai ancaman sweeping
S&P menurunkan credit rating
dan outlook Indonesia
CGI memberikan komitmenpinjaman untuk tahun 2002
Penjualan asetBPPN kepadainvestor asing
31/12 12/1 24/1 5/2 17/2 6/3 22/3 12/4 1/5 18/5 6/6 22/6 10/7 26/7 13/8 29/8 14/9 2/10 18/10 5/11 21/11 7/12 25/12
2 0 0 0 2 0 0 1
Rp/$
Nilai Tukar
56
ekonomi yang masih menghadapi sejumlah kendala.
Hal ini selain karena kompleksitas permasalahan
ekonomi yang semakin berat, juga karena lemahnya
dukungan sistem kelembagaan, jaminan kepastian
hukum, serta keamanan berusaha.
Kepercayaan publik sangat dipengaruhi oleh
persepsi terhadap beban keuangan pemerintah yang
semakin berat, restrukturisasi utang swasta dan
korporasi serta proses privatisasi dan divestasi yang
dinilai lamban, proses intermediasi perbankan yang
belum sepenuhnya berjalan normal, serta pelak-
sanaan otonomi daerah yang memperlihatkan se-
jumlah permasalahan. Di pihak lain, tingginya kepe-
kaan beberapa permasalahan ekonomi tersebut
terhadap gejolak nilai tukar dan suku bunga menga-
kibatkan lingkaran permasalahan ekonomi masih
terus berlangsung, yang pada gilirannya semakin
menurunkan kepercayaan publik.
Beban pengeluaran pemerintah terutama
pembiayaan subsidi dan bunga obligasi yang sangat
besar di dalam negeri dipandang masih sangat berat
dan sangat rentan terhadap fluktuasi suku bunga dan
nilai tukar. Sementara itu, beban pengeluaran untuk
pembayaran utang luar negeri pemerintah sangat
tergantung pada keberhasilan negosiasi dengan
lembaga donor. Keberhasilan dalam negosiasi utang
luar negeri dengan lembaga donor tersebut sangat
berpengaruh besar terhadap ekspektasi pasar dan
seringkali digunakan sebagai referensi sejumlah
lembaga pemeringkat utang internasional dalam
menentukan peringkat utang negara (sovereign
credit rating). Menurunnya kepercayaan publik ter-
hadap kesinambungan fiskal juga sangat dipenga-
ruhi oleh lambannya realisasi privatisasi sejumlah
badan usaha milik negara (BUMN) dan proses
divestasi aset-aset yang berada di bawah penge-
lolaan BPPN, yang sedianya diharapkan dapat
menjadi salah satu penopang penting bagi pene-
rimaan keuangan pemerintah.
Di sampingfaktor-faktor sebagaimana
dikemukakan di atas, kondisi fundamental ekonomi
yang masih lemah pada dasarnya merupakan faktor
utama yang mempengaruhi nilai tukar melalui terjadi-
nya ketidakseimbangan antara permintaan dan
penawaran di pasar valuta asing. Permintaan valuta
asing sepanjang tahun laporan ditengarai masih
tetap tinggi terutama untuk kebutuhan riil (genuine
demand) perekonomian seperti pembiayaan impor
dan pelunasan utang luar negeri. Selain itu, kegiatan
spekulasi dan penyelamatan aset (flight to safety)
yang sangat dipengaruhi oleh ketidakpastian sosial
politik masih tetap menjadi salah satu sumber
permintaan valuta asing di pasar. Di pihak lain,
pasokan valuta asing ditengarai masih tetap terbatas
sehubungan dengan masih terhambatnya aliran
masuk devisa swasta akibat situasi di dalam negeri
yang belum kondusif dan kondisi eksternal yang tidak
menguntungkan.
Dari sisi mikro, menurunnya kepercayaan
pasar terhadap rupiah seringkali terefleksikan dalam
fluktuasi nilai tukar yang sangat tajam. Hal ini
disebabkan oleh kondisi pasar valuta asing di dalam
negeri yang tidak likuid dan kurang dalam, terutama
sebagai akibat dari berbagai kelemahan mendasar yang
melekat pada struktur mikro pasar keuangan di dalam
negeri (Boks : Memahami Dinamika Nilai Tukar Melalui
Pendekatan Struktur Mikro Pasar). Struktur mikro pasar,
baik pasar valuta asing maupun pasar uang di dalam
negeri masih ditandai oleh adanya segmentasi yang
terjadi akibat adanya perbedaan risiko keuangan.
Nilai Tukar
57
Dalam kondisi pasar yang tersegmentasi,
beberapa bank yang menguasai pangsa pasar
mengalami kelebihan likuiditas valuta asing karena
terbatasnya outlet penanaman di dalam negeri yang
dipandang cukup aman, baik dalam bentuk penya-
luran kredit ke dunia usaha maupun pada PUAB
valuta asing di dalam negeri. Hal ini terutama di-
sebabkan oleh belum membaiknya prospek berusaha
di dalam negeri dan terbatasnya credit line yang di-
miliki bank-bank lokal. Keterbatasan credit line
tersebut disebabkan oleh masih rendahnya keper-
cayaan terhadap bank-bank lokal yang sebagian
besar masih dipandang memiliki struktur neraca yang
belum kuat dan sangat rentan terhadap risiko
sistemik, meskipun telah didukung oleh program
penjaminan pemerintah.
Sebagai akibat dari masih tingginya risiko
penempatan dana di dalam negeri tersebut, sepan-
jang tahun laporan terdapat kecenderungan pening-
katan penempatan portofolio valuta asing bank di
pasar uang luar negeri (offshore money market)
dalam bentuk instrumen keuangan jangka pendek,
khususnya dilakukan oleh sejumlah bank besar yang
memiliki akses ke pasar offshore. Sumber pembia-
yaan portofolio valuta asing bank-bank tersebut
antara lain berasal dari dana rupiah yang dihimpun
di dalam negeri, sehingga dapat menimbulkan
tekanan terhadap nilai tukar pada saat terjadinya
konversi dari rupiah ke valuta asing. Selain itu, kon-
versi dari rupiah ke valuta asing juga terjadi melalui
transaksi swap dengan memanfaatkan perbedaan
antara tingkat implied swap premium3 dan tingkat
suku bunga rupiah.
Lemahnya struktur mikro pasar valuta asing
di dalam negeri juga ditandai dengan kurang berkem-
bangnya pasar lindung nilai sebagai instrumen yang
sangat bermanfaat dalam menghindari risiko fluktuasi
nilai tukar. Instrumen lindung nilai seperti transaksi
swap dan forward hanya tersedia dalam tenor waktu
yang relatif sangat pendek. Sementara itu, pasokan
fasilitas lindung nilai untuk transaksi dengan tenor
jangka menengah-panjang, yang sesungguhnya
sangat diperlukan dalam mendukung kepastian
transaksi di sektor riil belum tersedia dalam jumlah
yang memadai. Sebagai akibatnya, kebutuhan valuta
asing di masa depan pada umumnya direalisasikan
melalui pembelian lebih dini di pasar spot.
Meningkatnya permintaan valuta asing me-
lalui pasar spot semakin menimbulkan tekanan de-
presiasi yang berlebihan terhadap rupiah, terutama
pada saat aksi pembelian valuta asing yang dilakukan
oleh perusahaan-perusahaan besar (big players)
sering menimbulkan dampak berantai (bandwagon
effect) di pasar. Masuknya perusahaan-perusahaan
besar tersebut secara rutin ke pasar sering memicu
pembelian valuta asing lebih dini oleh sejumlah bank
dan sering diikuti oleh pelaku pasar lainnya (herd
behavior) termasuk pelaku pasar yang sesungguhnya
membutuhkan valuta asing di masa depan. Tekanan
depresiasi semakin mudah timbul terutama dalam
kondisi terjadinya kelebihan likuiditas rupiah di pasar
keuangan sebagai akibat dari proses intermediasi
perbankan yang belum sepenuhnya pulih. Dalam
kondisi seperti itu, likuiditas rupiah lebih banyak
berputar di sektor keuangan dan ditengarai lebih
dioptimalkan hanya untuk meraih keuntungan jangka
pendek di pasar valuta asing dan pasar uang daripada
disalurkan ke sektor produktif.3 Implied swap premium adalah tingkat premi swap ditambah suku
bunga simpanan valuta asing.
Nilai Tukar
58
PERKEMBANGAN NILAI TUKAR RUPIAH
Sepanjang 2001, nilai tukar rupiah melemah
725 poin atau 7,0% terhadap dolar dari Rp9.675 pada
akhir Desember 2000 menjadi Rp10.400 per dolar
pada akhir Desember 2001. Tingkat depresiasi ru-
piah terlihat cukup tajam bila dihitung secara rata-
rata harian, yaitu melemah sebesar 1.817 poin atau
17,7% dari Rp8.438 dalam tahun 2000 menjadi
Rp10.255 per dolar dalam tahun 2001 (Grafik 3.3).
Tekanan depresiasi tersebut disertai dengan besarnya
fluktuasi nilai tukar rupiah, yang tercermin dari
tingginya tingkat volatilitas.4 Secara rata-rata harian,
tingkat volatilitas nilai tukar rupiah mengalami
peningkatan dari 2,2% dalam tahun 2000 menjadi
2,8% dalam tahun 2001, dan sempat mencapai
tingkat tertinggi 14,4% pada pertengahan Agustus
2001 (Grafik 3.4).
Perkembangan nilai tukar rupiah dapat
diamati dalam empat fase. Fase pertama, rupiah
menunjukkan kecenderungan melemah dalam
empat bulan pertama 2001 hingga mencapai nilai
terendah Rp12.090 sebelum akhirnya ditutup pada
level Rp11.600 pada akhir April 2001. Selanjutnya,
pada fase kedua, nilai tukar rupiah bergerak relatif
stabil (sideways) dalam kisaran Rp11.200 hingga
menjelang Sidang Istimewa MPR. Sementara itu,
pada fase ketiga, sejak digelarnya Sidang Istimewa
MPR pada 21 Juli 2001, nilai tukar rupiah menguat
tajam hingga mencapai nilai tertinggi Rp8.485 per
dolar pada 14 Agustus 2001. Namun, pada fase
keempat, nilai tukar rupiah kembali bergerak mele-
mah hingga menembus batas pertahanan psikologis
pasar Rp10.000.
Pada fase pertama, tekanan depresiasi
terhadap nilai tukar rupiah terutama dipengaruhi oleh
sentimen pasar, yang dipicu oleh kekhawatiran
terhadap ketidakpastian kondisi politik dan keamanan
yang mengiringi proses impeachment —melalui
memorandum I dan II— terhadap kepemimpinan
nasional saat itu. Situasi ketidakpastian tersebut
menimbulkan ekspektasi terhadap melemahnya nilai
tukar rupiah ke depan yang pada gilirannya mendo-
rong terjadinya aksi beli (panic buying) sehingga
rupiah melemah cukup tajam. Menghadapi gejolak
nilai tukar rupiah tersebut, Bank Indonesia berupaya
Grafik 3.3
Rata-Rata Harian Nilai Tukar Rupiah
Grafik 3.4
Volatilitas Nilai Tukar Rupiah
7.000
7.500
8.000
8.500
9.000
9.500
10.000
10.500
11.000
11.500
2 0 0 0
9,449 9,4859,611
10,213
11,11611,285 11,314
10,877
8,967
9,304
10,086
10,560
10,260
Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.Mei
2 0 0 1
Rp/$
0,0
2,0
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
14,0
16,0
Volatilitas Nilai Tukar Rp
Rata-rata Volatilitas
2 0 0 0 2 0 0 1
Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
Persen
4 Deviasi nilai tukar harian dari 22 days moving average (1 bulan
kalender).
Nilai Tukar
59
melakukan penyerapan kelebihan likuiditas di pasar
keuangan melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT) yang
dibantu melalui langkah strerilisasi di pasar valuta
asing. Kebijakan ini terus dilakukan sepanjang tahun
laporan secara konsisten dan terukur. Selain itu, pada
12 Januari 2001 Bank Indonesia menerbitkan PBI No.
3/3/2001 yang dimaksudkan untuk membatasi
transaksi rupiah oleh bukan penduduk yang
berpotensi digunakan untuk berspekulasi (Boks :
Pembatasan Terhadap Transaksi Rupiah dan
Pemberian Kredit Valuta Asing oleh Bank).
Pada fase ke dua, situasi politik di dalam
negeri semakin diwarnai oleh merosotnya keper-
cayaan terhadap kepemimpinan nasional. Hal ini pada
gilirannya semakin memperkuat dukungan terhadap
perlunya digelar Sidang Istimewa MPR yang
diharapkan dapat melahirkan kepemimpinan nasional
baru. Menyikapi situasi politik di Indonesia yang
semakin rawan, pada 21 Mei 2001 lembaga
pemeringkat internasional, Standard & Poor’s (S&P),
menurunkan peringkat utang (sovereign credit rating)
Indonesia dari B- menjadi CCC+. Selanjutnya, rapat
paripurna DPR pada 30 Mei 2001 akhirnya meminta
secara resmi kepada MPR untuk menggelar Sidang
Istimewa. Kendati demikian, dengan nilai tukar yang
sangat undervalued, dalam situasi seperti ini pelaku
pasar tidak banyak mengambil posisi karena bersikap
menunggu (wait and see) perkembangan politik
menjelang Sidang Istimewa MPR sehingga
pergerakan nilai tukar rupiah relatif stabil (sideways)
dalam kisaran Rp11.200 hingga menjelang Sidang
Istimewa MPR.
Pada fase ketiga, optimisme terhadap
membaiknya situasi politik meningkat seiring dengan
berhasilnya Sidang Istimewa MPR memilih kepe-
mimpinan nasional baru. Kondisi ini diharapkan
menjadi landasan baru bagi Indonesia untuk keluar
dari krisis ekonomi yang berkepanjangan, sehingga
mampu mendorong apresiasi nilai tukar rupiah yang
sangat tajam. Dalam kurun waktu tersebut,
dukungan dari dalam negeri maupun dari luar negeri
terhadap pemerintahan baru terus mengalir sehing-
ga nilai tukar rupiah menguat lebih lanjut mencapai
nilai tertinggi Rp8.485 per dolar pada 14 Agustus
2001.
Pada fase keempat, rupiah kembali bergerak
melemah hingga menembus batas pertahanan
psikologis pasar Rp10.000 (clear break) dan berlanjut
hingga menjelang akhir 2001. Tekanan depresiasi
tersebut terutama diawali oleh meningkatnya kembali
aksi beli valuta asing oleh korporasi dengan
memanfaatkan level nilai tukar rupiah yang rendah
akibat apresiasi yang sangat tajam pasca pengalihan
kepemimpinan nasional. Dalam saat yang sama,
kepercayaan pasar mulai merosot kembali sebagai
akibat meningkatnya ketidakpastian mengenai
penanganan beberapa program restrukturisasi
ekonomi. Meskipun situasi politik cenderung
membaik, pelaku pasar belum melihat terdapatnya
sinyal perbaikan pada sisi fundamental ekonomi.
Kepercayaan pasar terutama dipengaruhi
oleh persepsi terhadap besarnya utang pemerintah
baik utang dalam negeri maupun luar negeri yang
dipandang akan menjadi ancaman yang sangat
berat dalam memelihara kesinambungan fiskal.
Beratnya kondisi keuangan pemerintah tersebut
dikonfirmasi oleh S&P pada 2 November 2001
dengan menurunkan kembali peringkat utang
Indonesia dari CCC+ menjadi CCC dengan negative
outlook, yang berarti bahwa peringkat utang Indone-
Nilai Tukar
60
sia tersebut masih berpeluang untuk diturunkan lagi
di masa yang akan datang. Rencana pemerintah yang
akan meminta penjadwalan utang luar negeri melalui
forum Paris Club III menjadi alasan utama bagi S&P
dalam menurunkan peringkat utang Indonesia
tersebut. Bahkan S&P mengancam akan kembali
menurunkan peringkat utang Indonesia ketingkat
terendah, yaitu Selected Default (SD), jika bunga
Yankee Bonds Indonesia sampai harus dijadwalkan
sebagai konsekuensi atas penerapan azas
comparibility of treatment dalam Paris Club. Keper-
cayaan pasar semakin memburuk karena keter-
lambatan pencairan pinjaman dari IMF sebesar $400
juta yang baru dicairkan pada Agustus 2001 setelah
tertunda sejak Desember 2000.
Sementara itu, krisis politik internasional
sebagai dampak peristiwa serangan teroris di Amerika
Serikat pada 11 September 2001 selanjutnya
berimbas ke dalam negeri berupa reaksi keras yang
menimbulkan situasi yang tidak aman bagi investor
asing di dalam negeri. Berbagai peristiwa tersebut
dipandang semakin memperburuk country risk Indo-
nesia sebagaimana dikonfirmasi oleh Political &
Economic Risk Consultancy (PERC) yang berbasis
di Hong Kong. Berdasarkan hasil kajian PERC, coun-
try risk Indonesia meningkat dari 7,3 menjadi 7,6.
Namun, menjelang penutupan akhir tahun, nilai tukar
rupiah sedikit menguat kembali sehubungan dengan
terdapatnya pasokan valuta asing dari BPPN, serta
meningkatnya kebutuhan rupiah dalam rangka
menghadapi beberapa hari besar yang hampir
berlangsung secara bersamaan pada Desember
2001.
Meningkatnya country risk Indonesia juga
ditandai dengan melonjaknya rata-rata tingkat premi
swap untuk semua tenor dan naiknya tingkat premi
risiko secara tajam (Grafik 3.5 dan 3.6). Rata-rata
tingkat premi swap untuk tenor overnight, 1 bulan, 3
bulan, 6 bulan, dan 12 bulan melonjak masing-masing
dari 3,86%, 4,97%, 5,02%, 4,89%, dan 4,95% pada
2000 menjadi 11,98%, 13,88%, 14,36%, 14,20%, dan
13,85% pada 2001. Dalam periode yang sama, rata-
rata tingkat premi risiko naik dari 603 bp menjadi 712
bp (Grafik 3.1).
Grafik 3.6
Kurva Yield Swap
8,00
9,00
10,00
11,00
12,00
13,00
14,00
15,00
16,00
17,00
18,00
Maret Juni September Desember
O/N 1 Bulan 3 Bulan 6 Bulan 12 Bulan
Persen
Grafik 3.5
Perkembangan Premi Swap
Persen
4,0
6,0
8,0
10,0
12,0
14,0
16,0
18,0
O/N 1 Bulan3 Bulan 6 Bulan 12 Bulan
2000 2 0 0 1
Des. Jan. Feb . Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
Nilai Tukar
61
Sejalan dengan melonjaknya premi swap,
covered interest rate parity5 (berjangka waktu 1 bulan)
juga memburuk. Hampir sepanjang periode laporan,
covered interest rate parity terus-menerus mencatat
angka negatif. Secara point to point, angka covered
interest rate parity memburuk dari 0,55% pada akhir
2000 menjadi –0,83% pada akhir 2001 (Grafik 3.7).
Walaupun perbedaan suku bunga (interest rate
differential) membaik akibat naiknya suku bunga
nominal dalam negeri dan turunnya suku bunga luar
negeri, namun besarnya peningkatan premi swap
telah menyebabkan covered interest rate selalu
negatif. Hal ini merefleksikan masih tingginya faktor
risiko, yang tidak dapat ditutup oleh perbedaan suku
bunga nominal, sehingga menurunkan minat inves-
tor untuk memegang aset berdenominasi rupiah.
Kecenderungan melemahnya mata uang re-
gional dan mata uang kuat dunia lainnya terhadap
dolar sepanjang tahun laporan juga menimbulkan
dampak penularan (contagion effect) sehingga nilai
tukar rupiah turut tertekan. Melambatnya kinerja
ekonomi Amerika Serikat pada khususnya dan dunia
pada umumnya telah memukul kinerja sektor eks-
ternal sejumlah negara Asia karena menurunnya per-
mintaan terhadap produk ekspor, yang pada gili-
rannya turut memberi tekanan terhadap mata uang
domestik di negara-negara tersebut seperti tercermin
dari perkembangan indeks nilai tukar nominal
beberapa negara Asia (Grafik 3.8).
PENAWARAN DAN PERMINTAAN VALUTA ASING
Berbagai faktor yang mempengaruhi perkembangan
nilai tukar rupiah sepanjang 2001 sebagaimana
dikemukakan di atas, juga dapat dilihat dari kondisi
keseimbangan permintaan dan penawaran di pasar
valuta asing. Kecenderungan depresiasi nilai tukar
rupiah yang disertai dengan tingkat volatilitas yang
tinggi merupakan cermin dari besarnya tingkat per-
mintaan valuta asing yang tidak diimbangi dengan
pasokan yang memadai di pasar valuta asing.
Terjadinya kesenjangan tersebut pada gilirannya
Grafik 3.7
Covered Interest Rate Parity
-3,0
-2,5
-2,0
-1,5
-1,0
-0,5
0,0
0,5
1,0
Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
2 0 0 0 2 0 0 1
Persen
Grafik 3.8
Perkembangan Indeks Nilai Tukar Beberapa Mata Uang
5 Covered interest rate parity = suku bunga dalam negeri (JIBOR 1
bulan) – suku bunga luar negeri (SIBOR 1 bulan) – premi swap (1
bulan).
85
90
95
100
105
110
115
120
125
Indeks
1 Januari 2001 = 100IDR
JPY
EUR
PHP THBKRW
31/121/1 15/1 29/1 12/2 26/2 12/3 26/3 9/4 23/4 3/5 13/5 23/5 4/6 18/6 2/7 16/7 30/7 13/8 27/8 10/9 24/9 8/10 22/10 5/11 19/11 3/12 17/12
2 0 0 1
Nilai Tukar
62
WTC di Amerika Serikat. Secara keseluruhan, nilai
ekspor pada 2001 tercatat sebesar $58,7 miliar, lebih
rendah dari nilai ekspor 2000 yang mencapai $65,4
miliar. Sementara itu, defisit neraca jasa didominasi
oleh pembayaran bunga utang luar negeri. Surplus
transaksi berjalan tersebut secara riil (cash basis)
bahkan dapat menjadi lebih kecil apabila ternyata
tidak seluruh devisa hasil ekspor (DHE) mengalir
masuk ke dalam negeri.
Penurunan kinerja ekspor 2001 lebih
dipengaruhi oleh lesunya perekonomian dunia, diban-
dingkan dengan stimulus yang bersumber dari ter-
depresiasinya nilai tukar rupiah baik secara nominal
maupun riil. Kecenderungan terdepresiasinya nilai
tukar rupiah secara riil terutama sebagai akibat dari
besarnya tingkat depresiasi nominal nilai tukar rupiah
yang melebihi pengaruh besarnya kenaikan inflasi di
dalam negeri. Depresiasi nilai tukar rupiah secara riil
terlihat dari menurunnya rata-rata indeks real effec-
tive exchange rate (REER) dari 69,6 dalam tahun
2000 menjadi 67,8 dalam tahun 2001 (Grafik 3.9).
Sementara itu, rata-rata indeks bilateral real exchange
rate (BRER) juga menunjukkan penurunan dari 54,8
dalam tahun 2000 menjadi 49,3 pada 2001, dan masih
jauh di bawah indeks BRER sejumlah negara Asia
seperti Cina, Korea Selatan, Singapura, Malaysia, dan
Thailand meskipun mata uang negara-negara
tersebut secara riil juga mengalami depresiasi
sepanjang 2001 (Grafik 3.10).
Dalam periode yang sama, defisit lalu lintas
modal diperkirakan mencapai $8,9 miliar, meningkat
dari $6,8 miliar dalam periode sebelumnya. Hal ini
disebabkan oleh defisit lalu lintas modal pemerintah
setelah dalam periode sebelumnya mencatat surplus,
sementara defisit lalu lintas modal swasta masih.
menyebabkan nilai tukar rupiah sangat peka terhadap
terjadinya perubahan sentimen pasar.
Dari sisi penawaran, potensi pasokan di
pasar valuta asing dalam negeri dapat bersumber dari
devisa hasil ekspor, aliran masuk modal asing baik
berupa investasi asing langsung (FDI) maupun inves-
tasi portofolio, penarikan pinjaman luar negeri, serta
sterilisasi valuta asing oleh bank sentral. Sepanjang
2001, sebagian besar sumber penghasil devisa
tersebut masih menunjukkan berbagai keterbatasan
dan hambatan dalam peranannya untuk meningkatkan
pasokan valuta asing ke pasar. Keterbatasan pasokan
tersebut terutama disebabkan oleh belum kondusifnya
situasi di dalam negeri, kecenderungan memburuknya
kinerja ekonomi dunia, serta beberapa permasalahan
struktural yang menghambat aliran masuk devisa ke
dalam negeri. Di pihak lain, peranan bank sentral seba-
gai pemasok valuta asing di pasar sangat tergantung
pada kecukupan cadangan devisa.
Secara fundamental, tekanan depresiasi
terhadap rupiah merupakan refleksi dari mem-
buruknya kinerja sektor eksternal sebagaimana
tercermin dari merosotnya surplus transaksi berjalan
dan membengkaknya defisit lalu lintas modal (Lihat
uraian lebih lengkap dalam Bab 6 Neraca
Pembayaran). Surplus transaksi berjalan dalam tahun
laporan hanya mencapai $5,0 miliar atau 3,4% dari
PDB, jauh di bawah surplus tahun sebelumnya
sebesar $8,0 miliar atau 5,3% dari PDB. Merosotnya
surplus transaksi berjalan tersebut terutama
disebabkan oleh turunnya kinerja ekspor dan masih
tingginya defisit neraca jasa. Sepanjang 2001, kinerja
ekspor Indonesia menunjukkan kecenderungan yang
terus menurun sejalan dengan lesunya kondisi
perekonomian dunia yang diperparah oleh tragedi
Nilai Tukar
63
tinggi. Masih tingginya defisit lalu lintas modal swasta
selain disebabkan oleh masih terhambatnya aliran
masuk devisa, juga disebabkan oleh masih terus
berlangsungnya aliran modal keluar. Terhambatnya
aliran masuk devisa baik berupa penanaman modal
asing langsung (FDI) maupun surat-surat berharga
di pasar uang dan modal (portfolio), terutama karena
belum kondusifnya situasi di dalam negeri. Hal ini
berkaitan dengan masih lemahnya jaminan ke-
amanan berusaha dan kepastian hukum serta ber-
bagai ketidakpastian situasi sosial politik. Sementara
itu, aliran modal keluar terutama berkaitan dengan
masih besarnya pembayaran utang luar negeri
swasta, serta masih tingginya penempatan portofolio
valuta asing di pasar uang offshore.
Peningkatan penempatan portofolio valuta
asing di pasar uang offshore terutama sebagai akibat
dari masih tingginya risiko penempatan valuta asing
di dalam negeri, baik dalam bentuk penyaluran kredit
valuta asing maupun di PUAB valuta asing di dalam
negeri. Selanjutnya, masih tingginya risiko penem-
patan dana di PUAB valuta asing dalam negeri pada
gilirannya mengakibatkan likuiditas di PUAB valuta
asing dalam negeri semakin menurun sehingga turut
membatasi ketersediaan likuiditas valuta asing di
pasar valuta asing dalam negeri.
Secara keseluruhan, neraca pembayaran
Indonesia dalam tahun 2001 diperkirakan mengalami
defisit $1,4 miliar setelah selama tiga tahun terakhir
mencatat surplus. Dari sisi fundamental, gambaran
sektor eksternal yang kurang menggembirakan ter-
sebut mencerminkan terbatasnya sumber devisa
yang menjadi salah satu penyebab kelangkaan paso-
kan valuta asing di pasar keuangan dalam negeri.
Dari sisi permintaan, situasinya sangat
kontras dengan sisi penawaran di pasar valuta asing
dalam negeri. Di tengah-tengah kelangkaan pasokan
valuta asing di pasar, permintaan valuta asing masih
cukup besar dan cenderung meningkat baik yang di-
dasari oleh permintaan murni (genuine demand),
maupun motif spekulasi (speculative demand) dan
tindakan penyelamatan aset (flight to quality). Hal
ini pada umumnya dipicu oleh memburuknya
sentimen pasar akibat dari meningkatnya berbagai
Grafik 3.9
Real Effective Exchange Rate
55
60
65
70
75
80
85
90
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
Indeks
1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1
Grafik 3.10
Bilateral Real Exchange Rate
35
45
55
65
75
85
95
Indeks
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12
KoreaSelatan
Thailand
2 0 0 0
Singapura
MalaysiaIndonesia
RRC
2 0 0 1
Nilai Tukar
64
6 Khusus untuk transaksi dolar-rupiah.
faktor ketidakpastian dan risiko. Kendati demikian,
dalam prakteknya masih sulit untuk membedakan
realisasi pembelian valuta asing yang dilatar-
belakangi ketiga motif tersebut mengingat seringkali
terjadi secara simultan. Namun dari ketiga motif
permintaan tersebut, jenis transaksi yang ditengarai
paling besar dan relatif terukur menurut penggu-
naannya adalah permintaan valuta asing untuk
pembiayaan impor dan pembayaran cicilan pokok
dan bunga utang luar negeri.
Permintaan valuta asing untuk kebutuhan
impor migas dan nonmigas ditengarai masih tetap
tinggi meskipun mengalami penurunan dibanding
tahun sebelumnya. Selain untuk membiayai impor,
permintaan valuta asing juga ditengarai banyak
digunakan dalam rangka pelunasan cicilan pokok dan
bunga utang luar negeri khususnya sektor swasta.
Pembayaran utang luar negeri tersebut berpotensi
menjadi sumber permintaan valuta asing di pasar.
Besarnya pembayaran utang luar negeri tersebut juga
tercermin dari menurunnya posisi utang luar negeri
dalam tahun laporan (lihat uraian di Bab 6 Neraca
Pembayaran).
Dampak yang ditimbulkan oleh realisasi
pembelian valuta asing oleh korporasi baik untuk
kebutuhan impor maupun pembayaran cicilan utang
luar negeri swasta di tengah-tengah kelangkaan
pasokan devisa cenderung menimbulkan tekanan
depresiasi terhadap nilai tukar rupiah. Dalam prak-
teknya, timing dari realisasi pembelian valuta asing
oleh korporasi tersebut tidak selalu sejalan dengan
jadwal kebutuhan valuta asing untuk kegiatan impor
di masa depan atau jadwal pelunasan utang luar
negeri, namun pada umumnya lebih didasarkan
pada ekspektasi terhadap arah perkembangan nilai
tukar ke depan. Ekspektasi terhadap kemungkinan
melemahnya nilai tukar rupiah yang dipicu oleh
sentimen negatif sering mendorong sektor kor-
porasi merealisasikan pembelian valuta asing lebih
dini di pasar spot, daripada melakukan transaksi
lindung nilai sebagai sarana untuk melindungi risiko
fluktuasi nilai tukar. Kondisi tersebut disebabkan
oleh kurang berkembangnya pasar lindung nilai/
hedging (derivative market) terutama untuk yang
berjangka waktu menengah-panjang. Selain itu,
realisasi permintaan valuta asing oleh korporasi —
terutama yang tergolong besar (big players)—
seringkali menjadi pemicu transaksi bagi pelaku pa-
sar lainnya (herd behaviour) terutama yang bermotif
spekulasi.
Sementara itu, permintaan valuta asing yang
murni dilatarbelakangi oleh motif spekulasi masih sulit
untuk dapat diukur besarannya. Namun, secara u-
mum permintaan yang bermotif spekulasi ini sering-
kali muncul bertepatan dengan memburuknya sen-
timen pasar sebagai reaksi terhadap meningkatnya
ketidakpastian yang dipicu baik oleh faktor ekonomi
maupun nonekonomi.
TRANSAKSI DEVISA ANTARBANK
Meningkatnya volatilitas nilai tukar rupiah sejalan
dengan terjadinya perubahan pola transaksi di pasar
valuta asing dalam negeri. Secara kumulatif, transaksi
devisa antarbank6 menurun 4,0% dari $298,0 miliar
tahun 2000 menjadi $286,1 miliar tahun 2001 (Tabel
3.1). Dari jenis transaksinya, transaksi swap masih
mendominasi komposisi transaksi devisa antarbank
sepanjang 2001 (Grafik 3.11). Namun, dalam periode
Nilai Tukar
65
yang tercermin dari tingginya tingkat premi swap.
Kelangkaan instrumen lindung nilai tersebut terutama
disebabkan oleh kurang berkembangnya pasar
derivatif di pasar keuangan domestik.
Dari total volume transaksi devisa antarbank
(dolar-rupiah) sebesar $286,1 miliar dalam periode
laporan, sebesar $160,3 miliar merupakan pembelian
dolar dan sebesar $125,8 miliar merupakan penjualan
dolar sehingga secara keseluruhan transaksi devisa
antarbank mencatat posisi total net overbought
sebesar $34,5 miliar. Dengan kata lain, sepanjang
periode laporan perbankan cenderung berada dalam
posisi long dollar. Posisi net overbought tersebut
terutama bersumber dari transaksi dengan counter-
part di luar negeri yang mencatat net overbought,
sedangkan transaksi dengan counterpart di dalam
negeri justru mencatat net oversold. Dilihat dari jenis
transaksinya, posisi net overbought sebagian besar
berasal dari transaksi swap.
Perkembangan volume transaksi devisa
antarbank juga menunjukkan pola yang relatif searah
dengan volatilitas nilai tukar rupiah (Grafik 3.12).
Volume transaksi terbesar terjadi pada Agustus 2001
yang sama, transaksi swap menurun 18,3% dari
$187,6 miliar menjadi $153,2 miliar sedangkan
transaksi spot justru meningkat 17,8% dari $109,0
miliar menjadi $128,4 miliar. Dilihat dari pelaku
pasarnya, bank-bank asing masih mendominasi
transaksi devisa antarbank dengan volume transaksi
yang cukup besar.
Pergeseran komposisi transaksi dari pasar
swap ke pasar spot menunjukkan perubahan pola
perilaku pasar menjadi lebih bersifat spekulatif. Hal
ini ditengarai karena semakin langkanya penawaran
fasilitas swap khususnya yang berjangka menengah-
panjang (3 bulan ke atas). Di pihak lain, ongkos untuk
melakukan lindung nilai di pasar swap semakin mahal
Grafik 3.11
Komposisi Volume Transaksi Devisa
Spot
45%
Forward
2%
Swap
53%
Grafik 3.12
Volume Transaksi Spot dan Volatilitas Nilai Tukar
0
100
200
300
400
500
600
700
800
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10Rata-rata Harian Volume Transaksi Spot Dolar-Rupiah
Rata-rata Harian Volatilitas Kurs Rupiah
Juta dolar Persen
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
2 0 0 1
Juta Dolar
Spot 109.045,6 128.372,6
Forward 1.385,9 4.533,0
Swap 187.596,8 153.225,1
Total Volume 298.028,3 286.130,7
Volume Transaksi2000 2001
Tabel 3.1
Transaksi Devisa Antarbank Khusus Dolar-Rupiah
Nilai Tukar
66
7 Lihat Boks: Pembatasan Terhadap Transaksi Rupiah dan Pemberian
Kredit Valuta Asing oleh Bank.
yang secara rata-rata harian mencapai $668 juta.
Besarnya volume transaksi dalam Agustus tersebut
diiringi dengan tingginya tingkat volatilitas nilai tukar
rupiah yang secara rata-rata harian mencapai 8,0%,
tertinggi sepanjang periode laporan.
KEBIJAKAN
Menyikapi tingginya gejolak nilai tukar ru-
piah sebagaimana disampaikan sebelumnya,
sepanjang tahun laporan Bank Indonesia telah
menempuh beberapa langkah yang diperlukan
melalui kebijakan moneter dengan mengoptimalkan
seluruh instrumen yang tersedia. Upaya tersebut
juga diperkuat dengan penyempurnaan beberapa
peraturan, pengawasan terhadap sejumlah bank
pelaku terbesar di pasar valuta asing, serta
monitoring terhadap transaksi devisa. Disadari
bahwa, berbagai langkah yang ditempuh Bank
Indonesia tersebut belum sepenuhnya memberikan
hasil yang optimal karena besarnya pengaruh faktor
nonekonomi, serta kompleksitas permasalahan
ekonomi makro dan mikro yang mempengaruhi nilai
tukar (yang tidak sepenuhnya berada dalam kendali
Bank Indonesia).
Dalam rangka penyerapan kelebihan likui-
ditas rupiah yang berpotensi dapat memberikan
tekanan terhadap nilai tukar rupiah, sepanjang
periode laporan Bank Indonesia melakukan kebijakan
moneter melalui Operasi Pasar Terbuka (OPT), yang
dibantu dengan sterilisasi valuta asing di pasar.
Langkah sterilisasi valuta asing ini juga bertujuan
untuk menambah likuiditas valuta asing di pasar
dalam negeri yang ditengarai mengalami kelangkaan
pasokan. Di tengah-tengah derasnya permintaan
valuta asing —yang seringkali dipicu oleh mem-
buruknya sentimen karena gejolak sosial politik—,
langkah sterilisasi ini berhasil menahan nilai tukar
rupiah agar tidak terdepresiasi lebih tajam lagi.
Selanjutnya, kebijakan sterilisasi ini terus
dijalankan secara konsisten dan terukur, dalam arti
kebijakan tersebut dilakukan sepanjang tahun
laporan dan pelaksanaannya disesuaikan dengan
kondisi pasar dan kecukupan cadangan devisa yang
harus dipelihara Bank Indonesia. Konsistensi
pelaksanaan kebijakan ini sangat penting dalam
upaya memberikan sinyal kepada publik terhadap
komitmen Bank Indonesia dalam memelihara
kestabilan nilai tukar.
Selain itu, Bank Indonesia juga telah mener-
bitkan PBI No.3/3/2001 yang mengatur ketentuan
pembatasan transaksi rupiah oleh bukan penduduk
pada 12 Januari 2001.7 Kebijakan ini dilatarbelakangi
oleh perilaku bukan penduduk yang cenderung
menggunakan rupiah sebagai alat spekulasi sehingga
sering menimbulkan gejolak nilai tukar rupiah. Dalam
pelaksanaannya, kebijakan ini terbukti mampu mem-
batasi ruang gerak bukan penduduk untuk bertran-
saksi rupiah yang tidak didasarkan pada kegiatan
ekonomi riil.
Sebagaimana tahun-tahun sebelumnya,
Bank Indonesia tetap melakukan pengawasan terha-
dap bank-bank yang aktif di pasar valuta asing baik
secara langsung maupun tidak langsung. Pengawa-
san secara langsung terhadap bank-bank —sebagai
pelaku utama di pasar valuta asing— sangat penting
guna memastikan kepatuhan terhadap peraturan
kehati-hatian (prudential regulation) termasuk kehati-
hatian dalam transaksi devisa. Sementara itu,
Nilai Tukar
67
pengawasan secara tidak langsung terutama
dilakukan dengan melakukan pemantauan terhadap
laporan keuangan yang disampaikan secara rutin oleh
bank-bank devisa serta pemantauan terhadap
transaksi valuta asing melalui data Pusat Informasi
Pasar Uang (PIPU).
Berbagai langkah kebijakan tersebut akan
lebih efektif apabila memperoleh dukungan dari kondisi
fundamental ekonomi makro dan kondisi sosial politik
yang kondusif. Kondisi fundamental ekonomi dan sosial
politik yang kondusif merupakan modal dasar baik
dalam membangun kepercayaan pasar maupun
sebagai bagian yang sangat penting dalam mengu-
rangi kesenjangan permintaan dan penawaran di pasar
valuta asing. Meskipun secara keseluruhan berjalan
lamban, tercatat beberapa kemajuan dalam re-
strukturisasi ekonomi terutama restrukturisasi utang
pemerintah dan beberapa program restrukturisasi
dalam kerangka kesepakatan dengan IMF.
Ke depan, kebijakan moneter akan tetap
dilaksanakan secara konsisten, terarah, dan terukur
agar kestabilan harga tetap terjaga serta dapat men-
cegah timbulnya potensi yang dapat memberi tekanan
terhadap nilai tukar. Sementara itu, pengawasan
terhadap transaksi devisa bank-bank, baik secara
langsung maupun tidak langsung akan terus
dioptimalkan. Sejalan dengan beberapa langkah yang
akan ditempuh guna meyehatkan sektor perbankan,
beberapa upaya akan terus ditempuh guna mem-
perbaiki struktur mikro pasar valuta asing termasuk
mengurangi segmentasi pasar sehingga dapat tercipta
pasar valuta asing yang likuid dan efisien. Dalam
hubungan ini, guna melahirkan kebijakan yang kredibel
dan realistis, berbagai penelitian dan kajian akan terus
ditingkatkan. Upaya tersebut akan ditempuh antara lain
melalui koordinasi dengan Pemerintah serta
komunikasi secara rutin dengan bank-bank guna
mengetahui kondisi yang sesungguhnya terjadi di
pasar valuta asing. Penelitian dan kajian terutama
diarahkan guna mengurangi terjadinya kesenjangan
permintaan dan penawaran di pasar valuta asing serta
menutup beberapa kelemahan mendasar pada
struktur mikro perbankan pada umumnya dan pasar
valuta asing pada khususnya.
Sementara itu, guna mengurangi kesen-
jangan permintaan dan penawaran valuta asing
sekaligus membangun kepercayaan pasar, program
restrukturisasi ekonomi seperti restrukturisasi utang
dan korporasi, privatisasi dan divestasi, serta
revitalisasi sektor dunia usaha dan perbankan, akan
terus dilanjutkan. Namun demikian, seluruh upaya
tersebut di atas akan lebih efektif apabila
memperoleh dukungan kondisi sosial politik yang
stabil dan kondusif. Selain itu, upaya-upaya yang
dapat meningkatkan kepastian hukum dan
keamanan berusaha merupakan bagian terpenting
dalam upaya memelihara kestabilan nilai tukar ru-
piah.
Nilai Tukar
68
SPREAD KURS (HARGA BELI-JUAL)
MENINGKAT
KEUNTUNGAN DARI
FLUKTUASI KURSONGKOS TRANSAKSI>
KEUNTUNGAN BERSIH
VOLATILITAS MENINGKATPROFIL RISIKO
TRADERS
ONGKOS TRANSAKSI MENINGKAT
PROFIL RISIKO
TRADERS
VOLUME PERDAGANGAN
(UNEXPECTED)
MEMERLUKAN FLUKTUASIKURS YANG BESAR
Bagan 1
Keterkaitan Antara Likuiditas Pasar, Volume Transaksi,
dan Volatilitas
Sejak diberlakukannya sistem nilai tukar me-
ngambang bebas pada pertengahan 1997, nilai tukar
rupiah sering mengalami fluktuasi yang sangat besar.
Fluktuasi nilai tukar rupiah bahkan jauh lebih besar
apabila dibandingkan dengan fluktuasi nilai tukar mata
uang negara-negara lain termasuk mata uang utama
dunia seperti euro dan yen Jepang yang diper-
dagangkan secara aktif dan spekulatif dalam skala
global. Tidak dapat dipungkiri bahwa sentimen negatif
terhadap meningkatnya berbagai ketidakpastian di
dalam negeri merupakan pemicu awal terjadinya
fluktuasi nilai tukar rupiah. Namun, fluktuasi tersebut
ditengarai tidak akan terjadi secara berlebihan apabila
rupiah diperdagangkan dalam pasar valuta asing yang
likuid dan efisien.
Suatu pasar keuangan dapat dikatakan
likuid dan efisien apabila setiap saat selalu tersedia
harga beli dan harga jual (bid-offer spread) dengan
selisih atau spread yang relatif sangat kecil --yang
pada dasarnya mencerminkan ongkos bertransaksi
yang efisien-- dan volume transaksi yang sangat
besar dapat segera dieksekusi dengan dampak
minimal terhadap fluktuasi harga. Dalam kondisi
pasar yang likuid, sensitivitas nilai tukar terhadap
perubahan volume transaksi valuta asing dalam
jumlah yang relatif kecil tidak akan menimbulkan
b o k s
Memahami Dinamika Nilai Tukar Rupiah
Melalui Pendekatan Model Struktur Mikro Pasar 1
1 Disarikan dari, ‘Studies on Exchange Rate Dynamic Through Infor-
mation Asymetric Model and Survey’ (Direktorat Riset Ekonomi dan
Kebijakan Moneter), Jakarta 2001.
perubahan nilai tukar secara berlebihan (Upper,
2000).
Sebagaimana dikemukakan sebelumnya,
ongkos transaksi valuta asing secara implisit
tercermin dari bid-ask spread. Semakin besar spread
tersebut, maka ongkos untuk bertransaksi di pasar
akan semakin mahal. Di pihak lain, prinsip bisnis bagi
pelaku pasar khususnya spekulator berlaku, bahwa
apabila ongkos yang timbul akibat melebarnya spread
meningkat, maka pelaku pasar memerlukan terjadinya
perubahan nilai tukar yang besar atau terjadinya large
swing untuk dapat memperoleh exchange rate gain,
sehingga dengan demikian dapat diraih laba (Bagan).
Terjadinya large swing nilai tukar akan
semakin besar apabila informasi tidak menyebar
secara merata di pasar atau terjadi asimetri informasi,
yang pada umumnya dipengaruhi oleh struktur mikro
pasar. Dengan demikian, terdapat keterkaitan yang
Nilai Tukar
68
Nilai Tukar
69
erat antara struktur mikro pasar, spread, volume
transaksi, fluktuasi atau volatilitas nilai tukar. Bebe-
rapa model market microstructure menelaah
keterkaitan tersebut, misalnya model “the mixture
distribution hypothesis” (Tauchen and Pitt, 1993).
Dengan menggunakan model ‘the mixture
distribution hypothesis’ (MDH) dan series data Januari
1998 s.d. Mei 2001, diestimasi hubungan volatilitas,
volume, dan spread di pasar valuta asing-rupiah
Dalam model ini di lakukan dekomposisi antara
volume transaksi yang dapat diperkirakan (expected
volume) dan volume transaksi yang tidak terduga
(unexpected volume), karena keduanya memiliki
dampak yang berbeda terhadap spread (Cornell,
1978). Expected volume diestimasi dengan
pendekatan ARMA (Auto Regressive Moving Aver-
age). Spread diasumsikan menjadi suatu fungsi yang
menurun dari volume karena skala ekonomi dari
meningkatnya volume akan meningkatkan proses
perdagangan yang lebih efisien dan tingkat
persaingan diantara traders. Oleh karena itu, ex-
pected volume diasumsikan memiliki korelasi negatif
dengan spread (Easley O’Hara, 1992). Sebaliknya,
unexpected volume atau perubahan volume yang
tidak terduga mencerminkan volatilitas yang bersifat
contemporaneous melalui model MDH, dengan
demikian diasumsikan memiliki hubungan positif
dengan spread. Sementara itu, volatilitas diestimasi
dengan menggunakan GARCH (General Auto-
regressive Conditional Heteroscedasticity) untuk
mencerminkan volatilitas yang dapat diperkirakan
(expected volatility).
Di pasar valuta asing rupiah, perubahan
unexpected volume berkorelasi positif dengan
volatilitas. Peningkatan unexpected volume sebesar
1,0%, mengakibatkan volatilitas meningkat 0,3%.
Tingginya sensitivitas volatilitas terhadap unexpected
volume tersebut menunjukkan bahwa pasar valuta
asing di Indonesia sangat dangkal. Tingkat volatilitas
secara signifikan juga sangat dipengaruhi oleh
spread. Peningkatan spread sebesar 1,0% mengaki-
batkan volatilitas meningkat 0,2%. Hasil dari estimasi
ini membuktikan bahwa semakin lebar spread atau
semakin tidak likuid pasar valuta asing, semakin
membuat volatilitas nilai tukar semakin tinggi. Dengan
semakin melebarnya spread, peserta pasar yang
memiliki motif spekulatif membutuhkan perubahan
atau fluktuasi nilai tukar –baik naik atau turun— yang
cukup besar (large swing). Dengan demikian, dapat
diperoleh keuntungan dari flluktuasi nilai tukar yang
melebihi ongkos yang timbul dari spread.
Perbandingan rasio spread terhadap mid-
point kurs beberapa negara Asia sejak Januari 1998
- Mei 2001 memperlihatkan bahwa ongkos bertran-
saksi dalam perdagangan nilai tukar rupiah jauh sa-
ngat tinggi (tidak efisien) dibandingkan beberapa nilai
tukar mata uang Asia lainnya seperti bath Thailand
dan peso Filipina. Hal ini merupakan gambaran
bahwa nilai tukar rupiah diperdagangkan dalam
kondisi pasar yang tidak likuid, sehingga mudah
berfluktuasi secara tajam. Besarnya spread tersebut
terutama dipengaruhi oleh struktur pasar valuta asing
yang tidak efisien dan tersegmentasi, serta faktor
ketidakpastian yang secara persisten mempengaruhi
sentimen pelaku pasar. Ketika pelaku pasar semakin
tidak pasti mengenai arah perkembangan kurs,
mereka akan cenderung bersikap risk averse
sehingga melebarkan spread. Hal ini terlihat dari
pengaruh volatilitas yang secara signifikan mem-
pengaruhi spread. Meningkatnya volatilitas sebesar
Nilai Tukar
69
Nilai Tukar
70
1,0% mengakibatkan terjadinya pelebaran spread
sebesar 0,06%.
Menyikapi kondisi tersebut di atas,
diperlukan beberapa langkah struktural guna
memperbaiki struktur mikro pasar valuta asing
rupiah, sehingga dapat tercipta pasar yang likuid dan
efisien. Hal ini antara lain dapat ditempuh dengan
mengurangi terjadinya segmentasi pasar (sehingga
harga yang terbentuk di pasar dapat mewakili seluruh
kekuatan pasar), dan meningkatkan pasokan valuta
asing di pasar guna meningkatkan kedalaman pasar
(market deepening). Selain itu, langkah-langkah
tersebut perlu didukung dengan terciptanya kondisi
yang kondusif di dalam negeri yang dapat
mengurangi berbagai ketidakpastian (risiko).
Berkurangnya ketidakpastian ditengarai akan turut
mempengaruhi mekanisme pembentukan harga di
pasar valuta asing, yang dapat tercermin dalam
bentuk penyempitan spread. Hal ini pada gilirannya
akan turut mendorong terciptanya pasar valuta asing
yang efisien sehingga gejolak nilai tukar yang
berlebihan dapat dikurangi.
Nilai Tukar
70
Nilai Tukar
71
b o k s
Pembatasan Terhadap Transaksi Rupiah dan Pemberian
Kredit Valuta Asing oleh Bank
Sebagaimana dimaklumi, sejak triwulan IV-
1997 nilai tukar rupiah terus mengalami tekanan
depresiasi, yang disertai dengan fluktuasi yang tinggi.
Dari data yang ada mengindikasikan bahwa tingginya
tekanan terhadap nilai tukar rupiah tersebut antara
lain karena rupiah banyak digunakan oleh bukan
penduduk (nonresiden) di pasar uang luar negeri
(offshore market) untuk tujuan spekulasi dengan
memanfaatkan fluktuasi nilai tukar rupiah. Hal tersebut
tercermin dari terjadinya peningkatan saldo rekening
vostro rupiah milik nonresiden di bank-bank domestik
sejalan dengan meningkatnya tekanan depresiasi dan
tingginya volatilitas nilai tukar rupiah (Grafik 1 dan 2).
Faktor lain yang juga menyumbang terhadap
volatilitas nilai tukar rupiah adalah perkembangan
faktor-faktor nonfundamental ekonomi yang kurang
kondusif terhadap kegiatan investasi, sehingga
menghambat aliran modal dari luar negeri.
Dalam rangka mengurangi tekanan terhadap
rupiah tersebut, pada 12 Januari 2001, Bank
Indonesia menerbitkan PBI No. 3/3/2001 yang
mengatur pembatasan transaksi rupiah dan
pemberian kredit valuta asing oleh bank. Pada
dasarnya, ketentuan tersebut mengatur transaksi
yang dilakukan perbankan di Indonesia dengan
mencakup 2 hal, yaitu:
1. Pelarangan transfer rupiah oleh perbankan
Indonesia kepada nonresiden, khususnya untuk
transfer rupiah tanpa didasari transaksi riil yang
mendukung kegiatan ekonomi Indonesia.
2. Pembatasan terhadap transaksi derivatif yang
tidak didasari oleh kegiatan ekonomi riil atau non-
Grafik 1
Rata-Rata Harian Mutasi Rekening Vostro
Grafik 2
Perkembangan Saldo Rekening Vostro
(1.000.000)
(500.000)
–
500.000
1.000.000
1.500.000
Des 2000 Sep 2001
Juta Rp
–
100.000
200.000
300.000
400.000
500.000
600.000
700.000
800.000
Des 2000 Sep 2001
Juta Rp
Nilai Tukar
71
Nilai Tukar
72
underlying transaction, yakni dengan menu-
runkan batas maksimum transaksi derivatif
penjualan valuta asing dari bank domestik kepada
nonresiden dari $5 juta menjadi $3 juta.
Tujuan utama diberlakukannya peraturan ter-
sebut adalah untuk mengurangi internasionalisasi
rupiah, dengan membatasi aliran rupiah ke luar
negeri. Dengan diterbitkannya ketentuan PBI No. 3/
3/2001 ini diharapkan pasokan rupiah dari residen
kepada nonresiden yang berpotensi digunakan untuk
berspekulasi dapat dibatasi, sehingga dapat me-
ngurangi gejolak nilai tukar rupiah yang berlebihan.
Implikasi pemberlakuan PBI No. 3/3/2001
terhadap pasar valuta asing-rupiah dan pergerakan
nilai tukar rupiah adalah sebagai berikut :
1. Berkurangnya secara drastis aktivitas transaksi
peserta pasar luar negeri (nonresiden) yang tidak
didasari transaksi riil, sebagaimana tercermin dari
penurunan saldo harian rekening vostro dari
Rp531,6 miliar sebelum PBI diterbitkan menjadi
sekitar Rp88,6 miliar setelah PBI diterbitkan.
2. Beralihnya sebagian besar transaksi yang semula
dilakukan di pasar valuta asing-rupiah luar negeri
ke pasar dalam negeri, seperti tercermin dari
peningkatan transaksi swap dan forward yang
sebagian besar berasal dari bank-bank asing
(Grafik 3). Bersamaan dengan itu, transaksi spot
yang dilakukan bank pemerintah dan lokal juga
mengalami peningkatan. Rata-rata harian
transaksi spot meningkat dari $438 juta (sebelum
PBI) menjadi $511 juta (sesudah PBI).
3. Beralihnya transaksi valuta asing-rupiah yang
semula banyak dilakukan di perbankan luar negeri
menjadi di perbankan dalam negeri, sehingga
menyebabkan kesempatan untuk melakukan
transaksi spekulasi oleh pihak nonresiden dapat
diminimalkan. Hal tersebut sejalan dengan
peraturan kehati-hatian (prudensial) Bank
Indonesia yang harus diterapkan perbankan,
seperti ketentuan Posisi Devisa Neto (PDN),
monitoring pasar valuta asing-rupiah melalui data
Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU), serta Lalu
Lintas Devisa (LLD), maupun ketentuan lainnya.
4. Rata-rata volatilitas rupiah pasca diberlakukannya
PBI tersebut memang masih tinggi, namun
tingginya volatilitas tersebut terjadi karena dua
peristiwa yang dipicu oleh perubahan situasi
politik. Tingginya volatilitas yang pertama terutama
Grafik 3
Rata-Rata Harian Transaksi Dolar-Rupiah
Grafik 4
Perkembangan Volatilitas Kurs Rp/$
200
300
400
500
600
700
800
900
1.000
1.100
1.200
spot
swap/forward
Des 2000 Des 2001
Juta $
0
2
4
6
8
10
12
14
8.000
8.500
9.000
9.500
10.000
10.500
11.000
11.500
12.000
12.500
RupiahVolatilitas (%)
Rupiah
Rata-RataVolatilitasBulanan
Volatilitas Harian
1/1 11/1 21/1 31/1 10/2 20/2 7/3 21/3 5/4 19/4 3/5 17/5 31/5 14/6 28/6 13/7 27/7 10/8 24/8 7/9 21/9 5/10 19/10 2/11 16/1130/1110/1220/12 30/12
2 0 0 1
Nilai Tukar
72
Nilai Tukar
73
terjadi sebagai akibat dari depresiasi nilai tukar
rupiah yang tajam ketika suhu politik memanas
menjelang pengalihan kepemimpinan nasional.
Sementara itu, tingginya volatilitas yang
berikutnya terjadi ketika nilai tukar rupiah
menguat secara tajam pasca pengalihan
kepemimpinan nasional pada pertengahan 2001
(Grafik 4). Dalam kenyataannya, volatilitas nilai
tukar rupiah di luar kedua peristiwa tersebut
cenderung lebih rendah dibandingkan tahun
2000 (sebelum PBI), dimana sepanjang 2000
nilai tukar rupiah terdepresiasi secara persisten
tanpa ada koreksi apresiasi yang signifikan.
Secara keseluruhan, peraturan PBI No. 3/3/
2001 telah mampu mengurangi transaksi rupiah yang
dilakukan oleh pihak nonresiden. Namun, gejolak nilai
tukar rupiah yang terjadi dalam tahun 2001 tidak dapat
dihindari karena bersamaan dengan tingginya faktor
ketidakpastian kondisi sosial, politik, dan keamanan
di dalam negeri.
Upaya penyempurnaan ketentuan tersebut
perlu terus dilakukan. Dengan demikian, sasaran
untuk mengurangi potensi sumber spekulasi dari
pihak nonresiden dapat dicapai tanpa menghambat
aliran dana luar negeri yang mendorong investasi di
dalam negeri.
Nilai Tukar
73
I n f l a s i
75
b a b 4
INFLASI
Pada awal 2001, Bank Indonesia memperkirakan
kondisi ekonomi dan moneter secara keseluruhan
pada 2001 akan semakin membaik. Pertumbuhan
ekonomi diperkirakan meningkat mencapai 4,5%–
5,5%, sementara nilai tukar rupiah diperkirakan me-
nguat mencapai rata-rata Rp7.750–Rp8.250 per dolar.
Berdasarkan asumsi indikator-indikator ekonomi ter-
sebut, Bank Indonesia menetapkan sasaran inflasi
indeks harga konsumen (IHK) di luar dampak kebi-
jakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan
sebesar 4,0%–6,0%. Sementara itu, dampak kebi-
jakan pemerintah di bidang harga dan pendapatan
diperkirakan dapat menimbulkan tambahan inflasi se-
besar 2,0%–2,5% di atas sasaran tersebut. Secara
keseluruhan, tekanan inflasi pada 2001 diperkirakan
berasal dari dampak kebijakan pemerintah di bidang
harga dan pendapatan, meningkatnya sisi permintaan
agregat, dan ekspektasi inflasi masyarakat yang
terkait dengan dampak kebijakan pemerintah
tersebut.
Namun, dalam perkembangannya pertum-
buhan ekonomi dan pergerakan nilai tukar pada
2001 tidak sesuai dengan yang diasumsikan semula
dan tekanan inflasi lebih besar dari yang diperkirakan
di awal tahun. Meningkatnya tekanan inflasi ber-
sumber dari semakin kuatnya pengaruh kebijakan
pemerintah di bidang harga dan pendapatan, mele-
mahnya nilai tukar rupiah, memburuknya ekspektasi
inflasi yang terkait dengan melemahnya nilai tukar
rupiah dan kebijakan pemerintah tersebut, serta
adanya keterbatasan produksi tanaman bahan
makanan. Di sisi lain, kondisi permintaan agregat
belum memberikan tekanan inflasi yang berarti.
Bank Indonesia telah menempuh berbagai
upaya untuk mencapai sasaran inflasi, yakni dengan
mengoptimalkan seluruh instrumen moneter yang ter-
sedia dan dengan mengeluarkan instrumen regulasi
baru di bidang nilai tukar dan devisa. Untuk meredam
pengaruh melemahnya nilai tukar terhadap inflasi
serta untuk mencapai sasaran uang primer yang
ditetapkan di awal tahun, Bank Indonesia berupaya
menyerap kelebihan likuiditas melalui instrumen
Operasi Pasar Terbuka. Selain itu, guna membantu
penyerapan likuiditas, Bank Indonesia secara intensif
melakukan sterilisasi valuta asing. Upaya-upaya
tersebut didukung pula oleh kebijakan pembatasan
transaksi rupiah oleh bukan penduduk. Sementara
itu, guna mengurangi terbentuknya ekspektasi inflasi
yang tinggi, Bank Indonesia menetapkan sasaran
inflasi yang rendah pada awal tahun.
Namun, berbagai upaya tersebut belum
dapat secara maksimal mengurangi tekanan
depresiasi dan fluktuasi nilai tukar yang terjadi
mengingat sumber tekanan tersebut banyak
dipengaruhi oleh faktor-faktor yang tidak sepenuhnya
dapat dikendalikan oleh Bank Indonesia. Faktor-faktor
tersebut antara lain masih tingginya permintaan valuta
asing yang tidak diimbangi dengan ketersediaan
pasokan yang memadai di pasar domestik, sentimen
negatif pelaku pasar terhadap kelemahan imple-
I n f l a s i
76
mentasi berbagai program restrukturisasi ekonomi
dan berbagai faktor nonekonomi, serta berbagai
kelemahan pada struktur mikro di pasar keuangan
domestik dan fungsi intermediasi perbankan yang
belum sepenuhnya pulih. Hal tersebut menyebabkan
likuiditas perekonomian lebih banyak berputar di
pasar keuangan sehingga cenderung dimanfaatkan
untuk kegiatan spekulasi valuta asing.
Kuatnya tekanan inflasi dari sisi biaya dan
ekspektasi inflasi serta adanya berbagai permasa-
lahan yang dihadapi Bank Indonesia dalam pengen-
dalian inflasi, menyebabkan tingginya realisasi
inflasi IHK pada 2001 yang mencapai 12,55%.
Tingginya tekanan inflasi dari sisi biaya tidak terlepas
dari kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan yang diperkirakan memberikan
tambahan inflasi sebesar 3,83%. Kebijakan
pemerintah tersebut meliputi kenaikan beberapa
harga barang dan tarif jasa seperti bahan bakar
minyak (BBM), angkutan, listrik, air minum dan rokok,
serta kenaikan upah minimum tenaga kerja swasta
dan gaji pegawai negeri. Dengan mengeluarkan
dampak kebijakan pemerintah tersebut, maka inflasi
IHK di luar pengaruh kebijakan harga dan pen-
dapatan pada 2001 diperkirakan mencapai 8,72%.
Meskipun realisasi inflasi IHK di luar dampak
kebijakan pemerintah melebihi sasaran, namun hal
itu terutama disebabkan oleh meningkatnya biaya
pada tingkat produsen sebagai dampak dari
melemahnya nilai tukar rupiah serta memburuknya
Bagan 4.1
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Inflasi 2001
KapasitasIndustri
Pengolahan
Investasi
E k s p o r
Konsumsi
Barang
Domestik
PDBPotensial
P D B
HargaLuar Negeri
Nilai TukarRupiah
INFLASI BARANG IMPOR
INFLASI BARANG DANJASA DOMESTIK
KEBIJAKAN HARGA DAN
PENDAPATAN
INFLASI IHK
cukup/berlebih
melemah
sangat melemah
menguat
rendah dandeflasi
melemah danfluktuatif
Tekanan biaya :dampak nilai tukar melaluibahan baku dan barang
setengah jadi impor
EKSPEKTASIINFLASI
Dampak inersia inflasi danekspektasi kenaikan biaya
Tekanan
permintaan
dan penawaran
Tekanan biaya :dampak nilai tukar melalui
barang jadi impor
Tekanan biaya :dampak langsung dan tidak langsungKapasitas
Pertanian
Impor Bahan Baku danBarang Konsumsi
sangat melemah
sangat melemah melemah
I n f l a s i
77
ekspektasi inflasi yang terkait dengan meningkatnya
tekanan biaya.
PERKEMBANGAN INFLASI IHK
Harga-harga barang dan jasa selama 2001
mengalami tekanan yang lebih berat dibandingkan
tahun sebelumnya. Kondisi itu tercermin dari inflasi
IHK yang mencapai 12,55%, lebih tinggi di-
bandingkan inflasi IHK 2000 sebesar 9,35%. Secara
bulanan, inflasi IHK terjadi pada 11 bulan kecuali
pada Agustus yang mencatat deflasi. Inflasi bulanan
tertinggi terjadi pada Juli sebesar 2,12%. Penyum-
bang terbesar terhadap inflasi IHK adalah kelompok
bahan makanan yaitu sebesar 3,17%, disusul
kelompok perumahan 3,07% serta kelompok
makanan jadi, minuman, dan rokok 2,65%. Semen-
tara itu sumbangan terkecil berasal dari kelompok
kesehatan sebesar 0,44% (Tabel 4.1).
Berdasarkan subkelompok barang, penyum-
bang utama inflasi IHK adalah subkelompok biaya
tempat tinggal, subkelompok transpor, subkelompok
makanan jadi, subkelompok rokok, tembakau dan
minuman yang beralkohol, subkelompok padi-
Tabel 4.2
Sumbangan Inflasi IHK 2001 Berdasarkan
Subkelompok Barang
Sumber: BPS, diolah
Biaya Tempat Tinggal 11,98 1,59
Transportasi 17,24 1,50
Makanan Jadi 11,38 1,27
Rokok, Tembakau, dan Minuman yang
beralkohol 32,89 1,23
Padi-padian, Umbi-umbian, dan hasilnya 16,89 1,06
Bahan Bakar, Penerangan, dan Air 28,41 1,04
Biaya Pendidikan 17,38 0,71
Dagang dan hasilnya 9,87 0,38
Buah-buahan 13,75 0,32
Penyelenggaraan Rumah Tangga 10,00 0,30
Sayuran 11,38 0,28
Lemak dan Minyak 19,55 0,27
Barang Pribadi dan Sandang lainnya 12,22 0,27
Ikan Segar 7,42 0,26
Perawatan Jasmani dan Kosmetika 8,50 0,24
Bumbu-bumbuan 10,98 0,22
Telur, Susu dan hasilnya 9,64 0,20
Jasa Kesehatan dan Obat-obatan 9,12 0,20
Sandang Laki-laki 7,45 0,18
Sandang Wanita 6,46 0,18
Rekreasi dan Olahraga 6,09 0,18
Minuman yang tidak beralkohol 4,50 0,15
Perlengkapan Rumah Tangga 5,14 0,14
Sandang Anak-anak 6,86 0,11
Ikan diawetkan 9,58 0,08
Kacang-kacangan 4,86 0,06
Sarana dan Penunjang Transpor 7,56 0,06
Perlengkapan/peralatan Pendidikan 5,50 0,05
Bahan Makanan lainnya 9,49 0,01
Komunikasi dan Pengiriman 0,21 0,00
IHK 12,55 12,55
Sub Kelompok Barang Inflasi Sumbangan
Grafik 4.1
Inflasi IHK dan Inflasi Inti (y-o-y)
Tabel 4.1
Sumbangan Inflasi IHK 2001 Berdasarkan
Kelompok Barang
Sumber : BPS, diolah
Bahan Makanan 12,03 3,17
Perumahan 13,59 3,07
Makanan Jadi, Minuman, dan Rokok 14,48 2,65
Transportasi dan Komunikasi 14,16 1,56
Pendidikan, Rekreasi, dan Olahraga 11,90 0,93
Sandang 8,14 0,73
Kesehatan 8,92 0,44
IHK 12,55 12,55
Kelompok Barang Inflasi Sumbangan
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
Persen
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
16
2 0 0 0
Jan
2 0 0 1
Inflasi IHKInflasi inti
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
I n f l a s i
78
Persen
1,32
0,07
-0,45
0,84
0,50
1,28
-0,06
1,161,32
0,33
0,87
0,46
1,13
1,67
2,12
-0,21
0,64 0,68
1,711,62
-0,5
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
Jan.
2 0 0 0
Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan.
2 0 0 1
Mar. Mei Jul. Sep. Nov.
Inflasi IHK
Inflasi Inti
0,51
0,56
0,89
1,94
padian, umbi-umbian dan hasilnya, dan sub-
kelompok bahan bakar, penerangan, dan air.
Tekanan yang tinggi terhadap inflasi IHK
2001 tercermin pada perkembangan indikator yang
menggambarkan kecenderungan dan persistensi
pergerakan inflasi. Salah satu indikator tersebut
adalah inflasi inti (core inflation) yang dihitung de-
ngan pendekatan asymmetric trimming.1 Inflasi inti
(y-o-y) menunjukkan kecenderungan meningkat dan
secara persisten berada di atas inflasi IHK (Grafik
4.1). Demikian pula halnya dengan pergerakan
inflasi inti bulanan (m-t-m) yang menunjukkan ke-
cenderungan meningkat sejak 2000 (Grafik 4.2). Hal
itu menunjukkan terjadinya peningkatan inflasi
selama dua tahun terakhir ini.
PENGARUH KEBIJAKAN PEMERINTAH DI BIDANG
HARGA DAN PENDAPATAN
Kebijakan pemerintah menaikkan harga dan
tarif sejumlah barang dan jasa seperti BBM, listrik,
air minum, dan rokok, serta menaikkan upah mini-
mum tenaga kerja swasta dan gaji pegawai negeri,
diperkirakan memberikan tambahan inflasi IHK se-
besar 3,83% secara tahunan (Tabel 4.3). Dampak
aktual kebijakan pemerintah tersebut terhadap inflasi
IHK lebih besar dari perkiraan semula di awal tahun
sebesar 2,0%–2,5%. Perbedaan tersebut antara lain
terjadi karena realisasi persentasi kenaikan pada
beberapa kebijakan lebih besar daripada yang
diperkirakan semula di awal tahun. Di samping itu,
sebagian dari rencana kebijakan pemerintah belum
diketahui secara lengkap pada saat penyusunan
perkiraan inflasi di awal tahun. Keterbatasan informasi
di awal tahun antara lain terkait dengan besarnya
persentasi kenaikan dan tahapan pelaksanaannya.
Dari seluruh kebijakan pemerintah tersebut,
keputusan pemerintah menaikkan harga BBM untuk
transportasi, menaikkan harga BBM untuk industri
menjadi 50% dari harga pasar, dan menaikkan tarif
angkutan, diperkirakan memberikan tambahan inflasi
sebesar 1,78%. Dampaknya pada inflasi terjadi pada
Juni dan Juli setelah kenaikan harga BBM diberla-
Sumber: BPS, Bank Indonesia
Grafik 4.2
Inflasi IHK dan Inflasi Inti (m-t-m)
1 Inflasi inti yang dihitung dengan metode assymetric trimming bukan
merupakan sasaran inflasi Bank Indonesia. Beberapa metode dalam
metode penghitungan inflasi inti diuraikan pada boks Penetapan
Sasaran Inflasi Bank Indonesia.
Tabel 4.3
Perkiraan Dampak Kebijakan Pemerintah
di Bidang Harga dan Pendapatan 2001
Sumber : BPS, diolah
Bahan Bakar Minyak dan Angkutan 1,78
Harga Jual Eceran Minimum Rokok 0,73
Tarif Dasar Listrik 0,56
Tarif Air Minum 0,05
Upah Minimum Provinsi 0,17
Gaji Pegawai Negeri 0,20
Pajak Penjualan Barang Mewah 0,01
Perkiraan dampak kebijakan peme- kumulatif m-t-m 3,50
rintah terhadap inflasi IHK 2001 y-o-y 3,83
Perkiraan Dampak Kenaikan Harga pada Inflasi IHK m-t-m
(Persen)
I n f l a s i
79
kukan pada Juni 2001. Dampak pada Juni terdiri dari
dampak langsung pada komoditas bensin, bensin
pompa, dan solar dalam keranjang IHK, serta dampak
tidak langsung pada biaya operasional kegiatan
usaha termasuk ongkos angkutan. Sementara itu,
dampak pada Juli merupakan dampak tidak langsung
terhadap kenaikan harga barang-barang melalui
kenaikan biaya produksi.
Selanjutnya, kenaikan tarif listrik pada Juli
dan Oktober diperkirakan memberikan tambahan
inflasi pada Agustus dan Desember sebesar 0,56%.
Kebijakan lain di bidang harga yang besar penga-
ruhnya terhadap inflasi IHK 2001 adalah kenaikan
harga jual eceran (HJE) minimum rokok. Kebijakan
yang dimaksudkan untuk meningkatkan penerimaan
pemerintah melalui peningkatan cukai rokok yang
dihitung atas dasar HJE minimum tersebut, diperkira-
kan memberikan tambahan inflasi IHK sebesar
0,73%. Selanjutnya, kebijakan pemerintah di bidang
pendapatan berupa kenaikan UMP dan gaji pegawai
negeri diperkirakan memberikan tambahan kenaikan
harga sebesar 0,37%. Kebijakan lain yang berdampak
pada kenaikan harga adalah kenaikan Pajak
Penjualan Barang Mewah (PPn-BM) pada Februari.
Namun kebijakan tersebut diperkirakan hanya
memberikan tambahan inflasi IHK sebesar 0,01%.
PENGARUH MELEMAHNYA NILAI TUKAR RUPIAH
Nilai tukar rupiah yang semula diperkirakan
menguat sepanjang 2001 sehingga secara rata-rata
mencapai Rp8.000 per dolar, dalam perkem-
bangannya melemah sehingga mencapai rata-rata
Grafik 4.3
Perkembangan Inflasi
Sumber : Berbagai sumber
Januari UMP 15% 15%
Februari PPn-BM untuk 41 kelompok barang diluar kendaraan bermotor belum diketahui 10% – 15%
Maret Tarif air minum 20% 18,77% – 42,47%
April Cukai/HJE rokok (Tahap I) 5% dalam satu tahap 5% (Tahap I)
Juni BBM 20% 30%
Tarif angkutan kota belum diketahui 28,57% (khusus Jakarta)
Juli Tarif dasar bus ekonomi antarkota antarpropinsi belum diketahui 36%
Cukai/HJE rokok (Tahap II) 5% dalam satu tahap 6% (Tahap II)
TDL (Tahap I) belum diketahui 29,2%
September Gaji PNS 30% 11,2%
Oktober TDL (tahap II) belum diketahui 12,4%
Desember Cukai/HJE rokok (Tahap II) 5% dalam satu tahap 3% (Tahap III)
Persen KenaikanBulan Keterangan
Asumsi di awal tahun Realisasi
Tabel 4.4
Kebijakan Pemerintah di Bidang Harga dan Pendapatan 2001
0,33
0,87 0,89
0,46
1,13
1,67
2,12
-0,21
0,64 0,68
1,711,62
0,25
0,770,89
0,25
1,08
0,86
1,13
-0,42
0,13
0,58
1,71
1,18
-1,0
-0,5
0,0
0,5
1,0
1,5
2,0
2,5
Jan.
2 0 0 1
Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
Inflasi IHK
Inflasi IHK di luar dampak kebijakan harga dan pendapatan
Persen
I n f l a s i
80
Grafik 4.4
Pergerakan Nilai Tukar Rupiah dan Inflasi (m-t-m)
Sumber : BPS, Bank Indonesia, Bloomberg
Rp10.255 per dolar meskipun sempat menguat pada
awal paro kedua 2001. Perkembangan tersebut
menyebabkan terjadinya kenaikan inflasi IHK yang
bersumber dari kenaikan biaya pengadaan bahan
baku dan barang setengah jadi impor yang meru-
pakan komponen produksi barang domestik.2 Di
samping itu, pengaruh melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap inflasi IHK juga terjadi melalui kenaikan
harga barang konsumsi impor, mengingat keranjang
IHK tidak hanya terdiri dari barang-barang produksi
domestik tetapi juga mencakup barang-barang
konsumsi impor.
Kuatnya pengaruh depresiasi nilai tukar
rupiah tersebut tercermin pada pergerakan nilai tukar
rupiah yang sejalan dengan pergerakan inflasi
bulanan IHK. Nilai tukar rupiah yang melemah sejak
awal tahun dan berada pada tingkat yang rendah
pada April hingga Juni sejalan dengan tingginya inflasi
IHK terutama pada Mei hingga Juli (Grafik 4.4).
Pergerakan nilai tukar tersebut juga sejalan dengan
inflasi Indeks Harga Perdagangan Besar (IHPB) dan
inflasi IHK kelompok barang-barang yang di-
perdagangkan secara internasional (traded goods)
yang merupakan indikator perkembangan biaya
produksi dan harga barang impor. Selanjutnya,
melemahnya nilai tukar rupiah juga mendorong
terjadinya peningkatan inflasi IHK kelompok barang-
barang yang tidak diperdagangkan secara inter-
nasional (non-traded goods).
Pengaruh kuat depresiasi nilai tukar rupiah
ke inflasi sejalan dengan hasil penelitian Bank Indo-
nesia mengenai transmisi kebijakan moneter melalui
jalur nilai tukar rupiah ke inflasi. Penelitian tersebut
menunjukkan pengaruh depresiasi nilai tukar ke inflasi
sangat kuat terjadi sejak berlakunya sistem nilai tukar
mengambang bebas . Sebaliknya, selama periode
sebelum krisis, efek pengaruh nilai tukar ke inflasi
hampir tidak terjadi karena nilai tukar yang stabil dan
mudah diprediksi. Selain dari penelitian tersebut,
melalui Survei Mekanisme Pembentukan Harga di
Sektor Manufaktur dan Ritel pada 2001 diketahui pula
bahwa faktor pendorong utama kenaikan harga
adalah depresiasi nilai tukar. Selanjutnya, dari survei
tersebut diperoleh indikasi perilaku harga yang
cenderung mudah meningkat karena pengaruh
melemahnya nilai tukar rupiah. Pengaruh mele-
mahnya nilai tukar terhadap kenaikan harga terjadi
dalam waktu kurang dari satu minggu hingga satu
bulan.
Sementara itu, penguatan nilai tukar rupiah
pada Juli dan Agustus juga berdampak pada pe-
nurunan harga. Namun demikian, penguatan nilai
tukar yang sangat besar pada Juli dan Agustus tidak
2 Berdasarkan Survei Mekanisme Pembentukan Harga di Sektor
Manufaktur dan Ritel tahun 2001, persentase biaya bahan baku
impor terhadap total biaya pengadaan bahan pada industri hilir
penghasil barang konsumsi dalam keranjang IHK, berkisar 30%–
40%.
-5
-4
-3
-2
-1
0
1
2
3
4
6.000
7.000
8.000
9.000
10.000
11.000
12.000
Persen Rp/$
0,33
0,870,89
0,46
1,13 1,67
2,12
–0,21
0,640,68
1,71 1,62
Inflasi IHKInflasi IHK kelompok non-tradedInflasi IHK kelompok barang tradedInflasi IHPBNilai tukar rupiah
Jan.
2 0 0 1
Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
I n f l a s i
81
terlalu besar pengaruhnya terhadap inflasi di-
bandingkan pengaruh melemahnya nilai tukar rupiah
terhadap inflasi. Menguatnya nilai tukar rupiah rupiah
sebesar 4,0% bulan Juli dan 21,3% pada Agustus
dibandingkan bulan sebelumnya, hanya menye-
babkan terjadinya deflasi bulanan sebesar 0,24%
pada Agustus. Kondisi itu mengindikasikan adanya
perilaku harga yang cenderung sulit untuk turun
meskipun terjadi penurunan biaya misalnya karena
menguatnya nilai tukar rupiah. Indikasi perilaku
perubahan harga secara asimetri tersebut sejalan
dengan hasil penelitian mengenai transmisi kebi-
jakan moneter melalui jalur nilai tukar serta Survei
Mekanisme Pembentukan Harga di Sektor Manu-
faktur dan Ritel (Boks : Survei Mekanisme Pemben-
tukan Harga di Sektor Manufaktur dan Ritel). Selan-
jutnya, dari survei tersebut juga diperoleh informasi
bahwa perilaku asimetri perubahan harga tersebut
lebih banyak terjadi pada tingkat ritel dibandingkan
pada tingkat produsen. Hal itu sejalan dengan
perkembangan deflasi pada Agustus dimana deflasi
IHK jauh lebih kecil dibandingkan deflasi IHPB.
Grafik 4.5
Perkembangan Indeks Harga Komoditas Internasional
Sumber : Bank Dunia
Grafik 4.6
Ekspektasi Inflasi Menurut Produsen
Di lain pihak, perkembangan harga komo-
ditas internasional yang cenderung turun diper-
kirakan membawa pengaruh deflasi terhadap harga
barang impor. Seperti terlihat pada Grafik 4.5, indeks
harga komoditas internasional cenderung menurun
untuk komoditas kayu, kapas, wol, karet, pupuk,
serta logam dan material. Namun demikian, kuatnya
pengaruh depresiasi nilai tukar melebihi pengaruh
positif deflasi harga internasional sehingga secara
keseluruhan menimbulkan dampak inflasi terhadap
barang impor.
PENGARUH EKSPEKTASI INFLASI
Tingginya inflasi IHK tidak terlepas dari
pengaruh ekspektasi inflasi produsen dan pedagang,
serta konsumen. Di sisi produsen, ekspektasi inflasi
cenderung meningkat sepanjang 2001 sebagaimana
diketahui dari Survei Kegiatan Dunia Usaha (Grafik
4.6). Ekspektasi inflasi yang tinggi terutama dipen-
garuhi oleh tingginya inflasi 2000 yang mencapai
9,35%. Berdasarkan Survei Mekanisme Pemben-
tukan Harga di Sektor Manufaktur dan Ritel 2001,
60
70
80
90
100
110
120
III IV I II III IV
Makanan: Beras & GandumBahan Baku: KayuBahan Baku: Kapas, Wol, Karet
PupukLogam & Mineral
2 0 0 0 2 0 0 1
2000
2001
I
II
III
IV
I
II
III
IV
0 10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
P e r s e n
36%
32%
28%
20%
18%
14%
15%
11%
21%
16%
18%
17%
17%
16%
8%
10%
6%
7%
7%
7%
6%
8%
5%
5%
6%
10%
7%
10%
5%
5%
7%
6%
5%
7%
11%
10%
7%
5%
6%
4%
5%
6%
5%
8%
7%
6%
9%
10%
21%
20%
24%
28%
40%
47%
50%
54%
< 5% 5% 6% 7% 8% 9% > 9%
I n f l a s i
82
diketahui bahwa dasar pembentukan ekspektasi
inflasi pada produsen dan pedagang ritel lebih
banyak bersumber dari perkembangan inflasi aktual
dan inflasi tahun sebelumnya (Grafik 4.7). Perilaku
pembentukan ekspektasi inflasi secara adaptif
tersebut sejalan dengan hasil penelitian Bank
Indonesia mengenai transmisi kebijakan moneter
melalui jalur ekspektasi inflasi.
Sementara itu, ekspektasi inflasi konsumen
juga mengalami peningkatan sebagaimana diketahui
dari Survei Konsumen (Grafik 4.8). Ekspektasi
konsumen pada umumnya dipengaruhi oleh
ekspektasi kenaikan harga barang-barang adminis-
tered dan ekspektasi depresiasi nilai tukar rupiah. Hal
itu terlihat dari pergerakan ekspektasi konsumen
terhadap peningkatan harga dalam 6-12 bulan
Grafik 4.7
Acuan dalam Pembentukan Ekspektasi
Inflasi Produsen (% Responden)
Grafik 4.8
Ekspektasi Konsumen Terhadap
Perkembangan Harga 6-12 Bulan ke Depan
(% Responden)
Grafik 4.10
Ekspektasi Konsumen Terhadap
Perkembangan Nilai Tukar Rupiah 6-12 Bulan ke Depan
(% Responden)
Grafik 4.9
Ekspektasi Konsumen Terhadap
Biaya Transportasi/Komunikasi 6-12 Bulan ke Depan
(% Responden)
Proyeksi inflasi
lembaga swasta
14%
Target inflasi
Bank Indonesia
31%
Perkembangan
Inflasi aktual
55%
Meningkat Sama seperti saat ini Menurun
Persen
Jan.
Feb.
Mar.
Apr.
Mei
Jun.
Jul.
Ags.
Sep.
Okt.
Nov.
Des.
84
87
91
95
93
95
96
58
64
88
92
91
14
11
9
4
5
4
3
16
15
7
5
8
1
1
1
26
20
5
2
1
2
2
2
2
0 20 40 60 80 100
Persen
Meningkat Sama seperti saat ini Menurun
80
81
87
90
88
94
88
60
65
85
90
91
20
18
12
10
11
5
12
34
31
13
9
9
6
4
1
0
2
1
0
1
1
0
0
1
Jan.
Feb.
Mar.
Apr.
Mei
Jun.
Jul.
Ags.
Sep.
Okt.
Nov.
Des.
0 20 40 60 80 100
Melemah Sama seperti saat ini Menguat
Persen
0
47
50
61
60
51
51
45
17
41
51
42
32
32
27
20
19
20
27
15
24
24
26
32
21
18
12
20
30
28
28
76
60
34
23
26
10 20 30 40 50 60 70 80 90 100
Jan.
Feb.
Mar.
Apr.
Mei
Jun.
Jul.
Ags.
Sep.
Okt.
Nov.
Des.
2001
I n f l a s i
83
makanan. Keterbatasan penawaran bahan makanan
yang tidak dapat mengimbangi kondisi permintaan
yang sebenarnya masih rendah, berpengaruh
terhadap inflasi IHK mengingat bahan makanan
memiliki bobot yang besar dalam keranjang IHK.
Pertumbuhan permintaan agregat mengalami
penurunan baik dari sisi permintaan domestik, yang
terdiri dari konsumsi dan investasi, maupun per-
mintaan eksternal (Grafik 4.11). Dari sisi penawaran,
melemahnya permintaan domestik dan eksternal
tersebut sejalan dengan penurunan pertumbuhan
produk domestik bruto (PDB) pada sektor Pertanian,
sektor Bangunan, dan sektor Industri Pengolahan,
serta pertumbuhan indeks produksi industri. Semen-
tara itu penambahan kapasitas perekonomian me-
ngalami perlambatan sebagaimana tercermin dari
menurunnya pertumbuhan investasi.
Ditinjau dari ketersediaan kapasitas per-
ekonomian, kapasitas di sektor industri pengolahan
diperkirakan masih berlebih dibandingkan per-
mintaan terhadap barang-barang yang dihasilkan
sektor tersebut. Berdasarkan Survei Sektor Industri
Pengolahan, tingkat penggunaan kapasitas industri
pengolahan sepanjang 2001 menunjukkan kecen-
derungan yang relatif stabil pada kisaran yang masih
rendah yaitu 39%–51%. Tingkat penggunaan kapa-
sitas tersebut jauh lebih rendah dibandingkan tingkat
tertinggi yang pernah terjadi pada 2000 yaitu se-
besar 68% (Grafik 4.12). Kapasitas terpakai yang
masih rendah tersebut didukung oleh hasil Survei
Mekanisme Pembentukan Harga di Sektor Manu-
faktur dan Ritel Agustus 2001, yang menunjukkan
kapasitas produksi industri pengolahan yang masih
cukup dan cenderung berlebih dibandingkan per-
mintaan (Grafik 4.13).
mendatang yang sejalan dengan ekspektasi kon-
sumen terhadap kenaikan biaya transportasi dan
komunikasi 6-12 bulan ke depan (Grafik 4.9) dan
ekspektasi konsumen terhadap melemahnya nilai
tukar rupiah 6-12 bulan ke depan (Grafik 4.10).
PENGARUH KONDISI PERMINTAAN DAN PE-
NAWARAN
Pengaruh kondisi permintaan dan penawaran
terhadap inflasi IHK dapat ditinjau dari dua sektor
utama penghasil barang konsumsi dalam keranjang
IHK, yaitu sektor industri pengolahan dan sektor
pertanian. Di sektor industri pengolahan, tekanan
inflasi karena pengaruh kondisi permintaan dan pe-
nawaran diperkirakan masih rendah. Hal itu sejalan
dengan pertumbuhan ekonomi yang melambat dan
masih berlebihnya kapasitas produksi di sektor
tersebut. Di lain pihak, tekanan inflasi karena pe-
ngaruh kondisi permintaan dan penawaran terjadi di
sektor Pertanian. Namun, tekanan inflasi tersebut
bukan dipicu oleh meningkatnya permintaan melain-
kan karena menurunnya produksi tanaman bahan
Grafik 4.11
Pertumbuhan PDB
Sumber : BPS
2 0 0 0 2 0 0 1
0
5
10
15
20
25
Permintaan DomestikPermintaan EksternalInvestasi
Indeks Produksi Industri
Persen (y-o-y)
7,65,6
26,5
1,9
21,9
4,03,33,64,9
30
1,0
Produk Domestik Bruto
I n f l a s i
84
Secara sektoral, kapasitas terpakai di industri
makanan, minuman, dan tembakau, yang produk-
produknya merupakan penyumbang terbesar inflasi
2001, cenderung meningkat sepanjang 2001. Namun,
kapasitas terpakai di sektor tersebut pada akhir 2001
masih berada di bawah 40%, jauh lebih rendah
dibandingkan tingkat tertinggi yang pernah terjadi
pada 2000 yaitu sebesar 76% (Grafik 4.14). Hal ini
mengindikasikan bahwa pengaruh kondisi permintaan
dan penawaran belum memberikan tekanan yang
besar terhadap inflasi pada kelompok makanan jadi,
minuman, dan tembakau. Demikian pula halnya
dengan kapasitas terpakai industri penghasil barang
kelompok sandang yang meskipun cenderung
meningkat namun tidak jauh berbeda dibandingkan
tahun sebelumnya, yaitu di bawah 75% (Grafik 4.15).
Di sisi lain, kapasitas terpakai yang tinggi dan menga-
lami peningkatan yang besar terjadi pada industri
Grafik 4.13
Kecukupan Kapasitas Produksi Industri Pengolahan
(% Responden)
Grafik 4.12
Tingkat Kapasitas Terpakai Industri Pengolahan
Grafik 4.14
Tingkat Kapasitas Terpakai Industri
Makanan, Minuman, dan Tembakau
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persen
32,9
49,251,7
46,0
50,7 49,7
54,851,7
48,3
67,664,0
55,6
42,039,4
43,1 42,9 41,444,5
40,7
45,241,7
51,4
1
2000
3 5 7 9 11 1
2001
3 5 7 9
48,2
110
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persen
2000 2001
29,6
51,7 52,0
41,543,8 45,4
54,8
44,541,6
75,6
65,9 67,3
40,9
23,127,2
29,6
24,1
30,427,1
29,732,0
38,5
1 3 5 7 9 111 3 5 7 9
36,8
11
Sangat berlebih4%
Berlebih14%
Secara umum berlebih,tetapi pada saat tertentu
kurang18%
Cukup55%
Kurang9%
Grafik 4.15
Tingkat Kapasitas Terpakai Industri
Tekstil, Pakaian Jadi, dan Kulit
100
Persen
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
2000 2001
43,8
62,7 63,8
57,361,3 61,2
70,568,3
59,2
66,7
72,7
64,861,6
54,2
60,856,4
59,9 60,7
71,2
64,4 64,4
71,8
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11
I n f l a s i
85
Grafik 4.17
Kendala Memanfaatkan
Kapasitas Menganggur Industri Pengolahan
(% Responden)
barang galian bukan logam yang terutama mengha-
silkan bahan-bahan bangunan yang tergabung dalam
subkelompok biaya tempat tinggal pada keranjang
IHK (Grafik 4.16). Kondisi ini diperkirakan mem-
pengaruhi kenaikan harga bahan bangunan. Meski-
pun demikian, tingginya sumbangan inflasi oleh sub-
kelompok biaya tempat tinggal pada umumnya lebih
banyak bersumber dari kenaikan sewa dan kontrak
rumah serta upah tukang dibandingkan dari kenaikan
harga bahan bangunan.
Tingkat kapasitas terpakai industri pengo-
lahan yang masih rendah secara total seharusnya
tidak menimbulkan tekanan terhadap inflasi IHK.
Namun demikian, adanya kendala pembiayaan modal
kerja untuk mendayagunakan kapasitas menganggur
dapat menjadi penyebab timbulnya tekanan harga.
Berdasarkan Survei Mekanisme Pembentukan Harga
diketahui bahwa salah satu kendala yang dihadapi
perusahaan manufaktur dalam memanfaatkan kapa-
sitas yang menganggur adalah faktor pembiayaan
modal kerja (33% dari total responden). Namun,
secara keseluruhan masalah utama yang dihadapi
dalam mengaktifkan kapasitas menganggur justru
karena permintaan yang masih rendah (51% dari total
responden), di samping adanya faktor teknis produksi
(Grafik 4.17). Kondisi tersebut menggambarkan
bahwa meskipun pemanfaatan kapasitas industri
pengolahan menghadapi kendala, hal tersebut belum
menimbulkan sumber tekanan inflasi yang berarti
mengingat permintaan yang masih lemah selama
2001. Namun demikian, jika kendala pembiayaan
produksi industri tersebut tidak teratasi dalam kondisi
permintaan yang meningkat, hal tersebut dapat
menjadi sumber potensi tekanan inflasi pada periode
mendatang.
Tekanan harga sebagai akibat ketidak-
seimbangan antara permintaan dan penawaran
diperkirakan terjadi pada sektor produksi bahan
makanan. Meskipun pengeluaran konsumsi rumah
tangga mengalami peningkatan dari 1,8% pada 2000
menjadi 2,3% pada 2001, namun pengeluaran
konsumsi tersebut masih rendah. Sebaliknya, PDB
yang dihasilkan subsektor pertanian tanaman bahan
makanan mengalami kontraksi sebesar 1,1% pada
Grafik 4.16
Tingkat Kapasitas Terpakai Industri
Barang Galian Bukan Logam
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
Persen
1
2000
3 5 7 9 11 1
2001
3 5 7 9 11
53,6
62,7
72,7 71,4
83,0
77,681,9 83,4
47,7
68,6
54,1
47,943,6
56,2
50,653,1
79,8
86,584,0
75,5
81,6
92,196,3
Permintaan rendah51%
Pembiayaan33%
Teknis16%
I n f l a s i
86
Grafik 4.19
Faktor Pendorong Kenaikan Harga
menjelang Hari Raya
2001 (Grafik 4.18). Ketidakseimbangan antara per-
mintaan dan penawaran yang lebih disebabkan oleh
keterbatasan produksi bahan makanan tersebut, turut
menyebabkan tingginya inflasi pada kelompok bahan
makanan, khususnya subkelompok padi-padian,
umbi-umbian dan hasilnya.
Di sisi lain, tekanan permintaan yang bersifat
musiman menjelang hari raya Idul Fitri, Natal, dan
Tahun Baru berpengaruh besar terhadap tingginya
inflasi. Hal tersebut terlihat dari tingginya inflasi IHK
(m-t-m) pada November saat nilai tukar rupiah stabil
pada level rata-rata Rp10.560 per dolar AS, semen-
tara tidak terjadi kelangkaan pasokan barang selama
kurun waktu tersebut. Mengacu pada hasil Survei
Mekanisme Pembentukan Harga di Sektor Manu-
faktur dan Ritel, inflasi yang tinggi menjelang hari raya
Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru lebih dipicu oleh
meningkatnya permintaan daripada faktor keterba-
tasan atau gangguan pasokan barang. Di samping
itu, tingginya inflasi pada periode tersebut juga
dipengaruhi oleh perilaku konsumsi masyarakat
secara umum yang cenderung menjadi kurang sensitif
terhadap kenaikan harga (Grafik 4.19). Survei ter-
sebut juga menunjukkan bahwa langkah menaikkan
harga dengan memanfaatkan momentum pening-
katan permintaan menjelang hari raya keagamaan
itu lebih banyak dilakukan oleh pedagang daripada
produsen industri pengolahan.
Grafik 4.18
Permintaan dan Penawaran
Barang Kelompok Makanan
Sumber : BPS
Persen
0,9
-1,1
1,82,3
4,00
12,03
-4
-2
0
2
4
6
8
10
12
14
PDB Sub Sektor Pertanian Tanaman Bahan Makanan
Konsumsi Makanan oleh Sektor Rumah Tangga
Inflasi IHK Kelompok Bahan Makanan
2000 2001
16
20
27
37
Pasokan kurang
Pesaing meningkatkanharga
Walaupun harga naikproduk tetap terjual
Tingginya permintaan
Persen
0 5 10 15 20 25 30 35 40
I n f l a s i
87
Sebagaimana diamanatkan oleh UU No.23
tahun 1999, tujuan Bank Indonesia adalah mencapai
dan mempertahankan kestabilan nilai rupiah. Dalam
pelaksanaannya, Bank Indonesia bertanggung jawab
mengendalikan inflasi agar berada pada tingkat yang
cukup rendah dan stabil. Upaya pengendalian inflasi
memerlukan perkiraan inflasi dan perkiraan dampak
kebijakan moneter dalam mempengaruhi perubahan
harga. Untuk dapat memperkirakan inflasi secara aku-
rat, menetapkan target inflasi yang realistis, dan me-
nentukan respon kebijakan yang tepat, Bank Indo-
nesia perlu mengidentifikasi faktor-faktor yang
mempengaruhi pembentukan harga, serta memper-
hitungkan kemampuan kebijakan moneter dalam
mengendalikan inflasi. Kebijakan penetapan harga
yang dilakukan oleh produsen dan pedagang ter-
utama dipengaruhi oleh ekspektasi inflasi, besarnya
perubahan biaya, serta besarnya perubahan permin-
taan dan penawaran. Namun demikian, pembentukan
harga dapat terjadi secara asimetris dalam hal terjadi
kenaikan atau penurunan biaya dan permintaan.
Sementara itu, kemampuan kebijakan moneter dalam
mengendalikan inflasi dipengaruhi oleh jalur dan lama
transmisi kebijakan moneter ke inflasi serta perilaku
pembentukan harga.
Dengan latar belakang tersebut, Bank Indo-
nesia perlu memperoleh gambaran mengenai perilaku
pembentukan harga barang-barang konsumsi yang
terdapat dalam keranjang IHK dengan melakukan
survei terhadap produsen barang-barang manufaktur
dan pedagang ritel yang berlangsung pada Juli hingga
September 2001. Responden survei ditentukan
dengan menggunakan metode Purposive Sample,1
yang terdiri atas 200 perusahaan di sektor manufaktur
yang memproduksi barang-barang konsumsi yang
terdapat pada keranjang IHK dan 220 unit usaha
sektor ritel yang merupakan responden Survei Pen-
jualan Eceran Bank Indonesia.
Hasil survei tersebut mengindikasikan bahwa
kenaikan IHK pada saat ini lebih banyak bersumber
dari tekanan biaya (cost-push inflation) daripada
tekanan permintaan (demand-pull inflation). Tekanan
dari sisi biaya terutama berasal dari depresiasi nilai
tukar rupiah disamping pengaruh kebijakan peme-
rintah menaikkan bea masuk bahan baku dan
peralatan produksi, harga BBM, tarif listrik serta upah
minimum buruh.
Ditinjau dari pengaruh perubahan biaya, hasil
survei mengindikasikan bahwa produsen dan penjual
cenderung lebih responsif terhadap tekanan kenaikan
biaya daripada penurunan biaya. Perilaku tersebut
menyebabkan harga cenderung mudah meningkat
jika terjadi kenaikan biaya namun cenderung sulit
turun apabila terjadi penurunan biaya. Karakteristik
harga tersebut antara lain tercermin dari tingkat harga
pada sektor ritel yang rata-rata hanya mampu ber-
1 Purposive sampling merupakan metode pengambilan sampel
dengan memilih responden berdasarkan tujuan tertentu.
Survei Mekanisme Pembentukan Harga
Di Sektor Manufaktur dan Ritel
b o k s
I n f l a s i
87
I n f l a s i
88
tahan selama 2,9 bulan selama kurun waktu satu
tahun terakhir sebelum survei berlangsung. Perilaku
harga yang cenderung mudah meningkat tersebut
lebih terasa pada sektor ritel dibandingkan pada
sektor manufaktur. Pada sektor manufaktur, secara
rata-rata tingkat harga mampu bertahan selama 4,6
bulan selama kurun waktu yang sama. Periode
bertahannya harga tersebut jauh lebih singkat
dibandingkan yang terjadi di beberapa negara maju
yang berdasarkan survei berkisar 6 hingga 15 bulan.
Perilaku harga yang cenderung mudah
mengalami peningkatan juga tercermin dari waktu
yang cukup singkat antara saat terjadinya peruba-
han biaya hingga berlakunya perubahan harga,
yaitu selama empat minggu pada sektor manufaktur
dan kurang dari satu minggu pada sektor ritel. Hal
tersebut juga mengindikasikan bahwa pengaruh
perubahan nilai tukar ke inflasi melalui harga barang
konsumsi impor terjadi dalam waktu kurang dari satu
minggu dan dampaknya melalui biaya bahan baku
impor berlangsung sekitar lima minggu. Disamping
itu, kecepatan merespon perubahan biaya tersebut
secara tidak langsung juga mengindikasikan bahwa
kenaikan biaya sebagai akibat dari kenaikan harga
BBM dan tarif listrik, dapat menimbulkan kenaikan
harga-harga barang konsumsi hingga satu bulan
sejak kenaikan harga barang administered
tersebut.
Sementara itu, ditinjau dari pengaruh
ekspektasi inflasi, perilaku pembentukan dan peru-
bahan harga pada produsen manufaktur dan peda-
gang ritel lebih banyak bersumber dari perkembangan
inflasi yang telah terjadi (55% responden) daripada
berdasarkan target inflasi Bank Indonesia (31%
responden) atau proyeksi inflasi yang dikeluarkan oleh
lembaga-lembaga swasta (14% responden). Hasil ini
mengindikasikan perilaku ekpektasi inflasi pada
produsen dan pedagang yang lebih bersifat adaptif.
Di sisi lain, baik produsen manufaktur dan
pedagang ritel belum melihat tekanan perubahan
permintaan sebagai faktor utama yang mendorong
kenaikan atau penurunan harga sepanjang tahun,
kecuali pada periode tertentu yaitu menjelang hari
raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru. Pada umumnya,
peningkatan permintaan terhadap produk atau barang
dagangan direspon oleh perusahaan manufaktur dan
ritel dengan meningkatkan produksi dan persediaan
barang dagangan. Hanya sebagian kecil perusahaan
yang meresponnya dengan menaikkan harga.
Demikian pula sebaliknya, jika terjadi penurunan per-
mintaan, perusahaan cenderung meresponnya de-
ngan menurunkan produksi atau mengurangi pasokan
barang dagangan. Hasil survei tersebut menunjukkan
bahwa perubahan pemintaan, baik peningkatan
maupun penurunan, lebih berpengaruh pada peru-
bahan tingkat produksi daripada terhadap perubahan
harga. Dengan kata lain, ditinjau dari pengaruh
perubahan permintaan, tingkat harga cenderung tidak
mudah turun jika terjadi penurunan permintaan dan
juga cenderung tidak mudah naik apabila terjadi
kenaikan permintaan.
Perilaku perubahan harga dalam merespon
perubahan permintaan tersebut mengindikasikan
masih cukup tersedianya kapasitas produksi untuk
memenuhi peningkatan permintaan di tengah kondisi
permintaan yang masih lemah. Sebagian besar
responden manufaktur menilai tingkat penggunaan
kapasitas produksi berkisar antara 61%-80% dengan
rata-rata 65,8%. Tingkat penggunaan kapasitas pro-
duksi tersebut dinilai oleh sebagian besar responden
I n f l a s i
88
I n f l a s i
89
(54%) mencukupi untuk memenuhi permintaan.
Sementara itu 18% responden menilai kapasitas yang
ada secara umum berlebih atau sangat berlebih, dan
19% responden menilai kapasitas secara umum
berlebih namun terjadi kekurangan kapasitas pada
saat-saat tertentu. Selebihnya, hanya 9% responden
menyatakan kekurangan kapasitas.
Khusus pada masa-masa menjelang hari
raya Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru, perilaku pem-
bentukan harga sangat dipengaruhi oleh mening-
katnya permintaan dan berkurangnya elastisitas
harga terhadap permintaan. Kondisi tersebut cende-
rung dimanfaatkan terutama oleh pedagang untuk
menaikkan harga meskipun pada umumnya tidak
terjadi kendala pasokan barang. Survei mencatat
sebanyak 74% responden pedagang ritel dan 43%
responden produsen manufaktur yang memanfaatkan
kesempatan tersebut.
Karakteristik harga yang lebih banyak
dipengaruhi faktor biaya daripada permintaan, bersifat
cenderung tidak mudah turun, cenderung mudah naik
karena tekanan biaya, namun cenderung tidak mudah
naik karena tekanan permintaan, membawa implikasi
tertentu pada kebijakan penetapan sasaran inflasi dan
kebijakan moneter Bank Indonesia. Selama nilai tukar
rupiah masih menghadapi tekanan dan berbagai
kebijakan pemerintah menaikkan harga barang ad-
ministered masih terus berlangsung, Bank Indonesia
tidak dapat menetapkan sasaran inflasi yang terlalu
rendah dengan jangka waktu pencapaian yang terlalu
singkat. Sebaliknya, Bank Indonesia perlu mene-
tapkan sasaran inflasi yang lebih realistis untuk
dicapai sesuai dengan kemampuan kebijakan mone-
ter. Dengan mempertimbangkan perilaku pemben-
tukan harga, kondisi permintaan saat ini yang masih
lemah, dan penetapan sasaran inflasi yang realistis,
maka kebijakan moneter yang lebih ketat dari kondisi
di akhir 2001 diperkirakan belum dapat secara efektif
mengurangi tekanan inflasi. Sebaliknya, kebijakan
moneter perlu diarahkan kepada upaya memberikan
ruang bagi penurunan suku bunga sehingga mem-
berikan sinyal kepada perbankan dan pelaku usaha
sektor riil untuk meningkatkan aktivitas perekonomian.
Namun demikian, arah kebijakan moneter tersebut
harus didukung oleh upaya pemulihan fungsi perban-
kan sebagai lembaga intermediasi keuangan.
I n f l a s i
89
Moneter
91
b a b 5
MONETER
Di awal 2001, dalam situasi yang lebih optimis
terhadap terus berlanjutnya proses pemulihan
ekonomi, Bank Indonesia memandang bahwa inflasi
yang relatif tinggi pada tahun sebelumnya perlu
diarahkan kepada tingkat yang lebih rendah, sebagai
prasyarat bagi upaya untuk mencapai pertumbuhan
ekonomi yang berkesinambungan dalam jangka
panjang. Berkaitan dengan itu, sasaran inflasi di luar
dampak kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan ditetapkan sebesar 4,0%–6,0%. Untuk
mencapai sasaran inflasi tersebut, dengan asumsi
pertumbuhan ekonomi sebesar 4,5%–5,5% dan nilai
tukar berkisar antara Rp7.750–Rp8.250 per dolar AS,
Bank Indonesia menetapkan sasaran pertumbuhan
uang primer sebesar 11,0%–12,0% pada akhir 2001,
yang lebih rendah dari pertumbuhan akhir tahun
sebelumnya yang mencapai 22,3%.
Sasaran kebijakan moneter yang cenderung
ketat ini ditempuh dengan tetap berupaya menjaga
agar perkembangan uang primer sepanjang tahun
2001 dapat sesuai dengan sasaran yang ditetapkan.
Guna mencapai sasaran uang primer tersebut, Bank
Indonesia selalu berusaha untuk menyerap kelebihan
likuiditas di sektor perbankan yang berpotensi
memberikan tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi.
Kebijakan ini ditempuh terutama melalui Operasi
Pasar Terbuka (OPT) dengan instrumen Sertifikat
Bank Indonesia (SBI) dan intervensi rupiah. Upaya
pengendalian uang primer tersebut juga didukung
oleh kebijakan sterilisasi di pasar valuta asing yang
diarahkan untuk menyerap ekspansi uang primer
yang berasal dari pengeluaran pemerintah dalam
rupiah yang dibiayai dari penerimaan luar negeri.
Langkah ini dimaksudkan agar upaya pencapaian
sasaran uang primer tersebut tidak menimbulkan
dampak kenaikan suku bunga yang berlebihan.
Kebijakan sterilisasi valuta asing ini sekaligus dituju-
kan untuk menambah pasokan valuta asing guna
mengurangi tekanan depresiasi dan volatilitas nilai
tukar rupiah.
Dalam pelaksanaannya, upaya pengen-
dalian moneter tersebut mulai menghadapi beberapa
kendala yang mengakibatkan pengendalian uang
primer tidak dapat dilaksanakan secara optimal ter-
utama sejak Mei 2001. Hal ini diindikasikan oleh lebih
seringnya test date1 uang primer berada di atas
sasaran indikatif yang ditetapkan,2 terutama
didorong oleh terus meningkatnya permintaan uang
kartal di masyarakat sebagai komponen utama uang
primer. Peningkatan uang kartal tersebut terkait
dengan meningkatnya secara signifikan peranan
sektor usaha kecil dan menengah (UKM) dan sektor
informal yang pada umumnya masih banyak
menggunakan uang kartal. Di samping itu, mema-
nasnya kondisi sosial dan politik mendorong masya-
rakat menyimpan uang kartal di atas kebutuhan
1 Test date uang primer dihitung dari rata-rata posisi tanggal 16 bulan
tersebut hingga tanggal 15 bulan berikutnya.
2 Sasaran uang primer disusun berdasarkan asumsi inflasi, PDB, suku
bunga deposito dan nilai tukar dan ditetapkan dalam Letter of Intent
(LoI).
Moneter
92
normalnya untuk tujuan berjaga-jaga hingga per-
tengahan 2001. Posisi uang kartal tersebut menjadi
semakin tinggi seiring dengan naiknya kebutuhan
transaksi akibat meningkatnya harga yang dipicu oleh
kebijakan pemerintah di bidang harga dan penda-
patan pada Juni 2001. Dalam kondisi yang demikian,
permintaan uang primer menjadi kurang responsif
terhadap perubahan suku bunga. Hal ini menga-
kibatkan upaya untuk menyerap uang primer memer-
lukan peningkatan suku bunga.
Upaya pengendalian moneter tersebut se-
makin dipersulit oleh fungsi intermediasi perbankan
yang belum sepenuhnya pulih, sehingga menye-
babkan jumlah ekses likuiditas perbankan yang harus
diserap oleh Bank Indonesia menjadi semakin besar.
Di samping itu, belum pulihnya fungsi intermediasi
tersebut juga menyebabkan proses transmisi kebi-
jakan moneter menjadi kurang berjalan dengan baik
sebagaimana tercermin dari kurang diresponnya
kenaikan suku bunga SBI oleh kenaikan suku bunga
deposito.
Tingginya permintaan uang kartal dan
kurang efektifnya transmisi kebijakan moneter akibat
masih belum pulihnya intermediasi perbankan
menyebabkan penyerapan uang primer menjadi sulit
dilakukan. Meskipun berbagai langkah penyerapan
likuiditas telah dilakukan, baik melalui lelang SBI,
kenaikan suku bunga intervensi rupiah, maupun
sterilisasi valuta asing, perkembangan uang primer
lebih banyak berada di luar sasaran yang telah
ditetapkan. Dalam kondisi demikian, upaya kenaikan
suku bunga SBI untuk menyerap uang primer dinilai
tidak terlampau efektif. Menyikapi kondisi tersebut,
dalam perkembangannya terutama sejak akhir
triwulan ketiga 2001, Bank Indonesia cenderung
berusaha menyerap kelebihan likuiditas di sektor
perbankan yang diupayakan tanpa menimbulkan
peningkatan suku bunga SBI yang berlebihan.
Selanjutnya, kelebihan likuiditas yang tidak berhasil
diserap melalui lelang SBI telah diupayakan untuk
diserap melalui intervensi rupiah.
Pada awal pelaksanaan kebijakan moneter,
posisi uang primer yang sempat meningkat tinggi
pada akhir 2000 berhasil dikendalikan hingga kembali
ke dalam sasaran indikatifnya sampai dengan April
2001. Namun demikian, akibat munculnya berbagai
kendala seperti disebutkan di atas, test date uang
primer mulai meningkat tinggi dan terus bergerak di
atas sasaran indikatifnya sejak Mei 2001. Hingga
Desember 2001, uang primer telah mengalami per-
tumbuhan sebesar 15,4%3 atau rata-rata telah
tumbuh sebesar 18,2% selama 2001. Pertumbuhan
uang primer di akhir Desember tersebut lebih tinggi
dibandingkan dengan sasaran yang ditetapkan di
awal tahun sebesar 11,0%–12,0%.
Upaya pengendalian uang primer yang
dilakukan oleh Bank Indonesia tersebut mendorong
peningkatan suku bunga SBI. Selama 2001, suku
bunga SBI 1 bulan meningkat sebesar 309 basis point
(bp) hingga menjadi 17,62% dan SBI 3 bulan mening-
kat sebesar 332 bp menjadi 17,63%. Sementara itu,
guna mendorong agar suku bunga deposito dapat
meningkat seiring dengan perkembangan suku bunga
SBI, Bank Indonesia meningkatkan marjin suku bunga
penjaminan deposito. Peningkatan ini dilakukan 2 kali,
yaitu pada Januari dan Agustus 2001 masing-masing
sebesar 100 bp hingga mencapai marjin 400 bp di
3 Pertumbuhan dihitung berdasarkan posisi test date uang primer
Desember 2000 yang telah dibebaskan dari pengaruh musiman
lebaran yang selalu bergeser setiap tahunnya.
Moneter
93
atas suku bunga deposito bank anggota JIBOR.4
Kebijakan ini berhasil mendorong peningkatan rata-
rata tertimbang suku bunga deposito nominal. Secara
riil, suku bunga deposito tersebut juga meningkat,
namun masih jauh di bawah tingkatnya pada masa
sebelum krisis, apalagi jika dipertimbangkan relatif
lebih tingginya premi risiko pada saat ini.
Sejalan dengan peningkatan suku bunga
deposito, simpanan deposito juga meningkat
dibandingkan dengan tahun sebelumnya. Pening-
katan jenis simpanan ini ditengarai juga terkait de-
ngan adanya perpindahan dana dari jenis penanaman
lain yang lebih bersifat jangka pendek seperti
tabungan dan giro. Perkembangan tersebut
menyebabkan pertumbuhan uang beredar dalam arti
luas (M2) pada akhir tahun lebih besar dibandingkan
dengan uang beredar dalam arti sempit (M1).
UANG PRIMER
Secara umum, pengendalian uang primer selama
tahun laporan menghadapi berbagai tantangan yang
cukup berat sehingga mengakibatkan posisi test date
uang primer lebih banyak berada di luar sasaran
indikatif yang ditetapkan. Dalam empat bulan pertama
tahun laporan, test date uang primer masih berada
dalam sasaran indikatifnya bahkan sempat mencapai
posisi terendahnya sebesar Rp101,9 triliun pada
Februari. Dalam perkembangannya, sejak Mei 2001
uang primer terus mengalami peningkatan hingga
berada di atas sasaran indikatifnya, kecuali pada
November (Grafik 5.1). Posisi test date uang primer
tersebut mencapai posisi tertingginya sebesar
Rp124,7 triliun pada Desember, atau lebih besar
dibandingkan dengan sasaran indikatifnya sebesar
Rp122,9 triliun. Secara rata-rata, pertumbuhan tahu-
nan uang primer telah mencapai 18,2% selama 2001,
sedikit lebih rendah dibandingkan dengan rata-rata
pertumbuhan tahun sebelumnya sebesar 18,6%.
Pada akhir 2001, posisi uang primer telah
mencapai Rp127,8 triliun, atau meningkat sebesar
Rp2,2 triliun dibandingkan dengan tahun sebelumnya
sebesar Rp125,6 triliun. Uang primer tersebut sempat
mencapai posisi tertinggi sebesar Rp134,1 triliun pada
saat menjelang lebaran, namun kemudian turun
setelah berakhirnya periode lebaran. Peningkatan ini
terutama didorong oleh kenaikan komponen uang
kartal yang selama 2001 telah mengalami
pertumbuhan rata-rata tahunan sebesar 20,1%, lebih
besar dibandingkan rata-rata pertumbuhan uang
primer pada periode yang sama (Grafik 5.2). Se-
mentara itu, faktor lainnya seperti saldo positif bank
dan simpanan swasta domestik relatif tidak
mengalami perubahan dalam tahun laporan. Relatif
stabilnya saldo positif sebagai akibat rendahnya ex-
cess reserves perbankan, mengindikasikan bahwa
Grafik 5.1
Uang Primer : Aktual dan Sasaran
4 Marjin suku bunga pinjaman dari 200 bp menjadi 300 bp sesuai
dengan SE No. 3/1/DPNP tanggal 5 Januari 2001, dan naik dari
300 bp menjadi 400 bp sesuai SE No. 3/19/DPNP tanggal 14
Agustus 2001.
80
90
100
110
120
130
Triliun Rp
Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.
2000 2001
Aktual
Sasaran indikatif
Moneter
94
upaya penyerapan likuiditas perbankan telah
dilaksanakan secara optimal.
Selama 2001, uang kartal meningkat
sebesar Rp4,1 triliun hingga mencapai posisi Rp76,5
triliun dari posisi tahun sebelumnya sebesar Rp72,4
triliun (Tabel 5.1). Uang kartal ini, sempat mencapai
posisi tertinggi sebesar Rp85,8 triliun pada saat
menjelang perayaan hari lebaran. Peningkatan ini
lebih bersifat musiman mengingat kebutuhan
masyarakat akan uang kartal pada setiap lebaran
akan meningkat, meskipun kemudian turun kembali
setelah berakhirnya perayaan tersebut.
Tingginya peningkatan uang kartal tersebut
tidak terlepas dari meningkatnya secara cukup
signifikan kegiatan usaha sektor Usaha Kecil dan
Menengah (UKM) serta sektor informal yang cen-
derung menggunakan uang kartal dalam melakukan
transaksinya. Peningkatan uang kartal tersebut juga
terkait dengan memanasnya kondisi sosial politik di
Indonesia hingga pertengahan 2001 yang telah
mendorong kebutuhan uang kartal untuk berjaga-
jaga bergerak naik. Permintaan uang kartal tersebut
menjadi semakin meningkat, seiring dengan mening-
katnya kebutuhan uang untuk transaksi sehubungan
dengan meningkatnya harga-harga barang yang
dipicu oleh kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan pada akhir Juni 2001. Kondisi ini terlihat
dari berubahnya pola perilaku uang kartal yang me-
ningkat lebih tinggi dibandingkan dengan sebelumnya
sejak bulan Juli 2001(Grafik 5.3).
Kenaikan uang kartal yang disebabkan oleh
meningkatnya harga dan kebutuhan berjaga-jaga
tersebut juga didukung oleh hasil survei “Motif Masya-
rakat dalam Memegang Uang Kartal” yang dilakukan
di 5 kota besar di Indonesia (Grafik 5.4). Berdasarkan
hasil survei tersebut diketahui bahwa motif utama
yang mendorong masyarakat meningkatkan
permintaan terhadap uang kartal adalah akibat
meningkatnya kebutuhan transaksi sehubungan
dengan naiknya harga-harga barang kebutuhan
pokok (21,6%). Adapun motif kedua tertinggi adalah
akibat meningkatnya jenis barang dan jasa yang ingin
2001
Rincian 2000 I II III IV
Triliun Rupiah
Uang Primer 125,6 103,3 110,6 115,2 127,8 2,2Uang Kertas dan Logam
Yang Diedarkan 89,7 69,9 76,9 80,8 91,3 1,6– di masyarakat 72,4 60,1 66,2 69,0 76,5 4,1– di perbankan 17,3 9,8 10,7 11,8 14,8 –2,5Giro Bank pada Bank Indonesia 33,9 30,9 30,9 31,6 34,8 0,9Giro Sektor Swasta 2,0 2,4 2,9 2,8 1,7 –0,3
Faktor-faktor Yang Mempenga-ruhi Uang Primer 125,6 103,3 110,6 115,2 127,8 2,2Cadangan Devisa Bersih (NIR) 124,5 124,3 128,0 127,8 128,1 3,6Aktiva Domestik Bersih (NDA) 1,1 –21,0 –17,4 –12,6 –0,3 –1,4– Tagihan Bersih pada
Pemerintah 133,7 134,4 125,6 135,5 160,8 27,0– Bantuan Likuiditas 37,3 36,7 37,1 37,1 37,1 –0,2– Kredit Likuiditas 15,9 15,6 15,3 15,2 15,1 –0,8– Tagihan Lainnya 1,5 1,3 1,7 1,9 1,9 0,3– Operasi pasar uang –78,9 –90,0 –85,6 –86,0 –102,6 –23,7– Lainnya Bersih (NOI) –108,4 –119,2 –111,5 –116,2 –112,4 –4,0
Tabel 5.1
Uang Primer 2001
Peru–bahan
Tahunan
Grafik 5.2
Pertumbuhan Uang Kartal dan Uang Primer
-10
0
10
20
30
40
50
60
70
Pertumbuhan Uang Primer
Pertumbuhan Currency Outside Bank
Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des.
1998 1999 2000 2001
Persen
Moneter
95
dibeli (20,9%) sebagai cerminan masih meningkatnya
pendapatan riil masyarakat, dan motif berjaga-jaga
(13,4%) seiring dengan kurang kondusifnya situasi
politik dan keamanan di dalam negeri. Sementara
faktor lain seperti melemahnya nilai tukar, faktor suku
bunga simpanan, meningkatnya denominasi uang
kartal, dan tujuan untuk spekulasi masih relatif rendah
mempengaruhi masyarakat dalam memegang uang
kartal (hanya 12,2%).
Berdasarkan faktor yang mempengaruhinya,
peningkatan uang primer tersebut terutama
disebabkan oleh lebih besarnya ekspansi rupiah
rekening pemerintah dibandingkan dengan pengaruh
kontraksi OPT dan sterilisasi valuta asing. Net
ekspansi rupiah rekening pemerintah yang mencapai
Rp41,1 triliun terutama ditujukan untuk pembayaran
gaji, Dana Alokasi Umum (DAU), dan Dana Bagi Hasil
(DBH) sebesar Rp81,3 triliun, kupon obligasi Rp58,2
triliun, subsidi Rp32,6 triliun, dan pembiayaan proyek
Rp27,4 triliun. Pengeluaran rupiah pemerintah ini lebih
besar dibandingkan dengan penerimaannya yang
terutama bersumber dari penerimaan pajak Rp127,5
triliun dan penjualan aset dan privatisasi Rp31,4 triliun.
Grafik 5.4
Hasil Survei Motif Penyimpanan Uang Kartal
Sebagian ekspansi rekening rupiah tersebut juga
dibiayai oleh penerimaan valuta asing pemerintah dan
pengambilan simpanan pemerintah di Bank
Indonesia. Penerimaan valuta asing pemerintah
tersebut terutama bersumber dari penerimaan migas
yang mencapai Rp62,4 triliun, lebih besar diban-
dingkan dengan net pembayaran utang luar negeri
pemerintah Rp37,4 triliun.
Sementara itu, net kontraksi dari OPT
sebesar Rp23,7 triliun selama 2001 terutama berasal
dari intervensi rupiah sebesar Rp28,0 triliun
khususnya pada Desember, berkaitan dengan
meningkatnya sikap berjaga-jaga bank terhadap
penarikan dana masyarakat menjelang lebaran dan
akhir tahun. Adapun SBI lelang pada periode yang
sama justru memberikan pengaruh ekspansi sebesar
Rp4,3 triliun.
Sejalan dengan perkembangan komponen-
nya yang cenderung ekspansif tersebut, Aktiva
Domestik Bersih (Net Domestic Assets/NDA) selama
2001 menunjukkan kecenderungan yang terus
meningkat, hingga sempat mencatat nilai positif dan
bergerak di atas sasaran indikatifnya selama periode
Pecahan uang yangsemakin besar
0 5 10 15 20 25 30 35
Melemahnya nilai tukarrupiah
Spekulasi
Suku bunga simpanankurang menarik
Untuk berjaga-jaga
Meningkatnya jenis barang/jasa kebutuhan yangdikonsumsi
Meningkatnya harga-hargabarang
Persen
Perusahaan
Rumah Tangga
Total
Grafik 5.3
Perilaku Musiman Uang Kartal
55.000
60.000
65.000
70.000
75.000
80.000
85.000
Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
Pola Perilaku Uang Kartal
Aktual
2 0 0 1
Miliar Rp
Moneter
96
lebaran. Setelah berakhirnya periode lebaran, secara
perlahan NDA turun hingga mencapai posisi test date
negatif Rp2,7 triliun pada akhir tahun, lebih rendah
dibandingkan sasaran indikatifnya sebesar Rp5,3
triliun (Grafik 5.5). Sementara itu, posisi Cadangan
Devisa Bersih (Net International Reserves /NIR)
meningkat sebesar $0,5 miliar hingga mencapai
posisi $18,3 miliar atau setara dengan Rp128,1
triliun5 pada akhir 2001. Peningkatan NIR tersebut
terutama berasal dari penerimaan migas sebesar
$5,3 miliar, serta pinjaman luar negeri dan hasil
pengelolaan devisa $4,2 miliar. Penerimaan valuta
asing tersebut lebih besar dibandingkan dengan
pengeluarannya yang terutama digunakan untuk
pembayaran utang luar negeri dan sterilisasi valuta
asing sebesar $9,6 miliar. Walaupun telah dilakukan
penyesuaian sasaran floor NIR lebih tinggi sebesar
$1,9 miliar menjadi $17,6 miliar pada September,
posisi NIR selama 2001 masih tetap berada di atas
sasaran indikatifnya (Grafik 5.6).
OPERASI PASAR TERBUKA (OPT)
Sebagaimana telah dikemukakan sebelum-
nya, upaya pengendalian uang primer selama 2001
masih bertumpu pada OPT terutama melalui lelang
SBI yang dibantu dengan intervensi rupiah. Guna
memberikan dukungan yang lebih kuat pada upaya
pengendalian uang primer, suku bunga intervensi
rupiah dinaikkan sebanyak 8 kali selama 2001
sebesar 425 bp dari 10,8% pada 2000 menjadi
15,13%. Secara keseluruhan, posisi OPT menun-
jukkan peningkatan, yaitu dari Rp78,9 triliun pada
akhir 2000 menjadi Rp102,6 triliun. Peningkatan
tersebut terutama disebabkan oleh meningkatnya
posisi intervensi rupiah sebesar Rp28,1 triliun menjadi
Rp46,9 triliun pada periode yang sama. Sementara
itu, posisi SBI justru mengalami penurunan sebesar
Rp4,3 triliun menjadi Rp55,7 triliun.
Selama tahun laporan, secara umum pe-
laksanaan OPT telah dapat menyerap kelebihan
likuiditas perbankan sebagaimana tercermin pada
relatif kecilnya excess reserve perbankan. Upaya
penyerapan excess reserve perbankan tersebut
terutama dilakukan melalui lelang SBI, sementara
Grafik 5.5
Net Domestic Assets
Grafik 5.6
Net International Reserves
5 Konversi NIR dari dolar ke rupiah di dalam faktor uang primer
dihitung dengan nilai tukar yang ditetapkan oleh IMF sebesar
Rp7000.
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
Triliun Rp
Aktual
Sasaran indikatif
Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.
2000 2001
Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.
2 0 0 0
12
13
14
15
16
17
18
19
Miliar $
Aktual
Sasaran indikatif
2 0 0 1
Moneter
97
40.000
60.000
80.000
100.000
120.000
140.000
(15.000)
(10.000)
(5.000)
-
5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
30.000
35.000
SBI Jatuh tempo (aksis kiri)
SBI Hasil lelang (aksis kiri)
Intervensi Rp (aksis kanan)
Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.
2 0 0 1
Miliar Rp Miliar Rp
intervensi rupiah hanya berfungsi sebagai fine tuning.
Namun demikian, seiring dengan upaya Bank
Indonesia untuk tidak mendorong terjadinya
perubahan suku bunga, sejak September upaya
penyerapan uang primer tersebut lebih banyak
dilakukan melalui intervensi rupiah. Hal ini tercermin
dari lebih rendahnya jumlah SBI yang berhasil diserap
dibandingkan dengan jumlah yang jatuh tempo dan
meningkatnya posisi intervensi rupiah sejak bulan
tersebut (Grafik 5.7).
Berdasarkan kepemilikannya, pada akhir
2001 kelompok bank swasta nasional masih men-
dominasi kepemilikan SBI dengan pangsa 44,6%,
disusul oleh kelompok bank pemerintah 20,5%, ke-
lompok bank asing dan campuran 19,3%, dan Bank
Pembangunan Daerah (BPD) 7,6% (Grafik 5.8). Jika
dibandingkan dengan komposisi kepemilikan SBI pada
akhir 2000, pangsa kepemilikan SBI oleh bank asing
dan campuran serta BPD menunjukkan peningkatan
selama 2001. Peningkatan kepemilikan SBI oleh BPD
tersebut seiring dengan meningkatnya sumber dana
BPD yang dimiliki oleh pemerintah daerah terkait
dengan pelaksanaan kebijakan Perimbangan
Grafik 5.7
Penyerapan Melalui SBI dan Intervensi Rupiah
Grafik 5.8
Kepemilikan SBI oleh Kelompok Bank
Keuangan Pusat dan Daerah (PKPD). Sebaliknya,
kepemilikan SBI oleh penduduk menunjukkan adanya
penurunan dari 33,4% pada 2000 menjadi hanya 7,6%
dari total SBI. Hal ini berkaitan dengan relatif
menariknya maksimum suku bunga deposito yang
ditawarkan perbankan selama 2001 dibandingkan
suku bunga SBI yang ditawarkan oleh broker.
Sementara itu, posisi Sertifikat Wadiah Bank
Indonesia (SWBI) relatif tidak mengalami perubahan
yang berarti pada 2001, terlihat dari rendahnya posisi
SWBI yang hanya bergerak pada kisaran Rp206 miliar
– Rp304 miliar. SWBI yang mulai diterbitkan sejak
Februari 2000 ini merupakan sertifikat yang diterbitkan
Bank Indonesia sebagai bukti penitipan jangka
pendek dengan prinsip syariah. Walaupun posisinya
relatif stabil, bonus SWBI meningkat dari 8,72% pada
akhir 2000 menjadi 12,43% seiring dengan
Penduduk7,6%
Bank Swasta44,6%
Asing0,6%
Bank Asing danCampuran
19,3%
Bank Pemerintah20,5%
BPD7,6%
Penduduk33,4%
Bank Swasta56,9%
Bank Asing danCampuran
4,4%
Bank Pemerintah1,8%
BPD3,2%
Asing0,4%
2 0 0 1
2 0 0 0
Moneter
98
meningkatnya suku bunga instrumen Bank Indone-
sia lainnya. Bonus SWBI tersebut dihitung
berdasarkan indikasi imbalan pasar uang antarbank
syariah atau deposito mudharabah satu bulan
sebelumnya.
PASAR UANG ANTARBANK
Selama 2001, aktivitas di pasar uang antarbank
(PUAB) rupiah menunjukkan kenaikan dibandingkan
dengan tahun sebelumnya. Secara keseluruhan, rata-
rata suku bunga PUAB meningkat 410 bp dari 10,46%
menjadi 14,56%, sementara volume transaksi
mengalami peningkatan sebesar 39,9% (Tabel 5.2).
Peningkatan suku bunga dan volume transaksi
tersebut terjadi baik di PUAB pagi maupun PUAB
sore. Di PUAB pagi, rata-rata suku bunga meningkat
sebesar 425 bp dari 10,67% pada 2000 menjadi
14,92%, sedangkan rata-rata volume transaksi
meningkat sebesar 61,0%. Perkembangan yang
sama terjadi di PUAB sore dimana rata-rata suku
bunga meningkat 424 bp menjadi 18,33%.
Peningkatan volume transaksi di PUAB
tersebut di atas mengindikasikan tingginya kebutuhan
likuiditas jangka pendek perbankan sepanjang 2001,
khususnya pada bank-bank asing dan campuran
sejak diberlakukannya ketentuan PBI No.3/3/2001
tanggal 12 Januari 2001 tentang Pembatasan Tran-
saksi Rupiah kepada Bukan penduduk dan
Pengurangan Batas Maksimum Transaksi Forward.
Kondisi ini menunjukkan bahwa pengelolaan likuiditas
perbankan semakin mengandalkan penempatan
dalam jangka pendek selain penempatan dalam SBI
dan obligasi pemerintah. Sementara itu, naiknya
tingkat suku bunga PUAB terkait dengan mening-
katnya kebutuhan likuiditas jangka pendek perbankan
dan upaya Bank Indonesia untuk meredam volatilitas
nilai tukar melalui kenaikan suku bunga intervensi
rupiah.
Sejalan dengan peningkatan aktivitas PUAB
rupiah, rata-rata volume PUAB valuta asing dalam
tahun 2001 juga mengalami peningkatan sebesar
$12,2 juta dibandingkan dengan tahun sebelumnya
sehingga menjadi rata-rata $167,4 juta per hari.
Walaupun sempat meningkat tinggi pada paro
pertama tahun laporan, namun dalam perkembangan
berikutnya, rata-rata volume PUAB valuta asing
kembali menurun. Hal ini diduga akibat adanya
sejumlah bank papan atas yang melakukan penem-
Tabel 5.2
Rata-rata Suku Bunga dan Volume Transaksi Harian PUAB
Periode
Trw I -2000 9,74 9,32 9,50 5,66 1.003,4 708,2 1.712,0 135,5
Trw II - 2000 10,19 9,87 10,03 6,25 961,5 945,5 1.906,9 149,0
Trw III - 2000 11,16 10,62 10,89 6,44 1.196,6 1.289,3 2.485,9 177,6
Trw IV - 2000 11,64 11,21 11,43 6,45 1.340,0 1.470,0 2.810,0 158,9
Rata-Rata Tahun 2000 10,67 10,25 10,46 6,20 1.125,4 1.103,2 2.288,0 155,3
Trw I - 2001 12,76 12,64 12,71 5,49 1.812,0 1.318,0 3.130,0 204,6
Trw II - 2001 14,72 14,10 14,45 4,06 1.816,0 1.288,0 3.104,0 200,1
Trw III - 2001 16,14 15,49 15,15 3,34 1.792,0 1.278,0 3.070,0 162,8
Trw IV - 2001 16,06 15,75 15,93 2,17 1.830,0 1.337,0 3.167,0 102,1
Rata-Rata Tahun 2001 14,92 14,50 14,56 3,76 1.812,0 1.305,0 3.118,0 167,4
Suku Bunga (%)
Pagi Sore Total (PUAB Rp) PUAB Valas
Volume (Miliar Rp)
Pagi Sore Total (PUAB Rp) PUAB Vls ($ Juta)
Moneter
99
patan dana di luar negeri (Lihat Bab 3 Nilai Tukar).
Dominasi volume transaksi di PUAB valuta asing lebih
banyak dilakukan oleh bank-bank pemerintah, bank
asing, dan bank campuran. Sementara itu, rata-rata
suku bunga PUAB valuta asing selama periode
laporan mengalami penurunan sebesar 244 bp
sehingga menjadi 3,76%. Menurunnya suku bunga
PUAB valuta asing terkait dengan kecenderungan
menurunnya suku bunga luar negeri terutama Fed
fund rate .
Selama tahun laporan, kelompok bank yang
banyak melakukan penempatan dalam PUAB rupiah
adalah kelompok bank devisa, bank persero, dan
bank nondevisa (Grafik 5.9). Hal ini menunjukkan
semakin likuidnya ketiga kelompok bank tersebut.
Sementara itu, kelompok bank asing dan bank
campuran lebih banyak melakukan peminjaman baik
di PUAB rupiah maupun valuta asing. Aktivitas bank
asing dan campuran yang cenderung menjadi net
peminjam di PUAB bukan semata-mata dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan likuditas, tetapi juga
sebagai upaya untuk mengoptimalkan keuntungan
dari adanya perbedaan suku bunga (arbitrase). Hal
ini dilakukan dengan meminjam di PUAB yang
selanjutnya ditanamkan di SBI maupun transaksi
lainnya seperti memenuhi kebutuhan hedging
perusahaan-perusahaan multinasional (MNC)
terhadap kewajiban rupiahnya.
SUKU BUNGA
Sejalan dengan upaya penyerapan likuiditas
dalam rangka pencapaian sasaran uang primer, suku
bunga SBI meningkat selama 2001. Suku bunga SBI
1 bulan meningkat sebesar 309 bp bila dibandingkan
dengan posisi akhir 2000 hingga mencapai 17,62%
pada akhir Desember 2001. Sementara itu, suku bu-
nga SBI 3 bulan meningkat 332 bp hingga mencapai
posisi 17,63%. Peningkatan suku bunga SBI terse-
but terutama terjadi hingga Agustus 2001. Selan-
jutnya, sejak September hingga akhir tahun suku
bunga SBI 1 bulan dan 3 bulan bergerak stabil pada
kisaran 17,58% - 17,63%. Adapun peningkatan suku
bunga intervensi rupiah overnight (O/N) seperti telah
di jelaskan di subbab Operasi Pasar Terbuka di depan,
terutama terjadi pada paro pertama tahun laporan,
sementara pada paro kedua suku bunga intervensi
rupiah O/N tetap pada posisi 15,13% (Grafik 5.10).
Meskipun secara nominal meningkat, suku
bunga riil SBI yang terjadi lebih rendah dibandingkan
tahun sebelumnya. Secara riil pada akhir 2001, suku
bunga SBI 1 bulan hanya mencapai 5,07% atau
menurun 11 bp dibandingkan posisi akhir tahun
sebelumnya sebesar 5,18%.
Peningkatan suku bunga SBI tersebut tidak
secara langsung berpengaruh pada peningkatan suku
bunga deposito secara signifikan. Hal ini berkaitan
dengan masih tingginya likuiditas perbankan sebagai
akibat fungsi intermediasi perbankan yang belum
Grafik 5.9
Net Pemberi - Peminjam Harian di PUAB
(1.500)
(1.000)
(500)
0
500
1.000
1.500
I II III IV I II III IV
B. Persero B.Devisa B. Nondevisa B.Campuran B. Asing
Bank Pemberi
Bank Penerima
2 0 0 0 2 0 0 1
Miliar Rp
Moneter
100
10.5
11.5
12.5
13.5
14.5
15.5
16.5
17.5
Persen
Intervensi Rupiah
Des. Feb. Apr. Jun. Ags. Okt. Des.
2 0 0 12 0 0 0
SBI 1 bulan
SBI 3 bulan
upaya tersebut juga didukung dengan kebijakan
perubahan penentuan suku bunga penjaminan yang
semula dilakukan seminggu sekali menjadi sebulan
sekali.
Peningkatan suku bunga maksimum penja-
minan tersebut telah mendorong perbankan untuk
menaikkan tingkat suku bunga depositonya selama
2001. Dibandingkan dengan posisi akhir 2000, suku
bunga nominal dan riil deposito telah meningkat
masing-masing sebesar 411 bp dan 91 bp menjadi
16,07% dan 3,52% (Grafik 5.11). Perkembangan ini
mengindikasikan bahwa upaya perbaikan struktur
sepenuhnya pulih. Belum pulihnya intermediasi ini
mendorong perbankan untuk memaksimalkan
keuntungannya dengan memanfaatkan selisih antara
suku bunga SBI dengan deposito. Dalam rangka
mendorong peningkatan suku bunga deposito agar
dapat searah dengan perkembangan SBI, maka Bank
Indonesia telah menigkatkan margin suku bunga
penjaminan sebanyak 2 kali pada Januari dan
Agustus 2001 masing-masing sebesar 100 bp diatas
suku bunga deposito bank anggota JIBOR. Selain itu,
Tabel 5.3
Perkembangan Suku Bunga 1)
R i n c i a n1999 2000 2001
Persen
SBI1 Bulan 11,9 14,5 17,6
PUABO/N 112,1 11,4 15,66
Deposito 1 Bulan 12,2 12,0 16,07 3 Bulan 12,9 13,2 17,24 6 Bulan 14,3 13,2 16,1812 Bulan 22,4 12,2 15,4824 Bulan 18,4 14,3 18,05
KreditModal Kerja 20,7 17,7 19,19Investasi 17,9 16,9 17,90
1) Rata-rata tertimbang dalam bulan Desember
12
13
14
15
16
17
18
19
Des. Jun. Des.
Persen
SBI 1 bulan
Penjaminan deposito 1 bulan
Deposito 1 bulan
2 0 0 0 2 0 0 1
Mar. Sep.
Grafik 5.11
Suku Bunga Deposito 1 Bulan
11
12
13
14
15
16
17
Des Mar Jun Sep Des
1
2
2
3
3
4
4
5
5
2000 2001
Nominal, % Riil, %
Deposito riil
Deposito nominal
Grafik 5.10
Diskonto Intervensi Rp, SBI 1 dan 3 bulan
Grafik 5.12
Perkembangan Suku Bunga SBI dan Deposito
Moneter
101
sebagaimana telah dijelaskan di atas, mengalami
peningkatan sebesar 5,5%. Dilihat dari kepemilikan,
pertumbuhan uang giral terutama terjadi pada
simpanan giro milik Pemerintah Daerah sebesar
138,9% (Grafik 5.14), sebagai dampak dari mulai
dilaksanakannya kebijakan Perimbangan Keuangan
Pusat dan Daerah (PKPD) sejak Januari 2001, dalam
bentuk droping Dana Alokasi Umum (DAU) dan bagi
hasil Sumber Daya Alam Migas. Pada akhir tahunan
simpanan giro pemerintah tersebut mengalami
penurunan sehubungan dengan pembayaran proyek-
proyek yang dilakukan.
Uang kuasi dalam periode yang sama me-
ngalami peningkatan sebesar 13,9% hingga
mencapai Rp666,3 triliun. Dilihat dari komponennya,
peningkatan uang kuasi tersebut terutama terjadi
pada kuasi rupiah dalam bentuk deposito yang
meningkat sebesar 16,7% hingga menjadi Rp340,9
triliun dan tabungan sebesar 11,8% hingga mencapai
posisi Rp170,6 triliun. Lebih tingginya pertumbuhan
deposito dibandingkan dengan pertumbuhan
tabungan dan simpanan giro selama periode laporan,
mencerminkan terjadinya pergeseran preferensi
suku bunga melalui peningkatan suku bunga
penjaminan cukup efektif dalam menarik suku bunga
deposito ke atas (Grafik 5.12).
Dalam pada itu, perkembangan suku bunga
perbankan lainnya seperti suku bunga deposito 3
bulan, suku bunga kredit modal kerja dan suku bunga
kredit investasi juga mengalami peningkatan bila di-
bandingkan dengan posisi pada akhir tahun lalu.
Sampai dengan akhir 2001, suku bunga deposito 3
bulan meningkat sebesar 400 bp menjadi 17,24%,
suku bunga kredit modal kerja naik sebesar 154 bp
menjadi 19,19%, sedangkan suku bunga kredit
investasi naik 104 bp menjadi 17,90% apabila diban-
dingkan dengan suku bunga pada akhir Desember
2001 (Grafik 5.13).
UANG BEREDAR
Pada periode laporan, posisi M1 mengalami
peningkatan sebesar 9,6% dibandingkan dengan
tahun sebelumnya, sehingga mencapai posisi
Rp177,7 triliun pada Desember 2001. Peningkatan
tersebut sebagian besar disebabkan oleh peningkatan
uang giral sebesar 12,9%, sedangkan uang kartal
Grafik 5.13
Perkembangan Suku Bunga Jangka Panjang
Grafik 5.14
Giro Pemerintah Daerah di Bank
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Deposito 3 bulan
Kredit Investasi
Kredit Modal Kerja
Persen
Des. Mar. Jun. Sep. Des.
2000 2001
Total Giro (Miliar Rp) Giro Pemda (Miliar Rp)
50.000
60.000
70.000
80.000
90.000
100.000
110.000
Nov.5.000
10.000
15.000
20.000
25.000
Total Giro
Giro Pemda
2 0 0 1
Jan. Mar. Mei Jul. Sep.
Moneter
102
masyarakat dalam menempatkan dananya ke dalam
bentuk simpanan yang lebih panjang (Grafik 5.15).
Hal ini berkaitan dengan kenaikan suku bunga
deposito selama tahun laporan (Grafik 5.16) dan
membaiknya ekspektasi terhadap prospek pereko-
Rincian1999 2000 2001
Tabel 5.4
Uang Beredar dan Faktor-faktor Yang Mempengaruhi
PosisiPerubahan2000-2001
Triliun Rupiah
M2 646,2 747,0 844,1 97,0M1 124,6 162,2 177,7 15,5– Uang kartal 58,4 72,4 76,3 4,0– Uang giral 66,3 89,8 101,4 11,5
Uang Kuasi 521,6 584,8 666,3 81,5– Deposito dan Tabungan dalam Rupiah 408,6 444,7 511,6 66,9– Simpanan dalam valuta asing 113,0 140,2 154,8 14,6
Faktor-faktor YangMempengaruhi M2 646,2 747,0 844,1 97,0Aktiva luar negeri (bersih) 129,1 210,7 234,0 23,2– Bank Indonesia 109,3 201,2 192,6 -8,6– Bank-bank umum 19,8 9,5 41,4 31,9
Tagihan kepada pemerintah(bersih) 397,3 520,3 529,7 9,4
Tagihan bersih kepada BPPN 0,0 0,0 0,0 0,0Tagihan kepada sektor usaha 252,6 294,9 329,2 34,2– Kredit dalam rupiah 140,5 152,5 202,6 50,1– Kredit dalam valuta asing 84,6 116,5 105,0 -11,5– Tagihan lainnya 27,4 25,9 21,6 -4,4Lainnya (bersih) -132,7 -278,9 -248,8 30,2
nomian ke depan. Perkembangan ini berbeda dengan
kondisi pada 2000, dimana deposito hanya
mengalami pertumbuhan sebesar 2,1% sedangkan
tabungan dan giral masing-masing tumbuh sebesar
24,4% dan 35,5%.
Sementara itu, selama 2001 simpanan valuta
asing mengalami peningkatan sebesar 10,4%
sehingga pada akhir tahun mencapai Rp154,8 triliun.
Namun demikian, peningkatan yang tinggi tersebut
sebagian besar merupakan dampak dari melemahnya
nilai tukar rupiah. Apabila dinilai dalam valuta dolar,
simpanan valuta asing tersebut hanya mengalami
peningkatan sebesar $270,5 juta atau setara dengan
Rp2,6 triliun, sehingga pada akhir tahun mencapai
Rp142,8 triliun.
Berdasarkan perkembangan M1 dan uang
kuasi di atas, uang beredar dalam arti luas (M2)
pada Desember 2001 mengalami peningkatan
sebesar 13,0% dari tahun sebelumnya menjadi
Rp844,1 triliun. Secara rata-rata selama 2001, M2
telah tumbuh sebesar 14,7% year on year (y-o-y).
Pertumbuhan M2 ini lebih rendah dibandingkan
dengan rata-rata pertumbuhan M1 selama 2001
Grafik 5.16
Suku Bunga Deposito dan Simpanan Deposito
Grafik 5.15
Pertumbuhan Giro, Tabungan dan Deposito
(20)
-
20
40
60
80
100
120
Persen
Giro
Deposito
Tabungan
Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des.
1 9 9 9 2 0 0 0 2 0 0 1
270
280
290
300
310
320
330
340
350
Feb. Mei Ags. Nov. Feb. Mei Ags. Nov.1
3
5
7
9
11
13
15
17Vol. Deposito Rp
Suku bunga deposito nominal
Suku bunga deposito riil
PersenTriliun Rp
2 0 0 0 2 0 0 1
Moneter
103
5,0
5,5
6,0
6,5
7,0
7,5
8,0
8,5
9,0
1,3
1,4
1,5
1,6
1,7
1,8
1,9
2,0
APU 2, C/D APU 1
APU 2
APU 1
C/D
2 0 0 0 2 0 0 1
Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov. Jan. Mar. Mei Jul. Sep. Nov.
yang mencapai 19,8% (y-o-y). Hal ini berkaitan
dengan tingginya peningkatan uang kartal yang ter-
jadi selama tahun 2001. Tingginya peningkatan uang
kartal dibandingkan dengan pertumbuhan M2 terse-
but juga tercermin dari meningkatnya rasio C/D
selama tahun 2001 (Grafik 5.17). Meningkatnya rasio
C/D ini menyebabkan turunnya angka pengganda
uang (APU) M2 selama tahun 2001 hingga mencapai
rasio 6,7 pada akhir 2001. Rasio ini lebih rendah
dibandingkan rata-rata sebelum krisis yang men-
capai rasio sebesar 8,0, yang mencerminkan belum
pulihnya fungsi intermediasi perbankan.
Berdasarkan faktor-faktor yang mempe-
ngaruhi, ekspansi M2 dalam tahun laporan terutama
berasal dari ekspansi NDA sebesar Rp73,8 triliun.
Ekspansi NDA tersebut bersumber dari ekspansi
tagihan bersih kepada sektor usaha (Claims on
Business Sector / CBS) sebesar Rp34,2 triliun dan
tagihan bersih kepada pemerintah (Net Claims on
Goverment / NCG) sebesar Rp9,4 triliun dibandingkan
tahun sebelumnya.
Ekspansi CBS terjadi karena peningkatan
kredit dalam rupiah sebesar Rp50,1 triliun, sebaliknya
Grafik 5.17
Angka Pengganda Uang dan Rasio C/D
kredit valuta asing dan tagihan lainnya mengalami
penurunan masing-masing sebesar Rp11,5 triliun dan
Rp4,4 triliun. Peningkatan kredit rupiah tersebut
termasuk diantaranya kredit yang dibeli kembali oleh
perbankan dari BPPN. Kredit rupiah tersebut
sebagian besar ditujukan untuk pembiayaan kredit
modal kerja bagi sektor perindustrian dan perda-
gangan, serta untuk pembiayaan kredit konsumsi.
Adapun penurunan kredit valuta asing tersebut
terutama disebabkan oleh pengalihan kredit valuta
asing kelompok Bank Swasta Nasional kepada BPPN
yang ditukar dengan hedge bonds dan penghapus-
bukuan kredit valuta asing kelompok Bank Persero.
Sementara itu, ekspansi NCG bersumber dari
ekspansi NCG di Bank Indonesia sebesar Rp27,0
triliun, sedangkan NCG di bank umum mengalami
kontraksi sebesar Rp17,7 triliun. Ekspansi NCG di
Bank Indonesia yang antara lain ditujukan untuk
droping DAU, pembayaran kupon obligasi peme-
rintah, pembayaran utang luar negeri, pembayaran
termin proyek, dan subsidi BBM (lihat sub bab uang
primer). Dalam pada itu, kontraksi NCG di bank umum
terutama disebabkan oleh menurunnya tagihan
perbankan kepada pemerintah dalam bentuk obligasi
sebesar Rp22,0 triliun, berkaitan dengan kompensasi
obligasi pemerintah dengan kewajiban perbankan
kepada BPPN dan penurunan nilai pasar obligasi
pemerintah.
Sementara itu, faktor Aktiva Luar Negeri
Bersih (Net Foreign Assets / NFA) mengalami
peningkatan sebesar Rp23,2 triliun, terutama berasal
dari peningkatan NFA di bank umum sebesar Rp31,9
triliun. Peningkatan NFA di bank umum tersebut
sebagian besar berasal dari penurunan kewajiban
perbankan kepada bukan penduduk sebesar Rp24,3
Moneter
104
triliun, antara lain kewajiban dalam bentuk giro dan
call money masing-masing sebesar Rp12,4 triliun dan
Rp7,0 triliun.
PASAR MODAL
Kinerja pasar modal di tahun 2001 mengalami
perkembangan yang kurang menggembirakan,
ditandai oleh pergerakan Indeks Harga Saham
Gabungan (IHSG) yang berfluktuatif dengan kecen-
derungan menurun. Pada akhir tahun laporan, IHSG
ditutup terkoreksi 24,285 poin atau (5,83%) pada level
392,0 dibandingkan posisi akhir tahun sebelumnya
yang berada pada level 416,3 (Grafik 5.18).
Penurunan IHSG dipengaruhi baik oleh faktor
ekonomi maupun nonekonomi. Faktor ekonomi ter-
utama akibat melemahnya nilai tukar rupiah, naiknya
tingkat diskonto SBI hingga level 17%, turunnya
peringkat investasi di Indonesia dari “stabil” ke
“negatif” menurut lembaga pemeringkat Moody’s di
awal Maret 2001, serta melemahnya kinerja bursa
regional yang didorong oleh ketidakpastian dari
prospek perekonomian Jepang dan Amerika Serikat.
Sementara faktor nonekonomi yang mempengaruhi
melemahnya IHSG terutama bersumber dari mening-
katnya kekhawatiran pasar terhadap stabilitas
keamanan dan politik selama 2001. Selain itu. ter-
jadinya tragedi WTC 11 September 2001 yang diikuti
oleh aksi anti AS di sejumlah kota besar dan penuru-
nan peringkat utang Indonesia oleh S&P dari CCC+
menjadi CCC serta prospek utang dari stabil menjadi
negatif pada minggu ke II November 2001 semakin
menekan pergerakan indeks. Meskipun demikian,
pada Februari dan Agustus 2001 indeks sempat
menguat yang dipicu oleh penurunan tingkat suku
bunga oleh bank sentral AS, berhasilnya pelaksanaan
Sidang Istimewa dan pergantian kepemimpinan
nasional yang berlangsung aman.Kondisi ini juga
mendorong peningkatan indeks kepercayaan
konsumen dari 94,1 menjadi 112,3.
Menurunnya IHSG pada 2001 juga tidak
terlepas dari berkurangnya kontribusi investor asing
di pasar modal Indonesia. Hal tersebut tercermin dari
menurunnya posisi nilai transaksi investor asing
terhadap total perdagangan dari Rp24,7 triliun
(20,1%) pada tahun lalu menjadi Rp14,6 triliun (9,9%)
pada 2001. Seiring dengan melemahnya IHSG, nilai
kapitalisasi pasar mengalami penurunan sebesar
7,8% dari Rp259,6 triliun pada akhir tahun 2000
menjadi Rp239,3 triliun. Sementara itu, jumlah emiten
di bursa saham mengalami peningkatan dari 347
emiten senilai Rp226,1 triliun menjadi 379 emiten
senilai Rp231,3 triliun.
Guna meningkatkan kinerja pasar modal
dalam tahun laporan, pemerintah telah mengeluar-
kan kebijakan di pasar modal yang terkait dengan
perubahan struktur organisasi Bapepam dan pem-
berian ijin kepemilikan maksimal 99% saham efek
Grafik 5.18
IHSG dan Nilai Perdagangan 2001
IHSG Ni la i
2-Jan. 13-Feb. 29-Mar. 14-Mei 27-Jun. 8-Ags. 20-Sep. 2-Nov. 19-Des.
1003005007009001100130015001700190021002300250027002900310033003500
300
320
340
360
380
400
420
440
460
480
Nilai
IHSG
2 0 0 1
Moneter
105
perusahaan patungan sebelum penawaran umum
kepada sekuritas asing. Untuk memungkinkan bursa
dapat diakses dari jarak jauh (sistem remote tra-
ding), pada November 2001 pemerintah memba-
ngun sistem perdagangan dengan teknologi cang-
gih. Upaya tersebut juga didukung oleh kebijakan
penghapusan “pasar segera” dalam rangka efisiensi
melalui penyederhanaan pasar. Namun demikian,
pada saat yang sama pemerintah juga mengenakan
PPh atas penghasilan dari obligasi yang diper-
dagangkan di bursa efek sebesar 0,03% dari nilai
transaksi. Kebijakan ini berlawanan dengan tujuan
untuk mengembangkan pasar modal sebagai salah
satu alternatif sumber pembiayaan bagi dunia
usaha.
Berbeda dengan pergerakan IHSG, perkem-
bangan indeks saham dengan prinsip syariah (Jakarta
Islamic Index) mengalami kenaikan dari level 57,9
pada akhir 2000 menjadi 61,4 pada akhir 2001. Indeks
tersebut dihitung mengacu pada 30 saham
perusahaan yang kegiatannya berdasarkan prinsip
syariah Islam.
Sementara itu, di pasar obligasi korporasi
terjadi peningkatan jumlah emiten dari 91 emiten
dengan nilai emisi sebesar Rp28,8 triliun menjadi 94
emiten dengan nilai emisi Rp31,7 triliun. Namun
demikian, aktivitas perdagangan obligasi korporasi
pada 2001 mengalami penurunan dibandingkan 2000
meskipun indeks perdagangan meningkat sebesar
24,9% dari 433,8 pada tahun lalu menjadi 541,5 pada
2001. Total volume transaksi obligasi korporasi tercatat
sebesar Rp1,1 triliun atau mengalami penurunan
sebesar 87,3% dibandingkan tahun 2000 yang
mencapai Rp8,8 triliun, dengan total frekuensi
sebanyak 403 kali menurun dibanding 2.497 kali pada
2000. Penurunan aktivitas perdagangan obligasi
disebabkan oleh terjadinya pengalihan portofolio
investasi oleh para investor ke bentuk lain sebagai
akibat kondisi perekonomian yang belum membaik,
pengenaan pajak penghasilan dan pajak transaksi atas
penghasilan yang diterima, penurunan nilai rupiah,
tingginya tekanan inflasi serta naiknya tingkat diskonto
SBI.
Di sisi lain, volume perdagangan obligasi
pemerintah di pasar sekunder pada 2001 meningkat
hingga mencapai Rp66,2 triliun dibandingkan
dengan tahun sebelumnya yang hanya mencapai
Rp27,9 triliun (Tabel 5.5). Hal ini sejalan dengan
peningkatan kebutuhan likuiditas beberapa bank
pemilik obligasi rekap. Guna lebih mendorong
peningkatan transaksi obligasi pemerintah, jumlah
maksimum obligasi pemerintah yang dapat masuk
Tabel 5.5
Jumlah Obligasi Pemerintah Yang Diperdagangkan 1)
Variable Rate Fixed Rate Total
Februari 6.000 0 6.000M e i 61.730 25.650 87.380J u n i 1.587.188 7.000.000 8.587.188J u l i 85.740 0 85.740Agustus 2.788.381 1.053.235 3.841.616September 2.284.318 418.676 2.702.994Oktober 797.475 - 797.475November 5.370.127 2.278.500 7.648.627Desember 3.227.200 921.600 4.148.800
2000 16.208.159 11.697.661 27.905.820
Januari 4.508.000 7.929.500 12.437.500Februari 3.357.113 1.064.500 4.421.613Maret 1.466.197 1.439.654 2.905.851April 7.104.770 1.844.500 8.949.270M e i 1.387.590 1.518.186 2.905.776J u n i 2.873.130 5.337.291 8.210.421J u l i 2.739.751 1.572.920 4.312.671Agustus 1.701.927 1.578.000 3.279.927September 1.393.822 2.004.409 3.398.231Oktober 565.010 2.824.720 3.389.730November 3.551.644 3.116.753 6.668.397Desember 1.779.713 3.563.011 5.342.724
2001 32.428.667 33.793.444 66.222.111
48.636.826 45.491.105 94.127.931
1) Dalam juta rupiah
Moneter
106
Grafik 5.19
Volume Perdagangan Obligasi
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Volume Frekuensi
Volume (Rp miliar)
Frekuensi
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
2 0 0 1
ke dalam portofolio perdagangan ditingkatkan dari
25% pada 8 Desember 2000 menjadi 100% pada
31 Juli 2001. Dari keseluruhan transaksi obligasi
pemerintah tersebut jumlah obligasi fixed rate (FR)
mencapai Rp33,8 triliun, lebih besar dibandingkan
dengan transaksi variable rate (VR) Rp32,4 triliun.
Lebih besarnya transaksi obligasi FR dibandingkan
dengan VR lebih berkaitan dengan motif dari inves-
tor untuk mencari pandapatan yang lebih tinggi
akibat besarnya discount rate yang terbentuk hingga
mencapai 35% - 50%. Dengan demikian, sejak
Februari 2000, total transaksi perdagangan obligasi
pemerintah di pasar sekunder telah mencapai
Rp94,1 triliun yang meliputi transaksi obligasi VR
sebesar Rp48,6 triliun dan obligasi FR sebesar
Rp45,5 triliun.
Neraca Pembayaran
108
b a b 6
NERACA PEMBAYARAN
Dalam tahun 2001, kinerja Neraca Pembayaran
Indonesia (NPI) menunjukkan perkembangan
yang kurang menggembirakan. Hal itu dapat dilihat
dari berkurangnya surplus transaksi berjalan terutama
sebagai akibat dari menurunnya kinerja ekspor dan
meningkatnya defisit pada lalu lintas modal. Menu-
runnya kinerja ekspor tidak terlepas dari perkem-
bangan kondisi yang terjadi baik di luar maupun di
dalam negeri. Di sisi eksternal, melambatnya pertum-
buhan ekonomi dunia terutama di negara-negara
tujuan ekspor, yang diperburuk oleh dampak tragedi
WTC 11 September 2001, dan turunnya harga-harga
komoditas utama mengakibatkan ekspor, khususnya
ekspor nonmigas mengalami penurunan yang cukup
besar. Penurunan ekspor juga dipengaruhi oleh
adanya penetapan syarat-syarat tambahan bagi
produk ekspor Indonesia seperti penerapan per-
syaratan ramah lingkungan dan perlindungan hak
konsumen. Di sisi internal, menurunnya ekspor ter-
sebut dipengaruhi oleh terjadinya gangguan produksi
dan distribusi yang disebabkan oleh meningkatnya
faktor ketidakpastian sehubungan dengan masih
maraknya aksi mogok buruh, gangguan keamanan,
dan masih belum pulihnya fungsi intermediasi
perbankan. Sejalan dengan masih rendahnya kegia-
tan investasi dan menurunnya ekspor, impor juga
mengalami penurunan, terutama impor barang modal
dan bahan baku penolong. Penurunan impor ini
berkaitan pula dengan perkembangan nilai tukar
rupiah yang mengalami depresiasi dan fluktuasi yang
cukup tajam. Sementara itu, defisit transaksi jasa-jasa
mengalami penurunan yang disebabkan oleh
berkurangnya pembayaran bunga utang luar negeri,
dan berkurangnya pembayaran jasa-jasa angkutan
yang terkait dengan menurunnya kegiatan impor.
Tabel 6.1
Neraca Pembayaran Indonesia
A. Transaksi Berjalan 5,8 8,0 5,01. Barang 20,6 25,0 21,6
a. Ekspor f.o.b 51,2 65,4 58,7Nonmigas 41,0 50,3 45,8Migas 10,3 15,1 12,9
Minyak 5,7 8,0 7,2LNG 4,2 6,8 5,4LPG 0,4 0,4 0,4
b. Impor f.o.b –30,6 –40,4 –37,0Nonmigas –26,6 –34,4 –31,4Migas –4,0 –6,0 –5,6
Minyak –3,7 –5,8 –5,3Gas –0,3 –0,2 –0,3
2. Jasa –14,9 –17,1 –16,7a. Nonmigas –11,7 –12,5 –12,4b. Migas –3,2 –4,6 –4,3
Minyak –1,5 –2,2 –2,2Gas –1,7 –2,4 –2,1
B. Lalu Lintas Modal -4,6 –6,8 –8,91. Lalu lintas modal pemerintah (bersih) 5,4 3,2 –0,3
a. Penerimaan pinjaman dan bantuan 7,9 5,0 3,3b. Pelunasan pinjaman 1) –2,6 –1,8 –3,6
2. Lalu lintas modal swasta (bersih) –9,9 –10,0 –8,6a. Penanaman modal langsung (bersih) –2,7 –4,6 –5,9b. Lainnya (bersih) –7,2 –5,4 –2,7
C. Jumlah (A+B) 1,2 1,2 –3,9D. Selisih Perhitungan antara C dan E 2,1 3,8 2,6E. Lalu-lintas Moneter2) –3,3 –5,0 1,4
Catatan:1. Aktiva Luar Negeri (GFA)3) 27,1 29,4 28,0
Setara Impor Nonmigas dan pembayaran utang luar negeri pemerintah (bulan) 6,7 6,0 6,1
2. Transaksi Berjalan/PDB (%) 4,1 5,3 3,4
1999 2000 2001*
Miliar $
1) Setelah diperhitungkan rescheduling dan termasuk pembayaran kepada IMF
2) Minus (–) = Surplus, dan sebaliknya
3) Sejak 2000 menggunakan konsep IRFCL menggantikan konsep cadangan devisa
bruto (GFA)
R i n c i a n
Neraca Pembayaran
109
Sementara itu, peningkatan defisit pada
transaksi modal terutama berasal dari defisit lalu lintas
modal (LLM) pemerintah setelah dalam beberapa
tahun terakhir mencatat surplus. Defisit LLM
pemerintah disebabkan oleh penurunan yang tajam
pada penarikan utang luar negeri pemerintah sebagai
akibat belum dapat dipenuhinya beberapa
persyaratan yang ditetapkan oleh pihak kreditur.
Dalam pada itu, defisit LLM swasta mengalami
penurunan sebagai akibat dari menurunnya
pembayaran utang luar negeri swasta.
Dengan perkembangan tersebut di atas, NPI
secara keseluruhan mengalami defisit sebesar $1,4
miliar sehingga posisi cadangan devisa pada akhir
2001 menurun menjadi $28,0 miliar atau setara
dengan 6,1 bulan kebutuhan impor dan pembayaran
utang luar negeri (Tabel 6.1).
Dalam mengatasi berbagai masalah di sektor
perdagangan internasional dan lalu lintas modal,
pemerintah telah menempuh beberapa langkah kebi-
jakan. Di bidang ekspor, kebijakan yang ditempuh
antara lain berupa penurunan tarif pajak ekspor
beberapa komoditas tertentu dan penyempurnaan
sistem manajemen kuota tekstil. Sejalan dengan
kebijakan tersebut, produsen yang berorientasi
ekspor yang didukung oleh pemerintah telah
melaksanakan beberapa pameran produk ekspor di
dalam dan luar negeri. Di bidang impor, pemerintah
antara lain telah mempermudah impor barang untuk
memperlancar kegiatan produksi. Sementara itu, di
bidang LLM, pemerintah mengeluarkan perubahan
ketentuan mengenai pemilikan saham oleh investor
asing yang memungkinkan pembelian perusahaan
domestik tertentu yang belum berproduksi secara
komersial.
TRANSAKSI BERJALAN
Dalam tahun 2001, transaksi berjalan
diperkirakan mencatat surplus sebesar $5,0 miliar
atau 3,4% dari PDB, turun dibandingkan dengan
surplus tahun sebelumnya yang mencapai $8,0 miliar
atau 5,3% dari PDB (Grafik 6.1). Turunnya surplus
transaksi berjalan sebagian besar disebabkan oleh
menurunnya surplus perdagangan. Penurunan
tersebut terjadi pada neraca perdagangan migas dan
nonmigas yang masing-masing turun sebesar $1,8
Grafik 6.2
Nilai Ekspor Bersih Nonmigas dan Migas
Grafik 6.1
Transaksi Berjalan, Neraca Perdagangan, dan
Neraca Jasa
Miliar $
Transaksi Berjalan
Neraca Perdagangan
Neraca Jasa
-20
-8
4
16
28
1997 1998 1999 2000 2001*
Nilai Ekspor Bersih NonmigasNilai Ekspor Bersih Migas
0
2
4
6
8
10
12
14
16
18
Miliar $
1997 1998 1999 2000 2001*
Neraca Pembayaran
110
miliar dan $1,6 miliar sehingga menjadi sebesar $7,3
miliar dan $14,4 miliar (Grafik 6.2). Sebagaimana
tahun-tahun sebelumnya neraca jasa masih tetap
mengalami defisit. Dalam periode laporan, defisit
neraca jasa tercatat sebesar $16,7 miliar, lebih kecil
dari tahun sebelumnya yang mencatat defisit sebesar
$17,1 miliar.
Dalam rangka memperbaiki kinerja ekspor,
pemerintah dalam tahun laporan telah mengeluarkan
berbagai kebijakan. Sejak tanggal 9 Februari 2001,
tarif pajak ekspor kelapa sawit dan Crude Palm Oil
(CPO) diturunkan dari 5% menjadi 3%.1 Sementara
itu, tarif pajak Crude Olein (CRD Olein), Refined Blea-
ched Deodorized Palm Oil (RBD PO), dan Refined
Bleached Deodorized Palm Olein (RBD Olein) juga
diturunkan dari sebelumnya 2% menjadi 1%. Se-
lanjutnya, untuk lebih meningkatkan ekspor tekstil
dan produk tekstil, khususnya ke negara-negara kuo-
ta, pemerintah telah menyempurnakan sistem
manajemen kuota menjadi lebih transparan sehingga
pemanfaatan kuota lebih optimal dan lebih menjamin
kepastian berusaha bagi dunia usaha pertekstilan.2
Selain itu, untuk lebih meningkatkan kegiatan promo-
si komoditas ekspor Indonesia, anggota misi dagang
atau pameran yang mewakili Pemerintah Republik
Indonesia dikecualikan dari kewajiban pembayaran
pajak penghasilan pada saat bertolak ke luar negeri
(fiskal luar negeri).3
Sementara itu, untuk mempermudah pelak-
sanaan impor barang guna mendukung kelancaran
kegiatan produksi dalam negeri, pemerintah
memperbolehkan impor mesin dan peralatan mesin
bekas.4 Selanjutnya, dalam rangka mendorong
pengembangan industri mesin dalam negeri, impor
bahan baku/bahan penolong dan bagian/komponen
untuk perakitan mesin dan motor berputar diberikan
keringanan bea masuk sehingga tarif bea masuknya
menjadi 5%.5
Ekspor
Kondisi eksternal ekonomi global sangat mempe-
ngaruhi kinerja ekspor Indonesia. Melambatnya
perekonomian dunia serta melemahnya harga-harga
komoditas unggulan ekspor baik migas maupun
nonmigas di pasar internasional mengakibatkan
kinerja ekspor mengalami penurunan. Total ekspor
dalam tahun 2001 turun sebesar 10,3% sehingga
menjadi $58,7 miliar. Dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, nilai ekspor nonmigas dalam tahun lapo-
ran mengalami penurunan sebesar 9,0% atau menjadi
$45,8 miliar, sedangkan nilai ekspor migas turun
14,6% menjadi $12,9 miliar (Grafik 6.3). Walaupun
mengalami penurunan, kinerja ekspor Indonesia ter-
utama komoditas industri relatif lebih baik dibanding-
kan dengan negara Asia lainnya seperti Taiwan,
Singapura, Malaysia, dan Korea Selatan.
Struktur ekspor nonmigas, sebagaimana
tahun sebelumnya, masih didominasi oleh sektor1 Keputusan Menteri Keuangan Nomor:66/KMK.017/2001 tanggal 9
Februari 2001 tentang Penetapan Besarnya Tarif Pajak Ekspor
Kelapa Sawit, CPO, dan Produk Turunannya.
2 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor:311/
MPP/Kep/10/2001 tanggal 30 Oktober 2001 tentang Ketentuan
Kuota Ekspor Tekstil dan Produk Tekstil.
3 Peraturan Pemerintah Nomor: 41 tahun 2001 tanggal 28 Mei 2001
tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun
2000 tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Orang Pribadi yang
Akan Bertolak ke Luar Negeri.
4 Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan Nomor: 172/
MPP/Kep/5/2001 tanggal 17 Mei 2001 tentang Impor Mesin dan
Peralatan Mesin Bukan Baru.
5 Keputusan Menteri Keuangan Nomor:190/KMK.01 tanggal 16 April
2001 tentang Keringanan Bea Masuk Atas Impor Bahan Baku/
Penolong dan Bagian/Komponen Untuk Perakitan Mesin dan Motor
Berputar.
Neraca Pembayaran
111
utama seperti tekstil dan produk tekstil (-3,7%), produk
kayu (-8,9%), minyak sawit (-14,9%), kertas (-18,8%),
dan mesin dan pesawat mekanik (-23,5%). Semen-
tara itu, berkaitan dengan meningkatnya permintaan
dari negara-negara di kawasan ASEAN, nilai ekspor
semen mengalami peningkatan sebesar 25,3%.
Di sektor pertambangan, nilai ekspor men-
capai $5,1 miliar atau menurun 8,1% dibanding tahun
sebelumnya. Penurunan ekspor terjadi di hampir selu-
ruh komoditas yaitu timah (-5,0%), nikel (-19,0%), dan
alumunium (-20,5%). Sebaliknya, nilai ekspor komo-
ditas batubara mengalami peningkatan sebesar 1,6%.
Ekspor sektor pertanian dalam tahun laporan
mengalami penurunan sebesar 3,3% sehingga
menjadi $4,0 miliar. Beberapa komoditas utama yang
mengalami penurunan antara lain kopi dan lada yang
masing-masing turun sebesar 44,6% dan 57,0%.
industri yang mencapai 80% dari total nilai ekspor
nonmigas, kemudian diikuti oleh sektor pertambangan
dan sektor pertanian masing-masing sebesar 11%
dan 9% (Grafik 6.4). Kontribusi masing-masing sektor
ini relatif tidak berubah dibandingkan dengan periode
laporan tahun sebelumnya.
Dalam tahun 2001, total nilai ekspor barang
industri turun sebesar 9,7% dari tahun sebelumnya
sehingga mencapai $36,7 miliar (Tabel 6.2). Penu-
runan tersebut terjadi pada beberapa komoditas
Grafik 6.4
Pangsa Ekspor Nonmigas
0
20
40
60
80
100
1997 1998 1999 2000 2001*
IndustriPertanianPertambangan
Persen
Tekstil & produk tekstil 16,3 -3,7 7.047 15,4
– Pakaian jadi 17,9 -0,7 4.038 8,8
Kerajinan tangan -3,6 6,0 581 1,3
Produk kayu -0,7 -8,9 4.094 8,9
– Kayu lapis -11,6 -7,1 1.854 4,0
Produk rotan 16,1 -3,6 285 0,6
Minyak sawit -7,6 -14,9 1.076 2,3
Bungkil kopra 31,9 -33,8 41 0,1
Produk kimia 23,1 3,5 2.338 5,1
Produk logam 12,9 -1,7 1.197 2,6
Barang-barang listrik 89,2 1,3 6.446 14,1
Semen -1,8 25,3 176 0,4
Kertas 15,2 -18,8 2.473 5,4
Produk karet 17,5 -1,7 432 0,9
Gelas dan alat dari gelas 25,1 -14,3 299 0,7
Alas kaki 6,7 -5,4 1.533 3,3
Produk plastik 41,4 -14,1 1.045 2,3
Mesin & pesawat mekanik 104,2 -23,5 2.894 6,3
Lainnya 9,4 -23,8 4.731 10,3
T o t a l 24,3 -9,7 36.688 80,1
Perubahan Nilai Pangsa
(%) (juta $) (%)
R i n c i a n
Tabel 6.2
Ekspor Barang Industri
2 0 0 0 2 0 0 1* 2 0 0 1*
Grafik 6.3
Nilai Ekspor Nonmigas dan Migas
Miliar $
Ekspor Nonmigas
Ekspor Migas
0
10
20
30
40
50
60
1997 1998 1999 2000 2001*
Neraca Pembayaran
112
Penurunan ekspor komoditas kopi terutama disebab-
kan kegagalan retensi kopi dunia sehingga menga-
kibatkan jatuhnya harga jual.
Berdasarkan negara tujuan ekspor, pangsa
ekspor ke negara-negara di kawasan Amerika
mencapai 21%, Asia di luar ASEAN 37%, ASEAN
dan Eropa masing-masing 19% serta Afrika dan
Australia masing-masing 2% (Grafik 6.5). Pangsa
ekspor ke kawasan tersebut sedikit berubah
dibandingkan dengan tahun 2000. Secara individual,
ekspor Indonesia ke Amerika Serikat sebesar 18%,
naik dari tahun sebelumnya. Sedangkan pangsa
ekspor ke negara Jepang sebesar 16%, relatif tidak
mengalami perubahan dibandingkan tahun
sebelumnya.
Sementara itu, penurunan ekspor migas
disebabkan oleh turunnya harga minyak bumi dan gas
di pasar internasional. Dalam tahun laporan, harga
rata-rata minyak bumi turun cukup tajam sehingga
mencapai $24,0 per barel, dibandingkan dengan
$28,2 per barel dalam tahun 2000. Penurunan harga
tersebut berkaitan dengan masih berlanjutnya
dampak kenaikan kuota produksi negara-negara
OPEC di akhir 2000. Masuknya Irak ke pasar atas
persetujuan PBB dalam rangka oil for food dan
meningkatnya produksi minyak negara-negara di luar
OPEC turut mempengaruhi melemahnya harga
minyak dalam tahun laporan, meskipun negara-
negara OPEC sejak permulaan tahun laporan telah
menurunkan produksinya. Sementara itu, harga
ekspor gas alam cair (LNG) dan ekspor gas minyak
cair (LPG) juga menurun masing-masing menjadi
sebesar $4,0 per MMBTU dan $282,7 per Mton dari
tahun sebelumnya yang sebesar $4,8 per MMBTU
dan $291,8 per Mton. Ditinjau dari nilainya, ekspor
minyak bumi, LNG dan LPG menurun masing-masing
sebesar 9,9%, 20,7%, dan 1,1%. Sementara itu dari
sisi volumenya, ekspor minyak bumi dan LPG
meningkat sebesar 3,3% dan 2,9%, sedangkan
ekspor LNG menurun sebesar 4,5%.
Impor
Sejalan dengan melemahnya kegiatan
investasi dalam negeri dan turunnya ekspor dalam
tahun laporan, permintaan impor juga mengalami
penurunan. Nilai impor total (c&f) turun sebesar 7,8%
yang disebabkan oleh menurunnya impor nonmigas
Grafik 6.5
Pangsa Ekspor Nonmigas
Menurut Kawasan Negara Tujuan
ASEAN19%
Eropa19%
Australia/Oceania2%
Amerika20%
Asia kecualiASEAN
38%
Afrika2%
Tahun 2000
ASEAN19%
Eropa19%
Australia/Oceania2%
Amerika21%
Asia kecualiASEAN
37%
Afrika2%
Tahun 2001
Neraca Pembayaran
113
(c&f) maupun impor migas (c&f) masing-masing
sebesar 8,0% dan 6,6%.
Berdasarkan kelompok barang, penurunan
impor nonmigas terjadi pada barang modal dan bahan
baku penolong masing-masing sebesar 10,2% dan
8,5%, sedangkan barang konsumsi mengalami sedikit
kenaikan sebesar 3,4% (Tabel 6.3). Meskipun
mengalami penurunan nilai yang cukup besar, pangsa
bahan baku penolong terhadap total nilai impor
nonmigas masih merupakan yang terbesar diban-
dingkan dua kelompok barang lainnya.
Penurunan impor bahan baku penolong dan
barang modal berdasarkan jenis komoditasnya dapat
dilihat pada Tabel 6.4 dan Tabel 6.5. Sementara itu,
penurunan impor barang modal terutama terjadi pada
komoditas lokomotif, kapal & pesawat, dan alat optik
& ukur masing-masing sebesar 26,6%, dan 33,8%.
Ditinjau dari negara asalnya, impor barang
nonmigas Indonesia terutama berasal dari negara-
Traktor & alat pertanian 144,1 -54,0 22 0,1
Alat kerajinan / perhiasan -95,8 27,2 0 0,0
Kontainer & kotak penyimpanan -21,3 29,4 67 0,2
Mesin mekanik 23,3 -1,0 4.253 12,5
Generator & alat elektronika 26,8 -0,2 703 2,1
Lokomotif, kapal, pesawat 50,8 -26,6 1.325 3,9
Alat pertukangan 30,5 -1,5 43 0,1
Alat optik & ukur 57,0 -33,8 427 1,3
Mobil penumpang 797,4 -28,8 96 0,3
T o t a l 33,6 -10,2 6.936 20,3
2000 2001* 2001*
Perubahan Nilai Pangsa
(%) (Juta $) (%)
R i n c i a n
Tabel 6.5
Impor Barang Modal
Tabel 6.3
Impor Nonmigas Menurut Kelompok Barang
Barang konsumsi 2.619 2.708 74,2 3,4 6,8 7,9Bahan baku penolong 26.741 24.481 23,2 -8,5 72,9 71,7Barang modal 7.727 6.936 33,6 -10,2 20,3 20,3
2000 2001* 2000 2001* 2000 2001*
Nilai (Juta $) Pertumbuhan (%) Pangsa (%)R i n c i a n
Makanan & minuman (industri) 8,9 1,2 1.242 3,6
Makanan & minuman (industri 1/2 jadi) -8,8 -2,5 960 2,8
Bahan baku mentah untuk industri -21,1 -15,0 3.004 8,8
Bahan baku 1/2 jadi untuk industri 34,9 -7,4 15.247 44,7
Bahan bakar & pelumas (mentah) -13,4 -10,1 15 0,0
Bahan bakar & pelumas (1/2 jadi) 53,1 28,8 188 0,6
Suku cadang & perlengkapan
barang modal 12,3 3,3 1.931 5,7
Suku cadang & perlengkapan
alat angkutan 139,3 -24,2 1.894 5,6
T o t a l 23,2 -8,5 24.481 71,7
2000 2001* 2001*
Perubahan Nilai Pangsa
(%) (Juta $) (%)
R i n c i a n
Tabel 6.4
Impor Bahan Baku Penolong
Grafik 6.6
Pangsa Impor Nonmigas
Menurut Kawasan Negara Asal
Tahun 2 0 0 1
Tahun 2 0 0 0
Afrika1%
Amerika16%
Australia/Oceania7% Asia kecuali ASEAN
43%
Eropa19%
ASEAN14%
Afrika2%
Amerika16%
Australia/Oceania8% Asia kecuali ASEAN
41%
Eropa18%
ASEAN15%
Neraca Pembayaran
114
negara di kawasan Asia dan Amerika, yang pangsa-
nya sekitar 70% dari total impor nonmigas (Grafik 6.6).
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, pangsa
impor dari negara-negara di kawasan tersebut sedikit
berubah. Secara individual, impor dari Amerika Serikat
dan Singapura dalam tahun 2001 masing-masing
sebesar 12% dan 8%, relatif tidak mengalami
perubahan dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, pangsa impor yang berasal dari
Jepang sebesar 17%, turun dari tahun sebelumnya.
Jasa-jasa
Dalam tahun laporan, neraca jasa masih
mencatat defisit meskipun lebih rendah dari tahun
sebelumnya. Besarnya defisit mencapai $16,7 miliar
atau menurun $380 juta dari tahun 2000. Menurunnya
defisit tersebut berasal dari penurunan defisit jasa
migas sebesar $241 juta dan jasa nonmigas sebesar
$139 juta. Penurunan defisit jasa di sektor migas
terjadi pada jasa freight dan non freight sehingga
masing-masing mencapai defisit sebesar $0,5 miliar
dan $3,8 miliar. Menurunnya defisit tersebut antara
lain terkait dengan penurunan nilai impor migas. Di
sektor nonmigas, defisit jasa freight menurun
sehingga mencapai defisit $2,7 miliar sebagai akibat
menurunnya kegiatan impor nonmigas. Sementara
itu, defisit jasa non-freight mencapai $9,7 miliar atau
menurun dari $9,8 miliar pada tahun sebelumnya. Hal
tersebut terutama berkaitan dengan menurunnya
posisi utang luar negeri swasta dan turunnya suku
bunga di pasar keuangan internasional.
Di sisi penerimaan jasa-jasa nonmigas,
sumber penerimaan devisa terbesar masih berasal
dari sektor pariwisata, kemudian diikuti oleh transfer
pendapatan tenaga kerja Indonesia. Perolehan devisa
bersih dari sektor pariwisata tercatat sebesar $5,0
miliar, sedikit lebih tinggi dari tahun sebelumnya.
Dalam pada itu, jumlah wisatawan asing yang
berkunjung ke Indonesia dalam 2001 mencapai 5,0
juta orang. Walaupun jumlah kunjungan wisatawan
asing relatif tidak berubah dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, namun lebih rendah dari target
pemerintah yang ditetapkan pada awal 2001 sebesar
5,4 juta orang. Seperti tahun sebelumnya, Denpasar,
Medan, Batam, dan Jakarta, masih tetap merupakan
pintu masuk utama wisatawan mancanegara.
LALU LINTAS MODAL (LLM)
Dalam tahun 2001, defisit transaksi LLM
secara keseluruhan membesar sebagai akibat defisit
LLM pemerintah setelah dalam empat tahun terakhir
mencatat surplus, dan belum pulihnya kinerja LLM
swasta.
Lalu lintas modal pemerintah dalam tahun
2001 mengalami defisit sebesar $0,3 miliar, setelah
tahun sebelumnya mengalami surplus sebesar $3,2
miliar. Defisit lalu lintas modal pemerintah timbul
akibat rendahnya realisasi penarikan pinjaman dari
ADB, IBRD, dan JBIC khususnya pinjaman program
maupun proyek. Pinjaman program dalam tahun
laporan tercatat sebesar $0,5 miliar atau menurun
tajam sebesar $0,9 miliar. Sementara itu, pinjaman
proyek diperkirakan sedikit meningkat sehingga
menjadi $2,5 miliar yang bersumber dari peningkatan
pinjaman non-ODA sebesar $0,2 miliar.
Kendala utama dari kecilnya pencairan
tersebut adalah belum dapat terpenuhinya beberapa
persyaratan yang ditetapkan oleh pihak pemberi
utang yang terkait dengan kebijakan dan peraturan
pemerintah maupun undang-undang (UU) seperti UU
Neraca Pembayaran
115
Pemerintah 75.862 74.916 71.980 72.496 75.185 71.403 Swasta 72.235 66.777 66.335 66.405 62.594 59.841
Bank 10.836 7.718 7.848 7.684 6.564 6.537Nonbank 58.243 56.888 56.409 56.845 54.446 51.666
- PMA 29.805 30.264 29.445 28.731 27.888 26.381- Non PMA 28.438 26.624 26.964 28.114 26.558 25.285
Surat-surat berharga 3.156 2.171 2.078 1.876 1.584 1.638
T o t a l 148.097 141.693 138.316 138.901 137.778 131.244
Anti Money Laundering, UU Kelistrikan dan peraturan
di bidang sumber daya air. Selain rendahnya realisasi
penarikan pinjaman luar negeri pemerintah, faktor
penyebab defisit adalah adanya pembayaran cicilan
pokok pinjaman yang berasal dari IMF.
Defisit LLM swasta sebesar $8,6 miliar, lebih
rendah $1,4 miliar dari defisit tahun sebelumnya.
Turunnya defisit LLM swasta tersebut dipengaruhi oleh
menurunnya pembayaran utang luar negeri swasta
terutama sektor PMA dari $7,5 miliar pada 2000
menjadi $5,2 miliar pada 2001 serta penurunan net
outflow portfolio investment dari $1,9 miliar menjadi
$1,4 miliar. Dengan perkembangan ini LLM bersih
tercatat mengalami defisit sebesar $8,9 miliar atau
meningkat 31,7% dibandingkan defisit pada tahun
sebelumnya.
Dalam rangka memberikan insentif bagi
investor asing, pemerintah mengeluarkan peraturan
yang memungkinkan bagi investor asing untuk
membeli perusahaan domestik tertentu walaupun
belum berproduksi secara komersial.6 Peraturan yang
mengubah ketentuan tentang kepemilikan saham
pada perusahaan yang didirikan dalam rangka
penanaman modal asing tersebut diharapkan dapat
lebih menarik minat investor asing.
Sementara itu, posisi utang luar negeri
Indonesia hingga akhir 2001 turun 7,4% menjadi
$131,2 miliar dibandingkan dengan posisi akhir tahun
2000 (Tabel 6.6). Penurunan tersebut disebabkan
oleh penurunan pada utang swasta maupun utang
pemerintah. Penurunan utang luar negeri swasta
terutama disebabkan pembayaran terhadap sebagian
6 Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 83 Tahun 2001
tanggal 19 Desember 2001 tentang Perubahan atas Peraturan
Pemerintah Nomor 20 Tahun 1994 tentang Pemilikan Saham dalam
Perusahaan yang didirikan dalam Rangka Penanaman Modal Asing.
Tabel 6.6
Posisi Utang Luar Negeri Indonesia
1999 20002001
Mar Jun Sept Des*
Grafik 6.7
Pangsa Utang Luar Negeri
utang yang telah jatuh tempo. Sementara penurunan
utang luar negeri pemerintah selain disebabkan oleh
pembayaran utang yang jatuh tempo juga karena
terdepresiasinya yen Jepang terhadap dolar Amerika
Serikat. Dampak depresiasi yen Jepang terhadap
posisi utang luar negeri pemerintah cukup besar
mengingat pangsa utang pemerintah dalam mata
uang yen Jepang yang mencapai sekitar 33% dari
total utang luar negeri pemerintah.
Pangsa utang luar negeri pemerintah men-
capai 54% dari total utang luar negeri sementara
pangsa utang swasta nonbank (termasuk surat-surat
berharga) dan swasta bank masing-masing tercatat
sebesar 41% dan 5% (Grafik 6.7). Meskipun utang
Juta $
Pemerintah
54%
Swasta Bank
5%
Swasta Nonbank
41%
Keterangan
Neraca Pembayaran
116
luar negeri pemerintah lebih besar dari utang luar
negeri swasta, satu hal yang meringankan beban
pembayaran adalah lebih ringannya persyaratan baik
berdasarkan jangka waktu maupun tingkat bunganya.
Dibandingkan dengan tahun sebelumya,
posisi utang luar negeri pemerintah pada akhir tahun
laporan mengalami penurunan sebesar $3,5 miliar.
Dari total utang luar negeri pemerintah, sebesar $29,1
miliar merupakan utang multilateral, $22,7 miliar utang
bilateral, $14,9 miliar berupa fasilitas kredit ekspor
(FKE), $439,2 juta utang leasing, $2,3 miliar utang
komersial dan $2,0 miliar dalam bentuk surat-surat
berharga yang dimiliki oleh investor asing.
Sementara itu, posisi utang luar negeri
swasta pada akhir tahun laporan mencapai $59,8
miliar, turun 10,5% dibandingkan posisi tahun
sebelumnya. Dari total utang swasta tersebut, sebesar
$6,5 miliar merupakan utang swasta bank, $51,7
miliar utang swasta nonbank dan $1,6 miliar dalam
bentuk surat-surat berharga yang dimiliki oleh investor
asing.
Dilihat dari jangka waktu pembayarannya,
utang luar negeri jangka pendek yang akan jatuh waktu
sampai dengan Desember 2002 diperkirakan
mencapai $25,2 miliar atau 19,2% dari total utang luar
negeri Indonesia (Tabel 6.7). Jumlah tersebut terdiri
dari utang pemerintah dan swasta termasuk bank
masing-masing sebesar $7,6 miliar dan $17,5 miliar,
sementara selebihnya, yaitu sebesar $106,1 miliar
adalah utang dengan jangka waktu lebih dari satu
tahun. Dari total utang jangka pendek swasta sebesar
$17,5 miliar, sebesar $1,2 miliar atau 6,9% merupakan
utang bank dan $16,3 miliar atau 93,1% adalah utang
swasta nonbank. Utang jangka pendek swasta
nonbank yang berjangka waktu sampai dengan satu
tahun (original maturity) mencapai $6,6 miliar atau
40%, sedangkan sebesar $9,8 miliar atau 60%
merupakan utang jangka pendek yang berasal dari
utang jangka panjang yang akan jatuh tempo sampai
dengan Desember 2002 (remaining maturity).
Berdasarkan sektor ekonomi yang dibiayai,
sektor industri pengolahan merupakan sektor
Total Jangka Pendek 7.609,6 1.211,3 6.955,0 532,0 4.125,0 828,0 3.898,6 16.338,6 17.549,9 25.159,5
- Original Maturity2) 49,6 84,3 2.098,7 199,0 1.655,7 115,3 2.490,6 6.559,3 6.643,6 6.693,2
- Remaining Maturity 7.560,0 1.127,0 4.856,3 333,0 2.469,3 712,7 1.408,0 9.779,3 10.906,3 18.466,3
Jangka Menengah
dan Panjang3) 63.793,4 5.325,4 19.426,2 387,2 9.322,9 3.546,7 4.282,3 36.965,3 42.290,7 106.084,0
T o t a l 71.403,0 6.536,7 26.381,2 919,2 13.447,9 4.374,7 8.180,9 53.303,9 59.840,6 131.243,6
Nonbank
Tabel 6.7
Posisi Utang Luar Negeri Menurut Jangka waktu
per Desember 2001*
S w a s t a
PMA LKBB PMDN BUMN BUMS4) Total
Nonbank
Jangka Waktu Pemerintah1) Bank TotalSwasta
1) Angka setelah Paris Club II & London Club
2) Sampai dengan 1 tahun
3) Lebih dari 1 tahun
4) Termasuk Domestik Sekurities
Juta $
No
1
2
Jumlah
Neraca Pembayaran
117
ekonomi terbesar yang dibiayai dengan utang luar
negeri, yaitu mencapai $30,8 miliar atau 23,5% dari
total utang luar negeri. Sektor kedua terbesar adalah
keuangan, persewaan dan jasa perusahaan, yaitu
mencapai $26,5 miliar atau 20,2% dari total utang
luar negeri. Berikutnya adalah sektor listrik, gas dan
air bersih sebesar $13,5 miliar atau sekitar 10,3% dari
total utang luar negeri. Dibandingkan dengan tahun
sebelumnya, terdapat pergeseran dari sektor
keuangan, persewaan dan jasa keuangan kepada
sektor industri sebagai sektor ekonomi terbesar yang
dibiayai oleh utang luar negeri.
Dilihat dari negara pemberi utang, Jepang
merupakan kreditur terbesar dengan jumlah mencapai
$41,3 miliar atau 31,5% dari total utang luar negeri.
Amerika Serikat di urutan kedua dengan jumlah
sebesar $13,3 miliar atau 10,1%, kemudian berturut-
turut diikuti oleh Jerman, Belanda dan Inggris masing-
masing sebesar $7,6 miliar (5,8%), $7,4 miliar (5,6%)
dan $4,2 miliar (3,2%). Sementara itu lembaga
internasional seperti IBRD, IMF dan ADB merupakan
lembaga pemberi pinjaman terbesar masing-masing
mencapai $11,5 miliar (8,8%), $9,1 miliar (6,9%) dan
$7,3 miliar (5,6%).
Dari total utang luar negeri $131,2 miliar,
sebesar $85,5 miliar atau 65,2% tercatat dalam mata
uang dolar Amerika Serikat, sebesar $26,5 miliar atau
20,2% dalam yen Jepang, $9,3 miliar (7,1%) dalam
SDR, $7,1 miliar (5,4%) dalam euro, $1,2 miliar (0,9%)
dalam poundsterling dan selebihnya dalam beberapa
mata uang lainnya.
Dalam hal restrukturisasi utang, periode
laporan ini ditandai dengan timbulnya ketidakpastian
proses restrukturisasi utang luar negeri pemerintah.
Hambatan tersebut terkait dengan lambatnya penye-
lesaian penjadwalan ulang tahap kedua Paris Club II
(1 April 2001 s.d 31 Maret 2002) sebesar $2,7 miliar
yang disebabkan oleh tertundanya kesepakatan
tentang Letter of Intent (LoI) antara IMF dengan
Pemerintah RI. Salah satu penyebab tertundanya
kesepakatan tersebut adalah masih terdapatnya ke-
tidaksesuaian mengenai masalah pencapaian target
privatisasi BUMN, asset recovery oleh BPPN, dan
amandemen Undang-Undang Bank Sentral oleh
DPR.
Di sektor perbankan, dari total utang yang
berhasil direstrukturisasi melalui Program Interbank
Debt Exchange Offer I dan II (EO I dan EO II) sebesar
$6,3 miliar (terdiri dari EO I sebesar $3 miliar dan EO
II sebesar $3,3 miliar), sebesar $2,9 miliar telah
dilunasi baik melalui pembayaran sesuai jadwal yang
telah ditentukan (repayment) maupun melalui
prepayment dan pembelian kembali. Sampai dengan
tahun 2001, beberapa hal telah dilakukan, yaitu
repayment EO I dan II sebesar $2,1 miliar,
prepayment sebesar $457,0 juta dan pembelian
kembali sebesar $346,2 juta. Posisi pokok pinjaman
Exchange Offer I dan II yang masih harus dibayar
masing-masing sebesar $284,4 juta dan $3,1 miliar
atau total sebesar $3,4 miliar.
Sementara proses penyelesaian restruk-
turisasi utang luar negeri swasta secara umum juga
masih berjalan lambat. Sampai dengan akhir tahun
laporan, baru sebanyak 68 korporasi yang melapor-
kan ke Bank Indonesia telah menyelesaikan restruk-
turisasi utang luar negeri dengan total nilai sekitar
$4,1 miliar. Dibandingkan dengan posisi utang luar
negeri korporasi yang bermasalah sekitar $30 miliar
(estimasi Prakarsa Jakarta/JITF), maka jumlah utang
luar negeri yang telah berhasil direkstrukturisasi
Neraca Pembayaran
118
DSR 44,5 57,9 56,8 41,1 39,4 20,0Rasio Total Utang
terhadap Ekspor 207,3 261,8 252,1 191,0 194,5 130–220
Rasio Total Utangterhadap PDB 62,2 146,3 105,0 92,8 90,3 50–80
1997 1998 1999 2000 2001* Kriteria
Bank Dunia
P e r s e n
I n d i k a t o r
Tabel 6.8
Indikator Beban Utang
ditetapkan oleh Bank Dunia (Tabel 6.8). Rasio pem-
bayaran utang terhadap ekspor (DSR) tercatat
sebesar 39,4%, rasio total utang terhadap ekspor dan
rasio total utang terhadap PDB masing-masing
sebesar 194,5% dan 90,3%. Masih tingginya rasio
beban utang tersebut menunjukkan masih beratnya
beban utang luar negeri dan masih tingginya tingkat
ketergantungan perekonomian Indonesia terhadap
sumber dana dari luar negeri.
CADANGAN DEVISA
Dengan defisit neraca pembayaran sebesar
$1,4 miliar, posisi cadangan devisa pada akhir 2001
mencapai $28,0 miliar atau setara dengan 6,1 bulan
impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah
(Grafik 6.8).
masih tergolong kecil, yaitu hanya sekitar 13,7%.
Lambatnya proses restrukturisasi utang luar negeri
sektor swasta secara umum disebabkan oleh faktor-
faktor teknis seperti lamanya proses negosiasi
mengenai terms and conditions yang disebabkan
ketidaksesuaian antara syarat yang ditawarkan
kreditur dengan kondisi arus dana perusahaan dan
sulitnya mengakomodir berbagai kepentingan dari
banyak pihak yang terlibat dalam proses
restrukturisasi khususnya untuk pinjaman sindikasi.
Lambatnya proses restrukturisasi tersebut juga
dipengaruhi oleh fluktuasi nilai tukar yang sukar
diprediksi sehingga menyebabkan sulitnya penyusu-
nan proyeksi arus dana bagi perusahaan.
Belum terselesaikannya berbagai permasa-
lahan mendasar di sektor eksternal menyebabkan
rasio-rasio beban utang selama tahun 2001 relatif
masih tinggi dibandingkan dengan kriteria yang
1) Sejak 2000 menggunakan konsep IRFCL, menggantikan konsep cadangan devisa bruto (GFA)
0
5
10
15
20
25
30
1997 1998 1999 20001) 2001*
Miliar $
Grafik 6.8
Cadangan Devisa
Neraca Pembayaran
118
Keuangan Pemerintah
120
b a b 7
KEUANGAN PEMERINTAH
K ondisi keuangan pemerintah selama beberapa
bulan pertama tahun 2001 mendapat tekanan
yang cukup berat. Pada dasarnya terdapat 3 (tiga)
faktor utama yang menjadi penyebab, yaitu pertama,
memburuknya lingkungan makroekonomi, terutama
nilai tukar rupiah dan suku bunga Sertifikat Bank Indo-
nesia (SBI); kedua, tidak terlaksananya atau tidak opti-
malnya beberapa kebijakan fiskal yang direncanakan
seperti pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPN)
terhadap beberapa komoditas strategis dan kenaikan
harga seluruh produk BBM sebesar rata-rata 20
persen; dan ketiga, adanya pembatalan sebagian
rencana pencairan pinjaman program sebagai pendu-
kung pembiayaan pembangunan.
Perkembangan berbagai indikator makro-
ekonomi, penundaan, dan pembatalan beberapa ke-
bijakan fiskal tersebut di atas dikhawatirkan akan mem-
berikan dampak negatif terhadap APBN 2001 berupa
membengkaknya defisit anggaran. Menghadapi hal
tersebut, Pemerintah melakukan beberapa penye-
suaian fiskal dengan merevisi APBN pada periode
berjalan melalui Paket Kebijakan Penyesuaian APBN
2001. Beberapa asumsi dasar penyusunan APBN 2001
seperti pertumbuhan ekonomi, nilai tukar rupiah, dan
suku bunga SBI 3 bulan disesuaikan dengan angka-
angka perkiraan yang lebih realistis (Tabel 7.1). Selain
itu, pemerintah menyusun ulang berbagai rencana aksi
(action plan) penyesuaian fiskal (policy measures) baik
di sisi pendapatan dan belanja negara maupun
pembiayaan anggaran. Dengan berbagai penyesuaian
di atas, target defisit diupayakan tetap konsisten
dengan kebijakan umum jangka menengah dan jangka
panjang (Propenas dan GBHN) atau dikendalikan
seperti rencana semula yaitu sebesar 3,7% dari PDB.
Adapun beberapa action plan penyesuaian
di sisi pendapatan negara antara lain adalah (a) pe-
ningkatan tarif PPN dari 10 persen menjadi 12,5 per-
sen; (b) program penyisiran (canvassing) wajib pa-
jak PPN yang ditujukan pada pedagang eceran yang
mempunyai omzet di atas Rp360 juta per tahun; (c)
peningkatan harga jual eceran (HJE) hasil tembakau;
(d) pengupayaan pay out ratio dari deviden BUMN
tahun buku 2000 agar mencapai angka 50%; dan (e)
penyelesaian tunggakan pinjaman Pemerintah Dae-
rah yang mempunyai surplus anggaran dari dana
perimbangan.
Di sisi belanja negara antara lain adalah (a)
penghematan anggaran belanja pegawai dengan
Tabel 7.1
Asumsi Pokok APBN 2001
A s u m s i2000 2 0 0 1
APBN1) APBN APBNR) APBNP)
PDB a.d. harga berlaku (triliun rupiah) 988,3 1.425,0 1.468,1 1.476,2
Pertumbuhan ekonomi (%) 4,9 5,0 3,5 3,5
Laju inflasi (%) 8,33 7,20 9,30 11,90
Harga minyak mentah ($ per barel) 29,2 24,0 24,0 24,6
Produksi minyak mentah
(juta barel per hari) 1,4 1,5 1,5 1,3
Nilai Tukar (Rp/$) 8.774 7.800 9.600 10.219
Suku bunga SBI 3 bulan rata-rata (%) 12,70 11,50 15,00 16,40
1) Realisasi sementara (belum diaudit), periode 1 April s.d. 31 Desember 2000R) APBN penyesuaian (revisi)P) APBN perubahan (perkiraan realisasi)Sumber : Departemen Keuangan
Keuangan Pemerintah
121
mempercepat proses pemindahan pegawai pusat ke
daerah; (b) penghematan anggaran subsidi BBM
melalui kenaikan harga BBM; (c) pengurangan
subsidi listrik melalui kenaikan tarif dasar listrik; (d)
rasionalisasi dan lebih memfokuskan alokasi angga-
ran pengeluaran pembangunan; dan (e) penetapan
alokasi dana perimbangan yang berasal dari dana
bagi hasil dan dana alokasi umum sesuai rencana
semula.
Di sisi pembiayaan anggaran, kebijakan
penyesuaian yang diambil adalah penerbitan obligasi
pemerintah yang diharapkan akan dibeli oleh bebe-
rapa pemerintah daerah yang memiliki surplus dana
perimbangan dan pengoptimalan penarikan pinjaman
program yang telah ada (within the pipe line).
Meskipun telah direvisi, pelaksanaan APBN
tetap menghadapi tantangan yang tidak mudah,
khususnya di sisi pembiayaan anggaran dan belanja
negara sebagaimana tercermin dari angka perkiraan
realisasi dalam APBN-Perubahan 2001.1) Di sisi
pembiayaan anggaran, penarikan utang luar negeri
diperkirakan 24,5% di bawah target, sementara di sisi
pengeluaran pembayaran subsidi BBM diperkirakan
27% di atas target. Rendahnya penarikan utang luar
negeri terutama karena penundaan penyaluran utang
oleh donor sehubungan belum terpenuhinya policy
matrix sebagai syarat pencairan pinjaman program
dan sempitnya kurun waktu yang tersedia untuk imple-
mentasi proyek pasca dilakukannya revisi APBN.
Sementara itu, pelampauan subsidi BBM –meskipun
pemerintah telah menaikkan harga BBM sebesar rata-
rata 30%– terutama diakibatkan oleh lebih tingginya
jumlah konsumsi BBM dari perkiraan semula dan
adanya pembebanan kekurangan pembayaran
subsidi tahun 2000 sesuai hasil audit BPKP.
Permasalahan pada pembiayaan anggaran
dan belanja negara tersebut terlihat sangat mem-
pengaruhi manajemen likuiditas pemerintah selama
2001. Rendahnya tingkat penarikan utang luar negeri
berdampak langsung pada rendahnya realisasi
pengeluaran pembangunan, sedangkan tingginya
pengalokasian dana untuk subsidi BBM secara tidak
langsung telah membatasi ruang gerak pemerintah
untuk menyediakan dana pendamping rupiah untuk
proyek-proyek yang didanai dengan utang luar
negeri.
Di luar permasalahan tersebut di atas, perlu
pula dicatat bahwa pemerintah berhasil merea-
lisasikan beberapa pos penting dalam APBN sesuai
dengan masing-masing target anggarannya. Di sisi
penerimaan, penerimaan perpajakan berhasil men-
capai target dengan tax ratio yang sedikit meningkat
dibandingkan tahun lalu 11,7% menjadi 12,5%. Di sisi
pembiayaan, penjualan aset program restrukturisasi
perbankan bahkan melampaui target, meskipun
diwarnai dengan berbagai tantangan dalam imple-
mentasinya. Sementara itu, di sisi pengeluaran peme-
rintah berhasil memenuhi kewajibannya untuk penge-
luaran-pengeluaran yang bersifat wajib (non-discre-
tionary) seperti belanja pegawai, bunga utang, sub-
sidi, dan dana perimbangan.
Secara keseluruhan, pendapatan dan belanja
negara melampaui target dengan angka persentase
yang hampir sama yaitu 4,8% dan 4,2% di atas target.
Dengan kondisi tersebut, defisit operasi keuangan
pemerintah pada 2001 diperkirakan dapat diken-
dalikan pada angka Rp54,7 triliun atau 3,7% dari PDB,
relatif sama dengan rencana defisit sebesar Rp54,31 Disahkan dengan UU No. 1 Tahun 2002, tanggal 7 Januari 2002
Keuangan Pemerintah
122
triliun atau 3,7% dari PDB pada APBN penyesuaian
2001.
Dalam kaitannya dengan permintaan agre-
gat, kontribusi sektor pemerintah terhadap per-
mintaan agregat masih meningkat dibandingkan ta-
hun lalu dari 10,8% menjadi 11,9% dari PDB. Pening-
katan tersebut terutama disumbang oleh alokasi dana
ke pemerintah daerah dalam bentuk dana perimbang-
an. Sebagian besar (65%) dari pengeluaran
pemerintah yang mempengaruhi permintaan agregat
tersebut adalah dalam bentuk pengeluaran konsumsi,
sisanya dalam bentuk pengeluaran investasi.
Sementara itu, alokasi dana untuk pembayaran
transfer ke sektor swasta meningkat cukup tajam dari
6,4% menjadi 10,0% dari PDB sehubungan dengan
lebih tingginya alokasi dana untuk pembayaran
subsidi dan bunga utang dalam negeri.
Dalam kaitannya dengan bidang moneter,
operasi keuangan pemerintah selama 2001 secara
neto mengalami ekspansi terhadap jumlah uang
beredar setara 3,8% dari PDB, meningkat
dibandingkan tahun lalu yang tercatat 3,3% dari PDB.
Di sisi lain, untuk membiayai ekspansi rupiah neto
tersebut terjadi aliran devisa masuk bersih setara
3,3% dari PDB, menurun dibandingkan tahun lalu
yang tercatat 4,7% dari PDB. Dengan demikian,
selama 2001 terjadi Sisa Kurang Pembiayaan
Anggaran (SIKPA)2 sebesar Rp7,6 triliun atau setara
0,5% dari PDB.
PENDAPATAN NEGARA DAN HIBAH
Realisasi pendapatan negara dan hibah
diperkirakan mencapai Rp299,9 triliun atau 4,8% di
atas target APBN penyesuaian (Tabel 7.2). Jumlah
ini setara dengan 20,3% terhadap PDB atau sedikit
lebih rendah dibandingkan dengan tahun 2000 yang
mencapai 20,7%. Sumber pendapatan negara
terbesar masih berasal dari kelompok penerimaan
perpajakan sebesar Rp184,7 triliun atau 61,6% dari
total penerimaan. Dengan pencapaian tersebut, tax
ratio mencapai 12,5% dari PDB atau hampir sama
dengan target anggaran yang ditetapkan sebesar
12,6% dari PDB. Perolehan penerimaan perpajakan
tersebut dimotori oleh penerimaan pajak nonmigas,
sedangkan pencapaian pajak migas berada di bawah
target karena rendahnya penerimaan migas. Penca-
paian penerimaan pajak nonmigas dimotori oleh
penerimaan dari pajak penghasilan nonmigas dan
pajak pertambahan nilai. Sementara itu, penerimaan
yang bersumber dari bukan pajak berhasil menyum-
bang Rp115,1 triliun atau 14,3% di atas target yang
sebagian besar berasal dari penerimaan migas.
Secara individual, sumber pendapatan nega-
ra terbesar berasal dari pajak penghasilan nonmigas
dan pajak pertambahan nilai yang masing-masing
menyumbang Rp69,7 triliun (23,2%) dan Rp55,8
triliun (18,6%) dari total pendapatan negara atau
setara dengan 4,7% dan 3,8% terhadap PDB. Kontri-
busi komponen-komponen di atas terhadap total
pendapatan negara selama 2001 lebih tinggi diban-
dingkan dengan 2000 yang masing-masing hanya
menyumbang 18,8% dan 17,1% dari total penerimaan
atau setara dengan 3,9% dan 3,5% terhadap PDB.
Pencapaian penerimaan di sektor-sektor tersebut
antara lain didukung oleh kenaikan tarif pajak
penghasilan atas bunga deposito, tabungan, dan
diskonto SBI dari 15% menjadi 20%, peningkatan
ekstensifikasi PPh dan intensifikasi pemungutannya,2 Selisih kurang antara total penerimaan dan pembiayaan terhadap
total pengeluaran
Keuangan Pemerintah
123
optimalisasi program penyisiran (canvassing) wajib
pajak terutama kepada pedagang eceran yang
memiliki omzet di atas Rp360 juta per tahun.
Sementara itu, pada kelompok penerimaan
bukan pajak porsi terbesar masih berasal dari migas
yang secara total menyumbang Rp81,9 triliun
(27,3%) dari total pendapatan negara atau setara
dengan 5,6% terhadap PDB. Kontribusi migas
tersebut lebih rendah dibandingkan tahun 2000 yang
masing-masing tercatat 32,5% atau setara dengan
6,8% dari PDB mengingat rata-rata produksi minyak
mentah turun dari 1,5 juta barel menjadi 1,3 juta barel
per hari. Meskipun terjadi penurunan produksi, pene-
Tabel 7.2
Perkiraan Pendapatan Negara dan Hibah Tahun 2001
R i n c i a n
2 0 0 1
APBN2) Realisasi3)
Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd APBNR % thd PDB
2 0 0 01)
A. Pendapatan Negara dan Hibah 204,9 20,7 286,0 19,5 299,9 104,8 20,3
I. Penerimaan Dalam Negeri 204,9 20,7 286,0 19,5 299,8 104,8 20,3
1. Penerimaan Pajak 115,8 11,7 185,3 12,6 184,7 99,7 12,5
a. Pajak Dalam Negeri 108,8 11,0 174,3 11,9 174,2 100,0 11,8
i. Pajak penghasilan 57,1 5,8 95,0 6,5 92,8 97,7 6,3 1. Migas 18,7 1,9 25,7 1,8 23,1 89,8 1,6 2. Nonmigas 38,4 3,9 69,2 4,7 69,7 100,6 4,7ii. Pajak pertambahan nilai 35,0 3,5 53,5 3,6 55,8 104,5 3,8iii. Pajak bumi dan bangunan 3,5 0,4 5,1 0,3 4,8 94,2 0,3iv. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan 0,9 0,1 1,2 0,1 1,5 124,6 0,1v. Cukai 11,3 1,1 17,6 1,2 17,6 100,1 1,2vi. Pajak lainnya 0,9 0,1 1,9 0,1 1,7 86,2 0,1
b. Pajak Perdagangan Internasional 7,0 0,7 11,0 0,7 10,5 95,8 0,7
i. Bea masuk 6,7 0,7 10,4 0,7 9,8 94,5 0,7ii. Pajak/pungutan ekspor 0,3 0,0 0,6 0,0 0,7 118,6 0,0
2. Penerimaan Bukan Pajak (SDA Migas) 89,2 9,0 100,7 6,9 115,1 114,3 7,8
a. Penerimaan SDA 76,0 7,7 79,4 5,4 86,7 109,1 5,9
i. Minyak Bumi 51,0 5,2 57,9 3,9 60,0 103,8 4,1ii. Gas Alam 15,7 1,6 17,4 1,2 21,8 125,8 1,5iii. Pertambangan Umum 0,6 0,1 0,9 0,1 1,6 175,3 0,1iv. Kehutanan 8,8 0,9 3,0 0,2 3,0 100,0 0,2v. Perikanan 0,0 0,0 0,3 0,0 0,1 50,0 0,0
b. Bagian Laba BUMN 3,9 0,4 9,0 0,6 10,4 116,0 0,7
c. PNBP Lainnya 9,3 0,9 12,3 0,8 18,0 146,4 1,2
II. Hibah - - - - 0,0 - 0,0
1) Realisasi sementara (belum diaudit), periode 1 April s.d. 31 Desember 20002) APBN penyesuaian (revisi)3) APBN perubahanSumber : Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
PPh Migas8%
PPN19%Cukai
6%
Migas27%
Pajak Lainnya6%
Non pajaklainnya
11% PPh Nonmigas23%
Grafik 7.1
Komposisi Penerimaan Pemerintah
pencabutan berbagai fasilitas PPN dab PPnBM yang
diberikan kepada pengusaha kena pajak tertentu, dan
Keuangan Pemerintah
124
rimaan migas pada 2001 dapat melampaui target
karena faktor melemahnya nilai tukar rupiah dan
adanya penerimaan minyak bumi pada tahun ang-
garan 2000 yang baru disetorkan pada tahun
anggaran 2001.
Beberapa pos penerimaan lainnya –yang
umumnya pos-pos yang relatif kecil— terlihat jauh di
bawah target. Pos-pos tersebut antara lain adalah bea
masuk dan pajak lainnya. Rendahnya penerimaan
dari bea masuk antara lain disebabkan oleh penuru-
nan tarif bea masuk terutama untuk komoditas yang
terkait dengan perjanjian internasional berdasarkan
UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan. Semen-
tara itu, rendahnya penerimaan dari pajak lainnya
antara lain disebabkan oleh lebih rendahnya jumlah
transaksi yang memerlukan meterai.
BELANJA NEGARA
Realisasi belanja negara yang dicerminkan
baik dari belanja pemerintah pusat dan dana perim-
bangan diperkirakan mencapai Rp354,6 triliun atau
4,2% di atas target (Tabel 7.3). Jumlah ini setara
dengan 24,0% dari PDB atau lebih tinggi diban-
dingkan dengan tahun 2000 yang mencapai 23,3%
dari PDB. Pengeluaran terbesar pemerintah tersebut
didominasi oleh pengeluaran rutin pemerintah pusat
yang mencapai Rp232,8 triliun atau 65,7% dari total
pengeluaran atau setara dengan 15,8% dari PDB.
Sementara itu, realisasi pengeluaran pembangunan
mencapai Rp39,4 triliun atau 11,1% dari total penge-
luaran atau setara 2,7% dari PDB nominal. Sisanya
sebesar Rp82,4 triliun (23,2%) atau setara dengan
5,6% dari PDB nominal diperuntukkan bagi dana
perimbangan. Jika dibandingkan dengan target,
realisasi pengeluaran rutin pemerintah pusat dan
dana perimbangan diperkirakan akan melampaui
target, yaitu masing-masing 107,9% dan 101,1%.
Grafik 7.3
Komposisi Pengeluaran Pemerintah
Belanja Pegawai11%
Bunga Utang27%
Dana Perimbangan23%
Pembangunan11%
Lainnya5%
Subsidi23%
Realisasi
Budget
0,0 20,0 40,0 60,0 80,0 100,0
Belanja Pegawai
Subsidi
Bunga Utang
Dana Perimbangan
Pembangunan
Lainnya 74,4%
91,4%
101,1%
106,7%
123,1%
103,5%
Grafik 7.4
Pencapaian Target Pengeluaran Pemerintah
0,0 10,0 20,0 30,0 40,0 50,0 60,0 70,0 80,0 90,0
PPh Migas
PPh Nonmigas
PPN
Cukai
Migas
Pajak Lainnya
Non pajak lainnya Realisasi
Budget
130,2%
96,2%
100,1%
104,5%
100,6%
89,8%
108,9%
Grafik 7.2
Pencapaian Target Penerimaan Pemerintah
Keuangan Pemerintah
125
Tabel 7.4.
Perkiraan Realisasi Dana Perimbangan Tahun Anggaran 2001 (triliun Rp)
B. Belanja Negara 219,9 22,3 340,3 23,2 354,6 104,2 24,0
I. Belanja Pemerintah Pusat 187,1 18,9 258,8 17,6 272,2 105,1 18,4
1. Pengeluaran Rutin 161,4 16,3 215,8 14,7 232,8 107,9 15,8
a. Belanja Pegawai 29,4 3,0 38,2 2,6 39,5 103,5 2,7
i. Gaji dan Pensiun 24,3 2,5 31,9 2,2 33,3 104,3 2,3ii. Tunjangan Beras 1,5 0,2 1,3 0,1 1,3 98,3 0,1iii. Uang Makan/Lauk Pauk 1,8 0,2 2,1 0,1 2,1 100,0 0,1iv. Lain-lain Belanja Pegawai DN 1,5 0,1 1,4 0,1 1,8 133,5 0,1v. Belanja Pegawai LN 0,3 0,0 1,5 0,1 1,1 69,9 0,1
b. Belanja Barang 8,1 0,8 9,9 0,7 9,6 96,9 0,7
i. Belanja Barang DN 8,0 0,8 8,7 0,6 8,7 100,0 0,6ii. Belanja Barang LN 0,1 0,0 1,2 0,1 0,9 74,0 0,1
c. Pembayaran Bunga Utang 50,1 5,1 89,6 6,1 95,5 106,7 6,5
i. Utang Dalam Negeri 31,2 3,2 61,2 4,2 66,3 108,3 4,5ii. Utang Luar Negeri 18,8 1,9 28,4 1,9 29,3 103,1 2,0
d. Subsidi 62,8 6,4 66,3 4,5 81,6 123,1 5,5
i. Subsidi BBM 53,6 5,4 53,8 3,7 68,4 127,2 4,6ii. Subsidi non BBM 9,1 0,9 12,5 0,9 13,2 105,6 0,9 - Pangan 2,2 0,2 2,4 0,2 2,7 110,6 0,2 - Listrik 3,9 0,4 4,7 0,3 4,6 97,7 0,3 - Bunga Kredit Program 2,4 0,2 4,9 0,3 4,9 100,0 0,3 - Lainnya 0,6 0,1 0,4 0,0 1,0 237,5 0,1
e. Pengeluaran Rutin Lainnya 11,0 1,1 11,8 0,8 6,5 55,5 0,4
2. Pengeluaran Pembangunan 25,7 2,6 43,1 2,9 39,4 91,4 2,7
a. Pembiayaan pembangunan rupiah 9,4 0,9 20,6 1,4 19,7 95,6 1,3b. Pembiayaan proyek 16,3 1,7 22,5 1,5 19,7 87,5 1,3
II. Anggaran Belanja Untuk Daerah 32,9 3,3 81,5 5,5 82,4 101,1 5,6
1. Dana Perimbangan 32,9 3,3 81,5 5,5 82,4 101,1 5,6
a. Dana Bagi Hasil 4,3 0,4 20,3 1,4 21,2 104,6 1,4b. Dana Alokasi Umum 28,6 2,9 60,5 4,1 60,5 100,0 4,1c. Dana Alokasi Khusus - - 0,7 0,0 0,7 100,0 0,0
2. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang - - - - - - -
1) Realisasi sementara (belum diaudit), periode 1 April s.d. 31 Desember 2000
2) APBN penyesuaian (revisi)
3) APBN perubahan
Sumber : Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
Tabel 7.3
Perkiraan Belanja Negara Tahun Anggaran 2001
R i n c i a n
2 0 0 1
APBN2) APBN3)
Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd APBNR % thd PDB
2 0 0 01)
Sementara itu, realisasi pengeluaran pembangunan
diperkirakan hanya mencapai 91,4% dari target.
Jika dilihat dari komponennya, sebagian be-
sar atau 84,3% dari pengeluaran pemerintah dido-
minasi oleh belanja wajib pemerintah (non-discre-
tionary items), seperti bunga utang, subsidi dana
perimbangan, dan belanja pegawai, pembayaran,
dan dengan alokasi dana masing-masing sebesar
26,9%, 23,0%, 23,2%, dan 11,2%, dari total
pengeluaran dan tingkat realisasi masing-masing
sebesar 106,7%, 123,1%, 101,1%, dan 103,5%, dari
target yang ditetapkan. Tingginya alokasi dana untuk
pembayaran bunga utang terkait dengan kenaikan
suku bunga SBI dan depresiasi nilai tukar rupiah.
Tingginya alokasi dana untuk pengeluaran subsidi
disebabkan oleh peningkatan volume konsumsi BBM
dalam negeri dari 52,8 juta kiloliter menjadi 56,6 juta
kiloliter, lebih besarnya depresiasi nilai tukar terhadap
Keuangan Pemerintah
126
dolar AS dari perkiraan semula, dan adanya koreksi
kekurangan pembayaran subsidi tahun 2000 yang
mencapai Rp5,6 trilliun sesuai hasil audit BPKP. Ren-
dahnya realisasi pengeluaran pembangunan terkait
langsung dengan rendahnya penarikan utang luar
negeri pemerintah.
Sementara itu, menandai dimulainya desen-
tralisasi keuangan pusat ke daerah (otonomi daerah),
pemerintah telah mengalokasikan hampir 23,2% dari
total pengeluarannya untuk dana perimbangan. Se-
cara umum, meskipun implementasi otonomi daerah
ini diwarnai oleh berbagai tantangan, namun tingkat
pencapaiannya sesuai dengan target anggaran. Alo-
kasi terbesar diperuntukkan untuk dana alokasi umum
(DAU) dengan porsi sebesar hampir 73,4% dari rea-
lisasi dana perimbangan. Di dalam dana alokasi
umum tersebut sudah termasuk pembayaran rapel
gaji pegawai negeri sipil (PNS) yang pelaksanaannya
dimulai sekitar pertengahan 2001.
DEFISIT DAN PEMBIAYAAN
Dengan pelampauan pendapatan dan
belanja negara di atas target masing-masing sebesar
angka persentase yang hampir sama, maka defisit
operasi keuangan pemerintah pada 2001 diperkirakan
dapat dikendalikan pada angka Rp54,7 triliun atau
3,7% dari PDB, relatif sama dengan rencana defisit
sebesar Rp54,3 triliun atau 3,7% dari PDB pada APBN
penyesuaian 2001 (Tabel 7.4). Sebagian besar defisit
tersebut ditutup dengan penjualan aset program
restrukturisasi perbankan sebesar Rp31,0 triliun
(56,6%), pembiayaan luar negeri neto sebesar Rp10,5
triliun (19,3%), dan privatisasi sebesar Rp5,0 triliun
(9,1%). Dengan lebih kecilnya total sumber pem-
biayaan dibandingkan dengan realisasi defisit, maka
terdapat SIKPA sebesar Rp7,6 triliun atau 0,5% dari
PDB yang akan mengurangi rekening pemerintah
bersih di sistem moneter.
Dilihat dari pencapaian sasaran, penjualan
aset program restrukturisasi perbankan mencapai
114,7%, sedangkan privatisasi dan pembiayaan luar
negeri neto masing-masing hanya 76,9% dan 52,9%.
Rendahnya hasil privatisasi antara lain disebabkan
oleh masih belum kondusifnya pasar modal domestik
maupun internasional, perbedaan kepentingan
antara pihak yang terlibat dalam proses privatisasi,
infrastruktur maupun law enforcement yang masih
lemah, dan belum selesainya restrukturisasi pe-
rusahaan.
Dari sisi eksternal, rendahnya tingkat penari-
kan utang luar negeri terjadi baik pada jenis pinjaman
program maupun pinjaman proyek dengan tingkat
pencapaian masing-masing sebesar 65,0% dan
82,8% dari target anggaran. Rendahnya tingkat pe-
narikan pinjaman program terutama disebabkan oleh
belum dapat dipenuhinya beberapa persyaratan dan
jadwal penyelesaian dalam matriks kebijakan (policy
matrix) sesuai kesepakatan antara pemerintah
dengan negara donor, seperti penyelesaian Undang-
Undang (UU) tentang money laundering, UU tentang
kelistrikan, dan Amandemen UU No.23/1999 tentang
Bank Indonesia. Sementara itu, rendahnya tingkat
penarikan pinjaman proyek antara lain disebabkan
oleh sempitnya kurun waktu yang tersedia untuk
implementasi proyek pasca dilakukannya revisi APBN
dan terbatasnya dana pendamping rupiah untuk
proyek-proyek yang dibiayai dengan pinjaman luar
negeri. Adapun komposisi antara pinjaman program
dan pinjaman proyek terhadap jumlah penarikan
utang luar negeri adalah sebesar 35% dan 65%.
Keuangan Pemerintah
127
Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap Per-
mintaan Agregat, Moneter dan Neraca Pembayaran.
Pemerintah diperkirakan telah melakukan
pengeluaran sebesar Rp354,6 triliun, dimana 49,5%
atau setara dengan Rp175,5 triliun (11,9% dari PDB)
diantaranya mempengaruhi permintaan agregat
sebagai belanja konsumsi dan investasi pemerintah
(Tabel 7.5). Dari jumlah yang mempengaruhi
permintaan agregat tersebut , 65,1% diantaranya da-
lam bentuk pengeluaran konsumsi dan sisanya
A. Pendapatan Negara dan Hibah 204,9 20,7 286,0 19,5 299,9 104,8 20,3I. Penerimaan Dalam Negeri 204,9 20,7 286,0 19,5 299,8 104,8 20,3
1. Penerimaan Pajak 115,8 11,7 185,3 12,6 184,7 99,7 12,5a. Pajak Dalam Negeri 108,8 11,0 174,3 11,9 174,2 100,0 11,8b. Pajak Perdagangan Internasional 7,0 0,7 11,0 0,7 10,5 95,8 0,7
2. Penerimaan Bukan Pajak (SDA Migas) 89,2 9,0 100,7 6,9 115,1 114,3 7,8a. Penerimaan SDA 76,0 7,7 79,4 5,4 86,7 109,1 5,9b. Bagian Laba BUMN 3,9 0,4 9,0 0,6 10,4 116,0 0,7c. PNBP Lainnya 9,3 0,9 12,3 0,8 18,0 146,4 1,2
II. Hibah - - - - 0,0 - 0,0
B. Belanja Negara 219,9 22,3 340,3 23,2 354,6 104,2 24,0I. Belanja Pemerintah Pusat 187,1 18,9 258,8 17,6 272,2 105,1 18,4
1. Pengeluaran Rutin 161,4 16,3 215,8 14,7 232,8 107,9 15,8a. Belanja Pegawai 29,4 3,0 38,2 2,6 39,5 103,5 2,7b. Belanja Barang 8,1 0,8 9,9 0,7 9,6 96,9 0,7c. Pembayaran Bunga Utang 50,1 5,1 89,6 6,1 95,5 106,7 6,5d. Subsidi 62,8 6,4 66,3 4,5 81,6 123,1 5,5e. Pengeluaran Rutin Lainnya 11,0 1,1 11,8 0,8 6,5 55,5 0,4
2. Pengeluaran Pembangunan 25,7 2,6 43,1 2,9 39,4 91,4 2,7a. Pembiayaan pembangunan rupiah 9,4 0,9 20,6 1,4 19,7 95,6 1,3b. Pembiayaan proyek 16,3 1,7 22,5 1,5 19,7 87,5 1,3
II. Anggaran Belanja Untuk Daerah 32,9 3,3 81,5 5,5 82,4 101,1 5,61. Dana Perimbangan 32,9 3,3 81,5 5,5 82,4 101,1 5,62. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang - - - - - - -
C. Perbedaan Statistik 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0D. Keseimbangan Primer 35,1 3,6 35,2 2,4 40,8 115,7 2,8E. Surplus/(Defisit) Anggaran (15,0) (1,5) (54,3) (3,7) (54,7) 100,7 (3,7)
F. Pembiayaan 15,0 1,5 54,3 3,7 54,7 100,7 3,7I. Pembiayaan Dalam Negeri 5,4 0,6 34,4 2,3 44,2 128,5 3,0
1. Perbankan dalam negeri (13,5) (1,4) 0,0 0,0 7,6 - 0,52. Non-Perbankan dalam negeri 18,9 1,9 34,4 2,3 36,6 106,5 2,5
a, Privatisasi 0,0 0,0 6,5 0,4 5,0 76,9 0,3b, Penjualan aset program restrukturisasi perbankan 18,9 1,9 27,0 1,8 31,0 114,7 2,1c, Penjualan Obligasi Pemerintah 0,0 0,0 0,9 0,1 0,7 74,2 0,0
II. Pembiayaan Luar Negeri (Neto) 9,6 1,0 19,9 1,4 10,5 52,9 0,71. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (Bruto) 17,2 1,7 40,1 2,7 30,3 75,5 2,1
a. Pinjaman Program 0,8 0,1 16,3 1,1 10,6 65,0 0,7b. Pinjaman Proyek 16,3 1,7 23,7 1,6 19,7 82,8 1,3
2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN (7,6) (0,8) (20,2) (1,4) (19,7) 98,0 (1,3)
1) Realisasi sementara (belum diaudit), periode 1 April s.d. 31 Desember 20002) APBN penyesuaian (revisi)3) APBN perubahanSumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
Tabel 7.4
Perkiraan Operasi Keuangan Pemerintah Tahun 2001
R i n c i a n
2 0 0 1
APBN2) APBN3)
Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd APBNR % thd PDB
2 0 0 01)
Keuangan Pemerintah
128
I. Konsumsi Pemerintah 76,7 7,8 117,7 8,0 114,3 97,1 7,7
Belanja Pegawai DN 29,1 2,9 36,7 2,5 38,5 104,9 2,6Belanja Barang DN 8,0 0,8 8,7 0,6 8,7 100,0 0,6Dana Alokasi Umum 28,6 2,9 60,5 4,1 60,5 100,0 4,1Pengeluaran Rutin Lainnya 11,0 1,1 11,8 0,8 6,5 55,5 0,4
II. Pembentukan Modal Domestik Bruto 29,9 3,0 64,0 4,4 61,3 95,7 4,2
Pembiayaan Dalam Rupiah 9,4 0,9 20,6 1,4 19,7 95,6 1,3Bantuan Proyek 16,3 1,7 22,5 1,5 19,7 87,5 1,3Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus 4,3 0,4 21,0 1,4 21,9 104,4 1,5
III. Jumlah I + II 106,6 10,8 181,8 12,4 175,5 96,6 11,9
Memo Items : Pembayaran Transfer 94,0 6,4 127,4 8,7 147,8 120,6 10,0a. Bunga Utang Dalam Negeri 31,2 2,1 61,2 4,2 66,3 108,3 4,5b. Subsidi 62,8 4,3 66,3 4,5 81,6 12,3 5,5
1) Realisasi sementara (belum diaudit), periode 1 April s.d. 31 Desember 20002) APBN penyesuaian (revisi)3) APBN perubahanSumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
sebesar 34,9% dalam bentuk pengeluaran investasi.
Sementara itu, 41,7% dari total pengeluaran atau
setara dengan Rp147,8 triliun (10,0% dari PDB)
digunakan untuk pembayaran transfer ke sektor
swasta dalam bentuk pembayaran subsidi dan pem-
bayaran bunga utang dalam negeri.
Dibandingkan tahun sebelumnya, penge-
luaran konsumsi pemerintah terlihat hampir sama
yaitu dari 7,8% menjadi 7,7% dari PDB, sedangkan
pengeluaran investasi pemerintah meningkat dari
3,0% menjadi 4,2% terutama karena adanya alokasi
dana untuk dana bagi hasil (DBH) mulai 2001.
Sementara itu, pembayaran transfer ke sektor swasta
dalam bentuk subsidi dan bunga utang dalam negeri
meningkat cukup tajam dari 6,4% menjadi 10,0% dari
PDB. Secara keseluruhan, kontribusi langsung sektor
pemerintah terhadap permintaan agregat meningkat
dibandingkan tahun lalu dari 10,8% menjadi 11,9%
dari PDB.
Dari sisi moneter, transaksi keuangan pe-
merintah selama 2001 memberikan ekspansi rupiah
neto sebesar Rp56,0 triliun (Tabel 7.6). Ekspansi
terbesar adalah anggaran belanja untuk daerah,
subsidi, dan bunga utang dalam negeri. Diban-
dingkan dengan tahun sebelumnya, ekspansi rupiah
neto tersebut meningkat dari 3,3% menjadi 3,8% dari
PDB. Faktor utama yang mendorong naiknya eks-
pansi rupiah neto pada periode laporan adalah
peningkatan alokasi anggaran belanja untuk daerah
dari 3,3% menjadi 5,6% dari PDB dan bunga utang
dalam negeri dari 3,2% menjadi 4,5% dari PDB.
Dari sisi neraca pembayaran, transaksi ke-
uangan pemerintah diperkirakan memberikan aliran
devisa masuk bersih (net capital inflows) setara
Tabel 7.5
Perkiraan Dampak Keuangan Pemerintah Terhadap Sektor Riil
R i n c i a n
2 0 0 1
APBN2) Realisasi3)
Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd APBNR % thd PDB
2 0 0 01)
Keuangan Pemerintah
129
A. Penerimaan rupiah
Pajak
Migas 18,7 1,9 25,7 1,8 23,1 1,6 89,8
Nonmigas 97,1 9,8 159,5 10,9 161,6 10,9 101,3
Bukan Pajak 22,5 2,3 25,5 1,7 33,2 2,3 130,2
Privatisasi 0,0 0,0 6,5 0,4 5,0 0,3 76,9
Penjualan Asset Program Restrukturisasi Perbankan 18,9 1,9 27,0 1,8 31,0 2,1 114,7
Penjualan Obligasi Pemerintah 0,0 0,0 0,9 0,1 0,7 0,0 74,2
Jumlah Penerimaan 157,2 15,9 245,2 16,7 254,6 17,2 103,8
B. Pengeluaran rupiah
Operasional -142,1 -14,4 -184,7 -12,6 -201,6 -13,7 109,2
Belanja Pegawai DN -29,1 -2,9 -36,7 -2,5 -38,5 -2,6 104,9
Subsidi -62,8 -6,4 -66,3 -4,5 -81,6 -5,5 123,1
Bunga Utang DN -31,2 -3,2 -61,2 -4,2 -66,3 -4,5 108,3
Pengeluaran Rutin Lainnya -19,0 -1,9 -20,5 -1,4 -15,3 -1,0 74,4
Investasi -15,1 -1,5 -28,5 -1,9 -26,6 -1,8 93,4
Anggaran Belanja Untuk Daerah -32,9 -3,3 -81,5 -5,5 -82,4 -5,6 101,1
Jumlah Pengeluaran -190,0 -19,2 -294,6 -20,1 -310,6 -21,0 105,4
C. Perbedaan Statistik 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
D. Dampak Rupiah -32,8 -3,3 -49,5 -3,4 -56,0 -3,8 113,2
1) Realisasi sementara (belum diaudit), periode 1 April s.d. 31 Desember 20002) APBN penyesuaian (revisi)3) APBN perubahan
Sumber : Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
Tabel 7.6
Perkiraan Dampak Rupiah Keuangan Pemerintah
R i n c i a n
2 0 0 1
APBN2) Realisasi3)
Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd APBNR % thd PDB
2 0 0 01)
PROSPEK APBN 2002
Dalam tahun 2002, kebijakan keuangan
negara diarahkan pada upaya untuk mewujudkan
ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal
sustainability). Untuk itu, ada dua langkah strategis
yang tergambar dalam penyusunan APBN 2002.
Pertama, mengupayakan penurunan volume dan
rasio defisit anggaran terhadap PDB. Kedua,
menurunkan rasio posisi utang pemerintah --baik
utang dalam negeri maupun luar negeri-- terhadap
PDB. Oleh karena itu, pemerintah mempersiapkan
langkah-langkah guna meningkatkan pendapatan
negara, mengendalikan belanja negara, dan
Rp48,4 trilliun, atau lebih rendah sekitar Rp7,6 triliun
dari ekspansi rupiah neto tersebut di atas (Tabel 7.7).
Dengan demikian, terdapat SIKPA sebesar Rp7,6
triliun yang ditutup dengan penarikan tabungan pe-
merintah di sistem moneter. Kontributor utama aliran
devisa masuk adalah ekspor migas yang mencapai
hampir 73% penerimaan valuta asing pemerintah.
Dibandingkan dengan tahun sebelumnya, aliran de-
visa masuk bersih pemerintah menurun dari 4,7%
menjadi 3,3% dari PDB. Faktor penting yang menye-
babkan turunnya aliran devisa masuk bersih adalah
rendahnya tingkat penarikan utang luar negeri yang
hanya mencapai sekitar 75% dari rencana.
Keuangan Pemerintah
130
A. Transaksi Berjalan 36,8 3,7 29,5 2,0 37,9 2,6 128,3
Neraca Barang 55,9 5,7 59,4 4,0 68,2 4,6 114,8Ekspor Migas 66,7 6,7 75,2 5,1 81,9 5,5 108,9Impor Bantuan Proyek -10,6 -1,1 -14,6 -1,0 -12,8 -0,9 87,5Belanja Barang LN -0,1 0,0 -1,2 -0,1 -0,9 -0,1 74,0
Neraca Jasa -19,1 -1,9 -29,9 -2,0 -30,3 -2,1 101,4Pembayaran Bunga Utang Luar Negeri -18,8 -1,9 -28,4 -1,9 -29,3 -2,0 103,1Belanja Pegawai LN -0,3 0,0 -1,5 -0,1 -1,1 -0,1 69,9
B. Pemasukan Modal Neto Pemerintah 9,6 1,0 19,9 1,4 10,5 0,7 52,9
Penarikan Utang LN dan Hibah 17,2 1,7 40,1 2,7 30,3 2,1 75,6Pembayaran Cicilan Pokok
Utang Luar Negeri Pemerintah -7,6 -0,8 -20,2 -1,4 -19,7 -1,3 98,0
C. Dampak Valas (A+B) 46,3 4,7 49,5 3,4 48,4 3,3 97,9
1) Realisasi sementara (belum diaudit), periode 1 April s.d. 31 Desember 20002) APBN penyesuaian (revisi)3) APBN perubahanSumber: Departemen Keuangan dan Bank Indonesia (diolah)
tercatat sebesar Rp54,3 triliun (3,7% dari PDB).
Penurunan defisit tersebut diupayakan dengan
meningkatkan penerimaan terutama dengan meng-
optimalkan penghimpunan pajak melalui perluasan
basis pajak dan lebih mengefisienkan pengeluaran
dengan memprioritaskan anggaran. Di sisi pem-
biayaan, pemerintah berupaya mengoptimalkan hasil
penjualan aset program restrukturisasi perbankan dan
privatisasi dan menggunakan sebagian hasilnya untuk
mengurangi posisi utang dalam negeri (asset to bond
swap and cash to bond swap).
Total penerimaan pemerintah secara nominal
diharapkan meningkat dari Rp286 triliun menjadi
Rp301,9 triliun. Namun demikian, dalam persentase
terhadap PDB menurun dari 19,5% menjadi 17,9%,
terutama karena perkiraan turunnya harga minyak
mentah Indonesia dari $24 per barel menjadi $22 per
Tabel 7.7
Perkiraan Dampak Valas Keuangan Pemerintah
R i n c i a n
2 0 0 1
APBN2) Realisasi3)
Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd APBNR % thd PDB
2 0 0 01)
PDB a.d. harga berlaku (triliun rupiah) 1.468,1 1.685,4
Pertumbuhan ekonomi (%) 3,5 4,0
Laju inflasi (%) 9,30 9,00
Harga minyak mentah ($ per barel) 24,0 22,0
Produksi minyak mentah
(juta barel per hari) 1,5 1,3
Nilai Tukar (Rp/$) 9.600 9.000
Suku bunga SBI 3 bulan rata-rata (%) 15,00 14,00
Sumber : Departemen Keuangan
Tabel 7.8
Asumsi APBN 2001 - 2002
A s u m s i2 0 0 1 2 0 0 2
APBN APBN
mengoptimalkan pilihan pembiayaan defisit anggaran
negara.
Operasi keuangan pemerintah pada 2002
direncanakan akan mengalami defisit sebesar Rp42,1
triliun atau 2,5% dari PDB, menurun dibandingkan
rencana defisit pada APBN tahun sebelumnya yang
Keuangan Pemerintah
131
barel. Sumber utama penerimaan diharapkan dari
penerimaan perpajakan sebesar Rp219,6 trilliun
dengan target tax ratio yang meningkat dibandingkan
target APBN sebelumnya yaitu dari 12,6% menjadi
13,0% dari PDB. Untuk mendukung tercapainya
sasaran penerimaan perpajakan, pemerintah akan
melanjutkan berbagai kebijakan intensifikasi
pemungutan pajak dan ekstensifikasi subjek/objek
pajak. Kebijakan tersebut diimplementasikan
terhadap semua jenis pajak, yang selanjutnya
masing-masing akan dijabarkan secara lebih spesifik
dalam kebijakan operasionalnya. Selain untuk
mengantisipasi turunnya penerimaan migas,
peningkatan target pajak secara bertahap sampai ke
titik optimalnya sangat dibutuhkan untuk menjaga
kesinambungan fiskal di masa depan. Sebaliknya,
sejalan dengan perkiraan penurunan harga minyak,
maka penerimaan negara bukan pajak diperkirakan
akan menurun dibandingkan tahun lalu dari 6,9%
menjadi 4,9% dari PDB.
Di sisi pengeluaran, volume anggaran belanja
negara direncanakan sebesar Rp344,0 trilliun.
Meskipun secara nominal meningkat, namun dalam
persentase terhadap PDB menurun dibandingkan
tahun lalu dari 23,2% menjadi 20,4%. Penurunan
tersebut terutama terjadi pada alokasi pengeluaran
rutin untuk pemerintah pusat yaitu dari 14,7% menjadi
11,5% dari PDB.
A. Pendapatan Negara dan Hibah 286,0 19,5 301,9 17,9 -1,6
I. Penerimaan Dalam Negeri 286,0 19,5 301,9 17,9 -1,6
1. Penerimaan Pajak 185,3 12,6 219,6 13,0 0,4
a. Pajak Dalam Negeri 174,3 11,9 207,0 12,3 0,4
i. Pajak penghasilan 95,0 6,5 104,5 6,2 -0,3 1. Migas 25,7 1,8 15,7 0,9 -0,8 2. Nonmigas 69,2 4,7 88,8 5,3 0,6ii. Pajak pertambahan nilai 53,5 3,6 70,1 4,2 0,5iii. Pajak bumi dan bangunan 5,1 0,3 5,9 0,4 0,0iv. Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan 1,2 0,1 2,2 0,1 0,0v. Cukai 17,6 1,2 22,4 1,3 0,1vi. Pajak lainnya 1,9 0,1 1,9 0,1 0,0
b. Pajak Perdagangan Internasional 11,0 0,7 12,6 0,7 0,0
i. Bea masuk 10,4 0,7 12,2 0,7 0,0ii. Pajak/pungutan ekspor 0,6 0,0 0,3 0,0 0,0
2. Penerimaan Bukan Pajak (SDA Migas) 100,7 6,9 82,2 4,9 -2,0
a. Penerimaan SDA 79,4 5,4 63,2 3,7 -1,7
i. Minyak Bumi 57,9 3,9 44,0 2,6 -1,3ii. Gas Alam 17,4 1,2 14,5 0,9 -0,3iii. Pertambangan Umum 0,9 0,1 1,3 0,1 0,0iv. Kehutanan 3,0 0,2 3,0 0,2 0,0v. Perikanan 0,3 0,0 0,3 0,0 0,0
b. Bagian Laba BUMN 9,0 0,6 10,4 0,6 0,0
c. PNBP Lainnya 12,3 0,8 8,7 0,5 -0,3
II. Hibah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
1) APBN yang direvisi pada 15 Juni 2001
2) APBN yang disahkan pada 23 Oktober 2001
Sumber : Departemen Keuangan (diolah)
Tabel 7.9
Proyeksi Penerimaan Pemerintah
R i n c i a nAPBN 20011) APBN 20022) Perubahan
Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB % thd PDB
Keuangan Pemerintah
132
B. Belanja Negara 340,3 23,2 344,0 20,4 -2,8
I. Belanja Pemerintah Pusat 258,8 17,6 246,0 14,6 -3,0
1. Pengeluaran Rutin 215,8 14,7 193,7 11,5 -3,2
a. Belanja Pegawai 38,2 2,6 41,3 2,5 -0,2
i. Gaji dan Pensiun 31,9 2,2 34,0 2,0 -0,2ii. Tunjangan Beras 1,3 0,1 1,4 0,1 0,0iii. Uang Makan/Lauk Pauk 2,1 0,1 2,8 0,2 0,0iv. Lain-lain Belanja Pegawai DN 1,4 0,1 1,5 0,1 0,0v. Belanja Pegawai LN 1,5 0,1 1,5 0,1 0,0
b. Belanja Barang 9,9 0,7 12,9 0,8 0,1
i. Belanja Barang DN 8,7 0,6 11,7 0,7 0,1ii. Belanja Barang LN 1,2 0,1 1,2 0,1 0,0
c. Pembayaran Bunga Hutang 89,6 6,1 88,5 5,3 -0,9
i. Utang Dalam Negeri 61,2 4,2 59,5 3,5 -0,6ii. Utang Luar Negeri 28,4 1,9 29,0 1,7 -0,2
d. Subsidi 66,3 4,5 41,6 2,5 -2,0
i. Subsidi BBM 53,8 3,7 30,4 1,8 -1,9ii. Subsidi non BBM 12,5 0,9 11,2 0,7 -0,2- Pangan 2,4 0,2 4,7 0,3 0,1- Listrik 4,7 0,3 4,1 0,2 -0,1- Bunga Kredit Program 4,9 0,3 2,2 0,1 -0,2- Lainnya 0,4 0,0 0,2 0,0 0,0
e. Pengeluaran Rutin Lainnya 11,8 0,8 9,5 0,6 -0,2
2. Pengeluaran Pembangunan 43,1 2,9 52,3 3,1 0,2
a. Pembiayaan pembangunan rupiah 20,6 1,4 26,5 1,6 0,2b. Pembiayaan proyek 22,5 1,5 25,8 1,5 0,0
II. Anggaran Belanja Untuk Daerah 81,5 5,5 98,0 5,8 0,3
1. Dana Perimbangan 81,5 5,5 94,5 5,6 0,1
a. Dana Bagi Hasil 20,3 1,4 24,6 1,5 0,1b. Dana Alokasi Umum 60,5 4,1 69,1 4,1 0,0c. Dana Alokasi Khusus 0,7 0,0 0,8 0,0 0,0
2. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang 0,0 0,0 3,4 0,2 0,2
1) APBN yang direvisi pada 15 Juni 20012) APBN yang disahkan pada 23 Oktober 2001Sumber : Departemen Keuangan (diolah)
Tabel 7.10
Proyeksi Pengeluaran Pemerintah
R i n c i a nAPBN 20011) APBN 20022) Perubahan
Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB % thd PDB
Secara individual, pengeluaran terbesar ada-
lah untuk pembayaran bunga utang yang mencapai
Rp88,5 trilliun atau setara dengan 5,3% dari PDB.
Meskipun demikian, jumlah tersebut relatif lebih
rendah dari tahun 2001 sejalan dengan penggunaan
asumsi suku bunga SBI yang lebih rendah, nilai tukar
rupiah yang lebih optimis dari tahun lalu serta
dampak dari pengurangan obligasi pemerintah
dengan cara membeli kembali dan mempertukarkan
aset-aset yang telah direstrukturisasi dengan obligasi
yang dimiliki bank-bank (asset to bond swap and cash
to bond swap).
Tiga kelompok pengeluaran terbesar lainnya
adalah (i) subsidi (2,5% dari PDB), (ii) belanja
pegawai (2,4%), dan (iii) pengeluaran pembangunan
(3,1%). Subsidi jauh menurun dibandingkan tahun
2001, antara lain karena rencana pemerintah untuk
menaikkan harga BBM dalam negeri sebesar rata-
rata 25% mulai Januari 2002 dan tarif dasar listrik
(TDL) sebesar 4%–6% setiap triwulan. Belanja
Keuangan Pemerintah
133
A. Pendapatan Negara dan Hibah 286,0 19,5 301,9 17,9 -1,6
I. Penerimaan Dalam Negeri 286,0 19,5 301,9 17,9 -1,6
1. Penerimaan Pajak 185,3 12,6 219,6 13,0 0,4
a. Pajak Dalam Negeri 174,3 11,9 207,0 12,3 0,4b. Pajak Perdagangan Internasional 11,0 0,7 12,6 0,7 0,0
2. Penerimaan Bukan Pajak (SDA Migas) 100,7 6,9 82,2 4,9 -2,0
a. Penerimaan SDA 79,4 5,4 63,2 3,7 -1,7b. Bagian Laba BUMN 9,0 0,6 10,4 0,6 0,0c. PNBP Lainnya 12,3 0,8 8,7 0,5 -0,3
II. Hibah 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
B. Belanja Negara 340,3 23,2 344,0 20,4 -2,8
I. Belanja Pemerintah Pusat 258,8 17,6 246,0 14,6 -3,0
1. Pengeluaran Rutin 215,8 14,7 193,7 11,5 -3,2
a. Belanja Pegawai 38,2 2,6 41,3 2,5 -0,2b. Belanja Barang 9,9 0,7 12,9 0,8 0,1c. Pembayaran Bunga Utang 89,6 6,1 88,5 5,3 -0,9d. Subsidi 66,3 4,5 41,6 2,5 -2,0e. Pengeluaran Rutin Lainnya 11,8 0,8 9,5 0,6 -0,2
2. Pengeluaran Pembangunan 43,1 2,9 52,3 3,1 0,2
a. Pembiayaan pembangunan rupiah 20,6 1,4 26,5 1,6 0,2b. Pembiayaan proyek 22,5 1,5 25,8 1,5 0,0
II. Anggaran Belanja Untuk Daerah 81,5 5,5 98,0 5,8 0,3
1. Dana Perimbangan 81,5 5,5 94,5 5,6 0,1
2. Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang 0,0 0,0 3,4 0,2 0,2
C. Perbedaan statistik 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
D. Keseimbangan Primer 35,2 2,4 46,4 2,8 0,3
E. Surplus/(Defisit) Anggaran -54,3 -3,7 -42,1 -2,5 1,2
F. Pembiayaan 54,3 3,7 42,1 2,5 -1,2
I. Pembiayaan Dalam Negeri 34,4 2,3 23,5 1,4 -0,9
1. Perbankan dalam negeri 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
2. Non Perbankan dalam negeri 34,4 2,3 23,5 1,4 -0,9
a. Privatisasi 6,5 0,4 4,0 0,2 -0,2b. Penjualan aset program restrukturisasi perbankan 27,0 1,8 19,5 1,2 -0,7c. Penjualan Obligasi Pemerintah 0,9 0,1 0,0 0,0 -0,1
II. Pembiayaan Luar Negeri (Netto) 19,9 1,4 18,6 1,1 -0,3
1. Penarikan Pinjaman Luar Negeri (bruto) 40,1 2,7 62,6 3,7 1,0
a. Pinjaman Program 16,3 1,1 36,8 2,2 1,1b. Pinjaman Proyek 23,7 1,6 25,8 1,5 –0,1
2. Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN -20,2 -1,4 -44,0 -2,6 -1,2
1) Total Target Privatisasi 6,5 0,4 6,5 0,4 -0,1(Termasuk penarikan obligasi) 0,0 0,0 -2,5 -0,2 -0,2
2) Total Target Penjualan Aset oleh BPPN 37,0 2,5 42,8 2,5 0,0(Termasuk penarikan obligasi) -10,0 -0,7 -23,3 -1,4 -0,7
1) APBN yang direvisi pada 15 Juni 20012) APBN yang disahkan pada 23 Oktober 2001Sumber : Departemen Keuangan (diolah)
Tabel 7.11
Proyeksi Operasi Keuangan Pemerintah
R i n c i a nAPBN 20011) APBN 20022) Perubahan
Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB % thd PDB
belum pernah mengalami kenaikan. Sementara itu,
alokasi dana untuk pengeluaran pembangunan
masih tetap rendah dibandingkan pengeluaran
rutin.
pegawai dianggarkan naik secara nominal sebagai
upaya pemerintah untuk menaikkan tunjangan
beberapa jabatan fungsional tertentu mengingat
selama beberapa tahun terakhir tunjangan tersebut
Keuangan Pemerintah
134
Dalam pada itu, alokasi anggaran belanja un-
tuk daerah selama 2002 diperkirakan mencapai
Rp98,0 trilliun (5,8% dari PDB) sedikit meningkat
dibandingkan dengan tahun lalu yang tercatat Rp81,5
trilliun (5,5% dari PDB). Bagian terbesar dari alokasi
tersebut adalah untuk Dana Alokasi Umum (Rp69,1
triliun), diikuti oleh Dana Bagi Hasil (Rp24,6 triliun),
dan sisanya untuk Dana Alokasi Khusus (DAK). Selain
itu, pemerintah mengalokasikan pula dana sebesar
Rp3,4 triliun untuk penyelenggaraan otonomi khusus
dan sebagai dana penyeimbang.
Dengan kondisi di atas, maka keseimbangan
primer APBN 2002 diharapkan surplus 2,8% dari PDB
atau sedikit lebih baik dibandingkan dengan tahun
2001. Secara keseluruhan, defisit fiskal diperkirakan
akan mencapai Rp42,1 triliun atau 2,5% dari PDB.
Sebagian dari defisit tersebut akan dibiayai dengan
sumber pembiayaan dalam negeri khususnya dari
privatisasi dan penjualan aset program restrukturisasi
perbankan, sedangkan sisanya dengan sumber
pembiayaan luar negeri.
Target privatisasi ditetapkan Rp6,5 triliun
dimana Rp2,6 triliun diantaranya digunakan untuk
membeli kembali obligasi pemerintah. Dalam pada
itu, penjualan aset ditargetkan sebesar Rp42,8 triliun
dimana Rp7,5 triliun diantaranya dicapai dalam bentuk
asset to bond swap dan Rp15,8 triliun dalam bentuk
cash to bond swap. Dengan demikian, total obligasi
pemerintah yang diharapkan dapat ditarik kembali
selama 2001 adalah sebesar Rp25,8 triliun. Kebijakan
membeli kembali obligasi yang telah diterbitkan ini
ditujukan untuk mengurangi volume utang dalam
A. Penerimaan rupiah
PajakMigas 25,7 1,8 15,7 0,9 -0,8Nonmigas 159,5 10,9 203,9 12,1 1,2
Bukan Pajak 25,5 1,7 23,7 1,4 -0,3Privatisasi 6,5 0,4 4,0 0,2 -0,2Penjualan Asset Program Restrukturisasi Perbankan 27,0 1,8 19,5 1,2 -0,7Penjualan Obligasi Pemerintah 0,9 0,1 0,0 0,0 -0,1Jumlah Penerimaan 245,2 16,7 266,8 15,8 -0,9
B. Pengeluaran rupiah
Operasional -184,7 -12,6 -162,1 -9,6 3,0Belanja Pegawai DN -36,7 -2,5 -39,8 -2,4 0,1Subsidi -66,3 -4,5 -41,6 -2,5 2,0Bunga Utang DN -61,2 -4,2 -59,5 -3,5 0,6Pengeluaran Rutin Lainnya -20,5 -1,4 -21,2 -1,3 0,1
Investasi -28,5 -1,9 -35,5 -2,1 -0,2Anggaran Belanja Untuk Daerah -81,5 -5,5 -98,0 -5,8 -0,3Jumlah Pengeluaran -294,6 -20,1 -295,6 -17,5 2,5
C. Perbedaan Statistik 0,0 0,0 0,0 0,0 0,0
D. Dampak Rupiah -49,5 -3,4 -28,7 -1,7 1,7
1) APBN yang direvisi pada 15 Juni 2001
2) APBN yang disahkan pada 23 Oktober 2001
Sumber : Departemen Keuangan (diolah)
Tabel 7.12
Dampak Rupiah Operasi Keuangan Pemerintah
R i n c i a nAPBN 20011) APBN 20022) Perubahan
Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB % thd PDB
Keuangan Pemerintah
135
A. Transaksi Berjalan 29,5 2,0 10,1 0,6 -1,4
Neraca Barang 59,4 4,0 40,6 2,4 -1,6
Ekspor Migas 75,2 5,1 58,5 3,5 -1,7
Impor Bantuan Proyek -14,6 -1,0 -16,8 -1,0 0,0
Belanja Barang LN -1,2 -0,1 -1,2 -0,1 0,0
Neraca Jasa -29,9 -2,0 -30,5 -1,8 0,2
Pembayaran Bunga Utang Luar Negeri -28,4 -1,9 -29,0 -1,7 0,2
Belanja Pegawai LN -1,5 -0,1 -1,5 -0,1 0,0
B. Pemasukan Modal Neto Pemerintah 19,9 1,4 18,6 1,1 -0,3
Penarikan Utang LN dan Hibah 40,1 2,7 62,6 3,7 1,0
Pembayaran Cicilan Pokok Utang LN Pemerintah -20,2 -1,4 -44,0 -2,6 -1,2
C. Dampak Valas (A+B) 49,5 3,4 28,7 1,7 -1,7
1) APBN yang direvisi pada 15 Juni 2001
2) APBN yang disahkan pada 23 Oktober 2001
Sumber : Departemen Keuangan (diolah)
negeri pemerintah yang sejauh ini bebannya lebih
tinggi dibandingkan utang luar negeri.
Sementara itu, pembiayaan luar negeri bersih
pada 2002 diperkirakan menurun dibandingkan tahun
lalu, yaitu dari Rp19,9 trilliun menjadi Rp18,6 triliun.
Jumlah ini lebih kecil dibandingkan dengan total nilai
pembelian kembali obligasi pemerintah. Dengan
melakukan asset to bond swap, volume utang peme-
rintah diharapkan menurun. Penurunan posisi utang
tersebut diperlukan untuk menjaga kesinambungan
fiskal di masa depan.
Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap
Moneter, Neraca Pembayaran dan Permintaan
Agregat.
Berbagai kebijakan operasi keuangan peme-
rintah yang secara kuantitatif tertuang dalam APBN
2002 tersebut selanjutnya akan mempengaruhi sisi
moneter, neraca pembayaran, dan permintaan agre-
gat 2002. Dari sisi moneter, transaksi keuangan
pemerintah pada 2002 diperkirakan akan mem-
berikan ekspansi rupiah neto sebesar Rp28,8 triliun
(1,7% dari PDB), jauh lebih rendah dari 2001 yang
tercatat Rp49,5 triliun (3,4% dari PDB). Penurunan
terbesar berasal dari pengurangan subsidi BBM dan
TDL. Penurunan ekspansi rupiah neto tersebut di-
dukung pula oleh optimisme peningkatan tax ratio
dari 12,6% menjadi 13,0% pada 2002. Ekspansi
rupiah neto pemerintah yang lebih rendah ini
diharapkan akan mengurangi beban pengendalian
moneter, sehingga diharapkan suku bunga dapat
diarahkan pada level yang lebih rendah sehingga
dapat mendorong kegiatan di sektor riil. Kondisi ini
pada gilirannya akan memberikan manfaat kepada
sektor fiskal itu sendiri terutama untuk mencapai
sustainabilitas fiskal.
Tabel 7.13
Dampak Valas Operasi Keuangan Pemerintah
R i n c i a nAPBN 20011) APBN 20022) Perubahan
Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB % thd PDB
Keuangan Pemerintah
136
Dari sisi neraca pembayaran, potensi aliran
devisa masuk terutama bersumber dari penerimaan
migas dan penarikan utang luar negeri masing-
masing sebesar Rp58,5 triliun dan Rp62,6 triliun.
Sementara itu, aliran devisa keluar terutama diguna-
kan untuk pembayaran bunga dan amortisasi utang
luar negeri yang masing-masing sebesar Rp29,0
triliun dan Rp44,0 triliun. Dengan demikian, dampak
valuta asing yang terjadi diperkirakan sebesar
Rp28,7 triliun. Jumlah tersebut akan digunakan oleh
Bank Indonesia untuk mensterilisasi dampak eks-
pansi neto transaksi rupiah pemerintah.
Dari sisi permintaan agregat, kontribusi sektor
pemerintah terhadap permintaan agregat masih tetap
terbatas dan hanya sedikit meningkat dibandingkan
tahun lalu, yaitu 12,4% menjadi 12,5% dari PDB.
Peningkatan tersebut terjadi pada investasi yaitu dari
4,4% menjadi 4,6%, sedangkan konsumsi pemerintah
relatif tidak berubah. Sementara itu, jumlah
pengeluaran pemerintah dalam bentuk pembayaran
transfer ke sektor swasta menurun dari 8,7% menjadi
6,0% dari PDB, hal ini disebabkan karena berku-
rangnya jumlah subsidi yang harus ditanggung
pemerintah.
I. Konsumsi Pemerintah 117,7 8,0 133,5 7,9 -0,1
Belanja Pegawai DN 36,7 2,5 39,8 2,4 -0,1Belanja Barang DN 8,7 0,6 11,7 0,7 0,1Dana Alokasi Umum 60,5 4,1 69,1 4,1 0,0Pengeluaran Rutin Lainnya3) 11,8 0,8 12,9 0,8 0,0
II. Pembentukan Modal Domestik Bruto 64,0 4,4 77,7 4,6 0,2
Pembiayaan Dalam Rupiah 20,6 1,4 26,5 1,6 0,2Bantuan Proyek 22,5 1,5 25,8 1,5 0,0Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi Khusus 21,0 1,4 25,4 1,5 0,1
III. Jumlah I + II 181,8 12,4 211,3 12,5 0,2
Memo Items : Pembayaran Transfer 127,4 8,7 101,1 6,0 -2,7a. Bunga Utang Dalam Negeri 61,2 4,2 59,5 3,5 -0,6b. Subsidi 66,3 4,5 41,6 2,5 -2,0
1) APBN yang direvisi pada 15 Juni 20012) APBN yang disahkan pada 23 Oktober 20013) Termasuk dana otonomi khusus dan penyeimbangSumber : Departemen Keuangan (diolah)
Tabel 7.14
Dampak Operasi Keuangan Pemerintah terhadap sektor Riil
R i n c i a nAPBN 20011) APBN 20022) Perubahan
Triliun Rp % thd PDB Triliun Rp % thd PDB % thd PDB
Keuangan Pemerintah
137
b o k s
Masalah Utang Indonesia dan Opsi Penanganannya1
Masalah utang Indonesia dewasa ini cukup
pelik, berat, dan serius. Pelik dikarenakan masalah
utang itu bersumber baik dari utang domestik dan luar
negeri yang ditanggung Pemerintah, maupun utang
luar negeri yang harus ditanggung oleh sektor swasta
nasional. Berat dikarenakan beban utang tersebut
telah sedemikian menekan dan bahkan mengancam
kinerja neraca transaksi berjalan, neraca pemba-
yaran, dan keuangan pemerintah. Serius dikarenakan
hingga saat ini langkah-langkah penanganan utang
yang dilakukan dipandang belum mampu banyak
meringankan beban utang Indonesia.
Permasalahan utang harus membuat kita
bangun dan waspada. Utang yang ditanggung
Pemerintah dewasa ini hampir sama dengan jumlah
PDB, meningkat tajam dari hanya 25% PDB pada
1996. Sementara itu, utang luar negeri pemerintah
per Desember 2001 tercatat sebesar $71,4 miliar atau
49,1% dari PDB tahun 2001. Dengan utang luar negeri
swasta sebesar $59,8 miliar, utang luar negeri yang
ditanggung Indonesia secara keseluruhan telah
mencapai $131,2 miliar, atau 90,3% dari PDB tahun
2001.
Dengan tingkat utang sedemikian besar,
beban pembayaran pokok dan bunga utang (debt ser-
vice payments) yang ditanggung Pemerintah maupun
swasta nasional sebagai konsekuensinya membeng-
kak. Pada 2002 misalnya, Pemerintah harus
mencadangkan dana sekitar Rp136,4 triliun untuk
membayar cicilan pokok dan bunga pinjaman, di mana
sekitar Rp73,0 triliun dialokasikan untuk utang luar
negeri dan sekitar Rp63,4 triliun untuk utang dalam
negeri. Dibandingkan dengan proyeksi penerimaan
pemerintah tahun yang sama, beban kewajiban utang
pemerintah mencapai 45,2%. Sementara itu, beban
kewajiban utang luar negeri sektor swasta di 2002
diperkirakan mencapai $11,8 miliar. Dengan demikian,
debt service payments utang luar negeri pemerintah
dan swasta untuk 2002 akan mencapai $24,2 miliar.
Debt service ratio (DSR) untuk tahun 2001 dan 2002
masing-masing diperkirakan sekitar 39,4% dan 34,9%,
jauh lebih tinggi dari 20% sebagai tingkat DSR yang
dianggap aman oleh Bank Dunia.
Pengukuran solvabilitas dan sustainabilitas
keuangan pemerintah sehubungan dengan beban
utang dalam dan luar negeri pemerintah dapat dila-
kukan atas dasar sebuah pendekatan intertemporal
budget constraint yang dikembangkan oleh Dinh
(1999).2 Hasil analisis oleh Bank Indonesia dengan
menggunakan pendekatan tersebut menunjukkan
bahwa keuangan pemerintah untuk periode 2001-
2005 secara umum diperkirakan masih dalam kondisi
yang solvabel dan sustainabel.
2 Hinh T. Dinh, “Fiscal Solvency and Sustainability in Economic
Management”, Macroeconomics In Southern Africa Region, the
World Bank, 1999.
1 Disarikan dari “Utang Indonesia: Kondisi, Permasalahan dan Opsi
Penanganannya”, Paper Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan
Moneter dan Direktorat Luar Negeri, Bank Indonesia, Desember
2001.
Keuangan Pemerintah
137
Keuangan Pemerintah
138
Meski demikian, terdapat sejumlah faktor-
faktor penentu (critical factors) yang akan sangat
mempengaruhi tingkat solvabilitas dan sutainabilitas
keuangan pemerintah dalam periode tersebut. Faktor-
faktor tersebut terkait baik dengan faktor-faktor di
bidang fiskal maupun faktor-faktor makroekonomi.
Secara khusus, faktor-faktor penentu di bidang fiskal
akan sangat menentukan besar kecilnya keseimbang-
an primer3 dalam keuangan pemerintah, sementara
faktor-faktor penentu makroekonomi akan berpenga-
ruh pada tinggi rendahnya indeks (passing grade)
solvabilitas dan sustainabilitas fiskal. Lebih penting
lagi, selain berpengaruh terhadap besar kecilnya
keseimbangan primer, faktor-faktor penentu di bidang
fiskal sangat menentukan terjadi tidaknya kesulitan
likuiditas jangka pendek (short-term liquidity
problems) bagi keuangan pemerintah sehubungan
dengan pemenuhan kewajiban beban utang yang
sangat besar.
Faktor-faktor penentu fiskal dimaksud
berturut-turut antara lain adalah keberhasilan priva-
tisasi BUMN dan penjualan aset BPPN, keberhasilan
program rekapitalisasi perbankan, pemenuhan target
pengurangan subsidi, dan pelaksanaan otonomi
daerah. Sementara itu, faktor-faktor penentu makro-
ekonomi mencakup sejumlah perkembangan makro
jangka pendek-menengah kedepan adalah sebagai
berikut : (i) perekonomian internasional yang bela-
kangan ini juga memiliki faktor ketidakpastian yang
tinggi; (ii) kondisi sosial, politik, dan keamanan dalam
negeri yang sangat mempengaruhi kepercayaan kon-
sumen (consumer confidence) dan kondusivitas iklim
investasi; (iii) pulihnya fungsi intermediasi perbankan.
Hasil analisis solvabilitas terhadap keuangan
(non-interest current account) Indonesia mendukung
gambaran yang diperoleh sebelumnya dari hasil
proyeksi kembali neraca pembayaran pemerintah dan
swasta nasional tentang beratnya beban utang yang
ditanggung perekonomian Indonesia. Meski ke-
uangan Indonesia sebagai negara secara umum
diperkirakan masih dalam kondisi solvabel dalam
periode 2000-2004, kondisinya cukup mengkuatirkan.
Perkembangannya ke depan juga sangat bergantung
pada sejumlah faktor-faktor penentu. Faktor-faktor ini,
selain terkait dengan perkembangan variabel-variabel
makroekonomi seperti sebelumnya, secara langsung
sangat terkait dengan tingkat keberhasilan upaya kita
dalam penanganan (restrukturisasi) utang luar negeri
pemerintah dan swasta nasional dalam jangka
pendek-menengah ke depan.
Dari ulasan di atas, jelas terlihat bahwa per-
masalahan utang yang membelit Indonesia dewasa
ini paling tidak memaksa kita untuk merumuskan tiga
kelompok penanganan, yakni (i) penanganan yang
ditujukan secara langsung pada masalah short-term
liquidity problems yang kemungkinan dihadapi
pemerintah sebagai akibat tingginya beban utang
yang harus ditanggung; (ii) penanganan masalah
solvabilitas dan sustainabilitas neraca pembayaran,
keuangan pemerintah, dan keuangan Indonesia
dalam jangka pendek-menengah; serta (iii) penanga-
nan utang dalam jangka menengah-panjang, yang
terutama terkait dengan stance dan arah kebijakan
pemerintah dalam menangani utang Indonesia.
Pertama, penanganan ancaman short-term
liquidity problems menuntut langkah-langkah yang
cepat namun sekaligus terencana. Di sisi domestik,
pemerintah pertama-tama dituntut mampu menjaga3 Surplus/defisit keseimbangan primer adalah surplus/defisit operasi
keuangan pemerintah diluar beban kewajiban bunga
Keuangan Pemerintah
138
Keuangan Pemerintah
139
kedisiplinan dalam pemenuhan target penerimaan
privatisasi dan penjualan aset BPPN, pengurangan
subsidi, dan pelaksanaan otonomi daerah. Selan-
jutnya, pemerintah secara khusus perlu mempercepat
penerbitan T-Bills ataupun surat utang lainnya, seperti
Medium Term Notes (MTN) dan Floating Rate Notes
(FRN), yang dapat dimanfaatkan untuk membiayai
kembali (refinancing) obligasi pemerintah yang mulai
jatuh tempo tahun 2002, melakukan roll-over obligasi
yang jatuh tempo (terutama yang suku bunga dan
persyaratannya ringan), serta menukarkan kredit yang
direstrukturisasi BPPN dengan obligasi.
Di sisi internasional, upaya rescheduling
melalui forum Paris Club menjadi pilihan pertama dan
sekaligus paling feasible. Melalui forum Paris Club,
Pemerintah telah dua kali berhasil menjadwal ulang
utang bilateral sekitar $10,9 miliar. Meskipun penun-
daan pembayaran pokok utang tersebut berhasil
menolong mengatasi kesulitan keuangan jangka
pendek, namun terms and conditions yang diperoleh
dalam kedua rescheduling Paris Club tersebut masih
belum optimal—terutama jika dibandingkan dengan
terms and conditions yang diterima oleh Pakistan.
Rescheduling Paris Club untuk Pakistan menyetujui
exit rescheduling sebesar $12,5 miliar. Skim ini
memungkinkan pembayaran pinjaman Official
Development Assistance (ODA) dijadwal ulang
sampai dengan 38 tahun (termasuk 15 tahun grace
period) dan pinjaman non-ODA dijadwal ulang selama
23 tahun (termasuk 8 tahun grace period). Begitu
istimewanya perlakuan yang diterima oleh Pakistan,
sehingga skim ini diberi julukan sebagai the Islamabad
Terms.
Membandingkan dengan hasil yang diperoleh
Pakistan tersebut, tampaknya masih banyak peluang
yang dapat dimanfaatkan Pemerintah Indonesia
dalam negosiasi Paris Club III nanti untuk memper-
oleh terms and conditions pinjaman yang lebih
menguntungkan. Untuk itu diperlukan persiapan yang
lebih matang, termasuk penetapan secara eksplisit
target terms and conditions yang ingin dicapai Peme-
rintah, lobby ataupun pendekatan yang lebih intensif
ke IMF dan World Bank, serta pendekatan politis ke
negara-negara donor yang dominan seperti Amerika
Serikat dan Jepang. Bila perlu, pemerintah dapat
menjajagi pemakaian tenaga lobbyist dan penasehat
hukum berkelas internasional, yang tidak hanya dapat
bertindak sebagai penghubung namun juga mampu
memperjuangkan kepentingan pemerintah dalam
negosiasi rescheduling Paris Club yang akan datang.
Kedua, salah satu elemen utama dalam
penanganan masalah solvabilitas dan sustainabilitas
dalam jangka pendek-menengah adalah pengura-
ngan level utang. Di sisi domestik, sejumlah opsi
berikut dapat menjadi pertimbangan: (i) melunasi
obligasi dengan memanfaatkan dana hasil privatisasi
dan penjualan aset BPPN; (ii) memelihara persentase
tertentu dari penerimaan pemerintah guna memberi
ruang yang lebih besar bagi pemerintah untuk mengu-
rangi pokok obligasi; (iii) menjadikan obligasi
pemerintah sebagai piranti moneter untuk Operasi
Pasar Terbuka (OPT), yang diharapkan secara tidak
langsung akan meningkatkan kepercayaan publik ter-
hadap obligasi pemerintah; (iv) mempercepat pem-
bentukan lembaga penjamin simpanan, yang bila ter-
wujud akan mengurangi kewajiban kontinjen pemerin-
tah sehubungan dengan Program Penjaminan.
Di sisi internasional, di tengah-tengah keti-
dakpopuleran opsi debt haircut dan debt default di
kalangan negara kreditur dan keterbatasan kemam-
Keuangan Pemerintah
139
Keuangan Pemerintah
140
puan keuangan Pemerintah untuk melakukan debt
buyback, opsi yang paling feasible untuk mengurangi
pokok utang luar negeri pemerintah—meski dengan
magnitude yang masih terbatas—adalah debt for
nature swap. Dewasa ini, Pemerintah Amerika Serikat
dan Jerman telah menyediakan fasilitas debt for
nature swap. Untuk merealisasikan tawaran ini diper-
lukan fleksibilitas keuangan pemerintah dan koor-
dinasi antar departemen yang terkait untuk menindak-
lanjuti proyek konservasi alam yang ditawarkan.
Fasilitas ini telah dimanfaatkan di sejumlah negara,
seperti Bolivia, Polandia ($3,6 miliar), Equador ($10
juta), dan Filipina ($29 juta).
Keberhasilan upaya konservasi alam Indone-
sia, selain bermanfaat bagi bangsa Indonesia sendiri,
juga merupakan kampanye positif bagi Indonesia di
dunia internasional. Di samping itu, jika program debt
for nature swap ini dinilai berhasil oleh negara kreditur,
program ini bukan tidak mungkin akan diikuti program-
program serupa di kemudian hari dengan jumlah yang
semakin besar. Dengan pertimbangan yang sama,
opsi debt for development swap juga perlu dieksplo-
rasi dengan segera guna membantu mengurangi level
utang luar negeri pemerintah.
Ketiga, penanganan utang Indonesia dalam
jangka menengah-panjang terutama terkait dengan
kejelasan stance dan arah kebijakan Pemerintah
dalam bidang ini. Mengingat masalah utang yang
dihadapi Indonesia bersifat pelik dan multi-dimen-
sional, stance dan arah kebijakan Pemerintah ini
harus bersifat komprehensif, tidak hanya terkait de-
ngan utang pemerintah, namun juga dengan utang
(luar negeri) swasta nasional.
Dalam kaitan itu perlu dibentuk suatu
lembaga tersendiri untuk menangani utang peme-
rintah dan atau utang (luar negeri) swasta secara
terpadu. Sebagaimana layaknya struktur manajemen
utang yang baik, lembaga ini memiliki fungsi front,
middle dan back office. Lembaga ini sekaligus
berfungsi sebagai inisiator, koordinator, dan penga-
was dalam proses restrukturisasi utang. Lembaga
ini juga perlu dilengkapi dengan kewenangan mene-
tapkan sanksi termasuk membawa debitur yang tidak
kooperatif ke pengadilan. Khusus untuk utang luar
negeri swasta, lembaga tersebut juga dapat
berfungsi sebagai lembaga hedging.
Untuk menunjang stance kebijakan tersebut
di atas, khususnya yang terkait dengan utang luar
negeri swasta, diperlukan suatu pengaturan untuk
menghindari terulang kembali kondisi di mana ekspo-
sur sektor swasta terhadap utang luar negeri sangat
berlebihan dan tidak terkendali. Peraturan tersebut
memuat rambu-rambu tentang ‘prudential borrowing
guidance’, baik yang bersifat kualitatif maupun
kuantitatif.
Terakhir, di samping berbagai tindakan yang
sifatnya kuratif, peran aktif pemerintah juga diperlu-
kan dalam menyiapkan perangkat hukum yang
komprehensif dan mengimplementasikannya di
lapangan secara kredibel dan sungguh-sungguh
dalam rangka turut mencegah berulangnya krisis
utang di kemudian hari.
Keuangan Pemerintah
140
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
142
b a b 8
PERBANKAN DAN
LEMBAGA KEUANGAN LAIN
Secara umum kinerja sektor perbankan menun-
jukkan perbaikan dalam tahun 2001 setelah
berakhirnya program rekapitalisasi perbankan pada
tahun 2000. Hal ini terutama ditunjukkan dengan
membaiknya struktur permodalan sektor perbankan,
menurunnya Non Performing Loans (NPLs), dan
meningkatnya Net Interest Margin (NIM). Sejalan
dengan membaiknya kinerja sektor perbankan, kinerja
lembaga keuangan lainnya seperti perusahaan
pembiayaan dan perum pegadaian juga mengalami
perbaikan. Meskipun perbankan mengalami per-
baikan kinerja, namun lembaga ini masih menghadapi
tantangan berupa fungsi intermediasi yang belum
sepenuhnya pulih dalam mendukung proses pe-
mulihan ekonomi. Sementara itu, fungsi intermediasi
pembiayaan keuangan di luar sektor perbankan
walaupun menunjukkan kenaikan, kontribusinya
terhadap perekonomian masih relatif kecil di-
bandingkan dengan total pembiayaan kredit per-
bankan.
Fungsi intermediasi perbankan yang belum
sepenuhnya pulih tercermin dari Loan to Deposit Ratio
(LDR) yang dimiliki perbankan nasional yang tidak
banyak mengalami perubahan dalam dua tahun
terakhir. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi
tersebut antara lain adalah masih berlangsungnya
upaya konsolidasi internal perbankan dan lambatnya
proses restrukturisasi kredit dan korporasi. Upaya
konsolidasi internal terkait dengan pencapaian
sasaran strategis program restrukturisasi perbankan
pada tahun 2001 yaitu pemenuhan Capital Adequacy
Ratio (CAR) minimum 8% dan target indikatif non
Performing Loans (NPLs) sebesar 5%. Sementara
itu, lambatnya restrukturisasi kredit dan korporasi
dipengaruhi oleh beberapa faktor seperti ketidak-
sesuaian terms and conditions antara debitur dan
kreditur, menurunnya nilai agunan kredit yang dikelola
oleh BPPN, meningkatnya country risk yang
menyebabkan biaya bunga lebih mahal serta meng-
hambat investor asing untuk mengambil alih utang
luar negeri perusahaan, volatilitas nilai tukar, serta
ketidakpastian dalam masalah hukum.
Menghadapi tantangan-tantangan tersebut di
atas, Bank Indonesia selain tetap melanjutkan
program restrukturisasi perbankan juga mendorong
bank-bank untuk lebih memfokuskan pemberian kredit
ke sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) maupun
Proyek Kredit Mikro (PKM) dengan tetap mem-
perhatikan prinsip-prinsip pemberian kredit yang
sehat. Kedua sektor ini memiliki peranan yang bersifat
langsung terhadap sektor riil dan masih memiliki
potensi yang sangat besar untuk dikembangkan guna
mendorong pemulihan perekonomian.
PERBANKAN
Dalam tahun laporan, kebijakan perbankan
nasional masih tetap diarahkan pada restrukturisasi
perbankan yang berkesinambungan yang mencakup
dua bagian besar, yaitu program penyehatan per-
bankan, dan pemantapan ketahanan sistem per-
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
143
bankan. Untuk menciptakan perbankan yang sehat
dalam menghadapi berbagai eksposur risiko yang
semakin kompleks, Bank Indonesia secara khusus
lebih menitikberatkan pada upaya pencapaian CAR
minimum 8% dan pencapaian target indikatif NPLs
5% pada akhir tahun 2001. Dalam rangka pemenuhan
modal minimum, kebijakan yang diambil antara lain
meminta bank-bank untuk menambah setoran modal,
menggabung bank melalui merger, dan mencari
strategic investor baru baik domestik maupun asing.
Namun demikian bagi bank-bank yang setelah di-
lakukan upaya tersebut masih tidak mampu meme-
nuhi ketentuan modal minimum diberikan alternatif
terakhir untuk mengikuti exit policy. Sampai dengan
akhir tahun 20011 jumlah bank yang telah memenuhi
ketentuan CAR minimum 8% berjumlah 138 (95%)
dari 145 bank.
Dalam hal pemenuhan target indikatif NPLs,
perbankan telah melakukan berbagai upaya antara
lain melakukan restrukturisasi kredit baik melalui per-
bankan sendiri maupun melalui fasilitasi Satuan
Tugas (Satgas) Kredit Bank Indonesia, melakukan
penghapusbukuan (write-off) atas portofolio NPLs,
dan meningkatkan penyaluran kredit baru. Sampai
akhir periode laporan, meskipun angka NPLs nasional
membaik namun posisinya baru mencapai 12,1% dan
masih jauh dari harapan yang telah ditargetkan.
Seiring dengan upaya tersebut, dalam hal
pemantapan ketahanan sistem perbankan, Bank
Indonesia juga tetap menyempurnakan pola
pengawasan bank yang mengacu pada 25 Basel Core
Principles for Effective Banking Supervision, yang
telah berlaku secara internasional. Selain itu, Bank
Indonesia tetap konsisten mendorong bank-bank
untuk meningkatkan mutu pengelolaan bank (Good
Governance) serta memperkuat infrastruktur per-
bankan dengan mendorong perluasan jaringan bank
syariah dan pemberdayaan Bank Perkreditan Rakyat
(BPR).
Berbagai kebijakan perbankan yang di-
tempuh telah memberikan hasil positif pada kinerja
perbankan dalam tahun laporan. Hal ini tercermin dari
peningkatan total aset, dana pihak ketiga, penyaluran
kredit baru, kualitas kredit, permodalan, serta pro-
fitabilitas perbankan. Seiring dengan terus berjalannya
proses restrukturisasi perbankan dan masih ber-
lakunya program penjaminan pemerintah yang ber-
hasil menjaga kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan, mobilisasi dana pihak ketiga dari masya-
rakat oleh perbankan mengalami peningkatan dan
pada gilirannya mendorong penyaluran kredit baru
perbankan kepada dunia usaha.
Perkembangan kinerja perbankan yang
membaik tersebut masih belum mampu meningkatkan
fungsi intermediasi secara keseluruhan. Hal ini
tercermin dari masih tingginya porsi obligasi peme-
rintah di dalam aset perbankan dan porsi bunga
obligasi pemerintah di dalam net interest margin bank.
Sementara itu, walaupun ekspansi kredit baru telah
menunjukkan peningkatan, namun pemanfaatannya
masih relatif rendah dibandingkan dengan komitmen
kredit yang telah disediakan oleh perbankan berkaitan
dengan masih tingginya faktor risiko yang dihadapi
dunia usaha.
Kebijakan Perbankan
Kebijakan perbankan pada tahun laporan
secara khusus ditujukan untuk mencapai dua sasaran1 Data sampai dengan November 2001
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
144
strategis yaitu pencapaian target CAR minimum 8%
dan target indikatif NPLs maksimum 5%. Selain itu
Bank Indonesia tetap melanjutkan kebijakan per-
bankan yang telah berjalan yaitu (i) program penye-
hatan lembaga perbankan melalui program penjami-
nan pemerintah bagi bank umum dan BPR, peman-
tauan program rekapitalisasi bank umum, dan melan-
jutkan restrukturisasi kredit perbankan; serta (ii) upaya
lebih meningkatkan ketahanan sistem perbankan,
melalui pengembangan infrastuktur perbankan,
peningkatan mutu pengelolaan perbankan (good
corporate governance), serta penyempurnaan
ketentuan perbankan dan pemantapan sistem penga-
wasan bank yang mengacu pada 25 Basel Core
Principles for Effective Banking Supervision.
Berdasarkan penilaian (assesment) terakhir yang
dilakukan International Monetary Fund (IMF) pada
bulan September 2000 dari 25 Core Principles (CP)
tersebut, Indonesia sudah mematuhi dan me-
laksanakan (fully compliant) 2 principles yaitu CP-1
mengenai Preconditions for Effective banking
Supervision yang mencakup Objectives, Independ-
ence and Resources, Legal Framework, Enforcement
Powers, dan Legal Protection; serta CP-2 mengenai
Permissible Activities of Banks. Sementara itu juga
terdapat 5 CP lainnya yang sudah mencapai Largely
Compliant.
Program Penyehatan Perbankan
Kebijakan penyehatan perbankan dalam
tahun 2001 diarahkan untuk melanjutkan program
penjaminan pemerintah dengan tetap melakukan
pengkajian pembentukan lembaga penjamin sim-
panan serta proses restrukturisasi kredit. Pelaksa-
naan kebijakan program penyehatan perbankan
secara khusus ditujukan untuk memenuhi kesepaka-
tan LoI dengan IMF, yaitu menitikberatkan pada target
pencapaian CAR minimum 8% dan pencapaian target
indikatif NPLs 5% yang harus dipenuhi oleh bank-
bank pada akhir tahun 2001. Hal ini bertujuan untuk
memperkuat permodalan bank-bank sehingga
mereka mampu menghadapi segala macam eksposur
risiko yang akan muncul dikemudian hari sekaligus
untuk memenuhi standar yang telah berlaku secara
internasional.
Program Penjaminan
Dalam rangka menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap sistem perbankan, pemerintah
tetap memberlakukan program penjaminan untuk
bank umum dan BPR. Sementara itu, kajian tentang
kemungkinan dihapuskannya program blanket
guarantee secara bertahap terus dilakukan agar
rencana pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) segera dapat direalisasikan.
Dalam pada itu, pelaksanaan program
penjaminan terkait dengan interbank debt exchange
offer masih dilaksanakan oleh Bank Indonesia.
Selama tahun laporan telah dilakukan pembayaran
pokok dan bunga atas interbank debt exchange offer
sebesar $902,3 juta yang merupakan bagian dari
penerbitan obligasi pemerintah dalam rangka program
penjaminan sebesar Rp53,8 triliun yang diterbitkan
pada tahun 1999.
Selain itu, sebagai kelanjutan pelaksanaan
penjaminan BPR, pada tahun laporan telah disele-
saikan penyusunan pedoman operasional tata cara
pelaksanaan jaminan pemerintah terhadap kewajiban
pembayaran BPR dalam bentuk Peraturan Bank
Indonesia (PBI) tentang penjaminan dan exit policy
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
145
portofolio perdagangan dan dalam portofolio yang
diagunkan masing-masing sebesar Rp61,2 triliun dan
Rp3,5 triliun, sedangkan obligasi dalam portofolio
investasi sebesar Rp370,6 triliun. Posisi obligasi
pemerintah yang diterbitkan dalam rangka program
rekapitalisasi bank-bank umum nasional pada tahun
laporan tercatat sebesar Rp435,3 triliun (Tabel 8.1).
Program Restrukturisasi Kredit
Upaya restrukturisasi kredit bermasalah yang
berada dalam portofolio bank tetap dilakukan baik
oleh bank sendiri maupun melalui Satuan Tugas
Restrukturisasi Kredit (Satgas) di Bank Indonesia.
Sementara itu, Badan Penyehatan Perbankan
Nasional (BPPN) juga tetap melakukan restrukturisasi
atas kredit bermasalah yang dialihkan dari bank-bank
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) dan bank-bank
peserta program rekapitalisasi. Sementara itu,
restrukturisasi terhadap utang luar negeri perusahaan
swasta non-bank masih dilakukan melalui Prakarsa
Jakarta.
Sampai dengan November 2001, kredit
bermasalah di luar BPPN yang sudah direstrukturisasi
baik oleh bank sendiri maupun yang dilakukan melalui
mediasi Satgas yang telah memasuki tahap imple-
mentasi tercatat sebesar Rp91,8 triliun dengan jumlah
debitur sebanyak 21.824 debitur. Sesuai dengan
Keputusan Gubernur Bank Indonesia No.1/15/
KEP.GBI/1999 tanggal 1 September 1999 masa kerja
Satgas Restrukturisasi Kredit (SRK) di Bank
Indonesia adalah 3 tahun sehingga pada tanggal 31
Desember 2001 masa kerja SRK Bank Indonesia
telah berakhir. Sementara itu, posisi kredit yang
dialihkan ke BPPN hingga akhir Desember 2001
sebesar Rp 310,7 triliun, dimana Rp19,9 triliun sudah
untuk BPR. Dalam PBI ini antara lain dijelaskan
bahwa program penjaminan BPR untuk sementara
waktu dilaksanakan oleh Bank Indonesia yang
bertindak untuk dan atas nama pemerintah sampai
dengan terbentuknya LPS BPR.
Program Rekapitalisasi Bank Umum
Dengan selesainya pelaksanaan program
rekapitalisasi pada tahun 2000, permodalan bank
diharapkan tidak lagi menjadi kendala utama bagi
penyehatan perbankan. Obligasi yang dimiliki oleh
perbankan dapat menjadi salah satu sumber
pendanaan bagi bank rekap baik dengan cara menjual
maupun mengagunkannya.
Guna mendukung pemulihan fungsi inter-
mediasi perbankan dan pengembangan pasar sekun-
der obligasi, Pemerintah dan Bank Indonesia telah
memperbolehkan seluruh (100%) obligasi rekap yang
dimiliki perbankan untuk diperdagangkan (lihat Bab
Moneter). Namun sampai akhir periode laporan, jum-
lah obligasi pemerintah yang diperdagangkan hanya
sebesar Rp64,7 triliun (14,9% dari total obligasi
rekapitalisasi) yang terdiri dari obligasi dalam
Tabel 8.1
Rincian Posisi Nominal Obligasi Pemerintah
Dalam Program Rekapitalisasi
(Per 31 Desember 2001)
Kelompok Bank Jumlah
Bank
Nominal Obligasi (Triliun Rp)
Fixed Rate Variable Rate Hedge Bond
Total
(Triliun Rp)
Perbankan 163,3 217,8 40,4 421,4
Bank Persero 4 123,2 112,2 28,5 263,9BTO 4 28,9 74,3 - 103,1Bank Rekap 7 4,0 12,5 11,9 28,4BPD 12 0,4 0,8 - 1,2Non Rekap - 6,7 18,0 - 24,8Sub-registry - 11,3 1,7 - 13,0
Departemen
Keuangan - 0,9 - - 0,9
TOTAL 175,5 219,5 40,4 435,3
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
146
memasuki tahap implementasi restrukturisasi dan
yang terbayar penuh Rp12,2 triliun. Sedangkan kredit
yang telah direstrukturisasi dan terbayar penuh
melalui mediasi Prakarsa Jakarta per Desember 2001
adalah sebesar $14,2 miliar.
Peningkatan Ketahanan Sistem Perbankan
Upaya peningkatan ketahanan sistem
perbankan melalui perbaikan infrastruktur, pening-
katan Good Corporate Governance dan penyempur-
naan peraturan perbankan serta pemantapan sistem
pengawasan bank terus dilakukan dan telah menun-
jukkan beberapa kemajuan. Sebagaimana tahun
sebelumnya, beberapa indikasi kemajuan masih
ditandai oleh : (i) perbaikan infrastruktur perbankan
yang tercermin dari pengembangan BPR dan per-
bankan syariah, pengkajian pembentukan Lembaga
Penjamin Simpanan baik untuk bank umum maupun
BPR sebagai pengganti program penjaminan
pemerintah; (ii) peningkatan mutu pengelolaan bank
(Good Governance) dengan tetap melaksanakan fit
and proper test, penetapan proses seleksi yang lebih
ketat terhadap calon pengurus baru di bidang per-
bankan, penunjukan direktur kepatuhan, dan penye-
rahan kasus hasil investigasi tindak pidana di bidang
perbankan kepada lembaga penegak hukum; serta
(iii) penyempurnaan berbagai ketentuan dan sistem
pengawasan bank yang berbasis risiko (risk based
supervison) yang berorientasi ke depan (forward
looking) yang mengacu standar Bank for International
Settlements (BIS).
Perbaikan Infrastruktur Perbankan
Langkah perbaikan infrastruktur perbankan
selama tahun laporan tetap diwujudkan dalam bentuk
upaya pengembangan BPR dan bank syariah serta
persiapan penggantian program blanket guarantee
dengan pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan
(LPS) guna mendukung infrastruktur sistem per-
bankan yang mantap dan menjaga kepercayaan
masyarakat terhadap perbankan.
Pengembangan BPR
Dalam periode laporan, kerjasama dengan
GTZ dalam proyek ProFI (Promotion of Small Finan-
cial Institution) serta dengan United States Agencies
for International Development (USAID) dan Institut
Bankir Indonesia (IBI), dalam bentuk penelitian dan
seminar tetap dilakukan untuk lebih memberdayakan
serta meningkatkan pengawasan BPR.
Hal-hal lain yang dilakukan untuk pengem-
bangan BPR adalah pembuatan program database
BPR yang telah melalui suatu pengujian berupa
system test oleh Direktorat Teknologi Informasi (DTI)
Bank Indonesia dan user acceptance test oleh Tim
Pengembangan Database Bank Indonesia. Program
ini telah disosialisasikan dan diimplementasikan di
lingkungan Kantor Pusat Bank Indonesia. Program
database ini memuat mengenai data pokok, tingkat
kesehatan, laporan bulanan, dan statistik BPR se
Indonesia yang sangat diperlukan dalam fungsi
pengawasan BPR.
Disamping itu, telah disusun konsep keten-
tuan penilaian fit and proper khusus untuk pemilik dan
pengurus BPR. Ketentuan ini diharapkan dapat
memberikan landasan penilaian terhadap orang-
orang yang mampu dan pantas dalam pengelolaan
BPR. Sebagai kelanjutan dari program restrukturisasi
BPR tahun sebelumnya, pada bulan Desember 2001
telah dibekukan 15 BPR.
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
147
Pengembangan Bank Syariah
Dalam rangka pengembangan perbankan
syariah yang sebelumnya hanya ditangani dalam
suatu Tim Kerja, sejak akhir Mei 2001 Bank Indonesia
secara kelembagaan telah membentuk Biro Per-
bankan Syariah. Peningkatan status tersebut men-
cerminkan komitmen Bank Indonesia untuk mem-
berikan alternatif bagi masyarakat dalam memilih
sistim perbankan yang sesuai, baik dengan sistem
konvensional maupun dengan sistem syariah. Ke-
bijakan Bank Indonesia dalam mendorong pengem-
bangan perbankan syariah tetap berlandaskan pada
strategi pengembangan jaringan kantor bank syariah,
penyempurnaan ketentuan perbankan syariah,
sosialisasi dan penelitian, serta pengembangan SDM
perbankan syariah.
Pengembangan jaringan kantor bank syariah
terutama ditujukan untuk meningkatkan pelayanaan
jasa perbankan syariah khususnya di wilayah-wilayah
potensial dimana belum terdapat kantor bank syariah,
sementara berdasarkan penelitian, masyarakat
menginginkan kehadiran kantor bank syariah.
Penyempurnaan ketentuan perbankan
syariah mencakup penyusunan kajian awal cetak biru
pengembangan perbankan syariah yang diharapkan
akan menjadi acuan dalam program pengembangan
perbankan syariah. Penyelesaian Pernyataan Stan-
dar Akuntansi Perbankan Syariah (PSAKS) dan
pedoman teknis dalam bentuk Pedoman Akuntansi
Perbankan Syariah Indonesia (PAPSI) telah mema-
suki tahap finalisasi. Dewan Syariah Nasional telah
memberikan persetujuan terhadap draft PSAKS
tersebut sehingga tinggal menunggu pengesahan dari
Dewan Standar Akuntansi Indonesia. Sementara itu,
survei dan simulasi implementasi konsep awal CAR
dan Kualitas Aktiva Produktif (KAP) bagi bank syariah
telah selesai dilaksanakan dan masih terus dilakukan
penyempurnaan.
Program sosialisasi dalam rangka pening-
katan pemahaman masyarakat terhadap perbankan
syariah terus dilaksanakan secara intensif di berbagai
daerah melalui kerjasama dengan Majelis Ulama dan
perguruan tinggi setempat. Disamping itu, Bank
Indonesia telah melakukan penelitian yang terkait
dengan produk, jasa dan pengaturan perbankan
syariah dalam bentuk kajian tentang : (i) pengem-
bangan instrumen waqaf tunai; (ii) kinerja BPR syariah
di wilayah Jabotabek; (iii) penempatan aktiva produktif
bank umum syariah; (iv) reserve requirement bagi
bank syariah, dan (v) fasilitas pembiayaan jangka
pendek (FPJP) bagi bank umum syariah.
Dalam rangka pengembangan SDM, telah
dilakukan program seminar dan pelatihan yang
bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan dan
wawasan dalam berbagai bidang yang terkait dengan
perbankan syariah. Sebagai bentuk bantuan teknis
bagi perbankan serta dalam rangka pembinaan dan
pengembangan kompetensi dan profesionalisme
pengurus BPR syariah, Bank Indonesia pada tahun
laporan telah melaksanakan pelatihan Up-Grading
bagi direksi dan senior officer BPR syariah seluruh
Indonesia.
Lembaga Penjamin Simpanan
Dalam tahun laporan, tim Kerja Persiapan
Pendirian LPS telah merampungkan konsep akhir ran-
cangan Keputusan Menteri Keuangan (KMK) yang
memuat tahapan pengurangan cakupan penjaminan
(phasing-out) dalam Program Penjaminan Peme-
rintah sebagaimana diatur dalam KMK No. 179/
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
148
KMK.017/2000. Dalam waktu dekat, rancangan KMK
tersebut akan disampaikan kepada Tim Pengarah
yang selanjutnya akan dipresentasikan kepada
Gubernur Bank Indonesia, Menteri Keuangan dan
pimpinan instansi terkait lainnya sebelum secara
formal ditetapkan berlaku.
Bersamaan dengan itu, proses penyusunan
RUU LPS juga masih berlangsung intensif dengan
beberapa muatan bahasan yang dipandang relatif
baru. Muatan bahasan dimaksud diantaranya adalah
usulan menghapus terminologi Bank Dalam
Penyehatan (BDP) karena pola penyelesaian bank
bermasalah (exit policy) yang akan dilakukan akan
sama sekali berbeda dengan yang berlaku saat ini.
Sementara itu, proses sosialisasi kepada
publik perihal rencana pendirian LPS dipandang
masih relevan untuk dilanjutkan sebagai upaya
mendapatkan masukan yang lebih komprehensif atas
rencana pendirian LPS di Indonesia. Kelanjutan
sosialisasi LPS ini direncanakan akan berlangsung
di kota-kota besar yang dipandang memiliki kegiatan
ekonomi yang cukup signifikan.
Sementara itu untuk BPR telah disusun
konsep pendirian LPS BPR yang selanjutnya akan
dilakukan pembahasan dengan tim LPS Departemen
Keuangan guna membahas mengenai kemungkinan
penggabungan LPS Bank Umum dengan BPR.
Penyempurnaan Ketentuan dan Pemantapan Pengawasan
Bank
Dengan semakin berkembangnya produk dan
permasalahan perbankan, Bank Indonesia terus
melakukan penyempurnaan ketentuan perbankan
serta pemantapan fungsi pengawasan bank. Dalam
kaitan tersebut, pada tahun laporan Bank Indonesia
Tabel 8.2
Hasil Penilaian IMF Terhadap Pemenuhan 25
Basel Core Principles
Degree of Compliance
(Tingkat Kepatuhan)Principles Remarks
(Penjelasan)
1. Compliant (2 CPs) • CP. 1 (1) Objectives• CP. 1 (2) Independence and
Resources• CP. 1 (3) Legal Framework• CP. 1 (4) Enforcement Powers• CP. 1 (5) Legal Protection• CP. 2 Permissible Activities
2. Largely Compliant, and• Efforts to achieve fully • CP. 21 Accounting
compliance underway • CP. 22 Remedial Measures(2 CPs);
• Efforts to achieve fully • CP. 1 (6) Information Sharingcompliance not underway • CP. 5 Investment Criteria(4 Cps) • CP. 24 Host Country Supervision
• CP. 25 Supervision of ForeignEstablishment
telah menyempurnakan beberapa ketentuan per-
bankan dan lebih memantapkan sistem pengawasan
bank. Penyempurnaan ketentuan perbankan antara
lain mencakup ketentuan mengenai proyek kredit
mikro (PKM), kredit usaha kecil (KUK), pembatasan
transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta asing
oleh bank, peningkatan persentase portofolio obligasi
pemerintah yang dapat diperdagangkan oleh bank
umum peserta program rekapitalisasi perbankan,
penjaminan atas simpanan pihak ketiga dan pasar
uang antar bank (PUAB), penerapan prinsip mengenal
nasabah (Know Your Customer Principles), persya-
ratan dan tata cara pelaksanaan jaminan pemerintah
terhadap kewajiban pembayaran BPR, penetapan
status BPR dalam pengawasan khusus dan pem-
bekuan kegiatan usaha, laporan berkala bank umum,
kewajiban penyediaan modal minimum, transparansi
kondisi keuangan bank, serta penetapan status bank
dan penyerahan bank kepada BPPN (exit policy).
Sementara itu, pemantapan sistem pengawasan bank
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
149
dilakukan dengan perubahan paradigma pengawasan
menjadi berorientasi ke depan (forward looking),
dengan berdasarkan pada pengawasan berbasis
risiko (risk based supervision). Dalam kaitan tersebut,
telah disusun Master Plan Peningkatan Efektivitas
Pengawasan Bank yang mengacu pada standar
internasional dengan 25 Basel Core Principles for
Effective Banking Supervision. Berdasarkan penilaian
IMF, Bank Indonesia telah fully compliant (mematuhi
dan melaksanakan) 2 principles yaitu CP-1 mengenai
Preconditions for Effective banking Supervision yang
mencakup Objectives, Independence and Resources,
Legal Framework, Enforcement Powers, dan Legal
Protection; serta CP-2 mengenai Permissible Activities
of Banks. Sementara itu juga terdapat 5 CP lainnya
yang sudah mencapai Largely Compliant, seba-
gaimana Tabel 8.2.
Penyempurnaan Ketentuan Perbankan
Selama tahun laporan Bank Indonesia telah
mengeluarkan beberapa ketentuan yang ruang
lingkupnya meliputi: (i) sistem pengawasan; (ii) prinsip
kehati-hatian (prudential banking); (iii) likuiditas
perbankan; serta, (iv) penjaminan pemerintah.
(i) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup sistem
pengawasan mencakup laporan berkala bank
umum,2 kewajiban penyediaan modal minimum
bank umum (CAR),3 transparansi kondisi
keuangan bank4 dan exit policy.5 Ketentuan lapo-
ran berkala bank umum mewajibkan bank umum
untuk memberikan informasi yang akurat, tepat
waktu dan effisien dalam rangka kebijakan mone-
ter. Hal-hal yang diatur antara lain jenis laporan
yang disampaikan; periode dan prosedur untuk
penyampaian dan koreksi laporan; serta, sanksi
atas pelanggaran ketentuan tersebut. Ketentuan
CAR mempersyaratkan bank-bank menyediakan
CAR minimum 8% dalam rangka memperkuat
struktur permodalan bank sesuai dengan standar
internasional sehingga mampu bersaing secara
nasional maupun internasional. Ketentuan trans-
paransi kondisi keuangan bank merupakan salah
satu upaya untuk meningkatkan transparansi
kondisi keuangan dan kinerja bank dalam rangka
menciptakan disiplin pasar (market discipline).
Sedangkan ketentuan exit policy merupakan
tindak lanjut dari ketentuan CAR minimum 8%
serta untuk meningkatkan fungsi pengawasan
bank.
(ii) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup prinsip
kehati-hatian mencakup proyek kredit mikro,6
pemberian kredit usaha kecil,7 pembatasan
transaksi rupiah dan pemberian kredit valuta
asing oleh bank,8 dan penerapan prinsip
mengenal nasabah (Know Your Customer
Principles) .9 Ketentuan pemberian kredit usaha
2 Peraturan Bank Indonesia No.3/17/PBI/2001 tanggal 4 Oktober 2001
tentang Laporan Berkala Bank Umum.
3 Peraturan Bank Indonesia No.3/21/PBI/2001 tanggal 13 Desember
2001 tentang Kewajiban Penyediaan Modal Minimum Bank Umum.
4 Peraturan Bank Indonesia No.3/22/PBI/2001 tanggal 13 Desember
2001 tentang Transparansi Kondisi Keuangan Bank.
5 Peraturan Bank Indonesia No.3/25/PBI/2001 tanggal 24 Desember
2001 tentang Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank kepada
BPPN.
6 Peraturan Bank Indonesia No.3/1/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001
tentang Proyek Kredit Mikro sebagaimana telah diubah dengan PBI
No.8/1/2001 tanggal 25 April 2001 dan PBI No.3/16/2001 tanggal 3
Oktober 2001.
7 Peraturan Bank Indonesia No.3/2/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001
tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil.
8 Peraturan Bank Indonesia No.3/3/PBI/2001 tanggal 12 Januari 2001
tentang Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta
Asing oleh Bank.
9 Peraturan Bank Indonesia No.3/23/PBI/2001 tanggal 13 Desember
2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer Principles).
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
150
kecil pada intinya meningkatkan jumlah plafon
kredit keseluruhan maksimum kepada nasabah
kecil untuk membiayai usaha yang produktif dari
Rp350 juta menjadi Rp500 juta. Ketentuan
pembatasan transaksi rupiah dan pemberian
kredit valuta asing oleh bank merupakan salah
satu cara untuk membatasi aliran dana rupiah ke
luar negeri yang dapat digunakan untuk tujuan
spekulasi disamping mendorong transaksi
antarbank domestik. Sedangkan ketentuan Know
Your Customer Principles merupakan salah satu
upaya penerapan prinsip kehati-hatian terutama
berkaitan dengan manajemen risiko operasional
dan reputasional bank serta untuk mencegah
industri perbankan digunakan sebagai sarana
atau sasaran kejahatan baik yang dilakukan
secara langsung maupun tidak langsung oleh
pelaku kejahatan.
(iii) Ketentuan yang dikeluarkan dalam lingkup
likuiditas bank mencakup peningkatan per-
sentase portofolio obligasi pemerintah yang dapat
diperdagangkan oleh bank umum peserta pro-
gram rekapitalisasi perbankan.10 Ketentuan ini
merupakan perubahan dari SE No.3/6/DPM
dimana persentase perdagangan ditingkatkan
dari 35% menjadi 100% yang antara lain bertu-
juan untuk mengantisipasi penggunaan obligasi
pemerintah sebagai agunan dalam transaksi
PUAB maupun fasilitas likuiditas intrahari dan me-
ningkatkan fleksibilitas pasar dalam perdagangan
obligasi pemerintah di pasar sekunder.
(iv) Dalam kaitan dengan penjaminan pemerintah,
ketentuan yang dikeluarkan mencakup jaminan
pembiayaan perdagangan internasional,11
penjaminan atas simpanan pihak ketiga dan
PUAB,12 petunjuk pelaksanaan pemberian
jaminan pemerintah terhadap kewajiban
pembayaran bank umum,13 persyaratan dan tata
cara pelaksanaan jaminan pemerintah terhadap
kewajiban BPR,14 dan jaminan pinjaman luar
negeri antar bank.15 Ketentuan penjaminan atas
simpanan pihak ketiga dan PUAB antara lain
menetapkan perubahan periode pengumuman
suku bunga maksimum penjaminan yang
sebelumnya mingguan menjadi bulanan. Hal ini
dilakukan dalam rangka mengurangi pengaruh
penetapan maksimum suku bunga yang dijamin
pemerintah terhadap kebijakan moneter. Sedang-
kan ketentuan petunjuk pelaksanaan pemberian
jaminan pemerintah terhadap kewajiban pemba-
yaran bank umum diterbitkan dalam rangka
pengalihan tugas pelaksanaan program pen-
jaminan pemerintah yang semula pelaksanaannya
dibantu oleh Bank Indonesia, saat ini menjadi
sepenuhnya dilaksanakan oleh BPPN.
10 Surat Edaran Bank Indonesia No.3/18/DPM tanggal 31 Juli 2001
tentang Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah
yang dapat Diperdagangkan oleh Bank Umum Peserta Program
Rekapitalisasi Perbankan.
11 Peraturan Bank Indonesia No.3/20/PBI/2001 tanggal 29 November
2001 tentang Jaminan Pembiayaan Perdagangan Internasional.
12 Peraturan Bank Indonesia No.3/5/PBI/2001 tanggal 22 Maret 2001
tentang Penjaminan Atas Simpanan Pihak Ketiga dan Pasar Uang
Antar Bank.
13 Peraturan Bank Indonesia No.3/7/PBI/2001 tanggal 2 April 2001
tentang Pencabutan Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor
32/46/KEP/DIR tanggal 14 Mei 1999 sebagaimana tertuang dalam
Surat Keputusan Bersama antara Direksi Bank Indonesia dan Ketua
BPPN No.32/46/KEP/DIR dan No.181/BPPN/0599 tentang Petunjuk
Pelaksanaan Pemberian Jaminan Pemerintah Terhadap Kewajiban
Pembayaran Bank Umum.
14 Peraturan Bank Indonesia No.3/12/PBI/2001 tanggal 9 Juli 2001
tentang Persyaratan dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan
Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran BPR.
15 Peraturan Bank Indonesia No.3/14/PBI/2001 tanggal 20 September
2001 tentang Jaminan Pinjaman Luar Negeri Antar Bank.
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
151
dari ancaman penutupan karena CAR-nya di bawah
ketentuan Bank Indonesia. Untuk itu BPPN me-
ngajukan permohonan kepada Bank Indonesia agar
memberi status Bank Dalam Penyehatan (BDP)
kepada 4 bank BUSN peserta rekap tersebut dan saat
ini masih dalam proses. Sedangkan untuk 2 bank
BUSN kategori A telah memberikan komitmen untuk
menambah modal.
Sementara itu rencana pendirian lembaga
pengawas jasa keuangan, sebagaimana tertuang
dalam UU No.23/1999 tentang Bank Indonesia,
hingga periode laporan masih dalam proses pe-
rumusan konsep Rancangan Undang-undang lem-
baga pengawas jasa keuangan (Boks : Lembaga
Pengawas Jasa Keuangan).
Peningkatan Mutu Pengelolaan Perbankan (good corporate
governance)
Pelaksanaan fit and proper test terhadap
pemilik dan pengurus bank, wawancara bagi calon
pemilik dan pengurus bank (new entry), penunjukan
direktur kepatuhan, dan investigasi tindak pidana di
bidang perbankan terus dilakukan sebagai upaya
untuk meningkatkan mutu pengelolaan perbankan
dalam rangka memantapkan ketahanan sistem
perbankan.
(v) Dalam hal Pedoman Akuntansi Perbankan, Bank
Indonesia telah melakukan penyempurnaan
Pedoman Akuntansi Indonesia (PAPI) yang mulai
berlaku pada tanggal 13 Desember 2001. PAPI
merupakan penjabaran lebih lanjut Pernyataan
Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No. 31
(Revisi 2000) tentang Akuntansi Perbankan dan
beberapa standar akuntansi lain yang relevan
untuk industri perbankan. PAPI yang disempur-
nakan memiliki cakupan pengaturan yang lebih
komprehensif dalam hal dasar pengaturan,
perlakuan akuntansi, ilustrasi jurnal dan pengung-
kapan yang diwajibkan.
Pemantapan Sistem Pengawasan Bank
Berdasarkan perkembangan pelaksanaan
Master Plan Pengawasan Bank dalam rangka
pemenuhan Basel Core Principles dan dalam upaya
meningkatkan prinsip kehati-hatian (prudential
regulation), pada periode laporan telah diterbitkan
tiga ketentuan perbankan, yaitu Peraturan Bank
Indonesia tentang Transparansi Kondisi Keuangan
Bank, Kewajiban Penyediaan Modal Minimum, dan
Penetapan Status Bank dan Penyerahan Bank
kepada BPPN.
Sesuai ketentuan, bank-bank yang tidak
memenuhi CAR 4% dimasukkan dalam pengawasan
khusus (special surveillance). Pada periode laporan
jumlah bank yang ditempatkan dalam pengawasan
khusus sebanyak 6 bank yang terdiri dari 4 Bank
Umum Swasta Nasional (BUSN) peserta rekap dan
2 bank BUSN kategori A. BPPN merencanakan akan
melakukan merger terhadap 4 bank BUSN peserta
rekap dengan salah satu BTO. Merger tersebut
dilakukan untuk menyelamatkan bank-bank tersebut
Tabel 8.3
Hasil Pelaksanaan Peningkatan Mutu Pengelolaan
Perbankan Periode Juli 1999 - Desember 2001
Keterangan JumlahCalon
LulusDisetujui
LulusBersyarat
MasihDalamProses
TidakLulus/Tidak
Disetujui
Dibatalkan
Fit and Proper Test 1.149 593 399 - 157 -
Wawancara
- Calon Pemilik 8 8 - - - -
- Calon Pengurus 775 690 - - 85 -
Direktur Kepatuhan 248 189 - 7 34 18
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
152
Pelaksanaan Penilaian Fit and Proper
Dalam rangka menegakkan integritas pemilik
maupun integritas dan kompetensi Dewan Komisaris,
Direksi dan Pejabat Eksekutif Bank yang selama ini
telah aktif di bank (existing) dalam pengelolaan
kegiatan operasional bank dilakukan penilaian fit and
proper secara berkala atau sewaktu-waktu apabila
dianggap perlu. Sejak tahun 1999 sampai dengan
tahun laporan telah dilakukan penilaian fit and proper
terhadap 1.149 orang (pemilik dan pengurus bank).
Wawancara Terhadap Calon Pemilik dan Pengurus Bank
Agar bank hanya dimiliki oleh orang-orang
yang beritikad baik dan bertanggungjawab serta
dikelola secara profesional maka dilakukan wawan-
cara terhadap calon pengurus baru (new entry) ter-
masuk pimpinan kantor perwakilan bank dan calon
pemilik bank.
Jumlah calon pengurus yang diwawancara
dalam tahun laporan bertambah sebanyak 40 calon,
sehingga sejak Juli 1999 sampai dengan Desember
2001 sebanyak 166 bank telah mengajukan per-
mohonan 783 calon yang terdiri dari 8 calon pemilik
dan 775 calon pengurus untuk diwawancara.
Direktur Kepatuhan (Compliance Director)
Untuk menegakkan pelaksanaan prinsip ke-
hati-hatian dalam pengelolaan bank, sampai dengan
akhir tahun laporan sebanyak 162 bank telah
mengajukan sebanyak 248 orang calon Direktur
Kepatuhan.
Investigasi Tindak Pidana di Bidang Perbankan
Bank Indonesia melalui Unit Khusus
Investigasi Perbankan (UKIP) bersama Kepolisian
Republik Indonesia dan Kejaksaan Agung terus
melakukan pertemuan dan pembahasan kasus-kasus
tindak pidana yang terjadi pada beberapa bank
sebagai upaya untuk meningkatkan penanganan
tindak pidana yang terjadi di bidang perbankan. Jum-
lah kasus dugaan tindak pidana di bidang perbankan
yang diserahkan kepada penegak hukum oleh UKIP
dari Januari sampai dengan akhir tahun laporan
sebanyak 5 kasus pada 4 bank.
Disamping itu, UKIP telah melakukan
sosialisasi kepada masyarakat dan penegak hukum
mengenai upaya penanganan penyimpangan di
bidang perbankan.
Kelembagaan
Perkembangan Bank Umum
Hingga akhir tahun laporan, jumlah bank yang
masih beroperasi menjadi 145 bank, turun sebanyak
6 bank dari 151 bank pada tahun sebelumnya (Tabel
8.4). Hal ini sejalan dengan upaya penutupan ter-
hadap 1 (satu) bank umum swasta devisa dan 1 (satu)
bank campuran serta merger bank-bank campuran.
(Tabel 8.5)
Walaupun jumlah bank mengalami penu-
runan, jumlah kantor bank justru menunjukkan pe-
ningkatan dari 6.509 kantor menjadi 6.765 kantor.
Peningkatan tersebut terjadi pada semua kelompok
bank kecuali kelompok bank campuran. Peningkatan
tersebut seiring dengan upaya bank untuk mening-
katkan pelayanan dan ekspansi usaha.
Dari 145 bank yang ada, pemerintah mem-
punyai kepemilikan terhadap 42 bank (28,9%) yang
terdiri dari 5 bank BUMN, 4 Bank Take Over (BTO), 7
BUSN Rekap dan 26 Bank Pembangunan Daerah
(BPD)--terdiri dari 12 BPD Rekap dan 14 BPD Non
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
153
Rekap. Sedangkan sisanya sebanyak 69 bank
kategori A (47,6%) dimiliki oleh swasta nasional, 24
bank campuran (16,6%) dimiliki oleh swasta nasional
dan asing, dan sebanyak 10 bank asing (6,9%) dimiliki
oleh pihak asing.
Perkembangan BPR
Dalam tahun laporan, jumlah BPR yang
masih beroperasi berkurang sebanyak 61 BPR
karena adanya pencabutan izin usaha BPR pada
bulan 2001 sehingga menjadi 7.703 BPR. BPR yang
beroperasi dengan prinsip syariah tercatat sejumlah
81 BPR, bertambah 2 dibandingkan posisi tahun
sebelumnya. Dari sisi kegiatan usaha, BPR meng-
alami kemajuan yang signifikan dan tercermin pada
peningkatan total aset, penyaluran kredit dan
pendanaan (Tabel 8.6). Kondisi ini mendorong pe-
ningkatan laba tahun berjalan dari Rp116 miliar pada
tahun 2000 menjadi Rp200 miliar pada tahun lapo-
ran. Walaupun BPR belum dapat beroperasi seperti
halnya bank umum yang melakukan penetrasi pasar
pada segmen yang sama, namun perbaikan kinerja
BPR menunjukkan tingginya tingkat kepercayaan
masyarakat terhadap BPR dan prospek BPR yang
baik di masa datang.
Tabel 8.5
Daftar Bank Merger, Bank Beku Kegiatan Usaha
Tahun 2001
Bank Merger Bank Beku Kegiatan Usaha
Tgl 27 Maret 2001 menjadi
Bank Sumitomo Mitsui Indonesia Tgl 5 Februari 2001 :
1. Bank Sakura Swadarma 1. Bank Paribas - BBD Indonesia
3. Bank Sumitomo Indonesia
Tgl 29 Oktober 2001 :
Tgl 7 September 2001 menjadi
Bank UFJ Indonesia 1. Unibank
1. Sanwa Bank
2. Tokai Lippo Bank
Tgl 28 September 2001 menjadi
Bank Mizuho Indonesia
1. IBJ Indonesia
2. Daichi Kangyo Bank
3. Fuji Internasional Bank
Kelompok BankPosisi
1999 2000
Pertumbuhan%
I. Bank Umum
Jumlah Bank 164 151 145 -7,9 -4,0 100,00
Jumlah Kantor 2) 7.113 6.509 6.765 -8,5 3,9 100,00
Bank Persero
Jumlah Bank 5 5 5 0,0 0,0 3,45
Jumlah Kantor 1.853 1.736 1.807 -6,3 4,1 26,71
BPD
Jumlah Bank 27 26 26 -3,7 0,0 17,93
Jumlah Kantor 825 826 857 0,1 3,8 12,67
BUSN Devisa
Jumlah Bank 47 38 38 -19,1 0,0 26,21
Jumlah Kantor 3.798 3.302 3.432 -13,1 3,9 50,73
BUSN Nondevisa
Jumlah Bank 45 43 42 -4,4 -2,3 28,97
Jumlah Kantor 533 535 556 0,4 3,9 8,22
Bank Campuran
Jumlah Bank 30 29 24 -3,3 -17,2 16,55
Jumlah Kantor 57 57 53 0,0 -7,0 0,78
Bank Asing
Jumlah Bank 10 10 10 0,0 0,0 6,90
Jumlah Kantor 47 53 60 12,8 13,2 0,89
II.BPR 7.772 7.764 7.703 -0,10 -0,8 -
BKD 5.345 5.345 5.345 0 0,0 -
NonBKD 2.427 2.419 2.358 -0,33 -2,5 -
1) Pangsa terhadap seluruh bank umum
2) Tidak termasuk BRI Unit Desa
Tabel 8.4
Perkembangan Jumlah Bank dan Kantor bank
2001 2000 2001
Pangsa 1)
(%)
Tabel 8.6
Perkembangan Usaha BPR
Uraian 1999 2000 20011)
Miliar Rp
Volume Usaha 3.462 4.731 6.020
Dana Pihak Ketiga 2.038 3.082 3.906
Kredit 2.452 3.619 4.496
Modal Disetor 587 705 832
Laba (Rugi) Tahun Berjalan 7 116 200
1) Data September 2001
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
154
Perkembangan Bank Syariah
Jumlah kantor cabang bank umum yang ber-
operasi dengan prinsip syariah meningkat sebanyak
11 sehingga menjadi 130 kantor bank. Peningkatan
tersebut sejalan dengan kebijakan pengembangan
bank syariah. Secara rinci, jumlah kantor cabang
tersebut terdiri dari 37 kantor cabang Bank Muamalat
Indonesia dan Bank Syariah Mandiri, 12 Kantor
Cabang Syariah (KCS) dari 3 bank umum konven-
sional yaitu Bank IFI, Bank BNI dan Bank Jabar, serta
81 BPR syariah.
Pada periode laporan, total aset bank syariah
mengalami peningkatan dari Rp1,71 triliun (0,17% dari
total aset perbankan) menjadi Rp2,6 triliun (0,24%
dari total aset perbankan). Peningkatan juga terjadi
pada dana yang dihimpun maupun pembiayaan yang
disalurkan masing-masing sebesar Rp1,7 triliun dan
Rp1,9 triliun. Kondisi ini sejalan dengan peningkatan
jumlah kantor bank syariah dan sosialisasi yang
dilakukan untuk meningkatkan pemahaman masya-
rakat terhadap bank syariah.
Kegiatan Usaha Bank Umum
Berbagai langkah kebijakan yang telah di-
tempuh dalam rangka restrukturisasi perbankan yang
masih terus berlanjut telah mendorong perbaikan
kinerja perbankan. Secara agregat, seluruh indikator
kinerja perbankan dalam tahun 2001 menunjukkan
perbaikan yang tercermin dari peningkatan total aset,
penghimpunan dana, penyaluran kredit, kualitas
kredit, permodalan, dan profitabilitas bank (Tabel 8.7).
Meskipun kinerja perbankan mengalami
perbaikan, fungsi intermediasi perbankan masih
belum sepenuhnya pulih sebagaimana yang diharap-
kan. Dalam penempatan dananya, perbankan masih
melihat tingginya risiko dunia usaha dan cenderung
untuk memilih alternatif penanaman berjangka waktu
pendek dengan risiko rendah seperti SBI dan
penempatan antarbank. Selain itu, masih ber-
langsungnya proses konsolidasi internal perbankan
dalam rangka pemenuhan kebutuhan modal minimum
pada akhir tahun 2001 dan belum selesainya proses
restrukturisasi kredit dan korporasi juga ikut
mempengaruhi lambannya keputusan penyaluran
kredit. Fungsi intermediasi perbankan yang belum
sepenuhnya pulih juga tercermin pada rendahnya
realisasi kredit dari komitmen yang telah diberikan
dan masih relatif rendahnya Loan to Deposit Ratio
(LDR) perbankan nasional.
Total Aset
Total aset perbankan secara agregat
meningkat 6,7% dibanding tahun 2000 sehingga
menjadi Rp1.099,7 triliun. Peningkatan tersebut
sebagian besar berasal dari kredit dan surat-surat
berharga. Bila dilihat komposisinya, sebesar 38,3%
(Rp421,4 triliun) dari aset berupa obligasi pemerintah
yang dimiliki oleh bank-bank peserta rekap dan yang
telah dibeli bank non rekap. Sementara itu, porsi kredit
dan SBI masing-masing sebesar 32,6% dan 6,8%.
Tabel 8.7
Indikator Perbankan
1999 2000 2001
Triliun Rp
Total Asset 1.006,7 1.030,5 1.099,7
Kredit 277,3 320,4 358,6
Dana Pihak Ketiga 617,6 699,1 797,4
Modal -41,2 52,3r 62,3
NPL - gross (%) 32,8 18,8 12,1
NPL - net (%) 7,3 5,8 3,6
Laba (Rugi) Sebelum Pajak -91,7 10,5 13,1
Net Interest Margin -38,6 22,8 37,8
I n d i k a t o r
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
155
ningkatan kredit juga dilakukan dengan pembelian
kredit yang telah direstrukturisasi BPPN, namun
upaya tersebut masih belum menunjukkan hasil yang
memuaskan. Bila dilihat komposisi aktiva produktif,
obligasi pemerintah juga masih menempati porsi
terbesar (41,4%) dari total aktiva produktif sebesar
Rp1.018,1 triliun. (Grafik 8.1)
Dengan melihat komposisi aktiva produktif
perbankan selama 2 (dua) tahun terakhir yang tidak
banyak mengalami perubahan dan masih didominasi
oleh obligasi pemerintah, maka ketergantungan
pendapatan operasional dari pendapatan bunga
obligasi masih sangat tinggi. Kondisi ini menunjukkan
bahwa restrukturisasi perbankan yang telah dilakukan
dalam kenyataannya belum mampu meningkatkan
fungsi intermediasi perbankan secara keseluruhan.
Sementara itu dilihat dari sisi kepemilikan
aset per kelompok bank, bank BUMN memiliki pangsa
terbesar dari total aset perbankan yaitu sebesar
48,5% (Rp533,4 triliun) diikuti dengan kelompok bank
BTO sebesar 17,3% (Rp190,6 triliun) dan bank
kategori A sebesar 10,1% (Rp111,1 triliun)
Penghimpunan Dana
Dana pihak ketiga16 yang berhasil dihimpun
oleh perbankan dalam tahun 2001 mengalami pening-
katan sebesar 14,1% sehingga menjadi Rp797,4
triliun (Tabel 8.8). Peningkatan tersebut lebih besar
bila dibandingkan dengan peningkatan pada tahun
sebelumnya sebesar 13,2%. Peningkatan DPK
tersebut meliputi seluruh jenis simpanan baik dalam
rupiah maupun valuta asing, dengan peningkatan
Masih tingginya porsi obligasi pemerintah ditengarai
selain akibat belum likuidnya pasar sekunder obligasi
juga karena masih terbatasnya alternatif penempatan
dengan risiko rendah sehingga bank-bank masih
belum secara optimal menjual obligasinya untuk
mendapatkan dana segar. Sementara itu penyaluran
kredit juga relatif masih rendah walaupun terjadi
peningkatan baik secara nominal maupun pangsa
kredit bila dibandingkan tahun 2000. Upaya me-
16 Dana pihak ketiga perbankan berbeda dengan konsep yang ada di
bab moneter. Dalam konsep perbankan, dana pihak ketiga
mencakup pula dana milik bukan penduduk dan pemerintah.
Grafik 8.2
Pangsa Aset per Kelompok Bank
Grafik 8.1
Komposisi Aset Perbankan
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100Penyertaan
Antar Bank Aktiva
SSB dan tagihanlainnya
ObligasiPemerintah
SBI
Kredit YangDiberikan
33,7 33,1 35,2
8,8 6,17,3
34,3 44,4 41,4
19,213,4 14,7
1999 2000 2001
Persen
Bank BUMN48,5%
BUSN Rekap7,5%
BTO17,3
Bank Kategori A10,1%
BPD4,3%
Bank Campuran3.9%
Bank Asing8,4%
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
156
terbesar terjadi pada komponen deposito khususnya
deposito rupiah. Faktor utama penyebab mening-
katnya dana pihak ketiga antara lain adalah
peningkatan suku bunga yang ditawarkan bank-bank
(khususnya suku bunga deposito yang mendekati
suku bunga penjaminan), disamping karena masih
terjaganya kepercayaan masyarakat seiring dengan
dilanjutkannya program penjaminan pemerintah dan
proses restrukturisasi perbankan. Dana pihak ketiga
dalam rupiah meningkat 15,0% sementara dana pihak
ketiga dalam valuta asing meningkat 10,5%, namun
apabila pengaruh nilai tukar diabaikan dana pihak
ketiga dalam valuta asing tersebut hanya meningkat
sebesar 2%, yang masih terkait dengan berfluk-
tuasinya nilai tukar rupiah. Dengan demikian pening-
katan DPK secara riil (di luar fluktuasi kurs) sebesar
12,3%.
Dilihat dari komposisinya, deposito masih
mendominasi dana pihak ketiga dengan pangsa
sebesar 55,2%, sementara giro dan tabungan
masing-masing memiliki pangsa sebesar 23,3% dan
Tabel 8.8
Perkembangan Dana Pihak Ketiga
Posisi Pertumbuhan Pangsa(triliun rupiah) (%) (%)
1999 2000 2001 2000 2001 2000 2001
Giro 111,8 161,5 186,2 44,4 15,3 23,1 23,3
- Rupiah 68,5 103,6 120,0 51,3 15,8 64,2 64,5
- Valas 43,4 57,9 66,2 33,4 14,3 35,8 35,5
Deposito 382,8 384,7 439,9 0,5 14,4 55,0 55,2
- Rupiah 301,4 296,7 344,9 -1,6 16,2 77,1 78,4
- Valas 81,4 88,0 95,1 8,1 8,0 22,9 21,6
Tabungan 123,0 152,9 171,3 24,4 12,0 21,9 21,5
Total 617,6 699,1 797,4 13,2 14,1 100,0 100,0
- Rupiah 492,9 553,2 636,2 12,2 15,0 79,1 79,8
- Valas 124,8 145,9 161,2 16,9 10,5 20,9 20,2
21,5%. Bila pada tahun 2000 giro dan tabungan
mengalami pertumbuhan masing-masing sebesar
44,4% dan 24,4%, maka pada tahun laporan giro
dan tabungan hanya meningkat sebesar 15,3% dan
12%. Sedangkan deposito meningkat sebesar 14,4%
dan lebih besar dibandingkan tahun lalu yang hanya
meningkat sebesar 0,5%. Peningkatan deposito ini
sebagian besar berasal dari deposito rupiah (16,2%).
Peningkatan deposito menunjukkan perubahan minat
masyarakat dari penanaman jangka pendek ke dalam
penanaman jangka panjang, berlawanan dengan
kondisi pada tahun 2000 dimana masyarakat lebih
memilih menanamkan dananya dalam jangka pendek.
Tingginya minat masyarakat untuk menanamkan
dananya pada deposito dipicu oleh tingginya suku
bunga deposito yang ditawarkan oleh beberapa bank
(mendekati suku bunga penjaminan).
Kredit Perbankan
Pada akhir tahun 2001, posisi kredit per-
bankan meningkat sebesar 11,9% sehingga menjadi
Rp358,6 triliun (Tabel 8.9). Peningkatan tersebut
berasal dari kredit rupiah sebesar Rp50,6 triliun
(28,4%), sedangkan kredit dalam valuta asing meng-
alami penurunan sebesar Rp12,3 triliun (8,7%). Apa-
bila pengaruh nilai tukar diabaikan, kredit dalam valuta
asing turun sebesar 15,7%, sehingga secara riil (diluar
fluktuasi kurs) posisi kredit dalam tahun laporan
meningkat sebesar 8,8%.
Peningkatan kredit rupiah antara lain di-
sebabkan adanya penyaluran kredit baru dan pen-
jualan kembali kredit yang telah direstrukturisasi oleh
BPPN ke sektor perbankan, sedangkan penurunan
kredit valuta asing disebabkan karena adanya
pelunasan, penghapusbukuan dan penjualan kredit.
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
157
Selama tahun laporan, kredit baru yang telah
disalurkan oleh perbankan sebesar Rp56,8 triliun17
atau rata-rata Rp4,7 triliun per bulan. Kredit baru yang
disalurkan tersebut terutama disalurkan ke sektor
perindustrian, perdagangan dan jasa dunia usaha,
dan sebagian besar kredit tersebut didistribusikan
oleh kelompok bank BUMN, BTO dan bank kategori
A. Sementara itu, jumlah kredit yang telah direstruk-
turisasi, baik oleh bank sendiri maupun melalui
fasilitasi Satgas sampai dengan bulan November
2001 tercatat sebesar Rp91,8 triliun meningkat
dibanding tahun 2000 yang besarnya Rp59,9 triliun.
Sementara itu berdasarkan Laporan Bulanan BPPN
bulan Desember 2001, dari Rp310,7 triliun kredit
perbankan yang telah dialihkan ke BPPN, tercatat
sejumlah Rp58,2 triliun telah memasuki tahap
penandatangan Memorandum of Understanding
(MoU), Rp19,9 triliun telah memasuki tahap imple-
mentasi restrukturisasi kredit dan Rp12,2 triliun sudah
terbayar penuh. Selama tahun 2001 tidak terdapat
pengalihan kredit bermasalah ke BPPN.
Walaupun kredit meningkat, Loan to Deposit
Ratio (LDR) perbankan yang tercatat masih tidak
mengalami perubahan yang berarti dibandingkan
tahun sebelumnya yaitu sebesar 33%. Hal ini
mengindikasikan perbankan belum menjalankan
fungsi intermediasinya secara optimal. Secara
potensial LDR tersebut sebenarnya masih dapat
ditingkatkan apabila komitmen kredit yang telah
disediakan perbankan dapat ditarik secara maksimal
oleh nasabah. Sampai dengan periode laporan,
jumlah kredit yang belum ditarik (undisbursed loan)
mencapai Rp70,5 triliun dari plafon sebesar Rp127,3
triliun. Kondisi ini mencerminkan bahwa perbankan
sudah cukup ekspansif dalam penyaluran kredit,
namun dari sisi permintaan dalam kenyataannya
debitur belum mampu menyerap kredit yang telah
disediakan. Hal ini ditengarai akibat masih tingginya
risiko dunia usaha sehubungan dengan belum
kondusifnya kondisi makro ekonomi seperti belum
stabilnya nilai tukar dan masih tingginya suku bunga,
serta masih belum stabilnya kondisi politik-sosial-
keamanan. Namun demikian, disadari pula bahwa
belum optimalnya fungsi perbankan sebagai lembaga
intermediasi tersebut juga dipengaruhi oleh faktor
internal bank yang masih melakukan konsolidasi serta
berupaya memenuhi ketentuan prudensial per-17 Berdasarkan data Sistem Informasi Debitur (SID) yang didukung
hasil survei terhadap sejumlah bank
Tabel 8.9
Perkembangan Kredit Perbankan
Posisi Pertumbuhan Pangsa(Triliun rupiah) (%) (%)
1999 2000 2001 2000 2001 2001
Menurut Sektor
Ekonomi 277,3 320,4 358,6 15,5 11,9 100,0
Pertanian 26,1 19,9 21,3 -23,8 7,1 5,9Pertambangan 5,4 5,3 3,1 -1,9 -42,2 0,9Perindustrian 97,9 109,7 118,7 12,1 8,2 33,1Listrik 20,0 5,1 5,1 -74,5 -0,7 1,4Konstruksi 13,3 7,2 8,2 -45,9 14,3 2,3Perdagangan 45,2 46,0 49,3 1,8 7,2 13,7Pengangkutan 12,4 7,3 7,6 -41,1 4,1 2,1Jasa Dunia Usaha 26,4 26,4 27,7 - 5,1 7,7Jasa Sosial 3,3 2,9 3,6 -12,1 22,6 1,0Lain-lain 27,3 90,6 114,1 231,9 26,0 31,8
Menurut Kelompok
Bank 277,3 320,4 358,6 15,6 11,9 100,0
Bank BUMN 152,1 142,8 159,9 -6,1 11,9 44,6BUSN Devisa 56,5 79,4 97,6 40,5 22,9 27,2BUSN Non Devisa 5,0 10,6 10,3 112,0 -2,6 2,9BPD 13,6 11,5 17,1 -15,3 48,3 4,8Bank Campuran 22,5 29,3 29,2 30,0 -0,5 8,1Bank Asing 27,6 46,8 44,7 69,6 -4,5 12,5
Menurut Denominasi 277,3 320,4 358,6 15,5 11,9 100,0
Rupiah 159,1 178,0 228,6 11,9 28,4 63,7Valuta asing 118,2 142,4 130,1 20,5 -8,7 36,3
Jenis Kredit
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
158
bankan. Sementara itu, penyaluran kredit kepada
debitur-debitur besar (korporasi) dalam tahun laporan
tidak banyak mengalami kemajuan karena sebagian
besar debitur tersebut masih dalam proses restruk-
turisasi di BPPN. Berdasarkan hasil survei dalam
paper Credit Crunch18 diperoleh informasi bahwa
bank-bank juga masih enggan memberikan kredit ke
sektor korporasi mengingat masih adanya trauma dari
pengalaman masa lalu, sedangkan untuk mencetak
debitur-debitur baru yang besar memerlukan waktu
yang lama.
Kualitas Kredit Perbankan
Dalam periode laporan, kualitas kredit
perbankan menunjukkan perbaikan baik secara
nominal maupun rasio sejalan dengan kemajuan
proses restrukturisasi kredit. Secara nominal Non
Performing Loans (NPLs) turun dari Rp60,1 triliun
pada Desember 2000 menjadi Rp43,4 triliun pada
akhir tahun laporan. Sementara rasio NPLs tanpa
memperhitungkan Penyisihan Penghapusan Aktiva
Produktif (PPAP) yang dibentuk (Gross NPLs) turun
dari 18,8% pada posisi Desember 2000 menjadi
12,1% pada akhir tahun laporan (Grafik 8.3). Apabila
PPAP yang dibentuk diperhitungkan (Net NPLs) maka
nilainya menjadi sebesar 3,6% pada akhir tahun
laporan. Perbaikan tersebut antara lain dipengaruhi
oleh adanya ekspansi kredit baru yang menambah
jumlah kredit yang tergolong lancar, perbaikan kualitas
kredit yang tergolong kurang lancar, diragukan dan
macet, serta penghapusan kredit macet. Walaupun
terjadi perbaikan namun rasio gross NPLs tersebut
masih di atas target indikatif yang ditetapkan oleh
Bank Indonesia sebesar 5%. Masih tingginya rasio
NPLs tersebut berkaitan dengan prioritas bank untuk
lebih memfokuskan pada pencapaian CAR minimum
8% pada akhir tahun 2001. Walaupun tidak bersifat
wajib, pencapaian target rasio NPLs tersebut akan
membantu mempercepat proses pemulihan inter-
mediasi bank sehingga langkah-langkah percepatan
restrukturisasi kredit, peningkatan pemberian kredit
baru dan pengalihan kredit yang telah direstrukturisasi
dari BPPN ke perbankan tetap harus dilakukan.
Disamping itu Bank Indonesia telah melakukan pe-
nyesuaian dalam perlakuan kualitas kredit, Batas
Maksimum Pemberian Kredit (BMPK) dan PPAP
kredit yang direstrukturisasi sebagai upaya untuk
mendorong percepatan restrukturisasi kredit.
Pengembangan Usaha Kecil Dan Menengah
Dalam tahun laporan Bank Indonesia tetap
memberikan komitmen untuk mendorong pengem-
bangan usaha kecil dan menengah. Komitmen ter-
sebut diwujudkan dalam bentuk Bantuan Teknis
18 Agung, Kusmiarso, Pramono, Hutapea, Prasmuko, Prastowo
(2001). “Credit Crunch in Indonesia in The Aftermath of Crisis :
Facts, Causes and Policy Implications”. Bank Indonesia.
Grafik 8.3
Perkembangan NPLs
Persen
0
5
10
15
20
25
30
35
Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep. Des.
1999 20012000
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
159
Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro (PUKM), yang
lebih difokuskan pada kegiatan pelatihan, penelitian,
dan penyediaan informasi di sektor perbankan.
Dalam pelaksanaannya, kegiatan bantuan
teknis yang dilaksanakan oleh Bank Indonesia selama
tahun laporan, antara lain meliputi :
a. Di bidang pelatihan, Bank Indonesia telah melak-
sanakan kegiatan pelatihan kepada perbankan
yang meliputi training of facilitator untuk Bank
Perkreditan Rakyat (BPR) dan pelatihan usaha
kecil dan mikro untuk bank umum.
b. Di bidang penelitian, Bank Indonesia telah
melakukan penelitian mengenai komoditas skala
kecil yang potensial dibiayai oleh bank yang
mencakup 10 komoditas. Kesepuluh pola pem-
biayaan tersebut melengkapi 45 Model Kela-
yakan Proyek Kemitraan Terpadu dari berbagai
sektor baik pertanian, industri maupun jasa yang
telah diteliti dari tahun 1995 sampai dengan
1999.
c. Di bidang penyediaan informasi, Bank Indonesia
telah memasukkan hasil-hasil penelitian dimak-
sud ke dalam suatu Sistem Informasi Terpadu
Pengembangan Usaha Kecil (SI-PUK) yang
dapat diakses melalui internet/website Bank
Indonesia. Informasi tersebut terdiri dari Sistem
Informasi Baseline Economic Survey (SIB),
Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor
(SIABE), Sistem Informasi Pola Pembiayaan/
Lending Model Usaha Kecil (SI-LMUK), Sistem
Penunjang Keputusan Untuk Investasi (SPKUI)
dan Sistem Informasi Prosedur Memperoleh
Kredit (SI-PMK).
d. Dalam rangka mendorong perbankan agar
meningkatkan pembiayaannya khususnya
kepada usaha kecil dan menengah, Bank
Indonesia juga secara terus menerus melakukan
sosialisasi dalam bentuk seminar atau
lokakarya.
Sementara itu, kegiatan bantuan teknis lain
yang masih ditangani oleh Bank Indonesia adalah
Proyek Kredit Mikro (PKM) yang merupakan proyek
kerjasama antara Pemerintah Republik Indonesia
dengan Asian Development Bank (ADB). Dengan
berlakunya UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia
seharusnya mengalihkan pengelolaann PKM kepada
BUMN yang ditunjuk oleh Pemerintah. Namun,
dengan pertimbangan dana pinjaman ADB belum
ditarik seluruhnya, serta pelaksanaan PKM cukup
berhasil, dan kebutuhan masyarakat atas kredit PKM
masih tinggi, maka atas kesepakatan ADB, Pe-
merintah, dan Bank Indonesia, pelaksanaan PKM
tetap dilakukan oleh Bank Indonesia sampai dengan
berakhirnya jangka waktu penarikan pinjaman, yaitu
30 Juni 200119 yang kemudian diperpanjang sampai
dengan 31 Desember 2001.20
Saat ini PKM telah mencakup 15 Propinsi
yang melibatkan 24 Kantor Bank Indonesia (KBI) yang
tersebar diberbagai propinsi di Indonesia. Sementara
itu, jumlah maksimal kredit yang diberikan kepada
nasabah mikro juga telah mengalami beberapa kali
perubahan yang disesuaikan dengan kondisi
perekonomian nasional. Perubahan yang terakhir
menetapkan jumlah kredit PKM yang pertama kali
diberikan maksimal sebesar Rp2 juta per nasabah
19 Peraturan Bank Indonesia No. 3/1/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001
tentang Proyek Kredit Mikro
20 Peraturan Bank Indonesia No. 3/16/PBI/2001 tanggal 3 Oktober
2001 tentang Perubahan Kedua Atas Peraturan Bank Indonesia
No. 3/1/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001 tentang Proyek Kredit Mikro
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
160
dan untuk kredit selanjutnya maksimal Rp5 juta per
nasabah.21
Untuk periode laporan, besarnya kredit yang
telah disalurkan Bank Indonesia kepada usaha mikro
berjumlah Rp137,4 miliar, sehingga jumlah kredit
kepada usaha mikro yang telah direalisasikan
seluruhnya (sejak tahun 1996 s.d. Desember 2001)
berjumlah Rp417,1 miliar kepada 752.492 nasabah
mikro dengan melibatkan BPD, BPR, Lembaga Dana
dan Kredit Pedesaan (LDKP) dan Lembaga
Pengembangan Swadaya Masyarakat (LPSM).
Berdasarkan tingkat kolektibilitasnya, PKM dinilai
cukup berhasil karena memiliki kredit macet sebesar
1,2%.
Sementara itu, dalam hal kebijakan
perkreditan, Bank Indonesia telah menyempurnakan
ketentuan tentang KUK22 yang pada intinya tidak lagi
mewajibkan namun menganjurkan penyaluran KUK
dan merubah plafon KUK menjadi Rp500 juta per
nasabah. Realisasinya KUK pada tahun laporan
posisinya mengalami peningkatan sebesar 14,8%
dibandingkan tahun sebelumnya sehingga menjadi
Rp65 triliun (Tabel 8.10). Dengan perkembangan
tersebut, sampai dengan akhir tahun 2001 rasio
penyaluran KUK terhadap total kredit perbankan
menjadi 18,5%.
Selain melalui kebijakan perkreditan, sebagai
upaya penyediaan pembiayaan bagi usaha kecil dan
menengah, Bank Indonesia masih tetap menjaga
keseimbangan pembiayaan atau pendanaan kredit
program. Hal ini diwujudkan dalam bentuk pemberian
kesempatan kepada BUMN Koordinator untuk
menyalurkan kembali angsuran Kredit Likuiditas Bank
Indonesia (KLBI) sampai dengan KLBI tersebut jatuh
tempo. Jumlah angsuran KLBI yang dikelola oleh
BUMN Koordinator sampai dengan akhir tahun
laporan sebesar Rp1,45 triliun atau meningkat sekitar
44% dibandingkan posisi 31 Desember 2000 yang
hanya Rp1,0 triliun. Dari dana hasil angsuran tersebut,
telah disalurkan kembali sebesar Rp1,3 triliun atau
meningkat sekitar 186% dibandingkan Rp453,5 miliar
pada tahun sebelumnya. Penyaluran dana yang
disalurkan kembali tersebut sebagian besar dilakukan
oleh PT Permodalan Nasional Madani (PNM) dan
Bank Tabungan Negara (BTN).
Dengan melihat masih rendahnya penyaluran
kembali dana hasil angsuran KLBI oleh BUMN
Koordinator khususnya pada tahun 2000, maka pada
tahun 2001 Bank Indonesia memandang perlu untuk
mengadakan evaluasi terhadap pelaksanaan
pengelolaan KLBI oleh BUMN Koordinator. Dari hasil
evaluasi tersebut secara umum dapat disimpulkan
bahwa pengelolaan KLBI oleh 3 BUMN Koordinator,
khususnya dalam hal penyaluran kembali dana hasil
angsuran KLBI belum dilaksanakan secara optimal.
Hal ini disebabkan oleh berbagai permasalahan dan
kendala yang dihadapi oleh masing-masing BUMN
Koordinator tersebut, antara lain disebabkan karena
angsuran KLBI yang dikelola berjangka waktu lebih
pendek dari pada jangka waktu kredit yang akan di-
relending, sehingga dikhawatirkan terjadi mismatch
pendanaan. Disamping itu masih sangat terbatasnya
jaringan kantor dan permodalan PNM juga menjadi
menjadi kendala rendahnya penyaluran kembali dana
hasil angsuran KLBI tersebut.
21 Peraturan Bank Indonesia No. 3/8/PBI/2001 tanggal 25 April 2001
tentang Perubahan Peraturan Bank Indonesia No. 3/1/PBI/2001
tanggal 4 Januari 2001 tentang Proyek Kredit Mikro
22 Peraturan Bank Indonesia No. 3/2/PBI/2001 tanggal 4 Januari 2001
tentang Pemberian Kredit Usaha Kecil dan Surat Edaran No. 3/9/
BKR tanggal 17 Mei 2001tentang Petunjuk Pelaksanaan Pemberian
Kredit Usaha Kecil
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
161
Untuk mengatasi permasalah di atas Bank
Indonesia telah merekomendasikan kepada Peme-
rintah untuk lebih memberdayakan BUMN Koor-
dinator agar dapat melaksanakan tugasnya dengan
lebih baik. Hal-hal yang direkomendasikan antara lain
perlu ditunjuknya satu BUMN Koordinator sebagai
pengelola kredit program secara keseluruhan. BUMN
Koordinator dimaksud selanjutnya dapat dijadikan
cikal bakal bagi terbentuknya suatu bank khusus yang
membiayai usaha kecil dan menengah, atau sebagai
lembaga sementara yang khusus menangani
pembiayaan usaha kecil dan menengah (termasuk
kredit program) sampai dengan terbentuknya bank
khusus tersebut.
Selain itu, dalam rangka pengembangan
usaha kecil dan menengah, berbagai masukan telah
disampaikan oleh Bank Indonesia kepada Pemerintah
antara lain perlunya pemanfaatan dana Surat Utang
Pemerintah dalam rangka kredit program (SUP No.
005)23 secara optimal guna membantu pendanaan
kredit program. Sampai dengan posisi akhir tahun,
dana SUP No. 005 yang dapat dicairkan adalah
sebesar Rp3,1 triliun dan baru dicairkan Pemerintah
sebesar Rp850 miliar, sehingga dana yang masih
dapat dicairkan sebesar Rp2,2 triliun.
Permodalan
Pada tahun laporan, permodalan bank me-
ningkat dari Rp52,3 triliun di akhir tahun 2000 menjadi
Rp62,3 triliun atau naik sebesar 19,1%. Peningkatan
permodalan tersebut disamping karena perolehan
laba tahun berjalan juga adanya tambahan setoran
modal oleh beberapa bank dalam kelompok kategori
A, BPD dan bank campuran dalam rangka peme-
nuhan ketentuan CAR minimun 8% pada akhir tahun
2001.
Semua kelompok bank sudah mencatat
permodalan yang positif sejak triwulan kedua tahun
2000. Modal terbesar dimiliki oleh kelompok bank
BUMN sebesar Rp20,7 triliun, sedangkan modal
terkecil dimiliki oleh bank asing yaitu sebesar Rp1,4
triliun. Walaupun telah mencapai permodalan yang
positif, namun secara individu masih terdapat bank-
bank yang mempunyai CAR di bawah 8%, yang
terdiri dari bank kelompok A dan BUSN rekap. Upaya
peningkatan permodalan bank untuk bank-bank
yang mempunyai CAR < 8% terus dilakukan di
antaranya dengan meminta para pemilik bank untuk
23 Surat Utang Pemerintah dalam rangka kredit program (SUP No.
005) adalah surat utang yang dikeluarkan oleh Pemerintah untuk
pembiayaan kredit program sebagai pengganti dana KLBI karena
dengan berlakunya UU No. 23 Tahun 1999, Bank Indonesia tidak
dapat lagi memberikan KLBI untuk pembiayaan kredit program.
Besarnya SUP No. 005 adalah Rp9,97 triliun, tetapi penarikannya
tergantung dari KLBI yang telah diberikan untuk kredit program yang
jatuh tempo dan diterima oleh Bank Indonesia dalam tahun 2000
dan 2001.
Tabel 8.10
Perkembangan Kredit Usaha Kecil
Menurut Jenis Penggunaan 37,2 56,6 64,9 52,1 14,8 100,0Modal Kerja 15,7 22,0 27,3 40,0 23,8 42,0Investasi 5,4 7,8 9,4 44,0 21,3 14,5Konsumsi 16,1 26,8 28,3 66,6 5,4 43,5
Menurut Sektor Ekonomi 37,2 56,6 64,9 52,1 14,8 100,0Pertanian 7,7 9,3 11,4 19,8 23,3 17,6Perindustrian 1,1 1,7 2,6 54,5 51,3 4,0Perdagangan, Restoran dan Hotel 8,8 10,3 12,8 17,0 24,0 19,7Jasa-jasa 3,4 4,7 5,2 38,7 11,0 8,1Lain-lain 16,2 30,6 32,9 89,3 7,6 50,6
Menurut Kelompok Bank 37,2 56,6 64,9 52,1 14,8 100,0Bank Persero 25,4 30,5 36,9 20,3 21,0 56,8BUSN Devisa 5,9 12,3 13,7 108,7 11,5 21,1BUSN Non Devisa 1,8 5,1 2,5 180,4 -51,3 3,8B P D 4,1 8,6 11,8 111,9 36,9 18,2Bank Campuran & Asing 0,1 0,1 0,01 -1,4 -90,3 0,01
Posisi Pertumbuhan PangsaPenyebaran KUK (Triliun rupiah) (%) (%)
1999 2000r 2001 2000 2001 2001
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
162
menambah modal disetor maupun dengan
melakukan merger. Sampai dengan akhir tahun
200124 jumlah bank yang telah memenuhi target
CAR minimum 8% telah mencapai 138 bank (95%)
dari 145 bank yang ada.
Profitabilitas
Dalam tahun laporan, kegiatan perbankan
terus menunjukkan perbaikan yang tercermin pada
peningkatan laba usaha. Perolehan laba sebelum
pajak selama tahun 2001 mencapai Rp13,1 triliun,
meningkat dibandingkan tahun 2000 sebesar Rp10,5
triliun (Grafik 8.5). Pada tahun 2001 walaupun per-
bankan masih mengalami kerugian operasional Rp0,2
triliun, namun kerugian tersebut lebih kecil bila diban-
dingkan dengan kerugian tahun sebelumnya yang
besarnya Rp0,7 triliun. Masih meruginya perbankan
disebabkan karena masih tingginya beban PPAP dan
beban overhead lainnya yang harus ditanggung oleh
bank-bank. Di sisi lain, laba non operasional yang
diperoleh perbankan sebesar Rp13,3 triliun meningkat
dibanding tahun sebelumnya yang hanya Rp11,2
triliun. Peningkatan ini terutama masih berasal dari
keuntungan selisih kurs akibat melemahnya nilai tukar
dan adanya koreksi PPAP berkaitan dengan penda-
patan yang diperoleh dari kredit yang telah dihapus-
bukukan.
Sementara itu Net Interest Margin (NIM) yang
diperoleh perbankan dalam tahun laporan juga me-
ningkat menjadi Rp37,8 triliun atau rata-rata sebesar
Rp3,2 triliun per bulan (Grafik 8.6) dibanding tahun
sebelumnya yang hanya Rp22,8 triliun atau Rp1,9
triliun per bulan. Meningkatnya perolehan NIM
tersebut disebabkan meningkatnya pemberian kredit
pada tahun 2001 dibandingkan dengan tahun 2000
dan meningkatnya perolehan pendapatan bunga yang
berasal dari bunga SBI dan bunga obligasi pemerintah
pada beberapa bank rekap yang memiliki obligasi
dengan variable rate. Ditinjau dari prosentasenya,
perolehan pendapatan bunga perbankan terbesar
berasal dari obligasi pemerintah yaitu sebesar 45,3%
terhadap total pendapatan bunga, sementara yang
berasal dari kredit dan SBI masing-masing sebesar
32,2% dan 9,7%. Kondisi ini menunjukan masih24. Data sampai dengan bulan November 2001.
Grafik 8.5
Perkembangan Laba/Rugi Perbankan
Grafik 8.4
Perkembangan Permodalan Bank
-80,0
-40,0
0,0
40,0
80,0
Triliun Rp
1999 2000 2001
Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Nov.
Bank BUMN BUSN Rekap BTO
Bank Kategori A BPD Bank Campuran
Bank Asing Seluruh Bank
Des.
Triliun Rp
-120
-100
-80
-60
-40
-20
0
20
40
Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep.
Laba/Rugi Operasional
Laba/Rugi non operasional
Laba Rugi sebelum pajak
1999 2000 2001
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
163
tingginya ketergantungan perbankan dari bunga
obligasi pemerintah. Dilihat per kelompok bank, bank
BTO adalah kelompok bank yang sangat bergantung
pada pendapatan bunga obligasi pemerintah yang
terlihat dari cukup tingginya pangsa pendapatan
bunga obligasi pemerintah terhadap total pendapatan
bunga sebesar 69,1% diikuti dengan kelompok bank
BUMN sebesar 56,6% dan BUSN Rekap sebesar
20,4%.
LEMBAGA KEUANGAN LAINNYA
Seiring dengan membaiknya kinerja per-
bankan dalam tahun 2001, sumber dana perusahaan
pembiayaan yang berasal dari perbankan meningkat
sehingga memberikan kemampuan untuk mening-
katkan kinerja perusahaan pembiayaan yang ter-
cermin dari kenaikan nilai kegiatan usahanya. Semen-
tara itu, seiring dengan masih adanya keengganan
perbankan untuk menyalurkan kredit telah membuka
peluang kepada Perusahaan Umum (PERUM)
pegadaian untuk meningkatkan penyaluran dananya
kepada masyarakat baik untuk konsumsi maupun
modal jangka pendek.
Perusahaan Pembiayaan
Kinerja perusahaan pembiayaan dalam tahun
2001 masih ditandai dengan perkembangan yang
membaik walaupun dengan pertumbuhan yang jauh
lebih rendah dibanding dengan periode sebelumnya.
Peningkatan kinerja tersebut tercermin dari
meningkatnya total nilai kegiatan usaha yang sampai
dengan November 2001 naik sebesar 28,9% diban-
ding tahun sebelumnya.
Sepanjang tahun laporan terdapat tiga peru-
sahaan pembiayaan yang baru didirikan (PT. Karya
Technik Multifinance, PT Kembang Delapan Delapan
Multifinance, dan PT. Sinar Mitra Sepadan Finance)
dan dua perusahaan pembiayaan yang dilikuidasi (PT.
Bahan Pembinaan Usaha dan PT Bali Tunas
Finance).25 Sehingga sampai dengan November
2001, jumlah perusahaan pembiayaan yang masih
menjalankan kegiatan usahanya meningkat menjadi
246 perusahaan dibanding tahun sebelumnya.
Dibandingkan dengan akhir tahun sebe-
lumnya, seluruh jenis kegiatan usaha perusahaan
pembiayaan mengalami peningkatan kecuali
pembiayaan anjak piutang yang mengalami penu-
runan sebesar 47,7%. Peningkatan terbesar terjadi
pada pembiayaan kartu kredit dan pembiayaan
konsumen yaitu masing-masing naik sebesar 89,2%
dan 47,9. Hal ini sejalan dengan perkembangan
konsumsi domestik yang mengalami peningkatan
dibanding tahun sebelumnya yang diduga dibiayai
dari perusahaan pembiayaan (Lihat Bab Makro).
Grafik 8.6
Perkembangan Net Interest Margin
25 Dasar keputusan : Keputusan Menteri Keuangan No. 275/KMK.06/
2001 tanggal 8 Mei 2001, Keputusan Menkeu No. 364/KMK.06/
2001 tanggal 11 Juni 2001, Keputusan Menteri Keuangan No. 365/
KMK.06/2001 tanggal 11 Juni 2001, Keputusan Menteri Keuangan
No. 626/KMK.06/2001 dan Keputusan Menteri Keuangan No. 365/
KMK.06/2001.
Triliun Rp
Des. Mar. Jun. Sep. Des. Mar. Jun. Sep.
1999 2000 2001
Des.
-50
-40
-30
-20
-10
0
10
20
30
40
50
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
164
Dilihat dari komposisinya, kegiatan sewa guna usaha
masih mendominasi kegiatan usaha perusahaan
pembiayaan, yaitu mencapai 45,8 dari total pem-
biayaan. Komposisi kegiatan usaha lainnya adalah
pembiayaan konsumen sebesar 40,0%, pembiayaan
anjak piutang sebesar 10,9%, dan kartu kredit 2,4%.
Sampai dengan November 2001, sumber da-
na yang berhasil dihimpun perusahaan pembiayaan
meningkat sebesar Rp2,4 triliun atau naik 6,8% di-
bandingkan posisi akhir Desember 2000 (Tabel 8.12).
Sebagaimana tahun sebelumnya, sumber utama
pendanaan perusahaan pembiayaan masih berasal
dari pinjaman bank dalam negeri. Sejalan dengan
membaiknya kinerja perbankan, pinjaman yang di-
peroleh perusahaan pembiayaan dari bank dalam ne-
geri meningkat sebesar Rp 3,5 triliun sehingga men-
jadi 14,8 triliun. Dalam tahun laporan, walaupun peru-
sahaan pembiayaan mengalami laba bersih sebesar
Rp 396,4 juta, modal yang dimiliki perusahaan pem-
biayaan masih tetap negatif akibat set off terhadap
kerugian yang terjadi pada tahun-tahun sebelumnya.
Dalam tahun laporan, penggunaan dana
perusahaan pembiayaan sebagian besar disalurkan
dalam bentuk pembiayaan, yaitu sebesar Rp 31,4
triliun atau 82,4% dari total dana yang dimiliki. (Tabel
8.12). Seiring dengan melambatnya pertumbuhan
perekonomian, aktivitas pembiayaan yang dilakukan
perusahaan ini juga mengalami pertumbuhan yang
melambat dibanding tahun sebelumnya yaitu dari
32,5% pada tahun 2000 menjadi 7,0% sampai
November 2001. Sementara itu, simpanan dana peru-
sahaan pembiayaan pada bank mengalami penuru-
nan sebesar 20,7%. Hal ini mengindikasikan adanya
shifiting dana antara simpanan di bank dan pembia-
yaan yang dapat diartikan lebih menguntungkannya
pemberian pembiayaan kepada konsumen diban-
dingkan dengan penempatan dalam produk-produk
perbankan.
Tabel 8.11
Perkembangan Perusahaan Pembiayaan
Posisi PertumbuhanKeterangan (Triliun rupiah) (%)
1999 2000r 20011) 2000 20011)
Jumlah Perusahaan 2) 245 245 246
Nilai Kegiatan Usaha 22,2 29,4 31,4 32,4 7,0
Sewa guna usaha 10,9 13,7 14,39 25,7 4,8Pembiayaan anjak piutang 6,4 6,6 3,4 2,3 -47,7Pembiayaan kartu kredit 0,3 0,4 0,8 19,9 89,2Pembiayaan konsumen 4,3 8,5 12,6 97,0 47,9Lainnya 0,2 0,2 0,3 -5,7 44,7
Pinjaman yang Diterima 14,4 17,1 18,5 18,8 7,9
Dalam negeri 14,4 17,1 18,5 18,8 7,9
- Bank 10,7 11,3 14,8 5,6 30,8
- Bukan bank 3,7 5,8 3,7 56,9 -36,7
Luar negeri 10,8 12,5 11,2 15,2 -10,3
Obligasi 0,6 0,8 0,8 51,9 -1,0Pinjaman Subordinasi 1,4 1,7 2,2 18,8 29,0
1) November 2001
2) Satuan
Tabel 8.12
Sumber dan Penggunaan Dana Perusahaan Pembiayaan
Posisi PertumbuhanKeterangan (Triliun rupiah) (%)
1999 2000r 20011) 2000 2001
Sumber Dana 30,2 35,8 38,2 18,3 6,8
Pinjaman bank dalam negeri 10,7 11,3 14,8 5,6 30,8
Pinjaman bank luar negeri 8,6 7,6 7,26 -11,7 -4,1
Pinjaman diterima lainnya d,n, 4,7 7,1 5,0 52,7 -30,3
Pinjaman diterima lainnya l,n, 11,9 11,8 13,7 -0,4 16,1
Modal 2) -1,3 -2,2 -0,3 -62,6 85,5
Lain-lain -4,3 0,1 -2,2 97,4 1957,8
Penggunaan Dana 30,2 35,8 38,2 18,3 6,8
Pembiayaan 22,2 29,4 31,4 32,5 7,0
Simpanan pada bank 5,1 3,7 3,0 -26,9 -20,7
Penyertaan 0,1 0,1 0,1 1,6 -21,7
Lain-lain 2,8 2,5 3,7 -10,2 45,9
1) November2) Modal bersih setelah ditambah/dikurangi laba/rugi th berjalan dan ditambah cadangan
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
165
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
Dilihat dari kolektibilitasnya, kualitas aktiva
produktif perusahaan pembiayaan yang terdiri dari
kegiatan pembiayaan (sewa guna usaha, anjak piu-
tang, kartu kredit, dan pembiayaan konsumen),
surat berharga, dan penyertaan menunjukkan
perkembangan yang membaik dibanding tahun
sebelumnya. Kualitas aktiva produktif dalam
kategori lancar meningkat dari 67,8% menjadi
78,2%. Sementara itu, pangsa aktiva produktif yang
bermasalah, yaitu kategori diragukan dan macet,
menurun dari 3,22% menjadi 21,8% (Grafik 8.7).
Dilihat dari jenis pembiayaannya, anjak piutang
memiliki kualitas aktiva yang terburuk yaitu dengan
pangsa kategori macet mencapai 66,2%. Sedangkan
aktiva produktif yang terbaik dimiliki pembiayaan
konsumen dengan porsi kredit macet hanya sebesar
2,1% (Tabel 8.13).
Pegadaian
Kinerja perusahaan umum pegadaian dalam
tahun 2001 menunjukkan perkembangan yang lebih
baik dibandingkan tahun sebelumnya. Perkembangan
ini merupakan hasil dari peningkatan jangkauan dan
kualitas pelayanan melalui pendirian cabang baru,
diversifikasi produk dan peningkatan profesionalisme
sumber daya manusia yang dimiliki, serta restruk-
turisasi internal melalui efisiensi terhadap unit-unit
kegiatan yang dinilai tidak produktif. Selain itu, masih
Tabel 8.14
Perkembangan Kinerja Pegadaian
Omzet 3.229.280 4.230.778 5.970.310
Pendapatan Usaha : 449.087 373.233 553.487
- Sewa Modal 417.370 341.936 500.562
- Jasa Taksiran 16 16 27
- Jasa Titipan 10 11 18
- Pendptn Penyimpanan &
Asuransi 25.319 31.270 47.033
- Lainnya 6.372 3.929 5.847
Posisi Pasiva
- Kewajiban Jangka Pendek 243.612 454.176 551.785
- Hutang Bank 120.067 157.631 425.240
- Lainnya 123.545 296.545 126.545
- Hutang Obligasi 389.556 439.486 635.933
- Hutang Jangka Panjang 100.000 105.000 105.000
- Ekuitas 409.553 415.258 574.105
Nilai Barang Lelang 91.712 38.946 47.298
Jumlah Nasabah 3) 12.427.554 12.982.306 15.692.228
1) Data Revisi Sesuai Laporan Tahunan Pegadaian 20002) Data Berdasarkan Data Laporan Operasional Desember 20013) OrangSumber: Pegadaian
19991) 20002) 20012)
Juta rupiahRincian
Grafik 8.7
Kualitas Aktiva Produktif Perusahaan Pembiayaan
Aktiva 1999 2000r 20011)
Produktif L D M L D M L D M
(%) (%) (%)
Pembiayaan :- Sewa Guna Usaha 70,3 10,3 19,4 69,0 12,4 18,6 77,0 7,4 15,6- Anjak Piutang 36,3 5,2 58,5 42,7 4,2 53,1 27,4 6,5 66,2- Kartu Kredit 31,4 3,8 64,7 66,8 1,5 31,7 75,1 2,1 22,8- Pembiayaan Konsumen 90,9 2,4 6,7 94,7 1,6 3,7 96,2 1,6 2,1
Surat Berharga yang dimiliki 88,5 2,4 9,0 88,0 0,2 11,7 82,5 6,7 10,8Penyertaan 97,8 0,0 2,2 97,7 0,0 2,3 92,9 0,2 6,9
L = Lancar, D = Diragukan, M = Macet
1) = November
Tabel 8.13
Perkembangan Kualitas Aktiva Produktif
0
20
40
60
80
Persen
1999 2000r 20011)
Lancar Diragukan Macet
1) Angka posisi November
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
166
adanya keengganan perbankan untuk menyalurkan
kredit, memberikan peluang kepada pegadaian untuk
membiayai kebutuhan dana masyarakat baik untuk
modal jangka pendek maupun keperluan konsumsi
dan kebutuhan lainnya, khususnya bagi masyarakat
dan pengusaha golongan kecil menengah.
Dalam rangka meningkatkan jangkauan
pelayanan, perusahaan pegadaian telah menambah
jumlah kantor cabangnya dalam tahun 2001 sehingga
menjadi 714 cabang.26 Sementara itu, dalam tahun
2001 PERUM pegadaian telah melakukan upaya
diversifikasi produk dan jasa antara lain melalui kerja-
sama dengan Usaha Aneka Tambang sebagai distri-
butor utama produk-produk perhiasan dan menye-
diakan jasa penilaian batu permata dan berlian. Selain
itu pegadaian juga telah menambah jenis barang
jaminan berupa gabah dan kendaraan bermotor se-
bagai upaya pengembangan produk dalam meng-
akomodir permintaan masyarakat pedesaan.
Meningkatnya aktivitas usaha perum
pegadaian tercermin dari peningkatan omzet kegiatan
usaha (pinjaman yang diberikan), pendapatan usaha
dan jumlah masyarakat yang menjadi nasabah.
Omzet usaha pegadaian mengalami peningkatan
sebesar 41,1% sehingga menjadi Rp 6,0 triliun
dibandingkan akhir tahun 2000 (Tabel 8.14). Pertum-
buhan ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan tahun
sebelumnya yang sebesar 31,0%, sejalan dengan
peningkatan pelayanan yang dilakukan dan semakin
besarnya jumlah nasabah yang dilayani. Jumlah ma-
syarakat yang menjadi nasabah pegadaian meningkat
sebesar 20,9% sehingga menjadi 15,7 juta nasabah.
Dalam pada itu, pendapatan usaha pegadaian me-
ningkat sebesar Rp180,3 miliar. Seluruh jenis kegiatan
usaha perum pegadaian mengalami peningkatan
pendapatan dengan kontribusi terbesar diberikan oleh
kegiatan utamanya yaitu sewa modal dengan
prosentase mencapai 90,4% dari total pendapatan
usaha. Dalam melakukan penyaluran kreditnya,
pegadaian disamping memberikan modal dana juga
memberikan pembinaan manajemen dan pemasaran
untuk mengembangkan usaha kepada para debitur-
nya khususnya kepada pengusaha kecil.
Sementara itu, kredit yang tidak dilunasi oleh
nasabah pegadaian sebagaimana tercermin dari nilai
barang lelang meningkat 21,5% menjadi Rp47,3 miliar
pada akhir tahun (Tabel 8.14). Hal ini disebabkan me-
ningkatnya barang jaminan yang tidak ditebus kembali
oleh para debitur.
Dari sisi sumber dana, sebagian besar ber-
asal dari penerbitan obligasi yaitu sebesar Rp 635,9
miliar atau 34,1% dari seluruh dana. Dalam tahun
2001, pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) membe-
rikan peringkat A+ untuk obligasi yang akan
diterbitkan Perum Pegadaian. Pemberian peringkat
didasarkan pada kinerja Pegadaian selama tahun
200 dan kecilnya jumlah kredit macet yang dimiliki
tercermin dari barang jaminan yang dilelangkan.
Sumber dana lainnya berasal dari modal sendiri
sebesar 30,8%, pinjaman bank 22,8%, hutang
jangka pendek lainnya 6,8%, dan pinjaman jangka
panjang 5,6%.
26 Laporan data operasional Pegadaian Bulan Desember 2001
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
167
Sebagai upaya untuk menjaga stabilitas dan
ketahanan sistem perbankan nasional, perlu
diciptakan suatu mekanisme untuk menjaga tingkat
kepercayaan masyarakat terhadap lembaga per-
bankan. Salah satu instrumen pendukung yang
diperlukan adalah adanya jaring pengaman ke-
uangan (financial safety net) yang dapat memberikan
keyakinan akan perlindungan dana nasabah dalam
hal bank gagal memenuhi kewajibannya. Penga-
laman yang mahal akibat hilangnya kepercayaan
masyarakat terbukti setelah dilakukannya likuidasi
terhadap 16 bank pada November 1997 dimana
likuiditas perbankan telah menurun secara drastis
sebagai akibat terjadinya bank-runs dalam masya-
rakat. Tidak adanya kebijakan penjaminan yang
eksplisit terhadap dana simpanan nasabah (explicit
guarantee) telah menjadi faktor pendorong sikap
masyarakat untuk melakukan rush ke bank-bank.
Untuk mencegah terjadinya kondisi yang lebih buruk
lagi, maka pemerintah menempuh upaya untuk
memberikan jaminan penuh (blanket guarantee)
guna memulihkan kepercayaan masyarakat terhadap
perbankan. Kebijakan penjaminan pemerintah ini di
diatur dalam Keppres No. 26/1998 dan diatur lebih
lanjut dalam Keputusan Menteri Keuangan (KMK) No.
197/KMK.017/2000.
Kebijakan pemberian blanket guarantee
tersebut terbukti efektif dalam mengembalikan
kepercayaan masyarakat. Dalam waktu yang relatif
singkat dana masyarakat kembali ke sistem
perbankan, dan saat ini total simpanan masyarakat
saat ini telah mencapai + 70% dari seluruh total aset
perbankan nasional. Namun demikian, dibalik
keberhasilan dalam meredam merosotnya keper-
cayaan masyarakat tersebut, terdapat beban besar
yang harus ditanggung pemerintah dan potensi
munculnya moral hazard pada perbankan di kemu-
dian hari. Agar keadaan ini tidak berlangsung terus
menerus, perlu segera dirumuskan suatu pola
penjaminan simpanan nasabah yang lebih efektif dan
efisien. Konsep penjaminan yang terbatas seperti
asuransi deposito (deposit insurance) di beberapa
negara dapat dipertimbangkan sebagai suatu
alternatif disamping alternatif lain seperti skim dana
bersama sebagaimana dimaksud dalam UU No. 10
Tahun 1998 tentang Perbankan.
Beranjak dari pemikiran di atas, telah
dibentuk Tim Kerja yang anggotanya terdiri dari Bank
Indonesia, Departemen Keuangan dan BPPN yang
bertugas untuk mempersiapkan pendirian LPS.
Fokus kegiatan Tim Kerja ini dibagi menjadi 2 (dua)
bagian. Agenda jangka pendek adalah merumuskan
pola pengurangan cakupan penjaminan secara
bertahap (phasing-out) dari hampir seluruh kewajiban
bank menjadi terbatas pada simpanan, inkaso dan
transfer masuk/keluar, pinjaman antar bank dan Letter
of Credit (L/C).
Sementara itu, agenda jangka panjang ada-
lah mempersiapkan pendirian LPS, termasuk pe-
manfaatan skim asuransi dengan cakupan pen-
Lembaga Penjamin Simpanan (LPS)
b o k s
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
167
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
168
jaminan terbatas sampai dengan jumlah tertentu
saja. Selanjutnya, beberapa kriteria spesifik LPS
yang perlu juga diatur diantaranya mengenai status
kelembagaan, penetapan premi dan sifat keang-
gotaan.
Dalam status kelembagaan diharapkan
lembaga ini dapat melaksanakan tugasnya secara
optimal. Untuk ini diperlukan adanya jaminan atas
independensi lembaga ini dalam melaksanakan
tugas dan kewenangannya. Dengan independensi,
diharapkan LPS dapat menjadi sebagai suatu
lembaga badan hukum sendiri yang berada di luar
pemerintah yang jalur akuntabilitasnya sepenuhnya
disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat.
Dalam penetapan premi penjaminan, untuk
sementara waktu akan ditempuh pola yang sama
yaitu pengenaan premi secara flat. Direncanakan
pengenaan premi yang risk-adjusted dapat segera
dimulai untuk mencerminkan objektivitas risiko
masing-masing bank yang berbeda. Selanjutnya sifat
keanggotaan LPS akan bersifat wajib (compulsory)
bagi semua bank yang beroperasi di Indonesia
termasuk bank asing untuk menjamin kesempatan
berusaha yang sama.
Pendirian LPS tentunya dilakukan dengan
memperhatikan beberapa prakondisi, antara lain
adanya sistem perbankan yang sehat dan stabil.
Sejalan dengan prakondisi tersebut, maka upaya-
upaya restrukturisasi perbankan perlu terus dilakukan.
Diperkirakan jangka waktu 3 tahun sejak 2001
memadai untuk menyiapkan pendirian lembaga ini
sehingga pada tahun 2004 dipandang sebagai saat
yang tepat untuk memulai penjaminan yang
sepenuhnya berformat pada LPS.
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
168
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
169
UU No. 10 tahun 1998 dan UU No. 23 tahun
1999 telah mengamanatkan sekaligus memberikan
landasan hukum bagi Bank Indonesia untuk mengem-
bangkan perbankan syariah di Indonesia. Selain itu,
pengembangan perbankan syariah dipandang
penting untuk : (i) memenuhi kebutuhan masyarakat
yang menghendaki layanan jasa perbankan yang
sesuai dengan prinsip syariah; (ii) meningkatkan
mobilisasi dana masyarakat yang belum terserap
sistem perbankan yang ada; (iii) meningkatkan
ketahanan sistem perbankan nasional; dan (iv)
menyediakan sarana bagi investor internasional untuk
melaksanakan pembiayaan dan transaksi keuangan
yang sesuai dengan prinsip syariah.
Dalam upaya pengembangan perbankan
syariah masih terdapat sejumlah permasalahan yang
perlu segera diatasi, baik dalam jangka pendek, me-
nengah, maupun panjang. Belum lengkapnya pera-
turan dan infrastruktur bagi bank syariah merupakan
salah satu permasalahan mendasar yang perlu
segera diatasi agar bank syariah dapat beroperasi
secara optimal sesuai dengan karakteristiknya.
Penyempurnaan pengaturan bagi perbankan syariah
menjadi sangat penting, mengingat ketentuan yang
ada saat ini belum sepenuhnya dapat mengakomodir
kegiatan usaha perbankan syariah. Di sisi lain, relatif
rendahnya pemahaman masyarakat terhadap
operasional perbankan syariah dan terbatasnya
tenaga ahli perbankan syariah merupakan salah satu
tantangan dalam pengembangan perbankan syariah.
Di samping itu, masih relatif terbatasnya jaringan
kantor perbankan syariah menyebabkan belum
terlayaninya seluruh masyarakat yang menginginkan
pelayanan bank syariah. Keberadaan lembaga-
lembaga pendukung agar perbankan syariah dapat
beroperasi secara optimal juga dirasakan belum
memadai. Selain itu, sejumlah isu yang berkaitan
dengan perkembangan teknologi dan meningkatnya
inovasi ragam produk perbankan syariah memerlukan
pengaturan yang memadai agar stabilitas sistem
perbankan syariah dapat terwujud.
Perkembangan perbankan syariah nasional
juga dipengaruhi oleh globalisasi jasa keuangan.
Sejumlah isu pokok yang terkait dengan perbankan
syariah internasional memerlukan perhatian agar
perbankan syariah nasional mampu menjadi lembaga
keuangan yang dapat diterima secara internasional.
Sejumlah isu pokok tersebut antara lain : (i)
pembentukan Internasional Islamic Financial Market
(IIFM), yang saat ini dalam tahap finalisasi, diharapkan
dapat mendukung efisiensi pengelolaan dana secara
internasional; (ii) 18 negara anggota IMF saat ini
sedang mempersiapkan pembentukan Islamic
Financial Services Organization (IFSO), lembaga
internasional yang akan mengeluarkan prudential
regulation bagi bank syariah.
Menyadari demikian kompleksnya upaya pe-
ngembangan perbankan syariah maka perlu adanya
kejelasan arah kebijakan pengembangan perbankan
syariah nasional. Sehubungan dengan hal tersebut,
Cetak Biru Pengembangan
Perbankan Syariah
b o k s
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
169
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
170
perlu disusun Cetak Biru Pengembangan Perbankan
Syariah diharapkan akan memberi manfaat antara lain
: (i) sebagai pedoman baku bagi internal Bank Indo-
nesia dalam pengembangan perbankan syariah seca-
ra bertahap; (ii) sebagai acuan bagi pihak eksternal
dalam pengembangan ekonomi dan lembaga
keuangan syariah lainnya; (iii) untuk menjamin
kesinambungan pelaksanaan tugas pengaturan dan
pengawasan bank syariah di masa depan; dan (iv)
untuk mewujudkan perbankan syariah yang sehat dan
konsisten (istiqamah) terhadap prinsip-prinsip syariah.
Misi Bank Indonesia dalam pengembangan
perbankan syariah adalah mewujudkan iklim yang
kondusif untuk pengembangan perbankan syariah
yang sehat dan istiqamah terhadap prinsip-prinsip
syariah. Selanjutnya, visi pengembangan perbankan
syariah adalah terwujudnya perbankan syariah yang
mampu menggerakkan sektor riil melalui kegiatan
pembiayaan berbasis ekuitas dalam kerangka tolong
menolong (ta’awun) dan menuju kebaikan (fastabiqul
khairat) guna mencapai kemashlahatan ummat
(rahmatan lil alamin). Untuk mencapai misi dan visi
tersebut, kebijakan-kebijakan Bank Indonesia dalam
pengembangan perbankan syariah berdasarkan
prinsip market driven, fair treatment, gradual and
sustainable approach yang secara konsisten sesuai
prinsip syariah dan standar internasional.
Keberadaan perbankan syariah yang sesuai
dengan misi dan visi di atas, juga tidak terlepas dari
nilai-nilai yang menyertainya yaitu nilai dalam
perspektif mikro dan perspektif makro. Perspektif mikro
berkaitan dengan nilai-nilai dalam pengelolaan bank
syariah yaitu nilai Shidiq, Tabligh, Amanah, Fathanah
termasuk Ri’ayah (cermat dan santun) dan Mas’uliyah
(bertanggung jawab). Sedangkan perspektif makro
lebih berkaitan dengan keberadaan perbankan syariah
- di dalam format perekonomian makro - yang harus
mencerminkan nilai zakat dalam mendorong investasi,
menghilangkan ketidakpastian (ghoror) untuk
mendorong transparansi, menghilangkan riba untuk
menghindari predetermined result & kesiapan
menghadapi risiko, serta menghilangkan maisir untuk
mendorong linkages ke sektor riil.
Sesuai dengan prinsip-prinsip gradual dan
berkesinambungan tersebut di atas, pengembangan
perbankan syariah memiliki tujuan-tujuan tertentu
yang terbagi dalam periode waktu yang berke-
sinambungan. Dalam jangka pendek (2002-2004),
tujuan pengembangan perbankan syariah adalah
untuk menempatkan bank syariah sedemikian rupa
sebagai alternatif bank disamping bank konvensional.
Dalam jangka menengah (2004-2008) tujuan
pengembangan adalah agar bank syariah lebih
berperan dalam mendorong sektor riil. Sedangkan
tujuan pengembangan jangka panjang (2006-2011)
adalah menjadikan bank syariah menjadi lebih efisien
dan diharapkan dapat menjadi beroperasi secara
internasional.
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
170
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
171
Lembaga PengawasJasa Keuangan (LPJK)
Sesuai dengan amanat pasal 34 Undang-
Undang No. 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia
disebutkan akan adanya suatu lembaga baru yang
nantinya akan melakukan fungsi pengawasan bank.
Sesuai dengan amanat tersebut, fungsi pengawasan
bank akan beralih dari Bank Indonesia ke sebuah
lembaga baru yang bersifat independent dan harus
sudah berdiri sebelum 31 Desember 2002. Dengan
beralihnya fungsi pengawasan tersebut, fungsi Bank
Indonesia nantinya hanya sebagai otoritas moneter
saja yang tugas utamanya difokuskan pada masalah-
masalah moneter dan sistem pembayaran. Ide pemi-
sahan fungsi pengawasan bank dari bank sentral dan
diserahkan ke lembaga lain bukan merupakan se-
suatu yang baru di dalam praktek pengawasan per-
bankan di negara-negara lain. Inggris, Jepang, Korea
dan Australia adalah beberapa contoh negara-negara
yang telah mempraktekkan pemisahan fungsi dan
tugas pengawasan dari bank sentral ke lembaga lain.
Walaupun secara kelembagaan fungsi
pengawasan bank akan diserahkan ke lembaga baru,
Bank Indonesia tetap memiliki kewenangan dan
tanggung jawab dalam hal pemeliharaan stabilitas
system keuangan (financial stability) secara
keseluruhan. Fungsi Bank Indonesia dalam meme-
lihara stabilitas sistem keuangan yang berkaitan
dengan bank-bank dan lembaga keuangan lainnya
nantinya akan menyangkut systemic risk yang
dihadapi oleh perbankan maupun industri keuangan
secara keseluruhan. Systemic risk menyangkut risiko
yang dihadapi oleh beberapa bank secara berantai
yang memiliki potensi untuk menyebar (domino effect)
ke seluruh industri perbankan dan keuangan,
sehingga penanggulannya harus bersifat makro.
Sedangkan lembaga pengawas jasa keuangan yang
baru tersebut akan lebih banyak menitik beratkan
pada aspek-aspek mikro perbankan yaitu prudential
regulation dalam arti kepatuhan individu bank-bank
maupun lembaga keuangan bukan bank lainnya
terhadap segala ketentuan yang berlaku. Dengan
pemisahan fungsi pengawasan tersebut, tugas
pemeliharaan kestabilan sitem keuangan tetap
berada di Bank Indonesia.
Lembaga pengawas jasa keuangan yang
baru secara struktural direncanakan merupakan
lembaga pemerintah di luar kabinet yang ber-
tanggung jawab kepada presiden. Tujuan dibentuknya
lembaga tersebut adalah untuk melakukan
pengawasan terhadap seluruh lembaga penyedia
jasa keuangan dalam rangka menciptakan industri
jasa keuangan yang sehat, akuntabel dan kompetitif.
Keberadaan lembaga pengawas jasa keuangan yang
baru tersebut akan lebih banyak menitik beratkan
pada aspek-aspek prudential regulations dalam arti
kepatuhan individu bank-bank maupun lembaga
keuangan bukan bank lainnya terhadap segala
ketentuan yang berlaku. Cakupan tugas dari lembaga
baru tersebut nantinya tidak hanya melakukan
pengawasan terhadap bank saja tetapi juga me-
lakukan pengawasan terhadap semua lembaga
b o k sb o k sb o k sb o k sb o k s
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
171
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
172
keuangan non bank seperti misalnya asuransi, modal
ventura, pegadaian, leasing, dana pensiun, peru-
sahaan sekuritas dan perusahaan jasa keuangan
lainnya termasuk pengelola dana masyarakat yang
bersifat micro financing.
Pada saat ini pengawasan terhadap berbagai
perusahaan penyedia jasa keuangan ada di berbagai
lembaga yang berbeda dan tidak terintegrasi satu
dengan yang lainnya, seperti misalnya pengawasan
bank-bank berada di Bank Indonesia, pengawasan
perusahaan sekuritas ada di Bapepam, dan penga-
wasan terhadap perusahaan asuransi berada di
Departemen Keuangan. Dengan banyaknya lembaga
pengawas jasa keuangan yang berbeda dan tidak
berhubungan satu sama lain dalam beberapa hal
menyebabkan terjadinya tumpang tindih serta
inefisiensi mengenai koordinasi dan pembinaan
lembaga-lembaga penyedia jasa keuangan tersebut.
Disamping itu, keterkaitan antara bank-bank dengan
lembaga-lembaga keuangan lain yang bukan bank
adalah sangat erat dan memiliki beberapa kesamaan
dalam hal operasional usahanya serta risiko yang
dihadapi. Dengan berdirinya satu lembaga yang
mengawasi seluruh pengelola jasa keuangan
diharapkan pengawasan terhadap lembaga-lembaga
tersebut akan menjadi lebih efisien serta bersifat
consolidated dan terintegrasi yang pada akhirnya
akan lebih menguntungkan para stake holders.
Secara konsep, lembaga pengawas jasa
keuangan yang akan dibentuk tersebut tidak hanya
memiliki wewenang untuk melakukan pengawasan
saja, melainkan juga diberikan wewenang untuk
melakukan fungsi pengaturan termasuk memberikan
dan mencabut izin usaha lembaga pengelola jasa
keuangan. Disamping itu, untuk memudahkan
penyidikan terhadap praktek-praktek pelanggaran
hukum yang terjadi di sektor keuangan, lembaga baru
tersebut juga akan diberikan kewenangan untuk
melakukan fungsi “penyidikan” seperti halnya yang
dimiliki oleh aparat penegak hukum lainnya walaupun
sifatnya hanya terbatas dan khusus menyangkut
masalah pelanggaran di bidang keuangan saja.
Dengan berakhirnya fungsi pembinaan dan penga-
wasan bank tersebut, maka perlu dilakukan revisi
(amandemen) terhadap Undang-undang No.7 tahun
1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah
dengan Undang-undang No.10 tahun 1998.
Sebuah tim yang beranggotakan pejabat-
pejabat dari Departemen Keuangan, Bank Indonesia,
Bapepam, dan Departemen Kehakimandengan
bantuan konsultan dari ADB telah bekerja sejak dua
tahun yang lalu untuk merumuskan kajian dan konsep
otoritas pengawas jasa keuangan yang baru. Sampai
saat ini tim tersebut telah berhasil menyusun blue print
pembentukan LPJK serta rancangan undang-undang
mengenai LPJK. Diharapkan RUU mengenai LPJK
tersebut dapat diajukan pada pertengahan tahun 2002
sehingga pada akhir tahun 2002 dapat ditetapkan
sebagai undang-undang dan mulai berdirinya lembaga
tersebut. Setelah LPJK terbentuk, akan dilakukan
proses pemindahan pengawasan dan pengaturan
bank dari Bank Indonesia ke lembaga tersebut secara
bertahap. Untuk itu perlu dilakukan berbagai persiapan
baik di Bank Indonesia maupun lembaga baru tersebut
terutama yang menyangkut sistem, data/informasi,
dan sumber daya manusia agar proses pengalihan
pembinaan dan pengawasan bank yang selama ini
telah berjalan tidak mengalami gangguan.
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
172
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
173
Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil
(SI-PUK)
Sebagai upaya untuk lebih memberikan nilai
tambah dan manfaat yang lebih besar terhadap hasil-
hasil penelitian khususnya yang terkait dengan
pengembangan usaha kecil, dipandang perlu lebih
menyebarluaskan secara cepat laporan hasil pene-
litian tersebut kepada masyarakat luas. Sehubungan
dengan itu, Bank Indonesia telah memasukkan hasil-
hasil penelitian dimaksud kedalam suatu Sistem
Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil atau
SI-PUK yang dapat diakses melalui internet/ website
Bank Indonesia dalam versi Bahasa Indonesia
maupun Bahasa Inggris. SI-PUK merupakan
kumpulan sistem informasi usaha kecil berbasis
internet yang disusun oleh Bank Indonesia secara
terpadu/terintergrasi antara satu sistem informasi,
dengan sistem informasi lainnya, sehingga dapat
menyajikan informasi yang mudah diakses oleh
pengguna. Adapun sistem informasi usaha kecil
berbasis internet yang terintergrasi dalam SI-PUK
meliputi :
1. Sistem Informasi Baseline Economic Survey
(SIB)
Penelitian Dasar Potensi Ekonomi atau dikenal
dengan Baseline Economic Survey (BLS)
merupakan penelitian awal/dasar atas
keberadaan potensi sub sektor ekonomi/
komoditas disuatu Daerah Tingkat I/Propinsi
terutama dalam hubungannya dengan
pengembangan usaha kecil yang dilaksanakan
sejak tahun 1979. Untuk menyebarluaskan hasil
penelitian BLS secara cepat, hasil penelitian BLS
dimasukkan kedalam suatu sistem informasi yang
dikenal dengan Sistem Informasi BLS (SIB).
Manfaat dari SIB yaitu : (i) memberikan informasi
tentang subsektor ekonomi/komoditas yang
potensial untuk dikembangkan; dan (ii)
mengidentifikasi kesempatan usaha kecil serta
faktor-faktor pendorong maupun penghambat
yang mempengaruhinya.
Sementara ini informasi dalam SIB meliputi hasil
penelitian di 23 Propinsi yaitu Sumut, Riau,
Sumbar, Sumsel, Jambi, Bengkulu, Lampung,
DKI JAYA, Jabar, Jateng, DIY, Jatim, Kaltim,
Kalbar, Kalteng, Kalsel, Sulut, Sulteng, Sultra,
Sulsel, Bali, NTB dan NTT. Dalam upaya
memperoleh gambaran terkini dilakukan
penelitian ulang/up dating setiap 5 (lima) tahun.
Hasil akhir penelitian BLS adalah berupa Daftar
Skala Prioritas Sub Sektor Ekonomi/ komoditas
yang potensial untuk dikembangkan di setiap Dati
I, Dati II dan daerah kecamatan yang di-
kelompokan dalam sub sektor ekonomi/komo-
ditas yang Sangat Potensial (SP), Potensial (P)
dan Kurang Potensial (KP). Pengelompokan
tersebut di atas ditinjau dari 6 aspek yaitu dari
Aspek Pemasaran, Aspek Kewirausahaan, Aspek
Teknis Produksi, Aspek Pertumbuhan, Aspek
Infrastruktur (Sarana/Prasarana), dan Aspek
Kebijakan Pemerintah dalam pengembangan
usaha kecil.
b o k s
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
173
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
174
2. Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor
(SIABE)
Dalam upaya turut serta mengurangi dampak
krisis ekonomi, Bank Indonesia pada tahun 1999
mengembangkan Sistem Informasi Agroindustri
Berorientasi Ekspor (SIABE) yang datanya
merupakan hasil penelitian terhadap komoditas
agroindustri yang berpotensi untuk diekspor.
Tujuannya antara lain memberikan informasi
kepada masyarakat luas termasuk perbankan
dan calon importir dari luar negeri tentang
berbagai komoditas agroindustri yang potensial
untuk diekspor berikut informasi lainnya. Informasi
dimaksud antara lain mengenai : (i) Profil
komoditas, teknologi proses, pohon industri,
daerah bahan baku, volume ekspor, peraturan
tarif ekspor, nilai ekspor, negara tujuan ekspor
dan nama eksportir; (ii) Volume dan nilai ekspor
per negara tujuan, per Dati I; (iii) Daftar ekspotir
meliputi nama, alamat, contact person, telepon/
faksimili eksportir, jenis komoditas, dan Propinsi;
(iv) Daerah potensi komoditas tersebut di masing-
masing Dati I dan Dati II; (v) Standar mutu,
hambatan tarif, dan peraturan ekspor. Dengan
informasi tersebut diharapkan akan memper-
mudah calon importir luar negeri untuk
bekerjasama dengan eksportir dalam negeri,
yang pada akhirnya dapat meningkatkan ekspor
komoditas agroindustri yang sekaligus dapat
menambah pemasukan devisa.
Sementara ini informasi dalam SIABE mencakup
hasil penelitian 15 komoditas yaitu kulit, ubi kayu,
kelapa sawit, jambu mete, udang, karet, coklat,
kopi, teh, furniture (kayu jati/mahoni), kulit kayu
manis, nilam, ikan, lada, tembakau, berikut produk
turunannya sekitar 500 komoditas, yang meliputi
23 Propinsi seperti halnya SIB.
3. Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending
Model Usaha Kecil (SI-LMUK)
SI-LMUK merupakan sistem informasi yang
menyajikan hasil penelitian Bank Indonesia
mengenai pola-pola pembiayaan usaha kecil
yang berpotensi untuk dikembangkan. Melalui
pola-pola pembiayaan ini diharapkan dapat
direplikasikan oleh para pengusaha sebagai
informasi awal bagi perbankan dalam
pembiayaan suatu komoditas.
Cakupan SI-LMUK antara lain meliputi aspek
pemasaran, aspek teknis produksi, aspek
finansial, aspek dampak ekonomi dan lingkungan.
Saat ini pola pembiayaan yang dapat disajikan
dalam sistem informasi ini sebanyak 37 pola
pembiayaan usaha.
4. Sistem Penunjang Keputusan Untuk Investasi
(SPKUI)
Sistem ini merupakan pendamping SI-LMUK
yang dapat membantu memudahkan pengguna
apabila akan melakukan simulasi suatu usaha.
Simulasi dilakukan dengan mengganti besarnya
data kuantitas/volume dan atau nilai dalam
komponen yang tercantum dalam analisa ke-
uangan pada lending model antara lain asumsi
yang digunakan, misalnya kebutuhan biaya
investasi/pembiayaan, laba-rugi, dan arus kas.
Melalui sistem ini pengguna dapat menghitung
secara otomatis dan cepat besarnya pem-
biayaan suatu komoditas dalam lending model.
Dengan simulasi perhitungan dimaksud di-
harapkan pengguna segera memperoleh
gambaran kelayakan finansial suatu usaha
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
174
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
175
sesuai dengan kondisi/waktu dan daerah
komoditas tersebut.
5. Sistem Informasi Prosedur Memperoleh Kredit
(SI-PMK).
Merupakan suatu informasi kepada calon
nasabah tentang tata cara/prosedur dalam
mengajukan permohonan kredit kepada bank.
Dengan adanya sistem informasi ini diharapkan
dapat membantu pengguna/calon debitur
mengetahui prosedur secara umum untuk
permohonan kredit dari bank, meskipun pada
dasarnya masing-masing bank mempunyai
tatacara sendiri permohonan kredit seperti
formulir permohonan dan persyaratan lainnya.
Cakupan sistem informasi ini antara lain meliputi
informasi mengenai pengertian kredit, fungsi
kredit, manfaat kredit, manajemen kredit, jenis
kredit prosedur memperoleh kredit, dan analisis
kelayakan usaha dengan menggunakan rasio-
rasio keuangan calon debitur.
Perbankan dan Lembaga Keuangan Lain
175
Sistem Pembayaran Nasional
177
b a b 9
SISTEM PEMBAYARAN NASIONAL
D alam rangka untuk memenuhi tujuan Bank
Indonesia sebagaimana tertuang dalam
Undang-Undang No.23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia yaitu mencapai dan memelihara kestabilan
nilai rupiah, diperlukan suatu sistem pembayaran nasio-
nal yang efisien, cepat, aman dan handal dalam mendu-
kung efektivitas pelaksanaan kebijakan moneter serta
mendukung pengembangan sistem perbankan yang
sehat. Untuk mewujudkan arah kebijakan tersebut, te-
lah ditempuh berbagai kebijakan dibidang sistem
pembayaran baik tunai (kartal) maupun non tunai (giral).
Dalam tahun 2001 kebijakan dalam sistem
pembayaran tunai mencakup langkah Bank Indonesia
untuk meningkatkan pelayanan perkasan kepada
perbankan, meningkatkan pendistribusian uang peca-
han kecil kepada masyarakat bekerjasama dengan
pihak ketiga, serta mengeluarkan uang kertas emisi
baru dengan disain dan ukuran yang sesuai dengan
standar Bank Indonesia. Sementara dibidang sistem
pembayaran non tunai, kebijakan diarahkan pada
pengurangan resiko pembayaran antar bank yang
dapat mengganggu kestabilan keuangan, menunjang
pelaksanaan kebijakan moneter, peningkatan kualitas
dan kapasitas layanan sistem pembayaran, penyem-
purnaan ketentuan-ketentuan, serta pengaturan
terhadap pengawasan sistem pembayaran.
KEBIJAKAN SISTEM PEMBAYARAN DALAM TAHUN 2001
Pada tahun 2001, Bank Indonesia mening-
katkan penyediaan uang untuk memenuhi kenaikan
kebutuhan masyarakat akan uang kartal seiring
dengan meningkatnya peranan usaha kecil mengah
dan sektor informal dalam perekonomian Indonesia
yang lebih banuak menggunakan pebiayaan sendiri
dibandingkan dengan pembiayaan dari sektor
perbankan. Selain itu kenaikan kebutuhan masya-
rkat juga dalam rangka menghadapi bulan Rama-
dhan, Hari Raya Idul Fitri, Hari Natal dan tahun baru
2002 yang waktunya saling berdekatan. Di samping
itu, dalam rangka standarisasi ukuran uang kertas
rupiah dan peningkatan pengamanannya, Bank
Indonesia telah menerbitkan uang kertas pecahan
Rp5.000 dengan desain baru serta ukuran lebar
yang sama dengan uang kertas pecahan Rp1.000
dan uang plastik pecahan Rp100.000. Selanjutnya,
dalam rangka memenuhi kebutuhan masyarakat
terhadap uang pecahan kecil (Rp5.000 ke bawah),
telah dikembangkan pilot project kerjasama dengan
pihak ketiga untuk pendistribusian uang pecahan
kecil di Jakarta. Dengan kebijakan ini, masyarakat
dapat menukarkan uang pecahan kecil yang di-
butuhkan kepada pihak ketiga dimaksud yang ber-
operasi pada pusat-pusat keramaian, tanpa dipungut
biaya.
Selain itu, Bank Indonesia juga melakukan
kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi negeri
yaitu Institut Teknologi Sepuluh November (ITS) dan
Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta untuk
melakukan penelitian potensi tanaman Indonesia
yang dapat digunakan sebagai alternatif bahan baku
Sistem Pembayaran Nasional
178
pembuatan kertas uang, sehingga diharapkan nan-
tinya dapat mengurangi ketergantungan impor dan
meningkatkan efisiensi Bank Indonesia. Selanjutnya
dalam rangka meningkatkan pelayanan perkasan
kepada masyarakat, Bank Indonesia telah mene-
rapkan Otomasi Administrasi Perkasan dan Sistem
Informasi Pengedaran Uang, sehingga kegiatan
perkasan di Kantor Pusat dapat dilakukan secara on-
line.
Berkenaan dengan pemalsuan uang rupiah,
Bank Indonesia telah mengambil langkah preventif
maupun represif untuk menanggulanginya. Langkah
preventif yang telah dilakukan antara lain adalah me-
nyempurnakan desain uang serta meningkatkan
penggunaan unsur-unsur pengaman pada pence-
takan uang rupiah yang baru. Selain itu, Bank Indo-
nesia juga menyebarluaskan ciri-ciri keaslian uang
rupiah, menyebarluaskan poster dan sticker menge-
nai cara mudah mengenali uang rupiah, meningkat-
kan kegiatan penataran serta mempersiapkan pena-
yangan iklan layanan masyarakat di media televisi
bekerjasama dengan Kepolisian RI. Upaya lain yang
telah dilakukan adalah dengan meningkatkan
koordinasi bersama unsur-unsur terkait yang ter-
gabung dalam Badan Kordinasi Pemberantasan Uang
Palsu (Botasupal).
Sementara itu, upaya represif dilakukan
melalui koordinasi dengan instansi terkait dalam
melakukan penangkapan dan pemrosesan ke
pengadilan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
pemalsuan uang rupiah. Namun demikian, kebera-
daan uang palsu tersebut masih tetap ditemukan di
tahun 2001, meskipun dengan jumlah yang lebih kecil
dibandingkan dengan tahun sebelumnya, tetapi
dengan kualitas yang relatif lebih baik seiring dengan
berkembangnya teknologi misalnya komputer dan
scanner.
Berkenaan dengan sistem pembayaran
bukan tunai, sistem Bank Indonesia – Real Time
Gross Settlement (BI-RTGS) sebagai suatu meka-
nisme setelmen pembayaran antar bank untuk
transaksi nilai besar (High Value Payment) dan yang
bersifat penting (urgent) telah diimplementasikan di
12 Kantor Bank Indonesia (KBI) yaitu Bandung,
Surabaya, Denpasar, Samarinda, Balikpapan,
Manado, Medan, Padang, Batam, Pekanbaru, Sema-
rang dan Yogyakarta. Implementasi BI-RTGS di
wilayah KBI tersebut selain ditujukan untuk mem-
perlancar transfer dan aliran dana, juga ditujukan
untuk mendukung terlaksananya program Centralized
Settlement Account (CSA).
Apabila sistem BI-RTGS telah diimplemen-
tasikan di seluruh wilayah KBI, maka setiap bank di
Indonesia hanya akan memelihara satu rekening giro
di Bank Indonesia. Pada akhir tahun 2001, jumlah
rekening tiap bank yang dipelihara di Bank Indonesia
telah menurun dari 38 rekening menjadi 26 rekening,
yakni 1 rekening yang berada di RTGS Central
Computer, yang merupakan gabungan dari rekening
giro bank di Kantor Pusat Bank Indonesia dan 12 KBI
yang telah mengimplementasikan sistem BI-RTGS,
dan 25 rekening giro yang masih berada di sistem
akunting di 25 KBI yang belum mengimplementasikan
sistem BI-RTGS.
Dengan adanya satu rekening giro untuk
setiap bank di Bank Indonesia, maka pelaksanaan
tugas dalam melakukan pemantauan ketaatan bank
dalam memenuhi ketentuan pemenuhan Giro Wajib
Minimum (GWM) dan pemantauan likuiditas bank
terutama bagi bank-bank yang mengalami kesulitan
Sistem Pembayaran Nasional
179
likuiditas akan sangat terbantu. Dari sisi bank, penge-
lolaan satu rekening di Bank Indonesia tentu lebih
mudah daripada pengelolaan 38 rekening.
Sementara itu dalam rangka meningkatkan
efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan kliring
secara elektronik dan otomasi, diperlukan suatu fasi-
litas yang mampu menyajikan informasi hasil penye-
lenggaraan kliring lokal secara dini, akurat, lengkap,
aman, cepat dan dapat diakses melalui sistem infor-
masi jarak jauh. Untuk mewujudkan hal tersebut,
Bank Indonesia telah mengembangkan sarana
penyampaian informasi yang dikenal dengan nama
Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh (SIKJJ). Sistem
SIKJJ merupakan tindak lanjut dari kebijakan
standardisasi sistem dan kelengkapan pendukung
penyelenggaraan kliring yang dilaksanakan Bank
Indonesia. Saat ini penyebaran informasi hasil kliring
yang tersedia antara lain dilakukan dengan sarana
Pusat Informasi Pasar Uang (PIPU) dan Terminal
Peserta Kliring (TPK) - Sistem Kliring Elektronik
Jakarta (SKEJ) yang dirasakan masih memiliki
keterbatasan dalam penyediaan informasi posisi
akhir hasil kliring.
Pengembangan sistem SIKJJ dapat mening-
katkan kualitas dan kapasitas layanan sistem pem-
bayaran dan memenuhi kebutuhan informasi peserta
kliring mengenai hasil perhitungan kliring secara
lebih cepat, informatif dan tepat waktu. Dengan
sistem SIKJJ, bank peserta kliring tidak hanya dapat
mengakses data berupa hasil kliring hariannya
melalui fasilitas internet, tapi tersedia pula berbagai
informasi berkaitan dengan aktivitas penyeleng-
garaan kliring.
Selama tahun 2001, pengembangan sistem
SIKJJ telah mengalami tahap uji coba baik secara
internal Bank Indonesia maupun dengan pihak per-
bankan yang meliputi kegiatan yang bersifat me-
nyeluruh mulai dari pendaftaran sampai dengan
pengaksesan informasi. Untuk pertama kalinya, sistem
ini diterapkan di KBI Surabaya pada bulan November
2001. Dipilihnya KBI Surabaya sebagai kantor pertama
yang menerapkan sistem ini karena memiliki pangsa
kliring terbesar setelah Jakarta dan Voice Kit yang
dimiliki oleh KBI tersebut kondisinya sudah tidak dapat
digunakan. Dalam rangka menciptakan keseragaman
dan pengoperasian, pada akhir tahun 2001 telah
disusun buku pedoman pengoperasian SIKJJ baik
untuk Peserta maupun Penyelenggara yang memuat
tata cara penggunaan seluruh fungsi menu.
Selanjutnya, salah satu aspek yang perlu
diperhatikan dalam proses kliring yaitu faktor
keamanan data. Untuk memperpanjang usia penyim-
panan data transaksi pada wilayah kliring, telah
dilakukan penambahan suatu media simpan berupa
CD Burner. Alat ini mampu menyimpan image warkat
lebih dari 10 tahun sehingga dengan bertambahnya
usia simpan data image akan mendukung pelak-
sanaan audit (eksternal dan internal) dan investigasi
terhadap aktifitas kliring. Aplikasi sistem CD Burner
akan dipasang di empat kantor yaitu Kantor Pusat
(KP) Jakarta, Surabaya, Medan dan Bandung.
Selama tahun 2001, aplikasi ini baru dipasang di KP
Jakarta dan KBI Surabaya. Sementara untuk dua KBI
lainnya yaitu KBI Medan dan Bandung direncanakan
akan diterapkan pada tahun 2002 setelah penye-
lenggaraan kliring di kedua KBI tersebut dilakukan
secara otomasi berbasis image.
Selain itu, juga dilakukan penyempurnaan
ketentuan serta pengaturan pengawasan sistem
pembayaran, yang meliputi hal-hal sebagai berikut:
Sistem Pembayaran Nasional
180
1. Perubahan Peraturan Bank Indonesia (PBI)
No.2/24/PBI/2000 tentang Hubungan Rekening
Giro Antara Bank Indonesia dengan Pihak
Ekstern
Berdasarkan PBI No.2/24/PBI/2000 pihak-pihak
yang dapat membuka rekening giro di Bank
Indonesia hanyalah Bank, Departemen Keua-
ngan yang berkaitan dengan pelaksanaan APBN
(budget) dan International Monetary Funds (IMF).
Pembatasan pihak-pihak yang dapat membuka
rekening giro di Bank Indonesia tersebut berdam-
pak terhadap pelaksanaan tugas Bank Indonesia
dalam kebijakan moneter, sistem pembayaran
dan penyelesaian dana kredit likuiditas.
Guna mengantisipasi timbulnya permasalahan
yang dikarenakan adanya pembatasan tersebut
diperlukan perluasan pihak ekstern yang dapat
membuka rekening giro di Bank Indonesia. Dalam
kaitan dengan hal tersebut pada tanggal 20 Juni
2001 dikeluarkan PBI No. 3/11/PBI/2001 yang
memungkinkan bank, instansi pemerintah, lem-
baga keuangan internasional dan lembaga lain
untuk membuka rekening giro di Bank Indonesia.
2. Penyusunan PBI tentang Penyelenggaraan
Jasa Sistem Pembayaran dengan meng-
gunakan Alat Pembayaran Non Tunai dan Jasa
Pendukungnya
Pasal 15 UU No.23 tahun 1999 tentang Bank
Indonesia menyatakan bahwa perizinan, penga-
turan dan pengawasan jasa sistem pembayaran
merupakan kewenangan Bank Indonesia. Pada
saat ini terdapat sejumlah kewenangan yang
berkaitan dengan jasa sistem pembayaran yang
diatur oleh lembaga lain misalnya Departemen
Keuangan. Selain itu rencana untuk membentuk
lembaga pengawasan jasa keuangan juga akan
menimbulkan konsekuensi kewenangan dalam
mengatur jasa-jasa sistem pembayaran. Kondisi
seperti ini dikhawatirkan akan menimbulkan
dualisme dalam pengaturan dan pengawasan,
sehingga perlu diatur lebih tegas batas-batas
kewenangan antar lembaga. Untuk mengatasi hal
di atas, saat ini tengah disusun konsep PBI
tentang Penyelenggaraan Jasa Sistem
Pembayaran Dengan Menggunakan Alat Pem-
bayaran Non Tunai dan Jasa Pendukungnya.
3. Pengaturan Pengawasan Sistem Pembayaran
Dalam penjelasan umum UU No. 23 tahun 1999
dinyatakan bahwa Bank Indonesia juga diberikan
kewenangan dan tanggung jawab untuk mela-
kukan pengawasan jasa sistem pembayaran agar
masyarakat luas dapat memperoleh jasa sistem
pembayaran yang efisien, cepat, dan aman.
Pengawasan sistem pembayaran ditujukan untuk
mendorong terwujudnya sistem pembayaran
yang aman dan efisien serta melindungi sistem
keuangan (financial system) dari kemungkinan
terjadinya efek domino yang dapat terjadi apabila
peserta sistem pembayaran mengalami risiko
kredit atau likuiditas.
Untuk meminimalisasi atau mengeliminasi risiko
sistemik yang mungkin timbul dari penye-
lenggaraan sistem pembayaran, tahun ini tengah
dikaji dan disusun mekanisme pengawasan
sistem pembayaran yang akan dilaksanakan
secara menyeluruh yang dituangkan dalam
naskah akademis mekanisme pengawasan
sistem pembayaran nasional. Dengan adanya
mekanisme pengawasan yang komprehensif,
pengawasan sistem pembayaran dapat di-
Sistem Pembayaran Nasional
181
laksanakan secara lebih tepat dan terarah.
Adapun cakupan bidang sistem pembayaran
yang diatur mekanisme pengawasannya tidak
hanya kegiatan kliring saja tapi juga jasa sistem
pembayaran lainnya yaitu BI-RTGS, sistem
pembayaran berbasis kartu (kartu ATM, kartu
kredit, kartu debet dan kartu pra-bayar), serta jasa
pendukungnya.
4. Penyusunan Pedoman Assesment terhadap
Penyelenggaraan Sistem Kliring dan BI-RTGS
Guna menjaga stabilitas keuangan, sistem pem-
bayaran yang penting secara sistem (systemically
important) perlu diberikan perlindungan terhadap
resiko sistemik, karena gangguan terhadap
sistem dapat mengganggu sistem keuangan
domestik maupun internasional. Berpegang pada
Core Principles for Systemically Important
Payment Systems, yang dikembangkan oleh
Bank for International Settlement , Bank Indonesia
melakukan assessment terhadap pemenuhan
Core Principles di atas pada sistem pembayaran
yang diselenggarakan saat ini.
Pada akhir tahun 2001 telah disusun pedoman
assessment yang berguna untuk menilai kese-
suaian penyelenggaraan sistem pembayaran
dengan BIS Core Principles for Systemically
Important Payment System. Pada tahap awal
assesment ini dilakukan pada sistem kliring dan
BI-RTGS. Diharapkan secara bertahap assess-
ment ini juga akan dilakukan terhadap sistem
pembayaran yang dilakukan oleh pihak lain di
luar Bank Indonesia meskipun sistem tersebut
belum memenuhi kategori systemically im-
portant. Hal ini ditujukan untuk menunjukan
bahwa Bank Indonesia memiliki komitmen untuk
memenuhi prinsip-prinsip BIS Core Principles
bagi penyelenggaraan sistem pembayaran di
Indonesia.
PERKEMBANGAN ALAT-ALAT PEMBAYARAN
Sejalan dengan meningkatnya kegiatan
ekonomi dalam tahun 2001, perkembangan alat-alat
pembayaran tunai maupun bukan tunai menunjukkan
peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya. Di
samping itu, berdekatannya hari-hari besar
keagamaan dan tahun baru menjadi faktor penyebab
meningkatnya penggunaan kedua alat pembayaran
tersebut di atas.
Alat Pembayaran Tunai
Posisi Uang kartal Yang Diedarkan (UYD)
sepanjang tahun 2001 cenderung meningkat. Posisi
UYD akhir Desember 2001 mencapai Rp 91,3 triliun
atau meningkat 1,76% dibandingkan dengan periode
yang sama pada tahun sebelumnya yang hanya
sebesar Rp 89,7 triliun. Sementara itu, rata-rata posisi
UYD akhir bulan pada tahun 2001 mencapai Rp 77,0
triliun atau naik 18,48% dibandingkan tahun
sebelumnya sebesar Rp 65,0 triliun.
Kenaikan UYD ini secara umum dipengaruhi
oleh tingginya permintaan masyarakat terhadap uang
kartal untuk memenuhi kebutuhan yang terus me-
ningkat seiring dengan perkembangan ekonomi
nasional. Ditinjau dari besarnya kenaikan UYD, kenai-
kan yang cukup besar terjadi pada bulan November
dan Desember 2001 berkaitan dengan adanya
penarikan yang cukup besar dari masyarakat dalam
rangka menghadapi bulan Ramadhan, Hari Raya Idul
Fitri, Hari Natal dan tahun baru 2002 yang waktunya
saling berdekatan.
Sistem Pembayaran Nasional
182
Dilihat dari jenis uangnya, perbandingan
antara uang kertas dan uang logam pada tahun 2001
tidak banyak mengalami perubahan, yaitu sebesar
98% untuk uang kertas dan 2% untuk uang logam.
Sementara itu, bila dilihat dari pecahannya, posisi
UYD tersebut didominasi oleh pecahan Rp 100.000
dan Rp 50.000 dengan pangsa masing-masing men-
capai 41,35% dan 28,90% dari total UYD.
Dalam rangka memenuhi kebutuhan
masyarakat terhadap uang kartal, pada tahun 2001
Bank Indonesia melakukan pengadaan uang seba-
nyak 4,0 milyar bilyet uang kertas senilai Rp48,1
triliun dan 1,7 milyar keping uang logam senilai
Rp0,4 triliun. Sebagian besar dari pengadaan uang
ini digunakan untuk mengganti uang lusuh yang
dimusnahkan yaitu sekitar Rp33,4 triliun, dan sisanya
untuk mengantisipasi peningkatan kebutuhan
perekonomian serta menambah persediaan uang
kartal Bank Indonesia. Hasil cetak yang diterima dari
Perum Peruri sampai dengan Desember 2001 adalah
senilai Rp41,3 triliun atau 85,15% dari total
pengadaan uang. Meskipun jumlah pengadaan uang
yang terealisasi sebesar 85,15%, posisi kas Bank
Indonesia akhir tahun 2001 masih cukup aman yaitu
Rp 34,1 triliun atau mampu memenuhi lebih dari 2
bulan rata-rata permintaan masyarakat.
Selain menyediakan uang dalam jumlah yang
cukup, Bank Indonesia juga senantiasa menjaga agar
kualitas uang yang dipegang masyarakat terjaga kua-
litasnya dengan cara melakukan “clean money policy”
yaitu menarik dan memusnahkan uang yang tidak
layak edar atau Pemberian Tanda Tidak Berharga
(PTTB) serta mengganti uang yang dimusnahkan
tersebut. Jumlah PTTB tahun 2001 sebesar Rp 33,4
triliun atau turun 50,00% dengan tahun sebelumnya
yang mencapai Rp 66,8 triliun. Penurunan PTTB ini
terutama disebabkan adanya penerapan kebijakan
mengurangi jumlah (pengetatan) PTTB untuk
pecahan Rp 50.000 dan Rp 20.000.
Secara nominal, PTTB terbesar adalah untuk
pecahan Rp50.000 yaitu sebesar 45,24% dari total
PTTB, kemudian diikuti oleh pecahan Rp20.000
sebesar 28,89% dan Rp10.000 sebesar 15,42%.
Adapun dilihat dari jumlah lembar (bilyet), PTTB
terbesar adalah untuk pecahan Rp1.000 sebesar
22,16%, kemudian diikuti oleh pecahan Rp10.000
sebesar 17,75% dan Rp 20.000 sebesar 16,62%.
Perkembangan Aliran Uang Masuk/Keluar dan
Posisi Kas
Aliran uang masuk (inflow) secara nasional
cenderung berfluktuasi. Rata-rata bulanan inflow pada
Uang Yang Diedarkan 33,6 48,5 72,6 89,7 91,3
Uang Kertas 32,9 47,5 71,2 87,9 89,6
Uang Logam 0,7 1,0 1,4 1,8 1,7
Rincian Des 1997 Des 1998 Des 1999 Des 2000 Des 2001
Triliun Rp.
Tabel 9.1
Perkembangan Posisi Uang Kartal
yang Diedarkan (UYD)
1994 870 2.199 6.345 2.214 924 385 66 13.003
1995 749 2.247 3.920 1.615 894 407 56 9.889
1996 2.789 7.363 8.618 1.726 1.016 474 50 22.035
1997 3.615 8.301 8.440 1.866 1.277 564 36 24.099
1998 2.103 3.506 5.046 2.209 882 428 15 14.187
1999 0 20.645 12.473 10.582 3.461 805 362 6 48.333
2000 51 42.940 13.360 6.872 2.404 867 261 10 66.765
2001 354 15.092 9.637 5.144 2.329 642 144 20 33.362
Jenis Pecahan
Periode 100.000 50.000 20.000 10.000 5.000 1.000 500 100 Jumlah
Miliar Rp.
Tabel 9.2
Perkembangan Jumlah Uang yang Dimusnahkan/PTTB
Sistem Pembayaran Nasional
183
Grafik 9.1
Perkembangan Aliran Uang Masuk/Keluar
tahun 2001 adalah sebesar Rp15,4 triliun atau naik
24,48% dibandingkan dengan rata-rata bulanan inflow
pada tahun 2000 yang tercatat sebesar Rp12,3 triliun.
Sementara itu, rata-rata bulanan aliran uang keluar
(outflow) pada tahun 2001 mencapai Rp15,6 triliun atau
meningkat 13,55% dibandingkan rata-rata bulanan
outflow tahun 2000 yang mencapai Rp13,7 triliun.
Berdasarkan perkembangan inflow - outflow
di atas, secara nasional pada tahun 2001 terjadi net
outflow sebesar Rp1,8 triliun atau rata-rata Rp0,15
triliun/bulan. Sementara itu, bila dilihat dari masing-
masing Kantor Bank Indonesia (KBI), hampir seluruh
KBI di luar Jawa mengalami net outflow, sedangkan
KBI di Jawa kecuali Jakarta mengalami net inflow.
Hal ini terutama disebabkan aktifitas pengeluaran/
belanja masyarakat sebagian besar mengalir ke Jawa.
Posisi kas BI pada akhir tahun 2001 sebesar
Rp34,1 triliun atau naik 22,91% dibandingkan dengan
posisi kas pada akhir tahun 2000 yang tercatat
sebesar Rp27,7 triliun. Peningkatan posisi kas ini
disebabkan oleh menurunnya jumlah uang yang
dimusnahkan (PTTB) sebagai dampak dari kebijakan
mengurangi jumlah (pengetatan) PTTB untuk
pecahan Rp50.000 dan Rp20.000.
Perkembangan Jumlah Temuan Uang Palsu
Penemuan uang palsu yang berasal dari
laporan bank-bank, Kepolisian RI dan Bank
Indonesia, untuk periode Januari sampai dengan
November 2001 sebanyak 97.642 bilyet (senilai
Rp3,88 milyar). Dari jumlah tersebut, penemuan
terbesar adalah untuk pecahan Rp50.000 yaitu
65.307 bilyet (66,88%), diikuti pecahan Rp20.000,
sebanyak 25.305 bilyet (25,92%). Jumlah penemuan
uang palsu tersebut menurun 30,31% dibandingkan
dengan jumlah temuan uang palsu pada periode
yang sama tahun 2000, yaitu dari 322.108 bilyet
menjadi 97.642 bilyet.
Sebagian besar uang palsu yang ditemukan
adalah uang palsu yang belum sempat beredar di
masyarakat, dan merupakan hasil penangkapan oleh
Kepolisian RI. Data dari bulan Januari sampai de-
ngan November 2001 menunjukkan bahwa 63,42%
uang palsu yang ditemukan adalah berasal dari lapo-
Grafik 9.2
Perkembangan Posisi Kas
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
Jan Feb Mar Apr Mei Jun Jul Ags Sep Okt Nov Des
2001
1999
2000
Triliun Rp
0
5
10
15
20
25
30Aliran Uang Masuk
Aliran Uang Keluar
Triliun Rp
Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sept. Okt. Nov. Des.
2 0 0 1
Sistem Pembayaran Nasional
184
Selanjutnya, Bank Indonesia juga senantiasa
meningkatkan unsur-unsur pengaman (security
features) pada setiap uang kertas yang diterbitkan
dan meningkatkan kegiatan sosialisasi pengenalan
keaslian uang Rupiah kepada masyarakat. Selama
tahun 2001 telah dilakukan 47 kali penyuluhan, yang
diikuti oleh siswa sekolah, guru-guru, tokoh masyarakat,
kasir, karyawan hotel, dan kepolisian. Selain upaya
yang bersifat preventif tersebut, Bank Indonesia
menerapkan upaya represif dengan melakukan
koordinasi dan kerjasama dengan instansi terkait dalam
melakukan penangkapan dan pemrosesan ke
pengadilan terhadap pihak-pihak yang terlibat dalam
pemalsuan uang rupiah. Namun demikian, keberadaan
uang palsu tersebut masih tetap ditemukan di tahun
2001, meskipun dengan jumlah yang lebih kecil
dibandingkan dengan tahun sebelumnya tetapi dengan
kualitas teknik pemalsuan yang relatif lebih canggih
seiring dengan berkembangnya teknologi (misalnya
dengan menggunakan komputer dan scanner).
Apabila dibandingkan dengan uang kartal yang
diedarkan (UYD), ratio uang palsu tahun 2001 rata-
ran Kepolisian RI sedangkan sisanya berasal dari
laporan bank-bank.
Meskipun jumlah uang palsu yang ditemukan
pada tahun 2001 menurun dibandingkan tahun 2000,
Bank Indonesia tetap meningkatkan kerjasama de-
ngan instansi terkait dalam upaya memberantas
peredaran uang palsu tersebut antara lain dengan
Botasupal. Bank Indonesia juga mengedarkan poster
dan sticker mengenai cara mudah mengenali uang
Rupiah serta mempersiapkan pembuatan iklan
layanan masyarakat di media televisi bekerjasama
dengan Kepolisian RI.
1994 – 14 2.340 1.925 624 4.903
1995 – 74 5.349 7.224 403 13.050
1996 – 128 5.379 9.904 2.537 17.948
1997 – 16.392 139.938 82.274 234 238.838
1998 – 107.520 9.758 59.633 754 177.665
1999 – 89.137 100.536 26.053 224 215.950
2000 – 282.424 24.993 12.836 1.855 322.108
2001 425 65.307 25.305 6.317 288 97.642
Jumlah 425 560.996 313.598 206.166 6.919 1.088.104
Jenis Pecahan
B i l y e t
100.000 50.000 20.000 10.000 5.000 Jumlah
Tabel 9.3
Perkembangan Penemuan Uang Palsu Per Pecahan
Tahun 1994 – 2001
Periode
Tabel 9.5
Rasio uang Palsu Terhadap UYD
Periode
Jenis Pecahan
100.000 50.000 20.000 10.000 5.000
1994 - 0,0000001 0,0000070 0,0000030 0,0000020
1995 - 0,0000010 0,0000140 0,0000090 0,0000010
1996 - 0,0000010 0,0000110 0,0000140 0,0000080
1997 - 0,0000970 0,0002500 0,0000920 0,0000000
1998 - 0,0002840 0,0000140 0,0000620 0,0000010
1999 0,0000000 0,0001240 0,0001230 0,0000350 0,0000004
2000 0,0000000 0,0005150 0,0000360 0,0000210 0,0000030
2001 0,0000011 0,0001619 0,0000466 0,0000105 0,0000005
PeriodeKepolisian RI Bank
Persen
Tabel 9.4
Pangsa Penemuan Uang Palsu Menurut
Sumber Laporan
1997 92,89 7,11
1998 84,36 15,46
1999 80,39 19,61
2000 83,58 16,42
20011) 70,29 29,71
1) Data s.d. November 2001
Bilyet
Sistem Pembayaran Nasional
185
Grafik 9.5
Perputaran Kliring Secara Nasional (Nominal)
Nominal
0
1.000
2.000
3.000
4.000
5.000
6.000
7.000
8.000
1998 1999 2000 2001
Triliun Rp
Lembar
0
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
70.000
80.000
90.000
100.000
1998 1999 2000 2001
Lembar
Grafik 9.6
Perputaran Kliring Secara Nasional (Lembar)
Grafik 9.3
Perkembangan Volume Transaksi BI-RTGS
2 0 0 0 2 0 0 1
Transaksi
-
2.000
4.000
6.000
8.000
10.000
12.000
30/12 28/2 30/4 30/6 30/8 30/10 30/12
rata 36 lembar per satu juta lembar UYD (0,0036%).
Adapun perkembangan rasio antara uang palsu
dengan UYD adalah sebagaimana pada Tabel 9.5.
Alat Pembayaran Bukan Tunai
Perkembangan Transaksi RTGS
Pada tahun 2001, jumlah transaksi yang
diproses melalui sistem BI-RTGS secara nominal
menunjukan perkembangan yang relatif stabil yaitu
dengan rata-rata volume transaksi Rp43,4 triliun per
hari (Grafik 9.3). Namun bila dilihat dari perkem-
bangan jumlah transaksi yang diproses melalui sistem
ini, memperlihatkan adanya peningkatan yaitu dengan
rata-rata transaksi per hari sebanyak 3.996 (Grafik
9.4). Peningkatan ini terjadi karena makin luasnya
cakupan wilayah implementasi sistem BI-RTGS se-
hingga semakin besar pula minat pengguna jasa
sistem pembayaran terhadap sistem ini.
Perkembangan Transaksi Kliring
Sampai dengan akhir Desember 2001, nominal
kliring penyerahan secara nasional menunjukan
penurunan sebesar 72,1 % dibandingkan tahun
sebelumnya, dari Rp7.305 triliun menjadi Rp. 2.035
triliun. Penurunan volume transaksi kliring tersebut diikuti
pula dengan penurunan jumlah warkat yang diproses
Grafik 9.4
Perkembangan Jumlah Transaksi BI-RTGS
Trilliun Rp.
-
20
40
60
80
100
120
140
160
30 13 27 10 24 10 24 7 21 5 19 2 16 30 14 28 11 25 8 22 6 20 3 17 1 15 29
Des. Jan. Feb. Mar. Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
2000 2 0 0 1
Sistem Pembayaran Nasional
186
melalui kliring yaitu sebesar 3 % dari 73.704 ribu lembar
pada tahun 2000 menjadi 71.616 pada tahun 2001.
Turunnya perputaran kliring baik dari sisi nominal
maupun jumlah transaksi terjadi karena bergesernya
penyelesaian transaksi nominal besar (High Value) yang
semula melalui kliring beralih ke sistem BI-RTGS.
Perkembangan Alat Pembayaran Berbasis Kartu
Pada tahun 2001, terjadi peningkatan aktivitas
pengunaan alat pembayaran berbasis kartu yaitu kartu
kredit, kartu debet, dan ATM. Meningkatnya jumlah
transaksi penggunaan ketiga jenis kartu tersebut diikuti
pula dengan meningkatnya nilai transaksi. Dari ketiga
jenis kartu di atas, penggunaan kartu ATM menunjukan
peningkatan terbesar dibanding 2 jenis kartu lainnya
dimana nilai transaksi melalui ATM meningkat sebesar
17,4 % (dari Rp. 153,6 Trilyun menjadi Rp. 180,3
Trilyun) sementara nilai transaksi kartu kredit
meningkat sebesar 13,9 % (dari Rp13,6 triliun menjadi
Rp15,5 triliun) dan kartu debet meningkat sebesar 10,6
% (dari Rp4,7 triliun menjadi Rp5,2 triliun).
Meningkatnya jumlah transaksi melalui ATM
diantaranya dipicu oleh makin luasnya jaringan ATM di Indonesia yang ditunjukkan dengan meningkatnya
jumlah mesin ATM sebesar 16,4% atau sebanyak
6.767 mesin pada tahun 2000 menjadi 7.878 mesin
pada tahun 2001.
RENCANA PENGEMBANGAN SISTEM PEMBAYARAN
NASIONAL
Sistem Pembayaran Tunai
Melakukan penelitian tentang pengecualian
terhadap kewajiban penggunaan uang rupiah
dalam rangka penyusunan PBI
Sebagaimana amanat Undang-Undang No.
23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia perlu diatur
Grafik 9.8
Nilai Transaksi Kartu Kredit/Kartu Debet/ATM
0
50
100
150
200
250
1998 1999 2000 2001
Kartu Kredit
Kartu Debet
ATM
Trilin Rp
Grafik 9.9
Jumlah Mesin ATM
Jumlah Mesin ATM
0
5.000
10.000
1998 1999 2000 2001
Unit
Grafik 9.7
Jumlah Transaksi Kartu Kredit/Kartu Debet/ATM
Kartu Kredit
Kartu Debet
ATM
0
100.000
200.000
300.000
400.000
500.000
600.000
1998 1999 2000 2001
Ribuan Transaksi
Sistem Pembayaran Nasional
187
tersebut juga dilengkapi dengan peralatan untuk
menguji keaslian uang yang diterima dari masyarakat
dan Peruri, di samping dapat juga digunakan untuk
menguji kualitas bahan uang.
Kajian standarisasi uang logam
Dalam rangka mendapatkan bahan logam
uang yang secara ekonomis lebih rendah dari nilai
nominalnya tetapi memiliki masa edar yang relatif
lama, maka pada tahun 2002 akan dilakukan kajian
terhadap alternatif komposisi kandungan bahan
logam uang rupiah, di samping standarisasi ukuran
uang logam dengan antara lain memperhatikan
pengaruhnya terhadap sarana telepon umum koin.
Sistem Pembayaran Non Tunai
Untuk mendukung tercapainya kestabilan
sistem keuangan dan efektifitas kebijakan moneter,
kebijakan sistem pembayaran yang akan dilakukan
pada tahun 2002 adalah sebagai berikut.
Pengembangan Delivery Versus Payment (DVP)
Untuk menurunkan risiko setelmen di pasar
modal, akan dilakukan pengembangan Delivery Ver-
sus Payment tahap pertama. Dengan adanya pengem-
bangan ini akan terbentuk suatu integrasi sistem
setelmen antara sisi pembayaran (payment leg) melalui
sistem BI-RTGS dengan sisi penyerahan sekuritas
(delivery leg) melalui sistem setelmen sekuritas.
Pengembangan mekanisme pengawasan sistem
pembayaran
Ditujukan untuk mendorong terwujudnya
sistem pembayaran yang aman dan efisien serta
menjaga stabilitas sistem keuangan dari kemungkinan
daerah dan jenis transaksi tertentu yang dapat
dikecualikan dari kewajiban penggunaan uang rupiah.
Untuk itu, dalam tahun 2002, Bank Indonesia akan
melakukan kajian terhadap transaksi-transaksi yang
perlu dikecualikan dari kewajiban penggunaan uang
rupiah. Arti penting pengaturan pengecualian
penggunaan rupiah di wilayah RI adalah guna mem-
berikan kepastian hukum bagi masyarakat.
Menata kembali jalur distribusi uang
Dalam rangka memperlancar serta mening-
katkan efisiensi dan efektifitas dalam distribusi uang,
maupun untuk lebih menjamin ketersediaan uang di
seluruh Kantor Bank Indonesia, pada tahun 2002 Bank
Indonesia akan menata kembali jalur distribusi uang
antara lain melakukan kajian terhadap posisi depot
kas, sarana transportasi dan kapasitas khazanah.
Menerapkan SIPU di KKBI untuk mendukung
distribusi uang
Dalam rangka mendukung kegiatan-kegiatan
dibidang pengedaran uang, seperti penyusunan
rencana cetak, penyediaan stok uang dan kertas
uang, sistim distribusi uang kertas/uang logam dan
lain sebagainya, penerapan Sistem Informasi
Pengedaran Uang (SIPU) akan dilanjutkan pada
Kantor-Kantor Koordinator Bank Indonesia (KKBI),
sehingga dapat terintegrasi dengan kantor pusat.
Mendirikan laboratorium mini untuk menguji
bahan uang
Dalam rangka untuk melihat kesesuaian
kualitas uang yang dibeli dengan spesifikasi teknis
yang ditetapkan, Bank Indonesia akan mendirikan
laboratorium mini untuk menguji uang. Laboratorium
Sistem Pembayaran Nasional
188
terjadinya efek domino yang dapat terjadi apabila
peserta sistem pembayaran mengalami risiko kredit
dan risiko likuiditas.
Penyusunan mekanisme untuk mengatasi
kegagalan peserta kliring dalam penyelesaians
setelmen (Failure to Settle Scheme).
Bank Indonesia saat ini tengah mempelajari
kemungkinan penerapan suatu metode, dimana Bank
Indonesia sebagai Bank Sentral tidak harus bertang-
gung jawab atas kekurangan dana bank untuk setel-
men atas hasil kliringnya, namun kelancaran setelmen
kliring tetap terjaga.
Penyusunan peraturan mengenai penyelenggara
jasa sistem pembayaran dengan menggunakan
alat pembayaran non tunai dan jasa pendu-
kungnya.
Pada saat ini terdapat sejumlah kewe-
nangan yang berkaitan dengan penyelenggaraan
jasa sistem pembayaran yang diatur oleh lembaga
lain selain Bank Indonesia. Hal ini dikuatirkan akan
menimbulkan dualisme kewenangan pengaturan dan
pengawasan terhadap penyelenggara sistem
pembayaran.Untuk itu tengah disusun konsep
ketentuan yang mengatur koordinasi antar lembaga
tersebut.
Sistem Pembayaran Nasional
189
Kebijakan Bank Indonesia dibidang sistem
pembayaran non tunai diarahkan pada pengurangan
resiko pembayaran antar bank. Salah satu realisasi
dari kebijakan tersebut adalah dikembangkannya
suatu sistem setelmen berbasis gross dengan koneksi
elektronis on line antara bank-bank dengan Bank
Indonesia. Sistem ini dikenal dengan nama sistem
Bank Indonesia-Real Time Gross Settlement (BI-
RTGS). Sistem BI-RTGS adalah proses penyelesaian
akhir transaksi (settlement) pembayaran yang
dilakukan per transaksi (individually processed/gross
settlement) dan bersifat real time (electronically
processed), dimana rekening bank peserta dapat
didebit/dikredit berkali-kali dalam sehari sesuai
dengan perintah pembayaran dan penerimaan
pembayaran.
Tersedianya sistem BI-RTGS dapat
mendorong bank untuk dapat menjalankan mana-
jemen likuiditas secara lebih baik. Dengan demikian
penggunaan sistem BI-RTGS dapat menurunkan
risiko-risiko sistem pembayaran yaitu risiko kredit
(credit risk) dan resiko likuiditas (liquidity risk). Dengan
sistem setelmen yang didasarkan pada kecukupan
saldo rekening bank di Bank Indonesia, risiko
kemungkinan kegagalan salah satu bank dalam
memenuhi kewajibannya yang jatuh tempo yang
dapat menyebabkan bank lain juga mengalami
kesulitan likuiditas dapat dieliminir.
Penggunaan sistem BI-RTGS dapat
mengurangi risiko yang bersifat sistemik (systemic
risk) melalui tiga cara yaitu:
a. Penurunan secara signifikan intraday interbank
exposure dapat mengurangi kemungkinan
ketidakmampuan suatu bank dalam menutup
kekurangan likuiditas karena bank lain tidak
mampu memenuhi kewajibannya.
b. Sistem BI-RTGS dapat mencegah terjadinya
unwinding payment
c. Waktu setelmen yang dilakukan setiap saat
selama window time, memberikan waktu yang
cukup bagi bank untuk menyelesaikan kesulitan
likuiditasnya dengan cara meminjam dari bank
lain atau menunggu incoming transfer dari bank
lain.
Sistem Bank Indonesia – Real Time Gross Settlement
(BI-RTGS)
b o k s
Sistem Pembayaran Nasional
189
Sistem Pembayaran Nasional
190
Secara umum mekanisme transfer dana
melalui sistem BI-RTGS dimulai dengan langkah-
langkah sebagai berikut :
1. Bank pengirim menginput credit transfer ke dalam
terminal RTGS di masing-masing bank untuk
selanjutnya ditransmisikan ke RTGS Central
Computer (RCC) di Bank Indonesia.
2. Selanjutnya, RCC memproses credit transfer
dengan mekanisme sebagai berikut:
i. Mengecek kecukupan saldo apakah saldo re-
kening giro bank pengirim lebih besar dari atau
sama dengan nilai nominal credit transfer.
ii. Jika saldo rekening giro bank pengirim
mencukupi, akan dilakukan posting secara
simultan pada rekening giro bank pengirim
dan rekening giro penerima.
iii. Jika saldo rekening giro bank pengirim tidak
mencukupi, credit transfer tersebut akan
ditempatkan dalam antrian di mesin RTGS
Mekanisme Transfer Dana Melalui
BI-RTGS
sambil menunggu adanya incoming transfer
yang mencukupi.
3. Informasi credit transfer yang telah diselesaikan
(settled) akan ditransmisikan secara otomatis
oleh RCC ke terminal RTGS bank penerima.
Berdasarkan mekanisme tersebut di atas,
dapat terjadi bahwa pada suatu waktu tertentu, saldo
bank lebih kecil daripada nominal transaksi, maka
transaksi yang akan di selesaikan masuk kedalam
antrian. Hal ini tidak berarti bahwa bank tersebut
mengalami kesulitan likuiditas, karena pada dasarnya
bank tersebut berharap akan menerima incoming
transfer dari bank lain beberapa saat kemudian. Yang
terjadi hanyalah intraday gap antara outgoing
transaction dengan incoming transaction pada suatu
saat tertentu saja. Untuk mengatasi intraday gap ini
diperlukan fasilitas pendukung berupa Fasilitas
Likuiditas Intra-hari (FLI) yang berguna untuk
memperlancar real time transaction.
b o k s
Sistem Pembayaran Nasional
190
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
191
bab 10 PEREKONOMIAN DUNIA DANKERJA SAMA INTERNASIONAL
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
192
b a b 10
PEREKONOMIAN DUNIA DANKERJA SAMA INTERNASIONAL
D alam tahun laporan, kondisi perekonomian
dunia ditandai dengan terjadinya perlambatan
kegiatan ekonomi di berbagai kawasan. Melambatnya
kegiatan ekonomi terutama terlihat di beberapa negara
industri utama, yang memberikan sumbangan cukup
besar terhadap terjadinya penurunan pertumbuhan
ekonomi dunia dalam tahun 2001 (Tabel 10.1).
Kegiatan ekonomi di negara-negara industri bahkan
memperlihatkan kecenderungan yang semakin
melambat pasca tragedi WTC 11 September 2001.
Sejalan dengan melambatnya kegiatan ekonomi di
berbagai kawasan, volume perdagangan dunia
merosot tajam. Hal ini selanjutnya berakibat kepada
turunnya harga berbagai komoditas —terutama
komoditas primer seperti minyak mentah— di pasar
internasional. Sebagai akibat dari merosotnya volume
perdagangan dunia dan harga-harga komoditas
tersebut, kinerja sektor eksternal negara-negara
berkembang mengalami penurunan yang sangat
berarti. Perkembangan ekonomi dunia pada tahun
2001 juga ditandai dengan meningkatnya risiko global
(global risk) yang pada gilirannya mempengaruhi lalu
lintas modal internasional khususnya ke negara-
negara emerging market. Fenomena yang menonjol
dari perpindahan dana selama tahun laporan adalah
gejala flight to safety. Guna menghindari terjadinya
resesi ekonomi yang sangat dalam, baik negara-
negara maju maupun negara-negara berkembang
menempuh kebijakan moneter dan fiskal yang
ekspansif yang dimungkinkan oleh tekanan inflasi
yang relatif terkendali. Dengan berbagai kebijakan
ekonomi yang ditempuh, pemulihan ekonomi dunia
diperkirakan akan dimulai pada semester II tahun
2002.
Berbagai permasalahan yang telah mewarnai
perekonomian dunia sebagaimana diuraikan di atas,
telah memperoleh perhatian yang sangat besar di
berbagai forum kerja sama internasional. Di samping
untuk mencegah terjadinya resesi ekonomi global,
berbagai forum tersebut juga membahas upaya-upaya
Tabel 10.1
Beberapa Indikator Ekonomi Dunia
Indikator 1999 2000 2001*
Pertumbuhan Ekonomi (%)Dunia 3,6 4,7 2,4Negara-negara industri 3,3 3,9 1,1Negara-negara berkembang 3,9 5,8 4,0
Laju Inflasi (%)Negara-negara industri 1,4 2,3 2,3Negara-negara berkembang 6,8 5,9 6,0
Volume Perdagangan Dunia(% pertumbuhan) 5,4 12,4 1,0
Nilai TukarUSD/JPY 102,51 114,41 131,66EUR/USD 1,01 0,94 0,89
Harga Perdagangan Dunia (% perubahan)Barang manufaktur -1,8 -5,1 -1,7Minyak mentah 37,5 56,9 -14,0Komoditas primer nonmigas -7,0 1,8 -5,5
Suku Bunga LIBOR (%)US Dollar 5,5 6,6 3,8Japanese Yen 0,2 0,3 0,2Euro 3,0 4,6 4,1
Sumber : - IMF, World Economic Outlook, Desember 2001
- Bloomberg
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
193
untuk mengatasi terjadinya krisis keuangan secara
cepat dan efektif. Selain itu, pembahasan juga
menitikberatkan pada upaya untuk meningkatkan kerja
sama dalam memberantas sumber-sumber pem-
biayaan teroris. Misalnya, dalam pertemuan G-20 dan
IMF Committee (IMFC)1 disepakati langkah-langkah
yang harus dilakukan negara-negara anggota dalam
upaya memberantas sumber pembiayaan teroris.
Sementara itu, forum-forum lembaga keuangan
internasional lainnya masih terus membahas upaya-
upaya reformasi sistem keuangan internasional dan
mencegah terulangnya krisis keuangan dan sekaligus
untuk menemukan cara-cara pemberian bantuan yang
dapat mengatasi krisis ekonomi yang telah cukup lama
dialami oleh beberapa negara berkembang. Di forum
regional Asia, kerjasama untuk mencegah krisis
tersebut diwujudkan dalam Asian Surveillance dan
Bilateral Swap Arrangement.
PEREKONOMIAN DUNIA
Pertumbuhan ekonomi dunia dalam tahun
2001 hanya mencapai 2,4%, turun tajam dibandingkan
dengan pertumbuhan tahun 2000 yang mencapai 4,7%.
Menurunnya pertumbuhan ekonomi dunia tersebut
terutama disebabkan oleh melambatnya pertumbuhan
ekonomi di negara-negara industri , yang sudah mulai
dirasakan sejak akhir tahun 2000. Harapan akan
membaiknya perekonomian negara-negara industri di
akhir tahun laporan menjadi sulit terwujud menyusul
tragedi WTC 11 September 2001. Serangan teroris
terhadap Gedung WTC di New York, Amerika Serikat
(AS) semakin memperlemah urat nadi perekonomian
AS sebagai lokomotif perekonomian dunia sehingga
menurunkan permintaan secara global. Tragedi
tersebut juga telah meningkatkan risiko keamanan
global yang pada gilirannya menghambat kegiatan
investasi. Dengan perkembangan tersebut, secara
keseluruhan pertumbuhan ekonomi negara-negara
industri diperkirakan hanya mencapai 1,1% dalam
tahun laporan (Grafik 10.1).
Seiring dengan melambatnya perekonomian
negara-negara maju, pertumbuhan volume per-
dagangan dunia juga mengalami kemerosotan secara
tajam dari 12,4% pada tahun 2000 menjadi hanya
1,0% pada tahun laporan. Merosotnya volume
perdagangan dunia tersebut mengakibatkan turunnya
harga berbagai komoditas, terutama minyak mentah
yang mengalami penurunan harga sebesar 14%
dalam tahun laporan. Harga minyak mentah dalam
tahun laporan rata-rata mencapai $24,0 per barel dan
sempat mencapai level terendah sebesar $18,0 per
barel pada akhir November tahun 2001. Sementara
itu, harga komoditas primer nonmigas dan barang
manufaktur mengalami penurunan masing-masing
sebesar 5,5% dan 1,7% dalam periode yang sama.
1 Pertemuan IMFC dilakukan pada 17 November 2001 untuk
menggantikan Sidang Tahunan IMF yang dibatalkan sehubungan
tragedi WTC 11 September 2001.
Grafik 10.1
Pertumbuhan Ekonomi Negara-negara Industri Utama
AS Jepang
United Kingdom Jerman
-2
0
2
4
6
8
12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8 10 12 2 4 6 8
1997 1998 1999 2000 2001
Persen
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
194
Komoditas primer nonmigas yang mengalami
penurunan tajam antara lain kopi, kapas, tembaga,
aluminium, timah, dan nikel. Sebaliknya, harga emas
justru meningkat disebabkan kenaikan permintaan
dunia sehubungan dengan meningkatnya alternatif
penanaman dana investasi dalam bentuk emas pasca
tragedi WTC. Sementara itu, produk manufaktur yang
mengalami penurunan harga yang tajam adalah
produk semikonduktor sehingga nilai penjualan
produk ini dalam tahun laporan hanya mencapai 20%
dari nilai yang dicapai dalam tahun 2000.
Melemahnya aktivitas perdagangan dunia
tersebut menimbulkan tekanan yang cukup berarti
terhadap kinerja perekonomian negara-negara
berkembang dan industri baru, terutama negara-
negara yang mempunyai ketergantungan tinggi
terhadap kegiatan ekspor. Secara keseluruhan, per-
tumbuhan ekonomi negara-negara berkembang
mencapai 4,0% dalam tahun laporan, turun di-
bandingkan 5,8% dalam tahun 2000. Menurunnya
kegiatan ekspor merupakan faktor penyebab utama
melambatnya pertumbuhan ekonomi di negara-negara
berkembang, bahkan beberapa negara industri baru
mengalami kontraksi ekonomi. Hal ini dialami oleh
Singapura dan Hong Kong yang masing-masing men-
catat kontraksi ekonomi sebesar 2,9% dan 0,3% dalam
tahun laporan akibat menurunnya ekspor masing-
masing sebesar 19,6% dan 10,4% dalam periode yang
sama. Masih tingginya pertumbuhan ekonomi negara-
negara berkembang tersebut terutama ditopang oleh
pertumbuhan ekonomi RRC yang masih tetap tinggi
meskipun sedikit menurun.
Melambatnya pertumbuhan ekonomi dan
perdagangan dunia mengakibatkan berkurangnya
tekanan inflasi secara global. Dalam tahun laporan,
laju inflasi di negara-negara industri maju relatif stabil
dan tidak mengalami perubahan dibandingkan tahun
sebelumnya, yaitu sebesar 2,3% (Grafik 10.2). Se-
mentara itu, laju inflasi di negara-negara berkembang
mencapai 6,0%, sedikit meningkat dibandingkan
tahun sebelumnya yang mencapai 5,9%. Relatif
stabilnya laju inflasi tersebut telah memberikan ruang
gerak bagi sejumlah negara maju dan berkembang
untuk menempuh kebijakan moneter dan fiskal yang
ekspansif guna mencegah terjadinya resesi ekonomi
yang sangat dalam.
Kebijakan moneter ekspansif yang ditempuh
bank sentral di negara-negara maju diharapkan akan
menstimulasi kegiatan ekonomi. Di Amerika Serikat,
penurunan suku bunga ditujukan untuk menstimulasi
konsumsi dan investasi domestik terutama setelah
tragedi WTC. Di Jepang, kebijakan suku bunga yang
diarahkan mendekati nol persen dimaksudkan untuk
mendukung proses pemulihan ekonomi Jepang yang
sudah dilanda resesi ekonomi selama lebih dari 10
tahun terakhir. Sementara itu di kawasan Euro,
penurunan suku bunga tidak terlalu agresif karena
Grafik 10.2
Perkembangan Inflasi Negara-negara Industri Utama
-2
-1
0
1
2
3
4
5
AS
Jepang
U.K
Jerman
1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 11 1 3 5 7 9 1111
1997 1998 1999 2000 2001
Persen
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
195
laju inflasi di kawasan tersebut masih di atas target
Bank Sentral Eropa (ECB).
Bagi negara-negara berkembang, kebijakan
moneter pada umumnya masih bervariasi bergantung
kepada kondisi laju inflasi dan permasalahan domes-
tik yang dihadapi. Kompleksitas permasalahan yang
dihadapi oleh negara-negara berkembang seringkali
menimbulkan dilema, tidak saja dalam pelaksanaan
kebijakan moneter tetapi juga dalam pelaksanaan
kebijakan fiskal. Permasalahan keuangan pemerintah
telah mendorong beberapa negara mengambil
kebijakan ekonomi yang lebih mengutamakan
kepentingan negara bersangkutan sebagaimana
dilakukan Argentina yang telah terperosok ke dalam
krisis ekonomi dan sosial. Eskalasi krisis ekonomi
yang dialami Argentina menjelang akhir tahun 2001
terutama dipicu oleh kegagalan pemerintah untuk
mengendalikan defisit anggaran dan melakukan
pembayaran utang luar negeri yang jatuh tempo
sehubungan dengan menurunnya penerimaan pajak
dan ekspor Argentina.
Kebijakan ekonomi yang ekspansif pada
gilirannya juga membawa implikasi terhadap per-
kembangan pasar keuangan internasional. Kombinasi
kebijakan moneter dan fiskal yang ekspansif di bebe-
rapa negara telah menimbulkan optimisme terhadap
proses pemulihan ekonomi sehingga dapat mencegah
perekonomian tidak terperosok ke dalam krisis berke-
panjangan. Gelombang penurunan suku bunga bench-
mark yang dilakukan berbagai otoritas moneter telah
mendorong penurunan suku bunga di pasar keuangan
internasional sehingga diharapkan dapat menggai-
rahkan kembali kegiatan ekonomi. Namun, langkah-
langkah kebijakan tersebut ternyata belum berdampak
signifikan terhadap pasar modal sebagaimana tercer-
min dari perkembangan indeks harga saham dunia
yang secara umum cenderung menurun dalam periode
laporan. Aktivitas perdagangan di bursa saham dunia
masih lebih banyak diwarnai oleh kondisi ekonomi dunia
yang secara keseluruhan masih lesu dan meningkatnya
ketidakpastian yang bersumber dari ketidakjelasan arah
dan prospek pemulihan ekonomi global.
Amerika Serikat
Setelah mengalami ekspansi perekonomian
yang berkesinambungan dalam sepuluh tahun ter-
akhir, sejak awal tahun 2000 perekonomian Amerika
Serikat mulai menunjukkan gejala perlambatan. Pada
tahun laporan, perlambatan ekspansi perekonomian
Amerika Serikat semakin jelas dan diperkirakan
hanya tumbuh 1,0%, jauh lebih rendah dibandingkan
pertumbuhan tahun sebelumnya yang mencapai
4,1%. Sejalan dengan melemahnya kegiatan
ekonomi, laju inflasi turun dari 3,4% pada tahun 2000
menjadi 2,9% pada tahun 2001. Melambatnya
kegiatan ekonomi AS dalam tahun 2001 terutama
tercermin dari kemerosotan yang cukup berarti pada
sektor konsumsi (tumbuh 3,03%) dan investasi
swasta (turun 7,99%), yang selama ini telah menjadi
penyumbang terbesar terhadap tingginya
pertumbuhan ekonomi AS dalam kurun waktu yang
cukup panjang. Melambatnya ekspansi ekonomi AS
juga tercermin dari kinerja beberapa indikator
ekonomi penting di sektor riil seperti penjualan eceran
dan perumahan yang menunjukkan perlambatan
yang cukup berarti sepanjang tahun laporan,
sedangkan tingkat pengangguran menunjukkan
peningkatan. Menurunnya kegiatan konsumsi dan
investasi swasta tersebut dipengaruhi oleh semakin
rendahnya tingkat keyakinan konsumen dan dunia
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
196
usaha, yang berakibat pada penundaan dan pengu-
rangan pengeluaran konsumsi dan investasi.
Semakin rendahnya tingkat keyakinan kon-
sumen dan dunia usaha tidak terlepas dari mem-
buruknya kinerja pasar modal di AS, terutama pasar
saham yang selama ini telah menjadi fondasi yang
cukup penting dalam menggerakkan roda pere-
konomian di berbagai sektor. Sepanjang tahun lapo-
ran, kinerja pasar saham di AS mengalami kemero-
sotan yang tajam sehingga berdampak terhadap
menurunnya nilai kekayaan sebagian masyarakat di
AS dan pada gilirannya mengurangi minat masyarakat
dan dunia usaha untuk melakukan konsumsi dan
investasi (negative wealth effect). Merosotnya harga
saham tersebut terutama dipicu oleh terjadinya
penilaian yang berlebihan (overvaluation) terhadap
saham-saham internet (perusahaan dot-com) dan
semakin diperburuk menyusul terjadinya tragedi
WTC, meskipun menjelang akhir tahun kembali
meningkat. Indeks saham Dow Jones (DJIA) sepan-
jang tahun 2001 merosot 7,10%, sementara indeks
saham lainnya seperti NASDAQ, S&P 500 merosot
masing-masing sebesar 21,05% dan 13,04 %.
Dalam upaya mencegah terjadinya kontraksi
ekonomi yang sangat dalam, sepanjang tahun 2001
Federal Reserve menempuh kebijakan moneter yang
ekspansif dengan melakukan pemangkasan tingkat
suku bunga Fed Fund yang ditargetkan sebanyak 11
kali hingga mencapai 1,75% (Grafik 10.3). Selain itu,
pemerintah AS menempuh kebijakan fiskal yang
ekspansif melalui pemotongan pajak dan pem-
bangunan prasarana guna menstimulasi permintaan
domestik.
Eropa Barat
Melambatnya perekonomian AS telah ber-
dampak besar terhadap melambatnya kinerja ekonomi
negara-negara di kawasan Euro yang sebagian besar
merupakan mitra dagang AS. Selama tahun laporan,
pertumbuhan ekonomi negara-negara di kawasan
Euro diperkirakan mencapai 1,5%, lebih rendah
dibandingkan pertumbuhan ekonomi yang dicapai
pada tahun sebelumnya sebesar 3,4%. Melambatnya
ekspansi perekonomian Euro terutama terjadi pada
tiga kekuatan ekonomi terbesar yaitu Jerman,
Perancis, dan Italia. Pada tahun 2001 perekonomian
Jerman diperkirakan hanya tumbuh 0,5% merosot
tajam dari pertumbuhan 3,0% yang dicapai pada tahun
2000. Sementara itu, pertumbuhan ekonomi Perancis
dan Italia diperkirakan melambat masing-masing
menjadi hanya 2,1% dan 1,8% pada tahun 2001
dibandingkan pertumbuhan sebesar 3,5% dan 2,9%
pada tahun 2000. Melemahnya kegiatan ekonomi di
kawasan Euro terutama disebabkan oleh mem-
buruknya kinerja sektor eksternal dan melemahnya
konsumsi dan investasi swasta domestik. Sebagai
akibat dari melemahnya kegiatan investasi swasta,
gelombang pemutusan hubungan kerja oleh dunia
Grafik 10.3
Perkembangan Suku Bunga Fed Fund
1,0
1,5
2,0
2,5
3,0
3,5
4,0
4,5
5,0
5,5
6,0
6,5
7,0
7,5
Fed Fund Rate Efektif
Fed Fund Rate yangditargetkan
Persen
4/30 6/30 8/31 10/29 12/31 2/29 4/28 6/30 8/31 10/31 12/30 2/28 4/30 6/12 8/31 10/31 12/31
1999 2000 2001
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
197
usaha cenderung meningkat, yang berakibat pada
terjadinya peningkatan tingkat pengangguran.
Sebaliknya, di tengah-tengah terjadinya
perlambatan kegiatan ekonomi, laju inflasi di kawasan
Euro masih memperlihatkan peningkatan. Dalam
tahun laporan, tingkat inflasi mencapai 2,7%, lebih
tinggi dibandingkatan laju inflasi tahun sebelumnya
yang mencapai 2,4%. Meningkatnya laju inflasi di
kawasan Euro terutama disumbang oleh kenaikan
harga makanan dan bahan bakar serta efek tunda dari
melemahnya mata uang euro sepanjang tahun 2000.
Namun demikian, menjelang akhir tahun, tingkat inflasi
turun dari 2,1% pada bulan November menjadi 2,0%
di bulan Desember, pertama kalinya menyamai ceiling
rate yang ditetapkan oleh Bank Sentral Eropa (ECB).
Tingkat inflasi yang dicapai pada bulan Desember
tersebut merupakan yang terendah dalam 19 bulan
terakhir, terutama sebagai akibat dari jatuhnya harga
minyak menjelang akhir tahun 2001. Hanya dalam
kurun waktu 3 bulan dari September sampai dengan
November 2001, harga minyak mentah Brent sebagai
benchmark terhadap 2/3 pasokan minyak dunia,
mengalami kejatuhan sebesar 35%.
Perkembangan di atas memberikan ruang
gerak bagi ECB untuk mendorong pemulihan
perekonomian dengan memangkas tingkat suku
bunga. Selama periode tahun laporan, ECB mela-
kukan pemangkasan suku bunga sebanyak 4 kali atau
sebesar 1,5% menjadi 3,5% sampai dengan akhir
tahun 2001. Dibandingkan dengan kebijakan yang
ditempuh Federal Reserve yang memangkas suku
bunga sebanyak 11 kali, langkah pemangkasan suku
bunga ECB tersebut tergolong konservatif dengan
pertimbangan bahwa laju inflasi di zona Euro masih
melampaui ceiling rate yang ditetapkan ECB sebesar
2,0%, bahkan mencapai puncaknya pada bulan Mei
2001 sebesar 3,4%.
Selain di negara-negara kawasan Euro,
melambatnya kegiatan ekonomi terlihat di Inggris.
Pada tahun 2001, perekonomian Inggris tumbuh
2,3%, lebih rendah dibandingkan pertumbuhan
sebesar 2,9% yang dicapai pada tahun 2000.
Sementara itu, laju inflasi sedikit meningkat dari 2,1%
pada tahun 2000 menjadi 2,3% pada tahun 2001.
Meskipun demikian, laju inflasi pada tahun laporan
masih lebih rendah dibandingkan target inflasi yang
ditetapkan Bank of England (BoE) sebesar 2,5%.
Guna memberikan stimulus bagi perekonomian,
sepanjang tahun laporan BoE telah menurunkan suku
bunga sebanyak 7 kali, sehingga suku bunga
benchmark (base rate) mencapai 4%, lebih rendah
dibandingkan yang dicapai pada tahun 2000 sebesar
6%.
Jepang
Imbas kemerosotan ekonomi AS juga
menimpa Jepang sebagai salah satu mitra dagang
utama AS. Pada tahun 2001, perekonomian Jepang
mengalami kontraksi sebesar 0,4%, setelah pada
tahun 2000 mengalami ekspansi sebesar 2,2%.
Memburuknya kinerja ekonomi Jepang tersebut
terutama sebagai akibat dari menurunnya kinerja
ekspor sehubungan dengan merosotnya permintaan
impor dari AS, yang diperkirakan menyumbang 1/3
sumber penerimaan devisa ekspor Jepang ke luar
negeri. Ekspor Jepang selama tahun laporan
diperkirakan mengalami kontraksi sebesar 6,6%.
Guna mengatasi krisis ekonomi yang ber-
kepanjangan, pemerintah Jepang terus menempuh
berbagai kebijakan yang sangat ekspansif baik di
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
198
bidang moneter maupun fiskal. Di bidang moneter,
Bank of Japan tetap mempertahankan suku bunga
Overnight Call Rate sebesar 0,1%. Di bidang per-
bankan yang selama ini mengalami permasalahan
kredit macet dan turunnya nilai aset bank akibat dari
merosotnya harga saham dan properti, pemerintah
Jepang telah mengeluarkan dana bantuan sebesar
26 triliun yen untuk program rekapitalisasi bank, pem-
bayaran dana nasabah, dan pemberian pinjaman.
Sementara itu, guna menjaga daya saing ekspor di
tengah meningkatnya persaingan di pasar inter-
nasional, pemerintah Jepang telah membiarkan nilai
tukar yen terdepresiasi cukup tajam. Dalam tahun
laporan, nilai tukar yen melemah tajam terhadap dolar
AS terutama disebabkan oleh meningkatnya aliran
portofolio ke luar negeri yang dipicu oleh persepsi
terhadap prospek ekonomi yang suram serta
lambatnya penanganan terhadap permasalahan
struktural di sektor perbankan.
Asia non-Jepang
Negara-negara Asia selain Jepang seperti
Korea Selatan, Hong Kong, Taiwan, dan Singapura
merupakan negara-negara industri baru di Asia yang
sangat terpukul dengan melambatnya ekonomi
negara-negara industri maju terutama AS. Besarnya
sumbangan sektor ekspor dalam struktur per-
ekonomian telah mengakibatkan kinerja ekonomi
negara-negara tersebut sangat rentan terhadap
fluktuasi volume perdagangan global dan harga
komoditas internasional. Selain itu, struktur ekspor
dari negara-negara tersebut sebagian besar di-
dominasi oleh komoditas sektor manufakur terutama
komponen elektronik, yang pada umumnya sangat
elastis terhadap naik turunnya pendapatan di negara-
negara tujuan ekspor utama seperti AS. Pada tahun
2001, pertumbuhan ekonomi Korea Selatan
diperkirakan hanya tumbuh 2,6% setelah tumbuh
cukup tinggi pada tahun 2000 sebesar 8,8%.
Sedangkan perekonomian Hong Kong, Taiwan, dan
Singapura pada tahun 2001 diperkirakan mengalami
kontraksi masing-masing sebesar 0,3%, 2,2% dan
2,9%, setelah mengalami ekspansi pada tahun
sebelumnya masing-masing sebesar 10,5%, 6,0%,
dan 9,9%. Malaysia dan Thailand yang berpotensi
menjadi negara industri baru di Asia pada tahun 2001
masing-masing hanya tumbuh 0,3% dan 1,5%, turun
dari 8,3% dan 4,4% yang dicapai pada tahun 2000.
Sejalan dengan merosotnya kegiatan ekonomi di
negara-negara tersebut, tekanan laju inflasi dapat
terkendali pada tingkat yang cukup rendah.
Dalam menghadapi ancaman resesi eko-
nomi global, sejumlah negara industri baru di Asia
pada umumnya telah mengantisipasinya dengan
menempuh kebijakan ekonomi yang ekspansif baik
di bidang moneter maupun fiskal. Kebijakan ekonomi
yang ekspansif terutama ditempuh guna mening-
katkan konsumsi domestik dan mencegah terjadinya
peningkatan tingkat pengangguran sebagai akibat
memburuknya kinerja sektor ekspor. Selain itu,
negara-negara tersebut menempuh berbagai lang-
kah struktural guna menciptakan efisiensi dan
meningkatkan daya saing terutama dalam rangka
menghadapi tekanan persaingan global yang se-
makin meningkat. Sementara itu, dengan merosot-
nya permintaan impor dari negara-negara industri
maju, persaingan antara beberapa negara Asia untuk
menembus pasar ekspor semakin meningkat. Selain
melalui langkah efisiensi produksi, upaya untuk me-
ningkatkan daya saing produk ekspor ditempuh
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
199
beberapa negara industri di Asia dengan mem-
biarkan nilai tukar mata uangnya terdepresiasi.
Meskipun demikian, tidak seluruh negara Asia
menunjukkan kinerja ekonomi yang memburuk. Pada
tahun 2001 perekonomian RRC masih memperlihatkan
kinerja yang cukup mengesankan dengan mencatat
laju pertumbuhan sebesar 7,3% dan inflasi yang tetap
terkendali sebesar 1,0%, dibandingkan 0,4% pada
tahun 2000. Prestasi kinerja ekonomi RRC tersebut
terutama disebabkan oleh dukungan kebijakan fiskal
yang ekspansif dan meningkatnya aliran modal asing
masuk dalam bentuk investasi langsung (FDI).
Meningkatnya aliran investasi asing langsung tersebut
pada umumnya bertujuan untuk meningkatkan basis
pemasaran di pasar lokal RRC sebagai antisipasi
masuknya RRC ke dalam keanggotaan Organisasi
Perdagangan Dunia (WTO) dalam tahun laporan.
Amerika Latin
Sejalan dengan melambatnya kegiatan
ekonomi AS, perekonomian negara-negara Amerika
Latin selama tahun laporan menunjukkan kecen-
derungan melambat. Pada tahun laporan, laju pertum-
buhan negara-negara Amerika Latin hanya mencapai
1,0%, lebih rendah dibandingkan laju pertumbuhan
ekonomi yang dicapai pada tahun sebelumnya yang
mencapai 4,1%.
Kinerja ekonomi empat kekuatan ekonomi
terbesar di kawasan Amerika Latin yaitu Meksiko,
Brasil, Cile, dan Argentina memperlihatkan terjadinya
perlambatan yang cukup berarti, bahkan pereko-
nomian Argentina diperkirakan mengalami kontraksi
yang tajam sebagai akibat krisis ekonomi yang
melanda negara tersebut. Pada tahun 2001, kinerja
ekonomi Meksiko, sebagai salah satu mitra dagang
utama AS di benua Amerika diperkirakan akan tumbuh
lebih rendah dibandingkan tahun sebelumnya yang
tercatat sebesar 6,9%. Sementara itu, pertumbuhan
ekonomi Brasil dan Cile masing-masing hanya men-
capai 1,8% dan 3,3%, lebih rendah dibandingkan
tahun sebelumnya yang mencapai 4,4% dan 5,4%.
Di pihak lain, pada tahun laporan, perekonomian
Argentina diperkirakan masih mengalami kontraksi
sebesar 2,7% menyusul kontraksi yang terjadi pada
tahun 1999 dan 2000 masing-masing sebesar 3,4%
dan 0,5%. Eskalasi krisis ekonomi yang dialami
Argentina memuncak menjelang akhir tahun 2001 ter-
utama dipicu oleh kegagalan pemerintah untuk
mengendalikan defisit dan melakukan pembayaran
utang luar negeri yang jatuh tempo, yang pada gili-
rannya mengakibatkan terjadinya krisis politik dan
memicu berbagai kerusuhan sosial. Krisis keuangan
yang dialami Argentina tersebut terutama disebabkan
oleh ketidakmampuan negara tersebut untuk
menghimpun dana domestik yang cukup guna
memenuhi besarnya pembayaran kewajiban-kewa-
jiban pemerintah jangka pendek yang jatuh tempo.
Penurunan pendapatan dalam negeri selain disebab-
kan turunnya penerimaan pajak juga dikarenakan
merosotnya pendapatan dari ekspor akibat mele-
mahnya permintaan dunia dan kurang kompetitifnya
produk ekspor Argentina. Produk Argentina sulit
bersaing karena kebijakan peg mata uang peso
terhadap dolar AS dengan rasio 1:1 mengakibatkan
mata uang peso semakin overvalued.
Pasar Keuangan Internasional
Perkembangan pasar keuangan internasional
selama tahun laporan secara umum ditandai dengan
menguatnya nilai tukar dolar AS, menurunnya suku
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
200
bunga pasar uang, serta melemahnya harga saham
secara global. Meskipun kinerja ekonomi dan suku
bunga di AS memperlihatkan terjadinya penurunan,
nilai tukar dolar AS secara keseluruhan menguat
terhadap hampir sebagian besar mata uang dunia.
Hal ini menunjukkan bahwa mata uang dolar masih
menempati posisinya sebagai mata uang teraman di
dunia (safe heaven currency) terutama dalam kondisi
dimana risiko global semakin meningkat sepanjang
tahun laporan. Risiko global bahkan semakin mening-
kat pasca tragedi WTC yang mendorong investor
internasional lebih bersikap hati-hati dan cenderung
menghindari risiko (risk averse) dalam melakukan
investasi di negara-negara berkembang. Sebagai
akibatnya, aliran modal internasional lebih bersifat
flight to safety dan banyak tertahan serta mengalir
kembali ke pasar keuangan di negara-negara industri
maju terutama pasar keuangan AS.
Sementara itu, sejalan dengan melonggarnya
kebijakan moneter di berbagai negara guna men-
cegah terjadinya resesi ekonomi, suku bunga di pasar
uang internasional (money market) menunjukkan
kecenderungan menurun. Suku bunga LIBOR 6 bulan
rata-rata untuk dolar AS yang menjadi patokan
(benchmark) suku bunga simpanan beberapa mata
uang utama mengalami penurunan yang cukup besar
dari 6,6% pada akhir tahun 2000 menjadi 3,8% pada
akhir tahun laporan (Grafik 10.4). Meskipun demikian,
tingkat penurunan suku bunga simpanan beberapa
mata uang di pasar uang internasional ini relatif
beragam dengan memperhatikan perkembangan
tingkat inflasi di masing-masing negara.
Sejalan dengan terjadinya perlambatan ke-
giatan ekonomi di berbagai kawasan, perkembangan
harga saham di berbagai bursa saham dunia ditandai
dengan terjadinya penurunan indeks yang cukup
berarti. Penurunan indeks harga saham terutama
terjadi di pasar modal AS, yang pada gilirannya ber-
imbas secara global ke seluruh kawasan termasuk
ke negara-negara Asia yang perekonomiannya me-
miliki ketergantungan yang sangat tinggi terhadap
kinerja ekonomi AS. Penurunan harga saham ter-
utama terjadi pada sektor teknologi informasi dan
beberapa industri terkait seperti industri komponen
komputer dan elektronik, yang pada dasarnya
merupakan basis kekuatan industri di sejumlah
negara industri baru di Asia.
KER JA SAMA INTERNASIONAL
Selama tahun laporan, pembahasan pada
berbagai forum kerja sama internasional dan regional
menitikberatkan pada berbagai upaya untuk menga-
tasi perlambatan ekonomi melalui kebijakan moneter
dan fiskal yang tepat, penguatan sistem keuangan, dan
regional surveillance sebagai langkah guna mem-
perkuat pencegahan krisis. Selain itu, berbagai forum
juga membahas beberapa upaya pencegahan pem-
biayaan terorisme internasional sebagai respon terha-
Grafik 10.4
Perkembangan Suku Bunga LIBOR
0,00
1,50
3,00
4,50
6,00
Desember 2000 Maret 2001 Juni 2001
September 2001 Desember 2001
GBP-LIBOR USD-LIBOR JPY-LIBOR EURO-LIBOR
Persen
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
201
dap tragedi WTC. Perkembangan penting yang me-
warnai perdagangan dunia adalah bergabungnya RRC
dan Taiwan dalam World Trade Organization (WTO).
Kerja Sama di Bidang Moneter, Keuangan, dan
Perbankan
Dana Moneter Internasional (IMF)
Selama tahun laporan, isu-isu yang dibahas
oleh IMF meliputi: (i) upaya memperkuat sistem ke-
uangan internasional termasuk peran IMF, (ii) meram-
pingkan conditionality dan memperkuat ownership
negara-negara anggota dalam program IMF, (iii)
menghapus money laundering dan pembiayaan
terorisme, dan (iv) good governance. Dalam rangka
memperkuat sistem keuangan negara-negara
anggota, IMF berperan untuk mendorong kestabilan
makroekonomi dan keuangan sebagai prasyarat
untuk pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan,
mendorong kestabilan dan integritas sistem moneter
dan keuangan internasional sebagai public good,
serta membantu negara-negara anggota untuk
membangun sektor keuangan yang sehat.
IMF telah mengambil langkah-langkah untuk
merampingkan conditionality atas program kebijakan
dari negara anggota sehingga lebih efisien dan efektif.
Penerapan conditionality untuk reformasi struktural da-
pat dilakukan berdasarkan case by case basis dengan
menitikberatkan pada bidang-bidang yang sangat
menentukan keberhasilan stabilitas ekonomi makro
dan pertumbuhan yang berkelanjutan. Dalam rangka
meningkatkan ownership program-program reformasi
ekonomi oleh negara-negara anggota yang mendapat
pinjaman, IMF sedang mempelajari kemungkinan
penggunaan result based conditionality. Persyaratan
pencairan fasilitas IMF yang berdasarkan hasil-hasil
yang dicapai akan memberikan fleksibilitas dan
akuntabilitas yang lebih besar kepada negara-negara
tersebut dalam menentukan target-target yang akan
dicapai, sehingga ownership terhadap program-
program yang disepakati dengan IMF akan lebih tinggi.
Selanjutnya setelah terjadinya serangan
terhadap gedung WTC, isu mengenai combating
money laundering and financing of terrorism menjadi
perhatian utama dalam sidang-sidang IMF. IMFC
mengemukakan perhatian yang serius pada peng-
gunaan sistem keuangan internasional untuk mem-
biayai aksi teroris dan tindakan pencucian terhadap
aktivitas yang ilegal. Karenanya, IMF meminta
anggotanya untuk meratifikasi dan melaksanakan
resolusi PBB khususnya nomor 1.373 serta menyam-
but baik dan mendukung Special Recommendations
FATF mengenai pemberantasan pendanaan bagi
teroris. Dalam hal isu pengelolaan usaha yang sehat
(good governance), sidang sepakat agar IMF perlu
menangani permasalahan ini melalui langkah-langkah
khusus untuk mengatasi poor governance dan korupsi.
G-20
Kerjasama internasional dalam rangka G-20
dalam tahun laporan ditekankan kepada upaya-upa-
ya mencegah penggunaan sektor keuangan untuk
kegiatan terorisme, di samping membahas kebijakan-
kebijakan yang diperlukan untuk menghadapi kondisi
perekonomian dunia dewasa ini serta menghadapi
arus globalisasi. Langkah-langkah yang akan diambil
disusun dalam suatu Action Plan on Terrorist Finan-
cing, yang pokok-pokoknya mencakup :
(a) Pembekuan kekayaan (asset) milik terroris.
Setiap negara anggota akan menerapkan
resolusi-resolusi Dewan Keamanan PBB yang
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
202
relevan, terutama resolusi nomor 1373, untuk
menghentikan sumber keuangan/pembiayaan
terorisme.
(b) Penerapan standar internasional. Setiap negara
anggota akan meratifikasi dan menerapkan the
UN Convention for the Suppression of the Finan-
cing of Terrorism sesegera mungkin dan merati-
fikasi the UN Convention against Transactional
Organized Crime.
(c) Kerjasama internasional melalui pertukaran
informasi dan akses antaranggota G-20.
Selanjutnya setiap anggota akan membentuk atau
mempertahankan Satuan Intelijen Keuangan dan
mengambil langkah-langkah untuk saling tukar
informasi.
(d) Bantuan teknis. Negara-negara anggota,
sepanjang memungkinkan, akan menyediakan
bantuan teknis untuk mencegah pembiayaan
terorisme dan memberantas pencucian uang
(money laundering) bagi negara lainnya yang
membutuhkan bantuan teknis tersebut. Selain itu,
G-20 akan menghimbau lembaga-lembaga
internasional dan regional untuk memberikan
bantuan teknis tersebut.
(e) Kepatuhan dan pelaporan. Dalam hal ini negara-
negara anggota akan mengambil langkah-langkah
untuk memastikan agar lembaga-lembaga
keuangan dan semua warga negaranya mematuhi
aturan-aturan untuk memberantas pembiayaan
terorisme serta tindak pidana keuangan lainnya.
Manila Framework Group (MFG)
Selama tahun laporan, Manila Framework
Group (MFG) menitikberatkan kepada masalah-
masalah: (i) restrukturisasi sektor keuangan dan
korporasi; (ii) reformasi sistem keuangan interna-
sional; dan (iii) MFG Financing Arrangement. Selain
membahas isu-isu tersebut, MFG membahas pula isu
regional surveillance, dan berupaya memperkuat IMF
surveillance dengan melibatkan sektor swasta dalam
mengatasi krisis.
Kerja Sama Bank Sentral
Dalam periode laporan, kerja sama antarbank
sentral berjalan sebagaimana tahun-tahun
sebelumnya melalui berbagai forum antara lain
Executive Meeting of East Asia Pacific Central Bank
(EMEAP) dan South-East Asia Central Bank
(SEACEN).
Forum EMEAP
Dalam pembahasan isu ekonomi dan
keuangan, forum EMEAP menekankan pengaruh
perlambatan ekonomi AS dan global terhadap
ekonomi kawasan EMEAP serta potensi kerentanan
kawasan dalam menghadapi kemungkinan krisis.
Dalam rangka menghadapi perkembangan tersebut,
anggota EMEAP berpandangan perlunya menerap-
kan kebijakan yang tepat untuk mendorong permin-
taan domestik. Berkaitan dengan dengan upaya
mendorong stabilitas keuangan, beberapa negara
EMEAP telah menyoroti pendekatan “one-size-fits-
all” dalam implementasi standar internasional di
tengah perbedaan karakteristik dan kemampuan
anggota dalam menerapkan kebijakan tersebut.
Dengan memperhatikan respon kebijakan IMF ter-
hadap krisis Asia, EMEAP berpandangan bahwa
kebijakan IMF dalam menangani krisis telah me-
nimbulkan kesulitan ekonomi yang semakin dalam.
Dalam kaitan ini, IMF perlu mempertimbangkan
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
203
perbedaan fundamental ekonomi masing-masing
negara serta melakukan penyederhanaan condi-
tionality dan meningkatkan ownership negara-negara
yang dibantu dalam mendukung keberhasilan
program IMF.
SEACEN
Dalam periode laporan , berbagai topik telah
dibahas dalam forum SEACEN. Topik-topik yang
dibahas berkaitan dengan: (i) SEACEN Trust Fund
(STF), (ii) SEACEN Experts Group (SEG) on Capital
Flows, (iii) pembentukan Electronic Data Exchange
di SEACEN Centre, dan (iv) pemberian bantuan
keuangan oleh Jepang.
Dalam kerangka STF, SEACEN mencatat
beberapa kemajuan sepanjang tahun laporan, yaitu :
(i) diterimanya Bank of Mongolia secara resmi menjadi
anggota STF pada tanggal 17 Februari 2000, (ii)
dicapainya kesepakatan untuk meningkatkan dana
STF, dan (iii) dilakukannya upaya -upaya untuk
memperbaiki manajemen STF. Upaya-upaya per-
baikan manajemen antara lain dilakukan melalui
pemberian keleluasaan kepada Direktur Operasi
Investasi dan Pasar Keuangan Bank Negara Malaysia
sebagai signatory tambahan, dan mengembalikan
prosedur aplikasi bantuan beasiswa ke sistem yang
lama yang dipandang lebih efektif.
Sementara itu, SEACEN yang merupakan
lembaga yang menangani riset dan pelatihan bagi
bank sentral di Asia Tenggara telah berupaya
mengendalikan potensi risiko yang dapat timbul dari
volatilitas arus modal melalui pertemuan SEACEN
Expert Group (SEG) on Capital Flows. Dalam kerang-
ka ini pula, SEACEN memperkuat surveillance ter-
hadap arus modal negara-negara anggotanya melalui
pertukaran data dan informasi antaranggota SEG
dengan membentuk SEG Database.
Dalam periode laporan, Bank of Japan (BOJ)
juga telah menawarkan bantuan keuangan senilai
JPY 10 juta setiap tahunnya yang digunakan untuk
membiayai kegiatan pelatihan tertentu yang
diselenggarakan oleh SEACEN tanpa persyaratan
apapun kecuali pelatihan tersebut telah diidentifikasi
oleh BOJ. Semakin berkembangnya SEACEN Centre
telah menarik minat dua otoritas moneter, yaitu
Monetary Authority of Brunei dan Reserve Bank of
Fiji, untuk bergabung menjadi anggota SEACEN
Centre.
Kerja Sama di Bidang Pembangunan
Bank Dunia
Dalam tahun laporan, Bank Dunia terus
melanjutkan fokus pada isu penanganan kemiskinan
dan penguatan pertumbuhan khususnya bagi negara-
negara termiskin. Pembahasan dikaitkan dengan
empat topik utama, yaitu: (i) tindak lanjut Highly
Indebted Poor Countries (HIPC) Initiative dan Debt
Sustainability, (ii) penyempurnaan proses Poor
Reduction Growth Facility (PRGF) dan Poor Reduction
Strategy Paper (PRSP), (iii) perbaikan akses pasar
untuk ekspor negara berkembang, serta (iv) bantuan
bagi negara-negara yang baru mengalami konflik.
Langkah-langkah yang akan dilakukan Bank
Dunia menyangkut beberapa hal. Pertama, Bank
Dunia akan merekomendasikan strategi pemba-
ngunan yang berkelanjutan dan mendorong peme-
rataan ke negara-negara miskin dengan bantuan
dana dan pembukaan akses pasar oleh negara-
negara donor. Kedua, Bank Dunia akan meramping-
kan, memfokuskan, dan memprioritaskan condi-
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
204
tionality bagi program tersebut dengan berdasarkan
kepada strategi yang disusun sendiri oleh negara-
negara anggota (penyusunan PRGF dan PRSP)
dalam mendorong pertumbuhan dan mengatasi
kemiskinan. Ketiga, Bank Dunia bersama dengan
IMF akan memberikan bantuan teknis dan bantuan
capacity building untuk mempercepat proses pemu-
lihan negara-negara tersebut.
Bank Pembangunan Asia (ADB)
ADB akan terus berpartisipasi dalam pro-
gram-program pengentasan kemiskinan, pemberda-
yaan masyarakat, program good governance, serta
mendorong strategi pengembangan sektor swasta.
Di samping itu ADB juga berperan dalam upaya
pencegahan krisis dengan memberikan bantuan
kegiatan surveillance dengan bekerjasama dengan
Sekretariat ASEAN. Diharapkan di masa yang akan
datang inisiatif yang akan dilakukan ADB akan
berlanjut kepada upaya standarisasi statistik yang
digunakan serta metodologi sistem peringatan dini
(early warning system).
Kerja Sama Regional
Kerja Sama Ekonomi Asia Pasifik (APEC)
Dalam rangka mendorong pertumbuhan
ekonomi yang berkelanjutan, APEC telah berupaya
mengadopsi kebijakan moneter dan fiskal maupun
upaya mendorong policy dialogue mengenai ekonomi
makro termasuk upaya memperkuat sistem keuangan
internasional guna menciptakan landasan ekonomi
yang kuat bagi pertumbuhan ekonomi jangka panjang.
APEC juga telah menyatakan komitmen untuk mela-
kukan upaya lebih lanjut untuk mendorong liberalisasi
perdagangan dan investasi serta mendukung kuat
peluncuran putaran baru WTO. APEC menekankan
perlunya agenda putaran baru WTO untuk mema-
sukkan liberalisasi sektor pertanian, produk industri
dan jasa, memperkuat WTO rules, implementasi isu
serta memasukkan kepentingan dan perhatian
seluruh anggota khususnya negara berkembang
dalam menghadapi tantangan abad 21. Di samping
itu, anggota APEC juga menyadari kebutuhan untuk
memperkuat pengaturan dan pengawasan perban-
kan, good governance, dan financial disclosure, serta
memperkuat sistem keuangan domestik guna
menjamin konsistensi kebijakan makroekonomi,
memperkuat global financial sector surveillance, dan
melanjutkan upaya peningkatan efektifitas lembaga
keuangan internasional.
Perhimpunan Negara-negara Asia Tenggara
(ASEAN)
Dalam tahun laporan, berbagai pertemuan
telah diselenggarakan dalam kerangka ASEAN,
seperti ASEAN Central Bank Forum, ASEAN Finance
Minister and Central Bank Deputies, serta ASEAN
Finance Ministers. Perkembangan penting yang dapat
dicatat adalah kesepakatan mengenai fasilitas
Bilateral Swap Arrangement (BSA) yang bertujuan
memberikan bantuan keuangan jangka pendek dalam
bentuk swap kepada negara yang ikut serta dalam
Chiang Mai Initiative. Dalam tahun laporan, negara-
negara anggota ASEAN+3 —ASEAN dan ketiga
negara mitranya, yaitu Jepang, RRC, dan Korea—
telah menandatangani beberapa BSA. BSA tersebut
dilakukan antara Jepang dan Korea (sebesar $2
miliar), Jepang dan Thailand (sebesar $3 miliar),
Jepang dan Malaysia (sebesar $1 miliar), serta
Jepang dan Filipina ($3 miliar). Khusus untuk
Perekonomian Dunia dan Kerja Sama Internasional
205
Indonesia, sampai saat ini BSA belum dapat direali-
sasikan karena beberapa masalah yang belum dise-
pakati antara Indonesia dengan ketiga negara mitra
ASEAN tersebut. Masalah tersebut diantaranya
adalah belum jelasnya jumlah maksimum jaminan
pemerintah untuk fasilitas BSA yang diberikan.
Perkembangan lain adalah kelanjutan dari
pembentukan Task Force on ASEAN Currency and
Exchange Rate Regime. Negara-negara ASEAN telah
sepakat untuk melaksanakan feasibility study bagi ke-
mungkinan penerapan ASEAN Currency and Ex-
change Rate Mechanism dengan tujuan: (i) mening-
katkan stabilitas finansial terutama pada tingkat regio-
nal, (ii) menghindari kemungkinan krisis keuangan di
masa mendatang, dan (iii) menggalakkan perdaga-
ngan dan investasi melalui penurunan biaya transaksi.
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
206
bab 11 PROSPEK EKONOMI DANARAH KEBIJAKAN TAHUN 2002
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
207
b a b 11
PROSPEK EKONOMI DAN ARAH KEBIJAKAN TAHUN 2002
P rospek ekonomi tahun 2002 diperkirakan masih
menghadapi tantangan yang cukup berat. Adanya
ancaman resesi ekonomi global dan berbagai per-
masalahan struktural di dalam negeri menyebabkan
sumber-sumber pertumbuhan ekonomi menjadi
terbatas. Dengan asumsi kondisi sosial politik
semakin membaik, tekanan nilai tukar semakin
berkurang dan restrukturisasi ekonomi berjalan lebih
baik, pertumbuhan ekonomi tahun 2002 diprakirakan
akan mencapai kisaran 3,5%–4,0%.
Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi
masih akan lebih banyak bertumpu pada pertumbuhan
domestik terutama konsumsi swasta. Sementara itu,
kegiatan ekspor dan investasi masih belum begitu
menggembirakan. Prakiraan ini didasari oleh kondisi
ekonomi dunia yang belum akan pulih dalam waktu
dekat sehingga masih belum memberikan iklim yang
kondusif bagi ekspor serta menjadi salah satu kendala
masuknya arus modal luar negeri untuk mendorong
investasi swasta. Dari sisi fiskal, pengeluaran
pemerintah diprakirakan tumbuh melambat sehingga
belum mampu memberikan stimulus terhadap
perekonomian secara berarti. Selanjutnya, mengingat
permintaan domestik diharapkan dapat menjadi motor
pertumbuhan ekonomi, upaya yang lebih serius untuk
mempercepat penyelesaian berbagai permasalahan
mendasar dan faktor risiko dalam negeri menjadi
tantangan yang sangat penting untuk diselesaikan agar
momentum pemulihan ekonomi nasional yang ber-
kesinambungan dapat dipertahankan.
Dari sisi penawaran, hampir seluruh sektor
ekonomi diprakirakan akan memberikan kontribusi
positif terhadap pertumbuhan ekonomi di tahun
2002. Sejalan dengan masih dominannya peran
konsumsi sebagai mesin utama pertumbuhan, maka
sumbangan terbesar diperkirakan akan berasal dari
sektor industri pengolahan dan sektor perdagangan,
khususnya perdagangan ritel. Sementara itu, sektor
pertanian diperkirakan belum membaik akibat
kemungkinan datangnya badai El Nino. Kondisi ini
juga dipengaruhi oeh permasalahan yang ada di sisi
produksi dan distribusi pupuk. Komoditas per-
kebunan yang berorientasi ekspor diperkirakan
masih akan mendapat tekanan yang cukup berat
seiring dengan kondisi permintaan dunia yang belum
pulih. Sektor pertambangan diperkirakan tumbuh
positif namun masih relatif rendah terutama akibat
masih tingginya gangguan keamanan pada sektor
ini serta masih lemahnya permintaan luar negeri
terhadap beberapa komoditas tambang. Sektor
lainnya seperti bangunan diprakirakan akan bangkit
sejalan dengan akan direalisasikannya beberapa
proyek besar seperti Jakarta Outer Ring Road
(JORR) dan mulai maraknya penyediaan perumahan
seiring dengan meningkatnya kredit untuk pe-
rumahan.
Sementara itu, nilai tukar rupiah diprakirakan
dapat kembali menguat meskipun masih terdapat
potensi tekanan depresiasi. Di samping faktor
struktural ekonomi, perkembangan nilai tukar di tahun
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
208
2002 akan sangat dipengaruhi oleh sentimen pelaku
pasar terhadap beberapa perkembangan ekonomi
politik seperti masalah kesinambungan fiskal dan
beberapa peristiwa politik menjelang sidang tahunan
MPR. Nilai tukar rupiah diprakirakan secara rata-rata
akan berada pada kisaran Rp9.500/$–Rp10.500/$.
Penguatan nilai rupiah secara signifikan diharapkan
dapat terjadi pada pertengahan tahun sejalan dengan
terus membaiknya risiko politik, keuangan, dan eko-
nomi. Prakiraan tersebut juga didukung oleh mem-
baiknya kinerja neraca pembayaran yang terutama
disebabkan oleh membaiknya lalu lintas modal.
Proyeksi ini akan lebih optimis apabila dalam waktu
dekat terdapat kemajuan dalam pelaksanaan
program-program ekonomi pemerintah sehingga
dapat memperbaiki persepsi pelaku pasar, termasuk
adanya kemajuan yang signifikan dalam penjualan
aset oleh BPPN dan privatisasi BUMN.
Tekanan laju inflasi pada tahun 2002 dipra-
kirakan akan masih tinggi yang bersumber dari
tingginya ekspektasi inflasi, meningkatnya per-
mintaan yang kurang diimbangi oleh peningkatan
penawaran serta dampak kebijakan pemerintah di
bidang harga dan pendapatan. Intensitas tekanan
inflasi diprakirakan akan semakin bertambah apabila
pengaruh El Nino mengakibatkan terjadinya gang-
guan produksi dan distribusi pangan yang sangat
signifikan. Memperhatikan berbagai faktor di atas,
sasaran inflasi IHK di tahun 2002 ditetapkan pada
kisaran 9%–10%.
Untuk mencapai sasaran inflasi yang cukup
realistis tersebut, kebijakan moneter akan dilakukan
secara berhati-hati dan terukur agar kestabilan harga
tetap terjaga untuk mendukung proses pemulihan
ekonomi yang sedang berjalan, sehingga dalam
jangka panjang dapat dicapai pertumbuhan ekonomi
yang berkesinambungan. Secara operasional, Bank
Indonesia akan mengoptimalkan instrumen-instrumen
moneter terutama melalui operasi pasar terbuka
(OPT) dan sterilisasi valas guna mengurangi tekanan
terhadap inflasi dan nilai tukar rupiah. Di samping itu,
upaya untuk memulihkan fungsi intermediasi per-
bankan akan terus dilakukan antara lain dengan lebih
mendorong perbankan agar menyalurkan kredit ke
sektor-sektor ekonomi yang telah siap dan memiliki
risiko relatif lebih rendah.
Selanjutnya, mengingat konsumsi masih
akan merupakan motor utama pertumbuhan ekonomi
di tahun mendatang maka diperlukan berbagai
kebijakan untuk mengatasi berbagai kendala pembia-
yaan dan distribusi di sisi penawaran agar kenaikan
konsumsi tidak menimbulkan dampak kenaikan harga
yang berlebihan. Di samping itu, dengan banyaknya
faktor-faktor nonmoneter yang mempengaruhi inflasi,
koordinasi dengan berbagai pihak khususnya peme-
rintah mutlak diperlukan untuk meminimalkan dampak
tekanan inflasi yang berasal dari kebijakan peme-
rintah, penurunan pasokan dan terganggunya distri-
busi barang dan jasa.
Optimisme terhadap beberapa indikator yang
dijadikan asumsi dasar dalam menyusun proyeksi di
atas masih dihadapkan pada berbagai tantangan dan
risiko ketidakpastian. Walaupun faktor tersebut telah
diidentifikasi pada tahun sebelumnya, upaya pe-
nanganannya masih belum menunjukkan kemajuan
yang berarti sehingga dapat meningkatkan ekspektasi
negatif masyarakat terhadap proses pemulihan
ekonomi. Untuk itu, percepatan penanganan berbagai
masalah tersebut harus dilakukan agar dapat me-
ngembalikan kepercayaan masyarakat.
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
209
TANTANGAN KE DEPAN
Memperhatikan proses penanganan ber-
bagai permasalahan mendasar dan faktor risiko di
tahun 2001 yang tidak secepat dari yang diperkira-
kan, tantangan yang dihadapi dalam upaya pengen-
dalian moneter di tahun 2002 cenderung akan
semakin berat. Upaya mengatasi berbagai faktor
risiko dan ketidakpastian tersebut akan menjadi kunci
keberhasilan untuk menjamin prospek pemulihan
ekonomi yang lebih baik pada tahun-tahun menda-
tang. Berbagai faktor risiko dan ketidakpastian
tersebut mencakup :
• Pertama, akselerasi penyelesaian restukturisasi
utang perusahaan- baik utang luar negeri
maupun utang kepada perbankan dalam negeri-
relatif berjalan lambat. Kondisi ini telah menye-
babkan peningkatan kegiatan ekonomi dan
penyaluran kredit perbankan tidak dapat berjalan
lebih cepat, karena sebagian besar perusahaan
yang masih dalam proses restrukturisasi tersebut
merupakan komponen terbesar dari per-
ekonomian nasional. Masih tingginya utang luar
negeri yang belum direstrukturisasi juga mencer-
minkan potensi terjadinya tekanan depresiasi
nilai tukar apabila permintaan valuta asing (valas)
untuk pembayaran utang luar negeri tidak
terpenuhi oleh pasar.
• Kedua, proses intermediasi perbankan yang
belum sepenuhnya berjalan normal. Ekspansi
kredit perbankan masih terbatas sejalan dengan
masih tingginya risiko usaha di sektor riil dan
masih berlangsungnya konsolidasi internal di
sektor perbankan. Kondisi ini sangat membatasi
sumber pembiayaan kegiatan ekonomi, sehingga
kegiatan ekonomi lebih banyak dibiayai oleh dana
sendiri (self-financing). Selanjutnya, terbatasnya
sumber pembiayaan dari sektor perbankan terkait
erat dengan keengganan bank untuk mena-
namkan kelebihan likuiditasnya ke dalam bentuk
kredit. Hal ini dikuatirkan akan menjadi sarana
berspekulasi yang pada gilirannya dapat memberi
tekanan terhadap nilai tukar dan inflasi.
• Ketiga, beban keuangan pemerintah yang berat.
Beban pembayaran utang pemerintah dan penge-
luaran subsidi yang relatif masih tinggi meng-
akibatkan upaya memberikan stimulus pertum-
buhan ekonomi menjadi terbatas. Dengan posisi
utang luar negeri yang relatif besar, upaya untuk
mengurangi beban anggaran pemerintah akan
sangat tergantung pada keberhasilan negosiasi
Paris Club III.
• Keempat, relatif masih tingginya ketidakpastian
hukum. Kondisi ini selain memicu timbulnya
persepsi negatif investor luar negeri juga memper-
sulit upaya perbaikan country risk Indonesia se-
hingga membawa dampak yang kurang mengun-
tungkan bagi upaya restrukturisasi utang luar
negeri serta mengurangi minat investor asing
untuk melakukan investasi di Indonesia.
• Kelima, munculnya berbagai peraturan baru yang
terkait dengan pelaksanaan otonomi daerah
sehingga menyebabkan kurang kondusifnya iklim
investasi di daerah. Di samping itu, pemanfaatan
Dana Alokasi Umum (DAU) secara tidak efisien
menyebabkan stimulus ekonomi dari sektor
pemerintah menjadi semakin terbatas.
• Keenam, di sisi eksternal, meskipun diperkirakan
akan mulai membaik pada semester kedua,
secara keseluruhan perekonomian dunia masih
akan mengalami resesi pada tahun 2002. Kondisi
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
210
ini akan sangat berpengaruh terhadap kinerja
sektor eksternal ekonomi Indonesia. Di samping
itu, pemberlakuan Asean Free Trade Area (AFTA)
sejak awal tahun 2002, di satu sisi dapat mem-
buka peluang ekspor, namun di sisi lain akan
mendorong masuknya pesaing luar negeri yang
dapat mengancam kinerja produsen dalam
negeri.
PROSPEK EKONOMI GLOBAL
Pertumbuhan Ekonomi dan Perdagangan Dunia
Perlambatan ekonomi global yang terjadi di
tahun 2001 diprakirakan masih akan berlanjut di
tahun 2002. Perlambatan ini tidak terlepas dari
kebijakan moneter ketat yang diterapkan oleh mayo-
ritas negara maju dalam dua tahun terakhir untuk
meredam tekanan permintaan domestik yang
dianggap terlalu tinggi. Namun demikian, kebijakan
tersebut ternyata menimbulkan dampak kontraksi
yang lebih besar dan lebih cepat dari prakiraan.
Sementara itu, tragedi WTC telah menimbulkan
kekhawatiran terjadinya kontraksi pertumbuhan
ekonomi yang lebih besar sehingga memicu mayo-
ritas negara maju untuk melakukan ekspansi moneter
dan fiskal secara lebih agresif untuk kembali men-
dorong permintaan. Berdasarkan hal tersebut, IMF
memperkirakan pertumbuhan ekonomi dunia
sebesar 2,4% pada tahun 20021 dimana pemulihan
kegiatan ekonomi yang signifikan diharapkan akan
terjadi pada semester II tahun 2002. Sejalan dengan
itu, pertumbuhan volume perdagangan dunia diper-
kirakan juga akan sedikit meningkat dari 1,3% di
tahun 2001 menjadi 2,5% di tahun 2002.
Pertumbuhan ekonomi negara-negara maju
secara umum diprakirakan masih akan melambat.
Perekonomian Amerika Serikat yang menjadi lokomotif
ekonomi global akan mengalami perlambatan dan
hanya akan tumbuh sebesar 0,7% di tahun 2002.
Perekonomian Uni Eropa hanya akan tumbuh sebesar
1,3% di tahun 2002 yang utamanya disebabkan oleh
melemahnya permintaan domestik di Jerman.
Sementara itu, perekonomian Jepang yang telah
mengalami resesi ekonomi lebih dari satu dasawarsa,
diprakirakan akan semakin memburuk dengan
pertumbuhan sebesar –1,0% di tahun 2002. Sedang-
kan pertumbuhan ekonomi negara industri baru di Asia
seperti Korea Selatan, Singapura, Hong Kong, dan
Taiwan diprakirakan akan tumbuh masing-masing
sebesar 3,2%, 1,2%, 1,0% dan 0,7%.
Meskipun kondisi perekonomian global masih
diliputi oleh ketidakpastian dan risiko yang tinggi
namun peluang terjadinya proses pemulihan ekonomi
yang lebih cepat diprakirakan masih terbuka. Selain1 IMF, World Economic Outlook, Desember 2001
Tabel 11.1
Pertumbuhan Ekonomi Di Berbagai Kawasan Dunia
Rincian 2000* 2001** 20022)
Pertumbuhan Ekonomi Dunia 4,7 2,4 2,4Negara Industri 3,9 1,1 0,8
Amerika Serikat 4,1 1,0 0,7Jepang 2,2 –0,4 –1,0Uni Eropa 3,4 1,7 1,3Negara Industri Baru Asia 8,2 0,4 2,0
Negara Berkembang 5,8 4,0 4,4Afrika 2,8 3,5 3,5Asia 6,8 5,6 5,6China 8,0 7,3 6,8ASEAN - 41) 5,0 2,3 2,9Amerika Latin 4,1 1,0 1,7Negara Transisi 6,3 4,9 3,6
Sumber : IMF, World Economic Outlook, Desember 2001
1) Terdiri dari Indonesia, Malaysia, Filipina dan Thailand
2) Angka Proyeksi
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
211
didorong oleh adanya dukungan kebijakan moneter
dan fiskal yang lebih longgar, proses membaiknya
kepercayaan konsumen yang berlangsung lebih cepat
diprakirakan akan mampu mempercepat terjadinya
pemulihan ekonomi global. Di samping itu, relatif
masih rendahnya harga minyak dan membaiknya
kondisi pasar teknologi informasi juga akan mampu
mendorong produktivitas serta mempercepat pemu-
lihan kapasitas produksi.
Prospek ekonomi di negara berkembang,
kecuali beberapa negara tertentu seperti Cina dan
India, secara umum masih akan cenderung kurang
menggembirakan. Pertumbuhan ekonomi di Ame-
rika Latin ditengarai akan mengalami penurunan
yang paling buruk yang utamanya dipengaruhi oleh
terjadinya krisis keuangan dan kondisi politik yang
tidak menentu di Argentina dan krisis energi di Brasil.
Inflasi dan Sukubunga Internasional
Dengan melemahnya permintaan dunia serta
kecenderungan menurunnya harga minyak di pasar
internasional, inflasi dunia diprakirakan akan semakin
menurun di tahun 2002. Kecenderungan menurunnya
inflasi terutama akan dialami oleh mayoritas negara
maju. Sementara itu inflasi di negara-negara ber-
kembang akan banyak dipengaruhi oleh perkem-
bangan di sektor eksternalnya. Terkait dengan hal
tersebut inflasi di negara maju akan mencapai 1,3%.
Sementara itu inflasi di negara-negara berkembang
akan mencapai 5,3%.
Untuk menangkal berlanjutnya penurunan
permintaan agregat, kebijakan moneter di negara-
negara maju diprakirakan masih akan cenderung
longgar sehingga perkembangan suku bunga pasar
jangka pendek akan cenderung masih rendah.
Sementara itu, suku bunga jangka panjang akan relatif
lebih tinggi seiring dengan ekspektasi membaiknya
kondisi perekonomian dunia.
Prospek Harga Komoditas Pasar Internasional
Secara umum, harga pasar komoditas inter-
nasional di tahun 2002 cenderung masih rendah.
Selain disebabkan oleh lemahnya permintaan, sulit-
nya mendongkrak harga komoditas juga disebab-
kan oleh tingginya tingkat produksi di tahun sebe-
lumnya sehingga terjadi penumpukan persediaan
barang yang cukup besar. Terkait dengan hal ter-
sebut, tingkat harga beberapa komoditas ekspor
Indonesia seperti komoditas tambang dan pertanian
diprakirakan masih akan menghadapi tekanan yang
cukup berat. Di samping itu, kondisi permintaan
yang lemah dapat memicu terjadinya persaingan
harga yang semakin tajam sehingga merugikan
negara eksportir. Dengan demikian, untuk mengu-
rangi pengaruh tekanan harga bagi Indonesia,
perluasan dan diversifikasi pasar penting dilakukan
meskipun secara teknis ketergantungan terhadap
pasar tradisional seperti Amerika Serikat dan
Tabel 11.2
Perkembangan Inflasi dan Suku Bunga Internasional
Rincian 2000 2001 2002
Tingkat Inflasi
Negara Industri 2,3 2,3 1,3
Negara Berkembang 5,9 6,0 5,3
Negara Transisi 20,1 16,0 11,0
Suku Bunga Jangka Pendek
Amerika Serikat 6,6 3,8 2,8
Jepang 0,3 0,2 0,1
Uni Eropa 4,6 4,1 2,9
Sumber : IMF, World Economic Outlook, Desember 2001
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
212
Jepang relatif masih akan sulit diatasi dalam jangka
pendek.
Relatif lemahnya pertumbuhan ekonomi
negara maju juga akan mendorong turunnya harga
minyak sehingga cenderung bergerak dalam batas
bawah kisaran harga yang disepakati oleh anggota
OPEC, yaitu $22/barel. Hal ini antara lain disebabkan
oleh kebutuhan musim dingin yang relatif normal serta
relatif tingginya persediaan minyak Amerika Serikat
akibat adanya kelebihan pasok pasar minyak
internasional di tahun 2001.
Untuk mendorong stabilitas harga minyak
agar kembali pada kisaran harga $22 – $28 per barel,
negara anggota OPEC telah sepakat untuk melaku-
kan pengurangan kuota produksi minyak sebesar 1,5
juta barel per hari sejak 1 Januari 2002. Meskipun
demikian, agar kebijakan tersebut dapat berjalan
efektif, pengurangan jumlah kuota produksi OPEC
perlu diimbangi pula dengan kebijakan serupa oleh
negara penghasil minyak non OPEC seperti Rusia,
Norwegia, Oman dan Mexico. Terkait dengan kebi-
jakan OPEC tersebut, kuota produksi minyak
Indonesia diperkirakan akan berkurang sekitar 77 ribu
barel per hari.
PROSPEK EKONOMI INDONESIA
Pertumbuhan ekonomi tahun 2002 dipra-
kirakan masih akan relatif lebih tinggi dibandingkan
dengan pertumbuhan tahun sebelumnya. Hal ini
antara lain ditunjukkan oleh pergerakan Leading
Indikator Ekonomi (LIE) (Grafik 11.2) yang masih
menunjukkan kecenderungan yang meningkat.
Tingginya pertumbuhan ekonomi juga didukung oleh
hasil survei yang menunjukkan adanya peningkatan
tingkat hunian(occupancy rate) kantor.
Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi
diprakirakan masih akan bersumber dari mening-
Grafik 11.2
Leading Indikator Ekonomi
1996 1997 1998 1999 2000 2001 2001
PDB (Aksis Kiri)
Komposit (Aksis Kanan)
Trend Komposit (Aksis Kanan)
9 3 6 9 3 6 9 3 6 9 3 6 9 3 6 9 3
1,4
1,3
1,3
1,1
1,0
0,9
0,8
0,7
0,6
0,5
15,0
10,0
5,0
0,0
-5,0
-10,0
-15,0
-20,0
Persen
Grafik 11.1
Perkembangan Harga Komoditi Ekspor
Harga Internasional Komoditi Perkebunan
0
1000
2000
3000
4000
5000
6000
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100Kokoa Minyak Sawit Kayu
Kopi (aksis kanan) Karet (aksis kanan)
1/5 1/19 2/2 2/16 3/2 3/163/30 4/134/275/11 5/25 6/8 6/22 7/6 7/20 8/3 8/178/319/149/2810/1210/2611/911/2312/712/21
2 0 0 1
0
50
100
150
200
250
300
350
400Nikel (aksis kanan) Timah (aksis kanan) Tembaga
Timbal
Aluminium
1/5 1/19 2/2 2/16 3/2 3/16 3/30 4/13 4/27 5/11 5/25 6/8 6/22 7/6 7/20 8/3 8/17 8/31 9/14 9/2810/1210/26 11/911/2312/712/21
2 0 0 1
Harga Internasional Komoditi PertambanganIndeks
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
213
ekspor relatif lemah, pertumbuhan impor diprakirakan
masih akan cukup tinggi yang terutama didorong oleh
masih kuatnya permintaan domestik.
Relatif tingginya pertumbuhan konsumsi
antara lain didukung oleh hasil survei konsumen
rumah tangga yang masih menunjukkan kecen-
derungan yang optimis didorong oleh ekspektasi
membaiknya penghasilan dalam periode 6 – 12 bulan
mendatang serta ekspektasi membaiknya kondisi
makroekonomi (Grafik 11.3). Dari sisi pembiayaan,
kecenderungan meningkatnya penyaluran kredit
konsumsi juga masih akan berlanjut sehingga
pengeluaran konsumsi untuk barang-barang tahan
lama juga akan meningkat. Optimisme kenaikan
konsumsi masyarakat tercermin pula dari perilaku
produsen yang banyak melakukan impor bahan baku
dan barang modal - di tengah kondisi ekspor yang
menurun - di tiga triwulan pertama tahun 2001.
Konsumsi pemerintah masih akan mampu
tumbuh meskipun lebih rendah dibandingkan tahun
sebelumnya seiring dengan menurunnya
pengeluaran rutin pemerintah. Dilihat dari alokasinya,
keterbatasan pemerintah untuk mendorong
katnya permintaan domestik terutama untuk kegiatan
konsumsi, sementara permintaan luar negeri dipra-
kirakan masih rendah akibat lemahnya permintaan
dari mayoritas negara yang menjadi pasar tradisional
produk ekspor Indonesia. Dari sisi penawaran,
tingginya permintaan dalam negeri tersebut
diprakirakan akan diimbangi oleh peningkatan kinerja
di sektor industri pengolahan, sektor perdagangan,
dan sektor transportasi. Secara keseluruhan ekonomi
Indonesia tahun 2002 akan tumbuh dalam kisaran
3,5%–4,0%.
Di samping berbagai faktor risiko yang
berasal dari dalam negeri, proyeksi angka per-
tumbuhan tersebut pada dasarnya akan sangat
tergantung pada kecepatan pemulihan kegiatan
perdagangan luar negeri serta perkembangan harga
komoditas di pasar internasional. Sebagaimana
diungkapkan sebelumnya, perkembangan harga
komoditas ekspor utama Indonesia termasuk minyak
mentah cenderung masih akan tertekan di pasar
internasional. Dapat dikemukakan, adanya penuru-
nan harga minyak sebesar $2/barel secara agregat
diprakirakan dapat menyebabkan turunnya pertum-
buhan ekonomi kurang lebih sebesar 0,23%.
Prospek Permintaan
Dari sisi permintaan, kegiatan ekonomi di
tahun 2002 masih akan disumbang oleh pertumbuhan
permintaan domestik. Konsumsi yang telah mencatat
pertumbuhan yang signifikan di tahun 2001 di-
prakirakan masih akan mampu tumbuh positif di tahun
2002. Pertumbuhan investasi diperkirakan akan
meningkat, sedangkan pertumbuhan ekspor dipra-
kirakan masih akan terbatas sejalan dengan masih
lemahnya permintaan eksternal. Meskipun kegiatan
Total Konsumsi 6,2 4,3 - 4,8
Konsumsi Swasta 5,9 4,3 - 4,8
Konsumsi Pemerintah 8,2 4,8 - 5,3
Total Investasi 4,0 6,0 - 6,5
Ekspor Barang dan Jasa 1,9 2,3 - 2,8
Impor Barang dan Jasa 8,1 8,3 - 8,8
PDB Riil 3,3 3,5 - 4,0
J e n i s2001** 20021)
Tabel 11.4
Pertumbuhan PDB Menurut Pengeluaran
1) Angka Proyeksi Bank Indonesia
Persen
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
214
pertumbuhan konsumsi disebabkan oleh relatif masih
tingginya alokasi pengeluaran beban pembayaran
bunga utang pemerintah dan subsidi yang di-
anggarkan dalam APBN 2002. Meskipun demikian,
pangsa pengeluaran APBN 2002 untuk Dana Alokasi
Umum yang mencapai lebih dari 20% dari total belanja
pemerintah diharapkan mampu mendorong konsumsi
terutama pada lapisan masyarakat di daerah.
Kegiatan investasi diprakirakan masih akan
tumbuh positif di tahun mendatang. Di satu sisi,
kecenderungan pasar internasional saat ini yang
semakin cenderung berhati-hati kemungkinan masih
akan berlanjut hingga mempersulit upaya untuk
menarik masuk investor luar negeri. Namun dari sisi
yang lain, berbagai data mikro masih memperlihatkan
adanya minat investasi yang cukup tinggi. Tingginya
minat investasi juga didukung oleh hasil survei
kegiatan usaha yang masih menunjukkan kecen-
derungan yang positif. Beberapa perusahaan besar
di sektor pertambangan dan industri pengolahan
bahkan telah merencanakan ekspansi yang cukup
tinggi di tahun 2002. Dengan kecenderungan
persetujuan PMA dan PMDN yang menurun, pertum-
buhan investasi di tahun mendatang diprakirakan
akan lebih banyak dilakukan oleh perusahaan yang
telah lama mapan di Indonesia.
Sementara dari sisi pembiayaan,
pertumbuhan investasi diharapkan dapat didukung
oleh peningkatan kegiatan intermediasi perbankan
domestik, di samping pembiayaan dari supplier dan
sumber internal perusahaan. Selain itu, dengan
adanya kesungguhan pemerintah untuk memacu
investasi termasuk diantaranya rencana pendirian
lembaga penyedia dana investasi serta rencana
peningkatan penyaluran kredit untuk usaha kecil dan
menengah (UKM), diharapkan peluang untuk
memacu kegiatan investasi swasta akan semakin
terbuka. Di samping kondisi fundamental ekonomi
yang lebih kondusif, membaiknya kondisi sosial politik
diharapkan dapat lebih mendorong optimisme
pengusaha untuk tidak lagi menunda realisasi
investasinya di Indonesia.
Pertumbuhan investasi pemerintah
diprakirakan akan masih terbatas bahkan sedikit lebih
rendah dibandingkan tahun sebelumnya. Relatif
rendahnya pertumbuhan investasi pemerintah
terutama disebabkan oleh terbatasnya sumber
pembiayaan pemerintah khususnya pinjaman program
dan pinjaman proyek. Dari sisi APBN, keterbatasan
mobilisasi pembiayaan tersebut tercermin dari rencana
defisit APBN 2002 yang menurun dari 3,7% PDB di
tahun 2001 menjadi 2,5% PDB di tahun 2002. Secara
nominal, total pengeluaran pemerintah untuk
pengeluaran investasi diprakirakan akan mencapai
Rp77,7 triliun dimana sebesar 32,6% dari jumlah
tersebut dialokasikan kepada pemerintah daerah.
Dari sisi eksternal, pertumbuhan ekspor
diprakirakan akan meningkat meskipun relatif rendah
Grafik 11.3
Survei Ekspektasi Konsumen
0
20
40
60
80
100
120
140
160
180
Apr. Mei Jun. Jul. Ags. Sep. Okt. Nov. Des.
Kondisi Ekonomi
Kondisi Keuangan
2 0 0 1
Persen
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
215
akibat kondisi perekonomian dunia yang diprakirakan
baru akan pulih pada paro kedua tahun 2002. Pertum-
buhan ekspor diprakirakan akan lebih banyak
didorong oleh peningkatan ekspor nonmigas meski-
pun beberapa komoditas diprakirakan masih akan
mendapat tekanan yang cukup berat. Sementara itu,
ekspor migas diprakirakan akan mengalami
pertumbuhan negatif akibat harga minyak yang masih
cenderung rendah serta diturunkannya kuota produksi
minyak Indonesia. Beberapa komoditas ekspor
nonmigas yang diprakirakan akan terkena dampak
melemahnya perekonomian negara maju antara lain
adalah produk pipa baja (70% pasar ekspor pipa baja
ke Amerika Serikat), tekstil (26% pasar tekstil ke
Amerika Serikat) serta produk kerajinan dan furniture
untuk pasar Eropa (Jerman dan Denmark). Gambaran
pertumbuhan ekspor yang relatif kurang meng-
gembirakan tersebut didukung oleh data-data awal
dari berbagai asosiasi yang menunjukkan berkurang-
nya permintaan dari negara-negara yang secara
tradisional menjadi tujuan pasar ekspor.
Di samping faktor permintaan dunia,
rendahnya pertumbuhan ekspor juga dipengaruhi oleh
harga komoditas di pasar internasional yang secara
umum belum akan mencatat peningkatan berarti.
Tingkat harga yang relatif rendah diprakirakan masih
akan dialami oleh beberapa komoditas andalan
seperti komoditas pertanian dan komoditas tambang
termasuk minyak mentah. Faktor lain yang
mempengaruhi ekspor adalah tendensi meningkatnya
persaingan eksportir di pasar internasional akibat
menciutnya permintaan global, sehingga mempenga-
ruhi kemampuan daya saing produk ekspor Indonesia.
Selain itu, faktor kekhawatiran pihak luar negeri me-
ngenai kesinambungan pasokan ekspor akibat
persepsi negatif mengenai situasi keamanan di
Indonesia diprakirakan juga masih ada.
Sementara itu, pertumbuhan impor
diprakirakan masih cukup tinggi yang terutama di-
sebabkan oleh masih tingginya konsumsi masyarakat
serta sedikit meningkatnya pertumbuhan ekspor. Di
samping permintaan domestik yang cukup tinggi,
harga komoditas dunia cenderung masih rendah serta
nilai tukar yang relatif menguat diprakirakan akan
memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan
impor. Faktor lain yang mendorong pertumbuhan
impor ditengarai oleh terbatasnya kapasitas produksi
beberapa komoditas pertanian baik akibat adanya
penurunan produktivitas maupun terjadinya gang-
guan alam. Meskipun demikian, beberapa kebijakan
pemerintah yang bertujuan untuk mengurangi
tingginya ketergantungan terhadap barang impor baik
melalui kebijakan untuk merangsang peningkatan
produksi dalam negeri maupun dengan kebijakan
proteksi perdagangan akan sedikit banyak meredam
serbuan barang impor dalam tahun mendatang.
Prospek Penawaran
Secara sektoral, pertumbuhan ekonomi yang
moderat di tahun 2002 akan disumbang oleh hampir
seluruh sektor ekonomi dengan sumbangan terbesar
masih berasal dari sektor industri pengolahan dan
sektor perdagangan.
Kinerja sektor pertanian pada tahun 2002
diperkirakan belum membaik, terutama pada tanaman
pangan. Hal ini disebabkan oleh adanya kemungkinan
datangnya badai El Nino, permasalahan distribusi
pupuk ke petani sehubungan dengan dibebaskannya
produsen mengekspor pupuk ke luar negeri, dan
terbatasnya pembiayaan kepada petani. Pemenuhan
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
216
kebutuhan pupuk dalam negeri diperkirakan masih
kurang mengingat belum optimalnya produksi pupuk
di Aceh akibat masih tersendatnya pasokan gas dari
Exxon. Produksi tahun 2002 diperkirakan mengalami
penurunan sebesar 1,89% akibat turunnya luas
panen.2
Sementara itu, sebagai dampak menurun-
nya permintaan luar negeri, ekspor produk pertanian,
seperti kayu, karet, kopi, dan teh, diperkirakan masih
melemah. Penurunan produksi yang cukup besar
diprakirakan akan dialami komoditas kopi yang
menurun sekitar 20%–25%. Penurunan tersebut
diperkirakan akibat kurangnya pemeliharaan kebun
kopi rakyat -khususnya dalam pemupukan- akibat
rendahnya pendapatan petani dari hasil penjualan
biji kopi yang harganya turun. Sementara itu,
subsektor kehutanan diprakirakan belum menunjuk-
kan kinerjanya yang berarti karena adanya kerusak-
an hutan yang cukup parah serta maraknya penja-
rahan, pencurian, dan penyelundupan kayu.
Namun di sisi lain, produksi 4 komoditas
holtikultura unggulan, yaitu buah-buahan, sayuran,
aneka tanaman, dan tanaman hias, di tahun 2002
diprakirakan meningkat 17%, yakni dari 16,1 juta ton
menjadi 18,9 juta ton. Selain itu, produksi ternak dan
hasil ternak diprakirakan juga meningkat sehingga
memberikan sumbangan positif terhadap kinerja
sektor pertanian seperti halnya pada tahun 2001.
Sektor pertambangan diprakirakan akan
tumbuh positif, meskipun masih relatif rendah. Faktor
keamanan dan ketidakpastian hukum, terutama pada
aktivitas penambangan liar, masih menjadi masalah
pada sektor ini. Selain itu, permintaan ekspor barang
tambang, seperti timah, tembaga, nickel, aluminium,
dan batu bara, diperkirakan akan mengalami penu-
runan. Namun demikian, investasi di bidang pertam-
bangan diantaranya oleh British Petroleum, Exxon
Mobil, Unocal, dan Gulf untuk eksplorasi minyak dan
gas di wilayah Jawa Tengah dan Papua diperkirakan
masih tetap berlangsung.
Sektor industri pengolahan diprakirakan
masih menjadi motor penggerak ekonomi yang
terutama didorong oleh tingginya permintaan do-
mestik. Hal ini dapat dilihat dari prakiraan mening-
katnya utilisasi industri. Diantara industri-industri
manufaktur yang berencana untuk menambah jumlah
produksinya atau meningkatkan tingkat utilisasinya
di tahun 2002 adalah industri perakitan sepeda motor,
industri elektronika, industri minuman, industri ban,
industri semen, industri farmasi, industri pakan ternak,
dan industri plastik. Selain itu, beberapa industri
bahkan berencana untuk melakukan ekspansi,
diantaranya adalah industri lampu, industri perce-
takan, dan industri kemasan. Sementara itu, sebagai
dampak dari lesunya perekonomian Amerika Serikat
S e k t o r2001** 20021)
Pertanian 0,6 -0,2 – 0,3
Pertambangan -0,6 0,7 – 1,2
Industri Pengolahan 4,3 5,0 – 5,5
Listrik 8,4 9,4 – 9,9
Bangunan 4,0 3,9 – 4,4
Perdagangan 5,1 5,3 – 5,8
Angkutan 7,5 6,5 – 7,0
Keuangan 3,0 3,3 – 3,8
Jasa 2,0 1,5 – 2,0
Total 3,3 3,5 – 4,0
Tabel 11.4
Pertumbuhan PDB Menurut Lapangan Usaha
1) Angka Proyeksi Bank Indonesia
Persen
2 Angka Ramalan I BPS bulan Februari 2002
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
217
naik rata-rata 4,7% hingga 9,4%. Maraknya bisnis
properti ini ditunjang oleh trend yang meningkat pada
penjualan semen dan prakiraan meningkatnya kredit
di sektor properti sebesar 15,6% dibandingkan
dengan tahun 2001.
Sektor perdagangan diprakirakan akan
tumbuh cukup tinggi. Pasar ritel daerah Bogor -
Tangerang-Bekasi diperkirakan akan mulai bergairah
di tahun 2002, sedangkan pasar ritel Jakarta sudah
mulai bergerak tahun 2001. Pertumbuhan penjualan
ritel untuk tahun 2002 diperkirakan sebesar 15%. Hal
ini antara lain didukung oleh adanya rencana penam-
bahan beberapa gerai baru minimarket Indomaret di
Surabaya, rencana perluasan Rimo di Balikpapan,
Riau, dan Pontianak, serta rencana penambahan
beberapa gerai baru Ramayana di daerah tingkat satu
dan tingkat dua di luar pulau Jawa. Tingginya pen-
jualan ritel ini menunjukkan bahwa permintaan
domestik menjadi penggerak utama pertumbuhan
ekonomi. Indikator lainnya adalah penjualan sepeda
motor yang masih menunjukkan trend yang naik dan
diperkirakan terus berlanjut di tahun 2002 mendatang.
Sementara itu, trend pertumbuhan kunjungan
wisatawan mancanegara ke Indonesia di tahun 2002
diprakirakan akan membaik. Hal ini disebabkan
meningkatnya wisatawan yang berulang kali mengun-
jungi Indonesia (repeator tourists) dan adanya ten-
densi pengalihan kunjungan wisata dari tujuan semula
ke Amerika dan Eropa menjadi ke Asia. Kunjungan
wisatawan mancanegara tahun 2002 diprakirakan
berjumlah 5,3 juta naik dari 5,0 juta di tahun 2001.
Sektor angkutan menyumbang pertumbuh-
an ekonomi terbesar ketiga setelah sektor industri dan
sektor perdagangan. Sektor ini diperkirakan akan
tumbuh relatif tinggi di tahun 2002. Tragedi WTC tidak
dan Uni Eropa (global recession), beberapa industri
unggulan ekspor seperti industri TPT (Tekstil dan
Produk Tekstil) dan industri alas kaki diperkirakan
mengalami penurunan produksi paling tidak hingga
awal semester kedua tahun 2002.
Sektor listrik diprakirakan masih akan
tumbuh tinggi. Meskipun kapasitas dan produksi listrik
oleh PLN di Jawa-Bali tahun 2002 diprakirakan tidak
mengalami peningkatan yang berarti, namun kapa-
sitas IPP (Independent Power Producer) mengalami
peningkatan. Peningkatan kapasitas tersebut sebagai
upaya untuk merespon tingginya permintaan yang
tercermin dari meningkatnya trend penjualan listrik.
Tingginya rata-rata pertumbuhan penjualan listrik dari
tahun 1995 sampai dengan tahun 2000 sebesar 9,3%
mengindikasikan kebutuhan akan listrik selalu
meningkat dan tinggi. Penjualan tenaga listrik sistem
Jawa Bali oleh PLN pada tahun 2002 diperkirakan
akan tumbuh 10,2%.
Sektor bangunan akan mulai bangkit pada
tahun 2002. Beberapa proyek besar seperti
penerusan pembuatan Jakarta Outer Ring Route
(JORR) akan direalisasikan. Pengembang (devel-
oper) perumahan mulai gencar membangun dan
memasarkan rumahnya sejalan dengan besarnya
permintaan tempat tinggal. Subsektor properti ritel dan
rumah tinggal menengah ke bawah diperkirakan
tumbuh, sementara properti perkantoran, apartemen,
kondominium, dan kawasan industri cenderung
stagnan. Penjualan rumah baru pada 2002 men-
datang diperkirakan meningkat sebesar 11%
dibandingkan tahun lalu sebagai akibat terjadinya
ekspansi kredit pemilikan rumah (KPR) perbankan
dan mulai pulihnya daya beli masyarakat. Penjualan
tersebut akan meningkat meskipun harga jual rumah
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
218
berdampak signifikan terhadap kinerja sektor
transportasi, terutama pelayaran dalam negeri. Total
volume kargo kapal untuk pelayaran domestik dan
internasional diproyeksikan meningkat. Jumlah
penumpang kereta api diperkirakan terus mengalami
peningkatan. Selain itu, jumlah penumpang angkutan
udara domestik pada tahun 2002 diperkirakan naik
9,8% menjadi 8,8 juta orang dibanding tahun 2001.
Hal tersebut didorong oleh semakin terjangkaunya
tarif penerbangan dalam negeri dan adanya
pengalihan pasar ke daerah-daerah potensial sebagai
dampak dari otonomi daerah.
Subsektor penerbangan diprakirakan masih
akan mampu tumbuh karena mempunyai captive
market yang besar di pasar domestik terutama
angkutan jamaah haji. Di tahun 2002 diprakirakan
tidak ada penambahan investasi untuk moda ang-
kutan laut dan udara namun pemanfaatan kapasitas
yang ada diprakirakan akan meningkat. Sementara
itu, investasi moda angkutan darat khususnya kereta
api dan bus diprakirakan masih akan meningkat,
termasuk diantaranya rencana pengoperasian KA
penumpang cepat jalur Yogyakarta-Solo-Semarang
yang sedang dirintis oleh pemerintah daerah Jawa
Tengah dan investor lokal.
Kinerja sektor keuangan nasional di tahun
2002 diprakirakan akan lebih baik dibandingkan
tahun 2001. Di subsektor perbankan, berbagai
indikator keuangan diprakirakan akan membaik.
Berdasarkan survei perbankan periode triwulan IV-
2001, permintaan kredit baru diprakirakan akan
meningkat sejalan dengan membaiknya prospek
usaha nasabah.
Sektor jasa diprakirakan masih tumbuh
positif. Implementasi otonomi daerah ditengarai akan
memberikan sumbangan positif pada sektor ini
terutama pada kegiatan pelayanan kepada publik
yang meningkat. Sementara itu, kegiatan hiburan dan
rekreasi diperkirakan masih tetap marak. Dalam pada
itu, Pemda DKI Jakarta berencana membangun
fasilitas pusat wisata belanja dan agribisnis di kawa-
san Bandara-Sukarno Hatta yang menjual produk
ekspor unggulan, termasuk hasil agrobisnis.
PROSPEK NERACA PEMBAYARAN
Kinerja neraca pembayaran Indonesia pada
tahun 2002 secara keseluruhan relatif membaik
dibandingkan tahun sebelumnya. Hal ini dapat dilihat
terutama dari membaiknya lalu lintas modal. Semen-
tara itu, transaksi berjalan tetap mencatat surplus
meskipun cenderung menurun bila dibandingkan
dengan tahun 2001.
Menurunnya surplus transaksi berjalan
terutama disebabkan oleh masih rendahnya pertum-
buhan ekspor Indonesia sebagai akibat masih
lambatnya pertumbuhan ekonomi negara-negara
yang menjadi tujuan utama ekspor Indonesia seperti
Amerika Serikat, Jepang, dan Uni Eropa. Di samping
faktor permintaan dunia, pertumbuhan ekspor juga
dipengaruhi oleh perkembangan harga komoditas
nonmigas di pasar internasional yang secara umum
relatif masih rendah.
Namun demikian, tekanan permintaan dan
harga tersebut diprakirakan bersifat jangka pendek
dan akan berkurang pada pada paro kedua tahun
2002. Terkait dengan hal itu, ekspor nonmigas
diprakirakan masih akan mampu tumbuh di tahun
2002. Sementara itu, dengan tercapainya kesepa-
katan pembagian jumlah kuota produksi OPEC yang
berlaku sejak Januari 2002, perkembangan harga
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
219
minyak internasional yang pada beberapa bulan
terakhir tahun 2001 berada jauh di bawah kisaran
harga OPEC akan sedikit membaik, meskipun
kenaikan tersebut tidak akan terlalu signifikan.
Dengan perkembangan harga minyak yang masih
rendah serta sedikit berkurangnya kuota produksi
minyak, pertumbuhan ekspor migas masih akan
negatif di tahun 2002. Sementara itu, pertumbuhan
impor diprakirakan masih akan cukup tinggi yang
antara lain didorong oleh masih kuatnya pertum-
buhan konsumsi serta mulai meningkatnya kegiatan
investasi dan ekspor pada tahun 2002.
Secara lebih rinci, transaksi berjalan tahun
2002 akan mencatat surplus sebesar $3,1 miliar, lebih
rendah dari surplus tahun sebelumnya. Transaksi
perdagangan mencatat surplus sebesar $20,3 miliar
dan transaksi jasa-jasa mencatat defisit sebesar $17,3
miliar. Surplus transaksi perdagangan tersebut
terutama disumbang oleh peningkatan ekspor non-
migas sehingga menjadi $48,3 miliar atau meningkat
sebesar 5,5% dibandingkan tahun sebelumnya.
Sementara itu, nilai ekspor migas diperkirakan sebe-
sar $11,4 miliar atau mengalami penurunan sebesar
11,4% dibandingkan tahun lalu. Secara keseluruhan
impor tahun 2002 mencapai $39,4 miliar. Impor
nonmigas akan mencapai $34,0 miliar atau meningkat
sebesar 8,5% dibandingkan tahun lalu. Sementara
itu, defisit transaksi jasa-jasa meningkat sebesar $0,6
miliar menjadi $ 17,3 miliar. Sumber defisit terutama
berasal dari meningkatnya defisit jasa-jasa angkutan
barang yang terkait dengan meningkatnya kegiatan
impor, yakni sebesar $342 juta serta meningkatnya
defisit net investment income sebesar $738 juta.
Sementara itu, sumber penerimaan jasa-jasa ter-
utama akan berasal dari peningkatan kegiatan pari-
wisata sejalan dengan meningkatnya arus turis asing
ke Indonesia. Penerimaan devisa dari kegiatan
pariwisata akan meningkat sebesar $764 juta.
Lalu lintas modal tahun 2002 akan membaik
yang antara lain tercermin dari defisit yang lebih ren-
dah dibandingkan tahun lalu. Perkembangan defisit
lalu lintas modal turun menjadi $2,8 miliar, yang
berasal dari surplus lalu lintas modal pemerintah
bersih sebesar $930 juta dan defisit lalu lintas modal
swasta bersih sebesar $3,8 miliar. Tertundanya
pencairan pinjaman luar negeri pemerintah pada
tahun 2001 yang berkaitan dengan belum terpenuhi-
nya policy matrix, diharapkan akan dapat dicairkan
dalam tahun 2002. Selain itu, untuk mengurangi
beban pembayaran pokok utang luar negeri, peme-
rintah akan tetap mengajukan rescheduling dalam
forum Paris Club III.
Tabel 11.5
Proyeksi Neraca Pembayaran Indonesia
Keterangan 2001* 2002**
A. Transaksi Berjalan 5,0 3,11. Barang 21,6 20,3
a. Ekspor f,o,b, 58,7 59,7- Nonmigas 45,8 48,3- Migas 12,9 11,4
b. Impor f,o,b, -37,0 -39,4- Nonmigas -31,4 -34,0- Migas -5,6 -5,4
2. Jasa -16,7 -17,3a. Nonmigas -12,4 -14,2b. Migas -4,3 -3,0
B. Lalu Lintas Modal -8,9 -2,81. Lalu lintas modal pemerintah (bersih) -0,3 0,9
a. Penerimaan pinjaman 3,3 5,3b. Pelunasan pinjaman -3,6 -4,4
2. Lalu lintas modal swasta (bersih) -8,6 -3,8a. Penanaman modal langsung (bersih) -5,9 -5,3b. Lainnya (bersih) -2,7 1,6
C. Jumlah (A+B) -3,9 0,3
D. Selisih Perhitungan antara C dan E 2,6 0
E. Lalu Lintas Moneter1) 1,4 -0,3
1) Minus (–) = Surplus, dan sebaliknya
Miliar $
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
220
Defisit lalu lintas modal swasta akan turun
menjadi $3,8 miliar. Lebih rendahnya prakiraan defisit
tersebut terutama disebabkan oleh turunnya prakiraan
pembayaran utang luar negeri sektor swasta sejalan
dengan semakin rendahnya posisi utang luar negeri
swasta dan masih rendahnya pinjaman swasta asing
yang masuk. Selain itu, defisit net portfolio investment
turun dari $1,4 miliar menjadi $0,2 miliar yang
terutama disebabkan oleh prakiraan net debt securi-
ties yang mencatat surplus sebesar $162 juta dari
defisit $1,2 miliar pada tahun 2001.
PROSPEK NILAI TUKAR
Pada tahun 2002, nilai tukar rupiah di-
perkirakan akan mencapai rata-rata antara Rp9.500
– Rp10.500 per dolar3 dengan tingkat volatilitas yang
cenderung lebih rendah dibandingkan tahun sebe-
lumnya. Proyeksi tersebut akan lebih optimis apabila
dalam waktu dekat terdapat beberapa langkah konkrit
dalam program restrukturisasi ekonomi yang dapat
memperbaiki ekspektasi pasar.
Kecenderungan penguatan nilai tukar rupiah
diperkirakan dapat terjadi sejak pertengahan tahun
2002. Hal ini didasari oleh optimisme bahwa kondisi
sosial politik yang menunjukkan kecenderungan
membaik sejak pertengahan tahun 2001 dapat
membuka jalan sekaligus mempercepat penanga-
nan berbagai program restrukturisasi perekonomian,
sehingga dapat tercipta kondisi fundamental
ekonomi yang lebih kondusif. Kendati demikian,
kewaspadaan masih tetap diperlukan terhadap ke-
mungkinan meningkatnya kembali ketidakpastian
kondisi sosial politik tersebut mengingat masih
rawannya proses transformasi demokrasi di dalam
negeri.
Dengan harapan membaiknya kondisi sosial
politik, maka kondisi sektor riil, perbankan, dan
moneter diperkirakan akan lebih kondusif sehingga
proses intermediasi perbankan akan berjalan lebih
baik. Hal ini dapat mengurangi berlebihnya likuiditas
rupiah disektor keuangan yang berpotensi dapat
memberikan tekanan terhadap nilai tukar rupiah.
Bertepatan dengan membaiknya kondisi di dalam
negeri tersebut, kondisi ekonomi dunia diperkirakan
akan menunjukkan awal pemulihan sejak perte-
ngahan tahun 2002.
Membaiknya kondisi di dalam dan luar negeri
tersebut pada gilirannya akan memperbaiki kesen-
jangan permintaan dan penawaran valas. Besarnya
kebutuhan valas untuk kegiatan impor dan pemba-
yaran utang luar negeri swasta diperkirakan dapat
diimbangi dengan mulai pulihnya aliran devisa masuk
yang bersumber dari devisa ekspor dan penanaman
modal asing baik dalam bentuk FDI maupun porto-
folio. Selain itu, dengan kecenderungan membaiknya
kondisi sosial politik, tekanan permintaan valas yang
bersumber dari kegiatan spekulasi dan penyelamatan
asset (flight to quality) dapat lebih diminimalisir.
Sementara itu, nilai tukar yang lebih stabil akan
memberikan harapan bagi terdapatnya kepastian
dalam penanganan berbagai permasalahan ekonomi
sehingga dapat berjalan lebih efektif daripada tahun
sebelumnya. Berbagai program restrukturisasi
ekonomi seperti restrukturisasi utang dan korporasi
diperkirakan akan berjalan lebih baik sehingga
tekanan permintaan valas untuk kebutuhan pem-
bayaran utang luar negeri diperkirakan akan mulai
berkurang. Di samping itu, stabilnya nilai tukar rupiah3 Diestimasi dengan menggunakan pendekatan model Technical
Adjusted Behavioral Equilibrium Exchange Rate (BEER)
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
221
dapat mengurangi ketidakpastian kondisi fiskal yang
pada gilirannya dapat mendorong terciptanya
kestabilan ekonomi makro sekaligus memperbaiki
kepercayaan publik.
PROSPEK DAN SASARAN INFLASI
Prospek Inflasi
Perkembangan inflasi di Indonesia
dipengaruhi oleh kondisi makro ekonomi dan
gangguan (shocks) yang berasal dari perkembangan
di luar kondisi makro ekonomi. Kondisi makroekonomi
yang dimaksud terutama adalah perkembangan
permintaan dan penawaran agregat, perkembangan
faktor eksternal yang memiliki pengaruh langsung
terhadap inflasi (efek pass-through) dan ekspektasi
inflasi masyarakat. Sementara itu, faktor di luar kondisi
makro ekonomi adalah adanya penerapan kebijakan
pemerintah di bidang harga dan pendapatan, faktor
alam dan masalah yang terkait dengan produksi dan
distribusi.
Dalam jangka pendek, tekanan inflasi dari
sisi permintaan agregat diperkirakan akan meningkat.
Namun demikian, tekanan inflasi tersebut
diperkirakan bukan diakibatkan oleh permintaan yang
terlalu tinggi (excess demand) melainkan lebih
disebabkan oleh pertumbuhan kapasitas produksi
yang relatif terbatas. Hal ini antara lain tercermin dari
pertumbuhan investasi yang rendah sementara
pertumbuhan konsumsi masyarakat meningkat. Me-
nurunnya produktivitas di sektor pertanian diper-
kirakan juga akan turut menyumbang kenaikan harga-
harga bahan makanan karena tidak mampu mengim-
bangi kenaikan permintaan.
Sementara itu, tekanan inflasi dari sisi
eksternal diprakirakan tidak terlalu signifikan pada
tahun-tahun mendatang. Perkembangan harga
komoditas di pasar internasional diprakirakan masih
relatif rendah sehingga perkembangan inflasi dunia
diprakirakan belum menunjukkan peningkatan yang
berarti. Di samping itu, perkembangan nilai tukar
tahun 2002 diprakirakan akan sedikit menguat
mencapai rata-rata antara Rp9.500 – Rp10.500 per
dolar terutama berkaitan dengan risiko politik yang
memiliki kecenderungan yang membaik. Walaupun
demikian, pergerakan nilai tukar masih perlu diwas-
padai mengingat efek pass-through nilai tukar yang
sangat signifikan terhadap perkembangan laju
inflasi.
Faktor fundamental lainnya adalah ekspek-
tasi masyarakat terhadap perkembangan inflasi
yang merupakan faktor yang paling dominan dalam
menentukan laju inflasi. Faktor ekspektasi inflasi ini
ditentukan oleh perkembangan inflasi pada periode
lalu (ekspektasi adaptif) dan perkembangan kondisi
perekonomian terutama variabel-variabel yang me-
miliki hubungan erat dengan perkembangan inflasi,
yaitu perkembangan nilai tukar dan kebijakan
pemerintah di bidang harga dan pendapatan. Untuk
tahun 2002 inflasi yang diekspektasikan oleh
masyarakat diperkirakan sedikit menurun diban-
dingkan dengan inflasi tahun 2001. Hal ini didasar-
kan pada angka rata-rata prakiraan inflasi dari
berbagai lembaga penelitian yang sedikit lebih
rendah dibandingkan dengan inflasi tahun 2001,
yaitu sekitar 10%.
Di luar faktor makro ekonomi, faktor gang-
guan yang diperkirakan akan memberikan tekanan
yang cukup tinggi terhadap perkembangan laju inflasi
di tahun 2002 adalah adanya penerapan kebijakan
pemerintah di bidang harga yang tekanannya muncul
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
222
melalui cost-push inflation. Dampak yang tinggi
terhadap inflasi terutama bersumber dari kenaikan
harga BBM, kenaikan TDL, kenaikan tarif telepon,
prakiraan kenaikan cukai rokok dan rencana kenaikan
UMP. Dari berbagai rencana penerapan kebijakan
pemerintah di bidang harga yang telah teridentifikasi
persentase kenaikannya, dampak inflatoirnya
terhadap perkembangan inflasi IHK diperkirakan
mencapai sekitar 2,6%.
Faktor gangguan lainnya yang memiliki
dampak cukup signifikan adalah faktor alam dan
masalah distribusi. Gangguan dari faktor alam pada
tahun 2002 diperkirakan akan muncul seiring dengan
prakiraan adanya El-Nino yang akan mengganggu
proses produksi di sektor pertanian. Hal ini akan
berdampak pada kenaikan harga-harga kelompok
bahan makanan akibat berkurangnya pasokan.
Sementara itu, perkembangan Leading
Indikator Inflasi (LII) diperkirakan telah menunjukkan
puncak siklus (peak) di sekitar bulan Oktober tahun
2001. Dengan prakiraan lead time sekitar 8 bulan
terhadap siklus inflasi, siklus inflasi diperkirakan akan
mencapai puncaknya di sekitar semester pertama
tahun 2002. Berdasarkan hal ini, perkembangan
inflasi (y-o-y) diperkirakan akan mulai menunjukkan
penurunan di pertengahan tahun 2002.
Dalam jangka menengah, perkembangan
inflasi akan lebih banyak didominasi perkembangan
inflasi yang diekspektasikan oleh masyarakat. Upaya
Bank Indonesia dalam mengendalikan laju inflasi
diharapkan akan dapat mengarahkan ekspektasi
masyarakat pada perkembangan inflasi yang menu-
run pada tahun-tahun mendatang. Sementara itu,
penerapan kebijakan pemerintah di bidang harga dan
pendapatan masih akan terus berlangsung dalam
beberapa tahun mendatang, seiring dengan upaya
pemerintah dalam mengurangi defisit anggaran
melalui pengurangan subsidi dan peningkatan pene-
rimaan pajak. Namun dampak inflasinya diperkirakan
akan semakin menurun terutama berkaitan dengan
prakiraan penurunan intensitas dari penerapan
kebijakan ini di tahun-tahun mendatang. Sementara
itu, stabilnya perkembangan nilai tukar rupiah dalam
jangka menengah diperkirakan tidak memberikan
dampak inflatoir terhadap perkembangan inflasi
dalam jangka menengah.
Grafik 11.4
Perkembangan Leading Indikator Inflasi
Tabel 11.6
Rencana Kebijakan Pemerintah
Di Bidang Harga Tahun 2002
TDL Tahap I 6 trw I
TDL Tahap II 6 trw II
TDL Tahap III 6 trw III
TDL Tahap IV 6 trw IV
BBM 22 trw I
Cukai (HJE) Rokok 10 trw I
Tarif Telepon 15 trw I
UMR/UMP 30 trw I
KenaikanKebijakan Pemerintah Harga/Tarif Periode Penerapan
(%)
0.7
0.8
0.9
1.0
1.1
1.2
1.3
1.4
1
1997
4 7 10 1
1998
4 7 10 1
1999
4 7 10 1
2000
4 7 10 1
2001
4 7 10 1
2002
4
L I I + 8 b ln
Persen
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
223
Sasaran Inflasi
Berdasarkan evaluasi perkembangan pen-
capaian sasaran inflasi Bank Indonesia dalam dua
tahun terakhir, pada tahun 2002 Bank Indonesia
melakukan perubahan dalam metode penetapan sa-
saran inflasi. Dalam perubahan ini ini ditetapkan jenis
sasaran inflasi yang lebih dapat diterima oleh
masyarakat serta ditetapkan level dan periode
pencapaian sasaran inflasi yang optimal (Boks :
Penetapan Sasaran Inflasi Bank Indonesia). Untuk
itu pada tahun 2002, Bank Indonesia menggunakan
inflasi IHK sebagai jenis inflasi yang dijadikan sasaran
untuk dicapai. Di samping itu, selain mengumumkan
sasaran inflasi jangka pendek yang akan dicapai pada
tahun 2002, Bank Indonesia juga menetapkan
sasaran inflasi jangka menengah yang akan dicapai
dalam 5 tahun.
Penggunaan inflasi IHK sebagai jenis inflasi
yang dijadikan sasaran Bank Indonesia perlu dila-
kukan dalam upaya meningkatkan peran Bank
Indonesia dalam pembentukan ekspektasi inflasi di
masyarakat. Untuk tujuan ini, maka dari berbagai
kriteria yang dipertimbangkan dalam pemilihan jenis
sasaran inflasi, yaitu akseptabilitas, prediktabilitas,
dan kontrolabilitas, Bank Indonesia perlu untuk lebih
mengutamakan kriteria akseptabilitas. Inflasi IHK
merupakan jenis inflasi yang paling memenuhi
kriteria akseptabilitas ini. Karena dari berbagai jenis
indikator inflasi yang dapat dijadikan sasaran oleh
Bank Indonesia, inflasi IHK merupakan jenis inflasi
yang lebih dikenal dan lebih dipahami oleh ma-
syarakat.
Dengan memperhatikan prospek makro
ekonomi dan sumber-sumber tekanan inflasi serta
adanya keterbatasan kebijakan moneter dalam
menghadapi trade off antara laju inflasi dan pertum-
buhan ekonomi, proses disinflasi belum dapat
dilakukan secara tajam pada 2002. Penetapan
sasaran inflasi yang rendah di tahun 2002 akan
membutuhkan reaksi kebijakan moneter yang
ekstra ketat sehingga dapat menghambat proses
pemulihan ekonomi Indonesia. Dengan demikian
level sasaran inflasi yang optimal untuk dicapai di
akhir tahun 2002 adalah pada level yang relatif
masih berada dalam kisaran prakiraan laju inflasi
di tahun tersebut, yaitu pada kisaran 9%-10%.
Dalam jangka menengah, Bank Indonesia
dapat melakukan proses disinflasi dengan penetapan
sasaran inflasi yang menurun secara bertahap.
Berdasarkan proses simulasi yang didasarkan pada
asumsi menurunnya intensitas kebijakan pemerintah
di bidang harga dan tidak terjadinya gejolak nilai tukar
rupiah, proses disinflasi dapat dilakukan dengan
penerapan kebijakan moneter yang berhati-hati.
Melalui kebijakan tersebut, dalam 5 tahun ke depan
secara bertahap inflasi akan diarahkan pada kisaran
6%–7%.
Dengan mengupayakan penurunan inflasi
secara bertahap, diharapkan kebijakan moneter yang
ekstra ketat dapat dihindarkan sehingga proses
pemulihan ekonomi dapat terus berlangsung. Semen-
tara itu, keberhasilan dalam mencapai sasaran inflasi
secara bertahap akan meningkatkan kredibilitas Bank
Indonesia sehingga proses disinflasi ke tingkat yang
rendah dapat dilakukan dengan biaya sosial yang
minimal.
ARAH KEBIJAKAN
Dengan memperhatikan prospek ekonomi
dan sasaran inflasi yang ditetapkan serta berbagai
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
224
tantangan yang dihadapi di tahun 2002, Bank Indo-
nesia akan berupaya untuk menempuh kebijakan-
kebijakan di bidang moneter, perbankan dan sistem
pembayaran secara konsisten.
Di bidang moneter, kebijakan Bank Indo-
nesia tetap diarahkan untuk mencapai sasaran laju
inflasi yang ditetapkan. Upaya tersebut akan
difokuskan pada penyerapan ekses likuiditas agar
tetap sesuai dengan kebutuhan riil perekonomian. Hal
ini dilakukan dengan mempertimbangkan pula suku
bunga riil yang positif pada kisaran 4,0%–5,0%.
Secara operasional, pengendalian moneter akan di-
lakukan dengan mengoptimalkan instrumen-
instrumen moneter terutama melalui OPT dengan
lelang SBI. Upaya tersebut juga didukung dengan
melakukan sterilisasi valas. Langkah ini akan
dilakukan secara berhati-hati dan terukur agar kesta-
bilan harga tetap terjaga untuk mendukung proses
pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung,
sehingga dalam jangka panjang dapat dicapai
pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan.
Di samping itu, dalam rangka meredam
fluktuasi nilai tukar, pengawasan terhadap transaksi
devisa bank-bank, baik secara langsung maupun
tidak langsung akan terus dioptimalkan. Berbagai
upaya untuk memperbaiki struktur mikro pasar valas
termasuk mengurangi segmentasi pasar juga akan
terus dilakukan sehingga dapat tercipta pasar valas
yang likuid dan efisien.
Di sisi lain, dengan banyaknya faktor-faktor
nonmoneter yang berpengaruh terhadap inflasi,
koordinasi antara Bank Indonesia dengan Pemerintah
perlu ditingkatkan untuk mengatasi sumber-sumber
inflasi yang berasal dari dampak kebijakan pemerintah
serta faktor produksi dan distribusi barang dan jasa.
Di bidang perbankan, prioritas utama
kebijakan diarahkan untuk memperkuat ketahanan
sistem perbankan. Untuk mencapai hal tersebut,
Bank Indonesia akan terus meneruskan memak-
simalkan penerapan 25 Basel Core Principles for
Effective Banking Supervision yang penjabarannya
dituangkan dalam Master Plan Peningkatan Efek-
tivitas Pengawasan Bank. Upaya untuk memelihara
CAR bank-bank yang telah mencapai 8% terus
dilakukan khususnya terhadap bank-bank yang
struktur permodalannya masih rentan terhadap
pengaruh kenaikan suku bunga dan melemahnya nilai
tukar serta penurunan kualitas kredit. Bagi bank-bank
besar yang beroperasi secara internasional akan
didorong untuk lebih meningkatkan rasio kecukupan
modalnya di atas 8%. Di samping itu, dalam rangka
meningkatkan stabilitas sistem keuangan, pada saat
ini Bank Indonesia sedang melakukan pengkajian
mengenai landscape perbankan Indonesia yang
terintegrasi dengan pengembangan lembaga finansial
lainnya.
Sementara itu, untuk memulihkan fungsi
intermediasi perbankan, Bank Indonesia akan mendo-
rong perbankan untuk lebih banyak lagi menyalurkan
kredit kepada sektor-sektor yang dianggap telah siap
dan memiliki risiko yang relatif rendah seperti kredit
ekspor dan kredit bagi usaha kecil dan menengah
dengan tetap memperhatikan prinsip perkreditan yang
sehat, serta melakukan penyempurnaan terhadap
beberapa ketentuan untuk mempercepat intermediasi
perbankan. Selain itu, usaha untuk meningkatkan
kesehatan bank juga didukung oleh upaya-upaya
yang terus menerus untuk menekan angka NPLs
perbankan nasional dengan mewajibkan bank-bank
untuk mencapai target NPLs sebesar 5% pada akhir
Prospek Ekonomi dan Arah Kebijakan Tahun 2002
225
tahun 2002. Sementara itu, upaya yang perlu di-
lakukan untuk memperkuat infrastruktur perbankan
nasional dapat dilakukan dengan terus mendorong
pengembangan bank syariah dan keberadaan BPR
serta bersama-sama dengan pemerintah memper-
siapkan pembentukan Lembaga Penjamin Simpanan
dan lembaga pengawas jasa keuangan.
Di bidang sistem pembayaran tunai,
kebijakan diarahkan pada penyediaan uang yang
layak edar dan mencukupi kebutuhan masyarakat
baik dari sisi nominal maupun jenis pecahannya.
Kebijakan ini antara lain mencakup penataan kembali
jalur distribusi uang serta pendirian laboratorium untuk
menguji bahan uang. Di samping itu, Bank Indonesia
juga akan melanjutkan penerapan Sistem Informasi
Pengedaran Uang pada kantor-kantor koordinator
agar dapat terintegrasi dengan kantor pusat.
Sementara dari sisi pembayaran nontunai,
kebijakan tetap diarahkan pada pengurangan risiko
pembayaran, peningkatan kualitas dan kapasitas
layanan sistem pembayaran serta pengaturan pe-
ngawasan sistem pembayaran guna mendorong
terwujudnya sistem pembayaran yang cepat, aman
dan efisien. Kebijakan tersebut direalisasikan dengan
terus dilanjutkannya implementasi sistem BI-RTGS
ke 15 KBI lainnya sehingga apabila seluruh KBI telah
menggunakan sistem BI-RTGS, pelaksanaan tugas
Bank Indonesia dalam melakukan pemantauan
ketaatan bank dalam memenuhi ketentuan GWM
dan pemantauan likuiditas bank akan sangat
terbantu.
Sementara itu, dalam rangka peningkatan
kualitas dan kapasitas layanan sistem pembayaran
khususnya yang berkaitan dengan penyelenggaraan
kliring, Bank Indonesia telah mengembangkan SIKJJ
yang direncanakan akan diimplementasikan di
Kantor Pusat Jakarta dan KBI yang telah meng-
gunakan sistem kliring otomasi. Selain itu, Bank
Indonesia juga melakukan penyusunan ketentuan
mengenai pengawasan penyelenggara sistem
pembayaran, menyelenggarakan jasa sistem pem-
bayaran dengan menggunakan alat pembayaran non
tunai dan jasa pendukungnya serta melakukan
pengaturan yang terkait dengan upaya mengatasi
kegagalan peserta kliring dalam penyelesaian kewa-
jiban setelmennya.
Untuk menurunkan risiko setelmen di pasar
modal, Bank Indonesia akan melakukan pengem-
bangan sistem Delivery Versus Payment (DVP)
tahap pertama. Dengan adanya pengembangan ini
akan terbentuk suatu integrasi sistem setelmen
antara sisi pembayaran (payment leg) melalui
sistem BI-RTGS dengan sisi penyerahan sekuritas
(delivery leg) melalui setelmen sekuritas.
Lampiran
227
Lampiran A
BANK INDONESIA
Kantor Pusat
Jakarta
Kantor Perwakilan
London
New York
Singapura
Tokyo
Kantor-Kantor Bank Indonesia
Ambon, Balikpapan,
Banda Aceh, Bandar Lampung,
Bandung, Banjarmasin, Batam, Bengkulu, Cirebon
Denpasar, Jambi, Jayapura, Jember, Kediri, Kendari,
Kupang, Lhokseumawe, Makassar, Malang, Manado, Mataram,
Medan, Padang, Palangkaraya, Palembang, Palu,Pekanbaru,
Pontianak, Purwokerto, Samarinda, Semarang,
Sibolga, Solo, Surabaya, Tasikmalaya,
Ternate, Yogyakarta
Lampiran
228
Lampiran B
Dewan Gubernur Bank Indonesiaper tanggal 31 Desember 2001
Gubernur
Syahril Sabirin
Deputi Gubernur Senior
Anwar Nasution
Deputi Gubernur
Miranda S. Goeltom
Aulia Pohan
Achjar Iljas
Lampiran
229
Lampiran C.1
Selama tahun laporan, Bank Indonesia telah melakukan
beberapa penyempurnaan organisasi dan pengembangan
sumber daya manusia (SDM). Penyempurnaan organisasi telah
dilakukan untuk mengakomodasikan perubahan-perubahan
yang terjadi. Sehubungan dengan pemantauan kegiatan lalu
lintas devisa telah dilakukan penyempurnaan organisasi
Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter dengan melakukan
perubahan pada Struktur Organisasi dan Tugas Pokok
Direktorat dimaksud.
Dengan semakin meningkatnya volume kegiatan
pengaturan, perizinan dan pengawasan Bank Syariah, telah
dibentuk sebuah satuan kerja berbentuk Biro yang menangani
hal-hal tersebut yaitu Biro Perbankan Syariah.
Di samping itu, dalam rangka melaksanakan verifikasi
(off-site) atas kelayakan penjaminan Trade Maintenance Facility
(TMF) dan Inter Bank Debt/Exchange Offer (IBD/EO) telah
dilakukan penyempurnaan organisasi Direktorat Luar Negeri.
Verifikasi tersebut semula ditangani oleh satuan kerja di sektor
Perbankan.
Sehubungan dengan pembentukan beberapa propinsi
baru di wilayah Republik Indonesia yaitu Propinsi Banten,
Kepulauan Bangka Belitung dan Gorontalo, telah dilakukan
pengaturan kembali wilayah kerja Kantor Bank Indonesia di
daerah. Hal ini dilakukan untuk memperjelas kewenangan
masing-masing Kantor Bank Indonesia yang meliputi wilayah
propinsi-propinsi bentukan baru tersebut.
Dalam rangka melakukan perubahan secara mendasar
dan bersifat menyeluruh, saat ini Bank Indonesia sedang
melaksanakan Program Transformasi Bank Indonesia. Program
ini dilakukan secara bertahap dan telah memasuki tahap
implementasi sejak pertengahan bulan Oktober 2001 dengan
pelaksanaan 7 (tujuh) program strategis yaitu Proyek
Perencanaan, Anggaran dan Manajemen Kinerja; Proyek
Manajemen Sumber Daya Manusia; Proyek Perbankan; Proyek
Manajemen Informasi; Proyek Teknologi Informasi; Proyek
Moneter; dan Proyek Logistik (Bagan 1).
Implementasi masing-masing proyek dimaksud
dilaksanakan di bawah organisasi Unit Khusus Program
Organisasi dan Sumber Daya Manusia
Bagan 1
Organisasi Unit Khusus Program Transformasi Bank Indonesia
Penanggung Jawab
Program
Direktur
Program
Tim Pengarah
Program
Tim Pengarah
Proyek
Masing-masing
Penanggung Jawab Proyek
(anggota Dewan Gubernur)
SumberDaya
Manusia
1
Perencanaan,Anggaran dan
Manajemen Kinerja
2
ManajemenInformasi
3
Moneter
4
Perbankan
5
TeknologiInformasi
6
Logistik
7
PengendalianProgram
8
Keterangan :
– Penanggungjawab program dipimpin langsung oleh Gubernur Bank Indonesia dibantu oleh Dewan Gubernur Bank Indonesia
– Pemilik Program adalah Deputi Gubernur yang langsung mengelola workstream
Lampiran
230
Jumlah Pegawai
Akhir Kantor Kantor Kantor
No. Tahun Anggaran Pusat Bank Indonesia Perwakilan Jumlah
di Daerah
1. 1997/1998 3.341 2.882 671) 6.290
2. 1998/1999 3.299 2.852 21 6.172
3. 1999/2000 3.068 2.601 17 5.686
4. 2000/2001 3.123 2.615 18 5.756
5. Januari 2002 3.119 2.556 18 5.693
Transformasi (UKPT) sebagai tindak lanjut atas hasil diagnostic
study yang telah dilakukan pada tahap sebelumnya. Tahap
implementasi yang tengah dilakukan saat ini merupakan fase
pertama dari tiga fase yang telah dijadwalkan, mengingat
cakupan penyempurnaan organisasi yang cukup luas dalam
program ini.
Sejalan dengan reorganisasi melalui Program
Transformasi, penyempurnaan organisasi di bidang lain tetap
dilakukan. Penyempurnaan dimaksud adalah penyempurnaan
organisasi Direktorat Pengedaran Uang dengan pertimbangan
untuk meningkatkan fungsi penelitian dan pengembangan serta
pengaturan di bidang Pengedaran Uang. Pertimbangan-
pertimbangan lain yang mendasari penyempurnaan organisasi
tersebut adalah diterapkannya Currency Handling System yang
terpadu secara efektif dan efisien, standarisasi untuk
mempercepat pelayanan kebutuhan kas bank, serta
pemanfaatan perkembangan teknologi sortasi, pemusnahan
dan handling material yang berdampak pada prosedur kerja.
Disamping itu, telah pula dilakukan penyempurnaan
organisasi di Sektor Moneter, untuk mengakomodasikan tugas
penatausahaan Surat Utang Pemerintah (SUP). Penggunaan
SUP tersebut adalah untuk penyediaan dana penjaminan
dalam rangka Inter Bank Debt/Exchange Offer (IBD/EO), program
penjaminan kewajiban pembayaran Bank Umum dan Bank
Perkreditan Rakyat.
Dalam rangka mewujudkan manajemen sumber daya
manusia yang mampu mengembangkan sumber daya manusia
yang efektif dan memiliki kompetensi tinggi melalui pelaksanaan
fungsi sumber daya manusia yang profesional dengan dukungan
sistem sumber daya manusia yang sesuai dengan kebutuhan
organisasi, Bank Indonesia secara terus-menerus melakukan
penyempurnaan Sistem Manajemen Sumber Daya Manusia.
Pada tahun 2001 telah diimplementasikan ketentuan
mengenai Disiplin Pegawai dan pengaturan Penghargaan Masa
Pengabdian. Selain itu telah diterbitkan pula ketentuan
Manajemen Jalur Karir bagi Kasir dan Satuan Pengamanan.
Tujuan ketentuan ini adalah untuk memberikan kejelasan tentang
Jalur Karir Kasir dan Satpam di Bank Indonesia dalam rangka
meningkatkan kinerja dan kepuasan kerja.
Untuk melaksanakan tugas dan wewenang secara bersih
dan bebas dari unsur-unsur korupsi, kolusi dan nepotisme,
kepada Pimpinan (Anggota Dewan Gubernur) dan Pejabat Bank
Indonesia sampai dengan tingkat tertentu diwajibkan melakukan
pelaporan harta kekayaannya.
1) Termasuk petugas belajar jangka panjang.
Lampiran
231
Kantor Pusat
Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter : Hartadi A. Sarwono
Direktorat Statistik Ekonomi dan Moneter : Ratnawati Priyono
Direktorat Pengelolaan Moneter : Aslim Tajuddin
Direktorat Pengelolaan Devisa : Made Sukada
Direktorat Luar Negeri : Ny. Veronica W.S.P.
Biro Kredit : Nn. Roswita Roza
Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan : -
Direktorat Perizinan dan Informasi Perbankan : Imam Sukarno
Direktorat Pengawasan Bank 1 : Ny. Siti Ch. Fadjriah S.
Direktorat Pemeriksaan Bank 1 : Aris Anwari
Direktorat Pengawasan Bank 2 : -
Direktorat Pemeriksaan Bank 2 : Octo R. Nasution
Direktorat Pengawasan Bank Perkreditan Rakyat : Abdul Salam
Direktorat Pengedaran Uang : Adi Putra Hasan
Direktorat Akunting dan Sistem Pembayaran : Harmain Salim
Direktorat Logistik dan Pengamanan : M. Ashadhi
Direktorat Teknologi Informasi : J. L. Mangunsong
Direktorat Sumber Daya Manusia : Baridjussalam Hadi
Direktorat Keuangan Intern : -
Direktorat Hukum : Ny. Kusumaningtuty
Direktorat Pengawasan Intern : Bachri Ansjori
Biro Gubernur : Halim Alamsyah S.
Biro Sekretariat : Djatiwaluyo
Unit Khusus Investasi Perbankan : Prihono Bagio
Pusat Pendidikan dan Studi Kebanksentralan : Bambang S. Wahyudi
Biro Perbankan Syariah : Harisman
Unit Khusus Program Transformasi : Romeo Rissal
Kantor Perwakilan
Perwakilan Singapura : Kemas A. Sjarifuddin
Perwakilan Tokyo : Djakaria
Perwakilan London : Rasmo Samiun
Perwakilan New York : Maman Hendarman
Lampiran
232
Kantor Bank Indonesia
Kelas I
Kantor Bank Indonesia Bandung : Djoko Sarwono
Kantor Bank Indonesia Medan : Bambang Setijoprodjo
Kantor Bank Indonesia Semarang : Ardhayadi
Kantor Bank Indonesia Surabaya : Sumantri
Kelas II
Kantor Bank Indonesia Bandar Lampung : Imrandani
Kantor Bank Indonesia Banjarmasin : M. Zaeni Abu Amin
Kantor Bank Indonesia Denpasar : Ilham Ikhsan
Kantor Bank Indonesia Manado : M. Djaelani S.
Kantor Bank Indonesia Padang : Abdul Azis
Kantor Bank Indonesia Palembang : Irman Djaja Dalimi
Kantor Bank Indonesia Makassar : Djoko Sutrisno
Kantor Bank Indonesia Yogyakarta : Amril Arief
Kelas III
Kantor Bank Indonesia Ambon : M. Yusuf Oesep W.
Kantor Bank Indonesia Banda Aceh : Yusmanazir Katin
Kantor Bank Indonesia Cirebon : Djarot Sumartono
Kantor Bank Indonesia Jambi : Ade N. Rachmana
Kantor Bank Indonesia Jayapura : Sahat Tampubolon
Kantor Bank Indonesia Malang : Sentot Purnomo
Kantor Bank Indonesia Mataram : Satria Mulya
Kantor Bank Indonesia Pekanbaru : C. Y. Boestal
Kantor Bank Indonesia Pontianak : Amin Sisworo
Kantor Bank Indonesia Samarinda : Sarman Bona Sihotang
Kantor Bank Indonesia Solo : Adiastopo Joko Purnomo
Lampiran
233
Kelas IV
Kantor Bank Indonesia Balikpapan : Erman Kurnandi
Kantor Bank Indonesia Kupang : Dikan
Kantor Bank Indonesia Jember : Sutikno
Kantor Bank Indonesia Kediri : Budhi Santoso
Kantor Bank Indonesia Purwokerto : Sumarno
Kantor Bank Indonesia Tasikmalaya : Sunarko
Kantor Bank Indonesia Palangkaraya : -
Kantor Bank Indonesia Bengkulu : Joko Wardoyo
Kantor Bank Indonesia Kendari : Mokhammad Dakhlan
Kantor Bank Indonesia Palu : Moch. Zaenal Alim
Kelas V
Kantor Bank Indonesia Batam : Ali Imron Murim
Kantor Bank Indonesia Sibolga : Yasin Effendi
Kantor Bank Indonesia Lhokseumawe : Fachrurrazi
Kantor Bank Indonesia Ternate : Muh. Abdul Fadlil
Lampiran
234 Lampiran C.2
Gubernur
Deputi Gubernur Senior
Deputi-Deputi Gubernur
DEWAN GUBERNUR
STRUKTUR ORGANISASI BANK INDONESIA
DKM
PwB11Tim
IDIP
PPTI
PmTI
PDE
OPU
PP
PTPU
Admp
DR
Tim
PTD
AdPS
SMon
SNP
SRKP
PDIE
Adms
APLN
PLN
EXIM
KEPI
PAdk
Tim
PrLJ
PGL-I
DSM DPM DPD DLN BKr DPIP DPwB1 DPmB1 BPS DPU DASP DLP DTIDPBPR UKIP
Tim Tim Tim
P3BPR
Mdn
Bna
Lsm
Sbg
Pdg
Pbr
Jb
Bn
Btm
Bd
Pg
Bdl
Cn
Tsm
Sm
Yk
Slo
Pwt
Sb
Dpr
Ml
Mtr
Kpa
Kd
Jr
Bjm Mks
Mo
Kdi
Ab
Jap
Pal
Tt
APK
SPPK
SSR
SEI
PRAd
SEM
Tim
DKI
PPKI
DPwB2 DPmB2
IDMB2
DPI
Kel.
PPSK
Tim
AdPI
DSDM
PrOS
NY Lnd Tky Sn
AkDv
KIJ
PSPN
DU
PPgU
Tim
BPUM
DPNP
Tim
PNPB
IDPn
DtB
Prz
Tim
IPSiP
Ptk
Bpp
Plk
Smr
DHK
Tim
Adml
PwB12
PwB13
PwB14
PwB15
PwB16
IDWB1
PwB21
PwB22
PwB23
PwB24
PwB25
PwB26
IDWB2
IDMB1
IDBPR
BPU
PTR
PGL-II
PgJ
Pam
PgKP
PPbP
LKeu
PGKI
Ang
Proyek
UKPT
Tim
BGub
Pro
BSk
PPr Tim Ars
Lampiran
235
I.
II.
III.
IV.
V.
VI.
VII.
DIREKTORAT RISET EKONOMI DAN KEBIJAKAN MONETER DKM
1. Bagian Analisis dan Perencanaan Kebijakan APK
2. Bagian Studi Struktur dan Perkembangan Pasar Keuangan SPPK
3. Bagian Studi Ekonomi Makro SEM
4. Bagian Studi Sektor Riil SSR
5. Bagian Studi Ekonomi dan Lembaga Internasional SEI
6. Bagian Perpustakaan Riset dan Administrasi PRAd
DIREKTORAT STATISTIK EKONOMI DAN MONETER DSM
1. Bagian Statistik Moneter SMon
2. Bagian Statistik Neraca Pembayaran SNP
3. Bagian Statistik Sektor Riil dan Keuangan Pemerintah SRKP
4. Bagian Pengelolaan Data dan Informasi Ekonomi dan Moneter PDIE
5. Bagian Administrasi Adms
DIREKTORAT PENGELOLAAN MONETER DPM
1. Bagian Operasi Pasar Uang OPU
2. Bagian Pengembangan Pasar Uang PPU
3. Bagian Penyelesaian Transaksi Pasar Uang PTPU
4. Bagian Administrasi Admp
DIREKTORAT PENGELOLAAN DEVISA DPD
1. Dealing Room DR
2. Tim Pengelolaan Risiko -
3. Tim Analisis Ekonomi dan Peraturan Devisa -
4. Bagian Penyelesaian Transaksi Devisa PTD
5. Bagian Administrasi dan Pemeliharaan Sistem Tresuri AdPS
DIREKTORAT LUAR NEGERI DLN
1. Bagian Administrasi dan Analisis Pinjaman Luar Negeri APLN
2. Bagian Pinjaman Luar Negeri PLN
3. Bagian Ekspor Impor EXIM
4. Bagian Kerjasama Ekonomi dan Perdagangan Internasional KEPI
5. Bagian Administrasi Adml
BIRO KREDIT BKr
1. Bagian Pengelolaan dan Administrasi Kredit PAdk
2. Tim Penelitian dan Pengembangan -
DIREKTORAT PENELITIAN DAN PENGATURAN PERBANKAN DPNP
1. Tim-tim -
a. Tim Pengaturan Bank
b. Tim Pengembangan Pengawasan Bank
2. Biro Penelitian Perbankan PNPB
3. Bagian Informasi dan Dokumentasi Penelitian & Pengaturan Perbankan IDPnP
Daftar Satuan Kerja di Bank Indonesia
No. Nama Satuan Kerja Singkatan
Lampiran
236
DIREKTORAT PERIZINAN DAN INFORMASI PERBANKAN DPIP
1. Tim Bank Dalam Likuidasi –
2. Bagian Data Perbankan DtB
3. Bagian Perizinan Prz
4. Bagian Informasi dan Pengembangan Sistem Informasi Perbankan IDSiP
DIREKTORAT PENGAWASAN BANK 1 DPwB1
1. Bagian Pengawasan Bank 11 PwB11
2. Bagian Pengawasan Bank 12 PwB12
3. Bagian Pengawasan Bank 13 PwB13
4. Bagian Pengawasan Bank 14 PwB14
5. Bagian Pengawasan Bank 15 PwB15
6. Bagian Pengawasan Bank 16 PwB16
7. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan Bank 1 IDWB1
DIREKTORAT PENGAWASAN BANK 2 DPwB2
1. Bagian Pengawasan Bank 21 PwB21
2. Bagian Pengawasan Bank 22 PwB22
3. Bagian Pengawasan Bank 23 PwB23
4. Bagian Pengawasan Bank 24 PwB24
5. Bagian Pengawasan Bank 25 PwB25
6. Bagian Pengawasan Bank 26 PwB26
7. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan Bank 2 IDWB2
DIREKTORAT PEMERIKSAAN BANK 1 DPmB1
1. Tim-tim Pemeriksa -
2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pemeriksaan Bank 1 IDMB1
DIREKTORAT PEMERIKSAAN BANK 2 DPmB2
1. Tim-tim Pemeriksa -
2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pemeriksaan Bank 2 IDMB2
DIREKTORAT PENGAWASAN BANK PERKREDITAN RAKYAT DPBPR
1. Tim-tim -
a. Tim Pengawasan
b. Tim Penjaminan & Likuiditas BPR
2. Bagian Perizinan, Penelitian dan Pengaturan BPR P3BPR
3. Bagian Informasi dan Dokumentasi Pengawasan BPR IDBPR
UNIT KHUSUS INVESTIGASI PERBANKAN UKIP
1. Tim-tim Investigasi -
2. Bagian Informasi dan Dokumentasi Investigasi Perbankan IDIP
BIRO PERBANKAN SYARIAH BPS
1. Tim-Tim –
a. Tim Penelitian dan Pengaturan Perbankan Syariah
b. Tim Pengawasan Bank Syariah
c. Tim Perizinan dan Administrasi Perbankan Syariah
No. Nama Satuan Kerja Singkatan
VIII.
IX.
X.
XI.
XII.
XIII.
XIV.
XV.
Lampiran
237
No. Nama Satuan Kerja Singkatan
XVI.
XVII.
XVIII.
XIX.
XX.
XXI.
XXII.
XXIII.
DIREKTORAT PENGEDARAN UANG DPU
1. Bagian Pengelolaan Uang Masuk BPUM
2. Bagian Pengelolaan Uang Keluar BPUK
3. Bagian Distribusi Uang DU
4. Bagian Pelaksanaan Pengadaan Uang PPgu
5. Tim Penelitian, Perencanaan dan Pengaturan Pengedaran Uang –
DIREKTORAT AKUNTING DAN SISTEM PEMBAYARAN DASP
1. Biro Pengembangan Sistem Pembayaran Nasional PSPN
2. Bagian Akunting Devisa AkDv
3. Bagian Kliring Jakarta KlJ
4. Bagian Penyelesaian Transaksi Rupiah PTR
DIREKTORAT LOGISTIK DAN PENGAMANAN DLP
1. Bagian Perencanaan Logistik dan Jasa PrLJ
2. Bagian Pengelolaan Logistik I PgL-I
3. Bagian Pengelolaan Logistik II PgL-II
4. Bagian Pengelolaan Jasa PgJ
5. Bagian Pengamanan Pam
DIREKTORAT TEKNOLOGI INFORMASI DTI
1. Biro Penelitian dan Pengembangan Teknologi Informasi PPTI
2. Bagian Pemeliharaan Teknologi Informasi PmTI
3. Bagian Pemrosesan Data Elektronis PDE
DIREKTORAT SUMBER DAYA MANUSIA DSDM
1. Biro Perencanaan Organisasi dan Sumber Daya Manusia PrOS
2. Bagian Pengembangan Karir Pegawai PgKP
3. Bagian Penerimaan dan Pembinaan Pegawai PPbP
DIREKTORAT KEUANGAN INTERN DKI
1. Biro Perencanaan dan Pengendalian Keuangan Intern PPKI
2. Bagian Laporan Keuangan LKeu
3. Bagian Pelaksanaan Gaji dan Keuangan Intern PGKI
4. Bagian Anggaran Ang
DIREKTORAT HUKUM DHk
1. Tim-Tim –
a. Tim Penasehat Hukum
b. Tim Dokumentasi dan Informasi Hukum
c. Tim Enquiry Point
DIREKTORAT PENGAWASAN INTERN DPI
1. Tim-Tim
a. Tim Pengembangan Pengawasan Intern
b. Tim Analisis Ketentuan
c. Tim Pengawasan Intern
2. Bagian Administrasi dan Informasi AdPI
Lampiran
238
No. Nama Satuan Kerja Singkatan
PUSAT PENDIDIKAN DAN STUDI KEBANKSENTRALAN PPSK
1. Kelompok Pengembangan dan Monitoring Program -
2. Kelompok Peneliti -
3. Bagian Pelaksanaan Program PPr
UNIT KHUSUS PROGRAM TRANSFORMASI UKPT
1. Proyek-proyek –
2. Tim Pengendalian Program
BIRO GUBERNUR BGub
1. Tim-Tim -
a. Perencanaan dan Pemantauan
b. Tim Hubungan Masyarakat
c. Staf Gubernur
BIRO SEKRETARIAT Bsk
1. Bagian Protokol Pro
2. Bagian Arsip Ars
XXIV.
XXV.
XXVI.
XXVII.
Lampiran
239
Kantor Perwakilan Bank Indonesia
1. New York NY
2. London Lnd
3. Tokyo Tky
4. Singapura Sn
Kantor Bank Indonesia
1. Ambon Ab
2. Balikpapan Bpp
3. Banda Aceh Bna
4. Bandar Lampung Bdl
5. Bandung Bd
6. Banjarmasin Bjm
7. Batam Btm
8. Bengkulu Bn
9. Cirebon Cn
10. Denpasar Dpr
11. Jayapura Jap
12. Jambi Jb
13. Jember Jr
14. Kediri Kd
15. Kendari Kdi
16. Kupang Kpa
17. Lhokseumawe Lsm
18. Makassar Mks
19. Malang Ml
20. Mataram Mtr
21. Medan Mdn
22. Manado Mo
23. Padang Pdg
24. Palangkaraya Plk
25. Palembang Pg
26. Palu Pal
27. Pekanbaru Pbr
28. Pontianak Ptk
29. Purwokerto Pwt
30. Samarinda Smr
31. Semarang Sm
32. Sibolga Sbg
33. Solo Slo
34. Surabaya Sb
35. Tasikmalaya Tsm
36. Ternate Tt
37. Yogyakarta Yk
Nama Satuan Kerja Singkatan
Lampiran
240
Aktiva 31 Des. 2001 31 Des.2000
Unaudited Audited
1. Emas 8.934.005 8.170.712
2. Uang asing 453.368 794.307
3. Hak tarik khusus 165.030 317.855
4. Giro 11.488.488 5.300.013
4.1 Bank Sentral 8.758.350 2.950.464
4.2 Bank Koresponden 2.730.138 2.349.549
5. Deposito pada Bank Koresponden 69.068.707 61.544.917
6. Surat berharga 209.659.339 218.064.845
6.1 Dalam rupiah 0 0
6.2 Dalam valuta asing 209.659.339 218.064.845
7. Tagihan
7.1 Kepada pemerintah 315.944.501 279.600.597
7.1.1 Dalam rupiah 315.914.159 279.477.036
7.1.2 Dalam valuta asing 30.342 123.561
7.2 Kepada bank 19.182.641 20.296.434
7.2.1 Dalam rupiah 17.949.682 18.634.761
7.2.2 Dalam valuta asing 1.232.959 1.661.673
7.3 Kepada lainnya 7.496.935 7.280.073
7.3.1 Dalam rupiah 7.496.935 7.280.073
7.3.2 Dalam valuta asing 0 0
8. Penyisihan kerugian aktiva (49.455.231) (27.654.796)
9. Penyertaan 238.974 241.955
10. Aktiva lain-lain 9.400.041 6.364.478
Jumlah Aktiva 602.576.798 580.321.390
Lampiran D.1
Bank Indonesia
Neraca
per 31 Desember 2001 dan Desember 20001)
(Jutaan Rupiah)
Pasiva 31 Des. 2001 31 Des.2000
Unaudited Audited
A. Kewajiban
1. Uang dalam peredaran 91.275.598 89.704.449
2. Giro
2.1 Pemerintah 84.954.294 96.190.490
2.1.1 Dalam rupiah 47.984.852 66.228.447
2.1.2 Dalam valuta asing 36.969.442 29.962
2.2 Bank 41.863.845 41.105.359
2.2.1 Dalam rupiah 34.644.502 33.677.047
2.2.2 Dalam valuta asing 7.219.343 7.428.312
2.3 Pihak swasta lainnya 1.141.237 1.933.458
2.3.1 Dalam rupiah 1.014.322 1.731.572
2.3.2 Dalam valuta asing 126.915 201.886
2.4 Lembaga keuangan internasional 95.791.501 105.134.986
2.4.1 Dalam rupiah 95.791.501 105.134.986
2.4.2 Dalam valuta asing 0 0
3. Surat berharga yang diterbitkan 102.143.747 78.672.929
3.1 Dalam rupiah 102.143.747 78.672.929
3.2 Dalam valuta asing 0 0
4. Pinjaman dari pemerintah 30.226.201 28.092.771
4.1 Dalam rupiah 309.089 340.694
4.2 Dalam valuta asing 2.679.045 2.721.585
4.3 Surat Utang Bank Indonesia 27.238.067 25.030.492
5. Pinjaman luar negeri 19.872.947 19.142.030
6. Kewajiban lain-lain 1.432.711 1.143.421
Jumlah Kewajiban 468.702.081 461.119.893
B. Ekuitas
1. Modal 2.948.029 2.606.236
2. Cadangan umum 8.233.006 6.430.544
3. Cadangan tujuan 3.528.431 2.755.947
4. Hasil revaluasi aktiva tetap 4.871.249 4.768.103
5. Hasil revaluasi kurs dan SSB 50.675.217 79.950.773
6. Hasil indeksasi SUP 48.575.749 18.817.604
7. Hasil indeksasi SUBI (2.339.793) (476.122)
8. Surplus (defisit) tahun sebelumnya 0 1.773.466
9. Surplus (defisit) tahun berjalan 17.442.829 2.574.946
Jumlah Ekuitas 133.874.717 119.201.497
Jumlah Kewajiban dan Ekuitas 602.576.798 580.321.390
1) a. Laporan Keuangan Bank Indonesia tahun 2000 telah diaudit oleh BPK-RI sesuai laporan No.01/01/Auditama II/GA/V/2001 tanggal 8 Mei 2001
dengan dengan pendapat Wajar dengan Pengecualian atas pos tagihan karena adanya pengaruh Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI)
b. Laporan Keuangan Bank Indonesia tahun 2001(belum di audit) yang lengkap telah disampaikan kepada BPK-RI melalui surat No.4/1/GBI/DKI
tanggal 31 Januari 2002 untuk dimulai pemeriksaan.
c. Kurs Neraca tanggal 31 Desember 2000: $1 = Rp9.595,00 dan pada tanggal 31 Desember 2001: $1 = Rp10.400,00.
Lampiran
241
2001 2000
Unaudited Audited
PENERIMAAN
1. Pengelolaan Moneter 62.904.839 46.223.030
1.1 Pengelolaan Devisa 54.480.178 35.552.594
1.2 Kegiatan Pasar Uang 3.889 51.984
1.3 Pemberian Kredit dan Pembiayaan 8.420.772 10.618.452
2. Penyelenggaraan Sistem Pembayaran 42.162 38.703
3. Pengaturan Perbankan 46.811 32.509
4. Lainnya 173.919 3.295.396
4.1 Penerimaan Lainnya 173.919 570.849
4.2 Pemulihan Penyisihan Aktiva 0 2.724.547
Jumlah Penerimaan 63.167.732 49.589.638
PENGELUARAN
1. Beban Pengendalian Moneter (21.068.778) (19.929.814)
1.1 Beban Perumusan dan Pelaksanaan
Kebijakan Moneter (15.408.536) (11.914.197)
1.2 Beban Pengelolaan Devisa (5.660.242) (8.015.617)
2. Beban Sistem Pembayaran (727.482) (720.873)
2.1 Beban Pengedaran Uang (679.295) (695.602)
2.2 Beban Penyelenggaraan Sistem Pembayaran (48.187) (25.271)
3. Beban Pengaturan dan Pengawasan Bank (52.505) (131.855)
4. Beban Umum, Administrasi, dan Lainnya (23.876.138) (1.677.780)
4.1 Beban Umum, Administrasi, dan Lainnya (1.979.252) (1.539.234)
4.2 Beban Penyusutan Aktiva Tetap (127.393) (138.546)
4.3 Beban Penambahan Penyisihan Aktiva (21.769.493) 0
Jumlah Pengeluaran (45.724.904) (22.460.322)
Surplus Sebelum Pos Luar Biasa 17.442.829 27.129.316
Beban karena Pos Luar Biasa 0 (24.554.370)
SURPLUS 17.442.829 2.574.946
Lampiran D.2
Bank Indonesia
Laporan Surplus Defisit
Periode 1 Januari – 31 Desember 2001 dan 2000
(Jutaan Rupiah)
242
Lampiran
No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan
Urut
Daftar Peraturan Bank Indonesia
Tahun 2001
Lampiran E.1
Untuk memperlancar pengelolaan Proyek Kredit Mikro
(PKM) yang tetap mengacu pada UU No.23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia (“UUBI”), Bank Indonesia
menyesuaikan ketentuan tentang PKM yang antara lain
mengatur (i) sumber dana, yang semula seluruhnya
berasal dari Kredit Likuiditas Bank Indonesia, menjadi
seluruhnya berasal dari Asian Development Bank dan (ii)
perpanjangan pengelolaan Proyek dari Desember 2000
sampai dengan akhir Juni 2001.
Dirubah dengan PBI No.3/8/PBI/2001 tgl 25-04-2001
Bank Indonesia mengubah ketentuan mengenai Kredit
Usaha Kecil. Perubahan mencakup (i) peningkatan dana
untuk disalurkan ke KUK (ii) kewajiban bank untuk
mencantumkan rencana realisasi KUK dalam Rencana
Kerja Anggaran Tahunan (RKAT), (iii) kewajiban bank
untuk melaporkan realisasi KUK pada Laporan Bulanan
Bank Umum, (iv) kewajiban bank untuk mengumumkan
realisasi KUK pada Laporan Keuangan, (v) penyesuaian
plafon KUK menjadi Rp500 juta untuk setiap nasabah, (vi)
bantuan teknis dari Bank Indonesia bagi bank-bank yang
menyalurkan KUK. Sementara itu, sanksi dan insentif juga
dikurangi.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
pembatasan transaksi Rupiah dan pemberian kredit valuta
asing oleh bank. Dalam ketentuan tersebut diatur bahwa
bank dilarang melakukan transaksi-transaksi tertentu
dengan warga negara asing, badan hukum asing atau
badang asing lainnya, warga negara Indonesia yang
memiliki status penduduk tetap negara lain dan tidak
No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan
Urut
1 3/1/PBI/2001 04-01-2001 LN Thn 2001 No.2;
TLN No.4071
2 3/02/PBI/2001 04-01-2001 LN Thn 2001 No.3;
TLN No.4072
3 3/03/PBI/2001 12-01-2001 LN Thn 2001 No.7;
TLN No.4074
243
Lampiran
No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan
Urut
berdomisili di Indonesia, perwakilan negara asing dan
lembaga internasional di Indonesia serta kantor Bank/
badan hukum Indonesia di luar negeri.
Bank Indonesia mengeluarkan perubahan ketentuan
mengenai jaminan pembiayaan perdagangan
internasional (trade maintenance facility/TMF) dengan
memperpanjang pelaksanaan program tersebut menjadi
sampai dengan tanggal 30 Juni 2001. Program tersebut
diperpanjang dengan pertimbangan bahwa program TMF
masih diperlukan dalam rangka meningkatkan kembali
kegiatan ekonomi nasional khususnya kegiatan
perdagangan internasional.
Dicabut dgn PBI No.3/20/PBI/2001 tgl 29-11-2001
Ketentuan mengenai Penjaminan atas Simpanan Pihak
Ketiga dan Pasar Uang Antar Bank sebagaimana diatur
dalam SK Direksi Bank Indonesia No.31/32/KEP/DIR
tanggal 29 Mei 1998 diubah dengan PBI perihal serupa
No.3/5/PBI/2001. Dalam PBI ini diatur bahwa dalam
rangka Program Penjaminan, Pemerintah tidak menjamin
Simpanan Pihak Ketiga yang diterima dengan suku bunga
lebih tinggi dari batas maksimum suku bunga yang
ditetapkan.
Dengan diberlakukannya UUBI, Bank Indonesia tidak
diperkenankan untuk menyediakan fasilitas pembiayaan
kecuali untuk mengatasi kesulitan jangka pendek
perbankan dengan disertai oleh agunan yang berkulitas
tinggi dan mudah dicairkan. Mengingat fasilitas
penjaminan dan pembiayaan yang disediakan Bank
Indonesia selama ini terdapat unsur pemberian kredit
maka Bank Indonesia mencabut beberapa ketentuan
terkait, yaitu:
a. SK Direksi Bank Indonesia No.30/138/KEP/DIR
tentang Jual Beli Tagihan atas Dasar Surat Kredit
Berdokumen Dalam Negeri kepada Bank Indonesia,
b. SK Direksi Bank Indonesia No.30/193/KEP/DIR
4 3/04/PBI/2001 12-03-2001 LN Thn 2001 No.7;
TLN No.4080
5 3/05/PBI/2001 22-03-2001 LN Thn 2001 No.23;
TLN No.4082
6 3/06/PBI/2001 02-04-2001 LN Thn 2001
244
Lampiran
No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan
Urut
tentang Jual Beli Devisa Hasil Ekspor untuk Eksportir
dan Eksportir Tertentu,
c. SK Direksi Bank Indonesia No.30/194/KEP/DIR tentang
Jual Beli Devisa Hasil Ekspor yang akan datang untuk
Eksportir Tertentu,
d. SK Direksi Bank Indonesia No.31/187/KEP/DIR tentang
Penjaminan dan atau Pembiayaan Letter of Credit
melalui Penempatan Dana Bank Indonesia pada Bank
Asing.
Mengingat Bank Indonesia tidak lagi diperbolehkan
menyediakan fasilitas pembiayaan dan atau penjaminan,
maka ketentuan mengenai petunjuk pelaksanaan
pemberian jaminan Pemerintah terhadap kewajiban
pembayaran bank umum dicabut.
Bank Indonesia mengeluarkan perubahan ketentuan
tentang Proyek Kredit Mikro yang isinya antara lain
menaikkan jumlah plafon kredit untuk membiayai
pengusaha mikro.
Bank Indonesia menerbitkan dan mengeluarkan uang
Rupiah khusus untuk memperingati 100 tahun kelahiran
Bung Karno Proklamator Republik Indonesia pada tanggal
6 Juni 2001 dalam pecahan 500.000 (lima ratus ribu) dan
25.000 (dua puluh lima ribu) seri “Peringatan 100 Tahun
Bung Karno” tanda tahun 2001.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know Your
Customer ”KYC”), yaitu prinsip yang diterapkan bank
umum untuk mengetahui identitas nasabah, memantau
kegiatan transaksi nasabah termasuk pelaporan transaksi
yang mencurigakan. Dalam ketentuan tersebut ditetapkan
bahwa bank wajib menerapkan Prinsip KYC yaitu
menetapkan kebijakan penerimaan Nasabah, kebijakan
dan prosedur dalam mengidentifikasi Nasabah, kebijakan
dan prosedur pemantauan terhadap rekening dan transaksi
7 3/07/PBI/2001 02-04-2001 LN Thn 2001 No.32
8 3/08/PBI/2001 25-04-2001 LN Thn 2001 No.39; TLN
No.4089
9 3/09/PBI/2001 06-06-2001 LN Thn 2001 No.70
10 3/10/PBI/2001 18-06-2001 LN Thn 2001 No.78
TLN No.4107
245
Lampiran
No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan
Urut
11 3/11/PBI/2001 20-06-2001 LN Thn 2001 No.79
TLN No.4108
12 3/12/PBI/2001 09-07-2001 LN Thn 2001 No.98
TLN No.4123
13 3/13/PBI/2001 03-09-2001 LN Thn 2001 No.115
TLN No.4135
14 3/14/PBI/2001 20-09-2001 LN Thn 2001 No.121
TLN No.4140
Nasabah serta kebijakan dan prosedur manajemen risiko
yang berkaitan dengan penerapan Prinsip KYC.
Dalam rangka mendukung kelancaran pencapaian tujuan
Bank Indonesia dalam mencapai dan memelihara
kestabilan nilai rupiah, maka Bank Indonesia memperluas
pihak-pihak ekstern yang dapat membuka Rekening Giro
di Bank Indonesia menjadi terdiri dari bank, instansi
pemerintah, lembaga keuangan internasional dan lembaga
lain yang menurut Bank Indonesia dipandang perlu untuk
mempunyai Rekening Giro di Bank Indonesia.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
persyaratan dan tatacara pelaksanaan jaminan Pemerintah
terhadap kewajiban pembayaran BPR. Ketentuan ini
merupakan perubahan atas ketentuan yang berlaku
sebelumnya yaitu Surat Keputusan Direksi No.31/166/
KEP/DIR dan No.31/167/KEP/DIR tanggal 11 Desember
1998. Dalam ketentuan ini ditetapkan kriteria simpanan
pihak ketiga yang dijamin maupun yang tidak dijamin
dengan memperhatikan tujuan pengaturan Program
Penjaminan Pemerintah itu sendiri yakni perlindungan
dana nasabah dan kepentingan publik. Sementara itu,
untuk menjadi peserta Program Penjaminan Pemerintah,
BPR perlu memenuhi persyaratan yaitu pernyataan
keikutsertaan, membayar fee penjaminan dan
penyampaian dokumen pendukung administratif.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
perubahan atas Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia
tentang Penerbitan dan Perdagangan Sertifikat Bank
Indonesia serta Intervensi Rupiah. Ketentuan ini diubah
untuk menyesuaikan dengan jadwal operasional Sistem
Bank Indonesia Real Time Gross Settlement (RTGS).
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai peru-
bahan atas PBI No.2/12/PBI/2000 tentang Jaminan Pinja-
man Luar Negeri Antar Bank (Interbank Debt Exchange
246
Lampiran
No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan
Urut
15 3/15/PBI/2001 21-09-2001 LN Thn 2001 No.122
TLN No.4141
16 3/16/PBI/2001 03-10-2001 LN Thn 2001 No.123
TLN No.4142
17 3/17/PBI/2001 04-10-2001 LN Thn 2001 No.125
TLN No.4143
18 3/18/PBI/2001 17-10-2001 LN Thn 2001 No.130
TLN No.4147
19 3/19/PBI/2001 26-10-2001 LN Thn 2001 No.131
Offer). Pokok perubahan dalam ketentuan dimaksud adalah
mengenai dimungkinkannya sejumlah bank untuk melunasi
seluruh atau sebagian pinjaman Interbank Debt Exchange
Offer melalui Prepayment dan Buy Back. Penetapan Status
Bank Perkreditan Rakyat Dalam Pengawasan Khusus dan
Pembekuan Kegiatan Usaha.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
penetapan status BPR dalam pengawasan khusus dan
pembekuan kegiatan usaha untuk melakukan penyehatan
industri BPR.
Bank Indonesia mengeluarkan perubahan kedua atas PBI
No.3/1/PBI/2001 tentang Proyek Kredit Mikro (PKM) yang
memperpanjang masa pengelolaan PKM menjadi sampai
dengan tanggal 31 Desember 2001 dan dapat ditinjau
kembali berdasarkan kesepakatan antara Pemerintah RI
dan Asian Development Bank.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
Laporan Berkala Bank Umum (LBBU). Dalam ketentuan
ini diatur bahwa bank umum termasuk kantor cabang bank
asing wajib menyusun dan menyampaikan LBBU kepada
Bank Indonesia secara akurat, lengkap dan tepat waktu
yang dilakukan oleh kantor pusat bank.
Bank Indonesia mengeluarkan perubahan ketentuan
mengenai persyaratan dan tata cara membawa Uang
Rupiah dalam jumlah tertentu keluar atau masuk wilayah
Republik Indonesia kecuali dengan persetujuan Bank
Indonesia.
Bank Indonesia mengeluarkan dan mengedarkan uang
Rupiah pecahan 5.000 (lima ribu) tahun emisi 2001 yang
pada bagian muka mencantumkan gambar Pahlawan
Nasional Tuanku Imam Bondjol sedangkan bagian
belakang mencantumkan gambar Pandai Sikek tenunan
dari Sumatera Barat.
247
Lampiran
No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan
Urut
20 3/20/PBI/2001 29-11-2001 LN Thn 2001 No. 140
21 3/21/PBI/2001 13-12-2001 LN Thn 2001 No.149
TLN No.4158
22 3/22/PBI/2001 13-12-2001 LN Thn 2001 No.150
TLN No.4159
23 3/23/PBI/2001 13-12-2001 LN Thn 2001 No.151
TLN No.4160
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
pencabutan PBI No.2/13/PBI/2000 tentang Jaminan
Pembiayaan Perdagangan Internasional dan
perubahannya PBI No.3/4/PBI.2001 sehubungan dengan
berakhirnya fasilitas perdagangan internasional pada
tanggal 30 Juni 2001.
Untuk menyesuaikan struktur permodalan sesuai dengan
standar internasional yang berlaku, maka terhitung sejak
akhir bulan Desember 2001 bank umum wajib
menyediakan modal minimum sebesar 8% dari aktiva
tertimbang menurut risiko.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan mengenai
transparansi kondisi keuangan bank dalam rangka
pencapaian good corporate governance pada perbankan
Indonesia. Dengan adanya transparansi, diharapkan
dapat lebih meningkatkan kepercayaan publik terhadap
lembaga perbankan nasional. Di sisi lain, peningkatan
transparansi akan mengurangi kesenjangan informasi
sehingga para pelaku pasar dapat memberikan penilaian
yang wajar dan dapat mendorong terciptanya disiplin
pasar. Dalam ketentuan ini, diatur mengenai Pedoman
Akuntansi Perbankan Indonesia serta Hubungan Bank,
Akuntan Publik dan Bank Indonesia.
Bank Indonesia mengeluarkan perubahan ketentuan
mengenai penerapan Prinsip Mengenal Nasabah (Know
Your Customer/”KYC”) dalam rangka penerapan peraturan
sebelumnya secara lebih efektif. Pada intinya, penerapan
Prinsip KYC oleh bank dilakukan antara lain dengan
menyusun kebijakan dan prosedur Penerapan Prinsip
KYC yang dituangkan dalam Pedoman Pelaksanaan
Penerapan Prinsip KYC dengan mengacu pada Pedoman
Standar Penerapan KYC yang ditetapkan dalam Surat
Edaran Bank Indonesia.
248
Lampiran
No.No. PBI Tanggal Lemb. Negara Keterangan
Urut
24 3/24/PBI/2001 24-12-2001 LN Thn 2001 No.155
TLN No.4163
25 3/25/PBI/2001 26-12-2001 LN Thn 2001 No. 156
TLN No.4164
Bank Indonesia mengeluarkan perubahan ketentuan
mengenai penetapan status Bank Perkreditan Rakyat
(BPR) dalam pengawasan khusus dan pembekuan
kegiatan usaha dalam rangka mempercepat penyelesaian
BPR bermasalah sebagai upaya penyehatan industri
BPR.
Bank Indonesia mengeluarkan ketentuan tentang
penetapan status bank dan penyerahan bank kepada
Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN). Dengan
dikeluarkannya ketentuan ini, maka Peraturan Bank
Indonesia (PBI) No.2/11/PBI/2000 perihal sama tersebut
di atas dicabut dan dinyatakan tidak berlaku. Dalam
ketentuan ini diatur bahwa dalam hal Bank Indonesia
menilai kondisi suatu bank memiliki potensi kesulitan yang
dapat membahayakan kelangsungan usahanya, maka
bank tersebut ditempatkan dalam pengawasan intensif
Bank Indonesia.
249
Lampiran
No.No. SE BI Tanggal Perihal Keterangan
Urut
Daftar Surat Edaran (Ekstern)
Bank Indonesia Tahun 2001
Lampiran E.2
Perubahan atas Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga
yang Dijamin Pemerintah
Pemberian Kredit kepada Koperasi Primer untuk Anggotanya
(KKPA) Dalam Rangka Penyaluran Kembali Angsuran Kredit
Likuiditas BI (KLBI) yang Dikelola oleh PT Permodalan
Nasional Madani (Persero)
Proyek Kredit Mikro
Jenis dan Batasan Nominal Warkat Serta Jadwal Penyeleng-
garaan Kliring Lokal di Jakarta
Pembatasan Transaksi Rupiah dan Pemberian Kredit Valuta
Asing oleh Bank
Penetapan Obligasi Pemerintah Seri VR 003, VR 0004, VR
0007, VR 0009, VR 0011, VR 0013, dan VR 0015 untuk
diperdagangkan di Pasar Sekunder serta Peningkatan
Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah yang Dapat
Diperdagangkan
Pencabutan SE No.5/163/ULN tanggal 30 Januari 1973
tentang Lampiran Mutasi Bulanan Rekening-Rekening PMA,
Rupiah PMA, dan Disc. Rupiah
Bank Umum
Petunjuk Pelaksanaan Pemberian KUK
Jadwal Kliring dan Tanggal Valuta Penyelesaian Akhir Sistem
No.No. SE BI Tanggal Perihal Keterangan
Urut
1 3/1/DPNP 05-01-2001
2 3/2/BKr 11-01-2001
3 3/3/BKr 16-01-2001
4 3/4/DASP 23-01-2001
5 3/5/DPD 31-01-2001
6 3/6/DPM 09-02-2001
7 3/7/DLN 09-03-2001
8 3/8/DPNP 16-03-2001
9 3/9/BKr 17-05-2001
10 3/10/DASP 28-05-2001
250
Lampiran
No.No. SE BI Tanggal Perihal Keterangan
Urut
Penyelenggaraan Kliring Lokal serta Jenis dan Batasan
Nominal Warkat atau Data Keuangan Elektronik
Perubahan Kedua Atas SE BI No.29/10/ULN tanggal 4 Juni
1996 tentang Pelaksanaan Pembayaran Transaksi Impor
Perubahan Surat Edaran Bank Indonesia No.2/20/DLN
tanggal 9 Oktober 2000 tentang Kewajiban Pelaporan Utang
Luar Negeri
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Bank
Pelaporan Kegiatan Lalu Lintas Devisa oleh Lembaga
Keuangan Non Bank
Peningkatan Prosentase Portofolio Obligasi Pemerintah Yang
Dapat Diperdagangkan Bagi Bank Umum Peserta Program
Rekapitalisasi Perbankan
Persyaratan dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan
Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran BPR
Persyaratan dan Tata Cara Pelaksanaan Jaminan
Pemerintah Terhadap Kewajiban Pembayaran BPR
Penetapan Obligasi Pemerintah Seri VR0006, VR0008,
VR0010, VR0012, VR0014 dan VR0016 untuk Diperdagang-
kan di Pasar Sekunder serta Peningkatan Prosentase
Portofolio Pemerintah yang Dapat Diperdagangkan bagi
Bank Umum Peserta Program Rekapitalisasi Perbankan
Penetapan Marjin Suku Bunga Simpanan Pihak Ketiga yang
Dijamin Pemerintah
Perubahan Atas SE BI No.2/24/DASP Tanggal 17 November
2000 Perihal Bank Indonesia Real Time Gross Settlement
Perubahan Atas SE BI No.2/27/DPM Tanggal 13 Desember
2000 Perihal Tata Cara Pemberian Fasilitas Likuiditas
11 3/11/DLN 07-06-2001
12 3/12/DLN 08-06-2001
13 3/13/DSM 13-06-2001
14 3/14/DSM 13-06-2001
15 3/15/DPM 05-07-2001
16 3/16/DPBPR 18-07-2001
17 3/17/DPBPR 18-07-2001
18 3/18/DPM 31-07-2001
19 3/19/DPNP 14-08-2001
20 3/20/DASP 31-08-2001
21 3/21/DPM 03-09-2001
251
Lampiran
No.No. SE BI Tanggal Perihal Keterangan
Urut
Intrahari Bagi Bank Umum
Perubahan SE No.3/3/BKr tanggal 16 Januari 2001 tentang
Proyek Kredit Mikro
Laporan Berkala Bank Umum
Tata Cara Penatausahaan Obligasi Pemerintah
Perubahan Atas SE No.1/4/DASP tanggal 29 November 2001
perihal Pemberian Persetujuan Terhadap Pihak Lain Untuk
Menyelenggarakan Kliring di Daerah yang Tidak Terdapat
Kantor Bank Indonesia
Perubahan SE No.3/10/DASP tanggal 28 Mei 2001 perihal
Jadwal Kliring dan Tanggal Valuta Penyelesaian Akhir, Sistem
Penyelenggaraan Kliring Lokal serta Jenis dan Batasan
Nominal Warkat atau Data Keuangan Elektronik
Warkat, Dokumen Kliring dan Pencetakannya Pada
Perusahaan Percetakan Dokumen Sekuriti
Penggunaan Jasa Kurir dan Tanda Pengenal Petugas Kliring
(TPPK) Dalam Penyelenggaraan Kliring Yang Menggunakan
Sistem Otomasi Elektronik
Pedoman Standar Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah
Laporan Keuangan Publikasi Triwulanan dan Bulanan Bank
Umum serta Laporan Tertentu Yang Disampaikan Kepada
Bank Indonesia
Laporan Tahunan Bank Umum dan Laporan Tahunan Tertentu
Yang Disampaikan Kepada Bank Indonesia
Hubungan Antara Bank, Akuntan Publik dan Bank Indonesia
Pelaksanaan Pedoman Akuntansi Perbankan Indonesia
22 3/22/BKr 16-10-2001
23 3/23/DPNP 30-10-2001
24 3/24/DPM 16-11-2001
25 3/25/DASP 28-11-2001
26 3/26/DASP 5-12-2001
27 3/27/DASP 12-12-2001
28 3/28/DASP 12-12-2001
29 3/29/DPNP 13-12-2001
30 3/30/DPNP 14-12-2001
31 3/31/DPNP 14-12-2001
32 3/32/DPNP 14-12-2001
33 3/33/DPNP 14-12-2001
252
Lampiran
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
Berbagai Ketentuan dan Kebijakan Penting
di Bidang Ekonomi dan Keuangan Tahun 2001
Lampiran E.3
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai ketentuan
kuota ekspor tekstil dan produk tekstil.
Dalam upaya mendorong Kerjasama Ekonomi Sub Regional
antar daerah-daerah dari negara-negara tetangga, Pemerintah
membentuk Tim Koordinasi Kerjasama Ekonomi Sub Regional.
Sehubungan dengan adanya perubahan susunan organisasi
dan instansi dalam Kabinet periode tahun 1999-2004, maka
Pemerintah melakukan penyesuaian susunan keanggotaan
Tim Nasional untuk Perundingan Perdagangan Multilateral
dalam kerangka World Trade Organization.
Bapepam mengeluarkan ketentuan mengenai penghentian
perdagangan (suspensi) atas efek perusahaan tercatat yang
mengalami peristiwa atau kejadian penting yang berdampak
material terhadap kelangsungan usahanya dan atau proses
pembentukan harga efek yang teratur, wajar dan efisien di
bursa. Peristiwa penting tersebut antara lain Laporan
Keuangan Tahunan Auditan Perusahaan Tercatat memper-
oleh opini disclaimer sebanyak 2 kali berturut-turut atau
Perusahaan Tercatat dimohonkan pailit oleh krediturnya atau
mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pem-
bayaran Utang (PKPU).
2001
Januari
4
18
29
31
SK Memperindag
No.01/MPP/Kep/1/2001
Keppres No.13
Tahun 2001
Keppres No.18
Tahun 2001
SE PT Bursa Efek Jakarta
No.SE-002/BEJ/012001
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
253
Lampiran
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
Pemerintah mengeluarkan ketentuan pemotongan pajak
penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta
diskonto Sertifikat Bank Indonesia.
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai penetapan
besarnya tarif pajak ekspor kelapa sawit, CPO dan produk
turunannya.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pelaksanaan
pembagian hasil penerimaan pajak penghasilan orang
pribadi dalam negeri dan pajak penghasilan pasal 21 antara
pemerintah pusat dan pemerintah daerah.
Dalam rangka mendukung program restrukturisasi utang,
Pemerintah memandang perlu untuk menetapkan peraturan
yang memberi keringanan pajak penghasilan kepada wajib
pajak yang melakukan restrukturisasi utang usaha melalui
lembaga khusus yang dibentuk pemerintah.
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai tata cara
penghitungan besarnya pemberian imbalan bunga kepada
wajib pajak.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai penetapan
eksportir terdaftar tekstil dan produk tekstil pengusaha kecil
dan koperasi (STTPT-PKK) untuk memperoleh kuota
pertumbuhan (KPt) tekstil dan produk tekstil tahun 2001.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai crash
program pengurusan piutang negara perbankan II.
Februari
7
9
14
19
SK Menkeu No.51/
KMK.04/2001
SK Menkeu No.66/
KMK.17/2001
SK Menkeu No.6/
KMK.04/2001
PP No.7 Tahun 2001
SE Dirjen Pajak
No.SE-03/PJ.33/2001
SK Menperindag No.51/
MPP/Kep/2/2001
SK Menkeu No.81/
KMK.01/2001
254
Lampiran
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
SK Menkeu No.88/
KMK.03/2001
Kep-06/PM/2001
SK Dirjen Pajak No.
KEP-213/PJ/2001
SK Dirjen Pajak No.
KEP-217/PJ/2001
PBI No.3/6/PBI/2001
Kep-07/PM/2001
20
Maret
8
15
16
22
23
Pemerintah mengeluarkan peraturan pelimpahan wewenang
penanganan dan penandatanganan keputusan dan surat-
surat yang berhubungan dengan pemberian pelayanan
kemudahan ekspor kepada Kepala Badan Informasi dan
Tehnologi Keuangan.
Bapepam mengeluarkan ketentuan mengenai pembatasan
atas saham yang diterbitkan sebelum penawaran umum
untuk dialihkan kepada pihak lain.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perlakuan
perpajakan atas penyediaan makanan dan minuman bagi
seluruh pegawai dan penggantian atau imbalan sehubungan
dengan pekerjaan atau jasa yang diberikan dalam bentuk
natura dan kenikmatan di daerah tertentu serta yang berkai-
tan dengan pelaksanaan pekerjaan yang dapat dikurangkan
dari penghasilan bruto pemberi kerja.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai tatacara
penerbitan surat keterangan bebas (SKB) pemotongan pajak
penghasilan atas bunga deposito dan tabungan serta diskon-
to sertifikat Bank Indonesia yang diterima atau diperoleh dana
pensiun yang pendirinya telah disahkan Menkeu.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai impor dan
atau penyerahan barang kena pajak tertentu yang bersifat
strategis yang dibebaskan dari pengenaan pajak pertam-
bahan nilai.
Bapepam mengeluarkan ketentuan mengenai hak memesan
255
Lampiran
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
27
28
29
April
11
16
efek terlebih dahulu. Apabila suatu perusahaan yang telah
melakukan Penawaran Umum saham atau Perusahaan
Publik bermaksud menambah modal sahamnya, termasuk
melalui penerbitan waran atau efek konversi, maka setiap
pemegang saham harus diberi Hak Memesan Efek Terlebih
Dahulu atas Efek baru dimaksud sebanding dengan persen-
tase pemilikan mereka.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pemberi-
tahuan berlakunya persetujuan penghindaran pajak
berganda (P3B) RI-Venezuela.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pengha-
pusan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perlakuan
perpajakandikawasan pengembangan ekonomi terpadu
(Kapet).
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai harga jual
eceran bahan bakar minyak dalam negeri.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai kebijakan
penyehatan perbankan dan restrukturisasi utang perusa-
haan berdasarkan hasil rapat komite kebijakan sektor
keuangan tanggal 11 April 2001.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai keringanan
bea masuk atas impor bahan baku/penolong dan bagian/
komponen untuk perakitan mesin dan motor berputar.
PP No.12 Tahun 2001
SE Dirjen Pajak No.SE-
02/PJ.10/2001
SK Dirjen Pajak No.
KEP-238/PJ/2001
SK Dirjen Pajak No.
KEP-229/PJ/2001
Kep.Presiden No.45
Tahun 2001
Kep.Komite Kebijakan
Sektor Keuangan No.
Kep-01/K.KKSK/04/2001
SK Menkeu No.190/
KMK.01/2001
256
Lampiran
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perlakuan
PPn & PPnBM atas impor barang kena pajak yang dibebas-
kan dari pungutan bea masuk.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai impor mesin
dan peralatan mesin bukan baru.
Pemerintah mengeluarkan perubahan ketiga ketentuan
tentang bea masuk, bea masuk tambahan, pajak pertam-
bahan nilai dan pajak penjualan atas barang mewah dan
pajak penghasilan dalam rangka pelaksanaan proyek
pemerintah yang dibiayai dengan hibah atau dana pinjaman
luar negeri dalam rangka mempercepat pemulihan ekonomi.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perubahan
atas peraturan pemerintah nomor 42 tahun 2000 tentang
pembayaran pajak penghasilan orang pribadi yang akan
bertolak ke luar negeri.
Pemerintah mengeluarkan perubahan keempat atas PP
No.17 Tahun 1999 tentang BPPN yang menetapkan bahwa
sebelum dilakukan penyerahan oleh BPPN kepada Bank
Indonesia, Bank Dalam Penyehatan yang telah selesai
menjalani program penyehatan terlebih dahulu melalui masa
pengamatan di BPPN paling lama 6 bulan terhitung sejak
Bank Dalam Penyehatan tersebut memenuhi persyaratan
atau kriteria tingkat kesehatan untuk diserahkan kepada
Bank Indonesia.
30
Mei
17
18
28
Juni
8
SK Menkeu No.231/
KMK.03/2001
SK Menperindag No.172/
MPP/Kep/5/2001
PP No.25 Tahun 2001
PP No.41 Tahun 2001
PP No.47 Tahun 2001
257
Lampiran
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai harga jual
eceran bahan bakar minyak dalam negeri.
Menteri Keuangan RI mengeluarkan ketentuan mengenai
divestasi saham negara dalam rangka penyertaan modal
sementara oleh BPPN.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai penetapan
rincian jumlah dana kontingensi untuk bantuan kepada
pemerintah daerah yang mengalami surplus marginal setelah
pengalihan personil, peralatan, pembiayaan dan dokumen
(P3D).
Sejalan dengan konvensi-konvensi internasional yang telah
diratifikasi Indonesia, maka pengaturan mengenai paten dan
merek menjadi sangat penting terutama dalam menjaga
persaingan usaha yang sehat. Untuk itu, Pemerintah menge-
luarkan peraturan mengenai paten dan merek yang masing-
masing diatur dalam undang-undang.
Yayasan dapat melakukan kegiatan usaha untuk menunjang
pencapaian maksud dan tujuannya di bidang sosial, keaga-
maan dan kemanusiaan dengan cara mendirikan badan
usaha dan atau ikut serta dalam suatu badan usaha. Keka-
yaan yayasan dilarang dialihkan atau dibagikan secara
langsung atau tidak langsung kepada pembina, pengurus,
pengawas dan karyawan yayasan atau pihak lain yang
mempunyai kepentingan terhadap yayasan.
15
Juli
9
23
Agustus
1
6
Kep.Presiden No.73
Tahun 2001
Keputusan
Menteri Keuangan No.
401/KMK.01/2001
SK Menkeu No.190/
KMK.01/2001
UU No.14 Tahun 2001
UU No.16 Tahun 2001
258
Lampiran
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai pengalihan
kedudukan, tugas dan kewenangan menteri keuangan pa-
da badan penyehatan perbankan nasional kepada menteri
negara badan usaha milik negara.
Direktorat Jenderal Pajak mengeluarkan ketentuan menge-
nai tata cara pelaksanaan pemblokiran dan penyitaan harta
kekayaan penanggung pajak yang tersimpan pada bank
dalam rangka penagihan pajak dengan surat paksa. Dalam
melaksanakan penyitaan, terlebih dahulu dilakukan pemblo-
kiran terhadap harta kekayaan dimaksud. Untuk melak-
sanakan pemblokiran, Kepala Kantor Pelayanan Pajak/
Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan wajib menga-
jukan permohonan pemblokiran kepada pimpinan bank
tempat harta kekayaan penanggung pajak tersimpan disertai
dengan salinan Surat Paksa dan Surat Perintah Melak-
sanakan Penyitaan. Selanjutnya, pimpinan bank wajib mem-
blokir seketika dan membuat Berita Acara.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai penetapan
jalur bagi barang ekspor yang mendapat fasilitas pengem-
balian bea masuk dan atau cukai serta pajak pertambahan
nilai dan pajak penjualan atas barang mewah.
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai pem-
bentukan tim pemantauan harga dan antisipasi pengadaan
dan pendistribusian barang kebutuhan pokok menghadapi
hari raya keagamaan nasional tahun 2001/2002.
PP No.63 Tahun 2001
Keputusan Dirjen Pajak
No.KEP-627/PJ/2001
SE Dirjen Bea dan Cukai
No.SE-31/BC/2001
SK Menperindag No.300/
MPP/Kep/10/2001
September
13
24
27
Oktober
24
259
Lampiran
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
SK Menperindag No.311/
MPP/Kep/10/2001
Keputusan Gubernur DKI
Jakarta No.3052 Tahun
2001
UU No.19 Tahun 2001
PP No.22 Tahun 2001
PP No.78 Tahun 2001
PP No.79 Tahun 2001
PP No.80 Tahun 2001
Kep.Komite Kebijakan
Sektor Keuangan
No.Kep-01/K.KKSK/12/2001
Keputusan
Menteri Keuangan No.625/
KMK.01/2001
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai ketentuan
kuota ekspor tekstil dan produk tekstil.
Gubernur DKI Jakarta menetapkan Upah Minimum Propinsi
(UMP) Tahun 2002 di Propinsi DKI Jakarta sebesar
Rp591.266,- per bulan.
Pemerintah menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja
Negara (APBN) Tahun Anggaran 2002 yang diperkirakan
akan mengalami defisit dan akan dibiayai dari pembiayaan
defisit anggaran yang bersumber dari pembiayaan dalam
negeri dan luar negeri.
Pemerintah mengeluarkan ketentuan mengenai minyak dan
gas bumi.
Negara c.q.Pemerintah menjual saham milik negara RI yang
ada pada PT Telekomunikasi Indonesia Tbk, PT Socfin
Indonesia dan PT Wisma Nusantara Internasional.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai kebijakan
penyehatan perbankan dan restrukturisasi utang perusa-
haan berdasarkan hasil rapat komite kebijakan sektor ke-
uangan tanggal 11 Desember 2001.
Menteri Keuangan mengeluarkan keputusan untuk menunda
pelaksanaan PP No.107 Tahun 2000 tentang Pinjaman
Daerah, dimana dengan UU tersebut Pemerintah Daerah
dapat memanfaatkan pinjaman daerah sebagai salah satu
30
31
November
14
23
Desember
7
11
12
260
Lampiran
Tanggal Ketentuan/Kebijakan Keterangan
PP No.127 Tahun 2001
PP No.83 Tahun 2001
sumber untuk membiayai pelaksanaan pembangunan dae-
rah dengan memperhatikan kemampuan daerah dalam
mengelola dan mengembalikan pinjaman tersebut. Dengan
keputusan dimaksud, perjanjian baru pinjaman daerah yang
bersumber dari dalam negeri dan luar negeri ditunda sampai
dengan berakhirnya tahun anggaran 2002.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai bidang/jenis
usaha yang dicadangkan untuk usaha kecil dan bidang/
jenis usaha yang terbuka untuk usaha menengah atau
besar dengan syarat kemitraan.
Pemerintah mengeluarkan peraturan mengenai perubahan
atas peraturan pemerintah nomor 20 tahun 1994 tentang
pemilikan saham dalam perusahaan yang didirikan dalam
rangka penanaman modal asing.
14
19
Lampiran
263
Pengeluaran konsumsi 308.816,9 286.850,6 299.084,5 310.725,2 329.841,7
Rumah tangga 277.116,1 260.022,7 272.070,2 281.957,4 298.703,6
Pemerintah 31.700,8 26.827,9 27.014,3 28.767,8 31.138,1
Pembentukan modal tetap domestik bruto 139.725,6 93.604,7 76.572,9 93.360,2 97.057,7
Perubahan stok 3.341,7 -6.386,9 -9.622,1 -27.232,6 -31.371,6
Ekspor barang dan jasa 121.157,9 134.707,2 91.863,6 116.193,6 118.377,0
dikurangi Impor barang dan jasa 139.796,1 132.400,7 78.546,4 95.112,1 102.772,7
Produk Domestik Bruto 433.246,0 376.374,7 379.352,5 397.934,3 411.132,1
Pendapatan neto terhadap luar negeri
atas faktor produksi -15.462,9 -27.965,4 -22.145,1 -25.391,1 -17.399,1
Produk Nasional Bruto 417.783,1 348.409,5 357.207,4 372.543,2 393.733,0
dikurangi Pajak tidak langsung 26.100,1 1.858,9 6.181,9 -11.687,3 8.815,8
dikurangi Penyusutan 21.662,4 18.818,8 18.967,6 19.896,7 20.556,6
Pendapatan Nasional 370.020,6 327.731,8 332.057,9 364.333,7 364.360,6
Pengeluaran konsumsi 430.122,7 702.239,5 885.814,6 958.776,8 1.110.103,0
Rumah tangga 387.170,7 647.823,6 813.183,3 867.997,1 999.266,3
Pemerintah 42.952,0 54.415,9 72.631,3 90.779,7 110.836,7
Pembentukan modal tetap domestik bruto 177.686,1 243.043,4 221.472,3 268.669,4 310.908,7
Perubahan stok 21.615,1 -82.716,1 -96.461,4 -81.384,6 -56.820,0
Ekspor barang dan jasa 174.871,3 506.244,8 390.560,1 542.992,4 612.482,2
dikurangi Impor barang dan jasa 176.599,8 413.058,1 301.654,0 407.036,4 485.699,7
Produk Domestik Bruto 627.695,4 955.753,5 1.099.731,6 1.282.017,6 1.490.974,2
Pendapatan neto terhadap luar negeri
atas faktor produksi -18.355,0 -53.893,7 -83.764,2 -92.161,8 -58.079,0
Produk Nasional Bruto 609.340,4 901.859,8 1.015.967,4 1.189.855,8 1.432.895,2
dikurangi Pajak tidak langsung 37.828,7 6.480,5 17.950,1 -37.820,3 31.425,7
dikurangi Penyusutan 31.384,8 47.787,7 54.986,6 64.100,9 74.548,7
Pendapatan Nasional 540.126,9 847.591,6 943.030,7 1.163.575,2 1.326.920,8
Memorandum item:
Produk Domestik Bruto per kapita1)
dalam ribuan rupiah 3.205,5 4.814,7 5.489,7 6.301,2
dalam $ 1.118,3 491,1 696,5 777,3
Produk Nasional Bruto per kapita1)
dalam ribuan rupiah 3.111,8 4.543,2 5.071,5 5.848,2
dalam $ 1.085,6 463,4 643,5 721,4
Pendapatan Nasional per kapita1)
dalam ribuan rupiah 2.758,3 4.269,8 4.707,5 5.719,1
dalam $ 962,3 435,5 597,3 705,4
Tabel 1
Produk Domestik Bruto menurut Jenis Penggunaan
(miliar rupiah)
Jenis penggunaan 1997 1998 1999 2000* 2001**
Harga konstan 1993
1) Berdasarkan harga berlaku
Sumber : Badan Pusat Statistik
Harga berlaku
Lampiran
264
Tabel 2
Produk Domestik Bruto menurut Lapangan Usaha
(miliar rupiah)
Pertanian, peternakan,
kehutanan, dan perikanan 64.468,0 63.609,5 64.985,3 66.088,3 66.503,8 101.009,4 172.827,6 215.686,7 218.301,3 244.381,0
Tanaman bahan makanan 32.688,4 33.350,4 34.012,4 34.312,2 33.932,1 52.189,4 91.346,0 116.222,5 111.886,5 124.287,7
Tanaman perkebunan 10.496,6 10.501,8 10.702,0 10.870,7 11.096,3 16.447,3 33.289,6 35.966,5 33.993,8 38.434,8
Peternakan 7.483,1 6.439,7 6.836,9 7.051,6 7.322,4 11.688,2 15.743,6 23.761,2 28.087,5 31.575,1
Kehutanan 7.189,8 6.580,7 6.288,1 6.364,4 6.431,5 6.806,5 11.700,5 13.803,8 14.861,8 15.406,2
Perikanan 6.610,1 6.736,9 7.145,8 7.489,4 7.721,6 10.878,0 20.747,9 25.932,8 29.471,7 34.677,2
Pertambangan dan penggalian 38.538,2 37.474,0 36.865,8 38.730,2 38.483,3 55.561,9 120.328,5 109.925,4 176.639,9 202.680,1
Minyak dan gas bumi 23.919,8 23.340,1 22.136,8 22.658,3 21.706,9 34.036,7 74.883,7 72.424,9 131.079,4 143.063,4
Pertambangan tanpa migas 7.645,6 9.678,0 10.357,7 11.459,3 11.966,1 11.192,4 35.459,9 27.696,1 34.031,6 45.558,1
Penggalian 6.972,8 4.455,9 4.371,2 4.612,6 4.810,3 10.332,8 9.984,9 9.804,3 11.528,8 14.058,6
Industri pengolahan 107.629,7 95.320,6 99.058,5 105.102,5 109.641,3 168.178,0 238.897,1 385.873,9 335.339,4 389.320,9
Industri migas 10.650,3 11.042,2 11.797,2 11.599,9 11.271,5 15.621,9 33.172,4 35.127,6 53.167,6 61.878,0
Pengilangan minyak bumi 5.925,5 6.310,0 6.606,6 6.843,1 6.964,5 8.116,1 15.092,2 16.320,8 22.500,1 28.604,9
Gas alam cair 4.724,8 4.732,3 5.190,6 4.756,9 4.307,0 7.505,8 18.080,2 18.806,8 30.667,4 33.273,1
Industri tanpa migas 96.979,4 84.278,4 87.261,3 93.502,6 98.369,8 152.556,1 205.724,7 250.746,3 282.171,8 327.443,0
Listrik, gas, dan air bersih 5.479,9 5.646,1 6.112,9 6.649,5 7.210,0 7.832,4 11.283,1 13.429,0 15.072,4 17.285,6
Bangunan 35.346,4 22.465,3 22.035,6 23.246,9 24.168,0 46.678,8 61.761,6 67.616,2 76.090,8 84.045,3
Perdagangan, hotel, dan restoran 73.523,8 60.130,7 60.093,7 63.448,8 66.691,8 99.581,9 146.740,1 175.835,4 194.910,1 239.959,2
Perdagangan besar dan eceran 58.842,3 47.845,9 47.574,5 50.284,3 52.859,0 77.543,3 116.688,5 140.588,7 155.184,4 193.692,6
Hotel dan restoran 14.681,6 12.284,8 12.519,2 13.164,5 13.832,7 22.038,6 30.051,6 35.246,7 39.725,7 46.266,6
Pengangkutan dan komunikasi 31.782,5 26.975,1 26.772,1 29.284,0 31.483,0 38.530,9 51.937,2 55.189,6 64.550,1 79.824,8
Pengangkutan 25.609,1 20.503,8 19.737,6 21.430,5 22.746,9 31.497,6 41.837,2 42.735,7 49.336,7 62.274,4
Komunikasi 6.173,4 6.471,3 7.034,5 7.853,5 8.736,1 7.033,3 10.100,0 12.453,9 15.213,4 17.550,4
Keuangan, persewaan, dan jasa
perusahaan 38.543,0 28.278,7 26.244,6 27.382,7 28.201,1 54.360,3 69.891,7 71.220,2 79.476,8 92.459,4
Bank 1) 19.956,0 13.173,0 11.861,7 12.429,5 12.899,0 25.205,2 31.710,2 31.088,6 35.404,8 42.234,2
Sewa bangunan & jasa perusahaan 18.587,0 15.105,7 14.382,8 14.953,1 15.302,2 29.155,1 38.181,5 40.131,6 44.072,1 50.225,2
Jasa-jasa 37.934,5 36.475,0 37.184,0 38.001,5 38.749,9 55.962,0 82.102,5 104.955,3 121.636,9 141.017,8
Pemerintahan umum 23.616,5 21.887,5 22.250,6 22.555,1 22.795,4 32.127,9 40.641,0 59.745,0 69.460,2 81.850,9
Swasta 14.318,0 14.587,5 14.933,4 15.446,4 15.954,5 23.834,1 41.445,8 48.210,3 52.176,7 59.166,9
PRODUK DOMESTIK BRUTO 433.245,9 376.374,9 379.352,5 397.934,3 411.132,1 627.695,6 989.611,6 1.099.731,6 1.282.017,6 1.490.974,2
Nonmigas 398.675,8 341.992,5 345.418,5 363.676,1 378.153,8 578.037,0 881.555,5 992.179,1 1.097.770,6 1.286.032,8
Migas 34.570,1 34.382,4 33.934,0 34.258,2 32.978,3 49.658,6 108.056,1 107.552,5 184.247,0 204.941,4
Lapangan usaha
Harga konstan 1993 Harga berlaku
1997 1998 1999 2000* 2001** 1997 1998 1999 2000* 2001**
1) Termasuk lembaga keuangan di luar bank dan jasa penunjang keuangan
Sumber : Badan Pusat Statistik
Lampiran
265
1. Ekspor barang dan jasaatas dasar harga berlaku 174.871,3 506.244,8 390.560,1 542.992,4 612.482,2
2. Ekspor barang dan jasaatas dasar harga konstan 121.157,9 134.707,2 91.863,6 116.193,6 118.377,0
3. Deflator ekspor (1:2) x 100) 144,3 375,8 425,2 467,3 517,4
4. Impor barang dan jasaatas dasar harga berlaku 176.599,8 413.058,1 301.654,0 407.036,4 485.699,7
5. Impor barang dan jasaatas dasar harga konstan 139.796,1 132.400,7 78.546,4 95.112,1 102.772,7
6. Deflator impor (4:5) x 100) 126,3 312,0 384,0 428,0 472,6
7. Indeks nilai tukar dagang (3:6) x 100) 114,3 120,5 110,7 109,2 109,5
8. Perubahan indeksnilai tukar dagang (%) 7,89 5,43 -8,10 -1,36 0,26
9. Kapasitas impor riil dari ekspor(1:6) x 100) 138.427,8 162.270,6 101.696,3 126.880,9 129.599,5
10. Pengaruh nilai tukar dagang (9 - 2) 17.269,9 27.563,4 9.832,7 10.687,3 11.222,5
11. Perubahan nilai tukar dagang (%) 160,33 59,60 -64,33 8,69 5,01
12. PDB atas dasar harga konstan 1993 433.246,0 376.374,7 379.352,5 397.934,3 411.132,1
13. Perubahan PDB atas dasarharga konstan (%) 4,70 -13,13 0,79 4,90 3,32
14. Pendapatan Domestik Bruto (PnDB) -415.976,1 -348.811,3 -369.519,8 -387.247,0 -399.909,6(10 - 12)
15. Pertumbuhan PnDB (%) 2,16 -16,15 5,94 4,80 3,27
Tabel 3
Pengaruh Nilai Tukar Dagang terhadap Produk Domestik Bruto
(miliar rupiah)
Sumber : Badan Pusat Statistik (diolah)
Rincian 1997 1998 1999 2000* 2001**
Lampiran
266
Tanaman pangan
Padi 49.377,1 49.236,7 50.866,4 51.898,9 50.096,5 1)
Jagung 8.770,9 10.169,4 9.204,0 9.676,9 9.121,4 1)
Ubi kayu 15.134,0 14.696,2 16.458,5 16.089,0 -
Ubi jalar 1.847,5 1.935,0 1.665,5 1.827,7 -
Kacang tanah 688,3 692,4 659,6 736,5 695,8 1)
Kacang kedelai 1.356,9 1.305,6 1.382,8 1.017,6 862,6 1)
Kacang hijau 261,7 306,1 265,1 289,9 286,5 1)
Tanaman perkebunan
Karet Kering 309,8 330,9 303,7 336,2 138,3 2)
Minyak Sawit 2.980,9 3.855,4 4.024,8 4.094,0 1.466,5 2)
Biji Sawit 708,3 778,3 914,6 930,6 333,3 2)
Coklat 59,7 83,0 59,0 59,7 23,6 2)
Kopi 23,0 24,1 27,3 29,5 2,6 2)
T e h 99,9 157,2 132,2 127,8 56,2 2)
Kulit Kina 0,1 0,4 0,4 0,6 0,1 2)
Gula Tebu 2.166,7 2.065,3 1.907,5 1.896,3 224,4 2)
Tembakau 8,1 17,8 28,1 14,8 0,3 2)
Kehutanan
Kayu Bulat 3) 29.520,3 19.026,9 20,619,9 - -
Kayu Gergajian 3) 2.613,5 2.707,2 2,060,2 - -
Kayu Lapis 3) 6.709,8 7.154,7 4,611,9 - -
Peternakan
Daging 1.555,1 1.228,5 1.193,5 1.445,2 1.450,7 4)
Telur 768,6 529,8 640,4 783,3 793,8 4)
Susu (juta liter) 423,7 375,4 436,0 495,7 505,0 4)
Perikanan
Laut 3.613,0 3.837,0 3.950,0 - -
Darat 966,5 1.000,0 1.020,0 - -
1) Angka Prakiraan Triwulan III-20012) Data sampai dengan bulan Juli 20013) Tahun fiskal dalam ribu meter kubik4) Angka sementaraSumber : – Departemen Pertanian
– Departemen Kehutanan– Badan Pusat Statistik
Tabel 4
Hasil Beberapa Jenis Produk Sektor Pertanian
(ribu ton)
Rincian 1997 1998 1999 2000 2001
Lampiran
267
Produksi (ribu ton)
Padi 49.377,1 49.236,7 50.866,4 51.898,9 50.096,5
Jagung 8.770,9 10.169,4 9.204,0 9.676,9 9.121,4
Ubi kayu 15.134,0 14.696,2 16.458,5 16.089,0 -
Ubi jalar 1.847,5 1.935,0 1.665,5 1.827,7 -
Kacang tanah 688,3 692,4 659,6 736,5 695,8
Kacang kedelai 1.356,9 1.305,6 1.382,8 1.017,6 862,6
Kacang hijau 261,7 306,1 265,1 289,9 286,5
Luas panen (ribu hektar)
Padi 11.140,6 11.730,3 11.963,2 11.793,5 11.412,0
Jagung 3.355,2 3.847,8 3.456,4 3.500,3 3.305,1
Ubi kayu 1.243,4 1.205,4 1.350,0 1.284,0 1.279,9
Ubi jalar 195,4 202,1 172,2 194,3 167,1
Kacang tanah 628,1 651,1 625,0 683,6 650,7
Kacang kedelai 1.119,1 1.095,1 1.151,1 824,5 723,0
Kacang hijau 294,2 339,2 298,1 131,3 319,6
Produktivitas (kuintal/hektar)
Padi 44,3 42,0 42,5 44,0 43,9
Jagung 26,1 26,4 26,6 27,6 27,6
Ubi kayu 121,7 121,9 121,9 125,3 -
Ubi jalar 94,5 95,8 96,7 94,1 -
Kacang tanah 11,0 10,6 10,6 10,8 10,7
Kacang kedelai 12,1 11,9 12,0 12,3 11,9
Kacang hijau 8,9 9,0 8,9 22,1 9,0
Tabel 5
Produksi, Luas Panen, dan Produktivitas
Tanaman Pangan
Rincian 1997 1998 1999 2000 20011)
1) Angka Prakiraan Triwulan III 2001
Sumber : Departemen Pertanian
Lampiran
268
Tabel 6
Hasil Beberapa Jenis Produk
Sektor Pertambangan dan Penggalian
Rincian Satuan 1997 1998 1999 2000 2001
Pertambangan Migas
Minyak Mentah 1) Juta Barel 576,4 569,2 545,7 507,3 448,7 2)
LNG Ribu Metric Ton 27.136,7 27.179,9 29.812,4 27.203,0 10.727,2 3)
LPG Ribu Metric Ton 2.805,1 2.312,2 2.249,8 2.047,3 892,2 3)
Pertambangan Non Migas
Batubara Ribu Metric Ton 52.074,3 60.320,8 69.357,6 76.820,2 52.406,8 4)
Nikel Ribu Metric Ton 2.829,9 2.734,0 3.245,3 3.349,3 2.079,5 4)
Tembaga 1) Ribu Metric Ton 1.840,7 2.640,0 2.645,2 3.193,5 2.241,8 4)
Timah Ribu Metric Ton 55,2 54,0 47,8 50,2 48,7 4)
Bauksit Ribu Metric Ton 808,7 1.055,6 1.142,5 1.175,4 926,8 4)
Pasir Besi Ribu Metric Ton 487,4 561,0 562,3 538,9 341,9 4)
Emas Ribu Kg 90,0 124,0 129,0 117,6 99,3 4)
Perak Ribu Kg 270,4 350,0 292,3 334,6 154,6 4)
1) Termasuk Kondensat
2) Data sampai dengan bulan November 2001
3) Data sampai dengan bulan Mei 2001
4) Data sampai dengan bulan September 2001
Sumber : - Departemen Pertambangan dan Energi
- Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi
- Badan Pusat Statistik
Total 64.314,5 64.383,3 71.337,7 79.050,3 69.964,5
Sosial 1.396,3 1.425,8 1.488,7 1.667,1 1.508,0
Rumah Tangga 22.642,4 24.391,0 26.859,2 30.506,0 27.381,8
Bisnis 8.660,4 8.507,5 9.332,2 10.224,4 9.002,1
Industri 29.358,1 27.779,1 31.338,5 33.994,4 29.876,3
Publik 2.257,3 2.280,0 1.341,6 2.096,7 1.990,9
Multiguna - - 977,3 561,7 205,4
Tabel 7
Penjualan Tenaga Listrik
(juta KWJ)1)
T a h u n 1997 1998 1999 2000 20011)
1) Data sampai dengan bulan Oktober 2001
Sumber : PT. Perusahaan Listrik Negara
Lampiran
269
Tabel 8
Perkembangan Upah Minimum Harian Regional per Propinsi
(dalam rupiah)
Rincian 1997 1998 1999 2000 2001
D.I. Aceh 4.270 4.900 5.700 8.833 10.000
Sumatera Utara 5.030 5.800 7.000 8.467 11.350
Sumatera Barat 3.970 4.567 5.333 6.667 8.333
Riau 5.050 5.800 7.267 10.000 14.050
Batam 7.830 9.000 9.667 14.167 17.000
Jambi 3.980 4.583 5.000 5.767 8.167
Sumatera Selatan 4.250 5.183 5.850 6.533 8.500
Bengkulu 4.250 4.883 5.000 5.777 8.000
Lampung 4.200 4.833 5.333 6.400 8.000
DKI Jakarta 5.750 6.617 7.700 11.475 14.208
Jawa Barat 5.120 5.892 6.958 7.667 8.167
Jawa Tengah 3.770 4.333 5.100 6.167 8.167
D.I. Yogyakarta 3.550 4.083 4.333 6.483 7.917
Jawa Timur 4.150 4.767 5.683 0 8.355
Bali 4.720 5.417 5.883 6.343 10.325
Nusa Tenggara Barat 3.600 4.133 4.833 6.000 8.000
Nusa Tenggara Timur 3.550 4.083 4.767 6.133 9.167
Timor Timur 4.600 5.283 6.100 0 n.a.
Kalimantan Barat 4.220 4.850 5.833 7.600 10.150
Kalimantan Tengah 4.600 5.283 6.500 9.500 12.067
Kalimantan Selatan 4.170 4.800 5.533 6.667 9.833
Kalimantan Timur 5.100 5.867 6.467 7.767 10.000
Sulawesi 3.930 4.517 5.167 6.200 12.400
Sulawesi 3.550 4.083 5.000 6.767 8.167
Sulawesi 3.750 4.317 4.933 6.667 10.000
Sulawesi 4.030 4.633 5.333 7.000 9.167
Maluku 4.530 5.217 6.000 6.000 7.667
Irian Jaya 5.670 6.517 7.500 10.500 13.333
Rata-rata 1) 4.347 5.009 5.782 7.053 9.750
Rata-rata 2) 4.471 5.151 5.921 7.316 10.018
Perubahan (%) 3) 10 15 15 22 38
1) Tidak termasuk Batam
2) Termasuk Batam
3) Perubahan tidak termasuk Batam
Sumber : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi (diolah)
Lampiran
270
Tabel 9
Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri
yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor
(miliar rupiah)
Sektor 1997 1998 1999 2000 20012) 1968 s.d. Juli 2000
Nilai a) Proyek b)
Pertanian, kehutanan, dan perikanan 14.807,7 5.315,1 2.408,3 1.578,7 1.331,0 88.020,7 1.711
Pertanian 13.737,5 4.757,9 1.614,8 1.408,3 731,0 70.944,4 1.094
Kehutanan 165,5 542,9 749,3 35,0 445,9 6.608,7 301
Perikanan 904,7 14,3 44,2 135,4 154,1 10.467,6 316
Pertambangan 126,3 116,3 174,0 36,4 1.198,2 5.974,4 172
Industri 79.334,3 44.908,0 46.747,5 81.976,1 41.609,1 580.991,0 6.561
Makanan 13.048,6 6.711,8 12.729,9 8.547,6 8.957,0 153.704,9 990
Tekstil 6.831,3 1.137,6 2.561,5 2.386,4 2.217,4 56.017,6 1.358
Kayu 762,2 1.971,9 1.229,0 168,8 546,5 19.342,0 816
Kertas 11.841,9 12.754,1 20.244,1 8.174,2 4.771,0 101.120,1 423
Kimia dan farmasi 22.497,2 15.583,2 2.480,9 56.435,9 22.236,2 122.656,5 1.350
Mineral bukan logam 11.638,7 3.469,0 70,4 3.523,0 596,5 63.561,2 436
Logam dasar 8.021,5 1.786,3 6.354,2 274,3 287,0 33.437,8 211
Barang-barang logam 4.683,9 960,9 1.070,7 2.465,9 0,0 30.024,3 873
Lain-lain 9,0 533,2 6,8 0,0 1.997,5 1.126,6 104
Konstruksi 877,0 1.992,0 395,1 843,6 2.006,8 9.569,2 170
Perhotelan 2.587,9 1.150,4 1.379,9 153,5 2.459,0 32.676,8 717
Pengangkutan 4.649,4 3.260,5 225,3 1.801,6 1.416,4 26.151,8 1.004
Perumahan dan perkantoran 4.300,5 1.547,5 995,5 292,6 4.540,9 37.540,0 369
Jasa lainnya 13.189,8 2.459,5 1.226,3 1.611,9 1.635,1 28.715,4 387
Jumlah 119.872,9 60.749,3 53.551,9 88.294,4 56.196,5 809.639,3 11.091
Jumlah1)
1) a. Data kumulatif investasi sejak 1968 merupakan penjumlahan dari investasi baru, perluasan, alih status, perubahan, dan penggabungan dikurangi pembatalan
b. Data kumulatif proyek sejak 1968 merupakan penjumlahan dari proyek baru, alih-status, dan penggabungan dikurangi pencabutan
Data terakhir kumulatif nilai investasi & proyek (PMDN) sejak th. 1968 hanya sampai dengan Juli 2000
2) Data s.d. akhir Desember 2001
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
Lampiran
271
Tabel 10
Penyebaran Rencana Penanaman Modal Dalam Negeri
yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I
(miliar rupiah)
Daerah Tingkat I 1997 1998 1999 2000 20012) 1968 s.d. Juli 2000
Nilai a) Proyek b)
Jawa dan Madura 63.680,8 18.871,5 22.126,8 17.314,0 20.272,4 401.423,9 7.419
DKI Jakarta 8.553,5 4.289,7 1.260,5 3.521,8 7.845,4 71.339,3 1.841Jawa Barat 37.423,5 8.117,1 18.393,9 9.742,2 7.024,7 3) 221.414,4 3.434Jawa Tengah 5.764,2 2.574,9 849,6 1.019,5 2.174,3 36.884,6 758DI Yogyakarta 235,6 6,0 34,6 119,9 105,5 2.053,4 127Jawa Timur 11.704,0 3.883,8 1.588,2 2.910,6 3.122,5 69.732,2 1.259
Sumatera 33.561,7 10.669,4 14.746,3 35.584,3 8.677,3 239.389,2 1.677
DI Aceh 1.114,1 1.297,3 94,2 89,6 64,4 9.435,6 135Sumatera Utara 3.395,5 1.101,5 1.079,4 363,8 981,6 15.841,5 356Sumatera Barat 522,6 336,8 597,6 575,5 1,0 90.401,7 137Riau 11.862,4 4.925,1 9.091,5 33.285,1 5.584,5 61.807,6 470Jambi 9.793,5 1.429,4 3.001,7 882,2 771,5 28.618,3 90Sumatera Selatan 5.391,4 882,7 149,3 67,7 625,6 19.123,8 251Bengkulu 630,7 4,0 121,4 22,5 0,0 3.013,6 58Lampung 851,5 692,6 611,2 297,9 648,7 11.147,1 180
Kalimantan 13.935,7 11.966,6 5.359,5 4.277,7 3.776,9 77.561,5 845
Kalimantan Barat 3.825,9 416,9 222,6 21,1 10,1 20.110,6 253Kalimantan Tengah 1.688,0 9.093,4 3.561,4 331,5 164,3 20.243,0 145Kalimantan Selatan 4.300,1 640,6 410,5 3.064,8 188,4 12.899,4 166Kalimantan Timur 4.121,7 1.815,7 1.165,0 860,3 3.414,1 24.308,5 281
Sulawesi 3.849,9 13.022,9 1.795,8 30.297,3 20.191,3 39.054,2 475
Sulawesi Utara 277,8 1.132,4 51,8 1.487,5 2.241,6 4) 6.062,4 91Sulawesi Tengah 725,5 630,7 543,9 262,5 1.067,8 6.389,0 74Sulawesi Selatan 1.880,0 11.168,7 696,2 28.380,4 16.581,5 22.443,0 268Sulawesi Tenggara 966,6 91,1 503,9 166,9 300,4 4.159,8 42
Nusa Tenggara 1.222,5 1.289,0 35,2 757,0 1,600,6 5.237,3 131
Nusa Tenggara Barat 352,5 638,5 14,9 755,5 519,7 2.821,1 78Nusa Tenggara Timur 870,0 650,5 20,3 1,5 1.080,9 2.416,2 53
Bali 850,7 804,6 1.002,7 21,6 540,2 10.979,2 316
Timor Timur 0,0 2.802,6 47,8 0,0 0,0 3.359,4 8
Maluku 1.060,0 44,5 20,0 0,0 0,0 7.688,7 133
Irian Jaya 1.711,6 1.278,7 8.416,0 42,5 1.137,8 24.945,9 87
Jumlah 119.872,9 60.749,8 53.550,1 88.294,4 56.196,5 809.639,3 11.091
1) a. Data kumulatif investasi sejak 1968 merupakan penjumlahan dari investasi baru, perluasan, alih status, perubahan, dan penggabungan dikurangi pembatalan
b. Data kumulatif proyek sejak 1968 merupakan penjumlahan dari proyek baru, alih-status, dan penggabungan dikurangi pencabutan
Data terakhir kumulatif nilai investasi & proyek (PMDN) sejak th. 1968 hanya sampai dengan Juli 2000
2) Data s.d. akhir Desember 2001
3) Termasuk Propinsi Banten
4) Termasuk Propinsi Gorontalo
Sumber : - Badan Koordinasi Penanaman Modal
Jumlah1)
Lampiran
272
Sektor 1997 1998 1999 2000 20012) 1967 s.d. Juli 2000
Nilai a) Proyek b)
Tabel 11
Rencana Penanaman Modal Asing
yang Disetujui Pemerintah menurut Sektor
(juta $)
Pertanian, kehutanan, dan perikanan 463,7 998,2 482,4 443,5 387,3 8.063,6 380
Pertanian 436,6 965,2 412,7 388,9 281,3 6.686,6 240
Kehutanan 0,0 0,0 0,0 5,0 100,5 653,1 28
Perikanan 27,1 33,0 69,7 49,6 5,5 723,9 112
Pertambangan 1,6 0,3 14,2 1,1 112,4 9.925,3 207
Industri 23.017,3 8.388,2 6.929,2 10.633,7 5.097,7 146.967,7 4.376
Makanan 572,8 342,0 680,9 701,3 278,8 7.276,6 352
Tekstil 372,6 216,9 240,2 400,3 328,0 7.730,4 800
Kayu 69,7 70,8 113,2 157,0 19,9 2.369,2 391
Kertas 5.353,3 40,8 1.411,8 88,0 741,2 24.809,9 130
Kimia dan farmasi 12.376,4 6.178,8 3.268,2 7.406,4 2.309,7 68.478,9 928
Mineral bukan logam 1.457,3 237,1 110,4 9,6 105,0 7.068,8 166
Logam dasar 357,0 394,4 501,3 830,7 651,0 9.786,2 136
Barang-barang logam 2.331,7 890,5 593,0 1.005,5 0,0 18.801,2 1.337
Lain-lain 126,5 16,9 10,2 34,9 664,1 646,5 136
Konstruksi 306,8 197,8 153,4 125,3 47,6 2.049,0 376
Perhotelan 462,6 451,1 228,6 257,0 891,6 11.327,4 331
Pengangkutan 5.900,0 79,0 102,7 1.217,3 378,0 13.529,6 279
Perumahan dan perkantoran 1.397,6 1.270,9 171,1 301,5 177,4 12.697,6 221
Jasa lainnya 2.282,9 2.177,6 2.800,2 2.303,4 1.887,6 23.922,3 2.278
Jumlah 33.832,5 13.563,1 10.881,8 15.282,8 8.979,6 228.482,5 8.448
1) a. Data kumulatif investasi sejak 1967 merupakan penjumlahan dari investasi baru, perluasan, alih status, perubahan, dan penggabungan dikurangi pembatalan
b. Data kumulatif proyek sejak 1967 merupakan penjumlahan dari proyek baru, alih-status, dan penggabungan dikurangi pencabutan
Data terakhir kumulatif nilai investasi & proyek (PMA) sejak th. 1967 hanya sampai dengan Juli 2000
2) Data s.d. akhir Desember 2001
Sumber : - Badan Koordinasi Penanaman Modal
Jumlah1)
Lampiran
273
Tabel 12
Penyebaran Rencana Penanaman Modal Asing
yang Disetujui Pemerintah menurut Dati I
(juta $)
Daerah Tingkat I 1997 1998 1999 2000 20012) 1967 s.d. Juli 2000
Nilai a) Proyek b)
Jawa dan Madura 20.535,0 10.840,4 2.635,9 10.539,9 5.718,9 144.536,6 6.345
DKI Jakarta 6.136,1 1.700,1 783,8 3.270,5 1.145,0 34.897,1 2.754
Jawa Barat 7.973,3 5.504,1 1.498,2 3.138,0 2.771,9 3) 64.993,2 2.646
Jawa Tengah 2.195,7 3.066,7 69,7 3.013,8 116,0 13.837,6 267
DI Yogyakarta 14,3 6,0 10,5 4,0 10,0 309,9 45
Jawa Timur 4.215,6 563,5 273,7 1.113,6 1.676,0 30.498,8 633
Sumatera 11.163,9 1.415,7 7.652,6 2.945,6 2.325,5 49.753,1 1.061
DI Aceh 771,9 6,2 51,8 1.811,1 6,0 2.549,5 44
Sumatera Utara 3.514,6 229,6 102,7 193,3 82,3 9.978,0 203
Sumatera Barat 7,1 175,8 344,9 18,5 37,3 1.036,2 52
Riau 6.743,0 537,1 6.956,9 418,0 2.093,9 24.801,8 607
Jambi 0,0 201,9 42,0 252,7 5,6 4.407,8 19
Sumatera Selatan 73,2 129,3 39,7 215,5 44,6 5.147,4 61
Bengkulu 0,0 37,7 18,4 0,2 1,9 258,1 23
Lampung 54,1 98,1 96,2 36,3 53,9 1.574,3 52
Kalimantan 1.056,1 722,7 226,8 137,0 235,0 11.513,7 267
Kalimantan Barat 28,2 251,2 102,0 3,3 21,8 1.225,6 73
Kalimantan Tengah 6,0 0,4 50,3 74,8 11,8 547,4 55
Kalimantan Selatan 438,7 73,4 30,3 3,1 9,7 3.279,0 49
Kalimantan Timur 583,2 397,7 44,2 55,8 191,7 6.461,7 90
Sulawesi 426,1 192,7 141,8 68,5 70,8 8.916,0 170
Sulawesi Utara 358,8 157,4 24,1 22,2 1,1 1.117,9 68
Sulawesi Tengah 5,5 6,9 2,7 1,8 0,5 172,2 21
Sulawesi Selatan 58,3 27,8 12,5 36,5 68,7 7.373,8 60
Sulawesi Tenggara 3,5 0,6 102,5 8,0 0,5 252,1 21
Nusa Tenggara 14,6 57,2 15,0 1.413,5 5,7 3.936,8 77
Nusa Tenggara Barat 0,6 34,6 13,6 1.408,5 5,0 3,774,3 59
Nusa Tenggara Timur 14,0 22,6 1,4 5,0 0,7 162,5 18
Bali 114,7 308,5 193,8 125,8 518,9 3.381,7 441
Timor Timur 0,0 12,4 0,0 0,0 0,0 45,2 2
Maluku 17,8 4,9 1,7 0,1 9,3 395,5 28
Irian Jaya 504,4 8,6 23,2 52,4 95,5 6.003,9 57
Jumlah 33.832,6 13.563,1 10.890,8 15.282,8 8.979,6 228.482,5 8.448
Jumlah1)
1) a. Data kumulatif investasi sejak 1967 merupakan penjumlahan dari investasi baru, perluasan, alih status, perubahan, dan penggabungan dikurangi pembatalan
b. Data kumulatif proyek sejak 1967 merupakan penjumlahan dari proyek baru, alih- status, dan penggabungan dikurangi pencabutan
Data terakhir kumulatif nilai investasi & proyek (PMA) sejak th. 1967 hanya sampai dengan Juli 2000
2) Data s.d. akhir Desember 2001
3) Termasuk Propinsi Banten
Sumber : - Badan Koordinasi Penanaman Modal
Lampiran
274
Tabel 13
Rencana Penanaman Modal Asing
yang Disetujui Pemerintah menurut Negara Asal
(juta $)
Eropa 11.740,2 5.311,0 730,2 5.864,8 920,4 41.250,8 1.254
Belanda 319,5 411,8 48,7 1.159,2 88,0 6.228,8 267
Belgia 16,5 11,5 9,8 5,7 0,2 367,3 50
Inggris 5.473,6 4.745,3 507,0 3.574,0 722,6 21.163,5 390
Jerman 4.467,8 71,0 87,1 958,6 42,7 8.329,1 192
Perancis 456,6 7,5 22,7 64,4 14,4 1.219,8 107
Swiss 73,5 35,1 42,1 42,2 11,7 1.083,1 74
Lainnya 932,7 28,8 12,8 60,7 40,8 2.859,2 174
Amerika 1.112,8 699,6 144,2 254,3 81,3 11.642,4 550
Amerika Serikat 1.017,7 568,3 136,7 243,1 72,6 10.449,2 397
Kanada 6,2 8,1 3,2 3,6 8,4 156,7 109
Lainnya 88,9 123,2 4,3 7,6 0,3 1.036,5 44
Asia 15.169,6 4.673,8 6.486,1 3.824,0 6.154,0 110.509,6 5.103
Hongkong 251,0 549,1 76,9 106,2 39,4 14.594,4 404
Jepang 5.421,3 1.330,7 644,3 1.961,1 759,7 36.586,1 1.179
Korea Selatan 1.409,9 202,4 263,0 688,4 357,2 9.490,0 936
Malaysia 2.289,3 1.060,2 186,1 167,7 2.226,3 7.035,3 366
Filipina 0,0 62,5 4,9 7,4 1,8 165,2 26
Singapura 2.298,6 1.267,4 731,1 535,0 1.129,5 19.190,2 1.094
Taiwan 3.419,4 165,4 1.489,3 131,0 72,1 16.100,7 809
Thailand 19,1 2,8 8,4 6,8 3,0 1.781,8 38
Lainnya 61,0 33,3 3.082,1 220,4 1.565,0 5.565,9 251
Australia 187,5 85,1 2.458,5 58,6 255,2 9.501,0 456
Afrika 93,5 75,2 65,6 466,5 560,1 1.440,1 47
Gabungan negara 5.528,9 2.718,4 1.006,0 4.814,6 1.008,6 54.138,6 1.038
Jumlah 33.832,5 13.563,1 10.890,6 15.282,8 8.979,6 228.482,5 8.448
1) a. Data kumulatif investasi sejak 1967 merupakan penjumlahan dari investasi baru, perluasan, alih status, perubahan, dan penggabungan dikurangi pembatalanb. Data kumulatif proyek sejak 1967 merupakan penjumlahan dari proyek baru, alihstatus, dan penggabungan dikurangi pencabutan
Data terakhir kumulatif nilai investasi & proyek (PMA) sejak th. 1967 hanya sampai dengan Juli 20002) Data s.d. akhir Desember 2001
Sumber : - Badan Koordinasi Penanaman Modal
Jumlah 1)
Negara Asal 1997 1998 1999 2000 20012) 1967 s.d. Juli 2000
Nilai a) Proyek b)
Lampiran
275
1994 2) 156,97 - 178,57 147,53 161,69 - - 163,17 9,241995 179,14 - 188,93 157,42 173,33 - - 177,83 8,641996 189,99 - 198,00 166,76 190,72 - - 189,62 6,471997 227,88 - 210,36 179,96 206,72 - - 211,62 11,051998 263,22 211,58 159,03 219,71 212,54 161,84 163,70 198,64 1,23
Januari - Maret 166,71 142,23 128,61 161,39 155,88 134,74 119,74 142,15 27,11April - Juni 3) 196,39 167,92 139,17 195,29 171,97 140,84 150,38 163,89 15,29Juli - September 261,00 207,21 155,92 225,22 204,49 162,17 163,18 196,23 19,73Oktober - Desember 163,22 211,58 159,03 219,71 212,54 161,84 163,70 198,64 1,23
1999 - - - - - - - - 2,01Januari 281,09 213,80 160,62 232,11 214,07 161,40 164,95 204,54 2,97Februari 287,60 216,87 162,06 234,23 214,12 161,89 164,29 207,12 1,26Maret 281,65 216,34 162,92 234,71 215,80 162,05 169,16 206,75 -0,18April 275,09 215,52 164,04 233,58 216,57 162,04 169,07 205,34 -0,68Mei 271,38 215,20 164,91 231,18 217,60 162,59 170,06 204,76 -0,28Juni 268,25 215,16 165,34 228,32 218,22 163,06 170,23 204,07 -0,34Juli 258,96 214,87 166,06 224,69 219,48 163,87 169,94 201,93 -1,05Agustus 248,54 215,33 165,87 226,56 220,98 166,48 169,68 200,05 -0,93September 239,06 216,26 166,12 229,63 220,00 169,52 169,94 198,68 -0,68Oktober 4) 237,24 216,13 166,45 232,23 220,06 170,17 171,31 198,79 0,06November 240,00 216,51 165,93 228,38 219,97 170,42 171,56 199,00 0,25Desember 249,54 219,20 166,77 233,21 220,37 170,44 172,20 202,45 1,73
2000 - - - - - - - - 9,35Januari 256,85 220,00 167,56 237,47 220,87 170,43 173,68 205,12 1,32Februari 256,00 220,17 168,34 239,79 221,85 170,23 173,45 205,27 0,07Maret 250,16 219,97 169,05 240,09 222,43 171,83 174,01 204,34 -0,45April 246,16 225,28 171,03 240,50 224,87 173,50 176,83 205,48 0,56Mei 246,08 225,07 174,18 242,55 225,76 174,91 181,19 207,21 0,84Juni 246,47 227,25 174,87 244,54 226,50 175,41 182,54 208,24 0,50Juli 251,39 229,45 176,06 248,54 229,42 178,51 183,37 210,91 1,28Agustus 246,68 231,43 176,71 247,01 230,43 195,70 184,69 211,99 0,51September 240,76 232,73 177,93 247,12 236,19 198,02 186,65 211,87 -0,06Oktober 241,37 237,42 180,60 248,68 238,16 199,24 191,19 214,33 1,16November 246,96 241,62 182,93 249,95 240,47 199,50 191,78 217,15 1,32Desember 259,53 243,49 183,61 256,98 241,46 200,28 194,00 221,37 1,94
2001 - - - - - - - - 12,55
Januari 258,68 245,87 184,74 259,03 242,26 200,61 193,21 222,10 0,33Februari 263,04 247,59 185,96 258,88 244,77 201,38 194,29 224,04 0,87Maret 265,51 250,49 188,19 260,70 247,97 202,17 195,00 226,04 0,89April 262,89 252,77 190,09 264,85 252,17 203,41 196,06 227,07 0,46Mei 266,84 255,28 191,63 270,08 254,79 203,89 197,42 229,63 1,13Juni 270,43 261,35 194,72 271,94 257,03 204,61 204,14 233,46 1,67Juli 274,88 266,46 197,93 272,10 259,74 209,40 218,09 238,52 2,12Agustus 268,42 267,54 199,69 264,80 260,26 218,08 218,12 237,92 -0,21September 266,45 269,14 203,04 266,57 260,62 222,74 219,75 239,44 0,64Oktober 269,53 270,38 203,89 271,77 261,32 223,38 219,99 241,06 0,68November 282,50 272,38 206,05 274,81 262,26 223,57 220,14 245,18 1,71Desember 290,74 278,75 208,57 277,90 262,99 224,12 221,47 249,15 1,62
Tabel 14
Indeks Harga Konsumen Indonesia
Bahan Makanan Peru- Kese- Pendidikan, Transpor Perubahan
Makanan Jadi, mahan Sandang hatan Rekreasi & dan Umum Indeks
Akhir periode 1) Minuman, Olahraga Komunikasi Umum
Rokok dan
Tembakau
1) Angka tahunan/triwulanan adalah angka akhir periode yang bersangkutan2) Berdasarkan April 1988 - Maret 1989 = 100 dengan 4 kelompok: kolom (2) adalah kelompok Makanan; kolom (6) adalah kelompok Aneka Barang dan Jasa3) Berdasarkan Januari 1996 - Desember 1996 = 100, IHK dihitung di 44 kota dan dibagi menjadi 7 kelompok4) Sejak Oktober 1999, IHK dihitung di 43 kota (minus kota Dili)Sumber : Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi
Lampiran
276
Pertanian 445 750 410 459 567 24
Pertambangan dan penggalian 318 396 214 236 275 17
Industri 275 455 268 278 309 11
Impor 260 598 289 316 356 13
Ekspor 238 592 366 461 669 45
Migas 204 474 355 393 462 18
Nonmigas 353 994 370 634 521 -18
Indeks Umum 282 568 314 353 403 14
Tabel 15
Indeks Harga Perdagangan Besar Indonesia 1)
Perubahan 2001
Kelompok 1997 1998 1999 2000 2001 terhadap 2000
(%)
1) Angka tahunan merupakan rata-rata Indeks selama satu tahun yang bersangkutan
Tahun 1996 - 1998, perhitungan Indeks Harga Perdagangan Besar menggunakan tahun dasar 1983 (1983=100)
Tahun 1999 - 2001, perhitungan Indeks Harga Perdagangan Besar menggunakan tahun dasar 1993 (1993=100)
Sumber : Badan Pusat Statistik
Lampiran
277
Tabel 16
Perkembangan Laju Inflasi di 43 Kota
(persen)
Lhokseumawe 8,44 79,66 6,61 8,73 11,67Banda Aceh 9,90 79,01 5,57 10,57 16,60Padang Sidempuan 16,84 85,72 -0,14 3,95 9,84Sibolga 14,60 85,01 1,65 6,95 8,66Pematang Siantar 15,14 80,23 -0,54 4,67 13,55Medan 13,10 83,81 1,68 5,90 15,50Padang 10,72 87,20 4,23 10,99 9,86Pekanbaru 11,05 75,86 4,35 10,34 14,65Batam 17,13 52,89 -0,28 9,00 12,64Jambi 9,89 72,31 0,49 8,40 10,11Palembang 13,58 89,18 -1,01 8,49 15,15Bengkulu 9,21 84,10 0,47 8,21 10,58Bandar Lampung 9,70 85,22 3,34 10,18 12,94Jakarta 11,70 74,42 1,77 10,29 11,52Tasikmalaya 10,44 73,55 1,58 4,57 16,71Serang/Celegon 12,45 65,43 -0,04 7,03 12,75Bandung 9,95 72,59 4,29 8,52 11,91Cirebon 10,74 62,23 4,75 6,52 12,93Purwokerto 9,38 80,93 0,99 10,02 11,76Surakarta 9,07 66,38 0,46 7,89 15,58Semarang 10,88 67,19 1,51 8,73 13,98Tegal 10,44 67,73 1,11 7,85 11,26Yogyakarta 10,72 77,46 2,51 7,32 12,56Jember 9,89 84,95 3,16 10,35 13,92Kediri 12,75 77,08 -0,64 7,05 15,91Malang 7,38 93,16 1,49 10,62 12,45Surabaya 9,11 95,21 0,24 10,46 14,13Denpasar 9,75 75,11 4,39 9,81 11,52Mataram 8,66 90,50 0,59 5,19 14,76Kupang 7,71 62,58 10,65 10,62 12,34Pontianak 12,29 78,85 4,49 8,34 10,60Sampit 15,79 75,94 -4,98 11,87 14,69Palangkaraya 13,03 74,65 -0,13 8,57 13,35Banjarmasin 12,98 74,43 1,47 7,57 8,36Balikpapan 13,28 75,10 3,01 10,67 10,82Samarinda 10,93 68,31 3,69 11,91 10,21Manado 13,66 74,24 7,41 11,41 13,30Palu 9,70 95,18 3,58 8,41 18,73Makasar 8,20 80,86 1,64 9,73 11,77Kendari 8,42 97,79 1,29 11,25 12,56Ternate 16,77 72,98 0,38 14,51 13,71Ambon 7,99 75,82 8,26 8,52 14,12Jayapura 10,35 61,83 3,49 10,23 14,00Inflasi Nasional 11,05 77,63 2,01 9,35 12,55
Kota 1997 1998 1) 1999 2) 2000 2001
Keterangan
1) Dihitung dengan menggunakan tahun dasar 1996 = 100 di 44 kota dan terbagi menjadi tujuh kelompok
2) Dihitung dengan menggunakan tahun dasar 1996 = 100 di 43 kota (minus kota Dili) dan terbagi menjadi tujuh kelompok
Sumber : Badan Pusat Statistik
Lampiran
278
Tabel 17
Neraca Pembayaran Indonesia
(juta $)
A. Transaksi Berjalan -5.001 4.096 5.783 7.992 4.977
1. Barang 10.074 18.428 20.644 25.042 21.647
a. Ekspor f.o.b 56.297 50.370 51.243 65.407 58.689
- Nonmigas 44.576 42.951 40.988 50.341 45.816
- Migas 11.721 7.419 10.255 15.066 12.873
b. Impor f.o.b -46.223 -31.942 -30.599 -40.366 -37.042
- Nonmigas -41.447 -29.087 -26.632 -34.378 -31.448
- Migas -4.776 -2.855 -3.967 -5.988 -5.594
2. Jasa-jasa (bersih) -15.075 -14.332 -14.861 -17.050 -16.670
- Nonmigas -10.525 -11.420 -11.660 -12.500 -12.361
- Migas -4.550 -2.911 -3.201 -4.550 -4.309
B. Transaksi Modal 2.542 -3.836 -4.571 -6.772 -8.915
1. Lalu Lintas Modal Pemerintah (bersih) 2.880 10.009 5.352 3.217 -290
a. Penerimaan 7.594 13.213 7.932 4.986 3.329
- Bantuan program 0 1.821 3.870 1.361 458
- Bantuan pangan 0 160 273 76 0
- IGGI/CGI 4.538 2.788 2.408 2.420 2.470
- Diluar IGGI/CGI 1) 3.056 8.444 1.381 1.130 401
b. Pelunasan pinjaman2) -4.714 -3.204 -2.581 -1.769 -3.619
2. Lalu Lintas Modal Swasta (bersih) -338 -13.845 -9.923 -9.989 -8.625
a. Penanaman modal langsung (bersih) 4.677 -355 -2.745 -4.550 -5.912
b. Lainnya (bersih) -5.015 -13.491 -7.178 -5.439 -2.713
C. Jumlah (A+B) -2.459 260 1.212 1.220 -3.938
D. Selisih Perhitungan (bersih) -1.651 2.084 2.080 3.822 2.560
E. Lalu-lintas Moneter 3) 4.110 -2.344 -3.292 -5.042 1.378
1) Termasuk bantuan IMF
2) Setelah diperhitungkan rescheduling dan termasuk pembayaran kepada IMF
3) Minus (-) : Suplus ; Sejak tahun 2000 lalu lintas moneter berdasarkan pada mutasi cadangan devisa atas dasar konsep
International Reserve and Foreign Currency Liquidity (IRFCL) menggantikan Gross Foreign Assets (GFA).
Rincian 1997 1998 1999 2000 2001*
Lampiran
279
Tabel 18
Nilai Ekspor Nonmigas menurut Komoditas
(juta $)
Total Ekspor 44.577 42.951 40.987 50.341 45.816
Pertanian 5.166 5.091 4.179 4.152 4.015
Kayu 64 53 86 97 128Getah karet 1.505 1.006 854 883 980Kopi 583 602 465 327 181Teh 152 169 102 115 107Lada 165 195 183 227 98Tembakau 124 139 108 80 120Tapioka 23 21 23 11 13Hewan & hasilnya 1.789 1.779 1.574 1.622 1.685- Udang 1.047 1.041 886 971 994Kulit 56 72 74 94 101Lainnya 706 1.056 710 695 601
Mineral 4.353 4.703 4.130 5.566 5.113
Timah 277 260 242 234 222Tembaga 1.548 1.792 1.441 2.272 2.265Nikel 233 165 219 360 292Aluminium 280 202 138 260 207Batu bara 1.638 1.669 1.665 1.635 1.662Lainnya 377 614 425 805 466
Industri 35.057 33.157 32.678 40.623 36.688
Tekstil & produk tekstil 7.614 7.034 6.291 7.317 7.047- Pakaian jadi 4.186 3.769 3.450 4.067 4.038Kerajinan tangan 1.031 2.089 569 548 581Produk kayu 5.704 4.245 4.526 4.495 4.094- Kayu lapis 3.482 2.328 2.259 1.996 1.854Produk rotan 204 39 255 296 285Minyak sawit 1.662 888 1.369 1.265 1.076Bungkil kopra 86 51 47 62 41Produk kimia 1.746 2.098 1.835 2.259 2.338Produk logam 1.140 1.387 1.078 1.217 1.197Barang-barang listrik 3.264 2.813 3.365 6.366 6.446Semen 37 87 143 141 176Kertas 1.957 2.471 2.645 3.046 2.473Produk karet 406 415 374 440 432Gelas dan alat dari gelas 272 269 279 349 299Alas kaki 2.219 1.583 1.519 1.620 1.533Produk plastik 787 935 860 1.216 1.045Mesin & psw. mekanik 1.415 1.478 1.853 3.783 2.894Lainnya 5.515 5.275 5.670 6.205 4.731
1) Angka proyeksi
Rincian 1997 1998 1999 2000 20011)
Lampiran
280
Tabel 19
Volume Ekspor Nonmigas menurut Komoditas
(ribu ton)
1997 1998 1999 2000 2001 1)
Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%) Volume Pangsa (%)Rincian
Total Ekspor 251.845 100,0 199.771 100,0 175,610 100,0 176,535 100,0 246.148 100,0
Pertanian 4.731 1,9 5.936 3,0 5.395 3,1 4,649 2,6 5.329 2,2Kayu 708 0,3 489 0,2 679 0,4 685 0,4 740 0,3Getah karet 1.483 0,6 1.584 0,8 1.544 0,9 1.410 0,8 1.565 0,6Kopi 356 0,1 411 0,2 362 0,2 363 0,2 422 0,2Teh 96 0,0 113 0,1 107 0,1 109 0,1 114 0,0Lada 33 0,0 45 0,0 35 0,0 67 0,0 110 0,0Tembakau 56 0,0 114 0,1 78 0,0 32 0,0 36 0,0Tapioka 244 0,1 211 0,1 300 0,2 161 0,1 166 0,1Hewan & hasilnya 704 0,3 949 0,5 819 0,5 664 0,4 632 0,3- Udang 141 0,1 165 0,1 164 0,1 182 0,1 156 0,1Kulit 1 0,0 13 0,0 38 0,0 11 0,0 12 0,0Lainnya 1.050 0,4 2.007 1,0 1.433 0,8 965 0,5 1.131 0,5
Mineral 217.018 86,2 154.226 77,2 116.809 66,5 125.015 70,8 179.395 72,9Timah 50 0,0 49 0,0 47 0,0 46 0,0 58 0,0Tembaga 1.932 0,8 2.946 1,5 2.261 1,3 3.144 1,8 2.860 1,2Nikel 2.224 0,9 1.409 0,7 2.008 1,1 1.918 1,1 2.138 0,9Aluminium 1.081 0,4 1.076 0,5 1.125 0,6 1.204 0,7 1.467 0,6Batu bara 45.822 18,2 52.411 26,2 53.899 30,7 59.742 33,8 58.149 23,6Lainnya 165.909 65,9 96.335 48,2 57.469 32,7 58.961 33,4 172.651 70,1
Industri 30.096 12,0 39.609 19,8 49.307 28,1 46.871 26,6 61.425 25,0Tekstil & produk tekstil 1.369 0,5 1.635 0,8 1.525 0,9 1.677 0,9 1.827 0,7- Pakaian jadi 318 0,1 414 0,2 333 0,2 351 0,2 370 0,2Kerajinan tangan 183 0,1 223 0,1 196 0,1 205 0,1 202 0,1Produk kayu 6.914 2,7 7.302 3,7 6.791 3,9 6.770 3,8 7.327 3,0- Kayu lapis 5.087 2,0 5.157 2,6 4.302 2,4 3.970 2,2 4.365 1,8Produk rotan 52 0,0 14 0,0 114 0,1 130 0,1 124 0,1Minyak sawit 3.245 1,3 1.700 0,9 3.600 2,0 4.521 2,6 6.107 2,5Bungkil kopra 1.090 0,4 984 0,5 983 0,6 1.225 0,7 1.927 0,8Produk kimia 4.206 1,7 6.883 3,4 5.378 3,1 5.916 3,4 5.728 2,3Produk logam 1.090 0,4 3.391 1,7 3.191 1,8 1.515 0,9 1.955 0,8Barang-barang listrik 356 0,1 381 0,2 437 0,2 692 0,4 715 0,3Semen 794 0,3 3.736 1,9 7.383 4,2 7.292 4,1 9.808 4,0Kertas 3.768 1,5 5.585 2,8 9.048 5,2 5.048 2,9 5.314 2,2Produk karet 167 0,1 203 0,1 209 0,1 279 0,2 292 0,1Gelas dan alat dari gelas 643 0,3 957 0,5 1.555 0,9 960 0,5 962 0,4Alas kaki 193 0,1 173 0,1 165 0,1 157 0,1 170 0,1Produk plastik 720 0,3 1.244 0,6 1.045 0,6 1.195 0,7 1.285 0,5Mesin & psw, mekanik 114 0,0 763 0,4 166 0,1 288 0,2 377 0,2Lainnya 5.192 2,1 4.435 2,2 7.156 4,1 4.680 2,7 10.446 4,2
1) Angka proyeksi
Lampiran
281
Tabel 20
Nilai Ekspor Nonmigas menurut Negara Tujuan
(juta $)
1997 1998 1999 2000 2001 1)
Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%)
Afrika 777 1,7 904 2,1 1.032 2,5 1.157 2,3 1.110 2,4
Amerika 8.286 18,6 7.815 18,2 7.679 18,7 9.993 19,9 9.505 20,7
Amerika Serikat 6.701 15,0 6.383 14,9 6.297 15,4 8.463 16,8 8.094 17,7Amerika Latin 875 2,0 459 1,1 429 1,0 626 1,2 576 1,3Kanada 397 0,9 409 1,0 346 0,8 446 0,9 414 0,9Lain-lain 314 0,7 564 1,3 607 1,5 458 0,9 420 0,9
Asia 25.350 56,9 24.831 57,8 23.573 57,5 28.579 56,8 25.535 55,7
ASEAN 7.723 17,3 8.723 20,3 7.982 19,5 9.748 19,4 8.622 18,8
Brunei 47 0,1 43 0,1 26 0,1 24 0,0 32 0,1Malaysia 1.343 3,0 1.358 3,2 1.388 3,4 1.861 3,7 1.710 3,7Filipina 734 1,6 608 1,4 646 1,6 861 1,7 798 1,7Singapura 4.913 11,0 5.798 13,5 4.998 12,2 6.073 12,1 5.130 11,2Thailand 686 1,5 916 2,1 923 2,3 928 1,8 952 2,1
Hongkong 2.053 4,6 2.037 4,7 1.400 3,4 1.574 3,1 1.288 2,8India 597 1,3 782 1,8 807 2,0 1.088 2,2 956 2,1Irak 19 0,0 45 0,1 63 0,2 95 0,2 106 0,2Jepang 7.015 15,7 5.964 13,9 5.791 14,1 7.844 15,6 7.208 15,7Korea Selatan 1.297 2,9 1.166 2,7 1.287 3,1 1.710 3,4 1.564 3,4Myanmar 159 0,4 175 0,4 101 0,2 64 0,1 76 0,2Pakistan 170 0,4 152 0,4 151 0,4 148 0,3 155 0,3RRC 1.387 3,1 1.320 3,1 1.486 3,6 1.828 3,6 1.559 3,4Arab Saudi 627 1,4 476 1,1 428 1,0 535 1,1 476 1,0Taiwan 1.330 3,0 1.288 3,0 1.234 3,0 1.487 3,0 1.358 3,0Lain-lain 2.975 6,7 2.702 6,3 2.846 6,9 2.458 4,9 2.166 4,7
Australia/Oceania 783 1,8 910 2,1 1.058 2,6 1.080 2,1 950 2,1
Eropa 9.379 21,0 8.491 19,8 7.645 18,7 9.532 18,9 8.716 19,0
MEE 8.408 18,9 7.474 17,4 6.744 16,5 8.774 17,4 7.785 17,0
Belanda 1.825 4,1 1.488 3,5 1.464 3,6 1.895 3,8 1.570 3,4Belgia dan Luxemburg 804 1,8 773 1,8 687 1,7 892 1,8 758 1,7Inggris 1.263 2,8 1.120 2,6 1.175 2,9 1.575 3,1 1.550 3,4Italia 636 1,4 729 1,7 605 1,5 708 1,4 686 1,5Jerman 1.502 3,4 1.458 3,4 1.217 3,0 1.435 2,9 1.329 2,9Perancis 527 1,2 545 1,3 506 1,2 730 1,5 627 1,4Lainnya 1.851 4,2 1.360 3,2 1.090 2,7 1.540 3,1 1.265 2,8
Bekas Uni Soviet 120 0,3 67 0,2 49 0,1 81 0,2 52 0,1Eropa Timur Lain-lain 196 0,4 310 0,7 232 0,6 243 0,5 251 0,5Lain-lain 656 1,5 640 1,5 621 1,5 433 0,9 629 1,4
TOTAL 44.576 100,0 42.951 100,0 40.987 100,0 50.341 100,0 45.816 100,0
Benua/negara
1) Angka proyeksi
Lampiran
282
Tabel 21
Nilai Impor Nonmigas menurut Negara Asal (FOB)
(juta $)
1997 1998 1999 2000 2001 1)
Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%) Nilai Pangsa (%)
Afrika 422 1,0 362 1,2 449 1,7 460 1,3 602 1,9
Amerika 7.374 17,8 5.285 18,2 4.973 18,7 5.641 16,4 4.940 15,7
Amerika Serikat 4.765 11,5 3.150 10,8 2.541 9,5 4.044 11,8 3.917 12,5Amerika Latin 733 1,8 420 1,4 507 1,9 670 1,9 454 1,4Kanada 609 1,3 422 1,5 360 1,4 804 2,3 495 1,6Lain-lain 1.267 3,1 1.294 4,4 1.566 5,9 124 0,4 73 0,2
Asia 20.495 49,4 14.354 49,3 13.810 51,9 19.463 56,6 17.599 56,0
Asean 3.494 8,4 2.396 8,2 2.730 10,2 4.706 13,7 4.610 14,7
Brunei 4 0,0 2 0,0 1 0,0 2 0,0 2 0,0Malaysia 619 1,5 344 1,2 424 1,6 840 2,4 883 2,8Filipina 108 0,3 71 0,2 48 0,2 147 0,4 123 0,4Singapura 1.788 4,3 1.195 4,1 1.433 5,4 2.422 7,0 2.359 7,5Thailand 974 2,3 785 2,7 824 3,1 1.295 3,8 1.243 4,0
Hongkong 269 0,6 236 0,8 212 0,8 452 1,3 324 1,0India 630 1,5 256 0,9 231 0,9 582 1,7 595 1,9Irak 3 0,0 3 0,0 0,0 0,0 0 0,0 0 0,0Jepang 7.517 18,1 4.202 14,4 2.541 9,5 6.576 19,1 5.298 16,8Korea Selatan 1.973 4,8 1.228 4,2 1.064 4,0 2.293 6,7 2.374 7,5Myanmar 19 0,0 10 0,0 17 0,1 27 0,1 27 0,1Pakistan 42 0,1 128 0,4 98 0,4 68 0,2 106 0,3RRC 1.167 2,8 887 3,0 1.039 3,9 2.238 6,5 2.053 6,5Arab Saudi 115 0,3 105 0,4 120 0,5 279 0,8 287 0,9Taiwan 1.360 3,3 882 3,0 695 2,6 1.592 4,6 1.438 4,6Lain-lain 3.907 9,4 4.022 13,8 5.062 19,0 649 1,9 487 1,5
Australia/Oceania 2.181 5,3 1.614 5,5 2.021 7,6 2.371 6,9 2.507 8,0
Eropa 10.974 26,5 7.472 25,7 5.378 20,2 6.443 18,7 5.800 18,4
MEE 7.686 18,5 4.938 17,0 3.027 11,4 4.871 14,2 4.604 14,6
Belanda 474 1,1 316 1,1 314 1,2 566 1,6 433 1,4Belgia dan Luxemburg 292 0,7 232 0,8 143 0,5 366 1,1 286 0,9Inggris 1.082 2,6 779 2,7 500 1,9 866 2,5 702 2,2Italia 931 2,2 476 1,6 232 0,9 421 1,2 541 1,7Jerman 2.410 5,8 2.399 8,2 1.232 4,6 1.601 4,7 1.704 5,4Perancis 1.929 4,7 513 1,8 328 1,2 600 1,7 511 1,6Lainnya 570 1,4 224 0,8 277 1,0 449 1,3 426 1,4
Bekas Uni Soviet 312 0,8 151 0,5 102 0,4 295 0,9 169 0,5Eropa Timur Lain-lain 124 0,3 68 0,2 44 0,2 60 0,2 65 0,2Lain-lain 2.853 6,9 2.316 8,0 2.204 8,3 1.217 3,5 963 3,1
TOTAL 41.447 100,0 29.087 100,0 26.632 100,0 34.378 100,0 31.448 100,0
Benua/negara
1) Angka proyeksi
Lampiran
283
Tabel 22
Ekspor Migas 1)
Negara 1997 1998 1999 2000 20011)
Nilai Ekspor 2)
Minyak Bumi dan hasilnya 6.771 4.141 5.680 7.954 7.166
Gas
- LNG 4.432 3.046 4.207 6.756 5.355
- LPG 518 233 369 356 352
Total 11.721 7.420 10.256 15.066 12.873
Volume Ekspor
Minyak Bumi dan hasilnya (juta barrel) 362 340 336 291 300
Gas
- LNG (juta MMBTU) 3) 1.387 1.384 1.511 1.400 1.336
- LPG(ribuan Mton) 2.233 1.620 1.865 1.215 1.251
1) Nilai f.o.b. sistem klasifikasi barang berubah dari sistem CCN ke HS sehingga beberapa barang ekspor mengalami pergesaran dalam pengelompokkannya.
2) Terdiri atas minyak mentah dan hasil-hasil minyak dalam juta $
3) MMBTU : Million British Thermal Unit
Lampiran
284
1997 78.343 22,0 277.300 78,0 355.643 23,2 8,1
1997/1998 98.270 21,8 351.554 78,2 449.824 52,7 26,5
1998 101.197 17,5 476.184 82,5 577.381 62,3 4,9
1998/1999 105.705 17,5 497.620 82,5 603.325 34,1 4,5
1999 4) 124.633 19,3 521.572 80,7 646.205 11,9 -0,9
2000
Maret 124.663 19,0 531.788 81,0 656.451 8,8 1,6
Juni 133.832 19,6 550.503 80,4 684.335 11,2 4,2
September r 135.430 19,7 551.023 80,3 686.453 5,2 0,3
Desember r 162.186 21,7 584.842 78,3 747.028 15,6 8,8
2001
Januari 145.345 19,7 593.386 80,3 738.731 13,5
Februari 149.879 19,8 606.019 80,2 755.898 15,7
Maret 148.375 19,3 618.437 80,7 766.812 16,8 2,6
April 154.297 19,5 637.930 80,5 792.227 19,0
Mei 155.791 19,8 632.529 80,2 788.320 15,3
Juni 160.142 20,1 636.298 79,9 796.440 16,4 3,9
Juli 162.154 21,0 608.981 79,0 771.135 11,8
Agustus 166.851 21,6 607.186 78,4 774.037 12,9
September 164.237 21,0 618.867 79,0 783.104 14,1 -1,7
Oktober 169.963 21,0 638.551 79,0 808.514 14,3
November 171.383 20,9 650.308 79,1 821.691 14,1
Desember 177.731 21,1 666.323 78,9 844.054 13,0 7,8
1) Terdiri atas uang kartal dan uang giral
2) Terdiri atas deposito berjangka dan tabungan, dalam rupiah dan valuta asing, serta giro valuta asing milik penduduk
3) Terdiri atas uang beredar dalam arti sempit (M1) dan uang kuasi
4) Data statistik Bank Beku Operasional telah dikeluarkan (7 Bank sejak April 1998, 3 bank sejak Agustus 1998, dan 38 bank sejak Maret 1999)
Tabel 23
Uang Beredar
(miliar rupiah)
M11) Uang Kuasi2) M23)
Akhir Periode Posisi Pangsa Posisi Pangsa Posisi Perubahan (%)
(%) (%) Tahunan Triwulanan
Lampiran
285
Uang Beredar :
M2
M1
Kartal
Giral
Kuasi 1)
Faktor-faktor yang mempengaruhi :
Aktiva luar negeri bersih
Tagihan kepada pemerintah bersih
Tagihan bersih pada BPPN
Tagihan kepada sektor swasta
Tagihan kepada lembaga/
perusahaan pemerintah
Tagihan kepada perusahaan
swasta dan perorangan
Aktiva lainnya bersih
1) Terdiri atas deposito berjangka dan tabungan dalam rupiah maupun valuta asing serta giro valuta asing milik penduduk
67.011 221.738 68.824 100.823 97.026 19.784 29.629 -13.337 60.950
14.254 22.854 23.436 37.553 15.545 -13.811 11.768 4.094 13.494
5.937 12.970 16.959 14.018 3.971 -12.257 6.087 2.846 7.295
8.317 9.884 6.477 23.535 11.574 -1.554 5.681 1.248 6.199
52.757 198.884 45.388 63.270 81.481 33.595 17.861 -17.431 47.456
17.344 73.692 -12.581 81.637 23.242 37.521 44.969 -89.552 30.304
-16.486 17.513 425.287 123.060 9.389 870 -18.679 963 26.235
- 29.693 -29.693 - - - - - -
137.062 99.421 -299.689 42.347 34.233 14.348 21.338 -2.996 1.544
5.031 6.389 -8.139 -4.505 3.910 -291 973 -770 3.998
132.031 93.032 -291.550 46.852 30.323 14.639 20.365 -2.226 -2.454
-70.909 1.419 -14.500 -146.221 30.162 -32.955 -17.999 78.248 2.867
Tabel 24
Perubahan Uang Beredar dan Faktor-faktor yang Mempengaruhinya
(miliar rupiah)
2001
R i n c i a n 1997r 1998 1999r 2000r 2001
I II III IV
Lampiran
286
Bank Persero
1 Bulan 19,74 7,31 41,24 13,23 12,52 5,44 12,05 6,37 16,59 4,95
` 3 Bulan 19,88 7,41 48,69 13,70 13,19 5,45 13,33 6,59 17,47 5,36
6 Bulan 15,66 7,49 35,17 8,14 14,44 7,94 13,42 6,17 16,55 5,67
12 Bulan 15,19 7,81 28,75 12,61 23,14 8,91 12,48 6,24 15,81 5,95
24 Bulan 15,32 7,23 16,01 14,87 18,53 14,87 14,32 10,23 18,06 6,34
Bank Swasta Nasional
1 Bulan 27,68 8,77 41,88 12,72 12,14 5,34 12,05 6,07 15,83 4,05
3 Bulan 27,76 8,40 50,24 10,64 12,66 5,68 13,20 6,43 16,94 4,90
6 Bulan3 19,17 7,81 33,34 10,21 13,55 7,98 13,16 6,23 15,58 5,32
12 Bulan 17,43 7,99 26,16 11,49 17,07 16,63 11,50 11,39 14,74 5,70
24 Bulan 16,79 7,76 22,85 14,91 17,59 8,02 14,22 8,14 17,22 6,27
Bank Pemerintah Daerah
1 Bulan 21,10 6,23 42,05 12,99 12,20 5,09 11,39 4,97 15,04 5,05
3 Bulan 20,62 6,76 45,35 10,99 12,51 6,19 12,92 4,56 15,98 4,71
6 Bulan 14,16 7,15 29,46 10,43 13,46 5,18 12,94 5,13 15,61 5,48
12 Bulan 16,65 7,2 23,91 12,94 16,17 5,67 11,43 5,05 14,99 5,37
24 Bulan 14,58 - 14,03 - 13,73 - 13,44 - 17,42 -
Bank Asing & Campuran
1 Bulan 17,70 5,19 33,07 4,71 9,46 4,08 9,73 4,61 12,96 1,92
3 Bulan 18,03 5,99 40,84 4,71 9,24 4,03 11,21 4,81 12,35 2,00
6 Bulan 13,99 5,71 44,42 5,15 9,05 4,31 8,13 4,12 11,63 2,58
12 Bulan 13,64 5,92 31,74 5,17 13,46 4,67 8,51 5,09 12,99 3,40
24 Bulan 15,48 3,57 15,57 3,59 11,67 4,00 13,00 6,05 8,72 2,53
Bank Umum
1 Bulan 25,39 7,97 41,42 12,11 12,24 5,15 11,96 5,94 16,07 4,18
3 Bulan 23,92 7,77 49,23 10,73 12,95 5,24 13,24 6,11 17,24 4,35
6 Bulan 16,96 7,53 36,78 8,22 14,25 7,85 13,31 5,72 16,18 5,12
12 Bulan 15,92 7,73 28,29 11,66 22,35 9,11 12,17 7,86 15,48 5,62
24 Bulan 15,46 6,47 16,61 14,71 18,38 14,63 14,32 9,47 18,05 6,32
Tabel 25
Suku Bunga Deposito dalam Rupiah dan Valuta Asing menurut Kelompok Bank 1)
(persen per tahun)
Jangka Waktu
Rupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas Rupiah Valas
Desember 1997 Desember 1998 Desember 1999 Desember 2000 Desember 2001
1) Rata-rata tertimbang pada akhir periode
Lampiran
287
1997 Januari - Desember 784.368 26,98
1998 Januari - Desember r 2.104.924 63,14
1999 Januari - Desember 595.362 23,79
2000 Januari - Desember 8.915 10,46
1997 Januari - Maret 138.121 12,08
April - Juni 157.529 13,45
Juli - September 210.670 42,70
Oktober - Desember 278.048 39,68
1998 Januari - Maret 526.347 57,36
April - Juni 500.713 66,38
Juli - September 625.331 74,13
Oktober - Desember 452.533 54,68
1999 Januari - Maret 173.045 39,57
April - Juni 160.470 29,70
Juli - September 127.906 13,44
Oktober - Desember 133.941 12,43
2000 Januari - Maret 1.712 9,50
April - Juni 1.907 10,03
Juli - September 2.486 10,89
Oktober - Desember 2.810 11,43
2001 1) Januari 2.542 11,74
Februari 3.286 12,65
Maret 3.562 13,75
Januari - Maret 3.130 12,71
April 3.076 14,32
Mei 2.912 14,29
Juni 3.324 14,73
April - Juni 3.104 14,45
Juli 3.240 15,34
Agustus 2.912 14,29
September 3.059 15,82
Juli - September 3.070 15,15
Oktober 3.166 15,92
November 3.070 15,78
Desember 3.266 16,09
Oktober - Desember 3.167 15,93
Tabel 26
Pasar Uang Antarbank di Jakarta
Nilai transaksi Suku bunga rata-rata tertimbang
(miliar rupiah) (persen per tahun)Akhir periode
1) Angka rata-rata harian
Lampiran
288
Tabel 27
Tingkat Diskonto Sertifikat Deposito Rupiah menurut Kelompok Bank 1)
(persen per tahun)
1998 1999 2000 2001
Maret Desember Desember Maret Juni September Desember Maret Juni September Desember
Bank Persero
1 Bulan 18,05 43,95 37,96 10,59 10,23 11,48 12,04 13,26 15,33 16,22 16,48
3 Bulan 23,71 55,30 36,94 11,81 10,67 11,86 12,95 13,05 14,99 16,26 17,51
6 Bulan 23,42 32,18 28,13 11,56 11,51 11,55 11,62 11,36 14,84 15,15 14,25
12 Bulan 14,21 23,86 23,60 15,36 13,93 11,68 11,66 12,04 14,89 15,88 16,03
24 Bulan 14,01 12,90 14,22 - - - 11,50 13,70 16,30 16,28 16,28
Bank Swasta Nasional
1 Bulan 29,41 44,26 38,77 11,34 11,20 12,29 12,59 14,20 14,50 16,76 17,28
3 Bulan 30,29 48,62 39,53 11,36 11,09 11,51 11,81 12,93 14,35 15,49 16,81
6 Bulan 22,11 38,35 32,62 10,28 11,74 12,13 13,24 14,16 14,81 15,34 15,77
12 Bulan 15,63 49,89 52,40 16,02 10,44 10,40 12,12 12,73 12,81 17,19 17,62
24 Bulan 17,47 15,93 30,00 - - - - - - - -
Bank Pemerintah Daerah
1 Bulan 22,49 40,49 31,90 11,52 10,33 12,32 11,26 11,98 13,95 14,69 15,85
3 Bulan 20,85 52,57 35,48 12,62 12,10 13,40 13,88 15,62 15,78 17,24 18,19
6 Bulan 15,71 22,00 26,26 12,00 12,00 12,00 12,00 12,00 12,49 12,50 -
12 Bulan 18,04 21,20 25,21 12,50 12,10 12,08 13,81 13,83 14,60 14,54 13,00
24 Bulan 13,86 14,50 14,50 - - - - - - - -
Bank Asing & Campuran
1 Bulan 13,02 58,46 48,41 - - 9,07 9,43 10,05 10,63 10,93 11,90
3 Bulan 20,41 39,91 34,00 9,54 10,25 9,26 9,70 10,06 11,43 12,43 13,78
6 Bulan 19,08 - 35,50 - - 7,98 8,28 8,64 8,70 9,00 10,24
12 Bulan - - - 12,00 12,00 7,98 7,90 8,20 8,33 8,38 8,40
24 Bulan - - - - - - - - - - -
Bank Umum
1 Bulan 28,80 45,94 39,57 11,31 11,15 12,13 12,47 14,09 14,60 16,55 16,81
3 Bulan 27,56 49,99 38,68 11,31 11,07 11,49 11,83 12,89 14,40 15,58 16,97
6 Bulan 22,40 35,50 30,89 10,87 11,68 11,91 12,00 12,00 14,81 15,18 14,65
12 Bulan 15,58 41,51 28,77 14,41 12,41 10,97 12,11 12,65 13,97 16,39 16,50
24 Bulan 16,95 14,56 14,53 - - - 11,50 13,70 16,30 16,28 16,28
Jangka Waktu
1) Rata-rata tertimbang pada akhir periode
Lampiran
289
Tabel 28
Penerbitan, Pelunasan, dan Posisi Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
(miliar rupiah)
Akhir Periode Penerbitan Pelunasan Posisi1)
Januari - Desember 1997 176.452 187.969 7.034
Januari - Desember 1998 735.844 700.182 42.765
Januari - Desember 1999 711.542 691.408 62.899
Januari - Desember 2000 928.944 937.212 59.781
2001
Januari 83.318 55.915 87.184
Februari 84.500 82.504 89.180
Maret 100.791 121.362 68.609
April 65.798 62.867 71.539
Mei 91.906 88.874 74.570
Juni 76.941 74.103 77.408
Juli 77.083 77.081 77.410
Agustus 96.017 94.933 78.494
September 87.452 94.978 70.967
Oktober 68.023 65.461 73.530
November 89.172 86.925 75.777
Desember 49.379 69.696 55.460
Keterangan :
Penerbitan SBI dimulai pada bulan Februari 1984, dan sejak Juli 1998 penjualan SBI dilakukan melalui lelang dengan sistem SOR (Stop Out Rate)
1) Angka rata-rata harian
Lampiran
290
Tabel 29
Tingkat Diskonto SBI1)
(persen per tahun)
Periode 7 hari 14 hari 28 hari 90 hari 180 hari 360 hari
1997
Maret 7,61 8,70 11,07 11,88 - -
Juni 7,29 8,50 10,50 11,25 12,00 12,50
September 18,35 20,06 22,00 - - -
Desember 16,00 18,00 20,00 - - -
1998
Maret 29,24 - 27,75 - - -
Juni - 52,81 58,00 - - -
September - - 68,76 - - -
Desember - - 38,44 39,00 - -
1999
Maret - - 37,84 38,00 - -
Juni - - 22,05 23,75 - -
September - - 13,02 13,25 - -
Desember - - 12,51 12,75 - -
2000
Maret - - 11,03 11,00 - -
Juni - - 11,74 11,09 - -
September - - 13,62 13,32 - -
Desember - - 14,53 14,31 - -
2001
Januari - - 14,79 14,79 - -
Februari - - 14,79 14,84 - -
Maret - - 15,16 14,94 - -
April - - 15,91 15,80 - -
Mei - - 16,27 15,80 - -
Juni - - 16,52 16,28 - -
Juli - - 16,98 16,96 - -
Agustus - - 17,37 17,03 - -
September - - 17,65 17,56 - -
Oktober - - 17,58 17,61 - -
November - - 17,59 17,62 - -
Desember - - 17,62 17,63 - -
1) Rata-rata tertimbang
Lampiran
291
Tabel 30
Transaksi Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) antara
Bank Indonesia dan Bank-bank
(miliar rupiah)
Periode Pembelian Pelunasan Posisi
1997
Januari - Maret 15.954 13.455 2.670
April - Juni 18.937 19.480 2.126
Juli - September 50.131 52.237 21
Oktober - Desember 94.934 91.499 3.455
1998
Januari - Maret 257.109 256.474 4.090
April - Juni 42.929 46.873 146
Juli - September 24.136 24.057 227
Oktober - Desember 1.342 550 1.018
1999
Januari - Maret 1.018 1.018 1.018
April - Juni 0 0 1.018
Juli - September 0 0 1.018
Oktober - Desember 644 1.662 0
2000
Januari - Maret 0 0 0
April - Juni 0 0 0
Juli - September 0 0 0
Oktober - Desember 0 0 0
2001
Januari 0 0 0
Februari 112 2 110
Maret 0 110 0
April 18 18 0
Mei 4 4 0
Juni 0 0 0
Juli 0 0 0
Agustus 0 0 0
September 0 0 0
Oktober 8 8 0
November 0 0 0
Desember 0 0 0
292
Lampiran
Pendapatan Negara dan Hibah 156.470 187.819 204.942 286.006 299.851 301.874Penerimaan Dalam Negeri 156.409 187.819 204.942 286.006 299.842 301.874
Penerimaan Perpajakan 102.395 125.951 115.788 185.260 184.737 219.627Pajak dalam negeri 95.459 120.915 108.787 174.255 174.189 207.029
PPh 55.944 72.729 57.079 94.971 92.767 104.497Nonmigas 55.944 59.683 38.427 69.246 69.696 88.815Migas - 13.046 18.652 25.725 23.071 15.682
PPN 27.803 33.087 35.042 53.457 55.841 70.100PBB 3.043 3.504 3.545 5.094 4.800 5.924Bea perolehan hak atas tanah dan bangunan 523 604 927 1.195 1.489 2.205Cukai 7.733 10.381 11.302 17.601 17.622 22.353Pajak lainnya 413 611 892 1.938 1.670 1.950
Pajak perdagangan internasional 6.936 5.036 7.002 11.005 10.548 12.599Bea masuk 2.306 4.177 6.652 10.398 9.828 12.249Pajak ekspor 4.630 859 349 607 720 350
Penerimaan Bukan Pajak 54.014 61.868 89.154 100.746 115.105 82.247Penerimaan Sumber Daya Alam 41.368 45.435 76.017 79.446 86.658 63.195
Minyak bumi 25.957 - 51.003 57.857 60.038 44.013Gas alam 15.411 - 15.658 17.369 21.647 14.524SDA lainnya 5) - - 9.356 4.220 4.974 4.658
Pertambangan umum - - 556 928 1.827 1.340Kehutanan - - 8.776 3.001 3.001 3.026Perikanan - - 24 292 146 292
Bagian laba BUMN 3.428 5.430 3.868 9.000 10.440 10.351PNBP 9.217 11.002 9.269 12.300 18.007 8.700
Hibah 6) 62 - - - 10 -
Belanja Negara 172.669 231.879 219.935 340.326 354.578 344.009Anggaran Belanja Pemerintah Pusat 146.020 201.943 187.058 258.849 272.178 246.040
Pengeluaran Rutin 103.261 156.756 161.369 213.388 232.796 193.741Belanja pegawai 23.216 32.719 29.350 38.206 39.544 41.298
Gaji dan pensiun 18.657 27.010 24.269 31.915 33.275 34.003Tunjangan beras 1.245 1.822 1.524 1.281 1.259 1.412Uang makan/lauk-pauk 1.547 2.567 1.800 2.114 2.114 2.832Lain-lain belanja pegawai dalam negeri 1.073 1.294 1.458 1.371 1.831 1.550Belanja pegawai luar negeri 695 25 300 1.526 1.066 1.502
Belanja barang 9.862 10.765 8.135 9.909 9.604 12.863Belanja barang dalam negeri 8.888 9.784 7.985 8.735 8.735 11.707Belanja barang luar negeri 974 980 150 1.174 869 1.156
Pembayaran bunga utang 32.864 42.910 50.086 89.570 95.527 88.500Utang dalam negeri 8.385 22.230 31.238 61.174 66.251 59.525Utang luar negeri 24.480 20.679 18.848 28.395 29.277 28.975
Subsidi 34.614 65.916 62.758 66.269 81.575 41.586Subsidi BBM 28.607 40.923 53.635 53.774 68.381 30.377Subsidi non BBM 6.008 24.993 9.123 12.495 13.194 11.209
Pengeluaran rutin lainnya 2.703 4.446 11.039 9.433 6.546 9.494
Pengeluaran Pembangunan 42.759 45.187 25.689 45.461 39.382 52.299Pembiayaan rupiah 16.578 20.804 9.370 21.712 19.712 26.469Bantuan proyek 26.181 24.383 16.319 23.749 19.670 25.830
Anggaran Belanja untuk Daerah 26.650 29.936 32.878 81.477 82.400 97.969Dana Perimbangan 26.650 29.936 32.878 81.477 82.400 94.532
Dana bagi hasil 3.703 3.993 4.251 20.259 21.183 24.600Dana alokasi umum 7) 22.947 25.943 28.626 60.517 60.517 69.114Dana alokasi khusus - - - 701 701 817
Dana Otonomi Khusus dan Penyeimbang - - - - - 3.437
Tabel 31
Pendapatan dan Belanja Negara
(miliar rupiah)
1998/1999p 1999/2000p 20001) 2001 2002
APBN2) Realisasi3) APBN4)R i n c i a n
p) Perhitungan Anggaran Negara (PAN)1) Realisasi 1 April 2000 s.d. 31 Desember 20002) APBN Penyesuaian (revisi)3) APBN Perubahan (perkiraan realisasi)4) APBN yang telah disetujui DPR5) Berlaku sejak TA. 20006) Merupakan hibah dari USAID dan Pemerintah Jepang7) s.d. TA.2000 terdiri atas Dana Rutin Daerah dan Dana Pembangunan DaerahSumber: Departemen Keuangan
293
Lampiran
Tabel 32
Pengeluaran Pemerintah
(miliar rupiah)
I. Pembiayaan Dalam Negeri -4.799 14.672 5.439 34.387 44.189 23.501
1. Perbankan dalam negeri (SILPA/SIKPA) 5) -6.433 -1.941 -13.461 - 7.551 -
2. Non perbankan dalam negeri 1.634 16.613 18.900 34.387 36.638 23.501
a. Privatisasi 1.634 3.727 - 6.500 5.000 3.952
b. Penjualan aset program restrukturisasi - 12.886 18.900 27.000 30.980 19.549
c. Obligasi negara. neto - - - 887 658 -
i. Penerbitan obligasi pemerintah - - - 887 658 3.931
ii. Pembayaran cicilan pokok utang/
obligasi DN - - - - - -3.931
II. Pembiayaan Luar Negeri. neto 20.998 29.388 9.554 19.933 10.538 18.634
1. Penarikan pinjaman luar negeri. bruto 51.045 49.584 17.168 40.091 30.284 62.601
Pinjaman program 24.926 25.201 849 16.341 10.624 36.771
Pinjaman proyek 26.119 24.383 16.319 23.749 19.660 25.830
2. Pembayaran cicilan pokok utang luar
negeri (amortisasi) -30.047 -20.196 -7.613 -20.158 -19.746 -43.967
Pembiayaan Bersih 16.199 44.060 14.993 54.320 54.727 42.135
p) Perhitungan Anggaran Negara (PAN)1) Realisasi 1 April 2000 s.d. 31 Desember 20002) APBN Penyesuaian (revisi)3) APBN perubahan (perkiraan realisasi)4) APBN yang telah disetujui DPR5) Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (SILPA)/Sisa Kurang Pembiayaan Anggaran (SIKPA)Sumber: Departemen Keuangan
R i n c i a n
Tabel 32
Pembiayaan Defisit Anggaran
(miliar rupiah)
1998/1999p 1999/2000p 20001) 2001 2002
APBN2) Realisasi3) APBN4)
294
Lampiran
Tabel 33
Penghimpunan Dana oleh Bank Umum 1)
(miliar rupiah)
G i r o Deposito
Dalam Dalam Sub Dalam Dalam Sub
Rupiah Valas Jumlah Rupiah2) Valas Jumlah
Tabungan JumlahAkhir periode
1997 53.103 30.125 83.228 125.743 80.652 206.395 67.990 357.613
1997/1998 64.074 44.629 108.703 177.954 94.106 272.060 72.173 452.936
1998 58.067 39.351 97.418 303.016 103.782 406.798 69.308 573.524
1998/1999 60.002 47.244 107.246 303.022 109.778 412.800 79.453 599.499
1999 68.456 47.110 115.566 301.431 85.640 387.071 122.981 625.618
2000
Maret 75.847 46.078 121.925 301.087 86.670 387.757 135.801 645.483
Juni 84.262 49.805 134.067 289.385 87.737 377.122 146.662 657.851
September r 94.575 56.820 151.395 286.844 83.943 370.787 148.665 670.847
Desember r 104.539 70.969 175.508 296.885 93.658 390.543 154.328 720.379
2001
Januari 102.404 59.233 161.637 306.903 91.661 398.564 156.977 717.178
Februari 105.105 58.972 164.077 318.203 93.518 411.721 155.691 731.489
Maret 102.113 64.116 166.229 321.209 99.132 420.341 153.383 739.953
April 105.534 72.321 177.855 314.144 114.778 428.922 159.257 766.034
Mei 106.233 68.997 175.230 313.774 109.728 423.502 160.150 758.882
Juni 107.089 68.124 175.213 315.200 111.615 426.815 160.825 762.854
Juli 109.209 57.657 166.866 311.845 92.875 404.720 164.344 735.930
Agustus 110.594 52.642 163.236 318.146 85.412 403.558 167.144 733.938
September 109.021 56.781 165.802 323.337 92.226 415.563 163.278 744.643
Oktober 115.711 62.378 178.089 334.133 99.347 433.480 162.677 774.246
November 112.007 64.003 176.011 340.066 98.628 438.694 166.007 780.712
Desember 120.541 66.478 187.018 348.257 97.940 446.196 172.613 805.827
1) Termasuk dana milik pemerintah dan bukan penduduk2) Termasuk sertifikat deposito
295
Lampiran
Bank Persero Bank Swasta Nasional Bank Pemerintah Daerah Bank Asing & Campuran J u m l a h
Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub- Dalam Dalam Sub-
rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah rupiah valas jumlah
Tabel 34
Giro dalam Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum
menurut Kelompok Bank
(miliar rupiah)
1997 17.492 7.125 24.617 24.301 12.693 36.994 4.014 7 4.021 7.296 10.300 17.596 53.103 30.125 83.228
1997/1998 20.595 9.638 30.233 28.663 14.812 43.475 2.738 12 2.750 12.078 20.167 32.245 64.074 44.629 108.703
1998 24.751 8.476 33.227 23.151 13.447 36.598 4.895 13 4.908 5.270 17.415 22.685 58.067 39.351 97.418
1998/1999 28.271 11.624 39.895 21.921 14.255 36.176 4.374 12 4.386 5.436 21.353 26.789 60.002 47.244 107.246
1999 25.407 12.483 37.890 26.866 15.792 42.658 7.055 15 7.070 9.128 18.820 27.948 68.456 47.110 115.566
2000
Maret 28.859 12.539 41.398 32.432 14.695 47.127 5.412 16 5.428 9.144 18.828 27.972 75.847 46.078 121.925
Juni 33.858 9.696 43.554 33.056 16.768 49.824 8.123 20 8.143 9.225 23.321 32.546 84.262 49.805 134.067
September r 40.390 14.888 55.278 33.638 17.963 51.601 10.277 23 10.300 10.270 23.946 34.216 94.575 56.820 151.395
Desember r 49.205 24.284 73.489 34.123 18.973 53.096 10.806 17 10.823 10.405 27.695 38.100 104.539 70.969 175.508
2001
Januari 44.082 14.007 58.089 34.653 18.685 53.338 12.375 19 12.394 11.294 26.522 37.816 102.404 59.233 161.637
Februari 44.828 14.387 59.214 36.295 18.486 54.781 14.180 16 14.196 9.803 26.083 35.885 105.105 58.972 164.077
Maret 43.822 12.892 56.714 34.134 20.915 55.049 15.083 23 15.106 9.074 30.286 39.360 102.113 64.116 166.229
April 43.889 15.512 59.401 35.748 24.292 60.040 15.832 20 15.852 10.066 32.497 42.563 105.534 72.321 177.855
Mei 45.465 12.752 58.217 34.987 24.595 59.582 16.555 13 16.568 9.226 31.637 40.863 106.233 68.997 175.230
Juni 44.526 12.442 56.968 34.728 25.398 60.126 19.539 15 19.554 8.296 30.269 38.565 107.089 68.124 175.213
Juli 45.527 10.843 56.370 34.645 20.743 55.388 20.186 13 20.199 8.851 26.058 34.909 109.209 57.657 166.866
Agustus 46.270 9.803 56.073 34.552 19.115 53.667 21.427 16 21.443 8.345 23.708 32.053 110.594 52.642 163.236
September 45.145 10.539 55.684 34.546 20.872 55.418 20.810 15 20.825 8.520 25.355 33.875 109.021 56.781 165.802
Oktober 47.170 12.470 59.639 35.952 22.541 58.493 23.167 21 23.187 9.421 27.347 36.768 115.711 62.378 178.089
November 44.590 11.895 56.486 36.470 23.366 59.835 21.874 14 21.888 9.074 28.728 37.802 112.007 64.003 176.011
Desember 50.956 14.430 65.386 38.099 24.270 62.369 22.775 21 22.797 8.710 27.756 36.466 120.541 66.478 187.018
Akhir periode
296
Lampiran
Tabel 35
Simpanan Berjangka Rupiah dan Valuta Asing pada Bank Umum
menurut Jangka Waktu
(miliar rupiah)
1997 359 25.377 28.664 34.637 88.987 28.371 206.395
1997/1998 2.140 28.937 27.841 30.101 138.596 44.445 272.060
1998 610 21.039 17.151 50.352 266.585 51.061 406.798
1998/1999 502 15.449 19.414 24.840 307.610 44.984 412.799
1999 436 14.742 35.244 42.125 243.645 50.879 387.071
2000
Maret 628 12.992 45.123 55.711 231.854 41.449 387.757
Juni 666 9.217 42.666 52.589 230.451 41.534 377.123
September 6.836 7.719 35.941 59.614 204.986 55.689 370.785
Desember 14.061 6.920 23.503 68.877 215.532 61.649 390.542
2001
Januari 14.946 7.314 23.175 74.668 221.001 57.460 398.564
Februari 14.388 7.698 23.864 75.966 231.107 58.698 411.721
Maret 14.038 7.767 23.174 75.696 236.772 62.894 420.340
April 14.438 7.478 26.038 71.315 242.358 67.295 428.922
Mei 13.651 8.218 24.358 68.114 241.134 68.028 423.502
Juni 14.395 9.451 23.644 66.928 249.025 63.371 426.814
Juli 12.671 9.871 21.279 67.800 232.362 60.735 404.719
Agustus 14.483 10.489 20.054 72.109 224.257 62.165 403.557
September 14.847 10.553 20.258 75.042 231.910 62.953 415.562
Oktober 17.316 12.450 20.131 75.590 239.527 68.465 433.480
November 18.031 13.297 18.624 75.589 240.270 72.883 438.695
Desember 18.882 13.533 17.903 77.768 242.685 75.425 446.196
Akhir periode 24 bulan 12 bulan 6 bulan 3 bulan 1 bulan1) Lain-lain Jumlah
1) Termasuk deposito yang sudah jatuh waktu
297
Lampiran
Tabel 36
Simpanan Berjangka Rupiah pada Bank Umum
menurut Golongan Pemilik
(miliar rupiah)
Badan/ Perusahaan Perusahaan Perusahaan Yayasan Sub-Pemerintah lembaga asuransi negara swasta dan badan Koperasi Perorangan Lainnya jumlah
pemerintah sosial
Akhir periodeJumlah
Bukan
penduduk
P e n d u d u k
1997 5.363 1.786 6.323 6.540 26.512 12.784 282 56.856 9.031 125.477 266 125.743
1997/1998 6.124 1.882 6.845 11.470 35.877 13.344 420 94.053 7.500 177.515 439 177.954
1998 8.805 3.626 8.399 18.241 46.408 20.041 768 182.561 13.555 302.404 612 303.016
1998/1999 8.150 3.320 7.963 16.755 47.583 17.970 726 188.258 11.487 302.212 810 303.022
1999 r 11.268 4.713 11.916 20.463 46.883 20.188 953 173.785 10.165 300.334 1.097 301.431
2000
Maret r 12.454 3.863 10.844 22.616 48.713 22.329 619 169.245 9.600 300.283 804 301.087
Juni r 7.595 4.023 12.011 23.603 48.049 19.435 604 162.654 10.598 288.572 813 289.385
September 4.206 4.846 24.420 19.843 41.948 21.207 1.041 162.539 4.579 284.628 2.215 286.843
Desember r 4.408 5.162 24.412 18.595 39.653 22.864 941 172.917 6.274 295.226 1.659 296.885
2001
Januari 5.042 5.018 25.729 19.858 39.550 24.433 1.092 178.014 6.567 305.304 1.599 306.903
Februari 5.255 5.242 26.725 20.654 40.720 25.962 1.722 185.317 5.620 317.218 985 318.203
Maret 6.343 5.320 26.722 21.707 40.385 26.143 2.244 187.611 3.758 320.233 976 321.209
April 5.858 5.068 25.712 21.008 39.251 26.974 2.419 183.834 2.704 312.828 1.314 314.142
Mei 6.383 5.771 24.285 18.742 38.260 28.372 2.484 184.899 3.378 312.574 1.200 313.774
Juni 6.559 6.017 25.154 16.746 40.117 30.118 1.756 184.916 2.574 313.957 1.243 315.200
Juli 6.577 5.971 22.520 13.942 40.487 30.823 1.736 185.499 3.145 310.700 1.145 311.845
Agustus 7.364 5.530 24.560 15.741 40.739 29.222 1.429 189.748 2.563 316.896 1.250 318.146
September 7.622 5.783 23.028 14.275 39.665 28.616 1.716 198.439 2.769 321.914 1.424 323.338
Oktober 7.481 4.989 22.679 14.039 47.284 28.083 1.136 203.257 3.209 332.157 1.976 334.133
November 7.545 5.642 23.089 15.782 52.148 28.757 926 201.768 2.866 338.525 1.542 340.066
Desember 7.729 8.761 23.547 13.331 50.718 28.255 893 208.994 2.586 344.812 3.444 348.257
298
Lampiran
Tabel 37
Sertifikat Deposito
(miliar rupiah)
Akhir periode Bank Persero Selain Bank Persero Jumlah
1997 777 5.894 6.671
1997/1998 493 3.409 3.902
1998 1.792 5.004 6.796
1998/1999 829 2.825 3.654
1999 491 2.156 2.647
2000
Maret 279 2.715 2.994
Juni 245 3.017 3.262
September 360 3.434 3.794
Desember 410 3.215 3.625
2001
Januari 396 3.708 4.104
Februari 606 4.212 4.818
Maret 441 3.297 3.739
April 494 3.580 4.073
Mei 760 3.781 4.541
Juni 1.574 4.001 5.575
Juli 1.404 5.681 7.085
Agustus 1.574 3.522 5.097
September 1.945 3.855 5.799
Oktober 1.969 3.753 5.722
November 2.900 3.016 5.916
Desember 2.719 2.882 5.601
299
Lampiran
1997 42.872 62.765 274 173 17.295 5.052 60.441 67.990
1997/1998 43.232 66.653 271 220 19.102 5.300 62.605 72.173
1998 46.292 62.506 307 1.908 18.890 4.894 65.489 69.308
1998/1999 45.442 72.328 222 2.047 18.549 5.078 64.213 79.453
1999 66.926 115.945 161 855 17.437 6.181 84.524 122.981
2000
Maret 47.607 127.821 196 1.532 17.755 6.448 65.558 135.801
Juni 49.442 138.732 191 1.065 16.825 6.865 66.458 146.662
September 80.913 146.300 302 1.290 748 1.075 81.963 148.665
Desember 65.041 152.388 355 755 1.298 1.185 66.694 154.328
2001
Januari 65.460 155.231 347 689 941 1.057 66.748 156.977
Februari 66.518 153.914 360 719 961 1.058 67.838 155.691
Maret 86.571 151.593 564 984 626 806 87.761 153.383
April 66.733 157.093 715 1.325 715 839 68.163 159.257
Mei 67.538 157.461 562 1.445 661 1.244 68.761 160.150
Juni 67.422 157.535 787 1.960 650 1.330 68.859 160.825
Juli 78.069 160.875 788 2.145 586 1.324 79.443 164.344
Agustus 67.098 163.458 780 2.240 643 1.446 68.521 167.144
September 67.007 161.323 963 1.022 752 933 68.722 163.278
Oktober 67.996 160.669 846 1.094 554 913 69.396 162.676
November 67.669 164.027 645 935 876 1.045 69.190 166.007
Desember 68.138 170.783 510 995 823 834 69.470 172.613
Tabel 38
Tabungan menurut Jenis pada Bank Umum
Penabung Posisi Penabung Posisi Penabung Posisi Penabung Posisi
(ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp) (ribu) (miliar Rp)
Tabungan yang
penarikannya dapat
dilakukan sewaktu-waktu Tabungan berjangka Tabungan lainnya JumlahAkhir periode
300
Lampiran
Tabel 39
Suku Bunga Kredit Rupiah menurut Kelompok Bank 1)
(persen)
Bank Bank Bank Bank Asing & Bank Umum
Pemerintah Pemerintah Daerah Swata Nasional Campuran
Modal Investasi Modal Investasi Modal Investasi Modal Investasi Modal Investasi
Kerja Kerja Kerja Kerja Kerja
Akhir Periode
1) Rata-rata tertimbang
1997 20,41 16,12 23,04 15,49 28,22 27,31 26,76 25,22 25,40 18,94
1998 29,03 22,35 30,20 15,83 38,70 40,32 42,89 35,53 34,75 26,23
1999 21,61 17,48 21,81 13,43 19,57 20,61 18,28 22,70 20,68 17,80
2000
Maret 20,36 16,48 20,23 11,64 17,62 18,28 16,37 16,81 18,93 16,46
Juni 18,99 15,79 19,42 18,98 17,65 17,85 15,96 15,20 18,14 16,21
September 18,62 16,19 21,58 18,00 17,88 18,00 15,32 14,88 17,99 16,62
Desember 18,40 16,53 21,11 18,11 17,55 17,59 15,42 15,49 17,65 16,86
2001
Januari 18,48 16,37 20,78 18,04 17,86 17,61 15,80 15,73 17,85 16,77
Februari 18,44 16,43 20,81 18,00 17,77 17,77 15,89 16,07 17,80 16,88
Maret 18,47 16,31 20,87 18,02 17,84 17,95 16,28 16,30 17,90 16,86
April 18,52 16,16 20,63 18,00 17,88 18,06 17,48 16,43 18,13 16,80
Mei 18,62 16,21 20,82 18,05 18,13 18,08 17,11 16,73 18,21 16,85
Juni 18,64 16,41 20,84 18,07 18,28 17,94 18,05 16,69 18,45 17,04
Juli 18,73 16,17 20,94 18,02 18,47 17,91 18,64 17,22 18,68 16,90
Agustus 18,82 16,26 20,93 17,97 18,83 18,16 18,80 17,86 18,89 17,08
September 18,91 16,44 20,84 17,73 18,96 18,22 19,24 17,98 19,06 17,22
Oktober 19,10 16,61 20,79 17,81 19,10 18,38 19,17 17,90 19,18 17,38
November 19,15 16,83 20,74 17,77 19,15 18,89 19,28 17,98 19,23 17,64
Desember 19,15 17,11 20,48 17,76 19,16 19,02 19,09 18,55 19,19 17,90
301
Lampiran
R i n c i a n 1997 1998 1999 2000
Tabel 40
Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing
menurut Sektor Ekonomi 1)
(miliar rupiah)
1) Tidak termasuk pinjaman antarbank. pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek
2001
Mar. Jun. Sep. Des.
Kredit dalam Rupiah 261.534 313.118 140.527 152.482 158.023 171.984 187.953 202.618
Pertanian 20.340 29.430 21.139 15.028 15.383 16.291 16.004 16.851
Pertambangan 2.769 2.729 879 2.879 3.364 2.651 2.861 3.676
Perindustrian 56.123 85.594 35.561 35.697 35.802 41.752 47.012 50.434
Perdagangan 57.471 59.830 29.687 30.601 30.555 33.827 36.374 38.491
Jasa-Jasa 85.598 101.129 26.332 23.784 25.939 26.685 28.615 30.696
Lain-Lain 39.233 34.406 26.929 44.493 46.980 50.778 57.087 62.470
Kredit dalam Valuta Asing 116.600 174.308 84.606 116.518 127.352 134.349 116.467 104.976
Pertanian 5.662 9.878 2.638 4.475 5.629 6.475 5.724 4.012
Pertambangan 2.547 3.180 2.818 3.801 4.323 2.232 1.775 3.764
Perindustrian 55.556 86.074 48.698 71.085 78.072 85.105 75.532 66.091
Perdagangan 24.793 36.534 13.601 13.498 14.508 12.932 10.881 9.959
Jasa-Jasa 27.971 37.995 16.829 20.532 22.313 23.828 20.258 18.365
Lain-Lain 71 647 22 3.127 2.507 3.777 2.297 2.785
Jumlah 378.134 487.426 225.133 269.000 285.375 306.333 304.420 307.594
Pertanian 26.002 39.308 23.777 19.503 21.012 22.766 21.728 20.863
Pertambangan 5.316 5.909 3.697 6.680 7.687 4.883 4.636 7.440
Perindustrian 111.679 171.668 84.259 106.782 113.874 126.857 122.544 116.525
Perdagangan 82.264 96.364 43.288 44.099 45.063 46.759 47.255 48.450
Jasa-Jasa 113.569 139.124 43.161 44.316 48.252 50.513 48.873 49.061
Lain-Lain 39.304 35.053 26.951 47.620 49.487 54.555 59.384 65.255
302
Lampiran
Tabel 41
Kredit Bank Umum dalam Rupiah dan Valuta Asing
menurut Jenis Penggunaan dan Sektor Ekonomi 1)
(miliar rupiah)
1) Tidak termasuk pinjaman antarbank, pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek
2 0 0 1
Mar. Jun. Sep. Des.R i n c i a n 1997 1998 1999 2000
Kredit Modal Kerja 277.399 345.962 167.442 203.724 213.278 221.410 220.755 234.128
Pertanian 11.373 22.058 12.162 8.693 9.065 9.322 8.498 8.748
Pertambangan 3.995 3.880 2.368 3.796 4.406 1.325 1.202 1.197
Perindustrian 76.585 121.867 61.278 80.572 85.535 89.877 83.957 88.208
Perdagangan 64.336 72.065 36.181 36.318 36.751 37.716 38.625 40.360
Jasa-Jasa 81.806 91.039 28.502 26.725 28.034 28.615 29.089 30.359
Lain-Lain 39.304 35.053 26.951 47.620 49.487 54.555 59.384 65.255
Kredit Investasi 100.735 141.464 57.691 65.276 72.097 84.923 83.665 73.466
Pertanian 14.629 17.250 11.615 10.810 11.947 13.444 13.230 12.115
Pertambangan 1.321 2.029 1.329 2.884 3.281 3.558 3.434 6.243
Perindustrian 35.094 49.801 22.981 26.210 28.339 36.980 38.587 28.317
Perdagangan 17.928 24.299 7.107 7.781 8.312 9.043 8.630 8.090
Jasa-Jasa 31.763 48.085 14.659 17.591 20.218 21.898 19.784 18.701
Lain-Lain - - - - - - - -
Jumlah 378.134 487.426 225.133 269.000 285.375 306.333 304.420 307.594
Pertanian 26.002 39.308 23.777 19.503 21.012 22.766 21.728 20.863
Pertambangan 5.316 5.909 3.697 6.680 7.687 4.883 4.636 7.440
Perindustrian 111.679 171.668 84.259 106.782 113.874 126.857 122.544 116.525
Perdagangan 82.264 96.364 43.288 44.099 45.063 46.759 47.255 48.450
Jasa-Jasa 113.569 139.124 43.161 44.316 48.252 50.513 48.873 49.061
Lain-Lain 39.304 35.053 26.951 47.620 49.487 54.555 59.384 65.255
303
Lampiran
2 0 0 1
Mar. Jun. Sep. Des.R i n c i a n 1997 1998 1999 2000
Tabel 42
Kredit Perbankan dalam Rupiah dan Valuta Asing
menurut Kelompok Bank dan Sektor Ekonomi 1)
(miliar rupiah)
1. Bank Persero 153.266 220.747 112.288 102.061 106.542 112.726 113.577 117.104
Pertanian 14.279 17.012 15.516 11.209 12.082 12.035 11.677 12.034
Pertambangan 1.939 1.989 1.360 2.522 2.995 2.936 2.833 5.554
Perindustrian 46.868 84.510 38.489 34.878 36.652 39.239 40.949 40.099
Perdagangan 32.970 43.601 21.958 16.431 16.597 17.985 17.512 17.973
Jasa-Jasa 39.421 55.792 19.945 16.370 17.367 17.249 15.691 15.537
Lain-Lain 17.789 17.843 15.020 20.651 20.849 23.282 24.915 25.907
2. Bank Swasta Nasional 168.723 193.361 56.012 82.425 87.869 98.660 104.092 101.871
Pertanian 10.185 20.272 5.740 4.987 5.524 6.865 6.674 6.050
Pertambangan 2.500 2.414 371 863 808 745 720 838
Perindustrian 35.592 45.416 14.421 22.914 24.427 30.876 33.761 28.237
Perdagangan 40.513 40.687 13.307 21.656 22.306 22.144 23.453 23.402
Jasa-Jasa 63.716 72.058 15.605 17.500 19.274 21.461 20.859 22.160
Lain-Lain 16.217 12.514 6.568 14.505 15.530 16.569 18.625 21.185
3. Bank Pemerintah Daerah 7.539 6.570 6.793 10.106 11.152 12.453 14.674 15.419
Pertanian 267 354 853 527 512 498 526 536
Pertambangan 21 19 18 65 71 84 147 188
Perindustrian 429 409 190 249 261 279 284 257
Perdagangan 1.206 1.053 816 1.182 1.329 1.578 1.930 2.108
Jasa-Jasa 2.386 1.820 1.376 1.260 1.308 1.262 1.752 1.411
Lain-Lain 3.230 2.915 3.540 6.823 7.671 8.752 10.035 10.920
4. Bank Asing & Campuran 48.606 66.748 50.040 74.408 79.812 82.494 72.077 73.199
Pertanian 1.271 1.670 1.668 2.780 2.894 3.368 2.851 2.244
Pertambangan 856 1.487 1.948 3.230 3.813 1.118 936 860
Perindustrian 28.790 41.333 31.159 48.741 52.534 56.463 47.550 47.932
Perdagangan 7.575 11.023 7.207 4.830 4.831 5.052 4.360 4.968
Jasa-Jasa 8.046 9.454 6.235 9.186 10.303 10.541 10.571 9.952
Lain-Lain 2.068 1.781 1.823 5.641 5.437 5.952 5.809 7.243
5. Jumlah (1 s.d. 4) 378.134 487.426 225.133 269.000 285.375 306.333 304.420 307.594
Pertanian 26.002 39.308 23.777 19.503 21.012 22.766 21.728 20.863
Pertambangan 5.316 5.909 3.697 6.680 7.687 4.883 4.636 7.440
Perindustrian 111.679 171.668 84.259 106.782 113.874 126.857 122.544 116.525
Perdagangan 82.264 96.364 43.288 44.099 45.063 46.759 47.255 48.450
Jasa-Jasa 113.569 139.124 43.161 44.316 48.252 50.513 48.873 49.061
Lain-Lain 39.304 35.053 26.951 47.620 49.487 54.555 59.384 65.255
1) Tidak termasuk pinjaman antarbank. pinjaman kepada pemerintah pusat dan bukan penduduk, serta nilai lawan valuta asing pinjaman investasi dalam rangka bantuan proyek
304
Lampiran
Tabel 43
Perkembangan Jumlah Aliran Uang Kertas di Jakarta dan KKBI
(triliun rupiah)
1997 1998 1999 2000 2001
Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar
Jakarta 18.7 32.2 24.2 39,9 24,4 47,2 33,2 51,4 34,9 53,7
Bandung 14,1 9,1 17,9 14,7 22,2 17,1 28,0 20,4 37,6 23,7
Semarang 11,8 6,9 14,5 9,3 17,8 13,6 20,2 15,1 25,5 17,4
Surabaya 13,9 13,3 18,8 18,5 23,4 23,9 28,8 28,6 37,9 33,5
Medan 6,9 7,7 9,4 10,3 11,4 12,8 11,5 11,9 15,1 15,3
Padang 4,2 5,6 5,8 8,7 6,5 11,7 7,8 13,1 10,1 14,9
Makassar 4,7 5,4 7,3 8,8 8,7 10,0 10,4 12,4 13,8 14,9
Banjarmasin 3,6 4,9 4,8 7,2 6,1 9,0 7,8 11,2 10,1 13,4
Jumlah 77,9 85,1 102,7 117,4 120,5 145,3 147,7 164,1 185,0 186,8
Tabel 44
Pangsa Aliran Uang Keluar per Jenis Pecahan di Jakarta dan KKBI Tahun 2001
(persen)
Kantor Rp100.000,00 Rp50.000,00 Rp20.000,00 Rp10.000,00 Rp5.000,00 <= Rp1.000,00 Total
Jakarta 42 38 12 5 2 1 100
Bandung 51 33 11 3 1 1 100
Semarang 50 33 11 4 1 0 100
Surabaya 49 38 7 4 1 1 100
Medan 47 36 10 4 2 1 100
Padang 43 34 13 8 2 1 100
Makassar 44 35 14 4 2 1 100
Banjarmasin 47 34 12 5 2 1 100
Kantor
305
Lampiran
Tabel 45
Perkembangan Jumlah Aliran Uang Logam di Jakarta dan KKBI
(miliar rupiah)
1997 1998 1999 2000 2001
Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar Masuk Keluar
Jakarta 14,4 79,5 4,4 105,5 2,2 117,7 4,1 184,5 0,1 196,9
Bandung 17,3 8,7 10,8 12,9 11,1 14,8 15,2 21,0 16,5 28,5
Semarang 23,2 7,4 13,9 8,3 12,2 13,2 14,3 14,4 17,0 15,6
Surabaya 2,9 15,9 1,2 32,8 2,2 29,7 1,8 33,5 4,0 44,2
Medan 2,0 7,4 3,3 11,2 1,1 13,1 0,4 14,0 0,7 24,1
Padang 0,7 7,3 0,3 14,1 0,3 9,7 0,3 12,3 0,5 21,8
Makassar 1,0 7,4 0,5 12,6 0,6 11,2 1,1 10,9 0,5 20,8
Banjarmasin 0,7 6,1 0,7 15,5 0,6 11,4 1,4 11,0 0,8 15,6
Jumlah 62,2 139,7 35,1 212,9 30,3 220,8 38,6 301,6 40,1 367,5
Kantor
306
Lampiran
Tabel 46
Pertumbuhan Ekonomi Dunia
(persen)
Negara 1997 1998 1999r 2000r 2001*
1) Tidak termasuk Belarusia dan Ukraina
Sumber: – IMF, World Economic Outlook, December 2001
– Bank Indonesia
Dunia 4,1 2,6 3,6 4,7 2,4
Negara Industri/Maju 3,4 2,4 3,3 3,9 1,1
7 Negara industri utama 3,2 2,5 3,0 3,5 1,0
Amerika Serikat 4,4 4,4 4,1 4,1 1,0
Jepang 1,6 -2,5 0,7 2,2 -0,4
Jerman 1,4 2,1 1,8 3,0 0,5
Perancis 2,0 3,2 3,0 3,5 2,1
Italia 1,8 1,5 1,6 2,9 1,8
Inggris 3,5 2,6 2,1 2,9 2,3
Kanada 4,4 3,3 5,1 4,4 1,4
Lain-Lain 4,2 2,0 4,9 5,2 1,5
Negara Berkembang 5,7 3,5 3,9 5,8 4,0
Afrika 2,8 3,1 2,5 2,8 3,5
Timur Tengah, Malta, dan Turki 5,1 4,1 1,1 5,9 1,8
Amerika Latin 5,4 2,2 0,1 4,1 1,0
Asia 6,5 4,1 5,9 6,7 5,6
NIEs Asia 5,8 -2,3 7,9 8,2 0,4
RRC 8,8 7,8 7,1 8,0 7,3
Indonesia 4,7 -13,2 0,8 4,8 3,2
Singapura 9,0 0,3 4,5 9,9 -2,9
Malaysia 7,7 -6,7 6,1 8,3 0,3
Thailand -1,3 -9,4 4,3 4,4 1,5
Filipina 5,2 -0,5 3,4 4,0 2,9
Vietnam 8,2 3,5 4,2 5,5 4,7
Negara-Negara Transisi 1) 1,6 -0,8 3,6 6,3 4,9
Eropa Tengah dan Timur 2,1 2,0 2,0 3,8 3,0
Rusia 0,9 -4,9 5,4 8,3 5,8
Transcaucasus dan Asia Tengah 2,6 2,5 4,6 5,3 -
307
Lampiran
Tabel 47
Inflasi Dunia
(persen)
Negara 1997 1998 1999r 2000r 2001 *
Dunia 4,2 2,5 3,0 - -
Negara Industri/Maju 2,1 1,5 1,4 2,3 2,3
7 Negara industri utama 2,0 1,3 1,4 2,3 2,2
Amerika Serikat 2,3 1,6 2,2 3,4 2,9
Jepang 1,7 0,6 -0,3 -0,8 -0,7
Jerman 1,5 0,6 0,7 2,1 2,4
Perancis 1,3 0,7 0,6 1,8 1,8
Italia 1,7 1,7 1,7 2,6 2,6
Inggris 2,8 2,7 2,3 2,1 2,3
Kanada 1,4 1,0 1,7 2,7 2,8
Lain-Lain 2,4 2,5 1,3 2,4 2,9
Negara Berkembang 9,2 10,3 6,8 5,9 6,0
Afrika 11,1 8,7 11,8 13,5 12,8
Timur Tengah, Malta, dan Turki 27,7 27,6 23,3 19,1 19,1
Amerika Latin 13,2 10,6 9,3 8,1 6,3
Asia 4,8 8,0 2,4 1,9 2,8
NIEs Asia 3,4 4,4 0,3 1,2 2,0
RRC 2,8 -0,8 -1,5 0,4 1,0
Indonesia 11,1 77,6 2,01 3,8 11,5
Singapura 2,0 -0,3 0,2 1,4 1,0
Malaysia 2,7 5,3 3,0 1,5 1,5
Thailand 5,6 8,1 0,5 1,5 1,7
Filipina 6,0 9,7 8,5 4,3 6,1
Vietnam 3,2 7,7 7,6 -1,7 0,8
Negara-Negara Transisi 1) 28,2 20,9 43,9 20,1 16,0
Eropa Tengah dan Timur 41,8 17,1 10,9 12,8 9,3
Rusia 14,7 27,8 85,7 20,8 21,5
Transcaucasus dan Asia Tengah 36,5 15,3 15,4 14,8 -
Sumber : – IMF, World Economic Outlook, December 2001
– Bank Indonesia
– BPS
308
Lampiran
Tabel 48
Suku Bunga (%) dan Nilai Tukar
Rincian 1997 1998 1999r 2000r 2001 *
Suku Bunga di Negara-negara IndustriJangka Pendek 4,00 4,00 3,80 - - Jangka Panjang 5,40 4,50 5,30 - -
LIBOR 6 bulanUSD - - 5,50 6,60 3,80Yen - - 0,20 0,30 0,20Euro - - 3,00 4,60 4,10
Nilai TukarYen/USD 120,99 130,91 102,51 114,41 131,66DM/USD 1,73 1,76 1,94 2,08 2,20SD/GBP 1,64 1,66 1,62 1,49 1,45
Sumber : – IMF, World Economic Outlook , December 2001 – IMF, International Financial Statistics, December 2001
Tabel 49
Perkembangan Volume Perdagangan Barang dan Harga Dunia
(persen)
Rincian 1997 1998 1999r 2000r 2001 *
Volume Perdagangan Barang 10,0 4,1 5,4 12,4 1,0
Harga
Barang-barang Industri -7,8 -1,2 -1,8 -5,1 -1,7
Komoditas Primer Nonmigas -3,2 -14,7 -7,0 1,8 -5,5
Minyak -5,4 -32,1 37,5 56,9 -14,0
Sumber : – IMF, World Economic Outlook, December 2001
309
Lampiran
Tabel 50
Transaksi Berjalan di Negara Industri dan Negara Sedang Berkembang
(persen PDB)
Negara 1997 1998 1999r 2000r 2001*
7 Negara industri utama
Amerika Serikat -1,7 -2,5 -3,5 -4,5 -4,8
Jepang 2,2 3,2 2,4 2,5 2,2
Jerman -0,1 -0,2 -0,9 -1,0 -0,8
Perancis 2,8 2,7 2,6 1,8 2,5
Italia 2,8 1,7 0,5 -0,5 -0,1
Inggris 0,8 - -1,1 -1,7 -1,7
Kanada -1,6 -1,8 0,2 2,5 1,9
Negara Berkembang
RRC 3,8 3,4 1,6 1,9 1,0
Indonesia -2,3 4,3 4,10 5,2 3,4
Singapura 15,7 20,9 21,1 21,9 7,5
Malaysia -5,1 12,9 15,9 9,4 7,5
Thailand -2,0 12,8 10,2 7,5 4,7
Filipina -5,3 2,0 10,0 12,1 4,9
Sumber : – IMF, World Economic Outlook, December 2001
310
Lampiran
Specimen Pecahan Uang Kartal
Yang Diterbitkan Pada Tahun 2001
Pecahan Rp 5000
Lampiran G
Anti copy dalam bentuk tulisan “RI”
Tulisan mikro
“BANK INDONESIA 5000”
Benang pengaman
Bayang-bayang logo
"BI" ( Latent Image)
Rectoverso
Benang pengaman Tulisan mikro
"BANK INDONESIA"
Rectoverso
Nomor Seri
Tulisan mikro
"BANK INDONESIA"
Angka Nominal
Garuda Pancasila
Nomor Seri
Gambar utama terasa
kasar bila diraba
Tulisan Nominal
terasa kasar bila
diraba
Angka Nominal
terasa kasar bila
diraba
Angka Nominal
terasa kasar bila
diraba
Tanda air
Cut Nyak Meutia
Tanda air
Cut Nyak Meutia
Angka Nominal
Tulisan mikro "BI"
Angka “5000” yang terlihat
apabila disinar dengan UVAnti copy dalam
bentuk tulisan “RI”
Tulisan mikro
"BANK INDONESIA 5000”
311
Lampiran
Lampiran H
ad atas dasar
ACBF ASEAN Central Bank Forum
ADB Asian Development Bank
AFMM ASEAN Finance Ministers Meeting
AFTA Asian Free Trade Area
Ags Agustus
APBN Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
APEC Asia-Pacific Economic Cooperation
Apr April
ARMA Auto Regressive Moving Average
AS Amerika Serikat
ASA ASEAN Swap Arrangements
ASEAN Association of South-east Asian Nations
ATM automated teller machine
BBKU bank beku kegiatan usaha
BBM bahan bakar minyak
BCSB Basel Committee of Bank Supervisors
BDP bank dalam penyehatan
BEJ Bursa Efek Jakarta
BI Bank Indonesia
BI-RTGS Bank Indonesia - Real Time Gross Settlement
BIS Bank For International Settlement
BKD Badan Kredit Desa
BKPM Badan Koordinasi Penanaman Modal
BLS Baseline Economic Survey
BM Base Money
BMPK batas maksimum pemberian kredit
BNI Bank Negara Indonesia
BNM Bank Negara Malaysia
BOE Bank of England
BOP Balance of Payment
BOTASUPAL Badan Koordinasi Pemberantasan Uang Palsu
bp basis point
Daftar Singkatan
312
Lampiran
BPD Bank Pembangunan Daerah
BPEN Badan Pengembangan Ekspor Nasional
BPKP Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan
BPPN Badan Penyehatan Perbankan Nasional
BPR Bank Perkreditan Rakyat
BPS Badan Pusat Statistik
BRER Bilateral Real Exchange Rate
BRI Bank Rakyat Indonesia
BSA Bilateral Swap Arrangement
BTN Bank Tabungan Negara
BTO bank take over
BUMN Badan Usaha Milik Negara
BUMS Badan Usaha Milik Swasta
BUSN Bank Umum Swasta Nasional
CAR capital adequacy ratio
CBS Claims on Busines Sector
CBS Currency Board System
CBU Completely Built Up
CCI Consumer Confidence Index
CGI Consultative Group on I–ndonesia
C & F Cost and Freight
CMI Chiang Mai Initiative
CPO crude palm oil
crd crude
CSA Centralized Settlement Account
D diragukan
DAK dana alokasi khusus
Dati Daerah Tingkat
DAU dana alokasi umum
DBH dana bagi hasil
Des Desember
DHE devisa hasil ekspor
Dir Direktur
DIY Daerah Istimewa Yogyakarta
DJIA Dow Jones Industrial Average
DKI Daerah Khusus Ibukota
313
Lampiran
DKM-BI Direktorat Riset Ekonomi dan Kebijakan Moneter - Bank Indonesia
DN dalam negeri
doc dokumen
DPK dana pihak ketiga
DPM Direktorat Pengelolaan Moneter
DPNP Direktorat Penelitian dan Pengembangan Perbankan
DPR Dewan Perwakilan Rakyat
DRI Danareksa Research Institute
DSM Direktorat Statistik Moneter
DTI Direktorat Teknologi Informasi
DSR debt service ratio
DVP Delivery Versus Payment
ECB European Central Bank
EFT electronic fund transfer
EFF Extended Fund Facility
EMEAP Executive Meeting of East Asia and Pacific Central Bankers
EO Exchange Offer
EUR Euro
FAASM Fixed Asset Accounting Simulation Model
FATF Financial Action Task Force
FDI Foreign Direct Investment
Feb Februari
FKE Fasilitas Kredit Ekspor
FLI Fasilitas Likuiditas Intrahari
f o b free on board
FR Fixed Rate
FSF Financial Stability Forum
GARCH General Auto-regresive Conditional Heteroscidasticity
GBHN Garis-Garis Besar Haluan Negara
GBI Gubernur Bank Indonesia
GBP Great Britain Poundsterling
GCS gross capital stock
GDP gross domestic product
GFA gross foreign assets
GFCF gross fixed capital formation
GTZ Gesselschaft fur Technische Zusammenarbeit GmbH
314
Lampiran
GWM Giro Wajib Minimum
G–20 Group 20, terdiri atas 20 negara
HAM hak asasi manusia
HDI Human Development Index
HIPC Highly Indebted Poor Countries
HJE harga jual eceran
IBI Institut Bankir Indonesia
IBJ Industrial Bank of Japan
IBRD International Bank for Reconstruction and Development
ICOR Incremental Capital Output Ratio
IAP Individual Action Plan
IDR Indonesia Rupiah
IFSO Islamic Financial Services Organization
IHK indeks harga konsumen
IHPB indeks harga perdagangan besar
IHSG indeks harga saham gabungan
IIFM Internasional Islamic Financial Market
IMF International Monetary Fund
IMFC International Monetary Financial Committee
IPP Independen Power Producer
IRFCL International Reserve and Foreign Currency Liquidity
ITS Institut Teknologi Surabaya
Jan Januari
JBIC Japan Bank for International Cooperation
JIBOR Jakarta interbank offered rate
JITF Jakarta Initiative Task Force
JPY Japan Yen
JORR Jakarta Outer Ring Road
Jul Juli
Jun Juni
KA Kereta Api
KAP kualitas aktiva produktif
KBI Kantor Bank Indonesia
KCS Kantor Cabang Syariah
Kep keputusan
KHM kebutuhan hidup minimum
315
Lampiran
KLBI Kredit Likuiditas Bank Indonesia
KMK Keputusan Menteri Keuangan
KP Kurang Potensial
KP Kantor Pusat
KPMM kewajiban penyediaan modal minimum
KPR Kredit Pemilikan Rumah
KRW Korean Won
KUK Kredit Usaha Kecil
L lancar
L/C Letter of Credit
LDKP Lembaga Dana dan Kredit Pedesaan
LDR laon to deposit ratio
LIE Leading Indikator Ekonomi
LIBOR London Interbank Offered Rate
LKBB lembaga keuangan bukan bank
LLD lalu lintas devisa
LLM lalu lintas modal
LN luar negeri
LNG liquefied natural gas
LoI Letter of Intent
LPG liquefied petroleum gas
LPJK Lembaga Pengawas Sektor Jasa Keuangan
LPSM Lembaga Pengembangan Swadaya Masyarakat
LPS Lembaga Penjamin Simpanan
Mar Maret
MDH the mixture distribution hypothesis
MFG Manila Framework Group
Migas minyak dan gas
MMBTU mille mille British thermal unit
MNC multinational corporation
MoU Memorandum of Understanding
MPP Menteri Perindustrian dan Perdagangan
MPR Majelis Permusyawaratan Rakyat
m t m month to month
NBER the National Bureu for Economic Research
NCG net claims on government
316
Lampiran
NCS net capital stock
NDA net domestic assets
NFA net foreign assets
NIM net interest margin
NIR net international reserve
NOI net other items
Nov November
NPI Neraca Pembayaran Indonesia
NPLs non performing loans
NTB Nusa Tenggara Barat
NTT Nusa Tenggara Timur
OAA Osaka Action Agenda
ODA Official Development Assistance
Okt Oktober
O/N overnight
OPEC Organization of Petroleum Exporting Countries
OPT operasi pasar terbuka
P Potensial
PAM Perusahaan Air Minum
PAPSI Pedoman Akuntansi Perbankan Syariah Indonesia
PBB pajak bumi dan bangunan
PBB Persatuan Bangsa-Bangsa
PBI Peraturan Bank Indonesia
PDB produk domestik bruto
PDN Posisi Devisa Neto
Pefindo Pemeringkat Efek Indonesia
PERC Political Economic Risk
PERUM Perusahaan Umum
PHK pemutusan hubungan kerja
PHP Philippines Peso
PIM Perpetual Inventory Method
PIPU Pusat Informasi Pasar Uang
PKPD Perimbangan Keuangan Pusat dan Daerah
PLN Perusahaan Listrik Negara
PLN Pinjaman Luar Negeri
PMA penanaman modal asing
317
Lampiran
PMTDB Pembentukan Modal Tetap Domestik Bruto
PMDN penanaman modal dalam negeri
PNB Pendapatan Nasional Bruto
PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak
PNM Permodalan Nasional Madani
PNS pegawai negeri sipil
Polri Polisi Republik Indonesia
PPAP penyisihan penghapusan aktiva produktif
PPh pajak penghasilan
PPN pajak pertambahan nilai
PPn-BM pajak penjualan barang mewah
PrsFI Promotion of Small Financial Institution
PRGF Poverty Reduction and Growth Facility
PRSP Poverty Reduction Strategy Paper
PRBC Poverty Reduction Support Credit
PSAKS Pernyataan Standar Akuntansi Perbankan Syariah
PTTB pemberian tanda tidak berharga
PUAB pasar uang antar bank
PUKM Pengembangan Usaha Kecil dan Mikro
RBDPO Refired Blenched Deodorized Palm Oil
RCC RTGS Central Computer
REER real effective exchange rate
RKAT Rencana Kerja Anggaran Tahunan
Rp Rupiah
RRC Republik Rakyat China
RTGS Real Time Gross Settlement
RUU Rancangan Undang-Undang
SBA Stand By Arrangement
SBI Sertifikat Bank Indonesia
SD selected default
SDA sumber daya alam
SDM sumber daya manusia
SDR Special Drawing Rights
SE Surat Edaran
SEACEN South East Asia Central Bank
SEANZA South East Asia, New Zealand, and Australia Central Bank
318
Lampiran
SEG SEACEN Expert Group
Sep September
SIABE Sistem Informasi Agroindustri Berorientasi Ekspor
SIB Sistem Informasi Baseline Economic Survey
SIBOR Singapore Interbank Offered Rate
SID Sistem Informasi Debitur
SIKJI Sistem Informasi Kliring Jarak Jauh
SIKPA sisa kurang pembiayaan anggaran
SI-LMUK Sistem Informasi Pola Pembiayaan/Lending Model Usaha Kecil
SIPMK Sistem Informasi Prosedur Memperoleh Kredit
SIPU Sistem Informasi Pengedaran Uang
SI-PUK Sistem Informasi Terpadu Pengembangan Usaha Kecil
SKDU Survei Kegiatan Dunia Usaha
SKEJ Sistem Kliring Elektronik Jakarta
SNA Standardized National Account
SP sangat potensial
SPE survey penjualan eceran
S&P Standard and Poor’s
SPKUI Sistem Peninjau Keputusan untuk Investasi
SPPK Studi Struktur & Perkembangan Pasar Keuangan
SRK Satgas Restrukturisasi Kredit
SSB Surat-Surat Berharga
STB Survei Tendensi Bisnis
STK Survei Tendensi Konsumen
SUP Surat Utang Pemerintah
SWBI Sertifikat Wadiah bank Indonesia
TAMC Thai Asset Management Company
TDL tarif dasar listrik
THB Thailand Baht
TKI Tenaga Kerja Indonesia
TNI Tentara Nasional Indonesia
TPK Terminal Peserta Kliring
TPT Tekstil dan Produk Tekstil
Trw triwulan
UGM Universitas Gajah Mada
UK United Kingdom
319
Lampiran
UKIP Unit Khusus Investigasi Perbankan
UKM usaha kecil dan menengah
UMP upah minimum propinsi
UMR upah minimum regional
UN United Nation
UNDP United National Development Program
US United States
USAID United States Agencies for International Development
USD United States Dollar
UU Undang-Undang
UYD uang yang diedarkan
Valas valuta asing
VR variable rate
WEO World Economic Outlook
WTC World Trade Centre
WTO World Trade Organization
Y o Y year on year