laporan penelitian - repositori.unud.ac.id · kegiatan penelitian, sehingga metode yang digunakan...
TRANSCRIPT
1
LAPORAN PENELITIAN
NASKAH AKADEMIK RANCANGAN
PERATURAN DAERAH KABUPATEN BADUNG
TENTANG RENCANA INDUK PEMBANGUNAN
KEPARIWISATAAN DAERAH
TAHUN 2015-2030
2
TIM PENELITI
1. Prof. Dr. I Gusti Ngurah Wairocana, SH.MH
2. I Ketut Sudiarta, SH.MH
3
KATA PENGANTAR
Setiap daerah mempunyai hak dan kewajiban mengatur dan
mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk meningkatkan efisiensi
dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan kepada
masyarakat demikian amant Pasal 18 ayat 6 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.
Lebih lanjut dalam Undang-undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang
Kepariwisataan mewajibkan bagi kabupaten atau kota yang menyusun
Rencana Induk Pembangunan kepariwisataan diatur dalam bentuk
Peraturan daerah, diperlukan pula argumentasi tentang (urgensi)
membentuk Peraturan Daerah tersebut, yang secara garis besar meliputi
argumentasi filosofis, sosiologis, dan yuridis.
Dalam kerangka inilah perlu disusun Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwsataan Daerah Tahun 2015 - 2030.
Tim Peneliti
4
DAFTAR ISI
Kata Pengantar ………………………………………………………………. 2 Daftar Isi ……………………………………………………………………….. 3
Daftar Tabel…………………………………………………………………….. 5
Daftar Matrik…………………………………………………………………… 5
BAB I PENDAHULUAN ........................................................... 6
1.1 Latar Belakang Masalah ............................................... 6
1.2 Identifikasi Masalah ..................................................... 7 1.3 Tujuan dan Kegunaan Penyusunan Naskah Akademis 8
1.4 Metode ....................................................................... 9
a. Pendekatan ............................................................. 9 b. Sumber Bahan Hukum ........................................... 11
c. Pengumpulan Bahan Hukum .................................. 13
d. Analisis .................................................................. 13
BAB II KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS .............. 14
2.1 Kajian Teoritik Tentang Kepariwisataan ....................... 14 2.2 Kajian terhadap Asas/Prinsip yang terkait dengan
Penyusunan Norma Hukum Kepariwisataan ................
16
2.3 Kajian terhadap Praktik Penyelenggara, Kondisi Yang
ada, Serta Permasalahan yang dihadapi Masyarakat ....
19 2.4 Kajian terhadap implikasi penerapan Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan yang akan diatur dalam
peraturan daerah terhadap aspek ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan.. .............................................
31
BAB III EVALUASI DAN ANALISIS PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT ...........................
39
3.1 Kajian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang
Memuat Kondisi Hukum yang ada ...............................
39 3.2. Kajian Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Badung
yang memuat kondisi hukum yang ada terkait dengan
Kepariwisataan ............................................................
64
BAB IV LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS 72
4.1 Landasan Filosofis ....................................................... 72
4.2 Landasan Sosiologis .................................................... 73
4.3 Landasan Yuridis ......................................................... 75
5
BAB V JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG
LINGKUP MATERI MUATAN PERATURAN DAERAH
76
5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan.....................................
76
5.2. Ruang Lingkup Materi dan Jangkauan Pengaturan
Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan. ..........
77
BAB VI PENUTUP ..................................................................... 86
6.1 Kesimpulan .................................................................. 86
6.2 Saran ........................................................................... 86
DAFTAR PUSTAKA ...................................................................... 87
LAMPIRAN
Konsep Awal Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Bandung
Tentang Rencana Induk Pembangunan Pariwisata (RIPARDA)
Kabupaten Badung……………………………………………………………..
87
6
DAFTAR TABEL
No Nama Tabel hal
1 Tabel 2.1 Kawasan Pariwisata di Kabupaten Badung Tahun
2009
20
2 Tabel 2.2 Daftar DTW, Jenis Wisata, dan Lokasi Per Kecamatan di Kabupaten Badung
21
3 Tabel 2.3 Daftar DTW yang berpotensi untuk dikembangkan
di Kabupaten Badung
22 4 Tabel 2.4 Jumlah Usaha Akomodasi di Kabupaten Badung
Tahun 2005-2011
23
5 Tabel 2.5 Perkembangan Jumlah Restoran, Rumah Makan, Bar, dan Catering di Kabupaten Badung Tahun
2006-2011
24
6 Tabel 2.6 Daftar Biro Perjalanan Wisata dan Cabang di Kabupaten Badung Tahun 2011
25
7 Tabel 2.7 Daftar Konsultan Pariwisata di Kabupaten Badung
Tahun 2011
28
8 Tabel 2.8 Data Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Kabupaten Badung
28
9 Tabel 2.9 Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Kab.
Badung Tahun 2007-2011
29 10 Tabel 2.10 Pengeluaran Wisatawan Mancanegara Tahun 2010 30
11 Tabel 2.11 Pengeluaran Wisatawan Nusantara Tahun 2010 30
DAFTAR MATRIK
No Nama Matrik Hal
1 Peraturan Perundang-Undangan dan Rumusan Norma Yang Berkaitan Dengan Kewenangan Kabupaten Bidang
Kepariwisataan.........................................................................
39
2 Peraturan Daerah Kabupaten Badung Yang memuat Kondisi
Hukum Yang Ada terkait dengan Kepariwisataan ...................
65
7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang Masalah
Secara filosofis Naskah Akademik Rancangan Peraturan Daerah
Kabupaten Badung dilandasi oleh pemikiran bahwa pembangunan nasional
adalah untuk memajukan kesejahteraan umum sebagaimana dimuat di
dalam Undang-Undang Dasar 1945, pada hakekatnya adalah pembangunan
manusia Indonesia seutuhnya dan pembangunan seluruh masyarakat
Indonesia yang menekankan pada keseimbangan pembangunan,
kemakmuran lahiriah dan kepuasan batiniah, dalam suatu masyarakat
Indonesia yang maju dan berkeadilan sosial berdasarkan Pancasila.
Secara filosofis, pembangunan kepariwisataan memerlukan
perencanaan induk, yang mempunyai peranan yang sangat strategis dalam
menjamin keberlanjutan penyelenggaraan kepariwisataan. Untuk itu maka
penyelenggaraan kepariwisataan perlu diatur dan dibina demi
kelangsungan dan peningkatan kehidupan serta penghidupan masyarakat,
sekaligus untuk mewujudkan pengelolaan kepariwisataan yang serasi,
selaras dan seimbang. Melalui penetapan rencana induk pembangunan
kepariwisataan (RIPPARDA) diharapkan dapat menopang dan menunjang
tujuan pembangunan di Kabupaten Badung yang berlandaskan prinsip Tri
Hita Karana.
Dari aspek sosiologis, paradigma pembangunan kepariwisataan yang
bertumpu semata mata pada aspek ekonomis sudah saatnya ditinggalkan
dan diganti dengan paradigm baru pembangunan kepariswisataan yang
berbasis pada keserasian antara manfaat ekonomi dengan keseimbangan
lingkungan, sosial dan budaya. Paradigma baru memandang
kepariwisataan sebagai salah satu sumber daya yang mempunyai nilai
ekonomi dengan tidak mengorbankan aspek lingkungan yang bersifat
eksploitatif. Pembangunan kepariwisataan dilakukan dengan pendekatan
yang konprehensif dari hulu, sejak sebelum pembangunan tersebut
berpotensi memunculkan dampak negatif, sampai kehilir, yaitu pada fase
kepariwisataan tersebut sudah berkembang dan dirasakan manfaatnya oleh
masyarakat maupun pemerintah. Pembangunan kepariwisataan dengan
paradigma baru tersebut dilakukan melalui kegiatan penyusunan rencana
induk dan penetapan rencana induk tersebut menjadi peraturan daerah.
Penetapan peraturan daerah tentang rencana induk pembangunan
kepariwisataan akan memperkuat paradigma baru pembangunan
kepariwisataan yang sejalan dengan konsep pembangunan berlandaskan
Tri Hita Karana.
8
Dari aspek yuridis Pemerintah Kabupaten Badung sampai akhir
tahun 2014 memiliki beberapa ketentuan regulasi terkait dengan
keperiwisataan, namun belum memiliki Peraturan Daerah tentang Rencana
Induk Pengembangan Pembangunan Kepariwisataan.
Dengan latar belakang pemikiran secara filosofis, sosiologis, dan
yuridis tersebut di atas, maka penyusunan Naskah Akademik Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Pembangunan
Kepariwisataan dipandang perlu guna mendapatkan kajian yang mendalam
dan konprehensif baik secara teoritik maupun pemikiran ilmiah dalam
merumuskan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang
Pembangunan Kepariwisataan.
1.2.Identifikasi Masalah
Kajian hukum perundang-undangan atau kajian terhadap suatu
pengaturan menyangkut dua isu pokok, yakni penormaan materi muatan
dan prosedur pembentukan. Kajian ini focus pada upaya penyusunan
naskah akademik rancangan peraturan daerah, oleh karena itu berada
pada isu penormaan materi muatan atau perumusan materi muatan
sebagai suatu aturan yang mengandung norma hukum.
Isu perumusan aturan melingkupi beberapa sub isu yakni : a)
landasan, b) asas-asas dalam pengaturan, c) batas-batas kewenangan
pengaturan dan d) ruang lingkup materi muatan pengaturan.
Dikaitkan dengan isu pembangunan kepariwisataan di Kabupaten Badung,
maka kajian ini dapat diidentifikasi permasalahannya sebagai berikut:
1. Destinasi :
a. Ketimpangan pembangunan antar wilayah Badung bagian Utara,
Tengah, dan Selatan.
b. Pelanggaran atas kawasan suci, sempadan jurang, dan sempadan
pantai.
c. Pelanggaran tata ruang wilayah.
d. Pengelolaan limbah yang belum mengikuti standar baku
pengelolaan.
e. Kemacetan lalu lintas, terutama di wilayah Badung bagian selatan.
f. Terbatasnya sumber daya air permukaan dan penggunaan sumber
daya tanah yang tidak terkendali.
g. Alih fungsi lahan pertanian menjadi fasilitas penunjang pariwisata.
h. Kebersihan lingkungan daya tarik yang tidak terjaga.
i. Bangunan gedung usaha pariwisata mengabaikan langgam
arsitektur tradisional Bali.
9
j. Rendahnya pemahaman dan interpretasi daya tarik wisata (DTW).
k. Aksessibiltas menuju ke beberapa DTW masih minim.
l. Kemacetan lalu lintas di wilayah Badung Utara sebagai akibat
adanya pasar tumpah.
m. Alternative moda transportasi (angkutan laut) untuk mengatasi
kemacetan lalu lintas sekaligus sebagai atraksi wisata.
n. Rawan bencana seperti : tsunami, banjir dan longsor.
2. Industri Pariwisata
a. Ketersediaan akomodasi wisata yang melebihi kapasitas terutama
di wilayah Badung Selatan.
b. Masifnya perkembangan akomodasi (villa illegal).
c. Peningkatan SDM pariwisata yang berbasis masyarakat masih
sangat rendah.
d. Hygine sanitasi belum diterapkan secara optimal.
e. Kurang tertatanya lay-out bangunan restoran.
f. Persaingan usaha yang kurang sehat.
3. Pemasaran
a. Belum optimalnya pemasaran pariwisata yang berbasis IT.
b. Citra pariwisata kurang baik.
c. Keterpaduan antara stackholders pariwisata dalam pemasaran
belum optimal.
d. Pengembangan pasar untuk agrowisata, ekowisata dan desa wisata
belum berjalan dengan baik.
e. Peningkatan kualitas pariwisata melalui peningkatan lama tinggal
(length of stay) dan daya beli (spending power) wisatawan.
4. Kelembagaan
a. Pengolalaan dan penataan DTW belum optimal.
b. Desa wisata yang telah ditetapkan belum berkembang secara
optimal.
1.3.Tujuan dan Kegunaan Kegiatan Penyusunan Naskah Akademik
Sesuai dengan ruang lingkup identifikasi masalah yang diungkapkan
diatas, tujuan dan kegunaan penyusunan naskah akademik dirumuskan
sebagai berikut:
1. Tujuan penyusunan naskah akademik ini yakni :
a. Untuk merumuskan landasan ilmiah penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten Badung tentang
pembangunan kepariwisataan.
10
b. Untuk merumuskan arah dan cakupan ruang lingkup materi bagi
penyusunan Rancangan Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten
Badung tentang pembangunan kepariwisataan.
2. Kegunaan penyusuanan naskah akademik ini, yakni :
a. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna sebagai masukan bagi
pembuat Rancangan Peraturan Daerah Pemerintah Kabupaten
Badung tentang pembangunan kepariwisataan.
b. Hasil kajian hukum ini diharapkan berguna bagi pihak-pihak yang
berkepentingan dalam pembuatan Peraturan Daerah Pemerintah
Kabupaten Badung tentang pembagunan kepariwisataan.
1.4.Metode
Penyusunan naskah akademik pada dasarnya merupakan suatu
kegiatan penelitian, sehingga metode yang digunakan dalam penyusunan
naskah akademik yakni penelitian hukum yang berbasiskan metode
penelitian hukum. Penelitian hukum dapat dilakukan melalui metode
yuridis normatif dan metode yuridis empiris.
Dalam penyusunan akademik ini dilakukan penelitian hukum dengan
metode yuridis normatif dengan melakukan studi pustaka yang menelaah
(terutama bahan hukum primer yang berupa Peraturan Perundang-
undangan dan dokumen hukum lainnya). Dalam penelitian ini juga
dilakukan wawancara, untuk verifikasi bahan hukum primer dan diskusi
(focus group discussion), dan rapat dengar pendapat. Berdasarkan metode
penelitian hukum di atas, langkah-langkah yang dilakukan dalam
penelitian ini antara lain:
a. Pendekatan
Penelitian hukum mengenal beberapa metode pendekatan, yaitu
pendekatan perundang-undangan (statute approach), pendekatan konsep
(conseptual approach), pendekatan analitis (analytical approach),
pendekatan perbandingan (comparative approach), pendekatan historis
(historical approach), pendekatan filsafat (philosophical approach) dan
pendekatan kasus (case approach)1
Pendekatan yang digunakan dalam penyusunan naskah akademik
ranperda ini adalah pendekatan perundang-undangan ( statute approach),
pendekatan konsep (conseptual approach), pendekatan analitis (analytical
approach) dan pendekatan filsafat (philosophical approach).
Pendekatan perundang-undangan (statute approach), dilakukan
dengan menelaah peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan
pembangunan kepariwisatan antara lain:
11
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5587), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5657).
b. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
c. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ( Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2007 Nomor 84 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4739).
d. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966).
e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059).
f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).
g. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional.(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4833).
h. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana
Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4562).
i. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014 Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011
Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar,
Badung, Gianyar, Dan Tabanan.(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 121)
12
j. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang
Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.(Lembaran Daerah
Provinsi Bali Tahun 2005 Nomor 5).
k. Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 26 Tahun 2013 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung.(Lembaran
Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 26, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 25).
Pendekatan konsep hukum (conceptual approach) dilakukan dengan
menelaah konsep-konsep para ahli mengenai kepariwisataan, pengelolaan
pariwisata dan konsep-konsep lain yang terkait. Pendekatan analitis
(analytical approach) adalah suatu pendekatan yang dilakukan dengan
menguraikan aturan hukum yang terkait dengan pembangunan
kepariwsataan sehingga mendapatkan komponen-komponen pengelolaan
pariwisata atau unsur-unsurnya untuk dapat ditetapkan dalam suatu
persoalan tertentu. Pendekatan filsafat (philosophical approach) adalah
pendekatan yang dilakukan dengan menelaah asas-asas yang terkandung
dan/atau melandasi kaidah hukum kepariwisataan.
b. Sumber Bahan Hukum.
Sumber bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer
dan hukum bahan hukum sekunder2. Bahan hukum primer adalah segala
dokumen resmi yang memuat ketentuan hukum, dalam hal ini, bahan
hukum primer yang dipergunakan dalam penyusunan naskah akademik ini
terdiri atas:
a. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor
244, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
5587), sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 2
Tahun 2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan
Daerah Menjadi Undang-Undang (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 24, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5657).
b. Undang-Undang No. 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang (
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 68
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4725).
c. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil ( Lembaran Negara Republik
13
Indonesia Tahun 2007 Nomor 84 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 4739).
d. Undang Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 11
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4966).
e. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan Dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup.(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2009 Nomor 140 Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor 5059).
f. Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2007 tentang Pembagian
Urusan Pemerintahan antara Pemerintah, Pemerintah Daerah
Provinsi dan Pemerintah Daerah Kabupaten/Kota (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4737).
g. Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 tentang Rencana Tata
Ruang Wilayah Nasional.(Lembaran Negara Republik Indonesia
Tahun 2008 Nomor 48, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor 4833).
h. Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011 tentang Rencana
Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun 2010-2025
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4562).
i. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 51 Tahun 2014
Tentang Perubahan atas Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun 2011
Tentang Rencana Tata Ruang Kawasan Perkotaan Denpasar,
Badung, Gianyar, Dan Tabanan.(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2014 Nomor 121)
j. Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 5 Tahun 2005 tentang
Persyaratan Arsitektur Bangunan Gedung.(Lembaran Daerah
Provinsi Bali Tahun 2005 Nomor 5).
k. Peraturan Daerah Kabupaten Badung No. 26 Tahun 2013 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Badung.(Lembaran
Daerah Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor 26, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Badung Nomor 25).
Bahan hukum sekunder adalah dokumen atau bahan hukum yang
memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperi hasil
penelitian atau karya tulis para ahli hukum yang memiliki relevansi dengan
penelitian ini.
Bahan hukum informatif berupa informasi dari lembaga atau pejabat,
baik dari lingkungan Pemerintah Kabupaten Badung maupun para pihak
14
yang membidangi tentang kepariwisataan. Bahan ini digunakan sebagai
penunjang dan untuk mengkonfirmasi bahan hukum primer dan sekunder.
c. Pengumpulan Bahan Hukum
Metode pengumpulan bahan hukum dilakukan dengan cara:
a. Studi dokumenter dan kepustakaan untuk bahan hukum primer
dan bahan hukum sekunder.
b. Untuk bahan informatif dilakukan dengan studi lapangan yaitu
wawancara dan FGD (focus group discussion).
d. Analisis
Terhadap bahan-bahan hukum yang terkumpul dilakukan
interpretasi secara hermeneutikal yaitu Berdasarkan pemahaman tata
bahasa (gramatikal) yakni Berdasarkan makna kata dalam konteks
kalimatnya, aturan hukum dipahami dalam konteks latar belakang sejarah
pembentukannya (historikal) dalam kaitannya dengan tujuan yang ingin
diwujudkannya (teleologikal) yang menentukan isi hukum positif itu (untuk
menemukan ratio legis-nya) serta dalam konteks hubungannya dengan
aturan hukum positif yang lainnya (sistimatikal) dan secara kontekstual
merujuk pada faktor-faktor kenyataan kemasyarakatan dan kenyataan
ekonomi (sosiologikal) dengan mengacu pandangan hidup serta nilai-nilai
cultural dan kemanusiaan fundamental (philosophical) dalam proyeksi ke
masa depan (futurelogikal)3 .
15
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN PRAKTIK EMPIRIS
2.1.Kajian Teoritik Tentang Kepariwisataan
Menurut Undang-Undang No. 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan
Bab I Pasal 1 dinyatakan bahwa Kepariwisataan adalah keseluruhan
kegiatan yang terkait dengan pariwisata dan bersifat multidimensi serta
multidisiplin yang muncul sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan
negara serta interaksi antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesame
wisatawan, Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan pengusaha.
Pembangunan adalah suatu proses perubahan kearah yang lebih baik
yang di dalamnya meliputi upaya-upaya perencanaan, implementasi dan
pengendalian,dalam rangka penciptaan nilai tambah sesuai yang
dikehendaki. Pembangunan kepariwisataan diwujudkan melalui
pelaksanaan rencana pembangunan kepariwisataan dengan
memperhatikan keaneka ragaman, keunikan, dan kekhasan budaya dan
alam, serta kebutuhan manusia untuk berwisata. Pembangunan
kepariwisataan nasional meliputi:
a. Destinasi Pariwisata;
b. Pemasaran Pariwisata;
c. Industri Pariwisata; dan
d. Kelembagaan Kepariwisataan.
Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam satu
atau lebih wilayah administrative yang di dalamnya terdapat Daya Tarik
Wisata, Fasilitas Umum, Fasilitas Pariwisata, aksesibilitas,serta masyarakat
yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya Kepariwisataan. Daya Tarik
Wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai
yang berupa keaneka ragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan
manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan.
Aksesibilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana dan prasarana
transportasi yang mendukung pergerakan wisatawan dari wilayah asal
wisatawan ke Destinasi Pariwisata maupun pergerakan di dalam wilayah
Destinasi Pariwisata dalam kaitan dengan motivasi kunjungan wisata.
Prasarana Umum adalah kelengkapan dasar fisik suatu lingkungan yang
pengadaannya memungkinkan suatu lingkungan dapat beroperasi dan
berfungsi sebagaimana semestinya. Fasilitas Umum adalah sarana
pelayanan dasar fisik suatu lingkungan yang diperuntukkan bagi
masyarakat umum dalam melakukan aktifitas kehidupan keseharian.
Fasilitas Pariwisata adalah semua jenis sarana yang secara khusus
16
ditujukan untuk mendukung penciptaan kemudahan, kenyamanan,
keselamatan wisatawan dalam melakukan kunjungan ke Destinasi
Pariwisata.
Pemasaran Pariwisata adalah serangkaian proses untuk menciptakan,
mengkomunikasikan,menyampaikan produk wisata dan mengelola relasi
dengan wisatawan untuk mengembangkan Kepariwisataan dan seluruh
pemangku kepentingannya. Industri Pariwisata adalah kumpulan Usaha
Pariwisata yang saling terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau
jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan
pariwisata.Kelembagaan Kepariwisataan adalah kesatuan unsur beserta
jaringannya yang dikembangkan secara terorganisasi, meliputi Pemerintah,
Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat, sumber daya manusia,
regulasi dan mekanisme operasional, yang secara berkesinambungan guna
menghasilkan perubahan ke arah pencapaian tujuan di bidang
Kepariwisataan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Undang-Undang No. 10
Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan pasal 8 menyebutkan bahwa
Pembangunan kepariwisataan dilakukan berdasarkan rencana induk
pembangunan kepariwisataan yang terdiri atas rencana induk
pembangunan kepariwisataan nasional, rencana induk pembangunan
kepariwisataan provinsi, dan rencana induk pembangunan kepariwisataan
kabupaten/kota. Rencana induk pembangunan kepariwisataan
kabupaten/kota diatur dengan Peraturan Daerah kabupaten/kota.
Penyusunan rencana induk pembangunan kepariwisataan dilakukan
dengan melibatkan pemangku kepentingan. Rencana induk pembangunan
kepariwisataan sebagaimana dimaksud pada ayat (4) meliputi perencanaan
pembangunan industri pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran, dan
kelembagaan kepariwisataan.
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011
Tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional Tahun
2010-2025 menyebutkan Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan
Nasional yang selanjutnya disebut dengan RIPPARNAS adalah dokumen
perencanaan pembangunan kepariwisataan nasional untuk periode15 (lima
belas) tahun terhitung sejak tahun 2010 sampai dengan tahun 2025.
RIPPARNAS menjadi pedoman penyusunan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Provinsi. RIPPARNAS dan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan Provinsi menjadi pedoman penyusunan Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Kabupaten/Kota. Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Daerah Kabupaten yang selanjutnya disebut
dengan RIPPARDA Kabupaten adalah dokumen perencanaan pembangunan
kepariwisataan daerah untuk periode 10 (lima belas) tahun terhitung sejak
tahun 2015 sampai dengan tahun 2025.
17
2.2. Kajian terhadap Asas/Prinsip yang terkait dengan Penyusunan
Norma Hukum Kepariwisataan.
Asas pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik, yang
secara teoritik meliputi Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
yang baik yang bersifat formal dan Asas Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yang baik yang bersifat materiil. Asas pembentukan
perundang-undangan yang baik dan bersifat formal dituangkan dalam
Pasal 5 UU Nomor 12 Tahun 2011 (khususnya dalam pembentukan
Peraturan Daerah, asas-asas tersebut diatur pula dalam pasal 137 Undang-
Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah (selanjutnya
disebut UU Pemda), “Perda dibentuk berdasarkan pada asas pembentukan
peraturan perundang-undangan” yang meliputi :
1. Kejelasan tujuan;
2. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
3. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
4. Dapat dilaksanakan;
5. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
6. Kejelasan rumusan; dan
7. Keterbukaan.
Sedangkan asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik diatur dalam Pasal 6 ayat (1) dan ayat (2) UU No 12
Tahun 2011 (khususnya berkenaan dengan peraturan daerah diatur dalam
Pasal 138 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda), yakni materi muatan Peraturan
Perundang-undangan mengandung asas:
1. Pengayoman;
2. Kemanusiaan;
3. Kebangsaan;
4. Kekeluargaan;
5. Kenusantaraan;
6. Bhineka tunggal ika;
7. Keadilan;
8. Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
9. Ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
10. Keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.
Selain asas tersebut, Peraturan Perundang-undangan tertentu dapat
berisi asas lain sesuai dengan bidang hukum Peraturan Perundang-
undangan yang bersangkutan. Mengenai asas-asas materiil yang lain sesuai
dengan bidang hukum Peraturan Perundang-undangan tertentu dijelaskan
dalam Penjelasan Pasal 6 ayat (2) UU Nomor 12 Tahun 2011, yang
dimaksud dengan asas sesuai dengan bidang hukum masing-masing antara
lain:
18
a. Dalam Hukum Pidana misalnya asas legalitas, asas tiada hukuman
tanpa kesalahan, asas pembinaan narapidana, dan asas praduga tak
bersalah.
b. Dalam Hukum Perdata misalnya dalam hukum perjanjian antara lain
asas kesepakatan, asas kebebasan berkontrak, dan asas itikad baik.
Relevansi asas-asas formal pembentukan perundang-undangan yang
baik dengan pengaturan penyelenggaraan pembangunan kepariwisataandi
Kabupaten Badung dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, kejelasan tujuan. Pengaturan Pembanguanan
Kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten Badung bertujuan:
1) meningkatkan kualitas dan kuantitas Destinasi Pariwisata;
2) mengkomunikasikan Destinasi Pariwisata Indonesia dengan
menggunakan media pemasaran secara efektif, efisien dan
bertanggung jawab
3) mewujudkan Industri Pariwisata yang mampu menggerakkan
perekonomian nasional; danmengembangkan Kelembagaaan
Kepariwisataan dan tata kelola pariwisata yang mampu
1) mensinergikan Pembangunan Destinasi Pariwisata, Pemasaran
Pariwisata, dan Industri Pariwisata secara profesional, efektif dan
efisien
2) Ketegasan mengenai larangan dalam pembangunan
kepariwisataan
3) Ketertiban dalam penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan;
4) Kejelasan tugas, wewenang, dan tanggung jawab instansi terkait di
Pemerintah Daerah Kabupaten Badung dalam pembangunan
kepariwisataan.
Kedua, kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat. Contoh:
Pengaturan Pembangunan Kepariwisataan dengan Peraturan Daerah
dilakukan Bupati Badung dengan persetujuan bersama DPRD Kabupaten
Badung. Rangcangan dapat berasal dari Bupati atau dari DPRD Kabupaten
Badung, dalam konteks ini Rancangan Perda tentang Pembangunan
Kepariwisataan Daerah ini merupakan inisiatif Bupati Kabupaten Badung.
Ketiga, kesesuaian antara jenis dan materi muatan.Pengaturan
pembanguanan kepariwisataan dapat dengan Peraturan Daerah.Adapun
materi pokok yang diatur dengan Peraturan Daerah mengacu pada
peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pembanguanan
kepariwisataan, seperti kajian dalam bab-bab berikutnya dalam kajian
naskah akademis ini.
Keempat, dapat dilaksanakan. Agar asas ini dapat diwujudkan dengan
dibentuknya peraturan daerah tentang pembangunan kepariwisataan
daerah, harus memperhatikan beberapa aspek: (1) filosofi, yakni ada
jaminan keadilan dalam penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di
19
Kabupaten Badung; (2) yuridis, ada jaminan kepastian hukum dalam
penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten
Badung, termasuk substansinya tidak boleh bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan (3) sosiologis,
penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten
Badung memang dapat memberikan manfaat, baik bagi pemerintah daerah
maupun bagi masyarakat, termasuk substansinya tidak bertentangan
dengan kepentingan umum.
Kelima, kedayagunaan dan kehasilgunaan.Asas ini dapat diwujudkan
sepanjang penyelenggaraan pembangunan kepariwisataan di Pemerintah
Kabupaten Badung memang benar-benar dibutuhkan dan bermanfaat
dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.
Keenam, kejelasan rumusan.Asas ini dapat terwujud dengan
pembentukan Peraturan daerah tentang penyelenggaraan pembangunan
kepariwisataan di Pemerintah Kabupaten Badung, sesuai persyaratan
teknik penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika dan
pilihan kata atau terminologi, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah
dimengerti, sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi
dalam pelaksanaannya.Singkatnya, rumusan aturan hukum dalam
Peraturan daerah tentang pembangunan kepariwisataan menjamin
kepastian.
Ketujuh, keterbukaan.Proses pembentukan Peraturan Daerah ini
harus menjamin partisipasi masyarakat, dalam artian masyarakat dijamin
haknya untuk memberikan masukan, baik tertulis maupun lisan, serta
kewajiban Pemerintah Daerah untuk menjamin masukan tersebut telah
dipertimbangkan relevansinya. Untuk terselenggaranya partisipasi
masyarakat itu, maka terlebih dahulu Pemerintah Daerah memberikan
informasi tentang proses pembentukan Peraturan daerah tentang
pembangunan kepariwisataan ini.
Relevansi asas-asas materiil pembentukan peraturan perundang-
undangan yang baik dengan pengaturan pembangunan kepariwisataan
dapat diuraikan sebagai berikut:
Pertama, keadilan.Peraturan Daerah tentang pembangunan
kepariwisataan harus mencerminkan keadilan secara proposional bagi
setiap warga masyarakat tanpa kecuali.Tuntutan keadilan mempunyai dua
arti, dalam arti formal keadilan menuntut bahwa hukum berlaku
umum.Dalam arti materiil dituntut agar hukum sesuai dengan cita-cita
keadilan dalam masyarakat. Demikian pula dalam penyusunan norma
hukum pembangunan kepariwisataan dimaksudkan untuk berlaku umum.
Agar mendapatkan rumusan norma hukum tentang pembangunan
kepariwisataan sesuai dengan aspirasi keadilan yang berkembang dalam
masyarakat, maka harus diadakan konsultasi publik.
20
Kedua, kesamaan kedudukan dalam hukum dan
pemerintahan.Berdasarkan asas ini materi muatan peraturan daerah
tentang pembangunan kepariwisataan tidak berisi ketentuan-ketentuan
yang bersifat membedakan berdasarkan latar belakang antara lain agama,
suku, ras, golongan, gender, atau status sosial. Inti dari kesamaan adalah
keadilan, yang menjamin perlakuan yang sama, sesuai hak dan
kewajibannya.
Ketiga, ketertiban dan kepastian hukum.Agar peraturan daerah
tentang pembangunan kepariwisataan dapat menimbulkan ketertiban
dalam masyarakat melalui jaminan adanya kepastian hukum.Jaminan
kepastian hukum mempunyai dua arti.Pertama, kepastian hukum dalam
arti kepastian pelaksanaannya, yakni bahwa hukum yang diundangkan
dilaksanakan dengan pasti oleh negara.Kedua, kepastian hukum dalam arti
kepastian orientasi, yakni hukum harus sedemikian jelas sehingga
masyarakat dan pemerintah serta hakim dapat berpedoman
padanya.Masing-masing pihak dapat mengetahui tentang hak dan
kewajibannya.Dalam konteks ini, yang dimaksud dengan kepastian hukum
adalah kepastian hukum dalam arti kepastian orientasi. Ini berarti norma
hukum pembangunan kepariwisataan harus sedemikian jelas sehingga
masyarakat dan pemerintah daerah serta hakim dapat berpedoman
padanya, terutama masyarakat dapat dengan jelas mengetahui hak dan
kewajiban dalam kaitannya dengan pembangunan kepariwisataan,
termasuk norma hukum tentang sanksi atas pelanggarannya tidak boleh
berlaku surut.
Keempat, keseimbangan, keserasian, dan keselarasan. Dalam
konteks penyusunan norma hukum pembangunan kepariwisataan harus
ada keseimbangan beban dan manfaat, atau kewajiban dengan hak yang
didapatkannya. Juga harus ada keseimbangan antara sanksi antara
aparatur dan masyarakat ketika melakukan kelalaian atau pelanggaran.
2.3. Kajian Terhadap Praktik Penyelenggaraan, Kondisi Yang ada Serta Permasalahan yang Dihadapi Masyarakat.
Kajian terhadap praktik penyelenggaraan, kondisi yang ada serta permasalahan yang dihadapi masyarakat berkaitan dengan kepariwisataan
di Kabupaten Badung diuraikan dalam beberapa aspek dibawah ini.
1. Destinasi Pariwisata
Destinasi pariwisata yang terdapat di Kabupaten Badung meliputi daya
tarik wisata (DTW) dan kawasan pariwisata. Sebanyak 33 DTW tersebar di
semua kecamatan, dan umumnya berupa wisata alam, wisata budaya, dan
21
wisata buatan. Seluruh DTW tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan
Bupati Badung Nomor 7 Tahun 2005, tanggal 7 Februari 2005 tentang
Daya Tarik Wisata di Kabupaten Badung. Daerah Badung Selatan memiliki
potensi wisata alam, sebagian besarnya berupa wisata pantai, taman
bakau, dan pelestarian penyu. Sedangkan wisata budayanya berupa Pura
dan desa tradisional, dan wisata buatan berupa Monumen GWK dan
Tempat Rekreasi Water Boom Park and Spa.
Wilayah-wilayah yang dijadikan sebagai kawasan pariwisata di
Kabupaten Badung meliputi 3 (tiga) kawasan, yaitu Nusa Dua, Kuta, dan
Tuban. Ketiga kawasan tersebut ditetapkan berdasarkan Peraturan Daerah
Provinsi Daerah No. 16 Tahun 2009, Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Provinsi Bali.
Selengkapnya ditampilkan pada Tabel 2.1 yang memaparkan Kawasan
Pariwisata, dan Tabel 2.2 yang memaparkan DTW di Kabupaten Badung,
serta Tabel 2.3 yang memaparkan DTW yang berpotensi untuk
dikembangkan.
Tabel 2.1.
Kawasan Pariwisata di Kabupaten Badung Tahun 2009
No Nama
Kawasan Desa/Kel Kecamatan Batas Fisik
1. Nusa Dua Benoa
Jimbaran
Unggasan Pecatu
Kuta
Selatan
Kuta Selatan
Kuta
Selatan Kuta
Selatan
Utara: Batas selatan
Bandara Ngurah Rai ;
Timur: Pantai Timur Kel (Tuban, Jimbaran dan
Benoa) ;
Selatan: Pantai Selatan Kel (Benoa, Ungasan, Pecatu) ;
Barat: Pantai Barat Desa
(Pecatu, Jimbaran dan Tuban).
2. Kuta Kuta
Kerobokan
Canggu
Kuta
Kuta Utara
Kuta Utara
Utara: Batas utara kel./desa
(Canggu dan Kerobokan) ;
Timur: Batas Timur Kel. (Kerobokan dan Kuta) ;
Selatan: Batas selatan Kel.
Kuta ; Barat: Pantai Barat
Kel/desa (Kerobokan dan
Kuta).
3. Tuban Tuban Kuta Utara: Jalan Bakungsari,
Mertasari dan Tujungmekar-
By Pass ;
Timur: By pass Ngurah Rai ;
22
Selatan: Batas utara
Bandara Udara Ngurah Rai ;
Barat: Pantai Barat Kel. Kuta dan Tuban.
Sumber : Perda Provinsi Bali Nomor 16/2009 tentang RTRW Provinsi Bali
Tabel 2.2
Daftar DTW, Jenis Wisata, dan Lokasi Per Kecamatan
di Kabupaten Badung
No. Nama DTW Jenis Wisata Lokasi
Desa/Kel. Kecamatan
1. Kawasan Luar Pura Uluwatu
Wisata
Budaya Pecatu
Kuta
Selatan
2. Pantai Nyang-Nyang Wisata Alam Pecatu
Kuta
Selatan
3. Pantai Padang-Padang Wisata Alam Pecatu
Kuta Selatan
4. Pantai Labuan Sait Wisata Alam Pecatu
Kuta
Selatan
5. Pantai Suluban Wisata Alam Pecatu
Kuta Selatan
6. Pantai Batu Pageh Wisata Alam Unggasan
Kuta
Selatan
7. Pantai Samuh Wisata Alam Benoa
Kuta
Selatan
8. Pantai Geger Sawangan Wisata Alam Benoa
Kuta Selatan
9. Pantai Nusa Dua Wisata Alam Benoa
Kuta
Selatan
10. Pantai Tanjung Benoa Wisata Alam
Tanjung Benoa
Kuta Selatan
11. Pelestarian Penyu di
Deluang Sari Wisata Alam
Tanjung
Benoa
Kuta
Selatan
12.
Taman Rekreasi Hutan
Bakau Wisata Alam
Tanjung
Benoa
Kuta
Selatan
13. Pantai Jimbaran Wisata Alam Jimbaran
Kuta
Selatan
14.
Garuda Wisnu Kencana
(GWK)
Wisata
Budaya Jimbaran
Kuta
Selatan
15. Pantai Kedonganan Wisata Alam Tuban Kuta
16. Pantai Kuta Wisata Alam Kuta Kuta
17. Waterboom
Wisata
Buatan Kuta Kuta
18. Pantai Legian Wisata Alam Legian Kuta
19. Monumen Tragedi Wisata Kuta Kuta
23
No. Nama DTW Jenis Wisata Lokasi
Desa/Kel. Kecamatan
Kemanusiaan Budaya
20. Pantai Peti Tenget Wisata Alam Kerobokan Kuta Utara
21. Pantai Berawa Wisata Alam Tibubeneng Kuta Utara
22. Pantai Canggu Wisata Alam Canggu Kuta Utara
23. Pantai Seseh Wisata Alam Munggu Mengwi
24. Pura Sadha Kapal
Wisata Budaya
Kapal Mengwi
25.
Kawasan Luar Pura Taman
Ayun
Wisata
Budaya Mengwi Mengwi
26.
Kawasan Pura Keraban
Langit
Wisata
Budaya Sading Mengwi
27. Desa Wisata Baha Wisata Alam Baha Mengwi
28. Bumi Perkemahan Blahkiuh
Wisata
Remaja Blahkiuh Abiansemal
29. Alas Pala Sangeh Wisata Alam Sangeh Abiansemal
30. Tanah Wuk Wisata Alam Sangeh Abiansemal
31. Air Terjun Nungnung Wisata Alam Pelaga Petang
32. Wisata Agro Pelaga Wisata Alam Pelaga Petang
33. Kawasan Luar Pura Puncak Tedung
Wisata Alam Pelaga Petang
Sumber : Profil Pariwisata Kabupaten Badung, 2012
Tabel 2.3
Daftar DTW yang berpotensi untuk dikembangkan di Kabupaten Badung
No. Nama Objek Wisata Jenis Wisata Lokasi
Kecamatan Desa/Kel.
1. Pantai Dreamland Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu
2. Pantai Blue Point Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu
3. Pantai Bingin Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu
4. Pantai Tegal Wangi Wisata Alam Kuta Selatan Pecatu
5. Water Park Wisata Buatan Kuta Selatan Pecatu
6. Pantai Gunung Payung Wisata Alam Kuta Selatan Ungasan
7. Pantai Pandawa Wisata Alam Kuta Selatan Kutuh
8. Water Sport Wisata Alam Kuta Selatan Tanjung Benoa
9. Selancar Air Wisata Alam Kuta Kuta
10. Pantai Echo Wisata Alam Kuta Utara Tibubeneng
11. Pantai Batu Bolong Wisata Alam Kuta Utara Canggu
12. Pantai Pererenan Wisata Alam Mengwi Pererenan
13. Pantai Batu Ngaus Wisata Alam Mengwi Cemagi
14. Pantai Mangening Wisata Alam Mengwi Cemagi
Sumber : Profil Pariwisata Kabupaten Badung, 2012
24
Menyusul dikeluarkannya Peraturan Bupati Badung No 43 Tahun
2014 Kabupaten badung kembali menetapkan 3 (tiga) daya tarik wisata
yaitu : Daya Tarik Wisata Pantai Pandawa, Daya Tarik Wisata Bali Elephant
Camp dan Daya Tarik Wisata Jembatan Tukad Bangkung. Selain itu
melalui Peraturan Bupati Badung No 47 Tahun 2010 Kabupaten Badung
menetapkan 11 (sebelas) desa wisata di Kabupaten Badung yaitu; Desa
Bongkasa Pertiwi, Desa Pangsan, Desa Petang, Desa Plaga, Desa Belok,
Desa Carang Sari , Desa Sangeh, Desa Baha, Desa Kapal, Desa Mengwi,
dan Desa Munggu.
2. Industri Pariwisata
Industri pariwisata di Kabupaten Badung dibentuk oleh perusahaan
yang bergerak pada bidang akomodasi wisata (hotel dan restoran), BPW
(biro perjalanan wisata), , tourist attraction, dan pusat oleh-oleh.
Perkembangan industri pariwisata di Kabupaten Badung saat ini terbilang
sangat cepat. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah wisatawan
yang melakukan perjalanan, ditambahnya jalur-jalur penerbangan dengan
rute-rute baru, investasi besar-besaran dibidang pariwisata seperti
pembukaan destinasi wisata dengan produk-produknya yang baru,
meningkatnya pembangunan sarana akomodasi, sampai pada perbaikan
infrastruktur.
Industri Pariwisata Kabupaten Badung lebih banyak berkembang di
Kawasan Badung Selatan (Kelurahan Kuta Utara, Kuta dan Kuta Selatan).
Perkembangan akomodasi wisata serta pusat oleh-oleh sangat signifikan
dalam 10 tahun terakhir.
a. Akomodasi dan Restoran
Berdasarkan Tabel 2.4. akomodasi wisata yang terdapat di Kabupaten
Badung terus mengalami peningkatan. Data pada tahun 2012
menunjukkan, akomodasi terbanyak adalah pondok wisata sebanyak 647
unit dengan jumlah kamar 2.870 kamar. Kemudian hotel melati sebanyak
642 unit dengan jumlah kamar sebanyak 19.248 kamar, dan hotel bintang
sebanyak 98 unit dengan jumlah kamar sebanyak 16.360 kamar. Maka,
total kamar yang tersedia di Kabupaten Badung adalah 40.806 kamar.
Tabel 2.4
Jumlah Usaha Akomodasi di Kabupaten Badung Tahun 2005-2011
No.
Tahun
Jenis Akomodasi Wisata (Unit) Total Kama
r
Hotel Bin tang
Jmlh Kama
r
Hotel Melat
i
Jmlh Kama
r
Pondok
Wisata
Jmlh Kama
r
Kon dote
l
Jmlh Kama
r
1. 2005 90 14.92 337 8.368 143 689 1 30 24.00
25
2 9
2. 2006 94 15.35
0 347 8.618 165 799 3 102
24.869
3. 2007 94 15.35
0 379 9.260 239 1.323 3 102
26.035
4. 2008 96 16.01
6 472
10.528
325 1.730 3 102 28.37
6
5. 2009 98 16.36
0 505
11.463
395 1.986 7 775 30.58
4
6. 2010 98 16.36
0 541
12.657
475 2.296 13 1.700 33.01
3
7. 2011 98 16.36
0 596
15.561
599 2.696 15 1.793 36.41
0
8. 2012*) 98 16.36
0 642
19.248
647 2.870 18 2.328 40.80
6
Sumber : Badung dalam Angka. 2012 dan Disparda Kab. Badung, 2012, *)
Hingga Juni 2012
Selanjutnya, Tabel 2.5. menampilkan jumlah restoran, rumah makan,
bar, dan catering, yang terus mengalami peningkatan tiap tahunnya.
Pertambahan terbanyak berupa restoran dari 150 unit dan 16.543 kursi
pada tahun 2006, menjadi 384 unit dan 32.395 kursi pada tahun 2011,
atau rata-rata bertambah 45 unit/tahun dan 3.170 kursi/tahun. Demikian
juga dengan fasilitas penunjang akomodasi lainnya terus bertambah
walaupun tidak sebanyak restoran.
Tabel 2.5.
Perkembangan Jumlah Restoran, Rumah Makan, Bar, dan Catering
di Kabupaten Badung Tahun 2006-2011
No.
T a h u n
Restoran Rumah Makan B a r Catering
Jumlah
Jumlah
Kursi
Jumlah
Jumlah
Kursi
Jumlah
Jumlah
Kursi
Jumlah
Jumlah
Kotak
1. 2006 158 16.543 436 25.437 311 9.914 4 400
2. 2007 205 20.241 443 25.897 324 10.346 4 400
3. 2008 236 22.299 451 26.208 336 11.096 4 400
4. 2009 273 24.667 453 26.298 343 11.380 5 3.400
5. 2010 330 28.735 458 26.485 346 11.555 5 3.400
6. 2011 384 32.395 470 27.129 351 11.747 6 3.500
Pertumbuhan
Rata-Rata
(2006-2011)
19,73 13,23 1,54 1,32 2,54 3,36 24,17 142,16
Sumber : Badung dalam Angka, 2012
26
b. Biro Perjalanan Wisata (BPW)
Jumlah BPW yang terdapat di Kabupaten Badung adalah sebanyak 95
perusahaan atau 29,7 % dari total BPW yang terdapat di Provinsi Bali.
Meskipun pada tahun 2011 jumlahnya mengalami peningkatan menjadi
320 perusahaan, namun masih tidak dapat kembali seperti pada tahun
2009 yang mencapai 611 perusahaan.
Tabel 2.6
Daftar Biro Perjalanan Wisata dan Cabang di Kabupaten Badung Tahun 2011
No Kelompok dan Nama BPW
1 All Star Bali Wisata
2 Alliance Vast
3 Alia Travel Sense
4 Asia Koleksi Travel
5 Anek Bintang Surya
6 Amanda Legian Tours
7 Abad Bali Wisata
8 Adi Tours And Travel
9 Bali Bahagia Holiday Tour & Travel PT
10 Bahagia Dewata Wisata
11 Bali Bersama Prima Sakti
12 Bali Dorada Tours
13 Bali Duta Express
14 Bali Pesona Wisata
15 Bali Megah Wisata
16 Bali ITO PT
17 Bali Suzuya
18 Bali Segara Utama
19 Bali Cipta Bahari T&T
20 Bali Rasa Sayang T&T
21 Bali Intan Graha
22 Bali Damai T&T
23 Bali Arrow
24 Bali Becik
25 Bali Untukmu
26 Bali Partners Tour & Travel
27 Bali Tri Dinamik
28 Bali Mara Wisata T&T
29 Baliku Beda
27
No Kelompok dan Nama BPW
30 Bali Wish International
31 Baliaga T&T
32 Bali Surga Liburan
33 Be Wish International
34 BPW Satriavi ( Aerotravel)
35 Bravo Indonesia
36 Carefree Bali Holiday
37 Coconut Bali Tours PT.
38 Cosmo Bali
39 Catur Lintas Wisata
40 Ceria T&T PT
41 Cempaka Krisna Jaya
42 Calvinku Internasional
43 Cendrawasih Ceria Internasional
44 Dongan Sahuta T&T
45 Giri Puncak Sari PT.
46 Golden Rama Express
47 Gajah Bali Wisata
48 Harum Indah Sari
49 Halo Bali
50 Indo Net Travel
51 Inti Citra Selaras
52 Intra Jasatamasya Era Wisata
53 Jatra Idola Tour
54 Jelajah Turunan Enam
55 Kaya Bali Tour & Travel
56 Kuta Emas
57 Kuta Cemerlang Bali Jaya
58 Kharisma Gayatri Mandiri
59 Kirana Bali Wisata
60 Khrisna Tohpati Perdana
61 Kuta Cemerlang Bali Convex
62 Lotusindo Asia Tour
63 Look Asia Bali
64 Mava Holidays
65 Maju Ika Jaya
66 Modernika Citra Wisata
67 Natourin Wisata
68 Nusa Dua Inti Raya
69 Naga Perkasa Mandiri
70 Oleg Bali Internasional
71 Purana Mitra Selaras PT.
72 Paradise Bali Indah
73 Prima Agung Wisata
74 Pateo Permata Wisata
28
No Kelompok dan Nama BPW
75 Pranayama Ayumjay
76 Padma Nuansa Wisata T&T
77 Pearl Tour & Travel
78 Pollow Indonesia
79 Prima Indo Wisata
80 Rama Wira Perdana
81 Rivon Angkasa Jaya Abadi
82 Sarana Nusa Wisata
83 Sinar Wahana Bali
84 STO Travel
85 Selamat Jalan Tour Bali
86 Siam Moters International Travel
87 Susana Tour & Travel
88 Top Bali Citra Wisata
89 Tria Uma Wisata
90 Tropical Sejahtera
91 Trinita Dunia Wisata
92 Valencia Intan Permata
93 Varia Indo Perdana Wisata PT.
94 Windys Bali Dewata Agung
95 Wina Graha Wisesa Travel
c. MICE
Perkembangan MICE di Kabupaten Badung sudah mencapai hasil yang
cukup menggembirakan. Adanya elemen-elemen pariwisata terkait seperti
Dinas Pariwisata yang juga telah bekerja sama dengan Bali Hotels
Association, INCCA (Indonesia Congress and Convention Association), ASITA,
Perhimpunan Hotel dan Restoran (PHRI), dan institusi serupa, membuat
Kabupaten Badung menjadi tujuan MICE di dunia nantinya. Hal ini
terbukti dengan banyaknya kegiatan dunia yang diselenggarakan di
Kabupaten Badung seperti UNFCC dan Asian Beach Games di Nusa Dua.
Perkembangan dunia MICE di Bali dan khususnya Kabupaten Badung telah
menjamah sektor perhotelan, hal ini dibuktikan dimana hampir semua
hotel bintang 5 memiliki fasilitas standard meeting seperti meeting venue,
dan departemen yang mengatur khusus berlangsungnya MICE di hotel
tersebut.
d. Konsultan Pariwisata
Menurut penjelasan UU No. 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan,
terdapat definisi Konsultan Pariwisata, yaitu usaha yang menyediakan
saran dan rekomendasi mengenai studi kelayakan, perencanaan,
pengelolaan usaha, penelitian, dan pemasaran di bidang kepariwisataan.
29
Kegiatan usaha jasa konsultan pariwisata meliputi: studi kelayakan;
perencanaan; pengawasan; manajemen; dan penelitian. Lingkup usaha jasa
konsultan pariwisata meliputi bidang: usaha jasa pariwisata; pengusahaan
obyek dan daya tarik wisata; serta usaha sarana wisata.
Usaha jasa konsultan pariwisata diselenggarakan oleh badan usaha
yang berbentuk perseroan terbatas (PT) atau koperasi yang maksud dan
tujuannya tercantum dalam akte pendirian. Usaha jasa konsultan
pariwisata terbuka untuk Penanaman Modal Asing (PMA) dan Penanaman
Modal Dalam Negeri (PMDN) yang dilaksanakan sesuai dengan ketentuan
dan undang-undang yang berlaku. Berikut adalah Konsultan Pariwisata
yang terdapat di Kabupaten Badung.
Tabel 2.7
Daftar Konsultan Pariwisata di Kabupaten Badung Tahun 2011
No Konsultan Pariwisata
1 Exotic Konsulting Indonesia
2 Globalindo Nusantara
3 Success 569
Sumber : Data Direktori Dinas Pariwisata Prov. Bali, 2011
3. Pemasaran Pariwisata
a. Kunjungan Wisatawan
Jumlah wisatawan mancanegara yang datang ke Kabupaten Badung
melalui Bandara Ngurah Rai setiap tahun mengalami peningkatan,
sedangkan jumlah wisatawan nusantara mengalami peningkatan yang
signifikan. Pada tahun 2009 wisatawan nusantara yang datang sebanyak
212.375 orang, pada tahun 2011 sebanyak 509.328 orang atau mengalami
peningkatan lebih dari 2 (dua) kali lipat. Sedangkan wisatawan
mancanegara yang datang pada tahun 2007 sebanyak 1.668.531 orang dan
pada Tahun 2011 sebanyak 2.826.709 atau meningkat sebesar 69,41%.
Jumlah data kunjungan wisatawan nusantara dan mancanegara ke
Kabupaten Badung dapat dilihat padaTabel 2.7.
Tabel 2.8 Data Kunjungan Wisatawan Nusantara ke Kabupaten Badung
Tahun 2009-2011
No. Bulan Tahun
2009 2010 2011
1 Januari 20.100 18.112 22.533
2 Pebruari 20.135 18.480 24.529
30
3 Maret 15.356 17.775 20.616
4 April 11.710 17.151 28.688
5 Mei 16.324 10.995 28.215
6 Juni 5.722 27.062 36.878
7 Juli 20.846 27.483 34.234
8 Agustus 17.712 17.187 27.606
9 September 19.113 23.252 89.815
10 Oktober 19.245 21.355 50.155
11 Nopember 19.478 26.696 87.952
12 Desember 26.634 26.949 58.107
JUMLAH 212.375 252.497 509.328
Sumber : Badung dalam Angka, 2012
Tabel 2.9.
Data Kunjungan Wisatawan Mancanegara ke Kab. Badung
Tahun 2007-2011
No. Bulan Jumlah
2007 2008 2009 2010 2011
1. Januari 109.875 140.275 164.962 170.170 209.093
2. Februari 118.483 153.757 139.282 182.566 207.195
3. Maret 119.458 153.534 159.315 192.745 207.907
4. April 125.393 147.836 179.889 185.675 224.704
5. Mei 129.039 160.223 182.337 200.608 209.058
6. Juni 145.500 171.301 189.734 225.976 245.652
7. Juli 164.972 183.325 224.955 253.696 283.524
8. Agustus 167.031 187.879 222.760 244.616 258.337
9. September 152.804 181.314 208.220 231.329 258.440
10. Oktober 146.385 181.084 211.132 231.221 247.565
11. November 142.124 164.920 175.489 198.279 221.603
12. Desember 147.467 166.851 211.142 218.281 253.591
JUMLAH 1.668.531 1.992.299 2.269.217 2.535.162 2.826.709
Sumber : Badung dalam Angka, 2012 b. Jumlah Pengeluaran Wisatawan
Menurut data Neraca Satelit Pariwisata Daerah (NESPARDA)
Kabupaten Badung Tahun 2010 yang diterbitkan oleh BPS Kabupaten
Badung, tercatat bahwa sebanyak 1,795 juta orang wisatawan nusantara
dan 1,67 juta orang wisatawan mancanegara ke Kabupaten Badung pada
tahun yang sama, yaitu tahun 2010.Pengeluaran wisatawan nusantara per
harinya adalah Rp. 409.000,00, dengan lama tinggal selama 5,06 hari.
Sedangkan lama tinggal wisatawan mancanegara di Kabupaten
Badung adalah 6,08 hari dengan pengeluaran sebesar US$128,14. Maka
disimpulkan jika total pengeluaran wisatawan nusantara pada tahun 2010
31
adalah sebesar Rp. 3,72 triliun, sedangkan pengeluaran wisatawan
mancanegara adalah sebesar Rp. 13,08 triliun (asumsi Rp. 9.000,00/$).
Tabel 2.10.
Pengeluaran Wisatawan Mancanegara Tahun 2010
No. Rincian Pengeluaran Jumlah
(juta rupiah) Distribusi
1. Akomodasi 5.570.074,41 42,57
2. Makanan dan Minuman 941.291,55 7,19
3. Penerbangan Domestik 4.515.304,21 34,51
4. Transport Lokal 166.872,95 1,28
5. Belanja 619.297,25 4,73
6. Hiburan 212.144,61 1,62
7. Kesehatan dan Kecantikan 138.146,99 1,06
8. Pendidikan 14.392,28 0,11
9. Paket Wisata Lokal 61.043,62 0,47
10. Tamasya 97.066,05 0,74
11. Pramuwisata 41.909,85 0,32
12. Souvenir 475.480,78 3,63
13. Lainnya 230.228,91 1,76
Total 13.083.253,47 100,00
Sumber : Nesparda Kabupaten Badung, 2010
Tabel 2.11
Pengeluaran Wisatawan Nusantara Tahun 2010
No. Rincian Pengeluaran Jumlah
(juta rupiah) Distribusi
1. Akomodasi 838.733,99 22,53
2. Makanan dan Minuman 259.080,14 6,96
3. Angkutan Darat 135.672,39 3,64
4. Angkutan K.A. 852,81 0,02
5. Angkutan Air 13.547,87 0,36
6. Angkutan Udara 1.761.823,99 47,32
7. Bahan Bakar Pelumas 123.649,15 3,32
8. Sewa Kendaraan 29.084,26 0,78
9. Jasa Perbaikan Kendaraan 7.323,31 0,20
10. Paket Perjalanan 222.177,22 5,97
11. Pramuwisata 1.040,01 0,03
12. Pertunjukan Seni 402,70 0,01
13. Museum dan Jasa Kebudayaan 8.969,30 0,24
14. Jasa Hiburan Rekreasi 46.989,90 1,26
15. Belanja/Cinderamata 207.488,36 5,57
16. Lainnya 66.522,93 1,79
Total 3.723.358,32 100,00
Sumber : Nesparda Kabupaten Badung, 2010
32
Berdasarkan Tabel di atas, yang memaparkan tentang distribusi
pengeluaran wisatawan mancanegara, disimpulkan jika pengeluaran
terbesar wisman terdistribusi pada akomodasi, yaitu sebesar 42,57%.
Kemudian disusul penerbangan domestik, sebesar 34,51%, serta
pengeluaran untuk makanan dan minuman sebesar 7,19%. Sedangkan
Tabel 2.10. , yang memaparkan tentang distribusi pengeluaran wisatawan
nusantara, disimpulkan jika pengeluaran terbesar wisnus terdistribusi pada
angkutan udara sebesar 47,32%, disusul akomodasi sebesar 22,53%, %,
serta pengeluaran untuk makanan dan minuman sebesar 6,96%.
4. Kelembagaan Kepariwisataan
Kelembagaan Kepariwisataan merupakan suatu integrasi antara
pemerintah, organisasi, pelaku pariwisata, peraturan, dan teknis
pelaksanaan, yang berlangsung secara terus-menerus, agar tujuan
kepariwisataan dapat tercapai. Organisasi kepariwisataan yang ada di
Kabupaten Badung terdiri dari Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia
(PHRI), BPPD, Pengelola DTW, dan POKDARWIS.
2.4. Kajian terhadap implikasi penerapan Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan yang akan diatur dalam peraturan daerah terhadap
aspek ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan.
Pariwisata telah diakui sebagai lokomotif pembangunan ekonomi
dibanyak negara berkembang di dunia, dan para ahli menjadikan industri tanpa asap (smokeless industry) ini sebagai paspor menuju pembangunan.
Sebagai industri terbesar di dunia, pariwisata dianggap sebagai sarana
untuk mencapai pembangunan berkelanjutan dengan manfaat yang sangat signifikan di bidang ekonomi, sosial budaya, dan lingkungan, serta memberi
kesempatan seluas luasnya bagi masyarakat lokal untuk meningkatkan
kesejahteraannya (Sharpley, 2002).
Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, digariskan dengan tegas bahwa kepariwisataan merupakan
bagian integral dari pembangunan nasional yang dilakukan secara
sistematis, terencana, terpadu, berkelanjutan, dan bertanggung jawab dengan tetap memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, budaya
yang hidup di masyarakat, kelestarian dan mutu lingkungan hidup, serta
kepentingan nasional. Hal ini selanjutnya dijabarkan dalam PP Nomor 50 tahun 2011 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional
Tahun 2010 – 2025, dimana terdapat empat hal pokok yang menjadi
perhatian dalam pembangunan kepariwisataan di Indonesia, yakni aspek: destinasi; industri; pemasaran dan promosi; serta kelembagaan.
33
Penegasan serta penjabaran tersebut mengindikasikan tentang
pentingnya perencanaan dan pengelolaan sumberdaya pariwisata
sedemikian rupa agar pembangunannya dapat berkelanjutan dan memberikan manfaat optimal kepada masyarakat. Perencanan dan
pengelolaan destinasi maupun daya tarik wisata secara profesional dan
berkelanjutan, yang melibatkan berbagai pemangku kepentingan akan menentukan tiga hal pokok berikut, yakni: a) keunggulan daya tarik
destinasi tersebut bagi pasar wisatawan; b) manfaatnya secara ekologi,
ekonomi, sosial dan budaya bagi masyarakat dan daerah; serta c) daya
saingnya di antara pasar destinasi pariwisata international (Damanik & Teguh, 2012).
Sejumlah alasan penting kenapa prinsip-prinsip keberlanjutan
(sustainability) perlu diterapkan dalam pengelolaan destinasi pariwisata khususnya di Indonesia: pertama semakin tajamnya kompetisi destinasi di
tingkat global maupun nasional; kedua tingginya variasi dan ketimpangan
perkembangan destinasi pariwisata di tanah air; dan ketiga rendahnya daya saing pariwisata Indonesia dibandingkan dengan negara-negara
tetangga. Apabila destinasi pariwisata tidak dikelola secara professional
dalam kerangka keberlanjutan, maka akan sulit diharapkan destinasi tersebut memiliki daya saing tinggi dalam jangka panjang (Osmanovic,
Kenjic, & Zrnic, 2010).
Mengelola destinasi pariwisata agar dapat berkelanjutan sangat
ditentukan oleh pandangan ke depan dari kebijakan (forward-looking policies) dan philosopi manajemen yang dianut, yang mampu membangun
hubungan harmonis antara masyarakat lokal, sektor usaha swasta, dan
pemerintah. Keharmonisan hubungan tersebut berkaitan erat dengan praktik-praktik pembangunan guna meningkatkan manfaat ekonomi yang
selaras dengan perlindungan terhadap alam, sosial budaya, dan
lingkungan, sehingga kehidupan masyarakat lokal maupun destinasi dapat meningkat kualitasnya (Edgell, Allen, Smith, & Swanson, 2008).
Pertanyaannya adalah apakah mungkin destinasi pariwisata tersebut
berkelanjutan secara ekonomi bagi pelaku usaha pariwisata dan
masyarakat lokal, sementara dalam waktu yang bersamaan pembangunan tersebut sangat peka terhadap isu-isu lingkungan, budaya dan sosial?
Menurut Edgell, S.L,. (2006) jawaban singkatnya adalah sangat mungkin,
karena kebijakan pariwisata berkelanjutan harus ditentukan oleh kondisi alam dan lingkungan terbangun, disertai dengan perlindungan terhadap
keberlanjutan masyarakat lokal. Edgell, selanjutnya menguraikan bahwa
lebih dari sekedar kepentingan ekonomi, kebijakan pembangunan destinasi pariwisata harus fokus pada prinsip-prinsip pariwisata berkelanjutan,
yakni: (1) memanfaatkan secara optimum sumberdaya lingkungan,
memelihara proses-preses ekologi essential, dan melakukan konservasi terhadap natural heritage dan keragaman biologi; (2) menghargai keaslian
nilai-nilai sosial budaya dari komunitas lokal, melakukan konservasi
terhadap bangunan dan living cultural heritage serta nilai-nilai tradisional,
berkontribusi pada pemahaman antar budaya dan adanya sikap saling menghargai; dan (3) memastikan dalam jangka panjang akan memberikan
manfaat sosial ekonomi secara layak kepada semua pemangku kepentingan
34
dengan distribusi yang adil, termasuk kesempatan kerja yang stabil dan
kesempatan memperoleh penghasilan, serta berkontribusi kepada upaya
pengentasan kemiskinan. Pembangunan pariwisata berkelanjutan membutuhkan partisipasi dari
seluruh stakeholders serta kepemimpinan politik yang kuat untuk
memastikan adanya partisipasi yang luas dalam membangun konsensus bersama. Pembangunan berkelanjutan merupakan proses yang terus
menerus dan membutuhkan monitoring yang tidak pernah berhenti
terhadap dampak-dampak yang ditimbulkannya.
Dari perspektif manajemen destinasi pariwisata, karakteristik produk wisata yang berbeda dengan produk jasa lainnya, membutuhkan
implementasi pengelolaan yang ketat dan berbeda, karena pada dasarnya
manajemen destinasi pariwisata bertujuan untuk menjamin kualitas destinasi itu sendiri dan kepuasan berwisata. Secara singkat, tujuan
pengelolaan destinasi dapat dibagi menjadi dua: pertama untuk melindungi
asset, dan sumberdaya wisata dari penurunan mutu dan manfaat bagi pengelola, masyarakat lokal, maupun wisatawan; kedua meningkatkan
daya saing destinasi pariwisata melalui tawaran pengalaman berwisata yang
berkualitas kepada wisatawan. Semakin tinggi kualitas pengalaman yang dapat ditawarkan, maka semakin tinggi pula potensi daya saing destinasi
tersebut. Daya saing yang tinggi inilah menjadi faktor kunci yang
menjamin keberlanjutan perkembangan destinasi tersebut, karena jumlah
wisatawan dan pengeluarannya akan terus meningkat, sehingga memberikan dampak positif kepada pelaku usaha, komunitas lokal,
pemerintah, dan lingkungan setempat (RAMBOLL Water & Environment,
2003). Sejumlah manfaat yang dapat diperoleh dari pengelolaan destinasi
pariwisata yang dilakukan secara professional, antara lain: (1)
meningkatnya kepuasan wisatawan sebagai akibat dari semakin baiknya kualitas pelayanan berwisata di destinasi; (2) meningkatnya daya saing
destinasi, sehingga dapat menarik investor lebih banyak untuk
menanamkan modalnya; (3) jaminan atas keberlanjutan ekonomi, sosial-budaya dan lingkungan semakin kuat; (4) ter-ciptanya kemitraan yang
semakin kuat dari para pemangku kepentingan; dan (5) perbaikan serta
inovasi secara terus menerus atas seluruh atribut destinasi pariwisata
(European Communities, 2003; Kim & Lee, 2004; Anonim, 2007; Damanik & Teguh, 2012).
Berkaitan dengan upaya untuk mewujudkan tujuan pembangunan
pariwisata berkelanjutan di Kabupaten Badung dengan berbagai manfaat di bidang ekonomi, sosial budaya maupun lingkungan hidup bagi masyarakat
lokal dimana pembangunan tersebut dilaksanakan, maka diperlukan
sejumlah kebijakan pemerintah yang akan dituangkan dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Kepariwisataan. Peraturan yang akan
disusun diharapkan dapat mencarikan solusi terhadap berbagai isu penting
mengenai kepariwisataan di Kabupaten Badung, yang selanjutnya dikelompokkan sesuai dengan Peraturan Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011
dan dituangkan dalam aspek-aspek ekonomi, sosial budaya, dan
lingkungan hidup, sebagai berikut:
35
1.Aspek Ekonomi
a. Adanya ketimpangan pembangunan antar wilayah Kabupaten Badung Bagian Utara, Tengah dan Selatan, yang berdampak pula terhadap
ketim-pangan pendapatan masyarakat di wilayah-wilayah tersebut.
Tingkat pendapatan per kapita masyarakat di Badung Selatan bisa jauh lebih tinggi daripada saudara-saudaranya di utara, sehingga
ketimpangan ini apabila dibiarkan dapat memicu terjadinya berbagai
permasalahan di bidang sosial dan keamanan di wilayah tersebut.
b. Ketersedian akomodasi wisata yang melebihi kapasitas (over supply) terutama di Badung Selatan. Hal ini berdampak pada semakin
rendahnya rataan harga kamar (average room rate), sehingga
berpengaruh terhadap yield dari usaha jasa akomodasi tersebut. Dalam jangka panjang hal ini berakibat pada turunnya keuntungan
pengusaha, rendahnya take home pay karyawan, serta menurunnya
pendapatan pajak pemerintah. c. Masifnya perkembangan akomodasi (villa) illegal yang juga
memperparah kondisi supply jasa akomodasi di Kabupaten Badung.
Selain memperburuk kondisi persaingan yang akan menekan harga
kamar, potensi pajak pemerintah menjadi hilang, karena pengusaha jasa akomodasi yang illegal tersebut akan berusaha untuk
menghindari pajak pemerintah.
d. Pengembangan pasar untuk agrowisata, ekowisata dan desa wisata belum dilakukan. Selain konsep produk dari ke tiga jenis wisata
tersebut belum jelas, variasi kegiatan wisata yang dapat dilakukan
juga belum berkembang dengan baik. Hal tersebut berdampak pada masih sulitnya menyusun konsep pemasaran yang tepat dari produk-
produk wisata yang sesungguhnya sangat potensial untuk
dikembangkan di Badung. Belum lagi permasalahan keterpaduan antara stakeholders pariwisata dalam pemasaran yang belum
terintegrasi, sehingga kegiatan pemasaran destinasi pariwisata di
Kabupaten Badung dirasakan juga belum optimal. Pemanfaatan IT
dalam pemasaran produk wisata di Badung perlu terus ditingkatkan, mengingat media ini relatif mudah dan murah serta sudah menjadi
kebutuhan primer bagi sebagian besar masyarakat dunia.
e. Peningkatan kualitas pariwisata melalui peningkatan lama tinggal (length of Stay) dan daya beli (spending power) wisatawan. Hal ini
hanya dapat dilakukan melalui peningkatan variasi produk dan
kualitas daya tarik wisata yang ada, sehingga wisatawan bisa tinggal lebih lama pada destinasi di Kabupaten Badung.Pengeluarannyapun
akan semakin banyak, karena berbagai variasi produk yang bisa
mereka beli. f. Kemacetan lalu lintas terutama di Badung Selatan, serta alternatif
moda trasportasi (angkutan laut) untuk mengatasi kemacetan
sekaligus sebagai tambahan variasi atraksi wisata di Badung.
Terfokusnya pembangunan sarana wisata di Badung selatan, berdampak buruk pada semakin tingginya intensitas kendaraan yang
lalu lalang di wilayah tersebut, sehingga kemacetan lalu lintas tidak
36
dapat dihindari. Hal ini menimbulkan inefisiensi di bidang ekonomi,
pencemaran udara, stress, dan dampak buruk lainnya. Dibutuhkan
kebijakan yang bernas untuk mencari solusi terhadap persoalan yang semakin lama semakin memburuk tersebut, salah satunya adalah
membangun moda trasportasi laut yang menghubungkan satu lokasi
dengan lokasi lainnya di Badung maupun Kabupaten lainnya. g. Peningkatan SDM Pariwisata yang berbasis masyarakat belum optimal.
Disinyalir oleh banyak pihak, bahwa SDM pariwisata terutama yang
bersumber dari masyarakat lokal masih perlu ditingkatkan
kualitasnya. Peningkatan kualitas SDM ini merupakan keniscayaan, mengingat tingkat persaingan pariwisata yang semakin tajam.
Kemampuan pengelolaan (manajemen) daya tarik wisata yang ada di
masyarakat (terutama di perdesaan) harus ditingkatkan secara berkelanjutan, sehingga mampu mengintepretasikan dengan baik daya
tarik wisata yang ada di wilayah mereka, serta menghasilkan aktivitas
wisata variatif yang dapat memberikan pengalaman berwisata unik kepada wisatawan.
2.Aspek Sosial Budaya a. Pelanggaran atas kawasan suci, sempadan jurang, dan sempadan
pantai. Pembangunan sarana wisata yang dilakukan investor di
beberapa kawasan pariwisata di Kabupaten Badung yang
mengabaikan bhisama kawasan suci, dapat melukai perasaan Umat Hindu di Bali. Gangguan perasaan ini dapat menimbulkan berbagai
persoalan di bidang sosial budaya, misalnya perasaan terganggu dan
tidak nyaman mereka dalam melakukan persembahyangan karena keberadaan fasilitas wisata yang terlalu dekat dengan Pura yang
merupakan tempat suci umat Hindu. Demikian pula kecenderungan
para pengusaha yang membangun fasilitas wisatanya di tepi jurang dan melanggaar sempadan, yang bisa sangat berbahaya karena
adanya kemungkinan longsor misalnya. Pembangunan sarana wisata
seperti hotel, maupun restoran dan sarana wisata lainnya di banyak tempat di Badung juga tidak sedikit yang mengabaikan keselamatan
dan estetika lingkungan, karena dibangun sangat berdekatan dengan
bibir pantai (melanggar sempadan pantai). Bahkan di wilayah Canggu ada hotel besar yang sengaja menutup (memagari) pantai,
dengan alasan sudah mendapat dukungan Desa Adat. Hal-hal
semacam ini perlu diatur dalam Peraturan Daerah agar tidak menjadi
contoh buruk bagi daerah lainnya di Badung. b. Pelanggaran tata ruang wilayah. Banyak kasus di Kabupaten Badung
yang wilayahnya sudah tidak cocok lagi dengan peruntukannya
sesuai dengan ketentuan yang diatur pemerintah. Misalnya jalur hijau yang berubah menjadi kawasan permukiman dan kawasan
perdagangan atau kawasan lainnya. Kondisi demikian tentu dapat
mengacaukan tata ruang wilayah yang dapat berakibat buruk pada aktivitas manusia yang ada di dalamnya.
c. Alih fungsi lahan pertanian ke fasilitas pariwisata. Bali sempat
memperoleh predikan daerah yang mampu berswasembada beras.
37
Namun dalam beberapa tahun terakhir, hal tersebut sudah tidak lagi
terdengar. Hal ini tentu terjadi sebagai akibat dari alih fungsi lahan
pertanian yang konon terjadi lebih dari 1.000 ha setiap tahun. Pembangunan sarana prasarana wisata yang masif terjadi di Badung
sebagai dampak dari pesatnya pertumbuhan kepariwisataan di Bali
berakibat pada dialihkannya fungsi lahan pertanian tersebut menjadi fungsi lainnya. Padahal budaya pertanian di Bali dengan subak serta
budaya turunannya menjadi daya tarik wisata yang dikagumi
wisatawan dan menjadi sumberdaya wisata yang tiada habis-
habisnya. Kondisi ini perlu mendapatkan perhatian serius dari pemerintah dalam bentuk pembuatan kebijakan yang dapat
melindungi alih fungsi lahan tersebut, misalnya pembuatan Perda
Pertanian Abadi dengan mengkonservasi daerah-daerah pertanian yang masih tersisa di Kabupaten Badung.
d. Langgam bangunan gedung usaha pariwisata mengabaikan
arsitektur tradisional Bali. Saat ini banyak bangunan sarana pariwisata maupun jenis bangunan lainnya khususnya yang ada di
Kabupaten Badung, mengabaikan ciri khas bangunan Bali. Jika hal
tersebut terus terabaikan maka Bali bisa kehilangan karakternya sebagai daerah tujuan wisata dengan branding wisata budaya.
3. Aspek Lingkungan
a. Pengelolaan limbah belum mengikuti standar baku pengelolaan. Pesatnya pembangunan sarana wisata, khususnya di Badung selatan
akan menyisakan limbah sebagai konsekuensi aktivitas yang
dilakukannya. Bagi sarana wisata yang bertaraf international, masalah limbah mampu mereka atasi, sehingga hasil olahannya telah
memenuhi persyaratan baku mutu limbah yang layak untuk dibuang
ke lingkungan atau dimanfaatkan untuk kebutuhan lain, seperti untuk menyiram tanaman. Namun tidak sedikit sarana wisata lain
yang hasil pengolahan limbahnya belum mampu memenuhi baku
mutu lingkungan, bahkan diduga tidak sedikit sarana wisata yang tidak mengolah sama sekali limbah yang dihasilkannya.
b. Terbatasnya sumber daya air permukaan dan penggunaan sumber
daya tanah yang tidak terkendali. Hal ini merupakan masalah sangat serius terutama di Badung selatan yang pembangunan sarana
wisata maupun permukimannya sangat masif. Keterbatasan
ketersediaan air permukaan yang mampu disupply oleh perusahaan
air minum, memaksa pengusaha di bidang pariwisata maupun masyarakat untuk memenuhi kebutuhan air bersihnya dengan
membuat sumur dalam. Hal ini sangat berbahaya, karena apabila
tidak terkendali, maka interusi air laut tidak akan terhindarkan. c. Kebersihan lingkungan daya tarik wisata yang tidak terjaga. Di
beberapa daya tarik wisata yang ada di Kabupaten Badung masalah
sampah menjadi persoalan serius, terutama sampah plastik. Perilaku masyarakat yang belum sadar terhadap masalah kebersihan
lingkungan memperparah kondisi tersebut. Mereka dengan tanpa
risih akan membuang sampah pada lokasi yang sepatutnya tidak
38
pantas dibuangi sampah. Di Pura Luhur Uluwatu misalnya,
walaupun di areal pura cukup bersih, namun pemedek dengan
seenaknya membuang sampah ke arah jurang di sisi utara pura. Di lokasi daya tarik wisata lain, misalnya Pantai Kuta, masalah sampah
terutama saat musim angin barat tiba juga hampir-hampir tidak
tertangani. Ke dua contoh tersebut membutuhkan penanganan serius dengan pembuatan sistem penanganan sampah terpadu,
sehingga masalah sampah di DTW dapat tertangani dengan tuntas.
d. Kemacatan lalu lintas di Badung Utara akibat pasar tumpah. Pasar
tradisional dimana masyarakat menggelar barang dagangannya sampai ke pinggir jalan raya, serta para pembeli yang tidak sabar
ingin cepat-cepat memperoleh barang yang dibutuhkannya,
mengakibatkan aktivitas jual beli di pasar tersebut “tumpah” ke jalan raya. Kondisi pasar seperti ini dijumpai di beberapa wilayah Badung
Utara ( Pasar Sibang Gede,Pasar Mambal, Pasar Blahkiuh), yang
menghambat laju kendaraan wisatawan menuju daya tarik wisata yang ingin mereka kunjungi.
e. Ketersediaan parkir yang sangat minim pada wilayah yang
pariwisatanya berkembang pesat. Pada saat puncak-puncak kunjungan dimana wisatawan datang dalam jumlah banyak dan
bersamaan waktunya, kendaraan mereka tidak bisa ditampung di
areal parkir yang tersedia, sehingga kemacetan tidak bisa
dihindarkan. Kondisi ini dapat menimbulkan gangguan keamanan, stress, dan terutama terhambatnya wisatawan menuju destinasi
berikutnya yang mereka ingin kunjungi.
f. Rawan bencana seperti: tsunami, banjir dan longsor. Pada musim hujan saat intensitas turunnya air hujan demikian tinggi, banjir
sudah menjadi langganan di Bali dan pada beberapa wilayah Badung
khususnya. Demikian juga tanah longsor terutama di Badung Utara yang kondisi topografinya berbukit, serta tanah yang labil. Di Wilayah
Badung Selatan yang topografinya landai dengan ketinggian sampai 0
dpl, memiliki potensi yang cukup tinggi terjadi tsunami saat ada gempa bumi. Kondisi ini perlu diantisipasi terutama berkaitan
dengan mekanisme peringatan dini dan penanganan pasca bencana.
g. Higiene sanitasi belum diterapkan dengan optimal. Hal ini merupakan persoalan yang sangat serius terutama pada usaha
pariwisata yang berhubungan dengan makanan dan minuman,
seperti seafood cafe misalnya. Sudah cukup sering kejadian dimana
guide maupun travel agent mengeluh (complain) kepada pengelola cafe karena tamu mereka sakit perut sampai dirawat di rumah sakit
setelah mereka mengkonsumsi makanan di cafe tersebut. Selain
merugikan para pengelola cafe karena mereka dimintai biaya perawatan tamu selama mereka dirawat di rumah sakit, yang
terburuk adalah citra pariwisata Bali menjadi kurang baik.
Pemerintah seharusnya menetapkan dengan tegas dan ketat standar higiene dan sanitasi bagi pengusaha restoran, rumah makan, cafe,
atau dengan sebutan lain yang berusaha di wilayah Badung.
39
Pengawasan terhadap penerapan higiene dan sanitasi lingkungan
inipun harus dilakukan secara berkesinambungan.
h. Kurang tertatanya lay out bangunan restoran. Lay out bangunan restoran atau rumah makan perlu diatur agar bisa memenuhi paling
tidak standar minimum yang dibutuhkan. Hal ini akan berpengaruh
terhadap keamanan dan kenyamanan wisatawan yang berkunjung, selain dapat menimbulkan citra positif terhadap restoran dan rumah
makan tersebut.
40
BAB III
EVALUASI DAN ANALISIS
PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN TERKAIT
3.1.Kajian Terhadap Peraturan Perundang-Undangan yang Memuat Kondisi Hukum yang ada.
Kajian berupa evaluasi dan analisis peraturan perundang-undangan terkait, dilakukan untuk mengetahui kondisi hukum atau peraturan
perundang-undangan yang mengatur mengenai Rencana Induk
Pembangunan Pariwisata Kabupaten Badung, serta untuk mengetahui posisi dari peraturan daerah yang baru, guna menghindari terjadinya
tumpang tindih pengaturan. Kajian terhadap peraturan perundang-
undangan yang memuat kondisi hukum yang ada, mempergunakan pendekatan perundangan-undangan dengan melihat jenis, hierarki dan
materi muatan peraturan perundang-undangan berkaitan dengan
kewenangan pemerintah kabupaten tentang pengaturan kepariwisataan.
Dengan mempergunakan rujukan ketentuan Pasal 7 ayat 1 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 peraturan perundang-undangan dan
rumusan norma yang berkaitan dengan kewenangan kabupaten bidang
kepariwisataan, ditampilkan dalam tabel berikut dibawah ini
Matrik 1. Peraturan Perundang-Undangan dan Rumusan Norma Yang
Berkaitan Dengan Kewenangan Kabupaten Bidang Kepariwisataan.
No Peraturan
Perundang-
Undangan
Rumusan Normanya Analisis
1 Undang-Undang
Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun
1945
Pasal 18 ayat 6
Pemerintahan daerah
berhak menetapkan peraturan daerah dan
peraturan perundang-
undangan lain untuk melaksanakan otonomi
dan tugas pembantuan
Pemerintah daerah
Kabupaten Badung
mempunyai wewenang untuk
menetapkan
peraturan daerah tentang untuk
melaksanakan
otonomi.
Dengan demikian Pemerintah
Kabupaten Badung,
mempunyai wewenang untuk
menetapkan
Peratuuran Daerah tentang Rencana
Induk
Pembangunan
41
Pariwisata
Kabupaten Badung
2 Undang-Undang
Nomor 69 Tahun 1958 tentang
Pembentukan
Daerah-daerah Tingkat II Dalam
Wilayah Daerah-
daerah Tingkat I Bali, Nusa
Tenggara Barat
dan Nusa Tenggara Timur
(Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun 1958 Nomor
122, Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor
1655);
BAB II
TENTANG URUSAN RUMAH TANGGA DAN
KEWAJIBAN DAERAH
Pasal 4 (2) Apabila daerah yang
dibentuk menurut
pasal 1 adalah suatu Daerah Swapraja, maka
dengan tidak
mengurangi ketentuan dimaksud dalam ayat 1,
untuk sementara waktu
sampai diadakan
ketentuan lain, segala urusan rumah-tangga
Daerah Swapraja yang
bersangkutan itu menurut peraturan-
peraturan yang ada
tidak merupakan urusan Pemerintah
Pusat, menjadi urusan
daerah tingkat II yang bersangkutan;
Berdasarkan
ketentuan ini Pemerintah
Kabupaten Badung
mempunyai kewenangan untuk
mengatur urusan
rumah tangga termasuk
didalamnya urusan
kepariwisataan
3 Undang-Undang
Nomor 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang.
( Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
2007 Nomor 68,
Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor
4725).
Pasal 5
(5)Penataan ruang
berdasarkan nilai strategis kawasan terdiri
atas penataan ruang
kawasan strategis nasional, penataan
ruang kawasan strategis
provinsi, dan penataan ruang kawasan strategis
kabupaten/kota.
Pasal 11 (1)Wewenang pemerintah
daerah kabupaten/kota
dalam enyelenggaraan penataan ruang meliputi:
a. pengaturan,
pembinaan, dan pengawasan
terhadap
Berdasarkan
ketentuan Undang-
Undang Nomor 26 Tahun 2007,
Pemerintah
Kabupaten Badung mempunyai
wewenang untuk
melakukan perencanaan tata
ruang wilayah
kabupaten.
Kegiatan
penyusunan
RIPPARDA merupakan satu
kegiatan yang
selaras dengan perencanaan tata
ruang wilayah
42
pelaksanaan
penataan ruang
wilayah kabupaten/kota dan
kawasan strategis
kabupaten/kota;
b. pelaksanaan penataan ruang
wilayah
kabupaten/kota; c. pelaksanaan
penataan ruang
kawasan strategis kabupaten/kota; dan
d.kerja sama penataan
ruang antar kabupaten/ kota.
(2)Wewenang pemerintah
daerah kabupaten/kota
dalam pelaksanaan penataan ruang wilayah
kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
huruf b meliputi:
a. perencanaan tata ruang wilayah
kabupaten/ kota;
b. pemanfaatan ruang wilayah
kabupaten/kota;
dan
c. pengendalian pemanfaatan ruang
wilayah
kabupaten/kota. (3)Dalam pelaksanaan
penataan ruang kawasan
strategis kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) huruf c,
pemerintah daerah kabupaten/kota
melaksanakan:
a. penetapan kawasan strategis
kabupaten/kota;
b. perencanaan tata
kabupaten.
43
ruang kawasan
strategis
kabupaten/kota; c. pemanfaatan ruang
kawasan strategis
kabupaten/kota;
dan d. pengendalian
pemanfaatan ruang
kawasan strategis kabupaten/kota.
(4)Dalam melaksanakan
kewenangan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat
(2), pemerintah daerah kabupaten/kota
mengacu pada pedoman
bidang penataan ruang
dan petunjuk pelaksanaannya.
(5)Dalam pelaksanaan
wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
ayat (2), ayat (3), dan
ayat (4), pemerintah daerah kabupaten/kota:
a. menyebarluaskan
informasi yang berkaitan dengan
rencana umum dan
rencana rinci tata
ruang dalam rangka pelaksanaan
penataan ruang
wilayah kabupaten/kota; dan
b. melaksanakan
standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang.
(6) Dalam hal pemerintah daerah abupaten/kota
tidak dapat memenuhi
standar pelayanan minimal bidang
penataan ruang,
pemerintah daerah
44
provinsi dapat
mengambil langkah
penyelesaian sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-
undangan.
3 Undang-Undang
Nomor 27 Tahun
2007 tentang Pengelolaan
Wilayah Pesisir
dan Pulau-pulau Kecil ( Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun
2007 Nomor 84, Tambahan
Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
4739).
Pasal 55
(1)Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil pada tingkat
kabupaten/kota
dilaksanakan secara terpadu yang
dikoordinasi oleh dinas
yang membidangi
kelautan dan perikanan. (2)Jenis kegiatan yang
dikoordinasikan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
a. penilaian setiap
usulan rencana kegiatan tiap-tiap
pemangku
kepentingan sesuai dengan perencanaan
Pengelolaan Wilayah
Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil terpadu; b. perencanaan
antarinstansi, dunia
usaha, dan masyarakat;
c. program akreditasi
skala kabupaten/kota;
d. rekomendasi izin
kegiatan sesuai dengan kewenangan
tiap-tiap dinas
otonom atau badan
daerah; serta e. penyediaan data dan
informasi bagi
Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-
Pulau Kecil skala
Berdasarkan
ketentuan Undang-
Undang Nomor 27 Tahun 2007 ini,
kabupaten
mempunyai wewenang untuk
mengelola wilayah
pesisir yang
dilaksanakan secara terpadu oleh dinas
yang
membidanginya.
45
kabupaten/kota.
(3)Pelaksanaan kegiatan
sebagaimana imaksud pada ayat (2) diatur oleh
bupati/walikota.
4 Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor
10 Tahun 2009
tentang Kepariwisataan (
Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
2009 Nomor 11,
Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor
4966 )
Pasal 8
(1)Pembangunan kepariwisataan
dilakukan berdasarkan
rencana induk pembangunan
kepariwisataan yang
terdiri atas rencana induk pembangunan
kepariwisataan nasional,
rencana induk
pembangunan kepariwisataan provinsi,
dan rencana induk
pembangunan kepariwisataan
kabupaten/kota.
(2)Pembangunan
kepariwisataan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
bagian integral dari
rencana pembangunan
jangka panjang nasional
Pasal 9
(1)Rencana induk
pembangunan
kepariwisataan nasional sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1)
diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(2)Rencana induk
pembangunan
kepariwisataan provinsi sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1)
diatur dengan Peraturan Daerah provinsi.
(3)Rencana induk
Undang-Undang No
10 Tahun 2009, memberi wewenang
kepada daerah
kabupaten untuk menetapkan
rencana induk
pembangunan kepariwisataan
kabupaten/kota
dengan Peraturan
Daerah kabupaten/kota.
46
pembangunan
kepariwisataan
kabupaten/kota sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 8 ayat (1)
diatur dengan Peraturan
Daerah kabupaten/kota. (4)Penyusunan rencana
induk pembangunan
kepariwisataan sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), ayat (2),
dan ayat (3) dilakukan dengan melibatkan
pemangku kepentingan.
(5)Rencana induk pembangunan
kepariwisataan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (4) meliputi perencanaan
pembangunan industri
pariwisata, destinasi pariwisata, pemasaran,
dan kelembagaan
kepariwisataan.
Pasal 29
Pemerintah provinsi berwenang:
a. menyusun dan
menetapkan rencana
induk pembangunan kepariwisataan provinsi;
b. mengoordinasikan
penyelenggaraan kepariwisataan di
wilayahnya;
c. melaksanakan pendaftaran, pencatatan,
dan pendataan
pendaftaran usaha pariwisata;
d. menetapkan destinasi
pariwisata provinsi; e. menetapkan daya tarik
wisata provinsi;
f. memfasilitasi promosi
47
destinasi pariwisata dan
produk pariwisata yang
berada di wilayahnya; g. memelihara aset provinsi
yang menjadi daya tarik
wisata provinsi; dan
h. mengalokasikan anggaran
kepariwisataan.
5 Undang-
Undang
Nomor 32 Tahun 2009
tentang
Perlindungan
dan Pengelolaan
Lingkungan
Hidup ( Lembaran
Negara
Republik Indonesia
Tahun 2009
Nomor 140, Tambahan
Lembaran
Negara
Republik Indonesia
Nomor 5059
).
Pasal 63
(3) Dalam perlindungan
dan pengelolaan lingkungan hidup,
pemerintah
kabupaten/kota
bertugas dan berwenang:
a. menetapkan
kebijakan tingkat kabupaten/kota;
b. menetapkan dan
melaksanakan KLHS tingkat
kabupaten/kota;
c. menetapkan dan melaksanakan
kebijakan mengenai
RPPLH
kabupaten/kota; d. menetapkan dan
melaksanakan
kebijakan mengenai amdal dan UKL-UPL;
e. menyelenggarakan
inventarisasi sumber daya alam dan emisi
gas rumah kaca
pada tingkat kabupaten/kota;
f. mengembangkan dan
melaksanakan kerja
sama dan kemitraan; g. mengembangkan dan
menerapkan
instrumen lingkungan hidup;
h. memfasilitasi
Salah satu
kewenangan
Kabupaten yakni menetapkan
kebijakan tingkat
kabupaten
berkaitan dengan pengelolan
lingkungan hidup
pembentukan RIPPARDA
Kabupaten,
berkaitan dengan kebijakan tingkat
kabupaten yang
substansi materinya berkaitan dengan
pengelolaan
lingkungan. Dengan
demikian Undang-Undang Pengelolan
Lingkungan Hidup
relevan dirujuk sebagai ketentuan
mengingat dalam
Ranperda RIPPARDA yang
akan dibentuk.
48
penyelesaian
sengketa;
i. melakukan pembinaan dan
pengawasan
ketaatan
penanggung jawab usaha dan/atau
kegiatan terhadap
ketentuan perizinan lingkungan dan
peraturan
perundang-undangan;
j. melaksanakan
standar pelayanan minimal;
k. melaksanakan
kebijakan mengenai
tata cara pengakuan keberadaan
masyarakat hukum
adat, kearifan lokal, dan hak masyarakat
hukum adat yang
terkait dengan perlindungan dan
pengelolaan
lingkungan hidup pada tingkat
kabupaten/kota;
l. mengelola informasi
lingkungan hidup tingkat
kabupaten/kota;
m. mengembangkan dan melaksanakan
kebijakan sistem
informasi lingkungan hidup tingkat
kabupaten/kota;
n. memberikan pendidikan,
pelatihan,
pembinaan, dan penghargaan;
o. menerbitkan izin
lingkungan pada
49
tingkat
kabupaten/kota; dan
p. melakukan penegakan hukum
lingkungan hidup
pada tingkat
kabupaten/kota.
6 Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2014 tentang
Pemerintahan
Daerah (Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun
2014 Nomor 244, Tambahan
Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
5587).
Pasal 12
(1). ... (2). ...
(3)Urusan Pemerintahan
Pilihan sebagaimana dimaksud dalam Pasal
11 ayat (1) meliputi:
a. kelautan dan
perikanan; b. pariwisata;
c. pertanian;
d. kehutanan; e. energi dan sumber
daya mineral;
f. perdagangan; g. perindustrian; dan
h. transmigrasi.
Urusan
Pemerintahan Pilihan adalah
Urusan
Pemerintahan yang wajib
diselenggarakan
oleh Daerah sesuai
dengan potensi yang dimiliki Daerah.
Pendapatan Asli Daerah Kabupaten
Badung salah
satunya bersumber dari sektor
Pariwisata.
Pariwisata bagi
Pemerintah
kabupaten Badung,
merupakan salah satu penghasil
devisa, dengan
demikian salah satu urusan pilihan yang
diselenggarakan
oleh Pemerintah Kabupaten Badung
adalah urusan
pilihan bidang pariwisata.
Dengan demikian
Undang-undang ini relevan
dipergunakan
sebagai salah satu ketentuan
mengingat dari
50
rencana
pembentukan
RIPPARDA Kabupaten Badung.
7 Peraturan
Pemerintah
Nomor 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian
Urusan Pemerintahan
antara
Pemerintah, Pemerintahan
Daerah Provinsi
dan
Pemerintahan Daerah
Kabupaten/Kota
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun
2007 Nomor 82, Tambahan
Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
4737);
Pasal 7
(1) ... (2) ...
(3)Urusan pilihan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (2)
adalah urusan
pemerintahan yang secara nyata ada dan
berpotensi untuk
meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan
kondisi,kekhasan dan potensi unggulan daerah
yang bersangkutan.
(4)Urusan pilihan sebagaimana dimaksud
pada ayat (3) meliputi:
a.kelautan dan perikanan;
b. pertanian;
c. kehutanan;
d.energi dan sumber daya mineral;
e.pariwisata;
f. industri; g. perdagangan;dan
h. ketransmigrasian.
(5).Penentuan urusan pilihan ditetapkan oleh
pemerintahan daerah.
Berdasarkan Lampiran
Peraturan Pemerintah
Republik Indonesia Nomor
38 Tahun 2007 tanggal 9 Juli 2007, pada hurup Q
diatur pembagian urusan
pemerintahan bidang pariwisata.
Kewenangan
Berdasarkan
ketentuan Pasal 6
Peraturan Daerah Kabupaten Badung
No. 4 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintahan yang
Menjadi
Kewenangan Kabupaten Badung,
Pariwisata
ditetapkan sebagai
salah satu urusan pilihan.
Dalam menentukan Pariwisata sebagai
urusan pilihan,
salah satu kewenangan yang
dimiiki oleh
pemerintahan daerah kabuapten
adalah penetapan
kebijakan skala
kabupaten berupa RIPP Kabupaten.
Dalam Peraturan ini tidak dijelaskan apa
yang dimaksud
dengan RIPP, namun berdasarkan
kelaziman dalam
penetapan kebijakan
kepariwisataan,
RIPP ini lazim
diterjemahkan atau dibaca Rencana
Induk
Pembangunan Pariwisata.
51
Pemerintahan Daerah
kabupaten diatur sebagai
berikut : 1. ...
2. ...
3. Sub Bidang Kebijakan
Bidang Kepariwisataan. 1. Kebijakan
1. Pelaksanaan
kebijakan nasional,provinsi
dan penetapan
kebijakan skala kabupaten:
a. RIPP
Kabupaten. b. ...
c. ...
d. Pelaksanaan
kebijakan nasional dan
provinsi serta
penetapan pedoman
pengembangan
destinasi pariwisata
skala
kabupaten. 4....
5.Sub Bidang Kebijakan
Bidang Kebudayaan dan
Pariwisata. 1. Rencana induk
pengembangan
sumber daya kebudayaan dan
pariwisata nasional
skala kabupaten. 2. Pelaksanaan
kebijakan
nasional/provinsi dan penetapan kebijakan
kabupaten dalam
pengembangan sumber daya manusia
kebudayaan dan
pariwisata skala
Dari analisis ini,
maka dapat
dikatakan, Peraturan
Pemerintah Nomor
38 tahun 2007,
dapat dipergunakan sebagai salah satu
ketentuan
mengingat dalam Rancangan
Peraturan Daerah
Kabupaten Badung tentang RIPPARDA
Kepariwisataan.
52
kabupaten.
3. Pelaksanaan
kebijakan nasional /provinsi dan
penetapan kebijakan
kabupaten penelitian
kebudayaan dan pariwisata skala
kabupaten.
8 Undang-Undang Nomor 11 Tahun
2010 tentang
Cagar Budaya, ( Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun
2010 Nomor 130, Tambahan
Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor
5168 ).
Pasal 64
Pengamanan Cagar
Budaya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61
dan Pasal 62 harus
memperhatikan
pemanfaatannya bagi kepentingan sosial,
pendidikan,
pengembangan ilmu pengetahuan, agama,
kebudayaan, dan/atau
pariwisata.
Pasal 67
(1)Setiap orang dilarang
memindahkan Cagar
Budaya peringkat
nasional, peringkat provinsi, atau peringkat
kabupaten/kota, baik
seluruh maupun bagian-bagiannya,
kecuali dengan izin
Menteri, gubernur, atau bupati/wali kota sesuai
dengan tingkatannya.
Pasal 72
(1)Pelindungan Cagar
Budaya dilakukan
dengan menetapkan batas-batas
keluasannya dan
pemanfaatan ruang melalui sistem Zonasi
berdasarkan hasil
Cagar Budaya pemanfaatannya
dapat untuk
kepentingan sosial, pendidikan,
pengembangan ilmu
pengetahuan,
agama, kebudayaan,
dan/atau
pariwisata.
Bupati mempunyai
kewenangan berkaitan dengan
pemanfaatan cagar
budaya untuk kepentingan
pariwisata.
Berdasarkan
ketentuan ini, maka UU No 11 Tahun
2010, relevan
dirujuk sebagai salah satu
ketentuan
mengingat dalam Rancangan perda
yang akan dibentuk.
53
kajian.
(2)Sistem Zonasi
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan
oleh:
a. Menteri apabila telah
ditetapkan sebagai Cagar Budaya nasional
atau mencakup 2 (dua)
provinsi atau lebih; b.gubernur apabila
telah ditetapkan
sebagai Cagar Budaya provinsi atau
mencakup 2 (dua)
kabupaten/kota atau lebih; atau
c.bupati/wali kota
sesuai dengan
keluasan Situs Cagar Budaya atau
Kawasan Cagar Budaya
di wilayah kabupaten/kota.
Pasal 109 (2)Setiap orang yang tanpa
izin gubernur atau izin
bupati/wali kota, membawa Cagar Budaya
ke luar wilayah provinsi
atau kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 69 ayat (2)
dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau
denda paling sedikit
Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah) dan paling banyak
Rp100.000.000,00 (seratus
juta rupiah).
9 Peraturan Pemerintah
Republik
Pasal 4 (1)RIPPARNAS menjadi
pedoman bagi
RIPPARNAS dan Rencana Induk
Pembangunan
54
Indonesia Nomor
50 Tahun 2011
Tentang Rencana Induk
Pembangunan
Kepariwisataan
Nasional Tahun 2010-2025.(
(Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun
2011 Nomor 125,
Tambahan Lembaran Negara
Republik
Indonesia Nomor 4562).
pembangunan
kepariwisataan
nasional. (2)RIPPARNAS
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) menjadi
pedoman penyusunan Rencana Induk
Pembangunan
Kepariwisataan Provinsi.
(3)RIPPARNAS dan
Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan
Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) menjadi
pedoman penyusunan
Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan
Kabupaten/Kota.
Kepariwisataan
Provinsi
dipergunakan menjadi pedoman
penyusunan
Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan
Kabupaten.
Persoalan hukum yang ditemui
sampai saat
dilakukan kajian ini, Rencana Induk
Pembangunan
Kepariwisataan Provinsi Bali,
sampai saat ini
belum ditetapkan.
Dengan demikian Rencana Induk
Pembangunan
Kepariwisataan Provinsi Bali, tidak
dipergunakan
sebagai salah satu ketentuan
mengingat dari
Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan
Kabupaten Badung.
10 Peraturan Pemerintah
Nomor 15 Tahun
2010 tentang Penyelengaraan
Penataan Ruang
(Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun
2010 Nomor 21).
Pasal 153 (1)Peraturan zonasi
kabupaten/kota
merupakan penjabaran dari ketentuan umum
peraturan zonasi yang
ditetapkan dalam rencana tata ruang
wilayah
kabupaten/kota.
(2)Peraturan zonasi kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) ditetapkan dengan peraturan
daerah
Ketentuan ini menunjukkan
bahwa Pemerintah
Daerah Kabupaten mempunyai
wewenang untuk
menetapkan peraturan daerah
tentang Rencana
Induk
Pembangunan Kepariwisataan
Kabupaten Badung.
Peraturan Pemerintah Nomor
15 Tahun 2010
55
kabupaten/kota.
(3)Peraturan zonasi
kabupaten/kota merupakan dasar
dalam pemberian
insentif dan disinsentif,
pemberian izin, dan pengenaan sanksi di
tingkat
kabupaten/kota. Pasal 154
(1)Peraturan zonasi
kabupaten/kota memuat zonasi pada
setiap zona
peruntukan. (2)Zona peruntukan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1)
merupakan suatu bagian wilayah atau
kawasan yang
ditetapkan dalam rencana tata ruang
untuk mengembankan
suatu fungsi tertentu sesuai dengan
karakteristik zonanya.
(3)Ketentuan zonasi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) meliputi:
a. ketentuan kegiatan
dan penggunaan ruang yang
diperbolehkan,
diperbolehkan dengan syarat, dan
yang tidak
diperbolehkan; b. ketentuan intensitas
pemanfaatan ruang
paling sedikit terdiri atas:
1. koefisien dasar
bangunan maksimum;
2. koefisien lantai
bangunan
tentang
Penyelengaraan
Penataan Ruang relevan dirujuk
sebagai salah satu
ketentuan
mengingat dalam Perda RIPPARDA
Kabupaten Badung
yang akan dibentuk.
56
maksimum;
3. ketinggian
bangunan maksimum; dan
4. koefisien dasar
hijau minimum.
c. ketentuan prasarana dan sarana
minimum sebagai
kelengkapan dasar fisik lingkungan yang
mendukung
berfungsinya zona secara optimal; dan
d. ketentuan lain yang
dibutuhkan untuk mengendalikan
pemanfaatan ruang
pada kawasan cagar
budaya, kawasan rawan bencana,
kawasan
keselamatan operasi penerbangan, dan
kawasan lainnya
sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-
undangan. (4)Selain ketentuan zonasi
sebagaimana dimaksud
pada ayat (3), dalam
wilayah kota memuat ketentuan lain yang
dibutuhkan untuk
mengendalikan perkembangan
penggunaan lahan
campuran, sektor informal, dan
pertumbuhan gedung
pencakar langit.
11 Peraturan
Pemerintah
Nomor 50 Tahun 2011 tentang
Rencana Induk
Pasal 4
(1)RIPPARNAS menjadi
pedoman bagi pembangunan
kepariwisataan
Berdasarkan
Peraturan
Pemerintah Nomor 50 Tahun 2011
Kabupaten Badung
57
Pembangunan
Kepariwisataan
Nasional Tahun 2010-2025
(Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun 2011 Nomor 125,
Tambahan
Lembaran Negara Republik
Indonesia Nomor
4562).
nasional.
(2)RIPPARNAS
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menjadi
pedoman penyusunan
Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan
Provinsi.
(3)RIPPARNAS dan Rencana Induk
Pembangunan
Kepariwisataan Provinsi sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dan ayat
(2) menjadi pedoman penyusunan Rencana
Induk Pembangunan
Kepariwisataan
Kabupaten/Kota.
mempunai
wewenang untuk
menetapkan Peraturan Daerah
berkaitan dengan
RIPPARDA
Kabupaten.
12 Peraturan
Pemerintah Nomor 27 Tahun
2012 tentang
Izin Lingkungan (Lembaran
Negara Republik
Indonesia Tahun
2012 Nomor 48.Tambahan
Lembaran Negara
Republik Indonesia Nomor
5285).
Pasal 1
Angka 1 Izin Lingkungan adalah
izin yang diberikan kepada
setiap orang yang melakukan Usaha
dan/atau Kegiatan yang
wajib Amdal atau UKL-UPL
dalam rangka perlindungan dan
pengelolaan lingkungan
hidup sebagai prasyarat memperoleh izin Usaha
dan/atau Kegiatan.
Angka 2
Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup, yang
selanjutnya disebut Amdal,
adalah kajian mengenai
dampak penting suatu Usaha dan/atau Kegiatan
yang direncanakan pada
lingkungan hidup yang diperlukan bagi proses
pengambilan keputusan
Usaha pariwisata
merupakan usaha yang menediakan
barang dan /atau
jasa bagi pemenuhan
kebutuhan
wisatawan dan
penyelenggaraan pariwisata.
Dalam kasus-kasus
tertentu, berkaitan dengan usaha
pariwisata wajib
memperhatikan dan memenuhi Izin
Lingkungan.
Dengan demikian, Peraturan
Pemerintah Nomor
27 Tahun 2012
tentang Izin Lingkungan relevan
dipergunakan
sebagai salah satu ketentuan
mengingat dalam
58
tentang penyelenggaraan
Usaha dan/atau Kegiatan.
Angka 3
Upaya Pengelolaan
Lingkungan Hidup dan
Upaya Pemantauan Lingkungan Hidup, yang
selanjutnya disebut UKL-
UPL, adalah pengelolaan dan pemantauan terhadap
Usaha dan/atau Kegiatan
yang tidak berdampak penting terhadap
lingkungan hidup yang
diperlukan bagi proses pengambilan keputusan
tentang penyelenggaraan
Usaha dan/atau Kegiatan.
Angka 4
Usaha dan/atau Kegiatan
adalah segala bentuk aktivitas yang dapat
menimbulkan perubahan
terhadap rona lingkungan hidup serta menyebabkan
dampak terhadap
lingkungan hidup.
Rancangan
Peraturan Daeah
tentang Rencana Induk
Pembangunan
Kepariwisataan
Daerah Tahun 2015-2030 yang
akan dibentuk.
13 Peraturan Presiden
Republik
Indonesia Nomor 51 Tahun
2014
Tentang Perubahan atas
Peraturan
Presiden Nomor
45 Tahun 2011 Tentang
Rencana Tata
Ruang Kawasan Perkotaan
Denpasar,
Pasal 2 Pengaturan penataan
ruang diselenggarakan
untuk: a. mewujudkan
ketertiban dalam
penyelenggaraan penataan ruang;
b. memberikan kepastian
hukum bagi seluruh
pemangku c. kepentingan dalam
melaksanakan tugas
dan tanggung jawab d. serta hak dan
kewajibannya dalam
Peraturan Presiden Republik Indonesia
Nomor 51 Tahun
2014 Tentang
Perubahan atas
Peraturan Presiden Nomor 45 Tahun
2011
memberikan
kewenangan kepada Kabupaten untuk
melakukan
penataan ruang termasuk
didalammnya
59
Badung,
Gianyar, Dan
Tabanan.(Lembaran Negara
Republik
Indonesia Tahun
2014 Nomor 121).
penyelenggaraan
penataan
e. ruang; dan f. mewujudkan keadilan
bagi seluruh
pemangku
kepentingan g. dalam seluruh aspek
penyelenggaraan
penataan ruang.
Pasal 3
Pengaturan penataan ruang disusun dan
ditetapkan oleh
Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan
pemerintah daerah
kabupaten/kota sesuai
dengan kewenangannya.
Pasal 4
(1). ... (2). ...
(3)Pengaturan penataan
ruang oleh pemerintah daerah kabupaten/kota
sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 3 meliputi penyusunan dan
penetapan:
a. rencana tata ruang
wilayah kabupaten/kota,
rencana tata
(7) ruang kawasan strategis
kabupaten/kota,
rencana detail (8) tata ruang
kabupaten/kota
termasuk peraturan zonasi
(9) yang ditetapkan dengan
peraturan daerah (10) kabupaten/kota; dan
a. ketentuan tentang
perizinan, bentuk dan
menata kawasan
sebagai kawasan
pariwisata yang dituangkan dalam
RIPPARDA
Kabupaten.
60
besaran insentif
(11) dan disinsentif, serta
sanksi administratif, yang ditetapkan dengan
peraturan
bupati/walikota.
Pasal 5
(1)Selain penyusunan dan
penetapan peraturan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 4,
Pemerintah, pemerintah daerah provinsi, dan
pemerintah daerah
kabupaten/kota dapat menetapkan peraturan
lain di bidang penataan
ruang sesuai
kewenangan berdasarkan ketentuan
peraturan perundang
undangan.
14 Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 5
Tahun 2005
tentang
Persyaratan Arsitektur
Bangunan
Gedung. (Lembaran
Daerah Provinsi
Bali Tahun 2005 Nomor 5).
Pasal 21
Gubernur
mengkoordinasikan
pengendalian persyaratan
arsitektur bangunan gedung, penggunaan
symbol fungsi, dan
symbol keagamaan dengan pemerintah
kabupaten/kota
Untuk menjamin
kepastian dan ketertiban hukum
dalam
penyelenggaraan
bangunan gedung, setiap bangunan
gedung harus
diselenggarakan secara tertib dan
terkendali. Karena
pengendalian langsung tentang
persyaratan
arsitektur bangunan sesuai
dengan semangat
otonomi daerah
sebagaimana diatur dalam Undang –
Undang Nomor 32
Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah, maka
61
Kabupaten/Kota
harus membuat
peraturan daerah kabupaten/kota
yang memat
ketentuan tentang
persyaratan arsitektur
bangunan gedung
dengan mengadopsi, menjabarkan, dan
lebih memperinci
subsansi Peraturan Daerah ini agar
memiliki kekhasan
sesuai potensi daerah dan lebih
mudah ditetapkan.
Keseluruhan
maksud dan tujuan pengaturan tersebut
dilandasi oleh asas
kemanfaatan, keselamatan ,
keseimbangan, dan
keserasian bangunan gedung
dengan
lingkungannya, bagi kepentingan
masyarakat yang
berperikemanusiaan
dan berkeadilan.
15 Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 16
Tahun 2009
tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Provinsi
Bali.(Lembaran
Daerah Provinsi Bali Tahun 2009
Nomor 16,
Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi
Pasal 91
(7) Instansi pelaksana
program pemanfaatan
ruang sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
dapat dilakukan oleh:
a. pemerintah;
b. pemerintah provinsi;
c. pemerintah
kabupaten/kota; d. dunia usaha;
e. Kerjasama
Melalui Peraturan
Daerah Peraturan Daerah Provinsi Bali
Nomor 16 Tahun
2009. Pemerintah Provinsi
memberikan
kewenangan
penyelenggaraan pemanfaatan ruang
kepada kabupaten.
Berdasarkan hal tersebut diatas,
maka Perda Provinsi
62
Bali Nomor 15). Pemerintah dan
Swasta (KPS); dan
f. masyarakat.
Pasal 131
(1) Pemerintah provinsi menyelenggarakan
penataan ruang untuk
sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.
(2) Dalam melaksanakan tugas penyelenggaraan
penataan ruang,
pemerintah provinsi memberikan
kewenangan
penyelenggaraan
penataan ruang kepada pemerintah
kabupaten/kota.
Bali No 16 Tahun
2009 relevan
dipergunakan sebagai salah satu
ketentuan
mengingat
Ranperda RIPPARDA
Kabupaten Badung
yang akan dibentuk.
16 Peraturan
Daerah Provinsi Bali Nomor 2
Tahun 2012
tentang
Kepariwisataan Budaya Bali.
(Lembaran
Daerah Provinsi Bali Tahun 2012
Nomor 2,
Tambahan Lembaran
Daerah Provinsi
Bali Nomor 2).
Pasal 11
(3) Dalam
mengembangkan
destinasi pariwisata
sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
Pemerintah Provinsi
dapat bekerja sama dengan
Kabupaten/Kota.
Pasal 20
Pemerintah Provinsi dan Pemerintah
Kabupaten/Kota dapat
bekerjasama untuk
melakukan promosi kepariwisataan Bali.
Peraturan Daerah
Provinsi Bali Nomor 2 Tahun 2012
tentang
Kepariwisataan
Budaya Bali, memberikan arah
dan sejalan dengan
Ranperda RIPPARDA yang akan dibentuk.
17 Peraturan Daerah
Kabupaten
Pasal 6 (1)Urusan pilihan
sebagimana dimaksud
Rumusan ketentuan ini
menentukan,
63
Badung No. 4
Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintahan
yang Menjadi
Kewenangan
Kabupaten Badung.(Lembar
an Daerah
Kabupaten Badung Tahun
2008 Nomor 4,
Tambahan Lembaran
Daerah
Kabupaten Badung Nomor
4).
dalam Pasal 4
berpotensi untuk
meningkatkan kesejahteraan
masyarakat sesuai
dengan
kondisi,kekhasan, dan potensi yang ada di
daerahyang
bersangkutan; (2)Berdasarkan analisis
terhadap Produk
Domestik Regional Bruto(PDRB) mata
pencaharian penduduk,
pemanfaatan lahan dan pengembangan potensi
yang ada di daerah,
maka urusan pilihan
yang dilaksanakan meliputi bidang:
a. pariwisata;
b.pertanian; c. perdagangan
d. ...
Selanjutnya dalam Lampiran Peraturan
Daerah ini ditentukan
sebagai berikut : A. Urusan
Pemerintahan
Bidang Pariwisata.
Sub Bidang Kebijakan Bidang kepariwisataan.
Sub-sub bidang
Kebijakan. Urusan Pemerintahan
Daerah Kabupaten.
1. Pelaksanaan kebijakan
nasional,propinsi
dan penetapan kebijakan skala
kabupaten:
a. RIPP Kabupaten
b. ...
2. Pelaksanaan Bidang
Pemerintah
Daerah
Kabupaten Badung
menentukan
Pariwisata
sebagai salah satu urusan
pilihan.
Berdasarkan
urusan pilihan
ini, Pemerintah Kabupaten
Badung
mempunai kewenangan
untuk
menyusun
RIPPARDA Kabupaten.
64
Kepariwisataan
3. Kebikaan bidang
Pariwisata: i. Rencana induk
pengembangan
sumber daya
kebudayaan dan pariwisata
nasional skala
kabupaten
18 Peraturan
Daerah
Kabupaten Badung No. 2
Tahun 2012
tentang
Kepariwisataan.(Lembaran
Daerah
Kabupaten Badung Tahun
2012 Nomor 2,
Tambahan Lembaran
Daerah
Kabupaten Badung Nomor
2).
Pasal 8
(1)Pembangunan Kepariwisataan
dilakukan berdasarkan
Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Daerah.
(2)Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan Daerah
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1), mencakup visi dan misi serta
tahapan sasaran yang
akan diwujudkan, kebijakan dan strategi
untuk pemberdayaan
masyarakat,
pembangunan daya tarik wisata,
pembangunan destinasi
pariwisata, pembangunan usaha
pariwisata, pemasaran
pariwisata serta pengorganisasian
kepariwisataan dalam
rangka mewujudkan tujuan penyelenggaraan
kepariwisataan.
(3)Penyusunan Rencana
Induk Pembangunan Kepariwisataan
sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dengan melibatkan
pemangku kepentingan.
Peraturan Daerah
Kabupaten Badung
No. 2 Tahun 2012, sejalan dan searah
dengan Ranperda
RIPPARDA yang
akan dibentuk.
65
Pasal 11
Pemerintah Daerah
bersama lembaga yang
terkait menyelenggarakan
penelitian dan pengembangan
kepariwisataan untuk
mendukung pembangunan kepariwisataan.
19 Peraturan
Daerah
Kabupaten
Badung No. 26 Tahun 2013
tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah
Kabupaten
Badung.(Lembaran Daerah
Kabupaten
Badung Tahun 2013 Nomor 26,
Tambahan
Lembaran
Daerah Kabupaten
Badung Nomor
25).
Pasal 3
Penataan Ruang Wilayah
Kabupaten bertujuan untuk mewujudkan
Kabupaten
Badung sebagai Pusat Kegiatan Nasional dan
destinasi pariwisata
internasional yang berkualitas, berdaya
saing dan berjatidiri
budaya Bali melalui sinergi pengembangan Wilayah
Badung Utara, Badung
Tengah dan Badung
Selatan secara berkelanjutan
berbasis kegiatan
pertanian, jasa dan kepariwisataan menuju
kesejahteraan Masyarakat
sebagai implementasi dari falsafah Tri Hita Karana.
Peraturan Daerah
Kabupaten Badung
No. 26 Tahun 2013
tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah Kabupaten
Badung, searah dan sejalan dengan
Rancangan
RIPPARDA Kabupaten Badung
yang akan
dibentuk.
3.2.Kajian Terhadap Peraturan Daerah Kabupaten Badung yang
memuat kondisi hukum yang ada terkait dengan Kepariwisataan.
Penelusuran terhadap beberapa Peraturan Daerah Kabupaten Badung,
yang memuat kondisi hukum terkait dengan kepariwisataan, sejalan dan
searah dengan RIPPARDA Kabupaten Badung dapat ditampilkan pada matrik dibawah ini.
66
Matrik 2.Peraturan Daerah Kabupaten Badung yang memuat kondisi
hukum yang ada terkait dengan Kepariwisataan.
No Peraturan Daerah Rumusan
Normanya
Analisis
1 Peraturan Daerah Kabupaten Badung
No. 4 Tahun 2008
tentang Urusan Pemerintahan yang
Menjadi Kewenangan
Kabupaten Badung;
Pasal 6 (1)Urusan pilihan
sebagimana
dimaksud dalam Pasal 4 berpotensi
untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakat sesuai
dengan
kondisi,kekhasan,
dan potensi yang ada di daerahyang
bersangkutan;
(2)Berdasarkan analisis terhadap
Produk Domestik
Regional Bruto(PDRB) mata pencaharian
penduduk,
pemanfaatan lahan dan pengembangan
potensi yang ada di
daerah, maka urusan
pilihan yang dilaksanakan
meliputi bidang:
a. pariwisata; b.pertanian;
c. perdagangan
d. ... Selanjutnya dalam
Lampiran Peraturan
Daerah ini ditentukan sebagai berikut :
A. Urusan
Pemerintahan Bidang
Pariwisata. Sub Bidang Kebijakan
Bidang
kepariwisataan. Sub-sub bidang
Kebijakan.
Peraturan Daerah Kabupaten
Badung No. 4
Tahun 2008, menentukan
salaah satu
urusan pilihan yang dijalankan
oleh Pemerintah
Daerah kabupaten
Badung adalah Urusan
Kepariwisataan.
Salah satu
kebijakaan bidang
Pariwisata di Kabupaten
Badung, yang
menjadi kewenangan dari
Pemerintah
Kabupaten
Badung yakni membentuk
Rencana induk
pengembangan sumber daya
kebudayaan dan
pariwisata nasional skala
kabupaten.
67
Urusan Pemerintahan
Daerah Kabupaten.
1.Pelaksanaan
kebijakan
nasional,propinsi dan penetapan kebijakan
skala kabupaten:
a. RIPP Kabupaten b. ...
2. Pelaksanaan
Bidang Kepariwisataan
3. Kebikaan
bidang Pariwisata: i. Rencana induk
pengembangan
sumber daya
kebudayaan dan pariwisata
nasional skala
kabupaten.
2 Peraturan Daerah
Kabupaten Badung
No.2 Tahun 2012 tentang
Kepariwisataan.
(Lembaran Daerah
Kabupaten Badung Tahun 2012 Nomor
2,Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Badung
Nomor 2).
Pasal 8
(1)Pembangunan Kepariwisataan
dilakukan
berdasarkan
Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan
Daerah. (2)Rencana Induk
Pembangunan
Kepariwisataan Daerah
sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), mencakup
visi dan misi serta
tahapan sasaran
yang akan diwujudkan,
kebijakan dan
strategi untuk pemberdayaan
masyarakat,
Peraturan Daerah
Kabupaten
Badung No. 2 Tahun 2012,
sejalan dan searah
dengan Ranperda
RIPPARDA yang akan dibentuk.
68
pembangunan daya
tarik wisata,
pembangunan destinasi
pariwisata,
pembangunan
usaha pariwisata, pemasaran
pariwisata serta
pengorganisasian kepariwisataan
dalam rangka
mewujudkan tujuan
penyelenggaraan
kepariwisataan. (3)Penyusunan
Rencana Induk
Pembangunan
Kepariwisataan sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) dilakukan dengan melibatkan
pemangku
kepentingan.
Pasal 11
Pemerintah Daerah
bersama lembaga
yang terkait
menyelenggarakan penelitian dan
pengembangan
kepariwisataan untuk mendukung
pembangunan
kepariwisataan.
3 Peraturan Daerah
Kabupaten Badung No. 26 Tahun 2013
tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kabupaten
Badung.(Lembaran
Pasal 3
Penataan Ruang
Wilayah Kabupaten
bertujuan untuk mewujudkan
Kabupaten
Peraturan Daerah
Kabupaten Badung No. 26
Tahun 2013
tentang Rencana Tata Ruang
Wilayah
69
Daerah Kabupaten
Badung Tahun 2013
Nomor 26, Tambahan Lembaran
Daerah Kabupaten
Badung Nomor 25).
Badung sebagai Pusat
Kegiatan Nasional
dan destinasi pariwisata
internasional
yang berkualitas,
berdaya saing dan berjatidiri budaya
Bali melalui sinergi
pengembangan Wilayah Badung
Utara, Badung
Tengah dan Badung Selatan
secara berkelanjutan
berbasis kegiatan pertanian, jasa dan
kepariwisataan
menuju
kesejahteraan Masyarakat sebagai
implementasi dari
falsafah Tri Hita Karana.
Kabupaten
Badung, searah
dan sejalan dengan
Rancangan
RIPPARDA
Kabupaten Badung yang
akan dibentuk.
4 Peraturan Daerah
Kabupaten Badung Nomor 7 Tahun
2013 tentang
Pengelolaan
Sampah. ( Lembaran Daerah Kabupaten
Badung Tahun 2013
Nomor 7, Tambahan Lembaran Daerah
kabupaten Badung
Nomor 7).
Pasal 4
Pengelolaan Sampah bertujuan untuk
meningkatkan
kebersihan,
kesehatan masyarakat dan
kualitas lingkungan
yang kondusif serta menjadikan sampah
sebagai sumber daya
yang potensial.
Tujuan
pengelolaan sampah dalam
Perda ini sejalan
dengan tujuan
pengembangan kepariwisataan
yang akan
dibentuk yang dituangkan dalam
RIPPARDA
Kabupaten Badung.
5 Peraturan Daerah
Kabupaten Badung
Nomor 8 Tahun 2013 tentang
Kawasan Tanpa
Rokok. ( Lembaran Daerah Kabupaten
Badung Tahun 2013
Nomor 8, Tambahan Lembaran Daerah
kabupaten Badung
Pasal 10
Tempat umum
sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 ayat (2) huruf
g meliputi : a.pasar modern;
b.pasar tradisional;
c.tempat wisata; d.tempat hiburan;
e.hotel;
70
Nomor 8). f.restoran;
g.tempat rekreasi;
h.halte; i.terminal angkutan
umum;
j.terminal angkutan
barang; k.pelabuhan; dan
l.bandara.
6 Peraturan Daerah
Kabupaten Badung
Nomor 9 Tahun 2010 tentang Izin
Ganguan. (
Lembaran Daerah
Kabupaten Badung Tahun 2010 Nomor
9, Tambahan
Lembaran Daerah Kabupaten Badung
Nomor 9).
Pasal 2
(1) Maksud
ditetapkannya Peraturan Daerah
ini dalam rangka
pembinaan,
pengendalian dan pengawasan
terhadap kegiatan
usaha/ tempat usaha guna
terciptanya iklim
usaha yang kondusif di daerah.
(2) Tujuan
ditetapkannya Peraturan Daerah
ini untuk
memberikan
legalitas, dasar hukum dan
kepastian hukum
dalam pelaksanaan kewenangan
daerah dalam
pemberian perizinan kepada
masyarakat dan
sebagai upaya untuk mencegah
timbulnya
gangguan terhadap
kesehatan, keselamatan,
ketentraman dan/
atau kesejahteraan terhadap
kepentingan
Tujuan
ditetapkannya
Peraturan Daerah ini untuk
mencegah
timbulnya
gangguan terhadap
kesehatan,
keselamatan, ketentraman dan/
atau
kesejahteraan terhadap
kepentingan
umum, searah dengan Ranperda
tentang RIPPARDA
Kabupaten
Badung yang akan dibentuk.
71
umum.
Lampiran Peraturan Daerah Kabupaten
Badung
Nomor : 9 Tahun
2010 Tanggal: 23
Nopember 2010
Tentang: Izin Gangguan
Tempat-tempat
usaha lainnya yang wajib memiliki Izin
Gangguan
sebagaimana dimaksud pada
angka I nomor 21
adalah :
43.Usaha di bidang
pariwisata yaitu :
1)Restoran, rumah makan, kafe;
2) Bar;
3) Bilyar; 4) Diskotik;
5) Club malam;
6) Panti pijat; 7)Bioskop, sinema;
8)Bola etangkasan;
9) Barber shop;
10) Karaoke; 11)Hotel bintang,
Hotel melati;
12)Hotel transit; 13) Losmen;
14)Penginapan
remaja; 15)Pondok wisata;
16)Mandala wisata;
17) Wisma; 18) ...
7 Peraturan Daerah
Kabupaten Badung
Pasal 3
(1)Objek Retribusi
72
Nomor 12 Tahun
2013 Tentang
Retribusi Tempat Penjualan Minuman
Beralkohol. (
Lembaran Daerah
Kabupaten Badung Tahun 2013 Nomor
12, Tambahan
Lembaran Daerah kabupaten Badung
Nomor 12).
adalah pemberian
izin tempat
penjualan minuman
beralkohol disuatu
tempat tertentu.
(2)Tempat tertentu sebagaimana
dimaksud pada
ayat (1) adalah: a.pengecer
minuman
beralkohol golongan B
dan/atau
golongan C ditempatlainnya
termasuk toko
Bebas Bea (duty free shop);
b.penjual
minuman
beralkohol golongan B
dan/atau
golongan C untuk diminum
langsung
ditempat, meliputi:
1.Hotel
berbintang :
-Hotel berbintang 3,
-Hotel
berbintang 4, dan
-Hotel
berbintang 5. 2.Restoran, Bar,
termasuk
Pub, Karaoke dan Klab
malam.
c.pengecer dalam
kemasan minuman beralkohol untuk
tujuan kesehatan.
73
BAB IV
LANDASAN FILOSOFIS, SOSIOLOGIS DAN YURIDIS
4.1.Landasan Filosofis
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 menentukan landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan
yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk mempertimbangkan
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang meliputi suasana
kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila
dan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun
1945.
Berdasarkan pertimbangan filosofis sebagaimana dimaksudkan diatas,
pandangan hidup, kesadaran, dan cita hukum yang dimuat dalam
Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Rencana Induk
Pembangunan Kepariwisataan yag dibentuk mengacu pada prinsip
pengembangan kepariwisataan.
Prinsip pengembangan kepariwisataan di Kabupaten Badung yang
tertuang dalam Peraturan Daerah ini, terdiri atas :
a. nilai-nilai Tri Hita Karana sebagai landasan filosofis pembangunan
kepariwisataan Bali.
b. pariwisata berkelanjutan.
c. berbasis pemberdayaan masyarakat.
d. pendayagunaan potensi local.
e. keterpaduan antarsektor dan antarwilayah.
f. memberikan kepuasan kepada wisatawan.
g. mematuhi kode etik pariwisata dunia.
Berdasarkan pada prinsip-prinsip pengembangan kepariwisataan seperti
yang disebutkan diatas, visi Pembangunan Kepariwisataan Daerah adalah
Kabupaten Badung sebagai destinasi pariwisata yang berkualitas, berdaya
saing global, berkelanjutan, dan berbasis budaya lokal berlandaskan Tri
Hita Karana.
Dengan visi Kabupaten Badung sebagai destinasi pariwisata yang
berkualitas, berdaya saing global, berkelanjutan, dan berbasis budaya lokal
berlandaskan Tri Hita Karana, misi yang diemban dalam pembangunan
kepariwisataan di Kabupaten Badung,dirumuskan sebagai berikut :
a. Mengembangkan Kabupaten Badung sebagai pintu gerbang
pariwisata Bali dan destinasi pariwisata berkualitas yang memiliki
daya tarik wisata alam, budaya, sehingga memberikan pengalaman
yang berkesan bagi wisatawan.
74
b. Mengembangkan industri pariwisata yang berdaya saing global
melalui peningkatan kualitas produk, layanan, kepedulian terhadap
lingkungan alam, sosial dan budaya, sertifikasi dan akreditasi usaha,
serta mewujudkan investasi di bidang industri pariwisata secara
selektif dan terbatas dengan prioritas pengembangan usaha kecil dan
menengah yang mempertimbangkan daya dukung (carrying capacity).
c. Meningkatkan citra kepariwisataan Kabupaten Badung sebagai
destinasi pariwisata berkualitas melalui pemasaran yang terpadu
dan inovatif dengan target pasar wisatawan yang berkualitas.
d. Mewujudkan tata kelola kepariwisataan secara terintegrasi dan
berbasis masyarakat yang didukung oleh sumber daya manusia
yang profesional.
4.2. Landasan Sosiologis
Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang
menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk memenuhi
kebutuhan masyarakat dalam berbagai aspek. Landasan sosiologis
sesungguhnya menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan
masalah dan kebutuhan masyarakat dan negara.
Fakta empiris yang dirumuskan dalam Rencana Induk Pembangunan
Kepariwisataan dituangkan dalam tujuan dan sasaran pembangunan
kepariwisataan yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat
pada umumnya, dan masyarakat Kabupaten Badung pada khususnya.
Tujuan Pembangunan Kepariwisataan Daerah meliputi:
a. Destinasi Pariwisata.
1. Terwujudnya kawasan pantai yang bersih, indah, aman dan
nyaman sebagai basis keunggulan daya saing kepariwisataan
Badung.
2. Meningkatnya keragaman daya tarik wisata serta terwujudnya
perkembangan pariwisata secara merata sesuai daya dukung.
3. Meningkatnya kualitas higiene dan sanitasi, kelestarian lingkungan
dan keanekaragaman hayati, serta kelestarian budaya untuk
meningkatkan citra destinasi.
4. Meningkatnya aksesibilitas dan daya dukung kawasan.
5. Meningkatnya kontribusi pariwisata bagi pelestarian tradisi dan
budaya, peningkatan kapasitas sosial dan perekonomian
masyarakat lokal secara berkeadilan.
b. Industri Pariwisata.
1. Terwujudnya struktur industri pariwisata yang kuat dan produk
pariwisata berdaya saing tinggi serta berkelanjutan.
2. Terwujudnya manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang
kredibel dan berdaya saing tinggi.
75
3. Meningkatnya kesempatan berusaha dan akses pasar terhadap
produk industri kecil dan menengah dan usaha pariwisata skala
mikro, kecil dan menengah yang dikembangkan masyarakat lokal.
c. Pemasaran Pariwisata.
1. Meningkatnya citra kepariwisataan Kabupaten Badung sebagai
destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya saing.
2. Terciptanya komunikasi dan relasi yang baik dengan wisatawan
dan pasar-pasar utama serta semakin bertumbuhnya pasar baru
yang sedang berkembang guna meningkatkan jumlah kunjungan
wisatawan secara berkelanjutan.
d. Kelembagaan Pariwisata.
1. Meningkatnya peran organisasi kepariwisataan baik di lingkungan
pemerintah maupun swasta sebagai pilar strategis pembangunan
kepariwisataan yang berdaya saing dan berkelanjutan.
2. Terwujudnya sumberdaya manusia pariwisata di lingkungan
pemerintah yang berkemampuan tinggi dan profesional, serta di
tingkat dunia usaha dan masyarakat yang kompeten dan
mempunyai kemampuan kewirausahaan.
3. Terwujudnya tata kelola kepariwisataan yang baik dan bertanggung
jawab, mencakup aspek perencanaan, koordinasi, implementasi,
dan pengendalian.
4. Terbangunnya jejaring kerja (networking) dan kerjasama yang
harmonis antarpemangku kepentingan dalam rangka
meningkatkan kualitas pengelolaan pariwisata.
Selain tujuan pembangunan kepariwisataan daerah seperti tersebut
diatas, landasan sosiologis pengaturan Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan Daerah Kabupaten Badung, dituangkan sebagai sasaran
pembangunan kepariwisataan,diharapkan dapat memenuhi kebutuhan
masyarakat terdiri atas:
a. Peningkatan jumlah kunjungan wisatawan nusantara dan
mancanegara.
b. Peningkatan lama tinggal.
c. Peningkatan jumlah pengeluaran wisatawan.
d. Penyeimbangan pengembangan kepariwisataan di wilayah Badung
Selatan dan Badung Utara melalui wisata perdesaan, agrowisata,
ekowisata dan wisata jenis lainnya yang berbasis alam perdesaan
dan pertanian.
76
4.3. Landasan Yuridis
Berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun
2011 menentukan landasan landasan yuridis merupakan pertimbangan
atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibentuk untuk
mengatasi permasalahan hukum atau mengisi kekosongan hukum dengan
mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang
akan dicabut guna menjamin kepastian hukum dan rasa keadilan
masyarakat. Landasan yuridis menyangkut persoalan hukum yang
berkaitan dengan substansi atau materi yang diatur sehingga perlu
dibentuk Peraturan Perundang-Undangan yang baru.
Beberapa persoalan hukum itu, antara lain, peraturan yang sudah
ketinggalan, peraturan yang tidak harmonis atau tumpang tindih, jenis
peraturan yang lebih rendah dari Undang-Undang sehingga daya
berlakunya lemah, peraturannya sudah ada tetapi tidak memadai, atau
peraturannya memang sama sekali belum ada.
Persoalan hukum tentang Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan Daerah Kabupaten Badung yang akan dibentuk, dari sisi
landasan yuridis berhubungan dengan kekosongan hukum dan
peraturannya memang sama sekali belum ada, dimana Peraturan Daerah
tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah Kabupaten
Badung yang diharapkan berfungsi sebagai rencana induk kepariwisataan,
belum terbentuk sebagaimana diperintahkan oleh Undang-Undang Nomor
10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan Pasal 8 ayat (1) dan Pasal 9 ayat (3).
77
BAB V
JANGKAUAN, ARAH PENGATURAN DAN RUANG LINGKUP MATERI
MUATAN PERATURAN DAERAH
5.1. Jangkauan dan Arah Pengaturan Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan.
Naskah Akademik ini berfungsi mengarahkan ruang lingkup materi
muatan Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Rencana
Induk Pengembangan Kepariwisataan yang akan dibentuk. Sasaran yang
akan diwujudkan dalam pengaturan Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan ini, terdiri atas tujuan dan sasaran pembangunan
kepariwisataan daerah Kabupaten Badung.
Adapun tujuan pembangunan kepariwisataan daerah Kabupaten
Badung yang akan diwujudkan dalam pengaturan Rencana Induk
Pengembangan Kepariwisataan ini meliputi:
a. Destinasi Pariwisata.
1. Terwujudnya kawasan pantai yang bersih, indah, aman dan
nyaman sebagai basis keunggulan daya saing kepariwisataan
Badung;
2. Meningkatnya keragaman daya tarik wisata serta terwujudnya
perkembangan pariwisata secara merata sesuai daya dukung;
3. Meningkatnya kualitas higiene dan sanitasi, kelestarian lingkungan
dan keanekaragaman hayati, serta kelestarian budaya untuk
meningkatkan citra destinasi;
4. Meningkatnya aksesibilitas dan daya dukung kawasan; dan
5. Meningkatnya kontribusi pariwisata bagi pelestarian tradisi dan
budaya, peningkatan kapasitas sosial dan perekonomian
masyarakat lokal secara berkeadilan.
b. Industri Pariwisata.
1. Terwujudnya struktur industri pariwisata yang kuat dan produk
pariwisata berdaya saing tinggi serta berkelanjutan.
2. Terwujudnya manajemen dan pelayanan usaha pariwisata yang
kredibel dan berdaya saing tinggi.
3. Meningkatnya kesempatan berusaha dan akses pasar terhadap
produk industri kecil dan menengah dan usaha pariwisata skala
mikro, kecil dan menengah yang dikembangkan masyarakat lokal.
c. Pemasaran Pariwisata.
1. Meningkatnya citra kepariwisataan Kabupaten Badung sebagai
destinasi pariwisata yang aman, nyaman, dan berdaya saing; dan
78
2. Terciptanya komunikasi dan relasi yang baik dengan wisatawan
dan pasar-pasar utama serta semakin bertumbuhnya pasar baru
yang sedang berkembang guna meningkatkan jumlah kunjungan
wisatawan secara berkelanjutan.
d. Kelembagaan Pariwisata.
1. Meningkatnya peran organisasi kepariwisataan baik di lingkungan
pemerintah maupun swasta sebagai pilar strategis pembangunan
kepariwisataan yang berdaya saing dan berkelanjutan.
2. Terwujudnya sumberdaya manusia pariwisata di lingkungan
pemerintah yang berkemampuan tinggi dan profesional, serta di
tingkat dunia usaha dan masyarakat yang kompeten dan
mempunyai kemampuan kewirausahaan.
3. Terwujudnya tata kelola kepariwisataan yang baik dan bertanggung
jawab, mencakup aspek perencanaan, koordinasi, implementasi,
dan pengendalian.
4. Terbangunnya jejaring kerja (networking) dan kerjasama yang
harmonis antarpemangku kepentingan dalam rangka
meningkatkan kualitas pengelolaan pariwisata.
Sedangkan sasaran pembangunan kepariwisataan daerah, yang akan
diwujudkan dalam dalam pengaturan Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan ini meliputi:
a. peningkatan jumlah kunjungan wisatawan nusantara dan
mancanegara.
b. peningkatan lama tinggal.
c. peningkatan jumlah pengeluaran wisatawan.
d. penyeimbangan pengembangan kepariwisataan di wilayah Badung
Selatan dan Badung Utara melalui wisata perdesaan, agrowisata,
ekowisata dan wisata jenis lainnya yang berbasis alam perdesaan dan
pertanian.
5.2. Ruang Lingkup Materi dan Jangkauan Pengaturan Rencana Induk
Pengembangan Kepariwisataan.
Ruang lingkup materi muatan, arah dan jangkauan pengaturan
Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Kabupaten Badung
mencakup:
79
a. Ketentuan umum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011, Lampiran II
menentukan ketentuan umum tersebut sebagai berikut:
1. Ketentuan Umum memuat rumusan akademik mengenai pengertian
istilah, dan frasa.
2. Ketentuan umum diletakkan dalam bab satu. Jika dalam Peraturan
Perundang-undangan tidak dilakukan pengelompokan bab,
ketentuan umum diletakkan dalam pasal atau beberapa pasal awal.
3. Ketentuan umum dapat memuat lebih dari satu pasal.
4. Ketentuan umum berisi:
a. batasan pengertian atau definisi.
b. singkatan atau akronim yang dituangkan dalam
batasanpengertian atau definisi.
c. hal-hal lain yang bersifat umum yang berlaku bagi pasal atau
beberapa pasal berikutnya antara lain ketentuan yang
mencerminkan asas, maksud, dan tujuan tanpa dirumuskan
tersendiri dalam pasal atau bab.
5. Jika ketentuan umum memuat batasan pengertian atau definisi,
singkatan atau akronim lebih dari satu, maka masing-masing
uraiannya diberi nomor urut dengan angka Arab dan diawali dengan
huruf kapital serta diakhiri dengan tanda baca titik.
6. Kata atau istilah yang dimuat dalam ketentuan umum hanyalah kata
atau istilah yang digunakan berulang-ulang di dalam pasal atau
beberapa pasal selanjutnya.
7. Apabila rumusan definisi dari suatu Peraturan Perundang-undangan
dirumuskan kembali dalam Peraturan Perundang-undangan yang
akan dibentuk, rumusan definisi tersebut harus sama dengan
rumusan definisi dalam Peraturan Perundang-undangan yang telah
berlaku tersebut.
8. Rumusan batasan pengertian dari suatu Peraturan Perundang
undangan dapat berbeda dengan rumusan Peraturan
Perundangundangan yang lain karena disesuaikan dengan
kebutuhan terkait dengan materi muatan yang akan diatur.
9. Jika suatu kata atau istilah hanya digunakan satu kali, namun kata
atau istilah itu diperlukan pengertiannya untuk suatu bab, bagian
atau paragraf tertentu, kata atau istilah itu diberi definisi.
10. Jika suatu batasan pengertian atau definisi perlu dikutip kembali di
dalam ketentuan umum suatu peraturan pelaksanaan, maka
rumusan batasan pengertian atau definisi di dalam peraturan
pelaksanaan harus sama dengan rumusan batasan pengertian atau
80
definisi yang terdapat di dalam peraturan lebih tinggi yang
dilaksanakan tersebut.
11. Karena batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim
berfungsi untuk menjelaskan makna suatu kata atau istilah maka
batasan pengertian atau definisi, singkatan, atau akronim tidak
perlu diberi penjelasan, dan karena itu harus dirumuskan dengan
lengkap dan jelas sehingga tidak menimbulkan pengertian ganda.
12. Penulisan huruf awal tiap kata atau istilah yang sudah didefinisikan
atau diberi batasan pengertian dalam ketentuan umum ditulis
dengan huruf kapital baik digunakan dalam norma yang diatur,
penjelasan maupun dalam lampiran.
13. Urutan penempatan kata atau istilah dalam ketentuan umum
mengikuti ketentuan sebagai berikut:
a. pengertian yang mengatur tentang lingkup umum ditempatkan
lebih dahulu dari yang berlingkup khusus.
b. pengertian yang terdapat lebih dahulu di dalam materi pokok yang
diatur ditempatkan dalam urutan yang lebih dahulu.
c. pengertian yang mempunyai kaitan dengan pengertian di atasnya
diletakkan berdekatan secara berurutan.
Berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksudkan diatas, maka
ketentuan umum yang dirumuskan dalam Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan Daerah ini, antara lain:
1. Daerah adalah Kabupaten Badung.
2. Pemerintah Daerah adalah Pemerintah Kabupaten Badung.
3. Bupati adalah Bupati Badung.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disingkat DPRD
adalah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Badung.
5. Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2015-
2030, yang selanjutnya disingkat RIPPARDA Tahun 2015-2030
adalah pedoman utama bagi perencanaan, pengelolaan, dan
pengendalian pembangunan kepariwisataan di tingkat kabupaten
yang berisi prinsip, visi, misi, tujuan, sasaran, kebijakan, strategi,
dan program yang perlu dilakukan oleh para pemangku kepentingan
dalam pembangunan kepariwisataan.
6. Wisata adalah kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan mengunjungi tempat tertentu untuk
tujuan rekreasi, pengembangan pribadi, atau mempelajari keunikan
daya tarik wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu sementara.
81
7. Pariwisata adalah berbagai macam kegiatan wisata dan didukung
berbagai fasilitas serta layanan yang disediakan oleh masyarakat,
pengusaha, pemerintah, dan pemerintah daerah.
8. Kepariwisataan adalah keseluruhan kegiatan yang terkait dengan
pariwisata dan bersifat multidimensi serta multidisiplin yang muncul
sebagai wujud kebutuhan setiap orang dan negara serta interaksi
antara wisatawan dan masyarakat setempat, sesama wisatawan,
pemerintah, pemerintah daerah, dan pengusaha.
9. Wisatawan adalah orang yang melakukan wisata.
10. Destinasi pariwisata adalah kawasan geografis yang berada dalam
satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya
tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta
masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya
kepariwisataan.
11. Industri pariwisata adalah kumpulan usaha pariwisata yang saling
terkait dalam rangka menghasilkan barang dan/atau jasa bagi
pemenuhan kebutuhan wisatawan dalam penyelenggaraan
pariwisata.
12. Usaha pariwisata adalah usaha yang menyediakan barang dan/atau
jasa bagi pemenuhan kebutuhan wisatawan dan penyelenggaraan
pariwisata.
13. Fasilitas penunjang pariwisata adalah produk dan pelayanan yang
dibutuhkan untuk menunjang terpenuhinya kebutuhan berwisata
wisatawan.
14. Pemasaran pariwisata adalah serangkaian proses untuk
menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan produk wisata,
dan mengelola relasi dengan wisatawan untuk mengembangkan
kepariwisataan dan seluruh pemangku kepentingannya.
15. Kelembagaan kepariwisataan adalah kesatuan unsur beserta
jaringannya yang dikembangkan secara terorganisasi, meliputi
Pemerintah, Pemerintah Daerah, swasta dan masyarakat, sumber
daya manusia, regulasi, dan mekanisme operasional yang secara
berkesinambungan guna menghasilkan perubahan ke arah
pencapaian tujuan di bidang kepariwisataan.
16. Daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan,
keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam,
82
budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan
kunjungan wisatawan.
17. Kawasan daya tarik wisata (KDTW) adalah kawasan yang berada di
luar Kawasan Pariwisata yang memiliki lebih dari satu daya tarik
wisata.
18. Kawasan pariwisata (KP) adalah adalah kawasan strategis pariwisata
yang berada dalam geografis satu atau lebih wilayah administrasi
desa/kelurahan yang di dalamnya terdapat potensi daya tarik wisata,
aksesibilitas yang tinggi, ketersediaan fasilitas umum dan fasilitas
pariwisata serta aktivitas sosial budaya masyarakat yang saling
mendukung dalam perwujudan kepariwisataan.
19. Kawasan strategis pariwisata (KSP) adalah adalah kawasan yang
memiliki fungsi utama pariwisata atau memiliki potensi untuk
pengembangan pariwisata yang mempunyai pengaruh penting dalam
satu atau lebihaspek,seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan
budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan
hidup, serta pertahanan dan keamanan.
20. Kawasan pengembangan pariwisata (KPP) adalah suatu ruang
pariwisata yang mencakup luasan area tertentu sebagai suatu
kawasan dengan komponen kepariwisataannya, serta memiliki
karakter atau tema produk wisata tertentu yang dominan dan
melekat kuat sebagai komponen pencitraan kawasan tersebut.
21. Berwawasan lingkungan adalah konsep pembangunan berkelanjutan
yang mengoptimalkan manfaat sumber daya alam dan sumber daya
manusia dengan cara menyelaraskan aktivitas manusia dengan
kemampuan sumber daya alam untuk menopangnya.
22. Berbasis masyarakat adalah konsep pengembangan dengan
melibatkan masyarakat Daerah dan dapat dipertanggungjawabkan
dari aspek sosial dan lingkungan hidup.
23. Pariwisata perdesaan adalah suatu kegiatan pariwisata di wilayah
perdesaan yang menawarkan daya tarik wisata berupa suasana
perdesaan, baik kehidupan sosial, ekonomi, adat-istiadat, arsitektur
bangunan, maupun struktur tata ruang desa yang unik dan menarik.
24. Agrowisata adalah suatu kegiatan pariwisata yang memanfaatkan
usaha pertanian dan segala aktivitas terkait sebagai daya tarik wisata
untuk tujuan rekreasi dan edukasi, serta memberikan nilai tambah
bagi usaha pertanian tersebut.
83
25. Ekowisata adalah suatu konsep pengembangan dan penyelenggaraan
kegiatan pariwisata berbasis pemanfaatan lingkungan untuk
perlindungan, serta berintikan partisipasi aktif masyarakat, dan
dengan penyajian produk bermuatan pendidikan dan pembelajaran,
berdampak negatif minimal, memberikan kontribusi positif terhadap
pembangunan ekonomi daerah, dan diberlakukan bagi kawasan
lindung, kawasan terbuka, kawasan alam, serta kawasan budaya.
26. Wisata edukasi adalah kegiatan wisata yang menawarkan
pengalaman pembelajaran langsung terkait daya tarik wisata yang
dikunjungi, bermuatan pendidikan dan pengetahuan.
27. Zonafikasi adalah pembagian atau pemecahan suatu areal menjadi
beberapa bagian, sesuai dengan fungsi dan tujuan pengelolaan.
b. Materi Pokok Yang Diatur.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011, Lampiran II
menentukan materi pokok yang akan diatur disusun dengan berpedoman
pada kriteria sebagai berikut:
1. Materi pokok yang diatur ditempatkan langsung setelah bab
ketentuan umum, dan jika tidak ada pengelompokkan bab, materi
pokok yang diatur diletakkan setelah pasal atau beberapa pasal
ketentuan umum.
2. Pembagian materi pokok ke dalam kelompok yang lebih kecil
dilakukan menurut kriteria yang dijadikan dasar pembagian.
3. Pembagian berdasarkan hak atau kepentingan yang dilindungi,
seperti pembagian dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.
4. pembagian berdasarkan urutan/kronologis, seperti pembagian dalam
hukum acara pidana, dimulai dari penyelidikan, penyidikan,
penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tingkat pertama,
tingkat banding, tingkat kasasi, dan peninjauan kembali.
5. pembagian berdasarkan urutan jenjang jabatan, seperti Jaksa Agung,
Wakil Jaksa Agung, dan Jaksa Agung Muda.
Berdasarkan pada pedoman kriteria diatas, materi pokok yang diatur
dalam Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah Kabupaten
Badung terdiri dari :
No Bab Tentang Pasal
1 I Ketentuan Umum 1
2 II Kedudukan, Ruang Lingkup, dan Jangka Waktu 2- 5
84
Perencanaan
3 III Prinsip, Visi dan Misi 6 – 8
4 IV Tujuan, Sasaran dan Kebijakan 9 - 11
5 V Strategi Pembangunan Kepariwisataan 12 – 16
6 VI Rencana Pengembangan Perwilayahan Pariwisata 17 – 40
7 VII Rencana Program Pembangunan Pariwisata 41
8 VIII Pengawasan dan Pengendalian 42
9 IX Ketentuan Penutup 43-44
RIPPARDA Kabupaten Badung Tahun 2015-2030 mempunyai kedudukan
sebagai berikut :
a. Merupakan penjabaran dari visi dan misi pembangunan Daerah serta
kebijakan pembangunan yang berlaku.
b. Sebagai dasar hukum dan dasar pertimbangan di dalam menyusun
Rencana Pembangunan Jangka Pendek, Menengah dan Panjang
Bidang Pariwisata dan Rencana Strategis Dinas Pariwisata Daerah.
c. Sebagai dasar perencanaan, pengelolaan, dan pengendalian
pembangunan kepariwisataan Daerah.
Dengan jangka waktu terhitung mulai dari Tahun 2015 – 2030, maka
RIPARDA Kabupaten Badung, direncanakan dalam 3(tiga) periode yaitu :
a. Rencana jangka pendek, Tahun 2015-2020;
b. Rencana jangka menengah, Tahun 2015-2025;dan
c. Rencana jangka panjang, Tahun 2015-2030.
Ada 2 (dua) pemikiran yang dapat diutarakan untuk pengaturan lebih
lanjut dari tiap rencana tersebut diatas, pemikiran pertama diatur lebih
lanjut dalam bentuk peraturan bupati. Logika hukumnya, karena hierarki
norma hukum yang bersifat pengaturan dibawah Perda yaitu Peraturan
Bupati. Akan tetapi dari sudut substansi materi yang diatur berupa
Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah, substansi materinya
terlalu luas untk diatur dalam peraturan bupati.
Pemikiran kedua, diatur tersendiri dalam bentuk peraturan daerah.
Argumentasi hukum nya, bahwa Badung berdasarkan Pasal 6 Peraturan
Daerah Kabupaten Badung Nomor 4 Tahun 2008 tentang Urusan
Pemerintah yang menjadi Kewenangan Kabupaten Badung, Pariwisata
ditetapkan sebagai salah satu urusan pilihan. Selanjutnya berdasarkan
ketentuan Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014
85
tentang Pemerintahan Daerah, menentukan Untuk menyelenggarakan
Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan, Daerah membentuk Perda.
Dengan demikan berdasarkan argumen hukum diatas, maka
Rencana jangka pendek, Tahun 2015-2020, Rencana jangka menengah,
Tahun 2015-2025, dan Rencana jangka panjang, Tahun 2015-2030 yang
diatur dalam RIPPARDA lebih tepat dituangkan dalam Peraturan Daerah.
c. Ketentuan Sanksi
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2011, Lampiran
II khususnya berkaitan dengan pengaturan sanksi pidana menentukan jika
diperlukan. Hal ini berarti pengaturan sanksi pidana dalam Peraturan
Daerah tidak bersifat mutlak, tergantung dari kebutuhan. Dalam Peraturan
Daerah Kabupaten Badung tentang Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan Daerah yang akan dibentuk tidak memerlukan pengaturan
tentang sanksi pidana.
d. Ketentuan Peralihan.
Ketentuan Peralihan memuat penyesuaian pengaturan tindakan
hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan Peraturan
Perundang-undangan yang lama terhadap Peraturan Perundang-undangan
yang baru, yang bertujuan untuk:
1. menghindari terjadinya kekosongan hukum.
2. menjamin kepastian hukum.
3. memberikan perlindungan hukum bagi pihak yang terkena dampak
perubahan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.
4. mengatur hal-hal yang bersifat transisional atau bersifat sementara.
Berdasarkan kajian pada landasan yuridis, ditemukan bahwa belum
ada pengaturan berupa Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang
Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah. Dengan tidak
adanya peraturan daerah tentang Rencana Induk Pengembangan
Kepariwisataan, maka tidak ada kajian berupa penyesuaian pengaturan
tindakan hukum atau hubungan hukum yang sudah ada berdasarkan
Peraturan Daerah lama terhadap Peraturan Perundang-undangan yang
baru. Dengan demikian, dalam Peraturan Daerah Kabupaten Badung
tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah ini tidak
mengatur tentang Ketentuan Peralihan.
86
87
BAB VI
PENUTUP
6.1. Kesimpulan
Berdasarkan kajian yang telah di lakukan, dapat ditarik kesimpulan;
a. Bahwa Kabupaten Badung belum mempunyai Peraturan Daerah
tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah.
b. Berdasarkan keseluruhan pengkajian secara normatif dan praktek
empiris, maka perlu disusun Peraturan Daerah tentang Rencana
Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah.
c. Dasar kewenangan daerah untuk membentuk Peraturan Daerah
diatur dalam Pasal 236 ayat (1) Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah mengatur Untuk
menyelenggarakan Otonomi Daerah dan Tugas Pembantuan,
Daerah membentuk Perda. Peraturan Daerah dibentuk oleh DPRD
dengan persetujuan bersama kepala Daerah. Peraturan Daerah
tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah
juga ditentukan secara tegas dalam Pasal 8 ayat (1) danPasal 9 ayat
(3) Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan.
6.2. Saran
a. Menyiapkan segera Peraturan Daerah yang mengatur tentang
Rencana jangka pendek, Rencana jangka menengah dan Rencana
jangka panjang beserta Peraturan Bupati sebagai bentuk
pendelegasian kewenangan mengatur.
b. Agar diselenggarakan proses konsultasi publik sehingga masyarakat
dapat memberikan masukan dalam penyusunan Rancangan
Peraturan Daerah Kabupaten Badung tentang Rencana Induk Pengembangan Kepariwisataan Daerah,sesuai dengan asas
keterbukaan dan ketentuan tentang partisipasi masyarakat dalam
Pasal 96 UU P3 2011 dan Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004. Dalam Pasal 354 ayat (4) UU Pemerintahan Daerah 2004. Pasal
partisipasi masyarakat dalam bentuk :
a. konsultasi publik;
b. musyawarah;
c. kemitraan;
d. penyampaian aspirasi;
e. pengawasan; dan/atau
f. keterlibatan lain sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan
88
DAFTAR PUSTAKA
Anonim, 2007. http. Retrieved December 15, 2013, from
www.ret.gov.au/tourism /decuments/tourism industri development_
best_practice_destination _manag ement-planning_framework.
Bernard Arief Sidharta, “Penelitian hukum normative” analisis
penelitian philosophical dan dogmatical”, dalam Soelistyowati Irianto dan Sidharta, eds., 2009, Metode Penelitian Hukum: Konstelasi dan Refleksi,
Yayasan Obor Indonesia, Jakarta.
C.F.G Sunaryati Hartono, 1994, Penelitian Hukum di Indonesia Pada
Akhir Abad ke 2, Alumni, Bandung.
Damanik, J., & Teguh, F. 2012. Manajemen Destinasi Pariwisata:
Sebuah Pengantar Ringkas. Yogyakarta: Kepel Press.
Edgell, D. L., Allen, M. D., Smith, G., & Swanson, J. R. 2008. Tourism
Policy and Planning: Yesterday, Today and Tomorrow. Great Britain: Elsevier
Inc.
Edgell, S. L. 2006. Managing Sustainable Tourism: A Legacy for the Future. Binghamton, NY: The Haworth Hospitality Press.
European Communities, 2003. A Manual for Evaluating the Quality Performance of Tourist Destinations and Services. Enterprise DG Publication, Luxembourg.
Kim, D. K., & Lee, T. H. 2004. Public and Private Partnership for Facilitating Tourism Investment in the APEC Member Economies. Seoul: Korea
Asia-Pacific Economic Coorporation.
Osmanovic, J., Kenjic, V., & Zrnic, R. 2010. Destination Management: Concensus for Competitiveness. Tourism & Hospitality Management
Organisation Conference Proceedings.
Peter Mahmud Marzuki; 2005, Penelitian Hukum, Jakarta
Interpratama Offset.
LAMPIRAN 1. KONSEP AWAL RANCANGAN PERATURAN DAERAH KABUPATEN
BANDUNG TENTANG RENCANA INDUK PENGEMBANGAN
PARIWISATA (RIPPARDA) KABUPATEN BADUNG.