laporan kinerja - e-renggar.kemkes.go.id · laporan kinerja direktorat jenderal pencegahan dan...
TRANSCRIPT
LAPORAN KINERJA
2019
DIREKTORAT JENDERAL
PENCEGAHAN DAN PENGENDALIAN PENYAKIT
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
i |
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena atas
berkat dan rahmatNya sehingga Laporan Kinerja Direktorat
Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun 2019
dapat disusun dengan baik.
Mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2006
tentang Pelaporan Keuangan dan Kinerja lnstansi Pemerintah,
Perpres Nomor 29 Tahun 2014 tentang Sistem Akuntabilitas
Kinerja lnstansi Pemerintah (SAKIP), dan Permen PAN dan RB
Nomor 53 Tahun 2014 tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan Kinerja dan
Tata Cara Reviu atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP) maka Ditjen P2P
menyusun Laporan Kinerja sebagai bentuk pertanggungjawaban atas capaian kinerja
berdasarkan penggunaan anggaran yang telah dialokasikan. Laporan Kinerja Ditjen P2P
merupakan laporan tingkat pencapaian kinerja selama tahun 2019 sebagaimana yang telah
ditetapkan dalam dokumen perjanjian kinerja tahun 2019, yang merupakan sasaran
program dalam Rencana Aksi Program dengan merujuk pada sasaran yang ditetapkan
dalam RPJMN dan Renstra Kementerian Kesehatan serta memperhatikan tugas pokok dan
fungsi Ditjen P2P.
Tahun 2019 merupakan tahun terakhir pelaksanaan RPJMN, Renstra dan RAP Ditjen P2P
periode 2015 – 2019. Upaya peningkatan tata kelola manajemen, tata kelola program dan
tata kelola teknis telah dilakukan untuk mencapai kinerja yang lebih baik. Capaian kinerja
ini tidak lepas dari dukungan lintas sektor maupun lintas program yang berada di Pusat dan
Daerah khususnya Dinas Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/Kota serta Unit Pelaksana
Teknis di Lingkungan Kementerian Kesehatan. Untuk itu, saya mengucapkan terima kasih
atas hal-hal positif yang kita capai tahun 2019. Pada akhirnya, tidak semua yang kita
rencanakan berjalan sesuai dengan harapan, namun demikian dengan adanya laporan
kinerja ini kami berharap dapat memperoleh umpan balik untuk peningkatan kinerja Ditjen
P2P melalui perbaikan penerapan fungsi-fungsi manajemen secara benar, mulai dari
perencanaan, pengukuran, pelaporan, evaluasi dan pencapaian kinerja, sehingga dapat
mengetahui, menilai keberhasilan dan kegagalan dalam melaksanakan tugas dan tanggung
jawab serta meningkatkan akuntabilitas dan kredibilitas instansi pemerintah yang akuntabel
di mata instansi yang lebih tinggi dan meningkatkan kepercayaan masyarakat dan
lingkungan. Semoga informasi yang disajikan dapat bermanfaat bagi kita semua.
Jakarta, 27 Januari 2020 Direktur Jenderal Pencegahan dan , Pengendalian Penyakit dr. Anung Sugihantono, M.Kes
NIP 196003201985021002
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
ii |
IKHTISAR EKSEKUTIF
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019 merupakan sarana untuk menyampaikan pertanggungjawaban kinerja Direktur Jenderal P2P beserta jajarannya kepada Menteri Kesehatan Republik Indonesia dan seluruh pemangku kepentingan, baik yang terkait langsung maupun tidak langsung. Laporan Kinerja Ditjen P2P menjabarkan capaian kinerja yang ditetapkan dalam Perjanjian Kinerja Ditjen P2P, mengacu pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2015-2019, Rencana Strategis Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 dan Rencana Aksi Program Ditjen P2P. Dari 12 Indikator Kinerja yang ditetapkan dalam Perjanjian Kinerja Tahun 2019 yang dijanjikan oleh Direktur Jenderal P2P kepada Menteri Kesehatan, terdapat 11 Indikator kinerja sasaran strategis yang memiliki kinerja yang mencapai atau melebihi target yaitu: 1. Persentase cakupan keberhasilan pengobatan pasien TB/Succes Rate (SR) tercapai
90,78% dari target 90%, dengan capaian kinerja 100,9%.
2. Prevalensi HIV tercapai 0,32% dari target <0,5%, dengan capaian kinerja 136%.
3. Jumlah kabupaten/kota mencapai eliminasi malaria tercapai 300 Kab/Kota dari target
300 Kab/Kota, dengan capaian kinerja 100%.
4. Jumlah provinsi dengan eliminasi kusta tercapai 26 Provinsi dari target 34 Provinsi,
dengan capaian kinerja 76,5%.
5. Jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi filariasis tercapai 56 Kab/Kota dari target 35
Kab/Kota, dengan capaian kinerja 160%.
6. Penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) tertentu
tercapai 42,8% dari target 40%, dengan capaian kinerja 107%.
7. Kab/Kota yang mampu melaksanakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan
kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah tercapai 100% dari target
100%, dengan capaian kinerja 100%.
8. Persentase kab/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
minimal 50% sekolah tercapai 50,2% dari target 50%, dengan capaian kinerja 100,4%.
9. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki Puskesmas yang menyelenggarakan upaya
kesehatan jiwa tercapai 407 Kab/Kota dari target 280 Kab/Kota, dengan capaian
kinerja 145,4%.
10. Persentase respon terhadap signal SKD KLB dan bencana di wilayah layanan
B/BTKLPP tercapai 98% dari target 90%, dengan capaian kinerja 109%.
11. Persentase Teknologi Tepat Guna P2P yang dihasilkan B/BTKLPP meningkat 50%
dari jumlah TTG tahun 2014 tercapai 690% (316 TTG) dari target 50% (60 TTG),
dengan capaian kinerja 527%.
12. Persentase pelabuhan/bandara/PLBD yang melaksanakan penanggulangan
kedaruratan kesehatan masyarakat tercapai 100% dari target 100%, dengan capaian
kinerja 100%
Untuk kinerja keuangan pada tahun 2019, data per 24 Januari 2020 berdasarkan Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara (SPAN), realisasi anggaran semua jenis belanja mencapai 94,24% atau sebesar Rp 3.124.772.437.816,00 dari total pagu sebesar Rp. 3.315.636.916.000,00.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
iii |
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ....................................................................................................... i
IKHTISAR EKSEKUTIF ................................................................................................... ii
DAFTAR ISI .................................................................................................................. iii
DAFTAR TABEL ............................................................................................................. iv
DAFTAR GRAFIK ........................................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................................... vii
BAB I. PENDAHULUAN ............................................................................................. 1
A. LATAR BELAKANG ................................................................................ 1
B. ISU STRATEGIS ...................................................................................... 2
C. VISI DAN MISI ......................................................................................... 4
D. TUGAS, FUNGSI DAN STRUKTUR ORGANISASI ................................. 5
E. SUMBER DAYA MANUSIA ..................................................................... 7
F. MAKSUD DAN TUJUAN ......................................................................... 9
G. SISTEMATIKA PENULISAN .................................................................... 10
BAB II. PERENCANAAN KINERJA ............................................................................. 11
A. PERENCANAAN KINERJA ...................................................................... 11
B. PERJANJIAN KINERJA .......................................................................... 14
BAB III. AKUNTABILITAS KINERJA ............................................................................ 16
A. CAPAIAN KINERJA ................................................................................. 16
B. REALISASI ANGGARAN ......................................................................... 89
C. EFISIENSI SUMBER DAYA ..................................................................... 93
BAB IV. PENUTUP ....................................................................................................... 99
BAB VI. LAMPIRAN
LAMPIRAN 1. PERJANJIAN KINERJA TAHUN 2019
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
iv |
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1. Sasaran Strategis Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun
2015 – 2019 ................................................................................................. 13
Tabel 2.2. Perjanjian Kinerja Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit .......... 14
Tabel 3.1. Target dan Capaian Indikator Program P2P Tahun 2019 .............................. 16
Tabel 3.2. Estimasi Beban TB tahun 2019 ..................................................................... 19
Tabel 3.3. Jumlah Kab/Kota dengan Eliminasi Malaria sampai Tahun 2019 .................. 31
Tabel 3.4. Jumlah Kab/Kota dengan Eliminasi Filariasis Tahun 2019 ........................... 49
Tabel 3.5. Teknologi Tepat Guna yang dihasilkan B/BTKLPP Tahun 2019 .................... 82
Tabel 3.6 Realisasi Anggaran Berdasarkan Kewenangan dan Jenis Belanja ............... 89
Tabel 3.7 Realisasi Anggaran Dana Dekonsentrasi Ditjen P2P Tahun 2019 ................ 91
Tabel 3.8 Realisasi Anggaran Per Indikator Kinerja Tahun 2019 .................................. 93
Tabel 3.9 Efisiensi Per Layanan Output ........................................................................ 94
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
v |
DAFTAR GRAFIK
Grafik 1.1 Distribusi Pegawai pada Ditjen P2P ................................................. 7
Grafik 1.2 Distribusi Pegawai Berdasarkan Pendidikan Tahun 2019................. 8
Grafik 1.3 Distribusi Pegawai Berdasarkan Jabatan Tahun 2019 ..................... 8
Grafik 1.4 Distribusi Pegawai Berdasarkan Jabatan Fungsional Tertentu
Tahun 2019 ...................................................................................... 9
Grafik 3.1 Target dan Capaian Persentase Cakupan Angka Keberhasilan
Pengobatan TB Tahun 2015 – 2019 ................................................. 18
Grafik 3.2 Target dan Capaian Prevalensi HIV Tahun 2019 ............................. 23
Grafik 3.3 Target dan Capaian Prevalensi HIV Tahun 2015-2019 .................... 24
Grafik 3.4 Jumlah Kasus HIV dan Kasus AIDS Tahun 2015-2019 .................... 25
Grafik 3.5 Capaian Eliminasi Malaria di Indonesia tahun 2015-2019 ................ 32
Grafik 3.6 Proporsi Kasus Malaria Vivax di wilayah SEARO ............................. 33
Grafik 3.7 Persentase Pemeriksaan Sediaan Darah ......................................... 34
Grafik 3.8 Persentase Malaria Positif diobati sesuai standar ............................ 34
Grafik 3.9 Target dan Capaian Jumlah Provinsi dengan Eliminasi Kusta
Tahun 2014-2019 ............................................................................. 41
Grafik 3.10 Proporsi penemuan kasus baru tanpa cacat tahun 2014-2019 ......... 42
Grafik 3.11 Jumlah Kabupaten/kota dengan Eliminasi Filariasis Tahun 2015-
2019 ................................................................................................. 48
Grafik 3.12 Persentase penurunan kasus Penyakit Dapat Dicegah Dengan
Imunisasi Tahun 2015-2019 ............................................................. 55
Grafik 3.13 Perbandingan Kasus PD3I tertentu Tahun 2013 dan Tahun 2019 .... 56
Grafik 3.14 Target dan Capaian Kab/Kota yang mempunyai Kebijakan
Kesiapsiagaan dalam Penanggulangan KKM Tahun 2015-2019 ...... 61
Grafik 3.15 Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kebijakan KTR
minimal di 50% sekolah Tahun 2019 ................................................ 64
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
vi |
Grafik 3.16 Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kebijakan KTR
minimal di 50% sekolah per Provinsi Tahun 2015-2019 ................... 65
Grafik 3.17 Target dan realisasi persentase kabupaten/kota yang
melaksanakan kebijakan KTR minimal di 50% sekolah Tahun
2015-2019 ........................................................................................ 66
Grafik 3.18 Target dan Capaian Jumlah Kab/Kota yang menyelenggarakan
upaya kesehatan jiwa/napza Tahun 2015-2019 ............................... 72
Grafik 3.19 Persentase Respon SKD dan KLB, bencana dan matra diwilayah
layanan B/BTKLPP Tahun 2015-2019 .............................................. 77
Grafik 3.20 Jumlah TTG yang dihasilkan BBTKLPP Tahun 2015-2019 .............. 81
Grafik 3.21 Target dan Capaian Peningkatan TTG yang dihasilkan BBTKLPP
Tahun 2015-2019 ............................................................................. 82
Grafik 3.22 Persentase pelabuhan/bandar udara/PLBDN Internasional yang
memiliki dokumen rencana kontijensi Tahun 2015-2019 ................. 87
Grafik 3.23 Distribusi pagu anggaran berdasarkan jenis belanja Tahun 2019 ..... 89
Grafik 3.24 Realisasi anggaran berdasarkan jenis belanja Tahun 2019 .............. 90
Grafik 3.25 Realisasi anggaran berdasarkan sumber dana Tahun 2019 ............. 90
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
vii |
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1. Struktur Organisasi Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ............. 7
Gambar 3.1. Skrining TB di Pondok Pesantren Darussalam Perempuan Gontor ............. 20
Gambar 3.2. High Level Meeting on Tuberculosis ............................................................ 21
Gambar 3.3. Peta Prevalensi HIV di Indonesia Tahun 2019 ............................................ 24
Gambar 3.4. Peta Prevalensi HIV Dunia Tahun 2017 ...................................................... 25
Gambar 3.5. Media KIE HIV AIDS ................................................................................... 26
Gambar 3.6. Penerimaan Rekor MURI untuk Pembentukan Pita Merah Terbanyak pada
Peringatan Hari AIDS Sedunia (HAS) 2019 ................................................. 27
Gambar 3.7. Pertemuan Penyusunan Rencana Aksi Malaria Tahun 2020-2024 .............. 37
Gambar 3.8. Peta Eliminasi Kusta Tingkat Provinsi di Indonesia Tahun 2017-2019 ......... 41
Gambar 3.9. Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta dan Frambusia di Kabupaten Paniai,
Provinsi Papua ............................................................................................ 44
Gambar 3.10. Pertemuan Evaluasi Program dan Validasi Data Kohort Nasional P2 Kusta
dan Frambusia Tahun 2019 ........................................................................ 45
Gambar 3.11. Pemberian Sertifikat Eliminasi Filariasi oleh Menteri Kesehatan RI ............. 51
Gambar 3.12. Pemberian Penghargaan Gubernur/Bupati/Walikota dalam acara HTTS ..... 69
Gambar 3.13. Temu Blogger pada Hari Kesehatan Jiwa ................................................... 73
Gambar 3.14. Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia ................................................... 74
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
1 |
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pembangunan kesehatan tahun 2015-2019 adalah Program Indonesia Sehat dengan
sasaran meningkatkan derajat kesehatan dan status gizi masyarakat melalui upaya
kesehatan dan pemberdayaan masyarakat yang didukung dengan perlindungan
finansial dan pemeratan pelayanan kesehatan. Sasaran yang akan dicapai dalam
Program Indonesia Sehat pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah 2015-2019
(RPJMN 2015-2019) adalah: 1) meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak;
2) meningkatnya pengendalian penyakit; 3) meningkatnya akses dan mutu pelayanan
kesehatan dasar dan rujukan terutama di daerah terpencil, tertinggal dan perbatasan;
(4) meningkatnya cakupan pelayanan kesehatan universal melalui Kartu Indonesia
Sehat dan kualitas pengelolaan SJSN Kesehatan, (5) terpenuhinya kebutuhan tenaga
kesehatan, obat dan vaksin; serta (6) meningkatkan responsivitas sistem kesehatan.
Program Indonesia Sehat dilaksanakan dengan 3 pilar utama yaitu Paradigma Sehat,
Penguatan Pelayanan Kesehatan dan Jaminan Kesehatan Nasional. Pilar Paradigma
Sehat dilakukan dengan strategi pengarusutamaan kesehatan dalam pembangunan,
penguatan promotif preventif dan pemberdayaan masyarakat Pilar Penguatan
Pelayanan Kesehatan dilakukan dengan strategi peningkatan akses pelayanan
kesehatan, optimalisasi sistem rujukan dan peningkatan mutu pelayanan kesehatan,
menggunakan pendekatan continuum of care dan intervensi berbasis risiko kesehatan.
Pilar Jaminan Kesehatan Nasional dilakukan dengan strategi perluasan sasaran dan
benefit serta kendali mutu dan kendali biaya.
Program Indonesia Sehat dijabarkan dalam RPJMN 2015-2019 melalui Peraturan
Presiden nomor 2 tahun 2015 dan Renstra Kementerian Kesehatan 2015-2019 melalui
Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.02.02/2015, yang direvisi pada tahun 2017
melalui Keputusan Menteri Kesehatan nomor HK.01.07/MENKES/422/2017. Dalam
Revisi Renstra Kementerian Kesehatan telah dijabarkan tentang Gerakan Hidup Sehat
(GERMAS) dan penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan
Keluarga (PISPK) sebagai dasar penyesuaian Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang
lebih baik dalam upaya mewujudkan masyarakat dengan derajat kesehatan setinggi-
tingginya. Program Indonesia Sehat dilaksanakan melalui Pendekatan Keluarga dan
GERMAS. Pendekatan Keluarga adalah salah satu cara Puskesmas untuk
meningkatkan jangkauan sasaran dan mendekatkan/meningkatkan akses pelayanan
kesehatan di wilayah kerjanya dengan mendatangi keluarga. Program Indonesia Sehat
melalui Pendekatan Keluarga dilaksanakan oleh Puskesmas dengan pendekatan
siklus kehidupan atau life cycle approach, mengutamakan upaya promotif-preventif,
disertai penguatan upaya kesehatan berbasis masyarakat (UKBM). Kunjungan
Keluarga dilakukan Puskesmas secara aktif untuk peningkatan outreach dan total
coverage. Melalui kunjungan keluarga, tim Puskesmas sekaligus dapat memberikan
intervensi awal terhadap permasalahan kesehatan yang ada di setiap keluarga.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
2 |
Kondisi kesehatan keluarga dan permasalahannya akan dicatat pada Profil Kesehatan
Keluarga (Prokesga), yang menjadi acuan dalam melakukan intervensi lanjut dan
evaluasi.
Dalam upaya pencegahan dan pengendalian penyakit menular dan tidak menular,
pendekatan keluarga dan GERMAS diarahkan pada upaya to detect (deteksi) yang
bertujuan untuk deteksi dan diagnosis dini penyakit; to prevent (mencegah) yang
bertujuan untuk mengendalikan faktor risiko terjadinya penyakit; upaya to response
(merespon) yang dilakukan dengan menangani kejadian penyakit, penggerakan
masyarakat, dan pelaporan kejadian penyakit; to protect (melindungi) yang merupakan
upaya untuk melindungi masyarakat dari risiko terpapar penyakit menular dan tidak
menular; dan to promote (meningkatkan) yang merupakan upaya untuk meningkatkan
kualitas kesehatan masyarakat sehingga tidak mudah terpapar penyakit menular dan
tidak menular. Upaya-upaya tersebut dijabarkan dalam Rencana Aksi Program (RAP)
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit tahun 2015 – 2019 melalui pelaksanaan
surveilans karantina kesehatan, pencegahan dan pengendalian penyakit tular vektor
zoonotik, pencegahan dan pengendalian penyakit menular langsung, pencegahan dan
pengendalian penyakit tidak menular, pencegahan dan pengendalian masalah
kesehatan jiwa dan napza.
Keberhasilan GERMAS dan PISPK sangat ditentukan oleh peran dan kontribusi lintas
sektor diluar sektor kesehatan, antara lain diwujudkan dalam bentuk menyukseskan
GERMAS dan PISPK. Dalam Program P2P, penanganan penyakit TB yang lebih
serius untuk menjangkau kasus yang belum terdeteksi, telah dilakukan melalui PISPK
dengan melibatkan lintas sektor meliputi pelacakan kasus gizi, pemberdayaan
masyarakat melalui kader dalam penanggulangan TB, perluasan penemuan kasus
pada kelompok berisiko seperti pada warga binaan Rutan/Lapas, sekolah berasrama,
masyarakat yang tinggal di lingkungan padat kumuh. Selain itu diperlukan regulasi
pada tingkat pusat, provinsi maupun Kab/Kota guna memperkuat pelaksanaan
program penanggulangan TB.
B. ISU STRATEGIS
Kementerian Kesehatan memiliki 5 (lima) isu strategis yakni Angka Kematian Ibu (AKI)
dan Angka Kematian Neonatal (AKN) yang masih tinggi, penurunan stunting,
percepatan eliminasi Tuberkulosis (TB), pencegahan dan pengendalian Penyakit Tidak
Menular (PTM) dan peningkatan cakupan Imunisasi Dasar Lengkap (IDL). Hasil studi
inventori TB yang dilakukan oleh Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan
(Litbangkes) Kementerian Kesehatan menemukan bahwa angka Under-Reporting
(Missing Cases) secara nasional sebesar 41%, dengan proporsi terbanyak pada klinik
swasta, Dokter Praktek Mandiri (DPM) dan Rumah Sakit dimana kasus missing cases
tervanyak terjadi pada kasus TB anak dan kasus TB extra pulmonary. Penyebaran
penyakit TB di Indonesia sangat luas dan menyebabkan kematian. Menurut laporan
Global Report, 2019, angka kejadian (insidensi) TB tahun 2018 adalah 316 per
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
3 |
100.000 (sekitar 845.000 pasien TB), dan 7,9% diantaranya dengan TB/HIV. Angka
kematian TB adalah 93 per 100.000 penduduk dimana angka tersebut tidak termasuk
angka kematian akibat TB/HIV. Selain itu, WHO juga memperkirakan ada 24.000
kasus MDR di Indonesia pada tahun 2018.
Hasil Riskesdas tahun 2018, menyatakan adanya penurunan stunting dari 37,2%
(2013) menjadi 30,8% (2018) tetapi angka tersebut masih lebih tinggi dari angka yang
direkomendasikan WHO yakni 20%. Selain itu, hasil Riskesdas juga menunjukkan
peningkatkan kasus Penyakit Tidak Menular (PTM) yang memerlukan strategi
penanganan dan pengendalian khusus. Prevalensi kanker meningkat dari 1,40/00
(2013) menjadi 1,80/00 (2018); Prevalensi Stroke meningkat dari 7,00/00 (2013) menjadi
10,90/00 (2018); Prevalensi Penyakit Ginjal Kronis meningkat dari 2,00/00 (2013)
menjadi 3,80/00 (2018); Prevalensi Diabetes meningkat dari 6,9% (2013) menjadi 8,5%
(2018); prevalensi hipertensi menurut hasil pengukuran meningkat dari 25,8% (2013)
menjadi 34,1% (2018). Meningkatnya PTM dapat menurunkan produktivitas sumber
daya manusia, yang akan berdampak pada besarnya beban pemerintah karena
penanganan PTM membutuhkan biaya yang besar. Penduduk usia produktif dengan
jumlah besar yang seharusnya memberikan kontribusi pada pembangunan, justru akan
terancam apabila kesehatannya terganggu oleh PTM dan perilaku yang tidak sehat.
Triple burden menjadi ancaman bagi bangsa karena penduduk usia produktif dengan
jumlah besar seharusnya memberikan kontribusi pada pembangunan tetapi terancam
akibat terganggunya kesehatan oleh PTM dan perilaku hidup tidak sehat.
Selain TB dan imunisasi, penyakit menular lainnya masih merupakan tantangan antara
lain penyakit HIV AIDS, Malaria dan Filariasis dan telah menjadi Prioritas Nasional
Pembangunan Kesehatan. Secara global, diestimasikan ada 36,7 juta Orang Dengan
HIV AIDS (ODHA) pada tahun 2015. Selain itu diperkirakan 2,1 juta infeksi baru dan
1,1 juta kematian dikaitkan dengan AIDS setiap tahunnya. Berdasarkan laporan WHO
regional Asia Pasifik tahun 2016, jumlah ODHA di wilayah Asia Pasifik mencapai 3,5
juta orang di tahun 2015, merupakan jumlah terbanyak setelah wilayah sub-sahara
Afrika. Indonesia termasuk salah satu negara selain Myanmar, Nepal dan Thailand
yang memiliki jumlah ODHA terbesar setelah India di Asia Pasifik. Diperkirakan 39%
ODHA di Asia Pasifik terkonsentrasi di negara-negara tersebut dan 60% berada di
India. Situasi epidemi HIV AIDS di Indonesia sampai dengan tahun 2016 masih
terkonsentrasi pada populasi kunci dengan penyebaran kasus HIV AIDS di 419
(81,5%) dari 514 kabupaten/kota di seluruh provinsi di Indonesia. Berdasarkan laporan
perkembangan HIV AIDS Kementerian Kesehatan hingga September tahun 2019
diketahui bahwa jumlah kumulatif kasus HIV yang ditemukan sebesar 363.526 kasus,
sedangkan jumlah kumulatif kasus AIDS sebanyak 119.387 orang.
Berdasarkan World Malaria Report Tahun 2018, Indonesia menyumbang 8% kasus
malaria di kawasan South East Asia Region (SEARO) setelah India (89%). Oleh
karena, target global program malaria adalah fokus pada eliminasi malaria tahun 2030.
Indonesia telah menyusun target eliminasi per kabupaten/kota bertahap sampai tahun
2030. Dari 34 Provinsi, terdapat 7 Provinsi yang telah mengeliminasi lebih dari 80%
Kab/Kota nya yakni Provinsi DKI Jakarta, Bali, Jawa Timur, Jawa Barat, Jawa Tengah,
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
4 |
DI Yogyakarta dan Sumatera Barat. Sedangkan 6 Provinsi telah mampu mengelimasi
50-80% Kab/Kota nya yakni Provinsi Aceh, Sumatera Utara, Riau, Banten dan
Sulawesi Selatan.
Di dunia terdapat sekitar 120 juta orang terinfeksi penyakit kaki gajah dan sebanyak
893 juta penduduk berisiko tertular penyakit kaki gajah di 49 negara. Indonesia menjadi
negara dengan jumlah penduduk terbanyak yang berisiko tinggi tertular penyakit kaki
gajah setelah India dan nigeria. Jumlah penderita penyakit filariasis di Indonesia mulai
mengkhawatirkan, tercatat ada 105 juta penduduk terserang penyakit tersebut.
Penyakit kaki gajah umumnya banyak terdapat pada wilayah tropis. Indonesia telah
menetapkan sebanyak 236 kabupaten/kota sebagai daerah endemis kaki gajah dari
total 514 kabupaten/kota. Pada tahun 2019, sebanyak 118 kabupaten/kota diantaranya
telah selesai melaksanakan Pemberian Obat Pencegahan Masal (POPM) Filariasis
selama 5 tahun. Sementara sebanyak 118 kabupaten kota masih melaksanakan
POPM filariasis. Pemerintah bertekad mewujudkan Indonesia bebas kaki gajah, oleh
karena itu melalui Bulan Eliminasi Penyakit Kaki Gajah (BELKAGA), setiap penduduk
kabupaten/kota endemis kaki gajah serentak minum obat pencegahan setiap bulan
Oktober selama 5 tahun berturut-turut.
C. VISI DAN MISI
Visi dan Misi Kementerian Kesehatan Tahun 2015-2019 mengikuti Visi dan Misi
Presiden Republik Indonesia yaitu “Terwujudnya Indonesia yang Berdaulat, Mandiri
dan Berkepribadian Berlandaskan Gotong-royong”. Upaya untuk mewujudkan visi ini
dilaksanakan melalui 7 misi pembangunan yaitu:
1. Terwujudnya keamanan nasional yang mampu menjaga kedaulatan wilayah,
menopang kemandirian ekonomi dengan mengamankan sumber daya maritim dan
mencerminkan kepribadian Indonesia sebagai negara kepulauan.
2. Mewujudkan masyarakat maju, berkesinambungan dan demokratis berlandaskan
negara hukum.
3. Mewujudkan politik luar negeri bebas dan aktif serta memperkuat jati diri sebagai
negara maritim.
4. Mewujudkan kualitas hidup manusia lndonesia yang tinggi, maju dan sejahtera.
5. Mewujudkan bangsa yang berdaya saing.
6. Mewujudkan Indonesia menjadi negara maritim yang mandiri, maju, kuat dan
berbasiskan kepentingan nasional, serta
7. Mewujudkan masyarakat yang berkepribadian dalam kebudayaan.
Selanjutnya terdapat 9 agenda prioritas yang dikenal dengan NAWA CITA yang ingin
diwujudkan yakni:
1. Menghadirkan kembali negara untuk melindungi segenap bangsa dan memberikan
rasa aman pada seluruh warga negara.
2. Membuat pemerintah tidak absen dengan membangun tata kelola pemerintahan
yang bersih, efektif, demokratis dan terpercaya.
3. Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa
dalam kerangka negara kesatuan.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
5 |
4. Menolak negara lemah dengan melakukan reformasi sistem dan penegakan hukum
yang bebas korupsi, bermartabat dan terpercaya.
5. Meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
6. Meningkatkan produktifitas rakyat dan daya saing di pasar Internasional.
7. Mewujudkan kemandirian ekonomi dengan menggerakkan sektor-sektor strategis
ekonomi domestik.
8. Melakukan revolusi karakter bangsa.
9. Memperteguh ke-Bhineka-an dan memperkuat restorasi sosial Indonesia.
Kementerian Kesehatan mempunyai peran dan berkonstribusi dalam tercapainya
seluruh Nawa Cita terutama dalam meningkatkan kualitas hidup manusia Indonesia.
Terdapat dua tujuan Kementerian Kesehatan pada tahun 2015-2019, yaitu: 1)
meningkatnya status kesehatan masyarakat dan; 2) meningkatnya daya tanggap
(responsiveness) dan perlindungan masyarakat terhadap risiko sosial dan finansial di
bidang kesehatan. Peningkatan status kesehatan masyarakat dilakukan pada semua
kontinum siklus kehidupan (life cycle), yaitu bayi, balita, anak usia sekolah, remaja,
kelompok usia kerja, maternal, dan kelompok lansia.
Tujuan indikator Kementerian Kesehatan bersifat dampak (impact atau outcome)
dalam peningkatan status kesehatan masyarakat melalui indikator yang akan dicapai
yakni sebagai berikut:
1. Menurunnya angka kematian ibu dari 359 per 100.00 kelahiran hidup (SP 2010),
346 menjadi 306 per 100.000 kelahiran hidup (SDKI 2012).
2. Menurunnya angka kematian bayi dari 32 menjadi 24 per 1.000 kelahiran hidup.
3. Menurunnya persentase BBLR dari 10,2% menjadi 8%.
4. Meningkatnya upaya peningkatan promosi kesehatan dan pemberdayaan
masyarakat, serta pembiayaan kegiatan promotif dan preventif.
5. Meningkatnya upaya peningkatan perilaku hidup bersih dan sehat.
Peran Ditjen P2P dalam mendukung pencapaian indikator Kementerian Kesehatan
yakni menyelenggarakan pencegahan dan pengendalian peyakit secara berhasil-guna
dan berdaya-guna dalam mendukung pencapaian derajat kesehatan masyarakat yang
setinggi-tingginya melalui kegiatan surveilans dan karantina kesehatan, pencegahan
dan pengendalian penyakit menular langsung, pencegahan dan pengendalian penyakit
tular vektor dan zoonotik, pencegahan dan pengendalian penyakit tidak menular,
pencegahan dan pengendalian masalah kesehatan jiwa dan dukungan manajemen
dan pelaksanaan tugas teknis lainnya pada Program P2P.
D. TUGAS, FUNGSI DAN STRUKTUR ORGANISASI
Sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia nomor 64 tahun 2015
tentang Organisasi dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan terjadi perubahan SOTK
Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan Lingkungan menjadi
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit. Dalam melaksanakan
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
6 |
tugas pokok dan fungsinya Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit memiliki 1 Sekretariat dan 5 Direktorat yakni:
1. Sekretariat Direktorat Jenderal.
2. Direktorat Surveilans dan Karantina Kesehatan (SKK).
3. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML).
4. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik
(P2PTVZ).
5. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular (P2PTM)
6. Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza
(P2PMKJN).
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit mempunyai tugas
menyelenggarakan perumusan dan pelaksanaan kebijakan di bidang pencegahan dan
pengendalian penyakit sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Dalam melaksanakan tugas, Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit melaksanakan fungsi antara lain sebagai berikut:
1. Perumusan kebijakan di bidang surveilans epidemiologi dan karantina,
pencegahan dan pengendalian penyakit menular, penyakit tular vektor, penyakit
zoonotik, dan penyakit tidak menular, serta upaya kesehatan jiwa dan Narkotika,
Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA);
2. Pelaksanaan kebijakan di bidang surveilans epidemiologi dan karantina,
pencegahan dan pengendalian penyakit menular, penyakit tular vektor, penyakit
zoonotik, dan penyakit tidak menular, serta upaya kesehatan jiwa dan Narkotika,
Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA);
3. Penyusunan norma, standar, prosedur dan kriteria di bidang surveilans
epidemiologi dan karantina, pencegahan dan pengendalian penyakit menular,
penyakit tular vektor, penyakit zoonotik, dan penyakit tidak menular, serta upaya
kesehatan jiwa dan Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA);
4. Pemberian bimbingan teknis dan supervisi di bidang surveilans epidemiologi dan
karantina, pencegahan dan pengendalian penyakit menular, penyakit tular vektor,
penyakit zoonotik, dan penyakit tidak menular, serta upaya kesehatan jiwa dan
Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA);
5. Pelaksanaan evaluasi dan pelaporan di bidang surveilans epidemiologi dan
karantina, pencegahan dan pengendalian penyakit menular, penyakit tular vektor,
penyakit zoonotik, dan penyakit tidak menular, serta upaya kesehatan jiwa dan
Narkotika, Psikotropika, dan Zat adiktif lainnya (NAPZA);
6. Pelaksanaan administrasi Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit; dan
7. Pelaksanaan fungsi lain yang diberikan oleh Menteri.
Selain itu, terjadi juga perubahan struktur organisasi yang mengacu pada Peraturan
Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 64 Tahun 2015 Tentang Organisasi
Dan Tata Kerja Kementerian Kesehatan sebagai berikut:
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
7 |
Gambar 1.1 Struktur Organisasi
Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P)
E. SUMBER DAYA MANUSIA
Jumlah pegawai Ditjen P2P tersebar pada Satuan Kerja yang berada pada Unit Pusat
maupun Unit Pelaksana Teknis. Jumlah pegawai pada Balai Besar/Balai Teknik
Kesehatan Lingkungan dan Pemberantasan Penyakit (B/BTKLPP) sebanyak 654
orang (15%), Kantor Kesehatan Pelabuhan (KKP) sebanyak 3046 orang (71%), dan
jumlah pegawai Ditjen P2P pada kantor pusat adalah 571 orang (14%) seperti dalam
grafik berikut ini:
Grafik 1.1 Distribusi Pegawai pada Ditjen P2P Tahun 2019
Sumber data : Bagian Kepagawaian dan Umum Tahun 2019
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
8 |
Pegawai Ditjen P2P memiliki latar belakang Pendidikan yang beragam. Latar belakang
pendidikan terbanyak adalah pendidikan S1/D4 sebanyak 1705 orang, selanjutnya D3
sebanyak 1196 orang, S2 sebanyak 947 orang, SMA sebanyak 309 orang, D1
sebanyak 54 orang, SMP sebanyak 23 orang, SD sebanyak 17 orang dan S3
sebanyak 14 orang. Secara lengkap seperti dalam grafik berikut ini:
Grafik 1.2 Distribusi Pegawai Berdasarkan Pendidikan Tahun 2019
Sumber data : Bagian Kepagawaian dan Umum Tahun 2019
Distribusi pegawai berdasarkan jabatan terbagi menjadi jabatan pelaksana, jabatan
struktural, dan jabatan fungsional tertentu. Berdasarkan grafik dibawah ini, maka
jabatan paling banyak pada Ditjen P2P adalah jabatan pelaksana sebanyak 2.972
orang, jabatan struktural sebanyak 408 orang dan jabatan fungsional tertentu
sebanyak 891 orang.
Grafik 1.3 Distribusi Pegawai Berdasarkan Jabatan Tahun 2019
Sumber data : Bagian Kepagawaian dan Umum Tahun 2019
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
9 |
Distribusi pegawai berdasarkan jabatan fungsional tertentu digambarkan dalam grafik
berikut ini dimana jabatan fungsional terbanyak adalah epidemiolog sebanyak 281
orang, sanitarian 170 orang dan pranata laboratorium kesehatan sebanyak 148 orang,
seperti dalam grafik berikut ini:
Grafik 1.4 Distribusi Pegawai Berdasarkan Jabatan Fungsional Tertentu
Tahun 2019
Sumber data : Bagian Kepegawaian dan Umum Tahun 2019
F. MAKSUD DAN TUJUAN
Penyusunan Laporan Kinerja merupakan wujud melaksanakan Perpres No. 29 Tahun
2014 tentang Sistem Akuntabilitas Kinerja Instansi Pemerintah dan Permenpan dan
RB Nomor 53 Tahun 2014 Tentang Petunjuk Teknis Perjanjian Kinerja, Pelaporan
Kinerja Dan Tata Cara Reviu Atas Laporan Kinerja Instansi Pemerintah. Tujuan
penyusunan Laporan Kinerja Direktorat Jenderal P2P adalah untuk:
1. Memberikan informasi kinerja Ditjen P2P selama tahun 2019 yang telah ditetapkan
dalam dokumen Perjanjian Kinerja.
2. Sebagai bentuk pertanggung jawaban Ditjen P2P dalam mencapai sasaran/tujuan
strategis instansi.
3. Sebagai upaya perbaikan berkesinambungan bagi Ditjen P2P untuk meningkatkan
kinerjanya.
4. Sebagai salah satu upaya mewujudkan manajemen pemerintah yang efektif,
transparan dan akuntabel serta berorientasi pada hasil yang merupakan salah
satu agenda penting dalam reformasi pemerintah.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
10 |
G. SISTEMATIKA PENULISAN
1. Bab I Pendahuluan
Pada bab ini disajikan penjelasan umum organisasi, dengan penekanan kepada
aspek strategis organisasi serta permasalahan utama (strategic issue) yang sedang
dihadapi organisasi.
2. Bab II Perencanaan Kinerja
Bab ini menguraikan ringkasan/ikhtisar perjanjian kinerja Kementerian Kesehatan
Tahun 2019.
3. Bab III Akuntabilitas Kinerja
a. Capaian Kinerja Organisasi
Sub bab ini menyajikan capaian kinerja organisasi untuk setiap pernyataan
kinerja sasaran strategis organisasi sesuai dengan hasil pengukuran kinerja
organisasi.
b. Realisasi Anggaran
Sub bab ini menguraikan tentang realisasi anggaran yang digunakan dan telah
digunakan untuk mewujudkan kinerja organisasi sesuai dengan dokumen
Perjanjian Kinerja.
4. Bab IV Penutup
Bab ini menguraikan simpulan umum atas capaian kinerja organisasi serta langkah
di masa mendatang yang akan dilakukan organisasi untuk meningkatkan kinerjanya.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
11 |
BAB II
PERENCANAAN KINERJA
A. PERENCANAAN KINERJA
Perencanaan kinerja merupakan suatu proses yang berorientasi pada hasil yang
ingin dicapai selama kurun waktu satu sampai dengan lima tahun secara sistematis
dan berkesinambungan dengan memperhitungkan potensi, peluang dan kendala
yang ada atau yang mungkin timbul. Dalam sistem akuntabilitas kinerja instansi
pemerintah (SAKIP) perencanaan kinerja instansi pemerintah terdiri atas tiga
instrumen yaitu Rencana Strategis (Renstra) yang merupakan perencanaan 5
tahunan, Rencana Kerja (Renja) dan Perjanjian Kinerja (PK). Perencanaan 5 tahunan
Ditjen P2P tahun 2018 mengacu kepada dokumen Rencana Aksi Program Ditjen P2P
Tahun 2015-2019 yang telah dilakukan revisi pada bulan Desember 2017 dan
ditetapkan pada tahun 2018, sehingga untuk Laporan Kinerja Tahun 2018 akan
menggunakan indikator yang tertera pada RAP Program Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit Tahun 2015-2019 Revisi 1.
Rencana Aksi Program (RAP) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun
2015-2019
Dalam RPJMN 2015-2019 telah ditetapkan sasaran pokok untuk pembangunan
kesehatan yaitu: (1) meningkatnya status kesehatan dan gizi ibu dan anak; (2)
meningkatnya pengendalian penyakit menular dan tidak menular; (3) meningkatnya
pemerataan dan mutu pelayanan kesehatan dan sumber daya kesehatan; (4)
kesetaraan gender dan pemberdayaan perempuan, (5) perlindungan anak; dan (6)
pembangunan masyarakat. Sasaran pokok dalam pengendalian penyakit menular
dan tidak menular meliputi menurunnya prevalensi TB, prevalensi HIV, prevalensi
tekanan darah tinggi, prevalensi obesitas dan prevalensi merokok.
Sasaran pokok ini kemudian diturunkan dalam sasaran strategis Renstra
Kementerian Kesehatan tahun 2015-2019. Sasaran strategis Renstra Kementerian
Kesehatan untuk Ditjen P2P adalah meningkatnya pencegahan dan pengendalian
penyakit dengan Indikator Kinerja Sasaran yang akan dicapai sebagai berikut:
1. Persentase Cakupan Keberhasilan pengobatan pasien TB/Succes Rate (SR)
sebesar 90% pada akhir tahun 2019.
2. Prevalensi HIV sebesar <0,5 persen pada akhir tahun 2019.
3. Jumlah kabupaten/kota mencapai eliminasi Malaria sebanyak 300
kabupaten/kota pada akhir tahun 2019.
4. Jumlah provinsi dengan eliminasi Kusta sebanyak 34 provinsi pada akhir tahun
2019.
5. Jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi Filariasis sebanyak 35 Kabupaten/Kota
pada akhir tahun 2019.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
12 |
6. Penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
tertentu sebesar 40% pada akhir tahun 2019.
7. Kab/Kota yang mampu melaksanakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan
kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah sebesar 100% pada
akhir tahun 2019.
8. Persentase kab/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) minimal 50 persen sekolah sebesar 50% pada akhir tahun 2019.
9. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki Puskesmas yang menyelenggarakan
upaya kesehatan jiwa sebanyak 280 kab/kota pada akhir tahun 2019.
Sasaran strategis Renstra revisi Kementerian Kesehatan tersebut kemudian
diturunkan dalam RAP revisi tahun 2015-2019 dengan penyesuaian pada tugas
pokok dan fungsi Ditjen P2P. Sasaran tersebut adalah menurunnya penyakit
menular, penyakit tidak menular serta meningkatnya kesehatan jiwa, yang ditandai
dengan Indikator Kinerja Program (IKP) yakni:
1. Persentase Cakupan Keberhasilan pengobatan pasien TB/Succes Rate (SR)
sebesar 90% pada akhir tahun 2019.
2. Prevalensi HIV sebesar <0,5 persen pada akhir tahun 2019.
3. Jumlah kabupaten/kota mencapai eliminasi Malaria sebanyak300 kabupaten/kota
pada akhir tahun 2019.
4. Jumlah provinsi dengan eliminasi Kusta sebanyak 34 provinsi pada akhir tahun
2019.
5. Jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi Filariasis sebanyak 35 Kabupaten/Kota
pada akhir tahun 2019.
6. Penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I)
tertentu sebesar 40% pada akhir tahun 2019.
7. Kab/Kota yang mampu melaksanakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan
kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah sebesar 100% pada
akhir tahun 2019.
8. Persentase kab/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) minimal 50 persen sekolah sebesar 50% pada akhir tahun 2019.
9. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki Puskesmas yang menyelenggarakan
upaya kesehatan jiwa sebanyak 280 kab/kota pada akhir tahun 2019.
10. Persentase respon terhadap signal SKD KLB dan bencana di wilayah layanan
B/BTKLPP pada akhir tahun 2019.
11. Persentase Teknologi Tepat Guna P2P yang dihasilkan B/BTKLPP meningkat
50% dari jumlah TTG tahun 2014 pada akhir tahun 2019.
12. Persentase pelabuhan/ bandara/PLBD yang melaksanakan penanggulangan
kedaruratan kesehatan masyarakat pada akhir tahun 2019.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
13 |
Sedangkan indikator kinerja sasaran tahun 2015-2019 digambarkan dalam tabel
berikut ini:
Tabel 2.1 Sasaran Strategis Program Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit
Tahun 2015 – 2019
SASARAN INDIKATOR TARGET
2015 2016 2017 2018 2019
Menurunnya
penyakit
menular,
penyakit tidak
menular serta
meningkatnya
kesehatan jiwa
1. Persentase cakupan
keberhasilan pengobatan
TB/ Success Rate
84 85 87 89 90
2. Prevalensi HIV <0,5 <0,5 <0,5 <0,5 <0,5
3. Jumlah kabupaten/kota
mencapai eliminasi malaria
225 245 265 285 300
4. Jumlah provinsi dengan
eliminasi kusta
21 23 25 26 34
5. Jumlah kabupaten/kota
dengan eliminasi filariasis
9 12 15 24 35
6. Persentase penurunan
kasus Penyakit yang Dapat
Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I) tertentu
7 10 20 30 40
7. Persentase Kabupaten/
Kota yang mempunyai
kebijakan kesiapsiagaan
dalam penanggulangan
kedaruratan kesehatan
masyarakat yang
berpotensi wabah
29 46 64 82 100
8. Persentase kabupaten/kota
yang melaksanakan
kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok (KTR) minimal 50%
10 20 30 40 50
9. Jumlah kabupaten/kota
yang memiliki puskesmas
yang menyelenggarakan
upaya kesehatan jiwa
dan/atau Napza
80 130 180 230 280
10. Persentase respon
terhadap signal SKD KLB
dan bencana di wilayah
layanan B/BTKLPP
50 60 70 80 90
11. Persentase Teknologi
Tepat Guna P2P yang
dihasilkan B/BTKLPP
meningkat 50% dari jumlah
TTG tahun 2014
30 35 40 45 50
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
14 |
SASARAN INDIKATOR TARGET
2015 2016 2017 2018 2019
12. Persentase pelabuhan/
bandara/PLBD yang
melaksanakan
penanggulangan
kedaruratan kesehatan
masyarakat
60 70 80 90 100
B. PERJANJIAN KINERJA
Perjanjian kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
merupakan dokumen pernyataan dan kesepakatan kinerja antara Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit dengan Menteri Kesehatan Republik
Indonesia untuk mewujudkan target-target kinerja sasaran Ditjen P2P pada akhir
Tahun 2019. Perjanjian Kinerja Ditjen P2P disusun berdasarkan pada indikator yang
tertuang dalam Rencana Rencana Aksi Program Pencegahan dan Pengendalian
Penyakit revisi Tahun 2015-2019 dan telah mendapat persetujuan anggaran.
Perjanjian Kinerja Ditjen P2P Tahun 2019 telah ditandatangani, didokumentasikan
dan ditetapkan setelah turunnya DIPA Tahun 2019 pada bulan Desember 2018.
Target-target kinerja sasaran kegiatan yang ingin dicapai Ditjen P2P dalam dokumen
Perjanjian Kinerja Tahun 2019 adalah sebagai berikut:
Tabel 2.2 Perjanjian Kinerja
Program Pencegahan Dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
NO INDIKATOR TARGET
1 Persentase cakupan keberhasilan pengobatan TB/Success Rate
90%
2 Prevalensi HIV <0,5%
3 Jumlah kabupaten/kota mencapai eliminasi malaria 300
4 Jumlah provinsi dengan eliminasi kusta 34
5 Jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi filariasis 35
6 Persentase penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) tertentu
40%
7 Persentase Kabupaten/Kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah
100%
8 Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal 50%
50%
9 Jumlah kabupaten/kota yang memiliki puskesmas yang menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa dan/atau Napza
280
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
15 |
NO INDIKATOR TARGET
10 Persentase respon terhadap signal SKD KLB dan bencana di wilayah layanan B/BTKLPP
90%
11 Persentase Teknologi Tepat Guna P2P yang dihasilkan B/BTKLPP meningkat 50% dari jumlah TTG tahun 2014
50%
12 Persentase pelabuhan/bandara/PLBD yang melaksanakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat
100%
Pada Perjanjian Kinerja Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019 telah dialokasikan anggaran sebesar Rp. 2.641.905.147.000,00
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
16 |
BAB III
AKUNTABILITAS KINERJA
A. CAPAIAN KINERJA
Tahun 2019 merupakan tahun terakhir dalam pelaksanaan Rencana Aksi Program
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2015-2019. Berbagai upaya tata kelola
manajemen, program dan teknis telah dilakukan untuk mencapai kinerja dari target yang
telah ditetapkan. Pengukuran kinerja dilakukan dengan membandingkan capaian kinerja
dengan target dari masing-masing indikator kinerja yang telah ditetapkan dalam
perjanjian kinerja. Berikut adalah target dan capaian indikator program pencegahan dan
pengendalian penyakit tahun 2019:
Tabel 3.1
Target dan Capaian Indikator Program P2P Tahun 2019
NO INDIKATOR TARGET CAPAIAN KINERJA
1 Persentase cakupan keberhasilan
pengobatan TB/ Success Rate
90% 90,78% 100,9%
2 Prevalensi HIV <0,5% 0,32% 136%
3 Jumlah kabupaten/kota mencapai
eliminasi malaria
300
Kab/Kota
300
Kab/Kota
100%
4 Jumlah provinsi dengan eliminasi kusta 34 Provinsi 26 Provinsi 76,5%
5 Jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi
filariasis
35
Kab/Kota
56
Kab/Kota
160%
6 Persentase penurunan kasus Penyakit
yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I) tertentu
40% 42,8% 107%
7 Persentase Kabupaten/Kota yang
mempunyai kebijakan kesiapsiagaan
dalam penanggulangan kedaruratan
kesehatan masyarakat yang berpotensi
wabah
100% (106
Kab/Kota)
100% (106
Kab/Kota)
100%
8 Persentase kabupaten/kota yang
melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok (KTR) minimal 50%
50% 50,2% 100,4%
9 Jumlah kabupaten/kota yang memiliki
puskesmas yang menyelenggarakan
upaya kesehatan jiwa dan/atau Napza
280
Kab/Kota
407
Kab/Kota
145,4%
10 Persentase respon terhadap signal SKD
KLB dan bencana di wilayah layanan
B/BTKLPP
90% 98% 108,8%
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
17 |
NO INDIKATOR TARGET CAPAIAN KINERJA
11 Persentase Teknologi Tepat Guna P2P
yang dihasilkan B/BTKLPP meningkat
50% dari jumlah TTG tahun 2014
50%
( 60 TTG)
690%
( 316 TTG)
526,7%
12 Persentase pelabuhan/bandara/PLBD
yang melaksanakan penanggulangan
kedaruratan kesehatan masyarakat
100% 100% 100%
Rata-Rata Capaian 147%
Dari 12 indikator pada Perjanjian Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit, terdapat 11 indikator yang mencapai/melebihi target yang
ditetapkan sedangkan 1 indikator tidak mencapai target yakni indikator jumlah provinsi
dengan eliminasi kusta, dengan rata-rata capaian kinerja sebesar 147%. Jika
dibandingkan dengan rata-rata capaian tahun 2018, maka rata-rata capaian tahun 2019
(147%) lebih tinggi dari 2018 (131,6%). Gambaran atas keberhasilan upaya peningkatan
pencegahan dan pengendalian penyakit pada tahun 2019 dijelaskan pada 12 indikator
yang terkait sasaran strategis Ditjen P2P di bawah ini:
1. Persentase cakupan keberhasilan pengobatan TB/ Success Rate sebesar 90%
a. Penjelasan Indikator
Indikator persentase cakupan keberhasilan pengobatan TB/ Success Rate
merupakan indikator yang memberikan gambaran kualitas pengobatan TB yaitu
seberapa besar keberhasilan pengobatan pada pasien TB yang sudah mendapat
pengobatan dan dilaporkan. Angka ini menggambarkan besaran pasien TB yang
berhasil dalam pengobatannya baik dengan kategori sembuh maupun kategori
pengobatan lengkap. Pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional
(RPJMN) yang menjadi indikator kinerja program P2TB adalah Prevalensi TB.
Prevalensi TB adalah indikator yang memberikan gambaran beban penyakit TB
dan dapat memberikan petunjuk seberapa besar penularan yang sedang
berlangsung di populasi. Angka ini menggambarkan jumlah kasus TB di
populasi, tidak hanya kasus TB yang datang ke pelayanan kesehatan dan
dilaporkan ke program.
b. Definisi Operasional
Jumlah semua kasus TB yang sembuh dan pengobatan lengkap di antara semua
kasus TB yang diobati dan dilaporkan dalam satu tahun.
c. Rumus/cara perhitungan
Persentase cakupan
keberhasilan
pengobatan TB
=
Jumlah semua kasus TB yang sembuh
dan pengobatan lengkap
x 100% Jumlah semua kasus TB yang diobati dan
dilaporkan
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
18 |
d. Capaian Indikator
Persentase cakupan keberhasilan pengobatan TB (Success Rate) mencapai
target dari tahun 2015-2019. Tahun 2015 sebesar 84% dari target 84%, tahun
2016 tercapai 85% dari target 85%, tahun 2017 tercapai 87% dari target 87%,
tahun 2018 sebesar 89,32% dari dari target 89% dan tahun 2019 sebesar
90,78% dari target 90%. Secara lengkap dapat dilihat pada grafik berikut:
Grafik 3.1
Target dan Capaian
Persentase Cakupan Angka Keberhasilan Pengobatan TB
Tahun 2015 – 2019
Sumber data : Laporan Subdit TB per 21 Januari Tahun 2020
Indikator ini adalah indikator positif yang artinya jika semakin besar capaian
maka semakin baik kinerjanya dan sebaliknya jika semakin kecil capaian maka
semakin buruk kinerjanya. Pada tahun 2019, target indikator persentase cakupan
keberhasilan pengobatan TB sudah tercapai 90,78% dengan kinerja sebesar
100,9%. Selain menjadi indikator dalam RAP, indikator persentase cakupan
keberhasilan pengobatan TB juga merupakan indikator Renstra Kementerian
Kesehatan. Bila dibandingkan dengan indikator RPJMN yakni Prevalensi
Tuberkulosis (TB) dengan target sebesar 245 per 100.000 penduduk, dengan
capaian sebesar 245 per 100.000 penduduk pada tahun 2019 sehingga capaian
kinerja sebesar 100%. Prevalensi TB dengan angka keberhasilan pengobatan
memiliki hubungan negatif yang artinya jika angka keberhasilan pengobatan
semakin tinggi, maka prevalensi TB akan menurun dan sebaliknya angka
keberhasilan pengobatan semakin tinggi berarti penderita TB yang sembuh
semakin banyak dan kemungkinan untuk menularkan akan berkurang. Jika
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
19 |
penularan berkurang maka jumlah penderita TB di populasi juga berkurang,
dengan demikian prevalensi juga menurun.
Jika dibandingkan capaian indikator angka keberhasilan pengobatan TB per
regional didunia, Indonesia sebagai bagian dalam Regional Asia Tenggara
dengan angka keberhasilan pengobatan TB di Asia Tenggara sebesar 83%
selanjutnya Regional Timur Tengah 91%, Pasifik Barat 91%, Afrika 82%, PAHO
Amerika 76%, Eropah 78% dan capaian global sebesar 85% (TB Global Report,
2019). Selain itu, angka kejadian (insidensi) TB tahun 2018 adalah 316 per
100.000 (sekitar 845.000 pasien TB), dan 7,9% di antaranya dengan TB/HIV.
Angka kematian TB adalah 93 per 100.000 penduduk (tidak termasuk angka
kematian akibat TB/HIV). WHO memperkirakan ada 24.000 kasus MDR di
Indonesia. Secara lengkap terlihat dalam tabel berikut ini:
Tabel 3.2 Estimasi Beban TB tahun 2019
Sumber data : Global TB Report Tahun 2019
Indonesia menduduki peringkat ke-3 untuk insiden TB setelah India dan China
(TB Global Report, 2019). Selain itu, yang menjadi tantangan yang perlu
diperhatikan saat ini yaitu TB DM, TB pada anak, dan TB pada masyarakat
kelompok khusus atau kelompok rentan lainnya. Dengan angka estimasi kasus
TB sebesar 845.000 kasus pertahun dan notifikasi kasus TB sebesar 564.000
kasus maka masih ada sekitar 281.000 kasus (33%) yang belum ternotifikasi baik
yang belum terjangkau, belum terdeteksi maupun belum terlaporkan.
e. Analisa Penyebab Keberhasilan
Indikator persentase cakupan keberhasilan pengobatan TB tahun 2019 mencapai
target. Tercapainya target disebabkan karena berbagai ekspansi yang sudah
dilaksanakan seperti ekspansi DOTS (Directly Observed Treatment Short-course),
ekspansi laboratorium pemeriksaan TB, ekspansi fasilitas pelayanan TB RO
sehingga mendukung meningkatnya kasus TB yang ditemukan dan diobati, peran
pengawas menelan obat dan fasilitas layanan kesehatan yang semakin baik, serta
telah dilaksanakannya mopping up/ penyisiran kasus ke RS yang ada di Provinsi
dan Kabupaten/ Kota. Selain itu, dilakukan perubahan strategi penemuan pasien
TB tidak hanya “secara pasif dengan aktif promotif” tetapi juga melalui
“penemuan aktif secara intensif dan masif berbasis keluarga dan masyarakat“
dengan tetap memperhatikan dan mempertahankan layanan TB yang bermutu
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
20 |
sesuai standar. Guna mempercepat penemuan kasus TB tersebut, maka
diperlukan upaya khusus penemuan kasus secara aktif pada kelompok khusus
untuk deteksi dini TB di lokasi-lokasi tertentu seperti pondok pesantren dan
lapas/rutan. Upaya lainnya yang dilakukan adalah skrining TB dan pemeriksaan
chest x-ray (rontgen dada) pada orang terduga TB.
f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator
1. Ekspansi laboratorium dan distribusi alat Tes Cepat Molekuler (TCM). Pada
tahun 2019 telah terdistribusi sebanyak 916 unit TCM yang tersebar pada
478 kab/kota dengan penyebaran di pulau Sumatera sebanyak 228 unit,
Jawa sebanyak 377 unit, Bali dan Nusa Tenggara sebanyak 51 unit,
Kalimantan sebanyak 72 unit, Sulawesi sebanyak 119 unit, Maluku dan
Maluku Utara sebanyak 26 unit, Papua dan Papua Barat sebanyak 43 unit.
Keseluruhan TCM tersebut didistribusikan pada 878 fasilitas pelayanan
kesehatan yang terdiri dari 619 Rumah Sakit, 16 laboratorium dan 243
puskesmas.
2. Penerapaan sistem transportasi spesimen dengan menggunakan aplikasi
Sistim Informasi Trekring Untuk Spesimen Transpor (SITRUS) yaitu aplikasi
android mobile yang sudah diimplementasikan pada 4432 fasilitas kesehatan
di 203 kabupaten dan 16 provinsi.
3. Pelaksanaan investigasi kontak berdasarkan panduan yang telah
disampaikan ke seluruh provinsi.
4. Pelaksanaan penemuan kasus TB pada populasi risiko tinggi seperti pada
pasien diabetes di puskesmas dan faskes rujukan sesuai panduan yang
telah disebarluaskan ke seluruh provinsi.
5. Sejak bulan November tahun 2019, telah dilaksanakan skrining TB pada
populasi risiko tinggi di 5 provinsi yaitu Provinsi Banten, DKI Jakarta, Jawa
Barat, Jawa Tengah dan Jawa Timur. Target skrining sebanyak 150.000
orang dari rumah tahanan/lembaga pemasyarakatan dan sekolah
berasrama/pondok pesantren dengan menggunakan mesin X-ray sebanyak
15.000 dan penggunaan mesin cepat molekuler sebanyak 4.500 orang.
Gambar 3.1
Skrining TB di Pondok Pesantren Darussalam Perempuan Gontor
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
21 |
6. Adanya sistem informasi TB yang baru (Sistim Informasi TB/SITB) telah
menyambungkan jejaring sistem rujukan internal dan eksternal yang sudah
mengintegrasikan puskesmas, rumah sakit dan laboratorium rujukan.
7. Ekspansi pelaksanaan Mopping Up/ penyisiran kasus ke rumah sakit-rumah
sakit baik rumah sakit pemerintah maupun swasta.
8. Pengiriman umpan balik hasil entri SITT dan hasil penyisiran kasus ke
rumah sakit yang ada di provinsi dan kabupaten/ kota.
9. Keterlibatan Stop TB Partnership Indonesia (STPI) dalam STP global yang
berperan dalam penanggulangan tuberkulosis untuk pelayanan yang
berkualitas dan terjangkau. Keterlibatan STPI sudah dimulai sejak awal
pembentukan forum STPI antara lain Indonesia pernah menjadi tuan rumah
pertemuan Stop TB Partnership wilayah Asia Pasifik dan Mediterania pada
2014, pelaksanaan 2 side event pada pekan ‘UN High Level Meeting on
Tuberculosis’ pada September 2018. Kerja sama multilateral antara STP dan
Indonesia dipercayai dapat membawa dampak positif kepada komunitas TB
di tingkat global sehingga Indonesia dipilih sebagai tuan rumah untuk
serangkaian acara Board Meeting STP 2019 yang berlangsung pada tanggal
9-13 Desember 2019. Pertemuan ini menghasilkan 2 hal penting yakni
pertama, pernyataan komitmen bersama untuk aksi multi-sektor mengakhiri
tuberculosis dan kedua, arahan strategis Presiden untuk K/L untuk
mengakhiri TB di Indonesia.
Gambar 3.2
High Level Meeting on Tuberculosis
g. Kendala/masalah yang dihadapi
1) Sebanyak 36 Kab/Kota belum memiliki alat TCM untuk mendukung diagnosa
TB dan TB resisten obat.
2) Laboratorium kultur TB standar hanya tersedia di 13 provinsi.
3) Pengelolaan sumber daya program TB yang belum memadai, yaitu adanya
rotasi petugas laboratorium TB dan tidak adanya penambahan jumlah
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
22 |
petugas pada laboratorium rujukan (Balai Besar Laboratorium Kesehatan
/BBLK) sejak tahun 2017.
4) Belum semua kasus TB berhasil dijangkau, investigasi kontak belum
maksimal dan minimnya pemahaman pentingnya pengobatan pencegahan
pada anak di bawah umur 5 tahun yang merupakan kontak serumah dari
pasien TB.
h. Pemecahan Masalah
Untuk mencapai target, Program TB melaksanakan kegiatan yang berdasarkan 6
strategi yaitu:
1) Penguatan Kepemimpinan Program TB di Kabupaten/Kota
- Promosi: Advokasi, Komunikasi dan Mobilisasi Sosial
- Regulasi dan peningkatan pembiayaan
- Koordinasi dan sinergi program
2) Peningkatan Akses Layanan “TOSS-TB” yang Bermutu
- Peningkatan jejaring layanan TB melalui PPM (public-private mix)
- Penemuan aktif berbasis keluarga dan masyarakat
- Peningkatan kolaborasi layanan melalui TB-HIV, TB-DM, MTBS, PAL,
dan lain sebagainya
- Inovasi diagnosis TB sesuai dengan alat / saran diagnostik yang baru
- Kepatuhan dan Kelangsungan pengobatan pasien atau Case holding
- Bekerjasama dengan asuransi kesehatan dalam rangka Cakupan
Layanan Semesta (health universal coverage).
3) Pengendalian Faktor Risiko
- Promosi lingkungan dan hidup sehat.
- Penerapan pencegahan dan pengendalian infeksi TB.
- Pengobatan pencegahan dan imunisasi TB.
- Memaksimalkan penemuan TB secara dini, mempertahankan cakupan
dan keberhasilan pengobatan yang tinggi.
4) Peningkatan Kemitraan melalui Forum Koordinasi TB
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di pusat
- Peningkatan kemitraan melalui forum koordinasi TB di daerah
5) Peningkatan Kemandirian Masyarakat dalam Penanggulangan TB
- Peningkatan partisipasi pasien, mantan pasien, keluarga dan masyarakat.
- Pelibatan peran masyarakat dalam promosi, penemuan kasus, dan
dukungan pengobatan TB.
- Pemberdayan masyarakat melalui integrasi TB di upaya kesehatan
berbasis keluarga dan masyarakat.
6) Penguatan Sistem kesehatan
- Sumber Daya Manusia yang memadai dan kompeten.
- Mengelola logistic secara efektif.
- Meningkatkan pembiayaan, advokasi dan regulasi.
- Memperkuat Sistem Informasi Startegis, surveilans proaktif termasuk
kewajiban melaporkan (mandatory notification).
- Jaringan dalam penelitian dan pengembangan inovasi program.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
23 |
2. Prevalensi HIV sebesar <0,5%
a. Defenisi Operasional
Prevalensi dalam epidemiologi, mengandung pengertian jumlah orang dalam
populasi yang mengalami penyakit, gangguan atau kondisi tertentu pada suatu
tempoh waktu dihubungkan dengan besar populasi dari mana kasus itu berasal.
Prevalensi biasanya digunakan untuk mengukur besaran beban suatu wilayah
(dalam hal ini Indonesia) dalam penanggulangan penyakit/masalah kesehatan
tersebut. Prevalensi HIV dihitung menggunakan modeling matematik. Angka
pada laporan terakhir estimasi dan proyeksi prevalensi HIV penduduk Indonesia
di atas 15 tahun.
b. Rumus/ Cara perhitungan
Mempergunakan perhitungan mathematic modelling yakni Aids Epidemic Model
(AEM). AEM adalah model proses lengkap yang secara matematis mereplikasi
proses utama yang mendorong penularan HIV di Asia. Karenanya memiliki
persyaratan input epidemiologis dan perilaku yang lebih luas. AEM menawarkan
kemampuan untuk mensimulasi skenario masa depan di mana upaya
pencegahan dan perawatan mendorong perubahan perilaku.
c. Capaian Indikator
Prevalensi HIV di Indonesia didapatkan melalui hasil perhitungan estimasi dan
proyeksi atau pemodelan matematika. Dari hasil pemodelan terakhir di tahun
2018 (berdasarkan update data pemodelan 2016) diketahui bahwa prevalensi
dalam populasi umum masih rendah. Namun dari hasil Surveilens Terpadu
Biologi dan Perilaku (STBP) pada populasi berisiko tahun 2015 diketahui bahwa
prevalensi HIV diatas 5%. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pola
epidemi HIV AIDS di Indonesia masih terkonsentrasi pada kelompok-kelompok
tertentu. Data Pemodelan akan diperbaharui pada STBP 2019 dan akan
dibukukan pada tahun 2020. Target dan capaian prevalensi HIV di Indonesia
terlihat dalam grafik berikut ini:
Grafik 3.2
Target dan Capaian Prevalensi HIV Tahun 2019 (%)
Sumber data : Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2015-2020
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
24 |
Grafik 3.3
Target dan Capaian Prevalensi HIV Tahun 2015-2019 (%)
Sumber data : Estimasi dan Proyeksi HIV/AIDS di Indonesia Tahun 2015-2020
Perhitungan estimasi dan pemodelan matematika dilakukan dengan bantuan
software AEM (Asean Epidemiology Modelling) dan Spectrum. Semenjak tahun
2009 sampai 2016 telah dihasilkan 4 laporan estimasi dan pemodelan
matematika yaitu laporan tahun 2009, 2012, 2014, dan 2016. Capaian prevalensi
pada tahun 2015-2019 menggunakan laporan terbaru di tahun 2016 yaitu
masing-masing 0.33%-0.32%. Prevalensi HIV dikalangan populasi berusia 15
tahun keatas adalah 0,33 pada tahun 2015-2018 dan menurun sedikit menjadi
0,32% pada tahun 2019. Angka Prevalensi HIV yang tetap tidak menggambarkan
dari tahun ke tahun tidak semata-mata menggambarkan keberhasilan atau
kegagalan pengendalian HIV AIDS di Indonesia. Peningkatan prevalensi HIV
menunjukkan bahwa adanya upaya dalam penemuan kasus HIV dan
meningkatkan jumlah orang yang mendapatkan pengobatan ARV. Prevalensi
HIV di Indonesia didapatkan dari 2 pemodelan, pemodelan Tanah Papua dan
Non-Papua. Gambaran epidemiologinya dapat dilihat sebagai berikut:
Gambar 3.3
Peta Prevalensi HIV di Indonesia Tahun 2019
Sumber data : Laporan rutin Subdit HIV Tahun 2019
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
25 |
Grafik 3.4
Jumlah Kasus HIV dan Kasus AIDS
Tahun 2015 – 2019 (September*)
30.935
41.250
48.300 46.659
36.244
7.185 7.491 9.280 10.190 5.322
-
10.000
20.000
30.000
40.000
50.000
60.000
2015 2016 2017 2018 2019*
Jumlah Kasus HIV
Jumlah Kasus AIDS
Sumber data : Laporan rutin Subdit HIV Tahun 2019
Sejak HIV pertama kali ditemukan di Indonesia berbagai upaya telah dilakukan
untuk menemukan orang dengan HIV AIDS (ODHA), memberikan pengobatan
dan perawatan ODHA, dan mencegah penularan kepada orang yang belum
terinfeksi. Berbagai kebijakan terus dikembangkan dan diperbaharui sesuai
dengan perkembangan dan komitmen kebijakan global, tentunya dengan cara
mengadaptasi kebijakan dan pedoman penanggulangan HIV yang sesuai
dengan kondisi dan sumber daya di Indonesia. Dalam Peta Prevalensi HIV di
dunia tahun 2017, Indonesia termasuk dalam wilayah South East Asia (SEARO).
Gambar 3.4
Peta Prevalensi HIV di Dunia Tahun 2017
Sumber data : Global HIV Report
Prevalensi HIV tahun 2017, secara global diperkirakan 0,8% (0,6-0,9). Indonesia
menempati urutan keempat setelah wilayah Africa, America dan Europe, dengan
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
26 |
prevalensi sebesar 0.3% (0.2 – 0.4), di atas Eastern Mediterranean dan Western
Pasific.
d. Analisa Penyebab Keberhasilan
Upaya pencegahan yang telah dilaksanakan antara lain dengan mengedukasi
masyarakat dengan cara memperbanyak jumlah dan memperluas jangkauan
distribusi media KIE baik cetak maupun elektronik agar meningkatkan
pengetahuan dan kepedulian masyarakat terhadap HIV AIDS. Selain itu terus
dilakukan distribusi kondom kepada populasi berisiko tinggi seperti WPS, LSL,
Penasun dan lainnya bekerja sama dengan LSM di seluruh Indonesia.
Peningkatan jumlah layanan HIV dari tahun ke tahun menunjukkan upaya yang
tinggi dari Kementerian Kesehatan dalam memperluas dan meningkatkan akses
pelayanan terhadap masyarakat yang membutuhkan. Selain itu pengembangan
Layanan Komprehensif Berkesinambungan (LKB) di beberapa kabupaten/kota di
Indonesia serta penerapan SUFA (Strategic Use of ARV) dan TOP (Temukan,
Obati, dan Pertahankan) dalam upaya pencegahan dan pengobatan dapat
mendukung akselerasi upaya pencegahan dan penanggulan HIV AIDS.
Peningkatan sistem rujukan antar layanan termasuk pengembangan laboratorium
pemeriksaan HIV (termasuk tes CD4 dan viral load). Selain itu, telah diterbitkan
Surat Edaran No. HK.02.02/1/1654/2018 tentang Penatalaksanaan orang
dengan HIV-AIDS (ODHA) untuk eliminasi AIDS tahun 2030, maka semua orang
dengan HIV-AIDS yang ditemukan, akan segera diobati dengan ARV tanpa
menunggu hasil pemeriksaan CD4. Pengembangan dan pemeliharaan sistem
informasi online untuk pencatatan dan pelaporan program HIV AIDS juga
merupakan suatu upaya penting sehingga keberhasilan dari kebijakan yang telah
dilaksanakan dapat terukur dengan baik. Fokus dalam monitoring dan evaluasi
bukan hanya pada terlaksananya program tetapi juga pada berjalannya
pencatatan dan pelaporan di setiap jenjang.
e. Upaya yang dilaksanakan mencapai target indikator
1) Peningkatan cakupan tes HIV dan ODHA akses ARV.
2) Meningkatkan kerja sama lintas program dan lintas sektor dalam upaya
pencegahan dan pengendalian penularan HIV.
3) Peningkatan jumlah outlet, distribusi, dan promosi penggunaan kondom.
4) Meningkatkan jumlah Puskesmas yang mampu melakukan inisiasi ART.
5) Peningkatan jumlah layanan Tes HIV dan layanan Infeksi Menular Seksual
(IMS)
6) Meningkatkan kualitas layanan Layanan Alat Suntik Steril (LASS) dan
Program Terapi Rumatan Metadon (PTRM).
7) Peningkatan pengetahuan komprehensif melalui media KIE cetak dan
elektronik serta kampanye ABAT pada remaja.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
27 |
Gambar 3.5
Media KIE HIV AIDS
8) Akselerasi peningkatan orang yang melakukan tes HIV antara lain melalui
mobile clinic, serta memaksimalkan tes HIV atas inisiatif petugas kesehatan.
- Akselerasi peningkatan ODHA memakai ARV melalui kebijakan SUFA
(strategic use of ARV), dengan memperluas inisiasi dini ART.
- Peningkatan pencatatan dan pelaporan data program baik berbasis
manual maupun elektronik.
- Pelaksanaan kampanye HAS (Hari AIDS Sedunia) disertai dengan
promosi tes HIV sebagai upaya pencegahan penularan sedini mungkin.
Gambar 3.6
Penerimaan Rekor MURI untuk Pembentukan Pita Merah Terbanyak
pada Peringatan Hari Aids Sedunia (HAS) 2019
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
28 |
f. Kendala/Masalah yang dihadapi
1. Masih tingginya penularan HIV dan IMS
a) Penularan HIV pada subpopulasi heteroseksual masih terus terjadi
termasuk penularan pada subpopulasi homoseksual dan biseksual.
b) Penularan IMS dan HIV pada populasi WPS, Waria belum berhasil
dikendalikan. Hal ini berkorelasi kuat dengan rendahnya tingkat
pemakaian kondom secara konsisten pada setiap kontak seks berisiko
dan kesadaran untuk pemeriksaan dan pengobatan IMS yang benar.
c) Penularan IMS dan HIV pada ibu-ibu rumah tangga dan anak-anak sudah
menunjukkan kecenderungan meningkat, terutama di provinsi-provinsi
berprevalensi HIV tinggi.
2. Pengetahuan dan kesadaran masyarakat tentang HIV dan pencegahan
penularannya masih perlu ditingkatkan
a) Masih banyak kelompok di masyarakat yang masih awam terhadap risiko
penularan HIV, terutama masyarakat dengan keterbatasan sumber
informasi dan juga pada populasi remaja.
b) Belum terbangunnya kesadaran pada populasi berisiko untuk menolong
diri sendiri dan bertanggung jawab pada anggota keluarga serta
masyarakat dari risiko penularan HIV-AIDS dan IMS.
c) Kesadaran masyarakat termasuk populasi berisiko untuk mengetahui
status HIV nya masih relatif rendah.
d) Masih tingginya stigma dan perlakuan diskriminatif masyarakat dan
petugas kesehatan kepada ODHA.
3. Terbatasnya ketersediaan layanan kesehatan komprehensif HIV-AIDS
dan IMS
a) Masih terbatasnya jumlah tenaga kesehatan yang peduli, terlatih dan
terampil dalam melaksanakan program pengendalian HIV AIDS dan IMS
serta penyakit oportunistiknya jika dibandingkan dengan luas wilayah
prioritas dan besarnya populasi berisiko.
b) Jumlah dan kualitas fasilitas layanan kesehatan yang mampu
memberikan layanan kesehatan komprehensif terkait masih perlu
ditingkatkan untuk memenuhi kebutuhan.
4. Hambatan dalam sistem pencatatan dan pelaporan serta monitoring dan
evaluasi
a) Pencatatan dalam dokumen primer yaitu rekam medis belum
mencerminkan Penyelenggaraan praktik kedokteran yang baik di
Indonesia.
b) Pelaporan pelayanan kesehatan promosi, pencegahan, pengobatan dan
rehabilitasi terkait HIV dan IMS belum terintegrasi dalam sistem
informasi fasilitas layanan kesehatan.
c) Keterbatasan jumlah dan kapasitas SDM petugas pencatatan dan
pelaporan program HIV AIDS dan IMS.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
29 |
d) Monitoring dan evaluasi yang tidak kontinyu akibat ketidak seragaman
komitmen dan kemampuan pemerintah daerah dalam pembinaan,
pengawasan dan penganggaran kesehatan menyulitkan pengambilan
kebijakan yang tepat dalam pengendalian HIV AIDS dan IMS terutama
dalam era desentralisasi.
g. Pemecahan Masalah
1) Meningkatkan pemberdayaan masyarakat dalam penanggulangan HIV dan
AIDS melalui kerjasama nasional, regional, dan global dalam aspek legal,
organisasi, pembiayaan, fasilitas pelayanan kesehatan dan sumber daya
manusia;
2) Meningkatkan advokasi, sosialisasi, dan mengembangkan kapasitas;
3) Meningkatkan upaya penanggulangan HIV dan AIDS yang merata,
terjangkau, bermutu, dan berkeadilan serta berbasis bukti, dengan
mengutamakan pada upaya preventif dan promotif;
4) Meningkatkan jangkauan pelayanan pada kelompok masyarakat berisiko
tinggi, dengan berfokus pada daerah yang memiliki risiko tertinggi dan beban
tertinggi;
5) Meningkatkan pembiayaan penanggulangan HIV dan AIDS melalui Adinkes
(Asosiasi Dinas Kesehatan seluruh Indonesia);
6) Meningkatkan pengembangan dan pemberdayaan sumber daya manusia
yang merata dan bermutu dalam penanggulangan HIV dan AIDS;
7) Meningkatkan ketersediaan, dan keterjangkauan pengobatan, pemeriksaan
penunjang HIV dan AIDS serta menjamin keamanan, kemanfaatan, dan
mutu sediaan obat dan bahan/alat yang diperlukan dalam penanggulangan
HIV dan AIDS;
8) Penguatan sistem logistik sebagai upaya perbaikan dalam mendistribusikan
reagen dan obat HIV AIDS dan IMS sehingga tepat guna, serta mengurangi
risiko kekosongan obat ataupun obat expired;
9) Revitalisasi pengendalian IMS di Puskesmas dan RS;
10) Penguatan surveilans IMS dan HIV di kabupaten/kota prioritas;
11) Peningkatan keterlibatan komunitas/LSM peduli AIDS, populasi kunci dan
kader masyarakat dalam upaya penjangkauan;
12) Perluasan jangkauan pengobatan ARV sampai ke tingkat Puskesmas;
13) Perluasan kampanye tentang HIV dan AIDS, bahaya Napza, dan seks bebas
di lingkungan pendidikan formal dan non-formal;
14) Meningkatkan peranan KDS dan keluarga sebagai petugas pendamping
ODHA;
15) Memprioritaskan sumber daya pada di semua kabupaten/kota untuk
meningkatkan cakupan program terutama tes dan pengobatan;
16) Meningkatkan sistem informasi data dan pemanfaatannya termasuk aplikasi
sistem informasi logistik.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
30 |
3. Jumlah kab/kota dengan eliminasi malaria sebesar 300 kab/kota
a. Penjelasan Indikator
Tujuan program malaria di Indonesia adalah untuk mencapai eliminasi malaria
yang ditegaskan melalui Keputusan Menteri Kesehatan RI Nomor.
293/Menkes/SK/IV/2009 tanggal 28 April 2009 tentang Eliminasi Malaria di
Indonesia dan Surat Edaran Menteri Dalam Negeri Nomor. 443.41/465/SJ
tanggal 8 Februari 2010 kepada seluruh Gubernur dan Bupati/Walikota tentang
Pedoman Pelaksanaan Program Eliminasi Malaria di Indonesia yang harus
dicapai secara bertahap mulai dari tahun 2010 sampai seluruh wilayah Indonesia
bebas malaria selambat-lambatnya tahun 2030. Hal tersebut juga telah
disepakati oleh Presiden Republik Indonesia Joko Widodo bersama kepala
negara lainnya di kawasan Asia-Pasifik dalam acara East Asia Summit yang ke-9
di Myanmar. Untuk mencapai tujuan tersebut eliminasi malaria adalah suatu
upaya untuk menghentikan penularan malaria setempat dalam satu wilayah
geografi tertentu, dan bukan berarti tidak ada kasus malaria impor serta sudah
tidak ada vektor di wilayah tersebut, sehingga tetap dibutuhkan kegiatan
kewaspadaan untuk mencegah penularan kembali. Kabupaten/kota yang telah
memenuhi persyaratan dasar eliminasi malaria harus mengirimkan surat
pengajuan penilaian eliminasi kepada Subdit Malaria Ditjen P2P, kemudian tim
penilai eliminasi yang terdiri dari Subdit Malaria dan para ahli malaria akan
menilai kabupaten/kota tersebut menggunakan tools yang telah dibuat dengan
beberapa hal yang menjadi pertimbangan yaitu:
1. Pelaksanaan penemuan dan tatalaksana kasus malaria
2. Pencegahan dan penanggulangan faktor risiko
3. Surveilans dan penanggulangan KLB
4. Peningkatan komunikasi, informasi dan edukasi (KIE)
5. Peningkatan sumber daya manusia
6. Komitmen pemerintah daerah
Setelah dilakukan penilaian maka tim penilai akan mengajukan rekomendasi
hasil penilaian tersebut di dalam rapat komisi eliminasi malaria, apabila disetujui
maka komisi akan mengusulkan kepada Menteri Kesehatan untuk diberikan
sertifikat eliminasi malaria pada kabupaten tersebut.
b. Definisi operasional
Suatu wilayah yang sudah tidak ditemukan penularan malaria setempat
(indigenous) kembali selama tiga tahun berturut-turut dan bukan berarti tidak ada
kasus malaria impor serta sudah tidak ada vektor malaria di wilayah tersebut
sehingga tetap dibutuhkan kewaspadaan untuk mempertahankan status bebas
malaria. Status eliminasi malaria ditetapkan oleh Menteri Kesehatan RI berupa
pemberian sertifikat eliminasi malaria kepada Kabupaten/Kota yang telah
memenuhi syarat.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
31 |
c. Rumus/cara perhitungan
Akumulasi jumlah kab/kota yang mencapai eliminasi malaria diakhir tahun.
d. Capaian indikator
Kabupaten/kota yang telah mencapai eliminasi malaria pada tahun 2019 yaitu
sebanyak 300 kabupaten/kota dari target yang ditentukan sebesar 300 kab/kota
atau pencapaian kinerja sebesar 100%. Berikut dijelaskan dalam tabel capaian
persentasi kabupaten/kota yang mencapai eliminasi:
Tabel 3.3
Jumlah Kab/Kota dengan Eliminasi Malaria sampai tahun 2019
No Provinsi Jumlah Kab/Kota
Jumlah Kab/Kota Eliminasi
%
1 Aceh 23 21 91
2 Sumatera Utara 33 21 64
3 Sumatera Barat 19 17 89
4 Riau 12 10 83
5 Jambi 11 7 64
6 Sumatera Selatan 17 8 47
7 Bengkulu 10 3 30
8 Lampung 15 11 73
9 Bangka Belitung 7 6 86
10 Kepulauan Riau 7 3 43
11 DKI Jakarta 6 6 100
12 Jawa Barat 27 23 85
13 Jawa Tengah 35 33 94
14 DI Yogyakarta 5 4 80
15 Jawa Timur 38 38 100
16 Banten 8 6 75
17 Bali 9 9 100
18 Nusa Tenggara Barat 10 3 30
19 Nusa Tenggara Timur 22 0 0
20 Kalimantan Barat 14 3 21
21 Kalimantan Tengah 14 10 71
22 Kalimantan Selatan 13 7 54
23 Kalimantan Timur 10 3 30
24 Kalimantan Utara 5 1 20
25 Sulawesi Utara 15 6 40
26 Sulawesi Tengah 13 5 38
27 Sulawesi Selatan 24 20 83
28 Sulawesi Tenggara 17 9 53
29 Gorontalo 6 2 33
30 Sulawesi Barat 6 5 83
31 Maluku 11 0 0
32 Maluku Utara 10 0 0
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
32 |
No Provinsi Jumlah Kab/Kota
Jumlah Kab/Kota Eliminasi
%
33 Papua Barat 13 0 0
34 Papua 29 0 0
Indonesia 514 300 58% Sumber data : Laporan rutin Subdit Malaria Tahun 2019
Berdasarkan tabel diatas, sebanyak 58% kabupaten/kota di Indonesia telah
mencapai eliminasi malaria dengan persentasi terbanyak pada Provinsi DKI
Jakarta, Bali, dan Jawa Timur dimana seluruh kabupaten/kotanya telah bebas
malaria (100%), sedangkan di wilayah Kawasan Timur Indonesia (KTI) belum
satupun kabupaten/kotanya bebas malaria.
Grafik 3.5
Capaian Eliminasi Malaria di Indonesia tahun 2015-2019
Sumber data : Laporan rutin Subdit Malaria Tahun 2019
Tren capaian eliminasi Malaria dapat digambarkan pada grafik diatas dimana
terjadi peningkatan capaian realisasi jumlah kabupaten/kota yang mencapai
eliminasi malaria yakni sebanyak 266 Kab/Kota pada tahun 2017 menjadi 285
Kab/Kota pada tahun 2018 dan 300 kab/kota pada tahun 2019. Peningkatan
jumlah Kab/Kota yang mencapai eliminasi malaria berasal dari 15
Kabupaten/Kota yaitu 2 Kab/Kota di Provinsi NAD, 1 Kab/Kota di Provinsi
Sumatera Barat, 2 Kab/kota di Provinsi Jambi, 1 Kab/Kota di Provinsi Bangka
Belitung, 1 Kab/Kota di Provinsi Lampung, 3 Kab/Kota di Provinsi Jawa Tengah,
1 Kab/Kota di Provinsi Kalimantan Tengah, 1 Kab/Kota di Provinsi Sulawesi
Tengah, 1 Kab/Kota di Provinsi Sulawesi Selatan dan 2 Kab/Kota di Provinsi
Sulawesi Barat.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
33 |
Apabila dibandingkan dengan negara lainnya di Regional South East Asian
Regional Office (SEARO) maka Indonesia menyumbang 8% dari kasus malaria
vivax di wilayah SEARO dimana penyumbang kasus terbanyak adalah India
(48%) dan Pakistan (10%), seperti terlihat dalam diagram dibawah ini, oleh
karena itu Indonesia berkomitmen mencapai eliminasi malaria pada tahun 2030.
Grafik 3.6
Proporsi Kasus Malaria Vivax di wilayah SEARO
Sumber data : World Malaria Report 2019
Untuk mencapai target eliminasi malaria maka diperlukan indikator komposit
untuk mendukung tercapainya cakupan yaitu persentase konfirmasi sediaan
darah serta persentase pengobatan standar yang juga merupakan indikator
Pemantauan Program Prioritas Janji Presiden tahun 2019 oleh KSP (Kantor Staf
Presiden) yang dipantau setiap tiga bulan. Persentase pemeriksaan sediaan
darah adalah persentasi suspek malaria yang dilakukan konfirmasi laboratorium
baik menggunakan mikroskop maupun Rapid Diagnostic Test (RDT) dari semua
suspek yang ditemukan. Persentase pemeriksaan sediaan darah adalah
persentasi suspek Malaria yang dilakukan konfirmasi laboratorium baik
menggunakan mikroskop maupun Rapid Diagnostic Test (RDT) dari semua
suspek yang ditemukan. Target yang diharapkan adalah diatas 95%. Capaian
tahun 2019 data per 9 Januari 2019 adalah sebesar 97% dengan jumlah suspek
sebanyak 1.256.040 orang dan jumlah pemeriksaan sediaan darah dikonfirmasi
laboratorium sebanyak 1.212.909 orang.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
34 |
Grafik 3.7 Persentase Pemeriksaan Sediaan Darah
Sumber data : Laporan rutin Subdit Malaria Tahun 2019
Persentasi Pasien Malaria positif yang diobati sesuai standar ACT (Artemisinin
based Combination Therapy) adalah proporsi pasien Malaria yang diobati sesuai
standar tata laksana malaria dengan menggunakan ACT. Artemisinin based
Combination Therapy (ACT) saat ini merupakan obat yang paling efektif untuk
membunuh parasit Malaria. Pemberian ACT harus berdasarkan hasil
pemeriksaan laboratorium. Target capaian pengobatan ACT yaitu sebesar 90%
dan capaian pada tahun 2019 yaitu sebesar 91 % dengan jumlah positif malaria
sebanyak 212,626 orang dan jumlah pengobatan standar ACT sebesar 190,366.
(kelengkapan data per 9 Januari 2019).
Grafik 3.8 Persentasi Malaria Positif diobati sesuai standar
Selain menjadi indikator RAP Ditjen P2P, indikator jumlah Kab/Kota dengan
eliminasi malaria juga merupakan indikator RPJMN dan Renstra Kementerian
Kesehatan sehingga pembandingan dengan indikator RPJMN dan Renstra tidak
diperlukan lagi.
Sumber data : Laporan rutin Subdit Malaria Tahun 2019
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
35 |
e. Analisa Penyebab Keberhasilan
Jumlah kabupaten/kota yang mencapai eliminasi malaria pada tahun 2019
sebanyak 300 kabupaten/kota, jumlah tersebut telah mencapai target indikator
RPJMN/Renstra/RAP sebanyak 300 Kabupaten/kota. Beberapa hal yang
mempengaruhi keberhasilan tersebut antara lain
1) Penemuan kasus malaria melalui kegiatan surveilans migrasi
Kegiatan surveilans migrasi dilaksanakan sebagai strategi penanggulangan
malaria di daerah endemis rendah yang masih memiliki daerah reseptif
(daerah yang masih ada vektor malaria dan memungkinkan adanya vektor
malaria) untuk mencegah terjadinya penularan malaria, mobilisasi penduduk
yang tinggi merupakan salah satu ancaman penularan malaria disuatu
daerah, pencegahan penularan dengan melakukan pemeriksaan sediaan
darah malaria pada pendatang dari daerah endemis malaria dilakukan dalam
surveilans migrasi, kegiatan tersebut biasanya dilaksanakan oleh JMD (Juru
Malaria Desa).
2) Penyelidikan epidemiologi setiap kasus malaria
Daerah yang telah mencapai endemis rendah harus melakukan penyelidikan
epidemiologi terhadap kasus malaria, laporan mingguan SKDR (Sistem
Kewaspadaan Dini dan Respon KLB) melaporkan kasus malaria setiap
minggu yang ditindaklanjuti dengan penyelidikan epidemiologi untuk setiap
kasus, kegiataan tersebut bertujuan untuk menentukan asal penularan
sehingga dapat melakukan upaya pencegahan yang sesuai.
3) Skrining Malaria pada Ibu Hamil
Kegiatan skrining ibu hamil dilakukan di Kabupaten/Kota endemis sedang
dan endemis rendah malaria yang masih memiliki desa atau puskesmas
endemis tinggi dan sedang malaria. Ibu hamil merupakan salah satu populasi
berisiko apabila tertular malaria, kegiatan ini bertujuan untuk mengurangi
risiko penularan pada ibu hamil.
f. Upaya yang dilaksanakan untuk mencapai target indikator
Beberapa upaya telah dilakukan untuk mencapai indikator tersebut, antara lain:
1) Diagnostik Malaria
Kebijakan pengendalian malaria terkini dalam rangka mendukung eliminasi
malaria adalah bahwa diagnosis malaria harus terkonfirmasi melalui
pemeriksaan laboratorium baik dengan mikroskop ataupun Rapid Diagnostic
Test (RDT). Penegakkan diagnosa tersebut harus berkualitas dan bermutu
sehingga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat dan memberikan
data yang tepat dan akurat. Berbagai kegiatan dalam rangka meningkatkan
mutu diagnosis terus dilakukan. Kualitas pemeriksaan sediaan darah
dipantau melalui mekanisme uji silang di tingkat kab/kota, provinsi dan pusat.
Kualitas pelayanan laboratorium malaria sangat diperlukan dalam
menegakan diagnosis dan sangat tergantung pada kompetensi dan kinerja
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
36 |
petugas laboratorium di setiap jenjang fasilitas pelayanan kesehatan.
Penguatan laboratorium pemeriksaan malaria yang berkualitas dilakukan
melalui pengembangan jejaring dan pemantapan mutu laboratorium
pemeriksa malaria mulai dari tingkat pelayanan seperti laboratorium
Puskesmas, Rumah Sakit serta laboratorium kesehatan swasta sampai ke
laboratorium rujukan uji silang di tingkat Kabupaten/Kota, Provinsi dan
Pusat. Kegiatan dalam rangka peningkatan kualitas diagnostik malaria telah
dilaksanakan sepanjang tahun 2019, antara lain:
1) Workshop Jejaring Laboratorium Pemeriksa Malaria Nasional.
2) Pertemuan Jejaring dan Laboratorium Rujukan Nasional Pemeriksa
Malaria.
3) Pelatihan Manajemen Quality Assurance Laboratorium Malaria
sebanyak 2 angkatan.
4) Penyusunan Pedoman Quality Assurance Laboratorium Malaria.
2) Tatalaksana Kasus Malaria
Kementerian Kesehatan telah merekomendasikan pengobatan malaria
menggunakan obat pilihan yaitu kombinasi derivate artemisinin dengan obat
anti malaria lainnya yang biasa disebut dengan Artemisinin based
Combination Therapy (ACT). ACT merupakan obat yang paling efektif untuk
membunuh parasit sedangkan obat lainnya seperti klorokuin telah resisten.
Pada tahun 2019 telah ditetapkan Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran
Tata Laksana Malaria dalam bentuk Keputusan Menkes RI Nomor
HK.01.07/Menkes/556/2019. Berdasarkan Kepmenkes tersebut juga
diterbitkan buku pedoman tata laksana kasus malaria sesuai dengan
perkembangan terkini dan hasil riset mutakhir. Adapun penggunaan ACT
harus berdasarkan hasil pemeriksaan laboratorium, sebagai salah satu
upaya mencegah terjadinya resistensi.
Pencegahan resistensi dilakukan juga dengan monitoring efikasi obat anti
malaria. Tahun 2019 bekerjasama dengan B/BTKL, Fakultas Kedokteran
Universitas Indonesia dan lembaga Eijkman di beberapa daerah yang
representatif. Salah satu pilar untuk mencapai eliminasi malaria adalah
menjamin universal akses dalam pencegahan, diagnosis dan pengobatan,
sehingga diperlukan keterlibatan semua sektor terkait termasuk swasta.
Kegiatan yang telah dilakukan dalam mendukung kualitas tatalaksana
malaria tahun 2019 yakni Pertemuan Penyusunan Pedoman Surveilans
Plasmodium Knowlesi di Indonesia.
3) Surveilans Malaria
Surveilans merupakan kegiatan penting dalam upaya eliminasi, karena salah
satu syarat eliminasi adalah pelaksanaan surveilans yang baik untuk
mengidentifikasi daerah atau kelompok populasi yang berisiko malaria dan
melakukan perencanaan sumber daya yang diperlukan untuk pengendalian
malaria. Kegiatan surveilans malaria dilaksanakan sesuai dengan tingkat
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
37 |
endemisitas. Daerah yang telah masuk pada tahap eliminasi dan
pemeliharaan harus melakukan penyelidikan epidemiologi terhadap setiap
kasus positif malaria sebagai upaya kewaspadaan dini kejadian luar biasa
malaria dengan melakukan pencegahan terjadinya penularan.
Berikut beberapa kegiatan yang telah dilakukan dalam mendukung kegiatan
surveilans, sistem informasi dan monitoring dan evaluasi malaria:
a. Pertemuan Validasi Data Program Malaria Tahun 2018 dan Evaluasi
Sismal Versi 2;
b. Pertemuan Evaluasi Tahun 2018 dan Perencanaan Tahun 2019
Program Malaria Tingkat Nasional;
c. Pertemuan Monitoring dan Evaluasi Percepatan Eliminasi Malaria di
Wilayah Jawa;
d. Workshop Penanggulangan Malaria di Wilayah Khusus Tahun 2019;
e. Workshop Evaluasi Pelaksanaan Surveilans Migrasi Malaria di KKP dan
Fasyankes;
f. Workshop Evaluasi Penanganan KLB Malaria dan Bencana di Daerah
Reseptif/Endemis Malaria Tahun 2014-2019;
g. Penyusunan Update Petunjuk Teknis Penyelidikan Epidemiologi Kasus
dan Fokus Malaria Tahun 2019;
h. Pertemuan Review Program Malaria;
i. Pertemuan Penyusunan Rencana Aksi Malaria Tahun 2020-2024.
Gambar 3.7 Pertemuan Penyusunan Rencana Aksi Malaria Tahun 2020-2024
4) Pengendalian Vektor Malaria
Sampai saat ini nyamuk Anopheles telah dikonfirmasi menjadi vektor malaria
di Indonesia sebanyak 25 jenis (species). Jenis intervensi pengendalian
vektor malaria dapat dilakukan dengan berbagai cara antara lain memakai
kelambu berinsektisida (LLINs = Long lasting insecticide nets), melakukan
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
38 |
penyemprotan dinding rumah dengan insektisida (IRS = Indoor Residual
Spraying), melakukan larviciding, melakukan penebaran ikan pemakan larva,
dan pengelolaan lingkungan.
Penggunaan kelambu berinsektisida merupakan cara perlindungan dari
gigitan nyamuk anopheles. pembagian kelambu ke masyarakat dilakukan
dengan 2 metode, yaitu pembagian secara massal (mass campaign) dan
pembagian rutin. Pembagian secara massal dilakukan pada
daerah/kabupaten/kota endemis tinggi dengan cakupan minimal 80%.
Pembagian ini diulang setiap 3 tahun, jika belum ada penurunan tingkat
endemisitas. Pembagian kelambu secara rutin diberikan kepada ibu hamil
yang tinggal di daerah endemis tinggi. Kegiatan ini bertujuan untuk
melindungi populasi prioritas, yaitu ibu hamil dari risiko penularan malaria.
Selain itu, pembagian kelambu juga dilakukan pada daerah yang terkena
bencana.
5) Promosi, Advokasi dan kemitraan dalam upaya pengendalian malaria
Sosialisasi pentingnya upaya pengendalian malaria merupakan hal yang
penting dengan sasaran pengambil kebijkan, pelaksana teknis dan
masyarakat luas. Komunikasi, Informasi dan Edukasi (KIE) kepada
masyarakat luas dilakukan dengan membuat Iklan Layanan Masyarakat
(ILM) mengenai Malaria. Beberapa kegiatan selama Tahun 2019 dalam
mendukung promosi, advokasi dan kemitraan dalam upaya pengendalian
malaria antara lain Pertemuan Reorientasi Eliminasi Malaria Wilayah
Pembebasan, Peringatan Hari Malaria Sedunia Tahun 2019 dan Pertemuan
Review Forum Nasional Gebrak Malaria (FNGM) Komisi Ahli Malaria.
g. Kendala/Masalah yang dihadapi
Kegiatan pencegahan dan pengendalian malaria di Indonesia telah mencapai
target yang ditetapkan, namun masih terdapat permasalahan yang menjadi
tantangan seperti:
1) Disparitas angka kejadian malaia antara wilayah Kawasan Timur Indonesia
khususnya Papua dengan wilayah lainnya.
2) Akses dan cakupan layanan baik Rumah Sakit, klinik, DPS pada remote
area masih belum memadai.
3) Pengendalian resistensi Obat Anti Malaria (OAM) dengan prinsip one gate
policy, reserve drug policy dan free market control belum optimal.
4) Rujukan layanan dan jejaring tatalaksana belum optimal.
5) Manajemen ketersediaan OAM belum optimal.
6) Pengawasan penggunaan kelambu masih kurang adekuat, daerah belum
melakukan pengawasan penggunaan kelambu.
7) Migrasi penduduk mempengaruhi potensi penyebaran malaria.
8) Didaerah endemis rendah banyak terdapat daerah fokus malaria yang sulit
(tambang liar, illegal logging, perkebunan illegal, tambak terbengkelai)
9) Ketepatan dan kelengkapan pelaporan yang belum optimal
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
39 |
10) Belum semua daerah pembebasan dan pemeliharaan mempunyai
pemetaan daerah focus
h. Pemecahan Masalah
Beberapa permasalahan yang disebutkan diatas memerlukan pemecahan
masalah sehingga kegiatan dapat berjalan efektif dan efisien dan indikator dapat
dicapai. Berikut ini beberapa pemecahan masalah yang dilakukan:
1) Peningkatan akses layanan malaria yang bermutu.
- Desentralisasi pelaksanaan program oleh Kab/kota.
- Integrasi kedalam layanan kesehatan primer.
- Penemuan dini dengan konfirmasi dan pengobatan yang tepat sesuai
dengan standar dan pemantauan kepatuhan minum obat.
- Penerapan sistem jejaring public-privite mix layanan malaria.
2) Pencegahan dan pengendalian vektor terpadu.
3) Intervensi kombinasi (LLIN, IRS, Larvasida, pengelolaan lingkungan,
personal protection, profilaksis) dengan berbasis bukti melalui pendekatan
kolaboratif.
4) Pemantauan efektifitas dan resistensi OAM.
5) Penguatan surveilans termasuk surveilans migrasi, Sistem Kewaspadaan
Dini Kejadian Luar Biasa (SKD-KLB) dan penanggulangan KLB.
6) Sosialisasi penggunaan dana yang bisa dimanfaatkan untuk Penyelidikan
Epidemiologi baik Dana Dekonsentrasi, DAK non fisik, APBD, Global Fund,
Dana Desa, dan Dana Kapitasi.
7) Terdapat tenaga pendamping dari UNICEF dan WHO untuk Dinas
Kesehatan Kab/kota dalam mempercepat penurunan kasus dan
mempercepat eliminasi malaria khususnya Kab/Kota endemis tinggi
sebagian besar berada di Kawasan Timur Indonesia.
8) Peningkatan akses layanan malaria pada daerah sulit dan populasi khusus
seperti penambang illegal, pekerja pembalakan liar, perkebunan illegal dan
suku asli yang hidup di hutan.
9) Menjaga daerah yang telah mendapat sertifikat tidak terjadi penularan
kembali.
10) Pengembangan SISMAL V2 online dan sosialiasi sampai tingkat fasyankes.
11) Pelatihan Penyelidikan Epidemiologi termasuk pelatihan pemetaan GIS,
pengembangan pemetaan fokus di aplikasi SISMAL V2.
12) Membuat surat edaran menteri untuk Bupati di wilayah-wilayah tersebut,
membuat permodelan penanggulangan malaria di daerah outdoor
transmission dengan adanya mobile migrant population.
4. Jumlah Provinsi dengan eliminasi kusta sebesar 34 Provinsi
a. Penjelasan Indikator
Eliminasi merupakan upaya pengurangan terhadap penyakit secara
berkesinambungan di wilayah tertentu sehingga angka kesakitan penyakit
tersebut dapat ditekan serendah mungkin agar tidak menjadi masalah kesehatan
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
40 |
di wilayah yang bersangkutan. Eliminasi kusta berarti angka prevalensi
<1/10.000 penduduk. Secara nasional, Indonesia telah mencapai eliminasi sejak
tahun 2000, sedangkan eliminasi tingkat Provinsi ditargetkan dapat dicapai pada
tahun 2019.
b. Definisi operasional
Jumlah Provinsi dengan eliminasi kusta adalah jumlah provinsi yang mempunyai
angka prevalensi kurang dari 1 kasus per 10.000 penduduk pada tahun tertentu.
c. Rumus/cara perhitungan
Akumulasi jumlah Provinsi yang telah mencapai eliminasi kusta (angka
prevalensi <1/10.000 penduduk) pada tahun tertentu. Sedangkan rumus
menghitung angka prevalensi adalah sebagai berikut:
Prevalensi Kusta =
Jumlah kasus kusta terdaftar akhir tahun
x 10.000 penduduk Jumlah penduduk pada tahun
tersebut
Pembilang (nominator) adalah jumlah kasus terdaftar pada suatu provinsi di akhir
tahun, sedangkan penyebut (denominator) adalah jumlah penduduk pada tahun
tersebut.
d. Capaian indikator
WHO telah menerbitkan strategi global terbaru dalam “The Global Leprosy
Strategy 2016-2020, Accelerating towards a Leprosy-Free World” yang memuat
visi, misi, target dan komponen dari strategi global tersebut untuk dapat diadopsi
oleh negara-negara di dunia. Laporan WHO dalam Weekly Epidemiological
Record Tahun 2019 menyatakan bahwa hingga tahun 2018 Indonesia masih
menempati peringkat ketiga penyumbang kasus kusta baru terbanyak di dunia
setelah India dan Cina, dengan jumlah kasus baru mencapai 17.017 kasus (8,2%
kasus dunia). Dari total 159 negara yang melaporkan situasi kusta, tercatat
sebanyak 208.619 kasus baru (NCDR = 2,74 per 100.000 penduduk). Secara
global, jumlah kasus baru yang ditemukan mengalami penurunan sebesar 15%
pada 10 tahun terakhir.
Di Indonesia, ditetapkan indikator dalam RAP yakni Provinsi dengan Eliminasi
Kusta dengan target 34 provinsi mencapai eliminasi pada akhir tahun 2019.
Capaian target tersebut pada tahun 2019 hanya tercapai 26 Provinsi sehingga
capaian kinerja sebesar 76,5%. Bila dibandingkan capaian tahun 2015-2019,
maka selama 3 tahun terakhir, indikator tersebut tidak mencapai target, seperti
dalam grafik berikut ini:
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
41 |
Grafik 3.9
Target dan Capaian Jumlah Provinsi dengan Eliminasi Kusta
Tahun 2014-2019
Sumber data : Laporan rutin Subdit PTML Tahun 2019
Gambar 3.8
Peta Eliminasi Kusta Tingkat Provinsi di Indonesia Tahun 2017 – 2019
Sumber data : Laporan rutin Subdit PTML Tahun 2019
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
42 |
Bila dibandingkan capaian indikator pada periode tahun 2015-2019, target tahun
2015-2016 telah tercapai tetapi target tahun 2017-2019 tidak tercapai, meskipun
demikian terjadi peningkatan capaian jumlah provinsi dengan eliminasi kusta dari
25 Provinsi pada tahun 2018 menjadi 26 Provinsi pada tahun 2019, dengan
penambahan provinsi Sulawesi Tenggara yang mencapai eliminasi kusta. Hal
tersebut terjadi karena adanya peningkatan kasus baru kusta akibat masifnya
penemuan kasus dimasyarakat. Pemerintah dan Lintas Sektor sangat berperan
khususnya dalam pengalokasian sumber daya. Dari peta diatas terlihat bahwa
ada penambahan pencapaian status eliminasi tingkat provinsi tahun 2019
dibanding dengan pencapaian tahun 2018 dan masih terdapat 8 Provinsi yang
belum mencapai eliminasi yakni Provinsi Sulawesi Utara, Gorontalo, Sulawesi
Barat, Sulawesi Selatan, Maluku, Maluku Utara, Papua dan Papua Barat.
Selain menjadi indikator RAP Ditjen P2P, indikator jumlah Provinsi dengan
eliminasi kusta juga merupakan indikator RPJMN dan Renstra Kementerian
Kesehatan. Karena indikator provinsi dengan eliminasi kusta merupakan
indikator yang dinilai berdasarkan data tahunan, maka digunakan indikator
komposit lain yang dapat memberikan gambaran terhadap perkembangan
pencapaian indikator utama yakni indikator proporsi penemuan kasus kusta baru
tanpa cacat. Pencapaian indikator ini memiliki kecenderungan peningkatan dari
tahun ke tahun yakni tercapai 78,1% pada tahun 2015 menjadi 85,9% pada
triwulan III tahun 2019. Tingginya proporsi cakupan penemuan kasus baru tanpa
cacat mengindikasikan adanya peningkatan kegiatan penemuan kasus secara
dini. Dengan ditemukan secara dini, penderita kusta dapat segera mendapatkan
pengobatan secara tepat dan mata rantai penularan dapat terputus. Hal tersebut
dapat mempengaruhi pencapaian status eliminasi di tingkat provinsi maupun
kabupaten.
Grafik 3.10
Proporsi Penemuan Kasus Kusta Baru Tanpa Cacat
Tahun 2014 – 2019
Sumber data : Laporan rutin Subdit PTML Tahun 2019, data triwulan III
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
43 |
Pada akhir tahun 2018, sebanyak 184.212 kasus terdaftar masih dalam
pengobatan (prevalence rate = 0,24 per 10.000 penduduk). Sebanyak 11.323
kasus baru dengan cacat tingkat 2 ditemukan (90,2%). Penurunan persentase
kasus baru dengan cacat tingkat 2 terlihat di seluruh wilayah di dunia yang
mengindikasikan peningkatan kegiatan deteksi dini kasus. Strategi global terbaru
menetapkan target 0 kasus anak dengan cacat tingkat 2 pada tahun 2020
sebagai indikator adanya transmisi penularan di masyarakat. Sebanyak 16.013
kasus baru anak ditemukan di seluruh dunia, 350 kasus diantaranya merupakan
kasus anak dengan cacat tingkat 2.
e. Analisa penyebab kegagalan
Status eliminasi kusta adalah status yang dinamis dan dipengaruhi oleh berbagai
hal. Hal utama adalah masih adanya kasus tersembunyi di masyarakat yang
kemudian ditemukan dan menjadi kasus terdaftar dalam pengobatan. Untuk
dapat memutuskan transmisi kasus di masyakat, seluruh sumber transmisi harus
dapat ditemukan sedini mungkin dan mendapatkan pengobatan secara tepat.
Dengan demikian, angka penemuan kasus baru dapat ditekan serendah mungkin
pada beberapa waktu ke depan. Pemerintah Indonesia memberikan perhatian
yang lebih besar terhadap beberapa Penyakit Tropis Terabaikan dalam beberapa
tahun terakhir, terutama dengan penetapan program Pencegahan dan
Pengendalian Kusta (P2 Kusta) sebagai salah satu program prioritas nasional
(Pro PN) pada tahun 2017. Penjabaran komitmen tersebut berupa pengalokasian
dana pusat dan dekonsentrasi untuk kegiatan advokasi penguatan komitmen
pemerintah daerah, sosialisasi ke masyarakat umum, pelatihan petugas,
kampanye penurunan stigma hingga intensifikasi penemuan kasus kusta yang
dilakukan secara aktif dan berkelanjutan dalam beberapa tahun terakhir. Upaya-
upaya tersebut berpengaruh pada peningkatan penemuan sumber penularan
yang selama ini tersembunyi di masyarakat, sehingga status eliminasi kusta tidak
tercapai di beberapa provinsi.
Pada daerah-daerah yang memiliki banyak lokus kusta, sumber penularan
diharapkan dapat ditemukan sebanyak-banyaknya. Kasus baru akan meningkat
secara signifikan hingga akhirnya mencapai puncak dan mengalami penurunan
yang konsisten karena pelaksanaan surveilans yang komprehensif dan
berkesinambungan. Tingginya angka prevalensi dipengaruhi oleh jumlah kasus
yang masih terdaftar menerima pengobatan di akhir tahun. Pasien kusta
seharusnya menghabiskan waktu 6-12 bulan untuk menjalani pengobatan kusta
sesuai dengan tipe kusta yang diderita. Semakin banyak pasien tidak
menyelesaikan pengobatan secara tepat waktu, semakin banyak penderita
terdaftar pada akhir tahun Penyebab keterlambatan ini antara lain masih adanya
stigma yang menyebabkan pasien enggan mengambil obat secara rutin,
kesulitan akses menuju fasyankes, kondisi penyakit memburuk akibat penyakit
akibat reaksi kusta dan lainnya. Keterlambatan dalam penyelesaian pengobatan
mengakibatkan tingginya prevalensi yang mengarah pada tidak tercapainya
status eliminasi.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
44 |
f. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator
1) Sebagian besar anggaran program P2 Kusta dialihkan menjadi dana
dekonsentrasi bagi 34 provinsi. Adapun bentuk kegiatan yang dilakukan
adalah advokasi dan sosialisasi bagi LP/LS, pelatihan singkat bagi petugas,
pelaksanaan intensifikasi penemuan kasus kusta dan frambusia di
kabupaten/kota endemis, survei desa, pertemuan monitoring evaluasi dan
validasi kohort tingkat provinsi, peningkatan kapasitas petugas, dokter
puskesmas dan petugas laboratorium.
2) Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta dan Frambusia (Intensified Case
Finding/ ICF). Kegiatan terdiri dari pelaksanaan kegiatan oleh
kabupaten/kota endemis kusta pada daerah Papua dan Non Papua dengan
menggunakan dana dekonsentrasi dan pendampingan pelaksanaan oleh tim
pusat menggunakan dana APBN. Pelaksanaan penemuan kasus difokuskan
pada daerah lokus kusta dengan tujuan untuk meningkatkan penemuan
kasus kusta secara dini.
Gambar 3.9
Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta dan Frambusia di Kabupaten Paniai, Provinsi Papua
3) Pelatihan Nasional Pemegang Program P2 Kusta dan Frambusia
terakreditasi yang diselenggarakan sebanyak 5 batch, dilakukan terutama
untuk mengatasi permasalahan tingginya mutasi pengelola program kusta
dan frambusia di tingkat provinsi dan kabupaten/kota.
4) Penerbitan Permenkes No. 11 Tahun 2019 tentang Penanggulangan Kusta
sebagai dasar hukum dan pedoman pelaksanaan program pencegahan dan
penanggulangan kusta di Indonesia, termasuk payung hukum pelaksanaan
kegiatan inovasi kemoprofilaksis.
5) Penerbitan Kepmenkes RI No. HK.01.07/MENKES/308/2019 tentang
Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran Tata Laksana Kusta yang
memuat tentang petunjuk manajemen kasus kusta bagi dokter dan dokter
spesialis di UKP dan standardisasi nasional tatalaksana kasus kusta.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
45 |
6) Menyelenggarakan kegiatan Gerakan Masyarakat Kampanye Eliminasi
Kusta dan Frambusia bersama mitra pemerintah yang membawahi bidang
kesehatan. Kegiatan ini dilaksanakan di 3 kabupaten/kota terpilih, yaitu
Lembata, Manggarai, dan Flores Timur, dengan tujuan untuk melakukan
advokasi dan sosialisasi program kusta kepada pimpinan setempat serta
Lintas Program dan Lintas Sektor untuk mendapatkan dukungan kebijakan
dan kemitraan daerah.
7) Menyelenggarakan Pertemuan Evaluasi Program dan Validasi Data Kohort
Nasional P2 Kusta dan Frambusia yang bertujuan melakukan monitoring dan
evaluasi program yang dilaksanakan oleh provinsi di Indonesia serta
melakukan validasi dan finalisasi data tahun 2019.
Gambar 3.10 Pertemuan Evaluasi Program dan Validasi Data Kohort Nasional P2
Kusta dan Frambusia Tahun 2019
8) Menyusun draft petunjuk teknis Drugs Resistance Surveillance, Petunjuk
Teknis Kemoprofilaksis, Petunjuk Teknis Surveilans Kusta, serta revisi modul
dan akreditasi pelatihan pengelola program di fasyankes.
9) Menyelenggarakan Pertemuan Pemberian Obat Pencegahan Kusta
terhadap kelompok berisiko untuk mengevaluasi kegiatan kemoprofilaksis
yang telah dilaksanakan beberapa tahun terakhir dan melakukan koordinasi
persiapan untuk perluasan pelaksanaan di daerah lain di Indonesia.
10) Perluasan daerah dan sasaran pengobatan pencegahan kusta
(kemoprofilaksis) ke beberapa kabupaten/kota endemis tinggi kusta.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
46 |
11) Monitoring pasca pelatihan untuk menilai efektivitas pelatihan yang telah
diselenggarakan serta mengevaluasi keterampilan tatalaksana kasus dan
manajemen program dari pengelola program.
12) Melanjutkan pengembangan sistem informasi online kusta dan frambusia
bagi kemudahan pencatatan dan pelaporan program di fasyankes.
13) Mengembangkan kegiatan inovasi berupa pelatihan jarak jauh (e-learning),
pilot pengembangan kemoprofilaksis plus pemeriksaan serologi, dan
pengembangan skin-apps.
g. Kendala/masalah yang dihadapi
1) Di banyak kabupaten/kota kantong sekalipun, kusta tidak dipandang sebagai
prioritas masalah kesehatan masyarakat. Hal ini berakibat sebagian besar
wilayah kantong kusta tidak mendapat dukungan lintas program dan sektor
dalam program.
2) Masih tingginya transmisi kusta di masyarakat.
3) Angka mutasi petugas kesehatan yg cukup tinggi menyebabkan program
pencegahan dan pengendalian kusta di daerah berjalan kurang maksimal.
4) Masih adanya stigma, baik self-stigma pada penderita kusta maupun stigma
pada masyarakat dan keluarga penderita akibat kurangnya pengetahuan dan
pemahaman terhadap penyakit kusta. Hal tersebut dapat menghambat
penemuan kasus dan menghambat penderita untuk mencari pengobatan
sedini mungkin.
5) Sebagian besar daerah kantung kusta berada di lokasi yang sulit dijangkau,
menyebabkan sulitnya pencarian kasus dan akses masyarakat menuju
pelayanan kesehatan
6) Belum maksimalnya kemitraan dengan organisasi profesi, RS dan praktek
dokter swasta dalam menciptakan pelayanan kusta yang komprehensif dan
terstandar
7) Pada beberapa daerah endemis rendah, rendahnya kesadaran dan
pengetahuan tentang kusta pada petugas dan masyarakat, serta surveilans
tidak berjalan dengan adekuat, mengakibatkan terjadinya keterlambatan
penemuan kasus.
8) Data final program P2 Kusta tahun 2019 belum tersedia dan penilaian status
eliminasi kusta belum dapat dilakukan karena laporan dari provinsi belum
lengkap.
h. Pemecahan Masalah
1) Meningkatkan kegiatan advokasi dan sosialisasi program terhadap
pemangku kepentingan terkait agar dapat meningkatkan komitmen dalam
pencapaian eliminasi kusta.
2) Memperluas cakupan kegiatan pelaksanaan intensifikasi penemuan kasus
kusta secara aktif.
3) Menganggarkan dan melaksanakan peningkatan kapasitas tenaga kesehatan
secara rutin.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
47 |
4) Meningkatkan kegiatan promosi serta penyebaran media KIE kepada
penderita, keluarga penderita, dan masyarakat dalam rangka menurunkan
stigma kusta di masyarakat.
5) Sosialisasi Permenkes No. 11 Tahun 2019 tetang Penanggulangan Kusta
dan Kepmenkes RI No. HK.01.07/MENKES/308/2019 tentang Pedoman
Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) Tatalaksana Kusta.
6) Memperluas sasaran pengobatan pencegahan kusta (kemoprofilaksis),
terutama di daerah endemis lokus kusta.
7) Meningkatkan integrasi program dengan penyakit lain, misalnya kusta-
frambusia, kusta-filariasis, kusta-ispa, dan lain-lain.
8) Memperkuat jejaring kemitraan dengan lintas program, lintas sektor,
organisasi profesi agar memperoleh dukungan dalam pelaksanaan program
sesuai dengan tupoksi masing-masing.
9) Mendorong daerah endemis rendah agar terus melakukan surveilans kasus
kusta secara aktif dengan tetap memperhatikan kejadian kasus kusta pada
anak dan kasus cacat.
10) Melaksanakan pengembangan kegiatan inovasi seperti pengembangan
pelatihan e-learning, pilot pengembangan kemoprofilaksis plus pemeriksaan
serologi, pengembangan dan skin-apps.
5. Jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi filariasis sebesar 35 kab/kota
a. Penjelasan Indikator
Sebagai bagian dari masyarakat dunia, Indonesia ikut serta dalam Kesepakatan
Global yang ditetapkan oleh WHO untuk mengeliminasi Filariasis. Pemberian
obat pencegahan massal (POPM) Filariasis adalah kegiatan utama dari program
eliminasi Filariasis untuk mencapai goal eliminasi Filariasis dengan tujuan
memutuskan rantai penularan filariasis. Indonesia telah menetapkan sebanyak
236 kabupaten/kota dari total 514 kabupaten/kota adalah daerah endemis
filariasis. Sesuai dengan Permenkes No. 94 Tahun 2014 yang dimaksud dengan
kabupaten/kota dengan eliminasi Filariasis adalah kabupaten/kota yang
berdasarkan hasil survei ulang evaluasi kedua menunjukkan tidak terjadi
penularan sehingga dapat dinyatakan sebagai wilayah eliminasi Filariasis.
Dalam pengendalian Filariasis, sebelum suatu kabupaten/kota dinilai tingkat
transmisi filariasisnya, kabupaten/kota tersebut harus telah selesai
melaksanakan Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis pada
seluruh penduduk sasaran di kabupaten/kota tersebut selama minimal 5 tahun
berturut-turut dengan cakupan pengobatan minimal 65% dari total jumlah
penduduk. Kemudian setelah 6 bulan dari pelaksanaan POPM Filariasis Tahun
ke-5, maka dilaksanakan survei evaluasi prevalensi mikrofilaria. Jika hasil survei
menunjukkan prevalensi angka mikrofilaria <1% pada kabupaten/kota tersebut
maka dilaksanakan survei evaluasi penularan (Transmission Assessment
Survey/TAS) Filariasis. tetapi jika gagal maka kabupaten/kota tersebut harus
melaksanakan POPM Filariasis kembali selama 2 tahun. Jika kabupaten/kota
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
48 |
tersebut berhasil lulus dalam survei evaluasi penilaian filariasis tahap ke dua
maka daerah tersebut dinilai berhasil mencapai eliminasi filariasis.
b. Definisi operasional
Indikator jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi Filariasis dihitung dari jumlah
akumulasi kab/kota yang berhasil lulus dalam survei evaluasi penilaian penularan
filariasis tahap kedua.
c. Rumus/cara perhitungan
Akumulasi jumlah kab/kota dengan eliminasi filariasis
d. Capaian indikator
Pada tahun 2019 dari target jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi filariasis
sebanyak 35 kabupaten/kota, telah berhasil tercapai sebanyak 56
kabupaten/kota atau dengan pencapaian kinerja sebesar 160% seperti yang
terlihat dalam grafik dibawah ini.
Grafik 3.11 Jumlah Kabupaten/kota dengan Eliminasi Filariasis
Tahun 2015-2019
Sumber data : Laporan Subdit Filariasis dan Kecacingan Tahun 2019
Pada grafik di atas, terjadi peningkatan jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi
filariasis dari tahun 2015-2019. Hal ini menunjukkan semakin meningkatnya
komitmen kabupaten/kota dalam melaksanakan program pengendalian Filariasis
melalui Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis selama minimal 5
tahun berturut-turut sehingga angka target jumlah kabupaten/kota dengan
eliminasi filariasis dapat tercapai. Dalam pengendalian Filariasis, sebelum suatu
kabupaten/kota dinilai dapat mencapai eliminasi filariasis, kabupaten/kota tersebut
harus melaksanakan POPM Filariasis pada seluruh penduduk sasaran di
kabupaten/kota tersebut usia 2-70 tahun selama minimal 5 tahun berturut-turut
dengan cakupan pengobatan minimal 65% dari total jumlah penduduk. Kemudian
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
49 |
dilaksanakan survey evaluasi penularan filariasis untuk menilai apakah masih
terjadi penularan pada daerah tersebut. jika hasil survei menunjukkan tidak terjadi
penularan maka POPM Filariasis tetap dihentikan dan dilakukan survey ulang
penularan filariasis kembali setelah 2 (dua) tahun berikutnya. Berdasarkan uraian
tersebut, keberhasilan penurunan angka mikrofilaria sangat bergantung pada
partisipasi masyarakat untuk minum obat filariasis. Adapun jumlah dan persentase
capaian kabupaten/kota dengan eliminasi filariasis tahun 2019 adalah sebagai
berikut:
Tabel 3.4 Jumlah Kabupaten/Kota dengan Eliminasi Filariasis
Tahun 2019
No Provinsi Jumlah Kab/Kota
Endemis Filariasis Jumlah Kab/Kota
Eliminasi Filariasis % Capaian
1 Aceh 12 2 16.7%
2 Sumatera Utara 9 5 55.6%
3 Sumatera Barat 10 6 60.0%
4 Riau 10 5 50.0%
5 Jambi 5 1 20.0%
6 Sumatera Selatan 9 0 0.0%
7 Bengkulu 5 0 0.0%
8 Lampung 1 0 0.0%
9 Kep. Bangka Belitung 7 5 71.4%
10 Kep. Riau 3 0 0.0%
11 Jawa Barat 11 6 54.5%
12 Jawa Tengah 9 0 0.0%
13 Banten 5 5 100.0%
14 Nusa Tenggara Timur 18 2 11.1%
15 Kalimantan Barat 9 0 0.0%
16 Kalimantan Tengah 11 3 27.3%
17 Kalimantan Selatan 8 1 12.5%
18 Kalimantan Timur 6 0 0.0%
19 Kalimantan Utara 4 0 0.0%
20 Sulawesi Tengah 9 2 22.2%
21 Sulawesi Selatan 4 2 50.0%
22 Sulawesi Tenggara 12 3 25.0%
23 Gorontalo 6 4 66.7%
24 Sulawesi Barat 4 1 25.0%
25 Maluku 8 0 0.0%
26 Maluku Utara 6 1 16.7%
27 Papua 23 2 8.7%
28 Papua Barat 12 0 0.0%
INDONESIA 236 56 23.7%
Sumber data : Laporan Subdit Filariasis dan Kecacingan Tahun 2019
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
50 |
Dari tabel diatas terdapat 28 Provinsi yang memiliki Kab/Kota dengan endemis
filariasis sedangkan 6 Provinsi lainnya merupakan daerah non endemis filariasis
yaitu DKI Jakarta, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan
Sulawesi Utara. Beberapa Provinsi yang memiliki Kabupaten/Kota endemis
filariasis dengan capaian 0% atau dibawah 100% berarti Kab/Kota tersebut
masih melaksanakan POPM Filariasis atau sudah masuk tahap surveilans tetapi
belum lulus Transmission Assessment Survey (TAS) 2. Disparitas capaian pada
setiap Provinsi terjadi karena beberapa Kab/Kota telah memulai pelaksanaan
POPM filariasis lebih awal dan telah lulus evaluasi.
e. Analisa penyebab keberhasilan
Tercapainya target indikator jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi filariasis
pada tahun 2019, dipengaruhi oleh komitmen pusat untuk menyediakan logistik,
anggaran, legal aspek, serta asistensi teknis dalam penanggulangan filariasis
sehingga dapat meningkatkan komitmen Pemerintah daerah dan partisipasi
masyarakat dalam penanggulangan Filariasis di daerah endemis melalui
Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM) Filariasis selama 5 tahun berturut-
turut dengan cakupan > 65% sehingga dapat memutus rantai penularan.
Sebelum tahun 2015 cakupan POPM Filariasis di beberapa kabupaten/kota
sangat rendah. Upaya percepatan eliminasi Filariasis ini dimulai dengan
Pencanangan Bulan Eliminasi Kaki Gajah (BELKAGA) pada tanggal 1 Oktober
2015 oleh Menteri Kesehatan RI di Cibinong Kabupaten Bogor. Dengan
pencanangan tersebut, maka menjadikan bulan Oktober tahun 2015-2019
sebagai “Bulan Pelaksanaan Eliminasi Kaki Gajah”, dengan harapan bahwa
adanya bulan POPM Filariasis tersebut akan memacu seluruh lapisan
masyarakat dari pusat hingga daerah tergerak dengan serempak mendukung
POMP Filariasis di wilayahnya, seiring dengan pemahaman yang semakin tinggi
terhadap pentingnya program pengendalian filariasis di Indonesia. Upaya
tersebut sesuai dengan hasil penelitian para ahli yang menunjukkan bahwa
cakupan minum obat yang efektif dapat menurunkan angka mikrofilaria.
Pembangunan fisik dan perkembangan di daerah-daerah endemis yang semakin
meningkat juga mempengaruhi keberhasilan eliminasi filariasis karena dapat
mengurangi tempat-tempat perindukan nyamuk vektor filariasis.
f. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator
1. Bulan Eliminasi Kaki Gajah (Belkaga)
Salah satu upaya strategis yang dilakukan untuk meningkatkan cakupan
pemberian obat massal pencegahan (POPM) filariasis adalah dengan
menjadikan bulan Oktober sebagai “Bulan Eliminasi Kaki Gajah
(BELKAGA)”. Bulan Eliminasi Kaki Gajah dilaksanakan pada Bulan Oktober.
Dengan adanya program Belkaga diharapkan seluruh lapisan masyarakat
dari pusat hingga daerah tergerak dengan serempak mendukung POMP
Filariasis di wilayahnya, seiring dengan pemahaman masyarakat yang
semakin tinggi terhadap pentingnya program pengendalian filariasis di
Indonesia. Pada tahun 2019 telah dilaksanakan pencanangan Belkaga
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
51 |
Tingkat Nasional oleh Menteri Kesehatan RI di Kab. Malaka, Nusa Tenggara
Timur pada tanggal 4 Oktober 2019.
Gambar 3.11
Pemberian Serifikat Eliminasi Filariasis oleh Menteri Kesehatan RI
2. Advokasi dan sosialisasi Pemberian Obat Pencegahan Massal (POPM)
Filariasis secara intensif.
Sosialisasi POPM Filariasis secara aktif dan intensif dilaksanakan kepada
Lintas Sektor dan Lintas Program terkait serta seluruh lapisan masyarakat
untuk meningkatkan cakupan dalam minum obat pencegahan Filariasis.
Penyebarluasan informasi kepada masyarakat dilaksanakan melalui media
cetak (leaflet, spanduk, banner) maupun media elekronik (Iklan Layanan
Masyarakat) baik di radio maupun televisi.
3. Monitoring dan Evaluasi dalam rangka Eliminasi Filariasis.
Kegiatan monitoring dan evaluasi dilaksanakan untuk memantau proses
pada tahap persiapan dan pemberian obat pencegahan massal filariasis
serta mengevaluasi hambatan dan tantangan dalam pengendalian Filariasis.
Kegiatan ini juga bertujuan untuk melihat apakah angka mikrofilaria pada
kabupaten/kota endemis filariasis berhasil diturunkan menjadi < 1% setelah
POPM Filariasis selama 5 tahun. Kegiatan ini dilaksakan melalui:
- Bimbingan teknis dalam rangka penanggulangan filariasis.
- Koordinasi LS/LP dalam rangka penguatan program pengendalian
Filariasis.
- Koordinasi National Task Force Filariasis (NTF) dan Komite Ahli
Pengobatan Filariasis (KAPFI)
- Survey cakupan pasca POPM filariasis.
- Pencegahan Dini/ Penanggulangan Kejadian Ikutan Minum Obat
(POPM) Filariasis dan Kecacingan terpadu.
- Pertemuan persiapan implementasi regimen tiga obat (Ivermectin, DEC,
dan Albendazole).
- Pertemuan pencatatan dan pelaporan tatalaksana kasus filariasis.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
52 |
4. Surveilans Pasca POPM Filariasis
Surveilans merupakan tahap yang paling penting dalam melaksanakan
eliminasi filariasis. Setelah dilaksanakan POPM Filariasis selama 5 tahun
pada kabupaten/kota endemis filariasis dievaluasi melalui survei evaluasi
mikrofilaria untuk melihat apakah kabupaten/kota endemis filariasis berhasil
menurunkan angka mikrofilaria rate <1%. Setelah itu dilaksanakan survei
evaluasi penularan filariasis untuk melihat apakah masih terjadi penularan
pada daerah tersebut serta menentukan apakah suatu kabupaten/kota dapat
menghentikan kegiatan POPM Filariasis atau masih harus melanjutkan
kegiatan POPM Filariasis sebelum ditetapkan sebagai daerah eliminasi
filariasis.
5. Pengadaan bahan-bahan KIE dan bahan survei filariasis. Sebagai sarana
komunikasi, informasi, dan edukasi terhadap masyarakat terkait Filariasis
maka telah dilaksanakan pengadaan berupa leaflet, poster, spanduk POPM,
roll banner, buku kader, buku Permenkes filariasis, serta komik bahaya dan
pentingnya mencegah filariasis. Dalam rangka mendukung pelaksanaan
evaluasi prevalensi mikrofilaria dan evaluasi penularan filariasis di
kabupaten/kota yang telah memasuki tahap surveilans, maka telah
dilaksanakan pengadaan bahan-bahan survei diantaranya FTS, Lancet, kit
surveyor, dan bahan pewarnaan.
6. Distribusi obat dan logistik ke daerah. Pengadaan bahan-bahan KIE, logistik
dan serta obat donasi yang telah diserahterimakan di Pusat harus segera
dapat didistribusikan ke daerah sesuai perencanaan sebelumnya sehingga
bisa dioptimalkan dalam melaksanakan kegiatan pengendalian filariasis.
g. Kendala/Masalah yang dihadapi
1) Kurangnya partisipasi masyarakat dalam minum obat sehingga cakupan
POPM Filariasis masih dibawah target (< 65%).
2) Kondisi geografis beberapa wilayah di Indonesia yang sulit terjangkau,
sementara kegiatan POPM Filariasis dilaksanakan untuk seluruh
penduduk usia 2 – 70 tahun di kabupaten/kota endemis filariasis,
dimana beberapa daerah tersebut merupakan daerah terpencil dan
kepulauan yang sulit aksesnya, sehingga pelaksanaan POPM Filariasis
di daerah tersebut sulit menjangkau seluruh sasaran, terutama di desa -
desa terpencil.
3) Adanya kejadian ikutan pasca POPM yang terjadi di masyarakat dapat
menurunkan angka partisipasi minum obat pada waktu POPM Filariasis.
4) Kegagalan dalam surveilans filariasis mengakibatkan kabupaten/kota
tersebut harus mengulang kembali POPM Filariasis selama 2 tahun
sehingga mengakibatkan mundurnya target eliminasi filariasis.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
53 |
h. Pemecahan Masalah
1) Advokasi dan Sosialisasi kepada Lintas Program, Lintas Sektor dan
masyarakat pentingnya cakupan POPM Filariasis >65% untuk dapat
memutuskan rantai penularan Filariasis. Serta pelaksanaan sweeping
setelah pelaksanaan POPM filariasis.
2) Melakukan edukasi dan penyampaian informasi kepada masyarakat
umum melalui berbagai media yang efektif dengan menggunakan
pendekatan kearifan lokal.
3) Advokasi kepada pemerintah daerah untuk meningkatkan komitmen
dalam menjangkau daerah-daerah sulit dalam pelaksanaan POPM
Filariasis, serta mengoptimalkan mobilisasi tenaga kesehatan yang ada
untuk menjangkau daerah-daerah sulit dan terpencil.
4) Konsolidasi dan Penguatan jejaring Komisi Ahli penanggulangan
kejadian ikutan pasca POPM Filariasis baik di tingkat Pusat, Provinsi,
dan Kabupaten/Kota untuk mengantisipasi kejadian ikutan yang terjadi
selama pelaksanaan POPM Filariasis.
5) Advokasi kepada daerah-daerah yang gagal dalam melaksanakan
surveilans filariasis agar dapat meningkatkan cakupan POPM filariasis
dan memastikan masyarakat benar-benar minum obat dalam rangka
memutus rantai penularan filariasis.
6. Persentase penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I) tertentu sebesar 40%
a. Penjelasan Indikator
Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) merupakan salah satu
perhatian dunia dan memiliki target capaian global yang wajib diikuti oleh semua
negara. Pencegahan PD3I secara khusus adalah dengan pemberian imunisasi
dimana imunisasi merupakan salah satu intervensi kesehatan masyarakat yang
terbukti sangat cost efektif. Imunisasi yang merupakan program prioritas nasional
saat ini adalah imunisasi untuk mencegah PD3I tertentu yaitu Tuberculosis,
Hepatitis B, Polio, Difteri, Pertusis, Tetanus, Hemophilus Influenza Type B,
Campak, dan Rubela, yang beberapa diantaranya sering menyebabkan kejadian
luar biasa (KLB) di beberapa daerah. Diperlukan suatu surveilans berkualitas
berupa pengamatan yang sistematis dan terus menerus terhadap data dan
informasi serta kondisi yang mempengaruhi PD3I, untuk mengukur beban
penyakit, mendeteksi wabah dan mengevaluasi dampak imunisasi untuk PD3I
sehingga dapat mengarahkan tindakan pengendalian dan penanggulangan PD3I
secara efektif dan efisien. Komitmen global PD3I yang diikuti oleh semua negara
dunia termasuk Indonesia yaitu Eradikasi Polio (ERAPO), Eliminasi Campak dan
Pengendalian Rubela/Congenital Rubella Syndrome (CRS) serta Eliminasi
Tetanus Maternal Neonatal.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
54 |
Pada pertemuan tahunan bulan Mei 1988, The World Health Assembly (WHA),
suatu forum sidang tertinggi yang diselenggarakan oleh organisasi kesehatan
dunia WHO, telah mengeluarkan resolusi untuk membasmi penyakit polio dari
dunia ini. Pada tanggal 27 Maret 2014 Regio Asia Tenggara telah tersertifikasi
bebas poliomyelitis dimana Indonesia termasuk salah satu negara yang
menerima sertifikat tersebut. Namun pada bulan November 2018, dilaporkan satu
kasus polio akibat VDPV tipe 1 di Yahukimo, Papua. Penyelidikan yang dilakukan
selanjutnya menemukan bahwa dua specimen tinja dari anak sehat di sekitar
kasus juga positif untuk jenis virus yang sama, yang membuktikan bahwa virus
tersebut bersirkulasi sehingga kondisi ini dinyatakan sebagai KLB. Sebagai
respon, dilakukan sub PIN di Papua dan Papua Barat dengan menggunakan
bOPV. KLB polio akibat VDPV bisa terjadi di mana saja bila cakupan imunisasi
polio rendah selama bertahun-tahun. Untuk menghindari kasus serupa, imunisasi
polio harus dijaga tetap tinggi (lebih dari 95% anak diimunisasi) dan merata, dan
semua kasus lumpuh layuh mendadak (AFP) harus ditemukan secara dini dan
dilaporkan.
Selain eradikasi polio, komitmen global lain yang harus diikuti oleh semua negara
dunia, termasuk Indonesia, yaitu eliminasi campak dan pengendalian rubela/CRS
pada tahun 2020. Pemerintah Indonesia telah menetapkan beberapa strategi
untuk mencapai komitmen global tersebut, yaitu penguatan imunisasi rutin
campak dosis pertama dan dosis kedua secara tinggi (≥95%) dan merata,
melakukan kampanye dan introduksi imunisasi MR secara bertahap pada tahun
2017-2018, meningkatkan surveilans campak yang berkualitas, melakukan
penyelidikan epidemiologi KLB campak secara menyeluruh, mengembangkan
surveilans CRS sentinel di 18 RS di 15 provinsi, serta melakukan konfirmasi
laboratorium campak 100% secara bertahap terhadap kasus campak klinis.
Komitmen global lainnya Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal, dimana pada
tahun 2016, Indonesia telah divalidasi oleh Tim WHO, UNICEF dan dinyatakan
sudah Eliminasi Tetanus Maternal Neonatal. Walaupun telah menerima sertifikat
tersebut, Indonesia tetap harus mempertahakankan jumlah kasus tetanus
maternal neonatal <1/1000 kelahiran hidup. Upaya yang dilakukan merupakan
integrasi program KIA, imunisasi dan surveilans yaitu dengan meningkatkan
cakupan Ante Natal Care (ANC), Kunjungan Neonatal (KN), persalinan steril,
meningkatkan cakupan imunisasi tetanus toxoid, serta meningkatkan surveilans
TN yang berkualitas.
b. Definisi Operasional
Penurunan kasus penyakit yang dapat dicegah dengan imunisasi (PD3I) tertentu
adalah penurunan kasus PD3I tertentu di seluruh provinsi dalam satu tahun dari
baseline data tahun 2013, dinyatakan dalam persen. Yang dimaksud dengan
PD3I tertentu yaitu Difteri, Campak Klinis, Tetanus Neonatorum dan Pertusis.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
55 |
c. Rumus/Cara perhitungan
Persentase
penurunan kasus
PD3I
=
(Jumlah kasus PD3I tertentu pada
baseline tahun 2013) – (Jumlah kasus
PD3I tertentu pada tahun berjalan
x 100% Jumlah kasus PD3I tertentu pada baseline
tahun 2013
d. Capaian Indikator
Pada tahun 2019 tercatat jumlah kasus PD3I tertentu yakni difteri, campak, TN
dan pertusis sebesar 10.572 kasus. Terjadi penurunan sebesar 7.905 kasus
(42,8%) pada tahun 2019 dibandingkan angka kasus tahun 2013. Pada grafik
dibawah ini terlihat bahwa selama tahun 2015 – 2019 maka capaian kinerja telah
melebihi target yang ditetapkan.
Grafik 3.12 Persentase Penurunan Kasus Penyakit yang Dapat Dicegah
dengan Imunisasi (PD3I) Tahun 2015-2019
Sumber data : Laporan Subdit Surveilans Tahun 2019
Pencapaian kinerja yang baik ini antara lain didukung dengan adanya penguatan
imunisasi rutin dengan cakupan tinggi dan merata, melakukan penguatan jejaring
kerja surveilans PD3I dengan klinisi dan laboratorium dengan workshop maupun
pertemuan untuk membahas perkembangan terkini PD3I, peningkatan kapasitas
petugas surveilans PD3I dan evaluasi pelaksanaan program surveilans PD3I di
daerah dengan melakukan monitoring, pertemuan evaluasi nasional dan
melakukan feedback kinerja ke provinsi. Bila dilihat pada jumlah kasus PD3I per
jenis penyakit, maka sebagian besar jenis penyakit PD3I mengalami penurunan
dibandingkan dengan data kasus tahun 2013 seperti dalam grafik berikut ini:
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
56 |
Grafik 3.13
Perbandingan Kasus PD3I tertentu Tahun 2013 dan Tahun 2019
Sumber data : Laporan Subdit Surveilans Tahun 2019
Pada grafik diatas, semua kasus PD3I menunjukkan penurunan antara tahun
2013 dan 2019. Penurunan kasus tertinggi pada Pertusis dari 4681 kasus pada
tahun 2013 menjadi 71 kasus pada tahun 2019, dengan penurunan sebanyak
4610 kasus. Jika dibandingkan dengan indikator dalam RPJMN yakni persentase
kabupaten/kota yang mencapai 80% Imunisasi Dasar Lengkap (IDL) pada bayi,
maka capaian indikator IDL masih sangat rendah yakni 56,1% (data per 21
Januari 2020) dengan kelengkapan laporan < 50%, data ini masih terus bergerak
dan akan divalidasi sehingga menghasilkan data yang lengkap dan valid pada
bulan Maret 2020. Indikator persentase kabupaten/kota yang mencapai 80%
imunisasi dasar lengkap akan berkontribusi langsung pada penurunan kasus
PD3I, bila cakupan persentase kabupaten/kota yang mencapai 80% imunisasi
dasar lengkap meningkat maka kasus PD3I akan menurun.
Bila dilihat capaian indikator per Provinsi, terdapat peningkatan kasus PD3I pada
beberapa Provinsi yakni Provinsi Lampung, meningkat 130% kasus PD3I yakni
245 kasus pada tahun 2013 meningkat menjadi 375 kasus pada tahun 2019. Di
Provinsi Jawa Barat terjadi peningkatan kasus sebesar 264% yakni 106 kasus
pada tahun 2013 menjadi 370 kasus pada tahun 2019. Di Provinsi Jawa Tengah,
terjadi peningkatan kasus PD3I sebesar 585% yakni 208 kasus pada tahun 2013
menjadi 793 kasus pada tahun 2019. Di Provinsi Kalimantan terjadi peningkatan
kasus sebesar 428% yakni 136 kasus pada tahun 2013, meningkat menjadi 564
kasus. Hal ini terjadi karena adanya Kejadian Luar Biasa (KLB) kasus difteri dan
peningkatan kasus campak pada Provinsi Lampung, Jawa Barat dan Kalimantan
Selatan dan KLB campak dan difteri pada Provinsi Jawa Barat pada tahun tahun
2019.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
57 |
e. Analisa Penyebab Keberhasilan
Capaian indikator persentase penurunan kasus PD3I pada tahun 2019 melebihi
target yang ditetapkan antara lain didukung oleh upaya penguatan imunisasi,
terjalinnya koordinasi yang baik antara petugas pusat, provinsi dan
kabupaten/kota dalam pelaporan PD3I, adanya metode crosscheck data bulanan
untuk data PD3I dan mingguan untuk SKD, adanya Komli untuk Eradikasi Polio,
Eliminasi Campak-Rubella dan pengendalian Difteri, dilakukannya kegiatan
advokasi dan sosialisasi ke daerah bekerjasama dengan komite ahli PD3I,
adanya dukungan BBLK, BLK dan B/BTKLPP serta Badan Litbangkes dalam
penegakan diagnosa penyakit, pelaksanaan pertemuan koordinasi dan workshop
untuk penyakit potensi KLB dan PD3I, pencetakan dan pendistribusian NSPK
serta media KIE ke daerah dan adanya dukungan technical assistant dari WHO
dan CDC dalam pengendalian penyakit potensi KLB, penguatan SKDR dan
surveilans PD3I.
f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator
1) Melakukan penguatan imunisasi rutin dengan cakupan tinggi dan merata;
2) Meningkatkan jangkauan pelayanan imunisasi dengan melibatkan fasilitas
pelayanan swasta dan organisasi profesi;
3) Meningkatkan tingkat perlindungan/imunitas di masyarakat dengan
melakukan Back Log Fighting (BLF) dan Crash Program pada desa yang
sudah 2 atau 3 tahun berturut-turut tidak UCI;
4) Melaksanakan TOT Tim Gerak Cepat (TGC) bagi 19 provinsi bekerjasama
dengan BBPK Ciloto;
5) Melakukan bimbingan teknis dan supervisi program surveilans;
6) Melakukan Penyelidikan Epidemiologi/Verifikasi Rumor penyakit potensial
KLB;
7) Mereplikasi Sentinel Surveilans khusus Congenital Rubella Syndrom (CRS)
sehingga pada tahun 2019 ini terdapat di 10 provinsi (18 Rumah Sakit);
8) Melaksanakan Pertemuan evaluasi CRS nasional;
9) Membentuk Posko Pendampingan Masalah Kesehatan di Papua dengan
tugas utama adalah komando penanggulangan KLB Polio di Papua;
10) Melaksanakan workshop dan pelatihan PD3I dalam rangka meningkatkan
cakupan surveilans terhadap AFP dan Campak-Rubella dan pengendalian
difteri;
11) Melaksanakan pertemuan rutin dengan Komisi Ahli (Komli) Difteri, Komli
Campak-Rubella/CRS, Komli surveilans AFP dan Komli Eradikasi Polio
(ERAPO), untuk membahas hal-hal urgen dalam rangka pengendalian PD3I;
12) Melaksanakan pertemuan jejaring laboratorium Difteri, Campak-
Rubella/CRS dan Polio;
13) Melaksanakan surveilans pasca bencana Lombok, Banten, Sulawesi
Tengah dan Lampung serta pasca kerusuhan di Wamena;
14) Melaksanakan video conference dengan daerah dalam membahas situasi
perkembangan KLB yang cukup besar yang sedang terjadi;
15) Melaksanakan pertemuan koordinasi lintas program/lintas sektor dalam
rangka pengendalian KLB;
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
58 |
16) Membuat laporan harian/spot report KLB/suspek penyakit potensi KLB dan
laporan harian/ situasi penyakit yang sedang terjadi KLB;
17) Membuat bulletin laporan kewaspadaan dini dan respon mingguan dan
memantau bulletin yang dibuat oleh 34 provinsi;
18) Melakukan uji coba SKDR berbasis web ke Rumah Sakit dan Laboratorium
Daerah di 3 provinsi yaitu Riau, Sulawesi Selatan dan Lampung;
19) Melakukan monitoring dan evaluasi pasca pelatihan TGC dan pelaksanaan
SKDR di daerah;
20) Bekerjasama dengan BPPSDMK dalam menyelenggarakan pelatihan
epidemiologi lapangan tingkat intermediate selama 8 bulan khusus untuk
Provinsi Jawa Timur;
21) Melaksanakan Pertemuan Ilmiah Epidemiologi Nasional (PIEN) untuk
meningkatkan kompetensi para mahasiswa FETP dan mengikutsertakan
mahasiswa dalam kegiatan seminar tingkat internasional yaitu Training
Programs in Epidemiology and Public Health Interventions Network
(TEPHINET) di Atlanta, Amerika Serikat;
22) Menyusun butir-butir kompetensi untuk Jabatan Fungsional Epidemiologi
Kesehatan bekerjasama dengan BPPSDMK dan Perhimpunan Ahli
Epidemiologi Indonesia (PAEI);
23) Menyusun, menyediakan dan mendistribusikan NSPK program surveilans.
24) Menyediakan dan mendistribusikan media KIE programs surveilans.
g. Kendala/masalah yang dihadapi
1) Pengelola program surveilans di beberapa kabupaten/kota masih rangkap
tugas dengan program lain;
2) Kondisi geografis di beberapa daerah sulit di jangkau sehingga petugas
mengalami kesulitan saat melakukan imunisasi dan penyelidikan
epidemiologi (PE) saat terjadi KLB;
3) Terdapatnya kampanye negatif imunisasi di beberapa daerah;
4) Penggantian petugas yang tinggi sehingga banyak petugas yang belum
terlatih;
5) Belum adanya struktur dan penunjukan yang jelas laboratorium yang
berfungsi sebagai laboratorium kesehatan masyarakat;
6) Keterlambatan penyediaan dan pendistribusian reagen campak-rubella oleh
Farmalkes sehingga laboratorium rujukan saat ini belum dapat
menyelesaikan pemeriksaan spesimen dari daerah.
h. Pemecahan Masalah
1) Advokasi dan sosialisasi program surveilans dan respon KLB terintegrasi
dengan kegiatan lain;
2) Memberikan umpan balik rutin secara berjenjang dan memantau tindak
lanjutnya;
3) Mengusulkan kegiatan surveilans PD3I untuk daerah melalui dana dekon
dan BOK/DAK;
4) Melibatkan fasilitas pelayanan kesehatan swasta dalam penemuan kasus
PD3I;
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
59 |
5) Mengaktifkan Surveilans Aktif RS (SARS) dan Hospital Record Review
(HRR) bagi daerah yang belum melaksanakan;
6) Penyediaan dan pendistribusian pedoman dan media KIE surveilans PD3I;
7) Dukungan asistensi dan bimbingan teknis bagi petugas pelaksana
surveilans di daerah;
8) Pendampingan pengendalian Penyelidikan Epidemiologi KLB di daerah;
9) Pertemuan, workshop atau review program surveilans penyakit potensial
KLB dan PD3I;
10) Koordinasi pengendalian penyakit potensial KLB dan PD3I dengan Komli
dan mitra kerja (WHO dan CDC);
11) Koordinasi lintas program dan lintas sektor dalam pengendalian penyakit
potensi KLB dan PD3I;
12) Penyiapan tenaga epidemiologi melalui Jabatan Fungsional Epidkes dan
FETP.
7. Persentase Kabupaten/Kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam
penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah
sebesar 100%
a. Penjelasan Indikator
Pada era globalisasi di mana lalu lintas orang, barang, dan alat angkut begitu
pesat dan berlangsung dalam hitungan jam, risiko persebaran penyakit menjadi
semakin besar, baik pada lintas wilayah regional sampai pada lintas
internasional. Kejadian penyakit yang menjadi perhatian international (dikenal
dengan istilah PHEIC; Public Health Emergency of International Concern)
semakin meningkat dan berimplikasi bukan hanya pada aspek kesehatan,
namun juga aspek sosial, ekonomi, politik dan pertahanan keamanan. Setiap
negara diharapkan mempunyai kemampuan dalam sistem kesehatannya untuk
mampu melakukan pencegahan, pendeteksian, melakukan tindakan
penanggulangan dan melaporkan suatu kejadian yang berpotensi kedaruratan
kesehatan masyarakat.
International Health Regulations (2005) yang diberlakukan Tahun 2007
merupakan Regulasi Kesehatan Internasional yang disetujui oleh 194 negara
anggota WHO dalam sidang World Health Assembly (WHA) ke-58 sebagai
bentuk komitmen, tanggung jawab dan upaya bersama dalam mencegah
penyebaran penyakit lintas negara. IHR (2005) bertujuan mencegah, melindungi
dan mengendalikan penyebaran penyakit lintas negara dengan melakukan
tindakan sesuai dengan risiko kesehatan yang dihadapi tanpa menimbulkan
gangguan yang berarti bagi lalu lintas dan perdagangan internasional. Dalam
regulasi internasional ini setiap negara berkewajiban untuk meningkatkan
kapasitas inti untuk mencapai tujuan IHR (2005).
Indonesia secara bertahap telah mengembangkan kapasitas inti tersebut dan
berdasarkan penilaian telah Implementasi penuh IHR (2005). Regulasi ini
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
60 |
merupakan modal utama untuk mengembangkan jejaring dan kerjasama
internasional dalam menghadapi dan menanggulangi potensi terjadinya
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang Meresahkan Dunia (KKM-MD) atau
Public Health Emergency of International Concern (PHEIC). Dalam upaya
mempertahankan dan meningkatkan upaya cegah tangkal dalam rangka
perlindungan Indonesia dan dunia terhadap Kedaruratan Kesehatan Masyarakat
yang Meresahkan Dunia (KKM-MD) melalui koordinasi, integrasi, singkronisasi
lintas sektor yang telah dilakukan dapat tetap terjaga dan mempertahankan
kemampuan dalam hal deteksi, verifikasi, penilaian, pelaporan dan
penanggulangan potensi terjadinya KKM-MD.
Wilayah kabupaten/kota sebagai bagian dari negara harus mempunyai
kapasitas dalam surveilans, deteksi dini dan respon sebagai jaminan kapasitas
suatu negara dalam kesiapsiagaan menghadapi kedaruratan kesehatan
masyarakat (KKM). Kesiapsiagaan tersebut dituangkan dalam bentuk dokumen
kebijakan yang merupakan kesepakatan bersama seluruh lintas sektor yang
ada di suatu wilayah dalam penanggulangan KKM yang berpotensi terjadi di
wilayahnya. Dokumen tersebut dinamakan dokumen rencana kontijensi.
Penyusunan rencana kontijensi melibatkan seluruh lintas sektor yang ada di
suatu wilayah dalam memberikan input untuk mendapatkan dokumen yang
adekuat dan dapat diandalkan. Penetapan KKM yang potensial terjadi
disepakati bersama, begitu pula dengan pembagian peran, tugas dan fungsi.
Melalui proses penyusunan inilah didapatkan komitmen bersama untuk
menjamin kesiapsiagaan dalam menghadapi KKM. Finalisasi dari dokumen ini
adalah dengan ditandatanganinya dokumen rencana kontijensi oleh Bupati/
Walikota.
b. Definisi operasional
Kab/kota yang memiliki pintu masuk internasional dalam hal ini pelabuhan,
bandar udara dan PLBDN melakukan kesiapsiagaan terhadap potensi
kedaruratan kesehatan masyarakat yang disebabkan oleh penyakit, bahan kimia,
radio nuklir dan keamanan pangan. Upaya kesiapsiagaan tersebut termasuk
menyusun dokumen kebijakan bersama lintas program dan lintas sektor terkait
(satuan ker ja perangkat daerah) untuk penanggulangan kedaruratan kesehatan
masyarakat yang berpotensi wabah.
c. Rumus/cara perhitungan
Persentase Kab/Kota
yang mempunyai
kebijakan
kesiapsiagaan dalam
penanggulangan
KKM yang
berpotensi wabah
=
Jumlah Kab/Kota yang mempunyai
kebijakan kesiapsiagaan dalam
penanggulangan KKM yang berpotensi
wabah
x 100% Jumlah Kab/Kota yang memiliki pintu
masuk internasional
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
61 |
d. Capaian indikator
Indikator ini merupakan indikator Renstra Kementerian Kesehatan periode tahun
2015 – 2019. Pada tahun 2019, persentase kabupaten/kota dengan pintu masuk
internasional yang memiliki dokumen rencana kontijensi penanggulangan
Kedaruratan Kesehatan Masyarakat (KKM) telah mencapai 106 Kab/Kota dari
target 106 Kab/Kota sehingga pencapaian sebesar 100%. Terjadi peningkatan
bila dibandingkan dengan capaian tahun 2018 yakni dari 84% menjadi 100%
seperti dalam tabel berikut ini:
Grafik 3.14
Target dan Capaian Kab/Kota Yang Mempunyai Kebijakan
Kesiapsiagaan Dalam Penanggulangan KKM
Tahun 2015-2019
Sumber data : Laporan rutin Subdit Karantina Kesehatan Tahun 2019
Bila melihat tren capaian Kab/Kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan
dalam penanggulangan KKM telah tercapai selama 5 tahun berturut-turut maka
capaian 4 tahun terakhir telah mencapai target.
e. Analisa Penyebab Keberhasilan
Sampai dengan tahun 2019 tercapai 106 kab/kota yang menyusun dokumen
rencana kontijensi. Beberapa faktor yang mempengaruhi keberhasilan
pencapaian target indikator antara lain:
- Persiapan pelaksanaan kegiatan dengan melakukan komunikasi dan
koordinasi baik verbal maupun surat kepada propinsi/kabupaten/kota
sasaran penyusunan dokumen.
- Pelaksanaan sosialisasi dan advokasi dengan melibatkan Organisasi
Perangkat Daerah (OPD) dan lintas sektor.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
62 |
- Pelaksanaan workshop dan penyusunan dokumen rencana kontijensi di
kabupaten/kota dengan anggaran bersumber dari pusat dan dana
dekonsentrasi.
- Adanya rambu petunjuk perencanaan sehingga Dinas Kesehatan
Provinsi dapat menyusun anggaran kegiatan terkait kebijakan
kesiapsiagaan penanggulangan KKM di wilayah.
- Pelaksanaan pertemuan koordinasi penyelenggaraan kekarantinaan
kesehatan di wilayah yang menjadi forum diskusi dan koordinasi serta
memfasilitasi komunikasi dan diseminasi informasi kepada kabupaten/kota
sasaran yang akan melakukan penyusunan.
f. Upaya yang dilaksanakan untuk mencapai target indikator
- Advokasi dan sosialisasi regulasi kesehatan internasional atau International
Health Regulations (2005) termasuk kapasitas inti IHR dan paket aksi
keamanan kesehatan global.
- Penilaian pencapaian kapasitas inti IHR di pintu masuk negara, wilayah dan
nasional dengan melibatkan lintas sektor terkait
- Sosialisasi dan advokasi kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap faktor
risiko kedaruratan kesehatan masyarakat dengan melibatkan OPD dan lintas
sektor.
- Melaksanakan workshop penyusunan rencana kontijensi mencakup
konsep pedoman penyusunan renkon, identifikasi potensi KKM, pengumpulan
data dasar dan membangun komitmen lintas sectoral.
- Melaksanakan kegiatan penyusunan rencana kontijensi KKM dengan
melibatkan seluruh lintas sektoral pemerintah daerah yang terkait dengan
kesiapsiagaan, respon dan koordinasi penanggulangan kedaruratan
kesehatan masyarakat.
- Pelaksanaan Pertemuan Koordinasi Penyelenggaraan Kekarantinaan
Kesehatan di Wilayah mengundang seluruh kabupaten/kota sasaran yang
akan menysun dokumen dengan metode pemaparan materi, tanya jawab dan
Focus Group Discussion (FGD).
- Review dan update dokumen kebijakan yang telah disusun di kabupaten/kota.
g. Kendala/Masalah yang Dihadapi
- Masih adanya pemahaman OPD di daerah bahwa penyusunan rencana
kontijensi merupakan tanggung jawab instansi kesehatan saja.
- Dokumen rencana kontijensi wilayah belum menjadi prioritas dibandingkan
program lainnya sehingga di beberapa daerah dengan mekanisme dana
dekonsentrasi melakukan pemotongan anggaran penyusunan rencana
kontijensi yang menyebabkan rangkaian kegiatan penyusunan rencana
kontijensi tidak berjalan sesuai jadwal/rencana dan berdampak pada kualitas
penyusunan dokumen renkon.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
63 |
- Terdapat kesulitan dalam penentuan jadwal pelaksanaan kegiatan di daerah
karena berbenturan dengan kegiatan lain di OPD dan lintas sektor lainnya.
h. Pemecahan Masalah
1. Mengintensifkan kegiatan sosialisasi kebijakan kesiapsiagaan terhadap
kedaruratan kesehatan masyarakat kepada pemerintah daerah sasaran
untuk menyamakan pemahaman dan rencana tindak lanjut pelaksanaan
kegiatan pembuatan dokumen rencana kontingensi. Hal ini dapat
meningkatkan komitmen daerah dalam melaksanakan program yang
disepakati.
2. Mendorong kabupaten/kota sasaran untuk menyelesaikan hambatan
administrasi agar kegiatan dapat terlaksana sesuai dengan rencana yang
telah disepakati baik melalui mekanisme pembiayaan dekonsentrasi
maupun pusat
3. Memaksimalkan potensi sumber daya manusia untuk memenuhi permintaan
narasumber dari berbagai daerah untuk memfasilitasi pembentukan
dokumen rencana kontigensi.
4. Mengoptimalisasikan potensi daerah dalam kesiapsiagaan kedaruratan
khususnya kedaruratan bencana alam untuk memperkaya dan memperkuat
substansi kedaruratan kesehatan masyarakat.
5. Menyesuaikan metode penyusunan dokumen dengan waktu yang tersedia
termasuk design kegiatan yang interaktif (diskusi, table top, simulasi) dan
penyusunan draft awal sebelum pertemuan.
8. Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok (KTR) minimal 50% sekolah sebesar 50% Kabupaten/Kota
a. Pengertian
- Kabupaten/Kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
minimal 50% sekolah adalah kabupaten/kota yang telah melaksanakan
kebijakan KTR yang dinilai dari telah menerapkan KTR paling sedikit di 50%
sekolah/ madrasah sesuai dengan peraturan perundangan yang mengatur
tentang Kawasan Tanpa Rokok.
- Sekolah yang dimaksud adalah sekolah dan madrasah di level Sekolah Dasar
dan sederajatnya, Sekolah Menengah Pertama dan sederajatnya, Sekolah
Menengah Atas dan sederajatnya, baik negeri maupun swasta termasuk
pondok pesantren dan sekolah berasrama.
- Ruang lingkup kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) terdapat 7 tatanan
termasuk di tatanan sekolah yang diatur dalam peraturan perundangan
Kawasan Tanpa Rokok yang telah melakukan penerapan enforcement sesuai
kriteria yaitu ditemukan tanda dilarang merokok di semua pintu masuk;
diseluruh lingkungan sekolah Tidak ditemukan orang merokok; Tidak
ditemukan ruang khusus merokok; Tidak tercium bau asap rokok; Tidak
ditemukan asbak dan korek api; Tidak ditemukan puntung rokok; Tidak
ditemukan penjualan rokok termasuk kantin sekolah, tempat tunggu
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
64 |
penjemput; dan Tidak ditemukan indikasi kerjasama dengan Industri
tembakau dalam bentuk sponsor, promosi, iklan rokok (misalnya: serbet,
tatakan gelas, asbak, poster, spanduk, billboard dan lainnya).
b. Definisi operasional
Persentase Kabupaten/Kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa
Rokok (KTR) minimal 50% sekolah adalah kabupaten/kota yang telah
melaksanakan kebijakan KTR yang dinilai dari minimal telah menerapkan KTR di
50% sekolah/ madrasah sesuai dengan peraturan perundangan yang mengatur
tentang KTR dibagi dengan jumlah kab/kota di Indonesia.
c. Rumus/cara perhitungan
Persentase kabupaten/kota yang
melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
minimal 50%
=
Jumlah Kab/Kota yang melaksanakan kebijakan KTR minimal di 50% sekolah
x 100%
Jumlah Kab/Kota di Indonesia
d. Capaian indikator
Sampai dengan tahun 2019 terdapat 386 kab/kota (75,09%) yang telah memiliki
peraturan mengenai KTR. Sebanyak 261 kab/kota (50,77%) dalam bentuk Perda
KTR dan 224 kab/kota (43,57%) dalam bentuk peraturan Bupati atau Walikota.
Masih ada 119 (23,15%) kab/kota baik yang belum memiliki peraturan ataupun
masih dalam bentuk surat edaran dan surat keputusan. Pencapaian Persentase
Kabupaten/Kota yang melaksanakan kebijakan KTR minimal 50% sekolah, telah
melebihi target yang diharapkan. Dari target 50%, tercapai sebesar 50,2% atau
sebanyak 258 kab/kota dari 514 kab/kota telah melaksanakan kebijakan KTR,
sehingga pencapaian kinerja sebesar 100,4%.
Grafik 3.15 Persentase Kab/Kota yang melaksanakan kebijakan KTR
minimal di 50% sekolah Tahun 2019
Sumber data : Laporan Subdit PKGI Tahun 2019
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
65 |
Sampai dengan tahun 2019 persentase kabupaten/ kota yang melaksanakan
kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal di 50% sekolah yang ada di
wilayahnya, berdasarkan provinsi paling tinggi ada di Provinsi Bali (100%), DI
Yogyakarta (100%), dan DKI Jakarta (100%), sedangkan yang terendah ada di
Provinsi Papua (13,8%).
Grafik 3.16
Persentase Kab/Kota yang melaksanakan kebijakan KTR
Per Provinsi di Indonesia
Tahun 2019
Sumber data : Laporan rutin Subdit PKGI Tahun 2019
Pencapaian dari tahun 2015 sampai dengan tahun 2019 terjadi peningkatan
kabupaten/ kota yang telah mengimplementasikan KTR pada 50% sekolah. Bila
dilihat trend peningkatan dari tahun 2015 target kinerja sebesar 10%, realisasi
sebesar 8,37% atau sebanyak 43 kab/kota, tahun 2016 dari target 20%, realisasi
sebesar 21,2% atau sebanyak 109 kab/kota, sehingga pencapaian sebesar
105,8%. Pada tahun 2017 target 30%, realisasi 30% atau 154 kabupaten/ kota
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
66 |
yang telah mengimplementasikan kebijakan KTR pada 50% sekolah, capaiannya
100%. Ditahun 2018, target 40%, realisasi 42,4% atau 218 kabupaten/ kota yang
telah mengimplementasikan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok pada 50% sekolah,
capaiannya 106%. Tahun 2019, target 50%, telah tercapai 50,2% atau 258
kabupaten/ kota, capaiannya 100,4%.
Grafik 3.17 Target dan Realisasi Kab/Kota yang melaksanakan KTR
minimal 50% Sekolah Tahun 2015-2019
Bila dibandingkan dengan indikator RPJMN yakni prevalensi merokok
penduduk usia ≤ 18 tahun dengan target tahun 2019 sebesar 5,6% maka
Prevalensi merokok penduduk umur 10-18 tahun menunjukkan kenaikan yakni
7,2% (Riskesdas 2013), menjadi 8,8% (Sirkesnas 2017) dan meningkat
menjadi 9,1% (Riskesdas 2019). Peningkatan prevalensi merokok pada usia ≤
18 tahun salah satunya disebabkan karena masih minimnya Kab/Kota yang
melaksanakan KTR minimal di 50% sekolah (50,2%).
e. Analisa Penyebab Keberhasilan
Persentase kab/kota yang telah melaksanakan kebijakan KTR pada 50%
sekolah mencapai target yang telah di tetapkan telah mencapai target (50,2%).
Hal ini didukung adanya upaya-upaya yang telah dilakukan antara lain advokasi
dan sosialisasi "Bupati/walikota kepada Bupati/Walikota" terkait perda KTR,
Advokasi dan sosialisasi penerapan aturan KTR dilingkungan sekolah,
peningkatan kapasitas SDM dalam penyusunan Perda KTR di daerah (Dinkes,
Bagian Hukum, Disdik, Akademisi), Peningkatan kapasitas SDM dalam
penegakan kebijakan KTR yang telah ditetapkan, melaksanakan monitoring/
review implementasi di daerah yang telah mempunyai kebijakan KTR
penerapan aturan KTR dilingkungan sekolah oleh Dinkes dan Satgas KTR
Kab/Kota, Layanan UBM (Upaya Berhenti Merokok) di Fasyankes dan Layanan
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
67 |
Quitline dinomor 08001776565 kepada seluruh masyarakat, dan penghargaan
kepada daerah yang telah mempunyai kebijakan dan melakukan implementasi
KTR. Selain itu, adanya surat dari Menteri Dalam Negeri (Dirjen Bina
Pembangunan Daerah) kepada seluruh kepala daerah di Indonesia dan
dikuatkan dengan surat dari Dirjen P2P kepada seluruh Kepala Dinas
Kesehatan Provinsi dan Kabupaten/ Kota di seluruh Indonesia dengan
penekanan tentang penerapan regulasi Kawasan Tanpa Rokok di Daerah.
f. Upaya Yang Dilaksanakan Untuk Mencapai Indikator
Upaya dan kegiatan yang telah dilaksanakan dalam Persentase
Kabupaten/Kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR)
minimal 50% sekolah adalah sebagai berikut:
Advokasi dan sosialisasi terhadap pemangku kebijakan baik pusat maupun
daerah yang belum memiliki kebijakan KTR dan mendorong terbitnya
peraturan KTR di kabupaten/ kota dan juga implementasinya dalam
melindungi perokok pemula dan masyarakat dari bahaya merokok oleh
Kementerian Kesehatan (Dit P2PTM), Dinkes Provinsi (Jawa Tengah, Jawa
Timur, NTB) dan jejaring mitra pengendali tembakau ke Kabupaten
Wonogiri, Kabupaten Sukoharjo, Kota Batu, Kota Pasuruan dan Kota
Mataram.
Melaksanakan Review Implementasi Kawasan Tanpa Rokok di Daerah
yang telah memiliki Peraturan KTR dan Konseling Upaya Berhenti merokok
di Sekolah meliputi: 60 kabupaten/ kota dengan 4 SD/ sederajat, 5 SMP/
sederajat dan 6 SMA/ sederajat yang masuk ke dalam random sampling di
masing-masing kabupaten/ kota. Kawasan tanpa rokok merupakan
tanggung jawab seluruh komponen bangsa, baik individu, masyarakat,
parlemen, maupun pemerintah, untuk melindungi generasi sekarang
maupun yang akan datang. Komitmen bersama dari lintas sektor dan
berbagai elemen akan sangat berpengaruh terhadap keberhasilan
kawasan tanpa rokok. Kegiatan review implementasi kebijakan KTR perlu
dilaksanakan secara rutin dan bersinergi bersama SKPD lainnya. Jumlah
kabupaten/ kota yang sudah mengimplementasikan KTR di 50% sekolah
yaitu sebesar 50,2 % (258 Kabupaten/ Kota).
Peningkatan kapasitas Tenaga Kesehatan dan Pendidikan Dalam Upaya
Implementasi KTR di Sekolah dilaksanakan secara bertahap dan
berjenjang, melalui TOT yang dilaksanakan di Pusat dan pelatihan yang
dilakukan daerah melalui dana Dekonsentrasi.
Penyedian Layanan Quitline (Layanan Konsultasi Upaya Berhenti Merokok
melalui telpon tidak berbayar). Kegiatan layanan Quitline merupakan
layanan langsung kepada masyarakat yang ingin berhenti merokok melalui
Toll Free 0-800-177-6565. Total Klien yang memanfaatkan layanan Quitline
selama 2019 ini berjumlah 60.983 penelpon atau rata-rata 5.081 klien/
bulan. Penyebaran program ini pun terus meluas dimana rata-rata klien
penelpon mewakili 20-32 propinsi setiap bulannya, bahkan pada bulan
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
68 |
Desember 2019 asal penelpon telah mencapai 34 propinsi atau sekitar
100% dari total propinsi yang ada di Indonesia. Usia klien yang menelpon
ke Layanan Quitline UBM selama tahun 2019 ini terbanyak di usia 25-29
tahun. Ini menjadi indikasi bahwa kesadaran untuk berhenti merokok di
kelompok usia produktif semakin meningkat.
Penyebaran informasi upaya berhenti merokok dan Penyakit Tidak Menular
juga dilaksanakan melalui media sosial P2PTM baik melalui facebook,
Instagram, dan Twitter.
Facebook : @p2ptmkemenkesRI jumlah pengikut 106.786.
Istagram : @p2ptmkemenkesri Media Sosial Instagram diikuti
110.669 follower.
Twitter : @p2ptmkemenkesRI diikuti 11.049 pengikut selama
selama Tahun 2019 dan semakin meningkat setiap
bulannya.
Gerakan Masyarakat dalam pengendalian tembakau.
Kegiatan ini bertujuan meningkatkan awareness masyarakat akan Bahaya
Dampak Tembakau, dengan memperingati Hari Tanpa Tembakau Sedunia
(HTTS) yang jatuh pada tanggal 31 Mei 2019, dengan tema Rokok dan
Kesehatan Paru. Kegiatan dilaksanakan di Kabupaten Klungkung, Kota
Bogor, Kota Yogyakarta dan Auditorium Siwabessy, Kemenkes Jakarta
dengan Penandatanganan MOU antara Kemenkes dengan Dunia Usaha
yaitu PT. BTPN, PT. Nutrifood, PT. Boehringer, PT. Reckitt Benkiser dan
PT. Herlina; Pemberian WHO World No Tobacco Day Award 2019 kepada
dr. Hasto Wardoyo, Sp. OG(K) dan DR. Bima Arya Sugiarta oleh WHO
Representative Indonesia; Dialog interaktif Ibu Menteri Kesehatan dengan
Kepala Daerah dengan narasumber: Menteri Dalam Negeri (yang
mewakili), Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas (yang
mewakili), Kepala Badan Litbangkes Kemenkes RI dan Direktur Jenderal
Pencegahan dan Pengendalian Penyakit; Video conference oleh Ibu
Menkes di 3 lokasi (Kabupaten Klungkung, Kota Bogor, Kota Yogyakarta
dan Auditorium Siwabessy), Pemberian piagam penghargaan KTR kepada
Gubernur dan Bupati Walikota yang telah memiliki Peraturan Daerah dan
telah mengimplementasi KTR terdiri dari Piagam Parama, parahita, dan
Paramesti, serta Pemberian piagam penghargaan KTR kepada Gubernur
dan Bupati Walikota yang telah memiliki Peraturan Daerah dan telah
mengimplementasi KTR serta melarang adanya iklan rokok media luar
ruang yakni Piagam Awya Pariwara.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
69 |
Gambar 3.11 Pemberian penghargaan Gubernur/Bupati/ Walikota dalam acara HTTS
g. Kendala/Masalah yang dihadapi
1) Belum semua Kementerian dan Lembaga yang memiliki komitmen untuk
mengendalikan konsumsi produk tembakau
2) Kegiatan advokasi dan sosialisasi di daerah dalam pengendalian konsumsi
tembakau pada Kab/Kota belum optimal.
3) Belum semua sekolah mengetahui dan menerapkan Peraturan Menteri
Pendidikan dan Kebudayaan no 64 tahun 2015
4) Belum optimalnya koordinasi antara Lintas Program dan Lintas Sektor di
tingkat Kab/Kota dalam upaya pengendalian konsumsi rokok.
5) Daerah yang memiliki kebijakan KTR di daerah masih terbatasnya
jumlahnya, dan penerapan kebijakan di daerah yang telah memiliki
kebijakan KTR belum optimal.
6) Belum ada atau lemahnya sanksi dan penegakan hukum dalam
implementasi KTR.
7) Sistem pencatatan pelaporan melalui Surveilans berbasis web PTM belum
optimal.
8) Belum optimalnya penganggaran daerah dalam memfasilitasi kegiatan-
kegiatan terkait pengendalian konsumsi rokok.
9) Masih rendahnya pemahaman dan kesadaran masyarakat akan bahaya
konsumsi rokok.
10) Belum optimalnya pemberdayaan masyarakat untuk penegakan KTR di 7
tatanan.
h. Pemecahan Masalah
1) Optimalisasi dukungan komitmen lintas sektor dan lintas program melalui
upaya advokasi dan sosialisasi pengendalian tembakau serta mendorong
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
70 |
pengembangan regulasi KTR di berbagai tingkat pemerintahan yang
didukung oleh semua pihak terkait dan masyarakat.
2) Untuk memaksimalkan Penerapan Kebijakan KTR di daerah dengan upaya
sebagai berikut:
a. Optimalisasi dukungan stakeholder dan mitra kesehatan dalam rangka
mencapai Implementasi Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas)
termasuk melaksanakan kebijakan KTR.
b. Mendorong penegakan hukum (law enforcement) secara konsisten
sesuai dengan ketentuan peraturan yang berlaku.
c. Mengoptimalkan upaya advokasi dan sosialisasi melalui dukungan
Audiensi dari Tim Aliansi Bupati/Walikota peduli Kawasan Tanpa Rokok
(KTR) dan PTM kepada Bupati dan Walikota di Indonesia. Pertemuan ini
bertujuan memberi dukungan dan membangun komitmen yang kuat
dari masing-masing Bupati dan SKPD, termasuk pengaturan tentang
iklan rokok yang sangat masif di kabupaten dan kota.
d. Peningkatan kapasitas sumber daya manusia dalam penegakan
Kebijakan KTR yang telah ditetapkan.
e. Membangun komitmen masyarakat untuk menerapkan KTR di rumah
tangga, RT/RW, Kelurahan/desa, dan Kecamatan melalui pemicuan/
FGD partisipatori.
3) Meningkatkan penganggaran yang belum optimal dalam memfasilitasi
kegiatan yang termasuk dalam indikator prioritas dalam pengendalian
konsumsi tembakau, melalui APBN, APBD, Anggaran Dana Desa dan
Dana Pajak Rokok, dan sumber penganggaran lainnya.
4) Mengoptimalkan sistem pencatatan pelaporan melalui Surveilans berbasis
web PTM dalam pengendalian tembakau, seperti:
a. Tersedianya data perokok dari masyarakat melalui kegiatan POSBINDU
PTM.
b. Tersedianya data perokok dan keluarga yang mempunyai anggota yang
merokok melalui PIS-PK dan data kunjungan di FKTP
c. Tersedianya data perilaku merokok pada anak usia remaja, melalui
kegiatan skrining merokok pada anak usia sekolah
d. Tersedianya data perokok yang sudah dilakukan layanan berhenti
merokok (UBM) di FKTP
e. Tersedianya data implementasi KTR di sekolah dan tatanan yang sudah
ditetapkan
5) Meningkatkan pemahaman dan kesadaran masyarakat akan bahaya
konsumsi rokok, melalui:
a. Berbagai media Komunikasi-Informasi-Edukasi (KIE) dan berkoordinasi
dengan seluruh stakeholder dan mitra kesehatan.
b. Mengoptimalkan dukungan masyarakat, lintas program dan lintas sektor
untuk kegiatan promotif dan preventif
c. Optimalisasi dukungan stakeholder dan mitra kesehatan dalam rangka
Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) dalam bentuk
melaksanakan Kebijakan Kawasan Tanpa Rokok
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
71 |
d. Melakukan sosialisasi dan optimalisasi layanan konseling berhenti
merokok di FKTP dan melalui telepon (QUITLINE) di telepon tanpa
bayar 0-800-177-6565.
9. Jumlah kabupaten/kota yang memiliki puskesmas yang menyelenggarakan
upaya kesehatan jiwa dan/atau Napza sebesar 280 Kabupaten/Kota
a. Penjelasan indikator
WHO menyatakan kesenjangan pengobatan gangguan jiwa di Negara-negara
dengan penghasilan rendah-menengah termasuk Indonesia masih tinggi, yaitu
>85%. Hal ini berarti kurang dari 15% penderita gangguan jiwa mendapatkan
layanan kesehatan jiwa yang dibutuhkan. Melalui estimasi sederhana tentang
utilisasi layanan baik di tingkat primer maupun sekunder-tersier menunjukkan
bahwa ternyata memang cakupan layanan kesehatan jiwa di Indonesia masih
rendah yaitu <10% (tahun 2013), dan tingkat kekambuhan pasien masih cukup
tinggi pasca perawatan di Rumah Sakit. Oleh karena itu upaya kesehatan jiwa
di Puskesmas menjadi penting dengan tujuan untuk meningkatkan akses
masyarakat terhadap layanan kesehatan jiwa, baik upaya-upaya pencegahan
maupun deteksi dan tata laksana secara dini. Agar mutu layanan terjaga, maka
dalam kriteria indikator tercantum bahwa tenaga kesehatan puskesmas terlatih.
b. Definisi Operasional
Defenisi operasional jumlah Kab/Kota yang memiliki Puskesmas yang
menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa dan/atau Napza adalah Kab/Kota
yang memiliki minimal 1 puskesmas di wilayahnya dengan kriteria:
Memiliki minimal 2 (dua) tenaga kesehatan terlatih kesehatan jiwa(dokter
dan perawat), minimal 30 jam pelatihan
Melaksanakan upaya promotif kesehatan jiwa dan preventif terkait
kesehatan jiwa secara berkala dan teritegrasi dengan program kesehatan
puskesmas lainnya
Melaksanakan deteksi dini, penegakan diagnosis, penatalaksanaan awal
dan pengelolaan rujukan balik kasus gangguan jiwa.
c. Cara perhitungan
Jumlah kumulatif kabupaten/kota yang memiliki puskesmas dengan upaya
kesehatan jiwa sesuai dengan kriteria.
d. Capaian indikator
Capaian indikator untuk Jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki Puskesmas yang
menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa menunjukkan peningkatan dari tahun
2015-2019, dengan persentase kinerja tertinggi pada tahun 2019 yakni sebesar
145%. Jika dibandingkan pencapaian tahun 2019 (akhir periode RAP)
dibandingkan dengan tahun 2015 (awal periode RAP), telah dicapai
penambahan 325 Kab/Kota yang memiliki Puskesmas yang menyelenggarakan
upaya kesehatan jiwa. Secara lengkap terlihat dalam grafik berikut ini:
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
72 |
Grafik 3.18 Target dan Capaian Jumlah Kab/Kota yang menyelenggarakan
upaya kesehatan jiwa/napza Tahun 2015-2019
Sumber data : Laporan Subdit Dewasa dan Lansia Tahun 2019
e. Analisa Penyebab Keberhasilan
Keberhasilan capaian indikator Jumlah Kabupaten/Kota yang memiliki
Puskesmas yang menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa sebanyak 407
kab/kota, disebabkan oleh:
1. Adanya Program Indonesia Sehat Pendekatan Keluarga (PIS-PK) yang telah
dilakukan oleh petugas kesehatan di puskesmas untuk menemuan kasus
Orang Dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
2. Gencarnya advokasi dan sosialisasi yang dilakukan oleh subdit P2 masalah
kesehatan jiwa dewasa dan usia lanjut
3. Dilakukannya pelatihan deteksi dini untuk dokter dan perawat di puskesmas
bidang kesehatan jiwa melalui dana dekonsentrasi
4. Adanya nota kesepahaman antara Kemensos, Kemenkes, Kepolisian, BPJS
tentang ODGJ.
f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator
Upaya Kementerian Kesehatan dalam mencapai indikator melalui:
1) Dukungan Kesehatan Jiwa dan Psikososial pada situasi krisis kesehatan di
daerah terdampak bencana yang dilaksanakan di Provinsi Papua, Jawa
Timur, Sumatera Barat, Sulawesi Selatan untuk melakukan penanganan
masalah kesehatan jiwa pasca bencana.
2) Melakukan upaya promotif melalui pelaksanaan hari kesehatan jiwa sedunia,
dengan tujuan meningkatkan pengetahuan masyarakat tentang isu-isu
kesehatan jiwa, meningkatkan kepedulian dan partisipasi akif masyarakat
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
73 |
terhadap upaya pencegahan masalah kesehatan jiwa, dengan melakukan
kegiatan antara lain:
a. Pekan Olah Raga Kesenian Rehabilitasi Mental (Poskesremen) di
Provinsi Bangka Belitung dengan kegiatan lomba olah raga antara lain
bulutangkis, catur, tenis meja, voli, dan futsal. Sedangkan cabang seni
yang dipertandingkan adalah lomba adzan, khotbah, tilawah, menari dan
menyanyi, pameran hasil karya rehabilitan, semua peserta lomba adalah
ODGJ;
b. Pemeriksaan Mobile Mental Health Servis (MMHS) dilakukan oleh subdit
Anak Remaja Direktorat P2MKJN;
c. Melakukan integrasi dengan program imunisasi dengan memberikan
imunisasi pneumonia pada balita disekitar Rumah Sakit Jiwa Daerah
Provinsi Bangka Belitung;
d. Temu Media dengan media cetak dan elektronik membahas tentang tema
suicide prevention;
e. Temu Blogger dengan 40 blogger #harikesehatanjiwa, #cegahbunuhdiri
dan #sehatjiwa, dan berhasil masuk ke top 10 harian di tweeter;
Gambar 3.12
Temu Blogger pada Hari Kesehatan Jiwa
f. Seminar, di lakukan kegiatan pemutaran video bapak psikiatri Indonesia
prof DR.Dr. Kusumanto SpKJ, pemotongan 34 tumpeng, bedah buku
sehat jiwa, nagara kuat, perawatan kesehatan jiwa masyarakat dan
pencegahan bunuh diri;
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
74 |
Grafik 3.13
Peringatan Hari Kesehatan Jiwa Sedunia
g. Talkshow dengan tema “communicating about suicide”;
h. Kompetisi public relations students forum dengan tema advocation heathh
family function fot suicide prevention and support dengan topik promoting
family wellbeing through psicoeducation dengan peserta mahasiswa
fakultas komunikasi jurusan Public Relation seluruh universitas se-
Indonesia;
i. Kompetisi dengan tema uncovering the undercover: suicide prevention by
untilizing family functions, dengan peserta mahasiswa fakultas komunikasi
jurusan PR seluruh universitas se-Indonesia.
3) Sosialisasi pencegahan dan pengendalian masalah kesehatan jiwa melalui
gerakan masyarak hidup sehat (GERMAS) dengan tujuan meningkatkan
pengetahuan dan kepedulian masyakarat melakukan upaya pencegahan
dan pengendalian masalah kesehatan jiwa di Kab Kediri, Kab Bungo, Kab
Lahat, Kab Mukomuko, Kab Blitar, Kab Banyuwangi, dengan peserta berasal
dari, tokoh masyarakat, tokoh agama, masyarakat umum, muspida setempat
dan tenaga kesehatan.
4) Koordinasi dan supervisi P2 Masalah Kesehatan Jiwa di Sumatera Barat,
Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Lampung, Malang, Jambi, NTT,
Palu, Banten, Bali, NTB, Pekanbaru, Makasar, Yogjakarta, Jambi,
Kalimantan Timur, Garut, Sulawesi Barat, Gorontalo, Sulawesi Utara,
Bengkulu, Papua, Semarang, Bandung, Bangka Belitung dengan hasil
antara lain diperolehnya data indikator jumlah Kab/Kota yang memiliki
Puskesmas dengan layanan jiwa, termasuk data pemasungan; ditemukan
permasalahan terkait pengisian format laporan oleh Dinas Kesehatan;
Penyediaan obat di Puskesmas masih terpenuhi; Kurangnya tenaga
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
75 |
kesehatan yang terlatih bidang kesehatan jiwa dan minimnya anggaran
APBD untuk program kesehatan jiwa.
5) Penyusunan peta strategis bidang kesehatan jiwa dan napza tahun 2020
sampai dengan 2025 sebagai acuan dalam pelaksanan program, kegiatan
untuk mencapai tujuan dan sasaran serta target indikator yang telah di
tetapkan.
g. Kendala/masalah yang dihadapi
1) Tebatasnya jumlah tenaga kesehatan terlatih bidang keswa.
2) Belum optimalnya koordinasi dengan intas program dan lintas sektor terkait
bidang keswa.
3) Belum semuanya pemegang program terpapar tentang upaya pencegahan
dan pengendalian masalah kesehatan jiwa.
4) Belum optimal nya komitmen daerah terhadap masalah kesehatan jiwa.
5) Masih kurangnya ketersediaan obat-obat keswa di Puskesmas.
h. Pemecahan Masalah
1) Melakukan pelatihan kepada tenaga kesehatan untuk bidang kesehatan jiwa
baik melalui dana dekonsentrasi atau dana pusat.
2) Meningkatkan koordinasi dengan lintas sektor dan lintas program terkait
bidang keswa.
3) Melakukan advoasi dan sosialiasasi tentang masalah kesehatan jiwa pada
lintas sektor dan lintas program.
4) Penyusunan peta strategis pelaksanaan program dan kegiatan bidang
kesehatan jiwa dan napza.
5) Melakukan kerja sama dengan Ditjen Farmalkes untuk penyediaan obat obat
kesehatan jiwa.
10. Persentase respon sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra di wilayah
layanan B/BTKLPP sebesar 90%
a. Penjelasan Indikator
Indikator respon Sinyal Kewaspadaan Dini (SKD) dan Kejadian Luar Biasa (KLB),
bencana dan kondisi matra di wilayah layanan B/BTKLPP dilakukan oleh seluruh
B/BTKLPP untuk kegiatan SKD KLB, kegiatan bencana dan kondisi matra di
seluruh wilayah layanan kerja B/BTKLPP.
b. Definisi operasional
Jumlah/frekuensi sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra yang direspon
< 24 jam terhitung mulai diterimanya laporan dari stakeholders dibandingkan
dengan jumlah/frekuensi sinyal SKD dan KLB, bencana dan kondisi matra yang
dilaporkan stakeholders.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
76 |
c. Pengertian
Kejadian Luar Biasa (KLB) adalah timbulnya kejadian kesakitan/kematian dan
atau meningkatnya suatu kejadiaan kesakitan kematian yang bermakna secara
epidemiologis pada suatu daerah dalam kurun waktu tertentu (Undang Undang
Wabah, 1984).
Sistem Kewaspadaan Dini Kejadian Luar Biasa (SKD KLB) merupakan
kewaspadaan terhadap penyakit berpotensi KLB beserta faktor-faktor yang
mempengaruhinya dengan meningkatkan sikap tanggap kesiapsiagaan, upaya-
upaya pencegahan dan tindakan penanggulangan KLB yang cepat dan tepat.
Respon sinyal SKD dan KLB adalah respon kewaspadaan dini yang dilakukan
dalam rangka mengantisipasi terhadap terjadinya penyakit potensial KLB yang
diperoleh berdasarkan deteksi dini KLB di wilayah kerja B/BTKL-PP dan atau dari
permintaan stakeholder serta respon penanggulangan KLB sesuai dengan
pedoman.
Bencana adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan
menggangu kehidupan dan penghidupan masyarakat yang disebabkan, baik oleh
factor alam dan/atau factor nonalam maupun factor manusia sehingga
mengakibatkan timbulnya korban jiwa manusia, kerusakan lingkungan, kerugian
harta benda, dan dampak psikologis.
Kondisi Matra adalah keadaan dari seluruh aspek pada matra yang serba
berubah dan berpengaruh terhadap kelangsungan hidup dan pelaksaan kegiatan
manusia yang hidup dalam lingkungan tersebut, seperti Ibadah Haji, arus mudik,
arus balik hari raya dan tahun baru, Jambore, dan lain lain.
Stakeholder adalah suatu masyarakat, kelompok, komunitas atau individu
manusia yang memiliki hubungan dan kepentingan terhadap suatu organisasi
seperti Dinas Kesehatan, Kantor Kesehatan Pelabuhan, Laboratorium, RS, dan
lain-lain.
d. Rumus/cara perhitungan
Persentase respon
sinyal SKD dan
KLB, bencana dan
kondisi matra di
wilayah layanan
B/BTKLPP
=
Jumlah/frekuensi sinyal SKD dan KLB,
bencana dan kondisi matra yang direspon
< 24 jam terhitung mulai diterimanya
laporan dari stakeholder
x 100% Jumlah/frekuensi sinyal SKD dan KLB,
bencana dan kondisi matra yang
dilaporkan stakeholder
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
77 |
e. Capaian indikator
Capaian persentase respon sinyal SKD KLB, Bencana dan kondisi matra tahun
2019 sebesar 98% dari target 90%, sehingga capaian indikator tahun ini adalah
109%. Capaian target indikator ini mencapai target yang ditetapkan selama
periode tahun 2015-2019, kondisi ini menunjukan upaya respon terhadap Sinyal
Kewaspadaan Dini (SKD) dan Kejadian Luar Biasa (KLB), bencana dan kondisi
matra di wilayah layanan B/BTKLPP telah dilakukan oleh seluruh B/BTKLPP.
Grafik 3.19 Persentase respon SKD dan KLB, bencana
dan kondisi matra diwilayah layanan B/BTKLPP Tahun 2015 - 2019
Sumber data : Laporan Subit Surveilans Tahun 2019
Berdasarkan laporan dari B/BTKLPP, dari 10 BBTKLPP pada Ditjen P2P
terdapat satu B/BTKLPP yang tidak mencapai capaian indikator yaitu BTKL
Kelas II Ambon. Kendala dan masalah yang dihadapi oleh BTKL Kelas II Ambon
dalam mencapai indikator antara lain penyampaian informasi kadang terlambat,
data yang diterima kurang valid, khusus untuk daerah dengan geografis yang
sulit, hambatan pada transportasi dan anggaran belum memadai dan logistik
terbatas jumlah bahan dan peralatan lapangan. Untuk mengatasi permasalahan
tersebut, akan dibuat analisa kebutuhan anggaran SKD KLB untuk semua BTKL
dan mengoptimalkan koordinasi antar BTKL dengan penanggungjawab
program/kegiatan SKD/KLKB/bencana tingkat provinsi/kabupaten/kota.
f. Analisa Penyebab Keberhasilan
Secara keseluruhan, tercapainya target indikator ini antara lain didukung dengan
adanya jejaring kerja dan koordinasi yang sudah berjalan baik dengan berbagai
stakeholder di wilayah kerja B/BTKL-PP, peningkatkan kemampuan SDM dalam
verifikasi rumor penyakit potensial KLB dan penyelidikan epidemiologi, kajian
untuk evaluasi kewaspadaan dini penyakit berpotensi KLB, pengembangan
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
78 |
kapasitas laboratorium dalam pengembangan metode pemeriksaan penyakit dan
adanya evaluasi dan monitoring kegiatan B/BTKL-PP untuk memantau
keberhasilan kegiatan dalam mendukung tercapainya indikator.
g. Upaya yang Dilaksanakan Mencapai Target Indikator
1) Merespon verifikasi rumor dan KLB penyakit < 24 jam setelah informasi
diterima dari dinkes kabupaten/kota maupun provinsi dan PHEOC
2) Jejaring kerja dan koordinasi yang baik dengan petugas surveilans dinas
kesehatan kab/kota sehingga penjaringan kasus penyakit potensi KLB pada
tahap verifikasi rumor dapat dilaksanakan.
3) Memprioritaskan pengujian sampel KLB/pencemaran untuk segera
menghasilkan sertifikat hasil uji (SHU).
4) Memberikan informasi hasil investigasi dan laboratorium kepada Dinkes, RS
yang merujuk sampel (RSPI, RSUP persahabatan, RSUP Famawati, RSCM,
RSUD), dan PHEOC secara cepat.
5) Dukungan komitmen dan bimbingan konsultasi teknis lab dari BTDK
Balitbangkes, B2P2VRP Salatiga, Lembaga Eijkman, US-CDC Indonesia
dan WHO.
6) Meningkatkan jejaring kemitraan dengan SKPD terkait (BPBD/Pusat Krisis
kesehatan).
7) Sosisalisasi Rencana Kegiatan B/BTKLPP kepada semua stakeholder
antara lain tentang kesiapan B/BTKLPP untuk melakukan Respon KLB,
memberikan nama dan nomor telefon petugas B/BTKLPP yang bisa
dihubungi jika Petugas Dinas Kesehatan ingin melaporkan adanya kejadian
KLB atau Bencana, dan sebagainya.
8) Penentuan kegiatan berdasarkan prioritas masalah dan prioritas nasional.
9) Melakukan kajian dampak faktor risiko penyakit berpotensi KLB berbasis
laboratorium.
10) Memantau perkembangan tren penyakit menular potensial KLB/wabah,
keracunan makanan dan memberikan sinyal peringatan kepada pengelola
program.
11) Pengukuran kualitas udara akibat bencana kabut asap.
12) Melengkapi stok logistik dalam keadaan siap sehingga jika dibutuhkan
sewaktu-waktu ketika ada KLB atau Bencana, dapat segera direspon.
13) Membuat Tim Gerak Cepat KLB dan Bencana yang terdiri dari para petugas
B/BTKLPP yang siap untuk melakukan respon.
h. Kendala/Masalah yang Dihadapi
1) Keterbatasan persedian RDT Hepatitis A karena adanya peningkatan kasus
KLB Hepatitis A di wilayah layanan pada akhir tahun anggaran.
2) Keterbatasan media reagensia pemeriksaan difteri karena peningkatan
jumlah suspek difteri dan penelusuran kontak kasus di wilayah layanan dan
luar wilayah layanan.
3) Beberapa B/BTKLPP belum mampu melakukan pemeriksaan sampel difteri,
sehingga B/BTKLPP Jakarta mendapat limpahan sampel difteri dari luar
wilayah layanannya.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
79 |
4) Petugas Dinas Kesehatan belum melakukan skrining secara tepat pada saat
penelususan kontak kasus sehingga sample kontak kasus yang dikirimkan
ke B/BTKLPP sangat banyak (difteri, leptospirosis, hepatitis A).
5) Belum semua wilayah layanan di luar Jawa mendapatkan informasi
kapasitas B/BTKLPP dalam PE KLB dalam pengujian laboratorium yang
dapat dilakukan.
6) Tidak semua parameter terkait pencemaran bisa dan penyakit berpotensi
KLB dapat dilakukan pemeriksaan.
7) Kurangnya jumlah SDM bidang surveilans khusus nya tenaga JFT Epid
Kesehatan.
8) Belum sinkronnya jadwal kegiatan di UPT dan SKPD daerah khusus
terhadap penanganan KLB/Bencana/SKDR.
9) Kurangnya kualitas sumber daya untuk surveilans epidemiologi terutama
dalam rangka kewaspadaan dini dan respon KLB.
10) Penyediaan logistik terbatas baik pada saat KLB ataupun bencana.
11) Pada situasi matra nataru dan mudik lebaran kurangnya koordinasi lintas
sktor.
12) Kurangnya pengetahuan dan partisipasi masyarakat pada saat pengumpulan
data dilokasi kegiatan.
13) Masih banyak Dinas Kesehatan yang tidak melaporkan adanya kejadian KLB
atau bencana, atau dilaporkan tetapi sudah terlambat.
14) Adanya kebijakan BPJS yang tidak menanggung biaya pengobatan bagi
korban KLB apabila dikeluarkan W1 sehingga daerah tidak mau
mengeluarkan W1 walaupun sudah terjadi KLB.
15) Tim Gerak Cepat (TGC) yang dikirim kadang sering tidak sesuai dengan
kebutuhan yang dibutuhkan di lapangan dari segi kompetensi.
16) Ada beberapa Logistik KLB yang perlu pemesanan inden yang cukup lama
sehingga ketika dibutuhkan untuk merespon kejadian KLB atau Bencana
sedang dalam kondisi habis atau belum ada.
17) Sering tidak ada kesamaan persepsi antara Dinas Kesehatan dengan
Pemerintah Daerah tentang situasi yang terjadi terutama tentang KLB
apakah sudah masuk dalam kategori KLB atau masih peningkatan kasus.
18) Kompetensi Sumber Daya Manusia (SDM) dan peralatan Laboratorium
untuk pengendalian Penyakit masih terbatas.
19) Laboratorium yang ada belum sepenuhnya memenuhi syarat dalam hal
biosafety dan biosecurity.
20) Belum semua B/BTKLPP dapat melakukan pemeriksaan sampel secara
mikrobiologi belum ada alat yang dapat mendeteksi dengan cepat dan
akurat.
21) Khusus untuk daerah dengan geografis yang sulit, hambatan pada
transportasi dan anggaran belum memadai.
i. Pemecahan Masalah
Terhadap permasalahan yang ditemukan dalam pelaksanaan kegiatan,
BBTKLPP dapat melakukan pemecahan masalah sebagai berikut:
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
80 |
1) Akan dilakukan analisa kebutuhan untuk pengadaan anggaran untuk
pengadaan RDT hepatitis A, reagen rutin untuk prioritas pengadaan media
reagensia difteri.
2) Melakukan skrining klinis secara ketat untuk sampel kasus hepatitis ataupun
carier yang akan diperiksa sesuai kurva riwayat alamiah penyakit hepatitis A,
skrining sample kontak kasus Difteri, pemeriksaan sample diutamakan pada
kontak erat dengan kasus.
3) B/BTKLPP lain perlu melakukan on the job training pemeriksaan difteri di
B/BTKLPP Jakarta.
4) Menyampaikan informasi kapasitas B/BTKLPP dalam pemeriksaan penyakit
potensial KLB di beberapa pertemuan eksternal maupun advokasi ke wilayah
layanan.
5) Membangun jejaring dengan institusi lain dan bahkan lintas negara untuk
pemeriksaan parameter rujukan.
6) Koordinasi dengan bidang lain atau SKPD daerah sesuai dengan kebutuhan
tenaga dan peningkaan peran lintas sektor dan lintas program.
7) Meningkatkan kualitas sumber daya untuk surveilans epidemiologi terutama
dalam rangka kewaspadaan dini dan respon.
8) Pengembangan kemampuan laboratorium konfirmasi penyakit melalui
pelatihan dan peningkatan kapasitas lainnya.
9) Meningkatkan sosialisasi pada Dinas Kesehatan agar dapat segera
melaporkan kejadian KLB atau Bencana dalam waktu kurang dari 24 jam
10) Mengirimkan TGC yang sesuai dengan kebutuhan di lapangan dalam bidang
kompetensinya, sehingga dalam hal ini setiap kejadian KLB bisa berbeda tim
tergantung jenis KLB dan kondisi di lapangan.
11) Segera melakukan pemesanan logistik KLB pada awal tahun anggaran
terutama untuk logistik yang harus dipesan inden.
12) Membuat perencanaan dalam roadmap BTKLPP terutama yang berkaitan
dengan kemampuan laboratorium dalam pengendalian penyakit.
13) Menganggarkan pengembangan peralatan laboratorium Virologi pada tahun
berikutnya.
14) Menambah tenaga yang kompeten sebagai tim gerak cepat (Epidemiolog,
Entomolog dan Laboran)
15) Komunikasi yang intensif dengan stakeholder dan pihak terkait di wilayah
layanan.
11. Persentase teknologi tepat guna P2P yang dihasilkan B/BTKLPP meningkat
50% dari jumlah TTG tahun 2014
a. Definisi operasional
Peningkatan jumlah model dan atau jenis Teknologi Tepat Guna (TTG) bidang
P2P yang dihasilkan 10 Balai dan atau Balai Besar Teknik Kesehatan
Lingkungan dan Pengendalian Penyakit (B/BBTKLPP) dalam waktu 1 tahun
dibandingkan dengan baseline jumlah model dan atau jenis TTG yang sudah
dihasilkan di tahun 2014 oleh 10 B/BBTKLPP yang kemudian dinyatakan dalam
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
81 |
persen. Dengan target di tahun 2019 akan meningkat sebanyak 50% dari jumlah
model dan atau jenis TTG di tahun 2014.
b. Rumus/cara perhitungan
Persentase teknologi tepat guna P2P yang dihasilkan B/BTKLPP
meningkat dari jumlah TTG tahun
2014
=
Jumlah kumulatif TTG sampai tahun evaluasi – Jumlah TTG pada saat
baseline x 100%
Jumlah TTG pada saat baseline tahun 2014
Baseline jumlah Teknologi Tepat Guna (TTG) yang dihasilkan B/BTKLPP pada
tahun 2014 adalah sebanyak 40 TTG.
c. Capaian indikator
Setiap tahun, B/BTKLPP menghasilkan Teknologi Tepat Guna yang dapat
dimanfaatkan oleh masyarakat. Jumlah TTG yang dihasilkan B/BTKLPP pada
tahun 2014 (sebagai baseline) sebanyak 40 TTG. Pada tahun 2015, dihasilkan
54 TTG baru sehingga jumlah kumulatif TTG menjadi 94, tahun 2016 jumlah TTG
menjadi 134, tahun 2017 menjadi 205 TTG, tahun 2018 menjadi 259 TTG dan
tahun 2018 menjadi 316 TTG, sehingga bila dihitung selama tahun 2015-2019,
telah dihasilkan 276 TTG oleh B/BTKLPP, seperti yang terlihat dalam grafik
berikut ini:
Grafik 3.20
Jumlah TTG yang dihasilkan B/BTKLPP
Tahun 2015-2019
Sumber data : Laporan TTG B/BTKLPP Tahun 2019
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
82 |
TTG yang dihasilkan BBTKLPP meningkat dari tahun 2015 sampai tahun 2019
dengan persentase peningkatan sebesar 35% pada tahun 2015, menjadi 54%
pada tahun 2016, menjadi 313% pada tahun 2017 dan meningkat menjadi 448%
(219 TTG) pada tahun 2018 dan menjadi 690% pada tahun 2019, seperti terlihat
dalam tabel berikut ini:
Grafik 3.21
Target dan Capaian Peningkatan TTG yang dihasilkan BBTKLPP
Tahun 2015-2019
Sumber data : Laporan TTG B/BTKLPP Tahun 2019
Berikut ini Teknologi Tepat Guna (TTG) yang dihasilkan oleh B/BTKLPP pada
tahun 2019 antara lain:
Tabel 3.5 Teknologi Tepat Guna yang dihasilkan B/BTKLPP Tahun 2019
B/BTKLPP Jenis dan Model TTG
BBTKLPP Surabaya 1. Penyehatan Air
2. Penyehatan Makanan
3. Penyehatan Udara
4. Pengendali Vektor Penyakit BBTKLPP Jakarta
1. Pengendali Rodent
2. Pengendali faktor malaria
3. Pencegah kecacingan
4. Penyaring (pensteril) udara ruang penderita TB
BTKLPP Yogyakarta 1. Model dan Teknologi Pengolahan Limbah Batik Sistem
Elektro Koagulasi sebanyak 2 jenis, Model I : kombinasi bak
elektrokoagulasi, tabung filter dan bak pengendap
(permanen), Model II: bak elektrokogulasi dan bak filter
ukuran kecil (portable)
2. Model / Teknologi Sterilisasi Alat Makan Di Haji 2 jenis
(Model I dimensi pxlxt : 100 x 50 x 160 cm dan Model II
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
83 |
B/BTKLPP Jenis dan Model TTG
dimensi pxlxt : 80 x 45 x 130 cm)
3. Model dan Teknologi Daily Air Purification 2 jenis (TUVO dan
M-FUVOS)
4. Model dan Teknologi Sterilisasi Container Air Minum Isi
Ulang 1 jenis (lemari sterilisasator dengan ozon)
5. Pengembangan Model/ Teknologi Pengolah Air Payau 3
jenis [Model I absorbsi-filtrasi (dengan isian karbon aktif,
zeolite dan pasir)-ion exchange 2 tabung, Model II absorbsi-
filtrasi (dengan isian karbon aktif, zeolite)-ion exchange 2
tabung, dan Model III absorbsi-filtrasi- ion exchange 5
tabung kecil)]
6. Pengembangan Model/ Teknologi Penurunan Fe dan Mn 2
jenis (model I Tabung penyaring/ filter dengan bahan isian
karbon aktif, zeolite dan pasir dan Model II Tabung
penyaring/ filter dengan bahan isian karbon aktif dan zeolite)
7. Pengembangan Model/Teknologi Mosqovilar Trap 1 jenis
lemon, lavender)
BBTKLPP
Banjarbaru
1. Pengendalian bakteri udara
2. Pengendalian vector (kulit jeruk nipis sebagai antinyamuk
semprot)
3. Pengendalian vector ekstrak rimpang lengkuas
4. Pengendalian vector ekstrak rimpang kunyit
BTKLPP Kelas I
Batam
1. Khlorinator perpipaan
2. Perangkap tikus botol
3. SPTDP (sistem pengolahan jamban pesisir)
4. Pengolahan air bencana
5. Pengusir tikus (rat repellent)
6. Perangkap lalat kasa
7. Komposter padat cair
8. Penjernih air sederhana
9. Biopori
10. Perangkap lalat toples (flytrap)
11. Perangkap tikus PVC
12. Perangkap kecoa model kardus
13. Lilin aromaterapi pengusir nyamuk.
BTKLPP Kelas I
Makasar
1. Komposter Biogas
2. WC Darurat Bencana
BTKLPP Kelas I
Palembang
1. Pengolahan air limbah tenun songket dan kain tajung industri
rumah tangga
2. Pengolahan limbah industri bengkel
3. TTG dengan membran filter untuk menaikan pH normal
4. TTG dengan membran untuk menurunkan zat besi (fe)
BTKLPP Kelas I
Medan
1. Pompa hydram
2. Tripicon H
3. Wastafel Portabel
4. Perangkap tikus dari botol bekas
5. Perangkat lalat dari botol bekas
6. Fly trap
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
84 |
B/BTKLPP Jenis dan Model TTG
BTKLPP Kelas I
Manado
1. Jamban bio filter
2. Jamban tripkon-s
3. Pemurni Udara
4. IPAL mini fasyankes
5. Larvitrap
6. Chlorin Difuser
BTKLPP Kelas II
Ambon
1. Pengolahan air Payau
2. Sterilisasi udara ruang.
Sumber data : Laporan TTG B/BTKLPP Tahun 2019
d. Analisa Penyebab Keberhasilan
Tercapainya indikator ini didukung oleh kegiatan yang dilakukan oleh B/BTKLPP
antara lain:
1) Membuat design/ model teknologi tepat guna (TTG) yang berorientasi pada
pengendalian penyakit dan penyehatan lingkungan.
2) Menerapkan, mengembangkan model teknologi maupun metodologi bidang
kesehatan lingkungan dan pengendalian penyakit.
3) Melakukan uji coba terhadap teknologi yang diterapkan.
4) Melakukan evaluasi hasil penerapan teknologi tepat guna.
5) Melaksanakan jejaring kerja dan kemitraan bidang pengembangan teknologi.
e. Upaya yang dilaksanakan mencapai target indikator
1) Membentuk tim TTG untuk merancang model yang akan menjadi target.
2) Memperkaya literatur dalam pengembangan Model TTG
3) Mengirim SDM untuk pelatihan rancang-bangun dan pelatihan teknis lainnya.
4) Merancang dan mendesain model TTG (prototype) sesuai prioritas masalah
kesehatan yang terjadi di masyarakat.
5) Membuat model TTG dan melakukan uji coba model TTG skala
laboratorium.
6) Melakukan koordinasi dan survey awal ke lokasi yang sesuai untuk
penempatann alat pengolahan TTG.
7) Uji coba model dilokasi pemasangan.
8) Sosialisasi dan deseminasi model TTG kepada masyarakat pengguna.
9) Pemantauan penggunaan TTG.
f. Kendala/Masalah yang Dihadapi
1) Jumlah dan kompetensi SDM yang kurang memadai khususnya dalam
merancang dan mendesain model TTG.
2) Terbatasnya inovasi-inovasi kegiatan pembuatan model dan teknologi.
3) Beberapa model dan teknologi yang dibuat biaya masih terlalu tinggi untuk
bisa diimplementasi sendiri oleh masyarakat.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
85 |
4) Pada saat pembuatan model dan teknologi masih kesulitan mencari
penyedia jasa yang sesuai dengan kebutuhan
5) Hak paten dan merk yang diusulkan kepada Kementerian Hukum dan HAM
memakan waktu minimal 2 tahun.
6) Kurangnya sosialisasi TTG kepada masyarakat sehingga tidak memiliki daya
ungkit yang signifikan.
7) Kurangnya supply bahan alami yang berpotensi dikembangkan menjadi TTG
8) Teknologi yang terus berkembang menuntut personil untuk lebih kreatif dan
inovatif dalam mengembangkan model teknologi tepat guna di bidang
kesehatan lingkungan.
g. Pemecahan Masalah
1) Peningkatan kompetensi dan kapasitas SDM terkait TTG Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit melalui pendidikan dan pelatihan seperti Poltekkes
dan Balai Pelatihan Kesehatan, studi banding dan jejaring ke tempat yang
concern terhadap pengembangan teknologi seperti BPPT, B/BTKLPP
lainnya, LSM.
2) Meningkatkan jejaring kerja lintas sektor untuk mencegah doubling bantuan
alat yang ditempatkan di masyarakat.
3) Memberdayakan masyarakat yang tinggal di sekitar lokasi penempatan alat
TTG.
4) Meningkatkan sosialisasi kepada masyarakat dan advokasi kepada
pemerintah daerah maupun institusi terkait lainnya dalam penerapan TTG
P2P.
5) Meningkatkan sarana penyediaan tanaman alami TTG P2P termasuk
penyiapan lahan
6) Mengajukan usulan hak paten kepada Kementerian Hukum dan HAM
12. Persentase Pelabuhan/Bandara/PLBD yang melaksanakan kebijakan
kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat
yang berpotensi wabah sebesar 100%
a. Penjelasan Indikator
Secara geografis Indonesia berada dalam posisi yag strategis karena berada di
tengah-tengah jalur lalu lintas internasional. Selain itu, Indonesia yang berbentuk
negara kepulauan membuat Indonesia memilki banyak pintu masuk baik
internasional maupun regional. Hal ini memberikan begitu banyak peluang
strategis yang dapat dimanfaatkan untuk kemajuan bangsa. Di sisi lain,
banyaknya akses untuk masuk dan keluar Indonesia meningkatkan risiko untuk
penyebaran penyakit. Diperlukan kesiapsiagaan khusus di pintu masuk negara,
baik dari segi kebijakan, koordinasi, maupun kapasitas sumber daya. Hal ini
tertuang di dalam IHR (2005) di mana setiap pintu masuk perlu meningkatkan
kapasitasnya. Indonesia secara bertahap telah mengembangkan kapasitas
untuk mencegah, mendeteksi dan merespon faktor risiko di pintu masuk
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
86 |
negara dalam rangka pengendalian penyakit yang berpotensi menimbulkan
kedaruratan kesehatan masyarakat (KKM). Kapasitas tersebut sesuai dengan
regulasi IHR (2005). Regulasi ini merupakan modal utama untuk
mengembangkan jejaring dan kerjasama internasional dalam menghadapi dan
menanggulangi potensi terjadinya Kedaruratan Kesehatan Masyarakat yang
Meresahkan Dunia (KKM- MD) atau Public Health Emergency of International
Concern (PHEIC).
Salah satu upaya mempertahankan dan meningkatkan upaya cegah tangkal
dalam rangka perlindungan masyarakat Indonesia dan dunia terhadap KKM
adalah melalui penyusunan dokumen kebijakan yang disusun bersama dengan
lintas sektor terkait, yang dinamakan dengan dokumen rencana kontijensi.
Penyusunan dokumen rencana kontijensi di pintu masuk negara melibatkan
seluruh lintas sektor yang ada di pelabuhan, bandara, atau PLBDN, termasuk di
dalamnya otoritas pelabuhan/bandara/PLBN, unsur QIC (Quarantine,
Immigration, Custom; Karantina, Imigrasi, Bea Cukai), Dinas Perhubungan,
Kepolisian, TNI, Dinas Kesehatan, dan instansi lainnya. Finalisasi dari dokumen
ini adalah dengan ditandatanganinya dokumen rencana kontijensi oleh
Syahbandar/ Otorita Bandara/ Pengelola PLBN.
b. Definisi Operasional
Jumlah pelabuhan/bandar udara/PLBDN internasional yang memiliki kebijakan
kesiapsiagaan berupa dokumen rencana kontijensi penanggulangan
kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah. Penyusunan
dokumen kebijakan kesiapsiagaan melibatkan lintas program dan lintas sektor
terkait (satuan kerja perangkat daerah) untuk penanggulangan kedaruratan
kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah.
c. Rumus/Cara perhitungan
Persentase
Pelabuhan/Bandara/
PLBD yang mempunyai
kebijakan kesiapsiagaan
dalam penanggulangan
KKM yang berpotensi
wabah
=
Jumlah Pelabuhan/Bandara/PLBD yang
mempunyai kebijakan kesiapsiagaan
dalam penanggulangan KKM yang
berpotensi wabah
x 100% Jumlah pintu masuk internasional pada
saat baseline
d. Capaian Indikator
Pada tahun 2019, persentase pelabuhan/bandar udara/PLBDN internasional
yang melaksanakan kebijakan penanggulangan Kedaruratan Kesehatan
Masyarakat (KKM) telah mencapai 100% (106 pelabuhan/bandara/PLBD) dari
target 100% (106 pelabuhan/bandara/PLBD). Terjadi peningkatan bila
dibandingkan dengan capaian tahun 2015-2019 seperti dalam tabel berikut ini:
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
87 |
Tabel 3.22
Persentase pelabuhan/bandar udara/PLBDN internasional
yang memiliki dokumen rencana kontijensi
Tahun 2015-2019
Sumber data : Laporan rutin Subdit Karantina Kesehatan Tahun 2019
Bila melihat tren capaian pelabuhan/banda udara/PLBDN yang mempuyai
kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan KKM, indikator ini telah tercapai
selama 5 tahun berturut-turut.
e. Analisa Penyebab Keberhasilan
Sampai dengan tahun 2019 tercapai 106 pintu masuk internasional yang
menyusun dokumen rencana kontijensi dari target 106 kab/kota. Beberapa faktor
yang mempengaruhi keberhasilan pencapaian target indikator antara lain:
1. Persiapan pelaksanaan kegiatan dengan melakukan komunikasi dan
koordinasi kepada stakeholder di lingkungan pelabuhan/bandar
udara/PLBDN serta pemerintah daerah setempat.
2. Adanya sosialisasi dan advokasi dengan melibatkan stakeholder di
lingkungan pelabuhan/bandar udara/PLBDN dan lintas sector terkait lainnya.
3. Adanya kegiatan penyusunan dokumen rencana kontijensi dengan anggaran
bersumber dari APBN.
4. Adanya rambu petunjuk perencanaan sehingga Kantor Kesehatan
Pelabuhan dapat menganggarkan kegiatan terkait kesiapsiagaan
penanggulangan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat di pintu masuk negara.
5. Adanya koordinasi dan integrasi dengan pemangku kebijakan di pusat baik
dengan mengadakan rapat koordinasi dan/ atau pertemuan dengan
anggaran Subdit maupun menghadiri pertemuan yang diadakan oleh
Kementerian/ Lembaga.
f. Upaya yang dilakukan untuk mencapai indikator
1) Sosialisasi dan advokasi regulasi kesehatan internasional atau International
Health Regulations (2005) termasuk kapasitas inti IHR dan paket aksi
keamanan kesehatan global.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
88 |
2) Pendampingan teknis penilaian pencapaian kapasitas inti IHR di pintu masuk
negara, wilayah dan nasional dengan melibatkan lintas sektor terkait.
3) Sosialisasi dan advokasi kesiapsiagaan dan kewaspadaan terhadap faktor
risiko kedaruratan kesehatan masyarakat dengan melibatkan stakeholder di
lingkungan pelabuhan/bandar udara/PLBDN dan lintas sektor terkait.
4) Melaksanakan pertemuan dan rapat koordinasi untuk membahas
penyelenggaraan kekarantinaan kesehatan di pintu masuk negara dengan
melibatkan KKP dan mengundang lintas sektor terkait, seperti: Kementerian
Perhubungan, BNPP, baik sebagai narasumber maupun sebagai peserta.
5) Melakukan reviu terhadap dokumen rencana kontijensi yang telah disusun
dan terlibat secara aktif dalam proses table top exercise (TTX) dan simulasi.
f. Kendala/masalah yang dihadapi
Dalam penyusunan dan pelaksanaan rencana kontijensi ditemukan beberapa
kendala dan permasalahan antara lain:
- Belum optimalnya pemahaman dan komitmen lintas sektor terkait terhadap
pentingnya penyusunan rencana kontijensi sehingga minim ide, inisiatif dan
partisipasi.
- Kompetensi lintas sektor yang terlibat sering tidak sesuai dan berganti-ganti
pada saat persiapan dan penyusunan.
- Perlu peningkatan dalam hal standar sumber daya, sarana prasarana dan
kejelasan beban pembiayaan masing-masing peran dalam rencana
kontijensi.
g. Pemecahan Masalah
- Mengintensifkan kegiatan advokasi dan sosialisasi kebijakan
kesiapsiagaan penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat
kepada lintas sektor di lingkungan pelabuhan/bandar udara/PLBDN serta
lintas sektor terkait, dengan tujuan untuk meningkatkan komitmen dalam
melaksanakan program yang disepakati, serta menjadikan penyusunan/
reviu rencana kontijensi sebagai salah satu prioritas kegiatan.
- Komunikasi dan koordinasi aktif dengan otoritas terkait untuk mendapatkan
dukungan penyelenggaraan kegiatan di pintu masuk negara, Salah satunya
adalah dengan BNPP sebagai koordinator program di PLBDN yang siap
memberikan dukungan yang diperlukan dalam rangka memenuhi Instruksi
Presiden terkait Pos Lintas Batas Negara Terpadu.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
89 |
B. REALISASI ANGGARAN
1. Realisasi Anggaran Berdasarkan Kewenangan
Pagu awal anggaran Ditjen P2P Tahun Anggaran 2019 adalah Rp.
2.641.905.1478.000,00 kemudian dilakukan revisi DIPA terkait penambahan belanja
pegawai sebesar Rp. 92.980.754.000,00 sehingga pagu menjadi Rp.
2.734.885.901.000,00. Pada akhir Tahun Anggaran 2019, total anggaran Ditjen
P2P menjadi Rp. 3.315.636.916.000,00 karena adanya penambahan hibah
langsung uang sebesar Rp. 580.751.015.000,00. Secara lengkap distribusi pagu
anggaran Ditjen P2P terlihat dalam grafik dibawah ini:
Grafik 3.23
Distribusi Pagu Anggaran Berdasarkan Jenis Belanja Tahun 2019
Sumber data : Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara Kemenkeu per 24 Januari 2020
Realisasi anggaran Ditjen P2P tahun 2019 sebesar 94,24%, dari pagu total sebesar
Rp. 3.315.636.916.000,00, telah direalisasikan sebesar Rp. 3.124.772.437.816,00
Secara lengkap pada tabel berikut ini:
Tabel 3.6 Realisasi Anggaran Berdasarkan Kewenangan dan Jenis Belanja
Tahun 2019
Pagu Realisasi % Pagu Realisasi % Pagu Realisasi % Pagu Realisasi %
1 KANTOR PUSAT 83.449.005.000 77.703.276.135 93,11 1.588.223.052.000 1.507.191.777.023 94,90 203.590.740.000 196.531.485.337 96,53 1.875.262.797.000 1.781.426.538.495 95,00
2 KANTOR DAERAH 475.830.764.000 461.281.450.038 96,94 449.298.123.000 422.822.708.356 94,11 149.946.487.000 140.447.627.295 93,67 1.075.075.374.000 1.024.551.785.689 95,30
1). KKP 383.897.029.000 371.524.495.495 96,78 342.931.521.000 323.369.725.665 94,30 88.989.930.000 83.976.805.093 94,37 815.818.480.000 778.871.026.253 95,47
2). B/BTKL-PP 91.933.735.000 89.756.954.543 97,63 106.366.602.000 99.452.982.691 93,50 60.956.557.000 56.470.822.202 92,64 259.256.894.000 245.680.759.436 94,76
3 DEKONSENTRASI - - 0,00 365.298.745.000 318.794.113.632 87,27 - - 0,00 365.298.745.000 318.794.113.632 87,27
559.279.769.000 538.984.726.173 96,37 2.402.819.920.000 2.248.808.599.011 93,59 353.537.227.000 336.979.112.632 95,32 3.315.636.916.000 3.124.772.437.816 94,24
Belanja Modal Total
Jumlah
No SatkerBelanja Pegawai Belanja Barang
Sumber data : Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara Kemenkeu per 24 Januari 2020
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
90 |
Realisasi tertinggi pada kantor daerah, sebesar 95,30% dimana realisasi KKP lebih
tinggi (95,47%) dibandingkan dengan realisasi B/BTKLPP (94,76%). Realisasi
terendah pada Dinas Kesehatan Provinsi sebagai satker dekonsentrasi yakni
sebesar 87,27%. Bila dibandingkan dengan target realisasi anggaran yakni 95%
maka realisasi anggaran Ditjen P2P belum mencapai target (kurang 0,76%). Bila
dilihat realisasi anggaran per jenis belanja maka realisasi tertinggi pada belanja
pegawai (96,37%), kemudian belanja modal (95,32%) dan realisasi terendah pada
belanja barang dan jasa (93,59%), seperti pada grafik berikut ini:
Grafik 3.24 Realisasi Anggaran Berdasarkan Jenis Belanja Tahun 2019
Sumber data : Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara Kemenkeu per 24 Januari 2020
Bila dilihat realisasi anggaran Ditjen P2P berdasarkan sumber dana maka terlihat
bahwa realisasi tertinggi pada PNBP (95.06%), kemudian Rupiah Murni (94,44%)
dan HLN (93,17%).
Grafik 3.25 Realisasi Anggaran Berdasarkan Sumber Dana Tahun 2019
Sumber data : Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara Kemenkeu per 24 Januari 2020
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
91 |
2. Realisasi Anggaran Dekonsentrasi
Dinas Kesehatan Provinsi sebagai satker penerima dana dekonsentrasi tahun 2019
telah melaksanakan kegiatan dengan total realisasi anggaran sebesar 87,27%.
Realisasi tertinggi pada satker Dinas Kesehatan Provinsi Sulawesi Tengah
(97,60%) dan terendah pada Dinas Kesehatan Provinsi Jawa Barat (66,95%).
Secara lengkap terlihat dalam tabel sebagai berikut:
Tabel 3.7
Realisasi Anggaran Dinas Kesehatan Provinsi Tahun 2019
NO SATKER PAGU REALISASI %
1 189002 | DINAS KESEHATAN PROPINSI SULAWESI TENGAH
13.964.212.000 13.629.367.550 97,60
2 109002 | DINAS KESEHATAN PROVINSI JAMBI
6.790.237.000 6.619.182.326 97,48
3 319008 | DINAS KESEHATAN PROVINSI GORONTALO
7.017.208.000 6.764.410.865 96,40
4 129008 | DINAS KESEHATAN PROVINSI LAMPUNG
7.589.972.000 7.270.117.953 95,79
5 249009 | DINAS KESEHATAN PROVINSI NUSA TENGGARA TIMUR
16.175.879.000 15.491.026.926 95,77
6 417663 | DINAS KESEHATAN PROVINSI KALIMANTAN UTARA
5.021.436.000 4.785.287.054 95,30
7 089017 | DINAS KESEHATAN PROVINSI SUMATERA BARAT
6.280.726.000 5.970.190.018 95,06
8 289002 | DINAS KESEHATAN PROPINSI MALUKU UTARA
8.479.006.000 8.033.034.500 94,74
9 159013 | DINAS KESEHATAN PROVINSI KALIMANTAN SELATAN
7.535.362.000 7.099.753.600 94,22
10 340050 | DINAS KESEHATAN PROPINSI SULAWESI BARAT
5.435.741.000 5.056.344.506 93,02
11 209003 | DINAS KESEHATAN PROVINSI SULAWESI TENGGARA
8.251.152.000 7.674.707.700 93,01
12 039024 | DINAS KESEHATAN PROPINSI JAWA TENGAH
24.060.590.000 22.335.464.645 92,83
13 239006 | DINAS KESEHATAN PROVINSI NUSA TENGGARA BARAT
7.426.238.000 6.887.223.161 92,74
14 049006 | DINAS KESEHATAN PROVINSI D.I. YOGYAKARTA
4.928.210.000 4.512.452.895 91,56
15 269016 | DINAS KESEHATAN PROVINSI BENGKULU
6.113.982.000 5.595.056.613 91,51
16 329018 | DINAS KESEHATAN PROVINSI KEPULAUAN RIAU
5.407.335.000 4.936.976.098 91,30
17 099015 | DINAS KESEHATAN PROVINSI RIAU
6.362.892.000 5.788.523.350 90,97
18 149012 | DINAS KESEHATAN PROVINSI KALIMANTAN TENGAH
7.929.850.000 7.212.908.750 90,96
19 229002 | DINAS KESEHATAN PROVINSI BALI
5.552.354.000 5.008.611.600 90,21
20 019009 | DINAS KESEHATAN PROVINSI DKI JAKARTA
4.213.899.000 3.777.338.400 89,64
21 179014 | DINAS KESEHATAN PROVINSI SULAWESI UTARA
8.397.712.000 7.450.994.531 88,73
22 309008 | DINAS KESEHATAN PROVINSI BANGKA BELITUNG
5.373.082.000 4.744.804.693 88,31
23 169019 | DINAS KESEHATAN PROVINSI KALIMANTAN TIMUR
8.662.241.000 7.639.880.027 88,20
24 339034 | DINAS KESEHATAN PROVINSI PAPUA BARAT
22.776.771.000 20.072.367.912 88,13
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
92 |
NO SATKER PAGU REALISASI %
25 199003 | DINAS KESEHATAN PROVINSI SULAWESI SELATAN
13.995.882.000 12.229.081.547 87,38
26 069003 | DINAS KESEHATAN PROVINSI NANGGROE ACEH DARUSSALAM
10.690.120.000 9.275.342.678 86,77
27 299002 | DINAS KESEHATAN PROVINSI BANTEN
6.461.696.000 5.596.060.923 86,60
28 119014 | DINAS KESEHATAN PROVINSI SUMATERA SELATAN
8.828.357.000 7.507.140.074 85,03
29 059008 | DINAS KESEHATAN PROVINSI JAWA TIMUR
18.969.575.000 15.626.932.707 82,38
30 259004 | DINAS KESEHATAN PROVINSI PAPUA
41.154.731.000 33.793.547.803 82,11
31 219013 | DINAS KESEHATAN PROVINSI MALUKU
7.270.075.000 5.834.429.521 80,25
32 139006 | DINAS KESEHATAN PROVINSI KALIMANTAN BARAT
7.473.773.000 5.890.795.276 78,82
33 079022 | DINAS KESEHATAN PROVINSI SUMATERA UTARA
15.341.851.000 11.702.583.880 76,28
34 029017 | DINAS KESEHATAN PROP. JAWA BARAT
25.366.598.000 16.982.173.550 66,95
365.298.745.000 318.794.113.632 87,27%
Sumber data : Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara Kemenkeu per 24 Januari 2020
3. Realisasi Anggaran Per Indikator Kinerja
Selain realisasi berdasarkan jenis kewenangan, diperoleh juga realisasi anggaran
per indikator kinerja yang menjadi target dalam RAP Ditjen P2P, data ini diperoleh
dari hasil pemantauan e monev DJA tahun 2019 dan merupakan akumulasi antara
realisasi pada kantor pusat dan kantor daerah UPT dan dekonsentrasi. Pada tabel
berikut ini digambarkan bahwa realisasi anggaran tertinggi pada indikator Jumlah
kabupaten/kota yang memiliki puskesmas yang menyelenggarakan upaya
kesehatan jiwa dan/atau Napza sebesar 99% dan realisasi terendah pada indikator
Persentase penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi
(PD3I) tertentu yakni sebesar 87%.
Dari 12 indikator Ditjen P2P, terdapat 2 indikator yang pagu anggarannya sudah
termasuk pada indikator lainnya yakni indikator Persentase Teknologi Tepat Guna
P2P yang dihasilkan B/BTKLPP meningkat 50% dari jumlah TTG tahun 2014 dan
indikator Persentase pelabuhan/bandara/PLBD yang melaksanakan
penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat, anggarannya ada pada
indikator Persentase Kabupaten/Kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan
dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah.
Target realisasi anggaran yang ditetapkan adalah sebesar 95% dan dari 10
indikator Ditjen P2P, terdapat 4 yang telah mencapai target realisasi anggaran 95%
sedangkan 6 indikator lainnya realisasi anggaran <95%. Secara lengkap realisasi
anggaran per indikator dapat digambarkan sebagai berikut:
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
93 |
Tabel 3.8
Realisasi Anggaran Per Indikator Kinerja
Tahun 2019
No Indikator Pagu Realisasi %
1 Persentase cakupan keberhasilan pengobatan TB/ Success Rate
514.883.085.000 495.628.241.005 96%
2 Prevalensi HIV 428.599.636.000 409.695.620.146 96%
3 Jumlah kabupaten/kota mencapai eliminasi malaria
127.799.453.000 119.782.135.734 94%
4 Jumlah provinsi dengan eliminasi kusta
40.778.800.000 37.309.072.170 91%
5 Jumlah kabupaten/kota dengan eliminasi filariasis
94.374.269.000 87.753.660.642 93%
6 Persentase penurunan kasus Penyakit yang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I) tertentu
95.218.708.000 83.243.791.171 87%
7 Persentase Kabupaten/Kota yang mempunyai kebijakan kesiapsiagaan dalam penanggulangan kedaruratan kesehatan masyarakat yang berpotensi wabah
308.686.243.000 299.494.063.260 97%
8 Persentase kabupaten/kota yang melaksanakan kebijakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR) minimal 50%
11.532.148.000 10.222.391.277 89%
9 Jumlah kabupaten/kota yang memiliki puskesmas yang menyelenggarakan upaya kesehatan jiwa dan/atau Napza
1.918.064.000 1.892.470.774 99%
10 Persentase respon terhadap signal SKD KLB dan bencana di wilayah layanan B/BTKLPP
48.161.900.000 44.888.896.235 93%
Sumber Data : Rekapitulasi Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara Kemenkeu per 27 Januari 2020
C. EFISIENSI SUMBER DAYA
Sesuai hasil rekomendasi Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara Reformasi
Birokrasi (PAN RB) pada saat entry meeting penilaian RB dan SAKIP tanggal 09
September 2019, bahwa efisiensi sumber daya dilakukan sampai pada level output
sehingga pada laporan kinerja ini telah dilakukan perhitungan efisiensi sumber daya
pada level output dalam RKAKL sesuai dengan e monev DJA. Hasil aplikasi e monev
DJA data per 27 Januari 2020 menunjukkan nilai kinerja Ditjen P2P sebesar 92,43
dengan rincian antara lain capaian keluaran program sebesar 100%, konsistensi
Penyerapan Anggaran terhadap perencanaan sebesar 91,35%, efisiensi sebesar 20%,
capaian sasaran program sebesar 100% dan rata-rata nilai satker sebesar 87,09%.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
94 |
Menurut PMK No. 214/PMK.02/2017 tentang Pengukuran dan Evaluasi Kinerja
Anggaran atas Pelaksanaan Rencana dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga,
efisiensi dilakukan dengan membandingkan penjumlahan dari selisih antara perkalian
pagu anggaran keluaran dengan capaian keluaran dan realisasi anggaran keluaran
dengan penjumlahan dari perkalian pagu anggaran keluaran dengan capaian keluaran.
Rumus yang dipergunakan adalah sebagai berikut:
E : Efisiensi
PAKi : Pagu Anggaran Keluaran
RAKi : Realisasi Anggaran Keluaran
CKi : Capaian Keluaran
Nilai efisiensi diperoleh dengan asumsi bahwa miniman efisiensi yang dicapai sebesar
-20% dan nilai paling tinggi sebesar 20%. Oleh karena itu dilakukan transformasi skala
efisiensi agar diperoleh skala nilai yang berkisar 0% sampai 100% dengan rumus
sebagai berikut:
Keterangan:
NE : Nilai Efisiensi
E : Efisiensi
Jika efisiensi diperoleh lebih dari 20%, maka Nilai Efisiensi yang digunakan dalam
perhitungan adalah nilai skala maksimal (100%) dan jika efisiensi yang diperoleh
kurang dari -20%, maka NE yang digunakan adalah skala minimal 0% Dari hasil
perhitungan tersebut, diperoleh Nilai Efisiensi sebagai berikut:
Tabel 3.9 Efisiensi Per Layanan Output
Tahun 2019
No Nama Output Pagu Realisasi Realisasi Volume
Keluaran Efisiensi
Nilai Efisiensi
1. Norma, Standar, Prosedur, dan Kriteria (NSPK) Surveilans dan Karantina Kesehatan
3.645.525.000 3.138.512.183 1,00 0,14 85%
2. Sumber Daya Manusia Surveilans dan Karantina Kesehatan yang Meningkat Kualitasnya
12.295.391.000 11.554.778.892 1,00 0,06 65%
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
95 |
No Nama Output Pagu Realisasi Realisasi Volume
Keluaran Efisiensi
Nilai Efisiensi
3. Sarana dan Prasarana Surveilans dan Karantina Kesehatan
178.763.207.000 176.529.011.802 1,00 0,01 53%
4. Layanan kewaspadaan dini penyakit berpotensi KLB
48.161.900.000 44.888.896.235 1,00 0,07 68%
5. Layanan Respon KLB dan Wabah
9.934.816.000 9.141.185.030 0,94 0,02 55%
6. Layanan Imunisasi 78.580.464.000 69.567.575.798 0,94 0,06 64%
7. Layanan Kekarantinaan Kesehatan
113.982.120.000 108.271.760.383 0,96 0,01 51%
8. Layanan Pengendalian Penyakit Infeksi Emerging
51.330.068.000 50.948.007.075 0,99 0,00 49%
9. Layanan Imunisasi di Papua dan Papua Barat
16.638.244.000 13.676.215.373 1,00 0,18 95%
10. Layanan Sarana dan Prasarana Internal
1.992.068.000 1.333.869.825 1,00 0,33 100%
11. Layanan Dukungan Manajemen Satker
4.812.875.000 4.526.208.864 1,00 0,06 65%
12. Norma/Standar/Prosedur/Kriteria (NSPK) Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik
1.892.593.000 1.855.084.300 1,00 0,02 55%
13. Sumber Daya Manusia Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik
3.330.920.000 2.967.106.379 0,91 0,02 55%
14. Sarana Prasarana Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik
8.912.858.000 8.737.072.150 1,00 0,02 54%
15. Layanan Capaian Eliminasi Malaria
111.914.533.000 105.272.509.034 1,03 0,09 71%
16. Layanan Pengendalian Penyakit Arbovirosis
9.802.029.000 9.315.064.264 1,01 0,06 65%
17. Layanan Pengendalian Penyakit Zoonosis
11.989.542.000 11.358.340.855 1,09 0,13 83%
18. Layanan Pengendalian Penyakit Filariasis dan Kecacingan
80.323.442.000 75.010.471.572 0,99 0,06 64%
19. Layanan Pengendalian Vektor dan Binatang Pembawa Penyakit
35.765.699.000 32.277.257.579 0,95 0,05 62%
20. Layanan Pengendalian Penyakit Schistosomiasis
5.527.700.000 5.319.624.875 0,89 -0,08 31%
21. Intervensi Percepatan Eliminasi Malaria Papua dan Papua Barat
15.884.920.000 14.509.626.700 1,38 0,34 100%
22. Layanan pencegahan dan pengendalian filariasis di Papua dan Papua Barat
14.050.827.000 12.743.189.070 1,36 0,33 100%
23. Layanan Sarana dan Prasarana Internal
338.000.000 289.011.500 1,00 0,14 86%
24. Layanan Dukungan Manajemen Satker
1.666.707.000 1.438.979.100 1,00 0,14 84%
25. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit HIV AIDS
142.534.710.000 129.924.655.112 1,01 0,10 74%
26. Layanan Pengendalian Penyakit TBC
260.416.452.000 241.360.807.891 0,99 0,06 65%
27. Intensifikasi Penemuan Kasus Kusta
33.996.378.000 31.355.388.840 0,94 0,02 55%
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
96 |
No Nama Output Pagu Realisasi Realisasi Volume
Keluaran Efisiensi
Nilai Efisiensi
28. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit frambusia
5.880.118.000 4.733.843.862 0,95 0,15 87%
29. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Hepatitis
11.311.929.000 10.749.952.552 1,04 0,08 71%
30. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Penyakit ISP
1.283.854.000 996.154.800 1,00 0,22 100%
31. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA
6.648.522.000 6.276.434.548 0,99 0,05 63%
32. Norma Standar Prosedur Kriteria (NSPK) Penyakit Menular Langsung
975.080.000 549.079.500 0,80 0,30 100%
33. Sumber Daya Manusia Pengendalian Penyakit Menular Langsung yang meningkat kualitasnya
29.954.418.000 27.395.759.272 1,53 0,40 100%
34. Sarana dan prasarana pencegahan dan pengendalian penyakit menular langsung
51.462.575.000 51.459.762.480 1,00 0,00 50%
35. Sarana dan Prasarana Penanggulangan TBC
252.951.633.000 252.790.760.114 1,00 0,00 50%
36. Sarana dan Prasarana Penanggulangan HIV/AIDS
282.586.034.000 276.830.500.806 1,34 0,27 100%
37. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kusta di Papua dan Papua Barat
6.782.422.000 5.953.683.330 0,87 -0,01 49%
38. Layanan Pencegahan dan Pengendalian HIV/AIDS di Papua dan Papua Barat
3.478.892.000 2.940.464.228 0,83 -0,01 46%
39. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit ISPA di Papua dan Papua Barat
585.591.000 573.006.300 1,06 0,08 70%
40. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Frambusia di Papua dan Papua Barat
4.879.900.000 3.478.546.825 0,93 0,23 100%
41. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit TBC di Papua dan Papua Barat
1.515.000.000 1.476.673.000 1,07 0,09 73%
42. Layanan Sarana dan Prasarana Internal
1.143.338.000 1.065.389.785 1,00 0,07 67%
43. Layanan Dukungan Manajemen Satker
61.855.179.000 59.141.602.389 1,00 0,04 61%
44. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Gangguan Imunologi
665.923.000 612.910.100 1,00 0,08 70%
45. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Diabetes Mellitus
2.706.278.000 2.253.267.073 1,00 0,17 92%
46. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Gangguan Metabolik
818.828.000 710.074.622 1,00 0,13 83%
47. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kelainan Darah
487.400.000 369.897.250 1,00 0,24 100%
48. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Gangguan Indera
2.530.379.000 2.407.187.978 1,00 0,05 62%
49. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Gangguan
1.808.128.000 1.599.259.873 1,03 0,14 85%
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
97 |
No Nama Output Pagu Realisasi Realisasi Volume
Keluaran Efisiensi
Nilai Efisiensi
Fungsional
50. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kanker
3.118.359.000 2.583.932.499 1,00 0,17 93%
51. Sarana dan Prasarana Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular
3.569.571.000 3.498.984.319 1,00 0,02 55%
52. NSPK Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular
1.837.692.000 1.214.240.051 1,00 0,34 100%
53. SDM Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular yang Meningkat Kualitasnya
8.599.810.000 7.411.688.610 0,97 0,11 77%
54. Deteksi dini Faktor Risiko Penyakit Tidak Menular
144.326.229.000 124.713.869.559 0,92 0,06 65%
55. Layanan Pengendalian Konsumsi Rokok
11.532.148.000 10.222.391.277 0,99 0,11 76%
56. Layanan Sarana dan Prasarana Internal
217.886.000 212.584.600 1,00 0,02 56%
57. Layanan Dukungan Manajemen Satker
2.597.048.000 2.361.895.324 1,00 0,09 73%
58. Layanan Dukungan Manajemen Eselon I
80.576.154.000 75.888.632.301 1,00 0,06 65%
59. Layanan Sarana dan Prasarana Internal
159.942.059.000 149.861.462.124 1,14 0,18 95%
60. Layanan Dukungan Manajemen Satker
81.732.122.000 77.538.263.213 1,03 0,08 70%
61. Layanan Perkantoran 767.891.452.000 735.491.063.185 1,03 0,07 68%
62. Norma/Standar/Prosedur/Kriteria (NSPK) Pencegahan Dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA
944.619.000 888.695.400 1,00 0,06 65%
63. Sumber Daya Manusia yang berkualitas bidang Pencegahan Dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan NAPZA
15.655.805.000 14.575.630.498 0,97 0,04 59%
64. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa Anak dan Remaja
3.979.833.000 3.950.727.229 1,00 0,01 52%
65. Layanan Pencegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa Dewasa dan Usia lanjut
1.918.064.000 1.892.470.774 1,00 0,01 53%
66. Layanan Pencegahan Penyalahgunaan Napza
30.666.552.000 30.052.224.658 1,00 0,02 55%
67. Sarana dan Prasarana Penecegahan dan Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa dan Napza
152.150.000 - 0,00
68. Layanan Sarana dan Prasarana Internal
187.550.000 186.397.400 1,00 0,01 52%
69. Layanan Dukungan Manajemen Satker
5.396.404.000 5.182.492.389 1,00 0,04 60%
Sumber Data : Sistem Perbendaharaan dan Anggaran Negara Kemenkeu dan emonev DJA, 27 Januari 2020
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
98 |
Dari tabel diatas terlihat bahwa nilai efisiensi tertinggi sebesar 100% dan nilai efisiensi
terendah sebesar 31%. Efisiensi terendah terdapat pada indikator Layanan
Pengendalian Penyakit Schistosomiasis. Dari 69 output RKAKL terdapat 10 output
dengan nilai efisiensi 100%.
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
99 |
BAB IV
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Pencapaian kinerja Direktorat Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
telah berjalan baik sesuai dengan Perjanjian Kinerja yang telah ditetapkan dengan
rata –rata capaian kinerja sebesar 147%. Pencapaian kinerja tahun 2019 (147%)
meningkat bila dibandingkan dengan tahun 2018 (131,6%).
2. Berdasarkan pengukuran indikator kinerja dalam Perjanjian Kinerja Tahun 2019,
dari 12 Indikator kinerja sasaran Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tahun 2019, sebanyak 8 indikator telah melebihi target yang ditetapkan (>100%), 3
indikator telah mencapai target yang ditetapkan (100%), sedangkan 1 indikator tidak
mencapai target dengan pencapaian sebesar 76,5%.
3. Berdasarkan penyerapan dan pengukuran kinerja anggaran tahun 2019 diketahui
bahwa kinerja anggaran Program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit sebesar
94,24%, dengan realisasi 3.124.772.437.816,00 dari pagu total sebesar Rp.
3.315.636.916.000,00
4. Realisasi anggaran tertinggi pada kantor daerah yakni sebesar 95,30% dimana
realisasi KKP lebih tinggi (95,47%) dibandingkan dengan realisasi B/BTKLPP
(94,76%) dan realisasi terendah pada Dinas Kesehatan Provinsi sebagai satker
dekonsentrasi yakni sebesar 87,27%.
5. Berdasarkan pengukuran efisiensi sumber daya untuk nilai efisiensi tertinggi
sebesar 100% dan nilai efisiensi terendah sebesar 31% yakni pada output Layanan
Pengendalian Penyakit Schistosomiasis. Dari 69 output kegiatan Ditjen P2P
terdapat 10 output dengan nilai efisiensi sebesar 100%.
6. Mengingat penyakit tidak mengenal batas wilayah administrasi, pemerintahan,
maupun negara, maka penyelenggaraan penanggulangan penyakit secara nasional
dilakukan dengan prinsip konkuren, yaitu dilakukan bersama-sama antara unsur
pemerintahan di pusat dan pemerintah daerah. Dengan demikian, setiap
permasalahan penyakit dan faktor risikonya yang timbul di suatu wilayah perlu
ditangani secara bersama antara unsur pusat dan daerah, sedangkan untuk pintu
masuk negara dilakukan upaya khusus melalui upaya kekarantinaan kesehatan
dalam rangka cegah tangkal penyakit antar negara sebagai bentuk komitmen
kesehatan dalam menjaga kedaulatan negara.
B. TINDAK LANJUT
Berikut ini Rencana Tindak Lanjut yang akan dilaksanakan oleh Ditjen P2P yakni:
1. Tahun 2019 merupakan tahun terakhir pelaksanaan RPJMN, Renstra Kementerian
Kesehatan dan RAP P2P periode tahun 2015 - 2019 dan saat ini sedang dalam
proses penyusunan dokumen perencanaan tahun 2020 – 2024. Penetapan target
Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tahun 2019
100 |
indikator mengacu pada tantangan dan capaian indikator periode sebelumnya dan
isu-isu strategis.
2. Akan dilakukan proses identifikasi gap analysis Renstra Ditjen P2P Tahun 2015 –
2019 untuk menilai capaian dan kesenjangan capaian program dan kegiatan.
3. Pemantauan dan pengendalian Rencana Operasional Kegiatan akan dilakukan
secara berkala dan selektif untuk memastikan seluruh kegiatan on track dengan
perencanaan.
4. Konsep operasional pelayanan dilakukan dengan mengefisienkan sumberdaya dan
mengefektifkan jejaring yang dimiliki untuk pelaksanaan tugas dan bukan
memperbesar atau menambah organisasi.
Direktorat Jenderal P2P selalu berupaya untuk memberikan alternatif solusi terhadap
seluruh masalah penyakit guna mencegah, mengendalikan berbagai penyakit menular
dan penyakit tidak menular yang menjadi masalah kesehatan masyarakat, baik yang
bersifat endemis, potensial menimbulkan wabah, maupun antisipasi terhadap
munculnya penyakit baru. Dalam melaksanakan program dan kegiatan Ditjen P2P akan
melakukan berbagai upaya antara lain:
1. Menyusun Rencana Operasional Kegiatan (ROK) tahun 2020 sebagai pedoman
pelaksanaan kegiatan tahunan.
2. Memetakan daerah bermasalah dan menfokuskan kegiatan program di daerah
tersebut.
3. Berkordinasi dengan Organisasi Perangkat Daerah (OPD) dan berkontribusi untuk
menyelesaikan masalah program kesehatan di daerah, menyusun rencana kegiatan
secara terpadu.
4. Secara aktif berkordinasi dengan semua pihak untuk menemukan, mencegah dan
merespon kejadian penyakit ataupun masalah pelaksanaan program.
5. Melakukan penilaian anggaran agar pelaksanaan program dan kegiatan efektif dan
efisien serta memastikan kegiatan fokus pada pencapaian target indikator.
6. Berkolaborasi dan sinergi dalam program Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
baik Pusat, UPT, daerah maupun lintas program dan lintas sektor.
Demikian Laporan Kinerja Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
Tahun 2019 disusun sebagai bahan masukan untuk penyusunan perencanaan tahun
2020 – 2024.
KEMENTERIAN KESEHATAN REPUBLIK INDONESIADlREXTUR JENDERAL PENCEGAHAN DAN
PENGENDALM PENYAKIT
PER.'ANJIAN KINEzuA TAIIUN 2019
Dalam rangka mewujudkan manajemen pemerintahan yang efektif, transparandan akuntabel serta berorientasi pada hasil, kami yang bertanda tangan dibawah ini:
Nama : dr. Anung Sugihantono, M.Kes
Jabatan : Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit
selanjutnya disebut pihak pertama
Nama : Prof. Dr. dr. Nila Farid Moeloek, Sp.M (K)
Jabatan : Menteri Kesehatan
selaku atasan pihak pertama, selanjutnya disebut pihak kedua
Pihak pertama berjanji akan mewujudkan target kinerja yang seharusnyasesuai lampiran perjanjian ini, dalam rangka mencapai target kinerja jangkamenengah seperti yang telah ditetapkan dalam dokumen perencanaEln.Keberhasilan dan kegagalan pencapaian target kinerja tersebut menjaditanggung jawab kami.
Pihak kedua akan melakukan supervisi yang diperlukan serta akan melakukanevaluasi terhadap capaian kinerja dari perjanj ian ini dan mengambil tindakanyang diperlukan dalam rangka pemberian penghargaan dan sanksi.
」akarta,14 Dcsembcr 2018
Rhak PcrtamaPihak Kedua,
dr Anung suglhantOno,M.KcsNIP 196003201985021002
PERJAN― KINERJA TAHUN 2019
DIREKTORAT JENDE― PENCEG― DAN
PENGENDALIAN PENYAKIT
No.Sasaran Program/
Kegiatan Indikator Kinerja TaFget
(2) (3) (4〕
Menurunnyapenyakit, penyakittidak menular, sertameningkatnyakesehatan jiwa.
1. Persentase cakupan keberhasilanpengobatan TB/ Success Rate
90%
2. Prevalensi HIV く0,5
3. Jumlah kabupaten/kota mencapaieliminasi malaria
300
4. Jumlah provinsi denqan eliminasi kusta 34
5. Jumlah kabupaten/kota denganeliminasi filariasis
35
6. Persentase penurunan kasus Penyakityang Dapat Dicegah Dengan Imunisasi(PD3I) tertentu
40%
7. Persentase Kabupaten/Kota yangmempunyai kebijakan kesiapsiagaandalam penanggulangan kedaruratankesehatan masyarakat yang berpotensiwabah
100%
8. Persentase kabupaten/kota yangmelaksanakan kebij akan KawasanTanpa Rokok (KTR) minimal 50%
50%
9. Jumlah kabupaten/kota yang memilikipuske smas yang menyelenggarakanupaya kesehatan iiwa dan/atau Napza
280
10.Persentase respon terhadap signal SKDKLB dan bencana di wilayah layananB/BTKLPP
90%
1 1. Persentase Teknologi Tepat Guna P2Pyang dihasilkan B/BTKLPP meningkat50% dari jumlah TTG tahun 2Ol4
50%
1 2. Persentase pelabuhan/ bandara/ PLBDyang melaksanakan penanggulangankedaruratan kesehatan masyarakat
100%
Program1. Program Pencegahan dan
Pengendalian Penyakit
Anggaran
Rp 2.641.905.147000,―
Pihak Kedua,
Jakarta, 14 Desember 2018
Pihak Pertama,
dr.Anung sugihantOnO,M.KcsNIP. 196003201985021002