laporan journal reading2

36
LAPORAN JOURNAL READING BLOK TROPICAL MEDICINE Tutor: dr. Ismiralda Oke, Sp. KK. Disusun Oleh: KELOMPOK II Indah Adhiarini S G1A008022 Prima Aditya W. G1A008034 Annisa Hema Izati G1A008039 Bintang Getarto P G1A008041 Annisa Amalia F G1A008098 Virgiana Putri Astari G1A008057 Amma F Muiza G1A008080 Wiwin Noviyanti G1A008084 Rizky Tejo Hutomo G1A008085 Noni Frista Al Azhari G1A008088 Shella Shalis Jamilah G1A008070

Upload: shalis-jamilah

Post on 21-Oct-2015

27 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Laporan Journal Reading2

LAPORAN JOURNAL READING

BLOK TROPICAL MEDICINE

Tutor:

dr. Ismiralda Oke, Sp. KK.

Disusun Oleh:

KELOMPOK II

Indah Adhiarini S G1A008022

Prima Aditya W. G1A008034

Annisa Hema Izati G1A008039

Bintang Getarto P G1A008041

Annisa Amalia F G1A008098

Virgiana Putri Astari G1A008057

Amma F Muiza G1A008080

Wiwin Noviyanti G1A008084

Rizky Tejo Hutomo G1A008085

Noni Frista Al Azhari G1A008088

Shella Shalis Jamilah G1A008070

UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN

FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN

JURUSAN KEDOKTERAN

2011

Page 2: Laporan Journal Reading2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Poliomyelitis merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh

virus, yaitu poliovirus.Virus ini menyerang sistem saraf sehingga

menyebabkan kelumpuhan.Penyakit ini bermanifestasi dalam empat bentuk

yang berbeda, yaitu infeksi tanpa gejala (inapparent infection) , penyakit gagal

(abortive disease), poliomyelitis tanpa kelumpuhan (nonparalytic

poliomyelitis), dan penyakit lumpuh (paralytic disease). Sebelum abad ke-19,

poliomyelitis terjadi secara sporadic. Selama abad 19 dan 20, epidemi

poliomyelitis lebih sering diamati dan memcapai puncak pada pertengahan

tahun 1950. Prevalensi infeksi di seluruh dunia menurun secara signifikan

sejak saat program imunisasi dilaksanakan secara besar-

besaran.Pemberantasan penyakit ini selama decade terakhir adalah prioritas

utama untuk WHO (World Health Organization) (Estrada, 2009).

Poliomyelitis dapat menyerang semua kelompok umur, namun

kelompok umur yang paling rentan adalah umur kurang dari 3 tahun (50-70%

dari semua kasus poliomyelitis.Poliomyelitis termasuk kategori Penyakit yang

Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).program imunisasi telah terbukti

efektif untuk menekan angka kesakitan dan kematian (Rahmawati, 2008).

Penyakit ini ditemukan pertama kali pada tahun 1840 oleh Jacob

Heine, seorang ortopedik berkebangsaan Jerman dimana ia mengidentifikasi

berbagai gejala dan gambaran petologi dari penyakit ini. Pada tahun 1890,

Medin, seorang dokter anak berkebangsaan Swedia mengemukakan berbagai

data epidemiologi penyakit poliomyelitis.Penyakit poliomyelitis juga disebut

penyakit Heine-Medin (Pasaribu, 2005).

Landsteiner dan Popper berhasil memindahkan penyakit ini pada kera

melalui cara inokulasi jaringan sumsum tulang belakang penderita yang

Page 3: Laporan Journal Reading2

meninggal akibat penyakit Poliomielitis pada tahun 1908. Tahun 1949, Ender,

Weller, dan Robbins dapat menumbuhkan virus ini pada sel-sel yang bukan

berasal dari susunan saraf sehingga memungkinkan ditelitinya pathogenesis

dan perkembangbiakan vaksin polio (Pasaribu, 2005).

Pada tahun 1952, Bodian dan Horstmann mengungkapkan bahwa

viremia terjadi pada awal infeksi dimana hal ini diperlukan untuk

menerangkan fase sistemik penyakit dan bagaimana penyebaran virus polio ke

susunan saraf pusat.Salk melaporkan keberhasilan imunisasi dengan formalin-

inactivated poliovirus pada tahun 1953 dan lisensi vaksi ini diperoleh pada

tahun 1955. Beberapa tahun kemudian Sabin, Koprpwski dan lainnya

mengembangkan vaksin live attenuated poliovirus dan mendapat lisensi pada

tahun 1962 (Pasaribu, 2005).

Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, jumlah

kasus di negara maju menurun secara drastic. Di Amerika Serikat, angka

kejadian menurun dari 17,6 kasus Poliomielitis per 100.000 penduduk di

tahun 1955 menjadi 0,4 kasus per 100.000 di tahun 1962. Sejak tahun 1972,

kejadiannya < 0,01 kasus per 100.000 atau 10 kasus per tahun (Pasaribu,

2005).

Pada tahun 1992, WHO memperkirakan adanya 140.000 kasus baru

dari kelumpuhan yang diakibatkan oleh poliomyelitis di seluruh dunia, dan

keseluruhan penderita anak yang menderita lumpuh akibat polio diperkirakan

10 sampai 20 juta orang (Rahmawati, 2008).

Untuk menurunkan angka kejadian Poliomielitis, banyak penelitian

mengenai terapi Poliomielitis yang terbaru salah satunya adalah dengan

Periacetabular Osteotomiyang akan dibahas pada journal reading kali ini.

B. Metode

Sembilan pasien yang telah mengalami osteotomi periacetabular

Bernese diidentifikasi memiliki kelumpuhan displasa panggul sekunder pada

Page 4: Laporan Journal Reading2

poliomyelitis.Osteotomi periacetabular osteotomi pada pasien ini telah

dilakukan oleh satu dan beberapa peneliti senior lainnya.Penelitian ini

dikombinasikan dengan praktek yang telah dilakukan sebanyak lebih dari

2800 osteotomi periacetabular.Usia rata-rata pasien pada saat operasi adalah

31 tahun, namun rentang usia untuk dapat melakukan osteotomi ini antara 12

samapi 47 tahun. Semua pasien yang dilakukan penelitian mengeluhkan nyeri

panggul. Kelima diantaranya juga mengeluhkan adanya masalah dalam hal

keseimbangan dan semua pasien akan melakukan tes berjalan untuk menilai

seberapa besar derajat keparahan kelemahan ototnya. Tiga pasien pada

penelitian ini sebelunya sudah melakukan operasi panggul, dua diantaranya

menjalani operasi kaki dan enam pasien lainnya memiliki tambahan prosedur

pada saat ostetotomi periacetabular, dengan diantaranya tiga memiliki

proksimal inthertrochanteric femoralis ostetotomy, dua memiliki tambahan

prosedur pada kaki dan satu pasien memiliki ilitolibial band release.

Pada catatan klikik pra operasi yang terakhir, delapan pasien dinilai

dengan pemeriksaan fisik dan radiografi pada pemeriksaan terkahirnya. Satu

pasien dihubungi melalui telepon dan radiografi agar kami dapat melakukan

pemeriksaan. Penilaian klinis dilakukan dengan menggunakan score depalan

harris yang dimulai dari panggul. Pengukuran kekuatan otot dievaluasi

menggunakan skala 0-5 seperti yang dijelaskan oleh medical research council.

Anterposterior dan lateral radiografi dievaluasi sebelum dan sesudah

osteotomi Bernese kemudian dievaluasi sudut pusat tepi wiberg acetabular,

indeks dari tonus asetabular, dan indeks ekstruksi. Setiap radiografi uga

dinilai untuk apabila terdapat arthritis berdasarkan sistem klasifikasi yang

dijelaskan oleh Tonnis. Menurut sistem ini, kelas pertama menandakan

skelrosis dan caput femoralis dan asetabulum dengan penurunan sedang pada

persendian. Kelas kedua adalah panggul dengan kista kecil atau penurunan

moderat pada asetabulum, dan kelas ketiga panggul dengan pembentukan

kista besar, kehilangan persendian, dan lumpuhnya caput femoralis.

Page 5: Laporan Journal Reading2

C. Hasil Penelitian

Osteotomi periasetabular bernese meningkatakan semua parameter

radiografi yang memiliki kaitan dengan dysplasia panggul, dengan

peningkatan secara dramatis dalam indeks ekstruksi, indeks acetabular, dan

rata-rata tepi sudut lateral-pusat.Rata-rata tepi sudut lateral-pusat preoperasi

18,2o dan rata-rata sudut lateral-pusat postoperasi adalah 32,3o. Rata-rata

indeks ekstruksi postoperais adalah 13,3. Rata-rata indeks acetabular

preoperasi adalah 33,3, dan rata-rata indeks acetabular postperasi 9,2. Semua

peningkata telah signifikan (p < 0,005).

Perbaikan dalam penahanan radiografi dikaitkan dengan penurunan

tingkat keparahan nyeri pada semua pasien.Pada sebagian pasien mengalami

penurunan dalam beratnya nyeri, dengan penurunan dalam fungsi.Osteotomi

secara tidak diandalkan meningkatkan fungsi otot abductor, pada dua dari

delapan pasien yang kekuatan otot preoperasinya diketahui memiliki

peningkatan kekuatan otot abductor pada pemeriksaan yangterakhir kali

dilakukan.Keseluruhan hasil keseluruhan yang baik berisi dari skor rata-rata

nilai panggul Harris sekitar 53 (preoperasi) menjadi 80

(postoperasi).Krangnya peingkatan fungsi pada beberapa pasien dikaitkan

dengan kombinasi dari kelemahan otot yang persisten mengenai panggul dan

kecacatan yang berhubungan dengan sendi lainnya. Dalam kebanyakan kasus,

berjalan kaki dan menggunakan alat bantu untuk berjalan sangat tergantung

pada ada atau tidaknya kecacatan yang terkait dengan sendi lain.

Perbaikan dari displasia panggul dan penahanan panggul muncul

untuk memperlambat perkembangan osteoarthritis pada panggul yang telah

dipengaruhi. Empat pasien memiliki kekuatan tonus otot kelas pertama, tiga

pasien berada pada kekuatan otot kelas 0 sampai dengan 1, dan satu pasien

memiliki perkembangan dari kekuatan tonus otot kelas 1 sampai kelas 2

dengan resubluxation kepala femoral pada pemeriksaan 20 tahun pasca

operasi. Pada lima pasien lainnya, memiliki kekuatan tonus yang sama.

Page 6: Laporan Journal Reading2

Dengan 12 tahun menjalankan osteotomi periasetabular dijelaskan tidak ada

perkembangan pada tonus otot.

(Jurnal Terlampir)

Page 7: Laporan Journal Reading2

BAB II

PEMBAHASAN

A. Definisi

Poliomyelitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh

poliovirus (PV) dan menyerang sistem saraf sehingga menyebabkan

kelemahan otot yang menetap dan kelumpuhan.Poliovirus masuk secara

peroral dan menginfeksi sel yang pertama kali ditemuinya.Poliovirus

berikatan dengan reseptor mirip-imunoglobulin/CD155 sehingga mampu

memasuki sel dan bereplikasi di dalamnya.Setelah itu poliovirus diserap ke

dalam darah dan terdistribusi ke seluruh tubuh. Pada 0,1-0,5% kasus,

poliovirus menyebar ke jaras saraf dan menyerang sel saraf motorik medula

spinalis, batang otak dan korteks motorik sehingga menyebabkan paralisis.

Berdasarkan lokasi sel saraf yang terinfeksi ada tiga macam poliomyelitis

yaitu:

1. Poliomyelitis spinal

Pada polimyelitis spinal, poliovirus menyerang sel kornu anterior (ventral)

medula spinalis yang berfungsi sebagai jaras motorik sehingga

mengganggu penyampaian sinyal dari sistem saraf pusat ke saraf tepi yang

berhubungan, antara lain saraf yang mengatur pergerakan ekstremitas.

Dengan terputusnya stimulasi saraf, otot akan mengalami atrofi,

kelemahan dan pada akhirnya paralisis. Lokasi dan jenis paralisis yang

terjadi bergantung pada regio medula spinalis yang terserang, apakah

servikal, torakal atau lumbal. (Atkinson, et al., 2009)

2. Poliomyelitis bulbaris

Pada 2% kasus poliomyelitis, poliovirus menyerang daerah bulbaris pada

otak. Daerah ini merupakan substansia alba yang menghubungkan batang

otak dengan korteks cerebral. Infeksi poliovirus di daerah bulbaris

Page 8: Laporan Journal Reading2

menyebabkan kelemahan khususnya pada saraf-saraf kranialis. (Atkinson,

et al., 2009)

3. Poliomyelitis bulbospinalis

19% kasus poliomyelitis merupakan gabungan dari kedua jenis

poliomyelitis yang sudah disebutkan sebelumnya. Biasanya poliovirus

menyerang daerah atas medula spinalis segmen servikal (C3-C5),

sehingga menyebabkan paralisis gabungan yaitu paralisis nervus frenikus

yang mengatur pernapasan dan paralisis anggota gerak. (Atkinson, et al.,

2009)

Bagi penderita yang mengalami tanda klinik paralisis, 30% di antaranya akan

sembuh, 30% mengalami kelumpuhan ringan, 30% mengalami kelumpuhan

berat dan sisanya menimbulkan kematian. (Atkinson, et al., 2009)

B. Epidemiologi

Penyakit ini tersebar di seluruh dunia.Manusia merupakan satu-

satunya reservoir penyakit poliomyelitis.Di Negara yang mempunyai 4

musim, penyakit ini lebih sering terjadi di musim panas, sedangkan di Negara

tropis musim tidak berpengaruh.Penyebaran penyakit ini terutama melalui

fecal-oral walaupun penyebaran melalui saluran nafas dapat juga terjadi. Pada

akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an epidemic poliomyelitis secara

teratur ditemukan di Amerika Serikat dengan 15.000 – 21.000 kasus

kelumpuhan setiap tahunnya. Pada tahun 1920, 90% kasus terjadi pada anak <

5 tahun, sedangka di awal tahun 1950-an kejadian tertinggi adalah pada usia 5

– 9 tahun. Ahkan belakangan ini lebih dari sepertiga kasus terjadi pada usia>

15 tahun.(Melnick, 1990)

Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, secara

dramatis trjadi penurunan jumlah kasus di Negara maju. Di Amerik Serikat

angka kejadian turun dari 17,6 kasus poliomyelitis per 100.000 penduduk di

Page 9: Laporan Journal Reading2

tahun 1955 menjadi 0,4 kasus per 100.000 di tahun 1962. Sejak tahun 1972,

kejadiannya < 0,01 kasus per 100.000 ata 10 kasus per tahun.(Melnick, 1990)

C. Etiologi

Virus poliomyelitis ( virus RNA ) termasuk dalam genus enterovirus

dan family picornaviridae, mempunyai 3 strain yaitu tipe 1 ( Brunhide ), tipe 2

( Lansing ) dan tipe 3 ( Leon ). Infeksi dapat terjadi oleh salah satu atau lebih

dari tipe virus tersebut.Epidemi yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh

virus tipe 1.Imunitas yang diperoleh setelah terinfeksi maupun imunitas

bersifat seumur hidup dari spesifik untuk satu tipe.Penyebaran enterovirus ini

melalui makanan atau air yang terkontaminasi tinja terinfeksi.Infeksi

menyebar dari usus halus ke seluruh tubuh terutama otak dan saraf tulang

belakang.Di negara-negara maju sudah sangat jarang ditemukan kasus baru

karena penyebaran vaksinasi secara meluas.Di negara berkembang

penyebaran terjadi karena sumber air terkontaminasi kotoran manusia.

(Melnick, 1990)

D. Faktor Resiko

Dokter menentukan diagnosa polio dari gejalanya. Pemeriksaan

dilengkapi dengan menemukan virus polio dalam sampel feces dan deteksi

kadar antibodi terhadap virus yang tinggi dalam darah. Komplikasi yang

paling berat adalah kelumpuhan permanen.Walaupun kelumpuhan hanya

terjadi pada 1 di antara 100 kasus tapi kelemahan pada satu atau beberapa otot

sangat sering ditemui.Kadang-kadang bagian otak yang mengatur pernafasan

terkena infeksi sehingga terjadi kelemahan atau kelumpuhan pada otot-otot

dada.Pada beberapa kasus terjadi komplikasi lanjutan 20 sampai 30 tahun

setelah serangan polio.Komplikasi ini disebut postpoliomyelitis syndrome,

berupa kelemahan otot progresif yang seringkali berakibat kecacatan hebat.

Page 10: Laporan Journal Reading2

1. Belum mendapatkan imunisasi polio

2. Berpergian ke daerah yang masih sering ditemukan polio

3. Kehamilan

4. Usia sangat lanjut atau sangat muda

5. Luka di mulut atau tenggoroka

6. Stress atau kelelahan fisik yang luar biasa ( karena stress emosi da fisik

dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh )(Melnick, 1990)

E. Patofisiologi

Setelah fase awal pencernaan, virus mengalir ke kelenjar getah bening

leher dan mesenterika hingga tersebar secara hematogen.Virus yang berada

dalam darah merupakan periode viremia. Setelah periode viremia, virus

menjadi agen neurotropik dan menghasilkan kerusakan motor neuron di

kornu anterior serta batang otak. Perusakan neuron motor menimbulkan

keadaan flaccid paralysis, yang dapat terdistribusi melalui tulang belakang

atau bulbar. Hanya 5% dari pasien terinfeksi memiliki keterlibatan sistem

saraf selektif setelah viremia. Hal ini diyakini bahwa replikasi di situs

extraneural mempertahankan viral load dan meningkatkan kemungkinan

bahwa virus akan memasuki sistem saraf. (Kindberg, A, et al., 2009;

Racaniello, 2006).

Virus polio memasuki sistem saraf dengan baik melintasi penghalang

darah-otak atau oleh transportasi aksonal dari saraf perifer.Hal ini dapat

menyebabkan infeksi sistem saraf dengan melibatkan gyrus presentral,

talamus, hipotalamus, batang otak motorik inti dan formasi retikular

sekitarnya, inti vestibular dan serebelum, dan neuron-neuron pada kolumna

vertebralis anterion dan intermedia.Sel-sel saraf mengalami kromatolisis pusat

bersama dengan reaksi inflamasi sementara replikasi virus mendahului

timbulnya kelumpuhan. Seiring proses kromatolisis berjalan, kelumpuhan otot

Page 11: Laporan Journal Reading2

atau bahkan atrofi muncul ketika hanya kurang dari 10 % neuron yang

bertahan pada segmen yang sama terinfeksi. Gliosis terjadi ketika infiltrat

inflammatory telah mereda, namun neuron yang bertahan hidup menunjukkan

pemulihan penuh (Kindberg, A, et al., 2009; Racaniello, 2006).

F. Tanda dan Gejala

Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 9 – 12 hari, tetapi dapat juga

berlangsung antara 3 – 35 hari dengan gejala yang sangat bervariasi yang

secara garis besar terbagi menjadi 4 yaitu:

1. Infeksi tanpa gejala

Kejadian infeksi asimptomatik ini sulit diketahui, namun diperkirakan

90 – 95% penduduk epidemi mengalami infeksi ini.Penyakit ini dapat

diketahui dengan ditemukannya virus di tinja atau meningkatnya titer

antibodi. (Pasaribu, 2005)

2. Infeksi abortif

Kejadian diperkirakan 4 – 8% dari penduduk pada suatu epidemi.

Gejala ini berlangsung 1 – 3 hari yang ditandai dengan:

1) Demam

2) Malaise

3) Nyeri tenggorok

4) Anoreksia

5) Muntah

6) Nyeri otot dan perut

7) Diare

8) Nyeri kepala (Pasaribu, 2005)

3. Poliomyelitis non paralitik

Kejadian diperkirakan 1% dari seluruh infeksi. Gejala klinik sama

dengan infeksi abortif yang berlangsung 1 – 2 hari yang kemudian

Page 12: Laporan Journal Reading2

diikuti dengan penurunan suhu sampai batas normal lalu meningkat

kembali dan disertai dengan:

1) Mual dan muntah berat

2) Nyeri kepala hebat

3) Kernig sign

4) Brudzinky sign

5) Tripod sign

6) Head drop (Pasaribu, 2005)

4. Poliomyelitis paralitik

Keadaan ini ditandai dengan kelemahan satu atau beberapa

kumpulan otot skelet. Kelemahan ini menghilang dalam beberapa

hari dan akan timbul lagi yang disertai dengan paralysis flaccid yang

bersifat asimetris. Bagian yang sering diserang adalah tungkai,

namun dapat juga terjadi ileus paralitik dan pada keadaan yang berat

dapat terjadi kelemahan otot pernafasan. Berdasarkan tingginya lesi

pada SSP dapat dibedakan menjadi 4 yaitu:

a. Bentuk spinal

Ditandai dengan kelemahan otot leher, punggung, perut,

diafragma, ekstrimitas, refleks tendon menurun, sensibilitas

normal. (Pasaribu, 2005)

b. Bentuk bulbar

Ditandai dengan kelemahan motorik dari satu atau lebih saraf

kranial dengan atau tanpa gangguan pusat vital.Apabila

kelemahan terjadi pada saraf IX, X, da XI dapat mengakibatkan

kelumpuhan otot faring dan lidah yang dapat menyebabkan

sumbatan jalan nafas. (Pasaribu, 2005)

c. Bentuk bulbospinal

Ditandai dengan gejala campuran antara bentuk bulbar dan

spinal. (Pasaribu, 2005)

d. Bentuk ensefalitis

Page 13: Laporan Journal Reading2

Ditandai dengan penururnan kesadaran, tremor dan kejang.

(Pasaribu, 2005)

G. Diagnosis

Diagnosis polio dibuat berdasarkan :

1) Pemeriksaan virology dengan cara membiakkan virus polio, baik liar

maupun virus vaksin. Selain tatacara laboratorik yang ketat dan standar

(dengan kultur sel jaringan), kualitas specimen sangat mempengaruhi

hasil pemeriksaan. Specimen yang kering, tidak dingin, terkontaminasi

atau pengambilan sampel setelah 2 minggu setelah lumpuh memberikan

hasil biakan negative palsu. Lumpuh layuh juga dapat disebabkan oleh

infeksi dengan enterovirus 71 atau Coxsackie A& atau non-polio-

enterovirus yang lain. Selain biakan, identifikasi antigen dilakukan

dengan pemeriksaan probe atau sequencing.(Soedarmo, 2002)

2) Pengamatan gejala dan perjalanan klinik. Banyak sekasli kasus yang

menunjukkan gejala lumpuh layuh yang termasuk dalam acute flaccid

paralysis. Pemeriksaan yang teliti dan pengamatan lanjutan yang sangat

membantu. Kasus klinik mirip polio (polio-compatibel) adalah kasus

yang setelah 60 hari masih mempunyai paralisis residual tanpa informasi

medic yang jelas, atau penderita meninggal. Sensitifitas menjadi 64% dan

spesifitas 82% apabila kita menggunakan variable gabungan dengan

menambahkan variable umur di bawah 6 tahun, adanya panas pada

permulaan sakit, perubahan paralisis yang cepat menjadi maksimal

(dalam waktu 4 hari). Cara lain adalah menambahkan variable lain

misalnya penambahan pola neurologikyang dianggap khas seperti

kelumpuhan proksimal, unilateral, tidak adanya gangguan sensori. Pada

akhir program eradikasi sensitivitas diperlebar dengan memasukkan

border-line cases, yaitu semua penderita yang lumpuh layuh akut.

(Soedarmo, 2002)

Page 14: Laporan Journal Reading2

Gambar 1. Kontraktur yang terjadi pada Polio(Soedarmo, 2002)

3) Pemeriksaan khusus. Pemeriksaan hantaran saraf dan elektromiografi

dapat merujuk secara lebih tepat letak kerusakan saraf secara anatomic.

Cara ini akan dapat memisahkan kerusakan motor neuron dengan

kelainan lain akibat demyelinasi pada saraf tepi, sehingga dapat

mempermudah membedakan polio dengan kelainan kerusakan lower

motor neuron lain, misalnya Guillain-Barre syndrome. Pemeriksaan lain

seperti pemeriksaan MRI dapat menunjukkan kerusakan di daerah

kolumna anterior, sedangkan pemeriksaan likuor memberikan gambaran

sel dan bahan kimia (kadar gula dan protein) yang sangat penting untuk

menentukan kerusakan yang terjadi pada sel motor neuron.(Soedarmo,

2002)

4) Pemeriksaan adanya gejala sisa neurologic (residual  paralysis).

Pemeriksaan ini dilakukan 60 hari setelah kelumpuhan, untuk mencari

deficit neurologic, misalnya mencari kelumpuhan partial atau kelemahan

otot pada satu atau sekelompok otot. Pemeriksaan sebaiknya tepat waktu

(jangan diundur), karena kelemahan ini bias menghilang akibat adanya

kompensasi oleh otot lain atau perbaikan dari sisa otot yang masih baik.

Page 15: Laporan Journal Reading2

Bilamana ada keraguan sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan

elektrodiagnostik. (Soedarmo, 2002)

H. Diagnosis Diferensial

1. Meningitis aseptic: meningitis TBC

2. Sindroma guillan barre (GBS)

3. Neuropati perifer akut

4. Myopati

5. Kompresi medulla spinalis akut (Estrada, 2009)

I. Pemeriksaan Penunjang

a. Darah Tepi Perifer

Tidak ada pemeriksaan yang spesifik untuk diagnosis poliomeilitis pada

gejala awal, sama seperti virus lainnya. Pemeriksaan darah perifer

mungkin dalam batas normal atau terjadi leukositosis pada fase akut

mayor illness yaitu 10.000-30.000/µl dengan predominan PMN. (Poerwo

soedarmo,2002)

b. Cairan Serebrospinal

Pada 90% kasus mayor illness, terjadi peningkatan jumlah sel bervariasi

20-300 sel/µl, pada umumnya dalan 72 jam pertama terjadi dominasi

PMN, selanjutnya dominasi limfosit dan jumlah sel menurun pada

minggu ke-2 menjadi 10-15/µl. terdapat penurunan kadar gula likuor dan

peninggian kadar protein 30-200mg/dl pada minggu ke-2, dan kembali

normal dalam sebulan. (Poerwo soedarmo,2002)

c. Pemeriksaan Serologik

Diagnosis poliomeilitis ditegakkan berdasarkan peninggian titer antibody

4x atau lebih antara fase akut dan konvalesens, yaitu dengan cara

pemeriksaan uji netralisasi dan uji fiksasi komplemen. Karena

complement fixing antibody mempunyai waktu yang lebih pendek

dibandingkan filter netralisasi, dan lebih kuat maka dapat ditentukan

Page 16: Laporan Journal Reading2

adanya infeksi polio baru bial terdapat peninggian tes fiksasi komplemen.

Sangat membantu bila wabah disebabkan oleh type tertentu atau oleh

NPE yang lain. (Poerwo soedarmo,2002)

d. Isolasi Virus

Penderita mulai mengeluarkan virus ke dalam tinja saat sebelum fase

paralitik terjadi. Pada isolasi feses yang diambil 10 hari dari awitan dari

gejala neurologic, 80-90% positif untuk virus polio, oleh karena itu

ekskresi terjadi intermiten maka yang sebainya diambil 2 atau lebih

specimen dalam beberapa hari. Ekskresi dari faring dan cairan

serebrospinal jarang menghsilkan virus dan mempengaruhi cara

vaksinasi(Poerwo soedarmo,2002)

J. Tatalaksana

1. Terapi Lama

Polio tidak dapat disembuhkan dan obat anti-virus tidak

mempengaruhi perjalanan penyakit ini.Terapi poliomyelitis tak ada yang

spesifik, tetapi tergantung penyulit yang terjadi.Inhibisi metabolik untuk

mencegah serangan virus ke susunan saraf yang dilakukan in-vitro tidak

dapatdikerjakan pada manusia.Pemberian immunoglobulin mungkin dapat

mencegah penyebaran hematogen ke susunan saraf, tetapi bila fase

paralitik telah terjadi, sudah terlambat. Selain fisioterapi dan ortopedi

perlu diperhatikan fungsi yang lain. Manajemen pengobatan suportif yang

baik (respirasi buatan pada anak) gangguan respirasi atau

kardiovaskuler.Jika otot-otot pernafasan menjadi lemah, bisa digunakan

ventilator. (Soedarmo, 2002)

Tujuan utama pengobatan adalah mengontrol gejala sewaktu

infeksi berlangsung.Perlengkapan medis vital untuk menyelamatkan

nyawa, teruatma membantu pernafasan mungkin diperlukan pada kasus

yang parah.Jika terjadi infeksi saluran kemih, diberikan antibiotik.Untuk

Page 17: Laporan Journal Reading2

mengurangi sakit kepala, nyeri dan kejang otot, bisa diberikan obat pereda

nyeri.Kejang dan nyeri otot juga bisa dikurangi dengan kompres

hangat.Untuk memaksimalkan pemulihan kekuatan dan fungsi otot

mungkin perlu dilakukan terapi fisik, pemakaian sepatu korektif atau

penyangga maupun pembedahan ortopedik. (Soedarmo, 2002)

a. Fase Pre-paralitik

Selama epidemik polio semua penderita dengan gejala

sistemik yang tak spesifik harus diperhatikan kemungkinan terjadi

paralisis. Tirah baring merupakan pengobatan yang penting untuk

menjaga terjadinya footdrop, bila anak tampak gelisah dapat

diberikan sedative ringan seperti diazepam, pada otot yang sakit

diberikan kompres buli-buli panas, dan dapat diberikan antipiretik

bila demam.Selain itu juga dianjurkan untuk diet tinggi kalori tinggi

protein. (Soedarmo, 2002)

b. Fase Paralitik

Selama fase akut dapat diberi analgetik non narkotik,

misalnya aspirin atau acetaminophen.Rasa nyeri pada otot dikurangi

dengan mengurangi manipulasidan untuk menghindari terjadinya

regangan pada otot diberikan splint.Perlu dilakukan gerakan pasif

pada otot secara halus.Dianjurkan fisioterapi dimulai pada masa

konvalesens untuk mencegah kontraktur.Pemberian cairan suplemen

bila per-oral kurang dan pemberian enema bila obstipasi.Setelah fase

akut lewat, mulai dilakukan fisioterapi aktif.Konsultasi ortopedi dapat

dilakukan segera tetapi operasi, biasanya dilakukan 1-2 tahun setelah

awitan.Braces mungkin dapat dipakai untuk mengkompensasi

kelemahan otot. (Soedarmo, 2002)

Page 18: Laporan Journal Reading2

Gambar 2.Macam-macam bantuan khusus untuk kaki yang mengalami

deformitas.

2. Perkembangan Terapi

PeriacetabularOsteotomy(PAO) adalah pengobatan dengan

tindakanbedah untukdisplasiaacetabularyang mempertahankandan

memaksimalkan fungsisendi panggulpasien sendiribukan

menggantikannyadengan bagianbuatan.Tujuannya adalah

untukmengurangi rasa sakitpasien, mengembalikan fungsi, dan

memaksimalkankehidupanfungsional daripingguldisplastikmereka.

( Klenck dan Matta, 2007)

Page 19: Laporan Journal Reading2

Osteotomydarispina iliaka anterior superiordengan tendonSartorius dan

ligameninguinaldilakukan untuk mengurangi keteganganpada

sarafkutaneus lateralisfemoralis. Singkatnya,Bernese

periacetabularosteotomy disediakanuntuk menahansendi panggulpada

pasien dengandisplasia dan subluksasisekunder progresif untukpolio.

Semua pasien mengalami penurunandalamkeparahan nyeri, dengan sedikit

peningkatandalam fungsi, dan hasilradiografiyang memuaskan pada

saatparuh waktutindak lanjut. (Sierra, Schoeniger, Millis, Ganz, 2010)

Gambar 3. Displasi pada panggul kanan seorang laki-laki 36 tahun akibat

poliomyelitis sebelum operasi

Page 20: Laporan Journal Reading2

Gambar 4.Gambaran setelah operasi.

K. Pencegahan

1. Imunisasi pada usia balita yang terdiri dari 2 jenis vaksin yaitu OPV dan

IPV. Pemberian OPV dilakukan pada saat bayi berusia 6 minggu, 2 dosis

selanjutnya diberikan dengan interval minimal 4 minggu, pada daerah

endemi pemberian vaksin dapat dimulai saat bayi lahir.

2. Survailance accute flaccid paralysis atau penemuan penderita yang

dicurigai lumpuh layuh pada usia di bawah 15 tahun. Mereka harus

diperiksa tinjanya untuk memastikan karena polio atau bukan.

3. Melakukan mopping-up. Yakni, pemberian vaksinasi massal di daerah

yang ditemukan penderita polio terhadap anak usia di bawah lima tahun

tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya.

4. Menjauhi daeran endemi. (Pasaribu, 2005)

Page 21: Laporan Journal Reading2

L. Komplikasi

Kelemahan otot:

a) Otot-otot tubuh terserang paling akhir

b) Refleks tendon menurun atau tidak ada sama sekali

c) Atrofi otot mulai terlihat 3-5 minggu setelah paralisis, dan menjadi

lengkap setelah 12-15 minggu serta bersifat permanen.

d) Gangguan fungsi otonom sesaat, biasanya ditandai retensi urin

e) Gangguan saraf kranial III, IX, dan X. Bila mengenai formasio retikularis

dibatang otak, maka terdapat gangguan pernafasan, menelan dan sistem

kardiovaskuler.

f) Sindrom pascafolio (Pasaribu, 2005)

M. Prognosis

Prognosis tergantung derajat penyakitnya. Pada polio ringan dan

sedang, kebanyakan pasien sembuh sempurna dalam jangka waktu singkat.

Penderita polio spinal 50% akan sembuh sempurna, 25% mengalami

disabilitas ringan, 25% disabilitas serius dan permanen. Sebanyak 1%

penderita polio berat akan mengalami kematian. (Dewanto, et al., 2003)

Page 22: Laporan Journal Reading2

BAB III

KESIMPULAN

1. Poliomyelitis merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh

poliovirus. Virus ini menyerang sistem saraf sehingga menyebabkan

kelumpuhan.

2. Polio tidak dapat disembuhkan dan obat anti-virus tidak mempengaruhi

perjalanan penyakit ini. Tujuan utama pengobatan adalah mengontrol gejala

sewaktu infeksi berlangsung

3. Untuk menurunkan angka kejadian dan kesakitan akibat Poliomielitis, telah

banyak dilakukan penelitian mengenai terapi Poliomielitis,salah satunya

adalah Periacetabular Osteotomi.

4. Dengan menggunakan metode baru ini telah terbukti dapat meningkatkan

ketahanan panggul, mengurangi nyeri, dan memperlambat progresifitas

osteoartritispada pasien dengan dysplasia panggul akibat polio.

Page 23: Laporan Journal Reading2

DAFTAR PUSTAKA

Atkinson , Wolfe S, Hamborsky J, McIntyre L, eds. Epidemiology and Prevention

of Vaccine-Preventable Diseases. 11th ed. Washington DC: Public Health

Foundation; 2009

Dewanto, George., Wita J. Suwono, Budi Riyanto, & Yuda Turana.

2003.Panduan Praktis Diagnosis dan tata Laksana Penyakit Saraf.Jakarta : EGC

Estrada, Benjamin. 2009. Pediatric Poliomyelitis. Available at:

http://emedicine.medscape.com/article/967950-overview#showall on September

27, 2011.

Kindberg E, Ax C, Fiore L, Svensson L. Ala67Thr mutation in the poliovirus

receptor CD155 is a potential risk factor for vaccine and wild-type paralytic

poliomyelitis. J Med Virol. May 2009;81(5):933-6.

Matta, Joel M. , Robert E. Klenck . 2007. Periacetabular Osteotomi. Diakses di

http://www.hipandpelvis.com/patient_education/periace/page1.html pada tanggal

29 September 2011

Melnick JL. 1990. Enteroviruses. In: Virology. Fields BN 2nd ed.New New York:

Raven Press.

Pasaribu, Syahril. 2005. Aspek Diagnostik Poliomielitis. Available at:

http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2030/1/anak-syahril2.pdf on

September 27, 2011.

Racaniello VR. One hundred years of poliovirus pathogenesis. Virology. Jan 5

2006;344(1):9-16.

Page 24: Laporan Journal Reading2

Rahmawati, Dwi. 2008. Validitas Penapisan AFP Untuk Diagnosis Polio.

Available at: http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123434-S-5383-Validitas

%20Penapisan-Pendahuluan.pdf on September 27, 2011.

Sierra , Rafael J., S. Ralf Schoeniger, Michael Millis, and Reinhold Ganz. 2010.

Periacetabular Osteotomy for Containment of the Nonarthritic Dysplastic Hip

Secondary to Poliomyelitis. Diakses di J Bone Joint Surg Am. 2010;92:2917-23

Soedarmo,Sumarmo S. Poorwo .2002. Buku Ajar Infeksi & Pedatri Tropis,

Bagian Ilmu Kesehatan Anak Ed.1.Jakarta : FK UI