laporan journal reading2
TRANSCRIPT
LAPORAN JOURNAL READING
BLOK TROPICAL MEDICINE
Tutor:
dr. Ismiralda Oke, Sp. KK.
Disusun Oleh:
KELOMPOK II
Indah Adhiarini S G1A008022
Prima Aditya W. G1A008034
Annisa Hema Izati G1A008039
Bintang Getarto P G1A008041
Annisa Amalia F G1A008098
Virgiana Putri Astari G1A008057
Amma F Muiza G1A008080
Wiwin Noviyanti G1A008084
Rizky Tejo Hutomo G1A008085
Noni Frista Al Azhari G1A008088
Shella Shalis Jamilah G1A008070
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN
JURUSAN KEDOKTERAN
2011
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Poliomyelitis merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh
virus, yaitu poliovirus.Virus ini menyerang sistem saraf sehingga
menyebabkan kelumpuhan.Penyakit ini bermanifestasi dalam empat bentuk
yang berbeda, yaitu infeksi tanpa gejala (inapparent infection) , penyakit gagal
(abortive disease), poliomyelitis tanpa kelumpuhan (nonparalytic
poliomyelitis), dan penyakit lumpuh (paralytic disease). Sebelum abad ke-19,
poliomyelitis terjadi secara sporadic. Selama abad 19 dan 20, epidemi
poliomyelitis lebih sering diamati dan memcapai puncak pada pertengahan
tahun 1950. Prevalensi infeksi di seluruh dunia menurun secara signifikan
sejak saat program imunisasi dilaksanakan secara besar-
besaran.Pemberantasan penyakit ini selama decade terakhir adalah prioritas
utama untuk WHO (World Health Organization) (Estrada, 2009).
Poliomyelitis dapat menyerang semua kelompok umur, namun
kelompok umur yang paling rentan adalah umur kurang dari 3 tahun (50-70%
dari semua kasus poliomyelitis.Poliomyelitis termasuk kategori Penyakit yang
Dapat Dicegah Dengan Imunisasi (PD3I).program imunisasi telah terbukti
efektif untuk menekan angka kesakitan dan kematian (Rahmawati, 2008).
Penyakit ini ditemukan pertama kali pada tahun 1840 oleh Jacob
Heine, seorang ortopedik berkebangsaan Jerman dimana ia mengidentifikasi
berbagai gejala dan gambaran petologi dari penyakit ini. Pada tahun 1890,
Medin, seorang dokter anak berkebangsaan Swedia mengemukakan berbagai
data epidemiologi penyakit poliomyelitis.Penyakit poliomyelitis juga disebut
penyakit Heine-Medin (Pasaribu, 2005).
Landsteiner dan Popper berhasil memindahkan penyakit ini pada kera
melalui cara inokulasi jaringan sumsum tulang belakang penderita yang
meninggal akibat penyakit Poliomielitis pada tahun 1908. Tahun 1949, Ender,
Weller, dan Robbins dapat menumbuhkan virus ini pada sel-sel yang bukan
berasal dari susunan saraf sehingga memungkinkan ditelitinya pathogenesis
dan perkembangbiakan vaksin polio (Pasaribu, 2005).
Pada tahun 1952, Bodian dan Horstmann mengungkapkan bahwa
viremia terjadi pada awal infeksi dimana hal ini diperlukan untuk
menerangkan fase sistemik penyakit dan bagaimana penyebaran virus polio ke
susunan saraf pusat.Salk melaporkan keberhasilan imunisasi dengan formalin-
inactivated poliovirus pada tahun 1953 dan lisensi vaksi ini diperoleh pada
tahun 1955. Beberapa tahun kemudian Sabin, Koprpwski dan lainnya
mengembangkan vaksin live attenuated poliovirus dan mendapat lisensi pada
tahun 1962 (Pasaribu, 2005).
Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, jumlah
kasus di negara maju menurun secara drastic. Di Amerika Serikat, angka
kejadian menurun dari 17,6 kasus Poliomielitis per 100.000 penduduk di
tahun 1955 menjadi 0,4 kasus per 100.000 di tahun 1962. Sejak tahun 1972,
kejadiannya < 0,01 kasus per 100.000 atau 10 kasus per tahun (Pasaribu,
2005).
Pada tahun 1992, WHO memperkirakan adanya 140.000 kasus baru
dari kelumpuhan yang diakibatkan oleh poliomyelitis di seluruh dunia, dan
keseluruhan penderita anak yang menderita lumpuh akibat polio diperkirakan
10 sampai 20 juta orang (Rahmawati, 2008).
Untuk menurunkan angka kejadian Poliomielitis, banyak penelitian
mengenai terapi Poliomielitis yang terbaru salah satunya adalah dengan
Periacetabular Osteotomiyang akan dibahas pada journal reading kali ini.
B. Metode
Sembilan pasien yang telah mengalami osteotomi periacetabular
Bernese diidentifikasi memiliki kelumpuhan displasa panggul sekunder pada
poliomyelitis.Osteotomi periacetabular osteotomi pada pasien ini telah
dilakukan oleh satu dan beberapa peneliti senior lainnya.Penelitian ini
dikombinasikan dengan praktek yang telah dilakukan sebanyak lebih dari
2800 osteotomi periacetabular.Usia rata-rata pasien pada saat operasi adalah
31 tahun, namun rentang usia untuk dapat melakukan osteotomi ini antara 12
samapi 47 tahun. Semua pasien yang dilakukan penelitian mengeluhkan nyeri
panggul. Kelima diantaranya juga mengeluhkan adanya masalah dalam hal
keseimbangan dan semua pasien akan melakukan tes berjalan untuk menilai
seberapa besar derajat keparahan kelemahan ototnya. Tiga pasien pada
penelitian ini sebelunya sudah melakukan operasi panggul, dua diantaranya
menjalani operasi kaki dan enam pasien lainnya memiliki tambahan prosedur
pada saat ostetotomi periacetabular, dengan diantaranya tiga memiliki
proksimal inthertrochanteric femoralis ostetotomy, dua memiliki tambahan
prosedur pada kaki dan satu pasien memiliki ilitolibial band release.
Pada catatan klikik pra operasi yang terakhir, delapan pasien dinilai
dengan pemeriksaan fisik dan radiografi pada pemeriksaan terkahirnya. Satu
pasien dihubungi melalui telepon dan radiografi agar kami dapat melakukan
pemeriksaan. Penilaian klinis dilakukan dengan menggunakan score depalan
harris yang dimulai dari panggul. Pengukuran kekuatan otot dievaluasi
menggunakan skala 0-5 seperti yang dijelaskan oleh medical research council.
Anterposterior dan lateral radiografi dievaluasi sebelum dan sesudah
osteotomi Bernese kemudian dievaluasi sudut pusat tepi wiberg acetabular,
indeks dari tonus asetabular, dan indeks ekstruksi. Setiap radiografi uga
dinilai untuk apabila terdapat arthritis berdasarkan sistem klasifikasi yang
dijelaskan oleh Tonnis. Menurut sistem ini, kelas pertama menandakan
skelrosis dan caput femoralis dan asetabulum dengan penurunan sedang pada
persendian. Kelas kedua adalah panggul dengan kista kecil atau penurunan
moderat pada asetabulum, dan kelas ketiga panggul dengan pembentukan
kista besar, kehilangan persendian, dan lumpuhnya caput femoralis.
C. Hasil Penelitian
Osteotomi periasetabular bernese meningkatakan semua parameter
radiografi yang memiliki kaitan dengan dysplasia panggul, dengan
peningkatan secara dramatis dalam indeks ekstruksi, indeks acetabular, dan
rata-rata tepi sudut lateral-pusat.Rata-rata tepi sudut lateral-pusat preoperasi
18,2o dan rata-rata sudut lateral-pusat postoperasi adalah 32,3o. Rata-rata
indeks ekstruksi postoperais adalah 13,3. Rata-rata indeks acetabular
preoperasi adalah 33,3, dan rata-rata indeks acetabular postperasi 9,2. Semua
peningkata telah signifikan (p < 0,005).
Perbaikan dalam penahanan radiografi dikaitkan dengan penurunan
tingkat keparahan nyeri pada semua pasien.Pada sebagian pasien mengalami
penurunan dalam beratnya nyeri, dengan penurunan dalam fungsi.Osteotomi
secara tidak diandalkan meningkatkan fungsi otot abductor, pada dua dari
delapan pasien yang kekuatan otot preoperasinya diketahui memiliki
peningkatan kekuatan otot abductor pada pemeriksaan yangterakhir kali
dilakukan.Keseluruhan hasil keseluruhan yang baik berisi dari skor rata-rata
nilai panggul Harris sekitar 53 (preoperasi) menjadi 80
(postoperasi).Krangnya peingkatan fungsi pada beberapa pasien dikaitkan
dengan kombinasi dari kelemahan otot yang persisten mengenai panggul dan
kecacatan yang berhubungan dengan sendi lainnya. Dalam kebanyakan kasus,
berjalan kaki dan menggunakan alat bantu untuk berjalan sangat tergantung
pada ada atau tidaknya kecacatan yang terkait dengan sendi lain.
Perbaikan dari displasia panggul dan penahanan panggul muncul
untuk memperlambat perkembangan osteoarthritis pada panggul yang telah
dipengaruhi. Empat pasien memiliki kekuatan tonus otot kelas pertama, tiga
pasien berada pada kekuatan otot kelas 0 sampai dengan 1, dan satu pasien
memiliki perkembangan dari kekuatan tonus otot kelas 1 sampai kelas 2
dengan resubluxation kepala femoral pada pemeriksaan 20 tahun pasca
operasi. Pada lima pasien lainnya, memiliki kekuatan tonus yang sama.
Dengan 12 tahun menjalankan osteotomi periasetabular dijelaskan tidak ada
perkembangan pada tonus otot.
(Jurnal Terlampir)
BAB II
PEMBAHASAN
A. Definisi
Poliomyelitis adalah penyakit menular akut yang disebabkan oleh
poliovirus (PV) dan menyerang sistem saraf sehingga menyebabkan
kelemahan otot yang menetap dan kelumpuhan.Poliovirus masuk secara
peroral dan menginfeksi sel yang pertama kali ditemuinya.Poliovirus
berikatan dengan reseptor mirip-imunoglobulin/CD155 sehingga mampu
memasuki sel dan bereplikasi di dalamnya.Setelah itu poliovirus diserap ke
dalam darah dan terdistribusi ke seluruh tubuh. Pada 0,1-0,5% kasus,
poliovirus menyebar ke jaras saraf dan menyerang sel saraf motorik medula
spinalis, batang otak dan korteks motorik sehingga menyebabkan paralisis.
Berdasarkan lokasi sel saraf yang terinfeksi ada tiga macam poliomyelitis
yaitu:
1. Poliomyelitis spinal
Pada polimyelitis spinal, poliovirus menyerang sel kornu anterior (ventral)
medula spinalis yang berfungsi sebagai jaras motorik sehingga
mengganggu penyampaian sinyal dari sistem saraf pusat ke saraf tepi yang
berhubungan, antara lain saraf yang mengatur pergerakan ekstremitas.
Dengan terputusnya stimulasi saraf, otot akan mengalami atrofi,
kelemahan dan pada akhirnya paralisis. Lokasi dan jenis paralisis yang
terjadi bergantung pada regio medula spinalis yang terserang, apakah
servikal, torakal atau lumbal. (Atkinson, et al., 2009)
2. Poliomyelitis bulbaris
Pada 2% kasus poliomyelitis, poliovirus menyerang daerah bulbaris pada
otak. Daerah ini merupakan substansia alba yang menghubungkan batang
otak dengan korteks cerebral. Infeksi poliovirus di daerah bulbaris
menyebabkan kelemahan khususnya pada saraf-saraf kranialis. (Atkinson,
et al., 2009)
3. Poliomyelitis bulbospinalis
19% kasus poliomyelitis merupakan gabungan dari kedua jenis
poliomyelitis yang sudah disebutkan sebelumnya. Biasanya poliovirus
menyerang daerah atas medula spinalis segmen servikal (C3-C5),
sehingga menyebabkan paralisis gabungan yaitu paralisis nervus frenikus
yang mengatur pernapasan dan paralisis anggota gerak. (Atkinson, et al.,
2009)
Bagi penderita yang mengalami tanda klinik paralisis, 30% di antaranya akan
sembuh, 30% mengalami kelumpuhan ringan, 30% mengalami kelumpuhan
berat dan sisanya menimbulkan kematian. (Atkinson, et al., 2009)
B. Epidemiologi
Penyakit ini tersebar di seluruh dunia.Manusia merupakan satu-
satunya reservoir penyakit poliomyelitis.Di Negara yang mempunyai 4
musim, penyakit ini lebih sering terjadi di musim panas, sedangkan di Negara
tropis musim tidak berpengaruh.Penyebaran penyakit ini terutama melalui
fecal-oral walaupun penyebaran melalui saluran nafas dapat juga terjadi. Pada
akhir tahun 1940-an dan awal tahun 1950-an epidemic poliomyelitis secara
teratur ditemukan di Amerika Serikat dengan 15.000 – 21.000 kasus
kelumpuhan setiap tahunnya. Pada tahun 1920, 90% kasus terjadi pada anak <
5 tahun, sedangka di awal tahun 1950-an kejadian tertinggi adalah pada usia 5
– 9 tahun. Ahkan belakangan ini lebih dari sepertiga kasus terjadi pada usia>
15 tahun.(Melnick, 1990)
Sejak dipergunakannya vaksin pada tahun 1955 dan 1962, secara
dramatis trjadi penurunan jumlah kasus di Negara maju. Di Amerik Serikat
angka kejadian turun dari 17,6 kasus poliomyelitis per 100.000 penduduk di
tahun 1955 menjadi 0,4 kasus per 100.000 di tahun 1962. Sejak tahun 1972,
kejadiannya < 0,01 kasus per 100.000 ata 10 kasus per tahun.(Melnick, 1990)
C. Etiologi
Virus poliomyelitis ( virus RNA ) termasuk dalam genus enterovirus
dan family picornaviridae, mempunyai 3 strain yaitu tipe 1 ( Brunhide ), tipe 2
( Lansing ) dan tipe 3 ( Leon ). Infeksi dapat terjadi oleh salah satu atau lebih
dari tipe virus tersebut.Epidemi yang luas dan ganas biasanya disebabkan oleh
virus tipe 1.Imunitas yang diperoleh setelah terinfeksi maupun imunitas
bersifat seumur hidup dari spesifik untuk satu tipe.Penyebaran enterovirus ini
melalui makanan atau air yang terkontaminasi tinja terinfeksi.Infeksi
menyebar dari usus halus ke seluruh tubuh terutama otak dan saraf tulang
belakang.Di negara-negara maju sudah sangat jarang ditemukan kasus baru
karena penyebaran vaksinasi secara meluas.Di negara berkembang
penyebaran terjadi karena sumber air terkontaminasi kotoran manusia.
(Melnick, 1990)
D. Faktor Resiko
Dokter menentukan diagnosa polio dari gejalanya. Pemeriksaan
dilengkapi dengan menemukan virus polio dalam sampel feces dan deteksi
kadar antibodi terhadap virus yang tinggi dalam darah. Komplikasi yang
paling berat adalah kelumpuhan permanen.Walaupun kelumpuhan hanya
terjadi pada 1 di antara 100 kasus tapi kelemahan pada satu atau beberapa otot
sangat sering ditemui.Kadang-kadang bagian otak yang mengatur pernafasan
terkena infeksi sehingga terjadi kelemahan atau kelumpuhan pada otot-otot
dada.Pada beberapa kasus terjadi komplikasi lanjutan 20 sampai 30 tahun
setelah serangan polio.Komplikasi ini disebut postpoliomyelitis syndrome,
berupa kelemahan otot progresif yang seringkali berakibat kecacatan hebat.
1. Belum mendapatkan imunisasi polio
2. Berpergian ke daerah yang masih sering ditemukan polio
3. Kehamilan
4. Usia sangat lanjut atau sangat muda
5. Luka di mulut atau tenggoroka
6. Stress atau kelelahan fisik yang luar biasa ( karena stress emosi da fisik
dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh )(Melnick, 1990)
E. Patofisiologi
Setelah fase awal pencernaan, virus mengalir ke kelenjar getah bening
leher dan mesenterika hingga tersebar secara hematogen.Virus yang berada
dalam darah merupakan periode viremia. Setelah periode viremia, virus
menjadi agen neurotropik dan menghasilkan kerusakan motor neuron di
kornu anterior serta batang otak. Perusakan neuron motor menimbulkan
keadaan flaccid paralysis, yang dapat terdistribusi melalui tulang belakang
atau bulbar. Hanya 5% dari pasien terinfeksi memiliki keterlibatan sistem
saraf selektif setelah viremia. Hal ini diyakini bahwa replikasi di situs
extraneural mempertahankan viral load dan meningkatkan kemungkinan
bahwa virus akan memasuki sistem saraf. (Kindberg, A, et al., 2009;
Racaniello, 2006).
Virus polio memasuki sistem saraf dengan baik melintasi penghalang
darah-otak atau oleh transportasi aksonal dari saraf perifer.Hal ini dapat
menyebabkan infeksi sistem saraf dengan melibatkan gyrus presentral,
talamus, hipotalamus, batang otak motorik inti dan formasi retikular
sekitarnya, inti vestibular dan serebelum, dan neuron-neuron pada kolumna
vertebralis anterion dan intermedia.Sel-sel saraf mengalami kromatolisis pusat
bersama dengan reaksi inflamasi sementara replikasi virus mendahului
timbulnya kelumpuhan. Seiring proses kromatolisis berjalan, kelumpuhan otot
atau bahkan atrofi muncul ketika hanya kurang dari 10 % neuron yang
bertahan pada segmen yang sama terinfeksi. Gliosis terjadi ketika infiltrat
inflammatory telah mereda, namun neuron yang bertahan hidup menunjukkan
pemulihan penuh (Kindberg, A, et al., 2009; Racaniello, 2006).
F. Tanda dan Gejala
Masa inkubasi penyakit ini berkisar antara 9 – 12 hari, tetapi dapat juga
berlangsung antara 3 – 35 hari dengan gejala yang sangat bervariasi yang
secara garis besar terbagi menjadi 4 yaitu:
1. Infeksi tanpa gejala
Kejadian infeksi asimptomatik ini sulit diketahui, namun diperkirakan
90 – 95% penduduk epidemi mengalami infeksi ini.Penyakit ini dapat
diketahui dengan ditemukannya virus di tinja atau meningkatnya titer
antibodi. (Pasaribu, 2005)
2. Infeksi abortif
Kejadian diperkirakan 4 – 8% dari penduduk pada suatu epidemi.
Gejala ini berlangsung 1 – 3 hari yang ditandai dengan:
1) Demam
2) Malaise
3) Nyeri tenggorok
4) Anoreksia
5) Muntah
6) Nyeri otot dan perut
7) Diare
8) Nyeri kepala (Pasaribu, 2005)
3. Poliomyelitis non paralitik
Kejadian diperkirakan 1% dari seluruh infeksi. Gejala klinik sama
dengan infeksi abortif yang berlangsung 1 – 2 hari yang kemudian
diikuti dengan penurunan suhu sampai batas normal lalu meningkat
kembali dan disertai dengan:
1) Mual dan muntah berat
2) Nyeri kepala hebat
3) Kernig sign
4) Brudzinky sign
5) Tripod sign
6) Head drop (Pasaribu, 2005)
4. Poliomyelitis paralitik
Keadaan ini ditandai dengan kelemahan satu atau beberapa
kumpulan otot skelet. Kelemahan ini menghilang dalam beberapa
hari dan akan timbul lagi yang disertai dengan paralysis flaccid yang
bersifat asimetris. Bagian yang sering diserang adalah tungkai,
namun dapat juga terjadi ileus paralitik dan pada keadaan yang berat
dapat terjadi kelemahan otot pernafasan. Berdasarkan tingginya lesi
pada SSP dapat dibedakan menjadi 4 yaitu:
a. Bentuk spinal
Ditandai dengan kelemahan otot leher, punggung, perut,
diafragma, ekstrimitas, refleks tendon menurun, sensibilitas
normal. (Pasaribu, 2005)
b. Bentuk bulbar
Ditandai dengan kelemahan motorik dari satu atau lebih saraf
kranial dengan atau tanpa gangguan pusat vital.Apabila
kelemahan terjadi pada saraf IX, X, da XI dapat mengakibatkan
kelumpuhan otot faring dan lidah yang dapat menyebabkan
sumbatan jalan nafas. (Pasaribu, 2005)
c. Bentuk bulbospinal
Ditandai dengan gejala campuran antara bentuk bulbar dan
spinal. (Pasaribu, 2005)
d. Bentuk ensefalitis
Ditandai dengan penururnan kesadaran, tremor dan kejang.
(Pasaribu, 2005)
G. Diagnosis
Diagnosis polio dibuat berdasarkan :
1) Pemeriksaan virology dengan cara membiakkan virus polio, baik liar
maupun virus vaksin. Selain tatacara laboratorik yang ketat dan standar
(dengan kultur sel jaringan), kualitas specimen sangat mempengaruhi
hasil pemeriksaan. Specimen yang kering, tidak dingin, terkontaminasi
atau pengambilan sampel setelah 2 minggu setelah lumpuh memberikan
hasil biakan negative palsu. Lumpuh layuh juga dapat disebabkan oleh
infeksi dengan enterovirus 71 atau Coxsackie A& atau non-polio-
enterovirus yang lain. Selain biakan, identifikasi antigen dilakukan
dengan pemeriksaan probe atau sequencing.(Soedarmo, 2002)
2) Pengamatan gejala dan perjalanan klinik. Banyak sekasli kasus yang
menunjukkan gejala lumpuh layuh yang termasuk dalam acute flaccid
paralysis. Pemeriksaan yang teliti dan pengamatan lanjutan yang sangat
membantu. Kasus klinik mirip polio (polio-compatibel) adalah kasus
yang setelah 60 hari masih mempunyai paralisis residual tanpa informasi
medic yang jelas, atau penderita meninggal. Sensitifitas menjadi 64% dan
spesifitas 82% apabila kita menggunakan variable gabungan dengan
menambahkan variable umur di bawah 6 tahun, adanya panas pada
permulaan sakit, perubahan paralisis yang cepat menjadi maksimal
(dalam waktu 4 hari). Cara lain adalah menambahkan variable lain
misalnya penambahan pola neurologikyang dianggap khas seperti
kelumpuhan proksimal, unilateral, tidak adanya gangguan sensori. Pada
akhir program eradikasi sensitivitas diperlebar dengan memasukkan
border-line cases, yaitu semua penderita yang lumpuh layuh akut.
(Soedarmo, 2002)
Gambar 1. Kontraktur yang terjadi pada Polio(Soedarmo, 2002)
3) Pemeriksaan khusus. Pemeriksaan hantaran saraf dan elektromiografi
dapat merujuk secara lebih tepat letak kerusakan saraf secara anatomic.
Cara ini akan dapat memisahkan kerusakan motor neuron dengan
kelainan lain akibat demyelinasi pada saraf tepi, sehingga dapat
mempermudah membedakan polio dengan kelainan kerusakan lower
motor neuron lain, misalnya Guillain-Barre syndrome. Pemeriksaan lain
seperti pemeriksaan MRI dapat menunjukkan kerusakan di daerah
kolumna anterior, sedangkan pemeriksaan likuor memberikan gambaran
sel dan bahan kimia (kadar gula dan protein) yang sangat penting untuk
menentukan kerusakan yang terjadi pada sel motor neuron.(Soedarmo,
2002)
4) Pemeriksaan adanya gejala sisa neurologic (residual paralysis).
Pemeriksaan ini dilakukan 60 hari setelah kelumpuhan, untuk mencari
deficit neurologic, misalnya mencari kelumpuhan partial atau kelemahan
otot pada satu atau sekelompok otot. Pemeriksaan sebaiknya tepat waktu
(jangan diundur), karena kelemahan ini bias menghilang akibat adanya
kompensasi oleh otot lain atau perbaikan dari sisa otot yang masih baik.
Bilamana ada keraguan sebaiknya dilanjutkan dengan pemeriksaan
elektrodiagnostik. (Soedarmo, 2002)
H. Diagnosis Diferensial
1. Meningitis aseptic: meningitis TBC
2. Sindroma guillan barre (GBS)
3. Neuropati perifer akut
4. Myopati
5. Kompresi medulla spinalis akut (Estrada, 2009)
I. Pemeriksaan Penunjang
a. Darah Tepi Perifer
Tidak ada pemeriksaan yang spesifik untuk diagnosis poliomeilitis pada
gejala awal, sama seperti virus lainnya. Pemeriksaan darah perifer
mungkin dalam batas normal atau terjadi leukositosis pada fase akut
mayor illness yaitu 10.000-30.000/µl dengan predominan PMN. (Poerwo
soedarmo,2002)
b. Cairan Serebrospinal
Pada 90% kasus mayor illness, terjadi peningkatan jumlah sel bervariasi
20-300 sel/µl, pada umumnya dalan 72 jam pertama terjadi dominasi
PMN, selanjutnya dominasi limfosit dan jumlah sel menurun pada
minggu ke-2 menjadi 10-15/µl. terdapat penurunan kadar gula likuor dan
peninggian kadar protein 30-200mg/dl pada minggu ke-2, dan kembali
normal dalam sebulan. (Poerwo soedarmo,2002)
c. Pemeriksaan Serologik
Diagnosis poliomeilitis ditegakkan berdasarkan peninggian titer antibody
4x atau lebih antara fase akut dan konvalesens, yaitu dengan cara
pemeriksaan uji netralisasi dan uji fiksasi komplemen. Karena
complement fixing antibody mempunyai waktu yang lebih pendek
dibandingkan filter netralisasi, dan lebih kuat maka dapat ditentukan
adanya infeksi polio baru bial terdapat peninggian tes fiksasi komplemen.
Sangat membantu bila wabah disebabkan oleh type tertentu atau oleh
NPE yang lain. (Poerwo soedarmo,2002)
d. Isolasi Virus
Penderita mulai mengeluarkan virus ke dalam tinja saat sebelum fase
paralitik terjadi. Pada isolasi feses yang diambil 10 hari dari awitan dari
gejala neurologic, 80-90% positif untuk virus polio, oleh karena itu
ekskresi terjadi intermiten maka yang sebainya diambil 2 atau lebih
specimen dalam beberapa hari. Ekskresi dari faring dan cairan
serebrospinal jarang menghsilkan virus dan mempengaruhi cara
vaksinasi(Poerwo soedarmo,2002)
J. Tatalaksana
1. Terapi Lama
Polio tidak dapat disembuhkan dan obat anti-virus tidak
mempengaruhi perjalanan penyakit ini.Terapi poliomyelitis tak ada yang
spesifik, tetapi tergantung penyulit yang terjadi.Inhibisi metabolik untuk
mencegah serangan virus ke susunan saraf yang dilakukan in-vitro tidak
dapatdikerjakan pada manusia.Pemberian immunoglobulin mungkin dapat
mencegah penyebaran hematogen ke susunan saraf, tetapi bila fase
paralitik telah terjadi, sudah terlambat. Selain fisioterapi dan ortopedi
perlu diperhatikan fungsi yang lain. Manajemen pengobatan suportif yang
baik (respirasi buatan pada anak) gangguan respirasi atau
kardiovaskuler.Jika otot-otot pernafasan menjadi lemah, bisa digunakan
ventilator. (Soedarmo, 2002)
Tujuan utama pengobatan adalah mengontrol gejala sewaktu
infeksi berlangsung.Perlengkapan medis vital untuk menyelamatkan
nyawa, teruatma membantu pernafasan mungkin diperlukan pada kasus
yang parah.Jika terjadi infeksi saluran kemih, diberikan antibiotik.Untuk
mengurangi sakit kepala, nyeri dan kejang otot, bisa diberikan obat pereda
nyeri.Kejang dan nyeri otot juga bisa dikurangi dengan kompres
hangat.Untuk memaksimalkan pemulihan kekuatan dan fungsi otot
mungkin perlu dilakukan terapi fisik, pemakaian sepatu korektif atau
penyangga maupun pembedahan ortopedik. (Soedarmo, 2002)
a. Fase Pre-paralitik
Selama epidemik polio semua penderita dengan gejala
sistemik yang tak spesifik harus diperhatikan kemungkinan terjadi
paralisis. Tirah baring merupakan pengobatan yang penting untuk
menjaga terjadinya footdrop, bila anak tampak gelisah dapat
diberikan sedative ringan seperti diazepam, pada otot yang sakit
diberikan kompres buli-buli panas, dan dapat diberikan antipiretik
bila demam.Selain itu juga dianjurkan untuk diet tinggi kalori tinggi
protein. (Soedarmo, 2002)
b. Fase Paralitik
Selama fase akut dapat diberi analgetik non narkotik,
misalnya aspirin atau acetaminophen.Rasa nyeri pada otot dikurangi
dengan mengurangi manipulasidan untuk menghindari terjadinya
regangan pada otot diberikan splint.Perlu dilakukan gerakan pasif
pada otot secara halus.Dianjurkan fisioterapi dimulai pada masa
konvalesens untuk mencegah kontraktur.Pemberian cairan suplemen
bila per-oral kurang dan pemberian enema bila obstipasi.Setelah fase
akut lewat, mulai dilakukan fisioterapi aktif.Konsultasi ortopedi dapat
dilakukan segera tetapi operasi, biasanya dilakukan 1-2 tahun setelah
awitan.Braces mungkin dapat dipakai untuk mengkompensasi
kelemahan otot. (Soedarmo, 2002)
Gambar 2.Macam-macam bantuan khusus untuk kaki yang mengalami
deformitas.
2. Perkembangan Terapi
PeriacetabularOsteotomy(PAO) adalah pengobatan dengan
tindakanbedah untukdisplasiaacetabularyang mempertahankandan
memaksimalkan fungsisendi panggulpasien sendiribukan
menggantikannyadengan bagianbuatan.Tujuannya adalah
untukmengurangi rasa sakitpasien, mengembalikan fungsi, dan
memaksimalkankehidupanfungsional daripingguldisplastikmereka.
( Klenck dan Matta, 2007)
Osteotomydarispina iliaka anterior superiordengan tendonSartorius dan
ligameninguinaldilakukan untuk mengurangi keteganganpada
sarafkutaneus lateralisfemoralis. Singkatnya,Bernese
periacetabularosteotomy disediakanuntuk menahansendi panggulpada
pasien dengandisplasia dan subluksasisekunder progresif untukpolio.
Semua pasien mengalami penurunandalamkeparahan nyeri, dengan sedikit
peningkatandalam fungsi, dan hasilradiografiyang memuaskan pada
saatparuh waktutindak lanjut. (Sierra, Schoeniger, Millis, Ganz, 2010)
Gambar 3. Displasi pada panggul kanan seorang laki-laki 36 tahun akibat
poliomyelitis sebelum operasi
Gambar 4.Gambaran setelah operasi.
K. Pencegahan
1. Imunisasi pada usia balita yang terdiri dari 2 jenis vaksin yaitu OPV dan
IPV. Pemberian OPV dilakukan pada saat bayi berusia 6 minggu, 2 dosis
selanjutnya diberikan dengan interval minimal 4 minggu, pada daerah
endemi pemberian vaksin dapat dimulai saat bayi lahir.
2. Survailance accute flaccid paralysis atau penemuan penderita yang
dicurigai lumpuh layuh pada usia di bawah 15 tahun. Mereka harus
diperiksa tinjanya untuk memastikan karena polio atau bukan.
3. Melakukan mopping-up. Yakni, pemberian vaksinasi massal di daerah
yang ditemukan penderita polio terhadap anak usia di bawah lima tahun
tanpa melihat status imunisasi polio sebelumnya.
4. Menjauhi daeran endemi. (Pasaribu, 2005)
L. Komplikasi
Kelemahan otot:
a) Otot-otot tubuh terserang paling akhir
b) Refleks tendon menurun atau tidak ada sama sekali
c) Atrofi otot mulai terlihat 3-5 minggu setelah paralisis, dan menjadi
lengkap setelah 12-15 minggu serta bersifat permanen.
d) Gangguan fungsi otonom sesaat, biasanya ditandai retensi urin
e) Gangguan saraf kranial III, IX, dan X. Bila mengenai formasio retikularis
dibatang otak, maka terdapat gangguan pernafasan, menelan dan sistem
kardiovaskuler.
f) Sindrom pascafolio (Pasaribu, 2005)
M. Prognosis
Prognosis tergantung derajat penyakitnya. Pada polio ringan dan
sedang, kebanyakan pasien sembuh sempurna dalam jangka waktu singkat.
Penderita polio spinal 50% akan sembuh sempurna, 25% mengalami
disabilitas ringan, 25% disabilitas serius dan permanen. Sebanyak 1%
penderita polio berat akan mengalami kematian. (Dewanto, et al., 2003)
BAB III
KESIMPULAN
1. Poliomyelitis merupakan penyakit menular akut yang disebabkan oleh
poliovirus. Virus ini menyerang sistem saraf sehingga menyebabkan
kelumpuhan.
2. Polio tidak dapat disembuhkan dan obat anti-virus tidak mempengaruhi
perjalanan penyakit ini. Tujuan utama pengobatan adalah mengontrol gejala
sewaktu infeksi berlangsung
3. Untuk menurunkan angka kejadian dan kesakitan akibat Poliomielitis, telah
banyak dilakukan penelitian mengenai terapi Poliomielitis,salah satunya
adalah Periacetabular Osteotomi.
4. Dengan menggunakan metode baru ini telah terbukti dapat meningkatkan
ketahanan panggul, mengurangi nyeri, dan memperlambat progresifitas
osteoartritispada pasien dengan dysplasia panggul akibat polio.
DAFTAR PUSTAKA
Atkinson , Wolfe S, Hamborsky J, McIntyre L, eds. Epidemiology and Prevention
of Vaccine-Preventable Diseases. 11th ed. Washington DC: Public Health
Foundation; 2009
Dewanto, George., Wita J. Suwono, Budi Riyanto, & Yuda Turana.
2003.Panduan Praktis Diagnosis dan tata Laksana Penyakit Saraf.Jakarta : EGC
Estrada, Benjamin. 2009. Pediatric Poliomyelitis. Available at:
http://emedicine.medscape.com/article/967950-overview#showall on September
27, 2011.
Kindberg E, Ax C, Fiore L, Svensson L. Ala67Thr mutation in the poliovirus
receptor CD155 is a potential risk factor for vaccine and wild-type paralytic
poliomyelitis. J Med Virol. May 2009;81(5):933-6.
Matta, Joel M. , Robert E. Klenck . 2007. Periacetabular Osteotomi. Diakses di
http://www.hipandpelvis.com/patient_education/periace/page1.html pada tanggal
29 September 2011
Melnick JL. 1990. Enteroviruses. In: Virology. Fields BN 2nd ed.New New York:
Raven Press.
Pasaribu, Syahril. 2005. Aspek Diagnostik Poliomielitis. Available at:
http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/2030/1/anak-syahril2.pdf on
September 27, 2011.
Racaniello VR. One hundred years of poliovirus pathogenesis. Virology. Jan 5
2006;344(1):9-16.
Rahmawati, Dwi. 2008. Validitas Penapisan AFP Untuk Diagnosis Polio.
Available at: http://www.lontar.ui.ac.id/file?file=digital/123434-S-5383-Validitas
%20Penapisan-Pendahuluan.pdf on September 27, 2011.
Sierra , Rafael J., S. Ralf Schoeniger, Michael Millis, and Reinhold Ganz. 2010.
Periacetabular Osteotomy for Containment of the Nonarthritic Dysplastic Hip
Secondary to Poliomyelitis. Diakses di J Bone Joint Surg Am. 2010;92:2917-23
Soedarmo,Sumarmo S. Poorwo .2002. Buku Ajar Infeksi & Pedatri Tropis,
Bagian Ilmu Kesehatan Anak Ed.1.Jakarta : FK UI