laporan akhir penelitian lektor kepala

64
LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA TRANSFORMASI ARSITEKTONIK RUMOH ACEH DALAM ARSITEKTUR MASA KINI DI BANDA ACEH Tim Peneliti Cut Nursaniah, ST., MT (NIP. 19681013 199903 2 002) Dr. Ir. Mirza Irwansyah, MBA., MLA (NIP. 19620526 198710 1 001) Husnus Sawab, ST., MT (NIP. 19680823 199903 1 002) Dibiayai oleh: Universitas Syiah Kuala Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi Sesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan Pelaksanaan Penelitian Lektor Kepala Tahun Anggaran 2019 Nomor: 521/UN11/SP/PNBP/2019 tanggal 8 Februari 2019 FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS SYIAH KUALA OKTOBER, 2019

Upload: others

Post on 23-Oct-2021

8 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

LAPORAN AKHIR

PENELITIAN LEKTOR KEPALA

TRANSFORMASI ARSITEKTONIK RUMOH ACEH DALAMARSITEKTUR MASA KINI DI BANDA ACEH

Tim Peneliti

Cut Nursaniah, ST., MT (NIP. 19681013 199903 2 002)Dr. Ir. Mirza Irwansyah, MBA., MLA (NIP. 19620526 198710 1 001)Husnus Sawab, ST., MT (NIP. 19680823 199903 1 002)

Dibiayai oleh:Universitas Syiah Kuala

Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan TinggiSesuai dengan Surat Perjanjian Penugasan

Pelaksanaan Penelitian Lektor Kepala Tahun Anggaran 2019Nomor: 521/UN11/SP/PNBP/2019 tanggal 8 Februari 2019

FAKULTAS TEKNIKUNIVERSITAS SYIAH KUALA

OKTOBER, 2019

Page 2: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

"

~ (Cut Nursaoiah, ST., MT) NIP. 19681013 199903 2 002

Ketua Peneliti, Teknik, Unsyiah

Banda Aceh, 2J Oktober 2019

: Rp 57 .500.000,-

: Husnus Sawab, ST., MT : 19680823 199903 1 002 : Arsitektur dan Perencanaan

: Dr. Ir. Mirza Irwansyah, MBA., MLA ; 19620526 198710 1 001 : Arsitektur dan Perencanaan

Cut Nursaniah, ST., MT 19681013 199903 2 002

: Lektor KepaJa : Arsitektur : 081360248133 ; cutnursaniah a:unsviah.ac.id

: Transformasi Arsitektonik Rumoh Aceh dalam Arsitektur Masa Kini di Banda Aceh

Biaya

Anggota Peneliti (2) d. Nama Lengkap e. NIP f. Program Studi

Anggota Peneliti (1) a. Nama Lengkap b. NIP c. Program Studi

Ketua Peneliti a. Nama Lengkap b. NIP c. Jabatan Fungsional d. Program Studi e. NoHP f Alamat Sure! (e-mail)

Judul

HALAMAN PENGESAHAN LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEP ALA

,

Page 3: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

iii

RINGKASAN

Transformasi Arsitektonik Rumoh Aceh dalam Arsitektur Masa Kini di Banda Aceh(Cut Nursaniah, Mirza Irwansyah, Husnus Sawab: 2019)

Penelitian ini mencoba menemukan kekayaan arsitektur rumoh Aceh yang dapatmenjawab terhadap tantangan universalisme dan globalisisasi guna memberikan identitasarsitektur di Banda Aceh yang berakar pada arsitektur tradisional, yaitu rumoh Aceh.Arsitektur rumoh Aceh telah berkembang dari waktu ke waktu dengan perubahanberkelanjutan, transformasi dan adaptasi terhadap kondisi sosial dan ekonomi yang berbedadari setiap periode. Arsitektur rumoh Aceh hadir melalui penggunaan bahan lokal yang tepat,teknologi lokal, dan kearifan masyarakat lokal. Arsitektur rumoh Aceh yang merupakan bagiandari arsitektur vernakular Aceh hadir dan berkembang yang merupakan kebutuhan pada saatitu. Arsitektur vernakular pasti berkelanjutan karena merupakan produk dari beberapaeksperimen.

Rumah vernakular di aceh (contohnya rumoh Aceh) merupakan bangunan warisandengan teknik konstruksi yang tidak biasa, sangat adaptif dengan kondisi wilayah aceh yangmerupakan daerah gempa kuat. Rumah tradisional aceh hadir sebagai karya penting seorangutoh/pengrajin yang sangat kaya akan detail yang mencerminkan waktu mereka. Rumoh Acehmemiliki pengaruh yang signifikan terhadap karakter lingkungan sekitar, karena rumoh acehtelah dirancang dengan memperhatikan alam, menggabungkan dan mencerminkan gaya hidupdan budaya setempat. Melalui studi arsitektonik ini nantinya akan diungkap pemanfaatan apasaja yang dapat dilakukan dalam memanfaatkan potensi arsitektur tradisional rumoh Aceh kedalam arsitektur masa kini di Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Arsitektonis (Architectonic)merupakan teknik atau cara yang dipakai dalam menyelesaikan bentuk bangunan dan bagiankonstruksi/struktural yang mendukung bangunan tersebut serta mempunyai penyelesaian yangindah.

Tujuan khusus penelitian adalah untuk mengetahui sejauh mana proses transformasinilai-nilai arsitektur rumoh Aceh diaplikasikan pada arsitektur masa kini di Kota Banda Acehdan sekitarnya. Hasil penelitian berpotensi untuk menggugah wawasan pengambil kebijakandan masyarakat untuk melestarikan bangunan rumah adat tradisional, agar tingkatperkembangan pengetahuan nenek moyang yang diwujudkan dalam bangunan rumahtinggalnya dapat dilestarikan dan diaplikasikan pada masa sekarang seiring dengan tingkatperkembangan penggunaan bahan material dan kemajuan teknologi bangunan di masasekarang.

Penelitian ini termasuk jenis deskriptif dan argumentatitf karena menjelaskankonsekuensi kreatifitas penggunaan unsur-unsur arsitektur rumoh Aceh dalam menghasilkanwujud atau fungsi yang baru. Serta menggunakan pendekatan tipologi sebagai dasar untukmenentukan variabel perancangan. Teknik analisis merujuk pada teori transformasi arsitektur,dengan melihat dan mengamati elemen-elemen rumoh aceh yang ada pada bangunan modern,setelah terlebih dahulu mengidentifikasi elemen-elemen bangunan, tipologi bentuknya, sertamaterial yang menjadi identitas dari arsitektur rumoh Aceh. Transformasi arsitektur diartikansebagai perubahan bentuk dari deep structure yang merupakan struktur mata terdalam sebagaiisi struktur tersebut ke surface structure yang merupakan struktur tampilan berupa trukturmaterial yang terlihat. Menurut Prijotomo (1988), transformasi artinya perubahan dari bendaasal menjadi benda jadiannya, baik perubahan yang sudah tidak memiliki atau memperlihatkan

Page 4: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

iv

kesamaan atau keserupaan dengan benda asalnya maupun perubahan yang benda jadiannyamasih menunjukkan petunjuk benda asalnya. Pengamatan dilakukan terhadap objek arsitekturbergaya rumoh Aceh, baik yang berfungsi sebagai rumah tinggal, perkantoran, dan bangunankomersil di Kota Banda Aceh. Empat aspek yang digunakan sebagai dasar pengamatanterhadap bentuk dari pengetahuan lokal terkait dengan transformasi arsitektur rumoh Aceh kebangunan arsitektur masa kini, yaitu: 1). Bentuk bangunan; 2). Material dan sistem konstruksi;3). Fungsi bangunan; dan 4). Adaptasi dengan iklim dan lingkungan.

Hasil penelitian menyimpulkan, bahwa timbulnya kearifan lokal dari masyarakat acehyang tercermin dalam elemen-elemen perancangan sebagai arsitektonik rumoh aceh didorongoleh elemen pola pikir dan elemen Alam, menunjukkan kebijakan dan kemampuanmasyarakatnya menyelaraskan diri dengan alam sebagai lingkungan hidupnya, menghasilkankebijaksanaan mereka dalam menyusun pengetahuan yang dianggap baik bagi kehidupanmereka. Arsitektur rumoh aceh mengandung budaya arsitektonik yang terkait dalampemahaman cara membangun dan terkait seni berkonstruksi. Menentukan waktu mulaikonstruksi adalah masalah penting dalam budaya Aceh. Pemilik rumah mempekerjakan tukangkayu tradisional pada bulan tertentu yang dianggap paling menguntungkan untuk memulaipembangunan. Beberapa ritual dilakukan selama proses konstruksi. Orang Aceh menggunakanunit tradisional untuk pembangunan rumah. Unit utama adalah jaroe (jari), paleut (lebarpunggung tangan), dan hah (hasta). Unit sekunder adalah jeungkai (jarak antara ibu jari yangmenyebar dan jari tengah), lhuek (panjang seluruh lengan), dan deupa (fathom). Iklim dan alamaceh sebagai elemen pendorong terbentuknya kearifan-kearifan lokal dapat diidentifikasikanke dalam beberapa kondisi, yaitu geografis, kelembaban, pergerakan angin, musim kemaraudan penghujan, dan rawan gempa. Letak, lokasi di pesisir, dan posisi rumoh aceh sertadimensinya berdampak pada sistem ketahanannya dalam menerima gravitasi dan bebanhorisontal. Sebagai responnya beban bangunan dibuat ringan dengan beberapa karakterpembebanan. Transormasi arsitektur tradisional rumoh aceh dalam perancangan saat ini belummengalami transformasi yang dinamis hanya sebatas terhadap perwujudan skala bentuk,proporsi dan estetika semata, dimana konsep filosofi ini sudah mengalami tranformasi yanguniversal dan kebanyakan dimanfaatkan oleh institusi pemerintahan ataupun institusi besarlainnya yang ingin mengangkat kembali filosofi tersebut. Tranformasi disain arsitektonikrumoh aceh pada perkantoran di Banda Aceh, diidentiikasi dari beberapa elemen dalammelengkapi bangunan tersebut dengan bentuk panggung, bentuk atap, tulak angen dan ragamhiasnya, deretan tameh (tiang) dalam tampilan material modern, balok toi dan ro’, dan bagianseuramoe teungoh (serambi tengah). Sedangkan kantor bank syariah mandiri aceh mengadopsibentuk atap lipat pada bangunan lonceng cakradonya yang berada di kompleks museum acehdan atap rumoh aceh pada bagian tombak layarnya. Bangunan perkantoran yang menjadisampel berkarakter penggabungan antara arsitektur rumoh aceh dengan tampilan modern (Neo-vernakular). Tampilan modern terlihat dari penggunaan material beton bertulang, kaca, kayu,dan material atap dari produk pabrik, yang sifatnya lebih universal.

Adapun target luaran yang telah dicapai terutama publikasi pada prosiding terindeksscopus yang akan terbit pada bulan Desember 2019, dan artikel yang sedang dipersiapkanuntuk diterbitkan pada Jurnal Internasional Journal Built Environment, Elsevier. Luaranlainnya adalah menyampaian hasil penelitian dalam pertemuan ilmiah Internasional ICRP 2019di Penang pada awal November dengan prosiding terindeks APA, serta dalam persiapan bukuajar ber ISBN.

Page 5: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

v

PRAKATA

Puji dan syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, atas rahmat dan karuniaNya

maka pelaksanaan kegiatan penelitian bertopik arsitektur Rumoh Aceh yang berjudul

Transformasi Arsitektonik Rumoh Aceh dalam Arsitektur Masa Kini di Banda Acehtelah terlaksana dan diselesaikan dengan tepat waktu. Teriring juga shalawat serta salam

kami sampaikan kepada junjungan kita Nabi Besar Muhammad SAW yang telah menuntun

hambannya dari alam kebodohan menuju alam yang penuh dengan ilmu pengetahuan.

Penelitian ini dilaksanakan di wilayah Kota Banda Aceh besar dan sekitarnya,

dimana saat ini masyarakat dan Pemerintah sudah mulai mempunyai perhatian kembali

terhadap keberlanjutan arsitektur tradisional rumoh aceh. Sampel penelitian bangunan

arsitektur rumoh aceh kontemporer yang difungsikan sebagai bangunan perkantoran publik

dan bisnis, untuk mengetahui bagaimana proses transformasi arsitektonik rumoh aceh pada

bangunan kontemporer tersebut.

Kegiatan penelitian ini tidak akan berhasil tanpa adanya kerjasama antara Tim

Peneliti dan Lembaga Penelitian dan Pengabdian kepada Masyarakat (LPPM) Unsyiah, baik

dalam bentuk pendanaan maupun publikasi hasil penelitian. Karena itu, sangat diharapkan

kerjasama yang baik ini akan tetap berlanjut untuk masa-masa yang akan datang. Kami juga

menyadari masih banyaknya kekurangan disana sini dalam laporan akhir ini, maka kritik

membangun sangat kami hargai untuk perbaikan hasil penelitian dan laporan akhir ini.

Akhirnnya hanya kepada Allah SWT kita berserah diri, semoga hasil dari penelitian

ini akan banyak member manfaat bagi kita semua. Mudah-mudahan semua bantuan dan

dukungan yang diberikan menjadi amal shaleh disisi Allah SWT. Aamiin....

Banda Aceh, 31 Oktober 2019

Tim Peneliti

Page 6: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

vi

DAFTAR ISIhal

HALAMAN SAMPUL …………………….....………………………......... i

HALAMAN PENGESAHAN ……………………………………………… ii

RINGKASAN ………………………………………………………….…… iii

PRAKATA ……………………………………………………………….… iv

DAFTAR ISI……………………………………………………………..….. v

BAB 1 PENDAHULUAN…………………………………………… 1

1.1 Latar Belakang……………………………………………………..... 1

1.2 Perumusan Masalah ………………………………………………... 3

1.3 Urgensi (keutamaan) Penelitian ..………………………………....... 4

1.4 Batasan Penelitian .........……………………………………………. 4

BAB II TINJAUAN PUSTAKA ......……………………………….. 5

2.1 State of the Art Review Penelitian ..………………………………… 5

2.2 Pengertian Arsitektonik .....................……………………….……… 6

2.3 Penerapan Arsitektonik dalam Arsitektur .......................................... 8

2.4 Arsitektonik, Struktur Konstruksi, dan Perancangan Arsitektur ......... 10

2.5 Tinjauan Transformasi Arsitektonik ................................................... 11

BAB III TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN ............................ 14

3.1 Tujuan Penelitian ................................................................................. 14

3.2 Manfaat Penelitian ............................................................................... 14

BAB IV METODE PENELITIAN…………………………………..… 16

4.1 Konsep Perancangan Metode Penelitian ..………………………...… 16

4.4 Lokasi Penelitian ................................................................................. 17

BAB V HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI .........................… 19

5.1 Budaya Arsitektonik ............................................................................ 19

5.2 Konsep Disain Rumoh Aceh ............................................................... 20

5.3 Filosoi dan Transformasi Disain Arsitektonik Rumoh Aceh .............. 28

5.4 Transformasi Fungsi Rumoh aceh ....................................................... 34

Page 7: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

vii

5.5 Artikulasi Elemen-elemen .................................................................... 36

BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ...………………………................. 42

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………… 44

DAFTAR TABEL ............................................................................................. viii

DAFTAR GAMBAR ........................................................................................ ix

LAMPIRAN- Artikel Ilmiah yang Dihasilkan- Personalia Tenaga Peneliti beserta Kualifikasinya- Foto dan Gambar aktifitas

Page 8: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

viii

DAFTAR TABEL

hal

Tabel V.1 Potensi Aplikasi Elemen-elemen Rumoh Aceh ...................... 34

Page 9: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

ix

DAFTAR GAMBAR

hal

Gambar 4.1 Lokasi Penelitian .............................................................................. 17Gambar 4.2 Bagan Alir Penelitian ....................................................................... 18Gambar 5.1 Denah rumoh aceh standar, terdiri dari 3 ruang utama dan dapat juga

ditambahkan ruang dapur yang terpisah dari seuramo likot ............. 21Gambar 5.2 Ruangan Rumoh Aceh dapat diperluas dari bentuk standar, dengan

penambahan ruang ke arah depan maupun ke arah belakang ........... 22Gambar 5.3 Rumoh Aceh standar terdiri dari tiga ruang dengan tinggi lantai

seuramo-keue dan seuramo likot 2 meter, dan tinggi ruang tunggai2,5 meter dari muka tanah ................................................................. 22

Gambar 5.4 Ilustrasi aliran udara pada perkampungan tradisional aceh ............... 23Gambar 5.5 Rumoh aceh dengan penambahan beranda yang disebut seulasa ...... 24Gambar 5.6 Sistem konstruksi sambungan elemen-elemen kayu yang sederhana

pada rumoh aceh menghasilkan struktur yang elastis dan mampumereduksi energi gempa .................................................................... 24

Gambar 5.7 Sambungan rangka atap menggunakan sistem ikat dengan tali ijuk,tali bisa dipotong agar konstruksi atap jatuh untuk menyelamatkanrumah jika terjadi kebakaran ............................................................... 25

Gambar 5.8 Disain arsitektonik rumoh aceh pada penerusan sambungan balokdan tiang(tameh raja dan tameh putro) ............................................... 25

Gambar 5.9 Atap bangunan yang lebar dalam proporsi besar dibandingkandengan badan dan kaki, sebagai penyeimbang/penstabil bangunan ... 26

Gambar 5.10 Sistem sambungan rangka rumoh aceh .............................................. 27Gambar 5.11 Ruangan Rumoh Aceh dapat diperluas dari bentuk standar, dengan

penambahan ruang ke arah depan maupun ke arah belakang ............. 29Gambar 5.12 Denah standar rumoh aceh ................................................................. 30Gambar 5.13 Anatomi rumoh aceh .......................................................................... 32Gambar 5.14 Transformasi disain arsitektonik rumoh aceh pada bangunan

perkantoran terhadap perwujudan skala bentuk, proporsi dan estetika 33Gambar 5.15 Elemen-elemen disain arsitektonik rumoh aceh yang berpotensi

ditransformasikan pada bangunan modern ......................................... 34Gambar 5.16 Memfungsikan kembali rumoh aceh sebagai tempat berbisnis kuliner,

dengan memanfaatkan bagian kolong dan atas rumah ........................ 35Gambar 5.17 Salah satu cara penghadiran bangunan balee pertemuan penunjang

mesjid dengan arsitektur vernakular rumoh santeut ............................. 36

Page 10: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

1

BAB IPENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Arsitektur pada dasarnya adalah merupakan produk jaman, sehingga setiap studi

tentang arsitektur sebenarnya terkait erat dengan segala upaya penafsiran/pemahaman

terhadap makna obyek atau tanda-tanda yang membentuk arsitektur tersebut terhadap

jamannya. Perkembangan arsitektur di Indonesia dan Banda Aceh khususnya, akhir-akhir

ini menunjukkan adanya sebuah gejala pada bentuk dan detail yang minimalis. Tampilan

bangunan perkantoran, bangunan akademik, dan perumahan semakin universal menjauh dari

identitas lokal dimana obyek tersebut berada. Maraknya keadaan ini tentu akibat pengaruh

globalisasi dan universalisasi. Sangat disesalkan juga, tidak terpeliharanya banyak bangunan

bernilai arsitektural dan sejarah tinggi dengan berbagai alasan, seperti semakin hilangnya

rumoh Aceh, tidak terpeliharanya kota lama, dan yang paling baru hilangnya identitas taman

sari. Alasan yang paling mendesak tentu saja adalah modernisme agar tidak tertinggal

peradaban. Apapun alasannya, yang pasti adalah akibat kurangnya apresiasi terhadap nilai-

nilai tersebut.

Melihat kondisi tersebut penelitian ini mencoba menemukan kekayaan arsitektur

rumoh Aceh yang dapat menjawab terhadap tantangan universalisme dan globalisisasi guna

memberikan identitas arsitektur di Banda Aceh yang berakar pada arsitektur tradisional,

yaitu rumoh Aceh. Arsitektur rumoh Aceh telah berkembang dari waktu ke waktu dengan

perubahan berkelanjutan, transformasi dan adaptasi terhadap kondisi sosial dan ekonomi

yang berbeda dari setiap periode. Arsitektur rumoh Aceh hadir melalui penggunaan bahan

lokal yang tepat, teknologi lokal, dan kearifan masyarakat lokal. Arsitektur rumoh Aceh

yang merupakan bagian dari arsitektur vernakular Aceh hadir dan berkembang yang

merupakan kebutuhan pada saat itu. Arsitektur vernakular pasti berkelanjutan karena

merupakan produk dari beberapa eksperimen.

Bukan juga tidak ada perhatian dari Pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk

melestarikan budaya Aceh melalui pembangunan di Kota Banda Aceh, namun yang

dilakukan belum maksimal dan tidak berkelanjutan. Kenyataannya, belum nampak adanya

karakter budaya tertentu pada wajah kota Banda Aceh. Bangunan yang muncul dengan

nuansa arsitektur Aceh pun masih dapat dihitung dengan sepuluh jari.

Page 11: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

2

Pada era delapan puluhan Pemerintah Aceh dan kalangan lainnya pernahi mencoba

menerapkan nilai-nilai arsitektur Rumoh Aceh pada perancangan gedung-gedung

perkantoran di Kota Banda Aceh. Karakter dan bentuk Arsitektur Rumoh Aceh tersebut

merupakan simbol utama arsitektural yang ingin diperlihatan ataupun sebagai pelingkup

yang dapat mempertegas nuansa lokal dalam arsitektur. Institusi pemerintahan, museum,

perhotelan dan kawasan wisata, serta rumah masyarakat merupakan perwujudan bentuk

arsitektur yang mudah dijumpai menerapkan transformasi bentuk dan karakter arsitektur

rumoh Aceh bahkan mulai memberikan sentuhan yang dinamis dengan memadukan konsep

tema yang universal ke dalam bentuk dan karakter arsitektur tradsional lokal sehingga

memberi tampilan baru yang menarik. Perwujudan nilai-nilai arsitektur Rumoh Aceh dan

tampilan visualnya pada arsitektur masa kini tersebut menjadi bukti masih besarnya harapan

untuk mentransformasikan nilai-nilai tradisional Aceh sebagai cara berekspresi untuk

praktek arsitektur. Menurut Mahastuti (2018), ada tiga kemungkinan cara transformasi dan

korelasinya dengan kestabilan makna-makna:

1) Transformasi tradisi dan lansekap tradisional seutuhnya tanpa merubah bentuk dan

hanya sekedar memalihkan dengan penyesuaian fungsional dan konteks ruang dan

waktu;

2) Transformasi yang menghasilkan bentuk baru melalui reinterpretasi, reinvention

atau bahkan dekonstruksi atas struktur-struktur tradisi atau lansekap tradisional

eksisting ada untuk menghasilkan pemaknaan baru dari tradisi asli. Pembentukan

kode baru bisa juga dilakukan lewat upaya pembongkaran secara kritis semua

rujukan dari tradisi dan menjelajahi dimensi lain dari tradisi tersebut atau lapisan

pengalaman perseptual lain dari tradisi yang selama ini mungkin terabaikan; atau

3) Menaikan praktek kode yang biasanya hanya pada paras tekstual menjadi yang

bersifat miliu; dari yang bersifat representasi menjadi simulasi pengalaman di mana.

Dalam konteks ini nilai-nilai tradisional bukan sekedar dibaca, namun dialami dalam

konteks kekinian. Dalam konteks simulasi, transformasi makna merupakan peristiwa

rekonstitusi nilai-nilai tradisional dengan tujuan menciptakan habitat tradisional baru

di masa kini yang orisinal dan otentik, yang tetap mengindahkan nilai-nilai

tradisional namun bebas dari logosentrisme masa lalu.

Pemanfaatan bentuk rumoh Aceh pada perwujudan arsitektural merupakan

eksplorasi konsep bangunan yang pernah dikembangkan pada masa lalu untuk dilihat

bagaimana perkembangannya pada masa kini di dalam lingkungan baru yang jauh dari asal

Page 12: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

3

tradisinya dalam konteks arsitektur. Pemanfaatan tersebut dilakukan untuk menjembatani

kehadiran arsitektur tradisional sebagai bagian dari konsep yang dapat mempertegas

identitas lokal maupun menjadikannya sebagai suatu bentuk utama/iconic arsitecture dalam

membentuk image/citra bagi suatu karya arsitektural. Melalui studi arsitektonik ini nantinya

akan diungkap pemanfaatan apa saja yang dapat dilakukan dalam memanfaatkan potensi

arsitektur tradisional rumoh Aceh ke dalam arsitektur masa kini di Kota Banda Aceh dan

sekitarnya. Arsitektonis (Architectonic) merupakan teknik atau cara yang dipakai dalam

menyelesaikan bentuk bangunan dan bagian konstruksi/struktural yang mendukung

bangunan tersebut serta mempunyai penyelesaian yang indah.

Kekhasan arsitektur rumoh Aceh dapat dipandang sebagai sesuatu yang statis dan

dinamis. Kedinamisan dapat ditunjukkan melalui pelestarian dengan menggunakan kembali

unsur-unsur arsitektur tradisional masa lalu dalam konteks masa kini. Penggunaan kembali

arsitektur masa lalu tersebut harus lebih kritis melalui usaha-usaha merekontekstualisasi

arsitektur masa lalu di masa kini, tidak hanya melalui konservasi-konservasi terhadap

bendanya melainkan juga melalui wujud ‘penggunaan representasinya’ atau idenya atau

gagasannya atau spiritnya yang merujuk pada benda tersebut. Nilai-nilai tidak berhenti di

masa lalu, namun dapat disesuaikan dengan perkembangan jamannya, sehingga tidak

dianggap sebagai artefak benda yang statis dan beku. Masa kini hendaknya dipahami sebagai

proses dialog antara masa lalu, kini dan mendatang.

1.2 Perumusan Masalah

Berdasarkan ulasan di atas, maka dapat dirumuskan beberapa permasalahan

penelitian, sebagai berikut:

1. Tampilan bangunan perkantoran, bangunan akademik, dan perumahan semakin

universal menjauh dari identitas lokal dimana obyek tersebut berada;

2. Kekayaan arsitektur rumoh Aceh dapat menjawab terhadap tantangan universalisme

dan globalisisasi guna memberikan identitas arsitektur di Banda Aceh yang berakar

pada arsitektur tradisional, yaitu rumoh Aceh;

3. Perhatian dari Pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk melestarikan budaya Aceh

melalui pembangunan di Kota Banda Aceh belum maksimal dan tidak berkelanjutan.

Page 13: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

4

1.3 Urgensi Penelitian

Untuk menyelamatkan Arsitektur Tradisional Rumoh Aceh dari perkembangan

terkini yang sangat dipengaruhi globalisasi, sebuah studi komprehensif tentang rumoh aceh

dari sisi arsitektoniknya sangat penting dilakukan untuk pemahaman yang lebih baik

bagaimana mengaplikasikan simbol budaya rumoh Aceh sebagai karakter wajah Kota Banda

Aceh, sehingga tidak kehilangan identitasnya. Menurut Fielden (1998), bangunan tradisional

sebagai bangunan bersejarah, bisa memberi informasi dari rasa ingin tahu tentang orang dan

budaya yang memproduksinya. Melalui Arsitektur tradisional Rumoh Aceh orang bisa

berhubungan dan belajar dari pendahulunya terkait inovasi di masa lalu. Inovasi ini bisa

dilihat melalui gaya dan desain arsitektur, material dan tekstur, serta teknik bangunan dan

konstruksi.

Sebuah studi komprehensif tentang rumoh aceh (rumah tradisional Aceh) yang

berkonstruksi kayu sangat penting untuk meningkatkan pemahaman rasionalitas tentang

rumoh Aceh yang transformatif dan dapat digunakan sampai sekarang dan mendatang

melalui kreativitas yang baru. Melalui pemahaman tentang transformasi diharapkan dapat

dikenali unsur-unsur yang dapat dikembangkan untuk konteks sekarang dan mendatang.

Studi ini dapat menggambarkan sejauh mana penerapan unsur-unsur arsitektur rumoh Aceh

pada konsteks bangunan baru di masa modern saat kini.

Hasil penelitian sangat penting untuk pelestarian dan konservasi rumah tradisional

aceh. Kegagalan dalam proses perkembangan Arsitektur Tradisional Aceh dapat

mengakibatkan matinya seluruh konsep yang telah dikembangkan para pendahulu kita

selama ratusan tahun.

1.4 Batasan Penelitian

1. Studi ini berkaitan dengan rumah vernakular yang dapat ditelusuri kembali ke pola

dasar rumah tradisional Aceh. Ini yang akan menjadi sampel data dalam penelitian

ini;

2. Arsitektonis merupakan teknik atau cara yang dipakai dalam menyelesaikan bentuk

bangunan dan bagian konstruksi/struktural yang mendukung bangunan tersebut serta

mempunyai penyelesaian yang indah.

Page 14: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 State of the Art Review Penelitian

Penelitian ini dilakukan secara deskriptif dan argumentatif sebagai kesinambungan

dari penelitian tahun 2005, yakni mengkaji filosofi sistem struktur rumoh Aceh. kemudian

berlanjut dalam penelitian tahun 2018 melakukan studi tipologi struktur dan konstruksi

rumah vernakular di Aceh (salah satunya rumoh Aceh) dalam beradaptasi dengan energi

gempa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem konstruksi penahan beban gempa pada

rumoh Aceh sudah memadai untuk mereduksi gempa. Struktur, material, dan sistem

konstruksinya dapat menyalurkan gaya inersia gempa dari tiap-tiap elemen struktur kepada

struktur utama gaya horisontal yang kemudian memindahkan gaya-gaya ini ke pondasi dan

ke tanah. Pendekatan desain pada arsitektur vernakular Aceh bukan hanya dengan cara

memperkuat struktur bangunan, tetapi adalah dengan mereduksi gaya gempa yang bekerja

pada bangunan. Menunjukkan desain rumoh Aceh sangat strategis untuk dijaga

keberlanjutannya hingga saat ini dan akan datang.

Penelitian tentang Rumoh Aceh yang telah dipublikasikan pada Jurnal Internasional

belum ditemukan. Mayoritas pembahasan tentang rumoh Aceh berupa buku, membahas

sosial budayanya, Arsitektur Rumoh Aceh yang Islami, ditulis oleh Husin, dkk (2003), dan

Rumah Tradisional Etnis-etnis di Aceh yang diprakarsai oleh Dinas Kebudayaan dan

Pariwisata Aceh (2015). Dimana Taqiuddin menulis tentang alih fungsi rumoh Aceh sebagai

alternatif untuk pelestarian rumoh Aceh dengan konsep kekinian karena ada perbedaan

masyarakat dahulu dan masyarakat sekarang akibat gaya hidup dan perkembangan ekonomi.

Namun artikel terkait menjelaskan gaya vernakular di dunia termasuk Indonesia sudah

banyak dibahas dalam jurnal internasional, seperti menunjukkan adaptasi terhadap iklim

lokal, geografi, dan lingkungan atau dalam perlengkapan dan keterbatasan-keterbatasan

materi tertentu yang digunakan dalam konstruksi.

Penelitian Setijanti (2012) bertujuan untuk membawa nilai dan bentuk arsitektur

tradisional ke dalam desain perumahan kontemporer dan pada saat yang sama membawa

kesadaran pada pelestarian arsitektur vernakular. Merupakan penelitian deskriptif dengan

menggunakan metode kualitatif dengan perumahan vernakular di Padang sebagai sampel.

Penelitian ini juga mengeksplorasi tipologi perumahan vernakular di Padang berdasarkan

Page 15: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

6

bahan, bentuk, dan fungsi. Selanjutnya, konektivitas antara bentuk arsitektur dan sistem nilai

sosial, dan aspek adaptasi lingkungan diperiksa. Dari hal-hal tersebut, aspek normatif dari

perumahan vernakular diformulasikan. Berdasarkan formulasi, desain baru dapat

dikembangkan untuk mengatasi tantangan dunia baru tetapi masih memiliki inti dari

arsitektur vernakular. Dalam disertasi Takano (2015) menunjukkan ada kekuatan dan

kelemahan untuk penggunaan kayu dalam pembangunan berkelanjutan. Dalam pengertian

ini, pentingnya beragam perspektif terhadap bahan bangunan telah disoroti. Dibahas juga

kontribusi kayu pada lingkungan lebih positif ketika digunakan lebih banyak.

2.2 Pengertian ArsitektonikPengertian Arsitektonik atau architectonic, yaitu struktur logis yang diberikan

oleh akal (terutama melalui pemanfaatan pembagian berlipat-dua dan berlipat tiga), yang

harus digunakan oleh filsuf sebagai rencana untuk mengorganisasikan isi sistem apa pun.

Berdasarkan etimologi, istilah arsitektonik atau architectonic berasal dari :

- Dalam Bahasa Latin yaitu architectonicus, artinya dari, berhubungan dengan, atau sesuai

dengan prinsip-prinsip arsitektur.

- Dalam Bahasa Yunani yaitu architektonikos, dari architektōn, artinya terorganisir dan

memiliki struktur terpadu yang menyarankan sebuah desain arsitektur. Tektonika

berkaitan erat dengan material struktur, dan konstruksi, namun tektonika lebih

menekankan pada aspek estetika yang dihasilkan oleh suatu sistem struktur atau ekspresi

dari suatu konstruksi dari pada aspek teknologinya.

Istilah tektonik berasal dari bahasa Yunani yang merujuk pada pelaksana

pembangunan atau tukang kayu. Dari pemikiran Karl Freidrich Schinkel (1781-1841),

tektonika merupakan ekspresi arsitektural yang muncul sebagai konsekuensi prinsip

mekanika yang diterapkan dalam bangunan. Tektonik merupakan ekspresi yang terungkap

akibat penerapan prinsip statika yang bekerja pada wujud konstruksi yang ada, sehingga

selain ekspresi yang terungkap itu, terdapat pula pemahaman dalam lingkup struktur dan

konstruksinya. Ping-Gao (1999) mengemukakan dua pernyataan tentang tektonika, yaitu 1).

Berkenaan dengan terciptanya keruangan akibat hubungan dan kesesuaian antara material,

sambungan, detail dan struktur; dan 2). Berkenaan dengan seni dan kreasi bentuk yang tidak

hanya bermakna sebagai tempat berlindung dan berteduh, namun pengetahuan yang

menghadirkan suatu konstruksi.

Page 16: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

7

Semper lebih menegaskan klasifikasi bangunan (arsitektur) dengan 2 (dua) prosedur

yang mendasari proses perakitannya, yakni 1). Tektonika yang merupakan rangka ringan

yang terdiri dari komponen linier membentuk matrik spasial; dan 2). Tahapan stereotomik

yang berupa bagian dasar dimana massa dan volume ruang terbentuk dari elemen-elemen

berat.

Tektonika berasal dari kata tekton dan sering ditulis sebagai kata tektonamai dalam

bahasa Yunani yang secara harafiah berarti pertukangan kayu atau pembangun. Berikut ini

adalah penjelasan mengenai arsitektonik menurut beberapa tokoh :

Kenneth Frampton (1995) dalam bukunya Studies in Tectonic

Culture, menyebutkanbahwa tektonika berasal dari kata tekton dan sering ditulis

sebagai kata tektonamaidalam bahasa Yunani, yang secara harfiah

berarti pertukangan kayu atau pembangun. Dalam bahasa Sansekerta dapat

disamakan dengan kata taksan yang juga berarti seni pertukangan kayu yang

menggunakan kapak.

Adolf Heinrich Borbein pada tahun 1982 (Frampton, 1995) pada studi Philologi

nya yang mengatakan bahwa tektonika menjadi seni dari pertemuan atau

sambungan; seni dalam hal ini ditekankan pada tekne, sehingga tektonika ternyata

bukan hanya bagian dari bangunan tetapi juga obyek atau sebagai karya seni pada

arti yang lebih sempit.

Penggunaan istilah tektonika secara arsitektural dipakai di Jerman dan muncul di

buku pegangan karya Karl Otfried Muller berjudul "Handbuch der Archeologie

der Kunst”(Handbook of the Archeology of Art) 1830,yang mendefinisikan tektonik

sebagai penggunaan sederet bentuk seni pada peralatan, bejana bunga, pemukiman

dan tempat pertemuan, yang dibentuk dan dikembangkan di satu sisi pada

penerapannya dan di sisi lain untuk menguatkan ekspresi perasaan dan pengertian

atau buah pikiran seni.

Tektonika pada arsitektur sering kali dilakukan karena ingin memberikan penekanan

pentingnya suatu bagian tertentu dari bangunan dan keinginan mengekspresikan sesuatu

perasaan yang mendalam pada bangunan.

Karl Botticher dalam bukunya The Tektonic of Helen 1843 dan 1852,

menginterpretasikan kata tektonik sebagai pemberi arti pada sistem ikatan yang

lengkap dari semua bagian kuil Yunani menjadi keseluruhan yang utuh, termasuk

rangka dari sculpture dalam segala bentuk. Tahun 500 SM di Yunani diklaim sebagai

Page 17: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

8

masa munculnya (raison d ‘etre) tradisi arsitektur. Secara etimologi, kata arsitektur

atau arche-tekton lahir dari tradisi Yunani. Dalam ranah metode berpikir Yunani

terdapat pola pencampuran antara mitologi, mistisisme, dan matematika yang

terangkum dalam ilmu filsafat Yunani. Dari dasar itulah terbentuk wujud arsitektur

Yunani seperti arsitektur kuil tempat pemujaan terhadap dewa (kuil Parthenon),

sistem proporsi matematis Golden Section yang lahir dari konsep Pythagoras serta

kolom -kolom Doric, Ionic, Corinthian sebagai sistem simbol feodalisme Yunani.

Sementara itu Semper mengklasifikasikannya pada bangunan menjadi dua prosedur

yang mendasar, yaitu tektonika dari rangka ringan yang terdiri dari komponen-

komponen linier dikelompokan membentuk matrik spasial dan stereotomik bagian

dasar dimana massa dan volume terbentuk dari elemen-elemen berat.

Pada tahun 1973 Eduard Sekter dalam Structure, Construction and

Tectonicsmendefinisikan tektonik sebagai ekspresi yang ditimbulkan oleh

penekanan struktur dari bentuk konstruksi, dengan demikian hasil ekspresi tektonika

tidak dapat diperhitungkan hanya sebagai istilah pada struktur dan konstruksi saja.

2.3 Penerapan Arsitektonik dalam ArsitekturDalam perkembangannya, tektonika tidak hanya ditujukan untuk bahan-bahan berat

atau ringan melainkan juga cara memperlakukan bahan-bahan tersebut (Mahatmanto,

1999:16). Menyusun dan “membuat” disini memasukkan juga kegiatan seperti menjalin,

merajut, menganyam dari bahan-bahan ringan seperti rumput, alang-alang, rotan tali,

benang, kain, membran, dan sebagainya. Menganyam, menjalin, dan merajut adalah

kegiatan-kegiatan mendasar dalam kebudayaan.

Hubungan antara struktur dan konstruksi dengan arsitektur secara umum dapat

dibedakan menjadi dua:

1. Struktur hanya dipakai untuk keperluan mewujudkan rancangan sebuah bangunan.

Elemen-elemen struktur hanya sebagai elemen penerus beban sedang karakteristik

struktur tidak ikut memberikan nilai estetika arsitekturalnya;

2. Struktur terintegrasi dengan fungsi dan bentuk bangunan. Dengan demikian elemen-

elemen struktur sekaligus adalah elemen-elemen arsitektural yang ikut serta

memberikan nilai arsitektural. Arsitektonik lebih menitikberatkan pada poin yang ke

dua, yaitu kemampuan menemukan bentuk-bentuk yang menarik dari elemen-

Page 18: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

9

elemen struktur untuk diterapkan dalam perancangan arsitektur yang mungkin akan

memacu semangat akan pemahaman struktur secara mendalam.

Struktur dan Konstruksi memang merupakan aspek teknis namun disisi lain juga

merupakan aspek simbolik yang representatif. Suatu karya arsitektur dapat berdiri karena

terdapat pertimbangan struktur dan konstruksi didalamnya, namun tetap dalam kapasitasnya

sebagai sebuah karya arsitektur, yang tetap menitik beratkan pada pengolahan-pengolahan

bentuk dan elemen dari sistem struktur yang diterapkan.

Dalam hal ini arsitektonik berperan memberi artikulasi pada mekanisme penyaluran

beban dan elemen-elemen struktur, mengolah bentuk secara inovatif hingga menghasilkan

potensi bentuk arsitektural secara keseluruhan maupun sambungan detail-detail konstruksi

yang digunakan. Bentuk-bentuk yang digunakan hendaknya mempunyai nilai filosofi dalam

seni bangunan, bukan sekedar detail-detail figuratif yang abstrak.

Tektonika tak berhenti pada sistem struktur saja, tetapi berlanjut kedalam elemen

konstruksi seperti kolom-kolom, dinding-dinding, balok-balok, detail-detail sambungan.

Untuk menggabungkan bentu-bentuk arsitektur dan tektonika dibutuhkan suatu pengetahuan

dan kepekaan terhadap desain dan material-material yang ada. Pencitraan masing-masing

material harus benar-benar dipahami.

Memahami arsitektonik bukan sesuatu hal yang dapat dipelajari secara teoritis, tetapi

diperlukan latihan-latihan dan uji coba. Pada tahap lanjut, diperlukan suatu pemikiran yang

holistik(terpadu) antara prinsip-prinsip perancangan, konsep struktur, pengetahuan iklim

sosial dan budaya, dan lain-lain yang menunjang ide desain arsitektural secara utuh.

Kemampuan menemukan bentuk-bentuk yang menarik dari elemen-elemen struktur

untuk diterapkan dalam perancangan arsitektur mungkin akan memacu semangat untuk

mempelajari struktur secara lebih dalam.

Aspek struktur dan konstruksi di satu sisi memang merupakan aspek teknik namun

di sisi lain mempunyai aspek simbolik yang representatif. Biar bagaimanapun juga suatu

karya arsitektur bisa diwujudkan dengan material yang memenuhi suatu persyaratan struktur

diantaranya adalah ‘stabil’ (bisa berdiri) dan kuat (mampu menahan gaya-gaya yang

bekerja) serta persyaratan lain yang kemudian akan dirinci oleh seorang ahli struktur

(structural engineer).

Namun sebagai suatu karya seni, arsitektur seharusnya memberi perhatian lebih pada

kreatifitas pengolahan bentuk elemen-elemen dari suatu sistem struktur yang diterapkan.

Juga mempunyai pengenalan yang baik dan benar terhadap properti material bangunan

Page 19: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

10

sehingga arsitek dapat memilih secara tepat material yang hendak dipakai, sampai kepada

memutuskan metoda konstruksi yang sesuai. Disinilah arsitek bicara

dengan tektonika untuk membuat karya arsitektur menjadi lebih kreatif dan kaya akan

makna.

Tektonika berperan memberi artikulasi pada mekanisme penyaluran beban dari

elemen-elemen struktur. Pengolahan bentuk secara inovatif hingga menghasilkan potensi

ekspresi bentuk arsitektural secara keseluruhan maupun ekspresi seni dari detail-detail

sambungan dari konstruksi yang digunakan. Bentuk-bentuk yang dihasilkan merupakan

bentuk-bentuk artistik yang mempunyai makna nilai seni, bukan hanya bentuk yang abstrak

atau sekedar figurative bahkan mampu mengekspresikan simbolik filosofis dari bangunan.

Sejak zaman dahulu, Indonesia yang terdiri dari berbagai suku dan beragam adat

istiadat memiliki rumah adat yang menjadi ciri tiap suku. Dengan adat istiadat masing-

masing, masyarakat Indonesia yang kental dengan prosesi adat dan kepercayaannya,

mengaplikasikannya pada rumah tradisional mereka. Kita tidak hanya akan menemukan

rumah tradisional yang memiliki bentuk dan ornamen yang memiliki nilai estetika tinggi,

juga kemajuan masyarakat Indonesia masa lampau dalam bidang konstruksi. Dapat

dikatakan, penerapan arsitektonik dalam arsitektur telah lama diaplikasikan oleh masyarakat

Indonesia sejak masa lampau, terbukti dari rumah-rumah tradisional tersebut.

2.4 Arsitektonik, Struktur Konstruksi, dan Perancangan Arsitektur

Seperti yang sudah dipaparkan di atas, Tektonika berperan dalam mengabungkan

kesenjangan antara struktur dan konstruksi dengan perancangan dalam arsitektur, tektonika

membedakan struktur dan konstruksi menjadi dua bagian, yaitu :

1. Struktur hanya dipakai untuk keperluan mewujudkan rancangan sebuah bangunan.

Elemen-elemen struktur hanay sebagai elemen penerus beban,sedang karakteristik

struktur tidak ikut memberikan nilai arsitekturalnya.

2. Struktur terintegrasi dengan fungsi dan bentuk bangunan, dengan demikian elemen-

elemen struktur sekaligus adalah elemen-elemen arsitektural yang ikut memberikan

nilai arsitekturalnya.

Arsitektonik lebih menitikberatkan pada poin yang ke dua, yaitu kemampuan

menemukan bentuk-bentuk yang menarik dari elemen-elemen struktur untuk diterapkan

Page 20: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

11

dalam perancangan arsitektur yang mungkin akan memacu semangat akan pemahaman

struktur secara mendalam.

Struktur dan Konstruksi memang merupakan aspek teknis namun disisi lain juga

merupakan aspek simbolik yang representatif. Suatu karya arsitektur dapat berdiri karena

terdapat pertimbangan struktur dan konstruksi didalamnya, namun tetap dalam kapasitasnya

sebagai sebuah karya arsitektur, yang tetap menitik beratkan pada pengolahan-pengolahan

bentuk dan elemen dari sistem struktur yang diterapkan.

Dalam hal ini arsitektonik berperan memberi artikulasi pada mekanisme penyaluran

beban dan elemen-elemen struktur, mengolah bentuk secara inovatif hingga menghasilkan

potensi bentuk arsitektural secara keseluryhan maupun sambungan detail-detail konstruksi

yang digunakan. Bentuk-bentuk yang digunakan hendaknya mempunyai nilai filosofi dalam

seni bangunan, bukan sekedar detail-detail figuratif yang abstrak. Tektonika bisa dimulai

dari pemilihan struktur bangunan sesuai fungsinya, contohnya :

Bangunan candi dibuat dengan struktur yang massif, berat, dan tertutup. Hal ini

sesuai dengan fungsinya sebagai tempat ibadah yang sakral dan magis, serta

aberorientasi kedalam.

Struktur pendopo pada rumah adat jawa yang terkesan ringan dan terbuka, hal ini

menyangkut fungsinya sebagai tempat menerima tamu dan ditunjang dengan budaya

masyarakat jawa yang terbuka kepada siapa saja yang datang.

Bangunan ibadah yang ada yaitu gothic pada gereja, dan kubah pada mesjid

2.5 Tinjauan Transformasi Arsitektonik

Transformasi adalah suatu proses perubahan yang dapat terjadi secara berkelanjutan,

baik secara keseluruhan maupun sebagian, dengan tetap tidak mengubah substansi atau

esensinya yang disesuaikan dengan keadaan. Kategori transformasi menurut Anjani (2014)

sebagai berikut : 1). Transformasi bersifat Topologikal (geometri). Bentuk geometri yang

berubah dengan komponen pembentuk dan fungsi ruang yang sama; 2). Transformasi

bersifat Gramatika hiasan (ornamen). Dilakukan dengan menggeser, memutar,

mencerminkan, menjungkirbalikkan, melipat, dan lain-lain; 3). Transformasi bersifat

Reversal (kebalikan). Pembalikan citra pada figur objek yang akan ditransformasi dimana

citra objek dirubah menjadi citra sebaliknya. 4. Transformasi bersifat Distortion

(merancukan). Transformasi menurut Ching (2007), merupakan proses perubahan dalam

bentuk atau struktur melalui serangkaian permutasi dan manipulasi yang terpisah dan

Page 21: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

12

menanggapi sebuah lingkungan khusus atau seperangkat kondisi tanpa kehilangan identitas

maupun konsep. Transformasi Bentuk terbagi menjadi 3 jenis yaitu: 1). Transformasi

Dimensional Suatu bentuk dapat ditranformasikan dengan cara merubah satu atau lebih

dimensi-dimensinya dan tetap mempertahankan identitasnya sebagai anggota sebuah

keluarga bentuk; 2). Transformasi Substraktif (pengurangan) Suatu bentuk dapat

ditransformasikan dengan cara mengurangi sebagian volumenya; 3). Transformasi Adiktif

(penambahan) Suatu bentuk dapat ditransformasikan dengan menambah elemen-elemen

pada volumenya.

Dalam upaya transformasi arsitektur masa lalu ke masa kini yang paling sering

dilakukan adalah dengan meminjam bentuk dan ruang masa lalu. Prajudi (2011)

mengatakan, meminjam merupakan proses appropriation, antara lain dengan cara adopsi

(pengambilan), adaptasi (penyesuaian), dan asimilasi (perpaduan). Hasilnya dapat berupa

duplikasi, membentuk ikonik atau abtraksi. Karena itu, meminjam hendaknya

memperhatikan spirit dari tempat sehingga kesinambungan bentuk, ruang dan konteks dapat

terjaga. Lebih lanjut dalam pemahaman critical regionalism menurut Frampton (1983)

dikenali pemahaman bahwa kehadiran arsitektur yang merespon konteks culture dan nature

pada dasarnya harus dapat difahami secara kritis, apakah hanya sekadar menghadirkan

visual, sceneografi, tipologis, atau dapat lebih mendalam jika aspek tactile-nya, tektonika,

topografi, juga dihadirkan.

Penggunaan pendekatan transformasi arsitektur masa lalu ke masa kini memang

paling mudah dikenali jika dilakukan melalui pemindahan (metafora) aspek visual

khususnya diterjemahkan dalam wujud bentuk dan ruang. Contohnya untuk menyatakan

bahwa desain ini menggunakan rujukan arsitektur tradisional Aceh akan lebih mudah jika

menggunakan atap, ornamen tradisional Aceh tersebut. Hal ini banyak terjadi dalam praktik

arsitektur sehingga terkesan muncul efek ekletiktisme.

Beberapa aspek yang didapatkan berdasarkan studi arsitektonik oleh Rahadhian

(2015), pada arsitektur tradisional berpotensi untuk diterapkan dalam bangunan saat kini dan

mendatang, bahkan dapat memperkuat identitas yang bersumber pada nilai-nilai lokal jika

dilakukan secara critical yang dilandasi oleh rasionalitas yang relevan seperti halnya yang

melekat pada sifat-sifat dan konteksnya. Peranan tematik sering diaplikasikan dalam

perancangan arsitektur agar tercapai maksud yang diharapkan dari segi fungsi, citra dan

keaslian. Penerapan tematik arsitektur tradisional lokal Makasar yang diteliti oleh Andi

(2014), diaplikasikan melalui pengolahan bangunan penunjang, fasilitas penunjang, ataupun

Page 22: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

13

ornamen bangunan /ruang kawasan. Hal tersebut telah menjadikan transformasi bentuk

arsitektural yang monumental dan menarik dalam bentuk dan ruang yang tercipta pada

kondisi kekinian.

Berdasarkan kajian tentang arsitektur klasik Indonesia, maka dapat diketahui

beberapa unsur-unsur penting dan kuat dalam wujud arsitektotikanya, sehingga dianggap

transferable untuk dapat dikembangkan di masa selanjutnya. Hal ini nampak penggunaannya

pada era Islam dan Kolonial Barat di Indonesia. Prajudi (2014) merangkum aspek-aspek

penting yang terkandung dalam bangunan tradisional hunian, antara lain:

1. Wujud ornamental berupa pola ragam hias sulur-suluran, moulding berupa padma, ragam

hias geometrik persegi, bentuk persegi dan kurva untuk pintu-jendela;

2. Wujud pembagian tiga yang menunjukkan elemen kaki, badan, dan atap;

3. Wujud atap menunjukkan proporsi yang dominan dibandingkan elemen badan atau

kakinya. Bentuk atap dapat dibagi menjadi dua jenis tipe yakni pelana dan perisai dengan

berbagai variasinya. Kaki bangunan dapat berwujud panggung kecuali arsitektur

tradisional Jawa Jaman Islam.

4. Karakter estetika arsitektural, yakni komposisi geometrik dapat berupa bentuk dasar yang

lugas dan jelas, seperti bujur sangkar /persegi panjang /lingkaran/oval/cruciform, badan

dan atap bangunan menunjukkan ekspresi volumetrik, kaki bangunan dapat menunjukkan

ekspresi garis, tata massa menunjukkan komposisi solid-void (dapat membentuk pola

cluster atau linier) dalam perletakannnya menunjukkan simbiosis kesatuan ruang dalam,

ruang luar, ruang transisi, prinsip hirarki, ekspresi segitiga pada atap, pembagian tiga

(kepala, badan, kaki/kiri-tengah-kanan/atas-tengah-bawah), irama perulangan (sosok dan

ornamen), kesimetrian atau keseimbangan (memiliki pusat perhatian), Bio-mimesis

(dalam wujud sosok bangunan atau ornamental), Bio mimesis ditunjukkan pada bentuk

atap di beberapa bangunan yang menunjukkan elemen kurva menyerupai bentuk

perahu/tanduk demikian pula pada beberapa elemen bangunannya tekstur pada beberapa

bagian permukaan atap atau dinding badan bangunan, sumbu/axis (dapat berupa linier

atau memusat), sumbu ini berkaitan dengan orientasi bangunan-kosmologi-lingkungan

alam sekitar menjadi pertimbangan.

Menurut Prajudi (2015), menggunakan representasi arsitektur masa lalu dalam disain

modern merupakan bagian dari proses rethink, reform, rebuild, reinvent, redefine, ataupun

reevaluate ‘benda’ masa lalu ke masa kini. Sejarah dapat difahami tidak hanya masa lalu,

melainkan bersifat masa kini (history of the present).

Page 23: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

14

BAB III

TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN

3.1 Tujuan Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka tujuan penelitian

adalah untuk mengetahui sejauh mana proses transformasi nilai-nilai arsitektur rumoh Aceh

diaplikasikan pada arsitektur masa kini di Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Adapun tujuan

khusus penelitian untuk mengetahui:

1) Bagaimana metode pemilihan elemen-elemen arsitektur rumoh Aceh diterapkan ke

dalam penghadiran arsitektur masa kini ?

2) Apa jenis transformasi yang diterapkan kedalam konsep pembangunan arsitektur

masa kini ?

3) Bagaimana menggabungkan elemen-elemen dan tipologi arsitektur Rumoh Aceh

kedalam bangunan sebagai konsep pembangunan saat ini ?

Hasil penelitian berpotensi untuk menggugah wawasan pengambil kebijakan dan

masyarakat untuk melestarikan bangunan rumah adat tradisional, agar tingkat

perkembangan pengetahuan nenek moyang yang diwujudkan dalam bangunan rumah

tinggalnya dapat dilestarikan dan diaplikasikan pada masa sekarang seiring dengan tingkat

perkembangan penggunaan bahan material dan kemajuan teknologi bangunan di masa

sekarang.

Adapun target luaran yang akan dicapai terutama publikasi pada Jurnal Internasional

Elsevier dan Jurnal Nasional Arsitektur Terakreditasi . Luaran lainnya adalah menyampaian

hasil penelitian dalam pertemuan ilmiah Internasional dan Nasional, serta buku ajar ber

ISBN.

3.2 Manfaat Penelitian

Penelitian terhadap arsitektur vernakular Aceh ini menjadi penting dan menarik

berkaitan dengan dua hal:

Page 24: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

15

1. Arsitektur vernakular Aceh dipelajari untuk menambah kekayaan dalam ranah ilmu

arsitektur karena sifatnya yang bersahabat dengan lingkungan, adaptasi, serta

mengandung kearifan lokal.

2. Untuk menyelamatkan arsitektur vernakular Aceh dari perkembangan terkini yang

sangat dipengaruhi globalisasi. Kegagalan dalam proses perkembangan arsitektur

vernakular Aceh dapat mengakibatkan matinya seluruh konsep yang telah

dikembangkan para pendahulu kita selama bertahun-tahun.

3. Tim peneliti akan mempublikasikan hasil penelitian vernakular Aceh ini melalui

Jurnal dan Prosiding.

Hasil penelitian berpotensi untuk menggugah wawasan pengambil kebijakan dan

masyarakat untuk melestarikan bangunan rumah adat tradisional melalui bangunan publik

yang dibangun dengan gaya rumoh aceh, sehingga pengetahuan nenek moyang yang

diwujudkan dalam bangunan arsitektur dapat dilestarikan dan diaplikasikan pada masa

sekarang seiring dengan tingkat perkembangan penggunaan bahan material dan kemajuan

teknologi bangunan di masa sekarang.

Page 25: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

16

BAB IV

METODE PENELITIAN

4.1 Konsep Perancangan Metode Penelitian

Jenis penelitian menurut tujuannya adalah penelitian deskriptif dan argumentatitf

untuk menjelaskan konsekuensi kreatifitas penggunaan unsur-unsur arsitektur rumoh Aceh

dalam menghasilkan wujud atau fungsi yang baru. Serta menggunakan pendekatan tipologi

sebagai dasar untuk menentukan variabel perancangan dengan dibantu berbagai sumber

seperti buku, jurnal peraturan pemerintah dan penelitian terdahulu yang terkait dengan

transformasi arsitektur tradisional.

Teknik analisis yang dilakukan yaitu terlebih dahulu mengidentifikasi elemen-

elemen bangunan, tipologi bentuknya, serta material yang menjadi identitas dari arsitektur

rumoh Aceh. Hasil analisa tersebut kemudian dilakukan proses sintesis sehingga

menghasilkan kriteria desain yang mengalami proses transformasi.

Pemilihan sampel penelitian menggunakan metode purposive sampling berdasarkan

kriteria-kriteria yang ditetapkan pada tahap studi pendahuluan. Penetapan kriteria pemilihan

sampel adalah berdasarkan teori transformasi arsitektur. Transformasi arsitektur diartikan

sebagai perubahan bentuk dari deep structure yang merupakan struktur mata terdalam

sebagai isi struktur tersebut ke surface structure yang merupakan struktur tampilan berupa

truktur material yang terlihat. Menurut Prijotomo (1988), transformasi artinya perubahan

dari benda asal menjadi benda jadiannya, baik perubahan yang sudah tidak memiliki atau

memperlihatkan kesamaan atau keserupaan dengan benda asalnya maupun perubahan yang

benda jadiannya masih menunjukkan petunjuk benda asalnya.

Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan di lapangan, pendokumentasian

melalui pengukuran lapangan dan penggambaran ulang bangunan, serta mengadakan semi-

structured interview dengan pengambil kebijakan, pemilik, dan masyarakat setempat.

Pengamatan dilakukan terhadap objek arsitektur bergaya rumoh Aceh, baik yang berfungsi

sebagai rumah tinggal, perkantoran, dan bangunan komersil di Kota Banda Aceh. Empat

aspek yang digunakan sebagai dasar pengamatan terhadap bentuk dari pengetahuan lokal

terkait dengan transformasi arsitektur rumoh Aceh ke bangunan arsitektur masa kini, yaitu:

1). Bentuk bangunan; 2). Material dan sistem konstruksi; 3). Fungsi bangunan; dan 4).

Page 26: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

17

Adaptasi dengan iklim dan lingkungan. Secara keseluruhan penelitian ini dilakukan dalam

lima tahapan, mulai dari kajian pustaka, pengambilan data lapangan (observasi lapangan),

analisis, rekayasa tipologi unsur-unsur yang adaptif dengan konstruksi masa kini, hingga

kesimpulan dan rekomendasi transformasi yang berkelanjutan.

Pengkajian dan perbandingan akan dilakukan pada unsur bentuk dan ruang

arsitekturalnya. Dalam perkembangannya pada masa modern, persistensi penggunaan

unsur-unsur arsitektur rumoh Aceh umumnya ditunjukkan dalam bentuk ornamentasi, sosok,

dan sebagainya. Dalam konteks estetika akan mengamati unsur-unsur yang paling banyak

digunakan, seperti pola geometri, pembangian tiga (kepala, badan, kaki) pada sosoknya.

Pola geometrik, pembagian tiga, pada hakekatnya merupakan bentuk dasar dalam

mempresentasikan kelokalan. Pola-pola ini dianggap transferable pada era modern saat kini.

Unsur-unsur kuat tersebut akan dikaji konsekuensinya sejauh mana dapat

direkontekstualisasikan kemungkinan-kemungkinan yang dilakukan dalam bersinggungan

dengan konteks kekinian. Kegiatan penelitian seutuhnya dapat dilihat pada Gambar 4.1.

4.2 Lokasi Penelitian

Penelitian dilakukan pada bangunan perkantoran dan lainnya, baik 1). bergayarumoh aceh; maupun 2). rumoh aceh yang berfungsi bukan sebagai tempat tinggal. Lokasipenelitian berada di Kota Banda Aceh dan sekitarnya. Terdiri dari tiga lokasi.

Gambar 4.1 Lokasi PenelitianSumber: Olahan Peta Banda Aceh

Cafe

Perkantoran

Penunjangsaranamesjid

Page 27: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

18

Gambar 4.2 Bagan Alir Penelitian

Page 28: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

19

BAB V

HASIL DAN LUARAN YANG DICAPAI

5.1 Budaya Arsitektonik

Tektonika erat kaitannya dengan material, struktur dan kontruksi, namun tektonika

lebih menekankan pada aspek estetika yang dihasilkan oleh suatu sistem struktur atau

ekspresi dari suatu konstruksi dari pada aspek teknologinya. Berdasarkan kajian literatur,

tektonika dapat dipahami sebagai wujud keterkaitan antara material, konstruksi, bentuk dan

ekspresi pada obyek arsitektur. Dengan kata lain, tektonika dipahami sebagai piranti dasar

untuk menghasilkan ekspresi arsitektural (dampak rangkaian elemen konstruksi yang

timbul) dan meletakkan dasar pemahaman tersebut sebagai upaya untuk mengeksplorasi

bentuk arsitektur. Secara etimologi, istilah tektonika muncul dari istilah arsitektonik atau

architectonic. Tektonika menjadi seni pertemuan atau sambungan. Tektonika bukan hanya

bagian dari bangunan tetapi juga obyek atau sebagai karya seni pada arti yang lebih sempit.

Arsitektur rumoh aceh sebagai arsitektur tradisional mengandung budaya

arsitektonik, yaitu terkait dalam pemahaman cara membangun dan terkait seni

berkonstruksi. Budaya tektonika adalah cara membangun rumoh aceh oleh komunitas

masyarakat pendukung arsitektur tradisional ini. Dalam proses tektonika budaya vernakular

ini terdapat pengertian seni berkonstruksi, penggunaan material, masyarakat pemeran

tektonika, sekaligus norma-norma atau aturan budaya tektonika dalam masyarakat

tradisional aceh, yang terlihat jelas upacara-upacara mendirikan bangunan vernakular,

simbol-simbol serta estetika yang digunakan dan status sosial yang diwujudkan dalam ragam

hias bangunan vernakular. Budaya tektonika rumoh aceh ini juga dapat menjadi sumber

arsitektur yang dapat diterapkan pada arsitektur masa kini.

Menentukan waktu mulai konstruksi adalah masalah penting dalam budaya Aceh.

Pemilik rumah mempekerjakan tukang kayu tradisional pada bulan tertentu yang dianggap

paling menguntungkan untuk memulai pembangunan. Beberapa ritual dilakukan selama

proses konstruksi: pertama ketika tiang dan tiang didirikan, kedua ketika bangunan rumah

utama dibangun, dan ketiga setelah konstruksi selesai. Upacara pertama adalah taburan

bahan mentah seperti beras mentah dan air di lokasi, dilengkapi dengan makanan kecil.

Upacara kedua adalah perjamuan seremonial untuk asisten tukang kayu, biasanya berjumlah

Page 29: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

20

lima belas. Upacara ketiga dan terakhir adalah pesta seremonial besar yang dihadiri oleh

sebanyak mungkin orang yang ingin diundang oleh pemilik.

Orang Aceh menggunakan unit tradisional untuk pembangunan rumah. Unit utama

adalah jaroe (jari), paleut (lebar punggung tangan), dan hah (hasta). Unit sekunder adalah

jeungkai (jarak antara ibu jari yang menyebar dan jari tengah), lhuek (panjang seluruh

lengan), dan deupa (fathom).

5.2 Konsep Disain Rumoh AcehKearifan lokal rumoh aceh dalam interaksi dengan lingkungannya sudah teruji dari

generasi ke generasi. Masyarakat tradisional menganggap bahwa pengetahuan akan

fenomena alam akan dapat memberikan hasil yang maksimal bagi mereka dalam bertani,

berladang, berburu, dan lain-lain, termasuk arsitektur (Purbadi, 2010). Pengetahuan tentang

alam beserta fenomena alam, menjadi panduan bagi masyarakat untuk bertindak dan

beraktifitas yang menghasilkan harmonisasi antara rumoh aceh dengan alam lingkungannya.

Proses perancangan dan pembangunan dilakukan sesuai dengan perkembangan teknologi

saat itu, menghasilkan disain yang arsitektonik.

Iklim dan alam aceh sebagai elemen pendorong terbentuknya kearifan-kearifan lokal

dapat diidentifikasikan ke dalam beberapa kondisi, yaitu:

5.2.1 Geografis

Sebagai bagian dari negara kepulauan yang diapit oleh dua samudera dan dipisah-

pisahkan oleh lautan, posisi aceh yang berada di uung utara pulau sumatera menjadikan

masyarakatnya harus dapat beradaptasi dengan kondisi geografisnya ini. Respon masyarakat

terhadap lautan memunculkan karakter sebagai Bangsa Bahari, karena kehandalannya

dalam mengembangkan teknologi perkapalannya sehingga mampu mengarungi berbagai

samudera di dunia semenjak abad V (Situs 2, 2013). Kehandalan membuat kapal kayu ini

tentunya berimbas langsung dengan kemampuan mereka dalam mengkonstruksikan

bangunan-bangunan kayu tempat tinggal mereka. Penggunaan bahan-bahan organik (non-

logam) dominan digunakan untuk konstruksi, seperti teknik konstruksi pasak kayu (belum

mengenal paku) dan teknik konstruksi ikatan yang diaplikasikan pada konstruksi rumoh

aceh.

Page 30: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

21

5.2.2 Kelembaban

Kondisi geografis aceh yang berada di dekat garis ekuator membuatnya beriklim

tropis, namun karena diapit oleh dua samudera mengakibatkan Indonesia berkelembaban

tinggi sehingga digolongkan masuk ke dalam negara beriklim tropis lembab. Kondisi ini

menyebabkan kebanyakan daratan di Indonesia memiliki hutan tropis yang sangat luas dan

kaya. Respon masyarakat tradisional aceh untuk kondisi ini terlihat pada cara mereka

berpakaian, dimana kelembaban mudah menyebabkan kegerahan sehingga kebanyakan

mereka berpakaian seminimalis mungkin.

Pada bangunan, iklim adalah faktor utama yang secara langsung mempengaruhi

proses konstruksi dan bahan bangunan, terutama di daerah yang beriklim tropis lembab.

Radiasi matahari memperburuk bahan organik dengan memulai reaksi kimia di dalam bahan

dan menyebabkan oksidasi. Ventilasi dan perangkap aliran udara dan angin sangat penting

diterapkan pada bangunan. Masyarakat aceh tradisional menyediakan ruang yang teduh dan

berdinding terbuka (beranda, serambi, kolong) untuk beraktivitas di siang hari dan ruang

yang tertutup rapat oleh dinding untuk aktivitas tidur pada malam hari guna menghindari

udara yang dingin.

Gambar 5.1 Denah rumoh aceh standar, terdiri dari 3 ruang utama dan dapat jugaditambahkan ruang dapur yang terpisah dari seuramo likot

Sumber: olahan dari Kamal

Page 31: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

22

Semua rumoh aceh terdapat ukiran pada fasadnya baik ukiran tembus ataupun tidak.

Namun, banyak tidaknya penerapan ukiran tembus pada fasad bangunan sangat bergantung

pada tingkat ekonomi pemiliknya. selain serambi sebagai bentuk untuk mengantisipasi

kelembaban tinggi, bisa juga dilakukan dengan penambahan beranda. Rumoh aceh dapat

juga diperluas dengan menambahkan ruang ke arah depan dan belakang rumah. Bagian ini

biasa disebut seuramoe likot atau serambi belakang dan seuramoe reunyeun atau serambi

depan, yaitu tempat masuk ke rumah yang selalu berada di sebelah utara atau selatan.

Gambar 5.2 Ruangan Rumoh Aceh dapat diperluas dari bentuk standar, denganpenambahan ruang ke arah depan maupun ke arah belakang

Sumber: Olahan dari Husin, 2003

Dalam mengantisipasi kelembaban tinggi, Rumoh Aceh juga memiliki ketinggian

panggung yang sempurna untuk mengalirnya angin pada area kolong rumah guna

menghapus kelembaban. Sebagian area kolong biasanya difungsikan untuk berbagai tujuan,

seperti beternak, bale-bale untuk istirahat, tempat menyimpan hasil pertanian, parkir

kendaraan, dan lain-lain.

Gambar 5.3 Rumoh Aceh standar terdiri dari tiga ruang dengan tinggi lantai seuramo-keuedan seuramo likot 2 meter, dan tinggi ruang tunggai 2,5 meter dari muka tanah.

Sumber: Husin, 2003

Penambahan ruang kearah depan

Penambahan ruang kearah depan dan belakang

Page 32: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

23

5.2.3 Pergerakan Angin

Bangunan tradisional rumoh aceh didirikan dengan arah bubungan atap melawan

arah pergerakan angin. Pengetahuan ini didapat berdasarkan pengalaman hidup

masyarakatnya dalam membaca fenomena alam. Kebiasaan mereka dalam memanfaatkan

angin untuk menggerakkan perahu layar menimbulkan pengetahuan bagi mereka dalam

memanfaatkan pergerakan angin sebagai pendingin ruangan bangunan mereka. Rumoh aceh

pun dengan cerdas merespon lingkungan dengan posisi rumah membujur arah Barat-Timur,

dan rumah menghadap ke Utara atau Selatan. Dengan demikian sisi bangunan yang pendek

berada di bagian Timur dan Barat, sedangkan sisi bangunan yang panjang berada di bagian

Utara dan Selatan dengan aliran udara yang maksimal. Arah aliran angin lebih dominan dari

arah Tenggara atau Barat Laut.

Gambar 5.4 Ilustrasi aliran udara pada perkampungan tradisional acehSumber: Analisis

5.2.4 Musim Kemarau dan Penghujan

Iklim tropis lembab mengenal dua musim yakni musim kemarau dan musim

penghujan. Kedua musim ini tidak terdapat perbedaan suhu yang ekstrim sehingga bangunan

rumoh aceh cenderung bersifat terbuka, yaitu memiliki beranda (disebut seulasa) pada

sebagian rumoh aceh dan menggunakan kolong. Beranda dimaksudkan untuk tempat

berteduh dan berangin-angin saat cuaca panas, kolong dimaksudkan agar lantai bangunan

tidak menjadi basah ketika hujan turun dan air mengalir mengikuti kontur lahannya.

Page 33: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

24

Gambar 5.5 Rumoh aceh dengan penambahan beranda yang disebut seulasaSumber: survei

5.2.5 Rawan Gempa

Teknik sambungan konstruksi kayu menggunakan sistem pasak yang mampu

menyelesaikan berbagai permasalahan gaya yang terjadi pada sambungan. Bila kita pahami

lebih mendalam, terdapat elemen-elemen lain yang membantu kekuatan struktur,

diantaranya balok-balok pengunci untuk menjaga posisi tiang. Setiap pertemuan elemen

yang berbeda, dihubungkan dengan cara memasukkan bagian ujung elemen ke lubang yang

tersedia pada elemen lain lalu diberi pasak. Begitulah cara utoh Aceh menghubungkan setiap

elemen tanpa memakai paku, sehingga menjadi rumah. Disini timbul kekuatan struktur

dalam merangkai elemen-elemen tersebut, sehingga dapat berdiri dengan kokoh dan dapat

bertahan hingga kini.

Gambar 5.6 Sistem konstruksi sambungan elemen-elemen kayu yang sederhana padarumoh aceh menghasilkan struktur yang elastis dan mampu mereduksi energi gempa

Sumber: survei

Page 34: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

25

Gambar 5.7 Sambungan rangka atap menggunakan sistem ikat dengan tali ijuk, tali bisadipotong agar konstruksi atap jatuh untuk menyelamatkan rumah jika terjadi kebakaran

Sumber: survei

Bagi elemen lain yang tidak berpasak, maka hubungan atau jalinannya dibuat dengan

mengikatkan tali (gambar 5.7). Dalam setiap elemennya pun dibuat dengan kesadaran tinggi

akan maksud dari dibuatnya konstruksi tersebut. Maksudnya terdapat nilai-nilai fungsional

yang lebih jauh dipikirkan untuk kebutuhan dan keselamatan penghuni rumah. Tidak hanya

sekadar menyambung-nyambungkan elemen belaka, misal elemen tameh raja dan putroe

dipilih kayu yang paling baik karena sebagai penyambut di serambi depan selain juga

berfungsi sebagai sebagai struktur utama sebagaimana mestinya. Penyelesain akhiran pada

tameh raja dan tameh putro diberi ukiran menghadirkan disain arsitektonik pada rumoh aceh.

Di sini tampak kesadaran masyarakat Aceh akan terbentuknya suatu ruang berikut material-

material yang digunakan.

Gambar 5.8 Disain arsitektonik rumoh aceh pada penerusan sambungan balok dan tiang(tameh raja dan tameh putro)

Sumber: survei

Page 35: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

26

Bangunan tradisional rumoh aceh menggunakan material organik seperti Kayu,

Bambu, Rotan, dan Rumbia. Pengetahuan masyarakat bahwa bahan-bahan ini akan

mengalami kelapukan menimbulkan solusi penggantian bahan yang tercermin dalam teknik

membangun, yaitu menggunakan teknik konstruksi ikat, teknik konstruksi pasak agar

memudahkan mereka mengganti bahan bangunan yang telah lapuk tanpa perlu merobohkan

bangunan keseluruhan. Keuntungan lain yang diperoleh dengan menggunakan teknik ini

adalah bangunannya lebih tahan gempa. Bangunan tradisional rumoh aceh bukan struktur

kaku sepenuhnya (rigid frame), pondasinya tidak ditanam ke tanah (diletakkan di landasan

batu) sehingga bangunan masih dapat bergoyang-goyang mengikuti goyangan gempa.

Kekokohan sistem struktur dan teknik konstruksi rumoh aceh selama ini dinilai

mampu menahan gravitasi dan gaya lateral yang menerpanya. Sementara itu cara merakitnya

sangat sederhana dengan metode tradisional. Keberadaan dan keberlangsungan kayu sebagai

materi konstruksi rumoh aceh sudah terbukti sejak lama, menunjukkan bahwa konstruksi

kayu terbentuk oleh kecocokan sinergi antara 1). Karakter materialnya; 2). Cara mengolah

untuk membangun; dan 3). Cara memperlakukan/perawatannya.

Letak, lokasi di pesisir, dan posisi rumoh aceh serta dimensinya berdampak pada

sistem ketahanannya dalam menerima gravitasi dan beban horisontal. Sebagai responnya

beban bangunan dibuat ringan dengan pembebanan berada pada:

1. Elemen tertingginya yaitu penutup atapnya yang lebar dan menyungkup badan

bangunan, namun menggunakan material yang ringan. Berungsi menaungi dari

terangkatnya atap jika terjadi angin yang kencang, juga berguna untuk

menyeimbangkan/menstabilkan bangunan;

Gambar 5.9 Atap bangunan yang lebar dalam proporsi besar dibandingkan dengan badandan kaki, sebagai penyeimbang/penstabil bangunan

2. Jumlah dan kerapatan kolom yang relatif banyak berguna untuk menjamin stabilitas dan

rijiditasnya. Terbentuk sebuah masa kotak yang kaku yang mampu menahan gaya

lateral dari tiga arah;

Page 36: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

27

3. Balok-balok yang bersilangan disambung dengan saling mengunci untuk menahan

kolom-kolom vertikal tidak berubah posisi, menciptakan sistem jepit elastis melalui

regangan tarik dan regangan tekan pada batang-batang kayunya;

Gambar 5.10 Sistem sambungan rangka rumoh aceh

4. Terbentuk dua sub sistem yaitu kerangka bangunan sebagai massa dibawah dengan

sistem pembebanan tekan yang ditindih beban atap yang dikonstruksikan dengan sistem

pembebanan tarik;

5. Balok-balok yang menembus kolom-kolom berpotensi merenggangkan ikatan massa.

Untuk menanganinya diperlukan baji/pasak pada setiap lobang sambungan agar

mengunci. Prinsip kerja dapat menahan dan mereduksi beban lateral yang bergerak horizontal

ketika terjadi gempa.

6. Sistem tumpuan bawah/pondasi bersifat sendi, untuk mengimbangi perilaku struktur atas yang

bersifat jepit elastis. Konfigurasi demikian membuat vernakular Aceh dapat bergoyang seirama

dengan guncangan gempa. Sistem sambungannya memungkinkan toleransi terhadap gaya-gaya

yang bekerja pada batang-batang kayu. Toleransi ini menimbulkan friksi sehingga bangunan

dapat akomodatif menerima gaya-gaya gempa.

7. Dinding meggunakan kayu dan atap menggunakan daun kelapa atau seng, sehingga tidak terlalu

membebani bangunan karena bersifat ringan.

8. Kondisi tersebut menunjukkan bangunan rijid elastis dan bergoyang. Sistem struktur

rumoh aceh yang menyatu, holistik, saling tekan sekaligus saling tarik pada setiap

komponen bangunannya berakibat positif yaitu masa bangunan bawah dan atas saling

mengikat dan menyatu. Kemudian ada atap di atasnya berfungsi memberikan beban

pada masa di bawahnya sehingga relatif susah tergeser maupun terlempar oleh gaya-

gaya horisontal maupun vertikal.

Page 37: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

28

Pembuatan rumoh aceh merupakan gabungan dari material, alat, dan proses. Setiap

material yang dipakai memiliki karakteristik khas sehingga memerlukan alat khusus yang

juga khas untuk mengolahnya melalui pembuatan dan pemasangan tertentu sesuai dengan

sifat material dan kemampuan alat. Kayu dan bambu bersifat lentur sehingga dapat bertahan

terhadap pengaruh getaran gempa bumi. Ukuran-ukuran yang digunakan adalah ukuran

tradisional yang standarnya berasal dari tubuh manusia sendiri, seperti kuku, jari, ruas, jari,

jengkal, hasta, depa, kaki, dhap, dan lainnya. Ukuran-ukuran tersebut sudah pasti akan ada

sedikit perbedaan antara satu orang dengan orang lainnya karena sangat bergantung pada

postur anggota tubuh seseorang yang dijadikan rujukan.

5.3 Filosofi dan Transformasi Disain Arsitektonik Rumoh Aceh

Nilai filosofis dalam arsitektur adalah sesuatu yang abstrak sebagai perwujudan

idealisme, keinginan, tujuan dari konsep yang ingin dihasilkan baik itu bagi pemilik

bangunan (owner) maupun dari perencana / arsitek. Melalui konsep filosofis, hasil karya

rancangan arsitektur akan mempunyai nilai nilai "roh" yang hidup, sejalan dengan

kehidupan yang ada di dalam bangunan tersebut (activirty building). Filosofi dalam suatu

konsep arsitektur dan karya arsitektural menguatkan bahwa nilai filosofis tidak akan

terlupakan dalam proses karya rancangan arsitektur. Kalau hal ini dilakukan maka bangunan

yang dihasilkan merupakan seonggok bahan bangunan yang didukung oleh rangka struktur

yang kelihatan mati seolah-olah tanpa mempunyai "roh" kehidupan yang ada dalam

bangunan tersebut.

Arsitektur Tradisional rumoh aceh berupa rumah panggung yang sarat dengan

pemaknaan filosofis, dimana pada masa lalu bangunan ini adalah rumah sebagai tempat

tinggal, yang dapat dibedakan berdasarkan status sosial orang yang menempatinya.

Banyaknya ruweng (ruang) dan banyaknya ukiran, menunjukkan identitas-identitas tertentu

yang mendukung tingkat sosial penghuninya. Besarnya rumoh aceh tergantuang pada

banyaknya ruweueng (ruang), yaitu ada yang tiga ruang, lima ruang, tujuh ruang hingga 10

ruang. Rumoh aceh standar terdiri dari lhee ruweng (tiga ruang). Reuweueng adalah sela

antara tiang-ketiang. Tiang rumah Aceh bulat dari kayu keras dan jarak dari tiang ketiang

antara 2,5-4 meter.

Rumah terdiri dari tiga bagian, yaitu: beranda muka disebut seuramo keue atau

disebut juga seuramo rinyeuen; 2). Serambi belakang disebut seuramo likot; dan 3). Bagian

Page 38: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

29

utama yaitu bagian tengah, yang dibuat lebih tinggi dari pada lantai serambi disebut tungai.

Rumoh aceh dapat juga diperluas dengan menambahkan ruang ke arah depan dan belakang

rumah. Bagian ini biasa disebut seuramoe likot atau serambi belakang dan seuramoe

reunyeun atau serambi depan, yaitu tempat masuk ke rumah yang selalu berada di sebelah

utara atau selatan. Semua rumoh aceh terdapat ukiran pada fasadnya baik ukiran tembus

ataupun tidak. Namun, banyak tidaknya penerapan ukiran tembus pada fasad bangunan

sangat bergantung pada tingkat ekonomi pemiliknya. Rumoh aceh ditempati oleh keturunan

raja atau kaum bangsawan.

Gambar 5.11 Ruangan Rumoh Aceh dapat diperluas dari bentuk standar, denganpenambahan ruang ke arah depan maupun ke arah belakang

Sumber: Olahan dari Husin, 2003

Tiang-tiang rumah Aceh berbentuk bulat berjumlah 16, 18, 22, dan 24 buah, dan

paling banyak 40 buah, yang berjejer 4 baris, yaitu baris depan, baris tengah depan, baris

tengah belakang, dan baris belakang, dengan jarak masing-masing tiang 2,5 meter. Di antara

tiang-tiang rumoh Aceh terdapat dua buah tiang yang disebut tameh raja (tiang raja) dan

tameh putrou (tiang putri). Kedua tiang itu membatasi kamar tidur dan serambi. Pada bagian

sebelah Utara didirikan tiang raja dan di bagian sebelah Selatan didirikan tiang putri. Pintu

rumah Aceh dimana diletakkan tangga terdapat di serambi depan, dengan tinggi pintu 1.8

meter dan lebarnya 0.8 meter. Jendela biasanya dibuat di serambi depan, serambi belakang,

dan di rumoh inong (juree), masing-masing dengan ukuran agak kecil, yaitu tinggi 1 meter

dan lebar 0.6 meter. Modifikasi dari tiga ke lima ruang atau sebaliknya bisa dilakukan

dengan menambah atau menghilangkan bagian ruweueng yang ada di sisi Barat atau Timur

Page 39: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

30

rumah. Selain itu, pengaruh keyakinan dapat juga dilihat pada penggunaan tiang-tiang

penyangga yang selalu berjumlah genap, jumlah ruangannya yang selalu ganjil, dan anak

tangganya yang berjumlah ganjil. Pada gambar 5.12 dapat dilihat denah rumoh aceh standar

yang berkembang di Aceh.

Gambar 5.12 Denah standar rumoh acehSumber: Keumala, 2008

Selengkapnya bagian-bagian rumoh Aceh sebagai berikut:

1. Rumoh Inong, yaitu rumah induk yang disebut juga rumoh tunggai, adalah bagian

rumah yang letaknya di bagian tengah dan lebih tinggi setengah meter dari serambi

depan dan serambi belakang. Rumoh inong itu terdiri atas jurei yang terletak di

bagian Barat dan menjadi kamar tidur tuan rumah, dan anjong yang terletak di

bagian Timur dan menjadi kamar tidur bagi anak-anak perempuan. Keharmonisan

rumah tangga merupakan hal yang paling penting, sehingga ditempatkan pada posisi

yang paling utama yaitu di tengah dan di lantai tertinggi;

2. Seuramou Keu (serambi depan), berfungsi sebagai tempat menerima tamu dan

tempat musyawarah. Disini disandarkan sebuah tangga yang biasanya berjumlah 9

atau 7 buah anak tangga. Serambi depan letaknya memanjang sepanjang rumah tanpa

ada kamar-kamar. Tangga ditempatkan di bagian tengah rumah sehingga tamu dapat

duduk di bagian kiri atau kanan serambi. Jadi serambi depan rumoh Aceh bersifat

terbuka, sesuai dengan fungsinya antara lain tempat menerima tamu laki-laki, tempat

Page 40: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

31

mengaji dan tempat belajar anak laki-laki (sekaligus tempat tidur mereka), dan untuk

keperluan umum;

3. Seuramou Likot (serambi belakang), yang berfungsi sebagai tempat duduk tamu

di bagian belakang, dipakai juga sebagai gudang. Sebagaimana halnya seuramoe

keu, ruangan belakang atau seuramoe likot tidak lagi dibagi menjadi ruangan-ruangn

yang lebih kecil. Tetapi ada juga yang membangun seuramoe likot ini sedikit lebih

besar dari seuramoe keu dengan cara menambahkan dua buah tiang pada bagian

timurnya. Ruang tambahan itu disebut anjong, yang sekali gus berfungsi sebagai

dapur. Pada dinding depan di bawah bara bagian luar biasanya dibuat rak tempat

meletakkan barang atau perkakas dapur, yang disebut sandeng (saneung). Ada juga

yang menambahkan rumoh dapu (dapur) di bagian belakang rumah yang elevasi

lantainya lebih rendah dari seuramo likot. Dapur mendapat posisi terendah, karena

ruang ini merupakan perluasan rumah atau tambahan ruang pada rumah saja;

4. Rambat, gang antara dua kamar kiri dan kanan yaitu bagian rumah yang

menghubungkan serambi depan dan serambi belakang;

5. Atap rumah. Kebanyakan atap rumah Aceh adalah atap dengan rabong atau

tampong satu, terletak di bagian atas ruangan tengah yang memanjang dari ujung

kiri ke kanan, sedangkan cucuran atapnya berada di bagian depan dan belakang

rumah. Biasanya atap tidak memakai plafon tetapi langsung menaungi ruangan pada

badan rumah yang fungsional. Sebuah ruang kecil terdapat di antara bubong dan

badan rumah, yakni loteng yang disebut para (fungsinya sebagai gudang). Atap

rumah Aceh biasanya dibuat dari daun rumbia yang diikat dengan rotan yang telah

dibelah kecil-kecil, ikatan tersebut namanya mata pijeut. Tulang atap terbuat dari

batang bambu yang dibelah-belah. Atap itu tersusun rapat sehingga susunannya rapi

dan tebal.

6. Ciri lain dari rumoh Aceh ialah bahwa biasanya di setiap rumoh Aceh ada keupok

padee (lumbung padi) dan balee (balai). Keupok biasanya terletak di depan, di

samping atau di belakang rumah, dan balee sebagai tempat beristirahat di waktu

senggang biasanya didirikan di depan atau di samping rumah. Walaupun letaknya

terpisah dari rumah, namun keduanya tidak dapat dipisahkan dengan ciri sebuah

rumah Aceh.

Page 41: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

32

Bagian badan rumah disebut ateuh rumoh, yang berarti bagian atas. Dinamakan

seperti ini sebab posisinya memang berada jauh di atas tanah, untuk mencapai lantai rumah

ini perlu menggunakan tangga. Pada ateuh rumoh ini terdapat ruang-ruang fungsional

rumah. Bagian bawah rumah disebut yup moh, berupa kolong yang ketinggiannya sekitar

2,5 meter. Bangunan dibuat berpanggung/bertiang tinggi untuk menghindari banjir.

Gambar 5.13 Anatomi rumoh acehSumber: Kamal A. Arif

Tipologi ini yang merupakan tipologi umum berkembang di Aceh nampak

mempunyai kaitan dengan keamanan bagi penghuninya. Bentuk rumah panggung menurut

kenyataannya selalu berubah karena manusia mampu meningkatkan fungsi rumah karena

pengalaman hidupnya sebagai makhluk pencipta. Perubahan terjadi karena kedinamisan

masyarakatnya, material dan teknologinya. Namun kadangkala perubahan bentuk rumah

yang terjadi tidak lagi beradaptasi dengan kondisi lingkungannya. Beberapa kasus

perubahan yang tidak adaptif lagi dengan lingkungannya terjadi di kawasan rawa tripa,

pesisir barat aceh yang geografisnya berawa gambut.

Konteks filosofi arsitektur tradisional rumoh aceh dalam perancangan saat ini belum

mengalami transformasi yang dinamis. Transformasi pemanfaatan filosofi arsitektur

tradisional aceh diperkotaan Banda Aceh pernah dilakukan pada era tahun delapan puluh

hingga 90-an dan menghias wujud arsitektur di kota ini. Konsep filosofi ini hanya sebatas

terhadap perwujudan skala bentuk, proporsi dan estetika semata, dimana konsep filosofi ini

Page 42: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

33

sudah mengalami tranformasi yang universal dan kebanyakan dimanfaatkan oleh institusi

pemerintahan ataupun institusi besar lainnya (gambar 5.14) yang ingin mengangkat kembali

filosofi tersebut.

Gambar 5.14 Transformasi disain arsitektonik rumoh aceh pada bangunan perkantoranterhadap perwujudan skala bentuk, proporsi dan estetika

Sumber: Analisis

Tranformasi tektonik atau disain arsitektonik rumoh aceh pada bangunan pemerintah

dan perkantoran di Banda Aceh, diidentiikasi dari beberapa elemen dalam melengkapi

bangunan tersebut dengan bentuk panggung, bentuk atap, tulak angen dan ragam hiasnya,

deretan tameh (tiang) dalam tampilan material modern, balok toi dan ro’, dan bagian

seuramoe teungoh (serambi tengah). Sedangkan kantor bank syariah mandiri aceh

mengadopsi bentuk atap lipat pada bangunan lonceng cakradonya yang berada di kompleks

museum aceh dan atap rumoh aceh pada bagian tombak layarnya.

Berkarakter penggabungan antara arsitektur rumoh aceh dengan tampilan modern

(Neo-vernakular). Tampilan modern terlihat dari penggunaan material beton bertulang,

kaca, kayu, dan material atap dari produk pabrik, yang sifatnya lebih universal. Pada Gambar

5.15 dan tabel I dapat dilihat elemen-elemen rumoh aceh yang berpotensi diaplikasikan pada

bangunan perkantoran di Banda Aceh.

Page 43: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

34

Gambar 5.15 Elemen-elemen disain arsitektonik rumoh aceh yang berpotensiditransformasikan pada bangunan modern

Sumber: Analisis

Tabel I. Potensi aplikasi elemen rumoh acehKonstruksibangunan

elemen Kantor gubernur Bank mandiri Bank syariahmandiri

Konstruksibawah

tameh Tameh gantung

Toi dan ro’ bajoe

rinyeun

Konstruksitengah

kindang Binteh

Tingkap Pintoe

seuramoetunggai

Konstruksiatas

Para/gaseu Tulak angen

bubong Taloe pawai

sandeng

5.4 Transformasi Fungsi Rumoh Aceh

Rumoh Aceh (bahasa Aceh: "rumah Aceh") adalah tipe rumah vernakular terbesar

dan tertinggi dari semua yang ditemukan di Provinsi Aceh, yang lainnya adalah Rumoh

Santeut dan Rangkang. Rumoh Aceh adalah tumpukan yang didirikan di atas tiang yang

bersandar pada batu datar atau alas beton. Tiang tersebut dibangun dari kayu hingga ke

bagian atas. Atap pelana dibentuk dengan rangka kayu yang ditutupi dengan daun palem

jerami atau logam bergelombang. Rumoh Aceh ditemukan tersebar di kampung tradisional

(Aceh: gampong) tanpa pola khusus. Namun, posisi rumah selalu membujur dengan posisi

ke arah timur dan barat. Eksterior dapat dihiasi dengan ukiran kayu dari pola bunga atau

geometris, biasanya ditemukan di atap segitiga, di sekitar jendela dan di papan. Dekorasi

Page 44: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

35

pelana segitiga terdiri dari layar kayu segitiga berhias yang miring ke luar dan dilubangi

untuk memungkinkan ventilasi silang. Pintu masuk rumah aceh terletak di sisi utara atau

selatan. Pintu masuk ini adalah tangga curam menuju teras depan beratap (Aceh: seulasa,

"beranda").

Ruang di bawah rumah digunakan untuk menyimpan barang-barang seperti kayu

untuk konstruksi, kayu bakar, tanaman, atau sepeda; atau untuk area istirahat, dengan

bangku. Area rumah ditandai dengan pagar pembatas atau pagar. Pepohonan memberikan

keteduhan ke halaman rumah. Lumbung padi (bahasa Aceh: krōng padé, "penyimpanan

beras") adalah lumbung padi kecil yang terletak di bawah atau di samping rumah, untuk

menyimpan gabah.

Masyarakat aceh sudah mulai membudayakan kembali rumoh aceh untuk kegiatan

berbisnis (memfungsikan rumoh aceh sebagai cafe atau warung makan), dan bangunan

pertemuan. Gambar 5.16 memperlihatkan beberapa transformasi fungsi rumoh aceh.

Gambar 5.16 Memfungsikan kembali rumoh aceh sebagai tempat berbisnis kuliner, denganmemanfaatkan bagian kolong dan atas rumah

Sumber: survei

Page 45: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

36

Gambar 5.17 Salah satu cara penghadiran bangunan balee pertemuan penunjangmesjid dengan arsitektur vernakular rumoh santeut

Sumber survei

Hiasan tameh gantung dan penghadiran konstruksi sambungan tiang dan balok

secara estetis merupakan upaya penghadiran transormasi disain arsitektonik rumoh santeut.

Untuk penghadiran konstruksi lantai juga diupayakan mendekati metode sambungan rumoh

aceh, memungkinkan karena metode konvensional mendekati dalam hal pembalokan lantai.

Arsitektonik tidak hanya menggambarkan cara di mana struktur beban telah

digunakan dalam desain dan konstruksi bangunan, tetapi mencakup analisis berkelanjutan

yang mendasari mengapa struktur khusus dirancang. Tektonika pada Arsitektur sering kali

dilakukan karena ingin memberikan penekanan pentingnya suatu bagian tertentu dari

bangunan dan keinginan mengekspresikan sesuatu perasaan yang mendalam pada bangunan.

Arsitektonik atau Tektonika pada Arsitektur disatu sisinya adalah pengembangan struktur

yang digunakan untuk menghadirkan ruang. Sedangkan disisi yang lain adalah pengolahan

sistim sambungan pada konstruksi sehingga meningkatkan ekspresi bangunan dengan

menggunakan nilai.

5.5 Artikulasi Elemen-elemen

5.5.1 Artikulasi Bahan

Kayu

Page 46: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

37

Setiap bahan bangunan mempunyai kodrat masing-masing dan menampakkan

karakternya. Kayu mempunyai kodrat rapi penuh aturan dalam irama serat-seratnya.

Mempunyai kodrat sebagai bahan yang kuat terhadap tarik sehingga banyak digunakan

untuk struktur yang menahan tarik. Kayu juga merupakan bahan yang ringan sehingga cocok

untuk diletakkan dalam struktur atas (atap). Irama kayu rapi dan penuh aturan. Bangunan

yang menggunakan kayu menampilkan bentuk yang sederhana, natural, dan hangat.

Konstruksi kayu terbentuk oleh kecocokan sinergi antara 1). Karakter materialnya;

2). Cara mengolah untuk membangun, dan cara memperlakukan perawatannya. Kayu

memiliki dua macam ketahanan yakni tahan terhadap gaya desak maupun gaya tarik yang

sama baiknya. Dengan demikian konstruksi kayu memberikan kesempatan digunakan dalam

dua cara sebagai penahan desak dan tarik. Sifat lenturnya menyebabkan kayu dapat

melenting dan akan kembali kepada bentuk semula ketika tekanan yang ada dihentikan.

Kayu menjadi aspek utama dalam membentuk lingkungan rumoh aceh dan

perkampungannya. Bersama material pelengkap lainnya kayu menjadi bagian penting

sehingga pada zaman dahulu disakralkan dalam rangka dilestarikan (pengambilan kayu

untuk bahan bangunan diawali dengan upacara, dan ada aturan dan tata cara dalam

menebang pohon untuk bahan bangunan dan pemilihan kayu.

Sedangkan penggunaan kayu untuk segala kebutuhan dilakukan secara seksama

diperhitungkan kuantitasnya hingga dipertimbangan secara matematis ilmiah. Karena

kedekatannya pula aspek keteknikan yang matematis dari kayu menjadi lebih populer

sebagai bagian dari ketukangan yang dikuasai oleh banyak orang.

Bahan material bangunan baru mendesak kayu yang menyebabkan terjadinya

pergeseran nilai pentingnya kayu dalam memenuhi kebutuhan rancang bangun. Besi, semen

hingga komposit sudah banyak menggantikan fungsi kayu dalam dunia arsitektur. Akan

tetapi kayu, bagaimanapun juga, tetap menjadi salah satu elemen arsitektur yang tidak

tergantikan.

batu

Batu berkepribadian kuat terhadap tekan, tetapi lemah terhadap tarik. Batu merupakan bahan

yang berat sehingga cocok ditempatkan sebagai struktur bawah, seperti pondasi. Batu alam

memiliki segala susunan, tekstur, dan warna sehingga dapat digunakan untuk struktur

dinding sebagai beban (bearing wall).

Page 47: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

38

5.5.2 Artikulasi ekspresi beban sambungan

Kepekaan yang sangat tinggi atas bakat dan kodrat bahan membuat setiap detail

sambungan menjadi puisi. Pertemuan bahan alam dapat terjadi secara terikat, tertambat,

menyatu, melebur, atau sekedar bersinggungan menempel rapuh. Sebuah batang dapat

diekspresikan menjadi terkesan meregang tarik atau terdesak terdorong.

Konstruksi material yang disambung secara terikat pada rumoh aceh dijumpai pada

konstruksi rangka atap, menggunakan tali ijuk. Dua elemen yang berbeda disatukan dengan

alat penyambungan yang kuat, tetapi masih memiliki kelenturan.

Konstruksi material yang disambung secara tertambat, yaitu dua atau lebih elemen

yang berbeda saling berdekatan/menempel disatukan dengan alat penyambung yang kuat

dan lebih kaku dibandingkan posisi terikat. Penerapan taloe pawai pada konstruksi atap,

apabila dipotong akan menyebabkan atap rumah jatuh ke bawah.

Konstruksi material yang disambung secara menyatu/melebur, terdapat pada

konstruksi antara tiang, balok induk dan balok anak (tameh, toi dan ro’) yaitu tiga elemen

struktur yang berbeda bersatu dan memiliki siat baru. Bentuk sambungan menjadi kaku

elastis karena kayu menyambung dengan sistem lubang dan baji. Gaya-gaya yang bekerja

adalah gaya vertikal, horizontal, dan puntir (sendi-roll-puntir). Pada ujung balok diberi

ukiran yang estetis. Konstruksi ini mampu mereduksi beban lateral dengan baik merespon

angin kencang dan gempa bumi.

5.5.3 Artikulasi ekspresi konstruksi

Dalam proses pembangunannya rumoh Aceh bukan hanya berfungsi sebagai tempat

bernaung saja, namun telah menunjukkan identitasnya melalui tampilan the art of

construction yang sedemikian rupa sehingga indah sekaligus memiliki kekuatan struktur.

Struktur rumoh Aceh adalah sistem struktur rangka kayu yang terdiri dari serangkaian balok

dan tiang yang saling melengkapi, sehingga melahirkan suatu bentuk arsitektur tradisional

rumah tinggal yang unik dan tahan gempa. Pada sistem struktur rumoh Aceh, dinding

bangunan tidak berfungsi sebagai pemikul beban melainkan hanya sebagai penyekat saja.

Dengan demikian, dinding bangunan bisa saja menggunakan material yang tidak perlu

Page 48: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

39

terlalu kuat. Dapat digunakan material kayu, pelepah, dan sebagainya. Rumoh Aceh yang

berbentuk panggung berfungsi untuk mengatasi masalah kelembaban dan keamanan.

Balok pada tiang dipasang pada posisi membujur dan melintang. Balok yang

membujur disebut toi, sedangkan balok yang melintang disebut ro’. Kedua ujug balok yang

membujur dipahat setengah sehingga seperduanya tinggal sebagai puting. Begitu juga

dengan kedua ujung balok yang membujur, dipahat dengan ukuran sama seperti balok yang

membujur. Balok kayu yang melintang dipasang di bawah balok yang membujur, dan

biasanya diperkuat dengan menggunakan baji (bajoe), sehingga rumah itu dapat berdiri

dengan kokoh dan kuat.

Di atas balok kayu yang melintang dipasang lagi balok lantai yang disebut lhue. Lhue

ini mempunyai jumlah tertentu pada setiap rumoh Aceh, dan selalu harus dalam jumlah

ganjil. Pada ruang depan sebanyak sembilan buah, pada ruang tengah 11 buah dan ruang

belakang sebanyak sembilan buah. Jumlah seluruhnya sebanyak 29 buah. Ketentuan jumlah

lhue ini ternyata juga dipengaruhi oleh kepercayaan terhadap adanya ketentuan langkah,

rezeki, pertemuan dan maut (Waardenburg, 1978 : 137). Di atas lhue baru dipasang lantai

yang terbuat dari kayu, bisa juga pohon nibung (pinang) atau dari bambu yang diikat dengan

ijuk/rotan yang dipintal rapi. Pada sekeliling rumah terdapat dua lembar papan berukuran

tebal dan lebar yang berfungsi untuk menutupi ro’, toi dan lhue. Papan yang paling bawah

disebut laeak dan di atasnya disebut kindang. Di atas tiang dipasang bara setebal 15 cm dan

lebar 30 cm.

Dari tulang bubungan (tampong) sampai ke atas bara diletakkan kasau yang

dinamakan gaseue. Di bawah kasau terdapat kayu bulat sejajar dengan bara yang dinamakan

geunulong. Fungsi geunulong ini untuk mengikat kasau agar menjadi sejajar dan rapi. Pada

ujung kasau bagian bawah lesplang dipasang miring ke dalam yang dinamakan neuduek

gaseue. Sedangkan pada ujung sebelah Barat dan Timur rumah bagian atas (bubong) juga

terdapat lesplang yang berfungsi sebagai penahan atap dari terpaan angin kencang yang

dinamakan peunimpi di daerah Aceh Besar.

Dari neuduek gaseue sampai ke puncak bubungan, yaitu di antara selang-selang

kasau itu terbentang tali ijuk yang disebut taloe pawai. Tali ini terlipat dua dan kedua ujung

sebelah bawah disatukan dan disimpul dengan sangat kuatnya, sehingga bentuknya persis

seperti sebuah sanggul yang dinamakan bruek geutheun. Pada tali ijuk inilah diikat atap

rumah tersebut, sehingga apabila terjadi bencana kebakaran, maka simpul ijuk yang

Page 49: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

40

berbentuk sanggul ini sajalah yang dipotong. Sebab dengan pemotongan sanggul ijuk itu

atap akan turun dan jatuh ke bawah secara serentak.

Pada ujung timur dan barat sejajar dengan kuda-kuda terdapat sebuah penutup yang

biasanya dilubangi yang dinamakan tulak angen (tolak angin). Tolak angin ini berfungsi

untuk menetralisir hempasan angin kencang. Dari ujung bawah cucuran atap (neuduek

gaseue) sampai ke bara dibuat ruang atap yang berfungsi untuk menyimpan dan meletakkan

barang-barang, seperti tikar dan bantal yang dinamakan sanding.

Jendela umumnya berada pada dinding sebelah barat dan timur, berfungsi untuk

menyambut udara bersih dan sinar matahari pagi ke dalam rumah. Sedangkan jendela yang

berada pada dinding bagian utara dan selatan hanya berfungsi untuk menerangi bagian dalam

keseluruhan rumah termasuk ruang tengah. Pintu utama (pintu depan) pada setiap rumoh

Aceh hanya terdapat pada dinding kedua dari rumah itu, yaitu pada dinding tengah yang

dinamakan pinto Aceh.

Tangga rumoh Aceh disebut reuyeuen terletak di sebelah Barat atau Timur

menghadap ke Selatan dan Utara, dengan jumlah anak tangga selalu ganjil. Tangga ini

letaknya terlindung dari sinar matahari dan hujan, karena kalau cucuran atap yang sejajar

dengan tangga memanjang ke bawah, sehingga dapat melindungi tangga dari hujan dan sinar

matahari yang dapat mengakibatkan lapuk dan rusak.

Kejujuran dalam pengolahan bahan dan penanganan konstruksi pada rumoh Aceh

terlihat pada sistem sambungan balok dan tiang. Sambungan antar komponen dibuat

sedemikian rupa sehingga antara satu bagian dengan bagian lainnya saling terkait. Dengan

hubungan yang sederhana (teknik lubang dan pasak/bajoe) rumoh Aceh mampu menahan

gaya multi dimensional. Sistem lubang dan pasak digunakan sesuai dengan teknologi yang

berkembang di masa itu dan hasilnya sambungan berupa jepit elastis bersifat semi kaku yang

adaptif terhadap beban dinamis.

Sambungan toi dan tameh membuat arah kekakuan pada bidang horizontal

melintang, dan vertikal. Sambungan ro’ dan tameh membuat arah kekakuan pada bidang

membujur dan vertikal. Sambungag antara tameh, bara linteung, dan bara panyang

membuat arah kekakuan horizontal membujur dan melintang. Sedangkan sambungan antara

bara linteung dan indreng membuat arah kekakuan bidang membujur dan vertikal yang

menghasilkan suatu diagonal pendukung terhadap kekakuan total pada keseluruhan struktur

yang biasanya ditemukan pada sebuah struktur sambungan penjepit modern. Dengan

Page 50: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

41

hubungan yang sederhana ini, rumoh aceh dapat menahan gaya multidimensional dari empat

arah utama (tiga arah dari bidang tegak lurus dan satu arah yang membentuk suatu sudut

miring terhadap tiga bidang lainnya).

Konstruksi ruang atap dan bentuk panggung yang terkesan ringan memang luar biasa

sekaligus indah, sangat potensial dan terbuka untuk kebutuhan pemakainya. Material

konstruksi rumoh Aceh harus dari kayu yang kuat, yaitu kayu kuat I atau II. Kayu merupakan

material yang memiliki tingkat keelastisan yang cukup baik. Hal ini ditunjukkan dengan

kemampuannya menerima tegangan tarik maupun tekan yang hampir sama besarnya.

Page 51: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

42

BAB VISIMPULAN DAN SARAN

6.1 Simpulan

Timbulnya Kearifan lokal dari masyarakat aceh yang tercermin dalam elemen-

elemen perancangan sebagai arsitektonik rumoh aceh didorong oleh elemen pola pikir dan

elemen Alam, menunjukkan kebijakan dan kemampuan masyarakatnya menyelaraskan diri

dengan alam sebagai lingkungan hidupnya. Terbukti dengan pola pikir tersebut

menghasilkan kebijaksanaan mereka dalam menyusun pengetahuan yang dianggap baik bagi

kehidupan mereka seperti hukum adat, tata kelola, dan tata cara untuk aktivitas mereka

sehari-hari. Kearifan lokal dalam arsitektur menjadi sangat penting perannya dalam menjaga

dan mempertahankan kelestarian budaya Indonesia.

Arsitektur rumoh aceh sebagai arsitektur tradisional mengandung budaya

arsitektonik, yaitu terkait dalam pemahaman cara membangun dan terkait seni

berkonstruksi. Menentukan waktu mulai konstruksi adalah masalah penting dalam budaya

Aceh. Pemilik rumah mempekerjakan tukang kayu tradisional pada bulan tertentu yang

dianggap paling menguntungkan untuk memulai pembangunan. Beberapa ritual dilakukan

selama proses konstruksi. Orang Aceh menggunakan unit tradisional untuk pembangunan

rumah. Unit utama adalah jaroe (jari), paleut (lebar punggung tangan), dan hah (hasta). Unit

sekunder adalah jeungkai (jarak antara ibu jari yang menyebar dan jari tengah), lhuek

(panjang seluruh lengan), dan deupa (fathom).

Iklim dan alam aceh sebagai elemen pendorong terbentuknya kearifan-kearifan lokal

dapat diidentifikasikan ke dalam beberapa kondisi, yaitu geografis, kelembaban, pergerakan

angin, musim kemarau dan penghujan, dan rawan gempa.

Letak, lokasi di pesisir, dan posisi rumoh aceh serta dimensinya berdampak pada

sistem ketahanannya dalam menerima gravitasi dan beban horisontal. Sebagai responnya

beban bangunan dibuat ringan dengan beberapa karakter pembebanan.

Konteks filosofi arsitektur tradisional rumoh aceh dalam perancangan saat ini belum

mengalami transformasi yang dinamis. Transformasi pemanfaatan filosofi arsitektur

tradisional aceh diperkotaan Banda Aceh pernah dilakukan pada era tahun delapan puluh

hingga 90-an dan menghias wujud arsitektur di kota ini. Konsep filosofi ini hanya sebatas

terhadap perwujudan skala bentuk, proporsi dan estetika semata, dimana konsep filosofi ini

sudah mengalami tranformasi yang universal dan kebanyakan dimanfaatkan oleh institusi

Page 52: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

43

pemerintahan ataupun institusi besar lainnya yang ingin mengangkat kembali filosofi

tersebut.

Tranformasi tektonik atau disain arsitektonik rumoh aceh pada bangunan pemerintah dan

perkantoran di Banda Aceh, diidentiikasi dari beberapa elemen dalam melengkapi bangunan

tersebut dengan bentuk panggung, bentuk atap, tulak angen dan ragam hiasnya, deretan

tameh (tiang) dalam tampilan material modern, balok toi dan ro’, dan bagian seuramoe

teungoh (serambi tengah). Sedangkan kantor bank syariah mandiri aceh mengadopsi bentuk

atap lipat pada bangunan lonceng cakradonya yang berada di kompleks museum aceh dan

atap rumoh aceh pada bagian tombak layarnya.

Berkarakter penggabungan antara arsitektur rumoh aceh dengan tampilan modern

(Neo-vernakular). Tampilan modern terlihat dari penggunaan material beton bertulang,

kaca, kayu, dan material atap dari produk pabrik, yang sifatnya lebih universal.

Page 53: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

44

DAFTAR PUSTAKA

Andi Yusdy D.R,. 2014. Pemanfaatan Tema Arsitektur Tradisional Lokal terhadapTransformasi Bentuk dan Fungsi Arsitektur di Perkotaan dalam Konteks Kekinian.Jurnal Forum Bangunan : Volume 12 Nomor 1, Januari 2014.

Anjani, Malicha Dini. Museum Ragam Hias Melayu Riau Di Pekanbaru Dengan PenekananPelestarian dan Pengembangan Ragam Hias Melayu Riau. Skripsi. Universitas Riau.Pekanbaru. 2014.

Ching, Francis D.K. 2007. Arsitektur : Bentuk, Ruang, dan Tatanan Edisi ketiga. Erlangga,Jakarta, 2007.

Fielden, Bernard M, 1998, Conservation of Historic Building, Bath Press, Great Britain.Frampton, Kenneth, 1983, Towards a Critical Regionalism: Six Point for an Architecture of

Resistance, Bay Press.Gushendri, Wahyu Hidayat dan Muhammad Rijal. 2015. Transformasi Bentuk Arsitektur

Rumah Godang pada Perancangan Museum Jalur Kuantan Singingi. JOM FTEKNIKVolume 2 No. 1 Februari 2015.

Husin, H. Amir, Chairani, Syafrizal, 2003, Arsitektur Rumoh Aceh yang Islami, DinasPerkotaan dan Permukiman Prov. NAD

Ifani., SM, 2015, Kajian Arsitektur Tradisional sebagai Acuan Disain Rumah tinggalKontemporer (Studi Kasus: Arsitektur Vernakular Gayo Lut di Kota Takengon),Tesis Fakultas Teknik Universitas Sumatera Utara-Medan, Tahun 2015.

Mahastuti, Ni Made M, 2018, Arsitektur Vernakular Malaysia, Prodi Arsitektur FakultasTeknik Universitas Udayana.

Matisons.,Viesturs, 2016, Application of vernacular architecture principles in modernhousing constructions, 7th Semester Dissertation, Bachelor of ArchitecturalTechnology and Construction Management, VIA University College, Horsens,Denmark.

Mentayani, Menggali Makna Arsitektur Vernakular: ranah, unsur, dan aspek-aspekvernakularitas, Lanting, Journal of Architecture, Vol 1, No 2, Agust 2012, Hal 68-82 ISSN 2089-8916.

Nursaniah., C, Izziah, dan Qadri, Konsep Kearifan Lokal dari Konstruksi Rumah Vernakulardi Pesisir Barat Aceh untuk Perancangan Arsitektur Modern, (Studi Kasus: WilayahDAS Krueng Tripa, kabupaten Nagan Raya), Tesa Arsitektur Volume 14 | Nomor 2|2016, Terakreditasi: 2/E/KPT/2015, ISSN cetak 1410-6094 | ISSN online 2460-6367.

Nursaniah C, Sawab H, 2018, Penilaian tipologi bangunan dan metode konstruksi rumahvernakular di Aceh dalam merespon gempa. Laporan penelitian Lektor KepalaTahun 2018.

Prajudi, Rahadhian, H, 2011, Transformation in the vernacular Architecture of Settlementson Java, Indonesia from the Hindu-Buddhist Era to the Islamic Era, InternationalSeminar on Vernacular Settlement IV, 14-17th February 2007, Ahmadabad-India.

Page 54: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

45

Prajudi, Rahadhian, H, 2012, Rekontekstualisasi Ruang-ruang Arsitektur Klasik-TradisionalNusantara di masa kini, seminar 121212, Universitas Brawijaya, Malang.

Prajudi, Rahadhian, H, 2014, Kajian Unsur Arsitektonik Transformatif dalam ArsitekturRumah Tradisional di Indonesia-Puslitbangkim, Lombok.

Prajudi, Rahadhian, H, 2015, Penggalian Unsur-unsur Arsitektonik TransformatifPercandian Indonesia untuk Arsitektur Masa Kini dan Mendatang-Puslitbangkim,Lombok.

Prijotomo, Josef, 1988, Ideas and Form of Javanese Architecture, Yogyakarta, Gadjah MadaUniversity Press.

Punpairoj. Poomchai, 2013, the Changing Use of Materials in Construction of theVernacular Thai House, A thesis submitted for the degree of Doctor of PhilosophyUniversity of Bath Departement of Architecture and Civil Engineering.

Rahadhian, 2015, Dialog Pengembangan Potensi Bentuk dan Ruang pada ArsitekturTradisional Indonesia dengan Konteks Masa Kini dan Mendatang.

Rumiwati., dan Prasetyo, 2013, Identifikasi Tipologi Arsitektur Rumah TradisionalMelayu di Kabupaten Langkat dan Perubahannya (Identification Typology ofArchitecture Traditional Malay Houses in Langkat District and Its Changes),Jurnal Permukiman Vol. 8 No. 2 Agustus 2013

Setijanti, Silas, Firmaningtyas, Hartatik, 2012, Vernacular Housing in Contemporary UrbanLiving, Laboratory for Housing and Human Settlement. Dept. of Civil andArchitecture, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS), Surabaya, Indonesia,SB13 Dubai Paper – 154.

Takano., Atsushi, 2015, Wood in sustainable construction - a material perspective Learningfrom vernacular architecture. Doctoral dissertation for the degree of Doctor ofScience in Technology to be presented with due permission of the School ofChemical Technology for public examination and debate in Auditorium (ForestProducts Building 2) at the Aalto University School of Chemical Technology(Espoo, Finland).

Taqiuddin, Z., 2015, Rumah Tradisional Etnis-etnis di Aceh: Alih Fungsi Rumoh Acehsebagai Salah Satu Upaya Pelestarian Rumoh Aceh dengan Konsep Kekinian. DinasKebudayaan dan Pariwisata Aceh Bidang adat dan Nilai Budaya.

Widiastuti., Indah, 2014, Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini.Seminar Rumah Tradisional-PUSKIM 19 November 2014, 15

Widosari, 2010, Mempertahankan Kearifan Lokal Rumoh Aceh dalam Dinamika KehidupanMasyarakatPasca Gempa & Tsunami. Local Wisdom, jurnal Ilmiah Online Vol II,Nomor 2, Hal. 27-36, Maret 2010, ISSN: 2086-3764.

Curtis, William (1985) “Regionalism in Architecture”, dalam Regionalism inarchitecture editor Robert Power. Singapore : Concept Media

Page 55: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

Lampiran 2 Susunan Organisasi Tim dan Pembagian Tugas

No. Nama / NIP InstansiAsal Bidang Ilmu

AlokasiWaktu(jam/minggu)

Uraian Tugas

1. Cut Nursaniah, ST., MTNIP.196810131999032002

FTArsitektur

Arsitektur/RekayasaStruktur danKonstruksi

10Mengkoordinirkegiatan,Mengidentifikasidan menganalisisdata sistemkonstruksi dantipologibangunan,mempresentasikanhasil, menulisartikel ilmiah danbuku ajar.

2. Dr. Ir. Mirza Irwansyah,MBA., MLANIP.196205261987101001

FTArsitektur

Lansekap Arsitektur 8 Mengidentifikasidan menganalisistransformasiunsur-unsurarsitektur rumohAceh terkait ruangluar bangunan,menulis laporandan artikel ilmiahsesuai bidangnya,dan menulis bukuajar.

2. Husnus Sawab, ST., MTNIP.196808231999031002

FTArsitektur

Arsitektur/ArsitekturLingkungan 8

Mengidentifikasidan menganalisisfungsipenghawaan danpencahayaan padaobjek penelitian,menulis laporandan artikel ilmiahsesuai bidangnyadan buku ajar.

3. Mahasiswa (3 orang) FTArsitektur 5

Pembantulapangan, tabulasidata, laporan

Page 56: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

Agricultural

Engineering

Department

Faculty Of Civil

Engineering &

Earth Resources

International Conference on Agricultural Technology, Engineering, and Environmental Sciences

(ICATES) 2019 Address: Agricultural Engineering Department, Faculty of Agriculture, UniversitasSyiah Kuala

Jln. Tgk. Hasan KruengKalee, No. 3, Banda Aceh-Indonesia. Email: [email protected]

Website: http://icates.unsyiah.ac.id. Mobile: +6281220743572; +60 123994214

Paper Acceptance

190/ICATES/TP/2019

Banda Aceh, 24 August 2019

Paper ID: 047 Dear Cut Nursaniah, Izarul Machdar, Azmeri Azmeri, Abdul Munir, Mirza Irwansyah and Husnus Sawab

We are pleased to inform you that your paper entitled: Stilted Houses Transformation, One of Choice to Environment Respon to Sustainable, presented in The International Conference on

Agricultural Technology and Engineering, and Environmental Sciences (ICATES) 2019, is accepted to be published in IOP Conference Series: Earth and Environmental Science scheduled in 4th quarter 2019 as shown on this link: https://iopscience.iop.org/journal/1742-6596/page/Forthcoming%20volumes#tab3

Therefore, we request you to send your final revised paper to our official email at:

[email protected] both in as .docx and .pdf files latest on 3 September 2019. In order to

accelerate IOP publication, we strongly request you to strictly follow the IOP Paper format and

guidelines.

We thank you for your share and participation in the ICATES 2019 Conference.

Cordially yours,

Dr.-Ing. AgusAripMunawar ChairpersonICATES 2019, Banda Aceh-Indonesia

Website: icates.unsyiah.ac.id

Page 57: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

1

Stilted Houses Transformation: One of Choice to EnvironmentRespond to Sustainable

Cut Nursaniah*1, Izarul Machdar2, Azmeri3, Abdul Munir1, Mirza Irwansyah1,and Husnus Sawab1

1Departement of Architecture, Engineering Faculty, University Syiah Kuala, Jln.Tengku Syech Abdurrauf No. 7, Kopelma Darussalam, Banda Aceh, Indonesia2Departement of Chemical Engineering, Engineering Faculty, University Syiah Kuala,Jln. Tengku Syech Abdurrauf No. 7, Kopelma Darussalam, Banda Aceh, Indonesia3Departement of Civil Engineering, Engineering Faculty, University Syiah Kuala, Jln.Tengku Syech Abdurrauf No. 7, Kopelma Darussalam, Banda Aceh, Indonesia

*E-mail: [email protected]

Abstract. One type of houses on stilts that are spread on the west coast of the Aceh region isrumoh santeut located in the Teunom area. This vernacular architecture is a residence that hasbeen tested by climate and natural disasters for hundreds of years, but still stands strong and isstill inhabited by the fourth generation today. The Teunom settlement environment canrepresent the characteristics of other settlements on the west coast of Aceh, because it is in thesame natural conditions. These settlements often experience flooding due to the overflowing ofthe Krueng Teunom River which is located adjacent to the settlement. This paper discusses theprinciples and techniques of construction in the construction of houses on stilts, and how theelements of construction respond to environmental problems as sustainable constructionthrough a process of architectural transformation. Data has been analyzed with qualitativedescriptive methods to find out the factors that affect transformation, and how transformationoccurs. The findings show that the nature and potential of the material affect the structure /construction, building components, and construction methods. The houses on stilts in Teunomhave been transformed together with changes in the socio-cultural community and changes inthe natural environment. The use of cement, brick, and iron has now resulted in changes in themethod of construction and appearance of the house. Wooden stilt houses that are transformedcan be divided into two types of construction, they are transformed into contemporary houses,and are transformed as new stage houses. How the ancestors took care of their homes, and thefact that these houses still exist, should be an example in modern society.

1. IntroductionTransforming is a method commonly used by vernacular architecture, such as what happened at thestage house in the Teunom settlement, the West Coast region of Aceh. Transformation occurs inarchitectural buildings to adapt to the needs of residents, so that the architecture still exists and issustainable. Usually buildings are transformed to adjust the shape of construction to the environmentin which the architecture is located, or adjust to the social and cultural conditions of the dynamiccommunity. The vernacular homes are inherited from generation to generation, and these houses are

1 To whom any correspondence should be addressed.

LAMPIRAN - LAMPIRAN

Page 58: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

2

no longer the same as the early history of its construction [1]. Houses or dwellings always changefrom traditional forms to contemporary ones in accordance with the activities and values of residents[2]. If it is unable to adjust to the environment and the needs of its people, then the architecture andsettlements will be destroyed by themselves. The evolution of vernacular homes throughout historyhas occurred to respond to factors such as geography, climate, expertise and materials [3].

Transformation in architecture is related to the process of changing forms from the initial / basicstate to the new state. The process of change can occur on an ongoing basis, both in whole and in part,while not changing the substance or its essence according to the circumstances. This change can alsobe seen in settlements in the Teunom region, where there are currently several types of stilt houses.The emergence of several types of stilt houses is of course through the transformation process from thebasic form of local residential architecture called rumoh santeut to adapt to the natural environmentand the dynamic needs of the community. Rumoh santeut is a type of stilt house in Aceh that has aparallel floor.

The process of transforming the stage house into a contemporary stage house needs to be studiedto see whether the development of architecture on the west coast of Aceh is currently still adaptive toits environment, because the area is a settlement adjacent to a large river that often overflows intoresidential settlements. Even recently more frequent occurrences of flooding have occurred in theregion. The west coast of Aceh is a coastal area of peat swamps, so that it has the character as a peatswampland, has a short river flow with heavy currents, there are many estuaries. Natural conditionsthat tend to runny affect the formation of architecture on the west coast of Aceh [4].

The social and cultural consequences of the dynamic, flood conditions, and reasons forpracticality, the santeut house in the Teunom region underwent a transformation process so that ittends to be different from the initial construction. The transformation process is a way for thecommunity to maintain the residential architecture so that it can continue to be inhabited to avoidextinction. This architectural transformation study aims to understand how the relationship betweenhouse stage and technology is currently interpreted in sustainable development, and finds a directionfor transforming the adaptation of the West Coast communities of Aceh in adapting to changes in theliving environment and current technology.

Vernacular architecture is able to connect different spaces and times and mediate the developmentof new technological innovations that provide life safety by using local materials, because vernacularknowledge gives rise to characteristics and forms of architecture that are contextual to local climate,local material, and living culture [5]. In modern construction vernacular architecture is not sufficientlyvalued, while the natural environment faces serious challenges in terms of environmental impacts andnatural resource management [6]. Though knowledge of building traditional culture is the principles oftechnology that are built from time to time through an ongoing process.

The transformation of traditional values according to [7] must not reject the latest developmentsbecause a meaningful and sustainable traditional values will always live in the present. There are threeways of transformation and their correlation with the stability of meanings: 1) the transformation oftraditions and traditional landscapes without changing the code and merely neglecting it withfunctional adjustments and the context of space and time; 2) transformation that forms a new codethrough reinterpretation, reinvention or even deconstruction of traditional structures or existingtraditional landscapes to produce new meanings of indigenous traditions. The formation of a new codecan also be done by attempting to critically dismantle all references from tradition and explore otherdimensions of the tradition or layers of other perceptual experiences from traditions that have beenneglected; or 3) raise the practice of code which is usually only textual to be militaristic; fromrepresentation to experience simulation where. In this context traditional values are not merely read,but are experienced in the present context. In the context of simulation, meaning transformation is anevent of reconstitution of traditional values with the aim of creating new traditional habitats in thepresent that are original and authentic, which still heed traditional values but are free from pastlogocentrism.

Page 59: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

3

2. MethodsThis research uses a descriptive qualitative method to discuss understanding of change that integratesthe house on stilts, namely the concept of change with new technological advances and culturalchanges. Data collection is done through literature studies, field research with observation,documentation, interviews, and field notes. Field data collected is related to material, type ofconstruction, and construction elements. Data are analyzed and discussed through typological analysisand constant comparative analysis to find out the differences between staged houses in Teunom.

Data analysis techniques are based on the achievement phase of the research objectives, as follows:1. The understanding of the local community about the potential for disasters in their area is analyzeddescriptively through the form of their house;2. Transformation of stage houses is identified by classifying the forms and types of construction andrelated to the needs of decent homes from the aspect of safety.The safety aspect involves the resilience of building construction to the potential for natural disastersthat hit the area, such as earthquakes, floods and strong winds. The variables in this study are houseshape, floor plans, construction systems, and building materials.

3. Result and Discussion3.1 Rumoh santeutThe vernacular architecture that developed in the Aceh region was the stilt houses. The type of stilthouse known as rumoh santeut is a kind of single dwelling house inhabited by a majority of people inAceh. This stilt house has a parallel stage height. The socio-cultural conditions of the people that differbetween the tribes scattered in Aceh, led to the form of a household construction that was somewhatdifferent between the regions.

According to [8] rumoh santeut in Aceh has a floor height of about 1.5 meters from the groundwith a four-faceted pillar 12x12 cm. The poles are placed on flat stone in the form of a circle as afoundation. Using woven sago palm leaves as a roofing material. Wood and bamboo are the mainingredients of the house, resulting in light construction in this area. The house can be easily dismantledand relocated or reinstalled if necessary, because it uses a traditional connection system for mortiseand tenon reinforced by wedges or pegs. It has a front platform that functions as a front porch whereguests receive. In the decade of the 1940s and 1950s this house was very favored by young familiesand oriented to practicality. These types of houses are in Pidie, North Aceh, and the Tamiang area ofEast Aceh, which is the east coast of Aceh.

While rumoh santeut is in the Teunom region, West Coast of Aceh, the height of the floor isbetween 0.5 to 0.8 meters above ground level. However, in terms of form and material there is nosignificant difference from the house on the east coast of Aceh.

Figure 1. Rumoh santeut prototipe in Acehsource: Husin, 2003

Figure 2. Rumoh santeut in Teunomsource: survey, 2016

Geographical factors in the form of unstable peat swamps result in the construction of stilt houseswith lower floors than stilt houses on the east coast with more stable land geography. The stilt house

Page 60: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

4

on the west coast has a stage height of 0.5 to 0.8 meters above ground level. Soft soil conditions due topart of peat swamps, flooding due to overflow of rivers, and in the dry season the conditions remainwet. Lower stage heights proved to be more able to adapt to the swing of the earthquake that often hitAceh compared to the higher stage. Lower stage heights produce lighter loads compared to higherpoles. Such construction is better able to adapt to the geographic peat swamps with soft and labile soilconditions.

The formation of a stilt house was also influenced by the acculturation of Aceh and Minangcultures, the majority of which lived in West coastal settlements. Immigration from Minang along theWest Coast of Sumatra has occurred since the battle of the troops, one of which settled in the Teunomregion.

The stilt house known as the santeut house has a contextual design principle with its environment,among others, built using local materials and simple construction. The vernacular house proved to bemore resistant to natural disasters such as earthquakes, floods, and strong winds, compared to housesbuilt on the ground.

3.2 Rumoh santeut transformationThere are two types of stilt house characteristics in the Teunom region, namely: 1) rumoh santeut or aflat house with a stage height of about 0.5 meters to 0.8 meters above ground level. This house stilluses wood material on the entire body of the building. It is more than 100 years old, but there is someconcrete material in the legs replacing wood since 20 years ago. According to the community thewater level in the settlements in the event of a flood does not reach the height of the house stage. Butlately floods have entered the house. This stage house can be classified into the category ofcontemporary rumoh santeut; 2) Stilt houses which partially use factory materials and some woodmaterials. Built after the tsunami with a stage height of 1.70 meters above ground level. The toilet isplaced on a stage with a conventional piping system to the bottom of the stage where it is placedseptictank and infiltration. Stage height based on current flood conditions. In this utility elementplanted with flowers or fruits for aesthetics. This stage house is classified into the category of newproduction houses.

3.2.1 Contemporary rumoh santeut. The transformation can be seen on a pole which was previouslywood and placed on a flat round stone, now supported by a pedestal foundation. The foundation ofumpak replaces flat stones after circulating cement material on the market. By using an umpakfoundation, the position of the wooden pillar can be farther away from the ground. The community'sunderstanding of the use of stone pedestal foundations in earthquake-prone areas is a local wisdomthat is still adhered to, namely separating the structure of a house with a foundation. Separation of thestructure of a house building with a foundation becomes a very important and fundamental factor sothat the vibrations that occur on the ground due to swaying soil only cause effects that are not too largeon the structure of the house.

Traditional house plans that tend to be simple and symmetrical or relatively balanced inearthquake-prone areas indicate that they understand if buildings require elasticity or flexibility whichcan reduce the effects of damage caused by earthquakes. The building is relatively symmetrical andlight and with a very adaptive clamping, tapping, tapping and tensile technique in earthquake proneareas. This local wisdom is also still adhered to by local communities.

Another change is that the roof from thatch leaves has been replaced by zinc material, alreadyusing nails to strengthen the construction of walls and poles. Cement and brick materials have alsobeen used to build kitchen spaces with non-stage construction. How to construct a combination oftraditional and conventional methods.

Page 61: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

5

Figure 3. wooden poles have been replacedwith a combination of wood and concrete

slabs, source: survey, 2016

Figure 4. nails strengthen theconnection of poles and beams

source: survey, 2016

Figure 5. Zinc material replaces thatchleaves for roof coverings

source: survey, 2016

Figure 6. Kitchen room with non-stage construction

source: survey, 2016

The events of the vernacular house transformation above do not give rise to meaning and withoutraising a new cultural code. Transformation is basically just a functional-aesthetic modification ofdesign - formal adaptation for certain use purposes. The design process produces representations thatare not much different from the original form. The forms that occur are more of a formal-spatial-construction manipulation. The transformation of this form of construction is still adaptable andrelevant to its environment.

3.2.2 New production stilt house. This stage house was built after the tsunami from concrete materialsfor the construction of buildings, bricks and boards for walls, and zinc material for roof construction.Because it uses factory materials, the method of construction is done using conventional methods. Thebathroom and toilet are inside the house to make it easier for residents to clean themselves if thesettlement is in a flood condition. While septictank is built higher than the groundwater level to avoidcontamination of ground water. Construction of poles with reinforced concrete material with wells orriver stones does not affect the height of the stage, because the foundation must be placed on hardground.

Figure 7. New stilt houseSouce: survey, 2016

Figure 8. Piping systemSource: survey

Page 62: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

6

Figure 9. stilt floor from cementSouce: survey, 2016

Figure 10. Stilt constructionSource: survey, 2016

Concrete pillars with conventional methods are connected with wooden stairs using bolts and nails.

Figure 11. The appearance of flood water on the pole or seepage ofground water

Source: survey and analisis

The design of the new stage house consists of: 1). The lower part is a foundation and pillar / column,so that the lower area can still hold water and pass water; 2). The middle part is the main house whichconsists of a family / guest room, a bedroom, and a kitchen; and 3). The roof that serves as a protectivebuilding from heat and rain. On the stilt house with conventional methods shows the Vernaculartradition has joined the modern tradition to create a new hybrid form.The construction of a stilt house in Teunom is still maintained due to its harmony with the surroundingenvironment. The stage floor is 0.5 meters from the ground in a contemporary vernacular house. Whilethe distance of the construction of the stage from the ground in a modern house 1.7 meters. This stageheight transformation to anticipate water levels in settlements is increasing in the event of a flood, dueto the existence of part of the development that depletes the land. The lower part of the stage housecan still absorb or pass water, and is in harmony with the hydrological function. This section can alsobe used to increase air refreshment naturally, because fresh air can move under the floor and reach allspaces. Under this new stilt house can also be used to maintain and cultivate various plants that arebeneficial for health or beauty and produce economy and conservation.4. Conclusion

Page 63: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

7

The stilt house on the west coast of Aceh is still considered to contain local wisdom because of itsadaptation to climate conditions and coastal disasters. The form of the stilt house so far still meets theaspects of safety, security, comfort and health. Along with the development of urban areas, demandingneeds and limited financial capabilities, homeowners in the west coast of Aceh were able to maintain aform of construction that could reduce the impact of disasters on the safety of residents through theirstilt houses.

Geographical and climate constraints are two important considerations in the construction of stilthouse construction in the West Coast of Aceh. The stage house is very easy to adapt to climateconditions and coastal disasters.

Water catchment areas are a necessity in flood-affected settlements such as the Teunom region. Sothe stilt construction building is the local wisdom of the adaptation of the community to the naturalenvironment, so that Teunom settlements remain sustainable.Presenting a vernacular house does not need to be done by bringing back material objects from thesanteut in accordance with the original, but through the process of change by interpreting the spaceand forms of local architecture that occur today.

5. AcknowledgmentsSpecial thanks to Syiah Kuala University for supporting this research fund, so that this research can bedone well. Thanks also to the Unsyiah Research Institute and Community Service which havefacilitated and coordinated this research.

6. References[1] Oliver Paul. (ed) 2006. Dwellings: the Vernacular House Worldwide (Revised edition) London

and New York: Phaidon Press[2] Lawrence R J 1987 Housing, dwellings and homes: Design theory, research and practice

(Wiley, Chichester)[3] Punpairoj 2013 the Changing Use of Materials in Construction of the Vernacular Thai House

(A thesis submitted for the degree of Doctor of Philosophy University of Bath Departementof Architecture and Civil Engineering)

[4] Wulandari Elysa 2005 Pola Tumbuh Kembang Kota-kota di Pesisir Aceh. (Proceeding)international Symposium Nusantara Urban Research Institute

[5] Harmanescu., M and Enache, C 2016 Vernacular and Technology. InBetween (InternationalConference) – Environment at a Crossroads: SMART approaches for a sustainable future.

Procedia Environmental Sciences 32 ( 2016 ) 412 – 419, Science Direct, Elsevier[6] Wallbaum, H et al 2012 Indicator based sustainability assessment tool for affordable housing

construction technologies Ecological Indicators (18:2012 (353–364)[7] Widiastuti 2014 Transformasi nilai-Nilai Tradisional dalam Arsitektur Masa kini (conference

paper) Seminar Rumah Tradisional - PUSKIM 19 November 2014, 15. Download fromhttps://www.researchgate.net/publication/306094378

[8] Husin H Amir et al 2003 Arsitektur Rumoh Aceh yang Islami (Dinas Perkotaan danPermukiman Prov. NAD)

Page 64: LAPORAN AKHIR PENELITIAN LEKTOR KEPALA

FOTO – FOTO KEGIATAN