kualitas karkas
DESCRIPTION
MERAHTRANSCRIPT
Kualitas Karkas
Definisi Karkas
Karkas adalah bagian badan ternak yang telah disembelih, dikuliti,
dikeluarkan isi perutnya dan dipotong kaki bagian bawah serta kepalanya. Untuk
mendapatkan daging (Anonima, 2009)
Karkas dipotong dengan pembagian seperti terlihat pada gambar :
Menurut (Anonima 2009) Berdasarkan standar Perdagangan (SP) 144-1982
yang ditetapkan Departemen Perdagangan Indonesia, penggolongan daging sapi
menurut kelasnya adalah sebagai berikut:
1. Golongan (kelas) I, meliputi daging bagian
a. Has dalam (Fillet)
b. Tanjung (Rump)
c. Has luar (Sirloin)
d. Lemusir (Cube Roll)
e. Kelapa (Inside)
f. Penutup (Top Side)
g. Pendasar + Gandik (Silver Side)
2. Golongan (kelas) II, meliputi daging bagian
a. Paha Depan (Chunk)
b. Sengkel (Shank)
c. Daging Iga (Rib meat)
d. Daging Punuk (Blade)
3. Golongan (kelas) III, meliputi daging lainnya yang tidak termasuk golongan I dan
II, yaitu
a. Samcan (Flank)
b. Sandung Lamur ( Brisket )
c. Daging Bagian Lainnya
Sedangkan Klasifikasi karkas unggas didasarkan atas tingkat keempukan
dagingnya. Unggas yang dagingnya empuk, yaitu unggas yang daging karkasnya
lunak, lentur, kulitnya bertekstur halus, dan kartilago sternalnya fleksibel. Unggas
dengan keempukan daging sedang diidentifikasikan dengan umur yang relatif lebih
tua, kulit yang kasar dan kartilago sternalnya kurang fleksibel. Klas sedang ini
meliputi: (1) stag, ayam jantan berumur kurang dari 10 bulan, dan (2) kalkun betina
dan jantan berumur sekitar 1 tahun sampai 15 bulan. Klas unggas dewasa meliputi
roaster, ayam betina dewasa. Kelas unggas ini memiliki daging yang alot, kulit kasar
dan kartilago sternal keras. Kelas karkas unggas yang dagingnya empuk dapat
dibedakan berdasarkan atas spesies, berat karkas dan jenis kelamin (Soeparno, 1998).
Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kualitas Karkas
Kualitas karkas dan daging dipengaruhi oleh faktor sebelum dan setelah
pemotongan. Faktor sebelum pemotongan yang dapat mempengaruhi kualitas daging
antara lain genetik, spesies, bangsa, tipe ternak, jenis kelamin, umur, pakan termasuk
bahan aditif (hormon, antibiotik atau mineral), dan stress. Faktor setelah pemotongan
yang mempengaruhi kualitas daging antara lain meliputi metode pelayuan, stimulasi
listrik, metode pemasakan, pH karkas dan daging, bahan tambahan termasuk enzim
pengempuk daging, hormon dan antibiotik, lemak intramuskuler atau marbling,
metode penyimpanan dan preservasi, macam otot daging dan lokasi pada suatu otot
daging (Soeparno, 1998).
Faktor lingkungan yang sangat berpengaruh terhadap kualitas karkas dan
daging diantaranya adalah status nutrisi dan konsumsi pakan, umur dan berat tubuh
ternak saat dipotong, bahan aditif, dan stres. Status nutrisi bisa jadi merupakan faktor
lingkungan yangterpenting yang mempengaruhi komposisi karkas dan daging. Ternak
yang mengkonsumsi pakan dengan kandungan energi tinggi akan meningkatkan
kadar lemak tubuhnya. Ternak-ternak yang digembalakan di pasture dengan dominan
spesies legum akan memiliki kecenderungan penimbunan lemak tubuhnya lebih besar
daripada yang digembalakan pada pasture dengan spesies rerumputan (Soeparno
1998).
Faktor umur dan berat tubuh sering merupakan faktor yang saling terkait satu
dengan yang lainnya. Biasanya baik secara sendiri-sendiri maupun bersama-sama
antara umur dan berat tubuh akan mempengaruhi komposisi karkas. Ternak yang
dipotong pada umur yang tua akan memiliki kealotan daging yang lebih tinggi
daripada ternak muda. Dengan bertambahnya umur biasanya diikuti pertambahan
berat badan. Kondisi ini diikuti dengan peningkatan pertumbuhan organ-organ
tertentu terutama yang berkaitan dengan depot lemak (Soeparno, 1998).
Bahan aditif yang sering dihubungkan dengan kualitas daging adalah hormon
dan antibiotika. Hormon-hormon tertentu telah terbukti mempunyai pengaruh yang
baik terhadap pertumbuhan, tetapi banyak juga hormon yang tidak mampu
meningkatkan kualitas karkas dan daging. Hormon tiourasil sebagai agensia antitiroid
dapat menurunkan konsumsi pakan dan laju pertumbuhan berat badan tanpa
meningkatkan kualitas karkas. Injeksi hormon adrenalin menjelang penyembelihan
ternak dapat mengakibatkan pH ultimat otot tinggi. Keuntungan pH ultimat yang
tinggi adalah melindungi protein otot dan meningkatkan daya ikat air oleh protein
daging yang direfleksikan pada peningkatan keempukan daging (Soeparno, 1998).
Antibiotik sering ditambahkan pada pakan untuk dikonsumsi ternak.
Antibiotik aureomisin, teramisin, dan penisilin efektif dapat merangsang laju
pertumbuhan, berat dan komposisi karkas, dan efisiensi konversi pakan pada ternak
muda, tetapi pengaruhnya berbeda-beda diantara spesies. Dengan kondisi yang
demikian itu maka daging/karkas dari ternak yang diberi antibiotik dengan yang tidak
memiliki kualitas yang berbeda. Hal ini terkait dengan efek penggunaan antibiotika
pada laju pertumbuhan dan konsumsi serta konversi pakan. Namun demikian
penggunaan antibiotik yang berlebihan dan tidak tepat waktu dapat mempengaruhi
kualitas daging dari sisi konsumen, yaitu aspek kesehatan dari residu antibiotik pada
tubuh ternak (Soeparno, 1998)
Pada dasarnya, kualitas karkas adalah nilai karkas yang dihasilkan oleh ternak
relatif terhadap suatu kondisi pemasaran. Faktor yang menentukan nilai karkas
meliputi berat karkas, jumlah daging yang dihasilkan dan kualitas daging dari karkas
yang bersangkutan. Nilai karkas dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin atau tipe
ternak yang menghasilkan karkas, umur atau kedewasaan ternak, dan jumlah lemak
intramuskular atau marbling didalam otot. Faktor nilai karkas dapat diukur secara
subyektif, misalnya dengan pengujian organoleptik atau metode panel. Disamping
kualitas (nilai) karkas, juga dikenal kualitas hasil, yaitu estimasi jumlah daging yang
dihasilkan dari suatu karkas (Soeparno, 1998).
Faktor kualitas daging yang dimakan terutama meliputi warna, keempukan
dan tekstur, flavor dan aroma termasuk bau dan cita rasa dan kekasan jus daging
(juiciness). Disamping itu, lemak intramuskular, susut masak (cooking loss) yaitu
berat sampel daging yang hilang selama pemasakan atau pemanasan, retensi cairan
dan pH daging, ikut menentukan kualitas daging (Soeparno, 1998).
Aspek-Aspek yang Harus Diperhatikan Untuk Menghasilkan Karkas/Daging yang Berkualitas
Tujuan utama usaha peternakan pedaging adalah untuk menghasilkan produk
daging dan karkas yang berkualitas baik. Kualitas daging dan karkas ini secara umum
sangat dipengaruhi oleh tiga aspek, yaitu aspek produksi, aspek pemanenan
(pemotongan), dan aspek penanganan segera setelah pemanenan (pemotongan)
(Soeparno, 1994)
1. Aspek Produksi
Aspek produksi menyangkut seluruh rangkaian proses produksi peternakan
termasuk di dalamnya adalah faktor genetik dan lingkungan. Faktor genetik yang
turut mempengaruhi kualitas daging dan karkas adalah spesies, breed (bangsa), tipe
ternak, dan jenis kelamin ternak. Sebagai contoh adalah bahwa kerbau memiliki serat
daging yang lebih kasar daripada sapi. Sapi potong bangsa angus lebih memiliki
kecenderungan menimbun lemak intramuskular daripada bangsa sapi yang lain. Pada
sapi madura memiliki persentase karkas yang lebih rendah dibanding dengan sapi bali
meskipun daging total yang diperoleh bisa jadi lebih banyak. Demikian halnya bahwa
tipe ternak perah akan memiliki kecenderungan penimbunan lemak pada ginjal dan
pelviksnya (Soeparno, 1994).
2. Aspek pemanenan (pemotongan)
2.1. Sebelum Pemotongan
Selain aspek produksi sebagaimana disebutkan di atas, penyembelihan ternak
memiliki peranan penting dalam mempertahankan kualitas daging/karkas yang
dihasilkan. Ini terkait dengan kerja fisiologis ternak, perubahan-perubahan baik fisik
maupun biokemis segera setelah disembelih, dan pencemaran daging oleh
mikroorganisme (Soeparno, 1994)
Pada prinsipnya dalam persiapan penyembelihan ternak adalah bagaimana
mengkondisikan ternak baik secara fisik, emosional, dan fisiologis siap untuk
disembelih dengan sebaik-baiknya sehingga pada proses penyembelihannya darah
yang dikeluarkan sebanyak mungkin dan ternak tidak merasa tersiksa (Soeparno,
1994).
Berkenaan dengan kesiapan ternak untuk siap disembelih maka beberapa hal
perlu diperhatikan sebelum ternak disembelih.
a. Ternak harus diistirahatkan secukupnya dan tenang sesaat menjelang eksekusi
b. ternak harus dihindarkan dari tekanan dan perlakuan menyakiti
c. ternak harus dalam keadaan sehat (Soeparno, 1994).
Ternak yang cukup istirahat dan tenang sebelum penyembelihan diharapkan
akan mendapatkan kualitas karkas/daging bermutu tinggi dibandingkan dengan ternak
yang sebelum penyembelihan dalam kondisi kelelahan dan mendapat tekanan (stres).
Ternak yang kelelahan dan stres memiliki cadangan glikogen yang rendah sehingga
berpengaruh pada proses pengeluaran darah, meronta, dan rigor mortis (Soeparno,
1994).
Lamanya waktu mengistirahatkan ternak berbeda-beda tergantung dari
spesies, tipe ternak dan kondisi atau tingkat kelelahannya, misalnya dari perjalanan
(pengakutan) menuju tempat pemotongan yang jauh, dan lain sebagainya. Namun
demikian biasanya cukup antara 12 – 24 jam. Perlunya ternak diistirahatkan adalah
agar
a. ternak tidak mengalami stres
b. cukup tersedia cadangan energi sehingga proses rigormortis dapat berlangsung
secara sempurna
c. pada saat disembelih darah yang keluar sebanyak mungkin (Soeparno, 1994)
Menurut Soeparno (1994) mengistirahatkan ternak sebelum disembelih ada 2
(dua) cara, yaitu dengan dipuasakan dan tanpa dipuasakan. Pemuasaan dilakukan agar
(1) diperoleh bobot tubuh kosong (BTK), yaitu bobot tubuh yang telah dikurangi isi
saluran pencernaan, saluran kencing dan empedu
(2) mempermudah proses penyembelihan terutama bagi ternak yang agresif atau liar
Sedangkan pengistirahatan ternak tanpa pemuasaan adalah agar
(1) ternak tidak mengalami stress
(2) ketika disembelih ternak mengeluarkan darah sebanyak mungkin karena lebih
kuat meronta, mengejang atau berkontraksi sehingga darah yang dikeluarkan akan
lebih sempurna
Hal penting lain yang perlu/harus dilakukan sebelum ternak disembelih adalah
melakukan pemeriksaan ternak (pemeriksaan antemortem). Menururt Swatland (1984
disitasi oleh Soeparno (1994) bahwa pemeriksaan antemortem dimaksudkan (1) untuk
mengetahui ternak yang cidera sehingga diprioritaskan untuk disembelih terlebih
dahulu dan (2) untuk mengetahui ternak-ternak yang sakit sehingga disembelih secara
terpisah.
Menurut Suharyanto (1996) adapun manfaat dari pemeriksaan antemortem
adalah:
a. Mengetahui/menentukan ternak yang dagingnya berbahaya untuk dikonsumsi.
Misalnya ditemukan adanya ternak yang berada pada taraf septi chaemi (gejala
infeksi yang mulai menjalar); ternak yang demikian ini sukar diketahui gejala-
gejalanya sehingga tanpa pemeriksaan sukar diketahui sedangkan hal ini
berbahaya bagi konsumen.
b. Dapat menetapkan kesehatan ternak ketika masih hidup sehingga bisa
menyatakan sehat atau tidak dagingnya untuk dikonsumsi.
c. Dapat mengetahui apakah ternak dalam keadaan lelah atau tidak untuk segera
dilakukan penyembelihan.
2.2 Pemotongan/Penyembelihan Ternak
Cara penyembelihan ternak bermacam-mcam sesuai dengan kebiasaan, adat
istiadat dan agama masyarakat setempat. Di Indonesia dan masyarakat Islam lainnya,
penyembelihan dilakukan dengan menyebut nama Allah dan disembelih secara
langsung dengan alat penyembelihan yang tajam. Namun demikian prinsip
penyembelihan ternak adalah bahwa ternak harus disembelih secepat mungkin dan
rasa sakit diusahakan seminimal mungkin untuk menghindari stres (tekanan) dan
pengurangan cadangan glikogen (Soeparno, 1994)
Menurut Soeparno (1994) ada 2 (dua) cara penyembelihan, yaitu (1)
penyembelihan secara langsung dan (2) penyembelihan secara tidak langsung.
Penyembelihan secara langsung adalah bahwa petugas penyembelih (jagal)
menyembelih langsung pada leher ternak dengan memutuskan arteri karotis, vena
jugularis, dan esofagus. Sedangkan penyembelihan secara tidak langsung dapat
dilakukan dengan pemingsanan ternak terlebih dahulu. Pemingsanan ini dapat
dilakukan dengan (a) menggunakan alat pemingsan (knocker), (b) senjata pemingsan
(stunning gun), (c) pembiusan, dan (4) menggunakan arus listrik.
Setelah ternak disembelih, untuk menentukan apakah ternak benar-benar telah
mati atau belum dapat dilakukan dengan 3 (tiga) macam ujicoba, yaitu reflek mata,
reflek kaki, dan reflek ekor (Soeparno, 1994). Ujicoba dengan reflek mata dilakukan
dengan menyentuh pelupuk mata apakah masih bergerak atau tidak. Ujicoba refrlek
kaki adalah dengan memukul persendian kaki atau memijit sela-sela kuku. Dan uji
coba reflek ekor adalah dengan membengkokkan ekor. Apabila respon kelopak mata,
kaki, dan ekor tidak bergerak tandanya ternak telah benar-benar mati.
3. Aspek Setelah Pemotongan
3.1 Perubahan Karkas/Daging Setelah Disembelih
Setelah ternak disembelih maka penyediaan oksigen ke otot terhenti sebagai
akibat terhentinya aliran darah. Akibatnya adalah bahwa persediaan glikogen tidak
ada lagi di otot dan sisa metabolisme tidak dapat dikeluarkan dari otot. Perubahan
perubahan tersebut diikuti dengan perubahan-perubahan fisik, dan biokemis lainnya
seperti perubahan suhu, perubahan pH, dan rigor mortis (Buckle, et al., 1987).
Ternak yang disembelih, suhu permukaan karkasnya menurun, hal ini karena
tidak ada lagi aliran darah ke permukaan tubuh/kerkas ternak. Penurunan ini sama
dengan suhu sekitarnya atau lebih rendah lagi. Namun demikian karena darah dan
sisa-sisa metabolisme yang tersisa di dalam otot, maka suhu di dalam jaringan justri
meningkat. Peningkatan ini berkisar antara 10 – 20 , tergantung dari besar kecilnya
ternak sebagai akibat dari proses glikolisis sesudah kematian dimana glikogen diubah
menjadi asam laktat (Buckle, et al., 1987).
Konversi glikogen menjadi asam laktat mempengaruhi pH daging. Dengan
demikian pH daging dipengaruhi oleh tingkat cadangan glikogen, penanganan
sebelum penyembelihan, dan laju glikolisis. pH akhir yang dicapai tubuh ternak dapat
mempengaruhi mutu daging (Buckle, et al., 1987), yaitu:
a) pH rendah yaitu sekitar 5,1 – 6,1 menyebabkan daging mempunyai struktur
terbuka yang sangat diinginkan untuk pengasinan daging; warna merah muda yang
cerah dan disukai konsumen; flavor yang lebih disukai, baik dalam kondisi telah
dimasak maupun diasin; dan stabilitas yang lebih baik terhadap kerusakan akibat
mikroorganisme.
b) pH tinggi, yaitu sekitar 6,2 – 7,2 menyebabkan daging tahap akhir mempunyai
struktur tertutup atau padat dengan warna merah-ungu tua, rasa kurang enak dan
keadaan yang lebih memungkinkan untuk perkembangan mikroorganisme.
Perubahan yang secara fisik dapat disaksikan adalah rigor mortis, yaitu proses
yang menunjukkan keadaan karkas menjadi kaku yang biasanya terjadi antara 24 – 48
jam setelah penyembelihan. Rigor mortis terjadi merupakan akibat dari serangkaian
peristiwa biokimia yang kompleks menyangkut hilangnya creatin phosphat (CP) dan
Adhenosine Triphosphat (ATP) dari otot, tidak berfungsinya sistem enzim sitokhrom
dan reaksi-reaksi kompleks lainnya (Buckle, et al., 1987). Kekakuan ini juga akibat
adanya aktin dan miosin mebentuk aktomiosin yang kemudian menjadi irreversible.
Kecepatan laju rigor mortis dipengaruhi oleh beberapa faktor (Buckle, et al.,
1987), diantaranya adalah (1) tingkat cadangan glikogen pada saat mati. Bila glikogen
rendah rigor mortis cenderung berlangsung cepat. Dan ini berkaitan erat dengan pH
akhir yang dicapai. (2) Suhu karkas; kecepatyan tertinggi dari rigor mortis sebanding
dengan suhu yang tinggi, yang mempercepat hilangnya CP dan ATP otot.
3.2 Penyiapan Karkas
Setelah ternak disembelih secara sah dan dinyatakan benar-benar mati maka
yang dilakukan selanjutnya adalah penyiapan karkas. Urutan penyiapan karkas yang
umum dilakukan (swatland, 1984 disitasi oleh Soeparno, 1994) adalah:
1. Memisahkan kepala dari tubuh ternak
2. Melakukan pengulitan kepala
3. Memisahkan keempat kaki pada bagian persendian tulang kanon
4. Pengulitan tubuh
5. Membuka rongga dada, tepat melalui ventral tengah tulang dada atau sternum
6. Membuka rongga abdomen dengan irisan sepanjang ventral tengah, kemudian
memisahkan penis, ambing, dan lemak abdomen
7. Membelah bonggol pelvik dan memisahkan keduanya
8. Membuat irisan sekitar anus dan menutupnya dengan kantong plastik
9. Menguliti ekor, jika belum dilakukan
10. Memisahkan esofagus dari trakhea
11. Mengeluarkan kandung kencing dan uterus jika ada, usus, rumen, jantung, dan
hati
12. Pisahkan karkas menjadi dua bagian melalui garis tengah punggung
13. Rapikan karkas dengan membuang bagian-bagian yang kurang bermanfaat.
Kemudian karkas ditimbang untuk mendapatkan berat segar. Karkas yang
telah siap, dicuci dapat dibungkus dengan kain putih untuk merapikan lemak
subkutan. Selanjutnya karkas dapat dipotong-potong menjadi wholesle cut dan retail
cut sesuai dengan permintaan pasar.
3.3. Pemeriksaan Daging
Sebelum ternak disembelih telah dilakukan pemeriksaan antemortem, maka
setelah ternak disembelih dan disiapkan menjadi karkas dilakukan juga pemeriksaan
yang disebut sebagai pemeriksaan postmortem. Yaitu memeriksa karkas dan alat-alat
dalam (viscera), serta produk akhir. Menurut Soeparno (1994), pemeriksaan daging
dimaksudkan (1) untuk melindungi konsumen dari penyakit yang dapat ditimbulkan
karena makan daging yang tidak sehat, (2) melindungi konsumen dari pemalsuan
daging, dan (3) mencegah penularan penyakit diantara ternak.
Pemeriksaan postmortem yang dilakukan di Indonesia adalah dengan
memeriksa karkas, kelenjar limfa, kepala, mulut, kuku, lidah, dan organ-organ dalam.
Bila ditemukan kondisi abnormal maka dilakukan pemeriksaan lebih lanjut.
Keputusan hasil pemeriksaan menentukan apakah karkas dan bagian-bagiannya dapat
dikonsumsi, diproses lebih lanjut atau tidak (Soeparno, 1994).
Pemalsuan daging sering terjadi di Indonesia karena aspek pemeriksaan belum
dilakukan dengan baik dan integratif dengan pihak-pihak lain. Pada tahun 2000
terjadi pemalsuan daging sapi dengan daging celeng (babi hutan) yang disinyalir
justru berasal dari Bengkulu. Beberapa langkah yang dapat dilakukan untuk
memaksimalkan pemerikasaan secara integratif diantaranya adalah dengan (1)
membentuk seperangkat aturan dan penegakannya secara jelas dan tegas dan (2)
mengoptimalkan fungsi dan peran Rumah Potong Hewan (RPH) dengan melibatkan
pihak pemerintah dan MUI yang mengontrol kemungkinan penyimpangan-
penyimpangan pada RPH itu sendiri (Suharyanto dan Anton Sutrisno, 2000).
Resume:
1. Karkas adalah bagian tubuh ternak setelah dilakukan pemotongan yang telah
dikeluarkan kepala, kaki, kulit dan jeroan.
2. Karkas dilakukan pemeriksaan antemortem dan postmortem, antmortem meliputi
genetik, spesies, jenis kelamin, stress, bangsa, tipe ternak, umur dan pakan.
Sedangkan postmortem meliputi metode pelayuan, stimulasi listrik, metode
perusakan, pH karkas
3. Sapi yang memiliki kualitas karkas yang baik yaitu pada sapi atau ternak yang
telah dewasa. Sapi yang telah tua kualitas karkas akan menurun disebabkan
karena daging tidak akan bertambah melainkan lemak sehingga akan
menyebabkan daging yang alat
4. Dilihat dari segi peternakan lebih baik kualitas karkas sapi yang dipuasakan
karena meminalisir kontaminasi dari bakteri dalam rumen, namun apabila sapi
tersebut terlalu lama dipuasakan kandungan glikogen akan berkurang sehingga
mempengaruhi warna daging dan kealotan
5. Langkah taktis yang harus dilakukan peternak di Indonesia untuk mengatasi
dampak globalisasi dilihat dari segi kualitas karkas dan teknologi yaitu
memperbaiki proses pemotongan untuk meningkatkan kualitas karkas dan
meningkatkan kesadaran diri masyarakat peternak di Indonesia
6. Petumbuhan tulang yang baik bagi ternak yaitu pada saat ternak dewasa kelamin,
karena pada saat dewasa kelamin ternak tersebut sudah berfungsi hormon
testosteron (ternak jantan) dimana hormon ini meningkatkan atau memacu
pertumbuhan tulang.
7. Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama
penyimpanan dingin (2 – 5°C setelah ternak disembelih yang memberikan
dampak terhadap perbaikan palatabilitas daging tersebut khususnya pada daerah
rib dan loin.
MATURASI
Maturasi adalah proses secara alamiah yang terjadi pada daging selama
penyimpanan dingin (2 – 5°C setelah ternak disembelih yang memberikan dampak
terhadap perbaikan palatabilitas daging tersebut khususnya pada daerah rib dan loin.
Selama maturasi akan terjadi pemecahan atau fragmentasi protein miofibriler
oleh enzim-enzim alami menghasilkan perbaikan keempukan daging, khususnya pada
bagian rib dan loin. Pada suhu 2º C, waktu yang dibutuhkan utnuk pematangan
daging adalah 10 - 15 hari, namun dengan alasan ekonomi waktu diturunkan menajdi
7 - 8 hari. Akibat permintaan penyediaan daging yang cepat dan berkembangnya
pasar swalayan dan toko-toko daging yang dilengkapi dengan rantai pendingin maka
waktu maturasi ditingkat RPH dipersingkat menjadi 1- 2 hari; setelah rigor mortis
terbentuk karkas (whole and retail cuts) sudah bisa didistribusikan ke pasar swalayan
atau toko daging, dengan harapan proses aging akan berlangsung selama display
produk daging tersebut.
Faustman (1994) menyatakan bahwa waktu yang diperlukan untuk maturasi
adalah 12 hari untuk daging sapi, 3-5 hari untuk daging babi, dan 1-2 hari untuk
daging ayam.
Selama aging akan terjadi perbaikan keempukan daging yang secara fisik
diakibatkan oleh terjadinya fragmentasi miofibriler akibat kerja enzim pencerna
protein. Ada dua kelompok enzim proteolitik yang berperan dalam proses
pengempukan ini yakni calcium dependence protease (CaDP) atau nama lainnya
calpain (µ dan m-calpain) yang intens bekerja pada saat prarigor dan kelompok
cathepsin yang aktif bekerja pada saat pascarigor. Keduanya berperan dalam
mendegradasi protein miofibriler. Calpain dalam aktivitasnya akan dihambat oleh
enzim calpastatin (inhibitor calpain), sehingga efektivitasnya terhadap perbaikan
keempukan akan sangat tergantung pada jumlah enzim inhibitor tersebut.
Beberapa hasil penelitian tentang pengaruh aging terhadap keempukan seperti
berikut:
Pada suhu + 1º C, peningkatan keempukan terjadi dalam 15 hari dan
khususnya pada minggu kedua (Dumont, 1952).
Perbaikan keempukan sebanyak 28,2 % dan 22 % masing-masing untuk hari
kelima dan hari ke 15. Setelah itu perbaikan keempukan yang dicapai hanya
6,2 % dari hari ke 15 sampai hari ke 35 (Hiner dan Hanhins, 1941)
Peningkatan keempukan daging pada hari ke tujuh penyimpanan pada suhu 4º
C sebesar 10 % dan meningkat menjadi 31 % setelah penyimpanan 17 hari
(Moran dan Smith (1929)
Pada daging sapi Bali penggemukan dan tanpa penggemukan (pemeliharaan
tradisional) : peningkatan keempukan sebesar 21,83 % selama 12 hari aging
dimana 8,90 % diantaranya diperoleh pada hari ketiga (Abustam, 1995)
Keempukan pada sapi pemeliharaan tradisional lebih baik dibanding dengan
sapi penggemukan (17,15 % vs 14,49 %) (Abustam, 1995)
Wu dkk (1981, 1982) maturasi: solubilitas kolagen intramuskuler meningkat.
Stanley dan Brown (1973) waktu maturasi meningkat, solubilitas kolagen
intramuskuler juga meningkat: 13 hari maturasi, 29% kolagen tersolubilisasi.
Peningkatan ikatan silang termolabil dari kolagen epimisial dan kolagen
intramuskuler selama 21 hari maturasi (Pfeiffer dkk, 1972).
Jenis Aging
Ada dua jenis aging pada karkas/daging
dry aging, karkas utuh atau potongan utama karkas secara terbuka (tanpa
ditutupi atau dikemas) ditempatkan pada ruangan pendingin pada suhu 0–
1,11°C (32-34°F), kelembaban relative 80-85 %, kecepatan udara 0,5-2,5
m/det, selama 21 – 28 hari
wet aging, daging dimaturasikan pada kantong plastic hampa udara, suhu 0-
1,11°C (32-34°C) Kelembaban dan kecepatan udara bukan merupakan
keharusan yang diperlukan pada maturasi tertutup (wet aging).
Faktor Pembatas Aging
Kelembaban; kelembaban yang tinggi akan menagkibatkan pertumbuhan
mikroba yang berlebihan. Pada kelembabab rendah mengakibatkan
pengkerutan yang berlebihan. Kelembaban relative 85% memperlambat
pertumbuhan mikroba dan kehilangan cairan daging akan menurun
Suhu; pada suhu yang tinggi akan mempercepat perkembangan keempukan
namun pertumbuhan mikroba juga meningkat
Kecepatan udara; pada kecepatan udara rendah akan mengakibatkan
kondensasi air berlebihan pada produk yang mana akan menghasilkan aroma
dan flavor yang menyimpang (off-flavor), dan pembusukan. Sedang pada
kecepatan udara tinggi akan menagkibatkan pengeringan permukaan karkas
yang berlebihan
Efektivitas Aging
Waktu dan tingkat kecepatan aging merupakan variable-variable pascamerta
yang mempengaruhi keempukan daging
Tingkat kecepatan aging; beberapa karkas atau potongan-potongannya
mengalami pengempukan sangat cepat sedang yang lainnya pengempukannya
terjadi secara perlahan
Waktu aging; pada otot dengan jaringan ikat yang sedang sampai tinggi pada
umumnya tidak begitu empuk setelah waktu aging yang cukup dimana
frgagmentasi jaringan ikat tidak cukup selama aging
Survey National Beef Tenderness 1991 memperlihatkan bahwa maturasi
daging sapi 3 – 90 hari, rata-rata 17 hari sebelum dijual eceran. Melebihi 28
hari, nilai tambahnya sedikit terhadap perbaikan palatabilitas dan mungkin
merusak ditandai dengan pertumbuhan mikroba yang tidak diinginkan dan
perubahan flavor
Tenderloin; merupakan otot yang paling empuk sehingga waktu yang
diperlukan untuk aging tidak terlalu lama.
Loin; merupakan otot relative empuk dimana fragmentasi miofibriler tinggi,
jumlah jaringan ikat (kolagen) sedikit, pola aging sama dengan eye of the
round (semitendinosus0 yang merupakan otot kurang empuk dimana
fragmentasi rendah dan kuantitas jaringan ikat (kolagen) yang lebih banyak.
Shank dan chuck; merupakan otot dengan keempukannya dapat diterima
konsumen melalui penggilingan menjadi daging cincang. Namun demikian
perbaikan besar dalam keempukan dicapai melalui metoda pemasakan yang
tepat daripada melalui aging.
Sekalipun aging berpengaruh terhadap perbaikan palatabilitas (khususnya
keempukan), namun demikian pemuliabiakan, pemberian pakan, pengolahan
dan persiapan, semuanya berperan penting dalam pemenuhan akhir dari
kesukaan konsumen.
Hal lain yang perlu dipertimbangkan untuk melihat effektivitas aging adalah
pertimbangan ekonomi. Maturasi pada daging sapi membutuhkan ruangan
penyimpanan pendinginan, yang mana membutuhkan biaya untuk pengadaan
dan pemeliharaan ruangan tsb.
Penyimpanan daging sapi lebih lama dari 7-10 hari membutuhkan biaya yang
lebih mahal. Dengan alasan ekonomi ini maka beberapa Negara mulai
melakukan aging yang tidak terlalu lama 2-6 hari pascamerta.
Problem berkaitan dengan aging
Daging sapi menjadi busuk atau bau dan flavor yang menyimpang dapat terjadi
karena:
1. Pendinginan karkas yang kurang tepat.
2. Karkas akan menyerap bau ruangan aging.
3.Sanitasi yang kurang baik, dan kontaminasi dengan mikroorganisme menyebabkan
bau dan flavor menyimpang dan pembusukan.
4. Aging yang berlebihan akan menghasilkan akumulasi mikroorganisme.
5. Pengkerutan akan terjadi selama maturasi. Makin lama maturasi, makin besar
kehilangan berat
6. Maturasi pada karkas yang telah jadi (finished-carcasses) akan menghasilkan
pengkerutan yang berlebihan, pengeringan pada daerah permukaan, dan diskolorasi.
Pengeringan dan diskolorasi daerah permukaan harus dibersihkan dan dijauhkan.
Penyiangan ini dapat berarti terhadap kehilangan yang dipertimbangkan pada produk.
DAFTAR PUSTAKA
Abustam, Effendi. 2009. Konversi Otot Menjadi Daging. http://cinnatalemien-eabustam.blogspot.com/2009/03/konversi-otot-menjadi-daging.html.
Anonima, 2009. Apakah Karkas dan Bagian-Bagiannya?.
Buckle, K.A., R.A. Edwards, G.H. Fleet, dan M. Wootton, 1987. Ilmu Pangan. UI-Press. Jakarta.
Soeparno. 1998. Ilmu dan Teknologi Daging. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta
Suharyanto, 1996. Pentingnya Pembangunan Rumah Potong Ayam di Bengkulu. Semarak.
Suharyanto dan Anton Sutrisno, 2000. Strategi Menghindari Peredaran Daging Ilegal. Poultry Indonesia.