kota ii - pusbindiklatren bappenaspusbindiklatren.bappenas.go.id/file/bukuterbit/buku...

184

Upload: others

Post on 23-Jan-2020

55 views

Category:

Documents


7 download

TRANSCRIPT

PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IV

PERENCANAAN WILAYAH DAN

KOTA II

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana Badan Perencanaan Pembangunan Nasional

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI

Editor: Dr. Guspika, MBA., dkk.

PROFESSIONAL HUMAN RESOURCE DEVELOPMENT IV

PERENCANAAN WILAYAH DAN

KOTA II

Sanksi Pelanggaran Pasal 72Undang-undang Nomor 19 Tahun 2002Tentang Hak Cipta

Barang siapa dengan sengaja melanggar dan tanpa hak melakukan perbuatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 49 Ayat (1) dan Ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau denda pidana paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000,00 (lima miliar rupiah).

Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hak cipta atau hak terkait sebagaimana dimaksud pada Ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah).

Direktori Mini Tesis-Disertasi

Perencanaan Wilayah dan Kota II

©2019 oleh Bappenas

Jangan menggandakan dan / atau menggandakan semua dan / atau bagian dari buku ini tanpa izin dari Pencipta atau Pemegang Hak Cipta.

Penanggung Jawab : KapusbindiklatrenEditor : Dr. Guspika, MBA, Wignyo Adiyoso, S.Sos., MA, Ph.D., Ali Muharram, S.IP., M.SE,

MA., Rita Miranda, S.Sos., M.PA., Wiky Witarni, S.Sos., M.A., Epik Finilih, Sofa Nurdiyanti, Paskalina O.

Kontributor : Aulia Akhmad, Dwi Trias Windi Firmantyo, Jimmy MP. Sitanggang, Tira Puspitasari, Ari Anggono, Amalia Azimah, Nadia Oktinova, Sukamto, Eko Purwanto, Suryani Tajuddin, Lutfi Diana Wati, Sukmawati, Yuliana, Asra Eka Daeng Ngai, Syamsul Bahri

Exterior & Interior Design : Den Binikna dan Rizka Alifia

Cetakan pertama, September 2019

ISBN: 978-623-91602-4-1

Di terbitkan oleh

Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Republik Indonesia

Jalan Proklamasi Nomor 70, Jakarta Pusat, 10320

v

Daftar Isi01 COMMUNITY’S COPING MECHANISMS FOR DISASTER MITIGATION IN

URBANIZED FLOOD PRONE AREA: A CASE STUDY IN CABENGE, SOPPENG, INDONESIAAULIA AKHMAD – 001

02 IMPACT OF DEVELOPMENT ON THE RIVERBANK COMMUNITY OF SUKAMARA CITYDWI TRIAS WINDI FIRMANTYO – 009

03 FACTORS UNDERLYING MOTORCYCLE USAGE BY URBAN FRINGE COMMUNITY. CASE STUDY IN PEKANBARU, RIAU PROVINCEJIMMY MP. SITANGGANG – 017

04 ANALISIS LOKASI TRANSIT-ORIENTED DEVELOPMENT POTENSIAL UNTUK PENENTUAN RUTE UTAMA ANGKUTAN UMUM MASSAL DI KOTA PANGKALAN BUNTIRA PUSPITASARI – 027

05 KAJIAN KESESUAIAN WILAYAH PENGEMBANGAN KAWASAN PETERNAKAN DI KABUPATEN WONOGIRIARI ANGGONO – 037

06 KAJIAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WISATA MINA PADUKUHAN BOKESAN DI KAWASAN MINAPOLITAN NGEMPLAK KABUPATEN SLEMANAMALIA AZIMAH – 053

07 KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN HARGA LAHAN DI SEKITAR KAWASAN BUKIT SEMARANG BARUNADIA OKTINOVA – 067

08 MODEL PROYEKSI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN KORIDOR JALAN UTAMA PADA SKALA DETAIL 1:10.000 BERBASIS CELLULAR AUTOMATA DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (STUDI KASUS: KAWASAN SEPANJANG KORIDOR JALAN SOLO—YOGYA DI KABUPATEN KLATEN)SUKAMTO – 079

09 PENILAIAN PEMANFAATAN TROTOAR SEBAGAI PENDUKUNG BRT TRANS SEMARANG KORIDOR I DI BWK I KOTA SEMARANGEKO PURWANTO – 089

vi

10 PENGELOLAAN PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN SOMBA OPU KABUPATEN GOWASURYANI TAJUDDIN – 103

11 EFEKTIVITAS PENGELOLAAN INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH KOMUNAL BERBASIS MASYARAKAT DI KOTA MAKASSARLUTFI DIANA WATI – 115

12 ANALISIS PENGARUH PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN SOPPENGSUKMAWATI – 127

13 FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATANYULIANA – 139

14 ANALISIS IMPLEMENTASI BANTUAN ALAT DAN MESIN PERTANIAN DI KABUPATEN BULUKUMBAASRA EKA DAENG NGAI – 151

15 ADAPTASI TERHADAP BANJIR DI KOTA MAKASSARSYAMSUL BAHRI – 163

vii

Kata Pengantar

Pusat Pembinaan, Pendidikan, dan Pelatihan Perencana (Pusbindiklatren) Kementerian

PPN/Bappenas secara berkala membuka kesempatan bagi para ASN yang bekerja

di Kementerian PPN/Bappenas, unit perencanaan di kementerian/lembaga, Bappeda

atau instansi setingkat yang menangani perencanaan, unit perencanaan di organisasi

pemerintah daerah provinsi/kabupaten/kota dan/atau unit kerja lainnya untuk mengikuti

Program Beasiswa yang meliputi pendidikan gelar jenjang S2, baik program dalam negeri,

linkage, maupun luar negeri, serta jenjang S3 dalam negeri. Tujuan pemberian beasiswa

Pusbindiklatren Bappenas adalah meningkatkan kompetensi sumber daya manusia

aparatur pemerintah yang bertugas pada bidang perencanaan pembangunan baik di

pemerintah pusat maupun di pemerintah provinsi, kota dan kabupaten.

Selama tugas belajar para penerima beasiswa dituntut untuk melakukan pendalaman

pengetahuan terkait pembangunan melalui penelitian yang bersifat konkret dan dapat

diterapkan di daerah asalnya masing-masing yang kemudian diwujudkan dalam bentuk

tesis atau desertasi. Agar hasil-hasil penelitian tersebut dapat tersebar luas maka sangat

relevan jika tesis/disertasi tersebut diterbitkan ulang dalam bentuk ringkasan (anotasi)

yang termuat pada sebuah buku Direktori Mini Tesis-Disertasi.

Penerbitan buku Direktori Mini Tesis-Disertasi bertujuan agar hasil-hasil penelitian

tersebut dapat dibaca, dimanfaatkan, dan diterapkan secara nyata sesuai dengan ruang

lingkup kerja penerima beasiswa di lingkungan instansinya dan juga oleh pihak lain secara

umum. Selain itu, hal ini juga merupakan upaya untuk mendokumentasikan hasil karya

dan hasil kajian penerima beasiswa pendidikan gelar dari Pusbindiklatren, Kementerian

PPN/Bappenas.

Buku Direktori Mini Tesis-Disertasi Program Beasiswa Pendidikan Gelar Tema: Perencanaan Wilayah dan Kota II ini merupakan buku keenam dari sepuluh buku yang

akan diterbitkan pada tahun 2019, sebagai salah satu upaya mendiseminasikan karya tulis

ilmiah yang telah diselesaikan oleh karya siswa penerima beasiswa pendidikan gelar dari

Pusbindiklatren, Kementerian PPN/Bappenas.

Serial buku ini diharapkan dapat menggambarkan manfaat dan kontribusi positif

dari program beasiswa pendidikan gelar terhadap peningkatan kompetensi sumber daya

manusia aparatur pemerintah yang bertugas pada bidang perencanaan pembangunan

baik di pemerintah pusat maupun di pemerintah provinsi, kota, dan kabupaten, baik

viii

dari sisi keterampilan teknis, manajerial, dan kepemimpinan aparat pemerintah, maupun

dalam melaksanakan reformasi birokrasi di instansi masing-masing.

Jakarta, September 2019

Kapusbindiklatren

01COMMUNITY’S COPING MECHANISMS FOR DISASTER MITIGATION IN URBANIZED FLOOD PRONE AREA: A CASE STUDY IN CABENGE, SOPPENG, INDONESIA

► Nama : Aulia Akhmad

► Unit Organisasi : Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang

Pemkab Soppeng

► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota

► Negara Studi : Indonesia - Jepang

► Universitas : Universitas Gadjah Mada

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI002

ABSTRAKCabenge sebagai kawasan urban terletak di daerah rawan banjir. Penelitian ini bertujuan

untuk mengetahui mekanisme penanganan masyarakat dalam menghadapi banjir.

Penelitian ini bertujuan untuk menangkap persepsi dan respons masyarakat terhadap

berbagai tingkat banjir. Menggambarkan jenis mekanisme penanganan terhadap berbagai

tahap banjir adalah tujuan utama penelitian ini. Tujuan lain dari penelitian ini adalah

untuk mengidentifikasi jenis mekanisme penanganan yang memiliki pengaruh kuat

di masyarakat dalam upaya mengatasi bencana banjir. Penelitian ini terutama melihat

perilaku masyarakat. Bagaimana masyarakat hidup dengan risiko banjir dan bagaimana

perasaan mereka terhadap hal itu. Seberapa besar pengaruh aktivitas masyarakat terhadap

kemampuan masyarakat dalam mengatasi banjir musiman. Sekitar seratus responden dari

4 Kelurahan yang berada di daerah rawan banjir dipilih dengan menggunakan purposive

multi stage area sampling. Metodologi pemilihan sampel ini dimaksudkan untuk sampai ke

unit analisis yang diinginkan. Responden diwawancarai dengan menggunakan kuesioner

tentang bagaimana mereka merasakan banjir di daerah mereka. Hasil penelitian ini

menunjukkan bahwa perilaku masyarakat terhadap banjir dipengaruhi oleh beberapa

faktor, seperti persepsi masyarakat terhadap risiko banjir, besarnya tingkat risiko banjir

dan kapasitas masyarakat setempat untuk mengatasi dampaknya. Hasil penelitian

ini juga mengungkapkan sejumlah faktor penting tentang interaksi antara manusia

dan banjir. Pengalaman dengan banjir memengaruhi ancaman dan kekhawatiran yang

dirasakan terkait dengan mereka. Penelitian ini menyoroti bahwa nilai solidaritas di

antara masyarakat masih tinggi, dan jenis aktivitas sosial ini dapat bermanfaat terutama

pada saat kejadian banjir. Kegiatan masyarakat seperti Gotong Royong dan kebiasaan

masyarakat untuk membantu orang lain dapat dijadikan masukan bagi pemerintah daerah

dalam menyusun program mitigasi bencana terutama untuk mengatasi banjir musiman di

daerah pedalaman.

► Kata Kunci: Banjir, Mekanisme Penanganan, Mitigasi Bencana, Persepsi Risiko

003 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

ABSTRACTCabenge as urbanized area is located in a flood prone area. The study aims to know the

community’s coping mechanisms in dealing with floods. This research aims to capture

community’s perception and response to different level of flood. Describing the types

of coping mechanisms against different stage of floods is the main objective of this

research. The second main objective of this research is to identify which kinds of coping

mechanism have a strong influence in the community in an effort to overcome flood

disaster. This research primarily looks into the attitude and behavior of the community.

How do communities live with flood risks and how do they feel about that. How much

influence community activities have on the community’s ability to cope with seasonal

floods. About a hundred respondents from 4 Kelurahan located within flood-prone

area were selected using purposive multi stage area sampling. This methodology of

sample selection intended to get to the desired unit of analysis. The respondents were

interviewed using questionnaires about the way they perceived flood in their area. Result

of this research shows that the community’s behavior towards flood is influenced by some

factors, such as: flood risk perception, the magnitude degree of the flood (flood level and

flood duration) and their capacity to cope with its impacts. The result of this research

also revealed that a number of important factors about the interaction between people

and floods. Experience with floods influences the perceived threat and concerns related

to them. The research highlights that the solidarity values among the community are still

high, and this kind of social can be useful especially during the flood events. Traditional

community activities such as Gotong Royong and people’s habits to help others can be

used as input for local government in preparing disaster mitigation program especially to

overcome seasonal flood in cabenge area.

► Keywords: Flood, Coping Mechanism, Disaster Mitigation, Risk Perception

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI004

COMMUNITY’S COPING MECHANISMS FOR DISASTER MITIGATION IN URBANIZED FLOOD PRONE AREA: A CASE STUDY IN

CABENGE, SOPPENG, INDONESIAA. BackgroundThe research was conducted in Cabenge-Soppeng Regency, Indonesia, which suffer from

frequent flooding. Floods -occurred in several areas in Soppeng- was an annual disaster

that occur in every rainy season comes.

Community-based approaches to disaster risk management have become

increasingly important in a society faced with complex and uncertain change. Grassroots

action can provide the local knowledge and social capital needed to identify the root

causes of human vulnerability and generate adaptive solutions to confront livelihood risk

and enhance resilience (Maskrey, 1989; Blaikie et al., 1994; Cannon, 2000; Burby, 2003;

Pearce, 2005; Allen, 2006).

This study is focused on identifying the community’s coping mechanisms and the

effectiveness of any type of coping mechanism related to negative impacts after flooding

in Cabenge, Soppeng regency. The knowledge generated from this study can be useful

information for the local government of the city of Cabenge, Soppeng to undertake an

effective Disaster Management Program in order to minimize the impact of flooding. This

research emphasizes on identifying the community’s response to different flood level and

its mechanism to the effects of the floods. The concept of coping mechanism emphasizes

on the positive aspects and actions of people to cope with the adverse effects of floods in

the study area. There are two main objectives of this research, which are

1. To identify local community’s perceptions of the seasonal flood risk that they

face each year.

2. To identify the coping mechanisms among the community in relation to flood

risk reduction

Based on the two main objectives as mentioned above, four sub objectives can be

derived following:

1. To map the community’s perception about flooding risk.

005 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

2. To identify community’s coping mechanisms in study area.

3. To identify and describe the factors influencing the selection of coping

mechanisms.

4. To identify and analysis effectiveness of community’s coping mechanisms in

study area.

B. MethodologyThis study is focused on identifying the type of coping mechanism which are applied

by community to cope with floods threat. In order to achieve the goals of this research,

the methodology used in this research is divided into three main phases: (1) Pre-Field, (2)

Fieldwork, (3) Post-Field. Secondary data, such as base map, flood-prone area map and

quick bird imagery were collected from a number of sources and related organizations. The

important secondary data about the flood prone area were collected from the planning

agency (Bappeda).

The location of this research is Cabenge Urbanised area, in Soppeng Regency, South

Sulawesi Province, Indonesia. The distance of Cabenge from provincial capital is about 160

km. Geographically, Cabenge is located along the river (flood plains area) with relatively flat

topography conditions. The area of inundation in Soppeng Regency reached 2,273.211 sqm.

Where the largest percentage is in Lilirilau sub-district reached 56.69% (1,286,317 sqm) total

area of inundation in Soppeng Regency. This is due to the deluge of floods coming from the

upstream Walanae river crossed the Cabenge area.

C. Data Analysis and ResultsKnowledge of the risk among those who are exposed is defined as awareness and control

over the risk as preparedness (Slovic et al., 1984). These characteristics will be used

throughout this thesis analysis, and are defined in the remainder of this section.

Information on risk perception was collected with the help of on-site interviews.

According to Van der Veen (2005) the diagram conditions are included in the Control

type category. When an individual in community feels prepared, then they have a sense

of control over the risk, as a consequence, they feel less worried.

From the results of analysis, it can inferred that damage level variable (impact

level of flood) is influenced the community to do all type of coping mechanism. We can

analyzed that having positive relationship with the coping mechanism means that the

higher impact of flood perceived by community, the higher effort for them to apply some

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI006

coping mechanism or activity in order to reduce the impact of flood. In order to find out

whether the community activity had a significant effect on the Cabenge community,

grouping of communities based on the level of location vulnerability to flood.

Analysis Zone 1

High Risk Area

Figure 5.2 Graphic analysis cross tabulation in Zone-1 (source: Data Analysis)

Analysis Zone 2

Medium Risk Area

Figure 5.3 Graphic analysis cross tabulation in Zona-2 (source: Data Analysis)

007 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

Analysis Zone 3

Low Risk Area

Figure 5.4 Graphic analysis cross tabulation in Zona-3 (source: Data Analysis)

D. Conclusion1. Community’s Perception Related to Flooding Risk

People who living in flood prone area dominant have awareness and

preparedness. They are aware of the consequences they face in living in flood-

prone areas, and they traditionally have preparations and ways to mitigate the

effects of floods.

2. Community’s Coping Mechanism

One finding related to traditional activities employed by people in the study

area. The respondents mentioned that they have a social responsibility that is

hereditary and become a tradition in community. They usually clean up their

environment (the river and drainage) and their neighborhood before the flood

season is coming and also clean up the mud and debris left by the flood together,

called Gotong Royong. The head RT and RW in each Kelurahan usually lead and

coordinate this activity among the community.

3. Influencing Factors of Coping Mechanism

Damage level variable (impact level of flood) is influenced the community to do

all type of coping mechanism. We can analyzed that having positive relationship

with the coping mechanism means that the higher impact of flood perceived

by community, the higher effort for them to apply some coping mechanism or

activity in order to reduce the impact of flood.

4. Effectiveness of Coping Mechanism

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI008

Community activities (social coping mechanism) have a strong influence in the

community in an effort to overcome flood disaster. Compared with the other

two coping mechanism types, social activity becomes the most effective and

dominant in community as a result of this research.

E. Recommendations 1. For further study, the factor of flood velocity should be included as a factor that

is considered to have influence to the selection of type of coping mechanisms.

2. Disaster mitigation and coping with disaster can only works if the two groups

affected (local government and the community) co-operate together.

02IMPACT OF DEVELOPMENT ON THE RIVERBANK COMMUNITY OF SUKAMARA CITY

► Nama : Dwi Trias Windi Firmantyo

► Unit Organisasi : Bappeda Pemkab Sukamara

► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota

► Negara Studi : Indonesia-Jepang

► Universitas : Universitas Gadjah Mada

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI010

ABSTRAKKabupaten Sukamara mengalami pemekaran dari kabupaten lama, Kabupaten

Kotawaringin Barat, pada tahun 2002. Pembangunan melalui pemekaran akan

meningkatkan tingkat pelayanan dan menarik pendatang baru yang mencari kesempatan

lebih baik dalam memperbaiki ekonomi mereka untuk bermigrasi ke kota. Oleh karena

itu, perlu untuk mengetahui bagaimana pembangunan akan mempengaruhi masyarakat

di tepian sungai, yaitu komunitas asal di daerah tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan pendekatan Deskriptif kualitatif dan kuantitatif untuk menggambarkan

perkembangan di Kabupaten Sukamara dan dampaknya terhadap masyarakat di wilayah

tepian sungai.

Setelah subdivisi, pembangunan di Kabupaten Sukamara telah meningkat.

Infrastruktur dan fasilitasnya telah meningkat. Dari segi perubahan fisik, proyek

pembangunan yang dilaksanakan telah membuat daerah ini menjadi lebih baik. Meski

demikian, degradasi lingkungan juga terjadi di daerah tersebut. Produk Domestik

Regional Bruto dan HDI semakin membaik sejak pemekaran. Pembangunan juga

menurunkan jumlah orang miskin di Sukamara. Namun, meskipun mereka mengakui

manfaat pembangunan, sebagian besar masyarakat di masyarakat sungai merasa bahwa

semakin sulit bagi mereka dalam hal ekonomi. Pertumbuhan kota yang disebabkan oleh

pembangunan tersebut juga mempengaruhi pekerjaan, pendapatan dan pengeluaran

mereka.

► Kata Kunci: Pengembangan, Pemekaran, Tepi sungai

011 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

ABSTRACTSukamara Regency were subdivided from its old regency, Kotawaringin barat Regency in

2002. The development through subdivision will increase the level of service and attract

new people who seek better opportunity to improve their economy to migrate into

the city. Hence, it is necessary to find out how development will affect community in

riverbank, which is origin community in the area. This research done using Descriptive

qualitative and quantitative approach to describe the development in Sukamara Regency

and the development effect to the people in the riverbank area.

After the subdivision, the development in Sukamara Regency has boosted.

Infrastructures and facilities has improved. In terms of Physical changes, the projects

have make the area better. Nevertheless, environmental degradation also occur in the

area. Gross Regional Domestic Product and HDI is getting better since the subdivision.

The development also decreases the number of poor people in Sukamara. However,

even though they acknowledge the benefit of the development, most of the people in

riverbank community feel that it is getting harder for them economically. The growth of

the city caused by the development also affect their jobs, income and expenses.

► Keywords: Development, Subdivision, Riverbank

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI012

IMPACT OF DEVELOPMENT ON THE RIVERBANK COMMUNITY OF SUKAMARA CITYA. BackgroundDecentralization policies were meant to spread development in Indonesia. By transferring

funds from the central government to the regencies in order to give them greater

freedom and control, development was to become more efficient and responsive. This

policy brought good news to Sukamara as in 2002 they were subdivided from the old

regency and became a new, independent regency.

Sukamara District is the Capital of Sukamara Regency and also has the biggest

population in the Regency which almost cover half of total population of the regency. As

the capital city of Sukamara Regency, it becomes the center of distribution for services

and goods, and it will attract people to migrate to the city, not only for the service level,

but also the job opportunity it provides.

Population in Sukamara City is consists several traditional communities such as

Malay who stay in the riverbank and Dayak who lives in the jungle. New opportunities

will affect local communities in the area. Not only because of better chances of creating

new income sources, but also because they have to compete for those new people who

come into Sukamara.

Therefore, it is interesting to research how local people, who have already been

there for a long time, are impacted by the development that has occurred in Sukamara

City. The objectives of this research are:

1. To describe the development of Sukamara City after subdivision from the old

regency

2. To identify the physical and socio-economic impact of city development on the

communities who live in riverbank area.

B. Research Problem and MethodologyDecentralization through subdivision in Sukamara Regency will bring development to

the regency especially in Sukamara city. The development can also bring positive and

negative impact to the local communities. Thus the research questions of this study are:

1. How is the development of Sukamara Regency after subdivided from the old

regency in 2002-2017?

013 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

2. What is its physical and socio-economic impact on the communities who live

in the riverbank area?

This research will use a deductive quantitative and qualitative approach (mixed

Methods). This research using deductive methods where the government activities in

providing infrastructures and facilities for its resident become the base of the research.

Both quantitative and qualitative were used in order to complement each other and gives

better result if there is any unsastisfaction result from one method.

Location of this research in general is in Sukamara District where it become the

capital of the regency. Research of the impact is the community in Padang Ward which

located alongside the mapam river. The location is chosen because this ward is where

the city started. And its inhabitants are origins of Sukamara City. The location is shown

in Figure 3.1. below.

C. Data Analysis and Results

1. Development in Sukamara

After 15 years of subdivision, Sukamara in general is acknowledged to be in a better

condition than before. The development made by the local government is satisfying.

As said by the head of a Padang subdistrict during one of the research interviews:

“Sukamara in the present is better than it was. Because there is no longer flooding and

better access to anywhere outside the regency. Thus it is easier to find more kinds of

goods.”

The same idea also told by a person who was born in Sukamara and a resident

of Kampung Jawa: “Right now Sukamara is really developed. In the past, Sedawak (5 km

from the center of the town, near the new municipal area) was considered far enough.

But right now that area is getting crowded, many houses were built there.”

2. Development in Sukamara City

The development of a city can be seen from its ability to provides facilities and

infrastructures. It also can be seen from the welfare of its resident. In Sukamara city,

the facilities and infrastructures has been adequate. The number of education and

health facilities in Sukamara city is improving overtime..

In terms of Economic development, the GRDP in Sukamara is increasing

overtime. The growth rate of income per capita and the low inflation rate should

provide better economy to the people. Sukamara City also providing better welfare

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI014

to its resident, which shown by the low poverty level, better job opportunity, and

increasing in the human resource.

3. Impact of Development in Riverbank areaa. Positive impact

1. Better living condition

The government project such as road network opened access of

transportation of goods and men. It encourages the economy and

enable people to find new type of goods. Other public work projects

such as Drainage makes the area no longer flood prone compare to

the past. Meanwhile, the installation of pathway bridges gives better

looking to the area.

2. Better job opportunities

There are increasing number of family member in a household who

works. It means that other members of family have no problem in

joining breadwinner to gather income to assist their finance.

3. Better access to the education and health facilities.

The number of education facilities has improved in order to facilitate

every community to a better education. Free 12-years schooling and

free health also give household more freedom to allocate their budget

into different sector.

b. Negative impact

1. Water pollution

Increasing number of palm oil plantation has polluted the river. It

resulting in decreasing number of fish in the river. Meanwhile, most of

the people in riverbank rely on the river as their income.

2. Job opportunity is mainly only in informal sector

Informal sector cannot give steady income compared to the formal

sector. Most of the people are depends on natural resources. Moreover,

they only rely on their physical strength and limited skill. Hence,

whenever something happens with the natural resources, they will

struggle finding another source of income.

3. Higher price in commodity.

015 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

People’s expenditure has been increasing compare to the past. Which

leads to higher expenditure.

4. Less social interaction.

Higher expense in household makes people must work extra hard. The

pursuit of better income makes people sacrifice their free time in the

weekend to work ekstra time.

4. Discussion

In terms of economy, as well of the whole regency, the impact of the development

has brought better opportunity for the people in riverbank area. This can be seen

from the people who work in the house. Most of of family has addition in person

who works and gives contribution towards family expenses. However, most of

the breadwinner in the family are having trouble in recent time. Unstable job

and fluctuative incomes make them working harder to fulfill their needs. This

phenomenon happened to the family which has low education and limited skill

and mainly depends on natural resource. It is in line with Hope and Timmel (1995)

in Eade (1995) that said the lack of access to educational opportunities places a

major constraint on people’s life chances, as well as on their capacity to participate

in the social, economic and political processes affecting them. In a wider case,

education (especially ‘non-formal’, ‘popular’ or ‘social education’) is also a means for

marginalized people to develop their critical and organizational capacities, and so

contribute to transforming their societies.

However, even though the government already has effort to increase the

quality of human resources and giving access to the education, but most of the

people in riverbank area has low education. The focus on fulfillment of education

needed seems only focused only on formal education. Usually parents only focused

on generating money for their need and their children’s education but they neglect

that they also need to improve their capacity. It is also shown by their proposal in

development participation where they only focus on material thing.

D. ConclusionThe Resident benefit from development by receiving higher income and have better

selection of goods. Even though economically Sukamara is growing, for the people in the

riverbank, it is getting harder for them because the households’ expenses are increasing

caused by the increasing price of some commodities.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI016

Most people in the riverbank area are working in the private sector, some of them

work for other people and depend on natural resources. The growth of the City has

depleted resources like timber and fish. The prohibition of illegal logging and timber

transport has decimated the logging industry. Meanwhile, pollution from the palm oil

plantation almost eradicate fish in Jelai and Mapam Rivers. These rivers are the main

resources for fishermen in Sukamara, especially Padang Sub-district. Therefore, the

people affected by the negative impacts of development are those with low education

and limited skills and knowledge. These people do not realize that the resources will

be depleted and are not prepared to counter this. Local people have suffered from the

growth of the city because they have low capacity. In order to avoid this problem, the new

regency subdivided from the old regency should increase technical training and education

for its people. Not only improve formal education, but it should also improve non-formal

training, especially for those who rely on natural resources and have low education. They

must be encouraged to improve themselves before resources are depleted.

E. Recommendations Local people have suffered from the growth of the city because they have low capacity.

In order to avoid this problem, the new regency subdivided from the old regency should

increase technical training and education for its people. Not only to improving formal

education, but it should also improving non-formal training, especially for those who

rely on natural resources and have low education. They must be encouraged to improve

themselves before resources are depleted.

03FACTORS UNDERLYING MOTORCYCLE USAGE BY URBAN FRINGE COMMUNITY. CASE STUDY IN PEKANBARU, RIAU PROVINCE

► Nama : Jimmy MP. Sitanggang

► Unit Organisasi : Badan Perencanaan Pembangunan Pemerintah

Kabupaten Siak

► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota

► Negara Studi : Indonesia-Jepang

► Universitas : Universitas Gadjah Mada

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI018

ABSTRAKJumlah sepeda motor telah menjadi masalah transportasi darat utama di Pekanbaru, baik

di pusat kota maupun di pinggiran kota. Pada tahun 2015, rasio sepeda motor terhadap

populasi adalah 0,997, yang berarti hampir setiap orang memiliki sepeda motor di

Pekanbaru. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor penyebab tingginya

kepemilikan sepeda motor di pinggiran kota. Tiga kategori data digunakan untuk

analisis data, yang meliputi rumah tangga, transportasi umum, dan peraturan daerah

tentang transportasi umum yang secara berurutan dianalisis dengan menggunakan

partial least square, analisis buffer GIS, dan analisis sebelum-sesudah. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa terdapat 4 variabel faktor rumah tangga yang berpengaruh positif

terhadap kepemilikan sepeda motor, yang paling signifikan adalah pendapatan keluarga.

Akses rumah tangga terhadap angkutan umum di pinggiran kota masih sangat rendah,

ditunjukkan dengan indeks transportasi umum yang rendah, hanya satu kecamatan yang

lebih baik dalam pelayanan transportasi umum. Pelaksanaan peraturan daerah No. 15

Tahun 2001 tentang transportasi darat di Pekanbaru telah memengaruhi 41% penurunan

jumlah transportasi umum, dampak tidak langsungnya adalah peningkatan jumlah sepeda

motor sebesar 674% dalam 15 tahun terakhir.

► Kata Kunci: Kepemilikan Sepeda Motor, Pinggir Kota, Rumah Tangga, Transportasi

Umum, Pekanbaru

019 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

ABSTRACTNumber of motorcycle has become major land transportation problem in Pekanbaru,

either in city center or in urban fringe. In 2015, the ratio of motorcycle toward people

was 0,997, which means almost every people has motorcycle in the city. This study

aims to identify factors causing big number of motorcycle ownership in urban fringe.

Three categories data were collected covering household, public transportation, and

local regulation on public transportation proceeded using partial least square analysis,

GIS buffer analysis, and before-after analysis consecutively. The results show that there

are 4 variables of household factor which positively influence motorcycle ownership, the

most significant one is family income. Household access to public transportation in urban

fringe is very low showed by low public transportation index, only one sub-district is

considered developed in terms. The implementation of Local Regulation No. 15 Year 2001

on land transportation in Pekanbaru has effected to 41% of decreasing number of public

transportation, the reciprocal impact is to 674% of increasing number of motorcycle

during 15 years.

► Keywords: Motorcycle Ownership, Urban Fringe, Household, Public Transportation,

Pekanbaru

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI020

A. BackgroundCongestion, pollution, and accident by motorcycle have become major street problems in

Pekanbaru. Accident for example, during 2015, dead accident by motorcycle had occured

92 times (BPS, 2016), this number fluctuates every year but the occurrence always happen.

According to Soehodo (2007), accident by motorcycle related to the number of vehicle

itself.

Motorcycle has increased massively in Pekanbaru. Based on BPS data (BPS, 2001,

2010, 2016), number of motorcycle in Pekanbaru grew very rapidly in the last 15 years. In

2001, number of motorcycle in Pekanbaru was only 130 thousand units, but at the end

of 2015 number of motorcycle jumped very high, around 1.034,972 units were registered.

Number of motorcycle was almost same with number of population at that time which

were 1,038,118 inhabitants.

The population distribution in Pekanbaru differs from other cities in Indonesia.

Generally, city center is a dense area and has big population, but for case of Pekanbaru,

this condition is different. Area with big populations in Pekanbaru is urban fringe, ie the

sub-districts surrounding Pekanbaru. In each of these urban fringe areas, number of

population exceeds 70 thousand inhabitants with annual average population growth rate

between 2-3%. The urban fringe residents make up about 83% of Pekanbaru population

(BPS, 2015). Number of population can be used as one hint to show that large number of

motorcycles is in urban fringe.

Besides motorcycle, other type of transportation used by people in urban fringe to

travel is public transportation. In Pekanbaru, available public transportations are Oplet,

City Bus, and TransMetro Pekanbaru (hereinafter called TMP). Oplet and City Buses have

served transportation of Pekanbaru residents for years, while TMP had just introduced as

Public Mass Transit System (SAUM) in 2009. Currently, number of public transportations

is 798 units, mostly constituted by Oplet around 737 units.

This study aims to explore the cause of high number of motorcycles ownership in

urban fringe of Pekanbaru. Is the high number of motorcycles caused by demographic

factors alone, or because lack of public transpotation, or are there other factors that

support it?

B. Research Problem and MethodologyThe main problem of research is the high number of motorcycles in Pekanbaru, especially

in urban fringe. The high number of motorcycles became one of the contributors of

congestion, accident, and pollution in Pekanbaru, and the community is a direct victim of

021 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

these short-term impacts. Although public transportations available in urban fringe, but

they are unable to suppress the growing rate of motorcycles. The long-term impacts people

will experience are high fuel prices as a result of government subsidy reduction policies,

as well as social exclusion. The community’s dependence on motorcycles is a matter of

concern to the local government to reduce its adverse impacts. Research on factors causing

high number of motorcycles in urban fringe of Pekanbaru has not been done so much, thus

relevant studies need to conduct to contribute academically.

Data collection for research was conducted during fieldwork carried out from

February 3 to 26, 2017. The objective is to collect primary and secondary data. Primary data

were obtained through household questionnaires. Data of questionnaire include: number of

motorcycle and demographic data of family. Sample collected amounted to 78 households,

with details: 26 samples in Payung Sekaki sub-district, 27 samples in Tampan sub-district, 25

samples in Marpoyan Damai sub-district.

Collection of secondary data are administrative maps, regulations and publications

published by local government, and public transportation data in Pekanbaru. Another

important supporting thing was quick appraisal of urban fringe conditions, this was

conducted by exploring several areas, observing and using public transportation within the

area, the goal is to experience directly the real condition.

To analyze the high number of motorcycle ownership in urban fringe, i group the

analysis into 3 parts: household data is analyzed statistically using statistical software,

household access to public transportation is analyzed spatially using GIS help, and impact

of local regulation toward public transportation is analyzed using before and after method.

The analyses are explained in detail as below:

C. Data Analysis and Results

1. Household Demographic Factors Contributing to Motorcycle Usage

This part presents result of household questionnaire analysis using partial least

square. There are 8 independent variables set as causative factors to motorcycle

ownership in household as the dependent variable. The independent variables are:

Area of Activity, Combination of Jobs, Family Income, House Ownership, Number

of Family Member, Number of Schooling Children, Number of Workers, and Way

of Buying Motorcycle. The final product of this analysis is model of motorcycle

ownership in household scale which also shows influential factors. To know how

good the built model is, the model should be tested by explaining R2 and Q2 values.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI022

The R2 value of number of motorcycle is 0.368 or 36,8%, means that 8 independent

variables explain 36.8% of the variance in number of motorcycle, meanwhile the rest

63.2% is contributed by other variables which are not used in this model. For Q2, the

value is 0,9109, the value shows that observed value had been reconstructed well

because Q2 value range is between 0 and 2 in path analysis, it shows that the model

has relevance predictive.

To know the effect of one independent variable toward dependent variable,

the number of motorcycle, the model uses significant test or path diagram. The

weight of different path coefficients enables us to rank their relative statistical

importance. Results of path diagram are marked with coefficient (plus or minus).

Path diagram or significant test produces 4 positive variables and 4 negative

variables. The positive influential variables are: way of buying motorcycle, number

of family member, family income, and area of activity, while the negative variables

are: number of worker, number of schooling children, house ownership, and

combination of jobs. The negative variable in this analysis does not mean the

independent variable reduces number of motorcycle in household, rather, in PLS

analysis, it indirectly influences number of motorcycle through positive variable

which known as indirect effect. Based on path diagram, the model for motorcycle

ownership in household is shown as below:

Y1 = 0.221 X1 – 0.031 X2 – 0.113 X3 + 0.263 X4 – 0.102 X5 + 0.304 X6 – 0.011 X7 + 0.173 X8, where Y1 is number of motorcycle in household.

a. Affordability of Household or Better Family Income

Family income is the most significant factor (T value = 2,654; coefficient

= 0,304) of affecting motorcycle ownership in urban fringe. The higher

the income of households, the more they have motorcycle in their house.

When income gets higher, household is entitled by their capital to buy and

own motorcycle. Aggravated with poor transportation service in urban

fringe, household choice on motorcycle for fulfilling their transportation

needs with affordable price and maintenance is high and inevitable.

b. More Inside Urban Fringe Motorcycled-Activities

Areas of activity positively influences motorcycle ownership in urban fringe

household, but not significant (T value = 1,305; coefficient = 0,173). Areas

of activity is defined as areas traveled by household in doing their daily

chores, in this study, it is limited going to workplace, market, and school or

education place only. Areas of activity is categorized into: inside sub-district,

outside, city center, and outside of city (Pekanbaru). Since statistical data

023 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

of motorcycle usage by household shows that their motorcycled-activities

are mostly inside sub-district, then, this is one of the reasons of why high

number of motorcycle ownership is in urban fringe.

c. Household Coping Strategy in Adding Number of Motorcycle

Number of motorcycles in a household is also determined by how or the

way they bought it. Influence of way of buying motorcycle toward number

of motorcycle is positive but not significant (T value = 1,708, coefficient

= 0,221). In general, the way of household bought motorcycle can be

categorized into 4 (four) groups: by cash 29.5%, by credit 53.8%, by cash and

credit 14.1%, and others (family gift or as asset) 2.6%. The high number of

household which bought motorcycle by credit showing that credit is as one

of coping strategies by household in fulfilling their transport needs whilst

still able to cover their daily needs expenditure

d. Motorcycle Needs as the Size of Number of Family Member

Influence of number of family member toward number of motorcycle in

household is positive but not significant (T value = 1,892; coefficient =

0,263). When family members increase, the possibility of increasing the

number of motorcycle is high eventhough not linear with the increase

of family members. The presence of family member in urban fringe is

described with different structure of number of worker and or schooling

children in household.

e. Other Household Factor Contributing to Motorcycle Ownership Model

This part discusses other household variables which possibly contribute

to the performance of model of number of motorcycle in household and

add the lack of the model in explaining the household causative factors.

The discussed variables related to household activities and urban fringe,

as explained followed: First, distance of residence from workplace.

Distance of residence from workplace is considered influences motorcycle

ownership by urban fringe resident. Second, trips made in the day. Due to

the advantages of motorcycle which gives benefit for multi-stop trips and

complex-trip journeys, the number of trips made per day by motorcyclist

is important. Third, low density area of residence. People are more likely

to choose low-density areas for their residence when they choose riding

motorcycles for daily activities. Fourth, number of car in household.

Study by Prabnasak and Taylor (2009) proposes that if income is greater, a

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI024

household is likely to own more cars, and then the number of motorcycles

in that household is likely to decrease.

2. Un-accomodating Public Transportation Services toward Settlement Pattern

There are 3 (three) kinds of public transportation services in Pekanbaru: Oplet (mini

bus which can load 9 passengers), City Bus (small bus which can load 20 passengers),

and Transmetro Pekanbaru or TMP (hereinafter TMP, which can load 40 passengers.

Lack of number of service routes depicts that not so many routes available

from 832 units of available public transportations, which means there is still limited

or lack of choices provided by public transports. Number of public transports and its

routes in urban fringe are also limited. Oplet routes mostly found in the city center

and immediate sub-districts, while in the urban fringe area very limited routes are

found (1 – 2 routes only). City bus route show that this kind of public transports

only service Kota, Marpoyan Damai, Tampan, Payung Sekaki, Rumbai and Rumbai

Pesisir sub-district, while Tenayan Raya sub-district does not have access to city bus

service at all. TMP route show that the serviced area only covers Kota, Senapelan,

Payung Sekaki, Tampan, Marpoyan Damai, Bukit Raya, and Tenayan Raya, mostly

areas located in the middle and sounthern part of Pekanbaru, while the northern

part like Rumbai, and Rumbai Pesisir sub-district do not have access to TMP at all.

Many immediate areas to city center – Kota, such as Lima Puluh, Sail, and Sukajadi

sub-district have limited access to TMP service.

Household access to public transportation is also limited in urban fringe

due to previous data, the low access area is then known as TDA or Transport

Disadvantaged Area. Rosier (2011) defines TDA as area with no or lack of access to

public transport.

TDA uses IPT index (public transportation index) to identify area with low

access to public transportation. Based on TDA analysis using GIS software helps,

city center and immediate sub-districts have high IPT value (high and very high),

while urban fringe areas / sub-districts have low IPT value (low and very low).

Among urban fringe areas, Marpoyan Damai sub-district has medium IPT value

compare to others, this explains that Marpoyan Damai is more develop in term of

public transportation in urban fringe area, hence Marpoyan Damai is not considered

as TDA in this terms, while other sub-districts with low and very low IPT index is

categorized as transport disadvantaged areas (TDAs).

025 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

Transportation disadvantaged occurs in the area where there is lack of or no

access to public transportations, hence leads to motorcycle ownership, this is also

compounded by number of population in the area. Based on trade-off of IPT value

with number of population in each sub-district, the most areas likely to occur the

high number of motorcycle ownership are, discerningly, in Tampan, and Tenayan

Raya sub-district, then followed by Payung Sekaki, and Bukit Raya sub-district, and

last by Rumbai and Rumbai Pesisir sub-district. In those areas, it is presumed to

affect motorcycle ownership and usage. There are 688,382 (not include Marpoyan

Damai, BPS 2015) people living with limited access to public transportations, these

area are classified as TDA. In this study, for the case, three sub-districts are choose

as samples: Payung Sekaki, Tampan, and Marpoyan Damai. Two sample represents

as TDA, Tampan and Payung Sekaki sub-district, while Marpoyan Damai sub-district

is considered more develop in term of public transportation.

3. Local Policy Limiting Public TransportationIn 2001 Government of Pekanbaru issued Local Regulation Number 15 Year 2001

which aims to regulate traffic and road transportation. The implementation of local

regulation number 15 Year 2001 is still in force to date. In practice, operation of

some vehicles which could not meet minimum requirements has to be discontinued,

making number of Oplet and City bus keep decreasing because of unroadworthy

condition. Eventhough route permit for passenger vehicle is regulated, but in fact,

as published by BPS and Transportation Agency of Pekanbaru Municipality, there

were no additional vehicles made for substitution of the replaced / unroadworthy

vehicles. This fact can be seen from number of Oplet and City bus over years for the

last 15 year since the local regulation was implemented.

In 2009 Pekanbaru Government officially introduced Transmetro Pekanbaru

in purpose for better public transportation in Pekanbaru. When TMP was being

introduced, the implementation of local regulation number 15 Year 2001 was more

strict, leads to decreasing number of Oplet and City bus.

At the same time, from 2000 to 2010, when people needs on public

transportations got higher, but in other sides number of public transport was

keep decreasing, the gap occurs, the gap what we call as transportation demand

gap. Reaction of this condition is people try to find another way of fulfilling their

transportation needs, and one of available choice is motorcycle. As impact, number

of motorcycle increased 145.74% or 194,772 units from 2000 to 2010. In 2009,

when TMP was introduced but the number could not cover the people transport

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI026

needs while number of Oplet and City Bus keep decreasing, number of motorcycle

increased again for 215.14% or 706,553 units from 2010 to 2015. Impact of local

regulation to motorcycle ownership is clear, it has indirect effect to increasing

number of motorcycle statistically.

The ratio of motorcycle toward population also increased greatly. From 2001

to 2010 the ratio increased from 0.224 to 0.366 or 63.68%, from 2010 to 2015 it

increased again from 0.366 to 0.997 or 172.53%. The ratio in 2015 was 0.997, almost 1.

This depicts that almost every person in Pekanbaru has motorcycle. The high number

of motorcycle hence effect to road problems in Pekanbaru, such as congestion,

pollution and accident. Therefore, the impact of Local Regulation Number 15 Year

2001 not only effect to decreasing number of public transport, but also to high

number of motorcycle and to congestion, pollution, and accident problems.

D. ConclusionThe model still lacks in explaining the cause of motorcycle ownership in household scale,

a more comprehensive study on household motorcycle ownership is required. Perhaps,

accounting some other variables, e.g trips made by household, built environment

surrounding household, and land use change in sub-district, may enhance the motorcycle

ownership model performance. The spatial analysis of household access to public

transport shows that urban fringe still lack of public transport service. It is predicted that

in the future most of motorcycle ownership increase will occur in the urban fringe area

with big population, such as Tampan, Tenayan Raya, Payung Sekaki, and Bukit Raya due

to the lack of household access to public transportations. The local regulation number 15

Year 2001, indirectly, affect to the cause of motorcycle ownership. The presence of TMP

is considered fail or does not contribute to shifting of public behavior activity from using

private vehicle to public transport as its initial purpose when introduced.

E. RecommendationsThis study suggests local government to conduct short-term actions for public

transportation improvement as follows: a). Financing. Increase subsidy for TransMetro

Pekanbaru (TMP) operational cost will increase number of TMP operating bus, and; 2).

Service. Re-manage TMP service area will also effect to reduce number of motorcycle,

especially in urban fringe.

04ANALISIS LOKASI TRANSIT-ORIENTED DEVELOPMENT POTENSIAL UNTUK PENENTUAN RUTE UTAMA ANGKUTAN UMUM MASSAL DI KOTA PANGKALAN BUN

► Nama : Tira Puspitasari

► Unit Organisasi : Bappeda Pemkab Kotawaringin Barat

► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Diponegoro

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI028

ABSTRAKBerdasarkan 6 prinsip TOD, diketahui kondisi wilayah perkotaan Pangkalan Bun saat ini

belum siap menerapkan TOD, dengan masalah utama ketersediaan layanan transportasi

umum. Perlu dilakukan pembenahan agar Pangkalan Bun layak menerapkan TOD.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui penentuan lokasi potensial TOD sebagai dasar

penentuan rute utama angkutan umum massal di wilayah perkotaan Pangkalan Bun.

Prioritas lokasi dinilai berdasarkan prinsip TOD, yang diolah dengan metode analytical

hierarchy process (AHP). Rumusan prioritas lokasi divalidasi kepada narasumber untuk

mendapatkan feedback. Pembenahan dimulai dari kriteria distance, diikuti diversity,

demand management, design, destination, dan density. Fokus utamanya menyediakan

pilihan transportasi umum, yang berakar dari masalah layanan transportasi publik,

meliputi cakupan, jadwal dan rute. Bundaran Pancasila menempati ranking tertinggi

lokasi potensial TOD dengan nilai 0,306, diikuti Antasari (0,184), Pasanah (0,175), Udan

Said (0,169) dan Sutan Syahrir (0,166). Bundaran Pancasila dianggap paling menarik

untuk dikembangkan karena mampu mengakomodasi kebutuhan beraktivitas orang yang

datang ke lokasi tersebut. Jaringan rute utama berupa 2 loop rute dan 1 rute terbuka

yang melintasi seluruh ruas jalan utama di Pangkalan Bun. Rute ini menghubungkan 3

lokasi pusat perdagangan/jasa, kantong permukiman dengan kawasan pendidikan, serta

memberikan akses menuju terminal Natai Suka.

► Kata Kunci: TOD, Prioritas Prinsip, Prioritas Pembenahan Kondisi, Prioritas Lokasi,

Rute Utama Angkutan Umum Massal

029 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

ABSTRACTBased on 6 TOD principles, Pangkalan Bun urban area is unproper to implement TOD

yet, with main problem of public transportation service availabilities uneven service

coverage and routes and schedules uncertainty. To proper in apply TOD, it needs to

be mend based on TOD principlespriority.This research conducted to determine of

potential TOD location as basis for determining main mass public transportation route

in Pangkalan Bun, assessed by analytical hierarchy process (AHP).Location priority was

validated to resources person for feedback. Improving the condition of Pangkalan Bun

started from mending distance criteria, followed by diversity, demand management,

design, destination and density. Main focus is provide public transportation services.

Bundaran Pancasila occuppy main priority of TOD site, followed by Antasari, Pasanah,

Udan Said and Sutan Syahrir. Bundaran Pancasila considered able to accommodate the

needs of community activities coming to this site. The main route network consists of

two loops route and 1 open route that crosses all the main roads in Pangkalan Bun. This

route connects 3 locations of trade/service centers, residential with educational areas,

and provides access to the Natai Suka bus station.

► Keywords: TOD, Principle Priority, Priority for Improvement of Condition, Location

Priority, Main Route of Mass Public Transport

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI030

ANALISIS LOKASI TRANSIT-ORIENTED DEVELOPMENT POTENSIAL UNTUK

PENENTUAN RUTE UTAMA ANGKUTAN UMUM MASSAL DI KOTA PANGKALAN BUN

A. Latar BelakangWilayah perkotaan Pangkalan Bun telah menunjukkan kecenderungan sprawl, di mana

pusat aktivitas tumbuh acak dan mengarah ke pinggiran (Blackwell, 1999 and Mosammam,

2016). Hal ini menyebabkan pola guna lahan perkotaan tidak efisien (Milan and Creutzig,

2016), akibatnya pergerakan untuk mengakses pusat aktivitas menjadi tidak efisien

(Cervero and Day, 2008; Litman, 2010; Wunas, 2011; Miro, 2012; Ewing, 2015). Kondisi

ini mendorong terbentuknya travel behaviour ketergantungan terhadap penggunaan

kendaraan pribadi yang sangat tinggi (Cervero and Day, 2008; Litman, 2010; Wunas, 2011;

Mu and de Jong, 2012; de Vos et al, 2014).

Pendekatan smart growth adalah salah satu pendekatan yang populer untuk

membenahi kondisi ini, melalui integrasi sistem transportasi dan guna lahan dalam konsep

transit-oriented development (TOD) (TOD in the US, 2004; TOD: Developing a Strategy to

Measure Success, 2005; Wunas, 2011; Mu and de Jong, 2012). TOD dinilai tidak hanya tepat

diterapkan di kota besar, melainkan juga pada wilayah perkotaan dan suburban. Sebagai

wilayah perkotaan yang berkembang pesat, Pangkalan Bun sudah selayaknya mengadopsi

konsep smart growth dalam praktik perencanaan dan pembangunannya, sebagai antisipasi

munculnya permasalahan perkotaan yang lebih kompleks. Untuk itu perlu diketahui

apakah kondisi Pangkalan Bun telah layak/siap mengadopsi TOD? Penelitian ini dilakukan

di wilayah Perkotaan Pangkalan Bun, untuk mengetahui prioritas lokasi TOD potensial

sebagai dasar penentuan rute utama angkutan umum massal.

B. Metode PenelitianPenelitian ini dilakukan dengan menilai prioritas prinsip TOD, meliputi destination, diversity,

distance, design, density dan demand management serta alternatif lokasi TOD potensial

melalui kuisioner, yang selanjutnya diolah dengan metode analytic hierarchy process (AHP)

untuk mendapatkan rumusan prioritas prinsip TOD dan prioritas lokasi potensial TOD.

Rumusan tersebut kemudian divalidasi kepada narasumber dengan teknik wawancara,

031 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

untuk mendapatkan feedback dan masukan. Selanjutnya hasil validasi tersebut digunakan

untu menentukan alternatif rute utama angkutan.

C. Pembahasan

1. Identifikasi Karakteristik Wilayah Perkotaan Pangkalan Bun

Berdasarkan identifikasi lapangan, dapat disajikan karakteristik wilayah perkotaan

Pangkalan Bun sebagai berikut

a. Jaringan jalan dibangun dengan kecenderungan pola grid, baik di pusat kota

maupun di pinggiran perkotaan.

b. Guna lahan di pusat kota didominasi oleh fungsi perdagangan/jasa dan

permukiman, didukung pendidikan, sedangkan guna lahan di pinggiran

perkotaan didominasi fungsi permukiman. Secara umum variasi campuran

guna lahan lebih tinggi pada pusat kota dibandingkan pinggiran kota.

c. Wilayah perkotaan Pangkalan Bun memiliki kontur yang cukup bervariasi.

Secara fisik, kondisi ini cukup memberatkan bagi masyarakat untuk

berpindah mengakses satu lokasi ke lokasi aktivitas yang lain dengan

berjalan kaki, jika tidak didukung desain yang nyaman.

d. Tersedia layanan transportasi umum dengan cakupan layanan yang

terbatas, yakni rute Jalan Antasari-Pasar Tembaga Mas, Pasar Indra Sari-

Terminal Natai Suka dan Pasar Indra Sari-Bamban. Layanan transit tidak

memiliki kepastian mengenai frekuensi layanan, kecepatan perjalanan serta

ketepatan dan kepastian jadwal kedatangan dan keberangkatan moda

transit (waktu tunggu).

e. Kepadatan bangunan yang paling tinggi berada di Kelurahan Raja, sebagian

Kelurahan Baru dan Mendawai yang dekat dengan pusat kota, Kelurahan

Mendawai Seberang dan Raja Seberang. Kelurahan Sidorejo memiliki

kepadatan sedang, sementara kepadatan paling rendah adalah di Kelurahan

Madurejo.

f. Berdasarkan data demografi, kepadatan penduduk tertinggi berada di pusat

kota, sementara kelurahan di pinggiran perkotaan memiliki kepadatan lebih

rendah.

g. Fasilitas perkotaan tersebar kurang merata. Kelurahan Madurejo memiliki

fasilitas terlengkap, yakni terdapat universitas, mal dan rumah sakit daerah.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI032

h. Terdapat titik transit berupa halte yang pemanfaatannya kurang maksimal.

i. Berdasarkan sebaran fasilitas dan guna lahan mengarahkan terbentuknya

simpul-simpul pergerakan di wilayah perkotaan Pangkalan Bun, meliputi:

area sekitar Udan Said, area sekitar Jalan Antasari, area sekitar Bundaran

Pancasila, area sekitar permukiman di Kelurahan Madurejo, area sekitar

permukiman di Kelurahan Baru, area sekitar Jalan Sutan Syahrir dan area

sekitar Jalan Pasanah.

2. Identifikasi Lokasi Potensial TOD Berdasarkan Prasyarat TOD

Dalam penelitian ini, ketujuh lokasi pusat aktivitas di atas ditawarkan kepada

responden kemudian responden memberikan masukan lokasi lain yang potensial

menurut perspektif responden. Dari hasil wawancara, didapat tambahan 8 (delapan)

alternatif lokasi, yakni Karang Anyar ke Kumpai Batu Bawah, Bhayangkara ke

Pertigaan Pinang Merah (Pasir Panjang), Bundaran Tudung Saji, Bundaran Pangkalan

Lima, Bundaran Pramuka, sekitar Sport Center, Batu Belaman dan Sungai Sintuk,

sehingga total terdapat 15 alternatif lokasi potensial TOD. Selanjutnya, identifikasi

potensial TOD dilakukan dengan menyaring karakteristik wilayah Perkotaan

Pangkalan Bun menggunakan 6 kriteria prasyarat TOD (Mu and de Jong, 2012).

Setelah disesuaikan dengan kondisi lokal, hanya 4 kriteria yang akan digunakan,

meliputi: a) Desain perkotaan, seperti tersedianya ruang publik, walkable zone

dan desain yang memenuhi unsur estetika; b) Penggunaan lahan (mixed use); c)

Pengaturan parkir; d) Layanan transit perkotaan. Lokasi yang memenuhi minimal 3

kriteria, dianggap berpotensi untuk dikembangkan dengan konsep TOD.

Berdasarkan hasil penyaringan kriteria prasyarat pengembangan TOD,

diperoleh 5 (lima) alternatif lokasi potensial pengembangan TOD di wilayah

perkotaan Pangkalan Bun meliputi: 1) Area sekitar Jalan Udan Said, 2) Area sekitar

Jalan Antasari, 3) Area sekitar Jalan Pasanah/Bundaran Gentong, 4) Area sekitar

Jalan Sutan Syahrir, dan 5) Area sekitar Bundaran Pancasila.

3. Analisis Lokasi Potensial TOD sebagai Dasar Penentuan Rute Utama Angkutan Umum Massal di Wilayah Perkotaan Pangkalan Bun

a. Analisis Kondisi Wilayah Perkotaan Pangkalan Bun Berdasarkan Prinsip TOD

033 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

Berdasarkan hasil kuisioner, diketahui urutan/ranking terhadap prinsip

TOD yaitu Distance (0,278), Diversity (0,209), Demand Management (0,174),

Design (0,148), Destination (0,104), Density (0,087). Urutan tersebut dapat

didefinisikan bahwa untuk menjadikan wilayah Perkotaan Pangkalan Bun

layak/siap mengadopsi konsep TOD, perlu dilakukan pembenahan kondisi

wilayah perkotaan dengan prioritas sebagai berikut:

• Distance: Fokus utama dalam aspek ini adalah aksesibilitas suatulokasi

berdasarkan ketersediaan layanan angkutan umum, yakni apakah suatu

lokasi dapat dijangkau dengan angkutan umum perkotaan atau tidak.

• Diversity: Fokus utama adalah mendorong pengunaan lahan campuran,

sebab menurut responden, guna lahan campuran akan membuat suatu

lokasi lebih menarik karena dapat mengakomodasi berbagai kebutuhan

perjalanan.

• Demand Management: Fokus utama dalam kriteria ini adalah mendorong

kesediaan untuk menggunakan kendaraan umum.

• Design: Fokus utama pada aspek ini adalah integrasi pembangunan fisik

dengan layanan transportasi umum dan urban realm.

• Destination: Prioritas pertama adalah menyediakan layanan transit

terlebih dahulu, setelah itu baru dilakukan peningkatan demand

terhadap transit.

• Density: Aspek ini menjadi prioritas terakhir, karena secara eksisting,

wilayah perkotaan Pangkalan Bun masih dinilai relatif longgar, sehingga

aspek kepadatan menjadi aspek yang akan dipikirkan paling akhir.

Dari hasil validasi yang dilakukan kepada para responden, disimpulkan sebagian

besar responden menilai rumusan prioritas di atas sudah sesuai dengan kebutuhan

pembangunan wilayah perkotaan Pangkalan Bun, berdasarkan kondisi eksisting dan

kecenderungan perkembangan perkotaan.

b. Penilaian Prioritas Lokasi Potensial TOD Berdasarkan Prinsip TOD

Dalam 6 kriteria yang dinilai, Kawasan Bundaran Pancasila dan sekitarnya

secara konsisten menempati prioritas pertama di seluruh kriteria, sementara

empat (4) lokasi lainnya menempati prioritas di bawahnya secara acak. Hal ini

menunjukkan bahwa Bundaran Pancasila dipandang sebagai lokasi yang paling

menarik untuk dikembangkan, telah menunjukkan karakteristik yang mendekati

kondisi smart growth, sebagaimana yang dinilai pada masing-masing kriteria,

meliputi guna lahan yang menunjukkan fungsi campuran (diversity dan density);

dukungan public realm yang dengan desain cukup baik seperti pedestrian dan

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI034

ketersediaan public space (design); jaringan jalan yang cukup lebar dan nyaman

dilalui dan dapat diakses dari berbagai arah serta kepadatan lalu lintas yang

masih terkendali (distance); sehingga menjadikan kawasan ini mendukung

untuk tujuan aktivitas yang beragam (destination), meskipun belum terlayani

oleh rute transportasi umum (demand management). Orang yang datang ke

Bundaran Pancasila tidak perlu lagi melakukan pergerakan ke lokasi lain karena

semua aktivitas untuk memenuhi kebutuhannya dapat diakomodasi pada satu

lokasi tersebut.

Berdasarkan hasil penilaian sebagaimana dirangkum pada matriks dan

diagram di atas, dapat diketahui urutan prioritas lokasi potensial TOD sebagai

berikut:

• Bundaran Pancasila (0,306)

• Jalan Antasari (0,184)

• Jalan Pasanah (Bundaran Gentong) (0,175)

• Jalan Udan Said (0,169)

• Jalan Sutan Syahrir (0,166)

Hasil validasi kepada para responden terhadap prioritas lokasi potensial

TOD ini, seluruh responden menyatakan sepakat dengan rumusan prioritas

alternatif lokasi pengembangan TOD, di mana Bundaran Pancasila menempati

prioritas utama.

c. Penentuan Rute Utama Angkutan Umum Massal di Wilayah Perkotaan

Pangkalan Bun Berdasarkan Lokasi Potensial TOD

Rumusan alternatif rute angkutan umum di wilayah perkotaan Pangkalan

• Rute yang menghubungkan seluruh lokasi potensial TOD, melalui ruas

jalan sebagai berikut: Jalan Pemuda (Bundaran Pancasila)-Jalan Iskandar-

Jalan Sutan Syahrir-Jalan Hasanudin-Jalan Antasari-Jalan Udan Said-

Jalan Pakunegara-Jalan Diponegoro-Jalan Kawitan I-Jalan Pasanah-Jalan

Malijo-Jalan Pemuda.

• Rute yang menghubungkan seluruh lokasi potensial TOD dan terminal

Natai Suka, melalui ruas jalan sebagai berikut: Jalan Pemuda (Bundaran

Pancasila)-Jalan Iskandar-Jalan Sutan Syahrir-Jalan Hasanudin-Jalan

Antasari-Jalan Udan Said)– Jalan Sukma Arianingrat–Jalan Matnor–Jalan

Natai Arahan-Jalan Pasanah-Jalan Malijo-Jalan Pemuda.

• Rute yang menghubungkan pusat perdagangan: dimulai dari Antasari,

menuju ke Udan Said, berakhir di Bundaran Pancasila, melalui ruas jalan

035 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

sebagai berikut: Jalan Antasari-Jalan Udan Said-Jalan Pakunegara-Jalan

Diponegoro-Jalan Iskandar-Jalan Pemuda (Bundaran Pancasila).

• Rute menuju kawasan pendidikan di Jalan Pasanah, dimulai dari Antasari,

melalui ruas jalan berikut: Jalan Antasari-Jalan Hasanudin–Jalan Sutan

Syahrir– Jalan Iskandar-Jalan Diponegoro–Jalan Kawitan I-Jalan Pasanah.

• Rute menuju kawasan pendidikan di Jalan Pasanah, dimulai dari

Bundaran Pancasila, melalui ruas jalan berikut: Jalan Pemuda (Bundaran

Pancasila)–Jalan Iskandar–Jalan Sutan Syahrir–Jalan Diponegoro–Jalan

Kawitan I–Jalan Pasanah.

Jaringan rute di atas terdiri dari 2 loop rute dan 1 rute terbuka,

menghubungkan 3 lokasi pusat perdagangan dan jasa (Bundaran pancasila,

Pasar Indra Sari/Udan Said dan Pasar Saik-Indra Kencana/Antasari),

memberikan akses dari kantong-kantong permukiman menuju kawasan

pendidikan, menghubungkan lima lokasi potensial TOD, serta memberikan

akses menuju Terminal Natai Suka. Berdasarkan pemetaan rute di atas,

diketahui terdapat 8 titik pertemuan rute, yang terletak pada lima titik

potensial TOD, 1 terminal serta 2 perpotongan jalan.Titik-titik pertemuan

rute tersebut selanjutnya dapat ditetapkan sebagai titik perpindahan moda

transit, dilengkapi dengan fasilitas pendukung berupa halte dan ruang

tunggu.

D. KesimpulanWilayah perkotaan Pangkalan Bun secara umum menunjukkan kondisi degraded city,

ditandai dengan kecenderungan perkembangan kota yang mengarah ke pinggiran dan

pusat aktivitas yang tumbuh secara acak, menyebabkan pola guna lahan yang tidak

efisien. Diperparah dengan buruknya layanan transportasi umum, menjadikan masyarakat

sangat tergantung pada kendaraan pribadi untuk mengakses pusat-pusat aktivitas.

Dari hasil analisis 6 prinsip TOD terhadap kondisi wilayah perkotaan Pangkalan Bun,

diketahui bahwa kondisi wilayah perkotaan Pangkalan Bun saat ini belum mendukung

untuk diterapkannya konsep TOD. Untuk menuju kondisi siap atau memenuhi syarat

guna mengadopsi konsep TOD, perlu dilakukan pembenahan terhadap kondisi eksisting

wilayah perkotaan Pangkalan Bun. Urutan prioritas dalam membenahi kondisi wilayah

Perkotaan Pangkalan Bun dimulai dari pembenahan kriteria distance, diikuti diversity,

demand management, design, destination, dan terakhir density.

Hasil penilaian terhadap prioritas lokasi potensial TOD dengan menggunakan 6

prinsip TOD, menunjukkan kawasan Bundaran Pancasila memperoleh bobot tertinggi,

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI036

yang menunjukkan lokasi ini yang paling menarik untuk beraktivitas karena dinilai mampu

mengakomodasi berbagai kebutuhan beraktivitas orang yang datang ke lokasi tersebut.

Kawasan ini meraih nilai tertinggi di semua aspek karena menunjukkan karakteristik

yang mendekati kondisi smart growth. Masing-masing lokasi potensial TOD memiliki

fungsi yang berbeda dan cenderung mengarah pada spesialisasi fungsi kawasan.

Kondisi ini berpeluang untuk menciptakan kawasan TOD terspesialisasi, dengan tetap

memperhatikan pengembangan aktivitas campuran yang mendukung fungsi utama

kawasan.

Jaringan rute utama angkutan umum dirumuskan melintasi seluruh ruas jalan utama

di wilayah perkotaan Pangkalan Bun. Rute ini menghubungkan guna lahan yang berbeda,

yang diharapkan dapat membentuk pergerakan yang efisien. Lebih jauh, rute utama ini

diharapkan dapat memfasilitasi pengumpulan permintaan pergerakan di sekitar lokasi

potensial TOD, sehingga ke depan diharapkan tercipta pergerakan yang semakin efektif.

Pembenahan wilayah Perkotaan Pangkalan Bun menjadi lokasi yang siap mengadopsi

TOD, dapat dilakukan dengan strategi redevelopment site. Sementara, tipe koridor yang

tepat apabila kelak wilayah perkotaan Pangkalan Bun telah siap mengadopsi konsep

TOD, dapat diarahkan pada tipe district circulator. Tipe ini menghubungkan antartitik

TOD, agar setiap titik dapat berkembang secara paralel. Penelitian ini memberikan

kontribusi terhadap penerapan konsep TOD, dengan memberikan gambaran perbedaan

antara proses penerapan TOD pada kota besar/metropolis di negara maju dan pada kota

kecil/wilayah perkotaan di negara berkembang. Pada kota besar/metropolis di negara

maju, jalur angkutan umum dalam TOD diciptakan untuk mengumpulkan permintaan

pergerakan di sekitar titik transit, sehingga tercipta pergerakan yang efektif dan efisien.

Sementara pada kota kecil/wilayah perkotaan di negara berkembang, penerapan TOD

dilakukan dengan sebaliknya, di mana lokasi titik TOD ditetapkan terlebih dulu, baru

kemudian dirancang jalur angkutan umum massal.

05KAJIAN KESESUAIAN WILAYAH PENGEMBANGAN KAWASAN PETERNAKAN DI KABUPATEN WONOGIRI

► Nama : Ari Anggono

► Unit Organisasi : Bappeda Pemkab Kotawaringin Barat

► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Diponegoro

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI038

ABSTRAKKabupaten Wonogiri merupakan salah satu kabupaten sebagai sentra peternakan di

Provinsi Jawa Tengah, dengan populasi ternak di Kabupaten Wonogiri terbesar kedua se-

Provinsi Jawa Tengah hingga tahun 2014. Diperkirakan subsektor peternakan di Kabupaten

Wonogiri akan berkembang dengan pesat di masa depan, sehingga membutuhkan alokasi

ruang sebagai kawasan peternakan yang baru untuk mendukung perkembangan subsektor

tersebut. Akan tetapi pada kenyataannya ketersediaan ruang yang sesuai bagi kawasan

peternakan di Kabupaten Wonogiri semakin berkurang seiring dengan bertambahnya

kebutuhan masyarakat terhadap lahan sebagai kawasan budi daya nonpertanian sehingga

menggeser lokasi pemeliharaan ternak oleh masyarakat ke beberapa wilayah yang kurang

sesuai untuk pengembangan peternakan. Melihat situasi tersebut di atas maka penting

untuk dilakukan kajian terhadap kesesuaian wilayah sebagai kawasan peternakan di

Kabupaten Wonogiri dan strategi pengembangan kawasan tersebut.

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengkaji kesesuaian wilayah bagi pengembangan

kawasan peternakan guna memberikan suatu rekomendasi arahan pengelolaan dan

strategi perwilayahan bagi pengembangan kawasan peternakan dan penataan ruang

kawasan peternakan di Kabupaten Wonogiri dengan menggunakan analisis kesesuaian

ekologis lahan untuk ternak, analisis kesesuaian ekologis lahan untuk tanaman pakan

ternak, analisis potensi pakan dan kapasitas tampung ternak, analisis kepadatan ternak,

analisis sarana prasarana pendukung kawasan peternakan, analisis komoditas ternak basis,

serta analisis kesesuaian tata ruang wilayah dan kesesuaian wilayah sebagai kawasan

peternakan. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan deskriptif kuantitatif dan

pendekatan Sistem Informasi Geografi (SIG) menggunakan aplikasi ArcGis.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa tidak terdapat wilayah yang sangat sesuai (S1)

untuk pengembangan kawasan peternakan di Kabupaten Wonogiri. Kabupaten Wonogiri

masih memiliki potensi wilayah bagi pengembangan kawasan peternakan terdiri atas

wilayah primer pengembangan kawasan peternakan, yaitu wilayah yang cukup sesuai

(S2) seluas 40.774 Ha yang berada di wilayah beberapa kecamatan meliputi Kecamatan

Jatisrono, Puh Pelem, Bulukerto, Girimarto, Purwantoro, Wonogiri dan Ngadirojo, serta

wilayah sekunder pengembangan kawasan peternakan, yaitu wilayah yang mempunyai

kesesuaian marginal (S3) seluas 60.025 Ha yang berada di wilayah beberapa kecamatan

meliputi Kecamatan Baturetno, Batuwarno, Jatipurno, Jatiroto, Nguntoronadi, Selogiri,

Sidoharjo, Slogohimo, Manyaran, Tirtomoyo, dan Karang tengah.

Strategi untuk pengembangan kawasan peternakan yang dapat dilakukan oleh

pemerintah Kabupaten Wonogiri antara lain melalui penyediaan lahan untuk peternakan

sesuai agroekologis dan penataan ruang bagi kawasan peternakan, meningkatkan populasi

039 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

dan mutu bibit ternak serta perbaikan sistem pemeliharaan ternak, meningkatkan

kuantitas dan kualitas pakan ternak, menyusun regulasi tentang kawasan peternakan,

meningkatkan sarana prasarana wilayah pendukung peternakan dan pengolahan hasil

ternak, meningkatkan kualitas sumber daya peternak dan kapasitas kelembagaan

kelompok tani ternak, meningkatkan konsumsi masyarakat akan produk peternakan,

mendorong iklim investasi di bidang peternakan.

► Kata Kunci: Kesesuaian Wilayah, Penataan Ruang, Kawasan Peternakan, Sistem

Informasi Geografi (SIG)

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI040

ABSTRACTWonogiri Regency is one of regencies livestock centers in Central Java province, with the

second largest livestock population in Central Java province until 2014. It is estimated

that livestock sub-sector in Wonogiri will grow rapidly in the future, thus requiring the

allocation of space as a new area of farms to support the development of the sub-sector.

But in reality, the availability of appropriate space for livestock area in Wonogiri reduced

along with the increasing of public demand for land of non-agricultural cultivated areas,

thus resulting in a location’s shifting of the maintenance of livestock to areas which are

less suitable for livestock development. Based on the situation above, it is important

to do the study on the suitability of the area as an area of farms in Wonogiri and the

development strategy of the region.

The purpose of this research is to assess the suitability of the area for the

development of the livestock area to provide a recommendation of the direction of

the management and strategy of zoning for the development of the livestock area and

spatial planning of the livestock area in Wonogiri Regency. The analysis used were the

analysis of the suitability of ecological land for livestock, the analysis of the suitability of

ecological land for forage crops, the analysis of the potential and capacities of livestock

feed, the analysis of livestock density, the analysis of supporting infrastructure for

livestock area, the analysis of livestock commodities base, and the analysis of spatial

suitability and referrals of area suitability as a livestock area. This method of analysis used

are a descriptive quantitative approach and the Geographic Information System (GIS)

approach using ArcGIS applications.

The results showed that in Wonogiri Regency, there are no highly suitable area

(S1) for the development of the livestock area. Wonogiri still has the potential areas

for development of the livestock area consisting of primary area of development of

the livestock area that are fairly suitable (S2) covering an area of 40 774 hectares in the

several of districts area include : Jatisrono, Puh Pelem, Bulukerto, Girimarto, purwantoro

and Ngadirojo, as well as the secondary area of development of the livestock area that

has the suitability of marginal (S3) covering an area of 60 025 hectares in the several of

districts area include: Baturetno, Batuwarno, Jatipurno, Jatiroto, Nguntoronadi, Selogiri,

Sidoharjo, Slogohimo, Manyaran, Tirtomoyo and Karang Tengah.

The strategy for the development of the livestock area that can be done by the

government of Wonogiri Regency, including through the provision of livestock land

suitable with agro-ecological and spatial planning for the livestock area, increasing the

population and the quality of livestock breeds as well as the improvement of the system

of raising livestock, increasing the quantity and quality of forage, prepare regulations

041 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

on farms area, improve the infrastructure supporting livestock area and processing of

livestock products, improve the resources quality of stock farmers and institutional

capacity of stock farmer groups, increase the community’s consumption of dairy products,

encouraging investment in livestock.

► Keywords: Land Suitability, Spatial Planning, Livestock Area, Geographical

Information Systems (GIS)

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI042

KAJIAN KESESUAIAN WILAYAH PENGEMBANGAN KAWASAN PETERNAKAN

DI KABUPATEN WONOGIRIA. Latar BelakangPenataan kawasan peternakan di masa sekarang harus mampu menjadi solusi bagi

permasalahan lingkungan yang disebabkan oleh limbah dari peternakan itu sendiri

maupun dari limbah yang dihasilkan oleh sektor petanian lainnya sehingga integrasi

antara kawasan peternakan dengan kawasan pertanian baik tanaman pangan,

perkebunan dan hortikultura diharapkan mampu menjawab tantangan permasalahan

lingkungan. Selain itu dengan penataan ruang terhadap kawasan peternakan akan

mempermudah dalam menyusun perencanaan program pembangunan peternakan

dan perencanaan pembangunan fasilitas sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh

pemerintah, mempermudah dalam implementasi kebijakan-kebijakan terkait sektor

pertanian, mendukung keberhasilan proses produksi dan pemasaran hasil ternak serta

penanggulangan wabah penyakit pada ternak berbasis spasial. Berdasarkan hal tersebut

maka fungsi penataan ruang bagi pengembangan kawasan peternakan sangat penting

untuk dilakukan baik pada skala nasional hingga tingkat provinsi maupun kabupaten/

kota di Indonesia.

Provinsi Jawa Tengah merupakan provinsi yang memiliki populasi beberapa

komoditas ternak yang banyak sebagai salah satu sentra peternakan di Indonesia.

Berdasarkan data stastistik peternakan yang dirilis oleh Ditjen Peternakan dan Kesehatan

Hewan (2015), Provinsi Jawa Tengah memiliki populasi ruminansia antara lain ternak

kambing terbanyak pertama se-Indonesia dengan populasi 3.997.917 ekor, populasi ternak

sapi potong dan ternak domba terbanyak kedua se-Indonesia dengan populasi 1.628.093

ekor sapi potong dan 2.458.619 ekor ternak domba. Selain itu Provinsi Jawa Tengah juga

merupakan wilayah sebagai sumber komoditas beberapa jenis ternak unggas di Indonesia

seperti ayam buras dengan populasi 42.471.433 ekor (Ditjen Peternakan dan Kesehatan

Hewan, 2015). Menurut penjelasan tersebut maka beberapa wilayah kabupaten/kota di

Provinsi Jawa Tengah merupakan sentra peternakan di provinsi tersebut.

Salah satu kabupaten sebagai sentra peternakan di Provinsi Jawa Tengah adalah

Kabupaten Wonogiri. Kabupaten yang berada di bagian tenggara Provinsi Jawa Tengah

dan memiliki kondisi geografi yang berbukit-bukit memiliki potensi untuk memelihara

beberapa komoditas jenis ternak. Hal ini dibuktikan dengan berkembangnya populasi

043 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

komoditas ternak di kabupaten tersebut dengan pesat. Berdasarkan data Badan Pusat

Statistik (2015d), populasi komoditas ternak kambing tercatat hingga tahun 2014 tercatat

510.812 ekor yang merupakan jumlah populasi terbanyak di Provinsi Jawa Tengah. Selain

itu juga populasi komoditas ternak sapi sejumlah 157.037 ekor, merupakan terbesar kedua

se-Provinsi Jawa Tengah hingga tahun 2014.

Di sisi lain subsektor peternakan di Kabupaten Wonogiri juga berpengaruh terhadap

Pendapatan Domestik Regional Bruto di Kabupaten Wonogiri. Berdasarkan data dari

Badan Pusat statistik, konstribusi subsektor peternakan terhadap Pendapatan Domestik

Regional Bruto Kabupaten Wonogiri pada tahun 2011 hingga 2015 mengalami kenaikan

setiap tahunnya. Berdasarkan tabel tersebut dapat diketahui bahwa subsektor peternakan

memberikan andil terhadap peningkatan pendapatan masyarakat Kabupaten Wonogiri

khususnya para peternak maupun pengusaha yang bergerak di bidang peternakan maupun

pengolahan hasil ternak sehingga diharapkan bisa meningkatkan kesejahteraan mereka.

Subsektor peternakan di Kabupaten Wonogiri diperkirakan akan berkembang

dengan pesat di masa depan, sehingga membutuhkan alokasi ruang sebagai kawasan

peternakan yang baru untuk mendukung perkembangan subsektor tersebut. Akan

tetapi pada kenyataannya ketersediaan ruang yang sesuai bagi kawasan peternakan

di Kabupaten Wonogiri semakin berkurang seiring dengan bertambahnya kebutuhan

masyarakat terhadap lahan sebagai kawasan budi daya nonpertanian sehingga menggeser

lokasi pemeliharaan ternak oleh masyarakat ke beberapa wilayah yang kurang sesuai

untuk pengembangan peternakan karena tidak mampu menyediakan kebutuhan pakan,

air minum, kondisi temperatur udara maupun sarana prasarana peternakan lainnya

yang mencukupi akibat tidak adanya informasi kepada masyarakat terhadap kesesuaian

wilayah bagi kawasan peternakan dan hal ini juga dapat menjadi penyebab timbulnya

permasalahan sosial maupun kerusakan lingkungan di masyarakat peternak yang dapat

menghambat perkembangan subsektor peternakan di Kabupaten Wonogiri.

Melihat situasi tersebut di atas, penting untuk dilakukan kajian terhadap kesesuaian

wilayah sebagai kawasan peternakan di Kabupaten Wonogiri dan strategi pengembangan

kawasan tersebut sehingga diharapkan dapat memberikan informasi dan arahan bagi

peternak maupun pemangku kebijakan dalam mengembangkan peternakan sehingga

tercipta kawasan peternakan yang memiliki daya dukung lahan yang mampu menjamin

keberlangsungan peternakan dan usaha pengolahan produk peternakan serta tetap

memperhatikan kelestarian lingkungan. Keberadaan kawasan peternakan tersebut

diharapkan mampu menjamin kelangsungan budi daya ternak di Kabupaten Wonogiri

karena kawasan peternakan tersebut mampu menyediakan kebutuhan bibit ternak,

pakan dan sarana prasarana pendukung suatu kawasan peternakan di wilayah tersebut.

Selain itu kawasan peternakan tersebut memungkinkan dapat bersinergi dengan kawasan

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI044

pertanian yang ada di Kabupaten Wonogiri sehingga diharapkan terbentuk suatu

keterpaduan antara peternakan dengan pertanian atau dikenal dengan istilah sistem

pertanian terpadu (intergrated farming).

Aplikasi sistem pertanian terpadu ini dapat diterapkan secara lintas sektoral dan

ramah lingkungan melalui konsep Low External Inputs Sustainable Agriculture (LEISA).

Atas dasar hal tersebut maka tidak semua ternak menjadi sasaran dalam penelitian ini

tapi hanya beberapa ternak yang dapat menghasilkan produk yang Aman, Sehat, Utuh

dan Halal (ASUH) untuk dikonsumsi, menjadi komoditas ternak unggulan di Kabupaten

Wonogiri dan kotoran ternaknya dapat dimanfaatkan sebagai pupuk untuk lahan

pertanian, yaitu sapi potong, kambing, domba, serta unggas yang meliputi ayam dan itik,

sehingga kawasan peternakan tersebut ramah lingkungan tanpa limbah (zero waste).

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisKabupaten Wonogiri merupakan kabupaten berada di bagian tenggara Provinsi Jawa Tengah

yang berbatasan langsung dengan dua provinsi lain di Pulau Jawa, yaitu Provinsi Jawa Timur

dan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta, memiliki kondisi geografi yang berbukit-bukit

memiliki potensi untuk memelihara beberapa komoditas jenis ternak yang cukup besar. Hal

ini ditandai dengan besarnya populasi beberapa jenis komoditas ternak yang dipelihara di

kabupaten tersebut sehingga usaha peternakan memberikan andil terhadap peningkatan

pendapatan masyarakat Kabupaten Wonogiri khususnya para peternak maupun pengusaha

yang bergerak di bidang peternakan maupun pengolahan hasil ternak sehingga diharapkan

bisa meningkatkan kesejahteraan mereka.

Di sisi lain melihat besarnya populasi beberapa komoditas ternak diperkirakan bahwa

subsektor peternakan di Kabupaten Wonogiri akan berkembang dengan pesat di masa

depan, sehingga membutuhkan alokasi ruang sebagai kawasan peternakan yang baru untuk

mendukung perkembangan subsektor tersebut. Namun kenyataannya ketersediaan ruang

yang sesuai bagi kawasan peternakan di Kabupaten Wonogiri semakin berkurang seiring

dengan bertambahnya kebutuhan masyarakat terhadap lahan sebagai kawasan budi daya

nonpertanian sehingga menggeser lokasi pemeliharaan ternak oleh masyarakat ke beberapa

wilayah yang kurang sesuai untuk pengembangan peternakan.

Hal ini sebagai akibat belum adanya informasi kepada masyarakat terhadap

kesesuaian wilayah bagi kawasan peternakan sekaligus strategi pengembangan kawasan

tersebut sehingga menjadi penyebab timbulnya permasalahan di masyarakat maupun

kerusakan lingkungan yang dapat menghambat perkembangan subsektor peternakan di

Kabupaten Wonogiri. Dengan demikian maka penting untuk melakukan kajian lebih lanjut

terhadap wilayah mana saja yang sesuai sebagai lokasi pengembangan kawasan peternakan

045 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

serta arahan pengelolaan dan strategi pengembangan kawasan peternakan yang menjadi

prioritas bagi pengembangan wilayah sebagai kawasan peternakan di Kabupaten Wonogiri.

Berdasarkan penjelasan di atas maka pertanyaan penelitian yang akan dikaji dalam

penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Wilayah-wilayah manakah di Kabupaten Wonogiri yang sesuai untuk

dikembangkan menjadi kawasan peternakan?

2. Apa saja arahan pengelolaan dan strategi pengembangan kawasan peternakan

yang diperlukan bagi wilayah untuk pengembangan kawasan peternakan di

Kabupaten Wonogiri sesuai dengan hasil kajian penelitian ini?

Penelitian ini menggunakan pendekatan positivistik. Menurut Hughes (2001 dalam

Mukherji & Albon, 2010), pendekatan positivistik merupakan pendekatan penelitian

yang mengunakan dasar hukum universal dan memandang bahwa segala sesuatu yang

terjadi di dunia dapat dijelaskan oleh pengetahuan tentang hukum-hukum yang universal.

Selanjutnya dijelaskan oleh Mukherji & Albon, (2010) pendekatan positivistik bergantung

pada pengumpulan data empiris; fakta atau informasi yang telah diperoleh melalui

observasi atau percobaan dengan menggunakan sistematis, pendekatan ilmiah untuk

penelitian. Di samping itu digunakan pula pendekatan sistem informasi geografi (SIG)

menggunakan software ArcGis untuk membantu dalam pengolahan dan penyajian hasil

penelitian.

C. Pembahasan

1. Arahan Pengelolaan dan Strategi Pengembangan Kawasan Peternakan

Arahan pengelolaan dan strategi pengembangan kawasan peternakan

dimaksudkan untuk membantu dalam penentukan usaha pengelolaan dan strategi

program kegiatan pembangunan subsektor peternakan terhadap lokasi yang

direkomendasikan untuk pengembangan kawasan peternakan yang sesuai dengan

kondisi ekologi ternak, lingkungan dan sarana prasarana pendukung sehingga

menjadi wilayah yang ideal bagi kawasan peternakan. Arahan ini didasarkan pada

kesesuaian wilayah yang diperoleh dari hasil analisis di atas berdasarkan hasil skoring,

pembobotan dan overlay dengan menggunakan software ArcGis yaitu wilayah yang

cukup sesuai (S2) sebagai wilayah primer pengembangan kawasan peternakan dan

wilayah yang sesuai marjinal (S3) sebagai wilayah sekunder untuk pengembangan

kawasan peternakan.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI046

2. Arahan Pengelolaan Wilayah Primer Pengembangan Kawasan Peternakan

Berdasarkan hasil analisis, kecamatan yang termasuk dalam wilayah primer

pengembangan kawasan peternakan meliputi tujuh kecamatan, yaitu Jatisrono,

Puh Pelem, Bulukerto, Girimarto, Purwantoro, Wonogiri, Manyaran, dan Ngadirojo.

Wilayah ini pada umumnya sebagian besar memiliki agroekologis yang sesuai

(S2) bagi budi daya ternak dan tanaman hijauan makanan ternak. Sebagian besar

wilayah ini juga masih mempunyai potensi ketersediaan pakan ternak, kapasitas

tampung ternak, kepadatan ternak, dan sarana prasana pendukung yang cukup

sesuai bagi suatu kawasan peternakan. Wilayah ini menjadi prioritas pertama

untuk lokasi pengembangan kawasan peternakan. Sistem pemeliharaan yang dapat

diterapkan bagi pengelolaan ternak pada kawasan ini minimal dapat menerapkan

sistem pemeliharaan ternak semi intensif. Sistem pemeliharaan ternak semi intensif

merupakan sistem pemeliharaan ternak dengan cara digembalakan di lahan rumput

atau lahan pertanian secara terkendali (integrasi tanaman ternak) pada siang

hari dan dikandangkan pada malam hari (Syamsu, 2006). Beberapa kecamatan

yang mempunyai potensi ketersediaan pakan yang rendah, sumber pakan dapat

diusahakan melalui upaya peningkatan budi daya tanaman pakan ternak maupun

diperoleh dari wilayah di sekitarnya yang memiliki potensi sumber pakan ternak

yang lebih tinggi. Di samping itu wilayah ini masih memerlukan peningkatan sarana

prasarana dan fasilitas pendukung peternakan oleh pemerintah maupun pihak

swasta untuk meningkatkan produk hasil ternak seperti, peningkatan kualitas jalan,

peningkatan sarana prasarana pasar hewan dan tempat pelayanan kesehatan hewan,

dan peningkatan kemampuan sumber daya peternak dan peningkatan kelembagaan

kelompok tani ternak.

3. Arahan Pengelolaan Bagi Wilayah Sekunder Pengembangan Kawasan Peternakan

Berdasarkan hasil analisis, kecamatan yang termasuk dalam wilayah sekunder

pengembangan kawasan peternakan meliputi beberapa kecamatan, yaitu Baturetno,

Batuwarno, Jatipurno, Jatiroto, Nguntoronadi, Sidoharjo, Slogohimo, Tirtomoyo,

dan Karang Tengah. Wilayah ini pada umumnya memiliki kesesuaian agroekologis

marjinal (S3) dan hanya memiliki lokasi yang sesuai (S2) agroekologis tidak terlalu

luas. Adanya faktor pembatas ekologis lahan yang masih dapat ditoleransi bagi budi

daya ternak dan tanaman hijauan makanan ternak dengan melakukan perbaikan

tata laksana pemeliharaan ternak dan tanaman. Di samping itu beberapa lokasi

kecamatan di kawasan ini masih mempunyai potensi ketersediaan pakan ternak,

047 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

kapasitas tampung ternak, kepadatan ternak dan sarana prasana pendukung

yang masih sesuai bagi suatu kawasan peternakan. Wilayah ini menjadi kawasan

pendukung bagi wilayah primer pengembangan kawasan peternakan dan prioritas

kedua sebagai lokasi pengembangan peternakan. Sistem pemeliharaan yang

sesuai untuk diterapkan bagi tata laksana budi daya peternakan pada kawasan ini

adalah sistem pemeliharaan secara intensif. Sistem pemeliharaan intensif pada

ternak merupakan sistem pemeliharaan ternak dengan cara mengandangkan

ternak sepanjang hari pada kandang (Syamsu, 2006), sehingga sistem tata laksana

perkandanganya telah ditentukan bentuk, ukuran, dan prosedur pengelolaannya,

dengan mengatur pemberian pakan serta melakukan manajemen terhadap

kesehatan ternak oleh peternak. Sumber bahan pakan ternak dapat berasal dari

tanaman pakan ternak hasil pemotongan (defoliasi) tanaman hijaun pakan ternak,

dari pengolahan limbah pertanian (fermentasi) dan pemberian pakan konsentrat

hasil olahan industri pakan ternak. Beberapa kecamatan yang mempunyai potensi

ketersediaan pakan yang rendah, sumber pakan dapat di usahakan dari wilayah

di sekitarnya yang memiliki potensi sumber pakan ternak yang lebih tinggi. Di

samping itu pembangunan dan peningkatan kualitas sarana prasarana dan fasilitas

pendukung peternakan oleh pemerintah maupun pihak swasta wajib dilakukan di

wilayah ini untuk mengoptimalkan produktivitas ternak seperti, peningkatan kualitas

jalan, peningkatan sarana prasarana pasar hewan dan tempat pelayanan kesehatan

hewan, dan peningkatan kemampuan sumber daya peternak dan peningkatan

kelembagaan kelompok tani ternak. Kegiatan konservasi lahan dengan penanaman

vegetasi yang mampu memperkuat struktur tanah perlu dilakukan pada wilayah ini

dengan kondisi lahan dengan kemiringan >15% sehingga dapat mencegah erosi dan

menjaga ketersediaan air tanah serta menyediakan tempat penampungan air hujan

seperti embung untuk menampung air hujan yang diperlukan terutama bagi solusi

kemungkinan terjadi kekurangan air.

4. Strategi Pengembangan Kawasan Peternakan

Guna mewujudkan kawasan peternakan yang memiliki daya dukung wilayah yang

mampu menjamin keberlangsungan peternakan dan usaha pengolahan produk

peternakan serta tetap memperhatikan kelestarian lingkungan di Kabupaten

Wonogiri, maka kawasan peternakan tersebut diharapkan mampu menyediakan

kebutuhan bibit ternak, pakan dan sarana prasarana pendukung suatu kawasan

peternakan di wilayah tersebut. Untuk mencapai tujuan tersebut maka diperlukan

strategi bagi wilayah yang menjadi sasaran pengembangan kawasan peternakan dan

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI048

yang mampu diaplikasikan pada kedua kawasan tersebut di atas. Adapun strategi

bagi pengembangan kawasan peternakan tersebut antara lain

a. Penyediaan lahan untuk peternakan sesuai agroekologis dan penataan ruang

bagi kawasan peternakan.

b. Meningkatkan populasi dan mutu bibit ternak serta perbaikan sistem

pemeliharaan ternak.

c. Peningkatan kuantitas dan kualitas pakan ternak.

d. Penyusunan regulasi tentang kawasan peternakan

e. Peningkatan sarana prasarana wilayah pendukung peternakan dan pengolahan

hasil ternak.

f. Peningkatkan kualitas sumber daya peternak

g. Meningkatkan konsumsi masyarakat akan produk peternakan.

h. Mendorong iklim investasi di bidang peternakan

D. KesimpulanBerdasarkan hasil analisis dan pembahasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut.

1. Wilayah di Kabupaten Wonogiri secara kesesuaian ekologis lahan sebagian

besar memiliki wilayah sesuai untuk budi daya ternak. Wilayah yang memiliki

kondisi agroekologis sesuai untuk hidup ternak dengan luas area 126.432 Ha,

dan wilayah yang tidak memiliki kesesuaian agroekologis untuk hidup ternak

seluas 55.804 Ha.

2. Seluruh wilayah di Kabupaten Wonogiri memiliki kesesuaian ekologis untuk

tanaman pakan ternak paling tidak sesuai untuk satu jenis tanaman pakan

ternak. Luas wilayah yang sesuai (S) untuk menanam tanaman pakan ternak

65.324 Ha, sedangkan luas wilayah yang sesuai bersyarat (SB) untuk menanam

tanaman pakan ternak 116.912 Ha yang tersebar di beberapa kecamatan yang

masih memungkinkan untuk diperbaiki, sehingga kawasan pengembangan

ternak di Kabupaten Wonogiri dapat diarahkan pada pengembangan kawasan

budi daya ternak terintegrasi dengan lahan pertanian seperti tanaman ubi kayu.

3. Potensi ketersediaan pakan ternak di Kabupaten Wonogiri diprediksi sebanyak

447.012 ton/tahun yang terdiri dari rumput 15.267 ton/tahun dan limbah

tanaman pertanian 431.745 ton/tahun dengan total pemanfaatan hijauan

049 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

makanan ternak hingga saat ini masih sebesar 241.170 ton/tahun sehingga

masih terdapat surplus 205.842 ton/tahun yang masih mungkin dimanfaatkan

sebagai pakan bagi ternak sejumlah 180.563 Satuan Ternak (ST) atau memiliki

indeks potensi kapasitas tampung ternak tinggi (1,85). Beberapa wilayah yang

memiliki potensi pakan yang tinggi, akan tetapi wilayah tersebut tidak sesuai

untuk budi daya ternak. Oleh karena itu, potensi pakan yang ada dapat untuk

mensuplai kekurangan kebutuhan pakan di wilayah sekitarnya yang sesuai

untuk memelihara ternak.

4. Sebaran populasi ternak di Kabupaten Wonogiri, baik ternak sapi, domba

kambing maupun unggas masih sangat jarang, rata-rata kepadatan ekonomi

ternak sapi dan unggas di wilayah Kabupaten Wonogiri tergolong sedang,

sedangkan rata-rata kepadatan ekonomi ternak kambing domba di wilayah

Kabupaten Wonogiri rata-rata hampir semua termasuk klasifikasi padat, rata-

rata kepadatan usaha tani bagi peternakan sapi dan unggas termasuk dalam

klasifikasi sedang yaitu 1,26 ST/Ha dan 24,88 ST/ha, sedangkan untuk kepadatan

usaha tani ternak kambing dan domba termasuk dalam klasifikasi padat yaitu

5,14 ST/Ha, sehingga ditinjau dari kepadatan ternak Kabupaten Wonogiri masih

sangat berpotensi untuk dikembangkan sebagai kawasan peternakan, baik skala

agroindustri maupun peternakan rakyat.

5. Ditinjau dari ketersediaan sarana prasaran pendukung peternakan ada

15 kecamatan yang memiliki sarana prasarana yang mendukung untuk

pengembangan kawasan peternakan di Kabupaten Wonogiri. Akan tetapi

ketersediaan sarana prasarana pendukung pembangunan peternakan di

beberapa wilayah yang secara agroekologis sesuai untuk pengembangbiakan

ternak seperti di Kecamatan Girimarto, Puh Pelem, Jatipurno, Tirtomoyo,

dan Karang Tengah. Kecamatan lainya ternyata masih belum terpenuhi, di

antaranya fasilitas puskeswan, toko obat hewan, rumah pemotongan hewan,

sarana prasarana pasar hewan, sehingga masih membutuhkan pembangunan

sarana prasarana tersebut.

6. Setiap kecamatan di Kabupaten Wonogiri memiliki komoditas ternak basis

tersediri. Ada kecamatan yang hanya merupakan wilayah penghasil satu jenis

komoditas ternak basis dan ada kecamatan yang mampu menjadi wilayah bagi

dua komoditas ternak basis. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa seluruh

wilayah di Kabupaten Wonogiri mampu menjadi basis komoditas ternak bagi

pengembangan kawasan peternakan.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI050

7. Di Kabupaten Wonogiri tidak terdapat wilayah yang sangat sesuai (S1) untuk

pengembangan kawasan peternakan, akan tetapi Kabupaten Wonogiri masih

memiliki wilayah yang cukup sesuai (S2) untuk pengembangan kawasan

peternakan seluas 40.774 Ha dan sesuai marginal (S3) untuk pengembangan

kawasan peternakan seluas 60.025 Ha. Wilayah yang tidak sesuai (N) untuk

pengembangan kawasan peternakan seluas 81.437 Ha.

8. Arahan wilayah bagi kawasan pengembangan peternakan di Kabupaten

Wonogiri terdiri atas wilayah primer pengembangan ternak, yaitu wilayah

yang cukup sesuai (S2) antara lain Jatisrono, Puh Pelem, Bulukerto, Girimarto,

Purwantoro, Wonogiri, dan Ngadirojo sebagai wilayah prioritas pertama lokasi

pengembangan peternakan, serta wilayah sekunder pengembangan peternakan

yaitu wilayah yang mempunyai kesesuaian marginal (S3) antara lain Kecamatan

Baturetno, Batuwarno, Jatipurno, Jatiroto, Nguntoronadi, Selogiri, Sidoharjo,

Slogohimo, Manyaran, Tirtomoyo, dan Karang Tengah sebagai wilayah

prioritas kedua lokasi pengembangan peternakan sebagai wilayah pendukung

bagi wilayah primer pengembangan kawasan peternakan. Wilayah yang tidak

sesuai (N) diarahkan sebagai wilayah konservasi dan wilayah pengembangan

konsumen produk peternakan.

E. Saran KebijakanBeberapa rekomedasi yang dapat dilakukan dan diaplikasikan bagi pengembangan

peternakan antara lain:

1. Arahan pengelolaan bagi pengembangan kawasan peternakan di Kabupaten

Wonogiri yaitu pengembangan kawasan peternakan prioritas pertama dilakukan

pada wilayah primer pengembangan kawasan peternakan dan wilayah sekunder

pengembangan peternakan sebagai kawasan pendukung wilayah primer menjadi

prioritas kedua. Pengelolaan ternak pada wilayah primer pengembangan

kawasan peternakan minimal dapat dilakukan dengan menggunakan sistem

pemeliharaan ternak semi intensif yaitu sistem pemeliharaan ternak dengan

cara digembalakan di lahan rumput atau lahan pertanian secara terkendali

(integrasi tanaman ternak) pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari.

Pengelolaan ternak bagi wilayah sekunder pengembangan kawasan peternakan

adalah dengan menggunakan sistem pemeliharaan secara intensif yang

merupakan sistem pemeliharaan ternak dengan cara mengandangkan ternak

sepanjang hari pada kandang yang telah ditentukan bentuk, ukuran serta syarat

051 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

manajemen tata laksana perkandangannya, dengan mengatur pemberian pakan

serta melakukan manajemen terhadap kesehatan ternak oleh peternak.

2. Di samping itu, guna mengoptimalkan produktivitas wilayah bagi pengembangan

kawasan peternakan maka perlu dilakukan pembangunan dan peningkatan

jumlah maupun kualitas sarana prasarana dan fasilitas pendukung peternakan

oleh pemerintah maupun pihak swasta seperti peningkatan kualitas jalan,

peningkatan kualitas sarana prasarana pasar hewan dan tempat pelayanan

kesehatan hewan, dan peningkatan kemampuan sumber daya peternak dan

peningkatan jumlah dan kualitas kelembagaan kelompok tani ternak melalui

pendidikan, pelatihan, penyuluhan dan pendampingan.

3. Strategi pengembangan kawasan peternakan yang dapat dilakukan oleh

pemerintah Kabupaten Wonogiri antara lain melalui penyediaan lahan

untuk peternakan sesuai agroekologis dan penataan ruang bagi kawasan

peternakan, meningkatkan populasi dan mutu bibit ternak serta perbaikan

sistem pemeliharaan ternak, meningkatkan kuantitas dan kualitas pakan

ternak, menyusun regulasi tentang kawasan peternakan, meningkatkan

sarana prasarana wilayah pendukung peternakan dan pengolahan hasil ternak,

meningkatkan kualitas sumber daya peternak dan menguatkan kelembagaan

kelompok tani ternak, meningkatkan konsumsi masyarakat akan produk

peternakan, dan mendorong iklim investasi di bidang peternakan.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI052

06KAJIAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WISATA MINA PADUKUHAN BOKESAN DI KAWASAN MINAPOLITAN NGEMPLAK KABUPATEN SLEMAN

► Nama : Amalia Azimah

► Unit Organisasi : Pemerintahan Kabupaten Sleman

► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Diponegoro

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI054

ABSTRAKPadukuhan Bokesan terletak di Kawasan Minapolitan Ngemplak Kabupaten Sleman

dikembangkan sebagai kawasan pengembangan wisata mina. Keberhasilan pengelolaan

wisata memerlukan kapasitas masyarakat dalam mengelola kegiatan wisata. Sementara

itu kondisi kapasitas masyarakat di Padukuhan Bokesan masih belum diketahui, sehingga

diperlukan kajian terkait kapasitas. Tujuan penelitian ini adalah mengkaji kapasitas

masyarakat dalam pengelolaan wisata mina Padukuhan Bokesan di Kawasan Minapolitan

Ngemplak. Metode penelitian yang digunakan adalah metode kualitatif. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa munculnya kapasitas masyarakat dalam kegiatan wisata dipengaruhi

oleh motivasi ekonomi dan sosial. Hasil kajian menunjukkan bahwa kapasitas individu yang

mampu mendukung kegiatan wisata adalah kapasitas pelaku usaha kuliner, pemancingan,

kolam renang, dan pemandu. Kajian kapasitas organisasi menunjukkan bahwa kapasitas

organisasi P2MKP Mina Ngremboko lebih kuat dibandingkan dengan kapasitas organisasi

POKDARWIS Bokesan. Hal tersebut dipengaruhi oleh kepemimpinan dari organisasi.

Pada organisasi P2MKP Mina Ngremboko kepemimpinan ketua mampu mengarahkan

anggotanya dengan baik, sehingga anggota memiliki komitmen dan koordinasi yang baik

dalam pengelolaan wisata. Dalam organisasi POKDARWIS Bokesan, pemimpin belum

mampu mengarahkan bawahan dengan baik, sehingga komitmen dari anggota menjadi

lemah. Bentuk upaya peningkatan kapasitas masyarakat di Padukuhan Bokesan berupa

pelatihan, pendampingan, pengembangan sarana wisata, kerja sama, rekrutmen, serta

keikutsertaan dalam asosiasi maupun forum komunikasi.

► Kata Kunci: Wisata Mina, Kapasitas Individu, Kapasitas Organisasi, Kapasitas

Masyarakat

055 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

ABSTRACTBokesan village is included in the minapolitan area which is set as a development area for

mina tourism. The success of tourism management needs the capacity of the community

to manage tourism activities. However, its capacity is still unknown, so there is a need to

study the capacity of the existing community. The research aims to assess the capacity

of the community in managing tourism at Bokesan district in the Minapolitan area of

Ngemplak region. The research method used was qualitative method.The results of the

study show that the emergence of community capacity in tourism activities is influenced

by economic and social motivation. The results of community capacity studies at the

individual level indicate that the capacity of individuals who are able to support tourism

activities in Bokesan district are the capacity of those in culinary, fishing spot, swimming

pools owner and tour guides. While the study of organizational capacity shows that the

capacity of P2MKP Mina Ngremboko organization is stronger than the capacity of Bokesan

POKDARWIS organization. It is influenced by the leadership factor of the chairman of

the organization. In the P2MKP Mina Ngremboko, the chairman’s’ leadership was able

to direct their subordinates to have good commitment and coordination in tourism

management. Whereas in the POKDARWIS Bokesan, the chairman have not been able

to direct the subordinates well, so that the commitment of members becomes weak.

The form of capacity building in Bokesan Village was carried out in the form of training,

assistance, tourism facilities development, cooperation, recruitment, and participation in

associations and communication forums.

► Keywords: Mina Tourism, Individual Capacity, Organization Capacity, Community

Capacity

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI056

KAJIAN KAPASITAS MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN WISATA MINA PADUKUHAN

BOKESAN DI KAWASAN MINAPOLITAN NGEMPLAK KABUPATEN SLEMAN

A. Latar BelakangMasyarakat di Padukuhan Bokesan telah melakukan kegiatan budi daya perikanan secara turun-temurun sejak tahun 1976. Keberlanjutan kegiatan budi daya di padukuhan Bokesan didukung oleh peran kelompok pembudi daya ikan Mino Ngremboko. Berbagai penghargaan telah diperoleh Padukuhan Bokesan dalam kegiatan budi daya baik dalam skala regional maupun nasional. Keberhasilan pengembangan kegiatan budi daya perikanan di Padukuhan Bokesan melalui kelompok pembudi daya ikan Mino Ngremboko mampu menjadi best practice sehingga hal tersebut memunculkan adanya kunjungan dari masyarakat lokal maupun masyarakat luar daerah baik yang berasal dari kelompok pembudi daya, institusi, akademisi dan masyarakat umum yang ingin belajar budi daya perikanan serta mempelajari bagaimana kegiatan budi daya sebagai mata pencaharian masyarakat di Padukuhan Bokesan dapat berkembang dengan baik.

Keberhasilan kegiatan budi daya perikanan yang mampu memunculkan adanya kunjungan, memberikan peluang bagi masyarakat lokal untuk menjadi pelaku usaha di bidang pariwisata. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Aref dan Gill (2009) yang mengungkapkan bahwa keberadaan kegiatan pariwisata perdesaan mampu membuka kesempatan kerja bagi masyarakat lokal dan dapat menjadi alternatif penghasilan sekunder bagi masyarakat. Pengunjung yang datang, baik perorangan maupun kelompok, tentunya membutuhkan fasilitas dan layanan dari masyarakat lokal untuk memenuhi kebutuhan selama masa kunjungan. Hal tersebut membutuhkan kesiapan dari masyarakat lokal yang pada awalnya adalah petani ikan untuk mampu menjadi pelaku usaha dalam kegiatan pariwisata. Perubahan dinamika masyarakat yang awalnya hanya petani ikan kemudian bertambah aktivitasnya menjadi pelaku wisata membutuhkan adanya suatu pengembangan kapasitas. Pendekatan dalam model peningkatan kapasitas menurut Floridi, et al. (2009), Milèn (2001), dan Soeprapto (2006), memiliki tiga tingkatan, yaitu tingkat individu (perilaku, motivasi, keterampilan dan

057 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

pengetahuan), institusional atau organisasi (strategi kepemimpinan, pengelolaan sumber daya, kerja sama), maupun dalam suatu sistem sosial yang lebih luas (penciptaan kerangka kerja hukum dan kelembagaan). Kapasitas masyarakat memiliki dua kata kunci dalam pendefinisiannya, yaitu (1) kapasitas masyarakat merupakan kumpulan pengetahuan dan kemampuan yang dimiliki oleh komunitas itu sendiri, (2) pengetahuan dan kemampuan yang digunakan untuk mengidentifikasi permasalahan dan pilihan yang berasal dari dalam masyarakat (Moscardo, 2008). Sehingga kapasitas masyarakat merupakan prasyarat dalam pengembangan aktivitas lain dalam masyarakat. Peningkatan kapasitas masyarakat merupakan suatu proses yang ditujukan untuk memperkuat kapasitas individu dan organisasi dalam mengembangkan dan menjaga keberlanjutan sehingga mendukung semua aspek dalam kehidupan masyarakat (Koutra dan Edwards, 2012).

Kegiatan wisata di Padukuhan Bokesan mulai dirintis sejak tahun 2005 dengan atraksi yang ditawarkan adalah edukasi perikanan bagi masyarakat atau kelompok pembudi daya, akademisi maupun instansi. Meskipun begitu, perkembangan wisata dalam kurun waktu lebih dari satu dekade, nyatanya masih belum menunjukkan kemajuan yang berarti, hal tersebut terlihat dari masih terbatasnya jumlah kunjungan di Padukuhan Bokesan di mana dari data statistik pengunjung pada tahun 2016 baru mencapai 2.250 orang (Dinas Pariwisata DIY, 2017). Berdasarkan kajian potensi pariwisata oleh Dinas Pariwisata Daerah Istimewa Yogyakarta tahun 2015, Padukuhan Bokesan masuk dalam kategori tumbuh dari tiga tingkatan kategori, yaitu tumbuh, berkembang, dan maju. Pada kategori tumbuh ditandai dengan indikator berupa pemanfaatan daya tarik potensi masih digunakan oleh masyarakat lokal dan sekitarnya, pengembangan fasilitas wisata masih terbatas, dan belum memiliki organisasi kepengurusan wisata. Hasil kajian tersebut menunjukkan bahwa perkembangan kegiatan wisata di Padukuhan Bokesan masih memerlukan dukungan dari semua pihak baik pemerintah maupun masyarakat agar mampu berperan dalam peningkatan kesejahteraan masyarakat. Pemerintah Kabupaten Sleman melalui Peraturan Daerah Kabupaten Sleman Nomor 11 tahun 2015 tentang Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Daerah Tahun 2015–2025 telah menetapkan pengembangan kawasan minapolitan sebagai kawasan daya tarik wisata, sehingga pengembangan kawasan minapolitan telah menjadi bagian dalam perencanaan. Sebagai upaya untuk mencapai pengembangan potensi wisata agar lebih terarah, berkelanjutan dan mampu meningkatkan perekonomian masyarakat dengan menciptakan jumlah dan jenis pekerjaan seperti diungkapkan oleh Blakely dan Leigh (2010) maka perlu dilakukan kajian

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI058

kapasitas masyarakat untuk dijadikan pedoman dalam pengembangan potensi wisata yang ada di Padukuhan Bokesan. Yang terjadi sekarang adalah kapasitas masyarakat dalam pengelolaan potensi wisata di Padukuhan Bokesan masih belum diketahui, sehingga kajian kapasitas masyarakat menjadi penting untuk dilakukan. Kondisi kapasitas masyarakat dalam mengembangkan wisata dapat dijadikan pedoman untuk mengembangkan program peningkatan kapasitas yang diperlukan sehingga program pengembangan kapasitas bisa tepat sasaran dan sesuai dengan kebutuhan masyarakat berdasarkan kepada potensi dan budaya yang dimiliki oleh masyarakat di Padukuhan Bokesan.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan latar belakang tersebut, rumusan permasalahan di atas maka dapat ditarik pertanyaan penelitian, yaitu: “Bagaimana kondisi kapasitas masyarakat terhadap upaya pengelolaan wisata mina Padukuhan Bokesan di Kawasan Minapolitan Ngemplak?”.

Penelitian terkait kapasitas masyarakat telah banyak dilakukan seperti penelitian mengenai identifikasi kapasitas komunitas lokal (Imran, 2012), pengorganisasian komunitas (Andini, 2013), strategi pengembangan kapasitas (Damayanti, Soeaidy, & Ribawanto, 2014), kapasitas kelembagaan (Prafitri dan Damayanti, 2016) serta kapasitas pengelolaan (Noho, 2014) di mana hasil penelitian tersebut mampu memberikan gambaran tentang kapasitas masyarakat terutama dalam pengembangan wisata. Penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kapasitas masyarakat merupakan salah satu kunci penting keberhasilan pengembangan desa wisata. Sementara pada saat ini, kondisi kapasitas masyarakat dalam pengembangan kegiatan wisata di Padukuhan Bokesan masih belum diketahui sehingga diperlukan kajian terhadap kondisi kapasitas masyarakat terkait wisata yang ada di Padukuhan Bokesan. Selain itu, pendalaman terhadap upaya peningkatan kapasitas baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang dilakukan oleh masyarakat dalam mewujudkan desa wisata diperlukan untuk dapat memberikan gambaran kondisi kapasitas serta permasalahan kapasitas yang dihadapi dalam pengembangan kegiatan wisata. Hal tersebut yang kemudian melatarbelakangi peneliti untuk menggali lebih dalam terhadap kapasitas masyarakat yang ada di Padukuhan Bokesan dalam pengelolaan kegiatan wisata dengan kajian kapasitas masyarakat sebagai fokus penelitian.

Kajian kapasitas masyarakat dalam pengelolaan wisata mina Padukuhan

059 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

Bokesan ini bertujuan untuk mengkaji kapasitas masyarakat dalam pengelolaan wisata mina Padukuhan Bokesan di Kawasan Minapolitan Ngemplak. Metode yang digunakan dalam melakukan kajian adalah metode deskriptif kualitatif, dengan proses pengambilan narasumber secara purposive, kemudian proses pengambilan subjek menggunakan snowball sampling.

C. Pembahasan

1. Identifikasi Karakteristik Wisata Mina

Identifikasi karakteristik wisata mina dilakukan untuk memberi gambaran karakteristik wisata mina yang ada di Padukuhan Bokesan. Kegiatan wisata di Padukuhan Bokesan bermula dari keberhasilan kegiatan budi daya perikanan yang ada di Padukuhan Bokesan yang menjadi daya tarik wisata yang lebih mengarah kepada edukasi mina (ikan) dan rekreasi. Kegiatan wisata yang ada di Padukuhan Bokesan masuk dalam kategori Minatourism yang mengadopsi dari istilah Agritourism atau Agricultural Tourism. Agritourism menurut Lamb (2008) dan Ezung (2011) merupakan kegiatan yang dilakukan untuk menarik wisatawan atau pengunjung ke daerah pertanian (kondisi di Padukuhan Bokesan adalah daerah perikanan) dengan tujuan pendidikan dan rekreasi. Hal tersebut terlihat dari atraksi yang ditawarkan di Padukuhan Bokesan yang lebih menitikberatkan ke arah edukasi yang kemudian berkembang ke arah rekreasi seperti outbound, kegiatan pemancingan dan kolam renang. Atraksi wisata yang ada di Padukuhan Bokesan adalah

1. Edukasi Mina (Ikan)

Padukuhan Bokesan memiliki daya tarik dan atraksi wisata yang lebih

menitikberatkan pada edukasi mina (ikan). Berdasarkan hasil wawancara dan

observasi lapangan terlihat bahwa atraksi yang berkembang di Padukuhan

Bokesan lebih mengarah pada edukasi dengan ikan sebagai tema utama.

2. Kolam Renang dan Pemancingan

Kegiatan wisata di Padukuhan Bokesan mulai mengalami perkembangan dengan

munculnya partisipasi masyarakat untuk mengembangkan daya tarik wisata.

Daya tarik wisata yang dikembangkan masyarakat antara lain kolam renang dan

pemancingan. Usaha kolam renang dan pemancingan dikembangkan secara

individu dan mulai dibangun pada tahun 2017. Usaha tersebut dibangun oleh

masyarakat lokal dengan melihat peluang perkembangan kegiatan wisata di

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI060

Padukuhan Bokesan. Berdirinya kolam renang “Bona” dan pemancingan “Mbah

e Kaela” dapat menambah atraksi wisata yang ada di Padukuhan Bokesan.

3. Budaya Masyarakat

Masyarakat Padukuhan Bokesan merupakan masyarakat yang menggantungkan

kehidupan pada kegiatan budi daya perikanan. Keseharian masyarakat dalam

melakukan kegiatan budi daya perikanan menjadi salah satu atraksi yang

menarik untuk dijadikan salah satu daya tarik wisata. Mengikuti keseharian

masyarakat Padukuhan Bokesan dalam budi daya ikan, ataupun kegiatan

memanen ikan menjadi pengalaman yang menarik untuk wisatawan. Selain itu,

wisatawan juga dapat membeli benih ikan yang terdapat di pasar ikan yang ada

di Padukuhan Bokesan. Pemandangan berupa kolam-kolam ikan dengan latar

belakang Gunung Merapi menjadi daya tarik tersendiri bagi pengunjung yang

datang di Padukuhan Bokesan. Area pemukiman masyarakat di Padukuhan

Bokesan memang dikelilingi oleh persawahan yang dijadikan sebagai tempat

budi daya ikan oleh masyarakat di Padukuhan Bokesan.

2. Proses Pembentukan Kapasitas dalam Pengelolaan Wisata

Kapasitas masyarakat di Padukuhan Bokesan pada awalnya didominasi oleh kapasitas

masyarakat sebagai pembudi daya ikan. Munculnya kapasitas masyarakat dalam

kegiatan wisata dimulai saat kegiatan budi daya di Padukuhan Bokesan berhasil

memperoleh penghargaan tingkat nasional pada tahun 2001 sebagai Juara I kegiatan

Intensifikasi Pembenihan Rakyat (INPERAK). Setelah memperoleh penghargaan

tingkat nasional tersebut, Padukuhan Bokesan menjadi percontohan bagi kelompok

pembudi daya, dinas atau instansi yang ingin belajar terkait kegiatan budi daya dan

manajemen kelompok. Adanya kunjungan tersebut kemudian memunculkan ide

untuk mengembangkan kegiatan kelompok tidak hanya fokus pada budi daya namun

mulai dikembangkan untuk kegiatan wisata, sehingga kemudian dikembangkan

konsep wisata mina sebagai konsep yang mampu memberikan ciri khas tersendiri

dari kegiatan wisata yang berkembang di Padukuhan Bokesan.

Tokoh yang melakukan inisiasi terhadap kegiatan wisata di Padukuhan Bokesan

adalah Pak Saptono. Beliau mulai merintis kegiatan wisata berupa pelatihan budi

daya perikanan mulai tahun 2005. Hal tersebut didasari oleh keinginan untuk

berbagi ilmu terkait budi daya ikan serta keinginan untuk membantu program

pemerintah dalam bidang perikanan serta membantu masyarakat sehingga

mampu meningkatkan pendapatan dan membuka lapangan pekerjaan sehingga

berdampak pada peningkatan kesejahteraan. Pembentukan kapasitas wisata yang

061 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

ada di Padukuhan Bokesan dilakukan melalui sosialisasi kepada masyarakat melalui

kegiatan pertemuan warga maupun kelompok

3. Kapasitas Individu dalam Pengelolaan Wisata Mina

Kapasitas individu masyarakat dalam pengelolaan wisata mina di Padukuhan

Bokesan merujuk pada kapasitas individu menurut Floridi, Corella, dan Verdecchia

(2009) adalah keterampilan, kemampuan, dan pengetahuan yang dimiliki oleh

individu masyarakat dalam pengelolaan wisata mina. Kapasitas individu masyarakat

dalam pengelolaan wisata mina di Padukuhan Bokesan terdiri dari kemampuan

individu masyarakat dalam mengelola usaha wisata homestay, pemancingan, kolam

renang, jasa kuliner, dan jasa pemandu.

4. Kapasitas Organisasi dalam Pengelolaan Wisata Mina

Kapasitas organisasi mengacu pada Soeprapto (2006) dan Floridi et al. (2009) adalah

identitas dan struktur organisasi, efektivitas dan efisiensi managemen, jaringan

organisasi, kepemimpinan organisasi serta pengelolaan sumber daya (manusia,

alam, teknologi, budaya dan keuangan). Dalam penelitian ini, kapasitas organisasi

lebih ditekankan pada kemampuan organisasi pengelola wisata dalam melakukan

kepemimpinan organisasi, pengelolaan sumber daya manusia organisasi, dan kerja

sama, baik secara vertikal maupun horizontal.

a. P2MKP Mina Ngremboko

b. POKDARWIS Bokesan

5. Upaya Peningkatan Kapasitas dan Keberlanjutan Upaya Peningkatan Kapasitas

Upaya peningkatan kapasitas individu yang dilakukan oleh masyarakat di Padukuhan

Bokesan ada yang memberikan hasil yang baik sehingga usaha tersebut mampu

bertahan bahkan berkembang sehingga mampu mendukung kegiatan wisata mina di

Padukuhan Bokesan. Namun, ada juga yang belum memberikan hasil yang optimal

sesuai yang diharapkan dari program peningkatan kapasitas. Upaya peningkatan

kapasitas masyarakat yang mampu menunjang keberlanjutan usaha peningkatan

kapasitas yang dilakukan oleh usaha kuliner pengolahan hasil perikanan, kolam

renang, pemancingan dan jasa pemandu yang awalnya sudah memiliki embrio usaha.

a. Tingkatan Individu

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI062

Beberapa hal yang menjadi catatan dari upaya peningkatan kapasitas

individu terhadap keberlanjutan usaha wisata yang dilakukan masyarakat

Padukuhan Bokesan adalah

1. Program peningkatan kapasitas yang diberikan kepada usaha yang telah

memiliki embrio kegiatan lebih efektif dan mampu memberikan hasil yang

lebih optimal, intensitas kegiatan peningkatan kapasitas yang dilakukan

secara berkelanjutan memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan usaha

hal tersebut juga diungkapkan oleh Victurine (2000) dalam penelitian yang

dilakukan di Uganda di mana peningkatan kapasitas dengan mengupayakan

peningkatan keterampilan dan memperkuat kelembagaan dalam kegiatan

pariwisata terutama kepada masyarakat yang berada di sekitar lokasi

wisata, memiliki keterkaitan yang erat dengan keberlanjutan dari kegiatan

pariwisata itu sendiri.

2. Jumlah keterlibatan dalam kegiatan peningkatan kapasitas memberikan

pengaruh terhadap jumlah personel yang memiliki keterampilan/

kemampuan/pengetahuan meskipun terdapat sharing dari perwakilan

yang mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas namun terdapat

keterbatasan kemampuan dalam melakukan transfer knowledge. Muatan

peningkatan kapasitas yang sesuai dengan kebutuhan individu masyarakat

memberikan hasil yang lebih optimal karena kebutuhan terhadap program

peningkatan kapasitas berbeda-beda di setiap lokasi hal tersebut sejalan

dengan pendapat Wu dan Tsai (2016) yang mengungkapkan bahwa

program peningkatan kapasitas yang dilakukan harus disesuaikan dengan

kebutuhan para pelaku dan budaya masyarakat yang ada dalam sistem

tersebut.

3. Bentuk upaya peningkatan kapasitas yang beragam dan menyesuaikan

kebutuhan masyarakat memberikan hasil yang lebih optimal. Hal tersebut

sesuai dengan yang diungkapkan oleh Blackwell dan Colemenar (2000),

bahwa peningkatan kapasitas masyarakat berfungsi dalam memperkuat

kapasitas individu dan organisasi dalam mengembangkan dan

mempertahankan kondisi yang mendukung dalam semua aspek kehidupan

yang terdapat dalam masyarakat.

b. Tingkatan Organisasi

Kapasitas pada tingkatan organisasi, faktor kepemimpinan memiliki

pengaruh yang besar terhadap kinerja organisasi. Hasil analisis sebelumnya

menunjukkan bahwa kapasitas organisasi P2MKP Mina Ngremboko lebih

063 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

kuat dibandingkan dengan kapasitas organisasi POKDARWIS Bokesan. Hal

tersebut dipengaruhi oleh kepemimpinan dari organisasi. Kepemimpinan

yang dilakukan oleh Pak Saptono telah mampu mengarahkan bawahannya

sehingga berpengaruh terhadap pengelolaan sumber daya manusia

dalam organisasi. Koordinasi yang dilakukan secara rutin dan terjadwal

juga mempermudah pemimpin untuk melakukan evaluasi terhadap

kinerja bawahannya. Selain itu kepemimpinan yang baik juga membuka

peluang kerja sama, baik kerja sama yang dilakukan dengan pelaku usaha

wisata, pemerintah maupun swasta. Meskipun kerja sama yang dibangun

masih terbatas dan perlu ditingkatkan. Hal sebaliknya yang terlihat

pada kepemimpinan POKDARWIS Bokesan, lemahnya kepemimpinan

memberikan pengaruh terhadap lemahnya koordinasi dan komitmen

dari anggota. Oleh karena itu, pengelolaan sumber daya manusia masih

belum dilakukan secara optimal, dapat berakibat pada pembagian kerja

dalam kepengurusan menjadi tumpang tindih. Selain itu masih lemahnya

kepemimpinan memberikan pengaruh terhadap masih terbatasnya

hubungan kerja sama organisasi dengan stakeholder terkait. Minimnya

kerja sama mempersempit peluang dalam pengembangan kegiatan wisata

yang hendaknya bisa dijadikan evaluasi bagi pengelola wisata khususnya

POKDARWIS Bokesan.

1. P2MKP Mina Ngremboko

Dalam meningkatkan kapasitas organisasi terutama dalam

pengelolaannya, P2MKP Mina Ngremboko mengikuti kegiatan

pelatihan dari BPSDM Kelautan Perikanan selain itu pengelola P2MKP

juga aktif didalam mengikuti Forum Komunikasi Perikanan Sleman.

Forum Komunikasi tersebut merupakan ajang untuk bertukar pikiran,

pengalaman, serta permasalahan yang berhubungan dengan kegiatan

budi daya perikanan maupun kendala dalam hal pengelolaan kegiatan

pelatihan. Pelaksanaan kegiatan Forkom Perikanan dilakukan setiap

3 bulan sekali dan penyelenggaraan forum tersebut mendapatkan

fasilitasi dari Dinas Pertanian, Ketahanan Pangan dan Perikanan

Kabupaten Sleman.

2. POKDARWIS Bokesan

Pengembangan kapasitas organisasi POKDARWIS Bokesan dilakukan

dengan mengikuti kegiatan pelatihan dan Forkom Desa Wisata

se-Kabupaten Sleman yang diselenggarakan setiap 3 bulan sekali

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI064

dengan fasilitasi dari Dinas Pariwisata Kabupaten Sleman. Forkom

yang dilaksanakan tiap tiga bulan sekali bertujuan untuk saling tukar

informasi tentang perkembangan dan permasalahan di masing-masing

desa wisata, tempat belajar pengelolaan organisasi, pengelolaan wisata

sekaligus ajang silaturahmi antardesa wisata yang ada di Kabupaten

Sleman. Selain melalui forkom upaya peningkatan kapasitas organisasi

POKDARWIS Bokesan dilakukan dengan mengikuti pelatihan.

POKDARWIS Bokesan masih tergantung sepenuhnya kepada peran

pemerintah sebagai pihak yang melakukan kegiatan peningkatan

kapasitas organisasi

Beberapa catatan terhadap kapasitas organisasi dan keberlanjutan

organisasi adalah

a. Kepemimpinan memiliki pengaruh terhadap pengelolaan sumber

daya manusia dan kerja sama yang dibangun organisasi. Hal tersebut

sejalan dengan penelitian yang dilakukan oleh Langaas et al., (2013)

yang menyebutkan bahwa keberlanjutan suatu organisasi terletak

kepada kepemimpinan yang mampu mengatur dan mengelola sumber

daya yang dimiliki baik sumber daya manusia maupun keuangan serta

komitmen terhadap organisasi.

b. Koordinasi diperlukan untuk mempermudah evaluasi dari kinerja

organisasi, hal tersebut sejalan dengan pendapat Noho (2014)

yang menyebutkan bahwa permasalahan organisasi wisata di Desa

Bongo muncul akibat kurangnya kesadaran pengelola wisata dalam

melakukan koordinasi;

c. Keikutsertaan organisasi melalui forum komunikasi berpengaruh

terhadap peningkatan kapasitas organisasi.

D. KesimpulanPengembangan wisata di Padukuhan Bokesan memunculkan bentuk kapasitas baru

dalam masyarakat sebagai upaya untuk mendukung perkembangan kegiatan wisata.

Kapasitas masyarakat di Padukuhan Bokesan awalnya didominasi oleh keterampilan dan

kemampuan dalam melakukan budi daya ikan, namun seiring munculnya kegiatan wisata

mina, kapasitas masyarakat di Padukuhan Bokesan ikut mengalami perkembangan. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa munculnya kapasitas masyarakat dalam kegiatan wisata

didorong oleh dua faktor yaitu dorongan ekonomi dan sosial. Dorongan ekonomi berupa

keinginan untuk meningkatkan pendapatan dan memperoleh pekerjaan. Sedangkan

065 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

dorongan sosial berupa keinginan untuk membagi pengetahuan terkait keberhasilan

kegiatan budi daya kepada masyarakat yang membutuhkan serta mendukung upaya

pemerintah dalam program budi daya perikanan.

Kapasitas individu dalam pengelolaan kegiatan wisata berkembang menyesuaikan

usaha wisata yang muncul di Padukuhan Bokesan. Hasil kajian kapasitas masyarakat pada

tingkatan individu menunjukkan bahwa kapasitas individu yang mampu mendukung

kegiatan wisata yang ada di Padukuhan Bokesan adalah kapasitas pelaku jasa kuliner,

pemancingan, kolam renang dan pemandu. Sementara untuk kapasitas pengelola

homestay, kapasitas yang dimiliki masih terbatas sehingga belum mampu mendukung

kegiatan wisata yang ada di Padukuhan Bokesan.

Kapasitas organisasi yang memiliki pengaruh terhadap pengelolaan organisasi wisata

adalah kapasitas kepemimpinan. Pada organisasi P2MKP Mina Ngremboko kepemimpinan

ketua mampu menggerakkan anggota untuk merintis kegiatan wisata dan mengarahkan

bawahannya sehingga anggota memiliki komitmen dan koordinasi yang baik dalam

pengelolaan wisata sehingga mampu meningkatkan kerja sama dengan pemerintah.

Kerja sama dengan pelaku usaha juga terjalin meskipun belum secara keseluruhan dan

sudah memiliki kerja sama dengan swasta meskipun masih terbatas. Dalam organisasi

POKDARWIS Bokesan, pemimpin belum mampu mengarahkan bawahan dengan baik,

sehingga komitmen dari anggota menjadi lemah dan berakibat terjadinya tumpang tindih

pekerjaan dalam organisasi. Upaya peningkatan kapasitas individu dan organisasi yang

dilakukan dan diikuti oleh masyarakat yang ada di Padukuhan Bokesan dalam bentuk

pelatihan, pengembangan sarana wisata, kerja sama, rekrutmen, pendampingan berupa

peralatan dan penguatan modal serta keikutsertaan dalam asosiasi maupun forum

komunikasi.

Program peningkatan kapasitas yang mampu mendukung kegiatan wisata adalah

program peningkatan kapasitas yang tepat sasaran dan berkesinambungan karena

memberikan pengaruh terhadap keberlanjutan kegiatan usaha. Oleh karena itu,

beberapa hal yang perlu diperhatikan oleh pelaku peningkatan kapasitas di Padukuhan

Bokesan adalah program peningkatan kapasitas wisata yang dilakukan sebaiknya yang

berhubungan dengan mina (ikan), selain itu beberapa kegiatan pelatihan masih diperlukan

seperti kegiatan pelatihan manajerial pengelolaan wisata, pengelolaan homestay, dan

pelatihan pemanduan. Fasilitasi kegiatan berupa pendampingan, pembinaan, monitoring

dan evaluasi terhadap program peningkatan kapasitas juga diperlukan sehingga

keberlanjutan program peningkatan kapasitas dapat terwujud. Adapun pengelola wisata

yang ada di Padukuhan Bokesan perlu mendorong masyarakat untuk dapat berperan

aktif dalam mengikuti kegiatan peningkatan kapasitas yang diselenggarakan oleh pelaku

peningkatan kapasitas (pemerintah maupun swasta), selain itu anggota pengelola wisata

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI066

perlu meningkatkan komitmen dalam berorganisasi serta menjalin kerja sama yang baik

dengan pemerintah, swasta dan institusi pendidikan dalam penyelenggaraan peningkatan

kapasitas bagi masyarakat dalam pengelolaan wisata di Padukuhan Bokesan.

07KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN HARGA LAHAN DI SEKITAR KAWASAN BUKIT SEMARANG BARU

► Nama : Nadia Oktinova

► Unit Organisasi : Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan

Pertanahan Nasional

► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Diponegoro

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI068

ABSTRAKAgama Hindu sebagai agama yang pertama kali masuk ke wilayah Bali mengubah ruang-

ruang adat di Bali menjadi ruang-ruang adat religious Hindu. Keberadaan komunitas

Muslim kawasan perkotaan Tabanan sejak jaman kerajaan Tabanan merubah ruang-

ruang adat religius Hindu menjadi ruang-ruang religius Muslim. Perkembangan pesat

komunitas Muslim di kawasan perkotaan Tabanan pada tahun 1970an berdampak pada

pemanfaatan bersama ruang-ruang religius. Kondisi ini terjadi melalui jalan damai hingga

pemerintah setempat meraih penghargaan atas kerukunan antar-umat beragama yang

terjalin. Dengan berlatarbelakang adanya akulturasi keruangan pada ruang-ruang religius

Muslim dan Hindu, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan proses akulturasi

keruangan komunitas Muslim di perkotaan Hindu Bali Tabanan dan menemukan faktor-

faktor pendorong proses akulturasi keruangan tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan studi kasus yang dapat mengkaji proses

akulturasi keruangan secara naturalistik, holistik, dan fenomenologis. Penelitian ini

mengambil lokasi kasus komunitas Muslim Kampung Jawa dan Banjar Pasekan Belodan

yang merupakan komunitas Muslim yang cukup besar dan kuat di kawasan perkotaan

Tabanan. Ruang lingkup penelitian ini adalah pada proses akulturasi keruangan dan

faktor-faktor pendorong proses akulturasi keruangan dengan batasan waktu mulai

perkembangan pesat komunitas Muslim hingga penelitian ini berlangsung. Pengumpulan

data dilakukan melalui wawancara, observasi, pengumpulan data sekunder, dan focus

group discussion. Selanjutnya data tersebut dilakukan analisis proses akulturasi keruangan

dan analisis faktor pendorong proses akulturasi keruangan yang keduanya dimulai dari

analisis per ragam, kemudian analisis per unit kasus dan berakhir pada analisis untuk

lokasi penelitian dengan menggunakan analisis deret waktu dan analisis penjodohan pola.

Dari hasil analisis proses akulturasi keruangan ditemukan bahwa proses akulturasi melalui

tahapan pemahaman migran terhadap kondisi fisik lingkungan serta karakter dan aktivitas

pribumi yang terjadi setelah tahapan interaksi. Selain itu juga adanya tahapan pemahaman

pribumi terhadap aktivitas migran yang berlangsung setelah tahapan adaptasi. Penelitian ini

juga menemukan adanya kejelasan mengenai peningkatan kedalaman akulturasi yang terjadi

dalam hal pergeseran ruang akulturasi yang semakin mengarah ke ruang dengan tingkat

religiusitas yang lebih tinggi. Kejelasan perluasan akulturasi keruangan adalah dalam hal

ragam, ruang, dan pelaku akulturasi keruangan. Faktor pendorong proses akulturasi keruangan

berupa aturan adat Hindu dan ajaran Hindu tentang toleransi menjadi faktor unik yang tidak

ditemukan di tempat lain. Sementara itu, faktor politik di sini merupakan faktor eksternal yang

hanya diterima dampaknya oleh para pelaku akulturasi keruangan di wilayah penelitian.

069 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

ABSTRACTHinduism as the first religion entered Bali formed traditional religious spaces. The

Muslim community existence in the Tabanan urban area since the days of the Tabanan

empire transformed it into Muslim religious spaces. The rapid development growth of

the Muslim community in the Tabanan urban area in 1970s had an impact on the shared

use of religious spaces. This condition occurred through peaceful means until the local

government won an award for the harmony between the religious communities that

were intertwined. With the background of spatial acculturation in Muslim and Hindu

religious spaces, this study aimed to describe the process of the spatial acculturation of

Muslim communities in Hindu Bali Tabanan’s urban area and to find the driving factors

for the spatial acculturation process.

This study used a case study approach that could study the spatial acculturation

process in a naturalistic, holistic, and phenomenological manner. This research took place

in the case of the Muslim community in Kampung Jawa and Banjar Pasekan Belodan

which was the large and strong Muslim community in the Tabanan urban area. This

research scope was on the process of spatial acculturation and the driving factors of

the spatial acculturation process with time limits starting from the rapid growth of the

Muslim community until this research takes place. Data collection was done through

interviews, observation, secondary data collection, and focus group discussions.

Furthermore, the data was analyzed by spatial acculturation process and by the drivers

of spatial acculturation processes, both of which began from analysis per variety, then

analyzed per unit case and ended in the analysis for the research location using time

series analysis and pattern match analysis.

The analysis results of spatial acculturation processes was found that the

acculturation process through the stages of migrant understanding of the physical

condition of the environment as well as the host character and activities that occur after

the interaction stage. In addition there are also stages of host understanding of migrant

activities that took place after the stages of adaptation. The study also found clarity

regarding the increase in the depth of acculturation that occurred in terms of shifting the

acculturation space which increasingly leads to space with a higher level of religiosity.

The clarity of the expansion of spatial acculturation was in terms of variety, space and

actors in spatial acculturation. The driving factor for spatial acculturation such as f Hindu

traditional rules and Hindu teachings about tolerance was a unique factor that is not

found elsewhere. Meanwhile, the political factors here was an external factors which was

the only accepted by the actors of spatial acculturation in research areas.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI070

KAJIAN PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN DAN HARGA LAHAN DI SEKITAR KAWASAN

BUKIT SEMARANG BARUA. Latar BelakangPeningkatan jumlah penduduk tanpa diiringi peningkatan ketersediaan lahan telah

memicu terjadinya urbanisasi yaitu perkembangan perkotaan ke arah pinggiran. Hal ini

terjadi karena peningkatan jumlah penduduk tersebut akan berdampak pada peningkatan

kebutuhan akan lahan untuk menampung berbagai aktivitas penduduk. Dengan

demikian proses ini akan memicu terjadinya perubahan penggunaan lahan dari lahan non

terbangun menjadi lahan terbangun. Seperti diungkapkan oleh Gu et al (2016) bahwa

terjadinya perubahan penggunaan lahan dipengaruhi adanya pembangunan ekonomi

serta perubahan lingkungan dan sosial dimana terjadi peningkatan industrialisasi,

urbanisasi, pertumbuhan jumlah penduduk serta reformasi ekonomi. Pada kenyataannya

urbanisasi akan memengaruhi perubahan penggunaan lahan pada kawasan lainnya

melalui transformasi keterkaitan desa kota (Lambin et al, 2001).

Pembangunan kota baru di Semarang diawali dengan pembangunan Bukit Semarang

Baru (BSB) oleh PT. Karyadeka Alam Lestari (PT. KAL) di Kecamatan Mijen. Kawasan

ini dimaksudkan untuk dijadikan sebagai kota baru sebagai pendukung kehidupan

masyarakat Kota Semarang. Dengan pembangunan BSB diharapkan dapat memecah

konsentrasi penduduk yang hanya berada pada pusat Kota Semarang saja karena ke

depannya sekitarnya dapat berkembang menjadi kawasan perkotaan. Kawasan BSB ini

sebelumnya merupakan sebuah perkebunan karet yang sangat luas kemudian dijadikan

perumahan serta rencananya akan terus dikembangkan berbagai macam fasilitas seperti

perdagangan, industri, perkantoran, pendidikan dan sebagainya. Selain itu wilayah di

sekitar BSB dulunya merupakan kawasan pedesaan yang terhitung masih sepi dan jauh

dari pusat kota. Oleh karena itu BSB memberikan pengaruh yang besar baik bagi kawasan

sekitar dan Kota Semarang itu sendiri, salah satunya yaitu adanya perubahan penggunaan

lahan di sekitar kawasan tersebut yaitu dari kawasan non terbangun menjadi kawasan

terbangun.

Adanya perubahan penggunaan lahan tersebut telah memicu terjadinya

perkembangan perkotaan di kawasan BSB dan sekitarnya. Hal ini terlihat dari peningkatan

jumlah lahan terbangun setiap tahunnya. Dengan pengembangan kota baru BSB,

diharapkan dapat mengakomodasi kebutuhan masyarakat Kota Semarang khususnya

071 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

bagi masyarakat yang tinggal di sekitarnya. Selain itu juga pemerintah telah mendukung

pengembangan BSB dengan meningkatkan akses jalan dan transportasi dari dan menuju

BSB. Akibatnya sekitar kawasan BSB telah berkembang menjadi perkotaan yang ramai

dengan berbagai macam aktivitas penduduknya. Wilayah yang awalnya sepi telah berubah

menjadi kawasan yang diminati penduduk Kota Semarang.

Akibat dari perkembangan perkotaan tersebut telah berdampak terhadap

peningkatan harga lahan di sekitar kawasan BSB. Seperti diungkapkan oleh Sharif & Esa

(2014) bahwa adanya perubahan penggunaan lahan dari pertanian menjadi penggunaan

lahan perkotaan di wilayah pinggiran kota akan memicu perubahan harga lahan yang

disebabkan karena adanya peningkatan fasilitas dan aksesibilitas di sekitar kawasan

tersebut (Sharif & Esa, 2014). Ketersediaan infrastruktur telah dapat memberikan potensi

keuntungan dalam hal ini adanya peningkatan harga lahan di suatu wilayah (Dowal et al,

1991). Pengembangan BSB menjadi kawasan perkotaan dengan konsep menggabungkan

kawasan hunian, perkantoran, industri, komersial dan rekreasi ini dapat menjadi daya

tarik masyarakat untuk bermukim baik di kawasan BSB maupun di kawasan sekitarnya.

Hal ini mengakibatkan meningkatnya pemintaan akan lahan di sekitar kawasan tersebut

sehingga dapat memicu peningkatan harga lahan. Wilayah yang terletak lebih dekat

dengan BSB menjadi lebih berkembang sehingga harga lahan di wilayah tersebut menjadi

lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah yang lokasinya lebih jauh.

Penelitian mengenai kajian perubahan penggunaan lahan dan harga lahan di sekitar

kawasan BSB ini didasarkan pada perubahan penggunaan lahan yang terjadi sebagai

akibat dari pengembangan BSB yang kemudian akan memengaruhi perkembangan

perkotaan di kawasan tersebut. Selanjutnya perkembangan perkotaan yang terjadi akan

dapat menimbulkan perubahan harga lahan ke depannya. Permasalahan yang terjadi dari

tahun ke tahun harga lahan akan semakin tinggi terlebih lagi dengan adanya spekulan-

spekulan menjadikan tingginya harga lahan ini akan semakin tidak dapat terbendung.

Terkait dengan kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Semarang

tahun 2011—2031 dengan menjadikan Kecamatan Mijen sebagai kawasan kantor pelayanan

publik, pemerintah membutuhkan lahan untuk mewujudkan rencana tersebut. Kenaikan

harga lahan yang terjadi dari tahun ke tahun ini menjadi kendala dalam program pengadaan

lahan untuk pelayanan publik. Apabila harga lahan semakin tidak terkendali, anggaran

dalam pembebasan lahan tersebut juga menjadi semakin tinggi sehingga akhirnya akan

menghambat terwujudnya recana tersebut. Selain itu juga tingginya harga lahan dapat

menghambat investor dalam membeli lahan sebagai perumahan. Hal ini menjadi bertolak

belakang dengan kebijakan lain dalam rencana pola ruang pada RTRW tahun 2011—2031

yang menjadikan Kecamatan Mijen sebagai kawasan peruntukan perumahan. Akibatnya

rencana tersebut juga dapat terhambat.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI072

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisTingginya harga lahan pada akhirnya juga akan memengaruhi rencana pengembangan kota

baru BSB di Kecamatan Mijen karena dengan harga lahan yang semakin tinggi ini membuat

investor menjadi enggan untuk berinvestasi disana. Akibatnya perkembangan BSB sendiri

cenderung lambat padahal telah berjalan selama dua puluh tahun tetapi baru beberapa

tahun terakhir berkembang. Selain itu, dengan harga lahan yang semakin tinggi ini telah

membuat masyarakat asli di sekitar BSB ini tidak mampu dalam membeli lahan di sana

sehingga keberadaannya menjadi tergeser oleh masyarakat dari luar yang lebih mampu

untuk membeli lahan. Terlebih lagi terkait dengan pembiayaan Pajak Bumi dan Bangunan

(PBB), dengan harga lahan yang semakin tinggi menjadikan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)

menjadi semakin tinggi juga. Oleh karena itu, masyarakat menjadi semakin terbebani harus

membayar PBB yang semakin tinggi dari tahun ke tahun.

Dengan demikian, penelitian ini penting dilakukan untuk dapat mengetahui seberapa

besar perubahan penggunaan lahan yang dapat memicu perkembangan perkotaan serta

seberapa besar kenaikan harga lahan yang terjadi di sekitar kawasan BSB. Oleh karena itu,

ke depannya penelitian ini dapat membantu dalam mengendalikan kenaikan harga lahan

yang terjadi serta membendung adanya spekulan-spekulan yang telah memengaruhi harga

pasar.

Jenis data yang akan digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan

sekunder. Data primer yang dibutuhkan dalam penelitian ini, yaitu data survei penggunaan

lahan di lokasi penelitian. Data sekunder yang dibutuhkan dalam penelitian ini yaitu: Citra

satelit Kota Semarang tahun 2013, 2015, dan 2017 yang diperoleh dari citra Digital Globe,

data dan peta penggunaan lahan tahun 2013, 2015 dan 2017, data Nilai Jual Objek Pajak

Tahun 2013, 2015 dan 2017 yang diperoleh dari Badan Pendapatan Daerah Kota Semarang,

peta administrasi dan peta RTRW Kota Semarang tahun 2011—2031, peta jaringan jalan

serta peta Kawasan Bukit Semarang Baru.

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini yaitu dengan pendekatan

kuantitatif dengan pendekatan spasial. Hal ini didasarkan pada tulisan Creswell (2010)

bahwa penelitian kuantitatif dirancang dengan menguji suatu teori untuk menjawab

rumusan masalahnya. Dalam pelaksanaannya penelitian ini menggunakan pendekatan

spasial yang bertujuan untuk melakukan pengolahan data spasial gambaran kondisi wilayah

studi. Adapun tujuan penelitian ini untuk mengetahui perubahan penggunaan lahan dan

harga lahan di sekitar kawasan Bukit Semarang Baru secara time series pada tahun 2013—

2015 dan 2015-2017 dengan pendekatan spasial.

C. Pembahasan

073 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

1. Analisis Penggunaan Lahana. Analisis Perkembangan Perkotaan di Sekitar Kawasan Bukit Semarang Baru

Pada penelitian ini analisis perkembangan perkotaan di sekitar kawasan

BSB dilihat dari perkembangan penggunaan lahan terbangun yang terdiri

dari perdagangan dan jasa, industri dan permukiman dari tahun 2013, 2015

dan 2017. Dari luas wilayah penelitian sebesar 3.815,57 hektare, penggunaan

lahan terbangun di wilayah ini pada tahun 2013, 2015 dan 2017 masih kurang

dari 30% total luas wilayah. Hal ini terjadi karena sebelum dilaksanakan

pengembangan kawasan BSB, wilayah ini merupakan wilayah pinggiran Kota

Semarang yang masih berupa pedesaaan dengan didominasi penggunaan

lahan pertanian (perkebunan karet dan persawahan). Akan tetapi, setelah

dilaksanakan pengembangan kawasan BSB yang direncanakan untuk

dijadikan sebagai sebuah kota baru, penggunaan lahan terbangun di sekitar

kawasan BSB dari tahun ke tahun mengalami peningkatan. Peningkatan

luas lahan terbangun pada tahun 2013—2015 sebesar 61,3 hektare (6%)

dan tahun 2015—2017 sebesar 41,29 hektare (4%). Adanya peningkatan

luas lahan terbangun dari tahun 2013, 2015 sampai dengan tahun 2017 ini

mengindikasikan bahwa sekitar kawasan BSB mengalami perkembangan

perkotaan dari tahun 2013, 2015, dan 2017.

Pola perkembangan perkotaan di sekitar kawasan BSB itu sendiri

dapat dilihat dari arah perkembangan penggunaan lahan terbangunnya

yang didasarkan pada teori Zahnd (1999). Pada penelitian ini telah dianalisis

bahwa perkembangan perkotaan yang terjadi yaitu perkembangan

horizontal, luas lahan terbangun pada subpusat tetap tetapi wilayah di

sekitar kawasan tersebut mengalami peningkatan luas lahan terbangun

sehingga luas kawasan perkotaan menjadi bertambah. Dengan adanya

subpusat yang berada pada Central Business Distric dari BSB di mana

didominasi penggunaan lahan perdagangan dan jasa sebagai pusat kegiatan

perkotaan telah berpengaruh dalam peningkatan luas penggunaan lahan

terbangun di wilayah sekitarnya.

Berdasarkan teori perkembangan kota wilayah ini berkembang

secara konsentris seperti teori yang dikemukakan oleh Burgess (1925).

Perkembangan kota yang terjadi cenderung ke arah ke luar pada seluruh

bagiannya yang pola keruangannya membentuk lingkaran dengan intinya

(sub pusat) berada pada kawasan CBD BSB sebagai pusat kegiatan. Pada

perencanaan Pemerintah Kota Semarang sendiri menjadikan kawasan BSB

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI074

ini sebagai kota satelit untuk menampung arus urbanisasi yang cenderung

ke pusat kota Semarang. Dengan demikian seluruh wilayah di sekitar

kawasan BSB tersebut dapat ditingkatkan fungsinya dalam mendukung

terciptanya kota satelit tersebut.

Perembetan areal perkotaan pada wilayah ini cenderung berjalan

lambat yang terlihat dari peningkatan luas lahan terbangun dari tahun 2013,

2015, dan 2017 yang tidak terlalu besar. Peningkatan luas lahan terbangun

tersebut cenderung berada pada Kelurahan Pesantren dan Kedungpani

yang merupakan wilayah pengembangan dari BSB itu sendiri. Hal ini dapat

disimpulkan bahwa dengan adanya BSB ini telah membawa pengaruh

dalam perkembangan perkotaan di sekitarnya

b. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan di Sekitar Kawasan Bukit Semarang

Baru

Analisis perubahan penggunaan lahan di sekitar kawasan BSB ini dilakukan

dengan membandingkan penggunaan lahan pada tahun 2013, 2015, tahun

2017.

Penggunaan lahan yang mengalami perubahan luas paling besar pada

tahun 2013 hingga tahun 2015 yaitu pertanian yang mengalami penurunan

sebesar 98,27 hektare, hal ini juga terjadi pada tahun 2015 hingga tahun 2017

yaitu mengalami penurunan sebesar 63,18 hektare. Akan tetapi penggunaan

lahan yang mengalami peningkatan luas yang paling besar, yaitu terjadi

pada penggunaan lahan permukiman dimana pada tahun 2013 hingga tahun

2015 meningkat 48,18 hektare dan tahun 2015 hingga tahun 2017 meningkat

34,07 hektare.

Dari tahun 2013, 2015 hingga 2017 di sekitar kawasan BSB telah

terjadi peningkatan luasan lahan danau/waduk sebesar 36,45 hektare.

Penggunaan lahan hutan tidak mengalami perubahan karena hutan yang

ada di wilayah ini merupakan hutan produksi tetap yang tidak boleh berubah

penggunaannya. Pada penggunaan lahan industri terjadi peningkatan

seiring dengan pembangunan kawasan industri Candi oleh Pemerintah Kota

Semarang. Lahan kosong di wilayah ini juga terus mengalami peningkatan

seluas 22,41 hektare karena banyak lahan-lahan yang belum dimanfaatkan

oleh pemiliknya.

Penggunaan lahan perdagangan dan jasa juga mengalami peningkatan

seluas 5,37 hektare. Selain itu juga lahan permukiman mengalami

peningkatan yang paling besar dibandingkan dengan penggunaan lahan

075 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

lainnya sebesar 82,25 hektare. Hal ini mengindikasikan telah terjadi

peningkatan kebutuhan akan lahan untuk berbagai macam aktivitas seperti

perindustrian, perdagangan dan jasa serta permukiman.

2. Analisis Harga Lahan

Berdasarkan data harga lahan yang telah dianalisis pada masing-masing koridor

terdapat perbedaan harga lahan pada masing-masing koridor jalan dan perumahan.

Pada tahun 2013, 2015 dan 2017 harga lahan tertinggi terjadi pada sepanjang koridor

JL. RM. Hadi Soebono. Jalan ini merupakan jalan utama yang menghubungkan

antara Kota Semarang dengan Kabupaten Kendal yang melewati wilayah Mijen

sehingga harga lahan sepanjang jalan ini menjadi tinggi. Harga lahan yang tinggi

juga terdapat pada perumahan Grha Taman Bunga, Grha Taman Pelangi, Ivy Park,

Puri Arga Golf dan Beranda Bali yang mana merupakan milik pengembang dari BSB

dan letaknya yang dekat dengan jalan utama.

Semakin jauh dari jalan utama, harga lahan akan semakin menurun seperti

misalnya pada Kecamatan Jatibarang, koridor jalan yang dekat dengan jalan utama

harganya akan semakin tinggi, yaitu pada koridor Jl. Jatibarang dan Jl. Sidodadi Raya.

Akan tetapi pada koridor jalan yang lebih jauh dari jalan utama yaitu pada Jl. Dukuh

Kaligetas dan Jl. Raya Kaligetas harganya semakin rendah. Hal ini juga terjadi pada

koridor jalan di kecamatan-kecamatan lainnya. Kecamatan Purwosari yang posisinya

jauh dari jalan utama memiliki harga lahan yang paling rendah, yaitu berkisar antara

Rp27.000,00 hingga Rp103.000,00.

Semakin dekat dengan jalan utama tingkat aksesibilitas juga semakin

meningkat karena memudahkan masyarakat untuk beraktivitas sehingga masyarakat

cenderung untuk memilih bermukim dan beraktivitas lainnya pada wilayah yang

lebih dekat dengan jalan utama. Oleh karena itu, kebutuhan akan lahan pada

wilayah tersebut juga semakin meningkat pula yang kemudian dapat mendorong

tingginya harga lahan. Begitu pula sebaliknya, wilayah yang aksesnya jauh dari jalan

utama cenderung menjadi kurang menarik masyarakat sehingga harga lahan pada

wilayah tersebut menjadi lebih rendah.

3. Analisis Hubungan Penggunaan Lahan dan Harga Lahan

Penggunaan lahan dan harga lahan di sekitar kawasan BSB ini dianalisis

keterkaitannya dengan kawsan BSB yaitu jarak dari lokasi lahan dengan pusat BSB

yang diletakkan pada pusat kegiatan BSB yaitu Central Business Distric (CBD) atau

pusat perdagangan dan jasa BSB sesuai dengan masterplan dari BSB itu sendiri.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI076

Berdasarkan pembagian jarak dari pusat BSB, wilayah ini dibagi menjadi 15 zona

yang masing-masing zona berjarak 500 meter. Pusat BSB berada pada Kelurahan

Pesantren dan Kedungpani, sedangkan wilayah terjauh dari subpusat berada di

Kelurahan Tambangan sejauh 7.500 meter.

Dengan mengacu pada teori sewa lahan, dalam penelitian ini dapat dianalisis

bahwa harga lahan pada sekitar kawasan BSB cenderung meningkat apabila semakin

dekat dengan kawasan BSB yang telah direncanakan sebagai pusat perdagangan

dan jasa. Pada pusat BSB didominasi oleh penggunaan lahan perdagangan dan jasa

karena kegiatan ini dianggap lebih menguntungkan dibandingkan dengan kegiatan

lainnya. Oleh karena itu, permintaan lahan pada zona ini menjadi semakin besar

sehingga harga lahan cenderung semakin tinggi. Hal ini terlihat dari tidak adanya

lahan pertanian ataupun lahan non terbangun lainnya yang terletak pada pusat kota.

Penggunaan lahan industri yang terletak dekat dengan kawasan BSB juga

memiliki harga lahan yang paling tinggi dibandingkan dengan lokasi yang lebih

jauh dari kawasan BSB karena industri yang dekat dengan subpusat tersebut

juga dianggap lebih menguntungkan dibandingkan dengan penggunaan lahan

lainnya. Pada penelitian ini terdapat temuan dimana pada zona 11 dan 12 harga

lahan perdagangan dan jasa menjadi lebih tinggi lagi dibandingkan dengan zona

sebelumnya. Selain itu juga dari tahun 2013 hingga 2017 pada zona ini penggunaan

lahan tersebut juga mengalami kenaikan kembali. Padahal berdasarkan teori yang

ada seharusnya harga lahan dan luas penggunaan lahan pada zona 11 dan 12 menjadi

semakin berkurang karena lokasinya yang semakin jauh dari pusat BSB. Pada zona

11 terdapat perumahan Jatisari yang merupakan salah satu pengembangan dari BSB

dengan dilengkapi fasilitas perdagangan dan jasa dan pada zona 12 juga terdapat

pusat pemerintahan Kecamatan Mijen. Hal ini dapat memicu adanya peningkatan

luas penggunaan lahan perdagangan dan jasa serta dapat meningkatkan harga lahan

pada zona ini. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa dengan adanya kawasan

BSB telah memengaruhi harga lahan di wilayah sekitarnya baik pada kawasan BSB

Mijen maupun pada kawasan BSB Jatisari.

D. KesimpulanBerdasarkan hasil analisis dapat disimpulkan bahwa dari tahun 2013 hingga tahun telah

terjadi perkembangan perkotaan di sekitar kawasan BSB ini. Seiring dengan pengembangan

BSB sebagai sebagai kota baru di Semarang telah berpengaruh pada perkembangan

perkotaan di sekitar kawasan tersebut yang terlihat dari peningkatan luasan penggunaan

lahan terbangun pada wilayah penelitian ini. Perkembangan perkotaan yang terjadi

077 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

memusat pada kawasan BSB kemudian menyebar ke seluruh bagian wilayah sekitarnya

sehingga dapat dikatakan bahwa tidak hanya kawasan BSB saja yang berkembang tetapi

wilayah sekitarnya juga turut mengalami perkembangan. Perembetan areal perkotaan

dari tahun 2013, 2015 hingga 2017 cenderung melambat yang terlihat dari peningkatan luas

lahan terbangun yang tidak terlalu besar. Dari tahun 2013 hingga tahun 2017 penggunaan

lahan danau/waduk, industri, lahan kosong, perdagangan dan jasa, permukiman dan

pertanian mengalami peningkatan luasan tetapi pada penggunaan lahan pertanian

mengalami penurunan luasan.

Dari tahun 2013 hingga tahun 2017 di sekitar kawasan BSB peningkatan harga lahan

paling besar terjadi pada lahan yang terletak di jalan utama dan koridor perumahan-

perumahan besar yang terletak berdekatan dengan jalan utama dan pusat perkotaan

BSB. Hal ini dapat disimpulkan bahwa aksesibilitas berpengaruh terhadap harga lahan

yang terletak di jalan utama dan berdekatan dengan jalan utama mengalami peningkatan

harga lahan yang lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang berada pada lokasi yang

jauh dari jalan utama.

Hubungan penggunaan lahan dan harga lahan di sekitar kawasan Bukit Semarang

Baru menunjukkan bahwa kawasan BSB telah memberikan pengaruh terhadap variasi

harga lahan pada masing-masing wilayah. Kawasan BSB yang telah dijadikan sebagai

pusat kegiatan perkotaan seperti perdagangan dan jasa, industri dan permukiman untuk

melayani masyarakat di sekitarnya ini memicu semakin tingginya harga lahan yang terjadi

karena lahan yang terletak berdekatan dengan pusat kegiatan perkotaan cenderung

lebih diminati dan menguntungkan. Hal ini sesuai dengan teori dari Von Thunen bahwa

harga lahan akan semakin tinggi apabila mendekati pusat kegiatan dan akan semakin

rendah apabila menjauh dari pusat kegiatan. Selain itu juga, harga lahan yang terjadi juga

tergantung pada penggunaan lahannya. Penggunaan lahan untuk kegiatan perkotaan

seperti perdagangan dan jasa, industri serta permukiman memiliki harga lahan yang lebih

tinggi dibandingkan penggunaan lahan lainnya.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI078

08MODEL PROYEKSI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN KORIDOR JALAN UTAMA PADA SKALA DETAIL 1:10.000 BERBASIS CELLULAR AUTOMATA DAN SISTEM INFORMASI GEOGRAFI (STUDI KASUS: KAWASAN SEPANJANG KORIDOR JALAN SOLO—YOGYA DI KABUPATEN KLATEN)

► Nama : Sukamto

► Unit Organisasi : Kantor Pertanahan Kota Tanjungpinang

► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Diponegoro

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI080

ABSTRAKDampak negatif dari pertumbuhan ekonomi yang pesat adalah adanya alih fungsi lahan

yang tidak terkontrol. Model perubahan penggunaan lahan bisa menjadi perangkat

dalam rangka memahami dinamika konversi lahan serta variabel yang menjadi faktor

pendorongnya. Pemodelan simulasi perubahan penggunaan lahan dalam penelitian ini

dilakukan dengan menggunakan pendekatan cellular automata pada skala detail 1:10.000

dengan memperhatikan tren perubahan penggunaan lahan di sepanjang koridor jalan

Solo—Yogyakarta di Kabupaten Klaten pada kurun waktu tahun 2007—2017.

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis penerapan model Cellular Automata

dalam menganalisis perubahan penggunaan lahan pada wilayah penelitian skala 1:10.000

di sepanjang koridor jalan Solo—Yogyakarta di Kabupaten Klaten khususnya perubahan

lahan sawah menjadi lahan terbangun.

Hasil analisis pola perubahan penggunaan lahan dari tahun 2007 sampai dengan

2017 pertumbuhan dengan perkembangan terbesar adalah penggunaan perumahan

yang mengalami kenaikan luas sebesar 217,41 ha, sedangkan jenis penggunaan tanah

yang mengalami konversi lahan menjadi penggunaan lain adalah sawah yang mengalami

penurunan luas sebesar 365,76 ha. Hasil analisis peta proyeksi penggunaan lahan tahun

2031 menunjukkan kecenderungan arah perkembangan lahan terbangun masih berkutat

di daerah yang dekat dengan pusat Kota Klaten. Komparasi Peta proyeksi tahun 2031

telah sesuai dan terakomodasi dalam Peta Rencana Pola Ruang RTRW Kabupaten Klaten

dengan tingkat kesesuaian pemanfaatan ruang yaitu 94,42%.

► Kata Kunci: Perubahan Penggunaan Lahan, Permodelan, Cellular Automata

081 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

ABSTRACTEconomic growth in a region has a positive or negative impact. The negative impact of

a rapid economic growth is the uncontrolled land conversion. The negative impact of

converting agricultural land to non-agricultural is a loss not only in economic aspect but

also in social one. The modeling of land use change can be used as a tool to understand

the dynamics of land conversion and the variables of driving factors. In this research,

the simulation model of land use change was created by using cellular automata on a 1:

10,000 scale by considering the trend of land use changes along Solo-Yogyakarta road

corridor in Klaten regency from 2007 to 2017.

The purpose of this research is to investigate how cellular automata model analyzes

the land use change in a research area of 1: 10.000 scale along Solo-Yogyakarta road

corridor in Klaten Regency, especially the change of paddy field into developed land.

The model is a spatial analysis of the pattern of land use change within the determined

period of time based on the land change trends and is influenced by factors driving land

use change.

The results show that there were 13 types of land use changes from 2007 until

2017. The biggest development was the use of housing which experienced an increase

of 217.41 Ha, whereas land use type which converted land into another usage is paddy

field, decreased by 365.76 Ha. The cellular automata model included two models as

comparisons, the 2007-2012 usage change model and the land use change model of 2012-

2017, where the accuracy of the 2007-2012 model was 98.41% and the 2012-2017 model

was 98.78%.

The analysis of the projected land use growth in 2031 shows that there will be 7 classes

of land use change, namely trade services, housing, industry, warehousing, temporary

open land, mixed crops, and fields. The results of the analysis of land use prediction in

2031 showed that the tendency of land development direction is still concentrated in the

area close to Klaten city center in 10 sub-districts of Klaten Utara, Klaten Tengah, Klaten

Selatan, Kalikotes, Jogonalan, Kebonarum, Ngawen, Wonosari, Ceper, and Delanggu. The

comparison evaluation results between RTRW Map of Klaten Regency Year 2011-2031 and

Land Use Prediction in 2031 with cellular automata modeling shows hight level of landuse

conforming at 94.42%.

► Keywords: Land Use Change, Modelling, Cellular Automata

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI082

MODEL PROYEKSI PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN KAWASAN KORIDOR JALAN UTAMA PADA SKALA DETAIL 1:10.000 BERBASIS CELLULAR AUTOMATA DAN SISTEM

INFORMASI GEOGRAFI (STUDI KASUS: KAWASAN SEPANJANG KORIDOR JALAN SOLO—YOGYA DI KABUPATEN KLATEN)

A. Latar BelakangPenggunaan lahan adalah hasil dari kegiatan manusia baik yang berlangsung secara

siklus atau permanen pada sumber daya lahan alami maupun buatan untuk pemenuhan

kebutuhan hidup manusia (Setiady dan Danoedoro, 2014). Dalam pemenuhan

kebutuhannya, manusia membutuhkan ruang berupa tanah untuk melakukan berbagai

aktivitas kehidupan. Penggunaan lahan pada suatu wilayah dipengaruhi juga oleh

keberadaan sarana dan prasaran, khususnya prasarana dan sarana transportasi (Rudiarto

et al, 2015). Persaingan terhadap pemanfaatan lahan tersebut muncul akibat adanya

tiga fenomena ekonomi dan sosial yaitu keterbatasan sumber daya lahan, pertambahan

penduduk dan pertumbuhan ekonomi (Irawan, 2008). Tingginya aktivitas ekonomi yang

terjadi mengakibatkan permintaan terhadap lahan sebagai penunjang kegiatan ekonomi

juga mengalami peningkatan. Perubahan penggunaan lahan sangat dipengaruhi oleh

aktivitas manusia yang dilakukan karena sifat lahan yang tetap sedangkan aktivitas manusia

berubah-ubah dan cenderung meningkat dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya.

Alih fungsi lahan atau perubahan penggunaan lahan diakibatkan oleh semakin

meningkatnya permintaan yang tinggi karena aktivitas manusia. Alih fungsi lahan terjadi

khususnya pada lahan pertanian yang beralih fungsi menjadi nonpertanian. Lahan sawah

memegang peranan penting dalam penyediaan kebutuhan beras. Produksi beras di

Indonesia 94% dihasilkan dari usaha tani padi sawah, sisanya dihasilkan dari usaha tani

padi lahan kering. Pulau Jawa masih menjadi penyumbang produksi beras terbesar yaitu

mencapai 53% dari total produksi beras nasional (Ambarwulan et al, 2014). Kabupaten

Klaten adalah salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Tengah yang secara geografis

terletak pada koridor penghubung dua kota besar antarprovinsi, yaitu Kota Surakarta dan

083 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

Kota Yogyakarta. Perkembangan di Kota Surakarta dan Kota Yogyakarta secara langsung

maupun tidak langsung memberikan pengaruh dalam perkembangan yang terjadi di Kota

Klaten terutama di sepanjang koridor jalan Solo—Yogyakarta.

Perubahan penggunaan lahan dapat dianalisis dengan membangun suatu model.

Model merupakan salah satu pendekatan untuk mempelajari sesuatu yang terjadi di

alam ini dan dapat memprediksi keadaan yang akan datang (Munibah, 2008). Pemodelan

Cellular Automata adalah model yang sangat popular digunakan untuk melakukan

simulasi pola perubahan penggunaan lahan dan sudah digunakan dalam banyak penelitian.

Dalam penelian ini, penulis mencoba untuk mengembangkan model analisis perubahan

penggunaan lahan pada wilayah sepanjang koridor jalan Solo—Yogyakarta kurun waktu

tahun 2007–2017 dengan menggunakan pendekatan model cellular automata. Pemodelan

yang dibangun mempunyai tujuan untuk mengetahui trend perubahan lahan yang

terjadi berdasarkan faktor-faktor yang menjadi pendorong perubahan lahan yang sudah

ditentukan sebelumnya dan membuat simulasi prediksi penggunaan lahan pada masa

yang akan datang. Hasil dari pemodelan berupa peta prediksi penggunaan lahan tahun

2031 yang digunakan dalam melakukan analisis perbandingan penggunaan lahan untuk

mengetahui kesesuaian pemanfaatan ruang dalam rencana pola ruang wilayah RTRW

Kabupaten Klaten tahun 2011—2031.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisDampak negatif dari konversi lahan pertanian menjadi nonpertanian tidak hanya terlihat

dari kerugian segi ekonomi saja tetapi juga pada aspek sosial. Kerugian pada aspek sosial

terjadi karena keberadaan lahan sawah selama ini memberikan manfaat yang luas dari segi

sosial bagi masyarakat dan sebagian besar masyarakat masih menggantungkan hidupnya

pada sektor pertanian dan lingkungan.

Model perubahan penggunaan lahan bisa menjadi perangkat dalam rangka memahami

dinamika konversi lahan serta variabel yang menjadi faktor pendorongnya. Pemodelan

perubahan penggunaan lahan dilakukan secara dinamis dalam rentang waktu yang

sudah ditentukan untuk mendapatkan informasi berupa trend atau pola perubahan lahan

berbasis informasi spasial termasuk lokasi dan luas perubahan yang mungkin terjadi. Model

perubahan penggunaan lahan dan prediksi perubahan penggunaan lahan dipergunakan

untuk tujuan antisipasi terhadap perubahan fungsi pemanfaatan ruang dalam penetapan

Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten/Kota.

Pemodelan simulasi perubahan penggunaan lahan dalam penelitian ini dilakukan

dengan menggunakan pendekatan cellular automata pada skala detail 1:10.000 dengan

memperhatikan trend perubahan penggunaan lahan di sepanjang koridor jalan Solo—

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI084

Yogyakarta di Kabupaten Klaten pada kurun waktu tahun 207—2 017. Dalam membangun

model diperhitungkan juga faktor yang menjadi pendorong terjadinya perubahan

penggunaan lahan. Faktor pendorong perubahan lahan dalam penelitian ini melibatkan

faktor fisik, sosial dan ekonomi, aksesibilitas dan faktor ketetanggan yang kemudian

dilakukan analisis secara spasial. Untuk mendapatkan hasil simulasi dengan alokasi dan

proyeksi yang lebih akurat dilakukan pembobotan pada masing-masing faktor pendorong

dengan analisis AHP. Dari uraian yang telah disampaikan di atas, maka yang menjadi

rumusan masalah dalam penelitian ini adalah “Bagaimana proyeksi penggunaan lahan

di sepanjang koridor jalan SoloY ogyakarta di Kabupaten Klaten tahun 2031 berdasarkan

alghoritma Cellular Automata dan SIG?”

Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan kuantitatif

berbasis spasial dengan data spasial berupa data raster dan unit cell yang digunakan sebagai

input dalam membangun model proyeksi penggunaan lahan tahun 2031. Objek penelitian

adalah perubahan penggunaan lahan di koridor jalan Solo—Yogyakarta di Kabupaten Klaten

pada kurun waktu tahun 2007—2012 dan tahun 2012—2017. Simulasi perubahan penggunaan

lahan di masa depan diolah dengan menggunakan algorithma Cellular Automata.

Penelitian ini difokuskan pada wilayah sepanjang koridor jalan Solo—Yogyakarta

dengan luas batasan wilayah adalah 14.673,50 ha. Daerah penelitian di fokuskan pada daerah

sepanjang koridor alan Solo—Yogyakarta yang berada di Kabupaten Klaten yang terkena

pengaruh dari jalur utama tersebut. Daerah penelitian terdiri 16 kecamatan yang tersebar

sepanjang koridor jalan. Kecamatan yang menjadi lokasi penelitian adalah Kecamatan

Ceper, Delanggu, Gantiwarno, Jogonalan, Juwiring, Kalikotes, Karanganom, Kebonarum,

Klaten Selatan, Klaten Tengah, Klaten Utara, Ngawen, Polanharjo, Prambanan, Trucuk, dan

Wonosari.

C. Pembahasan

1. Interpretasi dan Identifikasi Distribusi Penggunaan Lahan Tahun 2007, 2012, dan 2017

Interpretasi penggunaan lahan berdasarkan ketiga citra tahun pengamatan tersebut

dilakukan dengan metode On Screen Digitazing dengan menggunakan klasifikasi

penggunaan lahan sesuai dengan NSPK Tematik BPN RI Tahun 2012. Software yang

digunakan dalam proses digitasi adalah ArcGIS 10.3 dan interpretasi penggunaan

lahan menggunakan skala 1:10.000 dengan proyeksi geografis WGS 1986 dan UTM

49S sesuai dengan lokasi penelitian. Hasil interpretasi diperoleh 29 jenis penggunaan

lahan, yaitu aneka industri, danau/situ/telaga, hutan kota, jalan arteri, jalan kereta

085 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

api, jalan kolektor, jalan lokal, jasa pemerintah, jasa kesehatan, jasa lainnya, jasa

pariwisata, jasa pendidikan, jasa perdagangan, jasa perhubungan, jasa peribadatan,

kebun campuran, kolam air tawar, kuburan/pemakaman, lapangan olahraga, padang

rumput, pergudangan, pertambanagan terbuka, perumahan, sawah, semak, sungai,

taman umum, tanah terbuka sementara dan tegalan/ladang.

Dari hasil analisis perubahan penggunaan lahan dari tahun 2007 sampai

dengan 2012 dapat dilihat adanya penambahan dan pengurangan luas pada kelas

penggunaan tanah. Penggunaan tanah yang terbesar dan signifikan di sepanjang

koridor jalan Solo—Yogyakarta adalah sawah. Pada tahun 2007 luas sawah adalah

8.609,64 ha atau 58,67 dari total luas keseluruhan daerah penelitian, tetapi pada

tahun 2012 terjadi penurunan luas sawah sebesar 1,43% atau seluas 209,10 ha.

Penggunaan tanah terbesar kedua adalah perumahan. Luas penggunaan tanah

perumahan pada tahun 2007 adalah 4.476,11 ha atau sebesar 30,50%. Pada tahun

2012 luas perumahan ini mengalami kenaikan seluas 144,69 ha menjadi 4620,80 ha

(31,49%).

2. Pola Perubahan Penggunaan Lahan Tahun 2007—2012 dan Tahun 2012—2017

Identifikasi laju perubahan penggunaan lahan digunakan dalam melakukan simulasi

proyeksi pola perubahan penggunaan lahan di masa yang akan datang. Pola

perubahan penggunaan lahan dapat dilihat dari laju perubahan suatu penggunaan

lahan satu menjadi penggunaan lahan yang lainnya. Pola perubahan penggunaan

lahan dilakukan dengan melakukan overlay dengan metode intersect pada perangkat

lunak ArcGIS 10.3 sehingga dapat diketahui pola penggunaan lahan beserta luasnya.

3. Analisis Peta Potensi Transisi Perubahan Lahan

Analisis peta aturan transisi berupa peta yang menunjukkan kecenderungan

perubahan penggunaan lahan di dalam lokasi penelitian yang sudah ditentukan

aturannya terlebih dahulu. Aturan yang dimaksud didasarkan pada faktor pendorong

perubahan lahan, bobot masing-masing faktor pendorong dan atau bisa disertai

dengan faktor penghambat perubahan penggunaan lahan apabila ada skenario yang

akan dibangun.

Sebagai contoh adalah potensi perkembangan perumahan juga ditunjukkan

dengan semakin terang rona cell maka semakin besar kemungkinan daerah tersebut

mengalami perkembangan perumahan. Sebaliknya semakin gelap rona cell maka

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI086

semakin tidak berpotensi untuk mengalami perkembangan perumahan di lokasi

tersebut.

4. Model Cellular Automata dalam Simulasi Perubahan Penggunaan Lahan

Input dalam analisis model cellular automata adalah hasil analisis yang sudah

dilakukan sebelumnya yaitu analisis penggunaan lahan dalam time series, proyeksi

perkembangan penggunaan lahan tahun 2031 dari trend perubahan lahan tahun

sebelumnya, analisis peta potensi transisi dan analisis filter ketetanggan dan variabel

pembatas. Tujuan dari penelitian ini adalah membuat proyeksi penggunaan tanah

untuk tahun 2031 di sepanjang jalan koridor Solo—Yogyakarta di Kabupaten Klaten.

Sebelum model bisa digunakan untuk memproyeksi penggunaan lahan tahun

2031 maka harus divalidasi terlebih dahulu. Dalam penelitian ini analisis validasi

dilakukan pada 2 waktu tahun pemodelan, yaitu simulasi penggunaan lahan tahun

2012 dengan pengamatan tahun awal (t0) adalah penggunaan lahan tahun 2007 dan

simulasi penggunaan lahan tahun 2017 dengan pengamatan tahun awal (t0) adalah

penggunaan lahan tahun 2012.

Nilai validitas model proyeksi penggunaan lahan tahun 2017 di cari dengan

membandingkan dengan penggunaan lahan tahun 2017 hasil interpretasi citra

satelit dengan menggunakan analisis tabulasi silang (crosstab) untuk mencari nilai

Kappa. Dari analisis crostab proyeksi tahun 2017 dengan interpretasi citra tahun 2017

diperoleh nilai Kappa sebesar 0,987 Nilai Kappa rata-rata antara model proyeksi

tahun 2012 dan tahun 2017 adalah 0,986 dan artinya model proyeksi yang dibangun

bias digunakan untuk memproyeksi dan meproyeksi penggunaan lahan di masa

yang akan datang.

5. Analisis Skenario Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2031

Analisis proyeksi penggunaan lahan tahun 2031 dilakukan dalam skenario, yaitu

bussines as usual. Skenario ini menggambarkan kondisi di mana alokasi penggunaan

lahan kurang mendapat kontrol kebijakan. Penggunaan lahan yang kurang terkontrol

akan cenderung mengabaikan kesesuaian lahan karena masyarakat diberikan akses

seluas-luasnya untuk melakukan aktivitas dalam rangka kegiatannya termasuk

melakukan konversi lahan.

Arah perkembangan Kota Klaten melihat dari hasil proyeksi penggunaan lahan

tahun 2031 berdasarkan skenario 1 bahwa alih fungsi lahan pertanian sawah menjadi

lahan terbangun (aneka industri, jasa perdagangan, pergudangan dan perumahan)

087 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

dan lahan nonterbangun yang diskenariokan berubah (Kebun Campuran, Tanah

Terbuka Sementara dan Tegalan/Ladang) masih terkonsentrasi di pusat perkotaan

Kota Klaten. Kecamatan yang berpotensi mengalami pertumbuhan adalah

Kecamatan Klaten Utara, Klaten Tengah, Klaten Selatan, Kalikotes, Jogonalan,

Kebonarum, Ngawen, Wonosari, Ceper, dan Delanggu.

6. Komparasi Peta Rencana Pola Ruang dengan hasil Peta Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2031

Dalam analisis komparasi antara pola ruang RTRW kabupaten Klaten dengan peta

proyeksi penggunaan lahan tahun 2031, maka harus dilakukan reklasifikasi kelas

penggunaan lahan peta proyeksi tahun 2031 disesuaikan dengan kelas penggunaan

lahan di rencana pola ruang RTRW. Sebelum proses overlay dilakukan maka kedua

peta harus mempunyai kelas peruntukan penggunaan yang sama.

Komparasi distribusi pemanfaatan lahan sesuai dengan pola ruang dengan

kelas pemanfaatan lahan berupa kawasan lindung dan kawasan budi daya antara

Peta Rencana Pola Ruang dengan Peta proyeksi penggunaan lahan tahun 2031

dengan pembatasan kawasan konservasi. Persentase kesesuaian kelas pemanfaatan

ruang hasil analisis antara peta proyeksi tahun 2031 dengan rencana pola ruang

RTRW adalah sebesar 94,42%.

D. KesimpulanHasil analisis pola perubahan penggunaan lahan dari tahun 2007 sampai dengan 2017

ada 13 jenis penggunaan lahan yang mengalami perkembangan, yaitu jasa pemerintahan,

jasa perhubungan, taman umum, pertambangan terbuka, jasa kesehatan, jasa

pendidikan, tegalan/ladang, kebun campuran, pergudangan, tanah terbuka sementara,

jasa perdagangan, aneka industri dan perumahan dengan perkembangan terbesar

adalah penggunaan perumahan yang mengalami kenaikan luas sebesar 217,41 ha. Jenis

penggunaan tanah yang mengalami konversi lahan menjadi penggunaan lain adalah

sawah yang mengalami penurunan luas sebesar 365.76 ha.

Berdasarkan peta proyeksi penggunaan lahan tahun 2031 bahwa arah perkembangan

perubahan penggunaan lahan masih berkutat di daerah yang dekat dengan pusat kota di

10 (sepuluh) kecamatan, yaitu Kecamatan Klaten Utara, Klaten Tengah, Klaten Selatan,

Kalikotes, Jogonalan, Kebonarum, Ngawen, Wonosari, Ceper, dan Delanggu. Aspek yang

berpengaruh terhadap perkembangan 10 Kecamatan di masa yang akan datang adalah

faktor kepadatan penduduk yang tinggi sehingga menyebabkan kebutuhan akan lahan

semakin meningkat. Jarak ke pusat perkotaan juga menjadi alasan perkembangan Kota

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI088

Klaten di 10 Kecamatan tersebut sehingga pertumbuhan didominasi di lokasi sekitar

pusat Kota Klaten di mana sarana dan prasarana fasilitas umum dan sosial tersedia secara

lengkap.

Hasil komparasi peta proyeksi dengan Peta Rencana Pola Ruang Wilayah Kabupaten

Klaten menunjukkan hasil yang cukup sesuai dengan tingkat kesesuaian sebesar 94,42%.

Pemodelan alghoritma Cellular Automata dapat digunakan dalam menganalisis perubahan

penggunaan lahan pada skala detail 1:10.000 didasarkan pada trend perubahan lahan,

yaitu trend perubahan lahan dan dapat dibuat dalam beberapa skenario perubahan

penggunaan lahannya.

E. Saran Kebijakan1. Hasil analisis pemodelan perubahan penggunaan lahan tahun 2031 menunjukkan

perkembangan penggunaan lahan didominasi pada daerah di kawasan pusat

perkotaan yang memiliki kepadatan tinggi, aksesibilitas yang memadai, dan

sarana prasarana yang mendukung. Pada kawasan pusat perkotaan harus tetap

memperhatikan kebutuhan dan fasilitas ruang terbuka hijau.

2. Dengan mempertimbangkan daya dukung lingkungan makam pengendalian

pemanfaatan ruang harus dilakukan sesuai dengan zoning regulation sehingga

pemanfaatan ruang menjadi teratur seperti yang sudah ditetapkan dan bukan

atas dasar keinginan pasar.

09PENILAIAN PEMANFAATAN TROTOAR SEBAGAI PENDUKUNG BRT TRANS SEMARANG KORIDOR I DI BWK I KOTA SEMARANG

► Nama : Eko Purwanto

► Unit Organisasi : Biro Umum Kementerian Perencanaan

Pembangunan Nasional dan Bappenas

► Program Studi : Magister Pembangunan Wilayah dan Kota

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Diponegoro

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI090

ABSTRAKBus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang Koridor I (Mangkang-Penggaron) merupakan

salah satu moda transportasi umum berbasis kendaraan (motorized transportation) yang

ada di Bagian Wilayah Kota (BWK) I Kota Semarang. Keberadaan BRT belum didukung

penyediaan trotoar sebagai prasarana berjalan kaki (non motorized transportation)

yang aman dan nyaman di sepanjang koridor. Kondisi fisik trotoar yang belum ideal

dan penyalahgunaan fungsi trotoar untuk kegiatan selain berjalan kaki masih menjadi

permasalahan bagi pejalan kaki pengguna BRT. Oleh karena itu, kualitas trotoar yang ada

saat ini masih dipertanyakan dalam mendukung keberadaan BRT Trans Semarang.

Penelitian ini bertujuan untuk menilai pemanfaatan trotoar sebagai pendukung

BRT terkait keamanan dan kenyamanan bagi pengguna BRT Trans Semarang Koridor I di

BWK I Kota Semarang. Sasaran dalam penelitian ini adalah mengidentifikasi karakteristik

pejalan kaki yang menggunakan BRT, menganalisis penilaian trotoar terkait keamanan

dan kenyamanan berdasarkan preferensi pejalan kaki yang menggunakan BRT serta

kualitas trotoar dengan pendekatan Pedestrian Environmental Quality Indeks (PEQI).

Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif dan kualitatif

dengan metode Importance Performance Analysis (IPA) untuk mengetahui penilaian

trotoar terkait aspek keamanan dan kenyamanan berdasarkan preferensi pejalan kaki

yang menggunakan BRT dan menggunakan beberapa kriteria Pedestrian Environmental

Quality Index (PEQI) untuk mengetahui kualitas trotoar bagi pejalan kaki.

Berdasarkan analisis yang dilakukan menunjukkan bahwa secara umum kinerja

trotoar terkait keamanan dan kenyamanan bagi pengguna BRT di BWK I belum seluruhnya

optimal. Hal tersebut diindikasikan dari hasil penilaian berdasarkan preferensi pejalan

kaki yang menggunakan BRT bahwa tingkat kesesuaian antara kenyataan dan harapan

zona 1 sebesar 85,69 %, zona 2 sebesar 88,93 % dan zona 3 sebesar 80,25%. Variabel lampu

penerangan di ketiga zona dan pagar pengaman di zona 2 dan 3 menjadi variabel keamanan

yang sangat penting dan menjadi prioritas utama, sementara keberadaan pelindung cuaca,

keberadaan tempat duduk dan kemiringan (ramp) permukaan di zona 1 menjadi variabel

kenyamanan yang sangat penting dan menjadi prioritas utama. Berdasarkan pendekatan

PEQI menunjukkan bahwa trotoar di BWK I belum seluruhnya memiliki kualitas ideal.

Mayoritas trotoar di BWK I hanya memiliki trotoar dengan kualitas yang dapat diterima

oleh pejalan kaki, bahkan masih terdapat trotoar dengan kualitas basis/dasar, buruk dan

tidak cocok bagi pejalan kaki.

Penilaian kinerja pemanfaatan trotoar bagi pengguna BRT di BWK I memberikan

gambaran bahwa kualitas trotoar belum sepenuhnya memberikan keamanan dan

kenyamanan bagi pejalan kaki yang menggunakan BRT. Dengan demikian, penyediaan

091 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

pagar pengaman, lampu penerangan, penyediaan pelindung cuaca, tempat duduk dan

kemiringan permukaan (ramp) dapat dijadikan rekomendasi kepada pemerintah untuk

meningkatkan kualitas trotoar bagi pengguna BRT.

► Kata Kunci: BRT, Pejalan Kaki, Kualitas Trotoar, Keamanan dan Kenyamanan

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI092

ABSTRACTBus Rapid Transit (BRT) Trans Semarang Corridor I (Mangkang-Penggaron) is one

of the modes of public transportation based on vehicles (motorized transportation)

in City Region (BWK) I Semarang City. The existence of BRT has not been supported

by the provision of sidewalks as a safe and convenient non-motorized transportation

infrastructure along the corridor. The physical condition of the sidewalks is not ideal yet

and the misuse of the sidewalk function for activities other than walking is still a problem

for pedestrians. Therefore, the quality of the existing sidewalk is still questionable in

supporting the existence of BRT Trans Semarang.

This study aims to assess the utilization of sidewalks as a support BRT related

security and comfort for users of Trans Semarang Corridor BRT I at BWK I Semarang

City. The objectives of this study were to identify the characteristics of pedestrians using

BRT, analyzing sidewalks assessments related to safety and comfort based on pedestrian

preference using BRT and sidewalks quality with Pedestrian Environmental Quality Index

(PEQI) approach.

The research method used is descriptive quantitative and qualitative with

Importance Performance Analysis (IPA) method to know the sidewalk assessment related

to safety and comfort aspects based on pedestrian preference. It also uses some of the

Pedestrian Environmental Quality Index (PEQI) criteria to determine the quality of

sidewalks for pedestrians.

Based on the analysis, it is found that in general the performance of the sidewalks

related to safety and convenience for BRT users in BWK I has not been fully optimal. It

is indicated from the assessment results based on pedestrian preference using BRT that

the level of conformity between reality and expectation zone 1 is 85,69%, zone 2 is 88,93%

and zone 3 is 80,25%. Lighting variables in the three zones and the guardrails in zones 2

and 3 become a very important security variable and a top priority, while the presence of

weather protection, the presence of the seating and the surface ramp in zone 1 becomes a

very important comfort variable and becomes main priority. Based on the PEQI approach

indicates that the pavement in BWK I has not been entirely of ideal quality. The majority

of the sidewalks at BWK I only have sidewalks of acceptable quality by pedestrians, and

there are even sidewalks with basic/poor quality, and are not suitable for pedestrians.

The assessment of the performance of the sidewalk utilization for BRT users in

BWK I illustrates that the quality of the sidewalks has not fully provided the safety and

convenience of pedestrians using BRT. Thus, the provision of safety fences, lighting,

weather protection, seating and ramp can be recommended to the government to

improve the quality of the sidewalk for BRT users.

093 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

► Keywords: BRT, Pedestrian, Quality of Sidewalks, Security and Comfort.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI094

PENILAIAN PEMANFAATAN TROTOAR SEBAGAI PENDUKUNG BRT TRANS

SEMARANG KORIDOR I DI BWK I KOTA SEMARANG

A. Latar BelakangBRT Trans Semarang sebagai sarana transportasi kendaraan bermotor massal di Kota

Semarang, mulai dioperasikan sejak tahun 2009 dengan rute pertama kali yaitu Terminal

Mangkang–Terminal Penggaron (Koridor I). Keberadaan jenis moda ini didukung dengan

kelengkapan prasarana seperti jalan yang sudah diaspal, halte untuk menunggu bus,

penerangan jalan, jalur pedestrian dan prasarana lainnya. Beroperasinya sistem BRT

Trans Semarang sebagai sarana transportasi angkutan umum di Kota Semarang yang

terintegrasi dengan sarana dan prasarana pengumpan (feeder) menjadikan pelayanannya

tidak hanya berakhir pada pintu masuk atau keluar halte. Orang harus dapat mencapai

halte BRT jika ingin menggunakan layanan BRT Trans Semarang. Untuk itulah maka

dalam rangka mendukung pelayanan BRT Trans Semarang, maka perlu adanya prasarana

seperti trotoar sebagai akses bagi pejalan kaki yang aman dan nyaman menuju halte BRT

Trans Semarang.

Sebagaimana BRT di kota-kota besar lainnya seperti Jakarta, Yogyakarta, dan Solo,

operasional BRT di Kota Semarang dilakukan dengan menaikturunkan penumpang di halte

khusus yang disediakan. Namun sayangnya, halte-halte yang sudah berhasil memaksa

penumpang untuk naik dan turun di tempat yang ditentukan tersebut belum didukung

dengan prasarana pejalan kaki yang baik seperti trotoar dan fasilitas pendukung lainnya

sebagai suatu sistem transportasi yang terintegrasi (http://m.harianjogja.com, 2013).

Trotoar di Kota Semarang merupakan prasarana transportasi bagi pejalan kaki

untuk melakukan pergerakan dari satu tempat ke tempat lainnya. Di samping itu trotoar

juga berfungsi sebagai prasarana penghubung bagi pejalan kaki menuju halte untuk

melanjutkan perjalanan berikutnya menggunakan kendaraan umum atau ke tempat

tujuan. Fungsi trotoar sebagai prasarana pendukung atau sebagai feeder ini sangat penting

bagi pengguna layanan transportasi umum seperti BRT. Untuk dapat mengembangkan

sistem transportasi yang berkelanjutan maka transportasi berbasis kendaraan maupun

nonkendaraan seperti trotoar harus difungsikan untuk dapat saling melengkapi dan

terintegrasi menuju keseimbangan antarmoda (Saliara, 2014).

095 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

Rute BRT Trans Semarang Koridor I melintasi beberapa ruas jalan utama Kota

Semarang baik yang ada di pusat kota maupun yang di wilayah pinggiran. Dari keseluruhan

panjang ruas jalan (27,35 km) BRT Trans Semarang Koridor I Mangkang-Penggaron, belum

seluruhnya sepanjang koridor jalan terdapat trotoar di kanan kirinya, terutama dalam

mendukung aksesibilitas menuju halte BRT. Sebagian besar trotoar terdapat di ruas jalan

yang berada di kawasan pusat kota yaitu Bagian Wilayah Kota (BWK) I Kota Semarang

terutama kawasan Central Bussines District (CBD) dan penyediaannya lebih bertujuan

untuk mempercantik wajah kota.

Keberadaan BRT Trans Semarang juga dilengkapi dengan fasilitas pendukung seperti

halte dan trotoar. Trotoar di beberapa titik bahkan sudah dilengkapi dengan peneduh

(pergola) yang ditumbuhi oleh tanaman rambat (Suara Merdeka, 2016). Meskipun beberapa

ruas jalan di kawasan ini sudah ada yang dilengkapi trotoar, namun ketersediaan trotoar

sebagai fasilitas pejalan kaki masih belum optimal (Hidayati dan Febriharjati, 2016). Selain

itu integrasi BRT dengan fasilitas pengumpan (feeder) terutama yang berbasis bukan

kendaraan bermotor (non motorized) seperti trotoar bagi pejalan kaki yang menggunakan

BRT juga belum maksimal. Trotoar yang ada saat ini, dalam pemanfaatannya banyak

yang beralih fungsi seperti tempat berdagang PKL, parkir liar dan digunakan sebagai

jalur kendaraan, (Suara Merdeka, 2016). Di samping itu juga terdapat beberapa halte BRT

Trans Semarang yang didirikan di atas trotoar dan menutup akses pejalan kaki sehingga

mengganggu kelancaran pejalan kaki.

Ketersediaan trotoar yang mampu mendukung moda transportasi BRT Trans

Semarang sangat dibutuhkan di kawasan pusat Kota Semarang terutama kawasan

CBD. Prasarana trotoar yang ideal tersebut diharapkan dapat memberikan kemudahan

masyarakat dalam melakukan aktivitasnya. Kualitas trotoar yang ideal bagi pejalan kaki

atau pengguna BRT Trans Semarang sangat dipengaruhi oleh aspek keamanan dan

kenyamanan. Keamanan dalam hal ini dapat dilihat dari terhindarnya kemungkinan

kontak fisik dengan pejalan kaki lain atau kendaraan bermotor, terhindar dari jebakan

seperti lubang yang menimbulkan bahaya, dan terhindar dari tindak kriminal, sedangkan

kenyamanan dapat dilihat dari adanya lintasan dan jarak tempuh terpendek, tidak adanya

rintangan, adanya fasilitas penunjang, adanya pelindung dari cuaca, dan kemudahan

aksesibilitas bagi pejalan kaki (Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 3 Tahun

2014). Oleh karena itu, berdasarkan kondisi tersebut menjadikan peneliti tertarik untuk

mengetahui kualitas pemanfaatan trotoar terkait keamanan dan kenyamanan bagi pejalan

kaki yang menggunakan BRT Trans Semarang Koridor I di kawasan BWK I Kota Semarang.

B. Kajian Permasalahan dan Metode Analisis

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI096

BWK I merupakan pusat kota yang menjadi tempat tujuan masyarakat untuk melaksanakan

aktivitas perkantoran maupun perdagangan dan jasa. Pusat aktivitas perkantoran,

perdagangan dan jasa terlihat di beberapa ruas jalan di Kawasan Simpang Lima hingga

Tugu Muda mulai dari aktivitas formal maupun informal. Aktivitas informal tersebut di

antaranya adalah PKL yang melakukan kegiatan perdagangan di atas trotoar sebagai tempat

berdagang. Munculnya aktivitas informal (PKL) yang berjualan menggunakan trotoar

seperti yang terlihat di kawasan pusat oleh-oleh Jl. Pandanaran mengakibatkan sebagian

ruang untuk berjalan kaki menjadi berkurang. Di sisi lain, keberadaan perkantoran, mal,

pusat perbelanjaan dan pertokoan yang terpusat di kawasan CBD serta padatnya aktivitas

perdagangan dan jasa menjadikan kawasan ini tidak dapat terhindar dari dampak lainnya

seperti keberadaan parkir di atas trotoar.

Selain itu trotoar di ruas jalan penghubung menuju kawasan CBD dan ruas jalan yang

bersimpangan dengan jalan utama tersebut, belum seluruhnya memberikan pelayanan

yang baik bagi pejalan kaki pengguna BRT. Kondisi trotoar masih terkesan seadanya

dengan permukaan yang tidak rata seperti lubang ataupun permukaan keramik/paving

yang mengelupas sehingga membahayakan bagi pejalan kaki. Penerangan di trotoar yang

sangat kurang di malam hari, tidak adanya pepohonan sebagai peneduh dari cuaca panas

di beberapa ruas jalan, kurangnya fasilitas kebersihan seperti tempat sampah menjadikan

hilangnya keamanan dan kenyamanan bagi pejalan kaki. Berdasarkan dari uraian di atas,

maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut:

1. Kondisi trotoar di sepanjang rute BRT Trans Semarang Koridor I belum aman

dan nyaman bagi pejalan kaki pengguna BRT.

2. Belum optimalnya fungsi trotoar sebagai fasilitas pejalan kaki atau pengumpan

(feeder) bagi penumpang atau pengguna layanan BRT Trans Semarang Koridor

I di BWK I terutama aspek keamanan dan kenyamanan.

3. Belum berhasilnya integrasi sistem transportasi perkotaan antara BRT Trans

Semarang dengan feeder non motorized yaitu fasilitas trotoar yang berada di

sekitar halte (shelter) sebagai fasilitas pengumpan bagi pengguna BRT Trans

Semarang.

Berdasarkan permasalahan tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian yang akan

dikemukakan adalah “Seperti apa kualitas pemanfaatan trotoar sebagai pendukung BRT

terkait keamanan dan kenyamanan bagi pejalan kaki yang menggunakan BRT Trans

Semarang Koridor I di BWK I Kota Semarang?”

Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan

kuantitatif dan kualitatif. Penelitian kuantitatif adalah metode penelitian yang sering

digunakan untuk menganalisis data berupa angka (numerik) dan bentuk kualitatif yang

097 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

dikuantitatifkan agar dapat diproses lebih lanjut dengan cara mengklasifikasikan ke dalam

bentuk skala ordinal. Skala ordinal adalah data yang dinyatakan dalam bentuk kategori,

namun posisinya tidak sama derajatnya karena dinyatakan dalam skala peringkat (Tabachnick

& Fidell dalam Kuncoro, 2001). Penelitian dapat berlangsung dengan ketersediaan data

sehingga pada tahap selanjutnya dapat dilakukan analisis. Dalam penelitian ini, pengumpulan

data terhadap objek yang diteliti dilakukan dalam rangka mendapatkan gambaran mengenai

suatu keadaan atau permasalahan di lokasi penelitian. Data tersebut terdiri dari data primer

dan data sekunder.

C. PembahasanBerdasarkan hasil analisis dan penilaian yang telah dilakukan sebelumnya didapatkan

temuan-temuan sebagai berikut

1. Pergerakan pejalan kaki yang menggunakan BRT Trans Semarang Koridor I di

Bagian Wilayah Kota (BWK) I rata-rata adalah untuk perjalanan pendidikan

(49%), ekonomi (35%), rekreasi (15%), dan sosial (1%). Keberadaan bangunan

untuk aktivitas perkantoran, perdagangan dan jasa serta pendidikan di kawasan

BWK I yang dilintasi oleh BRT Koridor I membuat masyarakat dapat mengakses

kawasan ini dengan menggunakan moda transportasi BRT. Mayoritas pengguna

BRT adalah pelajar, mahasiswa, PNS, karyawan swasta, dan wiraswasta.

2. Moda transportasi yang digunakan untuk menuju halte BRT didominasi dengan

berjalan kaki sebesar 88%, sepeda motor sebesar 8% dan angkutan umum

lainnya sebesar 4%. Lokasi asal perjalanan yaitu sekolah, kantor, toko, mall dan

lainnya yang berada tidak jauh dengan halte BRT dan ketersediaan trotoar di

sekitar halte BRT menjadi alasan pengguna BRT untuk berjalan kaki menuju

halte

3. Kondisi trotoar di ketiga zona secara umum sudah sesuai dengan harapan

dari pengguna. Trotoar di Zona 1 memiliki tingkat kesesuaian sebesar 85,96%

yang artinya pengguna BRT yang berjalan kaki di trotoar sangat puas dengan

kondisi trotoar yang ada saat ini sehingga berdasarkan preferensi pejalan

kaki yang menggunakan BRT kondisi trotoar tersebut dianggap sangat sesuai

atau sangat baik, sedangkan nilai kesenjangan/selisih (gap) sebesar 0,59 yang

artinya perbedaan nilai (gap) antara tingkat kinerja/kenyataan dengan tingkat

kepentingan/harapan dinilai baik. Namun demikian kondisi trotoar di BWK I yang

berfungsi sebagai feeder bagi pengguna BRT masih membutuhkan perbaikan

kinerja. Demikian juga trotoar di Zona 2 yang memiliki tingkat kesesuaian

sebesar 88,93% yang artinya pengguna BRT yang berjalan kaki di trotoar sangat

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI098

puas dengan kondisi trotoar yang ada saat ini sehingga berdasarkan preferensi

pejalan kaki yang menggunakan BRT kondisi trotoar tersebut dianggap sangat

sesuai atau sangat baik, sedangkan nilai kesenjangan/selisih (gap) sebesar 0,46

yang artinya perbedaan nilai (gap) antara tingkat kinerja/kenyataan dengan

tingkat kepentingan/harapan dinilai sangat baik, namun masih membutuhkan

perbaikan kinerja. Sementara trotoar di Zona 3 memiliki tingkat kesesuaian

sebesar 80,25% yang artinya pengguna BRT yang berjalan kaki di trotoar puas

dengan kondisi trotoar yang ada saat ini sehingga berdasarkan preferensi pejalan

kaki yang menggunakan BRT kondisi trotoar tersebut dianggap sesuai atau baik,

sedangkan nilai kesenjangan/selisih (gap) sebesar 0,85 yang artinya perbedaan

nilai (gap) antara tingkat kinerja/kenyataan dengan tingkat kepentingan/

harapan dinilai cukup baik namun juga masih membutuhkan perbaikan kinerja.

4. Aspek keamanan yang menjadi sangat penting dan prioritas utama dalam

meningkatkan kualitas trotoar menurut pejalan kaki yang menggunakan

BRT di ketiga zona di antaranya adalah keberadaan pagar pengaman dan

lampu penerangan. Selain itu di Zona 3, perbedaan ketinggian lantai trotoar

dan permukaan yang rata juga menjadi prioritas utama. Sementara di sisi lain

yang harus dipertahankan kondisinya adalah ketersediaan lebar trotoar dan

permukaan yang tidak licin.

5. Aspek kenyamanan yang menjadi sangat penting dan prioritas utama dalam

meningkatkan kualitas trotoar di Zona 1 di antaranya adalah keberadaan

pelindung dari cuaca dan tempat duduk. Sementara untuk prioritas rendah di

ketiga zona rata-rata adalah ramp di persimpangan, penunjuk arah/rambu-rambu

dan jarak dengan sisi gedung, sedangkan di sisi lain yang harus dipertahankan

adalah keberadaan pohon peneduh di Zona 2 dan Zona 3.

6. Dilihat dari perbandingan antara kenyataan dan harapan pejalan kaki, tingkat

kesesuaian dan kesenjangan/selisih (gap) antara kenyataan dan harapan

menunjukkan bahwa Zona 2 sebagai pusat kota lebih baik jika dibandingkan

dengan Zona 1 dan Zona 3 yang merupakan wilayah penyangga. Meskipun

kondisi yang ada saat ini dapat diterima oleh pejalan kaki, namun kondisi trotoar

yang ideal masih belum tersedia.

7. Kualitas trotoar di ketiga zona wilayah studi berbeda seiring fungsi dan aktivitas

kawasan masing-masing. Zona 2 atau kawasan CBD memiliki kualitas trotoar

yang lebih baik dibandingkan Zona 1 dan Zona 3 yang merupakan kawasan

penyangganya. Mayoritas kualitas trotoar zona 2 adalah trotoar dengan kualitas

yang dapat diterima (56,89%), sedangkan Zona 1 mayoritas trotoar hanya

099 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

kualitas basis/dasar (64,29%) dan Zona 3 mayoritas adalah trotoar dengan

kualitas yang dapat diterima (34,16%). Kualitas trotoar tersebut sebagian besar

terdapat pada jalan-jalan utama dimana halte BRT berada, sedangkan untuk

jalan-jalan persimpangan mayoritas kualitas trotoar adalah buruk dan tidak

cocok untuk pejalan kaki.

8. Penyediaan trotoar yang baik masih terkonsentrasi di wilayah pusat kota

atau CBD dan masih fokus pada jalan-jalan utama atau protokol, sedangkan

jalan-jalan persimpangan maupun wilayah sekitar CBD belum mendapatkan

perhatian yang baik. Di sisi lain bahkan masih terdapat ruas jalan yang belum

tersedia trotoar sehingga integrasi antara trotoar sebagai pendukung layanan

BRT belum optimal.

D. KesimpulanPenyediaan moda transportasi BRT Trans Semarang Koridor I di BWK I telah didukung

dengan fasilitas pendukung seperti halte dan trotoar sebagai feeder (pengumpan) bagi

pengguna BRT. Keberadaan bangunan perkantoran, perdagangan dan jasa serta fasilitas

pendidikan di sepanjang rute BRT Koridor I di BWK I memengaruhi aktivitas pergerakan

masyarakat terutama pengguna BRT Koridor I. Pergerakan pengguna BRT Koridor I di BWK I

sangat didominasi oleh perjalanan dengan maksud untuk pendidikan dan ekonomi seperti

sekolah, bekerja atau belanja. Mayoritas pengguna BRT menjadikan berjalan kaki sebagai

moda transportasi dari tempat asal menuju halte BRT, sehingga berjalan kaki merupakan

bagian atau salah satu komponen dari seluruh perjalanan yang dilakukan pengguna BRT

sesuai dengan Wardianto (2016). Hal ini terjadi karena lokasi asal perjalanan berada tidak

jauh dari halte BRT dan masih dalam jangkauan kemampuan orang untuk berjalan kaki

yaitu 400-500 meter serta didukung dengan ketersediaan trotoar di sepanjang rute BRT

Koridor I di BWK I. Namun, jika lokasi asal perjalanan jauh dari halte, pengguna BRT akan

menggunakan moda transportasi kendaraan lain seperti sepeda motor atau angkutan

umum lainnya sebagai sarana menuju halte BRT sebagaimana yang terjadi di stasiun

kereta Ipanema di Kota Rio de Jeneiro, Brasil (Monteiro dan Campos, 2012).

Pemanfaatan trotoar sebagai prasarana untuk berjalan kaki menuju halte BRT

atau pengumpan (feeder) menunjukkan bahwa trotoar sebagai prasarana transportasi

pendukung bagi pengguna BRT tidak dapat dipisahkan dari sistem transportasi itu sendiri.

Oleh karena itu, keberadaan trotoar sebagai fasilitas pengumpan (feeder) bagi pengguna

BRT menjadi bagian yang terintegrasi dan tidak dapat terlepas dari keberadaan halte BRT

di BWK I. Sementara di sisi lain pejalan kaki yang menggunakan BRT Koridor I di BWK I

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI100

membutuhkan trotoar yang memadai dan memenuhi syarat keamanan dan kenyamanan

untuk berjalan kaki menuju halte BRT.

Kondisi trotoar di BWK I saat ini belum optimal dalam memberikan keamanan dan

kenyamanan bagi pengguna BRT yang berjalan kaki karena masih memiliki kesenjangan

antara tingkat kenyataan dan harapan. Pengguna BRT yang menggunakan trotoar

di BWK I menganggap masih terdapat beberapa variabel dari aspek keamanan dan

kenyamanan yang belum sesuai antara kenyataan dan harapan sehingga perlu menjadi

prioritas perbaikan di antaranya adalah keberadaan pagar pengaman, lampu penerangan,

keberadaan pelindung cuaca, keberadaan tempat duduk dan penyediaan kemiringan

(ramp) di setiap persimpangan. Fasilitas trotoar tersebut dianggap sangat penting dalam

memberikan keamanan dan kenyamanan bagi pengguna BRT yang berjalan kaki di trotoar.

Kondisi trotoar di BWK I tersebut tidak berbeda dengan penelitian lain yang dilakukan

sebelumnya oleh Widodo (2013) bahwa kualitas keamanan dan kenyamanan trotoar di

jalan protokol Kota Semarang yaitu Jalan Pandanaran termasuk dalam kriteria kurang baik

dalam pemanfaatannya sebagai jalur pejalan kaki. Di samping itu tingkat kenyamanan,

keselamatan dan keamanan pejalan kaki menjadi faktor utama (deterministik) dalam

menentukan kualitas trotoar.

Sementara kualitas trotoar di BWK I secara keseluruhan belum ideal bagi pejalan kaki

pengguna BRT. Kualitas trotoar di ketiga zona BWK I menunjukkan kualitas yang berbeda

seiring tata guna lahan dan aktivitas kawasan masing-masing, di mana kualitas trotoar di

pusat kota atau CBD cenderung lebih baik daripada di wilayah sekitarnya atau penyangga.

Selain itu penyediaan trotoar dengan kualitas basis/dasar bahkan ideal terkonsentrasi

pada jalan-jalan utama koridor BRT atau jalan protokol yang menjadi wajah atau citra

Kota Semarang, sedangkan jalan-jalan persimpangan memiliki kualitas yang buruk bahkan

tidak cocok bagi pejalan kaki dan belum mendapatkan perhatian yang baik. Perbedaan

kualitas tersebut menunjukkan bahwa penyediaan trotoar masih memprioritaskan

pada wilayah pusat kota dibandingkan wilayah sekitarnya atau penyangga serta belum

terintegrasi secara baik dengan layanan BRT.

E. Saran KebijakanRekomendasi bagi Pemerintah Kota Semarang terkait dengan pemanfaatan trotoar

sebagai pendukung bagi pengguna BRT Trans Semarang yaitu meningkatkan kualitas

trotoar yang aman dan nyaman bagi pejalan kaki yang menggunakan BRT dengan

melakukan perbaikan terkait aspek keamanan dan kenyamanan sebagai berikut:

1. Perlunya penyediaan atau pemasangan pagar pengaman di setiap persimpangan

(driveway) dan penyediaan lampu penerangan di trotoar yang terpisah dari

101 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

lampu penerangan jalan untuk meningkatkan keamanan pejalan kaki pengguna

BRT.

2. Perlunya penyediaan kemiringan permukaan (ramp) di setiap persimpangan,

pelindung cuaca yang dapat melindungi dari panas maupun hujan bagi pejalan

kaki serta penyediaan tempat duduk terutama di trotoar sekitar halte BRT

untuk meningkatkan kualitas kenyamanan.

3. Perlunya penyediaan trotoar di beberapa ruas jalan persimpangan yang belum

tersedia trotoar dan peningkatan kualitas trotoar di jalan persimpangan

yang kondisinya kurang baik agar konektivitas trotoar menjadi lebih baik dan

terintegrasi dengan layanan BRT Trans Semarang.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI102

10PENGELOLAAN PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN SOMBA OPU KABUPATEN GOWA

► Nama : Suryani Tajuddin

► Unit Organisasi : Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Rua Pemkab

Gowa

► Program Studi : Perencanaan dan Pengembangan Wiilayah

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Hasanuddin

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI104

ABSTRAKPertambahan jumlah penduduk di daerah Kecamatan Somba Opu sebagai lokasi ibu

kota Kabupaten Gowa, yang secara administratif berbatasan dengan Kota Makassar,

memiliki pertumbuhan perekonomian di tahun 2014 sebesar 6,94% sehingga mendorong

urbanisasi. Namun, keterbatasan lahan pada daerah perkotaan dan masalah pemenuhan

kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah mengakibatkan

munculnya permukiman kumuh perkotaan di Kecamatan Somba Opu. Penelitian ini

bertujuan (1) mendeskripsikan karakteristik prasarana permukiman kumuh di Kecamatan

Somba Opu, Kabupaten Gowa; (2) mengukur tingkat kekumuhan dan permasalahan

spesifik permukiman kumuh di Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa; dan (3)

merumuskan perencanaan penanganan permukiman kumuh di Kecamatan Somba

Opu, Kabupaten Gowa dari aspek peningkatan kualitas permukiman. Penelitian ini

menggunakan teknik analisis deskriptif kuantitatif dan kualitatif, pembobotan, dan

analisis development (AHP). Data diperoleh melalui penelitian yang dilakukan dengan

teknik survei, pengamatan langsung, dan wawancara terhadap responden yang berada

dalam kawasan permukiman kumuh di Kecamatan Somba Opu dan para ahli permukiman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) karakteristik permukiman kumuh di Kecamatan

Somba Opu merupakan permukiman kumuh yang berada di perkotaan, namun memiliki

kondisi sarana dan prasarana yang tidak sesuai standar teknik, baik dari jangkauan

pelayanan, kualitas, maupun tidak tersedianya sarana dan prasarana; (2) tingkat kumuh di

Kelurahan Bontoramba (Lingkungan Bontobaddo, RT 13/04) dan Kelurahan Batangkaluku

(Lingkungan Karetappa, RT 04/04) adalah tingkat kumuh sedang, sedangkan Kelurahan

Tamarunang (Lingkungan Pagentungang, RT 01/03) adalah tingkat kumuh ringan.

Permasalahan di lokasi penelitian yang memberikan skor tinggi dalam penilaian tingkat

kumuh adalah sampah, air bersih, drainase, dan proteksi kebakaran; (3) arahan penanganan

permukiman kumuh dari peningkatan kualitas didasari oleh karakteristik dan tingkat

kumuh. Model penanganan yang paling tepat berdasarkan preferensi ahli menggunakan

AHP adalah on site upgrading, dalam bentuk program perbaikan kampung. Ketiga lokasi

penelitian berada dalam lokasi yang legal sehingga arahan untuk tingkat kumuh sedang

(Kelurahan Bontoramba dan Kelurahan Batangkaluku) adalah peremajaan, dan untuk

tingkat kumuh ringan (Kelurahan Tamarunang) adalah pemugaran.

► Kata Kunci: Sarana Prasarana, Arahan Penanganan, AHP

105 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

ABSTRACTThe increase of population in Somba Opu Sub district as the capital of Gowa Regency,

administratively adjacent to Makassar City, has an economic growth of 6.94% in 2014,

which encourages urbanization, but limited land in urban areas and the problem of

housing needs for the community low income resulted in the emergence of urban slums

in Somba Opu Subdistrict. This study aims to: (1) describe the characteristics of slum

housing infrastructure in Somba Opu Subdistrict, Gowa Regency; (2) measure the slum

level and slum-spesific problems in Somba Opu Subdistirct, Gowa Regency; and (3)

formulate slum settlement planning in Somba Opu Subdistrict, Gowa Regency from the

aspect of settlement quality improvement. The research used quantitative descriptive

and qualitative analysis technique, weighting, and development (AHP) analysis. The data

were obtained through a survey, direct observation, and interviews with respondents

in slum areas in Somba Opu Subdistrict and settlement experts. The result show that:

(1) the slum settlements in Somba Opu Subdistrict are located in urban areas, but the

condition of facilities and infrastructure is not in accordance with technical standards in

terms of range of services, quality, or availability of facilities and infrastructure; (2) slums

in Bontoramba (Bontobaddo neighbourhood, RT 13/04) and Batangkaluku (Karetappa

Neighbourhood, RT 04/04) are at the moderate level, while those in Tamarunang

(Paggentungan Neighbourhood, RT 01/03) are at a milder level. Problems in the study

location that provide the highest score in the assessment of slums level are garbage, clean

water, drainage, and fire protection; (3) the direction of slum area management is based

on the characteristics and slum level. The most appropriate model of management based

on expert preference using AHP is on-site upgrading in the form of Village Development

Program. The three research sites are in legal locations, so that the direction for

moderate-level slum (Bontoramba and Batangkaluku) is rejuvenation, and the direction

for mild-level slum (Tamarunang) is restoration.

► Keywords: Infrastructure, Management Direction, AHP

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI106

PENGELOLAAN PERMUKIMAN KUMUH DI KECAMATAN SOMBA OPU KABUPATEN GOWAA. Latar BelakangPertambahan penduduk pada daerah perkotaan mengakibatkan kebutuhan

perumahan ikut meningkat, namun keterbatasan lahan pada daerah perkotaan dan

masalah pemenuhan kebutuhan perumahan bagi masyarakat berpenghasilan rendah

mengakibatkan munculnya permukiman kumuh perkotaan. Kenaikan laju pertumbuhan

penduduk memiliki dampak pada tingginya akses terhadap kebutuhan-kebutuhan

primer salah satunya adalah kebutuhan akan rumah tinggal. Hal tersebut merupakan

salah satu pemicu munculnya permukiman kumuh (Wimardana & Setiawan, 2016).

Terjadinya peningkatan jumlah penduduk yang berlebihan pada daerah perkotaan akan

mengakibatkan perluasan pemukiman kumuh, sedangkan pemukiman kumuh yang telah

dilakukan rehabilitasi dapat kembali menjadi kumuh (Koestoer dkk., 2001).

Berdasarkan data Susenas tahun 2013, permukiman kumuh di Indonesia tercatat

terdapat 38.431 Ha kawasan kumuh di 4.108 kawasan yang tersebar di kota/kabupaten

seluruh Indonesia, Rumah Tangga Kumuh Perkotaan 10,1% atau 9,6 juta rumah tangga yang

masih membutuhkan peningkatan kualitas kawasan permukiman melalui peningkatan

pelayanan infrastruktur (Direktorat Keterpaduan Infrastruktur Permukiman, 2016).

Menurut Sulestianson dalam Anindy (2015), permukiman kumuh adalah permukiman

yang tidak layak huni, karena kurang teraturnya bangunan, kepadatan bangunan tinggi

dan kualitas bangunan/rumah serta sarana dan prasarana yang tidak memadai atau

memenuhi syarat. Permukiman kumuh jika dibiarkan dapat menyebabkan kualitas

lingkungan akan terus menurun dan derajat kesehatan masyarakat akan tetap rendah,

sedangkan rumah adalah kebutuhan sangat mendasar bagi kesejahteraan fisik, psikologi,

sosial dan ekonomi penghuninya (Wunas, 2003).

Pertumbuhan perekonomian di Kabupaten Gowa tahun 2014 sebesar 6,94%, dan

pertambahan penduduk pada tahun 2015 meningkat 3,72% dengan kepadatan penduduk

5.605 jiwa/km2 (BPS, 2016). Kabupaten Gowa secara administratif berbatasan dengan Kota

Makassar, sehingga mendorong terjadinya urbanisasi serta mengakibatkan pertambahan

jumlah penduduk di daerah perkotaan, terutama di Kecamatan Somba Opu. Hal ini

menyebabkan munculnya permukiman kumuh di Kecamatan Somba Opu, berdasarkan

SK Penetapan Lokasi Perumahan dan Permukiman Kumuh di Kabupaten Gowa Tahun

2015, No. 175/ II/ 2015, ditetapkan 19 lingkungan permukiman kumuh pada 14 kelurahan di

Kecamatan Somba Opu dengan total luasan 196,15 Ha.

107 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

Beberapa program pemerintah dalam upaya penanganan permukiman kumuh telah

dilakukan, salah satunya adalah program Rencana Pencegahan dan Peningkatan Kualitas

Permukiman Kumuh Perkotaan (RP2KPKP), Menuju Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU) tahun

2019. Tujuan umum program KOTAKU, adalah meningkatkan akses terhadap infrastruktur

dan pelayanan dasar di permukiman kumuh perkotaan guna mendukung terwujudnya

permukiman perkotaan yang layak huni, produktif, dan berkelanjutan. Pemerintah

Kabupaten Gowa melakukan pencanangan Kota Tanpa Kumuh (KOTAKU), berupa program

pembangunan infrastruktur berbasis masyarakat untuk mempercepat penanganan

kumuh perkotaan. Program Kotaku Kabupaten Gowa dimulai dari penanganan sampah,

melalui program Gowa Kota Tanpa Sampah. Dibentuk 25 orang Satuan Petugas Peduli

Lingkungan di setiap kelurahan yang bertugas melakukan sosialisasi kepada masyarakat

terkait penataan lingkungan, hidup bersih dengan melakukan pengelolaan persampahan.

Namun untuk mengatasi permukiman kumuh sebaiknya terlebih dahulu ditentukan

karakteristik prasarana dari permukiman kumuh yang ada, dan kesesuaian penggunaan

lahan terhadap RTRW, agar dapat dirumuskan strategi penanganan yang tepat.

Penelitian ini bertujuan untuk merumuskan perencanaan penanganan permukiman

kumuh sesuai dengan karakteristik permukiman kumuh dan tingkat kekumuhan di

Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini

adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana karakteristik prasarana permukiman kumuh di Kecamatan Somba

Opu Kabupaten Gowa?

2. Bagaimana tingkat kumuh dan permasalahan spesifik permukiman kumuh di

Kecamatan Somba Opu Kabupaten Gowa?

3. Bagaimana perencanaan penanganan permukiman kumuh di Kecamatan Somba

Opu Kabupaten Gowa dari aspek peningkatan kualitas permukiman?

Lokasi penelitian dilakukan di Kecamatan Somba Opu, Kabupaten Gowa yaitu

pada permukiman kumuh di tiga kelurahan, yaitu Kelurahan Bontoramba (Lingkungan

Bontobaddo, RT 13/04) dan Kelurahan Tamaruang (Lingkungan Paggentungang, RT 01/03),

dan Kelurahan Batangkaluku (Lingkungan Karetappa, RT 04/04).

Penelitian menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif yang bersifat deskriptif

dengan tujuan untuk memberikan gambaran secara sistematis tentang karakteristik

permukiman dan tingkat kumuh di lokasi penelitian yang berada di Kecamatan Somba

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI108

Opu. Berdasarkan metodenya, penelitian ini merupakan penelitian survei, menggunakan

kuesioner dan observasi langsung terhadap prasarana yang ada di lokasi penelitian. Populasi

dalam penelitian ini adalah masyarakat di permukiman kumuh pada tiga Kelurahan, yaitu

Kelurahan Bontoramba, Kelurahan Tamarunang dan Kelurahan Batangkaluku dengan

total jumlah penduduk 305 KK. Sampel yang akan digunakan adalah 41 KK di Kelurahan

Bontoramba, 10 KK di Kelurahan Tamarunang, dan 24 KK di Kelurahan Bontoramba.

Tahapan analisis dalam penelitian ini adalah menggunakan teknik analisis deskriptif

kualitatif dan kuantitatif untuk menganalisis karakteristik prasarana permukiman kumuh,

dibantu dengan alat analisis scoring atau pembobotan untuk mengetahui tingkat

kekumuhan. Perencanaan penanganan permukiman kumuh menggunakan metode analisis

development, yaitu analisis AHP menggunakan tools atau software pendukung yaitu

Expert Choise Versi 11. Analytic Hierarchy Process (AHP) merupakan metode pengambilan

keputusan berkriteria majemuk (Saaty, 1993). AHP dapat melakukan analisis secara simultan

dan terintegrasi antara parameter-parameter yang kualitatif atau bahkan yang intangible

dan yang kuantitatif (Baja, 2012).

C. Pembahasan

1. Karakteristik Prasarana Lingkungan

Permukiman kumuh yang ada di lokasi permukiman berada di lahan legal, yang sesuai

dengan pola ruang RTRW Kab. Gowa Thn. 2012-2032, peruntukan permukiman.

Berdasarkan parameter untuk tingkat kepadatan bangunan, ketiga lokasi penelitian

memiliki tingkat kepadatan rendah, ≤200 unit/Ha, dengan kepadatan tertinggi

hanya 28,24% di Kelurahan Bontoramba.

Untuk melihat kondisi bangunan terkait penataan bangunan harus memenuhi

ketentuan tata bangunan RDTR dan tata kualitas lingkungan RTBL, namun Kab.

Gowa belum mensahkan RDTR sebagai peraturan daerah. Oleh karenanya, untuk

melihat penataan bangunan dalam penelitian ini melihat dari kepemilikan IMB,

dengan pertimbangan bahwa untuk memiliki IMB maka bangunan harus memenuhi

persyaratan yang telah ditetapkan oleh Bidang Tata Ruang, Dinas Pekerjaan Umum

dan Penataan Ruang Kab. Gowa. Di Kelurahan Bontoramba, dari total 41 responden,

39 responden tidak memiliki IMB, dengan persentase 95,12%. Responden yang

memiliki IMB sebanyak 2 responden dengan persentase 4,88%. Dari hasil analisis

tersebut diketahui bahwa kebanyakan rumah yang berada di lokasi penelitian tidak

memiliki IMB, hal ini menjadi indikasi kurangnya pengawasan terhadap penataan

bangunan di lokasi penelitian, meskipun berada di kawasan perkotaan yang mudah

109 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

dijangkau untuk dilakukan pengawasan. Di Kelurahan Tamarunang, dari total 10

responden yang menjadi sampel, terdapat 7 responden yang tidak memiliki IMB,

dengan persentase 70%. Responden yang memiliki IMB sebanyak 3 responden dari

10 responden sebagai sampel, dengan persentase 30%. Sebesar 75% responden di

Kelurahan Batangkaluku tidak memiliki IMB, dan berdasarkan pengamatan langsung

di lokasi penelitian terlihat bahwa kondisi hunian tidak teratur, karena tidak dibatasi

oleh garis sempadan bangunan serta aturan terkait orientasi bangunan. Sebesar 6%

dari responden yang memiliki IMB, selanjutnya tidak memiliki IMB untuk renovasi

rumah yang mereka lakukan. Sebagai contoh, rumah yang awalnya dimiliki oleh

orang tua mereka memiliki IMB, telah direnovasi dengan membagi rumah tersebut

menjadi beberapa unit rumah. Dari kondisi bangunan, rumah permanen paling

sedikit dijumpai di Kelurahan Bontoramba (4,88%), dan paling banyak berada di

Kelurahan Tamarunang (70%). Bangunan semi permanen di Kelurahan Bontoramba

(46,34%).

Kondisi permukaan jalan di Kelurahan Batangkaluku lebih baik jika dibandingkan

dengan lokasi penelitian lainnya, pada umumnya adalah paving blok (79,17%), dan

20,83% rumah responden yang masih dialui jalanan tanpa perkerasan (tanah). Di

Kelurahan Tamarunang kondisi permukaan jalan sangat memprihatinkan, 90%

dari tanah. Kondisi permukaan jalan di Kelurahan Bontoramba sudah baik, dengan

51,22% dari paving blok, meskipun masih ada jalan tanah tanpa perkerasan, dan

beberapa rumah tidak dilalui akses jalan lingkungan (19,51%). Untuk aspek air bersih,

responden dari lokasi penelitian tidak mengakses jaringan PDAM, sehingga untuk

memenuhi kebutuhan akan air bersih mereka membeli air siap minum kemasan

galon yang telah diolah, namun depot air minum kemasan tersebut tidak berada di

lokasi penelitian.

Dari pengamatan di lokasi penelitian masih terdapat rumah yang tidak

terhubung dengan jaringan drainase, persentase paling banyak terdapat di

Kelurahan Bontoramba, yaitu 78,05%, dan Kelurahan Tamarunang 70%, sedangkan

Kelurahan Batangkaluku terendah 29,17%. Di Kelurahan Batangkaluku dan

Kelurahan Tamarunang 100% responden memiliki MCK sendiri di rumah masing-

masing. Hal ini memperlihatkan tingginya kesadaran masyarakat akan pentingnya

MCK dalam sebuah hunian. Di Kelurahan Bontoramba masih ada responden yang

belum memiliki MCK di rumah sendiri (7,32%).

Aspek pengelolaan sampah, tidak tersedianya bak/kontainer sampah di 3

lokasi penelitian, semakin diperparah dengan tidak adanya petugas kebersihan

untuk mengambil sampah yang ada di permukiman. Pada Kelurahan Batangkaluku,

lebar jalan yang sempit, 79,17% lebar ≥ 0,8 - 2,0 meter, ukuran lebar jalan demikian

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI110

menyebabkan sulitnya akses mobil damkar jika terjadi musibah kebakaran, selain itu

di Kelurahan Batangkaluku tidak tersedia Hidran, yang seharusnya tersedia di tepi

jalan setiap jarak 200 meter, atau tersedia tandon air (kolam, air mancur, reservoar,

dan sebagainya) untuk proteksi kebakaran.

2. Identifikasi Tingkat Kumuh

Tingkat kekumuhan ditinjau dari komponen penilaian terhadap prasarana

permukiman. Penilaian diberikan nilai 5 untuk kumuh berat, 3 untuk kumuh sedang,

dan 1 untuk kumuh ringan, yang kemudian dijumlahkan. Kumuh berat bila memiliki

nilai 71-95, kumuh sedang bila memiliki nilai 45-70, kumuh ringan bila memiliki nilai

19-44. Hasilnya, lokasi penelitian yang termasuk dalam kategori tingkat kumuh

sedang adalah Kelurahan Bontoramba (total skor 63), dan Kelurahan Batangkaluku

(total skor 47), sedangkan Kelurahan Tamarunang (total skor 44) digolongkan ke

dalam kategori tingkat kumuh ringan.

3. Penanganan Permukiman Kumuh

Perencanaan tersebut juga ikut mempertimbangkan hasil AHP menggunakan

Expert Choice Versi 11 dalam penentuan model penanganan permukiman kumuh,

menggunakan hierarki. Dari hasil analisis menggunakan AHP, untuk tiga lokasi

penelitian, preferensi model penanganan terpilih adalah bentuk on site upgrading,

Kelurahan Bontoramba (skor 0,513), Kelurahan Tamarunang (skor 0,545), Kelurahan

Batangkaluku (skor 0,541).

Model on site upgrading yaitu penataan kembali atau peremajaan permukiman

kumuh tanpa memindahlokasikan tempat tinggal yang terdapat di permukiman

tersebut, bisa berupa land sharing, atau program perbaikan kampung. Untuk

memilih alternatif, dilakukan perbandingan antara persyaratan alternatif on site

upgrading dan alternatif program perbaikan kampung dengan kondisi eksisting di

lokasi penelitian, sehingga alternatif yang dapat diterapkan untuk ketiga lokasi

penelitian adalah Program Perbaikan Kampung.

Skema umum perumusan konsep dan strategi peningkatan kualitas

permukiman kumuh berupa kegiatan peremajaan permukiman kumuh dapat

dilakukan di Kelurahan Bontoramba (Lingkungan Bontobaddo, RT. 13/04) dan di

Kelurahan Batangkaluku (Lingkungan Karetappa, RT. 04/04), sedangkan kegiatan

pemugaran permukiman kumuh dilakukan di Kelurahan Tamarunang (Lingkungan

Paggentungang, RT. 01/03).

111 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

4. Pembahasan

Penelitian ini menunjukkan bahwa karakteristik permukiman adalah permukiman

kumuh perkotaan yang sesuai dengan fungsi permukiman dan berada di lahan

yang legal namun kondisi sarana dan prasarana masih kurang memadai. Ketiga

lokasi penelitian dilihat dari lingkup kelurahan saling berbatasan satu sama lainnya,

sehingga memiliki karakteristik dan permasalahan yang hampir serupa. Tahapan

identifikasi karakteristik permukiman kumuh dengan cara identifikasi secara

mendalam, langkah identifikasi ini sangat penting untuk dilakukan sebelum proses

perumusan arahan dalam penelitian (Fitria & Setiawan, 2014).

Hasil skor untuk menentukan tingkat kumuh memperlihatkan bahwa

permasalahan yang paling parah terjadi di Kelurahan Bontoramba (total skor 63).

Hal ini disebabkan karena luas permukiman yang besar (5,95 Ha) dan jumlah unit

rumah yang banyak (168 unit) jika dibandingkan lokasi penelitian lainnya. Kelurahan

Tamarunang (total skor 44) termasuk kumuh ringan meskipun memiliki skor yang

berada di ambang batas maksimal untuk kategori kumuh ringan (skor 19-44). Hal

ini memperlihatkan bahwa Kelurahan Tamarunang jika tidak segera dilakukan

penanganan peningkatan kualitas permukiman, dapat menyebabkan kategori

tingkat kumuh ringan meningkat menjadi kumuh sedang. Kelurahan Batangkaluku

(total skor 47) berada dekat dengan ambang batas minimum untuk kategori kumuh

sedang (skor 45-70), sehingga jika dilakukan penanganan yang tepat dapat dengan

mudah menurunkan kategori tingkat kumuh menjadi kumuh ringan, dan jika

dilakukan upaya lebih maksimal dapat membuat permukiman ini menjadi bebas

kumuh.

Untuk permasalahan spesifik, penelitian ini menunjukkan bahwa permukiman

kumuh di Kelurahan Bontoramba dan Kelurahan Batangkaluku terkait dengan

5 apsek prasarana dasar permukiman, yaitu bangunan, pengelolaan sampah,

drainase, air bersih, dan proteksi kebakaran. Yang menjadi permasalahan spesifik

permukiman kumuh di Kelurahan Tamarunang terkait dengan 6 aspek prasarana

dasar, yaitu bangunan, jalan lingkungan, air bersih, drainase, pengelolaan sampah,

dan proteksi kebakaran. Menurut Haryanto (2006), permukiman kumuh adalah

tempat rumah dan kondisi hunian masyarakat di permukiman tersebut sangat

buruk, rumah dan sarana dan prasarana yang ada tidak sesuai dengan standar yang

berlaku, baik standar kebutuhan kepadatan bangunan, persyaratan rumah sehat,

kebutuhan air bersih, sanitasi maupun persyaratan kelengkapan prasarana jalan,

ruang terbuka, serta kelengkapan fasilitas sosial lainnya. Oleh karenanya untuk

mengatasi permukiman dengan peningkatan kualitas, digunakan hasil alternatif

yang merupakan preferensi utama dari analisis AHP, yaitu model penanganan on

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI112

site upgrading dengan program perbaikan kampung, ditentukan jenis kegiatan yang

dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas permukiman kumuh berdasarkan

permasalahan spesifik yang ada di tiap permukiman.

D. KesimpulanKarakteristik permukiman kumuh di Kecamatan Somba Opu, merupakan permukiman

kumuh yang berada di perkotaan, namun memiliki kondisi sarana dan prasarana yang

tidak sesuai standar teknis baik dari jangkauan pelayanan, kualitas, bahkan tidak tersedia

sarana dan prasarana. Di ketiga lokasi penelitian tingkat kepadatan bangunan rendah.

Hal ini dapat menjadi peluang lahan yang memadai untuk menempatkan prasarana

dasar. Berdasarkan hasil penelitian, tingkat kumuh sedang di Kelurahan Bontoramba dan

Kelurahan Batangkaluku, sedangkan Kelurahan Tamarunang termasuk kumuh ringan.

Aspek yang paling sering menjadi permasalahan dan memberikan skor tinggi dalam

penilaian tingkat kumuh adalah sampah, air bersih, drainase, proteksi kebakaran. Aspek

pengelolaan air limbah di ketiga lokasi penelitian tidak menjadi permasalahan spesifik.

Di ketiga lokasi penelitian layanan pengelolaan sampah dan air minum (PDAM) tidak

menjangkau permukiman kumuh, sedangkan kondisi drainase buruk, tanpa material

pelapis, jaringan tersumbat, kotor dan berbau, menyebabkan permukiman tidak sehat.

Skala lingkungan penelitian maupun unit rumah itu sendiri, tidak menyediakan proteksi

kebakaran. Arahan penanganan permukiman kumuh dari peningkatan kualitas didasari

oleh karakteristik dan tingkat kumuh. Model penanganan yang paling tepat berdasarkan

preferensi expert menggunakan AHP adalah on site upgrading, dalam bentuk Program

Perbaikan Kampung. Ketiga lokasi penelitian berada dalam lokasi yang legal, sehingga

arahan untuk tingkat kumuh sedang (Kelurahan Bontoramba dan Kelurahan Batangkaluku)

adalah peremajaan, dan untuk tingkat kumuh ringan (Kelurahan Tamarunang) adalah

pemugaran.

E. Kebijakan1. Lokasi permukiman yang berada di perkotaan dapat dijadikan peluang

untuk memperluas akses sarana dan prasarana permukiman yang lebih baik.

Pemerintah perlu memperluas layanan sarana dan prasarana untuk menjangkau

permukiman kumuh, terutama pengelolaan sampah dan jaringan air minum

(PDAM). Kondisi permukiman di lokasi penelitian termasuk dalam tingkat

kepadatan bangunan kategori rendah, sehingga lahan yang masih ada, sebaiknya

dimanfaatkan sebaik mungkin, dapat dijadikan fasilitas bersama sehingga dapat

meningkatkan kualitas permukiman dan kualitas hidup masyarakat, dengan

113 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

menata sarana dan prasarana permukiman, selain itu dapat dijadikan RTH

yang dikelola dengan baik berupa taman bermain ataupun lapangan olahraga,

pemerintah dapat melibatkan pihak swasta, misalnya dalam bentuk program

CSR.

2. Pemerintah perlu melakukan penanganan permukiman kumuh berdasarkan

tingkat kumuh dan permasalahan spesifik yang ada di masing-masing lokasi

permukiman kumuh, terutama sarana dan prasarana sampah, air minum

(jaringan PDAM), drainase, proteksi kebakaran. Proteksi kebakaran merupakan

hal yang baru dimasukkan dalam aspek penilaian permukiman kumuh di Permen

PUPR No.2/PRT/M/2016. Oleh karenanya pemerintah perlu meningkatkan

sosialisasi terkait proteksi kebakaran.

3. Kualitas permukiman di Kelurahan Batangkaluku perlu segera diperbaiki maka

besar kemungkinan untuk menurunkan kategori tingkat kumuh menjadi kumuh

ringan dan harapan selanjutnya adalah menjadikan Kelurahan Batangkaluku

bebas kumuh. Pemerintah dapat melaksanakan penanganan permukiman

kumuh di lokasi penelitian melalui on site upgrading dalam bentuk Program

Perbaikan Kampung.

4. Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk melengkapi dan menyempunakan

hasil penelitian ini melalui rumusan strategi penanganan permukiman kumuh,

dengan menambahkan analisis terkait aspek sosial ekonomi.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI114

11EFEKTIVITAS PENGELOLAAN INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH KOMUNAL BERBASIS MASYARAKAT DI KOTA MAKASSAR

► Nama : Lutfi Diana Wati

► Unit Organisasi : Badan Lingkungan Hidup Daerah Pemerintah Kota

Makassar

► Program Studi : Perencana dan Pengembangan Wilayah

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Hasanuddin

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI116

ABSTRAKPengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota Makassar masih belum berjalan

seperti yang diharapkan terutama dalam menjamin keberlanjutannya. Penelitian ini

bertujuan untuk menilai tingkat efektivitas pengelolaan instalasi pengolahan air limbah

komunal berbasis masyarakat di Kota Makassar dan memberikan arahan pengelolaan

IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota Makassar. Penelitian dilaksanakan pada 81

unit IPAL komunal di Kota Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Pengumpulan data

dilakukan melalui observasi, wawancara, kuisioner, dan telaah dokumen. Data dianalisis

secara deskriptif kuantitatif dan kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa tingkat

efektivitas pengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota Makassar terkategori

tinggi dan sedang. Arahan pengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota

Makassar adalah meningkatkan pemahaman pada masyarakat proyek IPAL komunal

berbasis partisipatif, meningkatkan kerja sama dengan lembaga nonpemerintah dalam

pengelolaan IPAL komunal dan mengembangkan kapasitas dan kelembagaan pengelola

IPAL komunal.

► Kata Kunci: IPAL Komunal, Efektivitas Pengelolaan IPAL, Arahan Pengelolaan

117 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

ABSTRACTCommunity-based communal Installation of the waste water management in Makassar

is still not working as expected especially in ensuring its sustainability. This study aimed

to assess the effectiveness of the community-based communal installation of the waste

water management in Makassar and to provide direction of communal Installation of

the waste water management in Makassar. The study was conducted in 81 locations

of communal WWTP in Makassar, South Sulawesi Province. The data were collected

using observation, interviews, questionnaires and document review. The communal

Community Based IPAL in Makassar City was analyzed using the descriptive quantitative

and qualitative analysis. Research results indicated that the level of effectiveness of

the communal community-based communal management in Makassar City could be

categorized as high level and moderate level of effectiveness. The directions was to inform

the community that the development of communal project of IPAL is a participative

project, to increase cooperation with the non-governmental institutions and to increase

capacity and institutional management of communal IPAL manager.

► Keywords: Communal IPAL, Effectiveness of IPAL Management, Management

Direction

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI118

EFEKTIVITAS PENGELOLAAN INSTALASI PENGOLAHAN AIR LIMBAH KOMUNAL

BERBASIS MASYARAKAT DI KOTA MAKASSARA. Latar BelakangCapaian akses sanitasi di Indonesia tahun 2015 baru mencapai 62,41% (BPS Provinsi Sulsel,

2016). Sementara RPJMN 2015—2019 mengamanatkan target akses universal sanitasi

pada tahun 2019 harus mencapai 100%. Hal ini menunjukkan bahwa upaya percepatan

pembangunan di bidang sarana sanitasi mutlak harus dilakukan sebagai upaya pencapaian

tujuan penting pembangunan berkelanjutan (Sustain Development Goal/SDGs) yakni

menyangkut sanitasi lingkungan. Salah satu kegiatan sanitasi lingkungan yang tengah

dipromosikan adalah pembangunan IPAL komunal.

Hingga tahun 2015 sudah terdapat 103 Unit IPAL komunal dengan kapasitas 30-100

Sambungan Rumah yang dikelola oleh masyarakat yang dibangun dari berbagai sumber

dana dan program antara lain APBN (Sanimas, SLBM, Pamsimas, USRI) dan APBD Kota

Makassar (Unit Pelaksana Teknis Dinas Pengelolaan Air Limbah, 2016). Bahkan sebanyak

29 unit IPAL komunal akan dibangun pada beberapa kelurahan yang tersebar Kota

Makassar pada tahun 2017. Dari 103 unit prasarana yang telah dibangun hanya sekitar

40% yang dimanfaatkan. Berdasarkan hasil monitoring yang dilakukan oleh UPTD PAL

Tahun 2016 mencatat bahwa hanya sekitar 26 unit yang berfungsi baik, 30 unit dalam

kondisi rusak ringan, 30 unit dalam kondisi rusak berat, dan 17 unit tidak difungsikan. Hal

ini mengindikasikan bahwa terjadi masalah yang serius dalam pengelolaan IPAL komunal

terutama dalam menjamin keberlanjutan sistem pengelolaannya.

Kendala teknis pengelolaan IPAL komunal di Kota Makassar adalah kondisi saluran

yang tersumbat dikarenakan tidak adanya pemeliharaan lanjutan oleh masyarakat

pengelola sehingga IPAL komunal yang sudah di bangun menjadi terbengkalai. Dalam

aspek pemanfaatan, pengelolaan IPAL komunal tidak efektif dikarenakan adanya perilaku

masyarakat yang belum percaya sepenuhnya akan manfaat IPAL komunal bagi dirinya dan

lingkungannya. Dalam aspek kelembagaan, kurangnya partisipasi masyarakat pengguna

hingga kurangnya koordinasi beberapa pihak yang berkepentingan seperti dinas terkait,

fasilitator dan masyarakat menjadi penyebab pengelolaan IPAL komunal tidak berjalan

efektif. Dalam aspek keuangan, adanya ketidakseimbangannya jumlah penerimaan dan

pengeluaran keuangan menjadi penyebab pengelolaan IPAL komunal berjalan tidak

efektif dan aspek peran serta masyarakat disebabkan kurangnya peran masyarakat dari

119 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

awal perencanaan hingga pemeliharaan IPAL komunal. Program IPAL komunal dianggap

hanya mementingkan penyediaan sarana fisik semata tanpa memperhatikan kesiapan

masyarakat dalam mengelola sarana tersebut. Disisi lain, harapan stakeholders adalah

adanya keberlanjutan kegiatan dengan diadopsinya program

tersebut oleh pemerintah daerah dan masyarakat, sehingga sistem pengelolaan

IPAL komunal dapat berjalan dengan baik.

Afandi dkk (2013), telah melakukan penelitian tentang Status Keberlanjutan Sistem

Pengelolaan Air Limbah Domestik Komunal Berbasis Masyarakat Di Kota Probolinggo.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa aspek pembiayaan merupakan aspek yang sensitif

di kedua lokasi penelitian yang disebabkan oleh dominasi pemerintah dalam investasi

pembangunan sangat tinggi dibandingkan peran masyarakat. Suardi (2010), telah

melakukan penelitian tentang Efektivitas Pelaksanaan Program Penyediaan Air Minum

dan Sanitasi Berbasis Masyarakat Di Kelurahan Totoli, Kecamatan Banggae, Kabupaten

Majene. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pelibatan seluruh komponen masyarakat

berpengaruh besar pada proses perencanaan kegiatan. Penelitian tentang partisipasi

masyarakat dalam pengelolaan IPAL komunal juga dilakukan oleh Ifrah (2013), yang

menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tingkat partisipasi masyarakat di Kelurahan

Layang dengan Kelurahan Maradekaya Utara, yaitu masyarakat Kelurahan Layang

memiliki antusias yang tinggi untuk ikut terlibat dalam tahap perencanaan, pelaksanaan,

pemeliharaan, dan pemanfaatan. Masyarakat Kelurahan Maradekaya Utara memiliki

antusias yang rendah karena kurangnya sosialisasi dari Badan Keswadayaan Masyarakat

(BKM). Faktor-faktor yang memengaruhi partisipasi masyarakat ditinjau dari sisi internal

adalah faktor kesehatan, peran BKM/KSM/KPP dan peran ketua RW, sedangkan ditinjau

dari sisi eksternal adalah kondisi saluran drainase, peran Dinas PU, peran fasilitator/

konsultan dan kesalahan pelaksanaan konstruksi.

Penelitian ini bertujuan untuk menilai tingkat efektivitas pengelolaan IPAL komunal

berbasis masyarakat di Kota Makassar ditinjau dari aspek teknis, aspek pemanfaatan,

aspek kelembagaan, aspek keuangan dan aspek peran serta masyarakat dan untuk

memberikan arahan pengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota Makassar.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka yang menjadi rumusan

masalah penelitian adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana tingkat efektivitas pengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat

di Kota Makassar ditinjau dari aspek teknis, aspek pemanfaatan, aspek

kelembagaan, aspek keuangan dan aspek peran serta masyarakat?

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI120

2. Bagaimana arahan pengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota

Makassar?

Tipe penelitian adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk menggambarkan

tentang efektivitas pengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota Makassar

ditinjau dari aspek teknis, pemanfaatan, kelembagaan, keuangan dan peran serta

masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian survei. Survei

dilakukan terhadap IPAL komunal yang dibangun oleh Program SPBM-USRI di Kota

Makassar. Pendekatan penelitian yang digunakan adalah kuantitatif dan kualitatif.

Pendekatan kuantitatif digunakan untuk menggambarkan tanggapan responden terhadap

objek berdasarkan kuesioner yang diberikan. Pendekatan kuantitatif dan kualitatif

digunakan untuk menentukan arahan pengelolaan IPAL komunal di Kota Makassar.

Lokasi penelitian adalah lokasi IPAL komunal Program SPBM-USRI yang ada di Kota

Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan dari bulan

Januari—Maret 2017. Proses pengambilan data dilakukan pada masing-masing lokasi IPAL

komunal, Kantor Bappeda Kota Makassar, Kantor Dinas Pekerjaan Umum Kota Makassar,

Kantor Dinas Lingkungan Hidup Kota Makassar dan UPTD. Pengelolaan Air Limbah Kota

Makassar.

C. Pembahasan

1. Aspek Teknis

Penilaian aspek teknis pengelolaan IPAL komunal adalah penilaian terhadap kondisi

fisik IPAL komunal, pengoperasian dan pemeliharaan IPAL komunal. Hasil penelitian

mengenai kondisi fisik IPAL ditemukan bahwa sebanyak 45,7% IPAL dalam keadaan

berfungsi tapi tidak terawat dengan kondisi inlet dan outlet adalah sebanyak 43,2%

dan 45,7% dalam keadaan berpenutup tapi tersumbat. Sementara itu, pada variabel

pengoperasian tentang pengoperasian IPAL komunal, sebanyak 48,1% responden

menyatakan mudah sementara sistem penyaluran air limbah kadang tersumbat

dengan persentase 35,8%. Pada variabel pemeliharaan menyatakan bahwa

pemeliharaan jaringan pipa air limbah dilakukan hanya jika terjadi gangguan dengan

persentase 64,2% dan responden yang telah menerima SOP pengoperasian dan

pemeliharaan SPAL dan secara tertulis dengan persentase 53,1%. Sebanyak 66,7%

IPAL komunal belum pernah dilakukan pengurasan lumpur tinja. Pengoperasian

dan pemeliharaan IPAL komunal dan jaringannya tidak dilakukan berdasarkan SOP

yang ada. Kurangnya pemahaman masyarakat terhadap SOP pengoperasian dan

pemeliharaan menyebabkan masyarakat pengguna tidak mengetahui secara jelas

121 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

pemeliharaan IPAL komunal dan jaringannya. Berdasarkan rata-rata hasil penilaian

aspek teknis pengelolaan IPAL komunal di Kota Makassar berada pada tingkat

efektivitas sedang.

2. Aspek Pemanfaatan

Penilaian pada aspek pemanfaatan pengelolaan IPAL komunal adalah penilaian

terhadap kondisi selokan/got, kondisi lingkungan sekitar, dan pengembangan

Sambungan Rumah (SR) setelah adanya IPAL komunal. Sebanyak 77,8% menyatakan

bahwa kondisi selokan/got di sekitar IPAL komunal menjadi tidak berbau, mengalir

dan tidak ditemukan endapan dan tinja. Sementara itu kondisi lingkungan di sekitar

IPAL komunal juga tidak ditemukan sampah, banyak terdapat pohon penghijauan/

tanaman serta penataan lingkungan yang asri dengan persentase 38,3%. Namun

sebanyak 81,5% IPAL komunal tidak ada penambahan sambungan rumah. Sebagian

masyarakat masih ragu untuk menyambungkan saluran air limbahnya ke jaringan

perpipaan IPAL komunal karena takut jika suatu saat terjadi kebuntuan yang

menimbulkan terjadinya aliran balik. Berdasarkan rata-rata hasil penilaian aspek

pemanfaatan pengelolaan IPAL komunal di Kota Makassar berada pada tingkat

efektivitas sedang.

3. Aspek Kelembagaan

Penilaian pada aspek kelembagaaan pengelolaan IPAL komunal adalah penilaian

terhadap fungsi kelembagaan masyarakat, peningkatan kapasitas kelembagaan

dan sinergitas stakeholder dalam pengelolaan IPAL komunal. Pada variabel fungsi

kelembagaan masyarakat menyatakan masyarakatlah yang menunjuk pengelola

IPAL dengan persentase 60,5% masyarakat juga yang membuat keputusan terkait

dengan permasalahan pengelolaan IPAL dengan persentase 54,3%. Sementara itu,

pelayanan operasional dan pemeliharaan/perbaikan oleh pengelola telah dilakukan

dengan baik dengan persentase 50,6% dan sebanyak 76,5% responden pernah

mendapatkan pelatihan tentang pengelolaan sanitasi berupa seminar dan sosialisasi

dan Pemerintah Kota Makassar telah menyelenggarakan kegiatan pelatihan/

penyuluhan terkait pengelolaan air limbah setahun sekali dengan persentase 63,0%.

Selanjutnya pada variabel sinergitas stakeholders tentang peran dari instansi terkait

yakni UPTD PAL dalam rangka pembinaan pengelolaan IPAL komunal, sebanyak

65,4% menyatakan baik. Demikian pula sinergitas pemerintah kota (UPTD PAL-Pokja

AMPL-Kecamatan-Kelurahan-RW-RT) terkait pengelolaan IPAL komunal sudah baik

dengan persentase 48,1%. Dapat dikatakan bahwa Dinas Pekerjaan Umum Kota

Makassar telah melakukan upaya peningkatan kapasitas dalam pengelolaan IPAL

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI122

komunal di Kota Makassar. Berdasarkan rata-rata hasil penilaian aspek kelembagaan

pengelolaan IPAL komunal di Kota Makassar berada pada tingkat efektivitas tinggi.

4. Aspek Keuangan

Penilaian aspek keuangan pengelolaan IPAL komunal adalah penilaian terhadap

biaya operasional, pemeliharaan, kemauan dan kemampuan masyarakat dalam

pengelolaan IPAL komunal. Mekanisme pembiayaan dalam pengoperasian dan

pemeliharaan IPAL komunal dilakukan dengan iuran bulanan dengan persentase

54,3% dan mekanisme penetapan biaya operasional dan pemeliharaannya sebanyak

63,0% dilakukan oleh masyarakat. Sebanyak 53,1% responden menyatakan besaran

iuran tersebut cukup apabila dibandingkan dengan biaya yang diperlukan untuk

operasional dan pemeliharaan. Pada variabel kemauan dan kemampuan masyarakat

sebanyak 51,9% anggota KPP memiliki kemampuan membayar iuran tersebut setiap

bulan. Masyarakat menilai bahwa besaran iuran pemanfaatan sarana sudah sesuai

dengan kemampuan dan kemauan masyarakat dalam membayar namun apabila

terjadi gangguan pada IPAL komunal, masyarakat masih mengharapkan peran

pemerintah untuk membantu menyelesaikan masalah tersebut. Berdasarkan rata-

rata hasil penilaian aspek keuangan pengelolaan IPAL komunal di Kota Makassar

berada pada tingkat efektivitas sedang.

5. Aspek Keuangan

Penilaian aspek peran serta masyarakat dalam pengelolaan IPAL komunal adalah

penilaian terhadap peran serta masyarakat dalam pengambilan keputusan,

perencanaan, pembangunan dan pemeliharaan IPAL komunal. Sebanyak 35,8%

masyarakat berinisiatif dalam program pembangunan IPAL komunal dan

sebanyak 65,4% responden menyatakan bahwa anggota KPP terlibat dalam setiap

pertemuan yang membahas program tersebut. Keterlibatan anggota KPP terlibat

dalam pembangunan IPAL komunal sebanyak 64,2%. Sebanyak 74,1% responden

menyatakan bahwa anggota KPP terlibat dalam pemeliharaan IPAL komunal.

Keterlibatan masyarakat dalam pembangunan IPAL tidak dapat diwujudkan dalam

bentuk in cash mengingat keterbatasan perekonomian masyarakat. Berdasarkan

rata-rata hasil penilaian aspek peran serta masyarakat dalam pengelolaan IPAL

komunal di Kota Makassar berada pada tingkat efektivitas sedang.

6. Pembahasan

123 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

Penelitian ini menunjukkan tingkat efektivitas pengelolaan IPAL komunal berbasis

masyarakat berada dalam tingkat sedang dan tinggi. Aspek teknis, pemanfaatan,

keuangan dan peran serta masyarakat berada dalam tingkat efektivitas sedang,

sedangkan aspek kelembagaan berada dalam tingkat efektivitas tinggi.

Pada aspek teknis, hanya 22 IPAL saja yang berfungsi dan terawat. Kurangnya

pemeliharaan IPAL menyebabkan IPAL tidak dapat berfungsi dengan efektif.

Bahkan hanya 9 unit IPAL yang pernah melakukan penyedotan berkala dalam kurun

2-3 tahun. Padahal menurut Petunjuk Teknis Operasi dan Pemeliharaan Sanitasi

Perkotaan Berbasis Masyarakat USRI, pengguna dan operator wajib melakukan

pemeliharaan berkala. Sebanyak 51,9% responden menyatakan sulit mengoperasikan

IPAL komunal. Selain itu, saluran sering tersumbat oleh sampah popok bayi, plastik

dan sampah lainnya. Hal ini karena masyarakat masih memiliki kebiasaan membuang

sampah sembarangan, sehingga diperlukan adanya sosialisasi lebih lanjut mengenai

operasi IPAL dalam skala rumah tangga (Haris, 2007).

Efektivitas pengolahan air limbah tidak dapat berjalan dengan efektif apabila

bak IPAL komunal penuh dengan lumpur yang mengendap. Rata-rata volume

lumpur tinja yang dihasilkan manusia adalah sebesar 0,5 liter/orang/hari (Johannis

dkk., 2009). Jika rata-rata satu IPAL komunal di Kota Makassar memiliki 50 SR (1

SR = 5 orang), timbulan lumpur yang dihasilkan selama 2 tahun adalah 91,25 m3.

Sedangkan untuk 50 KK, dimensi bak pengendapan IPAL komunal hanya (1,5 x 1,85 x

2,5) m ~ 7 m3. Apabila tidak dilakukan pengurasan selama 2 tahun, air limbah tidak

akan melalui proses pengolahan melainkan hanya melintas di atas endapan lumpur

saja. Oleh karena itu, diperlukan pengadaan sarana pemeliharaan IPAL komunal

terutama armada pengurasan lumpur tinja.

Pada aspek pemanfaatan, 77,8% menyatakan bahwa program IPAL komunal

memberikan dampak positif terhadap lingkungan sekitar terutama kondisi got/

selokan dikarenakan IPAL komunal mampu menurunkan zat pencemar dalam air

limbah. Hanya sebanyak 18,5% IPAL yang menambah Sambungan Rumah. Hal ini

disebabkan adanya aliran balik air limbah yang disebabkan oleh kemiringan pipa

yang tidak tepat, kesalahan konstruksi maupun penyumbatan saluran. Aliran balik

dari luar ke dalam kloset tidak akan terjadi jika pemasangan pipa dilakukan secara

benar, memperhatikan kontur yang ada dan memastikan tidak ada sumbatan. Sejalan

dengan penelitian yang telah dilakukan oleh Ifrah (2013), juga menyatakan bahwa

kesalahan pelaksanaan konstruksi merupakan faktor eksternal yang memengaruhi

partisipasi masyarakat terhadap program. Padahal konsep pembangunan IPAL

komunal adalah berbasis masyarakat yang menitikberatkan pada keterlibatan

masyarakat dalam setiap tahap pembangunan mulai dari tahap perencanaan,

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI124

pembangunan hingga operasional dan pemeliharaan sehingga diharapkan timbul

rasa memiliki dari masyarakat terhadap fasilitas yang ada (Afandi dkk., 2013).

Pada aspek kelembagaan, instansi terkait yaitu Dinas Pekerjaan Umum Kota

Makassar telah melakukan upaya peningkatan kapasitas kelembagaan melalui

Bidang Prasarana dan Bangunan Pemerintah dengan melakukan sosialisasi tentang

pemeliharaan bak kontrol pada masing-masing rumah dan UPTD PAL dengan

sosialisasi langsung ke lokasi IPAL komunal. Kegiatan tersebut terbukti efektif untuk

meningkatkan pemahaman masyarakat mengenai pengelolaan IPAL komunal.

Menurut Fatnasari & Hermana (2010), hal-hal yang perlu dilakukan pemerintah

untuk menunjang program sanitasi, terutama pengelolaan air limbah permukiman

adalah melakukan sosialisasi melalui penyuluhan-penyuluhan terkait bidang sanitasi

pada masyarakat, memberikan sanksi yang sepadan bagi masyarakat yang tidak

mengelola air limbah permukimannya serta melibatkan masyarakat pada tahap

perencanaan, pembangunan, operasional dan pemeliharaan dalam program sanitasi.

Sinergitas stakeholders, yaitu pemerintah kota (UPTD PAL-Pokja AMPL-Kecamatan-

Kelurahan-RW-RT) terkait pengelolaan IPAL komunal dan peran instansi terkait

yaitu UPTD PAL dalam rangka pembinaan pengelolaan IPAL komunal juga sudah

baik. Menurut Kurniawan & Wawan (2013), agar pengelolaan air limbah berjalan

dengan baik, maka koordinasi yang solid dan intensif dari masing-masing lembaga

pemerintah terkait pengelolaan air limbah mutlak harus dilakukan.

Ditinjau dari aspek keuangan, hanya 54,3% IPAL komunal yang menerapkan

iuran bulanan, 14,8% hanya membayar iuran ketika ada perbaikan dan 30,9%

berharap pemerintah membiayai pengelolaan IPAL komunal. Padahal kemampuan

warga untuk membayar berhubungan dengan aspek lain dalam pengelolaan IPAL

komunal (Puspita, 2008). Hal ini membuktikan bahwa masyarakat belum sadar

dan memahami sepenuhnya prinsip dasar program SPBM dimana masyarakat

menentukan, merencanakan, membangun dan mengelola sistem yang mereka pilih

sendiri dan pemerintah hanya berperan memfasilitasi inisiatif kelompok masyarakat,

bukan sebagai pengelola sarana. Iuran pemanfaatan sarana juga dapat dialokasikan

sebagai kas dana atau tabungan untuk pengembangan jangka panjang demi

meningkatkan kualitas IPAL (Farahdiba dkk., 2014). Dalam konteks ini, maka peran

pemerintah sangat diperlukan untuk mengadakan sosialisasi tentang pentingnya

sanitasi lingkungan sehingga masyarakat memiliki kemauan untuk membayar iuran

(Oktiawan & Amalia, 2012).

Ditinjau dari aspek peran serta masyarakat, hanya sekitar 35,8% responden

menyatakan bahwa inisiatif program pembangunan IPAL komunal berasal dari

masyarakat selebihnya menyatakan bahwa inisiatif program berasal dari tokoh

125 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

masyarakat dan pemerintah. Hal ini disebabkan karena memang pemerintah

telah menunjuk titik-titik tertentu sebagai sasaran sesuai dengan arahan program.

Dalam tahap pembangunan, dipastikan tidak ada dana masyarakat yang digunakan.

Sebanyak 42% masyarakat hanya memberikan bantuan berupa tenaga/material

saja. Keterbatasan perekonomian menjadi kendala utama anggota KPP untuk

menyumbangkan materi (in cash) sehingga bantuan yang diberikan hanya berupa

tenaga saja (in kind). Alternatif bentuk partisipasi masyarakat menurut Kustiah

(2005), dapat diwujudkan dalam bentuk lahan, sambungan rumah, fasilitas di dalam

rumah (jamban dan kamar mandi), dan tenaga kerja. Menurut Massoud & Akhram

(2010), faktor sumber daya manusia yang meliputi kemauan dan kemampuan

masyarakat dapat memengaruhi efektivitas sistem pengelolaan limbah domestik.

Dalam tahap pemeliharaan IPAL, sebanyak 74,1% responden menyatakan

bahwa anggota KPP bersedia melakukan pemeliharaan IPAL namun kenyataannya

43,2% inlet dan 45,7% outlet dalam keadaan tersumbat. Kendala dalam pemeliharaan

adalah penutup IPAL komunal yang terbuat dari beton cor sehingga berat untuk

dibuka dan tidak adanya alat gelontor pipa yang menyebabkan pipa tersumbat.

Padahal penggelontoran harus dilakukan yaitu menambahkan air dengan debit dan

kecepatan tertentu ke dalam saluran dengan syarat air penggelontoran tidak boleh

mengotori saluran (Ilmi, 2009). Air penggelontor dapat berasal dari air tanah, air

hujan, air minum dari Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM), air sungai, danau,

dan sebagainya.

Selain itu, kebanyakan masyarakat menyerahkan secara penuh pembangunan

IPAL komunal kepada Dinas yang berwenang yaitu Dinas Pekerjaan Umum Kota

Makassar, sehingga rasa ikut memiliki masyarakat terhadap IPAL komunal juga

rendah. Padahal inti konsep pendekatan masyarakat meliputi upaya pendekatan

fundamental dan strategis yang dapat diuraikan secara makro dan mikro sehingga

dengan memahami kondisi masyarakat akan dapat diketahui kebutuhan dan

keinginan masyarakat untuk menunjang keberhasilan program yang dilaksanakan

dengan kemitraan yang terjalin antara pemerintah dan masyarakat dalam

mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan Medawaty (2011). Dengan

berpartisipasi terhadap program, lambat laun akan membantu tumbuhnya sense

of community (perasaan kemasyarakatan) di kalangan warga yang pada gilirannya

akan memberi makna terhadap eksistensi mereka sebagai manusia dan mendorong

integrasi sosial (Zubaedi, 2014). Harapannya, pelibatan warga secara aktif dalam

pengorganisasian dan pelaksanaan program bisa mewujudkan dua hasil. Di satu

sisi akan menciptakan program berjalan secara efisien dan sesuai kebutuhan

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI126

masyarakat serta sisi lain akan mentradisikan semangat berdemokrasi di kalangan

mereka (Zubaedi, 2014).

D. KesimpulanKesimpulan penelitian ini adalah tingkat efektivitas pengelolaan IPAL komunal berbasis

masyarakat di Kota Makassar terkategori tinggi dan sedang. Kategori efektivitas

tinggi disebabkan oleh faktor-faktor antara lain Standard Operating Procedure (SOP)

pengoperasian dan pemeliharaan IPAL, dampak positif keberadaan IPAL terhadap kondisi

got/selokan, peran UPTD. Pengelolaan Air Limbah yang sudah melakukan pembinaan

pengelolaan IPAL komunal, pelibatan masyarakat dalam penentuan iuran pemanfaatan

sarana dan keterlibatan masyarakat dalam perencanaan dan pemeliharaan IPAL komunal.

Kategori efektivitas sedang disebabkan oleh faktor-faktor antara lain kondisi saluran

IPAL yang tersumbat, pemeliharaan yang hanya dilakukan pada saat terjadi gangguan,

pengurasan lumpur tinja yang tidak dilakukan secara berkala, belum adanya penambahan

Sambungan Rumah, penyelenggaraan pelatihan/sosialisasi hanya berupa seminar, bukan

pelatihan khusus, iuran pemanfaatan sarana yang belum mencukupi biaya operasi

dan pemeliharaan IPAL komunal dan keterlibatan masyarakat dalam pembangunan

IPAL komunal. Agregat ke semua faktor tersebut menjadi komponen utama dalam

merumuskan arahan pengelolaan IPAL komunal berbasis masyarakat di Kota Makassar.

Arahan pengelolaan IPAL komunal Berbasis Masyarakat di Kota Makassar antara lain

meningkatkan pemahaman pada masyarakat proyek IPAL komunal berbasis partisipatif,

meningkatkan kerja sama dengan lembaga nonpemerintah dalam pengelolaan IPAL

komunal dan mengembangkan kapasitas dan kelembagaan pengelola IPAL komunal.

E. Saran KebijakanBerdasarkan hasil penelitian, berikut ini peneliti kemukakan saran yang dapat dijadikan

pertimbangan antara lain :

1. Dinas Pekerjaan Umum Kota Makassar sebagai leading sector pengelolaan air

limbah di Kota Makassar harus terus-menerus proaktif mengampanyekan dan

menyosialisasikan program IPAL komunal khususnya pada daerah PAKUMIS

(Padat, Kumuh dan Miskin) dan senantiasa melakukan monitoring dan evaluasi

terkait pelaksanaan pengelolaan IPAL komunal di Kota Makassar.

2. Diharapkan muncul komunitas-komunitas berbasis masyarakat yang terpadu

misalnya menggabungkan komunitas pengelola IPAL dan pengelola bank

sampah maupun dengan komunitas kemasyarakatan yang lainnya.

12ANALISIS PENGARUH PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN SOPPENG

► Nama : Sukmawati

► Unit Organisasi : Dinas Pekerjaan Umum & Penataan Ruang Kab.

Soppeng

► Program Studi : Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Hasanuddin

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI128

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kondisi infrastruktur di Kabupaten

Soppeng, menganalisis pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan

ekonomi di Kabupaten Soppeng, dan merumuskan arahan kebijakan pembangunan

infrastruktur di Kabupaten Soppeng.

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif kuantitatif untuk

mendeskripsikan kondisi infrastruktur, regresi linear berganda untuk menganalisis

pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi dan untuk

merumuskan arahan kebijakan pembangunan infrastruktur digunakan pendekatan

kualitatif.

Hasil penelitian menunjukkan kondisi infrastruktur jalan di Kabupaten Soppeng

55,45% dari 898,881 km dalam kondisi rusak, 26,94% dari 193 unit jembatan dalam kondisi

rusak, 26,18% dari 9.708 Ha luas daerah irigasi dalam kondisi rusak, persentase panjang

sungai yang sudah direhabilitasi adalah 38,19%, penambahan luas lahan sawah 339,9

Ha, kontribusi sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah 1,27%. Anggaran

Infrastruktur jalan dan pengembangan sumber daya air berpengaruh positif signifikan

terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Soppeng, anggaran

Infrastruktur jembatan, irigasi, pertanian dan pariwisata tidak berpengaruh terhadap

Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten Soppeng. Kebijakan penganggaran

diarahkan pada infrastruktur jalan dan infrastruktur pengembangan sumber daya air

yang memberikan kontribusi positif bagi pertumbuhan ekonomi dan diprioritaskan pada

wilayah yang membutuhkan.

► Kata Kunci: Anggaran Infrastruktur, PDRB, Pertumbuhan Ekonomi

129 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

ABSTRACTThis research aims to (1) Describe the state of infrastructure in Soppeng Regency (2)

Analyze the infrastructure development and its influence on economic growth (3)

Formulate policy direction for respective infrastructure development in Soppeng Regency.

The research method used is quantitative descriptive method to describe the

state of infrastructure, to analyze the effect of infrastructure development on economic

growth is multiple linear regression and to formulate policy direction used qualitative

descriptive method.

The research reveal the results that road infrastructure found 55.45% out pf 898,881

km was poor condition, 26,94% out of 193 bridge was poor condition, 26.18% out of

9708 Ha coverage area for irrigation was also poor condition, 38.19% out of the length

of river banks was rehabilitated, there was 339.9 Ha new area for padi field and share

of tourism sector to local own revenue was 1.27%. In addition allocation fund for road

infrastructure and water supply development have a positive significant on Regional

Domestic Bruto. Futher, fund allocation for bridge, irrigation, agricultural extensification

and tourism promotion statistically were not significant on Regional Domestic Bruto.

Budgeting policy for road infrastructure and water supply expantion both have a positive

contribution on economic growth.

► Keywords: Budget for Infrastructure, Regional Domestic Bruto, Economic Growth

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI130

ANALISIS PENGARUH PEMBANGUNAN INFRASTRUKTUR TERHADAP

PERTUMBUHAN EKONOMI DI KABUPATEN SOPPENG

A. Latar BelakangPembangunan infrastruktur menjadi isu nasional sebagaimana tertuang dalam Rencana

Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2014—2019 yaitu membangun

infrastruktur dasar dan membangun konektivitas nasional dan antarwilayah, di dalamnya

termasuk 46 proyek strategis yang dilakukan untuk menggenjot pembangunan

infrastruktur. Selain itu arah pembangunan jangka menengah sesuai amanat RPJMD

Kabupaten Soppeng 2016—2021 salah satunya menekankan pada pembangunan

infrastruktur. Pentingnya infrastruktur diharapkan mampu membawa kesejahteraan

dan mempercepat pertumbuhan ekonomi sehingga kegiatan ekonomi dapat berjalan

lebih efisien. Banyaknya infrastruktur seperti adanya akses jalan, listrik, dan air bersih di

perlukan untuk mempermudah aktivitas ekonomi yang pada akhirnya akan memengaruhi

pertumbuhan ekonomi di wilayah tersebut. Wilayah yang memiliki prasarana yang

memadai mampu menarik para investor untuk berinvestasi ke daerahnya dan mampu

berkembang cepat dibandingkan dengan wilayah yang memiliki prasarana minim.

Salah satu indikator penting untuk menganalisis pembangunan ekonomi suatu

daerah adalah PDRB. PDRB menggambarkan struktur perekonomian suatu wilayah. Dalam

komposisi PDRB dapat dilihat peranan masing-masing sektor dalam pembentukan PDRB,

yang juga merupakan gambaran pengaruh sektor-sektor ekonomi dalam pengembangan

perekonomian daerah.

Struktur perekonomian di Kabupaten Soppeng masih didominasi oleh sektor

pertanian walaupun memperlihatkan kecenderungan yang menurun. Jika pada tahun

2010, peranan sektor pertanian sebesar 31,95%, pada tahun 2016 sumbangannya turun

menjadi 29,12%. Struktur perekonomian masyarakat Kabupaten Soppeng mulai mengalami

pergeseran ditandai dengan besaran kontribusi sektor lainnya pada tahun 2016 seperti

pedagangan, hotel dan restoran sebesar 15,76%, bangunan/konstruksi sebesar 12,08% dan

sektor jasa-jasa sebesar 14,61%. Selain itu juga ditandai dengan peningkatan kontribusi

sektor industri pengolahan dari 8,54% pada tahun 2010 menjadi 10,16% pada tahun 2016.

131 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

Ini menandakan bahwa sumber pertumbuhan ekonomi dii Kabupaten Soppeng mulai

bergeser ke sektor lain, yaitu sektor perdagangan dan jasa.

Terkait kondisi infrastruktur, selama ini kendala yang dihadapi adalah masalah

pendanaan. Alokasi belanja pemerintah daerah Kabupaten Soppeng untuk pembangunan

infrastruktur dalam tujuh tahun terakhir cenderung berfluktuasi dengan rata-rata 18,63%

APBD. Penganggaran infrastruktur sangat bergantung kepada dana perimbangan dari

pusat. Ini menjadi tantangan bagi pemerintah daerah untuk memilih kegiatan prioritas

dalam mengalokasikan dana yang terbatas.

Tingkat ketergantungan pada Dana Perimbangan masih relatif tinggi hal ini dapat

dilihat dari proporsi PAD terhadap total APBD masih relatif kecil, yaitu hanya 6,98%

pada tahun 2016. Pemerintah daerah harus lebih meningkatkan kemandirian fiskalnya

dengan menggembangkan sumber-sumber penghasil PAD seperti sektor pariwisata dan

perdagangan.

Dalam upaya mendukung tercapainya pertumbuhan ekonomi yang tinggi,

pemerintah daerah sebagai otoritas pembangunan dituntut untuk menerapkan kebijakan

yang tepat dalam mengalokasikan pendapatan daerah untuk membiayai berbagai

sektor kehidupan masyarakatnya termasuk pembiayaan pembangunan infrastruktur.

Berdasarkan hal tersebut menjadi menarik untuk melihat seberapa besar pengaruh

anggaran pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten

Soppenng.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan pada latar belakang pemikiran di atas, relevan dilakukan kajian mengenai

bagaimana pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan ekonomi di

Kabupaten Soppeng. Hasil yang diperoleh diharapkan dapat mendukung penentuan

prioritas pembanguan infrastruktur. Berangkat dari persoalan tersebut, maka penulis

merumuskan masalah yang akan diungkapkan dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kondisi infrastruktur di Kabupaten Soppeng?

2. Bagaimana pengaruh pembangunan infrastruktur terhadap pertumbuhan

ekonomi di Kabupaten Soppeng?

3. Bagaimana arahan kebijakan dalam pembangunan infrastruktur di Kabupaten

Soppeng?

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif dan

kualitatif. Pendekatan kuantitatif dilakukan untuk mendeskripsikan kondisi infrastrutur

di Kabupaten Soppeng dan mengetahui besarnya pengaruh pembangunan infrastruktur

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI132

terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten Soppeng dan pendekatan kualitatif untuk

menyusun arahan kebijakan pembangunan infrastruktur di Kabupaten Soppeng. Lokasi

penelitian ini mencakup wilayah dalam lingkup Kabupaten Soppeng Provinsi Sulawesi

Selatan. Pelaksanaan penelitian dimulai pada bulan Juni 2018 sampai dengan bulan Agustus

2018.

C. Pembahasan

1. Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) Kabupaten Soppeng periode 2016—2021

Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJMD) adalah dokumen perencanaan

daerah yang menjadi landasan dan pedoman bagi pemerintah daerah dalam

menyelenggarakan dan melaksanakan pembangunan selama 5 (lima) tahun. RPJMD

Kabupaten Soppeng tahun 2016—2021 merupakan pelaksanaan periode ketiga

RPJPD Kabupaten Soppeng tahun 2005—2025, ini ditujukan untuk memantapkan

pembangunan secara menyeluruh di berbagai bidang dengan menekankan

percepatan pembangunan dan roda perekonomian daerah dipacu melalui penerapan

sistem agribisnis dan agroindustri berlandaskan sumber daya lokal.

Pelaksanaan lebih lanjut RPJMD dijabarkan dalam Rencana Strategi (Renstra)

SKPD lima tahunan. Dokumen Renstra juga dipakai untuk memperkuat landasan

penentuan program dan kegiatan tahunan daerah secara strategis dan berkelanjutan.

Rencana Strategis SKPD dapat dikategorikan sebagai dokumen manajerial wilayah

yang bersifat komprehensif karena mampu memberikan program-program strategis

sesuai dengan kebutuhan masing-masing bidang dalam lingkup SKPD. Keberhasilan

usaha pemerintah daerah untuk mempertemukan antara keinginan masyarakat

dengan fakta kondisi daerah diukur melalui indikator perencanaan strategis dari

program dan kegiatan yang tercantum di dalam Renstra yang dievaluasi melalui

evaluasi kinerja Kepala daerah.

Arah Kebijakan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten

Soppeng untuk pembangunan infrastruktur sasarannya meliputi peningkatan

kapasitas dan kualitas infrastruktur transportasi, peningkatan kapasitas jaringan

irigasi dalam mendukung peningkatan produksi pertanian, peningkatan jumlah

kunjungan wisata. Adapun permasalahan pembangunan infrastruktur yang menjadi

isu strategis dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah Kabupaten

Soppeng meliputi kondisi jalan, jembatan, prasarana, dan sarana irigasi dalam kondisi

baik masih rendah, aksesibilitas transportasi belum merata, drainase jalan belum

133 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

berfungsi optimal, penurunan produktivitas hasil pertanian karena bencana banjir

dan kekeringan, pengelolaan jaringan irigasi pertanian masih kurang, terbatasnya

sarana dan prasarana pariwisata, berkurangnya pengunjung objek wisata dan

partisipasi masyarakat dalam pengembangan pariwisata.

Pembangunan infrastruktur transportasi dalam hal ini jalan dan jembatan

menjadi objek vital dalam pengembangan wilayah. Dalam RPJMD terdapat target

yang diharapkan dicapai pada akhir periode dan merupakan visi misi dari pemerintah

daerah terpilih.

Kebijakan pembangunan infrastruktur jalan adalah peningkatan dan

pemeliharaan jalan diprioritaskan untuk mendukung akses dari dan ke wilayah

sekitarnya, menghubungkan akses dari dan ke pusat-pusat kegiatan, mendukung

kelancaran akses ke daerah terpencil dan pembangunan jembatan di prioritaskan

pada daerah yang terisolasi.

Kebijakan pembangunan infrastruktur irigasi adalah peningkatan/

pembangunan konstruksi saluran dan penambahan panjang saluran sehingga dapat

menambah luasan sawah yang teraliri meningkatkaan keterlibatan petani melalui

Perkumpulan Petani Pemakai Air (P3A) dalam pengelolaan jaringan irigasi. Kebijakan

pembangunan infrastruktur pengembangan sumber daya air adalah mengembangkan

sumber daya air melalui pembuatan sumur-sumur resapan, rehabilitasi waduk dan

embung. Kebijakan pembangunan infrastruktur pertanian adalah pengembangan

sumber-sumber air alternatif untuk mencegah kekeringan dan mengatur pola

tanam koordinasi dengan stakeholder lain yang menangani masalah banjir. Kebijakan

pembangunan infrastruktur pariwisata meliputi peningkatan sarana dan prasarana

serta penataan fasilitas kawasan objek wisata.

2. Arahan Kebijakan Pembangunan Infrastruktur

Keterbatasan anggaran merupakan permasalahan utama pembangunan infrastruktur

di Kabupaten Soppeng. Agar infrastruktur di Kabupaten Soppeng mampu

menggerakkan roda perekonomian dan dapat memicu pertumbuhan ekonomi

diperlukan skala prioritas dalam pembangunan infrastruktur dan pemerintah daerah

dituntut untuk mengoptimalkan perencanaan dengan melibatkan semua stakeholder

yang berkepentingan.

Rasio panjang jalan dibagi jumlah penduduk menurut kecamatan dan

alokasi anggaran jalan tahun 2017. Rasio jalan terendah adalah Kecamatan Citta,

ini menunjukkan bahwa panjang jalan yang sudah terbangun masih sangat

kecil. Sementara alokasi anggaran untuk wilayah tersebut juga rendah. Wilayah

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI134

Kecamatan Citta sebagian besar masih terisolasi karena akses jalan masih minim.

Untuk menggerakkan perekonomian masyarakat di wilayah terpencil, pemerintah

seharusnya menganggarkan porsi dana yang lebih untuk mengurangi ketimpangan

pembangunan dan potensi sumber daya yang dimiliki bisa menjadi pendukung

pembangunan perekonomian Kabupaten Soppeng secara menyeluruh.

Wilayah kecamatan lainnya seperti Lalabata, Marioriwawo, Liliriaja, Lilirilau,

Ganra merupakan daerah perkotaan dan menjadi pusat-pusat perekonomian.

Kecamatan Lalabata sebagai ibu kota kabupaten merupakan pusat pemerintahan,

sedangkan Kecamatan Marioriwawo, Liliriaja, Lilirilau, dan Ganra selain sebagai

daerah perkotaan dan pusat perdagangan juga menjadi simpul konektivitas

antarwilayah dan wilayah di luar Kabupaten Soppeng.

Wilayah Kecamatan Marioriawa dan Kecamatan Donri-donri mendapatkan

alokasi anggaran proporsional dengan kondisi aksesibilitas jalan. Kebijakan

yang diambil oleh pemerintah daerah dalam pengalokasian dana pembangunan

jalan sudah sesuai dan diharapkan dapat memenuhi kebutuhan masyarakat dan

menunjang mobilitas dan mendukung aktivitas perekonomian di wilayah tersebut.

Mengingat dari hasil analisis sebelumnya bahwa anggaran infrastruktur jalan

berpengaruh positif dan signifikan terhadap PDRB, maka kebijakan pembangunan

jalan sangat memengaruhi pertumbuhan ekonomi Kabupaten Soppeng. Untuk itu

pengalokasian anggaran jalan seharusnya mempertimbangkan aspek kebutuhan

masyarakat, kondisi eksisting jalan yang sudah terbangun, dan aspek potensi

pengembangan wilayah.

Rasio antara luas daerah irigasi dan luas lahan sawah menurut kecamatan

di Kabupaten Soppeng dan rata-rata alokasi anggaran infrastruktur irigasi tahun

2015—2017. Kecamatan Lalabata memiliki rasio tertinggi, yaitu 1 artinya semua lahan

sawah di Kecamatan Lalabata sudah diairi dengan irigasi teknis sehingga alokasi

anggarannya seharusnya hanya meliputi pemeliharaan dan rehabilitasi jaringan saja.

Rasio terendah adalah Kecamatan Lilirilau, di wilayah ini yang paling luas lahan

sawah yang belum terairi dengan baik dan masih banyak sawah tadah hujan. Untuk

mengoptimalkan potensi pertanian di Kecamatan Lilirilau seharusnya anggaran

irigasi di wilayah ini lebih besar. Namun permasalahaannya di wilayah ini sangat

kurang sumber air yang bisa dijadikan sumber pengairan, ini menjadi tantangan bagi

perencana untuk mendapatkan solusi bagaimana mengembangkan potensi lahan

yang tersedia menjadi lebih produktif.

Salah satu solusinya adalah membangun waduk buatan yang mampu

menampung air hujan dan mengalirkan langsung ke areal pertanian. Teknik waduk

135 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

buatan ini sudah berhasil diterapkan di beberapa daerah yang sering mengalami

kekeringan di musim kemarau dan terbukti mampu meningkatkan produktivitas

pertanian.

Di wilayah lainnya, yaitu Kecamatan Marioriawa, Liliriaja, Citta, dan Ganra,

alokasi anggaran cukup proporsional dengan rasio kondisi irigasinya. Di Kecamatan

Marioriwawo dan Donri-donri terdapat daerah irigasi kewenangan pusat dan

provinsi, yaitu DI. Langkemme dan DI. Tinco. Anggaran pemeliharaan jaringan

irigasi lebih banyak dialokasikan di pemerintah provinsi dan pusat.

Agar infrastruktur irigasi ini dapat menunjang peningkatan produktivitas

pertanian secara optimal yang akhirnya meningkatkan pertumbuhan ekonomi

maka kebijakan yang harus ditempuh adalah memaksimalkan perencanaan dan

koordinasi antar-stakeholder. Dari hasil estimasi regresi menunjukkan anggaran

infrastruktur irigasi berpengaruh tidak signifikan terhadap pertumbuhan ekonomi,

sehingga kebijakan ini seharusnya dikaji ulang. Hal ini menunjukkan ada masalah

dalam penganggaran infrastruktur irigasi, karena infrastruktur irigasi merupakan

pendukung utama sektor pertanian sementara sektor pertanian merupakan

penyumbang kontribusi terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi di Kabupaten

Soppeng.

Persentase panjang sungai yang sudah dinormalisasi/tidak membutuhkan

penanganan dan rata-rata alokasi anggaran pengembangan sumber daya air tahun

2015—2017. Persentase terendah adalah Kecamatan Ganra, wilayah ini merupakan

daerah rawan banjir. Kecamatan lainnya yang juga rawan banjir adalah Marioriawa

dan Donri-donri. Ketiga wilayah ini yang menjadi prioritas penanganan sungai,

karena seringnya terjadi bencana di daerah ini. Kegagalan panen akibat banjir paling

sering terjadi di wilayah ini, sehingga alokasi anggaran sebagian besar ditujukan

untuk normalisasi sungai di tiga kecamatan ini.

Persentase kebutuhan penanganan sungai pada tiap kecamatan bervariasi

dan proporsi alokasi anggaran tiap kecamatan tidak berdasarkan pada kebutuhan

penanganan sungai. Yang menjadi kendalanya karena data kebutuhan penanganan

sungai hanya perkiraan sementara, belum ada data akurat yang dimiliki pemerintah

daerah tentang kondisi sungai yang berada di wilayah Kabupaten Soppeng.

Pengalokasian anggaran didasarkan pada kondisi kerentanan mengakibatkan

bencana atau lokasi pascabencana. Untuk menghasilkan perencanaan yang lebih

baik, pemerintah daerah seharusnya memiliki dokumen lengkap tentang kondisi

sungai dan daerah aliran sungai di wilayah Kabupaten Soppeng. Arahan kebijakan

pengembangan sumber daya air diprioritaskan untuk normalisasi sungai di wilayah

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI136

rawan banjir untuk mengamankan lahan pertanian dan pemukiman penduduk serta

memperbaiki kualitas daerah aliran sungai.

Berdasarkan hasil analisis sebelumnya bahwa hasil estimasi regresi

menunjukkan anggaran infrastruktur sumber daya air meliputi anggaran normalisasi

sungai berpengaruh positif signifikan tehadap pertumbuhan ekonomi. Kebijakan

pemerintah dalam pengalokasian anggaran infrastruktur sumber daya air seharusnya

dilakukan perencanaan yang matang agar diperoleh hasil pembangunan yang lebih

baik.

Anggaran infrastruktur pertanian dilaksanakan oleh dinas pertanian. Arahan

kebijakan infrastruktur pertanian termuat dalam Renstra dan Renja Dinas Pertanian

Kabupaten Soppeng. Dalam implementasinya sebaiknya ada koordinasi antarinstansi

seperti Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang, Bappelitbangda, dan instansi

lainnya yang berkepentingan agar terbentuk sinergi antarinstansi dalam mendukung

sasaran pembangunan sektor pertanian.

Sektor pariwisata menjadi prioritas kebijakan yang termuat dalam RPJMD.

Walaupun kontribusinya terhadap Pendapatan Asli Daerah dan Produk Domestik

Regional Bruto masih rendah, tetapi jika sektor ini dikelola dengan baik akan

menjadi sumber pertumbuhan ekonomi baru bagi perekonomian di Kabupaten

Soppeng. Arahan kebijakan pembangunan infrastruktur pariwisata harus terkait

dengan kebijakan pembangunan infrastruktur transportasi untuk mendukung akses

ke lokasi objek wisata. Perbaikan sarana, prasarana objek wisata diprioritaskan pada

objek wisata potensial.

D. KesimpulanBerdasarkan uraian dan analisis, maka kesimpulan yang diperoleh adalah sebagai berikut.

1. Kondisi infrastruktur jalan di Kabupaten Soppeng 55,45% dari 898,881 km dalam

kondisi rusak, 26,94% dari 193 unit jembatan dalam kondisi rusak, 26,18% dari

9.708 ha luas daerah irigasi dalam kondisi rusak, persentase panjang sungai

yang sudah direhabilitasi adalah 38,19%, penambahan luas lahan sawah 339,9

ha, kontribusi sektor pariwisata terhadap Pendapatan Asli Daerah 1,27%.

2. Anggaran Infrastruktur jalan dan anggaran infrastruktur pengembangan sumber

daya air berpengaruh positif signifikan terhadap Produk Domestik Regional

Bruto (PDRB) di Kabupaten Soppeng, anggaran infrastruktur irigasi, anggaran

infrastruktur pertanian, anggaran infrastruktur pariwisata tidak berpengaruh

137 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

signifikan terhadap Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) di Kabupaten

Soppeng.

3. Kebijakan penganggaran diarahkan pada infrastruktur jalan dan infrastruktur

pengembangan sumber daya air yang memberikan kontribusi positif bagi

pertumbuhan ekonomi dan diprioritaskan pada wilayah yang membutuhkan.

E. Saran KebijakanBerdasarkan kesimpulan yang telah diuraikan, maka dapat dikemukakan saran-saran

sebagai berikut.

1. Memprioritaskan perencanaan dan penganggaran pemerintah Kabupaten

Soppeng untuk membiayai kegiatan infrastruktur jalan dan infrastruktur

pengembangan sumber daya air karena terbukti meningkatkan PDRB.

2. Meninjau kembali kebijakan penganggaran infrastruktur jembatan, infrastruktur

pertanian dan infrastruktur pariwisata yang berpengaruh tidak signifikan,

sehingga kebijakan tersebut perlu diteliti kembali tingkat keefektifannya dan

faktor-faktor lain yang memengaruhinya.

3. Kepada peneliti yang akan datang disarankan agar menambahkan variabel

lainnya agar memberikan temuan yang lebih komprehensif atau meneliti faktor-

faktor lain yang menyebabkan penganggaran infrastruktur tidak produktif.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI138

13FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DAN STRATEGI PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

► Nama : Yuliana

► Unit Organisasi : BAPPELITBANG PEMKAB HULU SUNGAI UTARA

► Program Studi : Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Hasanuddin

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI140

ABSTRAKKemiskinan merupakan masalah pembangunan di berbagai bidang yang ditandai dengan

adanya pengangguran dan keterbelakangan yang membutuhkan penanggulangan dan

pendekatan sistematis, terpadu dan komprehensif untuk memenuhi hak-hak dasar

warga negara melalui pengembangan yang inklusif, berkeadilan dan berkelanjutan untuk

mencapai kehidupan yang bermartabat. Penelitian ini bertujuan untuk (1) menganalisis

kondisi kemiskinan; (2) menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan;

dan (3) menganalisis implementasi strategi penanggulangan kemiskinan. Penelitian ini

dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Selatan yang terdiri dari 13 Kabupaten/Kota. Metode

Penelitian yang digunakan untuk menganalisis kondisi kemiskinan dengan pendekatan

deskripftif kualitatif, menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan dengan

regresi data panel menggunakan eviews 7.0 dan menganalisis implementasi strategi

penanggulangan kemiskinan dengan konsep value for money yang terdiri dari ekonomi,

efisien, dan efektivitas. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertama, tingkat kemiskinan

Provinsi Kalimantan Selatan menempati posisi ke-3 terendah walaupun ketimpangan

pendapatan masih tinggi. Pendidikan penduduk miskin terbanyak pada kelompok SD/SMP

(54,16%). Pekerjaan penduduk miskin cenderung bekerja pada sektor Informal (42,26%), dan

penduduk miskin yang tidak bekerja sebesar 37,73%. Perempuan penduduk miskin dalam

penggunaan alat KB sudah lebih baik (80,88%), sedangkan fasilitas perumahan penduduk

miskin dalam penggunaan air layak masih rendah (47,83%). Adapun penggunaan jamban

sendiri/bersama sudah lebih baik (73,01%). Kedua, faktor-faktor yang memengaruhi secara

signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan adalah belanja langsung,

pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan pengeluaran perkapita, sedangkan

rata-rata lama sekolah tidak berpengaruh terhadap jumlah penduduk miskin. Ketiga,

program penanggulangan kemiskinan sudah berjalan ekonomis karena realisasi anggaran

lebih kecil daripada target anggaran walaupun secara efisien dan efektivitas masih ada

beberapa program yang belum mencapai output dan outcome maksimum

► Kata Kunci: Faktor Kemiskinan, Penduduk Miskin, Program Penanggulangan

Kemiskinan

141 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

ABSTRACTThis research aims to (1) Describe the state of infrastructure in Soppeng Regency (2) Analyze

the infrastructure development and its influence on economic growth (3)Poverty is a

development issue in many areas characterized by unemployment and underdevelopment

that requires a systematic, integrated and comprehensive approach to fulfill the basic

rights of citizens through inclusive, equitable and sustainable development to achieve

a dignified life. The research aimed to (1) analyze the condition of poverty; (2) analyze

the factors affecting poverty; and (3) Analyze the implementation of poverty reduction

strategies. The research was conducted in South Kalimantan Province consisting of 13

Regencies/Cities The method used analyze poverty condition was descriptive qualitative

analysis, the method use to analyze the implementation of poverty reduction strategies

with value for money were economy, efficiency, and effectiveness. The results of the

research indicate that (1) poverty level in South Kalimantan Province is the third to the

lowest position although it still has a high income. The poorest population is Primary

and Junior High School graduates (54.16%). The poor tend to work in the informal sector

(42.26%). The unemployed poor is 37.73%. The Poor women using family planning (KB)

contraception is better (80.88%). The facilities of poor housing to use decent water are

still low (47,83%). The use of latrines individually/collectively is better (73.01%). (2) Factors

significantly affecting poverty in South Kalimantan Province are direct expenditure,

economic growth, the rate of unemployment and per capita expenditure. The average

length of school period does not affect the number of the poor. (3) Poverty reduction has

run economically since budget realization is smaller than budget target although there

are some programs that have not achieved maximum output and outcome efficiently and

effectively.

► Keywords: Poverty Factors, The Poor, Poverty Reduction Program

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI142

FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI KEMISKINAN DAN STRATEGI

PENANGGULANGAN KEMISKINAN DI PROVINSI KALIMANTAN SELATAN

A. Latar BelakangKemiskinan merupakan masalah pembangunan diberbagai bidang yang ditandai dengan

adanya pengangguran dan keterbelakangan yang membutuhkan penanggulangan

dan pendekatan sistematis, terpadu dan komprehensif untuk memenuhi beban dan

memenuhi hak-hak dasar warga negara melalui pengembangan yang inklusif, berkeadilan

dan berkelanjutan untuk mencapai kehidupan yang bermartabat (Fikri & Saleh, 2015).

RPJMD Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2016—2021, target untuk angka

kemiskinan tahun 2021 adalah 3,96-4,01%. Dilihat dari perkembangan tingkat kemiskinan

di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2017 mengalami kenaikan sebesar 0,21% (tahun 2016

4,52%) menjadi 4,37% tahun 2017, dengan jumlah penduduk miskin meningkat sebanyak

9.760 Jiwa (Tahun 2016 184.160 Jiwa menjadi 193.920 Jiwa tahun 2017). Target RPJMD

Provinsi Kalimantan Selatan tidak mudah untuk diselesaikan terutama jika melihat

peningkatan kemiskinan yang cukup signifikan.

Penelitian Novianti dkk (2013) bahwa faktor-faktor yang dianggap memengaruhi

tingkat kemiskinan yaitu sarana kesehatan, sarana pendidikan, jumlah kepala keluarga

yang tidak bekerja dan jumlah keluarga yang memperoleh bantuan kredit mikro.

Menurut Hanna & Karlan (2016) Kebijakan pemerintah daerah yang berorientasi pada

program pengentasan kemiskinan sudah seharusnya didasarkan pada faktor-faktor

yang memengaruhi kondisi kemiskinan tersebut. Semakin tinggi jumlah dan persentase

penduduk miskin disuatu daerah akan menjadi tinggi beban pembangunan yang

mengakibatkan semakin besar peran pemerintah dan alokasi dana APBD untuk program-

program penanggulangan kemiskinan.

Pembangunan dikatakan berhasil apabila jumlah dan persentase penduduk

miskinnya turun atau bahkan tidak ada, namun tingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan

Selatan belum mencapai maksimal dan sesuai dengan target pemerintah daerah Provinsi

Kalimantan Selatan. Hal ini mengindikasikan bahwa perlu dicermati dan dikaji ulang

atas strategi program penanggulangan kemiskinan yang dijalankan pemerintah daerah

serta faktor-faktor yang dapat memengaruhi kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan

143 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

melalui pemahaman terhadap akar penyebab kemiskinan (Churchill & Smyth, 2017). Mai &

Mahadevan (2015) bahwa penelitian harus berfokus pada efektivitas program pengentasan

kemiskinan, seberapa baik program-program ini mengatasi berbagai bentuk kemiskinan

untuk mengejar pendekatan pada target yang lebih spesifik. Berdasarkan latar belakang

di atas, penulis tertarik untuk melakukan penelitian mengenai kondisi kemiskinan dan

bentuk program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan serta faktor-

faktor apa yang memengaruhi terjadinya kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisKemiskinan merupakan masalah multidimensi yang sangat kompleks, banyak faktor yang

memengaruhi baik dari segi ekonomi, kesehatan, pendidikan, dan mata pencaharian,

selain itu juga menyangkut kerentanan dan kerawanan orang atau sekelompok orang,

baik laki-laki maupun perempuan untuk menjadi miskin. Cara pandang yang berbeda

akan menentukan pemahaman tentang kondisi, sifat dan konteks kemiskinan, bagaimana

sebab-sebab kemiskinan dapat diidentifikasi, dan bagaimana masalah kemiskinan dapat

diatasi. Kemiskinan juga merupakan salah satu tolak ukur sosial ekonomi dalam menilai

keberhasilan pembangunan yang dilakukan suatu pemerintah daerah. Berdasarkan uraian

latar belakang permasalahan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah:

1. Bagaimana kondisi kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan?

2. Apa faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan di Provinsi Kalimantan

Selatan?

3. Bagaimana implementasi strategi program penanggulangan kemiskinan di

Provinsi Kalimantan Selatan?

Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan pendekatan kualitatif dan

kuantitatif untuk mendeskripsikan kondisi kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan dan

menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan dan strategi penanggulangan

kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan.

Penelitian ini dilaksanakan di Provinsi Kalimantan Selatan yang terdiri atas 13

kabupaten/kota. Penelitian dilaksanakan selama 3 bulan, yaitu bulan Februari—April 2018.

Data yang dikumpulkan adalah data sekunder yang diperoleh melalui survei

institusional dan studi literatur terhadap beberapa dokumen antara lain data time series

(tahun 2011—2016), data Cross Section berupa data Belanja Langsung, Pertumbuhan

Ekonomi, Pengangguran, Pengeluaran Per kapita dan Rata-rata Lama Sekolah, selain itu

data diperoleh dari dokumen perencanaan, Laporan Realisasi Anggaran (LRA), Laporan

Akuntabilitas Kinerja Pemerintah (LAKIP), Dokumen Strategi Penanggulangan Kemiskinan

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI144

Daerah (SPKD), laporan/buku statistik, dan arsip atau jenis dokumen lainnya tentang

anggaran program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan.

C. Pembahasan

1. Kondisi Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan

Perkembangan Tingkat Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan menunjukkan

dari tahun 2011—2017 mengalami tren fluktuatif, dalam 6 tahun terakhir terjadi

penurunan kemiskinan sebesar 0,59% (tahun 2011 sebesar 5,29% menjadi sebesar

4,70% di tahun 2017). Sementara itu sebaran penduduk miskin di Provinsi Kalimantan

Selatan pada tahun 2011—2017 seperti halnya dengan tingkat kemiskinan juga

cenderung fluktuatif, dalam 6 tahun terakhir terlihat jumlah penduduk miskin tidak

jauh beda antara tahun 2011 (194.620 Jiwa) dengan tahun 2017 (194.560 Jiwa), akan

tetapi jika dilihat dari pertambahan jumlah penduduk Kalimantan Selatan tahun 2011

(3.714.340 Jiwa) hingga tahun 2017 (4.119.794 Jiwa) terjadi pertambahan penduduk

sebesar 405.454 Jiwa.

Indeks Kedalaman dan Keparahan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan

Selatan selama 6 tahun terakhir (2011—2017) terjadi penurunan indeks kedalaman

kemiskinan sebesar 0,07 (tahun 2011 sebesar 0,81 menjadi sebesar 0,74 tahun

2017), sedangkan indeks keparahan mengalami penurunan sebesar 0,03 (tahun 2011

sebesar 0,20 menjadi sebesar 0,17 tahun 2017). Hal ini menunjukkan bahwa kenaikan

tingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan juga diikuti dengan kesenjangan

pengeluaran antarpenduduk miskin yang makin jauh dari garis kemiskinan dan

makin menyebar.

Pendidikan penduduk miskin usia 15 tahun ke atas berdasarkan pendidikan

yang ditamatkan di Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2017 paling besar pada

kelompok tamat SD/SLTP (54,16%), disusul SD ke bawah (35,15%) dan SLTA ke

atas (10,69%), sedangkan berdasarkan status bekerja tahun 2017, sebagian besar

penduduk miskin bekerja di sektor Informal (46,26%), sektor informal (16,03%) dan

masih banyak penduduk miskin dengan status tidak bekerja (37,73%). Berdasarkan

status bekerja penduduk miskin di sektor pertanian di Provinsi Kalimantan Selatan

tahun 2017 sebesar 32,15% dan bekerja di sektor bukan pertanian (30,12%).

Perempuan berstatus miskin usia 15-49 tahun yang menggunakan alat KB di

Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2013—2017 mengalami peningkatan sebesar

2,14% (tahun 2013 sebesar 78,74% menjadi sebesar 80,88% tahun 2017). Fasilitas

145 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

perumahan penduduk miskin yang terdiri atas penggunaan air layak dan penggunaan

jamban bersama/sendiri tahun 2016 sebesar 73,01% dan 47,83%.

2. Analisis Implementasi Strategi Program Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan

Pengukuran kinerja program penanggulangan kemiskinan di Provinsi Kalimantan

Selatan dalam penelitian ini pada tahun 2014 ada 17 program (83 kegiatan), tahun

2015 terdapat 16 program (78 kegiatan), dan tahun 2016 ada 14 program (77 kegiatan).

3. Pengukuran Ekonomi Program Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan

Hasil analisis pengukuran kinerja ekonomi menunjukkan bahwa realisasi anggaran

pada program penanggulangan kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan untuk

tahun 2014 Rp32.842.385.407,00 atau 92,14 %, tetapi output (keluaran) mencapai

lebih dari 100% (101,82%). Realisasi anggaran untuk tahun 2015 adalah sebesar

Rp29.774.261.070,00 atau 86,13%, tetapi output (keluaran) mencapai lebih dari 100%

(103,21%). Realisasi anggaran untuk tahun 2016 adalah sebesar Rp37.755.844.945,00

dengan capaian (86,31%), tetapi output (keluaran) mencapai lebih dari 100%

(103,64%). Hasil analisis ekonomi dari tahun 2014, 2015, dan 2016, dapat disimpulkan

bahwa program penanggulangan kemiskinan selama 3 tahun tersebut sudah

berjalan ekonomis karena realisasi anggaran lebih kecil dari yang telah dianggarkan

dan dapat mencapai output maksimum.

4. Pengukuran Efisien Program Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan

Hasil pengukuran kiterja untuk efisiensi program penanggulangan kemiskinan pada

Provinsi Kalimantan Selatan Tahun 2014—2016 diketahui rata-rata rasio efisiensi

program ini pada tahun 2014 mencapai 112,15%. Periode tahun 2015 terlihat nilai

efisensi lebih dari 100% yaitu 122,76%. Tahun 2016 yaitu sebesar 122,67%. Dari data

tersebut dapat disimpulkan program penangggulangan kemiskinan di Provinsi

Kalimantan Selatan tahun 2014—2016 sudah efisien karena semua program

mencapai output maksimum (100%).

5. Pengukuran Efektivitas Program Penanggulangan Kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI146

Berdasarkan hasil pengukuran efektivitas program penanggulangan kemiskinan

Provinsi Kalimantan Selatan tahun 2014—2016 secara keseluruhan sudah efektif

karena mencapai nilai 100%, yaitu tahun 2014 (112,74%), tahun 2015 (113,86%), dan

tahun 2016 (137,38%).

6. Pembahasan

Pertambahan jumlah penduduk di Provinsi Kalimantan Selatan juga mempunyai

peranan penting dalam meningkatkan jumlah penduduk miskin. Penelitian Sari &

Natha (2016) bahwa pertumbuhan penduduk berbanding lurus terhadap kemiskinan,

artinya semakin besar pertumbuhan penduduknya maka semakin besar pula jumlah

masyarakat miskin.

Rendahnya tingkat pendidikan masyarakat miskin di Provinsi Kalimantan

Selatan mengakibatkan rendahnya produktivitas dan kesempatan memperoleh

pekerjaan yang layak. Penduduk miskin di Kalimantan Selatan banyak yang belum

mempunyai pekerjaan dan adanya peningkatan pengangguran sebesar 1,21%

berpotensi dalam meningkatkan tingkat kemiskinan. Kondisi ini sangat mungkin

terkait dengan rendahnya kualifikasi mereka seperti pendidikan, modal dan

keterampilan sehingga tidak mampu bersaing di sektor formal. Hal ini perlu menjadi

perhatian pemerintah daerah dalam meningkatkan akses lapangan pekerjaan

terutama bagi penduduk miskin. Semakin banyak tenaga kerja yang terserap dalam

dunia kerja seyogianya dapat berkontribusi untuk menurunkan kemiskinan apalagi

jika diikuti dengan meningkatnya kualitas tenaga kerja. (Fahar, 2015).

Rumah tangga miskin belum memiliki kehidupan layak khususnya jika

ditinjau dari fasilitas perumahan, masih rendahnya masyarakat dalam penggunan

air layak dan kurangnya fasilitas air layak untuk masyarakat Kalimantan Selatan.

Pembangunan infrastruktur merupakan hal sangat urgen dalam pengentasan

kemiskinan, karena tanpa infrastruktur yang memadai pembangunan akan sulit

untuk dilakukan meskipun dengan SDM yang kuat dan pintar (Leasiwal, 2013).

Hasil analisis regresi data panel dengan menggunakan eviews 7.0 menunjukkan

besarnya pengaruh perubahan belanja langsung terhadap jumlah penduduk

miskin di Provinsi Kalimantan Selatan di mana hasil estimasi nilai p-value adalah

0.0313 dengan nilai koefisien -0.007137 dan tingkat kepercayaan 95% (0.05), maka

dapat disimpulkan bahwa H1 diterima dan H0 ditolak, artinya belanja langsung

berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin. Hal ini

berarti setiap kenaikan belanja langsung sebesar satu juta rupiah akan mengurangi

jumlah penduduk miskin sebesar 0.007137 Jiwa.

147 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

Hasil ini sesuai dengan penelitian terdahulu antara lain penelitian Dardiri (2014)

& Minggu dkk (2015) tentang belanja langsung berpengaruh siginifikan dan nilai

koefisien negatif terhadap jumlah KK. Alokasi belanja langsung sangat berpengaruh

terhadap kondisi pembangunan daerah, dimana akan memberikan peluang

tersedianya berbagai program dan kegiatan yang akan dirasakan oleh masyarakat,

menyerap tenaga kerja dan meningkatkan pendapatan masyarakat (Dardiri, 2014).

Dari hasil estimasi untuk pertumbuhan ekonomi diketahui nilai p-value adalah

0.0761 dan nilai koefisien sebesar -0.458777 dengan tingkat kepercayaan 90%

(0.1), maka dapat disimpulkan bahawa H1 diterima dan H0 ditolak yang artinya

pertumbuhan ekonomi berpengaruh secara negatif dan signifikan terhadap jumlah

penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Selatan, dan setiap kenaikan pertumbuhan

ekonomi sebesar satu persen maka akan mengurangi jumlah penduduk miskin

sebesar 0.458777 Jiwa. Hasil ini sesuai dengan penelitian Adinugraha (2016), Finkayana

& Dewi (2016) bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif dan signifikan

terhadap jumlah penduduk miskin. Semakin besar pertumbuhan yang tercipta akan

mampu menekan jumlah penduduk miskin yang ada secara keseluruhan.

Tingkat pengangguran dari hasil estimasi diperoleh nilai p-value adalah

0.0030 dan nilai koefisien sebesar 1,408656 dengan tingkat kepercayaan 99%

(0.01), maka dapat disimpulkan bahwa tingkat pengangguran berpengaruh positif

secara signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di provinsi Kalimantan Selatan

dan kenaikkan tingkat pengangguran sebesar satu persen akan menambah jumlah

penduduk miskin sebesar 1,408656 jiwa. Demikian pula dengan penurunan satu

persen tingkat pengangguran maka akan menurunkan jumlah penduduk miskin

sebesar 1,408656 jiwa.

Hasil penelitian ini sesuai dengan penelitian Adinugraha (2016), Prasetyo (2010)

& Nainggolan (2017) bahwa jumlah pengangguran berpengaruh positif dan signifikan

terhadap jumlah penduduk miskin. Secara teori, jika masyarakat tidak menganggur

berarti mempunyai pekerjaan dan penghasilan, dan dengan penghasilan yang

dimiliki dari bekerja diharapkan dapat memenuhi kebutuhan hidup. Jika kebutuhan

hidup terpenuhi, tidak akan msikin, sehingga dapat dikatakan dengan jumlah

pengangguran rendah (kesempatan kerja tinggi), maka tingkat kemiskinan juga

rendah (Adinugraha, 2016).

Berdasarkan hasil estimasi regresi diperoleh nilai p-value pengeluaran

per kapita adalah 0.0000, dan nilai koefisien sebesar -0.001614 dengan tingkat

kepercayaan 99% (0.01), artinya pengeluaran per kapita berpengaruh secara negatif

dan signifikan terhadap jumlah penduduk miskin di Provinsi Kalimantan Selatan dan

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI148

setiap adanya kenaikan pendapatan per kapita sebesar 1000 rupiah per tahun, maka

dapat menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 0.001614 jiwa. Hal ini sesuai

dengan hipotesis penelitian bahwa variabel pengeluaran per kapita berpengaruh

secara signifikan terhadap tingkat kemiskinan. Hasil penelitian ini sejalan

(Finkayana & Dewi, 2016) bahwa pengeluaran per kapita signifikan dan berpengaruh

negatif secara statistik terhadap jumlah penduduk miskin. Semakin meningkatnya

pengeluaran per kapita dapat memberikan dampak pada jumlah penduduk miskin

di suatu daerah sebab semakin tinggi tingkat pengeluaran per kapita menunjukkan

adanya peningkatan kesejahteraan secara keseluruhan.

Variabel Rata-rata lama sekolah dari hasil estimasi memperoleh nilai p-value

adalah 0.3039 dengan tingkat kepercayaan 90% (0.1), maka 0.3039>0.1, sehingga

dapat disimpulkan bahwa H0 diterima dan H1 ditolak artinya Rata-rata Lama

Sekolah tidak siginifikan secara statistik terhadap Jumlah Penduduk Miskin di

Provinsi Kalimantan Selatan. Berdasarkan hasil estimasi tersebut tidak sesuai

dengan hipotesis penelitian bahwa variabel rata-rata lama sekolah berpengaruh

terhadap kemiskinan dan tidak selaras dengan penelitian Iswara & Indrajaya (2014).

Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Handayani (2017) & Fahmi (2015)

menghasilkan nilai pendidikan tidak berpengaruh signifikan terhadap kemiskinan.

Berdasarkan tingkat pendidikan penduduk miskin dari tahun 2011–2016 terjadi

peningkatan ke jenjang yang lebih tinggi. Tahun 2011 tingkat pendidikan SLTA ke

atas hanya sebesar 6,03% menjadi 11,84% di tahun 2016, terjadi peningkatan sebesar

5,81% selama 5 tahun terakhir. Begitu juga tingkat pendidikan penduduk miskin

SD ke bawah dalam 5 tahun terakhir sudah berkurang sebesar 7,64% (tahun 2011

sebesar 41,07% menjadi sebesar 33,43% tahun 2016). Hal ini menunjukkan bahwa

tingkat pendidikan penduduk miskin sudah lebih baik dari tahun ke tahun, akan

tetapi semakin baiknya tingkat pendidikan ini tidak memengaruhi dalam penurunan

kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan.

Hal ini disebabkan pendidikan yang belum mengarah kepada keterampilan

terutama keterampilan hidup (life skills), sehingga walaupun tingkat pendidikan

relatif tinggi namun belum tentu dapat bekerja karena kurangnya keterampilan dan

keahlian sehingga menjadi penggangguran, yang berakibat tidak ada pendapatan dan

menjadi miskin (Fahmi, 2015). Semakin tinggi tingkat pendidikan maka akan semakin

lama mencari kerja terkait dengan tingginya aspirasi untuk memperoleh pekerjaan

yang sesuai dan sebanding dengan return biaya pendidikannya (Nainggolan, 2017).

Berdasarkan hasil pengukuran kinerja secara ekonomis, ada anggaran

yang memiliki realisasi terendah, karena adanya belanja barang dan jasa yang

149 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

tidak terealisasikan terutama belanja Jasa Kantor dan Belanja Perjalanan Dinas.

Anggaran Jasa Kantor tidak terserap karena ada honorarium yang tidak dibayarkan,

dan kelebihan dana perjalanan dinas karena menyesuaikan standar biaya yang

ditetapkan daerah (kebijakan at cost). Berdasarkan data tersebut diharapkan untuk

perencanaan dan penetapan anggaran harus konkret, tepat sasaran dan jumlah,

diperlukan perencanaan yang baik dengan melibatkan pihak-pihak terkait dan selalu

dilaksanakan koordinasi.

D. KesimpulanTingkat kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan menempati posisi ke-3 terendah

walaupun ketimpangan pendapatan masih tinggi. Pendidikan penduduk miskin terbanyak

pada kelompok SD/SMP (54,16%), pekerjaan penduduk miskin cenderung bekerja pada

sektor informal (42,26%), tidak bekerja sebesar 37,73%. Perempuan penduduk miskin

dalam penggunaan alat KB sudah lebih baik (80,88%), sedangkan fasilitas perumahan

penduduk miskin dalam penggunaan air layak masih rendah (47,83%), dan penggunaan

jamban sendiri/bersama sudah lebih baik (73,01%). Faktor-faktor yang memengaruhi

secara signifikan terhadap kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan adalah

belanja langsung, pertumbuhan ekonomi, tingkat pengangguran dan pengeluaran per

kapita, sedangkan rata-rata lama sekolah tidak berpengaruh terhadap jumlah penduduk

miskin. Program penanggulangan kemiskinan sudah berjalan ekonomis karena realisasi

anggaran lebih kecil daripada target anggaran walaupun secara efisien dan efektivitas

masih ada beberapa program yang belum mencapai output dan outcome

maksimum. Anggaran Program Penanggulangan Kemiskinan Provinsi Kalimantan Selatan

diprioritaskan pada program yang memihak kepentingan dan kebutuhan masyarakat

dengan memperhatikan kondisi penduduk miskin, faktor-faktor yang memengaruhi

kemiskinan dan penggunaan belanja daerah lebih dioptimalkan untuk kepentingan

masyarakat miskin dengan tetap mengedepankan ekonomis, efisiensi dan efektivitas

yang relevan dengan substansi kebijakan pemerintah dalam mempercepat pengurangan

kemiskinan di Provinsi Kalimantan Selatan.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI150

14ANALISIS IMPLEMENTASI BANTUAN ALAT DAN MESIN PERTANIAN DI KABUPATEN BULUKUMBA

► Nama : Asra Eka Daeng Ngai

► Unit Organisasi : Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan

Perkebunan

► Program Studi : Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Hasanuddin

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI152

ABSTRAKPenelitian ini bertujuan menganalisis implementasi bantuan alat dan mesin pertanian di

Kabupaten Bulukumba, dan untuk mengetahui status keberlanjutan bantuan alat dan

mesin pertanian dalam mendukung pembangunan pertanian keberlanjutan di Kabupaten

Bulukumba. Metode penelitian yang digunakan untuk menganalisis implementasi bantuan

alat dan mesin pertanian dengan pendekatan deskriptif kualitatif berdasarkan aspek

yang memengaruhi implementasi, yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur

birokrasi, dan untuk mengetahui status keberlanjutan bantuan alat dan mesin pertanian

menggunakan metode Multidimensional Scaling (MDS) dengan software Rapfish.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa implementasi bantuan alat dan mesin

pertanian sudah terlaksana. Namun, secara keseluruhan beberapa komponen aspek

komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi yang memengaruhi implementasi

belum bekerja secara maksimal. Status keberlanjutan bantuan alat dan mesin pertanian

terhadap dimensi ekonomi dan lingkungan diperoleh kategori cukup berkelanjutan

untuk seluruh kecamatan, sedangkan dimensi sosial diperoleh dua kategori, yaitu kurang

berkelanjutan, meliputi Kecamatan Bontobahari, Bontotiro, Kajang, dan Bulukumpa,

serta kategori cukup berkelanjutan meliputi Kecamatan Gantarang, Ujungloe, Herlang,

Rilau Ale, dan Kindang

► Kata Kunci: Implementasi, Keberlanjutan

153 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

ABSTRACTThis study aims to analyze implementation the assistance of agricultural tools and

machinery in Bulukumba Regency, and to determine the sustainability status of

agricultural equipment and machinery assistance in supporting sustainable agricultural

development in Bulukumba regency. The research method was a qualitative descriptive

approach based on factors influencing the implementation of communication, resources,

disposition and bureaucratic structure, and to determine the sustainability status of

agricultural equipment and machinery assistance with Multidimensional Scaling (MDS)

method employing Rapfish software.

The results of this study indicate that the implementation of agricultural equipment

and machinery assistance has been carried out but overall several components factor that

affect implementation have not worked optimally. The sustainability status of agricultural

machinery funding for the economic and environmental dimensions was obtained quite

sustainable categories for all districts, while the social dimension obtained two categories

of less sustainable are: Bontobahari, Bontotiro, Kajang and Bulukumpa sub-districts, and

quite sustainable are: Gantarang, Ujungloe, Herlang, Rilau Ale and Kindang

► Keywords: Implementation, Sustainability

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI154

ANALISIS IMPLEMENTASI BANTUAN ALAT DAN MESIN PERTANIAN DI KABUPATEN

BULUKUMBAA. Latar BelakangAlat dan mesin pertanian (alsintan) merupakan bagian dari modernisasi memiliki peran

yang penting dalam dalam kegiatan usaha tani. Penggunaan alat dan mesin pertanian

dapat menimbulkan dampak positif di antaranya dapat mempercepat pekerjaan petani

sehingga mendorong sistem tanam serentak dan dapat meningkatkan produksi pertanian.

Dalam rangka mendukung pertanian berkelanjutan, maka prospek penggunaan alat dan

mesin pertanian ke depan selain mendorong petani agar meningkat secara ekonomi,

kondisi sosial yang lebih baik juga mampu mendorong penggunaan alat dan mesin

pertanian yang ramah lingkungan.

Kementerian Pertanian meyakini bahwa penerapan alsintan begitu penting agar

petani lebih berdaya saing dalam menghadapi pasar bebas, sehingga jumlah bantuan

alsintan mengalami peningkatan 600% dari periode tahun 2010—2014, yaitu kurang dari

50 ribu unit menjadi 321 ribu unit pada periode tahun 2015—2017. Bantuan alsintan yang

diberikan, di antaranya traktor roda dua dan empat, transplanter, combine, pompa air,

dryer, power thresher, dan corn seller, ke seluruh daerah penghasil pertanian termasuk

Kabupaten Bulukumba.

Upaya mendukung kebijakan tersebut pemerintah Kabupaten Bulukumba,

mengalokasikan beberapa program untuk mendukung keberhasilan target capaian

program kegiatan khususnya pertanian tanaman pangan. Program bantuan untuk

masyarakat tani mencakup beberapa hal di antaranya bantuan sarana dan prasarana dan

bantuan penguatan kelembagaan (Dinas Pertanian, 2016).

Dengan bantuan alsintan diharapkan selain efisiensi dan produktivitas penggunaan

sumber daya dapat ditingkatkan, aktivitas pertanian dapat diselesaikan dengan lebih

tepat waktu (Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian-Kementerian Pertanian,

2016), meningkatkan produksi pertanian, juga dapat memberdayakan masyarakat pelaku

usaha tani penerima manfaat. Hanya saja Timmer, Falcon dan Pearson (Simatupang, 2003)

mengungkap bahwa sifat umum kebijakan pertanian agak paradoksal, ada di mana-mana

namun selalu kontroversial, di satu sisi kebijakan pertanian sangat dibutuhkan tetapi di sisi

lain setiap kebijakan selalu menghasilkan pertentangan dan dampaknya selalu dilematis.

155 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

Sifat yang paradoksal tersebut yang menjadi alasan mengapa kebijakan pertanian harus

dirancang secara hati-hati melalui analisis yang lebih komprehensif.

Produktivitas komoditas tanaman pangan di Kabupaten Bulukumba seperti padi

mengalami peningkatan, tetapi padi cenderung mengalami penurunan dari tahun 2013—

2017. Seharusnya dengan banyaknya bantuan alsintan yang diberikan, maka produktivitas

tanaman pangan khususnya padi mengalami peningkatan. Tahun 2017, komoditas padi

justru mengalami penurunan, yaitu sebesar (-27,19) poin. Hal ini menunjukkan ada masalah

dalam pelaksanaan program kegiatan yang diberikan kepada petani.

Jika penurunan produktivitas terus berlangsung, di masa datang akan terjadi

kerawanan pangan khususnya di masyarakat perdesaan. Mellor (Gollin, 2010) menyatakan

bahwa dampak pertumbuhan produktivitas pertanian di antaranya akan berpengaruh

terhadap pendapatan, profitabilitas pertanian, peningkatan kesejahteraan petani, dan

jumlah masyarakat miskin di pedesaan.

Padahal berdasarkan hasil survei Indef, kepuasan petani terhadap kebijakan dan

program kementerian Pertanian (Pertanian, 2016) pada bulan Maret 2016, mengemukakan

bahwa sebagian besar responden menyatakan bantuan alsintan, baik prapanen dan

pascapanen dirasakan penting oleh petani. Oleh karena itu, penelitian ini diperlukan

untuk mengetahui bagaimana implementasi bantuan alsintan dan status keberlanjutan

bantuan alsintan dalam rangka pembangunan pertanian berkelanjutan, agar diperoleh

informasi dalam mengarahkan perencanaan dan kebijakan pertanian daerah secara lebih

baik.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisPembangunan pertanian di Kabupaten Bulukumba pada dasarnya adalah mendukung

mewujudkan kesejahteraan masyarakat sebagaimana termaktub dalam visi Kabupaten

Bulukumba tahun 2011—2015 dan 2016—2021, yaitu mewujudkan masyarakat Bulukumba

yang sejahtera. Berbagai program dan kegiatan dilakukan pemerintah khususnya

sektor pertanian tanaman pangan sebagai sektor andalan di antaranya bantuan sarana

dan prasarana, berupa bantuan alat dan mesin pertanian. Masalahnya adalah capaian

produksi tanaman pangan masih rendah, PDRB per kapita masih sangat rendah dibanding

PDRB per kapita Provinsi Sulawesi Selatan yang berimplikasi pada masih tingginya

angka kemiskinan. Bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan) sudah terlaksana, tetapi

belum menyentuh persoalan secara menyeluruh baik secara ekonomi, sosial, maupun

lingkungan. Persoalannya termasuk di antaranya implementasi bantuan alat dan mesin

pertanian (alsintan) ditingkat lapangan terhadap komoditi padi yang seharusnya dapat

meningkatkan produktivitas pertanian tetapi justru mengalami penurunan. Oleh karena

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI156

itu perlu dilakukan penelitian mengenai implementasi bantuan terkait pembangunan

pertanian berkelanjutan, sehingga pertanyaan penelitian adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana implementasi bantuan alsintan didaerah penelitian?

2. Bagaimana status keberlanjutan bantuan alsintan dalam rangka mendukung

pembangunan pertanian didaerah penelitian?

Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan kualitatif dan

kuantitatif. Penelitian ini berusaha untuk mengungkapkan bagaimana pelaksanaan

pemberian bantuan alat dan mesin pertanian kepada petani. Pendekatan kualitatif dilakukan

untuk mengetahui implementasi bantuan alat dan mesin pertanian (alsintan), sedangkan

pendekatan kuantitatif dilakukan untuk mengetahui status keberlanjutan program tersebut

terhadap petani. Pendekatan kualitatif dilakukan selain melalui studi dokumentasi dan

observasi langsung ke lapangan serta wawancara terhadap narasumber yang berkompeten

agar dapat membantu peneliti untuk menampilkan realitas secara lebih komprehensif,

sedangkan pendekatan kuantitatif dilakukan dengan menggunakan kuesioner dan

wawancara terstruktur terhadap sampel yang dipilih.

Penelitian ini termasuk penelitian kebijakan dengan salah satu kegunaannya adalah

untuk mengetahui implementasi program bantuan kebijakan dan mengukur perubahan

yang terjadi sosial, dan ekonomi lingkungan serta adaptasi teknologi sebagai akibat

kebijakan serta membuat proyeksi sebagai dasar membuat kebijakan. Penelitian akan d

laksanakan pada bulan Maret sampai dengan Mei tahun 2017 dan dilaksanakan di Kabupaten

Bulukumba Provinsi Sulawesi Selatan.

C. Pembahasan

1. Deskripsi Program/Kegiatan Stakeholder Terkait bantuan Alat dan Mesin Pertanian

Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Bulukumba

merupakan stakeholder kunci dalam pemberian bantuan alsintan di Kabupaten

Bulukumba. Dinas tersebut dipimpin oleh seorang kepala dinas dan memiliki tiga

bidang dan satu sekretariat yang berkaitan langsung dengan kegiatan tersebut

dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing.

Bantuan alat dan mesin pertanian merupakan kegiatan Dinas Tanaman

Pangan, Hortikultura dan Perkebunan Kabupaten Bulukumba selaku stakeholder

utamanya. Sumber anggarannya berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja Daerah

(APBD) kabupaten, provinsi maupun Anggaran Pendapatan dan Belanja Nasional

157 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

(APBN). Bantuan diberikan berupa barang yang diserahkan ke kelompok tani

melalui Dinas Tanaman Pangan, Hortikultura dan Perkebunan. Alokasi bantuan

alsintan pada tahun 2015 di Kabupaten Bulukumba sebanyak 164 unit, tahun 2016

sebanyak 264 unit, dan tahun 2017 sebanyak 98 unit. Bantuan alsintan ini terdiri atas

traktor roda dua, traktor roda empat, dan mesin tanam atau transplanter. Apabila

dikalkulasi dalam rupiah, jumlah anggaran yang dialokasikan untuk bantuan alsintan

dari tahun 2015 adalah Rp3.000.756.000,00 tahun 2016 sebesar Rp4.261.020.000,00

dan tahun 2017 sebesar Rp2.327.323.000,00 Estimasi harga yang digunakan adalah

harga satuan terendah yang diperoleh dari katalog lembaga kebijakan pengadaan

barang/jasa pemerintah. Bantuan tersebut diperuntukkan bagi kelompok tani yang

bertujuan meningkatkan produktivitas, mempercepat waktu tanam, menurunkan

biaya produksi, meningkatkan indeks pertanaman dan meningkatkan kesejahteraan

petani. Melalui pemanfaatan teknologi mekanisasi/alsintan diyakini meningkatkan

produksi hasil panen yang berdampak terhadap kesejahteraan petani penerima

bantuan. Menurut Kementerian Pertanian Republik Indonesia, pengggunaan

alsintan berkontribusi terhadap peningkatan produksi padi sebesar 14,9%, dan

terhadap produksi jagung 47,1%.

2. Status Keberlanjutan Dimensi ekonomi

Beberapa atribut yang berpengaruh terhadap analisis keberlanjutan pada dimensi

ekonomi antara lain (1) pendapatan rumah tangga petani, (2) produksi, (3)

produktivitas, (4) harga produksi, (5) wilayah pemasaran, (6) penyerapan tenaga

kerja, dan (7) keuntungan. Keberlanjutan dimensi ekonomi sangat penting untuk

diketahui apakah bantuan yang diberikan memberikan hasil sesuai yang diharapkan

yaitu untuk meningkatkan kesejahteraan petani. Jika kesejahteraan petani

meningkat, akan berimplikasi dan memberikan nilai positif terhadap Pendapatan

Domestik Regional Brutto (PDRB) per kapita daerah.

Indeks keberlanjutan dimensi ekonomi dengan nilai terendah hingga tertinggi

secara berurut adalah Kecamatan Bontotiro sebesar 42,85, Kecamatan Kajang,

Bulukumpa dan Kindang masing-masing sebesar 45,94, Kecamatan Bontobahari

sebesar 46,29, sedangkan indeks tertinggi adalah Kecamatan Gantarang, Ujungloe,

dan Rilau Ale sebesar 54,98.

Berdasarkan hasil wawancara diperoleh informasi bahwa rata-rata

produktivitas padi terendah diperoleh di Kecamatan Bontobahari, Bontotiro, dan

Kajang, yaitu adalah sekitar 24,57 kuintal gabah kering panen untuk luas lahan satu

hektare. Produktivitas tertinggi diperoleh pada Kecamatan Gantarang, yaitu sebesar

58,06 karung atau sekitar 58,06 kuintal atau 5,8 ton gabah kering panen. Berdasarkan

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI158

informasi harga rata-rata yang diperoleh, yaitu sebesar Rp400.000,00 per karung,

maka rata-rata perolehan hasil kotor petani di Kabupaten Bulukumba, yaitu antara

Rp9.828.000,00 hingga Rp23.224.000,00 per hektare. Apabila biaya produksi untuk

satu musim tanam itu sekitar 35 % dari pendapatan produksi dan satu musim tanam

adalah 90 hari atau 3 bulan, rata-rata pendapatan petani berkisar Rp2.129.400,00

hingga Rp5.031.867,00 per bulan dalam satu musim tanam.

Kaitannya dengan keberlanjutan bantuan alat dan mesin pertanian, terlihat

bahwa peningkatan produksi dan produktivitas sebagaimana tujuan pemberian

bantuan adalah meningkatkan produksi dan produktivitas tanaman pangan,

yaitu padi belum menunjukkan hasil yang signifikan terhadap keseluruhan jumlah

produksi dan produktivitas padi kabupaten, tetapi dari segi penghasilan petani,

dengan bantuan alsintan, maka biaya produksi bisa dikurangi sehingga penghasilan

petani bertambah. Oleh karena itu, peningkatan produksi dan produktivitas perlu

didorong untuk meningkatkan indeks keberlanjutan ekonomi bantuan alat dan

mesin pertanian.

3. Status Keberlanjutan Dimensi Sosial

Beberapa atribut yang berpengaruh terhadap analisis keberlanjutan pada dimensi

ekonomi antara lain (1) kepemilikan Lahan, (2) luas Lahan, (3) tingkat pendidikan formal

petani, (4) sistem kelembagaan, (5) peran anggota kelompok dalam pengelolaan

alsintan, (6) frekuensi konflik kerja, dan (7) ketersediaan bengkel alsintan. Kecamatan

yang memiliki ordinasi indeks keberlanjutan dimensi sosial dengan kategori kurang

berkelanjutan adalah Kecamatan Bontobahari (39,57), Kecamatan Bontotiro (39,57),

dan Kecamatan Kajang (39,57), sedangkan kecamatan yang memiliki nilai ordinasi

indeks berkelanjutan dengan kategori cukup berkelanjutan adalah Kecamatan

Herlang (43,87), Kecamatan Kindang (42,70), Kecamatan Gantarang (51,15),

Kecamatan Ujungloe (51,15), dan Kecamatan Rilau Ale (51,13).

Peran anggota kelompok tani memperoleh nilai ordinasi paling rendah.

Harus diakui, di lapangan memang banyak ditemui anggota kelompok tani tidak

terlibat dalam aktivitas kelompok dan merasa bahwa bukan bagian dari kelompok.

Oleh karena itu, peran pendampingan oleh penyuluh dan peningkatan kapasitas

petani dan petugas perlu ditingkatkan untuk mendukung meningkatnya status

keberlanjutan selain tiga atribut pengikut tersebut.

4. Status Keberlanjutan Dimensi Lingkungan

159 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

Beberapa atribut yang berpengaruh terhadap analisis keberlanjutan pada dimensi

ekonomi antara lain (1) adaptasi teknologi terhadap pelestarian lingkungan, (2)

pengetahuan pertanian ramah lingkungan, (3) aktivitas petani melakukan konservasi,

dan (4) dampak negatif alsintan terhadap lahan/lingkungan.

Seluruh kecamatan memiliki ordinasi indeks keberlanjutan dimensi lingkungan

dengan kategori cukup berkelanjutan dengan nilai ordinasi secara berurut adalah

Kecamatan Bontobahari, Bontotiro, Herlang, dan Kajang, masing-masing memiliki

nilai indeks sebesar 40,47, Kecamatan Bulukumpa, Rilau Ale, dan Kindang masing

masing memiliki nilai indeks sebesar 47,44, sedangkan Kecamatan Gantarang dan

Ujungloe masing-masing memiliki nilai indeks sebesar 47,47.

Atribut dengan nilai ordinasi terendah adalah pengetahuan petani terhadap

pertanian ramah lingkungan. Petani sudah diberikan pemahaman dengan sistem

pertanian ramah lingkungan melalui kegiatan sosialisasi dan penyuluhan, walaupun

materi yang diberikan hanya secara umum saja. Kenyataan dilapangan, masih

banyak petani yang tidak memedulikan kelestarian lingkungan, misalnya setelah

menggunakan traktor, biasanya traktor disimpan di lahan sawah sambil menunggu

penggunaan keesokan harinya, padahal selain kandungan zat besi pada roda

traktor, juga akan kembali memadatkan tanah, juga tidak menutup kemungkinan

adanya kebocoran bahan bakar yang jatuh ke tanah. Hal ini disebabkan kurangnya

kepedulian terhadap lingkungan di masa datang karena kurangnya pengetahuan

akan dampak dari sistem pertanian secara ramah lingkungan. Oleh karena itu,

perlu dilakukan sosialisasi atau peningkatan pengetahun dan kompetensi petani

dan penyuluh terkait sistem pertanian ramah lingkungan melalui pengelolaan dan

penggunaan bantuan alat dan mesin pertanian.

D. Kesimpulan1. Implementasi berdasarkan faktor komunikasi sudah terlaksana, namun dalam

prosesnya beberapa aspek belum bekerja secara sempurna.

a. Aspek komunikasi yaitu konsistensi perintah belum maksimal karena masih

minimnya petunjuk teknis pelaksanaan sehingga berpengaruh terhadap

kualitas verifikasi dan validasi sasaran penerima bantuan.

b. Aspek sumber daya yaitu ketersediaan jumlah staf sudah cukup tetapi

proporsional dan penempatan staf tidak didasarkan atas latar belakang

jabatan yang tercantum dalam formasi kebutuhan staf dalam analisis

kebutuhan pegawai sehingga bisa dipastikan bahwa beberapa staf tidak

kompeten di bidangnya.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI160

c. Aspek disposisi yaitu adanya intervensi politik dalam penentuan alokasi

sasaran penerima bantuan alat dan mesin pertanian serta pegawai belum

bekerja maksimal disebabkan oleh rendahnya insentif yang diberikan.

d. Aspek struktur birokrasi bekerja cukup baik dengan adanya perubahan

struktur organisasi. Namun, standar operasional prosedur teknis

pelaksanaan pemberian bantuan alat dan mesin pertanian belum ada.

2. Status keberlanjutan bantuan alat dan mesin pertanian di Kabupaten Bulukumba

yaitu 1) untuk dimensi ekonomi dan lingkungan, seluruh kecamatan memiliki

status keberlanjutan dengan kategori cukup berkelanjutan, dan 2) untuk dimensi

sosial, Kecamatan Bontobahari, Bontotiro, Kajang, dan Bulukumpa dengan

status kategori kurang berkelanjutan, sedangkan Kecamatan Gantarang,

Ujungloe, Herlang, Rilau Ale, dan Kindang dengan kategori status cukup

berkelanjutan.

E. Saran Kebijakan1. Untuk meningkatkan keberhasilan implementasi bantuan alat dan mesin

pertanian maka pemerintah daerah perlu melakukan beberapa hal berikut.

a. Peningkatan kualitas komunikasi khususnya pengembangan sosialisasi, dan

sosialisasi pengawasan, petunjuk teknis, konsistensi informasi jenis bantuan

agar bantuan yang diditerima kelompok tani sesuai kebutuhan dan sesuai

spesifik lokasi.

b. Penempatan staf sesuai kompetensi, pemberian intensif yang cukup dan

perlunya staf/pegawai yang memililki kompetensi sebagai pengawas alat

dan mesin pertanian di lapangan.

c. Transparansi dalam penentuan alokasi sasaran penerima bantuan alat dan

mesin pertanian sesuai petunjuk teknis yang memuat survei investigasi

lapangan agar meningkatkan kualitas verifikasi dan validasi oleh pelaksana

implementasi. Intervensi politik dalam pemberian bantuan alat dan mesin

pertanian dibolehkan, tetapi harus memenuhi syarat-syarat yang tertuang

dalam pedoman umum, petunjuk teknis dan survei investigasi petugas di

lapangan.

d. Menyiapkan standar operasional prosedur teknis pelaksanaan pemberian

bantuan alat dan mesin pertanian.

161 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

2. Untuk meningkatkan status keberlanjutan bantuan alat dan mesin pertanian

pemerintah daerah perlu memacu kelompok tani untuk membentuk asosiasi

petani tanaman pangan tiap kecamatan, sehingga dapat mempermudah kerja

sama dengan daerah lain. Selain itu memudahkan petani menjual produksinya,

juga untuk menjaga kestabilan harga, sehingga petani dengan sendirinya akan

aktif karena permintaan pasar yang cukup baik, perlu dilakukan verifikasi semua

kelompok terkait kepemilikan bantuan alsintan untuk mengetahui jumlah

kebutuhan alsintan tiap kelompok dan sangat perlu dilakukan penguatan

kelembagaan untuk di Kecamatan Bontobahari, Bontotiro, Kajang, dan

Bulukumpa.

3. Perlu penelitian lanjutan mengenai evaluasi kegiatan pemberian bantuan

alsintan dan keberlanjutan pembangunan pertanian di daerah tampak luas.

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI162

15ADAPTASI TERHADAP BANJIR DI KOTA MAKASSAR

► Nama : Syamsul Bahri

► Unit Organisasi : Dinas Pengelolaan Lingkungan Hidup Pemerintah

Provinsi Sulawesi Selatan

► Program Studi : Magister Perencanaan dan Pengembangan Wilayah

► Negara Studi : Indonesia

► Universitas : Universitas Hasanuddin

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI164

ABSTRAKBesarnya risiko banjir dan variabilitas iklim diperkirakan akan meningkat di masa depan

sebagai akibat dari perubahan iklim. Penelitian ini bertujuan untuk (1) mendeskripsikan

persepsi masyarakat terhadap banjir dan adaptasi yang dilakukan (2) menganalisis

kebijakan/program Pemkot Makassar untuk meminimalkan dampak banjir, dan (3)

memberikan arahan adaptasi yang dapat dilakukan oleh Pemkot Makassar. Penelitian ini

merupakan penelitian deskriptif kualitatif, dilakukan di daerah paling terdampak banjir

(sembilan kelurahan di empat kecamatan) di Kota Makassar. Pengumpulan data dilakukan

melalui observasi, dokumentasi, wawancara dan studi dokumen. Data dianalisis dengan

analisis kualitatif. Analisis kebijakan/program dengan menggunakan kriteria efektivitas,

efisiensi, kecukupan, perataan, responsivitas dan ketepatan. Hasil penelitian menunjukkan

bahwa (1) karakteristik banjir di lokasi kajian mulai ketinggian 0,5 hingga 1,5 m, surut paling

cepat 1 hari dan paling lama hingga lebih 10 hari. Banjir berdampak terhadap kondisi

sosial, ekonomi, kesehatan, dan lingkungan. Masyarakat melakukan adaptasi seperti

meninggikan pondasi/lantai rumah, membuat tanggul depan pintu rumah, membuat

tempat penyimpanan barang sementara saat banjir, mengubah rumah batu manjadi

rumah kayu, membuat penutup sumur bor yang tinggi, menyipakan kebutuhan konsumsi

dan perahu menjelang musim hujan. (2) program pembangunan dan normalisasi drainase

oleh Dinas PU belum memenuhi kriteria kecukupan dan responsivitas. (3) arahan adaptasi

dapat dilakukan dengan meningkatkan penyebarluasan informasi peringatan dini,

membangun tempat pengungsian di lokasi jumlah terdampak tinggi dan mempercepat

proses penyerahan fasum/fasos perumahan di lokasi rawan banjir.

► Kata Kunci: Adaptasi, Banjir, Drainase, Peringatan Dini

165 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

ABSTRACTThe magnitude of the floods risk and variability of climate that are suspected will

increase in the future as a result of the climate change. This study aims to (1) to describe

the perceptions of the community towards flood and their adaptation towards flood;

(2) to analyze the policies/programs on Makassar Local Government to minimize the

impact of flood; and (3) to over an adaptation directives, which could be implemented

by Makassar Local Government. This research was a descriptive-qualitative research, and

was conducted in the most affected by floods (9 villages in 4 sub-districts) in Makassar

City. The data collection was done through observation, documentation, interviews and

document studies. The data were analyzed using qualitative analysis, while the analysis

of the policy / program was conducted using the criteria of effectiveness, adequacy,

leveling, responsiveness and accuracy. The research result indicated that (1) the flood

characteristics in the study location started from 0.5 to 1.5 meters high, recede most

quickly after 1 day and most lately after 10 days. The floods had impact on the social,

economic, health and environmental conditions, while the community tried to adapt by

doing things, such as to raise the foundations / floors of their houses, to build dikes in

front of the house doors, to build a temporary places to keep their goods when flood

arrive, to even change their concrete houses into wooden houses, to elevate the cover

of the drilled wells, to prepare the needed consumption supply, and boats before the

rainy season. (2) The program and normalization of drainage by PU Office had not met

the criteria of adequacy and responsiveness. (3) The direction for adaptation could be

done by increasing the spread of the early warning, by contracting the asylum in the safe

locations, and by accelerating the process of transferring of the house fasos in the flood-

sensitive locations.

► Keywords: Adaptation, Flood, Drainage, Early Warning

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI166

ADAPTASI TERHADAP BANJIR DI KOTA MAKASSAR

A. Latar BelakangPerubahan iklim yang cukup ekstrem saat ini meningkatkan berbagai macam permasalahan

seperti meningkatnya tren bencana. Sebagian besar kejadian yang terjadi merupakan

bencana yang terkait perubahan iklim (hydrometeorological related disasters) antara lain

banjir, kekeringan, dan tanah longsor. Tren data bencana ini menggambarkan bahwa

kejadian bencana akan mengalami peningkatan frekuensi dan intensitas. Menurut data

BNPB, secara umum tren bencana di Indonesia meningkat sejak tahun 2002. Besarnya

risiko banjir dan variabilitas iklim diperkirakan akan meningkat di masa depan sebagai

akibat dari perubahan iklim. Karenanya, kerentanan negara berkembang juga akan

meningkat (Haque et al., 2010).

Hasil penelitian yang dirilis oleh Badan Pembangunan Internasional Amerika

Serikat (USAID) menyebutkan total biaya yang ditanggung oleh Indonesia pada tahun

2050 karena dampak perubahan iklim mencapai 132 triliun rupiah. Jika tidak dilakukan

aksi adaptasi dari sekarang, selain kerugian ekonomi dampaknya akan dirasakan langsung

oleh masyarakat yang menjadi korban (Kartika & Wibi, 2016). Adaptasi perubahan iklim

merupakan hal yang sangat penting dan harus segera dilakukan, mengingat rentannya

Indonesia terhadap dampak perubahan iklim dan rendahnya kapasitas dalam beradaptasi

(Marpaung dkk., 2008).

Di Kota Makassar, bencana yang dominan adalah banjir. Banjir dengan skala besar

terjadi pada awal tahun 2013, melanda sebanyak 24 kelurahan di 6 kecamatan dan luas

wilayah mencapai 2761,84 ha. Jumlah penduduk yang terdampak banjir mencapai 101.972

jiwa (BPBD Kota Makassar, 2014). Banjir kembali terjadi di akhir tahun 2017 yang melanda

beberapa kelurahan dan yang terparah di Kelurahan Katimbang, Batua, Tamangapa, dan

Manggala.

Hasil penelitian Nandini (2010), ditemukan bahwa adanya kendala terhadap

pelaksanaan strategi pengendalian banjir di Kota Makassar antara lain karakteristik aliran

permukaan yang besar, saluran drainase yang belum memadai, pemanfaatan lahan-lahan

yang rawan banjir, perubahan fungsi kawasan, dan kelembagaan. Sehingga adaptasi oleh

masyarakat untuk meminimalkan dampak banjir menjadi hal penting.

Menurut hasil penelitian Rachmat & Pamungkas (2014), banjir di Kota Makassar,

terutama di Kecamatan Manggala diperparah karena adanya faktor kerentanan yang

167 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

berpengaruh seperti faktor kondisi drainase yang tidak memadai, dekatnya jarak bangunan

dengan sungai, lokasi permukiman di daerah akumulasi genangan, penurunan daya

infiltrasi tanah, konstruksi jalan yang rentan kerusakan akibat genangan, dan tingginya

potensi penduduk terdampak.

Daerah-daerah rawan banjir di Kota Makassar merupakan daerah yang berada di

DAS Sungai Tallo dan Sungai Pampang, seperti Kecamatan Biringkanaya, Tamalanrea,

Panakukang, dan Manggala. Aliran kedua sungai tersebut sangat dipengaruhi oleh pasang

surut air laut. Umumnya banjir besar terjadi saat curah hujan yang tinggi bersamaan

dengan pasang air laut.

Sebagian besar daerah yang rentan terhadap dampak perubahan iklim menurut

data SIDIK KLHK juga merupakan daerah yang rawan bencana banjir menurut data BPBD

Kota Makassar. Karena adanya kerentanan yang tinggi di daerah yang rawan bencana

menyebabkan daerah tersebut perlu mendapat perhatian untuk mengurangi dampak

yang lebih besar. Untuk itu diperlukan kajian tentang adaptasi yang dilakukan masyarakat

di daerah rawan banjir tersebut.

B. Kajian Permasalahan dan Metode AnalisisBerdasarkan uraian pada latar belakang di atas maka rumusan permasalahan yang diteliti

adalah sebagai berikut:

1. Bagaimana karakteristik banjir di Kota Makassar dan upaya adaptasi apa yang

dilakukan masyarakat?

2. Program-program apa saja yang telah dilaksanakan oleh Pemkot Makassar

untuk meminimalkan dampak banjir?

3. Bagamana arahan adaptasi yang dapat dilakukan Pemkot Makassar untuk

meminimalkan dampak banjir?

Penelitian ini merupakan penelitian dengan pendekatan deskriptif kualitatif, yang

memberikan gambaran secara menyeluruh dengan mengkaji persepsi masyarakat terhadap

banjir meliputi karakteristik, dampak dan upaya adaptasi yang dilakukan oleh masyarakat

di lokasi kajian.

Ruang lingkup wilayah adalah wilayah administratif Kota Makassar yang terfokus pada

9 kelurahan yang paling terdampak banjir di 4 kecamatan, yaitu Kelurahan Batua, Bangkala,

Manggala, dan Tamangapa di Kecamatan Manggala; Kelurahan Buntusu, Tamalanrea

Indah dan Tamalanrea Jaya di Kecamatan Tamalanrea; Kelurahan Katimbang di Kecamatan

Biringkanaya; dan Kelurahan Panaikang di Kecamatan Panakkukang. Pelaksanaan kegiatan

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI168

penelitian mulai dari tahap persiapan hingga selesai membutuhkan waktu dari bulan Maret

sampai dengan bulan Juni 2018.

Data primer dikumpulkan dari masyarakat dan pihak kelurahan di lokasi kajian serta

instansi/pemerintah Kota Makassar melalui OPD Dinas PU, BPBD dan Dinas Sosial. Data

diperoleh melalui wawancara dengan masyarakat, dan instansi terkait serta observasi secara

langsung di lokasi kajian. Data sekunder diperoleh melalui laporan tertulis yang diperoleh

dari Renstra, Renja dan Lakip OPD terkait serta laporan kegiatan lainnya.

Teknik analis data menggunakan analisis deskriptif melalui reduksi data, penyajian

data dan penarikan kesimpulan. Reduksi data dilakukan dengan menyederhanakan dan

mengabstraksi catatan lapangan. Penyajian data dilakukan dengan menyusun informasi

dalam bentuk teks naratif maupun tabel/matriks yang merupakan jawaban atas pertanyaan

penelitian, dan penarikan kesimpulan dengan menginterpretasikan data.

C. Pembahasan

1. Karakteristik dan Dampak Banjir di Lokasi Kajian

Persepsi masyarakat terhadap banjir di lokasi kajian merupakan pendapat masyarakat

terhadap kejadian banjir meliputi karakteristik banjir berupa ketinggian dan lama

banjir serta dampak yang dirasakan. Banjir terparah pada Desember 2017 terjadi

di kompleks Kodam Tiga, Kelurahan Katimbang, Kecamatan Biringkanaya; Romang

Tangaya, Kelurahan Tamangapa, dan Swadaya, Kelurahan Batua, Kecamatan

Manggala. Ketinggian air lebih lebih dari 1 m dan surut paling lama hingga 10 hari

(Romang Tangaya).

Dampak banjir di lokasi kajian berupa dampak sosial, ekonomi, kesehatan,

dan lingkungan. Dampak ekonomi seperti terganggunya aktivitas sehari-hari,

akses jalan, tempat ibadah atau masjid, sektor pendidikan (sekolah), dan sektor

kesehatan (puskesmas/pustu). Dampak ekonomi berupa kerusakan properti rumah

tangga akibat banjir seperti lemari, kursi, meja, tempat tidur dan barang-barang

elektronik serta kerusakan motor. Aktivitas ekonomi juga terganggu, beberapa

pasar tradisional, RPH tidak berfungsi, dan layanan perbankan serta pemadaman

listrik (BPBD Kota Makassar, 2014).

Munculnya keluhan kesehatan pada hari ke-2 atau ke-3 terjadinya banjir

hingga beberapa hari setelah banjir. Keluhan tersebut terutama berupa gatal-gatal

dan diare. Dampak lingkungan seperti kondisi rumah dan lingkungan yang kotor

pascabanjir akibat sampah dan lumpur. Lingkungan tercemar, sumber air minum

169 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

berupa sumur timba atau sumur bor yang tergenang banjir tidak dapat digunakan

karena bercampur air kotor sehingga kenyamanan lingkungan menurun.

2. Adaptasi yang Dilakukan Masyarakat

Adaptasi yang dilakukan masyarakat secara individu untuk antisipasi dampak banjir

yaitu pertama, meninggikan pondasi/lantai rumah, atau membangun rumah 2 lantai,

adaptasi ini efektif untuk meminimalkan dampak banjir, terutama untuk menghindari

kerusakan properti akibat banjir. Kedua, membuat tanggul atau penahan banjir di

depan pintu rumah, sebagai bentuk antisipasi masuknya air sehingga kerusakan

properti dan kondisi rumah yang kotor pascabanjir dapat dihindari. Ketiga, membuat

tempat peyimpanan barang sementara yang lebih tinggi pada saat banjir. Keempat,

mengubah rumah batu menjadi rumah kayu, karena rumah panggung dianggap

paling adaptif untuk lokasi yang rawan banjir.

Adaptasi masyarakat di Roman Tangaya, RT 4 RW 6 Kelurahan Manggala yang

merupakan daerah paling terdampak banjir dengan membuat sumur bor dengan

penutup yang lebih tinggi dari permukaan tanah. Selain itu juga menampung air

hujan untuk kebutuhan konsumsi, menyediakan bahan makanan seperti beras, mi,

garam, ikan kaleng, dan berbagai kebutuhan lainnya sebelum memasuki musim

hujan. Untuk rumah kayu atau rumah panggung dilengkapi dengan perahu sebagai

alat transportasi saat banjir

3. Arahan Adaptasi

Hasil identifikasi permasalahan di lokasi kajian, lebih banyak berhubungan dengan

kewenangan Dinas PSDA Provinsi dan Balai Besar Pompengan-Jeneberang atau

PUPR. Khusus untuk OPD lingkup Pemerintah Kota Makassar, beberapa hal yang

perlu perbaikan sebagai bentuk arahan. Pertama, pembangunan tempat atau fasilitas

untuk pengungsian. Kapasitas tempat pengungsian yang disediakan tidak sesuai

dengan jumlah korban terdampak, sehingga perlu disediakan tempat pengungsian

seperti di Kelurahan Katimbang, Batua, dan Manggala. Tempat pengunsian yang

disediakan dapat berupa gedung serbaguna atau lapangan/ruang terbuka hijau

(RTH) yang dapat digunakan untuk mendirikan tenda pengungsian.

Kedua, informasi peringatan dini tidak sepenuhnya sampai ke masyarakat.

Informan mengetahui kalau akan terjadi banjir bedasarkan pengalaman selama

ini, misalnya jika hujan berturut-turut selama lebih dari 4 hari dan dengan melihat

ketinggian air di sekitar mereka. Hal tersebut tidak berlaku untuk banjir kiriman

dari Kabupaten Maros dan Gowa yang tiba-tiba datang. Oleh karena itu, peran

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI170

pemerintah untuk menginformasikan peringatan dini jika curah hujan tinggi di

daerah hulu kepada masyarakat sangat diperlukan. Saat ini, fasilitas untuk informasi

dari pemerintah ke masyarakat, khususnya semua ketua RT/RW se-Kota Makassar

sudah sangat bagus dengan adanya fasilitas smart phone yang disediakan oleh

pemerintah kota. Hali ini dapat dimaksimalkan untuk penyebarluasan informasi

peringatan dini khususnya untuk daerah rawan banjir.

Ketiga, percepatan penyerahan fasum/fasos perumahan yang sudah tidak

melakukan pengembangan. Adanya fasilitas umum dan sosial yang dimiliki

perumahan di daerah rawan banjir dan belum diserahkan ke pemerintah kota,

menyebabkan pemerintah kota tidak bisa melakukan perbaikan infrastruktur jalan

dan drainase di lokasi tersebut. Sementara hal tersebut sudah menjadi kebutuhan

mendesak untuk dilakukan perbaikan dalam rangka meminimalkan dampak banjir

yang dialami masyarakat. Pihak kelurahan di masing-masing lokasi sebaiknya

mengupayakan percepatan proses penyerahan fasum/fasos perumahan.

4. Pembahasan

Penelitian ini menunjukkan bahwa kawasan yang termasuk rawan banjir berada di

daerah rendah, sebagian masih merupakan daerah aliran sungai (DAS) Tallo yang

dijadikan permukiman, sehingga ketinggian banjir mencapai 1–2 meter. Waktu yang

dibutuhkan banjir hingga surut bervariasi mulai dari 3 hingga 5 hari, bahkan di Romang

Tangaya, Kelurahan Tamangapa, banjir umumnya surut 5–10 hari dan berulang

2–3 kali dalam rentan waktu Desember–Februari tiap tahun. Menurut Douglas et

al (2008) dalam Fatti & Patel (2013) meski curah hujan merupakan faktor utama,

namun curah hujan bukan satu-satunya penyebab banjir. Bencana banjir diperburuk

oleh peningkatan kepadatan permukiman, tempat tinggal di dataran banjir, dan

saluran pembuangan yang tersumbat yang semuanya sering terkonsentrasi di

daerah perkotaan. Salah satu penyebab banjir di lokasi kajian adalah daerah tersebut

merupakan daerah yang dipengaruhi oleh air pasang sehingga banjir diperparah saat

bersamaan dengan pasang air laut.

Dampak tidak langsung terdiri dari kerusakan, yang terjadi sebagai konsekuensi

lebih lanjut dari banjir dan gangguan kegiatan ekonomi dan sosial. Kerusakan

ini dapat memengaruhi area yang sedikit lebih besar daripada yang sebenarnya

terendam. Misalnya, hilangnya produksi ekonomi karena fasilitas yang hancur atau

terendam seperti pasar tradisional, kurangnya pasokan energi dan telekomunikasi

(pemadaman listrik), gangguan pasokan dengan barang, dan hilangnya waktu dan

keuntungan karena gangguan lalu lintas, serta terganggunya layanan publik.

171 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

Haque et al (2010), mengungkapkan beberapa dampak banjir terhadap

lingkungan khususnya terhadap pencemaran atau kontaminasi air permukaan seperti

perubahan tingkat PH, perubahan jumlah oksigen terlarut, perubahan permintaan

oksigen biologis (kehadiran sel mati, bakteri dan polutan biologis lainnya), kehadiran

klorida, padatan, padatan terlarut, kekeruhan, kehadiran segala jenis coliform dan

kontaminasi air tanah. Bahkan juga menyebabkan polusi udara berupa bau yang

tidak sedap dari bekas kotoran dan limbah.

Upaya adaptasi yang dilakukan masyarakat terutama bertujuan untuk

meminimalkan dampak banjir yang diderita. Liang et al (2017), mengemukakan

bahwa lebih dari 90% dari penduduk akan mengambil tindakan adaptasi teknik

atau non-teknik untuk melindungi aset pribadi mereka terhadap banjir. Tindakan

yang paling banyak dilakukan yaitu menjauhkan atau mengamankan barang-barang

mereka selama banjir. Sama halnya dengan di lokasi kajian, berbagai upaya adaptasi

dilakukan masyarakat untuk melindungi aset pribadi dan meminimalkan dampak

yang diderita.

Yuliadi (2017), adaptasi yang dapat dilakukan di daerah rawan banjir yaitu

meninggikan lantai rumah, pembuatan rumah panggung, dan pembuatan rumah

lantai 2. Menurut Nitivattananon dkk (2015), meninggikan lantai adalah langkah-

langkah adaptasi yang paling sukses di Surabaya. Ada banyak faktor yang

memengaruhi keberhasilan. Salah satunya adalah biaya. Misalnya masyarakat

setempat menggunakan uang mereka sendiri untuk meningkatkan lantai mereka

untuk menghindari banjir. Karena ukuran adaptasi ini berada di household level

sehingga mudah untuk pemeliharaan atau menerapkan. Masyarakat setempat

memiliki kesadaran yang cukup untuk menghadapi banjir. Mereka tidak lagi

merasakan banjir sebagai salah satu ancaman, tetapi mereka dianggap sebagai

batasan masalah yang mereka hadapi setiap tahun (Nitivattananon dkk., 2015).

Selain itu, adaptasi yang dilakukan masyarakat bertujuan mengurangi

sensitivitas terhadap banjir. Menurut Adger et al (2005), adaptasi dapat dilakukan

dengan mengurangi sensitivitas sistem yang terkena dampak, misalnya dengan

memastikan bangunan di kawasan banjir dibangun dengan lantai dasar yang tahan

banjir. Lantai rumah yang rendah lebih sensitif terhadap banjir dibanding rumah

dengan lantai yang lebih tinggi dan rumah batu atau berlantai 1 lebih sensitif

terhadap banjir dibandingkan rumah kayu yang berlantai 2.

Selain adaptasi secara pribadi, idealnya masyarakat juga melakukan upaya

adaptasi secara kolektif atau adaptasi berbasis komunitas. Menurut informan,

upaya adaptasi yang dilakukan secara kolektif sangat terbatas, atau hampir

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI172

tidak ada. Masyarakat hanya membuat perahu atau rakit yang digunakan untuk

mengangkut kendaraan seperti motor pada saat banjir yang merupakan adaptasi

reaktif. Hal yang sama diungkapkan Rachmat & Pamungkas (2014), bahwa upaya

adaptasi yang dilakukan masih reaktif berupa upaya tanggap darurat saat terjadi

banjir. Partisipasi masyarakat sebagai salah satu stakeholder masih sangat kurang

dan peran pemerintah masih sangat dominan.

Peringatan dini merupakan pemberitahuan akan timbulnya kejadian alam

seperti bencana. Deteksi dini pada masyarakat atas bencana merupakan tindakan

memberikan informasi dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat. Dalam

keadaan kritis, secara umum deteksi dini yang merupakan penyampaian informasi

tersebut diwujudkan dalam bentuk sirine, kentongan dan lain sebagainya (Yuliadi,

2017). Dengan kemajuan teknologi, peringatan dini juga dapat disampaikan melalui

media informasi seperti mengirim pesan ke telepon genggam masyarakat, penyiaran

informasi melalui radio, televisi, internet atau media sosial dan bahkan dengan

mengeluarkan surat edaran kepada departemen terkait (Liang et al., 2017).

Harapannya adalah agar masyarakat dapat merespons informasi tersebut

dengan cepat dan tepat. Semakin dini informasi yang disampaikan, semakin

longgar waktu bagi masyarakat untuk meresponsnya. Kesigapan dan kecepatan

reaksi masyarakat diperlukan untuk meminimalkan dampak. Karena keterlambatan

dalam menangani bencana dapat menimbulkan kerugian yang semakin besar bagi

masyarakat. Serra-LLobet et al (2013) dalam Sagala dkk (2014) menemukan bahwa

besarnya kerugian akibat bencana disebabkan oleh rendahnya kesiapsiagaan

masyarakat dan tidak adanya sistem peringatan dini yang memadai. Dengan adanya

peringatan dini, masyarakat dapat melakukan berbagai upaya penyelamatan jiwa

dan harta bendanya.

Di samping itu, kesiapsiagaan masyarakat dalam mengenali gejala alam

akan terjadinya banjir merupakan hal yang diperlukan. Masyarakat yang tinggal

di daerah rawan banjir harus diberdayakan dan merespons gejala tersebut agar

pengurangan jumlah korban dan kerugian akibat banjir dapat dihindari (Yuliadi,

2017). Oleh karena itu, perlu peningkatan pemahaman kesadaran masyarakat dan

aparat terhadap kondisi daerahnya yang rawan, serta terhadap gejala-gejala awal

terjadinya banjir dan tindakan darurat. Sagala dkk (2014) bahwa sebagian besar

tindakan kesiapsiagaan yang dilakukan oleh penduduk bukan berasal dari pelatihan

atau pemberitahuan dari pemerintah melainkan pengalaman mereka yang telah

lama mengalami bencana banjir.

173 PERENCANAAN WILAYAH DAN KOTA II

D. KesimpulanBerdasarkan hasil penelitian tentang kajian adaptasi terhadap banjir di Kota Makassar,

maka dapat disimpulkan beberapa hal sebagai berikut.

1. Karakteristik banjir di lokasi kajian mulai ketinggian 0.5 hingga 1.5 m, surut paling

cepat 1 hari dan paling lama hingga lebih 10 hari. Banjir berdampak terhadap

kondisi sosial, ekonomi, kesehatan, dan lingkungan. Masyarakat melakukan

adaptasi seperti meninggikan fondasi/lantai rumah, membuat tanggul depan

pintu rumah, membuat tempat penyimpanan barang sementara saat banjir,

mengubah rumah batu menjadi rumah kayu, membuat penutup sumur bor yang

tinggi, menyiapkan kebutuhan konsumsi, dan perahu menjelang musim hujan.

2. Program pembangunan dan normalisasi drainase (Dinas PU), belum memenuhi

kriteria kecukupan dan responsivitas. Program BPBD dan Dinas Sosial

memenuhi kriteria.

3. Arahan yang dapat dilakukan oleh Pemkot Makassar untuk meminimalkan

dampak banjir adalah membangun tempat pengungsian berupa gedung

serbaguna atau lapangan (RTH), meningkatkan penyebaran informasi

peringatan dini banjir ke masyarakat melalui media pesan ke level RT/RW dan

mempercepat proses penyerahan fasum/fasos perumahan yang berada di lokasi

rawan banjir dan sudah tidak melakukan pengembangan.

E. Saran KebijakanAdapun beberapa hal yang perlu diperhatikan sebagai saran dalam penelitian ini adalah

1. Rencana kontijensi banjir Kota Makassar tahun 2014 yang dibuat berdasarkan

data kejadian banjir 2013. Dokumen tersebut berlaku selama 3 tahun dan

seharusnya sudah direvisi. Namun hingga tahun 2018 dokumen tersebut

belum direvisi. Adanya perbedaan beberapa lokasi banjir tahun 2013 dengan

tahun 2017 menyebabkan adanya perbedaan data seperti lokasi banjir, jumlah

korban terdampak dan lain-lain sehingga perlu dilakukan revisi dokumen. Revisi

dokumen dapat difasilitasi oleh BNPB atau dengan menggunakan anggaran

BPBD Kota Makassar.

2. Peningkatan dan perbaikan infrastruktur jalan di beberapa lokasi rawan banjir

dengan ketinggian banjir di bawah 1 m seperti Bontoa, Kelurahan Tamangapa,

Bangkala, Tamalanrea Indah, dan Katimbang sebaiknya diprioritaskan oleh

Dinas PU Kota Makassar dengan menggunakan material yang tahan terhadap

air seperti jalan beton. Karena hal tersebut secara langsung meningkatkan

DIREKTORI MINI TESIS-DISERTASI174

kemampuan adaptasi masyarakat. Saat banjir terjadi, walaupun lokasi mereka

terendam banjir, tapi jika infrastruktur jalan bagus dan lebih tinggi maka

aktivitas tetap berjalan (kendaraan masih bisa digunakan).

3. Perlunya penelitian lebih lanjut tentang prediksi atau perkiraan banjir di Kota

Makassar untuk masa yang akan datang, mengingat adanya berbagai faktor

yang berpotensi meningkatkan kejadian banjir seperti perubahan iklim dan alih

fungsi lahan, sehingga dapat diproyeksikan dampak dan adaptasi antispasi yang

dapat dilakukan.