koran biru #08/tahun iii

12
KORAN BIRU Juni 2014 // Edisi ke-8 // Tahun III // 12 Halaman Student Loan Membantu Mahasiswa atau Memaksa Mahasiswa Berhutang? F O K U S S tudent loan atau pinja- man mahasiswa bukanlah hal baru di negara-negara maju. Pinjaman ini berupa kredit yang diberikan oleh negara ke- pada mahasiswa selama kuliah dari S1 hingga S3, guna mem- biayai uang kuliah, buku-buku, dan biaya hidup. Umumnya dana ini dicairkan setiap ming- gu selama batas waktu tertentu dan baru dibayar atau dikemba- likan setelah periode pinjaman berakhir atau pilihan lainnya adalah setelah yang bersangku- tan mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang memadai. (Bersambung ke hal. 3) Mahasiswa: Idealis vs Solid REFLEKSI M enurut Kamus Besar Bahasa In- donesia, mahasiswa berarti orang yang belajar di perguruan tinggi. Sedangkan pengertian mahasiswa dalam Peraturan Pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Namun, dari dua kata yang membentukn- ya yakni maha dan siswa terlihat dengan jelas bahwa mahasiswa bukan hanya sekadar pelajar yang menuntut ilmu di perguruan tinggi. Mahasiswa merupa- kan iron stock, moral force dan agent of change. Dengan kata maha yang disan- dangnya, seorang mahasiswa diharapkan mampu memberikan solusi bagi permas- alahan di sekitarnya. Bila kita melirik sekilas karakteristik ma- hasiswa di Fakultas Teknik Universitas Indonesia, kita mampu membagi maha- siswanya ke dalam dua jenis yang berbe- da. Jenis pertama adalah mahasiswa yang benar-benar menggambarkan bagaimana definisi mahasiswa dalam KBBI. Maha- siswa jenis ini menjadikan belajar sebagai orientasi dan menomorsatukan kejujuran dalam kegiatan akademis di kampusnya. Kita sebut saja mahasiswa jenis pertama ini sebagai “mahasiswa idealis”. (Bersambung ke hal. 6)

Upload: teknika-ftui

Post on 01-Apr-2016

223 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

 

TRANSCRIPT

Page 1: Koran Biru #08/Tahun III

KORAN BIRUJuni 2014 // Edisi ke-8 // Tahun III // 12 Halaman

Student Loan Membantu Mahasiswa atau Memaksa Mahasiswa Berhutang?

F O K U S

Student loan atau pinja-man mahasiswa bukanlah hal baru di negara-negara

maju. Pinjaman ini berupa kredit yang diberikan oleh negara ke-pada mahasiswa selama kuliah dari S1 hingga S3, guna mem-biayai uang kuliah, buku-buku, dan biaya hidup. Umumnya dana ini dicairkan setiap ming-gu selama batas waktu tertentu dan baru dibayar atau dikemba-likan setelah periode pinjaman berakhir atau pilihan lainnya adalah setelah yang bersangku-tan mendapatkan pekerjaan dan penghasilan yang memadai.

(Bersambung ke hal. 3)

Mahasiswa: Idealis vs SolidREFLEKSI

Menurut Kamus Besar Bahasa In-donesia, mahasiswa berarti orang yang belajar di perguruan tinggi.

Sedangkan pengertian mahasiswa dalam Peraturan Pemerintah RI No.30 tahun 1990 adalah peserta didik yang terdaftar dan belajar di perguruan tinggi tertentu. Namun, dari dua kata yang membentukn-ya yakni maha dan siswa terlihat dengan jelas bahwa mahasiswa bukan hanya

sekadar pelajar yang menuntut ilmu di perguruan tinggi. Mahasiswa merupa-kan iron stock, moral force dan agent of change. Dengan kata maha yang disan-dangnya, seorang mahasiswa diharapkan mampu memberikan solusi bagi permas-alahan di sekitarnya. Bila kita melirik sekilas karakteristik ma-hasiswa di Fakultas Teknik Universitas Indonesia, kita mampu membagi maha-

siswanya ke dalam dua jenis yang berbe-da. Jenis pertama adalah mahasiswa yang benar-benar menggambarkan bagaimana definisi mahasiswa dalam KBBI. Maha-siswa jenis ini menjadikan belajar sebagai orientasi dan menomorsatukan kejujuran dalam kegiatan akademis di kampusnya. Kita sebut saja mahasiswa jenis pertama ini sebagai “mahasiswa idealis”. (Bersambung ke hal. 6)

Page 2: Koran Biru #08/Tahun III

KORAN BIRU

KORAN BIRU, JUNI 2014

REdAKSIONAL

PENANGGANG JAWAB UMUMPemimpin Umum BSO TeknikaMaulidya Falah

PEMIMPIN REDAKSIDessy Ayu Lestari

REDAKTUR PELAKSANASandia Rini

EDITORMaulidya Falah

//REPORTERRaovina Haq Ra, Maulidya Falah, M. Angga

Dexora, Zakki Fuadi, Mirza Syah Alam, Maria Helena Lado

//RISET DAN KAJIANDevi Agustin, Shalsa Nabila, Fitriana Bahtiar

//FOTOGRAFERAndhika Kumara Djaffri, Kasandika Ganiarsa

//DESAIN & TATA LETAKNita Dianova, Tsana Fitri Zhafira, Achmad Maulana Ibr. , Muhammad Nazih Rabbani

//SIRKULASI & PRODUKSINoralifa Hapsari, Valida Heryanti, Rifani Aditiya, Zanetha Hodeka, Taufik Eko, Yussanti Nur Fajrina, Astrid Lelitya Rahma

//KONTRIBUTORKemi Kharisma, Wegit T.

Diterbitkan oleh:

2

KORAN BIRU

Muhammad Nazih RabbaniAchmad Maulana Ibrahim

Page 3: Koran Biru #08/Tahun III

KORAN BIRU

KORAN BIRU, JUNI 2014

FOKUS

Di sebagian besar negara, pinjaman ini tidak berbunga selama masa pencairan dana dan baru ditambahkan bunga dan pajak saat memasuki masa pengem-balian utang. Tujuan student loan ini adalah menjamin setiap warga negara memiliki kesempatan untuk mendapat-kan pendidikan setinggi-tingginya tanpa khawatir kehabisan dana walaupun tidak mendapatkan beasiswa. Di samping itu, pembiayaan berdasarkan utang kepada negara yang masa pencairannya sangat dibatasi berefek memacu mahasiswa un-tuk lulus tepat waktu kemudian segera mencari pekerjaan yang layak agar dapat segera membayar utang biaya kuliahnya.Student loan tidak bersifat cuma-cuma seperti beasiswa. Lembaga milik pemer-intah yang mengelola student loan cuk-up selektif dalam menerima permohonan pinjaman dari para mahasiswa atau calon mahasiswa. Di samping itu mereka juga mengingatkan agar para pemohon mem-pertimbangkan student loan sebagai jalan terakhir, mengingat pinjaman ini nantinya akan berbunga dan dikenai pajak yang tinggi sehingga jika tidak pintar memilih metode pengembaliannya, dapat meru-gikan yang bersangkutan. Pembayaran utang student loan akan lebih ringan jika segera memulai masa pembayaran setelah masa pen-cairan berakhir, atau dengan kata lain memilih metode pembayaran sedini mun-gkin. Di beberapa negara, student loan disediakan oleh pemerintah maupun pi-hak swasta. Akan tetapi penetapan bunga yang tinggi oleh pihak swasta sering mer-ugikan peminjam, sehingga kebanyakan tidak diijinkan lagi oleh pemerintah. Di Amerika Serikat, sistem ini terbukti gagal. Utang pinjaman maha-siswa di AS sudah mencapai 1 triliun dol-lar AS (kira-kira Rp 9000 triliun). Sebuah sumber menyebutkan, setiap mahasiswa di AS berutang sebesar 24,300 dollar AS (kira-kira Rp 218 juta). Data dari Pew Research Center menyebutkan, sebanyak 22,4 juta rumah tangga di AS, atau sekitar 19%, mempu-nyai utang di universitas. Angka tersebut

naik dua kali lipat dibanding tahun 1989, dan naik 15% di banding tahun 2007 (se-belum krisis). Akibatnya, rumah tangga dipaksa menggunakan sebagian besar pendapatan mereka untuk membayar pin-jaman pendidikan tersebut. Nantinya, setiap mahasiswa kurang mampu akan mendapat student loan. Mereka yang mendapat pinjaman itu wajib membayar kembali pinjaman itu setelah mereka mendapat pekerjaan. Dengan demikian, kewajiban pertama seorang mahasiswa setelah mendapat pekerjaan adalah membayar utang.

“Di Amerika Serikat, sistem ini terbukti gagal. Utang pin-jaman mahasiswa di AS su-dah mencapai 1 triliun dollar AS (kira-kira Rp 9000 triliun). Sebuah sumber menyebut-kan, setiap mahasiswa di AS berutang sebesar 24,300 dollar AS (kira-kira Rp 218

juta).” Student loan membawa mim-pi buruk bagi mahasiswa. Begitu mere-ka mendapat gelar sarjana, tugas pokok mereka adalah membayar utang. Iro-nisnya, mereka dipaksa mencari peker-jaan berupah tinggi supaya bisa melunasi utang. Kalau tidak, selamanya mereka akan dikejar-kejar utang. Masalahnya, pinjaman maha-siswa terus naik. Pemicunya bukanlah jumlah pengeluaran mereka selama kuli-ah. Namun, dalam banyak kasus, penye-bab meroketnya utang mahasiswa adalah biaya pendidikan yang juga meroket. Jadi, di satu sisi, mahasiswa dipaksa berutang, tetapi pada sisi lain, biaya pendaftaran dan biaya kuliah juga terus digenjot ses-uai hukum pasar. Higher Education Leadership and Management (HELM) pernah mem-buat survei mengenai sumber pendapa-

tan mahasiswa di Indonesia. Alhasil, survei HELM menyimpulkan, mayoritas mahasiswa (88,16 %) mengaku sumber pendapatannya dari orang tua atau kel-uarga mereka. Dan hanya 4,60 % yang bergantung pada beasiswa. Survei itu juga menyebutkan, ketika orang tua mahasiswa dikenai tagi-han pembayaran, sebagian besar mereka meminjam kepada saudara (32 %), bank (28 %), dan Pegadaian (13 %). Jadi, se-karang saja, rata-rata orang tua di Indo-nesia sudah mengutang demi memenuhi tagihan pendidikan anaknya. Artinya, kalau student loan dipraktekkan, korban pertamanya adalah rumah tangga miskin dan kelas menengah. Pada jaman orde baru, model student loan pernah dipraktekkan. Pro-gram itu diberi nama Kredit Mahasiswa Indonesia (KMI). Mekanismenya, kred-it akan dicairkan pada saat mahasiswa menyelesaikan tugas akhir dan harus dikembalikan setelah lulus. Sebagai jam-inannya, ijazah pun ditahan. Pada prak-teknya, banyak penerima KMI tidak sang-gup mengembalikan pinjaman.

“Nantinya, setiap maha-siswa kurang mampu akan mendapat student loan. Mereka yang mendapat pin-jaman itu wajib membayar kembali pinjaman itu setelah mereka mendapat pekerjaan. Dengan demikian, kewajiban pertama seorang mahasiswa setelah mendapat pekerjaan adalah membayar utang.” Masalah KMI ini bukan berarti pemerintah menutup peluang pinjaman uang untuk mahasiswa. Hak-hak ma-hasiswa untuk mendapatkan pinjaman dipertegas dalam UU Pendidikan Tinggi No 12/2012. Dalam UU itu, Pasal 76 men-

Student Loan Membantu Mahasiswa atau Memaksa Mahasiswa Berhutang?Oleh: Raovina Haq Ra, Maulidya FalahFoto: Dokumentasi Magister FISIP UI

3

Page 4: Koran Biru #08/Tahun III

KORAN BIRU

KORAN BIRU, JUNI 2014

FOKUS

gamanatkan pemenuhan hak mahasiswa dilakukan dengan tiga cara yaitu pembe-rian beasiswa, pembebasan biaya pendi-dikan, dan pinjaman dana tanpa bunga. Nah, pinjaman tersebut wajib dilunasi setelah lulus dan atau memperoleh peker-jaan. Tujuannya jelas. Pinjaman tanpa bunga bagi mahasiswa ini memang diper-lukan bagi mahasiswa agar tidak drop out karena masalah ekonomi. Sayangnya, teknis pinjaman agar mahasiswa punya cara cepat mendapatkan uang ini masih dalam tahap pembahasan.

Perbankan sendiri menyatakan kesediaan kredit pendidikan pada maha-siswa. Tapi syaratnya, kredit tanpa bun-ga itu mesti ada payung hukum bersama antara Kementerian Pendidikan dan Ke-budayaan, Kementerian Keuangan, dan Perbankan.

“Survei itu juga menyebut-kan, ketika orang tua ma-hasiswa dikenai tagihan pembayaran, sebagian be-sar mereka meminjam ke-pada saudara (32 %), bank (28 %), dan Pegadaian (13 %). Jadi, sekarang saja, rata-rata orang tua di In-donesia sudah mengutang demi memenuhi tagihan pendidikan anaknya. Art-inya, kalau student loan dipraktekkan, korban per-tamanya adalah rumah tangga miskin dan kelas

menengah.”

Atau cara lainnya adalah menga-jukan kredit ke bank. Beberapa kampus di Indonesia sudah menjalin kerjasama dengan bank dalam urusan ini. Sebut saja Universitas Gadjah Mada (UGM) dengan salah satu bank di Indonesia yang meng-gagas kartu kredit mahasiswa. Tapi sasa-ran dari kartu kredit ini adalah mahasiswa S2 atau terutama mahasiswa yang beker-ja. Fungsi dari kartu kredit itu sendiri se-bagai dana talangan yang kemudian hari dibayarkan mahasiswa. Salah satu contoh skema stu-dent financing di Indonesia adalah pro-gram Dana Siswa Bangsa bagi mereka yang perlu solusi pembiayaan pendidikan di universitas idaman tanpa perlu mem-bebani keluarga. Dana Siswa Bangsa menggunakan sistem Ganti Bantu beru-pa pinjaman bergulir tanpa bunga, tanpa agunan dan sesuai syariah sehingga san-gat membantu siswa mendapatkan akses pendidikan berkualitas di Indonesia mau-pun di luar negeri. Proses pengembalian pinjaman dilakukan setelah siswa lulus kuliah dan telah mendapatkan pekerjaan, dan dapat diangsur hingga maksimal 14 tahun. Walau masih tergolong baru, ternyata di Indonesia sudah mulai ada tawaran skema pembiayaan pendidikan. Andaikan ada lebih banyak institusi yang bisa menawarkan student financing atau student loan, tentu semakin banyak rakyat Indonesia yang dapat menempuh jenjang pendidikan tinggi dan semakin sedikit yang putus sekolah karena alasan tidak ada biaya. Semakin banyak rakyat Indonesia yang menempuh pendidikan tinggi maka semakin kuat pula struktur kelas menengah nasional yang akan men-yokong dan memimpin roda perekonomi-an bangsa. Lagi pula, sarjana di Indonesia berhadapan dengan ancaman “pengang-guran”. Sebuah data menyebukan, jumlah sarjana menganggur di Indonesia menca-pai 2,6 juta orang. Versi lain menyebut-kan, jumlah keluaran universitas yang menganggur setiap tahunnya mencapai 60%, sedangkan yang terserap lapangan

kerja hanya 37%. Artinya, dengan kondi-si kerja seperti sekarang, student loan hanya akan memaksa mahasiswa untuk menanggung utang seumur-hidupnya.

“Andaikan ada lebih ban-yak institusi yang bisa men-awarkan student financing atau student loan, tentu semakin banyak rakyat In-donesia yang dapat me-

nempuh jenjang pendi-dikan tinggi dan semakin sedikit yang putus sekolah

karena alasan tidak ada biaya.”

Belum lagi, di satu sisi, biaya pendidikan terus meroket naik. Otomatis pinjaman mahasiswa juga akan tinggi. Sedangkan, pada sisi lainnya, dunia kerja sangat se-dikit menyerap tenaga kerja mahasiswa. Sudah begitu, dunia kerja di Indone-sia masih berada di bawah kediktatoran politik upah murah. Artinya, kalau mer-eka bekerja sekalipun, belum tentu bisa menutupi utang. Akhirnya, yang terjadi adalah “orang hidup dan bekerja untuk membayar utang.” Model student loan dapat dika-takan melanggar konstitusi. Pada pembu-kaan UUD 1945 disebutkan dengan tegas bahwa salah satu tugas negara adalah mencerdaskan kehidupan bangsa. Artin-ya, negara harus membuka ruang selu-as-luasnya agar mahasiswa bisa mengak-ses pendidikan yang berkualitas. Bahkan, pasal 31 UUD 1945 dengan tegas menyebutkan, bahwa “Ti-ap-tiap warga negara berhak mendapat-kan pengajaran.” Dengan demikian, nega-ra berkewajiban untuk menyelenggarakan sistem pengajaran yang bisa diakses den-gan mudah oleh seluruh rakyat Indonesia.

4

Page 5: Koran Biru #08/Tahun III

KORAN BIRU

KORAN BIRU, JUNI 2014

RISET & KAJIAN

Setiap kali Anda berjalan di sekelling kampus UI, kemudian melewati ge-dung Pusat Studi Jepang di area

Fakultas Ilmu dan Budaya (FIB), maka akan terbiasa melihat ramainya kru-kru dari rumah produksi yang tengah melaku-kan proses pembuatan film di tempat itu. Tidak hanya gedung Pusat Studi Jepang saja yang sering dijadikan lokasi shooting film maupun sinetron, tetapi lokasi-loka-si yang lain pun tak ketinggalan untuk dipakai shooting termasuk area Fakultas Teknik. Pernahkah tepikir dalam benak Anda “Kampus buat kuliah dipakai shoot-ing? Kok kampus jadi komersil?” Pada awalnya, penggunaan kam-pus (khususnya wilayah FT) sebagai lokasi shooting masih terkesan aneh dan tera-sa cukup mengganggu. Namun, seiring berjalannya waktu hal tersebut sudah di-anggap sebagai sesuatu yang lumrah dan biasa saja. Penggunaan area Universitas Indonesia sebagai lokasi shooting me-mang bukan hal yang aneh karena bahkan Harvard University, New York University dan Cambridge University sebagai univer-sitas-universitas terbaik dunia pun sudah terbiasa digunakan sebagai lokasi shoot-ing. Di area Fakultas Teknik sendi-ri, lokasi yang paling sering digunakan sebagai tempat shooting adalah gedung Engineering Center (EC). EC mulai dilirik oleh berbagai rumah produksi sejak tahun 2007. Mereka memilih lokasi di EC karena secara arsitektur gedung EC memiliki de-sain yang bagus, selain itu, EC juga sangat fleksibel untuk dibuat menjadi berbagai latar tempat yang berbeda seperti kantor, kelas, rumah sakit, bahkan bandara. Hal tersebut memberi keuntungan bagi rumah produksi sebab mereka bisa menghemat biaya produksi karena berbagai latar tem-pat bisa dilakukan di satu tempat seka-ligus. Diperbolehkannya area kampus untuk dikomersialkan disebabkan uni-versitas merupakan bagian dari Badan Milik Negara (BMN). BMN adalah semua barang yang dibeli atau diperoleh atas beban APBN atau berasal dari perolehan lainnya yang sah. Sederhananya, segala bangunan milik Negara merupakan BMN dan BMN tersebut boleh disewakan. Me-kanisme penyewaan BMN tertuang dalam Peraturan Menteri Keuangan Republik In-

donesia Nomor 33/PMK.06/2012 Tentang Tata Cara Pelaksanaan Sewa Barang Milik Negara. Dalam pasal 4 Ayat 2 PMK No 33 Tahun 2012 tertulis bahwa BMN dapat disewakan sepanjang tidak merugikan dan tidak mengganggu pelaksanaan tugas dan fungsi penyelenggaraan pemerintahan negara. Dalam kaitannya dengan penye-waan area kampus, pasal tersebut dapat diartikan bahwa penyewaan sebagian area kampus dapat dilakukan sepanjang tidak menganggu aktivitas akademis dan aktivitas lain yang terkait dengan kebija-kan universitas. Karena itulah, shooting di EC biasanya dilakukan pada hari Sabtu dan Minggu dimana kegiatan perkuliahan libur atau pada hari libur nasional.

“Dalam pasal 4 Ayat 2 PMK No 33 Tahun 2012 tertulis bahwa BMN dapat disewakan sepanjang tidak merugikan dan tidak mengganggu pelaksanaan tugas dan fung-si penyelenggaraan pemerin-

tahan negara.” Selain bertumpu pada PMK No 33 Tahun 2012, pihak pengelola gedung EC juga memberikan kebijakan-kebijakan terkait dengan penyewaan, diantaranya dengan dibatasinya waktu penggunaan yaitu dari pukul 06.00-22.00 WIB. Selain itu, film/sinetron yang dibawakan oleh rumah produksi yang hendak menyewa tidak boleh bergenre horor, tema yang dibawakan haruslah seputar pendidikan dan tema-tema lain yang tidak mem-bodohi masyarakat. Proses shooting pun dilakukan dengan pengawasan petugas keamanan. Besarnya biaya penyewaan sekiar 4,5 juta rupiah ditambah 1 juta ru-piah (uang lembur) per hari. Batasan ru-ang yang digunakan disesuaikan dengan perjanjian awal. Spot-spot yang biasanya digunakan antara lain lobi EC, taman EC, kantin dan ruang kelas. Tahukah kamu? Bentuk komer-sialisasi kampus tidak hanya terbatas pada penyewaan untuk lokasi shooting, tetapi juga dalam bentuk kegiatan lain di-antaranya peminjaman auditorium K.301,

ruang multimedia, peminjaman ruang us-aha, dan lain-lain. Namun, apabila pemin-jaman dilakukan oleh mahasiswa FT atau organisasi di FT maka uang sewaan yang masuk digolongkan kedalam biaya non-komersil. Biaya komersil hanya ditujukan bagi pihak luar FT yang menyewa gedung atau sebagian area di FT. Bagaimanakah mekanisme pengelolan uang hasil sewa tersebut? Uang hasil sewa atau peminjaman ru-ang usaha pada awalnya langsung diter-ima oleh pihak pengelola EC. Hal ini ber-langsung sejak tahun 2008 hingga 2011. Namun, setelah tahun 2011 pembayaran uang sewa langsung diserahkan ke pihak UI dan dimasukkan kedalam kas bagian Biaya Non Pendidikan FT UI (BNP FT UI). Uang tersebut biasa digunakan un-tuk perbaikan dan peningkatan fasilitas, uang tambahan (insentif) untuk staf dan karyawan saat hari raya serta untuk kegia-tan kemahasiswaan di lingkungan FT UI. Uang tersebut tidak serta merta langsung diserahkan ke pihak FT, tetapi akan didis-tribusikan secara bertahap sesuai kebutu-han.

“Diperbolehkannya area kampus untuk dikomersi-alkan disebabkan universi-tas merupakan bagian dari Badan Milik Negara (BMN).” Jadi, komersialisasi kampus ti-dak terbatas hanya pada aspek di-gunakannya area kampus sebagai lokasi shooting. Peminjaman ruang usaha sep-erti kantin, fotokopi dan ATM center juga merupakan bentuk komersialisasi kampus. Komersialisasi kampus bukanlah hal yang buruk sepanjang dilakukan tidak meny-impang dari koridor. Apalagi, pemerintah sudah membuat peraturan resmi yang mengatur tata cara penyewaan BNP seh-ingga pihak pengelola gedung atau kam-pus maupun pihak lain tidak bisa secara sewenang-wenang menyewakan gedung atau sebagian area dalam BNP kepada pi-hak luar.

Komersialisasi Kampus, Pantaskah?oleh: Devi Agustin & Shalsa Nabila

5

Page 6: Koran Biru #08/Tahun III

KORAN BIRU

KORAN BIRU, JUNI 2014

PROFIL

Technique Informal School (TIS) awalnya adalah salah satu program kerja dari bidang pengabdian mas-

yarakat BEM FTUI. Kepala sekolah yang pertama adalah Reza, Teknik Mesin 2002. Namun, ketika TIS sudah mulai berjalan beberapa tahun kedepan jumlah sumber daya manusianya mengalami fluktuatif yang disebabkan pamor BEM FTUI yang tidak sama setiap tahunnya. Pada tahun 2007 diprakarsai oleh kepala sekolah yang bernama Cepiar, Teknik Metalurgi dan Material 2006, TIS memisahkan diri dari BEM FTUI dan men-jadi sebuah Badan Semi Otonom. Sejak saat itulah TIS mulai memperbaiki sistem dan berkembang lebih baik lagi setiap ta-hunnya. TIS sempat beberapa kali pindah objek ajar, sebelum pada akhirnya pin-dah ke daerah pemukiman pemulung di daerah Pasar Minggu. TIS pernah menja-mah daerah Kampong Lio Depok, kemudi-an pernah juga membuka taman baca di Jalan Kapuk, Margonda. Tujuan utama dari TIS ialah menjadikan murid ajar TIS cerdas, sehat dan berakhlak. Saat ini, Maulana Rasis, Teknik Mesin 2012, tengah mengemban amanah sebagai Kepala Sekolah TIS 2014. Kegiatan utama dari TIS adalah menga-jar, namun dengan menggunakan metode pengajaran yang berbeda. “Contohnya mereka memiliki program intensive care untuk pengem-bangan karakter anak-anaknya dan juga hari sehat yang tujuannya memberikan pengetahuan akan pentingnya keseha-tan. Biasanya rangkaian acara ini diakhiri dengan olahraga bersama dengan adik-adik seperti bermain futsal atau bere-nang”, ujar Maulana Rasis yang akrab disapa Acis. Program lain dari TIS adalah ‘Kunjungan Teknik’ (KuTek) yang membu-ka ruang kontribusi bagi mahasiswa teknik khususnya lembaga Ikatan Mahasiswa De-partemen yang ingin mengunjungi rumah belajar TIS dan membagikan keilmuan keteknikannya kepada adik-adik TIS. Selain itu, TIS mempunyai pro-gram pemberdayaan masyarakat dima-na program ini membantu warga Karang Pola yang sebagian besar bekerja sebagai pemulung agar dapat memiliki kemandi-rian dalam hal finansial yaitu dengan memberikan pelatihan untuk membuat suatu barang yang memiliki nilai jual. “Karena kami pun sadar bahwa

salah satu faktor penghambat pendidikan adalah faktor ekonomi yang rendah,” tutur Acis. Kemudian program lainnya ada-lah gathering wali murid yang bertujuan untuk memperkuat ikatan antara pengu-rus dan orang tua siswa. Biasanya pun tiap akhir semester diadakan kegiatan menghias rumah belajar agar tidak jenuh. Ada juga program yang cukup besar yaitu “A Day With TIS” yang rencananya akan diadakan pada tanggal 15 Juli nanti. Ini khusus diadakan untuk para kakak asuh agar dapat terjalin kedekatan dengan adik-adik asuhnya. Kemudian pada bulan November diperkirakan juga akan diada-kan rangkaian acara yang bernama “World Children Day” dan seminar mengajar. Sampai saat ini sudah ada beberapa lembaga IMD yang berkunjung seperti IMTI, IME dan IMM. Selain itu sinergisasi dengan lembaga non IKM FTUI pun mulai dilaksanakan juga untuk meng-gencarkan pemberdayaan masyarakat. Tahun ini TIS bekerja sama dengan se-buah community development yang ber-nama Dreamdelion.Saat ini TIS mengalami beberapa kendala, diantaranya, masih beradaptasi dengan objek mereka yang baru. Mereka mulai aktif mengajar di pemukiman pemulung Karang Pola terhitung bulan November 2013 kemarin. Jadi, mereka sedang be-rusaha mencari racikan terbaik yang bisa diterapkan disana karena karakter anak-anak disana berbeda dengan objek mer-

eka sebelumnya. Guna mengatasi kendala terse-but, mereka rutin mengadakan forum un-tuk membahas segala masalah kegiatan pembelajaran yang ada. Kemudian untuk meningkatkan kualitas para Ksatria Pen-gajar mereka juga mengadakan pelatihan pengajar dengan mengundang pembicara yang memiliki pengalaman dan kompe-ten dalam pengembangan karakter anak-anak. Untuk masalah keanggotaan, TIS mempunyai jumlah Badan Pengurus Harian (BPH) sebanyak 22 orang, 39 orang Badan Pengurus (BP), serta 38 Ksa-tria Pengajar. Untuk anak didik terdata se-banyak 46 orang. Harapan mereka ke depannya yaitu menjadikan seluruh anak didik TIS sehat dan berakhlak serta menjadi indi-vidu yang mandiri. Namun lebih dari itu, mereka berharap dengan kehadiran TIS di tengah masyarakat dapat menjadikan salah satu solusi dalam kemelut pendi-dikan di Indonesia. Pada akhirnya, mereka menyadari bahwa mereka tidak akan mampu mengatasi seluruh permasalah-an pendidikan di Indonesia sendiri. Maka dari itu mereka akan terus berusaha den-gan usaha terbaik mereka agar dapat menginspirasi teman-teman pembaca yang lain untuk dapat melakukan hal yang sama, demi kemajuan pendidikan Indone-sia yang pada akhirnya dapat meningkat-kan daya saing anak bangsa.

Technique Informal SchoolOleh: M. Angga Dexora dan Zakki FuadiFoto: Dokumentasi TIS FTUI

6

Page 7: Koran Biru #08/Tahun III

KORAN BIRU

KORAN BIRU, JUNI 2014

OPINI

Joseph Matondang (Teknik Elektro Angkatan 2013)1. Lebih suka PBL, CL, atau cara belajar SMA? PBL, karena memfokuskan langsung ke masalah yang ada dan bisa aplikasi ilmu yang kita memang harus pe -lajari.2. Pilih ilmu atau IP? Ilmu, karena ilmu sesuatu yang absolut dan everlasting.3. Individualis atau solid? Individualis, karena solid ada batasannya. Kalau menja -di orang individualis, setidaknya kita tidak bisa kecewa sama diri ita sendiri.4. S2 setelah kuliah atau S2 setelah kerja? S2 setelah kuliah, supaya bisa benar-benar mendalami ilmu yang dipelajari.

Muhammad Hanivan Reynaldy (Teknik Sipil Angkatan 2013)1. Lebih suka PBL, CL, atau cara belajar SMA? PBL, karena mahasiswa lebih berusaha untuk menga- nalisis masalah yang ada dan memberikan solusinya.2. Pilih ilmu atau IP? Ilmu, karena kualitas tidak bisa dibohongi. Sebongkah emas di tengah-tengah batu-batuan tetap saja emas.3. Individualis atau solid? Solid.4. S2 setelah kuliah atau S2 setelah kerja? S2 setelah kerja. Jadi, supaya lulus S1 menjadi analis dan mencari pengalaman, lalu kelemahan atau ketidak -tahuan kita ditutupi dengan belajar di S2.

Yolla Miranda (Teknik Kimia Angkatan 13)1. Lebih suka PBL, CL, atau cara belajar SMA? Cara SMA karena cara itu bikin lebih paham.2. Pilih ilmu atau IP? IP, realistis saja.3. Individualis atau solid? Individualis, karena passion saya memang sedikit beda dari orang kebanyakan. Makanya, saya mencoba cari orang-orang dengan passion yang sama di luar kampus.4. S2 setelah kuliah atau S2 setelah kerja? S2 setelah kerja, supaya banyak dapat uang.

David (Arsitektur Angkatan 2013)1. Lebih suka PBL, CL, atau cara belajar SMA? Cara SMA karena menurut saya PBL dan CL lebih meng -habiskan waktu.2. Pilih ilmu atau IP? Ilmu, karena IP Cuma dilihat sebagai kunci masuk kerja aja. Apalagi di arsitek yang dilihat portofolio. Yang penting keahliannya.3. Individualis atau solid? Individualis

4. S2 setelah kuliah atau S2 setelah kerja? Saya tidak yakin S2, tapi kalaupun akhirnya S2, saya mau S2 setelah kerja.

Vithiya Sri Yulina (Teknik Metalurgi dan Material Angkatan 2013)1. Lebih suka PBL, CL, atau cara belajar SMA? CL, karena bisa fokus di suatu materi.2. Pilih ilmu atau IP? Ilmu, karena kualitas dilihat dari ilmu seseorang3. Individualis atau solid? Solid, karena dengan menjadi solid kita bisa dapat lebih banyak info.4. S2 setelah kuliah atau S2 setelah kerja? S2 setelah kuliah, untuk memperdalam ilmu supaya bisa bekerja yang lebih baik.

Satrio Putra Santoso (Teknik Mesin Angkatan 2013)1. Lebih suka PBL, CL, atau cara belajar SMA? PBL, soalnya langsung belajar dari masalah. Kalau dosen yang pake ppt saya suka tidak mengerti 2. Pilih ilmu atau IP? Ilmu, soalnya saat kerja akan terasa. Kalau IP tinggi tapi pas diuji sama kerjaan kita tidak bisa melakukannya, ya kita bisa dipecat3. Individualis/matil atau solid? Tergantung lingkungannya. Kalau lagi sama teman- teman yang tidak bisa diajak kerjasama dan diajak mengerjakan tugas suka nunda-nunda ya saya matil, tapi kalau lagi sama teman-teman yang belajar bareng dan pintar saya juga bisa solid.4. S2 setelah kuliah atau S2 setelah kerja? S2 kalau dapat beasiswa. Tapi lebih baik S2 setelah kuliah, soalnya kalau S1 terus kerja pasti melanjutkan S2 agak malas.

Kata Anak Teknik tentang PendidikanOleh: Mirza Syah AlamGambar: Dokumentasi Fasilkom UI

7

Page 8: Koran Biru #08/Tahun III

KORAN BIRU

KORAN BIRU, JUNI 2014

TEKNOSAINS

Dunia industri tidak bisa dipisahkan dari perkembangan suatu negara. Bahkan dapat dikatakan tingkat ke-

majuan dan peradaban suatu negara bisa dilihat dari kondisi perindustrian di negara tersebut. Ini tidak mengherankan karena dunia industri adalah motor bagi produk-si barang-barang, yang bergerak dalam semua lini kehidupan dan banyak sekali menyerap tenaga kerja. Sehingga tidak heran bahwa dunia industri adalah salah satu motor utama penggerak kehidupan suatu negara. Salah satu industri besar yang ada di Indonesia adalah industri otomo-tif. Industri otomotif telah berkembang selama lebih dari 30 tahun di Indonesia dan telah menjadi salah satu industri yang mempunyai pengaruh besar bagi pere-konomian Indonesia. Badan Koordinasi Penanaman Modal pada tahun 2013 men-catat bahwa pada tahun 2010 – 2012 jum-lah investasi di sektor otomotif menyentuh angka Rp 162 triliun dan kontribusi sektor ini dalam pertumbuhan ekonomi Indone-sia juga mencapai 6,83 %. Ini termasuk

aspek produksi, pemasaran, dan sebagain-ya. Di masa depan, diproyeksikan nilai Gross Domestic Product (GDP) Indonesia terus meningkat, hingga menyentuh ang-ka US$ 15.000 pada tahun 2045. Industri ini juga menyerap banyak sekali tenaga kerja lokal, yang berarti menurunkan ang-ka pengangguran Dari penjelasan diatas jelas bah-wa sektor otomotif merupakan sektor yang strategis bagi ekonomi bangsa. Akan tetapi kondisi aktual saat ini industri oto-motif Indonesia masih dikuasai oleh man-ufaktur asing yang tidak banyak menggu-nakan produk dalam negeri atau teknologi Indonesia untuk pembuatan produknya. Ini patut disayangkan, karena sebenarnya Indonesia punya beberapa produk otomo-tif dalam negeri yang tidak kalah berkual-itas dibanding produk asing, sebut saja ada mobil Tawon, MARLIP, mobil offroad Komodo, GEA, Esemka, Tucuksi, sepeda motor Kanzen, dan sebagainya. Dari dunia akademisi, ada juga beberapa prestasi da-lam pembuatan mobil. Contohnya, tim UI dalam kompetisi SEM yang menciptakan

mobil urban concept dengan konsumsi BBM 342,48 km/l, pembuatan Esemka oleh siswa SMK, dan sebagainya. Disamp-ing itu, industri komponen pembuatan produk otomotif Indonesia juga ada yang kualitasnya berkelas dunia. Contohnya, industri knalpot Mercedes di Purbalingga, ban Gajah Tunggal, dan sebagainya. Dalam usaha perkembangan sek-tor otomotif Indonesia, tentu ada bebera-pa hambatan, terutama masalah kualitas produk dalam negeri yang dianggap tidak sesuai dengan spesifikasi yang diingink-an produsen. Maka dari itu perlu usaha kolaboratif dari tiga pihak pembangun bangsa, yaitu praktisi, akademisi, dan pe-merintah untuk memaksa produsen asing menggunakan produk dalam negeri sam-bil terus mengembangkan kualitas pro-duksi dengan inovasi teknologi yang baik. Sehingga diharapkan suatu saat cita-cita kemandirian bangsa lewat sektor otomo-tif bisa terwujud dan dapat memberikan dampak ekonomi dan kesejahteraan bagi rakyat Indonesia.

Ketika Panas Matahari Diubah Menjadi Pendingin Ruangan

Beberapa waktu lalu, seorang Dosen Teknik Mesin, Prof. Idrus Al Hamid menemukan inovasi mengubah en-

ergi matahari menjadi pendingin ruangan. Ide tersebut muncul karena kekhawati-rannya akan ketersediaan energi di In-donesia saat ini. Seperti yang kita tahu, penggunaan Air Conditioner (AC) me-

makan lebih 50 % dari konsumsi listrik secara keseluruhan. Inovasi ini meman-faatkan energi terbarukan pada sistem tata udara suatu bangunan yang dikaji dan dikembangkan menjadi Pilot Project “Solar Thermal Cooling System” (STCS), sebuah teknologi sistem pendinginan yang dikonversi dari energi matahari. Keuntungan inovasi ini antara lain menghemat energi penggunaan AC dari 70 kW ke 20 kW dan mereduk-si emisi sebesar 183 CO2 setahun ke 141 CO2. Prinsip peralatan dari STSC ini yak-ni menggunakan absoprtion chiller yakni tipe single stage bebasis teknologi LiBr + H2O sebagai pendingin AC. Energi disuplai melalui solar collector yang menang-kap radiasi matahari. Kolektor memiliki efisiensi sebesar 80% dimana dapat me-manfaatkan panas sebesar 1300 kWh/ta-hun dengan 63 panel solar. Kalor tersebut digunakan untuk memanaskan air pada larutan LiBr. Selanjutnya cooling tower

digunakan untuk mengembunkan air di kondensor sehingga mendinginkan udara dan berfungsi sebagai AC. Untuk meng-hasilkan kondisi nyaman di dalam gedung, air sejuk yang dihasilkan solar absorption chiller akan didistribusikan ke fan coil unit pada tiap lantai melalui pipa chilled water. Sebuah pompa pada ketinggian 37 m dipasang untuk mendistribusikan air sejuk sampai ke gedung lantai 6. STSC ini telah digunakan di Ge-dung MRC (Manufacturing Research Cen-tre) FTUI. Proyek ini mendapat dukungan dari Kementerian Lingkungan Hidup Re-publik Indonesia dan mendapat bantu-an hibah dari Kementerian Lingkungan Hidup Jepang melalui Kawasaki Thermal Engineering. Prof. Idrus mengharapkan STSC ini digunakan di semua gedung FTUI dan UI agar energi di UI dapat di-minimalisir sehingga kampus UI dapat menjadi the “Real Green Campus”.

Perkembangan Industri Otomotif Indonesiaoleh: Kemi Kharisma

8

Page 9: Koran Biru #08/Tahun III

KORAN BIRU

KORAN BIRU, JUNI 2014

REFLEKSI

Jenis mahasiswa yang kedua adalah mahasiswa yang berpartisipasi aktif dalam kegiatan se-Teknik maupun depar-temennya. Kebanyakan mahasiswa jenis ini lebih mengutamakan kebersamaan dan kesetiakawanan. Mereka memiliki keyak-inan bahwa keberhasilan merupakan ke-suksesan bersama. Mereka menjalankan secara penuh esensi dari pembinaan saat masih menjadi mahasiswa baru. Karakter mahasiswa ini sering diidentikan sebagai karakter sejati anak teknik. Kita sebut saja mahasiswa jenis kedua ini sebagai “maha-siswa solid”.

Mahasiswa yang seperti apa yang ideal?

Mahasiswa idealis—seperti yang telah disebutkan sebelumnya—menempatkan kejujuran di puncak prioritasnya. Mer-eka paling anti terhadap titip absen dan memberi atau menerima contekan. Ke-banyakan dari mereka mengerjakan tugas secara mandiri tanpa bantuan mahasiswa lain. Mereka menganggap bahwa kampus merupakan bentuk kecil dari dunia nyata yang penuh persaingan dan mereka di-tuntut untuk memenangkan persaingan itu. Dari mahasiswa jenis ini, kita mampu menarik nilai integritas dan kemandirian.Akan tetapi, mahasiswa idealis juga memi-liki sisi negatif. Sifat yang terlalu kompeti-tif justru terkadang malah berimplikasi terhadap persaingan yang tidak sehat. Ju-lukan “matil” atau “makan teman” sering tersemat pada mereka yang melakukan segala cara untuk berada di puncak ak-ademis. Sifat ambisius semacam ini terk-

adang lebih mengedepankan hasil (nilai) dibandingkan proses (belajar). Selain itu, sifat individualis dan egois yang kerap tercermin dalam mahasiswa jenis ini dapat berdampak pada kehidupan sosialnya. Mereka akan cenderung apatis dan tidak peduli pada kondisi sekitarnya. Padahal, seorang mahasiswa diharapkan memiliki kepekaan terhadap perubahan sekitarnya sehingga mampu memberikan pemecah-an masalah yang dibutuhkan. Lain halnya dengan mahasiswa solid. Mahasiswa solid mengerti benar bahwa manusia merupakan makhluk so-sial sehingga membutuhkan orang lain dalam menjalani kehidupan sehari-harin-ya. Mereka berkeyakinan bahwa segalan-ya menjadi lebih mudah bila dikerjakan bersama. Selain itu, pengetahuan yang mereka miliki menjadi lebih berkembang melalui diskusi tugas yang dikerjakan se-cara berkelompok. Dalam hal ini mereka beranggapan bahwa dengan visi dan tu-juan yang sama, setiap mahasiswa sudah seharusnya saling tolong-menolong. Nilai yang dapat diambil dari mahasiswa solid adalah solidaritas dan kepedulian. Namun, mahasiswa solid terk-adang melanggar batasan ketika memak-nai frasa “tolong-menolong”. Dalam be-berapa kasus, mereka dengan mudahnya menerima titipan absen dari temannya. Tugas kerap dikerjakan oleh satu orang yang kompeten dan sisanya tinggal meng-kopi tugas tersebut. Bukan tidak mungkin saat ujian mereka saling berbagi jawaban. Jenis kerjasama seperti ini yang justru akan merusak moral bangsa karena mer-upakan tahap awal dari tindakan korupsi.

Selain melanggar aturan, perbuatan sep-erti itu juga melahirkan karakter maha-siswa yang tidak mandiri dan terlalu ber-gantung pada orang lain.Dari penjabaran di atas, kita jangan terbu-ru-buru menarik kesimpulan bahwa kedua jenis mahasiswa itu tidak benar dan ti-dak ideal. Namun sebaliknya, kita harus mengambil elemen-elemen positif yang terdapat pada kedua karakter mahasiswa tersebut dan menggabungkannya menjadi satu. Apabila mengutip perkataan Martin Luther King Jr, “kecerdasan dan karakter adalah tujuan sejati pendidikan”, maka se-sungguhnya kedua jenis mahasiswa terse-but masing-masing telah mewakili satu aspek sehingga dua aspek substansial da-lam pendidikan telah terpenuhi. Idealisme itu perlu, namun idealisme harus dihadirkan bersama kepedulian dan kebersamaan, sama sep-erti solidaritas yang harus menyertakan integritas. Oleh karena itu, mahasiswa yang ideal adalah mahasiswa yang mam-pu menciptakan keseimbangan antara ke-cerdasan dan karakter. Belajar harus tetap diutamakan namun jangan hanya cerdas untuk diri sendiri, cerdaskan juga orang lain. Beri temanmu sebuah proses (men-gajarkan), bukan sebuah hasil (jawaban). Meskipun klise, tetapi yang seperti itulah ciri mahasiswa yang benar dan ideal. Namun sekali lagi, semuan-ya kembali ke diri masing-masing untuk berpikir, memilih dan memutuskan jenis mahasiswa yang manakah yang terbaik. Sudah benarkah pilihan kita selama ini?

Mahasiswa: Idealis versus Solidoleh: Fitriana Bahtiar dan Maria Helena LadoFoto: Dokumentasi Lensa Indonesia

9

Page 10: Koran Biru #08/Tahun III

KORAN BIRU

KORAN BIRU, JUNI 2014

POJOK MAHASISWA

Pada cuplikan artikel diatas, tampakn-ya sulit dipercaya bahwa Bung Hatta memiliki koleksi buku sebanyak 30

ribu buah. Kecintaan Bung Hatta pada Buku sangatlah besar, tak heran ada an-ggapan bahwa jika istri Bung Hatta ada 3, maka yang pertama buku, kedua buku dan ketiga adalah Rahmi. Hatta benar-be-nar menganggap bahwa buku sebagai sumber ilmu pengetahuan dan solusi ke-hidupan adalah suatu keniscayaan. Hal ini mempengaruhi pandangannya dalam membangun Indonesia. Baginya, mengu-bah kondisi negara dari masa imperialisme menuju negara yang mandiri dan maju perlu dilakukan dengan dasar pendidikan yang kuat, mencerdaskan warga negaran-ya. Bahkan prinsip inilah yang menjadikan adanya perselisihan antara dirinya dengan sahabatnya, Soekarno. Sebagai sesama proklamator, keduanya sangat berjasa dalam mem-berikan identitas bangsa dan membawa gerakan Indonesia yang bersatu hingga menuju kemerdekaan. Tapi tak dipungkiri, keduanya memiliki paham yang berbeda. Sejak sebelum Indonesia merdeka, Bung Karno memilih cara-cara agitasi dalam mempersatukan bangsa. Bahkan sampai setelah merdeka Bung Karno mengambil langkah untuk melaksanakan apa yang kita kenal sekarang sebagai Demokrasi Terpimpin, yaitu sebuah sistem demokrasi dengan seluruh keputusan serta pemikiran berpusat pada pemimpinnya. Sejak sebelum merdeka Bung Hatta sudah berbeda pemikiran dengan Bung Karno. Perbedaan ini ditunjukkan saat Hatta mendirikan PNI (Pendidikan Nasional Indonesia) Baru tahun 1931, yang berbeda haluan dengan PNI (Partai Nasional Indonesia) bentukan Soekar-no pada tahun 1927. PNI Baru bentu-kan Hatta bukan muncul sebagai partai, melainkan sebagai “pendidikan”. Hatta

menilai dengan nama itu, PNI Baru akan menjalani kerja yang lebih berat daripa-da pekerjaan partai. Karena cara kerja pendidikan tidak melulu mencari kuanti-tas dalam pergerakan, melainkan kualitas dan kuatnya kerukunan. Baginya, bukan berarti bahwa cara agitasi yang dilakukan oleh Soekarno adalah salah total. Agitasi memang bagus sebagai pembuka jalan, tapi pendidikan yang membimbing rakyat menuju kemajuan. Itulah jalan bersimpang antara asas perjuangan Hatta dan Soekarno. Soekarno lebih menekankan pada aksi massa, sedangkan Hatta lebih mengede-pankan aspek pendidikan. Hatta meng-hendaki asas kedaulatan rakyat yang lahir dari buah pencerdasan, sedangkan Soekarno lebih pada asas persatuan bang-sa. Bagi Bung Hatta, persatuan perlu pe-nataan, dan penataan yang paling tepat adalah melalui jalur pendidikan. Begitu kuatnya perasaan Bung Hatta untuk memajukan bangsanya den-gan jalur pendidikan. Bung Hatta meya-kini bahwa melalui pendidikan akan la-hir bangsa yang mandiri dan maju. Tak Heran mungkin itulah yang terjadi pada negara Jepang, di masa Restorasi Meiji yang terkenal. Dalam jangka waktu han-ya sekitar 30 tahun, Jepang berhasil be-rubah dari negara terisolasi, terbelakang dan tradisional menjadi negara maju yang kompetitif dengan negara-negara barat. Modernisasi yang dilakukan oleh kaisar Meiji lebih difokuskan kepada bidang pen-didikan dengan cara meningkatkan angga-ran pendidikan secara drastis, wajib bela-jar bagi penduduk Jepang dan pengiriman pelajar-pelajarnya untuk belajar di Eropa. Namun, tujuannya ialah satu, ketika sele-sai mencari ilmu, warga negara Jepang diperintahkan pulang untuk membangun Jepang dengan ilmu-ilmu yang didapatkan dari luar.

Kini sudah 112 tahun lamanya, semenjak Hatta dilahirkan, harapan akan lahirnya Bangsa Indonesia yang maju dan mandiri belum dapat terpenuhi. Entah apa yang akan Bung Hatta lakukan apabila ia masih hidup saat ini. Mungkin tiap hari akan selalu ada tulisan-tulisan kritisnya di koran-koran seperti yang dia lakukan keti-ka lengser dari jabatannya sebagai Wakil Presiden dan memilih jalan sebagai warga negara biasa, sebagai intelektual. Ya, se-bagai seorang yang terdidik membuat Hat-ta memiliki pandangan yang jauh untuk bangsanya. Sebagai kaum yang terdidik ia tidak meninggalkan bangsanya dikala su-sah, ia rela dipenjarakan dan diasingkan dalam perjuangannya menuju Indonesia yang maju. Sebagai kaum yang terdidik ia tidak menyalahgunakan kewenangan yang ia miliki, bahkan saat menjabat se-bagai Wakil Presiden. Seperti kata pepatah, jangan berikan ikan pada seseorang tetapi beri-kanlah ia pancingan agar ia dapat men-cari ikannya sendiri. Tentunya jalan per-juangan pendidikan kita masih sangat panjang dan berat, kita tentu merindukan sekali seorang kaum pelajar seperti Bung Hatta. Belajarlah dari sejarah bangsa ini, karena sejarah kita adalah sejarah luka dan air mata. Jadilah kaum intelektual sejati, seperti yang dikatakan oleh Soe Hok Gie dalam buku catatan hariannya. Gie mangatakan bahwa kaum intelektual sejati adalah mereka yang terdidik den-gan sangat baik, memahami permasalah-an sekitarnya lebih baik dari pada orang disekelilingnya, dan menuntut perbaikan pada permasalahan tersebut pada dirin-ya sendiri. Karena sejatinya kaum lemah menggantungkan mimpi dan harapannya lebih besar kepada mereka yang terdidik. Dan semoga kita adalah tunas dari mere-ka yang terdidik.

Menjajaki Makna Pendidikan Menurut Proklamator: Bung Hatta Bung Hatta kecil suka menabung. Uang sakunya yang 1 gonang (25 sen), disimpan untuk membeli buku. Ia pun sangat menyayangi buku-bukunya. Bila temannya meminjam, dan kembali dalam keadaan kotor, atau ada hala-man yang terlipat, Hatta akan marah sekali. Sampai akhir hayatnya, pertengahan Maret ini, cinta buku yang seperti itu tak berubah. “Mungkin orang tak percaya, ayah tak punya deposito,” cerita Gemalla Hatta, putri kedua. “Tapi ada sekitar 30 ribu buku di perpustakaannya.”

oleh : Wegit Triantoro

10

Page 11: Koran Biru #08/Tahun III

KORAN BIRU

KORAN BIRU, JUNI 2014

LENSA TEKNIKA

Laugh as much Andhika Kumara Djafri

Metal Andhika Kumara Djafri Pour Toi by Kasandika Ganiarsa

Fight for Future Andhika Kumara Djafri

11

Page 12: Koran Biru #08/Tahun III

KORAN BIRU

KORAN BIRU, JUNI 2014