konvensi genosida.docx
TRANSCRIPT
Kovensi ini mulai berlaku pada Januari 1951. Indonesia melalui UU No. 26 tahun 2000 tentang Pengadilan HAM menetapkan genosida sebagai salah satu pelanggaran HAM berat. Konvensi ini menetapkan Genosida sebagai kejahatan internasional dan menetapkan perlunya kerjasama internasional untuk mencegah dan menghapuskan kejahatan genosida.
Defenisi Kejahatan Genosida masih tetap menjadi perdebatan karena walaupun sejarah
manusia telah menyaksikan banyak tindakan genosida, konsep kejahatan ini sendiri masih relatif
baru dan baru dikembangkan sebagai akibat dari kekejaman Nazi dalam Perang Dunia II.
Menurut Convention on the Prevention and Punishment of the Crime of Genocide (CPPCG),
genosida didefinisikan sebagai:[4]
“…any of the following acts committed with intent to destroy, in whole or in part, a
national, ethnical, racial or religious group, as such:
(a) Killing members of the group;
(b) Causing serious bodily or mental harm to members of the group;
(c) Deliberately inflicting on the group conditions of life calculated to bring about its physical
destruction in whole or in part;
(d) Imposing measures intended to prevent births within the group;
(e) Forcibly transferring children of the group to another group.”
Genosida didefinisikan sebagai tindakan-tindakan berikut yang dilakukan dengan
tujuan untuk menghancurkan, secara menyeluruh atau sebagian, suatu kelompok bangsa,
etnis, ras atau agama seperti dengan melakukan:[5]a. Membunuh anggota kelompokb. Menyebabkan luka parah baik mental maupun fisik kepada anggota kelompokc. Secara sengaja menciptakan kondisi hidup kelompok yang diperhitungkan akan mengakibatkan
kehancuran fisik baik secara menyeluruh maupun sebagiand. Memaksakan tindakan yang menghambat kelahiran dalam kelompoke. Secara paksa memindah anak-anak dalam kelompok ke kelompok lain.
Jadi secara umum genocide (genosida), adalah tindakan terencana yang ditujukan untuk
menghancurkan eksistensi dasar dari sebuah bangsa atau kelompok sebuah entitas, yang
diarahkan pada individu-individu yang menjadi anggota kelompok bersangkutan. pada 11
Desember 1946 dimana Majelis Umum PBB dengan suara bulat mengeluarkan resolusi yang
mengatakan bahwa ‘Genosida adalah penyangkalan atas eksistensi kelompok manusia secara
keseluruhan… yang menggoncang nurani manusia.
Genosida merupakan salah satu jenis pelanggaran berat yang menarik perhatian dunia
internasional. Karena genosida telah menjadi sebuah ancaman yang melanggar berat Hak Asasi
Manusia terhadap suatu kelompok yang menjadi korban pembantaian. Pelanggaran ini juga
termaktub dalam yurisdiksi International Criminal Court bersamaaan dengan kejahatan
terhadap kemanusiaan, kejahatan perang, dan kejahatan Agresi.
Menurut hukum internasional dalam Pasal II konvensi,[6] genosida merupakan sebuah
kejahatan yang menurut hukum internasional harus dicegah dan dihukum yang berdasarkan
dengan kesepakatan meraka dalam Convention on the Prevention and Punishment of the Crime
of Genocide (CPPCG) tanggal 9 Desember 1948.
Dalam pencegahan dan penghukuman yang tertuang dalam konvensi genosida tersebut,
dalam konvensi menyetujui suatu pengadilan internasional yang mempunyai yurisdiksi untuk
mengadili individu-individu yang melakukan genosida, dapat dibentuk di negara-negara peserta
kelak, namun pasal itu juga mengharuskan pengadilan yang berwenang dari negara-negara yang
ikut serta dalam konvensi untuk menyetujui yurisdiksi atas pelanggaran sebelum adanya
pengadilan internasional, apabila kejahatan itu dilakukan di wilayahnya. Demikianlah genosida
dianggap sebagai kejahatan dalam hukum internasional yang menarik yuridiksi universal dan
norma ius cogens.[7]
Istilah “Genosida” itu sendiri berakar dari karya seorang pakar hukum, Raphaël Lemkin,
seorang pendukung utama dari konvensi internasional tentang masalah ini. Defenisi Lemkin
tentang istilah ini berpusat pada adanya rencana terkoordinasi untuk menghancurkan “fondasi-
fondasi penting” dari kehidupan suatu kelompok, dengan tujuan untuk memusnahkan kelompok
tersebut.[8] Lemkin dalam proposalnya ke Konferensi Internasional Liga Bangsa-bangsa untuk
Unifikasi Hukum Pidana mengusulkan untuk mendeklarasikan bahwa penghancuran ras, agama,
atau kelompok sosial sebagai sebuah kriminal di bawah hukum bangsa-bangsa
Dimulai dengan sebuah proposal dari Raphael Lemkin yang diajukan pada
Konperensi International Unification of Criminal Law kelima pada 1933 gagasan
mengkriminalisasikan genosida mulai dirumuskan secara internasional. Dalam konperensi di
Madrid - Spanyol itu, ia mengadvokasi agar penghancuran kolektivitas rasial, agama, atau
sosial dinyatakan sebagai kejahatan internasional, karena biadab (barbatary) dan besarnya
penghancuran yang dilakukan (vandalism). Namun, usulan ini tidak diterima.
Sebelas tahun kemudian Lemkin yang anggota keluarganya juga menjadi korban
kekejaman Nazi, menerbitkan sebuah buku dan memperkenalkan istilah ‘Genocide’, yang
diambil dari kata ‘genos’ yang dalam bahasa Yunani berarti ras (race), bangsa (nation) atau
suku, dan dari bahasa Latin ‘cide’ yang berarti membunuh. Dalam definisinya Genosida
adalah tindakan terencana yang ditujukan untuk menghancurkan eksistensi dasar dari
sebuah bangsa atau kelompok sebuah entitas, yang diarahkan pada individu-individu yang
menjadi anggota kelompok bersangkutan.
Pada 8 Oktober 1945 konsep mengenai genocide untuk pertama kali diterima secara
legal formal dalam sebuah dokumen internasional, yaitu pada pasal 6 (c) dari Piagam
Nuremburg. Dalam proses pengadilan itu sejumlah terdakwa dikenakan dakwaan melakukan
Genosida. Salah satunya dituduh dengan sengaja dan sistematis melakukan Genosida, yaitu
‘the extermination of racial and national groups, against the civilian populations of certain
occupied territories in order to destroy particular races and classes of people and national,
racial or religious groups’. Gagasan ini semakin kuat kedudukannya dalam sistem
internasional pada 11 Desember 1946 dimana Majelis Umum PBB dengan suara bulat
mengeluarkan resolusi yang mengatakan bahwa ‘Genosida adalah penyangkalan atas
eksistensi kelompok manusia secara keseluruhan… yang menggoncang nurani manusia’.
Secara bulat pula ditegaskan ‘status’ Genosida sebagai kejahatan dalam hukum
internasional. Berdasarkan resolusi Dewan Ekonomi dan Sosial PBB dibentuklah ad hoc
committee on Genocide yang bertugas merumuskan rancangan konvensi Genosida.
[11] Hanya dalam waktu 8 bulan Konvensi tentang Pencegahan dan Penghukuman
Kejahatan Genosida (Konvensi Genosida) diterima oleh Majelis untuk ditandatangani atau
diratifikasi. Dan tepatnya, sehari sebelum Deklarasi Umum Hak Asasi Manusia (Universal
Declaration of Human Rights selanjutnya disebut DUHAM) konvensi ini terbuka untuk
diratifikasi yang pada 12 Januari 1951 mulai berlaku.
Konvensi Genosida tidak memiliki mekanisme seperti prosedur pelaporan periodik
oleh negara, atau prosedur bagi perorangan maupun organisasi non pemerintah untuk
mengajukan pengaduan, pencarian fakta, maupun laporan dari pelapor khusus maupun
kelompok kerja. Konvensi ini juga tidak mempunyai badan pemantauan pelaksanaan
konvensi sebagaimana Konvensi Anti Penyiksaan yang memilikiCommittee Against
Torture yang juga membantu pengembangan standar melalui resolusi atau keputusan-
keputusan lainnya. Perbedaaan ini tidak berarti negara tidak dibebani kewajiban tertentu
oleh konvensi Genosida. Dalam konvensi Genosida negara pihak memiliki kewajiban absolut
untuk mengadili dan menghukum pelaku pelanggaran (perpetrators) dari konvensi tersebut.
Pasal 4 mengatur bahwa ‘orang yang melakukan Genosida atau tindakan lain sebagaimana
dikemukakan dalam pasal 3 harus dihukum’. Tidak terkecuali penguasa sah secara
konstitusi, pejabat publik dan orang perorangan biasa. Pasal 5 kemudian mewajibkan
negara pihak untuk melakukan segala upaya untuk memberi hukuman yang efektif terhadap
mereka yang bersalah melakukan Genosida. Termasuk dalam kewajiban ini negara harus
menyusun sebuah hukum yang mengatakan bahwa Genosida adalah kejahatan yang harus
dihukum.
Hal ini berarti, Konvensi Genosida merupakan satu dari sedikit konvensi hak asasi
manusia yang secara eksplisit mewajibkan negara mengadili dan menghukum pelaku
pelanggaran hak asasi manusia. Perbedaan di atas bukan sebuah kecelakaan. Sebab, sudah
menjadi tujuan asal pembentukan Konvensi ini oleh PBB untuk mengutuk tindakan dan
menghukum pelaku Genosida.[14] Konvensi Genosida merupakan satu dari sejumlah kecil
konvensi HAM internasional yang mengkriminalisasikan pelanggaran hak asasi manusia.
Oleh karenanya Konvensi Genosida memaksa individu untuk menghadapi hukuman pidana
sebagai bentuk tanggung jawab atas perbuatan Genosida.
Disamping itu konvensi meniadakan pilihan pada negara dalam menentukan cara
menjamin terlindunginya hak asasi manusia dari tindakan Genosida selain melakukan
penyelidikan atas dugaan terjadinya pelanggaran, mengadili dan menghukum pelaku.
Bahkan dapat dikatakan bahwa konvensi Genosida merupakan pengakuan masyarakat
internasional yang pertama bahwa tindak Genosida baik di masa damai maupun perang
adalah kejahatan yang pelakunya harus dihukum. Sebelum lahirnya konvensi Genosida
1948, dalam hukum internasional hanya kejahatan perang yang mewajibkan negara
menghukum pelakunya.