konsep pendidikan menurut al
TRANSCRIPT
BAB
ISI
1. Konsep Pendidikan Menurut Al-Ghazali
A. Pengertian Pendidikan
Al-Ghazali adalah orang yang banyak mencurahkan perhatiannya terhadap bidang
pengajaran dan pendidikan dalam kitabnya Ihya Ulumiddin. Adapun unsur-unsur pembentuk
pengertian pendidikan dari al-Ghazali dapat dilihat dalam pernyataan berikut:
“Sesungguhnya hasil ilmu itu ialah mendekatkan diri kepada Allah, Tuhan semesta alam,
menghubungkan diri dengan ketinggian malaikat dan berhampiran dengan malaikat tinggi…”
“…dan ini, sesungguhnya adalah dengan ilmu yang berkembang melalui pengajaran dan bukan
ilmu beku yang tidak berkembang.”
Jika kita perhatikan kutipan yang pertama, kata “hasil” menunjukkan proses, kata
“mendekatkan diri kepada Allah” menunjukkan tujuan, dan kata “ilmu” menunjukkan alat.
Sedangkan pada kutipan yang kedua merupakan penjelasan mengenai alat, yakni
disampaikannya dalam bentuk pengajaran. Batas awal berlangsungnya proses pendidikan
menurut al-Ghazali, yakni sejak bertemunya sperma dan ovum sebagai awal manusia. Batas
akhir pendidikan menurut al-Ghazali sampai akhir hayatnya.
Dari keterangan di atas pendidikan menurut al-Ghazali adalah proses memanusiakan
manusia sejak masa kejadiannya sampi akhir hayatnya melalui berbagai ilmu pengetahuan yang
disampaikan dalam bentuk pengajaran secara bertahap di mana proses pengajaran itu menjadi
tanggung jawab orang tua dan masyarakat. Pemikiran al-Ghazali dalam pendidikan juga
bernuansa islami dan moral. Di samping itu, ia juga tidak mengabaikan masalah-masalah
duniawiyah, sehingga ia juga menyediakan porsi yang sesuai dengan pendidikan.
1
B. Tujuan Pendidikan
Al-Ghazali berkata:
“Dunia tempat menanam untuk akherat. Sebagai alat untuk berhubungan dengan Allah
Azza wa Jalla, bagi orang yang menjadikannya sebagai tempat tinggal, bukan bagi orang yang
menjadikannya tempat menetap dan tempat berdiam.”
“Bila engkau memandang ilmu engkau melihatnya lezat, maka ia dicari karena lezatnya,
dan engkau menemukan sebagai jalan kebahagiaan ke akherat dan sebagai perantara pendekatan
kepada Allah Ta’ala, dan tidak sampai kepada Allah melainkan dengan ilmu. Derajat yang paling
tinggi bagi anak cucu adam adalah kebahagiaan yang langgeng dan sesuatu yang utama adalah
yang dapat mengantarkan ke sana kecuali dengan ilmu dan amal dan tidak sampai pada amal
kecuali dengan mengetahui cara beramal. Pokok kebahagian dunia dan akherat adalah dengan
ilmu, dan hal itu adalah amal yang utama.”
Tujuan pendidikan menurut al-Ghazali:
1. Sebagai kesempurnaan manusia dunia dan akherat. Manusia akan sampai pada
kesempurnaan dengan mencari keutamaan melalui ilmu. Kemudian keutamaan itu
membahagiakannya di dunia dan akherat.
2. Ilmu patut dicari karena dzatnya, yang memiliki kelebihan dan kebaikan. “ilmu
pengetahuan itu secara mutlak utama dalam dzatnya”.
2
C. Kurikulum Pendidikan Menurut Al-Ghazali
Konsep kurikulum al-Ghozali terkait erat dengan konsepnya tentang ilmu pengetahuan. Al-
Ghozali membagi ilmu dalam tiga bagian:
Pertama, ilmu-ilmu yang terkutuk baik banyak maupun sedikit. Yakni ilmu yang tidak ada
manfaatnya baik di dunia maupun di akhirat. Misalnya,
Ø Ilmu sihir. Hal tersebut dikarenakan dalam pandangan al-Ghazali ilmu-ilmu tersebut dapat
mendatangkan malapetaka bagi pemiliknya maupun orang lain, dapat menyebabkan perpecahan
persatuan manusia dan kasih sayangnya dan menyebabkan kedengkian di hati serta menebarkan
perbantahan antara manusia.
Ø Ilmu nujum ini kemudian dibagi dua oleh al-Ghazali. Yakni ilmu nujum berdasarkan
perhitungan (Ilmu Falak), ia memamndang bahwa ilmu itu tidak tercela oleh syara’, sedangkan
ilmu nujum yang berdasarkan istidlali, yakni semacam ilmu meramal nasib berdasarkan petunjuk
bintang. Ilmu nujum jenis kedua inilah yang dianggap tercela menurut syara’ karena dapat
mendatangkan keraguan kepada Allah SWT.
Ø Masih termasuk dalam kategori ilmu pertama diatas. Al-Ghazali mengatakan bahwa
mempelajari ilmu filsafat tidak sesuai bagi sebagian orang, sesuai menurut tabi’atnya tidak
semua orang dapat mempelajari ilmu tersebut dengan baik. Seperti anak bayi yang masih
menyusu, merasa sakit apabila makan”daging burung dan macam gula-gula yang lembut”, yang
mana perut besarnya tidak sanggup menghaluskannya.
Kedua, ilmu yang dipelajari secara mutlak yaitu mempelajari ilmu agama, ibadah dan
macam-macamnya. Ilmu-ilmu itu yang mendatangkan kebersihan jiwa, dan membersihkan jiwa
dari tipu daya/kerusakan dan membantu mengetahui kebaikan dan pelaksanaannya untuk
mempersiapkan dunia untuk akherat. Al-Ghozali membagi ilmu kategori kedua ini dengan ilmu
yang fardlu ‘ain dan fardlu kifayah. Yang termasuk dalam ilmu yang fardlu ‘ain menurut Al-
Ghozali adalah ilmu-ilmu tentang agama dan macam-macamnya. Serta ilmu tentang tata cara
melaksanakan perkara yang wajib. Sedangkan yang termasuk dalam ilmu fardlu kifayah adalah
3
semua ilmu yang diperlukan untuk kehidupan masyarakat, karena bila sebagian orang telah
mempelajarinya maka masyarakat terwakili. Di antara ilmu kifayah ialah ilmu kedokteran dan
ilmu hitung. Jika sudah ada salah seorang yang menguasai dan dapat mempraktekkannya maka
sudah dianggap gugur kewajiban mempelajarinya bagi yang lain.
Ketiga, ilmu yang terpuji dalam batas tertentu, dan tercela jika mempelajarinya dalam
kadar yang berlebihan atau mendalam. Karena apabila manusia dengan mendalam pengkajiannya
dapat menyebabkan terjadinya kekacauan pemikiran dan keraguan, serta dapat pula membawa
kedalam kekafiran, seperti ilmu filsafat keTuhana. Mengenai ilmu filsafat ini Al-Ghazali
membaginya menjadi ilmu matematika, ilmu-ilmu logika, ilmu ilahiyyat, ilmu fisika, ilmu
politik, dan ilmu etika.
Dengan ini kita mengetahui bagaimana al-Ghazali membagi bermacam-macam ilmu dan
member nilai setiap ilmu dengan keuntungan dan kerugiannya. Perbedaan tersebut disebabkan
oleh salah satu dari tiga bagian, yaitu:
a) Segi watak yang sampai pada pengenalannya.
b) segi ruang lingkup kemanfaatan bagi manusia
c) Segi tempat usaha.
Dari pembahasan di atas pada akhirnya ilmu yang paling utama menurut beliau adalah
ilmu-ilmu agama dan cabang-cabangnya. Karena ilmu-ilmu agama diperoleh dengan
kesempurnaan akal yang mulia, untuk kebahagiaan dunia dan akhirat serta didapat yang jelas
baiknya.
Dalam menyusun kurikulum pelajaran Al-Ghozali memberi perhatian khusus pada ilmu-
ilmu agama dan etika sebagaimana dilakukannya terhadap ilmu-ilmu yang sangat menetukan
bagi kehidupan masyarakat. Dengan kata lain beliau mementingkan sisi faktual dalam
kehidupan. Beliau juga menekankan sisi budaya. Menurut baliau ilmu itu wajib dituntut bukan
karena keuntungan diluar hakikatnya, tetapi karena hakikatnya sendiri. Sesuai dengan jiwa
tasawwuf dan zuhudnya, beliau tidak mementingkan ilmu-ilmu yang berbau seni atau keindahan.
4
Selanjutnya sekalipun beliau mementingkan pengajaran berbagai keahlian esensial dalam
kehidupan dan masyarakat, beliau tidak menekankan pentingnya keterampilan.
D. Metode
Al-Ghazali tidak menetapkan metode khusus pengajaran dalam berbagai tulisannya
kecuali pada pengajaran agama saja pada anak-anak. Ia menjelaskan metode khusus pendidikan
anak dan menyempurnakan agar berakhlak terpuji, menhiasi dirinya dengan keutamaan-
keutamaan. Berdasarkan prinsipnya bahwa pendidikan adalah sebagai kerja yang memerlukan
hubungan yang erat anatara guru dan murid.
Metode pengajaran perhatian Al-Ghazali akan pendidikan agama dan moral sejalan
dengan kecenderungan pendidikannya secara umum, yaitu prinsip-prinsip yang berkaitan secara
khusus dengan sifat yang harus dimiliki oleh seorang guru dalam melaksanakan tugasnya.
Al-Ghazali menggambarkan pentingnya keteladanan utama dari seorang guru, juga
dikaitkan dengan pandangannya tentang pekerjaan mengajar. Menurutnya mengajar merupakan
pekerjaan yang paling mulia sekaligus yang paling agung. Pandangannyaberlandaskan bukti
firman Allah dan hadis-hadis Nabi yang mengatakan status guru sejajar dengan tugas kenabian.
Lebih lanjut Al-Ghazali mengatakan bahwa wujud termulia di muka bumi adalah manusia, dan
bagian inti manusia yang termulia adalah hatinya. Guru bertugas menyempurnakan, menghias,
dan mendekatkan diri kepada Allah SWT.
Al-Ghazali mengibaratkan siapa yang berilmu dan membimbing manusia dan ilmunya
berfaedah bagi orang lain maka, “dia seperti matahari yang memerangi orang lain dan dia
menerangi dirinya sendiri dan seperti misik yang mengharumi lainnya sedangkan dia sendiri
harum.”
Dalam masalah pendidikan, Al-Ghazali lebih cenderung berfaham empirisme, oleh
karena itu, beliau sangat menekankan pengaruh pendidikan terhadap anak didik. Anak adalah
amanat yang dipercayakan kepada orang tuanya, hatinya bersih, murni, laksana permata yang
berharga, sederhana, dan bersih dari ukiran apapun. Ia dapat menerima tiap ukiran yang
digoreskan kepadanya dan akan denderung ke arah yang kita kehendaki. Oleh karna itu, bila ia
5
dibiasakan dengan sifat-sifat yang baik, maka akan berkembanglah sifat-sifat yang baik pula.
Sesuai dengan hadits Rasulullah SAW, “Setiap anak dilahirkan dalam keadaan bersih, kedua
orang tuanyalah yang menyebabkan anak itu menjadi penganut Yahudi, Nasrani, dan
Majusi.”( HR. Muslim)
E. Pendidikan Agama dan Metodenya
Al-Ghazali adalah imam agama yang berciri tasawuf, mengutamakan pendidikan yang
berkembang yang pertama kali membina hati dengan ma’rifat dan mendidik jiwa dengan ibadah
dan mengenal Allah serta pendekatan diri kepada Allah yaitu dengan cara menanamkan pokok-
pokok agama yang benar di dada anak kecil pada masa pertumbuhannya.
Al-Ghazali mengatakan bahwa pendidikan agama harus dimuli sejak usia muda. Karena
pada masa ini, anak kecil siap menerima aqidah-aqidah agama dengan iman yang murni dan
tidak memerlukan bukti atau senagng pada ketetapan dan hujahnya. Pertama kali ketika
mengajarkan agama dengan menghafalkan kaidah-kaidah dan pokok-pokoknya. Sesudah itu gur
menyingkap maknanya, memahaminya, manancapkannya kemudian membenarkannya.
Menanamkan agama pada anak kecil didahului dengan menuntun dan meniru, serta dengan
ketentuan-ketentuan sedikit sampai anak menjadi pemuda. Ian bisa ditanam selama ditegakkan
I’tiqodnya dikuatkan dengan dalil. Adapun selama aqidah tidak ditegakkan dengan dalil akan
menjadi agama yang lemah, mudah luntur dan menerima yang lain. Metode ini tidak ditegakkan
melalui diskusi atau berdebat karena berdebat banyak merusakan hal-hal yang berfaedah yang
terkadang menyebabkan keracuan pikiran murid dan meragukannya. Bahkan ditegakkan dengan
mengulang-ulag membaca Al-Qur’an, tafsir, hadis dan membiasakan ibadah.
Dengan ini al-Ghazali menetapkan metode yang jelas tentang pengajaran agama dimulai
dari menghafal disertai memahami kemudian keyakinan dengan membenarkan. Setelah itu
dikemukakan keterangan-keterangan dan bukti-bukti yang membatu menguatkan akidah.
1) Kriteria Guru Yang Baik
6
Menurut al-Ghazali selain cerdas dan sempurna akalnya, seorang guru yang baik juga
harus baik akhlak dan kuat fisiknya. Dengan kesempurnaan akal dapat menguasai berbagai ilmu
pengetahuan secara mendalam, dan dengan akhal yang baik ia dapat menjadi contoh dan teladan
bagi para muridnya, dan dengan kuat fisiknya ia dapat melaksanakan tugas mengajar, mendidik,
dan mengarahkan anak didiknya.
Selain sifat umum diatas seorang guru menurut al-Ghazali juga harus memiliki sifat-sifat
khusus yang diantaranya adalah kasih sayang, tidak menuntut upah atas apa yang dikerjakannya,
berfungsi sebagai pengarah dan penyuluh yang jujur dan benar dihadapan murid-muridnya. Ia
tidak boleh membiarkan muridnya mempelajari pelajaran yang lebih tinggi sebelum ia
menguasai pelajaran yang sebelumnya. Seorang guru yang baik harus menggunakan cara yang
simpatik, halus, dan tidak menggunakan kekerasan, cacian, makian, dan sebagaianya. Seorang
guru juga tampil sebagai teladan atau panutan yang baik dihadapan murid-muridnya. Ia juga
harus memiliki prinsip mengakui adanya perbedaan potensi secara individual dan
memperlakukannya sesuai dengan tingkat perbedaan yang dimiliki muridnya. Seorang guru juga
harus mampu memahami perbedaan bakat, tabi’at, dan kejiwaan muridnya sesuai dengan
perbedaan tingkat usianya. Dan yang terakhir seorang guru yang baik harus berpegang teguh
pada prinsip yang diucapkannya, serta berupaya merealisasikannya sedemikian rupa.
2) Kriteria Murid Yang Baik
Pendidikan bertujuan untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. sehingga bernilai ibadah.
Untuk menurut al-Ghazali seorang murid yang baik harus memiliki sifat :
a). Berjiwa bersih, terhindar dari budi pekerti yang hina, dan sifat-sifat tercela lainnya.
b). Menjauhkan diri dari pesoalan-persoalan duniawi, mengurangi keterikatan dengan dunia dan
masalah-masalah yang dapat mengganggu lancarnya penguasaan ilmu.
c). Rendah hati dan tawadhu’.
d). Khusus bagi murid yang baru jangan mempelajar ilmu-ilmu yang berlawanan atau pendapat
yang saling berlawanan atau bertentangan.
7
e). Mendahulukan mempelajari yang wajib
f). Mempelajari ilmu secara bertahap
g). Tidak mempelajari suatu disiplin ilmu sebelum menguasai disiplin ilmu sebelumnya. Sebab
ilmu-ilmu itu tersusun dalam urutan tertentu secara alami. Dimana sebagian merupakan jalan
menuju sebagian yang lain.
h). Seorang murid juga harus mengenal nilai darisetiap ilmu yang dipelajarinya.
6. Hukuman dan Balasan
Selanjutnya Al-Ghazali berkata:Apabila anak-anak itu berkelakuan baik dan melakukan
pekerjaan yang bagus, hormatilah ia dan hendaknya diberi penghargaan dengan sesuatu yang
menggembirakannya, serta dipuji di hadapan orang banyak. Jika ia melakukan kesalahan satu
kali, hendaknya pendidikmembiarkan dan jangan dibuka rahasianya. Jika anak itu
mengulanginya lagi, hendaknya pendidik memarahinya dengan tersembunyi, bukan dinasehati di
depan orang banyak, dan janganlah pendidik seringkali memarahi anak-anak itu, karena hal itu
dapat menghilangkan pengaruh pada diri anak, sebab sudah terbiasa telinganya mendengarkan
amarah itu.
Metode pemberian hadiah dan hukuman untuk tujuan mendidik dipandang sebagai
metode yang aman. Terlalu banyak melarang dapat menimbulkan hal-hal yang tidak diinginkan.
Demikian pula terlalu banyak memberikan pujian tidak menjadi penyebab terjadinya perbaikan.
Dalam berbagai kesempatan Al-Gazali menerangkan bahwa membesarkan anak dengan
kemanjaan, bersenang-senang dan bermalas-malasan serta meremehkan pergaulan bersama
orang lain termasuk perkara yang tidak baik karena membesarkan anak dengan cara seperti ini
akan merusak akhlaknya, karena membesarkan anak dengan cara seperti ini akan merusak
akhlaknya .
8
DAFTAR PUSTAKA
1. Nata Abuddin, Pemikiran para tokoh Pendidikan Islam, ( Jakarta : PT Raja Grafindo Persada )hal 80
2. Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, Masyhadul Husaini, tt.hal 13
3. Al-Ghazali, Ihya Ulumuddin, Juz I, Masyhadul Husaini, tt.hal 14
4. Ihya Ulumuddin juz 3, hal 12
5. Ihya Ulumuddin Juz 1, hal 25.
6. Ihya Ulumuddin Juz 1, hal 25
7. Dahlan Thamrin,”Al-Ghazali dan Pemikiran Pendidikannya”. Hal. 27
9