konsep hadhanah dalam undang-undang keluarga …repository.uinjambi.ac.id/2639/1/skirpsi kaq syuk -...
TRANSCRIPT
KONSEP HADHANAH DALAM UNDANG-UNDANG
KELUARGA ISLAM DI MALAYSIA(KAJIAN
PEMIKIRAN MAZHAB HANAFI DAN SYAFI’I)
Skripsi
Diajukan Untuk Melengkapi Syarat-
syarat
Guna Memperoleh Gelar Sarjana Strata Satu(S.1) Dalam
Ilmu Syariah
Oleh:
NURUL
SYUHADAH BINTI
WAHAB
NIM:SPM150013
JURUSAN PERBANDINGAN MAZHAB
FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM
NEGERI SULTHAN THAHA
SAIFUDDIN JAMBI
1439
H/2017 M
MOTTO
Wahai orang-orang yang beriman,janganlah kamu mengkhianati Allah dan Rasul
dan (juga) janganlah kamu mengkhianati amanat yang dipercayakan kepadamu,
sedang kamu mengetahui.1
1 Usman el-Qurtuby, Al-Qur’an Cardoba Al-Quran Tajwid dan Terjemahan,(Bandung:Cardoba
International Indonesia,2014),hlm 180.
ABSTRAK
Pernikahan dan perwujudannya merupakan hasrat alami manusia yang terbaik
dengan naluri. Hal ini merupakan salah satu berkah terbesar dari Allah SWT,
keinginan untuk membangun keluarga, inilah yang menghindarkan kaum muda
dari fantasi terhadap mimpi-mimpi yang tidak masuk akal dan segala kecemasan
batin, tetapi jika ada konflik dalam keluarga, rumah tangga akan berubah menjadi
penjara. Dari sebuah rumah tangga segala persoalan kehidupan timbul, bila
perselisihan suami istri itu menimbulkan permusuhan dan menimbulkan bibit
kebencian antara keduanya sehingga tidak ada jalan lain, sedangkan ikhtiar untuk
perdamaian tidak dapat disambung lagi maka perceraianlah jalan satu-satunya
yang menjadi pemisah diantara mereka. Apabila terjadi perceraian maka siapakah
yang berhak mengasuh anak-anak(hadhanah). Bagaimana pandangan dan
argument mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟I serta konsepsi hadhanah dalam
Undang-undang Keluarga Islam di Malaysia akibat perceraian orang tua dan
bagaimana relavensinya dengan aturan hukkum keluarga yang terjadi di Malaysia.
Penyusun ingin menjawab rumusam masalah yaitu pandangan mazhab Hanafi dan
Syafi‟I tentang hadhanah serta apakah konsepsi hadhanah dalam Undang –
undang Keluarga Islam di Malaysia. Penyusun menggunakan jenis penelitian
pustaka (library research) menelusuri atau mengkaji berbagai buku dan tulisan
yang berkaitan dengan obyek yang diteliti.
PERSEMBAHAN
Kupersembahkan skripsi ini
Untuk orang-orang yang kucintai
Almarhum Ayahanda Wahab bin Md Yob –Al-Fatihah- dan ibunda Asmah Binti
Arop yang telah mendidik dan mengasuh anaknda dari kecil hingga dewasa
dengan penuh kasih sayang, agar kelak anaknda menjadi anak yang berbakti
kepada kedua orang tua dan berguna bagi Agama, Nusa dan Bangsa, dan dapat
meraih cita-cita.
Tidak lupa kepada seluruh ahli keluarga, terima kasih di atas segala perhatian dan
dorongan yang diberikan, semoga segala sesuatu yang terjadi di antara kita
merupakan rahmat dan anugerah dari-Nya, serta
menjadi sesuatu yang indah buat selama-lamanya.
Tidak lupa kepada kedua-dua pembimbing saya yaitu
Bapak Drs. H. Hasbi Ash-Shiddiqi, M.A dan bapak Fuad Rahman, S.Ag.,M.Ag
karena banyak ilmu yang dicurahkan dan banyak memberi tunjuk ajar kepada saya
erti daya dan upaya untuk menghadapi cabaran hidup.
Serta tidak lupa pula terima kasih juga untuk insan yang tercinta yaitu sahabat-
sahabat serta teman-temanku lain yang tergabung dalam Persatuan Kebangsaan
Pelajar-pelajar Malaysia di Indonesia Cabang Jambi, serta teman-teman dari
Indonesia maupun teman-teman yang berada
di Malaysia, yang setia telah memberikan semangat dan dorongan di kala
suka maupun duka, semoga persahabatan kita tetap terjalin dengan baik
dan semoga ini semua menjadi kenangan yang terindah dalam hidupku.
Terima kasih atas segalanya.
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur yang sedalam-dalamnya penulis panjatkan kehadrat Allah
SWT atas segala rahmat dan karunia-Nya. shalawat dan salam turut dilimpahkan
kepada junjungan besar Nabi Muhammad saw. yang sangat dicintai.
Alhamdulillah dalam usaha menyelesaikan skripsi ini penulis senantiasa diberi
nikmat kesehatan dan kekuatan sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini
yang diberi judul “ Konsepsi Hadhanah dalam Undang-undang Keluarga
Islam Malaysia (Kajian Pemikiran Mazhab Hanafi dan Syafi’i) ”.
Skripsi ini disusun sebagai sumbangan pemikiran terhadap pengembangan
ilmu syariah dalam bagian hukum. Juga memenuhi sebagian persyaratan guna
memperoleh gelar Sarjana Strata Satu (S1) dalam Jurusan Perbandingan Mazhab
pada Fakultas Syariah Universitas Islam Negeri Sulthan Thaha Saifuddin Jambi,
Indonesia.
Dalam menyelesaikan skripsi ini penulis akui tidak terlepas dari menerima
hambatan dan halangan baik dalam waktu pengumpulan data maupun
penyusunannya. Situasi yang ditempuhi dengan pelbagai ujian dari awal hingga ke
akhir menambahkan lagi daya usaha untuk menyelesaikan skripsi ini agar selari
dengan penjadualan. Dan berkat kesabaran dan dukungan dari berbagai pihak,
maka skripsi ini dapat juga diselesaikan dengan baik seperti yang diharapkan.
Oleh karena itu, hal yang pantas penulis ucapkan adalah jutaan terima
kasih kepada semua pihak yang turut membantu baik secara langsung maupun
secara tidak langsung menyelesaikan skripsi ini, terutama kepada:
1. Bapak Dr. H. Hadri Hasan, MA selaku Rektor UIN STS Jambi, Indonesia.
2. Bapak Dr. H. Sua‟aidi Asyari, MA., Ph.D selaku Wakil Rektor Bidang
Akademik, Dr. H Marwazi selaku Wakil Rektor Bidang Administrasi
Umum, Perancanaan dan Keuangan dan Ibu Dr. Hj. Fadhilah Jamil, M.Pd.,
selaku Wakil Rektor Kemahasiswaan dan Kerjasama di lingkungan UIN
STS Jambi, Indonesia.
3. Bapak Prof. Dr. A. Husein Ritonga M.Ag selaku Dekan Fakultas Syariah
IAIN STS Jambi, Indonesia.
4. Bapak Drs. Bakhtiar Hasaan, M.HI selaku Wakil Dekan Bidang
Akademik, Dr. H Muhammad Fadhil, M.Ag selaku Wakil Dekan Bidang
Administrasi Umum, Perancanaan dan Keuangan dan Bapak H. Hermanto,
M.HI, Ph.D selaku Wakil Dekan Kemahasiswaan dan Kerjasama di
lingkungan Fakultas Syariah UIN STS Jambi, Indonesia.
5. Ibu Rahmi Hidayati, S.Ag., M.HI selaku Ketua Jurusan Perbandingan
Mazhab Fakultas Syari‟ah UIN Sulthan Thaha Saifuddin Jambi.
6. Drs. H. Hasbi Ash-Shiddiqi, M.A selaku Pembimbing I dan bapak Fuad
Rahaman, S.Ag.,M.Ag selaku pembimbing II skripsi ini yang telah banyak
memberi masukan, tunjuk ajar dan bimbingan kepada penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
7. Bapak dan Ibu dosen yang telah mengajar sepanjang perkuliahan, asisten
dosen serta seluruh karyawan dan karyawati yang telah banyak membantu
dalam memudahkan proses menyusun skripsi di Fakultas Syariah UIN
STS Jambi, Indonesia.
Di samping itu, disadari juga bahwa skripsi ini masih ada kekurangan dan
jauh dari kesempurnaan baik dari segi teknis penulisan, analisis data, penyusunan
maklumat maupun dalam mengungkapkan argumentasi pada bahan skripsi ini.
Oleh karenanya diharapkan kepada semua pihak dapat memberikan kontribusi
pemikiran, tanggapan dan masukan berupa saran, nasihat dan kritik demi kebaikan
skripsi ini. Semoga apa yang diberikan dicatatkan sebagai amal jariyah di sisi
Allah SWT dan mendapatkan ganjaran yang selayaknya kelak.
Jambi, Oktober 2017
Penulis,
NURUL SYUHADAH BINTI WAHAB
NIM: SPM 150013
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ……………………………………………………….. i
PERNYATAAN KEASLIAN …………………………………………….. ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING ………………………………………… iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN ……………………………………….. iv
SURAT PERNYATAAN ………………………………………………........ v
MOTTO ..........……………………………………………………………...... vi
ABSTRAK … ………………………………………………………………… vii
PERSEMBAHAN ……… …………………………………………………… viii
KATA PENGANTAR ………………………………………………………. ix
DAFTAR ISI ………………………………………………………………. xii
TRANSLITERASI ………………………………………………………….. xiv
DAFTAR SINGKATAN …………………………………………………… xv
BAB 1: PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah……………………………………… 1
B. Rumusan Masalah……………………………………………. 7
C. Tujuan Penelitian…………………………………………….. 7
D. Tinjauan Pustaka………………….………………………….. 8
E. Metode Penelitian……………………………………………. 8
F. Sistematika Penulisan………………………………………… 9
BAB II: TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH
A. Pengertian Hadhanah …………………………........ 11
B. Dasar Hukum Hadhanah ………………………......……... 12
C. Syarat-Syarat Hadhanah………… ………………………… 13
D. Batas Umur Hadhanah………. ……………………….......... 16
E. Urutan Orang Yang Berhak Hadhanah….…………………. 18
F. Upah Hadhanah…….. ..........……………………………… 20
BAB III: SEJARAH PERKEMBANAGAN MAZHAB HANAFI DAN
MAZHAB SYAFI’I SERTA SEJARAH PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG ISLAM DI MALAYSIA
A. Mazhab Hanafi………………………………………….. 20
1. Kelahiran Imam Hanafi…………………………………. 20
2. Pendidikan………………………………………............ 20
3. Pemikiran……………………………………………….. 21
4. Perkembangan……………………………………………23
B. Mazhab Syafi’i.......………………………………………. 23
1. Kelahiran Imam Syafi‟i……………………………….. 23
2. Pendidikan……………………………………………. 24
3. Pemikiran……………………………………………… 25
4. Perkembangan……………………………………….. 27
C. Sejarah Pelaksanaan Undang-undang Islam di Malaysia 28
BAB 1V: PEMBAHASAN
A. Hadhanah Menurut Hanafiyyah………………………….. 32
B. Hadhanah Menurut Syafi‟iyyah…………………….... 33
C. Persamaan Dan Perbedaan Pendapat Tentang
Hadhanah…………. ………………………………………...39
D. Konsepsi Hadhanah Dalam Undang-Undang Keluarga Islam
Malaysia………………………………………….……….. 44
BAB IV: PENUTUP
A. Kesimpulan ……………………………………………… 49
B. Saran-Saran ………………………………………………. 51
C. Kata Penutup …………………………………………….. 52
DAFTAR PUSTAKA
CURICULUM VITAE
BAB I
PENDAHULUAN
A.Latar Belakang Masalah
Perkawinan merupakan peristiwa dimana seorang laki-laki dan perempuan
yang tadinya haram untuk dicampuri menjadi halal. Setiap kehidupan berumah
tangga, tentunya seorang suami istri menginginkan adanya keturunan dari
hubungan mereka yang dijadikan sebagaigenerasi penerus dalam kehidupan
berumah tangga dan seterusnya.
Perkawinan tidak selamanya berjalan mulus sesuai harapan, ada kalanya
dalam perkawinan didapati kerikil-kerikil bahkan badai yang siap menghampiri
kapan saja ia mau. Untuk melalui tantangan hidup berumah tangga tersebut,
dibutuhkan mental, kesiapan dan kerjasama yang erat dalam mempertahankan
perkawinannya. Namun apabila tetap dipertahankan akan menimbulkan mudharat
yang lebih banyak maka diingatkan dalam sebuah hadis:”Sesuatu yang halal
(dibolehkan) yang paling tidak disukai Allah ialah perceraian.”(HR Abu daud
dan ibnu majah)2
Dalam perceraian tidak semudah membalikkan telapak tangan, di situ
terdapat akibat hukum diantaranya masa iddah bagi istri dan hak pemeliharaan
terhadap anak-anak mereka yang belum mumaiyyiz. Salah satu kewajiban orang
tua terhadap anaknya adalah memeliharanya dengan baik dan penuh dengan kasih
sayang. Permeliharaan tersebut biasa bersifat moril ataupun matrill. Kewajiban
tersebut merupakan kewajiban bersama antara suami istri, dan kewajiban tersebut
tidak gugur meskipun keduanya telah putus perkawinannya. Pemeliharaan tersebut
disebut hadhanah.3
Hadhanah merupakan salah satu akibat dari putusnya perkawinan antara
suami dan istri. Hadhanah diartikan memelihara, mendidik, mengasuh, mengatur,
segala kepentinngan atau urusan anak-anak yang belum mumayyiz( belum dapat
membedakan baik dan buruknya sesuatu atau tindakan bagi dirinya).4
2 Satria Evenddi M.Zein, Problematika Hukum Keluarga Islam Konteporer,(Jakarta:
Kencana, 2004),hlm.167 3 Supriatna, Fiqh Munakahat II, (Yogyakarta:Teras),hlm. 80.
4 Tuham,dkk,Fikih Munakahat,(Jakarta:Rajawali Pers,2010),hlm.215.
Dasar hukum hadhanah ialah firman Allah SWT: QS.An. Nisa‟(4):9:
“ Dan hendaklah takut kepada Allah orang-orang yang seandainya
meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah yang mereka khawatir
terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa
kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar”. 5
Dan surat al-anfal(8):27:
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengkhianati Allah dan
RasulNya, dan janganlah kamu mengkhianati amanat-amanat yang dipercaya
kepadamu, sedang kamu mengetahui”.6
Dari keterangan di atas , pada dasarnya kewajiban mengasuh anak adalah
orang tuanya. Namun, apabila perceraian telah terjadi antara suami dan istri yang
telah berketurunan yang berhak mengasuh anak pada dasarnya adalah istri, dan
ibu anak-anak. Apabila ibu anak tidak ada, yang berhak adalah neneknya, yaitu
ibu dari ibu anak dan seterusnya ke atas, apabila tidak ada beralih kepada ibu ayah
dan seterusnya ke atas.7
Apabila kerabat-kerabat tersebut tidak ada, hakim menunjuk siapa yang
akan mengasuhnya. Tertib urutan kerabat mengasuh anak dengan
mempertimbangkan bahwa pendidikan anak adalah amat penting untuk
mempersiapkan hari depan yang baik. Oleh karenanya, diutamakan mana yang
lebih mempunyai perhatian, terhadap hari depan anak dalam ukuran yang normal.
5 An- Nisa‟ ayat 9, Al-Quran dan Terjemahannya, (Departemen Agama RI, Jakarta: Bumi
Restu, 1976), hlm. 77 6 Al-Anfal ayat 27, Al-Quran dan Terjemahannya, (Departemen Agama RI, Jakarta: Bumi
Restu, 1976), hlm, 180 7 Syaikh Hasan Ayyub, Fikih keluarga,(Jakarta:Pustaka Al- Kautsar,1999),hlm.158-159.
Urutan tersebut di atas tidak mutlak sebab yang menjadi titik berat
pertimbangan hadhanah akan berhasilnya pendidikan anak untuk
mempersiapkannya manusia bertabiat shaleh. Hadis Nabi s.a.w. riwayat Ahmad,
Abu Dawud, dan Al-hakim dari Abdullah bin Amr yang mengatakan:
”Engkau(istri) lebih berhak mengasuh anakmu selagi kau belum menikah
dengan laki-laki lain.”Maksud hadis ini, tidak sendirinya apabila ibu anak
menikah dengan laki-laki lain maka hak mengasuh anak berpindah kepada
neneknya (ibunya ibu) sesuai dengan urutan tersebut di atas.
Tangggung jawab dan rasa kasih sayang ayah kepada anak tidak kurang
dari ibu. Oleh karenanya, letak urutan ayah tidak selalu harus selalu jauh seperti
urutan atas.Tidak ada keberatannya apa pun apabila ibu yang lebih berhak
mengasuh anak itu telah kawin dengan laki-laki lain, maka hak mengasuh anak
berpindah kepada ayah. Hal itu sesuai pula dengan hadis Nabi s.a.w. riwayat
Ahmad,Abu Dawud,Turmidzi,Nasai, dan Ibn Majah dari Abu Hurairah yang
menyuruh kepada anak ,”Wahai anak, ini ayahmu dan ini ibumu, pilihlah kepada
siapa engkau akan ikut?” maka, anak itu pun memilih ikut ibunya, kemudian
mengajaknya pulang.8
Menurut riwayat Imam Malik dalam kitabnya Muwatha‟ dari Yahya bin
Sa„id berkata Qasim bin Muhammad bahwa Umar bin Khattab mempunyai
seorang anak, namanya Ashim bin Umar, kemudian ia bercerita. Pada suatu
waktu Umar pergi ke Qurban dan menemui anaknya sedang bermain –main di
dalam masjid. Umar mengambil anaknya dan meletakkan di atas kudanya. Saat
itu juga datanglah nenek si anak, Umar berkata “anakku”.Wanita itu berkata pula
“anakku”. Maka dibawalah perkara itu kepada Abu Bakar. Abu Bakar member
keputusan bahwa anak Umar itu ikut ibunya, dengan dasar di kemukakannya,”
ibu lebih cenderung kepada anak, lebih halus, lebih pemurah, lebih penyantun,
lebih baik dan lebih penyanyang. Ia lebih berhak atas anaknya selama ia belum
kawin dengan laki-laki lain.”9
Dalam hadis juga ada yang menjelaskan bahwa orang yang paling berhak
melakukan hadhanah baik masih terikat dengan perkawinan atau ia dalam masa
8 Ahmad Azhar Basyir, Hukum Perkahwinan Islam,(Yogyakarta:UIn Press 1999,hlm.
101-102. 9 Zakiah,Darajat, Ilmu fiqh,(Jakarta: Dana Bakhti Wakaf,1995),hlm.158-159.
iddah raj‟I,talak bain atau telah habis masa iddah adalah ibu.10
Jika ibu tidak ada,
yang berhak menjadi hadhin adalah ibu dari ibu(nenek) dan seterusnya ke
atas,kemudian barulah ibu dari bapak(nenek dan seterusnya ke atas,) jika pihak
perempuan tidak ada, maka yang melaksanakan hadhanah adalah pihak laki-laki.
Di samping itu anak juga memiliki hak memilih hadhin apakah dengan ibunya,
bapaknya, atau keluarga lainnya.
Dilihat dari keterangan di atas, para ulama berbeda pendapat tentang siapa
yang berhak terhadap hak hadhanah, apakah yang berhak terhadap hadhanah itu
hadhin atau mahdhun(anak). Pengikut mazhab Hanafi, berpendapat bahwa
hadhanah itu hak anak, sedangkan menurut Syafi‟I, Ahmad, sebagian pengikut
mazhab Maliki berpebdapat bahwa hadhinlah yang berhak terhadap hadhanah.
Ulama Hanafi berpendapat bahwa hadhanah adalah haknya hadhin(orang
yang memelihara) karena ia berhak menggunakan haknya meski tanpa pengganti.
Jika hadhanah menjadi hak hadhin, tentunya hadhanah tidak akan gugur
penggugurnya. Pendapat ini juga didukung oleh mazhab Malikiyyah dalam
pendapat yang masyur.
Ulama lain berpendapat bahwa hadhanah adalah hak orang yang di
pelihara. Jika ia menggunakannya maka gugurlah hak hadhanah.
Adapun menurut pendapat ulama yang ahli dalam bidangnya, hadhanah itu
berkaitan dengan tiga hak secara bersamaan yaitu hak orang yang memelihara,
hak orang yang dipelihara dan hak ayah atau yang bertindak sebagai walinya.
Jika ketiganya mampu di gabungkan maka wajib dilakukan. Namun jika
bertentangan maka yang di dahulukan adalah orang yang di pelihara.11
Jika diambil pendapat pertama yang menyatakan bahwa mahdhuun yang
berhak seperti anak dapat menentukan pilihan apakah ia akan anak dididik dan di
pelihara dengan baik atau tidak. Jika ia menginginkannya tentu hal itu baik
baginya, sebaliknya jika ia tidak bersedia dididik oleh hadhin, maka hadhin tidak
berhak memaksanya, karena hadhanah itu hak si anak. Sebaliknya juka di kutip
dari pendapat yang kedua yang menyatakan bahwa hadhanah itu hak mahdhin,
maka hal itu berarti bahwa hadhin mempunyai hak pilih dalam melaksanakan
haknya itu. Sebaliknya juka haadhin tidak bersedia melaksanakan hadhanah itu
10
Syaikh Hasan Ayyub, Fikih Keluarga,(Jakarta:Pustaka Al- Kautsar,1999)hlm.392 11
Wahbah Azzuhaili , Fiqih Islam Waadillatuhu jilid 10,(Jakarta:Gema insane,2011, hlm
60
adalah haknya, ia boleh memilih untuk melakukan atau tidak melakukannya.
Seandainya terjadi demikian maka di khawatirkan anak akan terlunta-lunta
pendidikan dan pemeliharaannya.
Jika diperhatikan maksud ayat-ayat Al Quran dan hadis, maka dipahamkan
bahwa, hadhanah itu disamping hak haadhin. Allah SWT memerintahkan kepada
orang-orang yang beriman agar memelihara keluarganya dari api neraka dengan
mendidik dan memeliharanya agar menjadi orang yang melaksanakan perintah-
perintah Allah dan menjauhi larangannya. Anak termasuk salah satu anggota
keluarga . Jadi terpeliharanya dari api neraka merupakan hak anak yang wajib
dilaksanakan oleh orang tuanya.
Allah SWT berfirman:
“Hai orang-orang Yang beriman, peliharalah diri mu dan keluarga mu dari api
neraka Yang bahan bakarnya adalah manusia dan batu, penjagaan malaikat-
malaikat Yang kasar dan keras yang tidak mendurhakai Allah terhadap apa
yang diperintahnya kepada mereka, dan selalu mengerjakan apa yang
diperintahkan.” 12
Menurut Enakmen Undang-undang Keluarga Islam Malaysia kanak-kanak
ialah orang yang di bawah umur delapan belas tahun. Peruntukan ini terpakai
bagi maksud penjagaan ke atas diri dan harta seseorang sebagaimana peruntukan
berikut:
Bagi maksud penjagaan ke atas diri dan harta, seseorang hendaklah
disifatkan sebagai kanak-kanak melainkan dia telah genap umur delapan belas
tahun.
Peruntukan yang sama maknanya juga disebut dalam seksyen 2, Akta
Penjagaan Kanak-kanak 1961 memberi takrif kanak-kanak sebagai seorang yang
belum mencapai umur dewasa. Seksyen 2(2) menyatakan jika orang itu ialah
islam, dia adalah dewasa apabila dia mencapai umur delapan belas tahun.
12
At tahrim ayat 9
Namun begitu, bagi maksud hak hadhanah, Enakmen Undang-undang
Keluarga Islam menjelaskan bahwa tempoh hak hadhanah tamat setelah kanak-
kanak itu mencapai umur tujuh tahun, jika kanak-kanak itu lelaki dan Sembilan
tahun jika kanak-kanak itu perempuan, melainkan jika peradilan memerintahkan
sebaliknya.
Hak hadinah bagi menjaga seorang kanak-kanak adalah tamat setelah
kanak-kanak itu mencapai umur tujuh tahun, jika kanak –kanak itu laki-laki. Dan
umur Sembilan tahun jika kanak-kanak itu perempuan.Tetapi Mahkamah boleh
atas permohonan hadinah, membenarkan dia menjaga kanak-kanak itu sehingga
kanak-kanak itu mencapai umur Sembilan tahun jika kanak-kanak itu laki-laki dan
umur sebelas tahun jika kanak-kanak itu perempuan.
Ini bermakna kanak-kanak bagi maksud hadhanah hendaklah berumur
tujuh tahun jika kanak-kanak itu laki-laki dan Sembilan tahun jika kana-kanak itu
perempuan. Terdapat persamaan tentang had umur kanak-kanak yang belum
mumayyiz dan termasuk dalam maksud hadhanah di antara hokum syarak dan
enakmen undang-undang keluarga islam Malaysia yaitu antara tujuh hingga
Sembilan tahun. Namun umur dewasa yang ditetapkan Enakmen Undang-undang
Keluarga Islam Malaysia yaitu delapan belas tahun berbeza dengan umur dewasa
yang di tetapkan oleh hukum syarak yaitu sampai baligh. Dalam Undang-undang
Keluarga Islam Malaysia, tidak menggunakan penentuan baligh secara tabi‟I bagi
mengiktiraf bahwa seseorang itu telah baligh atau dewasa. Sebaliknya,penetapan
umur menyeluruh ke atas semua kanak-kanak. Diperuntukkan umur delapan belas
tahun sebagai umur dewasa atau baligh dan ini termasuklah anak tidak sah taraf
dan anak yatim.
Namun realitas yang terjadi di Malaysia, Pengadilan tidak memutuskan
hadhanah kepada ibu sahaja. Tetapi hadhanah juga di beri kepada orang lain
selain ibu yang mana pengadilan melihat kelayakan hadhanah yang ada didalam
diri si penjaga atas faktor-faktor kemaslahatan terhadap anak-anak. Pembahasan
inilah yang penulis ingin kaji secara lebih mendalam dan lebih terperinci, tentang
konsepsi hadhanah dalam pengadilan Agama di Malaysia dengan pandangan
Mazhab Syafi‟I dan mazhab Hanafi tentang hadhanah. Contohnya dalam masalah
kelayakan si pengasuh untuk mendapatkan hak asuh apakah memenuhi syarat
sebagai seorang pengasuh (hadhin). Adapun tujuan penulis memilih untuk
mengkaji mazhab Imam Hanafi ini, karena secara umumnya mazhab Hanafi
seringkali mempunyai perbedaan yang sangat jelas dengan mazhab Syafi‟I .Bukan
hanya itu saja, penulis juga ingin mengkaji sejauh mana mazhab Syafi‟i telah
dijadikan dasar atau sumber utama terhadap perlembagaan Peradilan Agama di
Malaysia.
Dengan demikian penulis bermaksud meneliti tentang konsepsi hadhanah
mengikut undang- undang keluarga Islam Malaysia dan meneliti pendapat mazhab
Hanafi serta mazhab Syafi‟I mengenai hak hadhanah.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka yang menjadi permasalahan
dalam penelitian ini adalah:
1. Apa konsepsi hadhanah menurut Undang-undang keluarga Islam
Malaysia?
2. Bagaimana pemikiran Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟I tentang
hadhanah?
3. Apakah persamaan dan perbedaan hadhanah menurut Mazhab Hanafi dan
mazhab Syafi‟i?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini adalah:
1. Untuk mengetahui konsepsi hadhanah dalam Undang-undang keluarga
Islam di Malaysia. Yang mana mazhab Syafi‟I sebagai dasar atau
sumber hukum di Malaysia.
2. Untuk mengetahui pandangan mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟I
tentang hadhanah.
3. Untuk memahami persamaan serta perbedaan hukum hadhanah menurut
mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟i.
D. Tinjauan Pustaka
Dalam rangka mendukung tujuan penelitian skripsi ini, penulis mencoba
mengembangkan tulisan ini dengan didukung oleh tulisan-tulisan dari penulis lain.
Adapun beberapa penelitian tentang Hadhanah yang lainya, yaitu:
Najibah Mat Zain membahas “Undang-Undang Keluarga Islam”. Dalam
bab hadhanah, peneliti menyimpulkan bahwa hadhanah menjadi salah satu
masalah yang sering ditimbulkan oleh pasangan yang berpoligami, bercerai
ataupun jika salah seorang dari suami istri tersebut ada yang meninggal. Oleh
karena itu, menurut Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia, hak asuh anak
akan diputuskan oleh hakim Pengadilan Agama menurut ketentuan peraturan
daerah dan mengikut adat masyarakat melayu setempat.
Fiqhul Islami Wa Adillatuhu oleh Doktor Wahbah Az-Zuhaili,membahas,
“Hukum Hadhanah”. Penelitian ini menceritakan perbandingan antara mazhab-
mazhab dan kelayakan orang yang berhak mendapat hak asuh anak dalam islam.
Zakiah Derajat dalam bukunya Ilmi Fiqh jilid 2 yang membahas tentang
hadhanah. Zakiya Derajat mengungkapkan bahwa hadhanah merupakah pendidik
dan pemeliharaan anak sejak dari lahir sampai sanggup berdiri sendiri mengurus
dirinya yang dilakukan oleh kerabat anak itu. Dijelaskan juga, yang berhak
mengasuh anak haruslah orang yang mempunyai kasih sayang lebih yaitu
perempuan atau istri. Selain itu dalam bukunya terdapat pendapat mazhab Hanafi
yang mengemukakan hadhanah adalah hak anak dan mazhab Syafi‟I berpendapat
hadhanah adalah hak hadhin.13
E. Metode Penelitian
1.Jenis Penelitian.
Jenis penelitian ini adalah penelitian kepustakaan yaitu suatu bentuk
penelitian yang sumber dtanya di peroleh dari data-data kepustakaan. Penelitian
ini di fokuskan untuk menelusuri dan menelaah literature-literatur dan bahan-
bahan pustaka lainnya yang relevan dengan masalah-masalah yang diangkat.
Data-data akan dikumpulkan dan dikelompokan sesuai dengan model pendekatan
yang dipilih.
2.Jenis Data Dan Sumber Data
Jenis data dalam penelitian ini bersifat kualitatif yaitu jenis data yang
berupa pendapat, konsep atau teori yang menguraikan dan menjelaskan masalah
yang berkaitan hak asuh anak menurut Mazhab Hanafiyah dan Syafi‟iyah
bersumber kitab-kitab utama di dalam mazhabnya. Di antaranya ialah kitab Al-
Hidayah karangan Imam Al-Marghinani. Begitu juga dengan Pengadilan Agama
13
Zakiyah Derajat,Ilmu Fiqh,(Jakarta:Dana Bhakti Wakaf,1995,)hlm.158
Malaysia yaitu Undang-Undang Keluarga Islam di Malaysia karangan Najibah Md
Zain. Sumber data yang diambil dalam penelitian ini terdiri dari dua macam, yaitu
data primer dan sekunder. Data primer merupakan data pokok yang bersumber
yang bersumber dari buku-buku seperti Jurnal Hukum, fiqih empat mazhab dan
lain-lain.
3.Teknik Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini akan dikumpulkan melalui studi kepustakaan
yakni dengan cara membaca , menelaah buku-buku yang berkaitan dengan
masalah penelitian dan mencatatnya.
4.Teknik Analisis Data
Data yang telah dikumpulkan, dianalisis secara deskriptif kualitatif dan
komperatif.Yaitu menguraikan seluruh permasalahan yang ada dengan jelas dan
dikemukakan perbedaan dan persamaan tersebut. Kemudian ditarik kesimpulan
secara deduktif, yakni menarik suatu simpulan dari penguraian bersifat umum
ditarik ke khusus. Sehingga penyajian hasil penelitian ini dapat dipahami dengan
mudah.
F. Sistematika Penulisan
Untuk memberikan gambaran secara umum dan mempermudahkan
pembahas, maka penulis membagi pembahasan dalam beberapa bagian yang
terdiri dari:
BabI: Pendahuluan yang memuat beberapa sub bab, yaitu latar belakang
masalah,perumusan masalah, tujuan penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II: Tinjauan umum tentang hadhanah,terdiri dari: pengertian
hadhanah, dasar-dasar hukum tentang hadhanah, rukun , syarat dan sebab
terjadinya hadhanah.
Bab III: Sejarah perkembangan Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi,I
Bab IV: Analisis terhadap hak hadhanah terdiri dari :analisis terhadap
pemikiran mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟I serta konsepsi hadhanah didalam
undang-undang keluarga Islam Malaysia.
Bab V: Penutup, terdiri dari kesimpulan, saran-saran dan kata penutup.
Kemudian pada akhir skripsi terdiri dari daftar pustaka, dan daftar riwayat hidup.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG HADHANAH
A.Pengertian Hadhanah
Secara etimologi, hadhanah berasal dari akar bahasa Arab ضن يحضن حضنا-ح
yang berarti mengasuh,merawat,memeluk. Selain kata dasar tersebut, menurut
Sayyid Syabiq dasar dari kata hadhanah dapat disandarkan pada kata al-hidn yang
berarti rusuk, lambung sebagaimana dinyatakan dalam sebuah uraian14
yang
artinya adalah “Burung itu mengempit telur dibawah sayapnya begitu pula dengan
perempuan (ibu) yang mengempit anaknya sedangkan secara terminology, para
tokoh islam memberikan berbagai definisi berkenaan dengan arti hadhanah. Salah
satu pengertian hadhanah tersebut diberikan oleh Sayid Sabiq yang mengartikan
hadhanah sebagai melakukan pemeliharaan anak-anak yang masih kecil, laki-laki
atau perempuan atau yang sudah besar, tetapi belum tamyiz,atau yang kurang
akalnya, belum dapat membedakan antara yang baik dan buruk, belum mampu
dengan bebas mengurus diri sendiri dan belum tahu mengerjakan sesuatu untuk
kebaikannya dan memelihara dari sesuatu yang menyakiti dan membahayakannya,
mendidik serta mengasuhnya, baik fisik maupun mental atau akalnya agar mampu
menempuh tantangan hidup serta memikul tanggung jawab.
Di samping pengertian di atas, Muhammad Syarbani, dalam kitab al-Iqna,
mendefinisikan hadhanah sebagai usaha mendidik atau mengasuh anak yang
belum mandiri atau mampu dengan perkara-perkaranya yaitu dengan sesuatu yang
baik baginya, mencegahnya dari sesuatu yang membahayakannya walaupun dalam
keadaan dewasa yang gila seperti mempertahankan dengan memandikan
badannya, pakaiannya, menghiasinya, member minyak padanya, dan
sebagainya.15
Sesuatu yang pemeliharaan dalam hal ini meliputi berbagai hal,
masalah ekonomi, pendidikan, dan segala menjadi kebutuhan anak. Dalam konsep
islam, tanggung jawab ekonomi berada di pundak suami sebagai kepala rumah
tangga, meskipun dalam hal ini tidak menutup kemungkinan bahwa istri dapat
membantu suami dalam menanggung kewajiban ekonomi tersebut karena itu yang
terpenting adalah adanya kerja sama dan tolong- menolong antara suami istri
dalam memelihara anak dan menghantarkannya hingga anak tersebut dewasa.
14
As Sayyid Sabiq Muhammad,2005, Fiqh Sunnah di terjemah oleh Nor Hasanuddin
Aisyah Saipudin Malaysia: Al hidayah, hlm. 160 15
Syarbani Muhammad,Al-Iqna,Beirut, Dar Alfikr, hlm,489
Menurut ahli fiqh sebagaimana dikutip oleh Abu Bakar al Jabir,
memberikan arti hadhanah sebagai usaha memelihara anak dari segala macam
bahaya yang mungkin menimpanya, menjaga kesehatan jasmani maupun
rohaninya, mengusahakan pendidikannya hingga ia sanggup berdiri sendiri
menghadapi kehidupan sebagai seorang muslim.
B. Dasar Hukum Hadhanah
1.Al-Quran
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa pemeliharaan anak merupakan
tanggung jawab kedua orang tuanya(suami istri). Untuk masalah biaya
pemeliharaan dan pendidikan anak merupakan tanggung jawab ayahnya,(suami),
sedangkan hak memelihara terletak di tangan istri seperti halnya firman Allah
SWT :
16
Isteri-isteri kamu adalah sebagai kebun tanaman kamu, oleh itu datangilah kebun
tanaman kamu menurut cara Yang kamu sukai dan sediakanlah (amal-amal Yang
baik) untuk diri kamu; dan bertaqwalah kepada Allah serta ketahuilah
Sesungguhnya kamu akan menemuiNya (pada hari akhirat kelak) dan berilah
khabar gembira Wahai Muhammad) kepada orang-orang Yang beriman.
Ayat di atas menganjurkan kedua orang tua untuk memperhatikan anak-
anaknya maka kewajiban suami, selain menjadi kepala keluarga imam dalam
rumah tangganya, juga berkewajiban memenuhi kebutuhan istri dan anak-
anaknya.
2.Hadith
Mengasuh anak-anak yang masih kecil hukumnya adalah wajib, sebab
mengabaikannya berarti menghadapkan anak- anak yang masih kecil kepada
16
Al- Baqarah, ayat 233, hlm, 37.
bahaya kebinasaan. Dalam hal pemeliharaan anak(hadhanah), nabi menunjuk
ibulah yang paling berhak memelihara anak sesuai dengan sabdanya yang berarti:
Seorang wanita datang menemui Rasulullah s.a.w. lalu berkata: Wahai
Rasulullah sesungguhnya perutkulah yang dahulu menjadi tempat anakku ini(saat
dalam usia kandungan),lalu air susukulah yang menjadi asupannya(dalam usia
penyusuan) dan pangkuankulah tempat tumpuannya. Sesungguhnya kini ayah
anak ini telah menthalakku dan ingin mengambil anak ini dari asuhanku
bagaimana menurut tuan ? Lalu nabi bersabda: engkau lebih berhak mengasuh
anak ini sebelum engkau bersuami lagi. Kandungan dari hadith di atas
menunjukkan apabila terjadi perceraian antara suami istri dan meninggalkan anak,
sela ibunya belum menikah lagi, maka ibu di utamakan untuk mengasuhnya,
sebab ibu lebih mengetahui dan lebih mampu mendidik anak-anaknya.17
C. Syarat-Syarat Hadhanah
Bagi seorang hadhinah(pengasuh) yang menangani dan menyelenggarakan
kepentingan anak kecil yang asuhnya yaitu adanya kecukupan dan kecakapan
yang memerlukan syarat-syarat tertentu. Jika syarat-syarat tertentu ini tidak di
penuhi satu saja maka gugurlah kebolehan menyelenggarakan
hadhanahnya.Adapun syarat-syaratnya itu adalah: berakal sehat,dewasa(baligh),
mampu mendidik, amanah dan berbudi, islam, keadaan wanita(ibu) belum kawin,
merdeka.18
Adapun lebih jelasnya syarat-syarat hadhanah di atas adalah sebagai
berikut: Pertama mestilah berakal sehat,jadi bagi orang yang kurang akal atau gila,
keduanya tidak sah dan tidak boleh menangani hadhanah karena mereka tidak
dapat mengurusi dirinya sendiri, sebab orang yang kurang akal dan gila tentulah ia
tidak dapat mengurusi dirinya dan orang lain.19
Syarat kedua adalah
dewasa(baligh), bagi anak kecil tidak ada hak untuk menjadi hadhinah(pengasuh),
karena ia sendiri masih membutuhkan wali, sedangkan hadhinah seperti wali
dalam perkawinan maupun harta benda. Adapun untuk mengetahui orang yang
sudah sampai umur dewasa itu dapat diketahui dengan salah satu tanda sebagai
berikut:
17
Abdurrahim, Abu Nafis, Fiqh Wanita Empat Mazhab,Khazanah Intelektual 2010, hlm,
351. 18
Ahnan, Mahtuf, Risalah Fikih Wanita, (Surabaya,terbitan terang) hlm, 385. 19
As Sayyid, Sabiq Muhammad, 2005, Fiqh Sunnah di terjemah oleh Nor Hasanuddin
Aisyah Saipudin Malaysia: Al hidayah, hlm. 166
a) Telah berumur 15 tahun atau sudah keluar mani
b) Be rmimpi bersetubuh
c) Mulai keluar haid bagi perempuan
Adapun syarat ketiga, mampu mendidik, tidak boleh menjadi pengasuh
bagi orang yang buta atau rabun, sakit menular atau sakit yang melemahkan
jasmaninya untuk mengurus kepentingannya(anak), tidak berusia lanjut yang
bahkan ia sendiri perlu diurus, bukan orang yang mengabaikan urusan rumah
tangga sehingga merugikan anak kecil yang diasuh atau bukan orang yang
ditinggal bersama orang yang sakit menular atau bersama orang yang suka marah
kepada anak-anak, sekalipun kerabat anak kecil itu sendiri, sehingga akibat dari
kemarahannya itu tidak bisa memperhatikan kepentingan anak secara sempurna
dan menciptakan suasana tidak baik bahkan bisa-bisa sifat yang semacam itu
tertanam dalam sifat anak.
Syarat keempat, amanah dan berbudi, maksudnya adalah dapat dipercaya
pemeliharaan dan pendidikannya terhadap anak yang di pelihara. Oleh sebab
itu,bagi hadhinah (pengasuh) yang khianat tidak boleh diberi beban untuk
memelihara anak. Amanah ialah menahan diri dari melakukan sesuatu yang tidak
halal dan tidak terpuji. Dengan demikian jika seorang tidak memiliki jiwa amanah
maka ia tidak memiliki hak untuk memelihara atau mengasuh anak. Khianat
adalah tidak melaksanakan sebagaimana mestinya apa-apa yang dipercayakan
baik dengan jalan menyalahi maupun mengabaikannya sehingga rusaklah apa
yang dipercayakan(amanah-kan) itu. Tidaklah sah lagi bagi hadhinah(pengasuh)
yang khianat karena bisa menjadikan terlantarnya anak dan bahkan nantinya anak
dapat meniru atas kelakuan seperti orang yang curang.
Syarat kelima mestilah islam, anak kecil muslim tidak boleh diasuh oleh
pengasuh yang non-muslim sebab hadhinah merupakan masalah perwalian,
sedangkan Allah SWT tidak memperbolehkan orang mukmin di bawah perwalian
orang kafir sebagaimana firman Allah SWT dibawah ini:
20
(Mereka Yang munafik itu ialah) orang-orang Yang sentiasa menunggu-nunggu
(berlakunya sesuatu) kepada kamu; maka kalau kamu mendapat kemenangan dari
Allah (dalam sesuatu peperangan), berkatalah mereka (kepada kamu): "Bukankah
Kami turut berjuang bersama-sama kamu? (oleh itu Kami juga berhak menerima
bahagian dari harta rampasan perang)". dan jika orang-orang kafir pula
mendapat bahagian (yang menguntungkan Dalam peperangan), berkatalah
mereka (kepada orang-orang kafir itu): "Bukankah Kami turut membantu kamu
dan mempertahankan kamu dari (serang balas) orang-orang Yang beriman
(dengan mendedahkan rahsia perpaduannya)?" maka Allah akan menghakimi di
antara kamu semua pada hari kiamat; dan Allah tidak sekali-kali akan memberi
jalan kepada orang-orang kafir untuk membinasakan orang-orang Yang beriman.
Jadi hadhanah seperti perwalian dalam perkawinan atau harta benda dan
juga di takutkan bahw anak kecil yang di asuhnya itu akan dibesarkan dengan
agama pengasuhnya, di didik dengan agamanya. Hal ini merupakan bahaya yang
paling besar bagi anak tersebut, diriwayatkan juga dalam sebuah hadith yang
mana huraian dari hadith tersebut diceritakan oleh Rafi‟ bin Sinan bahwasanya ia
masuk islam tetapi istrinya enggan masuk islam, maka Rasulullah SAW
mendudukkan ibu di satu pojok dan bapak di satu pojok dan anak didudukkan
diantara keduanya, lalu anak itu condong kepada ibunya, maka Nabi bersabda
wahai Tuhan berilah hidayah kepadanya, lalu anak itu condong kepada bapaknya,
lalu bapaknya mengambil anak itu”.
Berdasarkan nash-nash di atas dapat di tarik suatu kesimpulan bahwa
seorang hadhinah yang kafir tidak boleh memelihara anak Muslim, karena
masalah agama di sini sangat penting. Adapun syarat keenam keadaan wanita
tersebut tidak bersuami. Tetapi jika wanita itu berkawin dengan laki-laki lain yang
masih dekat kerabatnya dengan si anak kecil tersebut, seperti paman dari
ayahnya,maka hadhanahnya tidak hilang, karena paman itu masih berhak atas
masalah hadhanah dan juga karena hubungannya dan kekerabatannya dengan anak
kecil tersebut sehingga dengan begitu akan bisa bersikap mengasihi serta
memperhatikan haknya, maka akan terjalinlah hubungan yang sempurna di dalam
menjaga si anak kecil itu, antara ibu dengan suami yang baru.
20
An nisa‟(5): hlm,141
Merdeka adalah syarat ketujuh, sebab seorang budak biasanya sangat sibuk
urusan-urusan dengan tuannya, sehingga ia tidak ada kesempatan untuk mengasuh
anak kecil, maka yang terjadi adalah terlantarnya asuhan karena bagaimanapun
sang budak harus bekerja dan mengabdi pada tuannya. Ketidak optimalan
pengasuhan terhadap anak, akan terjadi tidak sempurnanya pemeliharaan atau
asuhan sebagaimana mestinya.
D. Batas Umur Hadhanah
Sebagaimana telah kita ketahui bahwa yang dimaksud dengan hadhanah
adalah kegiatan mengasuh, memelihara dan mendidik anak hingga dewasa dan
mampu berdiri sendiri. Dari pengertian hadhanah tersebut telah dapat dipahami
bahwa masa atau batas umur hadhanah adalah bermula dari saat ia lahir yaitu saat
di mana atas diri seorang anak mulai memerlukan pemeliharaan, perawatan
maupun pendidikan, kemudian berakhir bila si anak tersebut telah dewasa dan
dapat berdiri sendiri, serta mampu mengurus sendiri kebutuhan jasmani maupun
rohaninya.
Ketentuan yang jelas mengenai batas berakhirnya masa hadhanah tidak
ada, hanya saja ukuran yang dipakai adalah tamyiz dan kemampuan untuk berdiri
sendiri. Jika anak telah dapat membedakan mana sebaiknya yang perlu
dilaksanakan dan mana yang perlu ditinggalkan, tidak membutuhkan pelayanan
perempuan dan dapat membutuhi kebutuhan pokoknya sendiri, maka masa
hadhanah adalah sudah habis atau selesai.21
Menurut ulama‟ Syafi‟iyyah:”Masa pemeliharaan anak (hadhanah)
tidak ditentukan, akan tetapi anak kecil tetap pada ibunya sampai tamyiz dan
mampu memilih salah satu dari kedua orang tuanya. Maka ketika ia sampai pada
usia dapat memilih, ia disuruh memilih antara ibu atau ayahnya, apabila anak laki-
laki memilih ibu, maka ia tinggal bersama ibunya di malam hari dan pada ayahnya
di siang hari. Yang demikian itu agar terjamin pendidikannya. Apabila anak
perempuan memilih ibunya maka baginya tinggal bersama ibunya di malam hari
maupun siang hari. Apabila anak kecil itu memilih tinggal bersama ayah ibunya,
maka diundi di antara mereka. Dan apabila ia diam tidak memilih salah satu dari
mereka maka ia berada pada ibunya.”22
21
As Syyid Sabiq Muhammad,1983, Fiqh Sunnah,(Malaysia,Al-Hidayah), hlm, 173. 22
Jawad, Muhammad,Mugniah Al Ahwal Ashakhsiah, Beurut,2013,hlm, 417.
Menurut ulama‟ Hanafiyyah: Masa hadhanah itu tujuh tahun bagi anak
laki-laki dan sembilan tahun bagi anak perempuan.
Menurut ulama‟Malikiyyah:” Masa hadhanah itu mulai anak lahir sampai
baligh dan bagi anak perempuan sampai ia kawin”
Menurut ulama‟ Hanabillah: “Masa hadhanah itu tujuh tahun bagi anak
laki-laki dan anak perempuan,dan sesudahnya anak itu disuruh memilih di antara
kedua orang tuanya. Maka ia bersama dengan orang yang ia pilih dari mereka.”23
Dari pendapat beberapa ulama di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan
bahwa masa hadhanah itu mulai sejak lahir dan berakhir apabila anak sudah
dewasa dan mampu berdiri sendiri serta mampu mengurusi sendiri kebutuhan
pokoknya. Jadi dalam hal ini adanya perbedaan pendapat hanyalah mengenai
batasan dewasa(mampu berdiri sendiri) dan batasan usia tamyiz. Mereka berbeda
pendapat mengenai hal ini karena memang tinkat kedewasaan dan kemampuan
berdiri sendiri serta usia tamyiz semestinya tidak bisa ditentukan.
Secara pasti dengan menggunakan standar usia, mengingat banyaknya
faktor yang dapat mempengaruhinya, seperti pendidikan, kebiasaan, lingkungan
dan sebagainya. Kesimpulan lain yang dapat penulis petik dari pendapat tersebut
adalah bahwa dalam hal terjadinya penceraian, maka hadhanah terbagi menjadi
dua bagian, yaitu sebelum tamyiz, dimana bagi seorang anak ibunyalah yang
berhak untuk menangani masalah hadhanah selama ibunya belum menikah dengan
orang lain. Dan setelah anak tersebut tamyiz sampai ia dewasa, atau mampu
berdiri sendiri. Dalam usia tamyiz itulah bagi diri si anak mempunyai hak
kebebasan untuk memilih antara ikut ayah atau ibunya, karena dalam usia
tersebut, anak sudah mempunyai kecenderungan untuk memilih siapa yang lebih
ia senangi. Hal tersebut berdasarkan apa yang pernah dilakukan Rasulullah SAW
di dalam sebuah hadis yang diriwayatkan bahwa suatu ketika datang seorang
wanita kepada Rasulullah SAW lalu berkata: wahai Rasulullah, suamiku hendak
membawa pergi anakku, padahal dialah yang biasa mengambilkan air untukku
dari sumur Abu Uthbah dan dia benar-benar member manfaat padaku. Bagaimana
ini? Nabi s.a.w. lalu berkata kepada sang anak: ini ayahandamu dan ini ibundamu.
Maka peganglah tangan siapa diantara keduanya yang enkau kehendaki, ternyata
23
Ibid, hlm, 417.
anak tersebut lalu memilih memegang tangan ibundanya, sehingga ibundanya pun
lantas membawa anak tersebut.24
Dari hadith tersebut dapat diambil kesimpulan bahwa masa
hadhanah(pemeliharaan anak) yang belum mumayyiz menjadi kewajiban bagi ibu
selagi belum menikah lagi. Apabila anak tadi sudah mumayyiz, maka diberi
kebebasan untuk memilih di antara keduanya (ayah\ibu), siapa baginya yang
merasa dapat memelihara,member keamanan, dan mengayomi baginya (anak).
E.Urutan Orang yang Berhak Hadhanah
Pengasuhan di samping hak dari anak asuh juga merupakan hak dari
pengasuh. Anak asuh berhak mendapatkan pengasuhan dari pengasuhnya karena
ia memerlukan pemeliharaan, bimbingan, petunjuk, pelajaran dan sebagainya yang
sangat di perlukan untuk menghadapi kehidupan terutama sebagai seorang muslim
pada masa yang akan datang. Demikian pula halnya pengasuh ia berhak atas
pengasuhan anak asuhnya karena ia termasuk orang yang menginginkan
kebahagiaan dan kemaslahatan anaknya pada masa yang akan datang. Sebagian
ahli Fiqh berpendapat bahwa pengasuhan anak yang paling baik adalah apabila
dilaksanakan oleh kedua orang tuanya yang masih terikat oleh tali perkawinan.25
Apabila kedua orang tuanya sudah bercerai maka dikembalikan pada
peraturan yang ada. Dalam hadhanah ibu adalah orang yang pertama kali
mempunyai hak. Dalam hal tersebut dapat dimaklumi, karena pada diri seorang
ibu terdapat sifat-sifat tertentu yang pada umumnya tidak dimiliki oleh seorang
ayah, atau setidaknya para ibu memiliki kelebihan dari sifat-sifat tertentu, di
bandingkan dengan yang ada pada diri seorang ayah. Sifat-sifat yang penulis
maksudkan adalah seperti sifat perasa, halus, lembut, kasih sayang, lebih mesra,
dan sabar.
Tugas mengasuh lebih diutamakan pada ibunya sampai anak itu
mumayyiz. Setelah anak mumayyiz maka anak tersebut diserahkan kepada pihak
yang lebih mampu, baikdari segi ekonomi maupun dari segi pendidikan diantara
keduanya. Jikalau keduanya mempunyai kemampuan yang sama maka anak itu
diberi hak untuk memilih yang mana diantara kedua antara ibu dan ayahnya yang
ia sukai untuk tinggal bersama. Atas dasar inilah, maka para ahli fiqh
24
Abdurrahim, Abu Nafis,2010, Fiqh Wanita Empat Mazhab,khazanah intelektual, hlm,
352 25
Mukhtar, Kamal, 1974, Asas-asas HukumIslam tentang perkahwinan(Jakarta:Bulan
Bintang) hlm, 131
memperlihatkan bahwa kerabat ibu lebih didahulukan daripada kerabat ayah
dalam menangani masalah hadhanah.
Berikut ini pendapat beberapa ahli fikih mengenai urutan orang-orang yang
berhak dalam hadhanah, dengan ketentuan apabila orang yang menepati urutan
terdahulu terdapat suatu halangan yang mencegahnya dari hak hadhanah, maka
hak tersebut berpindah kepada orang yang menepati urutan yang berikutnya.
Menurut Ulama‟ Syafi‟iyyah: “Ibu, kemudian ibunya ibu, seterusnya
hingga ke atas dengan syarat mereka itu ada hubungan waris, kemudian ayah,
kemudian ibunya ayah, selanjutnya kerabat dari pihak ibu, dan kemudian disusuli
kerabat dari pihak ayah.
Menurut Ulama‟ Hanafiyyah: “Pindahnya hak hadhanah dari ibu kepada
ibunya ibu, kemudian ibuya ayah, kemudian saudara perempuan sekandung,
kemudian saudara perempuan seibu, kemudian saudara perempuan seayah,
kemudian anak perempuan saudara perempuan seibu demikian itu hingga sampai
kepada bibi(dari ibu) dan bibi(dari ayah).
Menurut Ulama‟ Malikiyyah: “Pindahnya hak hadhanah dari ibu kepada
ibunya ibu, jika tidak ada kemudian bibi dari ibu sekandung kemudian dari ibu
yang seibu, kemudian bibinya ibu dari arah ibu, kemudian bibinya ibu dari ayah,
kemudian ibu ibunya ayah, kemudian ibunya ayahnya ayah dan seterusnya.26
F. Upah Hadhanah(Mengasuh Anak)
Ibu tidak berhak atas upah hadhanah, seperti upah menyusui, selama ia
masih menjadi istri dari ayah anak kecil itu, atau selama masih dalam iddah.
Karena dalam keadaan tersebut ia masih mempunyai nafkah sebagai istri atau
nafkah masa iddah.27
Allah SWT berfirman: di dalam surah at Thalaq ayat 6. Ayat tersebut
menerangkan bahwa bagi perempuan selain ibunya, boleh menerima upah
hadhanah sejak saat menangani hadhanah anak tersebut, seperti halnya perempuan
26
Jawad, Muhammad,Mughniah Al Ah wal Ashakhsiah,2013(Beirut: Dar Al-Ilmi
Almalaliyyah), hlm, 415. 27
Abdul Rahman,:2012 , Fiqh Munakahat Indonesia Kencana, hlm, 186
penyusu yang bekerja menyusui anak kecil dengan bayaran (upah). Kemudian
juga dapat kita pahamkan bahwa ayahlah yang wajib membayar upah
penyusuan(berdasarkan ayat tersebut di atas), maka begitu pula halnya dengan
upah hadhanah yaitu menjadi kewajiban ayah.
Berikut ini pendapat ulama‟ mengenai upah hadhanah:
Menurut Ulama‟ Syafi‟iyyah:
Bagi hadhinah(orang yang merawat atau mengasuh anak) berhak mendapat
upah atas pekerjaannya (melakukan hadhanah) atau selainnya.
Menurut Ulama‟ Hanafiyyah:
Pengasuh wajib memperoleh manakala sudah tidak ada lagi ikatan antara
ibu dan ayah si anak, dan tidak pula dalam masa iddah dalam talak raj‟i.
Demikian pula halnya bila ibunya berada dalam keadaan iddah dari talak bain atau
fasakh nikah yang masih berhak atas nafkah dari ayah si anak. Upah bagi orang
yang mengasuh wajib diambilkan dari harta si anak bila dia mempunyai harta dan
bila tidak, upah itu menjadi tanggungan orang yang berkewajiban memberi nafkah
padanya.28
28
Jawad, Muhammad,Mugniah Al Ahwal Ashakhsiah, Beurut,2013,hlm, 418
BAB III
SEJARAH PERKEMBANGAN MAZHAB HANAFI DAN
MAZHAB SYAFI’I SERTA SEJARAH PELAKSANAAN
UNDANG-UNDANG ISLAM DI MALAYSIA
A. Mazhab Hanafi
1. Kelahiran Imam Hanafi
Imam Abu Hanifah merupakan salah seorang imam yang empat dalam
islam.Ia lahir dan meninggal lebih dahulu daripada para imam yang lain. Imam
Hanafi lahir di kota Kufah pada tahun 80H(699 M). Nama sebenar beliau ialah
Nu‟man bin Tsabit bin Zauth bin Mali. Ayah beliau berketurunan dari bangsa
parsi yang sudah menetap di Kufah. Beliau diberi gelar Abu Hanifah, karena di
antara putranya ada yang bernama Hanifah. Ada lagi menurut riwayat lain beliau
bergelar Abu Hanifah, karena begitu taatnya beliau beribadah kepada Allah,
karena Hanif di dalam bahasa arab bermaksud condong atau cenderung kepada
yang benar. Menurut riwayat lain pula, beliau diberi gelar Abu Hanifah karena
begitu dekatnya beliau dengan tinta, karena Hanif bermaksud tinta dalam bahasa
Iraq. Mazhab Hanafi lahir di bandar Kufah, Iraq. Pada masa zaman khalifah al-
Rasyidin, pemerintah Khalifah Umar telah menghantar seorang sahabat Rasulullah
s.a.w bernama Abdullah bin Mas‟ud, juga dikenali juga sebagai seorang periwayat
hadith yang masyhur, bahkan seorang yang banyak mengetahui tentang hukum
fiqh.Di antara para sahabat Rasulullah s.a.w, Ibn Mas‟ud mempunyai aliran
perundangan tersendiri, selain daripada Ibn Abbas, Ibn Umar dan Ibn „Amr.
2. Pendidikan
Beliau sempat belajar dengan beberapa orang sahabat Nabi Muhammad
s.a.w. termasuklah Anas bin Malik ,Abdullah bin Abi Aufa, Sahal bin Abi Saad,
Abdullah bin Al-Harith dan Abdullah bin Anas. Kecintaan beliau terhadap ilmu
telah membawa beliau untuk menuntut ilmu dengan 200 orang ulama termasuk
para sahabat dan tabiin. Ilmu yang di pelajari beliau termasuklah ilmu tauhid,
ilmu al-Quran, dan ilmu hadis selain mahir dalam bidang sastera. Beliau pernah
berguru dengan Hamad bin Sulaiman selama 20 tahun sebelum mengambil alih
tempat gurunya itu setelah gurunya itu meninggal dunia. Beliau banyak
menghabiskan masa di masjid untuk menyampaikan ilmu pengetahuan terutama
berkenaan bidang agama kepada orang ramai. Beliau juga terkenal dengan
kebijaksanaan beliau dalam membezakan hadith sahih dan juga sebaliknya karena
beliau sangat berhati-hati dalam menentukan sesuatu hukum mengikut martabat
hadith. Imam Abu Hanifah terkenal sebagai ahli fikir dalam islam karena
menggunakan akal fikirannya dalam memutuskan sesuatu hukum apabila sesuatu
hukum tidak terdapat di dalam al-Quran. Berbekalkan kebolehan yang dimiliki
beliau, beliau berjaya menyusun ilmu-ilmu berkenaan hokum fiqh sehingga
menjadi bab-bab seperti yang terdapat pada masa kini dan beliau merupakan
ulama pertama yang menyusun kitab fikah secara tersusun mengikut bab dan
fasal.
Beliau juga menyusun kitab “Al-Faraid”(harta pusaka) dengan lengkap.
Cara pemikiran beliau mempengaruhi anak-anak muridnya yang menyebarkan
ilmu mengikut aliran pendapat melalui kuliah dan penulisan. Beliau acapkali
menegah murid- muridnya bertaklid tetapi menggalakkan menggunakan akal
fikiran mengenai sesuatu hukum dan menegah umat islam beramal dengan
perkara-perkara bidaah dalam ibadat.
3. Pemikiran
Maksud pemikiran ahli ra‟yi ialah pemikiran yang berasaskan logikal dan
analogi, berbanding pemikiran berasaskan sumber nash. Lawan kepada pemikiran
aliran ahli al-ra‟yi adalah ahli al-hadith. Ahli al-hadith lebih menggunakan sumber
daripada sirah dan sejarah Rasulullah berbanding mengutamakan penggunaan
interpretasi akal. Antara sebab yang dilihat mengapa Imam Abu Hanifah lebih
banyak menggunakan kaidah qiyas dan istihsan(perubahan hukum) ialah karena
kedudukannya di Kufah adalah jauh dengan Mekah dan Madinah yang merupakan
pusat pengajian Sunnah dan Hadith Rasulullah. Oleh karena itu, menurut kaidah
Imam Abu Hanifah, seandainya terdapat dalil yang kurang diyakini datang
daripada Rasulullah, beliau lebih mengutamakan qiyas, atau kaidah analogi.
Kaidah analogi ialah melakukan persamaan antara hokum bagi perkara
baru yang tidak disebutkan oleh nash(al-quran atau hadith) berasaskan hukum
perkara yang disebut oleh nash karena terdapat persamaan „llah antara kedua-dua
kes tersebut. Qiyas bukan mencari persamaan hukum moden dengan hukum
zaman dahulu. Tapi mencari persamaan hukum moden, dengan „illah daripada
dalil. Qiyas perlu „illah daripada dalil, bukan dari hukum hasil ijtihad. Madzhab
Hanafi mempolopori aliran tersendiri dalam ushul fiqh, bahkan menjadi pelopor
kepada kaidah fiqhiyyah sebelum madzhab lain mengikutinya. Bahkan majoriti
sarjana aliran Hanafi mendakwa Imam Hanafi terlebih dahulu menulis buku
tentang Ushul Fiqh sebagai disiplin ilmu sebelum karya agung Imam al-Syafi‟I,
al-Risalah, tetapi ini gagal di buktikan karena tidak ada bukti kuat.
Apapun,aliran Hanafiyah mempunyai pendekatan berbeda dengan aliran
majoritas sarjana ushul fiqh. Aliran ini menggunakan hukum cabang dan pendapat
Imam Abu Hanifah lantas menjadikannya sebagai teori yang boleh menjadi asas
kepada penyelidikan yang baru. Kaidah ini adalah kaidah induktif iaitu
mengumpulkan bukti-bukti untuk mencipta teori umum. Berasaskan teori ini, Ibn
Khaldun menganggap kaidah Hanafiyah sebagai praktikal dan lebih mudah
difahami berbanding teori Ushul Fiqh aliran Syafi‟iyah dan
mutakallimun(termasuklah aliran muktazilah),walaupun majoritas sarjana Ushul
Fiqh tidak menolak bahwa teori majoritas lebih fundamental, berbanding aliran
Hanafiyyah.29
Pendekatan induktif ini bukan satu perkara yang asing kepada aliran
Hanafiyyah karena Qawaid Fiqhiyyah juga mula terbentuk melalui sarjana
madzhab Hanafi seperti Ibn Nujaym al-Qawaid Fiqhiyyah atau islamik ini ialah
kaidah umum yang boleh di pakai untuk mencari hukum baru contohnya,”
keyakinan tidak dapat dihapuskan dengan sangkaan” atau “Sesuatu perkara itu
dinilai berasaskan objektifnya” dan banyak lagi cabang-cabagnya yang mula
dipopularkan oleh mazhab Hanafi seterusnya di kembangkan oleh ramai mazhab
lain. Kaidah-kaidah sebegini sebenarnya disusun berasaskan kepada pemerhatian
yang mendalam dan menyeluruh, terhadap pelbagai hukum fekah.
4. Perkembangan Mazhab
Perkembangan mazhab Hanafi dalam sejarah Islam banyak disebarkan
oleh pengikut-pengikut Imam Hanafi. Menurut riwayat, bahwa para sahabat yang
membukukan mazhab beliau ada empat puluh orang. Diantara murid-murid Abu
29
Muhammad, Abu Zuhrah, Abu Hanifah Hayatuhu Wa ashruhu Arauhu wafiqhuhu, Dar
Al-Fikr Al Arabi,hlm, 14-26
Hanifah yang paling masyhur adalah Abu Yusuf, Muhammad bin Hasan,Hasan
bin Ziyad dan Zufar.30
B. Mazhab Syafi’i
1. Kelahiran Imam Syafi’i
Imam Syafi‟I dilahirkan digaza pada bulan rajab tahun 150 H(767 M).
Menurut suatu riwayat, pada tahun itu juga wafat Imam Abu Hanifah. Imam
Syafi‟i wafat di Mesir pada tahun 204 H(819 M). Nama Imam Syafi‟i adalah Abu
Abdillah Muhammad ibn Idris ibn Abbas ibn Said ibn Yazid ibn Hasyim ibn Abd
al- Muthalib ibn Abd al-Manaf ibn Qushay al-Quraisyiy. Abd al-Manaf ibn
Qushay kakek kesembilan dari Imam Syafi‟I adalah Abd Manaf Ibn Qushay kakek
ke empat dari nabi Muhammad SAW. Jadi nasab Imam Syafi‟i bertemu dengan
nasab nabi Muhammad SAW pada Abd Manaf.31
Adapun nasab Imam Syafi‟i bin Fatimah binti Abdullah ibn Hasan ibn
Husen ibn Ali ibn Abi Thalib.32
Dengan demikian, maka ibu Imam Syafi‟i adalah
cucu dari Sayyidina Ali ibn Abi Thalib, menantu nabi Muhammad S.A.W. dan
Khalifah yang keempat yang terkenal dalam sejarah ditemukan bahwa Said ibn
Yazid kakek Imam Syafi‟I yang kelima adalah sahabat nabi Muhammad S.A.W.
Ketika ayah dan ibu Imam Syafi‟I pergi ke negeri Syam dalam suatu urusan,
lahirlah Imam Syafi‟I di Ghaza atau Asqalan. Ketika ayahnya meninggal, ia masih
kecil. Ketika baru berusia dua tahun, Imam Syafi‟I kecil di bawa ibunya ke
Makkah. Di besarkan ibunya dalam keadaan fakir.
2. Pendidikan
Imam Syafi‟I, pada usia 7 tahun sudah dapat menghafal Al-Quran. Ia
mempelajari Al-Quran pada Ismail ibn Qasthanthin, qari kota Makkah. Sebuah
riwayat mengatakan bahwa Imam Syafi‟I pernah khatam Al-Quran dalam bulan
ramadhan sebanyak 60 kali. Imam Syafi‟I pergi ke Makkah menuju suatu dusun
Bani Huzail untuk mempelajari bahasa Arab karena disana terdapat pengajar-
pengajar bahasa arab yang fasih dan asli. Imam Syafi‟I tinggal di huzail selama
30
http://ideolog.my\v3\modules\ 31
Huzaemah Tahido Yanggo,Pengantar Perbandingan Mazhab(terbitan gaung
persada,2011)hlm.134. 32
Abdul Aziz Asy-Syinawi,Biografi Empat Imam Mazhab (Jakarta:Beirut
Publishing,2013)hlm.386.
kurang lebih 10 tahun. Disana ia belajar sastra Arab sampai mahir dan banyak
menghafal syiir-syiir dari Imru‟u al-Qais, Zubaer,dan Jahir. Dengan mempelajari
sastra Arab, ia terdorong untuk memahami kandungan Al-Quran dan bahasa Arab
yang fasih dan murni. Imam Syafi‟I menjadi orang yang terpecaya dalam soal
syi‟ir-syi‟ir kaum Huzael.33
Sebelum menekuni fikih dan hadith, imam Syafi‟I tertarik pada
puisi,syi‟ir ,sajak dalam bahasa Arab. Ia belajar hadis dari imam Malik di
Madinah dalam umur 13 tahun. Dia telah menghafal kitab al- Muwatha‟.
Sebelumnya imamSyafi‟I hadith kepada Sufyan ibn Uyainah salah seorang ahli
hadith di Makkah.
Menurut Khudhary , sebelum Imam Syafi‟I pergi ke Baghdad beliau telah
mempelajari hadis dari dua ahli hadis kenamaan yaitu Sufyan ibn Uyainah di
Makkah dan imam Malik di Madinah. Keduanya merupakan guru imam Syafi‟I
yang terbesar, sekali pun ada guru-guru yang lainnya. Menurut Ahmad Amin
dalam Dhuha al-Islam, Imam Syafi‟I belajar fikih dengan Muslim ibn Khalid al
Zanji seorang mufti Makkah. Kemudian beliau ke Madinah menjadi murid imam
Malik serta mempelajari al-Muwatha‟ yang telah dihafalnya sehingga imam Malik
melihat bahwa imam Syafi‟I termasuk orang yang cerdas dan kuat ingatannya.
Oleh sebab itu Imam Malik sangat menghormati dan dekat dengannya.
Menurut ibn Hajar Asqalany, Selain kepada Muslim Ibn Khalid al-Zanjiy,
Malik dan Sufyan ibn Uyainah, Imam Syafi‟I belajar pula kepada Ibrahim ibn said
ibn Salim al Qadah, al Dawardir, Abd Wahab al Thaqafi ibn Ulayyah Abu
Dhamrah hatim ibn Ismail, Ibrahim ibn Muhammad ibn Abi Yahya, Ismail bin
Ja‟far, Muhammad ibn Khalid al-Jundy, Umar ibn Muhammad ibn Ali ibn Syafi‟I
,Athaf ibn Khalid al Mahzumy, Hisyam ibn Yusuf al Shan‟ny dan sejumlah ulama
lainnya imam Syafi‟I belajar kepada imam Malik di Madinah sampai imam Malik
meninggal. Setelah itu dia pergi merantau ke Yaman. Di yaman pernah mendapat
tuduhan dari Khalifah Abbasiyah (penguasa waktu itu) bahwa al Syafi‟I pernah
berbai‟at „Alawy atau dituduh sebagai Syi‟iy. Karena tuduhan itu maka ia
dihadapkan kepada Harun Arrasyid, Khalifah Abbasiyah. Ternyata Harun
Arrasyid membebaskannya dari tuduhan tersebut. Peristiwa itu terjadi pada tahun
184 H. ketika imam Syafi‟I di perkirakan berusia 34 tahun.
33
Huzaemah Tahido Yanggo,Pengantar Perbandingan Mazhab(terbitan gaung
persada,2011)hlm.136
Tahun 195H, al-Syafi‟I pergi ke Baghdad dan menetap di sna 2 tahun.
Setelah itu ia kembali lagi ke Makkah. Pada tahun 198H, pergi ke Mesir dan
menetap di Mesir sampai wafat pada tanggal 29 Rajab sesudah menunaikan shalat
„isyak. Imam Syafi‟I di kuburkan di suatu tempat di Qal‟ah, yang bersama Mishru
Al Qadimah.
Ibn Hajar mengatakan pula, bahwa ketika kepimpinan fikih di Madinah
berpuncak pada tahun imam Malik, imam Syafi‟I pergi ke Madinah untuk belajar
kepadanya. Dan ketika kepimpinan fikih di Iraq berpuncak pada Abu Hanifah dan
imam Syafi‟I belajar fikih di Iraq kepada ibn Al Hasan Al Syaibany( salah seorang
murid imam Hanifah). Oleh sebab itu pada imam Syafi‟I berhimpun pengetahuan
fikih Ashbab al hadith(imam Malik) dan fikih Ashbab al ra‟yi (Abu Hanifah) .
3. Pemikiran
Pemikiran fikih mazhab Syafi‟I di awali oleh imam Syafi‟I, yang hidup di
zaman pertentangan antara aliran ahlul hadits(aliran yang cenderung berpegang
pada teks hadits) dan Ahlul Ra‟yi(aliran yang cenderung berpegang kepada akal
pikiran atau ijtihad). ImamSyafi‟I belajar kepada imam malik sebagai tokoh ahlul
hadits dan imam Muhammad bin Hasan Asy Syaibani sebagai tokoh ahlul Ra‟yi
yang juga murid imam Abu Hanifah. Imam Syafi‟I kemudian merumuskan aliran
atau mazhabnya sendiri, yang dapat dikatakan berada di antara kedua kelompok
tersebut.Imam Syafi‟I menolak metode istihsan dari imam Abu Hanifah maupun
metode mashalih mursalah dari imam Malik. Namun demikian mazhab Syafi‟I
menerima penggunaan qiyas secara lebih luas ketimbang imam Malik. Meskipun
berbeda dari kedua aliran utama tersebut, keunggulan imam Syafi‟I sebagai
ulama‟ fikih ,ushul fikih, dan hadits di zamannya membuat mazhabnya
memperoleh banyak pengikut dan kealimannya diakui oleh berbagai ulama‟ yang
hidup sezaman dengannya.
Dasar-dasar mazhab Syafi‟I dapat dilihat dalam kitab ushul fikih Ar risalah
dan kitab fikih al Umm. Di dalam buku-buku tersebut imam Syafi‟I menjelaskan
kerangka dan prinsip mazhabnya, serta beberapa contoh merumuskan hokum
far‟iyyah atau hukum yang bersifat cabang.
1. Al-Quran, tafsir secara lahiriah, selama tidak ada yang menegaskan
bahwa yanga dimaksud bukan arti lahiriahnya. Imam Syafi‟I pertama
sekali selalu mencari alasannya dari al Quran dalam menetapkan
hukum islam.
2.. Sunnah , dari rasulullah SAW kemudian digunakan jika tidak
ditemukan rujukan dari al Quran. Imam Syafi‟I sangat kuat pembelaannya
terhadap sunnah sehingga dijuluki Nashir Assunnah(pembela sunnah
nabi).
3. Ijma‟, atau kesepakatan para sahabat nabi yang tidak dapat perbedaan
pendapat dalam satu masalah.Ijma‟ yang diterima imam Syafi‟I sebagai
landasan hokum adalah ijma‟ para sahabat bukan kesepakatan seluruh
mujtahid pada masa tertentuterhadap suatu hokum karena menurutnya hal
seperti ini tidak mungkin terjadi.
4. Qiyas, yang dalam Ar risalah disebut sebagai ijtihad apabila dalam ijma‟
tidak juga ditemukan hukumnya. Akan tetapi imam Syafi‟I menolak dasar
istihsan dan istihlah sebagai salah satu cara manetapkan hokum islam.
Qaul Qadim dan Qaul Jadid. Imam Syafi‟I pada awalnya pernah tinggal
menetap di Baghdad. Sela tinggal disana ia mengeluarkan ijtihad-ijtihadnya yang
biasa disebut dengan istilah Qaul Qadim(pendapat yang lama). Ketika kemudian
pindah ke Mesir karena munculnya aliran mu‟tazilah yang telah berhasil
mempengaruhi kekhalifahan , ia melihat kenyataan dan masalah yang berbeda
dengan yang sebelumnya yang ditemui di Baghdad. Ia mungkin mengeluarkan
ijtihad –ijtihad baru yang berbeda yang biasa disebut dengan istilah Qaul
Jadid(pendapat yang baru). Imam Syafi‟I berpendapat bahwa tidak semua qaul
jaded menghapus qaul qadim. Jika tidak ditegaskan penggantiannya dan terdapat
kondisi yang cocok, baik dengan qaul qadim ataupun dengan qaul jaded , maka
dapat digunakan salah satunya. Dengan demikian terdapat beberapa keadaan
yang memungkinkan kedua qaul tersebut dapat digunakan dan keduanya tetap
dianggap berlaku oleh para pemegang mazhab Syafi‟i.
4. Perkembangan
Penyebar luasan pemikiran mazhab Syafi‟I berbeda dengan mazhab Hanafi
dan Mazhab Maliki ,yang banyak dipengaruhi oleh kekuasaan kekhalifahan.
Pokok pikiran dan prinsip dasar mazhab Syafi‟I terutama disebar luaskan dan
dikembangkan oleh para muridnya. Murid-murid utama imam Syafi‟I di Mesir
yang menyebar luaskan dan mengembangkan mazhab Syafi‟I pada awalnya
adalah Yusuf bin Yahya al-Buwaiti(w.846),Abi Ibrahim Ismail binYahya Al
Muzani(w.878),Ar-Rabi bin Sulaiman al- Marawi(w.884). Imam Ahmad bin
Hanbal yang terkenal sebagai ulama‟ hadits terkemuka dan pendiri fiqh mazhab
Hambali, juga pernah belajar kepada imam Syafi‟I. Selain itu masih banyak
ulama‟-ulama‟yang terkemudian yang mengikuti dan terut menyebarkan mazhab
Syafi‟I , antara lain, Imam Abu al-Hasan al-Asy‟ari, Imam Bukhari, Imam
Muslim, Imam Nasa‟I , Imam Baihaqi, Imam Turmidzi, Imam Ibn Majah dan
lainnya.
Menurut Abu Bakar al Baihaqi dalam kitab Ahkam Al-Quran, bahwa
karya Imam Syafi‟I cukup banyak, baik dalam bentuk risalah maupun dalam
bentuk kitab. Al Qadhi imam Abu Hasan ibn Muhammad al Maruzy mengatakan
bahwa Imam Syafi‟I menyusun 113 buah kitab tentang tafsir, fikih adab dan lain-
lain.
Kitab-kitab Imam Syafi‟I baik yang di tuliskan sendiri didiktikan kepada
muridnya maupun dinisbahkan kepadanya, antara lain sebagai berikut:34
a) Kitab al-Risalah, tentang usul fiqh
b) Kitab al-Umm, sebuah kitab fikih yang du dalamnya dihubungkan
sejumlah kitabnya.
c) Kitab Ikhtilaf Abi Hanifah wa Abi Laila
d) Kitab Ikhtilaf Malik wa Syafi‟i
e) Kitab Jami‟ Al Ilmi
f) Kitab Al Radd „Ala Muhammad ibn Al Hasan
g) Kitab Siyar al Auza‟iy
h) KItab Ikhtilaf al Hadith
i) KItab Ibthalu al Istihsan
j) Kitab Al Musnad, berisi hadith-hadith yang terdapat dalam kitab Al
Umm yang dilengkapi dengan sanad-sanadnya.
Kitab-kitab Imam Syafi‟I di kutip dan dikembangkan oleh para muridnya
yang tersebar di Makkah Irak, Mesir dan lain-lain. Kitab Ar Risallah merupakan
kitab yang memuat usul fiqh . Dari kitab al Umm dapat diketahui bahwa setiap
hokum far‟I yang di temukannya tidak lepas dari penerapan hokum fikih. Imam
Syafi‟I ketika datang ke Mesir pada umumnya dikala itu penduduk Mesir
mengikut Mazhab Hanafi dan mazhab Maliki . Kemudian setelah ia membukukan
kitabnya (qaul Jadid) . Ia mengajarkan di masjid „Amr ibn „Ash , maka mulai
berkembanglah pemikiran mazhabnya di Mesir. Apalagi dikala itu yang menerima
pelajaran darinya banyak dari kalangan ulama, seperti Muhammad ibn Abdullah
ibn Abd Alhakam, Ismail ibn Yahya, al Buwhaitiy, al Ribi‟, al jiziy,Asyhab ibn al
34
Huzaemah Tahido Yanggo, Pengantar Perbandingan Mazhab,(Ciputat, Gaung
Persada,2011), hlm. 150.
Qasim dan ibn Mawaz. Mereka adalah ulama yang berpengaruh di Mesir. Inilah
yang mengawali tersiarnya mazhab Syafi‟I sampai ke seluruh pelosok.
C. Sejarah Pelaksanaan Undang-Undang Islam Di Malaysia
Pelaksanaan undang-undang Islam di Malaysia saat ini harus dipahami
berdasarkan perkembangan undang-undang Negara, terutama zaman sebelum
merdeka yaitu zaman penjajahan Inggris. Pengalaman-pengalaman mereka
menjajah Negara ini dan seterusnya memperkenalkan beberapa undang-undang
tertulis yang mana sebagiannya telah dipertahankan hingga hari ini juga harus
diteliti, karena ia mempunyai hubungan dalam konteks perkembangan dalam
pelaksanaan undang-undang Islam. Beberapa istilahyang berkaitan, misalnya
istilah “undang-undang Islam” dan istilah “pengatur” atau “administrator”
undang-undang ada hubungannya dengan pelaksanaan undang-undang itu sendiri.
Secara umum, istilah “pengaturan” atau “administrasi” undang-undang
lebih mendekati kepada urusan politik yang membawa maksud bagaimana
mengurus sesuatu perkara yang merujuk kepada kehendak dan kepentingan
masyarakat itu sendiri atau dengan kata lain dapat dipahami sebagai “kekuatan
kebijaksanaan melalui otoritas pemerintah yang du buat secara resmi”.Peraturan-
peraturan yang diperlakukan itu membawa kebaikan jika dirujuk berdasarkan
semangat atau ruh syariat itu sendiri.Sebab itu, pada kenyataannya ketentuan
hokum yang dibuat semasa penjajahan Inggris berkaitan dengan pelaksanaan
hokum syari‟at di Negara ini sebagiannya telah dilanjutkan setelah merdeka
hingga kini.Walaupun konsep atau niat asal pembuatan undang-undang tersebut
lahir secara kebetulan semata-mata untuk menjaga kepentingan atau maslahah
masyarakat yang mereka kelola.
Sebagaimana dimaklumi, penjajahan Inggris di Tanah Melayu bermula di
negeri-negeri yang di katagorikan sebagai Negeri-negeri Selat dan kemudiannya
di Negeri-negeri Melayu yang mana diistilahkan sebagai negeri –negeri Melayu
Bersekutu dan negeri-negeri Melayu Tidak Bersekutu. Sejarah menuliskan bahwa
sebagian kekuasaan pemerintahan mereka ditentukan melalui otoritas Sultan
sebagai kepala Negara dan kepala agama di Negara masing-masing. Sedangkan
kekuasaan eksekutif di tangan mereka. Ini dapat dilihat setelah Perjanjian Pangkor
1874, dan kemudian banyak mempengaruhi system pemerintahan Negara ini
setelah merdeka termasuk undang-undang administrasi urusan agama Islam di
negeri-negeri. Pengalaman dan efisiensi administrasi mereka sanagat efektif sekali
mempengaruhi hal-hal yang berhubungan dengan administrasi urusan agama
Islam sampai hari ini. Umum memahami bahwa antara perkara yang disetujui
dalam perjanjian tersebut ialah mereka tidak mencampuri dalam urusan yang
berkaitan dengan agama Islam. Namun, hamper semua negeri-negeri melayu
memiliki suatu undang-undang administrasi Islam yang hampir seragam yang di
tujukan kepada persoalan undang-undang diri bagi orang-orang Islam di negeri
masing-masing. Misalnya undang-undang pendaftaran pernikahan dan perceraian
orang-orang Islam serta undang-undang pembentukan dan yurisdiksi (hak hukum)
hakim pengadilan. Mereka beranggapan bahwa mereka tidak mencampuri urusan
agama tetapi sebagai pihak yang memiliki kekuasaan eksekutif yang mutlak.
Maka menjadi tanggung jawab mereka untuk menjaga kepentingan public terlepas
dari masalah agama. Sebab itu, mereka berhasil memperkenalkan undang-undang
administrasi untuk tujuan koordinasi semua undang-undang yang mereka
perkenalkan. Bahkan dalam soal yang menyentuh secara spesifik tentang undang-
undang syariah yaitu dalam menentukan interpretasi sesuatu hal sebagai hukum
syari‟ah atau adat Melayu dimana memiliki keterkaitan dengan soal deskripsi atau
persoalan yang tidak jelas. Maka peraturan tertulis di perkenalkan untuk member
kekuatan kepada Dewan Negara( State Council) mengkonfirmasi sesuatu hal yang
di bangkitkan itu berkaitan dengan hukum syari‟ah atau adat Melayu.
Secara umum, pada fase pemerintahan mereka undang-undang substantive
yang diperkenalkan dapat dibagikan kepada tiga hal yaitu undang-undang
keluarga, harta dan kesalahan-kesalahan terhadap agama. Pertama, isi undang-
undang keluarga meliputi hal yang terkait dengan permulaan untuk pernikahan.
Misalnya pertunangan, ingkar janji pertunangan dan mahar, saat akad misalnya
talak biasa, khulu’ dan fasakh.
Sementara kedua, perkara yang berkaitan dengan harta adalah difokuskan
kepada harta warisan, wasiat dan harta wakaf orang-orang Islam yang banyak
berkaitan dengan undang-undang tertulis lainnya. Dan bukan perkara yang
berkaitan dengan administrasi urusan agama islam misalnya Ordinan Harta Pusaka
Kecil(Pembagian). Dimana kekuasaan diberikan kepada Pegawai Pemungut Hasil
Tanah untuk mengurus dan menyelesaikan sengketa dan setiap banding tentang
sengketa tersebut akan dilakukan di Pengadilan Sipil (Pengadilan Tinggi). Hingga
kini sengketa kasus tersebut di buat di Pengadilan Sipil dimana biasanya hukum
syariah akan diperhitungkan jika tidak menyentuh hokum tertulis atau sesuai
dengan hokum tertulis yang dipakai.
Ketiga, hal yang berkaitan dengan pelanggaran terhadap agama yang
dimulai dari kesalah-kesalan. Misalnya tidak mendaftarkan pernikahan dan
perceraian, melaksanakan akad nikah tanpa izin atau tidak sesuai hukum. Hingga
kesalahan-kesalahan yang berhubungan dengan moral, contohnya melakukan zina,
khalwat, meminum minuman keras, ataupun hal-hal yang berkaitan akidah seperti
tidak melaksanakan shalat Jum‟at tanpa udzur syar‟I, tidak membayar zakat, tidak
berpuasa di bulan Ramadhan dan lain sebagainya.
Ketepatan memperkenalkan sitem undang-undang melalui pembentukan
Majelis Negara yang bertindak sebagai badan pemutus tindakan-tindakan
eksekutif. Selain berfungsi sebagai badan yang mengesahkan suatu tindakan
melalui peraturan-peraturan tertulis, yang mana diperkenalkan dengan
prinsip”duluan mengikat” banyak mempengaruhi interprestasi status dan referensi
undang-undang Syari‟ah atau hokum Islam jika kasus tersebut dibicarakan di
Pengadilan Sipil. Pemakaian undang-undang umum Inggris (English Comman
Law) dan peraturan ekuitinya yang diberlakukan di Negeri-negeri Melayu
Bersekutu pada tahun 1937 melalui peraturan Hukum Sipil, serta melebar ke
Negara lain pada tahun 1951 yang kemudian dikenal sebagai Ordonansi Undang-
undang Sipil 1956. Telah dengan sendirinya memperkuat administrasi undang-
undang perdata dan sedikit banyaknya mempersempit penafsiran hokum Islam.35
Kasus-kasus yang diputuskan sepanjang penjajahan, dimana melibatkan
soal adat Melayu dan undang-undang syari‟ah juga mempengaryhu ketentuan
konstitusi yang dibuat kemudian. Selanjutnya mempengaruhi perkembangan
administrasi urusan agama Islam di negara ini. Biasanya hakim Inggris tidak
dapat membedakan antara perkara hokum syaria‟ah dan adat Melayu atau adat
Melayu yang sesuai dengan hukum syari‟ah begitu juga sebaliknya. Dapat
disimpulkan bahwa kebanyakan penilaian dibuat dengan banyak
memperhitungkan aspek prosedural dan aspek deskripsi. Yang jika dipenuhi maka
barulah membahas undang-undang Syari‟ah atau yang diistilahkan sebagai hukum
Islam.
Bisa dikatakan semua kasus yang diputuskan dan terkait dengan
pemakaian hukum Islam telah melibatkan kasus-kasus perdata. Yang relative
dapat ditafsirkan sebagai hal yang memiliki berkaitan dengan hukum atau
kewajiban bagi diri sendiri untuk orang-orang yang menganut agama Islam dan
sama sekali tidak melibatkan undang-undang pidana umum. Bahkan kesalahan-
35
Md.Supi, Siti Shamsiah, 2005,Asas dan Kerangka Perundangan Negara Islam
Malaysia, Percetakan Zainon Kasim sdn bhd, hlm, 29.
kesalahan yang ada di tafsirkan sebagai pelanggaran agama atau kesalahan
melanggar ketentuan undang-undang administrasi urusan agama. Oleh sebab itu,
walaupun dalam sejarah peradilan di tanah Melayu telah tercatat menggunakan
undang-undang Islam dan bukan merupakan sesuatu yang asing lagi untuk
digunakan sebagai hukum negeri tetapi sebenarnya ia hanya merujuk kepada
hukum bagi diri sendiri. Pengalaman-pengalaman ini serupa dengan laporan
komisi yang mengusulkan, bagaimanakah bentuk dan isi Konstitusi Federal yang
sesuai untuk sebuah Negara yang akan merdeka pada tahun 1957 itu.36
36
Kias.edu.myperundanagan.htm
BAB IV
PEMBAHASAN
HAK HADHANAH MENURUT HANAFIYYAH DAN
SYAFI’IYYAH SERTA KONSEPSI HADHANAH
DALAM UNDANG-UNDANG KELUARGA ISLAM
MALAYSIA
A. Hadhanah menurut Hanafiyah
Pengertian hadhanah menurut mazhab Hanafi yaitu mendidik anak yang
belum dapat mengurus diri sendiri dalam batasan umur tertentu oleh orang yang
berhak terhadapnya, yaitu dari kalangan keluarganya.37
1. Orang yang Berhak atas Pengasuhan dari Pihak Perempuan
Mazhab Hanafi berpendapat bahwa hak dan tanggung jawab memelihara
anak hasil daripada perceraian adalah hak bersama saudara-saudara perempuan
dari ibu anak tersebut yaitu dengan didahulukan oleh ibu dan ibu kepada
ibunya(nenek). Jika tidak ada nenek dari pihak ibunya, maka hak itu berpindah
kepada nenek dari pihak bapaknya(ibu dari bapak anak tersebut). Kemudian
saudara perempuan dari ibu anak tersebut yang seibu sebapak, diikuti saudara
perempuan seibu, saudara perempuan sebapak, anak perempuan daripada saudara
perempuan seibu dan seterusnya. Jika tidak ada juga dari pihak ahli waris atau
pihak yang dinyatakan, maka harus dicari wanita-wanita yang ada hubungan darah
dari ibu atau bapak anak itu.38
Kemudian menurut Hanafiyyah dalam qaul jadid, yang berhak mengurus
anak adalah nenek dari ayah, kemudian neneknya ayah, dan buyutnya ayah.39
Didalam salah satu riwayatnya: ibu lebih berhak atas anaknya hingga anak
itu besar dan dapat berdiri sendiri dalam keperluan makan, minum, pakaian,
beristinjak, dan berwudhu‟. Setelah itu bapanya berhak memeliharanya hingga ia
dewasa, dan tidak diberi pilihan .
37
Umar Abidin Muhammad Amin,2003, Hashiah Ibnu Abidin, Dar Alamul Kutub, hlm
252. 38
Ibnu Najim, Zainuddin, Al Bahrul Raiq Shahru Kanzu Daqaiq, hlm, 182 39
Wahbah Zuhaili,2011 Fiqhul Islami Waadillatuhu (Indonesia,Gema Insani), hlm, 62
2. Orang yang Berhak atas Pengasuhan dari Pihak Laki-laki
Apabila anak yang hendak dipelihara tidak memiliki ,kerabat wanita yang
berhak memeliharanya seperti dalam urutan di atas, hak mengasuh dan
memelihara dilimpahkan kepada kerabat laki-laki terdekat sesuai urutan ahli
warisnya yang mahram yaitu ayah,kakek samapi ke atas, kemudian saudara dan
anak-anaknya sampai ke bawah. Setelah itu para paman dan anak-anaknya. Jika si
anak tidak memiliki kerabat laki-laki, hak untuk memeliharanya dilimpahkan
kepada kerabat lain yang masih ada hubungan keluarga seperti paman, dari jalur
ibu, anak paman dari jalur ibu, pamannya ibu, dan paman kandung. Alasannya
karena mereka mempunyai hak untuk menikahkan sehingga mereka juga berhak
untuk memelihara.
Berbeda halnya jika ada dua orang dalam satu tingkat kekerabatan seperti
ada dua paman misalnya, maka yang didahulukan adalah yang lebih wara‟.
Kemudian yang lebih tua tetapi tidak fasik atau bodoh dan tidak memberikan hak
bagi anak paman yang tidak amanah untuk memelihara putrid yang cantik.
Atau jika si anak sudah tidak memiliki ahli waris, maka hak
memeliharanya akan dilimpahkan kepada sanak kerabat dari jalur laki-laki dan
perempuan beserta anak-anak mereka. Kemudian kepada saudara laki-laki dari ibu
yaitu paman. Setelah itu hakim memilih atau menyerah anak yang akan dipelihara
kepada orang yang ia pilih dan ia percaya.40
3. Syarat-syarat umum untuk Laki-laki dan Perempuan
Baligh, berakal, memiliki kemampuan untuk mendidik anak yang
dipelihara, mempunyai sifat amanah, tidak mensyaratkan beragama Islam.
Ulama‟ Hanafiyyah tidak mensyaratkan orang yang memelihara anak
harus beragama Islam. Menurut mereka,non muslim dari ahli kitab atau bukan
ahli kitab boleh menjadi hadhinah atau pemelihara. Baik ibu sendiri maupun orang
lain.
40
Ibid,2011, hlm, 64.
Rasullulah SAW sendiri pernah memberikan kebebasan kepada seorang
anak antara ikut ayahnya yang muslim atau ibunya yang musyrik. Dan ternyata
anak tersebut lebih condong kepada ibunya. Rasulullah SAW, lantas berdoa “ Ya
Allah , berilah petunjuk kepada anak itu dan luruskan hati anak itu agar ikut pada
ayahnya.” Karena pemeliharaan anak itu berkaitan dengan kasih sayang dan kasih
sayang tidak berkaitan dengan perbedaan agama.
Akan tetapi, mereka berbeda pendapat mengenai lamanya anak yang
dipelihara oleh hadhinah dari wanita non muslim. Hanafiyyah berpendapat bahwa
anak tersebut ikut bersama ibunya hingga anak itu mampu memiirkan masalah
agama, yaitu pada usia tujuh tahun. Atau jika memang agama si anak terancam
karena bersama hadhinah non muslim. Yaitu hadhinah mulai menanamkan
pendidikan agama yang ia peluk kepada si anak, mengajak anak ke tempat
peribatannya, mengajarkan anak untuk minum minuman keras,dan makan daging
babi.
Seorang hadhin harus beragama Islam, berbeda dengan hadhinah karena
pemeliharaan itu salah satu bentuk kekuasaan terhadap jiwa dan ini haruslah
dalam bingkai persamaan agama. Selain itu, menurut mereka hak memelihara itu
dibangun berdasarkan hak kewarisan. Dan harta warisan itu tidak diberikan
kepada orang yang berlainan agama. Jika si anak beragama nasrani atau yahudi ,
kemudian ia mempunyai dua sauadara yang satu muslim dan yang lain non
muslim.Maka hak untuk mengurusnya atau hak hadhanahnya jatuh ke tangan
saudaranya yang non muslm. Kemudian jika ibu itu murtad hilanglah
kelayakannya sehingga ia kembali Islam.41
4. Syarat-syarat khusus untuk hadhinah
Ia belum menikah lagi dengan laki-laki lain atau laki-laki yang terhitung
kerabat, namun bukan mahram. Harus memiliki hubungan mahram dengan anak
yang dipeliharanya . Seperti ibu si anak, saudara perempuan si anak, dan nenek si
anak. Tidak pernah berhenti memeliharanya meskipun tidak di beri upah
41
Al-Marghinani, abi Bakar Burhanuddin, 1471H, Al- Hidayah Sharhu Bidayah Al-
Mubtadi, Riyadh,hlm, 371.
hadhanah, karena memng ekonomi ayah si anak sedang kesulitan sehingga tidak
mampumembayar upah hadhanah. Jika ekonomi ayah si anak sedang sulit hingga
tidak mampu untuk membayar upah hadhanah, anaknya, lantas perempuan yang
jadi hadhinah itu berhenti dari tugasnya dan digantikan dekat lainnya maka
haknya sebagai hadhinah gugur. Hadhinah tidak tinggal bersama orang yang
dibenci oleh anak asuhnya, meskipun orang itu kerabat dekat si anak sendiri.
Karena hal ini akan menimbulkan dampak negatif pada diri anak asuh.42
5. Hal-hal yang Berkaitan dengan Syarat Hadhanah
a. Gugurnya Hak Hadhanah
Perginya hadhin ke tempat yang jauh, yaitu hak mengasuh anak dianggap
gugur jika hadhinah yang berstatus janda pergi ke tempat lain yang jauh,
sehingga ayah dari anak yang diasuh tidak dapat menyambangi anaknya dalam
jangka waktu setengah hari dan kemudian kembali lagi sampai ke rumah.
Adapun bagi hadhinah selain ibu, maka haknya gugur hanya dengan berpindah
tempat. Mengidap penyakit yang membahayakan seperti gila, lepra, dan kusta.
Hadhinah bersifat fasik atau pengetahuan agamanya kurang. Hak seorang
hadhinah akan gugur jika ia sudah menikah lagi. Jika suami dari hadhinah itu
ialah seorang yang mahram, maka haknya untuk mendapatkan hak asuh tidak
gugur.43
b. Kembalinya Hak dalam Hadhanah
Jika hak hadhanah seseorang gugur karena ada penghalang, kemudian
penghalang itu lenyap, maka hak hadhanah itu kembali lagi padanya. Baik
penghalang itu karena terpaksa seperti sakit atau penghalang utu keinginan
sendiri seperti menikah, berpergian dan fasik. Akan tetapi hal itu harus langsung
tanpa menunda-nunda waktu bagi perempuan yang dicerai bain walaupun belum
selesai mas iddahnya.
6.Apakah Seorang Ibu Bisa Dipaksa untuk Mengurus Hadhanah
Seorang ibu atau yang lainnya jika menolak maka tidak bisa dipaksa untuk
mengurus hadhanah anaknya. Sebagaimana halnya juga tidak dipaksa jika
42
Ibid,2011,hlm, 68 43
Ibid,2011, hlm, 70
menolak untuk menyusui. Kecuali jika radha‟ hukumnya wajib baginya, karena
memang si anak tidak mau menyusu selain dari air susunya atau sang ayah dari
si anak tidak memiliki harta. Bisa juga karena tidak ada orang lain yang mampu
mengurus hadhanah kecuali dia sendiri.
Seorang ibu bisa dipaksa untuk mengurus hadhanah anaknya secara
mutlak dan ia tidak memiliki hak untuk menggugurkannya meski dengan khulu‟
kepada suaminya. Dengan syarat ia mengurus anaknya atau suami yang
mensyaratkan agar si anak bersamanya, maka khulu‟ nya sah menurut
Hanafiyyah. Namun syaratnya batal. Hadhinah nya berhak mengambil anak
tersebut dari suami.44
7. Upah Hadhanah, Tempat Tinggal dan Keperluan Lain
Seorang hadhin tidak berhak untuk mendapat upah hadhanah jika
statusnya sebagai istri atau dalam masa iddah cerai. Baik cerai bain maupun
cerai raj‟i. Karena ia masih berhak mendapatkan nafkah sebagai istri maupun
ketika dalam masa iddah dan selama nafkah itu cukup untuk keperluan hadhanah.
Adapun setelah selesainya masa iddah maka hadhinah berhak meminta
upah hadhanah karena terhitung upah pekerjaan .
Seorang hadhinah yang statusnya bukan istri juga berhak untuk
mendapatkan upah hadhanah , namun upah itu belum termasuk upah menyusui
dan nafkah untuk anak.45
8. Hukum Menjenguk Anak
Jika si anak berada dalam asuhan hadhinah, maka ayah dari anak
tersebutberhak untuk menjenguknya. Caranya, hadhinah bisa membawa anak
tersebut keluar agar ayahnya dapat melihat anaknya setiap hari. Begitu juga
sebaliknya. Batas maksimal yaitu satu kali dalam seminggu.
9. Lamanya Masa Hadahanah dan Hukum setelah Selesainya Masa
Hadhanah
44
Ibrahim, Sirajuddin Umar, 2002, An-Nahrul Faiq Sharhu Kasru Al-Daqaiq, Dar Al
kutub Al-Alamiah, hlm 499. 45
Wahbah Zuhaili 2011, Fiqhul Islami Waadilatuh, diterjemahkan oleh Abdul Hayyi A-
kattani Indonesia Gema Insani, hlm 70.
Seorang hadhinah, baik itu ibu kandung maupun ibu lain yang lebih berhak
atas anak hingga ia tidak lagi membutuhkan bantuan dari wanita tersebut. Artinya
ia mampu mengurus sendiri keperluan makan, minum, pakaian, dan bersuci. Yaitu
kira-kira usia anak itu mencapai usia tujuh tahun.
Ibu dan nenek lebih berhak mengurus anak perempuan hingga mencapai
usia haid atau usia remaja karena setelah usia itu ia membutuhkan pengetahuan
tentang adab-adab wanita. Adapun setelah dewasa, maka ia lebih membutuhkan
penjagaan serta pengawasan. Dan sang ayah lebih mampu dalam hal ini daripada
ibu. Usia dewasa bagi perempuan adalah Sembilan tahun .46
10. Hak Untuk Membuat Pilihan
Seorang anak tidak diminta untuk memilih, karena ia belum bisa
menentukan pilihan dengan akal sehatnya. Sehingga terkadang ia lebih memilih
ikut dengan orang yang biasa bermain bersamanya.
11. Hukum yang Timbul Setelah Selesainya Masa Hadhanah
Jika masa hadhanah anak telah selesai maka ia dikembalikan kepada ayah
atau kakeknya. Mulai saat itu sang ayah berhak mengurus sang anak hingga usia
baligh kemudian diberi pilihan. Apakah ia ingin hidup sendiri atau bersama salah
satu dari kedua orang tuanya. Terkecuali jika si anak memiliki keterbatasan
mental.
Setelah anak baligh sang ayah tidak wajib memberikan nafkah kepadanya,
namun tetap bisa mengurus segala keperluannya. Sang ayah tidak wajib
memberikan nafkah kepada putrinyajika ia menolak tinggal bersama ayahnya.
12. Upah Tempat Tinggal Hadhanah dan Upah Pembantu
Memberikan upah tempat tinggal untuk hadhanah bagi seorang hadhin
(pengasuh) dan madhun(yang di asuh) jika memang keduanya tidak memiliki
tempat tinggal termasuk nafkah wajib untuk si kecil. Kewajiban itu dibebankan
kepada orang yang berkewajiban memberikan nafkah kepadanya sesuai dengan
46
Ahmad Burhanuddin, 2004, Al-Muhit Al-Burhan Fil Fiqhi Annumani, hlm 174.
kondisi ekonomi sang ayah. Selain itu, wajib memberikan upah untuk pembantu
jika memang si kecil membutuhkannya.
13. Orang yang Dibebani Menanggung Nafkah Hadhanah
Nafkah atau biaya hadhanah diambil dari harta anak yang diasuh . Namun
jika ia tidak memiliki harta, maka nafkahnya dibebankan kepada ayah dari anak
tersebut atau kepada orang yang wajib menafkahinya.47
B..Hadhanah menurut Syafi’iyyah
Pengertian hadhanah menurut mazhab Syafi‟I yaitu melakukan
pemeliharaan anak yang masih kecil laki-laki atau perempuan atau yang sudah
besar belum mumayyiz tanpa kehendak dari sesiapapun,menjaga dari sesuatu yang
menyakiti dan merusaknya, mendidik jasmani dan rohani agar mampu berdiri
sendiri menghadapi hidup dan memikul tanggung jawabnya48
1. Orang yang Berhak atas Pengasuhan dari Pihak Perempuan
Mazhab Syafi‟I berpendapat bahwa hak dan tanggung jawab memelihara
anak hasil daripada perceraian adalah ibu, ibunya ibu, ibunya ayah, saudara
perempuan, bibi dari pihak ibu, bibi dari pihak ayah, anak perempuan dari saudara
laki-laki, anak perempuan dari saudara perempuan dan kerabat yang masih
menjadi mahram bagi si anak yang mendapatkan bagian warisan ashabah sesuai
dengan urutan pembagian harta warisan. Pendapat Mazhab Syafi‟I sama dengan
pendapat mazhab Hanafi.49
2. Orang yang Berhak atas Pengasuhan dari Pihak Laki-laki
47
Wahbah Zuhaili ,2011, Fiqhul Islami Waadillatuh, diterjemahkan oleh Abdul Hayyi
Al-kattani, Indonesia, Gema Insani, hlm. 74 48
ASayyid Sabiq Muhammad, 2099, Fiqih Sunnah Juz 8,(Bandung,Al-Ma‟ruf,hlm.179 49
Ibid, 2011,hlm. 63
Jika anak yang hendak dipelihara tidak memiliki kerabat wanita yang
berhak memeliharanya seperti urutan di atas, hak mengasuh dilimpahkan kepada
kerabat laki-laki terdekat sesuai urutan bagian warisnya mahram yaitu ayah, kakek
sampai ke atas, kemudian saudara dan anak-anaknya sampai ke bawah. Kemudian
para paman dan anak-anaknya.
Akan tetapi, tidak menyerahkan putri yang cantik kepada lelaki yang
bukan mahram seperti anak paman misalnya, karena tidak berhak untuk
memelihara putri yang cantik menurut kesepakatan ulama‟ karena menjaga agar
tidak terjadi fitnah, namun ia boleh memelihara bayi.50
3. Syarat-syarat Umum untuk Laki-laki dan Perempuan
Baligh,berakal, memiliki kemampuan untuk mendidik anak yang
dipelihara, mempunyai sifat amanah, dan beragama Islam.51
4. Syarat-syarat Khusus untuk Hadhinah
a) Perempuan yang sudah bercerai namun masih punya anak kecil boleh
memelihara anaknya dengan syarat ia belum menikah lagi dengan laki-
laki lain atau laki-laki yang terhitung kerabat,namun bukan mahram.
b) Harus memiliki hubungan mahram dengan anak yang dipeliharanya.
Seperti ibu si anak, saudara perempuan si anak dan nenek si anak.
c) Hadhinah tidak tinggal bersama orang yang dibenci oleh anak asuhnya,
meskipun orang itu kerabat dekat si anak sendiri. Karena hal ini akan
menimbulkan dampak negative pada diri anak asuh. Ulama‟ Syafi‟iyah
mensyaratkan, jika anak yang dipelihara itu sedang masa menyusu
50
Ibid, 2011, hlm. 64 51
Wahbah Zuhaili, 2011, Fiqhul Islami Waadilatuhu, diterjemahkan oleh Abdul Hayyi
Al-Kattani, Indonesia, Gema Insani, hlm. 67
maka hadhinah harus menyusuinya,dan jika ASI-nya tidak keluar atau
ia menolak untuk menyusui maka haknya mengasuh gugur.52
5. Hal-hal yang berkaitan dengan syarat hadhanah
a. Gugurnya hak hadhanah
1. Perginya hadhin ke tempat yang jauh. Ulama‟ Syafi‟iyyah
berpendapat bahwa hak seseorang untuk mengasuh anak menjadi
gugur jika ia pergi ke tempat yang membahayakan atau pergi
dengan niat untuk pindah, baik jaraknya dekat maupun jauh.
2. Mengidap penyakit membahayakan.
3. Fasik atau pengetahuan agamanya kurang
4. Sudah menikah lagi. Menurut Syafi‟iyyah hak seseorang untuk
memelihara anak gugur jika orang tersebut kafir.
b. Kembalinya hak hadhanah
Ulama‟ Syafi‟iyyah berpendapat bahwa wanita yang dicerai masih berhak
mengurus hadhanah anaknya secara langsung sebelum selesai iddahnya dengan
syarat mendapat izin atau ridha dari suami. Namun jika suami tidak memberi izin
maka wanita itu tidak berhak atas hadhanah anaknya.
c. Apakah seorang ibu boleh dipaksa untuk mengurus
hadhanah?
Tidak boleh di paksa kecuali radha‟(menyusui) karena anak itu tidak mau
menyusui selain susunya.53
d. Upah Hadhanah, Tempat Tinggal dan Keperluan Lain
Seorang hadhin tidak berhak meminta upah hadhana, baik statusnya
sebagai ibu maupun selainnya karena seorang ibu berhak mendapat nafkah jika
statusnya masih seorang istri. Adapun jika statusnya selain ibu dari si anak maka
nafkahnya ditanggung ayahnya. Akan tetapi jika anak yang dipelihara
52
Ibid, 2011, hlm. 69 53
Ibid,2011 , hlm. 72
membutuhkan bantuan lain, seperti memasak dan mencuci pakaian maka hadhin
berhak mendapat upah.54
e. Hukum Menjenguk Anak
Ulama‟ Syafi‟iyyah berpendapat anak yang sudah mumayyiz jika memilih
tinggal bersama ayahnya maka sang ibu tetap boleh menjenguknya. Akan tetapi
seorang ayah berhak melarang anak perempuannya untuk menjenguk ibunya jika
memang ia memilih tinggal bersamanya. Tujuannya agar tetap dalam penjagaan
dan tidak tampak oleh orang lain. Dan yang lebih berhak untuk keluar menjenguk
dalam hal ini adalah ibu karena ia lebih tua dan berpengalaman.
Seorang ayah tidak boleh melarang ibu dari anaknya untuk menjenguk
atau menemui buah hatinya sendiri baik lelaki maupun perempuan. Karena dengan
melarang berarti sang ayah memutuskan tali silaturahim antara keduanya. Akan
tetapi waktu berkunjung tidak boleh terlalu lama, dan jika tidak ia
memperbolehkannya masuk maka ia harus membawa anaknya keluar agar ibunya
dapat melihatnya.
Masa berkunjung adalah dua hari sekali, tidak setiap hari, kecuali jika
rumahnya dekat dan tidak ada apa-apa jika ia masuk ke rumah itu setiap hari.
Jika anak yang diasuh, baik lelaki maupun perempuan sedang dalam
keadaan sakit maka sang ibu yang lebih berhak untuk merawatnya, karena ia lebih
lembut dan sabar dalam menghadapinya daripada sang ayah. Perawatan dilakukan
di rumah sang ayah jika ia rela, namun jika tidak maka perawatan bertempat di
rumah sang ibu. Dalam dua hal tersebut yang perlu dijaga adalah agar sampai
tidak terjadi khalwat antara keduanya.
6..Lamanya Masa Hadhanah dan Hukum setelah Selesainya Masa Hadhanah
Ulama‟ Syafi‟iyyah berpendapat jika suami istri bercerai dan punya anak
yang sudah mumayyiz baik laki-laki maupun perempuan menginjak usia tujuh
atau delapan tahun dan kedua orang tuanya sama-sama layak untuk mengurus
hadhanahnya baik dalam masalah agama, harta, maupun kasih sayang. Kemudian
keduanya saling berebut untuk mengasuh anak tersebut maka si anak dipersilakan
54
Wahbah Zuhaili,2011, Fiqhul Islami Waadilatuh, di terjemahjan oleh Abdul Hayyi Al-
kattani, Indonesia, Gema Insani, hlm. 73
untuk memilih salah satu diantara keduanya. Siapa saja yang dipilih maka dialah
yang berhak untuk mengasuh anak tersebut.
C. Persamaan dan Perbedaan Hadhanah Menurut Mazhab Syafi’I dan
Mazhab Hanafi
1. Persamaan
a) Persamaan pandangan tentang hadhanah antara Mazhab Hanafi dan
Mazhab Syafi‟I adalah apabila berlakunya perceraian antara suami dan
istri, maka hak hadhanah diberikan kepada ibu dari anak tersebut.
Kemudian ibu dari pihak ibunya(nenek).
Namun, perbedaan antara kedua pandangan ini ialah susunan orang
yang berhak mendapatkan hak hadhanah setelah ibu kepada
ibunya(nenek). Menurut Mazhab Hanafi hak ini diberikan kepada ibu dari
pihak ayahnya. Di mana Mazhab Syafi‟I hak hadhanah setelah ibu dari
pihak ibunya(nenek) kepada ayah anak tersebut kemudia barulah ibu dari
pihak ayahnya.
Adapun urutan terakhir bagi orang yang berhak menerima hak
hadhanah dilihat dari Mazhab Syafi‟I ialah pewaris laki-laki yang boleh
menjadi warisnya sebagai ashobah. Sedangkan Mazhab Hanafi tidak
memberikan kepada siapapun pewaris laki-laki.
b.) Persamaan antara kedua pandangan ini juga adalah hak hadhanah akan
gugur dari ibunya jika ibu anak itu telah menikah dengan laki-laki yang
tidak ada hubungan atau pertalian dengan anak tersebut. Namun hak
hadhanah akan di berikan kembali kepada ibunya jika pernikahannya
dibubarkan atau diputuskan.
2. Perbedaan
a) Mazhab Syafi‟I memberikan syarat bagi si pengasuh(hadhin) haruslah
beragama islam karena dukhawatirkan terjadi fitnah dalam agama. Adapun
didalam Mazhab Hanafi, tidak memberikan syarat bagi si pengasuh harus
beragama Islam untuk memiliki hak hadhanah bagi pengasuh yang
musyrik ataupun ahli kitab yaitu majusi. Mereka berhak untuk mendapat
hak hadhanah bagi anak yang belum mumayyiz. Selain itu mereka
berpendapat bahwa kasih sayang itu tidak hanya kepada orang Islam saja
dan kasih sayang juga tidak akan berubah hanya karena perbedaan
agama.55
b) Di dalam Mazhab Syafi‟I jika anak telah mencapai umur
kedewasaan(mumayyiz) maka anak itu berhak memilih antara ibu atau
ayahnya. Dalil yang digunakan dalam pandangan ini adalah hadith Nabi
SAW yang diriwayatkan oleh Rafi‟ bin Sinan dan juga sabda nabi yang
memiliki maksud: boleh dipilih antara ibu dan ayah dari anak itu.
c) Untuk memutuskan dalam penjagaan siapakah seorang anak layak
diserahkan, pertimbangan yang utama adalah kebaikkan anak itu.
Mazhab Hanafi juga berpendapat bahwa seorang anak tidak diberi hak
untuk memilih dengan siapakah anak tersebut akan tinggal bersama karena
dikhawatirkan pilihan anak itu hanyalah mengikuti hawa nafsunya yang di
sebabkan masih pendek akalnya. Mereka berpendapat seperti ini dengan
dalil yang merujuk kepada perbuatan para sahabat Rasulullah SAW bahwa
mereka tidak memberikan pilihan kepada anak untuk memilih.
d) Hak hadhanah untuk menjaga seorang anak akan selesai setelah anak itu
mencapai usia tujuh tahun, jika anak tersebut laki-laki. Dan usia sembilan
tahun, jika anak tersebut perempuan. Adapun Mazhab Hanafi, hak
hadhinah untuk menjaga seorang anak akan selesai setelah anak itu
mencapai umur tujuh tahun, jika anak tersebut laki-laki. Sedangkan untuk
anak perempuan setelah cukup umur (haidh).
D. Konsepsi Hadhanah dalam Undang-undang Keluarga Islam Malaysia
55
Marghinani t:th 371
Dalam Akta Undang-undang Keluarga Islam 1984(AUKI), hak asuh anak
atau hadhanah diberikan kepada ibu karena ibu adalah orang yang paling dekat
dengan anak dan orang yang menyusuinya dengan penuh kasih sayang dan
kesabaran, lemah lembut dan lebih berpengalaman dalam menguruskan anaknya.
Berdasarkan seksyen(pasal) 81 tentang orang yang berhak menjaga anak:
Seksyen 81(1) Tertakluk dalam seksyen 82, ibu adalah yang paling berhak
dari segala orang bagi menjaga anak kecilnya dalam masa ibu itu masih dalam
perkawinan dan juga selepas perkawinannya dibubarkan.
Walaupun hak hadhanah pada asasnya dimiliki oleh ibu, namun hak
tersebut bisa di pindahkan kepada selain ibunya apabila ibunya tidak memiliki lagi
kelayakan dalam mendapatkan hak tersebut. Persoalan yang timbul, siapakah
setelah ibu yang layak untuk mendapatkan hak penjagaan ketika ibu telah tiada
atau tidak layak atau tidak menginginkan untuk mendapatkan hak asuh anak.
Pengadilan agama Malaysia memberikan hak ini kepada nenek sebelah ibu
kemudian barulah hak ini di berikan keppada bapak dan seterusnya mengikut
susunan seperti dalam (AUUKI). Susunan ini berdasarkan kepada putusan yang
telah dibuat oleh Sayyidina Abu Bakar dalam memutuskan kasus Sayyidina
Umar dan bekas ibu mertuanya.
Seksyen 81(2) memperuntukan perkara yang sama yaitu:
“Hak hadhanah selepas ibu adalah nenek sebelah ibu dan selepas itu barulah
bapak dan seterusnya mengikut susunan keutamaan yang berikut: Nenek sebelah
ibu hingga ke atas bapak, nenek sebelah bapak hingga ke atas, saudara
perempuan seibu sabapak, saudara perempuan seibu, saudara perempuan
sebapak, anak perempuan bagi saudara perempuan seibu sebapak, anak
perempuan bagi saudara perempuan seibu, anak perempuan bagi saudara
perempuan sebapak, ibu saudara sebelah ibu, ibu saudara bapa, waris lelaki yang
menjadi ashobah, dengan syarat jagaan orang demikian tidak menjejaskan
kebajikan anak itu.”
Pada dasarnya apabila terjadi perceraian, sudah seharusnya Islam
meletakkan ibu sebagai golongan paling utama yang berhak mendapat hak
hadhanah anak yang belum mumayyiz kemudian disusuli dengan susunan hak
penjagaan, apabila si ibu tidak layak. Namun dalam keadaan yang tertentu,
susunan penjaga tidak diaplikasikan apabila berlaku kesusahan dengan maslahat
anak tersebut, dalam keadaan ini maslahat anak perlu di utamakan sepeti yang
diperuntukan dalam seksyen 86(2):
“Untuk memutuskan dalam jagaan siapakah seseorang anak patut
diletakkan, pertimbangan yang paling utama adalah kebajikan anak itu.”
Justru itu, peradilan mempunyai kuasa dalam menentukan perintah hak
hadhanah sekiranya pperadilan melihat ibu dan orang yang diberi hak asuhan
tidak layak mendapat hak hadhanah. Bagi mengaplikasikan kebajikan anak
tersebut seksyen 86(1) member kuasa kepada peradilan syariah dengan
menyatakan:
“Walau apa pun seksyen 81, peradilan bisa pada bila-bila masa dengan
perintah memilih untuk meletakkan seseorang anak dalam jagaan salah seorang
daripada orang yang tersebut dalam seksyen itu, atau jika ada hal keadaan yang
luar biasa yang menyebabkan tidak diingini bagi anak itu diamanahkan kepada
salah seorang daripada orang-orang itu, peradilan boleh dengan perintah
meletakkan anak itu dalam jagaan mana-mana orang lain atau mana-mana
persatuan yang tujuannya adalah termasuk kebajikan anak.”
Sehubungan dengan itu, Pengadilan agama bisa tidak mebgikut susunan
hak penjagaan ini karena faktor utama dalam penentuan hak hadhanah terhadap
anak yang belum mumaiyyiz adalah dengan melihat kepada faktor yang paling
utama yaitu kebajikan anak itu sendiri disebabkan ibu yang mendapat hak tersebut
telah gagal melaksanakan dengan baik hinga mengabaikan hak anak tersebut,
maka peradilan dapat memerintahkan hak hadhanah itu ditarik semula karena
maslahah anak tersebut.
Peradilan Agama Malaysia juga menetapkan bahwa apabila seorang anak
telah mencapai usia mumayyiz atau tujuh tahun,anak ini akan diberi pilihan sama
ada untuk tinggal bersama ibunya , bapanya atau dengan mana-mana orang-orang
yang berhak mendapatkan hak hadhanah yang lain. Hak untuk membuat pilihan
ini dapat terjadi dalam dua keadaan. Keadaan pertama adalah apabila terjadi
perceraian dan anak yang dipertikaikan telah mencapai usia tujuh tahun dan ke
atas, peruntukan ini berdasarkan pandangan Imam Syafi‟i.
Walaupun begitu, pengadilan akan memberikan kesempatan kepada anak
yang dipermasalahkan untuk membuat pilihan. Keadaan kedua berlaku apabila
anak yang di pertikai telah tinggal dengan salah seorang daripada kedua ibu
bapanya semenjak masih kecil setelah berlakunya perceraian. Apabila usia anak
ini mencapai usia tujuh tahun dan pihak yang tidak mendapat hadhanah
memohon untuk mendapatkan hadhanah, pada waktu ini anak tersebut akan
diberi pilihan untuk menentukan dengan siapakah dia lebih nyaman dan tenteram
untuk tinggal bersama.
Menurut Ibn Qudamah, apabila seorang anak itu masih kecil, keperluannya
kepada ibu atau seorang penjaga perempuan adalah lebih baik daripada apabila
anak ini mencapai umur yang lebih dewasa.
Bertepatan dengan seksyen 84(2) yang menyatakan: Jika anak itu telah
mencapai umur kecerdikan(mumayyiz), maka anak itu adalah berhak memilih
untuk tinggal sama ada dengan ibunya atau bapaknya, melainkan jika peradilan
memerintahkan selainnya.
Namun perlu diingatkan di sisni bahwa hak yang diberikan kepada anak
untuk memilih tidaklah sampai menjejaskan kebajikannya untuk dibesarkan
menjadi seorang yang berguna, seperti yang diceritakan bahwa Ibn Taimiyyah
telah menceritakan kepada muridya dalam sebuah kasus, seorang anak telah
diberi pilihan untuk tinggal bersama ibu atau ayahnya dan dia telah memilih
ayahnya. Hakim bertanya kepada anak ini mengapa dia memilih untuk tinggal
bersama ayahnya dan ia menjawab ibunya menyuruh dia pergi ke sekolah setiap
hari sedangkan ayahnya membenarkan dia bermain dengan rakannya.56
Dalam kasus ini hakim tidak menurut kehendak anak itu untuk tinggal
bersama bapaknya karena ternyata kebajikan anak ini akan terlantar karena itu,
dapatlah disimpulkan di sini bahwa hak untuk memilih yang diberikan kepada
anak bukanlah suatu hak yang mutlak tetapi bergantung kepada kebaikan anak
tersebut.
Para ulama‟ juga menggariskan tiga syarat yang harus dipenuhi sebelum
seorang anak diberi hak untuk membuat pilihan, yaitu :
56
As Sayyid,Sabiq Muhammad,2009, Fiqh Sunnah di terjemah oleh Nor Hasanuddin
Aisyah Saipuddin Malaysia, Al Hidayah
a) Kedudukan orang yang hendak dipilih haruslah dari kalangan ahli
hadhanah.
b) Haruslah memenuhi segala syarat bagi seorang yang mau mendapatkan
hak hadhanah.
c) Anak itu haruslah mempunyai upaya membuat pilihan.
Namun bagi seseorang yang ingin mendapatkan hak hadhanah haruslah
memiliki syarat-syarat yang ditetapkan oleh peradilan syariah, yang mana syarat-
syarat tersebut telah digariskan oleh syariat Islam sendiri. Namun jika ia tidak
terpenuhi maka gugurlah hak hadhanah darinya.
BAB V
PENUTUP
KESIMPULAN
Secara umum, dapat disimpulkan bahwa Negara ini telah
menerapkan sebagian hukum Islam dengan aspek tertentu, negeri-negeri
dalam Federasi telah melaksanakan undang-undang Islam. Hukum Islam
yang dikelola terus berkembang dibandingkan sebelum Negara mencapai
kemerdekaan. Banyak reformasi yang telah dilakukan oleh otoritas agama,
baik ditingkat Feeral maupun di tingkat pemerintah Negara bagian yang
sejalan dengan perkembangan masyarakat Islam di Negara ini. Dari waktu
ke waktu beberapa perubahan dibuat oleh Badan Legislatif Negeri masing-
masing sesuai dengan kepentingan dan untuk kebaikan masyarakat sejauh
yang diizinkan oleh Konstitusi Federal. Usaha-usaha untuk merampingkan
administrasi undang-undang Islam di negeri-negeri sedang dan terus
dilakukan. Sebagai sebuah negara dalam Federasi harus memperhitungkan
persyaratan Pasal 38(2)(b) Konstitusi Federal untuk dilaksanakab oleh
masing-masing Negara.
Dalam pembahasan ini juga telah membahaskan tentang hak asuh
anak(hadhanah) setelah berlakunya perceraian suami istri, yang mana hak
tersebut telah ditetapkan di dalam nash-nash al-quran dan hadith-hadith
nabawi yang mana keduanya telah memberikan keutamaan terhadap ibu
dari anak tersebut.
Mazhab Hanafi dan Mazhab Syafi‟I juga mengutamakan serta
memberikan hak asuh anak kepada ibu setelah berlakunya perceraian
kemudian di susuli oleh pengasuh-pengasuh yang mempunyai kelayakan
untuk mendapatkan hak asuh anak mengukut susunan yang ditetapkan oleh
kedua-dua pandangan tersebut apabila gugur hak asuh anak dari ibu anak
tersebut.
Untuk mendapatkan hakasuh anak(hadhanah) bagi si pengasuh
mestilah mempunyai kelayakan yaitu dengan memenuhi syarat-syarat yang
di tetapkan oleh mazhab Hanafi dan mazhab Syafi‟I. Perbedaan yang besar
atau yang lebih ketara antara kedua pandangan ini adalah syarat-syarat
yang melayakkan bagi si pengasuh untuk mendapat kelayakan hak asuh
anak(hadhanah).
Setelah meneliti pembahasan ini, penulis menyetujui dan
mentarjihkan Akta Undang-undang Keluarga Islam Malaysia karena
mereka mengutamakan konsep kemaslahatan dan memberikan hak asuh
anak(hadhanh) kepada pengasuh lebih-lebih lagi dalam permasalahan
agama yaitu Islam merupakan syarat yang penting untuk mendapatkan
hadhanah supaya anak yang di asuh tersebut di besarkan dalam suasana
Islam yang diredhoi Allah SWT dan juga mengaplikasikan konsep
maslahah tersebut berlandaskan Maqasid Al-syariah. Jelas di sini Undang-
undang Keluarga Islam Malaysia menjadikan Mazhab Syafi‟I sebagai
rujukan dan panduan yang mana mazhab Syafi‟I menjadi pegangan oleh
majoritas umat Islam di Malaysia.
SARAN
Saran penulis kepada ibu dan bapak yang telah bercerai untuk mengambil
berat dan memberi perhatian sepenuhnya kepada anak-anak mereka supaya anak-
anak tersebut membesar dalam suasana yang baik dan harmoni. Penulis juga
menyarankan kepada Pengadilan Agama untuk lebih menitik beratkan
kemaslahatan agama dalam memberikan hak hadhanah.
KATA PENUTUP
Dengan ucapan Alhamdulillahirabbil‟alamin, segala puji bagi Allah SWT
tuhan sekalian alam, karena di atas petunjuk serta keridhaannya, penulis dapat
menyelesaikan skripsi ini dengan segenap usaha yang maksimal sekali, meskipun
ada beberapa rintangan dan hambatan itulah yang memotivasi diri penulis untuk
meraih kesuksesan serta keunggulan untuk masa akan datang dan dianggap
sebagai pembakar semangat serta tangga untuk mrnggorak langkah untuk
mencapai kemanisan berjuang di medan menuntut ilmu.
Dalam hal ini, penulis sangat menyadari bahwa setiap apa yang dilakukan
oleh manusia tidak semua sempurna begitu juga dengan skripsi ini, ianya masih
jauh lagi untuk mencapai kesempurnaanya dan masih ada banyak lagi kekeliruan
dan kekhilafan dalam penulisan ini. Jadi penulis harap kepada semua pihak dapat
memberi kritik yang konkruktif untuk menyempurnakan skripsi ini demi
mengeksitensikan persetujuan.
Untuk itu, penulis berdoa ke hadrat illahi dan berharap kehadiran skripsi
ini dapat member manfaat kepada perkembangan ilmu Islam, masyarakat, nusa
dan bangsa. Dan juga sebagai memenuhi persyaratan bagi memperoleh gelar
sarjana Strata satu (S.1) dalam ilmu Syariah Jurusan Perbandingan Mazhab.
Akhirnya kepada Allah SWT penulis berserah diri karena tidak ada dan
upaya melainkan atas izin dan ridhanya. Semoga karya ini menjadi amalan ibadah
bagi penulis dan kiranya selalu mendapat keridhaan dari yang Maha Mulia, Amin
Ya Rabbal‟alamin.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an dan Per Kata, Terjemahan resmi Departemen Agama Republik
Indonesia,
Al-Qur‟an Al-Hidayah, Tangrang Selatan :Kalim, 2011
Abdurrahim,Abu Nafis, Fiqh Wanita Empat Mazhab,Khazanah Intelektual ,2010
Ahmad, Burhanuddin, Al-Muhit Al- Burhan Fil Fiqhi Annumani, 2004
Akta Undang-Undang Keluarga Islam(Wilayah-Wilayah Persekutuan), Akta 303,
1984
Alkaf, Abdullah Zaki, Fiqih Empat Mazhab, Indonesia Hasyimi, 2013
Ariff, Salleh Rosman, Isu Wanita dalam Perundangan Islam,UTM, 2008
As-Sayyid, Sabiq Muhammad, Fiqh Sunnah di terjemah oleh Nor
Hasanuddin,Aisyah Saipuddin, Malaysia, Al-Hidayah 2009
Wahbah Az-Zuhaili, Fiqhul Islami Waadillatuhu, di terjemahkan oleh Abdul
Hayyi Al-Kattani Indonesia, Gema Insani, 2011
Ghozali, Abdul Rahman, Fiqh Munakahat, Indonesia Kencana, 2012
Ibrahim, Sirajuddin Umar, An-Nahrul Faiq Sharhu Kasru Al-Daqaiq, Dar Alkutub
Al-Alamiah, 2002
Ismail Kamus, Indahnya Hidup Bersyariat,Malaysia, Telaga Biru SDN BHD,
2009
Al-Jabir, Abu Bakar, Minhajul Muslim, Dar Ash Shuruq
Ahnan, Mahtuf, Risalah Fiqih Wanita, Surabaya, Terbit Terang
Al-Ghanimi ,Abdul Ghani, Al- Lubah fi Sharhi Al Kitab ,Beirut Maktabah
Alamiah
Al-Jabir, Abu Bakar, Minhajul Muslim, Dar al Syuruq
Jawad, Muhammad, Mughniah Al-Ahwal Ashaksiah, Beirut, Dar Al-Ilmi Al-
Malayiyah
Mahmud, Ahmad, Bulughul Maram di terjemahkan oleh Machfuddin Aldip,
Semarang ,Karya Toha, 2012
Muhammad, Abu Zuhrah, Abu Hanifah Hayatuhu wa Ashruhu Arauhu
Wafiqhuhu,Dar Al-Fikr Al-Arabi
Syarbani, Muhammad, Al-Iqna, Beirut,Dar Al-fikr
Ibnu Najim, Zainuddin, Al- Bahrul Raiq Shahru Kanzu Daqaiq