konsep fashion dalam al-quran (studi deskriptif analisis ... zahara... · dalam al-quran berpakaian...
TRANSCRIPT
KONSEP FASHION DALAM AL-QURAN (Studi Deskriptif Analisis Tafsir-Tafsir Tematik)
SKRIPSI
Diajukan Oleh:
RITA ZAHARA
NIM. 140402063
Prodi Bimbingan Konseling Islam
FAKULTAS DAKWAH DAN KOMUNIKASI
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI AR-RANIRY
BANDA ACEH
1441 H/2020 M
ii
iii
iv
Banda Aceh, 24 Januari 2020
Rita Zahara
Yang Menyatakan,
v
ABSTRAK
Fashion merupakan salah satu kebutuhan pokok bagi semua manusia dalam
menjalani hidup ini.Berdasarkan fenomena yang ada bahwa penampilan para
wanita muslimah mengenakan busana bukan berdasarkan atas perintah agama,
maka dari itu busana muslim yang digunakan belum memenuhi kriteria busana
muslim yang baik. Mereka mengenakan busana muslim hanya mengarah kepada
tujuan mode. Padahal busana muslim merupakan salah satu simbol religius bentuk
ketaatan dalam melaksanakan perintah Allah. Seiring perkembangan zaman
fashion justru menjadi icon bagi muslimah sebagai identitas jati diri, bangsa dan
peradaban. Dalam Al-Quran berpakaian yang santun adalah suatu keniscayaan
sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam syariah Islam. Oleh karena itu penulis
menjadikan Al-Quran sebagai pedoman untuk memaknai konsep fashion yang
sesuai ajaran Islam. Tujuan penelitian yaitu untuk mengetahui konsep tentang
pakaian dan berpakaian melalui ayat-ayat Al-Quran yang membahas tentang
pakaian dan berpakaian, serta penafsiran mufassir terhadap ayat-ayat tersebut.
Penelitian ini merupakan penelitian pustaka (library research) dengan
menggunakan metode tafsir maudhu’i (tafsir tematik) yaitu membahas ayat-ayat
Al-Quran sesuai dengan tema dan judul yang telah ditetapkan. Penulis
menggunakan metode content analysis dalam mengolah informasi yang diperoleh
dari Al-Quran, tafsir dan buku-buku yang berkaitan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa banyak lafadz yang dimaknai dengan pakaian dan
berpakaian, namun penulis hanya memilih libas, tsiyab dan sarabil. Secara umum
keseluruhan ayat yang penulis gunakan dalam penelitian ditafsirkan secara sama
oleh kedua mufassir. Makna berpakaian adalah untuk melindungi tubuh baik dari
sengatan panas, dingin dan menghindari dari hal-hal yang tidak diinginkan.
Adapun kriteria fashion dalam islam ialah berpakaian dengan longgar, bahan
pakaian yang tebal tidak menerawang, tidak memperlihat lekuk tubuh, bukan
fungsi sebagai perhiasan yang menonjol atau terlalu modis dan memakai fashion
bukan untuk mencari popularitas.
Kata Kunci: Konsep, Fashion, Al-Quran
vi
KATA PENGANTAR
Segala puji bagi Allah subhanahu wata’ala yang telah memberikan nikmat
dan rahmat-Nya kepada sekalian manusia di atas bumi dan kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat dan salam kepada
junjungan Nabi Muhammad shallahu ‘alaihi wasallam yang merupakan sosok
yang telah memperkenalkan kita kepada ajaran yang benar, membawa kita dari
alam jahiliyah kepada alam yang berilmu pengetahuan. Shalawat dan salam juga
semoga senantiasa tercurahkan kepada keluarga dan segala sahabat beliau.
Skripsi ini mengangkat judul “konsep fashion dalam Al-Quran”. Fashion
merupakan suatu hal kebutuhan pokok bagi setiap manusia yang menunjukkan
sebagai identitas jati dirinya, namun tidak terlepas dari apa yang telah Allah
cantumkan di dalam Al-Quran. Pakaian yang santun adalah suatu keniscayaan
sesuai nilai-nilai yang terkandung dalam syariat Islam, sehingga dapat melindungi
para wanita dari ganguan-gangguan.
Penyusunan skripsi tidak lepas dari doa, semangat dan dukungan banyak
pihak. Oleh karena itu penulis ingin mengucapkan terimakasih kepada semua
pihak yang terkait dalam penyelesaian skripsi ini, di antaranya:
1. Ayahanda Ismuha dan Ibunda Darmawati, dan kepada saudara sekandung
yaitu adinda Rini Riani dan Raisa Maghfirah. Ucapan terimakasih, cinta dan
sayang yang tidak terhingga kepada mereka. Kasih sayang, doa dan semangat
yang tidak akan pernah habis dilimpahkan kepada penulis sehingga dapat
melangkah sejauh ini. Semoga rahmat dan ridha Allah senantiasa tercurahkan
kepada mereka sehingga dapat meraih kebahagiaan yang sesungguhnya.
vii
2. Drs. Umar Latif, MA selaku pembimbing 1 dan Sri Dasweni , M. Pd selaku
pembimbing II yang telah meluangkan waktu, tenaga dan pikirannya untuk
memberi bimbingan, nasehat, dorongan serta arahan kepada penulis.
3. Kepada Rektor Prof. H. Warul Walidin, AK. MA., Dekan Fakultas Dakwah
dan Komunikasi Drs. Yusri, M.L.I.S., Ketua Prodi Bimbingan Konseling
Islam Drs. Umar Latif, MA, Penasehat Akademik (PA) Jarnawi, M.Pd. dan
seluruh dosen Prodi Bimbingan Konseling Islam dan staff Fakultas Dakwah
dan Komunikasi UIN Ar-Raniry.
4. Ahli keluarga yaitu paman, bunda serta para sepupu-sepupu yang tidak
mungkin penulis sebutkan satu persatu yang selalu setia memberi semangat
kepada penulis.
5. Guru sekaligus kakak ustazah Rahmatul Ulya yang senantia mendoakan,
menyemangati penulis dengan penuh kasih sayangnya. Semoga Allah
senantiasa mencurahkan rahmat dan hidayah-Nya kepada beliau.
6. Sahabat yang selalu ada setiap apapun keadaan penulis yaitu, Siti Azura,
Rahmi Akmalia, Mutia Hanim, Reyka Agusdia, Wardatun Rizqa, Cut zefa
imanda, dan Elisa Justia.
7. Saudari seperantauan Nur Amalena, Ahda Miati yang selalu sabar dalam
menghadapi dan memberi semangat kepada penulis.
8. Teman-teman seperjuangan khususnya leting 2014 Bimbingan Konseling
Islam unit 2 ,
9. Teman-teman KPM Zikrul Khalis, Novia, Cut Fajar Nita, Farah Diba Mutia,
Fanny, Elisa Katri, Asri, Azwar, Rizki Rivandi, Rizki Riza, Reza Saputra, dan
Mirza.
viii
10. Kawan sedosen pembimbing yang saling menyemangati, saling menguatkan
dan saling bantu dalam revisi.
11. Semua pihak yang telah membantu dalam proses penulisan dan penyusunan
skripsi ini yang tidak mungkin disebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa penulisan maupun isi skripsi masih jauh dari
kata kesempurnaan, dikarenakan keterbatasan ilmu yang penulis miliki. Oleh
karena iru, kritik dan saran yang bersifat membangun sangat penulis harapkan
demi kebaikan dan kesempurnaan skripsi. Semoga skripsi bermanfaat untuk
pembaca umumnya dan kepada penulis khususnya. Aamiin Ya Rabbal ‘Alamin.
Banda Aceh, 17 januari 2020
Peneliti,
Rita Zahara
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ...................................................................................... i
LEMBARAN PENGESAHAN ...................................................................... ii
LEMBARAN PERSETUJUAN TIM PENGUJI ......................................... iii
PERNYATAAN KEASLIAN ........................................................................ iv
ABSTRAK ...................................................................................................... v
KATA PENGANTAR .................................................................................... vi
DAFTAR ISI ................................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... xi
DAFTAR LAMPIRAN .................................................................................. xii
BAB I PENDAHULUAN ............................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................................. 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................... 7
C. Tujuan Penelitian ........................................................................ 7
D. Manfaat Penelitian ...................................................................... 8
E. Penjelasan Konsep ...................................................................... 8
F. Penelitian Sebelumnya yang Relevan ......................................... 10
BAB IILANDASAN TEORI ......................................................................... 12
A. Konsep Fashion .......................................................................... 12
1. Definisi Fashion ..................................................................... 12
2. Fungsi Fashion ....................................................................... 15
3. Perilaku Berbusana................................................................. 22
4. Aurat ...................................................................................... 24
5. Etika Berpakaian dalam Islam ............................................... 27
6. Syarat Pakaian ........................................................................ 29
B. Al-Quran ..................................................................................... 31
1. Definisi Al-Quran................................................................... 31
2. Tujuan Pokok Al-Quran ......................................................... 32
BAB III METODE PENELITIAN ............................................................... 33
A. Jenis Penelitian ......................................................................... 33
B. Sumber Data ............................................................................. 33
C. Teknik Pengumpulan Data ....................................................... 34
D. Teknik Analisis Data ................................................................ 35
E. Teknik Penulisan ...................................................................... 38
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .............................. 39
A. Hasil Penelitian ......................................................................... 39
1. Konsep Fashion (Berpakaian) dalam Al-Quran .................. 39
2. Ayat-ayat Al-Quran Tentang Fashion (Pakaian) ................. 40
a. Lafadz Fashion (Berpakaian) dalam Al-Quran ........... 40
b. Persamaan dan perbedaan libas, tsiyab dan sarabil ..... 43
c. Klarifikasi Ayat Al-Quran Tentang Fashion
(Berpakaian) ................................................................. 44
x
3. Penafsiran Mufassir Terhadap Ayat-ayat Al-Quran
Tentang Fashion (Pakaian) .................................................. 47
B. Pembahasan ............................................................................. 69
1. Konsep Fashion (Berpakaian) dalam Al-Quran .................. 69
2. Ayat-ayat Al-Quran Tentang Fashion (Pakaian) ................. 74
3. Penafsiran Fashion (Berpakaian) Menurut Mufassir........... 75
BAB V PENUTUP .......................................................................................... 76
A. Kesimpulan ................................................................................. 76
B. Saran ........................................................................................... 77
DAFTAR PUSTAKA ..................................................................................... 78
LAMPIRAN-LAMPIRAN
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 3.1 Teknik analisis data menurut Miles dan Huberman .......................... 36
xii
DAFTAR LAMPIRAN
1. Surat Keterangan Judul Skripsi
2. Daftar Riwayat Hidup
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Al-Quran adalah wahyu Allah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
sallallahu ‘alaihi wasallam sebagai petunjuk bagi umat manusia dan juga menjadi
petunjuk bagi orang yang bertaqwa.1Sebagaimana yang telah dijelaskan dalam Al-
Quran.2
Artinya: “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk
bagi mereka yang bertaqwa”3 (QS. Al-Baqarah / 2: 2)
Al-Quran sebagai wahyu yang diturunkan kepada Nabi Muhammad
sallahu ‘alaihi wasallam berisi pedoman hidup dan petunjuk bagi manusia.4 Al-
Quran telah mengatur segala hal dan membahas seluruh seluk beluk penciptaan.
Diantaranya yaitu wawasan tentang keimanan, kebutuhan pokok manusia, soal-
soal mu’amalah, dan aspek-aspek kegiatan manusia dan masyarakat.5 Salah satu
unsur kehidupan manusia yang dibahas adalah tentang fashion (berpakaian).
1 Azam Ismail, Al-Quran, Bahasa Dan Pembinaan Masyarakat, (Banda aceh: AK Group
Bekerjasama Dengan Ar-Raniry Press,2006), hal. 1.
2 Q. S. : 2. 185.
3Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Insan Media Pustaka,
2013),hal. 2.
4Muhammad Zaini, Pengantar Ulumul Quran, (Banda Aceh: Yayasan Pena, 2012), hal.
14.
5M. Quraish Shihab, Wawasan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1995), hal.1-2
2
Kata-kata dalam Al-Quran yang dimaknai ke dalam pemahaman
berpakaian disebutkan dalam beberapa bentuk, salah satunya yaitu libas, seperti
firman Allah subhanahu wata’ala:
Artinya: “Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan
pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian
dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat”.6
(QS. Al-A’raf / 7: 26)
Ayat di atas dapat dipahami bahwa pakaian adalah sebagai penutup
bagian-bagian tubuh yang dinilai buruk bila dilihat, dan sebagai hiasan yang
menambah keindahan pemakainya.
Sebagaimana dalam sebuah hadits, Nabi sallallahu ‘alaihi wasallam
bersabda:
أة إذا بلغت ال محيض لم تصلح أن يرى من ها إل قال يا أس هه وكفي ه هذا وهذا و ماء إن ال مر أشار إلى وج
(رواه أبو داود)
Artinya: Telah berkata Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam: wahai Asma’,
sesungguhnya seorang wanita, apabila telah baligh (mengalami haid), tidak
layak tampak dari tubuhnya kecuali ini dan ini (seraya menunjuk muka dan
telapak tangan)7.(Abu Daud).
Busana pada mulanya hanya berfungsi sebagai penutup tubuh, melindugi
diri dari cuaca, matahari, angin dan lainnya. Dengan kebutuhan itu kita bisa
menangkap bahwa busana yang dikenakan juga sederhana sesuai dengan
6Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 153.
7Syaikh Amin bin Abdullah Asy-Syaqawi, Adab Berpakaian, terjm. Abu Umamah Arif
Hidayatullah, (Jakarta: Islam House, 2014), hal. 10.
3
fungsinya. Tapi manusia sebagai makhluk Allah subhanahu wata’ala yang diberi
akal, logika, dan estetika terus memberikan inovasi terhadap busana.
Dalam perkembangannya busana bukan lagi sekedar pembungkus tubuh,
tetapi juga fashion atau gaya hidup. Busana juga mencerminkan kepribadian
pemakainya. Dengan berbusana manusia menutup auratnya, bagian tubuh laki-laki
dan perempuan tidak boleh terlihat oleh orang lain kecuali mahramnya. Batas
aurat laki-laki antara pusar dan lutut, sedangkan perempuan adalah semua anggota
tubuh kecuali muka dan telapak tangan.
Fashion berasal dari bahasa Inggris yang diambil dari bahasa latin factio
yang artinya membuat atau melakukan dan dari kata inilah diperoleh fraksi, yang
memiliki arti polotis. Karena itu, arti asli fashion mengacu pada kegiatan. Fashion
dalam bahasa Inggris berarti mode, cara, gaya, model dan kebiasaan. Karena
fashion belum diserap masuk kedalam bahasa Indonesia, maka yang dimaksud
fashion adalah mode. Mode merupakan bentuk nomina yang bermakna ragam
cara atau bentuk pada suatu waktu tertentu (tentang pakaian, potongan rambut,
corak hiasan dan sebagainya.8
Fashion memiliki definisi berbeda-beda, tetapi pengertian fashion pada
prinsipnya tetap tidak terpisah dari perubahan selera masyarakat di jamannya yang
dipengaruhi oleh perkembangan sosial budaya tertentu dan dalam rentang waktu
tertentu.
Fashion dalam Oxford English Dictionary telah menyusun beberapa arti
berbeda dari fakta fashion. Mulai dari bermakna tindakan atau proses membuat,
8Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia (Jakarta:
Pusat Bahasa, 2008), hal. 964.
4
potongan atau bentuk tertentu, tata cara bertindak, berpakaian mengikuti
konvensi. Tetapi, dari beberapa arti tersebut dikelompokkan menjadi dua arti
utama yakni kata benda dan kata kerja. Sebagai kata benda, fashion bermakna
sesuatu, seperti bentuk dan jenis, buatan atau bentuk tertentu. Sehingga fashion
disini menjelaskan bagaimana mode dan bentuk sesuatu yang dikenakan oleh
seseorang. Sedangkan sebagai kata kerja fashion memiliki arti kegiatan membuat
atau melakukan.9
Menentukan ragam fashion tidak serta merta membuat busana jadi saja,
harusnya ada aturan dalam merancang suatu karya. Dalam ajaran islam, ketentuan
berbusana adalah menutup aurat bagi kaum laki-laki dan perempuan sebagai
pertanda ketaatan menjalankan syariat Allah subhanahu wata’ala.
Aturan berbusana dengan menutup aurat telah jelas dalam Islam sehingga
banyak juga designer yang berinovasi membuat busana muslim dan muslimah
yang sesuai dengan syariat Islam. Perkembangan busana sebenarnya juga
digunakan oleh da’i dalam menyampaikan pesannya dengan menggunakan busana
yang rapi dan menggambarkan ciri khasnya masing-masing.
Bukan masyarakat secara umum saja yang tertarik dengan masalah fashion
yang tiap tahunnya berubah, tetapi para da’i ikut serta dalam memberikan
kontribusi terhadap dunia fashion dengan membuat rancangan busana yang
9Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi, terjm. Idy Subandy Ibrahim dan Yosal
Iriantara (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hal. 12-13.
5
berbeda dengan da’i yang lainnya, namun tetap menggambarkan busana yang
menutup aurat sesuai dengan Syari’at Islam.10
Artinya: Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.11
(QS Al-Ahzab:33: 59)
Tidak hanya menutup, tetapi juga harus memenuhi syarat berbusana yang
benar. Pertama, jilbab menutup seluruh badan, selain yang dikecualikan (wajah
dan telapak tangan). Kedua, busana muslim harus terbuat dari bahan yang tebal,
ketiga, busana muslim yang dipakai harus longgar dan tidak ketat. Keempat,
busana muslim yang dipakai tidak menyerupai pakaian laki-laki dan menyerupai
pakaian wanita-wanita kafir serta bukan merupakan pakaian untuk mencari
popularitas.12
Akan tetapi kini busana muslim dikenakan bukan lagi sekedar atas
tuntutan agama yaitu untuk menutup aurat, melainkan sebagai alat pemenuhan
gaya hidup yang merambah kemana-mana. Rasulullah memang tidak melarang
umatnya untuk mengikuti perkembangan zaman, termasuk dalam hal pakaian,
akan tetapi rambu-rambu syari’at memanglah harus tetap dipegang teguh dan
10 Ummul Khaera, Skripsi: Pengaruh Fashion Oki Setiana Dewi Terhadap Perilaku
Berbusana Alumni Pondok Pasantren Puteri Ummul Mukminin, (Makassar: Fakultas Dakwah Dan
Komunikasi UIN Alauddin, 2017), hal. 2-3.
11Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahnnya...hal. 426.
12Albani dan Syaikh Muhammad Nashiruddin, Jilbab Wanita Muslimah Menurut Qur’an
dan Sunnah, (Solo: At-Tibyan, 2011), hal. 35.
6
ditaati.13
Begitupun dengan penampilan para wanita muslimah mengenakan
busana muslim bukan berdasarkan atas perintah agama, maka dari itu busana
muslim yang digunakan belum memenuhi kriteria busana muslim yang baik.
Mereka mengenakan busana muslim hanya mengarah kepada tujuan mode.
Padahal busana muslim merupakan salah satu simbol religius bentuk ketaatan
dalam melaksanakan perintah Tuhannya.14
Seperti yang dikemukakan Davis
dalam buku Fashion Sebagai Komunikasi karya Malcolm Barnard pakaian yang
kita kenakan memiliki atau dapat memberikan makna pada tingkah laku
seseorang.15
Dalam tata cara berpakaian, agama Islam tidak semata-mata mensyaratkan
busana sebagai penutup tubuh, tetapi busana menjadi sarana yang lengkap dan
menyeluruh baik kesehatan, kesopanan, serta keselamatan lingkungan. Lebih jauh
lagi, Islam menganggap cara berbusana sebagai tindakan ibadah serta kepatuhan
seorang umat yang berakibat janji pahala bagi yang menjalankannya. Islam telah
menetapkan syarat-syarat bagi muslimah dalam kehidupan umum, seperti yang
ditunjukkan oleh nash-nash Al-Quran dan As-Sunnah. Diantara syaratnya yaitu
untuk berbusana muslimah tidak boleh menggunakan bahan-bahan tekstil yang
transparan atau mencetak lekuk tubuh perempuan. Dengan demikian, walaupun
13M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah, (Jakarta: Lentera Hati, 2010),
hal. 40. 14
M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian Wanita Muslimah...hal. 55
15
Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi...hal. 103.
7
menutup aurat tetapi kalau ketat dan transparan, tetap belum dianggap berbusana
muslimah yang sempurna.16
Mengingat masalah fashion merupakan satu tema penting dalam hidup,
maka penulis menganggap perlu untuk mengkaji lebih dalam mengenai masalah
fashion, permasalahan tersebut membutuhkan jawaban dari Al-Quran yang
menjadi sumber pokok atau sumber utama agama Islam dan berfungsi sebagai
petunjuk ke jalan sebaik-baiknya. Oleh karena itu penulis mengangkat judul
“konsep fashion dalam perspektif Al-Quran”.
B. Rumusan Penelitian
Bardasarkan uraian di atas, maka rumusan masalah yang akan
dikembangkan dalam penelitian ini yaitu:
1. Bagaimana konsep fashion dalam Al-Quran?
2. Apa saja ayat-ayat dalam Al-Quran yang menjelaskan tentang fashion?
3. Bagaimana penafsiran ayat-ayat Al-Quran tentang fashion dalam tafsir
tematik?
C. Tujuan Penelitian
Adapun tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Untuk mengetahui konsep fashion dalam Al-Quran yang meliputi makna
fashion dan kriteria busana muslim.
16
M. Shidiq Al-Jawi, Jilbab dan Kerudung (Busana Sempurna Seseorang Muslimah),
(Jakarta: Nizham Press, 2007), Cet 1, hal. 10.
8
2. Untuk mengetahui ayat-ayat dalam Al-Quran yang menjelaskan tentang
fashion.
3. Untuk mengetahui penafsiran ayat-ayat Al-Quran tentang fashion dalam
tafsir tematik.
D. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoritis
a. Menambah pengetahuan, pengalaman, wawasan serta bahan rujukan
dalam mencari makna tentang fashion dalam Al-Quran.
b. Mengetahui kriteria busana muslim yang baik seperti anjuran Al-
Quran.
2. Manfaat Praktis
a. Dapat dijadikan bahan rujukan bagi pembaca sebagai referensi jika
tertarik dalam bidang fashion.
b. Dapat dengan luas mengembangkan fashion sesuai dengan syari’at
Islam.
E. Penjelasan Konsep
Untuk menjelaskan dan menghindari kesalahpahaman dalam penelitian,
maka penulis mengemukakan batasan istilah sebagai berikut:
9
1. Konsep Fashion
Konsep dalam kamus besar bahasa Indonesia artinya rancangan atau
buram surat dan sebagainya.17
Chaplin mengartikan konsep sebagai 1) satu ide
umum atau pengertian umum, biasanya disusun dengan satu kata, simbol, atau
tanda, 2) satu ide yang mengkombinasikan beberapa unsur dari sumber yang
berada ke dalam satu gagasan tunggal.18
Fashion berasal dari bahasa Inggris yang diambil dari bahasa latin factio
yang artinya membuat atau melakukan. Dari kata inilah diperoleh fraksi, yang
memiliki arti polotis. Karena itu, arti asli fashion mengacu pada kegiatan. Fashion
dalam bahasa Inggris berarti mode, cara, gaya, model dan kebiasaan. Karena
fashion belum diserap masuk kedalam bahasa Indonesia, maka yang dimaksud
fashion adalah mode. Mode merupakan bentuk nomina yang bermakna ragam
cara atau bentuk pada suatu waktu tertentu (tentang pakaian, potongan rambut,
corak hiasan dan sebagainya.19
Jadi, konsep fashion yang dimaksud penulis dalam penelitian yaitu makna
fashion, kriteria busana muslim dan cara berpakaian sesuai dengan syari’at Islam.
17
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa,
(Jakarta: Gramedia, 2008), hal. 997.
18Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi, terjm. Kartini Kartono, (Jakarta: Raja Grafindo,
2008), hal. 101.
19
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia... hal. 964.
10
2. Perspektif Al-Quran
Menurut kamus besar bahasa Indonesia, perspektif adalah sudut pandang,
atau pandangan.20
Menurut Chaplin perspektif merupakan satu segi pandangan
atau kerangka referensi, dari mana bagian-bagian atau unsur-unsur dari objek atau
masalah dapat dilihat tercapai keuntungan pemahaman yang lebih baik, atau dapat
membentuk satu organisasi yang lebih baik.21
Al-Quran adalah firman Allah berupa mukjizat yang diturunkan kepada
Nabi Muhammad sallahu ‘alaihi wasallam dengan perantara ruhul amin
(Malaikat Jibril) secara berangsur-angsur, ditulis dalam mushaf dan membacanya
dinilai ibadah.22
Adapun perspektif Al-Quran yang penulis maksud dalam penelitian ini
yaitu mengkaji konsep fashion berdasarkan ayat-ayat Al-Quran yang
menggunakan kata-kata libas, tsiyab, dan sarabil.
F. Penelitian Sebelumnya yang Relevan
Berdasarkan hasil dari tinjauan pustaka yang dilakukan, penulis
mendapatkan penelitian sebelumnya yang mempunyai kemiripan variabel dengan
penelitian ini. Yaitu penelitian yang dilakukan olehAbdullah Muttaqin yang
berjudul “Makna Kata Al-Libas dan Al-Tsaub dalam Al-Quran” penelitian ini
membahas tentang pengertian makna Al-Libas dan Al-Tsaub serta perbedaan
20
Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa...hal.
864.
21
Chaplin, Kamus Lengkap Psikologi...hal. 364.
22
M. Quraish Syihab., Konstektualitas Al-Quran, (Jakarta: penamadani, 2005), hal. 337.
11
maknanya penelitian ini merupakan penelitian murni semantik linguistik,
sehingga tidak tergolong penelitian tafsir. Fokus penelitiannya adalah mencari
perbedaan makna kata Al-Libas dan al-Tsaub dengan metode library research
pendekatan semantik.23
Adapun perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Abdullah
Muttaqin dengan penelitian ini. Penelitian Abdullah Muttaqin mengambil kata Al-
Libas dan Al-Tsaub untuk mencari perbedaan makna sedangkan penelitian ini
mengambil kata Al-Libas, Al-Tsaub dan Sarabil dalam makna pakaian.
23Abdullah Muttaqin, Skripsi: Makna Kata Al-Libas dan Al-Tsaub dalam Al-Quran,
(Surabaya:UIN Sunan Ampel Surabaya, 2013), hal. ix
12
BAB II
LANDASAN TEORI
A. Konsep Fashion
1. Definisi Fashion
Kata fashion, bagi orang yang berkecimpung dalam hal busana dan
pakaian mungkin sudah sering mendengar kata tersebut. Baik itu designer,
pemerhati, praktisi, pemasar busana dan pakaian bahkan bagi masyarakat umum.
Karena kata fashion sering disebutkan dan sering didengar dalam kehidupan
sehari-hari. Hal ini menunjukkan bahwa kata fashion ini sudah sangat familiar
pada semua kalangan masyarakat, dan bagi suatu kelompok fashion bisa sangat
dibutuhkan.
Secara harfiah, Fashion berasal dari bahasa Inggris yang diambil dari
bahasa latin factio yang artinya membuat atau melakukan dan dari kata inilah
diperoleh fraksi, yang memiliki arti polotis. Karena itu, arti asli fashion mengacu
pada kegiatan. Fashion dalam bahasa Inggris berarti mode, cara, gaya, model dan
kebiasaan. Karena fashion belum diserap masuk kedalam bahasa Indonesia, maka
yang dimaksud fashion adalah mode. Mode merupakan bentuk nomina yang
bermakna ragam cara atau bentuk pada suatu waktu tertentu (tentang pakaian,
potongan rambut, corak hiasan dan sebagainya).1
Fashion secara istilah, dalam Oxford English Dictionary telah menyusun
beberapa arti berbeda dari kata fashion. Mulai dari makna tindakan atau proses
membuat, potongan atau bentuk tertentu, tata cara bertindak, berpakaian
1Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Bahasa Indonesia... hal. 964.
13
mengikuti konvensi. Tetapi, dari beberapa arti tersebut dikelompokkan menjadi
dua arti utama yakni kata benda dan kata kerja. Sebagai kata benda, fashion
bermakna sesuatu, seperti bentuk dan jenis, buatan atau bentuk tertentu. Sehingga
fashion disini menjelaskan bagaimana mode dan bentuk sesuatu yang dikenakan
oleh seseorang. Sedangkan sebagai kata kerja fashion memiliki arti kegiatan
membuat atau melakukan.2 Sehingga dapat disimpulkan bahwa istilah fashion itu
mencakup sesuatu yang berhubungan dengan dandanan, gaya, dan busana atau
pakaian seseorang yang dibentuk sedemikian rupa sesuai dengan zaman tersebut.
Segala bentuk dari aktifitas manusia adalah bagian dari komunikasi, tidak
terkecuali fashion pada busana yang dikenakan sehari-hari. Adapun ilmu
komunikasi memiliki berbagai perangkat teori keilmuan tentang cara-cara
menyampaikan pesan kepada sasaran, secara efektif dan efisien. Teori-teori
komunikasi dalam perkembangannya sampai dewasa ini bukan hanya mencakup
persoalan komunikasi konvensional, komunikasi telah berkembang menyentuh
hampir semua aspek kehidupan masyarakat.3
Menurut Simmel dalam bukunya Fashion, dua kecenderungan sosial yang
paling dalam membentuk fashion. Dan bila salah satu kecenderungan itu hilang
maka fashion tidak akan terbentuk. Kecenderungan pertama adalah kebutuhan
untuk menyatu dan yang kedua adalah kebutuhan untuk terisolasi. Menurut
Simmel: Individu harus memiliki hasrat untuk menjadi bagian dari sesuatu yang
2 Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi, terjm. Idy Subandy Ibrahim dan Yosal
Iriantara (Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hal. 12-13.
3 Ahmad Anas, Paradigma Dakwah Kontemporer, Cet. 1.( Semarang: PT. Pustaka Rizki
Putra, 2006), hal. 75.
14
lebih besar, masyarakat dan individu juga memiliki hasrat menjadi sesuatu yang
terlepas dari bagian itu. Manusia rupanya perlu untuk menjadi sosial dan
individual pada saat yang sama, dan fashion serta pakaian merupakan cara bagi
hal itu dinegosiasikan. Saat kebutuhan untuk membedakan dirinya atau
kelompoknya dari yang lain besar maka fashion akan berkembang lebih cepat.
Kebalikannya, “bila masyarakat kurang lebih stabil maka fashion kurang
memungkinkan untuk berubah.4
Fashion dikenal dalam ilmu komunikasi sebagai bagian dari komunikasi
nonverbal yang juga merupakan fenomena komunikatif dan kultural yang
digunakan oleh suatu kelompok untuk mengonstruksikan identitasnya. Karena
fashion mempunyai cara nonverbal untuk memproduksikan serta mempertukarkan
makna dan nilai-nilai. Fashion sebagai aspek komunikatif tidak hanya sebagai
sebuah karya seni, akan tetapi fashion juga dipergunakan sebagai simbol dan
cerminan budaya yang dibawa.5
Berdasarkan gambaran diatas, dapat disimpulkan bahwa fashion
mencakup sesuatu yang berhubungan dengan gaya dan busana atau pakaian
seseorang yang dibentuk sedemikian rupa sesuai dengan zaman tersebut.
4 Ahmad Mustami, Pendidikan Islam Dalam Peradaban Industri Fashion, (Yougyakarta:
Ps UIN Sunan Kalijaga), hal. 13.
5 Rahmadya Putra Nugraha, Fashion Sebagai Diri Dan Identitas Budaya, (Magelang:
Universitas Mercu Buana, 2016), hal. 643.
15
2. Fungsi Fashion Dalam Kehidupan
a. Fashion sebagai pencitraan diri
Dalam kehidupan sehari-hari, pakaian dipilih sesuai dengan apa yang akan
dilakukan pada hari itu, bagaimana suasana hati seseorang, siapa yang akan
ditemuinya dan seterusnya. Pakaian sering dianggap sebagai sebuah topeng untuk
memanipulasi tubuh, sebagai carauntuk membangun dan menciptakan citra diri.
Pakaian membangun habitat pribadi, sebagai sebuah perangkat penting untuk
berkomunikasi dengan lingkungannya, pakaian dibentuk dan disesuaikan dengan
kondisi tertentu. Peran penting seseorang pencipta atau designer pakaian,
mempengaruhi identitas pakaian, sekaligus citra tubuh penggunanya.6
Fashion dan pakaian pada tataran dasarnya berfungsi sebagai pelindung,
kesopanan, dan daya tarik. Kini fashion sudah merupakan bagian lifestyle atau
gaya hidup, karena dengan fashion terkini seseorang bisa menunjukkan kualitas
gaya hidupnya. Pamor seseorang bisa ikut terdongkrak ketika menggunakan
fashion yang sedang trend, atau istilahnya sering disebut dengan fashion sebagai
gaya hidupnya biasa disebut dengan fashionister atau fashionista.7
Fashion dipahami melalui apa yang ditampilkan oleh citra yang secara
faktual tampak, bahan apa yang digunakan, waktu dan tempat pembuatannya,
pemakainya, dan sebagainya. Mereka dapat berbeda dari jenis kelamin, gender,
usia, kelas sosial, pekerjaan dan ras. Perbedaan itu dapat menghasilkan dan
mendorong perbedaan konotasi bagi kata atau citra. Di dalam sebuah fashion,
6 Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi...hal. 176
7 Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi...hal. 177.
16
selain ada nilai-nilai yang ingin dipromosikan atau dikomunikasikan melalui apa
yang ditampilkan. Fashion merupakan sebuah bentuk dari ekspresi individualistik.
Fashion merupakan gaya hidup yang memiliki makna sebuah kreasi.8
b. Fashion sebagai identitas sosial
Studi tentang fashion adalah bukan hanya tentang pakaian, tetapi juga
peran dan makna pakaian dalam tindakan sosial. Dengan kata lain, fashion bisa di
metaforakan sebagai kulit sosial yang di dalamnya membawa pesan dan gaya
hidup suatu komunitas tertentu bahkan suatu dari kehidupan sosial. Di samping
itu, fashion juga mengekspresikan suatu identitas sosok tertentu, kemudian
pakaian adalah salah satu dari seluruh rentang penandaan yang paling jelas dari
penampilan luar seseorang, yang dengannya seseorang menempatkan diri mereka
terpisah dari orang lain, dan selanjutnya berkembang menjadi identitas suatu
kelompok tertentu. Fashion adalah salah satu cara bagi suatu kelompok untuk
mendefinisikan dan membentuk diri mereka sendiri sebagai suatu kelompok
tertentu agar mereka lebih yakin dengan penampilan mereka sendiri dan lebih
percaya diri.9
Fashion bukan hanya berperan sebagai suatu media untuk menciptakan
sesuatu, tetapi juga dapat mengubah identitas yang membawa pada transformatif
diri, baik secara fisik maupun mental, bahkan sekalipun jika efeknya hanya
sementara saja. Namun, efek fashion semacam itu tidak dimiliki oleh setiap orang.
8
David Chaney, Lifestyle, Terjm. Nuraeni: Sebuah Pengantar Konprehensif,
(Yogyakarta: Jalasutra, 2011), hal. 51
9 Mastura Fakhrunnisa, Gaya Busana Sebagai Media Pembentukan Identitas Musik White
Shoes And The Couples Company, E-Journal Acta Diuma 5, no. 1 (2016).hal. 3
17
Sebagian dari mereka hanya memanfaatkan fashion sebagai bentuk kenyamanan
dalam beraktifitas sehari-hari dan meskipun mereka tidak menemukan sesuatu
yang menarik pada fashion yang sedang trend, mereka tetap menentukan identitas
sosial melalui busana yang mereka pilih.10
Fashion sebagai identitas, juga sangat menentukan posisi dan peran
seseorang dalam kelompok sosial tertentu karena pemilihan fashion dijadikan
kriteria untuk menerima atau menolak seseorang dalam suatu kelompok sosial
tertentu. Karena begitu kuatnya pengaruh fashion dalam menentukan posisi sosial
seseorang dalam masyarakat, maka sangat memungkinkan muncul upaya untuk
memalsukan identitas melalui fashion semata-mata agar dalam kelompok sosial
yang diinginkan. Dalam pendekatan semiotik, hal ini senada dengan Umbero Eco,
dimana semiotika dalam tanda-tanda fashion, dapat digunakan untuk berdusta.
Dapat dikatakan bahwa fashion mencoba menghadirkan suatu bentuk representasi
sesuai keinginan, namun belum tentu menunjukkan identitas yang
sesungguhnya.11
Sebagai bagian dari masyarakat, selalu muncul keinginan dari manusia
untuk menunjukkan identitasnya. Fashion dapat menjadi sarana untuk
mengkomunisasikan identitas seseorang melalui tanda-tanda yang terselubung di
dalamnya. Rangkaian tanda-tanda tersebut disusun secara sistematis sehingga
menjalin suatu makna sesuai keinginan penggunanya. Hal ini menunjukkan bahwa
10
Juneman, Psychology Of Fashion: Fenomena Perempuan (Meklepas) Jilbab,
(yogyakarta: LkiS, 2010), hal. 22-23.
11
Dion Dewa Barata, Fashion Sebagai Strategi Komunikasi Non-Verbal, Jurnal Ilmu
Komunikasi 2, no. 1 (2010), hal. 49.
18
komunikasi dapat terjadi bukan semata-mata melalui bahasa verbal semata namun
dilakukan melalui pesan-pesan dalam tanda. Hal ini sesuai dengan pendapat Fiske
(1990) bahwa komunikasi atau interaksi sosial dapat dilakukan melalui pesan.
Permasalahannya adalah selalu ada distori dalam proses pemaknaan tersebut
dimana pesan tidak mampu dimaknai secara tepat sesuai keinginan oleh orang
lain. Untuk itu, pesan yang disampaikan melaui tanda-tandafashion ini, haruslah
dibaca dengan memperhatikan konteks dimana pesan tersebut disimpankan.12
c. Fashion sebagai komunikasi
Berbicara tentang fashion, sesungguhnya berbicara tentang sesuatu yang
sangat erat dengan diri seseorang. Tidak heran jika fashion merupakan
perlambangan jiwa. Dalam fashion tersebut bisa menunjukkan siapa pemakainya.
Seseorang dapat mengkomunikasikan sesuatu kepada orang lain melalui gaya,
dandanan, dan busana yang dikenalkan. Bahkan jika seorang bukan tipe orang
yang terlalu peduli soalfashion sekalipun, ketika berbicara dan berinteraksi, maka
tetap akan menafsirkan penampilan seorang seolah-olah fashion tersebut sengaja
membuat satu pesan.13
Pernyataan ini membawa pada fungsi komunikasi dan
pemakaian yang biasa dikenakan sehari-hari baik dalam suasana yang formal
maupun informal.
Fashion berfungsi juga sebagai jembatan penghubung visual non verbal
antara diri manusia yang secara personal dan lingkungan kehidupan sosial
12 Dion Dewa Barata, Fashion Sebagai Strategi Komunikasi Non-Verbal .hal. 50
13 Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi...hal. vi
19
kultural.14
Namun pada akhirnya harus diingatkan bahwa seorang harus mampu
memisahkan antara penampilan dan pribadi orang itu sendiri dan benar-benar
hanya melihat pada pesan sesungguhnya yang ingin dikomunikasikannya. Orang
tidak boleh melihat media komunikasi (yaitu fashion) sebagai pesan utama itu
sendiri. Maksudnya adalah pesan itu dikomunikasikan. Jika memang seseorang
mampu memahaminya, maka orang tersebut mampu memahami inti nilai dibalik
ekspresi itu, bukan sekedar mengartikan dari luar saja.15
Sebagai bentuk komunikasi yang berinteraksi sosial di dalam
lingkungannya, dalam proses ini selalu terjadi produksi dan pertukaran makna
dimana pesan yang tersembunyi dibalik tanda-tanda tersebut diproduksi dan
dimaknai oleh penerimanya. Sebaliknya penerima pesan mempunyai kebebasan
penuh untuk menginterpretasikan pesan yang diterimanya dari pengirim pesan,
dalam hal ini adalah orang yang mengenakan fashion tertentu. Masalah yang
kemudian muncul adalah pada ranah pemaknaan yang sangat tergantung pada
pengalaman budaya dan pengetahuan si penerima pesan, dimana sangat mungkin
sekali berbeda dengan pengalaman budaya dan pengetahuan dari si pengirim
pesan. Ketidaksamaan pengalaman budaya dan pengetahuan ini yang sering kali
menyebabkan perbedaan antara makna yang dikirimkan dengan makna yang
diterima. Oleh karena itu dapat dikatakan bahwa makna menjadi sebuah
14 Juneman, Psychology Of Fashion: Fenomena Perempuan (Meklepas) Jilbab.hal. 25
15
Juneman, Psychology Of Fashion: Fenomena Perempuan (Meklepas) Jilbab.hal. 27
20
pengertian yang cair, tergantung pada lingkup budaya dimana pesan tersebut
disampaikan.16
d. Fashion sebagai modernitas
Sejarah modernitas manusia tidak dapat terlepas dari kronologi bagaimana
manusia mulai berbusana. Quraish Shihab menyatakan bahwa, sandang atau
pakaian merupakan salah satu kebutuhan pokok manusia. Sementara ilmuan
berpendapat bahwa manusia baru mengenal pakaian sekitar 7200 tahun yang lalu.
Menurut mereka, homo sapiens, nenek moyang manusia berasal dari Afrika yang
gerah. Sebagian mereka berpindah dari satu daerah ke daerah yang lain dan
bermukim di daerah yang dingin. Sejak saat itulah, mereka berpakaian yang
berasal dari kulit hewan untuk menghangatkan tubuh mereka. Sekitar 25 tahun
kemudian lalu mereka menemukan cara untuk menjahit kulit dan dari situlah
pakaian semakin berkembang.17
Pada awal abad ke-16 hingga akhir abad ke-18, masyarakat mulai
merasakan kehidupan modern dan memiliki sedikit perasaan bahwa diri mereka
yang mulai mengalami perubahan menuju modernitas. Pengalaman hidup di dunia
modern mulai dirasakan secara nyata dalam pemikiran dan seni.18
Bentuk modernitas masyarakat sejauh ini memiliki kelas mencegah yang
makmur yang bersaing dalam arti pakaian indah dengan kebangsawanan, maka
masyarakat seperti itu hidup di tengah era revolusi industri. Revolusi industri
16 Dion Dewa Barata, Fashion Sebagai Strategi Komunikasi Non-Verba l.hal. 47.
17
M. Quraish Shihab, Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah, Cet I,(Jakarta: Lentera Hati,
2012), hal 33.
18 Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi...hal. 211.
21
dipandang sebagai awal zaman mesin, yakni suatu zaman yang menunjukkan
pertama kalinya kehidupan masyarakat didominasi oleh mesin.19
Sekilas tentang
sejarah lainnya fashion dalam kehidupan manusia antara lain adalah sekitar tahun
1000 Masehi, fashion dengan gaya Eropa klasik abad ke-16 terlihat memiliki baju
yang besar dan tidak minimalis. Pada zaman tersebut semua model sangat
terkesan sopan.20
Masyarakat yang tidak masuk dalam peradaban barat tidak menggunakan
fashion, tetapi gaya mereka menggunakan busana yang baku. Bentuk pakaian itu
menjadi baku karena tidak berubah seiring berjalannya waktu dan tempat tertentu,
namun semua berubah dengan adanya pengaruh barat atau biasa disebut dengan
pengaruh globalisasi.
Ada contoh, yaitu kostum sutra yang digambarkan oleh Romo de Las
Cartes pada tahun 1626, dengan sulaman sutra dan sepatu sutra sama persis
dengan apa yang ditemukan ada ukiran di abad ke-18 Masehi. Pakaian yang
digunakan oleh wanita-wanita Cortez sama dengan yang digunakan oleh wanita
Spanyol Baru, yaitu baju jubah panjang yang bersulam. Di Peru, India masih tetap
terlihat poncho-nya hingga sekarang yang sama persis dipakai 200 tahun silam.21
Sedangkan, pada akhir abad ke-19 Masehi, Moudradj d’Ohsson
menyatakan bahwa fashion yang menjadi tiruan wanita Eropa sangat sulit
19
Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi...hal. 211.
20
Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi...hal. 19.
21
Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi...hal. 20.
22
mengganggu wanita di Timur, model rambut, potongan baju dan jenis jahitan baju
nyaris selalu sama.22
3. Perilaku Berbusana
Hingga saat ini fashion sering disalah artikan oleh orang. Mereka
seringkali menyamakan fashion dengan dandanan, gaya, maupun busana. Untuk
mengantisipasi hal tersebut, ada perbedaan yang dipegang oleh para ahli untuk
menentukan nama yang fashion dan yang mana anti-fashion. Pembedaan seperti
itu bisa membantu menjelas mengenai apa yang dimaksud dengan fashion,
sebagai kebalikan dari busana atau gaya, dengan menemukan apa yang
dimaksudkan orang dengan yang bukan fashion.23
Pakaian merupakan salah satu bentuk daya tarik fisik yang melekat pada
tubuh seseorang. Jenis pakaian yang dipakai (mode mutakhir atau tidak mutakhir,
warna, jenis bahan, kecocokan pada pemakaiannya, dan lain-lain). K. Gibbins
mengungkapkan bahwa ada hubungan antara warna dengan pakaian. Daya tarik
seseorang dapat ditentukan oleh bentuk dan warna pakaian. Kesan pertama
terhadap seseorang antara lain ditentukan oleh pemakainya. Pakaian mempunyai
banyak fungsi bagi mereka yang memandangnya. Orang bisa menerka ekspresi
emosi dan perasaan melalui pakaian. Warna-warna terang melambangkan bahwa
anda seorang yang kuat. Sementara kelabu dan gelap melambangkan suasana hati
yang murung dan duka, mungkin juga tenang dan pribadi yang tertutup. Pakaian
22Malcolm Barnard, Fashion Sebagai Komunikasi... hal. 20.
23
S. Bekti Istiyanto, Pentingnya Komunikasi Artifaktual dalam Keberhasilan Modifikasi
Komunikasi Antarmanusia, (Yogyakarta: Jalasutra, 2010), hal. 15.
23
yang pendek, rok ketat dan berbelah belakang, slack yang sesak, menunjukkan
kesan daya tarik seksual yang tinggi. Ternyata pakaian yang kita gunakan
mempunyai dampak besar terhadap pribadi tiap individu.24
Busana atau pakaian menjadi elemen penting dalam fashion. Ar-Raghib
Al-Isfahani menyatakan bahwa pakaian dinamai thaub atau thiyab, karena ide
dasar adanya bahan-bahan pakaian agar dipakai. Jika bahan-bahan tersebut
dipintal kemudian menjadi pakaian, maka pada hakikatnya pakaian telah kembali
pada kaidah dasar keberadaannya.25
Ide dasar yang terdapat dalam diri manusia adalah tertutupnya aurat,
namunkarena godaan syaitan yang selalu bergentayangan, maka aurat manusia
menjadi terbuka. Dengan demikian, aurat yang ditutup dengan pakaian dinamai
thaub atau thiyab yang berarti sesuatu yang berarti sesuatu yang mengembalikan
aurat pada kaidah dasarnya, yakni tertutup.26
Permasalahan tentang menutup aurat dalam fashion menjadi perbincangan
yang sangat menarik dan tidak ada habisnya bagi wanita muslimah, karena itulah
inti dari fashion. Sehingga perlu dijelaskan pada seluruh wanita muslimah apa
yang dimaksudkan dengan aurat, pakaian dalam Islam dan hikmah menutupnya.
24
S. Bekti Istiyanto, Pentingnya Komunikasi Artifaktual dalam Keberhasilan Modifikasi
Komunikasi Antarmanusia, hal. 17.
25
M. Quraish Shihab, wawasan Al-Quran: tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan Pustaka, 2007), hal. 206.
26 M. Quraish Shihab, wawasan Al-Quran: tafsir Tematik Atas Berbagai Persoalan
Umat...hal. 207.
24
4. Aurat
Menurut bahasa “aurat” berarti malu, aib dan buruk. Kata aurat berasal
dari bahasa arab yaitu: ‘awira, artinya hilang perasaan, kalau dipakai untuk mata,
maka mata itu hilang cahayanya dan lenyap pandangannya. Pada umumnya kata
ini memberi arti yang tidak baik dipandang, memalukan dan mengecewakan.
Selain daripada itu kata aurat berasal dari kata ‘ara artinya menutup dan
menimbun seperti menutup mata air dan menimbunnya. Ini berarti, bahwa aurat
itu adalah sesuatu yang ditutup sehingga tidak dapat dilihat dan dipandang.
Selanjutnya kata aurat berasal dari kata a’wara, artinya sesuatu yang dilihat, akan
mencemarkan. Jadi, aurat adalah suatu anggota badan yang harus ditutup dan
dijaga hingga tidak menimbulkan kekecewaan dan malu.27
Menurut istilah, dalam pandangan pakar hukum Islam, aurat adalah bagian
dari tubuh manusia yang pada prinsipnya tidak boleh kelihatan, kecuali dalam
keadaan darurat atau kebutuhan yang mendadak.28
Menutup aurat dalam pengertian hukum Islam berarti menutup dari batas
minimal anggota tubuh manusia yang wajib ditutupinya karena adanya perintah
dari Allah subhanahu wata’ala. Adanya perintah menutup aurat ini karena aurat
adalah anggota atau bagian dari tubuh manusia yang dapat menimbulkan birahi
atau syahwat dan nafsu bila dibiarkan terbuka. Bagian atau anggota tubuh
27 Huzaemah Tahido Yanggo, fikih Perempuan Kontemporer, (Jakarta: Ghalia Indonesia,
2010), hal. 11.
28
M. Quraish Shihab, Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah...hal. 48.
25
manusia tersebut harus menutupi dan dijaga karena ia (aurat) merupakan bagian
dari kehormatan manusia.29
Menutup aurat adalah tanda atas kesucian jiwa dan baiknya kepribadian
seseorang. Jika ia diperlihatkan, maka itu bukti atas hilangnya rasa malu dan
matinya kepribadian. Sudah menjadi tugas setan beserta sekutu-sekutunya dari jin
dan manusia, membujuk umat muslimin laki-laki maupun perempuan agar sudi
kiranya menanggalkan pakaian-pakaian suci serta selendang pembalut kehormatan
mereka.30
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa aurat adalah batasan yang
tidak boleh diperlihatkan kepada orang lain melainkan mahram karena merupakan
kehormatan manusia apalagi bagi muslim dan muslimah.
Aurat yang terbuka akan mendatangkan dampak negatif bagi yang
bersangkutan dan terutama bagi yang melihat. Seseorang yang tidak berperasaan
malu apabila terbuka auratnya, atau bahkan merasa senang dan bangga apabila
auratnya dipandang dan dinikmati oleh orang lain, hal ini pertanda bahwa sudah
hilang atau berkurang tingkat keimanannya.31
Mengenai batas anggota tubuh yang dianggap aurat, para ulama
membedakan antara laki-laki dan perempuan. Untuk aurat laki-laki, walaupun ada
perbedaan, secara umum mayoritas ulama berpendapat bahwa laki-laki semestinya
29
Abu Mujadiddul Islam Mafa dan Lailatus Sa’adah, Memahami Aurat dan Perempuan,
(Cet. I, Lumbung Insani, 2011), hal. 25-26.
30
Sa’ad Yusuf Abdul Aziz, 101 Wasiat Rasul Untuk Perempuan, terj. Muhammad
Hafidz, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004), hal. 576.
31
Abu Mujadiddul Islam Mafa dan Lailatus Sa’adah, Memahami Aurat dan
Perempuan...hal. 26.
26
menutup bagian anggota tubuh antara pusar dan kedua lutut kaki. Sedangkan
untuk aurat perempuan, ulama fiqh juga berbeda pendapat, tetapi secara umum
perempuan lebih tertutup dari laki-laki.32
Perbedaan pendapat ini terjadi karena Al-Quran tidak menentukan secara
jelas dan rinci mengenai batas-batas aurat. Seandainya ada ketentuan yang pasti
dan batas yang jelas, maka dapat dipastikan pula bahwa kaum muslimin termasuk
ulama-ulamanya sejak dahulu hingga kini tidak akan berbeda pendapat.33
Berikut pendapat ulama terkait batas aurat wanita:34
a. Wajah dan kedua telapak tangan, bukan aurat. Ini adalah pendapat mayoritas
madzhab, antara lain: Imam Malik, Ibn Hamz dari golongan Zhahiriyah dan
sebagian Syi’ah Zaidiyah, Imam Syafi’i dan Imam Ahmad dalam riwayat
yang masyhur dari keduanya, Hanafiyah dan Syi’ah Imamiyah dalam satu
riwayat, para sahabat Nabi dan Tabi’in (Ali, Ibn Abbas, Aisyah, ‘Atha,
Mujahid, Al-Hasan, dll).
b. Wajah, kedua telapak tangan dan kedua telapak kaki, tidak termasuk aurat. Ini
adalah pendapat Ats-Tsauri dan Al-Muzani, Al-Hanafiah, dan Syi’ah
Imamiah menurut riwayat yang shahih.
c. Seluruh tubuh perempuan aurat. Ini adalah pendapat Imam Ahmad dalam
salah satu riwayat, pendapat Abu Bakar dan Abd Rahman dari kalangan
Tabi’in.
32 Husein Muhammad, Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan Gender,
(Yogyakarta: LkiS, 2009), hal. 69.
33
M. Quraish Shihab, Jilbab: Pakaian Wanita Muslimah...hal. 52.
34
Huzaemah Tahido Yanggo, fikih Perempuan Kontemporer...hal. 13.
27
d. Seluruh tubuh perempuan kecuali wajah adalah aurat. Ini juga pendapat Imam
Ahmad dalam satu riwayat.
5. Etika Berpakaian dalam Islam
Telah diatur bahwa islam memberikan sandaran etika kepada wahyu,
karenanya permasalahan etika tidak dapat dipisahkan dari keyakinan kaum
muslimin terhadap eksistensi Tuhan Yang Maha Esa yang mutlak dan transenden,
serta syari’at-Nya yang kokoh, sebagaimana hal ini juga terdapat pada agama lain.
Tuhan, menurut keyakinan mereka tidak hanya sebagai pencipta (al-Khaliq) tetapi
juga sebagai pembimbing atau petunjuk bagi perjalanan sejarah dan pengatur
segala bentuk keteraturan alam semesta. Tuhan juga sebagai al-Mudabbir
(pengatur) dan al-Rabb (pembimbing, pendidik) bagi seluruh alam.35
Oleh karena tekanan etika perbuatan manusia, etika Islam juga
memperhatikan pola hubungan dan perbuatan. Dikenallah apa yang disebut
dengan “etika Islami”. Seperti cara bergaul, duduk, berjalan, makan-minum, tidur,
dan pola berpakaian. Ibrahim Muhammad al-Jamal menuliskan dalam bukunya
Fiqh Wanita mengatakan bahwa seorang muslimah dalam berpakaian hendaknya
memperhatikan patokan berupa menutupi seluruh tubuh selain yang bukan aurat
yaitu wajah dan kedua telapak tangan. Tidak ketat sehingga masih menampakkan
bentuk tubuh yang ditutupinya. Tidak tipis menerawang sehingga warna kulit
masih bisa terlihat. Tidak menyerupai pakaian lelaki dan tidak berwarna
menyolok sehingga menarik perhatian orang. Patokan-patokan pola berpakaian
35 Ibrahim Muhammad Al-Jamal, Fiqh Wanita, (Bandung: Gema Insani Press, 2002), hal.
130.
28
muslimah tersebut sampai saat ini masih menjadi perdebatan. Apakah ia
mencirikan keshalihan atau hanya sebatas identitas wanita muslimah. Jika
dianggap sebagai pola pakaian muslimah, maka perlu ditelusuri lebih dalam dan
bahasan khusus.
Menurut Ahmad al-Hajji al-Kudri, Al-Quran sebagai sandaran etika Islam,
paling tidak menggunakan tiga istilah untuk pakaian, yaitu libas, tsiyab dan
sarabil. Libas pada mulanya berarti penutup apapun yang ditutup. Fungsi pakaian
sebagai penutup amat jelas. Tetapi, tidak harus berarti “menutup aurat” karena
cincin yang menutup sebagian jari juga disebut libas, dan pakaiannya ditunjuk
dengan menggunkaan akar katanya. Kata libas digunakan oleh Al-Quran untuk
menunjukkan pakaian lahir maupun batin, sedangkan tsiyab digunakan untuk
menunjukkan pakaian lahir. Kata ini terambil dari tsaub yang berarti kembali,
yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula, atau pada keadaan yang
seharusnya sesuai dengan ide pertamanya. Selain kata tersebut ada istilah lain
yang lebih mendekati pada makna pakaian muslimah yaitu jilbab dan hijab.
Kebanyakan para ulama memilih jilbab untuk istilah pakaian muslimah dan
sedikit menggunakan istilah hijab.36
Ungkapan yang menyatakan bahwa ide dan akhirnya adalah kenyataan,
mungkin dapat membantu memahami pengertian kebahasaan tersebut. Ungkapan
ini harus kembali kepada ide asal karena kenyataan adalah cerminan dari ide asal.
Ide dasar tentang pakaian menurut al-Raghib al-Isfahani menyatakan bahwa
pakaian dinamai tsiyab atau tsaub karena ide dasarnya bahan-bahan pakaian
36
Ahmad Al-Hajji Al-Kudri, Hukum-Hukum Wanita Dalam Fiqh Islam, (Surabaya:
Dimas Press, tt), Hal. 163-164.
29
adalah agar dipakai. Jika bahan-bahan tersebut telah dipital kemudian menjadi
pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar keberadaannya.37
Berdasarkan uraian diatas, maka dapat disimpulkan bahwa oleh karena
etika Islam mencakup segala perbuatan dan tingkah laku manusia, maka diatur
pula pola berpakaian. Ada patokan-patokan yang harus diikuti dalam memakai
pakaian yaitu menutup aurat, tidak ketat, tidak tipis, dan tidak menerawang serta
tidak membangkitkan syahwat laki-laki.
6. Syarat Pakaian dalam Al-Quran
Islam tidak menetapkan pakaian tertentu untuk wanita tapi harus
mengikuti panduan syara’ seperti berikut:
a. Pakaian terbuat dari bahan tebal yang dapat menutup warna kulit putih,
hitam maupun warna kulit lainnya, dari jarak pandang yang wajar dan
dengan penglihatan normal.
b. Pakaian tersebut dapat menutup seluruh bagian tubuh yang wajib ditutup
dari seluruh sisi.38
c. Pakaian tidak memperlihatkan lekuk tubuh. Yang penting pakaian itu
terbuat dari bahan tebal, longgar, tidak transparan, dan tidak
memperlihatkan lekuk tubuh. Seandainya pakaian menutup warna kulit,
memperlihatkan lekuk tubuh menonjolkan bagian tubuh tertentu seperti
37
Al-Raghib Al-Isfahani, Mu’jam Al-Mufradat Alfadz Al-Quran, (Disunting Oleh Nadim
Mars’ashli), (Beirut: Dar Al-Fikr, tt), Hal. 70.
38
Abdul Wahhab Abdussalam Thawilah, Panduan Berbusana Islami: Berpenampilan
Sesuai Tuntunan Al-Quran dan As Sunnah (cet. I; Jakarta: penerbit Almahira), hal. 167-168.
30
bokong dan sebagainya, sebab terbuat dari bahan tipis atau sempit,
hukumnya makruh. Alasannya karena pakaian seperti ini mencemari harga
diri, terutama bagi kaum perempuan di hadapan laki-laki bukan muhrim.39
d. Bukan fungsi sebagai perhiasan, gaya berpakaian Islami pun telah
memasuki paradoks globalisasi. Di satu sisi seseorang ingin menampilkan
gaya berpakaian Islam dengan jilbab sebagai tutup kepala, tetapi di sisi
lain penonjolan ekspresi tubuh juga tetap tertera dalam hal ini keindahan
oleh kasat mata. Jilbab modis yang kontemporer telah menjadi trend yang
digemari kalangan perempuan hakikatnya menjadi contoh bekerjanya
sistem global paradoks yang sangat menonjol.40
e. Tidak menyerupai pakaian laki-laki dalam artian identitas, identitas
seseorang bahwa pada dasarnya setiap orang memiliki keinginan di dalam
dirinya untuk menentukan identitas dirinya bukan kepasrahan untuk
menerima identitas diri karena ada yang mendominasi atau berkuasa.
Subjek yang sebelumnya memiliki identitas yang stabil dan menyatu
selanjutnya akan terfragmentasi tidak hanya menjadi satu melainkan
beberapa identitas, yang terkadang hal demikian menimbulkan kontradiksi
atau identitas. Menurut Goffman dalam Nasrullah bahwa setiap aktivitas
seseorang melibatkan orang lainnya.41
39
Abdul Wahhab Abdussalam Thawilah, Panduan Berbusana Islami: Berpenampilan
Sesuai Tuntunan Al-Quran dan As Sunnah...hal. 171.
40
Nur Syam, Bukan Dunia Berbeda sosiologi Komunikasi Islam, (Surabaya: Pustaka
Eureka 2005), hal. 59.
41
Nasrullah, R. Komunikasi Antar Budaya di Era Komunitas Siber, (Jakarta: Kencana
Prenada Grup Media 2012), hal. 113.
31
f. Memakai busana bukan untuk mencari popularitas, setiap pakaian yang
dipakai dengan tujuan untuk meraih popularitas di tengah-tengah orang
banyak, baik pakaian tersebut mahal, yang dipakai oleh seorang untuk
berbangga dengan dunia dan perhiasannya, maupun pakaian yang bernilai
rendah, yang dipakai oleh seorang untuk menampakkan keseluruhannya
dan dengan tujuan ria. Ibnu Atsir berkata: syuhrah artinya terlihat sesuatu.
Maksud dari Libas syuhrah adalah pakaiannya terkenal di kalangan orang-
orang yang mengangkat pandangan mereka kepadanya. Ia berbangga
terhadap orang lain dengan sikap angkuh dan sombong.42
B. Al-Quran
1. Definisi Al-Quran
Al-Quran menurut bahasa berarti “bacaan”. Sebagaimana firman Allah
subhanahu wata’ala:43
Artinya: 17) Sesungguhnya atas tanggungan kamilah mengumpulkannya
(di dadamu) dan (membuatmu pandai) membacanya. 18) apabila Kami telah
selesai membacakannya Maka ikutilah bacaannya itu”.44
(QS. Al-Qiyamah/ 75:
17-18)
Menurut istilah Al-Quran adalah Firman Allah berupa mukjizat yang
diturunkan kepada Nabi Muhammad sallallahu ‘alaihi wasallam dengan perantara
42 Ahmad Mustami, Pendidikan Islam Dalam Peradaban Industri Fashion,Hunafa: Jurnal
Studia Islamika 12, no. 1 (2015), hal. 172.
43 Drs. Mamsudi AR, MM., Dinul Islam, (Jakarta: LPPTKA BKPRMI putra, 2013), hal
25.
44
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 557.
32
ruhul amin (Malaikat Jibril) secara berangsur-angsur, ditulis dalam mushaf dan
membacanya dinilai ibadah.45
2. Tujuan Pokok Al-Quran
Dari sejarah diturunkannya Al-Quran, dapat diambil kesimpulan bahwa
Al-Quran mempunyai tiga tujuan pokok, yaitu:46
a. Petunjuk akidah dan kepercayaan yang harus dianut oleh manusia yang
tersimpul dalam keimanan akan keesaan Tuhan dan kepercayaan akan
kepastian adanya hari pembalasan.
b. Petunjuk mengenai akhlak yang murni dengan jalan menerangkan
norma-norma keagamaan dan susila yang harus diikuti oleh manusia
dalam kehidupannya secara individual atau kolektif.
Petunjuk mengenai syariat dan hukum dengan jalan menerangkan dasar-
dasar hukum yang harus diikuti oleh manusia dalam hubungannya dengan Tuhan
dan sesamanya. Dengan kata lain yang lebih singkat Al-Quran adalah petunjuk
bagi seluruh manusia ke jalan yang ditempuh demi kebahagiaan hidup di dunia
dan di akhirat.
45 Dr. M. Quraish Syihab, Konstektualitas Al-Quran, (Jakarta: Penamadani, 2005), hal.
337
46 Dr. M. Quraish Shihab., Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 2006), hal.40.
33
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan yaitu penelitian kepustakaan (library
research), yaitu penelitian yang dilakukan dengan dengan cara mengumpulkan
data yang bertempatan di pustaka, membaca, mencatat serta mengolah bahan yang
berkenaan dengan judul penelitian.1 Riset pustaka membatasi kegiatan hanya pada
bahan-bahan koleksi perpustakaan saja tanpa memerlukan riset lapangan.2
Penelitian ditelusuri melalui ayat-ayat yang berkenaan dengan pakaian
dalam Al-Quran. Penelitian yang dilakukan menerapkan metode tafsir tematik
(maudhu’i) yaitu metode tafsir yang berangkat dari satu tema bahasan3 (dalam
penelitian ini yaitu fashion pakaian).
B. Sumber Data
Jenis penelitian bercorak studi kepustakaan, maka yang menjadi sumber
data yaitu:
1 Mestika Zed, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2004),
hal. 3.
2 Mestika Zed, Metode Penelitian Kualitatif...hal. 2.
3 Misri. A. Muchsin, ddk., Kajian Ilmu Sosial Dan Humaniora Dalam Perspektif Al-
Quran, (banda aceh: bandar publishing, 2016), hal. 102.
34
1. Sumber data primer, yaitu data utama yang digunakan dalam penelitian.
Adapun data primer dalam penelitian ini adalah ayat-ayat Al-Quran yang
membahas mengenai fashion berpakaian, dan kitab-kitab tafsir. Adapun
tafsir yang digunakan antaranya: Tafsir Al-Mishbah karangan M. Quraish
Shihab dan Tafsir Ibnu Katsir karya Abdullah bin Muhammad.
2. Sumber data sekunder, yaitu sejumlah data yang ada kaitannya dengan
permasalahan penelitian, baik dari kitab-kitab tafsir, buku-buku maupun
jurnal yang berhubungan dengan tema masalah. Adapun buku rujukan
yang digunakan antaranya: Jilbab Pakaian Wanita Muslimah karangan M.
Quraish Shihab, Panduan Berbusana Islami: Berpenampilan Sesuai
Tuntunan Al-Quran dan As Sunnah karangan Abdul Wahhab Abdussalam
Thawilah, Fashion Sabagai Komunikasi karangan Malcolm Barnard, Fiqh
Perempuan Kontemporer karangan Huzaemah Tadiho Yanggo.
Kata kunci berpakaian yang penulis gunakan dalam Al-Quran diantaranya,
libas, tsiyab dan sarabil.
C. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan langkah-
langkah metode tafsir tematik (maudhu’i), yaitu:4
1. Menetapkan konsep berpakaian menurut Al-Quran sebagai kajian yang
akan dibahas berdasarkan ayat-ayat Al-Quran.
4 Ahmad Izzan, Metodologi Ilmu Tafsir, (Bandung: Tafakur, 2007), hal. 116.
35
2. Mengumpulkan atau menghimpun ayat-ayat Al-Quran yang berkaitan
dengan masalah pakaian. Untuk menghimpun ayat-ayat tersebut digunakan
aplikasi Guide For Human.
3. Mengurutkan tertib turunnya ayat-ayat tersebut berdasarkan waktu atau
masa penurunannya, untuk itu diperlukan daftar konversi kronologi surat
menurut urutan turunnya surah.
4. Mempelajari penafsiran ayat-ayat yang telah dihimpun itu dengan
penafsiran memadai dan mengacu pada kitab-kitab tafsir yang ada dengan
mengindahkan ilmu munasabah dan hadits.
5. Menghimpun hasil penafsiran di atas sedemikian rupa untuk kemudian
mengistimbathkan unsur-unsur asasi darinya.
6. Menarik kesimpulan berupa rumusan dari permasalahan penulis terhadap
ayat-ayat yang diteliti sebagai jawaban permasalahan yang diajukan.
Namun dalam penulisan skripsi ini, langkah-langkah metode maudhu’i
tidak digunakan sepenuhnya. Langkah-langkah penafsiran maudhu’i hanya
digunakan sebagaian saja sebagai panduan untuk mempermudah dalam penelitian.
Penulis juga mengumpulkan data dari buku-buku dan jurnal yang berkaitan
dengan penelitian.
D. Teknik Analisis Data
Setelah pengumpulan data, penulis menganalisis menggunakan metode
content analysis atau analisis isi, yaitu metode penelitian yang bersifat
pembahasan terhadap isi suatu informasi tertulis.
36
Penulis menggunakan metode tersebut untuk menganalisis isi dari
pembahasan penelitian yang dikutip dari kitab-kitab tafsir dan buku-buku yang
berkenaan dengan pembahasan penelitian. Keseluruhan isi dari kitab tafsir dan
buku tersebut dikumpulkan, dibaca, dipahami kemudian dianalisis untuk
diterjemahan ke dalam suatu pembahasan yang mudah dipahami oleh orang lain.
Miles dan Huberman mengemukakan bahwa aktivitas dalam analisis data
kualitatif dilakukan secara interaktif dan berlangsung secara terus menerus pada
setiap tahapan penelitian sehingga sampai tuntas, dan datanya sampai jenuh.
Aktivitas dalam analisis data, yaitu data reduction, data display, dan conclusion
drawing/verification. Langkah-langkah analisis ditunjukkan pada gambar berikut.
Gambar: 3.1
Teknik analisis data menurut Miles dan Huberman.
Data
collection
Data
reduction
Data display
Conclusion
drawing/verifying
37
1. Data reduction (reduksi data)
Data yang diperoleh dengan jumlah yang cukup banyak, untuk itu maka
perlu dicatat secara teliti dan rinci. Seperti telah dikemukakan semakin
lama peneiti mengumpulkan data, maka jumlah data akan semakin banyak,
kompleks dan rumit. Untuk itu perlu segera dilakukan analisis data melalui
reduksi data. Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal pokok,
memfokuskan pada hal-hal yang penting, dari tema dan polanya. Dengan
demikian data yang telah direduksi akan memberikan gambaran yang lebih
jelas, dan mempermudah peneliti untuk melakukan pengumpulan data
selanjutnya.
2. Data display (penyajian data)
Setelah data reduksi, maka langkah selanjutnya adalah menyajikan data.
Penyajian data dilakukan dengan bentuk uraian singkat, grafik, bagan,
hubungan antara kategori, dan flowchart. Dengan mendisplay data makan
akan memudahkan untuk memahami apa yang terjadi, merencanakan kerja
selanjutnya berdasarkan apa yang telah dipahami tersebut.5
3. Conclusion drawing/verification
Langkah ketiga dalam analisis data menurut Miles dan Huberman adalah
penarikan kesimpulan dan verifikasi. Kesimpulan yang dilakukan masih
bersifat sementara, dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti
yang kuat yang mendukung pada tahap pengumpulan data berikutnya.
Tetapi apabila kesimpulan yang dilakukan pada tahap awal, didukung oleh
5 Sugiono, metode penelitian kualitatif dan kuantitatif, (bandung CV: alfabeta, 2011),
hlm. 338.
38
bukti-bukti yang valid dan konsisten saat peneliti kembali mengumpulkan
data, maka kesimpulan yang ditemukan merupakan kesimpulan yang
kredibel.6
E. Teknik Penulisan
Penulisan dan penyusunan skripsi berpedoman pada buku Panduan
Penulisan Skripsi Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Ar-Raniry Darussalam
banda Aceh yang dikeluarkan pada tahun 2013. Penulis juga menggunakan
beberapa buku metode penelitian, buku referensi dan arah yang diperoleh dari
pembimbing selama proses bimbingan.7
6 Sugiono, metode penelitian..., hlm. 345
7 Tim Penyusunan, Panduan Penulisan Skripsi, (Banda Aceh: Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, 2013), hal. 21-77.
39
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Konsep fashion (berpakaian) dalam Al-Quran
Dalam Islam aturan fashion sudah termaktub di dalam Al-Quran yang
tidak bisa dipisahkan dengan aturan syariat. Hampir seluruh syariat yang
dibangun di dalam Al-Quran mengandung misi politikhukum identitas sehingga
mengarah pada suatu tujuan membentuk bangunan hukum yang terpadu, juga
memiliki identitas yang kuat. Konsep fashion memiliki nilai yang tinggi dalam
membentuk etika hukum dalam berpakaian bukan sekedar menggunakan dan
menutup bagian tubuh tetapi Islam telah menanamkan nilai-nilai filosofi yang
sangat tinggi tercermin dari konsep fashion. Bahkan fashion telah menjelma
menjadi identitas bagi setiap Muslim di dunia tanpa disadari menjadi
bargadingposition umat Islam.1
Adapun kriteria fashion dalam Islam, pakaian tersebut terbuat dari bahan
yang tebal dapat menutup warna kulit, pakaian tidak memperlihatkan lekuk tubuh,
bukan fungsi sebagai perhiasan yang menonjol atau terlalu modis, tidak
menyerupai pakaian laki-laki dalam artian identitas, dan memakai busana bukan
untuk mencari popularitas.
1 Musyfikah Ilyas, Memaknai Fashion dalam Hukum Islam, Ad-Daulah, Vol. 5, No. 1,
Juli 2016, hal. 133.
40
Fashion mencakup sesuatu yang berhubungan dengan gaya dan busana
atau pakaian seseorang yang dibentuk sedemikian rupa sesuai dengan zaman
tersebut. Semua pilihan berada pada masing-masing diri manusia, memilih
mengikuti petunjuk Allah hingga mengantarkan manusia pada kebaikan sejati atau
malah memilih jalan sebaliknya, yaitu mengikuti jalan hawa nafsu dan godaan
syaitan yang mengantar manusia kepada mudahnya diganggu. Hal ini tercantum
dalam firman Allah pada QS. Al-Ahzab/33: 59. Menutup aurat dan sebagian
perhiasan, disebutkan dalam QS. Al-A’raaf/7: 26, QS. An-Nahl/16: 14. Untuk
memelihara diri dari panas matahari, disebutkan dalam QS. An-Nahl/16: 81. Agar
terhindar dari godaan syaitan QS. Al-A’raaf/7: 27. Dan untuk beribadah kepada
Allah, disebutkan dalam QS. Al-A’raaf/7: 31.
2. Ayat-ayat Al-Quran tentang fashion(berpakaian)
a. Lafadz fashion(berpakaian) dalam Al-Quran
Lafadz dalam Al-Quran tentang fashion (berpakaian) yang penulis
gunakan dalam penelitian yaitu libas, tsiyab dan sarabil.
1) Libas
Kata libas mempunyai arti “apa yang dipakai”. Kata ini termasuk kata
benda yang berasal dari akar kata l-b-s atau لبس. Kata ini mempunyai dua bentuk
verbal (fi’il/kata kerja), bisa dibaca labisa dan labasa. Kata libas sendiri
merupakan bentuk nominal dari verba labisa yang berarti memakai.
Kata libas di dalam Al-Quran, pada mulanya berarti penutup, apapun yang
ditutup. Fungsi pakaian sebagai penutup amat jelas. Tetapi, perlu dicatat bahwa
41
ini tidak harus berarti “menutup aurat”, karena cincin yang menutup sebagian jari
juga disebut libas. Memang, kita boleh berkata bahwa yang menutup seluruh
badannya kecuali wajah dan (telapak) tangannya, menjalankan bunyi teks ayat,
bahkan mungkin berlebih. Namun dalam saat yang sama kita tidak wajar
menyatakan terhadap mereka yang tidak memakai kerudung, atau yang
menampakkan tangannya, bahwa mereka “secara pasti telah melanggar petunjuk
agama”. Bukankah Al-Quran tidak menyebut batas aurat? Para ulama pun ketika
membahasnya berbeda pendapat.2 Kata libas digunakan dalam Al-Quran untuk
menunjukkan pakaian lahir maupun batin.
2) Tsiyab
Tsiyab merupakan bentuk plural dari kata tsaub yang artinya sesuatu yang
dipakai. Akar kata tsa-wawu-ba, tsabayatsubu tsaub mempunyai makna dasar
kembali, yakni kembalinya sesuatu pada keadaan semula.3
Kata tsiyab dalam Al-Quran digunakan untuk menunjukkan pakaian lahir.
Kata ini diambil dari kata saub yang berarti kembali, yakni kembalinya sesuatu
pada keadaan semula, atau pada keadaan yang seharusnya sesuai dengan ide
pertamanya. Ungkapaan yang menyatakan, bahwa “awalnya adalah ide dan
akhirnya adalah kenyataan”. Ungkapan ini berarti kenyataan harus dikembalikan
kepada ide asal, karena kenyataan adalah cerminan dari ide asal.
2 M. Quraish Shihab, Jilbab Pakaian wanita Muslimah, Pandangan Ulama’ Masa lalu
dan Cendekiawan Kontemporer, (Jakarta: Lentera Hati, 2006), hal. 188-189.
3 Jumhuriyyah Mashr Mujamma’ Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Watsith, (Kairo:
Dar al-Syuruq, 2004), hal. 102.
42
Al-Raghib al-Isfahani, seorang pakar bahasa Al-Quran, menyatakan
bahwa pakaian dinamai tsiyab atau saub, karena ide dasar adanya bahan-bahan
pakaian adalah agar dipakai. Jika bahan-bahan tersebut setelah dipintal kemudian
menjadi pakaian, maka pada hakikatnya ia telah kembali pada ide dasar
keberadaannya.
3) Sarabil
Kamus-kamus bahasa mengartikan kata sarabil sebagai gamis, kemeja
atau baju perang. Adapula yang mengatakan sarabil adalah pakaian, apapun jenis
bahannya. Kata ini mempunyai bentuk kata kerja fi’il madhi sarbala yang berarti
memakaikan. Sababil merupakan bentuk plural dari sirbal yang berarti segala
sesuatu yang dipakai.
Kata sarabil bisa diartikan sebagai fungsi pakaian untuk melindungi diri
dari panas, dingin dan bahaya dalam peperangan. Hanya dua ayat yang
menggunakan kata tersebut, yaitu dalam surah An-Nahl ayat 81 yang diartikan
sebagai pakaian yang berfungsi menangkal sengatan panas, dingin dan bahaya
peperangan. Kemudian dalam surat Ibrahim ayat 50, tentang siksa yang akan
dialami orang-orang berdosa kelak di hari kemudian: pakaian mereka dari
pelangkin.4
4 M. Quraish Shihab, wawasan Al-Quran: tafsir Tematik Atas Pelbagai Persoalan Umat,
(Bandung: Mizan Pustaka, 2007), hal. 155-157.
43
b. Persamaan dan Perbedaan Libas, Tsiyab dan Sarabil
Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, bahwa ketiga lafadz tersebut
sama-sama diterjemahkan dengan kata “pakaian” dalam bahasa Indonesia,
ternyata terdapat perbedaan mendasar dalam ketiga lafadz di atas, perbedaan
tersebut adalah sebagai berikut:
1. Kata libas mempunyai makna dasar pakaian yang berfungsi sebagai penutup
aurat dan perhiasan. Dalam budaya Arab sebelum turunnya Al-Quran, kata
libas mempunyai konotasi sekuler, artinya penggunaan kata pakaian hanya
disandarkan dengan hal-hal yang indah saja. Kata libas dipakai untuk
menggambarkan pakaian surgawi yang indah. Sehingga pakaian tidak hanya
mempunyai nuansa sekuler namun juga mempunyai nuansa religius. kata
libas hanya digunakan untuk pakaian di dunia dan di surga, tidak seperti kata
tsiyab yang digunakan untuk surga dan neraka. Libas juga tidak digunakan
untuk mengungkapkan pakaian perang.
2. Kata tsiyab mempunyai arti leksikal pakaian, yakni pakaian secara general,
apapun bentuk pakaiannya. Kata ini dalam makna pakaian hanya mempunyai
dua bentuk kata, yakni tsaub sebagai bentuk tunggal dan tsiyab untuk bentuk
plural. Kata ini berkonotasi sebagai pakaian biasa. Apa saja yang dikenakan
bisa dikatakan sebagai tsiyab. Penggunaan kata tsiyab dalam budaya Arab
juga sering dikinayahkan untuk mengungkapkan etika buruk seseorang. Hal
inilah yang kemudian dirubah oleh Al-Quran. Kata tsiyab digunakan dalam
Al-Quran untuk menggambarkan pakaian sehari-hari juga pakaian yang indah
di surga.
44
3. Kata sarabil mencakup segala bentuk dan fungsi pakaian, termasuk dalam hal
ini baju perang, hanya saja sarabil tidak mempunyai keterkaitan dengan
pakaian indah. Fungsi intinya adalah pakaian sebagai pelindung baik dari
bahaya cuaca maupun dari bahaya perang. Oleh karena itu, dari fungsinya
sebagai baju perang yang terbuat dari besi, Allah menggambarkan pakaian
panas sebagai siksa bagi penghuni neraka.
c. Klarifikasi ayat Al-Quran tentang fashion (berpakaian)
Ayat Al-Quran tentang fashion (berpakaian) yang penulis gunakan yaitu:
1. Menutup aurat sebagai perhiasan
a. QS. Al-A’raaf/7: 26
artinya:“Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan
pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian
dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat”.5
(QS. Al-A’raaf/7: 26)
b. QS. An-Nahl/16: 14
Artinya: dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu
dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu
mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat
5 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Jakarta: Insan Media Pustaka,
2013), hal. 153.
45
bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari
karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur6. (QS. An-Nahl/16: 14)
2. Memelihara diri dari panas matahari dan bahaya lain
QS. An-Nahl/16: 81
Artinya: “dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah
Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-
gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan
pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah
Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-
Nya)”.7 (QS. An-Nahl/16: 81)
3. Menghindari godaan syaitan
QS. Al-A’raaf/7: 27
Artinya: “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh
syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia
menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada
keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu
dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami
telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang
yang tidak beriman”.8 (QS. Al-A’raaf/7: 27)
6 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 268.
7 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 276.
8 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 153.
46
4. Dikenal sebagai muslimah dan terhindar dari gangguan
QS. Al-Ahzab/33: 59
Artinya: “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.9 (QS. Al-Ahzab/33:
59)
5. Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala
QS. Al-A’raaf/7: 31
Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap
(memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.10
(QS. Al-A’raaf/7: 31)
6. Tidak berhias dan bertingkah laku seperti orang Jahiliyah
QS. Al-Ahzab/33: 33
Artinya:dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya
9 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 426.
10
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal, 154.
47
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya11
.(QS. Al-Ahzab/33:33)
3. Penafsiran mufassir terhadap ayat-ayat Al-Quran tentangfashion
(berpakaian)
Penulis menggunakan dua tafsir untuk menafsirkan ayat-ayat tentang
fashion/pakaian yang dipaparkan di atas, yaitu Tafsir Al-Mishbah karya
M.Quraish Shihab dan Tafsir Ibnu Katsir karangan Abdullah bin Muhammad.
Berikut dijelaskan penafsiran kedua mufassir terhadap ayat-ayat tersebut.
a. Menutup aurat dan sebagai perhiasan
1. QS. Al-A’raaf/7: 26
artinya: “Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan
pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian
dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat”.12
(QS. Al-A’raaf/7: 26)
Pada tafsir Al-Mishbah dijelaskan bahwa: “hai anak anak Adam”, yakni
manusia putra putri Adam sejak putra pertama hingga anak terakhir dari
keturunannya “sesungguhnya kami” Tuhan Yang Maha Kuasa “telah menurunkan
kepada kamu pakaian”, yakni menyiapkan bahan pakaian “untuk menutupi saut-
saut kamu”, yakni aurat lahiriah serta kekurangan-kekurangan batiniah yang dapat
kamu gunakan sehari-hari, “dan” menyiapkan pula “bulu”, yakni bahan-bahan
11 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal, 422.
12
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 153.
48
pakaian indah untuk menghiasi diri kamu dan yang kamu gunakan dalam
peristiwa-peristiwa istimewa. “dan” di samping itu ada yang kami anugerahkan
yaitu “pakaian takwa”. “itulah” pakaian yang terpenting dan “yang paling baik”.
“yang demikian itu”, yakni penyiapan aneka bahan pakaian “adalah sebagian dari
tanda-tanda kekuasaan Allah, mudah-mudahan”, yakni dimaksudkan dari
penyiapan pakaian itu adalah agar “mereka selalu ingat”, kepada Allah swt. dan
nikmat-nikmat-Nya.
Thahir Ibn ‘Asyur mengomentari ayat ini antara lain bahwa Allah
mengilhami Adam as. agar menutup auratnya. Ini kemudian ditiru oleh anak
cucunya. Manusia seluruhnya diingatkan tentang nikmat itu untuk mengingat
bahwa itu adalah warisan dari Adam as., dan ini akan lebih mendorong mereka
untuk bersyukur. Karena itu lanjut Ibn ‘Asyur, ayat ini menggunakan kata “kami
telah menurunkan” untuk menunjukkan manfaat kegunaan pakaian.
Kata “libas” adalah segala sesuatu yang dipakai, baik penutup badan,
kepala, atau yang dipakai di jari, lengan seperti cincin dan gelang.
Kata “risy” pada mulanya berarti bulu, dan karena bulu binatang
merupakan hiasan dan hingga kini dipakai oleh sementara orang sebagai hiasan,
baik di kepala maupun melilit di leher, maka kata tersebut dipahami dalam arti
pakaian yang berfungsi sebagai hiasan.
Dari sini dapat dipahami dua fungsi dari sekian banyak fungsi pakaian.
Pertama, sebagai penutup bagian-bagian tubuh yang dinilai oleh agama dan atau
dinilai oleh seseorang atau masyarakat sebagai buruk bila dilihat, dan yang kedua,
adalah sebagai hiasan yang menambah keindahan pemakainya. Ini memberi
49
isyarat bahwa agama memberi peluang yang cukup luas untuk memperindah diri
dan mengekspresikan keindahan. 13
Abdullah bin Muhammad dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa
melalui ayat ini Allah memberikan kemurahan kepada hamba-hamba-Nya, yaitu
berupa penciptaan pakaian dan perhiasan bagi mereka. Kata “al-libasu” dalam
ayat tersebut berarti penutup aurat. Sedangkan kata “al-riyasyu” dan “al-risu”
berarti sesuatu yang digunakan untuk menghiasi diri.
Jadi pakaian merupakan sesuatu yang bersifat primer (pokok), sedangkan
perhiasan hanya sebagai pelengkap dan tambahan.
Dan firman Allah berikutnya: “dan pakaian takwa itulah yang paling
baik”. Sebagian dari ulama membaca kalimat ini “walibasu al-taqwa” dengan
menggunakan “fattah” pada huruf “sin”. Sedangkan ulama lainnya membacanya
dengan menggunakan “dhammah” pada huruf “sin” dengan kedudukannya seagai
“mubtada’”, sedangkan “dzalika khair” berkedudukan sebagai “khabar”
(predikat).
Para ahli tafsir berbeda pendapat mengenai makna kalimat tersebut
(libasut-takwa). ‘Ikrimah berkata: “Ada yang mengatakan, ‘yaitu apa yang dipakai
oleh orang-orang yang bertakwa pada hari Kiamat kelak”. (Demikian
diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim)
Sedangkan Zaid bin ‘Ali, as-Suddi, Qatada dan Ibnu Juraij mengatakan:
“libasut-takwa” adalah iman.
Al-‘Aufi mengatakan dari Ibnu ‘Abbas: “Yaitu adalah amal shalih”.
13
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol 5,
(Jakarta: Lentera Hati, 2002), hal. 58.
50
Ad-Diyal bin ‘Amr mengatakan dari Ibnu ‘Abbas: “Yaitu keceriaan pada
wajah”.
Dari ‘Urwah bin az-Zubair: (libasut-takwa) “Berarti takut kepada Allah”.
Dan ‘Abdurrahman bin Zaid bin Aslam mengatakan: “walibasut-taqwa”
berarti mereka takut kepada Allah swt, lalu Dia menutupi auratnya.14
2. QS. An-Nahl/16: 14
Artiya: dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu
dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu
mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat
bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari
karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.15
(QS. An-Nahl/16:14)
Ayat ini menyatakan bahwa: “dan Dia”, yakni Allah swt, “yang
menundukkan lautan” dan sungai serta menjadikannya arena hidup binatang dan
tempat tumbuh berkembang serta pembentukan aneka perhiasan. Itu dijadikan
demikian “agar kamu” dapat menangkap hidup-hidup atau yang mengapung dari
ikan-ikan dan sebangsanya yang berdiam disana sehingga kamu dapat “memakan
darinya danging yang segar” yakni binatang-binatang laut itu “dan kamu” dapat
“mengeluarkan”, yakni mengupayakan dengan cara bersungguh-sungguh untuk
14
Abdullah Bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Jil 3, (Jakarta: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i, 2008), hal. 456-458.
15
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 268.
51
dapat “darinya”, yakni dari laut dan sungai itu “perhiasan yang kamu pakai”;
seperti permata, mutiara, merjan dan semacamnya.
Dan disamping itu “kamu melihat” wahai yang dapat melihat, menalar dan
merenung betapa kuasanya Allah sehingga “bahtera” dapat “berlayar padanya”,
membawa barang-barang dan bahan makanan, kemudian betapapun beratnya
bahtera itu ia tidak akan tenggelam, sedang air yang dilaluinya sedemikian lunak
Allah menundukkan itu agar kamu memanfaatkannya “dan agar kamu”
bersungguh-sungguh “mencari” rezeki, sebagian “dari karunia-Nya” itu “dan agar
kamu” terus menerus “bersyukur”, yakni menggunakan anugerah itu sesuai
dengan tujuan penciptaannya untuk kepentingan kamu dan generasi-generasi
sesudah kamu dan juga untuk makhluk selain kamu.16
Kata “tastakhiruun” terambil dari kata “akhraja” yang berarti
“mengeluarkan”. Penambahan huruf “sin” dan “ta” pada kata itu mengisyaratkan
upaya sungguh-ungguh . ini berarti untuk memperoleh perhiasan itu dibutuhkan
upaya melebihi upaya menangkap ikan, apalagi ikan-ikan yang mati dan telah
mengapung dilautan atau terdampar di darat. Pendapat ini lebih baik dari pendapat
ibn ‘Asyur yang memahami penambahan tersebut dalam arti “banyak”, yakni
memperoleh dari lautan, perhiasan yang banyak.
Penggalan ayat ini juga menunjukkan betapa kuasa Allah swt. Dia
menciptakan batu-batu dan mutiara yang demikian kuat serta sangat jernih, disatu
arena yang sangat lunak yang bercampur dengan aneka sampah dan kotoran.
16
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol
7...hal. 198.
52
Kata “mawakhir” terambil dari kata “al-makhr” yaitu pelayaran bahtera
membelah laut kiri dan kanan menghadapi angin sehingga memperdengarkan
suara yang menakjubkan. Kata “tara’/kamu lihat” ditujukan kepada siapapun yang
dapat melihat dengan pandangan mata dan atau dengan nalar. Penggunaan kata ini
dimaksudkan sebagai anjuran untuk melihat dan merenung betapa indah serta
mengagumkan objek tersebut. Redaksi “melihat” apalagi dalam bentuk
pertanyaan sering kali digunakan Al-Quran untuk maksud dorongan merenung
dan memperhatikan sesuatu yang aneh atau menakjubkan.
Kalimat “litabaghu min fadhlihi” agar kamu bersungguh-sungguh mencari
(sebagian)dari karunianya” dipahami oleh sementara ulama seperti Ibnu‘Asyur
dalam arti terbatas, yakni hanya pada perdagangan sambil merujuk kepada firman-
Nya.17
Abdullah bin Muhammad dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa
Allah memberi kabar tentang pengendalian-Nya terhadap lautan yang ombaknya
bergemuruh, dan Allah memberi anugerah kepada hamba-Nya dengan
menundukkan lautan itu untuk mereka mudah untuk mengarunginya. Menjadikan
di dalamnya ikan besar dan kecil; menjadikan daging-dagingnya halal, baik hidup
atau yang mati, ketika halal (di luar kegiatan haji dan umrah) atau ketika ihram,
dan Allah memberi anugerah kepada mereka dengan apa yang Allah ciptakan di
dalam lautan, berupa mutiara dan permata sangat beharga. Allah memudahkan
bagi mereka untuk mengeluarkan mutiara dan permata dari tempatnya, sehingga
menjadi perhiasan yang mereka pakai.
17
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol
7...hal. 199-200.
53
Dan Allah memberi anugerah kepada mereka dengan menundukkan lautan
supaya perahu-perahu dapat berlayar mengarunginya dan dikatakan pula, angin
yang menggerakkannya bahtera pada lambungnya yang melengkung, Allah yang
mengajari hamba-hamba-Nya tentang membuat perahu yang merupakan warisan
dari bapak mereka, Nabi Nuh as karena dialah orang pertama yang mengendarai
perahu, lalu orang-orang mengambil contoh darinya, dari abad ke abad, dari
generasi ke generasi, mereka berlayar dari negara ke negara, dan dari negeri ke
negeri, dari benua ke benua, untuk mengambil apa yang ada di sana, untuk apa
yang ada di sini. Dan apa yang ada di sini, untuk apa yang ada di sana.
Maka dari itu Allah berfirman: “dan supaya kamu mencari (keuntungan)
dari karunia-Nya dan supaya kamu bersyukur”. Maksudnya, nikmat-nikmat-Nya
dan kebaikan-kebaikan-Nya. Kemudian Allah swt menyebutkan bumi dan apa
yang ada di dalamnya berupa gunung-gunung yang tinggi dan kokoh agar bumi
tenang dan tidak goncang dengan apa yang ada di atasnya berupa binatang-
binatang, karena kalau bumi goncang, binatang-binatang itu tidak nyaman
hidupnya.18
b. Memelihara diri dari panas matahari dan bahaya lain
QS. An-Nahl/16: 81
18
Abdullah Bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Jil 5...hal. 131-132.
54
Artinya: “dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang
telah Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di
gunung-gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari
panas dan pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan.
Demikianlah Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu
berserah diri (kepada-Nya)”.19
(QS. An-Nahl/16: 81)
Setelah ayat yang lalu menyebut perumahan yang hanya dihuni oleh
manusia, kini disebutnya tempat tinggal yang lain dimana manusia dan binatang
dapat menghuninya. Demikian al-Biqa’i menghubungkan ayat ini dengan ayat
sebelumnya. Atau dapat juga dikatakan bahwa setelah berbicara tentang
perumahan yang berfungsi memberi naungan sempurna dan permanen, kini
diuraikan tentang naungan dalam bentuk lain yaitu dengan menyatakan bahwa:
“dan Allah menjadikan bagi kamu dari apa yang telah dia ciptakan” seperti
pepohonan, atau bangunan-bangunan tinggi “tempat-tempat bernaung” dari cuaca
panas atau dingin, “dan dia jadikan bagi kamu tempat-tempat tertutup” yakni gua
dan lorong-lorong “di gunung-gunung” yang dapat kamu jadikan tempat tinggal
atau bernaung sebagaimana halnya rumah-rumah “dan Dia jadikan bagi kamu
pakaian” dari berbagai bahan seperti kapas, katun dan wol “yang” dapat
“memelihara kamu dari” sengatan “panas” dan dingin dan pakaian berupa baju-
baju besi yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah sebagaimana
Allah menciptakan kamu dari tiada dan menganugerahkan kamu sarana kehidupan
duniawi, Allah juga menyempurnakan nikmatnya atas kamu dengan jalan
mengutus para nabi untuk menyampaikan petunjuk keagamaan agar kamu
berserah diri, yakni tunduk patuh melaksanakan perintah-Nya.
19
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 276.
55
Kata “aknan” adalah bentuk jamak dari kata “kinn”, yakni “sesuatu yang
menutupi”, dan yang dimaksud disini adalah “gua” dan semacamnya yang sering
ditemuka di pegunungan, sedang kata “sarabil” adalah bentuk dari jamak kata
“sirbal” yaitu “pakaian yang menutupi tubuh manusia”, dengan tujuan apapun
seperti baju atau perisai.
Ayat di atas tidak menyebut secara tersurat fungsi pakaian sebagai
pemelihara dari sengatan dingin. Ini bukan saja karena masyarakat arab-
khususnya di tempat turunnya ayat ini di Mekah, lebih merasakan sengatan panas.
Serta pada ayat ini disebut dua fungsi pakaian, yaitu memelihara dari sengatan
panas dan dingin dan memeliharadari serangan musuh.20
Pada Tafsir Ibnu Katsir disebutkan bahwa firman Allah: “dan Dia jadikan
bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas”, yaitu, pakaian yang terbuat dari
kapas, katun dan wol. “dan pakaian (baju besi) yang memeliharamu dalam
peperangan”. Misalnya, baju besi, tameng, dan lain-lain. “Demikianlah Allah
menyempurnakan nikmat-Nya atasmu”. Maksudnya, demikian itulah Allah
menciptakan sesuatu yang dapat kalian gunakan untuk berbagi kepentingan dan
kebutuhan kalian supaya menjadi penolong (sarana) bagi kalian dalam mentaati
Allah dan beribadah kepada-Nya, “Agar kamu berserah diri (kepada-Nya)”.
Demikianlah yang ditafsirkan oleh Jumhur Ulama.21
20
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol
7...hal. 309-310.
21 Abdullah Bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Jil 5...hal. 175.
56
c. Menghindari godaan syaitan
QS. Al-A’raaf/7: 27
Artinya: “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh
syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia
menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada
keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu
dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami
telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang
yang tidak beriman”.22
(QS. Al-A’raaf/7: 27)
Ayat ini masih merupakan lanjutan tuntunan yang lalu yang ditujukan
kepada putra putri Adam as., atau dalam istilah yang digunakan Sayyid Quthub ia
masih merupakan lanjutan masa perhentian agar kita dapat merenungkan pelajaran
yang dapat ditarik dari episode tentang kisah manusia. Renungan kali ini berkaitan
dengan tipu daya setan untuk menangkalkan pakaian lahir dan batin manusia. Di
sini Allah mengingatkan bahwa: “Hai anak-anak Adam”, yakni semua manusia
hingga akhir masa, “jangan sekali-kali kamu” terperdaya dan dapat “ditipu oleh
syaitan sebagaimana ia telah” menipu hingga ia “mengeluarkan”, yakni menjadi
sebab keluarnya “ibu dan bapak kamu dari surga”. Ia secara terus menerus
berupaya merayu dan menggoda dengan penuh kesungguhan sehingga akhirnya ia
22 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 153.
57
berhasil “mencabut”, yakni menanggalkan dengan paksa “dari keduanya pakaian
mereka berdua untuk memperlihatkan kepada keduanya sauat mereka berdua”.23
Abdullah bin Muhammad dalam Tafsir Ibnu Katsir menyebutkan bahwa
Allah mengingatkan anak cucu Adam dari iblis dan pengikut-pengikutnya dengan
menerangkan kepada mereka permusuhan yang pernah dilakukan oleh iblis pada
waktu dulu kepada bapak (seluruh) manusia, yaitu Adam as. Mengingatkan usaha
iblis mengeluarkan Adam dari Surga yang merupakan tempat kenikmatan menuju
tempat yang penuh dengan kelelahan dan kepayahan, serta yang menyebabkan
terlepasnya penutup auratnya setelah sebelumnya tertutup rapat. Yang demikian
itu tidak lain merupakan sebuah permusuhan yang mendalam.24
d. Dikenal sebagai muslim dan terhindar dari gangguan
QS. Al-Ahzab/33: 59
Artinya: “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.25
(QS. Al-Ahzab/33:
59)
Setelah ayat-ayat yang lalu melarang siapa pun mengganggu dan
menyakiti Nabi saw., bersama kaum mukminin dan mukminat, kini secara khusus
23 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol 5
...hal. 62.
24
Abdullah Bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Jil 3... hal. 458.
25
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 426.
58
pada kaum mukminat – bermula dari istri Nabi Muhammad saw. – diperintahkan
untuk menghindari sebab-sebab yang dapat menimbulkan penghinaan dan
pelecehan.
Sebelum turunnya ayat ini, cara berpakaian wanita merdeka atau budak,
yang baik-baik atau yang kurang sopan hampir dapat dikatakan sama. Karena itu
lelaki usil sering kali mengganggu wanita-wanita khususnya yang mereka ketahui
atau duga sebagai hamba sahaya. Untuk menghindari gangguan tersebut, serta
menampakkan kehormatan wanita muslimah ayat di atas turun menyatakan: “Hai
Nabi” Muhammad “katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan
wanita-wanita” keluarga “orang-orang mukmin agar mereka mengulurkan atas
diri mereka” yakni ke seluruh tubuh mereka “jilbab mereka”. Yang demikian “itu
menjadikan mereka lebih mudah dikenal” sebagai wanita-wanita terhormat atau
sebagai wanita-wanita muslimah, atau sebagai wanita-wanita merdeka “sehingga”
dengan demikian “mereka tidak diganggu. Dan Allah” senantiasa “maha
pengampun lagi maha penyayang”.26
Kalimat: “nisa al-mu’minin” diterjemahkan oleh tim Departemen Agama
dengan “istri-istri orang mukmin”. Penulis lebih cenderung menerjemahkannya
dengan “wanita-wanita orang-orang mukmin” sehingga ayat ini mencakup juga
gadis-gadis semua orang mukmin bahkan keluarga mereka semuanya.
Kata: “ ‘alaihinna/ di atas mereka” menegaskan bahwa seluruh badan
mereka tertutupi oleh pakaian. Nabi saw.mengecualikan wajah dan telapak tangan
atau dan beberapa bagian lain dari tubuh wanita.
26M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol 11
...hal.319.
59
Kata: “jilbab” diperselisihkan makna oleh ulama. Al-Biqa’i menyebut
beberapa pendapat. Antara lain, baju yang longgar atau kerudung penutup kepala
wanita, atau pakaian yang menutupi baju dan kerudung yang dipakainya, atau
semua pakaian yang menutupi wanita. Semua pendapat ini menurut al-Biqa’i
dapat merupakan makna kata tersebut. Kalau yang dimaksud dengannya adalah
baju, maka ia adalah menutupi tangan dan kakinya, kalau kerudung, maka
perintah mengulurkannya adalah menutup wajah dan lehernya. Kalau maknanya
pakaian yang menutupi baju, maka perintah mengulurkannya adalah membuatnya
longgar sehingga menutupi semua badan dan pakaian.
Thabathaba’i memahami kata “jilbab” dalam arti pakaian yang menutupi
seluruh badan atau kerudung yang menutupi kepala dan wajah wanita.
Ibn ‘Asyur memahami kata “jilbab” dalam arti pakaian yang lebih kecil
dari jubah tetapi lebih besar dari kerudung atau penutup wajah. Ini diletakkan
wanita di atas kepala dan terulur kedua sisi kerudung itu melalui pipi hingga
keseluruh bahu dan belakangnya. Ibn ‘Asyur menambahkan bahwa model jilbab
bisa bermacam-macam sesuai perbedaan keadaan (selera) wanita dan yang
diarahkan oleh adat kebiasaan. Tetapi tujuan yang dikehendaki ayat ini adalah
“...menjadikan mereka lebih mudah dikenal sehingga mereka tidak diganggu”.27
Kata “tudni” terambil dari kata “dana” yang berarti “dekat” dan menurut
Ibn ‘Asyur yang dimaksud di sini adalah “memakai” atau ‘meletakkan”.
Ayat di atas tidak memerintah wanita muslimah memakai jilbab, karena
agaknya ketika itu sebagian mereka telah memakainya, hanya saja cara
27
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol 11
...hal. 320.
60
memakainya belum mendukung apa yang dikehendaki ayat ini. Kesan ini
diperoleh dari redaksi ayat di atas yang menyatakan “jilbab mereka” dan yang
diperintahkan adalah “Hendaklah mereka mengulurkannya”. Ini berarti mereka
telah memakai “jilbab” tetapi belum lagi mengulurkannya. Terhadap mereka
yang telah memakai jilbab, tentu lebih-lebih lagi yang belum memakainya, Allah
berfirman: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya”.
Firman-Nya: “wa kana Allah ghafuran rahima/ Allah Maha pengampun
lagi maha penyayang” dipahami oleh Ibn ‘Asyur sebagai isyarat tentang
pengampunan Allah atas keselamatan mereka yang mengganggu sebelum
turunnya petunjuk ini. Sedangkan al-Biqa’i memahaminya sebagai isyarat tentang
pengampunan Allah kepada wanita-wanita mukminah yang pada masa itu belum
memakai jilbab – sebelum turunnya ayat ini. Dapat juga dikatakan bahwa kalimat
itu sebagai isyarat bahwa mengampuni wanita-wanita masa kini yang pernah
terbuka auratnya, apabila mereka segera menutupnya atau memakai jilbab, atau
Allah mengampuni mereka yang tidak sepenuhnya melaksanakan tuntunan Allah
dan Nabi, selama mereka sadar akan kesalahannya dan berusaha sekuat tenaga
untuk menyesuaikan diri dengan petunjuk-petunjuk-Nya.28
Abdullah bin Muhammad dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelakan bahwa
Allah berfirman memerintahkan Rasul-Nya untuk memerintahkan wanita–
“khususnya isteri-isteri dan anak-anak perempuan beliau karena kemuliaan
mereka” – untuk mengulurkan jilbab mereka, agar mereka berbeda dengan ciri-
ciri wanita Jahiliyyah dan ciri-ciri wanita budak. Jilbab adalah “ar-rida’ (kain
28
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol
11 ...hal. 321.
61
penutup)” lebih besar dari kerudung. Itulah yang dikatakan oleh Ibnu Mas’ud,
‘Ubaidah, Qatadah, al-Hasan al-Bashri, Sa’idb bin Jubair, Ibrahim an-Nakha’i,
‘Atha’ al-Khurasani dan selain mereka. Jilbab sama dengan “izar (kain)” saat ini.
Al-Jauhari berkata: “jilbab adalah pakaian yang menutupi seluruh tubuh”.
Seorang wanita dari suku Hudzail berkata ketia berduka cita atas kematian
keluarganya “Burung-burung elang berjalan mendatanginya dengan tenang seperti
jalannya gadis-gadis yang mengenakan jilbab-jilbabnya”.
‘Ali bin Abi Thalhah berkata dari Ibnu ‘Abbas: “Allah memerintahkan
wanita-wanita kaun Mukminin, jika keluar dari rumah mereka untuk satu
keperluan agar menutup wajah mereka dari atas kepala mereka dengan jilbab serta
menampakkan satu mata”.
Muhammad bin Sirin berkata: “Aku bertanya kepada ‘Ubaidah as-Salmani
tentang firman Allah swt: “hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya keseluruh
tubuh mereka”. Lalu dia menutup wajah dan kepalanya serta menampakkan
matanya yang kiri. ‘Ikrimah berkata: ‘Dia menutup bagian pipinya dengan
jilbabnya yang diulurkan di atasnya’”.29
Ibnu Abi Hatim berkata, bahwa Ummu Salamah berkata: “Tatkala ayat ini
turun, “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”,
wanita-wanita Anshar keluar, seakan-akan di atas kepala mereka itu terdapat
burung gagak karena ketenangan jalannya. Di atas mereka terdapat pakaian-
pakaian hitam yang mereka pakai.
29
Abdullah Bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Jil 7...hal. 338.
62
As-Suddi berkata dalam firman Allah swt: “Hai Nabi, katakanlah kepada
isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu dan isteri-isteri orang Mukmin:
‘Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka’. Yang
demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak
diganggu”. Dahulu orang-orang fasik penduduk Madinah keluar di waktu malam
di saat kegelapan malam menyelusuri jalan-jalan Madinah. Lalu mereka mencari
wanita-wanita. Dahulu rumah-rumah penduduk Madinah sangat sempit. Jika
waktu malam tiba, wanita-wanita itu keluar ke jalan-jalan untuk menunaikan hajat
mereka. Lalu orang-orang fasik itu mencari-cari mereka. Jika mereka melihat
wanita-wanita memakai jilbab, mereka berkata: “Ini wanita merdeka, tahanlah diri
dari mereka”. Dan jika mereka melihat wanita tidak memakai jilbab, mereka
berkata: “Ini adalah budak wanita”. Maka mereka menggodanya.
Firman Allah swt: “dan Allah adalah maha pengampun dan maha
penyayang”. Terhadap apa yang telah berlalu di masa Jahiliyyah sebab mereka
tidak tahu hukumnya. Kemudian Allah mengancam orang-orang munafik, yaitu
mereka menampakkan keimanan dan menyembunyikan kekufuran.30
e. Beribadah kepada Allah
QS. Al-A’raaf/7: 31
30
Abdullah Bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Jil 7...hal. 339.
63
Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap
(memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.31
(QS. Al-A’raaf/7: 31)
Setelah ayat yang lalu menjelaskan bahwa Allah memerintah Al-Qisth dan
meluruskan wajah disetiap masjid, maka ayat ini mengajak: “Hai anak-anak
Adam, pakailah pakaian kamu yang indah” minimal dalam bentuk menutup aurat,
karena membukanya pasti buruk. Lakukan itu “di setiap” memasuki dan berada di
“masjid”, baik masjid dalam arti bangunan khusus, maupun dalam pengertian
yang luas, yakni persada bumi ini, “dan makanlah” makanan halal, enak,
bermanfaat lagi bergizi, berdampak baik “serta minumlah” apa saja, yang kamu
sukai selama tidak memabukkan tidak juga mengganggu kesehatan kamu “dan
janganlah berlebih-lebihan” dalam segala hal, baik dalam beribadah dengan
menambah cara atau kadarnya demikian juga dalam makan dan minum atau apa
saja, karena “sesungguhnya Allah tidak menyukai”, yakni tidak melimpahkan
rahmat dan ganjaran bagi “orang-orang yang berlebih-lebihan” dalam hal apa pun.
Sementara ulama menyatakan bahwa ayat ini turun ketika beberapa orang
sahabat Nabi saw, bermaksud meniru kelompok Al-Hummas, yakni kelompok
suku Quraisy dan keturunannya yang sangat menggebu-gebu semangat
beragamanya sehingga enggan berthawaf kecuali memakai pakaian baru yang
belum pernah dipakai melakukan dosa, serta sangat ketat dalam memilih makanan
serta kadarnya ketika melaksanakan ibadah haji. Sementara sahabat Nabi saw
31 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal, 154.
64
berkata: “Kita lebih wajar melakukan hal demikian daripada al-Hummas”, ayat di
atas turun menegur dan memberi petunjuk bagaimana yang seharusnya dilakukan.
Penggalan akhir ayat ini merupakan salah satu prinsip yang diletakkan
agama menyangkut kesehatan dan diakui pula oleh para ilmuan terlepas apapun
pandangan hidup atau agama mereka.32
Abdullah bin Muhammad dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa
ayat ini merupakan bantahan atas tindakan orang-orang musyrik, yang dengan
sengaja mengerjakan thawaf di Baitullah dalam keadaan tidak berpakaian.
Sebagaimana yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, An-Nasa’i dan Ibnu Jarir.
Maka Allah swt berfirman: “pakailah pakaianmu yang indah di setiap (memasuki)
mesjid”.
Demikian yang dikatakan oleh Mujahid, ‘Atha’, Ibrahim an-Nakh’i, Sa’id
bin Jubair, Qatadah, as-Suddi, adh-Dhahhak dan Malik, dari az-Zuhri dan
beberapa ulama Salaf dalam memberikan penafsiran terhadap ayat tersebut.
Karena ayat tersebut juga beberapa pengertian (yang menunjukkan) hal itu
di dalam Sunnah, yaitu disunnahkan untuk menghias diri ketika hendak
mengerjakan shalat, lebih-lebih pada hari Jum’at dan hari raya. Juga disunnahkan
untuk memakai wangi-wangian, karena itu termasuk perhiasan, serta bersiwak,
karena merupakan bagian dari kesempurnaan pakaian tersebut. Dan di antara
pakaian yang paling baik adalah yang berwarna putih, sebagaimana yang
diriwayatkan oleh Imam Ahmad, dari Ibnu ‘Abbas ra, sebagai hadits marfu’, ia
berkata: Rasulullah saw bersabda:
32
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol 5
...hal. 75-76.
65
“pakailah pakaian kalian yang berwarna putih, karena sesungguhnya ia adalah
sebaik-baik pakaian kalian. Dan kafanilah orang-orang yang mati di antara kalian
dengannya. Dan sesungguhnya sebaik-baik celak mata kalian adalah yang dibuat
dari batu itsmid, karena ia dapat memperjelas pandangan mata dan menumbuhkan
rambut”. (HR. Ahmad)
Imam Ahmad meriwayatkan dari ‘Amr bin Syu’aib, dari ayahnya, dari
kakeknya, bahwa Rasulullah saw pernah bersabda:
“makan, minum, berpakaian, dan bersedekahlah kalian dengan tidak sombong dan
tidak berlebih-lebihan, karena sesungguhnya Allah suka melihat nikmat-Nya
tampak pada hamba-Nya”. (Hadits ini diriwayatkan pula oleh an-Nasa’i dan Ibnu
Majah).33
f. Tidak berhias dan bertingkah laku seperti orang Jahiliyah
QS. Al-Ahzab/33: 33
Artinya:dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya34
.(QS. Al-Ahzab/33:33)
Setelah ayat yang lalu memberi tuntutan kepada istri-istri Nabi saw.
menyangkut ucapan, kini dilanjutkan dengan bimbingan menyangkut perbuatan
33
Abdullah Bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Jil 3... hal. 465-468.
34 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal, 422.
66
dan tingkah laku. Allah berfirman: “Dan” disamping itu “tetaplah kamu” tinggal
“di rumah kamu” kecuali jika ada keperluan untuk keluar yang dapat dibenarkan
oleh adat atau agama dan berilah perhatian yang besar terhadap rumah tangga
kamu “dan janganlah kamu bertabarruj” yakni berhias dan bertingkah laku
“seperti tabarruj Jahiliah yang lalu dan laksanakanlah secara bersinambung serta
dengan baik dan benar ibadah “shalat”, baik yang wajib maupun sunnah, “dan
tunaikanlah” secara sempurna kewajiban “zakat serta taatilah Allah dan Rasul-
Nya” dalam semua perintah dan larangan-Nya. “Sesungguhnya Allah” dengan
tuntunan-tuntunan-Nya ini sama sekali tidak berkepentingan tetapi tidak lain
tujuannya hanya “bermaksud hendak menghilangkan dari kamu” dosa dan
“kekotoran” serta kebejatan moral, “hai Ahl al-Bait, dan membersihkan kamu
sebersih-bersihnya”.
Kata “qarna” – begitu dibaca oleh ‘Ashim dan Abu Ja’far – terambil dari
kata “iqrarna” dalam arti “tinggalkanlah” dan “beradalah di tempat secara
mantap”. Ada juga yang berpendapat bahwa kata tersebut terambil dari kata
“qurrat ‘ain” dan yang ini berarti “sesuatu yang menyenangkan hati”. Dengan
demikian perintah ayat ini berarti: “Biarlah rumah kamu menjadi tempat yang
menyenangkan hati kamu”. Ini dapat juga mengandung tuntunan untuk berada di
rumah, dan tidak keluar rumah kecuai ada kepentingan.
Banyak ulama membaca ayat di atas dengan “kasrah” pada huruf “qaf”
yakni “qirna”. Ini terambil dari kata “qarar” yakni “berada di tempat”. Dengan
demikian ayat ini memerintahkan istri-istri Nabi saw untuk berada di tempat yang
dalam hal ini adalah rumah-rumah mereka. Ibn ‘Athiyyah membuka kemungkinan
67
memahami kata “qirna” terambil dari kata “waqar” yakni “wibawa dan hormat”.
Ini berarti pirintah untuk berada di rumah karena mengandung wibawa dan
kehormatan buat kamu.
Kata “tabarrajna” dan “tabarruj” terambil dari kata “baraja” yaitu
“nampak” dan “meninggi”. Dari sini kemudian ia dipahami juga dalam arti
“kejelasan” dan “keterbukaan” karena demikian itulah keadaan sesuatu yang
“nampak” dan tinggi”. Larangan ber-tabarruj berarti larangan menampakkan
“perhiasan” dalam pengertiannya yang umum yang biasanya tidak dinampakkan
oleh wanita baik-baik, atau memakai sesuatu yang tidak wajar dipakai. Seperti
berdandan secara berlebihan, atau berjalan dengan berlenggak-lenggok dan
sebagainya. Menampakkan sesuatu yang biasanya tidak dinampakkan – kecuali
kepada suami.
Kata “al-jahiliyyah” terambil dari kata “jahl” yang digunakan al-Quran
untuk menggambarkan suatu kondisi dimana masyarakatnya mengabaikan nilai-
nilai ajaran Ilahi, melakukan hal-hal yang tidak wajar, baik atas dorongan nafsu,
kepentingan sementara, maupun kepicikan pandangan. Karena itu istilah ini secara
berdiri sendiri tidak menunjuk ke masa sebelum Islam, tetapi menunjuk masa
yang ciri-ciri masyarakatnya bertentangan dengan ajaran Ismal, kapan dan di
mana pun.
Ayat di atas menyifati jahiliyyah tersebut dengan al-ula. Yakni masa lalu.
Bermacam-macam penafsiran tentang masa lalu itu. Ada yang menunjukkan masa
Nabi Nuh as., atau sebelum Nabi Ibrahim as. Agaknya yang lebih tepat adalah
menyatakan masa sebelum datangnya Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad –
68
selama pada masa itu – masyarakatnya mengabaikan tuntunan Ilahi. Di sisi lain,
adanya apa yang dinamai “Jahiliah yang lalu”, mengisyaratkan akan adanya
“Jahiliah kemudian”. Ini tentu setelah masa Nabi Muhammad saw. masa kini
dinilai oleh Sayyid Quthub dan banyak ulama lain, sebagai Jahiliah modern.35
Abdullah bin Muhammad dalam Tafsir Ibnu Katsir menjelaskan bahwa
“dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah
yang terdahulu”. Mujahid mengatakan bahwa dahulu dimasa jahiliyah wanita bila
keluar berjalan di depan kaum pria, maka itulah dinamakan tingkah laku jahiliyah.
Qatadah mengatakan sehubungan dengan makna firman-Nya: “dan
janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang jahiliyah yang
dahulu” yakni bila kalian keluar dari rumah. Dahulu wanita bila berjalan
berlenggak-lenggok dengan langkah yang manja dan memikat, lalu Allah swt
melarang hal tersebut.
“At-Tabarruj” artinya mengenakan kain kerudung tanpa mengikatnya,
kalau diikat dapat menutupi kalung dan anting-antingnya serta lehernya. Jika tidak
diikat, maka semuanya itu dapat kelihatan, yang demikian itulah yang dinamakan
tabarruj. Kemudian khitab larangan ini berlaku menyeluruh buat semua kaum
wanita mukmin.36
35 M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol
11... hal. 263-264.
36
Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Jil 7... hal. 197.
69
B. Pembahasan
1. Konsep fashion (berpakaian) menurut Al-Quran
a. Menutup aurat sebagai perhiasan
Yang menunjukkan identitas diri, sebagai konsekuensi perkembangan
peradaban manusia. Hal ini bertujuan untuk menjaga dan mengaktualisasikan diri
sesuai dengan tuntunan perkembangan mode dan zaman. Dalam kaitan dengan
pakaian sebagai perhiasan, maka setiap manusia memiliki kebebasan untuk
mengekspresikan keinginan mengembangkan berbagai mode pakaian, sesuai
dengan fungsi dan momentumnya.
Walau demikian Allah memberikan batasan kebebasan itu dalam firman-
Nya:
Artinya: “Hai anak Adam, Sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu
pakaian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. dan
pakaian takwa Itulah yang paling baik. yang demikian itu adalah sebahagian
dari tanda-tanda kekuasaan Allah, Mudah-mudahan mereka selalu ingat”.37
(QS. Al-A’raaf/7: 26)
Dalam ayat tersebut Allah menggunakan kata “kami telah menurunkan”
yang menunjukkan fungsi pakaian adalah untuk menutup aurat. Aturan untuk
menutup aurat sudah cukup jelas dikatakan dalam Al-Quran. Namun Allah tidak
pernah mebahas mode pakaian, Allah hanya memberikan batasan secara global.
Oleh karena itu mode pakaian akan terus menerus berkembang seiring dengan
perkembangan zaman serta kreatifitas manusia. Seiring dengan perkembangan
37
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 153.
70
mode, maka terciptalah perbedaan mode dan cara berpakaian pun tidak dapat
dihindari. Hal ini menyebabkan adanya klaim bahwa ada pakaian yang dinilai
lebih syar’i maupun kurang syar’i.
selanjutnya pada firman Allah subhanahu wata’ala:
Artiya: dan Dia-lah, Allah yang menundukkan lautan (untukmu), agar kamu
dapat memakan daripadanya daging yang segar (ikan), dan kamu
mengeluarkan dari lautan itu perhiasan yang kamu pakai; dan kamu melihat
bahtera berlayar padanya, dan supaya kamu mencari (keuntungan) dari
karunia-Nya, dan supaya kamu bersyukur.38
(QS. An-Nahl/16:14)
Ayat ini menjelaskan tentang nikmat-nikmat Allah yang berasal dari laut
yang meliputi ikan yang bisa dimakan, perhiasan yang bisa dipakai dan perahu-
perahu yang hilir mudik di lautan. Hal ini mengidentifikasikan bahwa memakai
perhiasan itu diperbolehkan.
Dalam ayat ini menggunakan kata libas mempunyai makna yang
sesungguhnya atau makna asli yaitu pakaian perhiasan. Hal ini merujuk pada
penggunaan makna aslinya yang berkonotasi sekuler, bahwa pakaian juga bisa
menunjukkan derajat atau status seseorang di mata orang lain.
b. Memelihara diri dari panas matahari dan bahaya lain
Firman Allah subhanahu wata’ala:
38 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 268.
71
Artinya: “dan Allah menjadikan bagimu tempat bernaung dari apa yang telah
Dia ciptakan, dan Dia jadikan bagimu tempat-tempat tinggal di gunung-
gunung, dan Dia jadikan bagimu pakaian yang memeliharamu dari panas dan
pakaian (baju besi) yang memelihara kamu dalam peperangan. Demikianlah
Allah menyempurnakan nikmat-Nya atasmu agar kamu berserah diri (kepada-
Nya)”.39
(QS. An-Nahl/16: 81)
Yang dimaksud pakaian berdasarkan ayat di atas adalah pakaian untuk
perlindungan tubuh manusia dari sengatan panas dan dingin dan memelihara
serangan musuh (jika dalam peperangan).
Tepatnya pada ayat ini membahas tentang bahan-bahan pakaian, seperti
pakaian terbuat dari kapas, wol dan katun. Demikianlah Allah menciptakan
sesuatu yang dapat kalian gunakan untuk berbagai kepentingan.
c. Menghindari godaan syaitan
Salah satu konsep berpakaian yang disebut dalam Al-Quran ialah dengan
mengenakan pakaian yang baik, yang tidak transparan juga tidak ketat sehingga
menggambarkan lekuk tubuh, yaitu supaya terhindarnya para wanita dari godaan-
godaan syaitan.
Firman Allah subhanahu wata’ala:
Artinya: “Hai anak Adam, janganlah sekali-kali kamu dapat ditipu oleh
syaitan sebagaimana ia telah mengeluarkan kedua ibu bapamu dari surga, ia
menanggalkan dari keduanya pakaiannya untuk memperlihatkan kepada
keduanya 'auratnya. Sesungguhnya ia dan pengikut-pengikutnya melihat kamu
dan suatu tempat yang kamu tidak bisa melihat mereka. Sesungguhnya Kami
39
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 276.
72
telah menjadikan syaitan-syaitan itu pemimpin-pemimpim bagi orang-orang
yang tidak beriman”.40
(QS. Al-A’raaf/7: 27)
d. Dikenal sebagai muslimah dan terhindar dari gangguan
Selanjutnya konsep berpakain dalam Al-Quran ialah untuk dikenal sebagai
muslimah dan agar tidak di ganggu.
Firman Allah subhanahu wata’ala:
Artinya: “Hai Nabi, Katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak
perempuanmu dan isteri-isteri orang mukmin: "Hendaklah mereka
mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka". yang demikian itu supaya
mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak di ganggu. dan
Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”.41
(QS. Al-Ahzab/33:
59)
Dalam ayat tersebut disebutkan fungsi lain dari pakaian yaitu petunjuk
identitas, atau diferensi, yakni pembeda antara seseorang, atau suatu suku bangsa
dengan yang lainnya. Diisyaratkan dalam ayat tersebut agar wanita-wanita
muslimah mengulurkan jilbab mereka ke seluruh tubuh, supaya mereka lebih
mudah untuk dikenali identitasnya sebagai wanita terhormat, sehingga tidak
diganggu oleh siapapun yang usil.
40
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 153.
41 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal. 426.
73
e. Beribadah kepada Allah subhanahu wata’ala
Firman Allah subhanahu wata’ala::
Artinya: Hai anak Adam, pakailah pakaianmu yang indah di Setiap
(memasuki) mesjid, Makan dan minumlah, dan janganlah berlebih-lebihan.
Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.42
(QS. Al-A’raaf/7: 31)
Konsep fashion/berpakaian ialah dianjurkan dengan tidak berlebihan
(tidak Sombong) dalam mengenakan pakaian, baik itu dalam beribadah atau di
luar hal ibadah, karena Allah tidak menyukai orang-orang yang berlebih-lebihan.
f. Tidak berhias dan bertingkah laku seperti orang Jahiliyah
QS. Al-Ahzab/33: 33
Artinya:dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah
shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya
Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, Hai ahlul bait dan
membersihkan kamu sebersih-bersihnya43
.(QS. Al-Ahzab/33:33)
Adapun konsep fashion/berpakain yang terakhir ialah tidak berhias dan
berperilaku seperti orang jahiliyah, maksudnya berhias dengan tidak berlebihan
dan berpakaian layaknya wanita muslim yang tidak memperlihatkan perhiasannya
dan bentuk lekuk tubuhnya.
42
Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal, 154.
43 Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya...hal, 422.
74
2. Ayat-ayat tentang fashion (berpakaian)
Berdasarkan hasil analisis penulis mendaptkan bahwa lafadz libas, tsiyab,
dan sarabil. Masing-masing lafadz di atas mempunyai makna dasar dan makna
relasional.. Libas mempunyai makna pakaian yang dikenakan, percampuran, amal
shalih, menutupi, menyelimuti dan ketenangan. Secara utuh konsep pakaian harus
memenuhi unsur-unsur tersebut. Pakaian harus bercampur dan melekat dalam
tubuh pemakainya, harus bisa menutupi dan memberikan ketenangan.
Kata libas tidak secara verbal mempunyai makna memakai, maka apapun
yang dikenakan dalam bentuk pakaian apapun disebut libas, terutama pakaian luar
yang mempunyai unsur keindahan.
Selanjutnya ialah tsiyab yang dimaknai pakaian secara general, apapun
bentuknya. Tidak digunakan untuk istilah pakaian yang berfungsi sebagai
pelindung atau pakaian perang, digunakan untuk segala jenis pakaian kecuali baju
perang.
Sarabil yang dimaknai pakaian yang dikhususkan sebagai fungsi
pelindung, tidak mempunyai unsur keindahan. Dengan demikian dapat
disimpulkan bahwa lafadz libas merupakan pakaian sebagai menutup aurat, tsiyab
merupakan pakaian secara general, dan sarabil merupakan pakaian sebagai
pelindung.
75
3. Penafsiran fashion (berpakaian) menurut mufassir (M.Quraish
Shihab dan Abdullah bin Muhammad)
Berdasarkan hasil penafsiran ayat-ayat fashion/berpakaian di atas, kedua
mufassir setuju bahwa libas, tsyiab, dan sarabil merupakan lafadz dalam Al-
Quran yang merujuk kepada berpakaian dan pakaian. Hal ini dapat dilihat dari
penafsiran kedua mufassir tentang ayat di atas yang menyinggung berpakaian di
dalamnya.
Jika ditinjau dari isi tafsir, menurut Quraish Shihab bahwa pakaian
mempunyai kedudukan yang penting dalam ajaran Islam sebagai identitas diri
seorang muslim. Sedangkan menurut Abdullah bin Muhammad pakaian
merupakan sesuatu yang bersifat primer (pokok), sedangkan perhiasan hanya
sebagai pelengkap dan tambahan.
Perbedaan dari kedua tafsir tersebut hanya pada isi tafsir yang
dikemukakan oleh M. Quraish Shihab lebih luas serta banyak mengemukakan
sudut pandang para ulama, sedangkan tafsir Abdullah bin Muhammad lebih
sedikit pembahasannya.
76
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pertama, Term Al-Quran tentang fashion (berpakaian) dan pakaian yang
penulis gunakan yaitu libas, tsiyab dan sarabil. Sebagaimana kedua mufassir M.
Quraisy Syihab dan Abdullan bin Muhammad memberikan penafsiran yang sama
tentang ayat-ayat fashion/berpakaian yang penulis gunakan, kedua mufassir setuju
bahwasanya ketiga lafadz tersebut dapat dikategorikan ke dalam ayat berpakain
dan pakaian. Namun penulis juga menambahkan ayat lain di luar dari tiga lafadz
utama yang penulis gunakan untuk melengkapi kriteria konsep fashion yang
penulis tujukan.
Kedua, Fashion merupakan kombinasi atau perpaduan dari gaya atau style
dengan desain yang cenderung dipilih, diterima, digemari dan digunankan oleh
masyarakat yang akan bisa memberi kenyamanan dan membuat lebih baik pada
satu masa tertentu, namun tidak luput dari syariat yang telah Allah cantumkan di
dalam Al-Quran.
Ketiga, Konsep fashion yang digambarkan di dalam Al-Quran yang
dijelaskan dalam kitab-kitab tafsir adalah diperintahkan pada wanita muslimah
yang sudah dewasa untuk menjaga dan menutup auratnya dengan mengenakan
pakaian muslimah. Hal tersebut bermaksud untuk menjaga diri dari kejahatan,
mecegah timbulnya syahwat pada laki-laki, memberikan status serta pembeda
77
antara wanita muslim dengan wanita non-muslim. Adapun kriteria fashion dalam
Islam yaitu berpakaian dengan longgar, bahan pakaian yang tebal tidak
menerawang, tidak memperlihatkan lekuk tubuh, bukan fungsi sebagai perhiasan
yang menonjol atau terlalu modis dan memakai fashion bukan untuk mencari
popularitas.
B. Saran
Penulis mengemukakan beberapa saran bagi pembaca, yaitu sebagai berikut:
1. Setelah mengetahui mana fashion (berpakaian) dan pakaian berdasarkan
Al-Quran, diharapkan dapat menjadi acuan makna fashion (berpakaian)
dan pakaian agar tidak salah dalam memilih fashion yang hendak
dikenakan.
2. Kepada peneliti selanjutnya diharapkan agar dapat melakukan penelitian
pengembangan sesuai dengan variabel peneliti ini, yaitu penelitian
lapangan yang melibatkan manusia sebagai objek.
3. Diharapkan agar dapat melakukan pengembangan teori fashion dari
perspektif yang berbeda.
78
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Wahhab Abdussalam Thawilah. Panduan Berbusana Islami:
Berpenampilan Sesuai Tuntunan Al-Quran dan As Sunnah. Cet. I; Jakarta:
penerbit Almahira.
Abdullah Bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, Jil 3. Jakarta: Pustaka Imam Asy-
Syafi’i. 2008.
Abdullah Muttaqin. Skripsi: Makna Kata Al-Libas dan Al-Tsaub dalam Al-
Quran. Surabaya:UIN Sunan Ampel Surabaya. 2013.
_______,Tafsir Ibnu Katsir, Jil 5. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2008.
_______,Tafsir Ibnu Katsir, Jil 7. Jakarta: Pustaka Imam Asy-Syafi’i. 2008.
Abu Mujadiddul Islam Mafa dan Lailatus Sa’adah. Memahami Aurat dan
Perempuan. Cet. I, Lumbung Insani, 2011.
Ahmad al-Hajji al-Kurdi. Hukum-Hukum wanita Dalam Fiqh Islam. Surabaya:
Dimas Press, tt.
Ahmad Anas. Paradigma Dakwah Kontemporer. Cet. 1. Semarang: PT. Pustaka
Rizki Putra, 2006.
Ahmad Izzan. Metodologi Ilmu Tafsir. Bandung: Tafakur, 2007.
Ahmad Mustami. “Pendidikan Islam Dalam Peradaban Industri Fashion”. Hunafa:
Jurnal Studia Islamika 12, no. 1 2015.
Albani dan Syaikh Muhammad Nashiruddin. Jilbab Wanita Muslimah Menurut
Qur’an dan Sunnah. Solo: At-Tibyan, 2011.
Al-Raghib al-Isfahani, Mu’jam Al-Mufradat Alfadz Al-Quran, (Disunting oleh
Nadim Mars’ashli). Beirut: Dar al-Fikr, tt.
Azam Ismail. Al-Quran, Bahasa Dan Pembinaan Masyarakat. Banda aceh: AK
Group Bekerjasama Dengan Ar-Raniry Press,2006.
David Chaney. Lifestyle. Terjm. Nuraeni: Sebuah Pengantar Konprehensif.
Yogyakarta: Jalasutra, 2011.
Departemen Agama RI. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Jakarta: Insan Media
Pustaka, 2013.
79
Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa.
Jakarta: Gramedia, 2008.
Dion Dewa Barata. “Fashion Sebagai Strategi Komunikasi Non-Verbal”, Jurnal
Ilmu Komunikasi 2, no. 1, 2010.
Drs. Mamsudi AR, MM. Dinul Islam. Jakarta: LPPTKA BKPRMI putra, 2013.
Husein Muhammad. Fiqh Perempuan; Refleksi Kiai atas Wacana Agama dan
Gender. Yogyakarta: LkiS, 2009.
Huzaemah Tahido Yanggo. Fikih Perempuan Kontemporer. Jakarta: Ghalia
Indonesia, 2010.
Ibrahim Muhammad al-Jamal. Fiqh Wanita. Bandung: Gema Insani Press, 2002.
J.P Chaplin. Kamus Lengkap Psikologi. Terjm. Kartini Kartono. Jakarta: Raja
Grafindo, 2008.
Jumhuriyyah Mashr Mujamma’ Lughah al-‘Arabiyyah, al-Mu’jam al-Watsith.
Kairo: Dar al-Syuruq. 2004.
Juneman. Psychology Of Fashion: Fenomena Perempuan (Meklepas) Jilbab.
yogyakarta: LkiS, 2010.
M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran,
Vol 5. Jakarta: Lentera Hati. 2002.
_______, Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol 7.
Jakarta: Lentera Hati. 2002.
_______,Tafsir Al-Mishbah: Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Quran, Vol 11.
Jakarta: Lentera Hati. 2002.
M. Quraish Shihab. Jilbab Pakaian Wanita Muslimah. Jakarta: Lentera Hati,
2010.
M. Quraish Shihab. Membumikan Al-Quran. Bandung: Mizan, 2006.
M. Quraish Shihab. Wawasan Al-Quran: tafsir Tematik Atas Berbagai Persoalan
Umat. Bandung: Mizan Pustaka, 2007.
M. Quraish Syihab. Konstektualitas Al-Quran. Jakarta: penamadani, 2005.
M. Shidiq Al-Jawi. Jilbab dan Kerudung (Busana Sempurna Seseorang
Muslimah). Cet 1.Jakarta: Nizham Press, 2007.
Malcolm Barnard. Fashion Sebagai Komunikasi. Terjm. Idy Subandy Ibrahim dan
Yosal Iriantara. Yogyakarta: Jalasutra, 2011.
80
Mastura Fakhrunnisa. “Gaya Busana Sebagai Media Pembentukan Identitas
Musik White Shoes And The Couples Company”. E-Journal Acta Diuma
5, no. 1, 2016.
Mestika Zed. Metode Penelitian Kualitatif. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,
2004.
Misri. A. Muchsin, ddk. Kajian Ilmu Sosial Dan Humaniora Dalam Perspektif
Al-Quran. Banda Aceh: bandar publishing, 2016.
Muhammad Zaini. Pengantar Ulumul Quran. Banda Aceh: Yayasan Pena, 2012.
Musyfikah Ilyas.Memaknai Fashion dalam Hukum Islam. Ad-Daulah, Vol. 5, No.
1, Juli 2016.
Nasrullah, R. Komunikasi Antar Budaya di Era Komunitas Siber. Jakarta:
Kencana Prenada Grup Media 2012.
Nur Syam. Bukan Dunia Berbeda sosiologi Komunikasi Islam. Surabaya: Pustaka
Eureka 2005.
Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional. Kamus Bahasa Indonesia.
Jakarta: Pusat Bahasa. 2008.
Rahmadya Putra Nugraha. Fashion Sebagai Diri Dan Identitas Budaya.
Magelang: Universitas Mercu Buana, 2016.
S. Bekti Istiyanto. “Pentingnya Komunikasi Artifaktual dalam Keberhasilan
Modifikasi Komunikasi Antarmanusia”. Yogyakarta: Jalasutra. 2010.
Sa’ad Yusuf Abdul Aziz. 101 Wasiat Rasul Untuk Perempuan. Terjm.
Muhammad Hafidz. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2004.
Sugiono. Metode Penelitian Kuantitatif, Kualitatif dan R da D. Bandung:
Alfabeda, 2011.
Syaikh Amin bin Abdullah Asy-Syaqawi.Adab Berpakaian. terjm. Abu Umamah
Arif Hidayatullah. Jakarta: Islam House, 2014.
Tim Penyusunan. Panduan Penulisan Skripsi. Banda Aceh: Fakultas Dakwah dan
Komunikasi Universitas Islam Negeri Ar-Raniry, 2013.
Ummul Khaera. Skripsi: Pengaruh Fashion Oki Setiana Dewi Terhadap Perilaku
Berbusana Alumni Pondok Pasantren Puteri Ummul Mukminin.
Makassar: Fakultas Dakwah Dan Komunikasi UIN Alauddin, 2017.