konsentrasi administrasi keperdataan islam...
TRANSCRIPT
EFEKTIFITAS PASAL 115 KHI TENTANG KEHARUSAN JATUHNYA
TALAK DI DALAM SIDANG PENGADILAN AGAMA
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
RIEDA YULIATI
NIM : 104044201480
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1429 H/2009 M
EFEKTIFITAS PASAL 115 KHI TENTANG KEHARUSAN JATUHNYA TALAK
DI DALAM SIDANG PENGADILAN AGAMA
Skripsi
Diajukan kepada Fakultas Syariah dan Hukum
untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam (SHI)
Oleh :
Rieda Yuliati
NIM : 104044201480
Di Bawah Bimbingan
Prof. Dr. H.Ahmad Sutarmadi
NIP : 150031177
KONSENTRASI ADMINISTRASI KEPERDATAAN ISLAM
PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UIN SYARIF HIDAYATULLAH
J A K A R T A
1429 H/2009 M
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi berjudul EFEKTIFITAS PASAL II5 KHI TENTANG KEHARUSAN
JATUHNYA TALAK DI DALAM SIDANG PENGADILAN AGAMA telah diajukan
dalam Sidang Munaqasyah Fakultas Syari’ah dan Hukum Universitas Islam Negeri (UIN)
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 13 Mei 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam (SHI) pada Program Studi Al-
Ahwal As-Syakhsiyyah.
Jakarta, 13 Mei 2009
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syari’ah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, S.H.,
M.A., M.M.
NIP. 150 210 422
PANITIA UJIAN
1. Ketua: Drs. H. A. Basiq Djalil, SH., MA
(..........................)
NIP. 150 169 102
2. Sekretaris: Kamarusdiana, S.Ag., M.H
(..........................)
NIP. 150 285 972
3. Pembimbing I: Prof. Dr. H.Ahmad Sutarmadi
(..........................)
NIP.150 031 177
4. Penguji I: Dr. Euis Nurlaelawati, MA. Ph.d
(..........................)
NIP. 150 277 992
5. Penguji II: H. Ah. Azharuddin Latief M.Ag, MH
(..........................)
NIP.150 318 308
KATA PENGANTAR ������������������������ �������� �������� ����������������������������
��������������������������������
Puji syukur senantiasa penulis panjatkan kepada tuhan pengatur dan pemelihara
semesta alam, Allah SWT yang maha kuasa. Atas kehendak dan kuasa-Nya, penulis
dapat menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam tak lupa pula penulis panjatkan
kepada uswah kita Nabi Muhammad SAW, suri tauladan dalam setiap aktivitas
kehidupan beserta keluarga dan para sahabatnya.
Dalam proses penyusunan skripsi ini, penulis banyak menemui hambatan dan
cobaan. Namun, penulis berusaha menghadapinya dengan ikhtiar dan tawakal.
Alhamdulillah atas rahmat Allah SWT. Serta berkat do'a dan dukungan orang-orang yang
sangat penulis cintai dan sayangi yaitu kedua orang tua, keluarga, sahabat serta teman-
teman. Sehingga segala hambatan dan cobaan dapat penulis hadapi dan dari lubuk hati
yang paling dalam, penulis mengucapkan terima kasih yang tulus dan tak terhingga
kepada segenap pihak yang telah membantu dan memberikan dukungan baik moril
maupun materil dalam penyelesaian skripsi ini. Sehingga rasa syukur, penulis
mengucapkan terima kasih sedalam-dalamnya kepada:
1. Bapak Prof. Dr. Drs. H. Muhammad Amin Suma, SH, MA, MM. Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum.
2. Bapak Prof Dr. H.Ahmad Sutarmadi selaku dosen pembimbing yang telah
memberikan waktu luang, tenaga serta Pikiran untuk memberikan ilmu,
pengarahan dan bimbingan kepada penulis selama penyusunan skripsi ini.
3. Ketua Program Studi, Drs. H. A. Basiq Djalil, SH, MA., Sekretaris Program
Studi Kamarusdiana S.Ag, MH. dan seluruh dosen yang telah membimbing dan
memberikan ilmu yang sangat bermanfaat kepada penulis selama menempuh
pendidikan di Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
Semoga penulis dapat mengamalkan ilmu yang telah bapak dan ibu berikan
4. Pimpinan beserta staf perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum dan
perpustakaan utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta
yang telah memberikan fasilitas kepada penulis dalam memenuhi studi pustaka.
5. Ketua Pengadilan Agama Cibinong beserta staf dan jajarannya yang telah
membantu proses kelancaran dalam memperoleh data-data yang di perlukan untuk
penelitian ini.
6. Ayahanda dan Ibunda tercinta, Deddy Suryadi dan Alm. Annie Suhaeriah atas
pengorbanan dan cinta kasihnya baik berupa moril dan materil, serta doa yang tak
terhingga sepanjang masa untuk keberhasilan studi penulis. Segala hormat penulis
persembahkan.
7. Adikku tercinta Dhanny Perkasa atas segala supportnya.
8. Rekan-rekan seperjuangan (AKI '04) Iis, Yuni, Rizka, Eva, Dyiah, Puji, Riyani,
serta rekan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu, bersama kalian hidup
jadi berwarna.
9. Teman-teman terbaikku Mery, Rova dan Faiz atas segala supportnya
10. Semua pihak yang telah memberikan bantuannya kepada penulis hingga
penulisan skripsi ini dapat terselesaikan.
Akhirnya, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan kontribusi terhadap
pengembangan khazanah keilmuan yang ada khususnya dalam bidang perkawinan.
DAFTAR ISI
HALAMAN
KATA PENGANTAR ................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................ v
BAB I : PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ......................................................... 1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah...................................... 5
C. Tujuan Penelitian ................................................................... 6
D. Metode Penelitian .................................................................. 6
E. Sistematika Penulisan............................................................. 8
BAB II : TALAK
A. Menurut Hukum Islam............................................................ 10
B. Hukum Talak.......................................................................... 14
C. Alasan Talak........................................................................... 19
D. Macam-macam Talak.............................................................. 23
E. Tata Cara Talak...................................................................... 26
F. Akibat Hukum Talak ............................................................. 28
G. Hikmah Talak ......................................................................... 33
BAB II1 KETENTUAN MENGENAI PENJATUHAN TALAK DI
PENGADILAN MENURUT KHI
A. Latar Belakang Lahirnya Pasal 15 KHI ................................... 37
B. Dasar Hukum atau Landasan Hukum Lahirnya Pasal 15 KHI….. 45
BAB IV : EFEKTIFITAS PASAL 115 KHI TENTANG KEHARUSAN
JATUHNYA TALAK DI DALAM SIDANG PENGADILAN AGAMA
A. Perspektif Hukum Islam .......................................................... 48
B. Efektifitas Pelaksanan Pasal 115 KHI di Pengadilan
dan Masyarakat………………………………………………… 58
BAB V : PENUTUP
A. Kesimpulan............................................................................. 60
B. Saran...................................................................................... 61
DAFTAR PUSTAKA………………………………………………………... 62
LAMPIRAN
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Allah menjadikan mahluk-Nya berpasang-pasangan, menjadikan manusia
laki-laki dan perempuan. Hikmahnya ialah supaya manusia itu hidup berpasang-
pasangan membangun rumah tangga yang damai dan teratur. Untuk itulah haruslah
diadakan ikatan dan pertalian yang kokoh yang tidak mungkin putus dan
diputuskannyalah ikatan akad nikah atau ijab kabul perkawinan.1
Pernikahan adalah sunatullah, hukum alam didunia. Sebagaimana firman allah
swt. Yang dijelaskan dalam surat yasin ayat 36 :
�� ������ �� !� "#$%�& �'(�)*+,& �-.%/0 1☺�3
/4�56789 :;�<,& =��3�) ���->�/?@)A 1☺�3�) BC "D��☺$%=8"E
�F�G Artinya: Maha Suci Tuhan yang Telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya,
baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa
yang tidak mereka ketahui. (QS. Yasiin: 36)
Pernikahan adalah sarana untuk menciptakan rumah tangga yang bahagia,
penuh dengan kasih sayang, tentram, pengertian dan saling toleransi untuk selama-
lamanya, karena setiap pasangan suami dan istri mengharapkan dapat saling
memahami hak dan kewajiban satu sama lain, oleh karena itu pernikahan atau
perkawinan adalah ikatan lahir bathin antara seseorang pria dan wanita dalam sebuah
rumah tangga berdasarkan tuntutan agama dengan tujuan membentuk keluarga
bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang maha esa.
1 Mohd. Idris Ramulyo, Hukum Perkawinan Islam, (Jakarta : Bumi aksara, 1996),Cet.1 h.31.
Di dalam al-qur’an dijumpai tidak kurang 80 ayat berbicara soal perkawinan
baik yang memakai kata nikah (berhimpun) maupun yang memakai kata zawwaja
(berpasangan). Keseluruhan ayat tersebut memberikan tuntutan kepada manusia
bagaimana seharusnya menjalani perkawinan agar perkawinan tesebut dapat menjadi
jalan yang menghantarkan manusia baik laki-laki maupun perempuan menuju
kehidupan yang bahagia dunia akhirat sesuai dengan rida ilahi.2 Karena memang pada
dasarnya tujuan dari pada perkawinan adalah menciptakan keluarga sakinah,
mawaddah dan warahmah.
Langgengnya kehidupan pernikahan merupakan suatu tujuan yang sangat
diinginkan oleh islam. Akad nikah diadakan adalah untuk selamanya dan seterusnya
hingga meninggal dunia, agar suami istri bersama-sama dapat mewujudkan rumah
tangga tempat berlindung. Karena keluarga adalah jiwa dan tulang punggung
masyrakat, baik dan buruknya perilaku dalam masyarakat adalah sebuah cerminan
dari keadaan keluarga yang hidup pada masyarakat tertentu.
Adalah merupakan kehendak Allah untuk memulai adanya kehidupan manusia
di atas bumi ini melalui satu keluarga yang berasal dari seorang diri, yaitu adam.
Darinyalah allah menciptakan hawa sebagai pendamping hidupnya. Allah berfirman
dalam Surat An-Nisa ayat 1:
HIJK)L. "E MNNO� P�/QR9 STUVW6�< �� !� 6UV�Q$%�& ��X3
Y�*?.@ Z[�K�$(�) "#$%���) HI�\�3 �-�]�)�+ 1\"6�) �^_I�\�3
OC ��< Oa��b⌧d ☯U�f��g�) h P�/QN9�) !� �� !� "D�U��U�f��9 i���6
2 Musdah Muliah, Pandangan Islam Tentang Poligami (Jakarta: Lembaga Kajian Agama Dan
Gender 1999) cet.1 h.1
"j "$�<,&�) h ND�Q !� "D ⌧d �TUV*k$%"l 7��� �< �mG
Artinya: Hai sekalian manusia, bertakwalah kepada Tuhan-mu yang Telah
menciptakan kamu dari seorang diri, dan dari padanya Allah menciptakan isterinya;
dan dari pada keduanya Allah memperkembang biakkan laki-laki dan perempuan
yang banyak. dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-
Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim.
Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan Mengawasi kamu. (QS.An-Nisa : 1)
Dari sini dapat dilihat betapa islam sangat memperhatikan dan menghargai
kehidupan keluarga dengan suatu perhatian yang tidak akan terdapat dari ajaran
agama lain. Kata dapat melihat bahwa begitu banyaknya ayat-ayat ahkam dalam Al-
Qur’an yang mengatur hal-hal yang berkaitan langsung dengan permasalahan yang
terjadi dalam keluarga (perkawinan, perceraian, kewarisan dan sebagainya).
Salah satu perhatian islam terhadap kehidupan keluarga adalah diciptakannya
aturan yang adil dan bijaksana, yaitu aturan yang dapat meredam adanya perselisihan
yang terjadi dalam rumah tangga. Yang nantinya akan menciptakan keharmonisan
dan ketentraman yang dapat menghindarkan dari bahaya perpecahan dalam rumah
tangga.
Tidak ada suatu pasanngan suami istri di dunia ini yang mendambakan di
dalam rumah tangganya terjadi perselisihan yang nantinya berdampak pada
perceraian. Agama islam membolehkan adanya talak perceraian, apabila sudah tidak
ada lagi cara yang bisa ditempuh oleh pasangan suami istri dalam mewujudkan
perdamaian diantara kedua belah pihak. Tapi islam mengajarkan harus dengan cara
yang baik dan tanpa ada rasa permusuhan.
Islam hanya memberikan hak talak hanya kepada pihak laki-laki saja
sebagaimana banyak perintah-perintah mentalak di dalam Al-Qur’an dan hadits yang
ditujukan hanya kepada pihak suami. Dalam islam seperti yang terdapat dalam kitab-
kitab fiqh, talak bisa terjadi atau jatuh dimana dan kapan saja terserah kepada
kehendak suami, karena memang talak menjadi hak mutlak suami untuk
menjatuhkannya.
Di dalam masalah hukum perkawinan, seperti dinyatakan dalam pasal 39 ayat
1 UU No. 1 Tahun 1974 bahwa “ Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang
pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil
mendamaikan kedua belah pihak.3 Hal ini bahkan lebih dipertegas dalam pasal 115
KHI dan pasal 65 UU No. 7/1989.
Kalau kita teliti lebih lanjut permasalahan di atas, maka bagi masyarakat Islam
di Indonesia akan terjadi dilema dalam merefleksikan ketentuan hukum Islam dalam
kehidupan nyata mereka. Di satu sisi seorang suami boleh menjatuhkan talak dimana
dan kapan saja seperti yang ditegaskan oleh fiqh (Islam) sementara di sisi lain ada
ketentuan peraturan (Negara) yang mengharuskan jatuhnya talak seorang suami
hanya terjadi jika dilakukan di depan sidang Pengadilan Agama.
Maka kemudian yang menjadi persoalan adalah apakah dengan adanya pasal
115 KHI itu akan membuat suami tidak dengan mudah menjatuhkan kata talak
kepada istrinya dan apakah pasal 115 KHI itu efektif untuk membuat masyarakat
menyelesaikan perceraiannya di dalam Pengadilan Agama?Oleh karena itu penulis
merasa tertarik untuk mengangkat judul
“EFEKTIFITAS PASAL 115 KHI TENTANG KEHARUSAN JATUHNYA
TALAK DI DALAM SIDANG PENGADILAN AGAMA”
B. Pembatasan Dan Perumusan Masalah
3 Departemen Agama RI, KHI, ( Jakarta : Direktorat Pembinaan Badan Peradilan Agama
Direktorat Jendral Pembinaan Kelembagaan Agama Islam DEPAG RI, 2000 ), cet. Ke-1
Agar pokok permasalahan dalam memahami skripsi ini tidak terlalu meluas
dan tetap pada jalurnya,penulis membatasi ruang lingkup pembahasan penulisan
skripsi ini hanya berkisar pada efektifitas pasal 115 KHI saja.Dengan harapan agar
dalam pembahasan skripsi ini menjadi terarah dan tersusun sistematis sesuai dengan
tema yang menjadi titik fokus skripsi ini.
Oleh karena itu pembahasan pokok masalah dalam skripsi ini di tinjau di KHI
dari undang-undang perkawinan No.1 Tahun 1974.
Perumusan masalah :
a. Apakah yang melatar belakangi munculnya pasal 115 KHI ?
b. Apa yang menjadi landasan hukum lahirnya pasal tersebut ?
c. Bagaimana efektifitas keberlakuan pasal tersebut di dalam pengadilan dan di
masyarakat ?
C. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang tersebut di atas, maka penulisan
skripsi ini adalah bertujuan untuk mengetahui :
1. Untuk mengetahui kapan munculnya pasal 115 KHI ?
2. Untuk mengetahui apa yang menjadi landasan hukum lahirnya pasal tersebut ?
3. Untuk mengetahui bagaimana efektifitas keberlakuan pasal tersebut di dalam
pengadilan dan di masyarakat ?
Adapun kegunaan penulisan ini adalah bahwa skripsi ini diharapkan dapat
berguna bagi pribadi penulis khususnya dan pembaca pada umumnya sebagai
informasi dan pengetahuan dalam menghadapi permasalahan - permasalahan yang
timbul akibat talak.
D. Metode, Jenis Dan Tekhnik Penelitian
1. Pendekatan Masalah
Pendekatan masalah ini adalah pendekatan kualitatif yaitu dengan melakukan
wawancara terhadap hakim dan masyarakat lalu di uraikan jawaban dari
pertanyaan-pertanyaan tersebut, kemudian menghubungkan dengan masalah yang
diajukan sehingga ditemukan kesimpulan objektif, logis, konsisten dan sistematis
sesuai dengan tujuan yang di kehendaki dalam penulisan skripsi ini.
2. Jenis Data
Data yang diperlukan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan data
sekunder,yaitu:
a. Data Primer
1) Di dapatkan dari Pengadilan Agama Cibinong dengan Nomor Putusan
409/Pdt.G/2009/PA.Cbn.
2) Wawancara Terhadap Hakim dan Masyarakat.
Kemudian data tersebut di analisis dengan cara menguraikan dan
menghubungkan dengan masalah yang di kaji.
b. Data Sekunder
Data sekunder adalah data yang diperoleh dengan jalan mengadakan studi
kepustakaan atas dokumen-dokumen yang berhubungan dengan masalah yang
diajukan. Dokumen yang dimaksud adalah Al-Qur’an, Hadis, buku-buku karangan
ilmiah, Undang-Undang, Kompilasi Hukum Islam(KHI), Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975
Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
serta buku dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah yang diajukan.
3. Teknik Penelitian
Untuk mendapatkan hasil penelitian yang tepat maka penulis menggunakan cara
a. Pengumpulan Data
Penulis membaca dan menelaah berbagai buku sumber dan referensi lainnya
yang dapat memberikan informasi yang ada kaitannya dengan masalah yang
diteliti.
b. Interview atau wawancara yaitu dengan mengumpulkan data yang dilakukan
dengan jalan mengadakan wawancara langsung dengan responden yang telah
di pilih sebelumnya yaitu Hakim Pengadilan Agama Cibinong dan salah
seorang masyarakat.
4. Tekhnik Analisa Data
Setelah proses pengumpulan data dikumpulkan melalui beberapa teknik, maka
data yang sudah ada akan di olah dan di analisis supaya mendapatkan suatu hasil akhir
yang bermanfat bagi penelitian. Pengolahan data dilakukan dengan mengadakan studi
dengan teori kenyatan yang ada di tempat penelitian, sedangkan tekhnik penulisan
mengikuti pedoman penulisan skripsi yang diterbitkan oleh Fakultas Syari’ah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Jakarta 2007.
E. Sistematika Penulisan
Agar penulisannya lebih sistematis dan terarah maka penulisan skripsi ini
disusun dalam lima bab, setiap bab terdiri dari sub bab yaitu :
BAB I : Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah,
Perumusan dan Pembatasan Masalah, Tujuan dan Kegunaan Penelitian,
Metode, Jenis, Teknik Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : Membahas tentang hal-hal yang berhubungan dengan perceraian (talak)
yang meliputi : Pengertian talak, Hukum talak/ alasan talak, Macam-
macam talak, Rukun dan Syarat talak, Tata cara talak dan Akibat
hukumnya menurut hukum Islam serta hikmah talak.
BAB III : Ketentuan mengenai jatunya talak di Pengadilan menurut KHI yang
meliputi: Sekilas tentang KHI, Latar belakang lahirnya pasal 115 KHI,
Dasar hukum atau landasan hukum lahirnya pasal 115 KHI.
BAB IV : Efektifitas Pasal 115 KHI tentang keharusan jatuhnya talak di dalam
sidang Pengadilan Agama Sub pokok dalam pembahasan ini meliputi
perspektif hukum Islam atau fiqh terhadap pasal 115 KHI, Efektifitas
pelaksanan pasal 15 di pengadilan dan masyarakat.
BAB V : Penutup yang berisi kesimpulan dan saran-saran.
BAB II
TALAK
A. Menurut Hukum Islam
1. Pengertian Talak
Talak diambil dari kata istilah (ا��ق) artinya melepaskan atau meninggalkan,
dalam istilah agama, talak adalah melepaskan ikatan perkawinan atau rusaknya
hubungan perkawinan.
Al-Zaziri dalam kitabnya Al-Fiqh ‘Alal Madzahibil Arba’ah memberi definisi
talak sebagai berikut:
��ص �� � � ا���ق ��زا�� ا����ح أو����ن �
Artinya: Talak ialah menghilangkan ikatan perkawinan , mengurangi pelepasan
ikatannya dengan mempergunakan kata-kata tertentu. 4
Sayyid Sabiq dalam kitabnya Fiqhus Sunnah memberi definisi talak sebagai-
berikut:
�( را��� ا�!وج وإ�%�ء ا�#�"� ا�!و ��
Artinya : “talak ialah melepas tali perkawinan dan mengakhiri hubungan suami istri”
Abu Zakaria Al-Anshari dalam kitabnya Fathul Wahab memberi definisi talak
sebagai-berikut:
�( ,�+ ا����ح � �� ا���ق و��*
Artinya: “talak ialah melepas tali akad nikah dengan kata talak dan yang sesamanya.
Al Mahalli dalam kitabnya Syarih Minhaj Al-Thalibin merumuskan: “talak
adalah melepaskan hubungan pernikahan dengan menggunakan lafadz talak dan
sejenisnya”5
4 Sayid Sabiq. Fiqh Sunnah, (Bandung:Al-Ma’arif), h.7.
Dari rumusan yang dikemukakan oleh Al-mahalli yang mewakili definisi yang
diberikan kitab-kitab fiqh terdapat 3 kata kunci yang menunjukkan hakikat dari
perceraian yang bernama thalaq.
Pertama: Kata “melepaskan” atau membuka atau meninggalkan mengandung
arti bahwa thalaq itu melepaskan sesuatu yang selama ini telah terikat, yaitu ikatan
perkawinan.
Kedua: kata “ikatan perkawinan”, yang mengandung arti bahwa thalaq itu
mengakhiri hubungan perkawinan yang terjadi selama ini.Bila ikatan perkawinan itu
memperbolehkan hubungan antara suami dan istri, maka dengan telah di buka ikatan
itu status suami dan istri kembali kepada keadaan semula, yaitu haram.
Ketiga: kata ”dengan lafaz tha-laqa dan sama maksudnya dengan itu”
mengandung arti bahwa putusnya perkawinan melalui suatu ucapan dan ucapan yang
digunakan itu adalah kata-kata thalaq tidak disebut dengan:putusnya perkawinan bila
tidak dengan cara pengucapan ucapan tersebut,seperti putus karena kematian.6
Kata “Thalaq” dalam bahasa arab berasal dari kata Thalaqa-Yathluqu-
Thala’qan yang bermakna melepaskan atau mengurai tali pengikat, baik tali pengikat
itu bersifat konkrit seperti tali pengikat kuda maupun bersifat abstrak seperti tali
pengikat perkawinan
5 Ibid., h. 8 6 Amir Syarifuddin. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia:Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan,(Jakarta:Kencana,2006) Cet.1,h.199.
Dalam kamus Ensiklopedi Islam dijelaskan bahwa kata talak
(ar:talaq=melepaskan ikatan, meninggalkan dan memisahkan). Di zaman jahiliyah
istilah talak di gunakan untuk memisahkan ikatan suami istri7
Dalam Al-Munawir kamus bahasa arab-indonesia, talak berarti meninggalkan,
seperti dalam kalimat “thalaqa zauzatahu”.
Dalam kamus Ensiklopedi Islam juga dijelaskan bahwa menurut mazhab
hanafi dan hanbali mendefinisikan talak sebagai pelepasan ikatan perkawinan secara
langsung atau pelepasan perkawinan di masa yang akan datang. Yang di maksud
”secara langsung” adalah tanpa terkait dengan sesuatu dan hukumnya langsung
berlaku ketika ucapan talak tersebut dinyatakan suami. Adapun yang dimaksud dengan
“di masa yang akan datang” adalah berlakunya hukum talak tersebut tertunda oleh
suatu hal.8
Mazhab Syafi’i mendefinisikan talak sebagai pelepasan akad nikah dengan
lafal talak atau yang semakna dengan lafal itu. Dengan lafal ini, baik talak ba’in
maupun raj’i, hukumnya langsung berlaku ketika pernyataan talak disampaikan suami
dan segala resiko talak tersebut berlaku untuk kedua belah pihak. Sedangkan mazhab
maliki mendefinisikan talak sebagai suatu sifat hukum yang menyebabkan gugurnya
kehalalan hubungan suami dan istri.9
Dari beberapa pengertian yang telah dikemukakan oleh para ulama di atas,
dapat disimpulkan bahwa talak menurut istilah syara adalah mengangkat ikatan
perkawiann sehingga setelah diangkatnya ikatan perkawinan itu istri tidak halal bagi
7 Miftahul Huda,”Pemahaman Masyarakat tentang Talak dan Akibat Hukumnya Menurut
KHI(Studi Pada Warga Masyarakat Kecamatan Cipayung)Jakarta Timur.”(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2008),h.15. 8 Ibid.h,16. 9 Ibid,h.17.
suaminya dan ini terjadi dalam hal talak ba’in, sedangkan arti mengurangi pelepasan
ikatan perkawinan ialah berkurangnya hak talak bagi suami dari tiga menjadi dua, dari
dua menjadi satu dan dari satu menjadi hilang hak talak itu, yaitu terjadi dalam talak
raj’i.10
Menurut Al-San’ani memberikan pengertian talaq menurut bahasa adalah
“pelepasan ikatan yang kokoh”, sedangkan menurut istilah syara, talak adalah
pelepasan akad perkawinan.11
Perkataan “thalaq”dan “furqah” dalam istilah fiqh mempunyai arti yang umum
dan arti yang khusus. Arti yang umum adalah segala bentuk perceraian yang
dijatuhkan oleh suami yang telah ditetapkan oleh hakim dan perceraian yang jatuh
dengan sendirinya, seperti perceraian yang disebabkan meninggalnya salah satu dari
suami atau istri. Sedangkan arti khusus adalah perceraian yang di jatuhkan suami
saja.12
Dalam arti lain, talak juga berarti usaha untuk melepaskan, memutuskan,
meninggalkan atau menghilangkan suatu ikatan pernikahan antara suami istri yang
berakibat berakhirnya hubungan perkawinan tersebut dan konsekuensinya adalah sang
istri tidak lagi halal bagi suaminya.
Sedangkan talak menurut Kompilasi Hukum Islam adalah ikrar suami
dihadapan sidang pengadilan agama yang menjadi salah satu sebab putusnya
perkawinan dengan cara sebagaimana dimaksud dalam pasal 129, 130 dan 131.13
10 Proyek Pembinaan, Prasarana dan Sarana IAIN Jakarta, Ilmu Fiqh,(Jakarta, 1984 /1985), Jilid II,
h. 226-227. 11 Mulyadi,”Cerai Tanpa Putusan Pengadilan Agama dalam Perspektif Fiqh dan Hukum
islam(Studi di Kelurahan Condet Batu Ampar Jakarta Timur).”(Skripsi S1 Fakultas Syariah dan
Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta,2006),h.23. 12 Ibid.h,24. 13
Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia,(Departemen Agama, 2002), h. 57.
Dari beberapa pengertian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa perceraian
dalam istilah fiqh disebut talak atau furqah. Talak berarti membuka ikatan atau
membatalkan perjanjian dan furqah berarti bercerai, yaitu lawan kata dari berkumpul.
Kemudian kedua kata tersebut dijadikan istilah oleh para ahli fiqh yang berarti
perceraian antara suami istri.
2. Hukum Talak
Hidup dalam hubungan perkawinan itu merupakan sunnah Allah dan sunnah
Rasul. Itulah yang di kehendaki oleh Islam. Sebaliknya melepaskan diri dari
kehidupan perkawinan itu menyalahi sunnah Allah dan sunnah Rasul tersebut dan
menyalahi kehendak Allah menciptakan rumah tangga yang sakinah mawaddah dan
rahmah.14
Meskipun demikian, bila hubungan pernikahan itu tidak dapat lagi di
pertahankan dan kalau dilanjutkan juga akan menghadapi kehancuran dan
kemudaratan, maka Islam membuka pintu untuk terjadinya perceraian. Dengan
demikian pada dasarnya perceraian atau thalaq itu adalah sesuatu yang tidak disenangi
yang dalam istilah ushul fiqh disebut makruh.15
Berdasarkan hadis Nabi Muhammad SAW,berikut ini:
"�ل ر�7ل ا2 ص 3 ا2 , �� و7 6 أ�45 ا��ل إ�3 ا2 ا���ق: ,0 إ�0 ,/. "�ل
“Dari Ibnu Umar,ia berkata bahwa Rasulullah Saw.telah bersabda,”Sesuatu yang
halal yang amat di benci Allah ialah talak,”(Riwayat Abu Dawud dan Ibnu Majah)16
14 Amir Syarifuddin,Garis-Garis besar Fiqh,(Bogor:Kencana,2003),Cet 1,h.126. 15 Amir Syarifuddin,Hukum perkawinan Islam di Indonesia Antara fiqh munakahat&Undang-
Undang Perkawinan,(Jakarta:Kencana,2006),Cet.1,h.199. 16 Sulaiman Rasjid,Fiqh Islam(hukum Fiqh Islam),(Bandung:PT Sinar Baru
Algesindo,1994),Cet.27,h.401-402.
Para fuqaha berbeda pendapat tentang hukum asal menjatuhkan talak oleh
suami.yang paling tepat di antara pendapat itu ialah pendapat yang mengatakan bahwa
suami diharamkan menjatuhkan talak kecuali karena darurat(terpaksa). Pendapat itu
dikemukakan oleh ulama Hanafiyah dan Hanabillah, alasannya ialah hadits yang
menyatakan:
��ق �#0 ا2 آ( ذواق
“Allah mengutuk suami tukang pencicip lagi suka mentalak istri”.17
Mereka ini juga beralasan bahwa menjatuhkan talak berarti mengkufuri nikmat
Allah, sebab perkawinan itu termasuk nikmat dan anugrah Allah, padahal mengkufuri
nikmat Allah itu di larang. Oleh karena itu menjatuhkan talak tidak boleh, kecuali
karena darurat(terpaksa).18
Di bawah ini adalah macam-macam syarat jatuhnya talak
a. Wajib
Apabila terjadi perselisihan antara suami istri lalu tidak ada jalan yang dapat
ditempuh kecuali dengan mendatangkan dua hakim yang mengurus perkara
keduanya.Jika kedua orang hakim tersebut memandang bahwa perceraian lebih
baik bagi mereka,maka saat itulah talak menjadi wajib.
b. Makruh
Talak yang dilakukan tanpa adanya tuntutan dan kebutuhan.Sebagian ulama
ada yang mengatakan mengenai talak yang makruh ini terdapat dua pendapat:
Pertama, bahwa talak tersebut haram dilakukan, karena dapat menimbulkan
mudharat bagi dirinya juga bagi istrinya, serta tidak mendatangkan manfaat
17 Abd,Rahman Ghazaly.Fiqh munakahat,(Bogor:Kencana,2003),Cet.1,h.213. 18 Ibid,h.214.
apapun. Talak ini haram sama seperti tindakan merusak atau menghamburkan
harta kekayaan tanpa guna. Hal itu didasarkan pada sabda Rasulullah
Shallallahu Alaihi wa Sallam sebagai berikut:
>;.ار و> ;.ار
“Tidak boleh memberikan mudharat kepada orang lain dan tidak boleh membalas
kemudharatan dengan kemudharatan lagi”
Kedua,menyatakan bahwa talak seperti itu di bolehkan.Hal itu didasarkan pada
sabda Rasulullah Shallallahu Alaihi wa Sallam ini.
أ�45 ا��ل إ�3 ا2 <#��= ا���ق
“Sesuatu hal yang halal yang paling dibenci Allah adalah talak.”
Dan dalam lafazh yang lain disebutkan.
� أ�( ا2 @�?� أ�45 إ��� 0 ا���ق
“Allah tidak mebolehkan sesuatu yang lebih Dia benci selain talak.”(HR.Abu
Dawud dengan sanad ma’lul).
c. Mubah
Talak yang dilakukan karena ada kebutuhan.Misalnya karena buruknya akhlak
isteri dan kurang baiknya pergaulannya yang hanya mendatangkan mudharat
dan menjauhkan mereka dari tujuan pernikahan.
d. Sunnah
Talak yang dilakukan pada saat istri mengabaikan hak-hak Allah Ta’ala yang
telah diwajibkan kepadanya,misalnya shalat, puasa dan kewajiban
lainnya,sedangkan suami juga sudah tidak sanggup lagi memaksanya.Atau
istrinya sudah tidak lagi menjaga kehormatan dan kesucian dirinya.Dalam
kondisi seperti itu di bolehkan bagi suaminya untuk mempersempit ruang dan
geraknya. Sebagaimana yang di firmankan Allah Subhanahu wa Ta’ala dalam
Al-qur’an surat an-Nisa:19
�-nE)L. "E ��E� !� P�S7"3�U BC <o�"�p �TUV�� D)A P�8�F��9 �U�f��X7� qr��⌧d P BC�) 1�8r�8%/s�8�9
P�5�rk"v�� �w�8"5�6 �"3 1�8r��☺,�x�9�U �C�Q D)A
"yz�9{L"E 5H"|>� ⌧?�6 5H[7�Xx"�n3 h 1�8r)a>}"S�)
>)S��8�☺*��6 h D�~�{ 1�8r��☺,�rF�⌧d �f��8�{ D)A
P�8r"�V�9 q�*k⌧! Bo�8*-�p�) �� ����{ Oa���� Oa��bB0 �msG
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, tidak halal bagi kamu mempusakai
wanita dengan jalan paksa dan janganlah kamu menyusahkan mereka Karena
hendak mengambil kembali sebagian dari apa yang Telah kamu berikan
kepadanya, terkecuali bila mereka melakukan pekerjaan keji yang nyata dan
bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai
mereka, (maka bersabarlah) Karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu,
padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak. (QS.An-Nisa:19)
d. Mazhur(terlarang)
Talak yang dilakukan ketika istri sedang haid.Para ulama di Mesir telah
sepakat untuk mengharamkannya. Talak ini disebut juga dengan talak bid’ah.
Disebut bid’ah karena suami yang menceraikan itu menyalahi sunnah Rasul
dan mengabaikan perintah Allah Ta’ala dan Rasul-Nya. Di mana Allah telah
berfirman (ath-Thalaq:1)
HIJK)L. "E ���YNO� ���Q
:�,*Q.%� �U�f��X7�
1�8r�/Q�I%���{ ��IF1K�8��
P���=�)A�) $[1K�8*� P P�/QN9�) !� �T/�W6�< P BC ��8r�S]F�*E�3 d��3 1��-�9�Sk6
BC�) J�=]S�*E�p �C�Q D)A "yz�9{L"E
5H"|>� ⌧?�6 5H�O�Xx"5n3 h �5{%�9�) ��)�KS$ �� h �"3�)
1K�8"v"E ��)�KS$ �� =K�Q�{ �T$%��
��f�*?"@ h BC �<=K�9 No�8�� !�
���K*"Up �K�8"6 �5��(�� q�*3)A
�mG
Artinya: Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang.
Itulah hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim
terhadap dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan
sesudah itu sesuatu hal yang baru. (ath-Thalaq:1)
Sedangkan Nabi Shallallahu Alaihi wa Sallam sendiri telah bersabda,
B �%� ا���Aء � E ا�#+ة ا�3C أ. ا2 أن <CF G/أن ی )I" B إن @�ء أEA �#+ و إن @�ء �
“…Jika ia menghendaki,ia boleh menceraikannya sebelum ia
mencampurinya.Demikianlah iddah diperintahkan Allah ketika wanita itu
diceraikan.”(Muttafaqun Alaih)19
3. Alasan Talak
Talak tidak akan terjadi apabila tidak ada alasan-alasan syar’i yang
menyebabkan timbulnya perselisihan dalam rumah tangga yang berakibat pada
terjadinya talak.
Setidaknya ada empat kemungkinan yang terjadi dalam kehidupan rumah
tangga yang dapat memicu timbulnya keinginan untuk memutuskan atau terputusnya
perkawinan.
a. Terjadinya nusyuz dari pihak istri
19 Syaikh Hasan Ayyub,Fikh Keluarga,(Jakarta:Pustaka Al-Kautsar,2001),Cet 1,h.211.
Dalam surat An-nisa ayat 34 dinyatakan :
S� ��F��� J��S3(��� �$9"S �U�f��X7� �☺�6 Bo�s�{ ��
���-Bs�8"6 h�$9"S Yw�8"6 ��☺�6�) P�/Q⌧?@)A =��3
�T�-��(��*3)A h /4 ���% ����{ �4 "v�O � 4 �/�? �� �%*k"�{%���
�☺�6 ⌧��?�� �� h ��� !��) "D�8{�E)3 ��8r�+�/|8g ��8r��/�8�{
1�8r)S�/��r�) ��y ��>]Bs�☺*�
1�8r�6�a=�) P �D�~�{ �T/��O�8�)A B⌧�{ P�U��5�9 1�I�a$%"S �⌧k���� V ND�Q !�
J� ⌧d C��%"S Oa���B0 �FG
Artinya: “Kaum laki-laki itu adalah pemimpin bagi kaum wanita, oleh Karena
Allah Telah melebihkan sebahagian mereka (laki-laki) atas sebahagian yang lain
(wanita), dan Karena mereka (laki-laki) Telah menafkahkan sebagian dari harta
mereka. sebab itu Maka wanita yang saleh, ialah yang taat kepada Allah lagi
memelihara diri ketika suaminya tidak ada, oleh Karena Allah Telah memelihara
(mereka) wanita-wanita yang kamu khawatirkan nusyuznya Maka nasehatilah
mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur mereka, dan pukulah mereka.
Kemudian jika mereka mentaatimu, Maka janganlah kamu mencari-cari jalan
untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi lagi Maha besar”.
(Qs.an-Nisa:34)
Berdasarkan ayat di atas, Allah SWT telah mengatur tata cara yang harus di
tempuh oleh pihak suami apabila di dalam rumah tangganya terjadi perselisihan yang
diakibatkan karena nusyuznya (perubahan perilaku) pihak istri, yang apabila
permasalahan tersebut terus dibiarkan tanpa usaha untuk mencari jalan keluar diantar
keduanya dengan cara-cara yang disyri’atkan oleh hukum islam, maka akan
berdampak pada terjadinya perceraian.
b. Terjadinya nusyuz dari pihak suami
Dalam surat An-nisa ayat 128 dinyatakan:
GD�Q�) �[)A���� =4�{ �& d��3 �-�%�8"6 +�/|@ �))A Om&x=S�Q B⌧�{ ��[7S]
��☺I�a$%"l D)A ���%��SE �☺l��O�x"6 ☯�{%�� h �⌧{%����) a���� V �T�a> =��A�) ;☯/?@,& 1⌧�|�
h D�Q�) P�SO>���89 P�/QWv�9�) ���~�{ !� J� ⌧d �☺�6
J��8%�☺�8�9 Oa����� �m¡G
Artinya: “Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak
acuh dari suaminya, Maka tidak Mengapa bagi keduanya mengadakan
perdamaian yang sebenar-benarnya dan perdamaian itu lebih baik (bagi
mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir dan jika kamu bergaul
dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap
tak acuh), Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui apa yang
kamu kerjakan”. (QS. An-Nisa:128)
Dalam al-qur’an dan terjemahannya terdapat keterangan bahwa jalan yang di
tempuh apabila suami nusyuz seperti acuh tak acuh, tidak menggauli dan tidak
memenuhi kewajibannya, maka upaya perdamaian bisa dilakukan dengan cara istri
merelakan haknya dikurangi untuk sementara agar suaminya bersedia kembali pada
istrinya dengan baik.
c. Terjadinya Syiqaq
Jika dua kemungkinan yang telah disebut di muka menggambarkan satu pihak
yang melakukan nusyuz sedangkan pihak yang lain dalam kondisi normal,maka
kemungkinan yang ketiga ini terjadi karena kedua-duanya terlibat dalam
syiqaq(percekcokan),misalnya disebabkan kesulitan ekonomi,sehingga keduanya
sering bertengkar.
Tampaknya alasan untuk terjadinya perceraian lebih disebabkan oleh alasan
syiqaq. Dalam penjelasan UU no.7 tahun 1989 dinyatakan bahwa syiqaq adalah
perselisihan yang tajam dan terus menerus antara suami istri.
Untuk sampai pada kesimpulan bahwa suami istri tidak dapat lagi didamaikan
harus dilalui beberapa proses.
Dalam ayat suci al-Qur’an surah an-Nisa:4/35 dinyatakan:
�D�Q�) ��,*?>� �¢�Q�! �^IG\�x"6 P�8b�8�6�{
£☺�V�� =��X3 i�A��r)A £☺�V���) =��X3 ��-�%�r)A D�Q ��KEF�SE ☯� $%=��Q G#��{��SE
�� ��☺_I�\*�"6 V ND�Q !� "D ⌧d �☺��%"S Oa��5�� �F�G
Artinya: Dan jika kamu khawatirkan ada persengketaan antara keduanya, Maka
kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga
perempuan. jika kedua orang hakam itu bermaksud mengadakan perbaikan,
niscaya Allah memberi taufik kepada suami-isteri itu. Sesungguhnya Allah Maha
mengetahui lagi Maha Mengenal.(QS.An-Nisa:35)
Dari ayat diatas, jelas sekali aturan islam dalam menangani problema
kericuhan dalam rumah tangga.Dipilihnya hakam(arbitrator) dari masing-masing
pihak dikarenakan para perantara itu akan lebih mengetahui karakter, sifat keluarga
mereka sendiri.Ini lebih mudah untuk mendamaikan suami istri yang sedang
bertengkar. An-Nawawi dalam syarah Muhazzab menyatakan bahwa disunnatkan
hakam itu dari pihak suami dan isteri, jika tidak boleh dari pihak lain.
d. Salah satu pihak melakukan perbuatan zina(fahisyah)
Yang menimbulkan saling tuduh menuduh antara keduanya.Cara
menyelesaikannya adalah dengan cara membuktikan tuduhan yang
didakwakan,dengan cara li’an.Li’an sesunguhnya telah memasuki “gerbang
putusnya”perkawinan,dan bahkan untuk selama-lamanya.Karena akibat li’an adalah
terjadinya talak ba’in kubra.20
4. Macam-Macam Talak.
Ada tiga macam talak:
a. Talak tiga, talak ini dinamakan”bain kubra”, bekas suami tidak boleh ruju’kembali,
tidak sah pula kawin lagi dengan bekas istrinya itu, kecuali apabila bekas istrinya
itu sudah menikah lagi dengan orang lain, serta sudah bercampur dengan
suaminya yang baru itu dan sudah di ceraikannya dan sudah pula habis masa
iddahnya, barulah suami yang pertama boleh menikahinya lagi.
b. Talak tebus, atau dinamakan”bain sughra”, suami tidak sah ruju’lagi,tetapi boleh
kawin kembali, baik dalam iddah ataupun sesudah habis iddahnya, dengan
ketentuan harus ulangi akad nikah yang baru.
c. Talak satu atau talak dua dinamakan”talak raj’i”, artinya si suami boleh ruju
kembali kepada istrinya selama si istri masih dalam iddah.21
5. Rukun Dan Syarat Talak
Rukun talak adalah unsur pokok yang harus ada dalam talak dan terwujudnya
talak bergantung pada lengkapnya unsur-unsur dimaksud. Rukun talak ada empat
diantaranya :
20 M.Amir Nurudin dan Tarigan,Azhari Akmal.Hukum perdata Islam Kritis Perkembangan Hukum
Islamdari Fiqh,U no.1/1974 sampai KHI.,(Jakarta:Kencana,2006),Cet.3,214. 21 Kasmuri Selamat,Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga(Panduan
Perkawinan),(Jakarta:Kalam Mulia,1998),Cet 1,h.25.
1. Suami, suami adalah yang memiliki hak talak dan berhak menjatuhi talak,
selain suami tidak berhak menjatuhkannya. Oleh karena talak itu bersifat
menghilangkan ikatan perkawinan, maka talak tidak mungkin terwujud
kecuali setelah nyata adanya akad perkawinan yang sah.
Abu Ya’la dan Al-hakim meriwayatkan hadits dari Jabir, bahwa
Rasulullah SAW bersabda
E > �� ق ا> �#+ا����ح و> ,BC ا> �#+
Artinya: “tidak ada talak kecuali setelah akad perkawinan dan tidak ada
pemerdekaan kecuali setelah ada pemilikan”.
Untuk sahnya talak suami disyaratkan :
a. Telah dewasa dan sehat akalnya serta ucapan talak yang digunkannya itu
adalah atas dasar kesadaran dan kesengajaannya, dengan demikian, talak
yang dilakukan anak-anak, orang gila, orang terpaksa dan orang yang
tersalah dalam ucapannya maka tidak sah talak yang diucapkannya.
Karena talak tergolong tindakan yang mempunyai akibat dan pengaruh
dalam kehidupan suami istri, maka mau tidak mau yang menjatuhkan talak
harus sempurna kemampuannya, sehingga tindakan-tindakannya
dipandang sah secara hukum.
Firman Allah SWT dalam surat An-nahl ayat 106
�"3 "�⌧?B0 ���6 d��3 �K�8"6 ?i���O �☺E�Q �C�Q =�"3 [$F�¤0�A ���{%� �)
3yG�☺=�S3 �� �☺E4¥�6 �>V ���) �N3 ���aB} F�*?UV*��6 7<=Kf�
���-*�$%�8�{ s%Bs⌧� J��X3 �� ���-���) ¨⌧k"S s���/"S �m��G
“Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia
mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal
hatinya tetap tenang dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi
orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, Maka kemurkaan
Allah menimpanya dan baginya azab yang besar”.
Dan sabda Rasulullah SAW :
�� �K وا��A��ن و�ا�C7.ه�ا ,L3 ا�C إن ا2 و;M ,0 أ
Sungguh Allah melepaskan dari umatku tangung jawab dari dosa silap,lupa dan
sesuatu yang dipaksakan kepadanya.
Berdasarkan keterangan di atas, Imam Syafi’i, Imam Malik, Imam Ahmad
berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan oleh suami yang terpaksa tidak sah (tidak
jatuh). Sedangkan Imam Abu Hanifah berpendapat bahwa talak tersebut adalah talak
yang sah.
2. Istri, masing-masing suami hanya berhak menjatuhkan talak terhadap istri
sendiri.
3. Sayyid Sabiq menjelaskan lebih terperinci dalam kitabnya Fiqh As-sunnah
tentang syarat dari pihak perempuan yaitu :
a. Berada dalam ikatan suami istri yang sah
b. Bila berada dalam iddah talak raj’i atau iddah talak bai’n sughra sebab
dalam keadaan-keadaan seperti ini secara hukum ikatan suami istri masih
berlaku sampai habisnya masa iddah.
c. Jika perempuan berada dalam pisah badan karena dianggap sebagai talak
seperti pisah badan karena suami tidak amu masuk islam atau karena ila’.
Pisah badan dalam keadaan seperti ini dianggap talak oleh golongan
Hanafi.
d. Jika perempuan dalam iddah, karena pisah badan yang dianggap fasakh,
tetapi pada dasarnya akadnya tidak batal. Seperti karena istri murtad.
Fasakh dalam hal ini terjadi karena adanya halangan yang membatalkan
kelangsunagan perkawinan, bila kemurtadannya benar-benar terbukkti.
4. Sighat talak. Kata-kata yang diucapkan oleh suami menggunakan lafadz talak,
sharih atau lafadz yang semakna dengan itu atau terjemahannya yang sama-
sama diketahui sebagai ucapan yang memutus hubungan pernikahan seperti
“cerai”. Dapat juga ucapan talak itu menggunakan ucapan yang tidak terus
terang atau disebut juga kinayah, namun untuk itu dipersyaratkan niat dari si
suami yang mengucapkannya.
5. Qashdu (kesengajaan), ucapan talak itu memang di maksudkan oleh yang
mengucapkannya untuk talak bukan untuk yang lain, oleh karena itu apabila
suami mengeluarkan lafadz yang bukan lafadz talak maka dipandang tidak
jatuh talak.22
6. Tata Cara Talak
Dalam shariah tidak ada di bentangkan suatu prosedur sebelum terjadinya
perceraian,seperti usaha mendamaikannya kembali bilamana
memungkinkan.Tetapi kalau semua upaya untuk merukunkan kembali dan
membentuk hubungan yang baik di antara kedua pasangan hidup itu ternyata
gagal,dan kedua suami istri itu menganggap tak mungkin untuk hidup bersama
lebih lama lagi,maka tak ada belenggu memuakkan yang memaksa mereka agar
tetap bersama.Mereka boleh berpisah dengan baik dan masing-masingnya boleh
mencari pasangan lain lagi yang cocok dengan membina suatu hubungan
perkawinan yang baru.Dengan demikian dapat dipahami bahwa perkawinan
semata-mata merupakan ikatan kekeluargaan dalam islam yang harus di fungsikan
22 Abd.Rahman Ghazaly,Fiqh Munakahat,(Bogor:Kencana,2003),Cet.1,h.205.
selama satu sama lain tetap saling mencintai dan menghormati.Melalui
perkawinan Syariat bertujuan membentuk suatu unit keluarga yang
sejahtera,tetapi kalau tujuan ini gagal,maka ia tak perlu di perpanjang berlarut-
larut dengan alasan yang di cari-cari sebagaimana di praktekkan di antara
beberapa agama lain yang tak mengizinkan adanya perceraian dengan mengambil
sumpah pada saat upacara perkawinan itu bahwa mereka tak akan memutuskan
jalinan perkawinan”sampai ajal memisahkan kita”
Merupakan hal yang tidak islami dan tak etis membiarkan kehidupan orang
mengambang terkatung-katung.Al-qur’an menjelaskan(an nisa 129)
����) P©�S8k��",��$o D)A P�U��K�8�9 "y�z"6 �U�f��X7�
�����) �T,=�"��� P B⌧�{ P�8%��☺�9 No/0 Go*��☺*� �r)M<⌧k"v�{
�H�Q.%�8�☺*�⌧d h D�Q�) P����%��89 P�/QWv�9�) ���~�{
!� "D ⌧d 7<�/?⌧� £☺����< �m¡sG
Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu),
walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, Karena itu janganlah kamu terlalu
cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-
katung. dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari
kecurangan), Maka Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.
Bila tetap tak ada harapan sama sekali untuk mendamaikannya,maka hanya
perceraianlah yang merupakan penyelesaian terakhir.(an nisa 130)
D�Q�) � ��⌧?"v"E ��*�SE �� �⌧/0 ��X3 i���v�8�� h "D ⌧d�) ��
8>�(�) £☺�>V�� �mF�G
Jika keduanya bercerai, Maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-
masingnya dari limpahan karunia-Nya. dan adalah Allah Maha luas (karunia-Nya)
lagi Maha Bijaksana.
Dengan kata lain,Syariat hanya mengizinkan menceraikan seseorang atau
beberapa istri dalam keadaan tertentu.Seorang muslim hanya dapatmenceraikan istrinya
sebanyak dua kali dalam tempo berbeda yang memungkinkan mereka berdamai dan rujuk
kembali,namun setelah semua upaya mendamaikan tak berhasil,maka dalam perceraian
ketiga mereka tak boleh rujuk kembali.23
7. Akibat Hukum Talak
a. Akibat Talak Raj’i
Talak raj’i tidak melarang mantan suami berkumpul dengan mantan istrinya,
sebab akad perkawinannya tidak hilang dan tidak menghilangkan hak
(pemilikan), serta tidak mempengaruhi hubungannya yang halal (kecuali
persetubuhan).
Sekalipun tidak mengakibatkan perpisahan, talak ini tidak menimbulkan
akibat-akibat hukum selanjutnya selama masih dalam masa iddah istrinya.
Segala akibat hukum talak baru berjalan sesudah habis masa iddah dan jika
tidak ada rujuk apabila masa iddah telah habis maka tidak boleh rujuk dan
berarti perempuan itu telah tertalak bai’n. Jika ada dalam masa iddah maka
talak raj’i yang berarti tidak melarang suami berkumpul dengan istrinya
kecuali bersenggama. Jika ia menggauli istrinya berarti ia telah rujuk.
Istri yang menjalani iddah talak raj’i, jika ia taat atau baik kepada suaminya,
maka ia berhak memperoleh tempat tinggal, pakaian dan uang belanja dari
23 Abdur Rahman,Shari’ah The Islamic Law.Penerjemah Basri Iba Asghary,dkk(Jakarta:PT
Rineka Cipta,1992),h.83.
mantan suaminya. Tetapi jika ia durhaka maka tidak berhak mendapat apa-
apa. Rasulullah SAW bersabda
�%� ا�. #� , �% �N� أة إذا آ�ن./ � =��Aإ�/� ا����� وا�
“perempuan yang berhak mendapat nafkah dan tempat tinggal (rumah) dari
mantan suaminya adalah apabila mantan suaminya itu berhak merujuk
kepadanya”.(HR.Ahmad dan An-Nasai)
Sabdanya pula
E ا�. #�إ�/� ا����� /> 0/� =��Aوا�
Nafkah dan tempat tinggal bagi wanita yang memiliki(kesempatan
untuk)diruju’.
Bila salah seorang meninggal dalam masa iddah, yang lain menjadi ahli
warisnya dan mantan suami tetap wajib memberi nafkah kepadanya selama
masa iddah.
b. Akibat Talak Bai’n Sughra
Talak bai’n sughra adalah memutuskan hubungan perkawinan antara suami
dan istri setelah kata talak diucapkan, karena ikatan perkawinan telah putus,
maka istrinya kembali menjadi orang lain bagi suaminya. Oleh karena itu, ia
tidak boleh bersenang-senang dengan perempuan tersebut, apalagi sampai
menyetubuhinya.
Apabila ia baru mentalaknya satu kali, berarti ia masih memiliki sisa dua kali
talak setelah rujuk dan jika sudah dua kali talak, maka ia berhak atas satu kali
talak setelah rujuk.
c. Akibat Talak Bai’n Kubra
Hukum talak bai’n kubra sama dengan talak bai’n sughra, yaitu memutuskan
tali perkawinan antara suami dan istri. Tetapi talak bai’n kubra tidak
menghalalkan bekas suami merujuk bekas istrinya kecuali sesudah ia (istri
menikah dengan laki-laki lain dan telah bercerai sesudah dikumpulinya
(bersenggama) tanpa ada niat nikah tahlil).
Allah SWT berfirman dalam surat Al-Baqarah ayat 23:
D�Q�) �T,O/0 ��y ª%�E�< 1☺�X3 �O*�N�"@ h�$9"S "@�K�5"S P�89{L�{ Z[�<����6 ��X3
i�A��£�X3 P�SS���) TUd�U��K�-U! ��X3 GD)�� ��
��Q �T,OUd "yz� �K f� �¡FG
Artinya: “Dan jika kamu (tetap) dalam keraguan tentang Al Quran yang
kami wahyukan kepada hamba kami (Muhammad), buatlah satu surat (saja)
yang semisal Al Quran itu dan ajaklah penolong-penolongmu selain Allah,
jika kamu orang-orang yang benar”.
Perempuan yang menjalani iddah talak bai’n jika tidak hamil, ia hanya
berhak memperoleh tempat tinggal (rumah) sedangkan yang lainnya tidak. Tetapi
jika ia hamil maka ia juga berhak mendapatkan nafkah.
dalam Al-Qur’an ditegaskan : QS.At-Thalaq : 6
1�8r�SO>V��)A =��3 �\*k�� �v7�V�� ��X3 �TUd�K��S) BC�) 1�8r)n<�Bs89
P�/Q��Bsv�� 1�I�a$%"S h D�Q�) 1�Ud �4 ��L)�A �o��⌧� P�/Q�?@)L�{
1�I�a$%"S h�R��� ���8Bs"E 1��-$%��⌧� h �D�~�{ ���8fm�<)A
�6UV�� 1�8r�89"��{ 1�8r�<�S]�A P P)S��☺�9{A�) 6UV�O�x"6 5)S��8[?�V P D�Q�) ��U$�af��8�9 ��>m�aU«f��{ ?�SA�� V�"����A ��G
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat tinggal
menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka untuk
menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah ditalaq) itu
sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga mereka
bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu Maka
berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara kamu
(segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka perempuan
lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
Perempuan yang menjalani iddah wafat karena ditinggal mati oleh
suaminya ia tidak berhak sama sekali nafkah dan tempat tinggal dari mantan
suaminya, karena ia dan anak yang dikandungnya adalah pewaris yang berhak
mendapatkan harta pusaka dari almarhum suaminya itu.
Rasulullah SAW bersabda :
( ا�/�C"= ,�%� زو %� ������ )� G�� “Perempuan hamil yang ditinggal mati suaminya tidak berhak memperoleh
nafkah.
Perempuan yang ditalak suaminya sebelum dikumpuli (qobla al-dukhul) ia
tidak memiliki iddah tetapi berhak memperoleh mut’ah (pemberian).
Hal ini ditegaskan oleh Allah SWT dalam( QS. Al-Azab: 49)
HIJK)L. "E "y� !� P©�SO"3�U ���Q :�,���V"@
�4 [7�3���☺*� ��8� 1�8r��☺v*Q.%� ��3 Go��� D)A
��8r�x��☺�9 �☺�{ �TUV�� 1��-*�$%"l =��3 Z[1K�S HI")<K",�8�9 P
1�8r�S8�$v�☺�{ 1�8r�S���af��) ☯$�af� b⌧����r �sG
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu menikahi perempuan-
perempuan yang beriman, Kemudian kamu ceraikan mereka sebelum kamu
mencampurinya Maka sekali-sekali tidak wajib atas mereka 'iddah bagimu
yang kamu minta menyempurnakannya. Maka berilah mereka mut'ah dan
lepaskanlah mereka itu dengan cara yang sebaik- baiknya.
Selanjutnya, baik mantan suami atau mantan istri harus memperhatikan
kesejahteraan anak. Jika anak masih dalam kandungan, maka ibunya harus
menjaganya baik-baik demikian juga ketika anak menyusui pada ibunya,
sekalipun bisa juga perempuan lain yang menyusui anak tersebut jika misalnya
ibunya enggan atau sibuk, sampai anak itu bisa berdiri sendiri, maka tanggung
jawab nafkah tetap menjadi kewajiban bapaknya.
Dalam Al-qur’an disebutkan : QS.At-Thalaq ayat 6
1�8r�SO>V��)A =��3 �\*k�� �v7�V�� ��X3 �TUd�K��S) BC�)
1�8r)n<�Bs89 P�/Q��Bsv�� 1�I�a$%"S h D�Q�) 1�Ud �4 ��L)�A
�o��⌧� P�/Q�?@)L�{ 1�I�a$%"S h�R��� ���8Bs"E 1��-$%��⌧� h �D�~�{
���8fm�<)A �6UV�� 1�8r�89"��{ 1�8r�<�S]�A P P)S��☺�9{A�)
6UV�O�x"6 5)S��8[?�V P D�Q�) ��U$�af��8�9 ��>m�aU«f��{ ?�SA��
V�"����A ��G
Artinya: “Tempatkanlah mereka (para isteri) di mana kamu bertempat
tinggal menurut kemampuanmu dan janganlah kamu menyusahkan mereka
untuk menyempitkan (hati) mereka. dan jika mereka (isteri-isteri yang sudah
ditalaq) itu sedang hamil, Maka berikanlah kepada mereka nafkahnya hingga
mereka bersalin, Kemudian jika mereka menyusukan (anak-anak)mu untukmu
Maka berikanlah kepada mereka upahnya, dan musyawarahkanlah di antara
kamu (segala sesuatu) dengan baik; dan jika kamu menemui kesulitan Maka
perempuan lain boleh menyusukan (anak itu) untuknya”.
Jika anak tersebut sudah mengerti (mumayyiz) maka ia dipersilahkan memilih
apakah mau mengikuti ibu atau bapaknya.24
8. Hikmah Talak
Dari uraian bab-bab sebelumnya kita mengetahui beberapa perhatian Islam
terhadap usrah muslimah (keluarga muslimah) dan keselamatanya serta terhadap
damainya kehidupan di dalamnya dan kita juga melihat metode-metode terapi yang
Islam syari’atkan untuk mengatasi segala perpecahan yang muncul di tengah usrah
muslimah, baik disebabkan oleh salah satu suami isteri atau oleh keduanya.
24 Ghazaly Abd.Rahman,Fiqh munakahat,(Bogor:Kencana,2003),Cet 1,h.266.
Hanya saja, terkadang ’ilaj (terapi dan upaya penyelesaian) tidak bisa efektif lagi
karena perpecahannya sudah parah dan persengketaanya sudah memuncak,
sehingga pada saat itu mesti di tempuh ’ilaj yang lebih, yaitu talak.
Orang yang mencermati hukum-hukum yang terkandung dalam masalah talak akan
kian kuat, menurutnya perhatian Islam terhadap institusi rumah tangga dan
keinginan Islam demi kekalnya hubungan baik antara suami isteri. Karena itu,
tatkala Islam membolehkan talak, ia tidak menjadikan kesempatan menjatuhkan
talak hanya sekali yang kemudian hubugan kedua suami isteri terputus begitu saja
selama-lamanya, tidak demikian, namun memberlakukannya sampai beberapa kali.
Allah SWT berfirman, ”Talak (yang dapat di rujuki) dua kali. Setelah itu boleh
rujuk lagi dengan orang yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang
baik(Al-Baqarah:229)
�# $%!�� GD�9���� P ®®f�*3�~�{ ¯)�x�8[?�V �))A 5⌧E�a=1�9 �� f�=��~�6 V BC�) <o�"�p �T/��� D)A
P)Uk8&{L�9 �1☺�3 1�8r��☺,�x�9�U (�*k⌧! �C�Q D)A
��{�E�p �C)A �☺��QSE ��)�KS� �� P �D�~�{ ��U°*?>� �C)A �^k�QSE
��)�KS$ �� B⌧�{ ��[7S] �☺I�a$%"S �^k�{ =T�K"v*{
i���6 V �5{%�9 ��)�KS$ �� B⌧�{ �r)�K"v�8�9 h �"3�) 1K�8"v"E
��)�KS$ �� �5±. ��L)�L�{ ST8r "D�S^�% !/� �¡¡sG
Artinya” Talak (yang dapat dirujuki) dua kali. setelah itu boleh rujuk lagi dengan
cara yang ma'ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. tidak halal bagi kamu
mengambil kembali sesuatu dari yang Telah kamu berikan kepada mereka, kecuali
kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. jika
kamu khawatir bahwa keduanya (suami isteri) tidak dapat menjalankan hukum-
hukum Allah, Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan
oleh isteri untuk menebus dirinya[144]. Itulah hukum-hukum Allah, Maka
janganlah kamu melanggarnya. barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah
mereka Itulah orang-orang yang zalim.
Apabila seorang laki-laki mentalak isterinya, talak pertama atau talak kedua, maka
ia tidak berhak baginya untuk mengusir isterinya dari rumahnya sebelum berakhir
masa idahnya, bahkan sang isteri tidak boleh keluar dari rumah tanpa izin dari
suaminya. Hal itu disebabkan Islam sangat menginginkan segera hilangnya amarah
yang menyulut api perceraian. Kemudian Islam menganjurkan agar kehidupan
harmonis rumah tangga, bisa segera pulih kembali seperti semula, dan inilah yang
disebutkan Rabb kita dalam firman-Nya, ”Hai Nabi jika kamu menceraikan isteri-
isterimu, maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat
(menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta
bertakwalah kepada Allah Rabbmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah
mereka dan janganlah mereka (diizinkan) keluar kecuali kalau melakukan
perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah dan barang siapa yang
melanggar hukum-hukum Allah, maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim
terhadap dirinya sendiri. Kamu tidak mengetahui barang kali Allah mengadakan
sesudah itu suatu hal yang baru.” (Ath-Thalaq: 1)
HIJK)L. "E ���YNO� ���Q :�,*Q.%� �U�f��X7�
1�8r�/Q�I%���{ ��IF1K�8�� P���=�)A�) $[1K�8*� P P�/QN9�) !� �T/�W6�< P BC ��8r�S]F�*E�3 d��3 1��-�9�Sk6
BC�) J�=]S�*E�p �C�Q D)A "yz�9{L"E 5H"|>� ⌧?�6 5H�O�Xx"5n3 h
�5{%�9�) ��)�KS$ �� h �"3�) 1K�8"v"E ��)�KS$ �� =K�Q�{ �T$%��
��f�*?"@ h BC �<=K�9 No�8�� !� ���K*"Up �K�8"6 �5��(�� q�*3)A
�mG
Artinya: Hai nabi, apabila kamu menceraikan Isteri-isterimu Maka hendaklah
kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang
wajar dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.
janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka
(diizinkan) ke luar kecuali mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah
hukum-hukum Allah, Maka Sesungguhnya dia Telah berbuat zalim terhadap
dirinya sendiri. kamu tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu
sesuatu hal yang baru.
Yaitu barang kali pihak suami menyesal atas keputusan mentalak isterinya,
dan Allah Ta’ala menjadikan di dalam kalbunya keinginan kuat untuk rujuk
(kembali) kepadanya sehingga yang demikian lebih mudah dan lebih gampang
untuk proses rujuk. 25
BAB III
KETENTUAN MENGENAI JATUHNYA TALAK DI PENGADILAN MENURUT
KHI
A. Sekilas Tentang KHI
1. Latar Belakang Lahirnya Pasal 115 KHI
25 http:| msg 00129.html.
Kompilasi Hukum Islam merupakan pengembangan dari hukum perkawinan
yang tertuang di dalam Undang-Undang No 1 tahun 1974. Karena itu, ia tidak dapat
lepas dari misi yang di emban oleh UU Perkawinan tersebut, kendatipun cakupannya
hanya terbatas bagi umat Islam. Antara lain kompilasi mutlak harus mampu
memberikan landasan hukum perkawinan yang dapat di pegangi oleh umat Islam.26
Keberhasilan umat Islam Indonesia (Menteri Agama, Ulama) dalam
menggolkan RUU PA menjadi UU Peradilan Agama No 7 tahun 1989, tidaklah
berarti semua persoalan yang berkaitan dengan implementasi hukum Islam di
Indonesia menjadi selesai. Ternyata persoalan yang krusial yang dihadapi adalah
berkenaan dengan tidak adanya keseragaman para hakim dalam menetapkan
keputusan hukum terhadap persoalan-persoalan yang mereka hadapi.27
Hal ini disebabkan tidak tersedianya kitab materi hukum Islam yang sama.
secara material telah ditetapkan 13 kitab yang dijadikan rujukan dalam memutuskan
perkara yang kesemuanya bermazhab syafi’i. Akan tetapi tetap saja menimbulkan
persoalan yaitu tidak adanya keseragaman putusan hukum.
Berangkat dari realitas ini keinginan untuk menyusun “Kitab Hukum
Islam”dalam bentuk kompilasi semakin mendesak. Penyusunan Kompilasi ini bukan
saja di dasarkan pada kebutuhan adanya keseragaman referensi keputusan hukum di
Pengadilan Agama di Indonesia, tetapi juga disandarkan pada keharusan terpenuhinya
perangkat perangkat di sebuah peradilan, yaitu kitab materi hukum Islam yang
digunakan di lembaga peradilan tersebut.
Adalah Bustanul Arifin tampil dengan gagasan perlunya membuat kompilasi
26 Ahmad rafiq hukuim islam di indonesia h.55 27 H.amir nasution
hukum Islam. Gagasan Bustanul Arifin disepakati dan dibentuklah tim pelaksana
proyek dengan surat keputusan bersama (SKB) ketua MA RI dan Menteri Agama RI
No. 7/KMA/1985. Dalam tim tersebut Bustanul Arifin dipercaya menjadi pimpinan
umum dengan anggota tim yang meliputi para pejabat MA dan Departemen Agama.
Dengan kerja keras anggota tim dan ulama-ulama, cendikiawan yang terlibat
didalamnya maka terumuskanlah KHI. Yang ditindaklanjuti dengan keluarnya
instruksi presiden No.1 tahun 1991 kepada Menteri Agama untuk menyebarluaskan
Kompilasi Hukum Islam yang terdiri dari buku I tentang perkawinan, buku II tentang
kewarisan, buku III tentang perwakafan. Inpres tersebut di tindaklanjuti dengan SK
Menteri Agama No.154 Tahun 1991 Tanggal 22 Juli 1991.
Sejalan dengan apa yang dikemukakan di atas maka pelaksanaan penyusunan
Kompilasi ini dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu :
a. Tahap I : Tahap Persiapan
b. Tahap II : Tahap pengumpulan data, melalui :
1. Jalur Ulama
2. Jalur Kitab-kitab Fiqih
3. Jalur studi perbandingan di Negara-negara lain khususnya di Negara-negara
timur tengah.
c. Tahap III : Tahap penyusunan rancangan KHI dari data-data tersebut,
d. Tahap IV : Tahap penyempurnaan dengan mengumpulkan masukan-masukan
akhir dari para ulama / cendekiawan muslim seluruh Indonesia yang ditunjuk
melalui lokakarya.
Setidaknya dengan adanya Kompilasi Hukum Islam (KHI) itu, maka saat ini
di Indonesia tidak akan ditemukan lagi pluralisme keputusan Peradilan Agama,
karena kitab yang dijadikan rujukan para hakim di Peradilan Agama adalah sama.
Selain itu fiqih yang selama ini tidak positif, telah ditransformasikan menjadi hukum
positif yang berlaku dan mengikat seluruh umat Islam di Indonesia. Lebih penting
dari itu, KHI diharapkan akan lebih mudah diterima oleh masyarakat Islam Indonesia
karena di gali dari tradisi-tradisi bangsa Indonesia. Jika tidak akan muncul hambatan
psikologis di kalangan umat Islam yang ingin melaksanakan hukum Islam.
Kompilasi Hukum Islam (KHI) juga tampaknya mengikuti alur yang
digunakan oleh UUP, walaupun pasal-pasal yang digunakan lebih banyak yang
menunjukan aturan-aturan yang lebih rinci. KHI memuat masalah putusnya
perkawinan pada bab XVI.
Dalam KHI Pasal 113 dinyatakan : Perkawinan dapat putus karena :
a. Kematian,
b. Perceraian (talak),
c. Atas putusan pengadilan agama.
Dalam perkawinan dapat putus disebabkan perceraian (talak) dijelaskan pada
pasal 114 yang membagi perceraian kepada dua bagian, perceraian yang disebabkan
karena talak dan perceraian yang disebabkan oleh gugatan perceraian.
Berbeda dengan UUP yang tidak mengenal istilah talak, KHI menjelaskan
yang dimaksud dengan talak adalah “ikrar suami dihadapan sidang pengadilan agama
yang menjadi salah satu sebab putusnya perkawinan dengan cara sebagaimana
dimaksud di dalam pasal 129, 120 dan 131.
KHI mensyaratkan bahwa ikrar suami untuk bercerai (talak) harus
disampaikan dihadapan sidang Pengadilan Agama. Tampaknya UU No.7/1989
tentang peradilan Agama juga menjelaskan hal yang sama seperti yang terdapat pada
pasal 66 ayat (1) yang berbunyi “Seorang suami yamg beragama Islam yang akan
menceraikan isterinya mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk
mengadakan sidang guna penyaksian ikrar talak”.
Berkenaan dengan perceraian harus dilaksanakan di depan sidang pengadilan
agama dinyatakan pada KHI pasal 115. Sedangkan yang berkenaan dengan sebab-
sebab terjadinya perceraian dijelaskan secara luas pada KHI pasal 116 yang berbunyi:
Perceraian dapat terjadi karena alasan atau alasan-alasan :
a. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain
sebagainya yang sulit disembuhkan.
b. Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut
tanpa izin pihak dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
c. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang
membahayakan pihak lain.
e. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai suami istri.
f. Antar suami istri terus menrus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada
harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
g. Suami melanggar taklik talak
h. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidak-rukuann
dalam rumah tangga.
Berangkat dari KHI pasal 116 ini, ada tambahan dua sebab perceraian
dibanding dengan pasal 19 PP 9 tahun 1975 yaitu suami melanggar taklik talak dan
murtad. Tambahan ini relatif penting karena sebelumnya tidak ada. Taklik talak
adalah janji atau pernyataan yang biasanya dibacakan suami setelah akad nikah.
Kalau suami melanggar janji yang telah diucapkan dan istrinya tidak rela lantas
mengadu ke Pengadilan, maka pengadilan atas nama suami akan menjatuhkan talak
satu khuluk kepada istri. Jadi taklik talak sebagai sebuah ijtihad baru sangat penting
untuk melindungi hak-hak wanita.
Selanjutnya Kompilasi Hukum Islam memuat aturan-aturan yang berkenaan
dengan pembagian talak. KHI membagi talak kepada talak raj’i, talak ba’in sughra
dan talak ba’in kubra. Seperti yang terdapat pada KHI pasal 118 dan 119.
Yang dimaksud dengan talak raj’i adalah talak kesatu atau kedua, dimana
suami berhak rujuk selama istri dalam masa iddah. Ketentuan tersebut
didasarkan pada firman Allah dalam surat Al-Baqarah ayat 228 :
/4 �Q.%���☺*��) J���W6�a"«"E 1��->�/?@)L�6 �H�b $%)� AU?)S�8
h BC�) <o�"�p 1�'�Z D)A ��=☺,V"E "3 "#$%�& �� ©��y
1��-�3 "$�<)A D�Q 1�Ud 1��3��SE ���6 �²���k*��) F�>�,�
h 1�_I☺���S86�) <#��)A 1��r���"��6 ��y �5��(�� �D�Q P?)���<)A ☯� $%=��Q h
1�'�Z�) So�b�3 �� !� 1�I�a$%"S >)�x�8H@{²�6 h
���]F��%���) 1�I�a$%"S H�]�<�� V ���) ��En"S
���>V�� �¡¡G
Artinya: “Wanita-wanita yang ditalak handaklah menahan diri (menunggu) tiga kali
quru'. tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang diciptakan Allah dalam
rahimnya, jika mereka beriman kepada Allah dan hari akhirat. dan suami-suaminya
berhak merujukinya dalam masa menanti itu, jika mereka (para suami) menghendaki
ishlah. dan para wanita mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya
menurut cara yang ma'ruf. akan tetapi para suami, mempunyai satu tingkatan
kelebihan daripada isterinya. dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.” (QS. Al-
Baqarah: 228)
Sedangkan talak ba’in sughra adalah (KHI pasal 119) adalah talak yang tidak
boleh dirujuk tapi boleh dengan akad nikah baru dengan bekas suaminya meskipun
dalam masa iddah.
Talak ba’in sughra sebagaimana tersebut pada KHI pasal 119 ayat (2) adalah talak
yang terjadi qobla al-dukhul, talak dengan tebusan atau khulu’ dan talak yang
dijatuhkan oleh pengadilan agama.
Sedangkan talak ba’in qubra ( KHI pasal 120) adalah talak yang terjadi untuk
yang ketiga kalinya. Talak jenis ini tidak dapat dirujuk dan tidak dapat dinikahkan
kembali, kecuali apabila pernikahan itu dilakukan setelah bekas suami istri meikah
dengan orang lain dan kemudian terjadi perceraian ba’da dukhul dan telah melewati
(habis) masa iddahnya.
Disamping pembagian diatas juga di kenal pembagian talak ditinjau dari
waktu menjatuhkannya ke dalam talak sunni dan talak bid’i.
Adapun yang dimaksud dengan talak sunni sebagaimana terdapat pada KHI
pasal 121 adalah talak yang dibolehkan yaitu talak yang dijatuhkan suami terhadap
istri yang sedang suci dan tidak dicampuri dalam waktu suci tersebut. Sedangkan
talak bid’i seperti yang termuat pada pasal 122 adalah talak yang dilarang karena
dijatuhkan pada waktu istri dalam keadaan suci tapi sudah dicampuri pada waktu suci
tersebut dan atau menthalak istri pada wakti istri dalam keadaan tidak suci (haidh).
Menurut KHI, talak atau perceraian terhitung pada saat perceraian itu
dinyatakan di depan sidang pengadilan agama.
Sebagaimana dalam UUP di dalam KHI pun tidak kita temukan pasal-pasal
yang menerangkan tentang hukum talak. Hal ini bisa dimengerti mengingat UUP /
KHI memandang bahwa talak apapun hukumnya adalah suatu hal yang benar-benar
terjadi dalam realitas kehidupan masyarakat sejak jaman Nabi Muhammad SAW
(bahkan sebelumnya) hingga kini. Begitu pula tidak kita temukan pasal-pasal yang
menerangkan tentang rukun dan syarat talak. Khususnya yang berkenaan dengan
pelaku hukum (Pemohon dan termohon atau penggugat dan tergugat). KHI hanya
menerangkan rukun dan syarat yang menyangkut masalah administrator dalam
mengajukan suatu perkara talak seperti terdapat dalam KHI pasal 129-142.
Sedangkan tentang tata cara perceraian dalam KHI menjelaskan bahwa seorang
suami yang akan menjatuhkan talak kepada istrinya mengajukan permohonan baik
lisan maupun tertulis kepada pengadilan agama yang mewilayahi tempat tinggal istri
disertai dengan alasan serta meminta agar diadakan sidang untuk keperluan itu (KHI
pasal 129). Kemudian pengadilan agama yang bersangkutan mempelajari
permohonan yang dimaksud (KHI pasal 129) dalam waktu selambat-lambatnya 30
hari memanggil pemohon dan istrinya untuk meminta penjelasan tentang segala
sesuatu yang behubungan dengan maksud menjatuhkan talak (KHI pasal 131 ayat 1).
Setelah pengadilan agama tidak berhasil menasehati kedua belah pihak dan ternyata
cukup alasan menjatuhkan talak maka pengadilan agama menjatuhkan keputusannya
tentang izin bagi suami untuk mengikrarkan talak dan talakpun terjadi setelah
keputusan mempunyai hukum tetap (ayat 2 dan 3). Sedangkan untuk perkara gugatan
perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada pengadilan agama, yang daerah
hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat
kediaman bersama tanpa izin suami.
Kompilasi Hukum Islam juga menjelaskan tentang akibat hukum talak,
sebagimana terdapat pada pasal 149. Bilamana perkawinan putus karena talak, maka
bekas suami wajib memberikan mut’ah yang layak bagi istrinya, baik berupa uang
atau benda, kecuali bekas istri qobla al dukhul (belum disetubuhi). Juga memberikan
nafkah, makan dan kiswah kepada bekas istri selama dalam iddah, kecuali bekas istri
telah dijatuhkan talak ba’in atau nusyuz dan dalam keadaan tidak hamil. Melunasi
mahar yang masih terutang seluruhnya, dan separuh bila qobla al dukhul serta
memberikan biaya hadhanah untuk anak-anaknya yang belum mencapai umur 21
tahun.
Bekas suami berhak melakukan rujuk kepada bekas istrinya yang masih dalam
masa iddah (pasal 150). Bekas istri selama dalam masa iddah wajib menjaga dirinya
tidak menerima pinangan dan tidak menikah dengan pria lain (pasal 151) dan bekas
istri berhak mendapatkan nafkah dari bekas suaminya kecuali bila ia nusyuz (pasal
152).
2. Dasar hukum lahirnya pasal 115
Dasar hukum yang digunakan Kompilasi Hukum Islam dalam memberlakukan
KHI pasal 115 dan pasal-pasal lainnya yaitu berdasarkan hukum Islam (fiqh) yang
tersebar dalam sejumlah besar kitab-kitab para fuqoha beberapa abad lalu, yang
sesuai dengan karakteristiknya sebagai rumusan para fuqaha yang sangat dipengaruhi
oleh situasi dan lingkungan dimana fuqaha itu berada.
Mengenai kitab-kitab rujukan bagi pengadilan agama pada dasarnya adalah
sangat beragam, akan tetapi pada tahun 1958 telah dikeluarkan surat edaran biro
peradilan agama no. B/1/1735 tanggal 18 februari 1958 yang merupakan tindak lanjut
dari peraturan pemerintah no. 45 tahun 1957 tentang pembentukan pengadilan agama
/ mahkamah syar’iyah diluar jawa dan madura.
Dalam huruf B surat edaran tersebut dijelaskan bahwa untuk mendapatkan
kesatuan hukum yang memeriksa dan memutus perkara maka para hakim pengadilan
agama / mahkamah syar’iyah dianjurkan agar mempergunakan sebagai pedoman
kitab-kitab di bawah ini :
1) Al Bjuri;
2) Fathul Muin dengan syarahnya;
3) Syarqawi Alat Tahrir
4) Qulyubi / Muhalli;
5) Fathul Wahab dengan syarahnya;
6) Tuhfah;
7) Targhibul Musytaq;
8) Qawainusi Syar’iyah Lissayyid Usman bin Yahya;
9) Qawainusi Syar’iyah Lissaysid Shadaqoh Dakhlan;
10) Syamsuri Lil Fara’idl;
11) Bugyatul Mustarsyidin;
12) Al Fiqh ‘alal Muadzahibil Arba’ah;
13) Mughnil Mumtaj;
Dari kitab-kitab ini kita sudah dapat melihat pola pemikiran hukum yang
memepengaruhi penegakan hukum Islam di Indonesia. Umumnya kitab-kittab
tersebut adalah kitab-kitab kuno dalam madzhab syafi’I, kecuali mungkin untuk no.
12 termasuk kitab yang bersifat komparatif atu perbandingan mazhab. Begitu juga
hampir semua kitab ditulis dalam bahasa arab kecuali kitab no.8 yang ditulis dalam
bahasa Melayu Arab.
Kenyataan di atas diperburuk lagi oleh adanya ketidakjelasan persepsi
masyarakat tentang syari’ah dan fiqih. Menurut Masrani Basran, sejak ratusan tahun
di kalangan ummat Islam di seluruh dunia, termasuk Indonesia, terjadi kekacauan
persepsi tentang arti dan ruang lingkup syari’ah Islam. Kadang syari’ah disamakan
dengan fiqih, malahan kadang disamakan pula dengan Al-Din.
Kitab-kitab fiqih yang dijadikan sebagai rujukan selain ke-13 kitab di atas
ditambah lagi dengan kitab-kitab fiqih lain (modern) yang kesemuanya berjumlah 38
kitab fiqih yang dijadikan rujukan. Selain dari kitab-kitab fiqih tersebut, penyusunan
Kompilasi Hukum Islam merujuk pada fatwa, seperti Majelis Ulama Indonesia
(MUI), Nahdlatul Ulama (NU), Majelis Tarjih Muhammadiyah dan lain-lain. Melalui
wawancara dengan para ulama di seluruh Indonesia, melalui yurisprudensi dan
kumpulan fatwa peradilan agama yang terdri dari 15 buku dan melalui studi banding
hukum Islam yang dipraktekkan di Negara-negara muslim di Timur Tengah, meliputi:
Maroko, Turki, Mesir dan kawasan asia yaitu Pakistan.
Demikianlah sumber-sumber rujukan yang digunakan dalam penyusunan
Kompilasi Hukum Islam yang relatif lengkap, mulai dari kitab fiqih klasik dan
modern, pendapat dan pemikiran berupa fatwa dan keputusan pengadilan dan hukum
yang berlaku di berbagai Negara muslim di dunia. Diharapkan Kompilasi Hukum
Islam tersebut aspiratif dalam menjawab tuntutan keadilan bagi masyarakat dan
bangsa Indonesia yang senantiasa dihadapkan kepada kemajuan dan perkembangan.
BAB 1V
EFEKTIFITAS PASAL 115 KHI TENTANG KEHARUSAN JATUHNYA TALAK
DI DALAM SIDANG PENGADILAN AGAMA
A. Perspektif Hukum Islam
Sepakat para ahli fiqh bahwa suami yang sah menjatuhkan talak ialah suami
yang mukallaf,seperti sempurna akalnya,telah baligh dan sebagainya.28
Firman Alah SWT Q.S An-Nahl:106
�"3 "�⌧?B0 ���6 d��3 �K�8"6 ?i���O �☺E�Q �C�Q =�"3 [$F�¤0�A
���{%� �) 3yG�☺=�S3 �� �☺E4¥�6 �>V ���) �N3 ���aB} F�*?UV*��6 7<=Kf�
���-*�$%�8�{ s%Bs⌧� J��X3 �� ���-���) ¨⌧k"S s���/"S �m��G
Artinya: Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (Dia mendapat
kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang
dalam beriman (Dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya
untuk kekafiran, Maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang
besar. (Q.S An-Nahl:106)
Berdasarkan keterangan di atas Imam Syafi’I, Imam Malik, Imam Ahmad
berpendapat bahwa talak yang dijatuhkan oleh suami yang terpaksa
menjatuhkannya tidak sah (tidak jatuh) sedangkan Imam Abu hanifah berpendapat
bahwa talak tersebut adalah talak yang sah.29
Tentang kehadiran dua orang saksi dalam pengucapan talak itu memang
menjadi pembicaran di kalangan ulama golongan ahli fiqh.Ibnu Qayyim berkata
28 Kamal mukhtar h.150 29 Ibid h.151
bahwa talakm itu menjadi hak bagi orang yang menikahi,karena itulah yang berhak
menahan istri,yakni merujuknya.Suami tidak memerlukan persaksian untuk
mempergunakan haknya.Tidak ada riwayat dari Rasulullah SAW dan para
sahabatnya sesuatu yang menjadi dalil dan alasan di syariatkannya persaksian talak.
Dalam hal ini fuqaha syi’ah imamiyah berbeda pendapat dengan fuqaha
jumhur, yaitu mereka (syiah imamiyah) berpendapat bahwa persaksian dalam talak
adalah syarat bagi sahnya talak.Alasan mereka ialah:
Firman Allah dalam surat At-Talak: 2
���~�{ ��*�$%"6 1��-$%�])A 1�8r�UV>�*3)L�{ ¯)S��8�☺�6 �))A 1�8r�8 <�{ 5)S��8�☺�6
P)�KI=W)A�) =��)�� ª�=K"S ��UVO�X3 P��☺�� )A�)
$[�K �-�|� ³� h �T/���(�� /�"S�SE i���6 �"3 "D ⌧d ;��3��SE
���6 �²���k*��) F�>�,� h �"3�) G#Wv"E !� o�8*-�p �SA!�
☯�"�*E⌧ �¡G
Artinya: Apabila mereka Telah mendekati akhir iddahnya, Maka rujukilah mereka
dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik dan persaksikanlah dengan dua
orang saksi yang adil di antara kamu dan hendaklah kamu tegakkan kesaksian itu
Karena Allah. Demikianlah diberi pengajaran dengan itu orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhirat. barangsiapa bertakwa kepada Allah niscaya dia
akan mengadakan baginya jalan keluar.
At-Thabrani menuturkan bahwa zahir ayat memerintahkan adanya
persaksian untuk talak,dalam hal yang demikian juga diriwayatkan oleh imam-
imam ahlul bait seluruhnya dan bahwa hal itu menunjuk wajib serta menjadi syarat
sahnya talak.
Diantara sahabat yang berpendapat wajibnya persaksian dalam talak dan
menjadi syarat sahnya talak ialah Ali bin abi thalib ra dan Imran bin husein.Dari
tabi’in ialah Al-Imam Muhamad Al-Baqir,Jafar Ash shadiq,Atho,Ibnu Juraij dan
Ibnu Sirin.
Diriwayatkan dari Ali RA bahwa beliau berkata kepada orang yang
bertanya tentang talak:apakah talakmu telah engkau persaksikan di hadapan dua
orang saksi yang adil sebagaimana Allah telah memerintahkannya?Orang itu
menjawab:tidak,Maka Ali berkata:Pergilah engkau, talakmu itu bukan talak yang
sebenarnya.30
Terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama dari mahzab-mazhab
yang ada tentang keabsahan talak dalam beberapa keadaan tertentu. Niat yang di
sengaja merupakan faktor terpenting dalam perceraian seperti halnya dalam
perkawinan itu sendiri, namun dalam hal-hal tertentu perceraian itu tidak sah kalau
di berikan dalam keadaan dipaksa, berada dalam penekanan,dan dalam keadan
mabuk.
Sebagian ahli fiqh berpendapat bahwa shah (jatuh) talak yang dijatuhkan
oleh suami yang mabuk,apabila ia sengaja menjadikann dirinya menjadi orang yang
mabuk,seperti karena sengaja meminum khamar dan minuman yang lain yang
memabukkan.Apabila mabuknya itu datang sendiri atau bukan karena ia sengaja
meminum minuman yang memabukkan, maka talaknya tidak shah. Kebanyakan
ahli fiqh,seperti Imam Abu Hanifah, sebahagian pengikut Syafi’I dan Ahli Zahir
berpendapat bahwa tidak shah talak yang dijatuhkan oleh orang yang sedang mabuk
itu sama hukumnya dengan orang yang tidak berakal,atau orang yang gila.31
Firman Allah:An nisa:43
30 Ghazaly,h.209-210. 31 Kamal mukhtar,h.151.
HIJK)L. "E "y� !� P�S7"3�U BC P�6"�*Q�9
$[h�$%��� ��,@)A�) V�"� �V�� h�R��� P��☺$%�8�9 "3 "D�U��/Q�9
BC�) 5S7S] �C�Q �F��6"S ook���� h�R��� P�8%>�",*��9 h D�Q�) �U°7Ud ��F��1� �))A h�$9"S o�⌧?�� �))A �U��] �K"$)A TUV7�X3 ���X3 >�³�"�*� �))A
S�U°���☺ �� �U�f��X7� �T$%�{ P)�K>-)3 ☯U�"3 P��☺1☺�k",�{ 7Kk�8f� 75��� P���f�*3�{
�TUV�r�S]M��6 �TUVE�K�E)A�) V ND�Q !� "D ⌧d µ�/?"S <�/?⌧� �FG
Artinya: Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu shalat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan, (jangan
pula hampiri mesjid) sedang kamu dalam keadaan junub[301], terkecuali sekedar
berlalu saja, hingga kamu mandi. dan jika kamu sakit atau sedang dalam musafir
atau datang dari tempat buang air atau kamu Telah menyentuh perempuan,
Kemudian kamu tidak mendapat air, Maka bertayamumlah kamu dengan tanah
yang baik (suci); sapulah mukamu dan tanganmu. Sesungguhnya Allah Maha
Pema'af lagi Maha Pengampun.
Dari Asiyah ra bahwa Rasulullah SAW bersabda, Tidak syah talak dan
memerdekakan budak dalam keadaan marah?. (HR. Ahmad, Ibnu Majah, Abu
Daud, Hakim).Hadits ini meski dikeritik sebagian orang bahwa di dalamnya ada
rawi yang tidak kuat, namun umumnya ara muhaddits menshahihkannya. Dan
hadits ini menurut hakim termasuk hadits shahih menurut syarat Muslim.
Imam Al-Bukhari telah menuliskan dalam kitab shahihnya sebuah bab
yang berjudul : ?Bab Talak Pada Waktu Ighlak (marah), tepaksa, mabuk dan
gila?. Lalu beliau membedakan antara talak pada waktu ighlak (marah) dengan
bentuk-bentuk lainnya.
Imam Ibnu Taymiyah dan Ibnul Qayyim cenderung menjadikan tolok ukur
jatuh tidaknya talak dari sengaja atau tidaknya. Siapa yang tidak bertujuan atau
tidak berniat untuk mentalak serta tidak mengerti apa yang diucapkannya, maka
dia dalam kondisi ighlaq (marah), yang berarti talaknya tidak jatuh.
Para ulama membedakan marah itu menjadi tiga macam :
• Marah yang menghilangkan akal hingga batas seseorang tidak ingat lagi apa
yang diucapkannya. Dalam kasus seperti ini maka bila dia melafazkan kata
talak kepada istrinya, tidak jatuh talaknya.
• Marah yang masih bisa seseroang untuk mengetahui apa yang diucapkannya.
Dalam kasus ini maka bila dia melafazkan talak, jatuhlah talak itu.
• Marah yang ada diantara keduanya yaitu antara sebagian akalnya hilang dan
sebagian masih ada. Sehingga begitu marahnya mereda, bisa jadi dia merasa
menyesal atas apa yang tadi dilakukan. Marah yang jenis ini adalah menjadi
bahan perbedaan pendapat di antara para ulama. Syeikh As-Sayyid Sabiq
dalam Fiqhus Sunnah cenderung mengatakan bahwa bila dia melafazkan
talak maka talaknya tidak jatuh.32
Dalam persoalan talak dalam situasi marah ini, maka Ibnu Taimiyah
dengan hujah-hujahnya berpendapat talak tersebut batal dan tidak dianggap.
Pendapat beliau dikuatkan oleh ulama kholaf (kontemporer) Syeikh Utsaimin
dengan beberapa tambahan perincian. [Durus wa Fatawa Haramul Makkiy,
Syeikh Utsaimin 3/258-260].
Beliau menganalisir barometer kemarahan dengan tiga tingkatan:
32www.mail-archive.com/[email protected]/msg00129.html - 10k
a. Marah biasa, yaitu seseorang masih dapat mengendalikan diri, akal dan
ucapannya. Ia masih dapat mengontrol dirinya dan sadar.
b. Marah sedang, yaitu marah yang tidak sampai pada puncak kemarahan tetapi dia
sudah tidak dapat mengontrol diri dan ucapannya.
c. Puncak kemarahan, yaitu marah yang dia sudah tidak sadar akan diri dan
ucapanya. Ulama sepakat, orang yang mengalami tingkatan ini hukumnya sama
dengan hukum orang gila.
Talak yang diucapkan pada tingkatan marah pertama, maka dianggap sebagai
orang marah pada umumnya dan terkena beban hukum, jika di mentalak maka talak
tersebut sah. Talak yang diucapkan pada tingkatan marah kedua dan ketiga, maka
pendapat yang terkuat adalah talak tersebut tidak sah, berdasarkan hadits: "Talak
tidak dianggap jatuh karena ighlaq (dipaksa atau marah)".
Pendapat yang menyelisi hal ini adalah pendapat ulama Hambali dan Syafi'i
yang menyatakan bahwa jatuh talak dalam kondisi marah tanpa mensyaratkan niat.33
Di antara masalah-masalah yang menjadi ganjalan dalam kehidupan, yang berakhir
dengan pecahnya keluarga dan putusnya silaturahmi di banyak negara adalah
masa1ah disahkannya talak tiga sekaligus: Seseorang mengatakan, “Engkau kucerai
dengan ta1ak tiga." Atau ia mengu1ang-ulang tiga kali berturut-turut dalam satu
majelis ucapan, “Engkau kuceraikan." Kemudian hal itu di pandang sebagai talak tiga
yang sebenarnya dan perempuan yang dicerai menjadi haram dinikahi bekas
suaminya sebelum dinikahi laki-1aki lain (lalu menceraikannya) .
33 Ilmuislam.net/content/view/77/1/ - 32k
Dalam talak, menurut kebanyakan pengikut Ahlusunah, tidak disyaratkan
dengan satu syarat pun yang dapat menghalangi segera jatuhnya talak, seperti
perempuan tidak sedang dalam masa haid, tidak suci setelah bercampur, atau
keharusan hadimya dua orang saksi yang adil. Kadang-kadang kebencian dan
kemarahan telah menguasai diri suami. Kemudian ia menceraikan istrinya dengan
ta1ak tiga sekaligus. Sete1ah itu, ia menyesali perbuatannya dengan penyesalan yang
sedemikian rupa sehingga seakan-akan bumi ini telah menjadi sempit baginya. Maka
ia mencari jalan keluar dari akibat buruk ini. Namun, dari para .imam mazhab yang
empat dan para pandakwahnya, ia tidak menemukan jalan keluar. Akhimya, ia hanya
duduk dalam penyesalan. Pertanyaan baginya hanya membuat ia lari dari fiqih dan
fatwa.
Kita tahu dengan pasti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan toleran. Di
dalamnya tidak ada kesulitan. Inilah yang mendorong para pendakwah yang ikhlas
terus menerus mengkaji masalah ini dengan kajian yang terbebas dari pengaruh
pikiran orang-orang yang terbelakang yang menutup pintu ijtihad dalam hukum-
hukum syariat; yang jauh dari pengaruh kajian orang- orang yang menuruti hawa
nafsu yang ingin menjauhkan umat dari Islam, serta mencegah mereka untuk
mengkaji masalah ini dan mencari hukumnya dalam Al-Qur'an dan sunah. Sehingga
mereka terasing dari pemikiran yang benar. Padahal, boleh jadi setelah itu Allah
menjadikan sesuatu yang baru. Barangkali setelah itu ikatan akan terurai dan mufti
(pemberi fatwa) menemukan jalan keluar dari kesempitan yang disebabkan oleh
taklid mazhab.
Berikut ini kami kutipkan kepada Anda beberapa pendapat berkenaan dengan
masalah tersebut. Ibn Rusyd berkata, "Mayoritas fukaha berpendapat bahwa talak
dengan mengucapkan kata ‘tiga’’ , hukumnya sama dengan talak tiga. Sedangkan
ahlu zahir dan jamaah mengatakan bahwa hukumnya sama dengan hukum talak satu,
dan ucapan kata ‘tiga’ , itu tidak memiliki konsekuensi apapun."
Asy-Syekh ath- Thusi berkata, jika seorang laki-laki menceraikan istrinya
dengan talak tiga dengan satu lafaz, hal itu merupakan bid'ah dan jatuh talak satu
Apabila terpenuhi syarat-syaratnya. Demikian menurut sahabat-sahabat kami. Tetapi
di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ha1itu sama sekali tidak menimbulkan
konsekuensi apa pun. Pendapat itu dianut oleh 'Ali as dan ahlu zahir. Ath-Thahawi
meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Ishaq bahwa ia memandang dengan lafaz
jatuh talak satu, seperti telah kami katakan. Juga diriwayatkan bahwa Ibn 'Abbas dan
Thawus berpendapat seperti pendapat yang dianut mazhab Imamiyah."
Asy-Syafi'i berkata, "Jika seorang 1aki-1aki menceraikan istrinya dengan
talak dua atau talak tiga dalam keadaan suci dan tidak dicampuri, baik dilakukan
sekaligus (satu kalimat dengan menyebutkan bi1angan) maupun secara terpisah (satu
kalirnat diulang-ulang) , hal itu mubah, tidak dilarang, dan talak tersebut sah. Di
kalangan sahabat yang berpendapat demikian adalah 'Abdurrahman bin 'Auf, Mereka
meriwayatkan hadis ini dari al-Hasan bin 'Ali as. Di kalangan tabi'in yang
berpendapat seperti ini adalah Ibn Sirin. Sedangkan di kalangan fukaha yang
mengikuti pendapat ini adalah Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsawr."
Kaum berkata, " Apabila seorang laki-laki menceraikan istrinya dalam
keadaan suci dengan talak dua atau talak tiga, baik sekaligus maupun secara terpisah,
ia telah melakukan perbuatan haram, maksiat, dan dosa. Di kalangan sahabat yang
berpendapat demikian adalah ‘Ali as, ‘Umar, Ibn ‘Umar, dan Ibn ‘Abbas. Di kalangan
fukaha yang berpendapat seperti ini adalah Abu Hanifah beserta para sahabatnya dan
Malik. Tetapi mereka mengatakan bahwa talak itu sah."
Abu al-Qasim al-Khurqi dalam Mukhtasar-nya mengatakan, " Apabila
seorang laki-laki berkata kepada istri yang telah dicampurinya, ‘Engkau ditalak.
Engkau ditalak,’ maka jatuh talak dua. Tetapi jika dengan kalimat kedua itu ia
bermaksud memahamkan kepada istrinya bahwa telah jatuh talak dengan kalilriat
pertama, maka jatuh talak satu. Apabila perempuan itu belum dicampuri, maka
dengan kalimat pertama itu ia menjadi ba'in. Kalimat se- sudahnya tidak memiliki
konsekuensi apa pun karena yang berlaku adalah ucapan pertama."
Ibn Qudamah dalam Syarh ‘ala Mukhtasar al-Khurqi mengatakan, “Apabila
seorang laki-laki mengatakan kepada istrinya yang telah dicampuri, ‘Engkau ditalak'
(dua kali) dan ia bemiat bahwa dengan ucapan kedua itu jatuh talak dua, maka bagi
perempuan itu jatuh talak dua. Tetapi jika dengan ucapan kedua itu ia bemiat untuk
memahamkan bahwa dengan ucapan pertama itu telah jatuh talak atau hanya untuk
menegaskan, maka jatuh talak satu. Apabila ia tidak bemiat deh1ikian, maka ja.tuh
talak dua. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah dan Malik. Hal itu sahih menurut dua
qawl asy-syafi’i. Tetapi dalam qawl terakhir ia mengatakan bahwa dengan cara itu
jatuh talak satu."
Al-Khurqi juga dalam Mukhtasar-nya mengatakan, “Kepada istri yang telah
dicampuri jatuh talak tiga Apabila suami mengatakan kepadanya kalimat-kalimat
seperti, “Engkau ditalak, lalu ditalak, lalu ditalak.” Atau, ‘Engkau ditalak, kemudian
ditalak, kemudian ditalak.’ Atau, ‘Engkau ditalak, kemudian ditalak dan ditalak.'
Atau, Engkau ditalak, kemudian di talak, lalu ditalak.’
Ibn Qudamah dalam Syarh-nya mengatakan, “Menjatuhkan talak tiga dengan
satu lafaz menuntut jatuhnya talak tersebut sekaligus, seperti kalau suami mengatakan
(kepada istrinya) 'Engkau kucerai dengan talak tiga.'
‘Abdurrahman al-Jaziri berkata, "Laki-laki merdeka memiliki tiga talak.
Apabila laki-laki itu menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus dengan
mengucapkan, 'Engkau kuceraikan dengan talak tiga,' maka menurut mazhab yang
empat (Ahlusunah) bilangan yang diucapkannya itu berlaku. Itulah pendapat
mayoritas ulama. Tetapi pendapat itu ditentang oleh sebagian mujtahid, seperti
Thawus, 'Ikrimah, Ishaq, dan yang terkemuka di antara mereka adalah Ibn ' Abbas
ra."
Masih banyak ucapan-ucapan seperti itu yang menunjukkan kesepakatan
mayoritas fukaha setelah generasi tabi'in tentang berlakunya talak tersebut. Mereka
berhujah dengan apa yang didengar. Orang yang terkemuka di antara mereka yang
memberlakukan talak tersebut adalah 'Umar bin al-Khaththab. Talak tiga itu
berdasarkan apa yang dilihat dan didengar dari para sahabat. Akan tetapi, kalau Al-
Qur'an dan sunah menunjukkan sebaliknya, tentu itulah yang harus diambil.34
B. Efektifitas Pelaksanaan Pasal 115 di Pengadilan dan Masyarakat
Pada dasarnya dalam Islam membenarkan seorang suami yang akan
menceraikan istrinya hanya cukup di ucapkan di depan istrinya atau orang lain maka
jatuhlah talak, akan tetap dalam hidup bernegara ada yang memerintah,dan sebagai
34 www.geocities.com/zahranakumayl/talaktiga.html
warga negara kita harus taat kepada peraturan pemerintah, selama tidak
bertentangan dengan ketentuan hukum Islam itu sendiri,karena taat kepada
pemerintah merupakan bagian kewajiban sebagai umat muslim.Pemerintah
membentuk suatu peraturan tentang perceraian bertujuan agar tertib administrasi
halnya masalah pencatatan perkawinan kelahiran serta mempersulit perceraian.hal
ini pada dasarknya sesuai dengan prinsip hukum islam mengenai perceraian yaitu
mempersulit terjadinya perceraian.
Ternyata dengan berjalannya waktu masyarakat khususnya di daerah Cibinong
banyak yang sudah mengerti akan hukum. Hal ini tidak bisa di pungkiri karena
peran aktif lembaga Pengadilan Agama dalam melakukan penyuluhan hukum secara
rutin setiap satu minggu sekali dan penyuluhan selalu di hadiri oleh
masyarakat.Terbukti dengan semakin banyaknya orang yang melakukan perceraian
di Pengadilan Agama Cibinong. di satu sisi sebuah hal yang mengecewakan tapi di
satu sisi yang lain ternyata pasal 115 KHI terbukti berjalan dengan efektif.
Masyarakat semakin sadar bahwa jika ingin perceraiannya memiliki kekuatan
hukum tetap dan mendapat keadilan di antara masing-masing pihak dalam hal harta
ataupun dalam pengasuhan anak maka lebih baik mereka memutuskannya di
Pengadilan Agama.
BAB V
PENUTUP
d. Kesimpulan
Dalam uraian pada bab-bab di atas, ternyata ketentuan mengenai keharusan
seorang suami melaksanakan thalak di depan sidang Pengadilan Agama di Indonesia
sarat dengan hasil ijtihad para ulama Indonesia dan juga peran dari pemerintah.
Yang menarik dari perkembangan tentang hukum thalak di Indonesia adalah
dimana Undang-Undang memiliki peranan yang cukup besar dalam hal thalak/
gugatan cerai (khulu) yang dalam proses penyelesaiannya setara yaitu sama-sama
dapat mengajukan permohonan thalak, dan pengadilan sebagai pihak yang dapat
menentukan dapat terjadi / tidaknya suatu perceraian (thalak).
Ketentuan tersebut sekilas bertentangan dengan ketentuan yang telah
ditetapkan oleh Hukum Islam, karena tidak adanya dalil / nash baik dalam syari’ah /
dalam fiqh yang menjelaskan dan mengatur bahwa thalak itu harus dilakukan di
depan sidang Pengadilan Agama. Walaupun begitu, terhadap masalah ini selama tidak
menyalahi dan berjalan sesuai dengan hukum Islam maka penulis menyimpulkan
bahwa :
1) Landasan hukum yang dijadikan rujukan Kompilasi Hukum Islam (KHI) dalam
memberlakukan ketentuan jatuhnya thalak di depan sidang Pengadilan Agama
berdasarkan surat edaran biro Peradilan Agama No. B/1/735/1958 adalah 38 kitab
fiqh yang terdiri dari kitab klasik dan modern, lembaga dan fatwa (MUI, NU,
Majlis Tarjih Muhammadiyah, dan lembaga fatwa lainnya), wawancara para
ulama di seluruh ulama di seluruh Indonesia, melalui Yurisprudensi, dan studi
banding ke Negara muslim timur tengah (Maroko, Turki, Mesir, dan kawasan
Asia yaitu Pakistan).
2) Berdasarkan pasal 115 KHI maka thalak dinyatakan jatuh apabila thalak itu
dilaksanakan di depan sidang Pengadilan Agama dan telah mempunyai kekuatan
hukum tetap.
3) Masyarakat telah memahami dan mengetahui tentang hukum sehingga Pasal 115
KHI itu dapat berjalan secara efektif.
e. Saran-saran
Ada beberapa saran yang ingin penulis sampaikan berkaitan dengan kajian ini:
A. Thalak adalah putusnya tali perkawinan antara suami istri dan mempunyai
dampak yang sangat besar terhadap masa depan keduanya serta orang-orang di
sekitarnya.
B. Kepada para hakim sebagai bagian dari perangkat hukum agar senantiasa
mengembangkan pemahaman hukum yang mengarah kepada terciptanya suatau
kemajuan hukum yang sesuai dan sejalan dengan Hukum Islam.
C. Kepada para ulama yang mempunyai pandangan dan pemikiran yang sama agar
terus mengkaji hukum yang ada pada Undang-undang di Indonesia apakah sudah
sejalan dengan hukum yang bersumber dari Al-qur’an.
DAFTAR PUSTAKA
Al-qur’an al-karim dan terjemahannya.
Abdur, Rahman. Perkawinan Dalam Syariat Islam.Penerjemah Basri Iba Asghary, dkk.
Jakarta: Rineka Cipta,1992.
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, cet. v. Jakarta: Akademika
Presindo, 2007.
Abu Asadirrahman Ibrahim.’’ Apakah Jatuh Talak dalam Kondisi Marah?. artikel
diakses pada tanggal 23 Februari 2009 dari Ilmu Islam.net.
Syaikh Hasan Ayyub. Fikih Keluarga, Jakarta: pustaka Al-Kautsar. Cet. 1, 2001.
Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat, cet.1. Bogor: Kencana, 2003.
Huda, Miftahul.”Pemahaman Masyarakat Tentang Talak Dan Akibat Hukumnya
Menurut KHI (Studi Pada Warga Masyarakat Kecamatan Cipayung) Jakarta
Timur”. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008.
Muchtar, Kamal. Azaz-Azaz Hukum Islam Tentang Perkawinan, Jakarta: Bulan Bintang.
Mulia ,Musdah . Pandangan Islam Tentang Poligami, cet. 1. Jakarta,1999.
Mulyadi.”Cerai Tanpa Putusan Pengadilan Agama dalam Perspektif Fiqh dan Hukum
Islam’. Skripsi Fakultas Syariah dan Hukum,Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta, 2008.
Rasjid, Sulaiman. Fiqh Islam(Hukum Fiqh Islam), cet. 27. Bandung: Sinar Baru
Algesindo, 1994.
Rofiq, Ahmad. Hukum Islam di Indonesia, cet. VI. Jakarta:Raja Grafindo Persada, 2003.
Selamat, Kasmuri. Pedoman Mengayuh Bahtera Rumah Tangga (Panduan Perkawinan),
cet.1. Jakarta,1999.
Syarifuddin, Amir.Garis-Garis Besar Fiqh, cet. 1. Bogor: Kencana, 2003.
Syarifuddin, Amir. Hukum Perkawinan Islam di Indonesia Antara Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan, cet. 1 .Jakarta: Kencana,2006.
Yosquin.’’ Talak dalam Agama Islam. Artikel Diakses Pada Tanggal 23 Februari 2009
dari msg 00129.html.
HASIL WAWANCARA DI PENGADILAN AGAMA CIBINONG
NAMA :Dra.Hj.Faujiah,MH.
JABATAN :Hakim
HARI/TANGGAL :29 Mei 2009
1. Bagaimana tanggapan Ibu mengenai permasalahan perceraian yang dilakukan di luar
prosedur Pengadilan Agama?
Jawaban: Dianggap tidak ada perceraian,ikrar talak itu harus di depan Pengadilan
Agama,kalau di luar itu hanya emosi saja.jadi,tidak boleh sembarang tempat dalam
mengucapkannya.
2. Lalu menurut Ibua,bagaimana status perceraian yang dilakukan tidak di Pengadilan
Agama?
Jawaban: Dianggap tidak ada status,karena tidak ada akibat hukumnya.Karena
pernikahannya kan tercatat,jadi seharusnya perceraiannya pun tercatat.
3. Apakah di Pengadilan Agama ini terdapat perkara perceraian yang diajukan ke
Pengadilan Agama setelah mereka melakukan perceraian di luar Pengadilan Agama?
Jawaban: Ada,banyak.Mereka biasanya telah menjatuhkan talak lalu istrinya sudah di
pulangkan ke rumah orang tuanya.Biasanya mereka tidak datang ke Pengadilan
Agama karena terrganjal oleh biaya,tapi,di Pengadilan Agama kan ada keringanan
biaya bagi masyarakat yang tidak mampu,akhirnya mereka sadar untuk datang ke
Pengadilan Agama dan bercerai.
4. Apa tindakan yang dilakukan oleh Pengadilan Agama ini untuk mengatasi perceraian
di luar Pengadilan Agama?
Jawaban: Kami memberikan pengarahan seperti penyuluhan hukum setiap 1 minggu
sekali.
5. Menurut Ibu sejauh ini pasal 115 KHI itu efektif atau tidak diterapkan di masyarakat?
Jawaban: Efektif,Jadi semakin banyak orang yang sadar hukum dan datang ke
Pengadilan Agama untuk mengurus perceraiannya.
6. Bagaimana tanggapan Ibu mengenai perbedaan pendapat tentang cara penjatuhan
talak?
Jawaban: Itu di kembalikan lagi kepada individunya.Jika mereka ingin mendapat
kejelasan hukum lebih baik mereka datang ke Pengadilan Agama dengan begitu
diharapkan dapat menjamin hak masing-masing pihak sebagai akibat dari
perceraian,misalnya hak pengasuhan anak,dan lain-lain.
Bogor, 29 Mei 2009
Pewawancara Nara Sumber
(Rieda Yuliati) (Dra.Hj.Faujiah,MH)
Hasil Wawancara
Nama: Ina Satinah
Profesi: Pembantu Rumah tangga
Hari/Tanggal: Rabu/27 Mei 2009
1. Berapa lama usia pernikahan anda?
Jawab:16 tahun
2. Apa yang menyebabkan anda bercerai?
Jawab: Menurut suami karena suami merasa kurang harmonis padahal kenyatanya
selama 16 tahun kami menikah kami tidak pernah bertengkar
3. Di mana anda melakukan perceraian?
Jawab: di Pengadilan Agama.
4. Kapan anda bercerai?
Jawab: 23 maret 2005
5. Bagaimana proses perceraian anda?
Jawab: Sidang pertama suami tidak hadir,sidang kedua sidangnya di batalin,sidang ke
tiga langsung di kasih surat cerai,setelah ditanya ke pihak Pengadilan Agama ternyata
pengacara suami membayar 4 juta kepada hakimnya.
6. Siapa saja saksi yang hadir waktu proses perceraian?
Jawab: Saya(Ina Satinah)saudara suami,dan pengacara dari pihak suami.
7. Apakah anda mengetahui kalau mau melakukan perceraian itu harus dilakukan di
mana?
Jawab: Tahu, di Pengadilan Agama.
8. Apakah anda puas dengan hasil keputusan Pengadilan Agama?
Jawab: Saya tidak puas.
9. Apakah anda melaporkan ke pihak KUA bahwa anda telah bercerai?
Jawab: tidak,tapi pihak mantan suami yang melaporkan.
10. Setelah bercerai,apakah mantan suami anda memberikan nafkah kepada anda dan
anak anda?
Jawab: tidak,karena setelah saya mendapat surat cerai saya langsung di usir dari
rumah dan anak-anak tinggal bersama mantan suami.
11. Bagaimana hak asuh anak apa di bicarakan sewaktu anda bercerai?
Jawab: tidak,mantan suami sendiri yang memutuskan bahwa anak-anak ikut
dengannya.
12. Mengenai harta gono gini atau harta bawan di bicarakan dengan mantan suami anda
sewaktu bercerai?
Jawab: tidak,saya tidak mendapatkan apa-apa.
13. Apakah Anda mendapatkan mut’ah selama iddah dari suami anda?
Jawab: diberi 500rb untuk uang iddah itu juga karena di suruh oleh pihak KUA