konflik tambang
DESCRIPTION
faktor penyebab terjadinya konflik pertambangan di Kabupaten Konawe Selatan yaitu: (1) Komunikasi yang mandeg antara perusahaan dan masyarakat; (2) Ganti rugi lahan; (3) klaim kepemilikan lahan diantara rumpun; (4) Terjadinya pencemaran lingkungan, (5) Konpensasi yang tidak dipenuhi perusahaan; dan (6) Ketidakjelasan tapal batas desa-desa di sekitar daerah pertambanganTRANSCRIPT
-
5/21/2018 Konflik tambang
1/11
KAJIAN MODEL PENANGANAN KONFLIK KEBIJAKAN
PERTAMBANGAN DAN STRATEGI PENYELESAIANNYADI KABUPATEN KONAWE SELATAN
Oleh: Syaifudin Suhri Kasim dan Megawati A. Tawulo5
AbstractThis research aims at analyzing the factors causing the happening of the conflict and
patterns of conflict among the sides concerned and model of its solution. This research
employed qualitative analysis technique with rationality approach on logical ability. It wasdone in order that the data obtained in the field were easier to be analyzed by usinginterpretative understanding i.e. doing the interpretation or giving the meaning towards thedata collected. The analysis of data was based on qualitative approach. The findings showed
that there were six factors causing the happening of mining conflict in South Konawe Regency,namely: (1) a stagnant communication between the company and society; (2) land
compensation; (3) the claim of land ownership among the clans; (4) the happening ofenvironment contamination; (5) the compensation not being fulfilled by the company; and (6)
the unclearness of the villages limits in the surroundings of the mining area. The conflictpatterns can happen between the society and government side, between the society andcompany, and between the fellow society member involving between the different clan bothcollectively and personally.Key Words: Conflict, Policy, and Mining.
AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinyakonflik dan pola-pola konflik yang terjadi diantara para pihak yang terkait dan
model penyelesaiannya. Penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatifdengan pendekatan rasionalitas pada kemampuan logik. Hal ini dilakukan agardata yang diperoleh di lapangan lebih mudah dianalisis dan interpretativeunderstanding, yaitu melakukan penafsiran atau memberi makna terhadap datayang dikumpulkan, dan analisis data didasarkan pada pendekatan kualitatif.Hasil Penelitian menunjukkan enam faktor penyebab terjadinya konflikpertambangan di Kabupaten Konawe Selatan yaitu: (1) Komunikasi yangmandeg antara perusahaan dan masyarakat; (2) Ganti rugi lahan; (3) klaimkepemilikan lahan diantara rumpun; (4) Terjadinya pencemaran lingkungan, (5)Konpensasi yang tidak dipenuhi perusahaan; dan (6) Ketidakjelasan tapal batasdesa-desa di sekitar daerah pertambangan. Pola-pola konflik dapat terjadi
diantara masyarakat dengan pihak pemerintah, diantara masyarakat denganperusahaan dan diantara sesama anggota masyarakat yang melibatkan antararumpun yang berbeda, baik secara kolektif maupun secara personal.Kata Kunci: Konflik, Kebijakan, dan Pertambangan.
PENDAHULUAN
Diterbitkanya Undang-Undang Republik Indonesia No. 22/1999 tentang
Pemerintahan Daerah yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang No.
32/2004 di satu sisi adalah jawaban atas tuntutan dan desakan desentralisasi
5 Drs. Syaifudin Suhri Kasim, M.Si. dan Megawati A. Tawulo, S.Sos, M.Si. adalah dosen SosiologiFISIP Universitas Halu Oleo Kendari
ISSN: 2355-1445; Hal. 43-53
-
5/21/2018 Konflik tambang
2/11
SOCIETAL:Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014
44
pemerintahan dari pusat ke daerah. Dengan adanya undang-undang baru ini, daerah
mempunyai keleluasan untuk mengatur dan mengelola wilayahnya. Dengan adanya
otonomi, kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan
dan program pembangunan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan daerah.Pemerintah kabupaten dan kota diharapkan dapat menjadi lebih responsif dalam
menanggapi berbagai masalah yang berkembang di daerahnya sehingga program-
program pembangunan menjadi lebih efektif dalam menyelesaikan berbagai masalah
yang ada di daerah. Dukungan masyarakat terhadap program dan kebijakan
pemerintah menjadi semakin tinggi yang pada gilirannya keberhasilan dan kinerja
pemerintah daerah akan menjadi semakin baik pula.
Untuk meningkatkan tanggungjawab pemerintah daerah dalam hal
kepelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah daerah Kabupaten Konawe
Selatan pada 2010 gencar melaksanakan promosi dalam upaya menggerakkanekonomi daerah melalui upaya penarikan investasi yang berasal dari luar daerah
(domestik dan internasional) dan ekonomi lokal melalui pengelolaan SDA dengan
dikeluarkannya kebijakan tentang izin pertambangan di Kecamatan Tinanggea,
Laeya dan Palangga. Dalam pelaksanaannya kebijakan izin pertambangan di
Kabupaten Konawe Selatan ini menuai protes Masyarakat Kecamatan Tinanggea,
Kecamatan Palangga dan Kecamatan Laeya yang secara langsung merasakan dampak
dari pertambagan ini. Protes warga yang menimbulkan terjadinya konflik, karena
dalam pengambilan kebijakan tentang penambangan, pemerintah melakukannya
secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat.Berdasarkan fenomena empiris sebagaimana dijelaskan di atas, maka
permasalahan utama yang menjadi fokus kajian adalah apakah factor-faktor
penyebab terjadinya konflik pertambangan dan pola-pola konflik yang terjadi di
Kabupaten Konawe Selatan. Sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk menge-
tahui dan mendeskripsikan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik pertambangan
dan pola-pola terjadinya konflik di Kabupaten Konawe Selatan.
Pada dasarnya ada tiga pendekatan untuk memberikan arah keputusan ketika
keputusan atau kebijakan publik hadir dalam konteks konflik. Pendekatan pertama
adalah pendekatan yang menakar pada pendekatan demokratis, yaitu kebaikan bagi
semua orang. Artinya, arah keputusan atau kebijakan yang disarankan untuk
direkomendasikan atau diputuskan adalah keputusan yang memberikan manfaat bagi
mayoritas publik daripada sebagian kecil publik. Namun, dalam pelaksanaannya
sangatsulit. Pertama, karena ada bias elit. Pengambil keputusan bagaimanapun juga
adalah elit, dan tidak sedikit keputusan atau kebijakan publik pada akhirnya
menguntungkan kelompok elit daripada publik itu sendiri. Kedua, ada bias
teknokratik. Analis dan perumus kebijakan biasaya adalah para ilmuan atau ilmuan
yang teknokrat. Mereka biasanya terkait secara politik dan ekonomi dengan elit
politik. Ketiga, ada keterbatasan dibidang keilmuan kebijakan publik. Pendekatan
kedua dalam memberiikan arah keputusan dalam konteks konflik adalah denganmenetapkan tingkat ketercapaian tertinggi atau resiko atau kegagalan paling rendah .
-
5/21/2018 Konflik tambang
3/11
Syaifudin S. Kasim & Megawati A. Tawulo:
Kajian Model Penanganan Konflik Kebijakan Pertambangan dan Strategi Penyelesaiannya
45
Pendekatan ini antara lain menggunakan pendekatan cost, benefit, cost-benefit, risk-value,
hingga pendekatangame.
Teori-teori mengenai berbagai penyebab konflik menurut Rahman (2004)yaitu: (1) Teori hubungan masyarakat.Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh
polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok
yang berbeda dalam suatu masyarakat. (2) Teori negosiasi prinsip. Menganggap
bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan
pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. (3) Teori
kebutuhan manusia. Berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh
kebutuhan dasar manusia, fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau
dihalangi. (4) Teori identitas. Berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas
yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masalalu yang tidak diselesaikan. (5) Teori kesalahpahaman antarbudaya. Berasumsi
bahwa konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara komunikasi di
antara berbagai budaya yang berbeda. (6) Teori transformasi konflik. Berasumsi
bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan
yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Pada dasarnya
faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik menurut Rahman (2004) adalah
berikut: (1) Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. (2)
Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi yang berbeda.
(3) Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok (4) Perubahan-perubahan
nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.
Penerapan sebuah kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah memiliki
dimensi yang sangat kompleks. Pengalaman menunjukan bahwa penerapan
kebijakan cenderung melibatkan berbagai aktor yang berkelindan kepentingan
dengan target group atau penerima keputusan. Karenanya tidak mudah menerapkan
kebijakan yang sarat dengan kepentingan. Ada konflik yang potensial yang
mengemuka dari serangkaian tindakan para aktor pelaksana bila kepentingan itu
tidak tercapai. Sebaliknya kebijakan yang memiliki derajat kepentingan yang rendah
oleh masing-masing aktor lebih mudah untuk diterapkan. Parsons (2005: 247)
mendefinisikan pengambilan kebijakan (decision making) berada di antara perumusankebijakan dan implementasi, akan tetapi kedua hal tersebut saling terkait satu sama
lain. Implementasi tahap awal akan mempengaruhi tahap pembuatan kebijakan
selanjutnya yang pada gilirannya akan mempengaruhi implementasi berikutnya.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe Selatan, terutama di daerah-
daerah pertambangan nikel. Informasi atau data dalam penelitian ini diperoleh dari
informan kunci dan informan biasa. Informan kunci dalam penelitian ini meliputi
pemerintah daerah Kabupaten Konawe Selatan, kepolisian, dan tokoh masyarakatyang berada di sekitar penambangan nikel di Kabupaten Konawe Selatan.
-
5/21/2018 Konflik tambang
4/11
SOCIETAL:Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014
46
Sedangkan informan biasa diperoleh dari masyarakat setempat yang dianggap
banyak mengetahui fenomena konflik sosial selama penambangan berlangsung.
Penentuan informan dilakukan dengan menggunakan teknik nonprobability sampling,
khususnya purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan terdiri dari:(a) Wawancara adalah percakapan dengan narasumber atau informan tentang
permasalahan yang diteliti. (b) Studi kepustakaan, dilakukan dengan mengumpulkan
literatur ilmiah dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan masalah
pertambangan dan peraturan pemerintah dalam kebijakan pengelolaan tambang
nikel. (c) Dokumen, yang diperlukan dalam penelitian ini berupa bahan tertulis yang
berkaitan dengan fokus penelitian, sebagai sumber data yang bermanfaat untuk
menguji dan mengintrepetasi data.
Setelah seluruh data dikumpulkan baik berupa data primer maupun data
sekunder, maka data diolah dan selanjutnya dianalisis sesuai dengan fokus penelitian.Penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif dengan pendekatan rasionalitas
pada kemampuan logik. Proses pengumpulan data dan analisis data dilakukan secara
bersamaan selama proses penelitian berlangsung, sebab pada saat pengumpulan data
secara tidak langsung juga telah terjadi suatu proses analisis data. Hal ini dilakukan
agar data yang diperoleh dilapangan lebih mudah dianalisis dan interpretative
understanding, yaitu melakukan penafsiran atau memberii makna terhadap data atau
fakta yang dikumpulkan, dan analisis data didasarkan pada pendekatan kualitatif atau
tipe penelitin yang bersifat deskriptif. Data yang dianalisis secara deskriptif kualitatif,
kemudian diuraikan dan dijelaskan secara komprehensif, sehingga dapat diperolehkepastian bahwa data yang dikumpulkan memiliki relevansi dengan permasalahan
yang diteliti.
PEMBAHASAN
Faktor-Faktor Penyebab Konflik
Setidaknya ada enam faktor yang dapat dikategorikan sebagai sumber konflik
yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat lokal. Ketiga faktor tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut:
1. Komunikasi yang mandeg antara perusahaan dan masyarakatMandegnya komunikasi pada sektor apapun akan menimbulkan kesalah-
pahaman pada kedua belah pihak yang terlibat, dan pada gilirannya akan memicu
konflik diantara mereka. Pada tahapan eksplorasi, sering perusahaan tidak
berkomunikasi secara terbuka dengan masyarakat, dengan kata lain ada informasi
yang disembunyikan. Pada saat kegiatan eksplorasi, biasanya perusahaan melibatkan
penduduk lokal sebagai tenaga pembantu, baik sebagai penunjuk jalan maupun
pengangkut logistik. Jika ada pertanyaan dari penduduk tentang keberadaan tambang
pihak perusahaan tidak terbuka, hal ini pernah terjadi dimana ada beberapa orang
utusan masyarakat yang pergi kepenambangan untuk menanyakan kepada
perusahaan tentang konflik yang terjadi di perusahaan. Namun sesampainya diperusahaan para utusan ini tidak diladeni dengan baik. Ada saja alasan yang
-
5/21/2018 Konflik tambang
5/11
Syaifudin S. Kasim & Megawati A. Tawulo:
Kajian Model Penanganan Konflik Kebijakan Pertambangan dan Strategi Penyelesaiannya
47
diberikan oleh pihak pengamanan diperusahaan sehingga para utusan pulang tanpa
memperoleh informasi apa-apa karena sesampainya diperusahaan tidak ada seorang
pun yang menemui mereka untuk menjelaskan tentang konflik yang terjadi, padahalniat baik dari utusan ini ingin mengkomunikasikan perusahaan dengan masyarakat.
Keadaan ini sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya aparat pemerintahan setempat
menunjukan tanggungjawabnya dengan menjembatani kepentingan perusahaan
dengan aspirasi masyarakat. Aparat desa/kecamatan atau kabupaten dapat
menjelaskan kepada masyarakat dengan bahasa budaya yang mudah dimengerti
masyarakat tentang arti dan keuntungan yang dapat dinikmati masyarakat atau
kerugian yang harus ditanggung bila perusahaan beroperasi di daerah mereka. Hal
yang menjadi kekecewaan terbesar masyarakat di Kecamatan Tinanggea, Palangga
Selatan dan Palangga adalah sangat sedikitnya penduduk lokal yang dapat bekerjasebagai karyawan.
Kurangnya perhatian perusahaan terhadap tanggungjawab sosialnya, terkadang
mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang mencoba untuk
menghalang-halangi kegiatan perusahaan, sehingga menimbulkan konflik antara
perusahaan dengan masyarakat. Dalam situasi seperti ini beberapa pihak dari unsur
masyarakat memberiikan tanggapan bahwa tanggungjawab pengembangan
masyarakat bukan hanya tanggungjawab perusahaan tetapi juga pemerintah, sehingga
pemerintah perlu memediasi hubungan antara masyarakat dengan perusahaan untuk
mencari solusi penyelesaiannya.
Mengingat tanggungjawab pengembangan masyarakat pada hakekatnya terletak
pada aparat pemerintahan, bukan pada perusahaan, maka seharusnya aparat
pemerintahan bisa memainkan peran yang sentral dalam komunikasi triparti ini. Bila
komuniksi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka masyarakat tidak akan tahu
keterbatasan perusahaan dan dan tidak mengerti sejauh mana tanggungjawab sosial
perusahaan terhadap mereka. Hal ini akan mengakibatkan masing-masing pihak akan
merasa benar, sehingga konflik akan semakin besar. Masyarakat merasa perusahaan
mengabaikan tanggung jawab sosialnya terhadap mereka, sebaliknya perusahaan
merasa sudah memenuhi semua kewajiban mereka terhadap masyarakat.
2. Ganti rugi lahan dan tanaman wargaSalah satu konflik yang dihadapi dalam penambangan nikel dikecamatan
Tinanggea dan Palangga adalah mangkirnya PT. Ifishdeco, PT. Jagat Raya dan PT.
Sambas Mineral Mining dari kesepakatannya dengan warga. Pada 2010 lalu, PT
Ifishdeco. PT. Jagat Rayatama dan PT. Sambas membuat kesepakatan ganti rugi
lahan dan tanaman milik warga. Kesepakatan ganti rugi ini muncul karena
keberadaan PT. Ifishdeco, Jagat Raya dan PT.Sambas telah merusak ekologi sekitar
pertambangan dan membuat tambak rumput laut milik warga rusak. Hal ini
diakibatkan karena semenjak keberadaan PT. Ifishdeco, PT. Jagat Raya dan PT.
Sambas, air sungai dan air laut berubah menjadi kuning karena eksplorasipenambangan yang dilakukan oleh perusahan tersebut.
-
5/21/2018 Konflik tambang
6/11
SOCIETAL:Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014
48
Dalam kesepakatan tersebut tertera, bahwa PT Ifishdeco, PT. Jagat Raya, dan
PT. Sambas harus mengganti rugi lahan dan tanaman milik warga. Untuk tanaman,
perusahaan bersedia untuk membayar Rp 10.000/meter, sedangkan tanaman milik
warga diganti rugi sebesar Rp 250.000/pohon. Namun dalam perjalanannya,kesepakatan ini kemudian dirubah secara sepihak oleh Pemda Konsel, dari Rp
10.000/meter menjadi Rp 2.000/meter, sementara ganti rugi pohon turun
setengahnya, yaitu Rp 50.000/meter. Jelas sekali, bahwa Pemda Konsel sangat
berpihak kepada pemilik modal, dalam hal ini perusahaan. Padahal jelas-jelas,
Perusahaan telah merusak ekologi sekitar penambangan dan merusak tanaman
warga. Kasus harga tanah, dan tuntutan warga tentang kerusakan tanaman rumput
laut warga yang oleh pemerintah kecamatan menyebutkan tak ada kerusakan yang
disebabkan oleh penambangan menurut masyarakat setempat merupakan bukti
bahwa pemerintah lebih berpihak pada perusahaan sehingga hak-hak masyarakatdiabaikan.
3. Klaim kepemilikan lahan di antara rumpunDalam satu kawasan pengelolaan yang luas hamparannya sekitar 500 Ha
sampai 2000 Ha, biasanya diklaim oleh lebih dari satu rumpun (marga). Awalnya
lahan tersebut dikuasai oleh hanya satu rumpun yang dibuktikan dengan adanya
walaka (tempat pengembalaan ternak sapi atau kerbau), dan pekuburan serta
tanaman jangka panjang lainnya. Namun dalam jangka panjang lahan tersebut tidak
diolah oleh pemilik rumpun utama, tetapi diolah oleh masyarakat yang bermukim
disekitar wilayah lahan tersebut. Ketika perusahaan tambang masuk, maka pemilikwalaka mencoba untuk menguasai kembali seluruh lahan yang selama ini diklaim
sebagai lahan nenek moyang mereka. Tetapi klaim lahan yang dilakukan oleh pemilik
walaka tidak serta merta diterima oleh masyarakat karena mereka sudah tinggal dan
berkebun di kawasan lahan tersebut dalam waktu yang cukup lama, yaitu antara 10
sampai 30 Tahun lamanya, sehingga mereka merasa ikut berhak atas lahan tersebut.
Peristiwa ini tentu saja telah memicu terjadinya konflik diantara sesama warga.
Apalagi dalam proses ini Kepala wilayah (pemerintah) ikut mempolitisir dengan
berusaha untuk memasukan beberapa rumpun dalam satu lahan (walaka), sebab
setiap rumpun Kepala wilayah (pemerintah) mendapatkan bagian sekitar Rp.
50.000.000, dalam sekali pengapalan. Akibatnya dalam satu walaka (tanah adat)
dikuasai oleh lebih dari satu rumpun, sehingga diantara rumpun yang berusaha
untuk menguasai mencoba untuk saling mempertahankan hak masing-masing, yang
selalu berujung pada konflik secara terbuka diantara mereka.
4. Terjadinya pencemaran lingkunganPada mulanya masyarakat sangat senang sekali dengan masuknya beberapa
perusahaan pertambangan nikel untuk melakukan kegiatan ekploitasi dan eksplorasi
dikawasan lahan pemukiman mereka. Padahal kita ketahui bahwa daerah tersebut
utamanya desa-desa yang berada di Kecamatan Palangga merupakan wilayah yang
sangat sulit air bersih, apalagi kalau sudah musim kemarau panjang datang, yang
-
5/21/2018 Konflik tambang
7/11
Syaifudin S. Kasim & Megawati A. Tawulo:
Kajian Model Penanganan Konflik Kebijakan Pertambangan dan Strategi Penyelesaiannya
49
menjadi andalan masyarakat hanya pada sungai-sungai besar yang mengaliri daerah
tersebut.
Demikian pula halnya beberapa masyarakat yang bermukim di sepanjangpesisir pantai di Kecamatan Palangga Selatan, yang pada umumnya mereka bermata
pencaharian sebagai nelayan, utamanya nelayan rumput laut, ketika perusahan
pertambangan nikel dilakukan di daerah tersebut, telah menyebabkan terjadinya
pencemaran lingkungan, terutama air sungai dan air laut menjadi keruh, sehingga
masyarakat tidak dapat memperoleh air bersih dan usaha rumput laut mereka
mengalami kegagalan panen. Kondisi seperti ini telah disadari masyarakat, dan pada
akhirnya masyarakat meminta pihak perusahaan untuk membuat sumur bor dan
mengganti usaha tani nelayan mereka yang telah gagal panen. Tetapi dalam proses
ini pihak perusahaan hanya memberi janji kepada masyarakat tanpa dipenuhi,sehingga peristiwa ini telah mendorong masyarakat untuk melakukan gerakan protes
terhadap perusahaan, bahkan berusaha untuk menghentikan pekerjaan pada
perusahaan tersebut.
5. Kompensasi yang tidak dipenuhi perusahaanKompensasi merupakan suatu perjanjian kotrak secara lisan yang diadakan
antar masyarakat dengan piha perusahaan sebagai bentuk dari wujud kepedulian
pihak perusahaan terhadap desa-desa sekitarnya yang dilalui oleh adanya aktivitas
pertambangan. Kompensasi tersebut dalam bentuk bantuan langsung kepada
pemerintah desa dan masyarakat desa yang bersangkutan. Bagi pemerintah desa
bantuan tersebut dapat berupa bantuan pengembangan dan perbaikan sarana dan
prasarana desa dan fasilitas publik lainnya, sedangkan bagi masyarakat desa dapat
berupa bantuan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Karena perusahaan belum
menepati janjinya maka masyarakat melakukan gerakan protes kepada perusahaan
dengan memblokir jalan dan melumpuhkan aktivitas pertambangan. Hal ini
sebagaimana telah dilakukan oleh warga desa Lapulu yang jelaskan informan Anw
(50 Tahun) pada wawancara tgl 22 Agustus 2013 bahwa PT. Infishdeco tidak pernah
sekalipun memberiikan konpensasi kepada warga. Padahal, pengankutan orel Nikel
PT. Infishdeco menuju jembatan titian melintasi desa Lapulu, cerita mati jika
perusahaan mengaku telah memberiikan kepada kami suntikan konpensasi. PadahaDesa Lapulu merupkana Desa Induk dari pemekaran desa Lasuai dan Wadonggo.
Warga akhirnya dipertemukan dengan managemen PT. Infishdeco bersama
dengan camat Tianggea Endang Irawan, Kapolres Konsel, serta Kepala Kesbang
Kabupaten Konsel. Namun pertemuan warga dengan pihak pemerintah di Balai
Desa Torokeu tidak menghasilkan apa-apa, masyarakat hanya dijanji untuk dapat
diakomodir mendapatkan konpensasi. Bahkan, Humas Infishdeco, Ahmar
menuturkan bahwa tuntutan warga terkait konpensasi mereka akan diinventarisir
oleh perusahaan. Peristiwa lain yaitu adanya tuntutan warga Desa Lalonggasu
Kecamatan Tinanggea yang menuntut pembayaran royalty 2 U$ dollar yangdijanjikan PT. Infishdeco bagi sejumlah warga di Desa Lalonggasu.
-
5/21/2018 Konflik tambang
8/11
SOCIETAL:Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014
50
6. Perubahan tapal batas secara sepihak pada desa-desa di sekitar daerahpertambangan
Masalah tapal antara desa pada awalnya tidak dipermasalahkan, bahkan secara
administratif sudah ditetapkan melalui peta kabupaten. Namun seiring denganmasuknya kegiatan pertambangan, ada bebepa kepala desa justru merubah batas
desanya dengan desa tetangganya agar daerahnya mendapatkan hamparan
pertambangan yang lebih luas lagi, sebab dengan demikian mereka akan
mendapatkan bagian atau royalty dari perusahaan akan lebih besar lagi. Sehingga
desa-desa yang sadar bahwa wilayah administratifnya sudah diubah oleh desa
tetangga serta merta tidak menerimanya. Akibatnya, diantara desa-desa tersebut
saling berebut dan mempertahankan wilayahnya dengan melibatkan anggota
masyarakatnya masing-masing.
Masalah tersebut salah satunya dapat dilihat dari kisruh yang terjadi antarawarga dengan PT. Infishdeco karena adanya perubahan tapal batas desa secara
sepihak sebagaimana dijelaskan Kades Lalonggasu Gusri menyangkut batas desa
sejak tahun 1972 sudah ada batas antara wilayah hanya saja kelemahan batas itu tidak
disertai berita acara. Berjalan kemudian terjadi pemindahan batas wilayah desa
Lalonggasu yang dilakukan secara sepihak, sehingga persoalan batas wilayah menjadi
polemik antara desa Asingi dan desa Lalonggasu.
Pola-Pola Konflik
1. Konflik perusahaan versus masyarakatPotensi konflik yang berkembang antara perusahaan dan masyarakat lokal padaumumnya tidak terjadi pada saat awal kegiatan eksplorasi, tetapi potensi ini lebih
banyak muncul dan tumbuh setelah tahapan ekploitasi. Ketika perusahaan
melakukan kegiatan eksplorasi, masyarakat tidak merasa terancam ataupun merasa
punya persoalan dengan perusahaan, walaupun sering masyarakat tidak pernah tahu
persis apa yang dicari atau yang dilakukan oleh perusahaan itu di daerah sekitar
pemukiman mereka. Di saat perusahaan membangun infrastruktur penunjang
pertambangan seperti jalan dan jembatan untuk kepentingan operasi penambangan.
Sejalan dengan pembangunan fisik yang dilakukan perusahaan, masyarakat lokal
menaruh harapan besar terhadap perusahaan dianggap sebagai dewa penolong yang
dipuji dan disanjung oleh masyarakat. Sejalan dengan pembangunan fisik yang
dilakukan perusahaan, masyarakat lokal menaruh harapan besar terhadap perusahaan
untuk dapat memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka. Mereka membayangkan
akan terbuka lapangan kerja yang memberiikan jaminan hari tua mereka disamping
fasilitas umum yang akan dapat mereka nikmati. Tetapi ketika harapan itu tidak
menjadi kenyataan, dan diperparah lagi oleh tidak berperannya aparat pemerintahan
dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam mengembangkan
masyarakatnya, maka bibit-bibit ketidakpuasan mulai tumbuh subur di hati
masyarakat.
-
5/21/2018 Konflik tambang
9/11
Syaifudin S. Kasim & Megawati A. Tawulo:
Kajian Model Penanganan Konflik Kebijakan Pertambangan dan Strategi Penyelesaiannya
51
2. Konflik masyarakat versus pemerintahKonflik antara masyarakat dan pemerintah terjadi akibat tawaran ganti-rugi
tanah dan tanaman warga akibat kehadiran penambangan nikel yang hanyadikompensasi dengan pembiayaan raskin dan pembebasan pajak desa selama
setahun, ditentang warga. Penegasan ini kembali dilontarkan oleh Pemda Konsel
dalam pertemuan akhir yang digelar di DPRD Kabupaten Konawe Selatan tersebut
diklaim untuk mengambil keputusan final terkait pembukaan kembali akses
eksploitasi pertambangan nikel yang sudah ditutup oleh warga, berakhir dengan
pembubaran. Selain itu, konflik antara pemerintah dan masyarakat juga disebabkan
perbedaan pandangan tentang tanaman rumput laut warga yang oleh pemerintah
kecamatan menyebutkan tak ada kerusakan yang disebabkan oleh penambangan.
Padahal sejak beroperasinya tambang usaha rumput laut nelayan mengalamikerusahan dan penurunan produksi yang sangat tajam.
Pada dasarnya, keadaan masyarakat di Kecamatan Tinanggea, Palangga dan
Palangga Selatan justru sangat terancam akan keberlanjutan mata pencaharian
mereka setelah PT. Ifishdeco, PT. Sambas, PT. Jagat Raya dan PT. Macika yang
beroperasi sejak dua tahun lalu. Karena masyarakat dari kecamatan Tinanggea dan
Kemacama Palangga Selatan yang memiliki mata pencaharian sebagai petani, nelayan
pembudidaya rumput laut dan nelayan tangkap mengalami masalah yang sangat
berat. Betapa tidak, jika mereka hendak berkebun, lahan-lahan pertanian mereka
sudah diakuasai oleh PT. Ifishdeco, PT Sambas, PT. Jagat Raya, dan PT. Macika
dengan sokongan penuh pemerintah daerah dan aparat keamanan, sementara jika
mereka hendak membudidaya, laut sudah dipenuhi dengan lumpur-lumpur
pertambangan, bahkan jika hendak menangkap ikan mereka harus mengayuh sampai
2 mil laut yang sebelumnya tidak pernah terjadi.
3. Konflik masyarakat versus masyarakatPola konflik lainnya adalah masyarakat versus masyarakat, dimana dalam
konflik ini melibatkan dari masing-masing kelompok masyarakat yang menamakan
dirinya sebagai kelompok rumpun marga A, B, C, dan lain-lainnya. Sebab dalam satu
kawasan pertambangan seringkali diklaim oleh lebih dari satu klan, marga, seperti
yang baru-baru terjadi adalah kasus konflik antara marga Polingay dan MargaManus, serta antara marga Polingay dan Marga Pohewai dan marga H. Karim.
Kelompok-kelompok marga ini masing-masing merupakan kelompok yang cukup
besar jumlahnya dan masing-masing saling mempertahankan kawasan pertambangan
tersebut sebagai hak ulayatnya. Akibatnya, seringkali terjadi konflik fisik diantara
marga (klan) yang mengaku sebagai pemilik hak ulayat tersebut.
Gambaran konflik tersebut juga telah diuraikan pada penjelasan kliam
kepemilikan lahan dianatara rumpun, dimana yang menjadi sumber konflik diantara
warga (klan) tersebut adalah tanah walaka yang selama ini hanya dikuasai oleh satu
rumpun, namun setelah kegitana perusahaan tambang berjalan, barulah pihak-pihakyang berkepentingan mulaiu memainkan perannya dengan mencoba memasukan
-
5/21/2018 Konflik tambang
10/11
SOCIETAL:Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014
52
beberapa klan di dalamnya sebagai pemilik dalam walaka tersebut. Selain itu, pihak
masyarakat yang telah lama tinggal didalam kawasan tersebut juga dipaksa untuk
mengakui akan hak kepemilikan mereka, akibatnya masing-masing klan dan
masyarakat setempat berupaya untuk salang merebut lahan dan dalam kondisi yangdemikianlah terjadilah konflik diantara mereka karena tidak ada salah satu pihak
yang mau mengalah, bahkan pihak-pihak terstentu mencoba untuk memaksa keluar
klan lainnya dan mengakui bahwa walaka atau hamparan lahan tersebut bukan
menjadi milik mereka, tetapi menjadi milik masyarakat yang telah lama tinggal di
kwasan tersebut.
PENUTUP
Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwakonflik terbuka yang terjadi di
kawasan pertambangan nikel di Kecamatan Tinanggea, Palangga Selatan danPalangga adalah akibat ganti rugi lahan dan tanaman warga yang tidak sesuai dengan
kesepakatan awal, kemandegan komunikasi antara perusahaan, masyarakat dan
aparat pemerintah, klaim kepemilikan lahan diantara rumpun, terjadinya pencemaran
lingkunga, kompensasi yang tidak dipenuhi perusahaan, dan perubahan tapal batas
secara sepihak oleh desa-desa disekitar daerah pertambangan. Sedangkan pola-pola
konflik yang terjadi dapat berupa konfik antara perusahaan dengan masyarakat,
pemerintah dengan masyarakat, dan masyarakat dengan masyarakat.
Berdasarkan kesimpulan tersebut, diajukan beberapa saran sebagai berikut: (1)
Hendaknya perusahaan dan pemerintah menyelesaikan kasus ganti rugi yang
disebabkan oleh penambangan sehingga kasus konflik di masyarakat tidak berlarut-
larut. (2) Hendaknya dalam pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh stakeholders
melibatkan berbagai pihak dan terbuka untuk umum guna mendengarkan aspirasi
masyarakat yang berkepentingan dengan kebijakan tersebut, sehingga dapat
mengartikulasi semua kepentingan. (3) Dalam pengambilan kebijakan hendaknya
para pengambil kebijakan menerapkan prinsip-prinsip good governance, seperti
partisipasi yang mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam
menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut
kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Model
partisipasi dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, pendekatan versipemerintah yaitu melalui proses Musrenbang, UDKP, Rakorbang. Pendekatan ini
akan lebih efektif jika semua prosedur dilaksanakan sesuai aturannya. Artinya semua
proses itu benar-benar dilaksanakan bukan hanya sebatas mekanisme saja, yang
sebenarnya program yang akan dilaksanakan sudah ditentukan. Kedua, pendekatan
versi OMS (Ormas, LSM, PT, dll). Pendekatan ini dilakukan untuk mewakili rakyat-
rakyat tertentu (khusus) seperti korban yang selama ini diabaikan dalam penjaringan
aspirasi masyarakat oleh pihak kelurahan atau partai. Proses yang dilalui adalah
Musrenbang, UDKP dan Rakorbang versi rakyat yang betul-betul melibatkan rakyat.
Ketiga, pendekatan versi Stakeholder. Pendekatan ini dilakukan oleh pihak yangberkepentingan dengan mempertimbangkan segala macam aspek keadilan dan
-
5/21/2018 Konflik tambang
11/11
Syaifudin S. Kasim & Megawati A. Tawulo:
Kajian Model Penanganan Konflik Kebijakan Pertambangan dan Strategi Penyelesaiannya
53
kemanusiaan. Stakeholder perlu memami kondisi dan struktur sosial, geopolitik dan
ekonomi rakyat tidak lagi menjadi korban oleh kepentingan mereka namun aspirasi
masyarakat bisa diwakili oleh mereka. Transparansi: menciptakan kepercayaantimbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan
menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.
DAFTAR PUSTAKA
Affandi, Ikhwan, Hakimul. 2004. Akar Konflik Sepanjang Zaman.Yogyakarta: Pustaka
Pelajar.
Dahrendorf, Ralf. 1986. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri, sebuah analisis
konflik. Diterjemahkan oleh Ali Manda.Jakarta: Rajawali.
Dwiyanto dkk. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Yogyakarta:
PSKK UGM-PEG Usaid Bank Dunia.
Dwiyanto dkk. 2003. Teladan dan Pantangan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan
Otonomi Daerah.Yogyakarta: PSKK UGM.
Faisal, Sanapiah. 1989. Format-Format Penelitian Sosial.Jakarta: Rajawali Pers.
Kumbara, A.A. Ngr Anom. 2000. Otonomi Daerah dan Konflik Sosial di NTB,Makalah
dalam Simposium dan Lokakarya Internasional 1 Agustus 2000.
Makassar-Sulsel: Pusat Kegiatan Penelitian Kampus Universitas
Hasanuddin.
Morissan. 2004. Pemerintahan Daerah UU No. 32 Tahun 2004 Beserta Penjelasannya.
Jakarta: Ramdina prakarsa.Parsons, Wayne. 2005. Public Policy Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan.
Jakarta: Kencana.
Pradnja, Ida Aju, & Carol J. Pierce Colfer. 2003. Kemana Harus Melangkah?
Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia.Jakarta.
Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 2008. Metode Penelitian Survei. Jakarta:
LP3ES.
Suharto, Edi. 2009. Pekerjaan Sosial di Dunia Industri:Memperkuat CSR (Corporate Social
Responsibility). Bandung: Alfabeta.
Susilo, Rakhmad K. Dwi. 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers.Sutrisno, Lukman. 2003. Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan
dan Negara Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Wibawa, Samodra. 1994. Kebijakan Publik, Proses dan Analisa.Jakarta: Intermedia.
Perundang-Undangan
Rancangan Undang-Undang Tahun 2002 Tentang Pertambangan Umum.
Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Guna Hutan Dan
Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan
Penggunaan Kawasan Hutan.
Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.