konflik tambang

Upload: jurnal-societal

Post on 12-Oct-2015

71 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

faktor penyebab terjadinya konflik pertambangan di Kabupaten Konawe Selatan yaitu: (1) Komunikasi yang mandeg antara perusahaan dan masyarakat; (2) Ganti rugi lahan; (3) klaim kepemilikan lahan diantara rumpun; (4) Terjadinya pencemaran lingkungan, (5) Konpensasi yang tidak dipenuhi perusahaan; dan (6) Ketidakjelasan tapal batas desa-desa di sekitar daerah pertambangan

TRANSCRIPT

  • 5/21/2018 Konflik tambang

    1/11

    KAJIAN MODEL PENANGANAN KONFLIK KEBIJAKAN

    PERTAMBANGAN DAN STRATEGI PENYELESAIANNYADI KABUPATEN KONAWE SELATAN

    Oleh: Syaifudin Suhri Kasim dan Megawati A. Tawulo5

    AbstractThis research aims at analyzing the factors causing the happening of the conflict and

    patterns of conflict among the sides concerned and model of its solution. This research

    employed qualitative analysis technique with rationality approach on logical ability. It wasdone in order that the data obtained in the field were easier to be analyzed by usinginterpretative understanding i.e. doing the interpretation or giving the meaning towards thedata collected. The analysis of data was based on qualitative approach. The findings showed

    that there were six factors causing the happening of mining conflict in South Konawe Regency,namely: (1) a stagnant communication between the company and society; (2) land

    compensation; (3) the claim of land ownership among the clans; (4) the happening ofenvironment contamination; (5) the compensation not being fulfilled by the company; and (6)

    the unclearness of the villages limits in the surroundings of the mining area. The conflictpatterns can happen between the society and government side, between the society andcompany, and between the fellow society member involving between the different clan bothcollectively and personally.Key Words: Conflict, Policy, and Mining.

    AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor-faktor penyebab terjadinyakonflik dan pola-pola konflik yang terjadi diantara para pihak yang terkait dan

    model penyelesaiannya. Penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatifdengan pendekatan rasionalitas pada kemampuan logik. Hal ini dilakukan agardata yang diperoleh di lapangan lebih mudah dianalisis dan interpretativeunderstanding, yaitu melakukan penafsiran atau memberi makna terhadap datayang dikumpulkan, dan analisis data didasarkan pada pendekatan kualitatif.Hasil Penelitian menunjukkan enam faktor penyebab terjadinya konflikpertambangan di Kabupaten Konawe Selatan yaitu: (1) Komunikasi yangmandeg antara perusahaan dan masyarakat; (2) Ganti rugi lahan; (3) klaimkepemilikan lahan diantara rumpun; (4) Terjadinya pencemaran lingkungan, (5)Konpensasi yang tidak dipenuhi perusahaan; dan (6) Ketidakjelasan tapal batasdesa-desa di sekitar daerah pertambangan. Pola-pola konflik dapat terjadi

    diantara masyarakat dengan pihak pemerintah, diantara masyarakat denganperusahaan dan diantara sesama anggota masyarakat yang melibatkan antararumpun yang berbeda, baik secara kolektif maupun secara personal.Kata Kunci: Konflik, Kebijakan, dan Pertambangan.

    PENDAHULUAN

    Diterbitkanya Undang-Undang Republik Indonesia No. 22/1999 tentang

    Pemerintahan Daerah yang telah diperbaharui dengan Undang-Undang No.

    32/2004 di satu sisi adalah jawaban atas tuntutan dan desakan desentralisasi

    5 Drs. Syaifudin Suhri Kasim, M.Si. dan Megawati A. Tawulo, S.Sos, M.Si. adalah dosen SosiologiFISIP Universitas Halu Oleo Kendari

    ISSN: 2355-1445; Hal. 43-53

  • 5/21/2018 Konflik tambang

    2/11

    SOCIETAL:Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

    44

    pemerintahan dari pusat ke daerah. Dengan adanya undang-undang baru ini, daerah

    mempunyai keleluasan untuk mengatur dan mengelola wilayahnya. Dengan adanya

    otonomi, kabupaten dan kota memiliki kewenangan untuk merumuskan kebijakan

    dan program pembangunan sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan daerah.Pemerintah kabupaten dan kota diharapkan dapat menjadi lebih responsif dalam

    menanggapi berbagai masalah yang berkembang di daerahnya sehingga program-

    program pembangunan menjadi lebih efektif dalam menyelesaikan berbagai masalah

    yang ada di daerah. Dukungan masyarakat terhadap program dan kebijakan

    pemerintah menjadi semakin tinggi yang pada gilirannya keberhasilan dan kinerja

    pemerintah daerah akan menjadi semakin baik pula.

    Untuk meningkatkan tanggungjawab pemerintah daerah dalam hal

    kepelayanan kepada masyarakat, maka pemerintah daerah Kabupaten Konawe

    Selatan pada 2010 gencar melaksanakan promosi dalam upaya menggerakkanekonomi daerah melalui upaya penarikan investasi yang berasal dari luar daerah

    (domestik dan internasional) dan ekonomi lokal melalui pengelolaan SDA dengan

    dikeluarkannya kebijakan tentang izin pertambangan di Kecamatan Tinanggea,

    Laeya dan Palangga. Dalam pelaksanaannya kebijakan izin pertambangan di

    Kabupaten Konawe Selatan ini menuai protes Masyarakat Kecamatan Tinanggea,

    Kecamatan Palangga dan Kecamatan Laeya yang secara langsung merasakan dampak

    dari pertambagan ini. Protes warga yang menimbulkan terjadinya konflik, karena

    dalam pengambilan kebijakan tentang penambangan, pemerintah melakukannya

    secara sepihak tanpa melibatkan masyarakat.Berdasarkan fenomena empiris sebagaimana dijelaskan di atas, maka

    permasalahan utama yang menjadi fokus kajian adalah apakah factor-faktor

    penyebab terjadinya konflik pertambangan dan pola-pola konflik yang terjadi di

    Kabupaten Konawe Selatan. Sehingga tujuan penelitian ini adalah untuk menge-

    tahui dan mendeskripsikan faktor-faktor penyebab terjadinya konflik pertambangan

    dan pola-pola terjadinya konflik di Kabupaten Konawe Selatan.

    Pada dasarnya ada tiga pendekatan untuk memberikan arah keputusan ketika

    keputusan atau kebijakan publik hadir dalam konteks konflik. Pendekatan pertama

    adalah pendekatan yang menakar pada pendekatan demokratis, yaitu kebaikan bagi

    semua orang. Artinya, arah keputusan atau kebijakan yang disarankan untuk

    direkomendasikan atau diputuskan adalah keputusan yang memberikan manfaat bagi

    mayoritas publik daripada sebagian kecil publik. Namun, dalam pelaksanaannya

    sangatsulit. Pertama, karena ada bias elit. Pengambil keputusan bagaimanapun juga

    adalah elit, dan tidak sedikit keputusan atau kebijakan publik pada akhirnya

    menguntungkan kelompok elit daripada publik itu sendiri. Kedua, ada bias

    teknokratik. Analis dan perumus kebijakan biasaya adalah para ilmuan atau ilmuan

    yang teknokrat. Mereka biasanya terkait secara politik dan ekonomi dengan elit

    politik. Ketiga, ada keterbatasan dibidang keilmuan kebijakan publik. Pendekatan

    kedua dalam memberiikan arah keputusan dalam konteks konflik adalah denganmenetapkan tingkat ketercapaian tertinggi atau resiko atau kegagalan paling rendah .

  • 5/21/2018 Konflik tambang

    3/11

    Syaifudin S. Kasim & Megawati A. Tawulo:

    Kajian Model Penanganan Konflik Kebijakan Pertambangan dan Strategi Penyelesaiannya

    45

    Pendekatan ini antara lain menggunakan pendekatan cost, benefit, cost-benefit, risk-value,

    hingga pendekatangame.

    Teori-teori mengenai berbagai penyebab konflik menurut Rahman (2004)yaitu: (1) Teori hubungan masyarakat.Menganggap bahwa konflik disebabkan oleh

    polarisasi yang terus terjadi, ketidakpercayaan dan permusuhan di antara kelompok

    yang berbeda dalam suatu masyarakat. (2) Teori negosiasi prinsip. Menganggap

    bahwa konflik disebabkan oleh posisi-posisi yang tidak selaras dan perbedaan

    pandangan tentang konflik oleh pihak-pihak yang mengalami konflik. (3) Teori

    kebutuhan manusia. Berasumsi bahwa konflik yang berakar dalam disebabkan oleh

    kebutuhan dasar manusia, fisik, mental, dan sosial yang tidak terpenuhi atau

    dihalangi. (4) Teori identitas. Berasumsi bahwa konflik disebabkan karena identitas

    yang terancam, yang sering berakar pada hilangnya sesuatu atau penderitaan di masalalu yang tidak diselesaikan. (5) Teori kesalahpahaman antarbudaya. Berasumsi

    bahwa konflik disebabkan oleh ketidak cocokan dalam cara-cara komunikasi di

    antara berbagai budaya yang berbeda. (6) Teori transformasi konflik. Berasumsi

    bahwa konflik disebabkan oleh masalah-masalah ketidaksetaraan dan ketidakadilan

    yang muncul sebagai masalah-masalah sosial, budaya dan ekonomi. Pada dasarnya

    faktor-faktor yang menjadi penyebab konflik menurut Rahman (2004) adalah

    berikut: (1) Perbedaan individu yang meliputi perbedaan pendirian dan perasaan. (2)

    Perbedaan latar belakang kebudayaan sehingga membentuk pribadi yang berbeda.

    (3) Perbedaan kepentingan antara individu atau kelompok (4) Perubahan-perubahan

    nilai yang cepat dan mendadak dalam masyarakat.

    Penerapan sebuah kebijakan yang diputuskan oleh pemerintah memiliki

    dimensi yang sangat kompleks. Pengalaman menunjukan bahwa penerapan

    kebijakan cenderung melibatkan berbagai aktor yang berkelindan kepentingan

    dengan target group atau penerima keputusan. Karenanya tidak mudah menerapkan

    kebijakan yang sarat dengan kepentingan. Ada konflik yang potensial yang

    mengemuka dari serangkaian tindakan para aktor pelaksana bila kepentingan itu

    tidak tercapai. Sebaliknya kebijakan yang memiliki derajat kepentingan yang rendah

    oleh masing-masing aktor lebih mudah untuk diterapkan. Parsons (2005: 247)

    mendefinisikan pengambilan kebijakan (decision making) berada di antara perumusankebijakan dan implementasi, akan tetapi kedua hal tersebut saling terkait satu sama

    lain. Implementasi tahap awal akan mempengaruhi tahap pembuatan kebijakan

    selanjutnya yang pada gilirannya akan mempengaruhi implementasi berikutnya.

    METODE PENELITIAN

    Penelitian ini dilaksanakan di Kabupaten Konawe Selatan, terutama di daerah-

    daerah pertambangan nikel. Informasi atau data dalam penelitian ini diperoleh dari

    informan kunci dan informan biasa. Informan kunci dalam penelitian ini meliputi

    pemerintah daerah Kabupaten Konawe Selatan, kepolisian, dan tokoh masyarakatyang berada di sekitar penambangan nikel di Kabupaten Konawe Selatan.

  • 5/21/2018 Konflik tambang

    4/11

    SOCIETAL:Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

    46

    Sedangkan informan biasa diperoleh dari masyarakat setempat yang dianggap

    banyak mengetahui fenomena konflik sosial selama penambangan berlangsung.

    Penentuan informan dilakukan dengan menggunakan teknik nonprobability sampling,

    khususnya purposive sampling. Teknik pengumpulan data yang digunakan terdiri dari:(a) Wawancara adalah percakapan dengan narasumber atau informan tentang

    permasalahan yang diteliti. (b) Studi kepustakaan, dilakukan dengan mengumpulkan

    literatur ilmiah dan peraturan-peraturan lainnya yang terkait dengan masalah

    pertambangan dan peraturan pemerintah dalam kebijakan pengelolaan tambang

    nikel. (c) Dokumen, yang diperlukan dalam penelitian ini berupa bahan tertulis yang

    berkaitan dengan fokus penelitian, sebagai sumber data yang bermanfaat untuk

    menguji dan mengintrepetasi data.

    Setelah seluruh data dikumpulkan baik berupa data primer maupun data

    sekunder, maka data diolah dan selanjutnya dianalisis sesuai dengan fokus penelitian.Penelitian ini menggunakan teknik analisis kualitatif dengan pendekatan rasionalitas

    pada kemampuan logik. Proses pengumpulan data dan analisis data dilakukan secara

    bersamaan selama proses penelitian berlangsung, sebab pada saat pengumpulan data

    secara tidak langsung juga telah terjadi suatu proses analisis data. Hal ini dilakukan

    agar data yang diperoleh dilapangan lebih mudah dianalisis dan interpretative

    understanding, yaitu melakukan penafsiran atau memberii makna terhadap data atau

    fakta yang dikumpulkan, dan analisis data didasarkan pada pendekatan kualitatif atau

    tipe penelitin yang bersifat deskriptif. Data yang dianalisis secara deskriptif kualitatif,

    kemudian diuraikan dan dijelaskan secara komprehensif, sehingga dapat diperolehkepastian bahwa data yang dikumpulkan memiliki relevansi dengan permasalahan

    yang diteliti.

    PEMBAHASAN

    Faktor-Faktor Penyebab Konflik

    Setidaknya ada enam faktor yang dapat dikategorikan sebagai sumber konflik

    yang terjadi antara perusahaan dan masyarakat lokal. Ketiga faktor tersebut dapat

    diuraikan sebagai berikut:

    1. Komunikasi yang mandeg antara perusahaan dan masyarakatMandegnya komunikasi pada sektor apapun akan menimbulkan kesalah-

    pahaman pada kedua belah pihak yang terlibat, dan pada gilirannya akan memicu

    konflik diantara mereka. Pada tahapan eksplorasi, sering perusahaan tidak

    berkomunikasi secara terbuka dengan masyarakat, dengan kata lain ada informasi

    yang disembunyikan. Pada saat kegiatan eksplorasi, biasanya perusahaan melibatkan

    penduduk lokal sebagai tenaga pembantu, baik sebagai penunjuk jalan maupun

    pengangkut logistik. Jika ada pertanyaan dari penduduk tentang keberadaan tambang

    pihak perusahaan tidak terbuka, hal ini pernah terjadi dimana ada beberapa orang

    utusan masyarakat yang pergi kepenambangan untuk menanyakan kepada

    perusahaan tentang konflik yang terjadi di perusahaan. Namun sesampainya diperusahaan para utusan ini tidak diladeni dengan baik. Ada saja alasan yang

  • 5/21/2018 Konflik tambang

    5/11

    Syaifudin S. Kasim & Megawati A. Tawulo:

    Kajian Model Penanganan Konflik Kebijakan Pertambangan dan Strategi Penyelesaiannya

    47

    diberikan oleh pihak pengamanan diperusahaan sehingga para utusan pulang tanpa

    memperoleh informasi apa-apa karena sesampainya diperusahaan tidak ada seorang

    pun yang menemui mereka untuk menjelaskan tentang konflik yang terjadi, padahalniat baik dari utusan ini ingin mengkomunikasikan perusahaan dengan masyarakat.

    Keadaan ini sebenarnya tidak perlu terjadi seandainya aparat pemerintahan setempat

    menunjukan tanggungjawabnya dengan menjembatani kepentingan perusahaan

    dengan aspirasi masyarakat. Aparat desa/kecamatan atau kabupaten dapat

    menjelaskan kepada masyarakat dengan bahasa budaya yang mudah dimengerti

    masyarakat tentang arti dan keuntungan yang dapat dinikmati masyarakat atau

    kerugian yang harus ditanggung bila perusahaan beroperasi di daerah mereka. Hal

    yang menjadi kekecewaan terbesar masyarakat di Kecamatan Tinanggea, Palangga

    Selatan dan Palangga adalah sangat sedikitnya penduduk lokal yang dapat bekerjasebagai karyawan.

    Kurangnya perhatian perusahaan terhadap tanggungjawab sosialnya, terkadang

    mendorong masyarakat untuk melakukan tindakan-tindakan yang mencoba untuk

    menghalang-halangi kegiatan perusahaan, sehingga menimbulkan konflik antara

    perusahaan dengan masyarakat. Dalam situasi seperti ini beberapa pihak dari unsur

    masyarakat memberiikan tanggapan bahwa tanggungjawab pengembangan

    masyarakat bukan hanya tanggungjawab perusahaan tetapi juga pemerintah, sehingga

    pemerintah perlu memediasi hubungan antara masyarakat dengan perusahaan untuk

    mencari solusi penyelesaiannya.

    Mengingat tanggungjawab pengembangan masyarakat pada hakekatnya terletak

    pada aparat pemerintahan, bukan pada perusahaan, maka seharusnya aparat

    pemerintahan bisa memainkan peran yang sentral dalam komunikasi triparti ini. Bila

    komuniksi ini tidak berjalan sebagaimana mestinya, maka masyarakat tidak akan tahu

    keterbatasan perusahaan dan dan tidak mengerti sejauh mana tanggungjawab sosial

    perusahaan terhadap mereka. Hal ini akan mengakibatkan masing-masing pihak akan

    merasa benar, sehingga konflik akan semakin besar. Masyarakat merasa perusahaan

    mengabaikan tanggung jawab sosialnya terhadap mereka, sebaliknya perusahaan

    merasa sudah memenuhi semua kewajiban mereka terhadap masyarakat.

    2. Ganti rugi lahan dan tanaman wargaSalah satu konflik yang dihadapi dalam penambangan nikel dikecamatan

    Tinanggea dan Palangga adalah mangkirnya PT. Ifishdeco, PT. Jagat Raya dan PT.

    Sambas Mineral Mining dari kesepakatannya dengan warga. Pada 2010 lalu, PT

    Ifishdeco. PT. Jagat Rayatama dan PT. Sambas membuat kesepakatan ganti rugi

    lahan dan tanaman milik warga. Kesepakatan ganti rugi ini muncul karena

    keberadaan PT. Ifishdeco, Jagat Raya dan PT.Sambas telah merusak ekologi sekitar

    pertambangan dan membuat tambak rumput laut milik warga rusak. Hal ini

    diakibatkan karena semenjak keberadaan PT. Ifishdeco, PT. Jagat Raya dan PT.

    Sambas, air sungai dan air laut berubah menjadi kuning karena eksplorasipenambangan yang dilakukan oleh perusahan tersebut.

  • 5/21/2018 Konflik tambang

    6/11

    SOCIETAL:Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

    48

    Dalam kesepakatan tersebut tertera, bahwa PT Ifishdeco, PT. Jagat Raya, dan

    PT. Sambas harus mengganti rugi lahan dan tanaman milik warga. Untuk tanaman,

    perusahaan bersedia untuk membayar Rp 10.000/meter, sedangkan tanaman milik

    warga diganti rugi sebesar Rp 250.000/pohon. Namun dalam perjalanannya,kesepakatan ini kemudian dirubah secara sepihak oleh Pemda Konsel, dari Rp

    10.000/meter menjadi Rp 2.000/meter, sementara ganti rugi pohon turun

    setengahnya, yaitu Rp 50.000/meter. Jelas sekali, bahwa Pemda Konsel sangat

    berpihak kepada pemilik modal, dalam hal ini perusahaan. Padahal jelas-jelas,

    Perusahaan telah merusak ekologi sekitar penambangan dan merusak tanaman

    warga. Kasus harga tanah, dan tuntutan warga tentang kerusakan tanaman rumput

    laut warga yang oleh pemerintah kecamatan menyebutkan tak ada kerusakan yang

    disebabkan oleh penambangan menurut masyarakat setempat merupakan bukti

    bahwa pemerintah lebih berpihak pada perusahaan sehingga hak-hak masyarakatdiabaikan.

    3. Klaim kepemilikan lahan di antara rumpunDalam satu kawasan pengelolaan yang luas hamparannya sekitar 500 Ha

    sampai 2000 Ha, biasanya diklaim oleh lebih dari satu rumpun (marga). Awalnya

    lahan tersebut dikuasai oleh hanya satu rumpun yang dibuktikan dengan adanya

    walaka (tempat pengembalaan ternak sapi atau kerbau), dan pekuburan serta

    tanaman jangka panjang lainnya. Namun dalam jangka panjang lahan tersebut tidak

    diolah oleh pemilik rumpun utama, tetapi diolah oleh masyarakat yang bermukim

    disekitar wilayah lahan tersebut. Ketika perusahaan tambang masuk, maka pemilikwalaka mencoba untuk menguasai kembali seluruh lahan yang selama ini diklaim

    sebagai lahan nenek moyang mereka. Tetapi klaim lahan yang dilakukan oleh pemilik

    walaka tidak serta merta diterima oleh masyarakat karena mereka sudah tinggal dan

    berkebun di kawasan lahan tersebut dalam waktu yang cukup lama, yaitu antara 10

    sampai 30 Tahun lamanya, sehingga mereka merasa ikut berhak atas lahan tersebut.

    Peristiwa ini tentu saja telah memicu terjadinya konflik diantara sesama warga.

    Apalagi dalam proses ini Kepala wilayah (pemerintah) ikut mempolitisir dengan

    berusaha untuk memasukan beberapa rumpun dalam satu lahan (walaka), sebab

    setiap rumpun Kepala wilayah (pemerintah) mendapatkan bagian sekitar Rp.

    50.000.000, dalam sekali pengapalan. Akibatnya dalam satu walaka (tanah adat)

    dikuasai oleh lebih dari satu rumpun, sehingga diantara rumpun yang berusaha

    untuk menguasai mencoba untuk saling mempertahankan hak masing-masing, yang

    selalu berujung pada konflik secara terbuka diantara mereka.

    4. Terjadinya pencemaran lingkunganPada mulanya masyarakat sangat senang sekali dengan masuknya beberapa

    perusahaan pertambangan nikel untuk melakukan kegiatan ekploitasi dan eksplorasi

    dikawasan lahan pemukiman mereka. Padahal kita ketahui bahwa daerah tersebut

    utamanya desa-desa yang berada di Kecamatan Palangga merupakan wilayah yang

    sangat sulit air bersih, apalagi kalau sudah musim kemarau panjang datang, yang

  • 5/21/2018 Konflik tambang

    7/11

    Syaifudin S. Kasim & Megawati A. Tawulo:

    Kajian Model Penanganan Konflik Kebijakan Pertambangan dan Strategi Penyelesaiannya

    49

    menjadi andalan masyarakat hanya pada sungai-sungai besar yang mengaliri daerah

    tersebut.

    Demikian pula halnya beberapa masyarakat yang bermukim di sepanjangpesisir pantai di Kecamatan Palangga Selatan, yang pada umumnya mereka bermata

    pencaharian sebagai nelayan, utamanya nelayan rumput laut, ketika perusahan

    pertambangan nikel dilakukan di daerah tersebut, telah menyebabkan terjadinya

    pencemaran lingkungan, terutama air sungai dan air laut menjadi keruh, sehingga

    masyarakat tidak dapat memperoleh air bersih dan usaha rumput laut mereka

    mengalami kegagalan panen. Kondisi seperti ini telah disadari masyarakat, dan pada

    akhirnya masyarakat meminta pihak perusahaan untuk membuat sumur bor dan

    mengganti usaha tani nelayan mereka yang telah gagal panen. Tetapi dalam proses

    ini pihak perusahaan hanya memberi janji kepada masyarakat tanpa dipenuhi,sehingga peristiwa ini telah mendorong masyarakat untuk melakukan gerakan protes

    terhadap perusahaan, bahkan berusaha untuk menghentikan pekerjaan pada

    perusahaan tersebut.

    5. Kompensasi yang tidak dipenuhi perusahaanKompensasi merupakan suatu perjanjian kotrak secara lisan yang diadakan

    antar masyarakat dengan piha perusahaan sebagai bentuk dari wujud kepedulian

    pihak perusahaan terhadap desa-desa sekitarnya yang dilalui oleh adanya aktivitas

    pertambangan. Kompensasi tersebut dalam bentuk bantuan langsung kepada

    pemerintah desa dan masyarakat desa yang bersangkutan. Bagi pemerintah desa

    bantuan tersebut dapat berupa bantuan pengembangan dan perbaikan sarana dan

    prasarana desa dan fasilitas publik lainnya, sedangkan bagi masyarakat desa dapat

    berupa bantuan pemberdayaan ekonomi masyarakat. Karena perusahaan belum

    menepati janjinya maka masyarakat melakukan gerakan protes kepada perusahaan

    dengan memblokir jalan dan melumpuhkan aktivitas pertambangan. Hal ini

    sebagaimana telah dilakukan oleh warga desa Lapulu yang jelaskan informan Anw

    (50 Tahun) pada wawancara tgl 22 Agustus 2013 bahwa PT. Infishdeco tidak pernah

    sekalipun memberiikan konpensasi kepada warga. Padahal, pengankutan orel Nikel

    PT. Infishdeco menuju jembatan titian melintasi desa Lapulu, cerita mati jika

    perusahaan mengaku telah memberiikan kepada kami suntikan konpensasi. PadahaDesa Lapulu merupkana Desa Induk dari pemekaran desa Lasuai dan Wadonggo.

    Warga akhirnya dipertemukan dengan managemen PT. Infishdeco bersama

    dengan camat Tianggea Endang Irawan, Kapolres Konsel, serta Kepala Kesbang

    Kabupaten Konsel. Namun pertemuan warga dengan pihak pemerintah di Balai

    Desa Torokeu tidak menghasilkan apa-apa, masyarakat hanya dijanji untuk dapat

    diakomodir mendapatkan konpensasi. Bahkan, Humas Infishdeco, Ahmar

    menuturkan bahwa tuntutan warga terkait konpensasi mereka akan diinventarisir

    oleh perusahaan. Peristiwa lain yaitu adanya tuntutan warga Desa Lalonggasu

    Kecamatan Tinanggea yang menuntut pembayaran royalty 2 U$ dollar yangdijanjikan PT. Infishdeco bagi sejumlah warga di Desa Lalonggasu.

  • 5/21/2018 Konflik tambang

    8/11

    SOCIETAL:Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

    50

    6. Perubahan tapal batas secara sepihak pada desa-desa di sekitar daerahpertambangan

    Masalah tapal antara desa pada awalnya tidak dipermasalahkan, bahkan secara

    administratif sudah ditetapkan melalui peta kabupaten. Namun seiring denganmasuknya kegiatan pertambangan, ada bebepa kepala desa justru merubah batas

    desanya dengan desa tetangganya agar daerahnya mendapatkan hamparan

    pertambangan yang lebih luas lagi, sebab dengan demikian mereka akan

    mendapatkan bagian atau royalty dari perusahaan akan lebih besar lagi. Sehingga

    desa-desa yang sadar bahwa wilayah administratifnya sudah diubah oleh desa

    tetangga serta merta tidak menerimanya. Akibatnya, diantara desa-desa tersebut

    saling berebut dan mempertahankan wilayahnya dengan melibatkan anggota

    masyarakatnya masing-masing.

    Masalah tersebut salah satunya dapat dilihat dari kisruh yang terjadi antarawarga dengan PT. Infishdeco karena adanya perubahan tapal batas desa secara

    sepihak sebagaimana dijelaskan Kades Lalonggasu Gusri menyangkut batas desa

    sejak tahun 1972 sudah ada batas antara wilayah hanya saja kelemahan batas itu tidak

    disertai berita acara. Berjalan kemudian terjadi pemindahan batas wilayah desa

    Lalonggasu yang dilakukan secara sepihak, sehingga persoalan batas wilayah menjadi

    polemik antara desa Asingi dan desa Lalonggasu.

    Pola-Pola Konflik

    1. Konflik perusahaan versus masyarakatPotensi konflik yang berkembang antara perusahaan dan masyarakat lokal padaumumnya tidak terjadi pada saat awal kegiatan eksplorasi, tetapi potensi ini lebih

    banyak muncul dan tumbuh setelah tahapan ekploitasi. Ketika perusahaan

    melakukan kegiatan eksplorasi, masyarakat tidak merasa terancam ataupun merasa

    punya persoalan dengan perusahaan, walaupun sering masyarakat tidak pernah tahu

    persis apa yang dicari atau yang dilakukan oleh perusahaan itu di daerah sekitar

    pemukiman mereka. Di saat perusahaan membangun infrastruktur penunjang

    pertambangan seperti jalan dan jembatan untuk kepentingan operasi penambangan.

    Sejalan dengan pembangunan fisik yang dilakukan perusahaan, masyarakat lokal

    menaruh harapan besar terhadap perusahaan dianggap sebagai dewa penolong yang

    dipuji dan disanjung oleh masyarakat. Sejalan dengan pembangunan fisik yang

    dilakukan perusahaan, masyarakat lokal menaruh harapan besar terhadap perusahaan

    untuk dapat memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka. Mereka membayangkan

    akan terbuka lapangan kerja yang memberiikan jaminan hari tua mereka disamping

    fasilitas umum yang akan dapat mereka nikmati. Tetapi ketika harapan itu tidak

    menjadi kenyataan, dan diperparah lagi oleh tidak berperannya aparat pemerintahan

    dalam menjalankan kewajiban dan tanggung jawabnya dalam mengembangkan

    masyarakatnya, maka bibit-bibit ketidakpuasan mulai tumbuh subur di hati

    masyarakat.

  • 5/21/2018 Konflik tambang

    9/11

    Syaifudin S. Kasim & Megawati A. Tawulo:

    Kajian Model Penanganan Konflik Kebijakan Pertambangan dan Strategi Penyelesaiannya

    51

    2. Konflik masyarakat versus pemerintahKonflik antara masyarakat dan pemerintah terjadi akibat tawaran ganti-rugi

    tanah dan tanaman warga akibat kehadiran penambangan nikel yang hanyadikompensasi dengan pembiayaan raskin dan pembebasan pajak desa selama

    setahun, ditentang warga. Penegasan ini kembali dilontarkan oleh Pemda Konsel

    dalam pertemuan akhir yang digelar di DPRD Kabupaten Konawe Selatan tersebut

    diklaim untuk mengambil keputusan final terkait pembukaan kembali akses

    eksploitasi pertambangan nikel yang sudah ditutup oleh warga, berakhir dengan

    pembubaran. Selain itu, konflik antara pemerintah dan masyarakat juga disebabkan

    perbedaan pandangan tentang tanaman rumput laut warga yang oleh pemerintah

    kecamatan menyebutkan tak ada kerusakan yang disebabkan oleh penambangan.

    Padahal sejak beroperasinya tambang usaha rumput laut nelayan mengalamikerusahan dan penurunan produksi yang sangat tajam.

    Pada dasarnya, keadaan masyarakat di Kecamatan Tinanggea, Palangga dan

    Palangga Selatan justru sangat terancam akan keberlanjutan mata pencaharian

    mereka setelah PT. Ifishdeco, PT. Sambas, PT. Jagat Raya dan PT. Macika yang

    beroperasi sejak dua tahun lalu. Karena masyarakat dari kecamatan Tinanggea dan

    Kemacama Palangga Selatan yang memiliki mata pencaharian sebagai petani, nelayan

    pembudidaya rumput laut dan nelayan tangkap mengalami masalah yang sangat

    berat. Betapa tidak, jika mereka hendak berkebun, lahan-lahan pertanian mereka

    sudah diakuasai oleh PT. Ifishdeco, PT Sambas, PT. Jagat Raya, dan PT. Macika

    dengan sokongan penuh pemerintah daerah dan aparat keamanan, sementara jika

    mereka hendak membudidaya, laut sudah dipenuhi dengan lumpur-lumpur

    pertambangan, bahkan jika hendak menangkap ikan mereka harus mengayuh sampai

    2 mil laut yang sebelumnya tidak pernah terjadi.

    3. Konflik masyarakat versus masyarakatPola konflik lainnya adalah masyarakat versus masyarakat, dimana dalam

    konflik ini melibatkan dari masing-masing kelompok masyarakat yang menamakan

    dirinya sebagai kelompok rumpun marga A, B, C, dan lain-lainnya. Sebab dalam satu

    kawasan pertambangan seringkali diklaim oleh lebih dari satu klan, marga, seperti

    yang baru-baru terjadi adalah kasus konflik antara marga Polingay dan MargaManus, serta antara marga Polingay dan Marga Pohewai dan marga H. Karim.

    Kelompok-kelompok marga ini masing-masing merupakan kelompok yang cukup

    besar jumlahnya dan masing-masing saling mempertahankan kawasan pertambangan

    tersebut sebagai hak ulayatnya. Akibatnya, seringkali terjadi konflik fisik diantara

    marga (klan) yang mengaku sebagai pemilik hak ulayat tersebut.

    Gambaran konflik tersebut juga telah diuraikan pada penjelasan kliam

    kepemilikan lahan dianatara rumpun, dimana yang menjadi sumber konflik diantara

    warga (klan) tersebut adalah tanah walaka yang selama ini hanya dikuasai oleh satu

    rumpun, namun setelah kegitana perusahaan tambang berjalan, barulah pihak-pihakyang berkepentingan mulaiu memainkan perannya dengan mencoba memasukan

  • 5/21/2018 Konflik tambang

    10/11

    SOCIETAL:Jurnal Pemikiran dan Penelitian Sosiologi; Volume 1, No. 1, April 2014

    52

    beberapa klan di dalamnya sebagai pemilik dalam walaka tersebut. Selain itu, pihak

    masyarakat yang telah lama tinggal didalam kawasan tersebut juga dipaksa untuk

    mengakui akan hak kepemilikan mereka, akibatnya masing-masing klan dan

    masyarakat setempat berupaya untuk salang merebut lahan dan dalam kondisi yangdemikianlah terjadilah konflik diantara mereka karena tidak ada salah satu pihak

    yang mau mengalah, bahkan pihak-pihak terstentu mencoba untuk memaksa keluar

    klan lainnya dan mengakui bahwa walaka atau hamparan lahan tersebut bukan

    menjadi milik mereka, tetapi menjadi milik masyarakat yang telah lama tinggal di

    kwasan tersebut.

    PENUTUP

    Berdasarkan hasil penelitian ditemukan bahwakonflik terbuka yang terjadi di

    kawasan pertambangan nikel di Kecamatan Tinanggea, Palangga Selatan danPalangga adalah akibat ganti rugi lahan dan tanaman warga yang tidak sesuai dengan

    kesepakatan awal, kemandegan komunikasi antara perusahaan, masyarakat dan

    aparat pemerintah, klaim kepemilikan lahan diantara rumpun, terjadinya pencemaran

    lingkunga, kompensasi yang tidak dipenuhi perusahaan, dan perubahan tapal batas

    secara sepihak oleh desa-desa disekitar daerah pertambangan. Sedangkan pola-pola

    konflik yang terjadi dapat berupa konfik antara perusahaan dengan masyarakat,

    pemerintah dengan masyarakat, dan masyarakat dengan masyarakat.

    Berdasarkan kesimpulan tersebut, diajukan beberapa saran sebagai berikut: (1)

    Hendaknya perusahaan dan pemerintah menyelesaikan kasus ganti rugi yang

    disebabkan oleh penambangan sehingga kasus konflik di masyarakat tidak berlarut-

    larut. (2) Hendaknya dalam pengambilan kebijakan yang dilakukan oleh stakeholders

    melibatkan berbagai pihak dan terbuka untuk umum guna mendengarkan aspirasi

    masyarakat yang berkepentingan dengan kebijakan tersebut, sehingga dapat

    mengartikulasi semua kepentingan. (3) Dalam pengambilan kebijakan hendaknya

    para pengambil kebijakan menerapkan prinsip-prinsip good governance, seperti

    partisipasi yang mendorong setiap warga untuk mempergunakan hak dalam

    menyampaikan pendapat dalam proses pengambilan keputusan, yang menyangkut

    kepentingan masyarakat baik secara langsung maupun tidak langsung. Model

    partisipasi dapat dilakukan dengan beberapa cara. Pertama, pendekatan versipemerintah yaitu melalui proses Musrenbang, UDKP, Rakorbang. Pendekatan ini

    akan lebih efektif jika semua prosedur dilaksanakan sesuai aturannya. Artinya semua

    proses itu benar-benar dilaksanakan bukan hanya sebatas mekanisme saja, yang

    sebenarnya program yang akan dilaksanakan sudah ditentukan. Kedua, pendekatan

    versi OMS (Ormas, LSM, PT, dll). Pendekatan ini dilakukan untuk mewakili rakyat-

    rakyat tertentu (khusus) seperti korban yang selama ini diabaikan dalam penjaringan

    aspirasi masyarakat oleh pihak kelurahan atau partai. Proses yang dilalui adalah

    Musrenbang, UDKP dan Rakorbang versi rakyat yang betul-betul melibatkan rakyat.

    Ketiga, pendekatan versi Stakeholder. Pendekatan ini dilakukan oleh pihak yangberkepentingan dengan mempertimbangkan segala macam aspek keadilan dan

  • 5/21/2018 Konflik tambang

    11/11

    Syaifudin S. Kasim & Megawati A. Tawulo:

    Kajian Model Penanganan Konflik Kebijakan Pertambangan dan Strategi Penyelesaiannya

    53

    kemanusiaan. Stakeholder perlu memami kondisi dan struktur sosial, geopolitik dan

    ekonomi rakyat tidak lagi menjadi korban oleh kepentingan mereka namun aspirasi

    masyarakat bisa diwakili oleh mereka. Transparansi: menciptakan kepercayaantimbal balik antara pemerintah dan masyarakat melalui penyediaan informasi dan

    menjamin kemudahan di dalam memperoleh informasi yang akurat dan memadai.

    DAFTAR PUSTAKA

    Affandi, Ikhwan, Hakimul. 2004. Akar Konflik Sepanjang Zaman.Yogyakarta: Pustaka

    Pelajar.

    Dahrendorf, Ralf. 1986. Konflik dan Konflik dalam Masyarakat Industri, sebuah analisis

    konflik. Diterjemahkan oleh Ali Manda.Jakarta: Rajawali.

    Dwiyanto dkk. 2003. Reformasi Tata Pemerintahan dan Otonomi Daerah. Yogyakarta:

    PSKK UGM-PEG Usaid Bank Dunia.

    Dwiyanto dkk. 2003. Teladan dan Pantangan Dalam Penyelenggaraan Pemerintahan dan

    Otonomi Daerah.Yogyakarta: PSKK UGM.

    Faisal, Sanapiah. 1989. Format-Format Penelitian Sosial.Jakarta: Rajawali Pers.

    Kumbara, A.A. Ngr Anom. 2000. Otonomi Daerah dan Konflik Sosial di NTB,Makalah

    dalam Simposium dan Lokakarya Internasional 1 Agustus 2000.

    Makassar-Sulsel: Pusat Kegiatan Penelitian Kampus Universitas

    Hasanuddin.

    Morissan. 2004. Pemerintahan Daerah UU No. 32 Tahun 2004 Beserta Penjelasannya.

    Jakarta: Ramdina prakarsa.Parsons, Wayne. 2005. Public Policy Pengantar Teori dan Praktek Analisis Kebijakan.

    Jakarta: Kencana.

    Pradnja, Ida Aju, & Carol J. Pierce Colfer. 2003. Kemana Harus Melangkah?

    Masyarakat, Hutan, dan Perumusan Kebijakan di Indonesia.Jakarta.

    Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi. 2008. Metode Penelitian Survei. Jakarta:

    LP3ES.

    Suharto, Edi. 2009. Pekerjaan Sosial di Dunia Industri:Memperkuat CSR (Corporate Social

    Responsibility). Bandung: Alfabeta.

    Susilo, Rakhmad K. Dwi. 2008. Sosiologi Lingkungan. Jakarta: Rajawali Pers.Sutrisno, Lukman. 2003. Konflik Sosial, Kajian Sosiologis Hubungan Buruh, Perusahaan

    dan Negara Indonesia.Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

    Wibawa, Samodra. 1994. Kebijakan Publik, Proses dan Analisa.Jakarta: Intermedia.

    Perundang-Undangan

    Rancangan Undang-Undang Tahun 2002 Tentang Pertambangan Umum.

    Peraturan Pemerintah Nomor 34 Tahun 2002 tentang Tata Guna Hutan Dan

    Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan, Pemanfaatan Hutan Dan

    Penggunaan Kawasan Hutan.

    Undang-Undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi.Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan.