konflik dan perseteruan di negeri berjuta oknum
DESCRIPTION
Konflik Dan Perseteruan Di Negeri Berjuta Oknum yaitu IndonesiaTRANSCRIPT
KONFLIK DAN PERSETERUAN
DI NEGERI BERJUTA OKNUM
Oleh : Unung Sulistio Hadi, SH.I
Cakim PA. Semarang
Perjalanan panjang bangsa indonesia penuh dengan teka-teki dan lika-liku
kehidupan, sosok pahlawan dan para tokoh perubahanpun bermunculan mewarnai
dinamika perjalanan bangsa ini, namun entah mengapa berabad-abad telah dilalui
namun kondisi yang terjadi tidaklah lebih baik, kemiskinan masih terus saja meningkat
dan tersebar di seluruh wilayah indonesia, ketidakadilan terus merajalela, kebobrokan
yang semakin menjadi-jadi, kian hari negeri ini terus meluka dan dirundung duka,
konflik yang berkepanjangan terus timbul dari berbagai alasan dan kepentingan, selalu
ada aktor intelektual yang menjadi dalang utama dibalik merosotnya perilaku dan
moralitas, bagaimana seorang individu mampu mempengaruhi dan mendoktrin pikiran
orang lain guna mewujudkan suatu tujuan yang dianggap benar, akan sangat sensitif jika
konflik dilatarbelakangi oleh persoalan suku, agama, ras dan antara golongan, selama
ini konflik dipicu oleh beberapa kelompok yang saling unjuk gigi demi gengsi, harga
diri, prestise, status sosial, dan kepentingan pribadi, bahkan semboyan “tidak ada kawan
dan lawan yang abadi karena yang ada hanyalah kepentingan abadi” merupakan harga
mati yang tidak dapat ditawar lagi telah mengakar dan mendarah daging dibenaknya,
barangkali dagelan politik yang ditunjukkan oleh pejabat dan politisi hampir setiap hari
tersiar menghisasi media, gairah partai politik yang merekrut caleg dari kalangan artis
harus berupaya sedemikian rupa untuk meraup suara konstituen sebanyak-banyaknya
demi kemenangan, namun setelah mendapatkan keinginannya agak sulit untuk
merealisasikan janji-janji dan mengabadikan diri sebagai abdi negara dan abdi
masyarakat karena tujuan utama sudah tercapai yaitu kemenangan, hal tersebut tidak
hanya merupakan sebuah langkah kemunduran sebuah negara akan tetapi kebangkrutan
demokrasi, mengapa demikian mengamati fenomena artis di tahun 2009 hampir tidak
terlihat kader yang mendongkrak kualitas demokrasi dan parlemen justru menegaskan
parpol gagal membangun institusi kaderisasi untuk kepemimpinan, itu artinya partai
tidak punya kemampuan leadership yaitu dengan menggunakan cara praktis merekrut
artis guna mendompleng popularitas dan mengabaikan serta mengorbankan kualitas,
kredibilitas dan kapabilitas kepemimpinan.
Melihat kondisi seperti ini masyarakat diharapkan harus lebih cerdas dan kritis
dalam memilih pemimpin artinya kita harus memetik pelajaran di masa silam dan tidak
akan mengulang kesalahan yang sama, karena kendatipun banyak ide-ide cerdas dan
konsep pemikiran yang brilian yang telah digagas dan coba diterapkan oleh para
penguasa namun jika salah dalam memilih wakil rakyat maka tidak akan berkorelasi
positif bagi kesejahteraan rakyat, bahkan perseteruan konflik dan pertikaian tiada henti-
hentinya mengguncang bumi pertiwi ini sehingga patut kiranya kita menelusuri akar
konflik dan perseteruan yang bahu-membahu menghantam negeri ini demi membenahi
proses pembangunan bangsa sebagai lompatan besar membangun demokrasi yang lebih
baik.
PERSETERUAN TNI dan POLRI
Masih terbesit dibenak kita serbuan dan pembakaran Mapolres Ogan Komering
Ulu oleh anggota Batalyon Armed 15, yang tadinya, banyak orang mengira konflik
terbuka antara tentara-polisi adalah bagian dari proses transisi demokrasi pasca-orde
baru, sehingga setelah demokrasi mulai tertata, politik berjalan normal, konflik itu akan
lenyap, memang sistem politik demokratis masih mencari bentuk, tapi stabilitas politik
sebetulnya kian mantab sepanjang 10 tahun terakhir, kecuali di beberapa daerah konflik,
keamanan semakin terkendali, namun toh konflik terbuka TNI-Polri tetap terjadi
memasuki tahun ke 15 masa reformasi, konflik terus berlanjut, seakan sudah menjadi
penyakit akut.
Pimpinan TNI dan Polri selalu menunjuk faktor ketidaksiapan mental personal
sebagai sebab terjadinya bentrok. Ketidaksiapan mental antara lain dilatari oleh
semangat berlebihan dalam membela kawan, juga karena sifat-sifat superior personal
tentara yang kini berani dihadapi oleh polisi, sementara para aktivis LSM, cenderung
menunjuk faktor ekonomi sebagai sebab bentrokan. Dalam hal ini, konflik terbuka
antara kedua kelompok bersenjata itu lebih dimotivasi oleh rebutan lahan bisnis ilegal,
seperti judi, prostitusi dan penebangan kayu ilegal.
Menurut penulis penjelasan psikologis jelas tidak memuaskan, karena jika itu
benar, tentu konflik antara TNI-Polri juga terjadi pada masa sebelumnya. Demikian
juga, menunjuk rebutan lahan bisnis ilegal juga tidak bisa menjelaskan fenomena
konflik yang beruntun sejak diterapkannya kebijakan pemisahan Polri dari TNI.
Keduanya baru bicara soal pemicu konflik, padahal konflik terbuka (yang ditandai
dengan kekerasan fisik, seperti pemukulan, penyiksaan dan pembunuhan berserta
pemicunya) hanyalah fenomena permukaan. di balik berbagai peristiwa konflik terbuka
tersebut pasti terdapat masalah-masalah yang sifatnya substantif yang melatarbelakangi
dan mendorong terjadinya peristiwa-peristiwa kekerasan antarpasukan tersebut.
Saatnya para peneliti militer dan kepolisian, mendalami dan memahami
masalah ini, lalu memetakan secara cermat, sehingga ditemukan jalan keluar yang
komprehensif untuk mengatasinya. Bagaimanapun bentrok antaraparat negara bukan
saja memalukan, tetapi juga merugikan rakyat banyak. Rakyat bayar pajak untuk
menggaji mereka, bukan untuk adu kekuatan sesama, tetapi bela negara dan melindungi
rakyat.
Sudah terlalu banyak darah yang tumpah membanjiri bumi pertiwi ini hanya
untuk memperbutkan akar kebenaran yang sejatinya bukan kebenaran yang hakiki,
kebenaran yang dipakai untuk menghalalkan segala cara demi suatu tujuan dan
kepentingan individu sehingga banyak manusia yang saling berkorban nyawa demi
memperoleh pengakuan benar tanpa memperhatikan alasan benar, hingga benar itu
harus hakiki baginya, benar menurut orang lain bukan berarti benar menurut versinya
sendiri, tanpa kajian yang jelas kebenaran seakan dengan mudah dapat diakui seseorang
atau kelompok untuk membenarkan tindakannya. Spekulasi semacam ini yang
mengakibatkan kedewasaan dalam berpikir merosot sangat jauh hingga manusia
kehilangan jatidirinya dan melupakan hakikat penciptaannya.
Realitanya pertikaian dan perseteruan telah melampaui batas koridor kebenaran
mereka tidak ingat bahwa kebenaran bersifat komplek yang dapat digunakan oleh
semua orang yang membutuhkanya, sikap individualistis yang cenderung
mengedepankan egois telah menggiringnya melupakan makna kebenaran, memandang
lurus ke depan tanpa menoleh ke kiri dan kanan.
Dibutuhkan lebih dari sekedar toleransi untuk saling memahami arti kebenaran
pribadi masing-masing, kebenaran yang dapat menyulut konflik perlu diredam dengan
sikap dewasa dan positif, dengan berpikir secara logis dan rasional yang mampu
mengendalikan emosi dan memadamkan kobaran api amarah yang mudah terbakar,
menghidarkan sikap fanatik yang berlebihan yang cenderung membuat seseorang
menjadi buta akan makna kebenaran yang sejatinya diperuntukkan bagi setiap manusia.
Membuka maind set atau pola pikir yang berkarakter sejati yang mampu
menempatkan kebenaran pada tempatnya tanpa ada penyalahgunaan, melakukan
pencarian dan pengkajian secara terperinci guna menggali akar kebenaran yang fleksibel
dengan memperhatikan norma-norma yang hidup di masyarakat, mencari kebenaran di
atas kebenaran yang lain merupakan cara jitu untuk mengurai benang kusut sebuah
konflik dan pertikaian, kajian kebenaran perlu dibuktikan dengan kadar kebenaran yang
lain, sehingga sekalipun kajian kebenaran tersebut berlangsung sengit di alam pemikiran
kedua belah pihak namun dapat menghindarkan dan meminimalisir pertikaian yang
berujung melukai fisik.
Mediasi yang merupakan salah satu instrumen efektif dalam rangka
menyelesaikan sengketa yang dapat memberikan akses kepada pihak yang bertikai
dalam menemukan penyelesaian yang memuaskan dan memenuhi rasa keadilan
nampaknya tidak akan berpengaruh besar jika kedua orang atau kelompok yang saling
memperebutkan kebenaran tidak berkomitmen pada kesepakatan yang telah terbentuk
sehingga konflik telah memantik lebih besar lagi rasa benar pada diri seseorang untuk
menyalahkan orang lain, itulah sebabnya mengapa kebenaran harus dibuktikan, bersifat
nyata, tegas, orisinil, absolut serta mutlak yang menentukan kokoh dan tegaknya
sebuah konstitusi karena kebenaran merupakan alasan mulia yang digunakan untuk
mencari sebuah keadilan.
PENEGAKKAN HUKUM DAN PREMANISME
Lemahnya peradilan dan penegakan hukum di Indonesia tampaknya sudah
berada di titik yang sangat kritis. Slogan-slogan penegakan hukum dan peradilan seolah
hanya bualan dan sekedar angin lalu dari berbagai kebijakan pemerintah lain yang tak
jelas implementasinya (lip service). Telah begitu banyak kasus yang mencuat berkaitan
dengan penegakan hukum yang tidak kunjung selesai hingga pada satu titik di mana
nampaknya penegakan hukum harus dijalani dengan cara lain yang dinilai lebih tepat
sasaran, lebih tidak basa-basi, tidak sekedar omong kosong.
Hal inilah yang hingga saat ini menjadi buah bibir masyarakat dan pemerintah
terkait alasan di balik kasus penembakan 4 tahanan di LP Cebongan, Sleman,
Yogyakarta. Kasus tersebut mengisyaratkan banyak hal. Satu hal yang paling penting
adalah lemahnya penegakan hukum di Indonesia terkait dengan kasus premanisme yang
merajalela di masyarakat. Kasus-kasus premanisme tampaknya sudah menjadi menu
sehari-hari jalanan, di kota-kota seluruh penjuru tanah air. Beberapa di antaranya
mungkin diketahui publik namun sebagian besar lainnya mungkin terkubur seiring
berjalannya waktu, tidak adanya kesaksian dari korban, tidak terekspose media dll.
Kembali kepada kasus penembakan LP Cebongan. Kasus ini menjadi satu
anomali kriminal. Di mana kasus ini memiliki dua sisi yang berbeda. Antara penegakan
hukum dan pelanggaran. Representasi inilah yang menjadi bahan diskusi publik. Di
mana secara hukum tentu terdapat kesalahan dalam kasus tersebut. Namun di sisi lain,
secara moral tentu selalu ada pertimbangan-pertimbangan lainnya seperti diberitakan,
TNI AD menyebut pelaku penyerangan Lapas Cebongan adalah oknum Grup II
Komando Pasukan Khusus Kartasura, Jawa Tengah. Penyerbuan diduga melibatkan 11
anggota Kopassus, dengan satu orang sebagai eksekutor. Mereka membawa 6 senjata
api yang dibawa dari markas latih Gunung Lawu.
Dengan adanya kasus tersebut, muncul polemik baru yang berkaitan dengan
pelanggaran HAM yang sempat dikeluarkan oleh Komnas HAM. Meski berikutnya
diketahui bahwa banyak indikasi yang menunjukkan bahwa kasus ini sama sekali tidak
terkait dengan pelanggaran HAM. Pernyataan tersebut tidak lepas dari motif
penembakan yang dilakukan oleh 11 anggota Kopassus tersebut. Di mana penembakan
dilakukan tidak dengan perintah atasan atau yang bertanggungjawab, melainkan
berangkat dari kepedulian dan jiwa korps kesatuan (korsa) di tubuh Kopassus.
Penyerangan itu disebut berlatar belakang jiwa korsa yang kuat terkait
pembunuhan Serka Heru Santoso di Hugo’s Cafe. Empat tersangka pembunuhan
Santoso yang kemudian ditembak mati yakni Gameliel Yermiyanto Rohi Riwu,
Adrianus Candra Galaja, Hendrik Angel Sahetapi alias Deki, dan Yohanes Juan
Manbait.
Penulis bukan orang yang begitu paham dengan perkara hukum dan perkara
militer. Terlepas dari apa yang melatar belakangi penembakan tersebut, segala bentuk
kekerasan, intimidasi, pemukulan, penganiayaan bahkan pembunuhan adalah satu hal
yang diperkarakan di hadapan hukum. Meski pada akhirnya, satu faktor utama yang
melatarbelakanginya adalah murni inisiasi anggota yang terkait dalam misi balas
dendam atas perlakuan yang dialami oleh Serka Heru Santoso silam.
Hal ini di lain sisi menunjukkan bahwa Kopassus, dalam hal ini TNI-AD,
masih memiliki soliditas yang tidak terpatahkan ditubuh anggotanya. Dengan berbagai
kejadian yang mereka hadapi, baik saat latihan maupun saat operasi militer, menjadi
salah satu alasan untuk melindungi dan mempertahankan martabat satu sama lain.
Namun, terlepas dari perkara pelanggaran HAM atau tidak, kasus penembakan
tersebut tidak terlalu berbeda dengan perkara main hakim sendiri hanya saja subjek
utamanya lebih tinggi yakni anggota Kopassus. Jiwa korsa tidak serta merta bisa
menjadi pembenaran dalam prilaku kriminalitas perseorangan maupun anggota. Ketika
disebutkan bahwa seluruh operasi tersebut adalah inisiasi anggota, bukan berarti orang
yang bertanggung jawab, dalam hal ini komandan pasukan, tidak mengetahui rencana
tersebut. Apalagi ketika diberitakan bahwa anggota Kopassus yang terlibat membawa 6
senjata api dari markas latih mereka di Gunung Lawu, tentu ada unsur perencanaan,
penyusunan strategi, penyerangan hingga eksekusi.
Jiwa Korsa akan sangat ideal bila diterapkan di medan perang, di mana hal-hal
terjadi dengan spontan dan begitu saja. Namun, ketika jiwa korsa digunakan untuk
pembenaran satu tindak kejahatan, maka akan sangat disayangkan. Meski pada akhirnya
nama baik institusi akan naik dan dielu-elukan masyarakat. seperti yang terjadi pada
Kopassus, yang dinilai sebagai bentuk nyata penegakan hukum dari TNI atas keresahan
masyarakat selama ini terkait banyaknya kasus kriminalitas dan premanisme di
masyarakat.
Sudah tentu peradilan militer akan mengenakan sanksi terkait pelanggaran
anggota atas kejadian ini. namun, poin pentingnya adalah bagaimana kasus serupa
seperti ini tidak terjadi lagi di kemudian hari. Cukup sekali saja terapi kejut yang
ditujukan pada lembaga berwenang, dalam hal ini Polri, tentang bagaimana seharusnya
hukum ditegakkan. Pertama, perlu dilakukan evaluasi atas paradigma jiwa korps
kesatuan di tiap tubuh anggota. Hal ini begitu penting untuk mengantisipasi makin
sempitnya pemahaman akan korsa itu sendiri. Agar jiwa korsa, yang hakikatnya sangat
mulia dan luhur, tidak disalahartikan dan disalahgunakan untuk pembenaran tindakan
kriminalitas di kemudian hari. Kedua, perlu dilakukan pengawasan kepada komandan.
Dalam hal ini, komandan sebagai penanggungjawab atas tindak tanduk anggotanya.
Maka komandan sudah sepatutnya diberi pengarahan untuk pembinaan anggota.
Terlepas dari semua perkara yang diberitakan terkait lika-liku kasus Cebongan
ini, ada satu indikasi nyata di mana penegakan hukum di Indonesia sudah tidak bisa
ditawar-tawar lagi. Hukum adalah satu perkara yang tidak bisa dikompromikan apalagi
ditukar dengan kepentingan lain. Perkara penegakan hukum berkaitan dengan
kelanjutan hidup orang banyak, masyarakat luas. Karena pada akhirnya, segala bentuk
penyimpangan penegakan hukum dan ketidakbecusan aparat penegak hukum dalam
memberantas kasus, dalam hal ini premanisme, di masyarakat akan berdampak pada
penurunan kepercayaan publik pada aparat, terampasnya hak-hak dan rasa aman setiap
warga. Ketika fase ini berkelanjutan, bukan tidak mungkin akan timbul kasus-kasus
serupa, seperti kasus tersebut di atas, yang berangkat dari kekecewaan dan pesimisme
warga kepada pemerintah.
Hukum yang merupakan alat untuk mengatur kehidupan manusia secara
personal dan kelompok yang berpedoman pada kebenaran akan nilai luhur pribadi
bangsa merupakan kebenaran yang berbanding lurus dengan keadilan, dengan adanya
keadilan kebenaran pihak tertentu dapat di buktikan melalui proses persidangan yang
fair dan tidak memihak sehingga lembaga peradilan yang ditugaskan negara sebagai
pengadil mampu mewujudkan keadilan yang komprehensif diantara mereka yang saling
berkonflik memperebutkan kebenaran.
Sangat rawan sekali apabila hukum yang memiliki peranan penting ini
dipermainkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab, indonesia yang
dikenal sebagai negara hukum yang menjunjung tinggi nilai kebenaran hingga saat ini
terus dicengkram berbagai sistematika kebohongan, hukum karya manusia yang
menampilkan kebenaran untuk memperoleh keadilan belum mampu menghapuskan
airmata dan darah yang bercucuran dari rakyat kecil yang tertindas, negeri ini tiada
hentinya dirongrong dan dikelabuhi oleh intrik kepalsuan dan kemunafikan sehingga
kita tidak mampu menepis akan hakikat negeri yang sampai detik ini masih terjajah baik
secara ekonomi, moral dan mental, karena terkadang hukum seringkali dipakai sebagai
senjata untuk kepentingan tertentu dan tidak sedikit dilecehkan
PROBLEMATIKA NEGERI YANG DIHUNI BERJUTA OKNUM
Bila dikaji dan ditelaah lebih dalam kroniknya problematika yang mendera
bangsa ini disebabkan oleh banyak hal, ada yang berpandangan bahwa semua itu terjadi
karena kesalahan sistem yang dianut oleh negara Indonesia, Indonesia masih menganut
sistem demokrasi kapitalis bukan sistem syariah dibawah naungan daulah khilafah
islamiyah, kaum soasialis berpandangan kesalahan terletak pada penguasa yang selalu
memperkaya diri sendiri dan mementingkan kaum pemodal tanpa memperhatikan dan
memikirkan kesejahteraan rakyat, ada juga yang berpendapat bahwa awal mula
kemerosotan bangsa ini diakibatkan praktik korupsi yang secara massiv, sistematik dan
terstruktur bergelombang menjadi tsunami yang melanda dan memporak-porandakan
tatanan dan ideologis bangsa ini sehingga penulis menarik suatu kesimpulan bahwa
pada hakikatnya masalah krusial yang melanda bangsa ini tidak lain dikarenakan
merosotnya moral dan akhlak yang terdegradasi akibat mentalitas masyarakat Indonesia
yang rapuh dan rontok akibat jauh dari nilai-nilai agama. selain itu juga masalah yang
menjadi sebab tergerusnya bangsa secara perlahan-lahan menuju ke gerbang
keterbelakangan yakni keberadaan oknum yang selalu ada pada setiap denyut nadi
bergeraknya roda kehidupan bangsa Indonesia.
Istilah oknum merupakan istilah yang tidak asing lagi ditelinga masyarakat
Indonesia. Oknum adalah sebutan bagi seorang atau sekelompok orang pelaku yang
melakukan perbuatan melanggar hukum, aturan dan norma-norma dalam kehidupan
masyarakat. Oknum terdapat dimana-mana dan biasanya memiliki profesi atau jabatan
dan titel. Ada yang berprofesi sebagai jaksa, hakim, polisi, PNS, kepala daerah, anggota
dewan dan profesi-profesi publik lainnya. Kata oknum digunakan agar tidak ada
justifikasi bahwa semua orang yang berprofesi sama dengan oknum tersebut adalah
jelek. Bahwa institusi yang dihuni oleh oknum tersebut juga jelek. Yang jelas
kemunculan Oknum ini sedikit banyak seringkali menyebabkan tercorengnya institusi
yang dihuni oleh oknum tersebut.
Oknum muncul dan bisa terjadi karena sebuah tuntutan. Tuntutan yang
dimaksud adalah tuntutan untuk memperkaya diri, birahi untuk meraih kekuasaan dan
keinginan rendah untuk memuaskan nafsu syahwat dengan cara-cara yang tidak halal.
Dalam istilah ajaran Nabi Muhammad SAW dikenal dengan harta, tahta dan wanita.
Oknum adalah pelaku dengan mentalitas murahan yang tidak dibingkai oleh keimanan
dan ketakwaan. Orang yang bisa menjadi oknum adalah orang yang memiliki jabatan,
wewenang, bargaining serta ada kemampuan, niat dan kesempatan. Pelanggaran hukum
yang dilakukan oleh oknum pada suatu institusi lebih berbahaya ketimbang pelanggaran
yang dilakukan oleh masyarakat biasa atau rakyat kecil, Hal ini disebabkan para oknum
melakukannya atas dasar kecerdasan dan pengetahuan. Dalam menjalankan operasinya
oknum adalah pemain yang sangat licin, licik dan lihai sebab mengetahui secara persis
celah yang dapat digunakan untuk memuluskan langkahnya. Dengan kata lain oknum
sangat menguasai ilmu strategi dan taktik dalam menjalankan operasinya. Kehati-hatian
dan penghalalan segala cara adalah menjadi sebuah mazhab utama. Bagi oknum yang
kurang hati-hati dan apes, maka ia akan ketahuan perbuatannya, terekspos didepan
publik serta terkena delik hukum. Namun tak sedikit pula oknum yang hari ini bermain
cantik dan masih bercokol di institusi tempat kerjanya dan nyaman menikmati kerjanya
tanpa tersentuh oleh hukum.
Akibat dari perilaku pelanggaran oknum yang terendus oleh hukum adalah
munculnya kasus. Misalkan kasus korupsi, suap menyuap, pelecehan seksual,
penghinaan dan kasus-kasus hukum lainnya. Bentuk-bentuk kasus oleh oknum yang
berprofesi ada begitu banyak. Ada oknum yang berprofesi sebagai jaksa, polisi dan
hakim yang menjelma menjadi makelar kasus hukum. Ada oknum kepala daerah yang
melakukan korupsi dana APBD. Ada oknum anggota dewan yang terlibat dalam kasus
kolusi. Ada oknum PNS yang melakukan pungutan tidak resmi (pungli) bagi
masyarakat yang mengurus perizinan atau oknum PNS yang minta jatah kepada
pemborong proyek Pemda. Ada oknum kepala desa yang menjual hutan lindung dan
tanah rakyat, Masih ratusan bahkan ribuan bentuk kasus-kasus lainnya yang dilakukan
oleh para oknum diberbagai instansi dan institusi.
Dibentuknya Satgas anti Mafia hukum oleh Presiden Yudhoyono adalah akibat
bercokolnya oknum khususnya oknum penegak hukum yang melakukan praktek mafia
dan makelar kasus. Sejarah telah mencatat bahwa berjuta oknum terlahir dari institusi-
institusi yang ada di pemerintahan. Tak lekang dari ingatan kita tentang sederet kasus
perzinahan, kolusi dan suap menyuap yang dilakukan oleh oknum anggota DPR RI
periode 2004-2009 Atau kasus Gayus Tambunan yang menyeret oknum Hakim dan
jenderal bintang dua polisi yang berkolusi dalam menangani kasus tersebut. Terlalu
banyak contoh-contoh kasus yang terjadi di negeri ini yang apabila dideskripsikan
memakan waktu yang begitu lama. Semakin hari bukan semakin menurun namun
semakin meningkat dan dimana-dimana selalu ada, dari pusat sampai kedesa.
Bicara soal hukum di indonesia memang sangat rizkan sekali dengan
penyalagunaan bahkan jaminan rasa keadilan nyaris punah ketika dihadapkan oleh
pelanggaran yang dilakukan oleh pejabat atau penguasa akibatnya kemerdekaan rakyat
indonesia seperti dikebiri oleh aparat yang pro penguasa terlihatnya tendensi kinerja
dari sebagian besar oknum penegak hukum sarat dengan intrik kepalsuan saat mengadili
anak pejabat yang tersandung sebuah pelanggaran hukum sehingga wajar bila
masyarakat memandang supremasi hukum sudah terkontaminasi asas negara kapitalis,
pandainya oknum pejabat tinggi yang berkuasa berkolaborasi melalui oknum aparat
penegak hukum guna melancarkan sebuah konspirasi dengan memanipulasi konstitusi
apabila salah satu keluarga pejabat atau penguasa itu sendiri terlibat pelanggaran hukum
sehingga sangatlah lumrah terdengar kontroversi antara rakyat dengan aparat penegak
hukum akibat sikap diskriminasi aparat yang dinilai tidak tranparan dalam menjunjung
tinggi nilai supremasi hukum di indonesia
Barangkali adagium meski langit runtuh, hukum akan tetap kutegakkan nyaris
tidak berlaku di negeri ini, begitu pula gambar seorang dewi dengan mata tertutup
memegang pedang keadilan yang sejak dahulu menjadi relief yang menempel berdiri
tegak dan tembok-tembok hukum di negeri ini nyaris cuma simbol faktanya pedang
keadilan dewi menjadi tumpul ditangan para aparat penegak hukum sendiri yang rela
melacurkan hukum untuk kepentingan segepok duit atau lantaran untuk sebuah
kepentingan
Terungkapnya hakim nakal, tudingan jaksa bermasalah serta oknum polisi yang
berlagak seperti preman sekaligus merupakan gambaran betapa nilai, moral dan etika
serta perilaku profesi hukum yang mestinya dijunjung tinggi telah pudar dan runtuh,
padahal sejatinya para aparat penegak hukum mulai dari hakim, jaksa, polisi sampai
advokat sekalipun sebelum mendedikasikan diri sebagai penegak hukum sesuai tugas
pokok dan fungsinya masing-masing telah berikrar atas nama kode etiknya masing-
masing yaitu berbakti kepada bangsa dan negara menjalankan tugas demi keadilan dan
kebenaran berdasarkan Tuhan Yang Maha Esa.
Mungkinkah Indonesia adalah negeri yang memiliki berjuta oknum. Bisa jadi
iya. Ironis sungguh melihat keadilan, kebenaran dan keteraturan dalam tata kehidupan
masyarakat menjadi tercabik-cabik. banyak sudah akibat yang sudah diukir oleh oknum.
kerugian materi dan non materi yang diderita oleh Negara. Energi berharga bangsa yang
selalu terkuras, ketidak percayaan masyarakat kepada para Penyelenggara Negara. harus
diakui bahwa secara langsung dan tidak langsung para oknum inilah yang mengabrasi
kekayaan, kesejahteraan, keteraturan, keharmonisan dan reputasi bangsa ini.
Di sebuah daerah tertentu, ada contoh rill karya oknum yang terukir. miris
rasanya jika melihat kondisi alam yang porak poranda akibat penambangan timah yang
sporadis, air sungai dan kolong yang keruh, topografi alam yang korengan, hutan yang
gundul, ekosistem laut dan terumbu karang yang rusak dan hancur, bukankah ini ulah
dari para oknum! oknum yang mana?Apakah oknum pejabat berwenang yang punya
tendensi pribadi untuk menambah kekayaannya?Apakah oknum aparat penegak hukum
(tidak perlu dideskripsikan aparat hukum mana saja) yang “bermain” secara kompak
dan berjamaah?Jika itu ditanyakan kepada penulis maka jawaban penulis adalah saya
tidak tahu. Tanyakan saja kepada kursi-kursi dan meja-meja serta dinding ruangan
rapat.
KEROPOSNYA NILAI, ETIKA dan MORAL PENEGAK HUKUM
Pada dasarnya negeri ini telah menyiapkan seperangkat kode etik profesi bagi
para penegak hukum agar mereka dapat menjadi penegak hukum yang terhormat,
berwibawa, bermartabat namun realitanya semua prinsip kode etik tersebut hanyalah
sebuah tulisan kosong yang tak bermakna karena selalu dikotori oleh arogansi
seperangkat oknum penegak hukum yang nakal bahkan jiwanya telah runtuh dan
lumpuh oleh kerakusan dan ketamakan gemerlapnya tipu daya kemewahan duniawi
yang tiada henti-hentinya menghantui dunia peradilan di indonesia,
Aparat penegak hukum yang tidak bermartabat serta berbuat amoral menurut
Prof. Achmad Ali dapat diibaratkan sebagai sosok sapu kotor yang semakin dekil, kotor,
menjijikkan serta membuat kelamnya penegakkan hukum kita, sosok seperti itu
mestinya dilenyapkan dalam dunia hukum dan jangan biarkan ia menjadi benalu yang
terus menggerogoti, membunuh bahkan menghancurkan citra dan wibawa lembaga
peradilan
Lantas ada apa dan mengapa nilai-nilai etika, moral, dan perilaku profesi dari
para penegak hukum kita, semakin hari menjadi keropos di hadapan kepentingan
materialistik serta prilaku premanisme yang justru datang dari para penegak hukum itu
sendiri?
Menurut analisa penulis, dengan berdasar pada pendekatan hukum paling tidak
ada tiga faktor:
pertama, kualitas pengetahuan profesi hukum dari aparat penegak hukum itu sendiri
yang sangat kurang, pada faktanya, masih terdapat "image" dan cara berpikir
sebahagian aparat penegak hukum yang cuma "gagah-gagahan" menjadi seorang
penegak hukum padahal sumpah jabatan mengharuskan mereka sebagai aparat penegak
hukum, untuk berdedikasi menegakkan hukum demi keadilan dan kebenaran. intinya,
hukum tidak boleh ditegakkan hanya karena berpihak kepada siapa orangnya. tetapi
hukum harus ditegakkan atas dasar egaliterianisme (asas persamaan), yaitu untuk apa
hukum itu ditegakkan.
Kedua, terjadi penyalahgunaan profesi hukum. Penyalahgunaan profesi hukum pada
faktanya terjadi karena desakan kepentingan para klien yang menginginkan perkaranya
dimenangkan, biasanya klien akan mengiming-imingi pemberian hadiah yang sifatnya
"haram", konon inilah yang disebut gratifikasi atau bisa juga desakan dari penegak
hukum itu sendiri yang meminta kepada klien agar perkaranya bisa dimenangkan,
dengan mensyaratkan sang klien menyetor upeti segepok uang sogok. Fakta penyalah-
gunaan profesi hukum, juga, tampak dari aksi premanisme serta main hakim sendiri
seorang penegak hukum, semisal kelakuan anggota oknum polisi yang main pukul serta
menyekap seseorang tanpa sebuah prosedur hukum yang dibenarkan.
Ketiga, kontinuitas sistem yang menyangga pilar-pilar bangunan kode etik profesi
hukum kita yang tampaknya sudah lapuk dan usang. Pada bahagian ini, penulis hendak
mengatakan bahwa kerapuhan landasan nilai dasar yang cukup fundamental bagi
bangunan kode etik profesi kita yang mestinya menjadi perhatian serius. Mungkin
semua orang sudah memahami, jika landasan penyangga dari nilai-nilai profesi hukum
negeri ini telah tergadai oleh nilai-nilai materialistik serta ambisi kesenangan hedonistik
(ambisi duniawi). Nilai-nilai religiusitas serta spritualisme tampak sudah makin tergusur
dan tergeser, yang padahal dulunya sebelum kedatangan kolonial Belanda menjajah
negeri ini, nilai-nilai tersebut telah menjadi nilai-nilai hukum yang hidup (living law)
dalam kultur hukum masyarakat bangsa ini.
Jadi selanjutnya, menciptakan aparat penegak hukum yang lebih menjunjung
profesionalisme, mestinya negeri dan bangsa ini, tidak boleh lagi memelihara
bercokolnya aparat penegak hukum bermental brengsek,. Mereka tidak hanya melukai
nurani warga masyarakat pencari keadilan, namun juga terus-menerus mengangkangi
hukum. Sekali lagi, apa jadinya negeri ini kalau hanya menjadi sebuah negeri yang
merupakan surganya para koruptor dan para aparat/ oknum penegak hukum bermental
brengsek?
Nabi Muhammad SAW bersabda "Kehancuran suatu bangsa adalah tatkala
para pembesamya (terdiri dari kalangan berduit atau penguasa) melakukan pel-
anggaran hukum, maka hukum tidak ditegakkan namun bila orang-orang lemah di
antara mereka (orang-orang miskin yang lemah tidak berdaya) melakukan pelanggaran
hukum, maka hukum baru ditegakkan". Mencermati sabda nabi orang Islam tersebut,
belajar dari kasus Nenek Minah yang karena lapar terpaksa harus mencuri tiga buah
coklat, telah divonis hukum pengadilan lima bulan penjara sementara masih ada
koruptor yang memakan barang haram, mencuri uang rakyat berjuta-juta bahkan
bermilyar-milyar rupiah, masih dibiarkan berkeliaran. Maka apakah itu bisa diramalkan
kalau bangsa juga sedang menuju ambang kehancuran?
Terderanya bangsa ini oleh jutaan oknum yang hipokrit tentu saja
membutuhkan solusi untuk penyelesaian. Ada rasa pesimis bahwa masalah ini akan
tuntas hingga ke akarnya. Telah banyak orang cerdas dan pakar hukum di negeri ini tapi
tidak berkorelasi positif terhadap solusi konkrit atas permasalahan pelanggaran hukum
yang sudah menghegemoni ini. Konsep pembuktian terbalik yang digadang-gadang bisa
menjadi solusi tidak jelas kelanjutan dan realisasinya. Entah mengapa aparat penegak
hukum yang seharusnya menjadi kesatria pemberantas pelanggaran oleh oknum,
disusupi oknum pula di dalamnya.
Partai-partai bersih, peduli dan profesional yang mencetak para kader
pemimpin bangsa pun disusupi oleh para oknum yang memiliki tendensi pribadi yang
rendah dan murahan. Apalagi institusi pemerintah, tak luput dari gurita oknum.
Teriakan “ganyang oknum” pun tak pernah membuat para oknum menjadi trauma.
Mungkinkah ini adalah kesalahan sistem? namun satu yang pasti semangat untuk terus
mengganyang para oknum yang berkeliaran ini jangan sampai sirna dalam diri kita.
Minimal para oknum itu merasa tidak nyaman hidupnya.
HARAPAN BANGSA
Harapan itu masih ada. Masih banyak orang-orang bersih yang tetap berpegang
teguh untuk tidak melakukan praktek kecurangan. Masih banyak para aparat penegak
hukum yang bersih dan lurus dalam menegakkan aturan hukum. Masih banyak pula
kepala daerah dan pejabat-pejabat berwenang yang tetap istiqomah. Mereka adalah
mutiara cantik yang akan membawa kilau indah bagi Negara Indonesia.
Banyak ikhtiar yang bisa kita lakukan untuk menjadi mutiara itu. Diantaranya
adalah memproteksi diri untuk tidak menjadi oknum yang melakukan pelanggaran
hukum. Kemudian berani melapor, mengumpulkan bukti dan mengekspos para oknum
yang kita temui. Dan yang lain adalah terus memberikan dukungan kepada orang-orang
yang berani berteriak lantang mengungkap para oknum.
Kita merindukan pemuda-pemuda generasi emas pendobrak semangat bangsa
yang digerakan oleh kekuatan moral serta memiliki kecerdasan intelektual, spritual dan
emosional sebagai penopang pemuda atau generasi tahan banting, Walau Rasulullah
pernah mengisyaratkan “membangun sebuah generasi perlu waktu antara 20-25 tahun”.
maka bukanlah hal yang mustahil jika allah berkehendak lahirnya pemuda-pemuda
berjiwa visionir,relegius, memiliki komitmen yang kuat, jiwa keadilan yang dasyat
maka terciptalah peradaban yang madani yang kita impikan, Mudah-mudahan suatu saat
bertebarannya oknum di negeri ini bisa sangat berkurang bahkan sirna sehingga
Indonesia menjelma menjadi Negara yang baldatun, thoyibatun wa robbun ghofur.