konflik agama.docx

48
KONFLIK AGAMA-AGAMA DI INDONESIA (http://msibki3.blogspot.com/2013/03/konflik-agama-agama- di-indonesia.html) Oleh: Ismail Fahmi Nst Pendahuluan Indonesia adalah sebuah negara yang penduduknya majemuk dari segi suku bangsa, budaya dan agama. Realitas kemajemukan tersebut, disadari oleh para pemimpin bangsa, yang memperjuangkan kemerdekaan negeri ini, dari penjajahan asing. Mereka memandang bahwa kemajemukan tersebut bukanlah halangan untuk mewujudkan persatuan dan kesatuan, serta untuk mewujudkan cita-cita nasional dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Kemajemukan tersebut termasuk kekayaan bangsa Indonesia. Para pemimpin bangsa tersebut mempunyai cara pandang yang positif tentang kemajemukan. Cara pandang seperti ini selaras dengan ajaran agama yang menjelaskan bahwa kemajemukan itu, bagian dari sunnatullah. Agama mengingatkan bahwa kemajemukan terjadi atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga harus diterima dengan lapang dada dan dihargai, termasuk di dalamnya perbedaan konsepsi keagamaan. Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun. Perbedaan –bahkan benturan konsepsi itu- terjadi pada hampir semua aspek agama, baik di bidang konsepsi

Upload: m-rozikin-choirur

Post on 26-Oct-2015

58 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KONFLIK AGAMA-AGAMA DI INDONESIA (http://msibki3.blogspot.com/2013/03/konflik-agama-agama-di-indonesia.html)

Oleh: Ismail Fahmi Nst

Pendahuluan

Indonesia adalah sebuah negara yang penduduknya majemuk

dari segi suku bangsa, budaya dan agama. Realitas kemajemukan

tersebut, disadari oleh para pemimpin bangsa, yang memperjuangkan

kemerdekaan negeri ini, dari penjajahan asing. Mereka memandang

bahwa kemajemukan tersebut bukanlah halangan untuk mewujudkan

persatuan dan kesatuan, serta untuk mewujudkan cita-cita nasional

dalam wadah negara kesatuan Republik Indonesia. Kemajemukan

tersebut termasuk kekayaan bangsa Indonesia.

Para pemimpin bangsa tersebut mempunyai cara pandang yang

positif tentang kemajemukan. Cara pandang seperti ini selaras

dengan ajaran agama yang menjelaskan bahwa kemajemukan itu,

bagian dari sunnatullah. Agama mengingatkan bahwa kemajemukan

terjadi atas kehendak Tuhan yang Maha Kuasa, sehingga harus

diterima dengan lapang dada dan dihargai, termasuk di dalamnya

perbedaan konsepsi keagamaan.

Perbedaan konsepsi di antara agama-agama yang ada adalah

sebuah realitas, yang tidak dapat dimungkiri oleh siapa pun.

Perbedaan –bahkan benturan konsepsi itu- terjadi pada hampir semua

aspek agama, baik di bidang konsepsi tentang Tuhan maupun

konsepsi pengaturan kehidupan. Hal ini dalam prakteknya, cukup

sering memicu konflik fisik antara umat berbeda agama.

Konflik Maluku, Poso, ditambah sejumlah kasus terpisah di

berbagai tempat di mana kaum Muslim terlibat konflik secara

langsung dengan umat Kristen adalah sejumlah contoh konflik yang –

sedikit banyak- dipicu oleh perbedaan konsep di antara kedua agama

ini. Perang Salib (1096-1271) antara umat Kristen Eropa dan Islam,

pembantaian umat Islam di Granada oleh Ratu Isabella ketika

mengusir Dinasti Islam terakhir di Spanyol, adalah konflik antara

Islam dan Kristen yang terbesar sepanjang sejarah. Catatan ini,

mungkin akan bertambah panjang, jika intervensi Barat (Amerika dan

sekutu-sekutunya) di dunia Islam dilampirkan pula di sini.

Pandangan stereotip satu kelompok terhadap kelompok lainnya,

biasanya menjadi satu hal yang muncul bersamaan dengan

terdengarnya genderang permusuhan, yang diikuti oleh upaya saling

serang, saling membunuh, membakar rumah-rumah ibadah seteru

masing-masing, dan sebagainya. Umat Islam dipandang sebagai umat

yang radikal, tidak toleran, dan sangat subjektif dalam memandang

kebenaran yang –boleh jadi- terdapat pada umat.sementara umat

Kristen dipandang sebagai umat yang agresif dan ambisius yang

bertendensi menguasai segala aspek kehidupan dan berupaya

menyebarkan pesan Yesus yang terakhir, “Pergilah ke seluruh dunia

dan kabarkanlah Injil kepada seluruh makhluk!” (Martius 16: 15)

Sebagian kalangan berpendapat bahwa perbedaan konsep

keagamaanlah yang menjadi sumber konflik utama antara umat

manusia. Tidak dapat dimungkiri bahwa sejumlah teks keagamaan

memang mengatur masalah kekerasan dan peperangan. Dalam tradisi

Judeo-Christian, Yehweh –sebutan Tuhan dalam Bibel- digambarkan

sebagai “God of War”, sebagaimana diterangkan dalam Mazmur 18:

40- 41, “

(40) Engkau telah mengikat pingggangku dengan keperkasaan untuk

berperang; Engkau tundukkan ke bawah kuasaku orang yang bangkit

melawanku. (41) Kau buat musuhku lari dari aku, dan orang-orang

yang membenci aku kubinasakan.”1[1]

Dalam Islam juga dikenal konsep jihad yang dalam sejumlah hal

berarti qital (peperangan).2[2] Maka, sebagian pengamat melihat,

agama adalah sumber konflik, atau setidaknya memberikan legitimasi

terhadap berbagai konflik sosial. Ferguson (1977) mencatat, “Every

major religious tradition includes its justification for violence”.

Sebagian lain menyimpulkan bahwa agama-agama memberikan ajaran

dan contoh-contoh yang melegitimasi pembunuhan. Dalam tradisi

Islam dan Kristen (bahkan Yahudi), kata mereka, Tuhan membunuh

masyarakat, dan memerintahkan masyarakat untuk melakukan hal

yang sama.3[3]

Cara pandang terhadap agama dengan menempatkan agama

sebagai sumber konflik, telah menimbulkan berbagai upaya

menafsirkan kembali ajaran agama dan kemudian dicarikan titik temu

pada level tertentu, dengan harapan konflik di antara umat manusia

akan teredam jika faktor “kesamaan agama” itu didahulukan. Pada

level eksoteris-seperti aspek syari’ah- agama-agama memang

berbeda, tetapi pada level esoteris, semuanya sama saja. Semua

agama kemudian dipandang sebagai jalan yang sama-sama sah untuk

menuju kepada Tuhan,4[4] termasuk Islam dan Kristen.

1[1] Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2001, hlm. 588

2[2] Lihat Q. S. al-Baqarah: 190- 191, al-Hajj: 39, dan sebagainya

3[3] Lester R. Kurtz, Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks, hlm. 215-216

4[4] Di Indonesia, pernyataan-pernyataan yang bernada “menyamakan” agama mulai diungkapkan oleh para tokoh organisasi Islam. Lihat: pernyataan Ulil Abshar Abdalla, di majalah Gatra, edisi 21 Desember 2002. Lihat juga Dr. Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana,

Sehubungan dengan itu, tulisan ini bermaksud membahas

tentang: bagaimana sikap umat beragama (Islam dan Kristen)

terhadap agamanya di era millenium sekarang; dan benarkah

perbedaan konsepsi agama-lah yang menyebabkan konflik di antara

kedua umat ini?

Agama ; Peran pemersatu atau konflik (?)

Semua ajaran agama pada dasarnya baik dan mengajak kepada

kebaikan. Namun nyatanya tidak semua yang dianggap baik itu bisa

bertemu dan seiring sejalan. Bahkan, sekali waktu dapat terjadi

pertentangan antara yang satu dengan yang lain. Alasannya tentu ber-

macam-macam. Misalnya, tidak mesti yang dianggap baik itu benar.

Juga, apa yang benar menurut manusia belum tentu dibenarkan oleh

Tuhan dan alasan lain  yang dapat dimunculkan.

Menurut Joachim Wach, seorang sarjana ahli dalam sosiologi

agama, setidaknya terdapat dua pandangan terhadap kehadiran

agama dalam suatu masyarakat, negatif dan positif. Pendapat

pertama mengatakan, ketika agama hadir dalam satu komunitas, 

perpecahan tak dapat dielakkan. Dalam hal ini, agama dinilai sebagai

faktor disintegrasi. Mengapa? Salah satu sebabnya adalah ia hadir

dengan seperangkat ritual dan sistem kepercayaan yang lama-lama

melahirkan suatu komunitas tersendiri yang berbeda dari komunitas

pemeluk agama lain. Rasa perbedaan tadi kian intensif ketika para

pemeluk suatu agama telah sampai pada sikap dan keyakinan bahwa

satu-satunya agama yang benar adalah agama yang dipeluknya. Se-

dangkan yang lain salah dan kalau perlu dimusuhi.

Pandangan yang kedua adalah sebaliknya. Justru agama

berperan sebagai faktor integrasi. Katakanlah ketika masyarakat

Yogyakarta, 2002, hlm. 44

hidup dalam suku-suku dengan sentimen sukuisme yang tinggi,

bahkan di sana berlaku hukum rimba, biasanya agama mampu ber-

peran memberikan ikatan baru yang lebih menyeluruh sehingga

terkuburlah kepingan-kepingan sentimen lama sumber perpecahan

tadi. Agama dengan sistem kepercayaan yang baku, bentuk ritual

yang sakral, serta organisasi keagamaan dalam hubungan sosial

mempunyai daya ikat yang amat kuat bagi integrasi masyarakat.5[5]

Teori di atas bagi bangsa Indonesia amat mudah dipahami.

Sebelum Islam datang, bentuk persatuan memang sudah ada dan

terjalin kuat di bumi nusantara ini. Apa yang mengikat? Bisa jadi oleh

emosionalitas keyakinan pada agama Hindu atau Buddha, atau bisa

saja karena rasa sukuisme (ikatan agama dalam sosiologi kadang-

kadang di sejajarkan dengan ikatan kesukuan, bahkan juga

nasionalisme. Misalnya oleh Durkheim). Tetapi pada hal tersebut kita

bertanya, sejauh mana dan seberapa kuat rasa persatuan (integrasi)

tadi terwujud? Tanpa mengurangi rasa homat pada Hayamwuruk dan

Gajah mada dari Majapahit dalam merintis persatuan nusantara, ba-

gaimana pun juga kehadiran Islam di nusantara mempunyai andil

yang amat besar dalam menciptakan Negara Kesatuan Republik

Indonesia, dari ujung Sumatera sampai ujung Timor.

Dalam kaitan ini, thesis yang amat menarik diajukan oleh Prof.

Dr. Naquib al-Attas dari Universitas Malaysia, bahwa berkat Islamlah

maka bahasa Melayu berkembang cepat di nusantara ini, yang pada

akhirnya diresmikan sebagai bahasa Indonesia, bahasa nasional.

Mengapa bahasa Melayu yang relatif digunakan oleh kelompok kecil

sanggup mengeser bahasa Jawa yang dominan? Naquib menjawab,

bahasa Jawa telah dirasuki falsafah Hindu yang feodalistik dan

5[5] Joachim Wach, Sosiology of Religion, University of Chicago Press, Chicago and London, 1971, hlm. 35

membagi manusia pada kelas-kelas, sementara Islam yang bersifat

demokratis, tidak mengenal kelas. Satu-satunya alternatif  yang tepat

adalah berkomunikasi dengan bahasa Melayu. Jalinan antara sifat

Islam yang demokratis, bahasa Melayu yang digunakan, lalu

disebarkan oleh para pedagang yang merangkap sebagai juru dak-

wah, maka pada waktu yang relatif singkat tersebarlah bahasa

Melayu ke seantero nusantara ini. Islam memperkuat penyebaran

bahasa, bahasa mendorong serta memperkuat timbulnya persatuan

nusantara, dan pada gilirannya lahirlah kesatuan nasional dengan

Islam sebagai dasarnya, ditambah bahasa Melayu dan nasionalisme

sebagai pilarnya.6[6]

Dengan demikian, mengikuti teori Joachim Wach, bagaimana

pun juga kehadiran dan eksistensi  Islam di Indonesia ini jelas

merupakan faktor integrasi sekaligus konflik yang amat besar, yang

mampu mengikis friksi-friksi sukuisme sebelumnya.

Agama Dan Konflik

Sejumlah kerusuhan dan konflik sosial telah terjadi di berbagai daerah di Indonesia,

beberapa tahun terakhir. Beberapa di antaranya berskala besar dan berlangsung lama, seperti

kerusuhan di Ambon, (mulai 1998), Poso (mulai 1998), Maluku Utara (2000), dan beberapa

tempat lain.

Kajian-kajian yang telah dilakukan mengatakan bahwa konflik di Maluku pada awalnya

disebabkan oleh karena kesenjangan ekonomi dan kepentingan politik. Eskalasi politik

meningkat cepat karena mereka yang bertikai melibatkan sentimen keagamaan untuk

memperoleh dukungan yang cepat dan luas. Agama dalam kaitan ini bukan pemicu konflik,

karena isu agama itu muncul belakangan.

6[6] Saiful Muzani, Pandangan Dunia dan Gagasan Islamisasi Ilmu Syed Muhammad Naquib Al-Atta, dalam Jurnal Hikmah, No. 3 Juli-Oktober 1991.

Konflik di antara umat beragama dapat disebabkan oleh faktor keagamaan dan non

keagamaan.7[7] Berikut ini keterangan singkat mengenai kedua faktor itu.

A.                Faktor Keagamaan

Agama pada dasarnya memiliki faktor integrasi dan disintegrasi. Faktor integrasi, antara

lain, agama mengajarkan persaudaraan atas dasar iman, kebangsaan dan kemanusiaan. Agama

mengajarkan kedamaian dan kerukunan di antara manusia dan sesama makhluk. Agama

mengajarkan budi pekerti yang luhur, hidup tertib dan kepatuhan terhadap aturan yang berlaku

dalam masyarakat.8[8]

Ajaran yang disebutkan itu bersifat universal.9[9] Selain itu, terdapat ajaran agama yang

juga bisa menimbulkan disintegrasi,10[10] bila dipahami secara sempit dan kaku. Di antaranya,

7[7]  Abdurrahman Wahid, “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa,” Prisma, edisi extra, 1984, hlm. 3-9.

8[8] Abdurrahman Wahid, “Pribumisasi Islam,” Muntaha Azhari dan Abdul Mun’im Saleh (ed.), Islam Indonesia Menatap Masa Depan, Jakarta: P3M, 1989, hlm. 81-96.

9[9]Universalitas dimaksud dapat dilihat dalam agama Kristen yaitu Roma 12:10 Hendaklah kamu saling mengasihi sebagai saudara dan saling mendahului dalam memberi hormat. Petrus 2:17, 5:9, Hormatilah semua orang, kasihilah saudara-saudaramu, takutlah akan Allah, hormatilah raja!, Petrus 3:8 Dan akhirnya, hendaklah kamu semua seia sekata, seperasaan, mengasihi saudara-saudara, penyayang dan rendah hati, Matius 23:8, Tetapi kamu, janganlah kamu disebut Rabi; karena hanya satu Rabimu dan kamu semua adalah saudara. Dalam ajaran Islam disebutkan dan katakanlah kepada para hambaku-Ku: "Hendaklah mereka berbicara dengan ucapan yang sebaik-baiknya" dalam berdakwah. Bahwasanya setan itu suka menimbulkan perselisihan di antara mereka. Sesungguhnya antara setan dan manusia terbentang permusuhan sejak dahulu. Isra: 53 Janganlah kamu seperti orang-orang yang berpecah belah dan bersilang- sengketa sesudah datang kepada mereka bukti yang terang! .... Al-Imran: 105.

10[10] Tidak dapat dipungkiri bahwa selain munculnya truth claim bahwa ditemukan sejumlah teks keagamaan memang mengatur masalah kekerasan dan

setiap pemeluk agama menyakini bahwa agama yang dianutnya adalah jalan hidup yang paling

benar, sehingga dapat menimbulkan prasangka negatif atau sikap memandang rendah pemeluk

agama lain.

Secara internal, teks-teks keagamaan dalam satu agama juga terbuka terhadap aneka

penafsiran yang dapat menimbulkan aliran dan kelompok keagamaan yang beragam, bahkan

bertentangan satu sama lain sehingga memicu konflik.11[11]

Keragaman agama ternyata menimbulkan dilema tersendiri.  Di satu sisi, memberikan

kontribusi positif untuk pembangunan bangsa. Namun di sisi lain keragaman agama dapat juga

berpotensi  menjadi sumber konflik di kemudian hari. Mana diantara potensi tersebut yang

dominan? Konflik bisa saja terjadi. Penyebab konflik terkadang disebabkan adanya truth claim

(klaim kebenaran). Namun yang dominan, konflik lebih dipicu oleh unsur-unsur yang tak

berkaitan dengan ajaran agama sama sekali. Konflik sesungguhnya dipicu oleh persoalan

ekonomi, sosial dan politik, yang selanjutnya di blow up menjadi konflik (ajaran) agama.

Selain faktor yang terkait dengan doktrin seperti disebutkan di atas, ada faktor-faktor

keagamaan lain yang secara tidak langsung dapat menimbulkan konflik di antara umat beragama.

Di antaranya: 1) Penyiaran agama, 2)Bantuan keagamaan dari luar negeri, 3) Perkawinan antar

pemeluk agama yang berbeda, 4) Pengangkatan anak, 5)Pendidikan agama, 6)Perayaan hari

besar keagamaan, 7)Perawatan dan pemakaman jenazah, 8)Penodaan agama, 9)Kegiatan

kelompok sempalan 10)Transparansi informasi keagamaan dan 11)Pendirian rumat ibadat.12[12]

Berikut ini penjelasan tentang sebagian dari faktor-faktor itu. Penyiaran agama

merupakan perintah (paling tidak sebagian) agama. Kegiatan ini sering dilakukan tanpa disertai

peperangan yang berdampak pada konflik. Dalam tradisi Judeo-Christian, Yehweh –sebutan Tuhan dalam Bibel- digambarkan sebagai “God of War”, sebagaimana diterangkan dalam Mazmur 18: 40- 41, “(40) Engkau telah mengikat pingggangku dengan keperkasaan untuk berperang; Engkau tundukkan ke bawah kuasaku orang yang bangkit melawanku. (41) Kau buat musuhku lari dari aku, dan orang-orang yang membenci aku kubinasakan.”Dalam Islam juga dikenal konsep jihad yang dalam sejumlah hal berarti qital (peperangan)

11[11]Abdurrahman Wahid, “Massa Islam dalam Kehidupan Bernegara dan Berbangsa,” hlm. 8

12[12] Abdurrahman Wahid, “Merumuskan Hubungan Ideologi Nasional dan Agama,” Aula, Mei 1985, hlm. 31

dengan kedewasaan dan sikap toleran terhadap pemeluk agama lain, untuk memilih sendiri jalan

hidupnya.

Akibat terjadi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan pemaksaan yang

sifatnya terselubung, maupun terang-terangan. Kasus semacam itu, dapat merusak hubungan

antar umat beragama. Untuk mengurangi kasus-kasus pembujukan yang berlebihan atau bahkan

pemaksaan semacam itu, pemerintah mengeluarkan SKB Menag dan Mendagri No 1 tahun 1979

tentang Tatacara Pelaksanaan Penyiaran Agama dan Bantuan Luar Negeri kepada Lembaga

Keagamaan di Indonesia.

Faktor lain terkait dengan perkawinan. Dalam kemajemukan masyarakat di Indonesia,

perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda sering menjadi pemicu terganggunya hubungan

antar umat beragama. Hal itu terlihat jika perkawinan dijadikan salah satu alat untuk mengajak

pasangan agar berpindah agama. Konversi agama dilakukan untuk mengesahkan perkawinan.

Setelah perkawinan berlangsung beberapa lama, orang yang bersangkutan kembali ke agamanya

semula dan mengajak pasangannya untuk memeluk agama tersebut.13[13]

Kasus yang juga sering muncul adalah terkait dengan pendirian rumah ibadat. Kehadiran

sebuah rumah ibadat sering mengganggu hubungan antar umat beragama, atau bahkan memicu

konflik karena lokasinya berada di tengah komunitas yang kebanyakan menganut agama lain.

Rumah ibadat dalam kaitan ini, tidak hanya dilihat sebagai tempat untuk melaksanakan ibadat

atau kegiatan keagamaan semata, tetapi juga sebagai simbol keberadaan, suatu kelompok agama.

Permasalahannya menjadi rumit jika jumlah rumah ibadat tersebut dipandang oleh pihak

lain tidak berdasarkan keperluan, melainkan untuk kepentingan penyiaran agama pada komunitas

lain. Kasus-kasus yang terkait dengan pengrusakan rumah ibadat menjadi salah satu faktor yang

melatarbelakangi lahirnya SKB Menag dan Mendagri No 1 tahun 1969 yang kemudian

disempurnakan dan diganti dengan Peraturan Bersama Menteri Agama dan Menteri Dalam

Negeri No 9 tahun 2006/No 8 tahun 2006 tanggal 21 Maret 2006.

B.                 Faktor-faktor non Keagamaan

13[13] Untuk uraian lebih lanjut tentang primbumisasi Islam, lihat Abdurrahman Wahid, “Salahkah Jika Dipribumikan?” Tempo, 16 Juli 1991, halaman 19 dan “Pribumisasi Islam.” Lihat pula, “Merelevansikan Bukannya Menghilangkan Salam,” Amanah, No. 22, Mei 8-21, 1987.

Adapun faktor-faktor non keagamaan yang diidentifikasi sebagai penyebab

ketidakrukunan umat beragama meliputi beberapa hal, antara lain 1)kesenjangan ekonomi, 2)

kepentingan politik, 3) perbedaan nilai sosial budaya, 4) kemajuan teknologi informasi dan

transportasi.14[14]

Kehadiran penduduk pendatang di satu daerah sering menimbulkan kesenjangan

ekonomi, sebab mereka lebih ulet dan trampil bekerja dibandingkan dengan penduduk asli .

Kondisi itu sering menimbulkan kecemburuan sosial dan dapat memicu konflik. Selanjutnya,

dalam berbagai kasus, munculnya suatu kelompok politik juga dipengaruhi oleh misi keagamaan

dari para elit kelompok politik tersebut.

Ketegangan atau konflik di antara elit politik tersebut lalu pada gilirannya dilihat sebagai

pertikaian antar kelompok politik yang berbeda agama. Demikian pula perbedaan nilai budaya

juga dapat menjadi penyebab konflik bila suatu komunitas yang kebetulan menganut agama

tertentu mengalami ketersinggungan karena perilaku atau tindakan pihak lain, yang kebetulan

menganut agama berbeda kurang memahami atau kurang menghargai adat istiadat, atau budaya

yang mereka hormati.15[15]

Menurut Hendropuspito, agama adalah suatu jenis system sosial yang dibuat oleh

penganut- penganutnya yang berproses pada kekuatan- kekuatan non empiris yang dipercayainya

dan didayagunakannya untuk mencapai keselamatan bagi mereka. Dalam kamus sosiologi

pengertian agama ada 3 macam, yaitu (1) kepercayaan pada hal- hal yang spiritual; (2) Perangkat

kepercayaan dan praktik – praktik spiritual yang dianggap sebagai tujuan tersendiri; dan (3)

Ideologi mengenai hal- hal yang bersifat supranatural.16[16] Sementara itu, Thomas F. O’ Deo

14[14] Lihat, misalnya, beberapa tulisan Adi Sasono, "Peta Permasalahan Sosial Umat Islam dan Pokok-Pokok Pemikiran Usaha Pengembangannya: Beberapa Catatan, makalah tidak diterbitkan, Mei, 1984; "Moral Agama dan Masalah Kemiskinan," makalah tidak diterbitkan, 21 April 1985; "Usaha Pengembangan Enasipasi Sosial: Beberapa Catatan," A Rifa'i Hasan dan Amrullah Achmad (ed.), Perspektif Islam dalam Pembangunan Bangsa, Yogyakarta: PLP2M, 1986, hlm. 323-335.

15[15] Lihat, M. Dawam Rahardjo, "Umat Islam dan Pembaharuan Teologi," Bosco Carvallo dan Dasrizal (ed.), Aspirasi Umat Islam Indonesia, Jakarta: Leppenas, 1983, hlm. 117-132.

16[16] Hendropuspito, D. Sosiologi Agama. Yogyakarta, 1986, hlm. 32

mengatakan bahwa agama adalah pendayagunaan sarana- sarana supra empiris untuk maksud-

maksud non empiris atau supra empiris.17[17]

Dari beberapa definisi diatas, jelas tergambar bahwa agama merupakan suatu hal yang

dijadikan sandaran penganutnya. Karena sifatnya yang supranatural sehingga diharapkan dapat

mengatasi masalah- masalah yang non empiris. Sedangkan menurut Kamus Besar Bahasa

Indonesia, dikatakan bahwa agama adalah ajaran, system yang mengatur tata keimanan

(kepercayaan) dan peribadatan kepada Tuhan Yang Mahakuasa serta tata kaidah yang

berhubungan dengan pergaulan manusia dan manusia serta lingkungannya.

Selanjutnya dalam buku yang sama, dikatakan bahwa konflik yaitu percekcokan;

perselisihan- prselisihan; pertentangan. Jika kata ini digabung dengan term sosial menjadi suatu

pertentangan antar anggota masyarakat yang bersifat menyeluruh dalam kehidupan. Menurut

teori konflik , masyarakat adalah suatu keadaan konflik yang berkesinambungan di antara

kelompok dan kelas serta berkecenderungan kearah perselisihan, ketegangan, dan perubahan.

Jadi masyarakat (sosial) merupakan lahan yang subur bagi tumbuhnya konflik. Bibitnya bisa

bermacam-macam faktor : ekonomi, politik, sosial, bahkan agama.18[18]

Faktor- faktor Konflik Ditinjau dari Aspek Agama

Setiap agama selalu membawa misi kedamaian dan keselarasan

hidup, bukan saja antar manusia, tetapi juga antar sesama makhluk

Tuhan. Di dalam terminologi Al-Qur’an, misi suci ini disebut rahmah

lil alamin (rahmat dan kedamaian bagi alam semesta). Namun dalam

tataran historisnya misi agama tidak selalu artikulatif. Selain sebagai

alat pemersatu sosial, agamapun menjadi unsur konflik tulisan Afif

Muhammad dijelaskan bahwa, “agama acapkali menampakkan diri

sebagai sesuatu yang berwajah ganda”19[19] Hal ini sama dengan

pendapat Johan Efendi yang menyatakan “Bahwa agama pada suatu

17[17] Thomas F. O'deo, Sosiologi Agama, Jakarta: PT Rajawali, 1985, hal. 139

18[18] Ibid.,

19[19] Dr. Afif Muhammad, Tafsir Al Qur’an untuk Anak-anak, Mizan, Bandung, 1999, hlm. 16

waktu memproklamirkan perdamaian, jalan menuju keselamatan,

persatuan, dan persaudaraan. Namun, pada waktu yang lain

menampilkan dirinya sebagai sesuatu yang dianggap garang dan

menyebar konflik. Bahkan tidak jarang dicatat dalam sejarah

menimbulkan peperangan.20[20] Konflik sosial yang berbau agama

bisa disebabkan oleh beberapa faktor, di antaranya :

1. Adanya Klaim Kebenaran (Truth Claim)

Setiap agama punya kebenaran. Keyakinan tentang yang benar

itu didasarkan pada Tuhan sebagai satu- satunya sumber kebenaran.

Pluralitas manusia menyebabkan wajah kebenaran itu tampil beda

ketika akan dimaknakan. Sebab perbedaan ini tidak dapat dilepaskan

begitu saja dari berbagai referensi dan latar belakang orang yang

meyakininya. Mereka mengklaim telah memahami, memiliki, bahkan

menjalankan secara murni dan konsekuen nilai- nilai suci itu.

Keyakinan tersebut akan berubah menjadi suatu pemaksaan

konsep- konsep gerakannya kepada manusia lain yang berbeda

keyakinan dan pemahaman dengan mereka. Armahedi Mazhar

menyebutkan bahwa absolutisme, eksklusivisme, fanatisme,

ekstremisme dan agresivisme adalah penyakit-penyakit yang biasanya

menghinggapi aktivis gerakan keagamaan. Absolutisme adalah

kesombongan intelektual, eksklusivisme adalah kesombongan sosial,

fanatisme adalah kesombongan emosional, ekstremisme adalah

berlebih-lebihan dalam bersikap dan agresivisme adalah berlebih-

lebihan dalam melakukan tindakan fisik.

Dalam ajaran atau doktrin agama, terdapat seruan untuk menuju

keselamatan yang dibarengi dengan kewajiban mengajak orang lain

menuju keselamatan tersebut. Kegiatan ini biasa disebut dengan

20[20] Dalam Harun Nasution, Islam dan Sistem Pemerintahan dalam Perkembangan Sejarah, Nuansa, Desember 1984, hlm. 4-12.

istilah “dakiyah”. Dakiyah merupakan upaya mensosialisasikan

(mengajak, merayu) ajaran agama. Bahkan tidak menutup

kemungkinan, masing-masing agama akan menjastifikasi bahwa

agamalah yang paling benar. Jika kepentingan ini lebih di utamakan,

masing-masing agama akan berhadapan dalam menegakkan hak

kebenarannya. Ini akan memunculkan sentimen agama, sehingga

benturan pun sulit dihindari. Fenomena yang seperti inilah yang

dapat melahirkan konflik antar agama. Misalnya, peristiwa Perang

Salib antara umat Islam dan umat Kristen. Tragedi ini sangat kuat

muatan agamanya, dari pada politisnya.

2. Adanya Pengkaburan Persepsi antar Wilayah Agama dan Suku

Mayoritas rakyat Indonesia lebih mensejajarkan persoalan

agama dengan suku dan ras. Pemahaman yang kabur ini bisa

menimbulkan kerawanan atau kepekaan yang sangat tinggi, sehingga

muncul benih-benih sektarianisme. Seperti dalam kasus Dr. AM

Saefuddin, yakni Menteri Negara Pangan dan Holtikultura pada masa

pemerintahan Presiden BJ. Habibie. Menteri itu telah melecehkan

salah satu agama, dalam pernyataannya “Megawati Pindah Agama

menjadi Agama Hindu”. Hal ini dikarenakan dia telah menyaksikan

seseorang yang beragam Islam (Megawati) ikut melakukan kegiatan

ritual pada agama Hindu di Bali. Akibatnya, setelah pernyataan itu

dilontarkan terjadi sejumlah demonstrasi, bahkan berubah menjadi

kerusuhan.

3. Adanya Doktrin Jihad dan Kurangnya Sikap Toleran dalam

Kehidupan Beragama

Seorang agamawan sering kali mencela sikap sempit dan tidak

toleran pada orang lain yang ingin menganiayanya, pada hal disisi lain

mereka sendiri mempertahankan hak dengan cara memaksa dan

menyerang orang yang mereka anggap menyimpang. Bahkan, mereka

menganggap membunuh orang yang menyimpang itu sebagai

kewajiban (Jihad). Jika berada dalam agama ketiga, diluar kedua

agama yang sedang bertikai, kita akan tersenyum mengejeknya,

karena mereka saling menghancurkan, yang dalam persepsi kita

bahwa agama yang bertikai tersebut sama-sama palsu. Tetapi lain lagi

ceritanya, jika yang perang adalah agama kita dengan agama lainnya.

Dengan sendirinya, perang itu akan menjadi sebuah perjuangan untuk

melawan dan menghancurkan kepalsuan. Bahkan kita akan meyakini

adanya unsur kesucian dalam perang itu, sehingga mati di dalamnya

di anggap kehormatan yang besar sebagai syahid / martir.

Hanya saja kita harus paham bahwa mereka yang ada dipihak

lawan agama kita juga berpendapat sama seperti itu, dan mereka

yang berada dipihak ke tiga (tidak berperang), dan memandang

perang kita sebagai usaha saling menghancurkan antara dia

kepalsuan. Semua orang di dunia ini sepakat bahwa agama selalu

mengajak kepada kebaikan. Tetapi ketika seseorang semakin yakin

dengan agamanya, maka “orang baik” itu justru semakin kuat

membenarkan dirinya untuk tidak toleran kapada orang lain, bahkan

mereka berhak mengejar-ngejar orang yang tidak sepaham dengan

dirinya. Jadi, merekalah yang sebenarnya menjadi sumber kebenaran.

4. Minimnya Pemahaman terhadap Ideologi Pluralisme

Al-Qur’an (QS.2:148) mengakui bahwa masyarakat terdiri atas

berbagai macam komunitas yang memiliki orientasi kehidupan

sendiri-sendiri. Manusia harus menerima keragaman budaya dan

agama dengan memberikan toleransi kepada masing-masing

komunitas dalam menjalankan ibadahnya. Oleh karena itu, kecurigaan

tentang sifat Islam yang anti plural dan suka kekerasan itu sangatlah

tidak beralasan.

Pluralisme telah diteladankan oleh Rasulallah SAW, ketika beliau

berada di Madinah, masyarakat non-Muslim tidak pernah dipaksa

untuk mengikuti agamanya. Bahkan dalam perjanjian dengan

penduduk Madinah ditetapkan dasar-dasar toleransi demi

terwujudnya perdamaian dan kerukunan. Salah satunya ” Orang

Yahudi yang turut dalam perjanjian dengan kami berhak memperoleh

pertolongan dan perlindungan; tidak akan diperlukan zalim. Jika di

antara mereka berbuat zalim, itu hanya akan mencelakakan dirinya

dan keluarganya.

Bukti-bukti empiris pluralisme Islam juga terjadi dalam

kehidupan sosial, budaya, dan politik yang konkrit di Andalusia,

Spanyol, pada masa pemerintahan Khalifah Umawi. Kedatangan Islam

di daerah tersebut telah mengakhiri politik monoreligi secara paksa

oleh penguasa sebelumnya. Pemerintah Islam yang kemudian

berkuasa selama 500 tahun telah menciptakan masyarakat Spanyol

yang pluralistic, sebab ada tiga agama di dalamnya yang berkembang,

yakni Islam, Kristen dan Yahudi. Mereka dapat hidup saling

berdampingan dan rukun. Potret seperti inilah yang perlu

dikembangakan oleh seluruh agama, sehingga akan mampu menahan

diri dari hasrat alami manusia, yakni kehendak untuk berkuasa (Will

to Power). Selain itu, manusia harus mampu mempelakukan agama

sebagai sumber etika dalam berinteraksi, baik di antara sesama

penguasa maupun antara penguasa dengan rakyat. Jika etika

pluralisme ini dapat ditegakkan, maka tidak akan terjadi rangkaian

kerusuhan, pertikaian dan perusakan tempat-tempat ibadah.

Perbedaan Konsepsi dan Sikap Anti Agama

Terhadap konflik yang terjadi antara umat beragama telah

menimbulkan dua kutub pemikiran yang berbeda. Pertama, sikap

“anti agama” yaitu berupa penegasian dan pengingkaran peran

agama dalam kehidupan pribadi, bermasyarakat dan bernegara.

Agama dianggap sebagai sumber konflik, sehingga harus

disingkirkan. Agama dianggap tidak mempunyai peranan penting

dalam kehidupan sehingga harus disingkirkan. Agama dianggap

sebagai salah satu penyebab terjadinyaa pembunuhan dan kematian

di antara umat manusia, sehingga sudah saatnya dilenyapkan,

sebagaimana dikatakan John Lennon dalam syair lagunya Imagine,

“There is no religion too”.

Sikap anti agama ini, yang berakar di Eropa, kiranya

dilatarbelakangi oleh pengalaman sejarah Eropa abad pertengahan

yang mengalami ketertinggalan dalam hampir seluruh aspek

kehidupan. Dalam konteks ini, agama –yang direpresentasikan oleh

para pemuka agama (Gereja)- dianggap menjadi faktor penghambat

kemajuan Eropa di samping istana dan kaum borjuis. Menyandarkan

peradaban pada nilai-nilai agama dianggap tidak sesuai dengan

semangat Renaissance dan Humanisme Eropa yang telah mengubah

paradigma Eropa, dari pandangan-pandangan makrokosmos kepada

mikrokosmos, di mana rasionalitas dianggap sebagai alat pencari dan

pengukur kebenaran yang bisa diakui validitasnya. Paham ini, pada

kenyataannya berkembang terus, di berbagai belahan dunia, baik

yang mayoritas penduduknya Islam maupun Kristen.

Kendatipun demikian, gagasan “melenyapkan” peran agama

dalam peradaban umat manusia, dalam kenyataannya tetap dianggap

absurd, dan tidak sesuai dengan realitas. Tokoh-tokoh politik Eropa,

pasca Renaissance, meskipun tidak menyukai perilaku berbagai

pemuka agama, akhirnya juga memerlukan agama untuk kepentingan

mereka.21[21]

Arnold Toynbee, pakar sejarah, menekankan peran agama dalam

peradaban. Ia meneliti aspek peran dinamis agama dalam kelahiran

dan kehancuran satu peradaban. Ia menyimpulkan bahwa banyak

peradaban yang hancur (mati) karena “bunuh diri” dan bukan karena

benturan dengan kekuatan luar. Dalam studi yang mendalam tentang

kebangkitan dan kehancuran peradaban, Tonbee menemukan bahwa

agama dan spiritualitas memainkan peran sebagai chrysalis

‘kepompong’ yang merupakan cikal bakal tumbuhnya peradaban.

Antara kematian dan kebangkitan satu peradaban baru, ada satu

kelompok yang disebut Toynbee creative minorities yang dengan

spiritualitas mendalam (deep spiritual) atau motivasi agama (religious

motivation)- bekerja keras untuk melahirkan satu peradaban baru dari

reruntuhan peradaban lama. Karena itu, aspek spiritual memainkan

peran sentral dalam mempertahankan eksistensi suatu peradaban.

Peradaban yang telah hilang spiritualitasnya, ia akan mengalami

penurunan (Civilizations that los their spiritual core soon fell into

decline).22[22]

21[21] Sebagai gambaran, betapapun liberal dan sekulernya Napoleon Bonaparte, ia menobatkan dirinya sebagai Kaisar Perancis pada 2 Desember 1804, dalam sebuah acara kolosal di Katedral Notre Dame, Paris. Dia menolak menjadikan Katolik sebagai agama resmi negara, namun tetap mengeluarkan The Concordat 1801 yang mengakui Chatolicism sebagai agama terbesar yang dianut oleh rakyat.

22[22] Patricia M. Mische ‘Toward Civilization Worthy of the Human Person’, pendahuluan dalam buku Toward Global Civilization? The Contribution of Religions, (Newyork: Peter Lang Publishing Inc., 2001), hlm. 6

Wacana Pluralisme Agama

Gagasan kedua, adalah kelompok yang berupaya “menyamakan”

semua agama. Gagasan ini muncul karena beranggapan bahwa

perbedaan konsepsi agama merupakan sumber konflik umat manusia.

Upaya penyamaan ini biasanya dikamuflasekan dengan paham

pluralisme agama (religious pluralism/ al-ta’addud al-diniyyah).

Adalah John Hick yang dianggap sebagai penggagas pluralisme

agama. Dia mendefinisikan religious pluralism sebagai:

“Philosophically, however, the term refers to a particular theory of the

relation between these traditions, with their different and competing

claims. This is the theory that the great world religions constitute

variant conceptions and perceptions of, and responses to, the one

ultimate, mysterious divine reality…Explicit pluralism accepts the

more radical position implied by inclusivism: the view that the great

world faiths embody different perceptions and conceptions of, and

correspondingly different responses to, the Real or the Ultimate, and

that within each of them independently the transformation of human

existence from self-conteredness is taking place. Thus the great

religious traditons are to be regarded as alternative esoteriological

‘spaces’ within which--or ways along which—men and women can find

salvation, liberation and fulfillment.”23[23]

Definisi di atas menyimpulkan bahwa agama-agama besar

mengandung persepsi-persepsi varian dari “yang asal”, yaitu realitas

ketuhanan yang misterius dan respon-respon terhadapnya. Pada

akhirnya John Hick sampai pada satu kesimpulan bahwa agama pada

23[23] Mircea Eliade (ed.), The Encyclopedia of Religion, MacMillan Publishing Company, New York, 1987, Vol. 12, hlm. 331; pada Adian Husaini MA, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2004, hlm. 7

hakekatnya adalah jalan yang berbeda-beda menuju tujuan (the

Ultimate) yang sama. The Real atau Yang Ada (Tuhan), hanya Esa,

namun penyebutan dan interpretasi manusia saja yang berbeda-beda.

Pluralisme agama John Hick kelihatannya adalah bentuk

pengembangan dari paham inklusivisme.24[24]

Dr. J. Verkuil dalam bukunya Samakah Semua Agama? Memuat

kisah Nathan der Weise (Nathan yang Bijaksana) karya Lessing (1729-

1781). Kesimpulan dari kisah itu adalah bahwa semua agama intinya

sama saja. Intisari agama Kristen, menurutnya adalah Tuhan,

kebajikan, dan kehidupan kekal.Intisari itu, demikian Verkuil, juga

terdapat pd agama Islam, Yahudi, dan agama lainnya. Konferensi

Parlemen Agama-agama di Chicago tahun 1893, mendeklarasikan

bahwa seluruh tembok pemisah antara berbagai agama di dunia

sudah runtuh. Konferensi itu, lebih jauh menyerukan persamaan

antara Kon Fu Tsu, Budha, Islam dan agama lainnya.

Pada level Indonesia, Nurcholis Madjid dan Ulil Abshar Abdalla,

dan Prof. Dr. Said Agil Siradj, termasuk cendekiawan yang

mengusung “pluralitas” dengan tendensi “menyamakan” agama-

agama yang ada. Ulil Abshar Abdalla menyatakan, “Semua agama

sama. Semuanya menuju jalan kebenaran. Jadi, Islam bukan yang

paling benar.”25[25] Said Agil Siradj menyatakan bahwa agama Islam,

24[24] Bandingkan dengan definisi Nurcholis Madjid yang mengatakan bahwa pluralisme agama berwujud bond civilityi (ikatan keadaban, dimana masing-masing pemeluk agama punya kesediaan untuk melihat orang lain (baca: pemeluk agama lain) punya potensi untuk benar, dan diri sendiri punya potensi untuk salah. Maka absolutisme, faham mutlakan dan sistem kultus, bukanlah refleksi dari pluralisme agama. Untuk lebih jelas lihat Nurcholis Madjid, “Hak Asasi Manusia- Pluralisme Agama dan Integrasi Nasional (Konsepsi dan Aktualisasi) dalam Anshari Thayib dkk. (ed.), Ham dan Pluralisme Agama, Pusat kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), Jakarta, 1997, hlm.70

25[25] Lihat Gatra, edisi 21 Desember 2002

Yahudi dan Kristen adalah agama yang “sama-sama” memiliki

komitmen untuk menegakkan kalimat Tauhid, karena ,secara

geneologi, ketiga agama ini, mengakui bahwa Ibrahim adalah ‘the

foundation father’s’26[26] Dr. Abdul Munir Mulkhan menyatakan

bahwa agama-agama hanyalah salah satu “pintu” menuju surga Tuhan

yang satu. Dan surga Tuhan itu hanya bisa dimasuki dengan

keikhlasan, pembebasan manusia dari kelaparan, penderitaan,

kekerasan dan ketakutan, tanpa melihat agamanya.27[27]

Senada dengan para tokoh pembaharu di atas, Nurcholis Madjid

berpendapat bahwa Islam “bukanlah” nama agama. Dengan

menginterpretasi Q. S. Ali Imran ayat 67, yang menceritakan tentang

polemik kecil antara Yahudi dan Nasrani. Kedua kelompok ini,

demikian Nurcholis, mengklaim Nabi Ibrahim as. masuk ke dalam

golongannya. Lalu Al-Qur’an menegaskan bahwa Ibrahim adalah

“hannifan musliman”. Yang terakhir ini diartikannya “seorang pencari

kebenaran yang tulus dan murni (hanif), dan seorang yang berhasrat

untuk pasrah”. Ia keberatan bila kalimat itu diartikan bahwa Ibrahim

adalah seorang muslim.28[28]

“Islam” bagi Nurcholis bukanlah nama sebuah agama formal

(organized religion), karena menurutnya, istilah itu muncul pada abad

kedua hijrah. Setiap agama yang mengajarkan sikap tunduk dan

26[26] Lihat Bambang Noersena, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, Yayasan Andi, Yogyakarta, 2001, hlm. 165-169

27[27] Abdul Munir Mulkhan, Ajaran dan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002, hlm. 44

28[28] Dr. Daud Rasyid, MA, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta, 2002, hlm. 54; lihat juga Nurkholis Madjid, “Beberapa Renungan tentang Kehidupan Keagamaan di Indonesia untuk Generasi Mendatang” dalam H. Lukman Hakiem (Ed.), Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan: Debat Besar Pembaruan Islam, LSIP, Jakarta, 1995, hlm. 71

berserah diri, dalam pandangannya, adalah Islam. Karenanya, bukan

hanya Islam (sebagai organized religion), namun Kristen, Yahudi,

Hindu, Budha dan lain-lain adalah Islam.29[29]

Dari uraian di atas bisa disimpulkan bahwa para penganut

paham pluralisme beragama menganggap bahwa, terlepas dari

perbedaan-perbedaannya, esssensi agama-agama adalah sama. Sebab

sumbernya adalah sama, yaitu Yang Mutlak (Tuhan). Jika terjadi

perbedaan bentuk, ini disebabkan karena perbedaan manifestasi

dalam menanggapi Yang Mutlak. Sehingga, walaupun pada aspek

eksoterisnya berbeda, namun pada level esoteris, kondisi internal

atau batin, akan didapat titik temu. Dengan paham ini, maka tidak

benar (dan tidak dibolehkan) sikap masing-masing agama yang

menganggap memiliki kebenaran secara mutlak (truth claim). Pada

level keindonesiaan, cendekiawan yang tergolong pluralis

mengindikasikan betapa banyaknya konflik antar umat beragama

(baik antar maupun intern) disebabkan karena sikap eksklusif para

pemeluknya terhadap ajaran agama mereka. Yang terakhir ini,

menurut mereka, cenderung menjadi “pemberhalaan” konsep ajaran

agama itu sendiri, sehingga lupa pada essensi agama yang

sebenarnya yaitu sikap tunduk dan pasrah pada kebenaran. Karena –

mengutip istilah Nurcholis Madjid- sebaik-baik agama di sisi Allah

(baca: Yang Mutlak-pen) ialah al-hanafiyat al-samhah, semangat

kebenaran yang lapang dan terbuka.30[30] Karena itu, dengan

perspektif “Teologi Inklusif”, kelompok ini berpendapat bahwa

pandangan subjektif seperti , “Hanya agama sayalah yang memberi

keselamatan, sementara agama Anda tidak, dan bahkan menyesatkan”

29[29] Ibid.

30[30] Ibid.

akan mengakibatkan sikap menutup diri terhadap kebenaran agama

lain, dan berimplikasi serius atas terjadinya konflik atas nama agama

dan Tuhan.31[31] Kelompok pengusung pluralisme agama, dalam

prakteknya telah bertindak tidak hanya sebatas wacana. Sejumlah

sikap dan tindakan konkret mereka perlihatkan dalam mewujudkan

“sikap toleransi” dan “keterbukaan” untuk menerima kebenaran dari

berbagai “pintu/ jalan” (baca: agama). Perkawinan antara laki-laki dan

perempuan yang berlainan agama, atau konversi dari Islam ke Kristen

dan sebaliknya adalah hal yang dianggap mereka “lumrah”, dan tidak

harus dipersoalkan. Sebab, bagi mereka, kebenaran mutlak hanya

“satu”, hanya interpretasi dan implementasinya saja yang berbeda di

tengah-tengah masyarakat.

Gagasan pluralisme yang cenderung menyamakan agama-agama

jelas merupakan sesuatu yang absurd dan tidak sesuai dengan realitas

bahwa konsepsi masing-masing agama memang berbeda. Tidak hanya

pada level eksoteris, bahkan pada level esoteris pun, jika dikaji lebih

dalam menimbulkan pertanyaan, apakah benar semua agama sama

pada level ini. Adalah sesuatu yang mustahil “mempersatukan”

agama-agama, sementara konsep masing-masing agama tentang

“Tuhan”, misalnya, berbeda antara satu dengan lainnya.

Walaupun benar bahwa ada konflik-konflik horizontal yang

disebabkan karena perbedaan konsepsi agama, seperti yang terjadi

pada konflik antara Katolik dan Protestan di Eropa (khususnya

Irlandia Utara), dan antara Sunni dan Syi’ah di dunia Islam (misalnya

Irak), atau Perang Salib antara kaum Muslim dengan bangsa Eropa

(1096- 1271). Konflik Ambon, yang pernah terjadi di Indonesia, juga

disinyalir disebabkan karena perbedaan konsep agama (walaupun

31[31] Untuk lebih jelasnya mengenai “Teologi Inklusif” Nurcholis ini baca Nurcholis Madjid, Teologi Inklusif, Kompas, Jakarta, 2001

faktor-faktor lain, seperti kondisi sosial, ekonomi dan sebagainya

turut juga berperan). Ribuan bahkan ratusan ribu nyawa melayang

dalam pertikaian panjang dan melelahkan itu. Namun, jauh lebih

banyak konflik yang terjadi “bukan” karena perbedaan konsep agama.

Perang Dunia I dan II, dan Perang Dingin antara Eropa Barat plus

Amerika Serikat dengan Eropa Timur, serta Perang Saudara di

Amerika Serikat adalah beberapa contoh, di mana perbedaan ideologi

politik dan ekonomi menjadi sebab pertumpahan darah di antara dua

kelompok yang saling berseberangan. Sejarah menunjukkan bahwa –

di samping faktor-faktor yang disebutkan di atas-, perebutan wilayah

dan hegemoni, perbedaan dan arogansi etnis, serta perebutan

sumber-sumber daya alam untuk kepentingan pertanian dan industri

merupakan penyebab munculnya berbagai konflik di berbagai belahan

dunia.

Konflik Islam- Kristen yang terjadi di beberapa tempat, jika

dianalisa lebih dalam, ternyata tidak disebabkan karena perbedaan

konsepsi keagamaan. Adian Husaini mengatakan bahwa konflik Islam-

Kristen yang pernah terjadi di Rengasdengklok, Situbondo, dan

Tasikmalaya ternyata terkait dengan masalah politik, ekonomi, sosial,

penyebaran agama, pembangunan rumah ibadah dan sebagainya.

Dibandingkan masa-masa sebelumnya dalam perjalanan sejarah

bangsa ini, ternyata konflik antara Islam-Kristen lebih banyak terjadi

di masa Orde Baru (juga pada masa pasca Reformasi sekarang), pada

saat mana, negara secara sistematis melaksanakan program

sekulerisasi dan menekan wacana ideologis dan keagamaan.32[32]

Menyamakan semua agama adalah suatu gagasan yang jelas-

jelas mengingkari kenyataan bahwa masing-masing agama memang

32[32] Baca Adian Husaini, Solusi Damai Islam- Kristen, Postaka Progresif, Surabaya, 2003

berbeda. Tuhan dalam Islam tidaklah sama dengan Tuhan dalam

Kristen (dan juga agama lain). Tuhan dalam Islam adalah Tuhan Yang

Maha Esa, Yang Maha Pengasih dan Maha Penyayang, serta Maha

Kuasa. Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan, dan tidak ada satu

pun yang menyerupai-Nya.33[33] Allah tidak terjangkau panca indra

dan akal manusia yang terbatas kemampuannya. Dia –Allah- jelas

tidak sama dengan pemahaman umat Kristen (Katolik dan Protestan)

tentang Tuhan Yang Maha Esa, namun terdiri atas tiga oknum yaitu

Tuhan Bapak, Tuhan Anak dan Roh Kudus.

Konsep-konsep tentang peribadahan dalam Islam haruslah

semua yang ditentukan oleh Allah dan dicontohkan oleh Nabi

Muhammad Saw. Substansi peribadahan Islam adalah ketundukan

dan ketaatan pada Allah, namun tata cara peribadahan itu diatur oleh

Allah. Jadi bukan dilakukan sesuai dengan kehendak manusia –

apalagi sejarah- untuk membentuk ritualitas tertentu. Sejarah

menunjukkan bahwa Islam mengecam tata-cara ibadah orang-orang

kafir yang musyrik. Nabi Muhammad Saw. menolak untuk secara

bergantian beribadah dengan cara Islam dan kafir, walaupun orang-

orang kafir menyatakan bahwa Tuhan-tuhan yang mereka sembah

hanyalah sarana menuju Tuhan Yang Maha Esa.34[34]

Islam tidak “mengakui” konsepsi Kristen yang mempertuhankan

Isa as.35[35] Agama yang benar di sisi Allah, dalam konsepsi Islam,

adalah agama Islam, dan barang siapa yang mencari agama selain

Islam, maka agama itu adalah sesat.36[36] Implikasinya adalah, aspek-

33[33] Q. S. al-Ikhlas: 1- 4

34[34] Q. S. al-Kafiruun: 1-6

35[35] Q. S. Ali Imran: 51

36[36] Q. S. Ali Imran: 19-20

aspek lain Kristen, termasuk aspek eksoteris yaitu ibadah juga tidak

diakui dan karenanya ditolak. Al-Qur’an bahkan tidak segan-segan

memberikan sebutan “kafir” kepada orang-orang non-muslim seperti

Kristen. Sementara orang beranggapan bahwa sebutan itu tidak etis,

dan mengganggu suasana kerukunan yang sejak dulu dijalin di

Indonesia. Padahal dalam agama Kristen sendiri pemeluk agama lain

seperti kaum Muslim disebut “domba-domba yang tersesat” yang

kurang lebih sama maknanya dengan sebutan kafir dalam Islam.

Dalam konsepsi Islam, Nabi Muhammad Saw. sebagai seorang

Nabi dan Rasul mempunyai posisi yang sangat sentral untuk

menyampaikan wahyu dari Allah kepada hamba-hamba-Nya. “Islam”

sebagai agama, tidak hanya merujuk kepada satu bangsa, individu,

atau kelompok pada ruang dan waktu tertentu. Islam adalah juga

nama aktivitas manusia yang menunjukkan sikap tunduk dan pasrah

kepada Tuhan, Yang Maha Esa, yang tidak ada Tuhan selain Dia, yaitu

Allah. Dengan demikian, Islam adalah agama yang meliputi seluruh

umat manusia, sejak Muhammad Saw. sampai akhir zaman kelak.

Sementara itu, jika bagi umat Islam, Isa As. Hanyalah seorang

Nabi sekaligus manusia biasa, yang diutus kepada Bani Israil saja,

bagi umat Kristen, Isa adalah anak Allah yang azali. Artinya tidak ada

perubahan antara dirinya dan Allah dalam hal waktu. Sebenarnya

Allah murka kepada manusia karena dosa-dosa mereka, khususnya

dosa nenek moyang mereka yaitu Adam yang telah mengeluarkannya

dari surga. Tetapi, sekalipun Allah murka kepada manusia, Dia tetap

maha Pengasih dan ingin menghapus dosa manusia. Maka Doa

mengutus anak-Nya ke bumi dengan cara masuk ke dalam rahim

Maryam yang masih gadis dan dilahirkan seperti lazimnya anak yang

lain. Setelah dewasa, Ia disalib oleh Pontius Pilatus (Wakil kaisar

Romawi) sebagai penebus dosa nenek moyang manusia yaitu Adam.37

[37] Dengan demikian, Tuhan Yang Maha Esa dalam Kristen terdiri

atas oknum-oknum Bapa, Anak (Isa) dan Roh Kudus yang dikenal

dengan sebutan Trinitas, suatu ajaran yang “diperkenalkan” pertama

kali oleh Paulus.38[38] Dia pulalah yang menghapus sekaligus

menciptakan syari’at-syari’at baru yang bertentangan dengan apa

yang diajarkan Musa sebagai Nabi yang paling dihormati dan

diagungkan oleh Bani Israil.

Dari uraian di atas, bisa disimpulkan bahwa kendatipun Islam

mengakui bahwa –sebagai mana halnya Islam- Kristen berasal dari

sumber yang satu yaitu Allah, namun menyamakan kedua agama,

sebagai agama yang sama-sama mengajarkan sikap tunduk dan

pasrah kepada Tuhan, adalah sebuah kesimpulan yang gegabah dan

tidak diterima oleh umat beragama (dalam hal ini umat Islam). Ribuan

ulama Islam telah menulis tafsir dan mereka tidak pernah berbeda

pendapat tentang istilah kafir untuk sebutan bagi orang non-muslim,

termasuk Kristen.39[39]

37[37] Dr. Ahmad Syalaby, Pengantar Memahami Kristologi, terjemahan oleh Ahmad, S. Ag., Pustaka Da’I, Jakarta, 2004, hlm. 83-84

38[38] Trinitas adalah konsepsi Ketuhanan Kristen yang pertama kali “diungkapkan oleh Saul atau Paulus. Seorang yang masuk agama Isa As. Setelah wafatnya Isa Almasih di tiang salib, di atas Bukit Golgotha. Dia yang pada mulanya memusuhi para pengikut Isa As., dan tidak pernah bertemu secara langsung dengan Isa As. Pada akhirnya mengambil kepemimpinan dalam agama ini, melebihi pengaruh 12 Rasul yaitu murid-murid yang diangkat dan belajar langsung dari Isa As. Baca Kisah Para Rasul 9: 1-9

39[39] Lagi-lagi pendapat ini dipersoalkan oleh para penganut pluralisme agama. Ulil Abshar Abdalla dan Jalaluddin Rahmat menolak penggunaan istilah kafir bagi orang non-Muslim. Jalaluddin Rahmat meskipun mengakui bahwa konsep tentang kafir masih relevan, karena terdapat di dalam Al-Qur’an dan Sunnah, namun –demikian Jalaluddin- masih harus direkonstruksi. Menurutnya, kata kafir dan seluruh derivasinya di dalam Al-Qur’an selalu didefinisikan dan dikaitkan dengan akhlak yang buruk, dan tidak pernah didefinisikan sebagai non-muslim. Jadi,

Trauma pengggunaan istilah kafir tampaknya berasal dari

pengalaman sejarah, betapa kata itu disamakan istilah “heresy”

(bid’ah) yang diterapkan Gereja Eropa pada abad pertengahan, yang

berujung dengan pembantaian terhadap kelompok/ sekte-sekte

Kristen yang berbeda konsepsi dengan Gereja Katolik Roma. Padahal

konsep kafir dalam Islam tidak sama dengan heresy sebagaimana

yang pernah terjadi di Eropa. Allah Swt. berfirman:

“Tidak ada paksaan dalam (memeluk) agama Islam….” (al-Baqarah: 256) “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agamamu dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu….” (al-Mumtahanah: 8)

Dengan demikian, jika dilihat dari konsepsi masing-masing

agama, terutama Islam, tidak ada dalil untuk berlaku agresif terhadap

umat beragama lain, termasuk Kristen. Konflik umat Islam dengan

Kristen hanya dilegitimasi jika umat Kristen itu nyata-nyata

memusuhi, dan atau mengusir kaum Muslim dari negeri (kampung

halamannya).

Priodesasi Peta Konflik di Indonesia

Untuk mengkaji masalah konflik antar kelompok agama Islam dan Kristen, terlebih

dahulu kita perlu memahami sejarah perjumpaan Islam dan Kristen di Indonesia.

Sejarah Singkat Masuknya Agama Islam di Indonesia

Para ahli sejarah berpendapat bahwa Islam datang ke Indonesia pada abad ke-13, yang

dibawa oleh para pedagang India yang menganut paham sufisme (mistik Islam).

Paham sufisme dalam berbagai bentuknya lebih menekankan pada pengertian agama

sebagai urusan pribadi seseorang dalam usahanya untuk mencari hubungan yang intim dengan

orang kafir menurut Jalaluddin adalah orang (beragama) yang berakhlak buruk. Definisi kafir sebagai orang non-muslim hanya terjadi di Indonesia saja.

Allah Hubungan pribadi ini mencari suatu keakraban hidup dengan Allah, dan yang berpusat

pada kepuasan dan kehangatan hati atau perasaan.

Menurut para ahli, sufisme pada dasarnya adalah religion of the heart atau agama hati,

dan bukan religion of the law atau agama hukum. Atas dasar ini, maka memang berbeda dengan

perjumpaan Islam - Kristen di Eropa pada abad-abad pertama Hijriyah, yang ditandai oleh

konfrontasi dan kekerasan, maka penyebaran agama; Islam ke dunia timur, termasuk ke

Indonesia adalah melalui jalan dagang dan jalan damai. Sebagai kekuatan, Islam pada mulanya

mengambil posisi di daerah-daerah pelabuhan di sepanjang pantai utara Jawa dan pantai timur

Sumatera. Dari daerah pantai dan pusat dagang ini, Islam menyebar secara berangsur-angsur dan

secara damai ke daerah-daerah pedalaman.

Memang para sufi inilah, menurut para ahli. yang telah berhasil membuat Islam para raja

dan menjadikan mereka sultan yang mengepalai pemerintahan dalam suatu daerah Islam. Begitu

raja menjadi Islam, maka rakyat pun secara otomatis mengikuti agama sang sultan. Proses

pengislaman seperti ini merupakan hal yang lazim pada saat itu, dan merupakan gejala yang

sama yang terjadi di Jerman pada zaman reformasi abad ke-16. Jika kita mengamati

perkembangan Islam di Indonesia, maka Islam versi sufi ini menyebar ke seluruh nusantara. Dan

untuk kurun waktu kira-kira 600 tahun, keadaan Islam versi sufi ini tetap berlangsung tanpa

gangguan yang berarti.

Sufisme memiliki keluwesan sebagai agama pribadi, maka dengan mudah berbaur dengan

unsur-unsur kepercayaan pribumi, dan pembauran antara unsur inilah yang disebut sebagai

abangan dalam keagamaan jawa. Dengan demikian dapat pula kita mengerti bahwa versi

abangan seperti ini telah mengambil kedudukan yang sukar digoyahkan di hati sebagian besar

umat Islam di Indonesia. Sebab itu, walau di abad ke-19, versi Islam Sunni atau Islam ortodoks

yang disebut golongan santri tiba di nusantara ini, kemudian mengadakan gerakan pemurnian

(reislamisasi), kelihatannya sampai pada saat inipun belum berhasil untuk mengambil alih

kekuatan golongan abangan ini terkecuali di beberapa tempat di luar Jawa dan di Jawa Barat.

Sejarah Singkat Masuknya Agama Kristen di Indonesia

Pada akhir abad ke-15, orang Portugis telah mendapat jalan laut ke timur: Vasco De

Gama tiba di pantai India pada tahun 1498. Beberapa tahun kemudian (1512). kapal-kapal

Portugis mengunjungi kepulauan rempah-rempah, Maluku, untuk pertama kali, dan sejak tahun

1522 mereka tinggal tetap di Ternate, Ambon, Banda, dan lain-lain tempat untuk berdagang.

Paus membagi dunia baru antara Spanyol dan Portugis, maka salah satu syaratnya ialah

raja-raja harus memajukan misi Katolik Roma di daerah-daerah yang telah diserahkan kepada

mereka. Tuntutan ini memang sesuai dengan pertalian rapat antara negara dan gereja pada zaman

itu, dan raja-raja dengan rela hati melayani kepentingan gereja.

Misionaris yang pertama-tama menginjakkan kakinya di pulau-pulau Maluku, ialah

beberapa rahib Franciskan yang mendarat di Ternate pada tahun 1522, tetapi karena rupa-rupa

perselisihan di antara orang Portugis sendiri, mereka segera terpaksa berangkat pulang. Lalu,

mereka mulai bekerja di Halmahera pada tahun 1534. Tetapi karena kebengisan pembesar

Portugis, rakyat bermufakat untuk mengusir semua orang kulit putih dan memaksa orang yang

sudah masuk Kristen untuk murtad. Simon Vaz, seorang pater Franciskan, mati dibunuh selaku

syahid pertama di Maluku (1536). Perlawanan ini ditindas, dan kemudian pater lain berusaha lagi

untuk menanamkan bibit agama Roma di Halmahera. Di Ambon sebagian rakyat dibaptiskan,

karena ingin mendapat pertolongan Portugis terhadap orang Islam.

Usaha misi baru berkembang sesudah kunjungan misionaris Yesuit yang masyhur, yaitu

Franciscus Xaverius ke Maluku. Setelah mempersiapkan diri beberapa bulan lama di Maluku

dengan mempelajari bahasa Melayu, Xaverius tiba di Ambon pada bulan Februari 1546. Setelah

tiga bulan bekerja di sana, ia mengunjungi Ternate, Halmahera, dan Morotai. Setelah 15 bulan

bekerja di Maluku, ia membaptiskan beribu-ribu orang.

Pada tahun 1570, misi Katolik Roma di Maluku ditimpa bencana yang hebat. Sultan

Hairun dari Ternate dibunuh dalam benteng Portugis dengan pengkhianatan yang keji. Akibatnya

ialah banyak kampung Kristen dibakar oleh orang Islam, Bacan dikalahkan oleh Ternate,

sehingga hilang bagi misi, dan di mana-mana serangan Islam terhadap jemaat Kristen bertambah

berbahaya sehingga banyak orang murtad. Kedudukan misi makin hari makin sukar, orang

Portugis dibenci, kehidupan rohani banyak mundur, dan bilangan orang Kristen berkurang.

Kebanyakan mereka secara nama saja. Jumlah para misionaris yang tinggal cuma sedikit dan

mereka menderita pelbagai sengsara. Makin sukar kuasa Portugis, maka makin lenyaplah

pengaruh misi.

Dalam rangka peperangan melawan Spanyol dan Portugis, orang-orang Belanda datang

ke Indonesia. Mereka mengambil alih daerah yang dikuasai Portugis. Orang-orang Kristen

dijadikan Protestan. Itulah awalnya Gereja Protestan memasuki wilayah nusantara ini.

Para Pendeta Protestan datang bersama-sama dengan kekuasaan Belanda dengan kongsi

dagangnya yaitu VOC. Gereja terlalu erat berhubungan dengan negara (VOC) dan dikuasai

olehnya.

Karena kepentingan gereja harus mengalah terhadap kepentingan negara (VOC), maka

pekabaran Injil kepada orang-orang non Kristen tidak dapat berkembang.

Pada abad ke-19, di Eropa terjadi suatu gerakan yang membawa hidup baru, yaitu revival

(kebangunan) yang besar. Hal ini membawa pengaruh yang besar terhadap perkembangan gereja

di Indonesia. Abad ke-19 ini menjadi abad "Pekabaran Injil" bagi Indonesia. Dalam abad ke-19

dan awal abad ke-20, diletakkanlah dasar gereja-gereja yang ada sekarang ini.

Konflik Islam - Kristen di Indonesia

Awal masuknya kekristenan di Indonesia sebenarnya dalam suasana yang kurang

bersahabat, terutama berhubungan dengan kelompok masyarakat beragama, khususnya agama

Islam. Sebagaimana telah dipaparkan di atas, pada abad ke-16, terjadi konflik yang disertai

dengan penindasan fisik dan mental dari orang Islam terhadap orang Kristen di Maluku.

Setelah Belanda dikalahkan Jepang, maka keadaan turut berubah dalam hubungan Islam -

Kristen di Indonesia. Untuk maksud keuntungan politiknya, Jepang memberikan keleluasaan

yang besar kepada Islam untuk turut mendukung berbagai rencana pengukuhan kedudukan

penjajahan Jepang di Indonesia.

Pada sisi lain, kelompok Islam beraliran sunni atau santri sejak awal perjuangan untuk

merebut kemerdekaan dilihat sebagai jihad untuk melawan kaum kafir dan yang sekaligus

merupakan tugas pribadi dan tugas masyarakat dalam umat.

Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat, Aceh, dan Sulawesi Selatan adalah penampakan

ketidakpuasan sebagian santri terhadap gagalnya gagasan negara Islam diberlakukan di

Indonesia.

Pada tahun 1985 terjadi pemboman terhadap bank-bank, beberapa gereja, dan Sekolah

Teologia. Walaupun pemerintah tidak menyebut dengan jelas pihak yang tersangkut dalam

peristiwa itu, namun adalah jelas dalam kejadian yang sebenarnya bahwa beberapa oknum Islam

fundamentalis terlibat.

Sudah merupakan gejala umum dalam kerusuhan di Indonesia bahwa bangkitnya oposisi

keras Islam mengambil bentuk dalam gerakan anti pemerintah, anti Cia, dan anti Kristen.

Pada tahun 1996 dan awal tahun 1997 diwarnai dengan berbagai kerusuhan di berbagai

tempat di Indonesia. Pada bulan April 1996, Cikampek sebuah kota di sebelah timur ibu kota

DKI Jakarta mengalami kerusuhan yang menjurus pada huru-hara SARA, dimana berapa gedung

gereja dan SD Kristen dilempari batu oleh massa yang marah. Peristiwa serupa dialami oleh

orang-orang Kristen di daerah Cileungsi - Bogor. Pada tanggal 14 April, beberapa Gereja

Pantekosta dirusak dan dihancurkan massa, bahkan ada anggota jemaat yang dipukuli oleh massa

yang marah dan brutal.

Kasus-kasus yang melanda beberapa kota di Jawa Barat itu ternyata berkembang dan

menjalar ke kota Surabaya pada bulan Juni 1996 tidak kurang dari 10 gedung gereja dirusak oleh

massa.

Pada tanggal 10 Oktober 1996, kasus yang lebih berat dan lebih luas menimpa kota

Situbondo dan sekitarnya. Lebih dari 20 gedung gereja dan beberapa Sekolah Kristen

dihancurkan dan ada yang dibakar. Kasus serupa kembali menerpa kota Tasikmalaya. Tanggal

26 Desember 1996, massa mengamuk dan menghancurkan berbagai fasilitas umum, kantor

polisi, dan gedung-gedung gereja. Tercatat paling tidak 13 gedung gereja dihancurkan sebagian

dibakar, dua sekolah Kristen dan Katolik dibakar.

Pada awal tahun 1997, tepatnya 30 Januari 1997, kembali terjadi kerusuhan di daerah

Jawa Barat, yaitu kota Rengasdengklok. Dan, kembali gedung gereja dan Sekolah Kristen

dihancurkan dan sebagian dibakar massa.

Masih ada banyak kasus lagi yang berbau SARA. khususnya kental berbau keagamaan

yang belum dikemukakan, namun berbagai kasus yang sudah dikemukakan di atas tersirat

sentimen keagamaan demikian kuat. Konflik masyarakat beragama Islam dengan orang Kristen

tak terhindarkan.

Kesimpulan

Jika memang konsepsi agama, paling tidak agama Islam,

bukanlah alasan dan sebab utama yang memicu konflik antar umat

Islam dan Kristen (serta umat beragama lain). Sejumlah kajian dan

penelitian menjelaskan bahwa titik persoalan sebenarnya terletak

pada faktor internal dan eksternal umat. Tidak hanya di negara-

negara yang penduduknya minoritas Muslim (misalnya: Filipina),

bahkan di negara yang mayoritas penduduknya Muslim seperti

Indonesia gerakan puritanisasi dan revitalisasi Islam harus

“berhadapan” dengan peradaban global yang sekuler, kapitalistis, dan

bersemangat hedonistis. Politik Islam negara-negara Barat yang

berabad-abad menekan aspirasi umat, yang kemudian disusul oleh

upaya pembangunan di masing-masing negara dengan patron

mengikuti Barat yang pernah menjajahnya membuat peran umat ini

(Muslim) semakin lama semakin berkurang. Marginalisasi peran

politik, ekonomi dan kebudayaan, menyebabkan kaum muslim

mengalami disposisi dan disorientasi.

Untuk level Indonesia, faktor di atas, diikuti dengan upaya

pemerintah memberikan “kebebasan” berbuat kepada umat Kristen ,

sehingga walaupun secara kuantitatif jumlah mereka kecil, namun

secara kualitatif, peran politik, ekonomi, dan menentukan arah nilai-

nilai moral –bahkan peradaban masa depan bangsa ini yang diberikan

kepada mereka relatif besar. Secara kasat mata, pengaruh mereka

dapat dilihat pada berkembangnya cara hidup kebaratbaratan di

tengah umat.

Secara internal, kaum muslim masih berkutat dengan

kemiskinan, keterbelakangan dan ketertinggalan. Kondisi ini

diperparah oleh adanya penyakit “Islamofobia” (takut kepada Islam)

yang ironisnya, tidak hanya pada umat Kristen, tapi juga menjangkiti

sebagian cendekiawan muslim. Kelompok ini, yang nota bene adalah

penganut pluralisme agama, mudah tersengat dan curiga pada

gerakan-gerakan “Islam fundamentalis”, yang dinilai “ekstrem” dan

“militan”. Padahal, bangkitnya “Islam fundamentalis”, menurut G. H.

Jansen, “adalah reaksi terhadap masalah bagaimana mengahadapi

tantangan cara hidup Barat yang telah menjadi cara hidup

dunia.”40[40] Kelompok terakhir ini, yang senantiasa termarginalkan,

didorong oleh semangat membebaskan umat dari materialisme yang

sesat, yang mendorong pada suatu kesadaran hakiki, bahwa agama

merupakan suatu kebutuhan batiniah dan sekaligus kebutuhan

intelektuil manusia. Menggunakan istilah Arnold Toynbee, boleh jadi,

mereka adalah kelompok creative minorities yang bekerja keras untuk

melahirkan satu peradaban baru dari reruntuhan peradaban

kontemporer yang rapuh. Sehingga, seandainya pun terjadi benturan

dan konflik, kebanyakan pada tataran ideologis, di antara “mereka”

dengan rezim yang berkuasa dan kelompok-kelompok penentangnya.

Konflik antar umat Islam dan Kristen sendiri, kebanyakan adalah

kompleksitas persoalan-persoalan sosial, ekonomi, politik, yang –oleh

pihak-pihak yang tidak bertanggung jawab- dilegitimasi karena

“perbedaan konsepsi keagamaan”.

Dari uraian di atas, penulis sampai pada kesimpulan bahwa

konflik antara umat beragama, dalam hal ini Islam dan Kristen, dalam

berbagai kasus, tidaklah disebabkan karena perbedaan konsepsi di

antara dua agama besar ini. Itu lebih merupakan asumsi yang

tendensius, yang disengaja atau tidak, berupaya “mengaburkan”

peran agama dalam membentuk peradaban baru yang lebih

progressif. Dia lebih menonjolkan “wajah muram” agama-agama di

tengah umatnya, sehingga agama tidak ubahnya seperti tembok yang

memisahkan manusia dengan manusia dari kepercayaan yang

40[40] G. H. Jansen, Islam Militan, Pustaka, Bandung, 1980, hlm. 6

berbeda, sekaligus menumbuhsuburkan sikap kebencian dan

permusuhan di antara pemeluk agama.

Implikasi yang muncul kemudian adalah lahirnya dua kutub

pemikiran. Yang pertama bersikap “anti agama” sementara yang

terakhir mencoba “menyamakan” agama-agama, dengan berlindung

di balik “topeng” pluralisme agama. Gagasan yang terakhir ini, jika

ditinjau dari keseluruhan aspek Islam terhadap Kristen jelas suatu

gagasan yang tidak mungkin, karena “memang” kedua agama ini

berbeda.

Kendatipun demikian, konflik antara umat Islam dan Kristen jika

dianalisa lebih jauh, tidak seluruhnya disebabkan karena perbedaan

konsepsi di antara kedua pemeluknya. Faktor-faktor politik, sosial,

ekonomi, dan sebagainya sering lepas dari pengamatan, sehingga

agama dijadikan alat legitimasi terhadap sikap-sikap agresif dan

radikal kelompok satu terhadap yang lainnya.

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Eliade (ed.), Mircea, The Encyclopedia of Religion, MacMillan Publishing Company, New York, 1987, Vol. 12

Hakiem (Ed.), Lukman, H, Menggugat Gerakan Pembaruan Keagamaan: Debat Besar Pembaruan Islam, LSIP, Jakarta, 1995 15

Husaini, Adian, MA, Tinjauan Historis Konflik Yahudi Kristen Islam, Gema Insani Press, Jakarta, 2004

Husaini, Adian, Solusi Damai Islam- Kristen, Pustaka Progresif, Surabaya, 2003

Jansen , G. H., Islam Militan, Pustaka, Bandung, 1980

Kurtz, Lester R. Gods in the Global Village, Pine Forge Press, Thousand Oaks, t. t.

Lembaga Alkitab Indonesia, Alkitab, Lembaga Alkitab Indonesia, Jakarta, 2001

Madjid, Nurcholis, Teologi Inklusif, Kompas, Jakarta, 2001

Mische, Patricia M. ,Toward Global Civilization? The Contribution of Religions, (Newyork: Peter Lang Publishing Inc., 2001)

Mulkhan, Abdul Munir, Ajaran dan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002

Mulkhan, Abdul Munir, Dr., Ajaran dan Jalan Kematian Syekh Siti Jenar, Kreasi Wacana, Yogyakarta, 2002

Noersena, Bambang, Menuju Dialog Teologis Kristen-Islam, Yayasan Andi, Yogyakarta, 2001

Rasyid, Daud, Dr. MA, Pembaruan Islam dan Orientalisme dalam Sorotan, Akbar Media Eka Sarana, Jakarta, 2002

Syalaby, Ahmad, Dr., Pengantar Memahami Kristologi, terjemahan oleh Ahmad, S. Ag., Pustaka Da’i, Jakarta, 2004

Thayib dkk. (ed.), Anshari, Ham dan Pluralisme Agama, Pusat kajian Strategi dan Kebijakan (PKSK), Jakarta, 1997