kondisi pertambangan
DESCRIPTION
tambangTRANSCRIPT
KONDISI PERTAMBANGAN DI INDONESIA
( SUATU TINJAUAN TERHADAP KASUS-KASUS KERUSAKAN LINGKUNGAN SEBAGAI AKIBAT AKTIVITAS PERTAMBANGAN DI INDONESIA )
Meinarni Thamrin
(PERHAPI SULSEL)PERHIMPUNAN AHLI PERTAMBANGAN INDONESIA
ASSOCIATION OF INDONESIAN MINING PROFESSIONALS
Pendahuluan
Pertambangan dikenal sebagai kegiatan yang dapat mengubah roman muka
bumi. Karena itu pertambangan sering dikaitkan dengan kerusakan lingkungan.
Walaupun pernyataan ini tidak selamanya benar, tapi patut diakui bahwa banyak sekali
kegiatan pertambangan yang dapat menimbulkan kerusakan di tempat
penambangannya. Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa di lain pihak kualitas
lingkungan di tempat pertambangan meningkat tajam. Bukan saja menyangkut kualitas
hidup manusia yang berada di sekitar lokasi pertambangan itu, namun alam di sekitar
menjadi (tertata lebih baik ?), dengan sarana dan kelengkapan infrastukturnya. Karena
itu, kegiatan pertambangan dapat menjadi daya tarik, sehingga penduduk banyak yang
berpindah mendekati lokasi pertambangan tersebut. Sering pula dikatakan bahwa
kegiatan pertambangan telah menjadi lokomotif pembangunan di daerah tersebut
(dampak positif).
Akan tetapi, tidaklah mudah menepis kesan bahwa pertambangan dapat
menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini ditimbulkan oleh oknum-
oknum yang tidak bertanggungjawab dalam melakukan kegiatan pertambangan di suatu
lokasi/ daerah, dimana mereka hanya mementingkan laba, dan tidak menyisihkan dana
yang cukup untuk memuliakan lingkungan yang telah dirusaknya.
Dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan pertambangan berskala besar, baik
dalam ukuran teknologi, maupun investasi, dapat pula berukuran besar (investor asing
dan nasional). Namun pengendalian kerusakannya lebih memungkinkan ditangani
dengan baik. Bila dibandingkan dengan pertambangan yang menggunakan teknologi
yang tidak memadai apalagi yang dananya terbatas seperti Penambangan skala kecil
(PSK) atau pertambangan tanpa izin ( Peti). Pada umumnya kerusakan lingkungan
yang disebabkan oleh kedua bentuk usaha inilah yang banyak terjadi di Indonesia,
sifatnya sporadis dan susah dikendalikan oleh pemerintah
1
DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN
Jika dilihat dari maksud dan tujuan murni pengusahaan pertambangan/
sumberdaya mineral dan batubara yang ada di Indonesia adalah untuk memanfaatkan
sumberdaya mineral dan batubara demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Tetapi sebagai
akibat dari kegiatan tersebut, tidak hanya keuntungan yang dapat kita peroleh tetapi
juga dampak yang ditimbulkannya bagi negeri ini.
Secara garis besar ada dua dampak yang ditimbulkan oleh pengusahaan
pertambangan yaitu, Dampak positip dan Dampak negatif yang keduanya dapat
dijelaskan di bawah ini :
Dampak penting positip dari industri/kegiatan pertambangan, antara lain :
1. Pusat pengembangan wilayah : Dibangunnya prasarana dan sarana fisik, sosial dan
ekonomi, akhirnya berkembang menjadi sebuah kota yang ramai, misalnya :
pemukiman, pasar, swalayan, gedung sarana pendidikan dari TK sampai SMA,
tempat peribadatan, tempat rekreasi, sarana olahraga. Jalan menjadi terpelihara
dengan baik, jembatan diperbaiki untuk akses ke lokasi penambangan yang jga
dapat dinikmati oleh penduduk sekitar.
2. Terbukanya kesempatan kerja bagi masyarakat lokal dengan syarat memenuhi
kriteria perusahaan.
3. Kesempatan untuk alih teknologi ; kalau masyarakat lokal yang tadinya kurang
terampil, maka perusahaan dapat memberi pelatihan, seperti mengelas, membubut
dll.
4. Memberi tambahan pendapatan kepada pemerintah pusat (APBN) dan pemerintah
daerah ( APBD) dalam bentuk, seperti pajak, royalti dll.
5. Bangsa Indonesia dapat menikmati hasil tambang / sumberdaya mineral tanpa
harus mengimpor dari negara lain (untuk beberapa jenis mineral)
Dampak negatif dari industri pertambangan, antara lain :
1. Sumberdaya mineral bersifat wasting assets atau non renewable resources, kalau
tidak dikelola dengan baik akan merugikan, perlu dilakukan penambangan yang
benar.
2. Mengubah morfologi dan fisiologi tanah ( tata guna tanah)
3. Merusak lingkungan, antara lain ;
Tanah subur hilang akibat dari pegupasan tanah pucuk
Hutan menjadi gundul sehingga mudah tererosi dan longsor
Flora dan satwa endemik perlahan-lahan musnah ------------> ekologi rusak
2
Limbah akan terbentuk pada proses pengolahan dan pemurnian/ konsentrasi
yang disebut tailing, yang kalau tidak diperlakukan dengan baik akan
mencemari sungai dan lahan lainnya. Limbah ini biasanya masih mengandung
logam berat ( Hg, Pb, Fe, Cr dan Br) yang berbahaya bagi kesehatan
Polusi udara ( debu batubara, debu jalan angkut, abu pembangkit listrik)
Menimbulkan polusi suara akibat dari mesin-mesin excavator, alat angkut (alat-
alat berat), kebisingan dari pabrik pengolahan.
Overburden kalau ditimbun akan merusak daerah dimana overburdaen tersebut
ditumpuk.
4. Perubahan iklim mikro sebagai akibat dari kegiatan land clearing yang diikuti oleh
pengupasan tanah pucuk (top soil) yang pada umumnya subur, dapat menyebabkan
hilangnya vegetasi (pepohonan dan jenis tumbuhan lain) dan flora endemik,
akibatnya suhu udara disekitar lokasi menjadi naik, kelembaban udara berkurang.
5. Dapat menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi dan budaya diantara penduduk
lokal dan penduduk pendatang yang merupakan karyawan perusahaan
pertambangan.
Jika ditinjau dari segi tataguna lahan, maka pada waktu penambangan memang
bersifat negatif terhadap lahan disekitarnya. Akan tetapi jika proses penambangan
selesai, maka akan ada reklamasi lahan bekas penambangan yang bisa berdampak
positif ( kalau perusahaan yang bertanggungjawab), karena disini biasanya terjadi alih
fungsi (perubahan fungsi) lahan yang dapat menjadi lebih baik atau berdampak positif
bagi penduduk disekitarnya. Misalnya dibuat menjadi tempat rekreasi, lapangan golf,
perkebunan ataupun direboisasikan menjadi hutan tanaman industri (ekosistim buatan).
Jadi yang jelas dalam pengusahaan/kegiatan pertambangan di suatu wilayah
dapat ditarik kesimpulan bahwa jika terjadi perusakan secara permanen terhadap
lingkungan hal ini tidak dapat dikembalikan ke bentuk asalnya seperti semula. Tetapi
dapat diubah agar tidak menjadi lebih buruk. Sedangkan jika terjadi pencemaran
terhadap lingkungan maka hal ini masih dapat diatasi yaitu dengan reklamasi dan
rehabilitasi terhadap lingkungan pasca tambang.
KASUS-KASUS LINGKUNGAN AKIBAT KEGIATAN PERTAMBANGAN
3
Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh pengusahaan komoditas mineral di
Indonesia, jika disarikan berdasarkan jenis bahan tambang yang diusahakan, maka
diperoleh urutan sebagai berikut :
Timah : s, top, veg, a, tail, sosbud
Nikel : s, veg, a, sosbud
Bauksit : s, veg, a, sosbud
Batubara : s, top, veg, a, ud, bis, sosbud
Tembaga : s, top, veg, a, ud, bis, tail, sosbud, warnas
Emas : s, top, veg, a, ud, bis, tail, sosbud, warnas
Perak : s, top, veg, a, ud, bis, tail, sosbud, warnas
Bahan galian golongan C : s, top, veg, warnas
Keterangan : s ; tubuh tanah atau soil, top ; topografi atau roman muka bumi, veg ;
vegetasi termasuk flora dan fauna, a ; air dan biota, ud ; udara berupa polusi, bis ;
kebisingan atau polusi suara, tail ; tailing atau ampas buangan, sosbud ; sosial budaya,
warnas ; warisan nasional, seperti cagar alam dan cagar budaya.
Kondisi lingkungan di Pertambangan Timah
Penambangan timah di P. Bangka dan pulau lainnya telah berlangsung lebih dari
150 tahun. Masalah lingkungan yang signifikan ditemukan adalah masalah topografi.
Lubang yang ditinggalkan sebagai bekas penambangan menurut istilah lokalnya disebut
kolong, membentuk lubang-lubang mengaga pada roman muka bumi. Di P. Bangka luas
kolong yang tercatat akibat penambangan timah sebesar + 185 km2 atau lebih kurang
1,6 %, dari luas keseluruhan P.Bangka 11.582 km2. Lubang ini berisi air akibat air hujan
yang tertampung, dan karena pelarutan silika dari pasir yang berkadar silika tinggi
disertai dengan penguapan yang cepat, menyebabkan keasaman cukup tinggi. Ikan
tidak dapat hidup di sini.
Tanah penutup sudah dikupas sebelum penambangan dimulai. Penambangan
dilakukan dengan cara penyemprotan yang disebut gravel pump. Air bertekanan besar
disemprotkan ke endapan pasir yang mengandung timah. Kemudian timah mengendap
di dasar lubang. Dari sini, timah dipompa ke tempat pemilahan butir timah atau palong
dan pasir timah diendapkan. Sedangkan material lainnya dibuang sebagai ampas
(tailing).
Kegiatan pengelolaan lingkungan yang paling menonjol di daerah ini adalah
mengupayakan pengembalian tanah penutup. Penanaman kembali pada daerah yang
sudah ditambang memang sangat sulit, karena tanah penutupnya tidak tebal lagi (15 –
4
50 cm), bercampur pasir dengan pH rendah, sekitar 4-6. Apalagi ampas buangan pada
umumnya terdiri atas 95% pasir, 4% debu, dan 1% lempung dengan pH rendah, sekitar
3-4 (sangat asam). Selain persoalan tanah penutup, masalah lain adalah tumpang
tindihnya penggunaan lahan, fauna dan flora di darat dan daerah rawa, kualitas air,
perubahan catchment area, tanah penutup yang terkompaksi karena transportasi, dan
berbagai macam masalah lainnya.
Kondisi Lingkungan di Pertambangan Nikel
Pertambangan nikel dilakukan di Sulawesi bagian selatan, tenggara, tengah dan
di pulau-pulau kecil di bagian utara Propinsi Maluku. Karena pengusahaan mineral nikel
diusahakan dengan cara mengeduk pelapukan batuan ultrabasa (peridotit), praktis
seluruh tubuh tanah diambil.
Pokok permasalahan lingkungan di daerah penambangan nikel adalah tubuh
tanah yang harus dikembalikan lagi dan ditanami. Karena akibat penambangan nikel,
tanah menjadi gundul dan materialnya lepas, pengendalian erosi menjadi sangat
penting sebelum sungai terkontaminasi oleh material-material lepas tadi. Penanganan
yang utama yaitu membuat kolam pengendap (setlling pond), sedang untuk mereboisasi
hutan / lahan yang telah gundul dilakukan penanaman berbagai pohon yang
disesuaikan dengan kondisi lahan setempat.
Persoalan lainnya adalah polusi oleh debu pabrik pengolahan nikel. Masalah
yang tidak kalah peliknya adalah masalah kecemburuan sosial dan dicoba untuk diatasi
oleh pihak-pihak yang terkait dalam perusahaan dengan pengembangan wilayah,
seperti pemenuhan kebutuhan mendesak masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.
Kondisi Lingkungan di Pertambangan Bauksit
Penambangan bauksit yang terbesar dan saat ini masih beroperasi terdapat di
Pulau kijang, Propinsi Riau. Sedang potensi endapan yang besar juga terdapat di
wilayah Kalimantan Barat, yang sampai saat ini belum dikembangkan dan masih
menunggu pihak investor yang mau menanamkan modalnya di daerah ini.
Penambangan bauksit hampir sama dengan penambangan nikel. Masalah
lingkungan yang timbul juga hampir sama, yaitu menyangkut tubuh tanah yang telah
gundul dan dipenuhi material-material lepas. Upaya penanaman kembali adalah
kegiatan yang menonjol di daerah ini selain pengendalian erosi di sekitar lokasi bekas
penambangan.
Kondisi Lingkungan di Pertambangan Batubara
5
Pertambangan batubara di negeri ini merupakan pengusahaan sumberdaya
mineral secara besar-besaran, yang pada umumnya dilakukan dengan metode
penambang terbuka. Batubara banyak ditambang di Sumatera Selatan, Kalimantan
Timur dan Kalimantan Selatan, selain yang ketiga daerah tersebut, penambangan
batubara di daerah lain seperti Sulawesi Selatan dan Papua juga dilakukan dalam skala
kecil, pemegang KP modal kecil dan SIPD, serta peti.
Persoalan lingkungan yang dihadapi, adalah masalah tanah buangan (OB)
maupun batuan yang mengapit batubara. Dalam penambangan batubara, dikenal
adanya stripping ratio atau nisbah tanah yang dikupas baik berupa OB maupun IB (Inter
Burden ; berupa batuan atau soil yang terdapat diantara seam batubara). Stripping
Ratio ini dapat berkisar 3 – 5. Dengan demikian, setiap meter kubik batubara yang digali
akan menyisakan tanah buangan sebayak 3 – 5 meter kubik. Tanah buangan ini yang
menjadi menjadi masalah lingkungan yang cukup merisaukan. Disamping harus ditata
kembali secara topografi, juga harus dilakukan penanaman kembali akan tetapi tidak
mudah melakukannya. Hal ini disebabkan lubang-lubang bekas galian yang ditinggalkan
tidak dapat ditata kembali dengan baik. Biasanya lubang ini berisi air atau lumpur,
bukan saja air genangan dari hujan, tapi juga berasal dari rembesan air tanah, jadi
susah untuk mengeringkannya.
Selain itu pencucian batubara juga dapat merusak kualitas air (air tanah maupun
air permukaan). Material lepas yang menumpuk sebagai tanah galian sangat mudah
tererosi dan terbawa oleh aliran permukaan menuju sungai-sungai yang ada disekitar
lokasi penambangan batubara, karena itu sungai dapat tercemar oleh muatan materia
tanah dan lumpur.
Dampak lain yang biasa dijumpai dalam pengusahaan batubara adalah
kebisingan yang ditimbulkan oleh peralatan angkutan berat seperti arus bolak-balik truk-
truk pengangkut batubara dari lokasi penambangan ke luar lokasi penambangan. Selain
itu pengusahaan batubara juga menimbulkan masalah polusi udara sebagai akibat dari
debu batubara dan berbagai jenis abu yang dihasilkan dari pabrik pengolahan batubara,
jika disekitar lokasi penambangan juga didirikan pabrik pengolahan.
Kondisi Lingkungan di Pertambangan Tembaga dan Emas
Pengusahaan Tambang tembaga dan sekaligus menghasilkan emas di
Indonesia, terdapat di Propinsi Papua (Irian Jaya). Sedang pengusahaan tambang
emas dalam jumlah sedang-besar di Indonesia terdapat di daerah Jawa Barat (Pongkor
dan Cikotok), Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur ( Kelian),
6
Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara, Sumbawa (Batuhijau) serta sebagian kecil di
wilayah Sulawesi Selatan (Luwu dan Tanatoraja).
Keterdapatan mineral tembaga sering berassosiasi dengan mineral logam
ikutan, yang paling terkenal adalah emas dan perak yang kadangkala persentasenya
cukup tinggi sehingga dengan harga emas yang baik di pasar internasional, maka
mineral ikutan ini menjadi lebih menguntungkan bila ditambang. Sebaliknya dapat pula
terjadi bahwa dalam menambang mineral emas terdapat ikutan selain perak, misalnya
platina dan timah hitam. Karena itu dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat
penambangan mineral-mineral tersebut hampir sama.
Dampak utama yang ditimbulkan adalah ampas buangan atau tailling. Dari
kompleks pertambangan tembaga dan emas milik PT. Freeport hingga saat ini,
dihasilkan material sebanyak 250.ribu ton / hari (data tahun 2000). Jika dihitung selama
setahun, maka material yang berhasil digali mencapai 192 juta ton. Dari jumlah itu
material penutup (OB) yang diangkat dan dibuang sebagai timbunan yang jumlahnya
mencapai 150 juta ton, selebihnya + 42 juta ton diolah. Dari pengolahan ini sebanyak
40,5 juta ton dibuang sebagai tailing sesudah diolah. Sisanya, yaitu 1,5 juta ton,
diekspor sebagai konsentrat. Dalam konsentrat kering ini dikandung + 460 ribu ton Cu,
43,3 ton Au dan 81,9 ton Ag.
Jadi, untuk memperoleh 43 ton emas dan 460 ribu ton tembaga, maka harus
dikeduk 192 juta ton batuan yang sebanyak 190,5 juta ton diantaranya kemudian
dibuang atau ditimbun sebagai tailling. Jumlah ini jika diperbandingkan per hari
volumenya sama dengan mengeduk tanah yang dapat mengurug minimal seluas
lapangan bola dengan tebal 11 meter !. Jadi perhitungan jumlah volume tanah yang
dikeduk dalam setahun kira-kira volumenya sama dengan 8000 – 10.000 kali lapangan
yang berukuran 100 x 100 m yang dapat ditimbun setebal 1 meter. Ampasnya sendiri
dari hasil pengolahan yang berupa tailing berjumlah seperlimanya atau sama dengan
1600 –2000 kali lapangan sepak bola. Sungguh luar biasa jumlahnya !
Disamping persoalan tanah yang dikeduk, masalah tailing yang mengandung
logam berat yang dapat merusak / racun bagi lingkungan baik biota maupun bagi
kesehatan makhluk hidup terutama manusia (terakumulasi dalam tubuh manusia).
Jika dalam pengolahan mineral untuk menjadi konsentrat digunakan sianida (CN) maka
zat kimia ini (CN) merupakan zat yang sangat berbahaya bagi lingkungan khususnya
pada biota dan kesehatan manusia, karena termasuk dalam golongan racun yang
mematikan.
7
Selain itu terdapat pula logam-logam berat, seperti : air raksa (Hg) atau timah
hitam. Logam berat ini sulit terurai atau sulit melarut dan tinggal lama dilingkungan
alam. Logam berat ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan dapat
menimbulkan penyakit sesudah melampaui masa inkubasi yang lama yang bisa
mencapai 15 tahun lebih pada tubuh manusia. Lalu masalah air asam tambang yang
terbentuk, baik secara alamiah maupun sebagai akibat (by product) dari penambangan
dan pengolahan emas dan tembaga.
Pengolahan/pemurnian emas di wilayah pertambangan baik dalam skala besar
(KK) maupun dalam skala kecil (PETI = Pertambangan Emas Tanpa Izin ataupun
tambang rakyat yang memiliki izin). Sampai saat ini masih merupakan kontradiksi,
apakah benar tambang-tambang besar dengan teknologi canggih yang merusak
lingkungan. Ataukah para PETI yang lebih banyak memberi kontribusi pencemaran
terhadap lingkungan melalui penggunaan merkuri dalam pengolahan emas yang tidak
terkendali. Seperti kasus yang baru saja terjadi Pro dan Kontra Masalah pencemaran
Teluk Buyat. Apakah benar tingginya kandungan merkuri dilokasi tersebut disebabkan
oleh aktifitas penambangan emas yang diusahakan oleh PT. Newmont Minahasa Raya
ataukah para penambang emas liar (gurandil) yang nyata-nyata memang sangat
menyulitkan pemerintah untuk mengendalikannya.
Belum lagi masalah kerusakan lingkungan/ hutan/ lahan akibat penambang-
penambang liar (peti = pertambangan tanpa izin) batubara, timah dan pengusahaan
mineral golongan C. Yang semuanya itu merupakan suatu bentuk kejahatan yang harus
diberantas bersama dan menjadi tanggungjawab kita semua. Demi mewariskan
lingkungan yang lestari bagi generasi mendatang. Satu hal yang bisa mengatasi semua
kerusakan itu, jika kita menggunakan kesadaran dan hati nurani dalam mengelola
lingkungan secara baik dan bijaksana, tanpa kedua hal tadi mustahil tujuan murni dalam
pengusahaan sumberdaya mineral di negeri ini akan terwujud. Jadi semuanya itu
kembali pada moralitas bangsa ini ( rakyat dan para petinggi negara).
BAHAN ACUAN :
1. Ediyono, Setijati H., Yusuf, Maftuchah., Hendrawan, Diana Irvindiaty., Nugroho, Astri Rinanti., 1999, Prinsip-Prinsip Lingkungan dalam Pembangunan yang Berkelanjutan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen, Pendidikan Nasional, Jakarta.
2. Mangunwidjaya, Ambyo., 1992, Pengaturan Tentang Sumberdaya Mineral yang Kenyal dan Dinamis untuk Modal Dasar Pembangunan Nasional Sambil Mewujudkan Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, Kertas karya Perorangan, Kursus Singkat Angkatan Ke- II, Lemhanas.
8
3. O. Ravera., 1989, Ecological Assessment of Environmental Degradation, Pollution and Recovery, The Commission of The European Communities, Elsevier, New York.
4. Sudrajat, Adjat, 1999., Teknologi dan Manajemen Sumberdaya Mineral, ITB
Bandung
5. Partowidagdo, Widjayono., 1999, Memahami Analisis Kebijakan, Seri Studi Pembangunan, Program Studi Pembangunan, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung.
6. Prijono, Ahmad., 1999, Tafsiran Daripada Penggunaan Batubara Terhadap Lingkungan yang Condong Berat Sebelah, Temu Profesi Tahunan VIII PERHAPI, Bandung.
9