kondisi pertambangan

13
KONDISI PERTAMBANGAN DI INDONESIA ( SUATU TINJAUAN TERHADAP KASUS-KASUS KERUSAKAN LINGKUNGAN SEBAGAI AKIBAT AKTIVITAS PERTAMBANGAN DI INDONESIA ) Meinarni Thamrin (PERHAPI SULSEL) PERHIMPUNAN AHLI PERTAMBANGAN INDONESIA ASSOCIATION OF INDONESIAN MINING PROFESSIONALS Pendahuluan Pertambangan dikenal sebagai kegiatan yang dapat mengubah roman muka bumi. Karena itu pertambangan sering dikaitkan dengan kerusakan lingkungan. Walaupun pernyataan ini tidak selamanya benar, tapi patut diakui bahwa banyak sekali kegiatan pertambangan yang dapat menimbulkan kerusakan di tempat penambangannya. Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa di lain pihak kualitas lingkungan di tempat pertambangan meningkat tajam. Bukan saja menyangkut kualitas hidup manusia yang berada di sekitar lokasi pertambangan itu, namun alam di sekitar menjadi (tertata lebih baik ?), dengan sarana dan kelengkapan infrastukturnya. Karena itu, kegiatan pertambangan dapat menjadi daya tarik, sehingga penduduk banyak yang berpindah mendekati lokasi pertambangan tersebut. Sering pula dikatakan bahwa kegiatan pertambangan telah menjadi lokomotif pembangunan di daerah tersebut (dampak positif). Akan tetapi, tidaklah mudah menepis kesan bahwa pertambangan dapat menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini ditimbulkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggungjawab dalam melakukan kegiatan pertambangan di suatu lokasi/ daerah, dimana mereka hanya mementingkan laba, dan tidak 1

Upload: ilanovskie

Post on 23-Jan-2016

15 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

tambang

TRANSCRIPT

Page 1: KONDISI PERTAMBANGAN

KONDISI PERTAMBANGAN DI INDONESIA

( SUATU TINJAUAN TERHADAP KASUS-KASUS KERUSAKAN LINGKUNGAN SEBAGAI AKIBAT AKTIVITAS PERTAMBANGAN DI INDONESIA )

Meinarni Thamrin

(PERHAPI SULSEL)PERHIMPUNAN AHLI PERTAMBANGAN INDONESIA

ASSOCIATION OF INDONESIAN MINING PROFESSIONALS

Pendahuluan

Pertambangan dikenal sebagai kegiatan yang dapat mengubah roman muka

bumi. Karena itu pertambangan sering dikaitkan dengan kerusakan lingkungan.

Walaupun pernyataan ini tidak selamanya benar, tapi patut diakui bahwa banyak sekali

kegiatan pertambangan yang dapat menimbulkan kerusakan di tempat

penambangannya. Akan tetapi, perlu diingat pula bahwa di lain pihak kualitas

lingkungan di tempat pertambangan meningkat tajam. Bukan saja menyangkut kualitas

hidup manusia yang berada di sekitar lokasi pertambangan itu, namun alam di sekitar

menjadi (tertata lebih baik ?), dengan sarana dan kelengkapan infrastukturnya. Karena

itu, kegiatan pertambangan dapat menjadi daya tarik, sehingga penduduk banyak yang

berpindah mendekati lokasi pertambangan tersebut. Sering pula dikatakan bahwa

kegiatan pertambangan telah menjadi lokomotif pembangunan di daerah tersebut

(dampak positif).

Akan tetapi, tidaklah mudah menepis kesan bahwa pertambangan dapat

menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. Hal ini ditimbulkan oleh oknum-

oknum yang tidak bertanggungjawab dalam melakukan kegiatan pertambangan di suatu

lokasi/ daerah, dimana mereka hanya mementingkan laba, dan tidak menyisihkan dana

yang cukup untuk memuliakan lingkungan yang telah dirusaknya.

Dampak negatif yang ditimbulkan kegiatan pertambangan berskala besar, baik

dalam ukuran teknologi, maupun investasi, dapat pula berukuran besar (investor asing

dan nasional). Namun pengendalian kerusakannya lebih memungkinkan ditangani

dengan baik. Bila dibandingkan dengan pertambangan yang menggunakan teknologi

yang tidak memadai apalagi yang dananya terbatas seperti Penambangan skala kecil

(PSK) atau pertambangan tanpa izin ( Peti). Pada umumnya kerusakan lingkungan

yang disebabkan oleh kedua bentuk usaha inilah yang banyak terjadi di Indonesia,

sifatnya sporadis dan susah dikendalikan oleh pemerintah

1

Page 2: KONDISI PERTAMBANGAN

DAMPAK KEGIATAN PERTAMBANGAN

Jika dilihat dari maksud dan tujuan murni pengusahaan pertambangan/

sumberdaya mineral dan batubara yang ada di Indonesia adalah untuk memanfaatkan

sumberdaya mineral dan batubara demi kesejahteraan rakyat Indonesia. Tetapi sebagai

akibat dari kegiatan tersebut, tidak hanya keuntungan yang dapat kita peroleh tetapi

juga dampak yang ditimbulkannya bagi negeri ini.

Secara garis besar ada dua dampak yang ditimbulkan oleh pengusahaan

pertambangan yaitu, Dampak positip dan Dampak negatif yang keduanya dapat

dijelaskan di bawah ini :

Dampak penting positip dari industri/kegiatan pertambangan, antara lain :

1. Pusat pengembangan wilayah : Dibangunnya prasarana dan sarana fisik, sosial dan

ekonomi, akhirnya berkembang menjadi sebuah kota yang ramai, misalnya :

pemukiman, pasar, swalayan, gedung sarana pendidikan dari TK sampai SMA,

tempat peribadatan, tempat rekreasi, sarana olahraga. Jalan menjadi terpelihara

dengan baik, jembatan diperbaiki untuk akses ke lokasi penambangan yang jga

dapat dinikmati oleh penduduk sekitar.

2. Terbukanya kesempatan kerja bagi masyarakat lokal dengan syarat memenuhi

kriteria perusahaan.

3. Kesempatan untuk alih teknologi ; kalau masyarakat lokal yang tadinya kurang

terampil, maka perusahaan dapat memberi pelatihan, seperti mengelas, membubut

dll.

4. Memberi tambahan pendapatan kepada pemerintah pusat (APBN) dan pemerintah

daerah ( APBD) dalam bentuk, seperti pajak, royalti dll.

5. Bangsa Indonesia dapat menikmati hasil tambang / sumberdaya mineral tanpa

harus mengimpor dari negara lain (untuk beberapa jenis mineral)

Dampak negatif dari industri pertambangan, antara lain :

1. Sumberdaya mineral bersifat wasting assets atau non renewable resources, kalau

tidak dikelola dengan baik akan merugikan, perlu dilakukan penambangan yang

benar.

2. Mengubah morfologi dan fisiologi tanah ( tata guna tanah)

3. Merusak lingkungan, antara lain ;

Tanah subur hilang akibat dari pegupasan tanah pucuk

Hutan menjadi gundul sehingga mudah tererosi dan longsor

Flora dan satwa endemik perlahan-lahan musnah ------------> ekologi rusak

2

Page 3: KONDISI PERTAMBANGAN

Limbah akan terbentuk pada proses pengolahan dan pemurnian/ konsentrasi

yang disebut tailing, yang kalau tidak diperlakukan dengan baik akan

mencemari sungai dan lahan lainnya. Limbah ini biasanya masih mengandung

logam berat ( Hg, Pb, Fe, Cr dan Br) yang berbahaya bagi kesehatan

Polusi udara ( debu batubara, debu jalan angkut, abu pembangkit listrik)

Menimbulkan polusi suara akibat dari mesin-mesin excavator, alat angkut (alat-

alat berat), kebisingan dari pabrik pengolahan.

Overburden kalau ditimbun akan merusak daerah dimana overburdaen tersebut

ditumpuk.

4. Perubahan iklim mikro sebagai akibat dari kegiatan land clearing yang diikuti oleh

pengupasan tanah pucuk (top soil) yang pada umumnya subur, dapat menyebabkan

hilangnya vegetasi (pepohonan dan jenis tumbuhan lain) dan flora endemik,

akibatnya suhu udara disekitar lokasi menjadi naik, kelembaban udara berkurang.

5. Dapat menimbulkan kesenjangan sosial, ekonomi dan budaya diantara penduduk

lokal dan penduduk pendatang yang merupakan karyawan perusahaan

pertambangan.

Jika ditinjau dari segi tataguna lahan, maka pada waktu penambangan memang

bersifat negatif terhadap lahan disekitarnya. Akan tetapi jika proses penambangan

selesai, maka akan ada reklamasi lahan bekas penambangan yang bisa berdampak

positif ( kalau perusahaan yang bertanggungjawab), karena disini biasanya terjadi alih

fungsi (perubahan fungsi) lahan yang dapat menjadi lebih baik atau berdampak positif

bagi penduduk disekitarnya. Misalnya dibuat menjadi tempat rekreasi, lapangan golf,

perkebunan ataupun direboisasikan menjadi hutan tanaman industri (ekosistim buatan).

Jadi yang jelas dalam pengusahaan/kegiatan pertambangan di suatu wilayah

dapat ditarik kesimpulan bahwa jika terjadi perusakan secara permanen terhadap

lingkungan hal ini tidak dapat dikembalikan ke bentuk asalnya seperti semula. Tetapi

dapat diubah agar tidak menjadi lebih buruk. Sedangkan jika terjadi pencemaran

terhadap lingkungan maka hal ini masih dapat diatasi yaitu dengan reklamasi dan

rehabilitasi terhadap lingkungan pasca tambang.

KASUS-KASUS LINGKUNGAN AKIBAT KEGIATAN PERTAMBANGAN

3

Page 4: KONDISI PERTAMBANGAN

Dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh pengusahaan komoditas mineral di

Indonesia, jika disarikan berdasarkan jenis bahan tambang yang diusahakan, maka

diperoleh urutan sebagai berikut :

Timah : s, top, veg, a, tail, sosbud

Nikel : s, veg, a, sosbud

Bauksit : s, veg, a, sosbud

Batubara : s, top, veg, a, ud, bis, sosbud

Tembaga : s, top, veg, a, ud, bis, tail, sosbud, warnas

Emas : s, top, veg, a, ud, bis, tail, sosbud, warnas

Perak : s, top, veg, a, ud, bis, tail, sosbud, warnas

Bahan galian golongan C : s, top, veg, warnas

Keterangan : s ; tubuh tanah atau soil, top ; topografi atau roman muka bumi, veg ;

vegetasi termasuk flora dan fauna, a ; air dan biota, ud ; udara berupa polusi, bis ;

kebisingan atau polusi suara, tail ; tailing atau ampas buangan, sosbud ; sosial budaya,

warnas ; warisan nasional, seperti cagar alam dan cagar budaya.

Kondisi lingkungan di Pertambangan Timah

Penambangan timah di P. Bangka dan pulau lainnya telah berlangsung lebih dari

150 tahun. Masalah lingkungan yang signifikan ditemukan adalah masalah topografi.

Lubang yang ditinggalkan sebagai bekas penambangan menurut istilah lokalnya disebut

kolong, membentuk lubang-lubang mengaga pada roman muka bumi. Di P. Bangka luas

kolong yang tercatat akibat penambangan timah sebesar + 185 km2 atau lebih kurang

1,6 %, dari luas keseluruhan P.Bangka 11.582 km2. Lubang ini berisi air akibat air hujan

yang tertampung, dan karena pelarutan silika dari pasir yang berkadar silika tinggi

disertai dengan penguapan yang cepat, menyebabkan keasaman cukup tinggi. Ikan

tidak dapat hidup di sini.

Tanah penutup sudah dikupas sebelum penambangan dimulai. Penambangan

dilakukan dengan cara penyemprotan yang disebut gravel pump. Air bertekanan besar

disemprotkan ke endapan pasir yang mengandung timah. Kemudian timah mengendap

di dasar lubang. Dari sini, timah dipompa ke tempat pemilahan butir timah atau palong

dan pasir timah diendapkan. Sedangkan material lainnya dibuang sebagai ampas

(tailing).

Kegiatan pengelolaan lingkungan yang paling menonjol di daerah ini adalah

mengupayakan pengembalian tanah penutup. Penanaman kembali pada daerah yang

sudah ditambang memang sangat sulit, karena tanah penutupnya tidak tebal lagi (15 –

4

Page 5: KONDISI PERTAMBANGAN

50 cm), bercampur pasir dengan pH rendah, sekitar 4-6. Apalagi ampas buangan pada

umumnya terdiri atas 95% pasir, 4% debu, dan 1% lempung dengan pH rendah, sekitar

3-4 (sangat asam). Selain persoalan tanah penutup, masalah lain adalah tumpang

tindihnya penggunaan lahan, fauna dan flora di darat dan daerah rawa, kualitas air,

perubahan catchment area, tanah penutup yang terkompaksi karena transportasi, dan

berbagai macam masalah lainnya.

Kondisi Lingkungan di Pertambangan Nikel

Pertambangan nikel dilakukan di Sulawesi bagian selatan, tenggara, tengah dan

di pulau-pulau kecil di bagian utara Propinsi Maluku. Karena pengusahaan mineral nikel

diusahakan dengan cara mengeduk pelapukan batuan ultrabasa (peridotit), praktis

seluruh tubuh tanah diambil.

Pokok permasalahan lingkungan di daerah penambangan nikel adalah tubuh

tanah yang harus dikembalikan lagi dan ditanami. Karena akibat penambangan nikel,

tanah menjadi gundul dan materialnya lepas, pengendalian erosi menjadi sangat

penting sebelum sungai terkontaminasi oleh material-material lepas tadi. Penanganan

yang utama yaitu membuat kolam pengendap (setlling pond), sedang untuk mereboisasi

hutan / lahan yang telah gundul dilakukan penanaman berbagai pohon yang

disesuaikan dengan kondisi lahan setempat.

Persoalan lainnya adalah polusi oleh debu pabrik pengolahan nikel. Masalah

yang tidak kalah peliknya adalah masalah kecemburuan sosial dan dicoba untuk diatasi

oleh pihak-pihak yang terkait dalam perusahaan dengan pengembangan wilayah,

seperti pemenuhan kebutuhan mendesak masyarakat yang tinggal di wilayah tersebut.

Kondisi Lingkungan di Pertambangan Bauksit

Penambangan bauksit yang terbesar dan saat ini masih beroperasi terdapat di

Pulau kijang, Propinsi Riau. Sedang potensi endapan yang besar juga terdapat di

wilayah Kalimantan Barat, yang sampai saat ini belum dikembangkan dan masih

menunggu pihak investor yang mau menanamkan modalnya di daerah ini.

Penambangan bauksit hampir sama dengan penambangan nikel. Masalah

lingkungan yang timbul juga hampir sama, yaitu menyangkut tubuh tanah yang telah

gundul dan dipenuhi material-material lepas. Upaya penanaman kembali adalah

kegiatan yang menonjol di daerah ini selain pengendalian erosi di sekitar lokasi bekas

penambangan.

Kondisi Lingkungan di Pertambangan Batubara

5

Page 6: KONDISI PERTAMBANGAN

Pertambangan batubara di negeri ini merupakan pengusahaan sumberdaya

mineral secara besar-besaran, yang pada umumnya dilakukan dengan metode

penambang terbuka. Batubara banyak ditambang di Sumatera Selatan, Kalimantan

Timur dan Kalimantan Selatan, selain yang ketiga daerah tersebut, penambangan

batubara di daerah lain seperti Sulawesi Selatan dan Papua juga dilakukan dalam skala

kecil, pemegang KP modal kecil dan SIPD, serta peti.

Persoalan lingkungan yang dihadapi, adalah masalah tanah buangan (OB)

maupun batuan yang mengapit batubara. Dalam penambangan batubara, dikenal

adanya stripping ratio atau nisbah tanah yang dikupas baik berupa OB maupun IB (Inter

Burden ; berupa batuan atau soil yang terdapat diantara seam batubara). Stripping

Ratio ini dapat berkisar 3 – 5. Dengan demikian, setiap meter kubik batubara yang digali

akan menyisakan tanah buangan sebayak 3 – 5 meter kubik. Tanah buangan ini yang

menjadi menjadi masalah lingkungan yang cukup merisaukan. Disamping harus ditata

kembali secara topografi, juga harus dilakukan penanaman kembali akan tetapi tidak

mudah melakukannya. Hal ini disebabkan lubang-lubang bekas galian yang ditinggalkan

tidak dapat ditata kembali dengan baik. Biasanya lubang ini berisi air atau lumpur,

bukan saja air genangan dari hujan, tapi juga berasal dari rembesan air tanah, jadi

susah untuk mengeringkannya.

Selain itu pencucian batubara juga dapat merusak kualitas air (air tanah maupun

air permukaan). Material lepas yang menumpuk sebagai tanah galian sangat mudah

tererosi dan terbawa oleh aliran permukaan menuju sungai-sungai yang ada disekitar

lokasi penambangan batubara, karena itu sungai dapat tercemar oleh muatan materia

tanah dan lumpur.

Dampak lain yang biasa dijumpai dalam pengusahaan batubara adalah

kebisingan yang ditimbulkan oleh peralatan angkutan berat seperti arus bolak-balik truk-

truk pengangkut batubara dari lokasi penambangan ke luar lokasi penambangan. Selain

itu pengusahaan batubara juga menimbulkan masalah polusi udara sebagai akibat dari

debu batubara dan berbagai jenis abu yang dihasilkan dari pabrik pengolahan batubara,

jika disekitar lokasi penambangan juga didirikan pabrik pengolahan.

Kondisi Lingkungan di Pertambangan Tembaga dan Emas

Pengusahaan Tambang tembaga dan sekaligus menghasilkan emas di

Indonesia, terdapat di Propinsi Papua (Irian Jaya). Sedang pengusahaan tambang

emas dalam jumlah sedang-besar di Indonesia terdapat di daerah Jawa Barat (Pongkor

dan Cikotok), Sumatera Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Timur ( Kelian),

6

Page 7: KONDISI PERTAMBANGAN

Kalimantan Selatan dan Sulawesi Utara, Sumbawa (Batuhijau) serta sebagian kecil di

wilayah Sulawesi Selatan (Luwu dan Tanatoraja).

Keterdapatan mineral tembaga sering berassosiasi dengan mineral logam

ikutan, yang paling terkenal adalah emas dan perak yang kadangkala persentasenya

cukup tinggi sehingga dengan harga emas yang baik di pasar internasional, maka

mineral ikutan ini menjadi lebih menguntungkan bila ditambang. Sebaliknya dapat pula

terjadi bahwa dalam menambang mineral emas terdapat ikutan selain perak, misalnya

platina dan timah hitam. Karena itu dampak lingkungan yang ditimbulkan akibat

penambangan mineral-mineral tersebut hampir sama.

Dampak utama yang ditimbulkan adalah ampas buangan atau tailling. Dari

kompleks pertambangan tembaga dan emas milik PT. Freeport hingga saat ini,

dihasilkan material sebanyak 250.ribu ton / hari (data tahun 2000). Jika dihitung selama

setahun, maka material yang berhasil digali mencapai 192 juta ton. Dari jumlah itu

material penutup (OB) yang diangkat dan dibuang sebagai timbunan yang jumlahnya

mencapai 150 juta ton, selebihnya + 42 juta ton diolah. Dari pengolahan ini sebanyak

40,5 juta ton dibuang sebagai tailing sesudah diolah. Sisanya, yaitu 1,5 juta ton,

diekspor sebagai konsentrat. Dalam konsentrat kering ini dikandung + 460 ribu ton Cu,

43,3 ton Au dan 81,9 ton Ag.

Jadi, untuk memperoleh 43 ton emas dan 460 ribu ton tembaga, maka harus

dikeduk 192 juta ton batuan yang sebanyak 190,5 juta ton diantaranya kemudian

dibuang atau ditimbun sebagai tailling. Jumlah ini jika diperbandingkan per hari

volumenya sama dengan mengeduk tanah yang dapat mengurug minimal seluas

lapangan bola dengan tebal 11 meter !. Jadi perhitungan jumlah volume tanah yang

dikeduk dalam setahun kira-kira volumenya sama dengan 8000 – 10.000 kali lapangan

yang berukuran 100 x 100 m yang dapat ditimbun setebal 1 meter. Ampasnya sendiri

dari hasil pengolahan yang berupa tailing berjumlah seperlimanya atau sama dengan

1600 –2000 kali lapangan sepak bola. Sungguh luar biasa jumlahnya !

Disamping persoalan tanah yang dikeduk, masalah tailing yang mengandung

logam berat yang dapat merusak / racun bagi lingkungan baik biota maupun bagi

kesehatan makhluk hidup terutama manusia (terakumulasi dalam tubuh manusia).

Jika dalam pengolahan mineral untuk menjadi konsentrat digunakan sianida (CN) maka

zat kimia ini (CN) merupakan zat yang sangat berbahaya bagi lingkungan khususnya

pada biota dan kesehatan manusia, karena termasuk dalam golongan racun yang

mematikan.

7

Page 8: KONDISI PERTAMBANGAN

Selain itu terdapat pula logam-logam berat, seperti : air raksa (Hg) atau timah

hitam. Logam berat ini sulit terurai atau sulit melarut dan tinggal lama dilingkungan

alam. Logam berat ini sangat berbahaya bagi kesehatan manusia dan dapat

menimbulkan penyakit sesudah melampaui masa inkubasi yang lama yang bisa

mencapai 15 tahun lebih pada tubuh manusia. Lalu masalah air asam tambang yang

terbentuk, baik secara alamiah maupun sebagai akibat (by product) dari penambangan

dan pengolahan emas dan tembaga.

Pengolahan/pemurnian emas di wilayah pertambangan baik dalam skala besar

(KK) maupun dalam skala kecil (PETI = Pertambangan Emas Tanpa Izin ataupun

tambang rakyat yang memiliki izin). Sampai saat ini masih merupakan kontradiksi,

apakah benar tambang-tambang besar dengan teknologi canggih yang merusak

lingkungan. Ataukah para PETI yang lebih banyak memberi kontribusi pencemaran

terhadap lingkungan melalui penggunaan merkuri dalam pengolahan emas yang tidak

terkendali. Seperti kasus yang baru saja terjadi Pro dan Kontra Masalah pencemaran

Teluk Buyat. Apakah benar tingginya kandungan merkuri dilokasi tersebut disebabkan

oleh aktifitas penambangan emas yang diusahakan oleh PT. Newmont Minahasa Raya

ataukah para penambang emas liar (gurandil) yang nyata-nyata memang sangat

menyulitkan pemerintah untuk mengendalikannya.

Belum lagi masalah kerusakan lingkungan/ hutan/ lahan akibat penambang-

penambang liar (peti = pertambangan tanpa izin) batubara, timah dan pengusahaan

mineral golongan C. Yang semuanya itu merupakan suatu bentuk kejahatan yang harus

diberantas bersama dan menjadi tanggungjawab kita semua. Demi mewariskan

lingkungan yang lestari bagi generasi mendatang. Satu hal yang bisa mengatasi semua

kerusakan itu, jika kita menggunakan kesadaran dan hati nurani dalam mengelola

lingkungan secara baik dan bijaksana, tanpa kedua hal tadi mustahil tujuan murni dalam

pengusahaan sumberdaya mineral di negeri ini akan terwujud. Jadi semuanya itu

kembali pada moralitas bangsa ini ( rakyat dan para petinggi negara).

BAHAN ACUAN :

1. Ediyono, Setijati H., Yusuf, Maftuchah., Hendrawan, Diana Irvindiaty., Nugroho, Astri Rinanti., 1999, Prinsip-Prinsip Lingkungan dalam Pembangunan yang Berkelanjutan, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Departemen, Pendidikan Nasional, Jakarta.

2. Mangunwidjaya, Ambyo., 1992, Pengaturan Tentang Sumberdaya Mineral yang Kenyal dan Dinamis untuk Modal Dasar Pembangunan Nasional Sambil Mewujudkan Otonomi Daerah yang Nyata dan Bertanggung Jawab, Kertas karya Perorangan, Kursus Singkat Angkatan Ke- II, Lemhanas.

8

Page 9: KONDISI PERTAMBANGAN

3. O. Ravera., 1989, Ecological Assessment of Environmental Degradation, Pollution and Recovery, The Commission of The European Communities, Elsevier, New York.

4. Sudrajat, Adjat, 1999., Teknologi dan Manajemen Sumberdaya Mineral, ITB

Bandung

5. Partowidagdo, Widjayono., 1999, Memahami Analisis Kebijakan, Seri Studi Pembangunan, Program Studi Pembangunan, Program Pasca Sarjana, Institut Teknologi Bandung.

6. Prijono, Ahmad., 1999, Tafsiran Daripada Penggunaan Batubara Terhadap Lingkungan yang Condong Berat Sebelah, Temu Profesi Tahunan VIII PERHAPI, Bandung.

9