kolita 15 - unud
TRANSCRIPT
KOLITA 15
KONFERENSI LINGUISTIK TAHUNAN ATMA JAYA 15
Koordinator:
Yanti, Ph.D.
Pusat Kajian Bahasa dan Budaya
Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya
2017
ISSN: 2549-810X
Prosiding Tanpa Pengeditan
DAFTAR ISI
v
Judul Penulis Halaman
Multilanguage Translation: What Should Be Sacrificed? Clara Herlina Karjo, Yi Ying, Fu
Ruomei
352
The Comparative Study on The Translation of The
Instagram Translate and Human Translation with A Special
Reference to @Basukibtp Instagram Account
Veronika Stefani, Harris
Hermansyah Setiajid
357
Register dalam Akun Berita Entertainment Instagram Kholilah, Fitrahnanda Ayubadiah 362
Kaki Gedé Sang Pencuri Hidup Abadi Ida Bagus Jelantik Sutanegara
Pidada
366
Mitologi Kudung yang Pincang: Analisis Wacana Religi
Tentang Kemarahan Leluhur dan Hutan yang Rusak
I Ngurah Suryawan 370
Diversitas Makna Ekoleksikon Soi Batar ‘Panen Jagung’
dalam Komunitas Tutur Bahasa Tetun di Kabupaten
Malaka, Timor, Nusa Tenggara Timur
Maria Magdalena Namok Nahak,
Veronika Genua
375
Sapaan Bahasa Kulisusu Sri Suryana Dina, La Ino, Yunus 379
Variasi Isyarat Angka dalam Bahasa Isyarat di Yogyakarta:
Sebuah Studi Awal
Silva Tenrisara Pertiwi Isma,
Adhi Kusumo Bharoto, Guruh
Alim Hizbullah, Opy Novitasari
383
Perspektif dan Penyesuaian Bahasa oleh Tuli dan Dengar
dalam Ranah Keluarga Inti
Adhika Irlang Suwiryo, Innova
Safitri Suprapto Putri, Phieter
Angdika, Arief Wicaksono
388
Karakteristik Bahasa Tulis Anak Tunarungu Di SLB B
Karnnamanohara Yogyakarta
Fitri Febriyanti, Hafara N.,
Rahman Hakim, Nurlela,
Pavitrani Istiqomah, Rizky Fitri
Lestari, Siti Nurhasanah
393
Pasif dalam Bahasa Isyarat Indonesia (Bisindo) M. Umar Muslim , Silva
Tenrisara Pertiwi Isma, Iwan
Satryawan, Opy Novitasari
397
Analisis Wacana Kritis Deskripsi, Interpretasi dan
Eksplanasi Tulisan dalam Media Online
Ni Luh Putu Setiarini 401
Judul Berita dan Pilihan Tematik Sebagai Strategi
Pembentukan Perspektif di dalam Wacana Berita Surat
Kabar
B. Widharyanto 406
A Study of Anis Matta’s Discourse Strategies in Recovering
PKS’ Images
Azkia Rostiani Rahman 411
Dekonstruksi Makna Persatuan Proposisi Kebudayaan
Bhinneka Tunggal Ika dalam Berita Utama Media
Indonesia: Analisis Wacana Kritis
Yohanes B. Fandis Nggarang 416
Teacher Readiness in Applying Information and
Communication Technology in Teaching Bahasa Melayu
Bukhari Shafie, Masni Jamin,
Aswadi Md Amin & Mohd
Shafiee Hassan
421
Student Centred Learning: Andragogy in Teaching Malay
Language Contextual
Izani bin Ibrahim 426
Communication Skills Through The Application of
Discussion Technical in Teaching And Learning of Malay Language
Amir Bin Juhari, Noor Zila Binti
Md. Yusuf
431
Unika Atma Jaya, 5−7 April 2017
366
KAKI GEDÉ SANG PENCURI HIDUP ABADI
Ida Bagus Jelantik Sutanegara Pidada
Universitas Udayana
ABSTRAK
Hidup abadi, siapa yang tidak ingin? Bagi pemeluk agama Hindu, hidup abadi itu menjadi tujuan mutlak.
Moksartam Jagadhita ya ca iti Dharma, hidup abadi di sunya—nirbana (sorga) dan hidup sejahtera di jagat
raya merupakan tujuan hidup pemeluk agama Hindu sejak Kitab Suci Weda diwahyukan.
Menurut agama Hindu, jalan menuju kebahagiaan rohaniah dan jasmaniah itu bisa ditempuh melalui
berbagai jalan sesuai kemampuannya. Ada yang disebut jalan bhakti marga yoga, yaitu dengan jalan berserah
diri secara total melalui persembahan dan doa kepada Tuhan. Kedua, dengan jalan yang disebut karma marga
yoga, yaitu dengan senantiasa berbuat baik dan berlaku bijak tanpa pamrih. Ketiga, dengan jalan yang disebut
jnana marga yoga, yaitu dengan jalan mempersatukan jiwatman dengan paramatman yang dicapai dengan
jalan mempelajari ilmu pengetahuan dan filsafat pembebasan diri dari ikatan keduniawian. Terakhir, dengan
jalan yang disebut raja marga yoga, yaitu dengan melaksanakan tapa, bharata, yoga, dan samadhi secara
ketat. Keempat jalan itu disebut catur marga yoga atau empat jalan menuju kesempurnaan bersatu dengan
brahman atau paramatman.
Mitos Kaki Gedé yang hidup di kalangan masyarakat Hindu di Kota Amlapura Kabupaten
Karangasem Bali menceritakan tentang seorang pencuri yang masuk sorga, tanpa mengindahkan jalan catur
marga yoga. Sebagai bentuk wacana agamis, mitos Kaki Gedé menarik untuk dianalisis berdasarkan analisis
wacana.
Oleh karena itu, analisis ini difokuskan untuk mengeksplanasi mitos Kaki Gedé yang berhasil hidup
abadi meskipun sebelumnya berlumur noda dosa karena pekerjaanya sebagai pencuri. Padahal secara
universal mencuri adalah perbuatan jahat, kelak setelah hayat tak lagi dikandung badan pelakunya pasti masuk
neraka.
Sebagai bentuk alegori, mitos Kaki Gedé diperlakukan sebagai bentuk wacana yang berhasil
membentuk model perilaku pengalaman religius. Di mana masyarakat merasa lepas dari masa kini, untuk
kemudian kembali ke zaman mitis sehingga merasa dekat dengan Tuhan.
Kata kunci: mitos, alegori, analisis wacana.
PENDAHULUAN
Mitos (mythos dalam bahasa Yunani atau mythe dalam bahasa Belanda) berarti ‘cerita dewa-dewa
yang berhubungan dengan bermacam-macam kekuatan gaib’ atau bisa juga berarti cerita tentang asal-
usul semesta alam atau suatu bangsa yang mengandung hal-hal yang ajaib (Tim, 2008: 962). Secara
umum, mitos dipandang sebagai cerita prosa rakyat berlatar masa lampau yang mengandung
penafsiran tentang alam semesta dan keberadaan makhluk didalamnya, serta dianggap benar-benar
terjadi oleh yang empunya cerita atau penganutnya. Pada umumnya, mitos menceritakan terjadinya
alam semesta, dunia dan makhluk hidup penghuninya, bentuk popografi, kisah makhluk supranatural,
dan sebagainya (https://id.wikipedia.org/wiki/Mitos, 2016). Dalam ranah kebudayaan lisan
(niraksara), mitos merupakan mite (cerita asal-usul dan cerita dewa-dewa yang dapat diyakini sebagai
benar oleh pemiliknya) yang sengaja dikembangkan demi legitimasi ideologi, kekuasaan, dan
kewibawaan (Zaidan, Abdul Rozak dkk. 2004: 131).
Roland Barthes (1915—1980), seorang filsuf Prancis pengikut sertia Bapak linguitik dan
semiotika modern Ferdinand de Sausure (1857—1913) memandang mitos sebagai bagian penting dari
ideologi. Bagi Barthes, mitos mengandung pesan-pesan terstruktur yang dapat mengubah pandangan
kultural historis menjadi pengertian alamiah dan mudah dimengerti. Mitos bermula dari konotasi yang
telah menetap di masyarakat sehingga pesan yang disampaikannya tidak lagi dipertanyakan oleh
masyarakat (Philip Thody and Ann Course, 1999: 170).
Pandangan Roland Barthes (1972: 151—152) tersebut menyingkirkan anggapan para mitofobia,
bahwa semua mitos tidak benar adanya. Mitos merupakan sistem komunikasi yang mengintroduksi
sebuah pesan. Sebegai sebuah pesan, mitos merupakan cara penanda (signification) sebuah bentuk.
Mitos mengacu wilayah makna yang penting dalam bidang agama, folklor, antropologi, sosiologi,
psiko-analisis, dan seni rupa (Wellek dan Warren, 1990: 222).
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 15
367
Berdasarkan cara pandang terhadap mitos tersebut, analisis sederhana ini difokuskan untuk
meneliti mitos Kaki Gedé yang terdapat di Kota Amlapura, Karangasem, Bali. Berlatar sebuah rumah
yang disebut Gria Pidada Karangasem. Sampai sekarang mitos tersebut diceritakan dari mulut ke
mulut (by mouth to mouth) dalam kurun waktu lama melintasi zaman layaknya sastra lisan (illiteracy)
dalam ranah kebudayaan niraksara (illiterer).
MITOS KAKI GEDÉ
Entah berapa lama mitos Kaki Gedé sudah diceritakan dari mulut ke mulut oleh masyarakat
Karangasem sampai sekararang ini. Kaki Gedé dipercaya bersemayam di sebuah palinggih (bangunan
suci) yang terletak di tengah-tengah sisi sebelah timur pekarangan Gria Pidada Karangasem.
Kaki Gedé diceritakan berwajah gagah dengan kumis tebal melintang di atas bibir, rambutnya
panjang sebahu. Perawakannya tinggi besar berkulit gelap. Setiap hari, Kaki Gedé memakai pakaian
adat Bali. Bajunya dan kain yang dikenakan selalu berwarna hitam dengan saput (lapis luar kain) dan
udeng (ikat kepala khas Bali) berwarna kotak-kotak hitam putih. Udengnya dihias kembang sepatu
merah. Di sela telinganya terselip bunga jempiring putih.
Sebagai pria tampan dan kaya, Kaki Gedé yang bersahaja itu tidak berumah tangga. Bukannya
tidak normal atau tidak ada gadis yang menyukainya, tetapi Kaki Gedé memang berniat nyukla
brahmacari (tidak kawin sepanjang hayat). Konon, ia memilih jalan itu karena yakin dengan ajaran
agama Hindu yang mengajarkan kehidupan nyukla brahmacari sebagai salah satu jalan mencapai
mokshartam jagadhita ya ca iti dharma (mencapai kesejahteraan dan kebahagiaan abadi di dunia dan
di sorga).
Kadangkala, terutama pada sandikala (sore hari menjelang malam) kajeng kliwon (bilangan
pawukon berjumlah tiga hari dan lima hari) Kaki Gedé seringkali menampakkan dirinya atau
kehadirannya dirasakan oleh masyarakat Karangasem. Kadangkala pula tampak kasat mata sedang
melintas atau hanya ciri kehadirannya dirasakan. Ciri kehadirannya dirasakan apabila tiba-tiba ada
bau tuak menyengat hidung karena dalam kesehariannya dikenal suka minum tuak. Itulah sebabnya,
setiap hari disuguhkan tuak satu gelas pada palinggih tempatnya diyakini bersemayam.
Konon Kaki Gedé dahulunya tinggal sebuah desa yang terletak di punggung gunung (gigiring
giri) tertinggi di Bali, yaitu Gunung Agung. Sedari kecil pekerjaannya mencuri di lain desa. Bahkan
sampai ke ibu kota kerajaan Karangasem dan ibu kota kerajaan lainnya.
Selain rupawan, Kaki Gede juga kharismatik, dihormati masyarakatnya karena dermawan.
Anak-anak, pemuda, dan orang tua di desanya sungguh menghormatinya karena berkat Kaki Gedé
kebutuhan hidup masyarakat terpenuhi. Kalau ada yang karena suatu dan lain hal memerlukan uang
segera, Kaki Gedé siap membantunya. Entah untuk modal berdagang, biaya sakit, biaya upacara
ngaben, dan lain-lainnya.
Kaki Gedé banyak pengikutnya. Tidak saja berasal dari desanya sendiri, tetapi juga dari lain
desa. Bahkan ada yang berasal dari kerajaan tetangga seperti dari kerajaan Buleleng, Klungkung, dan
Bangli. Banyak pengikutnya karena tujuannya mencuri untuk keperluan hidup sehari-hari masyarakat
desanya yang miskin.
Kemashurannya sebagai pencuri yang tidak pernah tertangkap, akhirnya didengar pula oleh
Raja Karangasem yang dikenal tegas dalam menjalankan aturan. Segera setelah mendapat informasi
akurat dari telik sandinya (mata-mata), Raja Karangasem memerintahkan untuk menangkap Kaki
Gedé. “Segera tangkap orang bernama Kaki Gedé itu agar masyarakat tidak resah!” Demikian
perintah raja Karangasem kepada Patih Agung (Mahapatih) dalam suatu paruman agung (rapat besar).
Patih Agung segera mengumpulkan bala tentara Kerajaan Karangasem yang terbaik dan
memerintahkan untuk menangkap Kaki Gedé.
Upaya penangkapan Kaki Gedé tidak mudah dilakukan. Beberapa kali upaya penangkapan itu
dilakukan selalu gagal. Namun demikian “Sepandai-pandai tupai melompat, sekali waktu pasti jatuh
juga”, demikian kata pepatah. Singkat cerita, Kaki Gedé berhasil ditangkap ketika sedang mandi di
pesisir pantai Batu Belah pada sore hari. Ia berhasil ditangkap karena tidak sedang ngadut
(menyandang) keris bertuahnya bernama Ni Nagagini Puspa yang diperolehnya dari eraman seekor
ular raksasa di hutan sekitar Gunung Agung.
Setelah tertangkap Kaki Gedé segera diadili. Penjagaan pengadilan itu begitu ketat karena
masyarakat yang datang begitu banyak. Mereka datang tidak untuk menonton persidangan, tetapi
Unika Atma Jaya, 5−7 April 2017
368
mereka berbondong-bondong datang untuk memohon pengampunan Sang Raja. Banyak juga yang
mau jadi pengganti bila Kaki Gedé dihukum, meskipun harus dihukum mati. Sidang berlangsung riuh
rendah. Menurut Kitab Hukum Agama, seorang yang terbukti mencuri harus dihukum mati. Apalagi
terbukti sudah berkali-kali mencuri.
Sidang yang terhormat itu, akhirnya memutuskan untuk menghukum mati Kaki Gedé. Rakya
protes, tetapi raja tidak bergeming. Kaki Gedé kemudian diserahkan oleh Padanda Kerta (Hakim
Agung Kerajaan) kepada Padanda Bhagawanta (Pendeta Kerajaan) untuk memutuskan dengan cara
apa Kaki Gedé dihukum atau bisa saja memberi pengampunan.
Pendek cerita, Padanda Bhagawanta memberikan pencerahan kepada Kaki Gedé pada hari suci
siwaratri. Setelah itu, ia menyadari bagaimanapun perbuatannya yang lalu adalah salah. Ia lalu
berjanji tidak akan mengulangi lagi perbuatannya dan dengan tulus ikhlas mengabdi kepada Padanda
Bhagawanta sepanjang hayatnya, bahkan setelah akan senantiasa mengabdi dan menjaga keturunan
Padanda Bhagawanta.
HIDUP ABADI DI “DUNIA MAYA”
Mitos Kaki Gedé terdapat di Kota Amlapura dengan latar sebuah gria (tempat tinggal keturunan
Brahmana) yang sampai sekarang dituturkan turun temurun. Kaki Gedé sebagai tokoh kontroversial,
yaitu tokoh pencuri yang baik hati diyakini benar-benar keberadaanya pada masa lampau. Bahkan
sampai sekarang, dipercaya masih ada di dunia maya dan melakukan kewajibannya secara supra
natural menjada keturunan Padanda Bhagawanta yang telah menyelamatkannya dari hukuman mati,
terlebih menyelamatkannya dari perbuatan buruk yang diyakini kebenarannya pada masa lalu. Kaki
Gedé telah memperoleh pencerahan (enlightens).
Kehadiran mitos Kaki Gedé sengaja dikembangkan demi legitimasi idiologi, kekuasaan, dan
kewibawaan. Legitimasi ideologi pada teka minos Kaki Gedé disampaikan secara implisit dan
merupakan aspek esensial, yaitu seorang “penjahat” memperoleh enlightens sesuai dengan doktrin
agama Hindu tentang itu. Doktrin enlightens itu tercantum dalam teks Kakawin Siwaratri Kalpa 37, 7-
8 ”Walaupun benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor, menyakiti kebaikan hati orang
lain, membunuh pandita (orang suci) juga membunuh orang yang tidak bersalah, congkak dan tidak
hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan, seluruh kepapaan itu akan lenyap dengan
melakukan Brata Sivaratri yang utama, demikianlah keutamaan dan ketinggian Brata (Sivaratri)
yang Aku sabdakan ini”. Di dalam hal ini teks mitos Kaki Gedé bersifat apologetiks, yaitu berisi
uraian yang sistematis untuk mempertahankan suatu ajaran (Wellek dan Warren, 2002; Tim, 1995:
53)
Legitimasi kekuasaan raja yang diceritakan melalui teks mitos Kaki Gedé tentu saja tersirat
melalui sidang pengadilan kerajaan Karangasem yang memutuskan Kaki Gedé bersalah dan dihukum
mati. Terlebih lagi selain hukuman mati dijatuhkan kepada Kaki Gedé hukuman juga ditimpakan
kepada sanak saudara, dan masyarakat desanya. Sanak saudaranya dihukum selong (diasingkan) ke
Jembrana, masyarakat desanya dihukum denda dan wajib mengadakan upacara marebu, yaitu upacara
pembersihan desa.
Selain itu, Kaki Gedé juga berfungsi meligitimasi kewibawaan Padanda Bhawanta dan
lembaga spiritual yang disebut Griya. Dengan otoritasnya sebagai pendeta kerajaan tertinggi,
Padanda Bhagawanta mengampuni Kaki Gedé dengan imbalan konsesif untuk mengabdi sepanjang
hayat, bahkan setelah hidup di dunia maya.
Oleh karena itu, selain merajut legitimasi ideologi (Philip Thody and Ann Course, 1999: 170),
kekuasaan, dan kewibawaan, mitos Kaki Gedé juga mengandung pesan-pesan terstruktur mengenai
pencerahan (enlightens) menurut agama Hindu secara terstruktur untuk mengubah pandangan kultural
religius yang mudah dimengerti. Bahwa dalam praktek agama Hindu yang terpenting ialah
memontum pencerahan (enlightens), siapapun ia, dari kasta dan swdharma (golongan pekerjaan)
apapun ia, akan dihapuskan segala dosanya bila sudah mendapat pencerahan itu.
Setelah mengalami proses pencerahan (enlightens), Kaki Gedé hidup bahagia dengan
pengabdianya yang tulus ikhlas kepada Padanda Bhagawanta dan keluarganya. Mitos Kaki Gedé
pada kenyataanya merupakan sistem komunikasi yang memesankan bahwa idiologi “pengampunan
dosa” itu bisa terjadi kapan saja dan kepada siapa saja yang menyadari kesalahan akibat perbuatan
buruknya terdahulu. Sebagai sebuah sistem semiologis, mitos Kaki Gedé merupakan fakta tanda
Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya 15
369
ideologis, kekuasaan, dan kewibawaan yang secara bersamaan menjadikannya sebagai alegori
keagamaan (Hindu) tentang moksa, yaitu hidup abadi (imortal) karena kesungguhannya menjalani
kehidupan dengan menjunjung tinggi etik yang berlaku.
Dengan demikian, juga merupakan alegori filsafat agama Hindu tentang tujuan kehidupan
mencapai mokhsartam jagadhita ya ca iti dharma atau hidup sejahtera di dunia nyata maupun dunia
maya. Sebagai bentuk alegori, mitos Kaki Gedé diperlakukan sebagai bentuk wacana yang berhasil
membentuk model perilaku pengalaman religius. Di mana masyarakat merasa lepas dari masa kini,
untuk kemudian kembali ke zaman mitis sehingga merasa dekat dengan Tuhan. Pengalaman religius
yang diceritakan diperoleh oleh Kaki Gedé menjadi model perilaku religius. Kaki Gedé saja yang
jahat sebelumnya memperoleh kebahagiaan hidup abadi (imortal) karena memperoleh pencerahan
(enlightens). Demikian pula akan terjadi bagi orang yang kehidupannya lebih baik. Adapun waktu
yang tepat sebagai sarana untuk melakukan praktek model perilaku itu akan terjadi setiap tahun pada
hari suci Siwaratri.
PENUTUP
Mitos Kaki Gedé, ialah alegori filsafat agama Hindu tentang moksa. Di mana dalam filsafat agama
Hindu disebutkan bahwa keberhasilan manusia mencapai tujuan agama Hindu ditentukan oleh
momentum “pencerahan” (enlightens) yang terjadi pada diri pribadi. Doktrin tersebut tersurat dalam
teks Kakawin Siwaratri Kalpa, bahwa “pencerahan” itu bisa terjadi pada siapa saja asalkan
melakukan puja siwaratri dengan benar dan bersungguh-sungguh. Keutamaan puja siwaratri bisa
diperoleh oleh siapapun, entah ia orang yang benar-benar sangat jahat, melakukan perbuatan kotor,
menyakiti kebaikan hati orang lain, membunuh pandita (orang suci), juga membunuh orang yang
tidak bersalah, congkak dan tidak hormat kepada guru, membunuh bayi dalam kandungan, semuanya
akan mendapat pengampunan dari seluruh kepapaan. Itulah yang menyebabkan Kaki Gedé hidup
abadi (imortal) setelah mendapat pencerahan (enlightens) pada hari suci Siwaratri oleh Padanda
Bhagawanta (siwa sakala) yang sesungguhnya Siwa (Tuhan) itu sendiri.
Selain berhubungan dengan legitimasi tentang idiologi berupa alegori filsafat (tattwa) agama
Hindu tentang hakikat pengampunan dosa, teks mitos Kaki Gedé juga secara implisit menyiratkan
adanya legitimasi kekuasaan raja dan legitimasi kekuasaan lembaga keagamaan yang disebut Griya
dengan tokohnya Padanda Bhagawanta. Demikianlah mitos Kaki Gedé yang hidup abadi (imortal)
meskipun sesungguhnya sebelumnya ia seorang pencuri.
DAFTAR PUSTAKA
Barthes, Roland. 1972. Mythologies. New York: Noondy Press.
https://id.wikipedia.org/wiki/Mitos. diakses hari Rabu, tanggal 10 Juni 2016.
Philip Thody and Ann Course, Introducing Barthes. UK: Ikons Books, 1999, hal 170.
Tim, 2008. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional Republik
Indonesia.
Wellek, Rene dan Austin Warren, 1990. Teori Kesusastraan (Cet. II). DiIndonesiakan oleh Melani Budianta
dari Theory of Literature. Jakarta: PT. Gramedia.
Zaidan, Abdul Rozak, dkk. 2004. Kamus Istilah Sastra. Jakarta: Balai Pustaka.