km case toyota dimensi

84
KM Case Toyota Perubahan Dari Masyarakat Industri Menuju Masyarakat Pengetahuan Senjata rahasia Toyota yang paling terkenal adalah sistem manufakturnya yang briliann dan tidak orthodoks. Sistem ini diperkenalkan pada pertengahan abad 20 yang dikenal dengan Toyota Production System (TPS). Sistem ini memungkinkan Toyota dapat merespons permintaan pasar yang fluktuatif dan mampu memproduksi model dengan cepat serta keunggulan dalam hal operasional logistik, mudah dipantau dan menjaganya tetap rendah. Seiring berkembangnya waktu, terjadi perubahan dalam manajemen yang cukup langka yakni perubahan dari masyarakat industri menjadi masyarakat pengetahuan. Ketika masih berada pada tahap masyarakat industri, manajemen memfokuskan pada jalur perakitan, mesin, robot, dan otomasi. Sedangkan masyarakat pengetahuan, yang saat ini dipakai, manajemen fokus pada kecerdasan yang mendalam. Toyota telah membentuk satu model manajemen baru yang sesuai dengan era pengetahuan. Cara yang ditempuh yakni dengan melihat industri otomotif sebagai industri yang dimotori pengetahuan dimana pertumbuhan bukan saja tergantung pada efisiensi operasional melainkan juga pada kemampuan orang dan organisasinya. Model manajemen pengetahuan milik Toyota melakukan pendekatan yang lebih manusiawi bagi produk-produk industri karena lebih menempatkan manusia, bukan mesin, pada titik pusat segalanya. Perusahaan melihat para pekerja pabriknya sebagai pekerja pengetahuan yang mengumpulkan kebijaksanaan pengalaman dari jalur produksi. Perusahaan memahami bahwa menumbuhkan ide dari manapun seperti dari pabrik, kantor dan sebagainya mempunyai arti penting dalam industri yang dimotori pengetahuan. Sistem Syaraf Toyota – Versi Manusia World Wide Web Toyota bekerja dengan asumsi bahwa setiap orang mengetahui segalanya karena budaya komunikasinya adalah terbuka dan personal. Informasi mengalir bebas ke atas dan ke bawah hierarki serta menyeberangi fungsi dan level senioritas, meluas hingga ke luar organisasi, yaitu pemasok, customer, dan dealer. Sesuai dengan tradisional khas timur, hubungan personal berarti sangat penting, sehingga dalam dunia Toyota yang sudah berada di era

Upload: maya-himayah

Post on 03-Jul-2015

369 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: KM Case Toyota Dimensi

KM Case Toyota

Perubahan Dari Masyarakat Industri Menuju Masyarakat Pengetahuan

Senjata rahasia Toyota yang paling terkenal adalah sistem manufakturnya yang briliann dan tidak orthodoks. Sistem ini diperkenalkan pada pertengahan abad 20 yang dikenal dengan Toyota Production System (TPS). Sistem ini memungkinkan Toyota dapat merespons permintaan pasar yang fluktuatif dan mampu memproduksi model dengan cepat serta keunggulan dalam hal operasional logistik, mudah dipantau dan menjaganya tetap rendah.Seiring berkembangnya waktu, terjadi perubahan dalam manajemen yang cukup langka yakni perubahan dari masyarakat industri menjadi masyarakat pengetahuan. Ketika masih berada pada tahap masyarakat industri, manajemen memfokuskan pada jalur perakitan, mesin, robot, dan otomasi. Sedangkan masyarakat pengetahuan, yang saat ini dipakai, manajemen fokus pada kecerdasan yang mendalam. Toyota telah membentuk satu model manajemen baru yang sesuai dengan era pengetahuan. Cara yang ditempuh yakni dengan melihat industri otomotif sebagai industri yang dimotori pengetahuan dimana pertumbuhan bukan saja tergantung pada efisiensi operasional melainkan juga pada kemampuan orang dan organisasinya. Model manajemen pengetahuan milik Toyota melakukan pendekatan yang lebih manusiawi bagi produk-produk industri karena lebih menempatkan manusia, bukan mesin, pada titik pusat segalanya. Perusahaan melihat para pekerja pabriknya sebagai pekerja pengetahuan yang mengumpulkan kebijaksanaan pengalaman dari jalur produksi. Perusahaan memahami bahwa menumbuhkan ide dari manapun seperti dari pabrik, kantor dan sebagainya mempunyai arti penting dalam industri yang dimotori pengetahuan.

Sistem Syaraf Toyota – Versi Manusia World Wide Web

Toyota bekerja dengan asumsi bahwa setiap orang mengetahui segalanya karena budaya komunikasinya adalah terbuka dan personal. Informasi mengalir bebas ke atas dan ke bawah hierarki serta menyeberangi fungsi dan level senioritas, meluas hingga ke luar organisasi, yaitu pemasok, customer, dan dealer. Sesuai dengan tradisional khas timur, hubungan personal berarti sangat penting, sehingga dalam dunia Toyota yang sudah berada di era digital sebenarnya masih bersifat analog. Untuk itu dibutuhkan pengembangan keahlian mendengarkan seluruh opini dalam sebuah lingkungan pertukaran yang bebas dan terbuka, serta dalam interaksi empat mata dan hasilnya yaitu akumulasi hubungan dalam satu jaringan yang analog, yang oleh VP eksekutif Yoshimi Inaba dikenal dengan nama ‘Sistem Saraf’.Seperti sistem saraf pusat di tubuh manusia, sistem saraf Toyota menyebarkan informasi dengan cepat dan simultan ke seluruh bagian organisasi baik organisasi dalam maupun yang beroperasi secara luas di luar negeri. Toyota memandang orang-orangnya sebagai sel sarafnya, sebagai unit structural dan fungsional yang menghasilkan dan menyebarkan sinyal atau denyut elektrokimia untuk bertindak. Orang-orang berperan sebagai neutrontransmiter dari jaringan komunikasinya. Toyota telah menggunakan sistem saraf ini untuk menghindari masalah akibat komunikasi yang buruk yang lazim terjadi di organisasi dengan birokrasi yang besar. Dengan memastikan setiap orang bisa mengetahui segalanya, beragam bagian di Toyota dapat bergerak bersama sebagai satu kesatuan. Dan inilah yang menjadi salah satu keunggulan kompetitif yang dimiliki Toyota.Sebagai sebuah sistem, Toyota tidak pernah lengkap karena Toyota terus tumbuh dan

Page 2: KM Case Toyota Dimensi

memproduksi sel saraf baru yang menyebarkan denyut berbeda dalam lingkungan bisnis yang terus berubah. Ada lima karakterisik dalam sistem saraf tersebut:

1. Penyebaran pengetahuan secara terbuka dan meluas2. Kebebasan untuk menyuarakan opini berlawanan3. Interaksi empat mata yang kerap terjadi4. Mengungkap pengetahuan implisit dalam Toyota Way5. Mekanisme pendukung organisasi yang formal dan informal

Penyebaran Pengetahuan Secara Terbuka dan Meluas

Toyota selalu memberikan nilai tinggi bagi komunikasi terbuka antar karvawan dalam berkolaborasi. Untuk memfasilitasi keja tim, para karyawan didorong untuk terlibat dalam Yokoten yang berarti bentangkan atau buka sisi tepi. Slogan “Mari kita yokoten” kerap terdengar di Toyota. Slogan ini bertujuan untuk mendorong setiap orang berbagi pengetahuan dan keahlian pribadi secara terbuka dengan orang lain. Dengan slogan ini pula maka tercipta suatu komunikasi viral yang menghasilkan penyebaran pengetahuan ke semua arah yang lebih efisien. Organisasi harus bersifat terbuka dan relatif berbentuk datar agar sistem saraf dapat berfungsi dengan baik. Toyota telah menciptakan lingkungan tersebut, terbukda dan datar, dengan menempatkan semua orang bekerja sama dalam satu ruang besar tanpa penyekat. Konsep runag besar disebut dengan nama Obeya. Individu dari kelompok fungsional yang berlainan dalam tim persiapan produksi, seperti teknologi, pengadaan, logistik, produksi dan sebagainya ditempatkan dalam satu ruang besar. Kemudian, untuk memperkuat komunikasi dan kerja tim, maka dipasanglah informasi tentang proyek di dinding obeya yang berfungsi sebagai “ruang informasi” agar semua orang dapat melihatnya. Proses ini disebut dengan mieruka atau visualisasi. Mieruka lebih efektif dibanding komunikasi terkomputerisasi dalam menjaga agar karyawan tetap mengetahui dan mengikuti perkembangan proyek.

Kebebasan Untuk Menyuarakan Opini Berlawanan

Dalam Organisasi, sebaiknya juga terbuka atas kritik dan kontradiksi agar sistem saraf berfungsi semestinya. Hal ini mengandung maksud bahwa setiap orang bebas menyuarakan opini berlawanan ke manajemen puncak dan kantor pusat. Hal ini membuat satu organisasi di mana tidak seorang pun menyembunyikan kekhawatiran atau persoalan dan dimana diskusi konstruktif berlangsung dengan rutin.Setiap individu di Toyota diharapkan akan bertindak sesuai dengan apa yang dianggapnya benar. Otoritas, tanggung jawab, dan akuntabilitas tergantung pada orang itu, bukan pada jabatan atau tahun senioritasnya. Inilah sebah warisan budaya dari praktik jidoka yang terkenal di Toyota Production System. Sebagai contoh, seorang karyawan memiliki kekuasaan untuk menarik tali andon, menghentikan jalur perakitan bila melihat sesuatu yang tidak sesuai standar. Seseorang karyawan yang memilih tali itu mendpat kewenangan dari pemahaman mendalam atas standar kualitas. Dan dasar intinya, jika setiap orang berbagi pengetahuan ini, anda dapat mengandalkan banyak orang seperti mereka untuk menarik tali andon berdasarkan alasan dan pengalaman yang tepat.

Interaksi Empat Mata Yang Kerap Terjadi

Page 3: KM Case Toyota Dimensi

Walaupun tidak ada hukuman jika operasional lokal mengabaikan saran kantor pusat atau jika bawahan tidak menaati perintah atasan mereka, penolakan untuk mendengar pihak lain adalah pelanggaran yang serius. Sistem saraf Toyota hanya berfungsi jika informasi dari sumber tersedia bagi setiap orang di organisasi, sehingga disini dibutuhkan interaksi empat mata di lapangan. Menurut Yukitoshi Funo, presiden Toyota Motor Sales, USA, hannya orang-orang yang dilapangan yang memiliki informasi yang sesuai dengan fakta lapangan. Orang-orang di atas mungkin visioner, tetapi mereka yang di bawah yang memiliki informasi aktual tentang apa yang dapat atau apa yang tidak dapat dilakukan.Para manajer di Toyota jarang mencapai posisi senior tanpa mendapat dan menyerap kehalian mendengarkan sepenuhnya atas apa yang ingin dikatakan karyawan, serta terus bertanya dan menyelidiki untuk memperoleh cara yang lebih baik. Para manajer di Toyota juga jarang mencapai posisi senior jikalau mereka adalah tipe-tipe pengkhotbah. Berkat kebijakan ini, hanya sedikit persaingan antarpribadi di Toyota untuk jenis yang eksis dimana orang-orang berebut posisi untuk mendapat pekerjaan yang mereka inginkan.

Membuat Pengetahuan Laten Menjadi Eksplisit: The Toyota Way 2001

Elemen aktif berikutnya adalah praktik mengubah pengetahuan empiris yang mendalam dan tertutup (pengetahuan laten) menjadi bentuk eksplisit guna memperluas penyebaran di organisasi dengan cara menulis atau melisankan pengetahuan yang telah mereka wujudkan (pengetahuan mendalam berdasarkan pengalaman). Toyota, dibawah kepimipinan Fujio Cho, memulai inisiatif untuk menuliskan kebijaksanaan para pendiri yang telah diwariskan secara lisan ke beberapa generasi. Semua perkataan dan anekdot dikumpulkan dan dievaluasi untuk membentuk satu set nilai, keyakinan, prinsip, wawasan, dan instuisi bagi perusahaan. Dalam prosesnya terdapat 2 nilai inti sebagai pilar Toyota yakni perbaikan berkelanjutan (kaizen) dan menghargai orang. Lalu penjabarannya dituliskan dalam sebuah dokumentasi dengan judul The Toyota Way 2001 atau lebih dikenal dengan nama the green book. Pertumbuhan dan keragaman operasional luar negeri telah memicu Fujio Cho untuk merefleksikan kebijaksanaan sesepuh perusahaan dan memikirkan cara untuk menyebarkan pengetahuan mereka di lingkungan baru guna membantu mereka melaksanakan operasional tersebut sehingga The Toyota Way pun akan berkembang seiring perjalanan waktu sehingga The Toyota Way akan direvisi bila perlu di masa depan.Publikasi The Green Book juga diikuti oleh The Toyota Way ins Sales dan Marketing yang dikenal sebagi Silver Book. Silver Book merupakan dokumentasi filosofi para pendiri perusahaan yang terkait khusus dengan operasional penjualan dan pemasaran. Silver Book ini lalu dikirim ke semua distributor pada Oktober 2002.Menuangkan kebijaksanaan para pendiri ke atas kertas adalah langkah pertama dalam proses konversi pengetahuan. Langkah selanjutnya (yang lebih penting) adalah bagaimana menyebarkan hal itu ke penjuru organisasi dan diterapkan dalam cara yang dapat diterima sebagai pengetahuan berwujud yang bisa dipahami secara implisit.

Mekanisme Pendukung Formal dan Informal

Mekanisme pendukukng formal dan informal telah dibentuk di dalam suatu organisasi dengan tujuan untuk ikut menopang fungsi efektifitas sistem saraf. Ada 2 lembaga yang berperan yaitu pertama Toyota Institute yang berguna membentuk pemimpin dan manajer madya global yang ditanamkan nilai Toyota way, dan kedua Global Knowledge Center yang bertugas untuk

Page 4: KM Case Toyota Dimensi

menyebarkan The Toyota Way in Sales and Marketing. Kedua lembaga tersebut merupakan mekanisme formal pendukung sistem saraf yang memnungkinkan setiap orang mengetahui segalanya. Selain mekanisme formal, juga didukung dengan informal dengan mendorong para karyawan untuk bergabung ke beragam kelompok yang terorganisir misalnya berdasarkan fungsi khusus, tahun angkatan, latar belakang pendidikan, tempat lahir, lever manajerial, jenis tugas di pabrik, lokasi pabrik, keahlian, olahraga dan hobby, dan induk organisasi lainnya. Adalah lazim seorang karyawan Toyota di Jepang menjadi anggota kelompok informal ini. Seoran pensiunan pekerja pabrik telah mengingat bagaimana ia berhasil membangun jaringan vertical, horizontal, bahkan diagonal melalui kelompok-kelompok informal seperti itu. Dengan melibatkan kedalam kelompok informal maka dapat terjalin suatu persahabatan. Orang-orang jug dapat belajar bagaimana cara berkomunikasi dan bisa mendapat berbagai macam informasi dengan ambil bagian di kelompok ini. Fungsi lainnya semisal jaringan vertical memangkas hierarki organisasi, jaringan horizonzal memperluas kontak anda dengan kelompk yang melakukan pekerjaan yang sama atau berbedai lokasi, dan sebagainya.

Rizki Priatma Nugraha – 090810298M – MM Unair 30 AP

Sumber: Extreme Toyota – 2008

Posted in KM Case Study | No Comments »Jurnal OC

Abstraksi

Pada organisasi Knowledge Management sangat dipengaruhi oleh budaya yang ada pada organisasi tersebut. Hal ini sering terlupakan kebanyakan organisasi berfokus pada emterpreuneurship karena dalam membangun ini kita sering dapat melihat efek langsung dari penerapannya. Tetapi sering kita melupakan jangka panjang keberhasilan suatu organisasi harus dibangun bagaimana budaya organisasi dapat berjalan dan mempengaruhi para pegawai di organisasi dan dapat memberikan profit jangka panjang kepada organisasi. Dalam membangung budaya organisasi menurut John.P. Kotter dibutuhkan figure leadership yang dapat mendorong atau malah memaksa karyawan dalam menerapkan Knowledge Management. Leader dapat memberikan arahan dan bimbingan dengan cara mengetahui terlebih dahulu bagaimana budaya yang ada dan dinginkan seluruh karyawan di organisasi. Sehingga dalam pendekatannya dapat dilakukan dengan menyesuaikan budaya yang diinginkan oleh organisasi.

Definisi Budaya Organisasi

Menurut Tosi, Rizzo, Carroll seperti yang dikutip oleh Munandar (2001:263)[1], budaya organisasi adalah cara-cara berpikir, berperasaan dan bereaksi berdasarkan pola-pola tertentu yang ada dalam organisasi atau yang ada pada bagian-bagian organisasi. Budaya organisasi disini ditekankan pada pengembangan sumber daya manusia (SDM) sesuai dengan skill dan tempat bekerja, diharapkan dengan pengembangan SDM ini organisasi dapat mencapai tujuan dan sasarannya. Hal-hal yan terkait dengan SDM antara lain tentang membuat perencanaan SDM, mendesain dan mendefinisikan pekerjaan yang tepat untuk masing-masing SDM,

Page 5: KM Case Toyota Dimensi

melakukan pelatihan dalam menunjang skill, memberikan penghargaan pada SDM yang berprestasi, menciptakan suasana yang nyaman dalam lingkungan organisasi.

Menurut Cameron dan Quinn, budaya organisasi adalah adanya suatu perekat sosial yang ada dalam organisasi, mengandung nilai, kebiasaan, kepercayaan yang mencirikan karakteristik organisasi dan seluruh anggota organisasi. Budaya organisasi menjadi titik tekan dalam melakukan perubahan organisasi. Alat yang digunakan untuk melakukan pengukuran pada budaya orgniasai adalah OCAI. Framework sebagai model yang dapat digunakan untuk memahami budaya organisasi. Strategi secara sistematik untuk melakukan perubahan pada budaya organisasi.

Fungsi dan Dinamika Budaya Organisasi

Robbins (2001) menyatakan bahwa budaya organisasi mempunyai beberapa fungsi[2]:

1. Budaya mempunyai peran pembeda pada setiap organisasi2. Budaya organisasi membawa suatu rasa identitas bagi anggota-anggota organisasi.3. Budaya organisasi mempermudah timbulnya pertumbuhan komitmen pada sesuatu yang

lebih luas dari pada kepentingan diri sendiri.4. Budaya organisasi itu meningkatkan kemantapan sistem sosial. Dari segi sosial, berfungsi

mempersatukan organisasi dengan memberikan standarstandar yang tepat hal-hal yang harus dikatakan dan dilakukan oleh anggota organisasi, sehingga akan membentuk sikap dan perilaku para anggota organisasi.

Prinsip dasar analisa system

Dalam menganalisa system untuk membuat suatu model didalam organisasi atau perusahaan, Alter (2001) menggunakan framework untuk membuat suatu model yang merepresentasikan system yang ada[3].

Framework atau kerangka adalah sekumpulan idea atau asumsi yang digunakan untuk mengatur suatu proses hasil berpikir terhadap suatu hal atau kondisi tertentu. Framework digunakan untuk membuat suatu model. Sedangkan model itu sendiri adalah gambaran sederhana dari suatu hal atau situasi tertentu. Model sangat berguna dalam menganalisa suatu kondisi atau situasi tertentu karena model dapat menggambarkan tiruan realita tanpa harus berhadapan dengan setiap detilnya. Framework juga digunakan untuk mendefinisikan pendekatan utama untuk desain organisasi, membantu dalam mengorganisasikan dan menafsirkan kondisi organisasi secara luas, tingkat pengembangan life cycle, kualitas organisasi, keefektifan organisasi, aturan kepemimpinan dan aturan dalam mengelola SDM.

Framework nilai kompetensi

Instrument penilaian yang dapat digunakan untuk mengetahui budaya suatu organisasi adalah model Competing Value Framework. Framework ini digunakan untuk mengetahui hal-hal yang dominan dalam organisasi, mengetahui keefektivan jalannya organisasi serta factor-faktor jalannya organisasi seta factor-faktor yang mendukung, dan indicator keefektivannya.

Page 6: KM Case Toyota Dimensi

Budaya organisasi dapat dibagi menjadi dua dimensi yaitu:

1. Dimensi pertama

Dimensi pertama membedakan criteria, efektivitas yang mengutamakan fleksibilitas, kebebasan dalam memilih, dan dinamika, dari criteria yang mengutamakan pada stabilitas, perintah, dan pengendalian.

1. Dimensi kedua

Dimensi kedua membedakan criteria efektivitas, yang mengutamakan orientasi interna, integrasi, kesatuan, dari criteria yang mengutamakan orientasi eksternal, diferensiasi, dan persaingan.

Kedua dimensi ini dapat dibagi kedalam empat kuadran yang menggambarkan indicator efektiv suatu organisasi. schein’s mengatakan metode ini digunakan untuk menganalisis nilai-nilai sentral organisasi. The competing values framework (CVF) (Quinn & Rohrbaugh, 1981, 1983; Quinn & Kimberly, 1984; Cameron & Quinn, 1999). Quinn and Rohrbaugh (1981, 1983) and Cameron and Quinn (1999) menegaskan CVF adalah salah satu strategy untuk memeriksa karakteristik budaya organisasi yang dapat mempengaruhi efektivitas organisasi dan kesuksesan. CVF mengusulkan bahwa budaya organisasi mencerminkan empat jenis budaya: (a) clan; (b) hierarchy; (c) adhocracy; dan (d) market.

Gambar 1.  framework nilai kompetensi

Model organisasi menurut Cameron and Quinn (1999) pada gambar dibagi menjadi 4 model yaitu[4]:

1. Herarchy Culture (Budaya terstruktur)

Budaya hirarki menurut weeber’s memiliki struktur organisasi yang jelas, aturan standar dan prosedur, control yang ketat, dan juga mendefinisikan tanggung jawab. Pada model ini focus pada hasil internal kemudian hasil eksternal dan nilai kestabilan dan kontrrol yang sangat fleksibel dan keleluasaan. Dalam ha perintah dan control dilakukan secara tradisional, dengan kerja yang dihasilkan akan bagus jika tujuan yang hendak dicapai efisien dan lingkungan organisasi stabil dan simple. Budaya hirarki maka teknologi akan diperankan sebagai alat yang mampu membantu penyelesaian masalah yang terkait dengan prosedur dan aturan.

1. Market Culture (Budaya menguasai pasar)

Budaya menguasai pasar berfokus pada trasaksi dengan lingkungan luar organisasi,  bukan di internal manajemen. Tujuan organisasi adalah untuk mendapatkan keuntungan melalui persaingan pasar. Konsep ini berasal dari Ouchi’s (1979,1984) penelitian mengenai system Z pengusaan pasar. Pada budaya ini melihat lingkungan eksternal sebagai ancaman, dan pencarian untuk mengidentifikasikan ancaman dan peluang untuk mencari keuntungan. Budaya market memanfaatkan teknologi sebagai alat untuk memenangkan pasar.

Page 7: KM Case Toyota Dimensi

1. Clan Culture (Budaya Kekeluargaan)

Budaya Kekeluargaan, budaya ini kebanyakan berisikan nilai-nilai bersama dan tujuan bersama, suasana kebersamaan dan saling membantu, penekanan pada perberdayaan dan keterlibatan karyawan. Wilkins dan Ouchi (1983, p.472-474) mendefinisikan bahwa budaya clan dapat dikembangkan dibawah kondisi tertentu seperti sejarah yang relative panjang dan keanggotaan stabil, tidak adanya alternative institusi, tidak intensnya interaksi antara sesame anggota, dll. Tujuan dari budaya ini untuk mengelola lingkungan organisasi dengan teamwork, saling berpartisipasi dan adanya persetujuan. Budaya clan memiliki orientasi pada kondisi internal, teknologi akan berperan sebagai alat yang mampu menyelesaikan masalah internal aktivitas organisasi dan dikembangkan pada kemampuan SDM yang ada.

1. Adhocracy Culture(Budaya Khusus)

Budaya khusus, merupakan sebuah budaya di lembaga secara sementara, yang berakhir bila tugas-tugas organisasi berakhir, dan ada lagi ketika budaya yang baru datang. Budaya adhocracy sering ditemukan dalam industry. Focus pada hasil eksternal dan nilai yang dijalankan bersifat fleksibel dan kebijakan digunakan untuk menjaga keseimbangan dan control, nilai kuncinya adalah kreativitas dan pengambilan keputusan. Budaya khusus maka teknologi informasi merupakan alat yang dapat digunakan untuk menciptakan inovasi produk dan layanan.

Budaya organisasi mempunyai empat jenis yaitu, Clan, Adhocracy, Hierarchy, Market dapat dibedakan dengan menggunakan enam dimensi Budaya Organisasi yaitu:

1. Karakteristik Dominan2. Kepemimpinan Organisasi3. Manajemen Karyawan4. Kerekatan / Hubungan didalam Organisasi5. Penekanan-penekanan strategis6. Kriteria Keberhasilan

tabel 1. Table budaya organisasi

Jenis Budaya Karakteristik Organisasi

Kepemimpinan Organisasi

Manajemen Karyawan

Kerekatan/Hubungan didalam Organisasi

Penekanan-penekanan Strategis

Clan Organisasi merupakan tempat yang menyenangkan karena orang dapat berbagi banyak hal mengenai diri mereka

Kepemimpinan di dalam organisasi pada umumnya menunjukkan pengajaran dan membimbing

Gaya manajemen di dalam organisasi dicirikan dengan kerjasama tim, kesepakatan bersama, dan partisipasi anggota

Kerekatan/hubungan didalam organisasi didasarkan pada loyalitas dan saling percaya sehingga komitmen terhadap organisasi tinggi

Organisasi menekankan terhadap pengembangan SDM dalam hal kepercayaan tinggi, keterbukaan, dan partisipasi yang dilakukan

Adhocracy Organisasi merupakan tempat

Kepemimpinan di dalam organisasi

Gaya manajemen di dalam organisasi

Kerekatan/hubungan didalam organisasi

Organisasi menekankan untuk mendapatkan

Page 8: KM Case Toyota Dimensi

yang sangat dinamis dimana orang mau melakukan sesuatu yang menantang dan mengambil resiko

pada umumnya menunjukkan jiwa yang berani mengambil resiko dan mampu mencari hal-hal baru (inovasi)

dicirikan dengan pengambilan resiko oleh individu, inovasi, kebebasan, dan keunikan

didasarkan pada komitmen terhadap inovasi dan pengembangan

sumber daya-sumber daya yang baru, menciptakan tantangan-tantangan yang baru dan mencari peluang-peluang

Market Organisasi sangat berorientasi pada penyelesaian pekerjaan

Kepemimpinan di dalam organisasi pada umumnya menunjukkan fokus yang bukan mengada-ada, agresif, berorientasi pada hasil

Gaya manajemen di dalam organisasi dicirikan dengan kompetisi yang sangat ketat, tuntutan yang tinggi, dan pencapaian hasil

Kerekatan/hubungan didalam organisasi didasarkan pada penekanan terhadap pencapaian hasil

Organisasi menekankan terhadap tindakan-tindakan kompetitid berorientasi hasil

Hierarchy Organisasi adalah tempat yang sangat terkontrol dan terstruktur. Prosedur-prosedur formal umumnya mengatur apa yang dilakukan oleh karyawan

Kepemimpinan di dalam organisasi pada umumnya menunjukkan koordinasi, organisasi, atau efisiensi yang berjalan dengan bagus

Gaya manajemen di dalam organisasi dicirikan dengan kepatuhan dan kepercayaan

Kerekatan/hubungan didalan organisasi didasarkan pada aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan formal. Menjaga organisasi agar berjalan dengan baik adalah penting

Organisasi menekankan efisiensi, pengendalian dan operasi yang berjalan lancer

Budaya yang Adaptif

Menurut John. P. Kotter hanya budaya yang dapat membantu organisasi mengantisipasi dan beradaptasi dengan perubahan lingkungan, akan diasosiasikan dengan kinerja yang superior sepanjang periode waktu yang panjang. Budaya yang tidak dapat adaptif adalah budaya hirarki seperti pada militer dan organisasi kepemerintahan. Orang-orangnya reaktif, menolak resiko dan tidak sangat kreatif. Informasi tidak mengalir cepat dan mudah di seluruh organisasi. Tekanan control yang luas mengurangi motivasi dan kegairahan.

Ralph Kilmann menggambarkan budaya tersebut dengan cara seperti ini:”sebuah budaya yang adaptif meminta pendekatan yang bersifat siap menanggung resiko, percaya, dan proaktif terhadap kehidupan organisasi juga kehidupan individu. Para anggota secara aktif mendukung usaha satu sama lain untuk mengidentifikasi semua masalah dan mengimplementasikan solusinya. Ada rasa percaya diri (confidence) yang dimiliki bersama: para anggota percaya, tanpa rasa bimbang, bahwa mereka dapat menyelesaikan masalah baru yang timbul dan semangat dapat disebarkan keseluruh karyawan, satu semangat yang untuk melakukan penyelesaian apa saja masalah yang timbul demi keberhasilan organisasi. Para anggota itu reseptif terhadap perubahan dan inovasi.

Rosabeth Kanter mengemukakan bahwa jenis budaya ini menghargai dan mendorong entrepreuneurship, yang dapat membantu sebuah perusahaan beradapatasi dalam lingkungan

Page 9: KM Case Toyota Dimensi

yang berubah-ubah. Kotter sependapat dengan Rosabeth Kanter tetapi dia hanya menambahkan penekanannya bukan pada kewiraswastaan (entrepreuneur) tapi pada leadership dalam menciptakan perubahan.

Budaya Organisasi dan Adopsi TIK

Budaya organisasi memiliki pengaruh terhadap tujuan pemanfaatan teknologi informasi dan komunikasi[4]. Teknologi sebagai sebuah alat dapat dimanfaatkan dengan peran tertentu tergantung pada orientasi pengguna. Berdasarkan konsep competing values framework yang membedakan budaya organsasi menjadi budaya klan, hirarki , market dan adhocracy maka konsep pemanfaatan teknologi akan berbeda pada masing masing budaya organisasi. Orientasi organisasi akan mempengaruhi arah pemanfaatan teknologi tersebut.

Dalam pendekatan competing values framework dapat dirumuskan bahwa organisasi dapat secara efektif menerapkan e-government jika memiliki kecenderungan untuk berorientasi pada pihak luar, stabil, dan efisien. Berorientasi pada pihak luar berarti memusatkan segala aktivitas pada pelayanan publik sebagai konsumen, meletakan pemanfaatan teknologi informasi sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan pelayanan publik. Kriteria keberhasilan bukanlah pada sebarapa banyak ragam teknologi untuk pelayanan publik tetapi pada seberapa puas publik yang memanfaatkan pelayanan digital.

Organizational culture Assessment Instrument (OCAI)

Berdasarkan CVF, Cameron dan Quinn (1999, 2006) mengembangkan skala, sebagai instrument untuk mengukur budaya organisasi, terdiri dari 24 item. Pada saat ini, Kwan dan Walker (2004) mengatakan, CVF menjadi model yang paling banyak digunakan untuk mengukur pada kuantitatif research pada organization culture. Dimensi dari budaya organisasi dengan menggunakan OCAI ada enam yaitu karakteristik yang dominan, pimpinan organisasi, managemen pegawai, kerekatan atau kedekatan dalam organisasi, penekanan atau perhatian terhadap strategim kreteria sukses. Masing-masing dimensi mempunyai 4 pertanyaan. Tujuan dari instrument penilaian Budaya Organisasi adalah untuk menilai enam dimensi penting dalam budaya organisasi (www.ocai-online.com). Skala yang digunakan untuk mengukur budaya organisasi adalah constant sum data dimana biasanya tepat ketika frekwensi mudah untuk diperkirakan dalam memberikan beberapa alternative atau pilihan (Huber, bradlow). Constant sum data didapat dari menanyakan pada responden untuk memberikan nilai 100 untuk jawaban yang dipilih sehingga menggambarkan derajat pilihan, kepentingan atau penilaian lain. Pertanyaan-pertanyaan OCAI secara global terdapat pada table 2.

Studi Kasus

Penulis melakukan wawancara pada Kepala PINMAS (Pusat Informasi Keagamaan dan Kehumasan) Kementerian Agama  untuk mengetahui budaya organisasi yang ada dan budaya seperti apa yang diinginkan. Sehingga didapatkan nilai budaya seperti table 2 menggunakan kuesioner OCAI:

Tabel 2. kuesioner OCAI

Page 10: KM Case Toyota Dimensi

Pertanyaan 1 Karakteristik Dominan Keadaan saat ini

Keadaan yg diharapkan 3-5 tahun

mendatangA Organisasi merupakan tempat yang

sangat personal/pribadi, seperti suatu keluarga besar, dimana orang-orang di dalamnya saling berbagi satu sama lain (bersifat kekeluargaan)

30 25

B Organisasi merupakan tempat yang sangat dinamis dan entrepreneurial. Orang-orang didalamnya berani mengambil resiko

15 25

C Organisasi sangat berorientasi pada hasil. Focus utamanya adalah memperoleh/ mendapatkan perkerjaan. Orang-orang didalamnya sangat kompetitif dan berorientasi pada prestasi.

15 30

D Organisasi sangat terkendali dan terstruktur/ berpengaruh pada apa yang harus dilakukan.

40 20

Total 100 100

Tabel 2. Kuesioner OCAI (lanjutan)

Pertanyaan 2 Kepemimpinan Organisasi Keadaan saat ini

Keadaan yg diharapkan 3-5 tahun

mendatangA Kepemimpinan organisasi pada

umumnya cenderung untuk memberikan/ menunjukkan suatu contoh, kemudahan atau pengasuhan.

30 25

B Kepemimpinan organisasi pada umumnya cenderung untuk memberikan. Menunjukkan entrepreneurship, inovasi atau pengambilan resiko

15 20

C Kepemimpinan organisasi pada umumnya cenderung untuk memberikan/menunjukkan entrepreunership, inovasi atau pengambilan resiko

25 30

D Kepemimpinan organisasi pada 30 25

Page 11: KM Case Toyota Dimensi

umumnya cenderung untuk memberikan. Menunjukkan koordinasi, organizing dan efisiensi.

Total 100 100

Tabel 2. Kuesioner OCAI (lanjutan)

Pertanyaan 3 Manajemen Kepegawaian Keadaan saat ini

Keadaan yg diharapkan 3-5 tahun

mendatangA Tipe manajemen dalam organisasi

memiliki karakteristik: kerjasama tim (teamwork), kesepakatan (consensus)dan partisipasi.

30 20

B Tipe manajemen dalam organisasi memiliki karakteristik: pengambilan resiko individual, inovasi, kebebasan dan kunikan

30 20

C Tipe Manajemen dalam organisasi memiliki karakteristik: daya saing yang sulit, tuntutan yang tinggi dan pencapaian prestasi

20 30

D Tipe manajemen dalam organisasi memiliki karakteristik: jaminan pekerjaan, kecocokan, kemungkinan meramalkan (predictablitiy) dan keseimbangan dalam hubungan kerjasama

20 30

TOTAL 100 100

Tabel 2 Kuesioner OCAI (lanjutan)

Pertanyaan 4 Kerekatan/kedekatan Organisasi Keadaan saat ini

Keadaan yg diharapkan 3-5 tahun

mendatangA Kedekatan yang mengikat organisasi

adalah loyalty dan saling percaya.15 30

B Kedekatan yang mengikat organisasi adalah komitmen untuk inovasi dan pengembangan

15 30

C Kedekatan yang mengikat organisasi adalah komitmen untuk inovasi dan pengembangan

40 20

Page 12: KM Case Toyota Dimensi

D Kedekatan yang mengikat organisasi adalah penekanan pada prestasi dan pencapaian tujuan. Tema yang utama adalah sifat agresif dan menang.

30 20

TOTAL 100 100

Tabel 2. Kuesioner OCAI (lanjutan)

Pertanyaan 5 Penekanan/perhatian strategis Keadaan saat ini

Keadaan yg diharapkan 3-5 tahun

mendatangA Perhatian/penekanan organisasi pada

pengembangan manusia, kepercayaan yang tinggi, keterbukaan dan partisipasi.

25 25

B Perhatian/penekanan organisasi pada mendapatkan sumber daya baru dan menciptakan tantangan baru. Mencoba sesuatu yang baru dan prospek terhadap peluang dinilai.

20 20

C Perhatian/penekanan organisasi pada tindakan kompetitif dan prestasi. Meluaskan target dan mendapatkan pangsa pasar adalah hal yang dominan

30 25

D Perhatian/penekanan organisasi pada keabadian dan keseimbangan. Efisiensi, kendali dan kelangsungan operasi adalah hal yang penting

25 30

TOTAL 100 100

Tabel 2. Kuesioner OCAI (lanjutan)

Pertanyaan 6 Kriteria Sukses Keadaan saat ini

Keadaan yg diharapkan 3-5 tahun

mendatangA Organisasi mendefinisikan kesuksesan

atas dasar pengembangan sumber daya manusia, kerjasama tim (teamwork), komitmen pegawai dan focus pada manusia

30 25

B Organisasi mendefinisikan kesuksesan atas dasar memiliki produk yang unik atau terbaru. Sebagai innovator dan

30 25

Page 13: KM Case Toyota Dimensi

pemimpin produk (product leader)C organisasi mendefinisikan kesuksesan

atas dasar mendapatkan/memenangkan pangsa pasar dan melebihi kompetisi. Menjadi pemimpin pasar merupakan kunci utama.

20 25

D Organisasi mendefinisikan kesuksesan atas dasar efisiensi. Penyampaian hasil yang dapat dipercaya, penjadwalan yang lancar dan biaya produksi yang rendah adalah hal yang kritis.

20 25

TOTAL 100 100

Hasil yang Diperoleh

Model budaya organisasi PINMAS Kementerian Agama:

1. Budaya saat ini

Dominasi karateristik dominannya adalah hirarki dengan point 27.5 yaitu Organisasi adalah tempat yang sangat terkontrol dan terstruktur. Karakteristik organisasi  dengan prosedur-prosedur formal umumnya mengatur apa yang dilakukan oleh karyawan. Kemenag merupakan satu-satunya kementerian yang tidak di otonomi dengan UU 22 thn 99, sehingga pola regulasi yang ada dimulai dari atas yaitu pusat sampai tingkat paling bawah yaitu KUA, kemenag yang satkernya paling banyak dibanding kementerian yang lain membuat informasi yang ada dipusat tidak cepat sampai ketingkat paling bawah dengan hambatan-hambatan yang berbagai macam sehingga dengan pola seperti ini sering kali menjadi kendala tersendiri.

Kepemimpinan didalam organisasi pada umumnya menunjukkan kordinasi, organisasi, atau efisiensi yang berjalan dengan bagus. Karena dalam organisasi pemerintah semua tupoksi (tugas pokok dan fungsi) telah diatur dan disertakan undang-undang yang mendukung tupoksi tersebut sehingga pendelegasian perintah dan kerjasama antar sector dapat terlihat dengan jelas.

Gaya manajemen di dalam organisasi dicirikan dengan  kepatuhan dan kepercayaan, sehingga apa yang disampaikan atasan harus dilakukan oleh bawahan secara keseluruhan dan keyakinan tentang perintah yang diperintahkan.

Kerekatan/hubungan didalan organisasi didasarkan pada aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan formal. Menjaga organisasi agar berjalan dengan baik adalah penting. Segala aturan dan tupoksi dari setiap jabatan telah tersusun dengan jelas kewenangan dan perkerjaannya dalam hokum yang berlaku di Negara.

Organisasi menekankan efisiensi, pengendalian dan operasi yang berjalan lancer. Organisasi menekankan pada efisiensi karena organisasi pemerintah tugas pokoknya adalah sebagai

Page 14: KM Case Toyota Dimensi

pelayanan masyarakat sehingga efisiensi merupakan cita-cita organisasi pemerintah untuk memberikan pelayanan yang sebaik-baiknya.

Organisasi menentukan keberhasilan atas dasar efisiensi dalam hal pemeberian pelayanan yang ramah, cepat dan memuaskan. Karena ini merupakan landasanan didirikannya kementerian karena mereka merupakan pelayan masyarakat yang harus mengetahui pelayanan kepada masyarakat dengan sebaik baiknya.

Budaya seperti ini juga menimbulkan rasa keakraban yang tinggi dan kecintaan pada organisasi ini akibat struktur hirarki sehingga semua merasa harus ikut terlibat dalam menyukseskan visi misi besar ditingkat pusat dapat dilihat dari tingginya juga hasil dari klan yaitu 26.67

Budaya Klan Adhocracy Market HirarkiRata-rata 26.67 20.83 25 27.5

1. Budaya yang diharapkan

Budaya Klan Adhocracy Market HirarkiRata-rata 25 23.4 26.7 25

Dalam table terlihat bahwa budaya yang paling menonjol adalah market, Organisasi sangat berorientasi pada penyelesaian pekerjaan. Karena pada saat ini karakterik organisasi sangat terkontrol dan terstruktur. Sehingga para karyawan harus melakukan tahapan-tahapan yang baku dalam menyelesaikan pekerjaan sehingga mereka tidak diperbolehkan untuk improve sesuai dengan pengetahuan dan kemampuan masing-masing dalam menyelesaikan suatu pekerjaan.

Kepemimpinan di dalam organisasi pada umumnya menunjukkan fokus yang bukan mengada-ada, agresif, berorientasi pada hasil. Kepemimpinan seperti ini yang diharapkan karena pada pola yang sebelumnya kepemimpinan berfokus pada koordinasi dan efisiensi sehingga kepemimpinan seakan-akan kurang terfokus pada orientasi hasil dan merupakan keputusan hasil bersama, karena keputusan dengan pola keputusan bersama ini merupakan keputusan hasil kompromi dan pemimpin kurang dapat bergerak lebih cepat dan leluasa dalam menyelesaikan masalah dan berkerja.

Kerekatan/hubungan didalam organisasi didasarkan pada penekanan terhadap pencapaian hasil. Pada sebelumnya aturan-aturan dan kebijakan-kebijakan formal sehingga aturan-aturan tersebut mengganggu dalam mereka untuk berkerja, karena yang diinginkan adalah pencapaian hasil sehingga mereka bebas berkreasi dalam mencapai tujuannya.

Organisasi menentukan keberhasilan di pasar dan melalui kompetensi. Organisasi tidak harus selalu berpatokan pada efisiensi karena dalam menghadapi persaingan pasar kemungkinan kita untuk mengeluarkan biaya lebih besar sangat dimungkinkan dengan berbagai macam tujuan misalnya untuk membeli suatu produk yang didalamnya ada intangible asset.

Page 15: KM Case Toyota Dimensi

Perubahan budaya organisasi menjadi modal pokok dalam melakukan perubahan secara mendasar. Perubahan budaya organisasi terkait dengan perubahan dari rasa atau keinginan, pola pikir hingga pada tingkah laku.

Perubahan rasa atau keinginan yaitu adanya kemauan untuk melakukan perubahan menuju arah yang lebih baik. Pola pikir yaitu membuat gagasan berupa ide-ide yang dapat dilakukan untuk merubah suatu keadaan menjadi lebih baik. Tingkah laku yaitu suatu proses kegiatan dalam bentuk fisik atau dapat dilihat dengan kasat mata, dalam rangka menuju visi dan misi yang di telah ditetapkan.

Dominasi secara keseluruhan model budaya organisasi kondisi saat ini adalah hirarki dan kondisi yang diharapkan adalah budaya market. Dikihat dari poinnya ada penurunan dari kondisi saat ini yaitu hirarki ke kondisi yang diharapkan yaitu market.

Kesimpulan

Pada kasus kementerian agama kita dapat mengetahui budaya yang berkembang saat ini yaitu hirarki ini merupakan kementerian agama merupakan organisasi pemerintah yang secara undang-undang telah dituliskan apa tupoksinya dan bagi karyawan didalamnya kedudukan dan fungsi setiap struktur telah ditetapkan oleh undang-udang dan peraturan menteri sehingga budaya yang terjadi merupakan budaya hirarki karena dalam struktur kepemerintahan apa yang diperintahkan dari pusat harus dapat dikerjakan oleh struktur dibawahnya. Dan pendekatan-pendekatan yang budaya yang digunakan merupakan pendekatan hirarki

Budaya yang diinginkan oleh karyawan PINMAS kemenag merupakan budaya market, budaya yang selalu berorientasi pada hasil akhir. Sehingga dalam penyelesaian tugasnya tidak perlu terlalu diketahui bagaimana bisa tercapai dan dan tata caranya sehingga dalam melakukannya tergantung keahlian serta kreativitas dalam organisasi. Karena semua beroririentasi hasil akhir.

Fungsi cara-cara pengukuran seperti ini kita dapat mengetaui budaya kerja yang diinginkan sehingga leader dapat mengambil peran dalam menciptakan sebuah culture atau budaya. Sehingga dalam penyelesaian tugas-tugas dan kondisi suasan kerja pemimpin dapat memberikan dengan pendekatan budaya yang diinginkan oleh seluruh karyawan disana.

Daftar Pustaka

1.ISSN: 1410 – 2420 Chairumam Armia, Pengaruh Budaya terhadap Efektifitas Organisasi: Dimensi Budaya … 114 JAAI VOLUME 6 NO. 1, JUNI 2002.

2.Robbins, Stephen P., (2001), Organizational Behavior, New Jersey: Pearson Education International

3.Alter, Steven (2002), “ Information System, Foundation of EBusiness”, 4th ed, Prentice Hall.

4.Cameron Kim S (2004), “A Process for Changing Organizational Culture”, Michael Driver (ED.) The Handbook of Organizational Development.

Page 16: KM Case Toyota Dimensi

Posted in Paper & Group Assignment | No Comments »Jurnal R&D

Abstract

Beberapa perusahaan memiliki cara masing-masing untuk konsentrasi pada core business mereka dalam menghadapi kompetitor dan tekanan yang datang dari pasar, serta kompleksitas dari proses, produk dan lingkungan sekitar. Untuk menangani masalah ini, perusahaan-perusahaan membentuk sebuah kelompok kerja atau divisi khusus yang mengatasnamakan dirinya kelompok research and development (Research and development) dan membuat peraturan yang jelas bagi para karyawannya. Pandangan holistik dan rencana jangka panjang diperlukan untuk mencapai tujuan yang ambisius seperti pengolahan ilmu pengetahuan yang beragam dan menyebar di dalam lingkungan perusahaan. Berbagai metode dilakukan untuk mengembangkan pengetahuan dan informasi bagi karyawan, salah satunya dengan metode Knowledge Management, yang mengikutsertakan teknologi informasi di dalam pengolahan pengetahuan. Agar knowledge management ini tercipta, dibutuhkannya karyawan-karyawan kualitas tinggi sebagai sumber pengetahuan dan komunikasi yang lancar dalam lingkungan kerja untuk mempercepat penyebaran informasi tersebut.

Keyword : Pembelajaran dan pelatihan, knowledge management, komunitas

1. PENDAHULUAN

Dalam dunia bisnis saat ini, teknologi informasi memainkan peranan penting dalam manajemen pengetahuan (knowledge management) sebagai supporting research and development yang bertujuan untuk menciptakan, menyimpan, memelihara dan mendiseminasikan pengetahuan. Knowledge management pada mulanya diterapkan dalam dunia bisnis yang dapat membantu komunikasi dari top manajemen hingga ke bagian operasional untuk memperbaiki proses kerja, dan seiring dengan kecepatan perolehan informasi. Hal ini berlaku untuk semua jenis industri dan sektor pasar, baik itu manufaktur, ritel, kesehatan, kedirgantaraan, pendidikan, energi, dan financial.

Pengembangan suatu organisasi tidak lepas dari dukungan proses research and development yang dilakukan suatu organisasi. Berbicara tentang research and development, maka pembahasan ini akan sangat erat kaitannya dengan pembelajaran dan pelatihan  (learning and training) yang memiliki tujuan untuk pengembangan karyawan. Mengapa demikian? Karena karyawan merupakan pelaksana dari proses bisnis yang ada. Pengembangan terhadap potensi karyawan penting dilakukan agar setiap individu siap menerima setiap perubahan atau inovasi-inovasi baru dalam proses bisnis. Disetiap aspek penting yang terkandung dalam knowledge management akan ada banyak ditemukan learning and training. Ini membuktikan bahwa research and development merupakan bagian penting dari kesuksesan implementasi knowledge management pada suatu organisasi.

Pada kenyataannya masih banyak potensi sumber daya pengetahuan yang menjadi aset-aset intangible perusahaan yang belum dapat dioptimalkan dan diexplorasi dengan baik. Budaya saling berbagi pengetahuan dalam lingkungan internal belum terbentuk, sehingga kompetensi

Page 17: KM Case Toyota Dimensi

masing-masing individu cenderung tidak berkembang dan statis. Dengan tuntutan dinamis dari tempat kerja, seorang individu yang terampil dalam teknik management project dalam hal memiliki kemampuan unggul untuk mengatur dan mengadakan pendekatan sistematis pada karya-karyanya. Nilai ini penting juga memberikan keuntungan kompetitif yang nyata bagi individu dalam hal pengembangan karir dan meningkatkan potensi diri dalam mengelola area kerja lain.

2. IDENTIFIKASI MASALAH

Pada jurnal kali ini, saya akan coba membahas knowledge management dilihat dari kaca mata inovasi-inovasi yang dapat tercipta dari hasil penelitian dan pengembangan terhadap ilmu pengetahuan. Adapun masalah-masalah yang akan diangkat dalam jurnal adalah :

1.    Pemanfaatan knowledge management dalam mendukung Research and development

2.    Fungsi Research and development sebagai bagian pendukung yang penting dalam core bisnis didalam perusahaan.

3.    Bagaimana informasi dan komunikasi antara Research and development dengan bagian lain dapat efektif dan efisien

3.  RESEARCH AND DEVELOPMENT

Penelitian dan pengembangan (research and development) adalah sebuah studi tentang ide-ide, metode, produk atau jasa yang disesuaikan dengan tujuan meningkatkan apa yang ditawarkan oleh organisasi. Research and development sangat penting bagi sebuah perusahaan untuk tetap bertahan dan bersaing dalam perubahan industri. Para investor akan melihat sebuah perusahaan yang sehat dengan menilai research and development dalam mengevaluasi kinerja masa depan terutama ketika mengevaluasi sebuah investasi jangka panjang.

Ada 5 tahap dalam sebuah proses research and development (Spuches & Coufal, 2000) :

Gambar 3.1 :

Cycle Research and Development Process

1. Define

Mendefinisikan masalah-masalah yang timbul saat proses operasional dan perlu dibahas sejelas mungkin. Apa saja faktor penyebab dan dampak yang timbul akibat faktor tersebut. Mendefinisikan juga segala kemungkinan yang berhubungan dengan masalah tersebut untuk mencari solusi yang tepat.

2. Analyze

Page 18: KM Case Toyota Dimensi

Menganalisis kebutuhan untuk menghasilkan cara-cara alternatif dan memilih alternatif tersebut setelah ditemukan beberapa masalah yang timbul saat tahap define dilakukan. Membedakan antara ide-ide baru yang memiliki potensi, dan ide-ide baru yang tidak layak. Menganalisa kebutuhan pasar, customer serta mencari cara untuk meningkatkan produktifitas perusahaan

3. Design / Develop

Desain / Mengembangkan campuran solusi yang paling layak dan optimal. Tim menyusun dan membentuk sebuah produk, jasa, atau service baru yang telah dirancang dan dikembangkan sehingga menjadi sebuah inovasi baru yang sesuai dengan kebutuhan

4. Trial

Melakukan implementasi inovasi dan uji lapangan, menerapkan dan menyebarluaskan informasi mengenai hasil dari penelitian. Trial dilakukan untuk menguji apakah produk, jasa atau service ini dapat diterima oleh pihak internal dan eksternal.

5. Evaluate / Revise

Mengevaluasi dan merevisi produk berdasarkan informasi dan hasil. Bisa dilakukan dengan cara quesioner, survey, atau dengan interview beberapa customer untuk mendapatkan feedback terhadap produk yang diluncurkan.

Dari gambar diatas menunjukkan adanya aktifitas continue atau berkelanjutan yang terus-menerus melakukan improvement yang berkelanjutan dengan cara menghasilkan inovasi-inovasi baru sebagai solusi dari setiap masalah serta memperpanjang umur suatu produk untuk bertahan di pasar.

3.1 MARKET RESEARCH DALAM PENGEMBANGAN PRODUK

Kemudian dengan pertumbuhan pesat perusahaan menyebabkan kegiatan R & D kurang diperlukan dan pemecahan masalah yang terjadi didalam perusahaan diserahkan oleh pihak eksternal atau vendor. Departemen R & D kemudian bertanggung jawab untuk pengembangan mesin-mesin baru dan departemen konstruksi harus memproses pesanan pelanggan, yang berarti bahwa di departemen ini kebutuhan khusus dari pelanggan tentang mesin harus diimplementasikan dalam spesifikasi teknis umum.

4. KNOWLEDGE

Pengetahuan (knowledge) adalah aset yang sebenarnya dari sebuah organisasi yang berorientasi pada pemasaran, dan berintegrasi di seluruh departemen, serta menekankan pada peraturan (Carneiro, 2001).

David Gurteen (1998) dalam jurnalnya mencoba mendeskripsikan knowledge seperti sebuah kue. Beliau mengatakan bahwa knowledge adalah berbicara tentang know-how and know-why. Sebuah metafora non bisnis yang sederhana dari membuat sebuah kue. Daftar bahan yang tertulis

Page 19: KM Case Toyota Dimensi

disebuah resep merupakan informasi dan juru masak yang berpengalaman memiliki tacit knowledg. Resep merupakan sebuah pengetahuan eksplisit (tertulis). Seorang juru masak dengan pengalaman dan keahliannya-tacit knowledge, bahkan tidak akan bisa membuat kue yang sangat baik tanpa resep kue tersebut. Dengan kata lain, seseorang walaupun dengan pengetahuan yang relevan, pengalaman, dan keahlian – pengetahuan di kepala mereka – yang tidak mudah diturunkan – tacit – tetap membutuhkan eksplisit knowledge untuk menghasilkan best practise.

Nonaka&Takeuchi (1995), mengatakan bahwa “perusahaan yang sukses adalah yang konsisten menciptakan pengetahuan baru, membaginya keseluruh organisasi, dan semua orang tahu akan teknologi baru dan hasilnya”.

Menurut Davenport dan Prusak (1998) knowledge is a fluid mix of framed experience, values, contextual information, and expert insight that provides a framework forevaluating and incorporating new experiences and information. It originates and is applied in the mindsof knowers. In organizations, it often becomes embedded not only in documents or repositories but alsoin organizational routines, processes, practices and norms).

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah sebuah kumpulan dari pengalaman, nilai, kontekstual informasi, pendapat para pakar yang menciptakan pengetahuan baru dan membaginya keseluruh bagian departemen dan semua orang tahu akan inovasi baru yang tercipta dan hasilnya.

4.1 KNOWLEDGE MANAGEMENT

Pemanfaatan KM secara efektif dapat menjadi kemungkinan yang kuat dari :

1. Pendokumentasian pengalaman customer atau complain customer serta solusi terbaik yang dapat dilakukan agar mencegah kemungkinan terjadi kembali.

2. Kecepatan dalam hasil bisnis dengan menghilangkan penciptaan kembali3. Mengubah pengetahuan individu menjadi pengetahuan organisasi dapat digunakan

kembali (reuse) – sejauh mungkin4. Memberdayakan setiap karyawan untuk meningkatkan pengetahuan kolektif seluruh

organisasi dalam melayani pelanggan

5.  RESEARCH AND MANAGEMENT MENGGUNAKAN METODE KNOWLEDGE MANAGEMENT

6.  KESIMPULAN

Simak

Baca secara fonetik

1. Sumber daya manusia sebagai penentu berkembangnya budaya research and development sehingga implementasi knowledge management dapat dilakukan dengan cepat seiring dengan kebutuhan informasi dan pengetahuan.

Page 20: KM Case Toyota Dimensi

DAFTAR PUSTAKA

Carneiro, A. (2001). “The role of intelligent resources in knowledge management”. Journal of Knowledge Management, Vol 5, No.4, pp 358-367

Davenport, Thomas H & Prusak, L (1998) .Working Knowledge : How Organizations Manage What They Know. Boston: Harvard Business School Press

Nonaka, Ikujiro and Takeuchi, Hirotaka (1995). “The Knowledge- Creating Company: How Japanese Companies Create the Dynamics of Innovation “. Oxford: Oxford University Press

Spuches, C.M. & Coufal, J. E. (2000). “Focusing on process to improve learning: A case study of instructional research and development.”Journal of Innovative Higher Education”, Vol. 24, No. 3

Posted in Paper & Group Assignment | No Comments »Jurnal ICM

Abstract

Banyak perusahaan pada akhir-akhir ini memiliki permasalahan yang disebabkan oleh kurangnya upaya dari perusahaan untuk dapat memaksimalkan dan mengelola intellectual capital dari perusahaan tersebut. Intellectual capital jika dimanfaatkan sebagaimana mestinya harusnya dapat memberikan keuntungan kepada perusahaan dalam bentuk peningkatan intangible asset dan competitive advantage. Oleh karena itu pengelolaan intellectual capital menjadi suatu tantangan tersendiri bagi perusahaan jika ingin memaksimalkan kemampuan yang dimiliki oleh para karyawan di dalamnya.

Keyword : intellectual capital, intangible asset, competitive advantage

1.    PENDAHULUAN

Permasalahan dari sebagian besar organisasi dan perusahaan pada saat ini adalah bagaimana cara memaksimalkan intellectual capital yang sudah dimiliki oleh organisasi tersebut. Setiap organisasi pasti memiliki intellectual asset di dalamnya, tetapi permasalahannya adalah bagaimana cara organisasi tersebut untuk dapat mengubah intellectual asset yang umumnya berupa tacit knowledge tersebut menjadi sebuah capital yang dapat meningkatkan competitive advantage dari organisasi tersebut.

Human capital merupakan sumber terbesar dari intellectual capital. Hal ini dikarenakan human capital memiliki knowledge, skill, pendidikan, pengalaman dan hal-hal lain yang dapat ditransformasikan menjadi sebuah intellectual capital yang berguna untuk memajukan organisasi tempat orang tersebut bekerja. Oleh karena itu sebuah organisasi dapat dikatan sebagai organisasi yang baik adalah apabila organisasi tersebut dapat menyerap seluruh intellectual capital dari human capital yang ada di dalamnya dan memanfaatkannya untuk memajukan dan mencapai tujuan organisasi.

Page 21: KM Case Toyota Dimensi

2.    INTELLECTUAL CAPITAL

Intellectual capital dapat diartikan sebagai pengetahuan kolektif baik yang didokumentasikan maupun tidak dari setiap individu yang ada di dalam sebuah organisasi maupun di dalam sebuah komunitas atau masyarakat. Pengetahuan ini dapat digunakan untuk menghasilkan kekayaan, melipatgandakan output dari aset fisik, mendapatkan keunggulan bersaing (competitive advantage) dan untuk meningkatkan nilai dari jenis-jenis modal yang lainnya. Saat ini intellectual capital telah mulai diklasifikasikan sebagai biaya modal yang sebenarnya dikarenakan :

1. Investasi atau penggantian yang dilakukan terhadap manusia sebanding nilainya dengan investasi yang dilakukan terhadap mesin dan aset fisik lainnya.

2. Pengeluaran yang dikeluarkan untuk kepentingan pendidikan dan pelatihan (demi untuk mempertahankan daya simpan dari aset intelektual) ekuivalen nilainya dengan nilai dari biaya penyusutan aset fisik.

Intellectual capital mencakup :

1. 1. Customer capital2. 2. Human capital3. 3. Intellectual property4. 4. Structural capital

Pada saat ini apabila kita ingin menamakan masa lalu adalah “ekonomi lama” dan masa sekarang hingga masa depan adalah “ekonomi baru” maka ekonomi lama menunjuk kepada materi sedangkan ekonomi baru menunjuk kepada pengetahuan dan kreatifitas. Dalam banyak kasus, lebih mudah untuk menghitung digit angka dibandingkan dengan mengukur pengetahuan dan kreatifitas. Namun demikian Edvinsson (direktur intellectual capital pertama di dunia di Skandia) berusaha untuk dapat menjawab pertanyaan “How is it possible to quantify this intangible difference in valuation?” dalam pekerjaannya. Hasilnya adalah sebuah intellectual capital navigator (The Skandia Navigator) yang termasuk di dalamnya adalah variabel finansial dan variabel non-finansial yang digunakan untuk mengukur performa. Intellectual capital navigator tersebut menyatukan dan memvisualisasikan 5  fokus area dari intellectual capital menurut Edvinsson. Model ini juga mengindikasikan tentang bagaimana area-area yang berbeda tersebut berinteraksi antara satu dengan yang lainnya seiring dengan jalannya waktu. Intellectual capital navigator tersebut dapat digunakan oleh para penggunanya baik untuk menjadi tool untuk guide ataupun untuk organiser.

Gambar 1. Skandia Navigator (Edvinsson & Malone, 1997)

Sebagaimana yang terlihat pada gambar diatas, ada 5 area berbeda yang dijadikan fokus dalam model ini, yaitu :

1. 1. Financial focus2. 2. Customer focus3. 3. Process focus

Page 22: KM Case Toyota Dimensi

4. 4. Human focus5. 5. Renewal & development focus

Pada model diatas financial focus merepresentasikan masa lalu, termasuk di dalamnya adalah informasi yang diperoleh dari neraca keuangan. Customer focus dan process focus merepresentasikan masa sekarang, dan renewal & development focus mencerminkan kemampuan perusahaan dimasa yang akan datang.

Lima area fokus diatas merepresentasikan area mana saja yang perlu diperhatikan oleh sebuah perusahaan. Financial focus termasuk di dalamnya adalah indikator-indikator lama seperti neraca keuangan namun juga dapat menggunakan indikator pengukuran-pengukuran yang relatif dibangun lebih baru. Fokus ini mencerminkan masa lalu yang dapat memberikan gambaran dimana posisi perusahaan pada waktu itu dimasa lalu. Beberapa indikator yang disarankan oleh Edvinsson dan Malone adalah value added per employee, market value, total asset dan R&D investment.

Customer focus memberikan gambaran mengenai customer dan hubungan dengan customer. Fokus ini mencerminkan masa sekarang. Hubungan dengan customer berubah secara konstan, oleh karena itu perlu dilakukan update terhadap data-data customer. Nilai saat ini dari hubungan dengan seluruh customer adalah nilai daripada customer perusahaan. Indikator yang dapat digunakan dalam fokus ini adalah market share, jumlah hari yang dihabiskan untuk mengunjungi customer dan indeks kepuasan pelanggan.

Selain customer focus, yang mencerminkan masa sekarang adalah process focus. Fokus ini menekankan mengenai peran teknologi sebagai alat untuk men-support proses value creation pada perusahaan secara keseluruhan. Hal-hal yang termasuk di dalam fokus ini adalah sistem IT, jaringan dan proses kerja umum. Apabila teknologi tidak dipilih dengan benar, maka proses kerja yang terjadi di dalam perusahaan akan menjadi tidak efektif dan harus segera diperbaiki. Beberapa cara yang dapat digunakan untuk mengukur fokus ini adalah laptop/karyawan, biaya untuk kesalahan administrasi dibagi dengan pendapatan manajemen atau kontrak yang dilakukan tanpa kesalahan.

Fokus yang mencerminkan masa depan adalah renewal & development focus. Fokus ini merupakan kebalikan dari financial focus, bukan hanya dalam aspek waktu tetapi fokus ini juga menyiapkan perusahaan untuk kesempatan yang akan datang ataupun event-event yang akan datang. Metode yang dapat digunakan untuk mengukur fokus ini adalah renewal expense/consumer, share of employees under the age of 40 and R&D resources/total resources.

Akhirnya seluruh fokus diatas berinteraksi secara langsung dengan human focus. Fokus ini dapat diukur dari indeks kepemimpinan, turnover karyawan atau jumlah manager wanita. Elips yang mengitari navigator adalah cerminan dari lingkungan dan konteks.

Intellectual capital menurut Edvinsson dan Malone termasuk di dalamnya adalah 2 segmen, yaitu human capital dan structural capital. Di dalam konteks ini yang dimaksud dengan human capital adalah kemampuan karyawan di dalam sebuah organisasi untuk menggunakan knowledge, kemampuan dan inovasi untuk melakukan pekerjaannya. Human capital juga

Page 23: KM Case Toyota Dimensi

termasuk di dalamnya adalah nilai, budaya dan filosofi dari organisasi tersebut. Karakteristik dari human capital adalah bahwa hal tersebut tidak dapat dimiliki oleh organisasi.

Nick Bontis (2004) mendefinisikan human capital sebagai knowledge, pendidikan dan kompetensi dari tiap-tiap individual di dalam organisasi untuk dapat merealisasikan tujuannya. Ia memberikan perhatian terhadap sulitnya untuk mengukur human capital dan berpendapat tentang pentingnya collective knowledge dan individual stores of knowledge. Ia menulis: “the human capital of a nation is the intellectual wealth of its citizens and is developed through education and lifelong learning.” (Bontis, 2004). Josep Viedma (2001) menggunakan tiga pilar yang serupa saat menjelaskan intellectual capital selain human dan structural capital. Ia menambahkan relational capital yang didefinisikan sebagai kemampuan dari sebuah organisasi untuk berinteraksi secara positif dengan lingkungan bisnis yang ada.

Structural capital adalah struktur dari sebuah organisasi, hardware, software, database dan peralatan lain yang sejenis yang mendukung tiap-tiap individual di dalam organisasi tersebut dalam melakukan aktivitasnya termasuk jaringan dan hubungannya. Structural capital adalah apa yang tertinggal apabila organisasi tersebut ditinggal oleh orangnya, inilah hal yang dapat dimiliki oleh organisasi (Edvinsson & Malone, 1997).

Human dan structural capital berinteraksi antara satu dengan yang lainnya untuk menciptakan nilai di dalam organisasi. Satu-satunya cara untuk mengutilisasi intellectual capital di dalam sebuah organisasi adalah dengan cara mentransformasikan sebanyak mungkin human capital menjadi structural capital. Hal ini dapat dirumuskan menjadi IC-multiplier yang dibangun oleh Prof. Edvinsson (Berglund et. Al, 2002).

IC multiplier = structural capital/human capital

Structural capital harus lebih besar daripada human capital, jika tidak maka hasil multipliernya akan menghasilkan nilai yang sebaliknya. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya erosi di dalam human capital itu sendiri (Berglund et. Al, 2002). Saat erosi dari intellectual capital terjadi di dalam sebuah organisasi maka sebenarnya organiasasi tersebut tidak memiliki structural capital yang cukup untuk memenuhi human capital-nya. Sebuah perusahaan yang memiliki structural capital yang lemah lebih riskan untuk mendapatkan resiko yang signifikan. Hal ini dikarenakan para karyawan dapat meninggalkan perusahaan begitu saja, yang mengakibatkan perusahaan hanya tinggal memiliki sumber daya berupa structural capital-nya saja.

2.1 INTELLECTUAL CAPITAL MAPPING

Nick Bontis, Associate Professor of Business Policy dari McMaster University di Kanada mengembangkan modelnya yang berupa national capital index untuk “uncover and manage the invisible wealth of a country” (Bontis, 2004). Model ini juga memasukkan di dalamnya perhatian tentang ekonomi baru dan cara baru dari manajemen dilingkungan yang baru dan kompetitif. Artikelnya memfokuskan kepada intellectual capital dari bagian-bagian dan ia mengatakan bahwa intellectual capital dari sebuah negara termasuk di dalamnya adalah nilai-nilai tersembunyi dari individual, perusahaan, institusi, komunitas dan area yang merupakan sumber potensial untuk penciptaan kekayaan. Nilai-nilai yang tersembunyi inilah yang akar dari masa

Page 24: KM Case Toyota Dimensi

depan yang cerah dan berkembang. Bontis menggunakan analisa dari intellectual capital di 5 area prinsipal dan menggunakan model dari Edvinsson dan Malone yang telah dimodifikasi. Lihat gambar dibawah.

Gambar 2. Modification of Edvinsson & Malone (1997) (Bontis, 2003)

Sebagian besar periset yang berada di area intellectual capital mendefinisikan perbedaan komponen yang ada di dalam intellectual capital secara serupa. Apa yang memisahkan dari model-model yang berbeda tersebut adalah metode yang digunakan untuk mengindeks dan mengkalkulasi benchmark dari intellectual capital pada perusahaan, wilayah atau negara. Bontis mempresentasikan metodenya kerangka kerja konseptual berbasis index.

Ia menekankan bahwa sangatlah penting indeks-indeks tersebut valid, karena inputnya tergantung kepada wilayah/negara yang diuji. Untuk menggabungkan sebanyak mungkin wilayah/negara, pemilihan indikator harus disesuaikan dengan jumlah informasi yang tersedia. Saat mengukur area Arab, 4 sub indeks digunakan; National Human Capital Index, National Process Capital Index, National Market Capital Index dan National Renewal Capital Index (Bontis, 2004). Terdapat beberapa indikator di dalam masing sub indeks, dimana setiap indikator diberikan bobot. Alasan digunakannya pembobotan adalah karena Bontis menemukan bahwa beberapa indikator menjadi driver yang lebih signifikan terhadap intellectual capital, sebagai contoh total pengeluaran R&D sebagai persentase dari GDP.

Apabila terdapat lima indikator di dalam “National Human Capital Index” maka jumlah dari kelimanya akan menghasilkan 100%. Pada saat keempat sub indeks telah dihitung, mereka digabung menjadi satu untuk dapat mengkalkulasikan komposisi dari NICI secara keseluruhan. Setelah mengukur di tiap area yang berbeda indeks tersebut diciptakan dimasing-masing area. Bontis membawa analisisnya ke satu tahap yang lebih jauh dengan cara menginvestigasi hubungan antar indikator dan membuat formula hipotesis tentang asosiasi antara indeks-indeks yang berbeda dan indikator sebagai driver.

2.1 METODE VAIC

Dr. Ante Pulic, Professor of Business Organisation dari University of Zagreb di Kroasia telah membangun Value Creation Efficiency Analysis, VAIC, yang bertujuan untuk mengukur efisiensi dari sumber daya yang terdapat pada suatu perusahaan dan wilayah di dalam model valuasi finansial (Pulic, 2004). Ia menyatakan bahwa pada level nasional atau level makro GDP ekuivalen dengan pendapatan dan keuntungan yang dihasilkan dalam level perusahaan. Kita tidak dapat menyatakan bahwa GDP dari suatu negara baik atau buruk dalam hal sumber daya yang digunakan. Lebih jauh lagi level makro diukur dengan saru cara dan level mikro diukur dengan cara yang lain. Mungkin Intellectual Capital Efficiency (ICE) adalah GDP “baru” di dalam knowledge economy (Pulic, 2004). Pulic menulis bahwa modelnya tidak hanya dapat mengidentifikasi besarnya dari sebuah intellectual capital tetapi juga untuk mengukur apakah telah digunakan secara efisien. Ia juga menekankan tentang pentingnya mengukur IC pada level nasional sehubungan dengan sangat besarnya kemungkinan untuk mempengaruhi ekonomi secara keseluruhan. Hasil model dari rata-rata ICE nasional yang dapat kita benchmark secara

Page 25: KM Case Toyota Dimensi

wilayah di dalam suatu negara untuk menentukan dimana letak terciptanya nilai dan dimana letak perbaikan yang diperlukan. Formulanya adalah :

Gambar 3. Intellectual capital according to Pulic (Andriessen, 2004)

VAIC mengindikasikan penciptaan nilai efisiensi dari seluruh sumber daya yang ada (jumlah dari indikator-indikator sebelumnya) mengekspresikan kemampuan intelektual dari sebuah perusahaan, wilayah atau ekonomi nasional. Telah dikatakan bahwa metode VAIC adalah unik pada saat dapat diaplikasikan pada seluruh level dari aktivitas bisnis. Seluruh data yang dibutuhkan untuk menyelesaikan analisa VAIC dapat diperoleh dari neraca perusahaan atau statistik nasional (Pulic, 2004).

Berikut adalah indikator-indikator yang digunakan beserta pembobotannya pada saat mengukur National Intellectual Capital Index (NICI) di area Arab :

National Human Capital Index (NHCI)

No. Indikator Bobot (%)1. Literacy rate 302. Number of tertiary schools per capita relative to highest value 103. Percentage of primary school teachers with required

qualifications10

4. Number of tertiary students per capita relative to highest value 155. Cumulative tertiary graduates per capita relative to higest value 156. Percentage of male grade 1 intake 107. Percentage of female grade 1 intake 10

National Process Capital Index (NPCI)

No. Indikator Bobot (%)1. Telephone mainlines per capita relative to highest value 202. Personal computer per capita relative to highest value 103. Internet host per capita relative to highest value 154. Internet user per capita relative to highest value 105. Mobile phones per capita relative to highest value 106. Radio receivers per capita relative to highest value 107. Television sets per capita relative to highest value 108. Newspaper circulation per capita relative to highest value 15

National Market Capital Index (NMCI)

No. Indikator Bobot (%)1. High-technology exports as a percentage of GDP relative to

highest value30

Page 26: KM Case Toyota Dimensi

2. Number of patent granted by USPTO per capita relative to highest value

30

3. Number of meeting hosted per capita relative to highest value 40

National Renewal Capital Index (NRCI)

No. Indikator Bobot (%)1. Book import as a percentage of GDP relative to highest value 102. Periodical imports as a percentage of GPD relative to highest

value10

3. Total R&D expenditures as a percentage of GDP relative to highest value

30

4. Number of ministry of employees in R&D per capita relative to highest value

10

5. Number of university of employees in R&D per capita relative to highest value

15

6. Tertiary expenditures as a percentage of public education funding

5

Berikut adalah rumus-rumus yang digunakan dalam melakukan penghitungan pada metode VAIC :

2.2 METODE IC-dVAL

Metode lain yang dikembangkan oleh Ahmed Bounfour, Professor dari Universite Marne La Vallee di Perancis membagi intellectual capital menjadi 4 area; structural capital, human capital, market capital dan innovation capital.

Gambar 4. Intellectual capital according to Bounfour (Andriessen, 2004)

Model Bounfour yang digunakan untuk menganalisa diberi nama Intellectual Capital Dynamic Value Approach (IC-dVAL) dimana mengukur IC dalam 4 dimensi kompetitif yang saling berkaitan satu dengan lainnya :

1. Sumber daya sebagai input2. Proses3. Pembangunan dari intangible assets (intellectual capital)4. Output

Metode ini bertujuan untuk menjelaskan intellectual assets dari sebuah perusahaan dan menjadikannya dapat dimengerti oleh sebanyak-banyaknya karyawan (Bounfour, 2004). Bounfour juga menunjukkan hubungan antara nilai finansial dari sebuah aset dan performa internal dari sebuah perusahaan dan pentingnya untuk membangun hubungan tersebut. Metode IC-dVAL didesain untuk menentukan nilai dari tiga perspektif yaitu stakeholders, shareholders, klien dan operasional intenal.

Page 27: KM Case Toyota Dimensi

Metode ini dibagi menjadi 5 tahap :

1. Menentukan proses kunci dan nilai dari komponennya.2. Melakukan benchmark performa dari proses dengan organisai “yang terbaik dikelasnya”

dan mengkuantifikasikannya dengan menggunakan indeks.3. Melakukan benchmark performa dari aktivitas dengan organisai “yang terbaik

dikelasnya” dan mengkuantifikasikannya dengan menggunakan indeks.4. Evaluasi performa perusahaan secara keseluruhan dengan perusahaan yang terbaik

dikelasnya. Hal ini dilakukan dengan mengkalkulasikan rasio keseluruhan.5. Mengkalkulasikan nilai IC keseluruhan dari perusahaan.

Setelah dilakukan identifikasi dari proses kunci dan melakukan benchmark dengan perusahaan yang terbaik dikelasnya diberikanlah bobot untuk memberikan indeks performa aktivitas.

Weighted Processes Performance Index = Activity Performance Index

Lalu indeks performa keseluruhan dikalkulasi dengan memberikan bobot kepada indeks performa aktivitas tersebut :

Weighted Processes Performance Index = Overall Performance Index (Opi)

Indeks performa keseluruhan merepresentasikan performa perusahaan pada saat ini di 3 dimensi dari kompetitif; sumber daya, proses, output. Indeks ini lalu akan dikalikan dengan nilai dari intellectual capital untuk mendapatkan nilai dinamis dari intellectual capital. Inti dari metode ini adalah bahwa tidak ada satu organisasi yang dapat mencapai indeks performa keseluruhan yang mendekati angka 1, kecuali organisasi tersebut adalah yang terbaik dikelasnya dalam setiap aktivitas (Bounfour, 2004). Nilai ini lalu dikalikan dengan nilai pasar dari organisasi untuk mendapatkan nilai dinamis dari intellectual capital. Saat memodifikasinya untuk mengukur negara, langkah terakhir tidak termasuk mengingat tidak ada nilai pasar dari sebuah wilayah.

Metodologi IC-dVAL telah dipakai untuk level nasional dan level kotamadya untuk mengevaluasi performa dari Champs-sur-Marne di Perancis, Europen Union, Jepang dan Amerika Serikat (Bounfour, 2003). Wilayah nordic mendapatkan nilai tertinggi dalam penelitian yang dilakukan Bounfour dan terbukti merupakan yang terbaik mengelola intellectual capital-nya sesuai dengan hasil penelitiannya (Bounfour, 2003).

Berikut adalah indikator yang pada saat penggunaan metode IC-dVAL di Eropa, Amerika dan Jepang.

2.3 METODE ICBS

Professor Josep Maria Viedma dari Polytechnic University of Catalonia telah membangun metode Intellectual Capital Benchmarking System (ICBS).Metode ini menggunakan pondasi berupa mengerti akan lingkungan kompetitif, competitive gap, dan knowlegde yang menyebabkan gap tersebut (Viedma, 2001). Metode ini dibangun berdasarkan sumber daya berbasis teori dan bertujuan untuk melakukan benchmark terhadap core kompetensi dari sebuah

Page 28: KM Case Toyota Dimensi

wilayah atau organisasi dengan organisasi yang terbaik dikelasnya pada poin yang ditunjuk. Perbedaan dan kesulitan dalam menemukan kecocokan yang tepat diselesaikan dengan melakukan perbandingan korespondensi unit bisnis. Metode ini menghasilkan neraca kompetitif dimana kompetensi akan dinilai sebagai sebuah aset atau sebuah beban, tergantung dari skor relatif terhadap benchmark; pembobotan rata-rata terhadap faktor yang telah diidentifikasikan (Viedma, 2001).

Gambar 4. Intellectual capital according to Viedma (Andriessen, 2004)

Model ICBS dikembangkan lebih jauh untuk dapat digunakan untuk mengukur dan mengelola IC pada kota dimana intellectual capital-nya diteliti dalam 2 level; Cities’ General Intellectual Capital Model (CGICM) dan Cities’ Specific Intellectual Capital Model (CSICM) (Viedma, 2003). Pendekatan CGIM mengukur intellectual capital dengan IC Navigator Model untuk negara yang dibangun oleh Edvinsson dan Malone (1997) dan Bontis (2002) sebagai titik awal dan dihasilkan dalam ukuran yang dapat dijadikan benchmark secara umum. Pendekatan CSICM berhubungan dengan aktivitas ekonomi yang relevan dari sebuah wilayah dan berdasarkan kepada model ICBS Viedma (2001). Pendekatan CSICM jauh lebih spesifik dan merupakan benchmark dari wilayah atau kota yang spesifik dengan wilayah atau kota yang terbaik dikelasnya, sedangkan pendekatan CGICM memberikan tool benchmark secara umum.

Gambar 5. ICBS model framework (Viedma, 2001)

Model diatas dibangun berdasarkan faktor-faktor berikut :

(1) Products: products/services with their attributes and characteristics and functions.

(2) Architecture: core business and outsourcing in the activities of the company.

(3) Alliances: alliances, strategic networks, franchises and co-operative agreements.

(4) Competitive advantages: competitive advantages generated in the different core business activities in the value chain.

(5) R&D innovation: quality and professionalism in innovative and R&D activities.

(6) Core competencies: essential knowledge or core competencies that make it possible and give way to competitive advantages.

(7) Culture: cultural principles for success in a global context.

(8) Leadership: human and professional features of the successful leaders.

Contoh hasil dengan penggunaan pendekatan ICBS :

Gambar 6. ICBS Consolidated Results (Viedma, 2001)

Page 29: KM Case Toyota Dimensi

2.4 METRIKS INTELLECTUAL CAPITAL REGIONAL

Berikut adalah outline dari 4 model yang telah dijelaskan diatas – bagaimana mereka menjelaskan tentang intellectual capital, hasil apa saja yang didapat, apakah mereka menggunakan benchmarking dan pendekatan intellectual capital mereka secara regional.

Gambar 7. Regional IC Model Matrix

4.    KNOWLEDGE ZONE

Banyak periset dan konsultan setuju bahwa inovasi merupakan kunci untuk bertahan dan merupakan area yang harus dikontrol. Sebuah istilah yang digunakan untuk menggambarkan wilayah dengan tingkat kepadatan knowledge dan inovasi yang tinggi adalah “knowledge zone”. Amidon menulis “A Knowledge Zone is a geographic region, product/service/industry segment or community of practice (e.g. with topical areas of interest) in which knowledge flows from the point of origin to the point of need oropportunity” (www.entovation.com/whatsnew/praxis.htm). Törnqvist (2002) menggambarkan sebuah konklusi dan menyampaikan bahwa produksi dari knowledge pada masyarakat modern memiliki 3 karakteristik :

1. Lokasi untuk menciptakan knowledge telah meningkat – bukan hanya merupakan interaksi antar universitas, tetapi juga dari institusi non-universitas, pusat riset, agensi pemerintahan dll.

2. Lokasi yang berbeda terhubung satu dengan yang lain dengan cara yang baru – secara elektronik, secara organisasi, secara sosial dll melalui fungsi jaringan komunikasi.

3. Perbedaan dari area spesialisasi mengarahkan kepada tumbuhnya spesialisasi-spesialisasi terbaik yang akan membentuk knowledge yang baru.

Esensi dari penciptaan knowledge dan intelegensi adalah bahwa knowledge harus disebarluaskan, dipakai dan didorong. Pembangunan teknologi informasi yang konstan memfasilitasi kooperasi dan menurunkan kebutuhan akan tatap muka. Hal ini tidak membuat interaksi secara nyata antara manusia menjadi tidak penting. Törnqvist (2002) menekankan pentingnya lingkungan pertemuan yang kreatif untuk meningkatkan tingkat kreatifitas dan semangat berinovasi.

5.    KESIMPULAN

Berdasarkan penjelasan diatas, dapatlah ditarik kesimpulan bahwa pemanfaatan dari intellectual capital dapat menjadikan sebuah organisasi atau perusahaan memiliki keunggulan kompetitif dibandingkan dengan organisasi atau perusahaan lainnya. Oleh karena itu hendaknya tiap-tiap organisasi atau perusahaan dapat kiranya melakukan evaluasi terhadap intellectual capital yang ada di dalam masing-masing organiasasi untuk dengan menggunakan salah satu dari beberapa metode yang telah dijelaskan diatas untuk dapat mengetahui sampai dimana tingkat intellectual capital dari organisasi tersebut.

DAFTAR PUSTAKA

Page 30: KM Case Toyota Dimensi

Andersen (1998): Den uppenbara verkligheten – Val av samhällsvetenskaplig metod,

Studentlitteratur, Lund

Andriessen, Daniel (2004), Making Sense of Intellectual Capital – Designing a Method for the Valuation of Intangibles, Elsevier Butterworth Heinemann

Andriessen, Daniel – “Weightless wealth: four modifications to standard IC theory” Journal of Intellectual Capital Vol. 2, No. 3, 2001, pp. 204-214

Berglund, Robin, Grönvall, Tobias & Johnsson, Mattias (2002) – Intellectual Capital’s Leverage on Market Value, Master Thesis School of Economics and Management, Lund University

Bontis, Nick (2004), “National Intellectual Capital Index, A United Nations initiative for the Arab region”, Journal of Intellectual Capital Vol 5 No1 2004 pp. 13-39

Bounfour, Ahmed (2004), “The Management of Intangibles – The organisation’s most valuable assets”, Routledge

Bounfour, Ahmed (2003), “The IC-dVAL approach” Journal of Intellectual Capital

Christiansson, Henrik & Rosengren, Karolin (2004) “Effort to Map The Intellectual Capital in Skane”,Master Thesis School of Economics and Management, Lund University

Edvinsson, Leif & Bounfour, Ahmed (2004) “Assessing National and Regional Value Creation” – Measuring Business Excellence Vol 8, No 1, 2004

Edvinsson, Leif & Malone, Michael (1997) Intellectual Capital: realizing you company’s true value by finding its hidden brainpower, HarperBusiness

Edvinsson, L. & Stenfelt, C., IC of Nations – Journal of Human Resource Costing & Accounting, Vol 4, No 1, 1999

Pulic, Ante (2003): Intellectual Capital Efficiency on National and Company Level, Croatian

Chamber of Economy

Pulic, Ante speaker notes “Future IC – Developments for nations” (6th World Congress on IC,

Toronto January 17th 2003)

Viedma, Josep Maria (2001), “ICBS - intellectual capital benchmarking system”, Journal of

Intellectual Capital Vol 2 No 2 2001 pp 148-164

Page 31: KM Case Toyota Dimensi

Viedma, Josep Maria (2003) – “CICBS: Cities’ Intellectual Capital Benchmarking System”, 6th World Congress on the Management of Intellectual Capital and Innovation, Hamilton – Ontario - Canada, January 15-17, 2003

Posted in Paper & Group Assignment | No Comments »Proposal Presentasi ICM

1. 1. Latar belakang dan sejarah singkat perusahaan

Universitas Johannesburg (UJ) didirikan pada tanggal 1 Januari 2005. Universitas ini adalah hasil dari penggabungan dari Universitas Rand Afrikaans dan Technikon Witwatersrand. UJ memiliki 5 kampus yang tersebar di wilayah Central Gauteng, Auckland Park Kingsway Campus (kampus utama), Doornfontein Campus dan Auckland Park Bunting Park Campus. Sedangkan kampus ke 5 (East Rand Campus) saat ini sedang dalam proses pembangunan. Saat ini UJ memiliki lebih dari 48000 full-time student dan lebih dari 3000 pegawai tetap, sehingga menjadikan UJ sebagai salah satu universitas terbesar di Afrika Selatan.

Visi dari UJ :

“To be a premier, embracing, African city university offering a mix of vocational and academic programmes that advances freedom, democracy, equality and human dignity as high ideals of humanity through distinguished scholarship, excellence in teaching, reputable research and innovation, and through putting intellectual capital to work.”

Misi dari UJ :

1. Quality education2. Leading, challenging, creating and exploring knowledge3. Supporting access to a wide spectrum of academic, vocational and technological

teaching, learning and research4. Partnerships with our communities5. Contributing to national objectives regarding skills development and economic growth

Nilai dari UJ :

1. Academic distinction2. Integrity and respect for diversity and human dignity3. Academic freedom and accountability4. Individuality and collective effort5. Innovation

Sepuluh Strategic Goals dari UJ :

1. Build a reputable brand2. Promote excellence in teaching and learning3. Conduct internationally competitive research

Page 32: KM Case Toyota Dimensi

4. Be an engaged university5. Maximise its intellectual capital6. Ensure institutional efficiency and effectiveness7. Cultivate a culture of transformation8. Offer the preferred student experience9. Focus on the Gauteng city regions10. Secure and grow competitive resourcing

1. 2. Implementasi Intellectual Capital Management dari Knowledge Management di perusahaan

ICM diimplementasikan oleh UJ sebagai salah satu langkah utama dalam mencapai tujuan strategis dari Universitas yaitu memaksimalkan Intellectual Capital (IC) di UJ. Sebagai salah satu tujuan strategis dari UJ, IC menjadi sebuah poin krusial di dalam tubuh UJ yang perlu untuk selalu ditingkatkan dan dimaksimalkan dalam penerapannya. Oleh karena itu ICM merupakan salah satu hal yang sangat diutamakan di UJ.

1. 3. Strategi yang dipakai untuk memaksimalkan Intellectual Capital Management

Dalam rangka mencapai salah satu tujuan stragegis dari UJ yaitu memaksimalkan IC, UJ menerapkan strategi sebagai berikut :

Dari gambar strategi diatas, UJ melakukan penjabaran tahapan-tahapan implementasi ICM menjadi sebagai berikut :

1. Menentukan tujuan dari perusahaan (maximize the ICM)2. Melakukan mapping terhadap elemen-elemen dari ICM.3. Menentukan karakteristik dari variabel-variabel yang akan diukur.4. Menentukan Key Success Factors atas dasar karakteristik tersebut diatas.5. Melakukan KM Scorecard atas dasar variabel-variabel yang telah ditentukan sebelumnya.6. Melakukan proses continous improvement secara terus menerus agar tujuan strategis dari

UJ yaitu memaksimalkan IC di UJ dapat tercapai.

1. 4. Cara mengembangkan dimensi dan program dari Intellectual Capital Management

Cara yang diterapkan UJ untuk mengembangkan dimensi dan program dari ICM adalah dengan senantiasa melakukan evaluasi atas hasil yang telah dicapai dengan menggunakan KM Scorecard. Hal ini dilakukan untuk mendapatkan gambaran secara detail mengenai pencapaian dari IC UJ. Hasil yang didapat dapat memberikan gambaran yang jelas mengenai keberhasilan-keberhasilan yang telah dicapai maupun kegagalan-kegagalan yang dialami dalam penerapan ICM di UJ. Kegagalan-kegagalan yang dialami ini kemudian dievaluasi seputar penyebab kegagalannya dan dicarikan solusi yang tepat sehingga dapat dihindari pada masa yang akan datang.

1. 5. Current conditon pada saat ini (model yang digunakan)

Page 33: KM Case Toyota Dimensi

Model yang digunakan UJ untuk melakukan mapping elemen-elemen ICM adalah model “Skandia Intellectual Capital Value Scheme” yang digambarkan sebagai berikut :

Atas dasar mapping menggunakan skema diatas, metode Direct Intellectual Capital Method digunakan untuk mengidentifikasi komponen-komponen IC diukur dengan menggunakan KM Scorecard.

1. 6. Tantangan yang dihadapi, faktor-faktor penghambat dan upaya yang dilakukan untuk mengatasi

Tantangan yang dihadapi UJ dan faktor yang menjadi penghambat dalam pelaksanaan maksimalisasi ICM adalah :

1. Resistensi atas perubahan.2. Perbedaan multikultural yang kuat.

Upaya yang dilakukan UJ untuk mengatasi hal tersebut diatas adalah :

1. Melakukan sosialisasi mengenai pentingnya ICM secara teratur kepada seluruh jajaran Universitas (baik mahasiswa, pegawai maupun pihak manajemen).

2. Menanamkan konsep ICM kedalam budaya Universitas yang diharapkan dapat mengurangi resistensi atas perubahan dikarenakan sudah menjadi tradisi dan budaya yang mengakar di UJ.

3. Memberlakukan teknik golden shakehands, dimana para karyawan yang tidak mau untuk berubah diberi penawaran untuk resign tetapi dengan diberikan penghargaan tertentu sesuai dengan masa kerja dan kinerja karyawan tersebut semasa kerja.

1. 7. Lesson learn yang didapat dan best practice yang telah dicapai

Lesson learn dan best practice yang didapatkan dari penerapan ICM di UJ adalah sebagai berikut :

1. Memasukkan ICM ke dalam salah satu tujuan strategis perusahaan.2. Menanamkan konsep ICM ke dalam budaya perusahaan.

1. 8. Target pencapaian masa depan

Target UJ yang diharapkan dapat dicapai pada masa yang akan datang dengan adanya implementasi dari ICM ini antara lain sebagai berikut :

1. Menjadi Universitas dengan tingkat Intellectual Capital yang tinggi.2. Menjadi Universitas unggulan dengan reputasi yang baik.3. Dapat memberikan keunggulan dalam hal teaching and learning.4. Dapat memberikan kontribusi dalam riset-riset internasional.5. Memastikan efisiensi dan efektifitas kinerja institusi.

Page 34: KM Case Toyota Dimensi

1. 9. Usulan berdasarkan dari konsep Intellectual Capital Management yang dibahas

Usulan yang dapat diberikan dalam konsep ICM diatas adalah sebagai berikut :

1. Melakukan benchmarking terhadap Universitas-universitas lain di Afrika Selatan maupun mancanegara yang telah menerapkan ICM.

2. Mengakomodasi best practice yang diterapkan oleh Universitas lain di lingkungan UJ tetapi dengan tetap menjunjung tinggi budaya dari UJ.

1. 10. Hal lain yang penting untuk dikemukakan

UJ merupakan salah satu dari 6 Universitas komprehensif yang ada di Afrika Selatan. Universitas komprehensif merupakan istilah bagi Universitas yang menawarkan program akademis berupa program kejuruan/profesional dan program pendidikan konvensional.

Posted in Paper & Group Assignment | No Comments »What is KM?

KM is a newly emerging, interdisciplinary business model dealing with all aspects of knowledge within the context of the firm, including knowledge creation, codification, sharing, and how these activities promote learning and innovation. In practice, KM encompasses both technological tools and organizational routines in overlapping parts.

Rudy Ruggles, a leading KM thinker/practitioners, has identified the following items as integral components of KM:

Generating new knowledge Accessing valuable knowledge from outside sources Using accessible knowledge in decision making Embedding knowledge in processes, products, and/or services Representing knowledge in documents, databases, and software Facilitating knowledge growth through culture and incentives Transferring existing knowledge into other parts of the organization Measuring the value of knowledge assets and/or impact of knowledge management

source:

http://www2.sims.berkeley.edu/courses/is213/s99/Projects/P9/web_site/about_km.html

Posted in Knowledge Management | No Comments »KM Case – Buckman Labs Buckman Labs makes chemicals — but it sells knowledge. The challenge: invent a way for the global salesforce to spend more time with customers and share its brainpower.

At the headquarters of Buckman Laboratories International in Memphis, Tennessee, knowledge is the stuff of legend. A favorite story goes like this: veteran Buckman sales rep Doug Yoder is

Page 35: KM Case Toyota Dimensi

making a presentation to a handful of engineers at a paper company that represents a $1 million order.

“At Buckman,” he begins, “when you ask one person a question, you have the power of 1,200 employees behind you — including our CEO, Bob Buckman.” Eyes wander.

Yoder turns it up a notch. “Our added value is not only speed of response but also global solutions.” The engineers fidget.

Yoder continues. “Our knowledge network is a pillar of our culture. And it’s there to help you.”

To make the point, he fires up his laptop, logs onto the Buckman knowledge sharing system — K’Netix — and poses a question to the appropriate technical forum.

The answer comes from Brazil — and it’s from Bob Buckman. He and Yoder spend the next 20 minutes online, addressing the paper company’s specific concerns.

Yoder finally logs off. “When I say everyone at Buckman Laboratories accesses the forum, I mean everyone.” The paper company engineers are impressed.

Buckman Laboratories, a $270 million company with 1,200 people in 80 countries, makes more than 1,000 different specialty chemicals in 8 factories around the world. But its real product is knowledge. Bigger companies in sexier industries are busy talking about knowledge, scrambling to hire chief knowledge officers, and wrestling with the computer technology to capture a corporate knowledge base. To Bob Buckman and his group of globe-trotting salespeople, that’s old news: been there, done that, got the floppy.

Buckman and his people began treating knowledge as their most critical corporate asset in 1992. As a result, Buckman Labs has become a Mecca for other companies looking for “how-to” lessons in the art and science of knowledge management. Executives from AT& T, 3M, Champion International, International Paper Company, and USWest have made the pilgrimage to this small, privately held chemical company to look and learn. What they’ve seen is a company that is fast, global, and interactive, built on a system that is simple, powerful, and revolutionary.

“You can’t really understand the transformation that has happened until you come in here,” drawls Bob Buckman, the company’s 58-year-old CEO and resident knowledge visionary. “I need a chalkboard.”

In the conference room adjacent to his office there’s a table, a chalkboard, and an easel, one of many that decorate the company’s offices. Each bears a different saying. This one has a quote from Machiavelli: “There is nothing more difficult to take in hand, more perilous to conduct, or more uncertain in its success, than to take the lead in the introduction of a new order of things.” Buckman goes to the chalkboard and starts scribbling furiously.

“The customer is most important,” he barks, sounding more like a southern football coach giving a half-time chalk-talk than a CEO. He draws an inverted pyramid with the customer at the top.

Page 36: KM Case Toyota Dimensi

“We need to be effectively engaged on the front line, actively involved in satisfying the needs of our customers.”

“We need to cut the umbilical cord,” he continues — a reference to the mainframe mentality that kept people tied to the office. Buckman rattles off the numbers. “If you work a 40-hour week, you’re in the office less than 25% of your time. If you travel 40% of the workweek, you’re in the office less than 15% of your time. And if you’re a salesperson, you’re in the office 0% of your time.”

Part techno-visionary, part hard-nosed businessman, Bob Buckman poses the challenge of competition in the knowledge-intensive ’90s: Close the gap with the customer. Stay in touch with each other. Bring all of the company’s brainpower to bear in serving each customer. “The real questions are,” says Buckman, “How do we stay connected? How do we share knowledge? How do we function anytime, anywhere — no matter what?”

The Real Power of Knowledge

The answer that Bob Buckman came up with was the knowledge network — K’Netix.

It came to him eight years ago, when he was flat on his back, confined to bed after rupturing his back. Unable to get up, unable even to sit up, Buckman propped a laptop computer on his belly and took dead aim on the real power of knowledge.

“Lying there thinking how isolated I was,” says Buckman, recalling his two weeks in bed. “I got to thinking about what I wanted.”

What he wanted was information, not just for himself but for all his people, a steady stream of information about products, markets, customers. And he wanted it to be easily accessible, easily shared. A relentless student of business and management writing, he had recently read a comment from Jan Carlzon, the former head of SAS, and it had struck a chord with him: “An individual without information cannot take responsibility; an individual who is given information cannot help but take responsibility.”

“If you can’t maximize the power of the individual, you haven’t done anything,” Buckman thought. “The basic philosophy is, How do we take this individual and make him bigger, give him power? How? Connect him to the world.”

On his laptop, Buckman wrote his ideal knowledge transfer system:

It would make it possible for people to talk to each other directly, to minimize distortion. It would give everyone access to the company’s knowledge base. It would allow each individual in the company to enter knowledge into the system. It would be available 24 hours a day, 7 days a week. It would be easy to use. It would communicate in whatever language is best for the user.

Page 37: KM Case Toyota Dimensi

It would be updated automatically, capturing questions and answers as a future knowledge base.

Such a system, he realized, would mean a cultural transformation. It would mean turning the company upside down.

Which was precisely what he wanted to do — and had wanted to do since 1961 when he’d joined the company his father had founded. With a degree in chemical engineering from Purdue University and an MBA from the University of Chicago, Buckman had long been fascinated by organizational dynamics and the potential for change that computers had created. And he’d chafed working under his father, Stanley, who epitomized the classic pyramid-style leader: he oversaw every decision, sales order, check, memo.

In 1978, at the age of 69, Stanley Buckman suffered a heart attack and died on his office couch, and the reins of control passed to Bob. “I knew I didn’t want to do it his way,” Buckman says. “Everything went through my father. The general managers of our different ventures had never even met each other. I thought, this is too much work.”

His epiphany showed him the path to the future. “I realized that if I can give everybody complete access to information about the company, then I don’t have to tell them what to do all the time,” he says. “The organization starts moving forward on its own initiative.” The knowledge network would become the organization.

But first he had to create the organization to manage the knowledge network. In March 1992, Buckman set up a Knowledge Transfer Department and appointed Victor Baillargeon, then a 34-year-old PhD in organic chemistry, to run it. For a company that was determined to break the rules, Baillargeon was the perfect choice: he had spent the previous year as Buckman’s assistant, researching the concept of knowledge transfer, and was eager to put the theories to the test. And he was no member of the card-carrying information technology fraternity; he came to the job free of mainframe baggage.

Baillargeon’s first hurdle was to build a network that was both ubiquitous and easy to access from around the world. With that in mind, Baillargeon suggested that the company put its entire worldwide network up on CompuServe, the public online service. CompuServe offered e-mail access to 35 public network services and the ability to create private bulletin boards for intracompany use. And all it took was a single phone call to connect.

Baillargeon engineered the move to CompuServe in just 30 days. Every Buckman salesperson was given an IBM ThinkPad 720 with a modem. For a total of $75,000 per month in access charges, all Buckman employees could make a single phone call that established a point-to-point link with headquarters and provided access to all of CompuServe’s global information services. On that platform Baillargeon built K’Netix, the company’s global knowledge transfer network, and established seven technical forums to organize the company’s online conversations.

That was four years ago. Today Buckman and his team have a clearer line of sight than most into what it means to do business in the knowledge economy. In particular, four categories of lessons

Page 38: KM Case Toyota Dimensi

emerge from Bob Buckman’s knowledge laboratory: the importance of customer engagement; how to encourage knowledge-sharing; the value of values; and how to think about measurements.

“Effectively Engage with the Customer”

It’s one of Bob Buckman’s most repeated phrases: effectively engaged on the front line — a constant reminder that knowledge transfer at Buckman Labs is not an end in itself. The whole point is to deploy knowledge at the point of sale — to win business and to serve the customer. To Buckman, it all can be reduced to a simple ratio: “The number of people in the organization working on the relationship with the customer, relative to the total organization, will determine the momentum of the organization,” he says.

For that reason, the percentage of the company that is “effectively engaged with the customer” is data that Buckman tracks religiously. In 1979, before K’Netix was launched, it was a mere 16%. Today, it’s about 50%. By the year 2000, Buckman says, it will be 80%. The message is simple: the front line and the bottom line have everything to do with each other.

Buckman competes in a variety of businesses, from pulp and paper processing and water treatment, which makes up 60% of its sales, to leather, agriculture, and personal care. Arrayed against it are companies three to five times its size: $700 million Betz Laboratories of Trevose, Pennsylvania, for example, or $1.2 billion Nalco of Naperville, Illinois. And the industry is consolidating as customers like International Paper Company, Sherwin-Williams, Chinet, and Citgo, pare down their list of vendors to just a few — from whom they expect more.

Under these conditions, Buckman’s commitment to knowledge takes on a new urgency. Salespeople must have the right answer for each customer — and fast. K’Netix makes that an everyday occurrence, an exercise in speed, globality, and interactivity.

Take the case of Dennis Dalton, who is based in Singapore as managing director of all company activities in Asia. According to the K’Netix archives, Dalton sent out a call for help last January 3 at 12:05 p.m.: “We will be proposing a pitch-control program to an Indonesian pulp mill,” he wrote. “I would appreciate an update on successful recent pitch-control strategies in your parts of the world.”

The first response came three hours later, from Phil Hoekstra in Memphis, and included a suggestion of the specific Buckman chemical to use and a reference to a master’s thesis on pitch control of tropical hardwoods, written by an Indonesian studying at North Carolina State University.

Fifty minutes later Michael Sund logged on from Canada and offered his experience in solving the pitch problem in British Columbia. Then Nils Hallberg chimed in with examples from Sweden; Wendy Biijker offered details from a New Zealand paper mill; Jos* Vallcorba gave two examples from Spain and France; Chip Hill in Memphis contributed scientific advice from the company’s R & D team; Javier Del Rosal sent a detailed chemical formula and specific application directions from Mexico; and Lionel Hughes weighed in with two types of pitch-

Page 39: KM Case Toyota Dimensi

control programs in use in South Africa. In all, Dalton’s request for help generated 11 replies from six countries, stimulated several “sidebar conversations” as participants followed-up on new knowledge they’d just learned — and catapulted Dalton into position to secure a $6 million order from the Indonesian mill.

The customer focus of the knowledge system is built into the design of K’Netix. For some of Buckman’s core customers, for example, there are private forums where the conversation is about only that customer and the advice is tailored to its needs. In addition, the Customer Information Center contains all available information about the company’s customers, including internal memos, documents, and sales orders — a complete file cabinet on each customer.

“We have to be so tuned into our customers that we anticipate what they need,” says Buckman. “If an employee is not effectively engaged with the customer, why are they employed?”

Knowledge-Sharing Is Power

Over the years, people have taught themselves to hoard knowledge to achieve power,” says Buckman. “We have to reverse that: the most powerful people are those who become a source of knowledge by sharing what they know.” But four years ago, when Buckman Labs launched its K’Netix program, the big unanswered question was, Would people share their knowledge?

“There was a sense of hesitancy in the beginning,” remembers Alison Tucker, 36, K’Netix forum manager. “There were people whose file cabinets were filled with everything they knew, and that was their source of power.”

Ultimately, what emerged was a carrot-and-stick balance, mixing visible incentives with invisible pressure, and an organization-wide bias toward teamwork and knowledge reciprocity. As one carrot, Buckman organized a one-time event in Scottsdale, Arizona at a fashionable resort as a celebration to recognize the 150 best knowledge-sharers. Those selected received a new IBM ThinkPad 755, a leather computer bag, and listened to a presentation by Tom Peters. Within the company, the high-profile event — dubbed “The 4th Wave” — sparked a good deal of discussion, particularly among those who failed to make the cut. The event served its purpose: in the weeks afterward, participation on the K’Netix forums increased dramatically.

The stick component is a good deal more subtle but more pervasive: everyone in the company knows that Bob Buckman isn’t just watching the knowledge net – he’s constantly on it. Early in the life of K’Netix, Buckman laid out his expectations in a speech to his people. “Those of you who have something intelligent to say now have a forum in which to say it,” he told them. “Those of you who will not or cannot contribute also become obvious. If you are not willing to contribute or participate, then you should understand that the many opportunities offered to you in the past will no longer be available.”

Knowledge Builds Trust, Trust Builds Knowledge

Page 40: KM Case Toyota Dimensi

For companies thinking about entering the knowledge economy, Bob Buckman emphasizes one lesson before all others: “What’s happened here is 90% culture change. You need to change the way you relate to one another. If you can’t do that, you won’t succeed.”

At the heart of knowledge-sharing, Buckman-style, is a commitment to the individual. Buckman’s values represent a flip of the prevailing corporate mind-set, where the company comes first, and employees are fortunate to have jobs. The Buckman Code of Ethics, captured on a wallet-sized laminated card and passed out to every person in the company, stipulates a fundamentally different operating philosophy. The first proposition is “that the company is made up of individuals — each of whom has different capabilities and potentials — all of which are necessary to the success of the company.”

The philosophy applies directly to the operation of K’Netix, where anything is discussible and anyone can participate. For example, one lengthy online discussion tackled the always-sensitive issue of compensation — in this case, a special bonus award given each year to the salespeople who record the largest year-to-year percentage sales growth. For several weeks, salespeople from around the company traded opinions and argued directly with Buckman over what was unfair about the existing award and what a fairer system might look like.

What made that exchange work is the same thing that makes the larger knowledge transfer system work: the trust that exists in the company. “It has to do with the fuzzy-wuzzy stuff that’s not easy to get your hands on,” says Buckman. “But it boils down to this: Do you trust the people who give you the information?”

New Knowledge, New Metrics

In the emerging knowledge economy, the debate that’s waiting to happen is all about measurement: Can you prove that all these knowledge management expenses finally contribute to the bottom line? Bob Buckman, who publicly discloses that he spends 3.75% of company revenues on the knowledge transfer system, dismisses the return-on-investment question out of hand. “I used to be a statistician,” he says. “There are no absolutes. All you can do is increase the probability of success. If I can change the speed of our response to a customer from three weeks to six hours, it doesn’t take a rocket scientist to see the economic benefits.”

According to Lou Breyley, a sales manager in Cincinnati, Ohio for Buckman’s water treatment division, the economic proof of the system’s value is in the contracts it helps the company win. “We might come in with less experience than a competitor,” he says, “but we can show that we can tap into a worldwide resource where others can’t. That’s a competitive strength.”

The water treatment division, for example, recently identified the ammonia industry as a growth target. Despite a lack of experience in the field, Buckman beat out seven competitors to win part of a contract that could be worth up to $6 million in new business. “The customer acknowledged that the network was a factor in our landing the deal,” says Breyley.

While Bob Buckman rejects the standard financial metrics, there are a few measurements he does focus on in evaluating the performance of the knowledge network. The percentage of his

Page 41: KM Case Toyota Dimensi

workforce that is effectively engaged on the front line is one key figure. Another is education. The proposition is straightforward: if you want to compete on knowledge, you need to hire smart people. One proxy for evaluating smart people is college graduates. In 1979, only 39% of Buckman’s people had college degrees. Today it’s 72%.

From Bob Buckman’s vantage point, it is impossible to put a dollar figure on the value of the knowledge network. It is simply fundamental to the way the company does business, intrinsic to its operation and embedded as an expression of the company’s value system. Looking back, Buckman says that incorporating the knowledge transfer system into a corporate culture is at least a three-year process. “The first year they think you’re crazy. The second year they start to see, and in the third year you get buy-in,” says Buckman. “What you need is persistence. This whole thing is a journey.”

source:

http://www.fastcompany.com/online/03/buckman.html

Posted in KM Case Study | No Comments »KM Case – Newcastle Call Centre

Overview

In October 2000, Step Two Designs won the open tender to develop a Knowledge Management System (KMS) for the RTA. Despite competition from other KM vendors, we were able to demonstrate the value of the solution we developed for the NRMA (see the NRMA Case Study).

Our proposal for the RTA project was built upon NRMA’s proven XML-based publishing system, customised to meet the RTA’s specific requirements. In this way, the RTA could be confident that they had a stable base on which to develop.

The users

The KMS project focused on users in the newly-developed Newcastle Call Centre (NCC). This 150-person centre was created by consolidating a number of smaller call centres into the one large facility.

This was a high profile project within the RTA, and one that had proceeded more quickly than anyone had expected. With the flood of new staff into the centre, there was a clear need to support these less experienced users with effective information.

The KMS project was therefore initiated, with the following goals:

Provide improved service and information to customers Help new staff bridge their initial knowledge gap of RTA policy and procedures Reduce training costs Help reduce average call handling time

Page 42: KM Case Toyota Dimensi

Reduce escalation to the team leaders and help desk

The team

With the initiation of the project, a team was established consisting of:

Team leader (Sandra Whittle)Sandra developed the initial business requirements documents, wrote the business case and chaired the tendering process. She was the main point of contact between the project and the business, with responsibility for leading all change management activities.On top of this, Sandra was responsible for project management, selecting and hiring staff, and the myriad of other day-to-day activities required to keep a busy project running.

Technical WritersTwo contract technical writers were hired into the team. They provided invaluable experience and knowledge, ensuring the overall quality and consistency of the content.

Subject Matter Experts (SMEs)Two staff were brought into the team on secondment from the help desk. Each had over ten years experience in the RTA, and were our main source of accurate information about the RTA’s policies and procedures.

Step Two DesignsAs the vendor, we provided installation, customisation and technical support. We also provided key skills in: knowledge management, information design, usability and change management.

It is worth highlighting the importance of having a balanced mix of professional technical writers and subject matter experts. Without the former, the quality will be poor. Without the latter, the writers have limited knowledge of the subject matter.

Information design

The most important first step was to identify the information that would be published by the Knowledge Management System (KMS). A thorough review of current manuals was completed, and a comprehensive list developed.

This was then used as the starting point for several “card sorting sessions” with the actual users at the Call Centre. (See our white paper on card sorting for details on how to use this technique.)

These sessions:

Introduced us, and the project, to our end users. Gave us a clear idea of how they use the information. This determined the main menu,

and the overall structure of the content. Provided an opportunity to hear the users’ issues, and to get a sense of the actual needs of

the Call Centre.

This was the first of many visits to the Call Centre over the lifetime of the project.

Page 43: KM Case Toyota Dimensi

With this information in hand, we then started a six week process of creating the information design. This addressed many different areas:

overall structure of the content site navigation appearance of the pages writing standards linking conventions technical improvements required to support the design

Much of this was determined by taking actual examples, and working through them as a team. We would solve the large issues, and then create a new draft. This draft would then be brought back to the team and further discussed. We kept doing this until a consensus was reached.

While the design process was long and demanding, it provided many benefits:

We developed a Style Guide detailing writing standards. Working as a team ensured that everyone understood the issues and resolutions. All team members had valuable contributions to make to the overall design. Each member brought different knowledge and experience to the table. This large task could be shared amongst the group as a whole.

We left this phase with a set of “gold standard” topics to use as examples, and a clear understanding of our goals and strategies.

Capturing knowledge

Three key areas of content were identified for Phase 1 of the project:

Context-sensitive (F1) help for the frontline system (called DRIVES) Frequently Asked Questions (FAQs) covering common problems and issues Other commonly-used information, such as Fees and Charges

Much of this work involved converting tacit (undocumented) knowledge to explicit (documented) knowledge, as neither F1 help or the FAQs had previously been created within the RTA. We were lucky to have two of the most knowledgeable people in the RTA to act as subject matter experts, and much of the information came directly out of their heads.

Where information already existed within the RTA, it required restructuring or rewriting, to bring it up-to-date and to make it easy to read. The users were also a valuable source of feedback and suggestions, and were often able to identify errors or omissions.

To ensure the quality and accuracy of the information, we put in place a formalised review process. This involved three groups identified as the “content owners” along with the help desk staff at the Newcastle Call Centre. Although this review process was arduous, it was critical to building confidence in the system throughout the RTA.

Page 44: KM Case Toyota Dimensi

Interface design

With the information design complete, and content flowing rapidly into the system, we tackled the appearance of the HTML. While this was a largely cosmetic exercise, we had to meet certain challenges:

Within the RTA, three browsers are used: Netscape 4.7, Internet Explorer 5.0 and ICE (a Java-based browser). While these browsers have considerably different functionality and capabilities, all had to be supported by the publishing system.

A clean, attractive and easy-to-read page layout was required. Effective navigation was needed to ensure that users could find their way around the

thousands of pages of content.

While feedback from users was that they “weren’t interested in how it looks, only what it says”, the interface design process still generated rewards. With a professional and attractive image, it became easy to market the system to middle and upper management. After all, a good-looking system generates much greater excitement on first glance, and the impact of such enthusiasm should not be dismissed lightly.

Publishing system

The core of the publishing system was the authoring environment first developed for the NRMA. In brief, it comprises:

A full authoring interface developed in Delphi. A database for storing the content. Exporting the content to XML. Publishing to HTML and Word, using Omnimark.

This system provides many benefits, and has proven to be very stable over its three-year life at the NRMA. For a detailed description of this system, see the NRMA Case Study, which outlines features and benefits, and provides screenshots.

Our big advantage at the RTA was that by taking the NRMA system as a starting point, we could continue to develop a more extensive and powerful solution.

Our work has focused on developing the publishing workflow, built around a number of Apache webservers. This was designed as follows:

The publishing system places the generated HTML on the development webserver, which allows the authors to view their content as it would appear in production. This is also the test area for new code development.

When the content is ready, it is promoted to the staging webserver, where it is reviewed by the content owners. This machine is a core part of the quality control (QC) process.

Once the final checking is complete, the content is sent to the production webserver. This is then accessed by the end users.

Page 45: KM Case Toyota Dimensi

These servers utilise the very popular Apache webserver software, installed on Sun X1 rack-mount boxes running Solaris 8. Careful design of these machines allowed us to deploy a number of valuable features:

Stamp duty calculatorThis web-based calculator for determining the stamp duty on a vehicle took only a few days to develop, but eliminated a dozen pages of tables. Not only does this save time for the frontline staff, it also reduces errors.Behind the scenes, a web-based admin page allows the authors to update the calculations at the click of a button.

NewsThe front page will shortly feature a sidebar with the latest news. Developed using PHP, this system is quick to use, and easy to browse. The authors create and manage items using a straightforward web interface.

Feedback pageAlthough this seemed like an obvious feature to us, it turned out to be somewhat of a revolution for frontline staff. For the first time, they could simply enter comments into an online form, and know that they would reach the authors.

Web-based adminA comprehensive admin interface is accessible online by the authors and administrators. This gives them the ability to browse a number of reports, and update various configuration settings. By delivering via a web browser, it allowed us to create a simple and secure interface; remote admin also becomes easy.There are a number of core components of this admin interface, described in the following sections:

Web statisticsWe track the number of hits on the webserver, along with the most popular pages. This gives a clear picture of overall usage, and helps us to judge the success of our training and marketing.

Context-sensitive help usageEvery use of F1 is logged in the system. This is summarised in a report showing the most used pages in the system. Another report lists the pages for which we have not yet developed help, thereby determining a “hit list” for creating new pages.

Search engine usageUse of the search engine is also logged, and several reports are generated. The first is a summary of search usage (by month), showing the most popular terms used, and the number of matching topics.The other main report shows the “failed searches”; that is, the searches that returned zero hits. This is a clear indication of information that users want, that we have not yet provided.

Search synonymsThe failed searches report also highlighted a number of typos, due no doubt to the time pressures at the call centre. One common error: instead of “quarterly”, they would enter quot;quartly”, “quartely”, or “quately”.Based on this evidence, we developed a web interface for entering search synonyms (terms that are equivalent). The authors then entered the common misspellings into this list, along with other matching terms. This has now significantly reduced the number of “failed searches”.

What surprised us is that while most people were enthusiastic about the content, there was equal interest in the admin pages. These pages gave people greater confidence in the system, and helped to assure them that someone would be keeping an eye on how the system was going. It also gave a sense of “transparency” in the way the system worked.

The technical writers have also made extensive use of these admin pages, and have quickly incorporated them into their daily routine. Already, the creation of new content is being driven by the statistics gathered off the webserver, and feedback received from the end users.

Page 46: KM Case Toyota Dimensi

Marketing the project

Before the release of the system, we had succeeded in generating a high level of enthusiasm and expectation. When the final system did everything that we had earlier shown them, this was translated into a rapid uptake, and considerable positive feedback.

How did we achieve this outcome?

Communication plan

The team developed and documented a communication plan in an early phase of the project. This identified:

key audiences messages that needed to be communicated methods of delivery (news items, face-to-face, etc) milestone dates

By creating a formalised plan, it became possible to coordinate all communication activities. This maximised the impact of our efforts, and ensured that our messages were being received and understood.

Local visits

Throughout the project, we made a number of trips to the Call Centre. On each trip, we organised a session with the two user groups (the telephone operators and the help desk staff).

In each session, we gave a demonstration of the system as it stood at that point. Initially, what we were showing was quite rough, and far from complete. We then listened to their comments and incorporated their feedback.

We gained credibility by acting on their comments, so that at the next trip, they could see the updated system. We found both groups to be the source of many good ideas.

We also kept the Centre’s management informed of our progress, and reported any issues that arose.

Occasionally, we prepared a survey or activity (such as the card sorting discussed earlier). These structured methods helped us to solve specific issues, and we always ensured that the results were communicated back to the staff.

By picking a different group of staff during every visit, we ensured that almost all of the Centre had seen the system before it went live. Those that had missed out during a visit were quickly informed via word-of-mouth.

Company news

Page 47: KM Case Toyota Dimensi

The team prepared an article for the company newsletter, briefly outlining our project and its goals. This allowed us to reach a wide internal audience.

Project brochure

Just before “go live” the team designed a one page, full colour brochure. This was professionally prepared and printed.

This brochure told staff that “Frontline Help is coming!”, as well as providing screenshots, and highlighting the system’s features and benefits. A copy was placed on every desk at the Call Centre, and further copies were distributed to the managers and team leaders.

As it turned out, this may not have been necessary for the frontline staff (as almost everyone had already seen one of our demonstrations). It did, however, prove invaluable in lifting our profile within the business. This generated enthusiasm amongst the “head office” groups, which assisted greatly when we started discussing formal business processes.

Knowledge management

There are many aspects to a knowledge management project, the least of which is perhaps the technology. In this project, the team:

Created an authoring team Established a working environment for the team Designed and deployed a technical infrastructure Determined user requirements Structured the information Conducted usability testing Captured tacit knowledge Improved and reworked existing explicit knowledge Developed a review and sign-off process Deployed a publishing system Developed a communication strategy Created and implemented a training plan Marketed the project Ensured user acceptance

This took some time (six months), but all these areas (and more) must be addressed if a project is to besuccessful. Of these, the most important issues are those relating to users. If they are not happy with the system, it will fail.

The Future

The project has been received enthusiastically by the end users and their managers, and usage is growing rapidly.

Page 48: KM Case Toyota Dimensi

The challenge is to now convert this once-off project into a permanent team with the responsibility to maintain and grow the knowledge repository.

With word of the project spreading rapidly, we have been very surprised by the interest and enthusiasm shown by even upper levels of management. As a result, we are confident that a team will soon be in place.

Once the team has been finalised, the processes of information capture, review and publishing must then become a normal part of the daily operations within the RTA. If this is not the case, the information will become stale, and users will lose confidence.

With several groups already clamouring to put information into the system, we see a rosy future for the system, resulting in the creation of an invaluable one-stop-shop for all of RTA’s frontline staff.

Screenshots

The Frontline Help main menu, listing the key sections

Page 49: KM Case Toyota Dimensi

Context-sensitive help screen for the main frontline application (DRIVES)

Policy page, providing succinct but complete information on stamp duty rates

Page 50: KM Case Toyota Dimensi

Simple, but effective, feedback page for use by frontline staff

Highly-simplified search results page

Page 51: KM Case Toyota Dimensi

Portion of the ‘back-of-the-book’ index provided as part of Frontline Help

source:

http://www.steptwo.com.au/papers/rta/index.html

Posted in KM Case Study | No Comments »KM Case : Frito-Lay

It takes more than good flavor and a heartY crunch to sell the salty snacks churned out at Frito-Lay. Corporate executives knew that capturing best practices and corporate information would give employees something they could sink their teeth into. But information was scattered around the company in disparate systems, and there was no easy way for the geographically dispersed sales force to get at it.

“We had knowledge trapped in files everywhere,” says Mike Marino, vice president of customer development at Frito-Lay, an $8.5 billion division of PepsiCo in Plano, Texas. Marino says that he knew if the 15-member sales team could only access the same information, it would solve its ongoing problems with information sharing and communication.

For example, multiple salespeople would ask the corporate sales, marketing and operations staff for the same types of information and data, such as current private-label trends in their snack category or research on people’s shopping behavior, he says. The result? Frito-Lay’s support staff ended up performing the same tasks over and over. If that information lived in a central, easily accessible spot, the salespeople could access it as needed.

Page 52: KM Case Toyota Dimensi

Additionally, Marino says, much valuable knowledge was squirreled away on each salesperson’s system. There were many idiosyncratic methods of capturing information, “none of which were terribly efficient,” he says.

Marino says the sales team also lacked a place for brainstorming and collaboration online. “If somebody got a piece of research and wanted to get input from account executives in Baltimore and Los Angeles, the ability to collaborate [online] just wasn’t there,” he says.

The answer, Marino’s group realized, was to build a knowledge management portal on the corporate intranet. A KM portal is a single point of access to multiple sources of information and provides personalized access. Companies are starting to pay attention to portals because they offer an efficient way to capture information, says Carl Frappaolo, executive vice president and cofounder of the Delphi Group, a consultancy in Boston. A KM portal at Frito-Lay would give the sales department a central location for all sales-related customer and corporate information and cut down on the time it took to find and share research. In addition to different types of information about the team’s customers–including sales, analysis and the latest news–the portal would contain profiles on who’s who in the corporation, making finding an internal expert a snap.

Built From Scratch

Marino chose this sales team as the portal pilot because it was working with a Frito-Lay client that Marino says is an industry leader in marketing, product promotions and merchandising. The sales team was dispersed across the country, making it ideal for determining whether the portal would succeed in bridging geographic boundaries when it came to sharing internal information.

Based on input from the pilot team, Marino’s group established three goals for the Frito-Lay portal: to streamline knowledge, exploit customer-specific data and foster team collaboration. He brought in Navigator Systems, a consultancy based in Dallas, which has worked with Frito-Lay in the past and had some experience building knowledge management portals. Navigator built a prototype in about three months using technologies previously approved by Frito-Lay’s IS department, including Lotus Domino, BusinessObjects’ WebIntelligence, Java and IBM’s DB2 database. Since there was no advanced search engine in use at the company, Navigator’s consultants recommended a tool called Autonomy, a natural language search engine that allows users to search information in different repositories such as intranet sites, PowerPoint presentations and spreadsheets, says Todd Price, the principal consultant at Navigator who worked on the implementation. “The search engine enabled the person to get to all the disparate data sets through one view,” explains Marino.

Marino and Price essentially had to start from scratch when it came to populating the portal. “Never before at Frito-Lay had they tried to capture expertise systematically in one place,” notes Price. Marino and Price did an audit within the company and then created expertise profiles on the portal so that sales staff in the field would have an easy way to learn who’s who at headquarters in Plano. That way, people who have expertise in areas such as promotion planning, activity planning, costing or new product announcements can be readily tracked down and contacted for information. “In a large organization, that’s critical, because there’s a wealth of

Page 53: KM Case Toyota Dimensi

knowledge. But for someone new in the field it takes a lot of tries to figure out who they are,” Price says.

Security was also a big concern because the pilot team would be working with confidential client information. The particular customer supported by the pilot team “had custom information about sales performance that they shared with members of the Frito-Lay team, but we were contracted not to let that information get outside the team that worked with that customer,” says Marino. His group built the portal so that different sections of it were password-protected, ensuring that only the pertinent users could get to the confidential information.

The portal went live in January 2000. Since then, three additional sales teams, or customer communities as they are called internally, have been given access to the portal with different content–including research abstracts and what Marino calls performance scorecards, which evaluate account performance. “If somebody in sales or market research did a study in a particular area like private-label trends, [the user] would be able to click to that abstract and get a summary of that study.” Users access the portal, known as the Customer Community Portal (CCP), through a Netscape Navigator browser and enter their name and password on the Frito-Lay intranet.

Results

The CCP has paid off with increased sales. “What we expected to see was that the pilot team would outperform others in terms of sales and profitability,” Marino says. While he declined to give figures, he says the test team doubled the growth rate of the customer’s business in the salty snack category. “The retailer is happy because they’re doing more business in their market, and we’re doing business at a faster growth rate with this customer than with other customers,” Marino says.

It also made the sales team happier. For example, the pilot team members reside in 10 different cities, so “the tool has become extremely valuable for communication” and helps cut down on travel, says Joe Ackerman, a customer team leader in the sales division based in Portland, Ore. A year after implementing the portal, the pilot group has been able to share documents concurrently instead of having to send faxes around the country to different offices. “We have to manipulate large amounts of data, and now we can look at it online versus having to have somebody physically travel to the retail customer. It’s almost a distance learning tool as much as anything else,” he says.

The CCP has also helped foster a sense of camaraderie and relationship building. For example, the portal homepage lists the team members’ birthdays. People can also share best practices–on anything under the sun. If someone developed an effective sales presentation for a potential customer in Boston, a salesperson in San Francisco could co-opt the information. Salespeople can also find the latest news about their customers, and there’s an automatic messaging feature that informs team members who is online.

For Ackerman, the portal has also been an invaluable tool for helping him assess employee skill sets, because each salesperson is required to catalog his or her strengths and areas of expertise.

Page 54: KM Case Toyota Dimensi

“As a team leader, it helps me analyze where people’s gaps might be without having to travel to another member’s location,” he says.

The portal has also helped boost employee retention rates, says Ackerman. Turnover used to be terrible, he says, because salespeople felt pressured to find vital information and communicate with the rest of the team. Marino adds that salespeople felt frustrated and disconnected because there was no way to efficiently collaborate with the rest of their group unless they flew into a central location.

Since the portal has been in place, not one person on the 15-member team has left. Part of that can directly be attributed to the portal, says Ackerman, “because it helps build the connection.” In company surveys, salespeople previously complained about geographic constraints and how they didn’t feel connected and part of a team, he says.

The portal has proven so successful that its use has now become a PepsiCo initiative, says Marino. That means it will soon have added functionality so that employees across all three divisions–including Tropicana–can take advantage of product performance information on a jointly shared customer like a supermarket, he says. Marino says the different PepsiCo divisions will have the ability to copromote and comerchandise multiple products that are consumed together–such as carbonated beverages and salty snacks–to drive greater sales internally, naturally and for its customer. That’s talking more than just peanuts.

source:

http://www.cio.com/archive/050101/crunch.html

Posted in KM Case Study | No Comments »KM Case – Marconi

When Marconi went on a shopping spree and acquired 10 telecommunications companies over a three-year period, it faced a serious challenge: How could the $3 billion manufacturer of telecommunications equipment ensure that its technical support agents knew enough about newly acquired technology to provide quick and accurate answers to customers on the phone? And how could Marconi bring new agents up to speed on all the company’s products?

Marconi’s technical support agents?500 engineers scattered in 14 call centers around the globe?field approximately 10,000 questions every month about the company’s products. Before the acquisitions, agents had relied on Tactics Online, an extranet where they and customers could search for frequently asked questions and text documents. As new agents and products joined the company’s ranks, Marconi wanted to supplement the website with a more comprehensive knowledge management system. As engineers from the newly acquired companies came on board, however, they were hesitant to share their knowledge about the products they had been supporting. “They felt that their knowledge was a security blanket that helped guarantee their jobs,” says Dave Breit, director of technology and R&D for managed services in Warrendale, Pa. “With all of the acquisitions, it was essential that we all avoid hoarding knowledge and share it instead.”

Page 55: KM Case Toyota Dimensi

At the same time, Marconi wanted to streamline its customer service organization by making more of its product and systems information available directly to customers and shortening the length of customer calls. “We wanted to leverage the Web for customer self-service versus increasing the number of agents,” Breit says. “We also wanted to provide our frontline engineers [who interact directly with customers] with more information more quickly so that they could resolve more calls faster.”

Building on a KM Foundation

When Marconi began evaluating knowledge management technologies in the spring of 1998, the concept of sharing knowledge among agents was nothing new. Agents were already accustomed to working in teams of three or four people, gathering in war room fashion to solve customers’ technical issues. And a year earlier, Marconi had started basing a percentage of agents’ quarterly bonuses on the amount of knowledge they submitted to Tactics Online as well as their involvement with mentoring and training other agents. “Each agent was expected to teach two training classes and write 10 FAQs to earn their full bonus,” says Breit. “When we brought new companies online, the new agents received the same bonus plan. This approach allowed us to build a very open knowledge-sharing environment.”

To augment Tactics Online, Marconi chose software from ServiceWare Technologies, in part because its technology would integrate easily with the company’s Remedy CRM system, which agents use to log incoming calls from customers and track other customer interactions. In addition, says Breit, Marconi wanted its agents to populate its existing Oracle database of product information.

Breit’s division spent six months implementing the new system and training agents. The system?dubbed KnowledgeBase?is linked to the company’s CRM system and is powered by the Oracle database. The integrated view of Marconi’s customers and products provides agents with a comprehensive history of interactions. Technical support agents can, for example, put markers in the database and immediately pick up at the point where the customer last spoke with another agent.

On the Front Line

Tactics Online complements the new system. “The data stored in KnowledgeBase are specific troubleshooting tips and hints on our various product lines,” says Zehra Demiral, manager of knowledge management systems. “Tactics Online, on the other hand, is more of a doorway for customers to come into our customer support organization. From there, customers can access KnowledgeBase or their service requests or our online training manuals.”

Technical support agents now rely on KnowledgeBase for the latest solutions to customers’ product and systems problems. Level 1 agents answer all incoming calls, solve customers’ problems when possible, record the calls in the company’s CRM system and transfer the more difficult calls up the line to Level 2 agents. Level 2 agents, meanwhile, are the heart of the organization, composing about 70 percent of the technical support organization. They handle the more difficult calls and troubleshoot and diagnose equipment and network problems. “They’re

Page 56: KM Case Toyota Dimensi

the majority of our knowledge users and contributors,” says Breit. “They write up a synopsis of the call and feed it into KnowledgeBase [on an ongoing basis] so that other agents can refer to the solution later.”

After Level 2 agents submit their knowledge “raw” to a holding queue, Level 3 agents confirm the accuracy of the information, make any necessary changes and then submit the document to Demiral. (Level 3 agents also act as consultants, helping Level 2 agents solve problems and serving as intermediaries between the agents and the company’s engineering departments.) The entire process of updating the KnowledgeBase system with a new solution typically takes between three days and two weeks.

Changing Roles

As Breit anticipated, implementing KnowledgeBase has changed the agents’ roles. Level 1 agents, for example, now do more in-depth troubleshooting because they have more information available at their fingertips. In fact, they solve twice as many calls themselves (50 percent instead of 25 percent) in a shorter time (10 minutes versus 30 minutes). Since Level 1 agents can handle more calls, this group has doubled in size during the past two years.

The transition wasn’t quite as painless, however, for the Level 2 and Level 3 agents. Indeed, their roles changed significantly. “Rather than simply submitting HTML pages to Tactics Online, they were now asked to analyze the problems in a very procedural way and create diagnostic ’trees,’” says Breit. “That’s a more analytical way to think through a problem. Most of these guys had thought in terms of ’what is the fastest way to solve a problem’ rather than ’what is the most efficient way to solve a problem.’”

With hundreds of people submitting solutions, Marconi tended to get a lot of wheel reinvention. “There can be five or six ways to solve the [same] problem, but there’s one way that’s most efficient,” Breit says. To unearth and disseminate the most efficient solutions, agents were required to flowchart each of their solutions for the first three months following KnowledgeBase’s launch. “It’s amazing how many [agents] were unconscious of their own methodologies,” says Breit. “It was somewhat painful, but they eventually felt they benefited because they understood how they solve problems.”

As a result, agents now create technical solutions for customers in the most efficient?and logical?way possible instead of simply offering a “quick and dirty” solution. Think of the difference between simply being told what keys to strike on your PC and being taught how your software works and the logic behind executing a certain sequence of keystrokes. Once you actually understand how the product works, you can use the software more effectively and resolve more problems yourself.

Agents also had to change the way they present the solutions to customers. “We wanted to provide a collaboration tool for employees and a library source for our customers,” says Demiral. “Engineers wanted to provide a lot of detailed information yet we needed a degree of simplicity for customers. Most of the time, the immediate focus is on what a great collaboration tool this is and how it overcomes geographical distance among agents. Then I have to remind [agents] that

Page 57: KM Case Toyota Dimensi

this is a tool that we want customers to use and that they’ll have to organize, write and present the content with customers in mind.”

Making It Work

Demiral spent a lot of time working with the Level 3 agents to make their solutions less complex and streamline the review process. “We had to go through two iterations of how to organize and present the content,” Demiral says. “Customers tend to think in terms of the product and then the problem. But engineers often think about the problem first and then the product.”

The result: Customers often wouldn’t fully understand the solution. At the same time, Marconi had to work at easing Level 3 agents’ concerns that making them responsible for reviewing solution content would suddenly turn them into technical writers.

Marconi confronted cultural issues as well. “Business needs are different in different parts of the world,” says Demiral. “What may be normal business practice for Americans may not be common elsewhere.” In Europe, for example, the value of the KnowledgeBase system was not readily accepted. But once employees there saw that customers could use the system to solve some of their own problems, they got on board. Such an experience has been incorporated into how Marconi approaches KM. “We sometimes have to introduce the idea of knowledge management over time, validate it, and then move forward,” Demiral says.

To ensure that agents continue contributing new knowledge to KnowledgeBase, Marconi uses rewards. Besides bonuses, knowledge contributors receive recognition during meetings and in a newsletter. “Rewards help feed this culture,” Breit says. “Peer pressure also plays a role. Everyone wants to contribute because it’s the right thing to do. You also have to make sure that the system works well and that employees use it long enough to see it work. It has to be embedded in training and fully integrated into daily operations so that it just becomes part of how you do business.”

source:

http://www.cio.com/archive/110101/knowitall.html

Posted in KM Case Study | No Comments »

« Previous Entries

Recent Posts

KM Case – Toyota Jurnal OC Jurnal R&D Jurnal ICM Proposal Presentasi ICM What is KM?

Page 58: KM Case Toyota Dimensi

KM Case – Buckman Labs KM Case – Newcastle Call Centre KM Case : Frito-Lay KM Case – Marconi

Categories

Hot Topics KM Case Study Knowledge Management Live Paper & Group Assignment

Archives

October 2010 August 2010

Blogroll

BINUS BUSINESS SCHOOL BINUS CENTER BINUS CORPORATE BINUS INTERNATIONAL BINUS ONLINE LEARNING BINUS SCHOOL BINUS UNIVERSITY Payday Loan Cash

Search

Meta:

RSS Comments RSS Wordpress Cms Theme

Search

Page 59: KM Case Toyota Dimensi