kinerja kepolisian resort deli serdang dalam penyelidikan …
TRANSCRIPT
KINERJA KEPOLISIAN RESORT DELI SERDANG
DALAM PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
TESIS
FAISAL RAHMAT HUSEIN SIMATUPANG
127005137 /HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
KINERJA KEPOLISIAN RESORT DELI SERDANG
DALAM PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN
TINDAK PIDANA KORUPSI
TESIS
Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh
Gelar Magister Hukum dalam Program Studi
Magister Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sumatera Utara
OLEH
FAISAL RAHMAT HUSEIN SIMATUPANG
127005137 /HK
PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
M E D A N
2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
Telah diuji
Pada Tanggal : 12 Januari 2019
PANITIA PENGUJI TESIS
Ketua : Prof. Dr. Alvi Syahrin, S.H., M.S.
Anggota : 1. Dr. Mahmud Mulyadi, S.H., M.Hum
2. Prof. Dr. Suhaidi, S.H., M.H.
3. Dr. Edi Yunara, S.H., M.Hum
4. Dr. Sutiarnoto, S.H., M.Hum
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
ABSTRAK
Dalam rangka pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi, telah
diundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana
telah dirubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2001
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang dimaksud lahir berdasarkan pertimbangan bahwa tindak
pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan
negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi
masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai
kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.
Rendahnya kinerja penegak hukum termasuk Polri dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi, dinyatakan di dalam latar belakang yang mendasari lahirnya
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut Undang-Undang KPK).
Permasalahan dalam penelitian ini adalah tentang: Kebijakan hukum pidana
terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi; Kedudukan Polri dalam melakukan
penyelidikan/penyidikan tindak pidana korupsi dalam ketentuan perundang-undangan;
dan Kinerja Kepolisian Resort Deli Serdang dalam penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi.
Jenis penelitian yang dilakukan adalah penelitian yuridis normatif, yaitu
penelitian yang difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-
norma hukum positif. Sifat penelitian deskriptif analitis, merupakan penelitian yang
menggambarkan, menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.
Hasil penelitian menunjukkan: Terdapat komitmen yang kuat dari negara
melalui kebijakan hukum pidana untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak
pidana korupsi; Dalam perspektif perundang-undangan di Negara Republik Indonesia,
Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi; Kinerja penyelidikan dan penyidikan perkara pidana korupsi oleh Polres Deli
Serdang masih sangat rendah.
Upaya untuk peningkatan Kinerja Kepolisian Resort Deli Serdang dalam
Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi adalah: Perlu penegakan hukum
secara adil dan konsisten sesuai dengan peraturan perundang-undangan dan norma-
norma lainnya yang berlaku; Perlu adanya peningkatan kerjasama antara Kepolisian,
Kejaksaan, dan Komisi Pemberantasan Korupsi baik secara substantif, struktural,
terprogram dan terukur pencapaiannya; Perlu peningkatan kualitas dan kuantitas SDM
penyidik unit Tipikor Polres Deli Serdang, serta perlu meninjau kembali Pasal 385
Undang-Undang Pemerintahan Daerah.
Kata Kunci: Kinerja Kepolisian, Penyelidikan/Penyidikan, Tindak Pidana Korupsi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
ABSTRACT
In the context of eradicating criminal acts of corruption, the government has
made the Indonesian Republic Law, Number 31 of 1999, which has already been
changed to the Indonesian Republic Law, Number 20 of 2001 concerning Eradication
of Criminal Acts of Corruption.
The law referred to was born based on the consideration that the criminal acts
of corruption that have been widespread all this time do not only harm the state
finances but also violate social rights and the economy of the community at large; thus,
the criminal acts of corruption need to be classifiedas a crime whose eradication must
be done extraordinarily.
The low performance of law enforcer including the police in the eradication of
the criminal acts of corruption is said to be in the background underlying the birth of
the Indonesian Republic Law, Number 30 of 2002 concerning the Commission of the
Eradication of the Criminal Acts of Corruption (then it is said as Law of KPK
(Commission of Eradication of Corruption)).
The problems in this research are concerned with the Policy of Criminal Law
against the Eradication of Criminal Acts of Corruption, the Position of the Police in
Conducting Investigationand inquiry of the Criminal Acts of Corruption in Statutory
Provisions, and the Police Performance of Deli Serdang Resort in the Investigation
and inquiry of the Criminal Acts of Corruption.
The type of the research conducted is the normative juridical research, that is,
the research which is focused to review the application of positive principles or legal
norms. The nature of analytical descriptive research constitutes the research that
describes, examines, explains, and analyzes a legal rule.
The results of the research show that there is a strong commitment from the
government through the policy of criminal law to prevent and eradicate the criminal
acts of corruption, the police are authorized to conduct the investigation and inquiry
of the criminal acts of corruption in the statutory perspective in the Country of the
Republic of Indonesia, and the performance of the investigation of the criminal acts of
corruption done by the Police of Deli Serdang Resort is still very low.
Some efforts to improve the performance of the police of Deli Serdang Resort
in the investigation and inquiry of the criminal acts of corruption are the need for law
enforcement fairly and consistently in accordance with legislation and other norms
that apply, the need to increase the cooperation between the police, prosecutors and
corruption eradication commissions substantively, structurally and the achievements
which are detailed and structured, the need to increase the quality and quantity of
Human Resources of the investigators of the unit of the Criminal Acts of Corruption of
the Police of Deli Serdang Resort, and the need to review the article 385 of the regional
government law.
Key-words: Police performance, investigation, criminal acts of corruption.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Assalamu’alaikum Wr. Wb
Dengan mengucapkan puji syukur kehadirat Allah SWT berkat rahmat dan
hidayah-Nya penulis dapat menyelesaikan tesis yang berjudul: “Kinerja Kepolisian
Resor Deli Serdang Dalam Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi,” yang merupakan salah satu persyaratan untuk mencapai gelar sarjana Strata
2 (S2) Program Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
Dalam penyelesaian tesis ini penulis menyadari sepenuhnya bahwa penulisan
tesis ini masih mempunyai kekurangan-kekurangan. Dari sini penulis mengharapkan
adanya kritik dan saran yang membangun guna menyempurnakan tesis ini.
Dalam penyelesaian tesis ini penulis mengucapkan terima kasih kepada yang
terhormat Bapak Prof. Dr. Alvi Syahrin, SH, MS, Bapak Dr. Mahmud Mulyadi SH,
M.Hum, dan Bapak Prof. Dr. Suhaidi, SH, MH, selaku dosen pembimbing, Bapak Dr.
Edi Yunara, SH, M.Hum, dan Dr. Sutiarnoto, SH, MH, selaku dosen penguji yang telah
memberikan bimbingan dan arahan untuk kesempurnaan penyelesaian tesis ini.
Melalui kesempatan ini penulis mengucapkan rasa hormat dan terima kasih
yang sebesar-besarnya kepada :
1. Bapak Prof. Dr. Budiman Ginting, SH, M.Hum, selaku Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara Medan.
2. Ibu Prof. Dr. Sunarmi, SH, M.Hum Ketua Program Studi Magister Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara Medan.
3. Bapak Dr. Mahmul Siregar, SH, M.Hum selaku Sekretaris Program Studi Magister
Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara Medan.
4. Bapak/Ibu Dosen Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara
Medan yang telah membimbing kami.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
5. Seluruh staf akademik Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Sumatera
Utara Medan.
6. Kepada semua rekan-rekan seangkatan mahasiswa Fakultas Hukum Universitas
Sumatera Utara Medan, yang tidak dapat disebutkan satu persatu, terima kasih atas
motivasi selama studi dan penulisan tesis ini.
Ucapan terima kasih yang tulus disampaikan kepada Ayahanda Dr. H. Bachtiar
Simatupang, SE, SH, MM, MH, Ph.D dan Ibunda tercinta Hj. Erlan Diana
Simorangkir, yang telah melahirkan, merawat, mengasuh, serta mendidik penulis
dengan penuh kasih sayang.
Teristimewa dengan tulus hati diucapkan terima kasih kepada isteri tercinta
Widya Fadliyah, SE, dan kedua anak saya yang menjadi motivasi dalam penyelesaian
tesis ini, yaitu Alia Tantya Shafira boru Simatupang dan Alif Irfan Fadhilah
Simatupang
Semoga Allah SWT memberikan balasan yang setimpal atas segala jasa-jasa
kebaikan serta bantuan yang diberikan kepada penulis. Akhir kata penulis berharap
semoga hasil tesis ini dapat bermanfaat bagi seluruh pembaca. Amin.
Penulis
Faisal Rahmat Husein Simatupang
NPM: 127005137/HK
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
a. Data Pribadi
Nama : Faisal Rahmat Husein Simatupang
Tempat/tanggal Lahir : Kabanjahe/15 Desember 1981
Jenis Kelamin : Laki-Laki
Agama : Islam
Status : Menikah
Alamat : Jln. Jermal XII No. 86 Medan
b. Keluarga
Nama Orangtua
Ayah : Dr.H. Bachtiar Simatupang, SE, SH, MM, MH, Ph.D
Ibu : Hj. Erlan Diana Simorangkir
c. Pendidikan
1) SD Negeri No. 40 Banda Aceh Tahun 1994
2) SMP Negeri No. 3 Banda Aceh Tahun 1997
3) SMA Negeri No. 3 Banda Aceh Tahun 2000
4) Akademi Kepolisian Tahun 2003
5) S1 Fakultas Hukum UBHARA Jakarta Tahun 2011
6) Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian Tahun 2011
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
DAFTAR ISI
SURAT PERNYATAAN......................................…………………………………. i
ABSTRAK …………………………………………………………………………. ii
ABSTRACT……………………………………………….………………………… iii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………….... iv
DAFTAR RIWAYAT HIDUP .....…………………………………………………. vi
DAFTAR ISI ………………………………………………………………………. vii
DAFTAR TABEL …………………………………………………………………..
vii
BAB I PENDAHULUAN………………………………………………… 1
A. Latar Belakang Masalah……………………………………… 1
B. Perumusan Masalah………………………………………….. 16
C. Tujuan Penelitian……………………………………………. 17
D. Manfaat Penelitian…………………………………………... 17
E. Metode Penelitian…………………………………………….. 18
F. Kerangka Teori dan Konsep …………………………………. 19
1. Kerangka Teori …………………………………………... 19
2. Kerangka Konsep ………………………………………… 24
G. Metode Penelitian …………………………………………… 26
1. Jenis dan Sifat Penelitian ……………………………........ 26
2. Sumber Data ……………………………………………... 27
3. Teknik Pengumpulan Data ……………………………..... 29
4. Analisis Data ……………………………………………... 29
BAB II KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DAN SUMBER HUKUM
PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA
KORUPSI…………………………………..…………………......
30
A. Kebijakan Hukum Pidana......................................................... 30
B. Sistem Peradilan Pidana Indonesia………………………....... 37
C. Karakteristik Tindak Pidana dan Sanksi Pidana…………....... 42
D. Pengertian dan Ruang Lingkup Korupsi……………………... 56
E. Landasan Yuridis Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi....... 62
F. Klasifikasi dan Jenis Tindak Pidana Korupsi……………….... 67
G Pengertian dan Ruang Lingkup Penyelidikan dan Penyidikan 75
BAB III KEDUDUKAN POLRI DALAM MELAKUKAN
PENYIDIKAN/PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
DALAM KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN
85
A Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana
Korupsi ……………………………………………………….
85
B Kepolisian Republik Indonesia ……………………………… 94
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
C Kewenangan Polri Melakukan Penyelidikan dan Penyidikan
Dan Prosedur Penyelidikan dan Penyidikan Oleh Polri…….
103
D Kewenangan Melakukan Penyelidikan Dan Penyidikan dan
Prosedur Hukum Acara Pidana Dalam Penyelesaian Perkara
Tindak Pidana Korupsi ……………………………………….
112
BAB IV
KINERJA KEPOLISIAN RESORT DELI SERDANG
DALAM PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK
PIDANA KORUPSI…………………………………...................
114
A. Kinerja Penyelidikan Dan Penyidikan ……………………… 114
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Penyelidikan dan
Penyidikan………………………………………………
118
C. Pemecahan Masalah Peningkatan Kinerja Penyelidikan dan
Penyidikan……………………………………………………
131
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN………………………………...... 137
A. Kesimpulan ………………………………………………... 137
B. Saran ……………………………………………………….....
139
DAFTAR PUSTAKA .......………………………………………………………....
LAMPIRAN .......………………………………………………………...................
140
144
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
DAFTAR TABEL
Tabel 1 : Kompilasi Data Jumlah Pengaduan Masyarakat dan
Jumlah Penyelidikan dan Penyidikan Yang Dilakukan
Oleh Polres Deli Serdang Pada Tahun 2015 Sampai
2018 Bertanggungjawab sesuai Atuaran Kebijakan
Hukum ............................................................................
116
Tabel 2 : Kompilasi Rincian Jenis Pengaduan Masyarakat ke
Polres Deli Serdang pada Tahun 2015 Sampai 2018 .......
116
Tabel 3 : Jumlah Personel Polres Deli Serdang Berdasarkan
Jenjang Kepangkatan ......................................................
119
Tabel 4 : Jumlah Personil Polri dan PNS Polres Deli Serdang
Berdasarkan Penugasan ..................................................
119
Tabel 5 : Data Personel yang telah mengikuti Dikjur .....................
120
Tabel 6 : Personil Unit III/Tipikor Sat Reskrim Polres Deli
Serdang ...........................................................................
122
Tabel 7 : Analisis SWOT Pelaksanaan Penyelidikan dan
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Polres Deli
Serdang ...........................................................................
127
Tabel 8 : Strategi Pemecahan Masalah Peningkatan Kinerja
Polres Deli Serdang Dalam Penyelidikan Dan
Penyidikan Tindak Pidana Korupsi ................................
132
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Salah satu pondasi penting bagi terjaminnya keberlangsungan
pembangunan nasional, adalah terciptanya keamanan dan ketertiban di tengah
masyarakat, serta terlindunginya masyarakat dari berbagai tindak pidana. Semakin
kondusif keadaan keamanan dan ketertiban yang dirasakan oleh masyarakat, akan
semakin mudah pula mengembangkan potensi bangsa, demi tercapainya tujuan
pembangunan nasional yakni masyarakat yang adil dan makmur, serta sejahtera
lahir dan bathin.
Pencapaian rasa aman dan tenteram yang dirasakan oleh masyarakat,
berkaitan erat dengan kemampuan penegak hukum dalam melindungi masyarakat,
dari segala bentuk tindak pidana dan pelanggaran hukum lainnya. Dalam tatanan
penyelenggaraan fungsi-fungsi negara, fungsi pemeliharaan keamanan, ketertiban
dan ketentraman masyarakat, dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik
Indonesia (Polri). Hal itu antara lain diamanatkan dalam Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia
(selanjutnya disebut Undang-Undang Kepolisian).
Dasar pertimbangan pada huruf b lahirnya Undang-Undang yang disahkan
di Jakarta pada tanggal 8 Januari 2002, dan ditempatkan di dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2 tersebut, dinyatakan bahwa
1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
pemeliharaan keamanan dalam negeri, melalui upaya penyelenggaraan fungsi
Kepolisian yang meliputi pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat,
penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat
dilakukan oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia, selaku alat negara yang
dibantu oleh masyarakat dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia.
Untuk melaksanakan fungsi Kepolisian tersebut di atas, terutama fungsi
penegakan hukum dalam hal terjadinya tindak pidana, Pasal 14 huruf g Undang-
Undang Kepolisian menggariskan bahwa Polri bertugas untuk melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum
acara pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Dalam kaitan dengan fungsi perlindungan masyarakat dari tindak pidana,
salah satu bentuk tindak pidana yang perlu mendapat perhatian yang sungguh-
sungguh adalah tindak pidana korupsi. Tidak saja karena dampaknya yang
demikian serius terhadap kerugian keuangan negara dan pelanggaran terhadap hak-
hak sosial dan ekonomi masyarakat, melainkan juga karena proses pengungkapan
perkaranya yang relatif rumit, akibat modus pidana yang demikian kompleks dan
multi dimensional.
Dampak dari kejahatan korupsi, tidak saja serius melainkan juga
mempengaruhi bagi kemajuan dan daya saing bangsa. Uang rakyat bernilai ribuan
triliun rupiah yang seyogyanya dipergunakan untuk mengentaskan kemiskinan dan
pengangguran, menciptakan lapangan kerja, menggerakkan sektor riil dan
meningkatkan daya saing bangsa, justru masuk ke kantung-kantung pejabat yang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
korup. Mereka menikmati kehidupan yang mewah, berlimpah dan serba mudah di
tengah jeritan ratusan juta rakyat yang hidup dalam tekanan ekonomi yang tidak
terperikan.
Korupsi telah menghancurkan sendi-sendi agama, nilai-nilai moral dan
etika. Ia telah pula menggadaikan marwah bangsa, menjerumuskan Indonesia
menjadi bangsa yang terbelakang, miskin dan dililit hutang. Di sisi lain korupsi
telah menghilangkan budaya malu di kalangan penyelenggara negara sehingga
menganggap korupsi sebagai sebuah tradisi, dan dipenjara karena korupsi bukanlah
aib besar yang pantas disesali, melainkan sekedar “resiko jabatan” yang harus
diterima dengan sikap legowo.
Bila kondisi ini terus berkembang, dapat menimbulkan akibat yang serius.
Kesenjangan kehidupan akan terus meningkat dan semakin mencolok dan pada
gilirannya dapat berubah menjadi ledakan kecemburuan sosial yang amat
membahayakan stabilitas keamanan negara.
Dalam rangka pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi, telah
diundangkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999
sebagaimana telah dirubah menjadi Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, selanjutnya disebut
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Undang-undang dimaksud lahir berdasarkan pertimbangan antara lain
bahwa tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya
merugikan keuangan negara, tetapi juga telah merupakan pelanggaran terhadap
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi
perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan
secara luar biasa.
Berdasarkan pertimbangan tersebut di atas, maka tindak pidana korupsi
tidak lagi dapat digolongkan sebagai kejahatan biasa yang dapat diberantas dengan
cara-cara yang konvensional. Ditinjau dari karakteristiknya, korupsi telah menjadi
suatu kejahatan khusus yang bersifat luar biasa (extra ordinary crime) sehingga
memerlukan pula upaya pemberantasan secara luar biasa (extra ordinary
treatment).
Terkait dengan hal itu, Romli Atmasasmita pada pokoknya mengatakan
bahwa dunia internasional sepakat menjadikan korupsi sebagai “extra ordinary
crime”, atau kejahatan yang bersifat luar biasa. Korupsi dipandang tidak hanya
sebagai kejahatan terhadap satu sendi tertentu yakni keuangan negara, tetapi pada
hakikatnya korupsi merupakan kejahatan yang sangat mengancam terhadap
kelangsungan kesejahteraan manusia dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan
bermasyarakat internasional.1
Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) melalui United Nations Conviction
Against Corruption 2003, menyatakan bahwa korupsi merupakan “multi-
dimentional challange”atau tantangan yang bersifat multi dimensi, baik bagi
1Romli Atmasasmita, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia,
(Jakarta: Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan HAM RI,
2002), hlm. 25.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
pengakuan dan pemenuhan hak asasi manusia (selanjutnya ditulis HAM), alam
pikiran demokrasi, cita-cita pembangunan yang berkelanjutan, pertahanan dan
keamanan, tingkat dan kualitas kehidupan sampai kepada tantangan bagi kaedah-
kaedah hukum dan penegakan hukum.2
Meski dampaknya demikian serius dan mengerikan bagi kesejahteraan
masyarakat, kemajuan dan daya saing bangsa, kejahatan korupsi relatif sulit untuk
diungkap, terutama disebabkan oleh modus kejahatannya yang kompleks, dan latar
belakang pelaku pidana yang terdidik dan memiliki pengaruh dan kekuasaan.
Menurut Edi Yunara, sulitnya mengungkap atau menjerat pelaku tindak
pidana korupsi, juga diakibatkan kesulitan jaksa penuntut umum dalam
memberikan alat bukti yang dapat meyakinkan hakim, terlebih lagi pengungkapan
tindak pidana korupsi memang ruwet yang penanganannya memerlukan
konsentrasi dan kecermatan di samping pemahaman yang benar- benar terhadap
Undang-Undang.3
Selanjutnya, Edi Yunara pada pokoknya menjelaskan bahwa kendala dalam
pengungkapan kasus tindak pidana korupsi tidak terlepas dari karakteristik tindak
pidana korupsi tersebut, antara lain:
2United Nations Conviction Against Corruption 2003, yang telah diratifikasi melalui
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006. 3Edi Yunara, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Bandung: Citra
Aditya Bakti, 2005), hlm. 69.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
1. Pelaku tindak pidana korupsi pada umumnya tingkat pendidikan relatif tinggi
dan mempunyai keahlian di bidangnya, sehingga secara dini mampu
menyembunyikan atau menutupi perbuatannya serta menghilangkan barang
bukti yang berkaitan dengan perbuatannya sehingga mempersulit penyidikan.
2. Umumnya dilakukan oleh sekelompok orang atau beberapa orang yang saling
menikmati keuntungan dari hasil perbuatannya, sehingga saling menutup
diri/melindungi, karena takut terlibat sebagai tersangka apabila terungkap.
3. Perkara korupsi terungkap setelah berselang waktu yang relatif lama,
akibatnya sulit mendapatkan alat bukti dan barang bukti yang sah menurut
hukum.
4. Pelaku menggunakan sarana dan prasarana serta teknologi canggih yang
dilakukan secara sistematis dan terencana, misalnya melalui sarana
multimedia seperti komputer, internet dan lain-lain.
5. Umumnya pelaku tindak pidana korupsi adalah atasan/pimpinan (pejabat)
sehingga pelaku dilindungi korp/instansi, disamping itu saksi adalah bawahan/
staf sedangkan pelaku adalah atasan sehingga terkadang dalam persidangan
saksi enggan memberikan kesaksian yang sebenarnya, dan mengatakan lupa
atau tidak ingat lagi, bahkan mencabut keterangan yang pernah diberikan pada
tahap penyidikan, apakah karena sudah dipengaruhi atau mendapat sesuatu
imbalan atau tekanan/ancaman, sehingga mengaburkan alat bukti dan
melemahkan pembuktian. Disamping itu, pada saat persidangan saksi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
berhadapan langsung dengan atasannya, sehingga menimbulkan beban
psikologis bagi saksi untuk berterus terang dalam memberikan keterangan.
6. Sulitnya memperoleh alat bukti dan barang bukti yang sah menurut hukum
dalam mengungkap kasus korupsi merupakan salah satu kendala pihak
penyidik untuk mengajukan pelaku korupsi ke depan pengadilan. Pelaku
korupsi dan saksi maupun mereka yang terlibat didalamnya sengaja menutupi
sehingga pihak penyidik/penuntut umum mengalami kesulitan untuk
mendapatkan bukti-bukti dan saksi-saksi berikut data yang akurat serta
konkrit sebagai dasar untuk melakukan penuntutan.
7. Tidak ada yang melaporkan sebagai saksi korban langsung. Berbeda dengan
tindak pidana umum, yang dirugikan adalah person (individu) sebagai korban
langsung sehingga cepat melaporkan kasusnya kepada yang berwenang,
sedangkan korban Tindak Pidana Korupsi atau pihak yang dirugikan bukan
perseorangan, tetapi adalah institusi atau lembaga pemerintah/negara.
8. Hal-hal tersebut menyebabkan tindak pidana korupsi sulit dibuktikan di dalam
persidangan, dan bahkan lebih sulit lagi apabila pelakunya adalah pejabat
tinggi atau tokoh partai politik/elit politik yang mempunyai kekuasaan dan
banyak massa. Disamping itu, adanya intervensi dari pejabat
pemerintah/negara yang ingin membebaskan terdakwa dari tanggung jawab
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
pidana, baik dengan cara menggunakan kewenangan jabatan maupun dengan
cara kekeluargaan.4
Mengingat demikian seriusnya dampak yang ditimbulkan dan sulitnya
pengungkapan perkara pidana korupsi, maka diperlukan kemampuan dan
komitmen yang tinggi dari penegak hukum dalam hal ini penyidik dan institusi
Polri dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan sedemikian rupa sehingga
kinerja pemberantasan tindak pidana korupsi oleh Polri dapat dilakukan dengan
lebih optimal.
Rendahnya kinerja penegak hukum termasuk Polri dalam pemberantasan
tindak pidana korupsi, dinyatakan secara jelas dan tegas di dalam latar belakang
yang mendasari lahirnya Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (selanjutnya disebut
Undang-Undang KPK).
Di dalam Undang-Undang yang disahkan pada tanggal 27 Desember 2002
dan ditandatangani oleh Presiden Megawati Soekarnoputri, dan ditempatkan di
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137 tersebut,
dinyatakan bahwa dalam rangka mewujudkan masyarakat yang adil, makmur, dan
sejahtera berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik
Indonesia Tahun 1945, pemberantasan tindak pidana korupsi yang terjadi sampai
sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal.
4Ibid., hlm. 69-70.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
Oleh karena itu pemberantasan tindakpidana korupsi perlu ditingkatkan
secara profesional, intensif, dan berkesinambungan karena korupsi telah merugikan
keuangan negara, perekonomian negara, dan menghambat pembangunan nasional.
Di samping itu, dinyatakan pula bahwa lembaga pemerintah yang menangani
perkara tindak pidana korupsi belum berfungsi secara efektif dan efisien dalam
memberantas tindak pidana korupsi.
Pertanyaan mendasarnya adalah, mengapa lembaga pemerintah yang
menangani perkara tindak pidana korupsi termasuk Polri, belum berfungsi secara
efektif dan efisien dalam memberantas tindak pidana korupsi, atau lebih jelasnya
faktor-faktor apakah yang menyebabkan kinerja Polri dalam penyidikan tindak
pidana korupsi dinilai masih rendah.
Untuk menjawab pertanyaan tersebut, teori sistem hukum (legal system
theory) dari Lawrence M. Friedman, dapat dijadikan sebagai pijakan. Lawrence M.
Friedman pada pokoknya mengemukakan bahwa efektif dan berhasil tidaknya
penegakan hukum tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur hukum
(legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum (legal
culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi hukum
meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan hukum
yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat.5
5Lawrence M.Friedman, The Legal Sistem: A Social Science Perspective, (New York:
Russel Sage Foundation, 1969), hlm.16.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
Ditinjau dari perspektif substansi hukum, kewenangan Polri melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, diatur di dalam Pasal
4 jo Pasal 6 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP), Pasal 14 ayat (1) huruf g Undang-Undang Kepolisian, dan Pasal 26
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di dalam ke tiga perundang-undangan di atas, telah mengatur secara jelas
dan tegas tentang kewenangan Polri dalam melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap seluruh bentuk tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi.
Meskipun demikian, walaupun memiliki kewenangan penuh dalam
penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, kewenangan tersebut
tidak serta merta dapat dilakukan oleh penyelidik atau penyidik Polri, untuk
melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, terutama untuk
Aparatur Sipil Negara (ASN) pada instansi daerah.
Hal itu diatur secara jelas dan tegas di dalam Undang-Undang Nomor 23
Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah (Undang-Undang Pemerintahan
Daerah). Di dalam Pasal 385 Undang-Undang Pemerintahan Daerah ditegaskan
sebagai berikut:
(1) Masyarakat dapat menyampaikan pengaduan atas dugaan penyimpangan
yang dilakukan oleh aparatur sipil negara di instansi Daerah kepada
Aparat Pengawas Internal Pemerintah dan/atau aparat penegak hukum.
(2) Aparat Pengawasan Internal Pemerintah wajib melakukan pemeriksaan
atas dugaan penyimpangan yang diadukan oleh masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Aparat penegak hukum melakukan pemeriksaan atas pengaduan yang
disampaikan oleh masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1),
setelah terlebih dahulu berkoodinasi dengan Aparat Pengawas Internal
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
Pemerintah atau lembaga pemerintah nonkementerian yang membidangi
pengawasan.
(4) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat administratif,
proses lebih lanjut diserahkan kepada Aparat Pengawas Internal
Pemerintah.
(5) Jika berdasarkan hasil pemeriksaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
ditemukan bukti adanya penyimpangan yang bersifat pidana, proses lebih
lanjut diserahkan kepada aparat penegak hukum sesuai ketentuan
peraturan perundang-undangan.
Dengan ketentuan yang demikian, maka Polri tidak lagi dapat secara serta
merta menindaklanjuti laporan pengaduan masyarakat, dengan melakukan
penyelidikan, dan menjadikan pengaduan tersebut sebagai dasar untuk memanggil
pejabat yang diadukan. Polri harus berkoordinasi terlebih dahulu dengan Aparat
Pengawas Internal Pemerintah (APIP), apakah kesalahan yang diadukan itu
termasuk kesalahan administratif, atau termasuk perbuatan pidana.
Ketentuan Undang-Undang Pemerintahan Daerah yang mengatur tentang
tindakan hukum terhadap aparatur sipil negara di instansi daerah, diyakini akan
menjadi kendala yang berpotensi menghambat kinerja Polri dalam melakukan
pemberantasan terhadap tindak pidana korupsi, melalui penyelidikan dan
penyidikan, terutama untuk pejabat daerah yang diadukan oleh masyarakat.
Ketentuan tersebut menjadi kendala bagi Polri terutama jajaran di daerah, untuk
secara proaktif menindaklanjuti pengaduan masyarakat, tentang adanya dugaan
perbuatan pidana korupsi.
Dengan demikian, ketentuan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yang
mengatur tentang tindakan hukum terhadap aparatur sipil negara di instansi daerah,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
secara substantif telah menjadi faktor penghambat kinerja Polri dalam melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.
Apabila ditinjau dari budaya hukum, diakui bahwa budaya hukum anti
korupsi memang belum sepenuhnya terbentuk ditengah masyarakat. Namun
demikian, tuntutan masyarakat terhadap pemberatasan korupsi, semakin menguat
disuarakan dari waktu ke waktu. Hal itu sesungguhnya dapat menjadi modalitas
bagi Polri untuk dapat melakukan penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi dengan kinerja yang lebih baik. Dengan demikian, meskipun budaya anti
korupsi belum terbentuk secara sempurna di tengah masyarakat, aspek budaya
hukum, diyakini bukan merupakan faktor penghambat kinerja Polri dalam
melakukan penyidikan terhadap perkara pidana korupsi.
Faktor yang perlu dicermati kemudian, adalah faktor struktur hukum atau
kualitas aparatur penegak hukum. Pertanyaan yang perlu dijawab adalah, apakah
Polri terutama personil sudah memiliki kesiapan yang optimal untuk dapat
melaksanakan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi,
melalui proses penyelidikan dan penyidikan secara efektif dan efisien?.
Dalam menganalisis pertanyaan di atas, dipergunakan teori kinerja yang
dikemukakan oleh Mathis.L.Robert dan Jackson.H.John. Pakar manjemen tersebut
pada intinya mengemukakan bahwa terdapat tiga faktor utama yang dapat
mempengaruhi bagaimana individu/seorang karyawan dalam bekerja, yaitu: (1)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
kemampuan individual untuk melakukan pekerjaan tersebut, (2) tingkat usaha yang
dicurahkan, dan (3) dukungan organisasi.6
Oleh karena itu, untuk mengetahui kinerja Polri dalam penyelidikan dan
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, akan ditelusuri dua aspek penting,
yakni kemampuan dan kemauan penyidik Polri, dukungan anggaran, dan sarana
prasarana untuk melakukan penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.
Adapun objek penelitian yang dipilih adalah Kepolisian Resor Deli
Serdang (Polres Deli Serdang). Pemilihan objek penelitian tersebut dilandasi
pertimbangan bahwa di samping merupakan wilayah kerja penulis, Polres Deli
Serdang membawahi Kabupaten Deli Serdang, yang merupakan salah satu
Kabupaten dengan pembangunan yang cukup maju di Provinsi Sumatera Utara,
dengan jumlah Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD) yang
mencapai Rp. 3,497 Triliun7. Anggaran pembangunan yang demikian besar
tersebut, tentu saja memerlukan mekanisme pengawasan dan penegakan hukum
yang yang baik, sedemikian sehingga anggaran tersebut benar-benar dapat
dipergunakan untuk sebesar-besarnya peningkatan kesejahteraan masyarakat dan
kemajuan daerah.
6Mathis. L. Robert dan Jackson. H. John, Manajemen Sumber Daya Manusia, (Jakarta:
Bumi Aksara, 2001), hlm. 43. 7https://www.deliserdangkab.go.id/?p=405diakses 05 Desember 2018.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
Untuk mendukung pelaksanaan tugas penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi, Polres Deli Serdang didukung oleh 5 (lima) orang
Penyidik/Penyidik Pembantu, yang bertugas secara khusus di Unit III/Tipikor Sat
Reskrim Polres Deli Serdang.
Adapun jumlah penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana
korupsi, yang berhasil dilakukan oleh Polres Deli Serdang pada tahun 2015 sampai
dengan 2018, adalah sebagai berikut:
Tabel 1
Kompilasi Data Jumlah Pengaduan Masyarakat Dan Jumlah Penyelidikan
Dan Penyidikan Yang Dilakukan Oleh Polres Deli Serdang
Pada Tahun 2015 Sampai 2018
No Tahun Pengaduan
Masyarakat Penyelidikan Penyidikan
1. 2015 12 12 1
2. 2016 24 24 -
3. 2017 33 33 -
4. 2018 8 8 -
Total 77 77 1
Sumber : Polres Deli Serdang, 2018.
Data pada Tabel 1 di atas, terlihat dengan jelas bahwa dari 77 Laporan
Pengaduan Masyarakat selama tahun 2015 sampai 2018, hanya 1 (satu) perkara
yang berhasil ditingkatkan statusnya dari penyelidikan menjadi penyidikan, dan 3
perkara kerugian sudah dikembalikan ke kas Negara.
Berdasarkan data di atas, diperoleh kesimpulan sementara bahwa kinerja
pengungkapan perkara pidana korupsi, melalui tahapan penyelidikan dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
penyidikan oleh Unit III/Tipikor Sat Reskrim Polres Deli Serdang masih sangat
rendah.
Terkait dengan rendahnya kinerja tersebut, dilakukan studi pendahuluan
terhadap penyidik Satuan Reserse Kriminal Unit III/Tipikor Polres Deli Serdang.
Studi pendahuluan menemukan data awal tentang struktur hukum atau kualitas
aparatur penegak hukum, yang diduga menjadi penyebab rendahnya kinerja
penegakan hukum terhadap tindak pidana korupsi. Data awal tersebut adalah belum
ada satupun personil pada unit bersangkutan, yang mendapat pendidikan kejuruan
khusus tentang seluk beluk penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi,
sehingga patut diduga menjadi penyebab rendahnya kemampuan personil dalam
mengungkap peristiwa pidana korupsi yang memiliki modus yang rumit.
Berdasarkan data di atas, diperoleh hipotesis awal bahwa kinerja
penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana Korupsi oleh Polres Deli
Serdang masih rendah. Hal itu diduga disebabkan oleh dua hal. Pertama, dari aspek
struktur hukum berupa rendahnya kualitas aparat penegak hukum, terutama pada
rendahnya kemampuan kerja dan kemauan kerja aparatur untuk melaksanakan
tugas secara tuntas dan efektif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Kedua, penyebab dari aspek substansi hukum, berupa adanya ketentuan
Undang-Undang Pemerintahan Daerah, tentang prosedur penanganan pengaduan
masyarakat tentang adanya dugaan korupsi oleh pejabat di instansi daerah, yang
patut diduga membatasi ruang gerak penyelidik Polres Deli Serdang untuk
melakukan penyelidikan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
Mengingat tindak pidana korupsi tidak lagi dapat digolongkan sebagai
kejahatan biasa yang dapat diberantas dengan cara-cara yang konvensional dan
ditinjau dari karakteristiknya korupsi telah menjadi suatu kejahatan khusus yang
bersifat luar biasa (extra ordinary crime), sehingga memerlukan pula upaya
pemberantasan secara luar biasa (extra ordinary treatment), sementara kinerja
pengungkapan perkara pidana korupsi, melalui tahapan penyelidikan dan
penyidikan oleh Unit III/Tipikor Sat Reskrim Polres Deli Serdang masih tergolong
sangat rendah, maka peneliti termotivasi untuk melakukan penelitian dalam rangka
penulisan Tesis ini dengan judul “Kinerja Kepolisian Resor Deli Serdang Dalam
Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi”.
B. Perumusan Masalah
Adapun pertanyaan-pertanyaan penelitian yang memfokuskan
permasalahan di atas adalah:
1. Bagaimana kebijakan hukum pidana terhadap pemberantasan tindak
pidana korupsi?
2. Bagaimana kedudukan Polri dalam melakukan penyelidikan/
penyidikan tindak pidana korupsi dalam ketentuan perundang-
undangan?
3. Bagaimana kinerja Kepolisian Resor Deli Serdang dalam penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana korupsi?
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang diharapkan dapat dicapai melalui penelitian ini adalah sebagai
berikut:
1. Untuk memahami dan menganalisis kebijakan hukum pidana terhadap
pemberantasan tindak pidana korupsi.
2. Untuk memahami dan menganalisis kedudukan Polri dalam melakukan
penyelidikan/penyidikan tindak pidana korupsi dalam ketentuan perundang-
undangan.
3. Untuk memahami dan menganalisis kinerja Kepolisian Resor Deli Serdang
dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dapat diperoleh melalui penelitian ini adalah
sebagai berikut:
1. Secara Teoritis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menambah khasanah keilmuan atau
literatur hukum dan bermanfaat sebagai titik tolak dalam penelitian lebih lanjut
tentang kinerja Kepolisian dalam penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
2. Secara Praktis:
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memenuhi syarat kelulusan untuk
memperoleh derajat akademik Magister Hukum pada Program Magister Ilmu
Hukum Universitas Sumateras Utara.
E. Keaslian Penelitian
Berdasarkan penelusuran yang telah dilakukan, baik terhadap hasil-hasil
penelitian yang sudah ada maupun yang sedang dilakukan khususnya di
lingkungan Sekolah Pasca Sarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara,
belum ada penelitian menyangkut masalah “Kinerja Kepolisian Resor Deli
Serdang Dalam Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi”.
Akan tetapi ada beberapa tesis membahas tentang kinerja penegakan
hukum, namun permasalahan dan objek yang diteliti tidaklah sama. Dengan
demikian penelitian ini dinyatakan benar asli dari segi substansi maupun dari segi
permasalahan sehingga dapat dipertanggung-jawabkan kebenarannya secara
ilmiah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
F. Kerangka Teori Dan Konsep
1. Kerangka Teori
a. Teori Sistem Hukum
Menurut Lawrence M.Friedman, sistem hukum mengandung 3 (tiga)
komponen, yaitu: a. Struktur hukum (legal structure); b. Subtansi hukum (legal
substance); c. Budaya hukum (legal culture).8
Komponen struktur dari suatu sistem hukum mencakup berbagai institusi
(lembaga) yang diciptakan oleh sistem hukum tersebut dengan berbagai macam
fungsinya dalam mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut. Salah satu diantara
institusi tersebut adalah peradilan dengan berbagai perlengkapannya. Mengenai hal
ini Friedman menulis,”….structure is the body, the framework, the longlasting
shape of the system; the way courts of police depatements are organized, the lines
of jurisdication, the table of organization”.9
Substansi hukum meliputi aturan-aturan hukum, norma-norma dan pola
perilaku nyata manusia yang berada dalam sistem itu termasuk produk yang
dihasilkan oleh orang yang berada di dalam sistem hukum itu, mencakup keputusan-
keputusan yang mereka keluarkan atau aturan baru yang mereka susun. Mengenai
hal ini Lawrence M.Friedman, menyatakan sebagai berikut, “Subtance is what we
call the actual rules or norms used by institutions,(or as the case may be) the real
observable behavior patterns”.
8Lawrence M.Friedman, Loc. Cit. 9Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
Komponen struktur hukum dalam hal ini mencakup berbagai institusi yang
diciptakan oleh sistem hukum dengan berbagai macam fungsinya dalam rangka
mendukung bekerjanya sistem hukum tersebut.
Budaya hukum (legal culture) oleh Lawrence M.Friedman didefenisikan
sebagai berikut, “We can distinguish between an external and an internal legal
culture. The external legal culture is the legal culture of those members of society
who perform specialized legal tasks. Every society has a legal culture but only
societes with legal specialists have an internal legal culture….attitude and values
that related to law and legal system, together with those attitudes and values
affecting behavior related to law and its institutions, ether positively or
negatively”.10
Kultur hukum menyangkut budaya hukum yang merupakan sikap manusia
(termasuk budaya hukum aparat penegak hukumnya) terhadap hukum dan sistem
hukum. Sebaik apapun penataan struktur hukum untuk menjalankan aturan hukum
yang ditetapkan dan sebaik apapun kualitas substansi hukum yang dibuat tanpa
didukung budaya hukum oleh orang-orang yang terlibat dalam sistem dan
masyarakat maka penegakan hukum tidak akan berjalan secara efektif.
10Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
b. Teori Penegakan Hukum
Pengertian penegakan hukum antara lain dikemukakan oleh Soerjono
Soekanto. Ahli hukum pidana tersebut mengatakan bahwa:
Secara konsepsional, inti dari penegakan hukum terletak pada kegiatan
menyelaraskan hubungan nilai-nilai yang terjabarkan di dalam kaidah-
kaidah yang mantap dan mengejawantah dan sikap tindak sebagai rangkaian
penjabaran nilai tahap akhir, untuk menciptakan, memelihara dan
mempertahankan kedamaian pergaulan hidup.11
Selanjutnya, Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa:
Penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan perundang-
undangan, walaupun dalam kenyataannya di Indonesia kecenderungannya
adalah demikian, sehingga pengertian law enforcement begitu populer.
Selain itu ada kecenderungan yang kuat untuk mengartikan penegakan
hukum sebagai pelaksanaan keputusan-keputusan hakim. Perlu dicatat
bahwa pendapat yang agak sempit tersebut mempunyai kelemahan-
kelemahan, apabila pelaksanaan perundang-undangan dan keputusan-
keputusan hakim malah mengganggu kedamaian di dalam pergaulan
hidup.12
Selanjutnya, Selo Sumardjan seperti dikutip Sidik Sunaryo mengemukakan
bahwa penegakan hukum berkaitan erat dengan usaha menanamkan hukum di
dalam masyarakat agar mengetahui, menghargai, mengakui dan mentaati hukum,
reaksi masyarakat yang didasarkan pada sistem nilai-nilai yang berlaku dan jangka
waktu menanamkan hukum 13
11Soerjono Soekanto, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, (Jakarta:
Raja Grafindo Persada, 1983), hlm. 5. 12Ibid., hlm 7-8. 13Sidik Sunaryo, Sistem Peradilan Pidana, (Malang: Penerbit Universitas Muhammadyah
Malang, 2004), hlm. 56.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
Terkait dengan penegakan hukum, Leden Marpaung menjelaskan bahwa:
Penegakan hukum yang berisi kepatuhan, timbulnya tidak secara tiba-tiba
melainkan melalui suatu proses yang terbentuk dari kesadaran setiap insan
manusia untuk melaksanakan dan tidak melaksanakan sesuai bunyi
peraturan yang ada. Proses tersebut tidak berasal dari atas ke bawah atau
sebaliknya melainkan tidak mempedulikan darimana datangnya, karena
kewajiban untuk mematuhi segala bentuk peraturan perundang-undangan
adalah milik semua bangsa Indonesia. Dalam realita sehari-hari, ada warga
negara yang menjunjung hukum, ada warga yang salah atau keliru
menghayati hak dan kewajibannya sehingga yang bersangkutan dianggap
telah melanggar hukum. Anggapan seseorang telah melanggar hukum harus
dibuktikan dahulu kebenarannya secara cermat dan teliti karena adanya asas
praduga tidak bersalah (presumption of innoncent).14
Pembahasan mengenai penegakan hukum, tidak dapat dilepaskan dari
pemikiran-pemikiran tentang efektifitas hukum. Menurut Soerjono Soekanto
seperti dikutip Sidik Sunaryo:
Masalah efektifitas hukum berhubungan erat dengan usaha yang dilakukan
agar hukum itu benar-benar hidup didalam masyarakat, dalam artian
berlaku secara filosofis, yuridis dan sosiologis. Secara filosofis, berarti
hukum berlaku sebagaimana yang dicita-citakan oleh hukum. Secara
yuridis, berarti sesuai dengan apa yang telah dirumuskan, dan sosiologis,
hukum dipatuhi oleh warga masyarakat.15
Sementara itu, mengenai tolok ukur dari efektivitas hukum, dikemukakan
oleh Soerjono Soekanto bahwa masalah pokok penegakan hukum sebenarnya
terletak pada faktor-faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Faktor-faktor
14Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkara PidanaPenyelidikan dan Penyidikan,
(Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hlm.3. 15Sidik Sunaryo, Op.Cit., hlm. 57.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
tersebut disamping merupakan esensi dari penegakan hukum, juga merupakan
tolok ukur daripada efektivitas penegakan hukum.16
Selanjutnya Soerjono Soekanto menjelaskan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi penegakan hukum, pada intinya adalah sebagai berikut:
a. Faktor hukumnya sendiri, yang didalam tulisan ini akan dibatasi pada
undang-undang saja.
b. Faktor penegak hukum, yakni pihak-pihak yang membentuk maupun
menerapkan hukum.
c. Faktor sarana atau fasilitas yang mendukung penegakan hukum,
d. Faktor masyarakat, yakni lingkungan dimana hukum tersebut berlaku atau
diterapkan.
e. Faktor kebudayaan, yakni sebagai hasil karya, cipta, dan rasa yang didasarkan
pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.17
Sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto di atas, khususnya terkait
dengan faktor masyarakat, Alfian mengatakan bahwa:
Krisis kepercayaan terhadap hukum menyebabkan melemahnya partisipasi
masyarakat dalam bidang hukum yang disebabkan karena kurangnya
pengetahuan masyarakat akan peraturan-peraturan yang ada,
kekurangpercayaan akan kemampuan hukum untuk menjamin hak dan
kewajiban mereka secara adil, materi peraturan hukum yang bertentangan
dengan nilai-nilai yang dianut oleh masyarakat dan para pelaksana atau
penegak hukum yang tidak memberi contoh yang baik dalam kepatuhannya
terhadap hukum.18
16Soerjono Soekanto, Op. Cit., hlm. 8. 17Ibid. 18Ibid., hlm. 59.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
Pendapat senada dikemukakan oleh Sidik Sunaryo yang mengatakan
bahwa efektivitas hukum sangat bergantung pada faktor substansi (peraturan
perundang-undangan), faktor struktur (aparat penegak hukum) dan faktor kultur
(masyarakat). Ketiga faktor tersebut secara bersama-sama atau sendiri-sendiri akan
mempengaruhi efektif tidaknya hukum.19
2. Kerangka Konsep
Kerangka konsepsional mengungkapkan beberapa konsepsi atau pengertian
yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian. Pentingnya defenisi operasional
adalah untuk menghindarkan perbedaan pengertian atau penafsiran mendua (dubius)
dari suatu istilah yang dipakai. Oleh karena itu, dalam penelitian ini didefenisikan
beberapa konsep dasar supaya secara operasional diperoleh hasil penelitian yang sesuai
dengan tujuan yang telah ditentukan, yaitu:
1. Kinerja merupakan kualitas dan kuantitas dari suatu hasil kerja (output) individu
maupun kelompok dalam suatu aktivitas tertentu yang diakibatkan oleh
kemampuan alami atau kemampuan yang diperoleh dari proses belajar serta
keinginan untuk berprestasi.20
2. Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan lembaga
Polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan.21 Anggota Kepolisian
19Sidik Sunaryo, Op. Cit., hlm. 11.
20 https://id.wikipedia.org/wiki/Kinerja diakses 06 Desember 2018 21 Undang-Undang No.2 Tahun 2002 Tentang KePolisian Negara RI, Psl.1 angka 1
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
Negara Republik Indonesia adalah pegawai negeri pada Kepolisian Negara
Republik Indonesia.22 Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah
anggota Kepolisian Negara Republik Indonesia yang berdasarkan undang-undang
memiliki wewenang umum Kepolisian.23 Maka dalam hal ini Polres Deli Serdang
adalah Kepolisian yang berada di wilayah Kabupaten Deli Serdang dan memiliki
kewenangan di Kabupaten Deli Serdang.
3. Penyelidikan adalah serangkaian tindakan penyelidik untuk mencari dan
menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana guna menentukan
dapat atau tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam undang-
undang.24
4. Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara
yang diatur dalam undang-undang untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang
dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna
menemukan tersangkanya.25
5. Tindak Pidana Korupsi adalah setiap orang yang dengan tujuan menguntungkan
diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi, menyalahgunakan kewenangan,
kesempatan, atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan atau
22 Ibid, Psl.1 angka 2 23 Ibid, Psl.1 angka 3 24 Ibid, Psl.1 angka 9
25 Ibid, Psl.1 angka 13
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan yang dapat merugikan
keuangan negara atau perekonomian Negara.26
G. Metode Penelitian
Penelitian merupakan sarana pokok dalam pengembangan ilmu
pengetahuan maupun teknologi. Hal ini disebabkan karena penelitian bertujuan
untuk mengungkapkan kebenaran secara sistematis, metodologi dan konsisten.
Melalui proses penelitian tersebut diadakan analisa dan konstruksi data yang telah
dikumpulkan.27
Oleh karena penelitian merupakan suatu sarana ilmiah bagi pengembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi, maka metodologi penelitian yang diterapkan
harus senantiasa disesuaikan dengan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya.28
Dengan demikian metode penelitian adalah merupakan upaya ilmiah untuk
memakai dan memecah suatu permasalahan berdasarkan metode tertentu.
1. Jenis dan Sifat Penelitian
Jenis penelitian yang dilakukan dalam penyusunan tesis ini adalah
penelitian yuridis normatif. Penelitian yuridis normatif yaitu penelitian yang
difokuskan untuk mengkaji penerapan kaedah-kaedah atau norma-norma hukum
positif. Mengambil istilah Ronald Dworkin, penelitian semacam ini juga disebut
26 Undang-Undang No.31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Psl. 3.
27
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Press UI, 1986), hlm. 3. 28Johny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayumedia,
2008), hlm. 295.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
40
dengan istilah penelitian doktrinal (doktrinal research), yaitu penelitian yang
menganalisis hukum baik yang tertulis di dalam buku (law at it is written in the
book), maupun hukum yang diputuskan oleh hakim melalui proses pengadilan (law
as it decided by the jungle through judicial process).29
Penelitian yuridis sosiologis yaitu penelitian yang bertitik tolak dari
permasalahan dengan melihat kenyataan yang terjadi di lapangan kemudian
menghubungkannya dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Penelitian dalam tesis ini adalah bersifat deskriptif analitis, penelitian
bersifat deskriptif analitis merupakan suatu penelitian yang menggambarkan,
menelaah, menjelaskan, dan menganalisis suatu peraturan hukum.
2. Sumber Data
Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder
yang berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier, yaitu:
a. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya
mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-
undangan yang diurut berdasarkan hierarki.30 seperti peraturan perundang-
undangan yang berkaitan dengan penelitian ini yaitu peraturan perundang-
29Bismar Nasution, Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan Hukum,
disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan hasil penulisan hukum pada
majalah akreditasi, Fakultas Hukum USU, 18 Februari, 2003, hlm. 2. 30Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2006), hlm. 141.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
41
undangan yang berkaitan terhadap penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi, yaitu Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
Undang-Undang Kepolisian, dan KUHAP.
b. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang terdiri atas buku-buku teks
yang ditulis oleh ahli hukum yang berpengaruh, jurnal-jurnal hukum, pendapat
para sarjana, kasus-kasus hukum, yurisprudensi, dan hasil-hasil simposium
mutakhir yang berkaitan dengan topik penelitian.31 Dalam penelitian ini, bahan
hukum sekunder yang digunakan adalah berupa buku-buku rujukan yang
relevan, hasil karya tulis ilmiah, dan berbagai makalah yang berkaitan.
c. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder.32berupa
kamus umum, kamus bahasa, surat kabar, artikel, internet.
Penelitian ini juga didukung oleh data primer yang diperoleh langsung
melalui wawancara dengan beberapa narasumber yang terdiri dari Kepala Polres
Deli Serdang, Kabag Sumber Daya Manusia, Kabag Operasional, dan Kepala Unit
III Reserse Kriminal Polres Deli Serdang.
31Johny Ibrahim, Op. Cit. 32Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
42
3. Teknik Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Penelitian Kepustakaan (Library Reseaarch)
Penelitian kepustakaan ini dimaksud untuk memperoleh data sekunder
dengan mempelajari literatur-literatur, peraturan perundang-undangan,
teori-teori, pendapat para sarjana dan hal-hal lain yang berkaitan dengan
kebijakan hukum pidana;
b. Penelitian Lapangan (Field Research)
Penelitian lapangan dilakukan untuk memperoleh data primer. Data ini
diperoleh dengan menggunakan teknik wawancara (interviewguide).
Wawancara dilakukan dengan menggunakan daftar pertanyaan yang sudah
dipersiapkan terlebih dahulu.
4. Analisis Data
Keseluruhan data dalam penelitian ini dianalisis secara kualitatif.
Analisis kualitatif ini akan dikemukakan dalam bentuk uraian yang sistematis
dengan menjelaskan hubungan antara berbagai jenis data. Selanjutnya semua
data diseleksi dan diolah, kemudian dianalisa secara deskriptif sehingga selain
menggambarkan dan mengungkapkan, diharapkan akan memberikan solusi atas
permasalahan dalam penelitian ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
43
BAB II
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DAN SUMBER HUKUM PENYELIDIKAN
DAN PENYIDIKAN TERHADAP TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Kebijakan Hukum Pidana
Sebelum sampai pada pembahasan mengenai penggunaan hukum pidana
dalam penanggulangan kejahatan, perlu diketahui terlebih dahulu pengertian dan
ruang lingkup dari upaya melindungi masayarakat dari kejahatan, melalui
kebijakan kriminal.
Pengertian kebijakan kriminal antara lain dikemukakan oleh Mardjono
Reksodiputro, bahwa:
Kebijakan penanggulangan kejahatan dalam arti yang luas pada hakekatnya
adalah merupakan segala usaha yang dilakukan oleh pemerintah (negara)
dan masyarakat terhadap kemungkinan terjadinya kejahatan (dan mereka
yang mempunyai potensi untuk melakukan kejahatan) maupun setelah
terjadinya kejahatan (penyidikan, pemeriksaan, peradilan, dan pembinaan
si pelanggar hukum).33
Selanjutnya Sudarto mengemukakan tiga pengertian mengenai kebijakan
kriminal, sebagai berikut:
1. Dalam arti sempit, ialah keseluruhan asas dan metode yang menjadi
dasar dari reaksi terhadap pelanggaran hukum yang berupa pidana;
2. Dalam arti luas, ialah keseluruhan fungsi dari aparatur penegak hukum,
termasuk di dalamnya cara kerja dari pengadilan dan Polisi;
33Mardjono Reksodiputro, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana-Kumpulan
Karangan-Buku Ketiga, (Jakarta: Pusat Pelayanan Keadilan dan Pengabdian Hukum Universitas
Indonesia, 1994), hlm. 9.
30
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
44
3. Dalam arti paling luas, ialah keseluruhan kebijakan, yang dilakukan
melalui perundang-undangan dan badan-badan resmi, yang bertujuan
untuk menegakkan norma-norma sentral dari masyarakat.34
Di sisi lain, Marc Ancel seperti dikutip Barda Nawawi Arief mengemukan
bahwa kebijakan kriminal (criminal policy) didefinisikan sebagai “the rational
organization of the control of crime by society” atau “suatu usaha rasional dari
masyarakat dalam menanggulangi kejahatan”.35
Berdasarkan pendapat ahli di atas, disimpulkan bahwa terdapat hubungan
antara kebijakan criminal dengan kebijakan sosial. Mengenai hal itu, dikemukakan
oleh Muladi bahwa:
Kejahatan tumbuh akibat interaksi dan perkembangan sosial masyarakat.
Oleh karenanya apabila ingin mencapai keberhasilan dalam melindungi
masyarakat dari kejahatan, maka kebijakan penanggulangan kejahatan
haruslah bersifat terpadu dan selaras dengan kebijakan sosial. Kedua
kebijakan tersebut memiliki hubungan saling melengkapi. Kebijakan sosial
hanya akan dapat tercapai apabila didukung oleh sebuah kebijakan kriminal
yang baik. Sebaliknya, kebijakan penanggulangan kejahatan tidak akan
banyak artinya apabila kebijakan sosial justru merangsang tumbuhnya
kejahatan.36
Selanjutnya, Muladi menjelaskan bahwa:
Tujuan akhir dari politik kriminal adalah perlindungan masyarakat untuk
mencapai tujuan utama kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian,
penegakan hukum pidana yang merupakan bagian dari politik kriminal pada
hakikatnya juga merupakan bagian integral dari kebijakan untuk mencapai
kesejahteraan masyarakat (politik sosial). Sebagai bagian yang tidak
terpisahan dari keseluruhan kebijakan untuk mencapai kesejahteraan
34Sudarto, Hukum dan Hukum Pidana, (Bandung: Alumni, 1983), hlm. 1. 35Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, (Semarang: Undip,
1996), hlm. 2. 36Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana (Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro, 1995), hlm.11.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
45
masyarakat, maka wajarlah bila dikatakan bahwa usaha penanggulangan
kejahatan (termasuk usaha penegakan hukum pidana) merupakan bagian
integral dari rencana pembangunan nasional.37
Selaras dengan pendapat Muladi, Sudarto menjelaskan bahwa:
Apabila hukum pidana hendak dilibatkan dalam usaha mengatasi segi-
segi negatif dari perkembangan masyarakat/modernisasi maka hendaknya
dilihat dalam hubungan keseluruhan politik kriminal atau social defence
planning, dan inipun harus merupakan bagian integral dari rencana
pembangunan nasional 38
Selanjutnya, mengenai upaya-upaya yang dapat ditempuh untuk mencapai
kebijakan kriminal yang terpadu tersebut di atas, antara lain dikemukakan oleh G.
Peter Hoefnagels sebagaimana dikutip oleh Barda Nawawi Arief, sebagai berikut:
Penerapan hukum pidana (criminal law application), pencegahan tanpa
pidana (prevention without punishment) dan mempengaruhi pandangan
masyarakat mengenai kejahatan dan pemidanaan lewat media massa
(influencing views of society on crime). Sejalan dengan itu, Barda Nawawi
Arief berpendapat bahwa penanggulangan kejahatan secara garis besar
dapat dilakukan melalui jalur hukum pidana (penal policy) dan jalur di luar
hukum pidana (non penal policy), yang dilaksanakan secara terpadu. 39
Terkait dengan penggunaan hukum pidana dalam mencapai kebijakan
kriminal sebagaimana dikemukakan di atas, Mardjono Reksodiputro menjelaskan
bahwa:
Upaya penanggulangan kejahatan dapat dilakukan melalui pelaksanaan
peraturan perundang-undangan pidana oleh suatu sistem peradilan pidana
(criminal justice system) yang dibentuk oleh negara. Disamping itu negara
(masyarakat) dapat pula berusaha melalui upaya-upaya sosial, seperti dalam
bidang pendidikan, perbaikan taraf hidup masyarakat, mengurangi
pengangguran dan lain sebagainya. Namun demikian, hukum pidana dalam
37Ibid. 38Sudarto, Op. Cit., hlm. 104. 39Ibid., hlm. 4.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
46
banyak hal masih dianggap sebagai landasan utama agar angka kriminalitas
berada dalam batas-batas toleransi masyarakat.40
Sejalan dengan beberapa pendapat di atas, Siswantoro Sunarso
mengemukakan bahwa:
Kebijakan hukum pidana (jalur penal) menitikberatkan pada sifat
represssive. Sementara jalur non penal, lebih mendekatkan pada sifat
preventive atau pencegahan sebelum kejahatan terjadi. Penanggulangan
kejahatan lewat jalur non penal, yaitu sasaran pokoknya adalah menangani
faktor-faktor kondusif penyebab terjadinya kejahatan, yang berpusat pada
kondisi-kondisi sosial yang secara langsung atau tidak langsung dapat
menimbulkan atau menumbuh-suburkan kejahatan.41
Dalam hubungan dengan penanggulangan kejahatan menggunakan hukum
pidana, Muladi dan Barda Nawawi Arief mengemukakan bahwa:
Untuk mencapai tujuan politik kriminal sebagai bagian integral dari
pencapaian tujuan politik pembangunan, diperlukan kebijakan hukum
pidana (penal policy). Kebijakan hukum pidana pada intinya merupakan
upaya penanggulangan kejahatan melalui upaya pidana yang baik. Dengan
perkataan lain, dilihat dari sudut politik kriminal, politik hukum pidana
identik dengan pengertian “Kebijakan penanggulangan kejahatan dengan
hukum pidana”. 42
Berdasarkan pendapat para ahli di atas, ditarik pengertian bahwa untuk
mencapai kebijakan kriminal sebagai bagian integral dari kebijakan sosial,
diperlukan sebuah kebijakan hukum pidana atau kebijakan penggunaan hukum
pidana dalam penaggulangan kejahatan.
Menurut Barda Nawawi Arief:
40Mardjono Reksodiputro, Op.Cit, hlm. 92. 41Siswantoro Sunarso, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hlm. 15. 42Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana (Bandung: Alumni, 1992),
hlm. 11.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
47
Istilah “kebijakan” dalam kebijakan hukum pidana berasal dari istilah
“policy” (Inggris) atau “politiek” (Belanda). Bertolak dari kedua istilah
asing ini, maka istilah kebijakan hukum pidana dapat pula disebut politik
hukum pidana. Dalam kepustakaan asing, istilah politik hukum pidana,
sering dikenal dengan berbagai istilah, antara lain “penal policy”,
“criminal law policy” atau “strafrechtspolitiek”. 43
Sementara itu menurut Sudarto, pengertian kebijakan atau politik hukum
pidana dapat dilihat dari politik hukum. Selanjutnya, ia menjelaskan bahwa:
Menurut politik hukum, kebijakan hukum pidana adalah usaha untuk
mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu saat dan kebijakan dari negara melalui badan-badan yang
berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki yang
diperkirakan bisa digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung
dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. 44
Bertolak dari pengertian demikian, Sudarto mengatakan bahwa:
Melaksanakan politik hukum pidana berarti mengadakan pemilihan untuk
mencapai hasil perundang-undangan pidana yang paling baik dalam arti
memenuhi syarat keadilan dan dayaguna. Atau dengan kata lain, bahwa
melaksanakan politik hukum pidana berarti usaha mewujudkan peraturan
perundang-undangan pidana yang sesuai dengan keadaan dan situasi pada
suatu waktu dan masa-masa yang akan datang.45
Dengan demikian, dilihat sebagai bagian dari politik hukum, maka
kebijakan hukum pidana mengandung arti, bagaimana mengusahakan atau
membuat dan merumuskan suatu perundang-undangan pidana yang baik.
Pengertian demikian terlihat pula dalam defisinisi “penal policy” dari Marc Ancel
yang secara singkat dapat dinyatakan sebagai “suatu ilmu sekaligus seni yang
43Barda Nawawi Arief, Op. Cit. hlm. 25. 44Sudarto, Op. Cit., hlm . 28. 45Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
48
bertujuan untuk memungkinkan peraturan hukum positif dirumuskan secara lebih
baik”. 46
Menurut Muladi dan Barda Nawawi Arief mengenai penegakan hukum
dapat dijelaskan melalui politik hukum pidana (kebijakan hukum pidana) yang
mana sebagai salah satu usaha dalam menanggulangi kajahatan, mengejewantah
dalam penegakan hukum pidana yang rasional. Penegakan hukum pidana yang
rasional tersebut terdiri dari tiga tahap, yaitu tahap formulasi, tahap aplikasi, dan
tahap eksekusi. 47
Tahap Formulasi, adalah tahap penegakan hukum pidana in abstracto oleh
badan pembentuk undang-undang. Dalam tahap ini pembentuk undang-undang
melakukan kegiatan memilih nilai-nilai yang sesuai dengan keadaan dan situasi
masa kini dan masa yang akan datang, kemudian merumuskannya dalam bentuk
peraturan perundang-undangan pidana untuk mencapai hasil perundang- pidana
yang paling baik, dalam arti memenuhi syarat keadilan dan daya guna. Tahap ini
dapat juga disebut dengan tahap kebijakan legislatif. 48
Tahap Aplikasi, tahap penegakan hukum pidana (tahap penerapan hukum
pidana) oleh aparat penegak hukum mulai dari kePolisian, kejaksaan hingga
pengadilan. Dalam tahap ini aparat penegak hukum menegakkan serta menerapkan
peraturan perundangan pidana yang telah dibuat oleh badan pembentuk undang-
46Ibid., hlm. 29. 47Muladi dan Barda Nawawi Arief, Op. Cit., hlm. 173. 48Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
49
undang. Dalam melaksanakan tugas ini, aparat penegak hukum harus memegang
teguh nilai-nilai keadilan dan daya guna. Tahap kedua ini dapat juga disebut tahap
kebijakan yudikatif. 49
Tahap Eksekusi, yaitu tahap penegakan (pelaksanaan) hukum pidana secara
konkret oleh aparat pelaksana pidana. Dalam tahap ini aparat pelaksana pidana
bertugas menegakkan peraturan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-
undang melalui penerapan pidana yang telah ditetapkan oleh pengadilan. Aparat
pelaksana dalam menjalankian tugasnya harus berpedoman kepada peraturan
perundang-undangan pidana yang telah dibuat oleh pembentuk undang-undangan
(legislatur) dan nilai-nilai keadilan serta daya guna.50
Mengacu pada penggunaan hukum pidana dalam orientasi pada kebijakan
sosial itulah, menurut Djoko Prakoso, mengutip pendapat Sudarto dalam
menghadapi masalah kriminal atau kejahatan, harus diperhatikan hal-hal yang pada
intinya sebagai berikut:
a. Tujuan penggunaan hukum pidana harus memperhatikan tujuan
pembangunan nasional, yaitu mewujudkan masyarakat adil dan
makmur yang merata materil dan sprituil berdasarkan Pancasila.
Sehubungan dengan ini maka penggunaan hukum pidana bertujuan
untuk menanggulangi kejahatan dan mengadakan penyegaran terhadap
tindakan penanggulangan itu sendiri, demi kesejahteraan dan
pengayoman masyarakat;
b. Perbuatan yang diusahakan untuk mencegah atau menanggulangi
dengan hukum pidana harus merupakan perbuatan yang tidak
dikehendaki, yaitu perbuatan yang mendatangkan kerugian materil dan
sprituil atas warga masyarakat;
49Ibid. 50Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
50
c. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhitungkan prinsip biaya
dan hasil;
d. Penggunaan hukum pidana harus pula memperhatikan kapasitas atau
kemampuan daya kerja dari badan-badan penegak hukum, jangan
sampai melampaui beban tugas (overblasting).51
Berdasarkan paparan di atas, disimpulkan bahwa untuk mencapai kebijakan
perlindungan masyarakat terhadap kejahatan, diperlukan sebuah kebijakan hukum
pidana. Kebijakan hukum pidana yang dimaksud adalah usaha mewujudkan
peraturan perundang-undangan pidana yang baik yang sesuai dengan keadaan dan
situasi pada suatu waktu dan masa-masa yang akan datang serta yang dikehendaki
dan diperkirakan bisa digunakan untuk mengeksperesikan apa yang terkandung
dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan.
B. Sistem Peradilan Pidana Indonesia
Mengenai hakekat dari Sistem Peradilan Pidana antara lain dikemukakan
oleh Mardjono Reksodiputro, bahwa:
Sistem Peradilan Pidana adalah sistem dalam suatu masyarakat untuk
mengendalikan kejahatan agar berada dalam batas-batas toleransi
masyarakat dengan tujuan utama mencegah masyarakat menjadi korban
kejahatan, menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat
puas bahwa keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan
mengusahakan agar mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak
mengulangi lagi perbuatannya.52
Sementara itu, Muladi berpendapat sebagai berikut:
Sistem peradilan pidana sesuai dengan makna dan ruang lingkup sistem
dapat bersifat fisik dalam arti sinkronisasi struktural (structural
51Djoko Prakoso, Hukum Penitensier Indonesia, (Yogyakarta: Liberty, 1998), hlm. 32. 52Mardjono Reksodiputro, Buku Ketiga, Op. Cit.,hlm. 84-85.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
51
syncronization), dapat pula bersifat substansial (substantial
syncronization) dan dapat pula bersifat kultural (cultural syncronization).
Dalam hal sinkronisasi struktural, keselarasan dituntut dalam mekanisme
administrasi peradilan pidana (the administration of justice) dalam
kerangka hubungan antar lembaga penegak hukum. Dalam hal sinkronisasi
substansial, maka keserempakan mengandung makna baik vertikal maupun
horizontal dalam kaitannya dengan hukum positif yang berlaku. Sedangkan
sinkronisasi kultural mengandung usaha untuk selalu serempak dalam
menghayati pandangan-pandangan, sikap-sikap dan falsafah yang secara
menyeluruh mendasari jalannya sistem peradilan pidana.53
Mengenai ciri pendekatan sistem dalam peradilan pidana, Romli
Atmasasmita menjelaskan bahwa:
Ciri-ciri dari sistem peradilan pidana sebagai berikut:
1. Titik berat pada koordinasi dan sinkronisasi komponen peradilan
pidana (kePolisian, kejaksaan, pengadilan dan lembaga
pemasyarakatan).
2. Pengawasan dan pengendalian penggunaan kekuasaan oleh komponen
peradilan pidana.
3. Efektivitas sistem penanggulangan kejahatan lebih utama dari efisiensi
penyelesaian perkara.
4. Penggunaan hukum sebagai instrumen untuk memantapkan the
administration of justice.54
Kata “sistem” dalam istilah “sistem peradilan pidana”, sejatinya telah
merujuk pada sistem peradilan pidana yang terpadu, yang mengandung makna
adanya suatu keterpaduan dalam langkah dan gerak masing-masing sub sistem
kearah tercapainya tujuan bersama.
Hal itu ditegaskan oleh Ali Said sebagaimana dikutip oleh Mardjono
Reksodiputro bahwa:
53Muladi, Op. Cit., hlm. 13-14. 54Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, (Bandung: Binacipta, 1996), hlm. 10.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
52
Penggunaan kata “sistem” dalam “sistem peradilan pidana” berarti, bahwa
kita menyetujui pendekatan sistemik dalam melakukan manajemen
administrasi peradilan pidana kita. Ini berarti perlu adanya keterpaduan
dalam langkah dan gerak masing-masing sub sistem ke arah tercapainya
tujuan bersama. Oleh karena itu, kerjasama yang erat diantara unsur-unsur
sistem adalah syarat mutlak. Pendekatan sistemik akan menyadarkan kita
antara lain bahwa setiap sistem mempunyai tujuan tertentu yang harus
dihayati oleh setiap sub sistemnya (atau sub-sub sistemnya). Meskipun
setiap sub sistem akan mempunyai pula tujuannya sendiri, yang merupakan
landasan dan pedoman kerja bagi mereka yang bekerja dalam sub sistem
yang bersangkutan, tetapi masing-masing tujuan dari sub sistem tidak
boleh bertentangan dengan tujuan utama dari sistemnya sendiri (dalam hal
ini: sistem peradilan pidana. ...Dalam pendekatan semacam ini, maka ada
keterkaitan yang jelas pula antara sub sistem pengadilan dengan sub sistem
kePolisian dan sub sistem lembaga pemasyarakatan. Keterkaitan antara sub
sistem yang satu dengan yang lainnya adalah seperti “bejana
berhubungan”. 55
Makna keterpaduan dalam sistem peradilan pidana, dijelaskan pula oleh
Mardjono Reksodiputro bahwa:
Tugas dari sistem peradilan pidana terpadu mencakup hal-hal yang cukup
luas yakni mencegah masyarakat menjadi korban kejahatan,
menyelesaikan kejahatan yang terjadi, sehingga masyarakat puas bahwa
keadilan telah ditegakkan dan yang bersalah dipidana, dan berusaha agar
mereka yang pernah melakukan kejahatan tidak mengulangi lagi
perbuatannya.56
Tentang cara bagaimana sub sistem yang satu berinteraksi dengan sub
sistem yang lainnya sehingga menghasilkan proses peradilan pidana yang benar-
benar dapat menegakkan hukum dan keadilan, dikemukakan Mardjono
Reksodiputro bahwa:
Penegakan hukum atau penanggulangan kejahatan yang efektif dan efisien
akan terjadi apabila terdapat satu kebijakan kriminal yang benar-benar
dijadikan tujuan bersama dan pedoman kerja bagi masing-masing sub
55Mardjono Reksodiputro, Buku Ketiga, Op. Cit., hlm. 47. 56Ibid., hlm. 140.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
53
sistem peradilan pidana. Dengan kata lain, penanggulangan kejahatan akan
menjadi efektif manakala keempat komponen SPP Indonesia bekerja
dengan motivasi kerja yang sama dengan mengindahkan adanya satu
kebijakan kriminal.57
Selanjutnya, ia menjelaskan:
Kebijakan kriminal dimaksud bukan sekedar “hasil perumusan” bersama
oleh unsur-unsur sistem peradilan pidana, tetapi adalah resultan dari
berbagai kewenangan dalam negara yang bekerja bersama-sama dalam
menanggulangi masalah kriminalitas. Dimulai dari pembuat Undang-
undang yang menyediakan aturan-aturan hukum pidana serta wewenang
maupun pembatasan dalam pelaksanaan aturan hukum tersebut. Kemudian
KePolisian dan Kejaksaan yang merupakan pelaksana penegakan aturan
hukum, menentukan kebijakan dalam penyidikan dan penuntutan.
Selanjutnya, Pengadilan sebagai penguji kebijakan penyidikan dan
penuntutan yang menentukan apakah benar terdapat hak untuk memidana
dan kalau benar berapa besar pidananya. Dan akhirnya, Pemasyarakatan
sebagai pelaksana pidana yang dijatuhkan Pengadilan memiliki kebijakan
dalam “merawat” terpidana dan mengusahakannya kembali ke masyarakat.
Untuk itu komponen-komponen sistem peradilan pidana, tidak boleh
bekerja tanpa diarahkan oleh kebijakan kriminal, yang berarti harus ada
keterpaduan kerja. Ini yang secara singkat dinamakan “pendekatan
terpadu” (integrated approach).58
Kemudian dari pada itu, Mardjono Reksodiputro menggambarkan bahwa
proses peradilan pidana, merupakan satu rangkaian kesatuan (continuum) yang
menggambarkan peristiwa-peristiwa yang maju secara teratur; mulai dari
penyidikan dan penuntutan (disebut tahap pra-ajudikasi), pemeriksaan dan
penjatuhan putusan pidana oleh Hakim di Pengadilan (tahap ajudikasi) dan
57Ibid.,hlm. 93. 58Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
54
pelaksanaan putusan, pembinaan dan akhirnya dikembalikan kepada masyarakat
oleh Pemasyarakatan (tahap pasca-ajudikasi).59
Berdasarkan pendapat ahli di atas, dapat dikatakan bahwa sesuai dengan
hakikat dari sebuah sistem yang terpadu, maka di dalam sistem yang terpadu
tersebut akan terjadi pula mekanisme check and balances diantara sub sistem
penegakan hukum, sedemikian sehingga pada masing-masing tahapan proses
pidana, akan terjadi mekanisme kerja sama saling mengawasi dan mengimbangi
diantara sub sistem-sub sistem penegakan hukum.
Dengan adanya mekanisme check and balances, maka tidak hanya satu sub
sistem saja yang terlibat pada masing-masing tahapan proses peradilan pidana.
Artinya, pada satu tahapan peradilan proses peradilan pidana, terdapat satu sub
sistem yang bertanggungjawab melaksanakannya, dan setidaknya ada satu sub
sistem lain, yang melaksanakan fungsi mengawasi dan mengimbangi.
Merujuk pada uraian di atas, disimpulkan bahwa efektivitas penegakan
hukum pidana amat berkaitan erat dengan kualitas perundang-undangan pidana
yang dihasilkan dari sebuah kebijakan hukum pidana yang baik, dan sistem
peradilan pidana yang dijalankan secara efektif dan efesien.
59Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
55
C. Karakteristik Tindak Pidana dan Sanksi Pidana
Mengenai tindak pidana, dikemukakan oleh Sutan Remy Sjahdeini bahwa:
Istilah tindak pidana adalah istilah yang secara resmi digunakan dalam
peraturan perundang-undangan sementara dalam wacana hukum pidana
dikenal berbagai istilah lain. Ada yang menggunakan istilah delik yang
berasal dari bahasa Belanda delict. Ada pula yang menyebutnya sebagai
perbuatan pidana yang diambil dari frasa criminal act dalam bahasa Inggris.
Dalam bahasa Belanda, selain delict juga digunakan istilah strafbaar feit,
sementara dalam bahasa Inggris digunakaan sebutan crime atau offence.60
Sementara itu, pengertian mengenai tindak pidana antara lain dikemukakan
oleh Moeljatno sebagai berikut:
Tindak pidana atau perbuatan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh
suatu aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) yang berupa
pidana tertentu bagi barang siapa yang melanggar larangan tersebut.
Larangan ditujukan kepada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian
yang ditimbulkan oleh kelakuan orang), sedangkan ancaman pidana
ditujukan kepada orang yang menimbulkan kejadian itu.61
Pendapat senada dikemukakan oleh R. Soesilo bahwa tindak pidana, yang
biasa juga disebut dengan kata-kata istilah: peristiwa pidana, perbuatan yang dapat
dihukum atau dalam bahasa asing “strafbaar feit” atau “delict”, adalah perbuatan
yang dilarang atau diwajibkan oleh undang-undang yang apabila dilakukan atau
diabaikan, maka orang yang melakukan atau mengabaikan itu diancam dengan
hukuman.62
60Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: Grafiti Pers,
2006), hlm. 25. 61Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, (Jogyakarta: Yayasan
Badan Penerbit Gajah Mada, 1955), hlm. 7. 62R. Soesilo, Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,
(Bogor: Politeia, 1974), hlm. 6.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
56
Selanjutnya, R. Soesilo mengatakan bahwa pengertian tindak pidana
sebagai perbuatan yang melanggar atau bertentangan dengan undang-undang yang
dilakukan dengan kesalahan oleh orang yang dapat dipertanggungjawabkan,
merujuk pada dua unsur tindak pidana, yakni unsur yang bersifat objektif dan
unsur-unsur yang bersifat subjektif. 63
Selanjutnya ia menjelaskan bahwa unsur objektif itu meliputi:
a. perbuatan manusia, yaitu suatu perbuatan positip, atau suatu perbuatan
negatif, yang menyebabkan pelanggaran pidana. Perbuatan positip
misalnya : mencuri (Pasal 362 KUHP), penggelapan (Pasal 372),
membunuh (Pasal 338 KUHP) dsb, sedangkan contoh dari perbuatan
negatip yaitu : tidak melaporkan kepada yang berwajib, sedangkan ia
mengetahui ada komplotan untuk merobohkan negara (Pasal 165
KUHP), membiarkan orang dalam keadaan sengsara, sedangkan ia
berkewajiban memberikan pemeliharaan kepadanya (Pasal 304 KUHP)
dsb.....
b. akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri dari atas
merusakkan atau membahayakan kepentingan-kepentingan hukum,
yang menurut norma hukum pidana itu perlu ada supaya dapat
dihukum....
c. keadan-keadaannya sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini bisa jadi
terdapat pada waktu melakukan perbuatan, misalnya dalam Pasal 362
KUP, keadaan: “bahwa barang yang dicuri itu kepunyaan orang lain”
adalah suatu keadaan yang terdapat pada waktu perbuatan
“mengambil”.....
d. sifat melawan hukum dan sifat dapat dihukum. Perbuatan itu melawan
hukum, jika bertentangan dengan undang-undang. Pada beberapa norma
hukum pidana maka unsur “melawan hukum” (melawan hak) itu
dituliskan tersendiri dengan tegas di dalam satu pasal, misalnya dalam
Pasal 362 KUHP disebutkan :”memiliki barang itu dengan melawan
hukum (melawan hak)”. Sifat dapat dihukum artinya bahwa perbuatan
itu, harus diancam dengan hukuman, oleh sutu norma pidana tertentu.
Sifat dapat dihukum tersebut bisa hilang, jika perbuatan itu, walaupun
telah diancam hukuman dengan undang-undang tetapi telah dilakukan
63Ibid., hlm. 26-28.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
57
dalam keadaa-keadaan yang membebaskan misalnya dalam Pasal 44,
48, 49, 50 dan 51 KUHP.64
Sementara yang dimaksud dengan unsur subjektip dari norma pidana adalah
kesalahan (schuld) dari orang yang melanggar norma pidana, artinya pelanggaran
itu harus dapat dipertanggung-jawabkan kepada pelanggar. Hanya orang yang
dapat dipertanggung-jawabkan dapat dipersalahkan, jikalau orang itu melanggar
norma pidana. Orang yang kurang sempurna atau sakit (gila) akalnya tidak dapat
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya dan karena itu tidak dapat
dipersalahkan.....”. 65
Berdasarkan pendapat ahli-ahli hukum tersebut di atas, maka tindak pidana
dapat diartikan sebagai kelakuan seseorang baik yang bersifat pasif maupun aktif
yang menimbulkan suatu akibat tertentu yang dilarang oleh hukum dimana
pelakunya dapat dikenai sanksi pidana.
Dengan demikian, dalam sistem hukum pidana, suatu perbuatan dikatakan
sebagai tindak pidana atau perilaku melanggar hukum pidana hanyalah apabila
suatu ketentuan pidana yang telah ada menentukan bahwa perbuatan itu
merupakan tindak pidana. Hal ini berkenaan dengan berlakunya asas legalitas
(principle of legality), sebagaimana ditentukan dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, yang
menyatakan bahwa “Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan
64Ibid. 65Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
58
aturan pidana dalam perundang-undangan yang sebelum perbuatan itu dilakukan
telah ada”.
Asas legalitas yang dianut KUHP di atas, bersumber dari adagium atau azas
hukum tidak tertulis yang berbunyi “nullum delictum nulla poena sine praevia
lege”, yang pada intinya menyatakan bahwa tiada suatu perbuatan dapat dipidana
kecuali sudah ada ketentuan undang-undang yang mengatur sebelumnya, atau tidak
ada tindak pidana tanpa peraturan terlebih dahulu.66
Selanjutnya, engenai karakteristik dari perbuatan pidana, dikemukakan oleh
R. Soesilo bahwa dalam sistem perundang-undangan hukum pidana, maka tindak-
tindak pidana atau delik-delik itu pertama-tama dibagi atas dua golongan, yaitu
kejahatan-kejahatan dan pelanggaran-pelanggaran. 67
Terhadap dua jenis atau golongan tindak pidana tersebut, R. Soesilo
selanjutnya menjelaskan bahwa:
Pada hakekatnya perbedaan yang tegas tidak ada, oleh karena kedua-duanya
adalah sama-sama tindak pidana, sama-sama delik atau perbuatan yang
boleh dihukum. Justru karena itulah oleh undang-undang senantiasa perlu
ditegaskan dengan nyata dalam undang-undang itu sendiri manakah yang
kejahatan dan yang manakah harus dipandang sebagai pelanggaran. Tanpa
penegasan itu tidak mungkin untuk membedakan kejahatan dengan
pelanggaran. Walaupun demikian dapat dikatakan bahwa pembagian delik
dalam kejahatan dan pelanggaran itu berdasarkan perbedaan antara apa
yang disebut delik hukum (rechtsdelict) dan delik undang-undang
(wetdelicht)”. Suatu perbuatan merupakan delik hukum (kejahatan), jika
perbuatan itu bertentangan dengan azas-azas hukum positif yang hidup
dalam rasa hukum di kalangan rakyat, terlepas dari pada hal apakah azas-
azas tersebut dicantumkan dalam undang-undang pidana”. 68
66Moeljatno, Op. Cit., hlm. 23. 67R. Soesilo, Op. Cit., hlm .18. 68Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
59
Untuk memudahkan pemahaman mengenai perbedaan antara kejahatan dan
pelanggaran, R. Soesilo menjelaskan akibat-akibat hukum dari kedua jenis tindak
pidana tersebut sebagai berikut:
a. Dalam hal kejahatan diadakan perbedaan antara sengaja – “Opzet” (delik
dolus) dan karena salahnya – “Schuld” (delik kulpa), umpamanya
perbuatan menimbulkan kebakaran, peletusan dan banjir itu apabila
dilakukan dengan sengaja, merupakan kejahatan yang diancam hukuman
penjara selama-lamanya seumur hidup (Pasal 187 KUHP), sedangkan
apabila terjadinya karena salahnya, hanya diancam hukuman penjara
selama-lamanya lima tahun saja (Pasal 188 KUHP). Sebaliknya dalam
pelanggaran tidak dibedakan antara sengaja dan karena salahnya. Orang
mengendarai sepeda waktu malam hari di jalan umum, baik dengan sengaja
maupun karena salahnya (pelanggaran Pasal 17 dan 19 Peraturan Lalu
Lintas jo Pasal 4 dan 48 Undang-undang Lalu Lintas Jalan), itu ancaman
hukumnya sama saja, meskipun kemungkinan tentu ada bahwa hukuman
yang dijatuhkan berbeda.
b. Pada umumnya percobaan pada kejahatan dapat dihukum, sedang pada
pelanggaran tidak. (Pasal 54 KUHP)...
c. Membantu melakukan kejahatan dihukum, akan tetapi pada pelanggaran
tidak. ....69
Mengenai pertanggungjawaban pidana, Sutan Remy Sjahdeini
mengemukakan bahwa:
Pertanggungjawaban pidana yang dalam istilah asing disebut juga dengan
teorekenbaardheid atau criminal responsibility menjurus kepada pemidanaan
pelaku dengan maksud untuk menentukan apakah seseorang terdakwa atau
tersangka dapat dipertanggungjawabkan atas suatu tindakan pidana yang
terjadi atau tidak.70
69Ibid., hlm. 20. 70Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hlm. 36.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
60
Terkait dengan hal itu, Alf Ross seperti dikutip Moeljatno, mengemukakan
pendapatnya mengenai apa yang dimaksud dengan seseorang yang
bertanggungjawab atas perbuatannya. Ia mengatakan bahwa:
Pertanggungjawaban pidana dinyatakan dengan adanya suatu hubungan
antara kenyataan-kenyataan yang menjadi syarat akibat dan akibat hukum
yang diisyaratkan. Perbuatan pidana hanya menunjuk kepada dilarang dan
diancamnya suatu perbuatan dengan pidana. Ini tergantung dari persoalan,
apakah dalam melakukan perbuatan itu dia mempunyai kesalahan, sebab asas
dalam pertanggungjawaban dalam hukum pidana ialah: tidak dipidana jika
tidak ada kesalahan (Geen straf zonder schuld; Actus non facit reum mens
rea).71
Senada dengan pendapat Alf Ross, Sutan Remy Sjahdeiny mengemukakan
sebagai berikut:
Dipertanggungjawabkannya seseorang atas perbuatan yang telah
dilakukannya, atau mengenai pertanggungjawaban pidananya, mengacu pada
adagium atau maxim, yang sejak lama dianut secara universal dalam undang-
undang pidana, yang berbunyi actus non facit reum, nisi mens sit rea.
Adagium tersebut menyatakan bahwa seseorang hanya dapat dibebani
tanggung jawab pidana bukan hanya karena dia telah melakukan suatu
perilaku lahiriah (actus reus), tetapi juga pada waktu perbuatan itu
dilakukan olehnya, orang itu harus memiliki sikap kalbu (mens rea) tertentu
yang terkait secara langsung dengan perbuatan itu. Dalam bahasa Indonesia
adagium tersebut di atas dikenal sebagai Tiada pidana tanpa kesalahan. 72
Pendapat mengenai pengertian pertanggungjawaban pidana juga
dikemukakan oleh Sudarto seperti dikutip Makhrus Ali bahwa:
Pertanggungjawaban pidana diartikan dengan diteruskannya celaan yang
objektif yang ada pada perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada
memenuhi syarat untuk dapat dipidana karena perbuatannya itu. Dasar
adanya perbuatan pidana adalah asas legalitas (principle of legality),
sedangkan dapat dipidananya pembuat adalah asas kesalahan (principle of
culpability). Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana hanya akan
71Ibid. 72Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hlm. 25.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
61
dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan
tersebut. 73
Dengan demikian, untuk menentukan adanya pertanggungjawaban,
seseorang pembuat dalam melakukan suatu tindak pidana harus ada “sifat melawan
hukum” dari tindak pidana itu, yang merupakan sifat terpenting dari tindak pidana.
Tentang sifat melawan hukum apabila dihubungkan dengan keadaan psikis (jiwa)
pembuat terhadap tindak pidana yang dilakukannya dapat berupa “kesengajaan”
(opzet) atau karena “kelalaian” (culpa).
Adapun mengenai apa yang dimaksud dengan unsur kesalahan berupa
kesengajaan dan kelalaian, Pipin Syarifin mengemukakan bahwa dalam teori
hukum pidana Indonesia kesengajaan itu ada tiga macam, yaitu:
1. Kesengajaan yang bersifat tujuan
Bahwa dengan kesengajaan yang bersifat tujuan, si pelaku dapat
dipertanggung jawabkan dan mudah dapat dimengerti oleh khalayak
ramai. Apabila kesengajaan seperti ini ada pada suatu tindak pidana, si
pelaku pantas dikenakan hukuman pidana. Karena dengan adanya
kesengajaan yang bersifat tujuan ini, berarti si pelaku benar-benar
menghendaki mencapai suatu akibat yang menjadi pokok alasan
diadakannya ancaman hukuman ini.
2. Kesengajaan secara keinsyafan kepastian
Kesengajaan ini ada apabila si pelaku, dengan perbuatannya tidak
bertujuan untuk mencapai akibat yang menjadi dasar dari delik, tetapi
ia tahu benar bahwa akibat itu pasti akan mengikuti perbuatan itu.
3. Kesengajaan secara keinsyafan kemungkinan.
Kesengajaan ini yang terang-terang tidak disertai bayangan suatu
kepastian akan terjadi akibat yang bersangkutan, melainkan hanya
dibayangkan suatu kemungkinan belaka akan akibat itu. Selanjutnya
mengenai kealpaan karena merupakan bentuk dari kesalahan yang
menghasilkan dapat dimintai pertanggung jawaban atas perbuatan
seseorang yang dilakukannya.74
73Mahrus Ali, Kejahatan Korporasi, (Yogyakarta: Arti Bumi Intaran, 2008), hlm. 41. 74Pipin Syarifin, Hukum Pidana di Indonesia, (Bandung: Pustaka Setia, 2000), hlm. 93.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
62
Sementara mengenai kealpaaan, dikemukakan oleh Moeljatno sebagai
berikut:
Kealpaan mengandung dua syarat, yaitu tidak mengadakan penduga-duga
sebagaimana diharuskan hukum dan tidak mengadakan penghati-hati
sebagaimana diharuskan hokum. Dari ketentuan diatas, dapat diikuti dua
jalan, yaitu pertama memperhatikan syarat tidak mengadakan penduga-
duga menurut semestinya. Yang kedua memperhatikan syarat tidak
mengadakan penghati-hati guna menentukan adanya kealpaan. Siapa saja
yang melakukan perbuatan tidak mengadakan penghati-hati yang
semestinya, ia juga tidak mengadakan menduga-duga akan terjadi akibat
dari kelakuannya. 75
Selanjutnya, Sudarto menyatakan bahwa:
Dipidananya seseorang tidaklah cukup apabila orang itu telah melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau bersifat melawan hukum.
Jadi meskipun perbuatan tersebut memenuhi rumusan delik dalam undang-
undang dan tidak dibenarkan, namun hal tersebut belum memenuhi syarat
penjatuhan pidana, yaitu orang yang melakukan perbuatan itu mempunyai
kesalahan atau bersalah. Dengan kata lain, orang tersebut harus
dipertanggungjawabkan atas perbuatannya atau jika dilihat dari sudut
perbuatannya, perbuatannya baru dapat dipertanggungjawabkan kepada
orang tersebut.76
Persoalan pertanggungjawaban pidana tidak dapat dilepaskan dari tindak
pidana. Keduanya ibarat dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan. Pendapat
mengenai hal itu, antara lain dikemukakan oleh Moeljatno, bahwa:
Antara perbuatan dan pertanggungjawaban dalam hukum pidana, ada
hubungan erat seperti halnya perbuatan dengan orang yang melakukan
perbuatan. Perbuatan pidana baru mempunyai arti kalau di sampingnya ada
pertanggungjawaban; sebaliknya tidak mungkin adanya per-
tanggungjawaban jika tidak ada perbuatan pidana. Kesalahan adalah unsur,
bahkan syarat mutlak bagi adanya pertanggungjawaban yang berupa
75Moeljatno, Hukum Pidana II, (Jakarta: Bina Aksara, 1995), hlm. 153. 76Mahrus Ali, Op. Cit.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
63
pengenaan pidana. Sebab bagi masyarakat Indonesia juga berlaku asas tidak
dipidana jika tidak ada kesalahan.77
Pendapat lain dikemukakan oleh Chaerul Huda bahwa:
Pertanggungjawaban orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya.
Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan orang itu adalah adalah tindak
pidana yang dilakukannya. Dengan demikian, terjadinya
pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak pidana yang dilakukan
oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada hakikatnya merupakan
suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana untuk bereaksi
terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu perbuatan
tertentu.78
Terdapat sejumlah syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dipidanya
seseorang pembuat atau pelaku tindak pidana, yakni ada suatu tindak pidana yang
dilakukan oleh pembuat, ada unsur kesalahan berupa kesengajaan atau kealpaan,
ada pembuat yang mampu bertanggungjawab, dan tidak ada alasan pemaaf.79
R. Soesilo mengatakan bahwa pengertian dari pertanggungjawaban pidana
dapat didekati dari pengertian tindak pidana, dimana perbuatan yang melanggar
atau bertentangan dengan undang-undang yang dilakukan dengan kesalahan oleh
orang yang dapat dipertanggungjawabkan, merujuk pada dua unsur tindak pidana,
yakni unsur yang bersifat objektif dan unsur-unsur yang bersifat subjektif.
Selanjutnya R.Susilo menjelaskan bahwa:
I. Unsur objektif itu meliputi:
a. perbuatan manusia, yaitu suatu perbuatan positip, atau suatu
perbuatan negatip, yang menyebabkan pelanggaran pidana.
77Moeljatno, Op. Cit. 78Chairul Huda, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006),
hlm. 68. 79Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, (Bandung: Alumni 1981), hlm. 28.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
64
Perbuatan positip misalnya : mencuri (Pasal 362 KUHP),
penggelapan (Pasal 372), membunuh (Pasal 338 KUHP) dsb,
sedangkan contoh dari perbuatan negatip yaitu : tidak melaporkan
kepada yang berwajib, sedangkan ia mengetahui ada komplotan
untuk merobohkan negara (Pasal 165 KUHP), membiarkan orang
dalam keadaan sengsara, sedangkan ia berkewajiban memberikan
pemeliharaan kepadanya (Pasal 304 KUHP) dsb.....
b. akibat perbuatan manusia, yaitu akibat yang terdiri dari atas
merusakkan atau membahayakan kepentingan-kepentingan hukum,
yang menurut norma hukum pidana itu perlu ada supaya dapat
dihukum....
c. keadan-keadaannya sekitar perbuatan itu, keadaan-keadaan ini bisa
jadi etrdapat pada waktu melakukan perbuatan, misalnya dalam
Pasal 362 KUP, keadaan : “bahwa barang yang dicuri itu kepunyaan
orang lain” adalah suatu keadaan yang terdapat pada waktu
perbuatan “mengambil”.....
d. sifat melawan hukum dan sifat dapat dihukum. Perbuatan itu
melawan hukum, jika bertentangan dengan undang-undang. Pada
beberapa norma hukum pidana maka unsur “melawan hukum”
(melawan hak) itu dituliskan tersendiri dengan tegas di dalam satu
pasal, misalnya dalam Pasal 362 KUHP disebutkan :”memiliki
barang itu dengan melawan hukum (melawan hak)”. Sifat dapat
dihukum artinya bahwa perbuatan itu, harus diancam dengan
hukuman, oleh sutu norma pidana tertentu. Sifat dapat dihukum
tersebut bisa hilang, jika perbuatan itu, walaupun telah diancam
hukuman dengan undang-undang tetapi telah dilakukan dalam
keadaa-keadaan yang membebaskan misalnya dalam Pasal 44, 48,
49, 50 dan 51 KUHP.
II. Sekarang apakah yang dimaksud dengan unsur subjektip dari norma
pidana?. Ini adalah : kesalahan (schuld) dari orang yang melanggar
norma pidana, artinya pelanggaran itu harus dapat diper-
tanggungjawabkan kepada pelanggar. Hanya orang yang dapat
dipertanggungjawabkan dapat dipersalahkan, jikalau orang itu
melanggar norma pidana. Orang yang kurang sempurna atau sakit
(gila) akalnya tidak dapat dipertanggungjawabkan atas perbuatannya
dan karena itu tidak dapat dipersalahkan.....80
Pendapat mengenai pengertian pertanggungjawaban pidana juga
dikemukakan oleh Chairul Huda, yang mengemukakan bahwa:
80R. Soesilo, Op. Cit., hlm. 26-28.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
65
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban orang terhadap
tindak pidana yang dilakukannya. Tegasnya, yang dipertanggungjawabkan
orang itu adalah adalah tindak pidana yang dilakukannya. Dengan
demikian, terjadinya pertanggungjawaban pidana karena telah ada tindak
pidana yang dilakukan oleh seseorang. Pertanggungjawaban pidana pada
hakikatnya merupakan suatu mekanisme yang dibangun oleh hukum pidana
untuk bereaksi terhadap pelanggaran atas “kesepakatan menolak” suatu
perbuatan tertentu.81
Sudarto seperti dikutip Makhrus Ali, mengemukakan bahwa Pertanggung-
jawaban pidana diartikan dengan diteruskannya celaan yang objektif yang ada pada
perbuatan pidana dan secara subjektif yang ada memenuhi syarat untuk dapat
dipidana karena perbuatannya itu. Dasar adanya perbuatan pidana adalah asas
legalitas (principle of legality), sedangkan dapat dipidananya pembuat adalah asas
kesalahan (principle of culpability). Ini berarti bahwa pembuat perbuatan pidana
hanya akan dipidana jika ia mempunyai kesalahan dalam melakukan perbuatan
tersebut. 82
Untuk dapat dimintai atau dibebani pertanggungjawaban pidana, maka
seseorang yang melakukan perbuatan melawan hukum yang telah diatur di dalam
perundang-undangan yang berlaku, haruslah memiliki unsur kesalahan, baik
berupa kesengajaan atau kealpaan. Di samping itu, si pelaku tersebut haruslah
mampu bertanggungjawab dan tidak ada alasan pemaaf atau alasan pembenar
terhadap perbuatan yang dilakukannya.
81Chairul Huda, Op.. Cit. 82Mahrus Ali, Op. Cit., hlm. 41.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
66
Dengan demikian, maka pengenaan pidana akan menjadi efektif, manakala
perumusan ketentuan pidana terhadap suatu tindak pidana, memuat ketentuan yang
jelas dan tegas tentang unsur-unsur perbuatan pidana dan sanksi pidana yang dapat
dikenakan terhadap si pelaku.
Selanjutnya, mengenai penggunaan, pemberian atau pengenaan sanksi
pidana, antara lain dikemukakan oleh Sudarto, seperti dikutip M. Sholehuddin
bahwa:
Pemberian pidana in abstracto adalah menetapkan stelsel sanksi hukum
pidana yang menyangkut pembentuk undang-undang. Sedangkan
pemberian pidana in concreto menyangkut berbagai badanyang
kesemuanya mendukung dan melaksanakan stelsel sanksi hukum pidana
itu.83
Sementara itu, G.P. Hoefnagels memberikan arti yang lebih luas.
Dikatakannya bahwa sanksi dalam hukum pidana adalah semua reaksi terhadap
pelanggaran hukum yang telah ditentukan oleh undang-undang, dimulai dengan
penahanan tersangka dan penuntutan terdakwa sampai pada penjatuhan vonis oleh
hakim. Hoefnagels melihat pidana sebagai suatu proses waktu yang secara
keseluruhan proses itu dianggap suatu pidana.84
Dalam sistem hukum pidana baik yang diatur di dalam KUHP maupun
Undang-undang pidana di luar KUHP, dikenal ada dua jenis sanksi yang keduanya
mempunyai kedudukan yang sama yakni sanksi pidana dan sanksi tindakan. Kedua
83M. Sholehuddin, Op. Cit., hlm. 114. 84Ibid., hlm. 115.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
67
sanksi tersebut berbeda baik dari ide dasar, landasan filosofis yang melatar-
belakanginya, tujuan maupun yang lain.
Di dalam KUHP, jenis-jenis pidana diatur di dalam Pasal 10 KUHP, yang
selengkapnya menyatakan bahwa: Pidana terdiri atas :
a. Pidana Pokok,
1. pidana mati
2. pidana penjara
3. pidana kurungan
4. pidana tutupan
5. pidana denda
b. Pidana tambahan
1. pencabutan hak-hak tertentu
2. perampasan barang-barang tertentu
3. pengumuman putusan hakim
Menurut Andi Hamzah, jenis pidana di dalam Pasal 10 di atas berlaku untuk
semua delik termasuk tindak-tindak pidana yang diatur di dalam perundangan
pidana di luar KUHP, kecuali ketentuan undang-undang itu menyimpang,
sebagaimana dimaksud Pasal 103 KUHP.85
Sanksi pidana merupakan jenis sanksi yang paling banyak digunakan di
dalam menjatuhkan hukuman terhadap seseorang yang dinyatakan bersalah
melakukan perbuatan pidana. Sesuai ketentuan Pasal 10 KUHP tersebut di atas,
bentuk-bentuk sanksi pidana itu bervariasi, seperti pidana mati, pidana seumur
hidup, pidana penjara sementara waktu, pidana kurungan dan pidana denda yang
merupakan pidana pokok, dan pidana tambahan berupa pencabutan hak-hak
85Andi Hamzah, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia. (Jakarta: Pradnya Paramita,
1993), hlm. 175.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
68
tertentu, perampasan barang-barang tertentu dan pengumuman putusan hakim yang
kesemuanya merupakan pidana tambahan.
Sedangkan sanksi tindakan merupakan jenis sanksi yang lebih banyak
dimuat di dalam perundang-undangan pidana di luar KUHP. Di dalam KUHP
sendiri juga diatur bentuk-bentuk sanksi tindakan, berupa perawatan di rumah sakit
dan dikembalikan kepada orang tuannya atau walinya bagi orang yang tidak
mampu bertanggungjawab dan anak yang masih di bawah umur.
Hal ini berbeda dengan bentuk-bentuk sanksi tindakan yang tersebar di
dalam undang-undang pidana di luar KUHP, yang lebih variatif sifatnya, seperti
pencabutan surat izin mengemudi, perampasan keuntungan yang diperoleh dari
tindak pidana, perbaikan akibat tindak pidana, latihan kerja, rehabilitasi, perawatan
di suatu lembaga, dan sebagainya.
Adapun ide dasar dari penerapan sanksi pidana dan sanksi tindakan atau
dikenal dengan istilah sistem dua jalur (double track system), antara lain
dikemukakan oleh M. Sholehuddin bahwa:
Double track system merupakan sistem dua jalur mengenai sanksi pidana,
yakni jenis sanksi pidana di satu pihak dan jenis sanksi tindakan di pihak
lain. Walaupun di tingkat praktek, perbedaan antara sanksi pidana dan
sanksi tindakan sering agak samar, namun di tingkat ide dasar keduanya
memiliki perbedaan mendasar. Keduanya bersumber dari ide dasar yang
berbeda. Sanksi pidana bersumber pada ide dasar ”mengapa diadakan
pemidanaan”. Sedangkan sanksi tindakan bertolak dari ide dasar ”untuk apa
diadakan pemidanaan itu”.86
86M. Sholehuddin, Op. Cit., hlm. 17.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
69
Selanjutnya, M. Sholehuddin menjelaskan bahwa:
Sanksi pidana sesungguhnya bersifat reaktif terhadap suatu perbuatan,
sedangkan sanksi tindakan lebih bersifat antisipatif terhadap pelaku
perbuatan tersebut. Fokus sanksi pidana ditujukan pada perbuatan salah
yang telah dilakukan seseorang melalui pengenaan penderitaan agar yang
bersangkutan menjadi jera. Fokus tindakan lebih terarah pada upaya
memberi pertolongan pada pelaku agar ia berubah.87
D. Pengertian dan Ruang Lingkup Korupsi
Menurut Subekti dan Tjitrosoedibio korupsi berasal dari kata “curruptie”
yang berarti perbuatan curang; tindak pidana yang merugikan uang negara.88
Sementara itu, menurut Ensiklopedia Indonesia, korupsi berasal dari bahasa latin
“corruptio” berarti penyuapan dan “corruptore” yang berarti merusak. Korupsi
ditandai dengan gejala-gejala dimana para pejabat, badan-badan negara
menyalahgunakan wewenang dengan terjadinya penyuapan, pemalsuan serta
ketidak beresan lainnya.89
Selanjutnya, menurut David M. Chalmers seperti dikutip Baharudin Lopa
menguraikan arti dari istilah korupsi dalam berbagai bidang, yakni yang
menyangkut masalah penyuapan, yang berhubungan dengan manipulasi di bidang
ekonomi, dan yang menyangkut bidang kepentingan umum.90
Selanjutnya, David M. Chalmers seperti dikutip Baharudin Lopa
menjelaskan bahwa:
87Ibid. 88Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1973), hlm. 19. 89Tim Penulis, Ensiklopedia Indonesia, Gramedia, 1999, hlm. 9. 90Evi Hartanti, Op. Cit.,, hlm. 9.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
70
Korupsi antara lain dapat ditemukan pada adanya manipulasi dan keputusan
mengenai keuangan yang membahayakan perekonomian (finacial
manipulations and deliction injurious to the economy are often labeled
corrupt), kesalahan ketetapan oleh pejabat yeng menyangkut bidang
perekonomian umum (the term is often applied also to misjudgements by
officials in the public economies), pembayaran terselebung dalam bentuk
pemberian hadiah, ongkos administrasi, pelayanan, pemberian hadiah
kepada sanak keluarga, pengaruh kedudukan sosial, atau hubungan apa saja
yang merugikan kepentingan dan kesejahteraan umum, dengan atau tanpa
pembayaran uang (disguised payment in the form of gifts, legal fees,
employment, favors to relatives, social influence, or any relationship that
sacrifices the public and welfare, with or without the implied payment of
money, is usually considered corrupt). Ia juga menguraikan bentuk korupsi
lain, yang diistilahkan korupsi politik seperti korupsi pada pemilihan
umum, termasuk memperoleh suara dengan uang, janji dengan jabatan atau
hadiah khusus, paksaan, intimidasi, dan campur tangan terhadap kebebasan
memilih. Korupsi dalam jabatan melibatkan penjualan suara dalam
legislatif, keputusan administasi, atau keputusan yang menyangkut
pemerintahan. (electoral corruption includes purchase of vote with money,
promises of office or special special favors, coercion, intimadation, and
interference with administrative of judicial decision, or government
appointment).91
Pengertian mengenai korupsi di atas akan lebih mudah dipahami apabila
kita mengetahui ciri-ciri dari korupsi. Ciri-ciri dari korupsi dimaksud antara lain
dijelaskan oleh Shed Husein Alatas seperti dikutip Evi Hartanti sebagai berikut:
a. Korupsi senantiasa melibatkan lebih dari satu orang. Hal ini tidak sama
dengan kasus pencurian atau penipuan. Seorang operator yang korup
sesungguhnya tidak ada dan kasus itu biasanya termasuk dalam
pengertian penggelepan. (fraud).
b. Korupsi pada umumnya dilakukan secara rahasia, kecuali korupsi itu
telah merajalela dan begitu dalam sehingga individu yang berkuasa dan
mereka yang berada dalam lingkungannya tidak tergoda untuk
menyembunyikan perbuatannya. Namun, walaupun demikian motif
korupsi tetap dijaga kerahasiaannya.
c. Korupsi melibatkan elemen kewajiban dan keuntungan timbal balik.
91Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
71
d. Mereka yang mempraktikkan cara-cara korupsi biasanya berusaha
untuk meyelebungi perbuatannya dengan berlindung dibalik
pembenaran hukum.
e. Mereka yang terlibat korupsi menginginkan keputusan yang tegas dan
mampu untuk mempengaruhi keputusan-keputusan itu.
f. Setiap perbuatan korupsi mengandung penipuan, biasanya dilakukan
oleh badan publik atau umum (masyarakat).
g. Setiap bentuk korupsi adalah suatu pengkhianatan kepercayaan.92
Sementara itu, apabila dikelompokkan berdasarkan sifatnya, Baharuddin
Lopa mengemukakan korupsi dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bentuk, yakni:
a. Korupsi yang Bermotif Terselebung:
Yakni korupsi yang secara sepintas kelihatannya bermotif politik, tetapi
secara tersembunyi sesungguhnya bermotif mendapatkan uang semata.
b. Korupsi yang Bermotif Ganda:
Yaitu seorang melakukan korupsi secara lahiriah kelihatannya hanya
bermotifkan mendapatkan uang, tetapi sesungguhnya bermotif lain,
yakni kepentingan politik.93
Pendapat mengenai bentuk dan jenis korupsi, juga dikemukakan oleh J.
Soewartojo sepertio dikutip Evi Hartanti, sebagai berikut:
a. Pungutan liar tindak pidana, yaitu korupsi uang negara, menghindari
pajak dan bea cukai, pemerasan dan penyuapan.
b. Pungutan liar jenis pidana yang sulit dibuktikan, yaitu komisi dalam
kredit bank, komisi tender proyek, imbalan jasa dalam pemberian ijin-
ijin, kenaikan pangkat, pungutan terhadap uang perjalanan, pungli pada
pos-pos pencegatan dijalan, pelabuhan dan sebagainya.
c. Pungutan liar jenis pungutan tidak sah yang dilakukan oleh Pemda,
yaitu pungutan yang dilakukan tanpa ketetapan berdasarkan peraturan
daerah, tetapi hanya dengan surat-surat keputusan saja.
d. Penyuapan, yaitu seorang pengusaha menawarkan uang atau jasa lain
kepada seseorang atau keluarganya untuk suatu jasa bagi pemberi uang.
e. Pemerasan, yaitu orang yang memegang kekuasaan menuntut
pembayaran uang atau jasa lain sebagai ganti atau timbal balik fasilitas
yang diberikan.
92Ibid., hlm. 11. 93Baharuddin Lopa, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, (Jakarta: LP3S, 1983),
hlm. 19.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
72
f. Pencurian, yaitu orang yang berkuasa menyalahgunakan kekuasaannya
dan mencuri harta rakyat, langsung atau tidak langsung.
g. Nepotisme, yaitu orang yang berkuasa memberikan kekuasaan dan
fasilitas pada keluarga atau kerabatnya, yang seharusnya orang lain juga
dapat atau berhak bila dilakukan secara adil.94
Berdasarkan pendapat para ahli hukum pidana tersebut di atas, maka
korupsi merupakan perbuatan penyalahgunaan wewenang oleh penyelenggara
negara yang dilakukan secara bersama-sama dan berakibat pada timbulnya
kerugian negara dan atau kerugian pada perekonomian negara.
Selanjutnya apabila ditinjau dari penyebab timbulnya korupsi, sejumlah ahli
mengemukakan pendapatnya, antara lain pendapat dari Selo Sumarjan seperti
dikutip Evi Hartanti, yang mengemukakan bahwa penyebab utama dari timbulnya
korupsi, kolusi dan nepotisme adalah faktor sosial. Selengkapnya mengenai faktor-
faktor sosial yang menyebabkan terjadinya korupsi, ia menjelaskan sebagai
berikut:
a. Desintegrasi (anomie) sosial karena perubahan sosial terlalu cepat sejak
revolusi nasional, dan melemahnya batas milik negara dan milik
pribadi.
b. Fokus budaya bergeser, nilai utama orientasi sosial beralih menjadi
orientasi harta. Kaya tanpa harta menjadi kaya dengan harta.
c. Pembangunan ekonomi menjadi panglima pembangunan bukan
pembangunan sosial budaya.
d. Penyalahgunaan kekuasaan negara sebagai short cut mengumpulkan
harta.
e. Parenalisme, korupsi tingkat tinggi,menurun, menyebar, meresap dalam
kehidupan masyarakat. Bodoh kalau tidak menggunakan kesempatan
menjadi kaya.
f. Pranata-pranata sosial kontrol yang tidak efektif lagi. 95
94Evi Hartanti, Op. Cit., hlm. 20. 95Ibid., hlm. 19 -20.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
73
Pendapat senada dikemukakan oleh Masyarakat Transparansi Internasional
(MTI) seperti dikutip Evi Hartanti, yang dalam hasil penelitianya menemukan
bahwa terdapat sepuluh pilar penyebab korupsi di Indonesia, yaitu:
a. Absennya kemauan politik pemerintah;
b. Amburadulnya sistem administrasi umum dan keuangan pemerintah;
c. Dominannya peranan militer dalam bidang politik;
d. Politisasi birokrasi;
e. Tidak independennya lembaga pengawas.
f. Kurang berfungsinya parlemen;
g. Lemahnya kekuatan masyarakat sipil;
h. Kurang bebasnya media massa;
i. Oportunisnya sektor swasta.96
Mengacu pada pendapat tersebut di atas, dapat ditarik pengertian bahwa bila
dicermati, berkembang biaknya korupsi secara massif dan fenomenal di Indonesia
setidaknya disebabkan oleh empat penyebab utama. Penyebab pertama adalah
budaya hidup hedonik yang mengenyampingkan pemuliaan terhadap nilai-nilai
agama dan integritas moral. yang berkembang di kalangan pejabat publik dan
penyelenggara negara.
Budaya hidup yang mengagungkan harta dan kemewahan dunia itu,
menyebabkan korupsi seolah-olah diterima dan difahami sebagai suatu kewajaran
sehingga ia bebas menjalar bahkan berurat berakar pada seluruh lapisan birokrasi
kita. Ia menghinggapi pejabat tinggi di pusat kekuasaan sampai pamong rendahan
di pelosok-pelosok desa, singgah di meja BUMN dan BUMD. Dan lebih tragis lagi,
96Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
74
ia telah pula menggerogoti institusi penegakan hukum, yang justru menjadi
tumpuan harapan sebagai ujung tombak yang tajam dalam pemberantasan tindak
pidana korupsi.
Alasan kedua adalah budaya kolutif kalangan dunia usaha. Budaya hedonik
para pejabat publik telah dimanfaatkan oleh para pelaku usaha untuk berkolusi
sehingga menyuburkan korupsi. Sejak lama diketahui bahwa sebagian dari pelaku
usaha menjadi besar bukan karena kemampuan dan daya saing produk yang mereka
miliki tetapi lebih pada faktor kedekatan mereka dengan jejaring birokrasi sehingga
mereka mendapat berbagai fasilitas dan kemudahan.
Alasan ketiga, karena rendahnya kemauan politik (political will)
pemerintah untuk benar-benar memberantas korupsi sampai ke akar-akarnya tanpa
pilih bulu. Rendahnya political will tersebut menghasilkan kebijakan politik yang
lemah, tumpang tindih dan tidak efektif.
Alasan terakhir namun amat penting bagi suburnya korupsi adalah
lemahnya perangkat undang-undang dan rendahnya integritas penegak hukum. Kita
memang tidak dapat memungkiri kenyataan bahwa dari sejumlah kasus-kasus
besar korupsi yang berhasil diungkap dan diajukan ke pengadilan, hanya segelintir
saja untuk tidak menyebut tidak ada, yang berhasil dijerat dengan hukuman yang
berat.
Di sisi lain, hampir setiap saat media menyuguhkan berbagai keganjilan
dalam proses penyidikan, pendakwaan, pemeriksaan, penuntutan dan penetapan
keputusan oleh Pengadilan serta berbagai cerita tentang perbedaan perlakuan,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
75
tebang pilih dan tarik ulur pada setiap tingkatan pemeriksaan oleh aparat penegak
hukum. Kenyataan ini membuat para pelaku korupsi tidak pernah takut dan jera
menggerogoti uang rakyat dan atau mengambil serta menikmati sesuatu yang
bukan haknya.
E. Landasan Yuridis Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
Secara yuridis historis, pengaturan secara khusus mengenai pencegahan dan
pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, dimulai dengan disahkannya
Undang-Undang Republik Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi.
Seiring dengan semangat reformasi, Undang-Undang Republik Nomor 3
Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dipandang belum
mampu memenuhi dan mengantisipasi perkembangan kebutuhan hukum
masyarakat dalam rangka mencegah dan memberantas secara lebih efektif setiap
bentuk tindak pidana korupsi yang sangat merugikan keuangan negara atau
perekonomian negara pada khususnya serta masyarakat pada umumnya.
Oleh karena itu, pada tanggal 16 Agustus 1999 diundangkan Undang-
Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi. Adapaun latar belakang yang mendasari lahirnya Undang-Undang
yang ditempatkan pada Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
140 tersebut, antara lain adalah bahwa tindak pidana korupsi sangat merugikan
keuangan negara atau perekonomian negara dan menghambat pembangunan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
76
nasional, sehingga harus diberantas dalam rangka mewujudkan masyarakat adil dan
makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Disamping itu dipertimbangkan pula bahwa akibat tindak pidana korupsi
yang terjadi selama ini selain merugikan keuangan negara atau perekonomian
negara, juga menghambat pertumbuhan dan kelangsungan pembangunan nasional
yang menuntut efisiensi tinggi.
Dibandingkan dengan Undang-Undang terdahulu, di dalam Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
pengertian tindak pidana korupsi dirumuskan sedemikian rupa sehingga meliputi
perbuatan-perbuatan memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi
secara “melawan hukum” dalam pengertian formil dan materiil. Dengan perumusan
tersebut, pengertian melawan hukum dalam tindak pidana korupsi dapat pula
mencakup perbuatan-perbuatan tercela yang menurut perasaan keadilan
masyarakat harus dituntut dan dipidana.
Di samping itu, Dalam Undang-Undang ini, tindak pidana korupsi
dirumuskan secara tegas sebagai tindak pidana formil. Hal ini sangat penting untuk
pembuktian. Dengan rumusan secara formil yang dianut dalam Undang-Undang
ini, meskipun hasil korupsi telah dikembalikan kepada negara, pelaku tindak pidana
korupsi tetap diajukan ke pengadilan dan tetap dipidana.
Selanjutnya, dalam rangka mencapai tujuan yang lebih efektif untuk
mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi, Undang-Undang ini juga
memuat ketentuan pidana yang berbeda dengan Undang-Undang sebelumnya, yaitu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
77
menentukan ancaman pidana minimum khusus, pidana denda yang lebih tinggi, dan
ancaman pidana mati yang merupakan pemberatan pidana. Selain itu, Undang-
Undang ini memuat juga pidana penjara bagi pelaku tindak pidana korupsi yang
tidak dapat membayar pidana tambahan berupa uang pengganti kerugian negara.
Setelah diberlakukan selama lebih kurang 2 (dua) tahun, dirasakan bahwa
Undang-Undang ini belum mampu menjamin kepastian hukum, menghindari
keragaman penafsiran hukum dan memberikan perlindungan terhadap hak-hak
sosial dan ekonomi masyarakat, serta perlakuan secara adil dalam memberantas
tindak pidana korupsi.
Oleh karena itu, dipandang perlu melakukan perubahan atas Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
dengan mensahkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
Di dalam Undang-Undang yang disahkan pada tanggal 21 November 2001
dan ditempatkan di dalam Lembaran Negara Republik Indonesia tahun 2001
Nomor 134 tersebut, dipertimbangkan bahwa Sejak Undang-Undang Nomor 31
Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diundangkan, terdapat
berbagai interpretasi atau penafsiran yang berkembang di masyarakat khususnya
mengenai penerapan Undang-Undang tersebut terhadap tindak pidana korupsi yang
terjadi sebelum Undang-Undang No.31 Tahun 1999 diundangkan,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
78
Hal ini disebabkan Pasal 44 Undang-Undang tersebut menyatakan bahwa
Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi dinyatakan tidak berlaku sejak Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
diundangkan, sehingga timbul suatu anggapan adanya kekosongan hukum untuk
memproses tindak pidana korupsi yang terjadi sebelum berlakunya Undang-
Undang Nomor 31 Tahun 1999.
Di samping hal tersebut, mengingat korupsi di Indonesia terjadi secara
sistematik dan meluas sehingga tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi
juga telah melanggar hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, maka
pemberantasan korupsi perlu dilakukan dengan cara luar biasa. Dengan demikian,
pemberantasan tindak pidana korupsi harus dilakukan dengan cara yang khusus,
antara lain penerapan sistem pembuktian terbalik yakni pembuktian yang
dibebankan kepada terdakwa.
Dalam Undang-Undang ini diatur pula hak negara untuk mengajukan
gugatan perdata terhadap harta benda terpidana yang disembunyikan atau
tersembunyi dan baru diketahui setelah putusan pengadilan memperoleh kekuatan
hukum tetap. Harta benda yang disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga
atau patut diduga berasal dari tindak pidana korupsi. Gugatan perdata dilakukan
terhadap terpidana dan atau ahli warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut,
negara dapat menunjuk kuasanya untuk mewakili negara.
Selanjutnya dalam Undang-Undang ini juga diatur ketentuan baru
mengenai maksimum pidana penjara dan pidana denda bagi tindak pidana korupsi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
79
yang nilainya kurang dari Rp 5.000.000,00 (lima juta rupiah). Ketentuan ini
dimaksudkan untuk menghilangkan rasa kekurang-adilan bagi pelaku tindak pidana
korupsi, dalam hal nilai yang dikorup relatif kecil.
Di samping itu, dalam Undang-Undang ini dicantumkan Ketentuan
Peralihan. Substansi dalam Ketentuan Peralihan ini pada dasarnya sesuai dengan
asas umum hukum pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana.
Dari sudut anatomi, Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdiri dari 7 (tujuh) Bab dan 45 (empat
puluh lima) Pasal. Bab I tentang Ketentuan Umum mencakup 1 Pasal. Bab II
Tindak Pidana Korupsi, terdiri dari 19 Pasal. Bab III Tindak Pidana Lain Yang
Berkaitan Dengan Tindak Pidana Korupsi, meliputi 4 Pasal. Bab IV Penyidikan,
Penuntutan, Dan Pemeriksaan Di Sidang Pengadilan, mencakup 16 Pasal. Bab V
Peran Serta Masyarakat terdiri dari 2 Pasal, Bab VI Ketentuan Lain-lain memuat 1
Pasal dan Bab VII tentang Ketentuan Penutup yang terdiri dari 2 Pasal.
Sementara di dalam Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi, perubahan yang dilakukan adalah terhadap ketentuan
pidana sebagaimana diatur di dalam Pasal 2 ayat (2), Pasal 5, Pasal 6, Pasal 7, Pasal
8, Pasal 9, Pasal 10, Pasal 11, dan Pasal 12.
Berdasarkan paparan yang dikemukakan di atas, ditarik pengertian bahwa
dengan dilakukannya perubahan demi perubahan di dalam Undang-Undang
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
80
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat komitmen yang kuat dari negara
melalui kebijakan hukum pidana untuk mencegah dan memberantas terjadinya
tindak pidana korupsi secara sistemik dan komprehensif.
F. Klasifikasi dan Jenis Tindak Pidana Korupsi
Salah satu ketentuan penting dari Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi adalah ketentuan pidana, yang mengatur mengenai bentuk atau
jenis perbuatan pidana korupsi dan sanksi pidana yang dapat dijatuhkan terhadap
pelaku perbuatan tersebut.
Ketentuan dimaksud termaktub di dalam ketentuan pidana sebagaimana
dimaksud Bab II Pasal 2 sampai dengan Pasal 20 Undang-Undang RI Nomor 31
tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Setelah mencermati
ketentuan pidana di dalam Undang-Undang dimaksud, dapatlah ditarik ringkasan
mengenai bentuk-bentuk tindak pidana korupsi. Bentuk-bentuk tindak korupsi
dimaksud dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian, yakni korupsi yang
bersifat aktif dan korupsi yang bersifat pasif.
Adapun korupsi yang bersifat aktif adalah sebagai berikut:
1. Secara melawan hukum memperkaya diri sendiri atau orang lain atau
korporasi, yang dapat merugikan keuangan negara atau perekonomian negara
(Pasal 2 ayat 1);
2. Dengan tujuan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau suatu
korporasi menyalahgunakan kewengan, kesempatan atau sarana yang ada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
81
padanya karena jabatannya atau kedudukan yang dapat merugikan
kepentingan negara atau perekonomian negara (Pasal 3);
3. Memberi janji atau hadiah kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,
atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan tersebut (Pasal 13);
4. Percobaan, pembantuan atau pemufakatan jahat untuk melakukan tindak
pidana korupsi (Pasal 15);
5. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara
negara dengan maksud supaya berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam
jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 5);
6. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena
atau berhubung dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajibannya
dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannnya (Pasal 5);
7. Memberikan atau menjanjikan sesuatu kepada hakim dengan maksud untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili
(Pasal 6);
8. Pemborong atau ahli bangunan yang pada waktu membuat bangunan, atau
penjual bangunan yang pada waktu menyerahkan bahan bangunan, melakukan
perbuatan curang yang dapat membahayakan keamanan orang atau barang,
atau keselamatan negara dalam keadaan perang (Pasal 7);
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
82
9. Setiap orang yang bertugas mengawasi pembangunan atau penyerahan bahan
bangunan, sengaja membiarkan perbuatan curang (Pasal 7);
10. Setiap orang yang pada waktu menyerahkan barang keperluan Tentara
Nasional Indonesia atau Kepolisian Negara Indonesia melakukan perbuatan
curang yang dapat membahayakan keselamatan negara dalam keadaan perang
(Pasal 7);
11. Setiap orang yang bertugas mengawasi penyerahan barang keperluan Tentara
Nasional Indonseia atau Kepolisian Negara Republik Indonesia sengaja
membiarkan perbuatan curang sebagaimana yang dimaksud dalam huruf c
(Pasal 7);
12. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang ditugaskan
menjalankan suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu,
dengan sengaja menggelapkan uang atau surat berharga yang disimpan karena
jabatannya, atau membiarkan uang atau surat berharga tersebut diambil atau
digelapkan orang lainatau membantu dalam melakukan perbuatan tersebut
(Pasal 8);
13. Pegawai negeri atau selain pegawai negeri yang diberi tugas menjalankan
suatu jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu, dengan
sengaja memalsukan buku-buku atau daftar-daftar khusus untuk pemeriksaan
adsministrasi (Pasal 9);
14. Pegawai negeri atau orang lain selain pegawai negeri yang diberi tugas
menjalankan jabatan umum secara terus menerus atau sementara waktu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
83
dengan sengaja menggelapkan, menghancurkan, merusakkan, atau membuat
tidak dapat dipakai barang, akta, surat atau daftar yang digunakan untuk
meyakinkan atau membuktikan di muka pejabat yang berwenang, yang
dikuasai karena jabatannya, atau membiarkan orang lain menghilangkan,
menghancurkan, merusakkan atau membuat tidak dapat dipakai barang, akta,
surat atau daftar tersebut (Pasal 10).
15. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang:
a. Dengan maksud menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan
hukum, atau dengan menyalahgunakan kekuasaannya memaksa seseorang
memberikan sesuatu, membayar, atau menerima pembayaran dengan
potongan, atau untuk mengerjakan sesuatu bagi dirinya sendiri (Pasal 12);
b. Pada waktu menjalankan tugas, meminta, menerima, atau memotong
pembayaran kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara yang lain
atau kepada kas umum, seolah-olah pegawai negeri atau penyelenggara
negara yang lain atau kas umum tersebut mempunyai utang kepadanya,
padahal diketahui bahwa hal tersebut bukan merupakan utang (Pasal 12);
c. Pada waktu menjalankan tugas, telah menggunakan tanah negara yang
diatasnya terdapat hak pakai, seolah-olah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan, telah merugikan orang yang berhak, padahal
diketahuinya bahwa perbuatan tersebut bertentangan dengan peraturan
perudang-undangan (Pasal 12);
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
84
d. Baik langsung maupun tidak langsung dengan sengaja turut serta dalam
pemborongan, pengadaan, atau pengawasan yang pada saat dilakukan
perbuatan, untuk seluruh atau sebagian ditugaskan untuk mengurus atau
mengawasinya (Pasal 12).
16. Memberikan hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat
kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya,
atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau
kedudukan tersebut (Pasal 11).
Yang termasuk ke dalam perbuatan pidana korupsi pasif adalah sebagai
berikut:
1. Pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai
negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu
dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12);
2. Hakim atau advokat yang menerima pemberian pemberian atau janji untuk
mempengaruhi putusan perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili atau
untuk menghadiri sidang pengadilan, menerima hadiah atau janji, padahal
diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk
mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung dengan
perkara yang diserahkan kepada pegadilan untuk diadili (Pasal 12);
3. Orang yang menerima penyerahan barang bangunan atau yang menyerahkan
barang keperluan Tentara Nasional Indonesia dan atau Kepolisisan Negara
Republik Indonesia membiarkan perbuatan curang (Pasal 7);
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
85
4. Pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima hadiah atau janji,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk menggerakkan agar melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam
jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya (Pasal 12);
5. Pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima hadiah atau janji
padahal diketahui atau patut diduga, bahwa hadiah atau janji tersebut
diberikan karena kekuasaan atau kewenangan yang berhubungan dengan
jabatannya (Pasal 12);
6. Hakim yang menerima hadiah atau janji, padahal diketahui atau patut diduga
bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan untuk mempengaruhi putusan
perkara yang diserahkan kepadanya untuk diadili (Pasal 12);
7. Advokat yang menerima hadiah atau janji, untuk menghadiri sidang pengadilan,
padahal diketahui atau patut diduga bahwa hadiah atau janji tersebut diberikan
untuk mempengaruhi nasihat atau pendapat yang akan diberikan, berhubung
dengan perkara yang diserahkan kepada pegadilan untuk diadili (Pasal 12);
8. Setiap pegawai negeri atau penyelenggaran negara yang menerima yang
diberikan berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan
kewajiban atau tugasnya (Pasal 11).
Mengacu pada paparan di atas, disimpulkan bahwa di dalam Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, terdapat 15 (lima belas) perbuatan
yang digolongkan sebagai perbuatan pidana korupsi yang bersifat aktif dan 8
(delapan) perbuatan pidana yang digolongkan ke dalam korupsi yang bersifat pasif.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
86
Adapun jenis pidana atau sanksi pidana yang dapat dijatuhkan kepada
pelaku tindak pidana korupsi adalah pidana mati, pidana penjara antara 1 (satu)
tahun sampai dengan pidana penjara seumur hidup, pidana tambahan berupa
pembayaran uang pengganti, dan gugatan perdata kepada ahli waris.
Penjatuhan pidana mati diatur di dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) dan
pidana penjara berupa pidana penjara paling singkat selama 1 (satu) tahun dan
paling lama selama seumur hidup, diatur dalam sejumlah Pasal yakni Pasal 2
sampai dengan Pasal 12, Pasal 21 sampai dengan Pasal 22 dan Pasal 24 Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Ketentuan mengenai sanksi pidana pembayaran uang pengganti termaktub
di dalam Pasal 18 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang
selengkapnya menggariskan bahwa:
(1). Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-
undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak
berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau
yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan
milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu
pula dari barang yang mengantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-
banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak
pidana korupsi.
c. Penutupan Seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling
lama 1 (satu) tahun;
d. Pencabutan Seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau
penghapusan Seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang
telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.
(2). Jika terpidana tidak membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1) huruf b paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah
putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
87
maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk
menutupi uang pengganti tersebut.
(3). Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi
untuk membayar uang pengganti sebagaimana dimaksud dalam ayat
(1) huruf b, maka dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak
melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan
ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut
sudah ditentukan dalam putusan pengadilan.
Sementara itu, mengenai gugatan perdata kepada ahli waris dapat
dilakukan apabila tersangka korupsi yang meninggal dunia dalam penyidikan,
diatur di dalam Pasal 33 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Di samping itu, dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi diatur pula hak negara untuk mengajukan gugatan perdata terhadap harta
benda terpidana yang disembunyikan atau tersembunyi dan baru diketahui setelah
putusan pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Harta benda yang
disembunyikan atau tersembunyi tersebut diduga atau patut diduga berasal dari
tindak pidanakorupsi. Gugatan perdata dilakukan terhadap terpidana dan atau ahli
warisnya. Untuk melakukan gugatan tersebut, negara dapat menunjuk kuasanya
untuk mewakili negara.
Untuk menjamin pengembalian uang negara dari tindak pidana korupsi,
Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juga mengatur mengenai
sanksi pidana tambahan berupa pidana pembayaran uang pengganti. Ketentuan
mengenai sanksi pidana tambahan dimaksud termaktub dalam Pasal 18 Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
88
Selanjutnya, di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi juga diatur mengenai hukum acara tersendiri bagi penanganan perkara
korupsi sebagai ketentuan khusus (lex specialis). Ketentuan mengenai hukum
acara tersebut termaktub di dalam Bab IV Pasal 25 – 40 Tentang Penyidikan,
Penuntutan dan Pemeriksaan di Sidang Pengadilan.
Mengacu pada kesimpulan sebelumnya bahwa upaya penegakan hukum
yang efektif hanya akan dapat dicapai apabila didukung oleh peraturan
perundangan pidana dan sistem peradilan pidana yang efektif, maka persoalan yang
perlu dibahas adalah apakah sistem peradilan pidana yang diatur melalui KUHAP
dan diatur secara khusus di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, telah mendukung efektivitas penegakan hukum terhadap tindak pidana
korupsi.
G. Pengertian Dan Ruang Lingkup Penyelidikan Dan Penyidikan
Merujuk pada ketentuan KUHAP, tahapan pertama di dalam penanganan
perkara pidana adalah tahapan penyelidikan dan penyidikan. Tahapan tersebut
diatur secara khusus di dalam Bab IV yang terdiri Pasal 4 sampai dengan Pasal 12
KUHAP, Bab V yang mencakup Pasal 16 sampai dengan Pasal 49 KUHAP. dan
Bab XIV yang meliputi Pasal 102 sampai dengan Pasal 136 KUHAP. Tahapan
penangkapan, penahanan, penggeledahan badan, pemasukan rumah, penyitaan dan
pemeriksaan surat, diatur di dalam
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
89
Menurut Pasal 1 angka 5 KUHAP, yang dimaksud dengan penyelidikan
adalah serangkaian tindakan/penyelidikan untuk mencari dan menemukan suatu
peristiwa yang di duga sebagai tindak pidana guna menentukan dapat atau
tidaknya dilakukan penyidikan menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
Terkait dengan pengertian penyelidikan, M. Yahya Harahap menguraikan
bahwa:
Penyelidikan sebagai serangkaian tindakan mencari dan menemukan
sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan
pelanggaran tindak pidana atau diduga sebagai perbuatan tindak pidana.
Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang di duga sebagai tindak
pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah
dalam suatu peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan atau
tidak sesuai dengan cara yang diatur oleh KUHAP.97
Menurut M. Yahya Harahap, pengertian mengenai penyelidikan sangat
berguna demi untuk kejernihan fungsi pelaksanaan penegakan hukum. Dengan
penegasan dan pembedaan antara penyelidikan dan penyidikan, yaitu:
1. Telah tercipta penahapan tindakan guna menghindarkan cara-cara
penegakan hukum yang tergesa-gesa seperti yang dijumpai pada masa-
masa yang lalu. Akibat dari cara-cara penindakan yang tergesa-gesa,
dapat menimbulkan sikap dan tingkah laku aparat penyidik kePolisian
sering tergelincir ke arah mempermudah dan menganggap sepele nasib
seseorang;
2. Dengan adanya tahapan penyelidikan, diharapkan akan tumbuh sikap
hati-hati dan rasa tanggungjawab hukum yang lebih bersifat manusiawi
dalam melaksanakan tugas penegakan hukum. Menghindari cara-cara
penindakan yang menjurus kepada pemerasan pengakuan dari pada
menemukan keterangan dan bukti-bukti. Apalagi pengertian dan tujuan
penahapan pelaksanaan fungsi penyelidikan dan penyedikan
dihubungkan dengan ketentuan Pasal 17, semakin memperjelas
pentingnya arti penyelidikan, sebelum dilakukan tindakan penyidikan
97M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 101.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
90
lebih lanjut, agar tidak terjadi tindakan yang melanggar hak-hak asasi
yang merendahkan harkat dan martabat manusia.98
M. Husein Harun mengemukakan mengenai dasar dilakukannya
penyelidikan, yang pada pokoknya menyatakan bahwa penyelidikan dilakukan
berdasarkan :
a. Informasi atau laporan yang diterima maupun diketahui langsung oleh
penyelidik/penyidik
b. Laporan Polisi
c. Berita Acara Pemeriksaan di TKP
d. Berita Acara Pemeriksaan tersangka dan atau saksi.99
Tahapan selanjutnya setelah penyelidikan, adalah tahapan penyidikan.
Mengenai pengertian dari penyidikan dirumuskan di dalam Pasal 1 angka 2
KUHAP, yang selengkapnya menyatakan bahwa:
Pasal 1 angka 2
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut
cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta
mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak
pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
Berdasarkan ketentuan KUHAP di atas, dapat ditarik pengertian bahwa
terdapat 2 (dua) tujuan dari proses penyidikan, yakni:
1. Mencari serta mengumpulkan bukti, yang dengan bukti itu membuat
terang tentang tindak pidana yang terjadi;
98Ibid., hlm. 102. 99M. Husein Harun, Penyidik Dan Penuntut Dalam Proses Pidana, (Jakarta: PT Rineka
Cipta, 1991), hlm. 56.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
91
2. Menemukan tersangka dari pidana yang terjadi
Sementara, yang dimaksud sebagai tersangka diatur dijelaskan di dalam
Pasal 1 angka 14 KUHAP, bahwa “tersangka adalah seorang yang karena
perbuatannya atau keadaannya berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai
pelaku tindak pidana”.
Selaras dengan ketentuan KUHAP, M. Husein Harun menggarisbawahi
tujuan penyidikan, yakni mencari keterangan-keterangan dan bukti guna
menentukan suatu peristiwa yang di laporkan atau diadukan, apakah merupakan
tindak pidana atau bukan; melengkapi keterangan dan bukti-bukti yang telah di
proses agar menjadi jelas sebelum dilakukan penindakan selanjutnya, dan
persiapan pelaksanaan penindakan dan atau pemeriksaan.100
M. Yahya Harahap mengemukakan mengenai pengertian penyidikan,
sebagai berikut:
Penyidikan suatu istilah yang dimaksudkan sejajar dengan pengertian
opsporing (Belanda), investigation (Inggris) atau penyiasatan (Malaysia).
KUHAP memberikan definisi penyidikan sebagai serangkaian tindakan
penyidikan dalam hal menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini
untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu terang
tentang tindak pidana yang terjadi guna menemukan terangkanya.101
Menurut De Pinto sebagaimana dikutip Yahya M. Harahap, menyidik
(Opsporing) berarti “pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat yang untuk itu
ditunjuk oleh undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apapun
100M. Husein Harun, Op. Cit., hlm. 57. 101M. Yahya Harahap, Op. Cit., hlm. 120.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
92
mendengar kabar yang sekedar beralasan, bahwa ada terjadi suatu pelanggar-an
hukum.102
Menurut M. Husein Harun, kegiatan penyidikan meliputi beberapa aspek
sebagai berikut:
a. Penyidikan berdasarkan informasi atau laporan yang diterima maupun
yang di ketahui langsung oleh penyidik, laporan Polisi, berita acara
pemeriksaan tersangka, dan berita acara pemeriksaan saksi;
b. Penindakan adalah setiap tindakan hukum yang dilakukan oleh
penyidik/penyidik pembantu terhadap orang maupun barang yang ada
hubungannya dengan tindak pidana yang terjadi. Penindakan hukum
tersebut berupa pemanggilan tersangka dan saksi, penangkapan,
penahanan, penggeledahan, dan penyitaan;
c. Pemeriksaan adalah merupakan kegiatan untuk mendapatkan
keterangan, kejelasan dan keidentikan tersangka dan atau saksi dan atau
barang bukti ataupun unsur-unsur tindak pidana yang terjadi sehingga
kedudukan dan peranan seseorang maupun barang bukti didalam tindak
pidana menjadi jelas dan dituangkan dalam berita acara pemeriksaan
yang berwenang melakukan pemeriksaan adalah penyidik dan penyidik
pembantu;
d. Penyelesaian dan Penyerahan Berkas Perkara, merupakan kegiatan
akhir dari proses penyidikan tindak pidana yang dilakukan oleh
penyidik dan penyidik pembantu.103
Selanjutnya, di dalam pelaksanaan penyidikan terdapat proses
penangkapan. Penangkapan diatur di dalam Bab V Bagian Kesatu yang mencakup
Pasal 16 sampai dengan Pasal 19 KUHAP, pada pokoknya mengatur tentang
laporan dan lamanya penangkapan dapat dilakukan, siapa yang berhak
menangkap, apa isi surat perintah penangkapan, dan kapan penangkapan dapat
dilakukan tanpa surat perintah penangkapan
102Ibid. 103M. Husein Harun, Op. Cit., hlm. 89.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
93
Tentang pengertian penangkapan, dijelaskan di dalam Pasal 1 angka 20
yang pada pokoknya menjelaskan bahwa, penangkapan adalah suatu tindakan
penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau
terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau
penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam
Undang-Undang ini.
Menurut Romli Atmasasmita, secara sederhana dapat dikatakan
penangkapan adalah tindakan pemerintah (Polisi) yang membatasi kemerdekaan
bergerak seseorang demi kepentingan penyelidikan atau penyidikan atas suatu
perkara kejahatan ditujukan terhadap seseorang yang diduga keras telah
melakukan kejahatan berdasarkan bukti permulaan yang cukup.104
Mengenai kapan penangkapan dapat dilakukan, Romli Atmasasmita pada
intinya mengemukakan bahwa menurut ketentuan KUHAP, penangkapan dapat
dilakukan apabila telah ada bukti permulaan yang cukup (Pasal 17), bila
kepentingan penyelidikan dan penyidikan menghendaki atau memerlukannya
(Pasal 16), dan/atau bila orang, terhadap siapa penangkapan akan dilakukan,
diduga keras melakukan kejahatan (Pasal 17). Secara keseluruhan, pengaturan
tersebut menunjukkan motivasi dilakukannya penangkapan tehadap seseorang
104Romli Atmasasmita, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, (Bandung: Binacipta,
Cetakan Pertama, 1983), hlm. 20.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
94
oleh Pejabat Polisi Negara. Tanpa motivasi dimaksud penangkapan tidak boleh
dilakukan.105
Sedangkan alasan penangkapan tidak ditegaskan dalam KUHAP. Di dalam
Pasal 18, hanya dirumuskan tentang pelaksana tugas penangkapan, surat tugas, dan
surat perintah penangkapan, dan isi dari surat perintah penangkapan. Ketentuan
Pasal tersebut, selengkapnya adalah sebagai berikut:
(1) Pelaksanaan tugas penangkapan dilakukan oleh petugas kePolisian
negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta
memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang
mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan
penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang
dipersangkakan serta tempat ia diperiksa.
(2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dulakukan tanpa surat
perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera
menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada
penyidik atau penyidik peinbantu yang terdekat.
(3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah
penangkapan dilakukan.
Tahap berikut dari penangkapan adalah penahanan, yang diatur di dalam
Bab V Bagian Kedua yang meliputi Pasal 20 sampai dengan Pasal 31. Pembentuk
KUHAP memberikan perhatian khusus terhadap masalah penahanan ini, terbukti
dengan jumlah pasal yang mengaturnya yaitu terdiri dari 12 (dua belas) pasal dan
43 (empat puluh tiga) ayat.
Pasal 20 mengatur kewenangan melakukan penahanan pada setiap tingkat
pemeriksaan. Pasal 21 mengatur penahanan yang merupakan kewenangan
105Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
95
penuntut umum, dan alasan penahanan lanjutan bila penahanan dimaksud dapat
dilakukan. Pasal 22 mengatur jenis penahanan. Pasal 23 mengatur pengalihan jenis
penahanan. Pasal 24 sampai dengan Pasal 28 mengatur lamanya penahanan dapat
dilakukan. Pasal 29 mengatur perpanjangan jangka waktu penahanan karena
alasan khusus. Pasal 30 mengatur hak tersangka atau terdakwa untuk meminta
ganti rugi karena penahanan yang tidak sah. Pasal 31 mengatur penangguhan
penahanan dengan jaminan uang atau orang atau tanpa jaminan tersebut.
Salah satu pasal yang penting, diantara ketentuan pasal-pasal KUHAP yang
mengatur mengenai penahanan tersebut, adalah Pasal 21 yang mengatur mengenai
alasan dilakukannya penahanan terhadap tersangka atau terdakwa. Pasal tersebut
selengkapnya menggariskan bahwa:
Pasal 21
(1) Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang
tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana
berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang
menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan
melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau
mengulangi tindak pidana.
(2) Penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan oleh penyidik atau
penuntut umum terhadap tersangka atau terdakwa dengan memberikan
surat perintah penahanan atau penetapan hakim yang mencantumkan
identitas tersangka atau terdakwa dan menyebutkan alasan penahanan
serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan atau
didakwakan serta tempat ia ditahan.
(3) Tembusan surat perintah penahanan atau penahanan lanjutan atau
penetapan hakim sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) harus diberikan
kepada keluarganya.
(4) Penahanan tersebut hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau
terdakwa yang melakukan tindak pidana dan atau percobaan maupun
pemberian bantuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal:
a. Tindak pidana itu diancam dengan pidana penjara lima tahun atau
lebih;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
96
b. Tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 282 ayat (3),
Pasal 296, Pasal 335 ayat (1), Pasal 351 ayat (1), Pasal 353 ayat (1),
Pasal 372, Pasal 378, Pasal 379 a, Pasal 453, Pasal 454, Pasal 455,
Pasal 459, Pasal 480 dan Pasal 506 Kitab Undang-undang Hukum
Pidana, Pasal 25 dan Pasal 26 Rechtenordonnantie (pelanggaran
terhadap ordonansi Bea dan Cukai, terakhir diubah dengan
Staatsblad Tahun 1931 Nomor 471), Pasal 1, Pasal 2 dan Pasal 4
Undang-undang Tindak Pidana Imigrasi (Undang-undang Nomor 8
Drt. Tahun 1955, Lembaran Negara Tahun 1955 Nomor 8), Pasal
36 ayat (7), Pasal 41, Pasal 42, Pasal 43, Pasal 47, dan Pasal 48
Undang-undang Nomor 9 Tahun 1976 tentang Narkotika
(Lembaran Negara Tahun 1976 Nomor 37, Tambähan Lembaran
Negara Nomor 3086).
Berdasarkan ketentuan Pasal 21 KUHAP di atas, dapat ditarik pengertian
bahwa KUHAP telah mengatur secara limitatif 3 (tiga) syarat atau ketentuan untuk
penetapan penahanan terhadap seorang pelaku tindak pidana. Ketentuan tersebut
adalah pertama, ketentuan yang memuat alasan mengapa terhadap seorang
tersangka dilakukan penahanan. (kemudian dikenal sebagai syarat subjektif).
Kedua, ketentuan yang mengatur mengenai persyaratan administratif apa yang
harus dipenuhi oleh penyidik saat melakukan penahanan (syarat formal). Ketiga,
ketentuan yang memuat mengenai klasifikasi tersangka dengan pidana apa dan
ancaman pidana berapa tahun yang dapat ditahan (selanjutnya disebut sebagai
syarat objektif).
Mengacu pada ketentuan Pasal 21 KUHAP di atas, disimpulkan bahwa
syarat subjektif penahanan diatur dalam Pasal 21 ayat (1), syarat formal diatur
dalam Pasal 21 ayat (2) dan (3), sementara syarat objektif penahanan diatur dalam
Pasal 21 ayat (4).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
97
M. Husein Harun menegaskan bahwa dalam melakukan tahapan
penyidikan, haruslah diindahkan perlindungan terhadap hak asasi manusia, sebagai
termaktub di dalam asas-asas KUHAP yang selengkapnya menyatakan bahwa:
a. Perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak
mengadakan pembedaan perlakuan.
b. Penangkapan penahanan, penggeledahan dan penyitaan hanya dilakukan
berdasarkan perintah tertulis oleh pejabat yang diberi wewenang oleh
undang-undang dan hanya dalam hal dan dengan cara yang diatur
dengan undang-undang.
c. Setiap orang yang disangka ditangkap, ditahan, dituntut dan atau
dihadapkan di muka sidang, pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah
sampai adanya putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan
memperoleh kekuatan hukum tetap.
d. Kepada seorang yang ditangkap ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa
alasan yang berdasarkan undang-undang dan karena kekeliruan
mengenai orangnya atau hukum yang ditetapkan wajib diberi ganti
kerugian dan rahabilitasi sejak tingkat penyidikan dan para pejabat
penegak hukum yang dengan sengaja atau karena kelalaiannya
menyebabkan asas hukum tersebut dilanggar, dituntut,dipidana dan atau
dikenakan hukuman administrasi.
e. Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat, sederhana dan biaya
ringan serta bebas, jujur dan tidak memihak harus diterapkan secara
konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.
f. Setiap orang yang tersangkut perkara wajib diberi kesempatan
memperoleh bantuan hukum yang semata-mata diberikan untuk
melaksanakan kepentingan pembelaan dirinya.
g. Kepada seorang tersangka sejak saat dilakukan penangkapan dan atau
penahanan selain wajib diberitahu dakwaan dan dasar hukum apa yang
didakwakan kepadanya, juga wajib diberitahu haknya itu termasuk hak
untuk menghubungi dan minta bantuan penasehat hukum.
h. Pengadilan pemeriksa perkara pidana dengan hadirnya terdakwa.
i. Sidang pemeriksan pengadilan adalah terbuka untuk umum kecuali dalam
hal yang diatur dalam undang-undang.
j. Pengawasan pelaksanaan putusan pengadilan dalam perkara pidana
dilakukan oleh ketua pengadilan negeri yang bersangkutan.106
106Ibid., hlm. 100-101.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
98
BAB III
KEDUDUKAN POLRI DALAM MELAKUKAN PENYELIDIKAN/
PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DALAM
KETENTUAN PERUNDANG-UNDANGAN
A. Kewenangan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi.
Awal dari rangkaian peradilan pidana adalah tindakan penyelidikan dan
penyidikan untuk mencari jawaban atas pertanyaan, apakah benar telah terjadi
peristiwa pidana. Penyelidikan penyidikan terlebih dahulu harus dilakukan dengan cara
mengumpulkan bahan keterangan, keterangan saksi-saksi, dan alat bukti yang
diperlukan yang terukur dan terkait dengan kepentingan hukum atau peraturan hukum
pidana, yaitu tentang hakikat peristiwa pidana. Apabila pengumpulan alat bukti dalam
peristiwa pidana itu telah memenuhi persyaratan-persyaratan tertentu, maka
pemenuhan unsur dalam peristiwa pidana itu telah siap untuk diproses.
Dalam penanganan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia, proses
penyelidikan dan penyidikan dilakukan oleh 3 (tiga) instansi/lembaga yaitu, Kepolisian
Republik Indonesia, Kejaksaan, dan Komisi Pemberantas Korupsi. Ketiga
instansi/lembaga tersebut memiliki kewenangan masing-masing dalam proses
penanganan perkara tindak pidana korupsi di Indonesia. Selain itu ketiga
85
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
99
instansi/lembaga tersebut memegang peran sebagai aparat penegak hukum didalam
upaya penegakan hukum tindak pidana korupsi di Indonesia.107
Penegakan hukum adalah proses dilakukannya upaya untuk tegaknya atau
berfungsinya norma-norma hukum secara nyata sebagai pedoman perilaku dalam lalu
lintas atau hubungan-hubungan hukum dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Ditinjau dari sudut subjeknya, penegakan hukum itu dapat dilakukan oleh subjek yang
luas dan dapat pula diartikan sebagai upaya penegakan hukum oleh subjek dalam arti
yang terbatas atau sempit.
Dalam arti luas, proses penegakan hukum itu melibatkan semua subjek hukum
dalam setiap hubungan hukum. Siapa saja yang menjalankan aturan normatif atau
melakukan sesuatu atau tidak melakukan sesuatu dengan mendasarkan diri pada norma
aturan hukum yang berlaku, berarti dia menjalankan atau menegakkan aturan hukum.
Dalam arti sempit, dari segi subjeknya itu, penegakan hukum itu hanya
diartikan sebagai upaya aparatur penegakan hukum tertentu untuk menjamin dan
memastikan bahwa suatu aturan hukum berjalan sebagaimana seharusnya. Dalam
memastikan tegaknya hukum itu, apabila diperlukan, aparatur penegak hukum itu
diperkenankan untuk menggunakan daya paksa.
Penyelidikan dan Penyidikan merupakan bagian terpenting dalam proses
penegakan hukum, karena berdasarkan hasil penyidikan yang baik akan menghasilkan
107
http://benedictussinggih.blogspot.com/2015/05/kewenangan-penyelidikan-dan-
penyidikan_83.h-diakses 12 Desember 2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
100
surat dakwaan yang tepat sehingga proses persidangan akan berjalan dengan benar
serta menghasilkan putusan yang mampu mendekati kebenaran materiil.
Asas-asas dalam proses penyidikan diperlukan untuk menjadi pedoman
pelaksanaan tugas bagi para penegak hukum dalam melaksanakan tugas penyidikan.
Dengan mengingat bahwa proses penyidikan akan bersentuhan dengan pembatasan
hak-hak asasi manusia (tersangka) maka kedudukan dari asas-asas penyidikan tidak
boleh dikesampingkan.
Beberapa asas penting yang berlaku dalam proses penyidikan ini adalah:
1. Asas Legalitas
Asas ini disebut dalam konsideran KUHAP huruf a, yang berbunyi :
“Bahwa Negara Republik Indonesia adalah Negara hukum yang berdasarkan
Pancasila dan UUD 1945 yang menjunjung tinggi HAM serta yang menjamin segala
warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib
menjunjung tinggi hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”.
Menurut Yahya Harahap ketentuan dalam konsideran tersebut menunjukan
bahwa KUHAP menganut asas legalitas karena meletakkan kepentingan hukum dan
perundang-undangan diatas kepentingan-kepentingan yang lain sehingga menciptakan
bangsa yang takluk di bawah “supermasi hukum”, yang selaras dengan ketentuan
perundang-undangan dan perasaan keadilan bangsa Indonesia.108
Dalam tahap penyidikan, penyidik tidak boleh memberikan perlakuan yang
diskriminatif pada tersangka. Penyidik juga tetap harus memberikan hak-hak yang
108 Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP (Jilid I dan jilid II),
(Jakarta: Pustaka Kartini, 1988), hlm. 34.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
101
diberikan oleh undang-undang terhadap seorang tersangka. Seperti hak untuk
mendapat bantuan hukum, hak mendapat kunjungan rohaniawan, hak untuk mendapat
perawatan kesehatan yang memadai dan sebagainya.
2. Asas Praduga Tak Bersalah
Asas ini disebut dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 jo Undang-
undang Nomor 4 tahun 2004 jo Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman dan dalam Penjelasan Umum butir
3 c KUHAP, yang berbunyi:
“Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan atau dihadapkan di
muka sidang pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sampai adanya putusan
pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan memperoleh kekuatan hukum tetap”.
Asas praduga tak bersalah menjadi salah satu bukti penghargaan Kitab Undang-
Undang Hukum Acara Pidana pada hak asasi manusia. Cara-cara pemeriksaan
tersangka/terdakwa yang semula bersifat inquisitoir menjadi aqusatoir.109
Dalam tahap penyidikan asas ini sangat konkrit pelaksanaannya,. cara-cara
penyidikan yang dilakukan dengan menggunakan kekerasan sudah tidak sesuai lagi,
karena pengakuan terdakwa bukan lagi menjadi alat bukti, sebagaimana pada masa HIR
dimana pengakuan terdakwa merupakan salah satu jenis alat bukti.
3. Asas Cepat, Sederhana, Biaya Ringan
Asas-asas ini memberikan pedoman dan garis batas bagi para penegak hukum
didalam melaksanakan tugasnya pada setiap tahap pemeriksaan. Penjabaran dari asas-
109 Ibid, hlm. 39.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
102
asas ini tercermin dalam ketentuan adanya batas waktu penyelidikan, penyidikan,
penuntutan hingga proses persidangan hingga berkekuatan hukum tetap. Selain itu
ditentukan juga secara tegas batas waktu penahanan tersangka maupun terdakwa.
Asas ini mencerminkan adanya perlindungan hak asasi manusia sekalipun
orang tersebut dalam kedudukan sebagai tersangka/terdakwa. Sehingga walaupun
dalam kondisi dibatasi kemerdekaannya karena ditangkap kemudian ditahan, orang
tersebut tetap memperoleh kepastian bahwa tahapan-tahapan pemeriksaan yang
dilaluinya memiliki batas waktu yang terukur dan dijamin undang-undang.
4. Asas Difernsiasi Fungsional
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan jelas telah mengatur
pembagian tugas dan wewenang antar aparat penegak hukum. Mulai dari tahap
permulaan penyidikan oleh Kepolisian, penuntutan, persidangan hingga eksekusi dan
pengawasan pengamatan eksekusi. Dari tahap pertama hingga tahap akhir tersebut
selalu terjalin hubungan fungsi yang berkelanjutan dan terjadi pula fungsi pengawasan
antar satu lembaga penegak hukum dengan lembaga hukum lainnya.
Menurut Yahya Harahap asas differnsiasi fungsional secara institusional
mempunyai maksud untuk:110
1. Melenyapkan tindakan proses penyidikan yang “saling tumpang tindih”
(overlapping) antara Kepolisian dan kejaksaan, sehingga tidak lagi terulang
proses penyidikan yang bolak-balik antara Kepolisian dan kejaksaan.
2. Menjamin adanya “kepastian Hukum” dalam proses penyidikan. Dengan
differnsiasi ini, setiap orang sudah tahu dengan pasti bahwa instansinya
yang berwenang memeriksanya pada tingkat penyidikan hanyalah
110 Ibid, hlm. 49.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
103
“Kepolisian”. Sehingga seorang tersangka sudah tahu dan dapat
mempersiapakan diri pada setiap tingkat pemeriksaan yang dihadapinya.
3. Ditujukan untuk menyederhanakan dan mempercepat proses penyelesaian
perkara. Jadi berarti, mengefektifkan tugas-tugas penegakan hukum kearah
yang lebih menunjang prinsip peradilan yang cepar, tepat dan biaya ringan.
4. Differnsiasi fungsional akan memudahkan pengawasan pihak atasan secara
struktural. Karena dengan penjernihan dan pembagian tugas dan wewenang
tersebut, monitoring pengawasan sudah dapat ditujukan secara terarah
pada instnasi bawahan yang memikul tugas penyidikan. Hal ini juga akan
sekaligus memudahkan perletakan tanggungjawab yang lebih efektif.
Karena dengan differnsiasi , aparat penyidik tidak lagi dapat melemparkan
tanggungjawab penyidikan kepada instansi lain. Melulu sudah bulat dan
penuh menjadi tanggung jawabnya. Setiap kekeliruan dan kesalahan yang
terjadi sepenuhnya menjadi beban yang harus dipikulnya seorang diri.
Tidak lagi dapat mencampurbaurkan menjadi beban tanggungjawab
instansi lain.
5. Dengan asas ini sudah dapat dipastikan terciptanya keseragaman dan
satunya hasil berita acara pemeriksaan. Yakni hanya berita acara yang
dibuat oleh pihak kePolisian. Tidak akan dijumpai lagi adanya dua macam
hasil berita acara penyidikan yang saling bertentangan antara yang satu
dengan lain dalam berkas perkara.
5. Asas Saling Kordinasi
Asas koordinasi dianut oleh KUHAP berkaitan erat dengan asas differensiasi
fungsional, sehingga dapat dikatakan bahwa sekalipun terjadi pembagian kewenangan
yang tegas diantara masing-masing instansi penegak hukum disatu sisi, disisi lain tetap
ada hubungan koordinasi diantara instansi tersebut dalam rangka jalannya proses
penegakan hukum itu sendiri.
Menurut Yahya Harahap dalam rangka untuk memperkecil terjadinya
penyimpangan dan penyalahgunaan wewenang, KUHAP telah mengatur “sistem
cekking” diantara penegak hukum. Hal ini dilakukan dengan mengingat setiap
kelambatan dan kekeliruan yang terjadi pada salah satu bagian instansi penegak hukum
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
104
akan berimbas kepada instansi berikutnya, yang akan berakibat harus memikul
tanggungjawab di hadapan sidang pra peradilan.111
6. Asas Persamaan di muka hukum
Asas ini merupakan konsekuensi logis dari sikap Negara Indonesia sebagai
Negara yang berdasarkan hukum dan bukan atas kekuasaan belaka. Di dalam
pelaksanaan penegakan hukum semua orang harus diperlakukan sama dan tidak boleh
dibeda-bedakan, baik untuk mendapatkan perlindungan hukum maupun bagi
tersangka/terdakwa yang sedang menjalani proses persidangan.
Ketentuan-ketentuan di dalam KUHAP mendasarkan pada asas ini, sehingga
tidak ada satu pasalpun yang mengarah pada pemberian hak-hak istimewa pada suatu
kelompok dan memberikan ketidak istimewaan pada kelompok lain.
Semangat menjunjung tinggi HAM yang mendasari lahirnya KUHAP semakin
memperkokoh kedudukan asas ini. Sehingga mulai dari ditangkapnya seseorang hingga
akhir menjalani proses penegakan hukum orang tersebut mendapat perlindungan yang
memadai. Setiap tahap pemeriksaan diberikan jangka waktu limitative yang secara
terang tertulis dalam ketentuan KUHAP dan pelanggaran terhadap ketentuan tersebut
dapat dilakukan pra peradilan.
7. Asas akusator dan inkusitor
Dalam proses pemeriksaan terhadap tersangka, penyidik tidak diperkenankan
untuk melakukan tekanan dalam bentuk apapun pada tersangka disamping itu KUHAP
111 Ibid, hlm. 50.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
105
juga tidak menjadikan pengakuan tersangka sebagai salah satu dari jenis alat bukti.
Perlakuan yang digariskan oleh KUHAP yang demikian menunjukkan bahwa KUHAP
menganut asas akusatoir, yaitu menempatkan kedudukan tersangka sebagai subyek
pemeriksaan.
Pada asas inquisitoir, kedudukan tersangka/terdakwa merupakan obyek
pemeriksaan sehingga pengakuan tersangka/terdakwa menjadi hal yang sangat penting
untuk diperoleh penegak hukum. Kedudukan tersangka sangat lemah dan tidak
menguntungkan karena tersangka masih dianggap sebagai barang atau objek yang
harus diperiksa.
Para petugas pemeriksa akan mendorong atau memaksa tersangka untuk
mengakui kesalahanya dengan cara pemaksaan bahkan seringkali dengan
penganiayaan. Pada asas inquisitoir, pemeriksaan bersifat rahasia atau tertutup, ini
berarti bahwa pemeriksaan pidana khusus pada pemeriksaan pendahuluan masih
bersifat rahasia sehingga keluarga dan penasihat hukumnya belum boleh mengetahui
atau mendampingi si tersangka. Tersangkapun tidak memiliki hak untuk menemui
penasihat hukumnya.
Pada asas akusatoir, perlakuan yang manusiawi terhadap tersangka/terdakwa
bukan berarti menghilangkan ketegasan yang menyebabkan tersangka/terdakwa tidak
menghormati proses penegakan hukum. Dengan menggunakan ilmu bantu penyidikan
seperti psikologi, kriminalistik, psikiatri dan kriminologi maka penyidik tetap akan
dapat memperoleh hasil penyidikan yang memadai.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
106
Dalam rangka pemberantasan korupsi di Indonesia terdapat 3 (tiga) lembaga
dan/atau instansi yaitu Kepolisian Republik Indonesia, Kejaksaan dan Komisi
Pemberantasan Korupsi. Ketiga lembaga tersebut sebagai perwujudan keseriusa
pemerintah dalam pemberantasan tindak pidana korupsi.
Tindak pidana korupsi dapat dianggap dan dilihat sebagai suatau bentuk
kejahatan administrasi yang dapat menghambat usaha-usaha pembangunan guna
mewujudkan kesejahteraan rakyat. Disamping itu, tindak pidana korupsi juga dapat
dilihat sebagai tindakan penyelewengan terhadap kaidah-kaidah hukum dan norma-
norma sosial lainnya. 112
Dalam perspektif hukum pidana, tindak pidana korupsi tergolong sebagai
bentuk kejahatan yang sangat berbahaya, baik terhadap masyarakat, maupun terhadap
bangsa dan Negara. Kerugian keuangan Negara dan perekonomian Negara adalah
akibat nyata yang menjadi dasar pembenaran dilakukannya kriminalisasi terhadap
berbagai bentuk perilaku koruptif dalam kebijakan perundang-undangan pidana. Akan
tetapi, hilangnya kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah suatu Negara justru
merupakan akibat yang jauh lebih besar dan lebih berbahaya daripada hanya sekadar
kerugian dari sudut keuangan dan ekonomi semata.113
112 Elwi Danil, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya), (Jakarta: Raja
Grafindo, 2014), hlm. 70. 113 Ibid,
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
107
B. Kepolisian Republik Indonesia
Sejak tanggal 1 April 1999, secara struktural Polisi sudah terlepas dari bagian
ABRI, maka paradigma Kepolisian memakai paradigma model pendekatan sipil,
sehingga tugas dan wewenang Kepolisian sebagaimana diatur dalam Pasal 13 sampai
Pasal 19 Undang-Undang No 2 Tahun 2002.
Menurut Satjipto Raharjo Polisi merupakan alat negara yang bertugas
memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat, memberikan pengayoman, dan
memberikan perlindungan kepada masyarakat. Selanjutnya Satjipto Raharjo yang
mengutip pendapat Bitner menyebutkan bahwa apabila hukum bertujuan untuk
menciptakan ketertiban dalam masyarakat, diantaranya melawan kejahatan. Akhirnya
Polisi yang akan menentukan secara konkrit apa yang disebut sebagai penegakan
ketertiban.114
Kemandirian Polri diawali sejak terpisahnya dari ABRI tanggal 1 April 1999
sebagai bagian dari proses reformasi haruslah dipandang dan disikapi secara arif
sebagai tahapan untuk mewujudkan Polri sebagai abdi negara yang profesional dan
dekat dengan masyarakat, menuju perubahan tata kehidupan nasional kearah
masyarakat madani yang demokratis, aman, tertib, adil dan sejahtera.
Upaya melaksanakan kemandirian Polri dengan mengadakan perubahan-
perubahan melalui tiga aspek yaitu:115
114 Satjipto Rahardjo, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2002), hlm. xxv. 115 http://benedictussinggih.blogspot. com/2015/05/kewenangan-penyelidikan-dan-
penyidikan_83.h-diakses 12 Desember 2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
108
a. Aspek Struktural: Mencakup perubahan kelembagaan Kepolisian dalam
Ketatanegaraan, organisasi, susunan dan kedudukan.
b. Aspek Instrumental: Mencakup filosofi (Visi, Misi dan tujuan), Doktrin,
kewenangan, kompetensi, kemampuan fungsi dan Iptek.
c. Aspek Kultural: Adalah muara dari perubahan aspek struktural dan instrumental,
karena semua harus terwujud dalam bentuk kualitas pelayanan Polri kepada
masyarakat, perubahan meliputi perubahan manajerial, sistem rekrutmen, sistem
pendidikan, sistem material fasilitas dan jasa, sistem anggaran, sistem operasional.
Masyarakat Indonesia semakin hari semakin mendambakan tegaknya hukum
yang berwibawa, memenuhi rasa keadilan dan ketentraman. Tanpa perasaan tentram
dan adil maka hasil-hasil pembangunan negara yang menyangkut berbagai
permasalahan akan menghadapi hambatan untuk mencapai kemajuan yang maksimal,
kehidupan lahiriah dan kekayaan yang melimpah sekalipun tidak akan mampu
memberikan kebahagiaan yang utuh dan tanpa perasaan tentram dan adil maka
semangat pembangunan negara juga akan terhambat. Oleh karena itu, untuk
menegakkan hukum dan menjaga ketentraman masyarakat diperlukan suatu lembaga,
yaitu lembaga Kepolisian.116
Charles Reith memberikan pengertian Polisi sebagai tiap-tiap usaha untuk
memperbaiki atau menertibkan susunan kehidupan masyarakat. Pengertian tersebut
116 Sitompul dan Edward Syahperenong, Hukum Kepolisian Di Indonesia (Suatu bunga
Rampai), (Bandung: Tarsito, 1985), hlm. 24.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
109
berpangkal dari pemikiran bahwa manusia adalah mahluk sosial yang hidup
berkelompok dengan aturan yang disepakati bersama.117
Menurut Warsito Hadi Utomo, bahwa istilah Polisi mengandung 4 (empat)
pengertian yaitu:118
1. Sebagai tugas;
2. Sebagai organ;
3. Sebagai pejabat petugasnya;
4. Sebagai Ilmu Pengetahuan Kepolisian
Polisi sebagai tugas diartikan sebagai tugas pemeliharaan keamanan dan
ketertiban masyarakat. Sebagai organ berarti badan atau wadah yang bertugas dalam
pemeliharaan keamanan dan ketertiban. Sebagai petugas dalam arti orang yang
dibebani tugas pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat itu, sedangkan
sebagai ilmu pengetahuan Kepolisian dalam arti ilmu yang mempelajari segala hal
ikhwal Kepolisian.
Pada dasarnya ruang lingkup tugas dan fungsi Kepolisian selain diatur dalam
Undang-Undang No. 8 Tahun 1981 tetang Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana juga diatur dalam dalam undang-undang No.2 Tahun 2002 tentang Kepolisian
Negara Republik Indonesia. Dalam rangka pemberantasan tindak pidana korupsi salah
satu poin dalam instruksi Presiden No.5 Tahun 2004 tentang Percepatan
117 Warsito Hadi Utomo, Hukum Kepolisian di Indonesia, (Jakarta: Prestasi Pustaka
Publisher, 2005), hlm. 5-6. 118 Ibid, hlm. 8-9
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
110
Pemberantasan Korupsi menginstruksikan (Kepala) Kepolisian Negara Republik
Indonesia untuk:119
a. Mengoptimalkan upaya-upaya penyidikan terhadap tindak pidana korupsi untuk
menghukum pelaku dan menyelematkan uang negara;
b. Mencegah dan memberikan sanksi tegas terhadap penyalahgunaan wewenang,
dilakukan oleh anggota Kepolisian Republik Indonesia dalam rangka penegakan
hukum;
c. Meningkatkan kerja sama dengan Kejaksaan Republik Indonesia, Badan Pengawas
Keuangan dan Pembangunan, Pusat Pelaporan dan Analisis Trasaksi Keuangan,
dan Institusi Negara yang terkait dengan upaya penegakan hukum dan
pengembalian kerugian Negara akibat tindak pidana korupsi.
Berdasarkan Pasal 2 Undang-undang Nomor 13 tahun 1961 tugas pokok
Kepolisian Negara dapat dirinci sebagai berikut:
a. Memelihara ketertiban dan menjamin keamanan umum;
b. Dalam bidang hukum sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum acara pidana dan
peraturan negara lainnya;
c. Mengawasi aliran-aliran kepercayaan yang dapat membahayakan masyarakat dan
negara;
d. Melaksanakan tugas-tugas khusus lain yang diberikan kepadanya oleh suatu
peraturan negara.
119 Mahrus Ali, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, (Yogyakarta: UII Press,
2013), hlm. 217.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
111
Tugas Kepolisian yang langsung berhubungan dengan masalah penyidikan diatur
dalam ketentuan Pasal 13 UU No 13 Tahun 1961, yaitu terdiri dari:
1. Menerima Pengaduan
2. Memeriksa tanda pengenal
3. Mengambil sidik jari dan memotret seseorang
4. Menangkap orang
5. Menggeledah badan
6. Menahan orang sementara
7. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa
8. Mendatangkan ahli
9. Menggeledah halaman, rumah, gudang, alat pengangkutan darat, laut dan udara
10. Membeslah barang untuk dijadikan bukti dan
11. Mengambil tindakan-tindakan lain.
Kewenangan yang dimiliki Kepolisian dalam menjalankan tugas penyidikan
disamping ketentuan pasal tersebut diatas juga berdasar pada ketentuan hukum acara
pidana yang berlaku pada saat itu yaitu HIR atau RBG. Pada ketentuan tersebut status
Kepolisian dalam kewenangan penyidikan adalah sebagai pembantu jaksa.
Kedudukan ini berlangsung hingga 36 tahun, selanjutnya pada tahun 1997 lahir
undang-undang baru yang mengatur tentang Kepolisian yaitu Undang-undang Nomor
28 Tahun 1997, walaupun pada saat itu lembaga Polri masih berada dalam satu wadah
ABRI namun kedudukannya secara lebih nyata tergambar dengan jelas dalam undang-
undang baru ini.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
112
Legitimasi kemandirian lembaga Kepolisian yang terlepas dari bagian
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia lahir pada tahun 2002 sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Republik
Indonesia.Undang-undang ini memiliki tujuan untuk menghilangkan watak militerisme
Polisi yang selama ini telah melekat dan dominan.
Dalam melaksanakan fungsi penegakan hukum pada umumnya dan proses
pidana pada khususnya maka kepolisian berdasarkan Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2002 tersebut mempunyai wewenang yang terdiri atas:
1. Melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan.
2. Melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki TKP untuk kepentingan
penyidikan.
3. Membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka penyidikan;
4. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa tanda
pengenal diri;
5. Melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
6. Memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
7. Mendatangkan ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan
perkara;
8. Mengadakan penghentian penyidikan;
9. Menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
113
10. Mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang berwenang
di tempat pemeriksaan Imigrasi dalam keadaan mendesak atau mendadak untuk
mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan tindak pidana;
11. Memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik PNS serta menerima
hasil penyidikan penyidik PNS untuk diserahkan kepada penuntut umum;
12. Mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab.
Tahap penyidikan merupakan bagian yang sangat penting dalam proses
penegakan hukum pidana, karena kesalahan dalam penyidikan berakibat salahnya
semua proses. Hasil penyidikan menjadi dasar bagi pembuatan surat dakwaan, tuntutan
hingga akhirnya akan diputuskan oleh hakim bahwa seseorang memang terbukti
bersalah dan harus menerima sanksi pidana atau bahkan sebaliknya memperoleh
kebebasannya.
Dalam kerangka pemberantasan tindak pidana korupsi, Lembaga Kepolisian
memiliki tanggungjawab yang sama. Ketentuan Undang-undang Nomor 31 Tahun
1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, mengatur perihal penyidikan
dalam Ketentuan Bab IV Tentang Penyidikan, Penuntutan dan Pemeriksaan di sidang
Pengadilan. Pada ketentuan Pasal 26 undang-undang ini diatur hal sebagai berikut :
“ Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tindak
pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang berlaku kecuali
ditentukan lain dalam undang-undang ini”.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
114
Pasal 284 ayat (2) KUHAP sebagai ketentuan peralihan dalam Kitab Undang-
undang Hukum Acara Pidana menentukan :
“ (2). Dalam waktu dua tahun setelah undang-undang ini diundangkan maka terhadap
semua perkara diberlakukan ketentuan undang-undang ini, dengan pengecualian
untuk sementara mengenai ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada
undang-undang tertentu, sampai ada perubahan dan atau dinyatakan tidak berlaku “.
Selanjutnya ketentuan Pasal 17 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983
Tentang Pelaksanaan KUHAP menentukan :
“Penyidikan menurut ketentuan khusus acara pidana sebagaimana tersebut pada
undang-undang tertentu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHAP
dilaksanakan oleh Penyidik, Jaksa dan pejabat penyidik yang berwenang lainnya
berdasarkan peraturan perundang-undangan”.
Pada ketentuan Pasal 18 ayat (3) Undang-undang Nomor 28 Tahun 1999
Tentang Penyelenggaraan Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme yang menyatakan :
“Apabila dalam hasil petunjuk adanya Korupsi, Kolusi dan Nepotisme, maka hasil
pemeriksaan tersebut disampaikan kepada instansi yang berwenang sesuai dengan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku untuk menindaklanjuti”.
Pada bagian penjelasan pasal tersebut dinyatakan :
“. . . yang dimaksud dengan instansi yang berwenang adalah Badan Pemeriksa
Keuangan dan Pembangunan, Kejaksaan Agung dan Kepolisian”.
Selain kewenangan sebagaimana diatur dalam KUHAP diatas Kepolisian juga
mempunyai tugas dan wewenang sebagaimana diatur dalam beberapa ketentuan
perundangan lain yang tersebar, salah satunya adalah sebagaimana yang diatur dalam
UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
115
Kewenangan melakukan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi tetap
dimiliki oleh penyidik Kepolisian sekalipun dua lembaga penyidik lain yaitu penyidik
Kejaksaan dan penyidik KPK juga mempunyai kewenangan yang sama. Dalam
ketentuan Pasal 11 Undang-undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi disebutkan sebagai berikut :
“ Dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi
Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan
penuntutan tindak pidana korupsi yang :
a. Melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara Negara, dan orang lain yang
ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak
hukum atau penyelenggara negara.
b. Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau
c. Menyangkut kerugian Negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,00 (Satu milyar
rupiah)”.
Dari ketentuan Pasal 11 tersebut dapat dilihat bahwa kewenangan melakukan
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi yang bisa dilakukan oleh lembaga penyidik
Kepolisian adalah tindak pidana korupsi yang kerugian negaranya dibawah satu milyar
rupiah, tidak mendapat perhatian dari masyarakat/meresahkan masyarakat serta tindak
pidana korupsi tersebut tidak dilakukan oleh aparat penegak hukum dan penyelanggara
Negara.
Dalam ketentuan UU Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara RI Pasal
14 ayat (1) huruf g, kembali ditegaskan tentang kewenangan penyidikan dapat
dilakukan oleh penyidik Kepolisian yaitu bahwa Kepolisian RI bertugas melakukan
penyelidikan dan penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara
pidana dan peraturan perundang-undangan lainnya. Dalam penjelasan Atas UU Nomor
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
116
2 Tahun 2002 tentang Kepolisian RI Pasal 14 ayat (1) huruf g disebutkan sebagai
berikut :
“ Ketentuan undang-undang Hukum Acara Pidana memberikan peranan utama
kepada Kepolisian Negara Republik Indonesia dalam penyelidikan dan penyidikan
sehingga secara umum diberi kewenangan untuk melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap semua tindak pidana. Namun demikian, hal tersebut tetap
memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh penyidik lainnya
sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukumnya masing-
masing”.
Ketentuan tentang kewenangan melakukan penyidikan yang dimiliki oleh
penyidik Polri tersebut memberikan ketegasan bahwa sesuai Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2002 kedudukan penyidik Polri dalam hal tugas penyidikan merupakan
pemegang peran utama melakukan penyidik dan terhadap semua tindak pidana, namun
demikian undang-undang tersebut tetap memberikan pembatasan bahwa hal tersebut
tetap harus memperhatikan dan tidak mengurangi kewenangan yang dimiliki oleh
penyidik lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada.
C. Kewenangan Polri Melakukan Penyelidikan dan Penyidikan dan Prosedur
Penyelidikan dan Penyidikan oleh Polri
Mengenai pihak yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan,
antara lain termaktub di dalam Pasal 1 angka 1 KUHAP, yang merumuskan bahwa
“Penyidik adalah pejabat Polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai
negeri sipil tertentu yang diberi wewenang khusus oleh Undang-Undang untuk
melakukan penyidikan”.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
117
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 1 KUHAP di atas, terlihat jelas bahwa
terdapat 2 (dua) institusi penyidik, di dalam sistem peradilan pidana Indonesia yakni
penyidik Kepolisian Negara Republik Indonesia (Penyidik POLRI), dan penyidik
pegawai negeri sipil (PPNS).
Adapun wewenang penyidik, diatur di dalam Pasal 7 KUHAP, yang
selengkapnya menyatakan bahwa:
(1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena
kewajibannya mempunyai wewenang :
a. menerima Iaporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya
tindak pidana;
b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian;
c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda
pengenal diri tersangka;
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan
penyitaan;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
f. mengambil sidik jari dan memotret seorang;
g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka
atau saksi;
h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya
dengan pemeriksaan perkara;
i. mengadakan penghentian penyidikan;
j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung
jawab.
(2) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b
mempunyai wewenang sesuai dengan undang-undang yang menjadi
dasar hukumnya masing-masing dan dalam pelaksanaan tugasnya
berada di bawah koordinasi dan pengawasan penyidik tersebut dalam
Pasal 6 ayat (1) huruf a.
(3) Dalam melakukan tugasnya sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan
ayat (2), penyidik wajib menjunjung tinggi hukum yang berlaku.
Di samping tugas dan wewenang yang diatur di dalam KUHAP
sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, wewenang anggota Polri sebagai
penyidik, juga diatur lebih lanjut di dalam Undang-Undang Kepolisian.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
118
Berdasarkan Pasal 13 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang
Kepolisian Negara RI, tugas pokok Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah:
b. Memelihara keamanan dan ketertiban masyarakat.
c. Menegakkan hukum.
d. Memberikan perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dalam pasal 14 huruf g, menetapkan bahwa: “Kepolisian Negara Republik
Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap semua
tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan peraturan undang-undang
yang lainnya.”
Jadi jika dikaitkan dengan tindak pidana korupsi, Polri memilki peran dan
andil besar dalam mencegah merebaknya tipikor ini. Apalagi Polri adalah elemen
penting yang dapat menjembatani antara masyarakat dengan pemerintah.
Kewenangan dimaksud, diatur di dalam Pasal 16 ayat (1) Undang-Undang
Kepolisian yang meliputi:
a. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan;
b. melarang setiap orang meninggalkan atau memasuki tempat kejadian perkara
untuk kepentingan penyidikan;
c. membawa dan menghadapkan orang kepada penyidik dalam rangka
penyidikan;
d. menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menanyakan serta memeriksa
tanda pengenal diri;
e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
119
f. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi;
g. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan
pemeriksaan perkara;
h. mengadakan penghentian penyidikan;
i. menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
j. mengajukan permintaan secara langsung kepada pejabat imigrasi yang
berwenang di tempat pemeriksaan imigrasi dalam keadaan mendesak atau
mendadak untuk mencegah atau menangkal orang yang disangka melakukan
tindak pidana;
k. memberi petunjuk dan bantuan penyidikan kepada penyidik pegawai negeri
sipil serta menerima hasil penyidikan penyidik pegawai negeri sipil untuk
diserahkan kepada penuntut umum; dan
l. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggungjawab.
Adapun yang dimaksud dengan tindakan lain, dijelaskan di dalam Pasal 16
ayat (2) bahwa tindakan lain sebagaimana dimaksud dalam Pasal 16 ayat (1) huruf
l adalah tindakan penyelidikan dan penyidikan yang dilaksanakan jika memenuhi
syarat sebagai berikut:
a. tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum;
b. selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan tindakan tersebut
dilakukan;
c. harus patut, masuk akal, dan termasuk dalam lingkungan jabatannya;
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
120
d. pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan yang memaksa; dan
e. menghormati hak asasi manusia.
Berdasarkan uraian di atas, disimpulkan bahwa dalam melaksanakan fungsi
penyelidikan dan penyidikan, Undang-Undang memberi hak istimewa atau hal
privilese kepada penyidik Kepolisian untuk memanggil, memeriksa, menangkap,
menahan, menggeledah dan menyita terhadap tersangka dan barang yang
dianggap berkaitan dengan tindak pidana.
Tentang privelese tersebut, M. Yahya Harahap memberi batasan tentang
penggunaan privelese tersebut, sebagai berikut:
Dalam melaksanakan hak dan kewenangan privelese tersebut, Kepolisian
harus taat dan tunduk kepada prinsip: The right of due process. Setiap
tersangka berhak diselidiki dan disidik di atas landasan sesuai dengan
hukum acara. Tidak boleh undue process. Hal ini perlu dipahami oleh pihak
Kepolisian dan seluruh masyarakat, karena masih banyaknya keluhan
anggota masyarakat tentang adanya berbagai tata cara penyelidikan dan
penyidikan yang menyimpang dari ketentuan hukum acara atau diskresi yang
dilakukan penyidik, sangat bertentangan dengan HAM yang harus ditegakkan
dalam tahap pemeriksaan penyelidikan atau penyidikan.120
Tahapan selanjutnya dalam proses penanganan perkara pidana oleh Polri
adalah pelimpahan perkara pidana kepada Penuntut Umum, sebagaimana diatur di
dalam Pasal 8 KUHAP, yang menyatakan bahwa:
Pasal 8
(1) Penyidik membuat berita acara tentang pelaksanaan tindakan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 75 dengan tidak mengurangi
ketentuan lain dalam undang-undang ini;
(2) Penyidik menyerahkan berkas perkara kepada penuntut umum;
(3) Penyerahan berkas perkara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)
dilakukan:
120Ibid., hlm. 95.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
121
a. pada tahap pertama penyidik hanya menyerahkan berkas perkara;
b. dalam hal penyidikan sudah dianggap selesai, penyidik
menyerahkan tanggung jawab atas tersangka dan barang bukti
kepada penuntut umum.
Terkait dengan pelimpahan perkara kepada Penuntun Umum, berkaitan erat
dengan wewenang Penuntut Umum, sebagaimana diatur di dalam Pasal 14
KUHAP, yang selengkapnya menggariskan bahwa:
Pasal 14
Penuntut umum mempunyai wewenang:
a. menerima dan memeriksa berkas perkara penyidikan dari penyidik
atau penyidik pembantu;
b. mengadakan pra penuntutan apabila ada kekurangan pada penyidikan
dengan memperhatikan ketentuan Pasal 110 ayat (3) dan ayat (4),
dengan memberi petunjuk dalam rangka penyem-purnaan penyidikan
dari penyidik;
c. memberikan perpanjangan penahanan, melakukan penahanan atau
penahanan lanjutan dan atau mengubah status tahanan setelah
perkaranya dilimpahkan oleh penyidik;
d. membuat surat dakwaan;
e. melimpahkan perkara ke pengadilan;
f. menyampaikan pemberitahuan kepada terdakwa tentang ketentuan
hari dan waktu perkara disidangkan yang disertai surat panggilan, baik
kepada terdakwa maupun kepada saksi, untuk datang pada sidang yang
telah ditentukan;
g. melakukan penuntutan;
h. menutup perkara demi kepentingan hukum.
Mengenai tatacara penerimaan, penelitian dan penyerahan kembali berkas
perkara kepada penyidik, digariskan di dalam Pasal 138 KUHAP, yang
selengkapnya menggariskan bahwa
Pasal 138
(1) Penuntut umum setelah menerima hasil penyidikan dan penyidik segera
mempelajari dan menelitinya dan dalam waktu tujuh hari wajib
memberitahukan kepada penyidik apakah hasil penyidikan itu sudah
lengkap atau belum.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
122
(2) Dalam hal hasil penyidikan ternyata belum lengkap, penuntut umum
mengembalikan berkas perkara kepada penyidik disertai petunjuk
tentang hal yang harus dilakukan untuk dilengkapi dan dalam waktu
empat belas hari sejak tanggal penerimaan berkas, penyidik harus
sudah menyampaikan kembali berkas perkara itu kepada penuntut
umum.
Selanjutnya, di dalam Pasal 139 KUHAP pada intinya digariskan bahwa
setelah penuntut umum menerima atau menerima kembali hasil penyidikan yang
lengkap dari penyidik, ia segera menentukan apakah berkas perkara itu sudah
memenuhi persyaratan untuk dapat atau tidak dilimpahkan ke pengadilan.
Pelaksanaan wewenang Polri melakukan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana, diatur lebih lanjut di dalam Peraturan Kepala Kepolisian Negara
Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak
Pidana (Perkap Nomor 14 Tahun 2012).
Perkap dimaksud lahir berdasarkan pertimbangan antara lain bahwa dalam
melaksanakan tugas penegakan hukum, penyidik Kepolisian Negara Republik
Indonesia mempunyai tugas, fungsi, dan wewenang di bidang penyidikan tindak
pidana, yang dilaksanakan secara profesional, transparan, dan akuntabel terhadap
setiap perkara pidana guna terwujudnya supremasi hukum yang mencerminkan
rasa keadilan.
Terdapat beberapa istilah yang perlu diketahui dalam Perkap Nomor 14
Tahun 2012, yakni Laporan, Pengaduan, Laporan Polisi, dan Surat Perintah
Dimulainya Penyidikan (SPDP). Menurut ketentuan Pasal 1 angka 14, yang
dimaksud dengan Laporan adalah pemberitahuan yang disampaikan oleh
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
123
seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan undang-undang kepada pejabat
yang berwenang tentang telah atau sedang atau diduga akan terjadinya peristiwa
pidana.
Sementara pengaduan sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 angka 15,
adalah pemberitahuan disertai permintaan oleh pihak yang berkepentingan kepada
pejabat yang berwenang untuk menindak menurut hukum yang berlaku terhadap
seseorang yang telah melakukan tindak pidana yang merugikannya.
Mengenai pengertian Laporan Polisi diuraikan dalam Pasal 1 angka 16,
dimana dijelaskan bahwa Laporan Polisi adalah laporan tertulis yang dibuat oleh
petugas Polri tentang adanya suatu peristiwa yang diduga terdapat pidananya baik
yang ditemukan sendiri maupun melalui pemberitahuan yang disampaikan oleh
seseorang karena hak atau kewajiban berdasarkan peraturan perundang-undangan.
Kemudian, yang dimaksud dengan Surat Pemberitahuan Dimulainya
Penyidikan (SPDP) diatur di dalam Pasal 1 angka 17, bahwa SPDP adalah surat
pemberitahuan kepada Kepala Kejaksaan tentang dimulainya penyidikan yang
dilakukan oleh penyidik Polri.
Selanjutnya, di dalam Pasal 4 Perkap Nomor 14 Tahun 2012, pada
pokoknya digariskan mengenai dasar dilakukannya penyidikan, sebagai berikut:
a. Laporan Polisi/pengaduan;
b. Surat perintah tugas;
c. Laporan hasil penyelidikan (LHP);
d. Surat perintah penyidikan; dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
124
e. Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (SPDP).
Perkap Nomor 14 Tahun 2012, mengatur mengenai kegiatan penyelidikan
di dalam Pasal 11, yang selengkapnya menggariskan bahwa:
(1) Kegiatan penyelidikan dilakukan:
a. sebelum ada Laporan Polisi/Pengaduan; dan
b. sesudah ada Laporan Polisi/Pengaduan atau dalam rangka
penyidikan.
(2) Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
dilakukan untuk mencari dan menemukan Tindak Pidana.
(3) Kegiatan penyelidikan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b,
merupakan bagian atau salah satu cara dalam melakukan penyidikan
untuk:
a. menentukan suatu peristiwa yang terjadi merupakan tindak pidana
atau bukan;
b. membuat terang suatu perkara sampai dengan menentukan
pelakunya; dan
c. dijadikan sebagai dasar melakukan upaya paksa.
Selanjutnya di dalam Pasal 15 Perkap Nomor 14 Tahun 2012 diatur pula
tahapan kegiatan penyidikan, sebagai berikut:
Kegiatan penyidikan dilaksanakan secara bertahap meliputi:
a. penyelidikan;
b. pengiriman SPDP;
c. upaya paksa;
d. pemeriksaan;
e. gelar perkara;
f. penyelesaian berkas perkara;
g. penyerahan berkas perkara ke penuntut umum;
h. penyerahan tersangka dan barang bukti; dan
i. penghentian Penyidikan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
125
D. Kewenangan Melakukan Penyelidikan Dan Penyidikan dan Prosedur Hukum
Acara Pidana Dalam Penyelesaian Perkara Tindak Pidana Korupsi
Kewenangan melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak
pidana korupsi, diatur dalam Pasal 26 Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, yang selengkapnya menggariskan bahwa:
Penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap
tindak pidana korupsi, dilakukan berdasarkan hukum acara pidana yang
berlaku, kecuali ditentukan lain dalam Undang-undang ini.
Merujuk pada ketentuan pasal tersebut di atas, maka pengaturan mengenai
pihak yang wewenang melakukan penyelidikan dan penyidikan, serta prosedur
hukum acara penyelesaian perkara pidana korupsi, tunduk kepada hukum acara
pidana, baik yang diatur di dalam KUHAP, maupun di dalam Undang-undang
lainnya.
Menurut ketentuan Pasal 4 jo Pasal 6 KUHAP, Penyelidik adalah setiap
pejabat Polisi Negara Republik Indonesia, sementara Penyidik adalah pejabat
Polisi negara Republik Indonesia, dan/atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu
yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang.
Kemudian dari pada itu, kewenangan Polri melakukan penyelidikan dan
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, juga diatur di dalam Pasal 14 ayat (1)
huruf g Undang-Undang Kepolisian, yang selengkapnya menyatakan bahwa
“Dalam melaksanakan tugas pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13,
Kepolisian Negara Republik Indonesia bertugas melakukan penyelidikan dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
126
penyidikan terhadap semua tindak pidana sesuai dengan hukum acara pidana dan
peraturan perundang-undangan lainnya”.
Berdasarkan ketentuan KUHAP dan Undang-Undang Kepolisian,
disimpulkan bahwa perundang-undangan Indonesia telah mengatur secara jelas dan
tegas tentang kewenangan Polri dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap seluruh bentuk tindak pidana, termasuk tindak pidana korupsi.
Dari uraian di atas, disimpulkan bahwa dalam perspektif perundang-
undangan Indonesia, Polri berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan
terhadap tindak pidana korupsi. Kewenangan tersebut diatur di dalam Undang-
Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, dimana pada pokoknya
ditegaskan bahwa pihak yang berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan,
serta prosedur hukum acara penyelesaian perkara pidana korupsi, tunduk kepada
hukum acara pidana yang berlaku, baik yang diatur di dalam KUHAP, maupun di
dalam Undang-undang lainnya. Dengan ketentuan tersebut, maka Polri dalam
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, tunduk
dan patuh pada prosedur penyelidikan dan penyidikan tindak pidana, sebagaimana
diatur di dalam KUHAP, Undang-Undang Kepolisian, dan Perkap Nomor 14
Tahun 2012.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
127
BAB IV
KINERJA KEPOLISIAN RESOR DELI SERDANG DALAM
PENYELIDIKAN DAN PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI
A. Kinerja Penyelidikan Dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Proses penanganan perkara pidana korupsi oleh Unit III/Tipikor Sat
Reskrim Polres Deli Serdang, diawali dengan adanya pengaduan masyarakat atau
kelompok masyarakat, tentang dugaan tindak pidana korupsi oleh penyelenggara
negara di wilayah hukum Kabupaten Deli Serdang.
Untuk dapat mengetahui dan menganalisis kinerja Polres Deli Serdang
dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, perlu ditinjau terlebih
dahulu, jumlah pengaduan masyarakat tentang dugaan tindak pidana korupsi yang
diterima oleh Polres Deli Serdang.
Untuk keperluan penelitian ini, data jumlah pengaduan masyarakat yang
dianalisis, adalah data Pengaduan masyarakat yang diterima dan ditindaklanjuti
melalui proses penyelidikan dan penyidikan oleh Polres Deli Serdang, dari tahun
2015 sampai dengan tahun 2018.
Berdasarkan laporan pengaduan masyarakat (disingkat Pengaduan
masyarakat) tentang dugaan terjadinya tindak pidana korupsi di wilayah hukum
Polres Deli Serdang, sebagaimana terlihat dalam Tabel 1, dapat dikompilasikan
114
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
128
data mengenai jumlah pengaduan masyarakat dan jumlah penyelidikan serta
penyidikan yang telah dilakukan oleh Polres Deli Serdang pada tahun 2015 sampai
2018 dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.
Tabel 1
Kompilasi Data Jumlah Pengaduan Masyarakat Dan Jumlah Penyelidikan
Dan Penyidikan Yang Dilakukan Oleh Polres Deli Serdang
Pada Tahun 2015 Sampai 2018
No Tahun Pengaduan
Masyarakat Penyelidikan Penyidikan
1. 2015 12 12 1
2. 2016 24 24 -
3. 2017 33 33 -
4. 2018 8 8 -
Total 77 77 1
Sumber : Polres Deli Serdang, 2018.
Merujuk pada kompilasi data sebagaimana terlihat pada Tabel 1 di atas,
terlihat bahwa selama tahun 2015 sampai 2018, terdapat 77 laporan pengaduan
masyarakat tentang dugaan terjadinya tindak pidana korupsi di wilayah hukum
Polres Deli Serdang. Dibanding tahun 2015, jumlah laporan pengaduan pada tahun
2016, mengalami peningkatan yang cukup signifikan yakni sebesar 100 %.
Kemudian dari 77 laporan pengaduan masyarakat ke Polres Deli Serdang
tersebut, setelah diteliti maka dapat dirinci sebagaimana tercatat pada Tabel 2
dibawah ini:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
129
Tabel 2
Kompilasi Rincian Jenis Pengaduan Masyarakat ke
Polres Deli Serdang pada Tahun 2015 Sampai 2018
No Tahun Pengaduan
Masyarakat
Dugaan
Korupsi
Pungutan
Liar
Lainnya
1 2015 12 10 1 1
2 2016 24 22 - 2
3 2017 33 22 - 11
4 2018 8 8 - -
Jumlah 77 62 1 14
Sumber : Polres Deli Serdang, 2018.
Setelah dilakukan proses pengumpulan dokumen dan penyelidikan, hanya
ada 1 perkara diantara 12 laporan pengaduan pada tahun 2015, yang dapat
ditingkatkan menjadi penyidikan. Sementara pada tahun 2016, tidak ada satupun
perkara pidana korupsi yang dapat ditingkatkan kepada tahap penyidikan.
Untuk tahun 2017 terdapat 33 pengaduan masyarakat, dibandingkan
dengan tahun 2016 sebanyak 24 pengaduan masyarakat, maka terdapat kenaikan 9
pengaduan masyarakat atau 37,5%. Dari 33 pengaduan masyarakat tersebut tidak
ada yang dapat ditingkatkan ke penyidikan. Dari 33 pengaduan masyarakat tersebut
terdapat 3 perkara kerugian sudah dikembalikan ke kas Negara.
Dengan demikian, selama empat tahun yakni sejak 2015 sampai dengan
2018, diantara 77 pengaduan masyarakat hanya ada 1 perkara pidana korupsi yang
dapat diteruskan ke tahap penyidikan. Berarti, hanya 1,30% dari jumlah laporan
pengaduan masyarakat yang dapat ditindaklanjuti pada ranah pidana. Dengan kata
lain, diantara 77 Laporan Pengaduan Masyarakat, hanya ada satu yang memenuhi
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
130
unsur-unsur tindak pidana korupsi, dan ditemukan tersangkanya, sehingga dapat
ditingkatkan kepada tahap penyidikan (sesuai data pada Tabel 1 terlampir).
Artinya, terhadap 76 Pengaduan Masyarakat lainnya, Polres Deli Serdang
hanya mampu melaksanakan proses penyelidikan, namun dari hasil penyelidikan
tersebut, tidak berhasil ditemukan bukti permulaan yang cukup, sedemikian
sehingga 76 dugaan tindak pidana korupsi yang diadukan masyarakat tersebut,
tidak dapat ditingkatkan ke tahap penyidikan.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penyebab kegagalan Polres Deli
Serdang dalam menemukan bukti permulaan yang cukup, sedemikian sehingga
angka penyidikan tindak pidana korupsi menjadi sedemikian rendah, adalah karena
Polres Deli Serdang belum memiliki penyelidik dan penyidik yang kompeten dan
handal, sedemikian sehingga tidak mampu mengungkap, menggali dan
menemukan alat bukti yang cukup, untuk menjerat pelaku tindak pidana korupsi.
Di tangan penyelidik dan penyidik yang kompeten dan handal, laporan
pengaduan masyarakat hanyalah berfungsi sebagai pintu masuk (entry point), untuk
mengendus adanya perbuatan pidana korupsi, sehingga laporan pengaduan
masyarakat selemah apapun, bukan penghalang untuk menemukan benang merah
perbuatan pidana korupsi.
Oleh karena itu, maka rendahnya kinerja penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana korupsi oleh Polres Deli Serdang, yang ditandai dengan sedikitnya
jumlah laporan masyarakat yang dapat ditingkatkan menjadi perkara pidana,
disebabkan oleh rendahnya kualitas personil penyelidik dan penyidik tindak pidana
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
131
korupsi yang dimiliki oleh Polres Deli Serdang, sehingga tidak mampu
mengungkap, mencari, menggali dan menemukan alat bukti yang cukup untuk
menjerat pelaku tindak pidana korupsi.
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa kinerja penyelidikan
dan penyidikan perkara pidana korupsi oleh Polres Deli Serdang masih rendah,
yang dapat dilihat dari masih sangat sedikitnya jumlah laporan pengaduan
masyarakat, yang dapat ditingkatkan menjadi perkara pidana.
B. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Penyelidikan Dan Penyidikan
Sebelum sampai pada pembahasan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi kinerja penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi oleh
Polres Deli Serdang, perlu dikemukakan terlebih dahulu gambaran mengenai
keadaan Personil Polres Deli Serdang secara umum maupun keadaan personil Unit
III/Tipikor Sat Reskrim, yang bertanggungjawab terhadap penanganan perkara
tindak pidana korupsi di wilayah hukum Polres Deli Serdang.
1. Profil Personil
a. Profil Personil Polres Deli Serdang
Secara keseluruhan kekuatan personel Polres Deli Serdang saat ini adalah
sebanyak 1.112 personil. Gambaran terperinci dari jumlah personel dimaksud,
terdapat dalam Tabel 3.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
132
Tabel 3
Jumlah Personel Polres Deli Serdang
Berdasarkan Jenjang Kepangkatan
No URAIAN JUMLAH
(PERSONEL)
1. Pamen 5
2. Pama 159
3. Bintara 912
4. PNS 36
Total 1.112
Sumber : Polres Deli Serdang, 2018
Adapun jumlah personel Polres Deli Serdang berdasarkan tempat
penugasan, adalah sebagaimana terlihat pada Tabel 4 di bawah ini.
Tabel 4
Jumlah Personil Polri dan PNS Polres Deli Serdang
Berdasarkan Penugasan
NO KESATUAN PAMEN PAMA BA PNS JML
DSP RIIL DSP RIIL DSP RIIL DSP RIIL DSP RIIL
1 PIMPINAN 2 2 - - - - - - 2 2
2 BAGOPS 1 1 10 5 9 10 3 - 19 16
3 BAG SUMDA 1 1 11 9 12 12 5 8 29 30
4 BAG REN 1 1 5 2 4 4 2 2 12 9
5 SIUM - - 1 - 6 4 4 3 11 7
6 SIKEU - - 1 1 4 3 4 2 9 6
7 SIPROPAM - - 1 1 14 21 - - 15 22
8 SIWAS - - 1 1 6 6 2 1 9 8
9 SPKT - - 4 1 9 8 - - 13 9
10 SAT INTEL - - 9 4 40 44 2 - 51 48
11 SAT RESKRIM - - 9 7 57 65 6 - 72 72
12 SAT NARKOBA - - 5 5 18 19 2 1 25 25
13 SAT BINMAS - - 6 4 13 11 2 1 21 16
14 SAT SABHARA - - 9 8 114 112 2 - 125 120
15 SAT LANTAS - - 7 7 64 65 2 2 73 74
16 SAT TAHTI - - 1 1 7 6 - - 8 7
17 SITIPOL - - 1 - 7 4 - - 8 4
18 PA/BA
POLRES - - - 25 - 13 - 10 - 48
19 POLSEK
JAJARAN - - 149 78 480 505 24 6 653 589
JUMLAH 5 5 230 159 864 912 60 36 1.155 1.112
Sumber : Bag Sumda Polres Deli Serdang, 2018
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
133
Dari data diatas menunjukkan bahwa jumlah anggota Polres Deli Serdang
pada saat ini, belum dapat mengimbangi jumlah penduduk sebanyak 1.773.201
jiwa, dengan ratio perbandingan 1 : 1.590 jiwa. Hal tersebut berarti Police Ratio
Polres Deli Serdang masih sangat jauh dari rasio ideal yang ditetapkan PBB yaitu
1 : 400 jiwa.
Sementara itu, ditinjau dari kualitas personel, terutama dari aspek
pendidikan kejuruan (Dikjur) yang telah diikuti oleh personel Polres Deli Serdang,
diperoleh data sebagaimana tercantum dalam Tabel 5 berikut ini.
Tabel 5
Data Personel yang telah mengikuti Dikjur
NO FUNGSI DIKJURDAS DIKJURLAN
1 INTELKAM 22 2
2 RESKRIM 38 5
3 LALU LINTAS 19 1
4 BINMAS 11 1
5 SABHARA 4 -
6 LAIN-LAIN 16 -
JUMLAH 110 9
Sumber : Bag Sumda Polres Deli Serdang, 2018
Berdasarkan data pada Tabel 5 di atas, maka personel yang mengikuti
Pendidikan Kejuruan Dasar sebanyak 110 orang (9,8 %), dan Pendidikan Kejuruan
Lanjutan sebanyak 9 orang (0,8 %). Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa
secara kualitas, persentase jumlah SDM yang telah mengikuti Dikjur bahkan tidak
mencapai 50 %. sehingga pemahaman SDM Polres Deli Serdang mengenai fungsi
dan tugasnya masing-masing, belum optimal.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
134
b. Profil Personil Unit III/Tipikor Sat Reskrim
(i) Tugas dan Fungsi
Unit III/Tipikor Sat Reskrim Polres Deli Serdang memiliki tugas dan
fungsi sebagai berikut:
1. Tugas Unit III/Tipikor adalah salah satu bagian/sub dari Reskrim
Polres Deli Serdang yang bertugas melakukan penyelidikan
dan penyidikan tindak pidana Korupsi yang terjadi di daerah
hukum Polres Deli Serdang.
2. Fungsi Unit III Tipikor menyelenggarakan fungsi :
1. Penyelidikan dan penyidikan Tindak Pidana Korupsi yang
terjadi di daerah hukum Polres Deli Serdang.
2. Pemberkasaan dan penyelesaian berkas perkara sesuai
dengan ketentuan administrasi penyelidikan dan
penyidikan Tindak Pidana korupsi.
3. Penerapan menajemen anggaran, serta menajemen
penyelidikan dan penyidikan Tindak Pidana Korupsi.
(ii) Riwayat Pekerjaan Personil
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya bahwa Unit III/Tipikor Sat
Reskrim Polres Deli Serdang memiliki 5 orang Penyidik dan Penyidik Pembantu,
dengan data sebagai berikut:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
135
Tabel 6
Personil Unit III/Tipikor Sat Reskrim
Polres Deli Serdang
No
NAMA
PANGKAT/NRP
JABATAN
RIWAYAT
DIK UM DIK BA
PROLAT
RIWAYAT JABATAN
1.
SUHARTONO, SH.
IPTU/64030718
KANIT
SMA, 1984
S1, 1999
SEBA
POLSUK, 1988
SAG POLRI,
2011
PROLAT
FUNGSI
TEKNIS
SERSE, 1990
PROLAT
PENYIDIKAN,
2006
BA POLDA SUMUT, 1988
BA POLRES TAPUT, 1988
BA POLSEK PAKKAT POLRES TAPUT,
1988
BA RESKRIM POLRES TAPUT, 1990
BA POLTABES MEDAN, 1992
BA RESKRIM POLTABES MEDAN, 1995
KANIT RESKRIM POLRES MADINA, 2006
KASUBBAG RENBAGMIN POLRES DELI
SERDANG, 2007
PAUR DALGAR BAGREN POLRES DELI
SERDANG, 2010
KANIT RESKRIM POLRES TEBING
TINGGI, 2012
KANIT III SAT RESKRIM POLRES DELI
SERDANG, 2015
2.
HERRU SYAFDANA, SH.,
MH.
AIPTU/73030512
PENYIDIK PEMBANTU
SMA, 1991
S1, 2011
S2, 2015
SEBA PK
POLRI, 1995
BA SAT SABHARA SINTANG POLDA
KALBAR, 1995
BA POLSEK NANG PINOH POLRES
SINTANG, 1996
BA SAT LANTAS POLRES DELI
SERDANG, 2001
BA POLSEK GALANG POLRES DELI
SERDANG, 2003
BA POLSEK SIBIRU BIRU POLRES DELI
SERDANG, 2008
BA RESKRIM POLRES DS, 2013
UNIT III SAT RESKRIM POLRES DS, 2017
3.
TRI TEGUH C. WIBOWO,
SE. BRIPKA/8112008
PENYIDIK PEMBANTU
SMA, 2000
S1, 2008
SEBA PK
POLRI, 2000
PROLAT
TIPIKOR, 2012
PROLAT
PROVOS, 2014
BA POLRES NIAS, 2000
BA UNIT PROVOS POLRES NIAS, 2001
BA SAT REKSRIM POLRES NIAS, 2002
BA POLRES DELI SERDANG, 2007
UNIT III SAT RESKRIM POLRES DELI
SERDANG, 2007
BA SI PROPAM POLRES DELI SERDANG,
2014
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
136
BA SAT RESKRIM POLRES DELI
SERDANG, 2015
UNIT III SAT RESKRIM POLRES DELI
SERDANG, 2017
4.
M. MANURUNG, SH.
BRIPKA/83060252
PENYIDIK PEMBANTU
SMA, 2003
S1, 2014
DIKMA BA,
2002
PROLAT
ILLEGAL
LOGGING,
2007
BAS BA
RESKRIM,
2009
DIK
BANGPERS
TIPIKOR, 2009
PROLAT TP
TERORIS,
2010
PROLAT TP
LINGKUNG-
AN HIDUP,
2016
BA POLRES ASAHAN, 2003
BA POLSEK MEDANG DERAS, 2004
BA POLRES TANJUNG BALAI, 2005
BA SAT REKRIM POLRES TANJUNG
BALAI, 2006
BA POLRES NIAS, 2010
PJS KANIT RESKRIM POLSEK ALASA,
2011
BA SAT REKSRIM POLRES NIAS, 2011
BA SAT RESKRIM POLRES DELI
SERDANG, 2015
UNIT III SAT RESKRIM POLRES DELI
SERDANG, 2016
5.
PRANCIS GIRSANG, SH.
BRIGADIR/86061648
PENYIDIK PEMBANTU
SMA, 2004
S1, 2012
DIKMA BA,
2006
PROLAT
TIPIKOR, 2012
BA SAT SABAHARA POLRES NIAS
SELATAN, 2007
BA SAT INTELKAM, POLRES NIAS
SELATAN, 2007
BA SAT REKRIM POLRES NIAS, 2009
UNIT III SAT RESKRIM POLRES DELI
SERDANG, 2014
Sumber : Bag Sumda Polres Deli Serdang, 2018
Berdasarkan data pada Tabel 6 di atas, dapat diambil beberapa kesimpulan.
Pertama, terdapat 2 orang personil Unit III/Tipikor Sat Reskrim Polres Deli
Serdang, yang sama sekali tidak pernah mengikuti pelatihan khusus tentang seluk
beluk penyidikan tindak pidana korupsi. Kedua, ada 3 orang personil yang pernah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
137
mengikuti pelatihan dasar tentang tindak pidana korupsi, namun tanpa pelatihan
lanjutan.
Mengingat karakteristik dari tindak pidana korupsi yang spesifik sebagai
kejahatan luar biasa, dengan pelaku yang terdidik dan menguasai semua sumber
daya termasuk kekuasaan, dan modus pidana yang demikian rumit, dengan
dukungan teknologi dan jaringan yang luas, maka personil Unit III/Tipikor Sat
Reskrim Polres Deli Serdang saat ini, yang hanya memiliki bekal pelatihan dasar
tindak pidana korupsi, terlebih-lebih lagi yang belum memperoleh pelatihan sama
sekali, yang hanya mengandalkan intuisi dan learning by doing, dalam melakukan
penyelidikan tindak pidana korupsi, sangat berpotensi untuk gagal dalam
pelaksanaan tugasnya.
2. Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Kinerja Unit III/Tipikor Sat Reskrim
Polres Deli Serdang
Telah diuraikan secara teoritis sebelumnya bahwa efektifitas atau berhasil
tidaknya penegakan hukum, tergantung tiga unsur sistem hukum, yakni struktur
hukum (legal structure), substansi hukum (legal substance) dan budaya hukum
(legal culture). Struktur hukum menyangkut aparat penegak hukum, substansi
hukum meliputi perangkat perundang-undangan dan budaya hukum merupakan
hukum yang hidup (living law) yang dianut dalam suatu masyarakat.
Telah disinggung di muka bahwa rendahnya kinerja Unit III/Tipikor Sat
Reskrim Polres Deli Serdang dalam penyelidikan dan penyidikan, diduga
disebabkan oleh dua hal.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
138
Pertama, dari aspek struktur hukum berupa rendahnya kualitas aparat
penegak hukum, terutama pada rendahnya kemampuan kerja atau kehandalan
personil dalam melakukan penyelidikan dan penyidikan, akibat ketiadaan
pendidikan kejuruan tentang seluk beluk penyidikan tindak pidana korupsi secara
berjenjang dan terencana, sedemikian sehingga tidak mampu mengungkap adanya
perbuatan pidana korupsi pada setiap laporan pengaduan masyarakat.
Kedua, penyebab dari aspek substansi hukum, berupa adanya ketentuan
Undang-Undang Pemerintahan Daerah, tentang prosedur penanganan pengaduan
masyarakat tentang adanya dugaan korupsi oleh pejabat di instansi daerah, yang
patut diduga membatasi ruang gerak penyelidik untuk melakukan penyelidikan.
Untuk menguji hipotesis awal tentang penyebab rendahnya kinerja
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi oleh Polres Deli Serdang,
dilakukan analisis terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja baik secara
internal maupun eksternal, melalui metode analisis SWOT (Strength, Weakness,
Oppoutunities, Threats).
Jogiyanto, pada pokoknya mengemukakan bahwa analisis SWOT
digunakan untuk menilai kekuatan-kekuatan dan kelemahan-kelemahan dari
sumber-sumber daya yang dimiliki organisasi, dan kesempatan-kesempatan
eksternal dan tantangan-tantangan yang dihadapi. Tujuan utama analisis SWOT
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
139
adalah mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang berpengaruh kepada
performa organisasi.121
Faktor internal tersebut terdiri dari kekuatan (strength) dan kelemahan
(weaknesses). Kekuatan (streghts) adalah sumber daya yang dimiliki organisasi
yang dapat mendukung organisasi untuk mencapai tujuan, sedangkan kelemahan
(weaknesses) adalah hal penghambat yang berasal dari internal organisasi yang
dapat menggangu upaya pencapaian tujuan organisasi.
Faktor eksternal organisasi adalah kondisi lingkungan yang dinamis yang
mempengaruhi keberadaan organisasi tersebut dalam mencapai tujuan. Faktor
eksternal itu terdiri dari peluang (oportunities) dan ancaman (threats). Peluang
(oportunities) merupakan hal di luar organisasi yang apabila dimanfaatkan dengan
baik akan membawa manfaat bagi organisasi untuk mencapai tujuan. Sedangkan
ancaman (threats) merupakan hal di luar organisasi yang dapat memberikan
hambatan bagi organisasi dalam mencapai tujuan.122
Adapun analisis SWOT terhadap pelaksanaan penyelidikan dan penyidikan
tindak pidana korupsi di Polres Deli Serdang adalah sebagaimana terlihat dalam
table 7 di bawah ini:
121Jogiyanto, Sistem Informasi Strategik untuk Keunggulan Kompetitif, (Yogyakarta:
Penerbit Andi Offset, 2005), hlm. 17. 122Ibid.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
140
Tabel 7
Analisis SWOT Pelaksanaan Penyelidikan dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
di Polres Deli Serdang
Faktor Internal
Kekuatan (S) Kelemahan (W)
1. Tersedianya anggaran penyidikan
yang cukup besar yaitu sebanyak
Rp 208.071.000,- per tahun untuk
menyidik perkara tindak pidana
korupsi. Jumlah ini lebih besar
daripada anggaran penyidikan
yang diberikan untuk menangani
kasus pidana biasa. Dengan dana
yang diberikan tindak pidana
korupsi sangatlah cukup untuk
digunakan membiayai operasional
penyidikan tipikor.
2. Tersedia sarana dan prasarana
yang mendukung penyidikan
tindak pidana korupsi seperti
komputer, printer, internet, ATK,
dan kendaraan untuk mobilitas.
1. Kebanyakan personil tidak memi-liki
kemampuan yang handal dalam
penyelidikan dan penyidikan tindak
pidana korupsi. Hal itu terjadi karena
minimnya pelatihan yang terencana
dan berkelanjutan tentang seluk
beluk penyidikan tindak pidana
korupsi, sebagai kejahatan luar biasa,
dengan modus yang rumit dan pelaku
yang terdidik, menguasai berbagai
sumber daya termasuk kekuasaan,
dan didukung oleh teknologi canggih
dan jaringan kerja yang luas. Hal itu
menyebabkan personil Unit
III/Tipikor Sat Reskrim, tidak
memahami bagaimana langkah
penanganan tindak pidana korupsi,
bahkan mereka belum memahami
dengan baikmodus-modus pidana
korupsi, dan perbuatan pidana yang
ada di dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
2. Kurang lancarnya komunikasi dan
koordinasi dengan aparat pengawas
internal pemerintah (APIP), LPSE,
LPJK, BPKP dan BPK. Belum
terciptanya hubungan konstruktif
antar lembaga yang dapat memotong
jalur birokrasi, membuat langkah
penyidikan menjadi berjalan lambat.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
141
3. Adanya budaya kerja yang baik,
dimana anggota tidak ragu untuk
melaksanakan lembur kerja,
apabila sedang menangani perkara
yang membutuhkan atensi
penanganan.
3. Tidak adanya rencana penyelidikan/
penyidikan yang bersifat kompre-
hensif yang membuat langkah kerja
Unit III/Tipikor tidak terencana dan
tereksekusi dengan baik.
Faktor Eksternal
Peluang (O) Ancaman (T)
1. Adanya Undang-Undang Keter-
bukaan Informasi Publik yang
mewajibkan lembaga untuk
memberikan keterbukaan
informasi terhadap masyarakat
secara umum. Hal ini
menyebabkan dapat diketahuinya
anggaran Pemerintah Daerah dan
pertanggung jawaban
penggunaannya oleh semua pihak
sehingga tidak ada lagi anggaran
yang dapat ditutup-tutupi
keberadaannya.
2. Kepedulian masyarakat terhadap
anggaran pembangunan mening-
kat seiring dengan meningkatnya
kecerdasan masyarakat,
sedemikian sehingga Laporan
Pengaduan Masyarakat tentang
adanya dugaan korupsi oleh
penye-lenggara negara juga
meningkat.
3.Sistem lelang saat ini yang meng-
gunakan sistem pendaftaran LPSE,
dimana peserta lelang
mendaftarkan dokumen lelang ke
portal LPSE membuat terekamnya
data elektronik, sehingga dapat
1. Adanya ketentuan Pasal 385 Un-
dang-Undang Pemerintahan Daerah,
yang kemudian diperjelas dengan
Arahan Presiden Kepada Para
Kapolda dan Kajati seluruh
Indonesia, pada tanggal 17 Juli 2017,
dan Surat Telegram (ST)
Kabareskrim Polri Nomor:
ST/247/VIII/2016/ Bareskrim
Tanggal 24 Agustus 2016 Hal
Pengaduan Masyarakat tentang
Dugaan Tindak Pidana Korupsi,
yang ditindaklanjuti oleh
serangkaian ST Kapolda Sumatera
Utara, antara lain Nomor:
ST/225/II/2017, yang berpotensi
menghambat/mengurangi/
memperlambat penyelesaian perkara
pidana korupsi. Ketentuan dimaksud
pada pokoknya menegaskan bahwa:
a. Pengaduan tentang dugaan ada-
nya tindak pidana korupsi yang
disampaikan oleh masyarakat atau
kelompok masyarakat, tidak dapat
langsung dipergunakan sebagai
dasar untuk mengundang
klarifikasi pejabat di daerah
maupun di pusat yang diadukan.
b. Setelah pengaduan masyarakat
diterima, agar melakukan koor-
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
142
dijadikan sebagai alat bukti
pendukung.
dinasi dengan APIP untuk dila-
kukan pemeriksaan sesuai
kewenangan APIP. Jika ditemu-
kan bukti adanya kesalahan
administratif, penanganan selan-
jutnya diserahkan kepada APIP.
c. Jika diterima hasil APIP yang
memenuhi unsur pidana, agar
dilakukan koordinasi terlebih
dahulu dengan BPK maupun
BPKP untuk melaksanakan
audit/mendapatkan Laporan hasil
Pemeriksaan (LHP) atau audit
investasi (AI) terhadap objek yang
diadukan.
d. Apabila dari hasil audit ditemu-
kan kerugian negara, agar ter-
lebih dahulu memberikan waktu
kepada pejabat yang diadukan
untuk mengembalikan kerugian
negara, dalam waktu 60 hari.
e. Apabila telah ada pengembalian
kerugian negara, maka
penyelidikan tidak ditingkatkan
kepada penyidikan.
Dengan adanya ketentuan tersebut di
atas, maka apabila ada pengaduan
masyarakat, Kepolisian menyam-
paikan kepada APIP dan setelah itu
bersikap “menunggu bola” dari
APIP. Apabila ada indikasi pidana,
Kepolisian juga belum bisa
bertindak, selain meminta audit
kepada BPK atau BPKP, kemudian
memberi waktu kepada pejabat untuk
mengembalikan kerugian negara
dimaksud. Setelah dikembalikan
maka proses penanganan perkara
dihentikan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
143
Merujuk pada analisis SWOT di atas, maka rendahnya kinerja Polres Deli
Serdang dalam penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi,
disebabkan oleh beberapa faktor. Diantara beberapa faktor penyebab tersebut,
terdapat 2 faktor yang paling menonjol, dimana 1 faktor berasal dari kelemahan
(weakness) yang datang dari dalam institusi Polri sendiri, dan 1 faktor lainnya dari
ancaman (threat), yang datang dari luar institusi Polri. Kelemahan yang datang
dari dalam institusi Polri, adalah karena kebanyakan personil belum memiliki
kemampuan yang handal dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana
korupsi.
Hal itu terjadi karena minimnya pelatihan yang terencana dan
berkelanjutan tentang seluk beluk penyidikan tindak pidana korupsi, sebagai
kejahatan luar biasa, dengan modus yang rumit dan pelaku yang terdidik,
menguasai berbagai sumber daya termasuk kekuasaan, dan didukung oleh
teknologi canggih dan jaringan kerja yang luas. Hal itu menyebabkan personil Unit
III/Tipikor Sat Reskrim, tidak memahami bagaimana langkah penanganan tindak
pidana korupsi, bahkan mereka belum memahami dengan baik modus-modus
pidana korupsi, dan perbuatan pidana yang ada di dalam Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
Sementara faktor eksternal yang mempengaruhi rendahnya kinerja Polres
Deli Serdang dalam penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, berasal
dari ancaman (threat), yakni adanya ketentuan Pasal 385 Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, yang kemudian diperjelas dengan Arahan Presiden kepada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
144
Para Kapolda dan Kajati seluruh Indonesia, pada tanggal17 Juli 2017, dan Surat
Telegram (ST) Kabareskrim Polri Nomor: ST/247/VIII/ 2016/ Bareskrim Tanggal
24 Agustus 2016 Hal Pengaduan Masyarakat tentang Dugaan Tindak Pidana
Korupsi, yang ditindak-lanjuti oleh serangkaian ST Kapolda Sumatera Utara,
antara lain Nomor: ST/225/II/2017.
Keberadaan peraturan perundang-undangan tersebut, secara nyata akan
sangat berpotensi menghambat/ mengurangi/memperlambat penyeesaian perkara
pidana korupsi oleh pihak Kepolisian, terutama Polres Deli Serdang.
C. Pemecahan Masalah Peningkatan Kinerja Penyelidikan Dan Penyidikan
Strategi pemecahan masalah peningkatan kinerja Polres Deli Serdang
dalam penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, dibangun
dari analisis SWOT yang telah dilakukan pada bagian sebelumnya, dimana
rekomendasi tindakan yang sebaiknya diambil, dirumuskan dalam 4 langkah
strategi, yang meliputi strategi kekuatan dan peluang (Strategi SO), strategi
kelemahan dan peluang (Strategi WO), strategi kekuatan dan ancaman (Strategi
ST), dan strategi kelemahan dan peluang (Strategi WT). Keempat strategi
dimaksud selengkapnya adalah sebagai berikut:
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
145
Tabel 8
Strategi Pemecahan Masalah Peningkatan Kinerja Polres Deli Serdang
Dalam Penyelidikan Dan Penyidikan Tindak Pidana Korupsi
Strategi SO Strategi WO
1. Mengoptimalkan penggunaan ang-
garan penanganan perkara pidana
korupsi yang tersedia, sesuai dengan
rencana kerja penyelidikan dan
penyidikan yang telah ditetapkan.
2. Mengoptimalkan sarana prasarana
yang tersedia, terutama sarana
internet untuk mengakses dokumen
penggunaan anggaran, agar dapat
dengan lebih cepat menemukan
bukti permulaan yang cukup
terhadap dugaan adanya perbuatan
pidana korupsi.
3. Menetapkan skema reward untuk
personil yang mampu melaksa-
nakan penanganan perkara korupsi,
antara lain untuk tahapan
pelimpahan perkara yang lebih
cepat dari target yang ditetapkan.
4. Memotivasi masyarakat untuk me-
laporkan setiap dugaan tindak
pidana korupsi yang ia lihat, dengar
dan ketahui.
1. Mengirim personil untuk mengi-
kuti pelatihan, dan/atau berinisiatif
melaksanakan sendiri pelatihan
yang bersifat komprehensif, teren-
cana dan berkelanjutan tentang
seluk beluk dan kiat sukses dalam
penyusunan rencana penyelidikan
dan penyidikan, dan eksekusi
penyidikan tindak pidana korupsi,
serta mekanisme penggunaan
anggara penyidikan yang optimal.
2. Menjalin komunikasi, sinergitas,
harmonisasi, dan hubungan yang
lebih konstruktif dengan aparat
pengawas internal pemerintah
(APIP), LPSE, LPJK, BPKP dan
BPK.
3. Menyusun rencana kerja
penyelidikan/ penyidikan yang
terperinci, bersifat komprehensif,
dengan target-target yang terukur.
4. Mengirim personil terkait utuk
melakukan studi banding ke Polres
dengan kinerja penanganan perkara
korupsi yang terbaik, untuk
mendapatkan pengalaman terbaik
(best practice) tentang
penyelidikan dan penyidikan
perkara pidana korupsi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
146
Strategi ST Strategi WT
1. Anggaran dan sarana prasarana yang
dimiliki oleh Polri, serta budaya
kerja anggota Polri, dialihkan
pendayagunaannya, dari tugas
melaksanakan penyelidikan dan
penyidikan, kepada tugas
melakukan pencegahan terhadap
terjadinya tindak pidana korupsi,
seperti:
a. Melakukan asistensi dan pen-
dampingan kepada pemerintah
daerah dalam percepatan pene-
rapan e budgeting dan transaksi
non tunai.
b. Melakukan asistensi dan pen-
dampingan kepada pemerintah
daerah dalam perencanaan
anggaran pembangunan dan
belanja daerah (APBD).
c. Melakukan edukasi kepada ele-
men masyarakat tentang pence-
gahan dini terhadap tindak
pidana korupsi.
2. Meninjau ulang atau melakukan
revisi terhadap ketentuan Pasal 385
Undang-Undang Pemerintahan
Daerah, sedemikian sehingga
ketentuan Pasal dimaksud dan
segenap petunjuk pelaksanaannya,
hanya berlaku untuk tindak-tindak
pidana korupsi, dengan tingkat
kerugian negara, dalam jumlah
yang tidak terlalu besar, misalnya
maksimum Rp. 100.000.000,-
Dengan demikian, ketentuan
KUHAP, dan Undang-Undang
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi, tentang penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana korupsi
1. Kualitas SDM penyelidikan dan
penyidikan dan rencana
penyidikan, serta komunikasi
dengan APIP, yang saat ini
dirasakan masih rendah,
ditingkatkan secara sungguh-
sungguh sedemikian rupa, sehingga
penyelidikan dan penyidikan
terhadap dugaan terjadinya tindak
pidana korupsi oleh pejabat
penyelenggara pemerintahan di
daerah, yang dilakukan oleh Polri,
tidak dirasakan sebagai sesuatu
yang mengganggu kinerja
pelaksanaan birokrasi
pemerintahan dan pembangunan.
2. Setelah strategi pertama dapat
dicapai, Polri hendaknya
mengurangi ketergantungan
terhadap pemerintah daerah, seperti
meniadakan bantuan operasional
Polres dan jajaran, yang berasal
dari APBD, sehingga Polri dapat
menjaga independensi dari
intervensi yang datang dari
eksekutif maupun legislatif di
daerah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
147
tetap dapat dilaksanakan, dan aparat
birokrasi di daerah tidak terganggu
kinerjanya, karena penyelidikan dan
penyidikan tindak pidana korupsi.
Berdasarkan strategi pemecahan masalah sebagaimana ditabulasikan di
atas, maka disimpulkan bahwa peningkatan kinerja Polres Deli Serdang dalam
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi, dapat dilakukan melalui
strategi sebagai berikut:
1. Mengoptimalkan penggunaan anggaran penanganan perkara pidana korupsi
yang tersedia, sesuai dengan rencana kerja penyelidikan dan penyidikan yang
telah ditetapkan.
2. Mengoptimalkan sarana prasarana yang tersedia, terutama sarana internet
untuk mengakses dokumen penggunaan anggaran, agar dapat dengan lebih
cepat menemukan bukti permulaan yang cukup terhadap dugaan adanya
perbuatan pidana korupsi.
3. Menetapkan skema reward untuk personil yang mampu melaksanakan
penanganan perkara korupsi, antara lain untuk tahapan pelimpahan perkara
yang lebih cepat dari target yang ditetapkan.
4. Memotivasi masyarakat untuk melaporkan setiap dugaan tindak pidana
korupsi yang ia lihat, dengar dan ketahui.
5. Mengirim personil untuk mengikuti pelatihan, dan/atau berinisiatif
melaksanakan sendiri pelatihan yang bersifat komprehensif, terencana dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
148
berkelanjutan tentang seluk beluk dan kiat sukses dalam penyusunan rencana
penyelidikan dan penyidikan, dan eksekusi penyidikan tindak pidana korupsi,
serta mekanisme penggunaan anggara penyidikan yang optimal.
6. Menjalin komunikasi, sinergitas, harmonisasi, dan hubungan yang lebih
konstruktif dengan aparat pengawas internal pemerintah (APIP), LPSE, LPJK,
BPKP dan BPK.
7. Menyusun rencana kerja penyelidikan/ penyidikan yang terperinci, bersifat
komprehensif, dengan target-target yang terukur.
8. Mengirim personil terkait utuk melakukan studi banding ke Polres lain dengan
kinerja penanganan perkara korupsi yang terbaik, untuk mendapatkan
pengalaman terbaik (best practice) tentang penyelidikan dan penyidikan
perkara pidana korupsi.
9. Meninjau ulang atau melakukan revisi terhadap ketentuan Pasal 385 Undang-
Undang Pemerintahan Daerah, sehingga ketentuan Pasal dimaksud dan
segenap petunjuk pelaksanaannya, hanya berlaku untuk tindak pidana korupsi,
dengan tingkat kerugian negara, dalam jumlah yang tidak terlalu besar,
misalnya maksimum Rp. 100.000.000,-. Dengan demikian, ketentuan
KUHAP, dan Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi,
tentang penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi tetap dapat
dilaksanakan, dan aparat birokrasi di daerah tidak terganggu kinerjanya,
karena penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
149
10. Anggaran dan sarana prasarana yang dimiliki oleh Polri, serta budaya kerja
anggota Polri, dialihkan pendayagunaannya, dari tugas melaksanakan
penyelidikan dan penyidikan, kepada tugas melakukan pencegahan terhadap
terjadinya tindak pidana korupsi, seperti:
a. Melakukan asistensi dan pendampingan kepada pemerintah daerah dalam
percepatan penerapan e budgeting dan transaksi non tunai.
b. Melakukan asistensi dan pendampingan kepada pemerintah daerah dalam
perencanaan Anggaran Pembangunan dan Belanja Daerah (APBD).
c. Melakukan edukasi kepada elemen masyarakat tentang pencegahan dini
terhadap tindak pidana korupsi.
11. Kualitas SDM penyelidikan dan penyidikan dan rencana penyidikan, serta
komunikasi dengan APIP, yang saat ini dirasakan masih rendah, ditingkatkan
secara sungguh-sungguh sedemikian rupa, sehingga penyelidikan dan
penyidikan terhadap dugaan terjadinya tindak pidana korupsi oleh pejabat
penyelenggara pemerintahan di daerah yang dilakukan oleh Polri, tidak
dirasakan sebagai sesuatu yang mengganggu kinerja pelaksanaan birokrasi
pemerintahan dan pembangunan.
12. Setelah strategi pertama dapat dicapai, Polri hendaknya mengurangi
ketergantungan terhadap pemerintah daerah, seperti meniadakan bantuan
operasional Polres dan jajarannya yang berasal dari APBD, sehingga Polri
dapat menjaga independensi dari intervensi yang datang dari eksekutif
maupun legislatif di daerah.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan uraian pada bab terdahulu, maka dapat diambil beberapa
kesimpulan sebagai berikut:
1. Terdapat komitmen yang kuat dari negara melalui kebijakan hukum pidana
untuk mencegah dan memberantas terjadinya tindak pidana korupsi secara
sistemik dan komprehensif yang dibuktikan dengan dilakukannya perubahan
atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dengan mensahkan Undang-Undang Nomor 20 tahun 2001
tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 tahun 1999 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2. Dalam perspektif perundang-undangan Indonesia, Polri berwenang
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi.
Kewenangan tersebut diatur di dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi, dimana pada pokoknya ditegaskan bahwa pihak yang
berwenang melakukan penyelidikan dan penyidikan, serta prosedur hukum
acara penyelesaian perkara pidana korupsi, tunduk kepada hukum acara
pidana yang berlaku, baik yang diatur di dalam KUHAP, maupun di dalam
Undang-undang lainnya. Dengan ketentuan tersebut, maka Polri dalam
137
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
151
melakukan penyelidikan dan penyidikan terhadap tindak pidana korupsi,
tunduk dan patuh pada prosedur penyelidikan dan penyidikan tindak pidana,
sebagaimana diatur di dalam KUHAP, Undang-Undang Kepolisian, dan
Perkap Nomor 14 Tahun 2012 tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana.
3. Kinerja penyelidikan dan penyidikan perkara pidana korupsi oleh Polres Deli
Serdang masih sangat rendah, dimana diantara 77 laporan pengaduan
masyarakat tentang dugaan tindak pidana korupsi selama tahun 2015 sampai
dengan 2018, hanya satu laporan yang dapat ditingkatkan menjadi perkara
pidana. Rendahnya kinerja Polres Deli Serdang dalam penyelidikan dan
penyidikan terhadap tindak pidana korupsi, disebabkan:
a. Kebanyakan personil belum memiliki kemampuan yang handal dalam
penyelidikan dan penyidikan tindak pidana korupsi.
b. Adanya ketentuan Pasal 385 Undang-Undang Pemerintahan Daerah, yang
kemudian diperjelas dengan Arahan Presiden Kepada Para Kapolda dan
Kajati seluruh Indonesia, pada tanggal 17 Juli 2017, dan Surat Telegram
(ST) Kabareskrim Polri Nomor: ST/247/VIII/ 2016/ Bareskrim Tanggal 24
Agustus 2016 Hal Pengaduan Masyarakat tentang Dugaan Tindak Pidana
Korupsi, yang ditindak-lanjuti oleh serangkaian ST Kapolda Sumatera
Utara, antara lain Nomor: ST/225/II/2017.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
152
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan di atas, maka direkomendasikan sebagai berikut:
1. Perlu penegakan hukum secara konsisten dengan membuat MOU dan pelatihan
bersama antara Polres Deli Serdang dengan Inspektorat Kabupaten Deli Serdang
dengan instruktur dari Polda Sumut dan anggaran dari Pemda Kabupaten Deli
Serdang.
2. Perlu adanya kerjasama dengan membuat MOU antara Polres Deli Serdang
dengan Kejaksaan Negeri Lubuk Pakam dan mengadakan pertemuan rutin setiap
bulan yaitu pada awal bulan, pertengahan bulan, dan akhir bulan, membahas
pelaksanaan Tindak Pidana Korupsi di Kabupaten Deli Serdang.
3. Dengan memperhatikan rekam jejak, tingkat pendidikan, dan pemahaman
tentang Tindak Pidana Korupsi, perlu peningkatan kapasitas dan kualitas
pendidikan dengan cara mengirimkan penyidik Tipikor untuk mengikuti
pendidikan kejuruan dibidang korupsi, program pelatihan ditingkat Polda, dan
juga melaksanakan pelatihan mandiri dengan mengirim narasumber dari instansi
terkait.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
153
DAFTAR PUSTAKA
1.Buku
Ali, Mahrus, Kejahatan Korporasi, Yogyakarta, Arti Bumi Intaran, 2008.
______, Asas Teori dan Praktek Hukum Pidana Korupsi, Yogyakarta, UII Press, 2013.
Arief, Barda Nawawi, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Semarang, Undip,
1996.
______, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana,
Bandung, Citra Aditya Bakti, ,1998.
Atmasasmita, Romli, Sistem Peradilan Pidana, Perspektif Eksistensialisme dan
Abolisionisme, Bandung, Binacipta, 1996.
_______, Korupsi, Good Governance Dan Komisi Anti Korupsi Di Indonesia, Jakarta,
Penerbit Badan Pembinaan Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan
HAM RI, 2002.
_______, Bunga Rampai Hukum Acara Pidana, Bandung, Binacipta, Cetakan Pertama,
1983.
Danil, Elwi, Korupsi (Konsep, Tindak Pidana, dan Pemberantasannya), Jakarta, Raja
Grafindo, 2014.
Friedman, Lawrence M., The Legal Sistem: A Social Science Perspective, New York,
Russel Sage Foundation, 1969.
Gie, The Liang, Administrasi Perkantoran Modern, Yogyakarta, Mandar Maju, 1999.
Hamzah, Andi, Sistem Pidana dan Pemidanaan Indonesia, Jakarta, Pradnya Paramita,
1993.
Harahap, M.Yahya, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Penyidikan
dan Penuntutan, Jakarta, Sinar Grafika, 2009.
Hartanti, Evi, Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Sinar Grafika, 2005.
140
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
154
Harun, M. Husein, Penyidik Dan Penuntut Dalam Proses Pidana, Jakarta, PT Rineka
Cipta, 2003.
Ibrahim, Johny, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Surabaya,
Bayumedia, 2008.
Jogiyanto, Sistem Informasi Strategik untuk Keunggulan Kompetitif, Yogyakarta,
Penerbit Andi Offset, 2005.
Mangkunegara, A. Anwar Prabu, Evaluasi Kinerja SDM, Jakarta, Refika Aditama,
2010.
Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit
Universitas Diponegoro, 1995.
Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana, Bandung, Alumni,
1992.
Lopa, Baharuddin, Kejahatan Korupsi dan Penegakan Hukum, Jakarta, LP3S, 1983.
Huda, Chairul, Dari Tiada Pidana Tanpa Kesalahan Menuju Kepada Tiada
Pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan, Jakarta, Kencana Prenada
Media Group, 2006.
Prakoso, Djoko, Hukum Penitensier Indonesia, Yogyakarta, Liberty, 1998.
Yunara, Edi, Korupsi dan Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Bandung, Citra
Aditya Bakti, 2005.
Marpaung, Leden, Proses Penanganan Perkara PidanaPenyelidikan dan Penyidikan,
Jakarta, Sinar Grafika, 2009.
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta, Kencana, 2006.
Moeljatno, Perbuatan Pidana dan Pertanggungjawaban Pidana, Jogyakarta, Yayasan
Badan Penerbit Gajah Mada, 1955.
_____, Hukum Pidana II, Jakarta, Bina Aksara, 1995.
Rahardjo, Satjipto, Masalah Penegakan Hukum Suatu Tinjauan Sosiologis, Bandung,
Sinar Baru, 1993.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
155
_____, Polisi Sipil dalam Perubahan Sosial di Indonesia, Jakarta, Penerbit Buku
Kompas, 2002.
Reksodiputro, Mardjono, Hak Asasi Manusia Dalam Sistem Peradilan Pidana-
Kumpulan Karangan-Buku Ketiga, Jakarta, Pusat Pelayanan Keadilan dan
Pengabdian Hukum Universitas Indonesia, 1994.
Robert, Mathis. L. dan Jackson. H. John, Manajemen Sumber Daya Manusia, Jakarta,
Bumi Aksara, 2001.
Siagian, Sondang P., Kiat Meningkatkan Produktivitas Kerja, Cetakan Pertama,
Jakarta, PT. Rineka Cipta, 2002.
Sitompul dan Edward Syahperenong, Hukum Kepolisian Di Indonesia (Suatu bunga
Rampai), Bandung, Tarsito, 1985.
Syarifin, Pipin, Hukum Pidana di Indonesia, Bandung, Pustaka Setia, 2000.
Sjahdeini, Sutan Remy, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, Jakarta, Grafiti Pers,
2006.
Soekanto, Soerjono, Faktor-faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Jakarta,
Raja Grafindo Persada, 1983.
Soesilo, R., Pokok-Pokok Hukum Pidana Peraturan Umum dan Delik-Delik Khusus,
Bogor, Politeia, 1974.
Subekti dan Tjitrosoedibio, Kamus Hukum, Jakarta, Pradnya Paramita, 1973.
Sudarto, Kapita Selekta Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1981.
_______, Hukum dan Hukum Pidana, Bandung, Alumni, 1983.
Sunaryo, Sidik, Sistem Peradilan Pidana, Malang, Penerbit Universitas
Muhammadyah Malang, 2004.
_______, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, Press UI, 1986.
Sunarso, Siswantoro, Penegakan Hukum Psikotropika Dalam Kajian Sosiologi Hukum,
Jakarta, Raja Grafindo Persada, 2005.
Tim Penulis, Ensiklopedia Indonesia, Jakarta, Gramedia, 1999.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
156
United Nations Conviction Against Corruption 2003, yang telah diratifikasi melalui
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2006.
Utomo, Warsito Hadi, Hukum Kepolisian di Indonesia, Jakarta, Prestasi Pustaka
Publisher, 2005.
2. Peraturan Perundang-undangan
Republik Indonesia, Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP)
______, Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 Tentang Pemerintahan Daerah
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 244).
______, Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002
Nomor 137)
______, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negera Republik
Indonesia. (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2)
______,Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1999 Nomor
140) Sebagaimana Telah Diubah Dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun
2001 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2001 Nomor 134).
______, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana
(KUHAP) (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76)
______, Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 14 Tahun
2012 Tentang Manajemen Penyidikan Tindak Pidana
3. Jurnal Ilmiah/Makalah/Media Online
Bismar Nasution, 2003. “Metode Penelitian Hukum Normatif dan Perbandingan
Hukum”, disampaikan pada dialog interaktif tentang penelitian hukum dan
hasil penulisan hukum pada majalah akreditasi, Fakultas Hukum USU.
https://www.deliserdangkab.go.id/?p=405 diakses 05 Desember 2018.
http://benedictussinggih.blogspot. com/2015/05/kewenangan-penyelidikan-dan-
penyidikan_83.h-diakses 12 Desember 2018.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
LAMPIRAN :
JUMLAH PENGADUAN MASYARAKAT TENTANG DUGAAN TINDAK PIDANA
PERIODE TAHUN 2015 S/D 2018
NO SKPD /
INSTANSI NO & TGL SURAT DUGAAN
TINDAKAN YANG
TELAH DILAKUKAN
TINDAK
LANJUT
1 2 3 4 5 6
TAHUN 2015
1. DINAS
PERIKANAN
DAN
KELAUTAN
- No : 005 / RCW-DS/
II / 2015, tanggal 08
02 2015
- Tindak pidana korupsi
pembangunan dinding penahan
tanah areal balai benih ikan air
tawar pada dinas Perikanan dan
kelautan Kab. Deli Serdang
- Telah melakukan verikasi
dan mengumpulkan
dokmen
- Telah melakukan
pemeriksaan terhadap
saksi dan tersangka
- Telah melakukan
pemberkasan
Tahap II
14-04-16
2. DINAS
KESEHATAN - LSM, tanggal 10 Mei
2015
- Tindak Pidana Korupsi belanja
Modal Pengadaan Sarana
Laboraturium pada Dinas
Kesehatan
- Telah melakukan verikasi
terhadap PPK
Proses
Lidik
3. DINAS
PENDIDIKAN
PEMUDA DAN
OLAH RAGA
Pada Sekolah
SMA Batang
Kuis Kec.
Batang Kuis
Kab. Deli
Serdang
- SUSANDI, 25 April
2015
- Penyalahgunaan kewenangan,
Penyelewengan dan perintah
oleh Kepala Sekolah SMAN 1
Batang Kuis
- Telah melakukan verikasi
dan mengumpulkan
dokmen
Proses
Lidik
4. BADAN
PEMBERDAYA
AN
MASYARAKA
T KAB. DELI
SERDANG
- 10 Juni 2015
- Penggunaan Anggaran Dana
Desa (ADD) pada Desa Rumah
Keben Desa Gunung Berita dan
Desa Uruk Gedang Kec.
Namorambe Kab. Deli Serdang
di duga Fiftif karena sejak Tahun
2010 hingga saat ini Desa
tersebut sudah tidak menempati
/ menghuni desa tersebut
- Telah melakukan
konfirmasi pada Badan
Pemberdayaan
Masyarakat Kab. Deli
Serdang untuk
mendapatkan informasi
tentang keberadaan tiga
desa tersebut
Proses
Lidik
5. BADAN
PENGENDALI
AN DAMPAK
LINGKUNGAN
DAERAH KAB.
DELI
SERDANG
- FAPPAR – DS,
tanggal 07 Juni 2015
- Kegiatan pengadaan
Pengelolaan dan Rehabilitas
terumbu karang, mangruve,
Padang Lamun dan Teluk TA.
2014 dengan nilai kontrak
sebesar Rp. 1.085.057.500,-
yang diduga mark up dalam
pelaksanaan pengadaannya.
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
6. DPRD PROV.
SUMUT - Nomor : 081 / LPLM-
SU / X/ 2015, tanggal
05 Oktober 2015
- Tindak Pidana Korupsi - Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
7. DINAS PASAR
KAB. DELI
SERDANG
- 14 September 2015 - Tindak Pidana Korupsi kegiatan
Revitalisasi Pasar pembangunan
Los Pasar dan Pembangunan
Kios Pasar di Pasar Tanjung
Morawa dan Pembangunan Kios
- Menerbitkan SP.Lidik
dan SP. Tugas
- Telah melakukan
Verifikasi untuk
Proses
Lidik
144
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
158
Pasar Namorambe Kab. Deli
Serdang dan Rehap Los Pasar
Gunung Meriah Pembangunan
Ketiga Pasar tersebut Rp.
1.269.193.700,-
permintaan dokumen
kegiatan
8. DINAS
PENDIDIKAN - DPD Lembaga Peduli
Linkungan
Masyarakat Kab. Deli
Serdan, 02 Nopember
2015
- Dugaan tindak pidana korupsi
Pengadaan untuk tingkat SD /
SMP di Instansi Dinas
Pendidikan Kab. Deli Serdang
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
9. DINAS
PEKERJAAN
UMUM
- DPWK Deli Serdang
FAPPAR – DS, 24
Nopember 2015
- Dugaan tindak pidana korupsi
kegiatan Pengadaan Aspal pada
dinas Pekerjaan Umum TA 2014
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
10. Sekolah Negeri
107405 Sei
Rotan
- Drs. H. RUSTAM
EFFENDI BARUS,
18 Nopember 2015
- Pengaduan tentang Kepala
Sekolah Menampar Guru dan
melakukan Pungli serta diduga
adanya penyimpangan Dana Bos
di SD Negeri 107405 Sei Rotan
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
11. Terminasi
Pengungsi Aceh - DPP LSM TIM
Investigasi Pidana
Korupsi Indonesia, 06
Nopember 2015
- Pengaduan tentang pembayaran
dana terminasi pengungsi Aceh
yang tertunda hingga saat ini
belum terselesaikan
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
12. DINAS
PEKERJAAN
UMUM
- DPWK Deli Serdang
LSM FAPPAR-RI,
28 Nopember 2015
- Dugaan tindak pidana korupsi
kegiatan pengadaan Jalan Akses
Non Tol Kwalanamu kementrian
pekerjaan umum dan perumahan
rakyat
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
13. - - No : 014 / KM /
TOPAN-AD / 12 /
2015, 04 Desember
2015
- Permintaan Informasi salinan
Dokumen lengkap Realisasi dan
Penyaluran Anggaran
APBN/APBNP Tahun 2014
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
TAHUN 2016
14. BALAI
PERKRETAPIA
N WILAYAH
SUMATERA
BAGIAN
UTARA
- RCW No : 02/ RCW
– DS / I / 2016, Tgl 04
Januari 2016
- Dugaan tindak pidana korupsi
kegiatan pembangunan
jembatan Rel Kereta Api Proyek
Jembatan Aras Kabu lokasi di
Desa Serdang Kec. Beringin
Kab. Deli Serdang.
- Telah melakukan verikasi
terhadap
1. WERDAYANI PURBA,
SH (selaku Bendahara
Pengeluaran)
2. DEDY GUSMAN, ST,
M.sc (selaku Pejabat
Pembuat Komitmen
(PPK) )
3. DWI SUSILO
JUNIAWAN, ST (selaku
Pengawas Lapangan )
4. ARYO ERLANGGA,
SE ( selaku Bendahara
Pengeluaran )
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
15. Dana Bantuan
Sosial
Pemerintah
Provinsi
Sumatera Utara
- 29 Januari 2016 - Dugaan tindak pidana korupsi
Pembangunan Dana Bantuan
Sosial Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara oleh Panitia
Renovasi Mushollah Dusun Bali
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
159 Desa Sidodadi Kec. Beringin
Kab. Deli Serdang TA. 2012
16. DINAS
PEKERJAAN
UMUM
- RCW No : 06 / RCW
– DS / I / 2016, Tgl 06
Januari 2016
- Dugaan tindak pidana korupsi
kegiatan Peningkatan jalan pada
Dinas Pekerjaan Umum Kab.
Deli Serdang lokasi di Desa
Serdang Kec. Beringin Kab.
Deli Serdang
- Telah melakukan
pengumpulan dokumen
yang berkaitan dengan
perkara tersebut
-
Proses
Lidik
17. SMA Negeri 1
Talun Kenas - PT. Perkebunan
Nusantara II (Persero)
tgl 01 Desember 2015
- Dugaan tindak pidana korupsi
menguasai lahan tanah PT.
Perkebunan Nusantara II Kebun
Patumbak tanpa Izin hak pakai
dalam pembangunan Ruang
Kelas Baru SMA Negeri 1 Talun
Kenas.
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
18. ADD Desa
Penen Kec.
Sibiru – biru
- Desa Penen Kec. Biru
– biru, Tgl 09 Januari
2016
- Dugaan tindak pidana korupsi
penggunaan anggaran Alokasi
Dana Desa (ADD) TA. 2015
tepatnya di Desa Penen Kec.
Sibiru – biru Kab. Deli Serdang
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
19. BADAN
KEPEGAWAIA
N DAERAH
KAB. DELI
SERDANG
No : 06 / FAPPAR – BS
/ III / 2016, tanggal 29
Maret 2016
Tindak pidana korupsi dugaan
penyimpangan / mark – up dan
tidak sesuai dengan spesifikasi
teknis yang telah tentukan dalam
kegiatan barang / jasa pemerintah
pada paket Pekerjaan Pembangunan
Gedung Serbaguna Badan
Kepegawaian Daerah Kab. Deli
Serdang
- Telah Melakukan
Penyelidikan
- Telah melakukan
Verifikasi
- Telah melakukan gelar
perkara ke BPKP
Proses
Lidik
20. KEPALA
BADAN
KEPEGAWAIA
N DAERAH
KAB. DELI
SERDANG
- LSM, tangal sds
April 2016
- Tindak pidana korupsi dugaan
penyimpangan / mark – up dan
tidak sesuai dengan spesifikasi
teknis yang telah tentukan dalam
kegiatan barang / jasa
pemerintah pada paket
Pekerjaan Pembangunan
Gedung Serbaguna Badan
Kepegawaian Daerah Kab. Deli
Serdang
- Telah melakukan verikasi
terhadap
1. WARDIANTO,
S.AP, M.AP .selaku
Pejabat Pembuat
Komitmen (PPK) )
2. TAHA NUR ILHAM
(selaku Direkatur PT.
DUTA SUMATERA
PERKASA)
-
Proses
Lidik
21. SMA N 1
Tanjung Morawa - LSM TOPAN – RI
tanggal 03 Mei 2016
- Tindak pidana korupsi tentang
adanya dugaan penyalahgunaan
kewenangan dan anggaran dalan
kegiatan kontrak kerjasama
Bimbingan Belajar (Bimbel)
Ganeca Operation ( GO ) dengan
pihak SMA N 1 Tanjung
Morawa TA. 2012 - 2013
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
22. SD Negeri No.
107418 Bangun
Sari Baru
- 07 September 2015 - Tindak pidana korupsi dugaan
penyalahgunaan kewenangan
dan anggaran pada pemindahan
lokasi dan pembangunan
Gedung SD Negeri No. 107418
Bangun Sari Baru Kec. Tanjung
Morawa Kab. Deli Serdang TA.
2014
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
23. Dinas Sosial - LSM Pemantau
pembangunan &
pengelolaan
- Tindak pidana korupsi dalam
kegiatan pengadaan alat
penunjang untuk penderita
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
160 keuangan negara,
tanggal 02 Juni 2016
cacat, pembangunan kontruksi
kantor Dinas Sosial dan
pengadaan perlengkapan gedung
kantor Dinas Sosial sumber
Anggaran dari APBD Dinas
Sosial TA 2015
24. Dinas
Pengelolahan
Keuangan dan
Aset Daerah
- Komunitas Warga
Pencita Deli Serdang,
08 Juni 2016
- Tindak pidana korupsi dugaan
penyalahgunaan kewenangan
dalam penyusunan dan
penyajian relaisasi pendapatan,
kas daerah tetap, piutang pajak
daerah, akumulasi penyusutan,
utang jangka pendek, realisasi
pendapatan pajak daerah dan
pendapatan hibah pada Dinas
Pengelolahan Keuangan dan
Aset Daerah Kab. Deli Serdang
TA. 2015
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
25. Dinas Pekerjaan
Umum - LSM FAPPAR R.I
tanggal 27 Juni 2016
- Dugaan tindak pidana Korupsi
Rutin Sewa alat Berat
(eskavator) pada Dinas
Pekerjaan Umum
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
26. ADD Desa
Kotasan Kec.
Galang
- LSM Desa Kotasan
Kec. Galang, Tgl 08
April 2016
- Dugaan tidak pidana korupsi
Mantan Kepala desa Kotasan
Kec. Galang menjual sebagai
tapak tanah Kantor Desa
Kotasan saat menjabat jadi
Kepala Desa Kotasan yang
bernama ASBULLAH tmt
Jabatan 27 Pebruari 2009 s/d 29
April 2014
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
27. Dinas Pekerjaan
Umum - LSM, tanggal 26 Mei
2016
- Tindak pidana korupsi
Pengadaan Barang/Jasa
Pekerjaan Pelebaran Ruas Jalan
Tj. Morawa – Talun Kenas Kec.
Tanjung Moawa / STM Hilir
Pada Dinas Pekerjaan Umum
TA. 2015
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
28. Dinas
Pendidikan
Pemuda dan
Olah Raga
- LSM, tanggal 31 Mei
2016
- Perkara tindak pidana korupsi 3
(tiga) kegiatan Pengadaan
Barang/Jasa Alat-alat
Laboraturium Pada Dinas
Pendidkan Pemuda dan Olah
Raga Kab. Deli Serdang TA.
2015.
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
29. Komite Olahraga
Nasional
Indonesia
(KONI) Kab.
Deli Serdang
- RCW Deli Serdang,
13 Juni 2016
- Laporan dugaan indikasi adanya
Mark up dalam pengelolaan
dana hibah di Komite Olahraga
Nasional Indonesia (KONI)
Kab. Deli Serdang TA. 2014 dan
TA 2015
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
30. Dinas
Pendidikan
Pemuda Dan
Olahraga
- LSM Law Office
Harun, SH &
Associates, tanggal
20 Mei 2016
- Tindak Pidana Korupsi tentang
adanya Pokja Kontruksi Dinas
Pendidikan, Pemuda dan
Olahraga Kab. Deli Serdang TA.
2016
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
31. Balai Teknik
Perkretaapian - LSM FAPPAR – RI,
tanggal 10 Agustus
2016
- Tindak pidana korupsi proyek
paket pembangunan BOX
- Telah melakukan
penyelidikan
Proses
Lidik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
161 Wilayah
Sumatera Utara
CULVERT antara Aras Kabu –
batang Kuis TA. 2015 - Melakukan pengumpulan
dokumen
32. PT.
YASAPOLA
REMAJA
- LSM - Tindak pidana korupsi dalam
paket Pembangunan Jalan
Kereta Api Layang antara
Medan–Bandar Khalipah Lintas
Medan-ArasKabu– Kualanamo,
pengadaan dari Balai Teknik
Perkretaapian Wilayah
Sumatera Utara Bagian Utara
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
33. DINAS
PENDIDIKAN
PEMUDA dan
OLAHRAGA
- LSM RCW Deli
Serdang, 13 Juni 2016
- Tindak pidana korupsi dalam
kegiatan pengadaan meubelair
sekolah tingkat SD/SMP yang
sumber anggaran dari APBD
Dinas Pendidikan, Pemuda dan
Olahraga Kab. Deli Serdang TA.
2014
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
34. DINAS PASAR
KAB. DALI
SERDANG
- LSM FAPPAE-RI, 18
Agustus 2016
- Penyalahgunaan dan
penyelewengan uang Negara
yang dilakukan oleh Kadis Pasar
Kab. Deli Serdang.
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
35. PT. WASKITA
YOSA,KSO - LSM FAPPAE-RI,
tangal 24 September
- Penyampaian dana informasi
dugaan korupsi pada penetapan
dan penerimaan tarif pajak atas
mineral bukan logam dan
bantuan (tanah timbunan) pada
proyek penimbunan Bandara
Kwalanamo yang dierjakan oleh
PT WASKITA YOSA,KSO
dengan pemerintah Deli
Serdang.
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
36. Desa Batang
Kuis - RCW Deli Serdang,
03 Oktober 2016
- Dugaan tindak pidana korupsi
Pekerjaan Pembangunan
Infrastruktur kawasan
pemukiman pedesaan Kec.
Batang Kuis Kab. Deli Serdang
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
37. DINAS PU
KAB. DELI
SERDANG
- LP Tipikor
Nusantara, tanggal 09
Nopember 2016
- Temuan LP Tipikor Nusantara
atas dugaan korupsi di Dinas
Pekerjaan Umum kab. Deli
Serdang
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
38. Desa
Namorambe - Masyarakat Desa
Namo batang Kec.
Namorambe, 22
Agustus 2016
- Laporan adanya dugaan tindak
pidana korupsi Dana Desa
ADD/BHP/APBN Desa
Namorambe TA. 2015
- Telah melakukan
penyelidikan
- Melakukan pengumpulan
dokumen
Proses
Lidik
TAHUN 2017
1. Ketua LKMD
Desa Pertampilen
-
16 Pebruari 2017 - Pengaduan tindak pidana
korupsi Anggaran Dana Desa
Pertampilen Oleh Oknum
Kepala Desa Heri Saputra.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
2. Utusan
Masyarakat
DERMA
NAINGGOLAN
-
22 Pebruari 2017 - Pengaduan perlindungan Dana
Uang Negara (Uang APBN dan
APBD) uang dana bagi hasil
yang dikorupsi oleh kepala Desa
Sidoarjo II Ramunia beserta
stafnya oleh saudara KACULIR
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
- Membuat surat
Permintaan ke APIP
Kerugian
keuangan
Negara
sudah
dikembali
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
162 SIMBOLON, SE sebanyak +Rp.
1.300.000.000,-.
kan ke Kas
Negara
3. UNIT TIPIKOR R/LI/03/II/2017/Sat
Reskrim
27 Pebruari 2017
- Dugaan pemalsuan dari dalalm
penerbitan simb Dinas
Penanaman Modal dan
Pelayanan Perizinan Terpadu.
- Mengumpulkan dokumen
- Cek TKP
- Telah Mengirimkan
permintaan audit ke
inspektorat kab. Deli
Serdang selaku APIP
tanggal 25 April 2017
Proses
Lidik
4. PAMK POLDA
SUMUT
19/PALUK-
SU/Ds/II/2017
28 Pebruari 2017
- Klarifikasi dugaan KKN pada
pelaksanaan pekerjaan
pengaspalan Jalan Surya Haji
Desa Laut Dedang Kec. Percut
Sei Tuan.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
5. DPP Forum
Komunikasi
Masyarakat
Pesisir ( FKMP-
SU)
17 / LP / FKMP - SU / /
B / III / 2017
20 Maret 2017
- Laporan Pengaduan adanya
dugaan dan indikasi korupsi dan
mepotisme (KKN) di
Pemerintahan Desa Tandam
Hilir I Tahun Anggaran 2016
Dana ADD Rp. 506.475.000,-
dari hasil pajak BHP Rp.
577.526.000 dan ADD Rp.
696.980.000 dari APBD dan
ABPN
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
6. KASAT
RESKRIM
UNIT III
B/ND-
36/III/2017/Reskrim
14 Maret 2017
- Pengajuan Laporan Informasi
PDAN Tirta Nadi.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
7. KASAT
RESKRIM
UNIT III
B/ND-
38/III/2017/Reskrim
21 Maret 2017
- Pengajuan Laporan Informasi
PLN.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
8. Masyarakat Desa
Pertampilen Kec.
Pancur Batu
-
22 Maret 2017 - Pengaduan / Laporan
Penyelewengan dan Penggunaan
Dana Desa yang dilakukan oleh
Oknum Sekretaris Desa
Pertampilen Kec. Pancur Batu.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
9. NGENA
GINTING
-
05 April 2017 - Laporan atas pengambilan buku
rekening kas Desa Timbang
Lawan No. 112.02.04.014924
atas nama Kantor Desa Timbang
Lawan, nama Kepala Desa M.
Sembiringdan nama Bendahara
Ngena Ginting, oleh Kepala
Desa dari Bendahara Desa
dengan tidak di pertanggung
jawabkan, dan laporan belum
selessainya surat pertanggung
jawaban (SPS) dan Peraturan
Desa (PERDES) tentang
pertanggung jawaban APBD
Tahun 2016.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
10. DPW
GEBRAKKS-SU
031.LPDK/GBKKS-
SU/B/III/2017
31 Maret 2017
- Laporan Pengaduan Dugaan
Korupsi penggunaan Dana
Alokasi Dana Desa (ADD) Dana
Desa (DD) dan bagi hasil Pajak
(BHP) Tahun Anggaran 2016
dari APBN dan APBD Deli
Serdang.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
163 11. Gerakan Barisan
Komitmen
Konsitusi
Sriwijaya
(GEBRAKKS-
SU)
034-LPDK/GBKKS-
SU/B/IV/2017
07 April 2017
- Laporan Pengaduan Dugaan
Korupsi penggunaan Dana
Alokasi Dana Desa (ADD) Dana
Desa (DD) dan bagi hasil Pajak
(BHP) Tahun Anggaran 2016
dari APBN dan APBD Deli
Serdang.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
12. Warga Namo
Rambe
Istimewa/LP-
PGP/Masy.DDT/IV/201
7
13 April 2017
- Laporan Pengaduan dan
Pengajuan Gugatan pidana
pengajuan gugatan pidana
kepada Kepala Desa Deli Tua
Tahun 2016 (Tongat Giting)
berdasarkan UU RI No. 28
Tahun 1999 tentang
penyelenggaraan Negara yang
bersih dan bebas dari KKN
- Mohon Perlindungan Hukum.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
13. Warga Desa
Namo Batang
Istimewa PGP/
Masy.DNB/IV/2017
11 April 2017
- Pengajuan gugatan Pidana
Kepada Kepala Desa Namo
Batang 2016 (Nanam Ginting)
pada penggunaan Dana Desa
Tahun 2016 dan silpa Dana
Desa Tahun 2015 senilai Rp.
52.000.000-, berddasarkan UU
RI Nomor 28 Tahun 1999
tentang penyelenggaraan
Negara RI yang bebas dari KKN
- Mohon Perlindungan Hukum.
- Mengumpulkan
dokumen
- Cek TKP
- Wawancara Dengan
Pelapor Dan Warga
Sekitar
- Telah Mengirimkan
permintaan audit ke
inspektorat kab. Deli
Serdang selaku APIP
tanggal 09 Juni 2017
Proses
Lidik
14. LMP.KGB.RI II/LMP-KGB-
RI/IV/2017
20 Mei 2017
- Laporan masyarakat dugaan
penyalahgunaan / Mark Up
anggaran Dana Desa Tahun
2016 serta bagi hasil, hasil pajak
daerah dan retribusi daerah
Tahap I Tahun 2016 di daerah
Pasar Melintang Kec. Lubuk
Pakam.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
15. Masyarakat Deli
Serdang Limau
Mungkur
KERTIK BR
TARIGAN
-
15 Mei 2017 - Surat Pernyataan Masyarakat
Deli Serdang Limau Mungkur
atas pembagian Raskin di Desa
Limau Mungkur Kec. STM Hilir
Kab. Deli Serdang, atas Perintah
Kepala Desa (Nuah Sembiring).
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
16. PINTER UKUR
SEMBIIRING
-
20 April 2017 - Laporan / Permohonan agar di
lakukan pemerikasaan (Audit)
atas penyimpangan dalam
penggunaan Dana Desa (APBN)
Tahun 2016 untuk Desa
Timbang Lawan Kec. Namo
Rambe Kab. Deli Serdang.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
17. Kementrian
Perhubungan
Direktorat
Jendral
Perhubungan
Udara
KU.201/I/14/DRJU.DB
U.2017
09 Mei 2017
- Penjelasan Pembayaran Pajak
Galian C.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
18. Krimsus Polda
Sumut
K/1180/V/2017/Ditreskr
imsus
29 Mei 2017
- Limpahan surat pengaduan
dugaan mark-up pengadaan
barang dan dugaan pembuatan
Bak sampah filerf.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
164
19. Krimsus Polda
Sumut
K/3024/V/2017/Ditreskr
imsus
29 Mei 2017
- Pelimpahan pengaduan
masyarakat
- Dugaan tindak pidana korupsi
Penggunaan Dana Desa, Alokasi
Dana Desa dan Bagi Hasil Pajak
dan Retribusi TA. 2016 Pada
Desa Tanjung Muda Kec. STM
Hulu Kab. Deli Serdang.
-
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
- Melakukan Cek Lokasi
Proses
Lidik
20. Warha Desa
Pagar Merbau III
02 / Khusus / 2017
03 Mei 2017 - Dugaan terjadinya KKN / dan
Mark Up biaya bangunan di
Desa Pagar Merbau III
- Melakukan Penyelidikan
-
Proses
Lidik
21. Polda Sumut
DPW Gebrakks-
SU
K/1469/VII/2017/Ditres
krumsus
06Juli 2017
031.LPDK/GBKKS-
SU/B/III/2017
31 Maret 2017
- Pelimpahan pengaduan
masyarakat
- Laporan pengaduan dugaan
korupsi penggunaan dana
alokasi dana Desa (ADD), dana
Desa (DD) dan bagi hasil pajak
(BHP) tahun anggaran 2016 dari
APBN dan APBD Deli Serdang.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
22. DPW LSM
Gebrakks-SU
38-T/Gebrakks-
SU/B/VII/2017
17 Juli 2017
- Tangkap Zulkifli Kepala Desa
Pematang Biara Kec. Pantai
Labu Kab. Deli Serdang Prov
Sumatera Utara, yang telah
merugikan keuangan negara
senilai Rp. 97.850.000,-. ABPD-
APBN tahun 2016 serta
melantarkan puluhan hektar
lahan milik masyarakat demi
keuntungan pribadi.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
23. Sat Reskrim B/ND-
75/VII/2017/Reskrim - Pengajuan laporan informasi. - Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
24. Krimsus Polda
Sumut
K/1574/VII/2017/Ditres
krimsus
17 Juli 2017
- Pelimpahan surat pengaduan
ADD Kec. Pancur Batu.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
25. Kertik Br
Tarigan
02/MS/LM/2017
20 Juli 2017 - Penyalagunaan beras raskin atau
rasta.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
26. Unit III B/ND-76/VII/2017/
Reskrim
03 Juli 2017
- Pengajuan laporan informasi
proyek paket pekerjaan
pembangunann puskesmas
Pancur Batu.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
27. Derma
Nainggolan
-
19 Juli 2017 - Mohon dari masyarakat hasil
sidang yang kita lakukan didesa
Sidoarjo II Ramunia tentang
korupsi agar segera dilimpahkan
ke Polres atau Tipikor.
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
28. Masyarakat Desa
Tanjung Garbus
Kampung
-
09 Oktober 2017 - Laporan Pengaduan tentang
kepala Desa Tanjung Garbus
Kampung
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
- Mengumpulkan
Dokumen
Proses
Lidik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
165 29. Direskrimsus
Polda Sumut
Masyarakat Desa
Bekukul Kac.
Namorambe
B / 6134 / X / Res7.5/
2017 / Ditrekrimsus
07 Oktober 2017
- Pelimpahan Surat Pengaduan
masyarakat
- Dari JAKUB TARIGAN prihal
dugaan tindak pidana korupsi
Dana desa (DD) dan Alokasi
dana Desa ( ADD ), di Desa
Bekukul Kec. Namorambe Kab.
Deli Serdang
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
30. Desapaluh Sibaji
Kec. Pantai Labu
13 Nopember 2017 - Penyelewengan Uang Negara
Dalam Penggunaan Alokasi
Dana Desa (ADD) , DANA
DESA (DD) dan BHB TA. 2016
Pada DesaPaluh Sibaji Kec.
Pantai Labu
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Kerugian
keuangan
Negara
sudah
dikembali
kan ke Kas
Negara
31. D LSM
KORNELISU
KOWIT
20 Nopember 2017 - Laporan Bantuan Desa Namo
Pakam Tahun 2016 dan korupsi
bantuan Desa Namo pakam
tahun 2016
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
Proses
Lidik
32. Desa Juma
Tombak Kec.
STM Hilir Talun
Kenas
16 Nopember 2017 - Pengaduan Masyarakat tentang
Pembangunan sekolah Paud di
Desa Juma Tombak Kec. STM
Hilir Talun Kenas
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
-
Proses
Lidik
33. Desa Siperia –
ria Kec. Biru –
biru Kab. Deli
Serdang
17 Oktober 2018 - Penyalahgunaan Kewenangan
terhadap Pengggunaan Dana
Desa dan Bagi Hasil Paak ( BHP
) dan APBD Kab. Deli
SerdangTA. 2016yang diduga
dilakukan oleh Kepala Desa
Siperia – ria Kec. Biru – biru
Kab. Deli Serdang
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
- Permintaan Klarifikasi
- Koordinasi ke APIP
Kerugian
Negara
sudah
dikembali
kan ke Kas
Negara
tanggal 24
Januari
2018
TAHUN 2018
1. Desa Gunung
Seribu
Kec.Gunung
Meriah Kab.
Deli Serdang
15 Pebruari 2018 Tindak pidana korupsi pada Desa
Gunung Seribu Kec.Gunung
Meriah Kab. Deli Serdang
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
- Cek lokasi
Proses
Lidik
2. Desa Serdang
Kec. Beringin
Kab. Deli
Serdang
21 Pebruari 2018 Tindak pidana korupsi
Penyelewengan Negara dalam
Alokasi Dana Desa ( ADD ), Dana
Desa (DD) dan BHP TA.
2016/2017 Desa Serdang Kec.
Beringin Kab. Deli Serdang
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
- Cek lokasi
Proses
Lidik
3. Dinas Bina
Marga dan Bina
Kontruksi
12 Juli 2018 Tindak Pidana Korupsi Pada
Pekerjaan Jalan dan Jembatan
Pelaksana Teknis Dinas Mina
Marga dan Bina Kontruksi
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
- Cek lokasi
Proses
Lidik
4. Desa Baru Tara
Kec. Bangun
Purba
23 Juli 2018 Tindak Pidana Korupsi
Penyampaian dana Pengelolaan
keuangan Desa Baru Tara Kec.
Bangun Purba
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
-
Proses
Lidik
5. Desa Rantau
Panjang
Kec.Pantai Labu
05 Agustus 2018 Tindak pidana korupsi pada Kepala
Desa Rantau Panjang Kec. Pantai
Labu Kab. Deli Serdang
- Melakukan Penyelidikan Proses
Lidik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
166
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
-
6. Kadis
Perumahan dan
Pemukiman
Kab. Deli
Serdang
20 Agustus 2018 - Tindak Pidana Korupsi Pada
PembangunanPerumahan dan
Pemukiman dalam Kota Galang
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
-
Proses
Lidik
7. Desa Sialang
Muda Kec.
Hamparan Perak
04 Oktober 2018 - Tindak Pidana Korupsi Desa
Sialang Muda Kec. Hamparan
Perak
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
-
Proses
Lidik
8. Dinas
Pendidikan
Kab.Deli
Serdang
25 Oktober 2018 - Tindak Pidana Korupsi Pada
Dinas Pendidikan Kab.Deli
Serdang
- Melakukan Penyelidikan
- Membuat Surat Perintah
Penyelidikan dan
Penugasan
-
Proses
Lidik
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA