ki - peran pbb dalam penegakkan hukum diplomatik - januari 2006
TRANSCRIPT
KARYA ILMIAH
PERAN PBB DALAM RANGKA MENEGAKKANHUKUM DIPLOMATIK
OLEH
Drs. JOKE PUNUHSINGON, SH
YAYASAN GMIM Ds. A.Z.R. WENASUNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA TOMOHON
FAKULTAS HUKUMTOMOHON
2006
PENGESAHAN
Panitia Penilai Karya Ilmiah Dosen Fakultas Hukum Universitas Kristen
Indonesia Tomohon, telah memeriksa dan menilai karya ilmiah dari :
Nama : Drs. JOKE PUNUHSINGON, SH
NIDN : 0930086204
Jabatan : Asisten Ahli
Judul Karya Ilmiah : PERAN PBB DALAM RANGKA
MENEGAKKAN HUKUM DIPLOMATIK.
Dengan Hasil : Memenuhi Syarat
Tomohon, Januari 2006
Dekan / Ketua Tim Penilai
JULIUS KINDANGEN, SH
ii
KATA PENGANTAR
Dipanjatkan puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat
campur tangan Tuhan Yang Maha Kuasa yang telah memberikan kekuatan dan
hikmat kebijaksanaan kepada penulis untuk dapat menyelesaikan penulisan karya
ilmiah ini.
Penulisan karya ilmiah yang berjudul "Peran PBB Dalam Rangka
Menegakkan Hukum Diplomatik” ini dimaksudkan untuk mengadakan
pengkajian terhadap seberapa besar usaha PBB dalam menyebarluaskan Hukum
Diplomatik sebagai bagian dari penegakan Hukum Diplomatik.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
para pihak yang telah membantu penulis dalam penulisan karya ilmiah ini,
khususnya kepada Panitia Penilai Karya Tulis Ilmiah Fakultas Hukum UKIT,
lebih khusus lagi kepada Bapak JULIUS KINDANGEN, SH, selaku Dekan/Ketua
Tim Penilai Karya Tulis Ilmiah yang telah memberikan koreksi dan masukan-
masukan terhadap karya ilmiah ini.
Sebagai manusia biasa tentu saja dalam usaha penulisan karya ilmiah ini
terdapat kekurangan dan kelemahan, baik itu materi maupun teknik penulisannya,
untuk itu maka segala kritik dan saran yang sifatnya konstruktif amat penulis
harapkan demi kesempurnaan penulisan ini.
Akhir kata semoga Tuhan Yang Maha Esa, selalu menyertai segala usaha
dan tugas kita.
Tomohon, Januari 2006
Penulis,
Drs. JOKE PUNUHSINGON, SH
iii
DAFTAR ISI
Halaman :
JUDUL ................................................................................................. i
PENGESAHAN................................................................................... ii
KATA PENGANTAR ......................................................................... iii
DAFTAR ISI ........................................................................................ iv
BAB I : PENDAHULUAN .............................................................. 1
A. Latar Belakang Masalah ............................................... 1
B. Perumusan Masalah......................................................... 3
C. Tujuan Penulisan ............................................................. 4
D. Manfaat Penulisan ........................................................... 4
E. Metode Penelitian ............................................................... 4
BAB II : PEMBAHASAN ................................................................... 5
A. Konvensi Wina Tahun 1961 Mengenai Hubungan
Diplomatik ……………………………………………..... 5
B. Usaha-Usaha Internasional Melalui PBB Dalam Rangka
Pentaatan Hukum Diplomatik…………............................ 10
C. Tantangan-Tantangan Yang Dihadapi Dalam Pelaksanaan
Hukum Diplomatik ……………………………………… 16
BAB III : PENUTUP …………………………………………………. 18
A. Kesimpulan ........................................................................ 18
B. Saran .................................................................................. 20
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 22
iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Usaha-usaha untuk mengadakan kodifikasi terhadap prinsip-prinsip
diplomasi yang dipandang cukup berarti adalah pada tahun 1927 pada masa Liga
Bangsa-Bangsa. Di mana pada waktu itu telah dibentuk komite ahli untuk
melaporkan bahwa subjek hukum diplomatik melalui cabang- cabang dari
pergaulan diplomatik antar negara haruslah diatur secara internasional.
Sementara itu konperensi negara-negara Amerika yang diadakan di
Havana tahun 1928 telah membahas masalah kodifikasi hukum diplomatik secara
panjang lebar dan kemudian menetapkan dua konvensi, satu mengenai pejabat
diplomatik dan yang lain mengenai pejabat konsuler. Konperensi Havana ternyata
telah berhasil untuk pertama kalinya mengadakan kodifikasi hukum
diplomatik.
Bagi yang tetap mempertahankan hukum kebiasaan internasional tidak
menghendaki terciptanya kodifikasi hukum diplomatik dan berpendapat bahwa
hukum kebiasaan internasional berlaku lebih luas (umum).
Namun di lain pihak karena meningkatnya hubungan antar negara yang
disebabkan oleh laju tumbuhnya negara-negara yang baru merdeka, hubungan
diplomatik antar negara tersebut perlu dituangkan dalam konvensi internasional
dan menganggap bahwa usaha Kodifikasi Hukum Diplomatik merupakan hal
yang mutlak diperlukan.
Dalam rangka kodifikasi hukum diplomatik saat ini telah diciptakan
sejumlah konvensi tentang hukum diplomatik. Dengan telah dikeluarkannya
berbagai konvensi itu telah menandai perkembangan kemajuan prinsip-prinsip.
Hukum Diplomatik; termasuk kodifikasinya yang tidak saja hanya merupakan
ketentuan-ketentuan yang penting yang mengatur hubungan antar bangsa akan
tetapi lebih dari itu telah diperluas lagi dengan hubungan konsuler antar negara
1
termasuk misi-misi khusus, dan pencegahan serta penghukuman bagi tindak-
tindak kejahatan yang dilakukan terhadap para diplomat.
Demikian juga ketentuan-ketentuan lain yang mengatur tentang para
delegasi negara-negara yang akan menghadiri konperens-konperensi internasional.
Timbulnya tindakan-tindakan kekerasan yang mengancam keselamatan
para pejabat diplomatik pada waktu lalu antara lain disebabkan timbulnya
aspirasi-aspirasi politik yang tidak dapat terpenuhi khususnya dalam rangka
penentuan hak nasib sendiri, seperti Organisasi Pembebasan Palestina (PLO),
Organisasi Rakyat Afrika Barat Daya (SWAPO), sehingga mereka kadang-kadang
terpaksa harus melakukan tindakan-tindakan kekerasan, tindakan penyanderaan
dan lain-lain yang mengancam keselamatan para diplomat di negara yang
bersangkutan. Tindakan semacam ini dilakukan dalam rangka mencapai tujuan
aspirasi mereka yang dicita-citakan terutama dalam memperoleh kemerdekaan
mereka.
Tindakan-tindakan yang ditujukan kepada para diplomat juga dapat pula
disebabkan karena adanya pertentangan ideologi, gerakan-gerakan perdamaian
yang tidak menghendaki perlombaan-perlombaan senjata nuklir di mana
organisasi semacam ini tidak pernah dihiraukan oleh pemerintah negara yang
bersangkutan. Sehingga dengan demikian mereka sering mengadakan "Political
Blakcmail" berupa tindak-tindak kekerasan yang dilakukan terhadap para
diplomat dari negara yang bersangkutan. Tindakan-tindakan semacam ini sering
dilakukan dengan sengaja dalam usaha-usaha mengadakan tekanan-tekanan agar
tujuannya dapat tercapai.
Di samping itu perkembangan gerakan separatisme yang makin meluas di
seluruh dunia dalam usaha mencapai tujuan yang diinginkan juga tidak jarang
melakukan tindakan-tindakan yang sama terutama yang ditujukan kepada para
diplomat sehingga mengancam keselamatan mereka dalam menjalankan tugas
diplomatiknya.
Di samping itu perkembangan gerakan separatisme yang makin meluas di
seluruh dunia dalam usaha mencapai tujuan yang diinginkan juga tidak jarang
melakukan tindakan-tindakan yang sama terutama yang ditujukan kepada para
2
diplomat sehingga mengancam keselamatan mereka dalam menjalankan tugas
diplomatiknya.
Dalam tahun 1980-an laju tindak terorisme cukup menonjol khususnya
dilakukan terhadap para diplomat, merupakan tindakan yang sangat
membahayakan fungsi mereka dalam melakukan tugas-tugas diplomatiknya
sehari-hari. Sebagai contoh dalam tahun 1980 terdapat 400 tindak terorisme yang
ditujukan kepada pejabat diplomatik dan konsuler yang meliputi 60 negara.
Sedangkan 6 bulan pertama tahun 1981 terdapat 191 tindak terorisme dengan
obyek yang sama termasuk yang menyangkut perwakilan atau missi asing. Gejala
ini terus meningkat dalam tahun-tahun berikutnya tidak saja memakan korban
jiwa yang besar tetapi juga korban harta benda serta kerusuhan-kerusuhan pada
perwakilan asing, bahkan baru-baru ini di Zaire, seorang Duta Besar Perancis
tewas kena tembakan yang diarahkan ke gedung kedutaan.
Dalam rangka penataan Konvensi Wina termasuk perkembangannya tidak
saja para diplomat negara-negara tertentu menjadi obyek atau sasaran sehingga
menimbulkan bencana, membahayakan keselamatan para diplomat tetapi juga
gedung-gedung termasuk harta milik dan barang-barang lainnya.
B. PERUMUSAN MASALAH
Melihat perkembangan gejolak dewasa ini khususnya yang menyangkut
kurang ditaatinya Konvensi Wina 1961 termasuk perkembangannya, di mana
banyak muncul tindakan-tindakan pelanggaran yang mengancam keselamatan
para diplomat, perlu diberikan upaya-upaya yang terkonsolidasi dalam rangka
mengurangi pelanggaran-pelanggaran tersebut. Sehingga yang menjadi
permasalahan adalah apakah PBB dapat menjadi mekanisme yang paling tepat
untuk mengadakan koordinasi dan konsolidasi dalam mencari upaya-upaya itu.
Serta sejauhmanakah usaha-usaha PBB dalam menegakkan hukum diplomatik.
3
C. TUJUAN PENULISAN
Tujuan penulisan ini ialah sebagai berikut :
a. Mencari pemecahan masalah penegakan hukum diplomatik oleh PBB
sehubungan dengan banyaknya pelanggaran-pelanggaran terhadap kekebalan
dan keistimewaan diplomatik, dewasa ini.
b. Untuk mengkaji dan menganalisa praktek hubungan-hubungan diplomatik
dalam masyarakat internasional sebagai sarana hubungan antar negara.
D. MANFAAT PENULISAN.
Sedangkan kegunaan penulisan ini adalah sebagai berikut :
a. Menambah wawasan dan perbendaharaan dalam Hukum Diplomatik
khususnya tentang penegakkan hukum diplomatik sebagai sarana pergaulan
antar bangsa.
b. Merupakan bahan pemikiran ilmiah dalam mengembangkan hukum
diplomatik khususnya tentang kekebalan dan keistimewaan diplomatik, baik
pada mulai maupun berakhirnya, serta sebagai pendorong ke arah penelitian
lebih lanjut.
E. METODE PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode
deskriptif, yakni suatu metode yang digunakan untuk memecahkan masalah yang
ada sekarang, dan pelaksanaannya tidak terbatas hanya sampai pada pengumpulan
dan penyusunan data, melainkan juga kajian dan interpretasi data tersebut.
Adapun data yang digunakan dalam penelitian ini ialah data sekunder atau
data yang diperoleh dari hasil penelitian hukum normatif, kemudian dianalisis.
4
BAB II
PEMBAHASAN
A. KONVENSI WINA TAHUN 1961 MENGENAI HUBUNGAN
DIPLOMATIK
Sejalan dengan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang banyak
mempunyai dampak terhadap perhubungan antar negara dan perkembangan
anggota masyarakat internasional dengan laju pertumbuhan negara-negara yang
baru merdeka, maka dirasakan adanya tantangan untuk mengembangkan lagi
Hukum Diplomatik secara luas. Pengembangan ini tidak saja ditujukan untuk
memperbaharui tetapi juga dalam rangka melengkapi prinsip-prinsip dan
ketentuan Hukum Diplomatik yang ada. 1
Meningkatnya kerjasama antar negara dalam menggalang perdamaian
dunia demi kesejahteraan umat manusia berdasarkan kemerdekaan dan keadilan
sosial, maka tugas misi diplomatik dalam pelaksanaannya semakin meningkat
pula.
Pengaturan Diplomatik khususnya perkembangan Kodifikasi Hukum
Diplomatik memang tidak begitu pesat sebelum didirikannya Badan Perserikatan
Bangsa-Bangsa (PBB). Namun sejak Konggres Wina 1815 telah menetapkan
tingkatan secara umum mengenai penggolongan Kepala-Kepala Perwakilan
Diplomatik secara mutakhir. Berdasarkan Protokol Wina 19 Maret 1815 bahwa :
"Diplomatic Agent are devided into three class that of ambassadors, legates, or
nuncious, that of envoys, ministers or other persons accredited to Ministers of
Foreign affairs". 2
Kemudian penggolongan itu diperkuat lagi dalam Konggres Aix La Cha
pella pada tanggal 21 Nopember 1818 di mana telah ditetapkan lagi pangkat
lainnya yaitu : "Minister resident" yang merupakan pangkat di antara "Minister"
1 Sumaryo Suryokusumo, Hukum Diplomatik, Alumni, Bandung, 1983, hal. 4.
2 Lihat Pasal 1 Protokol Wina 1815
5
dan "charge d'affaires". Sedang "Legates" dan "Nuncious" sebagaimana
ditetapkan dalam Protokol Wina merupakan wakil-wakil dari Pope (Paus). 3
Demikian Konggres Wina tersebut pada hakekatnya telah merupakan
tonggak sejarah diplomasi modern, karena telah berhasil mengatur dan membuat
prinsip-prinsip secara sistimatik termasuk praktek-praktek, cara-cara secara umum
di bidang diplomasi.
Perkembangan selanjutnya dalam rangka usaha untuk mengadakan
kodifikasi terhadap prinsip-prinsip diplomatik, yaitu pada tahun 1927 Liga
Bangsa-bangsa telah membentuk Komite Ahli yang bertugas untuk membahas
perkembangan Kodifikasi Hukum Diplomatk, di mana telah dilaporkan bahwa
dalam subjek hukum diplomatik yang meliputi cabang-cabang dari pergaulan
diplomatik antara negara haruslah diatur secara internasional.
Kemudian pada tahun 1928 di mana diadakan Konperensi Negara-Negara
Amerika yang diadakan di Havana, tidak saja telah menganggap bahwa masalah
itu sangat penting, tetapi setelah dengan panjang lebar membahasnya telah
menetapkan dua buah Konvensi yaitu :
1. Konvensi mengenai Pejabat Diplomatik
2. Konvensi mengenai Pejabat Konsuler.
Dari kedua konvensi di atas ini telah diratifikasi oleh 12 negara Amerika, di mana Amerika Serikat cenderung untuk tidak meratifikasinya dengan alasan bahwa dicantumkannya ketentuan mengenai pemberian suaka diplomatik dianggap tidak tepat dan dapat menimbulkan keberatan. Namun demikian Konperensi Havana itu kemudian tidak saja dapat merintis tetapi juga lebih dari itu telah berhasil untuk pertama kalinya dalam usaha Kodifikasi Hukum Diplomatik. 4
Pada tahun 1947 setelah berdirinya PBB, dalam Konperensi Perserikatan
Bangsa-Bangsa mengenai Organisasi Internasional telah dipikirkan suatu peluang
dengan ketentuan Piagam yang akan dirumuskan. Adanya usaha untuk
mengembangkan prinsip-prinsip hukum internasional beserta kodifikasinya yang
sudah barang tentu termasuk di dalamnya prinsip-prinsip Hukum Diplomatik.
3 E. Satow S, Guide to Diplomatic Practice, edited by Lord Gore Booth, 5 th ed. Longman, N.V., 1979, hal. 162.
4 Sumaryo Suryokusumo, Op-Cit,, hal. 7.
6
Dalam rangka itulah, maka dibentuklah Komisi Hukum Internasional yang
bertugas untuk melaksanakan studi-studi yang mendorong perkembangan
kemajuan hukum internasional, tetapi juga untuk membuat kodifikasinya,
termasuk di dalamnya Hukum Diplomatik.
Perkembangan kemajuan hukum internasional diartikan sebagai 'persiapan
rancangan Konvensi mengenai masalah-masalah yang belum diatur oleh hukum
internasional atau mengenai hukum yang belum berkembang dalam praktek
negara-negara. Sedangkan yang diartikan dengan kodifikasi Hukum Internasional
adalah 'perumusan yang lebih tepat dan sistimatisasi dari peraturan hukum
internasional diberbagai bidang yang sudah secara luas menjadi praktek, teladan
dan doktrin negara.
Selama 30 tahun (sejak tahun 1949 sampai dengan tahun 1979) Komisi
Hukum Internasional telah menyelesaikan 27 topik dan sub-topik hukum
internasional, di antaranya adalah menyangkut hukum diplomatik :
1. Pergaulan dan kekebalan diplomatik. 2. Pergaulan dan kekebalan konsuler. 3. Misi-misi khusus. 4. Hubungan antara Negara dengan Organisasi Internasional (Bagian I). 5. Masalah perlindungan dan tidak diganggu-gugatnya para anggota
diplomatik dan orang-orang lainnya yang berhak memperoleh perlindungan khusus menurut hukum internasional.
6. Status kurir diplomatik dan kantong diplomatik yang tidak diikut sertakan pada kurir diplomatik.
7. Hubungan antara Negara dengan Organisasi Internasional (Bagian II).5
Dalam persidangannya yang pertama pada tahun 1949, Komisi memilih
topik hubungan dan kekebalan diplomatik sebagai salah satu topik yang akan
dibicarakan. Dalam persidangan yang kelima, pada tahun 1953, Komisi telah
diberitahu tentang Resolusi Majelis Umum No. 685 (VII), 5 Desember 1953, yang
di dalamnya Majelis Umum meminta kepada Komisi agar menyetujui kodifikasi
hubungan dan kekebalan diplomatik secepat mungkin dan menjadikannya sebagai
topik yang mendapat prioritas pertama.
5 Eddy Suryono, Perkembangan Hukum Diplomatik, Mandar Maju, Bandung, 1992, hal. 35.
7
Dalam persidangan yang keenam, pada tahun 1954, Komisi menunjuk
A.E.F. Sandstrom sebagai Special Repporteur. Berdasarkan suatu laporan yang
disusun oleh Special Reppoteur, Komisi, pada sidang-sidangnya yang kesembilan
yaitu pada tahun 1959, menyiapkan suatu kerangka pasal-pasal yang dilengkapi
dengan komentar. Rancangan atau kerangka tersebut telah disebarkan ke pelbagai
pemerintah untuk dikomentari dan juga diikutsertakan dalam laporan yang
dikirimkan Komisi kepada Sidang Majelis Umum yang keduabelas dalam tahun
1957.
Pada sidangnya kesepuluh tahun 1958, Komisi memperbaharui rancangan
tersebut berdasarkan komentar-komentar dan observasi-observasi yang diterima
dari berbagai pemerintah dan berdasarkan diskusi rancangan tersebut dalam
Komisi keenam, pada tahun 1957. Rancangan akhir ini, oleh Komisi dikirimkan
kepada Majelis Umum pada persidangannya yang ketigabelas. Komisi
menganjurkan agar Majelis Umum menyebarkan rancangan akhir tersebut kepada
negara-negara anggota PBB disertai dengan pendapat-pendapat terhadap
kesimpulan suatu konvensi.
Komisi menunjukkan bahwa rancangan tersebut hanya menyangkut misi
diplomatik permanen. Akan tetapi Komisi tersebut juga telah meminta Special
Repporteur untuk mempelajari dan meminta pada salah satu sidang mendatang,
membuat suatu laporan tentang bentuk hubungan diplomatik, yaitu apa yang
dinamakan "diplomacy ad-hoc" yang meliputi interant envoys, konperensi-
konperensi diplomatik dan misi-misi khusus yang dikirmkan ke suatu negara
untuk maksud-maksud tertentu. Laporan Komisi juga menyangkut hubungan
antara negara dengan organisasi-organisasi internasional dan hak-hak istimewa
dan kekebalan organisasi-organisasi tersebut.
Dalam hal ini, Komisi semata-mata menunjukkan bahwa unsur-unsur ini,
diatur oleh konvensi-konvensi khusus. Selama perdebatan Komisi keenam,
pada tahun 1958 tentang laporan Komisi Hukum Internasional, beberapa wakil
menunjukkan keraguannya terhadap apakah layak mengkodifikasikan peraturan-
peraturan yang menyangkut hubungan dan kekebalan diplomatik melalui
konvensi.
8
Di sini dituturkan bahwa masalah tersebut cukup diatur oleh kebiasaan-
kebiasaan dan bahwa peraturan-peraturan yang dicapai dalam suatu konvensi akan
melahirkan unsur-unsur kelakuan suatu usaha untuk memperkenalkan
pembatasan atau hak-hak istimewa dan kekebalan diplomatik yang pada masa itu
dimiliki oleh anggota-anggota misi diplomatik.
Perombakan kebiasaan yang ada dengan alasan di atas lebih disukai
terhadap peraturan-peraturan yang dicapai oleh konvensi tersebut. Akan tetapi,
mayoritas anggota lebih suka untuk mengkodifikasikan subjek tersebut melalui
konvensi, tetapi dengan membaginya menjadi dua kelompok, berdasarkan
prosedur yang akan ditempuh. Satu kelompok mengusulkan agar persiapan
konvensi hendaknya dipercayakan kepada Komsisi Keenam kelompok yang lain
lebih menyukai hasil-hasil kesepakatan yang dicapai dalam suatu konvensi.
Dewan Umum, melalui resolusi 1288 (VIII) 5 Desember 1958, menolaknya
sampai sidang yang keempat belas, pada tahun 1959, di mana rekomendasi komisi
disetujui dan diputuskan, dalam resolusi 1450 (XIV), tanggal 7 Desember 1959,
di mana rekomendasi komisi disetujui dan diputuskan, dalam resolusi 1950 (XIV),
tanggal 7 Desember 1959 yang diteruskan hingga tahun 1961. Laporan akhir
komisi tentang hubungan dan kekebalan diplomatik, yang mengandung empat
puluh lima rancangan pasal-pasal, didasarkan kepada konperensi oleh Dewan.
Setahun kemudian melalui resolusi 1504 (XV) 12 Desember 1960, Dewan juga
menyusun rancangan pasal-pasal berdasarkan konperensi tersebut berdasarkan
misi khusus yang disetujui oleh Komisi pada persidangannya yang keduabelas,
sehingga mereka dapat bersama-sama membahas rancangan pasal-pasal atas
hubungan diplomatik permanen.
Pada tanggal 2 Maret sampai 14 April 1961, Konperensi PBB tentang
Hubungan Diplomatik dan Kekebalannya diadakan di Wina. Konperensi ini
dihadiri oleh delegasi dari 18 negara, 75 diantaranya adalah anggota-anggota PBB
dan enam lagi adalah delegasi dari badan-badan yang berhubungan dengan
Mahkamah Internasional.
Konperensi mengambil suatu konvensi yang berjudul "Konvensi Wina
tentang Hubungan Diplomatik", yang terdiri dari lima puluh artikel dan
9
menyangkut hampir semua aspek-aspek yang menyangkut hubungan diplomatik
permanen antara berbagai negara. Konperensi itu juga mengambil tema Optional
Protocol mengenai Permohonan Kewarganegaraan dan Optional Protocol tentang
Compulsory Settlement of Disputes. Final Act pada konperensi 19 itu
ditandatangani pada tanggal 18 April 1961, oleh perwakilan dari 75 negara.
Protokol Opsional dan Konvensi masih terbuka untuk ditandatangani sampai
tanggal 31 Oktober 1961, di Kementrian Luar Negeri Austria dan berikutnya,
sampai 31 Maret 1962, di Markas Besar PBB. Konvensi dan kedua Protocol
Opsional diberlakukan tanggal 24 April 1964. Pada tanggal 31 Desember 1979,
130 negara mengakui Konvensi Wina tentang Hubungan Diplomatik, 37
mengakui Protocol Opsional tentang Permohonan kewarganegaraan dan 50
Negara mengakui Protocol Opsional tentang Compulsory Settlement of Diputes.
B. USAHA-USAHA INTERNASIONAL MELALUI PBB DALAM
RANGKA PENTAATAN HUKUM DIPLOMATIK
Usaha-usaha internasional melalui PBB ini merupakan lembaran baru
dalam proses pelaksanaan dari hukum diplomatik modern di mana telah dilakukan
usaha-usaha untuk perlunya memperlengkapi dan memerinci secara jelas prinsip-
prinsip maupun aturan-aturan di dalamnya, khususnya telah dapat dibentuk suatu
lingkup kerjasama antar pemerintahan negara anggota dalam mengatasi masalah-
masalah yang sekarang ini benar-benar menjadi perhatian masyarakat
internasional secara keseluruhan.
Dalam menghadapi tindak terorisme yang cukup menonjol khususnya
yang dilakukan terhadap para diplomat yang membahayakan terhadap fungsi
mereka dalam melakukan tugas sehari-hari sebagai diplomat di tahun 1980. Di
dalam sidang Majeli Umum PBB yang ke 35 tahun 1980. Didalam sidang Majelis
tersebut, 5 negara Nordik telah memajukan masalah-masalah yang dianggap
penting yang perlu dibicarakan bersama, khususnya didalam mencari cara-cara
untuk meningkatkan dipatuhinya aturan-aturan internasional mengenai hubungan
diplomatik dan konsuler, di samping mempertimbangkan adanya peningkatan
10
aksi-aksi teror yang dilakukan terhadap para pejabat diplomat mereka
menjalankan fungsi dan tugasnya. Didalam arti yang luas prakarsa 5 negara
tersebut pada hakekatnya dapat dipandang sebagai perluasan dari usaha-usaha
PBB sebelumnya di mana perlu adanya kewajiban-kewajiban internasional bagi
seluruh negara untuk sebanyak mungkin "meratifikasi" Konvensi-konvensi
mengenai hubungan diplomatik dan konsuler yang ada.
Prakarsa ini kemudian telah disambut secara luas oleh segenap anggota
dan disetujui oleh Majelis Umum PBB dan ketika masalah diajukan bertepatan
dengan peristiwa penyanderaan para diplomat Amerika Serikat di Teheran. 6
Dari pembicaraan-pembicaran di Majelis Umum PBB itu khususnya
mengenai adanya peningkatan tindak terorisme yang dilakukan terhadap para
diplomat, termasuk perwakilannya, terdapat kecenderungan timbulnya 2 prinsip
yang dianggap sangat fundamental dalam mengatasi dan mencegah tindakan-
tindakan tersebut, yaitu :
1. Semua negara harus melaksanakan kewajiban-kewajiban internasional masing-masing dengan mentaati ketentuan-ketentuan dalam Konvensi termasuk peningkatannya.
2. Perlunya peningkatan tindakan-tindakan khusus guna melindungi perorangan-perorangan dan perwakilan-perwakilan karena ada kesenjangan-kesenjangan yang terdapat di dalam ketentuan-ketentuan Konvensi yang sekarang diserahkan kepada negara-negara itu sendiri untuk menafsirkan dan melaksanakan tindakan-tindakan khusus mengenai perlindungan (polisi administrasi, juridiksional) melalui sistem perundang-undangan negara masing-masing. 7
Demikian pula Majelis Umum PBB telah mengeluarkan Resolusinya No.
35/168 tanggal 15 Desember 1980. Resolusi tersebut antara lain mendesak kepada
seluruh anggota PBB untuk mematuhi dan melaksanakan prinsip-prinsip dan
aturan hukum internasional mengatur tentang hubungan diplomatik dan konsuler.8
6 Sumaryo Suryokusumo, Op – Cit, hal. 20.
7 Eddy Suryono, Op – Cit, hal. 38.
8 Resolusi tersebut berjudul : Consideration of Effective Measures to Enchance The Protection, Security and Savety of Diplomatic and Consuler Mission and Representative
11
Di samping itu Majelis Umum PBB juga mendesak kepada semua negara
anggota PBB khususnya untuk mengambil langkah-langkah seperlunya agar dapat
menjamin secara efektif perlindungan, pengawasan dan keselamatan para pejabat
diplomatik dan konsuler termasuk perwakilannya masing-masing sesuai dengan
kewajiban-kewajiban internasional, termasuk langkah-langkah praktis untuk
melarang orang-orang atau kelompok serta organisasi untuk mengadakan
tindakan-tindakan merugikan pengamanan atau keselamatan para pajabat
diplomatik dan konsuler termasuk perwakilan-perwakilannya.
Semua negara diserukan agar mereka yang belum menjadi pihak dalam
konvensi-konvensi mengenai tidak digugatnya misi serta pejabat diplomatik dan
konsuler segera meratifikasinya dan jika terjadi perselisihan mengenai
pelanggaran terhadap prinsip-prinsip dan aturan hukum diplomatik agar mereka
segera menggunakan cara-cara untuk menyelesaikannya secara damai termasuk
dengan menggunakan jasa-jasa Sekretaris Jendral PBB.
Apabila terjadi pelanggaran yang serius terhadap perlindungan
pengamanan dan keselamatan bagi perwakilan dan pejabat diplomatik serta
konsuler di negara-negara anggota, maka negara-negara itu diminta segera
melaporkan kepada Sekretaris Jenderal PBB termasuk langkah-langkah yang telah
diambil dalam mengadili para terdakwa dan usaha-usaha dalam mencegah
terulangnya tindakan-tindakan semacam itu. Begitu pula negara-negara yang
menjadi korban peristiwa tersebut diminta untuk memberitahukan tentang hasil-
hasil terakhir proses peradilan setempat kepada Sekretaris Jenderal PBB.
Apabila terjadi pelanggaran yang serius terhadap perlindungan
pengamanan dan keselamatan bagi perwakilan dan pejabat diplomatik serta
konsuler di negara-negara anggota, maka negara-negara itu diminta segera
melaporkan kepada Sekertaris Jenderal PBB termasuk langkah-langkah yang telah
diambil dalam mengadili para terdakwa dan usaha-usaha dalam mecegah
terulangnya tindakan-tindakan semacam itu. Begitu pula negara-negara yang
menjadi korban peristiwa tersebut diminta untuk memberitahukan tentang hasil-
hasil terakhir proses peradilan setempat kepada Sekertaris jenderal PBB.
12
Atas dasar resolusi Majelis Umum PBB tersebut Sekertaris Jenderal PBB
telah menerima laporan dari Pemerintah Turki yang diterima melalui Perwakilan
tetapnya PBB di New York yang dikirim pada tanggal 11 Maret 1981 sebagai
berikut :
"On 17 December 1980, at approximately 9.45 A.A., as he was making his away from his official residence to his chancellery, the Consul-General of Turkey in Sydney, the Honourable Sarik Ariyak, and his body guard, Mr. Engin Sever, were the victims of an armed attack by two terroriste on motorcycles and were killed as a result of this outrage. A secret organization calling itself the "Armenia Commandos of Justion" had clained responsibility for this double murder"."..... Turkey hopes that Australian Government, on whose territory this incident occured, will not fail to report as soon as possible to the Secretary-General of the United Nations, in accordence with the provisions of ..... Genaral Assembly resolution 35/168, on the measure which it has taken to arrest and bring to justice those two commited the double murder and to prevent a repitition of such acts". 9
Dalam menangani laporan Pemerintah Turki kepada Sekretaris Jenderal
PBB tersebut, Pemerintah Australia pada tanggal 8 Juni 1981 melalui wakil
tetapnya di PBB, New York telah melaporkan kejadian-kejadian yang sama
kepada Sekretaris Jenderal PBB sebagai berikut :
"In connexion with the above which refers to an incident occuring in Australia ..... the Australia Government wiches to acknowledge that the Turkish Consul-General, Mr. Sarik Ariyak and his bodyguard, Mr. Engin Ever, died in Sydney on 17 December 19980 after an attack by two unknown persons. The Australia Government wishes to inform the Secretary General that this crime is being troughly investigated by the relevant police authorities who are obliged to report at the conclusion of their investigations to the Grown Coroner. In addition, reward totalling $ 100,000 have been offered recent by the Australian and New South Wales Governments for information leading to the arrest of those responsible. The Australian Government is treating this incident as a terrorist-related crime, and the strongest protective measures have been taken to safeguard Turkish diplomatic and consuler officers in Australia. This matter is still sub judice in the Australia courts and at this time the Permanent Representative is unable to make a more detail responce. How ever, the Permanent Representative will report judical findings related to this matter to the Secretary-General when they become known".10
9 Eddy Suryono, Op – Cit, hal. 80.10 Dokumen Majelis Umum PBB A/36/445, tanggal 15 September 1981, hal. 6.
13
Sehubungan dengan meningkatnya pelanggaran-pelanggaran terhadap
missi/staf diplomatik dan konsuler dalam tahun 1981 Majelis Umum PBB telah
mengeluarkan resolusi,11 yang meminta kepada negara-negara anggota PBB
mengenai tindakan-tindakan terorisme yang dilakukan terhadap misi/staf
diplomatik tersebut.
Namun kemudian hal ini ditafsirkan sebagai perluasan ruang lingkup
Sekretaris Jenderal PBB untuk memberikan jasa-jasa baiknya kepada negara-
negara yang sedang mengalami tindak terorisme di wilayahnya.
Prosedur untuk memberikan informasi Sekretaris Jenderal itu pada
hakekatnya juga dapat merupakan langkah utama dalam menyelesaikan
masalahnya. Namun secara tidak langsung usaha itu dapat juga memperluas
wewenang PBB sendiri dalam rangka menangani masalah-masalah yang sangat
pelik dan peka yang menyangkut kerjasama antar negara.
Resolusi tersebut juga meminta kepada segenap anggota PBB agar
melaporkan tindakan-tindakan apa yang telah dilakukan untuk menghukum para
pelanggar termasuk usaha pencegahan agar tidak lagi terjadi antara lain melalui
sanksi-sanksi. Negara-negara anggota PBB juga diminta untuk memberikan
pandangan-pandangan mereka mengenai langkah-langkah yang akan diambil di
masa mendatang untuk melindungi wakil-wakil diplomatik dan konsuler termasuk
perwakilan-perwakilannya masing-masing.
Usaha-usaha internasional melalui PBB tersebut sangat tepat khususnya
dalam rangka mencegah dan melakukan tindakan terhadap terorisme, yang
meningkat dari tahun ke tahun. Dan di samping itu sangat penting usaha untuk
melengkapi ketentuan-ketentuan internasional yang ada agar menjamin
perlindungan keselamatan dan pengamanan bagi misi-misi negara.
Khususnya usaha-usaha yang dianggap penting untuk memusatkan
perhatian kepada tanggung jawab internasional bagi negara-negara dalam
melakukan tindakan-tindakan perlindungan dan menghukum para pelakunya. Di
11 Resolusi Majlis Umum PBB 36/165 tahun 1981.
14
samping itu juga dianggap penting untuk meningkatkan tindakan-tindakan
pencegahan di wilayah negara-negara yang menerima wakil-wakil dan misi-misi
asing, karena berhasil atau tidaknya tindakan pencegahan ini, pada hakekatnya
tergantung pada langkah-langkah yang akan diambil untuk mengatasi dan
mencegah kegiatan-kegiatan dari kelompok organisasi maupun perkumpulan-
perkumpulan teror yang mempersiapkan atau melakukan tindakan-tindakan
agresif dan yang bersifat teror terhadap perwakilan-perwakilan diplomatik dan
konsuler termasuk para pejabat-pejabatnya yang dilakukan mereka di berbagai
wilayah negara.
Semua negara-negara anggota PBB mempunyai kewajiban-kewajiban
internasional untuk melindungi para diplomat dan konsul termasuk gedung-
gedung perwakilannya masing-masing, bahkan ini merupakan kewajiban yang
mutlak dilakukan oleh negara-negara anggota agar pejabat-pejabat diplomatik dan
konsuler tersebut dapat melakukan tugas diplomatiknya dengan efisien. Apalagi
saat ini telah diberlakukannya beberapa instrumen internasionalnya tentang hal
itu, antara lain adalah Konvensi Wina 1961.
Dalam Konvensi mengenai Misi Khusus tahun 1969 juga telah memuat
ketentuan-ketentuan perlindungan terhadap gedung-gedung perwakilan dan misi-
misi khusus dan perlindungan bagi semua yang bertugas dalam misi khusus
tersebut di wilayah negara setempat. Ketentuan itu diatur dalam pasal 25 dan pasal
29 Konvensi mengenai Misi Khusus tahun 1969.
Demikian juga ketentuan-ketentuan yang sama telah dimuat dalam
Konvensi mengenai "Perwakilan dari Negara-Negara dalam hubungan mereka
dengan Organisasi Internasional" yang memuat ketentuan-ketentuan serupa.
Begitu pula ketentuan yang sama telah dilengkapi dengan Konvensi-
Konvensi lainnya seperti Konvensi mengenai "Pencegahan dan Penghukuman
Kejahatan-Kejahatan yang Dilakukan terhadap Orang-Orang yang menurut
Aturan Hukum Internasional Perlu Dilindungi", termasuk para diplomat, dan
Konvensi untuk memerangi Tindak Penyanderaan tahun 1979.
15
C. TANTANGAN-TANTANGAN YANG DIHADAPI DALAM
PELAKSANAAN HUKUM DIPLOMATIK
Meskipun ketentuan-ketentuan tersebut diatas dipandang cukup luas dan
telah mencakup segala jenis dan tingkat perwakilan diplomatik, konsuler maupun
missi khusus ataupun dalam rangka tugas-tugas hubungan multilateral dan
bilateral ataupun sebagai missi tetap atau sementara dalam missi diplomatik,
namun masih pula banyak tantangan yang dihadapi dalam pelaksanaan hukum
diplomatik tersebut dewasa ini.
Adapun tantangan-tantangan yang dihadapi tersebut antara lain sebagai
berikut :
1. Masih banyaknya tindakan terorisme yang dilakukan terhadap para diplomat
yang merupakan tindakan-tindakan yang sangat membahayakan fungsi mereka
dalam melakukan tugas sehari-hari sebagai diplomat.
Sebagai contoh di dalam tahun 1980 tercatat 400 tindak terorisme yang
ditujukan kepada para diplomatik dan konsuler yang meliputi 60 negara.
Sedangkan 6 bulan pertama dalam tahun 1981 terdapat 191 tindak terorisme
dengan obyek yang sama termasuk yang menyangkut perwakilan atau missi
asing. Gejala ini terus berlangsung dalam tahun-tahun berikutnya tidak saja
memakan korban jiwa yang besar tetapi juga korban harta serta kerusakan-
kerusakan pada perwakilan asing.
2. Kurangnya minat Negara-negara untuk menjadi pihak-pihak dalam Konvensi
mengenai hubungan diplomatik ini. Mereka yang tidak berminat turut serta
menjadi pihak dalam konvensi mengenai perlindungan pejabat diplomatik
masih banyak memakai kebiasaan internasional sebagai landasan hukumnya
yang dianggap berlaku cukup luas dan memadai.
3. Di samping itu juga masih terus meningkat jumlah korban pejabat-pejabat
diplomatik di berbagai negara akibat tindakan penyanderaan, pembajakan
yang mengancam keselamatan jiwa para pejabat diplomatik tersebut.
Walaupun telah banyak ketentuan-ketentuan yang cukup luas dan cukup
lengkap mengatur tentang perlindungan para pejabat diplomatik, pencegahan
16
dan penghukuman tindak kejahatan yang dilakukan terhadap orang-orang
yang menurut aturan-aturan hukum internasional perlu dilindungi termasuk
para diplomat, juga telah pula dilengkapi dengan Konvensi untuk memerangi
tindak penyanderaan, ada pula anggapan bahwa masyarakat internasional tetap
harus memikirkan perlunya kelengkapan-kelengkapan lagi untuk menuangkan
dalam ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan "tanggung jawab
negara" dalam hal gagal untuk melakukan perlindungan terhadap para pejabat
diplomatik termasuk perwakilannya yang berada di berbagai negara dan
organisasi internasional yang ada di negara tertentu.
Di samping itu masih pula dianggap perlu untuk membuat ketentuan-
ketentuan yang menyangkut pengawasan internasional bagi tindakan-tindakan
administratif yang dilakukan oleh negara-negara agar supaya dapat memberikan
pengarahan terhadap ketentuan-ketentuan yang bersifat protektif bagi para pejabat
diplomatik tersebut.
17
BAB III
P E N U T U P
A. KESIMPULAN
Dari uraian di atas dapatlah kiranya diambil beberapa kesimpulan sebagai
berikut :
1. Perkembangan kemajuan Hukum Diplomatik termasuk usaha-usaha untuk
mengkodifikasikan prinsip-prinsipnya tidak sebagaimana masa lalu, dimana
didalam pasal 13 Piagam PBB Majelis Umum PBB telah menciptakan suatu
mekanisme seperti adanya Komisi Hukum Internasional yang memang
tugasnya untuk melakukan pengembangan kemajuan prinsip-prinsip hukum
internasional yang sudah tentu termasuk di dalamnya perkembangan hukum
diplomatik, karena usaha untuk menghimpun sistimatik sebagai kodifikasi
hukum diplomatik melalui konvensi-konvensi internasional.
2. Komponen-komponen peraturan Hukum Diplomatik yang meliputi prinsip-
prinsip penting yang dianut oleh semua negara dalam mengadakan hubungan
diplomatik satu sama lain yang antara lain :
Prinsip-prinsip seperti tidak diganggu gugatnya para diplomat termasuk
keluarganya dan gedung-gedung perwakilan atau milik lainnya yang
dipergunakan dalam rangka menunaikan tugas-tugas diplomatiknya. Juga
prinsip Exterritorialitas yang diberikan untuk kelancaran tugas-tugas dan
fungsi perwakilan diplomatik, kekebalan dan keistimewaan termasuk
kekebalan dari yurisdiksi perdata, pidana dan administrasi bagi para pejabat
diplomatik yang berada di wilayah suatu negara dan lain sebagainya, juga
mengikuti perkembangan dan kemajuan hukum diplomatik secara
keseluruhan.
3. Pada masa permulaan kegiatan PBB, pada waktu diadakan usaha-usaha
kodifikasi khususnya yang menyangkut kekebalan dan pergaulan diplomatik,
telah banyak menimbulkan pertentangan. Di satu pihak ingin
mempertahankan praktek-praktek dan kebiasaan yang sudah baku dan sudah
18
secara tradisional dipergunakan oleh banyak negara sebagai hukum kebiasaan
internasional dan di lain pihak dengan meningkatnya laju pertumbuhan
negara-negara yang baru merdeka yang mempunyai dimensi di dalam
pergaulan dan hubungan diplomatiknya sendiri, menghendaki perlunya diatur
dan diadakan kodifikasi sehingga dapat dituangkan di dalam konvensi-
konvensi internasional.
4. Disadari pula bahwa walaupun tidak ada hasil-hasil yang konkrit dalam usaha
kodifikasi yang lebih khusus lagi mengenai kekebalan dan keistimewaan
diplomatik, pernah PBB telah membentuk suatu Komisi Ahli yang diberi
tugas untuk memberikan justifikasi dan dasar hukum bagi pemberian
kekebalan dan keistimewaan diplomatik.
5. Sejalan dengan perkembangan prinsip-prinsip tentang kekebalan dan
keistimewaan para diplomat dan dengan pertumbuhan organisasi-organisasi
internasional terutama sekali setelah dibentuknya PBB pada tahun 1945,
sehingga dirasakan perlunya pemberian kekebalan dan keistimewaan bagi
para diplomat yang dikirim oleh negara-negara pada sidang atau konperensi
yang diadakan dalam rangka organisasi-organisasi atau badan-badan
internasional tersebut, termasuk pejabat-pejabat yang mewakili negaranya
dalam organisasi dan badan-badan itu.
6. Sejak berlakunya Konvensi Wina 1961 tentang hubungan diplomatik, benar-
benar telah menandai tonggak sejarah yang sangat penting, karena masyarakat
internasional dalam mengatur hubungan bernegara telah dapat menyusun
kodifikasi prinsip-prinsip hukum diplomatik, khususnya yang memberikan
pemberian kekebalan dan keistimewaan diplomatik yang sangat mutlak
diperlukan bagi semua negara, khususnya para pihak agar di dalam
mengadakan hubungan satu sama lain dapat melakukan fungsi dan tugas
diplomatiknya dengan baik dalam rangka memelihara perdamaian dan
keamanan internasional serta dalam meningkatkan hubungan bersahabat di
antara semua bangsa.
7. Pelaksanaan hukum diplomatik, khususnya terhadap Konvensi Wina tahun
1961 tentang hubungan diplomatik banyak mengalami tantangan-tantangan.
19
Di dalam tahun-tahun 1980-an di mana laju kegiatan tindak terorisme cukup
menonjol, khususnya yang dilakukan terhadap para diplomat merupakan
tindakan yang sangat membahayakan fungsi mereka di dalam melaksanakan
tugas sehari-hari sebagai diplomat.
8. Dalam menghadapi perkembangan yang membahayakan itu telah banyak
usaha PBB untuk mengadakan pembahasan terhadap masalah-masalah
tersebut secara intensif. Di mana pada tahun 1980 Majelis Umum PBB
mengeluarkan resolusi yang berisi seruan yang mendesak kepada seluruh
anggota PBB untuk mematuhi dan melaksanakan prinsip-prinsip dan aturan
hukum internasinal yang mengatur hubungan diplomatik.
9. Di samping itu Majelis Umum PBB juga mendesak kepada semua negara
anggota khususnya untuk mengambil langkah-langkah agar dapat menjamin
secara efektif perlidungan, pengamanan dan keselamatan para diplomat
termasuk perwakilannya masing-masing di wilayah yurisdiksi mereka sesuai
dengan kewajiban-kewajiban internasional termasuk langkah-langkah yang
praktis untuk melarang orang-orang atau kelompok serta organisasi untuk
melakukan tindakan-tindakan yang terlarang itu seperti tindakan yang
merugikan pengamanan atau keselamatan para pejabat diplomatik termasuk
perwakilan-perwakilannya.
10. PBB juga menyerukan kepada semua negara agar mereka yang belum
menjadi pihak dalam Konvensi-Konvensi mengenai tidak diganggu gugatnya
misi-misi serta para pejabat diplomatik segera meratifikasinya.
B. S A R A N
1. Apabila terjadi pelanggaran yang serius terhadap perlindungan, pengamanan
dan keselamatan bagi perwakilan dan pejabat diplomatik di negara-negara
anggota, maka negara-negara itu segera melaporkan kepada Sekjen PBB
termasuk langkah-langkah yang telah diambil dalam mengadili para terdakwa
dan usaha-usaha dalam menghindari terulangnya pelanggaran-pelanggaran
semacam itu.
20
Di samping itu negara-negara yang menjadi korban peristiwa itu diminta juga
untuk memberitahukan tentang hasil-hasil terakhir mengenai proses peradilan
setempat.
2. Walaupun ketentuan-ketentuan tersebut di atas dipandang cukup luas dan
mencakup segala jenis dan tingkat perwakilan diplomatik, maupun misi
khusus ataupun dalam rangka tugas hubungan multilateral, bilateral ataupun
sebagai anggota misi tetap atau misi sementara dalam misi diplomatik, ada
pula anggapan bahwa masyarakat internasional tetap harus memikirkan
perlunya kelengkapan-kelengkapan lagi dituangkan dalam ketentuan-
ketentuan yang berhubungan dengan tanggung jawab negara dalam hal gagal
untuk melakukan perlindungan terhadap para pejabat diplomatik termasuk
perwakilannya masing-masing yang berada di banyak negara dan organisasi-
organisasi internasional yang ada di negra-negara tertentu.
Di samping itu pula perlu untuk membuat ketentuan-ketentuan yang
menyangkut pengawasan-pengawasan internasional bagi tindakan-tindakan
administratif yang dilakukan oleh negara-negara agar dapat memberikan
pengarahan terhadap ketentuan-ketentuan yang bersifat protektif tersebut.
21
DAFTAR PUSTAKA
Kusumaatmadja M., Pengantar Hukum Internasional - Bagian I Umum, Binacipta, Bandung, 1982.
Lauterpacht O., Internasional Law - A Treaties, Vol. I, Seven Ed., Longmans, Green and Co., London, New York, Toronto, 1948.
Nicolson H., Diplomacy, Oxford University Press, Second Ed., London, 1950.
Norman J. and Lincoln G.A, The Dynamic of International Politic, The Mac Millan Co, London, 1976.
Sastroamidjojo A., Pengantar Hukum Internasional, Bhratara, Jakarta, 1971.
Sik Swan Ko, Hukum Internasional Hak-Hak Istimewa dan Kekebalan, (Ed. A. Budiman dan Alimudin), Bina Aksara, Jakarta, 1977.
Sotouw S.E, Guide to Diplomatic Practice, Edited by Lord Gore Booth, Fiveth Ed., Longman N.V, 1979.
Starke J.G., An Introduction to International Law, Alih bahasa Sumitro Danuredjo., Pengantar Hukum Internasional Bagian I dan II, Aksara Persada Indonesia, Jakarta, 1984.
Suryokusumo S., , Hukum Diplomatik, Binacipta, Bandung, 1985.
Suryono E., Perkembangan Hukum Diplomatik, Mandar Maju, Bandung 1992.
Syahmin, A.K., Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, Armico, Bandung, 1988.
22