khutbah mari kita bertawadhu lagi
TRANSCRIPT
Khutbah Jum’at: Mari Kita Bertawadhu’ Lagi
امحلد هلل اذلى من اعتصم حببل رجاءه وفقه وهداه ومن جلأ اليه حفظه ووقاه, ومن تواضع هل رفعه وحامه.
نعام وأ وله. واشكره عىل ماحوهل بفضهل واسداه. وأ شهد أ ن لاهل الاهللا أ محده س بحانه عىل ما اعطى من الإ
شهادة من عرف هللا بصفاته ومل يعامل أ حدا سواه. وأ شهد أ ن محمدا عبده ورسوهل وحده لرشيك هل
املبعوث اىل خلقه بتوحيده وأ وصامه بتقواه. اللهم صل وسمل وابرك عىل عبدك ورسوكل النيب ال يم س يدان
محمد وعىل اهل وحصبه اذلين متسكون هبداه_ أ ما بعد
Para hadirin jama’ah jum’ah Rahimakumullah
Marilah kita tingkatkan ketaqwaan kita kepada Allah swt. Semakin sering kita
mengevaluasi diri kita semakin baik. Karena dengan demikian kita akan merasa
selalu bersalah dan selalu berusaha memperbaikinya. amin
Alhamdulillah di hari yang bahagia ini kita masih diberikan kesempatan oleh
Allah yang maha kuasa untuk berkumpul bersama saling bertaushiyah sesama.
Semoga pertemuan kita diberkati oleh Allah seperti majlis jum’ah yang berkah
ini.
Ayyuhal Hadirun Rahimakumullah,
Diantara beberapa hal yang sering kita abaikan adalah pemahaman kita seputar
etika bermasyarakat. Seringkali kita lupa akan ke-diri-an kita, warna dan
identitas sebagai muslim Indonesia yang hidup di tengah berbagai ragam suku,
ras, agama dan bahasa kedaerahan. Meskipun ada perbedaan epistimologis
dalam kata etika, moral, budi-pekerti dan akhlaq, namun dalam kesempatan ini
semua kata itu dimaknai oleh khatib sebagai suatu nilai luhur yang terkandung
dalam berperilaku dan berinteraksi dengan sesama. Ada banyak macam
perilaku yang dapat dikategorikan dalam nilai-nili ini seperti gotong royong,
saling menghormati, empati (tepo seliro), dan juga tawadhu’.Jama’ah Jum’ah
Rahimakumullah
Sudah jarang sekali telinga kita mendengarsemua kata-kata indah itu. Kata
gotong-royong, saling menghormati dan teposeliro juga tawadhu’, seolah
lenyap dari perbendaharaan bahasa Indonesia. Malahan kata-kata itu
tergantikan dengan istilah dikordinasikan, dikomunisikan dan lain sebagainya.
Ini berarti telah terjadi pergeseran nilai di tengah masyarakat kita. Nilai-nilai
luhur yang lahir dan dibesarkan oleh tradisi Nusantara telah kalah saing
dengan nilai-nilai kesementaraan yang mengabdi pada modernism dan
individualism. Hal seperti inilah yang sedikit demi sedikit merubah rona wajah
bangsa kita. Hal ini diperparah dengan sistem teknologi pertelevisian yang
menuruti keterbukaan dalam menggunjing sesame dan membicarakan
kesalahan sesame dengan alasan membudayakan kritik. Lihatlah beberapa tolk
show baik yang sekedar intertaintment ataupun yang berwawasan politk seolah
semuanya tidak lagi mengindahkan kaedah-kaedah etika. Naudzubillah min
dzalik.
Jama’ah Jum’ah yang berbahagia
Cobalah kita bersama-sama membuka hati dan melapangkan dada. Apa
sesungguhnya yang melatar belakangi perubahan rona wajah bangsa kita. Yang
dulu sangat pemalu dan penghormat. Kini menjadi penipu dan penghujat.
Nampaknya percaya diri dan menganggap benar sendiri dengan menuduh
orang lain tak becus dan salah dalam melangkah, menjadi penyakit akut yang
terus menyandera bangsa kita.
Oleh karena itu pada kesempatan kali ini saya selaku khotib tidak berhak
mengajari, tapi sekedar mengingatkan kembali bahwa kemungkinan penyebab
ini semua adalah kelalaian kita terhadap ajaran tawadhu’ dari rasulullah saw.
Tawadhu’ biasa diartikan dengan rendah diri dan tidak somobong. Tawadhu’
adalah konsep etika yang sangat sederhana. Rasulullah saw sendiri
mengajarkan cara bertawadhu’ dengan memulai salam bila berjumpa sesama
teman, dalam sebuah hadist disebutkan:
ويبدأ من لقيه ابلسالم
Rasulullah saw selalu menyambut orang yang menemui beliau dengan salam.
Di sini mengucap salam menjadi kata kunci untuk melatih diri melakukan
tawadhu. Bukan sekedar doa yang terkandung dalam ucapan salam, akan tetapi
bagaimana seseorang memulai berkomunikasi dengan yang lain dan saling
bertegur sapa, itulah yang terpenting. Apalagi kehidupan di kota seperti
Jakarta. Saling bersapa menjadi barang yang sangat mahal. Apalagi berbincang.
Kalau boleh bercerita, Teman saya yang baru datang di Jakarta merasa
bingung. Bagaimana orang bisa duduk berjejer ataupun berdiri saling hadapan
dalam satu angkutan kota tanpa bertegur sapa? Ini adalah hal yang mustahil di
daerah dan didesa-desa. Jangankan dengan sesama teman, dengan orang yang
belum dikenalpun akan disapa dengan berbagai ragam pertanyaan, mau
kemana pak? Turun di mana? Cari rumah siapa? Dan lain sebagainya.
Para Jama’ah yang dirohmati Allah
Ternyata bertegur sapa, baik dengan mengucap salam maupun berbasa-basi
sekedarnya seperti ajaran Rasulullah saw dapat melatih orang bersikap
tawadhu’. Karena mereka yang bertegur sapa biasanya bukan tipe manusia
sombong. Sebuah hadits menerangkan:
البادئ ابلسالم ابرئ من الكبار
Siapa yang memulai menegur dengan salam, bebas dari sifat sombong atau
takabbur.
Bahkan begitu tawadhu’nya Rasulullah saw higga pernah suatu ketika beliau
menolak bantuan orang yang hendak membawakan bungkusan beliau. Dengan
alasan pemilik barang lebih berhak membawa barang masing-masing.
Penolakan tersebut bukanlah cerminan kesombongan, tetapi merupakan
kerendahan hati beliau saw. meskipun beliau seorang Nabi, tetapi lebih senang
membawa diri sendiri. Apakah demikian dengan pemimpin-pemipin bangsa
kita? Pastilah tidak karena mereka sudah tidak lagi mengenal tawadhu’.
Janganka membawa bungkusan kepalapun kalau bisa dibawakan oleh ajudan.
Oleh karena itu, nabi membuat kriteria sendiri sebagai cirri-ciri tawadhu
diantaranya duduk bersama fakir miskin. Seperti sebuah hadits yang berbunyi:
اجللوس مع الفقراء من التواضع
Duduk bersama orang fakir miskin, termasuk ciri khas orang yang rendah hati
(tawadhu) (HR. Ad-Dailami).
Senada dengan hadits Nabi adalah apa yang dikatakan oleh Imam Ja’far:
“Sesungguhnya puncak keteguhan adalah tawadhu’.” Kemudian Salah seorang
bertanya kepada nya, “Apakah tanda-tanda tawadhu’ itu?” Beliau menjawab,
“Hendaknya kau senang pada majlis yang tidak memuliakanmu, memberi
salam kepada orang yang kau jumpai, dan meninggalkan perdebatan sekalipun
engkau di atas kebenaran.”
Tidak hanya menghindar dari penghormatan orang, tetapi juga menghindar
dari perdebatan walaupun kita dalam posisi yang benar.
Bagaimanakah dengan tolkshow yang ada di televisi?. Dengan bangganya di
bawah siraman cahaya kamera para aktifis dan intelektual itu berbicara
bertakik-takik seolah membicarakan hal yang dianggapnya benar sambil
sesekali menghina dan menyalahkan orang lain. Berdebat kusir menjadi
keahlian tersendiri. Mereka yang menguasai retorika dan aksentuasi yang enak
menjadi pemenangnya. Bahkan sering kali setelah acara usai mereka bertanya
pada kroni-sejawat dan teman-temannya? Bagaimana tadi penampilanku?
Bagus gak? Dan berbagai pertanyaan lain yang menunjukkan
kesombongannya. Inilah potret bangsa kita. Bagaimana bisa Indonesia berjalan
maju ke depan bila yang terjadi saling menyalahkan. Berebut di depan bukan
dalam perang, tetapi dalam pamer segala kemampuan, biar dilihat sebagai
orang yang mempunyai kemampuan dan kwalitas. Bukan seperti pendiam yang
tak faham.
Jama’ah Jum’ah Rahimakumullah
Marilah kita sadari bersama bahwa sesungguhnya tawadhu dan kerendah-
hatian itu tidak akan membuat seseorang menjadi hina. Bahkan sebaliknya.
Kekhawatiran itu hanya muncul bagi mereka yang sebenarnya berkwalitas
rendah tetapi ingin dianggap seorang yang berharga. Dalam sebuah hadits
diterangkan:
…التواضع ل يزيد العبد الارفعة فتواضعوا يرفعمك هللا تعاىل
Tawadhu’ itu tidak akan menambah seseuatu bagi seseorang kecuali nilai
tinggi, maka bertawadhulah kalian semua maka Allah akan meninggikanmu…
Jama’ah Jum’ah yang Rahimakumullah
Akhirnya, khutbah ini menyimpulkan bahwa tawadhu itu tidak hanya
diejawantahkan dalam perkataan tetapi juga dalam tingkah laku keseharian.
Dalam bergaul, dalam berinteraksi social dan dalam menanggapi persoalan
yang muncul.
ذ جعلنا هللا واايمك من الفائزين الامنني, وأ دخلناواايمك ىف عباده الصاحلني. أ عوذ ابهلل من الش يطان الرجمي. واإ
حساان وذي القرىب واليتاىم واملساكني وقولوا للناس أ خذان ميثاق ل هللا وابلوادلين اإ رسائيل ل تعبدون اإ بين اإ
ل قليال منمك وأ نمت معرضون. حس نا وأ قميوا الصالة وأ توا الزاكة مث توليمت اإ
يهى مى افى ما بى مكم اياا افاعانى وا ن ميى, وا ظى ىفى القمرأ نى العا لامكم كا هللا ىلى وا را اهم ابا ن اى تاهم وا تىالاوا نمكم مى ناا وا تاقابالا هللام مى ميا وا كى ذكمرا الحا اةى وا ن أ ي
مي حى وا الغافمورم الرا اهم هم نميا ا ظى تاغفىرم هللاا العا ا فااس ذا أقمولم قاوىل ها , وا ميم لى يعم العا مى السا وا هم