kewenangan arbitrase, meydora cahya nugrahenti, fh ui,...
TRANSCRIPT
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
1
Universitas Indonesia
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Adanya suatu perikatan dalam kehidupan bermasyarakat, disebabkan
adanya suatu persetujuan atau lahir karena undang-undang. Hal ini dinyatakan
dalam Pasal 1233 KUHPerdata.1 Selanjutnya, Pasal 1234 KUHPerdata
menyatakan bahwa perikatan ditujukan untuk memberikan sesuatu, untuk berbuat
sesuatu, atau untuk tidak berbuat sesuatu. Di samping itu menurut R. Subekti,
perikatan adalah suatu hubungan hukum di antara dua pihak, yang isinya adalah
hak dan kewajiban di mana terdapat suatu hak untuk menuntut sesuatu dan di
sebelah lain suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.2
Dalam suatu perikatan yang lahir dari persetujuan dua pihak atau lebih,
perikatan tersebut lazim dituangkan dalam suatu perjanjian. Dalam perjanjian,
terdapat kebebasan untuk membuat sebuah perjanjian atau yang biasa disebut asas
kebebasan berkontrak. Kebebasan berkontrak tersebut diatur dalam Pasal 1338
KUHPerdata, di mana setiap orang diberi kebebasan untuk membuat perjanjian
dengan siapa saja dan meliputi apa saja sepanjang tidak bertentangan dengan
ketertiban umum. Para pihak yang memiliki niat untuk membuat perjanjian akan
bebas memilih jenis perjanjian dan isi dari perjanjian tersebut. Isi dari suatu
perjanjian biasanya mengandung cara penyelesaian sengketa yang akan dipilih
oleh para pihak. Hal ini dinamakan choice of forum atau pilihan forum untuk
penyelesaian sengketa.
Pilihan forum dimaksudkan agar para pihak dapat menentukan bagaimana
sengketa yang timbul dari perjanjian dapat diselesaikan. Pilihan forum adalah
1 Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek], diterjemahkan
oleh Soedharyo Soimin. Cetakan Kedelapan. Jakarta : Sinar Grafika, 2008. hlm.313.
2 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Cetakan Kelima, Bandung: PT.
Citra Aditya Bakti, 1988, hlm.2.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
2
Universitas Indonesia
pilihan mengenai lembaga apa yang akan digunakan sebagai badan penyelesaian
sengketa yang timbul dari perjanjian tersebut.
Penyelesaian sengketa biasa ditempuh melalui proses litigasi dan non
litigasi. Litigasi adalah mekanisme penyelesaian sengketa melalui jalur
pengadilan, sedangkan non litigasi adalah mekanisme penyelesaian sengketa di
luar pengadilan.3
Salah satu badan penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang dapat
dipilih oleh para pihak dalam suatu perjanjian adalah arbitrase. Arbitrase menjadi
sistem penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang cukup populer di dalam
dunia perdagangan karena arbitrase dipandang lebih singkat prosesnya dan lebih
bersifat rahasia daripada peradilan umum.
Arbitrase adalah sebuah lembaga penyelesaian sengketa di luar peradilan
formal. Hukum memberikan kekuatan yang sama untuk putusan badan arbitrase
sebagaimana hukum memberikan kekuatan yang sama pada putusan pengadilan
tingkat akhir, dan keputusan dapat dijalankan atau dieksekusi atas perintah Kepala
Pengadilan Negeri.4
Yurisdiksi arbitrase muncul ketika ada klausul mengenai pilihan yurisdiksi
atau pilihan forum di dalam perjanjian, yang menyebutkan bahwa arbitrase
merupakan badan penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka. Klausul tersebut disebut
sebagai klausul arbitrase. Dengan adanya klausul arbitrase di dalam perjanjian,
arbitrase akan memiliki kompetensi absolut. Hal ini sesuai dengan yang
dinyatakan dalam Pasal 11 ayat 1 UU No.30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan
3 Eko Marwanto. (2011). “Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam Aspek
Hukum Indonesia”. 17 Februari 2012
<http://www.ekomarwanto.com/2011/05/arbitrase-dan-alternatif-penyelesaian.html>.
4 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, Bandung: PT. Citra Aditya Bakti,
1995, hlm.182.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
3
Universitas Indonesia
Alternatif Penyelesaian Sengketa5 yaitu bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase
tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau
beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
Pemerintah di Indonesia memberlakukan undang-undang mengenai
arbitrase pada tahun 1999 untuk lebih memberikan kepastian hukum dalam
praktek arbitrase di negara ini. Peraturan mengenai arbitrase tersebut adalah UU
Arbitrase dan APS. Peraturan ini adalah pengganti peraturan arbitrase yang
terdapat dalam Rv yang sudah tidak berlaku lagi.
Huala Adolf dalam jurnal elektroniknya menyebutkan sebelum UU
Arbitrase dan APS, arbitrase di Indonesia diatur dalam Rv. Disebut oleh Huala
Adolf bahwa :
The government in Indonesia enacted a law related to the arbitration in
year 1999 to give more legal certainty in arbitration practices in the
country. It was Law No.30 of 1999 on Alternative Dispute Resolution and
Arbitration. Before this regulation, Indonesia has adopted Dutch
arbitration procedural law, the Rv (Reglement op de Rechtsverordering or
the Dutch Code of Civil Procedure). The other Dutch legislation that
recognizes arbitration as a dispute settlement procedure is Het Herziene
Indonesisch Reglement, State Gazette (Staatsblad) 1941 No.44, and
Reglemen Acara Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement
Buitengewesten, or the Civil Procedure for the Islands outside Java and
Madura), State Gazette 1927 No.227.
The Rv laid down basic arbitration regulations. Among other things, it
recognized arbitration as a means of resolution of disputes that parties
could elect to solve their trade problem. It also laid down the subject
matter capable of arbitration (arbitrability and non-arbitrability), the
requirements relating to arbitrators, the arbitration clause and the
arbitration agreement, etc.6
Di dalam peraturan terbaru mengenai arbitrase yaitu UU Arbitrase dan
APS, arbitrase telah didefinisikan sebagai cara penyelesaian sengketa dagang di
5 Indonesia. Undang-Undang Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa.
UU No. 30 Tahun 1999. LN No. 138. Tahun 1999. Selanjutnya disebut UU Arbitrase dan APS.
6 Huala Adolf. (2008). “Indonesia: Arbitration under the Indonesian Investment Law-
Enactment of A Revised Investment Law in Indonesia”. 17 September 2008
<http://www.westlaw.com/>.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
4
Universitas Indonesia
luar pengadilan berdasarkan perjanjian arbitrase tertulis yang dibuat oleh para
pihak yang berselisih. Sebuah perjanjian arbitrase adalah perjanjian dalam bentuk
klausula arbitrase yang termasuk dalam perjanjian tertulis yang dibuat oleh para
pihak sebelum para pihak memiliki sengketa. Perjanjian arbitrase juga dapat
berupa perjanjian arbitrase terpisah yang dibuat oleh para pihak setelah sengketa
di antara mereka muncul.
Keberadaan UU Arbitrase dan APS memperkuat yurisdiksi arbitrase dan
lebih memberikan kepastian hukum kepada pengadilan negeri untuk tidak
memiliki yurisdiksi atas sengketa yang terjadi dari suatu perjanjian yang
mengandung klausul arbitrase. Pasal 11 ayat 1 UU Arbitrase dan APS menyatakan
bahwa “Perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak-hak pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang dinyatakan dalam perjanjian ke
pengadilan negeri”.
Seperti yang telah jelas diketahui bahwa arbitrase adalah sebuah lembaga
penyelesaian yang terpisah dari pengadilan negeri, yaitu suatu lembaga yang
bukan merupakan bagian dari badan peradilan. Sehingga, ketika para pihak setuju
untuk memilih arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa dagang, maka
pengadilan harus menolak untuk memeriksa dan memutus sengketa tersebut. 7
Arbitrase memiliki yurisdiksi sendiri, yaitu suatu kewenangan untuk
memeriksa dan memutus suatu sengketa secara mandiri. Oleh karena itu, tidak ada
alasan bagi pengadilan negeri untuk terlibat dalam proses arbitrase yang sudah
berjalan sesuai prosedur yang ditentukan oleh undang-undang. Hal ini karena para
pihak sendiri tidak memiliki niat untuk menyerahkan kasus tersebut untuk
diselesaikan di pengadilan.
7 Erman Rajagukguk, Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta: Chandra Pratama,
2000, hlm.13.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
5
Universitas Indonesia
Ketentuan yurisdiksi arbitrase mengikat pada pihak-pihak yang
bersengketa yang telah menandatangani perjanjian arbitrase.8 Sebagaimana
ketentuan Pasal 3 UU Arbitrase dan APS yang menyatakan “Pengadilan negeri
tidak memiliki yurisdiksi untuk menyidangkan perselisihan antara para pihak
yang sudah terikat pada perjanjian arbitrase”.
Pengadilan sendiri memiliki kewajiban untuk menolak pengajuan gugatan
dan menyatakan tidak akan terlibat dalam penyelesaian sengketa, kecuali dalam
beberapa keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan dalam UU Arbitrase dan
APS, di mana Pasal 11 ayat 2 UU Arbitrase dan APS menyatakan “Pengadilan
Negeri wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian
sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal tertentu yang
ditetapkan dalam Undang-undang ini”.
Selanjutnya Pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase dan APS menyebutkan bahwa
“Sengketa yang dapat diperiksa oleh arbitrase adalah hanya sengketa di bidang
perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-
undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa”.9 Kemudian dalam
Pasal 5 ayat 2 UU Arbitrase dan APS disebutkan bahwa sengketa yang tidak dapat
diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Dalam hukum perdata materiil sengketa hukum dapat berasal baik dari
wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum.10
Akan tetapi pada umumnya,
sengketa hukum yang sering menjadi perhatian hingga kejenjang proses peradilan
8 Andrew L. Sriro, Sriro‟s Desk Reference of Indonesian Law, Jakarta : Equinox
Publishing Jakarta Singapore, 2005, hlm.73.
9 Pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase dan APS menyatakan: “Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum
dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.”
10 Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat,
Yogyakarta : Liberty, 1993 , hlm.2 .
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
6
Universitas Indonesia
adalah sengketa yang dikualifikasi sebagai sengketa perbuatan melawan hukum
dan wanprestasi.
Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 dan Pasal 1366
KUHPerdata. Pasal 1365 KUHPerdata menyatakan bahwa “Tiap perbuatan
melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan
orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian
tersebut”. Dan Pasal 1366 KUHPerdata menyatakan bahwa “Setiap orang
bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan karena
perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena kelalaian atau
kurang hati-hatinya.” Dari kedua pasal di atas, tidak dijelaskan mengenai
pengertian perbuatan melawan hukum.
Menurut para ahli, perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak
berbuat sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau
melanggar hak subyektif orang lain. Dalam hal ini, Pasal 1365 KUHPerdata.
diartikan sebagai perbuatan/tindakan melawan hukum (culpa in committendo)
sedangkan Pasal 1366 KUHPerdata difahami sebagai perbuatan melawan hukum
dengan cara melalaikan (culpa in ommittendo), meskipun juga diakui dalam Pasal
1365 terdapat pengertian culpa in ommittendo.11
Berdasarkan pengertian tentang perbuatan melawan hukum di atas, maka
terdapat empat unsur dari perbuatan melawan hukum itu, yakni :
a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
b. Melanggar hak subyektif orang lain;
c. Melanggar kaidah kesusilaan;
d. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta kehati-hatian.12
11 H.A.Mukhsin Asyrof. “Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi
(Sebuah Kajian Elementer Hukum Normatif”). 17 Februari 2012
<http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/VARIA%20MEMBEDAH%20PMH%20DAN%20WAN
PRESTASI.pdf>.
12 Ibid.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
7
Universitas Indonesia
Sedangkan wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat
waktunya atau dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama
sekali.13
Dengan demikian wanprestasi dapat berbentuk :
a. Debitur tidak memenuhi prestasi pada waktunya (terlambat);
b. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;
c. Debitur memenuhi prestasi dengan tidak baik (tidak sesuai dengan yang
diperjanjikan.14
Di Indonesia terdapat beberapa putusan pengadilan yang menyatakan
bahwa pengadilan negeri berwenang memeriksa dan memutus sengketa yang
timbul dari perjanjian yang mengandung klausul arbitrase karena sengketa yang
diperiksa masuk dalam kategori sengketa perbuatan melawan hukum. Padahal
dalam banyak putusan arbitrase intemasional dapat dilihat bahwa arbitrase juga
mencakup perbuatan melawan hukum (tort). Perusahaan farmasi internasional,
Roche, pernah sangat marah dengan pengadilan Indonesia karena tidak
menghormati klausula arbitrase. Diterimanya perkara yang memuat klausula
arbitrase di pengadilan telah menjadi iklan yang buruk bagi iklim investasi di
Indonesia.15
Dalam Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
No.454/Pdt.G/1999/PN.Jak.Sel, Majelis Hakim menyatakan bahwa Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan berwenang mengadili gugatan perdata yang diajukan oleh
PT. Perusahaan Dagang Tempo terhadap PT. Roche Indonesia meskipun di antara
kedua pihak telah terikat perjanjian distribusi yang mengandung klausul arbitrase.
Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan tersebut masuk yurisdiksi Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan karena sengketa yang timbul adalah perbuatan melawan
13 Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua, Bandung : Alumni,
1986, hlm.6.
14 Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Kesatu, Bandung : Bina Cipta,
1977, hlm.13.
15 Todung Mulya Lubis, “Tantangan Global Penegakan Hukum, disampaikan pada
Seminar Visi 2020 Penegakan Hukum yang diadakan oleh SCTV dan Jakarta Lawyers Club di
Jakarta,”, 26 Mei 2005. 17 Januari 2012 <http://www.lsmlaw.co.id/article_detail.php?id=6>.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
8
Universitas Indonesia
hukum. Sengketa perbuatan melawan hukum di antara kedua belah pihak tersebut
dipandang oleh Majelis Hakim perlu diselesaikan secara hukum di depan
pengadilan dan arbitrase tidak berwenang untuk memeriksa serta mengadilinya.
Dalam perkara lain, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali bersikap
sama. Dalam Putusan Sela No.534/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel, Majelis Hakim
memutuskan berwenang mengadili perkara gugatan perbuatan melawan hukum
yang diajukan oleh PT. Prima Citra Perdana melawan PT. Asuransi AXA
Indonesia. PT. Prima Citra Perdana mengajukan gugatan perbuatan melawan
hukum atas pemutusan perjanjian asuransi secara sepihak oleh PT. Asuransi AXA
Indonesia. Majelis Hakim berpendapat bahwa klausul arbitrase dalam perjanjian
asuransi di antara para pihak tidak mencakup perbuatan melawan hukum dan
hanya menyangkut perselisihan yang timbul terhadap suatu jumlah yang harus
dibayar dalam polis perjanjian asuransi.
Selanjutnya dalam Putusan Sela No.535/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel,
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memiliki sikap dan pendapat yang sama.
Hampir serupa dengan perkara di atas, Majelis Hakim memutuskan berwenang
mengadili perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh PT.
Prima Laksana Mandiri melawan PT. Asuransi AXA Indonesia. Senada dengan
PT. Prima Citra Perdana di atas, PT. Prima Laksana Mandiri mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum atas pemutusan perjanjian asuransi secara sepihak oleh
PT. Asuransi AXA Indonesia. Kembali Majelis Hakim berpendapat bahwa
klausul arbitrase dalam perjanjian asuransi di antara para pihak tidak mencakup
perbuatan melawan hukum dan hanya menyangkut perselisihan yang timbul
terhadap suatu jumlah yang harus dibayar dalam polis perjanjian asuransi.
Dalam suatu berita elektronik hukumonline.com yang memberitakan
mengenai perkara PT. Plaza Indonesia Tbk melawan PT. Istana Noodle House,
disebutkan gugatan perbuatan melawan hukum dinilai sebagai kewenangan
pengadilan. Dalam berita tersebut, disebutkan bahwa pihak PT. Plaza Indonesia
Tbk berpendapat :
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
9
Universitas Indonesia
“Gugatan perbuatan melawan hukum (PMH) yang diajukan ke BANI
dinilai sebagai rekayasa. Sebab jika mengacu pada klausul perjanjian
tersebut, PT Istana Noodle tak bisa menuntut ganti rugi. Gugatan
perbuatan melawan hukum dinilai sebagai kewenangan absolut pengadilan
umum, bukan badan arbitrase.”16
Namun sesungguhnya terkait pendapat tersebut, UU Arbitrase dan APS sendiri
tidak menyebutkan secara khusus bahwa majelis arbitrase hanya berwenang untuk
memeriksa sengketa wanprestasi.
Berbeda dengan putusan sengketa antara PT. Perusahaan Dagang Tempo
terhadap PT. Roche Indonesia di atas, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memiliki
sikap dan pendapat yang berbeda. Perbuatan melawan hukum dipandang
merupakan kewenangan arbitrase. Hal ini terlihat dalam Putusan
No.406/PDT.G/2009/PN.JKT.PST tertanggal 27 Mei 2010.
Dalam perkara Putusan No.406/PDT.G/2009/PN.JKT.PST tertanggal 27
Mei 2010, PT. Istana Noodle House mengajukan permohonan arbitrase kepada
Badan Arbitrase Nasional Indonesia karena adanya perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh PT. Plaza Indonesia Realty Tbk. Di antara kedua pihak telah
terikat dalam Perjanjian Sewa No.LAR-1241/25/07/07/L1113 tertanggal 25 Juli
2007 di mana PT Istana Noodle House menyewa tempat pada PT. Plaza Indonesia
Realty Tbk untuk digunakan menjalankan usaha restoran Imperial Treasure.
Terhadap permohonan arbitrase tersebut, majelis arbiter BANI dalam Putusan
No.296/II/ARB-BANI/2009 memutuskan bahwa PT. Plaza Indonesia Realty Tbk
telah melakukan perbuatan melawan hukum dan diwajibkan membayar ganti rugi
kepada PT Istana Noodle House.
PT. Plaza Indonesia Realty Tbk kemudian tidak menerima dan
mengajukan permohonan pembatalan Putusan BANI No.296/II/ARB-BANI/2009
tersebut pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam salah satu alasannya, PT.
Plaza Indonesia Realty Tbk sebagai Pemohon mendalilkan bahwa majelis
16 “Putusan BANI „Digugat” Plaza Indonesia”, Senin, 22 Maret 2010. 18 Januari 2011
<http://hukumonline.com/berita/baca/lt4ba6dad8a30e2/putusan-bani-digugat-plaza-
indonesia>.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
10
Universitas Indonesia
arbitrase BANI tidak berwenang memeriksa sengketa perbuatan melawan hukum
dan kewenangan untuk memeriksa sengketa demikian adalah kewenangan absolut
dari peradilan umum. Atas permohonan ini, Majelis Hakim pada Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat dalam Putusan No.406/PDT.G/2009/PN.JKT.PST
memutuskan bahwa alasan Pemohon telah menyimpang dari aturan hukum karena
tidak sesuai dengan ketentuan Pasal 70 UU Arbitrase dan APS tentang
permohonan pembatalan putusan arbitrase. Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak
sepakat dengan dalil PT. Plaza Indonesia Realty Tbk yang menyatakan bahwa
oleh karena sengketa di antara para pihak adalah sengketa perbuatan melawan
hukum maka menjadikan pengadilan menjadi berwenang untuk membatalkan
Putusan BANI No.296/II/ARB-BANI/2009 dan memeriksa sendiri sengketa
tersebut.
Sikap dan pendapat serupa juga dilakukan oleh Mahkamah Agung dalam
Putusan No.182PK/Pdt/2006 tertanggal 26 Juni 2009 dan Putusan
No.182PK/Pdt/2011 tertanggal 28 September 2011. Dalam kedua putusan
tersebut, Majelis Hakim memutuskan untuk menguatkan putusan Judex Factie
yang mengabulkan eksepsi mengenai kompetensi absolut dan menyatakan tidak
berwenang memeriksa dan mengadili gugatan perbuatan melawan hukum yang
diajukan oleh para penggugat.
Dalam Putusan No.182PK/Pdt/2006 tertanggal 26 Juni 2009, Mahkamah
Agung memutuskan menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan
oleh PT. Armada Eka Lloyd melawan Samsung Shipping Corporation, Capt.
Elosoo M. Pusyo, Master Ocean Shipping (TD) Monrobia Liberia. Putusan ini
menguatkan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No.1246K/Pdt/2000 jo Putusan
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta No.292/Pdt/1997/PT.DKI jo Putusan Pengadilan
Negeri Jakarta Pusat No.497/Pdt.G/1995/PN.Jkt.Pst. Dalam putusan tingkat
pertama, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutuskan tidak berwenang
memeriksa dan mengadili gugatan perbuatan melawan hukum yang timbul dari
perjanjian sewa-menyewa kapal M.V. Master Pioneer. Dalam perjanjian sewa-
menyewa kapal M.V. Master Pioneer tersebut terdapat klausul arbitrase yang
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
11
Universitas Indonesia
menentukan bahwa perselisihan yang timbul di antara para pihak harus diajukan
pada tiga arbiter di London, di mana masing-masing pihak menunjuk satu arbiter
dan arbiter ketiga ditunjuk oleh dua arbiter yang dipilih tersebut.
Sedangkan dalam Putusan No.182PK/Pdt/2011 tertanggal 28 September
2011, Mahkamah Agung juga memutuskan menolak permohonan peninjauan
kembali yang diajukan oleh Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co
melawan PT. Landmark dan Henry Onggo. Putusan ini menguatkan Putusan
Kasasi Mahkamah Agung No.1034K/Pdt/2009 jo Putusan Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta No.64/Pdt/2008/PT.DKI jo Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan No.751/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Sel. Dalam putusan tingkat pertama,
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutuskan tidak berwenang memeriksa dan
mengadili gugatan perbuatan melawan hukum yang timbul dari perjanjian sewa-
menyewa yang mengandung klausula arbitrase.
Mengingat adanya perbedaan sikap dan pendapat pengadilan mengenai
kewenangan arbitrase dalam memeriksa dan memutus sengketa perbuatan
melawan hukum dan tidak disebutkannya atau diatur secara jelas ketentuan
tersebut dalam UU Arbitrase dan APS, maka apakah arbitrase berwenang untuk
memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum atau tidak? Oleh
karena itu, penulis tertarik untuk menganalisis dan menelaah beberapa putusan
pengadilan di Indonesia sehubungan dengan sengketa perbuatan melawan hukum,
dengan memfokuskan kasus-kasus tersebut di atas dalam penulisan tesis yang
berjudul KEWENANGAN ARBITRASE DALAM MEMERIKSA DAN
MEMUTUS SENGKETA PERBUATAN MELAWAN HUKUM : STUDI
PUTUSAN-PUTUSAN PENGADILAN.
1.2. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, perbedaan
sikap dan pendapat pengadilan mengenai kewenangan arbitrase dalam memeriksa
dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum, menimbulkan suatu
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
12
Universitas Indonesia
pertanyaan apakah arbitrase berwenang memeriksa dan memutus sengketa
perbuatan melawan hukum atau apakah arbitrase hanya berwenang memeriksa
dan memutus sengketa wanprestasi, sepanjang UU Arbitrase dan APS sendiri
tidak mengatur dan menentukan secara jelas apakah arbitrase berwenang
memeriksa sengketa perbuatan melawan hukum atau hanya sengketa wanprestasi,
sehingga perdebatan di atas tentu akan dapat menimbulkan kebingungan dan
ketidakpastian hukum terkait sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul
dari perjanjian yang mengandung klausul arbitrase.
Oleh karena itu, permasalahan hukum yang akan menjadi fokus penelitian
dalam penulisan tesis ini adalah :
1. Apakah arbitrase berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa
perbuatan melawan hukum?
2. Bagaimana sikap dan pendapat pengadilan terhadap sengketa perbuatan
melawan hukum yang timbul dari suatu transaksi atau kontrak yang di
dalamnya terdapat klausul arbitrase?
1.3. Kerangka Teoritis dan Konseptual
Dalam membuat suatu penulisan diperlukan kerangka berfikir secara
ilmiah, yang dilandasi dengan pola fikir yang mengarah pada suatu pemahaman
yang sama. Hal ini diperlukan supaya pembaca memahami apa yang dimaksud
oleh penulis.
Dalam penulisan tesis ini, teori yang digunakan adalah teori dalam hukum
kontrak. Adam Smith dengan teori ekonomi klasiknya mendasari pemikirannya
pada ajaran hukum alam, hal yang sama menjadi dasar pemikiran Jeremy
Bentham yang dikenal dengan utilitarianisme. Utilatarianism dan teori klasik
ekonomi laissez faire, dianggap saling melengkapi dan sama-sama menghidupkan
pemikiran liberalis individualistis.17
17 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi
Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Jakarta : Institut Bankir Indonesia (IBI),
1993, hlm.17.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
13
Universitas Indonesia
Jeremy Bentham berpendapat bahwa hukum bertujuan untuk mewujudkan
semata-mata apa yang berfaedah bagi orang. Menurut Teory Utilitis, tujuan
hukum ialah menjamin adanya kebahagian sebesar-besarnya pada orang
sebanyak-banyaknya. Kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan
tujuan utama dari pada hukum.18
Dalam hal ini pendapat Bentham dititik beratkan
pada hal-hal yang berfaedah dan bersifat umum.19
Undang-undang adalah
keputusan kehendak dari satu pihak yaitu negara sementara perjanjian adalah
keputusan kehendak dari dua pihak. Dengan kata lain, orang terikat pada
perjanjian berdasarkan atas kehendaknya sendiri, berbeda dengan undang-undang
di mana keterikatan pihak adalah terlepas dari kehendaknya.20
Teori selanjutnya adalah milik Krabbe yang menyatakan kekuasaan
hukum itu tidak terletak di luar manusia tetapi di dalam manusia. Hukum
berdaulat yaitu di atas segala sesuatu, termasuk Negara. Menurut Krabbe, negara
yang baik adalah negara hukum (rechtstaat), di mana tiap tindakan negara harus
dapat dipertanggungjawabkan kepada hukum.21
Hugo Grotius berpendapat bahwa hak untuk membuat kontrak adalah hak
asasi manusia yang dilindungi oleh suatu badan hukum tertinggi yang dilandasi
oleh nalar manusia yang disebutnya sebagai hukum alam. Kontrak adalah
perbuatan sukarela dari seseorang yang membuat janji tentang sesuatu kepada
orang lainnya dengan menekankan bahwa masing-masing akan menerima dan
melaksanakan sesuai dengan yang diperjanjikan.22
18 L.J.van Apeldoorn, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1981, hlm.168.
19 C.S.T. Kansil, Pengantar Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : PN Balai
Pustaka, 1983, hlm.42.
20 L.J.van Apeldoorn. Loc.Cit.
21 Ibid.
22 Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif
Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Bandung :
CV. Mandar Maju, 2012, hlm.18-19.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
14
Universitas Indonesia
Azas kebebasan berkontrak dalam melakukan suatu perjanjian merupakan
bentuk dari adanya suatu kedaulatan hukum yang dimiliki oleh setiap individu
dalam melakukan suatu perbuatan hukum. Setiap individu menurut
kepentingannya secara otonom, berhak untuk melakukan perjanjian dengan
individu atau kelompok masyarakat lainnya.
Asas-asas hukum kontrak yang terdapat di dalam KUHPerdata meliputi
Asas Kebebasan Berkontrak, Asas Mengikat Sebagai Undang-undang, Asas
Konsensualitas, dan Asas Itikad Baik. Asas-asas tersebut secara normatif
disebutkan dalam pasal-pasal KUHPerdata khususnya pada buku ketiga.
Asas kebebasan berkontrak adalah kebebasan dalam membuat perjanjian
di mana para pihak dapat dengan bebas mengatur hak dan kewajiban dalam
perjanjian yang disepakati. Menurut Subekti dalam bukunya yang berjudul
Hukum Perjanjian, asas kebebasan berkontrak adalah suatu asas yang menyatakan
bahwa setiap orang pada dasarnya boleh membuat kontrak (perjanjian) yang berisi
dan macam apapun asal tidak bertentangan dengan undang-undang, kesusilaan
dan ketertiban umum.23
Asas mengikat sebagai undang-undang disebut juga Pacta Sun Servanda,
yang berarti bahwa perjanjian yang sah mengikat pihak-pihak yang
mengadakannya selayaknya undang-undang atau setiap perjanjian harus ditaati
dan ditepati seperti undang-undang.24
Asas ini terdapat pada Pasal 1338
KUHPerdata, yang menyatakan bahwa “Semua kontrak yang dibuat secara sah
akan mengikat sebagai undang undang bagi para pihak dalam kontrak tersebut”.
Semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya dan perjanjian-perjanjian itu tidak dapat ditarik
23 R. Subekti, Hukum Perjanjian, Cetakan Keenam, Jakarta : Intermasa, Jakarta, 1979,
hlm.13.
24 C.S.T. Kansil, Op.Cit, hlm.48.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
15
Universitas Indonesia
kembali selain dengan kesepakatan para pihak atau karena alasan-alasan yang
telah ditetapkan oleh undang-undang. Terikatnya para pihak pada perjanjian tidak
semata-mata terbatas pada apa yang diperjanjikan, akan tetapi juga terhadap
beberapa unsur lain sepanjang dikehendaki oleh kebiasaan dan kepatutan secara
moral.25
Oleh karenanya, para pihak yang terikat dalam perjanjian, harus tunduk
pada ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian tersebut selayaknya tunduk pada
undang-undang.
Sebuah kontrak sudah lahir dan mengikat para pihak sejak terjadinya kata
sepakat tentang unsur pokok dari kontrak tersebut. Hal ini sebagaimana yang
tersirat dalam pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan sebagai berikut :
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat yaitu
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat
suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak
terlarang”.
Dengan kata lain, kontrak sudah sah apabila sudah tercapai kesepakatan mengenai
unsur pokok kontrak. Kekuatan mengikat dari suatu kontrak lahir ketika adanya
kata sepakat, atau dikenal dengan asas konsensualitas, di mana para pihak yang
berjanji telah sepakat untuk mengikatkan dirinya dalam suatu perjanjian hukum.
Asas itikad baik dalam suatu perjanjian terdapat dalam Pasal 1338
KUHPerdata. Akan tetapi dalam pasal tersebut tidak disebutkan secara ekplisit
apa yang dimaksud dengan “itikad baik”. Pasal ini hanya menguraikan sebagai
berikut :
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pesetujuan itu
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Dalam praktek pelaksanan perjanjian, itikad baik sering ditafsirkan
sebagai hal yang berhubungan dengan kepatuhan dan kepantasan dalam
25 Mariam Darus Badrulzaman, dkk, Kompilasi Hukum Perikatan, PT.Citra Aditya Bakti,
Bandung, 2001. hlm.88.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
16
Universitas Indonesia
melaksanakan suatu kontrak. Menurut Wirjono Prodjodikoro dan Subekti, itikad
baik (te goeder trouw) yang sering diterjemahkan sebagai kejujuran, dibedakan
menjadi dua macam, yaitu;
1. Itikad baik pada waktu akan mengadakan hubungan hukum atau
perjanjian, dan
2. Itikad baik pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-
kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut.26
Konsep-konsep yang digunakan di dalam penulisan tesis ini meliputi
perikatan, perjanjian, perjanjian arbitrase, arbitrase, wanprestasi dan perbuatan
melawan hukum.
Perikatan adalah suatu hubungan hukum antara dua pihak, yang isinya
adalah hak dan kewajiban di mana suatu hak untuk menuntut sesuatu dan
disebelah lain suatu kewajiban untuk memenuhi tuntutan tersebut.27
Menurut hukum perdata yang berlaku di Indonesia, perikatan yang lahir
dari perjanjian atau persetujuan, dapat disimpulkan dari ketentuan pasal 1313
KUHPerdata, yang menyatakan bahwa “Suatu persetujuan adalah suatu perbuatan
dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap satu orang lain
atau lebih.”
Perjanjian adalah salah satu bagian terpenting dari hukum perdata.
Ketentuan mengenai Perjanjian diatur di dalam Buku III KUHPerdata.
Didalamnya diterangkan mengenai perjanjian, termasuk perjanjian khusus yang
dikenal oleh masyarakat seperti perjanjian jual beli, perjanjian sewa menyewa,
dan perjanjian pinjam-meminjam.
26 Riduan Syahrani, Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Bandung : Alumni,
2000, hlm.260.
27 R. Subekti, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Loc.Cit.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
17
Universitas Indonesia
Perjanjian menurut R Subekti adalah salah satu sumber perikatan yang
menciptakan kewajiban pada salah satu atau lebih pihak dalam perjanjian.
Kewajiban yang dibebankan pada debitor dalam perjanjian memberikan hak pada
pihak kreditor dalam perjanjian untuk menuntut pelaksanaan prestasi dalam
perikatan yang lahir dari perjanjian tersebut.28
Sedangkan definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata menurut
Handri Raharjo, S.H. adalah :
Suatu hubungan hukum di bidang harta kekayaan yang didasari kata
sepakat antara subyek hukum yang satu dengan yang lain, dan di antara
mereka (para pihak/subyek hukum) saling mengikatkan dirinya sehingga
subyek hukum satu berhak atas prestasi dan begitu juga subyek hukum
yang lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai dengan
kesepakatan yang telah disepakati para pihak tersebut serta menimbulkan
akibat hukum.29
Suatu perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik sebagaimana yang
diatur dalam Pasal 1338 ayat 3 KUHPerdata. Demikian pula Pasal 1339
KUHPerdata menentukan suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal
yang dengan tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang
menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan, atau undang-
undang.30
Akibat hukum dari suatu perjanjian yang sah menurut Pasal 1338
KUHPerdata,yaitu:31
1. Perjanjian mengikat para pihak.
28 Ibid. hlm.91.
29 Handri Raharjo, Hukum Perjanjian di Indonesia, Cetakan Kesatu, Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2009, hlm.41-42.
30 Djaja S. Meliala, Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan Hukum
Perikatan, Cetakan Kesatu, Bandung: Nuansa Aulia, 2007, hlm.98.
31 Handri Raharjo, Op.Cit., hlm.58-59.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
18
Universitas Indonesia
2. Perjanjian tidak dapat ditarik kembali secara sepihak karena
merupakan kesepakatan di antara kedua belah pihak dan alasan-alasan
yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu.
Menurut Pasal 1320 KUHPerdata, suatu perjanjian adalah sah, apabila
memenuhi empat syarat sebagai berikut:32
1. sepakat mereka yang mengikatkan dirinya;
2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
3. suatu hal tertentu;
4. suatu sebab yang halal;
Keempat syarat tersebut dijelaskan dan dibatasi oleh pasal-pasal berikutnya dalam
KUHPerdata, yaitu dari Pasal 1321 sampai dengan Pasal 1337.
Seseorang bebas untuk membuat perjanjian dengan pihak manapun yang
dikehendakinya. Para pihak juga bebas menentukan isi perjanjian yang akan
disepakati, termasuk pilihan forum dan pilihan hukum yang akan berlaku terhadap
penyelesaian sengketa yang mungkin akan timbul atau telah timbul di antara para
pihak. Pilihan forum tersebut dapat berupa perjanjian arbitrase.
Menurut ketentuan Pasal 1 ayat 3 UU Arbitrase dan APS, perjanjian
arbitrase adalah:
Suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau
suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul
sengketa.33
32 Ibid, hlm.91.
33 Pasal 1 ayat (1) UU Arbitrase dan APS :
“Perjanjian arbitrase adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang
tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul
sengketa, atau suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah
timbul sengketa.”
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
19
Universitas Indonesia
Perjanjian arbitrase terdiri atas dua jenis, yaitu pactum de compromittendo
dan akta kompromis. Perbedaan keduanya adalah waktu dibuatnya perjanjian
arbitrase. Jika pactum de compromittendo dibuat oleh para pihak sebelum
perselisihan terjadi, maka akta kompromis dibuat setelah timbul perselisihan di
antara para pihak.34
Perjanjian arbitrase (pactum de compromittendo) adalah
perjanjian dalam bentuk klausula arbitrase yang termasuk dalam perjanjian tertulis
yang dibuat oleh pihak sebelum para pihak memiliki sengketa. Perjanjian arbitrase
(akta kompromis) adalah perjanjian yang dibuat oleh para pihak setelah sengketa
muncul.
Arbitrase telah didefinisikan sebagai cara penyelesaian sengketa dagang di
luar pengadilan. Arbitrase dipilih berdasarkan perjanjian arbitrase tertulis yang
dibuat oleh para pihak yang berselisih. Pasal 1 ayat 1 UU Arbitrase dan APS
menentukan bahwa arbitrase adalah cara penyelesaian suatu sengketa perdata di
luar peradilan umum yang didasarkan pada perjanjian arbitrase yang dibuat secara
tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Subekti menjabarkan arbitrase sebagai suatu lembaga penyelesaian
sengketa di luar peradilan formal pada pengadilan, di mana hukum memberikan
kekuatan yang sama untuk putusan badan arbitrase sebagaiman hukum
memberikan kekuatan yang sama pada putusan pengadilan tingkat akhir, dan
keputusan dapat dijalankan atau dieksekusi atas perintah Kepala Pengadilan
Negeri.35
Yurisdiksi arbitrase muncul ketika ada perjanjian arbitrase atau kontrak
yang mengandung klausul arbitrase yang menyebutkan bahwa arbitrase
merupakan badan penyelesaian sengketa di antara para pihak. Arbitrase akan
memiliki kompetensi absolut jika dalam perjanjian mencantumkan kesepakatan
34 Suyud Margono, ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum, Cetakan
Kedua, Bogor : Ghalia Indonesia, 2004, hlm.117.
35 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Loc.Cit.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
20
Universitas Indonesia
para pihak untuk memilih arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa bagi
para pihak.
UU Arbitrase dan APS memperkuat yurisdiksi arbitrase dan lebih
memberikan kepastian hukum ke pengadilan negeri untuk tidak memiliki
yurisdiksi atas sengketa yang terjadi dari suatu perjanjian dengan klausul arbitrase
atau kasus yang telah dibuat perjanjian arbitrasenya. Hal ini mengikat pada pihak-
pihak yang bersengketa yang telah menandatangani perjanjian arbitrase atau
kontrak dengan klausul arbitrase.36
Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 3 UU
Arbitrase dan APS, peradilan umum tidak memiliki yurisdiksi untuk
menyidangkan perselisihan antara para pihak yang sudah terikat pada perjanjian
arbitrase.
Selain itu, pasal dalam UU Arbitrase dan APS menyatakan bahwa
perjanjian arbitrase tertulis menghapuskan hak-hak para pihak untuk mengajukan
penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang dinyatakan dalam perjanjian ke
pengadilan negeri.37
Pengadilan negeri sendiri memiliki kewajiban untuk menolak
pengajuan gugatan dan menyatakan tidak akan terlibat dalam penyelesaian
sengketa, kecuali dalam beberapa keadaan tertentu sebagaimana yang ditentukan
dalam UU No.30 Tahun 1999.38
Dalam UU Arbitrase dan APS pada pasal 5 ayat 1 disebutkan bahwa yang
menjadi obyek arbitrase adalah hanya sengketa di bidang perdagangan dan
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
36 Andrew L. Sriro, Loc.Cit.
37 Pasal 11 ayat (1) UU Arbitrase dan APS menyebutkan bahwa “Adanya suatu
perjanjian arbitrase tertulis meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa
atau beda pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.”
38 Pasal 11 ayat (2) UU Arbitrase dan APS menyebutkan bahwa “Pengadilan Negeri
wajib menolak dan tidak akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah
ditetapkan melalui arbitrase, kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang
ini.”
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
21
Universitas Indonesia
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa.39
Sehingga yang menjadi obyek dari
arbitrase adalah sengketa perdata. Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat 2 Arbitrase dan
APS, ditentukan selanjutnya bahwa sengketa yang tidak dapat diselesaikan
melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan
tidak dapat diadakan perdamaian.
Dalam hukum perdata materiil sengketa hukum dapat berupa wanprestasi,
perbuatan melawan hukum atau perbuatan yang menimbulkan kerugian pada
orang laintapi tidak termasuk perbuatan melawan hukum, yaitu yang berupa
penyalahgunaan keadaan.40
Perbuatan melawan hukum dan wanprestasi sering
menjadi sebab terjadinya sengketa yang timbul dari adanya suatu perjanjian.
Wanprestasi adalah pelaksanaan perjanjian yang tidak tepat waktunya atau
dilakukan tidak menurut selayaknya atau tidak dilaksanakan sama sekali.41
Dengan demikian wanprestasi dapat berbentuk:
a. Debitur tidak memenuhi prestasi pada waktunya (terlambat);
b. Debitur tidak memenuhi prestasi sama sekali;
c. Debitur memenuhi prestasi dengan tidak baik (tidak sesuai dengan
yang diperjanjikan42
Sedangkan perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 dan Pasal
1366 KUHPerdata. Pasal 1365 berbunyi “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
mem-bawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dan Pasal 1366
menyatakan “Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang
39 Pasal 5 ayat (1) UU Arbitrase dan APS menyebutkan bahwa “Sengketa yang dapat
diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di bidang perdagangan dan mengenai hak yang
menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.”
40 Sudikno Mertokusumo, Loc.Cit.
41 Yahya Harahap, Loc.Cit.
42 Setiawan, Loc.Cit.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
22
Universitas Indonesia
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.” Dari kedua pasal di atas, tidak
dijelaskan mengenai pengertian perbuatan melawan hukum.
Menurut para ahli, perbuatan melawan hukum adalah berbuat atau tidak
berbuat yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku atau melanggar hak
subyektifsubyektif orang lain. Dalam hal ini, Pasal 1365 KUHPerdata, diartikan
sebagai perbuatan/tindakan melawan hukum (culpa in committendo) sedangkan
Pasal 1366 difahami sebagai perbuatan melawan hukum dengan cara melalaikan
(culpa in ommittendo), meskipun juga diakui dalam Pasal 1365 juga terdapat
pengertian culpa in ommittendo.43
Berdasarkan pengertian tentang perbuatan melawan hukum di atas, maka
terdapat empat kriteria dari perbuatan melawan hukum itu, yakni:
a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
b. Melanggar hak subyektif orang lain;
c. Melanggar kaidah kesusilaan;
d. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta kehati-hatian.44
1.4. Tujuan Penelitian
Berdasarkan rumusan permasalahan yang akan menjadi obyek
pembahasan dalam penulisan tesis ini, maka tujuan penulisan tesis berikut ini
adalah sebagai berikut :
1. Untuk menganalisis apakah arbitrase berwenang dalam memeriksa
sengketa perbuatan melawan hukum;dan
2. Untuk mengetahui bagaimanakah sikap dan pendapat pengadilan terhadap
sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari perjanjian arbitrase
atau kontrak dengan klausul arbitrase.
43 H.A.Mukhsin Asyrof, Loc.Cit.
44 Ibid.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
23
Universitas Indonesia
1.5. Manfaat Penelitian
Permasalahan yang diangkat di dalam penulisan tesis ini dan dihubungkan
dengan peraturan-peraturan perundang-undangan yang ada diharapkan dapat
membawa sejumlah manfaat yang berguna secara teoritis dan praktis. Sehubungan
dengan itu, penulisan tesis ini bermanfaat untuk :
1. Secara teoritis, penulisan tesis ini diharapkan dapat membuka wawasan
dan paradigma berfikir dalam memahami dan mendalami permasalahan
hukum khususnya pemahaman tentang apakah arbitrase berwenang dalam
memeriksa perbuatan melawan hukum dan bagaimana sikap serta
pendapat pengadilan terhadap sengketa perbuatan melawan hukum yang
timbul dari perjanjian arbitrase atau kontrak dengan klausul arbitrase.
Selain itu, penulisan tesis ini diharapkan dapat menjadi bahan
perbandingan dan referensi bagi penulis lanjutan serta dapat memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan. Penulisan tesis ini juga diharapkan dapat
memberikan masukan bagi penyempurnaan perangkat peraturan
perundang-undangan mengenai kewenangan arbitrase di Indonesia.
2. Secara praktis penulisan tesis ini ditujukan kepada kalangan aparat
penegak hukum dalam hal ini kewenangan arbitrase yang memeriksa dan
memutus sengketa berupa perbuatan melawan hukum.
1.6. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini adalah
penelitian dengan pendekatan hukum normatif. Penelitian hukum normatif atau
kepustakaan adalah penelitian yang mencakup penelitian atas asas-asas hukum,
sistematik hukum, sinkronisasi hukum vertical dan horizontal45
, perbandingan
45 Sinkronisasi hukum ditelaah dengan mengkaji perundang-undangan suatu bidang
kehidupan tertentu, sesuai dengan pemeringkatan undang-undang.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
24
Universitas Indonesia
hukum serta sejarah hukum.46
Dengan metode penelitian hukum normatif, dapat
diketahui apakah dan bagaimanakah hukum positifnya suatu masalah tertentu, dan
dapat menjelaskan atau menerangkan kepada orang lain apa dan bagaimana
hukumnya mengenai peristiwa atau masalah tertentu.47
Dalam penulisan tesis ini metode penelitian dengan pendekatan hukum
normatif dilakukan dengan pendekatan kasus (case approach). Dalam
menggunakan pendekatan kasus, yang perlu dipahami oleh peneliti adalah ratio
decindeli, yaitu alasan-alasan hukum yang digunakan oleh hakim untuk sampai
kepada putusannya.48
Pada penelitian hukum normatif bahan pustaka merupakan data dasar yang
digolongkan sebagai data sekunder yang ada dalam keadaan siap terbit, bentuk
dan isinya telah disusun peneliti-peneliti terdahulu, dan dapat diperoleh tanpa
terikat waktu dan tempat.49
Penelitian hukum normatif dilakukan dengan cara meneliti bahan pustaka
atau data sekunder, ataupun peraturan perundang-undangan dan perjanjian-
perjanjian internasional. Di dalam penelitian hukum, data sekunder mencakup :50
1. Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat.
Contohnya peraturan perundang-undangan dan yurisprudensi. Dalam
penulisan tesis ini bahan hukum primer yang digunakan adalah
Undang-Undang No.30 Tahun 1999 Tentang Arbitrase dan
Penyelesaian Sengketa Alternatif, putusan-putusan pengadilan yang
berkaitan dengan permasalahan yang akan dibahas.
46 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif : Suatu Tinjauan
Singkat, Cetakan VI, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001, hlm.14.
47 Topo Santoso, “Putusan BANI „Digugat” Plaza Indonesia”, Senin, 22 Maret 2010. 18
Januari 2011 <http://hukumonline.com/berita/baca/lt4ba6dad8a30e2/putusan-bani-digugat-plaza-
indonesia>.
48 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Cetakan ke-6, Jakarta : Kencana, 2010,
hlm.119.
49 Ibid, hlm.37.
50 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan III, Jakarta : UI Press, 1985,
hlm.52.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
25
Universitas Indonesia
2. Bahan hukum sekunder, yaitu yang memberikan penjelasan mengenai
bahan hukum primer. Contohnya doktrin, hasil penelitian akademisi,
karya-karya ilmiah para sarjana, jurnal, dan tulisan-tulisan lainnya
yang bersifat ilmiah.
3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun
penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder. Contohnya
kamus umum, kamus istilah hukum, ensiklopedia, dan sebagainya.
Metode pemaparan data yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini
adalah metode analisis deskriptif,51
yaitu penelitian dengan tujuan memberikan
data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan atau gejala-gejala lainnya.
Metode pemaparan secara analitis deskriptif di dalam penulisan tesis ini dilakukan
dengan memaparkan data yang tersedia di dalam putusan –putusan pengadilan
yang relevan, dan menganalisisnya dengan mengacu pada dasar-dasar
pengetahuan yuridis.
Metode pengumpulan data yang dipergunakan dalam penulisan tesis ini
adalah penelitian kepustakaan52
, yaitu dengan menelusuri dan melakukan analisis
bahan pustaka yang berkaitan dengan permasalahan yang dibahas.
1.7. Alasan Memilih Judul
Dalam penulisan tesis ini, penulis memilih judul Kewenangan Arbitrase
Dalam Memeriksa Dan Memutus Sengketa Perbuatan Melawan Hukum : Studi
Putusan-Putusan Pengadilan, karena beberapa alasan sebagai berikut :
1. Adanya perbedaan pendapat mengenai apakah arbitrase memiliki
wewenang untuk memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan
hukum atau hanya berwenang memeriksa dan memutus sengketa
wanprestasi saja;
2. Adanya sikap dan pendapat yang berbeda dari putusan pengadilan
terhadap sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari suatu
transaksi atau kontrak yang di dalamnya terdapat klausul arbitrase;
51 Ibid, hlm.10.
52 Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Op.Cit, hlm.23.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
26
Universitas Indonesia
3. Ingin mengetahui dan mendalami apakah arbitrase berwenang dalam
memeriksa dan memutus sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul
dari suatu transaksi atau kontrak yang di dalamnya terdapat klausul
arbitrase;
4. Belum adanya penelitian dan penulisan secara khusus dan mendalam
mengenai kewenangan arbitrase dalam memeriksa dan memutus sengketa
perbuatan melawan hukum yang timbul dari suatu transaksi atau kontrak
yang di dalamnya terdapat klausul arbitrase;
5. Ingin membuka wawasan dan paradigma berfikir dalam memahami dan
mendalami permasalahan hukum mengenai pemahaman tentang
kewenangan arbitrase dalam memeriksa dan memutus sengketa perbuatan
melawan hukum yang timbul dari suatu transaksi atau kontrak yang di
dalamnya terdapat klausul arbitrase;
6. Ingin menambah bahan perbandingan dan referensi untuk memperkaya
khazanah ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang hukum, baik secara
teoritis maupun praktis.
7. Ingin memberikan masukan bagi penyempurnaan penerapan perangkat
peraturan perundang-undangan terkait dengan kewenangan arbitrase di
Indonesia dalam memeriksa sengketa perbuatan melawan hukum yang
timbul dari suatu transaksi atau kontrak yang di dalamnya terdapat klausul
arbitrase bagi terciptanya kepastian hukum khususnya hukum arbitase
sebagai lembaga penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan di
Indonesia.
1.8. Sistematika Penulisan
Adapun sistematika penulisan tesis ini terdiri dari lima bab. Untuk
mempermudah pembahasan dalam penelitian dan penulisan ini, perlu disusun
secara sistematik sebagai berikut :
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
27
Universitas Indonesia
BAB I PENDAHULUAN
Bab pendahuluan akan menguraikan hal-hal umum yang ada dalam
sebuah karya tulis ilmiah berisi latar belakang masalah, perumusan
masalah, kerangka teoritis dan konseptual, tujuan penelitian,
manfaat penelitian, metode penelitian, alasan memilih judul, dan
sistematika penulisan.
BAB II PERBUATAN MELAWAN HUKUM
Bab ini menggambarkan mengenai tinjauan secara umum tentang
pengertian perbuatan melawan hukum, unsur perbuatan melawan
hukum, ukuran ganti rugi akibat perbuatan melawan hukum dan
sengketa perbuatan melawan hukum.
BAB III KEWENANGAN ARBITRASE DALAM MEMERIKSA DAN
MEMUTUS SENGKETA PERBUATAN MELAWAN
HUKUM
Bab ini menggambarkan mengenai tinjauan secara umum dalam
peraturan perundang-undangan di Indonesia, UNCITRAL Model
Law dan UNICTRAL Arbitration Rules dan pendapat para ahli
tentang arbitrase dan kewenangan arbitrase dalam memeriksa dan
memutus sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari
perjanjian dengan klausul arbitrase.
BAB IV SIKAP DAN PENDAPAT PENGADILAN TERHADAP
SENGKETA PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG
DIPERIKSA DAN DIPUTUS OLEH ARBITRASE
Bab ini menguraikan putusan-putusan pengadilan terkait dengan
sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari perjanjian
dengan klausul arbitrase, menggambarkan mengenai sikap dan
pendapat pengadilan terhadap sengketa perbuatan melawan hukum
yang timbul dari perjanjian dengan klausul arbitrase, dan analisa
terhadap putusan-putusan pengadilan tersebut.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
28
Universitas Indonesia
BAB V PENUTUP
Bab penutup tulisan ini adalah kesimpulan yang menjawab
permasalahan dalam Bab I bahwa secara yuridis arbitrase
berwenang untuk memeriksa dan memutus sengketa perbuatan
melawan hukum yang timbul dari suatu transaksi atau kontrak
yang di dalamnya terdapat klausul arbitrase berikut saran bagi
praktisi hukum untuk kembali berpegang pada ketentuan Pasal 5
Undang-Undang Arbitrase dan APS dalam memeriksa dan
menutus sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari
perjanjian arbitrase atau kontrak dengan klausul arbitrase.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
29
Universitas Indonesia
BAB 2
PERBUATAN MELAWAN HUKUM
2.1. Pengertian Perbuatan Melawan Hukum
Perbuatan melawan hukum di Indonesia diatur hanya dalam beberapa
pasal saja di dalam KUHPerdata, sebagaimana juga yang terjadi di negara-negara
yang menganut sistem hukum Eropa Kontinental lainnya. Namun faktanya dalam
praktik, di samping gugatan wanprestasi, banyak gugatan perdata yang diajukan
berupa gugatan perbuatan melawan hukum.53
Perbuatan melawan hukum diatur dalam Pasal 1365 dan Pasal 1366
KUHPerdata. Pasal 1365 menyatakan “Tiap perbuatan melanggar hukum, yang
membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya
menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut”. Dan Pasal 1366
menyatakan “Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang
disebabkan karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
karena kelalaian atau kurang hati-hatinya.” Dari kedua pasal di atas, tidak
dijelaskan mengenai pengertian perbuatan melawan hukum.
Istilah perbuatan melawan hukum di dalam bahasa Belanda disebut
dengan istilah “onrechmatige daad”. Sedangkan di dalam bahasa Inggris disebut
dengan istilah “tort”. Istilah “tort” memiliki makna salah (wrong).54
Menurut Black’s Law Dictionary, tort secara harafiah memiliki definisi
sebagai “A civil wrong for which a remedy may be obtained, usually in the form
53 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Cetakan
Kedua, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005, hlm.1.
54 Ibid. hlm.2.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
30
Universitas Indonesia
of damages; a breach of a duty that the law imposes on everyone in the same
relation to one another as those involved in a given transaction”.55
Sejarah penafsiran pengertian perbuatan melawan hukum di Belanda
dibagi menjadi 3 waktu, yaitu antara tahun 1838 hingga 1883, tahun 1883 hingga
1919, dan sesudah tahun 1919 sebagai berikut:56
- Kodifikasi KUH Perdata pada tahun 1838 membawa perubahan besar
tentang makna dan ruang lingkup dari pengertian perbuatan melawan
hukum (onrechtmatigedaad). Pada waktu itu dianut pendirian bahwa
onrechmatig adalah onwetmatig yang berarti bahwa suatu perbuatan baru
dianggap melawan hukum, apabila perbuatan tersebut bertentangan dengan
undang-undang yang bersangkutan.
- Selanjutnya pada tahun 1883, Hooge Raad menerapkan ajaran yang
sebelumnya dipertahankan oleh Opzoomer, yaitu bahwa pasal 1366
KUHPerdata yang merupakan pelengkap pasal 1365 KUHPerdata, adalah
ketentuan lanjutan daripada istilah “daad” (perbuatan), yang digunakan
dalam pasal 1365 KUHPerdata, sehingga untuk kedua pasal tersebut harus
dipenuhi syarat sifat melawan hukum (onrechtmatig heid). Pengertian
“onrechtmatig” diperluas, yaitu bahwa tidak hanya pelanggaran suatu
kewajiban menurut undang-undang (wettelijke plicht) saja, melainkan juga
dalam hal terjadi pelanggaran atas suatu hak (subjektief recht) dapat
diterapkan pasal 1365 dan 1366 KUHPerdata.
- Sesudah tahun 1919, penafsiran perbuatan melawan hukum dapat dilihat
melalui Putusan Hooge Raad pada kasus Lindebaum Vs. Cohen tanggal 21
Januari 1919, di mana putusan ini menjadi putusan yang terpenting dalam
bidang hukum perdata. Sengketa berawal dari perbuatan pengusaha
percetakan bernama Cohen yang membujuk karyawan percetakan
Lindebaum untuk membocorkan daftar nama pelanggan dan daftar harga
55 Bryan A. Garner, Black‟s Law Dictionary, Edisi Ketujuh, Minnesota : West Group,
1999, hlm.1496.
56 M.A. Moegni Djojodirdjo, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1982, hlm.28-30.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
31
Universitas Indonesia
pada perusahaan milik Lindenbaum. Cohen menggunakan daftar tersebut
untuk kemajuan usahanya sendiri. Akibatnya usaha Lindebaum mengalami
kerugian, karena para langganannya berpindah ke perusahaan Cohen.
Lindenbaum kemudian menuntut Cohen di pengadilan untuk membayar
ganti rugi. Namun Cohen membantah gugatan itu dengan alasan bahwa dia
tidak melakukan perbuatan melawan hukum karena tidak ada undang-
undang melarang berbuat demikian.
Pengadilan tingkat pertama (rechtbank) memenangkan gugatan
Lindenbaum, akan tetapi di tingkat banding dia dikalahkan oleh
Pengadilan Tinggi (Hof). Hingga akhirnya di tingkat kasasi Lindenbaum
dimenangkan Hoge Raad. Dalam pertimbangan hukumnya, Hooge Raad
menyatakan Pengadilan Tinggi telah menafsirkan pengertian perbuatan
melawan hukum dalam arti yang sempit, di mana Pengadilan Tinggi (Hof)
hanya mengartikan perbuatan melawan hukum sekedar melawan undang-
undang.
Menurut Hooge Raad, pengertian perbuatan melawan hukum
(onrechtmatigedaad) harus diartikan sebagai berbuat atau tidak berbuat
sesuatu, yang perbuatan tersebut merugikan hak orang lain, atau
bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau bertentangan baik
dengan kesusilaan maupun dengan keharusan yang harus diindahkan
dalam pergaulan hidup. Oleh karenanya barang siapa karena salahnya
mendatangkan kerugian pada orang lain, maka ia berkewajiban membayar
ganti kerugian.
Pengertian perbuatan melawan hukum di Indonesia diterjemahkan dari
istilah Belanda yaitu “Onrechtmatige daad”. Menurut M.A. Moegni Djojodirdjo,
dalam istilah “melawan” melekat sifat aktif dan pasif, sifat aktif dapat dilihat
apabila dengan sengaja melakukan sesuatu perbuatan yang menimbulkan kerugian
pada orang lain, jadi sengaja melakukan gerakan sehingga nampak dengan jelas
sifat aktifnya dari istilah “melawan” tersebut. Sebaliknya apabila ia dengan
sengaja diam saja atau dengan lain perkataan apabila ia dengan sikap pasif saja
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
32
Universitas Indonesia
sehingga menimbulkan kerugian pada orang lain, maka ia telah “melawan” tanpa
harus menggerakkan badannya.57
Pasal 1365 KUHPerdata melahirkan pengertian yang luas dari perbuatan
melanggar hukum, yaitu tidak hanya melanggar undang-undang, tetapi juga
norma-norma yang hidup dalam masyarakat.58
Rosa Agustina menjabarkan
perbuatan melawan hukum sebagai berikut :
Perbuatan melawan hukum diartikan sebagai suatu perbuatan atau
kealpaan yang bertentangan dengan hak orang lain, atau bertentangan
dengan kewajiban hukum si pelaku atau bertentangan, baik dengan
kesusilaan baik, maupun dengan keharusan yang harus diindahkan dalam
pergaulan hidup terhadap orang lain atau benda. Perbuatan Melawan
Hukum sebagai suatu konsep tidak hanya perbuatan yang bertentangan
dengan undang-undang saja, tetapi juga berbuat atau tidak berbuat yang
melanggar hak orang lain atau bertentangan dengan kewajiban hukum,
bertentangan dengan kesusilaan maupun sifat berhati-hati sebagaimana
patutnya dalam lalu lintas masyarakat.59
Sedangkan menurut Wirjono Projodikoro, perbuatan melawan hukum
diartikan sebagai perbuatan melanggar hukum. Perbuatan tersebut mengakibatkan
kegoncangan dalam neraca keseimbangan dari masyarakat. Istilah
“onrechtmatigedaad” ditafsirkan secara luas meliputi juga suatu hubungan yang
bertentangan dengan kesusilaan atau dengan yang dianggap pantas dalam
pergaulan hidup masyarakat.
2.2. Unsur-unsur Dalam Perbuatan Melawan Hukum
Terdapat kriteria-kriteria perbuatan melawan hukum yang meliputi empat
hal sebagai berikut, yaitu:
a. Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku;
b. Melanggar hak subyektif orang atau badan hukum lain;
57 Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kesatu, Depok:Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, hlm.36.
58 Ibid, hlm.xiii.
59 Ibid, hlm.21.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
33
Universitas Indonesia
c. Melanggar kaidah kesusilaan;dan
d. Bertentangan dengan asas kepatutan, ketelitian, serta kehati-hatian.60
Dalam ketentuan Pasal 1365 KUHPerdata, dapat ditarik kesimpulan
bahwa perbuatan melawan hukum harus mempunyai unsur-unsur kumulatif
sebagai berikut:61
a. Adanya suatu perbuatan;
b. Perbuatan tersebut melawan hukum;
c. Adanya kesalahan dari pihak pelaku;
d. Adanya kerugian bagi korban; dan
e. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian.
Berikut adalah penjelasan masing-masing dari kelima unsur perbuatan
melawan hukum di atas :
2.2.1. Adanya Suatu Perbuatan
Suatu perbuatan melawan hukum diawali dengan adanya perbuatan
oleh si pelaku. Perbuatan diartikan berbuat sesuatu dalam arti kata aktif
maupun tidak berbuat sesuatu dalam arti kata pasif. Misalnya tidak berbuat
sesuatu dalam arti kata pasif adalah seharusnya seseorang berbuat sesuatu
sebagaimana yang diharuskan oleh undang-undang, namun orang tersebut
tidak melaksanakannya.62
2.2.2. Perbuatan Yang Melawan Hukum
Perbuatan yang dilakukan oleh di pelaku haruslah perbuatan yang
melawan undang-undang. Meskipun demikian, sejak tahun 1919 yaitu
60 H.A.Mukhsin Asyrof, Loc.Cit.
61 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Op.Cit. hlm.10.
62 Ibid. hlm.10-11.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
34
Universitas Indonesia
sebgaimana dalam Putusan Hooge Raad pada kasus Lindebaum Vs. Cohen
tanggal 21 Januari 1919, unsur melawan hukum menjadi lebih luas yaitu
meliputi perbuatan yang melanggar hak orang lain yang dijamin oleh hukum,
atau perbuatan yang bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku, atau
perbuatan yang bertentangan dengan kesusilaan (goede zeden), atau perbuatan
yang bertentangan dengan sikap baik dalam bermasyarakat.63
2.2.3. Adanya Kesalahan Dari Pihak Pelaku
Undang-undang dan yurisprudensi menyaratkan dapat dikenakannya
Pasal 1365 KUHPerdata adalah terdapatnya unsur kesalahan (schuld) pada
pelaku dalam melaksakanan perbuatannya. Suatu tindakan dianggap oleh
hukum mengandung unsur kesalahan jika ada unsur kesengajaan, atau ada
unsur kelalaian, atau tidak ada alasan pembenar atau alasan pemaaf.64
Syarat unsur kesalahan disamping unsur melawan hukum dalam suatu
perbuatan melawan hukum berkembang menjadi 3 aliran sebagai berikut :
a. Aliran yang menyatakan cukup unsur melawan hukum saja;
Unsur “melawan hukum” dalam aliran ini adalah melawan hukum yang
memiliki arti yang luas, sehingga unsur “kesalahan” sudah termasuk
didalamnya. Oleh karenanya tidak diperlukan lagi unsur “kesalahan”
terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Aliran ini dianut oleh Van
Oven di Belanda.65
b. Aliran yang menyatakan cukup unsur kesalahan saja;
Dalam aliran ini, unsur “kesalahan” sudah mencakup unsur “melawan
hukum”, sehingga tidak diperlukan lagi unsur “melawan hukum”
63 Ibid. hlm.11.
64 Ibid. hlm.11-12.
65 Ibid. hlm.12.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
35
Universitas Indonesia
terhadap suatu perbuatan melawan hukum. Aliran ini dianut oleh Van
Goudever di Belanda.66
c. Aliran unsur melawan hukum dan kesalahan.
Perbuatan melawan hukum dalam aliran ini harus menyaratkan unsur
“melawan hukum” dan unsur “kesalahan” sekaligus, karena dalam
unsur “melawan hukum” saja belum tentu mencakup unsur kesalahan.
Kesalahan yang disyaratkan oleh hukum dalam perbuatan melawan
hukum meliputi kesalahan dalam arti “kesalahan hukum’ maupun
“kesalahan sosial”. Kesalahan dipandang sebagai kegagalan seseorang
untuk hidup dengan sikap ideal dalam pergaulan masyarakat. Di
Belanda aliran ini dianut oleh Meyers.67
2.2.4. Adanya Kerugian Bagi Korban
Adanya kerugian (schade) bagi korban menjadi syarat diajukannya
gugatan dengan Pasal 1365 KUHPerdata. Kerugian dalam perbuatan melawan
hukum meliputi kerugian materiil, yaitu kerugian yang nyata-nyata diderita
dan keuntungan yang seharusnya diperoleh, dan kerugian immateriil, yang
dinilai dengan uang. Kerugian yang bersifat immaterial meliputi ketakutan,
sakit dan kehilangan kesenangan hidup.68
2.2.5. Adanya hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian
Hubungan kausal antara perbuatan dan kerugian adalah syarat suatu
perbuatan untuk dinyatakan sebagai perbuatan melawan hukum. Dalam
hubungan sebab akibat terdapat 2 teori yaitu teori hubungan faktual dan
hubungan penyebab kira-kira.69
66 Ibid.
67 Ibid. hlm.13.
68 Ibid.
69 Ibid.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
36
Universitas Indonesia
Dalam teori hubungan sebab akibat secara faktual atau causation in
fact adalah masalah fakta atau yang faktual terjadi. Setiap penyebab yang
mengakibatkan kerugian dapat merupakan penyebab yang faktual, selama
kerugian tersebut tidak akan pernah terjadi tanpa penyebabnya. Sebab akibat
jenis ini sering disebut dengan hukum mengenai sine qua non atau but for.
Yang mendukung ajaran ini adalah ahli hukum kontinental Von Buri.70
Teori hubungan penyebab kira-kira atau proximate cause diciptakan
agar lebih praktis dan tercapai elemen kepastian hukum. Proximate cause
terdapat banyak pertentangan pendapat dalam hukum tentang perbuatan
melawan hokum. Kadang-kadang untuk penyebab jenis ini disebut dengan
istilah legal cause.71
2.3. Ganti Rugi Akibat Perbuatan Melawan Hukum
Ganti rugi dalam hukum dikenal terbagi menjadi 2 bidang hukum, yaitu
konsep ganti rugi karena wanprestasi kontrak dan konsep ganti rugi karena
perikatan berdasarkan undang-undang, termasuk ganti rugi karena perbuatan
melawan hukum. Bentuk dari ganti rugi terhadap perbuatan melawan hukum
adalah sebagai berikut :72
a. Ganti rugi nominal, yaitu ganti rugi sejumlah nominal uang sesuai rasa
keadilan yang diberikan kepada korban tanpa menghitung berapa
sebenarnya kerugian yang diderita, sebagai akibat ganti rugi terhadap
perbuatan melawan hukum yang mengandung unsur kesengajaan tetapi
tidak menimbulkan kerugian yang nyata bagi korban.
b. Ganti rugi kompensasi, atau ganti rugi aktual, yaitu ganti rugi pembayaran
kepada korban atas kerugian yang benar-benar dialami dari suatu
70 Ibid. hlm.13-14.
71 Ibid. hlm.14.
72 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Op.Cit.
hlm.134-135.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
37
Universitas Indonesia
perbuatan melawan hukum. Misalnya ganti rugi atas semua biaya yang
dikeluarkan korban, kehilangan keuntungan, sakit dan penderitaan.
c. Ganti rugi penghukuman, yaitu ganti rugi dalam jumlah besar yang
melebihi dari jumlah kerugian yang sebenarnya, sebagai maksud
penghukuman bagi pelaku.
Dalam KUHPerdata, kewajiban ganti rugi dari adanya perbuatan melawan
hukum dapat disimpulkan dari ketentuan Pasal 1365, 1366 dan 1367. Ketiganya
jelas menentukan bahwa konsekuensi akibat perbuatan melawan hukum
diwujudkan dalam bentuk ganti rugi yang diberikan kepada orang yang dirugikan.
Hal ini dapat dilihat dalam ketentuan pasal-pasal tersebut yang menyatakan
sebagai berikut :
Pasal 1365
Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang
lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu,
mengganti kerugian tersebut.
Pasal 1366
Setiap orang bertanggungjawab tidak saja untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan karena
kelalaian atau kurang hati-hatinya.
Pasal 1367
Seorang tidak saja bertanggung-jawab untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatannya sendiri, tetapi juga untuk kerugian yang disebabkan
karena perbuatan orang-orang yang menjadi tanggungannya, atau
disebabkan oleh orang-orang yang berada dibawah pengawasannya.
Orangtua dan wali bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh
anak-anak yang belum dewasa, yang tinggal pada mereka dan terhadap
siapa mereka melakukan kekuasaan orangtua atau wali. Majikan dan orang
yang mengangkat orang lain untuk mewakili urusan-urusan mereka,
bertanggung jawab atas kerugian yang disebabkan oleh pelayan atau
bawahan mereka dalam melakukan pekerjaan yang ditugaskan kepada
orang-orang itu.
Guru sekolah atau kepala tukang bertanggung jawab atas kerugian yang
disebabkan oleh murid-muridnya atau tukang-tukangnya selama waktu
orang-orang itu berada di bawah pengawasannya.
Tanggung jawab yang disebutkan di atas berakhir, jika orangtua, guru
sekolah atau kepala tukang itu membuktikan bahwa mereka masing-
masing tidak dapat mencegah perbuatan itu atas mana meneka seharusnya
bertanggung jawab.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
38
Universitas Indonesia
Akibat dari suatu perbuatan melawan hukum adalah timbulnya kerugian
bagi korban. Kerugian tersebut harus diganti oleh orang yang dibebankan oleh
hukum untuk mengganti kerugian. Kerugian dalam beberapa bahasa dikenal
dengan istilah damages (Bahasa Inggris), nadeel (Bahasa Belanda), schaden
(Bahasa Jerman), dommage (Bahasa Perancis), dan dano (Bahasa Spanyol).73
Pasal 1365 KUHPerdata di atas menentukan kewajiban pelaku perbuatan
melawan hukum untuk membayar ganti rugi namun tidak mengatur lebih lanjut
mengenai ganti kerugian. Meskipun demikian, Pasal 1371 ayat (2) KUHPerdata
memberikan sedikit pedoman untuk menentukan besarnya ganti rugi dengan
menyatakan “Juga penggantian kerugian ini dinilai menurut kedudukan dan
kemampuan kedua belah pihak, dan menurut keadaan”. Selanjutnya, pedoman
berikutnya dapat dilihat pada Pasal 1372 ayat (2) KUHPerdata yang menyatakan
“Dalam menilai satu dan lain, Hakim harus memperhatikan berat ringannya
penghinaan, begitu pula pangkat, kedudukan dan kemampuan kedua belah pihak,
dan pada keadaan”.74
KUHPerdata mengatur kerugian dan ganti rugi menjadi 2 yaitu ganti rugi
umum dan ganti rugi khusus. Ganti rugi umum adalah ganti rugi yang berlaku
untuk semua kasus, baik untuk kasus wanprestasi kontrak, maupun kasus-kasus
yang berhubungan dengan perikatan lainnya, termasuk karena perbuatan melawan
hukum.75
Ganti rugi khusus adalah ganti rugi terhadap kerugian yang timbul dari
perikatan-perikatan tertentu.76
Penggantian kerugian karena perbuatan melawan hukum tidak diatur
secara terperinci dalam undang-undang. Sehingga aturan yang dipakai untuk ganti
73 Ibid. hlm.133.
74 Rosa Agustina, Op.Cit, hlm.51.
75 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Op.Cit.
hlm.136.
76 Ibid. hlm.137.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
39
Universitas Indonesia
kerugian adalah dengan secara analogis mempergunakan peraturan ganti kerugian
akibat wanprestasi yang diatur Pasal 1243-1252 KUHPerdata.77
Untuk ganti rugi umum, Pasal 1243 sampai dengan Pasal 1252
KUHPerdata secara konsisten menggunakan istilah-istilah sebagai berikut :78
a. Biaya
Yang dimaksud dengan biaya adalah setiap cost atau uang, atau apa pun
yang dapat dinilai dengan uang yang telah dikeluarkan oleh pihak yang
dirugikan, sebagai akibat dari wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat
dari tidak dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena
adanya perbuatan melawan hukum. Misalnya, biaya perjalanan, konsumsi,
biaya akta notaris, dan lain-lain.
b. Rugi, dan
Yang dimaksud dengan “rugi” atau “kerugian (dalam arti sempit) adalah
keadaan berkurang (merosotnya) nilai kekayaan korban sebagai akibat dari
adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak
dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya
perbuatan melawan hukum.
c. Bunga
Yang dimaksud dengan “bunga” adalah suatu penerimaan keuntungan
yang seharusnya diperoleh oleh korban, tetapi tidak jadi diperoleh karena
adanya wanprestasi dari kontrak atau sebagai akibat dari tidak
dilaksanakannya perikatan lainnya, termasuk perikatan karena adanya
perbuatan melawan hukum. Sehingga dalam hal ini, pengertian bunga
lebih luas dari pengertian “bunga uang” (interest), yang hanya ditentukan
dengan presentase dari hutang pokok.
77 Rosa Agustina, Op.Cit, hlm.61.
78 Munir Fuady, Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Op.Cit.
hlm.136-137.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
40
Universitas Indonesia
Dalam ganti rugi khusus terhadap kerugian yang timbul dari perikatan-
perikatan tertentu, KUHPerdata menyebutkan pemberian ganti rugi terhadap hal-
hal sebagai berikut :79
a. Ganti rugi untuk semua perbuatan melawan hukum (Pasal 1365);
b. Ganti rugi untuk perbuatan yang dilakukan oleh orang lain (Pasal 1367);
c. Ganti rugi untuk pemilik binatang (Pasal 1368);
d. Ganti rugi untuk pemilik gedung yang ambruk (Pasal 1369);
e. Ganti rugi untuk keluarga yang ditinggalkan oleh orang yang dibunuh
(Pasal 1370);
f. Ganti rugi karena telah luka atau cacat anggota badan (Pasal 1371);
g. Ganti rugi karena tindakan penghinaan (Pasal 1372).
Ganti rugi materiil atau kekayaan berupa penggantian kerugian yang
diderita oleh korban dan juga berupa keuntungan yang sekiranya dapat diterima
oleh korban. Hal ini sebagaimana ketentuan dalam Pasal 1246 KUHPerdata, di
mana kerugian yang disebabkan karena tidak dipenuhinya perikatan pada
umumnya harus diganti dengan kerugian yang dialami oleh penderita dan juga
dengan keuntungan yang diharapkan.
Ganti rugi immateriil atau non kekayaan juga diperbolehkan dalam suatu
gugatan perbuatan melawan hukum. Hal ini dikarenakan bahwa perbuatan
melawan hukum tidak hanya mengakibatkan kerugian kekayaan saja bagi korban,
tapi juga dapat menyebabkan kerugian moril, yakni ketakutan, terkejut, sakit dan
kehilangan kesenangan hidup.
KUHPerdata menentukan ganti rugi karena akibat perbuatan melawan
hukum tidak jauh berbeda dengan ganti rugi karena wanprestasi terhadap kontrak.
Syarat-syarat ganti rugi perbuatan melawan hukum antara lain adalah sebagai
berikut :80
79 Ibid. hlm.137.
80 Ibid. hlm.138-139.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
41
Universitas Indonesia
a. Komponen kerugian;
b. Komponen kerugian dalam hal ini terdiri dari biaya, rugi dan bunga.
c. Starting point dari ganti rugi;
d. Starting point adalah saat dimulainya penghitungan ganti rugi, yaitu sejak
terjadinya perbuatan melawan hukum.
e. Bukan karena alasan force majeure;
f. Ganti rugi dapat diberikan kepada korban jika kejadian yang menimbulkan
kerugian adalah bukan tindakan force majeure.
g. Saat terjadinya kerugian;
h. Ganti rugi dapat diberikan terhadap kerugian yang telah benar-benar
diderita dan terhadap kerugian karena kehilangan keuntungan atau
pendapatan yang seharusnya dapat dinikmati oleh korban.
i. Kerugiannya dapat diduga.
Kerugian ini harus berupa kerugian yang diharapkan akan terjadi, atau
patut diduga akan terjadi, di mana dugaan tersebut sudah ada sejak
perbuatan melawan hukum dilakukan.
2.4. Sengketa Perbuatan Melawan Hukum
Dalam hal orang yang melakukan perbuatan melawan hukum tidak
memberikan ganti rugi terhadap kerugian yang diderita oleh korban, maka
timbulah suatu sengketa. Menurut Ali Achmad, sengketa adalah pertentangan
antara dua pihak atau lebih yang berawal dari persepsi yang berbeda tentang suatu
kepentingan atau hak milik yang dapat menimbulkan akibat hukum bagi
keduanya.81
Sengketa biasanya bermula dari suatu situasi di mana ada pihak yang
merasa dirugikan oleh pihak lain. Perasaan tidak puas akan muncul ke permukaan
apabila terjadi conflict of interest atau konflik kepentingan. Pihak yang merasa
dirugikan akan menyampaikan ketidakpuasannya kepada pihak kedua, dan apabila
81 Yuarta, Definisi Sengketa, 2011. 13 November 2012
<http://yuarta.blogspot.com/2011/03/definisi-sengketa.html>.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
42
Universitas Indonesia
pihak kedua dapat menanggapi dan memuaskan pihak pertama, maka selesailah
konflik tersebut. Namun sebaliknya, jika reaksi pihak kedua menunjukkan
perbedaan pendapat atau memiliki nilai – nilai yang berbeda, maka akan terjadilah
apa yang dinamakan sengketa di antara para pihak.82
Sengketa dapat timbul karena perbedaan penafsiran baik mengenai
bagaimana cara melaksanakan klausul-klausul perjanjian maupun tentang apa isi
dari ketentuan-ketentuan di dalam perjanjian, ataupun disebabkan perbuatan
melawan hukum.
Masyarakat dalam menyelesaikan sengketa dapat ditempuh melalui cara–
cara formal maupun informal. Penyelesaian sengketa secara formal berkembang
menjadi proses yang terdiri atas proses melalui pengadilan dan arbitrase serta
proses penyelesaian–penyelesaian konflik secara informal yang berbasis pada
kesepakatan pihak–pihak yang bersengketa melalui konsultasi, negosiasi, mediasi
dan konsiliasi.
Sengketa perbuatan melawan hukum timbul dapat di antara pihak yang
mengalami kerugian sebagai akibat dari perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh pihak lainnya. Terhadap sengketa ini, korban yang tidak menerima
perbuatan melawan hukum pelaku tersebut dapat mengajukan gugatan perbuatan
melawan hukum di pengadilan negeri atau pada lembaga arbitrase sebagai
penyelesaian sengketa alternatif di luar pengadilan.
Korban dalam mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum harus
menjelaskan dalam gugatannya bahwa telah terjadi perbuatan melawan hukum
yang dilakukan oleh orang lain, yang telah menimbulkan kerugian padanya.
Dalam gugatannya, korban dapat mengajukan ganti rugi guna mengembalikan
keadaan si korban seperti semula sebelum perbuatan melawan hukum dilakukan
terhadapnya.
82 Elsi Kartika Sari & Advendi Simangunsong, Hukum Dalam Ekonomi, Jakarta :
Grasindo, 2005, hlm.154.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
43
Universitas Indonesia
Gugatan pengganti kerugian karena perbuatan melawan hukum dapat
berupa :83
a. Uang dan dapat dengan uang pemaksa;
b. Pemulihan pada keadaan semula (dapat dengan uang pemaksa);
c. Larangan untuk mengulangi perbuatan itu lagi (dengan uang pemaksa);
d. Dapat minta putusan hakim bahwa perbuatannya adalah bersifat melawan
hukum.
Meskipun dalam KUHPerdata tidak diatur mengenai bagaimana cara
menentukan jumlah ganti rugi dalam suatu gugatan perbuatan melawan hukum,
korban dalam gugatannya dapat membuktikan di persidangan berapa besar
kerugian yang dialaminya sebagai akibat perbuatan dari pelaku. Ada beberapa
yurisprudensi Mahkamah Agung yang dapat dijadikan pedoman, bagaimana
korban harus merinci dan membuktikan kerugian yang dialaminya.
Beberapa yurisprudensi Mahkamah Agung yang mensyaratkan untuk
merinci suatu tuntutan ganti rugi dalam gugatan, antara lain:
a. Putusan Mahkamah Agung R.I. tanggal 16 Desember 1970, No.
492.K/SIP/1070 yang menyatakan sebagai berikut :
”Ganti kerugian sejumlah uang tuntutan tanpa perincian kerugian-kerugian
dalam bentuk apa yang menjadi dasar tuntutan itu harus dinyatakan tidak
dapat diterima, karena tuntutan-tuntutan tersebut adalah tidak jelas atau
tidak sempurna”.
b. Putusan Mahkamah Agung R.I. tanggal 28 Mei 1984, No. 558.K/SIP/1983
yang menyatakan:
“Tuntutan PENGGUGAT mengenai ganti rugi, karena tidak disertai
dengan bukti, harus ditolak”.
c. Putusan Mahkamah Agung R.I. tanggal 18 September 1975 No.
459.K/SIP/1973 yang menyatakan:
83 Rosa Agustina, Op.Cit., hlm.62.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
44
Universitas Indonesia
“Penuntutan ganti kerugian baru dapat dikabulkan apabila si penuntut
dapat membuktikan secara terinci adanya kerugian dan besarnya kerugian
tersebut”.
d. Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 550.K/SIP/1979 yang menyatakan:
“Petitum tentang ganti rugi harus dinyatakan tidak dapat diterima karena
tidak diadakan perincian mengenai kerugian-kerugian yang dituntut”.
Gugatan ganti rugi dapat diajukan meliputi tuntutan ganti rugi materiil
(kerugian dan keuntungan yang diharapkan) maupun ganti rugi immateriil.
Meskipun demikian, pada akhirnya hakim yang akan memiliki kekuasaan untuk
menetapkan besaran kerugian berdasarkan alat bukti dan atau fakta hukum yang
terungkap di muka persidangan dengan memperhatikan masalah-masalah
subyektif yang ada pada korban.
Hal ini dapat dilihat dalam putusan Hoge Raad tanggal 21 Maret 1943
dalam perkara W.P Kreuningen v. Van Bessum cs., yang mempertimbangkan
antara lain sebagai berikut: 84
“Dalam menilai kerugian yang dimaksudkan oleh Pasal 1371 KUHPerdata
harus juga dipertimbangkan kerugian yang bersifat idiil, sehingga hakim
adalah bebas untuk menentukan penggantian untuk kesedihan (smart) dan
kesenangan hidup, yang sesungguhnya dapat diharapkan dinikmatinya
(gederfdelevensvreugde)”
84 Ibid, hlm.55.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
45
Universitas Indonesia
BAB 3
KEWENANGAN ARBITRASE DALAM MEMERIKSA DAN MEMUTUS
SENGKETA PERBUATAN MELAWAN HUKUM
3.1. Peraturan Perundang-undangan Di Indonesia
Sebelum UU Arbitrase dan APS diberlakukan, peraturan yang digunakan
sebagai dasar pemeriksaan arbitrase di Indonesia adalah Pasal 615 sampai dengan
Pasal 651 Reglemen Acara Perdata (Reglement op de Rechtsvordering, Staatsblad
1847:-52) dan Pasal 377 Reglemen Indonesia Yang Diperbaharui (Het Herziene
Indonesisch Reglement, Staatsblad 1941:44) dan Pasal 705 Reglemen Acara
Untuk Daerah Luar Jawa dan Madura (Rechtsreglement Buitengewesten,
Staatsblad 1927:227).85
Kemudian pada tahun 1970, dasar pemeriksaan arbitrase kembali
mendapat pengaturan dalam Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman. Pada penjelasan Pasal 3 ayat
(1) disebutkan bahwa penyelesaian perkara di luar pengadilan atas dasar
perdamaian atau melalui arbitrase diperbolehkan, namun putusan arbiter hanya
mempunyai kekuatan eksekutorial setelah memperoleh izin atau perintah untuk
dieksekusi (executoir) dari pengadilan.86
Dengan persetujuan DPR, Presiden Republik Indonesia Bacharuddin Jusuf
Habibie mengesahkan UU Arbitrase dan APS pada tanggal 12 Agustus 1999
85 Penjelasan Atas Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 30 Tahun 1999 Tentang
Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa sebagaimana diundangkan dalam Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3872, selanjutnya disebut Penjelasan UU Arbitrase
dan APS.
86 Ibid.
Lihat juga penjelasan Pasal 3 ayat (1) Undang-undang Nomor 14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diundangkan dalam Tambahan
Lembaran Negara Nomor 2951 menyebutkan :
Pasal ini mengandung arti, bahwa di samping peradilan Negara, tidak diperkenankan lagi
adanya peradilan-peradilan yang dilakukan oleh bukan badan peradilan Negara.
Penyelesaian perkara di luar Pengadilan atas dasar perdamaian atau melalui wasit
(arbitrage) tetap diperbolehkan.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
46
Universitas Indonesia
sebagai dasar pengaturan arbitrase di Indonesia. Sejak saat itu, peraturan-
peraturan di atas menjadi tidak berlaku lagi bagi dasar pemeriksaan arbitrase.
Sebagaimana tertulis dalam Pasal 2 UU Arbitrase dan APS, Undang-
undang ini mengatur penyelesaian sengketa atau beda pendapat antar para pihak
dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah mengadakan perjanjian arbitrase
yang secara tegas menyatakan bahwa semua sengketa atau beda pendapat yang
timbul atau yang mungkin timbul dari hubungan hukum tersebut akan
diselesaikan dengan cara arbitrase atau melalui alternatif penyelesaian sengketa.
UU Arbitrase dan APS adalah dasar keberadaan arbitrase sebagai lembaga
penyelesaian sengketa di luar pengadilan umum Indonesia.
Dalam Penjelasan Umum UU Arbitrase dan APS, dijelaskan terdapat
beberapa keuntungan penyelesaian sengketa melalui arbitrase dibandingkan
melalui proses peradilan, yaitu :
a. kerahasiaan sengketa para pihak terjamin;
b. keterlambatan yang diakibatkan karena hal prosedural dan administratif
dapat dihindari;
c. para pihak dapat memilih arbiter yang berpengalaman, memiliki latar
belakang yang cukup mengenai masalah yang disengketakan, serta jujur
dan adil;
d. para pihak dapat menentukan pilihan hukum untuk penyelesaian
masalahnya;
e. para pihak dapat memilih tempat penyelenggaraan arbitrase;
f. putusan arbitrase merupakan putusan yang mengikat para pihak melalui
prosedur sederhana ataupun dapat langsung dilaksanakan.
Arbitrase dalam UU Arbitrase dan APS didefinisikan sebagai cara
penyelesaian sengketa dagang di luar pengadilan. Arbitrase dipilih berdasarkan
perjanjian arbitrase tertulis yang dibuat oleh para pihak yang berselisih. Pasal 1
ayat 1 UU Arbitrase dan APS menentukan bahwa arbitrase adalah cara
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
47
Universitas Indonesia
penyelesaian suatu sengketa perdata di luar peradilan umum yang didasarkan pada
perjanjian arbitrase yang dibuat secara tertulis oleh para pihak yang bersengketa.
Dari pengertian Pasal 1 ayat 1 UU Arbitrase dan APS tersebut jelas bahwa
yang menjadi dasar dari arbitrase adalah perjanjian di antara para pihak sendiri,
yang didasarkan pada asas kebebasan berkontrak. Hal ini sesuai dengan ketentuan
dalam Pasal 1338 KUHPerdata, yang menyatakan bahwa apa yang telah
diperjanjikan oleh para pihak mengikat mereka sebagai undang–undang.
Selanjutnya di dalam Pasal 1 ayat 8 UU Arbitrase dan APS, disebutkan
bahwa Lembaga Arbitrase adalah badan yang dipilih oleh para pihak yang
bersengketa untuk memberikan putusan mengenai sengketa tertentu, di mana
lembaga tersebut juga dapat memberikan pendapat yang mengikat mengenai suatu
hubungan hukum tertentu dalam hal belum timbul sengketa.
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 UU Arbitrase dan APS, yang dapat
diselesaikan melalui Arbitrase atau Alternatif Penyelesaian Sengketa adalah
sengketa atau perbedaan pendapat yang timbul atau mungkin timbul antar para
pihak dalam suatu hubungan hukum tertentu yang telah diperjanjikan sebelumnya
bahwa penyelesaiannya akan ditentukan dengan cara arbitrase atau Alternatif
Penyelesaian Sengketa.
Yurisdiksi arbitrase muncul ketika ada klausul mengenai pilihan yurisdiksi
atau pilihan forum di dalam perjanjian, yang menyebutkan bahwa arbitrase
merupakan badan penyelesaian sengketa yang dipilih oleh para pihak untuk
menyelesaikan sengketa yang timbul di antara mereka. Klausul tersebut disebut
sebagai klausul arbitrase.
Pasal 1 ayat 3 UU Arbitrase dan APS mengartikan perjanjian arbitrase
adalah suatu kesepakatan berupa klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu
perjanjian tertulis yang dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau suatu
perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat para pihak setelah timbul sengketa. Dari
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
48
Universitas Indonesia
rumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa perjanjian arbitrase timbul karena
adanya kesepakatan berupa :
a. klausula arbitrase yang tercantum dalam suatu perjanjian tertulis yang
dibuat para pihak sebelum timbul sengketa, atau
b. suatu perjanjian arbitrase tersendiri yang dibuat oleh para pihak setelah
timbul sengketa.
Kesepakatan mengenai arbitrase sebagai lembaga yang dipilih oleh para
pihak untuk menyelesaikan sengketa di antara mereka harus dibuat secara tertulis.
Klausul atau perjanjian arbitrase harus dibuat secara tertulis dalam suatu dokumen
yang ditandatangani oleh para pihak sebagaimana ditentukan dalam Pasal 4 ayat
(1) UU Arbitrase dan APS.87
Dalam hal perjanjian arbitrase dibuat oleh para pihak di mana kesepakatan
mengenai arbitrase dibuat setelah sengketa terjadi, Pasal 9 UU Arbitrase dan APS
mengatur ketentuan-ketentuannya. Disebutkan dalam pasal tersebut bahwa tidak
hanya tertulis dan ditandatangani para pihak, perjanjian arbitrase memiliki syarat-
syarat materiil yang harus dipenuhi. Jika syarat-syarat materiil yang ditentukan
tersebut tidak dipenuhi, akan berakibat perjanjian yang dibuat oleh para pihak
menjadi batal. Hal tersebut sebagaimana yang dinyatakan dalam Pasal 9 UU
Arbitrase dan APS sebagai berikut :
(1) Dalam hal para pihak memilih penyelesaian sengketa melalui arbitrase
setelah sengketa terjadi, persetujuan mengenai hal tersebut harus dibuat
dalam suatu perjanjian tertulis yang ditandatangani oleh para pihak.
(2) Dalam hal para pihak tidak dapat menandatangani perjanjian tertulis
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), perjanjian tertulis tersebut harus
dibuat dalam bentuk akta notaris.
(3) Perjanjian tertulis sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus memuat :
a. masalah yang dipersengketakan;
87 Pasal 4 ayat 2 UU Arbitrase dan APS menyatakan : Persetujuan untuk menyelesaikan
sengketa melalui arbitrase sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dimuat dalam suatu dokumen
yang ditandatangani oleh para pihak.
Lihat Pasal 4 ayat 1 yang menyatakan :
Dalam hal para pihak telah menyetujui bahwa sengketa di antara mereka akan
diselesaikan melalui arbitrase dan para pihak telah memberikan wewenang, maka arbiter
berwenang menentukan dalam putusannya mengenai hak dan kewajiban para pihak jika
hal ini tidak diatur dalam perjanjian mereka.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
49
Universitas Indonesia
b. nama lengkap dan tempat tinggal para pihak;
c. nama lengkap dan tempat tinggal arbiter atau majelis arbitrase;
d. tempat arbiter atau majelis arbitrase akan mengambil keputusan;
e. nama lengkap sekretaris;
f. jangka waktu penyelesaian sengketa;
g. pernyataan kesediaan dari arbiter; dan
h. pernyataan kesediaan dari pihak yang bersengketa untuk
menanggung segala biaya yang diperlukan untuk penyelesalan
sengketa melalui arbitrase.
(4) Perjanjian tertulis yang tidak memuat hal sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) batal demi hukum.
Dengan adanya klausul arbitrase di dalam perjanjian atau kontrak yang
dibuat oleh para pihak yang bersengketa, arbitrase akan memiliki kompetensi
absolut. Arbitrase menjadi satu-satunya lembaga yang berwenang memeriksa dan
mengadili sengketa yang timbul dari perjanjian atau kontrak dengan klausul
arbitrase atau sengketa yang dibuatkan perjanjian arbitrase setelahnya.
Kewenangan absolut arbitrase yang timbul dari adanya suatu klausul atau
perjanjian arbitrase dipertegas dengan yang dinyatakan selanjutnya dalam Pasal 3
UU Arbitrase dan APS, yaitu bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk
mengadili sengketa para pihak yang telah terikat dalam perjanjian arbitrase.
Selanjutnya yurisdiksi tersebut dikuatkan dalam Pasal 11 ayat 1 UU Arbitrase dan
APS yang menentukan bahwa adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis
meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda
pendapat yang termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.88
Dalam ayat 2
disebutkan bahwa Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak akan campur
tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui
arbitrase, kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam UU Arbitrase dan
APS.89
88 Pasal 11 ayat (1) UU Arbitrase dan APS : Adanya suatu perjanjian arbitrase tertulis
meniadakan hak para pihak untuk mengajukan penyelesaian sengketa atau beda pendapat yang
termuat dalam perjanjiannya ke Pengadilan Negeri.
89 Pasal 11 ayat (2) UU Arbitrase dan APS : Pengadilan Negeri wajib menolak dan tidak
akan campur tangan di dalam suatu penyelesaian sengketa yang telah ditetapkan melalui arbitrase,
kecuali dalam hal tertentu yang ditetapkan dalam Undang-undang ini.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
50
Universitas Indonesia
Obyek sengketa yang menjadi kewenangan arbitrase ditentukan dalam
Pasal 5 UU Arbitrase dan APS. Di dalam pasal ini disebutkan sebagai berikut :
(1) Sengketa yang dapat diselesaikan melalui arbitrase hanya sengketa di
bidang perdagangan dan mengenai hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.
(2) Sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa
yang menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan
perdamaian.
Sesuai dengan ketentuan pasal 5 UU Arbitrase dan APS di atas, maka
dapat disimpulkan bahwa sengketa yang menjadi obyek pemeriksaan arbitrase
adalah sengketa di bidang perdagangan dan sengketa mengenai hak yang menurut
hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa.
Dalam UU Arbitrase dan APS ini tidak diberikan penjelasan mengenai apa
yang termasuk dalam bidang perdagangan tersebut. Namun jika menghubungkan
dengan Penjelasan pasal 66, maka dapat diketahui bahwa yang dimaksud dengan
ruang lingkup perdagangan tersebut adalah kegiatan-kegiatan antara lain di bidang
perniagaan, perbankan, keuangan, penanaman modal, industri, dan hak kekayaan
intelektual.
Ketentuan sengketa mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa tidak
dijelaskan secara lanjut di dalam penjelasan UU Arbitrase dan APS. Menurut
kamus besar bahasa Indonesia, hak adalah “milik, kepunyaan, kewenangan,
kekuasaan untuk berbuat sesuatu (karena telah ditentukan oleh undang-undang
atau aturan), dan wewenang menurut hukum”.90
Jika melihat dari pengertian hak
tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa tidak ada hak yang menurut hukum dan
peraturan perundang-undangan tidak dikuasai sepenuhnya oleh seseorang karena
90 Kamus Besar Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, 2008.
28 December 2012
<http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/kbbi.php?keyword=hak&varbidang=all&vardialek=all&varragam=
all&varkelas=all&submit=kamus>.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
51
Universitas Indonesia
hak adalah sesuatu yang melekat pada diri seseorang dan dimiliki oleh orang
tersebut. Sehingga sepanjang sengketa yang dimohonkan pada arbitrase adalah
sengketa hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh para pihak yang bersengketa, maka sengketa tersebut dapat
menjadi obyek pemeriksaan arbitrase.
Selanjutnya Pasal 5 ayat 2 UU Arbitrase dan APS menentukan bahwa
sengketa yang tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang
menurut peraturan perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian.
Menurut sistem hukum perdata Indonesia, semua hubungan hukum dapat
diadakan perdamaian. Sehingga dapat dilihat bahwa yang menjadi obyek dari
arbitrase adalah sengketa keperdataan secara luas, meliputi bidang perdagangan,
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.
Sepanjang terdapat klausula arbitrase dalam kontrak di antara para pihak,
maka penyelesaian sengketa perdagangan dan hak dapat diserahkan kepada
arbitrase. Sehingga tidak terdapat batas mengenai sengketa perdata jenis apa yang
dapat diperiksa dan diputus melalui arbitrase kecuali dibatasi atau diatur sendiri
oleh undang-undang.
Seluruh sengketa perdata masuk sebagai obyek kewenangan arbitrase.
sengketa perdagangan masuk dalam ruang lingkup keperdataan. Sengketa
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa juga merupakan sengketa perdata. Dan
selanjutnya, seluruh sengketa perdata menurut peraturan perundang-undangan
dapat diadakan perdamaian.
Mengenai prosedur pelaksanaan arbitrase, UU Arbitrase dan APS
mengatur tentang cara penyelesaian sengketa melalui arbitrase pada Bab IV
tentang Acara yang Berlaku di Hadapan Majelis Arbitrase. Pada bab ini terdapat
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
52
Universitas Indonesia
dua bagian yaitu Bagian Pertama yang mengatur tentang Acara Arbitrase dan
Bagian Kedua yang mengatur tentang Saksi dan Saksi Ahli. Bagian Pertama
terdiri dari 22 (dua puluh dua) pasal yaitu Pasal 27 sampai dengan Pasal 48 yang
secara keseluruhan mengatur tentang Acara Arbitrase sedangkan Bagian Kedua
terdiri dari tiga pasal yang mengatur tentang Saksi dan Saksi Ahli yaitu pada Pasal
49, Pasal 50 dan Pasal 51.
Pada Pasal 27 UU Arbitrase dan APS disebutkan bahwa ”Semua
pemeriksaan sengketa oleh arbiter atau majelis arbitrase dilakukan secara
tertutup”. Pasal ini memberikan perlindungan kepada para pihak yang berusaha
menyelesaikan sengketanya melalui arbitrase dari teraksesnya segala hal yang
berkaitan dengan sengketa ke pihak luar yang tidak mempunyai kepentingan atau
keterkaitan di dalamnya. Hal ini menjadi keuntungan yang tidak bisa didapatkan
jika menyelesaikan sengketa melalui pengadilan karena adanya asas persidangan
yang terbuka pada hukum acara perdata yang dimaksudkan agar ada kontrol sosial
dari masyarakat atas jalannya sidang peradilan sehingga diperoleh keputusan
hakim yang obyektif, tidak berat sebelah dan tidak memihak. Hal tersebut diatur
dalam Pasal 17 dan 18 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-
Ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah oleh Undang-
Undang No.35 Tahun 1999.91
Sebelum dimulai proses arbitrase, para pihak dan arbiter atau majelis
arbitrase harus menetapkan bahasa yang digunakan dalam pelaksanaan proses
arbitrase. Pasal 28 UU Arbitrase dan APS menentukan bahwa bahasa yang
91 Pasal 17 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No.35 Tahun 1999 menyatakan
bahwa :
(1)Sidang pemeriksaan Pengadilan adalah terbuka untuk umum, kecuali apabila Undang-undang menentukan lain.
(2)Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) mengakibatkan batalnya putusan menurut
hukum.
(3)Rapat permusyawaratan Hakim, bersifat rahasia.
Pasal 18 Undang-Undang No.14 Tahun 1970 Tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok
Kekuasaan Kehakiman sebagaimana diubah oleh Undang-Undang No.35 Tahun 1999 menyatakan
bahwa :
Semua putusan Pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan
dalam sidang terbuka untuk umum.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
53
Universitas Indonesia
digunakan dalam semua proses arbitrase adalah Bahasa Indonesia. Namun pasal
ini juga memberikan perkecualian untuk penggunaan bahasa yang lain apabila
para pihak dan arbiter menyetujuinya. Begitu pula dengan tempat pelaksanaan
acara arbitrase. Tempat arbitrase ditentukan oleh arbiter atau majelis arbitrase,
kecuali ditentukan sendiri oleh para pihak.
Para pihak harus menentukan secara tegas, tertulis dan bebas mengenai
acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan dengan syarat tidak boleh
bertentangan dengan ketentuan yang diatur dalam UU Arbitrase dan APS. Hal ini
diatur dalam Pasal 31 ayat (1) UU Arbitrase dan APS. Jika para pihak dan arbiter
tidak menentukan sendiri acara arbitrase yang digunakan dalam pemeriksaan,
maka sengketa tersebut akan diperiksa dan diputus menurut ketentuan dalam UU
Arbitrase dan APS.
Putusan arbitrase diberikan oleh arbiter setelah selesainya proses
pemeriksaan sengketa. Putusan diucapkan dalam waktu paling lama 30 (tiga
puluh) hari setelah pemeriksaan ditutup. Pasal 54 UU Arbitrase dan AOS
menentukan bahwa putusan harus memuat hal-hal sebagai beriktu :
a. kepala putusan yang berbunyi "DEMI KEADILAN BERDASARKAN
KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap dan alamat para pihak;
c. uraian singkat sengketa;
d. pendirian para pihak;
e. nama lengkap dan alamat arbiter;
f. pertimbangan dan kesimpulan arbiter atau majelis arbitrase mengenai
keseluruhan sengketa;
g. pendapat tiap-tiap arbiter dalam hal terdapat perbedaan pendapat dalam
majelis arbitrase;
h. amar putusan;
i. tempat dan tanggal putusan; dan
j. tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase.
Meskipun tanda tangan arbiter atau majelis arbitrase wajib, namun tidak
ditandatanganinya putusan arbitrase oleh salah seorang arbiter dengan alasan sakit
atau meninggal dunia tidak mempengaruhi kekuatan berlakunya putusan. Akan
tetapi alasan tentang tidak adanya tanda tersebut harus dicantumkan dalam
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
54
Universitas Indonesia
putusan. Kemudian, dalam putusan harus ditetapkan suatu jangka waktu putusan
tersebut harus dilaksanakan.
Pelaksanaan putusan arbitrase nasional diatur dalam Pasal 59 sampai
dengan Pasal 64 UU Arbitrase dan APS. Pada dasarnya para pihak harus
melaksanakan putusan secara sukarela. Apabila ada pihak yang tidak bersedia
melaksanakan Putusan Arbitrase secara sukarela, maka putusan arbitrase akan
dilaksanakan berdasarkan perintah eksekusi Ketua Pengadilan Negeri setempat
atas permohonan salah satu pihak yang berkepentingan.
Menurut Pasal 61 UU Arbitrase dan APS, agar putusan arbitrase dapat
dipaksakan pelaksanaannya, putusan tersebut harus diserahkan dan didaftarkan
oleh salah satu pihak pada kepaniteraan pengadilan negeri, dengan mendaftarkan
dan menyerahkan lembar asli atau salinan autentik putusan arbitrase nasional oleh
arbiter atau kuasanya ke panitera pengadilan negeri, dalam waktu 30 (tiga puluh)
hari setelah putusan arbitase diucapkan.
Setelah didaftarkan kepada kepaniteraan pengadilan negeri, putusan
arbitrase akan dimohonkan pelaksanan eksekusinya kepada Ketua Pengadilan
Negeri. Pasal 64 UU Arbitrase dan APS menyatakan bahwa putusan arbitrase
yang telah dibubuhi perintah Ketua Pengadilan Negeri, dilaksanakan sesuai
ketentuan pelaksanaan putusan dalam perkara perdata yang putusannya telah
mempunyai kekuatan hukum tetap.
Di dalam penjelasan UU Arbitrase dan APS, tidak disebutkan pendaftaran
putusan arbitrase dilakukan di kepaniteraan pengadilan mana. Namun Yahya
Harahap dalam bukunya berjudul Arbitrase menjelaskan sebagai berikut :92
Pengadilan negeri yang berwenang untuk mengeksekusi adalah
berpedoman pada ketentuan kewenangan relatif. Patokan untuk
menentukan kewenangan relatif didasarkan pada tempat putusan diambil.
Pengadilan yang berwenang untuk mengeksekusinya ialah Pengadilan
yang daerah hukumnya meliputi tempat di mana putusan diambil. Patokan
92 Yahya Harahap, Arbitrase. Jakarta: Pustaka Kartini, 1991, hlm.392.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
55
Universitas Indonesia
penentuan kewenangan relatif ini dalam hal ini, sama dengan penggarisan
yang berlaku terhadap eksekusi putusan Pengadilan.
Namun ketentuan ini tidak mengurangi kemungkinan untuk
mendelegasikan pelaksanaan eksekusi kepada Pengadilan Negeri yang
lain. Misalnya putusan arbitrase diambil di Bandung, karena para pihak
atau mahkamah arbitrase yang ditunjuk menetapkan kota Bandung sebagai
tempat kedudukan arbitrase (place of arbitration). Dari segi tempat
pengambilan putusan, pelaksanaan eksekusi jatuh menjadi kewenangan
relatip Pengadilan Negeri Bandung. Akan tetapi ternyata semua atau
sebagian barang yang akan dieksekusi, terletak di daerah hukum
Pengadilan Negeri Semarang. Dalam kasus ini, yang menjalankan
eksekusi ialah Pengadilan Negeri Semarang berdasar pendelegasian dari
Pengadilan Negeri Bandung.
Selanjutnya menurut Yahya Harahap, pelaksanaan eksekusi putusan
arbitrase dilakukan oleh Pengadilan Negeri dimaksudkan bahwa pada hakekatnya
badan atau mahkamah arbitrase adalah badan swasta dan bukan badan kekuasaan
resmi. Selain itu, arbitrase tidak memiliki perangkat jurusita yang khusus
berfungsi melaksanakan perintah eksekusi.93
Menurut Pasal 60 UU Arbitrase dan APS, putusan Arbitrase nasional
bersifat mandiri, final dan mengikat. Dengan kata lain seperti putusan yang
mempunyai kekekuatan hukum tetap. Sehingga Ketua Pengadilan Negeri tidak
diperkenankan memeriksa alasan atau pertimbangan dari putusan arbitrase
nasional tersebut. Kewenangan memeriksa yang dimiliki Ketua Pengadilan
Negeri, terbatas pada pemeriksaan secara formal terhadap putusan arbitrase
nasional yang dijatuhkan oleh arbiter atau majelis arbitrase.
Pasal 62 UU Arbitrase dan APS menentukan sebelum memberi perintah
pelaksanaan, Ketua Pengadilan memeriksa dahulu apakah putusan arbitrase
memenuhi Pasal 4 dan Pasal 5 (khusus untuk arbitrase internasional). Bila tidak
memenuhi maka, Ketua Pengadilan Negeri dapat menolak permohonan arbitrase
dan terhadap penolakan itu tidak ada upaya hukum apapun.
93 Ibid. hlm.391.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
56
Universitas Indonesia
Pasal 70 UU Arbitrase dan APS menentukan, terhadap putusan arbitrase
para pihak dapat mengajukan permohonan pembatalan apabila putusan tersebut
diduga mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
1. surat atau dokumen yang diajukan dalam pemeriksaan, setelah putusan
dijatuhkan, diakui palsu atau dinyatakan palsu.
2. setelah putusan diambil ditemukan dokumen yang bersifat menentukan,
yang disembunyikan oleh pihak lawan.
3. putusan diambil dari hasil tipu muslihat yang dilakukan oleh salah satu
pihak dalam pemeriksaan sengketa.
Sesungguhnya UU Arbitrase dan APS telah jelas memberikan kompetensi
absolut bagi arbitrase untuk memeriksa sengketa yang timbul dari perjanjian
dengan klausul arbitrase didalamnya. Putusan arbitrase juga diberikan kekuatan
untuk dapat dieksekusi kecuali dalam proses pengambilan putusan arbitrase
tersebut terdapat perbuatan melawan hukum. Perbuatan melawan hukum disini
adalah terdapatnya perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh arbiter dalam
proses pemeriksaan dan pengambilan putusan suatu sengketa di arbitrase, bukan
sengketa perbuatan melawan hukum di antara para pihak.
UU Arbitrase APS tidak membatasi sengketa perdata dalam jenis apa yang
dapat diperiksa dan diputus oleh arbitrase. Semua sengketa perdata dapat menjadi
kewenangan arbitrase sepanjang di antara para pihak terdapat klausul arbitrase
dalam perjanjian mereka atau mereka sepakat membuat perjanjian arbitrase.
3.2. UNCITRAL Model Law Dan UNCITRAL Arbitration Rules
Peranan lembaga arbitrase komersial internasional cukup penting dalam
menyelesaikan sengketa-sengketa komersial internasional. Hampir setiap hari
arbitrase komersial berlangsung di berbagai tempat di dunia.94
Peranan yang semakin penting ini ditandai pula dengan banyaknya
lembaga arbitrase yang didirikan, baik dalam ruang lingkup nasional maupun
94 Huala Adolf, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Edisi 1 Cetakan 1, Jakarta :
PT. RajaGrafindo Persada, 1994, hlm.1.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
57
Universitas Indonesia
internasional. Lembaga arbitrase internasional yang didirikan di antaranya adalah
International Chamber of Commerce, United Nations Commission on
International Trade Law (Komisi PBB mengenai Hukum Perdagangan
Internasional), Bank Dunia, Asian – African Legal Consultative Committee, dan
the Cotton Exchange of Bremen.95
Lembaga-lembaga atau organisasi-organisasi arbitrase masing-masing
membentuk peraturan, hukum acara dan ketentuan-ketentuan yang sifatnya umum
maupun khusus. Hal ini menimbulkan masalah yang cukup mengganggu dalam
mempelajari hukum arbitrase karena tidak adanya satu instrumen hukum atau
perjanjian mengenai arbitrase yang dapat dijadikan patokan. Hal ini dikarenakan
tidak adanya harmonisasi hukum mengenai arbitrase.96
United Nations Commission on International Trade Law atau
UNCITRAL97
merupakan organisasi yang didirikan oleh PBB98
. Badan ini
memiliki peranan penting dalam meningkatkan kerangka hukum (legal
framework) untuk perdagangan internasional dengan mempersiapkan peraturan-
peraturan legislatif internasional untuk digunakan oleh negara-negara dalam
modernisasi hukum dan peraturan perdagangan internasional untuk digunakan
oleh pihak komersial pada negosiasi transaksi.99
UNCITRAL didirikan oleh Komisi PBB sebagai badan yang
berkonsentrasi mengenai Hukum Perdagangan Internasional untuk menyelaraskan
dan menyatukan hukum bisnis dan perdagangan internasional di seluruh dunia.
Penyeragaman praktik dan prosedur dilakukan dengan membuat peraturan-
95 Ibid, hlm.3.
96 Ibid, hlm.4.
97 Selanjutnya disebut UNCITRAL.
98 Perserikatan Bangsa-Bangsa, “FAQ - UNCITRAL and Private Disputes / Litigation”,
United Nations Commission on International Trade Law. 3 Desember 2012
<http://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration_faq.html>.
99 Ibid.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
58
Universitas Indonesia
peraturan bisnis dan perdagangan internasional. Akan tetapi, UNCITRAL tidak
menjadikan dirinya sebagai lembaga adminitratif atau terlibat dalam arbitrase
individual.100
UNCITRAL sendiri tidak mendirikan suatu lembaga arbitrase.
Komisi PBB ini adalah pihak yang pertama kali melakukan upaya untuk
menciptakan harmonisasi dan unifikasi hukum arbitrase internasional.101
Harmonisasi dan unifikasi peraturan perundang-undangan arbitrase
internasional yang dibuat oleh UNCITRAL adalah UNCITRAL Model Law102
.
UML ini dirancang untuk membantu negara-negara dalam mereformasi dan
memodernisasi hukum tentang prosedur arbitrase sehingga dapat mengakomodir
beberapa ketentuan sesuai dengan kebutuhan arbitrase komersial internasional.
Peraturan ini mencakup semua tahap dalam proses arbitrase, mulai dari perjanjian
arbitrase, komposisi dan yurisdiksi dari majelis arbitrase dan sejauh mana
intervensi pengadilan atas pengakuan dan penegakan putusan arbitrase. Peraturan
ini mencerminkan suatu kesepakatan pada aspek-aspek kunci dari praktik arbitrase
internasional yang telah diterima oleh semua negara-negara di dunia dengan
wilayah dan sistem hukum atau ekonomi yang berbeda.103
UML yang diciptakan untuk harmonisasi peraturan mengenai arbitrase
berfungsi sebagai panduan dan pedoman bagi negara-negara yang membuat
peraturan perundang-undangan tentang arbitrase. Negara-negara yang mengadopsi
UML kemudian sering memasukkan pasal-pasal tambahan (additional provisions)
ke dalam hukum nasional masing-masing. UML memang dapat dimodifikasi oleh
negara-negara anggota dan menerapkannya ke dalam hukum nasional.104
100 Ibid.
101 Huala Adolf, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Op.Cit. hlm.5.
102 Selanjutnya disebut UML.
103 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Commission on International Trade Law,
Loc.Cit.
104 Farah Huda, Arbitrase Internasional, 2012. 30 November 2012
<http://www.scribd.com/doc/45306921/Arbitrase-Internasional>.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
59
Universitas Indonesia
Tujuan dari UML adalah untuk mempromosikan penyatuan prosedur
arbitrase guna memenuhi kebutuhan mendasar dari arbitrase perdagangan
internasional. Prinsip dasar dari peraturan ini adalah pengakuan terhadap
kebebasan para pihak untuk melaksanakan arbitrase dengan batasan atau
larangan seminimal mungkin.
Yang menjadi ruang lingkup utama dari UML adalah sebagai berikut:105
a. Ketentuan umum meliputi ruang lingkup, definisi dan penafsiran
peraturan, tanda terima dari komunikasi tertulis, penghapusan hak
keberatan, batas intervensipengadilan, kewenangan pengadilan untuk
fungsi tertentu arbitrase dan pengawasan;
b. Perjanjian arbitrase;
c. Komposisi persidangan arbitrase;
d. Kewenangan persidangan arbitrase;
e. Pelaksanaan prosedur arbitrase;
f. Pembuatan putusan dan pengakhiran proses;
g. Upaya terhadap putusan;
h. Pengakuan dan pelaksanaan putusan.
UML menentukan bahwa kewenangan arbitrase bertitik tolak dari adanya
suatu perjanjian arbitrase atau kontrak yang mengandung klausul arbirase yang
disepakati oleh para pihak. Pasal 7 UML menjelaskan definisi dan bentuk
perjanjian arbitrase, sebagai berikut:106
“Arbitration agreement is an agreement by the parties to submit to
arbitration all or certain disputes which have arisen or which may arise
between them in respect of a defined legal relationship, whether
contractual or not. An arbitration agreement may be in the form of an
arbitration clause in a contract or in the form of a separate agreement.
The arbitration agreement shall be in writing. An agreement is in writing
if it is contained in a document signed by the parties or in an exchange of
letters, telex, telegrams or other means of telecommunications which
105 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar,
Cetakan Kesatu, PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan BANI, 2002, hlm.513.
106 Ibid. hlm.516.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
60
Universitas Indonesia
provide a record of the agreement, or in an exchange of statements of
claim and defence in which the existence of an agreement is alleged by
one party and not denied by another. The reference in a contract to a
document containing an arbitration clause constitutes an arbitration
agreement provided that the contract is in writing and the reference is
such as to make that clause part of the contract.”
UML mengakui kedua bentuk perjanjian arbitrase baik dalam konteks
kemungkinan lahirnya sengketa di masa datang maupun sengketa yang terjadi saat
ini. Hal yang penting adalah bahwa bentuk perjanjian arbitrase harus dalam
bentuk tertulis.
UML mengatur bahwa pengadilan tidak berwenang memeriksa dan
memutus sengketa yang timbul dari kontrak yang mengandung klausul arbitrase
atau perjanjian arbitrase. Dalam Pasal 5 UML107
disebutkan bahwa “In matters
governend by this Law, no court shall intervene except where so provided in this
Law.”
Arbitrase memiliki kewenangan sendiri dalam memeriksa dan memutus
sengketa yang timbul dari kontrak yang mengandung klausul arbitrase atau
perjanjian arbitrase. Pasal 16 ayat 1 UML menentukan bahwa :108
“The arbitral tribunal may rule on its own jurisdiction, including any
objections with respect to the existence or validity of the arbitration
agreement. For that purpose, an arbitration clause which forms part of a
contract shall be treated as an agreement independent of the other terms
of the contract. A decision by the arbitral tribunal that the contract is null
and void shall not entail ipso jure the invalidity of the arbitration clause.”
Untuk sengketa jenis apa yang menjadi kewenangan dari arbitrase, UML
menyebutkan bahwa sengketa dalam istilah “perdagangan” diartikan secara luas.
Sengketa yang dapat diperiksa dan diputus oleh arbitrase adalah seluruh sengketa
yang timbul dari hubungan perdagangan baik yang tertuang dalam kontrak
107 Ibid.
108 Ibid. hlm.520.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
61
Universitas Indonesia
maupun tidak. Dalam penjelasan Pasal 1 UML Scope of Application, dinyatakan
bahwa :
“the term “commercial” should be given a wide interpretation so as to
cover matters arising from all relationship of a commercial nature,
whether contractual or not. Relationships of a commercial nature include,
but are not limited to, the following transaction : any trade transaction for
the supply or exchange of goods or services; distribution agreement;
commercial representation or agency; factoring; leasing; construction of
works; consulting engineering; licensing; investment; financing; banking;
insurance; exploitation agreement of concession; joint venture and other
forms of industrial or business co-operation; carriage of goods or
passengers by air, sea, rail or road.”
Jika melihat dari ketentuan penjelasan Pasal 1 UML di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa arbitrase memiliki kewenangan untuk memeriksa dan
memutus sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari transaksi
perdagangan antara para pihak yang terikat dalam kontrak yang mengandung
klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase. Tidak ada pembatasan mengenai
sengketa wanprestasi atau perbuatan melawan hukum, melainkan sengketa dalam
bidang perdagangan secara luas.
UNCITRAL memiliki peraturan arbitrase yang dapat dipilih oleh para
pihak yang ingin menggunakan arbitrase sebagai lembaga penyelesaian sengketa
di luar pengadilan yaitu UNCITRAL Arbitration Rules109
. Peraturan ini berisi
ketentuan yang mencakup segala aspek proses arbitrase, di mana para pihak boleh
setuju untuk tunduk pada sebagian atau seluruh ketentuan, dengan tujuan untuk
membantu menyelesaikan sengketa internasional mereka. UAR mengatur hal-hal
sebagai berikut :110
a. Model klausul arbitrase untuk kontrak/perjanjian;
b. Prosedur penunjukan arbiter;
c. Prosedur untuk melaksanakan proses arbitrase;
109 Selanjutnya disebut UAR.
110 Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Commission on International Trade Law,
Loc.Cit.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
62
Universitas Indonesia
d. Syarat-syarat mengenai bentuk, akibat dan penafsiran dari putusan
arbitrase.
Jika UML adalah panduan dan pedoman bagi negara-negara yang
membuat peraturan perundang-undangan tentang arbitrase, maka UAR adalah
peraturan arbitrase yang dapat dipilih oleh para pihak dalam kontrak mereka. Hal-
hal yang diatur dalam UAR meliputi :111
1. Asas tertulisnya klausul atau perjanjian arbitrase;
2. Tata cara penghitungan batas tenggang waktu mengenai pemberitahuan
yaitu sejak disampaikan secara fisik atau in person;
3. Syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan permohonan
arbitrase;
4. Penunjukan kuasa atau asisten yang dapat mewakili para pihak;
5. Jumlah arbiter;
6. Tata cara penunjukkan dan pengangkatan arbiter;
7. Upaya mengajukan perlawanan atas penunjukan arbiter;
8. Tata cara penggantian arbiter;
9. Proses pemeriksaan mahkamah arbitrase meliputi asas-asas pemeriksaan,
tempat arbitrase, bahasa yang digunakan, tata cara dan bentuk tuntutan dan
bantahan, tuntutan balik, perlawanan terhadap yurisdiksi arbitrase,
pembuktian, mendengar keterangan, tindakan sementara, pengangkatan
ahli, kelainan menyampaikan jawaban atau bantahan serta pembuktian,
pembukaan kembali pemeriksaan;
10. Putusan; dan
11. Biaya.
Dalam Pasal 1 UAR menyatakan bahwa ketika para pihak sepakat secara
tertulis untuk menggunakan UAR, maka sengketa yang timbul di antara mereka
diselesaikan melalui arbitrase dengan mengikuti ketentuan di dalam UAR.
Disebutkan bahwa :
“(1) Where the parties to a contract have agreed in writing that disputes in
relation to that contract shall be referred to arbitraton under the
UNCITRAL Arbitration Rules, then such disputes shall be settled ini
accordance with these rules subject to such modifications as the parties
may agree in writing.
(2) These rules shall govern the arbitration except where any of these
rules is in conflict with a provision of the law applicable to the arbitration
from which the parties cannot derogate, that provision shall prevail”
111 Yahya Harahap, Arbitrase. Op. Cit, hlm.70-93.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
63
Universitas Indonesia
Para pihak yang ingin menggunakan UAR dapat memasukkan suatu
klausul arbitrase di dalam kontrak mereka. Klausul arbitrase ini menyatakan
secara tegas bahwa sengketa yang akan timbul dari atau berkenaan dengan
kontrak mereka akan diselesaikan secara final dan mengikat dengan cara arbitrase
sesuai dengan ketentuan-ketentuan UAR.112
Karena UNCITRAL tidak memiliki
lembaga arbitrase sendiri, para pihak dapat memilih salah satu lembaga arbitrase
yang ada untuk membantu mereka dalam menyelenggarakan arbitrase tersebut.
Lembaga arbitrase yang dipilih akan menjalankan proses arbitrase dengan
memakai ketentuan-ketentuan UAR.113
Meskipun demikian, aturan dapat
dimodifikasi oleh para pihak.
Kewenangan arbitrase dengan menggunakan UAR bersumber dari
kesepakatan para pihak dalam memilih UAR pada klausul arbitrase di kontrak
mereka sebagai penyelesaian sengketa. Kesepakatan berupa klausul arbitrase atau
perjanjian arbitrase juga ditentukan UAR sebagai sumber yuridiksi bagi arbitrase
untuk memeriksa dan memutus suatu sengketa.
Contoh klausul arbitrase dengan menggunakan ketentuan UAR dapat
dirumuskan sebagai berikut :114
“Any dispute controversy or claim arising out of or relating to this
contract, of the breach, termination or invalidity thereof, shall be settled
by arbitration in accordance with the UNCITRAL Arbitration Rules as at
present in force”
3.3. Pendapat Para Ahli
Dalam Black’s Law Dictionary, arbitrase berarti “A method of dispute
resolution involving one or more neutral third parties who are usually agreed to
by the disputing parties and whose decisions is binding.”115
112 Sudargo Gautama, Arbitrase Dagang Internasional, Cetakan Kedua, Bandung :
Alumni, 1986, hlm.19.
113Ibid. hlm.20.
114 Ibid.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
64
Universitas Indonesia
Subekti menjabarkan arbitrase sebagai suatu lembaga penyelesaian
sengketa di luar peradilan formal pada pengadilan, di mana hukum memberikan
kekuatan yang sama untuk putusan badan arbitrase sebagaimana hukum
memberikan kekuatan yang sama pada putusan pengadilan tingkat akhir, dan
keputusan dapat dijalankan atau dieksekusi atas perintah Kepala Pengadilan
Negeri.116
Dalam bukunya yang lain, Arbitrase Perdagangan, Subekti menjelaskan
bahwa kata arbitrase berasal dari bahasa Latin arbitrare yang artinya kekuasaan
untuk menyelesaikan sesuatu menurut “kebijaksanaan“. Dikaitkannya istilah
arbitrase dengan kebijaksanaan seperti memberi petunjuk bahwa majelis arbitrase
tidak perlu memperhatikan hukum dalam menyelesaikan sengketa para pihak,
akan tetapi cukup mendasarkan pada kebijaksanaan saja. Pandangan ini keliru
karena arbiter juga menerapkan hukum seperti apa yang dilakukan oleh hakim di
pengadilan.117
Menurut Sudikno Mertokusumo, arbitrase adalah suatu prosedur
penyelesaian sengketa di luar pengadilan berdasarkan persetujuan para pihak yang
berkepentingan untuk menyerahkan sengketa mereka kepada seorang wasit atau
arbiter.118
Arbitrase menurut Rene David adalah :119
Arbitration is a devise whereby the settlement of a question, which is of
interest for two or more persons, is entrusted to one or more other persons
– the arbitrator or arbitrators – who derive their powers from a private
115 Bryan A. Garner, Op.Cit, hlm.100.
116 R. Subekti, Aneka Perjanjian, Loc.Cit.
117 R. Subekti, Arbitrase Perdagangan, Bandung : Bina Cipta, 1981, hlm.1-3.
118 Sudikno Mertokusumo,1999, Mengenal Hukum : Suatu pengantar, Yogyakarta :
Penerbit Liberty, hlm.144.
119 Rene David, Arbitration in International Trade, Deventer/Netherlands : Kluwer Law
and Taxation Publishers, 1985, hlm.5.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
65
Universitas Indonesia
agreement, not from the authorities of a state, and who are to proceed and
decide the case on the basis of such an agreement.
Maka dapat disimpulkan bahwa secara umum arbitrase adalah suatu proses
di mana dua pihak atau lebih menyerahkan sengketa mereka kepada satu orang
atau lebih yang tidak memihak/imparsial yang disebut arbiter, untuk memperoleh
suatu putusan yang final dan mengikat. Dari pengertian itu terdapat tiga hal yang
utama, yaitu :
a. adanya suatu sengketa;
b. kesepakatan untuk menyerahkan ke pihak ketiga; dan
c. putusan final dan mengikat akan dijatuhkan.
Arbitase memiliki tiga karakteristik. Menurut Gary B. Born ketiga
karakteristik tersebut sebagai berikut :120
First, arbitration is consensual – the parties must agree to arbitrate their
differences. Second, arbitrations are resolved by non-governmental
decision-makers – arbitrators do not act as government agents, but are
private persons selected by parties. Third, arbitration produces a
definitive and binding award, which is capable of enforcement through
national courts.
Dalam perdagangan dunia, banyak pihak takut untuk menyelesaikan
perselisihan di lembaga peradilan dan lebih memilih arbitrase sebagai salah satu
alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan.121
Hal ini telah diterapkan
dalam setiap sistem beberapa negara, baik di negara maju atau berkembang.122
Biasanya, orang memilih arbitrase daripada peradilan formal sebagai
pilihan hukum penyelesaian sengketa dalam pembuatan perjanjian. Hal ini karena
120 Gary B. Born, International Commercial Arbitration in the United States Commentary
and Materials, Deventer The Netherland : Kluwer Law and Taxation Publishers, 1994, hlm.1.
121 Erman Rajagukguk, Op.Cit, hlm.1.
122 Sudargo Gautama, Undang-undang Arbitrase Baru 1999, Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1999, hlm.2.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
66
Universitas Indonesia
arbitrase memiliki beberapa keuntungan. Menurut R. Gaitskeel, arbitrase memiliki
sejumlah keunggulan dibandingkan litigasi meliputi :123
1. Privacy and confidentiality – arbitration allows the parties to keep their
disputes private and confidential. This is of course in contrast to the very
public nature of litigation before the courts. However, confidentiality can
be lost if one of the parties attempts to appeal an award before the court.
2. Enforceability – internationally, arbitration awards are readily
enforceable in many countries under the 1958 New York Convention on
The Recognition and Enforcement of Foreign Arbitral Awards.
3. Flexibility and formality – the fact that the parties have agreed to resolve
disputes privately allows them control over the procedure, including the
manner in which evidence is provided and witnessed examined.
4. Technical expertise – the parties are free to decide and agree upon the
arbitrator (or arbitrators) to decide the dispute.
5. Speed in cost – for many small construction disputes arbitration is
significantly quicker and cheaper than litigation.
6. Neutrality – arbitration is politically neutral means of dispute resolution.
Internationally, parties are often reluctant to rely upon the local courts for
resolving disputes if one of the parties is a state entity, and therefore
arbitration at a neutral venue is the general compromise.
7. Finality – arbitration is a final form of dispute resolution, with only very
limited grounds for challenge. These generally relate to improper
procedure or conduct by the tribunals, such as, for example, bias on the
part of one of the arbitrators.
Arbitrase dilaksanakan berdasarkan kesepakatan para pihak dalam bentuk
perjanjian arbitrase. Munir Fuady menulis dalam bukunya bahwa dalam
pengetahuan hukum mengenai arbitrase terdapat dua jenis perjanjian arbitrase.
Keduanya adalah sebagai berikut :
a. Pactum De Compromitendo
Meskipun secara harafiah Pactum De Compromitendo memiliki makna
“acta compromis”, namun keduanya berbeda. Perbedaannya adalah dalam
penerapannya. Pactum De Compromitendo merupakan perjanjian di antara
para pihak untuk memilih arbitrase yang dibuat sebelum sengketa terjadi.
Sehingga para pihak menyatakan bahwa mereka akan memilih arbitrase
123 Robert Gaitskell, Engineers‟ Dispute Resolution Handbook, London : Thomas Telford
Publishing, 2006, hlm.57.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
67
Universitas Indonesia
ketika ada sengketa yang timbul di antara para pihak dari suatu perjanjian
tertentu atau transkasi bisnis di kemudian hari.124
b. Actum de Compromitendo
“Pactum De Compromitendo” secara harafiah memiliki makna yang sama
dengan Actum de Compromitendo. Tetapi, banyak ahli membedakannya
terutama dalam hal penerapannya. Yang dimaksud dengan acta
compromis adalah suatu perjanjian penyelesaian sengketa melalui
arbitrase. Perjanjian dibuat setelah adanya sengketa di antara para pihak.125
Klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase adalah salah satu aspek penting
dalam arbitrase. Klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase yang dibuat oleh para
pihak untuk menyerahkan setiap sengketa kepada arbitrase merupakan dasar
hukum bagi eksistensi arbitrase. Badan atau majelis arbitrase akan berfungsi
hanya dengan adanya perjanjian ini.126
Fungsi utama dari klausul atau perjanjian arbitrase adalah sebagai sumber
kewenangan dari peradilan arbitrase, karena peradilan arbitrase hanya dapat
melaksanakan kekuasaan memeriksa dan mengadili suatu sengketa karena para
pihak sepakat memberikan kekuasaan demikian. Kesepakatan yang dibuat para
pihak melahirkan hukum.127
Klausula arbitrase disebutkan oleh Gabrielle Kaufmann-Kohler and
Thomas Schults harus memenuhi persyaratan formal dan material sebagai
berikut: 128
124 Munir Fuady, Arbitrase Nasional:Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis, Bandung:
PT. Citra Aditya Bakti, 1999, hlm.118.
125 Ibid, hlm.119.
126 Huala Adolf, Syarat Tertulis Dan Independensi Klausul Arbitrase, Indonesia
Arbitration Quarterly Newsletter Number 6/2009, hlm.24.
127 Ibid.
128 Gabrielle Kaufmann-Kohler and Thomas Schults, Online Dispute Resolution:
Challenges for Contemporary Justice, Kluwer Law International, The Hague, 2004, hlm.138.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
68
Universitas Indonesia
An arbitration clause must generally meet formal and substantive validity
requirements, including written form, arbitrability (in the sense that the
subject matter of the dispute must be capable of settlement by way of
arbitration), and consent.
Karakteristik penting mengenai klausul atau perjanjian arbitrase adalah
keharusan syarat tertulis. UU Arbitrase dan APS mensyaratkan para pihak untuk
mengadakan perjanjian tertulis dalam Pasal 1 ayat 1. Begitu juga dalam instrumen
internasional. Persyaratan tertulis terdapat dalam Pasal 25 (1) Konvensi ICSID
1965129
, Pasal II ayat 1 Konvensi New York 130
, dan Pasal 7 ayat 2 UML.131
Syarat tertulisnya suatu klausul atau perjanjian arbitrase memiliki
beberapa tujuan, di antaranya adalah sebagai berikut :132
a. Mengikuti apa yang diharuskan oleh undang-undang atau hukum; dan
b. Untuk kepastian hukum bagi kompetensi badan arbitrase.
Karakteristik penting lain dari klausul arbitrase adalah sifat otonom atau
independensi. Istilah yang juga digunakan adalah doktrin separabilitas dari klausul
arbitrase. Menurut doktrin ini, meskipun klausul arbitrase adalah salah satu
klausul dalam suatu kontrak, namun klausul ini tidaklah merupakan bagian atau
tambahan dari kontrak tersebut. Sehingga, batal atau berakhirnya kontrak tidak
serta merta membatalkan klausul arbitrase.133
Dalam perjanjian arbitrase, terdapat dua kontrak yang terpisah. Kontrak
pertama adalah kontrak yang memuat hak dan kewajiban para pihak terkait bidang
129 Convention on the Settlement of Investment Disputes between States and Nationals of
Other States. Indonesia meratifikasi Konvensi ICSID ini dengan UU Nomor 5 Tahun 1968.
130 Pasal II, 1Konvensi New York berbunyi sebagai berikut :
”The contracting state shall recognize an agreement in writing under which the parties
undertake to submit to arbitration all or any differences which have arisen or which may
arise between them in respect of a defined legal relationship, whether contractual or not,
concerning a subject matter capable of settlement by arbitration.”
131 Huala Adolf, Syarat Tertulis Dan Independensi Klausul Arbitrase, Op.Cit. hlm.25-26.
132 Ibid, hlm.26-27.
133 Ibid, hlm.28-29.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
69
Universitas Indonesia
perdagangan yang mereka sepakati. Selanjutnya, kontrak kedua adalah kontrak
yang berisi kewajiban bagi para pihak untuk menyelesaikan sengketa yang timbul
dari kontrak berisi hak dan kewajiban tadi melalui arbitrase.134
Sengketa-sengketa yang dapat diserahkan untuk diselesaikan oleh
arbitrase, dalam ruang lingkup arbitrase komersial internasional pada umumnya
adalah masalah-masaah komersial. Sengketa-sengketa yang umumnya tidak dapat
diselesaikan oleh arbitrase adalah competitive law, antitrust law, status
perkawinan, kepailitan dan hak-hak milik intelektual tertentu.135
Sengketa yang menjadi kewenangan arbitrase untuk memeriksa dan
mengadili di Indonesia menurut UU Arbitrase dan APS adalah sengketa perdata.
Sesuai Pasal 5 ayat 1 UU Arbitrase dan APS, arbitrase memiliki kewenangan
untuk memeriksa dan mengadili sengketa perdagangan dan mengenai hak yang
dikuasai sepenuhnya oleh para pihak sesuai hukum dan peraturan perundang-
undangan. Dengan kata lain, sengketa yang diselesaikan di arbitrase adalah
sengketa keperdataan, baik berbentuk wanprestasi maupun perbuatan melawan
hukum.136
Sedangkan menurut Pasal 5 ayat 2 UU Arbitrase dan APS, sengketa yang
tidak dapat diselesaikan melalui arbitrase adalah sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan tidak dapat diadakan perdamaian. Menurut sistem hukum
perdata di Indonesia, semua hubungan hukum dapat diadakan perdamaian. Oleh
karenanya, semua sengketa yang timbul dari hubungan hukum dalam bidang
perdata dapat diselesaikan melalui arbitrase.137
134 Ibid, hlm.29.
135 Huala Adolf, Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Op.Cit. hlm.25.
136 Dirangkum dari buku “Asas Kepatutan Dalam Arbitrase” yang ditulis oleh Otto
Cornelis Kaligis, Bandung : Cetakan Kesatu, PT. Alumni, 2009.
137 Sutan Remy Sjahdeni, Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Arbitrase, Indonesia
Arbitration Quarterly Newsletter Number 6/2009, hlm.3-4.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
70
Universitas Indonesia
Priyatna Abdurrasyid menyatakan dalam bukunya berjudul Arbitrase &
Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar mengenai kompetensi dan
wewenang BANI sebagai berikut :138
Di dalam pasal 1 Anggaran Dasar BANI dirumuskan bahwa BANI diberi
wewenang oleh para pihak yang bersengketa untuk memeriksa dan
mengadili semua sengketa perdata yang timbul dalam bidang
perdagangan, industri, keuangan, dan lain-lain yang bersifat nasional
maupun internasional. Ketentuan mengenai wewenang BANI tersebut
sesuai dengan pengertian yang berkembang di luar negeri, yang tercakup
dalam kata-kata “Commercial Arbitration”.
Dari kutipan di atas, dapat disimpulkan bahwa sengketa yang menjadi
kewenangan arbitrase di Indonesia untuk memeriksa dan mengadili adalah
sengketa perdata yang timbul dalam bidang perdagangan. Sengketa perdata dalam
praktik yang terjadi di masyarakat meliputi sengketa wanprestasi dan sengketa
perbuatan melawan hukum. Sehingga sengketa perbuatan melawan hukum yang
timbul dari para pihak yang terikat dengan klausula arbitrase, dapat diperiksa dan
diputus oleh arbitrase.
Sengketa atau perkara yang sudah memiliki klausula arbitrase tidak dapat
diajukan ke Pengadilan Negeri. Dan untuk perkara yang sudah dijatuhkan putusan
arbitrasenya tidak dapat diajukan lagi ke Pengadilan Negeri, kecuali apabila ada
perbuatan melawan hukum dalam proses pemeriksaan dan pengambilan putusan
arbitrase. Dalam hal ada perbuatan melawan hukum dalam proses pengambilan
putusan demikian yang mengakibatkan kerugian pada pihak yang dikalahkan,
maka pihak yang dirugikan dapat menggugat ke Pengadilan Negeri atas dasar
perbuatan melawan hukum dalam hal pengambilan putusan arbitrase yang tidak
berdasar itikad baik, melanggar ketertiban umum (public policy), bertentangan
dengan hukum dan kepatutan serta Pasal 70 UU Arbitrase dan APS.139
Menurut
Pasal 21 UU Arbitrase dan APS dinyatakan bahwa :Arbiter atau majelis arbitrase
138 Priyatna Abdurrasyid, Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu Pengantar,
Cetakan Kesatu, PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan BANI, 2002, hlm.228.
139 Feby Wisana, Sukarno Aburaera dan M. Said Karim, Kewenangan Badan Peradilan
Memeriksa Sengketa Dengan Klausula. 18 Januari 2011
<http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/85987e0a735579aa1c407c750129c985.pdf>.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
71
Universitas Indonesia
tidak dapat dikenakan tanggung jawab hukum apapun atas segala tindakan yang
diambil selama proses persidangan berlangsung untuk menjalankan fungsinya
sebagai arbiter atau majelis arbitrase, kecuali dapat dibuktikan adanya itikad tidak
baik dari tindakan tersebut.
Terhadap persetujuan para pihak dalam memuat perjanjian arbitrase baik
dalam bentuk pactum de compromittendo maupun akta kompromis yang
mengesampingkan kompetensi pengadilan, terdapat dua aliran sebagai berikut :140
1. Klausul arbitrase : bukan publik orde
Aliran ini berpendapat bahwa arbitrase tidak bersifat absolut. Klausul
tersebut harus dipertahankan para pihak sehingga akan tetap mengikat.
Apabila sengketa yang timbul dari perjanjian yang mengandung klausul
arbitrase diajukan salah satu pihak ke pengadilan, pengadilan berwenang
mengadili. Kewenangan baru gugur apabila pihak tergugat mengajukan
eksepsi akan adanya klausul arbitrase.
2. Klausul arbitrase : pacta sunt servanda
Aliran ini bertitik tolak dari doktrin hukum yang mengajarkan
bahwa semua persetujuan yang sah akan mengikat dan menjadi undang-
undang bagi para pihak. Oleh karena itu, setiap persetujuan hanya dapat
gugur (ditarik kembali) atas kesepakatan bersama para pihak.
Asas pacta sunt servanda secara positif telah dituangkan dalam
Pasal 1338 KUHPerdata yang berintikan :
a. Setiap perjanjian mengikat kepada para pihak;
b. Kekuatan mengikatnya serupa dengan ketentuan undang-undang;
c. Hanya dapat ditarik kembali atas persetujuan bersama para pihak;
Bertitik tolak dari prinsip pacta sunt servanda, aliran klausul
arbitrase : pacta sunt servanda berpendapat bahwa setiap perjanjian yang
memuat klausul arbitrase :
a. Mengikat secara mutlak kepada para pihak;
b. Kewenangan memeriksa dan memutus sengketa yang timbul menjadi
kewenangan absolut.
Menurut Yahya Harahap, klausula atau perjanjian arbitrase merupakan
pacta sunt servanda, bukan publik orde. Karena klausula atau perjanjian arbitrase
adalah kesepakatan yang dituangkan oleh para pihak dalam perjanjian, maka asas-
asas yang terkandung dalam pacta sunt servanda dan Pasal 1338 KUHPerdata
140 Suyud Margono, Op.Cit. hlm.126-127.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
72
Universitas Indonesia
berlaku sepenuhnya terhadap klausula atau perjanjian arbitrase. Adapun acuan
penerapannya adalah sebagai berikut : 141
- persetujuan arbitrase mengikat secara mutlak kepada para pihak;
- oleh karena itu, apabila timbul persengketaan dari apa yang telah
mereka perjanjikan, kewenangan untuk menyelesaikan dan memutus
sengketa “mutlak” menjadi kewenangan arbitrase;
- dengan demikian, pengadilan tidak berwenang memeriksa dan
mengadili sengketa secara mutlak;
- dan gugurnya klausula arbitrase hanya terjadi apabila secara tegas
ditarik kembali atas kesepakatan para pihak;
- serta tidak dapat dibenarkan hukum penarikan secara diam-diam,
apalagi penarikan secara sepihak atau secara “unilateral”
Sejak para pihak menyepakati klausul atau perjanjian arbitrase, para pihak
secara otomatis dan mutlak telah terikat. Kemutlakan keterikatan kepada klausul
atau perjanjian arbitrase memberikan kewenangan absolut bagi arbitrase untuk
memeriksa dan memutus penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian di
antara para pihak tersebut. Oleh karenanya, ada atau tidak adanya eksepsi yang
diajukan, Pengadilan harus tunduk kepada ketentuan UU Arbitrase dan APS dan
menyatakan diri tidak berwenang mengadili.142
Sehingga adanya klausul atau perjanjian abitrase di antara para pihak
untuk menyelesaikan sengketa keperdataan yang akan timbul atau yang timbul di
dari perjanjian antara mereka, memberikan kewenangan absolut bagi arbitrase
untuk memeriksa dan mengadili sengketa tersebut. Dan sepanjang sengketa di
antara para pihak adalah sengketa perdata dan dapat diadakan perdamaian,
arbitrase menjadi lembaga penyelesaian sengketa yang berwenang. Sengketa
perdata yang dapat diperiksa tidak hanya sengketa wanprestasi yang timbul dari
perjanjian para pihak, akan tetapi juga sengketa perbuatan melawan hukum yang
timbul dari hubungan hukum keperdataan di antara para pihak.
141 Yahya Harahap, Arbitrase, Op,Cit, hlm.129.
142 Ibid. hlm.130.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
73
Universitas Indonesia
BAB 4
PERNYATAAN DAN PENDAPAT PENGADILAN TERHADAP
SENGKETA PERBUATAN MELAWAN HUKUM YANG TIMBUL DARI
PERJANJIAN DENGAN KLAUSULA ARBITRASE
Keberadaan UU Arbitrase dan APS yang memperkuat yurisdiksi arbitrase
dan lebih memberikan kepastian hukum kepada pengadilan negeri untuk tidak
memiliki yurisdiksi atas sengketa yang terjadi dari suatu kontrak yang
mengandung klausul arbitrase ternyata masih disikapi berbeda oleh hakim-hakim
pengadilan. Dalam beberapa kasus, pengadilan negeri menyatakan berwenang
untuk memeriksa dan memutus sengketa di antara para pihak yang telah terikat
dengan klausul arbitrase. Meskipun demikian, dalam beberapa kasus lainnya
pengadilan negeri tunduk pada ketentuan Pasal 11 UU Arbitrase dan APS dan
menyatakan tidak berwenang memeriksa dan memutus sengketa yang timbul dari
kontrak yang mengandung klausul arbitrase.
Salah satu alasan yang menjadi dasar dan pertimbangan hakim pada
pengadilan negeri dalam menyatakan dirinya berwenang memeriksa dan memutus
sengketa di antara para pihak yang telah terikat dengan klausul arbitrase adalah
bahwa sengketa yang terjadi di antara para pihak tersebut merupakan sengketa
perbuatan melawan hukum. Hakim berpendapat bahwa arbitrase hanya berwenang
memeriksa dan memutus sengketa yang berkenaan dengan perselisihan atas
pelaksanaan dari suatu kontrak yang mengandung klausul arbitrase. Oleh
karenanya arbitrase dipandang hanya berwenang memeriksa dan memutus
sengketa wanprestasi. Perbuatan melawan hukum dinilai menjadi kewenangan
dari pengadilan negeri.
Jika melihat dari teori utilitis yang dikemukakan Jeremy Bentham,
kepastian melalui hukum bagi perseorangan merupakan tujuan utama dari pada
hukum.143
UU Arbitrase dan APS sebagai keputusan kehendak dari satu pihak
143 L.J.van Apeldoorn, Loc.Cit.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
74
Universitas Indonesia
yaitu negara diciptakan untuk memberikan kepastian hukum bagi perjanjian
dengan klausul arbitrase sebagai keputusan kehendak dari dua pihak yang terikat
di dalamnya. Para pihak memiliki kekuasaan atau kedaulatan hukum di dalam diri
mereka untuk yang membuat dan menyepakati klausul arbitrase sebagaimana
menurut teori Krabbe, yaitu kekuasaan hukum itu tidak terletak di luar manusia
tetapi di dalam manusia, di mana hukum berdaulat berlaku di atas segala sesuatu
termasuk Negara.144
Asas kebebasan berkontrak yang dimiliki para pihak dalam memilih
arbitrase sebegai lembaga penyelesaian sengketa alternatif bagi mereka
merupakan bentuk dari adanya suatu kedaulatan hukum yang dimiliki dalam
melakukan suatu perbuatan hukum. Hal ini sebagaimana ditentukan dalam 1320
KUHPerdata yang menyatakan bahwa :
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat yaitu
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat
suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang
tidak terlarang”.
Klausul arbitrase adalah suatu hal yang tidak dilarang untuk dijadikan kesepakatn
bagi para pihak karena telah mendapat legalitas dalam UU Arbitrase dan APS.
Merujuk pada ketentuan Pasal 1337 KUHPerdata yang menyatakan bahwa “Suatu
sebab adalah terlarang, apabila dilarang oleh undang-undang, atau apabila
berlawanan dengan kesusilaan baik atau ketertiban umum.”
Disepakatinya klausul arbitrase oleh para pihak membawa akibat hukum
bahwa klausul tersebut mengikat mereka sebagai undang-undang sebagaimana
asas pacta sunt servanda. Asas yang terdapat pada Pasal 1338 KUHPerdata yang
menyatakan bahwa “Semua kontrak yang dibuat secara sah akan mengikat
sebagai undang undang bagi para pihak dalam kontrak tersebut” adalah asas yang
berlaku dalam hukum perjanjian di Indonesia. Oleh karenanya, para pihak yang
terikat dengan klausul arbitrase, harus tunduk pada ketentuan klausul tersebut
selayaknya tunduk pada undang-undang.
144 Ibid.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
75
Universitas Indonesia
Kekuatan mengikatnya klausul arbitrase sebagai undang-undang bagi para
pihak dimulai sejak terjadinya kata sepakat tentang klausul arbitrase tersebut. Hal
ini sebagaimana yang tersirat dalam pasal 1320 KUHPerdata yang menyatakan
sebagai berikut :
“Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat yaitu
kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya, kecakapan untuk membuat
suatu perikatan, suatu pokok persoalan tertentu, dan suatu sebab yang tidak
terlarang”.
Disamping itu, para pihak yang membuat dan menyepakati klausul
arbitase harus melaksanakannya dengan itikad baik. Ketentuan ini sebagaimana
asas itikad baik yang diatur dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang menyatakan
bahwa :
“Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku
sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Pesetujuan itu
tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,
atau karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.
Persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik.”
Sebagaimana yang dijelaskan oleh Wirjono Prodjodikoro dan Subekti, itikad
baik (te goeder trouw) yang sering diterjemahkan sebagai kejujuran,145
dilaksanakan pada waktu akan membuat dan menyepakati klausul arbitrase dan
pada waktu melaksanakan hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang timbul dari
klausul arbitrase tersebut.
Berikut adalah beberapa putusan pengadilan negeri terhadap sengketa
perbuatan melawan hukum yang timbul di antara para pihak yang terikat dengan
klausul arbitrase. Terdapat enam putusan pengadilan negeri yang memberikan
pernyataan dan pendapat berbeda.
145 Riduan Syahrani, Loc.Cit.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
76
Universitas Indonesia
4.1. Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
No.454/Pdt.G/1999/PN.Jak.Sel.
Sengketa yang diputus oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan ini adalah
sengketa antara PT. Perusahaan Dagang Tempo (PT. Tempo) dan PT. Roche
Indonesia. PT. Tempo adalah distributor produk-produk PT. Roche Indonesia
untuk wilayah pasar di Indonesia. Keduanya terikat perjanjian distribusi tertanggal
22 Maret 1974. Perjanjian tersebut beberapa kali diperpanjang, dan perpanjangan
terbaru adalah Perjanjian Distribusi yang ditandatangani PT. Tempo dan PT.
Roche Indonesia pada tanggal 9 Desember 1996. Perjanjian tersebut efektif
berlaku sejak 1 Januari 1997, yang menyatakan bahwa PT. Roche Indonesia
mengangkat dan menunjuk PT. Tempo untuk memasarkan produk-produknya di
wilayah Indonesia untuk jangka waktu tidak terbatas meliputi produk Rx Division
dan OTC Division.
Berdasarkan surat No.GM/DG/CA/322 tanggal 31 Agustus 1999, PT.
Roche Indonesia menyatakan secara sepihak mengakhiri Perjanjian Distribusi
khusus untuk produk-produk OTC Division terhitung tanggal 29 Februari 2000.
Sedangkan produk-produk Rx Division masih tetap berlaku.
PT. Tempo mengajukan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap PT.
Roche Indonesia di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan dalil bahwa PT.
Roche Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum yang merugikan
dengan memutuskan secara sepihak Perjanjian Distribusi di atas tanpa adanya
wanprestasi dari PT. Tempo. Atas gugatan tersebut, PT. Roche Indonesia
mengajukan eksepsi tentang kompetensi absolut.
Dalam eksepsinya, PT. Roche Indonesia menyatakan bahwa Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang memeriksa dan mengadili gugatan
tersebut dikarenakan dalam Perjanjian Distribusi terdapat klausul arbitrase. Dalam
Pasal 19 ayat 2 alinea 1 Perjanjian Distribusi menyatakan sebagai berikut :
"In the event of any dispute among the parties in relation to, or in
connection with this agreement or a breach hereof which cannot be settled
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
77
Universitas Indonesia
amicably shall be finally settled by arbitration to be conducted in the
English language and to be held in Jakarta under the Rules of Arbitration
of The Badan Arbirase Nasional Indonesia (BANI – Indonesian National
Board of Arbitration) in respect of such dispute by a panel comprised of 3
(three) persons appointed in the manner referred to below.”
Selanjutnya PT. Tempo berpendapat bahwa dengan adanya pengakhiran
Perjanjian Distribusi secara sepihak oleh PT. Roche Indonesia, maka berakhir
pula seluruh Perjanjian Distribusi tersebut termasuk perjanjian arbitrase yang
mereka sepakati. Sehingga badan arbitrase tidak lagi berwenang untuk
menyelesaikan sengketa yang terjadi, dan karenanya PT. Tempo mengajukan
gugatan kepada PT. Roche Indonesia ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
Atas adanya eksepsi kompetensi abslut yang diajukan tersebut di atas,
Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri Jakarta Selatan yang terdiri dari R.
Soenarto, S.H., Djalius Amin, S.H., dan H. Sultan Mangun, S.H. memutus dengan
Putusan Sela No.454/Pdt.G/1999/PN.Jak.Sel tanggal 25 Januari 2000. Majelis
Hakim menolak eksepsi yang diajukan oleh PT. Roche Indonesia dan menyatakan
bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan berwenang mengadili gugatan perdata
yang diajukan oleh PT. Tempo terhadap PT. Roche Indonesia meskipun di antara
kedua pihak telah terikat perjanjian distribusi dengan klausul arbitrase.
Adapun yang menjadi pertimbangan hukum Majelis Hakim adalah sebagai
berikut :
4.1.1. Gugatan yang diajukan adalah bukan gugatan berkenaan dengan
perselisihan atas pelaksanaan Perjanjian Distribusi melainkan gugatan
tentang suatu perbuatan melawan hukum karena PT. Roche Indonesia
melakukan pemutusan Perjanjian Distribusi secara sepihak;
4.1.2. PT. Roche Indonesia yang melanggar sendiri ketentuan dalam Perjanjian
Distribusi dengan memutuskan hubungan secara sepihak melalui arbitrase;
4.1.3. Sengketa perbuatan melawan hukum di dalam pemutusan secara sepihak
atas ketentuan yang telah disepakati dalam Perjanjian Distribusi tidak
membutuhkan penyelesaian melalui arbiter yang dipandang lebih mampu
dan lebih menguasai permasalahan teknis bisnis yang disengketakan,
melainkan dibutuhkan penyelesaian secara hukum di pengadilan.
Dalam singkatnya, Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan tersebut
masuk yurisdiksi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena sengketa yang timbul
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
78
Universitas Indonesia
adalah perbuatan melawan hukum. Sengketa perbuatan melawan hukum kedua
belah pihak dipandang perlu diselesaikan secara hukum di depan pengadilan dan
arbitrase tidak berwenang untuk memeriksa serta mengadilinya.
Sikap dan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dalam perkara ini adalah tidak tepat. Seharusnya secara absolut, kewenangan
memeriksa dan mengadili sengketa perbuatan melawan hukum antara PT. Tempo
dan PT. Roche Indonesia adalah menjadi kewenangan BANI sebagaimana
ditentukan dalam Pasal 19 ayat 2 alinea 1 Perjanjian Distribusi yang
ditandatangani kedua belah pihak.
Berakhirnya Perjanjian Distribusi sebagai perjanjian pokok yang menjadi
dasar lahirnya perjanjian arbitrase, tidak mengakibatkan berakhirnya pula
perjanjian arbitrase. Dengan adanya pengakhiran Perjanjian Distribusi secara
sepihak oleh PT. Roche Indonesia, tidak serta merta berakhir pula perjanjian
arbitrase yang disepakati oleh kedua pihak. Sikap dan pendapat Majelis Hakim
terkait hal ini adalah tidak sesuai dengan asas separabilitas sebagaimana
terimplementasi dalam ketentuan Pasal 10 UU Arbitrase dan APS.
Fokus klausul atau perjanjian arbitrase ditujukan pada masalah
penyelesaian sengketa yang timbul dari perjanjian pokok, baik wanprestasi
maupun perbuatan melawan hukum. Klausul atau perjanjian arbitrase bukan
perjanjian bersyarat. Pelaksanaan klausul atau perjanjian arbitrase tidak
digantungkan pada suatu hal tertentu yang terjadi di masa mendatang. Klausul
atau perjanjian arbitrase tidak menjadi berakhir atau batal akibat berakhir atau
batalnya perjanjian pokok. Justru apabila perjanjian pokok berakhir atau batal
maka perjanjian arbitase menjadi satu-satunya perjanjian yang masih ada guna
menegakkan kembali hak-hak para pihak atas wanprestasi atau perbuatan
melawan hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa yang secara absolut berada
diluar pengadilan negeri, jelas penyelesaian sengketa dalam perkara ini menjadi
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
79
Universitas Indonesia
kompetensi absolut arbitrase karena telah diperjanjikan oleh para pihak. Sengketa
perbuatan melawan hukum antara PT. Tempo dan PT. Roche Indonesia
merupakan kewenangan mutlak badan abitrase yaitu BANI. Dengan adanya
perjanjian arbitrase, maka Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang
mengadili gugatan yang diajukan oleh PT. Tempo.
UU Arbitrase dan APS dalam Pasal 3 telah secara tegas menyatakan
bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak
yang terikat dalam perjanjian arbitrase. Ketentuan tersebut dipertegas dalam
rumusan Pasal 11 UU Arbitrase. Meskipun Pasal 5 UU Arbitrase dan APS tidak
menyebutkan secara jelas bahwa sengketa perbuatan melawan hukum adalah
obyek sengketa yang dapat diperiksa dan diputus oleh arbitrase, namun yang
menjadi obyek dari arbitrase adalah sengketa keperdataan secara luas, meliputi
bidang perdagangan, mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta
sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat diadakan
perdamaian.
Sepanjang terdapat klausula arbitrase dalam perjanjian atau perjanjian
arbitrase di antara para pihak, maka penyelesaian sengketa perdagangan dan hak
dapat diserahkan kepada arbitrase. Berdasarkan asas pacta sunt servanda yang
terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata, klausul arbitrase dalam Perjanjian
Distribusi yang telah dibuat secara sah mengikat sebagai undang-undang bagi PT.
Tempo dan PT. Roche Indonesia dan harus dipatuhi. Sehingga tidak ada batas
mengenai sengketa perdata jenis apa yang dapat diperiksa dan diputus melalui
arbitrase. Segala sengketa yang timbul dari Perjanjian Distribusi menjadi
kompetensi absolut arbitrase. Sejauh sengketa yang diajukan pada arbitrase adalah
sengketa perdata, baik sengketa tersebut adalah perbuatan melawan hukum atau
wanprestasi, maka sengketa tersebut menjadi kewenangan arbitrase, kecuali
secara tegas ditentukan dan diatur lain oleh Undang-Undang.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
80
Universitas Indonesia
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan secara ex officio wajib menolak dan tidak ikut campur terhadap sengketa
perbuatan melawan hukum di antara PT. Tempo dan PT. Roche Indonesia.
Sengketa tersebut termasuk wewenang absolut BANI, lembaga arbitrase yang
disepakati dalam klausul arbitrase Perjanjian Distribusi untuk menyelesaikan
sengketa yang timbul di antara PT. Tempo dan PT. Roche Indonesia.
4.2. Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
No.534/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel.
PT. Prima Citra Perdana adalah badan usaha yang bergerak di bidang
tambang batubara yang mana alat-alat operasionalnya khususnya kendaraan,
dilindungi jasa asuransi oleh PT. Asuransi AXA Indonesia. Perlindungan tersebut
didasarkan pada perjanjian asuransi yang terbagi menjadi 2 (dua) bentuk yaitu
perjanjian untuk asuransi heavy equipment dan perjanjian untuk asuransi
kendaraan bermotor. Masing-masing perjanjian tersebut terdiri dari beberapa
nomor polis yang bermasa periode satu tahun. Dalam perjanjian tersebut PT.
Prima Citra Perdana bertindak selaku Tertanggung dan PT. Asuransi AXA
Indonesia sebagai Penanggung.
Lebih dari setengah masa periode di setiap polis tersebut berjalan atau
sebelum masa periode di setiap polis tersebut berakhir, PT. Asuransi AXA
Indonesia ingin membatalkan kedua perjanjian tersebut dengan alasan loss ratio
dan frekuensi kecelakaan yang tinggi. Kemudian dengan adanya kesepakatan oleh
kedua belah pihak, disetujui bahwa PT. Asuransi AXA Indonesia hanya
mengalihkan kedua perjanjian asuransi tersebut ke perusahaan asuransi lainnya
yaitu PT. Asuransi Indrapura.
Akan tetapi di kemudian hari diketahui bahwa PT. Asuransi AXA
Indonesia tidak menyerahkan sisa premi prorata (nilai premi atas sisa masa
periode yang belum dijalankan) kepada PT. Asuransi Indrapura. Hal ini
menyebabkan PT. Asuransi Indrapura tidak dapat memproses klaim yang diajukan
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
81
Universitas Indonesia
oleh PT. Prima Citra Perdana. Selanjutnya keberatan diajukan oleh PT. Prima
Citra Perdana kepada PT. Asuransi AXA Indonesia hingga akhirnya PT. Asuransi
AXA Indonesia kembali melakukan Penanggungan atas obyek asuransi yang telah
dialihkannya tersebut.
Setelah PT. Asuransi AXA Indonesia kembali berkedudukan sebagai
Penanggung, PT. Asuransi AXA Indonesia membatalkan seluruh polis atas kedua
perjanjian tersebut melalui surat yang dilayangkan kepada PT. Prima Citra
Perdana. Pembatalan tersebut terjadi sebelum masa periode di setiap polis
berakhir. Pembatalan dilakukan berdasarkan alasan loss ratio dan frekuensi
kecelakaan yang tinggi atas obyek yang ditanggung dalam perjanjian asuransi
heavy equipment, dan alasan tidak adanya surat kendaraan atas obyek yang
ditanggung dalam perjanjian asuransi kendaraan bermotor.
Atas pembatalan tersebut, PT. Prima Citra Perdana mengajukan gugatan
perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap PT.
Asuransi AXA Indonesia. Adapun pokok gugatan PT. Prima Citra Perdana adalah
bahwa PT. Asuransi AXA Indonesia telah melakukan perbuatan melawan hukum
sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata karena telah melanggar pasal
1338 dan 1266 KUHPerdata yaitu:
4.2.1. Membatalkan perjanjian secara sepihak dan tanpa kesepakatan atau
persetujuan dari PT. Prima Citra Perdana.
4.2.2. Alasan pembatalan tersebut tidak dibenarkan serta tidak ditentukan atau
tidak diatur dalam ketentuan perjanjian polis sebagai syarat batal.
4.2.3. Alasan loss ratio oleh PT. Asuransi AXA Indonesia adalah tidak benar
karena nilai klaim berbanding nilai premi. Hal ini tidak sesuai dengan
pasal 253 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Dagang yaitu bahwa nilai
klaim berbanding nilai pertanggungan. PT. Asuransi AXA Indonesia
dinilai tidak melaksanakan amanat Pasal 11 ayat (2) Undang-undang No. 2
Tahun 1992 yang menyatakan “setiap perusahaan asuransi wajib
melakukan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip asuransi yang sehat”.
4.2.4. Alasan tidak mempunyai surat kendaraan dinilai sebagai alasan yang tidak
berdasar, karena pada awal perjanjian polis PT. Asuransi AXA Indonesia
seharusnya telah melaksanakan prosedur baku sebagai kewajiban untuk
melakukan inspeksi secara menyeluruh terhadap kendaraan bermotor yang
diasuransikan untuk menghindari munculnya hal-hal yang merugikan
dikemudian hari dan alasan tersebut dipergunakan setelah rata-rata masa
periode perjanjian asuransi (polis) berjalan lama.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
82
Universitas Indonesia
4.2.5. Pembatalan tersebut tanpa melalui pengadilan atau hakim.
4.2.6. PT. Prima Citra Perdana tidak pernah wanprestasi.
4.2.7. PT. Prima Citra Perdana mengalami kerugian.
Atas gugatan tersebut, PT. Asuransi AXA Indonesia mengajukan eksepsi.
PT. Asuransi AXA Indonesia menyatakan dalam eksepsinya bahwa Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili perkara ini karena gugatan
yang diajukan salah satunya bersumber dari Polis Asuransi Contractors’ Plant and
Machinery. Dalam polis tersebut terdapat klausul arbitrase. sehingga penyelesaian
sengketa yang timbul di antara PT. Prima Citra Perdana dan PT. Asuransi AXA
Indonesia harus mengacu pada ketentuan polis-polis tersebut di atas.
Dalam Butir 7 Conditions pada Polis Asuransi Contractors’ Plant and
Machinery ditentukan sebagai berikut :
If any diference arises as to the amount to be paid under this policy
(liability being otherwise admitted) such diferent shall be reffered to the
decision of an arbitrator to be appointed in writing by the parties in
difference or if they cannot agree upon a single arbitrator to the decision
of two arbitrators, one to be appointed in writing by each of the parties or
in case the arbitrator do not agree of an umpire to be appointed in writing
by the arbitrators before the letter enter upon the reference. The umpire
shall sit with the arbitrators and precide at their meetings. The making of
an award shall be a condition precedent to any write of action againts the
Insurers.
Dengan demikian, PT. Asuransi AXA Indonesia mendalilkan bahwa setiap
perbedaan pendapat atau sengketa yang timbul terkait polis yang ada diselesaikan
melalui forum arbitrase dan bukan melalui pengadilan. Sehingga berdasarkan hal
tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak tepat dan tidak berwenang untuk
memeriksa dan mengadili gugatan yang diajukan oleh PT. Prima Citra Perdana.
Atas eksepsi PT. Asuransi AXA Indonesia, PT. Prima Citra Perdana
membantahnya dengan menyatakan bahwa kewenangan lembaga arbitrase dalam
menangani perselisihan antara para pihak telah dipersempit secara tegas dalam
perjanjian tersebut, yaitu “mengenai suatu jumlah yang harus dibayar
berdasarkan polis ini”. Oleh karena itu, apabila antara PT. Asuransi AXA
Indonesia dan PT. Prima Citra Perdana timbul perbedaan atau perselisihan
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
83
Universitas Indonesia
mengenai suatu jumlah yang harus dibayar berdasarkan polis ini, secara khusus
maka merupakan kewenangan lembaga arbitrase.
PT. Prima Citra Perdana menyatakan bahwa perselisihan yang timbul
antara para pihak adalah bukan mengenai suatu jumlah yang harus dibayar oleh
PT. Asuransi AXA Indonesia kepada PT. Prima Citra Perdana atau sebaliknya
sesuai kewajiban masing-masing pihak. Gugatan yang diajukan adalah mengenai
penyelesaian perselisihan atas suatu pembatalan perjanjian secara sepihak yang
dilakukan oleh PT. Asuransi AXA Indonesia sebelum masa periode perjanjian
berakhir Pasal 1338 dan Pasal 1266 KUHPerdata.
Pembatalan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh PT. Asuransi
AXA Indonesia juga dinilai mengakibatkan adanya suatu tindakan PT. Asuransi
AXA Indonesia yang tidak melakukan dan melaksanakan kedudukannya atau
kewajibannya sebagai Penanggung selama masa periode perjanjian sebagaimana
yang telah disepakatinya. Kewajiban PT. Asuransi AXA Indonesia dalam kedua
perjanjian polis di atas adalah untuk memberikan ganti rugi atas suatu peristiwa
yang tidak pasti kepada Tertanggung sesuai dengan pasal 246 Kitab Undang-
undang Hukum Dagang. Oleh karenanya, tindakan PT. Asuransi AXA Indonesia
dinilai sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan pasal 1338
dan pasal 1266 KUHPerdata.
PT. Prima Citra Perdana selanjutnya menyatakan bahwa pasal dalam
ketentuan perjanjian polis yang menjadi dasar PT. Asuransi AXA Indonesia
melakukan pembatalan sepihak, bukanlah pasal yang berdiri sendiri karena pasal
tersebut dapat diberlakukan apabila syarat batal yang ditentukan dalam perjanjian
polis telah terpenuhi, sebagaimana Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada
Pasal 1348 menyatakan “Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus
diartikan dalam hubungan satu sama lain; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka
perjanjian seluruhnya”. Sedangkan alasan pembatalan oleh PT. Asuransi AXA
Indonesia, tidak diatur di dalam ketentuan perjanjian polis.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
84
Universitas Indonesia
Pembatalan perjanjian secara sepihak tanpa alasan atau memakai alasan
sekehendak salah satu pihak di luar apa yang telah ditentukan dalam perjanjian
juga dinilai sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dan/atau
kebiasaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1339 KUHPer yang menyatakan
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”
Atas replik tersebut, PT. Asuransi AXA Indonesia mengajukan duplik
yang pada pokoknya menyatakan bahwa PT. Prima Citra Perdana hanya
menafsirkan secara sempit terkait klausula arbitrase dalam ketentuan perjanjian
polis. Apabila klausula arbitrase ditafsirkan secara tepat maka sengketa apapun
yang timbul terkait polis adalah kewenangan arbitrase.
Atas dalil-dalil para pihak tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dalam Putusan Sela No.534/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel memutuskan
menolak eksepsi PT. Asuransi AXA Indonesia dan menyatakan berwenang
mengadili perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh PT.
Prima Citra Perdana melawan PT. Asuransi AXA Indonesia. Majelis Hakim
berpendapat bahwa klausul arbitrase dalam perjanjian asuransi di antara para
pihak tidak mencakup perbuatan melawan hukum dan hanya menyangkut
perselisihan yang timbul terhadap suatu jumlah yang harus dibayar dalam polis
perjanjian asuransi.
Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus Putusan Sela
No.534/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel di atas adalah sebagai berikut :
4.2.8. gugatan PT. Prima Citra Perdana bertitik pangkal pada perbuatan melawan
hukum atas tindakan PT. Asuransi AXA Indonesia yang telah melakukan
pembatalan seluruh polis baik terhadap perjanjian atas asuransi (Polis)
heavy Equipment dengan alasan loss ratio dan frekuensi kecelakaan yang
tinggi, maupun terhadap perjanjian atas asuransi (Polis) kendaraan
bermotor dengan alasan tidak dilengkapi STNK dan BPKP di mana masa
periode semua perjanjian asuransi tersebut belum berakhir.
4.2.9. terbukti dalam bukti Contractors‟Plant and Machinery Policy yang
diajukan dalam eksepsi PT. Asuransi AXA Indonesia, yang menjadi
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
85
Universitas Indonesia
kewenangan arbitrase adalah kewenangan memeriksa dan menyelesaikan
perselisihan jumlah yang harus dibayar berdasarkan polis, dan bukan
mencakup dalam ruang lingkup perbuatan melawan hukum yang dilakukan
oleh PT. Asuransi AXA Indonesia Dalam butir 7 terjemahan
Contractors‟Plant and Machinery Policy dinyatakan bahwa apabila terjadi
perbedaan atau perselisihan yang timbul terhadap suatu jumlah apapun
yang harus dibayar berdasarkan polis ini, maka perbedaan atau
perselisihan tersebut harus diserahkan dan diselesaikan berdasarkan suatu
keputusan seorang arbitrase yang akan ditunjuk secara tertulis oleh para
pihak yang berselisih.
4.2.10. Oleh karena yang menjadi dasar gugatan PT. Prima Citra Perdana adalah
merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT. Asuransi
AXA Indonesia tentang pembatalan polis, dan bukan mengenai
perselisihan yang timbul terhadap suatu jumlah apapun yang harus dibayar
berdasarkan polis ini, maka penyelesaian perkara ini adalah kewenangan
Pengadilan Negeri dan bukan kewenangan arbiter.
Dalam singkatnya, Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan tersebut
masuk yurisdiksi Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena sengketa yang timbul
adalah perbuatan melawan hukum dan bukan mengenai perselisihan yang timbul
terhadap suatu jumlah apapun yang harus dibayar berdasarkan polis. Sengketa
perbuatan melawan hukum kedua belah pihak dipandang menjadi kewenangan
Pengadilan Negeri dan bukan kewenangan arbiter.
Sikap dan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
dalam perkara ini adalah tidak tepat. Seharusnya secara absolut, kewenangan
memeriksa dan mengadili sengketa perbuatan melawan hukum antara PT. Prima
Citra Perdana melawan PT. Asuransi AXA Indonesia adalah menjadi kewenangan
arbitrase sebagaimana ditentukan dalam Butir 7 Conditions pada Polis Asuransi
Contractors’ Plant and Machinery yang ditandatangani kedua belah pihak.
Perbuatan melawan hukum berupa pemutusan kontrak secara sepihak terjadi
karena adanya perbedaan pendapat mengenai pembayaran polis.
Sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa yang secara absolut berada
diluar pengadilan negeri, jelas penyelesaian sengketa dalam perkara ini menjadi
kompetensi absolut arbitrase karena telah diperjanjikan oleh para pihak. Sengketa
perbuatan melawan hukum antara PT. Prima Citra Perdana melawan PT. Asuransi
AXA Indonesia merupakan kewenangan mutlak arbitrase. Dengan adanya klausul
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
86
Universitas Indonesia
arbitrase, maka Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili
gugatan yang diajukan oleh PT. Prima Citra Perdana.
UU Arbitrase dan APS dalam Pasal 3 telah secara tegas menyatakan
bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak
yang terikat dalam perjanjian arbitrase. Ketentuan tersebut dipertegas dalam
rumusan Pasal 11 UU Arbitrase dan APS. Meskipun Pasal 5 UU Arbitrase dan
APS tidak menyebutkan secara jelas bahwa sengketa perbuatan melawan hukum
adalah obyek sengketa yang dapat diperiksa dan diputus oleh arbitrase, namun
yang menjadi obyek dari arbitrase adalah sengketa keperdataan secara luas,
meliputi bidang perdagangan, mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan
perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta
sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat diadakan
perdamaian.
Selanjutnya berdasarkan asas pacta sunt servanda yang terdapat dalam
Pasal 1338 KUHPerdata, klausul atau perjanjian arbitrase yang telah dibuat oleh
PT. Asuransi AXA Indonesia dan PT. Prima Citra Perdana secara sah mengikat
sebagai undang-undang bagi mereka. Segala perselisihan yang timbul dari
perjanjian untuk asuransi heavy equipment dan perjanjian untuk asuransi
kendaraan bermotor yang mengandung klausul arbitrase adalah kompetensi
absolut arbitrase.
Sepanjang terdapat klausula arbitrase dalam perjanjian atau perjanjian
arbitrase di antara para pihak, maka penyelesaian sengketa perdagangan dan hak
dapat diserahkan kepada arbitrase. Sehingga tidak ada batas mengenai sengketa
perdata jenis apa yang dapat diperiksa dan diputus melalui arbitrase. Sejauh
sengketa yang diajukan pada arbitrase adalah sengketa perdata, maka sengketa
tersebut menjadi kewenangan arbitrase baik sengketa tersebut adalah perbuatan
melawan hukum atau wanprestasi, kecuali secara tegas ditentukan dan diatur lain
oleh Undang-Undang.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
87
Universitas Indonesia
Terlebih dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI di Denpasar
telah terlaksana dari 18-22 September 2005, Mahkamah Agung telah memberikan
Petunjuk Mahkamah Agung tentang Teknis Yudisial dan Manajemen Peradilan.
Dalam ketentuan umumnya, Pasal 1 huruf a menentukan sebagai berikut :
“Pengadilan Negeri/Umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara yang
para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase, walaupun hal tersebut didasarkan
pada gugatan perbuatan melawan hukum".146
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan secara ex officio wajib menolak dan tidak ikut campur terhadap sengketa
perbuatan melawan hukum di antara PT. Prima Citra Perdana melawan PT.
Asuransi AXA Indonesia. Sengketa tersebut termasuk wewenang absolut
arbitrase yang disepakati dalam klausul arbitrase Polis Asuransi Contractors’
Plant and Machinery.
4.3. Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan
No.535/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel.
PT. Prima Laksana Mandiri adalah badan usaha yang bergerak di bidang
tambang batubara di mana alat-alat operasionalnya khususnya kendaraan,
dilindungi jasa asuransi oleh PT. Asuransi AXA Indonesia. Perlindungan tersebut
berdasarkan perjanjian asuransi yang terbagi menjadi 2 (dua) bentuk, yaitu
perjanjian untuk asuransi heavy equipment dan perjanjian untuk asuransi
kendaraan bermotor. Masing-masing perjanjian tersebut terdiri dari beberapa
nomor polis yang bermasa periode satu tahun. Di dalam perjanjian tersebut PT.
Prima Laksana Mandiri bertindak selaku tertanggung dan PT. Asuransi AXA
Indonesia sebagai penanggung.
146 Pengadilan Negeri Sleman. Petunjuk Mahkamah Agung Berkaitan Dengan Persoalan
Teknis-Yudisial Yang Telah Dirumuskan Dalam Rakernas Denpasar September 2005. 30
November 2012 <http://www.pn-sleman.go.id/index.php/skrg-tahap-iii-reformasi-birokrasi-
131/49-rakernas-denpasar/rakernas-denpasar/126-petunjuk-ma-teknis-yudisial-perdata>.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
88
Universitas Indonesia
Lebih dari setengah masa periode di setiap polis tersebut berjalan atau
sebelum masa periode di setiap polis tersebut berakhir, PT. Asuransi AXA
Indonesia ingin membatalkan kedua perjanjian tersebut dengan alasan loss ratio
dan frekuensi kecelakaan yang tinggi. Kemudian dengan adanya kesepakatan oleh
kedua belah pihak, disetujui bahwa PT. Asuransi AXA Indonesia hanya
mengalihkan kedua perjanjian asuransi tersebut ke perusahaan asuransi lainnya
yaitu PT. Asuransi Indrapura.
Akan tetapi di kemudian hari diketahui bahwa PT. Asuransi AXA
Indonesia tidak menyerahkan sisa premi prorata (nilai premi atas sisa masa
periode yang belum dijalankan) kepada PT. Asuransi Indrapura. Hal ini
menyebabkan PT. Asuransi Indrapura tidak dapat memproses klaim yang diajukan
oleh PT. Prima Laksana Mandiri. Selanjutnya keberatan diajukan oleh PT. Prima
Laksana Mandiri kepada PT. Asuransi AXA Indonesia hingga akhirnya PT.
Asuransi AXA Indonesia kembali melakukan Penanggungan atas obyek asuransi
yang telah dialihkannya tersebut.
Setelah PT. Asuransi AXA Indonesia kembali berkedudukan sebagai
Penanggung, PT. Asuransi AXA Indonesia membatalkan seluruh polis atas kedua
perjanjian tersebut melalui surat yang dilayangkan kepada PT. Prima Laksana
Mandiri. Pembatalan tersebut terjadi sebelum masa periode di setiap polis
berakhir. Pembatalan dilakukan berdasarkan alasan loss ratio dan frekuensi
kecelakaan yang tinggi atas obyek yang ditanggung dalam perjanjian asuransi
heavy equipment, dan alasan tidak adanya surat kendaraan atas obyek yang
ditanggung dalam perjanjian asuransi kendaraan bermotor.
Atas pembatalan tersebut, PT. Prima Laksana Mandiri mengajukan
gugatan perbuatan melawan hukum di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan terhadap
PT. Asuransi AXA Indonesia. Adapun pokok gugatan PT. Prima Laksana Mandiri
adalah bahwa PT. Asuransi AXA Indonesia telah melakukan perbuatan melawan
hukum sebagaimana diatur dalam pasal 1365 KUHPerdata karena telah melanggar
pasal 1338 dan 1266 KUHPerdata yaitu:
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
89
Universitas Indonesia
4.3.1. Membatalkan perjanjian secara sepihak dan tanpa kesepakatan atau
persetujuan dari PT. Prima Citra Perdana.
4.3.2. Alasan pembatalan tersebut tidak dibenarkan serta tidak ditentukan atau
tidak diatur dalam ketentuan perjanjian polis sebagai syarat batal.
4.3.3. Alasan loss ratio oleh PT. Asuransi AXA Indonesia adalah tidak benar
karena nilai klaim berbanding nilai premi. Hal ini tidak sesuai dengan
pasal 253 ayat (1) Kitab Undang-undang Hukum Dagang yaitu bahwa nilai
klaim berbanding nilai pertanggungan. PT. Asuransi AXA Indonesia
dinilai tidak melaksanakan amanat Pasal 11 ayat (2) Undang-undang No. 2
Tahun 1992 yang menyatakan “setiap perusahaan asuransi wajib
melakukan usaha sesuai dengan prinsip-prinsip asuransi yang sehat”.
4.3.4. Alasan tidak mempunyai surat kendaraan dinilai sebagai alasan yang tidak
berdasar, karena pada awal perjanjian polis PT. Asuransi AXA Indonesia
seharusnya telah melaksanakan prosedur baku sebagai kewajiban untuk
melakukan inspeksi secara menyeluruh terhadap kendaraan bermotor yang
diasuransikan untuk menghindari munculnya hal-hal yang merugikan
dikemudian hari dan alasan tersebut dipergunakan setelah rata-rata masa
periode perjanjian asuransi (polis) berjalan lama.
4.3.5. Pembatalan tersebut tanpa melalui pengadilan atau hakim.
4.3.6. PT. Prima Laksana Mandiri tidak pernah wanprestasi.
4.3.7. PT. Prima Laksana Mandiri mengalami kerugian.
Atas gugatan tersebut, PT. Asuransi AXA Indonesia mengajukan eksepsi.
PT. Asuransi AXA Indonesia menyatakan dalam eksepsinya bahwa Pengadilan
Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili perkara ini karena gugatan
yang diajukan salah satunya bersumber dari Polis Asuransi Contractors’ Plant and
Machinery. Dalam polis tersebut terdapat klausul arbitrase. sehingga penyelesaian
sengketa yang timbul di antara PT. Prima Laksana Mandiri dan PT. Asuransi
AXA Indonesia harus mengacu pada ketentuan polis-polis tersebut di atas.
Dalam Butir 7 Conditions pada Polis Asuransi Contractors’ Plant and
Machinery ditentukan sebagai berikut :
If any diference arises as to the amount to be paid under this policy
(liability being otherwise admitted) such diferent shall be reffered to the
decision of an arbitrator to be appointed in writing by the parties in
difference or if they cannot agree upon a single arbitrator to the decision
of two arbitrators, one to be appointed in writing by each of the parties or
in case the arbitrator do not agree of an umpire to be appointed in writing
by the arbitrators before the letter enter upon the reference. The umpire
shall sit with the arbitrators and precide at their meetings. The making of
an award shall be a condition precedent to any write of action againts the
Insurers.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
90
Universitas Indonesia
Dengan demikian, PT. Asuransi AXA Indonesia mendalilkan bahwa setiap
perbedaan pendapat atau sengketa yang timbul terkait polis yang ada diselesaikan
melalui forum arbitrase dan bukan melalui pengadilan. Sehingga berdasarkan hal
tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak tepat dan tidak berwenang untuk
memeriksa dan mengadili gugatan yang diajukan oleh PT. Prima Laksana
Mandiri.
Terhadap PT. Asuransi AXA Indonesia, PT. Prima Laksana Mandiri
membantahnya dengan menyatakan bahwa kewenangan lembaga arbitrase dalam
menangani perselisihan antara para pihak telah dipersempit secara tegas dalam
perjanjian tersebut, yaitu “mengenai suatu jumlah yang harus dibayar
berdasarkan polis ini”. Oleh karena itu, apabila antara PT. Asuransi AXA
Indonesia dan PT. Prima Laksana Mandiri timbul perbedaan atau perselisihan
mengenai suatu jumlah yang harus dibayar berdasarkan polis ini, secara khusus
maka merupakan kewenangan lembaga arbitrase.
PT. Prima Laksana Mandiri menyatakan bahwa perselisihan yang timbul
antara para pihak adalah bukan mengenai suatu jumlah yang harus dibayar oleh
PT. Asuransi AXA Indonesia kepada PT. Prima Laksana Mandiri atau sebaliknya
sesuai kewajiban masing-masing pihak. Gugatan yang diajukan adalah mengenai
penyelesaian perselisihan atas suatu pembatalan perjanjian secara sepihak yang
dilakukan oleh PT. Asuransi AXA Indonesia sebelum masa periode perjanjian
berakhir Pasal 1338 dan Pasal 1266 KUHPerdata.
Pembatalan perjanjian secara sepihak yang dilakukan oleh PT. Asuransi
AXA Indonesia juga dinilai mengakibatkan adanya suatu tindakan PT. Asuransi
AXA Indonesia yang tidak melakukan dan melaksanakan kedudukannya atau
kewajibannya sebagai Penanggung selama masa periode perjanjian sebagaimana
yang telah disepakatinya. Kewajiban PT. Asuransi AXA Indonesia dalam kedua
perjanjian polis di atas adalah untuk memberikan ganti rugi atas suatu peristiwa
yang tidak pasti kepada Tertanggung sesuai dengan pasal 246 Kitab Undang-
undang Hukum Dagang. Oleh karenanya, tindakan PT. Asuransi AXA Indonesia
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
91
Universitas Indonesia
dinilai sebagai perbuatan melawan hukum karena bertentangan dengan pasal 1338
dan pasal 1266 KUHPerdata.
PT. Prima Laksana Mandiri selanjutnya menyatakan bahwa pasal dalam
ketentuan perjanjian polis yang menjadi dasar PT. Asuransi AXA Indonesia
melakukan pembatalan sepihak, bukanlah pasal yang berdiri sendiri karena pasal
tersebut dapat diberlakukan apabila syarat batal yang ditentukan dalam perjanjian
polis telah terpenuhi, sebagaimana Kitab Undang-undang Hukum Perdata pada
Pasal 1348 menyatakan “Semua janji yang dibuat dalam suatu perjanjian, harus
diartikan dalam hubungan satu sama lain; tiap janji harus ditafsirkan dalam rangka
perjanjian seluruhnya”. Sedangkan alasan pembatalan oleh PT. Asuransi AXA
Indonesia, tidak diatur di dalam ketentuan perjanjian polis.
Pembatalan perjanjian secara sepihak tanpa alasan atau memakai alasan
sekehendak salah satu pihak di luar apa yang telah ditentukan dalam perjanjian
juga dinilai sebagai perbuatan yang bertentangan dengan kepatutan dan/atau
kebiasaan, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 1339 KUHPer yang menyatakan
“Suatu perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal-hal yang dengan tegas
dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat
perjanjian, diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang.”
Atas replik tersebut, PT. Asuransi AXA Indonesia mengajukan duplik
yang pada pokoknya menyatakan bahwa PT. Prima Laksana Mandiri hanya
menafsirkan secara sempit terkait klausula arbitrase dalam ketentuan perjanjian
polis. Apabila klausula arbitrase ditafsirkan secara tepat maka sengketa apapun
yang timbul terkait polis adalah kewenangan arbitrase.
Atas dalil-dalil para pihak tersebut, Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan dalam Putusan Sela No.535/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel memutuskan
menolak eksepsi PT. Asuransi AXA Indonesia dan menyatakan berwenang
mengadili perkara gugatan perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh PT.
Prima Laksana Mandiri melawan PT. Asuransi AXA Indonesia. Majelis Hakim
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
92
Universitas Indonesia
berpendapat bahwa klausul arbitrase dalam perjanjian asuransi di antara para
pihak tidak mencakup perbuatan melawan hukum dan hanya menyangkut
perselisihan yang timbul terhadap suatu jumlah yang harus dibayar dalam polis
perjanjian asuransi.
Pertimbangan Majelis Hakim dalam memutus Putusan Sela
No.535/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel di atas adalah sebagai berikut :
4.3.8. gugatan PT. Prima Laksana Mandiri bertitik pangkal pada perbuatan
melawan hukum atas tindakan PT. Asuransi AXA Indonesia yang telah
melakukan pembatalan seluruh polis baik terhadap perjanjian atas asuransi
(Polis) heavy Equipment dengan alasan loss ratio dan frekuensi
kecelakaan yang tinggi, maupun terhadap perjanjian atas asuransi (Polis)
kendaraan bermotor dengan alasan tidak dilengkapi STNK dan BPKP di
mana masa periode semua perjanjian asuransi tersebut belum berakhir.
4.3.9. terbukti dalam bukti Contractors‟Plant and Machinery Policy yang
diajukan dalam eksepsi PT. Asuransi AXA Indonesia, yang menjadi
kewenangan arbitrase adalah kewenangan memeriksa dan menyelesaikan
perselisihan jumlah yang harus dibayar berdasarkan polis, dan bukan
mencakup dalam ruang lingkup perbuatan melawan hukum yang
dilakukan oleh PT. Asuransi AXA Indonesia Dalam butir 7 terjemahan
Contractors‟Plant and Machinery Policy dinyatakan bahwa apabila terjadi
perbedaan atau perselisihan yang timbul terhadap suatu jumlah apapun
yang harus dibayar berdasarkan polis ini, maka perbedaan atau
perselisihan tersebut harus diserahkan dan diselesaikan berdasarkan suatu
keputusan seorang arbitrase yang akan ditunjuk secara tertulis oleh para
pihak yang berselisih.
4.3.10. Oleh karena yang menjadi dasar gugatan PT. Prima Laksana Mandiri
adalah merupakan perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh PT.
Asuransi AXA Indonesia tentang pembatalan polis, dan bukan mengenai
perselisihan yang timbul terhadap suatu jumlah apapun yang harus dibayar
berdasarkan polis ini, maka penyelesaian perkara ini adalah kewenangan
Pengadilan Negeri dan bukan kewenangan arbiter.
Majelis Hakim berpendapat bahwa gugatan tersebut masuk yurisdiksi
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan karena sengketa yang timbul adalah perbuatan
melawan hukum dan bukan mengenai perselisihan yang timbul terhadap suatu
jumlah apapun yang harus dibayar berdasarkan polis. Sengketa perbuatan
melawan hukum kedua belah pihak dipandang menjadi kewenangan Pengadilan
Negeri dan bukan kewenangan arbiter.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
93
Universitas Indonesia
Pernyataan dan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan dalam perkara ini adalah tidak tepat. Seharusnya secara absolut,
kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa perbuatan melawan hukum
antara PT. Prima Laksana Mandiri melawan PT. Asuransi AXA Indonesia adalah
menjadi kewenangan arbitrase sebagaimana ditentukan dalam Butir 7 Conditions
pada Polis Asuransi Contractors’ Plant and Machinery yang ditandatangani kedua
belah pihak. Perbuatan melawan hukum berupa pemutusan kontrak secara sepihak
terjadi karena adanya perbedaan pendapat mengenai pembayaran polis.
Sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa yang secara absolut berada
di luar pengadilan negeri, jelas penyelesaian sengketa dalam perkara ini menjadi
kompetensi absolut arbitrase karena telah diperjanjikan oleh para pihak. Sengketa
perbuatan melawan hukum antara PT. Prima Laksana Mandiri melawan PT.
Asuransi AXA Indonesia merupakan kewenangan mutlak arbitrase. Dengan
adanya klausul arbitrase, maka Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak
berwenang mengadili gugatan yang diajukan oleh PT. Prima Laksana Mandiri.
Pasal 3 UU Arbitrase dan APS dalam telah secara tegas menyatakan
bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak
yang terikat dalam perjanjian arbitrase. Ketentuan tersebut selanjutnya dipertegas
kembali dalam rumusan Pasal 11 UU Arbitrase.
Meskipun Pasal 5 UU Arbitrase dan APS tidak menyebutkan secara jelas
bahwa sengketa perbuatan melawan hukum adalah obyek sengketa yang dapat
diperiksa dan diputus oleh arbitrase, namun yang menjadi obyek dari arbitrase
adalah sengketa keperdataan secara luas, meliputi bidang perdagangan, mengenai
hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan dapat diadakan perdamaian. Sehingga sengketa yang
diselesaikan di arbitrase adalah sengketa keperdataan, baik berbentuk wanprestasi
maupun perbuatan melawan hukum.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
94
Universitas Indonesia
Sepanjang terdapat klausula arbitrase dalam perjanjian atau perjanjian
arbitrase di antara para pihak, maka penyelesaian sengketa perdagangan dan hak
dapat diserahkan kepada arbitrase. Tidak ada batas mengenai sengketa perdata
jenis apa yang dapat diperiksa dan diputus melalui arbitrase.
Merujuk pada asas pacta sunt servanda pada Pasal 1338 KUHPerdata
bahwa perjanjian yang sah mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang
membuatnya, maka klausul arbitrase yang telah dibuat secara sah oleh PT.
Asuransi AXA Indonesia dengan PT. Prima Laksana Mandiri mengikat sebagai
undang-undang bagi mereka. Keduanya harus mematuhi dan tunduk pada klausul
tersebut serta menyerahkan sengketa yang timbul dari perjanjian untuk asuransi
heavy equipment dan perjanjian untuk asuransi kendaraan bermotor kepada
lembaga arbitrase.
Terlebih lagi Mahkamah Agung telah menyatakan ketegasannya untuk
menghormati klausul arbitrase dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI
di Denpasar yang dilaksanakan pada 18-22 September 2005. Mahkamah Agung
telah menerbitkab Petunjuk Mahkamah Agung tentang Tehnis Yudisial dan
Manajemen Peradilan. Dalam ketentuan umumnya, Pasal 1 huruf a menyatakan
bahwa :
Pengadilan Negeri/Umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara
yang para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase, walaupun hal
tersebut didasarkan pada gugatan perbuatan melawan hukum.147
Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut maka Pengadilan Negeri Jakarta
Selatan secara jabatannya wajib menolak dan tidak ikut campur terhadap sengketa
perbuatan melawan hukum di antara PT. Prima Laksana Mandiri melawan PT.
Asuransi AXA Indonesia. Sengketa tersebut termasuk wewenang absolut
arbitrase yang disepakati dalam klausul arbitrase Polis Asuransi Contractors’
Plant and Machinery.
147 Pengadilan Negeri Sleman. Loc.Cit.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
95
Universitas Indonesia
4.4. Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat
No.406/PDT.G/2009/PN.JKT.PST.
Para pihak di dalam perkara ini adalah PT. Istana Noodle House dan PT.
Plaza Indonesia Realty Tbk. PT. Istana Noodle House adalah penyewa tempat di
dalam Plaza Indonesia milik PT. Plaza Indonesia Realty Tbk, yang digunakan
sebagai restoran dengan nama Imperial Treasure. Sewa menyewa tersebut
dituangkan dalam Perjanjian Sewa Menyewa No.LAR-1241/25/07/07/L1113
tertanggal 25 Juli 2007.
Sengketa berawal dari adanya ledakan pipa gas pada 19 September 2008
yang terjadi di tempat yang disewa oleh PT. Istana Noodle House. Kebakaran pipa
gas tersebut terjadi sebagai akibat dari pekerjaan penggantian meteran air dan gas
yang dilakukan oleh PT Jaga Citra Inti, kontraktor yang ditunjuk oleh PT. Plaza
Indonesia Realty Tbk. Atas kerusakan yang terjadi dan dilakukannya renovasi,
PT. Istana Noodle House berhenti beroperasi selama 88 hari sejak 19 September
2008 hingga 15 Desember 2008. Hal ini menyebabkan PT. Istana Noodle House
menderita kerugian.
Setelah mengirimkan somasi dan tidak mendapatkan ganti rugi dari PT.
Plaza Indonesia Realty Tbk, PT. Istana Noodle House kemudian mengajukan
permohonan arbitrase pada Badan Arbitrase Nasional Indonesia. Hal ini
didasarkan pada klausul arbitrase yang terdapat di dalam perjanjian sewa antara
PT. Istana Noodle House dengan PT. Plaza Indonesia Realty Tbk, Pasal 21 ayat 2
Perjanjian Sewa yang menyatakan sebagai berikut :
“Setiap ketidaksepakatan atau perselisihan yang tidak dapat diselesaikan
secara baik-baik oleh dan antara para pihak, akan, kecuali ditentukan lain
dalam kontrak Sewa ini, diserahkan kepada Dewan Arbitrasi yang
dibentuk berdasarkan peraturan Badan Arbitrase Nasional Indonesia
(BANI) dan ketentuan dari bagian 21”
PT. Istana Noodle House dalam permohonannya kepada Badan Arbitrase
Nasional Indonesia mendalilkan bahwa PT. Plaza Indonesia Realty Tbk telah
melakukan perbuatan melawan hukum dengan memerintahkan pekerjaan
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
96
Universitas Indonesia
penggantian meteran air dan gas kepada kontraktor PT Jaga Citra Inti yang
menyebabkan kebakaran pipa gas pada restoran Imperial Treasure dan
mengakibatkan PT. Istana Noodle House menderita kerugian.
Majelis arbiter BANI yang diketuai M. Husseyn S.H. dengan anggota
Prof. Dr. H. Priyatna Abdurrasyid, S.H., Ph.D, FCBArb. dan Prof. Dr. Remy
Sjahdeni dalam Putusan No.296/II/ARB.BANI/2009 memutus PT. Plaza Indonesia
Realty Tbk telah melakukan perbuatan melawan hukum dan menghukum PT.
Plaza Indonesia Realty Tbk untuk membayar kerugian yang diderita PT. Istana
Noodle House.
Dari perkara No.296/II/ARB.BANI/2009 antara PT. Istana Noodle House
melawan PT. Plaza Indonesia Realty Tbk di atas menunjukkan bahwa BANI
sebagai lembaga arbitrase telah menyatakan berwenang memeriksa sengketa
perbuatan melawan hukum dengan menerima permohonan arbitrase yang
diajukan PT. Istana Noodle House dan memutusnya. Kemudian majelis arbiter
juga memutus dengan menyatakan PT. Plaza Indonesia Realty Tbk telah
melakukan perbuatan melawan hukum.
Atas putusan arbitrase tersebut, PT. Plaza Indonesia Realty Tbk
mengajukan permohonan pembatalan Putusan BANI No.296/II/ARB-BANI/2009
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. Dalam permohonan pembatalannya, kuasa
hukum PT. Plaza Indonesia Realty Tbk menyatakan bahwa PT. Istana Noodle
House tidak berhak menuntut ganti rugi melalui BANI.
Alasan permohonan pembatalan tersebut yang pertama adalah terdapatnya
tipu muslihat yang dilakukan oleh PT. Istana Noodle House dalam pemeriksaan
arbitrase di BANI. Alasan lainnya adalah bahwa kedua belah pihak terikat pada
Lease Agreement dan Lease Condition tertanggal 25 Juli 2007. Salah satu klausul
perjanjian menentukan penyewa membebaskan pemberi sewa dari semua klaim
atas kecelakaan, kerusakan, kehilangan, kematian atau cidera yang terjadi di
tempat sewaan. Klausul lain menentukan, penyewa bertanggung jawab
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
97
Universitas Indonesia
sepenuhnya atas penempatan, penggunaan dan tempat pemeliharaan sewaan.
Alasan lain yang juga dikemukakan PT. Plaza Indonesia Realty Tbk adalah bahwa
majelis arbitrase BANI tidak berwenang memeriksa sengketa perbuatan melawan
hukum dan kewenangan untuk memeriksa sengketa demikian adalah kewenangan
absolut dari peradilan umum.
Atas permohonan PT. Plaza Indonesia Realty Tbk tersebut, PT Istana
Noodle mengajukan eksepsi. Dalam bantahannya, PT. Istana Noodle mendalilkan
antara lain sebagai berikut :
4.4.1. dasar diajukannya pembatalan telah melampaui jangka waktu maksimal
permohonan pembatalan putusan arbitrase yaitu 30 hari karena selama
proses mediasi dalam pengadilan telah mencapai waktu 40 hari;
4.4.2. perkara yang diajukan oleh PT. Plaza Indonesia Realty Tbk telah diputus
dengan putusan yang final dan mengikat oleh majelis arbiter BANI dengan
putusan No:296/II/ARB-BANI/2009;
4.4.3. tidak ada dasar hukum untuk mengajukan permohonan pembatalan
putusan BANI karena tidak ada tipu muslihat dilakukan oleh PT. Istana
Noodle House yang dibuktikan dalam suatu putusan pengadilan;
4.4.4. majelis arbitrase berwenang memeriksa segala sengketa yang berhubungan
dengan PT. Istana Noodle House dan PT. Plaza Indonesia Realty Tbk
berdasarkan klausul arbitrase dalam perjanjian sewa di antara mereka,
termasuk sengketa perbuatan melawan hukum;
Terhadap permohonan pembatalan putusan BANI di atas, Majelis Hakim
pada Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam Putusan Sela
No.406/PDT.G/2009/PN.JKT.PST tertanggal 21 April 2010 memutuskan menolak
eksepsi PT. Istana Noodle House dan menyatakan Pengadilan Negeri Jakarta
Pusat berwenang memeriksa dan mengadili permohonan pembatalan Putusan
BANI No:296/II/ARB-BANI/2009.
Setelah melalui proses pemeriksaan, Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat dalam Putusan No.406/PDT.G/2009/PN.JKT.PST tertanggal 27 Mei
2010 memutuskan menolak permohonan PT. Plaza Indonesia Realty Tbk. Dalam
pertimbangannya, Majelis Hakim berpendapat bahwa dengan adanya klausul
arbitrase dalam perjanjian sewa No.LAR-1241/25/07/07/L1113 tertanggal 15 Juli
2007 mengakibatkan para pihak mutlak menundukkan diri pada UU Arbitrase dan
APS. Oleh karena permohonan pembatalan putusan arbitrase yang diajukan tidak
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
98
Universitas Indonesia
didasarkan pada adanya suatu tipu muslihat yang telah terbukti oleh suatu putusan
pengadilan, maka permohonan dikesampingkan oleh Majelis Hakim. Permohonan
PT. Plaza Indonesia Realty Tbk dinilai telah menyimpang dari ketentuan Pasal 70
UU Arbitrase dan APS.
Sehingga dalam putusan tersebut, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak
berpendapat dan menyatakan bahwa oleh karena sengketa di antara para pihak
adalah sengketa perbuatan melawan hukum maka menjadikan pengadilan menjadi
berwenang untuk membatalkan Putusan BANI No.296/II/ARB-BANI/2009 dan
memeriksa sendiri sengketa tersebut. Sengketa perbuatan melawan hukum tidak
dapat dijadikan dasar sebagai permohonan pembatalan putusan arbitrase.
Sikap dan pendapat Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat dalam
perkara yang menyatakan bahwa sengketa perbuatan melawan hukum tidak dapat
dijadikan dasar sebagai permohonan pembatalan putusan arbitrase adalah tepat.
Memang secara absolut, kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa yang
timbul di antara PT. Plaza Indonesia Realty Tbk dan PT. Istana Noodle House
termasuk perbuatan melawan hukum adalah menjadi kewenangan BANI
sebagaimana ditentukan dalam Pasal 21 ayat 2 Perjanjian Sewa yang
ditandatangani kedua belah pihak.
Sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, fokus klausul atau perjanjian
arbitrase ditujukan pada masalah penyelesaian sengketa yang timbul dari
perjanjian pokok, baik wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Klausul
atau perjanjian arbitrase bukan perjanjian bersyarat. Pelaksanaan klausul atau
perjanjian arbitrase tidak digantungkan pada suatu hal tertentu yang terjadi di
masa mendatang. Klausul atau perjanjian arbitrase tidak menjadi berlaku apabila
sengketa yang timbul akibat dari kelalaian salah satu pihak dalam perjanjian
pokok. Klausul arbitase menjadi perjanjian guna menegakkan kembali hak-hak
para pihak atas perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh salah satu pihak.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
99
Universitas Indonesia
Sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa yang secara absolut berada
di luar pengadilan negeri, jelas penyelesaian sengketa perbuatan melawan hukum
dalam perkara ini menjadi kompetensi absolut arbitrase karena telah diperjanjikan
oleh para pihak. Sengketa perbuatan melawan hukum antara PT. Plaza Indonesia
Realty Tbk dan PT. Istana Noodle House merupakan kewenangan mutlak badan
abitrase yaitu BANI.
Sebagaimana telah ditentukan dalam UU Arbitrase dan APS, pengadilan
negeri tidak berwenang memeriksa dan memutus sengketa yang timbul dari para
pihak yang terikat dengan klausul arbitrase. Dasar hukum tersebut ditentukan
dalam Pasal 3 dan 11 UU Arbitrase dan APS. Pasal 3 UU Arbitrase dan APS
menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa
para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase. Selanjutnya Pasal 11 UU
Arbitrase dan APS kembali mempertegasnya.
Meskipun Pasal 5 UU Arbitrase dan APS tidak menyebutkan secara jelas
bahwa sengketa perbuatan melawan hukum adalah obyek sengketa yang dapat
diperiksa dan diputus oleh arbitrase, namun yang menjadi obyek dari arbitrase
adalah sengketa keperdataan secara luas, meliputi bidang perdagangan, mengenai
hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.
Jika merujuk Pasal 6 ayat 1 UU Arbitrase dan APS yang menyatakan
bahwa sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak
melalui alternatif penyelesaian sengketa dengan mengesampingkan penyelesaian
secara litigasi di Pengadilan Negeri, 148
maka sengketa perbuatan melawan hukum
dapat diajukan pada arbitrase. Sejauh sengketa yang diajukan pada arbitrase
148 Pasal 6 ayat 1 UU Arbitrase dan APS:
Sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui
alternatif penyelesaian sengketa yang didasarkan pada itikad baik dengan
mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
100
Universitas Indonesia
adalah sengketa perdata, sengketa tersebut menjadi kewenangan arbitrase sebagai
lembaga penyelesaian sengketa di luar Pengadilan Negeri.
Selanjutnya berdasarkan asas pacta sunt servanda pada Pasal 1338
KUHPerdata, klausul atau perjanjian arbitrase yang telah dibuat secara sah
mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan harus
dipatuhi. Sehingga apapun jenis sengketa yang timbul dari perjanjian yang
mengandung klausul arbitrase yang dibuat oleh para pihak menjadi kompetensi
absolut arbitrase.
Putusan Majelis Hakim dalam perkara ini selaras dengan sikap dan
komitmen Mahkamah Agung. Melalui Pasal 1 huruf a Petunjuk Mahkamah
Agung tentang Tehnis Yudisial dan Manajemen Peradilan yang disampaikan
dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI di Denpasar yang dilaksanakan
pada 18-22 September 2005, Mahkmah Agung memerintahkan bahwa Pengadilan
Negeri/Umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara yang para
pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase, walaupun hal tersebut didasarkan
pada gugatan perbuatan melawan hukum.149
Jika terdapat klausula atau perjanjian arbitrase di antara para pihak, maka
penyelesaian sengketa perdagangan dan hak mutlak dapat diserahkan kepada
arbitrase. Tidak ada batas mengenai sengketa perdata jenis apa yang dapat
diperiksa dan diputus melalui arbitrase.
4.5. Putusan Mahkamah Agung No.182PK/Pdt/2006
PT. Armada Eka Llyod mengadakan perjanjian sewa-menyewa (time
charter) kapal M.V. Master Pioneer tanggal 12 Juli 1994 dengan Samsung
Shipping Corporation. Dalam perjanjian tersebut, Samsung Shipping Corporation
menempatkan dirinya sebagi pemilik kapal. Disepakati bahwa jangka waktu sewa
149 Pengadilan Negeri Sleman. Loc.Cit.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
101
Universitas Indonesia
kapal adalah 15 hari dengan biaya sewa sebesar USD 7500/hari. Biaya sewa
tersebut kemudian telah dibayar PT. Armada Eka Llyod.
Setelah penandatanganan perjanjian time charter di atas, kapal di bawah
pimpinan Capt. Elosoo M Pusyo pada 24 Juli 1995 mulai memuat barang dari
Qing Dao untuk tujuan Jakarta dan Surabaya. Kemudian memuat pula barang dari
Shanghai pada 31 Juli 1995 untuk tujuan yang sama.
Setelah kapal M.V. Master Pioneer berlayar meninggalkan Shanghai, PT.
Armada Eka Llyod mendapat kabar bahwa kedua generator terbakar dan
mengakibatkan kapal kehilangan daya listrik sehingga tidak dapat berlayar dan
memerlukan bantuan untuk digandeng di Singapura. Terjadi pembuangan
sebagian muatan ke laut dan pembongkaran muatan tidak pada pelabuhan tujuan
asal.
PT. Armada Eka Llyod kemudian mencari informasi dan menemukan
fakta bahwa Samsung Shipping Corporation ternyata bukan pemilik kapal M.V.
Master Pioneer. Kapal tersebut sebenarnya milik Master Ocean Shipping (TD)
Monrobia Liberia. Fakta lain yang diketahui dari laporan keadaan kapal dan
muatan adalah bahwa ternyata tidak ada keadaan darurat yang dapat
membahayakan kapal dan muatannya.
Atas fakta tersebut PT. Armada Eka Llyod mengajukan gugatan terhadap
Samsung Shipping Corporation, Capt. Elosoo M Pusyo dan Master Ocean
Shipping (TD) Monrobia Liberia ke Pengadilan Negeri Jakarta Pusat karena
perbuatan melawan hukum yang mereka lakukan. PT. Armada Eka Llyod merasa
dibohongi oleh Samsung Shipping Corporation yang di awal perjanjian
menyatakan sebagai pemilik kapal M.V. Master Pioneer dan merasa dibohongi
oleh Capt. Elosoo M Pusyo yang melakukan tindakan pembuangan dan
pembongkaran muatan padahal tidak ada keadaan darurat yang membahayakan
kapal. Atas perbuatan melawan hukum tersebut, PT. Armada Eka Llyod
mengalami kerugian.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
102
Universitas Indonesia
Terhadap gugatan tersebut, Samsung Shipping Corporation mengajukan
eksepsi kompetensi absolut dengan dalil Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak
berwenang mengadili perkara tersebut. Hal ini disebabkan bahwa dalam
perjanjian sewa-menyewa (time charter) di antara para pihak terdapat klausul
arbitrase.
Bahwa Pasal 17 perjanjian sewa-menyewa Charter Party tertanggal 12 Juli
1995 menetapkan bahwa segala perselisihan yang timbul didasarkan perjanjian
tersebut harus diajukan pada Arbitrase di London dengan cara yang ditentukan
secara lebih terperinci dalam perjanjian tersebut. Pasal ini berbunyi sebagai
berikut :
“That should any dispute arise between owners and the Charterers, the
matter in dispute shall be reffered to three persons at London, one person
to be appointed by each of the parties hereto, and the third party by the
two so chosen, their decision or that of any two of them, shall be final, and
for the purpose of enforcing any award, this agreement may be made a
rule of court. The arbitrator shall be commercial men”
Oleh karena gugatan PT. Armada Eka Llyod adalah terkait pelaksanaan
perjanjian sewa-menyewa (charter party ) kapal M.V. Master Pioneer yang di
tuangkan dalam Charter Party tertanggal 12 Juli 1995, maka menurut Samsung
Shipping Corporation yang berwenang mengadili sengketa di antara keduanya
adalah lembaga arbitrase di London. Bahkan Samsung Shipping Corporation telah
mengajukan permohonan arbitrase di London dan mendapatkan putusan pada
tanggal 29 November 1995.
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat memutus gugatan tersebut dengan
Putusan No.497/Pdt.G/1995/PN.Jkt.Pst tanggal 24 April 1996. Dalam
putusannya, Majelis Hakim memutuskan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat tidak
berwenang memeriksa dan mengadili gugatan perbuatan melawan hukum yang
timbul dari perjanjian sewa-menyewa kapal M.V. Master Pioneer.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
103
Universitas Indonesia
PT. Armada Eka Llyod mengajukan banding atas putusan tersebut ke
Pengadilan Tinggi DKI Jakarta. Majelis Hakim di tingkat pengadilan banding
dalam Putusan No.292/Pdt/1997/PT.DKI tanggal 18 Juni 1997 memutuskan
menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.
PT. Armada Eka Llyod kembali mengajukan upaya hukum kasasi ke
Mahkamah Agung. Namun permohonan kasasi tersebut ditolak dengan Putusan
Kasasi Mahkamah Agung No.1246K/Pdt/2000.
Upaya terakhir dilakukan oleh PT. Armada Eka Llyod dengan mengajukan
peninjauan kembali. Dalam Putusan No.182PK/Pdt/2006 tertanggal 26 Juni 2009,
Mahkamah Agung memutuskan menolak permohonan peninjauan kembali
tersebut.
Dalam perkara ini, sikap Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri konsisten untuk menyatakan tidak berwenang mengadili
sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari perjanjian sewa menyewa
dengan klausul arbitrase di dalamnya. Judex Factie dan Judex Juris telah
menghormati klausul arbitrase yang disepakati oleh para pihak.
Sikap dan pendapat Judex Factie dan Judex Juris dalam perkara ini adalah
tepat. Memang secara absolut, kewenangan memeriksa dan mengadili sengketa
yang timbul di antara PT. Armada Eka Llyod dan Samsung Shipping Corporation
termasuk perbuatan melawan hukum, adalah menjadi kewenangan arbitrase di
London sebagaimana ditentukan dalam Pasal 17 perjanjian sewa-menyewa
Charter Party tertanggal 12 Juli 1995 yang ditandatangani kedua belah pihak.
Sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa yang secara absolut berada
diluar pengadilan negeri, jelas penyelesaian sengketa perbuatan melawan hukum
dalam perkara ini menjadi kompetensi absolut arbitrase karena telah diperjanjikan
oleh para pihak. Sengketa perbuatan melawan hukum antara PT. Armada Eka
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
104
Universitas Indonesia
Llyod dan Samsung Shipping Corporation merupakan kewenangan mutlak badan
abitrase di London.
Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dalam
perkara ini memutus sesuai dengan ketentuan UU Arbitrase dan APS dalam Pasal
3, yang telah secara tegas menyatakan bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang
untuk mengadili sengketa para pihak yang terikat dalam perjanjian arbitrase.
Putusan tersebut juga sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU Arbitrase dan APS.
Meskipun Pasal 5 UU Arbitrase dan APS tidak menyebutkan secara jelas
bahwa sengketa perbuatan melawan hukum adalah obyek sengketa yang dapat
diperiksa dan diputus oleh arbitrase, namun putusan Mahkamah Agung,
Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri dalam perkara ini menunjukan bahwa
yang menjadi obyek dari arbitrase adalah sengketa keperdataan secara luas.
Putusan Judex Factie dan Judex Juris selaras dengan ketentuan Pasal 6
ayat 1 UU Arbitrase dan APS yang menyatakan bahwa sengketa atau beda
pendapat perdata dapat diselesaikan oleh para pihak melalui alternatif
penyelesaian sengketa dengan mengesampingkan penyelesaian secara litigasi di
Pengadilan Negeri. Jika merujuk pada Pasal 6 ayat 1 UU Arbitrase dan APS ini
maka dapat disimpulkan bahwa sengketa perbuatan melawan hukum dapat
diajukan pada arbitrase. Sejauh sengketa yang diajukan pada arbitrase adalah
sengketa perdata, sengketa tersebut menjadi kewenangan arbitrase sebagai
lembaga penyelesaian sengketa di luar Pengadilan Negeri.
Asas pacta sunt servanda yang terdapat dalam Pasal 1338 KUHPerdata
mengandung ketentuan bahwa setiap perjanjian mengikat kepada para pihak,
kekuatan mengikatnya serupa dengan ketentuan undang-undang, dan hanya dapat
ditarik kembali atas persetujuan bersama para pihak. Berdasarkan prinsip pacta
sunt servanda ini, maka setiap perjanjian yang memuat klausul arbitrase adalah
mengikat secara mutlak kepada para pihak dan kewenangan memeriksa dan
memutus sengketa yang timbul menjadi kewenangan absolut arbitrase.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
105
Universitas Indonesia
Sikap Judex Factie dan Judex Juris selanjutnya juga sesuai dengan
Petunjuk Mahkamah Agung tentang Tehnis Yudisial dan Manajemen Peradilan
yang diberikan dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI di Denpasar
pada 18-22 September 2005. Mahkamah Agung mempertegas sikapnya dalam
menghormati eksistensi lembaga arbitrase sebagai penyelesaian sengketa di luar
pengadilan dengan menentukan dalam Pasal 1 huruf a yang memerintahkan
bahwa Pengadilan Negeri/Umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara
yang para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase, walaupun hal tersebut
didasarkan pada gugatan perbuatan melawan hukum.150
Klausula arbitrase dalam suatu kontrak atau perjanjian arbitrase di antara
para pihakmembawa akibat hukum bahwa penyelesaian sengketa perdagangan
dan hak mutlak dapat diserahkan kepada arbitrase. Tidak ada batas mengenai
sengketa perdata jenis apa yang dapat diperiksa dan diputus melalui arbitrase.
4.6. Putusan Mahkamah Agung No.182PK/Pdt/2011
Dalam perkara ini, sengketa terjadi di antara Persekutuan Perdata
Dermawan Nugroho & Co melawan PT. Landmark dan Henry Onggo. Keduanya
terikat perjanjian sewa Lease of Landmark Center Part of Lobby Floor Between
PT. Landmark and Dermawan & Co, tanggal 1 Agustus 2001. Dalam perjanjian
sewa tersebut, Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co mendepositkan
uang tunai sejumlah USD 21.472,80 kepada PT. Landmark dan Henry Onggo.
Gugatan dalam perkara ini diajukan karena PT. Landmark dan Henry
Onggo dianggap telah melakukan perbuatan melawan hukum terhadap
Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co karena telah menahan dan tidak
kunjung mengembalikan deposit dalam bentuk uang tunai tersebut kepada
Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co. Padahal Persekutuan Perdata
150 Pengadilan Negeri Sleman. Loc.Cit.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
106
Universitas Indonesia
Dermawan Nugroho & Co telah meminta mereka untuk mengembalikannya.
Gugatan tersebut diajukan oleh Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co ke
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan.
PT. Landmark dan Henry Onggo mengajukan eksepsi kompetensi absolut
atas gugatan tersebut. Yang menjadi dasar dari eksepsinya adalah klausul arbitrase
dalam Pasal XVI Perjanjian Sewa Lease of Landmark Center Part of Lobby Floor
Between PT. Landmark and Dermawan & Co, tanggal 1 Agustus 2001. Dalam
klausul arbitrase tersebut ditentukan bahwa BANI adalah lembaga penyelesaian
sengketa yang berwenang atas timbulnya suatu sengketa dari perjanjian tersebut.
Dalam Putusan Sela No.751/Pdt.G/2005/PN.Jkt.Sel. tanggal 28 Maret
2006, Pengadilan Negeri Jakarta Selatan memutus mengabulkan eksepsi dari PT.
Landmark dan Henry Onggo. Majelis Hakim menyatakan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili perkara perdata tersebut dan menolak
gugatan yang diajukan oleh Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co.
Sikap dan pandangan serupa dilakukan oleh Pengadilan Tinggi DKI
Jakarta ketika Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co melakukan upaya
hukum banding. Dalam Putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta
No.64/Pdt/2008/PT.DKI tanggal 24 Juli 2008, Judex Factie tingkat banding
memutus bahwa Pengadilan Negeri Jakarta Selatan tidak berwenang mengadili
perkara gugatan Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co.
Dalam kasasi, putusan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta kembali dikuatkan
dengan Putusan Kasasi Mahkamah Agung No.1034K/Pdt/2009 tanggal 7
Desember 2009. Kasasi yang diajukan oleh Persekutuan Perdata Dermawan
Nugroho & Co ditolak oleh Majelis Hakim Judex Juris.
Upaya peninjauan kembali yang dilakukan oleh Persekutuan Perdata
Dermawan Nugroho & Co disikapi sama oleh Majelis Hakim yang diketuai oleh
Dr. Harifin M. Tumpa, S.H., M.H. dengan anggota H. Muhamad Taufik, S.H.,
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
107
Universitas Indonesia
M.H., dan H. Dirwoto, S.H. Dalam Putusan Mahkamah Agung
No.182PK/Pdt/2011 tertanggal 28 September 2011, Majelis Hakim juga
memutuskan menolak permohonan peninjauan kembali yang diajukan oleh
Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co melawan PT. Landmark dan
Henry Onggo.
Pendapat yang menjadi dasar pertimbangan Majelis Hakim adalah bahwa
meskipun maksud dan tujuan Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co
adalah mengenai perbuatan melawan hukum PT. Landmark dan Henry Onggo
menahan uang titipan sebesar USD 21.472,80, akan tetapi tindakan tersebut masih
dalam bentuk adanya perselisihan (sengketa) yang harus diselesaikan berdasarkan
klausula arbitrase Pasal XVI Perjanjian Sewa Lease of Landmark Center Part of
Lobby Floor Between PT. Landmark and Dermawan & Co, tanggal 1 Agustus
2001. Oleh karenanya, permohonan peninjauan kembali tersebut ditolak.
Dalam perkara ini, sikap Mahkamah Agung, Pengadilan Tinggi dan
Pengadilan Negeri kembali konsisten untuk menyatakan tidak berwenang
mengadili sengketa perbuatan melawan hukum yang timbul dari perjanjian sewa
dengan klausul arbitrase di dalamnya. Judex Factie dan Judex Juris telah
menghormati klausul arbitrase yang disepakati oleh PT. Landmark dan
Persekutuan Perdata Dermawan Nugroho & Co.
Sikap dan pendapat Judex Factie dan Judex Juris dalam perkara ini adalah
tepat. Hal ini dikarenakan bahwa memang secara absolut, kewenangan memeriksa
dan mengadili sengketa yang timbul di antara Persekutuan Perdata Dermawan
Nugroho & Co dan PT. Landmark yang termasuk sengketa perbuatan melawan
hukum, adalah menjadi kewenangan BANI sebagaimana ditentukan dalam Pasal
XVI Perjanjian Sewa Lease of Landmark Center Part of Lobby Floor Between
PT. Landmark and Dermawan & Co, tanggal 1 Agustus 2001 yang ditandatangani
kedua belah pihak.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
108
Universitas Indonesia
Sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa yang secara absolut berada
di luar pengadilan negeri, jelas penyelesaian sengketa perbuatan melawan hukum
dalam perkara ini menjadi kompetensi absolut arbitrase karena telah diperjanjikan
oleh para pihak. Sengketa perbuatan melawan hukum antara Persekutuan Perdata
Dermawan Nugroho & Co dan PT. Landmark merupakan kewenangan mutlak
BANI.
Dasar hukum keberadaan arbitrase dan kewenangan absolutnya adalah UU
Arbitrase dan APS. Dalam Pasal 3 UU Arbitrase dan APS diatur secara jelas
bahwa Pengadilan Negeri tidak berwenang untuk mengadili sengketa para pihak
yang terikat dalam perjanjian arbitrase. Ketentuan tersebut dipertegas dalam
rumusan Pasal 11 UU Arbitrase dan APS.
Sengketa yang diselesaikan di arbitrase adalah sengketa keperdataan, baik
berbentuk wanprestasi maupun perbuatan melawan hukum. Meskipun Pasal 5 UU
Arbitrase dan APS tidak menyebutkan secara jelas bahwa sengketa perbuatan
melawan hukum adalah obyek sengketa yang dapat diperiksa dan diputus oleh
arbitrase, namun yang menjadi obyek dari arbitrase adalah sengketa keperdataan
secara luas, meliputi bidang perdagangan, mengenai hak yang menurut hukum
dan peraturan perundang-undangan dikuasai sepenuhnya oleh pihak yang
bersengketa serta sengketa yang menurut peraturan perundang-undangan dapat
diadakan perdamaian.
Selanjutnya merujuk pada Pasal 6 ayat 1 UU Arbitrase dan APS yang
menyatakan bahwa sengketa atau beda pendapat perdata dapat diselesaikan oleh
para pihak melalui alternatif penyelesaian sengketa dengan mengesampingkan
penyelesaian secara litigasi di Pengadilan Negeri, maka dapat disimpulkan jika
sengketa perbuatan melawan hukum dapat diajukan pada arbitrase. Hal ini karena
sejauh sengketa yang diajukan pada arbitrase adalah sengketa perdata, maka
sengketa tersebut menjadi kewenangan arbitrase sebagai lembaga penyelesaian
sengketa di luar Pengadilan Negeri.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
109
Universitas Indonesia
Asas pacta sunt servanda dalam Pasal 1338 KUHPerdata yang
menentukan bahwa setiap perjanjian mengikat kepada para pihak serupa dengan
ketentuan undang-undangmemberi akibat hukum bahwa setiap perjanjian yang
memuat klausul arbitrase adalah mengikat secara mutlak kepada para pihak
selayaknya undang-undang. Sehingga kewenangan memeriksa dan memutus
segala sengketa yang timbul dari perjanjian yang memuat klausul arbitrase
menjadi kewenangan absolut arbitrase.
Sikap Judex Factie dan Judex Juris dalam perkara ini kembali sesuai
dengan Petunjuk Mahkamah Agung tentang Teknis Yudisial dan Manajemen
Peradilan dalam Rapat Kerja Nasional Mahkamah Agung RI di Denpasar yang
terlaksana pada 18-22 September 2005 yang menghormati klausul arbitrase.
Dalam ketentuan umumnya di Pasal 1 huruf a, Mahkamah Agung menentukan
bahwa Pengadilan Negeri/Umum tidak berwenang untuk mengadili suatu perkara
yang para pihaknya terikat dalam perjanjian arbitrase, meskipun hal tersebut
didasarkan pada gugatan perbuatan melawan hukum.151
Dalam hal terdapat klausula atau perjanjian arbitrase di antara para pihak,
maka penyelesaian sengketa perdagangan dan hak mutlak dapat diserahkan
kepada arbitrase. Sengketa di antara para pihak tersebut menjadi kewenangan
absolut arbitrase untuk memeriksa dan memutusnya. Tidak ada ketentuan
mengenai batas sengketa perdata jenis apa yang dapat diperiksa dan diputus
melalui arbitrase.
151 Pengadilan Negeri Sleman. Loc.Cit.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
110
Universitas Indonesia
BAB 5
PENUTUP
5.1. Kesimpulan
Arbitrase sebagai suatu lembaga penyelesaian sengketa yang berada di luar
pengadilan negeri, memiliki kewenangan absolut dalam memeriksa dan mengadili
sengketa yang timbul dari para pihak yang terikat dengan klausul atau perjanjian
arbitrase. Berdasarkan UU Arbitrase dan APS, arbitrase berwenang memeriksa
dan memutus sengketa keperdataan secara luas, meliputi bidang perdagangan,
mengenai hak yang menurut hukum dan peraturan perundang-undangan dikuasai
sepenuhnya oleh pihak yang bersengketa serta sengketa yang menurut peraturan
perundang-undangan dapat diadakan perdamaian.
Berdasarkan asas pacta sunt servanda yang terdapat dalam Pasal 1338
KUHPerdata, klausul atau perjanjian arbitrase yang telah dibuat secara sah
mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya dan harus
dipatuhi. Sehingga apapun jenis sengketa yang timbul dari perjanjian yang
mengandung klausul arbitrase yang dibuat oleh para pihak dapat menjadi
kompetensi arbitrase. Sejauh sengketa yang diajukan pada arbitrase adalah
sengketa perdata, baik sengketa tersebut adalah perbuatan melawan hukum atau
wanprestasi, maka sengketa tersebut menjadi kewenangan arbitrase, kecuali
secara tegas ditentukan dan diatur lain oleh Undang-Undang.
Sikap dan pendapat pengadilan masih beragam terhadap sengketa
perbuatan melawan hukum yang timbul dari suatu transaksi atau kontrak yang
didalamnya terdapat klausul arbitrase. Masih dijumpai dalam beberapa putusan
pengadilan yang menyatakan Pengadilan Negeri berwenang memeriksa dan
mengadili suatu sengketa perbuatan melawan hukum yang terjadi di antara para
pihak yang terikat dengan klausul atau perjanjian arbitrase.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
111
Universitas Indonesia
Badan peradilan di bawah Mahkamah Agung masih belum satu suara
dalam mengakui keberadaan arbitrase sebagai lembaga penyelesaian alternatif di
luar pengadilan absolut. Beberapa hakim pengadilan masih mempunyai pendapat
bahwa arbitrase hanya berwenang memeriksa dan mengadili sengketa wanprestasi
yang timbul dari kontrak dengan klausul arbitrase. Perbuatan melawan hukum
dipandang sebagai perbuatan yang tidak terkait dengan klausul atau perjanjian
arbitrase di antara para pihak. Meskipun demikian, dalam beberapa putusan
pengadilan lain terdapat beberapa sikap berbeda yang menghormati kewenangan
absolut arbitrase dalam memeriksa sengketa perdata berupa sengketa perbuatan
melawan hukum.
5.2. Saran
Kewenangan arbitrase dalam memeriksa dan memutus sengketa perbuatan
melawan hukum adalah suatu hal yang memang tidak disebutkan secara eksplisit
di dalam UU Arbitrase dan APS. Meskipun demikian, pengadilan harus konsisten
dalam menghormati keberadaan klausul arbitrase dalam dalam suatu kontrak yang
mengandung klausul arbitrase atau perjanjian arbitrase. Pengadilan memiliki
kewajiban berdasarkan undang-undang untuk menghormati arbitrase sebagai
suatu lembaga penyelesaian sengketa di luar pengadilan negeri yang secara
absolut dan mandiri memiliki kewenangan sendiri dalam memeriksa dan
mengadili suatu sengketa perdata.
Sengketa perdata yang menjadi kewenangan arbitrase sama dengan apa
yang menjadi kewenangan Pengadilan Negeri. Oleh karenanya, pengadilan harus
menghormati klausul arbitrase dan menyatakan diri tidak berwenang memeriksa
dan mengadili sengketa perbuatan melawan hukum yang diajukan oleh para pihak
yang telah terikat dengan kontrak yang didalamnya terdapat klausul arbitrase atau
perjanjian arbitrase. Hal ini demi terwujudnya kepastian hukum di Indonesia
terkait dengan tujuan dari dibentuknya arbitrase, yaitu sebagai lembaga
penyelesaian sengketa di luar pengadilan yang mandiri untuk menyelesaikan
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
112
Universitas Indonesia
perselisihan dalam bidang perdagangan dan hak yang dikuasai sepenuhnya oleh
para pihak.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrasyid, Priyatna. Arbitrase & Alternatif Penyelesaian Sengketa Suatu
Pengantar, Cetakan Kesatu, PT. Fikahati Aneska bekerjasama dengan
BANI, 2002.
Adolf, Huala. Hukum Arbitrase Komersial Internasional, Edisi 1 Cetakan 1,
Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 1994.
Agustina, Rosa. Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kesatu, Depok:Program
Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia.
Badrulzaman, dkk, Mariam Darus. Kompilasi Hukum Perikatan, Bandung :
PT.Citra Aditya Bakti, 2001.
Badrulzaman, Mariam Darus. K.U.H. Perdata Buku III Tentang Hukum
Perikatan Dengan Penjelasan. Edisi 2. Bandung: PT. Alumni, 2005.
Born, Gary B. International Commercial Arbitration in the United States
Commentary and Materials, Kluwer Law and Taxation Publishers, Deventer
The Netherland, 1994.
David, Rene. Arbitration in International Trade, Deventer/Netherlands : Kluwer
Law and Taxation Publishers, 1985.
Djojodirdjo, M.A. Moegni. Perbuatan Melawan Hukum, Cetakan Kedua, Jakarta:
Pradnya Paramita, 1982.
Fuady, Munir. Arbitrase Nasional:Alternatif Penyelesaian Sengketa Bisnis,
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999.
Fuady, Munir. Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Bandung :
Citra Aditya Bakti, 2001.
Fuady, Munir. Perbuatan Melawan Hukum (Pendekatan Kontemporer), Cetakan
Kedua, Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 2005.
Gaitskell, Robert. Engineers‟ Dispute Resolution Handbook, London : Thomas
Telford Publishing, 2006.
Garner, Bryan A. Black‟s Law Dictionary, Edisi Ketujuh, Minnesota : West
Group, 1999.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
113
Universitas Indonesia
Gautama, Sudargo. Arbitrase Dagang Internasional, Cetakan Kedua, Bandung :
Alumni, 1986.
Gautama, Sudargo. Undang-undang Arbitrase Baru 1999, Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti, 1999.
Harahap, Yahya. Arbitrase. Jakarta: Pustaka Kartini, 1991.
Harahap, Yahya. Segi-Segi Hukum Perjanjian, Cetakan Kedua, Bandung :
Alumni, 1986.
Kaligis, Otto Cornelis. Asas Kepatutan Dalam Arbitrase, Cetakan Kesatu, PT.
Alumni, Bandung, 2009.
Kansil, C.S.T. Pengantar Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, Jakarta : PN Balai
Pustaka, 1983.
Kohler, Gabrielle Kaufmann and Thomas Schults, Online Dispute Resolution:
Challenges for Contemporary Justice, Kluwer Law International, The
Hague, 2004.
Margono, Suyud. ADR & Arbitrase Proses Pelembagaan dan Aspek Hukum,
Cetakan Kedua, Bogor : Ghalia Indonesia, 2004.
Marzuki, Peter Mahmud. Penelitian Hukum, Cetakan Keenam, Jakarta : Kencana,
2010.
Mertokusumo, Sudikno. Hukum Acara Perdata Indonesia, Edisi Keempat,
Yogyakarta : Liberty, 1993.
Mertokusumo, Sudikno. Mengenal Hukum:Suatu Pengantar, Yogyakarta :
Penerbit Liberty, 1999.
Rahardjo, Handri. Hukum Perjanjian di Indonesia, Cetakan Kesatu, Yogyakarta:
Pustaka Yustisia, 2009.
Rajagukguk, Erman. Arbitrase Dalam Putusan Pengadilan, Jakarta : Chandra
Pratama, 2000.
S. Meliala, Djaja. Perkembangan Hukum Perdata Tentang Benda Dan Hukum
Perikatan. Cetakan Kesatu. Bandung: Nuansa Aulia, 2007.
Setiawan, Pokok-Pokok Hukum Perikatan, Cetakan Kesatu, Bandung : Bina
Cipta, 1977.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
114
Universitas Indonesia
Sjahdeini, Sutan Remy. Kebebasan Berkontrak Dan Perlindungan Yang
Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di
Indonesia, Jakarta : Institut Bankir Indonesia (IBI), 1993.
Sjahdeini, Sutan Remy. Penyelesaian Sengketa Perbankan Melalui Arbitrase,
Indonesia Arbitration Quarterly Newsletter Number 6/2009.
Sari, Elsi Kartika & Advendi Simangunsong. Hukum Dalam Ekonomi, Jakarta :
Grasindo, 2005.
Soekanto, Soerjono dan Sri Mamudji. Penelitian Hukum Normatif : Suatu
Tinjauan Singkat, Cetakan VI, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2001.
Soekanto, Soerjono. Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan Ketiga, Jakarta : UI
Press, 1985.
Subekti, R. Aneka Perjanjian, Cetakan Kesepuluh, Bandung : PT. Citra Aditya
Bakti, 1995.
Subekti, R. Arbitrase Perdagangan, Bandung : BinaCipta, 1981.
Subekti, R. Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional, Cetakan Kelima, Bandung :
PT. Citra Aditya Bakti, 1988.
Subekti, R. Hukum Perjanjian, Cetakan Ke-2, Jakarta: PT. Intermasa, 2005.
Sriro, Andrew L. Sriro‟s Desk Reference of Indonesian Law, Jakarta : Equinox
Publishing Jakarta Singapore, 2005.
Syahrani, Riduan. Seluk Beluk dan Azas-azas Hukum Perdata, Bandung : Alumni,
2000.
Syaifuddin, Muhammad. Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif
Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum
Perikatan), Bandung : CV. Mandar Maju, 2012.
Van Apeldoorn, L.J. Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta : Pradnya Paramita, 1981.
Peraturan perundang-undangan:
Indonesia. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata [Burgerlijk Wetboek],
diterjemahkan oleh Soedharyo Soimin. Cetakan Kedelapan. Jakarta : Sinar
Grafika, 2008.
Indonesia. Undang-Undang Tentang Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian
Sengketa. UU No. 30 tahun 1999. LN No. 138. Tahun 1999.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
115
Universitas Indonesia
Indonesia. Penjelasan Undang-Undang Tentang Arbitrase Dan Alternatif
Penyelesaian Sengketa. UU No. 30 tahun 1999. TLN No.3872. Tahun 1999.
Internet:
Adolf, Huala. (2008). “Indonesia: Arbitration under the Indonesian Investment
Law-Enactment of A Revised Investment Law in Indonesia”. 17 September
2008
<http://www.westlaw.com/>.
Asyrof, H.A.Mukhsin. “Membedah Perbuatan Melawan Hukum dan Wanprestasi
(Sebuah Kajian Elementer Hukum Normatif”). 17 Februari 2012
<http://www.badilag.net/data/ARTIKEL/VARIA%20MEMBEDAH%20PM
H%20DAN%20WANPRESTASI.pdf>.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia,
2008. 28 December 2012
<http://bahasa.cs.ui.ac.id/kbbi/kbbi.php?keyword=hak&varbidang=all&vard
ialek=all&varragam=all&varkelas=all&submit=kamus>.
Marwanto, Eko. (2011). “Arbitrase Dan Alternatif Penyelesaian Sengketa Dalam
Aspek Hukum Indonesia”. 17 Februari 2012
<http://www.ekomarwanto.com/2011/05/arbitrase-dan-alternatif-
penyelesaian.html>.
Huda,Farah. Arbitrase Internasional, 2012. 30 November 2012
<http://www.scribd.com/doc/45306921/Arbitrase-Internasional>.
Lubis, Todung Mulya. “Tantangan Global Penegakan Hukum, disampaikan pada
Seminar Visi 2020 Penegakan Hukum yang diadakan oleh SCTV dan
Jakarta Lawyers Club di Jakarta,”, 26 Mei 2005. 17 Januari 2012
<http://www.lsmlaw.co.id/article_detail.php?id=6>.
Pengadilan Negeri Sleman. Petunjuk Mahkamah Agung Berkaitan Dengan
Persoalan Teknis-Yudisial Yang Telah Dirumuskan Dalam Rakernas
Denpasar September 2005. 30 November 2012 <http://www.pn-
sleman.go.id/index.php/skrg-tahap-iii-reformasi-birokrasi-131/49-rakernas-
denpasar/rakernas-denpasar/126-petunjuk-ma-teknis-yudisial-perdata>.
Perserikatan Bangsa-Bangsa, “FAQ - UNCITRAL and Private Disputes /
Litigation”, United Nations Commission on International Trade Law. 3
Desember 2012
<http://www.uncitral.org/uncitral/en/uncitral_texts/arbitration_faq.html>.
“Putusan BANI „Digugat” Plaza Indonesia”, Senin, 22 Maret 2010. 18 Januari
2011
<http://hukumonline.com/berita/baca/lt4ba6dad8a30e2/putusan-bani-
digugat-plaza-indonesia>.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013
116
Universitas Indonesia
Santoso,Topo. “Penulisan Proposal Penelitian Hukum Normatif “. 2005. 22
Desember 2011
<http://staff.ui.ac.id/internal/132108639/material/PENULISANPROPOSAL
PENELITIANHUKUMNORMATIF1.pdf>.
Wisana, Feby., Sukarno Aburaera dan M. Said Karim, “Kewenangan Badan
Peradilan Memeriksa Sengketa Dengan Klausula.” 18 Januari 2011
<http://pasca.unhas.ac.id/jurnal/files/85987e0a735579aa1c407c750129c985.
pdf>.
Yuarta, Definisi Sengketa, 2011. 13 November 2012
<http://yuarta.blogspot.com/2011/03/definisi-sengketa.html>.
Putusan Pengadilan :
Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.454/Pdt.G/1999/PN.Jak.Sel.
Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.534/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel.
Putusan Sela Pengadilan Negeri Jakarta Selatan No.535/Pdt.G/2011/PN.Jkt.Sel.
Putusan BANI No.296/II/ARB-BANI/2009.
Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Pusat No.406/PDT.G/2009/PN.JKT.PST.
Putusan Mahkamah Agung No.182PK/Pdt/2006.
Putusan Mahkamah Agung No.182PK/Pdt/2011.
Kewenangan Arbitrase..., Meydora Cahya Nugrahenti, FH UI, 2013