kewajiban berjamaah

9
Kewajiban Berjama'ah at 12:04:00 PM Posted by Kang Yosep Saezh Pada perang Tabuk, ada beberapa sahabat yang tidak berangkat berperang. Salah satu di antara mereka adalah Ka’ab bin Malik. Marilah kita dengarkan cerita Ka’ab yang menunjukkan kejujuran imannya, usai turunnya pengampunan Allah atas dosanya. “Aku sama sekali tidak pernah absent mengikuti semua peperangan bersama Rasululah saw, kecuali dalam perang Tabuk. Perihal ketidakikutsertaanku dalam perang Tabuk itu adalah karena kelalaian diriku terhadap perhiasan dunia, ketika itu keadaan ekonomiku jauh lebih baik daripada hari-hari sebelumnya. Demi Allah, aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan onta, akan tetapi pada waktu peperangan itu aku memikinya. Sungguh, tidak pernah Rasullah saw. merencanakan suatu peperangan melainkan beliau merahasiakan hal itu, kecuali pada perang Tabuk ini. Peperangan ini, Rasulullah saw. lakukan dalam kondisi panas terik matahari gurun yang sangat menyengat, menempuh perjalanan nan teramat jauh, serta menghadapi lawan yang benar-benar besar dan tangguh. Jadi, rencananya jelas sekali bagi kaum muslimin untuk mempersiapkan diri masing-masing menuju suatu perjalanan dan peperangan yang jelas pula. Rasulullah saw. mempersiapkan pasukan yang akan berangkat. Aku pun mempersiapkan diri untuk ikut serta, tiba-tiba timbul pikiran ingin membatalkannya, lalu aku berkata dalam hati, “Aku bisa melakukannya kalau aku mau!” Akhirnya, aku terbawa oleh pikiranku yang ragu-ragu, hingga para pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah. Aku lihat pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah, maka timbul pikiranku untuk mengejar mereka, toh mereka belum jauh. Namun, aku tidak melakukannya, kemalasan menghampiri dan bahkan menguasai diriku. Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut. Akan tetapi, sungguh aku merasakan penderitaan batin sejak Rasulullah saw. meninggalkan Madinah. Bila aku keluar rumah, maka di jalan-jalan aku merasakan keterkucilan diri sebab aku tidak melihat orang kecuali orang-orang yang diragukan keislamannya. Merekalah orang-orang yang sudah mendapatkan rukhshah atau ijinAllah Ta’ala untuk uzur atau kalau tidak demikian maka

Upload: cikgu-nor-ummu-iman

Post on 08-Aug-2015

79 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: Kewajiban Berjamaah

Kewajiban Berjama'ahat 12:04:00 PM

Posted by Kang Yosep Saezh

Pada perang Tabuk, ada beberapa sahabat yang tidak berangkat berperang. Salah satu di antara

mereka adalah Ka’ab bin Malik. Marilah kita dengarkan cerita Ka’ab yang menunjukkan kejujuran

imannya, usai turunnya pengampunan Allah atas dosanya.

“Aku sama sekali tidak pernah absent mengikuti semua peperangan bersama Rasululah saw, kecuali

dalam perang Tabuk. Perihal ketidakikutsertaanku dalam perang Tabuk itu adalah karena kelalaian

diriku terhadap perhiasan dunia, ketika itu keadaan ekonomiku jauh lebih baik daripada hari-hari

sebelumnya. Demi Allah, aku tidak pernah memiliki barang dagangan lebih dari dua muatan onta,

akan tetapi pada waktu peperangan itu aku memikinya.

Sungguh, tidak pernah Rasullah saw. merencanakan suatu peperangan melainkan beliau

merahasiakan hal itu, kecuali pada perang Tabuk ini. Peperangan ini, Rasulullah saw. lakukan dalam

kondisi panas terik matahari gurun yang sangat menyengat, menempuh perjalanan nan teramat jauh,

serta menghadapi lawan yang benar-benar besar dan tangguh. Jadi, rencananya jelas sekali bagi

kaum muslimin untuk mempersiapkan diri masing-masing menuju suatu perjalanan dan peperangan

yang jelas pula.

Rasulullah saw. mempersiapkan pasukan yang akan berangkat. Aku pun mempersiapkan diri untuk

ikut serta, tiba-tiba timbul pikiran ingin membatalkannya, lalu aku berkata dalam hati, “Aku bisa

melakukannya kalau aku mau!”

Akhirnya, aku terbawa oleh pikiranku yang ragu-ragu, hingga para pasukan kaum muslimin mulai

meninggalkan Madinah. Aku lihat pasukan kaum muslimin mulai meninggalkan Madinah, maka

timbul pikiranku untuk mengejar mereka, toh mereka belum jauh. Namun, aku tidak melakukannya,

kemalasan menghampiri dan bahkan menguasai diriku.

Tampaknya aku ditakdirkan untuk tidak ikut. Akan tetapi, sungguh aku merasakan penderitaan batin

sejak Rasulullah saw. meninggalkan Madinah. Bila aku keluar rumah, maka di jalan-jalan aku

merasakan keterkucilan diri sebab aku tidak melihat orang kecuali orang-orang yang diragukan

keislamannya. Merekalah orang-orang yang sudah mendapatkan rukhshah atau ijinAllah Ta’ala untuk

uzur atau kalau tidak demikian maka mereka adalah orang-orang munafik. Padahal, aku merasakan

bahwa diriku tidak termasuk keduanya.

Page 2: Kewajiban Berjamaah

Konon, Rasulullah saw. tidak menyebut-nyebut namaku sampai ke Tabuk. Setibanya di sana, ketika

beliau sedang duduk-duduk bersama sahabatnya, beliau bertanya, “Apa yang dilakukan Ka’ab bin

Malik?”

Seorang dari Bani Salamah menjawab, “Ya Rasulullah, ia ujub pada keadaan dan dirinya!” Mu’az bin

Jabal menyangkal, “Buruk benar ucapanmu itu! Demi Allah, ya Rasulullah, aku tidak pernah mengerti

melainkan kebaikannya saja!”Rasulullahsaw. hanya terdiam saja.

Beberapa waktu setelah berlalu, aku mendengar Rasulllah saw. kembali dari kancah jihad Tabuk. Ada

dalam pikiranku berbagai desakan dan dorongan untuk membawa alasan palsu ke hadapan

Rasulullah saw., bagaimana caranya supaya tidak terkena marahnya? Aku minta pandapat dari

beberapa orang keluargaku yang terkenal berpikiran baik. Akan tetapi, ketika aku mendengar Nabi

saw., segera tiba di Madinah, lenyaplah semua pikiran jahat itu. Aku merasa yakin bahwa aku tidak

akan pernah menyelamatkan diri dengan kebatilan itu sama sekali. Maka, aku bertekad bulat akan

menemui Rasulullah saw. dan mengatakan dengan tidak sebenarnya.

Pagi-pagi, Rasulullah saw. memasuki kota Madinah. Sudah menjadi kebiasaan, kalau beliau kembali

dari suatu perjalanan, pertama masuk ke masjid dan shalat dua rakaat. Demikian pula usai dari

Tabuk, selesai shalat beliau kemudian duduk melayani tamu-tamunya. Lantas, berdatanganlah orang-

orang yang tidak ikut perang Tabuk dengan membawa alasan masing-masing diselingi sumpah palsu

untuk menguatkan alasan mereka. Jumlah mereka kira-kira delapan puluhan orang. Rasulullah saw.

menerima alasan lahir mereka; dan mereka pun memperbaharui baiat setia mereka. Beliau

memohonkan ampunan bagi mereka dan menyerahkan soal batinnya kepada Allah. Tibalah giliranku,

aku datang mengucapkan salam kepada beliau. Beliau membalas dengan senyuman pula, namun jelas

terlihat bahwa senyuman beliau adalah senyuman yang memendam rasa marah. Beliau kemudian

berkata, “Kemarilah!”

Aku pun menghampirinya, lalu duduk di hadapannya. Beliau tiba-tiba bertanya, “Wahai Ka’ab,

mengapa dirimu tidak ikut? Bukankah kau telah menyatakan baiat kesetianmu?”

Aku menjawab, “Ya Rasulullah! Demi Allah. Kalau duduk di hadapan penduduk bumi yang lain,

tentulah aku akan berhasil keluar dari amarah mereka dengan berbagai alasan dan dalil lainnya.

Namun, demi Allah. Aku sadar kalau aku berbicara bohong kepadamu dan engkau pun menerima

alasan kebohonganku, aku khawatir Allah akan membenciku. Kalau kini aku bicara jujur, kemudian

Page 3: Kewajiban Berjamaah

karena itu engkau marah kepadaku, sesungguhnya aku berharap Allah akan mengampuni

kealpaanku. Ya Rasululah saw., demi Allah, aku tidak punya uzur. Demi Allah, keadaan ekonomiku

aku tidak pernah stabil disbanding tatkala aku mengikutimu itu!”

Rasulullah berkata, “Kalau begitu, tidak salah lagi. Kini, pergilah kau sehingga Allah menurunkan

keputusan-Nya kepadamu!”

Aku pun pergi diikuti oleh orang-orang Bani Salamah. Mereka berkata kepada, “Demi Allah. Kami

belum pernah melihatmu melakukan dosa sebelum ini. Kau tampaknya tidak mampu membuat-buat

alasan seperti yang lain, padahal dosamu itu sudah terhapus oleh permohonan ampun Rasulullah!”

Mereka terus saja menyalahkan tindakanku itu hingga ingin rasanya aku kembali menghadap

Rasullah saw. untuk membawa alasan palsu, sebagaimana orang lain melakukannya.

Aku bertanya kapada mereka, “Apakah ada orang yang senasib denganku?”

Mereka menjawab, “Ya! Ada dua orang yang jawabannya sama dengan apa yang kau perbuat.

Sekarang mereka berdua juga mendapat keputusan yang sama dari Rasulullah sebagaimana

keadaanmu sekarang!”

Aku bertanya lagi, “Siapakah mereka itu?”

Mereka menjawab, “Murarah bin Rabi’ah Al-Amiri dan Hilal bin Umayah Al-Waqifi.”

Mereka menyebutkan dua nama orang shalih yang pernah ikut dalam perang Badr dan yang patut

diteladani. Begitu mereka menyebutkan dua nama orang itu, aku bergegas pergi menemui mereka.

Tak lama setelah itu, aku mendengar Rasululah melarang kaum muslimin berbicara dengan kami

bertiga, di antara delapan puluhan orang yang tidak ikut dalam perang tersebut.

Kami mengucilkan diri dari masyarakat umum. Sikap mereka sudah lain kapada kami sehingga

rasanya aku hidup di suatu negeri yang lain dari negeri yang aku kenal sebelumnya. Kedua rekanku

itu mendekam di rumah masing-masing menangisi nasib dirinya, tetapi aku yang paling kuat dan

tabah di antara mereka. Aku keluar untuk shalat jamaah dan kaluar masuk pasar meski tidak seorang

pun yang mau berbicara denganku atau menanggapi bicaraku. Aku juga datang ke majilis Rasullah

saw. sesudah beliau shalat. Aku mengucapkan salam kepada beliau, sembari hati kecilku bertanya-

tanya memperhatikan bibir beliau, “Apakah beliau menggerakkan bibirnya menjawab salamku atau

tidak?”

Aku juga shalat dekat sekali dengan beliau. Aku mencuri pandang melihat pandangan beliau. Kalau

Page 4: Kewajiban Berjamaah

aku bangkit mau shalat, ia melihat kepadaku. Namun, apabila aku melihat kepadanya, ia palingkan

mukanya cepat-cepat. Sikap dingin masyarakat kepadanya, ia palingkan mukanya cepat-cepat. Sikap

dingin masyarakat kepadaku terasa lama sekali. Pada suatu hari, aku mengetuk pintu paga Abu

Qaradah, saudara misanku dan ia adalah saudara yang paling aku cintai. Aku mengucapkan salam

kepadanya, tetapi demi Allah, ia tidak menjawab salamku.

Aku menegurya, “Abu Qatadah! Aku mohon dengan nama Allah, apakah kau tau bahwa aku mencintai

Allah dan Rasul-Nya?”

Ia diam. Aku mengulangi permohonanku itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulangi permohonanku

itu, namun ia tetap terdiam. Aku mengulanginya sekali lagi, tapi ia hanya menjawab, “Allah dan

Rasul-Nya lebih tahu!”

Air mataku tidak tertahankan lagi. Kemudian aku kembali dengan penuh rasa kecewa.

Pada suatu hari, aku berjalan-jalan ke pasar kota Madinag. Tiba-tiba datanglah orang awam dari

negeri Syam. Orang itu biasanya mengantarkan dagangan pangan ke kota Madinah. Ia bertanya,

“Siapakah yang mau menolongku menemui Ka’ab bin Malik?”

Orang-orang di pasar itu menunjuk kepdaku, lalu orang itu datang kepadaku dan menyerahkan

sepucuk surat kepadaku dan menyerahkan sepucuk surat dari raja Ghassan. Setelah kubuka, isinya

sebagai berikut, “… Selain dari itu, bahwa sahabatmu sudah bersikap dingin terhadapmu. Allah tidak

menjadikan kau hidup terhina dan sirna. Maka, ikutlah dengan kami di Ghassan, kamu akan

menghiburmu!”

Hatiku berkata ketika membaca surat itu, “Ini juga salah satu ujian!” Lalu aku memasukkan surat itu

ke dalam tungku dan membakarnya.

Pada hari yang ke-40 dari pengasinganku di kampong halaman sendiri, ketika aku menanti-nantikan

turunnya wahyu tiba-tiba datanglah kepadaku seorang pesuruh Rasulullah saw. menyampaikan

pesannya, “Rasulullah memerintahkan kepadamu supaya kamu menjauhi istrimu!”

Aku semakin sedih, namun aku juga semakin pasrah kepada Allah, hingga terlontar pertanyaanku

kepadanya, “Apakah aku harus menceraikannya atau apa yang akan kulakukan?”

Ia menjelaskan, “Tidak. Akan tetapi, kamu harus menjauhkan dirimu darinya dan menjauhkannya

dari dirimu!”

Page 5: Kewajiban Berjamaah

Kiranya Rasulullah juga sudah mengirimkan pesannya kepada dua sahabatku yang bernasib sama.

Aku langsung memerintahkan kepada istriku, “Pergilah kau kepada keluargamu sampai Allah

memutuskan hukumnya kepada kita!”

Istri Hilal bin Umaiyah datang menghadap Rasulullah saw. lalu ia bertanya, “Ya Rasulullah,

sebenarnya Hilal bin Umaiyah seorang yang sudah sangat tua, lagi pula ia tidak memiliki seorang

pembantu. Apakah ada keberatan kalau aku melayaninya di rumah?”

Rasulullah saw. menjawab, “Tidak! Akan tetapi ia tidak boleh mendekatimu!”

Istri Hilal menjelaskan, “Ya Rasulullah! Ia sudah tidak bersemangat pada yang itu lagi. Demi Allah,

yang dilakukannya hanya menangisi dosanya sejak saat itu hingga kini!”

Ada seorang familiku yang juga mengusulkan, “Coba minta izin kepada Rasulullah supaya istrimu

melayai dirimu seperti halanya istri Hilal bin Umayah!”

Aku menjawab tegas, “Tidak Aku tidak akan minta izin kepada Rasulullah saw. tentang istriku. Apa

katanya kelak, sedangkan aku masih muda?”

Akhirnya, hari-hari selanjutnya aku hidup seorang diri di rumah. Lengkaplah bilangan malam sejak

orang-orang dicegah berbicara denganku menjadi 50 hari 50 malam. Pada waktu sedang shalat

subuh di suatu pagi dari malam yang ke-50 ketika aku sedang dudung berdzkir minta ampun dan

mohon dilepaskan dari kesempitan hidup dalam alam yang luas ini, tiba-tiba aku mendengar teriakan

orang-orang memanggil namaku. ‘Wahai Ka’ab bin Malik, bergembiralah! Wahai Ka’ab bin Malik,

bergembiralah!”

Mendengar berita itu aku langsung sujud memanjatkan syukur kepada Allah. Aku yakin pembebasan

hukuman telah dikeluarkan. Aku yakin, Allah telah menurunkan ampunan-Nya.

Rasulullah menyampaikan berita itu kepada shahabat-shahabatnya seusai shalat shubuh bahwa Allah

telah mengampuni aku dan dua orang shahabatku. Berlomba-lombalah orang mendatangi kami,

hendak menceritakan berita germbira itu. Ada yang datang dengan berkuda, ada pula yang datang

dengan berlari dari jauh mendahului yang berkuda. Sesudah keduanya sampai di hadapanku, aku

berikan kepada dua orang itu kedua pakaian yang aku miliki. Demi Allah, saat itu aku tidak memiliki

pakaian kecuali yang dua itu.

Aku mencari pinjaman pakaian untuk menghadap Rasullah. Ternyata aku telah disambut banyak

orang dan dengan serta merta mereka mengucapkan selamat kepadaku. Demi Allah, tidak seorang

pun dari muhajirin yang berdiri dan memberi ucapan selamat selain Thal’ah. Sikap Thalhah itu tak

Page 6: Kewajiban Berjamaah

mungkin aku lupakan. Sesudah aku mengucapkan salam kepada Rasulullah, mukanya tampak cerah

dan gembira, katanya kemudian, “Bergembiralah kau atas hari ini! Inilah hari yang paling baik

bagimu sejak kau dilahirkan oleh ibumu!”

“Apakah dari Allah ataukah dari engkau ya Rasulullah?” tanyaku sabar.

“Bukan dariku! Pengampunan itu datangnya dari Allah!” jawab Rasul saw.

Demi Allah, aku belum pernah merasakan besarnya nikmat Allah kepadaku sesudah Dia memberi

hidayah Islam kepadaku, lebih besar bagi jiwaku daripada sikap jujurku kepada Rasulullah saw.”

Ka’ab lalu membaca ayat pengampunannya itu dengan penuh haru dan syahdu, sementara air

matanya berderai membasahi kedua pipinya.

�ه�م� �ي �ذ�ا ض�اق�ت� ع�ل %ى إ � ح�ت *ف�وا ل %ذ�ين� خ� �ة� ال �ث %ال و�ع�ل�ى الث�ت� ح�ب �م�ا ر� ر�ض� ب

� األ

% �ال =ه� إ � م�ن� الل أ �ج� % م�ل �ن ال � أ Cوا ه�م� و�ظ�ن �نف�س� �ه�م� أ �ي و�ض�اق�ت� ع�ل� �وا �وب �ت �ي �ه�م� ل �ي �اب� ع�ل �م% ت �ه� ث �ي �ل إ

ح�يم� %و%اب� الر% =ه� ه�و� الت �ن% الل إ

“Dan terhadap tiga orang yang ditangguhkan (penerimaan taubat) mereka, hingga apabila bumi telah

menjadi sempit bagi mereka, padahal bumi itu luas, dan jiwa mereka pun telah sempit (pula terasa)

oleh mereka, serta telah mengetahui bahwa tidak ada tempat lari dari (siksa) Allah melainkan

kepada-Nya saja. Kemudian, Allah menerima taubat mereka agar mereka tetap dalam taubatnya.

Sesungguhnya Allah-lah Yang Maha Menerima taubat lagi Maha Penyayang.” (At-Taubah:118)

)|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|( )|(

Gimana setelah membaca kisah di atas?

Sekarang kita hubungkan dengan kehidupan saat ini. Kalau Ka’ab bin Malik absen dari perang, kalau

kita saat ini kita hubungkan dengan amanah-amanah kita. Bagaimana sikap kita ketika mendapat

seruan untuk dakwah? Bagaimana sikap kita ketika mendapatkan amanah? Apakah kita memiliki

ruhul istijabah dan bersegera untuk melaksanakannya? Apakah justru sebaliknya kita merasa

Page 7: Kewajiban Berjamaah

enggan, malas dan akhirnya tidak berangkat seperti kisahnya Ka’ab bin Malik itu?

Kondisi yang dialami Ka’ab bin Malik saat itu adalah contoh kondisi ketika mengalami futur, ketika

kondisi keimanannya lemah. Ka’ab bukan termasuk golongan orang munafik yang mengudzurkan

dirinya untuk tidak ikut perang dengan berbagai alasan. Tetapi beliau jujur kepada Rasulullah

menyadari kesalahannya dan bertaubat. Beliau segera bangkit dari kondisi futurnya dan ikhlas

menerima hukuman apapun. Bagaimana dengan diri kita? Apakah kita akan mengudzurkan diri kita

dengan berbagai alasan ketika kita diberi amanah, padahal alasan sebenarnya karena kemalasan

kita. Apakah kita akan menyalahgunakan kepandaian kita untuk membuat-buat alasan. Apakah kita

sering gak datang syuro tanpa alasan yang syar’i karena kita males atau mendahulukan yang lain

yang tidak penting. Atau mungkin datang tapi sengaja telat karena menunda-nunda

keberangkatannya tanpa ada udzur apapun. Padahal dalam sebuah ayat Al Qur’an, kita disuruh untuk

berangkat jihad dalam keadaan merasa berat maupun ringan.

Coba kita simak surat At-Taubah:41-49

� وا �ف�ر� L ان L خ�ف�افا �ق�اال � و�ث �م� و�ج�اه�د�وا �ك م�و�ال� �أ �م� ب ك �نف�س� �يل� ف�ي و�أ ب =ه� س� �م� الل �ك �رU ذ�ل ي خ� �م� %ك �ن ل �م� إ �نت �م�ون� ك �ع�ل ت

"Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan

harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui".

Kalau yang kamu serukan kepada mereka itu keuntungan yang mudah diperoleh dan perjalanan yang

tidak seberapa jauh, pastilah mereka mengikutimu, tetapi tempat yang dituju itu amat jauh terasa

oleh mereka. Mereka akan bersumpah dengan (nama) Allah : “Jikalau kami sanggup tentulah kami

berangkat bersama-samamu.” Mereka membinasakan diri mereka sendiri dan Allah mengetahui

bahwa sesungguhnya mereka benar-benar orang-orang yang berdusta.

Semoga Allah mema`afkanmu. Mengapa kamu memberi izin kepada mereka (untuk tidak pergi

berperang), sebelum jelas bagimu orang-orang yang benar (dalam keuzurannya) dan sebelum kamu

ketahui orang-orang yang berdusta?

Orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari kemudian, tidak akan meminta izin kepadamu

untuk tidak ikut berjihad dengan harta dan diri mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang

bertakwa.

Sesungguhnya yang akan meminta izin kepadamu, hanyalah orang-orang yang tidak beriman kepada

Allah dan hari kemudian, dan hati mereka ragu-ragu, karena itu mereka selalu bimbang dalam

keraguannya.

Page 8: Kewajiban Berjamaah

Dan jika mereka mau berangkat, tentulah mereka menyiapkan persiapan untuk keberangkatan itu,

tetapi Allah tidak menyukai keberangkatan mereka, maka Allah melemahkan keinginan mereka. Dan

dikatakan kepada mereka: “Tinggallah kamu bersama orang-orang yang tinggal itu.”

Jika mereka berangkat bersama-sama kamu, niscaya mereka tidak menambah kamu selain dari

kerusakan belaka, dan tentu mereka akan bergegas maju ke muka di celah-celah barisanmu, untuk

mengadakan kekacauan di antara kamu; sedang di antara kamu ada orang-orang yang amat suka

mendengarkan perkataan mereka. Dan Allah mengetahui orang-orang yang zalim.

Sesungguhnya dari dahulupun mereka telah mencari-cari kekacauan dan mereka mengatur pelbagai

macam tipu daya untuk (merusakkan)mu, hingga datanglah kebenaran (pertolongan Allah) dan

menanglah agama Allah, padahal mereka tidak menyukainya.

�ه�م �ق�ول� م%ن و�م�ن �ذ�ن ي � ل*ي ائ �ن*ي و�ال �ف�ت � ت �ال �ة� ف�ي أ �ن �ف�ت � ال ق�ط�وا �ن% س� %م� و�إ ج�ه�ن Uم�ح�يط�ة� �اف�ر�ين� ل �ك �ال ب

"Di antara mereka ada orang yang berkata: “Berilah saya keizinan (tidak pergi berperang) dan

janganlah kamu menjadikan saya terjerumus dalam fitnah.” Ketahuilah bahwa mereka telah

terjerumus ke dalam fitnah. Dan sesungguhnya Jahannam itu benar-benar meliputi orang-orang yang

kafir". (QS.At-Taubah:41-49)

Dan bagaimana pula sikap kita jika kita ditegur terhadap kekhilafan kita? Apakah kita akan ikhlas

menerimanya dan berusaha memperbaikinya serta bersikap tajarud seperti halnya Ka’ab ataukah kita

justru mutung, merasa kecewa dan akhirnya keluar dari jalan ini.

Wallohu a'lam bis- showab.