kethoprak sbg penyalur asprasi

21
KETHOPRAK LESUNG SASTRA BUDAYA Media Alternatif Penyampai Aspirasi Oleh: Muhammad Syaiful Rohman 10/306973/PSA/02293 “manusia tidak hanya dapat menggagas, melainkan juga dapat mengekspresikan gagasannya. Manusia tidak mengalami kesulitan mengekspresikan gagasannya, dan manusia tidak dapat tidak mengekspresikan gagasannya. Apabila tidak ada pengekspresian gagasan maka tidak mungkin terjadi hubungan antarmanusia. Bidang-bidang kehidupan manusia seperti ekonomi , sosial politik, cinta dan lain-lain, semuanya memerlukan ekspresi. Manusia dapat hidup hanya dengan mengeskpresikan diri. Manusia dalam mengekspresikan diri itu terdapat ekspresi khusus yang disebut kesenian. Kekhususan itu karena dengan kesenian manusia mengekspresikan gagasan estetik atau pengalaman estetik. Kesenian merupakan penjelmaan pengalaman estetik. “ (Driyakara, 1980) A. PENDAHULUAN Page | 1

Upload: muhammad-syaiful-rohman

Post on 23-Jun-2015

461 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

Media % Mediasi

TRANSCRIPT

Page 1: kethoprak sbg penyalur asprasi

KETHOPRAK LESUNG SASTRA BUDAYA

Media Alternatif Penyampai Aspirasi

Oleh:

Muhammad Syaiful Rohman

10/306973/PSA/02293

“manusia tidak hanya dapat menggagas, melainkan juga

dapat mengekspresikan gagasannya. Manusia tidak mengalami

kesulitan mengekspresikan gagasannya, dan manusia tidak dapat

tidak mengekspresikan gagasannya. Apabila tidak ada

pengekspresian gagasan maka tidak mungkin terjadi hubungan

antarmanusia. Bidang-bidang kehidupan manusia seperti

ekonomi , sosial politik, cinta dan lain-lain, semuanya

memerlukan ekspresi. Manusia dapat hidup hanya dengan

mengeskpresikan diri. Manusia dalam mengekspresikan diri itu

terdapat ekspresi khusus yang disebut kesenian. Kekhususan itu

karena dengan kesenian manusia mengekspresikan gagasan

estetik atau pengalaman estetik. Kesenian merupakan penjelmaan

pengalaman estetik. “ (Driyakara, 1980)

A. PENDAHULUAN

Untuk mengubah sistem menjadi lebih baik, kita harus masuk pada

sistem itu sendiri. Begitulah kira-kira yang ada dalam pikiran saya saat itu, ketika

saya kesulitan mengakses fasilitas kampus seperti misalnya menggunakan

panggung terbuka yang terletak diantara gedung A dan gedung B maupun

auditorium Fakultas Ilmu Budaya UGM untuk mementaskan pertunjukkan

Kethoprak Lesung Sastra Budaya. Jangankan menggunakan fasilitas kampus,

dana kegiatan saja tidak pernah dicairkan dengan alasan dari dekanat bahwa

Page | 1

Page 2: kethoprak sbg penyalur asprasi

kegiatan ini tidak masuk rencana kegiatan dan anggaran tahunan (RKAT)

fakultas. Yach.....mau bagaimana lagi?? The show must go on,,begitu tekad saya

untuk menggelar pementasan kethoprak ini demi sebuah idealisme untuk

melestarikan warisan budaya leluhur dan tanggung jawab moral kepada

mahasiswa, ini karena saya dipercaya sebagai Lurah Kethoprak Lesung Sastra

Budaya yang juga merupakan salah satu divisi dalam Badan Semi Otonom Sastra

Budaya.

Kondisi ini harus berubah, gumam saya dalam hati. Saya harus bisa

mengubah keadaan ini. Ada ataupun tidak ada dukungan dana dari fakultas, cita-

cita untuk melestarikan warisan budaya leluhur seperti kethoprak lesung ini harus

tetap dijalankan karena bentuk kesenian tradisional ini sudah jarang ditemui di

Daerah Istimewa Yogyakarta apalagi di dunia kampus seperti di Fakultas Ilmu

Budaya ini, meski pada setiap kali pementasan harus merogoh uang saku saya

sendiri yang sebenarnya hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup pribadi

setiap bulannya. Akhirnya pada bulan April tahun 2006, saya ikut mencalonkan

diri sebagai salah satu kandidat presiden Lembaga Eksekutif Mahasiswa. Saya

memang berasal dari jurusan Antropologi Budaya, tapi saya maju dengan

dukungan penuh dari BSO Saskine (badan semi otonom sastra kine, komunitas

mahasiswa penyuka film) sebagai mesin politik utama dan dukungan tertulis dari

15 lembaga kemahasiswaan di FIB UGM.

Pada saat masa kampanye, saya dengan percaya diri melakukan

kampanye dalam bentuk penyebaran leaflet maupun penempelan pamflet di

tempat-tempat strategis, dan pidato di Kantin Sastra maupun di Bonbin (warung

makan yang terkenal di UGM karena selain masakannya yang enak, harganya pun

cocok untuk ukuran saku mahasiswa). Dengan berbekal sebuah gitar di tangan

kanan, dan sebuah pengeras suara (TOA) di pundak kiri yang merupakan bentuk

dukungan dari keluarga mahasiswa antropologi, dan dengan mengenakan kostum

ala Panglima Besar Jenderal Soedirman sebagai salah satu bentuk simbol

perlawanan yang diinspirasikan dari unen-unen Jawa “ajining diri ana ing lathi,

ajining raga ana ing busana” saya berkampanye di titik-titik yang telah

Page | 2

Page 3: kethoprak sbg penyalur asprasi

ditentukan oleh KPU untuk menarik dukungan massa dari berbagai kelompok

mahasiswa.

Pada penghitungan suara di hari terakhir pencoblosan pemilihan raya

mahasiswa, saya memperoleh 389 surat suara sah dengan selisih 11 surat suara

dari kandidat nomor urut pertama yang maju mencalonkan diri lewat Keluarga

Mahasiswa Sastra Nusantara, dan selisih sangat jauh dari kandidat lain nomor urut

dua dan satu-satunya kandidat perempuan yang mewakili jurusan Sastra Perancis

dengan perolehan suara sebanyak 59 surat suara. Dengan ditetapkannya hasil

penghitungan surat suara oleh KPU, maka akhirnya saya ditetapkan sebagai

Presiden Lembaga Eksekutif Mahasiswa periode kepemimpinan tahun 2006-2007.

B. SENI DAN RUANG PUBLIK: sebuah kerangka konseptual tentang

pengungkapan rasa marah, sedih, senang, dan emosi-emosi lain dalam

arena politik

Pertanyaan tentang guna dan fungsi memang dapat meresahkan. Ketika

kesenian dihadapkan pada pada sesuatu yang praktis pragmatis baik bagi seniman,

maupun bagi masyarakat. Tidak semua tentunya dapat dikejar dan diformulasikan

tentang fungsi praktisnya. Sebab pada ‘sesuatu’ (karya seni) itu, yang ditawarkan

adalah ‘nilai’. Lebih dari itu, terdapat sesuatu hal yang subtil ataupun yang

mencerahkan ataupun yang membebaskan.

Jika seni merupakan proses dialektik yaitu manusia di suatu pihak dan

realitas di pihak lain, maka dialektik itu tidak akan kunjung habis. Hasil seni

tidaklah pernah sempurna, meskipun ia selalu ingin demikian. Terjadi tegangan

yang terus menerus, setidaknya selama proses kreasi, antara realitas dengan

pemaknaan, antara diri sebagai kreator dan faktor-faktor objektif yang mendorong

dan mempengaruhi kreasinya. Termasuk menyangkut masalah fungsi atau guna.

Meskipun pada kenyataannya ketika proses kreasi berlangsung, tendensi-tendensi

praktis pragmatis itu dapat diabaikan atau terabaikan.

Page | 3

Page 4: kethoprak sbg penyalur asprasi

Derasnya arus informasi dan cepatnya komunikasi antarbudaya

mengakibatkan revolusi kebudayaan. Menurut Tolstoy, seni adalah kegiatan

manusia yang dilakukan secara sadar dengan perantaraan tanda-tanda

lahiriah tertentu untuk menyampaikan perasaan-perasaan yang telah

dihayatinya kepada orang lain sehingga mereka kejangkitan perasaan ini

dan juga mengalaminya. Dengan kata lain seni sebagai komunikasi dari pencipta

kepada orang lain.

Temuan baru di bidang teknologi komunikasi yang canggih dengan media

elektronika serta satelit memberikan kemudahan dan percepatan penyebaran karya

seni dan budaya baru dari suatu tempat ke seluruh pelosok dunia dan menjadikan

transformasi budaya yang sangat pesat, sehingga mempertinggi dan memperbaiki

derajat kemanusiaan.

Bagi negara-negara industri yang telah maju industrialisasinya, seni dan

budaya telah berkembang dengan pesat. Di sana nilai seni dan budaya serta

pelayanannya tidak hanya semata-mata dianggap sebagai komoditi yang dapat

dipasarkan, tetapi lebih dari itu. Nilai seni dan budaya dianggap sebagai sumber

gagasan dari seseorang atau sekelompok masyarakat dalam rangka menghasilkan

karya seni dan budaya yang bermutu dan beragam yang mampu bersaing dengan

karya seni dan budaya dalam negeri maupun luar negeri. Seperti diungkapkan

Dewanto (1996) bahwa terjadi hubungan timbal balik antara keragaman seni yang

dihasilkan oleh para seniman dengan industri seni yang bersifat monokultur.

Keragaman produk seni bukan keinginan dan usaha subjektif seniman yang

didasarkan pada kemerdekaan kreatif dan keunikan ciptaan pribadi, tetapi atas

permintaan konsumen kerena kemajemukan pasar yang harus diobati dengan

produk-produk seni baru yang beraneka ragam.

Bagi Indonesia yang sedang membangun bangsanya diperlukan persyaratan

penting yaitu keterbukaan masyarakat dan bangsa untuk menghadapi perubahan-

perubahan. Keterbukaan bukan berarti menerima atau mengadopsi bagitu saja

nilai-nilai baru yang datang dari luar, melainkan suatu penerimaan yang selektif.

Page | 4

Page 5: kethoprak sbg penyalur asprasi

Keterbukaan merupakan persyaratan bagi pembangunan dan kemajuan. sikap

keterbukaan adalah kesediaan untuk menerima informasi, gagasan dan nilai

baru yang konstruktif.

Ruang publik ditandai oleh tiga hal yaitu responsif, demokratis dan

bermakna. Responsif dalam arti ruang publik harus dapat digunakan untuk

berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Sementara demokratis berarti ruang

publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar

belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi berbagai kondisi fisik

manusia. Dan terakhir bermakna yang berarti ruang publik harus memiliki tautan

antara manusia, ruang, dunia luas, dan konteks sosial.

Dengan karakteristik ruang publik sebagai tempat interaksi warga

masyarakat, tidak diragukan lagi arti pentingnya dalam menjaga dan

meningkatkan kualitas kapital sosial. Namun sayangnya, arti penting keberadaan

ruang-ruang publik tersebut di Indonesia lama kelamaan diabaikan oleh pembuat

dan pelaksana kebijakan tata ruang wilayah sehingga ruang yang sangat penting

ini lama-kelamaan semakin berkurang. Ruang-ruang publik tersebut yang selama

ini menjadi tempat warga melakukan interaksi, baik sosial, politik maupun

kebudayaan tanpa dipungut biaya, seperti lapangan olah raga, taman kota, arena

wisata, arena kesenian, dan lain sebagainya lama-kelamaan menghilang

digantikan oleh mall, pusat-pusat perbelanjaan, ruko-ruko dan ruang-ruang

bersifat privat lainnya.

Selanjutnya adalah pandangan Gunnar Myrdal, seorang ahli ekonomi

yang paling serius dalam mengkaji akar psikokultural dari perkembangan

ekonomi, khususnya dalam bukunya yang 3 jilid, Asian Drama (1968). Bagi

Myrdal, faktor-faktor psikokultural tidak hanya melahirkan perilaku

entrepreneurial, tapi juga memasuki, membentuk, dan mendominasi dimensi

politik, ekonomi, sosial, dll, dari seluruh sistem nasional. Myrdal

menyesalkan kurangnya perhatian dan penelitian antropologi, sosiologi, dan

psikologi terhadap faktor-faktor psikokultural ini. Hal ini mungkin disebabkan

Page | 5

Page 6: kethoprak sbg penyalur asprasi

karena kesulitan dalam menangkap faktor tersebut dalam analisis yang sistematik

dan kwantitatif seperti yang biasanya dilakukan orang terhadap faktor-faktor

ekonomi.

Myrdal melihat pola-pola ideal dalam proses menuju ke masyarakat

modern, seperti rasionalitas, persamaan sosial dan ekonomi, dan demokrasi

politik merupakan hal yang asing dalam kebanyakan masyarakat negara

terbelakang, khususnya negara-negara di Asia Selatan. Semua pola ideal ini

datang dari luar.

Pada umumnya Orang Asia Selatan, sebagaimana yang dilihat oleh

Myrdal, lebih mementingkan hal-hal spiritual daripada hal-hal material

dibandingkan dengan orang Barat. Mereka lebih memikirkan dunia baka, tidak

peduli pada diri sendiri, acuh terhadap kemakmuran dan kenikmatan hidup

material. Mereka memandang kemiskinan dengan hati yang lapang, bahkan

memandang positif sikap seperti itu1. Kekuatan intelektual mereka terletak pada

intuisi ketimbang reason dan hard calculation. Hal yang ideal bagi bangsa Asia

Selatan itu adalah menarik diri dari dunia nyata ini. Mereka tidak suka prinsip-

prinsip hukum yang definitif. Konflik cenderung diselesaikan dengan cara

mencari pertemuan pendapat bersama (dalam bahasa Indonesia populer disebut

cara “perdamaian”) ketimbang melalui prosedur hukum formal.

Sementara itu sikap bermurah hati dan penuh toleran yang sering disebut

sebagai ciri-ciri menonjol masyarakat Asia Selatan, khususnya India, ternyata

bertentangan dengan kenyataan yang berlaku. Dalam kenyataan, para pengamat

justru melihat suasana intoleran dan kecongkakan pada masyarakat India, yang

pada gilirannya telah melahirkan perilaku kekerasan antar kelas/kasta dan antar

golongan agama. Sikap yang sangat tidak toleran terhadap manusia lain

lahir dan dibina oleh sistem kasta dan kesombongan golongan

1 Perhatikanlah syair lagu Qasidah Anak Bertanya pada Bapaknya, ciptaan Sam Bimbo dan Taufik Ismail. Dalam satu kesempatan bertemu dengan Taufik Ismail pada tahun 1990, saya mendengar bahwa syair tersebut banyak disesalkan orang sebagai tidak mendorong kepada pembangunan, dan ternyata beliau sendiri setuju dengan kritikan tersebut.

Page | 6

Page 7: kethoprak sbg penyalur asprasi

berpendidikan tinggi terhadap kelas bawah. Keadaan masyarakat yang penuh

dengan sikap dan pandangan yang seperti ini jelas tidak kondusif untuk

pembangunan ekonomi.

Banyak lagi butir-butir yang diberikan oleh Myrdal tentang faktor-faktor

psikokultural, dan juga faktor-faktor sosial, yang menjadi ciri-ciri dari

masyarakat terbelakang di Asia Selatan ini. Bagaimanapun Myrdal percaya

bahwa kondisi psikokultural dan sosial ini dapat diubah melalui intervensi dari

luar. Sifat ini tidak permanen dan tidak diturunkan melalui darah. Jadi kalau

sebuah pemerintah ingin memajukan bangsanya, pemerintah tersebut harus

terlebih dahulu menaruh perhatian terhadap usaha-usaha perubahan pada aspek

psikokultural dan aspek sosial.

Selanjutnya adalah Frederick George Bailey, seorang ahli antropologi

Inggris, mengatakan bahwa , nilai-nilai dan kategori-kategori adalah aspek

kultural, dan aspek ini terletak di bawah permukaan aturan-aturan permainan, di

balik strategi-strategi untuk meraih reputasi baik. Nilai-nilai dan kategori-

kategori tersimpan di dalam tanda-tanda yang dinyatakan dalam interaksi politis.

Orang menafsirkan tanda-tanda tersebut untuk mencapai pengertian tentang

konsep-konsep dan kategori-kategori yang dikandung oleh tanda-tanda tersebut.

Namun demikian, sistem simbol ini bersifat laconic (hemat kata, padat dan

singkat), sehingga memberikan kemungkinan untuk terjadinya manipulasi dan

manuver. Hubungan antara tanda (atau signal) dan pengertian yang

dikandungnya adalah satu penyederhanaan kasar. Dan penggunaan secara taktis

terhadap tanda-tanda ini untuk menguasai situasi, untuk memperoleh

teman dan untuk mempengaruhi orang, melahirkan interaksi politis yang

kompleks. Jadi kekuasaan, menurut Bailey, adalah kemampuan untuk membujuk,

menekan, atau mengajak orang lain agar mempunyai definisi yang sama dengan

kita dalam melihat satu situasi, dan kemudian berdasarkan atas definisi yang

sama itu mengambil tindakan yang sama pula dalam menghadapi situasi

tersebut.

Page | 7

Page 8: kethoprak sbg penyalur asprasi

Dalam buku The Tactical Uses of Passion (1983), Bailey memperlihatkan

bahwa meskipun nalar mempunyai peranan, namun dalam kenyataannya tindakan

mempertunjukkan emosi khususnya kemarahan dan tindakan menggunakan

retorika adalah lebih berhasil dalam seni membujuk, meyakinkan, dan memaksa

orang lain untuk menyetujui pendapat kita dan bertindak sesuai dengan

kemauan kita. Jadi, kata Bailey, dalam kompetisi untuk merebut kekuasaan di

arena birokrasi (menguasai pendapat orang lain), mereka yang tahu kapan dan

bagaimana cara menembus tutup luar dari sisi politis yang “public” (terbuka)

akan memenangkan kompetisi, dan dalam hal ini penggunaan emosi kemarahan

adalah satu strategi yang efektif dalam usaha penetrasi tersebut.

C. KETHOPRAK LESUNG SASTRA BUDAYA: Sebagai Media Alternatif

Penyalur Aspirasi

Ide penyaluran aspirasi melalui pementasan kethoprak ini berawal dari

kegelisahan kawan-kawan mahasiswa FIB UGM yang merasa ditipu mentah-

mentah oleh system pendidikan di Indonesia utamanya di Universitas Gadjah

Mada. System pendidikan yang menuntut kehadiran di kelas minimal 75% ini

secara tidak langsung justru mematikan potensi non-akademik yang dimiliki

mahasiswa. Selain masalah system pendidikan, mahasiswa sebagai civitas

akademika terbesar di UGM merasa hanya dijadikan “obyek”, dan bukan

“subyek” pendidikan. Dengan hanya menjadi “obyek” pendidikan, mahasiswa

merasa hanya menjadi “sapi perahan” untuk menambah pamasukan anggaran di

UGM tanpa tahu untuk apa saja sebenarnya SPP, BOP (biaya operasional

pendidikan), dan SPMA (sumbangan peningkatan mutu akademik) yang

dibayarkan setiap semester. Mahasiswa menuntut untuk dilibatkan dalam setiap

proses pengambilan kebijakan di UGM yang menyangkut kurikulum pendidikan

dan kegiatan kemahasiswaan.

Ketidakpuasan mahasiswa itu sedikit menimbulkan gejolak. Sebagian

kawan-kawan yang tergabung dalam organisasi ekstra kampus seperti HMI,

GMNI, KAMMI, PMII mengajak demonstrasi besar-besaran. Salah satu target

Page | 8

Page 9: kethoprak sbg penyalur asprasi

aksi adalah menekan kebijakan dengan cara melakukan sabotase dan bahkan akan

melakukan aksi yang lebih parah, yaitu merusak symbol akademik atau

menurunkan lambang UGM. Dalam menyiapkan aksinya ini, kawan-kawan

mahasiswa bahkan siap bentrok dengan SKK (satuan keamanan kampus) yang

saat itu dipimpin oleh Kombes (Purn) Dida, konon kawan akrab Sofyan Effendi,

rector UGM periode 2002 – 2007.

Rupanya rencana aksi kawan-kawan ini didengar oleh kawan-kawan yang

tergabung dalam Badan Semi Otonom (BSO) Sastra Budaya yang memiliki

Kethoprak Lesung sebagai salah satu divisinya. Setelah diskusi panjang dengan

Lembaga Eksekutif Mahasiswa, kebetulan saya saat itu menjabat sebagai presiden

mahasiswa, berencana mengubah hasrat destruktif mahasiswa menjadi sesuatu

yang layak dipertimbangkan, yaitu menggunakan jalan yang lebih santun,

mementaskan sebuah pagelaran kethoprak yang mengundang rector dan dekan se

UGM.

Ide lakon “Gadjah Mada Kecu” ini terinspirasi dari peristiwa perang bubat

yang menurunkan wibawa Majapahit sebagai imperium terbesar masa itu. Gadjah

Mada karir politiknya mulai merosot akibat Perang Bubat (1357). Dalam Kidung

Sunda diceritakan bahwa hal ini bermula pada saat Prabu Hayam Wuruk hendak

mengangkat Dyah Pitaloka Ratna Citraresmi putri Maharaja Linggabuana raja

besar Tatar Sunda sebagai permaisuri, sedangkan Patih Gajah Mada yang

menginginkan Sunda untuk takluk, memaksa Dyah Pitaloka sebagai persembahan

untuk pengakuan atas kekuasaan Majapahit. Akibat penolakan itu, terjadilah

pertempuran yang tidak seimbang antara pasukan Majapahit dan rombongan

Sunda di Bubat. Dyah Pitaloka sendiri bunuh diri setelah ayahanda beserta seluruh

rombongannya gugur dalam pertempuran.

Akibat peristiwa itu, Patih Gajah Mada dinonaktifkan dari jabatannya dan ia

diberi pesanggrahan “Madakaripura” di Tongas, Probolinggo. Namun pada 1359,

Gajah Mada diangkat kembali sebagai patih, hanya saja ia memerintah dari

Page | 9

Page 10: kethoprak sbg penyalur asprasi

Madakaripura. ( Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa

Indonesia )

Naskah Kethoprak “Gadjah Mada Kecu” yang pernah di pentaskan di

Fakultas Ilmu Budaya UGM dalam rangka memperingati Dies Natalis FIB tahun

2006 ini sempat dipentaskan dua kali. Berikut sepenggal kisahnya:

Alkisah ada seorang pemuda yang bernama Gadjah Mada dan Hayam

Wuruk. Gadjah Mada adalah seorang yatim piatu dan Hayam Wuruk adalah

sahabat dekatnya. Hayam Wuruk mempunyai berbagai sifat yang bagus yang

kelak akan menjadi raja. Mereka sering bermain dan belajar bersama. Pada suatu

hari mereka pulang dari menuntut ilmu di padepokan (UGM) yang kelak

menghasilkan orang-orang yang memegang jabatan penting di negara ini. Dari

pembicaraan mereka akhirnya Hayam Wuruk berpikiran untuk memberikan

sebidang tanah untuk mendirikan sebuah padepokan agar digunakan sebagai

tempat penggemblengan prajurit yang berguna bagi negara atau semacamnya

ketika dia (Hayam Wuruk) nanti sudah menjadi seorang penguasa atau raja. Dia

berpikiran demikian karena Gadjah Mada memiliki jiwa sebagai pemimpin, berani

dan thas-thes (Jawa, berarti tangkas dan cekatan). Namun Gadjah Mada harus

menuruti perintah raja dan biaya padepokan itu harus murah. Mereka berdua

punya seorang teman yang malas sekolah bernama Rama Pati, namun orangnya

pintar dan lihai.

Pada suatu ketika tersebutlah seorang wanita yang bernama Dyah Pitaloka.

Dia adalah seorang yang cantik, intelek, dan keibuan walaupun agak liar. Saat itu

dia sedang bersama Rama Pati, mereka ngudoroso, membahas tentang berbagai

hal yang sedang hangat ditempat belajar (kampus UGM) antara lain masalah

kebijakan - kebijakan, kondisi perkuliahan, dan kapitalisme pendidikan. Tentu

saja juga membahas tentang cinta, yang memang paling enak dibicarakan oleh

para anak muda. Namun hal itu akhirnya ketahuan oleh Hayam Wuruk dan

Gadjah Mada. Hayam Wuruk merasa telah dikhianati oleh Rama Pati karena

Page | 10

Page 11: kethoprak sbg penyalur asprasi

ternyata Hayam Wuruk juga suka pada Dyah Pitaloka. Setelah hal itu berlalu

maka mereka berdua sepakat untuk mendirikan kerajaan kelak nanti.

Lama waku berjalan, tibalah saatnya Hayam Wuruk menjadi raja dan

Rama Pati serta Gadjah Mada menjadi orang kepercayaannya. Saat itu pula

Gadjah Mada mengucapkan “Sumpah Amukti Palapa” untuk menyatukan

nusantara (UGM). Namun apakah itu akan terjadi? nusantara bersatu?. Hayam

Wuruk teringat akan Dyah Pitaloka yang dulu sempat menjadi tambatan hatinya.

Kemudian dia pun menyuruh Patih Gadjah Mada untuk memboyong Dyah

Pitaloka. Akan tetapi Gadjah Mada sempat menolak perintah itu karena Gadjah

Mada mempunyai keinginan besar untuk menyatukan nusantara. Oleh karena

Dyah Pitaloka berasal dari Sunda yang rencananya akan dijadikan wilayah koloni

Majapahit. Setelah melalui perbincangan dan perdebatan akhirnya Gadjah Mada

terpaksa menerima perintah itu.

Akhinya sampailah Gadjah Mada di tempat Dyah Pitaloka. Tanpa basi-

basi dia membawa Dyah Pitaloka ke Majapahit. Ditengah - tengah perjalanan

menuju Majapahit, Gadjah Mada mengatakan pada Dyah Pitaloka bahwa Hayam

Wuruk itu seorang yang bersifat buruk: serakah, tamak, licik, pembohong, dan

berbagai sifat busuk lainnya. Dan Gadjah Mada mencoba merayu dia, namun

Dyah tidak mau dan tetap ingin bertemu dengan Hayam Wuruk. Hal itu

membangkitkan emosi Gadjah Mada dan pada puncaknya dia membunuh semua

rombongan tersebut. Dyah Pitaloka pun bunuh diri. Namun ada salah seorang

yang lolos dan lari ke Majapahit untuk melaporkan hal ini ke Hayam Wuruk.

Setelah Gadjah Mada kembali tanpa membawa hasil, dan Sang Prabu sudah tahu

akan apa yang terjadi maka Hayam Wuruk pun marah pada patihnya tersebut dan

Gadjah Mada akhirnya dipecat dari jabatan sebagai MahaPatih.

Sumpah Palapa

“ Sira Gadjah Mada Pepatih Amungkubumi Tan Ayun Amukita Palapa,

Sira Gadjah Mada: Lamun Huwus Kalah Nusantara Ingsun Amukti Palapa,

Page | 11

Page 12: kethoprak sbg penyalur asprasi

Lamu Kalah Ring Gurun, Ring Seram, Tanjungpura, Raing Haru, Ring

Pahang, Dompo, Ring Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, Samana Ingsun

Amukti Palapa” (Kitab Pararaton)

Penggunaan media alternatif kethoprak sebagai alat penyalur aspirasi ini,

sesungguhnya adalah upaya mediasi antara pihak mahasiswa dan rektorat serta

dekanat yang memiliki kuasa untuk membuat berbagai kebijakan. Kenapa

memilih media alternatif ketoprak karena kethoprak adalah kesenian rakyat yang

mampu merangkul semua elemen. Mulai kelas atas sampai kelas bawah. Dengan

memerankan seorang tokoh kethoprak, diharapkan pemain memiliki kesadaran

kognitif untuk mengubah perilaku. Keterlibatan pemain dan penonton secara aktif

dalam sebuah pementasan, sejatinya telah menghapuskan, minimal mengurangi

sedikit selimut debu yang memberi jarak antara pemain dan penonton, antara

mahasiswa dan para pengambil kebijakan di UGM, rektor dan dekan.

PENUTUP

Tidak ada manusia hidup tanpa seni, sebab seni sangat membahagiakan

manusia. Seni merupakan bagian yang tak terpisahkan dari seluruh kehidupan

manusia. Seni merupakan cermin kehidupan manusia beserta masyarakatnya.

Apabila terjadi penciptaan seni baru yang bermutu pertanda terjadi kemajuan adab

dan budaya masyarakatnya. Seni yang bermutu menjadi sumber gagasan

seseorang atau sekelompok masyarakat dalam rangka menghasilkan karya seni

dan budaya yang bermutu dan beragam. Pengembangan seni mempunyai dampak

terhadap pengembangan norma dan nilai dalam masyarakat dan bangsanya.

Seniman menjadi agen dan pendidik untuk menyebarluaskan norma dan nilai yang

telah disepakati bersama dan dikukuhkan oleh masyarakatnya. Seniman menjadi

kritikus yang mampu menyodorkan berbagai pilihan saran perbaikan yang dapat

dimanfaatkan oleh masyarakat sebagai bahan pertimbangan untuk pembangunan

bangsa. Pengembangan seni dan budaya merupakan matra pembangunan bangsa.

Page | 12

Page 13: kethoprak sbg penyalur asprasi

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Irwan.

2006 Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Anderson, Benedict

2001 Imagined Communities. Insist Pers kerjasama dengan Pustaka Pelajar

Bailey, F. G.

1983. The Tactical Uses Of Passion. Cornell University Press

Barker, Chris.

2004 Cultural Studies: teori & praktik. Yogyakarta: Kreasi wacana.

Carr, S.

1992 Public Space. Van Nostrand Reinhold Company, New York.

Dananjaya, Utomo, dkk.

1995 Pendidikan Kaum Tertindas (Terjemahan dari Pedagogy of the Oppressed by Paulo Freire 1972). Jakarta: Penerbit LP3ES.

Mirsel, Robert.

2004 Teori Pergerakan Sosial. Yogyakarta.: INSIST Press.

Myrdal, Gunnar.

1968 Asian Drama: An Inquiry into The Poverty of Nations. New York: Pantheon.

Nordholt, Henk Schulte.

2005 Outward Appearance: Trend, Identitas dan Kepentingan. Yogyakarta: LKiS.

Scott, James C.

2000 Senjatanya Orang-orang Kalah: Bentuk Perlawanan sehari-hari Kaum Tani, Terj. A.Rahman Zainudin, Sayogyo, Mien Joebhaar. Jakarta: Yayasan Obor.

1998 Seeing Like State. New Heaven: Yale University Press.

1990 Domination and The Art of Resistance: Hidden Transcripts. New Heaven: Yale University Press.

1993 Perlawanan Kaum Tani. Jakarta: Yayasan Obor.

Vincent, Joan.

1978. “Political Anthropology: Manipulative Strategies”, Annual Review of Anthropology, 7:175-194

Page | 13