ketersediaan biologis ( produk perikanan beserta faktor- faktor yang mempengaruhinya

Upload: pipit-fitriani-setiadi

Post on 07-Jul-2018

227 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    1/26

    1

    I. PENDAHULUAN

    a. Latar Belakang

    Penuaan merupakan fenomena yang terjadi pada setiap orang diseluruh dunia. Pada

    proses penuaan ini tubuh mengalami kehilangan massa tulang secara bertahap, yang

    mengakibatkan osteoporosis dan osteopenia (Cummings, et al. 1989 cit  Chen, 2014).

    Osteoporosis merupakan suatu kondisi deklasifikasi dan demineralisasi tulang yang sering

    terjadi pada manula (Michaelsson, 2009 cit Amalraj, 2015). Osteoporosis telah diidentifikasi

    dan menjadi sebuah masalah yang serius bagi kesehatan masyarakat. Bagi wanita berumur 50

    tahun yang mengalami osteoporosis, resiko patah tulang seumur hidup adalah 60 %

    (Cummings, et al. 1989 cit  Chen, 2014).

    Tingginya asupan kalsium diakui dapat mencegah terjadinya osteoporosis. Namun,

    kalsium harus tersedia dalam bentuk yang dapat diserap oleh tubuh. Agar kalsium tersebut

    dapat diserap, maka kalsium yang terdapat dalam makanan harus larut dalam asam lambung

    didalam perut, atau tetap berada dalam larutan tersebut (Gueguen & Pointillart, 2000).

    Kalsium merupakan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi

    fosiologis, dan dapat memelihara jaringan-jaringan tulang (Broadus, 1996). Menurut

    Vavrusova (2014), kalsium adalah salah satu nutrisi yang essensial dan merupakan jenis

    mineral yang melimpah di bumi. Oleh karena itu, kalsium harus tersedia dengan mudah

    untuk memenuhi asupan nutrisi per hari. Kalsium sangat penting untuk proses biokimia dan

    fisiologis termasuk rangsangan neuromuscular , pembekuan darah, transfer ion anorganik 

    yang melintasi membran, sekresi hormon, pelepasan enzim, dan berperan dalam sistem

    reproduksi seperti motilitas sperma dan pembuahan sel telur (Lobaugh, 1995; Weaver and

    Heaney, 1999).

    Menurut Theobald (2005) sumber kalsium yang sangat baik adalah susu, karena susu

    memiliki bioavailabilitas atau absorpsi kalsium yang tinggi dan tidak memiliki faktor

    penghambat. Nutrisi yang dimiliki oleh susu seperti laktosa dan protein berkontribusi positif 

    terhadap bioavailabilitas kalsium dan mencegah terjadinya pengendapan ion kalsium. Namun

    demikian, terdapat beberapa orang yang memiliki sifat intoleran terhadap laktosa, dan alergi

    terhadap kandungan protein dalam susu. Intoleransi laktosa disebabkan oleh defisiensi β-

    galaktosidase (Pereira, 2014). Orang yang memiliki sifat intoleransi terhadap kandungan

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    2/26

    2

    laktosa dalam susu akan mengalami kram perut, diare, mual dan muntah, karena selama

    fermentasi terbentuk beberapa senyawa seperti asam lemak rantai pendek, metana, dan

    karbondioksida yang dapat mempengaruhi motilitas usus sehingga menyebabkan sembelit

    (Theobald, 2005).

    Sumber kalsium lain yang dapat digunakan dan berasal dari sektor perikanan salah

    satunya adalah tulang ikan. Menurut Trilaksani (2006) tulang ikan merupakan salah satu

    bentuk limbah dari industri pengolahan ikan yang memiliki kandungan kalsium terbanyak 

    diantara bagian tubuh ikan, karena unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium, fosfor dan

    karbonat. Tulang ikan memiliki kalsium (Ca) dan phosphor (P) yaitu sekitar 2 % (20g/kg

    berat kering) (Malde et, al, 2010). Kandungan kalsium dari sektor perikanan antara lain:

    tulang tuna madidihang (Thunnus albacares) sebesar 13,19 % (Ismanaji et al., 2000) tulang

    ikan nila 9,02% (Baskoro, 2008), tulang ikan lele 13,48% (Sari et al., 2013), tepung mutiara

    35 % (Gao, 2008).

    Peningkatan penyerapan kalsium memiliki peranan besar dalam mengurangi resiko patah

    tulang dan osteoporosis dalam tubuh, karena kalsium yang diserap oleh usus dapat digunakan

    untuk fungsi-fungsi fisiologis terutama mineralisasi tulang atau mengurangi pengeroposan

    tulang (Gueguen & Pointillart, 2000). Bioavailabilitas kalsium digunakan untuk menjelaskan

    proses fisikokimia dan fisiologis yang mempengaruhi penyerapan fraksional kalsium dalam

    tubuh sehingga mineral tersebut dapat digunakan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi

    metabolisme (Trilaksani, 2006).

    Pengujian bioavailabilitas kalsium dapat dilakukan dengan berbagai metode, antara lain

    secara in vitro yang merupakan simulasi proses pencernaan bahan pangan dengan

    menggunakan enzim komersial ( Roig et al., 1999), secara in vivo yang merupakan

    pengukuran keseimbangan kalisum dengan cara mengukur absorpsi nyata kalsium yang

    diukur berdasarkan selisih antara kalsium yang dikonsumsi dengan kalsium yang

    dieksresikan lewat feses (Allen, 1982).

    Allen (1982) mengemukakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi

    bioavailabilitas kalsium, yaitu faktor komponen makanan dan faktor fisiologis. Komponen

    makanan yang mempengaruhi bioavailabilitas kalsium meliputi fosfor, protein, komponen

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    3/26

    3

    tumbuhan (serat, fitat, dan oksalat), laktosa, dan lemak. Gropper et al. (2005) menambahkan

    bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi dua) juga dapat mengurangi absorpsi kalsium.

    Faktor fisiologis yang dapat mempengaruhi absorpsi kalsium adalah status vitamin D,

    defisiensi kalsium dan fosfor, serta perbedaan kondisi fisiologis dan kebutuhan pada setiap

    tahap dalam daur kehidupan (Allen, 1982). Tahap dalam daur kehidupan yang dimaksud

    adalah bayi, anak-anak dan remaja, dewasa, ibu hamil dan menyusui, wanita menopause serta

    lansia (Ariyanti, 2012).

    Penelitian tentang bioavailabilitas kalsium dari sektor perikanan telah diuji secara in vitro

    dan in vivo, antara lain: Suptijah (2012) menguji secara in vivo pada cangkang udang

    berukuran nano (37-127 nm) menghasilkan bioavailabilitas sebesar 63.3%, (Minarty, 2012)

    melaporkan bahwa nano kalsium dari cangkang rajungan sebesar 75,1 %. Tepung tulang

    tuna yang diuji secara in vitro memiliki bioavailabilitas sebesar 0.86% (Trilaksani, 2006).

    Selain itu, tepung tulang lele 12.5% (b/b) dalam crackers dapat meningkatkan kandungan

    kalsium dari 86.28mg/100gram menjadi 522,79 mg/100g kalsium (Ca) dan memiliki

    bioavailabilitas kalsium (in vitro) sebesar 14.53% lebih tinggi dibandingkan dengan crackers

    komersial yang difortifikasi dengan CaCO3 hanya memiliki bioavailabilitas sebesar 8%

    (Purwawinangsih, 2011).

    Oleh karena itu makalah ini akan mengulas mengenai bioavailabilitas kalsium dari

    beberapa produk perikanan dengan berbagai faktor yang mempengaruhinya.

    b. Tujuan

    Mengetahui ketersediaan kalsium secara biologis (bioavailabilitas) kalsium (Ca) dari

    beberapa produk perikanan serta berbagai komponen yang mempengaruhinya.

    c. Manfaat

    Manfaat yang diharapkan dari penyusunan makalah ini adalah dapat memberikan

    informasi dan pengetahuan mengenai ketersediaan kalsium secara biologis (bioavailabilitas)

    dari beberapa produk perikanan, dengan berbagai komponen yang mempengaruhinya.

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    4/26

    4

    II. PEMBAHASAN

    A. Pengertian Kalsium

    Mineral merupakan bagian yang memegang peranan penting dalam pemeliharaan

    tubuh, baik pada tingkat sel, jaringan, organ maupun fungsi tubuh secara keseluruhan.

    Mineral berperan dalam berbagai tahap metabolisme, terutama sebagai kofaktor dalam

    aktifitas enzim. Mineral digolongkan kedalam mineral makro dan mineral mikro

    (Almatsier, 2004).

    Vavrusova (2014) menjelaskan, kalsium adalah salah satu nutrisi yang essensial dan

    merupakan jenis mineral yang melimpah di bumi. Oleh karena itu, kalsium harus tersedia

    dengan mudah untuk memenuhi asupan nutrisi per hari. Kalsium merupakan salah satu

    mineral makro yang terkandung dalam tubuh lebih banyak dibandingkan dengan mineral

    lain. Kalsium yang terdapat dalam tubuh diperkirakan 2 % berat badan orang dewasa atau

    sekitar 1,0-1,4 kg dan 25-30 gram pada bayi. Sebagian besar kalsium terkonsentrasi pada

    tulang rawan dan gigi, selebihnya terdapat dalam cairan tubuh dan jarigan lunak 

    (Winarno, 2004).

    Kalsium yang berada dalam tulang dan gigi berbentuk hidroksiapatit

    [Ca10(PO4)6(OH)2] dan pada konsentrasi 2,25-2,60 mmol/l(9-10,4 mg/100 ml) kalsium

    tulang berada dalam kondisi yang seimbang dengan kalsium plasma. Kalsium yang

    berada pada cairan tubuh yaitu dalam cairan ektraseluer dan intraseluler memiliki

    peranan untuk mengatur fungsi sel, seperti transmisi saraf, kontraksi otot, penggumpalan

    darah, dan menjaga permeabilitas membran sel (Almatsier, 2004),.

    Kalsium merupakan mineral yang dibutuhkan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi

    fosiologis, dan dapat memelihara jaringan-jaringan tulang (Broadus, 1996). Kalsium

    sangat penting untuk proses biokimia dan fisiologis termasuk rangsangsan

    neuromuscular , pembekuan darah, transfer ion anorganik yang melintasi membran,

    sekresi hormon, pelepasan enzim, dan berperan dalam sistem reproduksi seperti motilitas

    sperma dan pembuahan sel telur (Lobaugh, 1995; Weaver and Heaney, 1999).

    Konsentrasi kalsium di dalam plasma darah cenderung konstan, dan perbedaan antar

    individu sangat sedikit bergantung kepada waktu (Allen, 1982; Anderson and Garner,

    1996 cit Kim, 2012). Kalsium plasma yang tersebar dalam cairan ekstraseluler maupun

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    5/26

    5

    intraseluler, meskipun jumlahnya hanya 1% dari total kalsium tubuh namun memiliki

    peranan yang sangat vital (Muflihah, 2011). Peran kalsium dalam pembentukan darah

    yakni protrombin mula-mula harus berikatan dengan kalsium sebelum diaktifkan menjadi

    trombin. Trombin kemudian membantu perubahan fibrinogen menjadi fibrin yang

    merupakan gumpalan darah. Kalsium juga merupakan bagian dari enzim yaitu lipase,

    suksinat dehidrogenase, dan beberapa enzim proteilitik tertentu. Selain itu, kalsium juga

    berperan dalam pengiriman impuls syaraf ke jaringan-jaringan tubuh, penyimpanan dan

    pelepasan neurotransmiter, penyimpanan dan pelepasan hormon, penyerapan dan

    pengikatan asam amino, pengaturan sekresi gastrin serta menjaga keseimbangan osmotik 

    (Muchtadi, Palupi, & Astawan 1993).

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    6/26

    6

    B. Kebutuhan kalsium

    Menurut Winarno (2008), keperluan kalsium di dalam tubuh biasanya dihitung

    berdasarkan keseimbangan kalsium. Berikut ini merupakan tabel 1. Mengenai angka

    kecukupan kalsium untuk masing-masing umur :

    Tabel 1. Angka Kecukupan Kalsium dalam Tubuh

    Sumber : Peraturan Menteri Kesehatan RI (2013)

    Jumlah yang dianjurkan untuk asupan kalsium perhari adalah 1000 mg/hari untuk 

    orang dewasa, dan rekomendasi antar negara memiliki perbedaan satu sama lainnya

    (Gueguen & Pointillart, 2000). Menurut Mesias, Seiquer, & Navvarro (2011) cit 

    Vavrusova (2014) kebutuhan kalsium yang paling besar adalah selama pertumbuhan, dan

    kebutuhan semakin menurun seiring dengan bertambahnya usia. Peningkatan kebutuhkan

    Kelompok 

    kecukupan kalsium

    (mg/hari)

    Bayi( bulan)

    0-6 200

    7-11 250

    Anak-anak (tahun)

    1-3 650

    4-6 650

    7-9 1000Pria dan wanita(tahun)

    10-12 1200

    13-15 1200

    16-18 1200

    19-29 1100

    30-49 1000

    50-64 1000

    65+ 1000

    Ibu hamil

    Trisemester 1 +200Trisemester 2 +200

    Trisemester 3 +200

    Ibu menyusui

    6 bulan pertama +200

    6 bulan kedua +200

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    7/26

    7

    kalsium terjadi saat kehamilan dan menyusui (Forbes, 1976) dan penurunan penyerapan

    kalsium dimulai dari usia 50-60 pada wanita dan 55-60 untuk pria (Bullamor et al.,

    1970).

    C. Tulang ikan sebagai sumber Kalsium

    Tulang mengandung kalsium, fosfat, dan magnesium. Kalsium merupakan mineral

    yang paling melimpah dan terdapat bersama phosfat dalam bentuk kristal yang kompleks

    yaitu hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2]. Mineral yang terkandung dalam tulang bukan

    merupakan hiroksiapatit murni, karena mengandung karbonat, sitrat, sodium, dan

    magnesium (Theobald, 2002). Menurut Trilaksani (2006) tulang ikan merupakan salah

    satu bentuk limbah dari industri perikanan yang memiliki kandungan kalsium terbanyak 

    diantara bagian tubuh ikan, karena unsur utama dari tulang ikan adalah kalsium fosfor

    dan karbonat. Berikut ini merupakan kandungan dari beberapa tepung tulang yang

    disajikan pada tabel 2:

    Tabel 2. Kandungan Gizi Pada Beberapa Tuang Ikan

    KomposisiTepung Kepala

    Ikan Lele DumboTepung TulangIkan Tuna

    Tepung Tulangikan patin

    TulangIkan Nila

    Air (%) 8.72 8.30 8.65 8.76

    Abu (%) 16.53 84.22 41.60 63.37

    Protein (%) 51.15 1.29 33.50 26.06

    Lemak % 8.56 4.13 11.65 2.85

    Kalsium (%) 5.68 39.24 30.38 18.70

    Referensi

    Purwawinangsih

    (2011) Nabil (2005) Apriliani,(2010)

    Lekahena,

    (2012)

    Yoon et al., (2005) meneliti mengenai pengaruh dari tepung tulang ikan tuna yang di

    peroleh dari limbah industri perikanan terhadap metabolisme tulang tikus ovariektomi

    (OVX) yang diberikan perlakuan selama 5 minggu dengan kontrol berupa kalsium

    karbonat (CaCO3). Penelitian ini memiliki 6 kelompok perlakuan, antara lain : OVX-CC

    (CaCO3), OVX-CCH (CaCO3 dan ekstrak herbal), OVX-TB (tepung tulang tuna), OVX-

    TBH (tepung tulang tuna dan ekstrak herbal), OVX-CTB (citrate tepung tulang tuna),

    OVX-CTBH (citrat dan tepung tulang tuna dengan ekstrak herbal). Adapun komposisi

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    8/26

    8

    kalsium yang diberikan sebesar 0.5% pada setiap kelompok perlakuan. Hasil yang

    diperoleh dari penelitian tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.

    Tabel 3. Kandungan kalsium pada berbagai perlakuan

    Keterangan : sham-control (control dengan CaCO3), OVX-CC (CaCO3), OVX-CCH(CaCO3 dan ekstrak herbal), OVX-TB (tepung tulang tuna), OVX-TBH

    (tepung tulang tuna dan ekstrak herbal), OVX-CTB (citrate tepung tulang

    tuna), OVX-CTBH (citrat dan tepung tulang tuna dengan ekstrak herbal)

    Sumber Yoon et al., 2005

    Penelitian ini menjelaskan bahwa tulang ikan dapat dijadikan sumber kalsium yang

    baik, hal tersebut dapat terlihat bahwa kandungan kalsium dalam tulang tikus yang

    diberikan sumber kalsium dari tepung tulang tuna tidak berbeda nyata dengan kelompok 

    tikus yang diberikan perlakuan dengan sumber kalsium dari CaCO3 (kalsium karbonat).

    D. Pengertian Bioavailabilitas

    Ketersediaan biologis (Bioavailabilitas) kalsium merupakan proses fisikokimia dan

    fisiologis yang mempengaruhi penyerapan kalsium dalam tubuh sehingga mineral

    tersebut dapat digunakan oleh tubuh untuk menjalankan fungsi metabolisme (Trilaksani,

    et al. 2006). Menurut Theobald (2005) bioavailabilitas kalisum yang berasal dari

    makanan dapat didefinisikan sebagai jumlah kalsium dari makanan yang dapat

    dimanfaatkan oleh tubuh untuk fungsi proses metabolisme. Hal tersebut mencakup

    penyimpanan, penyerapan, serta pemanfaatan kalsium yang diserap oleh tubuh. Terdapat

    sejumlah variable fisiologis dan faktor nutrisi atau makanan yang dapat mempengaruhi

    bioavailabilitas kalisum, antara lain status vitamin D, usia, kehamilan, menyusui dan

    penyakit.

    Groupkalsium dalam

    feses (mg/d)

    Kalsium dalam

    urin (mg/d)

    Serumosteocalcin

    (ng/mL)

    Kalsium dalamtulang

    (mg/100g)

    BMD per 10berat badan

    (g/cm2)

    Sham (SCC) 26.60 ± 8.22a,b

    2.83 ± 1.90b

    1.38 ± 0.26b,c

    44.79 ± 5.33a

    0.069 ± 0.006

    OVX-CC 32.42 ± 15.66a

    3.98 ± 1.18a,b

    1.26 ± 0.33c

    39.96 ± 3.98b

    0.056 ± 0.006

    OVX-CCH 29.55 ± 6.67a,b

    3.88 ± 1.68a,b

    1.53 ± 0.32a,b,c

    39.59 ± 2.85b

    0.055 ± 0.002

    OVX-TB 31.82 ± 7.63a,b

    4.80 ±1.05a

    1.61 ± 0.24a,b

    35.48 ± 2.86b

    0.050 ± 0.002

    OVX-TBH 25.80 ± 9.60a,b 3.39 ± 0.99a,b 1.58 ± 0.31a,b 36.59 ± 3.09b 0.054 ± 0.002

    OVX-CTB 25.59 ± 6.82a,b 3.86 ± 1.25a,b 1.75 ± 0.20a 37.72 ± 5.03b 0.056 ± 0.003

    OVX-CTBH 21.14 ± 11.02b 2.60 ± 0.83b 1.67 ± 0.25a,b 38.64 ± 5.08b 0.055 ± 0.002

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    9/26

    9

    E. Mekanisme absorbsi kalsium

    Hidroksiapatit [Ca10(PO4)6(OH)2] merupakan penyusun utama dari jaringan keras

    manusia seperti tulang dan gigi, dan 99% dari total kalsium dalam tubuh manusia

    berbentuk hidroksiapatit dalam tulang (Rodriguez et al., 1998). Sebanyak 1 % sisanya

    kalsium terletak pada jaringan lunak, dan dalam jumlah yang kecil kalsium terdapat

    dalam cairan ekstraseluler seperti plasma darah dengan konsentrasi 3 mmol L-1

    . Dalam

    cairan ekstraseluler, 50 % merupakan ion kalsium bebas yang berada dalam kondisi

    seimbang dengan kalsium yang terikat dengan protein seperti albumin, sitrat, sulfat dan

    fosfat (Robertson, Marshall, & Bowers, 1981).

    Kalsium yang dapat diserap dalam saluran pencernaan sebanyak 20-30%, dan yang

    tidak diserap dieksreksikan dalam tinja. Jumlah kalsium yang diserap tergantung pada

    kandungan kalsium yang ada dalam makanan yang dikonsumsi, dan penyerapan kalsium

    terjadi pada usus kecil dengan kondisi pH asam, kemudian sampai pada usus besar,

    penyerapan terjadi dalam kondisi basa. Kalsium diabsorpsi setelah terjadinya fermentasi

    oleh bakteri pada proses pencernaan tersebut (Basu & Donaldson 2003).

    Penyerapan kalsium melalui transport aktif dikendalikan oleh kalsium yang

    terionisasi dalam peredaran darah dan terjadi pada usus kecil yang diatur oleh calcitriol.

    Absorpsi kalsium meningkat ketika konsentrasi 1.1 mmol/L, dan sebaliknya konsentrasi

    penyerapan menurun ketika konsentasi 1.3 mmol/L (Scopacasa et al. 2004 cit Theobald

    2005). 90 % penyerapan kalsium terjadi pada usus kecil dan kalsium dapat diabsorpsi jika

    berbentuk ion terlarut (Ca2+

    ) (Wasserman, 2004) atau terikat dengan molekul organik 

    terlarut untuk melewati dinding usus (Gueguen & Pointillart, 2000).

    Absorpsi kalsium pada usus halus melibatkan dua proses, yaitu transeluler dan

    paraseluller. Jalur transeluler terjadi pada proksimal intestinal terutama pada duodenum,

    sedangkan jalur paraseluller terjadi di sepanjang usus kecil terutama pada ileum dan

     jejunum. Jalur transeluler terdiri dari tiga jalur, yaitu (1) masuk ke “brush border 

    membrane” yang terdapat pada enterosit (sel epitel usus halus), (2) difusi intraseluler, dan

    (3) ekstrusi pada membran basolateral/penekanan kalsium keluar membran basolateral

    menuju cairan ekstraseluler yang dilakukan dengan pompa ATPase. Transport kalsium

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    10/26

    10

    dengan jalur paraseluler yaitu melalui tight junction yang ada di antara sel epitel

    (Bronner, 1992).

    F. Pengujian Bioavailabilitas

    1.  In vitro

    Pengujian secara in vitro merupakan metode yang memperkirakan ketersediaan

    mineral dalam makanan. Metode ini dilakukan dengan cara simulasi saluran pencernaan

    (gastrointestinal) yang diikuti dengan pengukuran molekul terlarut. Prinsipnya, makanan

    yang akan diuji dihomogenkan dan diberikan larutan pepsin dengan pH 2, dan

    selanjutnya diberikan penambahan  pancreatin serta bile salt  (garam empedu) (Miller,

    1981). Masalah yang dapat ditemui dari penentuan dengan metode ini adalah bentuk 

    kimia dari mineral yang diuji, adanya komponen makanan lain seperti fruktosa, asam

    askorbat, sistein yang dapat meningkatkan penyerapan, dan okasalat, fosfat, maupun fitat

    yang dapat mengurangi jumah mineral yang dapat diserap. Damayanthi (2008)

    menyatakan bahwa metode pengujian bioavailabilitas secara in vitro lebih

    menguntungkan karena praktis dan murah, namun dalam metode ini memiliki

    keterbatasan yaitu enzim yang digunakan adalah enzim pepsin dan pankreatin bile yang

    memiliki peranan untuk memecah protein hingga kalsium yang terikat dapat terlepas dan

    berdifusi kedalam kantung dialisis. Namun, pada pencernaan manusia tidak hanya

    mengandung kedua enzim tersebut dan aktivitas enzim yang berbeda akan menghasilkan

    tingkat bioavailabilitas yang berbeda pula. Adanya interaksi antar mineral, serat pangan,

    dan komponen lain dalam makanan dapat menyebabkan keseimbangan mineral pada

    manusia sangat sulit untuk dipelajari dengan menggunakan metode in vitro (Wilson et al,

    1979 cit Muflihah 2011).

    2.  In Vivo

    Metode in vivo menurut Allen (1982) merupakan metode keseimbangan kalsium

    dilakukan untuk mengukur absorpsi nyata kalsium yang merupakan selisih antara kalsium

    yang dikonsumsi dengan kalsium yang dieksresikan lewat feses. Metode ini memiliki

    kelebihan yaitu dapat mengukur bioavailabilitas secara tepat (Gueguen & Pointillart,

    2000) namun memiliki keragaman yang lebih besar dibandingkan dengan pengujian

    secara in vitro (Sudharma, 1995).

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    11/26

    11

    G. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Bioavailabilitas Kalsium

    Bentuk kimia dari kalsium dapat mempengaruhi penyerapan kalsium, misalnya

    kasium laktat memiliki bioavailabilitas yang tinggi dari kalsium karbonat (Theobald,

    2005). Kalsium laktat memiliki kelarutan yang lebih tinggi dibandingkan dengan kalsium

    karbonat, sehingga penyerapan pada kalsium laktat lebih tinggi (Muchtadi, 2008 cit 

    Ariyanti, 2012). Kelarutan kalsium dalam lambung dan usus adalah faktor yang sangat

    penting dalam penyerapan kalisum karena asam lambung dapat menyebabakan ionisasi

    kalsium dan meningkatkan penyerapan kalisum (Theobald, 2008). Nutrisi atau senyawa

    lain yang terdapat dalam makanan dan memiliki kemampuan untuk membuat senyawa

    yang kompleks dengan kalsium dalam usus seperti oksalat, fitat, dan asam uronik yang

    dapat mengurangi bioavailabilitas kalsium (Theobald, 2005). Faktor-faktor yang

    mempengaruhi bioavailabilitas kalsium antara lain :

    a. Interaksi antara mineral dengan mineral

    Mineral yang memiliki berat molekul dan jumlah muatan valensi yang sama akan

    bersaing satu sama lain untuk diabsorpsi (Almatsier, 2004). Gropper et al. (2005)

    menjelaskan bahwa keberadaan kation divalen (bervalensi 2) seperti magnesium dan

    seng dapat mengurangi absorpsi kalsium ketika magnesium atau seng berada dalam

    keadaan berlebih dalam saluran pencernaan karena kedua mineral tersebut akan saling

    berkompetisi dalam hal penyerapannya di usus. Pengaruh kation divalen dalam

    bioavailabilitas kalsium dapat dikurangi jika konsumsinya tidak bersamaan sehingga

    keberadaannya dalam usus lebih rendah dari kalsium.

    Mineral lainnya yang berpengaruh adalah fosfor yang merupakan nutrisi yang

    secara teori dapat mempengaruhi penyerapan kalsium dalam tubuh. Penyerapan

    kalsium tersebut dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu secara langsung memberikan

    dampak pada ketersediaan kalsium melalui interaksi antara phosphor dengan kalsium

    dalam makanan, sedangkan cara kedua adalah secara tidak langsung dimediasi

    melalui respon hormonal tubuh terhadap kekurangan maupun kelebihan fosfor (Allen,

    1982). Tabel 5 berikut ini merupakan salah satu contoh interaksi antara kalsium

    dengan fosfor yang terjadi pada tikus yang diberikan perlakuan dengan tepung

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    12/26

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    13/26

    13

    c. Interaksi serat dengan mineral

    Ketersediaan biologik mineral banyak dipengaruhi oleh bahan-bahan makanan

    non mineral yang terkandung dalam makanan tersebut. Serat yang ada dalam

    makanan merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi penyerapan kalsium.

    Serat memiliki efek yang negatif tehadap penyerapan (Martons, 2002). Komponen

    utama serat makanan diklasifikasikan sebagai materi penyusun dinding sel tumbuhan

    (selulosa, polisakarida nonselulosa, dan lignin) atau polisakarida nonstruktural seperti

    pektin, gum, musilage, dan beberapa hemiselulosa (Allen 1982). Selulosa dapat

    meningkatkan massa feses dalam usus dan mengurangi transit time sehingga

    mengurangi waktu yang tersedia untuk absorpsi kalsium. hemiselulosa menstimulasi

    proliferasi oleh mikroba, yang pada akhirnya akan mengikat kalsium sehingga

    kalsium tidak dapat diabsorpsi (Gropper et al. 2005)

    Asam fitat dalam serat kacang-kacangan dan serealia serta asam oksalat dalam

    bayam dapat mengikat mineral-mineral tertentu sehingga tidak dapat diabsorpsi.

    Makanan tinggi serat (lebih dari 35 gram sehari) dapat menghambat absorpsi kalsium,

    zat besi, seng dan magnesium (Almatsier, 2004). Oksalat menghambat absorpsi

    kalsium karena terjadinya peningkatan ekskresi lewat feses (Gropper et al, 2005).

    d. Ukuran Partikel

    Kalsium yang sering dikonsumsi merupakan kalsium dalam bentuk mikro

    kalsium. Ukuran parikel yang dimiliki cenderung lebih besar dibandingkan dengan

    nano kalsium yang memiliki ukuran partikel 10-1000 nm sehingga dapat

    mempengaruhi tingkat absorpsinya. Mikro kalsium memiliki tingkat absorpsi

    sebanyak 50%, sedangkan nano kalsium memiliki tingkat absorpsi hampir 100%

    (Suptijah, 2009). Menurut Erfanian (2014) yang meneliti pengaruh dari ukuran nano

    terhadap penyerapan dan bioavailabilitas kalsium dari susu yang dilakukan secara in

    vivo, menunjukan bahwa disefisiensi tulang dapat dicegah dengan cara pemberian

    suplemen nano kalsium, karena nano kalsium memiliki ketersediaan kalsium yang

    tinggi dibandingkan dengan mikro kalsium. Nano kalsium memiliki tingkat absorpsi

    sebesar 90%, sedangkan mikro kalsium memiliki nilai absorpsi sebesar 65%. Nano

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    14/26

    14

    kalsium dapat cepat memasuki reseptor dan terabsorpsi sempurna oleh tubuh, dan

    lebih efisien dibandingkan dengan mikro kalsium (Suptijah, 2009).

    Absorpsi yang terjadi pada nano maupun mikro kalsium dapat dibandingkan

    melalui penelitian yang telah dilakukan oleh Gao (2008) secara in vivo dengan cara

    mengukur kandungan kalsium pada feses, urin, dan femur (tulang paha) pada

    beberapa tikus yang dibagi menjadi 5 kelompok dengan berbagai perlakuan.

    Kelompok I dan II merupakan sampel yang diberikan treatment tepung mutiara

    dengan ukuran mikro, kemudian III dan IV merupakan sampel tikus yang diberikan

    perlakuan berupa tepung mutiara ukuran nano, kelompok V merupakan tikus yang

    diberikan sumber kalsium yang rendah. Efek nano kalsium terhadap retensi dan

    absorpsi kalsium pada tikus dapat dilihat dalam tabel 5.

    Tebel 5. Retensi dan absorpsi kalsium pada tikus yang diberi perlakuan nano dan

    mikro kalsium

    Group n Totalabsorpsi

    kalsium

    (mg/d)

    Kandungankalsium

    dalam feses

    (mg/d)

    Kandungankalsium

    dalam urin

    (mg/d)

    Absorpsikalsium pada

    tikus

    (%)

    Retensikalsium

    (%)

    I

    II

    III

    IV

    V

    20

    20

    20

    20

    20

    51.6 ± 9.1

    70.4 ±12.9

    53.7 ± 8.3

    72.3 ±13.4

    10.9 ± 1.6

    26.5 ± 4.7

    30.4 ± 10.3

    11.2 ± 2.4

    14.1 ± 5.2

    8.40 ± 2.01

    6.3 ± 0.9

    8.5 1.1

    2.1 ± 0.8

    3.2 ± 0.4

    1.9 ± 0.04

    48.6 ± 9.4a

    56.8 ± 6.8a

    79.1 ± 8.3bc

    80.5 ± 8.2bc

    22.9 ± 1.6

    74.9 ± 6.1a

    78.8 ± 10.2a

    95.1 ± 12.3bc

    94.5 ± 9.7bc

    24.0 ± 2.9

    Keterangan :

    I & II : Kelompok perlakuan yang diberikan tepung mutiara berukuran mikro

    III & IV : Kelompok perlakuan yang diberikan tepung mutiara berukuran nano

    V : Kelompok yang tidak diberikan perlakuan apapun

    Sumber : Gao et al., 2008

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    15/26

    15

    Berdasarkan hasil tersebut menunjukan bahwa absorpsi kalsium paling tinggi adalah

    tikus yang diberikan perlakuan berupa tepung mutiara yang berukuran nano sebesar 79.1

    % dan 80.5 %, sedangkan tikus yang diberikan perlakuan dengan tepung mutiara

    berukuran mikro hanya dapat menyerap sebanyak 48.6 % dan 56.8 %. Efek pemberian

    sumber kalsium berupa tepung mutiara terhadap tulang femur tikus yang telah diberikan

    perlakuan dapat dilihat pada tabel 6 .

    Tabel 6. Efek pemberian tepung mutiara terhadap panjang dan berat femur tikus

    Keterangan :

    I & II : Kelompok perlakuan yang diberikan tepung mutiara berukuran mikro

    III & IV : Kelompok perlakuan yang diberikan tepung mutiara berukuran nano

    V : Kelompok yang tidak diberikan perlakuan apapun

    Sumber : Gao et al. 2008

    Kelompok I dan II yang diberikan perlakuan dengan sumber kalsium tepung mutiara

    berukuran mikro memiliki panjang dan berat tulang lebih rendah sebesar 2.58-2.67 cm

    dan 0.75-0.81 g dibandingkan dengan kelompok III dan IV yang diberikan tepung

    mutiara berukuran nano sebesar 2.81-2.97 cm dan 0.95-1.03 g. Kemudian total kalsium

    yang terserap pada tikus kelompok III dan V memiliki nilai yang lebih tinggi, sehingga

    kandungan kalsium dalam tulang memiliki peningkatan antara sebelum dengan setelah

    diberikan perlakuan. Kelompok yang diberikan perlakuan dengan tepung berukuran

    mikro memiliki peningkatan kandungan kalsium dalam tulang sebesar 83.32-94.36 gram,sedangkan pada kelompok perlakuan yang diberikan tepung mutiara berukuran nano

    memiliki peningkatan kandungan kalsium dalam tulang sebesar 120.49-147.49 gram.

    Selanjutnya peningkatan kandungan kalsium dalam tubuh tikus dapat dilihat pada tabel 7.

    Group nPanjang

    femurs (cm)

    Berat Femur

    (g)

    Total

    absorpsikalsium (g)

    Kalsium dalam femurs (g)Retensi

    KalsiumSebelum sesudah

    I 20 2.58±0.11a 0.75 ± 0.09a 2.24 ± 0.34 53.36 ± 5.34 83.32 ± 11.34a 1.34a

    II 20 2.67 ± 0.09a 0.81 ± 0.07a 2.69 ± 0.47 53.36 ± 5.34 94.36 ± 13.45b 1.52b

    III 20 2.81 ± 0.12bc

    0.95 ± 0.14bc

    2.21 ± 0.53 53.36 ± 5.34 120.41 ± 12.14bc

    3.03bc

    IV 20 2.97 ± 0.18bd

    1.03 ± 0.11 2.73 ± 0.31 53.36 ± 5.34 147.49 ± 17.62bc

    3.45bd

    V 20 2.41 ± 0.04 0.57 ± 0.06 0.74 ± 0.01 53.36 ± 5.34 47.86 ± 8.98 0.74

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    16/26

    16

    Tabel 7. Peningkatan kandungan kalsium pada kelompok perlakuan

    Keterangan :

    I & II : Kelompok perlakuan yang diberikan tepung mutiara berukuran mikro

    III & IV : Kelompok perlakuan yang diberikan tepung mutiara berukuran nano

    V : Kelompok yang tidak diberikan perlakuan apapun

    Sumber : Gao et al. 2008

    Berdasarkan tabel tersebut, kandungan feses dan urin pada kelompok I dan II lebih

    tinggi dibandingkan dengan kelompok III dan IV. Hal tersebut menunjukan bahwa

    kalsium tidak dapat terserap dengan baik pada tikus yang diberikan perlakuan dengan

    tepung mutiara berukuran mikro, sehingga mengakibatkan kandungan kalsium dalam

    tulang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok yang diberikan tepung mutiara

    berukuran nano. Kandungan kalsium dalam tulang pada kelompok yang diberikan

    perlakuan dengan tepung mutiara berukuran nano memiliki nilai lebih tinggi sebesar

    72.55-99.36 atau 252-208%, dan hal tersebut terjadi juga pada serum darah sebesar 0.54-

    0.77 mmol/L atau 30-42%.

    Group n

    kalsiuma

    dalamfeses

    (mg/d)

    Persentase

    kalsiumdalam

    feses (%)

    Kalsiuma

    dalamurin

    (mg/d)

    Persentase

    kalsiumdalam urin

    (%)

    Kalsiuma

    dalamfemurs

    (mg)

    Persentase

    kalsiumdalam

    femurs (%)

    Kalsiuma

    dalamserum

    (mml/L)

    Persentase

    kalsiumdalam

    serum (%

    I 20 18.1 215 4.4 232 35.46 74 0.15 8

    II 20 22 262 6.6 347 46.5 97 0.35 19

    III 20 2.8 33 0.2 11 72.55 252 0.54 30

    IV 20 5.7 68 1.3 68 99.36 208 0.77 42

    V 20 (8.40) - ( 1.9) 232 (47.86) 74 (1.82) 8

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    17/26

    17

    e. Fortifikasi

    Trilaksani (2006) mengemukakan bahwa sumber kalsium yang ditambahkan atau

    difortifikasikan kedalam bahan makanan dapat meningkatkan penyerapan kalsium

    terutama pada bahan makanan yang mengandung laktosa tinggi, dan asupan vitamin D

    yang seimbang. Martinez et al., (1998) telah meneliti mengenai bioavailabilitas kalsium

    secara in vitro pada makanan bayi yang diberikan tambahan berupa daging dan tulang

    ikan hake ( Merluccius merlucius) dan ikan sole (Solea vulgaris vulgaris) dengan

    perbandingan 1 : 1. Perlakuan dalam penelitian ini adalah penambahan daging ikan sole

    (S), kemudian penambahan daging ikan hake (H), penambahan daging dengan tulang

    ikan sole dan daging ikan hoke tanpa tulang (SBH), SB merupakan perlakuan

    penambahan daging dan tulang ikan sole dan perlakuaan terakhir adalah penambahan

    daging dan tulang ikan hake (HB). Keseluruhan perlakuan tersebut ditambahkan sebesar

    24 % ke dalam produk yang diuji kandungan mineral dan bioavailabilitasnya. Tabel 8

    menjelaskan kandungan kalsium pada berbagai perlakuan yang diberikan.

    Tabel 8. Kandungan Kalsium pada Setiap Bahan Tambahan

    Keterangan :

    DM = Dialysis mineral

    S = daging ikan sole

    H = daging ikan hake

    SHB = daging dengan tulang ikan sole dan daging ikan hoke tanpa tulangSB = daging dan tulang ikan sole

    HB = daging dan tulang ikan hake

    Sumber : Martinez et al., (1998)

    Berdasarkan hasil tersebut dapat dilihat bahwa kandungan tertinggi dalam bahan

    yang akan di tambahkan pada makanan bayi adalah sampel dengan kode HB ( Hake with

    bone) yaitu daging dengan penambahan tulang ikan Hake yaitu 512mg/100 gram bahan,

    kemudian persentase kalsium yang terdialisis sebesar 2.47%. Adapun hasil yang

    diperoleh setelah ditambahkan pada bahan makanan dapat dilihat pada tabel 10.

    Kalsium

    Tanpa Tulang Penambahan Tulang

    S H SBH SB HB

    mg 100g-1

    67.7±9.86d

    97.1 ± 10.28cd

    232 ±18.50bc

    330 ± 47.99b

    512 ±102.90a

    % DM 8.32 ± 2.21a 2.24 ± 0.67c 5.08 ± 0.56b 4.54 ± 0.21b 2.47 ± 0.28c

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    18/26

    18

    Tabel 9. Persentase dan jumlah kalsium yang terdialisis pada sampel makanan bayi

    Keterangan :

    DM = Dialysis mineral

    S = daging ikan soleH = daging ikan hake

    SHB = daging dengan tulang ikan sole dan daging ikan hoke tanpa tulang

    SB = daging dan tulang ikan soleHB = daging dan tulang ikan hake

    Sumber : Martinez et al., (1998)

    Persentase kalsium yang terdialisis pada seluruh perlakuan meningkat setelah

    ditambahkan pada makanan. Persentase kalsium yang terdialisis pada sampel HB ( Hake

     Bone) memiliki peningkatan dari 2.47% menjadi 26%, kemudian pada sampel SB (Sole

     Bone) memiliki peningkatan sebesar 4.54% menjadi 20.3%, sampel SBH (Sole Bone

     Hake) memiliki persentase 5.08% menjadi 21.4%, sampel Hake menunjukan peningkatan

    sebesar 2.24% menjadi 16.1% dan sampel S (Sole) 8.32% menjadi 16.3%. Sampel HB

    ( Hake Bone) memiliki persentase tertinggi besar 26% sedangkan terendah adalah dampel

    H (Hake) sebesar 16.1%. Menurut Guthrie (1975) cit  Trilaksani (2006) penyerapan

    kalsium dalam level 20-30% merupakan kategori yang cukup baik. Hal ini menunjukan

    bahwa sumber kalsium berupa daging dan tulang ikan yang ditambahkan kedalam bahan

    pangan memiliki penyerapan yang lebih baik dibandingkan sebelum ditambahkan

    kedalam bahan pangan .

    Faktor lain yang dapat mempengaruhi absorpsi kalsium antara lain komponen

    makanan yang dikonsumsi dan masuk kedalam tubuh. Komponen tersebut antara lain

    protein, laktosa, dan lemak (Allen, 1982). Berikut ini adalah penjelasannya :a. Protein

    Heaney (2002) cit Muflihah (2011) menjelaskan bahwa peningkatan asupan

    protein akan meningkatkan ekskresi kalsium di urin dan menyebabkan keseimbangan

    kalsium negatif. Hal ini disebabkan karena asupan protein yang tinggi akan

    Kalsium

    Tanpa Tulang Penambahan Tulang

    S H SBH SB HB

    mg 100g-1 39.0 ±4.35d 51.7 ± 1.61cd 78.9 ±1.18bc 82.8 ± 4.25b 92.8 ± 0.44a

    % DM 16.3 ± 1.36a

    16.1 ± 0.35c

    21.4 ± 1.95b

    20.3 ± 1.92b

    26.0 ± 1.03c

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    19/26

    19

    meningkatkan laju filtrasi glomerolus sehingga resorpsi kalsium di dalam tubulus

    ginjal akan berkurang, dengan demikian kalsium lebih banyak dibuang ke urin.

    b. Laktosa

    Laktosa juga akan meningkatkan absorpsi bila tersedia cukup enzim laktase.Laktosa meningkatkan transpor kalsium melalui difusi di ileum dibandingkan dengan

    transpor aktif (Allen 1982). Interaksi laktosa dengan kalsium membentuk kompleks

    kalsium laktat yang memiliki tingkat absorpsi yang tinggi. Fermentasi laktosa oleh

    mikroba usus akan menghasilkan asam yang dapat menurunkan pH sehingga absorpsi

    lebih optimal (Muflihah, 2011).

    c. Lemak 

    Asam lemak makanan yang tidak terabsorpsi memiliki hubungan yang signifikan

    dengan terjadinya steatorea yang dapat meningkatkan ekskresi dalam feses sehingga

    menurunkan absorpsi kalsium melalui pembentukan kompleks asam lemak (terutama

    asam lemak jenuh) dan kalsium (insoluble calcium shoaps) dalam lumen di usus

    halus yang tidak dapat diabsorpsi dan akan diekskresikan lewat feses (Theobald.

    2005).

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    20/26

    20

    III.PENUTUP

    a. Kesimpulan

    1. Sumber kalsium dari tepung mutiara yang berukuran nano dapat meningkatkan

    absorpsi kalsium dalam tubuh sebesar 79.1% sampai 80.5%, sedangkan tepung

    mutiara yang berukuran mikro hanya dapat menyerap kalsium sebesar 48.6% sampai

    56.8%.

    2. Sumber kalsium yang berasal dari daging dan tulang ikan yang telah difortifikasi

    kedalam produk memiliki bioavailabilitas yang lebih tinggi dibandingkan sebelum

    difortifikasi.

    b. Saran

    Sebaiknya dilakukan penelitian mengenai bioavailabilitas kalsium dari produk yang

    telah difortifikasi dengan sumber kalsium yang berukuran nano.

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    21/26

    21

    DAFTAR PUSTAKA

    Allen, L.H. 1982. Calcium bioavailability and absorption: a review. The American Journal of 

    Clinical Nutrition. Vol.35; 783-808.

    Almatsier, Sunita. 2004. Prinsip dasar Ilmu Gizi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.Amalraj, Augustine., A. Pius. 2015. Bioavailability of Calcium and absorption inhibitors in raw

    and cooked green leavy vegetables commonly consumed in India-An in vitro study. Food 

    Chemistry. Vol. 170 ; 430-43.

    Apriliani I. S,. 2010. Pemanfaatan Tepung Tulang Ikan Patin (Pangasius hypopthalmus) pada

    Pembuatan Cone Es Krim. Skirpsi. Departemen Teknologi Hasil Perairan. Fakultas

    Perikanan dan Ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Ariyanti, T.D. 2012. Bioavailabilitas Kalsium (Ca) dan Zat Besi (Fe) Secara  In Vitro pada

    Beberapa Produk Komersial Susu Ibu Hamil. Skripsi. Departemen Gizi Masyarakat.

    Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Baskoro, P. 2008. Fortifikasi Tepung Tulang Nila Merah Terhadap Karakteristik Biskuit. Skripsi.

    Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan. Jatinangor: Universitas Padjajaran.

    Basu T.K, D. Donaldson. 2003. Intestinal absorption in health and disease: micronutrients. Best

    Practice and Research. Clinical Gastroenterology 17: 957 – 79.

    Broadus, A.E., 1996.  Mineral balance and homeostasis. In: Favus, M.J. (Ed.), Primer on the

    Metabolic Bone Diseases and Disorders of Mineral Metabolism, 3rd Edition. Lippincott-

    Raven, Philadelphia, pp. 57 – 63.

    Bronner F. 1992. Current concepts of calcium absorption: an overview.  Journal of Nutrition 122:

    641-643.

    Bullamor, J. R., Gallaghe, J. C., Wilkinso, R., & Nordin, B. E. C. 1970. Effect of age on calcium

    absorption. Lancet, 2, 535-537.

    Chen, Li-Ru, Yu-Tang Wen, Chih-Lin Kuo, Kuo-Hu Chen. 2014. Calcium and Vitamin D

    Suplementation on Bone Health: Current Evidence and Recommendations.  International

     Journal of Gerontology. 8 (2014) 183-188.

    Damayanthi E, Rimbawan. 2008. Penuntun Praktikum Evaluasi Nilai Gizi. diktat. Bogor:

    Departemen Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi manusia. Institut Pertanian Bogor.

    Erfanian, Arezoo., H. Mirhosseini, M. Y.A. Manap, B. Rasti, M. H. Bejo.2014. Influence of 

    Nano-Size reduction on Bsorption and Bioavailability of Calcium from Fortified Milk in

    Rats. Food Research International. Vol. 66; 1-11.

    Forbes, G. B. (1976). Calcium accumulation by human fetus. Pediatrics, 57,976e977.

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    22/26

    22

    Gao, Haiyan.,H. Chen, W. Chen, F. Tao, Y. Zheng, Y. Jiang, H. Ruan. 2008. Effect of nanometer

    pearl powder on Calcium absorption and utilization in rats. Food Chemistry. Vol.109:439-

    498.

    Gropper, S.,Smith., Groff. 2005.  Andanced Nutrition and Human Metabolism 4th edition.

    Wadsworth. USA.

    Gueguen, L., & Pointillart, A. 2000. The bioavailability of dietary calcium.  Journal of the

     American College of Nutrition, 19,119Se136S.

    Ismanadji, I., Djazuli N, Widarto, Istihastuti T, Herawati N, Ismarsudi, Lasmono. 2000. LaporanPerekayasaan Teknologi Pengolahan Limbah. Jakarta : Balai Bimbingan dan Pengujian

    Mutu Hasil Perikanan, Direktorat Jenderal Perikanan.

    Kemi, Virpi. 2010. Effect of dietary phosphorus and calcium-to-phosphorus ratio on calcium and

    bone metabolism in healthy 20-to 43-year-old-finish women. Dissertation. Departement of 

    Fod and Environmental Sciences University of Helsinki. Helsinki.

    Khoerunnisa. 2008. Isolasi dan Karakterisasi Nano Kalsium dari Cangkang Kijing Lokal(Pilsbryoconcha exilis ) dengan Metode Presipitasi. Skripsi. Departemen teknologi Hasil

    perairan. Fakultas Perikanan dan ilmu Kelautan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Lekahena, V., D. N. Faridah, R. Syarief, R. Peranginangin. 2012. Karakterisasi Fisiko Kimia

    Nano Kalsium Hasil Ekstraksi Tulang Ikan Nila Menggunakan Larutan Basa dan Asam.

    Jurnal Teknologi dan Industri Pangan. Vol 25, No. 1.

    Lobaugh, B., 1995. Blood calcium and phosphorus regulation. In: Anderson, J.J.B., Garner, S.C.(Eds.), Calcium and Phosphorus in Health and Disease. CRC Press, Boca Raton, FL, pp.

    28 – 42.

    Malde, M. K., S. Bugel, M. Kristensen, K. Malde, I. E. Graff, J. I. Pedersen. 2010. Calcium fromSalmon and Cod Bone is Well Absorbed in Young Healthy Men: A Double Blinded

    Randomised Crossover Design. Nutrition and Metabolism. Vol.7;61.

    Martinez, Isabel., M. Santaella, G. Ros, M. J. Periago. 1998. Content and in vitro availability of 

    Fe, Zn, Mg, Ca, and P in Homogenized Fish-Based Weaning Foods After Bone Addition.

    Food Chemistry. Vol 63 No.3 : 299-305.

    Miller, D., B. R. Schricker, R. R. Rasmussen, D.V. Campen. 1981. An in vitro method for

    estimation of iron availability from meals. The American Journal of Clinical Nutrition.

    Vol. 34; 2248-2256.

    Minarty.I. S., 2012. Aplikasi Nanokalisum dari cangkang Ranjungan (Portunus sp) pada

    Efervescent. Skripsi. Departemen Hasil Perairan. Fakultas Perikanan dan Kelautan. Institut

    Teknologi Bogor. Bogor.

    Muchtadi D, Palupi N.S & Astawan M. 1993.  Metabolisme Zat Gizi : Sumber, Fungsi dan

    Kebutuhan Bagi Tubuh Manusia. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    23/26

    23

    Muflihah, Asia. 2011. Bioavailabilitas Kalsium dan Zat Besi In Vitro Cookies pati Garut

    ( Maranta aundinaceae L) dengan Penambahan Torbangun (Coleus ambionicus Lour) padaBerbagai Minuman. Skripsi. Departemen Gizi Maskarakat. Fakultas Ekologi Manusia.

    Institut Pertanian Bogor. Bogor.

    Nabil, Muhammad. 2005. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus sp.) Sebagai

    Sumber Kalsium Dengan Metode Hidrolisis Protein. Skripsi. Fakultas Perikanan dan Ilmu

    Kelautan. IPB. Bogor.

    Nurilmala M., M. Wahyuni, H. Wiratmaja. 2006. Perbaikan Nilai tambahn Limbah Tulang Ikan

    Tuna (Thunnus sp) Menjadi Gelatin Serta Analisis Fisika-Kimia. Buletin Teknologi Hsil

    Perikanan. Vol IX. No : 2.

    Peraturan Meteri Kesehatan 2013. Angka Kecukupan Gizi Yang Dianjurkan Bagi Bangsa

    Indonesia.

    diakses 27 Mei 2015 : 08.30 WIB.

    Pereira, Paula C. 2014. Milk Nutritional composition and role in human health. Nutrition 30 619-

    627.

    Purwawinagsih, Eva Fitrina. 2011. Ketersediaan Biologis (Bioavailabilitas) Kalsium Secara  In

    Vitro pada Crackers dengan Tepung Kepala Ikan Lele Dumbo (Clarias gariepinus).Skripsi. Departemen Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor.

    Bogor.

    Robertson, W. G., Marshall, R. W., & Bowers, G. N. 1981.  Ionized calcium in body  fluids. CRC

    Critical Reviews in Clinical Laboratory Sciences, 15,85-125.

    Rodriguez-Clemente, R., Lopez-Macipe, A., Gomez-Morales, J., Torrent-Burgues, J., & Castano,

    V. M. .1998. Hydroxyapatite precipitation: a case of nucleationaggregation-agglomerationgrowth mechanism. Journal of the European Ceramic Society, 18,1351-1356.

    Roig, M. J., A. Alegria, R. Barbera, R. Farre, & M. J. Lagarda. 1999. Calcium dialysability as an

    estimation of bioavailability in human milk, cow and infant formulas. Food Chemistry, 64:

    403-409.

    Sari, Fitri Komala., Ishartini, Dwi., Parnanto, Nur Heriyadi. 2013. Pengaruh Penambahan Tulang

    Ikan Lele (Clarias Sp.) Dan Kacang Tunggak (Vigna Unguiculata) Terhadap KandunganKalsium Dan Protein Pada Susu Jagung Manis ( Zea Mays Saccharata). (Jurnal). Srakarta:

    Jurusan Teknologi Pangan. Universitas Sebelas Maret.

    Sudharma E. 1995. Evaluasi ketersediaan mineral besi dan seng iodium serta vitamin B dalamproduk fermentasi susu kacang merah (Phaseolus Vulgaris L.) dan kacang tolo (VignaUnguiculata L.). Skripsi. Bogor. Departemen Teknologi Pangan dan Gizi, Fakultas

    Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor.

    Suptijah, Pipih. 2009.  Nanokalisum Hewani dari Perairan. Di dalam: Bucklet 101 Inovation.

    Penerbit: BIC kementrian Ristek.

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    24/26

    24

    Suptijah, Pipih., A. M. Jacoeb, N. Deviyanti. 2012. Ketersediaan dan Bioavailabilitas

    Nanokalsium Cangkang Udang Vanamei (Litopenaeus vannamei).  Jurnal Akuatika.

    Vol.III;63-73.

    Theobald, H. E. 2005. Dietary Calcium and Health. British Nutrition Foundation Bulletin. Vol.

    30; 237-277.

    Trilaksani, Wini., E. Salamah, M. Nabil. 2006. Pemanfaatan Limbah Tulang Ikan Tuna (Thunnus

    sp.) sebagai Sumber Kalsium dengan Metode Hidrolisis Protein. Vol.9 No:2.

    Vavrusova, Martina., L.H. Skibsted. 2014. Calcium Nutrition. Bioavailability and Fortification.

    Food Science and Technology. Vol. 59;1198-1204.

    Wasserman, R. H. (2004). Vitamin D and the dual processes of intestinal calcium absorption.

     Journal of Nutrition, 134,3137e3139.

    Winarno, F.G. 2004. Kimia Pangan dan Gizi.Gramedia. Jakarta.

    Winarno, F.G. 2008. Kimia Pangan dan Gizi Edisi Terbaru. Bimo Press.

    Yoon, G.A., Y. M. Kim, G. Y. Chi, H. J. Hwang. 2005. Effect of Tuna Bone and Herbal Extract

    on Bone Metabolism in Ovariectomized Rats. Nutrition Research. Vol. 25; 1013-1019.

    Yoonaisil T, dan Hertrampf JW. 2006. An effect of nucleotides in the Asian Seabass. Aquaculture

     Asia Pasific Magazine : 20-21

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    25/26

    25

    Pertanyaan :

    1. Rahmat Aulia : apakah perbedaan antara metode in vitro dan metode in vivo ?

    Jawaban : Pengujian secara in vitro merupakan metode yang

    memperkirakan ketersediaan mineral dalam makanan. Metode ini dilakukan dengan carasimulasi saluran pencernaan (gastrointestinal) dengan menggunakan kantung dialisis

    yang diikuti dengan pengukuran molekul terlarut. Prinsipnya, makanan yang akan diuji

    dihomogenkan dan diberikan larutan pepsin dengan pH 2, dan selanjutnya diberikan

    penambahan  pancreatin serta bile salt  (garam empedu) adapun metode secara in vivo

    merupakan metode keseimbangan kalsium dan isotop kalsium. Metode keseimbangan

    kalsium dilakukan untuk mengukur absorpsi nyata kalsium yang merupakan selisih antara

    kalsium yang dikonsumsi dengan kalsium yang dieksresikan lewat feses, pada pengujian

    ini pengujian dilakukan pada tikus yang diberikan perlakuan dengan jangka waktu

    tertentu.

    2. Mohammad Riza : mengapa fortifikasi sumber kalsium ke dalam produk dapat

    meningkatkan absorpsi kalsium dalam tubuh ?

    Jawaban : berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh martinez et al,

    (1998) bioavailabilitas kalsium secara in vitro pada makanan bayi yang diberikan

    tambahan berupa daging dan tulang ikan hake ( Merluccius merlucius) dapat

    meningkatkan persentasi mineral yang terdialisis dibandingkan dengan tanpa

    ditambahkan kedalam makanan bayi, hal tersebut dapat dipengaruhi oleh komponen gizi

    lainnya yang terdapat di dalam makanan tersebut. Misalnya kandungan protein dapat

    menurunkan penyerapkan kalsium karena protein yang tinggi akan menigkatkan lajufiltrasi glomerolus sehingga resorpsi kalsium di dalam tubulus ginjal akan berkurang,

    dengan demikian kalsium lebih banyak dibuang ke urin. Selanjutnya lemak dapat

    meningkatkan ekskresi dalam feses sehingga menurunkan absorpsi kalsium melalui

    pembentukan kompleks asam lemak (terutama asam lemak jenuh) dan kalsium (insoluble

    calcium shoaps) dalam lumen di usus halus yang tidak dapat diabsorpsi dan akan

    diekskresikan lewat feses. Selanjutnya adalah kandungan serat dalam makanan dapat

    menghambat penyerapan kalsium, misalnya selulosa dapat meningkatkan massa feses

    dalam usus dan mengurangi transit time sehingga mengurangi waktu yang tersedia untuk 

    absorpsi kalsium dan hemiselulosa menstimulasi proliferasi oleh mikroba, yang pada

    akhirnya akan mengikat kalsium sehingga kalsium tidak dapat diabsorpsi. Zat gizilainnya adalah laktosa yang dapat meningkatkan penyerapan kalsium, interaksi laktosa

    dengan kalsium membentuk kompleks kalsium laktat yang memiliki tingkat absorpsi

    yang tinggi. Fermentasi laktosa oleh mikroba usus akan menghasilkan asam yang dapat

    menurunkan pH sehingga absorpsi lebih optimal.

  • 8/18/2019 KETERSEDIAAN BIOLOGIS ( PRODUK PERIKANAN BESERTA FAKTOR- FAKTOR YANG MEMPENGARUHINYA

    26/26

    26

    3. Rr. Oky Arum : apakah hubungan antara kandungan kalsium dalam feses dan urin

    dengan absorpsi kalsium ?

    Jawaban : konsentrasi kandungan kalsium dalam feses dan urin menunjukan

    proporsi atau konsentrasi kalsium yang tidak dapat serap oleh tubuh dan di eksresikan

    melalui feses dan urin. Hal tersebut ditunjukan pada penelitian yang telah dilakukan olehGao et al., (2008) bahwa ketika kandungan kalsium dalam urin dan feses tinggi, maka

    absorpsi kalsium dalam tubuh rendah. Sesuai dengan pernyataan Theobald (2005) bahwa

    ketika ekskresi kalsium dalam feses meningkat, maka dapat menurunkan absorpsi

    kalsium dalam tubuh.