kesenian odok dalam proses upacara suku sakai di … · pengobatan yang melibatkan kepercayaan...
TRANSCRIPT
KESENIAN ODOK DALAM PROSES UPACARA SUKU SAKAI
DI KECAMATAN KANDIS KABUPATEN SIAK
Martha Yuni Malau, M.A
Abstrak
Ketika suatu masyarakat mengalami penyakit, masih banyak yang memilih tidak
mengandalkan penyembuhan atau pengobatan secara medis meskipun berada di
zaman yang modern, tetapi masyarakat lebih memilih pengobatan secara
tradisional seperti, pengobatan tradisional dengan melakukan proses upacara
Dikir yang berada dalam masyarakat suku Sakai di Kecamatan Kandis Kota,
Kabupaten Siak-Riau. Ditengah-tengah proses penyembuhan atau pengobatan
(upacara Dikir) ini ada alat musik yang turut berperan didalamnya, yaitu
tetabuhan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui apakah fungsi dan peran
serta pengaruh tetabuhan secara khusus dalam upacara Dikir pada masyarakat
suku Sakai di Kecamatan Kandis, Kabupaten Siak-Riau.
Masyarakat Sakai adalah penganut mayoritas Islam tetapi identitas agama tidaklah
menjadi sebuah halangan untuk mereka melakukan upacara Dikir yang melibatkan
peran serta cara mengundang roh nenek moyang atau yang disebut ‘antu’ atau
hantu pada saat proses pengobatan disebabkan pada awalnya masyarakat suku
Sakai adalah penganut animism
Kata kunci: musik, upacara, dan pengobatan
I. Pendahuluan
Kemajuan teknologi membuat manusia semakin praktis di dalam
melakukan segala hal, termasuk di dalam kesehatan khususnya pengobatan.
Bidang kedokteran sangat berkembang dengan adanya kemajuan teknologi yang
sangat membantu dalam proses penelitian pengobatan, tetapi sampai saat ini
masih banyak pengobatan yang juga masih mengandalkan bentuk praktek budaya
seperti pengobatan dalam bentuk ritual. Salah satu bentuk pengobatan tradisi
yang masih ada di Indonesia ialah pengobatan Dikir Suku Sakai di Kabupaten
Siak, Pekanbaru-Riau.
Pengobatan Dikir adalah pengobatan tradisi budaya Suku Sakai, yang
dilakukan lewat sebuah upacara ritual. Masyarakat Suku Sakai mempercayai
bahwa seseorang mengalami sakit tidak hanya karena adanya luka fisik, tetapi
juga bisa disebabkan adanya sakit dalam batin dan roh. Dikir dalam masyarakat
suku Sakai berbeda dengan nama Zikir dalam upacara keagamaan agama Islam.
Dikir adalah upacara pengobatan yang dimana obat didapatkan dari antu
melalui seorang dukun/Batin, sedangkan Zikir adalah bentuk peribadatan kepada
Allah oleh penganut agama Islam. Zikir berarti mengingat dan menyebut nama
Allah S.W.T (La Illahahillallah) yang lazimnya dilakukan secara berulang-ulang
dalam jumlah hitungan tertentu.1 Upacara Dikir adalah salah satu bentuk
pengobatan yang melibatkan kepercayaan terhadap roh nenek moyang atau antu
(hantu), yang dianggap mampu memberikan pengobatan lewat roh melalui
seorang Batin atau dukun. Masyarakat Suku Sakai mempercayai bahwa roh-roh
nenek moyang masih ada di dunia.
Roh nenek moyang dipercaya dapat masuk ke dalam tubuh manusia dan
berkomunikasi dengan manusia lewat beberapa bentuk upacara. Roh nenek
moyang atau antu juga dianggap mampu memberi keuntungan dengan
memberikan pengetahuan atau ilmu, kepada manusia untuk mengobati sakit yang
diderita manusia. Pengobatan Dikir menjadi salah satu pengobatan tradisional
yang unik karena pengobatan ini dapat terlaksana jika musik terlibat di dalamnya.
Alat musik yang dipakai adalah gendang Sakai yang dinamakan dengan Odok.
Upacara Dikir dapat terlaksana jika Odok mengiringi pembacaan mantera dan
tarian yang dilakukan oleh dukun atau kemantat (istilah nama dukun dalam
kerajaan Siak), juga sama dengan Saman atau Bomo.2 Nathan Porath mengatakan
1 Kenangan Purna Bakti, Jaringan Makna Tradisi hingga Kontemporer, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta, 2006, hal.32.
2 Parsudi Suparlan, Orang Sakai Di Riau; Masyarakat Terasing Dalam Masyarakat Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1995, Hal. 202.
bahwa pengobatan Dikir berlangsung di pusaran pengalaman dan kewujudan
seorang Batin atau dukun. Batin memasuki dimensi alam gaib dan melakukan
aktivitas-aktivitas dimensi alam gaib untuk membantu “memulihkan”
(menyembuhkan penyakit akibat roh jahat) kesehatan masyarakat suku Sakai. 3
Masyarakat suku Sakai di wilayah Kandis menyebutkan dukun yaitu
Batin.4 Dalam hal ini kata yang akan dipakai untuk istilah dari dukun Sakai adalah
Batin. Batin adalah pemimpin upacara pengobatan Dikir. Masyarakat Suku Sakai
menganggap alat musik Odok adalah bagian penting dari proses upacara
pengobatan Dikir, sebab Odok adalah salah satu syarat untuk terlaksananya
keberlangsungan proses “kemasukan atau trance”. Tetabuhan Odok juga berperan
sebagai penghantar mantera yang akan diucapkan oleh Batin menuju apa yang
dikatakan “kemasukan”/trance yang menghantarkan Batin dapat berbicara kepada
antu. Suku Sakai mempercayai Odok dapat membawa Batin mampu merasakan
penyatuan rasa antara dirinya dengan kosmos (dunia). Berbicara mengenai
kosmos, Shin Nakagawa memberikan penjelasan mengenai kosmos dengan
mencontohkan tari Bedaya yang ada di Yogyakarta dan Surakarta. Shin Nakagawa
melihat bahwa gerakan tari Bedaya dengan tempo yang lambat yang ditata dengan
rapi itu membuat para penari saling terikat antara yang satu dengan yang lainnya
sehingga menjadi satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan, seandainya ada satu
penari yang tiba tiba keluar maka kesatuannya akan rusak dan formasinya pun
akan kacau. Dalam pertunjukan tari Bedaya ini Shin Nakagawa melihat bahwa
dalam pertunjukan tersebut terjadi ketegangan yang luar biasa antara emosional
dan rasional. Ketegangan tersebut terjadi akibat alunan suara gamelan yang
membuat lagunya menjadi sedih (emosional), dipadukan dengan gerak tari yang
lambat dengan susunan yang teratur (rasional), hal ini di umpamakan bagaikan
ombak air di lautan bergerak mengikuti irama lagu yang membentuk atmosfir
pertunjukan menjadi sangat indah. Emosi pribadi masing-masing penari disatukan
3 Nathan Porath, Ketika Burung Itu Terbang; Therapi Shamanis danPemeliharaan Batas- Batas Duniawiah Di Kalangan Orang Sakai Riau(terjemahan), Riau: Gurindam Press, 2012, Hal. 11.
4 Rizal, wawancara langsung dengan kepala suku Sakai Kandis Riau. 2015.
sehingga membentuk satu kesatuan simbol yang menghantarkan semua pendengar
berhubungan dengan kosmos.5 Dengan penjelasan Shin Nakagawa, dapat
disimpulkan bahwa kosmos adalah bagian daripada elemen-elemen yang terdapat
disekitar manusia yang memiliki relasi dengan manusia, dimana manusia juga
membutuhkannya untuk dijadikan bagian daripada kebutuhan hidup manusia.
Menurut Nathan Porath, kosmos adalah tempat seseorang itu berada di
dalam dunianya dan berhubungan dengannya. Proses pengalaman Batin dalam
melakukan upacara pengobatan Dikir adalah salah satu dimensi kosmis dan
konstruksi identitas di dunia yang bersifat terapis dan oleh sebab itu hal ini
disebut pengobatan.6 Jika melihat pendapat Nathan Porath peran musik dalam
upacara pengobatan Dikir adalah bagian daripada terapis dapat dibenarkan karena
musik berperan dalam mengiringi mantera dan tarian Batin yang bertujuan untuk
memberikan semanget (membangkitkan rasa semangat jiwa, tubuh dan roh)
kepada Batin, memanggil roh nenek moyang atau antu dengan puncak sampai
Batin mengalami “trance” (menyatunya roh nenek moyang dengan tubuh Batin).
Dalam hal ini musik tidak berperan secara langsung seperti pada umumnya musik
terapi, (pasien mendengarkan musik) lalu dapat menyembuhkan orang sakit tetapi
musik berperan di dalam proses terlaksananya upacara pengobatan orang sakit.
Salah satu proses pengobatan itu adalah pada saat musik juga mampu
menghantarkan Batin untuk merasakan apa yang dirasakan dan dijumpai dalam
alam nyata dan alam gaib untuk bertemu roh nenek moyang dan meminta
pengetahuan tentang penyebab penyakit yang diderita pasien.
Musik memiliki banyak pengaruh dan fungsi di dalam segala kebutuhan
manusia, pada umunya jika musik memiliki fungsi sebagai hiburan, ada fungsi
lain yang lebih luas untuk diketahui yaitu bahwa musik juga memiliki fungsi
dalam psikis, emosi, dan spiritualitas manusia. Kate dan Richard Mucci
beranggapan bahwa segala sesuatu yang ditawarkan oleh obat-obatan modern
bukanlah segalanya. Kesehatan fisik tidak dapat dipisahkan dari kesehatan
5 Shin Nakagawa, Musik dan Kosmos, Jakarta : Yayasan Obor Indonesia, 2000, hal.47.
6 Nathan Porath, Hal. 11.
spiritual dan emosional. Musik adalah salah satu kebutuhan penting manusia
khususnya dalam penyembuhan, musik dapat mempengaruhi keberadaan fisik,
spiritual dan emosi manusia. Kate dan Richard memberikan salah satu contoh
yang sudah nyata terjadi dikehidupan sehari-hari manusia yaitu musik yang
mampu meminimalkan suara efek negatif yang ada di rumah sakit. Di rumah sakit
saat ini sering terdengar alunan musik yang dapat menenangkan pasien dengan
menggunakan suara musik yang memiliki ritme teratur dan konstan, yang
memakai melodi sederhana yang di ulang secara teratur sebagai contoh
dengungan lebah. Dampak dari musik yang seperti ini mampu membuat para
pasien menjadi lebih nyaman, rileks, dan lebih bahagia. Hal ini juga membuat
tubuh pasien mengeluarkan getaran pada tingkat yang lebih sehat.
Musik saat ini mulai dikenal tidak lagi hanya sebatas hiburan namun lebih
daripada itu salah satunya ialah pengobatan. Hal ini juga dicontohkan sama seperti
terapi alternatif misalnya akupuntur dan pemijatan tulang serta persendian yang
sudah diakui oleh asuransi medis dan diresepkan oleh dokter-dokter Barat, dengan
tekanan serta bukti yang cukup, musik juga bisa diterima sebagai bagian dari
pengobatan.7 Dari pernyataan di atas dapat disimpulkan bahwa musik dianggap
mampu memberi keseimbangan antara fisik, spiritual, dan emosional. Demikan
juga proses pengobatan Dikir, dimana musik mampu memberikan ritme, tekanan
suara dan tempo yang dapat mempengaruhi “semanget” (kekuatan tubuh, emosi
dan spiritual) Batin dalam menuju proses terjadinya perjumpaan dengan roh nenek
moyang.
II. Budaya Dikir
Budaya pengobatan Dikir adalah salah satu ciri khas budaya suku Sakai
yang dimana proses upacara ini dilakukan dengan disaksikan oleh masyarakat
suku Sakai atau pun masyarakat suku lain di daerah Kandis. Jika dilihat dari
bentuk budaya upacaranya, pengobatan Dikir juga adalah salah satu bagian
daripada pertunjukan. Yanti Heriyawati mengatakan bahwa pertunjukan
merupakan sebuah peristiwa yang ditunjukkan kepada penonton, memiliki
7 Kate Mucci, Richard Mucci, The Healing Sound Of Music (terjemahan), Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2002, Hal. 33-35.
indikasi adanya sesuatu yang ditunjukkan, ada peristiwa, ada penonton, dan ada
tempat peristiwa itu berlangsung. Dikatakan pertunjukan jika hanya peristiwa
yang sengaja dipertontonkan yang dapat dikatakan sebagai pertunjukan.8
Demikian upacara pengobatan Dikir juga adalah sebuah peristiwa yang dengan
sengaja dipertontonkan ditengah-tengah masyarakat umum. Upacara pengobatan
Dikir merupakan sebuah pertunjukan yang mempertunjukkan budaya dari
masyarakat suku Sakai.
Di dalam tata cara penyelenggaraan ritual terdapat syarat yang memiliki
unsur diantaranya seni pertunjukan. Unsur seni pertunjukan menjadi bagian
penting dalam sebuah ritual/upacara. Jika melihat pertunjukan yang kaitannya
dengan seni atau disebut seni pertunjukan, memiliki arti yang berbeda. Seni
pertunjukan bukan saja sebuah peristiwa tetapi aktivitas mempertunjukkan sebuah
karya seni. Karya yang dimaksud merupakan hasil kerja kreatif dari seorang
seniman. Disisi lain ada juga peristiwa yang tidak hanya mempertunjukkan
sebuah karya seni, tetapi di dalamnya juga terdapat ritual yaitu “pertunjukan
budaya”, artinya muatan kebudayaan terbungkus secara estetis dalam pertunjukan
budaya. Pembedaan dari pertunjukan budaya adalah pada karya atau peristiwa
yang dipertunjukkan, yang secara keseluruhan bukan semata hasil karya seniman
tetapi merupakan karya masyarakat.9 Dari penjelasan di atas dapat disimpulkan
bahwa upacara Dikir adalah budaya pertunjukan. Upacara pengobatan Dikir
adalah hasil kebudayaan masyarakat suku Sakai yang menjadi salah satu bentuk
kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Upacara pengobatan Dikir juga
memiliki unsur seni pertunjukan, dimana proses upacara diberlangsungkan di
depan masyarakat umum yaitu penonton serta budaya ini juga lahir dari hasil cipta
karya masyarakat suku Sakai. Pertunjukan budaya yang dimaksud juga meliputi
adanya musik, tarian, ruang dan waktu yang tertentu. Pertunjukan budaya jelas
mempertunjukkan dan merepresentasikan ciri dan identitas budaya
8 Yanti Heriyawati, Seni Pertunjukan dan Ritual, Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2016, Hal. 2-3.
9 Yanti Heriyawati, 2016, Hal.3
masyarakatnya. Kesimpulan dari penjelasan diatas bahwa ritual atau upacara
yang dilakukan oleh masyarakat Indonesia dengan berbagai keragamannya
merupakan sebuah pertunjukan budaya.
III. Asal Usul Kabupaten Siak, Sejarah Suku Sakai, Agama Suku Sakai
dan Kehidupan Sehari-Hari Masyarakat Sakai
Kabupaten Siak menjadi nama yang memiliki sejarah bagi masyarakat
Pekanbaru Riau, karena nama Siak dahulu adalah nama sebuah kerajaan di Riau
yaitu kerajaan Siak. Kabupaten Siak inilah yang menjadi salah satu tempat dimana
Suku Sakai berada dan hidup di wilayah ini sampai saat ini. Kerajaan Siak perlu
dibahas dalam hal ini karena berkaitan dengan posisi sejarah masyarakat Suku
Sakai, dikatakan bahwa Suku Sakai adalah salah satu suku yang berada dalam
wilayah Kerajaan Siak.
Siak adalah sebuah Kerajaan Melayu yang besar, yang berada di pesisir
Pantai Pulau Sumatera yang berdiri sejak abad ke 14 Masehi, setelah runtuhnya
Kerajaan Sriwijaya dan Muara Takus. Kerajaan ini disebut Kerajaan Siak pertama
yang bernama Kerajaan Gasib yang berkedudukan di Kuala Sungai Gasib di Hulu
Sungai Siak atau Sungai Jantan. Kerajaan Gasib diserang oleh Kerajaan Malaka
yang sudah beragama Islam, dalam rangka pengembangan agama Islam.
Kemudian juga diserang oleh Iskandar Zulkarnain dari Aceh untuk mengislamkan
rakyat Siak Gasib. Setelah Siak Gasib ditaklukkan oleh Kerajaan Malaka maka
kerajaan Gasib masuk Islam. Raja pertama Siak Gasib adalah Megat Kudu yang
kemudian diberi gelar Sultan Ibrahim oleh Sultan Melaka Alauddin Riayat Syah
(1477-1488 M). Kemudian Sultan Ibrahim diganti oleh puteranya yang bernama
Sultan Abdullah. Setelah lama memerintah kemudian Sultan Abdullah digantikan
oleh puteranya Sultan Husin. Setelah itu 200 tahun lamanya Kerajaan Siak Gasib
(Kerajaan Siak Pertama) hilang dari peredaran sejarah, karena Malaka ditaklukkan
oleh Portugis tahun 1511, tetapi pada tahun 1622 daerah Siak dan sekitarnya
berada di bawah kekuasaan dan pengaruh Kerajaan Johor sebagai pewaris
Kesultanan Malaka.
Kemudian pada permulaan tahun 1699 Sultan Muhammad Syah II, Sultan
Kerajaan Johor dibunuh oleh Megat Sri Rama. Pada waktu itu Raja Kecil putera
Sultan Mahmud Syah II, masih dalam kandungan Ibunda Cik Pung. Pada waktu
Raja Kecil sudah berumur tujuh tahun, Raja Kecil kemudian dibawa ke Jambi dan
besar di Kerajaan Pagaruyung Minang Kabau. Pada masa itu Kerajaan Johor
diambil alih oleh Datuk Bendahara yang bernama Tun Hebab serta mengangkat
dirinya sendiri menjadi Raja dengan gelar Sultan Abdul Jalil Riayat Syah (1699-
1717). Setelah Raja Kecil menjadi dewasa, raja kembali ke Johor pada tanggal 21
maret 1717 untuk balas dendam akan kematian ayahnya dan kemudian Kota
Kemaharajaan Melayu jatuh ke tangan Raja Kecil. Pemerintahan Raja Kecil di
Johor tidak begitu lama, karena keturunan Raja Johor ingin mengambil Kerajaan
Johor kembali dengan bantuan orang-orang Bugis bernama Daeng Perani.
Pada saat itu terjadi perdebatan antara kedua belah pihak dan menjadi
perang saudara yang tidak dapat terhindarkan di jaman itu. Oleh karena
perdebatan itu, maka banyak terjadi kerugian diantara kedua belah pihak dan
kemudian kedua duanya mengundurkan diri. Pihak Johor mengundurkan diri dan
pindah ke Pahang sedangkan Raja Kecil mundur ke Riau dan selanjutnya
mendirikan Kerajaan di Pantai Timur pulau Sumatera di pinggir Sungai Jantan
(Sungai Siak).
Pada tahun 1717 datanglah Putera Mahkota Kerajaan Johor. yang bernama
Raja Kecil yang diberi gelar Sultan Abdul Jalil Rahmad Syah, putera dari Sultan
Mahmud Syah Johor. Setelah bertahta kurang lebih 6 tahun di negeri Johor, Raja
Kecil memindahkan kerajaannya di Buatan Siak tahun 1723. Maka di tempat
inilah berdiri Kerajaan Siak II di Buatan pinggir Sungai Siak tepatnya pada tahun
1723-1746 M. Sejak berdirinya Kerjaan Siak pada tahun 1723 Masehi oleh Raja
Kecil, pusat kerajaan Siak berpindah-pindah dari kota Buantan ke Mempura, ke
Senapelan Pekanbaru kembali lagi ke Mempura dan akhirnya menetap di Kota
Siak Sri Inderapura sampai masa pemerintahan Sultan Ismail dengan gelar Sultan
Assyaidis Syarif Ismail Abdul Jalil Jalaluddin (Sultan ketujuh) pada tahun 1827-
1864. Sultan-Sultan Kerajaan Siak dari yang pertama sampai yang kesembilan
selalu dalam situasi peperangan dan permusuhan, baik antara kerajaan Melayu di
pesisir pantai Pulau Sumatera dan Tanah Semenanjung Melayu, Malaysia, dan
dengan bangsa Belanda, Portugis, Inggris, dan suku Bugis sehingga peraturan tata
adat dan istiadat tidak sempat diatur dan ditulis. Maka Sultan Syarif Hasyim
Abdul Jalil Syaifuddin dalam masa pemerintahannya, menulis suatu buku yang
diberi nama Bab Al Qawaid pintu segala pegangan, dari Kerajaan Siak. Ada
banyak hal yang dijelaskan dalam buku Bab Al Qawaid tersebut, tetapi dalam hal
ini yang akan dicantumkan adalah hal-hal yang berkaitan dengan Suku Sakai.
Bab Al Qawaid adalah kitab dari segala pegangan dari Kerajaan Siak yang
menjelaskan pelaksanaan Kerajaan Siak Sri Inderapura (perubahan nama Kerajaan
Siak), system pemerintahan, kedudukan, kewajiban dan hak setiap yang menjabat
dalam Kerajaan. Di dalam Bab Al Qawaid terdapat nama- nama Kepala Suku
dan wakil-wakilnya dan nama-nama Suku setiap provinsi. Dalam Provinsi Siak
Sri Inderapura terdapat nama-nama datuk, penghulu Batin, dan Penghulu
Kampung, diantaranya adalah Penghulu Mandau Kepala, Suku Talang Mandau,
dan Suku Batin Lima Sakai.
IV. Sejarah Suku Sakai
Ada banyak tulisan yang menjelaskan asal usul suku Sakai dan dari
tulisan-tulisan tersebut ada banyak pandangan yang menjelaskan sejarah suku
Sakai, baik dari pandangan oleh para peneliti, dari pandangan pemerintah, dari
pandangan ketua suku Sakai, dan dari cerita turun-temurun dari masyarakat suku
Sakai itu sendiri. Mengenai kata “Sakai” menurut W.J.S Poerwadarminta dalam
kamus umum bahasa Indonesia, menerangkan kata Sakai sebagai nama suku
bangsa di tanah melayu, dan diartikan pula sebagai orang bawahan (yang
diperintah) sama dengan hamba. Hal ini diperkirakan karena Suku Sakai juga
terlibat dalam Kerajaan Siak, dimana pemimpin setiap suku yang diperintah oleh
pemerintahan Kerajaan disebut Penghulu (atau hamba dari setiap suku). Dalam
pengertian yang lain Suku Sakai dikatakan adalah keturunan dua jenis suku yang
pada saat itu berimigrasi ke Riau.
Moszkowski (1908) mengatakan bahwa orang Sakai adalah orang Vedoid
yang bercampur dengan orang-orang Minangkabau yang datang berimigrasi pada
sekitar abad ke 14 ke daerah Riau, yaitu Gasib, di tepi sungai Gasib di hulu sungai
Rokan. Gasib kemudian menjadi sebuah kerajaan dan kerajaan Gasib kemudian
dihancurkan oleh Kerajaan Aceh, dan warga masyarakat ini kemudian melarikan
diri ke hutan-hutan di sekitar daerah sungai-sungai Gasib, Rokan, dan Mandau
serta keseluruh anak-anak sungai Siak.
Berbeda dengan apa yang dikatakan Lebar (1972) yang tidak disetujui oleh
Parsudi Suparlan (kutipan Parsudi Suparlan) dalam buku “Orang Sakai Di Riau”
(1995), Suku Sakai adalah suku yang tergolong ras Wedoid dan Austroloid yang
kemudian diduga bahwa penduduk yang tergolong ras Wedoid dan Austroloid itu
kemudian masuk ke daerah-daerah pedalaman dan hutan oleh kelompok orang-
orang yang kemudian (1500 SM) tergolong pada ras Proto-Melayu. Kedatangan
gerombolan berikutnya yang tergolong ras Deutro-Melayu (300 SM) mendesak
orang-orang Melayu pedalaman, sehingga terdapat percampuran antara orang-
orang ras Wedoid dan Austroloid dengan ras Proto-Melayu. Dalam hal ini Parsudi
Suparlan tidaklah menyetujui pendapat Lebar.
Selain itu Suku Sakai terkenal dengan masyarakat yang identik hidup di
pinggir sungai dekat hutan, disebabkan oleh kebiasaan hidup sehari-harinya yang
suka memancing, berburu, dan berladang, seperti apa yang dikatakan, UU.
Hamidy (1991) Suku Sakai adalah suku yang disebut Proto Melayu. Sakai konon
berasal dari nama Sungai yang ada di desa Mandau Kabupaten Bengkalis. Pada
saat itu suku Sakai hidup di sekitar sungai tersebut dan mencari penghidupan dari
hasil kekayaan yang ada di sungai, berupa ikan. Lalu kemudian menempati desa
Mandau tersebut dan mendiami aliran sungai yang disebut Sungai Sakai kemudian
nama inilah yang menjadi sebutan bagi Suku Sakai. Kemudian ditegaskan
kembali oleh UU. Hamidy (1992) bahwa Suku Sakai adalah komunitas
asli/pedalaman yang hidup di daratan Riau. Suku Sakai ini hidup di daerah hutan
dan suku ini dicirikan sebagai kelompok terasing yang hidup berpindah-pindah.
V. Kehidupan Masyarakat Suku Sakai
Masyarakat Suku Sakai hingga saat ini lebih memilih untuk hidup di
hutan/dekat hutan karena masyarakat Suku Sakai mempercayai bahwa hidup itu
harus selalu dekat dengan alam semesta, agar manusia dan alam tetap dapat
bersatu dalam arti saling membutuhkan, itulah sebabkan suku Sakai hidup
berpindah-pindah. Mata Pencarian suku Sakai, yaitu; mencari dan mengumpulkan
hasil hutan untuk dijual, berladang dan berpindah-pindah, menangkap ikan di
sungai dan di rawa-rawa, serta memburu hewan di hutan. Mata pencarian
utamanya adalah berladang dan bercocok tanam. Hal ini dilihat dari pola-pola
pemukiman yang merupakan pengelompokan kecil yang terdiri atas dua sampai
dengan lima keluarga batin yang bergerak mengikuti perpindahan ladang-ladang
mereka, yang dinamakan banjar ladang, adanya berbagai upacara magis dan sosial
yang berkaitan dengan kegiatan berladang, adanya keteraturan sosial yang
terpusat pada hubungan-hubungan kekerabatan yang berkaitan dengan kehidupan
di ladang.
Kehidupan sehari-hari masyarakat Sakai dapat dilihat dari siklus
perladangannya, yaitu:
(1) Waktu menebang, menebas, dan membakar hutan, untuk dibuat
ladang.
(2) Waktu bertanam dan menunggui padi di ladang
(3) Waktu panen
(4) Waktu istirahat setelah panen.
Masyarakat suku Sakai adalah salah satu suku yang telah menganut
mayoritas agama Islam tetapi tetap meyakini “agama asli” nya. Hal ini dapat
terlihat dari keberadaan suku Sakai yang tekun menjalankan sholat lima kali
dalam satu hari dan berpuasa di saat bulan puasa.
Masyarakat suku Sakai yang taat menjalankan ibadah agama Islam
tergolong dalam dua kelompok keagamaan, yaitu Tarekat Naqsabandiyah, dan
Sunnah Wal Jamaah. Tarekat Naqsabandiyah adalah aliran agama Islam yang
berkembang di Riau, dan ajaran ini berpusat di Kerajaan Siak. Tarekat
Naqsabandiyah adalah pemeluk agama Islam yang diperbolehkan melakukan
upacara-upacara ritual budaya meskipun tetap harus melaksanakan kewajiban-
kewajiban agama Islam. Sunnah Wal Jamaah adalah kelompok agama Islam yang
murni menjalankan kewajiban-kewajiban agama saja. Mayoritas pengikut Tarekat
Naqsabandiyah adalah masyarakat suku Sakai oleh karena Sakai adalah
masyarakat yang tetap melakukan ritual yang ada di dalam budaya Sakai.
Sebagian masyarakat suku Sakai sudah memiliki status agama,
tetapi lebih mengutamakan ajaran “agama asli” daripada agama Islam atau agama
lainnya. Hal ini disebabkan oleh karena suku Sakai lebih percaya kepada
keyakinan asli nenek moyangnya bahwa lingkungan hidupnya dihuni oleh
mahluk-mahluk gaib yang dinamakan antu (dalam bahasa melayu). Antu itu
dianggap ada yang baik dan nada yang jahat. Antu tinggal dan menjadi penghuni
pepohonan, sungai-sungai, rawa-rawa, wilayah hutan, ladang, tempat pemukiman,
rumah dan semua lingkungannya. Sama seperti manusia antu dianggap ada yang
tinggal menyendiri dan ada juga yang hidup dalam satu kesatuan seperti
masyarakat.
Dalam konsep budaya Sakai, kerajaan antu berada di tengah-tengah rimba
belantara yang belum pernah dirambah manusia. Suku Sakai percaya bahwa antu
memiliki kehidupan atau alam hidupnya sendiri. Manusia tidak dapat melihat antu
tetapi antu dianggap bisa melihat kehidupan manusia. Hanya orang-orang tertentu
saja yang mempunyai pengetahuan dan kemampuan untuk melakukan upacara-
upacara ritual yang berkaitan dengan komunikasi dengan antu. Orang Sakai
belum mempunyai konsep yang jelas mengenai kategori-kategori nama untuk
hantu. Bagi suku Sakai arwah dari orang-orang yang telah mati juga menjadi
bagian-bagian antu tersebut.
Bagi orang sakai berbagai macam penyakit yang diderita seperti
kemalangan, dan kematian, serangan binatang buas atau binatang berbisa dan
kecelakaan diyakini disebabkan oleh gangguan antu. Dikatakan penyakit biasa
jika manusia sakit hanya karena faktor angin, cuaca, kuman, dan bakteri. Penyakit
yang masih bisa diobati dengan obat dari dokter atau apotik maka disebut dengan
penyakit biasa seperti, sakit kepala, bayuk, pegal linu, influenza, dan sakit perut.
Dikatakan seseorang sakit karena antu, jika setelah minum obat dari dokter tidak
kunjung sembuh-sembuh maka itu disebabkan oleh antu. Walaupun demikian
tidak ada rasa takut terhadap antu. Rasa tidak takut terhadap antu disebabkan oleh
keyakinan suku Sakai bahwa antu-antu itu memang ada di alam sekeliling tempat
tinggal atau lingkungan.
Ada mantra-mantra dan upacara ritual yang dapat digunakan untuk
mengobati atau menyembuhkan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh antu.
Penyakit yang disebabkan oleh antu bagi suku Sakai adalah penyakit yang
disebabkan oleh karena keracunan atau diracun atau ditenung orang lain.
Agama asli suku Sakai mempunyai kedudukan dan peranan yang penting,
dalam kehidupan individu dan keluarga khususnya untuk kesejahteraan hidup
jasmani dan rohani. Salah satu corak kegiatan-kegiatan agama asli suku Sakai
adalah penggunaan kekuatan-kekuatan gaib atau magi yang dilakukan untuk
kegiatan-kegiatan praktis dalam kehidupan manusia. Agama asli suku Sakai
bersifat lokal dan budaya-budayanya terlepas dari ajaran-ajaran agama yang
dianut suku Sakai. Salah satu perwujudannya adalah upacara pengobatan suku
Sakai yang dinamakan dengan Dikir.
VI. Dimensi kosmos tetabuhan Odok dalam upacara Dikir suku Sakai
Kebiasaan Suku Sakai adalah memancing ikan di sungai yang ada di
hutan. Masyarakat suku Sakai memanfaatkan tumbuhan hutan sebagai kebutuhan
makan dan minum dan pakaian sehari-hari, bahkan mempercayai bahwa alam
adalah bagian daripada tempat dimana Suku Sakai dapat melakukan ritual untuk
bertemu dengan roh nenek moyangnya. Manusia memang butuh alam, manusia
butuh alam semata-mata bukan hanya karna memanfaatkan alam sebagai dasar
untuk hidup tetapi manusia juga meletakkan kepercayaan bahwa alam semesta
juga adalah bagian dari hidup manusia itu sendiri.
Suatu system kelakuan yang khas dari kelakukan berpola tepatnya wujud
kedua dari kebudayaan itu dapat terlihat dari ciri khas dari hidup masyarakat suku
Sakai yaitu upacara pengobatan Dikir suku Sakai. Upacara pengobatan Dikir yang
menjadi ciri khas dari suku Sakai adalah salah satu kebutuhan hidup, yang
melibatkan kepercayaan terhadap roh nenek moyang. Wujud ketiga dari
kebudayaan yaitu peralatannya juga terdapat dalam banyak kebiasaan perilaku
suku Sakai yaitu memanfaatkan segala hasil alam untuk dijadikan peralatan
kebutuhan hidup dan kebutuhan proses pengobatan suku Sakai. Dalam hal ini
pengobatan Dikir juga menggunakan alat musik yaitu tetabuhan Odok, sebagai
unsur bunyi yang dapat menciptakan suasana dimana tanpa tetabuhan Odok
upacara Dikir tidak dapat dilaksanakan.
Pengobatan Dikir memiliki unsur yang melibatkan alam, manusia, dan
kepercayaan akan adanya mahluk gaib. Masyarakat suku Sakai meyakini bahwa
diluar dirinya yang jasmani ada sesuatu yang lain yang juga hidup di antara
kehidupannya itu sendiri, yaitu sebuah kepercayaan akan adanya roh nenek
moyang, yang kehadirannya ada dan diakui oleh manusia. Kepercayaan
masyarakat suku Sakai terhadap roh nenek moyang menjadi suatu prinsip bahwa
di dunia ini manusia tidak sendirian, tetapi juga ada sesuatu yang lain yang dapat
mengganggu, mencelakakan dan ada sesuatu yang lain yang juga dapat menolong
keberlangsungan hidup manusia.
Masyarakat suku Sakai berperinsip yang sama seperti apa yang
dikemukakan oleh Koentjaraningrat mengenai kebutuhan manusia dalam pranata-
pranata kebudayaan, yaitu pada poin yang keenam, yaitu pranata-pranata yang
bertujuan untuk memenuhi kebutuhan manusia, untuk berhubungan dengan Tuhan
atau alam gaib, ialah religious institutions. Contoh: gereja, doa, kenduri, upacara,
penyiaran agama, pentangan, ilmu gaib, dan sebagainya. Hal ini dapat terlihat di
kehidupan masyarakat suku Sakai dalam kepercayaan terhadap alam gaib atau roh
nenek moyang. Hal ini melibatkan musik sebagai penghantar atau pengiring
dengan tujuan agar Batin dapat mengalami dan menyadari bahwa ada kebutuhan
spiritual yang dapat dialami bahkan dimanfaatkan sebagai kebutuhan yang mampu
memberi manfaat bagi kehidupan. Kepercayaan suku Sakai terhadap adanya roh
nenek moyang dan alam lingkungan disekitarnya yang juga dinikmati Batin pada
saat proses upacara Dikir adalah bagian daripada kosmos.
Suku Sakai merupakan salah satu suku yang masih mempercayai adanya
‘antu’ atau hantu dan roh nenek moyang, yang dipercayai bahwa antu itu hadir
dan masih dapat berkomunikasi dengan manusia bahkan dianggap berpengaruh
positif dan negatif, bagi kehidupan manusia. Masyarakat suku Sakai sangat
terkenal dengan upacara penyembuhan atau Dikir, yaitu upacara dimana seorang
dukun atau Batin yang melakukan upacara dengan cara mengundang ‘antu’ lewat
mantra, tarian, dan musik yaitu tetabuhan Odok. Roh atau hantu tersebut
diundang untuk masuk menyatu ke dalam tubuh sang Batin, sehingga hantu dapat
mengajari dukun untuk mengobati atau cara menyembuhkan masyarakat yang
sakit.
Di dalam melakukan upacara Dikir peran dan fungsi tetabuhan Odok
merupakan salah satu bagian yang tak terpisahkan dari proses pembacaan mantra,
tarian, dan upacara Dikir itu sendiri. Tetabuhan Odok memiliki fungsi dan
pengaruh khusus untuk menyatukan tubuh yang dapat menarik kosmos menyatu
ke dalam tubuhnya dan mengundang roh nenek moyang untuk hadir memasuki
tubuhnya.
Upacara Dikir Suku Sakai memiliki tiga tahap seperti yang telah
disebutkan pada bab II. Tahap pertama ialah pada saat masyarakat Suku Sakai
meminta agar segera diadakannya upacara pengobatan Dikir yang pertama,
jumlah orang yang sakit tidak dibatasi asal masyarakat yang sakit sepakat
menanggung biaya upacara pengobatan Dikir maka sang Batin/dukun akan
mempersiapkannya.
Dalam tahap pertama jika diketahui bahwa yang sakit belum sembuh maka
akan dilakukan tahap kedua, dengan metode upacara yang sama, dan jika pada
tahap kedua juga tidak sembuh maka akan dilakukan tahap ketiga upacara Dikir.
Pada tahap ketiga Dikir ada hal yang berbeda jika dibandingkan dengan tahap
pertama dan kedua, sebab pada tahap ketiga ada peran musik tetabuhan yang
dimainkan untuk melakukan proses pembacaan mantera sampai kepada masuknya
roh nenek moyang ke dalam tubuh sang dukun atau Batin itulah yang disebut
dengan kemasukan atau trance.
Bagi masyarakat suku Sakai musik adalah bagian daripada budayanya,
yang diciptakan untuk memenuhi sebagian dari kebutuhan perilaku kehidupan
masyarakat, yaitu sebagai penghantar mantera dalam budaya pengobatan Dikir
Suku Sakai. Menurut Alam. P. Merriam ada tiga bentuk konsep musik yaitu:
konsep tentang musik, perilaku yang berhubungan dengan musik, dan bunyi
musik itu sendiri. Tanpa konsep mengenai musik, perilaku tidak bisa terjadi dan
tanpa perilaku, bunyi musik tidak dapat dihasilkan.
Tetabuhan Odok dimainkan pada saat pembacaan mantera, mantera tidak
dapat dituliskan oleh karena mantera adalah bagian dari pada kata-kata yang
sakral atau rahasia. Pada saat pembacaan mantera/bergumam, Batin fokus dengan
tujuannya untuk dapat merasakan alam semesta dan kosmos yang akan menyatu di
dalam penglihatan batinnya. Pada saat mantera di gumamkan maka tetabuhan
Odok berperan sebagai pengiring pembacaan mantera sampai kepada puncaknya
yaitu sampai kepada proses terjadinya pengalaman selap (trance).
Menurut Ketua Suku Sakai yaitu Rizal, yang juga adalah salah satu Batin
yang dipercaya sebagai pemimpin upacara Dikir, peran tetabuhan Odok sangatlah
penting, karena musik atau tetabuhan Odok adalah salah satu syarat upacara Dikir
khususnya dalam upacara tahap ketiga. Rizal mengatakan bahwa ritme/ketukan
dan tempo tetabuhan Odok sangat mempengaruhi semanget (semangat tubuh,
jiwa, dan roh) dalam melakukan proses dimana Batin mulai konsentrasi untuk
fokus merasakan alam disekitarnya, merasakan tabuhan Odok, membaca mantera
sambil berdiri menari dan duduk bersila kembali sambil membacakan mantera
untuk menuju puncak kemasukan roh nenek moyang ke dalam tubuh sang Batin.
Ritme, tempo, dan dinamik dari pada pukulan Odok sangat mempengaruhi
semanget sang Batin di dalam proses pembacaan mantera dan sampai kepada
puncak selap (trance). Adapun bentuk dan gambar dari Odok ialah sebagai
berikut:
Gambar 1. Odok dari sisi tampak bawah/alas
Bahan membrannya terbuat dari kulit kambing dan ditumpukkan
diatas kayu bulat (kayu yang sudah dibentuk atau dipahat bulat) yang
terbuat dari kayu pohon Akasia dan kemudian di ikat sekeliling
membrannya dengan tali rotan.
Gambar 2. Bentuk dari tetabuhan Odok dari tampak depan
Bagian bawah Odok diberi ganjalan kayu yang berbentuk segitiga sama
kaki dengan ukuran 7cm dan diletakkan disekeliling bagian bawah tubuh Odok.
Kemudian di bawah ganjalan tersebut diberikan tali rotan tebal melingkar sesuai
sisi lingkaran tubuh Odok, sebagai alas tumpuan akhir supaya Odok bisa berdiri
tegak saat dalam posisi membran berada di atas, yang berfungsi sebagai alas
bagian bawah tubuh Odok.
VII. Kesimpulan
Pengobatan Dikir adalah suatu tradisi budaya suku Sakai yang terdapat di
daerah Kecamatan Kandis, Kabupaten Siak, Riau. Pengobatan Dikir terkenal
menjadi ciri khas hidup daripada masyarakat suku Sakai dimana meskipun
masyarakat Sakai adalah penganut mayoritas agama Islam, masyarakat masih
tetap mempercayai akan keberadaan adanya roh nenek moyang yang mampu
berkomunikasi dengan manusia lewat diadakannya sebuah upacara ritual, seperti
pengobatan Dikir suku Sakai. Pengobatan suku Sakai memiliki perbedaan dengan
pengobatan pada umumnya yang hanya melibatkan obat fisik atau benda untuk
mengobati orang sakit.
Pengobatan Dikir melibatkan pengobatan dengan bantuan roh nenek
moyang atau orang Sakai menyebutnya antu . Antu dianggap mampu memberikan
pengetahuan kepada manusia tentang penyakit yang diderita pasien dengan cara
melakukan upacara pengobatan Dikir. Dalam hal ini perlu diketahui meskipun
antu dianggap mampu memberi pengetahuan tentang penyakit yang diderita
manusia (antu baik), tetapi ada juga antu yang juga mencelakakan manusia itulah
yang disebut dengan antu jahat. Pengobatan Dikir ini dapat dilaksanakan dengan
berbagai syarat baik itu secara fisik benda maupun suara, dimana pelengkap
utama terlaksananya pengobatan Dikir yaitu suara dari tetabuhan Odok. Fungsi
musik yaitu tetabuhan Odok dalam upacara Dikir suku Sakai, tidaklah sebagai
hiburan seperti peranan pada umumnya. Lebih daripada itu ada peranan penting
yang diambil oleh musik yaitu sebagai penghantar mantera, pengiring tarian dan
yang paling penting adalah musik tetabuhan memiliki makna sebagai pemberi
semanget Batin untuk masuk ke dalam puncak kemasukan/trance, tetabuhan Odok
menjadi kebutuhan upacara dalam mempertemukan manusia (Batin) dengan roh
nenek moyang suku Sakai/antu.
Pengobatan Dikir tidak dapat dilakukan tanpa musik bahkan dikatakan
upacara itu tidak memiliki kekuatan untuk masuk dalam wilayah yang paling
dibutuhkan yaitu perjumpaan antara Batin dan roh nenek moyang (trance). Dalam
hal ini musik sangatlah berpengaruh dalam menghantarkan Batin masuk dalam
dunia yang ada di alam gaib yang juga adalah bagian daripada kosmos. Segala
yang berhubungan dengan hidup manusia, yang ada disekitar hidup manusia dan
yang memberikan manfaat bagi kelangsungan hidup manusia itu adalah bagian
dari pada kosmos itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Fatma Yulia, Tesis No : 1874/PSPMK/06, Magister Kenotariatan, Pandangan
Masyarakat Suku Sakai Terhadap Sistem Pewarisan Menurut Hukum Adat
Di Kecamatan Mandau, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau.
Budiawan, 2010, Ambivalensi Post-Kolonialisme Membedah Musik Sampai
Agama di Indonesia, Yogyakarta: Jala Sutra.
Depertemen Pendidikan Dan Kebudayaan,1990, Kamus Besar Bahasa Indonesia,
Jakarta: Balai Pustaka.
Ghalib W., 2002, Adat Istiadat Bidang Pemerintahan Di Kerajaan Siak Dan
Pesukuan Melayu Yang Ada Di Kabupaten Siak, Siak Sri Indrapura: Data
Fisik Ketikan Tulisan Suku Sakai.
Hamidy UU., 1991, Masyarakat Terasing Daerah Riau Di Gerbang Abad XXI,
Pekanbaru, Penerbit Zamrad Untuk Pusat Kajian Islam Dan Dakwah
Universitas Islam Riau, Pekanbaru: Bilik Kreatif Pres.
Hamidy UU., 1992. Pengislaman Masyarakat Sakai oleh Tarekat
Naksyahbandiyah Babussalam, Riau: UIR Press.
Hendar P., Mudji S., 2005, Teori-Teori Kebudayaan, Yogyakarta: Penerbit
Kanisius.
Hartini S., Damanik E., Matondang I. A., M. Liyansyah, Rusdi P., 2012, Fungsi
dan Peran Gordang Sambilan Pada Masyarakat Mandailing, Banda Aceh:
Balai Pelestarian Nilai Budaya Banda Aceh.
Koentjaraningrat, 2004,Kebudayaan, Mentalitas, dan Pembangunan, Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Merriam, Alan.P. 1964, The Antrhopology of Music, Northwestern: Northwestern
University Press.
Mucci, K., Mucci R., 2002, The Healing Sound Of Music (terjemahan), Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama.
Nakagawa, S. , 2000, Musik dan Kosmos, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Netll B., 2012, Teori Dan Metode Dalam Etnomusikologi (terjemahan), Jaya Pura
Center Of Music: Jayapura Papua.
Nizami Jamil, Selayang Pandang Kerajaan Siak Dan Budayanya (Dokumen Data
Sejarah dari Batin Suku Sakai.
N.N, Kliping Data (diperoleh dari ketua Suku Sakai), Kumpulan gambar-gambar
baju Batin Sakai Siak, Kandis Siak: Riau.
Petrus, S., 2004, Petualangan dan Intelektual, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Porath N., 2012, Ketika Burung Itu Terbang; Therapi Shamanis dan
Pemeliharaan Batas- Batas Duniawiah Di Kalangan Orang Sakai Riau
(terjemahan), Riau: Gurindam Press.
Rizal, 2015, (hasil wawancara langsung dengan kepala suku Sakai Kandis Riau)
Rohidi, T. R., 2011, Metodologi Penelitian Seni, Semarang: Penerbit Cipta Prima
Nusantara Semarang.
Sahid N., 2004,Semiotika Teater, Yogyakarta: BP ISI Yogyakarta.
Shenk. W.D., 2006, Ilah-ilah Global, Jakarta: PT. Gunung Mulia.
Soedarsono, R.M.,2002, Seni Pertunjukan Indonsia di Era Globalisasi,
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.
Suparlan P., 1995, Orang-orang Sakai di Riau: Masyarakat Terasing Dalam
Masyarakat Indonesia, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Suwardi MS, Effendi. BA., Suwarto, 2006, Pemetaan Adat Masyarakat Melayu
Riau Kabupaten/Kota Se-Provinsi Riau, Pekanbaru: Lembaga Adat Melayu
Riau.
Winangun,Y.W., 1990, Masyarakat Bebas Struktur; Liminitas dan Komunitas
Menurut Victor Turner, Yogyakarta: Penerbit Kanisius.