keselamatan transportasi laut pelayaran...
TRANSCRIPT
KESELAMATAN TRANSPORTASI LAUT PELAYARAN RAKYAT: STUDI KASUS ARMADA PHINISI
SEA TRANSPORTATION SAFETY OF TRADITIONAL SHIPPING: A CASE STUDY OF PHINISI FLEET
JOHNY MALISAN
PROGRAM PASCA SARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
KESELAMATAN TRANSPORTASI LAUT PELAYARAN RAKYAT: STUDI KASUS ARMADA PHINISI
SEA TRANSPORTATION SAFETY OF TRADITIONAL SHIPPING: A CASE STUDY OF PHINISI FLEET
Disertasi
Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Doktor
Program Studi
Ilmu Teknik Transportasi
Disusun dan diajukan oleh
JOHNY MALISAN
Kepada
PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2013
DISERTASI
KESELAMATAN TRANSPORTASI LAUT PELAYARAN RAKYAT: STUDI KASUS ARMADA PHINISI
SEA TRANSPORTATION SAFETY OF TRADITIONAL
SHIPPING: A CASE STUDY OF PHINISI FLEET
Disusun dan diajukan oleh
JOHNY MALISAN
Nomor Pokok P 0800309010
Telah dipertahankan di depan Panitia Ujian Disertasi
pada tanggal 23 September 2013
dan dinyatakan telah memenuhi syarat
Menyetujui
Komisi Penasihat
Prof. Dr-Ing. M. Yamin Jinca, MSTr
Promotor
Prof. Dr-Ing. Herman Parung, MEng
Ko-promotor
Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, SH, MH
Ko-promotor
Ketua Program Studi
Teknik Transportasi
Prof. Dr. Ir. H.M. Saleh Pallu, M.Eng
Direktur Program Pasca Sarjana
Universitas Hasanuddin
Prof. Dr. Ir. Mursalim
PERNYATAAN KEASLIAN
Yang bertanda tangan dibawah ini
Nama : Johny Malisan
Nomor Mahasiswa : P 0800309010
Program Studi : Teknik Sipil
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa disertasi yang saya tulis ini
benar-benar merupakan hasil karya saya sendiri, bukan merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila dikemudian
hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan
disertasi ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas
perbuatan tersebut.
Makassar, 23 September 2013
Yang menyatakan
Johny Malisan
PRAKATA
Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa
atas limpahan rahmat-Nya, hidayah-Nya dan karunia-Nya sehingga
penelitian dan penulisan disertasi ini dapat diselesaikan sebagaimana
mestinya. Penulis mengucapkan syukur karena telah melewati masa-
masa sulit dan cukup melelahkan yang membutuhkan upaya kerja keras
sejak awal perkuliahan hingga selesainya penulisan disertasi ini dengan
bantuan dan bimbingan berbagai pihak terkait.
Gagasan yang melatarbelakangi tajuk permasalahan ini timbul dari
hasil pengamatan penulis terhadap perkembangan kecelakaan armada
pelayaran rakyat yang memperlihatkan kecenderungan peningkatan
prosentase. Oleh karena itu, penulis bermaksud menyumbangkan
beberapa hal untuk mengangkat kinerja keselamatan pelayaran rakyat
dalam rangka mendukung kebijakan zero accident. Zero accident tidak
diartikan sebagai tidak adanya kecelakaan sama sekali melainkan perlu
mengupayakan penurunan jumlah kecelakaan secara terus menerus agar
kepercayaan masyarakat pengguna jasa transportasi laut pelayaran
rakyat semakin membaik.
Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan
ucapan terima kasih dan penghargaan yang setinggi-tingginya kepada
Prof. Dr-Ing. M. Yamin Jinca, Ms.Tr. sebagai Ketua Komisi Penasehat dan
Prof. Dr-Ing. Herman Parung, M.Eng. serta Prof. Dr. Ir. Abrar Saleng, S.H.,
M.H. masing-masing sebagai Wakil Ketua Penasehat atas bimbingan dan
arahan yang telah diberikan mulai dari pengembangan minat terhadap
permasalahan penelitian, serta meluangkan waktu untuk membaca dan
memberikan koreksi maupun arahan dalam menyempurnakan disertas ini.
Terima kasih yang tulus dan penghagaan yang tinggi juga tak lupa
penulis sampaikan kepada Prof. Dr. Ir. H.M. Saleh Pallu, M.Eng., Prof. Dr.
Ir. Shirly Wunas, DEA, Prof. Dr. Ir. Yusuf Sihaya, M.Eng., sebagai penguji
2
internal maupun Dr. Ir. Bambang Riyanto, DEA sebagai penguji eksternal
yang telah memberikan catatan dan saran perbaikan dalam pertemuan
pembahasan proposal yang lalu.
Terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh jajaran
pimpinan Badan Litbang Perhubungan, terutama kepada Ir. L. Denni
Siahaan, Ms.Tr. sebagai mantan Kepala Badan Litbang Perhubungan dan
Drs. Edward Marpaung, M.M., sebagai Kepala Puslitbang Perhubungan
Laut, yang terus mengarahkan, membimbing, dan mendorong/memacu
kami untuk menyelesaikan siertasi ini dengan penuh semangat. Demikian
pulakepada rekan-rekan sejawat yang ikut memberikan bantuan
pencarian data dan informasi serta dorongan untuk menyelesaikan
disertasi ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada pengurus DPP
Pelra dan DPC Pelra Makassar maupun aparat instansi Syahbandar/
Otoritas Pelabuhan di lokasi penelitian serta para pakar yang telah banyak
memberikan bantuan dalam rangka pengumpulan data / informasi dan
diskusi mengenai perkembangan pelayaran rakyat. Tidak ketinggalan,
ucapan terima kasih atas keikhlasan dan doa yang diberikan oleh istri dr.
Fransisca Elsje Palobo yang dengan penuh kesabaran, ketulusan, dan
keikhlasan dalam mengorbankan waktunya untuk bersama anak-anak dan
anak-anak tercinta Fabian Elsony dan Valerian Elsony menemani dan
memberikan dukungan dan spirit selama menjalani masa-masa sulit ini.
Demikian pula kepada saudara dan kerabat. serta mereka yang namanya
tidak sempat disebutkan satu persatu tetapi telah banyak membantu
penulis dalam menyelesaikan disertasi ini, kami haturkan banyak
terimakasih. Semoga semua dukungan dan bantuannya mendapatkan
balasan yang berlimpah dari Tuhan Yang Maha Esa.
Makassar, September 2013
Johny Malisan
3
ABSTRAK
JOHNY MALISAN. Keselamatan Transportasi Laut Pelayaran Rakyat:
Studi Kasus Armada Pinisi (dibimbing oleh M. Yamin Jinca, Herman
Parung, dan Abrar Saleng).
Penelitian ini bertujuan menganaliais teknis pelayaran rakyat dari
aspek konstruksi dan stabilitas kapal, menganalisis faktor-faktor nonteknis
penyebab kecelakaan, menemukan upaya peningkatan keselamatan
pelayaran dalam mendukung kebijakan dan strategi yang berkaitan
dengan roadmap to zero accident.
Metode penelitian yang digunakan untuk menghitung stabilitas dan
kekuatan adalah metode empiris kuantitatif yang dilengkapi dengan
wawancara dan kuesioner. Lokasi penelitian adalah Makassar, Jakarta,
Semarang, Surabaya, Kupang, Sampit, dan Jambi. Sampel untuk metode
empiris adalah kapal 100-150 GT yang dominan mengalami kecelakaan,
sedangkan untuk wawancara dan kuesioner digunakan 140 responden.
Data dianalisis dengan analisis faktor dan SWOT.
Hasil penelitian menyatakan bahwa lengan stabilitas kapal, luas
lengkung stabilitas, dan tinggi metacentra (MG) telah sesuai kriteria
organisasi martim internasional (IMO) dan berada di atas kondisi
persyaratan. Armada pinisi pelayaran rakyat laik laut dari aspek stabilitas.
Ditinjau dari kekuatan memanjang dan melintang, tegangan yang bekerja
pada geladak, midship dan dasar kapal masih lebih kecil dari persyaratan
konstruksi kapal kayu..Dengan demikian, kapal memiliki kelayakan yang
tinggi untuk berlayar. Analisis faktor menemukan tujuh faktor nonteknis,
yakni tugas dan tanggung jawab, kompetensi SDM bidang keselamatan
kapal, komitmen perusahaan, peralatan navigasi pelayaran, kompetensi
awak kapal, sistem perawatan kapal dan pemuatan, serta rekruitmen dan
diklat. Karena itu, strategi peningkatan keselamatannya mencakup
pengintensifan program diklat keterampilan dan perawatan kapal,
peningkatan standar mutu pembuatan kapal, kinerja sarana navigasi
kapal, dan pengupayaan penerapan standar teknis keselamatan kapal.
Kata kunci: keselamatan transportasi, stabilitas dan konstruksi,
manajemen dan sumber daya manusia.
4
ABSTRACT
JOHNY MALISAN. Sea Transportation Safety of Traditional Shipping: A
Case Study of Phinisi Fleet (supervised by Yamin Jinca, Herman Parung,
and Abrar Saleng)
The research aimed to analyze technical feasibility of traditional
shipping that focused on ship stability and construction, to analyze
nontechnical factors causing accident, and to find out the efforts to
improve shipping safety dealing with policies and strategies related to
"Roadmap to Zero Accident."
The method used to calculate the ship stability and strength was
quantitative empirical method with survey, interview, and questionnaire.
The research was conducted in Makassar, Jakarta, Semarang, Surabaya,
Kupang, Sampit, and Jambi The sample used for empirical method was
the ship of 100150 GT dominantly having accident and the sample for
interview and questionnaire consisted of 140 respondents. Respondents'
opinions were analyzed using factor analysis and SWOT.
The results of the research indicate that righting arms, cross curve
areas, and height of metacentre (MG) are appropriate for the criteria or
regulations issued by International Maritime Organization (IMO). Thus,
phinisi fleet is seaworthy viewed from stability aspect. Viewed from
longitudinal and transversal strength, the ship stress acting on the deck,
mid-ship frames, and bottom are still much lower than the requirements for
wooden ship construction. Thus, the ship is highly seaworthy. The factor
analysis of non-technical aspects indicates seven influential factors, i.e.
duties and responsibilities, competence of human resources in ship safety,
commitment of the shipping company, navigational equipments, crew
competence, maintenance and loading systems, and recruitment and
training. Therefore, the strategies used to increase traditional shipping
safety are to intensify education and training programs and ship
maintenance, to improve the quality standard of shipbuilding and
performance of ship navigation facilities, and to strive for the
implementation of technical standard of ship safety.
Keywords: transportation safety, stability and construction, management
and human resources.
5
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL DISERTASI .........................................................
HALAMAN PENGAJUAN DISERTASI ................................................
HALAMAN PERSETUJUAN DISERTASI ..........................................
HALAMAN PERNYATAAN KEASLIAN DISERTASI ..........................
PRAKATA ........................................................................................... i
ABSTRAK .......................................................................................... iii
ABSTRACT ........................................................................................ v
DAFTAR ISI ........................................................................................ vii
DAFTAR TABEL ................................................................................ x
DAFTAR GAMBAR ............................................................................ xi
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................... xiii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................. 1
A. Latar Belakang ............................................................... 1
B. Identifikasi Masalah ....................................................... 9
C. Tujuan Penelitian ........................................................... 11
D. Manfaat Penelitian ......................................................... 12
E. Sistematika Penulisan ................................................... 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA .......................................................... 16
A. Perkembangan dan Pengelompokan Pelayaran Rakyat 16
1. Sejarah perkembangan kapal pelayaran rakyat ..... 16
2. Pengelompokan kapal pelayaran rakyat ................ 20
B. Peraturan Keselamatan Pelayaran ................................ 25
1. Aspek legalitas ........................................................ 25
a. Manajemen keselamatan ................................. 25
b. Regulasi keselamatan pelayaran ..................... 28
6
c. Regulasi / Hukum Pelayaran ............................ 37
2. Pembangunan dan Pengawasan ........................... 42
C. Aspek Teknologi Armada Pelayaran Rakyat ................ 45
1. Tinjauan stabilitas kapal ........................................ 46
a. Lengan stabilitas .............................................. 46
b. Lengan stabilitas menurut IMO ........................ 51
2. Tinjauan konstruksi kapal ....................................... 60
3. Tinjauan teknis kekuatan kapal .............................. 68
D. Aspek Non Teknis Penyebab Terjadinya Kecelakaan ... 74
1. Operasional kapal ................................................... 74
2. Kompetensi awak kapal / ABK ................................ 82
3. Manajemen keselamantan dan strategi zero accident 85
E. Kerangka Pikir Konseptual dan Hipotesis ..................... 94
1. Kerangka pikir konseptual penelitian ...................... 94
2. Hipotesis ................................................................ 97
BAB III METODE PENELITIAN ........................................................ 99
A. Rancangan Penelitian .................................................. 99
B. Tahapan Kegiatan ........................................................ 101
C. Lokasi dan waktu Penelitian ......................................... 103
1. Lokasi penelitian .................................................... 103
2. Waktu penelitian .................................................... 104
D. Populasi dan Sampel Penelitian ................................... 104
E. Jenis penelitian dan teknik pengumpulan data ............. 111
1. Jenis penelitian ..................................................... 111
2. Teknik pengumpulan data ...................................... 112
F. Metode Analisis Data .................................................... 115
1. Metode analisis stabilitas kapal .............................. 115
a. Kriteria stabilitas ............................................... 115
b. Pengaruh eksternal ......................................... 115
7
2. Metode analisis kekutan kapal ............................... 119
a. Distribusi beban ............................................. 119
b. Analisis tegangan ............................................ 122
3. Metode analisis data non teknis ............................. 124
a. Pengelompokan variabel analisis faktor ......... 124
b. Penentuan variabel analisis SWOT .................. 138
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN ........................... 149
A. Hasil Penelitian .............................................................. 149
1. Kondisi cuaca ......................................................... 149
2. Ukuran kapal .......................................................... 150
3. Aspek teknis stabilitas kapal ................................... 152
4. Aspek teknis kekuatan kapal .................................. 154
5. Aspek non teknis kapal ........................................... 156
a. Deskripsi hasil analisis faktor ........................... 156
b. Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling
Adequacy dan Bartlett’s Test .......................... 157
B. Pembahasan Hasil Penelitian ........................................ 160
1. Analisis Kecelakaan kapal ...................................... 160
2. Aspek teknis stabilitas dan kekuatan kapal ............ 166
a. Stabilitas kapal ................................................. 166
1) Nilai KG kapal pada beberapa kondisi
muatan ....................................................... 168
2) Pengaruh eksternal terhadap stabilitas
kapal .......................................................... 170
3) Kurva lengan stabilitas kapal ..................... 176
b. Kekuatan kapal ................................................ 180
1) Kinerja operasional kekuatan kapal .......... 182
2) Penyebaran bending moment .................... 183
3) Kekuatan memanjang ............................... 185
4) Kekuatan melintang .................................... 190
8
5) Pemasangan mesin ................................... 192
3. Aspek non teknis berdasarkan analisis faktor ........ 194
a. Penentuan jumlah faktor dan pengelompokan
variabel ............................................................ 200
b. Karakteristik Faktor .......................................... 202
4. Pembahasan hasil analisis SWOT ......................... 212
a. Rekapitulasi Hasil Analisis SWOT ................... 217
b. Usulan kebijakan strategi ................................. 222
5. Temuan empiris dan rencana aksi .......................... 223
a. Temuan empiris ............................................... 223
b. Rencana aksi ................................................... 225
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ................................................ 229
A. Kesimpulan .................................................................... 229
B. Saran ............................................................................ 230
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................... 232
LAMPIRAN ......................................................................................... 242
9
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Sentra Kegiatan Pelayaran Rakyat ................................ 21
Tabel 2. Data Empiris Kecepatan Angin dalam Skala Beaufort .... 57
Tabel 3. Beberapa Jenis Kayu untuk Pembuatan Kapal .............. 65
Tabel 4. Perkembangan Jumlah Kapal Pelayaran Rakyat ........... 75
Tabel 5. Persentase Kecelakaan Kapal Pelayaran Rakyat
Berdasarkan Ukuran Kapal dan Wilayah Kejadian Tahun
2005-2008 ...................................................................... 79
Tabel 6. Penyebaran Responden untuk tujuan II .......................... 109
Tabel 7. Sampel untuk tujuan III ................................................... 110
Tabel 8. Tekanan dan Kecepatan Angin ...................................... 119
Tabel 9. Patokan perhitungan tinggi gelombang .......................... 123
Tabel 10. Matriks Analisis Faktor ................................................... 134
Tabel 11. Matriks Variabel SWOT .................................................. 144
Tabel 12. Pedoman penyusunan strategi SWOT ........................... 145
Tabel 13. Kerangka Konseptual Pennyelesaian Masalah .............. 148
Tabel 14. Data Tinggi Gelombang dan Kecepatan Angin .............. 149
Tabel 15. Potret Armada Pelra Sebagai Obyek Penelitian ............. 151
Tabel 16. Hasil Perhitungan Stabilitas untuk Kapal 294 m3 ............ 152
Tabel 17. Hasil Perhitungan Stabilitas untuk Kapal 386 m3 ............ 153
Tabel 18. Hasil Perhitungan Stabilitas untuk Kapal 424 m3 ............ 153
Tabel 19. Hasil Perhitungan Kekuatan Kapal ................................. 155
Tabel 20. Kelas Kekuatan Kayu ..................................................... 156
Tabel 21. Jenis-jenis Kecelakaan Kapal ......................................... 160
Tabel 22. Ukuran Konstruksi Kapal ................................................ 190
Tabel 23. Nilai korelasi variabel terhadap 7 faktor yang terbentuk
setelah rotasi dengan metode varimax ........................... 196
Tabel.24. Analisis faktor terhadap 31 variabel ................................ 198
Tabel 25. Eigen Value Hasil rotasi dengan metode varimax .......... 200
10
Tabel 26. Hasil Analisis SWOT wilayah Makassar ........................ 212
Tabel 27. Hasil Analisis SWOT wilayah Jakarta ............................ 215
Tabel 28. Rekapitulasi Hasil Analisis SWOT ................................. 218
Tabel 29. Pemetaan Faktor Internal dan Eksternal ........................ 220
11
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Kurva Lengan Stabilitas .............................................. 49
Gambar 2. Kondisi Pemuatan Kapal Pelayaran Rakyat ............... 50
Gambar 3. Lengan stabilitas teoritis sesuai ketentuan IMO ......... 54
Gambar 4. Kapal Pinisi 360 GT di Pelabuhan Paotere ................ 55
Gambar 5. Kurva Lengan Stabilitas Kapal Pinisi 360 GT ............. 56
Gambar 6. Persentase Kecelakaan Kapal Berdasarkan Lokasi
Kejadian ..................................................................... 59
Gambar 7. Persentase Kecelakaan Kapal Berdasarkan Ukuran
Kapal ........................................................................... 60
Gambar 8. Midship section dari salah satu Kapal Pelra ............... 63
Gambar 9. Kamar Mesin Kapal Pinisi 100 GT (tidak kedap) ........ 66
Gambar 10. Kamar Mesin Kapal Pinisi 35 GT (tidak kedap) .......... 66
Gambar 11. Ruang Muat Kapal Pinisi Tanpa Sekat Tubrukan ....... 67
Gambar 12. Ruang Muat Kapal Pinisi Tanpa Sekat Tubrukan ....... 67
Gambar 13. Pemadatan muatan sampai ke geladak cuaca .......... 67
Gambar 14. Penempatan muatan sampai ke geladak navigasi ..... 67
Gambar 15 Bentuk gelombang Sagging dan Hogging .................. 71
Gambar 16 Potret Kecelakaan Kapal di Perairan Indonesia ......... 77
Gambar 17. Kerangka Pikir Konseptual Penelitian ........................ 97
Gambar 18. Peta persebaran trayek pelayaran rakyat .................. 103
Gambar 19. Persentase Populasi Kapal Berdasarkan Ukuran ....... 105
Gambar 20. Persentase Kecelakaan Kapal Berdasarkan Ukuran .. 105
Gambar 21. Populasi dan Sampel Penelitian ................................ 107
Gambar 22. Pilihan Sampel berdasarkan tingkat kesalahan ......... 108
Gambar 23. Proporsi Responden untuk analisis faktor .................. 107
Gambar 24. Uji Signifikansi penyebaran kuesioner ........................ 110
Gambar 25. Bagan Alir pelaporan dan pengawasan sistem internal
manajemen keselamatan pelayaran ........................... 134
12
Gambar 26. Peta Posisi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan
Ancaman .................................................................... 140
Gambar 27. Presentase Peningkatan Kecelakaan .......................... 161
Gambar 28. Presentase Jenis Kecelakaan Kapal Pelra .................. 161
Gambar 29. KG terhadap Displacement kapal 294 m3 ................... 169
Gambar 30. KG terhadap Displacement kapal 386 m3 ................... 169
Gambar 31. KG terhadap Displacement kapal 424 m3 ................... 169
Gambar 32. Kurva Stabilitas Kapal 294 m3 (Kondisi 1) .................. 172
Gambar 33. Kurva Stabilitas Kapal 386 m3 (Kondisi 1) .................. 172
Gambar 34. Kurva Stabilitas Kapal 424 m3 (Kondisi 1) .................. 172
Gambar 35. Kurva Stabilitas Kapal 294 m3 (Kondisi 2) .................. 172
Gambar 36. Kurva Stabilitas Kapal 386 m3 (Kondisi 2) .................. 173
Gambar 37. Kurva Stabilitas Kapal 424 m3 (Kondisi 2) .................. 173
Gambar 38. Kurva Stabilitas Kapal 294 m3 (Kondisi 3) .................. 173
Gambar 39. Kurva Stabilitas Kapal 386 m3 (Kondisi 3) .................. 173
Gambar 40. Kurva Stabilitas Kapal 424 m3 (Kondisi 3) .................. 173
Gambar 41. Kurva Stabilitas Kapal 294 m3 (Kondisi 4) ................. 173
Gambar 42. Kurva Stabilitas Kapal 386 m3 (Kondisi 4) .................. 174
Gambar 43. Kurva Stabilitas Kapal 424 m3 (Kondisi 4) .................. 174
Gambar 44. Kurva Stabilitas Kapal 294 m3 (Kondisi 5) .................. 174
Gambar 45. Kurva Stabilitas Kapal 386 m3 (Kondisi 5) .................. 174
Gambar 46. Kurva Stabilitas Kapal 424 m3 (Kondisi 5) .................. 174
Gambar 47. Kurva Stabilitas Kapal 294 m3 (Kondisi 6) .................. 174
Gambar 48. Kurva Stabilitas Kapal 386 m3 (Kondisi 6) .................. 175
Gambar 49. Kurva Stabilitas Kapal 424 m3 (Kondisi 6) .................. 175
Gambar 50. Lengan stabilitas pada kondisi pemuatan I ................. 178
Gambar 51. Lengan stabilitas pada kondisi pemuatan II ................ 178
Gambar 52. Lengan stabilitas pada kondisi pemuatan III ............... 179
Gambar 53. Lengan stabilitas pada kondisi pemuatan IV .............. 179
13
Gambar 54. Kapal Pinisi 130 GT siap bongkar muat di Pelabuhan
Sunda Kelapa ............................................................. 181
Gambar 55. Kapal Pinisi 150 GT dengan muatan sampai ke atas
geladak ....................................................................... 181
Gambar 56. Kurva Gaya Berat dan Gaya Tekan kapal isi kotor 294
m3 ............................................................................... 184
Gambar 57. Kurva Bending Moment dan Shear Force kapal isi
kotor 294 m3 ............................................................... 184
Gambar 58. Kurva Gaya Berat dan Gaya Tekan kapal isi kotor 386
m3 ............................................................................... 184
Gambar 59. Kurva Bending Moment dan Shear Force kapal isi
kotor 386 m3 .............................................................. 184
Gambar 60. Kurva Gaya Berat dan Gaya Tekan kapal isi kotor 424
m3 ............................................................................... 184
Gambar 61. Kurva Bending Moment dan Shear Force kapal isi
kotor 424 m3 ............................................................... 184
14
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Perhitungan Stabilitas Kapal 294 m3
Lampiran 2. Perhitungan Stabilitas Kapal 386 m3
Lampiran 3. Perhitungan Stabilitas Kapal 424 m3
Lampiran 4. Perhitungan Kekuatan Kapal 294 m3
Lampiran 5. Perhitungan Kekuatan Kapal 386 m3
Lampiran 6. Perhitungan Kekuatan Kapal 424 m3
Lampiran 7. Perhitungan Analisis Faktor
15
DAFTAR ARTI LAMBANG/SINGKATAN
Lambang / singkatan Arti dan keterangan
ABK Anak Buah Kapal
B Lebar kapal (breadth)
BST Basic Safety Training
DOC Document Of Compliance
DWT Dead Weight Ton
F1, F2,…., Fm Factor of loading (or scores)
G Titik berat (center of gravity)
GT Gross Tonnage
GZ Lengan pengembali (righting arm)
H Tinggi kapal (height)
IMO International Maritime Organization
ISM International Safety Management
JICA Japan International Cooperation Agency
KL Kapal Layar
KLM Kapal Layar Motor
KNKT Komite Nasional Kecelakaan Transportasi
KM Kapal Motor
KMO Kaiser Meyer Olkin
L Panjang Kapal
LWT Light Weight Ton
M Titik Metacentra
16
Lambang / singkatan Arti dan keterangan
MG Jarak titik metacentra dan titik berat kapal
Menhub Menteri Perhubungan
m-rad Meter-radian
Mx Bending moment
MSA Measure of Sampling Adequacy
NSPK Norma, Standar, Pedoman, Kriteria
θf Sudut kemiringan (heeling angle)
Qgeladak Sudut Tenggelam
Qx Shearing Force
SBNP Sarana Bantu Navigasi Pelayaran
SDM Sumber Daya manusia
SMC Safety Management Certificate
SOLAS Safety Of Life At Sea
STRAMINDO Sea Transportation & Maritime Industry in Indonesia
SWOT Strength, Weakness, Opportunity, Threat
TK Tenaga Kuda
UNCTAD United Nation Convention on Trade
W Modulus Penampang
X1, X2,…, Xp Variabel analisis faktor
Tegangan lentur
Tegangan geser
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan 2/3 wilayahnya
merupakan wilayah laut/perairan, sehingga transportasi laut memegang
peranan penting dan posisi strategis dalam memobilisasi manusia dan
barang maupun jasa ke seluruh pelosok tanah air dengan tetap
mempertimbangkan tingkat keselamatan dan keamanan sesuai dengan
ketentuan yang berlaku. Peran strategis sistem transportasi laut jika
diselenggarakan dengan efektif dan efisien, maka pulau-pulau yang
membentang bagaikan zamrud di khatulistiwa akan saling terhubungkan,
pergerakan barang akan lancar, dan pertukaran hasil produksi antar pulau
berdasarkan keunggulan komparatif setiap daerah akan meningkatkan
kemakmuran seluruh rakyat, serta dapat mengatasi keterisolasian karena
letak geografisnya (Basri, 2009).
Sistem transportasi laut nasional merupakan satu kesatuan sistem
jaringan pelayanan dan jaringan prasaran yang tidak terpisahkan oleh
suatu wilayah. Oleh karena itu, diperlukan jaringan transportasi antar
pulau yang ditata secara terpadu dan mampu melayani kebutuhan
masyarakat untuk meningkatkan pertumbuhan wilayah dan pemerataan
pembangunan dan hasil-hasilnya (Pramono, 2004). Dengan demikian,
2
Indonesia perlu memiliki armada angkutan laut / pelayaran niaga karena
kontribusi sektor angkutan laut terhadap PDB tahun 2006 ternyata cukup
yakni sebesar Rp. 16,120 trilyun dan diproyeksikan meningkat menjadi
Rp 129,963 triliun tahun 2015 dengan pertumbuhan sebesar 26,1% per
tahun ( Biro Riset LM FEUI, 2010).
Pelayaran rakyat sebagai bagian dari armada niaga nasional,
merupakan pelayaran yang telah diwarisi secara turun temurun dilihat dari
aspek pembangunan, pengelolaan dan sumber daya manusia. Perannya
cukup potensial dalam memberikan pelayanan jasa, khususnya angkutan
laut barang pada era tahun 1989-1998 yang mencapai ± 25% dari total
muatan nasional (www.bappenas.go.id/get-file-server/node/; dan Ditjen
Hubla, 2005). Data statistik muatan telah menunjukkan kejayaannya
dimana pada tahun 1989 muatan yang diangkut sebanyak 2,9 juta ton
meningkat menjadi 8,9 juta ton pada tahun 2004 (Ditjen Hubla, 2005).
Akan tetapi potensi yang cukup besar ini semakin lama tampaknya
semakin menurun karena sejak 1999 sampai 2004 pangsa muatannya
menurun hingga 11 %. Meskipun demikian, pelayanan pelayaran rakyat
masih tetap diperlukan karena kemampuannya untuk menjangkau daerah
pedalaman. Oleh karena itu, kemampuan tersebut perlu terus ditingkatkan
agar dapat bersaing dan dapat beroperasi secara efektif dan efisien
dalam skala ekonomis, sesuai dengan standar dan norma yang berlaku.
Armada pelayaran rakyat yang maju dan terjamin kehandalannya akan
bermanfaat dan member berbagai keuntungan antara lain permintaan
3
angkutan laut yang lebih terlayani baik antar pulau maupun untuk
pelayanan ke daerah-daerah terpencil (Menhub, 1993). Permasalahan
utama adalah daya saingnya rendah jika dibandingkan dengan armada
nasional lainnya. Persoalan lain yakni rendahnya tingkat keamanan dan
keselamatannya.
Pada masa lampau, satu-satunya sarana transportasi laut yang
dioperasikan adalah kapal kayu. Kemajuan teknologi angkutan laut yang
terus berkembang secara dinamis mengakibatkan peran kapal kayu yang
juga dikenal sebagai pelayaran rakyat cenderung melemah. Disamping itu,
produktivitas hutan Indonesia untuk menyediakan kayu semakin menipis
sehingga mengakibatkan terjadinya penurunan jumlah produksi kapal
kayu. Menurut Kurniawan (2004), pada tahun 1990-an hutan alam
Indonesia dapat menghasilkan sekitar 30 juta m3 kayu gelondongan per
tahun, namun kemudian hanya mampu memproduksi sekitar 9 juta m3.
Meskipun demikian, pada kenyataannya populasi dan peran armada
nasional pelayaran rakyat masih tetap diperhitungkan untuk angkutan
antar pulau berbagai komoditas kebutuhan pokok masyarakat, terutama
pada daerah-daerah yang relatif belum maju atau daerah yang minim
infrastruktur pelabuhannya, sehingga berfungsi untuk menggantikan
peran kapal motor nasional.
Kapal pelayaran rakyat umumnya dikelola oleh kelompok
ekonomi menengah ke bawah, diusahakan oleh pengusaha pribumi yang
4
berasal dari Bugis-Makassar, Madura, Mandar, dan Buton melalui
pemupukan modal perseorangan atau kekeluargaan dalam jumlah yang
relatif kecil (Jinca, 2002). Disamping itu, kelebihan dari industri pelayaran
rakyat adalah dapat dikelompokkan sebagai industri yang independen
karena mampu bertahan (survive) tanpa dukungan finansial dari
pemerintah maupun lembaga keuangan lainnya. Dalam prakteknya
industri pelayaran rakyat dapat melakukan banyak kegiatan kegiatan
pelayaran seperti trading, shipping, dan freight forwarding. Dalam
kesempatan lain, pelayaran rakyat dapat membeli barang-barang tertentu
(certain cargoes), menyimpan barang (warehouse) yang terkadang milik
sendiri dan membawa sampai ke tujuan akhir (JICA dalam Studi
STRAMINDO, 2005). Hal ini berdampak pada besarnya kesempatan kerja
dalam klasifikasi lapangan usaha pelayaran rakyat. Pembuatan kapal
yang juga kini tidak hanya terpaku pada kapal cargo semata tetapi telah
berevolusi menjadi kapal wisata yang bahkan mampu mengangkut 100
orang (M. Arman, 2010).
Dalam era globalisasi, kesempatan berusaha mestinya dibarengi
dengan peningkatan kemampuan teknis dan managerial yang umumnya
masih menerapkan pola manajemen kekeluargaan. Pada era teknologi
saat ini, terdapat kecenderungan masuknya pemilik modal besar ke
dalam aktivitas pelayaran rakyat. Hal ini dimungkinkan karena berbagai
kebijakan yang ada memberi peluang setiap warga negara Indonesia untuk
berusaha demi meningkatkan daya saing produk nasional, termasuk di
5
bidang angkutan laut yang memungkinkan pemilik modal kuat dapat
masuk ke dalam industri pelayaran rakyat. Kondisi seperti ini, berangsur-
angsur menggeser dan menyingkirkan kegiatan usaha para pengusaha
tradisional pelayaran rakyat karena pemilik modal kuat yang selama ini
secara nyata merupakan pemilik barang telah memiliki dan menguasai
armada dan perusahaan yang menerapkan manajemen kekeluargaan
tersebut.
Konsekuensinya adalah fungsi armada pelayaran rakyat bergeser
kearah komersialisasi sehingga pengelolaan berciri tradisional tersebut
tersisih oleh masuknya pemilik modal besar yang menginginkan perubahan.
Salah satunya adalah keinginan merubah bentuk dan ukuran kapal serta
mengkombinasikan layar dengan mesin/alat penggerak (propeller) untuk
memperoleh kecepatan yang diinginkan. Layar hanya sebagai persyaratan
untuk mempertahankan ciri tradisionalnya, dengan tujuan untuk dapat
memperoleh beberapa kemudahan seperti keringanan pemenuhan
persyaratan ijazah bagi ABK, peralatan/perlengkapan kapal, pelaksanaan
bongkar muat dan ekspedisi sendiri dan sebagainya. Bagi pemilik modal,
motoriasi dimaksudkan agar dapat memenuhi sasaran peningkatan
kecepatan dan daya saing dalam menunjang kegiatan perekonomian
nasional. Dalam hal kebijakan penunjang kegiatan ekonomi melalui
berbagai paket pengembangan pelayaran rakyat perlu terus diupayakan
agar distribusi dan akumulasi barang untuk tujuan perdagangan luar negeri
6
maupun dalam negeri/antar pulau dikembangkan menurut pola yang
sesuai dengan kondisi perairan Indonesia.
Bangsa Indonesia telah mengenal teknologi pembangunan kapal
kayu tradisional sejak ratusan tahun silam, namun sampai sekarang
masih banyak yang belum sepenuhnya memanfaatkan kemajuan IPTEK,
sehingga dalam membangun kapal kayu sering tidak mengindahkan
faktor teknis, keselamatan manusia dan barang di laut maupun faktor non
teknis. Untuk itu diharapkan pemerintah memperhatikan kelangsungan
usaha pelayaran rakyat dan membuat regulasi untuk menekan angka
kecelakaan di sektor ini. Disamping itu, juga perlu meningkatkan
pembinaan kepada pelayaran rakyat agar senantiasa memperhatikan
peralatan keselamatan yang ada di kapal. Hal yang juga diperlukan
adalah mengembalikan kejayaan pelayaran di masa lalu, karena sebagai
negara kepulauan Indonesia dikenal memiliki pelaut-pelaut yang handal,
dan pelayaran sendiri menjadi salah satu tulang punggung perekonomian
di bidang pengangkutan dan distribusi. Hal ini jelas membutuhkan
dukungan kuat dari pemerintah bersama-sama dengan masyarakat dan
para pelaku usaha. Apalagi dengan mengembangkan pelayaran rakyat
sebagai salah satu moda transportasi alternatif dengan tarif terjangkau.
Pemberdayaan pelayaran rakyat sebagai transportasi alternatif untuk
daerah terpencil tentunya akan berimbas pada peningkatan pemberdayaan
ekonomi masyarakat, namun sangat perlu dibarengi dengan tingkat
7
keselamatan yang optimal mengingat banyaknya kecelakaan kapal yang
terjadi.
Berbagai jenis kecelakaan kapal yang berdampak pada buruknya
kinerja keselamatan transportasi laut tidak terlepas dari kegagalan yang
muncul baik pada tahap pembangunan maupun selama proses
pengoperasiannya. Oleh karena itu dalam beberapa teori dijelaskan
bahwa situasi berbahaya yang mengarah pada kecelakaan merupakan
hasil dari kombinasi kegagalan teknis, manusia dan organisasi (Van der
Schaff, 1992 dalam Studi Grand Skenario Penanggulangan Kecelakaan
Transportasi di Indonesia, 2008). Dengan menciptakan sistem prosedur
dan standar keselamatan otomatis akan dapat mencegah situasi yang
mengarah pada munculnya insiden dan membuat sistem kembali pada
keadaan normal.
Masalah keselamatan pelayaran akhir-akhir ini terutama dengan
meningkatnya prosentase kecelakaan sejak tahun 2004 hingga 2008,
melejit ke permukaan dan menjadi tema hangat untuk diperbincangkan,
baik oleh media cetak maupun elektronik. Peranan keselamatan
pelayaran dalam sistem transportasi laut merupakan hal penting untuk
direfleksikan karena transportasi laut sangat diwarnai oleh bahaya dan
ancaman badai, kabut, dan gerakan-gerakan dari laut seperti ombak,
arus, karang laut, pendangkalan dan jalur pelayaran yang tidak tetap dan
8
berubah. Ini sebabnya pelayaran kita sangat berisiko tinggi, dan oleh
sebab itu pula aspek keselamatan harus benar-benar terjamin.
Untuk menunjang pencapaian sasaran pembangunan nasional,
maka pelayaran merupakan unsur yang sangat menentukan dalam
kelancaran transportasi laut sebagaimana diatur dalam UU Nomor 17
Tahun 2008 Tentang Pelayaran. Ketidakselarasan penanganan sistem
dan masalah transportasi laut, serta timpangnya perhatian terhadap
persoalan keselamatan pelayaran, dapat menghambat penyediaan
layanan transportasi di seluruh Indonesia. Dari beragam moda transportasi
perairan di Indonesia saat ini, armada pelayaran rakyat merupakan salah
satu armada yang sudah membuktikan dirinya sebagai sarana
transportasi laut yang tangguh, identik dengan usaha ekonomi kerakyatan
berbasis kapal tradisional yang menggunakan layar dan motor. Sampai
saat ini armada pelayaran rakyat tampil sebagai salah satu kekuatan
armada nasional disamping armada pelayaran nusantara dan armada
pelayaran perintis lainnya. Namun seiring kemajuan Iptek di bidang
transportasi laut, eksistensi armada pelayaran rakyat mulai terpinggirkan
dan menghadapi tantangan pasar yang semakin besar, bahkan
jumlahnya cenderung berkurang. Oleh karena itu perlu perbaikan dalam
pembangunannya yang selama ini dilakukan secara tradisional yakni
tanpa dilengkapi dokumen (gambar desain/instalasi) sebagai pedoman
dalam pembangunan kapal dan tanpa adanya pengawasan dari instansi
9
yang berwenang. Hal inilah yang menyebabkan kinerja keselamatan
kapal pelayaran rakyat banyak dipertanyakan.
Penelitian dilakukan untuk mengevaluasi kinerja keselamatan
transportasi laut pada pelayaran rakyat terutama aspek teknis untuk
menganalisis kelaiklautan kapal yang terkait dengan sabiltias dan
kekuatan dan non teknis adalah dalam kaitan dengan sumberdaya
manusia. Penelitian terfokus pada jenis kapal pinisi mengingat jenis kapal
ini mendominasi armada pelayaran rakyat dan pernah menjadi program
pemerintah saat membangun beberapa prototype kapal tradisonal.
Dengan demikian diharapkan akan dapat membantu pemerintah dalam
pengambilan suatu kebijakan yang terkait dengan upaya memberikan
bantuan teknis dan penetapan norma, standar dan pedoman bagi
masyarakat pelayaran rakyat.
B. Identifikasi Masalah
Beberapa permasalahan yang telah diidentifikasi, selanjutnya
dikelompokkan menjadi masalah teknis dan non teknis. Masalah teknis
antara lain:
1. Kapal dibangun secara tradisional dan tanpa kelas sehingga
belum ada jaminan kelaiklautan karena tidak ada pengawasan
oleh instansi yang berwenang.
10
2. Pergeseran teknologi ke arah motorisasi yang mengakibatkan
perubahan bentuk dan ukuran kapal.
3. Penguasaan modernisasi teknologi kapal masih lemah karena
pembangunannya masih dilakukan secara tradisional.
4. Terjadi gap guidelines antara pelayaran rakyat dengan pihak lain
seperti asuransi, klasifikasi dan syahbandar.
5. Belum adanya sistem manajemen keselamatan yang sesuai
untuk kapal-kapal pelayaran rakyat.
6. Tidak adanya dokumen (gambar desain/instalasi) sebagai pedoman
pembangunan kapal dan pengawasannya.
7. Belum adanya sistem dan prosedur terkait dengan standar
teknologi dan keselamatan yang diberlakukan terhadap kapal-
kapal pelayaran rakyat.
8. Kelangkaan bahan baku kayu untuk pembuatan perahu.
9. Umur armada pelra relatif rendah dibandingkan dengan armada
lainnya.
Masalah non teknis adalah antara lain:
1. Kompetensi SDM pelayaran rakyat yang masih rendah.
2. Pola manajemen tradisional/kekeluargaan yang menjadi resistensi
inovasi.
11
3. Peran pelayaran rakyat cenderung terus menurun sehingga
mengakibatkan terjadinya pergeseran kejayaan sejak tahun 1986
sampai saat ini.
4. Terjadi pergeseran fungsi armada kearah komersialisasi sehingga
ciri tradisional dari aspek pengelolaanya mulai terhapuskan oleh
masuknya pemilik modal besar yang menginginkan perubahan.
5. Terjadinya transisi ketrampilan pelaut tradisional akibat tuntutan
perkembangan teknologi kenavigasian/pelayaran sehingga para
pelaut tradisional dituntut untuk berkompetisi dengan pelaut yang
memiliki pendidikan formal.
6. Kebijakan terhadap pelayaran rakyat yang didukung oleh Inpres
Nomor 5 Tahun 2005 dan UU Nomor 17 Tahun 2008 belum
memperlihatkan perubahan yang signifikan.
7. Lemahnya permodalan sehingga menyulitkan peremajaan armada.
Berdasarkan serangkaian masalah yang telah diidentifikasikan di
atas, maka penelitian selanjutnya dibatasi pada 3 hal yaitu:
1. Bagaimana kelaiklautan armada pelayaran rakyat.
2. Faktor-faktor non teknis yang menyebabkan terjadinya kecelakaan.
3. Bagaimana strategi zero accident transportasi pelayaran rakyat.
C. Tujuan Penelitian
12
Tujuan penelitian adalah:
1. Menganalisis tingkat kelayakan teknis keselamatan pelayaran
rakyat dari aspek stabilitas dan konstruksi kapal.
2. Menganalisis faktor-faktor non teknis yang berpengaruh
terhadap keselamatan pelayaran.
3. Menganalisis bagaimana strategi yang dapat dilakukan dalam
meningkatkan keselamatan pelayaran sehingga mendukung
kebijakan pemerintah “roadmap to zero accident”.
D. Manfaat Penelitian
Manfaat teoritis diharapkan adalah:
1. Pemahaman proses identifikasi dan penyeleksian serta penentuan
variabel-variabel dan indikatornya dalam menilai faktor-faktor yang
mempengaruhi sistem keselamatan kapal;
2. Pemahaman proses pembobotan antar variabel terhadap faktor-
faktor dalam penentuan sistem manajemen keselamatan kapal;
3. Pemahaman proses analisis dan evaluasi manajemen
keselamatan pelayaran rakyat untuk dijadikan panduan bagi
regulator maupun operator dalam menilai atau mengevaluasi
penerapan keselamatan pelayaran yang telah diterapkan;
4. Peningkatan pemahanan terhadap sistem dan prosedur penentuan
faktor-faktor yang berpengaruh terhadap keselamatan kapal
pelayaran rakyat baik aspek teknis maupun non teknis.
13
Manfaat praktis yang diperoleh dari penelitian ini antara lain:
1. Pedoman teknis bagi pembina dan penyedia pelayanan jasa
angkutan laut pelayaran rakyat sehingga dapat diidentifikasi faktor-
faktor yang berpengaruh terhadap penerapan sistem keselamatan
pelayaran terutama untuk jenis pelayanan yang diberikan oleh
pelayaran rakyat;
2. Pedoman kebijakan bagi pemerintah dalam mengevaluasi kinerja
keselamatan pelayaran rakyat sebagai upaya untuk memberikan
bantuan teknis dan penetapan norma, standar dan pedoman bagi
masyarakat pelayaran rakyat;
3. Pedoman bagi masyarakat tentang upaya meningkatkan
keselamatan pelayaran rakyat khususnya untuk peningkatan
kompetensi SDM pelayaran rakyat dan pelaksanaan sistem
manajemen keselamatan pelayaran baik di laut maupun di darat.
E. Sistematika Penulisan
Penelitian ini terdiri dari lima bab dengan perincian sebagai beriku:
Bab I Pendahuluan yang berisi tentang
A. Latar belakang penelitian
B. Identifikasi dan batasan masalah
14
C. Tujuan Penelitian
D. Manfaat penelitian
E. Sistematika Penulisan
Bab II Tinjauan Pustaka yang antara lain menguraikan tentang
A. Perkembangan dan Pengelompokan Pelayaran Rakyat
1. Sejarah perkembangan kapal pelayaran rakyat
2. Pengelompokan kapal pelayaran rakyat
B. Peraturan Keselamatan Pelayaran Rakyat
1. Aspek legalitas
2. Pembangunan dan Pengawasan
C. Aspek Teknologi Armada Pelayaran Rakyat
1. Tinjauan stabilitas kapal
2. Tinjauan konstruksi kapal
3. Tinjauan teknis kekuatan kapal
D. Aspek Non teknis Penyebab Terjadinya Kecelakaan
1. Operasional kapal
2. Kompetensi awak kapal / ABK
3. Manajemen keselamatan pelayaran rakyat dan strategi
zero accident
E. Kerangka pikir konseptual dan hipotesis
1. Kerangka pikir konseptual penelitian
2. Hipotesis
Bab III Metode Penelitian meliputi:
15
A. Rancangan penelitian
B. Tahapan Kegiatan
C. Lokasi dan waktu penelitian
D. Populasi dan sampel penelitian
E. Jenis penelitian dan teknik pengumpulan data
F. Metode Analisis Data
Bab IV Hasil penelitian dan pembahasan meliputi:
A. Hasil Penelitian yang menguraikan tentang
1. Kondisi cuaca dan ukuran kapal
2. Aspek teknis stabilitas dan kekuatan kapal
3. Aspek non teknis kapal terkait dengan SDM pelayaran
rakyat
B. Pembahasan hasil penelitian yang meliputi:
1. Analisis kecelakaan kapal
2. Analisis teknis stabilitas dan kekuatan kapal.
3. Analisis non teknis berdasakan analisis faktor dan
analisis SWOT.
Bab V Kesimpulan dan Saran
16
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Perkembangan dan Pengelompokan Pelayaran Rakyat
1. Sejarah perkembangan kapal pelayaran rakyat
Banyak manfaat yang telah dirasakan bersama dan betapa peranan
pelayaran rakyat begitu besar dalam mendukung pembangunan nasional
melalui kemampuannya mendistribusikan kebutuhan masyarakat ke
seluruh pelosok nusantara. Kemampuannya ini, tidak hanya terbatas
pada perairan dalam negeri saja melainkan juga sudah terbukti sampai ke
manca negara sejak awal mula pembentukannya. Bentuk perahu/kapal
yang digunakan dapat dibedakan menjadi beberapa jenis antara lain
Pinisi, Lambo, Lete dan Nade. Keempat jenis kapal ini dikenal sebagai
17
armada semut yang difungsikan sebagai bagian dari sistem pelayaran
nasional. Diantara keempat jenis kapal tersebut, Pinisi merupakan sarana
transportasi tradisional yang paling besar ukurannya dan mendominasi
armada pelayaran rakyat, berasal dari Sulawesi Selatan serta telah
banyak mengalami modifikasi sesuai dengan kebutuhan pemilik kapal.
Kapal pinisi telah digunakan di Indonesia sejak beberapa abad
yang lalu, dan diperkirakan telah ada sebelum tahun 1500-an. Menurut
naskah “Lontarak, I Babad La Lagaligo” pada abad ke-14, Pinisi pertama
kali dibuat oleh Sawerigading, Putera Mahkota Kerajaan Luwu, untuk
berlayar menuju negeri Tiongkok ketika hendak meminang Putri Tiongkok
yang bernama We Cudai. Sawerigading berhasil ke negeri Tiongkok dan
memperisteri Puteri We Cudai. Setelah beberapa lama tinggal di Tiongkok,
Sawerigading kembali ke kampung halamannya di Luwu memakai kapal
Pinisi. Menjelang masuk perairan Luwu kapal diterjang gelombang besar
dan puing-puing kapal terdampar di tiga desa di Semenanjung Bira yakni
Ara, Tanah Beru dan Lemo-lemo. Masyarakat ketiga desa tersebut
kemudian merakit puing-puing kapal tersebut menjadi perahu yang
kemudian dinamakan Pinisi (http://forum.nationalgeographic.co.id/topic.
php?id=1583). Ketiga daerah itupun akhirnya terkenal sebagai pembuat
kapal Pinisi, bahkan belakangan menjadi sentra industri kapal rakyat
(kompas, 2013).
18
Sumber lain (Liebner Horst, 2004) menyatakan pula bahwa kapal
pinisi pertama kali dibuat oleh “beach-comber” berkebangsaan Perancis
atau Jerman di Trengganu, Malaysia yang kemudian diketahui menetap
dan menikah dengan gadis setempat. Suatu hari raja Sultan Baginda Omar
meminta bantuannya untuk membuatkan sebuah kapal yang menyerupai
kapal moderen dari Barat. Kapal ini kemudian direalisasikan pada tahun
1846 dan sesuai dengan tradisi Malaysia, kapal ini menjadi prototipe
kapal baru yang disebut pinas, mungkin mengikuti kata “pinasse”, yang di
Perancis dan Jerman merupakan kapal ukuran sedang (medium-size
sailing boat). Meskipun demikian tampaknya bukan hanya kapal ini yang
kemudian menjadi prototipe kapal Pinisi.
Sejak abad ke 18, VOC (Liebner Horst, 2004) telah mulai
membangun model kapal Eropa untuk perdagangan antar negara Asia di
galangan kapal Jepang. Sepanjang abad ke-19 angkatan laut kolonial
Belanda dan perusahaan dagang Eropa, Arab, India dan Cina
mengoperasikan banyak jenis kapal tersebut dalam rangka mendukung
usaha/kegiatan mereka di wilayah kepulauan, tetapi meskipun perahu
(kapal buatan lokal) yang sejak awal 1830-an dioperasikan oleh
“perompak” di Selat Malaka, masih membutuhkan beberapa dekade
sampai kapal tipikal kepulauan (archipelago’s typical schooner) benar-
benar dapat dikembangkan. Selama masa evolusi perkembangan kapal
tersebut, para pelaut dan pembuat kapal Indonesia mengubah beberapa
19
bentuk asli kapal dari barat, seperti bentuk tiang layar dan cara
pemasangannya.
Pinisi asli dari Sulawesi Selatan pertama kali dibuat di Ara dan
dilayarkan oleh orang Bira pada sekitar tahun 1900-an. Pembuatannya
dibarengi dengan melakukan beberapa ritual dan upacara khusus yang
cukup menarik. Ritual diawali dengan memilih pohon yang sesuai untuk
bagian-bagian kritis dari struktur kapal, dan terus berlanjut pada setiap
tahapan pembangunan, dan yang paling penting adalah tahap peletakan
lunas (Kasten, 2008; Suparman, 2009). Disamping itu, secara tradisional
kapal dibangun di daerah pantai tanpa fasilitas galangan, dan kayu yang
digunakan biasanya berasal dari hutan daerah Sulawesi dan Kalimantan,
kemudian diangkut ke tempat pembangunan. Kualitas kayu yang sesuai
saat ini sudah mulai terasa sulit diperoleh karena adanya pembatasan
penebangan hutan. UU Nomor 17 tahun 2008 tentang Pelayaran,
menggolongkan kapal pelayaran rakyat sebagai kapal yang merupakan
jenis usaha masyarakat, bersifat tradisional dan merupakan bagian dari
usaha angkutan perairan yang memiliki karakteristik tersendiri.
Peran pelayaran rakyat semakin surut dan memprihatinkan sejalan
dengan perkembangan teknologi kapal yang mengarah kepada kapal
yang lebih cepat, lebih besar dan pada umumnya lebih ekonomis.
Pelayaran rakyat tampaknya hanya sesuai untuk angkutan dengan
demand yang kecil, menghubungkan pulau-pulau yang berpenduduk
20
rendah, atau menjadi angkutan pedalaman untuk memenuhi kebutuhan
masyarakat di daerah kepulauan khususnya yang sulit terjangkau oleh
pelayaran komersial lainnya seperti pada daerah aliran sungai. Hal yang
membanggakan dan menarik untuk disimak adalah jika pada abad XIX
dan awal abad XX transportasi laut didominasi jenis perahu pengangkut
barang, memasuki dekade abad XXI terjadi perubahan pola pikir dari para
pembuat perahu Pinisi mulai berevolusi kearah perahu sebagai angkutan
wisata (perahu pesiar). Rancangan dan bahan bakunya belum berubah,
serta bagian interior kapal masih kental dengan sentuhan alami (Arman
M., 2010). Perubahan pola pikir ini mengakibatkan selama 20 tahun
terakhir nyaris tidak ada lagi pembangunan kapal pinisi sesuai aslinya
yakni memiliki 2 tiang utama, 7 layar dan tanpa mesin (Kompas 2013).
2. Pengelompokan kapal pelayaran rakyat
Peraturan Pemerintah Nomor 20 tahun 2010 tentang Angkutan
Perairan menyebutkan bahwa pelayaran rakyat diselenggarakan oleh
perusahaan pelayaran rakyat dengan menggunakan kapal layar yang
sepenuhnya digerakkan tenaga angin, atau kapal layar motor tradisional
yang digerakkan tenaga angin sebagai tenaga utama dan motor sebagai
tenaga penggerak bantu berukuran sampai dengan Gross Tonnage (GT)
500, dan kapal motor berukuran berukuran GT 7- GT35 (dibawah ukuran
100 m3 isi kotor).
21
Ciri khas kapal pelayaran rakyat adalah dibuat secara tradisional di
galangan dengan teknologi dan peralatan yang sederhana akan tetapi
juga dapat dijumpai pembuatan kapal dilakukan di tepi pantai tanpa
fasilitas seperti layaknya suatu galangan. Dari aspek kecepatan dan
teknologi yang dimiliki, kapal-kapal pelayaran rakyat masih tertinggal jika
dibanding dengan sistem yang ada pada kapal-kapal lain. Meskipun
demikian, eksistensi pelayaran rakyat masih marupakan lapangan usaha
yang cukup baik bagi awak kapal dan pembuat kapal. Sentra-sentra
kegiatan pelayaran rakyat cukup menyebar ke berbagai daerah di
Indonesia antara lain seperti terlihat pada tabel 1.
Tabel 1. Sentra Kegiatan Pelayaran Rakyat
No Asal Tujuan Muatan
1 Bima Surabaya, Makassar,
Banjarmasin, Samarinda
Berangkat: Hasil Bumi
Kembali: Kelontong, Kayu
2 Cirebon Pontianak, Ketapang, Sambas,
Sampit, Kumai, Banjarmasin,
Tanjung Pandan, Semarang,
Gresik, Lampung
Berangkat: Pupuk, Bahan Bangunan,
Kelontong.
Kembali: Kayu, Rotan, Tepung Sagu
3 Gresik Kendawangan, Kumai,
Sukamara, Sampit, Pangkalan
Bun, Sunda Kelapa, Semarang
Berangkat: Kelontong
Kembali: Kayu Olahan
4 Jambi Dobo/Singkep, Kuala Enok,
Batam, Tembilahan, Sunda
Berangkat: 9 Bahan Pokok, Kelontong,
Kayu Olahan
22
No Asal Tujuan Muatan
Kelapa Kembali: Kelontong, Cargo
5 Kalimas Baru Kumai, Sampit, Samarinda,
Balikpapan, NTT, NTB,
Makassar, Raha, Kendari, Ende,
Tual
Berangkat: 9 Bahan Pokok, Bahan
bangunan
Kembali: Hasil Bumi, Kayu Olahan
6 Karangantu
Banten
Sukamara, Kendawangan,
Kumai, Labuhan Hitam, Sungai
Pasir, Sungai Lumpur, Mesuji
Berangkat: Kosong
Kembali: Kayu Olahan
7 Makassar Surabaya, NTB, NTT, Batulicin,
Balikpapan, Samarinda, Maluku
Berangkat: Kelontong, Terigu, Beras,
Gula
Kembali : Kayu, Pupuk, Hasil Laut
8 Sibolga Singkil, Pulau Bangis, Simelu Berangkat : 9 Bahan Pokok
Kembali : Kopra dan Kayu Gergajian
9 Singkil Pulau Bangis, Gunung Sitoli,
Sinabung
Berangkat : 9 Bahan Pokok, Kopra,
Kayu Gergajian
Kembali : Wisata ke Pulau Bangis
10 Sorong Samate Tuptauw, Malibon,
Seget, Kecepi, Tanjung Pamali
Berangkat : 9 Bahan Pokok, Kelontong
Kembali : Hasil Bumi, Hasil Laut
11 Sunda Kepala Sampit, Pontianak, Jambi,
Palembang
Berangkat : Kelontong
Kembali : Kayu Olahan
12 Tanjung Pinang Kuala Tungkal, Kuala Enok,
Tanjung Batu, Selat Panjang
Berangkat : Kelontong
Kembali : Hasil Bumi
13 Tegal Kendawangan, Kumai,
Sukamara, Sampit, Pangkalan
Bun, Sunda Kelapa, Semarang
Berangkat : Kelontong
Kembali : Kayu Olahan
14 Tg. Emas/
Semarang
Kumai, Ketapang, Sampit,
Pontianak, Semarang, Sintete,
Banjarmasin, Samuda,
Kendawangan, Pemangkat
Berangkat : 9 Bahan Pokok, Pupuk,
Bahan Bangunan, Kelontong
Kembali : Kayu Olahan
Sumber : Ditjen Perhubungan Laut (2009)
23
Kapal Pelayaran Rakyat dapat dikelompokkan menurut peraturan
yang ada atau menurut bentuk kapal. Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 20 tahun 1010 tentang Angkutan di Perairan, kapal Pelayaran
Rakyat dibagi menjadi 3 kelompok yakni:
1) Kapal Layar tradisional (KL) berbendera Indonesia yang laik laut
dan digerakkan sepenuhnya dengan tenaga angin.
2) Kapal Layar Motor (KLM) tradisional berbendera Indonesia yang
laik laut berukuran sampai dengan GT 500 (lima ratus Gross
Tonnage) dan digerakkan oleh tenaga angin sebagai penggerak
utam dan motor sebagai tenaga penggerak bantu.
3) Kapal Motor (KM) berbendera Indonesia yang laik laut berukuran
paling kecil GT 7 (tujuh Gross Tonnage) serta paling besar GT 35
(tiga puluh lima Gross Tonnage) yang dibuktikan dengan salinan
grosse akta, surat ukur, dan sertifikat keselamatan kapal yang
masih berlaku.
Berdasarkan bentuknya, kapal Pelayaran Rakyat digolongkan ke
dalam beberapa jenis kapal antara lain:
1) Pinisi.
Pinisi digunakan sebagai kapal niaga tradisional untuk angkutan
barang antar pulau dan berasal dari suku Bugis dan Makassar di
Sulawesi Selatan. Kapasitasnya rata-rata 25-450 m3 dan hampir
seluruh ruangannya dimanfaatkan sebagai ruang muat. Kapal
Phinisi umumnya memiliki dua tiang layar utama dan tujuh buah
24
layar yaitu tiga di ujung haluan, dua di haluan, dan dua di buritan;
umumnya digunakan. Kapal Pinisi yang masih asli (belum di
modifikasi) pada umumnya memiliki dua tiang utama dengan
layar utama berbentuk trapesium dan dibantu oleh beberapa
layar haluan berbentuk segi tiga.
Kapal pinisi digolongkan menjadi dua jenis kapal yaitu:
a. Lamba atau lambo: adalah jenis perahu atau kapal pinisi
modern yang masih bertahan sampai saat ini dan dilengkapi
dengan motor diesel. Bentuk bangunan atasnya melebar di
atas geladak utama dan memiliki satu atau dua tiang mast
dengan layar utamanya berbentuk trapesium dan layar
bantunnya berbentuk segi tiga. Lamba atau lambo ada yang
disebut perahu layar motor (PLM) dan ada yang disebut
Kapal Layar Motor (KLM). Penggunaan mesin penggerak
telah dimulai pada tahun 1970-an ketika ketika pemerintah
menerapkan kebijakan motorisasi untuk menambah
kecepatan kapal.
b. Palari: adalah bentuk awal pinisi dengan lunas yang
melengkung dan ukurannya lebih kecil dari jenis lambo.
2) Lete
Lete berasal dari Madura memiliki kapasita rata-rata 25-70 m3.
Bentuk linggi haluan dan buritan adalah menyerupai tanduk. Ciri
25
khas kapal/perahu jenis lete adalah memiliki satu tiang dengan
layar utama dan layar bantu berbentuk segitiga. Jenis kapal
tradisional ini banyak ditemui di hampir semua pelabuhan besar
pantai utara Jawa-Madura, terutama di Pelabuhan Kali Mas,
Surabaya, Jawa Timur.
3) Nade
Nade berasal dari Sumatera/Riau, memiliki bentuk buritan yang
tegak dengan satu tiang dan layar utama maupun layar haluan
berbentuk segi tiga. Kapal ini termasuk armada pelayaran yang
berfungsi sebagai kapal niaga jarak jauh Daerah pelayarannya
meliputi Sumatera, Selat Malaka, dan perairan laut Kalimantan.
Pada umumnya jenis-jenis kapal tersebut di atas telah dilengkapi
dengan motor penggerak untuk mendukung fungsi layar menambah
kecepatan kapal. Motorisasi mengakibatkan terjadinya perubahan bentuk
dan ukuran kapal, dan bagi pinisi tidak hanya perubahan bentuk dan
ukuiran tetapi juga menyisakan satu tiang layar di bagian haluan kapal.
Selain itu, masyarakat juga membangun kapal dengan melakukan
kombinasi misalnya antara pinisi dan lambo yang dimaksudkan untuk
mendapatkan bentuk kapal dengan kapasitas lebih besar dari kapal
aslinya. Dari gambaran tersebut, terdapat juga kelompok pelayaran rakyat
yang tidak termasuk kapal kayu (kapal tradisional) yakni dengan
kapasitas kapal kurang dari 35 GT. Dalam penelitian ini, penulis
26
memfokuskan pada salah satu jenis kapal Pelayaran Rakyat yakni kapal
kayu jenis Pinisi sebagai obyek penelitian dengan ukuran GT 100 sampai
GT 150.
B. Peraturan Keselamatan Pelayaran
1. Aspek legalitas
a. Manajemen keselamatan
Konvensi SOLAS umumnya dianggap sebagai ketentuan yang
paling penting dari semua peraturan internasional tentang keselamatan
kapal niaga. SOLAS versi pertama diadopsi pada tahun 1914, sebagai
respons terhadap bencana yang dialami oleh Kapal Penumpang “Titanic”,
kedua pada tahun 1929, ketiga pada tahun 1948 dan keempat pada
tahun 1960 (kemudian dikenal sebagai SOLAS Convention 1960),
diadopsi pada 17 Juni 1960 dan mulai berlaku (entered into force) pada
26 Mei 1965. Ini merupakan tugas utama IMO setelah terbentuknya
organisasi tersebut dan merupakan representasi dari langkah maju dalam
modernisasi peraturan maritim dan sejalan dengan perkembangan
teknologi industri perkapalan.
Regulasi bidang keselamatan pelayaran oleh pemerintah telah
diadopsi dari peraturan yang dikeluarkan oleh IMO yakni peraturan
tentang International Safety Management Code (ISM-Code) dan mulai
27
diberlakukan sejak tanggal 1 juli 1998. Sistem manajemen keselamatan
(ISM-Code) wajib diaplikasikan secara ”mandatory” oleh negara-negara
yang telah meratifikasi SOLAS. Penerapannya di Indonesia diwujudkan
melalui Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor:
PY.67/1/9-96 tanggal 12 juli 1996. Berdasarkan hal tersebut, ISM-Code
menghendaki adanya komitmen dari manajemen puncak (top
management) sampai pelaksana, di darat dan di kapal. ISM-Code dapat
dipahami sebagai "Koda Manajemen Keselamatan Internasional untuk
Pengoperasian Kapal dengan Selamat dan Pencegahan Pencemaran".
ISM-Code menetapkan standar untuk membuat pelayaran yang aman
dan bahaya yang sekecil mungkin terhadap lingkungan. Selanjutnya
manajemen standar, termasuk tanggung jawab awak, skenario
pelaksanaan tindakan tanggap darurat dapat ditemukan di sini. Ketentuan
ini bukan merupakan jaminan tidak terjadinya kecelakaan laut, melainkan
dapat membantu memperkecil atau mengurangi kecelakaan dan
pencemaran laut dengan menerapkan ketentuan tentang manajemen
keselamatan pengoperasian kapal dan pencegahan polusi di laut
(Baharuddin, 2011). Oleh karena itu, ISM code merupakan kewajiban
bagi setiap perusahaan, akan tetapi penerapannya yang tepat adalah
merupakan tanggung jawab pemilik kapal.
Dengan pemberlakuan ISM-Code diharapkan keselamatan kapal
akan lebih dijamin. Pemenuhan ISM-Code mengacu kepada 13 elemen
diantaranya umum; kebijakan keselamatan dan perlindungan lingkungan;
28
tanggung jawab dan wewenang perusahaan; petugas yang ditunjuk di
darat; tanggung jawab dan wewenang nahkoda; sumber daya dan tenaga
kerja; pengembangan rencana pengopersian kapal; kesiapan menghadapi
keadaan darurat; pelaporan dan analisis ketidaksesuaian, kecelakaan dan
kejadian berbahaya; pemeliharaan kapal dan perlengkapan; verifikasi,
tinjauan, dan evaluasi perusahaan; sertifikasi, verifikasi, dan pengawasan.
Di dalam menjamin keselamatan kapal, unsur manusia mempunyai peran
yang sangat besar dalam melakasanakan fungsi manajemen keselamatan
kapal, terdapat tiga kelompok unsur manusia yang berperan dalam
manajemen keselamatan kapal, yaitu pengusaha (operator) kapal,
nakhoda, dan pengawas kapal. Ketiga kelompok inilah yang membuat
keputusan layak tidaknya kapal berlayar. Hasil penelitian yang terungkap
mernyatakan terdapat hubungan positif antara persepsi pemahaman
terhadap keselamatan kapal berkorelasi dengan pendidikan, pengalaman
dan penghasilan (Nurwahida, 2003). Persepsi para pengambil keputusan
dan tingkat implementasi standar keselamatan kapal pada kapal-kapal
pelayaran rakyat didominasi pada tingkatan kategori sedang, bahkan
cenderung rendah dan masih sedikit pada kategori tinggi. Hasil-hasil ini
mendukung penelitian dan data-data yang menjadi latar belakang
penelitiannya bahwa penyebab utama kecelakaan kapal disebabkan oleh
faktor kesalahan manusia. Disamping itu, hasil pengamatan sementara
dari pihak pemerintah adalah bahwa penyebab utama kecelakaan di laut
adalah faktor kelebihan muatan baik itu barang maupun penumpang.
29
Bahkan tidak jarang pemakai jasa memaksakan diri naik atau menambah
volume muatan meskipun kapal telah penuh. Kurangnya kesadaran
operator dalam mematuhi aturan dan terkesan menyampingkan hal ini
demi untuk mengejar keuntungan. Disinilah terjadi distorsi kepentingan
yang saling bertentangan dimana misi perusahan untuk mengejar
keuntungan sering mengabaikan pelayanan prima kepada pemakai jasa
sehingga tidak sejalan dengan upaya untuk mengedepankan keselamatan
pelayaran.
b. Regulasi keselamatan pelayaran
Transportasi berperan sebagai sarana utama dalam mewujudkan
konektivitas antar pulau di Indonesia. Tantangan yang dihadapi adalah
bagaimana meningkatkan penyediaan jaringan pelayanan dan prasarana
transportasi yang dapat menjamin kelancaraan arus barang dan jasa
serta penyebaran aliran investasi secara merata di seluruh daerah
(Munawar, 2007). Karena itu pembinaan dan pengembangan transportasi
laut terus digalakkan sampai mencapai tingkat pelayanan yang optimal
bagi masyarakat pengguna jasa. Melalui transportasi laut, telah terbentuk
jaringan pelayaran yang luas, baik di dalam negeri maupun ke luar negeri.
Jaringan pelayanan yang luas ini dapat terselenggara dengan baik jika
didukung oleh sistem keselamatan dan keamanan yang kondusif dan
sumber daya manusia yang mengendalikan keberhasilan pelayanan ini.
30
IMO telah memberikan arahan tentang pengaturan keselamatan
dan keamanan angkutan laut, pencegahan polusi serta persyaratan,
pelatihan dan pendidikan awak kapal serta mewajibkan para Negara
anggota untuk menerapkannya. Negara anggota IMO (flag state) memiliki
tanggung jawab untuk melakukan berbagai konvensi internasional bagi
kapal-kapal yang mengibarkan bendera negaranya. Namun hingga saat
ini kondisi kapal-kapal berbendera Indonesia masih banyak yang belum
mampu memenuhi ketentuan IMO, bahkan tidak jarang seringnya terjadi
pelanggaran regulasi (Siswantara, 2007). Prinsip dasar keselamatan
pelayaran menyatakan bahwa kapal yang hendak berlayar harus berada
dalam kondisi laik laut (seaworthiness). Artinya, kapal harus mampu
menghadapi berbagai kasus atau kejadian alam secara wajar dalam
dunia pelayaran. Selain itu kapal layak menerima muatan dan
mengangkutnya serta melindungi keselamatan muatan dan anak buah
kapal (ABK).
Peraturan bagi pelayaran rakyat tidak luput dari perhatian
Pemerintah karena diharapkan keberadaannya dapat menjadi bagian
integral dari sistem transportsi laut nasional. Pemerintah memperkuat
eksistensinya dan berupaya meningkatkan keselamatan armada melalui
beberapa regulasi antara lain:
1) Instruksi Presiden Nomor: 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan
Industri Pelayaran Nasional.
2) Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
31
3) Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan
di Perairan.
4) Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 33 Tahun 2001
tentang Penyelengaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut.
5) Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 65 Tahun 2009 tentang
Standar Kapal Non Konvensi (Non Convention Vessel Standard).
6) Peraturan Pemerintah Nomor: 38 Tahun 2007 tentang
Pembagian Urusan Pemerintahan antara Pemerintah,
Pemerintahan Daerah Provinsi, dan Pemerintahan Daerah
Kabupaten / Kota.
7) Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor:
PY.68/1/5-86 tanggal 1 Juli 1986 tentang Surat Kecakapan
Mualim / Juru Motor Pelayaran Rakyat.
8) Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor:
PY.66/1/2-02 tentang Persyaratan Keselamatan Kapal Layar
Motor (KLM) berukuran Tonase Kotor sampai dengan GT 500.
9) Peraturan Kepala Badan Diklat Perhubungan Nomor: SK.225/DL-
002/II/Diklat-2010 tanggal 9 Februari 2010 tentang Standar
Pelatihan Dasar Keselamatan (Basic Safety Training/BST)
Khusus Awak Kapal dan Pekerja pada Kapal Layar Motor (KLM)
dan Kapal Penangkap Ikan Dalam Negeri.
32
Pemerintah telah mengeluarkan peraturan tentang keselamatan
pelayaran rakyat agar secara teknis dapat melindungi kegiatan operasional
kapal tersebut. Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan bagai kapal
layar motor melalui Keputusan Dirjen Perhubungan Laut Nomor:
PY.66/1/2-02 diamana sebelumnya hanya sampai GT 300 kini dapat
ditingkatkan menjadi GT 500. Demikian halnya, pesawat penggerak bantu
(mesin) yang sebelumnya dibatasi sampai 150 TK kini dapat ditingkatkan
menjadi 535 TK. Peningkatan ukuran dan besarnya tenaga mesin yang
digunakan perlu dibarengi dengan kemampuan dan keterampilan awak
kapal menyangkut kualifikasi ijazah yang harus dimiliki bagi nakhoda atau
perwira kapal lainnya. Untuk mengantisipasi peningkatan tersebut,
kemudian dikeluarkan Peraturan Kepala Badan Diklat Perhubungan
Nomor: SK.225/DL-002/II/Diklat-2010 tentang Standar Pelatihan Dasar
Keselamatan (BST) Khusus Awak Kapal dan Pekerja pada Kapal Layar
Motor (KLM) dan kapal ikan dalam negeri. Adapun besarnya tenaga
penggerak bantu yang diperbolehkan berdasarkan tonase (GT) kapal
ditetapkan sebagai berikut:
1) Kapal dengan tonase kurang dari 10 GT besarnya tenaga
penggerak bantu maksimum 50 TK.
2) Kapal dengan tonase 10 - 20 GT besarnya tenaga penggerak
bantu maksimum 75 TK.
3) Kapal dengan tonase 20 - 35 GT besarnya tenaga penggerak
bantu maksimum 105 TK.
33
4) Kapal dengan tonase 35 - 80 GT besarnya tenaga penggerak
bantu maksimum 175 TK.
5) Kapal dengan tonase 80 - 165 GT besarnya tenaga penggerak
bantu maksimum 275 TK.
6) Kapal dengan tonase 165 - 260 GT besarnya tenaga penggerak
bantu maksimum 360 TK.
7) Kapal dengan tonase 260 - 315 GT besarnya tenaga penggerak
bantu maksimum 400 TK.
8) Kapal dengan tonase 351 - 400 GT besarnya tenaga penggerak
bantu maksimum 535 TK.
Selanjutnya, melalui Inpres Nomor 5 Tahun 2005 Kementerian
Perhubungan diinstruksikan untuk mendukung pengembangan pelayaran
rakyat antara lain melalui fasilitas pendanaan, peningkatan kualitas
armada, sumber daya manusia, manajemen usaha serta pembangunan
sarana dan prasarana pelabuhan pelayaran rakyat. Untuk lebih
memberdayakan Inpres tersebut, Pemerintah mengeluarkan Undang-
Undang Pelayaran (UU 17/2008) yang telah ditandatangani oleh presiden
yang dinyatakan mulai berlaku sejak tanggal 7 Mei 2008. Ketentuan-
ketentuan mengenai pelayaran rakyat telah tertuang dalam pasal 15 dan
16 meskipun masih terdapat beberapa ketentuan lain yang berhubungan
dan ikut menentukan eksistensi dan prospek pengembangan armada
pelayaran rakyat.
34
Dalam Pasal 15 ayat (1) UU 17/2008 dijelaskan bahwa kegiatan
angkutan laut pelayaran rakyat sebagai usaha masyarakat yang bersifat
tradisional dan merupakan bagian dari usaha angkutan di perairan
mempunyai peranan yang penting dan karakteristik tersendiri.
Karakteristik tersendiri dalam hal ini adalah (a) ukuran dan tipe kapal
tertentu (pinisi, lambo, lete dan nade); (b) tenaga penggerak angin
mengunakan layar atau mesin dengan power kurang dari 535 TK (393,76
KW); (c) pengawakan yang memiliki kualifikasi berbeda dengan kualifikasi
yang ditetapkan bagi kapal; (d) lingkup operasinya dapat menjangkau
daerah terpencil yang tidak memiliki fasilitas pelabuhan, kedalaman air
yang rendah dan negara berbatasan; (e) kegiatan bongkar muat dapat
dilakukan dengan tenaga manusia (padat karya). Pasal 15 juga
menekankan hal-hal strategis dan penting dalam mendudukkan kembali
pelayaran rakyat sebagai usaha rakyat yang bersifat tradisional dengan
ciri/karakter khusus sebagai warisan nilai budaya bangsa yang tidak
hanya pada cara pengelolan tetapi juga pada bentuk kapal yang
digunakan. Disamping itu, sekaligus juga merupakan pengakuan terhadap
keberadaan pelayaran rakyat sebagai bagian dari angkutan perairan yang
perlu dilindungi, dan dalam pembangunannya perlu mempertimbangkan
perkembangan teknologi pembangunan kapal agar eksistensinya tetap
mendapat perhatian.
Dalam pasal 16 ayat (1) dinyatakan bahwa pembinaan angkutan
laut pelayaran rakyat dilaksanakan agar kehidupan usaha dan peranan
35
penting angkutan laut pelayaran rakyat tetap terpelihara sebagai bagian
dari potensi angkutan laut nasional yang merupakan satu kesatuan sistem
transportasi nasional. Ayat (2) menyatakan pengembangan angkutan laut
pelayaran-rakyat dilaksanakan untuk :
1) meningkatkan pelayanan ke daerah pedalaman dan/atau perairan
yang memiliki alur dengan kedalaman terbatas termasuk sungai
dan danau;
2) meningkatkan kemampuannya sebagai lapangan usaha angkutan
laut nasional dan lapangan kerja; dan
3) meningkatkan kompetensi sumber daya manusia dan
kewirausahaan di bidang angkutan laut nasional.
Undang-Undang Nomor: 17 Tahun 2008 telah mengakomodasi
aspek penegakan keselamatan bagi kapal dan penumpang maupun
barang yang diangkut. Pemerintah juga menginisiasi untuk menghasilkan
peraturan tentang keselamatan kapal yang sesuai dengan kondisi
perairan Indonesia, maka dari itu sudah selayaknya baik bagi regulator
dan operator maupun masyarakat penguna jasa angkutan laut untuk lebih
peduli terhadap aspek keselamatan agar kecelakaan yang sama tidak
terulang kembali. Dalam Pasal 7 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008
tentang Pelayaran, dijelaskan bahwa ada 4 (empat) jenis angkutan laut,
yakni angkutan laut dalam negeri, angkutan laut luar negeri, angkutan laut
khusus, dan angkutan laut pelayaran rakyat. Pelayaran rakyat yang lebih
36
dikenal dengan armada kapal kayunya kini mulai surut. Aktivitas bongkar
muat di pelabuhan rakyat tak lagi ramai padahal pemerintah telah
mencanangkan bahwa pada Mei 2011 sepenuhnya dilaksanakan
penerapan azas cabotage yang mana angkutan laut antar pulau wajib
menggunakan armada kapal nasional.
Oleh karena pelayaran rakyat menjadi bagian integral dari sistem
pelayaran nasional, maka perlu bagi pemerintah untuk terus
membangkitkan/mendorong peran pelayaran rakyat, sebab perdagangan
antar pulau yang masih membutuhkan kapal kayu dengan tonase
tertentu. Pilihan kapal yang digunakan disesuaikan sejauh mungkin
dengan persyaratan teknologi tepat guna. Kapal-kapal yang dipilih
sedapat mungkin disesuaikan sehingga tidak terlalu besar namun juga
tidak terlalu kecil sehingga sehingga didapatkan kapasitas kapal yang
optimal. Oleh karena itu dalam rangka meningkatkan penggunaan
teknologi tepat guna dalam pembangunannya baik prasarana maupun
konstruksi kapal dilaksanakan pilihan teknologi yang seksama agar
peranan pelayaran rakyat dapat terus ditingkatkan. Hal ini mengingat
keunggulan jenis pelayaran ini adalah tidak tergantung pada pelabuhan
yang serba dilengkapi dengan fasilitas dermaga khususnya bagi daerah-
daerah kecil yang jauh dari pusat kegiatan ekonomi. Meskipun pada
beberapa tempat telah dibangun fasilitas dermaga yang memadai namun
umumnya untuk kapal pelayaran rakyat tidak mempunyai pelabuhan
khusus atau dermaga sehingga dapat sandar dimana saja (Jinca, 2002).
37
Pengoperasian kapal tradisional tunduk pada aturan keselamatan
kapal yang berlaku, oleh karena umumnya kapal tradisional dimasukkan
dalam peraturan kapal non konvensi baik ukuran, tipe dan kegaitannya.
Di beberapa negara kapal tradisional diatur sesuai dengan peraturan
kapal yacht atau dengan pengecualian khusus yang berbeda dari
peraturan kapal niaga (European Maritime Heritage, 2009). Namun
seiring dengan banyaknya kapal yang dioperasikan baik untuk tujuan
komesial maupun non komersial maka banyak negara di Eropa
menerapkan peraturan yang khusus untuk kapal tradisional. Mereka
mengambil pertimbangan yang serupa dengan prinsip yang dikembangkan
dalam konvensi SOLAS yang mengatur tentang keselamatan operasional
kapal (safety of ship operation) sebagai prinsip utama dalam konsep
pengembangan kapal. Pendekatan yang dilakukan sesuai dengan prinsip-
prinsip yang diatur dalam ISM Code.
Kapal tradisional mewakili budaya dan standar teknis yang telah
dikembangkan secara turun temurun. Kelemahan kapal tradisional
dibanding dengan teknologi modern adalah harus diimbangi dengan
aturan yang menjamin sistem keselamatan operasional tanpa
menghancurkan karakteristik historisnya. Diperlukan peraturan nasional
tentang keselamatan terkait dengan aturan teknis guna menjamin tingkat
keselamatan yang setara dalam hal konstruksi, peralatan dan organisasi.
Tujuannya agar memungkinkan bagi kapal tradisional memperoleh
pendapatan yang optimal. Dengan demikian dapat menghindari risiko
38
defisit akibat kelemahan dalam sistem keselamatan kapal. Secara umum
semua kapal tunduk pada aturan SOLAS. Namun pertanyaan yang harus
dijawab adalah: Pertama, sejauh mana peraturan SOLAS tentang
konstruksi dan peralatan berlaku untuk kapal tradisional. Kedua,
bagaimana prinsip-prinsip keselamatan operasi dapat diadopsi. Sesuai
dengan kentetuan dalam konvensi SOLAS terdapat pengecualian tertentu
sehingga tidak berlaku untuk kapal-kapal kargo kurang dari 500 GT, kapal
yang tidak didorong dengan cara mekanis, kapal kayu dengan konstruksi
sederhana, dan plesure yacht yang bukan untuk tujuan komersial. Terkait
dengan pengecualian tersebut, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan
kententuan bagi kapal-kapal non konvensi melalui keputusan Menteri
Perhubungan Nomor 65 tahun 2009 tentang standar kapal non konvensi
terlebih lagi bahwa 60 persen kapal berbendera Indonesia adalah kapal
dibawah 500 GT dan berlayar di perairan dalam negeri.
c. Regulasi / hukum pelayaran
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran telah
menyatakan bahwa pelayaran rakyat merupakan salah satu potensi yang
amat penting dalam sistem transportasi laut. Potensi ini tidak dapat
diabaikan karena merupakan kelompok usaha yang dijalankan oleh
golongan masyarakat yang tidak henti-hentinya bekerja keras, namun
kehidupan mereka tampaknya belum memperlihatkan perubahan yang
signifikan meskipun telah banyak upaya dilakukan untuk meningkatkan
39
kesejahteraan rakyat. Prospek aktivitas para pelaut di masa yang akan
datang menjadi faktor utama dalam memajukan perdagangan laut
sehingga perlu ditangani dengan baik agar kehidupan mereka dapat
bangkit kembali mengingat ruang geraknya semakin mengecil akibat
perannya sejak akhir abad XIX secara perlahan diambil alih oleh kapal
niaga bermesin dalam melayani kegiatan angkutan laut (Baharuddin
Lopa, 1982). Meskipun perannya semakin mengecil, akan tetapi
pelayaran rakyat masih tetap diperlukan terutama untuk angkutan antar
pulau, daerah terpencil/perbatasan yang sulit dijangkau oleh kapal-kapal
konvensional. Demikian pentingnya kapal pelayaran rakyat dalam
menggerakkan perekonomian, maka harus dapat dioperasikan dengan
selamat, aman, lancar, nyaman, teratur dan efisien dengan biaya yang
terjangkau. Untuk dapat menciptakan kondisi operasi kapal seperti yang
diharapkan tersebut, kapal harus laik laut, yaitu kondisi kapal memenuhi
persyaratan keselamatan kapal, pencegahan pencemaran, pengawakan,
pemuatan, kesehatan dan kesejahteraaan awak kapal serta penumpang
dan status hukum kapal. Salah satu cara agar kapal memenuhi
persyaratan laik laut adalah dilakukan pengawasan secara terus menerus
baik terhadap kapal, perusahaan pelayaran yang mengoperasikan kapal
maupun awak kapal. Membaiknya permintaan akan sarana angkutan laut,
maka saat ini para perajin kapal tradisional mulai beradaptasi untuk
memenuhi tuntutan masyarakat pecinta kapal rakyat, dan kemampuan
beradaptasi inilah yang membuat para pembuat kapal mampu membangun
40
kapal tradisional pesanan negara lain. Bahan baku yang digunakan
seperti kayu ulin, jati, bitti, pude dan beberapa jenis kayu lainnya.
Dalam sejarah, mereka tidak hanya mahir dalam membangun
kapal tanpa desain, melainkan juga mampu menjadi pelaut dengan kapal
pinisinya yang tercatat telah berlayar sampai ke Madagaskar. Keahlian
dalam bernavigasi diawali dari membaca rasi bintang sampai pada
memahami kondisi fisik lingkungan laut. Keahlian tersebut sudah dimiliki
para pelaut tradisional yang diperoleh turun-temurun tanpa pendidikan
formal. Pengetahuan navigasi sangat sederhana yakni tanpa memakai
kompas moderen dan peta laut. Sistem bernavigasi yang dikembangkan
bersumber dari pengalaman, tradisi turun temurun, insting, dan daya
tanggap terhadap alam sekitar serta kepercayaan yang mungkin sulit
dipahami (Baharuddin Lopa, 1982). Seiring dengan perkembangan
teknologi maritim, modernisasi mulai menggeser dan meminggirkan cara-
cara tradisional yang mereka miliki. Modernisasi secara perlahan telah
merubah unsur-unsur yang terkandung dalam kebudayaan mereka
sehingga terjadi pergeseran nilai-nilai kapal tradisional masa lalu ke kapal
modern saat ini. Meskipun demikian, modernisasi belum dapat membantu
para pelaut tradisional untuk bangkit dari keterpurukan, padahal sangat
diharapkan para pelaut tradisional juga harus bisa harus menjadi bagian
dari masa depan dengan ikut terlibat dalam transportasi dan pengangkutan
komoditas dari perusahaan. Bukan rahasia lagi bahwa para pelaut
tradisional masih termasuk golongan ekonomi lemah. Mereka bekerja
41
terus melawan ombak dan angin yang ganas, namun kondisi kehidupan
mereka belum membaik, sementara peran mereka sangat vital dalam
pembangunan bangsa bahkan dalam pertahanan maritim yang terbukti
dijadikan alat transportasi antar pulau bagi para pejuang kemerdekaan
dan alat komunikasi. Bahkan Sulistiono (dalam Yuda B. Tangkilisan,
2013) menyebutkan bahwa jalinan komunikasi ketika zaman kolonial
melalui pelayaran rakyat menumbuhkan rasa cinta tanah-air. Pelayaran
rakyat juga menyambung dan memelihara jalinan interaksi dalam
pembinaan integrasi nasional karena mampu menghubungkan sejumlah
tempat yang jaraknya relatif tidak berjauhan, dan membuka ruang saling
kesepahaman antar etnik dan budaya. Dalam masa perjuangan saat
bangsa Indonesia mempertahankan kedaulatannya, pelayaran rakyat
telah mebuktikan peran pentingnya dalam menembus blokade angkatan
Laut Belanda untuk mengangkut pasukan Indonesia dan barang antar
pulau terutama dari Pulau Jawa ke/dan dari pulau lainnya, membantuk
mengangkut logistik dan personil karena sulit terdekteksi oleh lawan
(Budisantoso, 1993). Hal-hal semacam ini sesungguhnya memberi
gambaran akan ketangguhan dan ketangkasan para pelaut tradisional di
masa lampau. Peran penting mereka untuk angkutan antar pulau tidak
dapat disangkal karena meskipun dengan kapal yang relatif kecil dan
peralatan yang cukup sederhana mereka mampu mengarungi lautan yang
penuh dengan resiko kecelakaan.
42
Disamping ketangkasan tersebut, mereka juga mengembangkan
peraturan yang mengatur tatacara pencegahan kecelakaan dan kemudian
mengumpulkannya menjadi suatu buku catatan hukum pelayaran yang
kala itu dicatat dalam lontara oleh orang yang berperan dalam
mengumpulkan dan menjadikannya satu buku yaitu Amanna Gappa
(Tobing O.L, 1977). Buku tersebut memuat sebanyak dua puluh satu
pasal, membahas tentang aturan dan tata tertib yang harus dipatuhi
dalam melakukan pelayaran dan perdagangan di laut. Dari keseluruhan
pasal tersebut, beberapa bagian dengan rinci menjelaskan tentang
ketentuan berlayar misalnya cara berdagang, sistem bagi hasil, susunan
birokrasi di kapal, syarat-syarat untuk menjadi nakhoda, pembagian petak
dalam kapal, empat macam awak kapal: sawi tetap (kelasi tetap), sawi
loga (kelasi bebas), sawi manumpang (kelasi penumpang), dan
tommanumpang (orang yang menumpang kapal). Disamping itu pula
diatur tentang peranan nakhoda dan pegawai dalam kapal, keselamatan
dalam kapal, tugas awak kapal, hak nakhoda memiliki barang yang
ditemui di laut serta tentang kuasa nakhoda menghukum seserang di atas
kapal.
2. Pembangunan dan pengawasan
Predikat ”negara maritim” mestinya dapat menjadikan sebuah
kebanggaan yakni pemberdayaan laut yang dapat memberi manfaat bagi
43
sebagian besar masyarakat. Pemerintah Hindia Belanda sangat
menyadari betapa laut memainkan peranan penting untuk memperlancar
akses mobilitas masyarakat, karena jalan satu-satunya ke pulau-pulau
terpencil adalah melalui pelayaran. Oleh karena itu, pembukaan jalur
transportasi yang baik ke daerah pedalaman dan pembangunan
pelabuhan menjadi penting, agar pendistribusian dapat berjalan dengan
baik. Jauh sebelum itu, sejarah mencatat bahwa zaman Kerajaan Sriwijaya
dan Kerajaan Majapahit merupakan awal dari kebangkitan pelayaran dan
para pelaut yang handal mampu menjelajah ke berbagai pelosok
(Indonesia Maritim Institute, 2011). Pelayaran rakyat meskipun dengan
teknologi yang sederhana telah mengambil peran strategis dan sudah
semestinya kejayaannya tersebut tetap dipertahankan dan terus
dikembangkan sesuai dengan tuntutan zaman. Akan tetapi kompleksitas
permasalahan yang dihadapi armada pelayaran rakyat saat ini
menyebabkan perkembangannya tidak sesuai dengan kenyataan bahwa
negara Indonesia adalah negara maritim yang masih memerlukan sarana
angkutan dalam rangka penerapan azas cabotage.
Pada akhirnya tidak hanya pelayaran rakyat yang tidak mampu
bersaing akan tetapi juga armada pelayaran nasional. Pada umumnya
tidak lagi mampu memberikan daya saing terhadap armada pelayaran
asing yang lebih efisien dan lebih memberikan jaminan teknologi dan
keselamatan kapal dan muatan. Dampaknya adalah dari sisi kapasitas
armada nasional, kekuatan armada pelayaran nasional menempati urutan
44
terendah dibawah negara-negara ASEAN seperti Malaysia dan Philipina
(UNCTAD, 2002). Oleh karena itu, melalui kebijakan azas cabotage
diharapkan armada nasional semakin bertambah untuk menggantikan
peran armada asing dan memenuhi kebutuhan peningkatan distribusi
barang dan jasa, serta ikut mengamankan perairan NKRI, karena dengan
luas wilayah sedemikian luas dan terbuka, tanpa sarana/prasarana
transportasi laut yang kuat dan tangguh akan mudah disusupi pihak
asing yang berpotensi melakukan aktivitas ilegal di wilayah perairan
Indonesia.
Armada Pelayaran Rakyat membentuk mekanisme industri
transportasi laut yang unik. Berdasarkan Data Ditjen Pehubungan Laut,
jumlah armada yang tersedia cenderung berkurang, terlihat dari jumlah
kapal pada tahun 1997 sebanyak 2.793 unit kapal berkurang menjadi
1.241 unit kapal pada tahun 2007. Pemerintah terus mendorong
pengembangan pelayaran rakyat karena merupakan usaha yang banyak
digeluti masyarakat luas dan merupakan usaha pelayaran yang telah
berkembang sejak dahulu. Dengan demikian, diharapkan kegiatan ini
dapat (i) meningkatkan pelayanan ke daerah pedalaman dan/atau
perairan yang memiliki alur dengan kedalaman terbatas termasuk sungai
dan danau; (ii) meningkatkan kemampuannya sebagai lapangan usaha
angkutan laut nasional dan lapangan kerja; dan (iii) meningkatkan
kompetensi sumber daya manusia dan kewirausahan dibidang angkutan
laut dan angkutan pedalaman (inland water-way).
45
Mereka yang berkecimpung dalam pembuatan kapal tradisional
oleh masyarakat awam terkadang cukup sulit untuk dapat memahaminya
secara ilmiah dibandingkan dengan apa yang diterapkan pada kapal-
kapal niaga lain seperti cara pembuatan kapal dan peluncurannya. Kapal
yang selesai dibangun (sampai ukuran tertentu) biasanya diluncurkan
dengan cara buritan kapal menghadap ke laut, akan tetapi pada kapal
Pinisi, cara yang digunakan adalah meluncurkan kapal dengan haluan
kapal menghadap ke laut. Meskipun terjadi banyak anomali atau
keanehan dalam pembangunan kapal tradisional, tidak dapat dipungkiri
terdapat kekaguman yang luar biasa terhadap kemampuan para
pengrajin/pembuat kapal tradisional sebagai perintis pembuatan kapal
dan angkutan laut lain di wilayah nusantara. Perbedaan paling mendasar
dari teknologi pembuatan kapal Pinisi dibanding kapal modern adalah
diawali dengan pemasangan kulit lambung, lunas dan linggi kemudian
disusul pemasangan gading-gading. Ukuran konstruksi dan bentuk kapal
ditetapkan berdasarkan pengalaman pengrajin dan atas permintaan
pemesan (Syarifudin Dewa, 1993, dalam Sitepu, 2006). Dengan cara
demikian tampaknya kekuatan membujur dan melintang kapal yang
dibangun secara tradisional, cukup kuat menghadapi kondisi gelombang
apapun (Sularto Hadi, 1993; Sitepu, 2001).
Akan tetapi masih terdapat kelemahan pada kapal pelayaran
rakyat, dan kelemahannya tersebut antara lain terletak pada ketahanan
terhadap vibrasi/getaran akibat pengoperasian atau pemasangan mesin
46
penggerak atau mesin lain untuk penerangan. Getaran mesin termasuk
salah satu “musuh utama”, karena kebanyakan terbuat dari papan kayu
yang membentuk badan kapal (hull), demikian juga halnya bagian-bagian
lain dari kapal yang hanya diberi pakal pada celah-celah papan untuk
menjaga kekedapan terhadap air. Bahan baku pakal pada umumnya dibuat
dari sisa bahan tekstil (jenis kain kaos) yang dicampur aspal yang di
masukkan secara paksa ke celah-celah papan lambung kapal kemudian
ditutup dengan dempul. Selain kain (kaos), dapat juga digunakan sabut
kelapa. Apabila terjadi kebocoran di sekitar dasar kapal, kapal dapat
dikandaskan ke tepi pantai atau teluk atau sungai untuk memudahkan
awak kapal mengganti pakal atau papan yang terlepas dari badan kapal.
C. Aspek Teknologi Armada Pelayaran Rakyat
Metode dan pembahasan merupakan kajian empiris dengan
metode kuantitatif untuk menemukan suatu kejelasan teoritis dan
hipotesis terhadap aspek-aspek yang mempengaruhi keselamatan
transportasi laut pelayaran rakyat. Perhitungan aspek teknis pembuatan
kapal dilakukan dalam bentuk penerapan formula standar yang telah
dikeluarkan oleh lembaga kompeten yang yang memiliki otoritas di bidang
keselamatan baik nasional maupun internasional.
1. Tinjauan stabilitas kapal
47
a. Lengan stabilitas
Menurut aturan, stabilitas didefinisikan sebagai kemampuan kapal
untuk kembali kepada posisi tegak setelah mendapat pengaruh eksternal
yang mengakibatkan kapal tersebut miring (seperti tekanan angin,
gelombang, miring karena gerak memutar, bertumpuknya penumpang
pada satu sisi kapal, sistem ballast dan pengaturan muatan yang kurang
baik, permukaan bebas pada tangki, dan seterusnya). Fenomena ini
dikendalikan oleh hubungan antara titik apung (center of buayancy), yang
letaknya dipengaruhi oleh bentuk geometris badan kapal, dan titik berat
kapal (center of gravity) yang merupakan fungsi dari distribusi berat kapal
dan muatan secara vertikal maupun longitudinal.
Prinsip-prinsip stabilitas penting untuk dipahami demi untuk
keselamatan jiwa di laut terutama bagi para pelaut yang melayarkan
kapalnya. Sangat disayangkan bahwa banyak korban jiwa hanya karena
kurangnya perhatian dan pemahaman terhadap hal krusial seperti ini.
Menurut Trenhaile (2005) semua segmen industri maritim tentu saja perlu
memperhatikan aspek stabilitas. Banyak hal yang berpotensi menciptakan
ketidakstabilan suatu kapal seperti tugboat dapat saja tersandung oleh tali
yang ditariknya, kapal dalam pelayarannya dapat terbalik, atau terlalu
banyak permukaan bebas dalam tangki. Cara yang baik untuk
menghindari korban akibat insiden stabilitas adalah memahami konsep
stabiltias itu sendiri terutama bagi pelayaran rakyat. Secara statistik
48
persentase jumlah korban yang terjadi pada pelayaran rakyat terus
meningkat terlebih lagi bahwa konstruksi dan sistem pemuatan yang
diterapkan sering tidak mempertimbangkan aspek-aspek keselamatan
antara lain karena stabilitas yang cenderung kurang mendukung.
Efektivitas pengoperasian kapal di laut pada dasarnya sangat
dipengaruhi oleh kemampuan kapal untuk tetap selamat (seaworthiness)
dan karakteristik yang menekankan pada respon kapal terhadap kondisi
operasional di laut. Kedua hal ini merupakan kriteria utama yang harus
dipenuhi oleh suatu kapal dalam kaitan dengan olah gerak kapal. Oleh
karena itu stabilitas kapal menjadi aspek yang sangat penting dalam
operasional kapal tersebut. Stabilitas sangat diperlukan untuk
mendapatkan keselamatan dan kenyamanan kapal dan muatannya, yaitu
dengan mengusahakan agar selalu mampu mencapai kondisi atau
keadaan stabil dan seimbang. Stabilitas dan keseimbangan dipengaruhi
oleh susunan dan tata letak muatan dan setiap ruangan sehingga
penatannya perlu dilakukan sedemikian rupa sehingga a) tercapai
keselamatan dan keutuhan kapal dengan muatannya, b) dapat
melakukan bongkar muat barang secepat mungkin dan sistematis, c)
kapasitas ruangan muat dan daya angkut kapal dapat dimaksimalkan, d)
terjaminnya keselamatan awak kapal dan penumpang (Sudiyono, 2008).
Stabilitas atau keseimbangan kapal berdasarkan teori mekanika
dibagi menjadi 3 bagian yaitu : (a) keseimbangan stabil (stabilitas positif)
49
dimana kapal memiliki kemampuan untuk kembali kepada posisi tegak
jika mengalami kemiringan, (b) keseimbangan labil (stabilitas negatif)
adalah kapal jika oleng, maka akan kemiringannya akan semakin besar
oleh karena kapal tidak mampu untuk kembali tegak seperti semula, (c)
keseimbangan indiferent adalah kapal tidak memiliki kemampuan untuk
kembali tegak, dan tetap pada posisi miring bagaimanapun perubahan
kedudukan terjadi. Bagi kapal, yang diharapkan adalah keseimbangan
stabil agar memberikan jaminan keselamatan karena kapal mampu
mengatasi gangguan eksternal sehingga dapat kembali tegak.
Kinerja keselamatan berdasarkan stabilitas, centre of gravity (G)
memegang peran yang signifikan, dipengaruhi oleh sistem pemuatan dan
pergerakan kapal berlayar akibat pengaruh angin dan gelombang.
Penataan/penempatan muatan sangat menentukan posisi G. Kapal yang
membawa banyak muatan di geladak akan menaikkan posisi G sehingga
memungkinkan kapal dalam kondisi tidak stabil. Oleh karena itu
penyusunan muatan perlu diupayakan agar dapat menurunkan posisi G
sehingga titik metacentra (M) berada pada jarak atau tinggi yang optimal.
MG berpengaru pada lengan stabilitas (GZ) yang dapat menghasilkan
momen stabilitas untuk dapat mengembalikan kapal dalam kondisi tegak.
Oleh karena itu maka IMO mengeluarkan rekomendasi tentang MG initial
untuk semua kapal yang tidak boleh kurang dari 0,15 cm. Data-data
pendukung yang diperlukan antara lain sistem pemuatan, cross curve,
50
kondisi cuaca, kecepatan angin terutama pada lokasi perairan dimana
kapal pelayaran rakyat banyak mengalami kecelakaan.
Sumber: http://www.tc.gc.ca/eng/marinesafety/debs-vessel-stability-menu-1193.htm
Gambar 1. Kurva Lengan Stabilitas
Susunan dan tata letak muatan dapat dilakukan dengan
mendistribusikan muatan dalam kapal dengan cara vertikal, longitudinal
dan transversal. Distribusi vertikal adalah pengaturan penempatan
muatan secara vertikal, yang berpengaruh pada stabiltas kapal, yaitu jika
muatan bagian atas lebih berat, kapal akan memiliki sedikit stabilitas
(small amount of stability) sehingga kapal mudah oleng dengan cara yang
agak lambat, sebaliknya jika muatan bagian bawah lebih berat, kapal
akan memiliki stabilitas yang besar (excess of stability) dan kapal oleng
agak cepat. Distribusi muatan secara longitudinal merupakan pengaturan
penempatan muatan dari depan ke belakang yang berpengaruh pada trim
51
kapal. Sementara itu distribusi muatan secara transversal adalah
pengaturan penempatan muatan dari samping ke samping kapal
sehingga mempengaruhi letak titik buoyancy kapal.
Kapal pinisi merupakan kapal flush decker dengan freeboard yang
rendah pada bagian tengah kapal (Menristek dalam lokakarya nasional
pelayaran rakyat, 1993). Pemanfaatan ruang muat dilakukan secara
maksimal yang seringkali juga mengorbankan sebagian kamar mesin
(Gambar 2). Disamping itu geladak kapal sering pula dimanfaatkan
sebagai tempat muatan. Model distribusi muatan dengan “pemaksaan”
pemanfaatan hampir seluruh ruangan kapal akan berisiko terhadap
stabilitas dan ketahanan konstruksi kapal.
Gambar 2. Kondisi Pemuatan Kapal Pelayaran Rakyat
b. Lengan stabilitas menurut IMO
Perkembangan teknologi kapal saat ini mengakibatkan kapal
cenderung menjadi lebih besar dan memiliki geladak yang lebih banyak di
52
atas garis air khususnya bagi kapal-kapal penumpang, berpotensi untuk
meninggikan titik berat (center of grafity / G) dan karena itu dapat
mengurangi stabilitasnya. Peramalan/prediksi terhadap stabilitas kapal
yang dilakukan sejak awal mulai dari tahap perencanaan menjadi sangat
penting bagi keselamatan kapal. Surendran (2003), Barras (2006),
Trenhaile (2005), Utina (2002), Jovanovski et.al. (2009) dan beberapa
penulis lainnya telah mengemukakan bahwa stabilitas merupakan bagian
dari bidang hidrodinamika yang perlu mendapat perhatian, meskipun
telah banyak model-model kapal yang dihasilkan menunjukkan bahwa
hasil perhitungan stabilitas kapal dalam berbagai kondisi dengan hasil
yang sangat baik. Namun demikian, peristiwa terbaliknya kapal yang
sering terjadi dapat dipengaruhi oleh berbagai kondisi lingkungan dan
kapal itu sendiri, tidak lepas dari peran penting stabilitas kapal yang perlu
terus dipantau. Penelitian yang dilakukan oleh Jovanovski Z, dan
Robinson G. (2009), tentang analisis stabilitas kapal menerangkan bahwa
fenomena parametric rolling merupakan bagian dari stabilitas sebagai hal
yang sangat vital bagi transportasi kapal dan muatannya; Barrass Bryan
dan Derrett D.R (2006) juga menjelaskan tentang stabilitas yang muncul
ketika kapal mengalami rolling atau trimming, adalah kemampuan untuk
tetap dalam kondisi seimbang/stabil atau sebaliknya. Dari semua gerakan
kapal di laut, yang kritis dan dapat menyebabkan kapal terbalik kapal
adalah oleng atau rolling (Surendran S. dan Reddy Ramana J.V, 2003).
Oleh karena itu, prediksi stabilitas kapal pada tahap awal perancangan
53
sangat penting ditinjau dari sudut keselamatan kapal. Disamping itu,
dapat juga dikatakan bahwa ada hubungan antara stabilitas kapal dan
gerakan kapal (ship motion). Stabilitas bisa pula terjadi dalam struktur
kapal melalui kekuatan bahan/material yang membentuk kapa. Material
dapat mengalami stressed atau strained (tegangan) dan sulit untuk dapat
kembali ke bentuk semula, sehingga memungkinkan kehilangan stabilitas.
Saat ini peraturan keselamatan jika dikaitkan dengan kecelakan
khususnya terbaliknya kapal, pertama-tama didasarkan pada konsep
stabilitas statis. Dari beberapa kasus kecelakaan kapal diketahui bahwa
musibah yang menimpa diakibatkan oleh karena kehilangan stabilitas
(Bahreisy, 2004). Cara lain secara ilmiah untuk mengetahui penyebab
kecelakaan adalah melalui kajian stabilitas dan untuk maksud tersebut,
kurva GZ merupakan salah satu parameter yang baku dalam mengukur
kemampuan stabilitas suatu kapal. Perhitungan kurva GZ yang efisien
dapat dilakukan melalui stabilitas statis. Meskipun telah diketahui bahwa
peristiwa terbaliknya kapal merupakan fenomena dinamis, pertimbangan
stabilitas statis masih menjadi alat ukur bagi kapal. IMO Resolution
A.749(18) telah menetapkan kriteria stabilitas minimum sebagai berikut:
1) Luas dibawah lengan stabilitas (righting lever curve / GZ curve)
tidak boleh kurang dari 0,055 m-rad sampai pada sudut
kemiringan (heeling angle) 30; tidak kurang dari 0,090 m-rad
pada kemiringan 40 atau flooding angle θf jika sudut ini kurang
54
dari 40. Kemudian, luas dibawah righting lever curve (GZ curve)
antara 30 dan 40 atau antara 30° dan θf, tidak boleh kurang dari
0,030 m.rad. θf adalah heeling angle bukaan (opening) pada hull,
bangunan atas (superstructure) atau rumah geladak (deckhouse)
yang tidak kedap.
2) Lengan stabilitas GZ harus minimal 0,2 m pada heeling angle
yang tidak boleh kurang dari 30. Righting arm lever (GZ) dapat
dikurangi berdasarkan keputusan otoritas yang berkompeten
tetapi tidak lebih dari 2(24-L)%, dimana L (dalam meter) adalah
panjang kapal.
3) Righting lever maksimum (GZmax) diperoleh pada sudut yang
dapat lebih dari 30 tetapi tidak kurang dari 25.
4) Tinggi metacenter (GM) tidak boleh kurang dari 0,35 m untuk
kapal geladak tunggal. Pada kapal dengan bagunan atas
(superstructure) penuh, setelah koreksi terhadap efek permukaan
bebas (free surface), tinggi metacentra (MG) tidak boleh kuran
dari 0,15 m.
55
Sumber : dikutip dari Ogden Eric, Element of Yacht
Gambar 3. Lengan stabilitas teoritis sesuai ketentuan IMO
Stabilitas kapal merupakan salah satu aspek dalam hidro-dinamika
kapal yang perlu mendapat perhatian. Faktor eksternal lingkungan seperti
kondisi cuaca (gelombang, angin) memiliki pengaruh yang cukup
signifikan terhadap kecelakaan kapal saat berlayar. Kondisi gelombang
yang berbahaya bagi stabilitas kapal sehingga dapat terbalik, terbagi atas
gelombang samping (beam seas), gelombang miring (quartering seas),
dan gelombang belakang (following seas). Tingkat keganasan gelombang
biasanya disebut sea state atau Beaufort, dan oleh karena itu banyak
penelitian memasukkan Beaufort Scale untuk menentukan tingkat
kelaiklautan suatu kapal. Tingkat kelaiklautan kapal Pinisi 360 GT, yang
pernah dikembangkan oleh pemerintah, dianalisis berdasarkan keadaan
angin/cuaca pada wilayah-wilayah perairan yang umum dilayari oleh
armada Pelayaran Rakyat, dimana kondisi angin pada umumnya berkisar
skala Beaufort 4 s/d 5 dan dimonitoring serta diuji dengan mempehatikan
kriteria-kriteria stabilitas antara lain lengan stabilitas (GZ), tinggi
56
metacentra (MG), luas lengkung stabilitas dan stabilitas dinamis
cadangan atau cadangan daya apung.
Gambar 4. Kapal Pinisi 360 GT di Pelabuhan Paotere
Hasil evaluasi terhadap sifat-sifat stabilitas yang dimiliki oleh kapal
layar motor Pinisi 360 GT menunjukkan bahwa stabilitasnya jauh lebih
tinggi dibanding yang disyaratkan oleh kriteria stabilitas IMO. Dengan
demikian, dapat disimpulkan bahwa stabilitas laik laut KLM Pinisi 360 GT
mempunyai kemampuan yang tinggi untuk pelayaran-pelayaran pantai
dan antar pulau, sesuai dengan kondisi atau keadaan perairan dalam
Indonesia (Jinca MY, 2002).
57
Stabilitas Statis
Stabilitas Dinamis
0
0.25
0.5
0.75
0 10 20 30 40 50 60 70
Derajat Kemiringan
Lengan
Sta
bili
tas
(mete
r) MG
= 1
,984
m
Stabilitas Statis
Stabilitas Dinamis
Beaufort 6
Beaufort 5Beaufort 4
Stabilitas Statis
Stabilitas Dinamis
0
0.25
0.5
0.75
0 10 20 30 40 50 60 70
Derajat Kemiringan
Lengan
Sta
bili
tas
(mete
r) MG
= 1
,984
m
Stabilitas Statis
Stabilitas Dinamis
Beaufort 6
Beaufort 5Beaufort 4
Sumber: Monitoring Prototipe KLM Pinisi 360 GT, Final Report
Gambar 5. Kurva Lengan Stabilitas Kapal Pinisi 360 GT
Perhitungan stabilitas untuk kapal kosong dan berbagai jenis
kondisi kerja, namun norma untuk melakukan pengukuran dengan
bantuan Skala Beaufort sangat membantu mengetahui kinerja satabilitas
sesuai dengan kondisi wilayah perairannya. Oleh karena itu tabel 2 di
bawah ini dapat dijadikan acuan dalam menentukan perhitungan stabilitas
kapal. Dengan tingkat kapasitas kapal yang mengalami kecelakaan pada
wilayah perairan bervariasi seperti terlihat pada gambar 6, maka
perhitungan lebih lanjut akan difokuskan untuk menentukan kondisi
stabilitas kapal pada perairan yang dominan terjadi kecdelakaan yakni
Laut Jawa. Selanjutnya, gambar 8 menunjukkan dominasi kecelakaan
kapal tradisional adalah 72,4 % kapal berukuran 7-150 GT.
58
Tabel 2. Data Empiris Kecepatan Angin dalam Skala Beaufort
Beaufort number
Descript-ion
Wind speed
Wave Height
Sea Conditions Land Conditions Sea State Photo
0 Calm < 0.3 m/s 0 m Sea like a mirror, flat. Calm. Smoke rises vertically.
1 Light Air 0.3-1.5 m/s
5-10 cm Ripples with the appearance of scales are formed but without foam crests.
Direction of wind shown by smoke drift, but not by vanes
2 Light Breeze
1.6-3.3 m/s
0.1-0.3 m
Small wavelets, still short but more pronounced; crests have a glassy appearance and do not break.
Wind felt on face; leaves rustle; ordinary vane moved by wind
3 Gentle Breeze
3.4-5.4 m/s
0.3-0.6 m
Large wavelets; crests begin to break; foam of glassy appearance; perhaps scattered white horses.
Leaves and small twigs in constant motion; wind extends light flag
4 Moderate breeze
5.5-7.9 m/s
0.6-1.2 m
Small waves, becoming longer; fairly frequent white horses.
Dust and loose paper raised. Small branches begin to move.
5 Fresh Breeze
8.0-10.7 m/s
1.2-2.4 m
Moderate waves taking a more pronounced long form; many white horses are formed; chance of some spray
Small trees in leaf begin to sway; crested wavelets form on inland waters.
6 Strong breeze
10.8-13.8 m/s
2.4-4 m Large waves begin to form; the white foan crests are more extensive everywhere; probably some spray.
Large branches in motion; whistling heard in telegraph wires; umbrellas used with difficulty.
59
Beaufort number
Descript-ion
Wind speed
Wave Height
Sea Conditions Land Conditions Sea State Photo
7 Near Gale/ Moderate Gale
13.9-17.1 m/s
4–6 m Sea heaps up and white foam from the breaking waves begins to be blown in streaks along the direction of the wind.
Whole trees in motion; inconvenience felt when walking against wind.
8 Gale/ Fresh gale
17.2-20.7 m/s
5.5–7.5 m
Moderately high waves of greater length; edges crests begin to break into spindrift; the foam is blown in well-marked streaks along the direction of the wind.
Breaks twigs off trees; generally impedes progress
9 Strong Gale
20.8-24.4 m/s
7–10 m High waves; dense streaks of foam along the direction of wind; crests of waves begin to topple, tumble and roll over; spray may affect visibility
Slight structural damage occurs (chimney post and slates removed).
10 Storm, Whole gale
24.7-28.3 m/s
9–12.5 m
Very high waves with long overhanging crests; resulting foam in great patches is blown in dense white streaks along the direction of the wind; on the whole, the surface of the sea takes a white appearance; tumbling of the sea becomes heavy and shock-like; visibility affected
Seldom experienced inland; trees uprooted; considerable structural damage occurs
11 Violent storm
28.6-32.5 m/s
11.5–16 m
Exceptionally high waves (small and medium size ships might be for a time lost from view behind waves); sea is completely covered with long white patches of foam lying along the direction of wind; everywhere the edges are blown into
Very rarely experienced; accompanied by widespread damage.
60
Beaufort number
Descript-ion
Wind speed
Wave Height
Sea Conditions Land Conditions Sea State Photo
froth; visibility affected.
12 Hurricane ≥ 32.8 m/s
≥ 14 m The air is filled with foam and spray; sea completely white with driving spray; visibility very seriously affected
Very widespread damage to vegetation. Some windows may break; mobile homes and poorly constructed sheds and barns are damaged. Debris may be hurled about.
Sumber : http://www.sailworks.net/beaufort/beaufort.htm.
Sumber : Ditjen Hubla (diolah)
Gambar 6. Persentase Kecelakaan Kapal Berdasarkan Lokasi Kejadian
61
Sumber : Ditjen Hubla (diolah)
Gambar 7. Persentase Kecelakaan Kapal Berdasarkan Ukuran Kapal
2. Tinjauan konstruksi kapal
Pada awalnya kapal dirancang dan dibuat melalui hasil
pembelajaran dari alam. Secara alamiah pembangunan kapal saat itu
dipengaruhi oleh pengalaman penduduk setempat, ketersediaan bahan
baku, dan alat penggerak kapal. Perubahan metode, bahan, dan
mekanisme propulsi kapal terjadi setelah revolusi industri yang mengikuti
perkembangan teknologi. Dengan perkembangan teknologi (terkait
dengan tipe kapal, kecepatan operasi kapal, dst.) maka diciptakanlah
standar desain tertentu untuk memenuhi keinginan pihak-pihak yang
berkepentingan atas kapal tersebut. Semua standar desain memiliki
tujuan yang sama, yakni meyakinkan performansi sebuah sistem dapat
diterima. Untuk melengkapi hal ini, semua standar desain mestinya dapat
mengantisipasi tantangan yang relevan dan menetapkan kriteria yang
72,4 %
62
dapat meyakinkan bahwa desain yang dilakukan sesuai dengan
perkembangan. Dalam banyak situasi / kondisi dalam struktur kapal,
proses desain telah menjadi salah satu standar kepuasan (Kendrick &
Daley, 2006). Proses desain struktur saat ini jauh melebihi upaya
pemenuhan standar. Namun yang terjadi pada teknologi armada
pelayaran rakyat adalah penggunaan teknologi masih belum
berkembang, berbasis pada pengembangan teknologi tradisional
sehingga kelemahan yang tampak adalah desain dan konstruksi akibat
motorisasi (Jinca, 2002). Oleh karena itu untuk dapat memperbaiki desain
kapal di masa yang akan datang, harus dapat diketahui pentingnya
mewujudkan standar desain yang paling memungkinkan, karena kapal
seharusnya sesuai dengan standar yang diinginkan apalagi dengan
adanya standar yang telah ditetapkan oleh kelompok-kelompok klasifikasi
khususnya untuk kapal-kapal niaga.
Kebanyakan kapal niaga dibangun sesuai dengan peraturan
kelompok klasifikasi, dan untuk Indonesia aturan klasifikasi dibentuk oleh
BKI. Tujuannya adalah untuk memenuhi permintaan/keinginan atau
kepentingan pemerintah dan dunia swasta (komersial) dalam hal
meyakinkan bahwa kapal yang telah dihasilkan dalam keadaan aman dan
dapat diandalkan (safe and reliable). Keyakinan yang dilandasi oleh
aturan (rules) dari masing-masing klasifikasi diterapkan terhadap kapal-
kapal yang terbuat dari baja maupun dari bahan lain seperti aluminium,
fiberglass, maupun kapal kayu. Akan tetapi kapal armada pelayaran
63
rakyat yang dikerjakan secara tradisional di galangan tradisional dan oleh
tukang tradisional belum terklasifikasi sehingga berdampak pada
kurangnya keyakinan dari asuransi, sebagian pemilik barang dan dunia
perbankan atau lembaga keuangan lainnya.
Kemampuan kapal yang dibuat dengan menggunakan teknologi
yang secara turun-temurun diterapkan tanpa menggunakan gambar,
cukup kuat dalam menghadapi kondisi gelombang, namun ketahanan
terhadap getaran akibat pengoperasian mesin-mesin, masih menjadi titik
lemah apalagi untuk jangka panjang. Kelemahan ini mungkin disebabkan
oleh sistem sambungan antara papan kulit dengan gading-gading
maupun lunas kapal yang mudah longgar karena pada umumnya
dihubungkan dengan menggunakan pasak kayu, akibatnya kapal mudah
mengalami kebocoran dan tenggelam. Pada konstruksi kapal tertentu
seperti KLM prototipe 360 GT yang merupakan program bantuan
pemerintah masih dalam ambang batas normal karena telah melalui
tahapan perencanaan, namun untuk pengoperasian jangka panjang perlu
penelitian lebih lanjut khususnya terhadap kekedapan dan kelelahan
bahan konstruksi kapal (Jinca, 2002). Getaran mesin merupakan musuh
utama bagi kapal tradisional, karena penggunaan papan kayu konstruksi
khususnya badan kapal (hull), demikian halnya bagian-bagian lain dari
kapal yang hanya di kedapkan terhadap air, dengan memberikan pakal
pada celah-celah papan. Bahan pakal biasanya terbuat dari sisa bahan
pembuatan tekstil (jenis bahan untuk kain kaos) yang dicampur dengan
64
bahan semacam aspal yang kemudian dimasukkan secara paksa ke
celah-celah papan-papan badan kapal tersebut. Cara pemakalan seperti
ini telah dijelaskan sebelumnya bahwa kapal cukup flexible dalam
menghadapi gelombang, akan tetapi menjadikan kapal kayu kurang
memiliki ketahanan terhadap getaran akibat motorisasi maupun tekanan
gelombang saat berlayar dan tekanan/beban muatan.
(Sumber : Laporan KNKT, 2008)
Gambar 8. Midship section dari salah satu Kapal Pelra
Sistem pemuatan pada kapal pelayaran rakyat dilakukan dengan
cara meletakkanmenjatuhkan muatan pada lambung yang terkadang pula
ditumpuk sampai ke atas geladak dan samping kamar mesin. Hal ini akan
65
dapat menyebabkan lambung mendapatkan beban langsung dari muatan.
Sistem pemuatan dengan cara menjatuhkan barang akan dapat juga
memberikan beban secara berulang-ulang dan memberikan efek
kelelahan pada sistem konstruksi lambung. Sistem konstruksi kapal kayu
juga sangat rentan terhadap tubrukan dengan benda keras seperti karang
atau kerangka kapal. Sambungan bilah lambung kapal dengan gading
kapal yang hanya diperkuat dengan paku dapat dengan mudah lepas
apabila mendapatkan beban yang besar. Selain itu faktor korosi juga
dapat berpengaruh terhadap kekuatan paku. Pada kapal-kapal
tradisional, biasanya digunakan paku yang terbuat dari besi yang
digalvanis dan ada juga terbuat dari kayu. Paku-paku tersebut perlu
dirawat secara berkala agar dapat mempertahankan kekuatan lambung.
Kelangkaan kayu akibat regulasi pemerintah yang menbatasi
penebangan hutan dan semakin bertambahnya usia kapal berdampak
pada rendahnya kualitas konstruksi kapal yang kini beroperasi. Terlebih
lagi jika pemanfaatan kayu yang belum cukup matang untuk digunakan
sebagai bahan baku pembuatan kapal. Teknologi tradisional pada
pembangunan kapal kayu membutuhkan bahan kayu cukup banyak yakni
± 20 s.d. 50 m3 untuk kapal dengan panjang lunas 10 s.d. 20 m.
Pembuatan ini terkesan boros dalam pemakaian kayu. Produksi kayu
hutan terutama untuk kayu jati telah mengalami penurunan drastis, akibat
dari penebangan kayu liar yang tidak terkendali sedangkan proses
66
produksi untuk satu pohon seperti pohon jati membutuhkan waktu ± 50
tahun (Ridwan dkk, 2008).
Kapal-kapal tradisional dan teknik pembuatannya di Indonesia
telah sering dibahas secara ilmiah, namun upaya menganalisis
perkembangan teknologi dalam pembangunan kapal kayu tersebut sudah
jarang dibuat. Setelah pengenalan teknologi modern seperti mesin dan
lambung kapal pada era 1970-an, kapal kayu telah mengalami perubahan
teknologi yang pesat yang menggabungkan teknik-teknik modern dan
tradisional (Azis Salam & Osozawa Katsuya, 2008). Yang perlu mendapat
perhatian adalah pemisahan antara kamar mesin dan ruang muat, yang
mestinya diberi sekat pemisah agar kapal tetap memiliki daya apung yang
cukup jika salah satu dari ruang tersebut mengalami kebocoran.
Tabel 3. Beberapa Jenis Kayu untuk Pembuatan Kapal
No JENIS KAYU BAGIAN KAPAL
1 Bungur Rangka, gading, galar, kulit, papan geladak
2 Gadog, gerunjing Gading, galar, balok geladak, papan geladak
3 Jati Lunas, gading, senta, tiang, lambung, geladak
4 Johar Papan geladak, dinding rumah geladak
5 Kosambi, kesambi Lunas, linggi, gading, senta, kulit, papan geladak
6 Kranji, keranji Gading, galar, lunas, linggi
7 Kuku Gading, kulit, galar, senta, geladak, balok geladak,
rumah geladak
8 Mahoni Gading, senta, lambung, geladak
67
No JENIS KAYU BAGIAN KAPAL
9 Mimba Komponen bagian tengah atas lambung kapal
10 Waru Gading
Sumber : Abdurachman (2006)
Kebijakan pemerintah khususnya terkait dengan motorisasi, telah
mengakibatkan perubahan bentuk asli kapal layar tradisional karena
harus disesuaikan dengan keperluan tempat dan persyaratan
pemasangan mesin penggerak (inboard engine). Modifikasi yang
dilakukan adalah pada linggi buritan, kemudi dan jumlah tiang layar
mengingat fungsinya tidak lagi sebagai penggerak utama kapal.
Pemasangan motor menjadikan layar hanya sebagai identitas atau ciri
khas tradisional Indonesia. Hasil pengamatan selama ini adalah
pemasangan motor yang pada akhirnya mengesampingkan fungsi utama
layar, dan cenderung kurang mempertimbangkan unsur keselamatan
karena banyak kapal tidak memiliki sekat kedap sebagai pemisah antara
kamar mesin dan ruang muat kapal atau ruang lainnya, bahkan kamar
mesin cenderung diperkecil demi menambah kapasitas ruang muat kapal.
Sebagian muatan diletakkan di sebelah ruang mesin, dimana tidak ada
sekat kedap antara kamar mesin dengan ruang muat seperti tampak pada
gambar 9 dan 10.
68
Gambar 9. Kamar Mesin Kapal Pinisi 100 GT (tidak kedap)
Gambar 10. Kamar Mesin Kapal Pinisi 35 GT (tidak kedap)
Demikian halnya kapal tidak diperlengkapi dengan sekat tubrukan
dan sekat kedap air untuk mengisolasi kamar mesin, serta pemadatan
muatan bahkan sampai ke atas geladak, hal mana berisiko terhadap
keselamatan kapal dan tercemarnya muatan.
Gambar 11. Ruang muat kapal pinisi
tanpa sekat tubrukan
Gambar 12. Ruang muat kapal pinisi
tanpa sekat tubrukan
69
Gambar 13. Pemadatan muatan
sampai ke geladak cuaca
Gambar 14. Pemadatan muatan
sampai geladak navigasi
3. Tinjauan teknis kekuatan kapal
Dalam aspek teknis konstruksi akan dilakukan tinjauan kekuatan
konstruksi yang dipengaruhi dari opersional kapal di laut dan sistem
pemuatan. Dari sisi kekuatan kapal, khususnya kekuatan memanjang
(longitudinal strength), terdapat dua faktor yang mempengaruhinya yakni
rasio panjang dan tinggi kapal (length/depth ratio) dan superstructure
(Dokkum dalam Nugraha, 2010). Rasio L/H berkontribusi terhadap
kekuatan memanjang pada saat kapal mengalami tekanan gelombang
hogging dan sagging, serta pengaruh beban muatan. Tinggi kapal
termsuk yang memiliki pengaruh yang signifikan terhadap tegangan
(stress), yang secara teoritis dapat dihitung dengan :
P = (M x y)/I .................................................................. (1)
70
dimana :
P = Tegangan (stress) pada jarak y dari sumbu netral (MN/m2)
M = Bending moment
I = Moment Inertia
Sampel konstruksi kapal diambil dari populasi besaran/ukuran
kapal yang dominan mengalami kecelakaan. Elemen profil kapal yang
menunjang konstruksi memanjang kapal akan dianalisis terutama
terhadap beban yang terjadi pada kapal (beban muatan, dan tekanan air
pada kondisi sagging. Dalam hal ini kapal dipandang sebagai sebuah
balok yang menerima gaya berat yang terdistribusi secara memanjang dan
beban tekanan air ketika berada pada gelombang (sagging atau hogging).
Gelombang laut memiliki fenomena yang selalu berubah untuk
ukuran panjang dan arahnya. Untuk memudahkan dalam perhitungan
prediksi tinggi gelombang yang bekerja pada sebuah kapal, digunakan
spectrum gelombang. Spectrum gelombang ini menggunakan variasi
tinggi yang terjadi pada satu periode waktu tertentu, dan mengacu pada
kecepatan angin. Spectrum gelombang yang digunakan dalam hal ini
adalah model Pierson-Moskowitz yakni (Evans J. Harveyn 1983; Huges
Owen F, 1983 dalam Syahrir Husein, 2010):
S() = 135 -5 exp (-9,7 x 104 V-4 -4) .................... (2)
71
Hs = 3,5 x 10-4 V4 ............................................... (3)
dimana :
= frekuensi gelombang.
Hs = tinggi gelombang signifikan.
V = kecepatan angin.
Demikian pula akan dikaitkan dengan tinjauan faktor pengaruh dari
lokasi perairan terjadinya kecelakaan kapal pelayaran rakyat.
Selanjutnya, data-data pendukung lainnya yang dibutuhkan antara lain
profile plan, midship section, sistem pemasangan sekat kapal yang
tampaknya menjadi salah satu titik lemah dari konstruksi kapal pelayaran
rakyat, jenis-jenis material yang digunakan untuk pembuatan kapal yang
dikaitkan dengan tegangannya masing-masing.
Elemen profil kapal yang menunjang konstruksi memanjang kapal
akan dianalisis terutama terhadap beban yang terjadi pada kapal (beban
muatan, dan tekanan air pada kondisi sagging. Dalam hal ini kapal
dipandang sebagai sebuah balok yang menerima gaya berat yang
terdistribusi secara memanjang dan beban tekanan air ketika berada
pada gelombang laut (sagging atau hogging).
Beban yang bekerja pada badan kapal dapat dibagi kedalam 2
kelompok yaitu structural load yaitu beban yang berpengaruh pada
konstruksi secara keseluruhan (diantaranya beban lengkung longitudinal/
longitudinal bending akibat tekanan gelombang hogging dan sagging)
72
racking, effect of water pressure, dan beban lokal yang hanya berpengaruh
pada bagian tertentu badan kapal seperti pounding/slamming, massa
setempat dan getaran (vibration). Beban-beban lengkung longitudinal
tersebut merupakan salah satu faktor utama yang harus diperhitungkan
dalam perencanaan kapal (Moch. Sofi’i, 2008), karena selama beroperasi
di laut dapat diyakini bahwa kapal akan selalu menerima gelombang laut
hogging dan sagging secara bergantian. Jika hal ini sering terjadi maka
akan mengakibatkan material kapal mengalami kelelahan (fatique), dan
jika gaya yang bekerja terhadap kapal dalam kondisi ekstrim akan
mengakibatkan patah (I Wayan Punduh, 2011), sehingga membahayakan
keselamatan kapal jika kekuatannya tidak direncanakan untuk mampu
menghadapi kondisi tersebut.
Sagging Condition Hogging Condition
Sumber: www.google.com
Gambar 15. Bentuk gelombang Sagging dan Hogging
Kekuatan memenjang badan kapal merupakan kekuatan struktur
kapal yang paling fundamental, dan telah banyak penelitian yang
73
dilakukan terkait dengan hal tersebut. Kekuatan struktur kapal menjadi
amat penting baik untuk kepentingan klasifikasi kapal maupun dalam
penelitian-penelitian ilmiah karena beban yang bekerja terhadap lambung
kapal tidak menentu akibat pengaruh dari gelombang laut atau bongkar
muat barang. Konsep dasar dari desain kapal adalah mempertimbangkan
momen dan gaya geser yang ditimbulkan oleh beban hogging maupun
sagging yang bekerja pada kapal sebagai gelombang dengan ketinggian
maksimum. Penelitian yang dilakukan oleh Gordo J. M. et. al (1996),
Kalman Ziha et al (2001), Kuo Hsin-Chuan et al (2003), Craig B. Smith
(2007) berkisar pada perhitungan/penentuan kekuatan memanjang akibat
tekanan yang dialami saat beban hogging dan sagging.
Secara umum oleh Kuo Hsin-Chuan (2003) dijelaskan bahwa
tegangan timbul karena lambung kapal mendapat beban internal dan
external yang dapat dikelompokkan menjadi tegangan tekan (compressive
stress), tegangan tarik (tensile stress) dan tegangan geser (shear stress).
Penyebab kerusakan dari lambung kapal dapat disimpulkan sebagai: a)
tegangan tekan (compressive stress) berlebihan menyebabkan kegagalan
tekuk (buckling failure) karena tegangan tekuk (buckling stress) dari
badan kapal lebih rendah dari yielding stress materialnya dan/atau kondisi
awal seperti initial imperfections, residual stress dan sensitive boundary
conditions lainnya telah ada; b) tegangan tarik (tensile stress) yang
berlebihan muncul karena perilaku elasto-plastic dari material badan kapal
yang digunakan; c) tegangan geser (shear stress) yang mengakibatkan
74
kegagalan tekuk (buckling failure). Selanjutnya Tetsuya (2009)
menjelaskan bahwa untuk menentukan kekuatan struktur kapal, perlu
diketahui dengan baik tentang kapasitas struktur dan beban luar yang
bekerja di atasnya setepat mungkin. Mengenai kekuatan utama dari hull
girder, momen torsi dan gaya geser serta momen lentur yang bekerja
harus dipertimbangkan.
Sejalan dengan ini pula, bagi kapal pelayaran rakyat beban yang
diterima dianalisis dan dibandingkan dengan persyaratan kekuatan bahan
baku pembuatan kapal kayu yang menurut Abdurachman (2006) telah
beragam jenisnya antara lain jenis kayu bungur untuk rangka, gading,
galar, papan geladak, gadog; gerunjing untuk gading, galar, balok, dan
papan geladak; jati untuk lunas, gading, senta, tiang, lambung, geladak
dan sejenisnya.
Kayu adalah suatu bahan konstruksi bangunan yang didapatkan
dari tumbuhan alami, oleh karena itu maka bahan kayu bukan saja
merupakan salah satu bahan konstruksi yang pertama di dalam sejarah
umat manusia, tetapi memungkinkan juga kayu sebagai bahan konstruksi
yang paling akhir nantinya apalagi dengan munculnya berbagai alternatif
bahan baku pembuatan kapal. Meskipun demikian sampai saat ini masih
banyak minat masyarakat dalam membuat kapal tradisional yang
memanfaatkan bahan alam sehingga untuk itu perlu panduan terhadap
pentingnya pertimbangan aspek kekuatan konstruksi agar dapat
75
menghasilkan kapal yang dapat dioperasikan pada daerah pelayaran
yang diinginkan. Penentuan kekuatan kayu yang digunakan dalam hal ini
dilakukan dengan menentukan tegangan (σ) yang diakibatkan oleh
pengaruh beban eksternal (P) dan modulus bahan / material yang
digunakan tersebut.
D. Aspek Non Teknis Penyebab Terjadinya Kecelakaan
1. Operasional kapal
Sampai dengan sekarang armada pelayaran rakyat tampil sebagai
salah satu kekuatan armada nasional disamping armada pelayaran
nusantara dan armada pelayaran perintis lainnya. Namun seiring
kemajuan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi di bidang transportasi laut
mengakibatkan, keberadaan armada pelayaran rakyat yang sebelumnya
sangat berjaya kini cenderung tersingkir dalam menghadapi tuntutan
pasar yang semakin besar, bahkan jumlahnya cenderung terus menurun.
Disamping itu, pembangunan kapal pelra akhir-akhir ini mengalami
masalah bahan baku kayu karena semakin langkanya kayu yang panjang
dan kualitasnya sesuai dengan keinginan meskipun menurut Martawijaya
76
(1993) dalam Lanoeroe (2005) diperkirakan sekitar 4.000 jenis kayu
terdapat di Indonesia.
Pelayaran rakyat merupakan potensi nyata dalam menjalankan
fungsi penting di bidang angkutan laut nasional. Perannya sangat
strategis sebagai bagian dari moda transportasi dari dan ke pulau-pulau
terpencil dan mengingat sifat tradisionil yang dimilikinya maka
pengembangannya perlu diselenggarakan pertama-tama oleh pengusaha
pelayaran yang bersangkutan. Menurut Jinca (2002), secara makro peran
pelayaran rakyat dikaitkan dengan pegembangan wilayah merupakan
penentu karena mampu menghubungkan pusat-pusat kegiatan nasional
khsusnya di Kawasan Timur Indonesia, meskipun sentra kegiatan
pelayaran rakyat menyebar di seluruh wilayah Indonesia.
Operasi pelayaran rakyat berdasarkan data Direktorat Jenderal
Perhubungan Laut, menunjukkan bahwa pada tahun 2008 terdapat 528
perusahaan pelayaran rakyat, yang mengoperasikan 1.287 armada kapal
(tabel 4). Potensi nyata ini menunjukkan secara nasional pelayaran rakyat
masih mampu berperan dalam penyerapan lapangan kerja khususnya
bagi kelompok menengah ke bawah dalam bentuk Usaha Kecil dan
Menengah karena mampu menyerap 4,4 juta tenaga kerja, dan khusus
untuk pembuatan kapal melibatkan sekitar 10.000 orang pada sentra-
sentra pembuatan kapal yang tersebar di Sulawesi Selatan, Sulawesi
77
Tenggara, Madura, dan di beberapa wilayah pesisir (Jaelani dalam Harian
Kompas, 23 Maret 2009).
Tabel 4. Perkembangan Jumlah Kapal Pelra
Tahun Jumlah
Perusahan
Jumlah
Armada
2001 760 2.530
2002 760 2.530
2003 408 1.021
2004 441 1.229
2005 485 1.376
2006 507 1.232
2007 560 1.279
2008 583 1.287
Sumber : Ditjen Perhubungan Laut (2009)
Selanjutnya, volume barang angkutan laut pada tahun 2004
sebanyak 84,94 juta ton dimana share pelayaran rakyat sebesar 10,47
persen atau 8,89 juta ton. Jumlah itu cenderung semakin mengecil, yang
disebabkan oleh jumlah kapal terus berkurang yang ditunjukkan oleh data
dari Direktorat Jenderal Perhubungan Laut dimana pada tahun 2001
sebanyak 2.530 unit kapal dan menjadi 1.276 pada tahun 2005 atau
menurun 9,32 persen per tahun. Melihat perkembangannya saat ini
sungguh ironis jika dibandingkan kenyataan Indonesia sebagai negara
kepulauan dan sejarah kejayaan armada ini pada zaman kerajaan
Sriwijaya sampai abad ke-19 (Sukirman, 2009). Padahal, armada
pelayaran rakyat merupakan salah satu armada perairan yang sudah
78
membuktikan dirinya sebagai armada yang tangguh dan identik dengan
usaha ekonomi kerakyatan berbasis perahu tradisional yang dilengkapi
dengan motor. Namun yang mempengaruhi perkembangannya adalah
pemanfaatan teknologi yang “terbelakang” dan penerapan IPTEK yang
masih rendah. Hal ini berdampak pada kurang terjaminnya keselamatan
kapal sehingga jumlahnya cenderung berkurang apalagi dengan semakin
berkurangnya bahan baku kayu.
Unsur keselamatan pelayaran merupakan salah satu mata rantai,
yang memberi pengaruh sangat besar pada ekonomi dari keseluruhan
rantai usaha transportasi laut (Jinca, 2007). Aspek keselamatan sering
kurang mendapat perhatian, sehingga dalam penyelenggaraan transportasi
laut diketahui bahwa aspek ini tidak memadai. Data kecelakaan kapal
tahun 2003 menunjukkan telah terjadi kecelakaan kapal sebanyak 91 kali
dengan korban jiwa dan hilang sebanyak 74 orang. Kemudian, pada
tahun 2007 data kecelakaan menunjukkan bahwa telah terjadi kecelakaan
kapal sebanyak 159 kali dengan korban jiwa dan hilang sebanyak 688
orang. Demikian halnya dengan angka kecelakaan kapal pelayaran rakyat
juga cenderung meningkat. Jika pada tahun 2001 jumlah kecelakaan
kapal sebanyak 51 kali diantaranya 6 kapal Pelra maka pada tahun 2008
jumlah kecelakaan meningkat sebanyak 138 kali dan diantaranya
sebanyak 29 kapal pelayaran rakyat sehingga rata-rata meningkat 49,14
% per tahun (kapal non pelra sebesar 17,12 % per tahun) seperti tampak
pada gambar 16 berikut ini.
79
Sumber : Ditjen Perhubungan Laut (diolah)
Gambar 16. Potret Kecelakaan Kapal di Perairan Indonesia
Lokasi kecelakaan kapal pelra terjadi di hampir seluruh wiayah
perairan Indonesia. Secara keseluruhan penyebaran kecelakan kapal
pelayaran rakyat berdasarkan tabel 5 adalah Laut Jawa sebagai wilayah
yang terbanyak terjadinya kecelakaan kapal (27,4%), Perairan Bali dan
Nusa Tengara (13,8%), dan Perairan Sulawesi (15,4%). Meskipun
demikian, prosentase kecelakaan di Kawasan Timur Indonesia sangat
mendominasi angka kecelakaan kapal (± 69 %). Hal ini disebabkan oleh
karena kondisi wilayah perairan yang cukup berat dibandingkan dengan
wilayah barat. Data statistik seperti ini menunjukkan bahwa persentasi
peningkatan kecelakaan kapal pelayaran rakyat lebih besar dari kapal-
kapal non pelayaran rakyat, memberi indikasi bahwa kecelakaan kapal
yang terus meningkat merupakan bukti kurangnya perhatian dari pihak-
pihak terkait dalam penyelenggaran transportasi.
80
Aktivitas perkembangan transportasi laut sebagai urat nadi
perekonomian masyarakat dan bangsa Indonesia semakin meningkat
namun di sisi lain juga berdampak pada meningkatnya insiden dan
kecelakaan yang terjadi. Tingginya kecelakaan laut di Indonesia saat ini
hendaknya menjadi perhatian seluruh pihak, baik pemilik dan operator
kapal maupun pemerintah, instansi terkait dan masyarakat agar lebih aktif
dalam memberikan informasi. Layanan transportasi dengan jaminan
keselamatan akan memberikan rasa aman dan ketenangan bagi pemakai
jasa transportasi laut atau pemilik barang karena aktivitas sosial ekonomi
masyarakat dapat terlindungi. Adanya jaminan keselamatan transportasi
laut dan hak masyarakat yang terlindungi maka diharapkan tidak akan
muncul biaya-biaya yang tidak diperlukan yang kontra produktif. Oleh
karena itu, perlu perencanaan yang berlandaskan pada kemampuan
mengadopsi teknologi yang sesuai dengan kondisi perairan dimana
sarana transprotasi tersebut akan dioperasikan.
Tabel 5. Persentase Kecelakaan Kapal Pelra Berdasarkan Ukuran Kapal dan
Wilayah Kejadian Tahun 2005-2008
Uku
ran
Kap
al (
GT
)
Sel
at K
arim
ata
Sel
at S
unda
Laut
Jaw
a
Sel
at M
akas
sar
Sel
atan
Sul
awes
i
Per
aira
n B
ali d
an
Nus
a T
engg
ara
Laut
Ban
da
Laut
Mal
uku
Laut
Ser
am
Laut
Ara
fura
Lain
2
Jum
lah
< 7 1,63 - 0,81 - 0,81 3,25 1,63 - 0,81 0,81 0,81 10,57
81
Uku
ran
Kap
al (
GT
)
Sel
at K
arim
ata
Sel
at S
unda
Laut
Jaw
a
Sel
at M
akas
sar
Sel
atan
Sul
awes
i
Per
aira
n B
ali d
an
Nus
a T
engg
ara
Laut
Ban
da
Laut
Mal
uku
Laut
Ser
am
Laut
Ara
fura
Lain
2
Jum
lah
7 - 36 1,63 0,81 4,88 1,63 4,88 4,88 2,44 0,81 0,81 2,44 2,44 27,64
37 - 100 2,44 0,81 1,63 1,63 3,25 3,25 - - 2,44 2,44 2,44 20,33
101-150 3,25 - 11,38 3,25 - 1,63 1,63 - 0,81 - 2,44 24,39
151-200 - - 3,25 - - 0,81 - - 0,81 - - 4,88
201-300 3,25 - 4,88 - - - - - - 0,81 0,81 9,76
> 300 0,81 - 0,81 - - - - - - - 0,81 2,44
Jumlah 13,01 1,63 27,64 6,50 8,94 13,82 5,69 0,81 5,69 6,50 9,76 100,0
Sumber : Ditjen Hula (diolah)
Dalam menempuh suatu perjalanan selain harus memenuhi
kelayakan kapal, sebuah kapal harus mempunyai perangkat atau
perlengkapan, antara lain pengemudi kapal atau dikenal sebagai
nakhoda, perwira kapal, dan juga beberapa anak buah kapal (kelasi),
dimana ketiga pihak tersebut dituntut untuk saling mendukung dan
bekerja sama agar proses pelayaran dapat berjalan dengan baik.
Pentingnya faktor perhubungan dan pengangkutan pada saat ini,
sehingga dituangkan dalam Undang-Undang No 17 Tahun 2008 tentang
Pelayaran yang menyebutkan bahwa pelayaran diselenggarakan dengan
tujuan antara lain memperlancar arus perpindahan orang dan/atau barang
82
melalui perairan dengan mengutamakan dan melindungi angkutan di
perairan dalam rangka memperlancar kegiatan perekonomian nasional;
membina jiwa kebaharian; menunjang, menggerakkan, dan mendorong
pencapaian tujuan pembangunan nasional.
Aspek keselamatan pelayaran tampaknya belum memadai, terlihat
dari data kecelakaan kapal tahun 2006 yang menunjukkan frekuensi
kecelakaan kapal terjadi sebanyak 129 kali dengan korban jiwa dan
hilang sebanyak 627 orang. Data kecelakaan sampai dengan Juli 2007
menunjukkan bahwa kecelakaan kapal terjadi sebanyak 99 kali dengan
korban jiwa dan hilang sebanyak 129 orang. Mengacu kepada kondisi di
atas, perlu dilakukan peningkatan fasilitas keselamatan pelayaran seperti
Sarana Bantu Navigasi Pelayaran (SBNP), pengerukan alur pelayaran,
rekondisi dan pembangunan sarana transportasi laut seperti kapal-kapal
navigasi dan kapal-kapal patroli agar penyelenggaraan transportasi laut
berjalan dengan tingkat keselamatan dan keamanan yang sesuai dengan
standar keselamatan pelayaran internasional.
Untuk menjamin terwujudnya sistem keselamatan kapal yang
handal, terdapat tiga kelompok manusia yang memiliki peran besar antara
lain nakhoda dan awak kapal, operator (perusahaan), dan regulator
(pengawas). Ketiga kelompok ini saling berinteraksi dalam menbuat suatu
keputusan layak tidaknya kapal berlayar, dan kualitas keputusan tentang
hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan serta
83
pengalaman yang dimiliki. Hasil penelitian yang dilakukan Nurwahida
(2003) mengenai implementasi manajemen keselamatan (ISM Code)
menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan populasi, semakin baik
persepsi mereka terhadap keselamatan kapal. Tingkat pendidikan yang
dimiliki diidentifikasi sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya
kecelakaan dan bagi awak kapal pelayaran rakyat, kendala utama yang
dihadapi adalah kualitas pendidikan yang belum memuaskan sehingga
pemerintah merasakan perlunya meningkatkan pengetahuan mereka
agar mampu mengendalikan operasional kapal terutama dalam sistem
kenavigasian. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa penyebab utama
kecelakaan kapal disebabkan oleh faktor kesalahan manusia. Untuk
memperkecil risiko kecelakaan kapal akibat kesalahan manusia dalam
rangka menghindari korban jiwa dan harta benda, serta pencemaran
laut, maka perlu diterapkan juga sistem manajemen keselamatan
termasuk kapal-kapal pelayaran rakyat. Sistem ini bagi pelayaran rakyat
akan dapat berjalan dengan baik apabila semua personil baik di darat
maupun di kapal memiliki pemahaman yang sama, apalagi banyak
diantara pemilik kapal juga bertindak sebagai awak kapal itu sendiri.
2. Kompetensi awak kapal / ABK
Kapal sekalipun sudah dalam kondisi prima, akan tetapi baru dapat
beroperasi dan dimanfaatkan bila telah diawaki oleh personil dengan
kecapakan sesuai perundang-undangan, memiliki pengetahuan yang
84
memadai tentang peraturan, koda, dan petunjuk yang terkait dengan
pelayaran. Para awak kapal, harus memiliki kemampuan untuk
menyiapkan kapalnya dan juga harus mampu melayarkan kapal dengan
muatan barang atau penumpang secara aman sampai tempat tujuannya.
Nakhoda dan awak kapal lainnya harus memenuhi kriteria tertentu terkait
dengan tugas dan fungsinya di atas kapal. Karenanya, mereka perlu
mengikuti pendidikan formal lebih dahulu sebelum diberi ijazah
kepelautan yang memungkinkan mereka bertugas di kapal. Bagi operator
kapal pelayaran rakyat, pemerintah telah memfasilitasi pemberian
pendidikan yang layak bagi mereka dengan harapan mampu
mengoperaskan kapal sesuai dengan norma-norma yang berlaku pada
kapal. Awak kapal yang memahami tugas dan fungsinya akan sangat
menguntungkan bagi perusahaan. Kondisi teknis kapal akan terpelihara,
sehingga umur kapal dapat lebih diperpanjang. Diharapkan juga dengan
kondisi teknis yang layak serta umur kapal yang dapat diprediksi lebih
lama, akan berpengaruh pada minat persuransian dan permodalan oleh
lembaga keuangan. Dalam hal penyusunan muatan, awak kapal yang
terampil akan dapat menghindarkan terjadinya kerusakan muatan dan
kapal, serta terhindar dari adanya klaim atas kerusakan barang.
Pelaut/awak kapal tradisional juga harus bisa menjadi bagian dari
masa depan pelayaran nasional dengan ikut terlibat dalam pengangkutan
komoditas dalam negeri, sehingga perlu mengubah paradigma agar
berorientasi kepada sistem seperti yang diadopsi oleh pelayaran niaga
85
lainnya. Oleh karena itu, tanggung jawab pemerintah semakin besar dalam
menciptakan peraturan/ketentuan terkait dengan aspek keselamatan
pelayaran. Di era kemajuan teknologi dan komunikasi saat ini, kapal-kapal
yang banyak digunakan sebagai sarana pengangkutan juga telah banyak
tersentuh oleh teknologi. Sudah tidak ada lagi kapal-kapal pengangkut
penumpang ataupun barang yang tidak dilengkapi sarana navigasi yang
up to date. Ini sangat beralasan mengingat kita membutuhkan suatu
kenyamanan, keselamatan dan keamanan dalam melakukan perjalanan
melalui laut. Keselamatan pelayaran lazimnya dijamin oleh mutu kapal
yang terawat baik disertai dengan adanya kecakapan dari seluruh awak
kapal.
Untuk menjadi bagian dari perlengkapan kapal, nakhoda, perwira
kapal ataupun klasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya
syarat pendidikan, kesehatan dan syarat lainnya, antara lain pengalaman
dan jam melaut (Triyanto Djoko dalam Tajudin, 2009). Hal ini juga terkait
erat dengan kompetensi awak kapal dan menjadi salah satu kelemahan
yang dimiliki oleh pelayaran rakyat yang tingkat kompetensinya masih
jauh dari harapan (Dodik Widarbowo, 2006). Dalam penelitiannya,
ditemukenali bahwa kompetensi perwira dek 41 % dalam kondisi kurang
mampu, demikian halnya dengan perwira bagian mesin dengan kondisi
70 % kurang mampu. Selama ini, telah banyak terjadinya kecelakaan
kapal yang disebabkan karena dilanggarnya salah satu syarat di atas oleh
manusianya (human error), atau karena kesalahan teknis serta juga faktor
86
alam. Terlebih apabila kita melihat kondisi geografis dan territorial
perairan Indonesia. Gelombang yang tinggi dan pusaran-pusaran air di
tengah laut, bukanlah suatu hal yang langka di perairan Indonesia,
bahkan di beberapa wilayah, hal itu terjadi secara terus menerus dengan
berdasar pada jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, selain keadaan
geografis yang menguntungkan tersebut, tidak dapat menutupi keadaan
alam yang sesungguhnya dari alam Indonesia yang menyimpan banyak
misteri dan fenomena alam. Untuk itulah dibutuhkan awak kapal yang
cakap dalam mengarungi pelayaran di wilayah Indonesia. Perpaduan
antara faktor kesalahan manusia (human error) dan faktor alam yang juga
termasuk salah satu penyebab terbesar dari terjadinya kecelakaan kapal,
terutama di wilayah perairan Indonesia disamping faktor teknis dimana
kondisi kapal yang tidak optimal saat berangkat.
3. Manajemen keselamatan dan strategi zero accident
Pemerintah dalam beberapa kesempatan mengemukakan bahwa
dalam rangka mendapatkan solusi penyelesaian berbagai permasalahan
yang dihadapi, pembangunan sektor transportasi didasarkan pada skala
prioritas. Salah satu diantaranya adalah keselamatan transportasi dengan
sasaran utamanya adalah perwujudan zero accident. Penerapan sistem
keselamatan dengan penekanan metode proaktif, metode manajemen
87
risiko yang meliputi aspek engineering dan operasi kapal serta
penekanan pada pemberian jaminan keselamatan (O’Reilly, 2010) oleh
organisasi pelayaran merupakan langkah perbaikan terhadap keselamatan
kapal. Apalagi dengan banyaknya kapal-kapal niaga (commercial ships)
yang hilang setiap tahun.
Dukungan terhadap prioritas keselamatan dilakukan melalui
kegiatan pemenuhan fasilitas keselamatan dengan rasio kecukupan dan
keandalan yang memadai, capacity building dalam rangka menyediakan
sumber daya manusia untuk memberikan pelayanan di bidang
keselamatan dalam jumlah dan kompetensi yang memadai, serta
melakukan tinjau ulang dan sosialisasi peraturan-peraturan yang terkait
dengan keselamatan transportasi. Angkutan laut merupakan moda
transportasi yang sarat regulasi terutama oleh karena banyaknya aturan
keselamatan yang mesti diimplementasikan. Untuk itu, Indonesia terus
meratifikasi berbagai konvensi yang telah dikeluarkan oleh badan khusus
di PBB (International Maritime Organization/IMO) yang bertanggung
jawab untuk mengambil tindakan-tindakan guna dapat meningkatkan
keselamatan pelayaran dan mencegah pencemaran laut oleh kapal.
Perwujudan aspek keselamatan ini tidak semata-mata menjadi
tugas dan kewenangan pemerintah melainkan juga memerlukan
keterlibatan publik baik sebagai operator maupun sebagai masyarakat
umum. Aspek kecukupan dan kehandalan sarana transportasi merupakan
88
salah satu kendala dalam upaya memenuhi kebutuhan mobilitas barang
dan penumpang. Tidak hanya armada kapal konvensional namun juga
armada kapal tradisional belum sepenuhnya dapat memenuhi
persyaratan keselamantan moderen karena sifat tradisional yang melekat
pada desain dan pembangunannya. Kelemahan dalam pemenuhan
persyaratan tersebut dapat dikompensasikan dengan teknologi yang lain,
yang akan memberikan tingkat keselamatan yang sesuai (European
Maritime Heritage, 2009). Jika teknologi tersebut tidak dapat diterapkan,
maka dapat diintroduksi hal-hal yang sifatnya operasional agar tingkat
keselamatan yang diinginkan dapat tercapai. Aturan teknis lain yang
dapat diterapkan agar mampu mencapai tingkat keselamatan yang setara
dan sesuai dengan ukuran opersional adalah sistem keselamatan yang
dikenal sebagai koda manajemen keselamatan internasional (Inter-
national safety management code/ISM Code).
Dari sisi konstruksi dan bentuk bangunan (shipbuilding) kapal
tradisional memiliki karakter tersendiri dan sangat individual yang
mestinya perlu dilestarikan keberadannya. Aturan-aturan teknis pada
umumnya kurang dapat diterapkan sehingga penerapan sistem
manajemen keselamatan harus dapat dipertimbangkan untuk kondisi
demikian. Penerapan sistem dimaksud harus dapat dilakukan dan
dikontrol oleh pemilik kapal dan diaudit oleh pemerintah (administrasi
maritim) atau lembaga audit atas nama pemerintah. Pada saat
89
mempersiapkan implementasinya administrasi maritim akan melibatkan
orang atau organisasi yang telah familiar dengan karakteristik kapal.
Dalam kaitan dengan operasi kapal, nakhoda dan awak kapal
harus dapat mengembangkan prosedur keselamatannya sendiri dan
menunjukkan hasilnya dalam audit yang dilakukan oleh petugas dari
administrasi maritim atau lembaga pemerintah yang berwenang. Sistem
tersebut kemudian didokumentasi dalam safety management manual.
Uraian dari manual tersebut dapat dibuat dalam garis besar yang
menggambarkan prosedur karakteristik keselamatan bagi kapal tradisional
(European Maritime Heritage, 2005). Uraian dari prosedur keselamatan
tersebut difokuskan pada bagaimana seseorang di atas kapal dapat
terintegrasi dengan kegiatan operasional kapal serta komunikasinya
dengan manajemen di darat. Keterhubungan antara kapal dan struktur
organisasi/ manajemen di darat menjadi sangat penting dengan adanya
orang yang ditunjuk (designated person ashore) untuk mewakili semua
kepentingan yang terkait dengan upaya penanganan keselamatan kapal.
Setelah dilakukan verifikasi oleh atau atas nama pemerintah dimana
semua kegiatan telah sesuai dengan sistem manajemen keselamatan,
Document Of Compliance (DOC) dan Safety Management Certificate
(SMC) akan diberikan kepada perusahaan pelayaran dan kapalnya.
Selain itu, dengan perkembangan teknologi dan manajemen
perusahaan pelayaran, sumber daya manusia pada pelayaran rakyat juga
90
sudah saatnya untuk perlu mengikuti perkembangannya dengan
melibatkan diri baik inisiatif sendiri maupun melalui dorongan pemerintah
untuk diikutsertakan dalam pendidikan dan pelatihan menyangkut
pemahaman aspek teknologi dan pengusahaan sesuai dengan lingkup
kegiatannya. Hal ini perlu dilakukan mengingat transportasi menjadi
sorotan utama akibat banyaknya terjadi kecelakaan. Adanya ketidak-
selarasan penanganan sistem dan masalah transportasi laut, serta
timpangnya perhatian terhadap persoalan keselamatan pelayaran, dapat
menghambat penyediaan layanan transportasi di seluruh wilayah
Indonesia. Keserasian pelayanan yang diberikan dapat tercapai jika
persyaratan keselamatan pelayaran dapat dipenuhi melalui implementasi
sistem penanganan / manajemen keselamatan yang memadai. Oleh
karena itu, pengamatan / analisis lebih lanjut terhadap aspek operasional
pelayaran rakyat ini dilakukan melalui analisis hirarkhi atau analisis faktor
pendukung tercapainya sistem kesematan bagi kapal-kapal tradisional.
Unsur keselamatan pelayaran merupakan salah satu mata rantai,
yang memberi pengaruh sangat besar pada ekonomi dari keseluruhan
rantai usaha transportasi laut (Jinca, 2007). Oleh karena itu, unsur
keselamatan perlu menjadi perhatian utama termasuk bagi pelayaran
rakyat mengingat perannya sangat strategis sebagai moda transportasi
dari dan ke pulau-pulau terpencil, dan mengingat sifat tradisionil yang
dimilikinya maka pengembangannya perlu dilestarikan dengan memberikan
ruang gerak kegiatan pelayaran di seluruh wilayah perairan nusantara.
91
Didalam menjamin terwujudnya sistem keselamatan kapal yang
handal, terdapat tiga kelompok manusia yang memiliki peran besar antara
lain nakhoda dan awak kapal, operator (perusahaan), dan regulator
(pengawas). Ketiga kelompok ini saling berinteraksi dalam menbuat suatu
keputusan layak tidaknya kapal berlayar, dan kualitas keputusan tentang
hal tersebut dipengaruhi oleh tingkat pendidikan dan pengetahuan serta
pengalaman yang dimiliki. Hasil penelitian yang dilakukan Nurwahida
(2003) mengenai implementasi manajemen keselamatan (ISM Code)
menunjukkan bahwa semakin tinggi pendidikan populasi, semakin baik
persepsi mereka terhadap keselamatan kapal. Tingkat pendidikan yang
dimiliki diidentifikasi sebagai salah satu faktor penyebab terjadinya
kecelakaan dan bagi awak kapal pelayaran rakyat, kendala utama yang
dihadapi adalah kualitas pendidikan yang belum memuaskan sehingga
pemerintah merasa perlu meningkatkan pengetahuan mereka agar
mampu mengendalikan operasional kapal terutama dalam sistem
kenavigasian. Penelitian IMO dan beberapa hasil investigasi KNKT
menunjukkan bahwa penyebab utama kecelakaan kapal disebabkan oleh
faktor manusia (human error). Untuk memperkecil risiko kecelakaan
kapal akibat kesalahan manusia dalam rangka menghindari korban jiwa
dan harta benda, serta pencemaran laut, maka perlu diterapkan juga
sistem manajemen keselamatan termasuk kapal-kapal pelayaran rakyat.
Sistem ini bagi pelayaran rakyat akan dapat berjalan dengan baik apabila
semua personil baik di darat maupun di kapal memiliki pemahaman yang
92
sama, apalagi banyak diantara pemilik kapal juga bertindak sebagai awak
kapalnya sendiri.
Kapal sekalipun sudah memiliki kondisi prima, barulah dapat
beroperasi dan dimanfaatkan bila telah diawaki oleh personil dengan
kecapakan sesuai perundang-undangan, memiliki pengetahuan yang
memadai tentang peraturan, koda, dan petunjuk yang terkait dengan
pelayaran. Para awak kapal harus memiliki kemampuan untuk menyiapkan
kapalnya dan juga harus mampu melayarkan kapal dengan muatan
barang atau penumpang secara aman sampai tempat tujuannya.
Nakhoda dan awak kapal lainnya harus memenuhi kriteria tertentu terkait
dengan tugas dan fungsinya di atas kapal (Masyarakat Transportasi
Indonesia, 2010). Karenanya, mereka perlu mengikuti pendidikan formal
lebih dahulu sebelum diberi ijazah kepelautan yang memungkinkan
mereka bertugas di kapal. Bagi operator kapal pelayaran rakyat,
Pemerintah telah memfasilitasi pemberian pendidikan yang layak bagi
mereka dengan harapan mampu mengoperaskan kapal sesuai dengan
norma-norma kenavigasian yang berlaku pada kapal. Awak kapal yang
memahami tugas dan fungsinya akan sangat menguntungkan bagi
perusahaan, dan kapal akan terpelihara, sehingga umurnya dapat lebih
lama (KNKT, 2009). Dengan kondisi teknis yang layak serta umur kapal
yang dapat diprediksi lebih lama, akan berpengaruh pada minat asuransi
dan permodalan oleh lembaga keuangan. Demikian halnya, awak kapal
93
yang terampil dalam penyusunan muatan dapat menghindari kerusakan
muatan dan kapal.
Pelaut atau awak kapal tradisional juga harus bisa menjadi bagian
dari masa depan pelayaran nasional dengan ikut terlibat dalam
pengangkutan komoditas dalam negeri, sehingga yang perlu dilakukan
adalah mengubah paradigma untuk berorientasi kepada sistem seperti
yang telah diadopsi oleh pelayaran niaga lainnya. Semakin penting dan
majunya pelayanan angkutan laut dan modernnya kapal-kapal yang
digunakan, maka semakin besar peranan manusia dalam menguasai
peralatan yang serba otomatis. Oleh karena itu, tanggung jawab
pemerintah meningkat pula dalam mengeluarkan ketentuan-ketentuan
untuk menjamin adanya pengakuan dan penghayatan terhadap perlunya
keselamatan pelayaran. Di era kemajuan teknologi dan komunikasi saat
ini, kapal-kapal yang banyak digunakan sebagai sarana pengangkutan
juga telah banyak tersentuh oleh teknologi. Sudah tidak ada lagi kapal-
kapal pengangkut penumpang ataupun barang yang tidak dilengkapi
sarana navigasi yang up to date. Ini sangat beralasan mengingat kita
membutuhkan suatu kenyamanan dan terutama keselamatan dalam
melakukan perjalanan melalui laut. Keselamatan pelayaran lazimnya
dijamin oleh kapal yang terawat baik dan awak kapal yang terampil
(Masyarakat Transportasi Indonesia, 2010).
94
Untuk menjadi bagian dari perlengkapan kapal, nakhoda, perwira
kapal dan klasi harus memenuhi syarat-syarat tertentu, misalnya syarat
pendidikan, kesehatan dan syarat lainnya, antara lain pengalaman dan
jam melaut (Triyanto Djoko dalam Tajudin, 2009). Hal ini juga terkait erat
dengan kompetensi awak kapal dan menjadi salah satu kelemahan yang
dimiliki oleh pelayaran rakyat yang tingkat kompetensinya masih jauh dari
harapan (Dodik Widarbowo, 2006). Dalam penelitiannya, ditemukenali
bahwa kompetensi perwira dek 41 % dalam kondisi kurang mampu,
demikian halnya dengan perwira bagian mesin dengan kondisi 70 %
kurang mampu. Selama ini, telah banyak terjadinya kecelakaan kapal
yang disebabkan karena dilanggarnya salah satu syarat di atas oleh
manusianya (human error), atau karena kesalahan teknis serta juga faktor
alam. Terlebih apabila kita melihat kondisi geografis dan territorial
perairan Indonesia. Gelombang yang tinggi dan pusaran-pusaran air di
tengah laut, bukanlah suatu hal yang langka di perairan Indonesia,
bahkan di beberapa wilayah, hal itu terjadi secara terus menerus dengan
berdasar pada jangka waktu tertentu. Oleh karena itu, selain keadaan
geografis yang menguntungkan tersebut, tidak dapat menutupi keadaan
alam yang sesungguhnya dari alam Indonesia yang menyimpan banyak
misteri dan fenomena alam. Untuk itulah dibutuhkan awak kapal yang
cakap dalam mengarungi pelayaran di wilayah Indonesia. Perpaduan
antara faktor kesalahan manusia (human error) dan faktor alam yang juga
termasuk salah satu penyebab terbesar dari terjadinya kecelakaan kapal,
95
terutama di wilayah perairan Indonesia disamping faktor teknis dimana
kondisi kapal yang tidak layak saat berangkat.
Kecelakan kapal akibat kesalahan manusia ditentukan oleh banyak
faktor, salah satu diantaranya adalah kompetensi awak kapal. Hal ini
banyak terkait dengan tingkat pengetahuan para awak kapal yang
sebagian besar juga mahir dalam pembuatan kapal secara turun temurun
namun penguasaan aspek teknologi belum maksimal. Hasil penelitian
Analisa Kompetensi Perwira Awak Kapal Pelayaran Rakyat oleh Dodik
Widarbowo (2006) menunjukkan bahwa sebagian besar 54,7% perwira
awak kapal pelayaran rakyat memiliki kompetensi dengan penilaian
kurang mampu. Terdapat hubungan kuat antara kompetensi perwira
bagian geladak dan mesin terhadap tingkat kecelakaan. Aspek-aspek
dalam kelompok kejuruan kompetensi yang perlu ditingkatkan untuk
perwira bagian geladak yaitu pengetahuan pedoman, pengetahuan peta,
peraturan tubrukan di laut, pengetahuan arus dan pasang surut serta
kecakapan pelaut. Sedangkan untuk perwira mesin yaitu sistem
pendingin, sistem pelumasan, cara / prosedur menjalankan motor dan
pemeliharaanya serta susunan instalasi motor penggerak kapal. Dari segi
keamanan pelayaran maka awak kapal yang terampil bisa menghindari
bahaya-bahaya navigasi/kandas ataupun bertubrukan dengan kapal lain.
Keselamatan pelayaran sangat tergantung pada para awak kapal.
E. Kerangka Pikir Konseptual dan Hipotesis
96
1. Kerangka pikir konseptual penelitian
Proses pengawasan kelaiklautan kapal dimulai sejak kapal
dirancang sampai kapal tidak lagi digunakan. Sekalipun demikian, tidak
dapat dipungkiri bahwa kecelakaan masih terus terjadi, sehingga obyek
penelitian ini terfokus pada aspek keselamatan. Kerangka pikir penelitian
ini dimulai dari penentuan kelayakan teknis yang dilakukan berdasarkan
metode empiris dan kemudian melakukan analisis aspek non teknis
berdasarkan metode survei. Sejumlah variabel akan dianalisis secara
deskriptif maupun statistik untuk mengetahui penyebab kecelakaan
berdasarkan persepsi pelaku usaha dan regulator dan selanjutnya dapat
menemukan solusi kebijakan peningkatan keselamatan kapal.
Alur pikir penelitian dikelompokkan kedalam dua bagian analisis
yaitu analisis aspek teknis dan non teknis. Aspek menyangkut stabilitas
dan kekuatan kapal berdasarkan rumus empiris yang hasilnya
disesuaikan dengan ketentuan atau regulasi yang telah ada untuk
menentukan kelaiklautan obyek penelitian. kelemahan konstruksi menjadi
permasalahan utama khususnya akibat motorisasi pengganti layar.
Kekuatan konstruksi dikaitkan dengan kayu sebagai bahan bangunan,
metode konstruksi, vibrasi mesin dan pengaruh tekanan gelombang
terhadap konstriksi kapal maupun sistem pengawasannya akan menjadi
masukan dalam memperkaya analisis lebih lanjut terhadap salah satu
kajian teknologi kapal pelayaran rakyat yang lebih difokuskan pada kapal
pinisi. Selain itu, aspek stabilitas kapal difokuskan pada pemuatan dan
97
kondisi perairan pelayaran. Analisis lainnya adalah non teknis menyangkut
kompetensi sumber daya manusia pelayaran rakyat yang dianalisis
dengan analisis faktor sebagai upaya untuk mengetahui faktor-faktor yang
menyebabkan meningkatnya kecenderungan kecelakaan kapal.
Pengembangan konsep ini diharapkan akan dapat mencapai
sistem pengelolaan manajemen keselamatan kapal-kapal tradisional yang
selama ini belum banyak mengenal konsep sistem keselamatan kapal.
Peningkatan keselamatan kapal diharapkan akan tercapai, terjadi
pemahaman akan Pengelolaan sistem keselamatan sesuai aturan dan
penerapan aturan stabilitas dan teknologi kapal yang sesuai dengan
kondisi perairan. Kemudian, dengan mempertimbangkan bahwa
pelayaran rakyat adalah jenis pelayaran yang masih sarat dengan nuansa
tradisional, maka aspek hukum atau peraturan yang sebelumnya telah
diadopsi oleh para pelaksana di lapangan sebelum masuknya teknologi
moderen, perlu menjadi bahan pertimbangan dalam kaitan dengan upaya
tetap mempertahankan eksistensi pelayaran rakyat sebagai salah satu
kekayaan budaya maritim di Indonesia. Terlebih lagi bahwa potensi
pelayaran rakyat sebagai warisan nenek moyang kita sejak zaman
dahulu, semakin penting artinya bagi pembangunan bangsa khususnya
pembangunan maritim (Baharudin Lopa, 1982). Disamping itu, sebagai
tradisi dan budaya, pembuatan kapal tradisional juga ikut serta dalam
pengembangan karakter dan kearifan lokal yang sangat lekat dengan
kehidupan masyarakat pelakunya, serta menjadi menjadi bagian dari
98
daya tarik lokal yang diminati wisatawan lokal maupun mancanegara.
Kearifan lokal adalah adat istiadat dan/atau tradisi sekelompok
masyarakat yang tidak bertentangan dengan hukum nasional (Permen
Kelautan dan Perikanan Nomor PER.17/MEN/2008). Oleh karena itu,
aturan-aturan lokal yang telah diberlakukan jauh sebelum masuknya
pengaruh teknologi menjadi bagian penting untuk dipertimbangkan dan
disinergikan dengan aturan-aturan baru yang muncul seiring dengan
maraknya perkembangan teknologi pelayaran. Bagaimanapun, kegiatan
pembuatan kapal tradisional tak dapat dipungkiri memberikan kontribusi
nyata dalam pengembangan ekonomi maritim.
99
Gambar 17. Kerangka Pikir Konseptual Penelitian
2. Hipotesis
Mencermati isu-isu permsalahan yang terjadi pada pelayaran
rakyat baik aspek teknis maupun non teknis, baik melalui telaahan teori
dan beberapa laporan studi, rumusan hipotesis terkait dengan rumusan
permasalahan di depan yakni:
a. Kelaiklautan kapal dalam perwujudan keselamatan pelayaran:
100
Sisi stabilitas:
H0: Kapal dinyatakan laik laut jika lengan stabilitas, cadangan daya
apung, tinggi metacentra (MG) lebih besar dari ketentuan IMO.
Ha: Kapal dinyatakan tidak laik laut jika lengan stabilitas, cadangan
daya apung, tinggi metacentra (MG) lebih kecil dari ketentuan
IMO.
Sisi kekuatan konstruksi:
H0: Kapal dinyatakan laik laut jika kekuatan kapal lebih besar dari
ketentuan Biro Klasifikasi (BKI) dan persyaratan material kayu.
Ha: Kapal dinyatakan tidak laik laut jika kekuatan kapal lebih kecil
dari ketentuan Biro Klasifikasi (BKI) dan persyaratan material
kayu.
b. Manajemen operasional dan sumberdaya manusia melalui analisis
faktor.
c. Strategi zero accident transportasi laut pelayaran rakyat dalam upaya
pencapaian tingkat keselamatan melalui analisis SWOT.
101
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian disertasi ini menggunakan pendekatan aspek teknis dan
non teknis. Pendekatan aspek teknis dilakukan melalui pengujian
stabilitas dan kekuatan konstruksi kapal untuk selanjutnya disesuaikan
dengan kriteria yang telah ditetapkan oleh Organisasi Maritim
Internasional (IMO) dan lembaga terkait lainnya seperti Badan Klasifikasi
(BKI) dan standar teknis kekuatan bahan/material bangunan kapal. Aspek
non teknis melalui alat analisis faktor dan SWOT. Metode analisis faktor
dugunakan dengan menerapkan metode multivariat untuk mereduksi data
menjadi sekelompok variabel yang memiliki kesamaan (Rosie Cornish,
2007) dan selanjutnya dipergunakan untuk memahami/mengevaluasi
faktor-faktor non teknis terkait dengan SDM yang berpengaruh terhadap
aspek pengelolaan sistem manajemen keselamatan kapal. Perumusan
strategi dalam upaya pencapaian tingkat keselamatan yang mendukung
kebijakan zero accident transportasi laut pelayaran rakyat. Penetapan
strategi didasarkan pada logika yang memaksimalkan kekuatan (strength)
dan peluang (oppoturnitties), namun secara bersamaan meminimalkan
kelemahan (weakeness) dan ancaman (threats) (Rangkuti, 1998).
102
Bahan dan alat yang digunakan adalah rumus empiris, kuesioner
yang terdiri dari 2 bagian, dan regulasi yang menyangkut SDM pelayaran
rakyat, dengan uraian sebagai berikut:
1. Formula atau rumus empiris dipergunakan untuk menilai aspek
teknis yang difokuskan pada kinerja stabilitas dan kekuatan kapal
sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari aspek teknologi kapal
pelayaran rakyat.
2. Kuesioner untuk penilaian aspek non teknis terkait dengan
keselamatan pelayaran, terdiri atas dua bagian yaitu:
a. Kuesioner tipe A merupakan kuesioner tertutup sebagai
bahan analisis faktor yang berisi penilaian terhadap
beberapa variabel dari unsur sumberdaya manusia yang
berpengaruh pada aspek keselamatan pelayaran rakyat.
b. Kuesioner tipe B adalah kuesioner SWOT sebagai
pengembangan dari kuesioner tipe A, berisi penilaian
responden dalam upaya mencapai rumusan strategi
peningkatan keselamatan pelayaran dalam mendukung
perwujudan zero accident transportasi laut pelayaran rakyat.
3. Aspek regulasi yang digunakan untuk mewujudkan performansi
SDM yang lebih baik lagi. Aspek teknologi menjadi lebih baik lagi
jika dilakukan pemenuhan terhadap regulasi baik yang telah ada
jauh sebelum teknologi moderen diciptakan maupun yang terus
mengalami penyempurnaan dalam meningkatkan keselamatan
103
pelayaran. Pengembangan teknologi saat ini perlu dibarengi
dengan pemenuhan terhadap regulasi demi menciptakan iklim
kondusif terhadap peningkatan keselamatan pelayaran.
Alat lain yang digunakan adalah camera digital dan HP yang
dilengkapi fasilitas camera untuk mendapatkan informasi dalam bentuk
gambar atau foto yang akurat.
B. Tahapan Kegiatan
Tahapan dalam kerangka berpikir dilakukan yakni (i) memulai
dengan penyebaran kuesioner ke wilayah survei secara langsung; (ii)
melakukan wawancara dengan responden untuk klarifikasi terhadap
jawabanyang diberikan; (iii) melakukan pengujian dengan metode analisis
faktor; (iv) melakukan analisis SWOT untuk menentukan strategi Metode
dan pembahasan penelitian ini merupakan sintesa teoritis dan empiris
untuk menemukan suatu kejelasan penyebab dan solusi terhadap aspek-
aspek yang mempengaruhi keselamatan transportasi armada pelayaran
rakyat. Proses penelitian / metodologi penelitian dilaksanakan dengan
tahapan sebagai berikut:
Tahap Pertama adalah tahap persiapan, meliputi: (a) observasi
fakta maupun beberapa data hasil penelitian yang relevan untuk
menemukenali permasalahan yang muncul pada aspek keselamatan
pelayaran rakyat ; (b) menentukan rumusan/batasan masalah, tujuan dan
104
manfaat penelitian; (c) menyusun sistematika penulisan dan rencana
penelitian.
Tahap kedua adalah kajian kepustakaan dan metodologi, meliputi:
(a) kajian hasil penelitian yang relevan; (b) identifikasi faktor dan variabel
beserta indikator dan parameternya dalam tiap sub-sistem penerapan
sandar keselamatan pelayaran; (c) menyusun kerangka berpikir/metodologi
penelitian yang akan digunakan untuk menyelesaikan permasalahan yang
ditemukan; dan (d) melaksanakan seminar awal untuk menyempurnakan
usulan penelitian.
Tahap Ketiga adalah survei lapangan untuk pengumpulan data
primer dan sekunder, yang dilakukan antara lain melalui (a) penjelasan
dan penyebaran kuesioner pada wilayah survei, (b) konsultasi/wawancara
dengan instansi maupun pakar dan pelaku usaha serta asosiasi terkait,
(c) pengumpulan atau pengiriman kuesioner.
Tahap empat merupakan tahap analisis dan evaluasi meliputi (a)
tabulasi, koreksi, perbaikan data yang telah dimasukkan kedalam
program Excel dan SPSS; (b) memproses dan menganalisis data hasil
data olahan; (d) menyusun program/strategi untuk perbaikan dan
penyempurnaan dalam rangka pengambilan kebijakan tentang
peningkatan keselamatan pelayaran rakyat.; (e) seminar hasil untuk
mendiskusikan perbaikan hasil finalisiasi penelitian.
105
C. Lokasi dan waktu Penelitian
1. Lokasi penelitian
Penelitian dilakukan di dua lokasi utama yakni Makassar dan
Jakarta dengan pertimbangan bahwa sesuai dengan karakteristik
penyebaran rute/trayek pelayaran rakyat, tampaknya untuk wilayah Timur,
pusat penyebaran berada di Makassar dan wiilayah barat berada di Jakarta
(gambar 18). Data yang terkumpul secara statistik belum memenuhi
sehingga pencarian data untuk mendukung kecukupan data primer
diperluas ke wilayah yang berdekatan dengan kedua lokasi tersebut
seperti Jambi, Semarang, Surabaya/Gresik, dan Kupang, sehingga
diperoleh masukan dalam kaitan dengan informasi tentang kondisi teknis
kapal dan aspek keselamatan pelayaran yang lebih sempurna.
Sumber : diolah dari data Ditjen Perhubungan Laut (2009)
Gambar 18. Peta persebaran trayek pelayaran rakyat
Lokasi Penelitian
106
2. Waktu penelitian
Pelaksanaan penelitian diawali sejak diterima sebagai mahasiswa
program S3 teknik sipil di Fakultas Teknik, Pasca Sarjana, Universitas
Hasanuddin dalam bentuk studi literatur dan penelusuran masalah.
Kemudian dilanjutkan dengan survei, pengumpulan data, pengiriman/
pengembalian kuesioner dan wawancara maupun konsultasi serta
analisis dan evaluasi dengan alokasi waktu selama kurang lebih 20 bulan.
D. Populasi dan Sampel Penelitian
Populasi peneltian untuk aspek teknis dan non teknis berbeda.
Populasi penelitian aspek teknis adalah fisik kapal dengan bertitik tolak
pada kapal-kapal yang domiman mengalami kecelakaan. Seperti tampak
gambar 7 pada halaman 59, kecelakaan kapal didominasi oleh kapal
dengan tonase dibawah 150 GT sebesar 72,4 %. Oleh karena itu,
penelitian ini difokuskan pada kapal dibawah 150 GT terutama pada
range ukuran 100-150 GT karena merupakan salah satu prosentase
terbesar (24,4%) disamping populasinya adalah yang terbesar (33,8%).
Selanjutnya, sampel penelitian untuk bahan analisis aspek teknis sudah
tidak lagi memungkinkan untuk dilakukan pengukuran langsung sehingga
hanya mengambil data-data teknis (spesifikasi) kapal-kapal yang
tenggelam. Demikian pula akan dikaitkan dengan pengaruh faktor cuaca
107
dan gelombang pada lokasi perairan tempat terjadinya kecelakaan kapal
pelayaran rakyat.
Sumber : Ditjen Hubla (diolah)
Gambar 19. Persentase Populasi Kapal Berdasarkan Ukurannya
Gambar 20. Persentase Kecelakaan Kapal Berdasarkan Ukurannya
Sampel penelitian diambil 3 kapal yang mewakili ukuran 100-150
GT dengan pertimbangan bahwa seluruh kapal memiliki bentuk dan
108
karakteristik yang sama dan bersifat homogeny, oleh karena itu
spesifikasi teknis kapal yang dipilih adalah:
Nama kapal Cahaya Indah Marannu Bunga Marannu
Jenis Kapal Pinisi Pinisi Pinisi
Isi Kotor M3 294 386 150
Panjang Kapal (LOA) M 29,75 31,70 32,40
Panjang Kapal (LOA) M 22,70 26,40 27,70
Lebar Kapal M 8,70 9,90 10,20
Tnggi Kapal M 3,80 4,20 4,65
Sarat Kapal M 3,20 3,80 4,10
Populasi penelitian aspek non teknis adalah responden yang
mewakili sumber daya manusia pelayaran rakyat. Penentuan responden
dilakukan secara random diambil dari instansi pemerintah seperti otoritas
keselamatan pelayaran (Adpel dan Syahbandar), Badan Litbang
Perhubungan, Perusahaan Pelayaran Rakyat dan beberapa praktisi yang
memahami tentang pelayaran rakyat. Kesemua responden ini memiliki
tugas dan fungsi yang diharapkan terkait dengan operasional di lapangan
serta berperan aktif dan sebagai pengambil kebijakan terkait dengan
keselamatan pelayaran. Besaran populasi bersifat infinitif, dengan
kelompok strata yang berbeda, heterogen antara satu dengan yang lain.
109
Metode atau tahapan pengambilan sampel dilakukan secara simple
random sampling seperti pada gambar berikut:
Gambar 21. Populasi dan Sampel Penelitian
Jumlah sample (n) yang digunakan dalam penelitian ini sebagai
responden untuk menjawab tujuan dua digunakan model statistik sebagai
berikut (Wibisono, 2003 dalam Indri Nurvia P, 2007) :
.................................................. (4)
dimana :
n = jumlah sampel
Populasi
Pemerintah (G) Operator (O)
Awak kapal (A)
Praktisi (P)
GGG, OOOO, AAAA, PPP
Pemerintah (G)
Adpel Syahbandar Balitbang
Operator (O)
Perusahan Pelayaran
Awak Kapal (A)
Nakhoda Awak kapal lainnya
Praktisi (P)
bidang pelayaran rakyat
Random Sampling
Strata Populasi
110
N = jumlah populasi
Z = tingkat kepecayaan
E = tingkat kesalahan
= Standar deviasi populasi
Dengan asumsi tingkat kepercayaan sebesar 99 % diperoleh nilai
pada table Z sama dengan 2,58 dan tingkat kesalahan 5 %; maka jumlah
sampel yang diperlukan adalah:
222
22
26,2458,2112875
26,2458,21287
n
n = 139,82 atau sama dengan 140 sampel.
206
27323847
58
75
100
140
0
50
100
150
200
250
4 5 6 7 8 9 10 11 12
Tingkat Kesalahan (%)
Jum
lah S
am
pel (
n)
Gambar 22. Pilihan Sampel berdasarkan tingkat kesalahan
111
Komposisi dari responden yang dijadikan sampel penelitian untuk
menjawab tujuan II adalah sebagai berikut:
Tabel 6. Penyebaran Responden untuk tujuan II
Lokasi Awak Kapal Pimpinan
Perusahan Aparat Praktisi Jumlah
Makassar 15 20 1 2 38
Jakarta 15 20 1 2 38
Kupang 20 1 21
Gresik 10 5 1 16
Jambi 9 1 10
Sampit 8 8
Semarang 9 1 10
Jumlah 86 45 6 4 141
Persentase 61% 32% 4% 3% 100%
Proporsi jumlah sampel yang diambil tersebut diatas dapat digambarkan
dengan komposisi:
112
Praktisi
3%
Aparat
4%Perusahan
32%
Aw ak Kapal
61%
Gambar 23. Proporsi Responden untuk analisis faktor
Untuk pencapaian tujuan III tidak digunakan seluruh responden
dengan pertimbangan bahwa hal ini terkait dengan respon manajemen
sehingga hanya difokuskan pada responden pimpinan perusahaan dan
instansi atau perorangan yang memahami penerapan sistem manajemen
keselamatan pelayaran. Penyebaran responden yang menjawab
kuesioner untuk mencapai tujuan III ini digambarkan sebagai berikut:
Tabel 7. Sampel untuk tujuan III
Responden
Penyebaran
Kuesioner
Pengembalian
Kuesioner
Persentase (%)
Praktisi 4 2 50
Aparat / regulator 6 2 33
Pimpinan Perusahaan 45 36 80
Nakhoda / Awak Kapal 5 0 0
Jumlah 60 40 67
113
Dengan pengembalian sebanyak 40 kuesioner, maka untuk
pengolahan data selanjutnya masih memungkinkan dengan tingkat
kesalahan sebesar 9,8% dan masih dalam batas toleransi dibawah 10%
seperti tampak pada gambar dibawah ini.
32
3847
58
75
100
0
20
40
60
80
100
120
6 7 8 9 10 11
Tingkat Kesalahan (%)
Gambar 24. Uji Signifikansi penyebaran kuesioner
E. Jenis Penelitian dan Teknik Pengumpulan Data
1. Jenis penelitian
Jenis penelitian ini terbagi kedalam 2 kegiatan utama, yakni
penelitian dengan melihat aspek teknis untuk menjawab tujuan pertama
dan aspek non teknis untuk menjawab tujuan ke dua dan merumuskan
strategi peningkatan keselamatan pelayaran rakyat dalam rangka
menjawab tujuan ke tiga. Penelitian pertama adalah aspek teknis
keselamatan kapal yang difokuskan pada kapal pinisi dengan ukuran 100
sampai 150 GT. Aspek teknis dimaksud adalah tinjauan stabilitas dan
Jum
lah
Sam
pel
Koordinat signifikansi
40, 9.8%
114
konstruksi kapal. Stabilitas kapal dianalisis melalui perbandingan hasil
perhitungan dalam beberapa kondisi pemuatan dan pelayaran tertentu
dengan peryaratan/ketentuan standar yang telah dikeluarkan oleh
masyarakat maritim internasional. Konstruksi akan dititikberatkan pada
analisis kekuatan kapal akibat pengaruh operasional kapal di laut dan
sistem pemuatan. Pada aktivitas operasional di laut, kapal mengalami
tekanan gelobang dalam kondisi hoging dan saging, demikian halnya
pada saat pemuatan, sehingga akan mempengaruhi ketahanan bahan
yang digunakan. Terlebih lagi bahwa kondisi nyata di lapangan banyak
kejanggalan seperti tidak adanya sekat yang kedap di ruang muat, sistem
pemuatan tidak efektif.
Data-data teknis yang dikumpulkan adalah dokumen ukuran kapal
yang mengalami kecelakaan untuk kemudian menjadi input dalam
penerapan formula guna menemukan rumusan kebijakan yang terkait
dengan upaya-upaya bantuan teknis dan penetapan NSPK bagi
masyarakat pelayaran rakyat. Oleh karena data teknis kapal yang
mengalami kecelakaan sudah tidak lagi memungkinkan untuk diambil,
maka pendekatan yang dilakukan adalah dengan melakukan pengukuran
terhadap kapal-kapal sejenis yang diharapkan memiliki kemiripan dalam
bentuk dan ukurannya. Data yang diambil dan diukur untuk analisis aspek
teknis meliputi gambar-gambar rencana garis (lines plan), konstruksi
penampang melintang tengah kapal (midship section), rencana umum
(general arrangement).
115
Penelitian kedua adalah aspek non teknis dilakukan pada
penerapan manajemen operasional keselamatan bagi armada pelayaran
rakyat baik untuk personil di darat maupun di laut. Analisis dimaksud
dilakukan dengan menggunakan alat analisis faktor yang dapat
memberikan gambaran terhadap tujuan ke dua penelitian ini. Analisis
kemudian dilanjutkan sebagai upaya menemukan rumusan strategi
peningkatan keselamatan pelayaran rakyat dalam mendukung
perwujudan kebijakan zero accident, untuk mencapai tujuan ke tiga.
2. Teknik pengumpulan data
Dalam penelitian ini, digunakan teknik pengumpulan data sekunder
maupun primer yang diperoleh dari instansi terkait, melalui data
kepustakaan dan wawancara serta penyebaran kuesioner dengan uraian
sebagai berikut:
(i) Data sekunder yang dikumpulkan meliputi data kecelakaan
kapal, jumlah kapal, perusahaan pelayaran, data muatan,
kondisi cuaca, rute pelayaran rakyat, serta dokumen teknis
ukuran dan gambar kapal.
(ii) Data untuk analisis untuk mencapai tujuan I. Data tersebut
merupakan salah satu data sekunder, berupa dokumen rencana
garis (lines plan). Selanjuntnya disempurnakan untuk kemudian
sebagai dasar dalam membuatkan gambar general arrangement
116
dan midship section. Gambar-gambar tersebut dipakai sebagai
data dukung dalam mengevaluasi stabiltias dan kekuatan
kapal.. Selain itu, dilakukan pengambilan beberapa gambar/foto
dari kapal dengan ukuran yang serupa dengan kapal yang
dijadikan sampel penelitian.
(iii) Data untuk analisis untuk mencapai tujuan II. Tujuan II
difokuskan pada analisis faktor-faktor non teknis penyebab
kecelakaan yang ditimbulkan oleh sumber daya manusia. Untuk
mencapai tujuan ini digunakan metode analisis faktor mencakup
beberapa variabel terkait dengan sumber daya manusia bidang
pelayaran rakyat yang dihimpun kedalam beberapa kelompok
yakni awak kapal, komitmen perusahaan, kinerja kelaiklautan,
audit keselamatan, masyarakat, dan pengguna jasa lainnya
meskipun pada hasil akhir analisis terbentuk beberapa
kelompok faktor yang baru. Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan menyebarkan kuesioner yang bersifat tertutup dan
melakukan wawancara baik secara langsung oleh penulis
sendiri maupun melalui bantuan beberapa rekan dengan target
sampling yang telah ditetapkan. Pengisian kuesioner disertai
dengan pendampingan atau wawancara untuk memberikan
pemahaman tentang variabel-variabel pertanyaan. Kuesioner
yang telah diisi kemudian dikumpulkan melalui kantor
117
Administratur Pelabuhan dan syahbandar atau melalui asosiasi
pelayaran rakyat (DPP atau DPC).
(iv) Data untuk analisis tujuan III. Langka ini adalah pengembangan
lebih lanjut dari tujuan I dan II. Untuk mencapai tujuan ini,
digunakan pendekatan metode analisis berdasarkan kekuatan,
kelemahan, peluang dan ancaman (KEKEPAN atau SWOT).
Analisis SWOT digunakan dalam menentukan kebijakan strategi
penerapan sistem keselamatan pelayaran kyat dalam upaya
mendukung kebijakan pemerintah dalam menerapkan konsep
tentang roadmap to zero accident. Sampling yang digunakan
adalah responden pada analisis tujuan II, namun tidak
seluruhnya oleh karena hal ini merupakan respon manajemen
sehingga pimpinan perusahaan dan insntansi terkait maupun
praktisi yang memahami tentang pelayaran rakyat dan regulasi
bidang keselamatan pelayaran.
F. Metode Analisis Data
1. Metode analisis stabilitas kapal
a. Kriteria Stabilitas
Di wilayah perairan Indonesia, telah terjadi banyak kejadian
kecelakaan laut. Kejadian tersebut seakan memberikan indikasi bahwa
transportasi laut rawan terhadap kecelakaan baik yang disebabkan oleh
118
faktor manusia (human error) maupun kesalahan teknis alat transportasi
tersebut. Oleh karena itu, IMO selalu mengingatkan pentingnya
peningkatan keselamatan dengan mengimplementasikan aturan-aturan
sistem keselamatan dan bagi kapal domestik aturan tersebut dapat
ditentukan sesuai dengan kondisi wilayah negara yang bersangkutan.
Dalam kaitan dengan ini, analisis stabilitas pada beberapa kondisi
pemuatan saat di pelabuhan maupun ketika berlayar. Stabilitas kapal
pada prinsipnya terbagi kedalam 3 jenis yaitu (a) kondisi stabil (seimbang)
yang diperoleh jika kapal mengalami kemiringan maka kapal tetap
mampu kembali pada posisi awal, (b) stabilitas labil jika kapal mengalami
kemiringan maka kemiringan tersebut akan cenderung semakin
bertambah besar, (c) stabilitas indifferent adalah kondisi kemiringan kapal
yang tetap pada kondisi tersebut bagaimanapun perubahan yang terjadi.
Pada analisis kelaikan stabilitas suatu kapal terdapat 3 titik, hal yang
berperan penting yaitu titik berat kapal G (center of gravity), titik apung B
(center of buoyancy) atau titik tekan keatas akibat reaksi dari tekanan air
terhadap badan kapal yang masuk kedalam air, dan titik M (metacentra)
yang adalah titik potong antara vektor gaya tekan air dan gaya berat
kapal dan membentuk sudut oleng yang kecil.
Untuk mempertahankan kelayakan stabilitas kapal, maka IMO
mengeluarkan standar/kriteria stabilitas yang menjadi acuan bagi seluruh
jenis kapal antara lain:
119
a. Luas lengkung stabilitas tidak boleh kurang dari 0,055 meter-
radian sampai pada sudut kemiringan (heeling angle) 30.
b. Luas lengkung stabilitas tidak boleh kurang dari 0,090 meter-
radian untuk kemiringan (θf) = 40 atau sudut dimana bukaan
yang tidak kedap air mulai menyentuh air jika sudut ini (floodable
angle/ θf) kurang dari 40.
c. Luas lengkung stabilitas tidak boleh kurang dari 0,030 meter-
radian untuk kemiringan antara 30° dan θf.
d. Nilai lengan stabilitas (GZ) tidak boleh kurang dari 0,20 m pada
sudut kemiringan ≥ 30.
e. Lengan stabilitas (GZmax) harus lebih dari 30 dan tidak boleh
kurang dari 25.
f. Jarak MG tidak boleh kurang dari 0,15 m.
Kriteria tersebut diatas, dalam evaluasi stabilias kapal perlu
mempertimbangkan kondisi terjelek yang kemungkinan dapat dialami oleh
kapal selama berlayar. Oleh karena itu momen yang ditimbulkan oleh
kondisi tersebut dan merusak stabilitas kapal dihitung berdasarkan
beberapa asumsi yang disajikan dalam hasil monitoring terhadap
prototipe KLM 360 GT oleh Universitas Hasanuddin dan dijadikan acuan
antara lain:
a. Layar dianggap datar dan berada pada bidang simetri meskipun
saat ini layar sudah sangat jarang dimanfaatkan.
120
b. Arah angin mendatar dan tegak lurus lambung kapal.
c. Titik tangkap angin berada pada titik berat luasan layar.
d. Momen angin ditimbulkan oleh gaya angin dengan titik tangkap
layar dari sumbu lateral yang mengakibatkan kapal mengalami
kemiringan.
e. Kondisi perairan diasumsikan pada Skala Beaufort 4-6 sesuai
dengan tipikal perairan dimana dominan terjadi kecelakaan kapal
pelayaran rakyat.
b. Pengaruh eksternal
Momen pengganggu stabilitas statis kapal kemudian dihitung
dalam beberapa alternatif kondisi pemuatan. Kondisi pemuatan dimaksud
adalah ketika kapal memuat penuh (full loaded), memuat 50 %, dan kapal
dalam keadaan kosong baik ketika berangkat maupun tiba di pelabuhan
tujuan dengan uraian sebagai berikut:
a. Kondisi I adalah saat kapal berangkat dari pelabuhan asal
dengan muatan, bahan bakar dan perbekalan penuh (100%).
b. Kondisi II adalah saat kapal tiba di pelabuhan tujuan dengan
muatan penuh, namun bahan bakar dan perbekalan tersisa 10%.
c. Kondisi III adalah saat kapal berangkat dari pelabuhan asal
dengan kondisi muatan 50%, bahan bakar dan perbekalan 100%.
121
d. Kondisi IV saat kapal tiba di pelabuhan tujuan dengan kondisi
muatan 50 %, bahan bakar dan perbekalan tersisa 10%.
e. Kondisi V adalah saat kapal berangkat dari pelabuhan asal,
kondisi muatan kosong (0%), bahan bakar dan perbekalan 100%.
f. Kondisi VI adalah saat kapal tiba di pelabuhan tujuan dengan
kondisi muatan 0%, bahan bakar dan perbekalan 10%.
Hal lain yang ditinjau dalam analisis stabilitas ini adalah (a) berapa
besarnya MG atau jarak antara titik M dan titik G, (b) bagaimana bentuk
diagram lengan stabilitas GZ atau h (righting arm), (c) bagaimana
pengaruh momen eksternal (gelombang dan angin) terhadap momen
stabilitas kapal, (d) berapa besar sudut tenggelam (Qgeladak). Pengaruh
eksternal dapat diketahui dengan menghitung secara empiris lengan
momen angin pada beberapa variasi sudut kemiringan (oleng) kapal
(JInca, 2002) yakni:
.................................................. (5)
dimana :
= tekanan angin rata-rata dalam ton/m2.
h = ordinat lengkung dengan sudut Q
A = luas layar dan bagian kapal diatas permukaan air dalam m2.
y = jarak vertical titik berat kapal terhadap sumbu lateral dalam m
Q = variasi kemiringan kapal dalam derajat.
ntDisplaceme
QCosyAh
)(2
122
Van Lammeren dalam Jinca (2002) memberikan besarnya nilai
tekanan dan kecepatan angin berdasarkan skala Beaufort yaitu:
Tabel 8. Tekanan dan Kecepatan Angin
Skala Beaufort Tekanan Angin (kg/m2) Kecepatan Angin (m/s)
4 4,0 7,2
5 7,0 9,5
6 11,0 12,0
7 16,0 14,8
8 24,0 17,5
9 34,0 21,2
2. Metode analisis kekutan kapal
a. Distribusi beban
Kekuatan longitudinal adalah perhitungan kekuatan lambung kapal,
dalam perhitungan ini lambung kapal dipandang sebagai balok dengan
momen inersia penampang tidak konstan. Momen inersia penampang
terbesar terdapat pada tengah kapal (umumnya 0,4 L ditengah kapal).
Selanjutnya momen inersia penampang akan mengecil kearah jung ujung
kapal.
Beban yang bekerja pada lambung kapal yang dipandang sebagai
balok dalam perhitungan kekuatan longitudinal adalah beban terdistribusi.
Jadi, tidak diperhitungkan adanya beban titik atau beban terpusat pada
balok. Beban tersebut pada prinsipnya terjadi karena distribusi berat
123
kapal (DWT dan LWT) dan distribusi tekanan (displacement) tidak
simetris. Pada tempat yang beratnya tinggi bisa terjadi tekanan gaya
apungnya rendah, tetapi jumlah integratif seluruh berat sama besar
dengan jumlah integratif seluruh tekanan apung.
Akibat beban tersebut akan terjadi momen dan gaya lintang.
Berikutnya momen akan menimbulkan tegangan lentur () dan gaya
lintang akan menimbulkan tegangan geser (). Balok pada geladak atau
kulit alas kapal akan mendapat tegangan maksimum dan bila tegangan
tersebut mencapai batas tegangan proporsional atau teganan luluh
bahan, maka balok kayu mengalami kerusakan permanen dan pada
gilirannya dapat menyebabakan kapal mengalami kegagalan struktur
(patah).
Secara umum penumpu utama kekuatan sistem konstruksi kapal
kayu ada pada lunas utama dan lunas alas dalam untuk penumpu
kekuatan memanjang, sedangkan gading besar tersambung langsung ke
bagian lunas kapal dan balok geladak merupakan penumpu kekuatan
melintang. Lambung kapal kayu sebagai bagian dari penumpu kekuatan
kapal, terdiri dari bilah-bilah kayu yang disusun mengikuti lengkungan
kapal yang dibentuk oleh gading-gading. Bilah kayu tersebut dipaku pada
gading-gading kapal yang dilaluinya.
Untuk menghitung kekuatan (aman dari kemungkinan terjadinya
tegangan yang menyebabkan kapal patah), maka dicari kondisi kritis yang
124
mungkin terjadi (hipotetis). Kondisi tersebut adalah ketika puncak
gelombang tepat di tengah kapal (arah rambat gelombang diasumsikan
searah dengan centerline kapal) atau posisi lembah gelombang tepat
ditengah kapal, sedangkan panjang gelombang kurang lebih sama
dengan panjang kapal. Jadi kondisi kritis itu terjadi jika puncak gelombang
ditengah kapal, ujung-ujung kapal berada pada lembah gelombang atau
sebaliknya. Kondisi saat puncak gelombang ditengah kapal, dinamakan
hogging (kapal akan dilengkungkan kebawah pada ujung-ujungnya),
sedangkan jika tengah kapal di lembah gelombang (sagging).
Dalam kedua kondisi tersebut dihitung distribusi tekanan dan berat,
selisihnya akan menjadi beban yang menimbulkan momen dan gaya
lintang pada badan kapal. momen dan gaya lintang tersebut yang akan
menimbulkan tegangan atau lendutan yang besarannya bisa melampaui
batas aman. Bentu profil gelombang yang sesuai untuk dipakai dalam
perhitungan kekuatan kapal adalah gelombang trochoida, sesuai dengan
hasil percobaan, gelombang sinusoidal tidak merefleksikan keadaan
tegangan yang terjadi. Tampaknya gelombang trochoida mewakili kondisi
tekanan di permukaan dan profil gelombang yang aktual (R.J. Wiegel
et.al; Adrian Biran, 2003).
b. Analisis tegangan
125
Tegangan yang timbul akibat gaya berat kapal itu sendiri maupun
gaya tekan air yang bekerja pada kapal mengakibatkan terjadinya bending
moment yang besarannya bergantung pada penyebaran beban pada
kapal dan pengaruh gelombang pada saat kondisi hogging atau sagging.
Bentuk gelombang yang dipakai adalah Gelombang trochoidal dengan
asumsi bahwa panjang gelombang sama dengan panjang kapal, dan
kecepatan maupun arah kapal sama dengan kecepatan dan arah
gelombang, dengan persamaan gelombang adalah:
...................................................... (6)
...................................................... (7)
Untuk memudahkan penggambaran gelombang, digunakan rumus
tinggi gelombang desain sepanjang kapal pada jarak frame dibagi 20
(L/20) atau dibagi 10 (L/10) untuk panjang kapal kurang dari 80 meter
(B.P. Phelps, 1997). Ordinat gelombang (Y) adalah Y = H.C. dimana nilai
C diperoleh pada tabel dibawah ini:
Tabel 9. Patokan perhitungan tinggi gelombang
AP L/20 2L/20 3L/20 4L/20 5L/20 6L/20 7L/20 8L/20 9L/20
Puncak
gelombang
(hogging)
0 0,019 0,075 0,168 0,293 0,438 0,594 0,748 0,879 0,968 1
Lembah 1 0,996 0,871 0,735 0,578 0,442 0,280 0,160 0,072 0,018 0
)cos1(2
sin22
HY
HLX
126
gelombang
(sagging)
Pada jarak frame tersebut, tinggi gelombang (H) dapat ditentukan
menggunakan spektrum gelombang berdasarkan metode Pierson-
Moskowitz, yang mengacu pada kecepatan angin (V) dan frekuensi
gelombang () sebagai salah satu parameternya.
Tegangan yang diijinkan terjadi apabila penampang memanjang
struktur kapal dianggap mampu menahan momen lengkung yang terjadi
jika tegangan alas dan tegangan geladak lebih kecil dari tegangan
material yang digunakan yakni 100-150 kg/cm2, sedangkan tegangan
maksimum yang diijinkan oleh BKI adalah:
K
LC poposp 5,18 ....................................... (8)
3. Metode analisis data non teknis
a. Pengelompokan variabel analisis faktor
Penentuan jumlah faktor dan pengelompokan beberapa variabel
dalam analisis ini diawali dengan mengukur kecukupan data dan validitas
127
data. Proses selanjutnya adalah proses factoring yang merupakan proses
inti yakni dengan melakukan ekstraksi terhadap sejumlah variabel
sehingga terbentuk kedalam beberapa faktor. Proses ekstraksi dilakukan
dengan metode Principal Component Analysis (PCA) dengan tingkat
Eigen value = 1. Dengan demikian berarti bahwa variabel yang memiliki
nilai kurang dari 1 akan dikeluarkan.
Pada dasarnya analisis faktor bertujuan untuk melakukan
ringkasan data (data summarization) yakni identifikasi adanya hubungan
antar variabel dengan melakukan uji korelasi dan dilanjutkan dengan
meringkas beberapa variabel dalam satu faktor sepanjang hal tersebut
memungkinkan; dan melakukan pengurangan jumlah variabel (data
reduction) dengan menggunakan faktor yang dihasilkan dari sejumlah
variabel. Variabel-variabel yang difaktorkan umumnya disyaratkan
sebagai variabel kuantitatif berskala interval atau rasio (Hair et. al., 2006;
Santoso, 2003; Supranto, 2004).
Analisis faktor bertujuan untuk menyederhanakan hubungan yang
beragam dan komplek dari variabel yang diamati dengan menyatukan
faktor atau dimensi yang saling berhubungan atau memiliki korelasi pada
suatu struktur data yang baru yang mempunyai set faktor lebih kecil.
Variabel-variabel yang memiliki karakteristik yang hampir sama akan
membentuk suatu faktor kesamaan, sedangkan sisa bagian dari variabel
yang dipengaruhi oleh faktor khusus, akan membentuk suatu faktor unik
128
(Dillon and Goldstein, 1984). Pada analisis faktor ada asumsi bahwa
keunikan dari variabel tidak memberikan kontribusi kepada hubungan
antar variabel. Salah satu tujuan analisis faktor untuk menggambarkan
variabel Xi yang berkaitan dengan beberapa faktor yang mendasarinya,
atau ingin menjelaskan struktur ragam-peragam melalui kombinasi linear
dari variabel-variabel pembentuknya.
Model analisis faktor dapat ditulis secara matematis. Jika terdapat
p variabel X1, X2,…, Xp diukur pada sejumlah n sampel, maka variabel i
dapat ditulis sebagai kombinasi linear dari m faktor yakni F1, F2,…., Fm
dimana biasanya diasumsikan bahwa m < p dan jumlah unique factor
akan sama dengan jumlah indicator. (Manly, B.F.J. 2005; Rencher, A.C.
2002, dalam Rosie Cornish, 2007). Bagian dari varian variabel ke-i dari m
common factor disebut kesamaan (commonality) ke-i yang merupakan
jumlah kuadrat dari loading variable ke-i pada m common factor (Johnson
& Wichern, 2002). Setiap variabel saling berkorelasi, maka dapat
dianggap variabel-variabel tersebut mempunyai faktor kesamaan yang
mendasari hubungan antar variabel-variabel tersebut, serta faktor unik.
Jika m faktor tidak saling berkorelasi maka faktor model dikatakan
sebagai orthogonal model, dan jika saling berkorelasi maka faktor model
dikatakan sebagai oblique model (Subhash Sharma, 1996) Jika variabel
ditulis dalam bentuk yang standar, model faktor dapat direpresentasikan
129
sebagai formulasi matematis yang dapat dijelaskan sebagai berikut
(Rosie Cornish, 2007) :
.......................................... (9)
.......................................... (10)
.......................................... (11)
Persamaan di atas dapat ditulis secara ringkas dalam notasi
matriks sebagai berikut:
Xi = ai1F1 + ai2F2 + . . . + aimFm + ei ............................ (12)
dimana:
i = indeks untuk variabel i
Xi = nilai variabel i
Fm = factor of loading (or scores) untuk variabel i
ei = bagian dari variabel Xi yang tidak dapat dijelaskan oleh
faktor-faktor.
Rosie Cornish (2007) menjelaskan bahwa ada tiga langkah dalam
melakukan analisis faktor yaitu:
(i) Menghitung initial factor loading:
Hal ini dapat dilakukan dengan bermacam-macam cara/
metode, namun yang banyak dilakukan adalah:
332321313
222221212
112121111
....
....
....
jj
j
jj
FaFaFaX
FfaFaFaX
FaFaFaX
130
- Metode komponen utama (Principal Component Analysis/
PCA). Metode analisis ini digunakan untuk menganalisis
komponen utama, akan tetapi faktor yang diperoleh tidak
secara aktual merupakan principal component (meskipun
untuk faktor ke-n secara proporsional merupakan koefisien dari
komponen utama k tersebut). Sasaran dari PCA adalah
mereduksi jumlah variabel menjadi beberapa komponen
sampai pada tahap dimana tiap-tiap komponen membentuk
variabel baru.
- Metode principal axis factoring atau principal component factor
(PCF). Dalam PCF diasumsikan bahwa estimasi awal dari
communality untuk seluruh variabel sama dengan satu. Dalam
metode ini diasumsikan bahwa nilai estimasi dari
communalities = 1, tidak terdapat faktor unik, dan jumlah
komponen = jumlah faktor. Sasaran dari principal factor
analysis adalah untuk mengidentifikasi faktor-faktor pokok
(underlying factor) atau latent construct yang dapat
menerangkan inter korelasi diantara variabel-variabel.
- Kedua metode tersebut cenderung menghasilkan nilai yang
sama jika variabel-variabelnya memiliki korealsi yang tinggi
dan/atau jumlah variabel asli besar. Metode manapun yang
digunakan, faktor yang dihasilkan dalam hal ini tidak memilik
korelasi.
131
(ii) Menghitung rotasi faktor (factor rotation):
Jika initial factor loading telah dihitung, kemudian dilakukan
rotasi faktor. Hal ini dimaksudkan untuk menemukan faktor-faktor
yang mudah diterjemahkan/ dianalisis lebih lanjut. Jika terjadi kluster
atau group variabel (subgroup variabel yang memiliki inter relasi
yang sangat kuat), maka dilakukan rotasi untuk membuat variabel-
variabel dengan skor sub-group yang kuat (positif atau negatif)
sedapat mungkin berkumpul dalam satu faktor utama dan memiliki
nilai loading factor yang tinggi.
Dalam rotasi faktor terdapat dua metode yakni rotasi
orthogonal dan rotasi oblique. Dalam rotasi orthogonal, faktor yang
terotasi adalah tidak memiliki korelasi sedangkan dalam rotasi
oblique dihasilkan faktor yang memiliki korelasi. Yang umumnya
digunakan adalah rotasi orthogonal dan banyak buku
merekomendasikan hal ini, yang dalam program SPSS dikenal
dengan varimax rotation.
(iii) Menghitung skor faktor (factor scores):
Dalam menghitung final factor scores (nilai dari m faktor F1,
F2, . . . , Fm, untuk setiap pengamatan), maka harus di ambil
keputusan tentang banyaknya faktor yang akan dianalisis lebih
lanjut dengan cara :
132
- Memilih faktor m yang memiliki nilai eigen value lebih besar
dari 1 (jika mengunakan matriks korelasi). Metode ini yang
lebih sering digunakan.
- Menggunakan scree plot dari eigen value. Hal ini
mengindikasikan apakah terdapat pemisahan antara nilai
eigen value yang besar dan kecil.
- Memilih faktor m sedemikian sehingga merupakan persentase
dominan (± 75 %) dari total variabel asal.
Metode analisis faktor telah diimplementasikan dalam berbagai
program statistik komputer seperti Statistical Package for the Social
Sciences (SPSS), Statistica dan SAS. Pada penelitian ini analisis faktor
dilakukan dengan bantuan SPSS versi 18 di bawah sistem operasi
Microsoft Windows. Paket program ini dipilih karena memiliki langkah-
langkah pengujian matriks korelasi antar variabel yang dapat dimonitor
sebelum analisis faktor dilakukan atas sekumpulan variabel tersebut.
Pengujian awal atas korelasi antar variabel ini diperlukan untuk memeriksa
tingkat kepatutannya. Pemeriksaan awal diimplementasikan melalui tiga
pengujian, yaitu Kaiser-Meyer-Olkin’s (KMO), Bartlett test of sphericity,
Measure of Sampling Adequacy (MSA), dan matriks anti-image. Uji KMO
berfungsi mengukur besarnya koefisien korelasi parsial antar variabel. Jika
KMO kurang dari 0,5 dan hipotesis bahwa matriks korelasi variabel
merupakan sebuah matriks identitas tidak dapat ditolak (tingkat
133
signifikansi lebih dari 0,05), maka pembuatan model faktor dari
sekumpulan variabel tersebut dinilai tidak layak untuk dilanjutkan.
Uji KMO (Kaiser Meyer Oikin) bertujuan untuk mengetahui apakah
semua data yang telah terambil telah cukup untuk difaktorkan. Hipotesis
dari KMO adalah sebagai berikut :
Ho : Jumlah data cukup untuk difaktorkan
H1 : Jumlah data tidak cukup untuk difaktorkan
Rumus KMO adalah:
KMO = .......................................... (13)
dimana :
i = 1, 2, 3, ..., p dan j = 1, 2, ..., p
rij = Koefisien korelasi antara variabel i dan j
aij = Koefisien korelasi parsial antara variabel i dan j
Jika jumlah kuadrat dari koefisien korelasi parsial antara semua
variabel adalah kecil jikaa dibandingkan dengan jumlah kuadrat koefisien
korelasi, nilai KMO mendekati nilai 1. Nilai KMO kecil menunjukkan
analisis faktor dari variabel-variabel tersebut tidak layak, meskipun
korelasi antara sepasang variabel tidak dapat dijelaskan oleh variabel
lain. Apabila nilai KMO lebih besar dari 0,5 maka terima Ho maka dapat
p
i
p
i
p
j
ij
p
j
ij
p
i
p
j
ij
ar
r
1 1 1
2
1
2
1 1
2
134
disimpulkan jumlah data telah cukup untuk difaktorkan. Namun demikian,
parameter Kaiser-Meyer-Olkin (KMO), dapat ditunjukkan dengan nilai
(http://www.schwarzpartners.ch/Applied_Data_Analysis/Lect_2003_EN.pdf):
0.90 - 1.00 sangat baik
0.80 - 0.89 baik
0.70 - 0.79 sedang
0.60 - 0.69 cukup
0.50 - 0.59 kurang
0.00 - 0.49 ditolak
Nilai Bartlett’s Test of Sphericity dan nilai signifikasi yang sangat
kecil, mempunyai arti bahwa matriks korelasi antara variabel-variabel
manifes bukan merupakan matriks identitas. Matriks identitas merupakan
matriks korelasi yang betrarti tidak dapat dihitung atau diproses dalam
analisis faktor. Untuk mengetahui variabel-variabel yang layak untuk
diproses dalam analisis faktor, dapat dilihat pada tabel hasil perhitungan
SPSS dalam bentuk tabel Anti-Image Matrices. Pada Anti-Image
Correlation terdapat angka yang diberi tanda “a” yang membentuk garis
diagonal. Angka-angka yang membentuk diagonal tersebut dijelaskan
sebagai nilai Measure of Sampling Adequacy (MSA). Variabel-variabel
yang layak untuk dianalisis lebih lanjut adalah jika nilai MSA yang
diperoleh lebih besar dari 0,5, dan jika lebih kecil maka variabel tersebut
harus dikeluarkan untuk kemudian dilakukan perhitungan kembali sampai
diperoleh nilai MSA yang lebih besar dari 0,5.
135
Uji Bartlett (kebebasan antar variabel) bertujuan untuk mengetahui
apakah terdapat hubungan antar variabel dalam kasus multivariat. Jika
variabel X1, X2, ……, Xp independen (bersifat saling bebas), maka
matriks korelasi antar variabel sama dengan matriks identitas. Bartlett’s
test memiliki keakuratan (signifikansi) yang tinggi (p < 0,00000), memberi
implikasi bahwa matrik korelasi cocok untuk analisis faktor. Untuk menguji
kebebasan antar variabel, uji Bartlett menyatakan hipotesis sebagai
berikut:
H0 : ρ = I (matriks identitas/matriks korelasi)
H1 : ρ ≠ I
Statistik Uji :
...................................................... (14)
...................................................... (15)
...................................................... (16)
dimana :
k = 1, 2,...,p
kr = rata-rata elemen diagonal pada kolom atau baris ke k
dari matrik R (matrik korelasi)
r = rata-rata keseluruhan dari elemen diagonal
p
i
ikk rp
r11
1
ki
ikrpp
r)1(
2
2
22
)1)(2(
)1(1)1(ˆ
rpp
rp
136
Daerah penolakan :
tolak H0 jika :
....... (15)
Maka variabel-variabel saling berkorelasi hal ini berarti terdapat
hubungan antar variabel. Jika H0 ditolak maka analisis multivariat layak
untuk digunakan terutama metode analisis komponen utama dan analisis
faktor. Penolakan terhadap Ho dilakukan dengan dua cara yaitu:
- Nilai Bartlett`s test > tabel chi-square; dan
- nilai signifikansi < taraf signifikansi 5%.
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri atas data
sekunder dan data primer. Data sekunder sebagai data dukung yang
akan dikumpulkan antara lain : midship section, profil plan, sistem
pemasangan sekat yang menjadi titik lemah konstruksi kapal, jenis-jenis
material yang digunakan pada konstruksi kapal, kondisi cuaca, kecepatan
angin dan arus pada lokasi perairan yang dominan terjadi kecelakaan,
sistem pemuatan, peraturan / aspek legalitas persyaratan konstruksi dan
stabiltias kapal pelayaran rakyat.
Data primer tentang persepsi dan tanggapan masyarakat terhadap
pembinaan pelayaran dalam mendorong upaya peningkatan keselamatan
;2/)2()1(2
1
22
2)(ˆ)(
)1(
)1(
pp
p
k
k
ki
ik rrrrr
nT
137
pelayaran dilakukan melalui wawancara kepada operator kapal, awak
kapal, praktisi, dan lembaga terkait lainnya yang diharapkan memahami
permasalahan pelayaran rakyat.
Rangkuman dari data-data untuk analisis lebih lanjut diuraikan
dalam matriks dan bagan alir (flow chart) di bawah ini, untuk mencari
keterhubungan antar faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja
keselamatan pelayaran rakyat.
Gambar 25. Bagan Alir pelaporan dan pengawasan sistem
internal manajemen keselamatan pelayaran
Tabel 10. Matriks Analisis Faktor:
No Faktor Pengaruh Simbol Pustaka/
Teori/ Referensi
Instrumen
Faktor/ Ukuran
Metode
Analisis
1 Awak dan petugas di atas
kapal.
X1 Nurwahida
(2003), hal. 92-
119, Bahan Dikat
ISM Code (BKI)
Kompetensi
SDM (darat dan
laut, owner, dan
syahbandar)
Penelusuran
data dan
wawancara/
kuesioner
- Memahami tugas dan
tanggung jawab atas
keselamatan kapal.
X1.1
Manajemen Darat (Kantor) Manajemen Kapal (Nakoda,Perwira, ABK)
Pengawasan/Audit Keselamatan (Syahbandar)
Kondisi Teknis/ Kelaiklautan Armada
Kecelakaan Kapal
138
No Faktor Pengaruh Simbol Pustaka/
Teori/ Referensi
Instrumen
Faktor/ Ukuran
Metode
Analisis
- Pemahaman terhadap
syarat2 keselamatan
X1.2
- Implementasi standar
keselamatan kapal/
X1.3
- Perawatan kapal secara
rutin sesuai ketentuan.
X1.4
- Uraian tugas bagi setiap
perwira/awak kapal
dalam penerapan sistem
keselamatan.
X.1.5
- pengawasan secara
berkala dan kepatuhan
pada pesyaratan
keselamatan kapal.
X1.6
2 Komitmen Perusahaan X2 Studi JICA
(Stramindo),
Chapter 2 - ISM
Code.
Komitmen
pembentukan
struktur
organisasi.
Wawancara/
diskusi/
kuesioner - Memahami dan menaatai
peraturan keselamatan
yang telah ditetapkan.
X2.1
- Menetapkan kebijakan
dan prosedur
keselamatan kapal.
X.2.2
- Pendidikan dan pelatihan
manajemen keselamatan
pelayaran bagi awak
kapal.
X.2.3
- Pertemuan rutin dalam
rangka solving problem
manajemen keselamatan.
X.2.4
- Penetapan sistem dan
prosedur keselamatan.
X.2.5
- Penunjukan personil yang
kompeten bidang
X.2.6
139
No Faktor Pengaruh Simbol Pustaka/
Teori/ Referensi
Instrumen
Faktor/ Ukuran
Metode
Analisis
keselamatan oleh
perusahaan.
3 Kinerja Kelaiklautan X3 M.Y. Jinca,
Transportasi
KLM Pinisi
(2002), hal. 17-
77
Peningkatan
kelaiklautan
kapal.
Penelusuran
data dan
wawancara/
kuesioner
- Kemampuan operasional
peralatan navigasi
pelayaran.
X3.1
- Pemahanan sistem
pemuatan berdasarkan
pertimbangan stabilitas.
X3.2
- Pemahaman terhadap
pentingnya pemasangan
sekat kedap pada kapal.
X.3.3
- Pemenuhan persyaratan
peralatan keselamatan.
X3.4
- Pemenuhan persyaratan
pengawakan kapal.
X3.5
- .Pemenuhan persyaratan
perlengkapan navigasi
pelayaran.
X3.6
4 Pengawasan / Audit
keselamatan
X4 Dodik, Analisis
Kompetensi
Perwira Kapal
Pelra, hal. 18-70,
M.Y. Jinca (hal.
177-180),
Stramindo, hal.
10.55-10.60.
Peningkatan
pengawasan/
safety audit.
Penelusuran
data dan
wawancara/
kuesioner - Sosialisasi peningkatan
keselamatan Pelayaran
rakyat.
X4.1
- Kesesuaian kecakapan
awak kapal dan peraturan
perundang-undangan.
X4.2
- Pemenuhan sistem
komonikasi, permesinan
dan kelistrikan.
X.4.3
- Penerapan manajemen
operasional kapal.
X4.4
140
No Faktor Pengaruh Simbol Pustaka/
Teori/ Referensi
Instrumen
Faktor/ Ukuran
Metode
Analisis
- Penerapan manual
operasi perawatan dan
sistem perawatan rutin.
X4.5
- Keikutsertaan dalam
pendidikan teknis meliputi
kenavigasian, olah gerak,
manajemen keselamatan
(safety training).
X4.6
- Pemenuhan persyaratan
perlengkapan navigasi
pelayaran.
X4.7
5 Masyarakat, dan pengguna
jasa lainnya
X5
UU 17/2008,
Stramindo, M.Y.
Jinca, Sularto
Hadi.
Peningkatan
pengawasan/
safety audit.
Penelusuran
data dan
wawancara/
kuesioner - Peran serta masyarakat
dalam pengawasan
keselamatan.
X5.1
- Kepatuhan terhadap
peraturan perundang-
undangan.
X5.2
- Kepedulian pemanfaatan
sarana keselamatan.
X5.3
- Kepercayaan terhadap
pelayaran rakyat untuk
angkutan antar pulau.
X5.4
- Komitmen peningkatan
manajemen dan
keterampilan awak kapal.
X5.5
b. Penentuan variabel analisis SWOT
141
Penelitian ini dibarengi dengan penggunaan analisis SWOT untuk
mengkaji faktor-faktor yang menentukan kriteria penguatan kinerja
pelayanan keselamatan pelayaran rakyat. SWOT merupakan salah satu
cara untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang berpengaruh dalam
menentukan strategi pengambilan suatu keputusan. Tiap faktor menjadi
input yang harus dikelola dengan baik agar memberikan dukungan yang
istimewa sehingga menjadi ungul dalam mencapai keberhasilan. Nilai
dukungan setiap faktor diukur dengan skala likert (klasifikasi nilai 1-5).
Metode analisis yang digunakan dalam hal ini adalah dengan melakukan
pembobotan terhadap masing-masing sasaran yang diinginkan. Hasil
perhitungan nilai bobot dan skor yang tinggi akan menjadi gambaran
pemetaan kesesuaian yang diharapkan dalam mencapai keselamatan
pelayaran.
Posisi kondisi hasil analisis SWOT dipetakan kedalam 4 kuadran
(seperti terlihat pada gambar dibawah ini) yaitu kuadran I, II, III, dan IV.
Posisi kondisi hasil analisis pada setiap kuadran menunjukkan atau
mengindikasikan keputusan tertentu yang dapat dilakukan terhadap obyek
analisis.
(i) Kuadran I menunjukkan kondisi atau situasi yang sangat
menguntungkan. Dalam kondisi demikian organisasi akan
memiliki kekuatan internal dengan memanfaatkan peluang yang
142
dimiliki. Dalam kondisi ini strategi yang dapat diterapkan adalah
mendukung kebijakanpertumbuhan yang agresif.
(ii) Kuadran II menunjukkan adanya berbagai ancaman, tetapi
masih memiliki kekuatan internal. Meskipun menghadapi
berbagai ancaman, organisaasi masih memiliki kekuatan
internal. Penerapan strategi yang sesuai adalah menggunakan
kekuatan untuk memanfaatkan peluang jangka panjang dengan
cara strategi diversifikasi usaha/produk. Kuadran ini juga
menunjukkan situasi yang kurang menguntungkan karena
adanya ancaman sehingga perlu dibarengi dengan
mendayagunakan kekuatan internal antara lain melalui berbagai
pengalaman, pelatihan untuk memanfaatkan peluang jangka
panjang dengan cara strategi diversifikasi untuk meraih peluang.
(iii) Kuadran III menunjukkan peluang yang sangat besar tetapi
terdapat kelemahan internal. Dalam hal ini akan diperhadapkan
pada peluang yang sangat besar, akan tetapi juga terdapat
beberapa kendala atau kelemahan internal. Oleh karena itu,
perlu memfokuskan diri pada upaya/strategi meminimalkan
kelemahan internal sehingga dapat merebut peluang yang lebih
baik (turn around).
(iv) Kuadran IV adalah kondisi/situasi yang sangat tidak
menguntungkan. Pada kuadran ini digambarkan situasi yang
sangat sulit, karena berhadapan dengan berbagai masalah
143
karena adanya kelemahan internal dan ancaman. Oleh karena
itu, semua ini harus diminimalkan, dengan fokus pada strategi
mengambil tindakan penyelamatan agar terlepas dari kerugian
yang lebih besar (defensif).
sumber : http//www.drawpack.com
Gambar 26. Peta posisi Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan
Ancaman (SWOT)
Pengambilan keputusan sebagai hasil dari pilihan alternatif strategi
dilakukan setelah terlebih dahulu mengetahui posisi kondisi saat ini pada
kuadran berapa ketika dilakukan pemetaan kekuatan internal dan
eksternal, sehingga strategi yang dipilih merupakan strategi yang paling
tepat karena sesuai dengan kondisi internal dan eksternal yang dimiliki.
Berbagai alternatif kemungkinan pengambilan keputusan dapat dilakukan
144
perumusan strategi melalui alat analisis ini. Analisis ini didasarkan pada
logika yang dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang
(opporturnity), sekaligus dapat meminimalkan kelemahan (weakeness)
dan ancaman (threats). Cara untuk memaksimalkan peluang dengan
memanfaatkan kekuatan (strength) yang dimiliki dalam mendukung
kebijakan dan perlu dilakukan secara agresif. Kemudian meminimalkan
ancaman (threats) dapat dilalakukan dengan memaksimalkan kekuatan
dan peluang untuk mengatasi ancaman.
Oleh karena itu, dalam penelitian ini analisis SWOT dapat
membantu memberikan gambaran umum kondisi saat ini dan yang akan
datang dari kondisi pelayanan pelayaran rakyat. Lebih dari Itu, analisis ini
diharapkan akan memberikan suatu alternatif strategi pelayanan dari
pelayaran rakyat dalam rangka mencapai sistem pengelolaan
keselamatan yang berorientasi pada “zero accident” secara efektif dan
efisen sehingga dapat memperbaiki kualitas pelayanan industri pelayaran
ini. Dengan alternatif tersebut, penelitian ini diharapkan akan memberikan
rekomendasi aatau masukan yang konstruktif yang dapat dimanfaatkan
sebagai referensi konseptual kebijakan peningkatan keselamatan
transportasi pelayaran rakyat.
Secara garis besar, teori SWOT terbagi kedalam 2 faktor yaitu
faktor internal dan eksternal (Freddy Rangkuti, 2002; Sianipar J.P.G,
2001; Radha Balamuralikrishna and John C. Dugger 1995). Faktor
145
internal merupakan kondisi yang telah dimiliki oleh sistem yang dapat
dikondisikan, diatasi dengan tindakan yaitu ”Strength” dan ”Weakness”.
Sedangkan faktor eksternal merupakan kondisi yang berasal dari luar
sistem, yang hanya dapat diatasi dengan tindakan antisipasi yaitu
”Opportunity” dan ”Threat”. Dari kedua faktor ini kemudian dilakukan
analisis untuk selanjutnya dirumuskan strategi dengan menyandingkan
faktor internal dan eksternal antara lain :
(i) Strategi Strength-Opportunity (S-O), yaitu strategi memanfaatkan
seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang
sebesar-besarnya. Strategi ini diambil yakni memanfaatkan
seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang
sebesar-besarnya. Strategi S-O memanfaatkan kekuatan internal
untuk memanfaatkan peluang eksternal.
(ii) Strategi Strength-Threats (S-T), yaitu strategi dalam
menggunakan kekuatan yang ada untuk mengatasi ancaman.
Strategi ini menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi
ancaman. Strategi S-T menggunakan kekuatan internal untuk
menghindari atau mengurangi dampak ancaman eksternal.
(iii) Strategi Weaknesses-Opportunity (W-O), yaitu strategi
berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara
meminimalkan kelemahan yang ada. Strategi ini diterapkan
berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan
meminimalkan kelemahan yang dimiliki. Strategi W-O bertujuan
146
untuk memperbaiki kelemahan internal dengan memanfaatkan
peluang eksternal.
(iv) Strategi Weaknesses-Threats (W-T), yaitu strategi yang bersifat
defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan yang ada
serta menghindari ancaman. Strategi W-T merupakan kegiatan
yang sifatnya defensif dengan berusaha meminimalkan
kelemahan dan menghindari ancaman. Tujuan strategi ini
adalah untuk mengurangi kelemahan internal dan menghindari
ancaman eksternal.
Proses yang harus dilakukan dalam pembuatan analisis SWOT
dalam mengambil keputusan yang diperoleh secara tepat perlu dilakukan
dengan berbagai tahapan sebagai berikut:
a. Pengambilan data, dengan mempertimbangkan hasil evaluasi
faktor eksternal dan internal.
b. Kemudian dilakukan analisis dengan pembuatan matriks internal
eksternal dan matriks SWOT.
c. Pada tahap akhir dengan pengambilan keputusan dalam rangka
menentukan kebijakan pengelolaan irigasi.
Dalam analisis SWOT, dilakukan perbandingan antara faktor-faktor
strategis internal maupun eksternal untuk merumuskan strategi dari
masing-masing faktor tersebut, untuk selanjutnya ditentukan fokus
147
rekomendasi strategi. Alat yang digunakan dalam menyusun faktor-faktor
strategis adalah matriks SWOT. Matriks ini menggambarkan tentang
peluang dan ancaman internal yang dihadapi agar disesuaikan dengan
kekuatan dan kelemahan internal yang dimiliki. Matrik ini dapat
menghasilkan beberapa kemungkinan alternatif strategis seperti pada
tabel berikut :
Tabel 11. Matriks Variabel SWOT
E F I
E F E
STRENGTH (S)
(Tentukan faktor-faktor
kekuatan internal)
WEAKNESSES (W)
(Tentukan faktor-faktor
kelemahan internal)
OPPORTUNITIES(O)
(Tentukan faktor-faktor
peluang eksternal)
Strategi S-O
Daftar kekuatan untuk
meraih keuntungan dari
peluang yang ada
Strategi W-O
Daftar
untuk memperkecil
kelemahan dengan
memanfaatkan
keuntungan dari
peluang yang ada
THREATS (T)
(Tentukan faktor-faktor
ancaman eksternal)
Strategi S-T
Daftar kekuatan
untuk menghindari
ancaman
Strategi W-T
Daftar
untuk memperkecil
kelemahan dan
menghindari ancaman
Sumber : Rangkuti, 2006
Serangkaian program yang terkait dengan kebijakan roadmap to
zero accident tampaknya terus digulirkan agar kecelakaan transportasi
dapat dikurangi. Program pengendalian strategi dapat dilakukan melalui
148
pengendalian operasi secara terintegrasi yang menyertakan unsur
perbaikan berkelanjutan (Peni Sawitri, 2010). Terhadap kebijakan
tersebut, maka analisis faktor-faktor yang berpengaruh terhadap aspek
keselamatan dalam rangka perwujudan konsep zero accident adalah
menggunakan analisis Strength, Weakness, Opportunity, Threat (SWOT).
Analisis SWOT dapat dipahami sebagai pemeriksaan kekuatan internal
organisasi dan kelemahan, dan yang lingkungan peluang, dan ancaman.
Hal ini merupakan suatu alat yang didesain sebagai tahap awal dalam
pengambilan keputusan dan sebagai pedoman dalam perencanaan
strategis (Radha Balamuralikrishna and John C. Dugger 1995).
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
statistik deskriptif, analisis faktor dan analisis SWOT. Statistik deskriptif
untuk menjelaskan profil atau kinerja keselamatan kapal pelayaran rakyat
untuk kondisi saat ini dan proyeksi yang akan datang, serta menjelaskan
persepsi pakar atau para pelaku usaha dan pengguna jasa terhadap
variabel dari faktor-faktor yang mempengaruhi kinerja keselamatan kapal
pelayaran rakyat. Variabel yang diambil untuk membantu proses analisis
ini adalah sebagai berikut :
Tabel 12. Pedoman penyusunan strategi SWOT
No Faktor SWOT Pustaka/ Teori/
Referensi Metode Analisis
1 Kekuatan (Strength) Studi Stramindo;
M.Y. Jinca;
Wawancara/diskusi/
149
No Faktor SWOT Pustaka/ Teori/
Referensi Metode Analisis
a. Pelayaran rakyat tidak memerlukan fasilitas
doking untuk perawatan karena dapat dilakukan
di pantai.
b. Pelayaran rakyat dapat diklasifikasikan sebagai
industri yang tidak terpengaruh pada gejolak
finansial.
c. Ukuran kapal pelra dan sarat pada umumnya
kecil, dan mampu melayani daerah terpencil
dan tidak bergantung pada infrastruktur
pelabuhan.
d. Pelra merupakan usaha swasembada dan tidak
terikat dengan aturan yang ketat, dan pola
trayeknya tramper.
e. Pada dasarnya stabilitas kapal pelra cukup baik
jika tidak mengalami kelebihan beban, dan
bocor.
Sularto Hadi. kuesioner
2 Kelemahan (Weakness)
a. Masih rendahnya tingkat keselamatan dan
kelaiklautan kapal pelra sehingga mengurangi
kepercayaan asuransi dan pemilik barang.
b. Rendahnya tingkat kemampuan manajemen
dan keterampilan ABK.
c. Rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan
operasional baik di darat maupun di laut.
d. Umumnya kapal pelra tidak memiliki standar
klasifikasi.
e. Kapal tidak dilengkapi dengan fasilitas bongkar
muat, dan sistem komunikasi dan navigasi yang
memadai.
f. Kapal sangat bergantung pada kondisi cuaca.
Studi Stramindo;
M.Y. Jinca;
Sularto Hadi;
Dodik Wibowo..
Wawancara/diskusi/
kuesioner
3 Peluang (Opportunity)
a. Proses rekruitmen SDM relatif sederhana, tidak
memerlukan qualifired seafarer.
Stramindo, M.Y.
Jinca, Sularto
Hadi.
Wawancara/diskusi/
kuesioner
150
No Faktor SWOT Pustaka/ Teori/
Referensi Metode Analisis
b. Kapal pelra diberi keistimewaan dalam aktivitas
pelayaran seperti prosedur bongkar muat,
proses clearence, tarif rendah.
c. Masih banyaknya pelabuhan yang belum
berkembang di daerah terpencil sehingga
menjadi potensi pasar pelra.
d. Pelaut pelra umumnya telah mengikuti program
pendidikan peningkatan skill penanganan
operasi kapal.
4 Ancaman (Threat)
a. Galangan kapal pelra umumnya tidak memiliki
standar formal pembuatan kapal.
b. Pengalaman industri pembuatan kapal yang
hanya pada kapal kayu.
c. Pemilik barang menghendaki pelayanan yang
aman, biaya rendah dan skedul yang reguler,
cukup sulit bagi kapal pelra.
d. Pengembangan infrastruktur pelabuhan di
daerah terpencil mengundang kompetitor Pelra
untuk masuk.
Stramindo, M.Y.
Jinca, Sularto
Hadi.
Wawancara/diskusi/
kuesioner
151
Tabel 13. Kerangka Konseptual Penyelesaian Masalah
Diagram alir penyelesaian masalah Metode Analisis Data dan Variabel
Analisis
Jenis Sumber Data Output (Capaian tujuan) Sekunder Primer
Metode Empiris melalui penerapan formula teknis stabilitias dan kekuatan kapal
Menghitung kelayakan teknis dan dibandingkan dengan kriteria yg ada. Data yang dibutuhkan adalah ukuran utama kapal.
Data kecelakaan, kondisi perairan, informasi pembangunan kapal, rute pelayaran
Gambar lines plan, general arrangement, midship section, cross curve.
Penilaian Pemenuhan standar teknis dan standard operating procedure yang ditetapkan oleh Lembaga nasional dan internasional.
Analisis faktor untuk menganalisis faktor-faktor non teknis penyebab kecelakaan kapal
Penilaian terhadap variabel yang ditetapkan sebagai faktor penyebab kecelakaan kapal. Dianalisis 31 variabel.
Penilaian responden terhadap kuesioner analisis faktor melalui skala likert.
Pengelompokan faktor-faktor non teknis penyebab kecelakaan
Analisis SWOT Faktor Internal dan Eksternal sebagai pengembangan dari faktor teknis dan non teknis yg berpengaruh pada kinerja keselamatan pelra. Dianalisis 20 variabel.
Nilai pembobotan responden terhadap faktor internal dan eksternal.
Kebijakan dan strategi peningkatan penerapan sistem manajemen keselamatan pelayaran dalam mendukung kebijakan zero accident.
Kondisi Existing
Regulasi Nasional/ Internasional
Standard Operating Procedure
Kelaiklautan Kapal
Strategi Peningkatan penerapan sistem manajemen keselamatan
pelayaran
Perwujudan Kebijakan Zero Accident
Kompetensi SDM Pelra
Manajemen di Darat Manajemen di Kapal
Standard Operating Procedure
Faktor External Kondisi perairan / cuaca
149
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Kondisi cuaca
Perairan Indonesia memiliki keadaan alam yang cukup unik,
karena topografinya yang beragam dan sifat serta kondisinya dipengaruhi
oleh Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Variasi gelombang di
perairan Indonesia berkaitan erat dengan pola angin musiman yang
terjadi di wilayah Indonesia, dan pada umumnya gelombang tinggi terjadi
pada bulan Desember, Januari, dan Februari. Gambaran kondisi
gelombang dan angin yang terjadi di perairan Laut jawa berdasarkan
informasi tersebut di atas dirangkum dari karya tulis Roni Kurniawan,
et.al. (2011).
Tabel 14. Data Tinggi Gelombang dan Kecepatan Angin
Bulan Tinggi Gelombang
(m) Kecepatan Angin
(knot)
Januari 1,25-2,5 5-15
Februari 1,5-2,0 10-15
Maret 0-1,25 5-10
April 1,5-2,0 10-15
Mei 0-1,25 10-15
150
Bulan Tinggi Gelombang
(m) Kecepatan Angin
(knot)
Juni 0,75-2,0 10-15
Juli 1,5-2,0 10-15
Agustus 1,25-2,0 10-15
September 1,25-2,0 10-15
Oktober 0,75-1,25 5-15
November 0,5-0,75 5-10
Desember 1,5-2,0 5-10
Sumber: Roni Kurniawan, et.al. (2011).
2. Ukuran kapal
Potret kecelakaan kapal yang terjadi pada armada pelayaran rakyat
dapat digambarkan: Persentase kecelakaan berdasarkan tonase kapal
adalah kapal kurang dari 7 GT sebanyak 10,57 %, 7-35 GT sebanyak
27,65 %, 36-100 GT sebanyak 20,34 %, 100-150 GT sebanyak 24,39 %,
150-200 GT sebanyak 4,87 %, 200-300 GT sebanyak 9,75%, dan lebih
besar dari 300 GT sebanyak 2,43 %. Hal ini menggambarkan bahwa
ukuran kapal yang mengalami kecelakan didomonasi oleh kapal dibawah
150 GT sebesar 82,95 %. Oleh karena itu fokus penelitian ini akan
dilakukan terhadap kapal-kapal pelayaran rakyat dengan ukuran dibawah
150 GT (setara dengan ukuran kapal dibawah 424,5 m3).
Selanjutnya, tonase kapal pelayaran rakyat yang beroperasi
berdasarkan sampel pada tabel 15 di bawah, menunjukkan prosentase
151
jumlah armada terbesar yang beroperasi adalah kapal dengan tonase
100-150 GT yakni sebesar 33,8 %. Atas pertimbangan ini maka obyek
penelitian diambil pada range tersebut secara acak 3 kapal masing-
masing 294 M3 atau setara dengan 104 GT; 386 m3 atau setara dengan
136 GT dan 424 m3 atau setara dengan 150 GT. Data-data tersebut
dikutip dari hasil penelitian Chairil Anwar (2006) tentang “Penggunaan
Motor Bantu pada Perahu Layar Motor.” Analisis aspek teknis diawali dari
gambar rencana garis (lines plan) ketiga sample kapal tersebut yang
diolah dari data-data yang ada dalam peneltian tersebut. Hal ini juga
dilakukan dengan pertimbangan bahwa prosentasi kecelakaan kapal
dengan tonase 100 - 150 GT termasuk tinggi.
Tabel 15. Potret Armada Pelra Sebagai Obyek Penelitian
GT Jumlah Persentase
< 35 25 2,67
36-100 132 14,12
100-150 316 33,80
150-200 65 6,95
201-250 86 9,20
251-300 137 14,65
> 300 174 18,61
Total 935 100,00
Sumber : Ditjen Hubla, 2008
152
3. Aspek teknis stabilitas kapal
Kecelakaan kapal banyak terjadi antara lain karena kurang
perhatian terhadap aspek stabilitas, meskipun kapal tetap melakukan
pelayaran. Dalam banyak hal, kelemahan stabilitas biasanya belum
tampak sampai adanya faktor luar yang menimpa kapal seperti kondisi
laut yang buruk. Masalah ini biasanya disebabkan oleh kurangnya
pemahaman tentang kriteria stabilitas, kegagalan dalam mematuhi
prinsip-prinsip dasar stabilitas, serta ketidaktepatan menghitung stabilitas
kapal. Untuk mengetahui tingkat stabilitas kapal pelayaran rakyat,
dilakukan perhitungan stabilitas terhadap kapal sejenis dengan kapal
yang dominan mengalami kecelakaan. Secara random dipilih 3 kapal untuk
dianalisis dengan 6 kondisi pemuatan yang hasilnya sebagai berikut:
Tabel 16. Hasil Perhitungan Stabilitas untuk Kapal 294 m3
URAIAN BAHASAN Kriteria
Laik laut Kondisi Pemuatan
I II III IV V VI
Displacement (ton) - 269 262 179 172 89 82
Sarat (m) - 3,20 3,15 2,51 2,46 1,61 1,52
Letak titik berat (KG) (m) - 2,19 2,09 2,05 2,03 2,52 2,51
Q range (derajat) ≥ 40 46,8 47,3 50,7 55,4 48,7 52,9
Lengan stabilitas (GZ) (m) ≥ 30 30 30 30 30 30 30
Titik Metacentra (MG) (m) ≥ 0,15 1,23 1,21 1,07 0,88 0,64 0,61
Luas lengkung stabilitas:
*) 0≤ Q ≤ 30 (m-rad) ≥ 0,055 0,094 0,103 0,124 0,135 0,132 0,136
*) 30≤ Q ≤ 40 (m-rad) ≥ 0,030 0,033 0,035 0,052 0,060 0,048 0,054
*) 0≤ Q ≤ 40 (m-rad) ≥ 0,090 0,132 0,145 0,181 0,198 0,183 0,191
Sumber : Hasil olahan data (lampiran)
153
Tabel 17. Hasil Perhitungan Stabilitas untuk Kapal 386 m3
URAIAN BAHASAN Kriteria
Laik laut Kondisi Pemuatan
I II III IV V VI
Displacement (ton) - 320 312 212 205 104 97
Sarat (m) - 3,80 3,74 2,89 2,83 1,92 1,84
Letak titik berat (KG) (m) - 2,31 2,29 2,32 2,28 2,75 2,71
Q range (derajat) ≥ 40 52,45 53,15 54,19 56,91 54,51 54,56
Lengan pengembali (GZ) (m) ≥ 30 30,20 30,50 30,00 30,00 30,00 30,00
Titik metacentra (MG) (m) ≥ 0,15 1,49 1,44 1,36 1,32 1.09 1.02
Luas lengkung stabilitas:
*) 0≤ Q ≤ 30 (m-rad) ≥ 0,055 0,113 0,121 0,193 0,201 0,229 0,243
*) 30≤Q ≤ 40 (m-rad) ≥ 0,030 0,050 0,055 0,090 0,092 0,092 0,103
*) 0≤Q ≤ 40 (m-rad) ≥ 0,090 0,165 0,179 0,288 0,299 0,326 0,354
Sumber : Hasil olahan data (lampiran )
Tabel 18. Hasil Perhitungan Stabilitas untuk Kapal 424 m3
URAIAN BAHASAN Kriteria
Laik laut Kondisi Pemuatan
I II III IV V VI
Displacement (ton) - 416 409 276 269 136 129
Sarat (m) - 4,10 4,02 3,15 3,11 2,07 1,37
Letak titik berat (KG) (m) - 2,64 2,63 2,16 2,13 3,14 3,13
Q range (derajat) ≥ 40 52,1 52,6 55,21 60,7 53,7 55,8
Lengan pengembali (GZ) (m) ≥ 30 30,1 30,0 30,0 30,0 30,0 30,0
Titik Metacentra (MG) (m) ≥ 0,15 1,29 1,22 1,56 1,55 0,86 0,80
Luas lengkung stabilitas:
*) 0 ≤ Q ≤ 30 (m-rad) ≥ 0,055 0,124 0,132 0,198 0,210 0,198 9,204
*) 30 ≤ Q ≤ 40 (m-rad) ≥ 0,030 0,058 0,064 0,108 0,110 0,185 0,107
*) 0 ≤ Q ≤ 40 (m-rad) ≥ 0,090 0,185 0,200 0,309 0,312 0,294 0,315
Sumber : Hasil olahan data (lampiran)
154
4. Aspek teknis kekuatan kapal
Kekuatan struktur konstruksi merupakan salah satu aspek teknis
yang mempengaruhi keselamatan kapal ketika berlayar baik dalam
kondisi laut tenang maupun bergelombang. Struktur konstruksi kapal
banyak menerima beban antara lain beban internal disebabkan oleh
beban/berat yang ada di kapal dan beban eksternal seperti angin dan
gelombang laut. Untuk menjamin kekuatan struktur kapal maka tolok ukur
yang digunakan adalah tegangan (stress) yang dialami oleh struktur
kapal. Tegangan yang timbul akibat pengaruh internal dan eksternal
harus lebih kecil dari pada tegangan material (kayu) yang digunakan
untuk membentuk komponen konstruksi.
Berdasarkan rumusan yang telah dikemukakan sebelumnya,
kemudian diperoleh tinggi gelombang 2,74 m dengan panjang gelombang
sama dengan panjang kapal. Untuk memudahkan proses analisa, maka
data yang diperoleh ditabulasi dan dengan menggunakan rumus-rumus
yang ada pada referensi terkait dengan penyelesaian masalah,
selanjutnya dihitung bending moment dan modulus penampang
konstruksi kapal sebagaimana tertera pada tabel 19. Kayu sebagai bahan
konstruksi disyaratkan memiliki kekuatan tertentu sesuai dengan jenis
atau kelas kayu yang akan digunakan. Dalam kaitan dengan ini maka
kelas kekuatan kayu didasarkan pada berat jenis, keteguhan lengkung
mutlak (KLM) dan keteguhan tekan mutlak (KTM) seperti pada tabel 20.
155
Tabel 19. Hasil Perhitungan Kekuatan Kayu
Uraian Ukuran Kapal
294 m3 386 m3 424 m3
Kecepatan Angin (knot) 13 13 13
Tinggi Gelombang (m) 2,74 2,74 2,74
Shearing Force, Qx (ton) 27,25 11,15 33,43
Bending moment, Mx (ton-m) 74,97 76,69 100,38
Letak Mx pada frame 3-4 3-4 3-4
Momen Inersia (I0) :
I0 (cm4) 526.414,21 534.996,22 573.798,74
IN-A (cm4) 429.420.968,08 485.026.262,2 645.647.528,3
ZB-T (cm4) 173,7 167,1 186,8
Modulus Penampang (W)
Wdeck (cm3) 1.855.016,03 1.844.380,97 2.283.608,59
Wbottom (cm3) 2.891.563,69 2.900.832,68 3.462.481,13
Tegangan ()
pada deck, deck (kg/cm2) 4,04 4,16 4,40
pada bottom, deck (kg/cm2) 2,59 2,64 2,90
Lendutan maksimum mm 0,0013 0.0012 0.0012
Momen Torsi (MTrs) (ton-m) 68,13 75,91 96,06
Ndeck (kg/cm2) 3,67 4,12 4,21
Nbottom (kg/cm2) 2,36 2,62 2,77
Tegangan yang diijinkan
lentur (kg/cm2) 120-130 120-130 120-130
tekan dan tarik sejajar serat kayu (kg/cm2) 110-120 110-120 110-120
tekan dan tarik tegak lurus serat kayu (kg/cm2) 25-30 25-30 25-30
geser (kg/cm2) 14-17 14-17 14-17
Sumber : Hasil olahan data (lampiran)
156
Tabel 20. Kelas Kekuatan Kapal
KELAS KAYU BERAT JENIS KLM (kg/cm2) KTM (kg/cm2)
I 0,90 1.100 650
II 0,60 - < 0,90 725 - < 1.100 425 - < 650
III 0,40 - < 0,60 500 - < 425 300 - < 425
IV 0,30 - < 0,40 300 - < 500 215 - < 300
V < 0,90 < 300 < 215
Sumber : dikutip dari kekuatan Kayu (Revandi Iskandar, 2005)
Keterangan : KLM = Keteguhan Lengkung Mutlak
KTM = Keteguhan Tekan Mutlak
Modulus penampang kapal merupakan nilai dari perbandingan
antara momen inersia penampang kapal terhadap sumbu yang melalui
titik berat penampang (sumbu netral) dengan jarak terjauh dari ujung
penampang ke titik berat penampang tersebut. Sebelum menghitung
modulus penampang melintang kapal terlebih dahulu perlu menghitung
momen inersia total penampang tersebut. Selanjutnya, untuk mengetahui
kekuatan struktur konstruksi kapal maka yang dijadikan tolok ukur adalah
tegangan. Tegangan yang dialami oleh bagian atas (deck) dan bagian
bawah (bottom) dapat diperoleh jika besarnya nilai momen lentur yang
bekerja sepanjang kapal dan modulus penampang kapal telah diketahui.
5. Aspek non teknis kapal
a. Deskripsi hasil analisis faktor
157
Dengan analisis faktor, diperoleh jumlah faktor yang terbentuk dan
pengelompokan variabel pada faktor tersebut, sehingga mempermudah
analisis dengan memetakan faktor-faktor non teknis yang mengakibatkan
kecelakaan. Proses analisis faktor menggunakan software SPSS 18.0,
dan program excel 2007. Penilaian responden terhadap pernyataan dari
kuesioner disusun dalam matriks data mentah dengan ukuran 140 x 31
(140 responden dan 31 variabel). 140 responden disusun dalam bentuk
jumlah baris yang menyatakan banyaknya penilaian responden dan 31
variabel pengamatan awal dalam bentuk jumlah kolom. Matriks tersebut
diolah melalui SPSS dalam bentuk skala likert menjadi data standar yang
digunakan sebagai masukan dalam proses perhitungan analisis faktor.
Matriks dapat direduksi ke dalam matriks yang berukuran lebih kecil
sampai terbentuk hasil sesuai persyaratan analisis faktor (KMO ≥ 0,5).
Matriks ini mengandung sejumlah n pengukuran pada k komponen utama
atau faktor, sehingga matriks yang terbentuk berukuran n x k (n jumlah
sampel dan k komponen utama atau faktor yang memenuhi kriteria atau
aturan), dan k < p (p adalah jumlah variabel asal).
b. Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy dan
Bartlett’s Test
Persyaratan jumlah data yang diambil telah banyak dikemukakan
dan dibahan dalam berbagai penelitian, dan dalam kesempatan ini dipilih
kecukupan data atau sampel yang diidentifikasi melalui nilai Kaiser-
158
Meyer-Olkin (KMO) Measure of Sampling Adequacy (MSA). Nilai KMO-
MSA didapatkan melalui bantuan program software SPSS. Hasil
pengolahan data melalui program ini menunjukan nilai KMO sebesar
0,643. Hal ini menunjukan bahwa analisis faktor ini sesuai untuk
digunakan dalam pengolahan data. Hasil pengolahan berikutnya adalah
informasi tentang hasil uji Bartlett atau disebut Bartlett’s Test Sphericity
yang menunjukan signifikasi 0,0000 (kurang dari 0.05). Artinya matriks
korelasi antar variabel yang dijadikan masukan dalam perhitungan tidak
menghasilkan matriks identitas. Uji kecukupan data atau sampel telah
terpenuhi, berarti salah satu asumsi untuk meneruskan ke proses analisis
faktor selanjutnya telah terpenuhi. Dengan demikian kedua asumsi untuk
analisis faktor telah terpenuhi. Nilai KMO di atas adalah angka indeks
untuk menilai koefisien korelasi pengamatan terhadap besarnya koefisien
korelasi parsial. Sedangkan nilai Bartlett’s Test of Sphericity dan nilai
signifikasi yang sangat kecil, mempunyai arti bahwa matriks korelasi
antara variabel-variabel manifes bukan merupakan matriks identitas.
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy .643
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 2466.82
df 465.000
Sig. .000
Hasil perhitungan menunjukkan bahwa masih terdapat variabel
dengan nilai MSA (Measure of Sampling Adequacy) lebih kecil dari 0,5
159
sehingga harus dikeluarkan dan dilakukan perhitungan ulang sampai
diperoleh nilai MSA yang lebih besar dari 0,5. Untuk penelitian ini variabel
dengan nilai MSA kurang dari 0,5 adalah:
- Kesesuaian kecakapan awak kapal terhadap peraturan
perundang-undangan (MSA= 0.3487)
- Pemenuhan sistem komonikasi, permesinan dan kelistrikan
(MSA = 0.4796).
Dalam perhitungan tahap ke-dua, seluruh variabel mencapai nilai
MSA lebih besar dari 0,5, sehingga layak untuk melakukan proses
analisis lebih lanjut. Dalam hal ini nilai KMO meningkat menjadi 0,712.
KMO and Bartlett's Test
Kaiser-Meyer-Olkin Measure of Sampling Adequacy. .712
Bartlett's Test of Sphericity Approx. Chi-Square 1466,442
df 253.000
Sig. .000
Koefisien korelasi yang dihasilkan menunjukan keeratan hubungan
antar variabel yang proses ini tersusun dalam bentuk matriks. Matriks
korelasi antar variabel ini merupakan matriks diagonal dengan diagonal
utama bernilai 1 (satu). Korelasi antar variabel ini menjadi bahan penting
untuk membentuk faktor-faktor kesamaan dari masing-masing variabel
yang telah direduksi. Koefisien korelasi antar variabel yang terbentuk
sudah menunjukkan nilai yang dignifikan untuk dilakukan proses lebih
160
lanjut. Koefisien korelasi ini menjadi bahan penting dalam membentuk
faktor-faktor kesamaan masing-masing variabel. Hasil perhitungannya
dapat dilihat pada lampiran.
B. Pembahasan Hasil Penelitian
1. Analisis kecelakaan kapal
Dari tahun ke tahun kecelakaan pelayaran di Indonesia tak
berkurang dan didominasi oleh 3 kejadian utama yaitu tenggelam,
tubrukan, dan terbakar (70%). Hal ini tampaknya merupakan kejadian
yang mengulangi kesalahan masa lalu, bukan karena cuaca melainkan
karena kelebihan beban, pengaturan muatan, sistem perawatan dan
kondisi kapal yang tidak memenuhi standar kelayakan seperti standar
tertentu dalam keselamatan. Problem ini adalah problem yang muncul
karena lemahnya pengawasan standar keselamatan pelayaran yang
akhirnya mengakibatkan masalah kelebihan beban atau muatan
berbahaya yang tidak dilaporkan.
Tabel 21. Perkembangan Kecelakaan Kapal
Tahun Kapal
Pelra %
Kapal
Non Pelra % Total %
2001 6 42 48
2002 8 33,33 64 52,38 72 50,00
2003 11 37,50 68 6,25 79 9,72
161
2004 13 18,18 69 1,47 82 3,80
2005 20 53,85 105 52,17 125 52,44
2006 23 15,00 106 0,95 129 3,20
2007 27 17,39 132 24,53 159 23,26
2008 29 7,41 109 -17,42 138 -13,21
Rata-rata Peningkatan
26,09 17,19
18,46
Sumber: Ditjen Hubla dan KNKT (2010)
Gambar 27. Presentase Peningkatan Kecelakaan
Gambar 28. Presentase Jenis Kecelakaan Kapal Pelra
162
Kecelakaan kapal di Indonesia seperti tampak pada tabel di atas
memperlihatkan bahwa dari tahun ke tahun tak pernah berkurang, bahkan
penyebabnya cenderung mengulangi kejadian atau kesalahan masa lalu
yang lebih banyak pada persoalan mengenai kondisim cuaca, kelebihan
muatan, atau kapal tidak memenuhi standar kelaiaklautan. Umumnya
kecelakaan tersebut disebabkan oleh armada kapal yang dibuat tanpa
menggunakan standar keselamatan pelayaran, peralatan komunikasi dan
navigasi kapal yang kurang berfungsi, perawatan kapal di bawah standar,
umur kapal sudah tua tanpa peremajaan. Dari sisi operasional armada,
permasalahannya adalah lemahnya pengawasan terhadap standar
keselamatan pelayaran sehingga banyak kapal menempatkan mutan
yang tidak akurat atau bahkan memadatkan muatan secara berlebihan
terutama di atas geladak sehingga dapat melemahkan konstruksi dan
stabilitas kapal.
Dalam era persaingan, sudah saatnya untuk dilakukan
pengembangan teknologi kapal pelra melalui peningkatan pemahaman
tentang pemanfaatan alternatif bahan baku pembangunan kapal pelra
antara lain kayu laminasi, fiberglass, atau aluminium. Kecelakaan kapal
pelayaran rakyat yang tinggi dan pembatasan penebangan hutan untuk
bahan baku industri mengakibatkan populasinya semakin menurun
disamping. Selain itu, pengaruh lain adalah kurangnya keterampilan dan
kedisiplinan dalam mematuhi sistem kerja, kurang memahami pentingnya
163
pelatihan penanganan dan penanggulangan kecelakaan di laut, serta
pemenuhan standar fasilitas keselamatan.
Kondisi pelayanan transportasi dewasa ini, meskipun telah banyak
mencapai kemajuan terutama dalam meningkatkan kebutuhan sarana
dan prasarana transportasi, namun permasalahan yang dihadapi adalah
munculnya berbagai kendala dalam upaya meningkatkan kualitas
pelayanan termasuk mempertahankan dan meningkatkan keselamatan.
Permasalahan pelayanan transportasi diindikasikan oleh belum memadai
dan belum tercapainya tingkat keandalan, keselamatan dan kepuasan
pengguna jasa, baik karena faktor perilaku manusia, kelaiklautan armada,
dan manajemen operasional maupun kualitas penegakan hukum di
bidang transportasi laut. Data tersebut di bawah ini menunjukkan bahwa
hal-hal yang digambarkan di atas sangat perlu mendapat perhatian agar
tidak mengurangi kepercayaan terhadap pelayanan jasa transportasi laut.
Berdasarkan tabel 21 di atas, penyelenggaraan transportasi laut
pelayaran rakyat tampaknya belum memadai ditinjau dari aspek
keselamatan. Data kecelakaan kapal dari tahun 2001 hingga 2008
menunjukkan kecenderungan meningkat rata-rata 18,46%. Armada
pelayaran rakyat cukup memprihatinkan karena rata-rata peningkatan
kecelakaan paling besar (26,09%) dibandingkan dengan kapal non
pelayaran rakyat (17,19%) bahkan dengan total armada nasional (18,46%).
Selanjutnya, data yang berhasil dihimpun terkait dengan penyebab
kecelakaan kapal pelayaran rakyat di perairan Indonesia antara tahun
164
2003 hingga 2006 sebanyak 67 kejadian menunjukkan prosentase jenis-
jenis kecelakaan masing-masing tengelam 47,8%, terbakar 20,9%,
tubrukan 10,5%, kandas 8,9% dan kecelakaan lainnya 11,9%. Prosentase
tenggelammnya kapal pelayaran rakyat sangat dominan. Secara khusus
Mahkamah Pelayaran belum melakukan investigasi terhadap pelayaran
rakyat namun jika diasumsikan sama seperti penyebab kecelakaan kapal
non pelra, maka human error merupakan faktor penyebab utama yakni
53,3% pada tahun 2005 dan meningkat menjadi 62,9% pada tahun 2008,
kemudian diikuti oleh faktor alam (force majeur) dan faktor lainnya masing
28,6% dan 8,6% pada tahun 2008. Human factor sebagai penyebab
dominan juga sejalan dengan penelitian yang telah dilakukan oleh
Widarbowo (2006) dimana 54,7% perwira awak kapal pelayaran rakyat
memiliki kompetensi dinilai kurang mampu dan berpengaruh positif
terhadap kecelakaan kapal, demikian pula dengan temuan KNKT (2007)
yang antara lain menyatakan kurangnya kemampuan awak kapal,
kurangnya pemahaman terhadap peraturan keselamatan kapal,
pemuatan yang berlebihan. Berdasarkan hal tersebut, pemahaman
terhadap keselamatan kapal ternyata memiliki hubungan dengan tingkat
pendidikan seperti juga dikemukakan oleh Nurwahida (2003). Oleh
karena itu, Nakhoda dan awak kapal lainnya perlu mematuhi ketentuan
terhdap jabatan tertentu di atas kapal, dan harus mengikuti pendidikan
formal lebih dahulu sebelum diberi ijazah kepelautan yang memungkinkan
mereka bertugas di kapal sesuai dengan Peraturan Kepala Badan Diklat
165
Perhubungan Nomor SK.225/DL.002/II/Diklat-2010 tentang standar
pelatihan dasar keselamatan (basic safety training) khusus awak kapal
dan pekerja pada kapal layar motor dan kapal penangkap ikan dalam
negeri. Awak kapal yang memahami tugasnya maupun teknis perawatan
kapal akan sangat menguntungkan bagi perusahaan pelayaran karena
berdampak positif terhadap kapal yang tetap dalam kondisi prima dan
berumur panjang. Demikian halnya jika terampil dalam penyusunan
muatan akan dapat menghindari terjadinya kerusakan muatan dan kapal
sehingga tidak mengakibatkan kerusakan fatal yang menyebabkan kapal
tenggelam. Disamping itu, kecepatan bongkar muat di pelabuhan juga
perlu diperbaiki dan ditingkatkan agar dapat memberikan iklim kondusif
bagi kelancaran aktivitas pelayaran rakyat dan membangkitkan kembali
kemampuan dan daya saing armada.
Upaya peningkatan keselamatan transportasi bukanlah hal yang
mudah karena tingkat kompleksitasnya yang tinggi sehingga pemerintah
dan masyarakat perlu terlibat langsung maupun tidak langsung. Sebagai
acuan dalam upaya penanganan keselamatan transportsi, Kementerian
Perhubungan telah menyusun roadmap to zero accident bagi seluruh
moda transportasi. Zero accident dipahami sebagai upaya meminimalkan
kecelakaan melalui serangkaian kegiatan terprogram secara akurat dan
dibawah pengawasan berkesinambungan. Keselamatan transportasi
menjadi hal yang perlu diprioritaskan mengingat peningkatan kecelakaan
transportasi laut tergolong tinggi dan menelan korban yang tidak sedikit.
166
Dalam rangka meminimalkan resiko kecelakaan akibat kesalahan
manusia (human error), maka sistem manajemen keselamatan pelayaran
rakyat seperti terdapat dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 65
tahun 2009 tentang standarisasi kapal non konvensi (non convention
vessel standard) perlu terus disosialisasikan dan diimplementasikan
sehingga semua fungsi manajemen keselamatan dapat berjalan
(pengorganisasian, perencanaan, pengawasan, koordinasi dan evaluasi)
berdasarkan peraturan manajemen keselamatan.
2. Aspek teknis stabilitas dan kekuatan kapal
a. Stabilitas kapal
Stabilitas kapal merupakan salah satu dari beberapa aspek dalam
bidang hidrodinamis kapal yang perlu mendapat perhatian yang serius.
Keselamatan terhadap terbaliknya kapal berkaitan erat dengan kriteria
stabilitas pada saat merancang sebuah kapal, disamping cara
mengoperasikan kapal dalam kondisi bergelombang, serta kemungkinan
menghadapi situasi berbahaya yang dapat mengakibatkan kapal terbalik.
Untuk kategori kapal barang, stabilitas dan keseimbangan ini dipengaruhi
oleh susunan dan tata letak muatan pada setiap ruang muat. Dengan
demikian hal tersebut harus dilakukan sedemikian sehingga dapat
tercapai keselamatan dan keutuhan kapal dan muatannya, bongkar muat
barang dapat dilakukan dengan cepat dan sistematis, kapasitas muat
dapat dimaksimalkan, keselamatan awak kapal terjamin.
167
Hasil penelitian terhadap stabilitas menunjukkan bahwa hipotesa
batasan kriteria kelayakan stabilitas. Dengan demikian, kelayakan
stabilitas kapal pinisi untuk ukuran 100-150 GT dinilai baik untuk berlayar.
Pemenuhan kriteria yang ditetapkan oleh IMO antara lain:
- Tinggi metacenter (GM) tidak boleh kurang dari 0,15 m. Hasil
penelitian menunjukkan nilai MG masing-masing 0,61-1,23 meter
untuk kapal 294 m3; 1.02-1,49 meter untuk kapal 385 m3; dan
0,80-1,29 meter untuk kapal 424 m3.
- Luas lengkung stabilitas harus lebih besar dari 0,055 m-rad
sampai pada kemiringan0-30. Hal ini terpenuhi oleh kapal yang
diteliti yakni 0,094-0,136 untuk kapal 294 m3; 0,113-0,243 untuk
kapal 386 m3; dan 0,124-0,204 untuk kapal 424 m3.
- Luas lengkung stabilitas dibawah lengan stabilitas tidak kurang
dari 0,090 m-rad sampai pada kemiringan 40. Untuk ketiga kapal
sampel masing-masing 0,132-0,191 untuk kapal 294 m3; 0,165-
0,354 untuk kapal 385 m3; dan 0,185-0,315 untuk kapal 424 m3.
- Luas lengkung stabilitas antara 30 dan 40 tidak boleh kurang
dari 0,030 m-rad. Untuk kapal sampel yaitu 0,033-0,060 untuk
kapal 294 m3; 0,050-0,103 untuk kapal 385 m3; dan 0,058-0,107
untuk kapal 424 m3.
- Sudut tenggelam (Qrange) untuk seluruh kapal lebih besar dari 40.
168
1) Nilai KG kapal pada beberapa kondisi muatan
KG adalah jarak vertikal antara titik K (keel) dan titik G (centre of
gravity). Nilai KG dinalisis berdasarkan hasil perkiraan perubahan
distribusi muatan pada enam kondisi pemuatan. Berdasarkan hasil
analisis tersebut terlihat bahwa nilai KG kapal akan berubah jika terjadi
perubahan distribusi muatan. Pada umumnya nilai KG tertinggi pada
keseluruhan kapal sampel berada pada kondisi kapal beroperasi tanpa
muatan dengan kondisi bahan bakar yang diasumsikan tidak penuh atau
sekitar 10%, atau kapal beroperasi dengan muatan penuh (100%) namun
bahan bakar berkurang hingga menjadi tinggal 10%, sehingga pada
umumnya kondisi tersebut menggambarkan bahwa kapal-kapal tersebut
akan mendekati pelabuhan tujuan. Perhitungan stabilitas pada KG ke-3
kapal sampel meliputi analisis terhadap perkiraan perubahan nilai KG
untuk ke-6 kondisi pemuatan pada masing-masing kapal.
Gambar 29 s.d. Gambar 31 menunjukkan nilai KG kapal akan
berubah jika terjadi perubahan distribusi muatan. Jika nilai displacement
bertambah maka nilai KG kapal akan cenderung mengecil sampai pada
displacement tertentu dan kemudian bertambah lagi sehingga
membentuk lengkungan. Kapal sampel dengan tonase 424 m3 memiliki
nilai KG yang lebih tinggi dibandingkan kapal lainnya, karena
displacement kapal tersebut juga lebih besar. Kapal dapat dikatakan
stabil apabila kapal tersebut dapat kembali menjadi tegak setelah
mengalami momen kemiringan. Stabilitas kapal amat bergantung pada
169
pengaturan muatan sehingga faktor manusia ikut berperan dalam
menentukan nilai KG dan penentuan stabilitas kapal. Kebiasaan awak
kapal atau pemilik kapal yang meletakkan muatan di atas geladak,
bahkan sampai ke geladak navigasi berdampak pada perubahan titik
berat kapal, sehingga nilai KG semakin besar dan dapat mengakibatkan
kapal berpotensi akan mudah mengalami keelakaan (tengelam).
Gambar 29. KG terhadap Displacement
kapal 294 m3
Gambar 30. KG terhadap Displacement
kapal 386 m3
Gambar 31. KG terhadap Displacement
kapal 424 m3
170
2) Pengaruh cuaca terhadap stabilitas kapal
Analisis stabilitas dan konstruksi kapal dalam penelitian ini dengan
mengambil sampel 3 kapal dengan ukuran/kapasitas kapal yang dominan
terjadi pada pelayaran rakyat, dan dengan Skala Beaufort yang lebih
besar dengan tujuan untuk mengetahui kemampuan kapal tersebut
menghadapi kondisi cuaca yang sering berubah-ubah tersebut, dan oleh
karena itu maka perhitungan stabilitas dilakukan pada kondisi Skala
Beaufort 4-6. Hasil analisis terhadap enam kondisi pemuatan kapal kosong
sampai dengan kapal bermuatan penuh, menunjukkan kemampuan kapal
secara teoritis mampu mengatrasi kondisi cuaca yang dihadapi. Pada
kondisi pertama (kapal dengan muatan dan bahan bakar penuh) sampai
dengan kondisi enam (kapal kosong), momen stabilitas kapal yang
diperoleh masih lebih besar dari momen yang ditimbulkan oleh pengaruh
angin dan gelombang saat kapal sedang berlayar.
Pada umumnya kapal memungkinkan berlayar dalam kondisi
perairan pada rute pelayaran kapal pelayara rakyat. Akan tetapi, yang
terjadi adalah telah banyak kecelakaan bahkan dengan prosentase
kenaikan yang cenderung lebih besar dari kapal konvensional. Dapat
diasumsikan kondisi teoritis di atas tidak diimbangi oleh kemampuan
awak kapal, seperti kurangnya ilmu pengetahuan mengenai
hidrodinamika kapal, ketidak telitian dalam mempertimbangkan sistem
pemuatan yang benar dan pengoperasian kapal selama dalam pelayaran.
Demikian pula diakibatkan terutama oleh penataan muatan yang kurang
171
baik tidak hanya di dalam palka, serta jumlah muatan berlebihan dapat
mengakibatkan sarat kapal lebih tinggi (over draft) dan momen pembalik
kapal kecil sehingga pada saat terjadi cuaca buruk, kapal kehilangan
stabilitas dan tenggelam.
Kapal yang berlayar akan mengalami gaya akibat pengaruh
gelombang. Gaya ini akan menyebabkan kapal oleng (heeling) pada
sudut tertentu. Dengan memperhitungkan kondisi perairan yang menjadi
alut lintasan kapal pelayaran rakyat, maka dapat ditentukan besarnya
momen pengganggu terhadap stabilitas kapal. Hasil keseluruhan dari
perhitungan stabilitas ini disajikan dalam bentuk grafik, akan tetapi dalam
paper ini hanya dicantumkan beberapa grafik terutama pada saat kapal
dalam kondisi sarat muatan dan siap untuk berlayar. Perhitungan melalui
pembuatan gambar-gambar lines plan dan perhitungan stabilitas dengan
sudut oleng yang bevariasi (0-70). Hasil perhitungan ke tiga grafik
tersebut menunjukkan kesesuaian dengan kriteria IMO, sehingga kapal
tidak mengalami masalah saat berangkat. Dengan demikian, kelayakan
stabilitas kapal dinilai baik atau tingkat kelaiklautan saat akan berlayar
cukup tinggi. Pengujian lainnya adalah dengan adanya pengaruh kondisi
cuaca saat kapal sedang berlayar.
Gambar 32-49 dibawah ini menunjukkan bahwa dalam kondisi I-VI
momen stabilitas kapal-kapal yang diteliti masih lebih besar dari momen
yang ditimbulkan oleh pengaruh angin dan gelombang saat kapal
berlayar. Dengan demikian, sesuai dengan hasil analisis lengkung
172
stabilitas pada 6 kondisi pemuatan, dapat dikatakan bahwa struktur kapal
masih memungkinkan kapal untuk berlayar. Akan tetapi, kenyataannya
banyak kecelakaan yang bahkan prosentasenya lebih besar dari jenis
kapal lain. Dapat diasumsikan adanya kekurangmampuan SDM dalam
sistem pemuatan dan pengoperasian kapal. Yang utama adalah penataan
muatan tidak hanya di dalam palka dan jumlah muatan berlebihan akan
dapat mengakibatkan kapal over draft dan momen pembalik kapal kecil
sehingga pada cuaca buruk, kapal kehilangan stabilitas dan tenggelam.
Gambar 32. Kurva Stabilitas Kapal 294 m3
(Kondisi 1)
Gambar 33. Kurva Stabilitas Kapal 386 m3
(Kondisi 1)
Gambar 34. Kurva Stabilitas Kapal 424 m3
(Kondisi 1)
Gambar 35. Kurva Stabilitas Kapal 294 m3
(Kondisi 2)
173
Gambar 36. Kurva Stabilitas Kapal 386 m3
(Kondisi 2)
Gambar 37. Kurva Stabilitas Kapal 424 m3
(Kondisi 2)
Gambar 38. Kurva Stabilitas Kapal 294 m3
(Kondisi 3)
Gambar 39. Kurva Stabilitas Kapal 386 m3
(Kondisi 3)
Gambar 40. Kurva Stabilitas Kapal 424 m3
(Kondisi 3)
Gambar 41. Kurva Stabilitas Kapal 294 m3
(Kondisi 4)
174
Gambar 42. Kurva Stabilitas Kapal 386 m3
(Kondisi 4)
Gambar 43. Kurva Stabilitas Kapal 424 m3
(Kondisi 4)
Gambar 44. Kurva Stabilitas Kapal 294 m3
(Kondisi 5)
Gambar 45. Kurva Stabilitas Kapal 386 m3
(Kondisi 5)
Gambar 46. Kurva Stabilitas Kapal 424 m3
(Kondisi 5)
Gambar 47. Kurva Stabilitas Kapal 294 m3
(Kondisi 6)
175
Gambar 48. Kurva Stabilitas Kapal 386 m3
(Kondisi 6)
Gambar 49. Kurva Stabilitas Kapal 424 m3 (Kondisi 6)
Lengkung stabilitas yang terbentuk pada enam kondisi pemuatan
menunjukkan bahwa hipotesa kelaikan stabilitas menurut kriteria
kelaiklautan yang diberikan oleh IMO terpenuhi. Dengan demikian
kelayakan stabilitas kapal dinilai cukup baik untuk berlayar, dan hal yang
serupa juga telah dikemukanan dalam penelitian tentang stabilitas kapal
360 GT (Jinca M.Y., 2002). Berdasarkan gambar 32 s.d. 49 di atas,
kondisi terbaik adalah kondisi muatan penuh karena pengaruh angin (I
dan II) dan gelombang sangat kecil. Pada kondisi ini pengaruh angin dan
gelombang pada skala beaufort 4-6 dimana kecepatan angin rata-rata
7,212 m/dtk, dan tinggi gelombang rata-rata 0,93,2 m. Pada kondisi ini
luas lengkung stabilitas cadangan masih lebih besar dari luas lengkung
momen angin. Kondisi kurang baik terjadi pada saat kapal berlayar dalam
kondisi muatan kosong (VdanVI). Kapal kosong yang berlayar dengan
kecepatan angin pada Skala Beaufort 4-6 berbahaya karena luas
cadangan daya apung mulai seimbang dengan luasan stabilitas yang
176
dirusak oleh momen angin, dan bahkan terdapat luasan cadangan
stabilitas yang tampak lebih kecil. Oleh karena itu disarankan agar kapal
berlayar dengan menggunakan ballast atau muatan sekitar 25%.
3) Kurva lengan stabilitas kapal
Aktivitas yang dilakukan oleh kapal pelayaran rakyat cukup
beragam dalam mengangkut muatan sampai ke pelosok tanah air.
Berbagai macam aktivitas tersebut tidak akan mampu dilakukan tanpa
memiliki stabilitas yang baik. Oleh karena itu, stabilitas yang tinggi
merupakan salah satu faktor yang harus dimiliki oleh kapal terutama
untuk menunjang keberhasilan membawa muatan sampai ke tujuannya.
Banyak dari kapal-kapal pelayaran rakyat yang masih dibangun tanpa
diawali dengan perencanaan teknis perkapalan. Perhitungan stabilitas
tentunya perlu disesuaikan dengan kondisi kapal tersebut, akan tetapi
belum ada kriteria stabilitas kapal yang disesuaikan dengan kondisi
perairan Indonesia. Hingga saat ini, penilaian tingkat stabilitas semua
kapal masih mengacu kepada kriteria stabilitas yang ditetapkan oleh IMO,
yang umumnya diperuntukkan bagi kapal dengan panjang di atas 24 m.
Stabilitas statis merupakan stabilitas kapal yang diukur pada saat
kondisi kapal tidak mendapat pengaruh dari faktor luar dalam berbagai
sudut keolengan yang berbeda dan berbentuk kurva. Kurva stabilitas
statis suatu kapal menggambarkan hubungan antara nilai GZ (lengan
pengembali) dan berbagai sudut kemiringan kapal untuk displacement
177
yang tetap. Tabel 16–18 merupakan hasil perhitungan stabilitas yang
selanjutnya disajikan dalam bentuk kurva stabilitas statis pada berbagai
kondisi pemutan seperti pada gambar 48–51. Stabilitas kapal erat kaitanya
dengan penempatan muatan dan perhitungan nilai lengan stabilitas atau
lengan penegak (GZ). Perbedaan penempatan/distribusi muatan pada
setiap kondisi pemuatan akan mengakibatkan perubahan jarak vertikal
antara titik K (keel) dan titik G (centre of gravity) yang disebut KG dan
selanjutnya berdampak pula pada perubahan nilai GZ.
Berdasarkan kurva stabilitas statis pada gambar tersebut dapat
dilihat bahwa rentang stabilitas (range of stability) yang merupakan batas
kestabilan hingga kapal labil, terbesar dimiliki oleh kapal pada saat kapal
berangkat dengan kondisi tanpa muatan, yaitu berkisar antara 0–70.
Range of stability terkecil terjadi pada saat kapal berangkat dengan
kondisi muatan, bahan bakar dan perbekalan penuh, yakni berkisar antara
0–50. Rentang stabilitas saat kondisi intact stability menggambarkan
kondisi kapal kedap air dan memiliki lengan penegak (righting arm) GZ
yang bernilai positif. Akan tetapi kapal-kapal pelayaran rakyat umumnya
terbuat dari kayu dan tidak kedap air (un-intact stability) sehingga rentang
stabilitasnya berkurang sesuai dengan besarnya sudut kebasahan dek
(flooding angle).
Disamping itu, nilai lengan pengembali (GZ) maksimum untuk
kondisi kapal kosong terletak antara 0,57–0,65 m pada sudut (Qrange) 47–
60, dan untuk kondisi kapal dengan muatan penuh terletak antara 0,57
178
dan 0,61 cm pada sudut (Qrange) 42– 49, dan telah sesuai dengan
persyaratan IMO dimana nilai GZ maksimum harus terjadi pada sudut
lebih besar dari 30 dan tidak boleh kurang dari 25. Stabilitas kapal
merupakan kemampuan kapal untuk dapat kembali pada kondisi tegak
setelah mendapat tekanan atau gaya dari luar karena kondisi cuaca
namun sifatnya yang sementara sehingga karena itu kapal harus mampu
kembali pada posisi tegak. Kegagalan kapal selama dalam pelayaran
sehingga menyebabkan kapal tenggelam adalah karena tidak
memperhatikan kaidah teknologi yang sudah berkembang. Oleh karena itu
kapal harus memiliki daya apung cadangan agar supaya dapat memerima
beban rancangan dan menolak kerusakan, stabilitas untuk menahan
beban/gaya eksternal, dan memiliki kekuatan untuk menahan tekanan
yang disebabkan oleh beban kapal itu sendiri maupun beban dari muatan,
bahan bakar maupun awak kapal dan perbekalannya serta tekanan dari
laut itu sendiri.
Gambar 50. Lengan stabilitas pada kondisi
pemuatan I
Gambar 51. Lengan stabilitas pada kondisi
pemuatan II
179
Gambar 52. Lengan stabilitas pada kondisi
pemuatan III
Gambar 53. Lengan stabilitas pada kondisi
pemuatan IV
Untuk mencapai kondisi stabilitas yang ideal, biasanya disediakan
petunjuk pemuatan untuk membantu awak kapal menghindari pemuatan
kapal yang dapat mengakibatkan stabilitas rendah atau gading-gading
lambung kapal (hull girger) tertekan. Petunjuk dasar adalah kapal tidak
dimuati begitu berat sehingga melewati load line dan biasanya petunjuk
pemuatan disediakan dalam bentuk booklet stabiltias dan trim atau buku
damage control. Bagi kapal kayu atau pelayaran rakyat pada umumnya,
hal ini tidak dilakukan dan belum memiliki buku petunjuk (booklet
stability), karena banyak nakhoda kapal belum memiliki kemampuan
untuk menghitung stabilitas, sehingga pemuatan dilakukan berdasarkan
pengalaman. Muatan dalam jumlah besar sangat menentukan stabilitas
kapal, baik dalam tata letak maupun kemungkinan bergeraknya muatan
tersebut, disamping juga penting untuk menentukan besarnya lambung
timbul.
180
Nilai GZ sesuai kriteria IMO A. 749 (18), minimum 0,20 m pada
sudut oleng minimum 30 (Qf ≥ 30) sedangkan hasil perhitungan GZ
kapal pada kondisi I pemuatan untuk ketiga kapal masing-masing adalah
0.30 m, 0.33 m, dan 0,35 m pada sudut oleng yang lebih besar dari 30.
Hanya saja bahwa sudut tenggelamnya tidak besar yang berada pada
kisaran (Qrange) 45 55 karena rendahnya lambung timbul (freeboard)
kapal. Hal yang sama terjadi pada kondisi II yaitu kondisi pemuatan 100
% dan bahan bakar serta perbekalan tersisa 10 %. Sudut tenggelam
kapal tampak berubah pada saat kondisi muatan 50 % berada pada
kisaran sudut 53-62 yang berarti besarnya lambung timbul kapal sangat
berpengaruh kepada stabilitas kapal.
b. Kekuatan kapal
Sama seperti pada konstruksi kapal lainnya, kekuatan sangat
penting bagi kapal kayu dimana struktur kapal harus mampu menahan
beban muatan yang terkadang sampai ke atas geladak (deck), dan
melindungi diri sendiri terhadap guncangan atau pengaruh eksternal
selama berlayar. Pada saat yang sama hull girder dan seluruh konstruksi
memanjang mengalami deformasi, sehingga mengakibatkan beban dalam
deformasi yang dialami oleh struktur kapal yang kritis antar lain pada
kondisi “sagging” dan “hogging”.
181
Gambar 54. Kapal Pinisi 130 GT siap bongkar
muat di pelabuhan Sunda Kelapa.
Gambar 55. Kapal Pinisi 150 GT dengan
muatan sampai ke atas geladak.
Sebagai langkah awal dilakukan perhitungan kekuatan memanjang
kapal. Tujuan dari perhitungan ini adalah untuk mengetahui tegangan
yang bekerja pada badan kapal, yang diakibatkan oleh kondisi dimana
berat kapal pada suatu titik sepanjang kapal tidak disangga oleh gaya
tekan air ke atas yang sama besar. Jika perbedaan penyebaran
memanjang antara gaya berat dan gaya tekan semakin besar, maka
pembebanan terhadap kapal akan makin besar pula. Penyebaran berat
kapal secara memanjang ditentukan oleh distribusi muatan, sedangkan
penyebaran gaya tekan ke atas ditentukan oleh gelombang. Pada
umumnya perhitungan kekuatan memanjang dibuat berdasarkan
keseimbangan statis antara gaya berat dan gaya tekan ke atas. Kapal
adalah merupakan benda yang tidak homogen dimana penyebaran berat
kapal tidak teratur sepanjang kapal, baik berat kapal itu sendiri maupun
muatannya.
182
1) Kinerja operasional kekuatan kapal
Perhitungan kekuatan memanjang dilakukan untuk melihat
tegangan memanjang yang dialami badan kapal. Tegangan ini
diakibatkan oleh berat kapal yang terdistribusi sepanjang kapal yang
besarnya tidak sama dengan gaya tekan dari air terhadap kapal.
Penyebaran berat kapal pada arah memanjang ditentukan oleh keadaan
muatan dan bentuk badan kapal, sedangkan penyebaran gaya tekan
ditentukan oleh kondisi gelombang. Secara keseluruhan, pembagian
berat kapal tidak merata baik berat kapal itu sendiri maupun muatannya.
Demikian halnya gaya tekan yang bekerja pada kapal sangat bergantung
pada kondisi gelombang. Karena berat kapal dan tekanan ke atas untuk
setiap potongan memanjang tidak sama, maka terjadi lengkungan atau
bending pada kapal dan besarnya bergantung pada distribusi berat dan
tekanan ke atas dalam arah memanjang kapal. Lengkungan maksimum
bisanya terjadi pada sekitar tengah kapal, dan konstruksi sekitar tengah
kapal harus kuat agar dapat menahan beban lengkung (bending
moment), sehingga konstruksi memanjang pada daerah geladak dan alas
perlu diperkuat antara lain pembujur geladak, papan lajur, dan papan
geladak, galar, lunas kapal, papan alas. Sehubungan dengan kejadian
kecelakaan yang banyak terjadi pada kapal-kapal dengan tonase lebih
kecil dari 150 GT atau setara dengan 425 m3, maka selanjutnya dilakukan
evaluasi terhadap kekuatan konstruksi memanjang dan melintang kapal.
183
2) Penyebaran bending moment
Bending moment bagi kapal yang berlayar di air tenang tidak
memerlukan anggapan-anggapan khusus dan hal ini banyak dilakukan
untuk kapal yang berlayar pada daerah pedalaman. Namun jika kapal
berlayar di daerah pelayaran dengan kondisi laut yang tidak tenang, maka
bending moment terbesar terjadi pada keadaan air bergelombang.
Pendekatan yang banyak digunakan adalah mengangap bahwa panjang
gelombang sama dengan panjang kapal (panjang gelombang=Lpp), dan
tinggi gelombang dihitung pada setiap titik ketinggian dengan jarak sama
dengan panjang kapal dibagi dua puluh (tinggi gelombang = Lpp/20).
Namun untuk kapal dengan panjang kurang dari 80 meter, tinggi
gelombang dapat dihitung pada jarak setiap ketinggian yang dapat dibagi
sepuluh. Kapal dianggap sebagai suatu balok berongga yang terapung di
air dan memikul gaya berat yang terdistribusi sepanjang kapal dan
menerima gaya tekan air ketika berada pada puncak atau lembah suatu
gelombang (hogging atau sagging).
Bending moment memanjang kapal dianalisis melalui penyebaran
gaya berat. Distribusi gaya berat merupakan penyebaran berat kapal
kosong, muatan, perbekalan, awak kapal, penumpang, bahan bakar,
minyak lumas, air tawar dan perbekalan. Gaya apung adalah reaksi dari
air terhadap gaya berat dan volume kapal yang berada dalam air. Selisih
antara kurva gaya berat dan gaya apung akan menghasilkan kurva
pembebanan yang digambarkan sebagai berikut:
184
Gambar 56. Kurva Gaya Berat dan Gaya
Tekan pada kapal isi kotor 294
m3
Gambar 57. Kurva Bending Moment dan
Shear Force pada kapal isi kotor
294 m3
Gambar 58. Kurva Gaya Berat dan Gaya
Tekan pada kapal isi kotor 386 m3
Gambar 59. Kurva Bending Moment dan
Shear Force pada kapal isi kotor
386 m3
Gambar 60. Kurva Gaya Berat dan Gaya
Tekan pada kapal isi kotor 424 m3
Gambar 61. Kurva Bending Moment dan
Shear Force pada kapal 424 m3
Mx
Mx
Mx
Qx
Qx
Qx
185
3) Kekuatan memanjang
Evaluasi kekuatan konstruksi kapal dengan asumsi adanya
pengaruh pembebanan pada sistem konstruksi yang pada kenyataannya
hampir semua kapal melakukan pemuatan sampai keatas deck, terutama
untuk jenis barang campuran. Secara teoritis perhitungan kekuatan
memanjang pada konstruksi kapal di atas, cukup kuat untuk menahan
beban yang bekerja terhadap kapal yang dijadikan sampel seperti tampak
pada tabel di atas. Tegangan yang terjadi terletak antara 4,04-4,40
kg/cm2 pada bagian geladak dan 2,59-2,90 kg/cm2 pada bagian dasar
(bottom) kapal. Tegangan yang terjadi pada sistem konstruksi bagian
tengah kapal geladak kapal dan beban hidrostatis pada konstruksi dasar
kapal masih berada dalam batas aman karena masih lebih kecil dari
batas tegangan yang diijinkan atau yang disyaratkan. Oleh karena itu
secara teknis kekuatan memanjang kapal yang dibuat dengan konstruksi
kayu yang ada saat ini tampaknya telah memenuhi aturan yang
ditetapkan. Hal ini setidaknya telah ditunjukkan pada hasil perhitungan
untuk kapal dibawah 150 GT (atau kurang dari 424 m3 isi kotor) dalam
penelitian ini. Hal yang sama juga telah dilakukan terhadap kapal diatas
150 GT seperti yang telah dilakukan melalui program monitoring prototipe
Kapal Layar Motor Pinisi 360 GT oleh LPPM Universitas Hasanuddin.
Meskipun demikian, kapal-kapal tradisional pada umumnya belum dapat
memenuhi persyaratan teknis kapal modern untuk aspek keselamatan
karena sifat desain dan pembangunan kapal yang masih menggunakan
186
cara-cara tradisional. Kelemahan dalam memenuhi persyaratan tersebut,
perlu dikompensasikan dengan teknologi lain, sehingga dapat
memberikan tingkat keselamatan yang sesuai/memadai. Teknologi yang
dimaksud adalah bentuk-bentuk operasional kapal yang dapat diterapkan
untuk mencapai tingkat keselamatan yang diharapkan pada jenis kapal
tersebut. Penerapan prinsip manajemen keselamatan seperti yang
diberlakukan pada kapal-kapal niaga dapat menjadi bahan pertimbangan
dalam penerapannya di lapangan.
Kapal tradisional sesuai dengan ketentuan yang ada terbuat dari
kayu, meggunakan mesin dan layar sebagai alat bantu gerak. Kayu
banyak digunakan sebagai material kapal karena merupakan material
yang cukup mudah diperoleh, dan pengerjaannya pun tidak memerlukan
teknologi tinggi. Meskipun cukup mudah diperoleh, namun pemerintah
membatasi penebangan kayu karena cukup sulit mendapatkan kayu yang
berkualitas untuk pengembangan industri saat ini. Jenis-jenis kayu yang
banyak digunakan untuk industri perkapalan di Indonesia beserta sifat
dan kegunaannya telah ditetapkan dalam peraturan kapal non konvensi
(Peraturan Menteri Perhubungan Nomor 65 tahun 2010). Biro Klasifikasi
Indonesia juga menegaskan bahwa pemilihan jenis kayu untuk struktur
kapal didasarkan pada sifat-sifatnya, seperti keawetan, kekuatan, massa
jenis, dan kelembabannya. Karena kayu rentan terhadap kondisi cuaca
maka perlu memperhatikan bagian-bagian kapal yang terus-menerus
terendam air, dan yang tidak terendam namun terkena panas matahari
187
dan hujan. Oleh karena itu, dibutuhkan kayu yang kuat, tidak mudah
pecah, tidak cacat dan tahan terhadap gangguan organisme laut. Jenis
kayu, pemakaian dikapal dan tempat tumbuhnya dapat dilihat dalam
peraturan kapal non konvensi. Metode pembangunan kapal yang
digunakan untuk kapal tradisional masih menerapkan metode yang
diwariskan secara turun temurun, sehingga pemilihan kayu didasarkan
pada metode tersebut dan belum menggunakan standar atau perhitungan
yang baku. Tidak dapat dipungkiri bahwa para pelaut tradisional telah
terbukti mampu mengarungi lautan dengan kapal buatan sendiri, akan
tetapi sudah saatnya jika metode pembangunan kapal modern mulai
diterapkan pada galangan-galangan pelra. Kapal-kapal yang dibangun
mengaplikasikan standar perhitungan yang baku sehingga memiliki
keunggulan jika dibanding dengan metode tradisional, seperti stabilitas
dan kekuatan kapal yang lebih baik, serta tingkat keselamatan pelayaran
lebih terjamin.
Biro Klasifikasi Indonesia telah menerbitkan peraturan tentang
kapal kayu diantaranya Peraturan Konstruksi Kapal Kayu, akan tetapi
tidak mengeluarkan sertifikat kelas untuk kapal tradisional tersebut.
Menjembatani hal tersebut, serta memberikan jaminan kelaiklautan, maka
pemerintah berinisiatif untuk mengeluarkan peraturan yang menyangkut
standar teknis tentang konstruksi, permesinan, kelistrikan, perlengkapan
keselamatan dan sistem manajemen keselamatan bagi kapal-kapal non
konvensi termasuk diantaranya adalah kapal pelayaran rakyat. Dalam
188
peraturan ini diadopsi sebagian besar peraturan teknis kapal kayu yang
telah ditetapkan melalui Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut.
Peraturan tersebut dapat digunakan untuk menguji kekuatan memanjang
dan melintang kapal.
Kapal pada umumnya, termasuk kapal kayu, memiliki kekuatan
memanjang (longitudinal strength) kritis yakni akibat pengaruh
gelombang. Secara umum perhitungan keaman dari setiap elemen
konstruksi memanjang kapal dapat ditentukan yaitu beban yang bekerja
pada kapal sebagai faktor internal, dan tegangan (stress) dan defleksi
sebagai faktor eksternal. Selain itu ada nilai yang diijinkan untuk stress
dan defleksi sesuai dengan material konstruksi yang digunakan. Beban
kritis/ekstrim yang di analisa adalah beban gelombang hogging atau
sagging. Untuk penelitian ini digunakan beban sagging, dimana tegangan
yang dihasilkan pada geladak (deck) dan dasar kapal (bottom) untuk
ketiga kapal sampel masing-masing :
- Berdasarkan analisis kekuatan memanjang, tegangan kritis yang
terjadi akibat gelombang dan variasi muatan full load dan light
load untuk kapal 294 m3 terjadi pada frame 22. Tegangan
geladak dan bottom masing-masing sebesar 4,04 kg/cm2 dan
2,59 kg/cm2.
- Berdasarkan analisis kekuatan memanjang, tegangan kritis yang
terjadi akibat gelombang dan variasi muatan full load dan light
load untuk kapal 385 m3 terjadi pada frame 24. Tegangan
189
geladak dan bottom masing-masing sebesar 4,16 kg/cm2 dan
2,64 kg/cm2.
- Berdasarkan analisis kekuatan memanjang, tegangan kritis yang
terjadi akibat gelombang dan variasi muatan full load dan light
load untuk kapal 424 m3 terjadi pada frame 24. Tegangan
geladak dan bottom masing-masing sebesar 4,40 kg/cm2 dan
2,90 kg/cm2.
- Tegangan yang terjadi tersebut berada dibawah standar yang
diijinkan baik oleh BKI (96,31 N/mm2 atau 963,07 kg/cm2 sesuai
perhitungan terlampir) maupun standar tengangan yang diijinkan
untuk material kayu sesuai dengan kelasnya.
Penyesuaian konstruksi maupun operasi kapal-kapal tradisional
telah dimulai sejak adanya motorisasi pada era 1970-an sehingga
penggunaan layar secara perlahan mulai ditinggalkan. Yang terutama
untuk diperhatikan adalah pengaruh getaran mesin dan baling-baling
terhadap konstruksi kapal. Banyak terjadi pemasangan mesin pada kapal
tradisional melebihi ukuran/kapasitas kapal (over-powered). Oleh karena
itu perlu pengawasan terhadap hal ini karena besarnya pengaruh getaran
mesin terhadap lambung kapal. Perubahan kapal layar menjadi kapal
motor tanpa perubahan konstruksi, seringkali mengakibatkan kebocoran
dan kapal tenggelam. Ini adalah akibat getaran mesin, tanpa dibarengi
dengan fondasi yang memadai, dan konstruksi dasar kapal yang kuat.
190
4) Kekuatan melintang
Gambaran konstruksi melintang pada tabel 22 menunjukkan
bahwa kapal cukup kuat untuk menahan tegangan yang dialami oleh
kapal, oleh karena tegangan yang terjadi masih lebih kecil dari yang
diijinkan. Meskipun demikian, kenyataan masih dijumpai adanya
kelemahan-kelemahan yang terjadi pada kapal-kapal dibawah 150 GT,
dimana pada umumnya tidak mempertimbangkan pentingnya pemasangan
sekat melintang yang kedap sebagai pembatas antara kapal mesin dan
ruang muat. Tampaknya belum ada pemahaman sesungguhnya mengenai
pentingnya sekat melintang sebagai salah satu faktor kekuatan melintang
kapal. Yang terjadi adalah mepanfaatan semaksimal mungkin ruang
muat kapal yang bahkan mengorbankan sebagian ruang mesin untuk
penempatan muatan di sebelah kiri dan kanan ruang mesin. Selain itu,
tidak ada sekat kedap antara kamar mesin dengan ruang muat maupun
pada bagian haluan dan buritan kapal. Pengurangan ruang kamar mesin
untuk meletakkan muatan mengganggu aktivitas di ruang mesin.
Tabel 22. Ukuran Konstruksi Kapal
Uraian Kapal 294 m3 Kapal 386 m3 Kapal 424 m3
Panjang kapal (m) 22,7 26,4 27,1
Lebar kapal (m) 8,7 9,9 10,2
Tinggi kapal (m) 3,80 4,30 4,70
Jarak gading (mm) 480 490 500
Tinggi wrang (mm) 390 420 450
Ukuran gading (mm) 120 x 240 125 x 250 130 x 260
Balok geladak (mm) 120 x 140 125 x 145 130 x 150
191
Uraian Kapal 294 m3 Kapal 386 m3 Kapal 424 m3
Papan geladak (mm) 325 x 60 345 x 64 350 x 65
Galar balok (mm) 170 x 200 180 x 205 185 x 210
Galar kim (mm) 130 x 120 180 x 105 180 x 105
Modulus Penampang (cm3)
Balok Geladak /AB 216,68 292,21 310,75
Gading /BC 281,01 416,72 536,55
Gading alas /CD 866,79 894,30 1017.18
Tegangan lentur (t/m2)
Balok Geladak /AB 0,055 0,066 0,069
Gading /BC 0,336 0,416 0,439
Gading alas /CD 0,256 0,307 0,326
Tegangan Kritis (kg/cm2)
Balok Geladak /AB 39,95 41,72 64,40
Gading /BC 75,05 88,50 93,52
Gading alas /CD 96,68 100,65 108,26
Sumber : Hasil perhitungan
Perkuatan melintang konstruksi kapal ini cukup kuat untuk
menahan tegangan yang dialami oleh kapal sampel, oleh karena
tegangan yang terjadi masih lebih kecil ddari yang diijinkan. Meskipun
demikian, kenyataan masih dijumpai adanya kelemahan-kelemahan yang
terjadi pada kapal-kapal dibawah 150 GT pada umumnya tidak
mempertimbangkan pentingnya pemasangan sekat melintang yang kedap
sebagai pembatas antara kamar mesin dan ruang muat. Tampaknya
belum ada pemahaman sesunggunya mengenai pentingnya sekat
melintang sebagai salah satu faktor kekuatan melintang kapal. Kenyataan
yang terjadi adalah memanfaatkan semaksimal mungkin ruang muat
192
kapal bahkan mengorbankan sebagian ruang mesin untuk menempatkan
muatan. Selain itu, tidak ada sekat kedap yang memisahkan kamar mesin
dan ruang muat, bahkan dilakukan pengurangan ruang (space) kamar
mesin untuk meletakkan muatan sehingga mengurangi ruang gerak/
aktivitas di kamar mesin.
5) Pemasangan mesin
Pada umumnya kapal pelayaran rakyat telah memakai tenaga
mesin sebagai tenaga pengerak utama dan layar sebagai tenaga
penggerak bantu yang cenderung sudah jarang digunakan selama
berlayar, fungsinya kini hanya dimanfaatkan untuk memback-up jika
terjadi kerusakan mesin. Dari hasil survei ditemukan bahwa saat ini
diperlukan keahlian khusus untuk memasang layar dan tampaknya tidak
banyak lagi awak kapal yang terampil dalam memasang layar.
Kapal pelayaran rakyat saat ini pada umumnya telah memakai
mesin sebagai alat gerak utama dan layar sebagai tenaga cadangan yang
dapat dimanfaatkan jika terjadi kerusakan mesin. Hal ini terjadi sejak
pemerintah menerapkan standarisasi dan modernisasi kapal jenis ini.
Dengan kecenderungan pengoperasian ukuran kapal yang semakin besar
maka fungsi layar tampaknya hanya sebagai “hiasan” untuk menunjukkan
ciri khas sebagai pelayaran rakyat, yakni dengan tetap mempertahankan
keberadaan layar meskipun hanya menggunakan satu tiang layar. Melihat
kecenderungan tersebut, dan dikaitkan dengan perkembangan kecelakaan
193
yang dialami oleh pelayaran rakyat, masalah yang muncul adalah dengan
pembesaran kapal dan proporsi pengunakaan mesin dikaitkan dengan
kondisi cuaca yang buruk, mengakibatkan kurangnya kemampuan mesin
terutama kemampuan pompa dalam menghadapi/mengatasi pengaruh
kondisi cuaca yang buruk.
Kapal ini dibuat oleh tangan-tangan ahli tanpa menggunakan
bantuan peralatan modern, dikerjakan pada galangan rakyat atau di tepi
pantai oleh kelompok-kelompok kecil atau kelompok keluarga dengan
proses pembuatan tanpa menggunakan catatan. Pembangunan kapal
kayu ini diakui merupakan suatu keahlian dari para pembuatnya karena
dilakukan secara turun temurun tanpa adanya petunjuk teknis gambar-
gambar rancangan sebagaimana layaknya kapal-kapal modern. Keahlian
ini diwariskan kepada keluarganya sejak kecil sehingga menjadikan kapal
ini memiliki karakteristik tersendiri serta bentuknya seragam/homogen
meskipun beberapa tahun belakangan ini telah diperkenalkan teknologi
yang sesuai terutama untuk dapat diadaptasikan dengan pemakaian
mesin agar dapat menghemat waktu pelayaran. Adaptasi melalui
motorisasi menjadikan para pembuat kapal melakukan respon terhadap
tuntutan permintaan pembuatan kapal sesuai dengan keinginan pasar.
Penambahan kapasitas kapal dan penggunaan motor penggerak
menimbulkan masalah baru terkait dengan keselamatan kapal. Motorisasi
yang telah dilakukan sejak 1970-an mengakibatkan adanya beberapa
penyesuaian konstruksi maupun operasi kapal-kapal tradisional ini. Akan
194
tetapi kelemahan yang timbul justru terletak pada konstruksi kapal
terutama dalam meghadapi kondisi cuaca. Oleh karena itu, para pembuat
kapal mulai berupaya untuk mengidentifikasi kelemahan-kelemahan yang
timbul, dan melalui arahan pemerintah maupun lembaga leinnya
kemudian diperkenalkan bentuk-bentuk yang sesuai bagi kapal yang lebih
mengutamakan pemakaian mesin. Standar konstruksi kapal yang baru
telah mulai diperkenalkan melalui regulasi pemerintah yang tercantum
dalam peraturan kapal non konvensi telah. Peraturan tersebut terutama
untuk kapal-kapal tradisional, mengadopsi kembali sebagian besar dari
peraturan lama yang telah ditetapkan melalui Keputusan Direktur
Jenderal Perhubungan laut terutama dalam kaitan dengan penentuan
kapasitas kapal, bahan bakar, konstruksi dan stabilitas serta lambung
timbul.
3. Aspek non teknis berdasarkan analisis faktor
Analisis faktor terhadap variabel-variabel yang mempengaruhi
kinerja keselamatan transportasi laut pelayaran rakyat pada mulanya
dilakukan terhadap 31 variabel yaitu pemahaman terhadap tugas dan
tanggung jawab keselamatan kapal, pemahaman terhadap syarat-syarat
keselamatan, implementasi standar keselamatan kapal, perawatan kapal
secara rutin sesuai ketentuan, uraian tugas bagi setiap perwira/awak
kapal dalam penerapan sistem keselamatan, memahami dan menaatai
peraturan keselamatan yang telah ditetapkan, menetapkan kebijakan dan
195
prosedur keselamatan kapal, pendidikan dan pelatihan manajemen
keselamatan pelayaran bagi awak kapal, pertemuan rutin dalam rangka
solving problem manajemen keselamatan, penunjukan personil yang
kompeten bidang keselamatan oleh perusahaan, kemampuan operasional
peralatan navigasi pelayaran, pemahaman pentingnya pemasangan sekat
kedap pada kapal, pemenuhan persyaratan pengawakan kapal,
Sosialisasi peningkatan keselamatan Pelayaran rakyat, Kesesuaian
kecakapan awak kapal dan peraturan perundang-undangan, Penerapan
manajemen operasional kapal, Penerapan manual operasi perawatan dan
sistem perawatan rutin, Keikutsertaan dalam pendidikan teknis meliputi
kenavigasian, olah gerak, manajemen keselamatan (safety training),
Pemenuhan persyaratan perlengkapan navigasi pelayaran, Peran serta
masyarakat dalam pengawasan keselamatan, Kepatuhan pada peraturan
perundang-undangan, Kepedulian pemanfaatan sarana keselamatan,
komitmen peningkatan manajemen dan keterampilan awak kapal.
Hasil analisis membentuk menjadi 7 faktor, seperti tampak pada
tabel 23. Nilai communality berkisar antara 0,622 hingga 0,846 sehingga
seluruh faktor yang terbentuk dapat diterima dengan kualitas yang cukup
baik. Dengan demikian, pengelompokan variabel-variabel yang semula 31
saat ini menjadi menjadi 23 variabel baru.
196
Tabel 23. Nilai korelasi variabel terhadap 7 faktor yang terbentuk setelah
rotasi
VARIABEL FAKTOR
Com
mun
ality
1 2 3 4 5 6 7
Pemahaman tugas dan tanggung jawab keselamatan kapal.
0.562 0.192 0.095 0.126 -0.075 0.135 -0.468 0,622
Pemahaman syarat-syarat keselamatan kapal
0.652 0.154 0.357 0.062 -0.084 -0.051 -0.235 0,646
implementasi standar keselamatan kapal.
0.618 0.140 -0.099 0.179 -0.257 -0.348 -0.085 0,638
Perawatan kapal secara rutin sesuai ketentuan.
0.395 -0.011 -0.102 0.076 -0.664 0.361 0.239 0,801
Pemahaman uraian tugas perwira/ ABK dalam sistem keselamatan.
0.301 0.117 -0.041 0.753 -0.308 -0.195 -0.028 0,806
pengawasan secara berkala dan kepatuhan pada peraturan keselamatan kapal.
0.424 -0.371 -0.224 0.138 -0.292 -0.492 0.2400 0,772
Diklat manajemen keselamatan bagi awak kapal
0.195 0.621 0.132 0.044 -0.057 -0.337 0.027 0,561
Menetapkan sistem dan prosedur keselamatan.
0.345 0.013 0.223 -0.473 -0.374 0.173 0.351 0.686
Pemahaman sistem pemuatan berdasarkan pertimbangan stabilitas.
0.602 -0.189 -0.455 -0.094 -0.221 0.271 -0.254 0.800
Pemahaman terhadap pentingnya pemasangan sekat kedap.
0.137 -0.714 -0.179 0.077 0.065 0.208 -0.031 0,616
Pemenuhan persyaratan peralatan keselamatan.
0.444 -0.557 -0.339 0.048 0.196 -0.189 -0.384 0,846
Pemenuhan persyaratan. pengawakan kapal.
0.666 0.112 -0.127 0.141 0.262 -0.083 0.367 0,703
Pemenuhan persyaratan perlengkapan navigasi pelayaran.
0.534 -0.205 0.034 -0.123 0.657 -0.006 0.061 0,779
Pemenuhan sistem komonikasi, permesinan dan kelistrikan
0.169 0.175 0.697 0.393 0.058 0.203 -0.064 0,748
Penerapan manajemen operasional keselamatan kapal.
0.017 0.522 -0.321 0.425 0.347 0.216 0.040 0,725
Penerapan manual perawatan dan sistem perawatan rutin
0.368 0.175 0.211 0.067 0.132 0.531 -0.045 0,517
Peranserta masyarakat dalam 0.2875 0.240 0.487 -0.433 0.036 -0.311 -0.165 0,690
197
VARIABEL FAKTOR
Com
mun
ality
1 2 3 4 5 6 7
pengawasan keselamatan
Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
0.442 -0.497 0.507 -0.221 0.020 -0.097 0.012 0,758
Kepercayaan terhadap pelayaran rakyat untuk angkutan antar pulau
0.387 -0.325 0.261 0.425 0.381 -0.072 0.372 0,793
Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
0.811 0.073 0.000 -0.211 0.009 -0.132 0.023 0,726
Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan
0.753 -0.076 -0.119 -0.144 0.079 0.336 0.076 0,733
Ketrampilan awak kapal dalam rangka peningkatan manajemen keselamatan pada armada pelayaran rakyat
0.492 0.563 -0.286 -0.164 0.092 0.159 0.103 0,712
Ketrampilan awak kapal dalam peningkatan manajemen keselamatan pelayaran rakyat
0.194 0.485 -0.464 -0.342 0.221 -0.222 0.019 0,704
Sumber : Hasil olahan data SPSS
198
Tabel. 24 Hasil analisis faktor terhadap 23 variabel
Indeks Variabel
X1 X2 X3 X4 X5 X6 X9 X11 X14 X15 X16 X17 X18 X21 X22 X23 X24 X25 X26 X27 X28 X29 X31
X1 0,82 -0,15 -0,11 -0,03 -0,10 0,14 -0,09 -0,03 -0,18 0,11 -0,07 0,06 -0,17 -0,15 0,05 -0,11 0,17 -0,03 0,09 -0,16 0,14 -0,05 0,02
X2 -0,15 0,82 -0,27 0,01 0,00 0,08 -0,12 -0,03 -0,07 0,12 -0,11 0,07 0,09 -0,28 0,14 0,03 -0,09 -0,13 -0,19 0,08 -0,16 -0,15 -0,08
X3 -0,11 -0,27 0,80 0,09 -0,26 -0,09 -0,07 -0,16 -0,07 0,01 -0,03 -0,05 0,15 0,15 0,00 -0,05 -0,01 0,13 -0,12 -0,30 0,06 0,13 -0,10
X4 -0,03 0,01 0,09 0,64 -0,23 -0,16 0,11 -0,29 -0,37 -0,18 0,28 -0,05 0,21 -0,12 0,12 -0,08 0,11 0,05 0,01 -0,14 0,01 -0,05 -0,02
X5 -0,10 0,00 -0,26 -0,23 0,56 -0,34 -0,07 0,12 0,07 0,23 -0,25 -0,08 0,22 -0,35 -0,28 -0,01 0,22 -0,04 -0,03 0,04 0,08 0,04 0,04
X6 0,14 0,08 -0,09 -0,16 -0,34 0,73 -0,05 0,07 -0,04 -0,07 -0,06 -0,13 0,03 0,24 0,25 0,08 -0,06 -0,06 -0,16 -0,17 0,02 0,11 -0,09
X9 -0,09 -0,12 -0,07 0,11 -0,07 -0,05 0,78 -0,07 0,16 -0,05 0,05 -0,02 0,15 -0,04 -0,08 0,06 -0,19 0,11 -0,02 -0,10 0,05 -0,20 -0,05
X11 -0,03 -0,03 -0,16 -0,29 0,12 0,07 -0,07 0,66 -0,08 0,02 0,28 0,05 -0,04 0,21 0,10 -0,02 -0,15 -0,20 -0,10 0,06 -0,16 0,06 -0,04
X14 -0,18 -0,07 -0,07 -0,37 0,07 -0,04 0,16 -0,08 0,74 0,01 -0,45 -0,04 -0,03 0,14 -0,04 -0,05 -0,03 0,18 0,19 0,03 -0,22 -0,15 0,16
X15 0,11 0,12 0,01 -0,18 0,23 -0,07 -0,05 0,02 0,01 0,66 -0,42 0,06 0,00 -0,17 0,04 0,05 0,29 -0,10 -0,07 0,08 -0,15 0,00 0,10
X16 -0,07 -0,11 -0,03 0,28 -0,25 -0,06 0,05 0,28 -0,45 -0,42 0,64 -0,02 -0,19 0,31 0,03 0,06 -0,19 -0,15 -0,03 0,03 -0,01 0,11 -0,03
X17 0,06 0,07 -0,05 -0,05 -0,08 -0,13 -0,02 0,05 -0,04 0,06 -0,02 0,79 -0,18 -0,07 -0,04 0,16 0,01 -0,10 -0,31 -0,02 -0,06 -0,50 0,02
X18 -0,17 0,09 0,15 0,21 0,22 0,03 0,15 -0,04 -0,03 0,00 -0,19 -0,18 0,71 -0,20 0,00 -0,02 0,01 -0,02 -0,39 -0,23 -0,08 0,06 -0,32
X21 -0,15 -0,28 0,15 -0,12 -0,35 0,24 -0,04 0,21 0,14 -0,17 0,31 -0,07 -0,20 0,51 -0,02 -0,05 -0,31 -0,02 -0,03 -0,02 -0,04 0,06 0,31
X22 0,05 0,14 0,00 0,12 -0,28 0,25 -0,08 0,10 -0,04 0,04 0,03 -0,04 0,00 -0,02 0,58 -0,30 0,06 0,37 -0,20 -0,07 -0,13 0,05 -0,25
X23 -0,11 0,03 -0,05 -0,08 -0,01 0,08 0,06 -0,02 -0,05 0,05 0,06 0,16 -0,02 -0,05 -0,30 0,65 -0,08 -0,32 -0,10 0,19 -0,20 -0,17 -0,01
X24 0,17 -0,09 -0,01 0,11 0,22 -0,06 -0,19 -0,15 -0,03 0,29 -0,19 0,01 0,01 -0,31 0,06 -0,08 0,60 -0,18 0,15 -0,22 0,21 -0,08 -0,02
X25 -0,03 -0,13 0,13 0,05 -0,04 -0,06 0,11 -0,20 0,18 -0,10 -0,15 -0,10 -0,02 -0,02 0,37 -0,32 -0,18 0,72 -0,09 -0,25 -0,05 0,25 0,03
X26 0,09 -0,19 -0,12 0,01 -0,03 -0,16 -0,02 -0,10 0,19 -0,07 -0,03 -0,31 -0,39 -0,03 -0,20 -0,10 0,15 -0,09 0,65 0,11 0,04 0,12 0,30
X27 -0,16 0,08 -0,30 -0,14 0,04 -0,17 -0,10 0,06 0,03 0,08 0,03 -0,02 -0,23 -0,02 -0,07 0,19 -0,22 -0,25 0,11 0,81 -0,45 -0,08 -0,07
X28 0,14 -0,16 0,06 0,01 0,08 0,02 0,05 -0,16 -0,22 -0,15 -0,01 -0,06 -0,08 -0,04 -0,13 -0,20 0,21 -0,05 0,04 -0,45 0,82 -0,15 0,11
X29 -0,05 -0,15 0,13 -0,05 0,04 0,11 -0,20 0,06 -0,15 0,00 0,11 -0,50 0,06 0,06 0,05 -0,17 -0,08 0,25 0,12 -0,08 -0,15 0,72 -0,26
X31 0,02 -0,08 -0,10 -0,02 0,04 -0,09 -0,05 -0,04 0,16 0,10 -0,03 0,02 -0,32 0,31 -0,25 -0,01 -0,02 0,03 0,30 -0,07 0,11 -0,26 0,63
199
Keterangan:
X1 Pemahaman tugas dan tanggung jawab keselamatan kapal.
X2 Pemahaman syarat-syarat keselamatan kapal
X3 Penerapan standar keselamatan kapal.
X4 Pelaksanaan perawatan kapal secara rutin sesuai peraturan;
X5 Pemahaman uraian tugas perwira/awak kapal dalam penerapan sistem
keselamatan;
X6 Penerapan pengawasan secara berkala dan kepatuhan pada peraturan
keselamatan kapal;
X9 Pengadaan pendidikan dan pelatihan manajemen keselamatan terhadap
awak kapal.
X10 Melakukan pertemuan rutin dalam rangka pemecahan masalah
manajemen keselamatan;
X11 Penetapan sistem dan prosedur keselamatan;
X14 Pemahaman sistem pemuatan berdasarkan pertimbangan stabilitas;
X15 Pemahaman terhadap pentingnya pemasangan sekat kedap pada kapal;
X16 Pemenuhan persyaratan peralatan keselamatan;
X17 Pemenuhan persyaratan pengawakan kapal;
X18 Pemenuhan persyaratan perlengkapan navigasi pelayaran;
X21 Pemenuhan sistem komonikasi, permesinan dan kelistrikan;
X22 Penerapan manajemen operasional keselamatan kapal;
X23 Penerapan manual operasi perawatan dan sistem perawatan rutin;
X24 Keikutsertaan dalam pendidikan teknis meliputi kenavigasian, olah gerak,
manajemen keselamatan (safety training);
X25 Sistem pencatatan akurasi data populasi, kecelakaan dan kejadian
kecelakaan;
X26 Peran serta masyarakat dalam pengawasan keselamatan;
X27 Kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan;
X28 Kepedulian pemanfaatan sarana/peralatan keselamatan;
X29 Kepercayaan terhadap pelayaran rakyat untuk angkutan antar pulau;
X31 Ketrampilan awak kapal dalam rangka peningkatan manajemen
keselamatan pada armada pelayaran rakyat
200
a. Penentuan jumlah faktor dan pengelompokan variabel
Penentuan jumlah faktor dan pengelompokan beberapa variabel
dalam analisis ini telah diawali dengan mengukur kecukupan data dan
validitas data dan factoring. Proses ekstraksi dilakukan dengan tingkat Eigen
value = 1. Dengan demikian berarti bahwa variabel yang memiliki nilai kurang
dari 1 akan dikeluarkan. Nilai eigen value dari faktor yang diekstraksi
menceminkan banyaknya variansi yang dapat dijelaskan oleh suatu faktor,
yang gambarannya sesuai dengan hasil perhitungan sebagai berikut:
Tabel 25. Eigen Value Hasil rotasi dengan metode varimax
Component
Initial Eigen values Rotation Sums of Squared
Loadings
Total %
Varians
%
Cumulatif Total
%
Varians
%
Cumulatif
1 5,114 22,236 22,236 2,846 12,373 12,373
2 2,835 12,328 34,563 2,811 12,223 24,595
3 2,154 9,366 43,929 2,549 11,080 35,676
4 1,887 8,202 52,131 2,165 9,413 45,089
5 1,785 7,761 59,892 2,132 9,269 54,357
6 1,543 6,710 66,602 2,030 8,828 63,185
7 1,064 4,626 71,228 1,850 8,043 71,228
8 0,947 4,115 75,344
9 0,717 3,119 78,462
Pelayaran rakyat yang bersifat tradisional dan dikelola oleh usaha
”kecil” serta dibina oleh koperasi, tetap dipertahankan fungsinya sebagai
201
sarana angkutan laut antar pulau-pulau kecil dan antar desa-desa sekitar
pantai, dan bahkan armada pelayaran rakyat juga dapat dioperasikan
pada lintas batas baik dengan trayek tetap dan teratur maupun trayek
tidak tetap dan tidak teratur. Kebilaksanaan yang ditempuh ini adalah
mempertahankan eksistensinya dan meningkatkan kemampuan
pengelolaan melalui koperasi, sehingga diharapkan dapat membuka
lapangan kerja khususnya bagi masyarakat di sekitar pantai. Kenyataan
yang ada adalah seberapa besar dilakukan perbaikan-perbaikan teknologi
kapal akan tetapi pada akhirnya faktor manusia yang lebih menentukan
dalam terjadinya kesalahan pengoperasian kapal yang mengakibatkan
terjadinya kecelakaan. Dengan demikian setiap metode pendekatan baru
dalam upaya mewujudkan sistem keselamatan pelayaran yang handal,
maka yang pertama kali dapat dilakukan adalah meningkatkan atau
memperbaiki performansi sumber daya manusia baik operator kapal
maupun pihak manajemen di darat yang terlibat dalam penanggulangan
bencana di laut serta masyarakat.
Kompetensi awak kapal belum sesuai harapan sehingga memiliki
korelasi yang cukup kuat terhadap terjadinya kecelakaan. Meskipun telah
memiliki keterampilan sebagai pelaut tradisional, namun penguasaan
teknologi msih tertinggal dibanding pelaut yang bekerja pada kapal niaga
lainnya. Pekerjaan yang memiliki resiko kerja yang cukup besar ini
memerlukan keterampilan tambahan yang tidak hanya dalam kapasitas
sebagai pelaut tradisional untuk menjaga keselamatan kapal, muatan, dan
202
dirinya sendiri selama berlayar. Oleh karena itu, opini responden terhadap
berbagai permasalahan yang dihadapi tersebut dapat diuraikan lebih
lanjut. Uraian ini merupakan hasil pengolahan data yang memberikan
informasi bahwa terbentuk 7 faktor baru yang dapat diolah dengan
variansi komulatif setelah melalui proses rotasi adalah 71,23 %. Nilai ini
menunjukkan bahwa total varians atau informasi yang dapat digali faktor
yang terbentuk adalah sebesar 71,23 %.
b. Karakteristik Faktor
1) Faktor Pertama
Faktor pertama dari hasil rotasi faktor didukung oleh 3 variabel,
yaitu X1, X2, X9. dengan bobot masing-masing variabel pendukung faktor
pertama tersebut sebagai berikut:
Nama Variabel Variabel Bobot
Pemahaman tugas dan tanggung jawab keselamatan
kapal
X1 0,768
Pemahamam syarat-syarat keselamatan kapal X2 0,617
Pendidikan dan pelatihan manajemen keselamatan
pelayaran
X9 0,597
Berdasarkan tabel tersebut di atas, variabel X1 memperoleh nilai
bobot yang paling besar pada faktor pertama, kemudian dikuti oleh
variabel X2 dan X3. Ketiga variabel dalam faktor pertama ini dapat disebut
203
dengan tugas dan tanggung jawab terhadap keselamatan pelayaran atau
disingkat tugas dan tanggungjawab. Faktor pertama ini menjadi faktor
yang paling kuat penilaiannya dengan variansi sebesar 12,373 %,
sehingga penguasaan persyaratan keselamatan dan penambahan
pengetahuan formal melalui diklat secara terus menerus menjadi hal yang
amat penting bagi setiap awak kapal baik sebelum melaksanakan
tugasnya. Sistem keselamatan pelayaran merupakan suatu standar
tentang sistim manajemen keselamatan yang bertujuan untuk menjamin
bahwa perusahaan memberi pelayanan yang memenuhi persyaratan yang
ditetapkan yakni kapal dapat beroperasi secara aman dan selamat serta
mempertimbangkan aspek pencegahan pencemaran laut. Penerapan
sistem manajemen keselamatan akan memudahkan SDM pelaut dapat
mengoperasikan kapal dengan aman dan dapat melakukan tindakan
penyelamatan bila terjadi kecelakaan. Oleh karena itu, diperlukan
komitmen perusahaan agar mendukung terciptanya pengoperasian kapal
sesuai standar keselamatan kapal tradisional.
2) Faktor Kedua
Faktor kedua hasil rotasi faktor didukung oleh 5 variabel, yaitu
masing-masing X12, X13, X19, X21. Bobot masing-masing variabel pendukung
faktor kedua tersebut sebagai berikut:
204
Nama Variabel Variabel Bobot
Penunjukan personil yang kompeten bidang
keselamatan oleh perusahaan
X12 0,7251
Kemampuan operasional peralatan navigasi pelayaran X13 0,7940
Sosialisasi peningkatan keselamatan Pelayaran rakyat X19 0,6898
Pemenuhan sistem komonikasi, permesinan dan
perlistrikan
X21 0,5262
Data di atas, menunjukkan bahwa variabel ”Penunjukan personil
yang kompeten bidang keselamatan oleh perusahaan” merupakan yang
terbesar dalam faktor kedua ini dengan bobot variabel 0,7251 kemudian
disusul oleh ”Kemampuan operasional peralatan navigasi pelayaran”
(0,794); ”Sosialisasi peningkatan keselamatan pelayaran rakyat” (0,6898);
”Pemenuhan sistem komonikasi, permesinan dan kelistrikan” (0,5262).
Nilai variansi dari faktor ini adalah 24,595 % serta melibatkan 4 variabel,
dan atas dasar itu faktor ini dapat disebut sebagai kompetensi SDM
bidang keselamatan kapal.
Hal ini penting karena penerapan manajemen keselamatan juga
sudah saatnya diaplikasikan pada moda pelayaran ini. Responden
memandang untuk meningkatkan aspek keselamatan, maka perlu
menyiapkan personil yang memberikan arahan (guidance) penangangan
dan pemantauan dari pelabuhan awal sampai pelabuhan tujuan.
Implementasi sistem manajemen keselamatan kapal dapat dilakukan oleh
pemilik kapal dan diatasi oleh pemerintah, akan tetapi pemerintah dapat
205
pula menunjuk seseorang atau organisasi yang familiar dengan
karakteristik pelayaran ini. Kapal pelayaran rakyat tidak dapat memenuhi
persyaratan keselamatan sebagaimana layaknya pada kapal modern
karena keunikan desain dan bangunan/ konstruksinya. Kelemahan
tersebut dapat diintroduksi dengan teknologi lain sehingga dapat
menerapkan manajemen keselamatan yang sesuai karakteristiknya. Dari
sisi konstruksi dan pembangunan kapal, pelayaran rakyat memiliki ciri
khas tersendiri akan tetapi pemerintah telah mengeluarkan petunjuk teknis
konstruksi dan tata cara pembuatan kapal non konvensi yang dapat
menjadi solusi bagi pengembangan armada kapal ini di masa mendatang.
3) Faktor Ketiga
Faktor ketiga yang rotasi faktor didukung oleh 4 variabel yakni X7,
X10, X11, X17. Bobot masing-masing variabel pendukung faktor ketiga
sebagai berikut:
Nama Variabel Variabel Bobot
Pihak perusahaan memahami dan mentaati peraturan
keselamatan yang telah ditetapkan
X7 0,700
Pihak perusahaan mengadakan pertemuan rutin dalam
rangka pemecahan masalah manajemen keselamatan.
X10 0,756
Pihak perusahaan menetapkan sistem dan prosedur
keselamatan.
X11 0,569
Pemenuhan persyaratan pengawakan kapal. X17 0,508
206
Berdasarkan tabel di atas, variabel X7 dan X10 menempati urutan
teratas dalam nilai pembobotan. Ini berati variabel pemahaman dan
ketaatan perusahaan tentang peraturan keselamatan memiliki; dan
pertemuan rutin oleh perusahaan dalam rangka pemecahan masalah
keselamatan memiliki bobot yang tinggi diikuti oleh menetapkan sistem
dan prosedur keselamatan dan Pemenuhan persyaratan pengawakan
kapal oleh perusahaan. Faktor ini mernjadi faktor kuat ketiga dengan nilai
variansi sebesar 11,080 %. Dalam faktor ini responden memberikan nilai
dominan pada perlunya pertemuan rutin untuk pembahasan mengenai
peningkatan keselamatan dan mengharapkan agar perusahaan memiliki
komitmen yang tinggi dalam penerapan aturan keselamatan dan
pemenuhan persyaratan pengawakan.
Dari uraian tersebut, dapat dikatakan bahwa faktor ketiga ini
terfokus pada perusahaan pelayaran, sehingga faktor ini dapat diberinama
komitmen perusahaan.
4) Faktor Keempat
Faktor keempat berdasarkan hasil rotasi faktor didukung oleh 3
variabel, masing-masing X15, X17, X18. Faktor ini adalah faktor terkuat
keempat yang mendasari responden dalam memberikan penilaian dengan
variansi sebesar 9,413 %. Bobot variabel-variabel pendukung faktor
keempat seperti pada tabel berikut ini:
207
Nama Variabel Variabel Bobot
Pemahaman pentingnya pemasangan sekat kedap
pada kapal
X15 0,780
Pemenuhan persyaratan pengawakan kapal. X17 0,574
Pemenuhan persyaratan perlengkapan navigasi
pelayaran.
X18 0,714
Tabel di atas memperlihatkan bahwa variabel X15 mempunyai bobot
terbesar, yaitu sebesar 0,780. kemudian diikuti oleh X18 dan X17. Ini
berarti bawa responden menilai pentingnya pemasangan sekat kedap
pada kapal oleh karena yang terlihat di lapangan kelemahan demikian
yang banyak terjadi dan terjadi pemibaran termasuk sekat yang
memisahkan kamar mesin dan ruang muat. Kondisi ini banyak terjadi
karena air yang semakin banyak masuk di kamar mesin dan menggenangi
ruang muat akibat sekat kamar mesin yang tidak kedap. Selain itu juga
yang menjadi sorotan untuk faktor keempat ini adalah perlengkapan
navigasi dan pengawakan kapal. Oleh karena itu, faktor keempat ini
diberinama peralatan navigasi pelayaran.
Kenyataan yang ada adalah banyak kapal yang tidak memiliki sekat
pemiasah antara ruang mesin dan ruang muat. Hal ini menyebabkan
mudahnya kapal tenggelam jika terjadi musibah di laut, terlebih lagi jika
tidak dilengkapi dengan peralatan atau pompa yang sesuai, sehingga
dengan mudah air akan masuk ke kamar mesin. Demikian halnya dengan
pemenuhan persyaratan perlengkapan navigasi, yang sangat penting
208
untuk mengetahui rute dan posisi kapal. Oleh karena itu, perlunya
pemasangan global positioning system pada kapal dimaksudkan untuk
lebih memudahkan pemantauan kapal dan menekan tingakt kecelakaan di
laut, terlebih lagi ternyata banyak kapal yang tenggelam namun belum
diketahui dan sering tidak dilaporkan.
5) Faktor Kelima
Faktor keempat berdasarkan hasil rotasi faktor didukung oleh 3
variabel, masing-masing X3, X5, X6. Faktor ini adalah faktor terkuat
keempat yang mendasari responden dalam memberikan penilaian dengan
variansi sebesar 9,269 %. Bobot variabel-variabel pendukung faktor kelima
seperti pada tabel berikut ini:
Nama Variabel Variabel Bobot
Pihak armada menerapkan standar keselamatan kapal. X3 0,612
Pihak armada memahami uraian tugas perwira/awak
kapal dalam penerapan sistem keselamatan.
X5 0,708
Pihak armada menerapkan pengawasan secara berkala
dan kepatuhan pada peraturan keselamatan kapal.
X6 0,773
Tabel di atas memperlihatkan bahwa variabel X5 mempunyai bobot
terbesar (0,708), kemudian diikuti oleh X6 dan X3. Ini berarti bawa
responden menilai pentingnya awak kapal dan pemilik kapal atau
pengelola perusahaan memahami dan menerapkan sistem manajemen
209
keselamatan pelayaran. Dengan demikian faktor yang kelima difokuskan
pada aspek kompetensi awak kapal. Hal ini juga erat kaitannya dengan
komitmen seluruh personil di darat, namun lebih ditekankan pada
kesungguhan pengelola perusahaan dan awak kapal untuk lebih
mengedepankan aspek keselamatan pelayaran.
6) Faktor Keenam
Faktor keenam berdasarkan hasil rotasi faktor didukung oleh 2
variabel, masing-masing X14, dan X23. Faktor ini adalah faktor terkuat
keenam yang mendasari responden dalam memberikan penilaian dengan
variansi sebesar 8,828 %. Bobot variabel-variabel pendukung faktor
keenam seperti pada tabel berikut ini:
Nama Variabel Variabel Bobot
Pemahaman sistem pemuatan berdasarkan
pertimbangan stabilitas
X14 0,7774
Penerapan manual operasi perawatan dan sistem
perawatan rutin
X23 0,6728
Data mnunjukkan bahwa variabel X14 mempunyai bobot terbesar
(0,777), kemudian diikuti oleh X23. Ini berarti bawa responden menilai
pentingnya awak kapal dan pemilik kapal atau pengelola perusahaan
memahami pemuatan dan stabilitas kapal serta penerapan sistem
perawatan kapal secara rutin. Dengan demikian faktor yang keenam ini
210
adalah sistem perawatan kapal dan pemuatan. Hal ini erat kaitannya
untuk memperoleh pengoperasian kapal yang teratur, dan meningkatkan
penjagaan keselamatan awak kapal, muatan dan peralatannya, untuk
mempertahankan kapal tetap dalam kondisi laik laut, untuk memperkecil
kerusakan yang akan terjadi dan meringankan beban kerja di atas kapal.
7) Faktor Ketujuh
Faktor keenam berdasarkan hasil rotasi faktor didukung oleh 2
variabel, masing-masing X4, dan X8. Faktor ini adalah faktor terkuat
ketujuh yang mendasari responden dalam memberikan penilaian dengan
variansi sebesar 8,043 %. Bobot variabel-variabel pendukung faktor
ketujuh seperti pada tabel berikut ini:
Nama Variabel Variabe
l Bobot
Pihak armada melakukan perawatan kapal secara
rutin sesuai peraturan.
X4 0,799
Pihak perusahaan menetapkan kebijakan dan
prosedur keselamatan kapal.
X8 0,685
Data di atas memperlihatkan bahwa variabel X4 mempunyai bobot
terbesar (0,799), kemudian diikuti oleh X8. Ini berarti bawa responden
menilai pentingnya awak kapal dan pemilik kapal atau pengelola
perusahaan memahami sistem perawatan kapal secara teratur dan
211
penetapan sistem dan prosedur keselamatan kapal. Kapal-kapal
tradisional masih banyak dibuat tanpa menggunakan standar-standar
tertentu terutama dalam keselamatan. Perawatan kapal-kapal ini masih di
bawah standar, umur kapal juga sudah banyak yang tua akibat tidak ada
lagi peremajaan kapal karena dampak dari pelarangan penebangan kayu.
Oleh karena itu pemilik dan para awak kapal harus mengikuti system
perawatan dan keselamatan kapal serta pengawasan oleh pemerintah
terhadap standar keselamatan kapal yang seharusnya dilakukan dengan
ketat.
Pemahaman dan penerapan sistem perawatan maupun sistem dan
prosedur keselamatan dapat dilakukan oleh pelaut yang terampil dan
secara detail hal tersebut dapat diperoleh melalui pendidikan dan latihan.
Tujuan dari pendidikan dan pelatihan adalah untuk memastikan bahwa
awak kapal dapat melaksanakan tugasnya secara efisien dan efektif.
Pelaut yang terampil dengan dukungan pengetahuan tentang sistem dan
prosedur penanganan sistem keselamatan yang baik, merupakan aset
yang sangat berharga bagi perusahaan pelayaran. Oleh karena itu,
perusahaan pelayaran seharusnya perlu mendukung pengembangan staf
dan awak kapal yang kompeten. Dengan demikian, perusahaan pelayaran
perlu melakukan rekruitmen staf dan awak kapal yang dapat memahami
dan penerapkan prosedur keselamatan dan secara periodik mendorong
dan mengikutkan meraka dalam pendidikan dan pelatihan dalam rangka
untuk mempertahankan dan meningkatkan kompetensinya. Faktor yang
212
ketujuh disebut sebagai rekruitmen, pendidikan dan pelatihan staf dan
awak kapal atau disingkat rekruitmen, pendidikan dan latihan.
4. Pembahasan hasil analisis SWOT
Analisis SWOT pada dasarnya dilakukan pada dua lokasi utama
survei yakni Makassar dan Jakarta. Hal ini dilakukan terutama karena
mempertimbangkan fenomena rute pelayaran yang tampaknya setiap
kapal tidak melayari seluruh wilayah, melainkan terjadi fenomena
penyebaran rute kapal yang terbagi pada wilayah barat dan timur. Oleh
karena itu diadakan pembagian analisis SWOT untuk wilayah Jakarta
yang mewakili penyebaran rute kapal pada wilayah barat, dan untuk
wilayah timur difokuskan pada wilayah Makassar. Untuk mengidentifikasi
berbagai faktor secara sistematis dalam rangka merumuskan strategi
model kebijakan dan strategi perlu dianalisis yang didasarkan pada logika
yang memaksimalkan kekuatan (strength) dan peluang (opportunities),
serta dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan ancaman (threat),
maka hasil analisis SWOT seperti pada tabel berikut ini.
Tabel 26. Hasil Analisis SWOT wilayah Makassar:
Kekuatan (Strength) :
Variabel Kekuatan (Strength) Skala Penilaian
Jum
lah
Rat
a-ra
ta
Bob
ot
Sko
r
1 2 3 4 5
Pelayaran rakyat tidak memerlukan
fasilitas doking untuk perawatan karena
dapat dilakukan di pantai
1 3 4 9 3 20 4 0,020 0,069
213
Pelayaran rakyat dapat diklasifikasikan
sebagai industri yang tidak terpengaruh
pada gejolak finansial.
8 2 0 8 2 20 3 0,044 0,119
Ukuran dan sarat kapal umumnya kecil,
dan mampu melayani daerah terpencil
serta tidak bergantung pada
infrastruktur pelabuhan.
0 1 3 6 10 20 4 0,047 0,069
Pelra merupakan usaha swasembada
dan tidak terikat dengan aturan yang
ketat, dan pola trayeknya tramper.
2 1 5 2 10 20 4 0,093 0,357
Pada dasarnya stabilitas kapal pelra
cukup baik jika tidak mengalami
kelebihan beban, dan bocor.
0 0 1 6 13 20 5 0,138 0,637
Kelemahan (Weakness) :
Variabel Kelemahan (weakness) Skala Penilaian
Jum
lah
Rat
a-ra
ta
Bob
ot
Sko
r
1 2 3 4 5
Masih rendahnya tingkat keselamatan dan
kelaiklautan kapal sehingga mengurangi
kepercayaan asuransi dan pemilik barang.
0 0 1 5 14 20 5 0,149 0,696
Rendahnya tingkat kemampuan
manajemen dan keterampilan ABK.
1 3 2 2 12 20 4 0,118 0,477
Rendahnya tingkat pendidikan dan
kemampuan operasional baik di darat
maupun di laut.
0 4 0 12 4 20 4 0,056 0,213
Umumnya kapal pelra tidak memiliki
standar klasifikasi.
15 0 5 0 0 20 2 0,084 0,126
Kapal tidak dilengkapi dengan fasilitas
bongkar muat, dan sistem komunikasi dan
navigasi yang memadai.
2 11 0 2 5 20 3 0,095 0,272
Kapal sangat bergantung pada kondisi
cuaca.
0 2 1 2 15 20 5 0,155 0,699
214
Peluang (Opportunity) :
Variabel Peluang (opportunity) Skala Penilaian
Jumlah
Rata-rata
Bobot
Skor
1 2 3 4 5
Proses rekruitmen SDM relatif
sederhana, tidak memerlukan qualifired
seafarer.
0 0 7 7 6 20 4 0,004 0,014
Kapal pelra diberi keistimewaan dalam
aktivitas pelayaran seperti prosedur
bongkar muat, proses clearence, tarif
rendah.
0 1 0 6 13 20 5 0,129 0,585
Masih banyaknya pelabuhan yang
belum berkembang di daerah terpencil
sehingga menjadi potensi pasar pelra.
0 0 0 5 15 20 5 0,129 0,611
Pelaut pelra umumnya telah mengikuti
program pendidikan peningkatan skill
penanganan operasi kapal.
0 2 0 3 15 20 5 0,093 0,423
Ancaman (Threat) :
Variabel Ancaman (threat) Skala Penilaian
Jum
lah
Rat
a-ra
ta
Bob
ot
Sko
r 1 2 3 4 5
Galangan kapal pelra umumnya tidak
memiliki standar formal pembuatan
kapal.
3 7 4 2 4 20 3 0,107 0,305
Pengalaman industri pembuatan kapal
yang hanya pada kapal kayu.
2 2 9 4 3 20 3 0,146 0,469
Pemilik barang menghendaki pelayanan
dengan biaya rendah dan skedul yang
reguler, cukup sulit bagi kapal pelra.
0 1 0 9 10 20 4 0,200 0,880
Pengembangan infrastruktur pelabuhan
di daerah terpencil mengundang
kompetitor Pelra untuk masuk.
0 0 2 4 14 20 5 0,193 0,887
215
Tabel 27. Hasil Analisis SWOT wilayah Jakarta
Kekuatan (Strength) :
Variabel Kekuatan (Strength)
Skala Penilaian
Jum
lah
Rat
a-ra
ta
Bob
ot
Sko
r
1 2 3 4 5
Pelayaran rakyat tidak memerlukan
fasilitas doking untuk perawatan
karena dapat dilakukan di pantai
4 3 0 8 5 20 3 0,035 0,118
Pelayaran rakyat dapat
diklasifikasikan sebagai industri yang
tidak terpengaruh pada gejolak
finansial.
1 5 3 7 4 20 3 0,047 0,160
Ukuran kapal pelra dan sarat pada
umumnya kecil, dan mampu
melayani daerah terpencil dan tidak
bergantung pada infrastruktur
pelabuhan.
0 0 1 11 8 20 4 0,053 0,229
Pelra merupakan usaha
swasembada dan tidak terikat
dengan aturan yang ketat, dan pola
trayeknya tramper.
0 0 0 18 2 20 4 0,078 0,319
Pada dasarnya stabilitas kapal pelra
cukup baik jika tidak mengalami
kelebihan beban, dan bocor.
0 0 5 10 5 20 4 0,139 0,555
Kelemahan (Weakness) :
Variabel Kelemahan (weakness)
Skala Penilaian
Jum
lah
Rat
a-ra
ta
Bob
ot
Sko
r
1 2 3 4 5
Masih rendahnya tingkat keselamatan
dan kelaiklautan kapal pelra sehingga
mengurangi kepercayaan asuransi dan
pemilik barang.
3 7 5 4 0 20 3 0,132 0,334
216
Variabel Kelemahan (weakness)
Skala Penilaian
Jum
lah
Rat
a-ra
ta
Bob
ot
Sko
r
1 2 3 4 5
Rendahnya tingkat kemampuan
manajemen dan keterampilan ABK.
0 3 1 13 3 20 4 0,117 0,446
Rendahnya tingkat pendidikan dan
kemampuan operasional baik di darat
maupun di laut.
0 1 6 12 1 20 4 0,098 0,358
Umumnya kapal pelra tidak memiliki
standar klasifikasi.
15 3 5 9 0 32 2 0,070 0,158
Kapal tidak dilengkapi dengan fasilitas
bongkar muat, dan sistem komunikasi
dan navigasi yang memadai.
3 7 1 9 0 20 3 0,075 0,210
Kapal sangat bergantung pada kondisi
cuaca.
2 9 3 2 4 20 3 0,155 0,443
Peluang (Opportunity)
Variabel Peluang (opportunity) Skala Penilaian
Jum
lah
Rat
a-ra
ta
Bob
ot
Sko
r
1 2 3 4 5
Proses rekruitmen SDM relatif
sederhana, tidak memerlukan qualifired
seafarer.
0 1 7 9 3 20 4 0,046 0,171
Kapal pelra diberi keistimewaan dalam
aktivitas pelayaran seperti prosedur
bongkar muat, proses clearence, tarif
rendah.
0 1 2 8 9 20 4 0,099 0,423
Masih banyaknya pelabuhan yang
belum berkembang di daerah terpencil
sehingga menjadi potensi pasar pelra.
0 0 4 11 5 20 4 0,105 0,425
Pelaut pelra umumnya telah mengikuti
program pendidikan peningkatan skill
penanganan operasi kapal.
0 0 9 9 2 20 4 0,105 0,383
217
Ancaman (Threat)
Variabel Ancaman (threat) Skala Penilaian
Jum
lah
Rat
a-ra
ta
Bob
ot
Sko
r
1 2 3 4 5
Galangan kapal pelra umumnya tidak
memiliki standar formal pembuatan
kapal.
0 1 4 14 1 20 4 0,084 0,314
Pengalaman industri pembuatan kapal
yang hanya pada kapal kayu.
0 0 6 12 2 20 4 0,157 0,595
Pemilik barang menghendaki pelayanan
dengan biaya rendah dan skedul yang
reguler, cukup sulit bagi kapal pelra.
0 5 6 7 2 20 3 0,214 0,705
Pengembangan infrastruktur pelabuhan
di daerah terpencil mengundang
kompetitor Pelra untuk masuk.
0 1 8 9 2 20 4 0,190 0,685
a. Rekapitulasi Hasil Analisis SWOT
Berdasarkan data dari wilayah survei tersebut diatas, maka
rekapituasi hasilanalisis SWOT terlihat pada tabel 28. Hasil pemetaan
sesuai dengan matriks internal dan eksternal, maka peta posisi yang
diperoleh dari matriks tersebut berada pada kuadran II dengan nilai
masing-masing 0,64 dan -4,53 sehingga diperlukan langkah penerapan
strategi yang mana permasalahan tentang beberapa kelemahan masih
mendominasi aktivitas pelayaran rakyat.
218
Tabel 28. Rekapitulasi Hasil Analisis SWOT
No VARIABEL SWOT Bobot
Rat
a-ra
ta
Rating
Rat
a-ra
ta
Sko
r
INTERNAL Jkt Mks Jkt Mks
1 Pelayaran rakyat tidak memerlukan
fasilitas doking untuk perawatan
karena dapat dilakukan di pantai
0,035 0,069 0,052 3 4 3 0,18
2 Pelayaran rakyat dapat diklasifikasikan
sebagai industri yang tidak terpengaruh
pada gejolak finansial.
0,047 0,119 0,083 3 3 3 0,25
3 Ukuran kapal pelra dan sarat pada
umumnya kecil, dan mampu melayani
daerah terpencil dan tidak bergantung
pada infrastruktur pelabuhan.
0,053 0,069 0,052 4 4 3 0,18
4 Pelra merupakan usaha swasembada
dan tidak terikat dengan aturan yang
ketat, dan pola trayeknya tramper.
0,078 0,356 0,217 4 4 4 0,86
5 Pada dasarnya stabilitas kapal pelra
cukup baik jika tidak mengalami
kelebihan beban, dan bocor.
0,139 0,637 0,388 4 5 4 1,67
6 Masih rendahnya tingkat keselamatan
dan kelaiklautan kapal pelra sehingga
mengurangi kepercayaan asuransi dan
pemilik barang.
0,132 0,696 0,414 3 5 4 1,49
Jumlah Skor Kekuatan – S(A) 4,63
7 Rendahnya tingkat kemampuan
manajemen dan keterampilan ABK.
0,117 0,477 0,297 4 4 4 1,17
8 Rendahnya tingkat pendidikan dan
kemampuan operasional baik di darat
maupun di laut.
0,098 0,213 0,156 4 4 4 0,58
9 Umumnya kapal pelra tidak memiliki
standar klasifikasi.
0,070 0,126 0,098 2 2 2 0,18
10 Kapal tidak dilengkapi dengan fasilitas
bongkar muat, dan sistem komunikasi
dan navigasi yang memadai.
0,075 0,272 0,173 3 3 3 0,49
11 Kapal bergantung pada kondisi cuaca. 0,155 0,699 0,427 3 5 4 1,57
Jumlah Skor Kelemahan – W(B) 3,99
219
No VARIABEL SWOT Bobot
Rat
a-ra
ta
Rating
Rat
a-ra
ta
Sko
r
INTERNAL Jkt Mks Jkt Mks
12 Proses rekruitmen SDM relatif
sederhana, tidak memerlukan qualifired
seafarer.
0,046 0,004 0,025 4 4 4 0,10
13 Kapal pelra diberi keistimewaan dalam
aktivitas pelayaran seperti prosedur
bongkar muat, proses clearence, tarif
rendah.
0,099 0,129 0,114 4 5 4 0,50
14 Masih banyaknya pelabuhan yang
belum berkembang di daerah terpencil
sehingga menjadi potensi pasar pelra.
0,105 0,129 0,117 4 5 4 0,51
15 Pelaut pelra umumnya telah mengikuti
program pendidikan peningkatan skill
penanganan operasi kapal.
0,105 0,093 0,099 4 5 4 0,41
Jumlah Skor Peluang – O(C) 1,52
16 Galangan kapal pelra umumnya tidak
memiliki standar formal pembuatan
kapal.
0,084 0,305 0,194 4 3 3 0,64
17 Pengalaman industri pembuatan kapal
yang hanya pada kapal kayu.
0,157 0,469 0,313 4 3 4 1,09
18 Pemilik barang menghendaki
pelayanan dengan biaya rendah dan
skedul yang reguler, cukup sulit bagi
kapal pelra.
0,214 0,880 0,547 3 4 4 2,11
19 Pengembangan infrastruktur
pelabuhan di daerah terpencil
mengundang kompetitor Pelra untuk
masuk.
0,190 0,887 0,539 4 5 4 2,21
Jumlah Skor Ancaman – T(D) 6,05
220
Tabel 29. Pemetaan Faktor Internal dan Eksternal
INTERNAL (EFI) STRENGTH (S) WEAKNESS (W)
- Pelayaran rakyat tidak memerlukan fasilitas doking
untuk perawatan karena dapat dilakukan di pantai
- Masih rendahnya tingkat keselamatan dan
kelaiklautan kapal pelra sehingga mengurangi
kepercayaan asuransi dan pemilik barang.
- Pelayaran rakyat dapat diklasifikasikan sebagai
industri yang tidak terpengaruh gejolak finansial.
- Rendahnya tingkat kemampuan manajemen dan
keterampilan ABK
- Ukuran kapal pelra dan sarat pada umumnya kecil,
dan mampu melayani daerah terpencil dan tidak
bergantung pada infrastruktur pelabuhan.
- Rendahnya tingkat pendidikan dan kemampuan
operasional baik di darat maupun di laut.
- Pelra merupakan usaha swasembada, tidak terikat
aturan yang ketat, dan pola trayeknya tramper.
- Umumnya kapal pelra tidak memiliki standar
klasifikasi.
- Pada dasarnya stabilitas kapal pelra cukup baik
jika tidak mengalami kelebihan beban, dan bocor.
- Kapal tidak dilengkapi dengan fasilitas bongkar
muat, sistem komunikasi dan navigasi memadai.
EKSTERNAL (EFE) - Kapal sangat bergantung pada kondisi cuaca.
OPPORTUNITY (O) STRATEGI S-O STRATEGI W-O
- Proses rekruitmen SDM relatif sederhana, tidak
memerlukan qualifired seafarer.
- Meningkatkan kualitas SDM Pelayaran rakyat agar
mampu memperhitungkan stabilitas kapal
- Meningkatkan pendidikan dan kemampuan
operasional SDM Pelra saat dilakukan perekrutan.
- Kapal pelra diberi keistimewaan dalam aktivitas
pelayaran seperti prosedur bongkar muat, proses
clearence, dan tarif relatif rendah.
- Mengintensifkan program pendidikan dan pelatihan
ketrampilan dan perawatan kapal meskipun
dilakukan di tepi pantai.
- Mengefisienkan sistem bongkar muat kapal untuk
memudahkan prosedur dan meningkatkan daya
saing.
- Masih banyaknya pelabuhan yang belum - Meningkatkan produktivitas pelayanan kapal ke - Mengupayakan penerapan standar teknis kapal,
221
berkembang di daerah terpencil sehingga menjadi
potensi pasar pelra.
daerah terpencil, dan kinerja fasilitas pelabuhan
yang menjadi potensi pelra.
melalui program pendidikan dan peningkatan skill
penanganan operasi kapal.
- Pelaut pelra umumnya telah mengikuti program
pendidikan peningkatan skill penanganan operasi
kapal.
- Mengoptimalkan aktivitas kapal pelra dengan pola
trayek tramper.
- Melakukan perbaikan sistem bongkar muat dan
navigasi pelayaran terutama untuk melayani
daerah yang menjadi potensi pasarnya.
THREAT (T) STRATEGI S-T STRATEGI W-T
- Galangan kapal pelra umumnya tidak memiliki
standar formal pembuatan kapal.
- Meningkatkan standar pembuatan kapal pelra dan
diupayakan dilakukan di galangan.
- Meningkatkan standar klasifikasi kapal dan standar
pembuatan konstruksi dan material.
- Pengalaman industri pembuatan kapal yang hanya
terbatas pada kapal kayu.
- Mengupayakan pembuatan kapal yang bukan kayu
agar dapat meningkatkan kinerja kekuatan dan
stabilitas kapal.
- Meningkatkan kemampuan SDM dan kemampuan
pembangunan kapal yang tidak hanya terbatas
pada kayu.
- Pemilik barang menghendaki pelayanan dengan
biaya rendah dan skedul yang reguler, cukup sulit
bagi kapal pelra.
- Meningkatkan klasifikasi kapal pelra yang dapat
memberikan jaminan keselamatan kepada pemilik
barang.
- Peningkatan standar pembangunan kapal agar
dapat mengatasi / mengidentifikasi kondisi cuaca.
- Pengembangan infrastruktur pelabuhan di daerah
terpencil mengundang kompetitor Pelra untuk
masuk.
- Meningkatkan pengembangan infratruktur pada
wilayah potensi pasar pelayaran rakyat ntuk
meningkatkan pelayanannya.
- Meningkatkan standar klasifikasi kapal agar dapat
memberikan jaminan keselamatan kepada pemilik
barang.
- Meningkatkan kinerja bongkar muat kapal agar
produktivitas pelayanan angkutan lokal semakin
membaik serta peningkatan kinerja sarana navigasi
kapal antara lain dengan sistem GPS agar
pelayanan ke seluruh wilayah dapat terjangkau
dengan selamat dan aman.
222
b. Usulan kebijakan strategi
Berdasarkan pengisian kuesioner oleh responden dan dengan
analisis SWOT, diperoleh hasil pengolahan data berada pada posisi
kuadran II, berarti bahwa responden menilai adanya beberapa kelemahan
yang mendominasi sehingga diperlukan strategi-strategi peningkatan
kinerja keselamatan kapal pelayaran rakyat agar revitaliasi armada dapat
dilakukan dengan lebih intensif. Strategi-strategi yang dapat diaplikasikan
antara lain:
- Strategi S-O adalah (i) Meningkatkan kualitas SDM Pelayaran
rakyat agar mampu memperhitungkan stabilitas kapal; (ii)
Mengintensifkan program pendidikan dan pelatihan ketrampilan
dan perawatan kapal meskipun dilakukan di tepi pantai; (iii)
Meningkatkan produktivitas pelayanan kapal ke daerah terpencil,
dan kinerja fasilitas pelabuhan yang menjadi potensi pelayaran
rakyat.
- Strategi S-T adalah (i) Meningkatkan standar pembuatan kapal
pelayaran rakyat dan mengupayakan dilakukan di galangan; (ii)
Mendukung upaya pembuatan kapal yang bukan kayu agar
dapat meningkatkan kinerja kekuatan dan stabilitas kapal; (iii)
Meningkatkan pengembangan infratruktur pada wilayah potensi
pasar pelayaran rakyat untuk meningkatkan pelayanannya.
- Strategi W-O adalah (i) Meningkatkan pendidikan dan
kemampuan operasional SDM Pelra saat dilakukan perekrutan;
223
(ii) Meningkatkan kecepatan bongkar muat kapal untuk
memudahkan prosedur dan meningkatkan daya saing; (iii)
Mengupayakan penerapan standar teknis kapal, melalui program
pendidikan dan peningkatan skill penanganan operasi kapal; (iv)
Melakukan perbaikan sistem bongkar muat dan navigasi
pelayaran terutama untuk melayani daerah yang menjadi potensi
pasarnya.
- Strategi W-T adalah (i) Meningkatkan kemampuan SDM dan
kemampuan pembangunan kapal yang tidak hanya terbatas
pada kayu; (ii) Peningkatan standar pembangunan kapal agar
dapat mengatasi/mengidenifikasi kondisi cuaca; (iii)
Meningkatkan standar klasifikasi kapal agar dapat memberikan
jaminan keselamatan kepada pemilik barang; (iv) Meningkatkan
kinerja bongkar muat kapal agar produktivitas pelayanan
angkutan lokal semakin membaik serta peningkatan kinerja
sarana navigasi kapal antara lain dengan sistem GPS agar
pelayanan ke seluruh wilayah dapat terjangkau dengan selamat
dan aman.
5. Temuan empiris dan rencana aksi
1) Temuan empiris
224
1) Saat ini terjadi gejala penurunan populasi jumlah armada
pelayaran rakyat, yang disebabkan oleh beberapa hal antara
lain:
- Belum berkembangnya teknologi pembangunan kapal
yang digunakan oleh sebagian besar pembuat kapal
pelayaran rakyat, sehingga belum mampu bersaing
dengan armada pelayaran lainnya.
- Kurangnya kepecayaan pemilik barang terhadap kapal
pelayaran rakyat oleh karena tidak adanya asuransi yang
dapat mengcover kapal tersebut.
- Cenderung tidak ada lagi pembangunan kapal baru untuk
peremajaan bagi kapal-kapal yang sudah berumur, akibat
adanya pembatasan penebangan kayu.
- Semakin sulitnya memperoleh bahan baku kayu untuk
membangun kapal berdampak pada kecenderungan
penggunaan jenis kayu yang kurang baik (bukan kategori
kayu kelas I), tidak awet, dan berumur muda.
- Tidak adanya sekat melintang dan kedap air dan
pemadatan muatan sampai ke geladak yang dapat
mempengaruhi kualitas konstruksi kapal dan stabilitas.
2) Ditemukan bahwa faktor eksternal lebih dominan dari faktor
internal sehingga perlu mengembangkan sistem pengelolaan
pelayaran rakyat untuk meningkatkan kinerja keselamatan
225
dalam rangka memaksimalkan terwujudnya kebijakan zero
accident. Strategi untuk mengatasi permasalahan ini antara
lain: mengintensifkan program pendidikan dan pelatihan
ketrampilan dan perawatan kapal, meningkatkan standar
pembuatan kapal pelayaran rakyat, peningkatan kinerja sarana
navigasi kapal, mengupayakan penerapan standar teknis
keselamatan kapal.
2) Rencana aksi
Untuk melaksanakan perbaikan terhadap kinerja keselamatan
kapal pelayaran rakyat, maka rencana aksi sebagai rekomendasi yang
perlu dilaksanakan oleh pihak terkait antara lain regulator, operator
sarana maupun prasarana angkutan laut pelayaran rakyat sebagai
berikut:
1) Regulator
- Secara kontinyu menyelenggarakan pendidikan dan pelatihan
bagi awak kapal tentang pemahaman dan pelaksanaan
manajemen keselamatan kapal pelayaran rakyat serta
meningkatkan pengawasan pelaksanaannya.
- Melaksanakan pendidikan dan pelatihan tentang perhitungan
stabilitas dan penyiapan booklet stability bagi kapal pelayaran
rakyat serta secara kuntinyu melakukan inspeksi terhadap
kapal-kapal yang tidak memiliki data perhitungan stabilitas;
226
- Menghimbau untuk kapal-kapal pelayaran rakyat rakyat dapat
dikelaskan sesuai ketentuan yang berlaku sebelum sertifikat-
sertifikat kapal diterbitkan;
- Menerapkan dengan ketat tentang peraturan pengawakan kapal
sesuai dengan ketentuan yang berlaku;
- Sosialisasi terhadap perlunya membuat dokumen design bagi
kapal baru yang akan dibangun dan perlunya meningkatkan
pembinaan dan pengawasan pembangunan kapal.
- Mewajibkan untuk setiap kapal pelayaran rakyat memasang
sekat kedap melintang terutama bagi kapal-kapal dengan
ukuran dibawah GT 150.
- Membuat peraturan tentang perlunya kewajiban untuk
melengkapi data-data teknis bagi kapal-kapal yang beroperasi;
- Meningkatkan pengetatan pemberian Surat Ijin Berlayar dan
perlu dikaitkan dengan kondisi kapal sebelum berlayar;
- Sosialisasi kondisi kapal terkait dengan stabilitas dan kekuatan,
sistem pemuatan, kenavigasiaan dan pengawakan kepada
operator dan awak kapal pelayaran rakyat;
- Melakukan sosialisasi kepada kelompok industri pembangunan
kapal kayu tentang penerapan peraturan keselamatan kapal
pelayaran rakyat dan peningkatan muttu pembangunan kapal.
- Melakukan pembinaan kepada aparat dan pengawasan
pelayaran rakyat di daerah untuk meningkatkan integritas dan
227
kompetensi bidang keselamatan transportasi laut pelayaran
rakyat.
2) Operator sarana:
- Manajemen pelayaran rayat wajib mengetahui dan menerapkan
prosedur keselamatan kapal di laut dengan mengaplikasikan
aturan dan kebijakkan regulator tentang keselamatan;
- Operator/pemilik kapal harus mempunyai komitmen yang tinggi
terhadap pentingnya keselamatan pelayaran;
- Perlu merekrut awak kapal yang kompeten dalam
mengoperasikan kapal dan menerapkan standar keselamatan
kapal;
- Awak kapal harus memahami kondisi kapalnya secara maksimal
dengan cara familiarisasi terhadap kondisi kapal.
- Perlunya sosialisasi kepada para awak kapal pelayaran rakyat
mengenai tata cara pemuatan sesuai ketentuan yang berlaku.
- Melengkapi semua kapalnya dengan peralatan navigasi dan
keselamatan yang sesuai dengan peraturan keselamatan;
- Membuat stowage plan sebelum berangkat dari pelabuhan dan
meningkatkan perencanaan perawatan kapal;
228
3) Operator prasarana:
- Memfasilitasi aktivitas bongkar muat yang layak dan steril bagi
pelayaran rakyat di pelabuhan;
- Bekerjasama dengan regulator untuk melakukan sosialisasi
tentang pentingnya kedisiplinan dan sistem keselamatan
pelayaran bagi pelayaran rakyat.
- Meningkatkan pengawasan keamanan dan kelayakan operasional
terminal atau dermaga yang digunakan untuk kegiatan bongkar
muat barang bagi pelayaran rakyat;
229
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulaan
1. Kelaiklautan kapal secara teknis berdasarkan stabilitas telah
memenuhi kriteria kelaiklautan transportasi di laut memenuhi
yang disyaratkan oleh IMO terutama dari aspek luas lengkung
stabilitas, lengan pengembali (righting arm) GZ, dan tinggi
metacentre (MG). Dari aspek kekutan konstruksi memanjang
dan melintang tegangan () pada geladak dan dasar (bottom)
kapal serta tegangan () pada balok geladak, gading-gading
dan dasar (bottom) kapal. Berdasarkan persyaratan material
kayu bahan bangunan kapal, tegangan geser yang diijinkan
harus lebih kecil dari batas tegangan yang diizinkan oleh BKI.
Dengan demikian, kondisi teknis kapal untuk berlayar laik laut,
bahkan terkesan over scantling 20-50% untuk perkuatan
memanjang dan melintang.
2. Faktor pengaruh terhadap keselamatan pelayaran dilihat dari
aspek non teknis yaitu tugas dan tanggung jawab; kompetensi
SDM dan awak kapal terkait dengan rekrutmen dan kecapakan
diklat komitmen perusahaan; peralatan navigasi pelayaran;
sistem perawatan kapal dan pemuatan.
230
3. Strategi untuk meningkatkan keselamatan pelayaran rakyat
dapat dilakukan antara lain:
- Meningkatkan kualitas SDM, standar mutu pembuatan
kapal sebagaimana dibuat di galangan, dan kembangkan
infrastruktur pelayanan pada wilayah potensi pasar dan
pelayanan kapal.
- Intensifikasi program diklat ketrampilan pembangunan dan
perawatan kapal serta kenavigasian/pelayaran.
- Mencari alternatif material pembuatan kapal non kayu untuk
meningkatkan kinerja kekuatan dan stabilitas kapal.
- Melakukan perbaikan sistem bongkar muat dan navigasi
pelayaran.
B. Saran
1. Menggunakan sekat kedap air pada bagian depan dan antar
ruang muat dan kamar mesin, serta semua bukaan di geladak
cuaca dibuat kedap air untuk menjamin stabilitas (kelaiklautan),
perlu memperhatikan system pemuatan diatas geladak
terutama pertimbangan letak titik berat (MG), luas bidang angin.
2. Operator dan awak kapal harus mematuhi persyaratan
terhadap nilai-nilai keselamatan transportasi di laut,
memperbaiki sistem rekruitmen dan kompetensi ABK yang
akan dipekerjakan di kapal dan mengerti regulasi keselamatan,
231
memfasilitasi awak kapal aktif mengikuti diklat untuk peningkatan
kompetensi. Aspek bongkar muat di pelabuhan pelra juga perlu
diperbaiki dan ditingkatkan serta ditata agar mampu memberi
iklim kondusif bagi kelancaran aktivitas pelayaran rakyat.
3. Pemerintah berkewajiban menfasilitasi sosialisasi rules BKI
dan rules non kelas yang dikeluarkan oleh perhubungan. Jika
perlu diadakan diklat pembuatan kapal dan pendidikan
kepelautan bagi ABK Kapal Pelayaran Rakyat.
4. Penerapan aturan keselamatan yang ketat harus dilakukan
sehingga tidak berdampak kepada meningkatnya kecelakaan
kapal. Sesungguhnya pinisi laik laut, intervensi dari pemilik
barang dan kapal tidak perlu diakomodasi, jika dapat
mengurangi kelaiklautan kapal dan nilai-nilai tradisional pinisi
yang menunjang keselamatan pelayaran dapat dipertahankan.
232
DAFTAR PUSTAKA
Abdurachman dan Nurwati Hadjib. 2006. Pemanfaatan Kayu Hutan
Rakyat untuk Komponen Bangunan. Prosiding Seminar Hasil
Litbang Hutan. http://www.dephut.go.id/ (diakses 08 april 2010).
Anomim. 2007. Jalan Panjang Penegakan Regulasi Keselamatan
Pelayaran. Maritim Indonesia, 5 (II), www.dewanmaritim.dkp.go.id.
Anonim. 2009. Pelayaran Rakyat Semakin Terpuruk, http://cetak.
kompas.com (diakses 23 maret 2009).
Anonim 2013. Pinisi Menghidupi Pesisi Bulukumba. Harian Kompas, 22
April 2013.
Anwar Chairil. 1987. Studi tentang Penggunaan Motor Penggerak Bantu
Pada Perahu Layar Motor Isi Kotor 200 sampai 425 Meter Kubik.,
Skripsi. Fakultas Teknik. Universitas Hasanuddin.
Arman Muhamad. 2010. Menengok Evolusi Perahu Pinisi di Tanaberu
Bulukumba, Dulu Kapal Kargo, Sekarang Kapal Pesiar. Fajar News.
21 September 2010.
Bahreisy Naufal. 2004. Pemanfaatan Kurva GZ untuk pengkajian
kemampuan stabilitas kapal (kasus kapal KMP Citra Mandala
Bakti). Warta Penelitian Perhubungan. STT No 1668, ISSN No
0852-1824. 4/thn XVI/2004.
Barrass Bryan and Derrett D.R. 2006. Ship Stability for Masters and
Mates. 6. http://www.elsevierdirect.com/Hasil_Kali.jsp?isbn
(diakses 2 mei 2010).
Basri Faisal. 2009. Ironisnya, Transportasi Laut Kita Sangat Parah,
Kompasiana. http://ekonomi.kompasiana.com/2009/11/10/ (diakses
10 desember 2009).
233
Biran Adrian. 2003. Ship Hydrostatics And Stability. http://books.
google.co.id/books? (diakses desember 2010).
Biro Riset LM-FEUI. 2010. Analisis Permintaan Sektor Angkutan Umum.
http://www.lmfeui.com/data/analisis_industri_transportasi_report.pd
f (diakses 30 september 2010)
Budisantoso S. 1993. Peranan Pelayaran Rakyat Dalam Pertahanan
Keamanan Negara. Lokakarya Nasional Pelayaran Rakyat.
Bogor-Jawa Barat.
Burhan Bungin. 2005. Metodologi Penelitian Kuantitatif. Edisi I. Prenada
Media. Jakarta.
Commander Doug O’Reilly. 2010. Naval Ship Safety Management.
http://www.cfc.forces.gc.ca/papers/otherpublications/72_oreilly.pd
f (diakses 15 maret 2010).
Craig B. Smith. 2007. Extreme Waves and Ship Design. 10th International
Symposium on Practical Design of Ships and Other Floating
Structures. Houston. Texas USA.
Dillon W.R. dan Goldstein M. (1984). Multivariate Analysis Methods and
Appication. John Wiley and Sons Inc.USA.
European Maritime Heritage. 2009. Standard upon Safe Operation of
Traditional Ships in European Waters and Standards required for
Ship Safety Certification. Annex II. http://www.european-maritime-
heritage.org/docs/sc/NewMOUSouthAnnex_II.pdf (diakses 08
desember 2009).
European Maritime Heritage. Guidance for the Implementation of a Safety
Management System for the Operation of Traditional Ships based
on the International Safety Management ISM Code. Annex II.2.
Evans J. Harvey. 1975. Ship Structured Design Concept. Cornell Maritime
Press. Inc.
234
Gourlay Tim and Lilienthal Tim (2002), Dynamic Stability of Ships in
Waves. Proc. Pacific 2002 International Maritime Conference,
Sydney. http://cmst.curtin.edu.au/local/docs/pubs/gourlay dynamic
stability of ships in waves.pdf (diakses 15 mei 2010).
Gordo J. M., Soares Guedes C., and Faulkner D. 1996. Approximate
Assessment of the Ultimate Longitudinal Strength of the Hull
Girder. Journal of Ship Research, 40 [I].
Hair J.F., Anderson, R.E., Tatham, R.L. and Black, W.C. 2006.
Multivariate Data Analysis. 6th Edition. Prentice Hall International
UK.
Huges Owen F. 1983. Ship Structural Design, A rationally bases,
Computer Aided, Optimization Approach. John Willey & Sons Inc.
Indri Nurvia Puspita Rini (2007), Analisis Persepsi Penumpang Terhadap
Tingkat Pelayanan Busway. Tesis. Universitas Diponegoro.
Japan International Cooperation Agency (JICA). 2005. Study on the
Development of Sea Transportation and Maritime Industry in the
Republic of Indonesia (STRAMINDO). Final Report. Jakarta.
Jinca M.Y. 2002. Transportasi laut kapal layar motor Pinisi : Teknologi
dan Manajemen Industri Pelayaran Rakyat. Lembaga Penerbitan
Universitas Hasanuddin. Makassar.
Jinca M.Y. 2007. Keselamatan Transportasi Laut Dan Penyeberangan.
RAKORNAS Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI).
Semarang.
Johnson N, and Wichern D. 1998. Applied Multivariate Statistical
Analysis. Prentice-Hall. Englewood Cliffs. N.J.
Jovanovski Z, and Robinson G. 2009. Ship Stability and Parametric
Rolling. Australian Journal of Enginering Education. 15 [2],
http://www.engineers-media.com.au/journals/aaee/pdf/AJEE_15_2_
Jovanoski.pdf (diakses 10 mei 2010).
235
Kalman Ziha and Marta Pedisic. 2001. Tracing The Ultimate Longitudinal
Strength of A Damaged Ship Hull Girder. University of Zagreb,
Faculty for Mechanical Engineering and Naval Architecture
http://www.fsb.hr/kziha/isp2001.pdf (diakses 15 mei 2010).
Kasten Michael. 2001. The Indonesian Pinisi, http://www.kasten-
marine.com (diakses 20 januari 2010).
KNKT. 2008. Laporan Investigasi Kecelakaan Kapal Laut, Tenggelamnya
KM. Samudera Makmur Jaya. Perairan Sekitar Buoy 14
Pelabuhan Tanjung Perak. Surabaya.
KNKT. 2009. Laporan Investigasi Kecelakaan Kapal Laut, Tenggelamnya
KM. Teratai Prima di Perairan Tanjung Batu Roro, Sulsel.
http://www.dephub.go.id/knkt/ntsc_maritime/Laut/2009/Laporan
Akhir KM Teratai Prima.pdf.
Kuo Hsin-Chuan and Chang Jiang-Ren. 2003. A Simplified Approach to
Estimate the Ultimate Longitudinal Strength of Ship Hull. Journal
of Marine Science and Technology. 11 [3].
Lanoeroe Sherlly, Kesaulija E.M., Rahawarin Y.Y. 2005. Pemanfaatan
Jenis Tumbuhan Berkayu sebagai Bahan Baku Perahu
Tradisional oleh Suku Yachai di Kabupaten Mappi. Biodiversitas.
6[3], ISSN: 1412-033X.
Leedy, Paul D. 1997. Practical Research: Planning and Design. Sixth
Edition. Prectice Hall. New Jersey. Chapter 1: “What Is Research?”.
hal. 3-15 http://mpkd.ugm.ac.id/weblama/homepageadj/support/
materi/metlit-i/a01-metlit-pengantar.pdf. (diakses 20 desember
2010)
Liebner Horst. 2004. Traditional Boats. http://www.forumms.com/
traditional_boats.htm (diakses 08 februari 2010).
236
Lopa Baharuddin. 1982. Hukum Laut Pelayaran dan Perniagaan,
Penggalian dari Bumi Indonesia Sendiri. Disertasi. Universitas
Diponegoro.
Ludwig Benner Jr. 1979. Accident Theories And Their Implications For
Research. http://www.iprr.org/theory/AnnArbor78.htm#Heading4
(diakses desember 2009).
Manurung Marihot. 2009. Meningkatkan Peran Pelayaran Rakyat Dalam
Perspektif Ketahanan Nasional. http://www.digilib.ui.ac.id/opac/
themes/libri2/detail.jsp?id=111774&lokasi=lokal (diakses desember
2009).
Menteri Perhubungan (1993). Sambutan Menteri Perhubungan Pada
Pembukaan Lokakarya Nasional Pelayaran Rakyat. 19 Januari
1993. Bogor
Munawar Ahmad (2007). Pengembangan Transportasi yang Berkelanjutan.
Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Teknik UGM. Jogyakarta.
Nazir Moh. 2003. Metode Penelitian. Jakarta. Ghalia Indonesia.
Nugraha Fajar, 2010. The Effect of Tonnage Reduction on Ship Design.
Media BKI. 83 [XXV].
Nurwahida. 2003. Persepsi Pengambilan Keputusan Terhadap Implementasi
Standar manajemen Keselamatan Kapal-kapal Pelayaran Rakyat.
Pasca Sarjana UNHAS. Makassar.
Ogden Eric. 2010. Element of Yacht Stability, Technical File.
http://www.ogdenmarine-surveiors.com/pdf/techniquestabiliteen.pdf
(diakses 20 april 2010)
Peni Sawitri. 2010. Analisis Matrix SWOT, http://docs.google.com/
viewer?a=v&q=cache:UboABCHXcmcJ:peni.staff.gunadarma.ac.i
d/Downloads/files/959 (diakses 10 Juni 2010).
237
Phelps B.P. 1997. Determination of Wave Loads for Ship Structural
Analysis. DSTO Aeronautical and Maritime Research Laboratory.
Melbourne.
Pirous Meulia Iwan. 1998. The Naval of the Perahu : Meaning and Values
in The Maritime Trading Economy of Butonese Village.
http://www.akademik.unsri.ac.id/download/journal/files/fisip/tinjaua
n_buku_iwan.pdf (diakses januari 2010).
Puslitbang Perhubungan Laut. 2008. Studi Grand Skenario Penanggulangan
Kecelakaan Transportasi di Indonesia. Laporan Final.
Pramono Djoko. 2004. Sistem Transportasi Laut dan Kinerja yang
Diharapkan di Masa Depan. Jakarta.
Radha Balamuralikrishna, John C. Dugger. 1995. SWOT Analysis: a
Management Tool for Initiating New Programs in Vocational
Schools. Journal of Vocational and Technical Education. Volume
12. Number 1. Iowa State University http://scholar.lib.vt.edu/
ejournals/JVTE/v12n1/Balamuralikrishna.html (diakses 12 november
2010)
Rangkuti Freddy. 2006. Analisis SWOT : Teknik Membedah Kasus Bisnis
Reorientasi Konsep Perencanaan Strategis untuk Menghadapi Abad
21. Gramedia Pustaka Utama. ISBN: 979-605-718-2. Jakarta.
Raydion Subiantoro. 2009. Peta Jalan Pelayaran Rakyat Agar Disusun.
http://web.bisnis.com/edisi-cetak/edisi-harian/transportasi-
logistik/1id146373.html (diakses 12/11/2009).
Revandi Iskandar Damanik. 2005. Kekuatan Kayu. Universitas Sumatera
Utara. http://repository.usu.ac.id/handle/123456789/843
Ridwan M., Sarwoko, Budiarto Untung, Sudaryono. 2009. Analisis Ketebalan
Kayu Lambung Kapal Ikan Nelayan Tradisional yang Mengalami
Pembengkokan Paksa Dengan Pemanasan. http://www.lemlit.
238
undip.ac.id/abstrak/content/view/376/268/ (diakses 13 desember
2009).
Roni Kurniawan, M. Najib Habibie, Suratno. 2011. Variasi Bulanan
Gelombang Laut Di Indonesia. Jurnal Meteorologi dan
Geofisika.12 [3].
R. L. Wiegel and J. W. Johnson. 2010. Element of Wave Theory. University
of California. http://journals.tdl.org/ICCE/article/viewFile/905/
002_Wiegel. (diakses desember 2010).
Rosie Cornish. 2007. Statistics Factor Analysis. Mathematic Learning
Support Center.
Salam Aziz and Katsuya Ozawa. 2008. Technological Adaptation in the
Transformation of Traditional Boats in the Spermonde
Archipelago - South Sulawesi. South East Asian Studies. 6[2].
Santoso Singgih. 2003. SPSS Versi 10 Mengolah Data Statistik Secara
Profesional. Cetakan ke empat. Elex Media Komputindo. Jakarta.
Sianipar J.P.G dan Entang H.M. 2001. Teknik Analisis Manajemen (TAM).
Bahan Ajar Diklatpim Tingkat III. Jakarta.
Sianturi Eddy M.T. 2009. Pemberdayaan Armada Pelayaran Rakyat Guna
Mendukung Optimalisasi Penyelenggaraan Pertahanan Negara
(Studi Kasus Pelabuhan Sunda Kelapa), http://buletinlitbang.dep-
han.go.id/index.asp?vnomor=20&mnorutisi (diakses 7 desember
2009).
Siswantara Totok. 2007. Akar Masalah Kecelakaan Angkutan Laut Sering
Terjadi Pelanggaran Regulasi, http://koloms.blogspot.com/2007/01/
akar-masalah-kecelakaan-angkutan-laut.html, (diakses 10 Januari
2010).
Sitepu Ganding. 2006. Analisis Numerik Pengaruh Sambungan Gading
Terhadap Kekuatan Struktur Kapal Kayu. Jurnal Penelitian
Engineering. 12 [2]. Fakultas Teknik Universitas Hasanuddin.
239
Ship Structure Committee-US Coast Guard. 2007. Comparative Study of
Ship Structure Design Standards. http://www.shipstructure.org/
pdf/446.pdf (diakses 1 mei 2010).
Subhash Sharma. 1996. Applied Multivariate Techniques. John Willey &
Sons. http://www2.ef.uni-lj.si/predmeti/Stat3/literatura/AMT.pdf
(diakses 10 maret 2012)
Sularto Hadi. 1993. Keandalan Armada Pelayaran Rakyat Sebagai Salah
Satu Sub Sistem Transportasi Nasional. Lokakarya Nasional
Pelayaran Rakyat. Bogor-Jawa Barat.
Suparman W. 2009. Perahu Pinisi dari Tana Beru. http://munawirsr.
multiply.com/journal/item/336/ (diakses 15 desember 2009).
Supranto. J. 2004. Analisis Multivariat Arti dan Interpretasi. PT. Rineka
Cipta. Jakarta :
Surendran S., Reddy Ramana J.V. 2003. Numerical Simulation of Ship
Stability for Dynamic Environmen. Ocean Engineering,
http://202.114.89.60/resource/pdf/748.pdf (diakses 1 mei 2010).
Syahrir Husein. 2010. Konsep Perencanaan Struktur Kapal. Bab 1. Bahan
Kuliah Teknik Perkapalan. Universitas Hasanuddin.
Tajudin. 2009. Tinjauan terhadap Putusan Mahkamah Pelayaran dan
Pertanggungjawaban Pidana Dalam Kecelakaan Kapal
Dihubungkan Dengan Undang-Undang No. 8 Tahun 1981
Tentang KUHAP. Universitas Padjadjaran. Bandung.
Tetsuya Yao. 2009. Development of Method for Ultimate Longitudinal
Strength Assessment of Ship Hull Girder Under Combined
Loading. http://www.naoe.eng.osaka-u.ac.jp/04/ (diakses 5 mei
2010)
Tobing O.L. 1977. Hukum Pelayaran dan Perdagangan Amanna Gappa.
Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Makassar.
240
Trenhaile Brian. 2005. Understanding Ship and Boat Stability.Hawaii
Ocean Industry and Shipping News. http://www.hawaii-marine.
com/templates/stability_article.htm. (diakses 10 september 2010).
Utina Ridwan. 2002. Uji Stabilitas Kapal Ikan Akibat Gelombang Stern
Quartering. 4[5]. Jurnal Sains Teknologi Indonesia.
Yuda B. Tangkilisan, 2013. Indonesia dan Masalah Perbatasan: Beberapa
Masalah dalam Perkembangan Daerah Tapal Batas sebagai
bagian Perekonomian Nasional dari Perspektif Sejarah. Jurnal
Kajian Sejarah & Pendidikan Sejarah. 1[1]. http://susurgalur-
jurnal.com/wp-content/uploads/07.yuda.ui.sulur.3.2013.pdf
(diakses 10 april 2013).
Wang J. 2000. The Current Status and Future Aspects in Formal Ship
Safety Assessment. School of Engineering Liverpool. John
Moores University. http://www.sciencedirect.com/science (diakses
5 desember 2009).
Widarbowo Dodik. 2006. Analisis Kompetensi Perwira Awak Kapal
Pelayaran Rakyat. Program Pasca Sarjana Universitas
Hasanuddin. Makassar.
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran.
Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2005 tentang Pemberdayaan Industri
Pelayaran Nasional.
Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 2010 tentang Angkutan di
Perairan.
Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: KM No. 65 Tahun 2009 tentang
Standar Kapal Non. Konvensi (Non Convention Vessel Standard).
Berbendera Indonesia.
Keputusan Menteri Perhubungan Nomor KM 33 Tahun 2001 tentang
Penyelengaraan dan Pengusahaan Angkutan Laut.
241
Peraturan Kepala Badan Pendidikan dan Pelatihan Perhubungan Nomor:
SK.225/DL.002/II/Diklat-2010 tentang Standar Pelatihan Dasar
Keselamatan (Basic Safety Training/BST) Khusus Awak Kapal
dan Pekerja pada Kapal Layar Motor (KLM) dan Kapal
Penangkap Ikan Dalam Negeri.
Keputusan Direktur Jenderal Perhubungan Laut Nomor: PY.66/1/2-02
tentang Persyaratan Keselamatan Kapal Layar Motor (KLM)
berukuran Tonase Kotor sampai dengan GT 500.